Farmasi

Manjanjikan! Peluang di Industri Farmasi dan Kesehatan Indonesia

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 17 Februari 2025


Pandemi, secara tak terduga, telah membuka mata kita akan pentingnya obat-obatan, perangkat medis, dan tenaga kesehatan. Perlombaan untuk mengembangkan vaksin COVID-19 telah mendorong banyak negara berinvestasi lebih besar pada program penelitian kesehatan dan pengadaan vitamin, suplemen, dan obat peningkat kekebalan tubuh.

Di Indonesia, farmasi merupakan sektor yang menjanjikan. Akibat meningkatnya permintaan, Pemerintah telah memasukkan sektor perangkat medis dan farmasi sebagai bagian dari sektor prioritas dalam upaya merealisasikan program Making Indonesia 4.0. Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan daya saing sektor perangkat medis dan farmasi dengan mendorong terselenggaranya transformasi digital berbasis teknologi.

Sebagai contoh, perusahaan induk farmasi milik negara telah memanfaatkan teknologi digital mulai dari proses produksi hingga distribusinya. Perusahaan tersebut menggunakan sistem yang saling terhubung untuk menumbuhkan jaringan; menyelenggarakan proses administratif digital; dan mendorong terwujudnya kinerja yang lebih efektif dan efisien.

Peluang untuk merealisasikan ketahanan

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan ada 220 perusahaan di industri farmasi di Indonesia dan 90 persen di antaranya berfokus pada sektor hilir (downstream) dalam produksi obat-obatan. Sementara itu, pemerintah terus mengupayakan pengurangan impor sebesar 35 persen hingga akhir tahun 2022. Pemerintah berharap upaya tersebut dapat mengatasi ketergantungan pada impor bahan baku.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, hingga tahun 2021, ada 241 industri pembuatan obat-obatan, 17 industri bahan baku obat-obatan, 132 industri obat-obatan tradisional, dan 18 industri ekstraksi produk alami.

Pertumbuhan fasilitas produksi peralatan medis juga terus meningkat. Dari tahun 2015 hingga 2021, jumlah perusahaan yang memproduksi perangkat medis meningkat dari 193

menjadi 891 perusahaan. Lebih jauh, dalam lima tahun terakhir, industri perangkat medis dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 361,66 persen atau kira-kira sejumlah 698 perusahaan.

Indonesia mengekspor produk farmasi dan perangkat medis ke beberapa negara, yaitu Belanda, Inggris, Polandia, Nigeria, Kamboja, Vietnam, Filipina, Myanmar, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Percepatan pemberian izin

Pemerintah telah menyiapkan peta jalan untuk mempercepat pembangunan industri farmasi, termasuk prosedur serta sasaran pengembangan produk dan jangka waktunya. Sasaran peta jalan ini adalah produksi bahan baku berteknologi tinggi. Fokus jangka panjangnya adalah membantu industri farmasi dan perangkat medis menjadi industri mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan penduduk sembari menurunkan ketergantungan pada produk impor.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia Bahlil Lahadalia dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah sepakat untuk mempercepat pemberian izin bagi penyedia peralatan medis guna membantu negara menanggulangi pandemi COVID-19. Pemberian izin usaha untuk peralatan medis di Indonesia dapat dipercepat hingga menjadi 1x24 jam (satu hari) hanya dengan mengakses sistem Online Single Submission (OSS) dan Pusat Komando Investasi dan Pengawalan Investasi BKPM.

Penyedia akan menerima Nomor Induk Berusaha (NIB), Izin Usaha Industri, dan Izin Komersial atau Operasional. Nantinya, sistem Kementerian Kesehatan akan memproses permintaan mereka atas Sertifikat Produksi dan Izin Distribusi.

Beberapa produk yang termasuk dalam layanan percepatan ialah masker bedah, Alat Pelindung Diri (APD), dan penyanitasi tangan (hand sanitizer). BKPM memperkirakan bahwa penyedia peralatan medis akan memanfaatkan peluang ini untuk membantu mencegah penyebaran COVID-19.

Pemerintah akan memberikan insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang hendak berinvestasi di Indonesia. Pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday), pengurangan pajak penghasilan untuk penanaman modal (tax allowance), insentif pengurangan pajak super (super tax deduction), dan bea impor merupakan beberapa insentif yang tersedia.

Pertumbuhan perekonomian yang kuat serta demografi yang signifikan membuat Indonesia menjadi negara yang cocok bagi investor. Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, sebagai bagian dari reformasi regulasi struktural, juga meningkatkan iklim investasi serta kemudahan berbisnis di Indonesia. Mari jadi bagian dalam pertumbuhan Indonesia.

Sumber: oss.go.id

Selengkapnya
Manjanjikan! Peluang di Industri Farmasi dan Kesehatan Indonesia

Farmasi

Apakah Benar Industri Farmasi Indonesia Sulit Berkembang? Inilah Penjelasannya

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 17 Februari 2025


Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dinilai perlu mengevaluasi kebijakan sektor farmasi untuk lebih mendorong inovasi yang menjadi kunci perkembangan sektor ini. Apalagi saat ini pengendalian pandemi dibutuhkan utamanya dengan penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19, yang saat ini sepenuhnya masih impor. 

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan industri farmasi di Indonesia adalah suatu contoh di mana berbagai kebijakan lokalisasi tidak kunjung berhasil membangkitkan investasi maupun inovasi. Andree menyebut dimulai dengan Daftar Negatif Investasi [DNI] 2007 yang membatasi kepemilikan asing maksimal 75 persen di sektor ini. Tak lama setelah itu muncul Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/2008 yang mewajibkan semua obat yang terdaftar di Indonesia diproduksi secara lokal.

Kemudian di 2016 sempat terjadi sedikit relaksasi, di mana kepemilikan asing diijinkan 100 persen untuk manufaktur bahan baku obat dan 85 persen untuk produksi obat-obatan jadi. "Namun, regulasi ini segera diikuti Instruksi Presiden 6/2016 kepada 12 kementerian dan lembaga untuk mengembangkan industri farmasi melalui berbagai kebijakan lokalisasi, misalnya dengan mengatur kandungan lokal, memprioritaskan produk lokal dan mematok harga," katanya dalam publikasi CIPS, Sabtu (31/7/2021).

Andree mengemukakan lasan di balik berbagai kebijakan ini biasanya adalah mendorong transfer teknologi dan meningkatkan kapasitas produksi lokal. Sayangnya realisasi investasi asing maupun dalam negeri biasanya malah menurun segera setelah kebijakan lokalisasi dikeluarkan.  Kebijakan lokalisasi 2007-2008 dikuti realisasi investasi yang rendah sepanjang 2009-2014.  Investasi naik mulai 2015 setelah pasar baru dibuka dengan diluncurkannya JKN.  "Ini pun kembali seret pasca 2016 karena regulasi yang tumpang tindih,” ujarnya.

Meskipun sekarang ini Perpres 10/2021 mengenai investasi yang mengimplementasikan UU Cipta Kerja tidak lagi membatasi kepemilikan asing di pabrik farmasi, tetapi semangat lokalisasi Inpres 6/2016 masih menyebabkan munculnya berbagai Peraturan Menteri yang restriktif. Misalnya saja peraturan mengenai cara perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) obat-obatan. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian 16/2020 yang malah dikeluarkan di tengah-tengah pandemi. 

Memang sejauh ini sertifikasi TKDN belum diwajibkan, tetapi jika diimplementasikan harus diperhatikan agar jangan sampai membuat obat menjadi langka karena industri farmasi lokal sesungguhnya masih sangat bergantung pada bahan baku impor.  “Dibutuhkan ratusan bahan dasar dalam memformulasikan sebuah obat, termasuk vaksin. Sementara tidak semua bahan tersebut dibuat di Indonesia. 

Penerapan TKDN bisa mempersulit produsen bahkan lokal sekalipun untuk mengembangkan kapasitas. Alih-alih proteksionis, pemerintah idealnya membuka jalur impor untuk bahan baku obat-obatan,” jelas Andree. Pemerintah umumnya meyakini bahwa kebijakan yang restriktif tidak akan mengurangi daya tarik populasi yang besar.  Namun sesungguhnya nilai pasar farmasi Indonesia tergolong kecil, hanya sekitar 1 persen dari dua pasar terbesar dunia, yaitu Amerika Serikat dan China.  

Aljasil, adanya regulasi yang memaksa perusahaan untuk membangun pabrik baru di Indonesia mungkin malah akan mengurangi efisiensi dari pabrik yang sudah dibangun di pasar lain yang jauh lebih besar. Bagi perusahaan farmasi multinasional di Indonesia, kombinasi antara biaya yang lebih tinggi dan pasar yang lebih kecil membawa konsekuensi berupa laba atas investasi yang lebih rendah. Pasar yang menawarkan tingkat pengembalian yang lebih rendah dan jangka waktu pemulihan investasi yang lebih panjang secara alami tidak menarik bagi investor. Keharusan untuk menggandeng mitra lokal disebut Andree juga sedikit banyak menghalangi inovasi di sektor ini. 

Di satu sisi, perusahaan multinasional farmasi asing ragu-ragu untuk membagikan kekayaan intelektual mereka dengan perusahaan lokal yang bisa menjadi pesaing. Apalagi jika sang calon mitra tidak pernah berkontribusi sama sekali dalam biaya litbang yang tidak kecil. Di sisi lain, peraturan semacam ini membuat perusahaan lokal cenderung menunggu tawaran kemitraan daripada berinvestasi untuk melakukan litbang sendiri. “Efek negatif kebijakan ini terhadap inovasi cukup jelas terlihat dari fokus pabrikan lokal kepada obat generik yang sedikit sekali unsur litbangnya,” imbuh Andree. 

Indonesia sebenarnya memiliki komunitas ilmiah yang siap berinovasi melawan Covid-19. Bahkan sudah ada pengembangan vaksin lokal, yaitu Vaksin Merah Putih. Namun, semua ini masih bergantung sekali kepada pemerintah dan BUMN. Sangat disayangkan bahwa lanskap regulasi saat ini menghalangi bisnis untuk membangun kapasitas inovasi jangka panjang. 

"Ketimbang berfokus pada kebijakan lokalisasi, pemerintah seharusnya fokus pada membangun ekosistem inovasi bisnis dalam negeri. Litbang bisnis lokal yang kuat akan mengurangi ketergantungan inovasi pada anggaran negara dan meningkatkan ketertarikan investor asing untuk bermitra secara sukarela dengan mitra lokal yang memiliki kemampuan yang setara," kata Andree.

Sumber: ekonomi.bisnis.com
 

Selengkapnya
Apakah Benar Industri Farmasi Indonesia Sulit Berkembang? Inilah Penjelasannya

Farmasi

9 Perusahaan Farmasi Indonesia yang Terdaftar Di BEI, Apa Saja?

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 17 Februari 2025


Bernas.id – Sebagian masyarakat pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah farmasi, apalagi bagi masyarakat yang bekerja di bidang kesehatan. Perusahaan farmasi adalah suatu perusahaan yang  memproduksi obat-obatan yang berguna untuk kesehatan tubuh. 

Perusahaan bidang farmasi ini ternyata sebagian terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan tentunya dapat dijadikan pilihan untuk berinvestasi. Apalagi saat ini industri farmasi sedang naik daun sejak adanya pandemi Covid-19 yang tidak kunjung reda dan membutuhkan kontribusi perusahaan farmasi.

Lantas, apa sajakah perusahan farmasi yang ada di Indonesia serta terdaftar di BEI? Berikut ulasannya akan dibahas secara lengkap.

Daftar Perusahaan Farmasi Indonesia yang Terdaftar di BEI
Bagi investor, mencari rekomendasi perusahaan dengan kinerja baik dan menghasilkan return menjanjikan menjadi pilihan investasi terbaik. Di tengah berkembangannya industri kesehatan saat ini, berikut ini adalah daftar perusahaan farmasi di Indonesia yang terdaftar di dalam BEI :

1. PT Merck Indonesia Tbk
Perusahaan farmasi ini memiliki kinerja yang baik dengan laporan keuangan tahunannya yang baik. Arus keluar masuk uangnya pun terpantau dengan baik dan lancar. 

2. PT Kalbe Farma Tbk
Perusahaan farmasi yang satu ini telah memproduksi obat-obatan sejak tahun 1990. Selain itu, nilai saham perusahaan ini pun cukup tinggi sehingga mampu menarik minat investor untuk berinvestasi.

Baca juga: India Siap Pasok Industri Farmasi ke Indonesia Asal Peraturan BPOM Disederhanakan

3. PT Tempo Scan Pacific Tbk
Industri yang bergerak dibidang farmasi ini sudah mampu menghasilkan keuntungan bersih dalam jumlah yang banyak. Hal ini dikarenakan kinerja yang dilakukan selama kegiatan operasi dinilai sangat baik.

4. PT Darya Varia Laboratoria Tbk
Perusahan farmasi ini juga terdaftar ke dalam jajaran emiten farmasi di BEI dan dapat dijadikan salah satu pilihan yang tepat untuk berinvestasi dengan nilai yang standar. 

5. PT Indofarma (Persero) Tbk
Perusahaan yang bergerak dibidang farmasi sejak tahun 2001 ini memiliki nilai saham yang rendah di awal. Akan tetapi, saat ini nilai sahamnya terus mengalami peningkatan dengan baik.

6. PT Kimia Farma (Perseroan) Tbk
Perusahaan farmasi yang satu ini cukup terkenal dikalangan masyarakat. Berdiri sejak tahun 2001, perusahaan ini memiliki peminat investor yang tinggi walaupun harganya cukup berkelas. 

7. PT Pyridam Farma Tbk
Perusahaan farmasi ini juga bisa menjadi pilihan yang tepat untuk berinvestasi saham dengan baik dan tepat.

8. PT Muncul Tbk
Perusahaan farmasi yang memproduksi obat-obatan ini sudah terkenal hingga mancanegara. Oleh karena itu, nilai sahamnya pun sudah tidak perlu diragukan lagi serta sudah pasti memperoleh keuntungan yang tinggi.

9. PT Pharos Tbk
Perusahaan yang bergerak dibidang farmasi ini menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk berinvestasi saham. Tak hanya itu, perusahaan ini juga memproduksi obat-obatan yang nantinya akan sangat dibutuhkan di masa mendatang.

Perbedaan Perusahaan Farmasi Swasta dan Milik Negara
Perusahaan farmasi ternyata ada yang tergolong sebagai milik pemerintah. Lalu, apa saja yang membedakan antara yang terdaftar di BEI dan milik pemerintah? Berikut penjelasannya.

1. Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan perusahaan farmasi yang ada terdaftar di BEI bersifat transparan. Hal ini dikarenakan kinerjanya sudah sesuai dengan kebijakan yang dibuat. Sedangkan perusahaan yang milik negara kinerjanya transparan, namun terbatas karena ada beberapa hal yang menjadi dokumen penting dan bersifat rahasia.

2. Penawaran 
Perusahaan yang terdaftar di BEI lebih terbuka alias go public dalam penawarannya. Sedangkan miliki negara ini bersifar terbatas.

3. Tingkat Harga Saham
Perusahaan farmasi yang terdaftar di BEI terbilang sedikit lebih tinggi di harga sahamnya. Sedangkan yang milik negara sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai yang ada di BEI.

4. Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan farmasi yng terdaftar di BEI bisa mendapatkan nilai keuntungan yang tinggi jika diimbangi dengan kinerja yang baik. Sedangkan perusahaan farmasi milik negara tetap menghasilkan keuntungan yang sama sesuai standar walaupun kinerjanya lebih baik.

Kesimpulan
Tidak semua perusahaan farmasi yang ada di Indonesia terdaftar di BEI. Di samping itu, ada pula perusahaan yang masuk dalam daftar milik negara. Keduanya pun memiliki standar nilai masing-masing, termasuk dalam kategori investasi saham. Perusahaan farmasi yang ada di Indonesia ini diharapkan dapat tetap memberikan hasil produksi terbaiknya terkait obat-obatan serta menghasilkan keuntungan yang dapat memajukan perekonomian Indonesia.

Sumber: www.bernas.id
 

Selengkapnya
9 Perusahaan Farmasi Indonesia yang Terdaftar Di BEI, Apa Saja?

Farmasi

Apa itu Bioavailabilitias?

Dipublikasikan oleh Anisa pada 11 Februari 2025


Dalam farmakologi, ketersediaan hayati atau bioavailabilitas (BA) adalah bagian dari dosis obat yang dapat tersebar luas ke seluruh tubuh. Ini adalah salah satu profil penting dari farmakokinetika obat. Berdasarkan definisi, ketersediaan hayati obat adalah 100% ketika diberikan secara intravena. Namun, ketika obat diberikan melalui cara lain, seperti peroral, ketersediaan hayati obat biasanya menurun karena obat tidak diserap sepenuhnya dan metabolisme lintas pertama. Selain itu, ketersediaan hayati obat mungkin berbeda dari satu pasien ke pasien lainnya atau mungkin tidak sama. Dalam farmakokinetika, ketersediaan hayati sangat penting. Salah satu alasan mengapa pentingnya mempertimbangkan ketersediaan hayati saat menghitung dosis obat yang tidak diberikan secara intravena. Ketersediaan hayati hanya didefinisikan sebagai jumlah atau pecahan dari dosis yang diserap untuk suplemen makanan, jamu, dan nutrisi lain yang sebagian besar diberikan secara peroral.

Karena metode pemberiannya yang berbeda dan peraturan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, definisi ketersediaan hayati sedikit berbeda dari definisi obat-obatan dan suplemen makanan. Konsep bioaksesibilitas mengacu pada ketersediaan hayati dalam konteks biodegradasi dan pencemaran lingkungan. Ketika suatu molekul (biasanya zat pencemar organik persisten) "dapat menembus membran sel dari lingkungan luar, jika organisme mempunyai akses ke molekul tersebut", dianggap bioaksesibel.

Ketersediaan hayati mutlak

Ketersediaan hayati mutlak berarti ketersediaan hayati zat aktif obat di peredaran sistemis pada pemberian obat bukan intravena (seperti oral, rektal, transdermal, subkutan, atau sublingual), dibandingkan dengan ketersediaan hayati obat yang sama pada pemberian intravena atau pecahan obat yang diserap pada pemberian intravena. Untuk melakukan perbandingan, dosis normal harus digunakan. Akibatnya, jumlah obat yang diserap harus dikoreksi terlebih dahulu dengan membagi nilai ini dengan dosis yang diberikan.

Dalam farmakologi, penelitian farmakokinetika harus dilakukan untuk menentukan ketersediaan hayati mutlak obat. Ini akan menghasilkan plot grafik konsenstrasi obat dalam plasma versus waktu setelah pemberian intravena (iv) dan ekstravaskular (bukan intravena, misalnya per oral). Untuk menghitung ketersediaan hayati mutlak, persamaan berikut dapat digunakan.

Oleh karena itu, ketersediaan hayati mutlak obat yang diberikan secara intravena akan sebesar 100% (f=1), sementara obat yang diberikan melalui rute lain biasanya memiliki ketersediaan hayati mutlak kurang dari satu. Ketersediaan hayati perbandingan atau bioavailabilitas komparatif digunakan untuk membandingkan ketersediaan hayati dua obat dengan zat aktif yang sama.

Mengetahui ketersediaan hayati mutlak obat sangat bermanfaat, tetapi penelitian ini jarang dilakukan. Alasannya adalah bahwa untuk menilai ketersediaan hayati diperlukan data dari rute pemberian intravena, di mana seluruh obat dapat masuk ke peredaran sistemis. Untuk memastikan keamanan obat tersebut, penelitian seperti ini memerlukan banyak biaya dan juga memerlukan uji ketoksikan praklinis. Selain itu, keterbatasan kelarutan obat menyebabkan kesulitan untuk diserap oleh tubuh.

Tidak ada peraturan yang mengatur minimal ketersediaan hayati mutlak yang diperlukan agar obat tersebut dapat dipasarkan; namun, dalam kasus di mana ketersediaan hayati rendah atau bervariasi, badan pengawas terkadang meminta data tentang ketersediaan hayati mutlak dari rute pemberian ekstravaskular, dan jika ada hubungan yang dapat dibuktikan antara farmakodinamika dan farmakokinetika pada dosis terapi. Data dari obat yang diberikan secara intravena dalam kejadian tersebut diperlukan untuk melakukan kajian ketersediaan hayati mutlak.

Parameter farmakokinetika seperti volume persebaran (V) dan klirens (CL) dapat diinformasikan melalui pemberian intravena obat tengah.

Sumber:

https://id.wikipedia.org

Selengkapnya
Apa itu Bioavailabilitias?

Farmasi

Apa itu Tablet atau Pil?

Dipublikasikan oleh Anisa pada 11 Februari 2025


Tablet, juga disebut pil, adalah bentuk sediaan oral farmasi (dosis padat oral, atau OSD) atau satuan padat. Tablet memiliki eksipien yang sesuai. Ini terdiri dari dosis padat dari zat aktif dan eksipien, yang biasanya dalam bentuk bubuk, yang ditekan. Obat tablet memiliki keuntungan utama, yaitu memastikan dosis yang konsisten dan membuatnya mudah dikonsumsi.

Tablet dibuat dengan cara dikompresi atau dicetak. Eksipien dapat termasuk bahan pengencer, bahan pengikat atau bahan granulasi, glidan (alat bantu aliran), dan pelumas untuk memastikan tablet dibuat dengan baik; bahan penghancur yang membantu tablet pecah di dalam usus; pemanis atau perasa untuk meningkatkan rasa; dan pigmen untuk membuat tablet terlihat lebih menarik atau membantu mengidentifikasi tablet yang tidak diketahui secara visual. Lapisan polimer biasanya digunakan untuk membuat tablet lebih halus dan mudah ditelan, mengontrol laju pelepasan bahan aktif, membuatnya lebih tahan terhadap lingkungan (memperpanjang umur simpannya), atau membuatnya terlihat lebih baik.

Pada awalnya, tablet obat dibuat dalam bentuk cakram dengan warna yang ditentukan oleh komponennya. Sekarang, bagaimanapun, tablet dibuat dalam berbagai bentuk dan warna untuk membantu membedakan berbagai obat. Tablet sering dicetak dengan huruf, simbol, dan angka, yang membuatnya mudah dikenali atau membuat alur yang mudah dipisahkan dengan tangan. Tablet berukuran antara beberapa milimeter dan sekitar satu sentimeter.

Saat ini, bentuk sediaan yang paling banyak digunakan adalah tablet terkompresi. Dua pertiga dari semua resep adalah sediaan padat, dan setengahnya adalah tablet terkompresi. Meskipun tablet biasanya ditelan, mereka dapat diberikan secara sublingual, bukal, rektal, atau intravaginal.

Jenis-jenis

  • Pil

Bentuk dosis obat oral yang kecil, bulat, dan padat adalah definisi asli dari sebuah pil. Asal usul kata ini mengingatkan kita pada gagasan lama yang menggunakan lesung dan alu untuk menumbuk bahan-bahan dan kemudian menggulung campuran atau adonan menjadi gumpalan hingga kering. Saat ini, istilah "pil" masih mengacu pada tablet (termasuk kaplet) daripada kapsul (yang dikembangkan jauh kemudian). Namun, karena hypernym langsung diperlukan untuk secara intuitif mencakup semua bentuk sediaan oral, istilah "pil" juga banyak digunakan dalam arti yang lebih luas yang mencakup tablet dan kapsul; secara informal, semua obat oral padat termasuk dalam kategori "pil" (lihat pil § Catatan penggunaan).

  • Kaplet

Kaplet adalah tablet obat berbentuk lonjong, halus, dilapisi menyerupai kapsul pada umumnya. Kaplet dapat dibagi menjadi dua dengan lebih mudah karena banyak kaplet yang memiliki lekukan di tengahnya. Sejak diperkenalkan, konsumen menganggap kapsul sebagai metode minum obat yang paling efisien. Untuk mengaitkan hubungan positif ini dengan pil tablet yang diproduksi lebih efisien serta bentuknya yang lebih mudah ditelan dibandingkan tablet berbentuk cakram pada umumnya, produsen obat seperti analgesik yang dijual bebas ingin menekankan kekuatan produk mereka. Hasilnya, mereka mengembangkan "kaplet", sebuah gabungan dari tablet berbentuk kapsul.

  • ODT

Beberapa bentuk sediaan obat bebas (OTC) dan resep yang berbeda tersedia dalam bentuk tablet penghancur oral, yang sering dikenal sebagai tablet orodispersible (ODT).

Disadur dari:

https://en.wikipedia.org

Selengkapnya
Apa itu Tablet atau Pil?

Farmasi

Menilik Peta Persaingan Industri Farmasi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 10 Februari 2025


Liputan6.com, Jakarta - Fitch Solutions menyebutkan Indonesia memiliki lebih dari 200 produsen dan distributor farmasi, termasuk 29 perusahaan multinasional. Lalu bagaimana posisi perusahaan multinasional dan dalam negeri di sektor farmasi?

Sebagian besar produsen lokal mengkhususkan diri dalam produksi produk generik murah, obat-obatan over the counter (OTC) dan perawatan tradisional. Selain itu, ada juga empat laboratorium farmasi milik pemerintah yang berkonsentrasi pada produksi obat-obatan yang termasuk di dalamnya daftar obat esensi nasional.

Perusahaan farmasi dalam negeri seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dan PT Kimia Farma Tbk (KAEF) memiliki pasar 70 persen. Sisanya 30 persen, pasar farmasi Indonesia Indonesia terdiri dari perusahaan farmasi asing seperti Bayer, Pfizer, GlaxoSmithKline, Mitsubishi Tanabe Pharma, Merck dan lainnya. Demikan disebutkan dalam laporan bertajuk Indonesia Pharmaceutial & Healthcare Report Include 10-year forecasts to 2030.

Menurut Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, sekitar 95 persen obat produksi lokal dikonsumsi di dalam negeri. Sisanya lima persen diekspor. 10 perusahaan teratas semua lokal, dan menguasai sekitar 40 persen pasar dalam hal volume.

Industri dalam negeri saat ini mengimpor sebanyak 90 persen dari bahan bakunya, meskipun kerentanan ini semakin diatasi melalui manajemen stok dan investasi di di fasilitas manufaktur hulu.

Fitch Solutions menyebutkan, salah satu hambatan utama bagi produsen obat dari luar negeri untuk mendirikan operasi di Indonesia adalah posisi industri farmasi di daftar investasi negative. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36/20210, investor dilarang memiliki lebih dari 75 persen dari perusahaan farmasi Indonesia (meningkat menjadi 85 persen pada 2014).

Selain itu, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/2008 menyatakan perusahaan asing yang tidak memiliki pabrik di dalam negeri tidak boleh mendistribusikan produknya dan harus mengandalkan perusahaan lain (yang memiliki pabrik) untuk melakukannya. "Semakin membatasi peran perusahaan farmasi multinasional di negara tersebut,” tulis Fitch Solutions, dikutip Sabtu (26/6/2021).

Insentif Pemerintah Kembangkan Industri Dalam Negeri

Insentif pemerintah untuk mengembangkan industri farmasi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor akan semakin besar diperkuat oleh reformasi yang mendorong lokalisasi obat-obatan, memungkinkan pembuat obat lokal untuk diversifikasi rantai pasokannya.

Hal itu masuk paket stimulus ekonomi pemerintah ke-11 yang dirilis pada Maret 2016 untuk mendorong produksi bahan baku obat dalam negeri terutama lima kategori produk antara lain bioteknologi, vaksin, ekstrak herbal, bahan aktif farmasi, dan alat kesehatan.

"Sebagai hasil dari paket ini, baik Kimia Farma dan Kalbe Farma baru-baru ini berinvestasi di hulu industri farmasi dengan mendirikan pabrik yang dapat mensuplai bahan baku,” tulis Fitch Solutions.
 
Sebelumnya ketentuan pemerintah tersebut bertujuan untuk mendorong perusahaan asing investasi di dalam negeri. Hal itu menuai protes dari Kamar Dagang AS sehingga berdampak pada 13 produsen obat internasional yang menjual obat-obatan di Indonesia karena saat itu belum memiliki fasilitas produksi di Indonesia. Adapun yang terkena dampak antara lain Astellas Pharma, AstraZeneca, Eli Lily, Merck Sharp, Dohme, Novo Nordisk, Roche, Servier dan Wyeth.

Perusahaan farmasi asing yang beroperasi di Indonesia diwakili oleh asosiasi perdagangan. IPMG misalnya, terdiri dari 28 perusahaan farmasi internasional berbasis penelitian secara bersama-asma mempekerjakan sekitar 10.000 staf lokal.

Sejak 1999, anggota IPMG telah memperkenalkan lebih dari 250 produk bar uke Indonesia untuk mengobati kanker, penyakit menular, penyakit kardiovaskular dan penyakit lainnya.

IPMG juga berupaya memerangi dan membantu pemberantasan obat palsu dengan meningkatkan kesadaran masyarakat. Selain itu, Sanofi, Pfizer, Novartis, dan Bayer semuanya memiliki pabrik di dalam negeri, sementara perusahaan multinasional lainnya termasuk Astellas Pharma, AstraZenecca, Eli Lily, MSD, Novo, Nordisk, Roche hanya mengoperasikan kantor perwakilan. Kelompok terakhir telah dipengaruhi oleh perubahan peraturan yang haruskan perusahaan asing untuk investasi di Indonesia.

RI Masih Impor Bahan Baku Obat

Selain itu, Fitch Solutions menyebutkan sebagian besar produsen lokal khusus diri dalam produksi produk obat generi; murah, obat-obatan OTC dan perawatan tradisional. Ada juga empat laboratorium farmasi milik pemerintah yang berkonsentrasi pada produksi obat-obatan yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional.

Menurut Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi), sekitar 95 persen obat produksi lokal dikonsumsi di dalam negeri. Sisanya lima persen diekspor. Fitch Solutions menyebutkan, 10 perusahaan teratas semua lokal menguasai sekitar 40 persen pasar dalam hal volume.

Seperti banyak negara lain di Asia Tenggara, Indonesia impor sebagian besar bahan baku (sebagian besar dari India dan China) yang dibutuhkan untuk produksi obat-obatan terutama karena proses pembuatan API yang rumit dan mahal.

“Dalam hal upaya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan mentah impor bahan baku, Kementerian Kesehatan mendorong BUMN farmasi untuk memproduksi bahan baku obat,” tulis Fitch Solutions.

Industri dalam negeri Indonesia didominasi oleh beberapa pabrikan besar yang didirikan sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang memproduksi berbagai obat generic umum. Namun, produk tersebut juga berada di bawah tekanan harga dalam beberapa tahun terakhir melalui mandate lain, beberapa di antaranya telah menetapkan penurunan lokal hingga 30 persen untuk obat-obatan tertentu.

Perusahaan lokal terkemuka termasuk Kalbe Farma, Kimia Farma, Combiphar, dan Sanbe Farma.

Sumber: www.liputan6.com
 

 

Selengkapnya
Menilik Peta Persaingan Industri Farmasi di Indonesia
« First Previous page 14 of 15 Next Last »