Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 26 Februari 2022
Energi panas bumi di Indonesia yang melimpah membuat pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Kamojang yang pertama kali beroperasi pada tahun 1982.
Hal ini menjadikan PLTP Kamojang menjadi PLTP pertama di Indonesia yang masih aktif hingga saat ini.
Lokasi PLTP Kamojang berada di Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan dikelola oleh Pertamina dengan anak perusahaan PT PLN yaitu PT Indonesia Power.
Potensi Panas Bumi yang Ditemukan oleh Belanda
Potensi sumber energi di lokasi ini pertama kali ditemukan oleh Belanda tahun 1918, yaitu di sekitar Gunung Gajah gugusan Gunung Guntur Bandung.
Saat itu potensi panas bumi yang ditemukan diperkirakan setara dengan 300 MW.
Baru pada tahun 1926 hasil temuan tersebut ditindaklanjuti dengan dimulainya pengeboran pertama.
Selanjutnya proyek ini dikerjakan bekerja sama dengan Selandia Baru untuk tujuan eksplorasi.
Setelah masa pembangunan dan eksplorasi yang panjang, PLTP Kamojang akhirnya resmi beroperasi di tahun 1982.
Keunggulan PLTP Kamojang
Seperti diketahui bahwa PLTP Kamojang menggunakan sistem pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga panas bumi yang berupa uap.
Pembangkit akan menghasilkan listrik dari putaran turbin generator yang digerakkan oleh energi panas bumi baik berupa uap maupun brine water.
Uap panas bumi di PLTP didapat dari sumur panas bumi yang dieksplorasi hingga kedalaman tertentu dan uapnya dialirkan ke lokasi pembangkit.
Tenaga panas bumi ini semakin berharga karena menjadi merupakan salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui (renewable) dan ramah lingkungan.
Di PLTP Kamojang, uap tersebut diperoleh dari sumur-sumur produksi yang dibuat oleh Pertamina.
Keunggulan PLTP Kamojang adalah kualitas uap yang dihasilkan oleh sumur-sumurnya.
Uap yang dikeluarkan sangat kering (very dry) dengan kelembaban yang sangat rendah sehingga uap dapat langsung masuk ke turbin tanpa harus diproses terlebih dulu.
Kapasitas PLTP Kamojang
Power Generation O&M Services Unit (POMU) PLTP Kamojang mengembangkan energi bersih panas bumi dengan kapasitas terpasang 375 MW.
Jumlah itu merupakan integrasi dari 3 sub unit, yaitu PLTP Kamojang dengan 3 unit pembangkit berkapasitas sebesar 140 MW, PLTP Darajat di Kabupaten Garut dengan 1 unit berkapasitas sebesar 55 MW, dan PLTP Gunung Salak di Kabupaten Bogor dengan 3 unit pembangkit berkapasitas sebesar 180 MW.
Hasil yang dihasilkan oleh PLTP Kamojang kemudian disalurkan ke jaringan transmisi listrik Jawa – Bali.
Sumber Artikel: kompas.com
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 26 Februari 2022
Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas Uap Lombok Peaker menjadi PLTMGU pertama di Indonesia.
Selain itu PLTMGU Lombok Peaker merupakan pembangkit listrik "Combined Cycle" pertama di Indonesia.
Lokasi PLTMGU Lombok Peaker ada di Tanjung Karang, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Setelah pembangunannya selesai pada pertengahan tahun 2020, pembangkit ini telah beroperasi penuh.
Kapasitas PLTMGU Lombok Peaker
PLTMGU Lombok Peaker terdiri dari 13 unit pembangkit gas engine yang terbagi menjadi 2 blok.
Tiap unit memiliki kapasitas 9,76 MW sehingga total daya yang dihasilkan sebesar 126.88 MW.
Jumlah ini masih ditambah dengan 10 MW yang diperoleh dari pemanfaatan uap panas yang diolah oleh sistem PLTU.
Listrik yang dihasilkan PLTMGU Lombok Peaker ini difungsikan untuk mendukung kebutuhan sistem kelistrikan PLN Lombok.
Bertambahnya pasokan listrik ini terutama untuk mendukung tumbuhnya pariwisata termasuk di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang merupakan destinasi super prioritas.
Sistem Combined Cycle PLTMGU Lombok Peaker
PLTMGU Lombok Peaker menggabungkan dua sistem proses pembakaran PLTMG dan PLTU yang menghasilkan siklus gabungan yang dikenal dengan istilah "Combined Cycle".
Kombinasi ini dilakukan agar proses produksi energi listrik ini dapat berjalan lebih efisien.
Manager PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara, Yuyun Mimbar Saputra menjelaskan bahwa proses kerja PLTMGU Lombok Peaker ini serupa dengan mesin yang digunakan pada sepeda motor atau mobil.
Sama-sama menggunakan jenis mesin pembakaran dalam (spark ignition combustion), perbedaan mesin PLTMGU ada pada gas engine yang tidak memerlukan proses pengabutan karena bahan bakar yang digunakan sudah berbentuk gas.
Selanjutnya, energi panas dan uap dari gas buang hasil pembakaran di gas engine (PLTMG) digunakan untuk menghasilkan uap yang digunakan sebagai fluida kerja pada turbin (PLTU).
Caranya adalah dengan memanaskan air di HRSG (Heat Recovery Steam Generator) yang nantinya akan menghasilkan uap jenuh kering.
Uap dari hasil HRSG inilah yang kemudian digunakan untuk memutar sudu (baling baling) yang selanjutnya menggerakkan turbin generator dan akhirnya menjadi energi listrik.
PLTMGU Lombok Peaker Ramah Lingkungan
PLTMGU Lombok Peaker menggunakan gas engine untuk proses pembakarannya dan bukan menggunakan gas turbine seperti PLTMGU pada umumnya.
Hal ini karena PLTMGU ini tidak menggunakan batubara sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap, namun memanfaatkan uap panas hasil dari gas engine.
Selain dari aspek bahan bakar, emisi gas buang PLTMGU juga selalu dimonitoring secara online dengan menggunakan peralatan CEMS (Continuous Emission Monitoring System).
Nilai emisi gas buang seperti SO2, NO2, total partikulat dan kepekatan dimonitoring dengan tujuan memastikan emisi yang dihasilkan PLTMGU Lombok Peaker masih dalam ambang batas standar yang telah ditetapkan.
Lebih detail, potensi polusi suara dari kebisingan yang ditimbulkan oleh radiator yang berfungsi sebagai sistem pendingin cukup minim.
Hal ini karena sistem pertukaran panas (heat exchanger) PLTMG Lombok Peaker menggunakan media air laut yang diolah terlebih dahulu dan bersirkulasi dalam siklus tertutup.
Tak heran pembangkit ini menjadi istimewa karena diproyeksikan menjadi pembangkit yang paling ramah lingkungan dan efisien dalam pengoperasiannya.
Sumber Artikel: kompas.com
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 26 Februari 2022
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, realisasi penambahan pembangkit listrik sepanjang 2021 mencapai 1.901,7 mega watt (MW) atau hanya 30,7 persen dari target yang ditetapkan sebesar 6.187,9 MW.
Tambahan pembangkit listrik di tahun lalu juga lebih rendah dibandingkan realisasi tahun 2020 yang sebesar 3.072 MW, meskipun itu hanya mencapai 59 persen dari target yang sebesar 5.209,4 MW.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, penambahan terkait infrastruktur kelistrikan memang mayoritas berada di bawah target. Menurutnya, hal ini tak lepas dari kondisi di 2021 yang masih pandemi Covid-19 sehingga turut mempengaruhi kegiatan.
"Itu semuanya menunjukkan capaian yang di bawah target, karena kita mengerti, maklum, bahwa pandemi Covid-19 masih berdampak pada kegiatan," ungkapnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (18/1/2022).
Ia merinci, pada penambahan gardu induk pun realisasinya hanya mencapai 7.731 mega volt ampere (MVA) atau 91,4 persen dari target sebesar 8.460 MVA. Lalu penambahan gardu distribusi sebanyak 2.775,4 MVA atau 91,8 persen dari target yang sebesar 3.022 MVA.
Sementara penambahan transmisi tercatat sebanyak 3.820,61 kilo meter sirkuit (kms) atau 80,2 persen dari target sebesar 4.765,9 kms. Serta penambahan jaringan distribusi sebesar 14.480,1 kms atau hanya 33,9 persen dari target sebanyak 42.714 kms.
Adapun dengan tambahan tersebut, maka total kapasitas pembangkit listrik nasional hingga akhir 2021 mencapai 73.736 MW. Sementara total kapasitas gardu induk mencapai 154.788 MVA dan gardu distribusi mencapai 64.226 MVA.
Kemudian untuk total transmisi tercatat mencapai 64.155 kms dan jaringan distribusi mencapai 1,02 juta kms.
Dengan tambahan infrastruktur kelistrikan tersebut, rasio elektrifikasi hingga akhir 2021 sebesar 99,45 persen, lebih rendah dari target yang seharusnya 100 persen. Namun, ini meningkat dari rasio elektrifikasi di 2020 yang sebesar 99,20 persen.
"Jadi secara tahun ke tahun, itu tetap selalu ada penambahan, walaupun penambahannya memang tak sesuai yang kita targetkan," kata Rida.
Sumber Artikel: kompas.com
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 26 Februari 2022
Greenpeace Indonesia menyoroti rencana Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait pembangunan pembangkit listrik berbasis baru bara. Organisasi ini meminta agar rencana tersebut dihentikan.
Greenpeace Indonesia juga mengingatkan agar rencana pembangunan pembangkit listrik berbasis batu bara, harus diikuti dengan peta jalan yang jelas.
Sebelumnya diinformasikan bahwa Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM) akan membangun 41 GigaWatt (GW) konstruksi pembangkit listrik.
Pembangunan ini dimaksudkan sebagai upaya memenuhi target rasio elektrifikasi dan kebutuhan listrik nasional seperti dicanangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menyebut penambahan konstruksi pembangkit listrik dalam satu dekade mendatang masih akan didominasi energi fosil yang bersumber dari batu bara.
"Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih akan mendominasi sekitar 36 persen atau kurang lebih bergerak di angka 14-15 GW dari total penambahan 41 GW itu," kata Rida, dikutip dari Antara pada Kamis (1/4/2021).
Sementara, PLN akan fokus hanya kepada pengembangan energi baru terbarukan, setelah proyek 35.000 MegaWatt (MW) dan Fast Track Program (FTP) II sebesar 7.000 MW rampung pada tahun 2023.
"Niatan baik PLN ini harus disertai dengan peta jalan yang jelas untuk coal phase phase-out pembangkit listrik tenaga uap yang sudah berjalan dan yang sedang dalam proses pembangunan, sesuai dengan skenario net-zero emission yang telah dibuat PLN," kata Adila Isfandiari, Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia melalui surel yang diterima Kompas.com, Senin (10/5/2021).
Bila dirinci, proyek FTP II terdiri dari pembangunan PLTU-PLTU yang totalnya berjumlah 7.000 MW.
Sementara mega proyek 35.000 MW didominasi oleh pembangkit listrik tenaga fosil, terutama PLTU yang berjumlah 20.000 MW, atau sekitar 55 persen, dan EBT hanya 2.000 MW saja, atau 6 persen.
Secara kumulatif, hingga saat ini, produksi listrik dari batu bara masih dan akan terus mendominasi bauran energi listrik di Indonesia, yaitu sekitar 65 persen dengan kapasitas existing mencapai 34,6 GW.
"Bila semua pembangkit berbasis energi kotor ini tetap berjalan, dengan usia operasional puluhan tahun, maka tidak mungkin kita akan mencapai nol emisi di 2050 dan itu hanya jadi sebatas mimpi yang tidak mungkin diwujudkan," ujarnya.
Lantas, skema atau peta jalan seperti apa yang bisa dilakukan?
Menjawab persoalan rencana PLN membangun pembangkit listrik batubara, Greenpeace Indonesia juga menunjukkan data berdasarkan laporan atau studi mengenai Penilaian Sektor Ketenagalistrikan di Asia Tenggara.
Ilustrasi Listrik, Pembangkit Listrik
Dalam laporan tersebut menunjukkan bahkan dengan skema energi terbarukan, di tahun 2030, Indonesia hanya mampu mencapai 26 persen energi terbarukan dibandingkan 50 persen energi terbarukan yang dibutuhkan untuk mencegah kenaikan suhu di atas 1,5 derajat Celcius.
Oleh karena itu, menurut dia, dalam skema energi terbarukan terbaik, Indonesia harus melakukan moratorium PLTU batu bara saat ini, tanpa menunggu penyelesaian proyek 35.000 MW dan FTP II untuk bisa mencapai target 1,5 derajat Celcius di 2050.
“Rencana PLN ini meski merupakan kemajuan, tetapi masih jauh dari ambisius dan Indonesia akan tetap terkunci oleh PLTU batu bara di 2023 dan puluhan tahun ke depannya. Diperlukan perubahan sistem dan implementasi yang disiplin untuk mencapai rencana PLN ini," jelasnya.
Dampak Jika Target PLN dan KESDM Gagal
Adila menjelaskan, jika tidak ada rencana penutupan secara bertahap terhadap kapasitas terpasang PLTU saat ini untuk mencapai nol PLTU, maka berbagai risiko pasti akan muncul.
Risiko tersebut tentunya berkaitan dengan keuangan negara, dan juga bertambahnya emisi gas rumah kaca (GRK).
Diketahui, jika dengan masa beroperasi PLTU rata-rata adalah 30-40 tahun, maka kondisi tersebut akan mengunci emisi GRK serta mengurangi ruang bagi energi terbarukan untuk berkembang.
Dikatakan Adila, penambahan PLTU batu bara baru dari proyek 35.000 MW dan FTP tentunya sangatlah bertentang dengan rekomendasi IPCC.
Seperti diketahui, rekomendasi IPCC ini adalah ketentuan di mana seluruh negara harus menutup 80 persen dari PLTU existing agar target 1,5 derajat Celcius seperti Perjanjian Paris bisa tercapai.
Oleh sebab itu, Adila menegaskan, selain pentingnya sebuah peta jalan, juga pentingnya komitmen PLN mencapai emisi nol di 2050 dituangkan dalam RUPTL 2021-2030.
“Pengembangan energi terbarukan juga tidak boleh mengikutsertakan sejumlah solusi palsu seperti nuklir, biofuel,” tuturnya.
“Perlu diingat bahwa keberhasilan Indonesia untuk menuju net-zero emission sangat bergantung pada sektor energi," imbuhnya.
Pembangunan sektor energi yang berketahanan iklim tidak hanya akan menjadi modal bagi masyarakat Indonesia dalam menghadapi situasi krisis, melainkan juga menjadi kontribusi Indonesia pada dunia sebagai salah satu negara yang masuk dalam daftar 10 besar negara penghasil gas rumah kaca.
Sumber Artikel: kompas.com