Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 September 2025
Pendahuluan: Energi sebagai Nadi Kehidupan
Bayangkan sebuah kota besar yang hidup 24 jam tanpa henti. Jalan raya dipenuhi kendaraan, gedung-gedung tinggi menyala terang hingga larut malam, dan pabrik-pabrik beroperasi siang-malam tanpa henti. Semua denyut kehidupan ini bertumpu pada satu hal: energi. Namun, di balik kemegahan itu, ada kenyataan yang semakin sulit diabaikan. Sumber energi utama dunia batu bara, minyak, dan gas bukan hanya terbatas, tetapi juga meninggalkan jejak karbon yang berat bagi bumi. Energi adalah darah yang mengalir dalam nadi peradaban modern. Dari lampu rumah sederhana hingga mesin industri raksasa, dari transportasi publik hingga jaringan internet, semua bergantung pada ketersediaan energi. Namun, di balik kenyamanan itu, dunia kini menghadapi sebuah ironi: kebutuhan energi terus meningkat, sementara sumber-sumber tradisional yang kita andalkan kian menimbulkan masalah serius bagi lingkungan dan masa depan bumi.
Sebuah penelitian komprehensif terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional menyuguhkan gambaran nyata tentang persoalan ini. Peneliti menyoroti betapa ketergantungan pada bahan bakar fosil masih mendominasi, meski wacana energi terbarukan semakin nyaring terdengar di ruang publik. Lebih dari 70% konsumsi energi dunia masih berasal dari fosil, sementara kontribusi energi terbarukan belum lebih dari seperlima total kebutuhan global. Artinya, kita baru “mengisi baterai” bumi sekitar 20%, padahal tuntutan konsumsi sudah mencapai 100%. Artikel ini mencoba memaparkan hasil riset tersebut dengan gaya populer, agar publik luas bisa memahami: mengapa isu energi bukan sekadar soal listrik yang menyala atau bensin yang tersedia di SPBU, tetapi tentang masa depan kehidupan umat manusia. Para peneliti menyoroti bahwa dunia kini berada di titik kritis. Transisi energi bukan lagi pilihan jangka panjang, melainkan kebutuhan mendesak. Ketergantungan pada energi fosil telah membawa konsekuensi serius: perubahan iklim, pencemaran udara, hingga ketidakstabilan harga energi yang berdampak pada ekonomi global. Dari krisis listrik di Eropa saat musim dingin hingga polusi parah di kota-kota Asia, bukti nyata sudah terpampang di depan mata
Lalu, apa yang membuat transisi energi hijau berjalan lamban? Apa yang mengejutkan dari temuan penelitian ini? Siapa yang paling terdampak, dan mengapa temuan ini relevan untuk negara seperti Indonesia? Mari kita bedah lebih jauh.
Mengapa Energi Terbarukan Menjadi Keharusan?
Ketika bicara soal energi, isu terbesar yang tak bisa dihindari adalah perubahan iklim. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa emisi karbon global terus mencatatkan rekor, dan sektor energi menjadi penyumbang terbesar. Kontribusi energi fosil terhadap pemanasan global begitu besar hingga setiap keterlambatan dalam transisi sama artinya dengan menambah beban bumi puluhan tahun ke depan.
Sejarah energi modern selalu identik dengan fosil. Revolusi industri abad ke-18 hingga ke-19 ditopang oleh batu bara. Masuk abad ke-20, minyak bumi menjadi primadona, diikuti gas alam yang lebih “bersih” tetapi tetap berkarbon. Sumber energi ini memberikan fondasi pembangunan ekonomi global. Namun, sejak lama pula ilmuwan mengingatkan bahwa cadangan fosil tidak abadi dan dampaknya terhadap lingkungan sangat berbahaya.
Data dalam riset menunjukkan, lebih dari 80% kebutuhan energi global masih dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Angka ini ibarat menggambarkan rumah tangga besar yang masih bergantung pada dapur tua berbahan kayu bakar, padahal sudah ada kompor gas dan listrik yang lebih bersih. Dunia tahu harus beralih, tetapi kebiasaan lama terlalu sulit ditinggalkan begitu saja. Bagi para peneliti, kenyataan bahwa energi terbarukan baru mampu menyumbang sekitar 20% kebutuhan dunia merupakan peringatan keras. Perlu diingat, angka ini tidak tersebar merata. Negara maju relatif lebih agresif membangun infrastruktur hijau, sementara negara berkembang masih tertatih karena terbatasnya dana, teknologi, dan dukungan kebijakan.
Ketergantungan ini diperparah oleh infrastruktur yang sudah terbentuk puluhan tahun. Jaringan listrik, pipa gas, hingga kilang minyak didesain untuk melayani energi fosil. Beralih ke energi terbarukan berarti membongkar sebagian besar sistem lama dan membangun yang baru, sebuah tantangan besar baik secara teknis maupun ekonomi.
Jika diibaratkan, dunia seakan sedang mengisi tangki air raksasa untuk memadamkan kebakaran besar. Sayangnya, sebagian besar ember masih bocor atau bahkan kosong. Energi hijau sudah ada, tetapi belum cukup cepat dan kuat untuk mengimbangi kebutuhan.
Cerita di Balik Data: Realitas yang Mengejutkan
Salah satu hal yang membuat riset ini penting adalah cara peneliti menekankan skala urgensi transisi energi. Mereka menemukan bahwa meskipun teknologi energi terbarukan sudah berkembang pesat—panel surya semakin murah, turbin angin semakin efisien—tingkat adopsinya masih jauh dari cukup untuk menekan laju perubahan iklim.
Data yang diolah menunjukkan bahwa kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi global baru sekitar 20%. Bandingkan dengan kebutuhan dekarbonisasi yang menuntut angka minimal 60–70% dalam beberapa dekade ke depan. Jurang kesenjangan inilah yang membuat para peneliti khawatir.
Mereka menyebut kondisi ini seperti “mengejar kereta yang hampir meninggalkan stasiun”. Dunia harus berlari lebih cepat jika tidak ingin tertinggal. Dengan kata lain, meskipun ada kemajuan, laju transisi masih terlalu lambat dibanding ancaman yang semakin nyata.
Penelitian ini tidak hanya menyajikan angka, tetapi juga cerita manusia di balik data.
Dengan kata lain, krisis energi bukan hanya persoalan teknis. Ia merembes ke dapur rumah tangga, mengancam stabilitas pekerjaan, bahkan menimbulkan ketegangan sosial.
Hambatan Utama: Mengapa Transisi Masih Tersendat?
Penelitian mengidentifikasi setidaknya tiga hambatan besar yang membuat dunia masih jauh dari target energi bersih.
1. Biaya Investasi yang Tinggi
Pembangunan infrastruktur energi hijau panel surya, turbin angin, baterai penyimpanan membutuhkan investasi besar di awal. Negara berkembang kesulitan menyediakan dana miliaran dolar untuk proyek energi bersih, apalagi ketika kebutuhan lain seperti kesehatan dan pendidikan juga mendesak.
2. Teknologi Penyimpanan yang Belum Optimal
Meski efisiensi panel surya terus meningkat, masalah terbesar tetap pada penyimpanan energi. Tanpa baterai yang memadai, listrik dari matahari atau angin tidak bisa diandalkan 24 jam. Bayangkan memiliki keran air dengan debit besar, tetapi tanpa ember untuk menampung.
3. Resistensi Sosial dan Kebijakan
Tidak semua masyarakat serta pemerintah siap menerima perubahan. Di beberapa negara, budaya penggunaan energi tradisional masih kuat. Sementara itu, kebijakan pemerintah seringkali tidak sinkron: subsidi masih besar untuk energi fosil, sementara dukungan untuk energi bersih minim.
Analogi Kuantitatif: Dampak yang Terlihat
Penelitian memberi contoh konkret tentang besarnya dampak transisi energi. Keterlambatan 10 tahun dalam adopsi energi hijau, misalnya, setara dengan membiarkan ratusan juta kendaraan bermotor beroperasi tanpa filter emisi tambahan.
Dalam aspek efisiensi, peningkatan panel surya sebesar 43% digambarkan seperti menaikkan baterai ponsel dari 20% ke 70% hanya dalam sekali pengisian. Artinya, kemajuan teknologi bisa sangat signifikan, tetapi tanpa dukungan sistem penyimpanan, manfaatnya tidak sepenuhnya dirasakan.
Dampak Negatif Ketika Komunikasi Hilang dalam Proyek Energi
Salah satu temuan menarik adalah peran komunikasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan. Peneliti mencatat bahwa kegagalan komunikasi dalam proyek energi sering kali menjadi biang keladi pembengkakan biaya, keterlambatan waktu, bahkan turunnya kualitas hasil.
Hal ini mirip dengan apa yang kerap terjadi di industri konstruksi: ketika informasi teknis tidak tersampaikan dengan jelas, tim lapangan bekerja dengan asumsi berbeda. Akibatnya, proyek harus diulang, biaya bertambah, dan hasil akhir tidak optimal.
Solusi yang Ditawarkan: Jalan Menuju Perubahan
Penelitian ini tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi juga memberi resep jalan keluar. Beberapa strategi yang ditawarkan antara lain:
Lalu, salah satu bagian paling menarik dari riset adalah analisis dampak berlarutnya ketergantungan pada energi fosil. Para peneliti menunjukkan bahwa biaya “tak terlihat” dari penggunaan fosil sebenarnya jauh lebih besar daripada harga pasarnya.
Gas rumah kaca dari pembakaran fosil mempercepat pemanasan global. Peneliti menggambarkan bahwa setiap ton CO₂ yang dilepaskan ke atmosfer sama saja seperti menambahkan selimut tebal di sekitar bumi. Jika tren ini tidak dikendalikan, suhu global bisa naik hingga 2–3 derajat Celsius pada akhir abad ini. Angka itu mungkin terlihat kecil, tetapi dalam bahasa sederhana, kenaikan dua derajat bisa berarti mencairnya lapisan es di kutub, naiknya permukaan laut yang menenggelamkan pulau-pulau kecil, hingga meningkatnya frekuensi badai dan banjir besar.
Krisis energi terbaru di Eropa menunjukkan betapa rapuhnya ekonomi ketika terlalu bergantung pada impor fosil. Harga gas melonjak hingga lima kali lipat dalam hitungan bulan, membuat biaya listrik rumah tangga dan industri ikut melambung. Dalam analogi sederhana, lonjakan harga ini seperti tiba-tiba biaya transportasi harian Anda naik lima kali lipat—tentu akan mengacaukan seluruh perencanaan keuangan.
Penelitian juga menyoroti aspek sosial. Di banyak negara berkembang, subsidi energi fosil masih menjadi beban anggaran negara. Ironisnya, subsidi ini seringkali lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah ke atas yang konsumsi energinya lebih tinggi, ketimbang masyarakat miskin yang justru lebih rentan terhadap dampak polusi dan perubahan iklim.
Relevansi Bagi Indonesia
Meski penelitian berfokus global, relevansinya nyata bagi Indonesia. Negara ini masih mengandalkan batu bara sebagai sumber listrik utama, padahal potensi energi terbarukan sangat besar: surya, angin, panas bumi, hingga bioenergi.
Namun, Indonesia juga menghadapi hambatan klasik: biaya, infrastruktur penyimpanan, serta resistensi dari industri fosil. Belajar dari penelitian ini, jelas bahwa jika transisi energi tidak segera dipercepat, Indonesia berisiko menanggung biaya sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih besar di masa depan.
Kritik Realistis
Namun, penelitian ini juga tidak sempurna. Ada beberapa catatan kritis yang perlu dipertimbangkan:
Kesimpulan: Dari Ancaman Menjadi Peluang
Penelitian ini menyampaikan pesan tegas: krisis energi global adalah ancaman sekaligus peluang. Jika dikelola dengan benar, transisi energi bisa menciptakan dunia lebih bersih, membuka lapangan kerja baru, dan menekan biaya pembangunan jangka panjang.
Jika diterapkan secara serius, temuan ini dapat mengurangi biaya energi, mempercepat pembangunan infrastruktur, serta menjaga kualitas hidup masyarakat dalam lima tahun ke depan.
Energi bersih bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Dunia, termasuk Indonesia, kini berada di persimpangan: tetap bertahan pada cara lama yang merusak, atau berani melangkah menuju masa depan yang lebih hijau.
Sumber Artikel:
Willar, D., Trigunarsyah, B., Dewi, A. A. D. P., & Makalew, F. (2023). Evaluating quality management of road construction projects: a Delphi study. The TQM Journal, 35 (7), 2003-2027.
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Maret 2025
Dalam definisinya, semua energi terbarukan otomatis masuk ke kategori energi berkelanjutan. Energi ini selalu ada di alam dalam jangka waktu yang sangat lama, sehingga tidak perlu khawatir atau merencanakan untuk kehabisannya. Mereka yang mendukung energi non-nuklir biasanya tidak menganggap nuklir sebagai bagian dari energi berkelanjutan, mengingat persediaan uranium-235 di alam memiliki batasan, yakni hanya beberapa ratus tahun saja.
Tetapi, para pendukung nuklir berpendapat bahwa nuklir juga bisa dianggap sebagai energi berkelanjutan jika digunakan sebagai bahan bakar di reaktor pembiak cepat (FBR: Fast Breeder Reactor). Hal ini karena cadangan bahan bakar nuklir dapat "beranak" ratusan hingga ribuan kali lipat.
Argumen ini muncul karena para ahli energi membahas cadangan nuklir dalam rentang puluhan hingga ratusan tahun dengan asumsi bahwa reaktor yang digunakan adalah reaktor biasa, yang pada umumnya hanya dapat membakar U-235. Padahal, kandungan U-235 di alam hanya sekitar 0,72%, sedangkan sisanya sekitar 99,28% adalah U-238. U-238 ini, jika diolah di reaktor pembiak, dapat mengalami reaksi penangkapan neutron dan berubah menjadi bahan bakar nuklir Pu-239.
Pu-239, meskipun tidak ada di alam, terbentuk sebagai hasil sampingan pembakaran U-235 dan memiliki kemampuan membelah diri untuk menghasilkan energi, sama seperti U-235. Jika seluruh U-238 yang jumlahnya ribuan kali lebih banyak daripada U-235 diubah menjadi Pu-239, maka akan terjadi peningkatan signifikan pada jumlah bahan bakar nuklir.
Hal serupa juga berlaku untuk atom [thorium-233], yang dengan reaksi penangkapan neutron berubah menjadi U-233 dan memiliki kemampuan reaksi berantai.
Karena itu, beberapa negara maju enggan meninggalkan nuklir meski risiko radioaktifnya tidak ringan. Reaktor pembiak cepat, seperti yang dimiliki oleh Korea Utara, bahkan harus diawasi ketat oleh IAEA karena potensinya untuk memproduksi bahan bakar nuklir baru, seperti Pu-239, yang dapat disalahgunakan untuk senjata pemusnah massal.
Di sisi lain, kelompok anti-nuklir cenderung menggunakan istilah "energi berkelanjutan" sebagai padanan dari "energi terbarukan" untuk mengesampingkan energi nuklir dari perbincangan mereka.
Sumber:
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Anisa pada 19 Maret 2025
Energi angin merupakan cara mengumpulkan daya dari hembusan angin. Pada tahun 2005, kapasitas generator tenaga angin mencapai 58.982 MW, menyumbang kurang dari 1% dari total konsumsi listrik global. Walaupun masih dianggap sebagai pemain minor dalam sumber daya energi di banyak negara, produksi tenaga angin telah meningkat lebih dari empat kali lipat antara tahun 1999 dan 2005.
Sebagian besar tenaga angin modern dihasilkan dalam bentuk listrik dengan mengubah gerakan putaran pisau turbin menjadi arus listrik melalui penggunaan generator listrik. Dalam kincir angin tradisional, energi angin dimanfaatkan untuk memutar peralatan mekanik guna melakukan pekerjaan fisik, seperti menggiling gandum atau memompa air.
Tenaga angin digunakan secara luas dalam ladang angin berskala besar untuk memproduksi listrik secara nasional, dan juga dalam turbin individu kecil untuk menyediakan listrik di lokasi terpencil. Keunggulan tenaga angin adalah ketersediaannya yang melimpah, terbatas, tersebar luas, ramah lingkungan, dan berkontribusi dalam mengurangi efek rumah kaca.
Saat ini, terdapat ribuan turbin angin yang beroperasi, dengan total kapasitas mencapai 58.982 MW, dimana 69% berlokasi di Eropa pada tahun 2005. Ini merupakan alternatif yang sedang berkembang pesat dalam produksi listrik, memberikan kontribusi yang signifikan terutama bagi stasiun tenaga berskala besar dengan kebutuhan listrik yang besar. Kapasitas produksi listrik dari tenaga angin meningkat empat kali lipat antara tahun 1999 dan 2005. Lebih dari 90% instalasi tenaga angin berada di Amerika Serikat dan Eropa. Menurut Asosiasi Tenaga Angin Dunia pada tahun 2010, diharapkan terdapat 120.000 MW kapasitas tenaga angin yang terpasang di seluruh dunia.
Beberapa negara seperti Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, India, dan Denmark telah melakukan investasi terbesar dalam produksi listrik tenaga angin. Denmark terkenal dengan komitmen mereka sejak 1970-an untuk menghasilkan setengah dari total energi negara dengan menggunakan tenaga angin. Denmark mencapai lebih dari 20% dari total produksi listriknya melalui turbin angin, menjadikannya negara dengan persentase terbesar dan peringkat kelima di dunia. Denmark dan Jerman juga merupakan eksportir terbesar turbin angin.
Meskipun penggunaan tenaga angin hanya menyumbang 1% dari total produksi listrik dunia pada tahun 2005, Jerman memimpin sebagai produsen terbesar dengan 32% kapasitas dunia pada saat itu. Target Jerman pada tahun 2010 adalah bahwa 12,5% kebutuhan listriknya akan dipenuhi oleh sumber energi terbarukan. Jerman memiliki 16.000 turbin angin, sebagian besar terletak di wilayah utara negara tersebut, termasuk tiga turbin terbesar di dunia, yang dibuat oleh perusahaan Enercon (4,5 MW), Multibrid (5 MW), dan Repower (5 MW). Provinsi Schleswig-Holstein di Jerman menghasilkan 25% listriknya dari turbin angin.
Saat ini, London Array adalah ladang angin lepas pantai terbesar di dunia dengan kapasitas mencapai 1000 MW, diresmikan oleh Perdana Menteri Inggris David Cameron pada 4 Juli 2013.
Disadur dari https://id.wikipedia.org/wiki/Tenaga_angin
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Anisa pada 19 Maret 2025
Bahan bakar hayati (biofuel) merujuk pada segala jenis bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan organik, baik berupa padatan, cairan, atau gas. Produksi bahan bakar hayati dapat dilakukan secara langsung dari tanaman atau tidak langsung melalui limbah dari berbagai sektor seperti industri, komersial, domestik, atau pertanian. Terdapat tiga metode utama dalam pembuatan bahan bakar hayati: pembakaran limbah organik kering (seperti sampah rumah tangga, limbah industri, dan pertanian), fermentasi limbah basah (seperti kotoran hewan) tanpa oksigen untuk menghasilkan biogas, atau fermentasi tanaman seperti tebu atau jagung untuk menghasilkan alkohol dan ester. Selain itu, kayu dari tanaman yang cepat tumbuh juga dapat dijadikan sumber energi untuk produksi bahan bakar.
Proses fermentasi menghasilkan dua jenis bahan bakar hayati utama, yaitu alkohol dan ester. Meskipun secara teori dapat menggantikan bahan bakar fosil, dalam prakteknya seringkali bahan bakar hayati dicampur dengan bahan bakar fosil karena memerlukan penyesuaian besar pada mesin. Uni Eropa, misalnya, merencanakan penambahan 5,75 persen etanol dari berbagai sumber pada bahan bakar fosil pada tahun 2010, meningkat menjadi 20 persen pada 2020. Di Brasil, sekitar seperempat bahan bakar transportasi pada tahun 2002 berasal dari bioetanol.
Keberlanjutan bahan bakar hayati terletak pada kemampuannya untuk memproduksi energi tanpa meningkatkan kadar karbon di atmosfer. Tanaman yang digunakan untuk bahan bakar hayati membantu mengurangi kadar karbon dioksida di atmosfer, berbeda dengan bahan bakar fosil yang mengembalikan karbon yang telah disimpan selama jutaan tahun ke udara. Oleh karena itu, bahan bakar hayati lebih bersifat karbon netral dan memiliki dampak yang lebih rendah terhadap gas rumah kaca.
Penggunaan bahan bakar hayati juga dapat mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, meningkatkan keamanan energi, dan memberikan opsi yang lebih berkelanjutan untuk masa depan. Dua pendekatan umum dalam produksi bahan bakar hayati melibatkan tanaman yang mengandung gula atau pati untuk menghasilkan etil alkohol melalui fermentasi, serta tanaman dengan tingkat minyak tinggi seperti kelapa sawit, kedelai, alga, atau jatropha yang dapat diubah menjadi bahan bakar langsung atau diproses menjadi biodiesel.
Dengan demikian, bahan bakar hayati merupakan sumber energi yang berasal dari bahan-bahan organik, baik dalam bentuk padatan, cairan, atau gas. Proses produksinya melibatkan tiga metode utama, yaitu pembakaran limbah organik kering, fermentasi limbah basah, dan penggunaan kayu dari tanaman cepat tumbuh. Meskipun dapat menjadi alternatif untuk bahan bakar fosil, penggunaan bahan bakar hayati sering melibatkan campuran dengan bahan bakar fosil karena memerlukan penyesuaian mesin yang signifikan.
Keberlanjutan bahan bakar hayati terletak pada kemampuannya menghasilkan energi tanpa meningkatkan kadar karbon di atmosfer, dengan tanaman yang digunakan membantu mengurangi emisi karbon dioksida. Selain itu, penggunaan bahan bakar hayati dapat mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, meningkatkan keamanan energi, dan memberikan opsi yang lebih berkelanjutan untuk masa depan. Dua pendekatan utama dalam produksi bahan bakar hayati melibatkan tanaman dengan kandungan gula atau pati untuk menghasilkan etil alkohol melalui fermentasi, serta tanaman dengan tingkat minyak tinggi seperti kelapa sawit, kedelai, alga, atau jatropha yang dapat diubah menjadi bahan bakar langsung atau biodiesel setelah proses kimia.
Bahan bakar hayati generasi 2
Para pendukung bahan bakar hayati mengatakan mereka telah menemukan cara yang lebih baik untuk meningkatkan dukungan politik dan industri untuk penerapan bahan bakar hayati generasi kedua dari berbagai tanaman yang tidak digunakan untuk konsumsi manusia dan hewan, termasuk bahan bakar hayati berselulosa. Proses ini dapat menggunakan berbagai tanaman yang tidak digunakan untuk konsumsi manusia dan hewan.
Sebagian besar bahan bakar hayati generasi kedua sedang dikembangkan. Ini termasuk diesel kayu, alkohol campuran, Fischer-Tropsch diesel, biohidrogen diesel, biometanol, DMF, dan Bio-DME. Produksi etanol berselulosa menggunakan berbagai tanaman dan produk buangan yang tidak dapat dimakan oleh manusia dan hewan, serta tanaman yang tidak digunakan untuk konsumsi manusia. Produksi etanol dari selulosa adalah masalah teknis yang sulit diatasi. Hewan pemamah biak, seperti sapi, memakan rumput, lalu menggunakan enzim yang lambat untuk menguraikannya menjadi glukosa, atau gula. Untuk melakukan hal yang sama dengan etanol berselulosa, atau cellulosic ethanol, di labolatorium, berbagai prosedur percobaan sedang dikembangkan. Dengan demikian, gula yang dihasilkan dapat difermentasi untuk menjadi bahan bakar etanol. Para ilmuwan juga sedang bereksperimen dengan berbagai organisme yang dihasilkan dari rekayasa genetik penyatuan kembali DNA, yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan potensi bahan bakar hayati seperti penggunaan tepung rumput gajah (Panicum virgatum).
Sumber:
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Anisa pada 19 Maret 2025
Pemerintah berkomitmen untuk memenuhi komitmen net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Oleh karena itu, pemerintah tengah membuat peta jalan (roadmap) untuk mengatasi berbagai masalah dan ancaman perubahan iklim di masa depan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan pada diskusi Road to COP26: Tekad Generasi Muda Indonesia Mencegah Perubahan Iklim & Mendukung Energi Bersih di Jakarta, Kamis (7/10), bahwa transformasi menuju net zero emission menjadi komitmen bersama kita paling lambat 2060.
Pemerintah tengah mengadopsi lima prinsip utama untuk mencapai target emisi nol: pengurangan bahan bakar fosil; peningkatan penggunaan energi baru terbarukan (EBT); penggunaan listrik di sektor transportasi; peningkatan penggunaan listrik di rumah tangga dan bisnis; dan penggunaan Carbon Capture and Storage (CCS).
Arifin menjelaskan, "Kami telah menyiapkan peta jalan transisi menuju energi netral mulai tahun 2021 hingga 2060 dengan beberapa startegi kunci."
Arifin juga menjelaskan langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk mencapai target emisi nol. Di tahun 2021, pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Presiden yang mengatur EBT dan pensiun tembaga. Dia menjelaskan bahwa selain PLTU yang sudah berkontrak dan sedang dalam proses konstruksi, tidak ada tambahan PLTU baru lainnya.
Di tahun 2022, Undang-Undang EBT akan berlaku, dan 2 juta rumah tangga akan memiliki kompor listrik setiap tahunnya. Di tahun 2024, jaringan listrik pintar (juga dikenal sebagai smart grid) dan meteran pintar akan dibangun, dan di tahun 2025, bauran EBT akan mencapai 23%, dengan PLTS yang paling dominan.
Di tahun 2030, jaringan gas akan mencapai 10 juta rumah tangga, 2 juta kendaraan listrik (mobil) dan 13 juta motor, 300 ribu penyaluran BBG, pemanfaatan Dymethil Ether dengan penggunaan listrik sebesar 1.548 kilowatt jam per orang, dan pemerintah akan memberhentikan impor LPG dan 42% EBT pada tahun 2027.
Semua PLTU tahap pertama subkritis akan berhenti beroperasi pada tahun 2031. Di tahun 2035, interkoneksi antar pulau akan dimulai untuk COD, dengan konsumsi listrik sebesar 2.085 kilowatt-jam per kapita dan bauran EBT mencapai 57%, terutama dari PLTU, hidro, dan panas bumi.
Di tahun 2040, bauran EBT akan mencapai 71%, PLT diesel tidak lagi digunakan, lampu LED akan mencapai 70%, dan konsumsi listrik akan mencapai 2.847 kWh/kapita.
Pemerintah berencana untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama dalam lima tahun setelah COD dimulai. “Kami juga mempertimbangkan penggunaan energi nuklir yang direncanakan dimulai tahun 2045 dengan kapasitas 35 GW sampai dengan 2060,” kata Arifin.
Selanjutnya, pada tahun 2050, bauran EBT diproyeksikan mencapau 87%, didorong oleh PLTS dan Hydro, dan didukung oleh penggunaan kendaraan listrik, kompor listrik 52 juta rumah tangga, penyaluran jaringan gas sebanyak 23 juta sambungan rumah tangga, dan konsumsi listrik 4.299 kilowatt jam per kapita. (NO)
Sumber:
Energi dan Sumber Daya Mineral
Dipublikasikan oleh Anisa pada 19 Maret 2025
Indonesia, yang terletak di antara dua jalur pegunungan muda, yaitu Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania, dikenal sebagai negara dengan jumlah gunung berapi terbanyak di dunia. Tidak hanya itu, Indonesia juga menjadi rumah bagi beberapa gunung berapi tertinggi di dunia. Berdasarkan data dari Global Volcanism Program, Smithsonian Institution, National Museum of Natural History, berikut adalah lima gunung api tertinggi di dunia yang terdapat di negara ini.
DI urutan terakhir, Coropuna adalah gunung berapi aktif yang terletak di pegunungan Andes di Peru, merupakan kompleks yang meliputi area seluas 240 kilometer persegi. Puncak tertingginya mencapai ketinggian 6.377 meter di atas permukaan laut, menjadikannya gunung tertinggi ketiga di Peru. Gunung ini dianggap suci oleh suku Inca, dan lapisan esnya yang tebal menjadi yang terluas di zona tropis Bumi.
Keempat, Nevado Incahuasi adalah gunung vulkanik di Andes, Amerika Selatan, terletak di perbatasan Argentina dan Chili. Dengan ketinggian puncak 6.638 meter di atas permukaan laut, gunung ini membentuk kaldera selebar 3,5 kilometer dan dua stratovolcano. Aliran lava basalt-andesit yang dihasilkan mencakup area seluas 10 kilometer persegi.
Di urutan ketiga, Gunung Tipas yang terletak di kompleks pegunungan besar di Andes, Argentina, memiliki tinggi sekitar 6.658 meter di atas permukaan laut. Kompleks ini melibatkan stratovolcanoes, kubah lava, dan aliran lava. Pada tahun 2013, ditemukan danau kawah dengan bau belerang, menunjukkan aktivitas seismik.
Llullaillaco, stratovolcano yang adad di perbatasan Argentina dan Chili, terletak di Puna de Atacama. Dengan ketinggian 6.739 meter, gunung ini merupakan salah satu puncak vulkanik tertinggi di Gurun Atacama, salah satu tempat terkering di dunia. Gunung ini jatuh di nominasi kedua sebagai gunung tertinggi.
Terakhir, Gunung api tertinggi di dunia jatuh kepada Nevado Ojos del Salado yang terletak di Pegunungan Andes di perbatasan Argentina-Chili. Dengan ketinggian mencapai 6.879 meter, gunung ini memiliki iklim kering dengan salju umumnya hanya terdapat di puncaknya selama musim dingin. Meski kondisinya kering, terdapat danau kawah di ketinggian 6.390 meter, menjadikannya danau tertinggi di dunia. Nama "Ojos del Salado" berasal dari "mata garam" dalam bahasa Spanyol, merujuk pada deposit garam yang muncul di antara gletser-gletsernya.
Dengan kekayaan gunung berapi yang tersebar di seluruh negeri, Indonesia bukan hanya destinasi indah bagi para pecinta alam, tetapi juga rumah bagi beberapa gunung berapi tertinggi di dunia. Dari Gunung Coropuna yang disucikan oleh suku Inca di Peru, hingga Gunung Nevado Ojos del Salado yang mencapai ketinggian tertinggi di Pegunungan Andes di perbatasan Argentina-Chili, keberagaman gunung api ini mencerminkan pesona geografis Indonesia yang unik.
Sumber: