Energi dan Sumber Daya Mineral

KESDM: Pelanggan PLTS Atap Bisa Ekspor Listrik 100 Persen

Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025


Kementerian ESDM akan merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 untuk menggenjot pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Hal ini tersebut dilakukan karena pemanfaatan PLTS atap masih minim.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, dalam revisi ini pemerintah akan mengubah ketentuan ekspor listrik dari yang saat ini berlaku 65 persen menjadi 100 persen. "Angka 65 persen ini dianggap belum menarik, kenapa dianggap belum menarik, selama 3,5 tahun setelah dimulai itu baru 35 MW," ujar Dadan dalam konferensi pers, Jumat (27/8).

Dalam Pasal 6 Ayat 1 Permen ESDM 49 Tahun 2018 dijelaskan, energi listrik pelanggan PLTS atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor impor dikali 65 persen. Kemudian, di Ayat 2 disebutkan, perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dengan kWh ekspor.

Di Ayat 3, dalam hal jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi yang diimpor pada bulan berjalan, selisih akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan bulan berikutnya.

Selanjutnya, di Ayat 4 dijelaskan, selisih lebih yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud Ayat 3 diakumulasikan paling lama 3 bulan untuk perhitungan periode tagihan listrik bulan Januari sampai dengan Maret, April sampai dengan Juni, Juli sampai dengan September, atau Oktober sampai dengan Desember.

Pasal 6 Ayat 5 menjelaskan, dalam hal akumulasi selisih lebih sebagaimana dimaksud pada Ayat 4 masih tersisa setelah perhitungan periode tagihan listrik bulan Maret, Juni, September dan Desember untuk tahun berjalan, selisih lebih dimaksud akan dinihilkan dan perhitungan lebih dimulai kembali pada periode tagihan listrik April, Juli, dan Oktober tahun berjalan atau bulan Januari tahun berikutnya.

Dadan mengatakan, dalam revisi aturan yang baru kelebihan akumulasi selisih tagihan yang akan dinihilkan diperpanjang dari semula 3 bulan menjadi 6 bulan. "Jadi tidak bisa, misalkan, kita nabung, kemudian dipakai kita tahun depan itu tidak bisa, pasti akan di-nol-kan. Sistemnya akan meng-nol-kan, ini untuk memastikan terjadi kepastian di dalam penyediaan listrik baik oleh konsumen maupun oleh PLN," katanya.

Selanjutnya jangka waktu permohonan PLTS atap akan dipersingkat dari semula 15 hari menjadi 12 hari untuk yang dengan perubahan perjanjian jual beli listrik (PJBL). Lalu, 5 hari untuk yang tanpa perubahan PJBL. "Mekanisme pelayanan diwajibkan berbasis aplikasi," tambah Dadan.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
KESDM: Pelanggan PLTS Atap Bisa Ekspor Listrik 100 Persen

Energi dan Sumber Daya Mineral

Pemerintah Disarankan Perbaiki Strategi Pengembangan EBT

Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025


Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai perlu memperjelas kewajiban pembelian dan kompensasi listrik. Strategi pengembangan EBT pun perlu diatur ulang agar tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PPP Anwar Idris mengatakan, pemerintah perlu mematangkan strategi terkait masalah investasi pembangunan pembangkit listrik EBT yang kurang bersaing dengan pembangkit energi fosil. Menurutnya, harga EBT yang lebih mahal dibandingkan dengan fosil, menyebabkan produsen listrik memerlukan insentif dari pemerintah. 

"Salah satu insentif EBT yang diberikan dalam bentuk kompensasi dari pemerintah kepada produsen listrik. Di sisi lain, insentif ini perlu dilakukan hati-hati karena biayanya akan membebani anggaran negara," ujarnya, Jumat (24/9).

Selain itu, di tengah upaya mendorong transisi energi, pihaknya juga mengingatkan proses peralihan harus berjalan mulus dan tidak bisa serta merta melupakan kontribusi energi fosil yang masih sangat berperan.

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor menyoroti mekanisme kerja sama jual-beli listrik. Menurutnya, kerja sama PLN dengan swasta sah saja dilakukan, tetapi harus memastikan bahwa prinsip penguasaan negara harus berlaku. 

Sayangnya, kata dia, kondisi saat ini menunjukkan bahwa negara tidak dalam posisi punya fleksibilitas, kecuali harus menanggung semua risiko yang terjadi dengan kompensasi dari APBN.

Dengan skema take or pay (TOP), PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.

Karena ada skema penalti berupa TOP tersebut, maka mau tidak mau PLN harus tetap membeli listrik dari para pengembang listrik swasta tersebut.

Padahal, kata Mukhtasor, PLN sedang dihadapkan dengan kondisi kelebihan pasokan. Hal ini mengharuskan BUMN tersebut bekerja keras mencari permintaan baru demi menyerap listrik. 

Daya mampu listrik PLN tercatat mencapai 57 gigawatt (GW) dengan daya mampu 39 GW. Itu berarti ada cadangan daya hingga 31 persen.

"Beban tanggungan ini sangat berat dan akan semakin berat ketika RUU EBT memilih strategi yang salah, misalnya memahalkan harga listrik energi terbarukan ketika tren harga produksi semakin murah, seperti PLTS di dunia saat ini," ujarnya.

Selain itu, lanjut Mukhtasor, persoalan juga semakin rumit ketika RUU EBT membuka ruang bahwa PLN dapat diwajibkan membeli listrik energi terbarukan dari swasta atau asing, padahal kondisi pasokan listrik sedang berlebih.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
Pemerintah Disarankan Perbaiki Strategi Pengembangan EBT

Energi dan Sumber Daya Mineral

PLTBm Merauke Siap Sukseskan PON Papua dengan Energi Hijau

Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025


Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) Merauke menyatakan komitmennya untuk mendukung pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional Papua 2021, khususnya di klaster Merauke, dengan pasokan listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan. Dengan nilai investasi sebesar Rp140 miliar yang berasal dari dana pinjaman SMI dan BPDLH, PLTBm Merauke telah beroperasi sejak 2020 menjadi IPP atau produsen energi independen pertama di Papua dan Papua Barat yang menggunakan hutan energi sebagai sumber biomassa utamanya.

PLTBm yang dioperasikan PT Merauke Narada Energi milik PT Medco Energi di Wapeko, Kabupaten Merauke itu memiliki kapasitas 3,5 mega watt (MW) yang bisa memasok sekitar 15 persen dari energi listrik yang digunakan di Merauke, atau lebih kurang 9.688 pelanggan. "Kami berkomitmen akan mendukung kegiatan PON ini 100 persen dengan menjaga keandalan pembangkit kami agar listrik tetap terjaga," kata General Manager PT Merauke Narada Energi, RA Satryo MR, Rabu (29/9).

Sementara Medco Papua Group menjadi salah satu perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Industri yang dikhususkan untuk energi biomassa tersebut. Ditandai dengan penandatanganan perjanjian jual beli tenaga listrik dengan PT PLN pada 2017, Medco Papua Group berkomitmen menghasilkan energi hijau dan bersih.

Saat ini terdapat 3.000 hektare lahan yang telah dikembangkan bersama 300 masyarakat sekitar dengan menanam, merawat, serta menjaga tanaman eucalyptus dan acacia sebagai sumber penggerak PLTBm.

Satryo mengungkapkan keberadaan PLTBm Wapeko, yang menggunakan kayu dari hutan industri sebagai sumber daya biomassa utamanya, dapat membantu mengurangi konsumsi BBM solar sebesar 27 juta liter per lima tahun serta mengurangi emisi karbon mencapai 76.300 ton dalam periode yang sama. Sementara konsesi area seluas 230.000 hektare yang dipegang Medco saat ini berpotensi untuk mengembangkan PLTBm sebesar 150-200 MW.

"Tentunya harapan kami dengan adanya energi bersih di PLTBm ini dapat menjadi contoh daerah-daerah lainnya," ujar Satryo.

"Dalam menghasilkan listrik di Merauke ini, paling tidak kami sudah mereduksi ketergantungan kita terhadap bahan bakar solar, kemudian juga bahan bakar biomassa yang berasal dari sumber daya alam di sini sehingga kemandirian energi bisa kita laksanakan," tambahnya.

Dengan sokongan PLTBm tersebut, maka Kabupaten Merauke, menjadi satu-satunya klaster tuan rumah PON Papua, selain Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, yang memanfaatkan tenaga listrik dari energi baru terbarukan. "Yang sering luput dari perhatian orang adalah bahwa PON ini sebenarnya menggunakan energi yang bersih dan hijau," ungkapSatryo.

Memanfaatkan momen pesta olahraga empat tahunan terserbut, Satryo berharap adanya dukungan pemerintah terhadap rencana peningkatan kapasitas listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021 - 2030. Medco sendiri memiliki rencana untuk meningkatkan kapasitas PLTBm dengan penambahan pembangkit baru berkapasitas 10 MW, dan hal itu memungkinkan 50 persen pasokan listrik yang ada di Merauke berasal dari energi bersih dan hijau.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
PLTBm Merauke Siap Sukseskan PON Papua dengan Energi Hijau

Energi dan Sumber Daya Mineral

INDEF: Kepentingan Nasional Lebih Penting dari Kejar Target

Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025


Pemerintah diminta memprioritaskan kepentingan nasional dalam menjalankan strategi transisi energi. Upaya mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23 persen pada 2025, jangan sampai memberikan tekanan pada keuangan negara.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra El Talattov menyatakan, transisi ke energi bersih memang perlu didukung karena ini sudah menjadi komitmen global. Tapi dalam pelaksanaannya, pemerintah harus tetap mempertimbangkan kondisi pasokan listrik yang sedang berlebih. 

"Kita semua pasti memiliki dukungan ke arah transisi energi, Tapi kita juga harus objektif melihat secara utuh, seperti apa kondisi faktual, dalam konteks dinamika energi di Indonesia," ujar Abra, Jumat (1/10).

Saat ini, daya listrik PLN mencapai 57 gigawatt (GW), dengan beban puncak 39 GW, sehingga ada cadangan berlebih hingga 18 GW. Kapasitas listrik akan semakin bertambah seiring dengan beroperasinya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam proyek 35.000 megawatt.

"Ini kemudian jadi pertanyaan, dari sisi EBT dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) ketika EBT baru jadi sekitar 52 persen dari awalnya 31 persen. Nah kalau EBT mau di-push, bagaimana dari fosil?" jelasnya.

Untuk itu, Abra mengingatkan agar pemerintah memperhatikan aspek supply and demand terlebih dahulu sebelum melakukan penambahan pembangkit berbasis EBT. Penambahan pembangkit EBT yang dipaksakan bakal membuat APBN jebol karena listrik berbasis EBT dikenakan skema Feed in Tariff. 

"Perlu dilihat juga risiko BUMN kita ataupun APBN. Kalau kita lihat beberapa tahun terakhir, subsidi energi tumbuh per tahun 8,6 persen subsidi energi. Tahun depan subsidi energi mencapai Rp 134 triliun, belum lagi bicara kompensasi, itu menjadi konsekuensi dari komitmen pemerintah untuk menyediakan energi murah, yang merata, tetapi juga komitmen yang sifatnya hijau," ujarnya.

Abra mengingatkan, pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada aspek keberlanjutan, tetapi juga berkeadilan. Pemenuhan energi, perlu memperhatikan kepentingan nasional, ketahanan APBN dan menjamin ketersediaan energi untuk generasi mendatang. 

"Jangan sampai menimbulkan beban baru. Kita anggap mampu beralih ke EBT, tapi nyatanya kita belum selevel ke negara-negara lain. Di sisi global, bauran EBT global 12 persen, kenapa ambisi kita lebih dari situ?" katanya.

Abra juga mengingatkan, negara-negara maju seperti Inggris, Amerika dan Eropa yang selama ini gencar mengkampanyekan EBT pun, saat ini kembali menggunakan PLTU batu bara di tengah krisis energi. Ada dinamika eksternal yang memaksa negara-negara tersebut realistis. 

Kepentingan nasional lebih penting sehingga komitmen EBT dinomorduakan. Karena ini berhubungan dengan ketahanan energi. Begitu juga di China.

"Indonesia mumpung masih proses awal, jangan sampai terjerumus lebih dalam. Kita harus mempersiapkan diri, analoginya pendapatan perkapita kita belum selevel negara maju, tetapi kita ingin merasa tampilan sama seperti negara-negara maju," tutur Abra.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
INDEF: Kepentingan Nasional Lebih Penting dari Kejar Target

Energi dan Sumber Daya Mineral

Dukung EBT, Bright PLN Pasang PLTS Atap di Lokasi Pelanggan

Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025


Bright PLN Batam bersama PT Karya Teknik Utama melakukan penandatangan nota kesepahaman (MoU) untuk pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di lokasi bangunan dan pabrik pelanggan. Lokasi pemasangan PLTS yang dimaksud adalah kawasan pabrik PT Karya Teknik Utama di Sungai Binti, Sagulung.

Dalam sambutannya Direktur Utama Bright PLN Batam, Nyoman S Astawa mengatakan bahwa pemasangan PLTS Atap ini merupakan bentuk komitmen Bright PLN Batam dalam mendukung Transformasi PLN, yaitu Green, dengan mendorong penggunaan energi rendah karbon yang ramah lingkungan, khususnya dengan memanfaatkan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam penyediaan energi listrik.

“Kami sangat menyambut baik penandatanganan MoU ini, selain sebagai sarana untuk mendukung sistem kelistrikan PT Karya Teknik Utama melalui Energi Baru Terbarukan, MoU ini juga menunjukkan semakin meningkatnya minat pelanggan Bright PLN Batam untuk menggunakan pembangkit listrik yang ramah lingkungan,” ucap Nyoman, dikutip Sabtu (16/10).

Nyoman juga menjelaskan untuk pemasangan pelanggan cukup menyediakan lokasi dan tempat saja, sedangkan perangkat PLTS Atap seluruhnya disiapkan oleh Bright PLN Batam. Sehingga pelanggan tidak perlu melakukan pembelian atau investasi perangkat PLTS untuk dapat menikmati dan mengklaim penggunaan energi PLTS Atap.

“Kami akan terus berinovasi dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada guna meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan. Sebab, pengembangan Energi Baru Terbarukan bukan semata hanya untuk pemenuhan target pemerintah, tetapi dilakukan sebagai tanggung jawab bright PLN Batam untuk generasi mendatang,” pungkas Nyoman.

Sementara itu, Direktur Operasional PT Karya Teknik Utama, Setiawan berharap dengan adanya MoU ini dapat meningkatkan performa dan kualitas listrik yang disediakan Bright PLN Batam pada pabriknya dengan menggunakan sumber energi tambahan.

“Perusahaan kami bergerak di bidang Industri Maritim yang kegiatan usahanya adalah pembuatan kapal dan perbaikan kapal, sehingga membutuhkan pasokan listrik yang handal setiap saat. Mudah-mudahan MoU ini menjadi role model bagi konsumen lainnya yang mungkin berminat menggunakan PLTS Atap,” kata Setiawan.

Dengan MoU ini Bright PLN Batam dapat mengembangkan pembangkit Energi Baru dan Terbarukan sebesar 10 MW tiap tahunnya. Lebih lanjut pemasangan PLTS Atap diharapkan dapat mendorong tercapainya 23 persen penggunaan EBT sesuai Target Pemerintah RI, menghemat konsumsi BBM, mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendorong pengembangan bisnis dan industri panel surya.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
Dukung EBT, Bright PLN Pasang PLTS Atap di Lokasi Pelanggan

Energi dan Sumber Daya Mineral

PLN: 2025 Ada Tambahan Pembangkit EBT 5,6 Gigawatt

Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 25 Februari 2025


PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengatakan pada 2025 mendatang ada pembangkit EBT dari PLTA dan PLTP yang masuk ke sistem kelistrikan nasional. Jumlahnya mencapai 5,6 gigawatt.

EVP Perencanaan Sistem PLN Edwin Nugraha Putra menjelaskan saat ini porsi EBT dalam bauran energi pembangkit PLN menginjak 12 persen. Di tahun 2025 akan ada penambahan yang cukup signifikan dari PLTA sebesar 4,2 GW dan PLTP sebesar 1,4 GW.

"Saat ini porsi EBT sudah 12 persen di kami. Di tahun 2025 dari PLTA dan PLTP akan masuk sekitar 5,6 GW. Ini akan menambah porsi EBT dalam bauran energi," ujar Edwin dalam diskusi virtual, Kamis (21/10).

Edwin menjelaskan selain dari dua pembangkit tersebut di 2025 juga akan masuk PLTS sebesar 3,9 GW. Ini nantinya namun akan difokuskan oleh PLN 1,2 GW khusus untuk daerah remote menggantikan PLTD dan 2,5 GW lainnya yang masuk ke dalam sistem kelistrikan nasional.

"Ini kenapa kami fokuskan ke daerah remote. Karena memang jika dibandingkan dengan PLTD, ini masih bisa bersaing mengingat BPP dari PLTD ini lebih tinggi," ujar Edwin.

Edwin juga menjelaskan tidak bisa memang semua PLTU yang ada saat ini kemudian secara cepat digantikan oleh PLTS. Hal ini karena ini juga harus mempertimbangkan aspek tambahan investasi untuk baterai dari PLTS agar listrik bisa sustain menyala 24 jam.

"Kami untuk sementara fokus ke daerah remote, dengan PLTD kita ganti PLTS dan baterai. Masih mungkin bersaing. Jadi memberikan BPP yang lebih rendah. Tapi kalau masuk ke sistem, gantiin PLTU dan pakai PLTS dan baterai, itu nggak pas harganya apalagi itu impor," ujar Edwin.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
PLN: 2025 Ada Tambahan Pembangkit EBT 5,6 Gigawatt
« First Previous page 10 of 12 Next Last »