Ekonomi Hijau

Model Ekonomi Sirkular dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan: Integrasi Sistem, Efisiensi Anggaran, dan Peran Sektor Informal

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 17 Desember 2025


1. Pendahuluan: Mengapa Pengelolaan Sampah Perkotaan Tidak Bisa Lagi Bersifat Parsial

Masalah sampah di kawasan perkotaan padat bukan sekadar persoalan volume, melainkan persoalan desain sistem. Selama pengelolaan sampah dipahami sebagai rangkaian aktivitas terpisah—pengumpulan, pengangkutan, pembuangan—maka kegagalan hanya akan bergeser dari satu titik ke titik lain. Tempat pembuangan akhir penuh, anggaran membengkak, dan konflik sosial berulang tanpa solusi jangka panjang.

Dalam konteks negara berkembang, persoalan ini semakin kompleks karena keterbatasan fiskal dan kapasitas institusional. Pendekatan teknologi tinggi yang berhasil di negara maju sering tidak kompatibel dengan realitas sosial dan ekonomi lokal. Akibatnya, kebijakan pengelolaan sampah cenderung bersifat tambal sulam: fokus pada hilir, mengabaikan sumber, dan meminggirkan aktor nonformal yang justru memainkan peran kunci.

Paper ini berangkat dari kritik tersebut. Alih-alih memandang sampah semata sebagai beban lingkungan, studi ini menempatkannya sebagai sumber daya ekonomi yang dapat dikelola melalui pendekatan ekonomi sirkular. Namun yang membedakan, ekonomi sirkular di sini tidak dipahami secara abstrak, melainkan dioperasionalkan melalui integrasi nyata antara pemerintah, masyarakat, dan sektor informal.

Dengan mengambil konteks kota besar di Indonesia, paper ini menantang asumsi bahwa sistem terintegrasi selalu lebih mahal dan kompleks. Justru sebaliknya, integrasi sosial–ekonomi–ekologis ditunjukkan sebagai jalan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah sekaligus menekan biaya publik dan mengurangi eksploitasi sumber daya alam primer.

 

2. Dari Sistem Linear ke Sistem Terintegrasi: Logika Ekonomi Sirkular dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan

Salah satu kontribusi konseptual penting paper ini adalah pergeseran logika dari sistem linear menuju sistem sirkular yang benar-benar operasional. Dalam sistem linear, sampah dipandang sebagai residu tak bernilai yang harus “dilenyapkan”. Dalam sistem terintegrasi, sampah diperlakukan sebagai aliran material dengan nilai ekonomi yang dapat dipertahankan selama mungkin di dalam sistem.

Pendekatan ini menuntut perubahan mendasar pada titik awal: sumber sampah. Pemilahan di sumber menjadi prasyarat, bukan pelengkap. Tanpa pemilahan, efisiensi daur ulang menurun, biaya meningkat, dan kualitas material sekunder merosot. Paper ini menunjukkan bahwa intervensi di hulu—melalui edukasi, insentif, dan kelembagaan—memberikan dampak sistemik yang jauh lebih besar dibandingkan sekadar menambah kapasitas pengangkutan atau TPA.

Integrasi juga berarti mengakui keberadaan sektor informal sebagai bagian dari sistem, bukan anomali. Dalam banyak kota, sektor informal telah membentuk rantai nilai daur ulang yang fungsional, meski tanpa dukungan kebijakan. Dengan memasukkan mereka ke dalam desain sistem, terjadi dua efek simultan: peningkatan kinerja pengelolaan sampah dan peningkatan pendapatan kelompok rentan.

Yang menarik, pendekatan ini juga menantang logika anggaran publik. Secara intuitif, sistem yang lebih kompleks diasumsikan lebih mahal. Namun simulasi dalam paper ini menunjukkan sebaliknya: ketika pengurangan sampah di sumber dan daur ulang meningkat, kebutuhan anggaran untuk pengangkutan dan pengelolaan akhir justru menurun. Dengan kata lain, ekonomi sirkular tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga rasional secara fiskal.

Pada titik ini, sistem terintegrasi tidak lagi dapat dipahami sebagai proyek lingkungan semata. Ia menjadi instrumen kebijakan pembangunan perkotaan yang menyentuh isu efisiensi anggaran, ketenagakerjaan informal, dan keberlanjutan sumber daya secara simultan.

 

3. Mengapa Model Sistem Dinamis Dibutuhkan dalam Kebijakan Pengelolaan Sampah

Kebijakan pengelolaan sampah sering gagal bukan karena tujuan yang salah, melainkan karena ketidakmampuan memprediksi dampak sistemik. Intervensi pada satu titik—misalnya penambahan armada angkut atau pembangunan fasilitas baru—kerap memicu konsekuensi tak terduga di titik lain, seperti pembengkakan biaya operasional atau penurunan partisipasi masyarakat. Di sinilah pendekatan sistem dinamis menjadi relevan.

Paper ini menggunakan model sistem dinamis untuk membaca pengelolaan sampah sebagai sistem saling-terkait, bukan rangkaian aktivitas terpisah. Pendekatan ini memungkinkan analisis hubungan sebab-akibat yang berulang (feedback loops) antara variabel sosial, ekonomi, ekologi, dan kelembagaan. Dengan kata lain, kebijakan tidak dinilai dari dampak sesaat, tetapi dari perilaku sistem dalam jangka panjang.

Keunggulan utama pendekatan ini terletak pada kemampuannya menguji skenario kebijakan tanpa harus “bereksperimen” langsung di lapangan. Dalam konteks kota besar, kesalahan kebijakan pengelolaan sampah berbiaya tinggi dan sulit dikoreksi. Simulasi memberikan ruang aman untuk mengevaluasi konsekuensi berbagai pilihan, mulai dari perubahan anggaran hingga peningkatan peran sektor informal.

Yang penting, model ini tidak mengisolasi dimensi teknis dari dimensi sosial. Perubahan perilaku masyarakat, akses sektor informal terhadap sumber sampah, dan kebijakan anggaran pemerintah diperlakukan sebagai variabel kunci yang saling memengaruhi. Hal ini menegaskan bahwa pengelolaan sampah bukan sekadar persoalan teknologi, tetapi persoalan tata kelola dan insentif.

Pendekatan sistem dinamis juga menghindarkan kebijakan dari jebakan optimisme jangka pendek. Banyak program terlihat berhasil di tahun-tahun awal, namun gagal mempertahankan kinerja ketika skala membesar atau anggaran menurun. Dengan membaca pola jangka panjang, model ini membantu mengidentifikasi kebijakan yang tidak hanya efektif, tetapi juga tahan uji waktu.

 

4. Temuan Utama Simulasi: Kinerja Sistem, Efisiensi Anggaran, dan Dampak Sosial

Hasil simulasi dalam paper ini menunjukkan temuan yang penting secara kebijakan. Pertama, peningkatan pengurangan sampah di sumber terbukti memiliki efek pengungkit paling kuat terhadap kinerja sistem secara keseluruhan. Ketika pemilahan dan pengelolaan di tingkat rumah tangga dan komunitas meningkat, tekanan pada sistem pengangkutan dan pengolahan akhir menurun secara signifikan.

Kedua, integrasi sektor informal menghasilkan dampak ganda. Di satu sisi, jumlah material yang berhasil didaur ulang meningkat, memperkuat logika ekonomi sirkular. Di sisi lain, pendapatan sektor informal ikut naik, mengurangi kerentanan sosial yang selama ini melekat pada pekerjaan pengelolaan sampah. Temuan ini penting karena menunjukkan bahwa kebijakan lingkungan tidak harus berhadapan dengan kebijakan sosial—keduanya bisa saling memperkuat.

Ketiga, dari sisi fiskal, simulasi memperlihatkan bahwa skenario dengan tingkat pengurangan dan daur ulang lebih tinggi justru membutuhkan anggaran publik yang lebih rendah dalam jangka menengah hingga panjang. Penghematan terutama berasal dari berkurangnya kebutuhan pengangkutan jarak jauh dan pengelolaan di tempat pembuangan akhir. Ini membalik asumsi umum bahwa sistem terintegrasi selalu lebih mahal.

Namun paper ini juga secara implisit menunjukkan adanya batasan. Perbedaan kinerja antar skenario tidak selalu linier. Pada titik tertentu, peningkatan anggaran atau intervensi tambahan menghasilkan manfaat marjinal yang menurun. Artinya, kebijakan tidak cukup hanya “ditambah”, tetapi harus dirancang dengan presisi dan pemahaman sistemik.

Secara keseluruhan, temuan simulasi menegaskan bahwa pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular paling efektif ketika diperlakukan sebagai investasi sistemik, bukan biaya rutin. Keberhasilan tidak ditentukan oleh satu aktor atau satu teknologi, melainkan oleh keselarasan peran pemerintah, masyarakat, dan sektor informal dalam satu kerangka yang konsisten.

 

5. Implikasi Kebijakan: Dari Desain Anggaran hingga Pengakuan Sektor Informal

Salah satu nilai tambah utama paper ini terletak pada implikasi kebijakannya yang konkret. Temuan simulasi menunjukkan bahwa pengelolaan sampah terintegrasi bukan hanya persoalan teknis operasional, melainkan soal desain insentif dan prioritas anggaran publik. Ketika kebijakan terlalu berfokus pada hilir—pengangkutan dan pembuangan—anggaran cenderung membengkak tanpa perbaikan signifikan pada kinerja sistem.

Sebaliknya, intervensi di hulu melalui edukasi, pemilahan di sumber, dan pengelolaan berbasis komunitas menunjukkan rasio manfaat–biaya yang jauh lebih tinggi. Setiap peningkatan investasi pada pengurangan sampah di sumber menghasilkan penghematan berlapis: berkurangnya volume angkut, menurunnya kebutuhan fasilitas akhir, serta meningkatnya nilai material yang dapat dimanfaatkan kembali. Dengan kata lain, anggaran tidak dihabiskan, tetapi diputar kembali sebagai pengungkit efisiensi sistem.

Implikasi penting lainnya adalah posisi sektor informal. Paper ini secara tegas memperlihatkan bahwa sektor informal bukan sekadar “aktor pendukung”, melainkan komponen struktural dalam rantai nilai pengelolaan sampah. Kebijakan yang mengabaikan mereka berisiko menciptakan inefisiensi baru dan konflik sosial. Sebaliknya, kebijakan yang memberikan akses, kepastian peran, dan pengakuan kelembagaan mampu meningkatkan kinerja sistem sekaligus kesejahteraan pelaku.

Namun integrasi ini tidak boleh bersifat simbolik. Pengakuan tanpa akses nyata terhadap sumber sampah, fasilitas, atau pasar hanya akan memperkuat ketimpangan lama. Oleh karena itu, kebijakan ideal perlu bergerak pada tiga level sekaligus: pengaturan akses material, dukungan kelembagaan, dan perlindungan ekonomi dasar. Tanpa kombinasi ini, ekonomi sirkular berisiko menjadi jargon kebijakan tanpa dampak sosial nyata.

Pada titik ini, pengelolaan sampah berubah menjadi arena kebijakan lintas sektor: lingkungan, sosial, ekonomi, dan fiskal. Paper ini secara implisit mendorong pemerintah daerah untuk keluar dari logika sektoral dan mulai membangun tata kelola kolaboratif yang berbasis data dan simulasi kebijakan.

 

6. Kesimpulan Analitis: Ekonomi Sirkular sebagai Strategi Pembangunan Perkotaan

Secara keseluruhan, paper ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah perkotaan bukan sekadar pendekatan lingkungan, melainkan strategi pembangunan perkotaan. Dengan desain sistem yang tepat, pengelolaan sampah dapat meningkatkan efisiensi anggaran, memperkuat ketahanan sumber daya, dan sekaligus menciptakan dampak sosial positif.

Pendekatan sistem dinamis memperlihatkan bahwa kebijakan yang terlihat mahal di awal justru dapat menghasilkan penghematan jangka panjang. Temuan ini penting bagi kota-kota di negara berkembang yang sering terjebak dalam dilema antara keterbatasan anggaran dan tekanan lingkungan. Paper ini menunjukkan bahwa dilema tersebut dapat diurai melalui desain sistem, bukan sekadar penambahan sumber daya.

Lebih jauh, integrasi sektor informal menjadi ujian etis sekaligus praktis bagi ekonomi sirkular. Keberhasilan sistem tidak hanya diukur dari persentase pengurangan sampah atau efisiensi biaya, tetapi juga dari sejauh mana manfaat transisi didistribusikan secara adil. Ekonomi sirkular yang mengabaikan dimensi sosial berisiko kehilangan legitimasi dan keberlanjutan politik.

Akhirnya, paper ini mengingatkan bahwa pengelolaan sampah tidak bisa dilepaskan dari konteks kota sebagai sistem sosial–ekonomi yang hidup. Kebijakan terbaik bukan yang paling canggih secara teknologi, melainkan yang paling mampu beradaptasi dengan realitas lokal, mengelola konflik kepentingan, dan membangun kolaborasi jangka panjang. Dalam kerangka inilah, ekonomi sirkular tampil bukan sebagai solusi instan, tetapi sebagai proses transformasi struktural.

 

Daftar Pustaka

Satori, M., Kato, T., Gunawan, B., & Oemar, H. (2021). Circular economic model of integrated waste management: A case of existing waste management in populated urban area. Journal of Engineering Science and Technology, 16(3), 2049–2066.

Selengkapnya
Model Ekonomi Sirkular dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan: Integrasi Sistem, Efisiensi Anggaran, dan Peran Sektor Informal

Ekonomi Hijau

Sektor Daur Ulang Informal dan Ekonomi Sirkular: Antara Efisiensi Lingkungan, Ketimpangan Sosial, dan Tantangan Kebijakan Perkotaan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 17 Desember 2025


1. Pendahuluan: Mengapa Ekonomi Sirkular Tidak Pernah Benar-Benar Netral

Ekonomi sirkular kerap dipresentasikan sebagai solusi teknokratis terhadap krisis lingkungan: menutup siklus material, mengurangi limbah, dan meningkatkan efisiensi sumber daya. Namun narasi ini sering mengabaikan satu dimensi krusial, yaitu siapa yang menggerakkan sirkulasi tersebut dan dengan kondisi apa. Di banyak kota, terutama di negara berkembang, ekonomi sirkular telah lama berjalan—bukan karena desain kebijakan, melainkan karena kebutuhan hidup.

Di sinilah peran sektor daur ulang informal menjadi sentral sekaligus problematis. Mereka beroperasi di ruang abu-abu antara ekonomi formal dan informal, antara keberlanjutan lingkungan dan kerentanan sosial. Tanpa mereka, tingkat pemulihan material di banyak kota akan runtuh. Namun dengan mereka, muncul pertanyaan etis dan struktural: apakah ekonomi sirkular yang bergantung pada kerja rentan benar-benar dapat disebut berkelanjutan?

Paper ini secara implisit menantang asumsi bahwa transisi menuju ekonomi sirkular selalu progresif. Integrasi sektor informal bukan sekadar soal efisiensi pengelolaan sampah, tetapi menyangkut relasi kuasa, distribusi nilai, dan keadilan sosial. Ekonomi sirkular tidak berlangsung di ruang hampa; ia beroperasi dalam sistem ketenagakerjaan yang timpang, tata kelola kota yang fragmentatif, dan pasar material sekunder yang fluktuatif.

Pendekatan yang hanya menekankan teknologi, model bisnis, atau target daur ulang berisiko menciptakan paradoks: lingkungan membaik secara statistik, tetapi ketimpangan sosial justru mengeras. Oleh karena itu, memahami sektor daur ulang informal sebagai aktor struktural, bukan sekadar pelengkap sistem, menjadi kunci untuk membaca ulang ekonomi sirkular secara lebih realistis.

 

2. Sektor Daur Ulang Informal: Antara Ketahanan Sistem dan Kerentanan Manusia

Sektor daur ulang informal muncul bukan karena kegagalan individu, melainkan karena kegagalan sistemik. Urbanisasi cepat, kemiskinan struktural, dan tingginya nilai ekonomi material bekas menciptakan ruang ekonomi yang diisi oleh aktor-aktor informal. Mereka mengisi celah yang tidak mampu dijangkau sistem formal: wilayah padat miskin, aliran limbah tidak terkelola, dan material bernilai rendah yang tidak menarik bagi industri besar.

Kontribusi mereka terhadap sistem pengelolaan limbah perkotaan sering kali signifikan. Mereka meningkatkan tingkat pemilahan, mengurangi tekanan pada TPA, dan menyediakan pasokan material sekunder bagi industri. Namun kontribusi ini dibayar mahal melalui kondisi kerja yang berisiko, pendapatan tidak stabil, serta eksklusi dari perlindungan sosial dan hukum.

Yang menarik, sektor ini tidak homogen. Ia terdiri dari berbagai bentuk organisasi—individu, keluarga, koperasi, hingga jaringan pedagang—dengan posisi tawar yang sangat berbeda. Relasi kuasa di dalam rantai nilai sering timpang, di mana aktor paling rentan berada di hulu, sementara nilai ekonomi terbesar terkonsentrasi di hilir. Akibatnya, meskipun berperan penting dalam ekonomi sirkular, pekerja informal jarang menikmati manfaat transisi tersebut.

Paper ini menunjukkan bahwa sektor informal tidak hanya berkontribusi secara langsung pada aktivitas daur ulang, tetapi juga secara tidak langsung pada prinsip-prinsip ekonomi sirkular yang lebih tinggi, seperti perpanjangan umur produk dan pengurangan limbah. Namun kontribusi ini sering tidak diakui secara institusional. Dalam banyak kebijakan, sektor informal diperlakukan sebagai masalah yang harus “dirapikan”, bukan sebagai mitra strategis.

Di sinilah letak ketegangan utamanya. Modernisasi sistem pengelolaan limbah—melalui privatisasi, teknologi tinggi, atau pengetatan regulasi—sering justru mengancam mata pencaharian sektor informal. Alih-alih inklusi, yang terjadi adalah eksklusi terselubung atas nama efisiensi dan standar lingkungan. Padahal, menghapus sektor informal tanpa alternatif yang adil berisiko merusak ketahanan sistem secara keseluruhan.

 

3. Tipologi Rantai Nilai Daur Ulang: Di Mana Posisi Sektor Informal Menentukan Arah Ekonomi Sirkular

Salah satu kontribusi analitis penting dari paper ini adalah upayanya memetakan beragam bentuk rantai nilai daur ulang dan bagaimana sektor informal diposisikan di dalamnya. Pendekatan ini penting karena banyak kebijakan ekonomi sirkular gagal bukan karena konsepnya keliru, tetapi karena salah membaca konfigurasi aktor di lapangan.

Secara garis besar, rantai nilai daur ulang dapat bergerak dalam tiga pola utama. Pertama, rantai nilai yang sepenuhnya formal, di mana sektor informal hanya memiliki peran marginal atau hampir tidak ada. Pola ini lazim di negara berpendapatan tinggi dengan sistem pengelolaan limbah terpusat dan regulasi ketat. Kedua, rantai nilai yang bersifat represif, di mana sektor informal tetap ada tetapi ditekan, dikriminalisasi, atau dieksploitasi. Ketiga, rantai nilai hibrida, di mana sektor informal diakui dan diintegrasikan secara selektif ke dalam sistem formal.

Perbedaan ketiga pola ini bukan sekadar teknis, melainkan politis. Rantai nilai represif sering kali mengklaim modernisasi dan efisiensi, tetapi pada praktiknya mempertahankan logika ekonomi linear yang eksklusif. Sektor informal tetap dibutuhkan untuk kerja berbiaya rendah, tetapi tidak diberi ruang tawar atau perlindungan. Sebaliknya, rantai nilai hibrida membuka peluang bagi ekonomi sirkular yang lebih inklusif, meskipun tidak bebas dari ketegangan.

Integrasi sektor informal juga tidak bersifat netral. Dalam beberapa konteks, integrasi dilakukan melalui koperasi atau kemitraan publik–swasta yang meningkatkan pendapatan dan kondisi kerja. Namun dalam konteks lain, integrasi justru berujung pada subordinasi baru: sektor informal “diformalkan” tanpa akses nyata pada pengambilan keputusan atau distribusi nilai tambah.

Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan kunci bukan apakah sektor informal diintegrasikan, tetapi bagaimana dan untuk kepentingan siapa integrasi tersebut dirancang. Ekonomi sirkular yang hanya memindahkan kontrol rantai nilai ke aktor besar berisiko memperkuat ketimpangan lama dalam kemasan baru. Dengan kata lain, struktur rantai nilai menentukan apakah ekonomi sirkular menjadi alat transformasi sosial atau sekadar efisiensi material.

 

4. Ketegangan Kebijakan dan Relasi Kuasa: Ketika Inklusi Menjadi Ambigu

Ekonomi sirkular sering dipromosikan sebagai pendekatan win-win: lingkungan diuntungkan, ekonomi tumbuh, dan masyarakat lebih sejahtera. Namun ketika sektor informal dilibatkan, narasi win-win ini mulai retak. Paper ini memperlihatkan bahwa integrasi sektor informal hampir selalu diiringi ketegangan struktural antara tujuan lingkungan, kepentingan ekonomi, dan perlindungan sosial.

Salah satu sumber ketegangan utama adalah perbedaan logika antara sistem formal dan informal. Sistem formal menekankan standar, kepatuhan, dan kontrol. Sektor informal beroperasi melalui fleksibilitas, jejaring sosial, dan pengetahuan tacit. Ketika standar formal diterapkan tanpa adaptasi konteks, sektor informal sering gagal memenuhi persyaratan, bukan karena tidak mampu, tetapi karena desain kebijakan tidak mengakomodasi realitas mereka.

Relasi kuasa dalam rantai nilai juga memperumit situasi. Akses terhadap material bekas menjadi sumber konflik laten. Ketika material bernilai tinggi mulai diperebutkan oleh perusahaan besar melalui skema ekonomi sirkular, sektor informal kehilangan sumber penghidupan utamanya. Dalam kondisi ini, kebijakan yang tampak “ramah lingkungan” justru meminggirkan kelompok yang selama ini menopang sistem daur ulang.

Paper ini juga menunjukkan bahwa formalisasi tidak selalu identik dengan perlindungan. Dalam beberapa kasus, formalisasi dijadikan alat pengawasan dan kontrol, bukan pemberdayaan. Sektor informal diminta patuh tanpa mendapatkan jaminan pendapatan, keamanan kerja, atau posisi tawar yang lebih baik. Inklusi semacam ini bersifat simbolik dan berpotensi kontraproduktif.

Ketegangan lain muncul dari perbedaan konteks global. Di banyak negara Global South, kebijakan cenderung lebih pro-inklusif karena sektor informal merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem kota. Sebaliknya, di banyak negara Global North, sektor informal dipandang sebagai anomali yang harus dihapus atau diserap sepenuhnya. Perbedaan ini menunjukkan bahwa ekonomi sirkular bukan model universal, melainkan praktik yang sangat kontekstual.

Implikasinya jelas: tanpa sensitivitas terhadap relasi kuasa dan kondisi sosial, ekonomi sirkular dapat berubah menjadi proyek teknokratis yang mengabaikan keadilan. Integrasi sektor informal membutuhkan lebih dari sekadar regulasi; ia membutuhkan negosiasi, pengakuan, dan redistribusi nilai secara nyata.

 

5. Kontribusi Nyata Sektor Daur Ulang Informal: Pilar Tersembunyi Ekonomi Sirkular

Salah satu kekuatan utama paper ini terletak pada pembacaan ulang kontribusi sektor daur ulang informal terhadap prinsip-prinsip inti ekonomi sirkular. Alih-alih memandang mereka sekadar sebagai aktor pengumpul material, analisis menunjukkan bahwa sektor informal terlibat langsung maupun tidak langsung dalam hampir seluruh spektrum hierarki pengelolaan limbah.

Kontribusi paling jelas terlihat pada praktik-praktik bernilai tinggi dalam ekonomi sirkular, seperti penggunaan ulang, perbaikan, peremajaan, dan daur ulang. Melalui pengetahuan tacit dan jaringan sosial, sektor informal mampu memperpanjang umur produk jauh melampaui siklus yang dirancang oleh produsen. Dalam banyak kasus, mereka berperan sebagai “penjaga fungsi” barang, bukan sekadar pengelola limbah.

Lebih jauh, sektor informal juga menciptakan nilai sistemik. Mereka menurunkan biaya pengelolaan limbah kota, mengurangi emisi dari pembuangan akhir, dan menyediakan pasokan material sekunder yang stabil bagi industri. Kontribusi ini sering kali tidak tercatat dalam statistik resmi, tetapi menjadi fondasi ketahanan sistem pengelolaan limbah perkotaan, terutama di kota-kota dengan kapasitas fiskal terbatas.

Namun kontribusi ini bersifat paradoksal. Semakin sukses ekonomi sirkular meningkatkan nilai material bekas, semakin besar pula risiko eksklusi sektor informal. Ketika material menjadi komoditas strategis, akses terhadapnya mulai diperebutkan oleh aktor yang lebih kuat secara modal dan politik. Tanpa perlindungan institusional, sektor informal dapat terdorong keluar dari rantai nilai yang justru mereka bangun sejak awal.

Paper ini secara implisit mengingatkan bahwa kontribusi sektor informal tidak boleh dipahami hanya dalam kerangka efisiensi material. Kontribusi tersebut juga bersifat sosial dan ekologis: menciptakan lapangan kerja bagi kelompok rentan, membangun jejaring solidaritas perkotaan, dan memperkuat kohesi sosial di ruang-ruang marginal kota. Mengabaikan dimensi ini berarti mereduksi ekonomi sirkular menjadi proyek teknis semata.

 

6. Kesimpulan Kritis: Ekonomi Sirkular Inklusif atau Ilusi Keberlanjutan?

Analisis dalam paper ini membawa kita pada satu kesimpulan penting: ekonomi sirkular bukanlah konsep yang secara inheren adil atau inklusif. Ia dapat menjadi alat transformasi sosial, tetapi juga dapat memperkuat ketimpangan lama jika diterapkan tanpa sensitivitas terhadap struktur sosial dan relasi kuasa.

Integrasi sektor daur ulang informal merupakan ujian nyata bagi klaim keberlanjutan ekonomi sirkular. Inklusi yang bersifat simbolik—sekadar pengakuan tanpa redistribusi nilai dan kekuasaan—berisiko melanggengkan eksploitasi dalam bentuk baru. Sebaliknya, pendekatan yang menempatkan sektor informal sebagai pemangku kepentingan sejajar membuka peluang bagi ekonomi sirkular yang lebih adil dan resilien.

Paper ini juga menunjukkan bahwa tidak ada model tunggal integrasi yang dapat diterapkan secara universal. Konteks lokal, sejarah kebijakan, dan struktur pasar menentukan bentuk interaksi antara sektor formal dan informal. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi sirkular perlu dirancang sebagai proses adaptif, bukan cetak biru teknokratis.

Lebih luas lagi, diskusi ini menantang narasi optimistis tentang ekonomi sirkular sebagai solusi atas krisis lingkungan. Tanpa reformasi institusional dan keberanian politik untuk mengatasi ketimpangan, ekonomi sirkular berisiko menjadi ilusi keberlanjutan—lingkungan tampak lebih bersih, tetapi ketidakadilan tetap berakar.

Pada akhirnya, pertanyaan kunci yang diajukan bukan sekadar bagaimana meningkatkan tingkat daur ulang, tetapi siapa yang diuntungkan dan siapa yang menanggung biaya transisi. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah ekonomi sirkular benar-benar menjadi jalan menuju pembangunan berkelanjutan, atau sekadar rebranding dari sistem lama dengan wajah yang lebih hijau.

 

 

Daftar Pustaka

Zisopoulos, F. K., Steuer, B., Abussafy, R., Toboso-Chavero, S., Liu, Z., Tong, X., & Schraven, D. (2023). Informal recyclers as stakeholders in a circular economy. Journal of Cleaner Production, 415, 137894

Selengkapnya
Sektor Daur Ulang Informal dan Ekonomi Sirkular: Antara Efisiensi Lingkungan, Ketimpangan Sosial, dan Tantangan Kebijakan Perkotaan

Ekonomi Hijau

Arah Baru Investasi Hijau Indonesia: Membangun Ekonomi Berkelanjutan melalui Kolaborasi dan Inovasi Pembiayaan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 21 November 2025


Indonesia tengah memasuki fase penting dalam perjalanan menuju ekonomi berkelanjutan. Selaras dengan komitmen global terhadap pengurangan emisi dan penguatan ketahanan iklim, Indonesia membutuhkan transformasi besar dalam cara membangun, berinvestasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada tahap ini, investasi hijau dan ekonomi sirkular bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan strategis agar Indonesia mampu bertahan dan bersaing di dunia yang semakin terdigitalisasi dan rendah karbon.

Kolaborasi sebagai Fondasi Transisi Berkelanjutan

Transisi menuju ekonomi hijau tidak dapat dilakukan oleh satu aktor saja. Pemerintah memegang peran penting dalam menciptakan regulasi yang harmonis, memberikan insentif fiskal, dan membuka ruang kerja sama lintas kementerian. Dunia industri bertanggung jawab menerapkan inovasi produksi, memanfaatkan teknologi efisien, dan mendaftarkan diri pada sistem industri hijau.

Di sisi lain, akademisi dan praktisi memainkan peran kunci dalam mengembangkan teknologi terbarukan, inovasi proses, rekayasa sistem, serta mendorong riset penguatan kapasitas. Sementara masyarakat berperan penting sebagai pengguna dan pengawas, mulai dari memilih produk ramah lingkungan hingga mendukung praktik industri hijau di daerah sekitar.

Hanya dengan kerja sama empat aktor ini—pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat—ekonomi berkelanjutan dapat berjalan secara nyata dan inklusif.

Kebutuhan Investasi Raksasa untuk Mencapai Target Emisi Nasional

Upaya mencapai target iklim nasional membutuhkan investasi yang sangat besar. Untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi sesuai NDC (Nationally Determined Contribution), Indonesia membutuhkan lebih dari 322 miliar dolar AS pada 2030. Namun kemampuan pembiayaan dari APBN baru mencakup sepertiga dari total kebutuhan tersebut.

Kesenjangan besar ini menuntut inovasi pembiayaan yang kreatif dan kolaboratif. Dukungan internasional melalui hibah dan pinjaman multilateral memang membantu, tetapi tidak cukup untuk menutup seluruh kebutuhan pendanaan. Karena itu, keuangan swasta, investasi asing, dan mekanisme pembiayaan hijau menjadi semakin penting.

Pembiayaan Hijau sebagai Motor Transformasi Ekonomi

Indonesia mulai mengembangkan berbagai instrumen pembiayaan hijau untuk mobilisasi pendanaan berkelanjutan. Pasar green bond dan obligasi keberlanjutan tumbuh pesat, dengan alokasi dana untuk energi bersih, transportasi rendah karbon, pengelolaan limbah, dan infrastruktur air berkelanjutan.

Selain itu, platform SDGs Indonesia One dirancang untuk mempercepat proyek infrastruktur berkelanjutan melalui fasilitas pengembangan, mitigasi risiko, dan pembiayaan ekuitas dari sumber swasta. Pendekatan ini memperluas akses pembiayaan sekaligus meningkatkan kualitas proyek yang masuk pipeline pembangunan nasional.

Dalam konteks global, investasi hijau terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi hijau membuka peluang baru, mulai dari energi terbarukan, kendaraan listrik, hingga pertanian bersih. Sektor-sektor ini menciptakan jutaan lapangan kerja baru dan meningkatkan daya saing teknologi.

Belajar dari Dunia: Ekonomi Sirkular di Kawasan Industri

Kawasan industri menjadi titik penting penerapan ekonomi sirkular. Contoh dari Denmark, Kanada, hingga Norwegia menunjukkan bahwa industrial symbiosis—saling memanfaatkan limbah dan sumber daya antarperusahaan—mampu menghasilkan manfaat besar:

  • pengurangan emisi,

  • efisiensi energi,

  • penghematan air,

  • peningkatan nilai ekonomi material,

  • dan penguatan ekosistem industri yang berkelanjutan.

Prinsip-prinsip ini menjadi acuan bagi Indonesia dalam membangun Kawasan Industri Hijau yang terintegrasi, modern, dan berbasis pada efisiensi material.

Peluang Investasi Hijau yang Semakin Terbuka

Indonesia juga memperluas keterbukaan investasi asing terutama pada sektor berkelanjutan. Sektor kehutanan, energi panas bumi, biofuel, energi terbarukan, hingga pengelolaan sampah dibuka lebar dengan batas kepemilikan asing yang cukup tinggi.

Hal ini menciptakan peluang besar bagi investor sekaligus memperkuat ekosistem investasi yang ramah lingkungan. Dukungan kebijakan dalam UU Cipta Kerja turut mempercepat perizinan dan integrasi standar industri hijau agar investor dapat masuk dengan kepastian regulasi yang lebih baik.

Kerangka Regulasi Baru untuk Mendorong Investasi Hijau

Pemerintah menerbitkan berbagai regulasi untuk memperkuat ekosistem investasi hijau, termasuk:

  • pajak karbon dan perdagangan karbon,

  • taksonomi hijau,

  • perluasan obligasi hijau dan sosial,

  • penguatan perizinan berbasis risiko,

  • dan kewajiban standar industri hijau.

Seluruh regulasi ini mempertegas arah pembangunan Indonesia: tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi memastikan bahwa pertumbuhan tersebut sejalan dengan keberlanjutan jangka panjang.

Kesimpulan: Indonesia Bergerak Menuju Ekonomi Hijau yang Lebih Kuat

Transformasi menuju ekonomi berkelanjutan membutuhkan kerja sama, investasi, dan inovasi yang konsisten. Indonesia telah memperkuat fondasi kebijakan, memperluas pembiayaan hijau, serta membuka peluang investasi untuk mempercepat transisi energi dan implementasi ekonomi sirkular.

Ke depan, keberhasilan Indonesia ditentukan oleh kemampuannya membangun kolaborasi lintas sektor, memobilisasi pendanaan hijau dalam skala besar, serta memastikan industri memiliki insentif kuat untuk bertransformasi. Dengan langkah yang tepat, ekonomi hijau dapat menjadi pendorong utama daya saing Indonesia menuju 2045.

Daftar Pustaka

  1. Dokumen “Transisi Indonesia Menuju Ekonomi Berkelanjutan dan Pembiayaan Hijau”, Kementerian PPN/Bappenas.

Selengkapnya
Arah Baru Investasi Hijau Indonesia: Membangun Ekonomi Berkelanjutan melalui Kolaborasi dan Inovasi Pembiayaan

Ekonomi Hijau

Strategi Pembangunan Hijau Indonesia: Membangun Fondasi Ekonomi yang Maju, Berdaya Saing, dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 November 2025


Indonesia tengah bergerak menuju fase pembangunan baru yang lebih modern dan berkelanjutan. Untuk keluar dari middle income trap dan mencapai visi Indonesia Emas 2045, negara membutuhkan transformasi ekonomi yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga menjaga daya dukung lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan hijau menjadi pilar utama dalam perjalanan panjang menuju ekonomi berpendapatan tinggi yang inklusif dan tahan krisis.

Pembangunan Hijau sebagai Jalan Keluar dari Middle Income Trap

Indonesia telah berada dalam middle income trap selama puluhan tahun. Lonjakan ke kategori negara berpendapatan tinggi membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang stabil di atas enam persen setiap tahun. Pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu pendorong utama, sebab pertumbuhan ekonomi modern kini tidak dapat dilepaskan dari kualitas lingkungan, produktivitas sumber daya manusia, dan ketahanan sosial.

Visi Indonesia Emas 2045 menempatkan Indonesia sebagai negara berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Di dalamnya terkandung cita-cita menjadikan lingkungan hidup sebagai kekuatan fondasional bagi ekonomi jangka panjang, bukan sekadar pelengkap kebijakan.

Ekonomi Sirkular sebagai Mesin Transformasi Baru

Perubahan besar dalam pembangunan ekonomi tidak dapat dilakukan dengan pola yang sama. Ekonomi sirkular menawarkan pendekatan baru dalam menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan, dengan fokus pada efisiensi penggunaan sumber daya dan desain ulang model produksi.

Dalam kerangka transformasi ekonomi nasional, ekonomi sirkular menjadi bagian penting dari strategi ekonomi hijau. Ia berdiri sejajar dengan transisi energi dan pembangunan rendah karbon. Melalui konsep ini, Indonesia dapat membangun ekosistem industri yang lebih efisien, mengurangi limbah, dan meningkatkan produktivitas tanpa menambah tekanan terhadap sumber daya alam.

Penguatan ekonomi sirkular juga menjadi elemen penting dalam menjawab tantangan urbanisasi, modernisasi industri, dan kebutuhan untuk memperluas rantai nilai domestik.

Integrasi Ekonomi Hijau dalam Transformasi Nasional

Pembangunan hijau bukan sektor tunggal, melainkan strategi mencakup berbagai bidang—dari kesehatan, pendidikan, teknologi, hingga logistik. Pemerintah menempatkan ekonomi hijau sebagai salah satu dari tujuh game changer untuk mencapai Indonesia 2045. Ini melibatkan:

  • pengembangan energi bersih,

  • penerapan standar industri hijau,

  • modernisasi manufaktur,

  • pengembangan kota baru yang berkelanjutan,

  • hingga integrasi rantai nilai domestik yang lebih kuat.

Kerangka ini menunjukkan bahwa pembangunan hijau bukan agenda sampingan, tetapi arah utama transformasi ekonomi.

Belajar dari Kota-Kota Dunia yang Sukses Menerapkan Ekonomi Sirkular

Berbagai kota global telah membuktikan bahwa ekonomi sirkular memberikan dampak positif yang besar. Baik melalui pemanfaatan limbah biomassa, inkubator bisnis sirkular, hingga insentif energi surya, hasilnya nyata: penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, pengurangan emisi, dan inovasi ekonomi lokal.

Contoh seperti Pécs, Phoenix, hingga Melbourne memperlihatkan bahwa strategi sirkular yang tepat dapat menghasilkan keuntungan sosial dan ekonomi yang jauh melebihi biaya implementasinya. Bagi Indonesia, pengalaman ini memberikan gambaran bagaimana pendekatan terintegrasi dapat mempercepat kemajuan.

Mendorong Pengelolaan Sampah yang Lebih Efisien

Sampah makanan menjadi isu global dan Indonesia tidak luput dari permasalahan tersebut. Dengan sepertiga makanan dunia terbuang setiap tahun, perlu kebijakan yang bukan hanya menekan limbah, tetapi juga memaksimalkan potensi pangan yang masih dapat dimanfaatkan.

Berbagai negara menerapkan kebijakan inovatif seperti pengaturan ukuran porsi, penyimpanan pangan berteknologi rendah energi, redistribusi makanan, hingga penggunaan silo kecil dan peti plastik untuk mengurangi kehilangan pascapanen. Model seperti ini dapat menjadi inspirasi kebijakan nasional untuk mengurangi limbah dan meningkatkan ketahanan pangan.

Kebijakan Pemerintah dalam Mempercepat Ekonomi Sirkular

Indonesia telah mulai menyiapkan fondasi kebijakan untuk mendukung ekonomi sirkular. Kebijakan tersebut mencakup penerapan Standar Industri Hijau, peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, hingga regulasi bangunan hijau untuk sektor konstruksi. Ketiga kebijakan ini memberi arah yang lebih jelas bagi dunia industri untuk bertransformasi.

Melalui standar industri hijau, produsen didorong untuk memperbaiki proses produksi, mengurangi limbah, dan meningkatkan efisiensi energi. Peta jalan pengurangan sampah memberi tekanan positif kepada produsen agar bertanggung jawab pada siklus hidup produknya. Sementara regulasi konstruksi hijau membantu menurunkan emisi dari sektor bangunan yang selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi nasional.

Stimulus Fiskal sebagai Penggerak Perubahan

Untuk mempercepat pembangunan hijau, pemerintah menyediakan stimulus fiskal yang menyasar sektor-sektor strategis seperti:

  • peremajaan perkebunan,

  • penguatan pengelolaan sampah melalui UMKM,

  • pemasangan PLTS atap untuk gedung pemerintahan.

Selain dampak ekonomi yang signifikan, kebijakan ini menciptakan ratusan ribu lapangan kerja baru dan menurunkan emisi dalam jangka panjang. Melalui kombinasi penguatan ekonomi lokal, pengurangan sampah, dan peningkatan energi bersih, stimulus ini menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan fiskal dapat mempercepat transformasi.

Insentif Pajak untuk Mendukung Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah masih menjadi masalah besar di Indonesia, sehingga pemerintah menyediakan berbagai insentif pajak untuk mendorong investasi di sektor ini. Insentif tersebut mencakup pengurangan penghasilan kena pajak, penyusutan dan amortisasi dipercepat, tarif pajak dividen lebih rendah, hingga perpanjangan masa kompensasi kerugian.

Sektor yang mendapat prioritas termasuk produksi pupuk organik, pengelolaan sampah berbahaya dan non-berbahaya, serta aktivitas remediasi. Kebijakan ini diarahkan untuk memperluas investasi dan mempercepat penerapan teknologi ramah lingkungan dalam pengelolaan sampah nasional.

Kesimpulan: Arah Transformasi Menuju Ekonomi Hijau Indonesia 2045

Transformasi menuju ekonomi hijau adalah proses panjang yang membutuhkan komitmen kuat, kolaborasi seluruh pihak, dan kebijakan yang konsisten. Indonesia telah menempatkan pembangunan hijau sebagai bagian inti dari transformasi ekonomi nasional. Dengan memperkuat ekonomi sirkular, mendorong investasi hijau, dan menciptakan kebijakan yang inklusif dan modern, Indonesia dapat membangun masa depan yang berdaya saing, resilien, dan seimbang antara kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

 

Daftar Pustaka

Materi “Strategi Kebijakan Pembangunan Nasional di Bidang Ekonomi Sirkular,” Amalia Adininggar Widyasanti, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, FGD PPI Seri 2, 12 September 2023.

Selengkapnya
Strategi Pembangunan Hijau Indonesia: Membangun Fondasi Ekonomi yang Maju, Berdaya Saing, dan Berkelanjutan

Ekonomi Hijau

Tantangan Pembangunan Hijau di Indonesia: Mencari Arah Transformasi yang Realistis dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 November 2025


Indonesia sedang berada pada persimpangan penting dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang hijau dan berkelanjutan. Meski agenda transisi energi, ekonomi sirkular, dan penguatan industri hijau semakin diperkuat di berbagai kebijakan nasional, perjalanan menuju pembangunan hijau tidak sederhana. Banyak tantangan struktural, ekonomi, dan kelembagaan yang harus dibenahi agar proses transformasi bisa berjalan efektif.

Akses Teknologi, Pendanaan, dan Kapasitas Kelembagaan Masih Rendah

Negara berkembang seperti Indonesia menghadapi hambatan fundamental ketika ingin mempercepat ekonomi sirkular maupun agenda hijau lainnya. Keterbatasan akses terhadap teknologi ramah lingkungan dan minimnya investasi menjadi penghalang besar. Selain itu, kapasitas kelembagaan untuk merancang, mengimplementasikan, serta mengawasi kebijakan transisi masih belum cukup kuat.

Di lapangan, pelaku usaha seringkali bimbang: apa sebenarnya manfaat yang benar-benar dapat diperoleh dari ekonomi sirkular? Dan sektor mana yang paling siap untuk menerapkannya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menunjukkan masih terputusnya pemahaman antara kebijakan dan implementasi.

Ketergantungan Tinggi pada Energi Fosil

Meskipun porsi energi baru terbarukan (EBT) meningkat, Indonesia masih bergantung kuat pada bahan bakar fosil, khususnya batubara. Beberapa provinsi bahkan memiliki struktur ekonomi yang sangat bergantung pada sektor ini sehingga perubahan menuju energi hijau dianggap mengancam stabilitas ekonomi daerah.

Kontribusi pertambangan batubara terhadap PDB regional masih sangat besar, terutama di Kalimantan. Ketika harga batubara naik, daerah mengalami pertumbuhan signifikan; ketika harga turun, ekonomi mereka ikut melambat. Ketergantungan tinggi ini membuat transisi energi hijau menjadi tantangan politik dan ekonomi yang tidak mudah.

Pengembangan Industri Hijau Masih Sangat Terbatas

Industri ramah lingkungan di Indonesia masih berada pada tahap awal. Nilai tambah dari industri hijau hanya menyentuh persentase kecil dari total manufaktur nasional. Lebih memprihatinkan lagi, jumlah perusahaan yang telah mengantongi sertifikat industri hijau masih di bawah 1%.

Tiga kendala utama yang memperlambat perkembangan ini adalah:

  • minimnya investasi hijau,

  • kurangnya tenaga ahli dan SDM terlatih,

  • dan keterbatasan akses teknologi bersih.

Jika tidak ada akselerasi besar-besaran di sektor manufaktur, Indonesia berisiko tertinggal dalam persaingan industri global yang semakin menuntut keberlanjutan.

Tantangan Besar dalam Pembiayaan dan Investasi Hijau

Salah satu tantangan paling krusial adalah pendanaan. Untuk mencapai target pengurangan emisi sesuai komitmen nasional (NDC), Indonesia membutuhkan pembiayaan hijau hingga ribuan triliun rupiah antara 2018–2030. Kebutuhan pendanaan tersebut mencakup sektor energi bersih, pengelolaan lahan, mitigasi risiko iklim, hingga perbaikan sistem pengelolaan sampah.

Walaupun anggaran iklim nasional terus meningkat, kontribusinya masih jauh dari kebutuhan aktual. Proyeksi jangka panjang menunjukkan bahwa proporsi pendanaan untuk energi bersih harus semakin besar seiring waktu, mencapai lebih dari 75% kebutuhan setelah 2030.

Tantangan Investasi Hijau yang Lebih Besar dari Perkiraan

Transformasi menuju ekonomi hijau tidak hanya memerlukan teknologi, tetapi juga investasi rutin dan jangka panjang. Sektor energi, pengelolaan sampah, kehutanan, dan lahan menjadi fokus utama untuk menarik investasi hijau. Namun, realitas menunjukkan bahwa:

  • target bauran EBT masih jauh dari optimal,

  • pengurangan sampah plastik masih belum mencapai skala yang diharapkan,

  • dan kebutuhan pendanaan untuk mencapai target emisi masih sangat besar.

Hal ini menunjukkan bahwa tantangan bukan hanya pada penyediaan investasi, tetapi juga kesiapan sistem untuk menerima dan memanfaatkan investasi tersebut secara efektif.

Hambatan yang Dihadapi Dunia Industri dalam Menerapkan Ekonomi Sirkular

Pelaku industri menghadapi kendala internal yang tidak kalah berat. Survei perusahaan di Indonesia menunjukkan beberapa hambatan paling dominan:

  • kesulitan mengubah kebiasaan perusahaan,

  • keterbatasan infrastruktur,

  • tantangan teknis dalam implementasi,

  • regulasi yang belum sepenuhnya mendukung,

  • pasar produk daur ulang yang belum berkembang,

  • dan kurangnya informasi serta modal.

Sebagian perusahaan juga menganggap bahwa ekonomi sirkular tidak secara langsung menghasilkan keuntungan, sehingga minat untuk berinvestasi dalam model bisnis sirkular masih rendah.

Merumuskan Jalan Maju untuk Indonesia

Melihat seluruh tantangan ini, jelas bahwa pembangunan hijau membutuhkan pendekatan yang jauh lebih terkoordinasi. Beberapa langkah strategis perlu diperkuat:

  • memperluas investasi dan insentif industri hijau,

  • mempercepat transisi energi yang realistis dan terjangkau,

  • membuka akses teknologi ramah lingkungan,

  • memperbaiki kualitas regulasi dan tata kelola,

  • dan memperkuat kapasitas kelembagaan di pusat maupun daerah.

Selain itu, edukasi publik dan dunia usaha tentang manfaat jangka panjang ekonomi hijau harus diperluas agar perubahan perilaku dapat terjadi secara sistematis.

Pembangunan hijau bukan proyek jangka pendek—ia adalah perjalanan panjang menuju ekonomi yang lebih adil, efisien, tangguh, dan berkelanjutan. Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin transformasi ini, tetapi hanya jika tantangan-tantangan struktural tersebut diatasi dengan kebijakan yang kuat dan implementasi yang konsisten.

 

Daftsr Pustaka

Materi “Strategi Kebijakan Pembangunan Nasional di Bidang Ekonomi Sirkular Amalia Adininggar Widyasanti, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, FGD PPI Seri 2, 12 September 2023.

 

Selengkapnya
Tantangan Pembangunan Hijau di Indonesia: Mencari Arah Transformasi yang Realistis dan Berkelanjutan

Ekonomi Hijau

Transformasi Ekonomi Indonesia Melalui Ekonomi Sirkular: Jalan Menuju Pertumbuhan Hijau dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 November 2025


Indonesia sedang memasuki fase penting dalam perjalanan pembangunannya. Krisis global, tekanan lingkungan, dan perubahan perilaku konsumen memaksa seluruh negara untuk meninjau ulang strategi pembangunan mereka. Dalam konteks ini, ekonomi sirkular muncul sebagai pendekatan yang bukan hanya relevan, tetapi krusial untuk masa depan Indonesia. Konsep ini membawa gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak harus berbanding lurus dengan eksploitasi sumber daya; justru sebaliknya, efisiensi material dan desain sistem menjadi faktor utama untuk menciptakan nilai baru yang berkelanjutan.

Transformasi Ekonomi: Membangun yang Lebih Baik dari Sebelumnya

Pemulihan ekonomi pasca krisis tidak cukup hanya mengembalikan kondisi seperti sebelum gangguan terjadi. Indonesia membutuhkan transformasi struktural yang memastikan perekonomian menjadi lebih produktif, inklusif, dan ramah lingkungan. Pendekatan build forward better menegaskan bahwa pertumbuhan berkualitas harus menyatu dengan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, model pembangunan masa depan harus bersifat adaptif dan berbasis keberlanjutan.

Menurunkan Emisi untuk Mengamankan Masa Depan Ekonomi

Salah satu pilar penting transformasi adalah komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan. Melalui strategi pembangunan rendah karbon, proyeksi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi justru dapat meningkat jika intervensi hijau dijalankan secara konsisten. Penurunan intensitas emisi yang sangat drastis menjadi pondasi menuju target net-zero pada 2060. Hal ini bukan hanya isu lingkungan, melainkan upaya melindungi daya dukung ekonomi agar tidak runtuh akibat tekanan perubahan iklim.

Industri Masa Depan: Lebih Efisien, Lebih Bersih, Lebih Inovatif

Perubahan paradigma industri kini tidak bisa dihindarkan. Perusahaan-perusahaan besar dunia telah menunjukkan bagaimana ekonomi sirkular dapat diterapkan dalam kegiatan produksi, mulai dari pakaian berbahan botol plastik daur ulang hingga desain produk elektronik yang mengutamakan transparansi dan keberlanjutan. Industri dituntut tidak hanya menciptakan produk, tetapi mengelola seluruh siklus hidupnya — dari desain, pemakaian, hingga pemulihan material.

Transformasi ini bukan sekadar tren global. Indonesia memiliki peluang besar untuk mempercepat modernisasi industrinya melalui pemanfaatan material daur ulang, sistem layanan produk, model berbagi, perpanjangan usia produk, dan pemulihan sumber daya dari limbah. Kelima pendekatan ini membuka ruang bagi inovasi lintas sektor.

Menggantikan Pola Linier dengan Sistem Sirkular

Pendekatan ekonomi linier — mengambil, membuat, membuang — telah menyebabkan tekanan besar terhadap sumber daya alam. Ekonomi sirkular hadir dengan logika berbeda: material dirancang agar dapat digunakan kembali, dipulihkan, atau didaur ulang, menciptakan siklus tertutup yang lebih efisien. Dengan sistem ini, pertumbuhan ekonomi tidak lagi menjadi ancaman bagi lingkungan, tetapi dapat berjalan beriringan.

Sektor Prioritas: Area yang Menentukan Keberhasilan Transformasi

Untuk mempercepat adopsi ekonomi sirkular, perlu ada fokus pada sektor-sektor yang memberikan pengaruh terbesar terhadap PDB, jumlah tenaga kerja, dan volume limbah nasional. Lima sektor utama memiliki potensi transformasi terbesar: makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan grosir dan eceran, serta elektronika.

Kelima sektor ini mewakili sepertiga perekonomian Indonesia dan melibatkan lebih dari 43 juta pekerja. Praktik mereka saat ini masih menghasilkan limbah dalam jumlah besar, dan diprediksi akan terus meningkat jika tidak ada perubahan. Dengan mengadopsi pendekatan sirkular, potensi efisiensi meningkat drastis — mulai dari pengurangan limbah hingga optimasi bahan baku.

Manfaat Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial yang Signifikan

Studi pemodelan menunjukkan bahwa penerapan ekonomi sirkular pada tahun 2030 dapat memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar. Kontribusi tambahan terhadap PDB diproyeksikan mencapai ratusan triliun rupiah. Selain itu, efisiensi operasional dari penggunaan kembali material dan pemrosesan limbah bisa menghasilkan penghematan biaya yang besar bagi industri.

Dari sisi lingkungan, pengurangan limbah diperkirakan mencapai 18–52% dan penurunan emisi lebih dari 120 juta ton CO₂. Konsumsi air dan energi juga akan turun drastis melalui sistem produksi yang lebih efisien.

Namun manfaat terbesar datang dari aspek sosial. Ekonomi sirkular diproyeksikan menciptakan hingga 4,4 juta lapangan kerja baru, dengan mayoritas pekerja perempuan mendapatkan manfaat signifikan. Transformasi ini tidak hanya menawarkan peluang ekonomi, tetapi juga memperluas inklusivitas di pasar kerja.

Sektor dengan Dampak Ekonomi Terbesar

Subsektor makanan dan minuman muncul sebagai pendorong terbesar manfaat ekonomi, terutama dari pengurangan kerugian rantai pasokan. Di posisi berikutnya, industri tekstil mendapatkan manfaat besar dari penggunaan kembali material dan efisiensi proses produksi. Sementara sektor konstruksi, plastik, dan elektronika menunjukkan peningkatan nilai ekonomi melalui pemulihan material dan desain ulang produk.

Menuju Perekonomian yang Lebih Tangguh dan Kompetitif

Ekonomi sirkular bukan hanya strategi lingkungan — ini adalah strategi pembangunan dan industrialisasi. Dengan menerapkan pendekatan sirkular, Indonesia dapat menciptakan struktur ekonomi yang:

  • lebih efisien,

  • lebih tangguh terhadap guncangan global,

  • lebih kompetitif,

  • lebih rendah emisi,

  • dan lebih mampu menyediakan lapangan kerja.

Transisi ini membutuhkan inovasi, investasi, dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan. Namun manfaat jangka panjangnya jauh melampaui biaya dan usaha yang diperlukan.

 

Daftar Pustaka

Materi “Strategi Kebijakan Pembangunan Nasional di Bidang Ekonomi Sirkular,” Amalia Adininggar Widyasanti, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, FGD PPI Seri 2, 12 September 2023.

 

Selengkapnya
Transformasi Ekonomi Indonesia Melalui Ekonomi Sirkular: Jalan Menuju Pertumbuhan Hijau dan Berkelanjutan
« First Previous page 8 of 11 Next Last »