Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 17 Desember 2025
1. Pendahuluan: SCP dan Kemiskinan sebagai Masalah Sistemik Pembangunan
Diskursus Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan sering ditempatkan dalam kerangka lingkungan semata, seolah-olah tujuan utamanya adalah menekan dampak ekologis dari aktivitas ekonomi. Pendekatan ini penting, tetapi tidak lengkap. Dalam konteks negara berkembang, tantangan terbesar pembangunan justru terletak pada bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa memperparah degradasi lingkungan dan ketimpangan sosial. Di sinilah hubungan antara SCP dan pengentasan kemiskinan menjadi krusial.
Kemiskinan dan kerusakan lingkungan kerap saling memperkuat. Masyarakat miskin cenderung bergantung langsung pada sumber daya alam dengan pilihan terbatas, sementara degradasi lingkungan mempersempit peluang ekonomi mereka. Jika SCP dipahami hanya sebagai pengurangan konsumsi atau pembatasan produksi, ia berisiko dipersepsikan sebagai hambatan pembangunan. Padahal, esensi SCP justru terletak pada perubahan kualitas pertumbuhan, bukan penurunan kesejahteraan.
Artikel ini membahas gagasan utama dari paper “Sustainable Consumption and Production and Poverty Alleviation”, yang menempatkan SCP dalam kerangka sistem pembangunan yang lebih luas. Pendekatan ini menolak dikotomi palsu antara keberlanjutan lingkungan dan pengentasan kemiskinan, serta menekankan pentingnya life-cycle thinking dan pendekatan sistem dalam perumusan kebijakan.
Dengan sudut pandang tersebut, pembahasan diarahkan untuk menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana SCP dapat dirancang agar tidak hanya mengurangi tekanan lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi, meningkatkan produktivitas, dan memperkuat ketahanan kelompok rentan. Fokusnya bukan pada solusi instan, melainkan pada desain kebijakan jangka panjang yang mampu mengelola trade-off pembangunan secara lebih adil.
2. Mengurai Hubungan SCP dan Pengentasan Kemiskinan: Dari Trade-off ke Sinergi
Hubungan antara SCP dan pengentasan kemiskinan sering dibingkai sebagai trade-off. Pengurangan konsumsi dianggap menghambat pertumbuhan, sementara peningkatan produksi dipersepsikan memperburuk dampak lingkungan. Kerangka berpikir ini terlalu sempit dan mengabaikan dinamika sistem ekonomi yang lebih kompleks.
Pendekatan SCP justru membuka peluang untuk menciptakan sinergi. Dengan meningkatkan efisiensi sumber daya, menekan pemborosan, dan memperpanjang siklus hidup produk, ekonomi dapat menghasilkan nilai tambah lebih besar tanpa eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Dalam konteks masyarakat berpendapatan rendah, efisiensi ini berpotensi menurunkan biaya hidup, memperluas akses terhadap barang dan jasa, serta menciptakan lapangan kerja baru di sektor-sektor berbasis perbaikan, daur ulang, dan layanan lokal.
Namun sinergi ini tidak muncul secara otomatis. Tanpa intervensi kebijakan, keuntungan dari SCP cenderung terkonsentrasi pada pelaku ekonomi yang sudah kuat. Kelompok miskin dapat tertinggal atau bahkan terdorong keluar dari sistem jika transisi tidak dirancang secara inklusif. Oleh karena itu, SCP perlu dipahami sebagai proses transformasi sosial-ekonomi, bukan sekadar agenda teknis lingkungan.
Kunci dari transformasi ini adalah pendekatan sistem. Kebijakan SCP yang efektif harus mempertimbangkan rantai nilai secara menyeluruh, dari produksi hingga konsumsi, serta dampaknya terhadap pendapatan, akses pasar, dan distribusi manfaat. Dengan cara ini, pengentasan kemiskinan tidak diposisikan sebagai tujuan terpisah, tetapi sebagai bagian integral dari desain SCP.
Pendekatan ini menuntut perubahan cara pandang kebijakan publik. Alih-alih memilih antara pertumbuhan atau keberlanjutan, pembuat kebijakan dihadapkan pada tantangan untuk merancang pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. SCP, dalam kerangka ini, berfungsi sebagai alat untuk mengelola kompleksitas pembangunan, bukan sebagai batasan normatif yang kaku.
3. Life-Cycle Thinking: Memperluas Horizon Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Salah satu kontribusi penting dalam pendekatan SCP adalah penggunaan life-cycle thinking, yaitu cara pandang yang menilai dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan sepanjang siklus hidup produk dan jasa. Pendekatan ini penting karena banyak kebijakan pengentasan kemiskinan cenderung berfokus pada satu tahap saja—misalnya penciptaan lapangan kerja di produksi—tanpa mempertimbangkan dampak lanjutan pada distribusi, konsumsi, dan pembuangan.
Dalam konteks pengentasan kemiskinan, life-cycle thinking membantu mengidentifikasi di mana peluang nilai tambah sebenarnya tercipta dan siapa yang menikmatinya. Banyak kelompok miskin terlibat pada tahap-tahap bernilai rendah dalam rantai nilai, seperti ekstraksi bahan mentah atau pekerjaan informal berupah rendah. Tanpa intervensi kebijakan, SCP berisiko hanya meningkatkan efisiensi di hulu dan hilir tanpa memperbaiki posisi kelompok rentan dalam sistem ekonomi.
Pendekatan siklus hidup juga mengungkap biaya tersembunyi yang sering ditanggung kelompok miskin. Produk murah yang dihasilkan melalui proses tidak berkelanjutan mungkin menurunkan harga konsumsi jangka pendek, tetapi menimbulkan dampak kesehatan dan lingkungan yang justru memperburuk kemiskinan dalam jangka panjang. Dengan membaca keseluruhan siklus, kebijakan dapat dirancang untuk meminimalkan beban ini sekaligus membuka peluang ekonomi yang lebih stabil.
Implikasinya bagi kebijakan cukup signifikan. Program pengentasan kemiskinan yang terintegrasi dengan SCP perlu mendorong diversifikasi aktivitas ekonomi di sepanjang rantai nilai—misalnya melalui penguatan usaha kecil di bidang perbaikan, daur ulang, dan layanan berbasis lokal. Aktivitas-aktivitas ini relatif padat karya, berbiaya masuk rendah, dan memiliki potensi dampak sosial yang luas jika didukung secara tepat.
4. Peran Negara dan Pasar dalam Mewujudkan SCP yang Inklusif
Mewujudkan SCP yang berkontribusi pada pengentasan kemiskinan tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Pasar cenderung merespons insentif jangka pendek dan tidak selalu memperhitungkan distribusi manfaat. Oleh karena itu, peran negara menjadi krusial dalam membentuk arah dan keadilan transisi menuju SCP.
Peran pertama negara adalah sebagai perancang kerangka kebijakan. Regulasi, standar, dan insentif perlu dirancang agar mendorong praktik berkelanjutan sekaligus membuka akses bagi kelompok berpendapatan rendah. Tanpa kerangka ini, SCP berisiko menjadi agenda eksklusif yang hanya dapat diadopsi oleh pelaku ekonomi bermodal besar.
Peran kedua adalah fasilitasi pasar yang inklusif. Negara dapat berperan dalam mengurangi hambatan masuk, menyediakan dukungan kapasitas, dan memastikan akses pembiayaan bagi usaha kecil dan informal yang terlibat dalam praktik SCP. Dengan cara ini, transisi menuju SCP tidak hanya mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga memperluas basis ekonomi masyarakat miskin.
Di sisi lain, pasar tetap memiliki peran penting sebagai penggerak inovasi dan efisiensi. Tantangannya adalah menyelaraskan logika pasar dengan tujuan sosial dan lingkungan. Instrumen kebijakan yang cerdas—seperti pengadaan publik berkelanjutan atau skema insentif berbasis kinerja—dapat menjembatani kepentingan ini tanpa mematikan dinamika ekonomi.
Keseimbangan antara peran negara dan pasar inilah yang menentukan apakah SCP menjadi alat pengentasan kemiskinan atau justru memperkuat ketimpangan. Tanpa intervensi yang tepat, manfaat SCP cenderung terakumulasi pada kelompok yang sudah memiliki akses dan kapasitas. Dengan desain kebijakan yang inklusif, SCP justru dapat menjadi sarana untuk memperluas kesempatan ekonomi dan meningkatkan ketahanan sosial.
5. Tantangan Implementasi SCP dalam Konteks Negara Berkembang
Meskipun menawarkan potensi sinergi antara keberlanjutan dan pengentasan kemiskinan, implementasi SCP di negara berkembang menghadapi tantangan yang khas. Tantangan pertama adalah keterbatasan kapasitas institusional. Banyak kebijakan SCP membutuhkan koordinasi lintas sektor dan lintas level pemerintahan, sementara struktur birokrasi sering terfragmentasi dan bekerja dalam logika sektoral yang kaku.
Tantangan kedua berkaitan dengan prioritas pembangunan jangka pendek. Tekanan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan menjaga stabilitas ekonomi sering membuat kebijakan berorientasi jangka panjang—seperti SCP—dipandang kurang mendesak. Dalam situasi ini, keberlanjutan mudah dikorbankan demi pertumbuhan cepat, meskipun dampak lingkungannya justru memperbesar biaya sosial di masa depan.
Masalah lain adalah ketimpangan akses terhadap teknologi dan pembiayaan. Praktik SCP yang lebih efisien sering memerlukan investasi awal, sementara kelompok miskin dan usaha kecil memiliki akses terbatas terhadap modal. Tanpa mekanisme pembiayaan yang inklusif, SCP berisiko memperlebar kesenjangan, karena hanya dapat diadopsi oleh aktor yang sudah relatif kuat.
Selain itu, terdapat tantangan persepsi publik. SCP kerap dipahami sebagai pembatas konsumsi atau kenaikan biaya hidup. Jika kebijakan tidak dirancang dengan komunikasi yang tepat dan manfaat yang nyata, resistensi sosial dapat muncul. Dalam konteks ini, keberhasilan SCP sangat bergantung pada kemampuan kebijakan untuk menunjukkan manfaat langsung bagi kesejahteraan, bukan hanya tujuan lingkungan yang abstrak.
Menghadapi berbagai tantangan tersebut, pendekatan bertahap dan kontekstual menjadi kunci. SCP tidak dapat diterapkan sebagai paket kebijakan seragam, melainkan sebagai proses adaptif yang belajar dari praktik lokal dan kapasitas yang tersedia.
6. Kesimpulan Analitis: SCP sebagai Strategi Pembangunan Inklusif Jangka Panjang
Pembahasan ini menegaskan bahwa Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan tidak bertentangan dengan agenda pengentasan kemiskinan. Sebaliknya, jika dirancang dengan pendekatan sistem dan keadilan sosial, SCP dapat menjadi strategi pembangunan inklusif yang mengelola trade-off antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Kunci keberhasilan terletak pada pergeseran cara pandang kebijakan. SCP tidak boleh dipahami sebagai pengurangan semata, tetapi sebagai upaya meningkatkan kualitas pertumbuhan—lebih efisien, lebih adil, dan lebih tahan terhadap guncangan lingkungan. Life-cycle thinking membantu memastikan bahwa manfaat dan biaya pembangunan didistribusikan secara lebih merata sepanjang rantai nilai.
Artikel ini juga menekankan pentingnya peran negara dalam mengarahkan transisi. Pasar memiliki kapasitas untuk berinovasi, tetapi tanpa kerangka kebijakan yang jelas, inovasi tersebut tidak selalu berpihak pada kelompok rentan. SCP yang inklusif menuntut negara bertindak sebagai arsitek kebijakan jangka panjang, bukan sekadar regulator reaktif.
Pada akhirnya, SCP menantang paradigma pembangunan konvensional yang memisahkan isu lingkungan dan kemiskinan. Dalam dunia dengan keterbatasan sumber daya dan ketimpangan yang persisten, pendekatan sistem seperti SCP menawarkan jalan untuk mengelola kompleksitas tersebut secara lebih rasional. Keberhasilan tidak diukur dari seberapa cepat perubahan terjadi, tetapi dari sejauh mana perubahan tersebut memperkuat kesejahteraan manusia tanpa melampaui batas ekologis.
Daftar Pustaka
United Nations Environment Programme. (2011). Sustainable Consumption and Production and Poverty Alleviation. UNEP.
United Nations. (2015). Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. United Nations.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 17 Desember 2025
1. Pendahuluan: Sampah Plastik sebagai Masalah Kebijakan, Bukan Sekadar Perilaku
Sampah plastik kerap dipersepsikan sebagai persoalan perilaku konsumsi dan lemahnya kesadaran masyarakat. Narasi ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi berisiko menutupi masalah yang lebih mendasar. Dalam skala nasional, sampah plastik adalah masalah kebijakan publik: bagaimana negara merancang regulasi, membagi tanggung jawab produsen dan konsumen, serta membangun insentif ekonomi yang mendorong perubahan sistemik.
Indonesia berada pada posisi yang paradoksal. Di satu sisi, berbagai komitmen pengurangan sampah plastik telah dicanangkan, baik melalui kebijakan nasional maupun kesepakatan internasional. Di sisi lain, laju produksi dan konsumsi plastik sekali pakai tetap tinggi, sementara sistem pengelolaan di hilir belum mampu menyerap lonjakan tersebut. Kesenjangan antara ambisi kebijakan dan kapasitas implementasi inilah yang menjadi sumber utama persoalan.
Ekonomi sirkular sering dipromosikan sebagai solusi kunci. Dengan menekankan pengurangan di sumber, desain ulang produk, dan daur ulang, ekonomi sirkular menjanjikan pemutusan ketergantungan pada sistem linear “ambil–pakai–buang”. Namun dalam praktik, ekonomi sirkular tidak dapat berdiri di atas jargon. Ia membutuhkan kerangka regulasi yang koheren, penegakan hukum yang konsisten, serta mekanisme pasar yang mendukung.
Artikel ini membahas temuan dari paper “Circular Economy-Based Plastic Waste Management Policy in Indonesia: A Comparative Study with China and the European Union”, yang menempatkan kebijakan Indonesia dalam perspektif global. Dengan membandingkan pendekatan regulasi dan tata kelola, artikel ini berupaya mengurai mengapa ekonomi sirkular pada sampah plastik berjalan lebih efektif di beberapa yurisdiksi dibandingkan Indonesia, serta pelajaran apa yang dapat ditarik secara realistis.
Fokus pembahasan tidak berhenti pada perbandingan normatif. Yang lebih penting adalah bagaimana pelajaran global tersebut diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia yang memiliki struktur pasar, kapasitas institusi, dan tantangan sosial yang berbeda. Dengan pendekatan ini, ekonomi sirkular dibaca bukan sebagai tujuan ideal, melainkan sebagai proyek kebijakan yang membutuhkan penyesuaian struktural.
2. Kerangka Masalah Sampah Plastik di Indonesia: Fragmentasi Regulasi dan Kesenjangan Implementasi
Salah satu ciri utama kebijakan sampah plastik di Indonesia adalah fragmentasi regulasi. Berbagai aturan lahir di tingkat nasional, sektoral, dan daerah, namun sering kali tidak terintegrasi dalam satu kerangka yang konsisten. Akibatnya, tanggung jawab antar-aktor—pemerintah, produsen, dan konsumen—menjadi kabur, dan penegakan kebijakan berjalan tidak seragam.
Di tingkat hulu, pengendalian produksi plastik masih relatif lemah. Instrumen pembatasan, insentif desain ramah lingkungan, dan kewajiban produsen belum sepenuhnya membentuk tekanan ekonomi yang signifikan. Banyak kebijakan bersifat deklaratif, tetapi minim mekanisme pengawasan dan sanksi yang efektif. Dalam kondisi ini, beban pengelolaan cenderung bergeser ke hilir, memperbesar tekanan pada pemerintah daerah dan sistem pengelolaan sampah.
Di sisi hilir, keterbatasan infrastruktur dan pasar daur ulang memperparah masalah. Plastik bernilai rendah sulit diserap, sementara fluktuasi harga material daur ulang membuat aktivitas sirkular tidak stabil secara ekonomi. Tanpa dukungan kebijakan yang menjamin kepastian pasar, ekonomi sirkular pada plastik berisiko terjebak pada skala kecil dan informal.
Kesenjangan lain terletak pada koordinasi lintas sektor. Kebijakan lingkungan, industri, perdagangan, dan perlindungan konsumen sering berjalan sendiri-sendiri. Padahal, ekonomi sirkular menuntut pendekatan lintas sektor yang terintegrasi. Tanpa koordinasi tersebut, regulasi yang ada justru dapat saling meniadakan dampaknya.
Kerangka masalah ini menunjukkan bahwa tantangan utama pengelolaan sampah plastik di Indonesia bukan semata kekurangan kebijakan, melainkan ketiadaan arsitektur kebijakan yang kohesif. Di titik ini, perbandingan dengan China dan Uni Eropa menjadi relevan, bukan untuk ditiru mentah-mentah, tetapi untuk memahami bagaimana konsistensi regulasi dan penegakan hukum membentuk efektivitas ekonomi sirkular.
3. Pelajaran dari China dan Uni Eropa: Konsistensi Regulasi dan Disiplin Penegakan
Perbandingan dengan China dan Uni Eropa menunjukkan bahwa keberhasilan ekonomi sirkular pada sampah plastik tidak ditentukan oleh banyaknya kebijakan, melainkan oleh konsistensi instrumen dan disiplin penegakan. Kedua yurisdiksi ini menempatkan plastik sebagai isu strategis lintas sektor, sehingga regulasi lingkungan, industri, dan perdagangan bergerak dalam satu arah yang relatif selaras.
China menempuh pendekatan yang tegas dan terpusat. Pembatasan plastik sekali pakai, pengendalian impor limbah plastik, dan kewajiban produsen diterapkan melalui kombinasi regulasi ketat dan penegakan administratif yang kuat. Pendekatan ini menciptakan sinyal kebijakan yang jelas bagi pelaku usaha: perubahan tidak bersifat opsional. Meski menghadapi tantangan transisi, konsistensi arah kebijakan mendorong investasi pada desain produk dan sistem daur ulang domestik.
Uni Eropa menempuh jalur berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama. Kerangka kebijakan dibangun secara bertahap melalui standar bersama, target yang terukur, dan mekanisme pasar yang mendukung. Instrumen seperti tanggung jawab produsen yang diperluas, pembatasan plastik tertentu, dan persyaratan kandungan daur ulang menciptakan tekanan ekonomi yang sistematis. Yang menonjol adalah kepastian regulasi jangka panjang, sehingga pelaku industri dapat menyesuaikan strategi bisnisnya.
Dari kedua contoh ini, pelajaran utamanya bukan pada detail kebijakan spesifik, melainkan pada arsitektur kebijakan. Ekonomi sirkular berjalan efektif ketika negara mampu menyatukan visi, instrumen, dan penegakan dalam satu kerangka yang konsisten. Tanpa itu, kebijakan mudah tereduksi menjadi himbauan yang tidak mengubah perilaku pasar.
4. Implikasi bagi Indonesia: Antara Ambisi dan Realisme Kebijakan
Bagi Indonesia, pelajaran global tersebut perlu dibaca secara realistis. Struktur pasar yang beragam, kapasitas institusi yang tidak merata, dan peran sektor informal membuat pendekatan “menyalin” kebijakan luar negeri berisiko gagal. Tantangannya bukan memilih model China atau Uni Eropa, tetapi menentukan kombinasi instrumen yang sesuai dengan konteks nasional.
Implikasi pertama adalah kebutuhan akan kerangka regulasi yang lebih terintegrasi. Pengendalian plastik tidak dapat dibebankan hanya pada pemerintah daerah atau konsumen. Instrumen hulu—seperti kewajiban produsen, standar desain, dan insentif ekonomi—perlu diperkuat agar tekanan perubahan tidak hanya terjadi di hilir. Tanpa rebalancing ini, ekonomi sirkular akan terus terbatas pada skala kecil.
Implikasi kedua menyangkut penegakan. Kebijakan yang baik di atas kertas kehilangan daya dorong ketika penegakan lemah atau tidak konsisten. Indonesia menghadapi tantangan klasik di sini: keterbatasan pengawasan dan fragmentasi kewenangan. Mengatasi hal ini membutuhkan prioritisasi kebijakan, bukan penambahan aturan baru yang memperumit sistem.
Implikasi ketiga adalah pengelolaan transisi. Ekonomi sirkular pada plastik akan mempengaruhi pelaku usaha, pekerja informal, dan konsumen. Tanpa strategi transisi yang adil, resistensi sosial dan ekonomi akan meningkat. Pelajaran dari luar menunjukkan bahwa keberhasilan jangka panjang justru bergantung pada kemampuan negara mengelola fase transisi ini secara bertahap dan inklusif.
5. Tantangan Struktural dan Risiko Implementasi Ekonomi Sirkular Plastik di Indonesia
Meskipun arah kebijakan menuju ekonomi sirkular semakin jelas, implementasinya di Indonesia menghadapi tantangan struktural yang tidak bisa diabaikan. Tantangan pertama adalah ketimpangan kapasitas antar wilayah. Pemerintah daerah memiliki kemampuan yang sangat beragam dalam hal regulasi turunan, pengawasan, dan penyediaan infrastruktur. Dalam kondisi ini, kebijakan nasional yang seragam berisiko menghasilkan dampak yang timpang dan tidak konsisten.
Tantangan kedua berkaitan dengan struktur pasar plastik. Dominasi plastik sekali pakai berbiaya rendah menciptakan hambatan ekonomi bagi material alternatif dan produk daur ulang. Tanpa intervensi kebijakan yang mengubah struktur insentif—misalnya melalui kewajiban kandungan daur ulang atau instrumen fiskal—ekonomi sirkular akan selalu kalah bersaing dengan sistem linear yang lebih murah dalam jangka pendek.
Risiko lain terletak pada ketergantungan pada sektor informal tanpa kerangka perlindungan yang memadai. Sektor informal memainkan peran penting dalam pengumpulan dan pemilahan plastik, tetapi sering berada di luar sistem kebijakan formal. Jika ekonomi sirkular diperluas tanpa desain transisi yang adil, ada risiko marginalisasi kelompok ini atau munculnya konflik kepentingan dengan aktor industri besar.
Selain itu, terdapat risiko over-regulation tanpa penegakan. Penambahan aturan baru sering dipersepsikan sebagai solusi cepat, padahal tanpa prioritas dan konsistensi, regulasi justru menambah kompleksitas dan biaya kepatuhan. Dalam konteks ini, keberhasilan ekonomi sirkular lebih ditentukan oleh penyederhanaan dan fokus kebijakan daripada akumulasi regulasi.
Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa ekonomi sirkular plastik bukan sekadar proyek teknis, melainkan agenda reformasi kebijakan yang menuntut perubahan cara negara mengelola regulasi, pasar, dan aktor sosial secara simultan.
6. Kesimpulan Analitis: Dari Retorika Ekonomi Sirkular ke Perubahan Sistemik
Pembahasan ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah plastik di Indonesia tidak akan berhasil jika berhenti pada retorika kebijakan. Komitmen dan target yang ambisius perlu ditopang oleh arsitektur regulasi yang koheren, penegakan hukum yang konsisten, dan desain transisi yang realistis.
Perbandingan dengan China dan Uni Eropa menunjukkan bahwa keberhasilan bukan soal meniru kebijakan tertentu, melainkan membangun konsistensi arah dan kepastian kebijakan. Dalam konteks Indonesia, hal ini berarti menggeser fokus dari hilir ke hulu, memperjelas tanggung jawab produsen, dan menciptakan insentif ekonomi yang mengubah perilaku pasar.
Artikel ini juga menekankan pentingnya membaca ekonomi sirkular sebagai proses bertahap. Perubahan sistemik tidak terjadi secara instan dan tidak dapat dipaksakan tanpa mempertimbangkan kapasitas institusi dan dampak sosial. Pendekatan yang terlalu normatif justru berisiko memicu resistensi dan kegagalan implementasi.
Pada akhirnya, tantangan utama Indonesia bukan kekurangan ide atau kebijakan, melainkan kemampuan mengorkestrasi perubahan. Ekonomi sirkular plastik akan menjadi nyata ketika kebijakan tidak hanya mendorong daur ulang, tetapi juga mendesain ulang sistem produksi dan konsumsi secara menyeluruh. Di titik inilah ekonomi sirkular bertransformasi dari jargon global menjadi strategi kebijakan yang relevan dan efektif bagi konteks nasional.
Daftar Pustaka
Sari, D. P., Nugroho, S., & Ramadhan, M. F. (2024). Circular economy-based plastic waste management policy in Indonesia: A comparative study with China and the European Union. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 11(2), 157–176.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 17 Desember 2025
1. Pendahuluan: Pengelolaan Sampah Pulau Kecil sebagai Ujian Keberlanjutan Lokal
Pulau-pulau kecil berpenghuni sering ditempatkan di pinggiran perencanaan pembangunan lingkungan. Skala penduduk yang terbatas membuat persoalan sampah terlihat “kecil”, padahal secara ekologis dampaknya justru lebih akut. Ruang darat yang sempit, ketergantungan pada laut, dan keterbatasan infrastruktur menjadikan kesalahan pengelolaan sampah di pulau kecil cepat berubah menjadi krisis lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Dalam konteks ini, pendekatan konvensional pengelolaan sampah—yang bertumpu pada pengangkutan dan pembuangan akhir—menjadi semakin tidak relevan. Pulau kecil tidak memiliki kemewahan ruang dan anggaran untuk meniru sistem perkotaan. Setiap kilogram sampah yang tidak dikelola di sumber berpotensi mencemari pesisir, terumbu karang, dan sumber penghidupan masyarakat lokal.
Di sisi lain, pulau kecil juga memiliki potensi sosial yang khas. Ikatan komunitas relatif kuat, struktur sosial lebih sederhana, dan partisipasi masyarakat sering menjadi faktor penentu keberhasilan program lingkungan. Potensi inilah yang sering tidak dimanfaatkan secara optimal ketika kebijakan lingkungan dirancang secara top-down dan terfragmentasi.
Artikel ini membahas pendekatan pengelolaan sampah berkelanjutan melalui pembelajaran dari paper “Sustainable Waste Management Model Based on the Climate Village Program (PROKLIM) in Small Islands”, yang menempatkan partisipasi masyarakat dan Program Kampung Iklim sebagai kerangka integratif. Fokus pembahasannya bukan pada detail teknis semata, melainkan pada bagaimana pengelolaan sampah diposisikan sebagai bagian dari strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal.
Dengan membaca pengelolaan sampah sebagai isu lintas sektor—lingkungan, sosial, dan kelembagaan—artikel ini berupaya menunjukkan bahwa keberlanjutan di pulau kecil tidak ditentukan oleh besarnya investasi, tetapi oleh ketepatan desain sistem dan kedalaman partisipasi masyarakat.
2. Konteks Pulau Kecil: Keterbatasan Struktural dan Kerentanan Lingkungan
Pulau kecil memiliki karakteristik struktural yang membedakannya dari wilayah daratan utama. Keterbatasan lahan membuat opsi tempat pembuangan akhir sangat terbatas, bahkan sering tidak tersedia sama sekali. Akibatnya, praktik pembuangan terbuka atau pembakaran menjadi pilihan pragmatis, meski berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan.
Kerentanan ini diperparah oleh ketergantungan ekonomi pada sektor berbasis alam, seperti perikanan dan pariwisata. Sampah yang tidak terkelola tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga langsung menggerus sumber pendapatan masyarakat. Dalam konteks pulau kecil, hubungan antara sampah dan kesejahteraan ekonomi jauh lebih langsung dibandingkan wilayah lain.
Keterbatasan kapasitas pemerintah lokal juga menjadi faktor penting. Akses terhadap anggaran, teknologi, dan sumber daya manusia sering kali terbatas. Program pengelolaan sampah yang bergantung pada dukungan eksternal cenderung rapuh dan sulit berkelanjutan. Ketika bantuan berhenti, sistem ikut berhenti.
Namun di balik keterbatasan tersebut, pulau kecil menyimpan peluang strategis. Skala komunitas yang relatif kecil memungkinkan koordinasi sosial yang lebih mudah. Norma lokal dan kepemimpinan informal memiliki pengaruh besar terhadap perilaku kolektif. Jika dikelola dengan tepat, kondisi ini justru menjadi modal penting bagi pendekatan pengelolaan sampah berbasis partisipasi.
Dalam konteks inilah pengelolaan sampah tidak bisa dipisahkan dari isu adaptasi iklim. Pulau kecil berada di garis depan dampak perubahan iklim, mulai dari kenaikan muka air laut hingga cuaca ekstrem. Sampah yang tidak terkelola memperburuk kerentanan tersebut. Sebaliknya, sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan dapat menjadi pintu masuk untuk membangun kesadaran, kapasitas, dan ketahanan komunitas secara lebih luas.
3. Integrasi Program Kampung Iklim: Dari Agenda Iklim ke Praktik Pengelolaan Sampah
Program Kampung Iklim pada dasarnya dirancang sebagai kerangka untuk mendorong aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak. Namun dalam praktik di pulau kecil, program ini sering dipersepsikan sempit sebagai kegiatan simbolik atau administratif. Padahal, jika dibaca secara strategis, Program Kampung Iklim menyediakan payung kebijakan yang memungkinkan integrasi berbagai isu lingkungan, termasuk pengelolaan sampah.
Pengelolaan sampah yang terintegrasi dalam Program Kampung Iklim memiliki keunggulan utama: ia tidak berdiri sebagai program sektoral yang terpisah. Aktivitas pengurangan, pemilahan, dan pengolahan sampah dapat langsung dikaitkan dengan tujuan adaptasi iklim, seperti perlindungan ekosistem pesisir, pengurangan emisi dari pembakaran terbuka, dan peningkatan kesehatan lingkungan permukiman.
Di pulau kecil, integrasi ini sangat penting karena keterbatasan sumber daya tidak memungkinkan banyak program berjalan paralel. Program Kampung Iklim berfungsi sebagai kerangka pengikat yang menyatukan aksi lingkungan, partisipasi masyarakat, dan penguatan kelembagaan lokal. Dengan demikian, pengelolaan sampah tidak diperlakukan sebagai beban tambahan, tetapi sebagai bagian dari agenda kolektif menghadapi risiko iklim.
Namun integrasi tersebut menuntut perubahan pendekatan implementasi. Program Kampung Iklim tidak dapat dijalankan secara top-down jika ingin efektif. Ia harus membuka ruang bagi inisiatif lokal, penyesuaian konteks, dan pembelajaran bertahap. Di sinilah pengelolaan sampah menjadi medium yang konkret dan mudah dipahami masyarakat untuk menerjemahkan isu iklim yang sering terasa abstrak.
4. Partisipasi Masyarakat sebagai Pengungkit Keberlanjutan Sistem
Keberlanjutan pengelolaan sampah di pulau kecil sangat ditentukan oleh tingkat dan kualitas partisipasi masyarakat. Infrastruktur dan teknologi, betapapun pentingnya, hanya akan berfungsi jika didukung oleh perubahan perilaku kolektif. Dalam komunitas pulau kecil, di mana relasi sosial saling terkait erat, partisipasi bukan sekadar keterlibatan individu, tetapi proses sosial yang mempengaruhi norma bersama.
Partisipasi yang efektif tidak muncul secara otomatis. Ia perlu dirancang melalui kombinasi insentif, kepemimpinan lokal, dan kejelasan manfaat. Program Kampung Iklim menyediakan ruang untuk itu dengan menekankan peran komunitas sebagai aktor utama, bukan objek intervensi. Ketika masyarakat melihat keterkaitan langsung antara pengelolaan sampah, kebersihan lingkungan, dan ketahanan hidup mereka, partisipasi cenderung lebih bertahan.
Di pulau kecil, peran tokoh informal—seperti pemuka adat, tokoh agama, atau penggerak komunitas—sering kali lebih menentukan dibandingkan struktur formal. Mengabaikan aktor-aktor ini berisiko melemahkan legitimasi program. Sebaliknya, melibatkan mereka sejak awal dapat mempercepat internalisasi nilai dan praktik pengelolaan sampah berkelanjutan.
Namun partisipasi juga memiliki batas. Ketika beban terlalu besar atau manfaat tidak dirasakan secara adil, partisipasi dapat menurun. Oleh karena itu, keberlanjutan sistem menuntut keseimbangan antara tanggung jawab masyarakat dan dukungan kelembagaan. Program Kampung Iklim yang berhasil adalah yang mampu menjaga keseimbangan ini, memastikan bahwa partisipasi tidak berubah menjadi beban sosial yang tidak terkelola.
5. Tantangan Implementasi di Pulau Kecil: Kapasitas, Logistik, dan Ketahanan Program
Meskipun integrasi pengelolaan sampah dengan Program Kampung Iklim menawarkan kerangka yang menjanjikan, implementasinya di pulau kecil menghadapi tantangan yang khas. Tantangan pertama adalah kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia. Banyak pulau kecil bergantung pada segelintir penggerak lokal. Ketika individu-individu kunci ini berpindah atau kelelahan, keberlanjutan program ikut terancam.
Tantangan kedua berkaitan dengan logistik dan keterisolasian geografis. Akses terhadap peralatan, suku cadang, dan pasar daur ulang sering tidak stabil. Biaya transportasi tinggi membuat opsi pengelolaan sampah yang mengandalkan pengiriman keluar pulau menjadi tidak efisien. Kondisi ini menuntut solusi yang memaksimalkan pengolahan di sumber dan meminimalkan ketergantungan eksternal.
Selain itu, terdapat tantangan ketahanan program dalam jangka panjang. Program Kampung Iklim sering berjalan baik pada fase awal ketika dukungan, pendampingan, dan perhatian publik masih kuat. Namun seiring waktu, risiko kejenuhan meningkat jika aktivitas tidak berkembang atau manfaat tidak terasa merata. Tanpa mekanisme pembelajaran dan adaptasi, program mudah berhenti pada rutinitas administratif.
Tantangan lain yang sering muncul adalah koordinasi lintas sektor. Pengelolaan sampah, adaptasi iklim, dan pembangunan ekonomi lokal kerap berada di bawah unit atau kepentingan yang berbeda. Tanpa penyelarasan tujuan dan peran, integrasi yang diharapkan justru berubah menjadi tumpang tindih. Di sinilah kepemimpinan lokal dan dukungan kebijakan menjadi penentu arah.
Menghadapi berbagai tantangan tersebut, pendekatan yang terlalu ambisius justru berisiko gagal. Pulau kecil membutuhkan strategi bertahap, dengan fokus pada stabilitas sistem dan penguatan kapasitas sebelum ekspansi kegiatan.
6. Kesimpulan Analitis: Pengelolaan Sampah Pulau Kecil sebagai Strategi Adaptasi Iklim Berbasis Komunitas
Pembahasan ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah di pulau kecil tidak dapat dipisahkan dari agenda adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Keterbatasan ruang, kerentanan ekosistem, dan ketergantungan pada sumber daya alam menjadikan sampah sebagai isu strategis yang berdampak langsung pada keberlanjutan hidup masyarakat pulau.
Integrasi pengelolaan sampah dengan Program Kampung Iklim menawarkan pendekatan yang lebih holistik. Dengan menjadikan partisipasi masyarakat sebagai fondasi, program ini memungkinkan isu iklim yang abstrak diterjemahkan ke dalam praktik sehari-hari yang nyata dan relevan. Pengelolaan sampah menjadi pintu masuk untuk membangun kesadaran, kapasitas, dan ketahanan komunitas secara simultan.
Namun artikel ini juga menegaskan pentingnya sikap realistis. Keberhasilan tidak ditentukan oleh kelengkapan teknologi atau banyaknya program, melainkan oleh kesesuaian desain dengan konteks lokal. Pulau kecil membutuhkan sistem yang sederhana, adaptif, dan mampu bertahan dengan sumber daya terbatas.
Pada akhirnya, pengelolaan sampah berkelanjutan di pulau kecil dapat dibaca sebagai strategi pembangunan berbasis komunitas yang lebih luas. Ia menguji kemampuan kebijakan untuk bekerja dengan partisipasi, bukan menggantikannya; untuk menguatkan kapasitas lokal, bukan menciptakan ketergantungan. Dalam kerangka ini, Program Kampung Iklim berpotensi menjadi lebih dari sekadar program lingkungan—ia dapat menjadi kerangka ketahanan lokal menghadapi perubahan iklim.
Daftar Pustaka
Hidayat, R., Putra, A. D., Suryani, E., & Pratiwi, A. R. (2025). Sustainable waste management model based on the Climate Village Program (PROKLIM) in small islands. Jurnal Ilmu Lingkungan, 23(1), 45–57.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 17 Desember 2025
1. Pendahuluan: Ekonomi Sirkular Desa sebagai Agenda Kemandirian, Bukan Sekadar Pengelolaan Sampah
Dalam diskursus pembangunan desa, pengelolaan sampah sering ditempatkan sebagai isu lingkungan pinggiran—penting, tetapi jarang dianggap strategis. Padahal, di banyak desa, sampah mencerminkan persoalan yang jauh lebih mendasar: keterbatasan kapasitas ekonomi lokal, lemahnya kelembagaan usaha desa, dan ketergantungan pada sistem eksternal yang tidak selalu responsif terhadap kebutuhan setempat.
Ekonomi sirkular menawarkan cara pandang yang berbeda. Alih-alih memposisikan sampah sebagai beban, pendekatan ini melihatnya sebagai sumber daya ekonomi yang dapat dikelola, diputar ulang, dan dimonetisasi di tingkat lokal. Namun tantangan utama muncul ketika konsep ekonomi sirkular yang berkembang di perkotaan atau negara maju diterapkan begitu saja di desa, tanpa penyesuaian terhadap struktur sosial, skala ekonomi, dan relasi kelembagaan yang khas.
Desa memiliki karakter unik. Skala aktivitas relatif kecil, hubungan sosial lebih rapat, dan batas antara ekonomi formal dan informal sering kabur. Kondisi ini membuat pendekatan berbasis teknologi mahal atau model bisnis kompleks sulit berkelanjutan. Sebaliknya, desa justru memiliki aset yang sering diabaikan dalam perencanaan ekonomi sirkular: modal sosial, jejaring kepercayaan, dan kelembagaan lokal seperti BUMDes dan TPS 3R.
Artikel ini membahas temuan dari paper “Model Bisnis Ekonomi Sirkular Berbasis Desa melalui Pengelolaan Sampah TPS 3R”, yang menawarkan pendekatan ekonomi sirkular sebagai strategi kemandirian desa. Fokus utamanya bukan pada kecanggihan teknologi, melainkan pada bagaimana model bisnis, aktor lokal, dan modal sosial dirangkai menjadi sistem yang mampu bertahan secara ekonomi.
Dengan menempatkan TPS 3R sebagai simpul operasional dan BUMDes sebagai penggerak kelembagaan, pembahasan ini menggeser ekonomi sirkular dari sekadar agenda lingkungan menjadi instrumen pembangunan ekonomi desa. Pertanyaannya bukan lagi apakah desa mampu menerapkan ekonomi sirkular, melainkan bagaimana desain sistemnya agar sesuai dengan realitas lokal dan tujuan kemandirian jangka panjang.
2. TPS 3R sebagai Fondasi Operasional: Dari Layanan Lingkungan ke Unit Ekonomi Desa
Dalam banyak kebijakan, TPS 3R diposisikan sebagai infrastruktur layanan lingkungan: tempat pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan sampah skala komunitas. Peran ini penting, tetapi sering berhenti pada logika pelayanan. Akibatnya, keberlanjutan TPS 3R sangat bergantung pada subsidi atau dukungan eksternal, tanpa fondasi ekonomi yang kuat.
Pendekatan ekonomi sirkular berbasis desa menuntut reposisi TPS 3R sebagai unit ekonomi lokal, bukan sekadar fasilitas teknis. Sampah yang dikelola tidak hanya diukur dari volume yang berkurang, tetapi dari nilai ekonomi yang berhasil diciptakan dan dipertahankan di desa. Pemilahan menjadi langkah awal untuk membuka akses ke pasar material, sementara pengolahan sederhana—seperti kompos atau daur ulang bernilai tambah rendah—menjadi pintu masuk bagi aktivitas usaha.
Namun tantangan utama terletak pada skala dan konsistensi. Volume sampah desa sering tidak besar, fluktuatif, dan bergantung pada partisipasi warga. Tanpa dukungan kelembagaan, TPS 3R mudah terjebak pada aktivitas operasional yang padat kerja tetapi minim margin. Di sinilah ekonomi sirkular menuntut integrasi yang lebih luas, bukan hanya optimalisasi teknis.
TPS 3R yang berfungsi sebagai fondasi operasional perlu terhubung dengan aktor ekonomi desa lain. BUMDes, koperasi, atau kelompok usaha menjadi penghubung antara aktivitas pengelolaan sampah dan pasar. Tanpa hubungan ini, nilai ekonomi cenderung bocor ke luar desa melalui pedagang perantara, sementara TPS 3R tetap berada di posisi paling rentan dalam rantai nilai.
Pendekatan ini menegaskan bahwa keberhasilan TPS 3R tidak ditentukan oleh jumlah mesin atau luas lahan, melainkan oleh desain model bisnis dan relasi kelembagaan. Ketika TPS 3R ditempatkan dalam kerangka ekonomi sirkular desa, ia bertransformasi dari beban operasional menjadi aset pembangunan lokal.
3. BUMDes dan Desain Model Bisnis: Menjaga Nilai Tambah Tetap di Desa
Jika TPS 3R berperan sebagai fondasi operasional, maka BUMDes menjadi pengungkit kelembagaan dalam ekonomi sirkular desa. Tanpa entitas yang mampu mengelola usaha secara berkelanjutan, aktivitas pengelolaan sampah mudah berhenti pada tahap layanan sosial. BUMDes menawarkan kerangka formal untuk mengonsolidasikan aktivitas ekonomi, mengelola risiko, dan menahan nilai tambah agar tidak bocor keluar desa.
Peran BUMDes bukan sekadar sebagai pemilik aset, tetapi sebagai perancang model bisnis. Ini mencakup penentuan produk yang realistis, skema harga, kemitraan pasar, dan pembagian manfaat. Dalam konteks desa, model bisnis yang terlalu kompleks justru meningkatkan risiko kegagalan. Pendekatan bertahap—dimulai dari produk berisiko rendah dengan pasar lokal—lebih sesuai dibandingkan mengejar diversifikasi agresif sejak awal.
Integrasi TPS 3R ke dalam portofolio usaha BUMDes juga membantu menyelesaikan persoalan klasik keberlanjutan. Ketika pendapatan TPS 3R berfluktuasi, BUMDes dapat melakukan subsidi silang dari unit usaha lain. Sebaliknya, TPS 3R dapat menyediakan manfaat non-finansial bagi desa, seperti pengurangan biaya lingkungan dan peningkatan kualitas layanan publik, yang memperkuat legitimasi BUMDes di mata warga.
Namun keberhasilan desain ini sangat bergantung pada tata kelola internal BUMDes. Transparansi keuangan, pembagian peran yang jelas, dan akuntabilitas menjadi prasyarat. Tanpa itu, ekonomi sirkular berisiko dipersepsikan sebagai proyek elite desa, bukan usaha kolektif. Di titik ini, model bisnis bukan hanya soal perhitungan laba, tetapi juga kepercayaan sosial.
4. Modal Sosial sebagai Infrastruktur Tak Terlihat Ekonomi Sirkular Desa
Salah satu pembeda utama antara ekonomi sirkular desa dan pendekatan perkotaan adalah peran modal sosial. Di desa, relasi sosial yang rapat sering kali menjadi faktor penentu keberhasilan atau kegagalan sistem. Partisipasi warga dalam pemilahan sampah, kesediaan membayar iuran, dan dukungan terhadap BUMDes tidak bisa dipaksakan semata melalui aturan formal.
Modal sosial bekerja sebagai infrastruktur tak terlihat yang menurunkan biaya transaksi. Kepercayaan antarwarga memudahkan koordinasi, mengurangi kebutuhan pengawasan, dan mempercepat adopsi praktik baru. Dalam konteks ekonomi sirkular, modal sosial memungkinkan TPS 3R beroperasi dengan tingkat kepatuhan yang relatif tinggi meski sumber daya terbatas.
Namun modal sosial juga bersifat rapuh. Konflik internal, persepsi ketidakadilan, atau pengelolaan yang tidak transparan dapat merusaknya dengan cepat. Ketika kepercayaan menurun, sistem ekonomi sirkular ikut melemah, karena partisipasi warga merupakan input utama. Oleh karena itu, penguatan modal sosial harus dipandang sebagai bagian dari desain sistem, bukan efek samping yang diasumsikan hadir dengan sendirinya.
Pendekatan yang terlalu teknokratis—misalnya hanya berfokus pada target volume atau pendapatan—sering mengabaikan dimensi ini. Padahal, di desa, keberlanjutan justru ditentukan oleh keseimbangan antara logika ekonomi dan logika sosial. Ekonomi sirkular yang berhasil adalah yang mampu menyelaraskan insentif ekonomi dengan norma dan nilai lokal.
5. Tantangan Implementasi: Skala Usaha, Akses Pasar, dan Risiko Ketergantungan
Meskipun menawarkan potensi kemandirian, ekonomi sirkular berbasis desa menghadapi tantangan struktural yang tidak ringan. Tantangan pertama adalah skala usaha. Volume sampah desa relatif kecil dan tersebar, sehingga sulit mencapai efisiensi ekonomi jika berdiri sendiri. Tanpa strategi penggabungan skala—baik antar dusun maupun antar desa—TPS 3R berisiko terjebak pada biaya operasional yang tidak sebanding dengan pendapatan.
Tantangan kedua berkaitan dengan akses pasar. Produk hasil pengolahan sampah desa, seperti material daur ulang atau kompos, sangat bergantung pada pasar eksternal dengan harga yang fluktuatif. Ketika harga turun, margin usaha menipis dan motivasi pelaku melemah. Dalam kondisi ini, ekonomi sirkular desa membutuhkan diversifikasi pasar dan fleksibilitas model bisnis, bukan ketergantungan pada satu komoditas atau satu pembeli.
Risiko lain yang sering muncul adalah ketergantungan pada dukungan eksternal. Banyak TPS 3R dan BUMDes tumbuh melalui program bantuan, hibah, atau pendampingan proyek. Dukungan ini penting sebagai pemicu awal, tetapi dapat menjadi jebakan jika tidak diiringi strategi kemandirian. Ketika pendampingan berakhir, sistem yang belum matang sering kali kehilangan arah dan berhenti beroperasi.
Selain itu, terdapat tantangan kapasitas manajerial. Mengelola ekonomi sirkular menuntut kombinasi keterampilan teknis, bisnis, dan sosial yang tidak selalu tersedia di desa. Tanpa penguatan kapasitas yang berkelanjutan, beban sering bertumpu pada segelintir individu kunci. Ketergantungan pada figur ini meningkatkan risiko keberlanjutan jangka panjang.
Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, ekonomi sirkular desa tidak dapat diperlakukan sebagai proyek satu kali. Ia membutuhkan pendekatan bertahap, pembelajaran berkelanjutan, dan kebijakan pendukung yang memberi ruang adaptasi, bukan sekadar target output.
6. Kesimpulan Analitis: Ekonomi Sirkular Desa sebagai Strategi Kemandirian Lokal
Pembahasan ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular di tingkat desa bukan sekadar pendekatan pengelolaan sampah, melainkan strategi pembangunan ekonomi lokal. Dengan desain yang tepat, TPS 3R dapat bertransformasi dari fasilitas layanan menjadi simpul produksi, BUMDes berperan sebagai penggerak nilai tambah, dan modal sosial menjadi fondasi keberlanjutan sistem.
Namun keberhasilan ekonomi sirkular desa tidak bersifat otomatis. Ia sangat bergantung pada kesesuaian desain dengan realitas lokal: skala usaha yang terbatas, relasi sosial yang rapat, serta kapasitas kelembagaan yang berkembang bertahap. Pendekatan yang terlalu meniru model perkotaan atau industri besar berisiko gagal karena mengabaikan konteks ini.
Artikel ini juga menunjukkan bahwa kemandirian desa tidak berarti isolasi. Justru sebaliknya, ekonomi sirkular desa membutuhkan keterhubungan yang cerdas dengan pasar, jejaring antar desa, dan kebijakan supradesa. Kemandirian di sini dimaknai sebagai kemampuan mengelola sumber daya lokal secara strategis, bukan menutup diri dari sistem yang lebih luas.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular berbasis desa dapat menjadi laboratorium penting bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Ia menguji kemampuan kebijakan untuk bekerja dengan modal sosial, bukan melawannya; memanfaatkan skala kecil sebagai kekuatan, bukan keterbatasan; serta menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, bukan objek pembangunan. Dalam kerangka inilah ekonomi sirkular desa layak dipandang sebagai jalan realistis menuju kemandirian lokal.
Daftar Pustaka
Mukhlis, I., Adistya, P. A., Putri, K. K. N. S., Kaningga, P., Saputra, M. D. H., Valentin, A., & Hidayah, I. (2024). Circular economy business model in integrated waste management to encourage self-reliance in Jongbiru Village. The 6th International Research Conference on Economics and Business, KnE Social Sciences, 46–56.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 17 Desember 2025
1. Pendahuluan: Tata Kelola Sampah sebagai Persoalan Kelembagaan, Bukan Sekadar Teknis
Permasalahan sampah perkotaan sering kali direduksi menjadi persoalan teknis: kurang armada, fasilitas tidak memadai, atau perilaku masyarakat yang belum tertib. Pendekatan ini memang menangkap sebagian gejala, tetapi gagal menyentuh akar persoalan. Di banyak kota, persoalan utama bukan terletak pada absennya solusi, melainkan pada cara kewenangan, peran, dan tanggung jawab diorganisasikan dalam sistem pengelolaan sampah.
Model tata kelola yang terlampau terpusat cenderung menghasilkan kebijakan seragam yang tidak selalu sesuai dengan dinamika lokal. Pemerintah menjadi aktor dominan, sementara masyarakat dan organisasi non-negara diposisikan sebagai pelaksana pasif atau sekadar objek kebijakan. Akibatnya, partisipasi sering bersifat formalistik, dan inisiatif lokal sulit berkembang secara berkelanjutan.
Dalam konteks inilah ekonomi sirkular mulai dipandang sebagai alternatif pendekatan. Namun ekonomi sirkular tidak akan efektif jika hanya dipahami sebagai perubahan alur material. Ia menuntut perubahan cara mengelola kekuasaan, koordinasi, dan kolaborasi antar-aktor. Tanpa transformasi tata kelola, ekonomi sirkular berisiko menjadi slogan normatif yang tidak mengubah praktik di lapangan.
Artikel ini membahas temuan dari paper “Embedding Community-Based Circular Economy Initiatives in a Polycentric Waste Governance System: A Case Study”, yang menawarkan perspektif berbeda dengan menempatkan inisiatif berbasis komunitas—khususnya bank sampah—dalam kerangka tata kelola polisentris. Pendekatan ini tidak berangkat dari asumsi bahwa satu aktor mampu mengendalikan sistem secara penuh, melainkan bahwa keberhasilan pengelolaan sampah justru bergantung pada interaksi banyak pusat keputusan yang saling beririsan.
Dengan mengambil konteks perkotaan di Indonesia, pembahasan ini menggeser fokus dari pertanyaan “siapa yang paling berwenang” menjadi “bagaimana kewenangan dibagi dan diseimbangkan”. Di titik ini, ekonomi sirkular tampil bukan hanya sebagai strategi lingkungan, tetapi sebagai alat restrukturisasi tata kelola perkotaan.
2. Dari Tata Kelola Monosentris ke Polisentris: Ruang bagi Inisiatif Komunitas
Salah satu kritik paling tajam terhadap pengelolaan sampah perkotaan adalah kecenderungannya bersifat monosentris. Dalam model ini, pemerintah memegang hampir seluruh kendali perencanaan dan implementasi, sementara aktor lain bergerak dalam batas yang ditentukan dari atas. Model semacam ini relatif stabil secara administratif, tetapi sering tidak adaptif terhadap keragaman kondisi sosial di tingkat lokal.
Pendekatan polisentris menawarkan logika yang berbeda. Alih-alih satu pusat keputusan, terdapat banyak pusat kewenangan yang relatif otonom namun saling terhubung. Pemerintah tetap berperan penting, tetapi bukan sebagai pengendali tunggal. Komunitas, organisasi masyarakat sipil, dan pelaku ekonomi lokal memiliki ruang untuk mengambil keputusan dan berinovasi sesuai konteksnya masing-masing.
Dalam kerangka ini, inisiatif berbasis komunitas—seperti bank sampah—tidak dipandang sebagai pelengkap sistem formal, melainkan sebagai node penting dalam jaringan tata kelola. Mereka berfungsi menjembatani rumah tangga sebagai penghasil sampah dengan pasar daur ulang, sekaligus menjadi ruang pembelajaran sosial mengenai nilai ekonomi dan lingkungan dari sampah.
Yang menarik, pendekatan ini juga mengungkap bahwa inisiatif komunitas tidak selalu lahir secara organik dari bawah. Sebagian muncul dari dorongan kebijakan pemerintah, sebagian lain tumbuh dari inisiatif masyarakat sipil. Kedua jalur ini sering kali berinteraksi dan saling memengaruhi. Dalam sistem polisentris, dinamika top-down dan bottom-up tidak diposisikan sebagai dikotomi, melainkan sebagai mekanisme yang dapat saling melengkapi.
Namun polisentrisme juga membawa tantangan. Banyak pusat keputusan berarti potensi konflik kepentingan, tumpang tindih peran, dan ketimpangan kapasitas antar-aktor. Tanpa mekanisme koordinasi dan pengakuan yang jelas, inisiatif komunitas dapat terjebak antara ekspektasi tinggi dan dukungan yang terbatas. Di sinilah tata kelola polisentris diuji: apakah ia mampu menciptakan keseimbangan kewenangan, atau justru memperluas fragmentasi.
3. Bank Sampah sebagai Penghubung Antarlevel: Dari Rumah Tangga ke Sistem Perkotaan
Dalam praktik pengelolaan sampah, salah satu titik lemah paling persisten adalah jurang antara skala rumah tangga dan sistem perkotaan. Kebijakan dirancang di level kota, tetapi implementasinya sangat bergantung pada perilaku individu dan komunitas. Bank sampah muncul di ruang antara dua level ini dan berfungsi sebagai mekanisme penghubung yang sering kali tidak dimiliki oleh sistem formal.
Peran utama bank sampah bukan semata mengumpulkan dan memilah sampah, melainkan mengorganisasikan partisipasi. Melalui insentif ekonomi sederhana dan struktur kelembagaan berbasis komunitas, bank sampah menerjemahkan tujuan kebijakan yang abstrak menjadi praktik sehari-hari yang dapat dipahami warga. Dalam konteks ini, bank sampah berperan sebagai “penerjemah kebijakan” di tingkat lokal.
Lebih jauh, bank sampah juga menghubungkan aktor yang sebelumnya terpisah. Rumah tangga, pelaku daur ulang, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah berinteraksi melalui satu simpul kelembagaan. Interaksi ini menciptakan aliran informasi dua arah: kebutuhan dan kendala warga dapat naik ke level kebijakan, sementara arah kebijakan dapat disesuaikan dengan realitas lapangan.
Namun fungsi penghubung ini tidak otomatis berjalan. Banyak bank sampah beroperasi dengan kapasitas terbatas, bergantung pada relawan, dan rentan terhadap fluktuasi harga material daur ulang. Ketika dukungan kelembagaan lemah, bank sampah mudah terjebak pada aktivitas rutin tanpa kemampuan berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan bank sampah sangat dipengaruhi oleh lingkungan tata kelola tempat mereka beroperasi.
Dalam kerangka polisentris, bank sampah yang kuat tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari jaringan aktor yang saling menguatkan. Ketika jaringan ini berfungsi, pengelolaan sampah tidak lagi bergantung pada satu institusi, melainkan pada koordinasi lintas level yang lebih adaptif terhadap perubahan sosial dan ekonomi.
4. Relasi Pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil, dan Pasar: Dinamika yang Menentukan Keberlanjutan
Ekonomi sirkular berbasis komunitas tidak hanya ditentukan oleh semangat partisipasi warga, tetapi oleh kualitas relasi antar-aktor kunci. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pasar memainkan peran berbeda yang saling melengkapi sekaligus berpotensi saling menegasikan. Keseimbangan relasi inilah yang menentukan apakah inisiatif komunitas dapat bertahan dalam jangka panjang.
Pemerintah memiliki peran strategis sebagai pemberi legitimasi dan kerangka aturan. Tanpa pengakuan formal, inisiatif komunitas sering berada di wilayah abu-abu, sulit mengakses dukungan anggaran maupun fasilitas. Namun ketika pemerintah terlalu dominan, inisiatif lokal berisiko kehilangan otonomi dan kreativitas. Dalam sistem polisentris yang sehat, pemerintah berperan sebagai enabler, bukan pengendali tunggal.
Organisasi masyarakat sipil sering menjadi aktor penghubung yang krusial. Mereka menyediakan pendampingan, membangun kapasitas komunitas, dan menjembatani komunikasi dengan pemerintah. Dalam banyak kasus, keberlanjutan bank sampah justru bergantung pada keberadaan organisasi ini. Namun ketergantungan berlebihan juga membawa risiko, terutama ketika pendanaan eksternal berakhir.
Pasar, khususnya pasar material daur ulang, menentukan dimensi ekonomi dari inisiatif komunitas. Tanpa akses pasar yang stabil, aktivitas pemilahan dan pengumpulan sulit dipertahankan. Fluktuasi harga material dapat melemahkan motivasi partisipasi warga dan menggerus kepercayaan terhadap sistem. Oleh karena itu, integrasi inisiatif komunitas ke dalam rantai nilai yang lebih luas menjadi faktor kunci keberlanjutan.
Interaksi ketiga aktor ini jarang berlangsung mulus. Konflik kepentingan, ketimpangan kapasitas, dan perbedaan logika kerja sering muncul. Namun justru dalam ketegangan inilah tata kelola polisentris diuji. Keberhasilan tidak diukur dari ketiadaan konflik, melainkan dari kemampuan sistem mengelola konflik secara produktif.
4. Relasi Pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil, dan Pasar: Dinamika yang Menentukan Keberlanjutan
Ekonomi sirkular berbasis komunitas tidak hanya ditentukan oleh semangat partisipasi warga, tetapi oleh kualitas relasi antar-aktor kunci. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pasar memainkan peran berbeda yang saling melengkapi sekaligus berpotensi saling menegasikan. Keseimbangan relasi inilah yang menentukan apakah inisiatif komunitas dapat bertahan dalam jangka panjang.
Pemerintah memiliki peran strategis sebagai pemberi legitimasi dan kerangka aturan. Tanpa pengakuan formal, inisiatif komunitas sering berada di wilayah abu-abu, sulit mengakses dukungan anggaran maupun fasilitas. Namun ketika pemerintah terlalu dominan, inisiatif lokal berisiko kehilangan otonomi dan kreativitas. Dalam sistem polisentris yang sehat, pemerintah berperan sebagai enabler, bukan pengendali tunggal.
Organisasi masyarakat sipil sering menjadi aktor penghubung yang krusial. Mereka menyediakan pendampingan, membangun kapasitas komunitas, dan menjembatani komunikasi dengan pemerintah. Dalam banyak kasus, keberlanjutan bank sampah justru bergantung pada keberadaan organisasi ini. Namun ketergantungan berlebihan juga membawa risiko, terutama ketika pendanaan eksternal berakhir.
Pasar, khususnya pasar material daur ulang, menentukan dimensi ekonomi dari inisiatif komunitas. Tanpa akses pasar yang stabil, aktivitas pemilahan dan pengumpulan sulit dipertahankan. Fluktuasi harga material dapat melemahkan motivasi partisipasi warga dan menggerus kepercayaan terhadap sistem. Oleh karena itu, integrasi inisiatif komunitas ke dalam rantai nilai yang lebih luas menjadi faktor kunci keberlanjutan.
Interaksi ketiga aktor ini jarang berlangsung mulus. Konflik kepentingan, ketimpangan kapasitas, dan perbedaan logika kerja sering muncul. Namun justru dalam ketegangan inilah tata kelola polisentris diuji. Keberhasilan tidak diukur dari ketiadaan konflik, melainkan dari kemampuan sistem mengelola konflik secara produktif.
5. Tantangan Tata Kelola Polisentris: Fragmentasi, Ketimpangan Kapasitas, dan Risiko Keberlanjutan
Meski menawarkan fleksibilitas dan adaptivitas, tata kelola polisentris bukan tanpa risiko. Tantangan paling nyata adalah fragmentasi peran. Banyaknya pusat keputusan dapat memicu tumpang tindih program, kebingungan kewenangan, dan inefisiensi koordinasi. Tanpa mekanisme penyelarasan yang jelas, inisiatif komunitas berpotensi bergerak sendiri-sendiri, kehilangan skala dampak, atau bahkan saling berkompetisi.
Ketimpangan kapasitas antar-aktor juga menjadi isu krusial. Tidak semua komunitas memiliki sumber daya, kepemimpinan, atau jejaring yang sama. Dalam kondisi ini, polisentrisme dapat memperlebar kesenjangan: inisiatif yang kuat semakin maju, sementara yang lemah tertinggal. Jika tidak diantisipasi, kebijakan berbasis komunitas justru berisiko menghasilkan peta layanan yang tidak merata di dalam kota yang sama.
Risiko lain adalah keberlanjutan kelembagaan. Banyak inisiatif komunitas bergantung pada figur kunci atau dukungan jangka pendek. Ketika relawan inti berpindah atau pendanaan berhenti, aktivitas melemah. Polisentrisme yang sehat memerlukan institusionalisasi ringan—cukup kuat untuk bertahan, namun tidak terlalu kaku hingga mematikan inisiatif lokal.
Di sinilah peran desain kebijakan menjadi penentu. Alih-alih menyeragamkan, kebijakan perlu menyediakan kerangka minimum bersama: standar dasar, mekanisme koordinasi, dan insentif yang adil. Kerangka ini berfungsi sebagai “rel” agar beragam aktor dapat bergerak searah tanpa kehilangan otonomi. Tanpa itu, polisentrisme mudah berubah menjadi fragmentasi.
6. Kesimpulan Analitis: Ekonomi Sirkular Komunitas sebagai Strategi Tata Kelola Perkotaan
Pembahasan ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular berbasis komunitas tidak dapat dipisahkan dari persoalan tata kelola. Keberhasilannya tidak hanya ditentukan oleh teknologi atau insentif ekonomi, tetapi oleh cara kewenangan dibagi, diakui, dan dikoordinasikan di antara banyak aktor. Dalam kerangka polisentris, kekuatan sistem justru terletak pada keberagaman pusat keputusan yang saling terhubung.
Bank sampah dan inisiatif komunitas lainnya menunjukkan bahwa transformasi pengelolaan sampah dapat dimulai dari skala lokal, selama terhubung dengan sistem yang lebih luas. Mereka berfungsi sebagai simpul yang mengaitkan perilaku rumah tangga, kebijakan pemerintah, dan dinamika pasar. Ketika relasi ini dikelola dengan baik, ekonomi sirkular tidak lagi menjadi konsep abstrak, melainkan praktik sehari-hari yang berdampak.
Namun artikel ini juga menekankan sikap realistis. Tata kelola polisentris bukan solusi instan. Ia menuntut kapasitas koordinasi, kesabaran kebijakan, dan kesediaan untuk mengelola konflik. Keberhasilan diukur bukan dari ketiadaan masalah, tetapi dari kemampuan sistem beradaptasi dan belajar.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular komunitas dapat dibaca sebagai strategi restrukturisasi tata kelola perkotaan. Ia menggeser fokus dari kontrol terpusat menuju kolaborasi berlapis, dari kepatuhan formal menuju partisipasi bermakna. Dalam konteks kota-kota di Indonesia, pendekatan ini menawarkan jalan tengah yang pragmatis antara keterbatasan kapasitas pemerintah dan kebutuhan akan solusi berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Sembiring, E., & Nitivattananon, V. (2010). Embedding community-based waste management in a polycentric governance system: A case study of waste bank development in Indonesia. Habitat International, 34(4), 493–500.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 17 Desember 2025
1. Pendahuluan: Mengapa Ekonomi Sirkular di Daerah Berpendapatan Rendah Membutuhkan Pendekatan Berbeda
Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi sirkular semakin sering dipromosikan sebagai solusi atas krisis lingkungan dan keterbatasan sumber daya. Konsep ini menjanjikan efisiensi material, pengurangan limbah, dan pemanfaatan kembali nilai ekonomi yang selama ini terbuang. Namun di balik narasi optimistis tersebut, terdapat pertanyaan mendasar yang sering terlewat: apakah ekonomi sirkular dapat bekerja secara realistis di wilayah dengan kapasitas fiskal dan institusional yang terbatas?
Bagi banyak pemerintah daerah berpendapatan rendah, persoalan pengelolaan sampah bukan hanya soal teknologi atau target lingkungan. Ia berkelindan dengan keterbatasan anggaran, lemahnya layanan publik, dan ketergantungan pada praktik informal yang tumbuh secara organik. Dalam konteks seperti ini, pendekatan ekonomi sirkular yang diasumsikan netral dan universal justru berisiko tidak relevan, bahkan kontraproduktif.
Masalah utamanya terletak pada cara ekonomi sirkular sering dipahami: sebagai tujuan normatif yang harus dicapai, bukan sebagai alat bantu pengambilan keputusan kebijakan. Akibatnya, banyak inisiatif terjebak pada peniruan model negara maju—berbasis teknologi mahal dan struktur formal—tanpa mempertimbangkan realitas sosial dan ekonomi lokal. Ketika model tersebut gagal diterapkan, ekonomi sirkular kemudian dianggap tidak layak, padahal yang bermasalah adalah desain kebijakannya.
Artikel ini membahas pendekatan alternatif melalui analisis terhadap paper “A Dynamic Circular Economy Model for Waste Management Systems in Low-Income Municipalities (M-GRCT)”, yang mencoba menerjemahkan ekonomi sirkular ke dalam kerangka sistem dinamis yang lebih adaptif terhadap keterbatasan daerah berpendapatan rendah. Alih-alih menawarkan solusi instan, pendekatan ini menekankan pentingnya memahami interaksi jangka panjang antara aliran material, biaya publik, dan aktor lokal.
Dengan menempatkan pengelolaan sampah sebagai titik masuk strategis, pembahasan ini berupaya menunjukkan bahwa ekonomi sirkular dapat berfungsi bukan sebagai beban tambahan, melainkan sebagai strategi rasionalisasi kebijakan. Fokus utamanya bukan pada seberapa “hijau” sebuah sistem terlihat, tetapi pada sejauh mana sistem tersebut mampu bertahan, beradaptasi, dan memberikan manfaat nyata dalam kondisi keterbatasan.
2. M-GRCT sebagai Alat Bantu Keputusan: Melampaui Pendekatan Linear dan Statik
Kontribusi utama paper ini terletak pada pengembangan model M-GRCT sebagai alat bantu keputusan berbasis sistem dinamis. Berbeda dengan pendekatan konvensional yang cenderung statik dan sektoral, model ini memandang pengelolaan sampah sebagai sistem sirkular yang terdiri dari beberapa komponen saling terkait: pembangkitan dan pemilahan, pengumpulan, pengolahan sementara, serta reintegrasi material ke rantai produksi.
Yang penting, model ini tidak hanya menghitung aliran material, tetapi juga mengaitkannya dengan biaya ekonomi, dampak lingkungan, dan dinamika sosial. Pendekatan ini relevan bagi pemerintah daerah berpendapatan rendah yang harus membuat keputusan di bawah keterbatasan anggaran dan kapasitas. Alih-alih bertanya “teknologi apa yang paling canggih”, model ini membantu menjawab pertanyaan yang lebih praktis: intervensi mana yang paling masuk akal secara ekonomi dan sosial dalam jangka menengah.
Model M-GRCT juga secara eksplisit membandingkan pendekatan ekonomi sirkular dengan pendekatan linear. Perbandingan ini penting karena banyak pemerintah daerah masih terjebak dalam logika bahwa pembuangan akhir adalah satu-satunya pilihan realistis. Dengan mensimulasikan berbagai skenario, model ini menunjukkan bahwa sistem sirkular dapat menghasilkan hasil yang lebih baik bahkan ketika kapasitas fiskal terbatas.
Dimensi lain yang menonjol adalah pengakuan terhadap peran pelaku lokal, khususnya pemulung dan pengelola daur ulang skala kecil. Alih-alih diposisikan sebagai anomali, mereka dimasukkan sebagai bagian integral dari sistem. Pendekatan ini memperkuat argumen bahwa ekonomi sirkular di wilayah berpendapatan rendah harus dibangun berbasis realitas sosial, bukan dipaksakan dari atas.
3. Struktur Model M-GRCT: Membaca Pengelolaan Sampah sebagai Sistem yang Hidup
Model M-GRCT dibangun di atas asumsi bahwa pengelolaan sampah bukanlah sistem mekanis yang bergerak linier dari sumber ke tempat pembuangan akhir, melainkan sistem dinamis yang dipengaruhi oleh umpan balik sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pendekatan ini penting, terutama di wilayah berpendapatan rendah, di mana perubahan kecil pada satu komponen dapat menghasilkan dampak besar pada keseluruhan sistem.
Struktur model memetakan aliran material sejak tahap pembangkitan sampah, pemilahan, pengumpulan, hingga pengolahan dan pemanfaatan kembali. Namun yang membedakan adalah bagaimana setiap tahapan tersebut dihubungkan dengan variabel biaya, kapasitas institusi, dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, keputusan teknis—seperti peningkatan tingkat pemilahan atau investasi fasilitas—tidak berdiri sendiri, melainkan selalu memiliki konsekuensi ekonomi dan sosial.
Model ini juga menempatkan waktu sebagai faktor kunci. Banyak kebijakan terlihat efektif dalam jangka pendek, tetapi kehilangan dampaknya seiring waktu karena keterbatasan anggaran atau kejenuhan partisipasi masyarakat. Dengan pendekatan sistem dinamis, M-GRCT mampu menangkap fenomena tersebut melalui mekanisme feedback loop. Misalnya, peningkatan pemilahan di sumber dapat menurunkan biaya pengangkutan, yang kemudian membuka ruang fiskal untuk program edukasi lanjutan, menciptakan siklus perbaikan berkelanjutan.
Selain itu, model ini dirancang cukup fleksibel untuk menyesuaikan konteks lokal. Variabel seperti tingkat pendapatan, biaya operasional, dan komposisi sampah dapat diubah sesuai kondisi daerah. Fleksibilitas ini membuat M-GRCT lebih relevan sebagai alat bantu kebijakan dibandingkan model normatif yang mengasumsikan kondisi ideal.
4. Hasil Simulasi: Mengapa Pendekatan Sirkular Lebih Rasional daripada Sistem Linear
Hasil simulasi yang dihasilkan model M-GRCT memperlihatkan perbedaan yang tajam antara pendekatan linear dan sirkular. Dalam skenario linear, sistem pengelolaan sampah cenderung menunjukkan pola yang familiar: volume sampah meningkat, biaya operasional naik secara kumulatif, dan tekanan lingkungan terus membesar. Perbaikan yang dilakukan bersifat reaktif dan berbiaya tinggi.
Sebaliknya, skenario ekonomi sirkular menunjukkan dinamika yang lebih stabil. Ketika pemilahan dan pemanfaatan kembali meningkat, volume sampah yang harus ditangani di tahap akhir menurun. Dampaknya tidak hanya terlihat pada indikator lingkungan, tetapi juga pada struktur biaya. Dalam jangka menengah, sistem sirkular mulai menghasilkan penghematan relatif, meskipun memerlukan investasi awal yang terarah.
Temuan penting lainnya adalah dampak sosial dari pendekatan sirkular. Dengan memasukkan pelaku lokal—termasuk sektor informal—ke dalam sistem, model menunjukkan potensi peningkatan pendapatan dan stabilitas ekonomi kelompok rentan. Hal ini memperkuat argumen bahwa ekonomi sirkular bukan hanya strategi lingkungan, tetapi juga instrumen kebijakan sosial.
Namun paper ini juga tidak menutup mata terhadap keterbatasan. Transisi menuju sistem sirkular tidak bersifat instan. Pada fase awal, kebutuhan koordinasi meningkat dan risiko kegagalan kebijakan tetap ada. Yang membedakan adalah bahwa dalam sistem sirkular, kegagalan tidak selalu bersifat kumulatif. Dengan desain umpan balik yang tepat, sistem memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri dan pulih.
Secara keseluruhan, hasil simulasi memperlihatkan bahwa bagi wilayah berpendapatan rendah, ekonomi sirkular bukan opsi idealistis, melainkan pilihan rasional ketika sumber daya fiskal dan lingkungan semakin terbatas.
5. Implikasi Kebijakan bagi Pemerintah Daerah Berpendapatan Rendah
Salah satu kekuatan utama model M-GRCT adalah relevansinya terhadap realitas pengambilan keputusan di pemerintah daerah berpendapatan rendah. Dalam konteks ini, kebijakan jarang dibuat dalam kondisi ideal. Keterbatasan anggaran, tekanan politik jangka pendek, dan kapasitas institusional yang terbatas sering memaksa pemerintah memilih solusi yang paling cepat terlihat, bukan yang paling berkelanjutan.
Temuan model ini menantang logika tersebut. Ekonomi sirkular, ketika dirancang secara bertahap dan kontekstual, justru menawarkan jalan keluar dari jebakan biaya jangka panjang. Dengan memprioritaskan intervensi di hulu—pemilahan di sumber, penguatan aktor lokal, dan pemanfaatan kembali material—pemerintah daerah dapat menurunkan beban sistem hilir yang selama ini menyedot anggaran terbesar.
Implikasi penting lainnya adalah perubahan peran pemerintah. Dalam model sirkular, pemerintah tidak lagi bertindak sebagai operator tunggal pengelolaan sampah, melainkan sebagai pengatur ekosistem. Peran ini mencakup penetapan aturan main, penyediaan insentif, serta fasilitasi kolaborasi antara masyarakat, sektor informal, dan pelaku usaha lokal. Pendekatan ini lebih realistis dibandingkan upaya sentralisasi penuh yang sering gagal karena keterbatasan kapasitas.
Model ini juga memberikan peringatan implisit terkait kebijakan “copy-paste”. Mengadopsi teknologi mahal atau standar tinggi tanpa mempertimbangkan dinamika sosial lokal berisiko menghasilkan sistem yang tidak berfungsi. Sebaliknya, kebijakan yang memanfaatkan praktik eksisting—seperti jaringan pengumpulan informal—dapat menghasilkan dampak yang lebih cepat dan berkelanjutan dengan biaya yang lebih rendah.
Dengan demikian, ekonomi sirkular dalam kerangka M-GRCT bukan agenda tambahan, melainkan strategi rasionalisasi kebijakan publik. Ia membantu pemerintah daerah memprioritaskan intervensi yang memberikan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi secara simultan, tanpa melampaui kapasitas fiskal yang ada.
6. Kesimpulan Kritis: Relevansi dan Batasan Model M-GRCT
Paper ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular di wilayah berpendapatan rendah membutuhkan pendekatan yang berbeda dari narasi global yang dominan. Model M-GRCT menunjukkan bahwa dengan desain sistem dinamis, ekonomi sirkular dapat diterjemahkan menjadi alat bantu kebijakan yang realistis, adaptif, dan sensitif terhadap konteks lokal.
Keunggulan utama model ini terletak pada kemampuannya mengintegrasikan berbagai dimensi—material, biaya, dan sosial—dalam satu kerangka analitis. Hal ini memungkinkan pembuat kebijakan melihat konsekuensi jangka menengah dan panjang dari setiap intervensi, bukan sekadar dampak langsung yang sering menyesatkan. Dalam konteks pengelolaan sampah, kemampuan ini sangat krusial.
Namun demikian, model ini juga memiliki batasan. Seperti semua model sistem, M-GRCT bergantung pada asumsi dan kualitas data awal. Dalam wilayah dengan data terbatas atau tidak konsisten, hasil simulasi perlu dibaca sebagai indikasi arah, bukan prediksi presisi. Selain itu, model tidak sepenuhnya menangkap faktor politik dan konflik kepentingan yang sering memengaruhi implementasi kebijakan di lapangan.
Meski demikian, nilai utama paper ini bukan pada ketepatan angka semata, melainkan pada pergeseran cara berpikir. Ekonomi sirkular tidak lagi diposisikan sebagai tujuan normatif yang jauh dari realitas, tetapi sebagai proses transisi yang dapat dikelola secara bertahap. Bagi pemerintah daerah berpendapatan rendah, pendekatan ini menawarkan harapan yang lebih realistis dibandingkan janji solusi instan.
Pada akhirnya, paper ini menggarisbawahi bahwa keberhasilan ekonomi sirkular tidak ditentukan oleh kecanggihan teknologi, melainkan oleh kecermatan desain sistem dan keberanian kebijakan untuk bekerja dengan realitas sosial yang ada. Dalam kerangka ini, M-GRCT berfungsi bukan hanya sebagai model teknis, tetapi sebagai alat refleksi kebijakan.
Daftar Pustaka
Kwak, M., Lee, J., & Kim, S. (2022). A dynamic circular economy model for waste management systems in low-income municipalities (M-GRCT). International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(5), 1–21.