Analisis Kebijakan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025
Pendahuluan: Saat Gelombang Resesi Menghantam Ketenagakerjaan Global
Dunia baru saja menghadapi pukulan telak yang bukan hanya berupa krisis kesehatan, tetapi juga krisis ketenagakerjaan yang mendalam. Laporan awal dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang disusun untuk Kelompok Kerja Ketenagakerjaan G20, mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 secara signifikan memperlambat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja global.1 Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, pertumbuhan produktivitas bahkan menunjukkan angka negatif. Akibatnya, "kesenjangan produktivitas" antara negara berkembang dan negara maju semakin melebar, menciptakan tantangan ekonomi yang luar biasa.1
Yang paling terdampak dari badai ekonomi ini adalah mereka yang paling rentan. Laporan tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa orang yang tinggal di pedesaan memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar untuk bekerja di sektor informal, dengan angka mencapai 80% dibandingkan dengan 44% di area perkotaan.1 Kelompok ini, yang mayoritas diisi oleh perempuan dan pemuda, adalah pihak yang paling menderita akibat kehilangan pekerjaan, paparan bahaya kerja, dan peningkatan beban pekerjaan rumah tangga tanpa upah.1 Dalam menghadapi kenyataan pahit ini, para pembuat kebijakan di seluruh dunia dihadapkan pada satu pertanyaan krusial: bagaimana cara paling efektif untuk memulihkan ekonomi, memberdayakan mereka yang terpinggirkan, dan membangun kembali sistem yang lebih tangguh?
Jawabannya, menurut laporan tersebut, mungkin terletak pada pendekatan yang sering luput dari sorotan media massa: Pelatihan Vokasi Berbasis Komunitas (CBVT). Sebagai bagian integral dari sistem pengembangan keterampilan dan pembelajaran seumur hidup, CBVT muncul sebagai "senjata rahasia" yang tidak hanya dapat menjembatani kesenjangan keterampilan, tetapi juga meningkatkan produktivitas tenaga kerja, memberdayakan masyarakat, dan pada akhirnya, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dari bawah ke atas.1
Mengungkap Jantung Revolusi Keterampilan Berbasis Komunitas
Definisi yang Mengubah Paradigma
Pelatihan Vokasi Berbasis Komunitas (CBVT) bukanlah sekadar kursus keterampilan biasa. Laporan ini mendefinisikannya sebagai pelatihan terdesentralisasi untuk pekerjaan yang berfokus pada partisipasi komunitas, pemberdayaan diri, dan inklusi kelompok rentan.1 Pendekatan ini sangat relevan di wilayah pedesaan yang minim akses ke lembaga pendidikan formal.1 Lebih dari sekadar ruang kelas, CBVT adalah sebuah pendekatan holistik yang mencakup seluruh siklus pemberdayaan ekonomi, mulai dari identifikasi peluang ekonomi lokal, penyediaan pelatihan, hingga dukungan pasca-pelatihan.1
Sebagai perbandingan, TVET (Pendidikan dan Pelatihan Teknik dan Vokasi) yang lebih umum dikenal sering kali diatur secara sentral dan berorientasi pada pasar kerja formal. Sebaliknya, CBVT beroperasi pada tingkat mikro, memanfaatkan struktur komunitas yang sudah ada dan bentuk manajemen yang terdesentralisasi.1 Ini memungkinkan program untuk lebih responsif terhadap kebutuhan yang spesifik di setiap komunitas.
Kilasan Sejarah yang Kurang Dikenal
CBVT bukanlah konsep yang baru muncul. Laporan ini memberikan konteks historis yang kaya, menunjukkan bahwa pendekatan pengembangan keterampilan di pedesaan sering kali didorong oleh tekanan eksternal, seperti kekhawatiran tentang migrasi pedesaan-ke-kota atau tantangan lingkungan.1 Contohnya, land grant colleges di Amerika Serikat pada tahun 1860-an yang didirikan untuk mengajarkan pertanian dan seni mekanik.1 Di negara-negara di belahan Bumi bagian selatan, perhatian terhadap pengembangan keterampilan pedesaan sempat terabaikan pasca-Perang Dunia Kedua, karena agenda industrialisasi lebih mendominasi.1 Namun, pada akhir 1960-an, kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi informal memunculkan inisiatif nasional, sepertivillage polytechnics di Kenya.1 Laporan ini juga menyoroti evolusi metodologi ILO sendiri, yang dimulai dengan Training for Rural Gainful Activities (TRUGA) di tahun 90-an dan berkembang menjadi metodologi Training for Rural Economic Empowerment (TREE) yang masih digunakan hingga kini.1 Sejarah ini menunjukkan bahwa CBVT adalah sebuah konsep yang matang, bukan sekadar respons sesaat, dan terus beradaptasi dengan perubahan zaman.
Kekuatan Pendekatan 'Bottom-Up'
Salah satu poin paling kuat yang diangkat dalam laporan ini adalah pentingnya pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up).1 Pendekatan ini bukan sekadar jargon, melainkan inti dari keberhasilan CBVT. Sebuah program pelatihan yang dirancang dari pusat, misalnya dari Jakarta, mungkin menawarkan kursus teknologi informasi dan komunikasi (TIK).2 Namun, di sebuah desa terpencil seperti Desa Mulawarman, kebutuhan yang mendesak mungkin adalah keterampilan pertanian organik, budidaya ikan, atau kerajinan tangan lokal.4 Pendekatan bottom-up memungkinkan komunitas itu sendiri yang mengidentifikasi peluang ekonomi lokal dan merancang program pelatihan yang relevan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Mulawarman.4
Kausalitasnya jelas: identifikasi kebutuhan yang akurat pada tingkat komunitas menghasilkan pelatihan yang relevan, yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan keberhasilan peserta dalam mendapatkan pekerjaan atau memulai usaha mikro. Ini adalah kunci mengapa CBVT tidak hanya berhasil dalam teori tetapi juga dalam praktik.1 Ketika program sepenuhnya mencerminkan aspirasi dan realitas lokal, tingkat partisipasi dan dampaknya secara otomatis meningkat.
Potret Beragam Tata Kelola Lintas G20: Kisah Adaptasi dan Otonomi Lokal
Laporan ini mengidentifikasi tiga model tata kelola utama yang digunakan oleh negara-negara G20 dalam mengelola CBVT.1 Masing-masing model mencerminkan keseimbangan yang unik antara kontrol terpusat dan otonomi lokal.
Model Sektor Formal: Vokasi sebagai Pilar Resmi Negara
Dalam model ini, CBVT diakui sebagai sektor formal yang terpisah dalam sistem pendidikan, dengan kerangka hukum, anggaran, dan regulasi yang jelas.1 Negara-negara seperti Australia, Italia, Inggris, Republik Korea, dan Afrika Selatan mengadopsi pendekatan ini.1 Di Afrika Selatan, misalnya, warisan apartheid mendorong terciptanya sistem pendidikan dan pelatihan pasca-sekolah yang formal. Perguruan tinggi komunitas (Community Education and Training Colleges) yang ada di setiap provinsi, mengelola lebih dari 2.500 pusat dan satelit pembelajaran, didukung oleh pajak gaji nasional.1
Model ini memberikan jaminan kualitas dan kredibilitas, karena lembaga-lembaga ini sering kali terdaftar sebagai Organisasi Pelatihan Terdaftar (Registered Training Organizations, RTO) yang mampu memberikan kualifikasi yang diakui secara nasional.1 Namun, laporan ini juga menyoroti tantangan untuk menjaga agar sistem yang sentralistik ini tetap responsif terhadap kebutuhan lokal yang spesifik.1
Model Jangkauan Institusi Vokasi: Sekolah Menjangkau Komunitas
Model kedua menggambarkan bagaimana institusi formal yang sudah ada, seperti universitas, perguruan tinggi, atau sekolah vokasi, memperluas jangkauan mereka ke daerah terpencil dan populasi yang terpinggirkan.1 Laporan ini mencontohkan Argentina yang meluncurkan "ruang kelas bergerak" (mobile classroom) yang lengkap dengan fasilitas multimedia dan akses internet satelit.1 Unit-unit ini dipindahkan ke lokasi yang berbeda tergantung pada permintaan dan jenis kursus yang ditawarkan.1
Di Meksiko, lebih dari 80% institusi pendidikan tinggi menjalankan program penjangkauan berbasis komunitas.1 Ini adalah cara efektif untuk memanfaatkan infrastruktur dan keahlian yang sudah ada tanpa harus membangun sistem baru.1 Jepang dan Jerman juga menunjukkan pendekatan serupa, di mana sekolah vokasi dan industri lokal bekerja sama untuk memastikan pelatihan relevan dengan kebutuhan regional.1
Model Penyedia Layanan Organisasi Komunitas: Mengandalkan Aktor Lokal
Model ketiga adalah pendekatan yang terdesentralisasi, di mana layanan pelatihan diserahkan kepada organisasi berbasis komunitas.1 Laporan ini mencontohkan India, di mana kebijakan pengembangan keterampilan nasional secara eksplisit melibatkan sektor swasta dan LSM dalam proses penawaran yang kompetitif.1 Di Indonesia, pemerintah mendirikan lebih dari 2.100 Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas yang dikelola oleh organisasi masyarakat, termasuk organisasi keagamaan, sekolah lokal, dan serikat pekerja.1 BLK Komunitas ini diharapkan dapat menjadi mandiri seiring berjalannya waktu setelah mendapatkan pendanaan awal dari pemerintah.1
Model ini memiliki keunggulan dalam fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap kebutuhan lokal.1 Namun, laporan ini juga memberikan catatan kritis bahwa tanpa kerangka regulasi atau dukungan finansial yang kuat dari tingkat nasional, organisasi-organisasi ini bisa berisiko menciptakan "sistem kelas dua" yang tidak menawarkan jalan yang jelas untuk kemajuan ke pasar kerja formal.1
Menembus Batasan dan Menjangkau Mereka yang Terlupakan
Laporan ini secara khusus menyoroti fakta bahwa CBVT adalah instrumen yang sangat efektif untuk menjangkau kelompok-kelompok yang secara tradisional sulit diakses oleh sistem pendidikan formal.1 Hambatan dapat berupa geografis, sosial, atau ekonomi.
Strategi Penjangkauan yang Inovatif
Negara-negara G20 menggunakan beragam cara untuk menjangkau peserta pelatihan. Di Kanada, pekerja sosial menginformasikan individu yang menerima bantuan sosial tentang program pelatihan yang tersedia.1 Di Indonesia, kepala desa di daerah terpencil memfasilitasi penjangkauan dan perekrutan peserta.1 India menggunakan acara seperti "mela" atau pameran yang diselenggarakan oleh LSM dan penyedia pelatihan swasta untuk menarik minat dan mendaftarkan calon peserta.1 Di Turki, sekolah dan pertemuan keluarga digunakan untuk meningkatkan kesadaran, dengan perhatian khusus pada perempuan.1
Layanan ekstensi pertanian juga berperan penting. Di India, Agricultural Technology Management Agency (ATMA) bekerja dengan kelompok petani untuk memberikan pelatihan.1 Namun, model ini juga menghadapi tantangan seperti elite capture (di mana manfaat hanya dirasakan oleh kelompok kaya) dan rendahnya kapasitas penyedia layanan.1
Pemberdayaan Perempuan dan Kelompok Adat
Analisis data dalam laporan ini menunjukkan bahwa CBVT memiliki dampak yang tidak proporsional dalam memberdayakan perempuan dan kelompok rentan lainnya. Di Afrika Selatan, 71% peserta di Pusat Pembelajaran Komunitas adalah perempuan.1 Begitu pula di Republik Korea, Occupational Centre for Women (OCW) bekerja sama dengan pusat-pusat komunitas untuk menjangkau perempuan yang telah lama keluar dari angkatan kerja, memberikan dukungan satu per satu yang mengintegrasikan konseling sosial, bimbingan karier, dan bantuan pencarian kerja.1 Perempuan sering kali menghadapi hambatan ganda, termasuk norma sosial dan tanggung jawab pengasuhan, yang menghalangi partisipasi mereka dalam sistem formal.1 CBVT, dengan sifatnya yang fleksibel dan berbasis di komunitas, secara langsung mengatasi hambatan ini, menjadikannya sebuah katalisator yang kuat untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi.
Laporan ini juga menyoroti bagaimana CBVT dapat disesuaikan untuk menghormati dan mendukung kelompok adat. Di Kanada, Indigenous Skills and Employment Training (ISET) Program didesain untuk merefleksikan perbedaan antara masyarakat Adat, Métis, dan Inuit.1 Program ini tidak hanya melatih keterampilan kerja, tetapi juga mempromosikan kisah-kisah sukses untuk menginspirasi generasi selanjutnya.1
Jalan Menuju Keahlian: Desain Pelatihan yang Adaptif dan Fleksibel
Pelatihan CBVT yang efektif dimulai jauh sebelum peserta memasuki ruang kelas. Laporan ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan terletak pada desain program yang responsif terhadap kebutuhan lokal.1 Di Indonesia, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) memiliki otonomi untuk mengidentifikasi kebutuhan komunitas, menawarkan kursus yang beragam, memobilisasi sumber daya, dan membangun kemitraan dengan organisasi lokal.1 Pendekatan ini memastikan bahwa kurikulum relevan dan adaptif.
Beragam Moda Pelatihan untuk Beragam Kebutuhan
Laporan ini mengidentifikasi empat pendekatan utama dalam pengiriman pelatihan, yang sering kali digunakan secara bersamaan:
Kritik Realistis: Sisi Gelap Revolusi Digital
Meskipun pembelajaran daring menawarkan fleksibilitas yang luar biasa, laporan ini memberikan kritik yang penting dan realistis: "ketidaksetaraan akses terhadap TIK" harus segera diatasi untuk menghindari eksklusi lebih lanjut.1 Seseorang mungkin memiliki ponsel pintar, tetapi tanpa koneksi internet yang stabil, listrik yang memadai, atau kuota data yang terjangkau, kesempatan mereka untuk belajar secara daring sangat terbatas. Laporan tersebut mencatat bahwa kesenjangan ini dapat memperlebar jurang pemisah antara mereka yang memiliki akses dan mereka yang tidak, sehingga solusi digital harus diimbangi dengan strategi lain seperti unit pelatihan bergerak atau penyediaan akses internet gratis di pusat-pusat komunitas.1
Sertifikasi dan Dampak Nyata: Menjembatani Keterampilan Lokal ke Pasar Global
Tujuan akhir dari CBVT bukanlah sekadar mengajar keterampilan, tetapi untuk memastikan bahwa keterampilan tersebut dapat menghasilkan pendapatan dan membuka peluang.1 Untuk mencapai ini, sistem penilaian dan sertifikasi yang efektif sangatlah penting.
Dari Keterampilan Informal ke Kualifikasi Formal
Laporan ini menyoroti peran kunci dari Recognition of Prior Learning (RPL) atau Pengakuan Pembelajaran Terdahulu.1 RPL memungkinkan individu yang memperoleh keterampilan melalui jalur informal atau non-formal untuk mendapatkan sertifikasi resmi yang diakui secara nasional. Di India, program PMKVY (Pradhan Mantri Kaushal Vikas Yojana) menggunakan RPL untuk memberikan sertifikasi kepada pekerja informal, yang memungkinkan mereka mengakses pelatihan lebih lanjut dan kesempatan kerja formal.1 Sebuah studi pelacakan di India menunjukkan bahwa upah rata-rata peserta yang berhasil memperoleh sertifikasi melalui RPL meningkat 4% dalam waktu enam bulan, sebuah lompatan nyata dari pendapatan sebelumnya.1
Namun, laporan ini juga menyajikan dilema: apakah CBVT harus fokus pada sertifikasi formal atau langsung pada pengembangan wirausaha? Di India, program seperti Kudumbashree di Kerala dan National Rural Livelihood Mission (NRLM) sengaja berfokus pada wirausaha mikro untuk pengentasan kemiskinan, tanpa memberikan kualifikasi formal.1 Hal ini relevan di wilayah di mana pasar kerja formal tidak berkembang, tetapi berisiko menjebak pekerja di ekonomi informal.1 Sebaliknya, sistem di Australia mengharuskan penyedia CBVT menjadi RTO untuk mengeluarkan sertifikat, memastikan standar dan mobilitas.1 Kunci keberhasilan adalah pendekatan ganda: mempromosikan wirausaha sambil menyediakan jalur yang jelas dan dapat diakses (melalui RPL) ke sistem formal bagi mereka yang menginginkannya.
Dukungan Pasca-Pelatihan yang Krusial
Pelatihan saja tidak cukup; dukungan pasca-pelatihan adalah faktor penentu keberhasilan CBVT.1 Dukungan ini dapat berupa bantuan pencarian kerja, pendampingan untuk memulai usaha, dan akses ke pembiayaan.1 Di Amerika Serikat, jaringan American Job Centers menyediakan layanan komprehensif seperti bimbingan karier dan bantuan penulisan resume.1 Sementara itu, di Brasil, National Rural Learning Services (SENAR) bekerja sama dengan layanan dukungan untuk usaha mikro untuk mempromosikan kewirausahaan di pedesaan.1
Pernyataan dampak nyata dari laporan ini begitu lugas: jika diterapkan secara holistik, CBVT tidak hanya melatih keterampilan baru, tetapi juga menciptakan ribuan lapangan kerja, mengurangi biaya sosial dari pengangguran, dan secara nyata meningkatkan pendapatan jutaan orang.1 Laporan tersebut mencatat bahwa dengan perluasan skala program seperti RPL yang berhasil meningkatkan upah rata-rata peserta hingga 4% hanya dalam waktu enam bulan, dampak ekonomi secara keseluruhan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan bisa luar biasa besar.1
Kesimpulan: Arah Baru untuk Kebijakan Ketenagakerjaan Pasca-Pandemi
CBVT adalah alat kebijakan yang penting dan kuat untuk mengatasi tantangan ekonomi dan sosial pasca-pandemi, terutama di daerah pedesaan.1 Laporan ini menyimpulkan lima pelajaran kunci untuk mewujudkan potensi CBVT:
Meskipun laporan ini menyajikan gambaran yang optimis, implementasi di lapangan sering kali tidak semulus niat di atas kertas. Tantangan seperti keterbatasan anggaran, birokrasi yang kaku, atau kurangnya kemauan politik dapat menghambat keberhasilan program inovatif ini. Namun, CBVT tetap menjadi investasi paling strategis yang dapat dilakukan negara-negara G20. Dengan fokus pada partisipasi komunitas, pemberdayaan diri, dan inklusi, CBVT memiliki kekuatan untuk tidak hanya memulihkan ekonomi pasca-pandemi, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan di masa depan.1
Sumber Artikel:
International Labour Organization. (2022, February). Initial review of community-based vocational training (CBVT) in G20 countries. Paper prepared for the 1st meeting of the G20 Employment Working Group.
Analisis Kebijakan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Sebuah Karpet Merah Menuju Indonesia Maju 2045
Di tengah tantangan global dan domestik, termasuk dampak ekonomi yang signifikan dari pandemi COVID-19, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur adalah pekerjaan besar yang ibarat menggelar "karpet merah" menuju Indonesia maju 2045. Visi besar ini tidak hanya soal membangun jalan atau gedung, tetapi juga soal menumbuhkan peradaban dan meningkatkan daya saing bangsa. Namun, sebelum bisa melangkah maju, ada pekerjaan rumah mendesak yang harus diselesaikan: menyederhanakan birokrasi dan menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya.1
Materi penelitian mengungkapkan bahwa Indonesia dihadapkan pada ketidakseimbangan yang mengkhawatirkan: setiap tahun, tersedia hanya 2,5 juta lapangan kerja, sementara 7 juta orang mencari pekerjaan. Pandemi COVID-19 semakin memperparah angka pengangguran yang sudah tinggi, dengan jutaan pekerja terdampak PHK atau dirumahkan.1 Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6% per tahun, sebuah angka yang membutuhkan investasi baru sebesar Rp 4.800 triliun.1 Angka ini bukan hanya target ekonomi, melainkan juga sebuah misi untuk menampung 2 juta pekerja baru setiap tahunnya. Undang-Undang Cipta Kerja, yang digarap dengan metode
Omnibus Law, hadir sebagai jawaban fundamental untuk melakukan reformasi struktural, menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih, dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Di sinilah peran vital sektor jasa konstruksi—sebagai tulang punggung pembangunan infrastruktur—mulai dirombak secara mendasar.1
Mengurai Benang Kusut: Mengapa Peraturan Jasa Konstruksi Harus Dirombak?
Sebelum terbitnya UU Cipta Kerja, sektor jasa konstruksi menghadapi tantangan regulasi yang kompleks dan birokrasi yang membelit. Kondisi ini menjadi salah satu alasan utama mengapa peringkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business atau EoDB) Indonesia masih berada di posisi ke-73 secara global, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (ke-12), Thailand (ke-21), dan bahkan Vietnam (ke-70).1
Kerumitan ini bukanlah sekadar angka. Di balik peringkat yang rendah itu, terdapat fakta yang mengejutkan: 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang seringkali tumpang tindih, menciptakan inefisiensi birokrasi yang menjadi masalah utama bagi para pelaku usaha.1 Kondisi ini secara langsung menghambat laju investasi. Investor—baik domestik maupun asing—cenderung menghindari negara dengan proses perizinan yang rumit dan tidak pasti. Alih-alih mengalihkan fokus pada inovasi dan pengembangan usaha, energi pelaku industri justru terkuras habis untuk mengurus perizinan yang berbelit-belit.
Pemerintah memahami bahwa kerumitan regulasi ini menjadi hambatan utama dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius. Oleh karena itu, pendekatan omnibus law dalam UU Cipta Kerja bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Tujuannya adalah untuk memangkas ribuan aturan yang tidak relevan dan menyinkronkan regulasi yang tersebar di berbagai sektor, termasuk jasa konstruksi, dalam satu payung hukum yang terintegrasi. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta ekosistem investasi yang lebih menarik, sekaligus memuluskan jalan bagi terciptanya lapangan kerja baru.1
Lompatan Revolusioner dalam Perizinan: Dari Biaya dan Waktu, Menuju Kemudahan dan Verifikasi
Perubahan paling fundamental yang dibawa oleh UU Cipta Kerja bagi sektor jasa konstruksi adalah revolusi dalam sistem perizinan. Sebelumnya, proses perizinan usaha terasa sangat membebani. Pelaku usaha memerlukan Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah/kota, serta Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat Kompetensi Ahli (SKA), dan Sertifikat Keterampilan Kerja (SKTK) dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).1 Proses yang terfragmentasi ini tidak hanya memakan waktu lebih dari 20 hari, tetapi juga berpotensi menciptakan praktik pungutan liar dan ketidaktransparanan.1
Kini, semuanya disederhanakan secara dramatis. UU Cipta Kerja mengubah pendekatan perizinan dari yang berbasis izin menjadi berbasis risiko (Risk Based Approach). Persyaratan berusaha kini hanya terdiri dari SBU, Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK), dan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang seluruhnya diterbitkan oleh Pemerintah Pusat melalui sistem Online Single Submission (OSS).1
Lompatan ini bisa digambarkan seperti menaikkan efisiensi waktu secara signifikan. Jika dahulu mengurus IUJK bisa memakan waktu hingga 5 hari kerja dan penerbitan SBU/SKK membutuhkan waktu lebih dari 20 hari, kini semuanya menjadi jauh lebih cepat.1 Untuk izin usaha, pelaku kini bisa mendapatkan NIB secara daring, sementara penerbitan SBU dan SKK hanya membutuhkan waktu maksimal 15 hari. Kemudahan ini menjadi pengungkit utama dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) karena secara langsung mengurangi hambatan birokrasi, menghemat biaya, dan membebaskan pelaku usaha untuk lebih fokus pada pengembangan bisnis.1
Sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, dokumen perizinan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha konstruksi meliputi Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK), Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat Keahlian (SKA), serta Sertifikat Keterampilan Kerja (SKTK). Setelah UU Cipta Kerja, dokumen-dokumen tersebut disederhanakan menjadi Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Badan Usaha (SBU), dan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).
Dalam hal penerbitan, dahulu IUJK diterbitkan oleh pemerintah daerah atau kota, sementara SBU, SKA, dan SKTK diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Pasca UU Cipta Kerja, penerbitan NIB, SBU, dan SKK dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui sistem Online Single Submission (OSS) yang terintegrasi, sehingga peran penerbitan bergeser dari level daerah ke level pusat dengan mekanisme daring.
Proses pengajuan perizinan juga berubah signifikan. Sebelumnya pengajuan IUJK berjalan terpisah dari registrasi SBU dan SKA sehingga proses administrasi cenderung terfragmentasi. Setelah reformasi melalui UU Cipta Kerja, semua perizinan diajukan lewat satu pintu OSS yang terintegrasi dengan sistem registrasi SBU dan SKK, sehingga prosedur lebih tersentralisasi dan terhubung.
Perbandingan waktu penyelesaian memperlihatkan percepatan di beberapa aspek: sebelum UU Cipta Kerja, penerbitan IUJK membutuhkan waktu sekitar 5 hari kerja, sedangkan penerbitan SBU dan SKTK sering memakan waktu lebih dari 20 hari kerja. Setelah perubahan regulasi, izin usaha berupa NIB dapat diperoleh secara langsung melalui layanan daring, sementara penerbitan SBU dan SKK dibatasi maksimal 15 hari kerja.
Dari sisi biaya dan kewajiban administrasi, sebelumnya registrasi untuk persubklasifikasi dilakukan secara periodik dan dikenakan biaya. Dalam skema baru pasca UU Cipta Kerja, pemilik SBU dan SKK hanya diwajibkan menyampaikan laporan kegiatan usaha tahunan dan tidak lagi dikenakan biaya untuk pendaftaran tersebut, sehingga beban finansial administratif pada titik registrasi berkurang.
Secara keseluruhan, transformasi ini menandai pergeseran dari proses perizinan yang terfragmentasi, lama, dan berbiaya ke sistem yang lebih terintegrasi, lebih cepat dalam beberapa prosedur, dan mengurangi biaya pendaftaran formal, sekaligus memusatkan penerbitan pada mekanisme OSS di tingkat pusat.
Reformasi Kelembagaan: Mengapa LPJK Kini Berada di Bawah Pemerintah?
Selain perizinan, UU Cipta Kerja juga membawa perubahan fundamental pada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Dari lembaga independen dan mandiri yang diatur oleh UU Nomor 18 Tahun 1999, LPJK bertransformasi menjadi lembaga non-struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).1
Perubahan ini, seperti yang diungkapkan oleh materi, membawa "harapan baru" bagi reformasi tata kelola jasa konstruksi.1 Dengan posisi baru ini, LPJK akan fokus pada pengembangan industri, seperti akreditasi asosiasi dan pembinaan profesional.1 Di satu sisi, langkah ini merupakan upaya strategis pemerintah untuk memiliki kendali langsung dan mengefisiensikan pembinaan industri. Sinkronisasi kebijakan dan percepatan pengambilan keputusan diharapkan dapat tercapai. Namun, di sisi lain, perubahan ini juga memunculkan tantangan nyata. Status LPJK sebagai lembaga pemerintah bisa saja berisiko mengurangi dinamisme dan independensi yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat jasa konstruksi. Proses transisi yang melibatkan pembentukan tim penyelenggara dan penetapan aturan baru—yang harus selesai paling lambat akhir Desember 2021—membutuhkan koordinasi yang sangat ketat.1
Keputusan untuk menempatkan LPJK di bawah kendali pemerintah adalah taruhan besar. Pemerintah mengambil peran langsung yang sebelumnya diserahkan kepada masyarakat industri. Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa pembinaan jasa konstruksi selaras dengan tujuan besar pembangunan nasional dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Langkah ini mengisyaratkan bahwa pemerintah tidak lagi melihat sektor ini sebagai entitas yang bisa berjalan sendiri, tetapi sebagai mitra kunci yang harus terintegrasi penuh dalam ekosistem kebijakan strategis nasional.1
Era Big Data Konstruksi: Teknologi sebagai Jantung Transparansi
Tujuan besar UU Cipta Kerja—yaitu efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas—tidak akan tercapai tanpa dukungan teknologi. Di sinilah peran krusial Sistem Informasi Jasa Konstruksi (SIJK) dan aplikasi pendukungnya, Sistem Informasi Pengalaman (SIMPAN), yang dikelola oleh Kementerian PUPR.1
SIMPAN secara spesifik dirancang untuk mengatasi masalah bottleneck yang selama ini terjadi dalam pengadaan barang dan jasa. Dahulu, setiap kali sebuah perusahaan mengikuti lelang, mereka harus menyerahkan dokumen pengalaman yang sama secara berulang-ulang.1 Proses ini tidak hanya menghabiskan waktu dan tenaga, tetapi juga menjadi celah bagi praktik manipulasi. Dengan SIMPAN, proses evaluasi kini jauh lebih efisien. Aplikasi ini menyatukan data pengalaman dari berbagai sumber, seperti Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan Sistem Informasi Konstruksi Indonesia (SIKI), untuk membentuk sebuah pangkalan data terintegrasi.1
Ini adalah langkah fundamental dari tata kelola yang berbasis dokumen menjadi tata kelola yang berbasis data. Pencatatan pengalaman badan usaha dan tenaga kerja tidak hanya mempermudah evaluasi tender, tetapi juga memungkinkan terbentuknya big data rantai pasok konstruksi yang dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan (decision making tools).1 Analisis data yang komprehensif ini memungkinkan pemerintah dan pelaku industri merumuskan kebijakan yang lebih akurat dan tepat sasaran, misalnya dalam memprediksi ketersediaan material dan peralatan konstruksi atau mengidentifikasi tren profesionalisme penyedia jasa.
SIJK itu sendiri, seperti yang dijelaskan dalam materi, bukanlah sekadar satu aplikasi tunggal. Ia adalah sebuah ekosistem besar yang mengadopsi konsep data warehouse dan interoperabilitas.1 Konsep ini mirip dengan "super apps" yang mengintegrasikan berbagai layanan, di mana data dari setiap layanan dikumpulkan dan dianalisis secara terpusat untuk menghasilkan wawasan baru yang tidak bisa didapatkan jika data dilihat secara terpisah. Dengan demikian, teknologi menjadi jantung dari reformasi ini, memastikan bahwa setiap proses—dari perizinan hingga pengadaan—berjalan lebih transparan, efisien, dan akuntabel, secara langsung menekan potensi penyimpangan dan pungutan liar.1
Mengangkat Derajat Tenaga Kerja: Dari Sekadar Kertas, Menuju Kompetensi Nyata
Percepatan pembangunan infrastruktur tidak akan berhasil tanpa sumber daya manusia yang kompeten. Namun, sektor konstruksi Indonesia dihadapkan pada sebuah ironi: dari 8,5 juta tenaga kerja, hanya sekitar 8% saja yang memiliki sertifikat kompetensi.1 Situasi ini diperparah dengan praktik-praktik tak bertanggung jawab, seperti "jual beli sertifikat," di mana seseorang bisa mendapatkan sertifikat tanpa melalui proses uji kompetensi yang sesuai. Banyak pemilik sertifikat yang hanya menjadikannya sebagai pelengkap administrasi, tanpa menyadari tanggung jawab yang melekat di dalamnya.1
UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya secara tegas mengatasi masalah ini. Pemerintah kini menetapkan sanksi yang jelas bagi pelanggar, baik bagi tenaga kerja yang tidak bersertifikat, pengguna jasa yang mempekerjakan tenaga kerja tanpa sertifikat, maupun lembaga yang tidak melaksanakan uji kompetensi sesuai ketentuan.1 Hal yang paling menarik adalah penekanan pada proses uji kompetensi yang ketat, yang mencakup uji tulis, uji praktik/observasi lapangan, dan/atau wawancara, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2021.1
Lebih dari itu, PP Nomor 14 Tahun 2021 juga membatasi jumlah sertifikat yang bisa dimiliki oleh seorang tenaga kerja konstruksi. Kebijakan ini secara langsung menyasar praktik "palugada" (apa lu mau, gue ada) yang selama ini merusak kredibilitas profesi.1 Dengan pembatasan ini, pemerintah mendorong setiap tenaga kerja untuk menjadi spesialis di bidangnya, memastikan bahwa sertifikat yang dimiliki benar-benar mencerminkan kompetensi nyata yang teruji. Ini adalah langkah krusial untuk meningkatkan kualitas dan keamanan infrastruktur, meminimalkan potensi kegagalan bangunan, dan membangun kepercayaan publik serta investor bahwa setiap proyek strategis nasional dikerjakan oleh para profesional yang benar-benar ahli.1
Kesimpulan: Menuju Titik Balik Sejarah Infrastruktur Indonesia
Revolusi regulasi di sektor jasa konstruksi melalui Undang-Undang Cipta Kerja menandai sebuah titik balik penting dalam sejarah pembangunan Indonesia. Dari kerumitan regulasi yang menghambat investasi, kini kita beralih ke sistem perizinan yang disederhanakan melalui satu pintu daring. Dari kelembagaan yang terfragmentasi, kini kita melihat LPJK sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai tujuan strategis pembangunan nasional. Dari tata kelola yang berbasis dokumen, kini kita melangkah menuju era big data yang menjanjikan transparansi dan akuntabilitas. Dan dari masalah sertifikasi yang meragukan, kini kita kembali pada penekanan kompetensi nyata dan profesionalisme.1
Jika diterapkan secara optimal, reformasi ini berpotensi besar untuk mendorong daya saing jasa konstruksi nasional, menarik investasi asing dan domestik, serta mempercepat pembangunan infrastruktur strategis. Langkah-langkah ini, secara kolektif, bisa secara substansial mengurangi biaya operasional dan birokrasi, yang berpotensi menurunkan biaya pembangunan proyek secara keseluruhan sambil tetap menjamin kualitas dan keamanan. Pada akhirnya, reformasi ini adalah pondasi fundamental untuk mewujudkan cita-cita bangsa menjadi negara unggul dan berdaya saing global.1
Sumber Artikel:
Aprilia Gayatri dan Aulia Lintang Amurwaizzani, Pengaturan Jasa Konstruksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Analisis Kebijakan
Dipublikasikan oleh pada 23 Mei 2025
Mengurai Benang Kusut Pengangguran di Jawa Timur: Analisis Komprehensif Faktor Ekonomi Makro
Pengangguran merupakan salah satu isu ekonomi makro yang tak henti menjadi sorotan. Lebih dari sekadar angka statistik, pengangguran adalah cerminan dari kesejahteraan masyarakat, stabilitas sosial, dan potensi pertumbuhan ekonomi yang terhambat. Ketika jutaan individu produktif tidak mendapatkan kesempatan untuk berkarya, dampaknya merambat ke berbagai sektor, mulai dari penurunan daya beli, peningkatan kemiskinan, hingga gejolak sosial. Di tengah dinamika ekonomi global yang terus bergejolak, memahami akar permasalahan pengangguran menjadi semakin krusial, terutama di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk dan aktivitas ekonomi yang tinggi seperti Jawa Timur.
Skripsi berjudul "Pengaruh Inflasi, Upah Minimum, Belanja Daerah dan Pinjaman Perbankan Terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 2013-2018" oleh Selly Nursafitri menawarkan analisis yang relevan dan mendalam terhadap faktor-faktor ekonomi makro yang disinyalir memengaruhi tingkat pengangguran terbuka (TPT) di provinsi ini. Dengan fokus pada periode 2013 hingga 2018, penelitian ini mencoba membedah kompleksitas hubungan antara indikator-indikator ekonomi vital dan fenomena pengangguran, memberikan wawasan berharga bagi para pembuat kebijakan, pelaku usaha, dan masyarakat luas.
Pengangguran: Sebuah Paradoks di Tengah Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan positif diharapkan dapat berkorelasi dengan penurunan tingkat pengangguran. Ketika ekonomi tumbuh, permintaan akan barang dan jasa meningkat, mendorong ekspansi produksi, yang pada gilirannya menciptakan lapangan kerja baru. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan fenomena yang lebih kompleks. Bahkan di tengah pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, masalah pengangguran, khususnya pengangguran terbuka, masih menjadi bayang-bayang yang membayangi.
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar, terus berjuang mengatasi isu pengangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada Februari 2018 mencapai 5,13%. Angka ini, meskipun menurun dari tahun sebelumnya, masih menyiratkan bahwa lebih dari 6,87 juta orang berada dalam kondisi tidak bekerja dan aktif mencari pekerjaan.
Jawa Timur, sebagai provinsi dengan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional, tidak luput dari tantangan ini. Data BPS Jawa Timur menunjukkan fluktuasi TPT yang menarik perhatian. Pada Februari 2013, TPT berada di angka 4,46%, kemudian sempat naik menjadi 4,50% pada Februari 2016, sebelum akhirnya menurun menjadi 4,00% pada Februari 2018. Meskipun trennya cenderung menurun, angka ini tetap menunjukkan bahwa ada tantangan serius dalam menyerap angkatan kerja yang terus bertambah.
Fenomena ini memicu pertanyaan fundamental: faktor-faktor apa saja yang sebenarnya memengaruhi dinamika pengangguran di Jawa Timur? Apakah inflasi, upah minimum yang seringkali menjadi polemik, volume belanja daerah, atau kemudahan akses terhadap pinjaman perbankan memainkan peran signifikan dalam menentukan nasib para pencari kerja? Inilah inti permasalahan yang diangkat oleh penelitian Selly Nursafitri.
Kerangka Teoritis dan Variabel Kritis
Untuk memahami pengaruh kompleks ini, penelitian ini berakar pada beberapa teori ekonomi makro kunci, antara lain:
Berdasarkan kerangka teoritis tersebut, penelitian ini mengidentifikasi lima variabel kunci:
Metodologi: Menggali Data dengan Pendekatan Kuantitatif
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan data sekunder yang bersifat time series, mencakup periode enam tahun (2013-2018) di Jawa Timur. Data diperoleh dari berbagai sumber kredibel seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Timur.
Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi data panel, sebuah teknik yang sangat tepat untuk menganalisis data yang menggabungkan dimensi waktu (time series) dan dimensi individu/wilayah (cross-section). Dalam konteks ini, data panel memungkinkan peneliti untuk melacak perubahan TPT di Jawa Timur sepanjang waktu sambil memperhitungkan pengaruh dari variabel-variabel independen yang berbeda.
Tiga model regresi data panel yang umum digunakan adalah Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Pemilihan model terbaik dilakukan melalui uji Chow, uji Hausman, dan uji Lagrange Multiplier (LM). Hasil pengujian menunjukkan bahwa Fixed Effect Model (FEM) adalah model yang paling tepat untuk menganalisis data dalam penelitian ini. FEM memiliki keunggulan dalam mengendalikan karakteristik unik setiap individu (dalam hal ini, setiap titik waktu) yang mungkin tidak terobservasi, sehingga dapat menghasilkan estimasi yang lebih akurat.
Hasil dan Interpretasi: Mengungkap Pengaruh Variabel Ekonomi
Temuan dari penelitian ini memberikan wawasan menarik tentang bagaimana variabel-variabel ekonomi yang diteliti memengaruhi tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur:
Inflasi: Dampak Negatif yang Signifikan Penelitian ini menemukan bahwa inflasi memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka. Ini berarti, semakin tinggi tingkat inflasi, semakin rendah tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur. Interpretasi temuan ini sejalan dengan konsep Kurva Phillips jangka pendek. Ketika inflasi meningkat, seringkali hal ini disebabkan oleh peningkatan permintaan agregat dalam perekonomian. Peningkatan permintaan ini mendorong perusahaan untuk meningkatkan produksi dan, sebagai hasilnya, merekrut lebih banyak tenaga kerja untuk memenuhi permintaan tersebut, sehingga menurunkan pengangguran. Namun, penting untuk diingat bahwa hubungan ini tidak selalu berkelanjutan dalam jangka panjang dan inflasi yang terlalu tinggi dapat merusak perekonomian. Inflasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan ketidakpastian, mengurangi investasi, dan pada akhirnya justru memicu pengangguran. Dalam konteks Jawa Timur, temuan ini mungkin mencerminkan bahwa inflasi yang terjadi dalam periode 2013-2018 berada pada tingkat yang mampu menstimulasi perekonomian tanpa menimbulkan distorsi yang signifikan terhadap pasar tenaga kerja.
Upah Minimum: Efek Tak Terduga Secara mengejutkan, penelitian ini menemukan bahwa upah minimum (UMP) memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka. Artinya, kenaikan upah minimum cenderung meningkatkan pengangguran, tetapi dampaknya tidak secara statistik signifikan. Temuan ini cukup menarik dan dapat memicu perdebatan. Secara teori, kenaikan upah minimum dapat meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan, terutama industri padat karya. Jika biaya ini tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas atau harga jual, perusahaan mungkin terpaksa mengurangi jumlah tenaga kerja atau menunda ekspansi, yang berujuh pada peningkatan pengangguran. Namun, ketidaksignifikanan hasil menunjukkan bahwa, setidaknya dalam periode studi, dampak kenaikan UMP terhadap pengangguran di Jawa Timur tidak sekuat yang diperkirakan. Ini bisa jadi karena perusahaan memiliki fleksibilitas untuk menyerap kenaikan biaya (misalnya, melalui efisiensi operasional atau penyesuaian harga), atau karena kenaikan UMP seringkali diikuti oleh peningkatan daya beli masyarakat yang justru menstimulasi permintaan dan aktivitas ekonomi. Perlu analisis lebih lanjut tentang seberapa besar elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah minimum di sektor-sektor kunci di Jawa Timur.
Belanja Daerah: Stimulus yang Positif Belanja daerah ditemukan memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi belanja daerah, semakin rendah tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur. Hasil ini mengkonfirmasi peran penting pemerintah daerah dalam menekan angka pengangguran. Belanja daerah, terutama yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, program padat karya, pendidikan, dan kesehatan, dapat menciptakan lapangan kerja secara langsung maupun tidak langsung. Pembangunan jalan, jembatan, sekolah, dan fasilitas publik lainnya membutuhkan tenaga kerja, sementara peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, membuatnya lebih siap untuk pasar kerja. Temuan ini menegaskan bahwa kebijakan fiskal ekspansif yang tepat sasaran oleh pemerintah daerah memiliki potensi besar untuk menjadi mesin penciptaan lapangan kerja di Jawa Timur.
Pinjaman Perbankan: Efek Positif yang Menjanjikan Variabel pinjaman perbankan ditemukan memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka. Ini berarti, semakin tinggi volume pinjaman perbankan, semakin rendah tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur. Hasil ini sangat logis dan sejalan dengan peran perbankan sebagai intermediator keuangan. Ketersediaan pinjaman perbankan yang mudah diakses dan dengan suku bunga yang kompetitif memungkinkan dunia usaha, baik UMKM maupun korporasi besar, untuk mendapatkan modal guna membiayai investasi, ekspansi usaha, dan inovasi. Ketika perusahaan berekspansi, mereka membutuhkan lebih banyak tenaga kerja, sehingga berkontribusi pada penurunan pengangguran. Temuan ini menyoroti pentingnya sektor keuangan yang sehat dan stabil dalam mendukung penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Berdasarkan analisis tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa inflasi, belanja daerah, dan pinjaman perbankan secara signifikan memengaruhi tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur, sedangkan upah minimum meskipun memiliki pengaruh positif, tidak signifikan.
Implikasi kebijakan dari temuan ini sangat jelas:
Nilai Tambah, Kritik, dan Arah Penelitian Selanjutnya
Penelitian oleh Selly Nursafitri ini memberikan kontribusi berharga dalam literatur ekonomi regional, khususnya mengenai dinamika pasar kerja di Jawa Timur. Penggunaan data panel dan pemilihan model FEM yang tepat menunjukkan kekuatan metodologis yang cukup. Namun, seperti halnya setiap penelitian, ada ruang untuk penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut.
Nilai Tambah:
Kritik dan Saran untuk Penelitian Mendatang:
Secara keseluruhan, skripsi Selly Nursafitri ini adalah fondasi yang kokoh untuk memahami kompleksitas pengangguran di Jawa Timur. Temuan-temuannya memberikan landasan empiris yang kuat bagi perumusan kebijakan ekonomi yang lebih cerdas dan adaptif, demi mewujudkan Jawa Timur yang sejahtera dengan tingkat pengangguran yang minimal.
Sumber Artikel:
Selly Nursafitri. (2020). PENGARUH INFLASI, UPAH MINIMUM, BELANJA DAERAH DAN PINJAMAN PERBANKAN TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013-2018. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Program Studi Ilmu Ekonomi, Surabaya. Dapat diakses melalui repositori digital universitas: https://digilib.uinsby.ac.id/ (harap verifikasi tautan langsung ke skripsi jika tersedia di repositori publik).