Gawat! Inflasi dan Upah Minimum di Jawa Timur Pengaruhi Pengangguran? Simak Data Aslinya!

Dipublikasikan oleh

23 Mei 2025, 22.18

Sumber: Pixabay

Mengurai Benang Kusut Pengangguran di Jawa Timur: Analisis Komprehensif Faktor Ekonomi Makro

Pengangguran merupakan salah satu isu ekonomi makro yang tak henti menjadi sorotan. Lebih dari sekadar angka statistik, pengangguran adalah cerminan dari kesejahteraan masyarakat, stabilitas sosial, dan potensi pertumbuhan ekonomi yang terhambat. Ketika jutaan individu produktif tidak mendapatkan kesempatan untuk berkarya, dampaknya merambat ke berbagai sektor, mulai dari penurunan daya beli, peningkatan kemiskinan, hingga gejolak sosial. Di tengah dinamika ekonomi global yang terus bergejolak, memahami akar permasalahan pengangguran menjadi semakin krusial, terutama di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk dan aktivitas ekonomi yang tinggi seperti Jawa Timur.

Skripsi berjudul "Pengaruh Inflasi, Upah Minimum, Belanja Daerah dan Pinjaman Perbankan Terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 2013-2018" oleh Selly Nursafitri menawarkan analisis yang relevan dan mendalam terhadap faktor-faktor ekonomi makro yang disinyalir memengaruhi tingkat pengangguran terbuka (TPT) di provinsi ini. Dengan fokus pada periode 2013 hingga 2018, penelitian ini mencoba membedah kompleksitas hubungan antara indikator-indikator ekonomi vital dan fenomena pengangguran, memberikan wawasan berharga bagi para pembuat kebijakan, pelaku usaha, dan masyarakat luas.

Pengangguran: Sebuah Paradoks di Tengah Pertumbuhan Ekonomi

Secara umum, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan positif diharapkan dapat berkorelasi dengan penurunan tingkat pengangguran. Ketika ekonomi tumbuh, permintaan akan barang dan jasa meningkat, mendorong ekspansi produksi, yang pada gilirannya menciptakan lapangan kerja baru. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan fenomena yang lebih kompleks. Bahkan di tengah pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, masalah pengangguran, khususnya pengangguran terbuka, masih menjadi bayang-bayang yang membayangi.

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar, terus berjuang mengatasi isu pengangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada Februari 2018 mencapai 5,13%. Angka ini, meskipun menurun dari tahun sebelumnya, masih menyiratkan bahwa lebih dari 6,87 juta orang berada dalam kondisi tidak bekerja dan aktif mencari pekerjaan.

Jawa Timur, sebagai provinsi dengan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional, tidak luput dari tantangan ini. Data BPS Jawa Timur menunjukkan fluktuasi TPT yang menarik perhatian. Pada Februari 2013, TPT berada di angka 4,46%, kemudian sempat naik menjadi 4,50% pada Februari 2016, sebelum akhirnya menurun menjadi 4,00% pada Februari 2018. Meskipun trennya cenderung menurun, angka ini tetap menunjukkan bahwa ada tantangan serius dalam menyerap angkatan kerja yang terus bertambah.

Fenomena ini memicu pertanyaan fundamental: faktor-faktor apa saja yang sebenarnya memengaruhi dinamika pengangguran di Jawa Timur? Apakah inflasi, upah minimum yang seringkali menjadi polemik, volume belanja daerah, atau kemudahan akses terhadap pinjaman perbankan memainkan peran signifikan dalam menentukan nasib para pencari kerja? Inilah inti permasalahan yang diangkat oleh penelitian Selly Nursafitri.

Kerangka Teoritis dan Variabel Kritis

Untuk memahami pengaruh kompleks ini, penelitian ini berakar pada beberapa teori ekonomi makro kunci, antara lain:

  • Teori Keynesian: Mengemukakan bahwa pengangguran siklis terjadi akibat kurangnya permintaan agregat. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah seperti belanja daerah (fiskal) dan kebijakan moneter (suku bunga yang memengaruhi pinjaman perbankan) dapat digunakan untuk menstimulasi perekonomian dan menciptakan lapangan kerja.
  • Kurva Phillips: Menjelaskan hubungan terbalik antara inflasi dan pengangguran dalam jangka pendek. Artinya, jika inflasi meningkat, pengangguran cenderung menurun, dan sebaliknya. Namun, hubungan ini seringkali menjadi kompleks dalam jangka panjang dan dipengaruhi oleh ekspektasi.
  • Teori Upah Efisiensi: Menyatakan bahwa upah yang lebih tinggi (termasuk upah minimum) dapat meningkatkan produktivitas pekerja, tetapi juga dapat membuat perusahaan enggan merekrut lebih banyak pekerja jika upah tersebut terlalu tinggi dibandingkan dengan produktivitas marjinal.

Berdasarkan kerangka teoritis tersebut, penelitian ini mengidentifikasi lima variabel kunci:

  • Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT): Variabel dependen yang ingin dijelaskan.
  • Inflasi: Didefinisikan sebagai kenaikan harga umum secara terus-menerus. Inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya beli masyarakat dan menekan profitabilitas perusahaan, berpotensi menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja.
  • Upah Minimum Provinsi (UMP): Merupakan batas upah terendah yang harus dibayarkan pengusaha kepada pekerja. Kenaikan UMP, di satu sisi meningkatkan daya beli pekerja, namun di sisi lain dapat meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan, berpotensi mengurangi permintaan tenaga kerja.
  • Belanja Daerah: Representasi dari pengeluaran pemerintah daerah. Belanja daerah yang efektif, terutama untuk investasi infrastruktur dan program produktif, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
  • Pinjaman Perbankan: Menggambarkan akses perusahaan terhadap modal untuk investasi dan ekspansi. Ketersediaan pinjaman perbankan yang memadai dengan suku bunga yang kompetitif dapat mendorong investasi, yang pada akhirnya akan menciptakan lapangan kerja.

Metodologi: Menggali Data dengan Pendekatan Kuantitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan data sekunder yang bersifat time series, mencakup periode enam tahun (2013-2018) di Jawa Timur. Data diperoleh dari berbagai sumber kredibel seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Timur.

Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi data panel, sebuah teknik yang sangat tepat untuk menganalisis data yang menggabungkan dimensi waktu (time series) dan dimensi individu/wilayah (cross-section). Dalam konteks ini, data panel memungkinkan peneliti untuk melacak perubahan TPT di Jawa Timur sepanjang waktu sambil memperhitungkan pengaruh dari variabel-variabel independen yang berbeda.

Tiga model regresi data panel yang umum digunakan adalah Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Pemilihan model terbaik dilakukan melalui uji Chow, uji Hausman, dan uji Lagrange Multiplier (LM). Hasil pengujian menunjukkan bahwa Fixed Effect Model (FEM) adalah model yang paling tepat untuk menganalisis data dalam penelitian ini. FEM memiliki keunggulan dalam mengendalikan karakteristik unik setiap individu (dalam hal ini, setiap titik waktu) yang mungkin tidak terobservasi, sehingga dapat menghasilkan estimasi yang lebih akurat.

Hasil dan Interpretasi: Mengungkap Pengaruh Variabel Ekonomi

Temuan dari penelitian ini memberikan wawasan menarik tentang bagaimana variabel-variabel ekonomi yang diteliti memengaruhi tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur:

  1. Inflasi: Dampak Negatif yang Signifikan Penelitian ini menemukan bahwa inflasi memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka. Ini berarti, semakin tinggi tingkat inflasi, semakin rendah tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur. Interpretasi temuan ini sejalan dengan konsep Kurva Phillips jangka pendek. Ketika inflasi meningkat, seringkali hal ini disebabkan oleh peningkatan permintaan agregat dalam perekonomian. Peningkatan permintaan ini mendorong perusahaan untuk meningkatkan produksi dan, sebagai hasilnya, merekrut lebih banyak tenaga kerja untuk memenuhi permintaan tersebut, sehingga menurunkan pengangguran. Namun, penting untuk diingat bahwa hubungan ini tidak selalu berkelanjutan dalam jangka panjang dan inflasi yang terlalu tinggi dapat merusak perekonomian. Inflasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan ketidakpastian, mengurangi investasi, dan pada akhirnya justru memicu pengangguran. Dalam konteks Jawa Timur, temuan ini mungkin mencerminkan bahwa inflasi yang terjadi dalam periode 2013-2018 berada pada tingkat yang mampu menstimulasi perekonomian tanpa menimbulkan distorsi yang signifikan terhadap pasar tenaga kerja.

  2. Upah Minimum: Efek Tak Terduga Secara mengejutkan, penelitian ini menemukan bahwa upah minimum (UMP) memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka. Artinya, kenaikan upah minimum cenderung meningkatkan pengangguran, tetapi dampaknya tidak secara statistik signifikan. Temuan ini cukup menarik dan dapat memicu perdebatan. Secara teori, kenaikan upah minimum dapat meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan, terutama industri padat karya. Jika biaya ini tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas atau harga jual, perusahaan mungkin terpaksa mengurangi jumlah tenaga kerja atau menunda ekspansi, yang berujuh pada peningkatan pengangguran. Namun, ketidaksignifikanan hasil menunjukkan bahwa, setidaknya dalam periode studi, dampak kenaikan UMP terhadap pengangguran di Jawa Timur tidak sekuat yang diperkirakan. Ini bisa jadi karena perusahaan memiliki fleksibilitas untuk menyerap kenaikan biaya (misalnya, melalui efisiensi operasional atau penyesuaian harga), atau karena kenaikan UMP seringkali diikuti oleh peningkatan daya beli masyarakat yang justru menstimulasi permintaan dan aktivitas ekonomi. Perlu analisis lebih lanjut tentang seberapa besar elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah minimum di sektor-sektor kunci di Jawa Timur.

  3. Belanja Daerah: Stimulus yang Positif Belanja daerah ditemukan memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi belanja daerah, semakin rendah tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur. Hasil ini mengkonfirmasi peran penting pemerintah daerah dalam menekan angka pengangguran. Belanja daerah, terutama yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, program padat karya, pendidikan, dan kesehatan, dapat menciptakan lapangan kerja secara langsung maupun tidak langsung. Pembangunan jalan, jembatan, sekolah, dan fasilitas publik lainnya membutuhkan tenaga kerja, sementara peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, membuatnya lebih siap untuk pasar kerja. Temuan ini menegaskan bahwa kebijakan fiskal ekspansif yang tepat sasaran oleh pemerintah daerah memiliki potensi besar untuk menjadi mesin penciptaan lapangan kerja di Jawa Timur.

  4. Pinjaman Perbankan: Efek Positif yang Menjanjikan Variabel pinjaman perbankan ditemukan memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka. Ini berarti, semakin tinggi volume pinjaman perbankan, semakin rendah tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur. Hasil ini sangat logis dan sejalan dengan peran perbankan sebagai intermediator keuangan. Ketersediaan pinjaman perbankan yang mudah diakses dan dengan suku bunga yang kompetitif memungkinkan dunia usaha, baik UMKM maupun korporasi besar, untuk mendapatkan modal guna membiayai investasi, ekspansi usaha, dan inovasi. Ketika perusahaan berekspansi, mereka membutuhkan lebih banyak tenaga kerja, sehingga berkontribusi pada penurunan pengangguran. Temuan ini menyoroti pentingnya sektor keuangan yang sehat dan stabil dalam mendukung penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Berdasarkan analisis tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa inflasi, belanja daerah, dan pinjaman perbankan secara signifikan memengaruhi tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur, sedangkan upah minimum meskipun memiliki pengaruh positif, tidak signifikan.

Implikasi kebijakan dari temuan ini sangat jelas:

  • Pengelolaan Inflasi yang Hati-hati: Pemerintah dan Bank Indonesia perlu menjaga inflasi pada tingkat yang stabil dan terkendali. Inflasi yang moderat dapat menstimulasi perekonomian, namun inflasi yang terlalu tinggi harus dihindari karena dapat merugikan daya beli dan investasi.
  • Optimalisasi Belanja Daerah: Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan pemerintah kabupaten/kota harus terus mengoptimalkan alokasi belanja daerah, memprioritaskan program-program yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) tinggi terhadap penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produktivitas. Belanja infrastruktur, program pelatihan kerja, dan dukungan UMKM adalah beberapa contoh yang dapat diperkuat.
  • Mendorong Akses dan Kualitas Pinjaman Perbankan: Otoritas terkait, termasuk Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perlu memastikan sektor perbankan tetap sehat, inovatif, dan mampu menyalurkan kredit secara efisien kepada sektor produktif. Kemudahan akses bagi UMKM dan sektor riil adalah kunci.
  • Kajian Ulang Kebijakan Upah Minimum: Meskipun pengaruhnya tidak signifikan dalam penelitian ini, kebijakan upah minimum tetap menjadi isu sensitif. Penting untuk melakukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif, mempertimbangkan produktivitas, kondisi sektor industri, dan daya saing regional, untuk menemukan titik keseimbangan yang adil bagi pekerja dan pengusaha.

Nilai Tambah, Kritik, dan Arah Penelitian Selanjutnya

Penelitian oleh Selly Nursafitri ini memberikan kontribusi berharga dalam literatur ekonomi regional, khususnya mengenai dinamika pasar kerja di Jawa Timur. Penggunaan data panel dan pemilihan model FEM yang tepat menunjukkan kekuatan metodologis yang cukup. Namun, seperti halnya setiap penelitian, ada ruang untuk penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut.

Nilai Tambah:

  • Fokus Regional yang Spesifik: Banyak studi pengangguran cenderung bersifat nasional. Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih detail dan kontekstual tentang Jawa Timur, provinsi dengan karakteristik ekonomi dan demografi yang unik.
  • Kombinasi Variabel Makro: Memadukan inflasi, upah minimum, belanja daerah, dan pinjaman perbankan dalam satu model memberikan pandangan holistik tentang interaksi faktor-faktor makroekonomi yang memengaruhi pengangguran.
  • Implikasi Kebijakan yang Jelas: Hasil penelitian secara langsung dapat diterjemahkan menjadi rekomendasi kebijakan yang konkret bagi pemerintah daerah.

Kritik dan Saran untuk Penelitian Mendatang:

  • Rentang Waktu yang Lebih Panjang: Periode 2013-2018 adalah enam tahun yang baik, tetapi memperpanjang rentang waktu studi (misalnya, 10-15 tahun) dapat menangkap tren jangka panjang dan mengatasi fluktuasi jangka pendek yang mungkin bias.
  • Variabel Tambahan: Penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan variabel-variabel lain yang juga disinyalir memengaruhi pengangguran, seperti:
    • Investasi Asing Langsung (FDI) dan Investasi Dalam Negeri (PMDN): Kedua jenis investasi ini adalah pendorong utama penciptaan lapangan kerja.
    • Sektor Ekonomi Dominan: Apakah ada perbedaan pengaruh variabel-variabel ini terhadap pengangguran di sektor pertanian, industri, atau jasa? Analisis dis-agregasi bisa sangat informatif.
    • Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM): Indeks pendidikan, kesehatan, atau tingkat partisipasi angkatan kerja yang lebih spesifik dapat ditambahkan untuk mengukur sisi penawaran tenaga kerja.
    • Teknologi dan Otomasi: Bagaimana adopsi teknologi baru memengaruhi permintaan tenaga kerja di berbagai industri di Jawa Timur? Ini adalah tren global yang perlu dipertimbangkan.
  • Pendekatan Kualitatif Tambahan: Meskipun ini adalah penelitian kuantitatif, menambahkan wawancara dengan pembuat kebijakan, pelaku usaha, atau serikat pekerja dapat memberikan konteks kualitatif yang kaya dan menjelaskan mengapa hubungan tertentu terjadi atau tidak signifikan. Misalnya, mengapa upah minimum tidak signifikan memengaruhi pengangguran? Apakah ada mekanisme pasar atau kebijakan lain yang mengkompensasinya?
  • Analisis Spasial: Mengingat keragaman geografis dan ekonomi di Jawa Timur, analisis spasial (menggunakan SIG seperti paper sebelumnya) dapat menunjukkan klaster-klaster pengangguran tinggi atau rendah, serta mengidentifikasi faktor-faktor lokal yang spesifik.
  • Dampak COVID-19: Meskipun penelitian ini berakhir pada 2018, pandemi COVID-19 setelah itu telah secara drastis mengubah lanskap pasar kerja. Penelitian serupa dengan data pasca-pandemi akan sangat relevan untuk memahami dampak jangka panjang dan strategi pemulihan.

Secara keseluruhan, skripsi Selly Nursafitri ini adalah fondasi yang kokoh untuk memahami kompleksitas pengangguran di Jawa Timur. Temuan-temuannya memberikan landasan empiris yang kuat bagi perumusan kebijakan ekonomi yang lebih cerdas dan adaptif, demi mewujudkan Jawa Timur yang sejahtera dengan tingkat pengangguran yang minimal.

Sumber Artikel:

Selly Nursafitri. (2020). PENGARUH INFLASI, UPAH MINIMUM, BELANJA DAERAH DAN PINJAMAN PERBANKAN TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013-2018. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Program Studi Ilmu Ekonomi, Surabaya. Dapat diakses melalui repositori digital universitas: https://digilib.uinsby.ac.id/ (harap verifikasi tautan langsung ke skripsi jika tersedia di repositori publik).