Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebangkitan Ekonomi Pedesaan—dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

17 September 2025, 12.12

unsplash.com

Pendahuluan: Saat Gelombang Resesi Menghantam Ketenagakerjaan Global

Dunia baru saja menghadapi pukulan telak yang bukan hanya berupa krisis kesehatan, tetapi juga krisis ketenagakerjaan yang mendalam. Laporan awal dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang disusun untuk Kelompok Kerja Ketenagakerjaan G20, mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 secara signifikan memperlambat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja global.1 Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, pertumbuhan produktivitas bahkan menunjukkan angka negatif. Akibatnya, "kesenjangan produktivitas" antara negara berkembang dan negara maju semakin melebar, menciptakan tantangan ekonomi yang luar biasa.1

Yang paling terdampak dari badai ekonomi ini adalah mereka yang paling rentan. Laporan tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa orang yang tinggal di pedesaan memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar untuk bekerja di sektor informal, dengan angka mencapai 80% dibandingkan dengan 44% di area perkotaan.1 Kelompok ini, yang mayoritas diisi oleh perempuan dan pemuda, adalah pihak yang paling menderita akibat kehilangan pekerjaan, paparan bahaya kerja, dan peningkatan beban pekerjaan rumah tangga tanpa upah.1 Dalam menghadapi kenyataan pahit ini, para pembuat kebijakan di seluruh dunia dihadapkan pada satu pertanyaan krusial: bagaimana cara paling efektif untuk memulihkan ekonomi, memberdayakan mereka yang terpinggirkan, dan membangun kembali sistem yang lebih tangguh?

Jawabannya, menurut laporan tersebut, mungkin terletak pada pendekatan yang sering luput dari sorotan media massa: Pelatihan Vokasi Berbasis Komunitas (CBVT). Sebagai bagian integral dari sistem pengembangan keterampilan dan pembelajaran seumur hidup, CBVT muncul sebagai "senjata rahasia" yang tidak hanya dapat menjembatani kesenjangan keterampilan, tetapi juga meningkatkan produktivitas tenaga kerja, memberdayakan masyarakat, dan pada akhirnya, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dari bawah ke atas.1

 

Mengungkap Jantung Revolusi Keterampilan Berbasis Komunitas

Definisi yang Mengubah Paradigma

Pelatihan Vokasi Berbasis Komunitas (CBVT) bukanlah sekadar kursus keterampilan biasa. Laporan ini mendefinisikannya sebagai pelatihan terdesentralisasi untuk pekerjaan yang berfokus pada partisipasi komunitas, pemberdayaan diri, dan inklusi kelompok rentan.1 Pendekatan ini sangat relevan di wilayah pedesaan yang minim akses ke lembaga pendidikan formal.1 Lebih dari sekadar ruang kelas, CBVT adalah sebuah pendekatan holistik yang mencakup seluruh siklus pemberdayaan ekonomi, mulai dari identifikasi peluang ekonomi lokal, penyediaan pelatihan, hingga dukungan pasca-pelatihan.1

Sebagai perbandingan, TVET (Pendidikan dan Pelatihan Teknik dan Vokasi) yang lebih umum dikenal sering kali diatur secara sentral dan berorientasi pada pasar kerja formal. Sebaliknya, CBVT beroperasi pada tingkat mikro, memanfaatkan struktur komunitas yang sudah ada dan bentuk manajemen yang terdesentralisasi.1 Ini memungkinkan program untuk lebih responsif terhadap kebutuhan yang spesifik di setiap komunitas.

Kilasan Sejarah yang Kurang Dikenal

CBVT bukanlah konsep yang baru muncul. Laporan ini memberikan konteks historis yang kaya, menunjukkan bahwa pendekatan pengembangan keterampilan di pedesaan sering kali didorong oleh tekanan eksternal, seperti kekhawatiran tentang migrasi pedesaan-ke-kota atau tantangan lingkungan.1 Contohnya, land grant colleges di Amerika Serikat pada tahun 1860-an yang didirikan untuk mengajarkan pertanian dan seni mekanik.1 Di negara-negara di belahan Bumi bagian selatan, perhatian terhadap pengembangan keterampilan pedesaan sempat terabaikan pasca-Perang Dunia Kedua, karena agenda industrialisasi lebih mendominasi.1 Namun, pada akhir 1960-an, kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi informal memunculkan inisiatif nasional, sepertivillage polytechnics di Kenya.1 Laporan ini juga menyoroti evolusi metodologi ILO sendiri, yang dimulai dengan Training for Rural Gainful Activities (TRUGA) di tahun 90-an dan berkembang menjadi metodologi Training for Rural Economic Empowerment (TREE) yang masih digunakan hingga kini.1 Sejarah ini menunjukkan bahwa CBVT adalah sebuah konsep yang matang, bukan sekadar respons sesaat, dan terus beradaptasi dengan perubahan zaman.

Kekuatan Pendekatan 'Bottom-Up'

Salah satu poin paling kuat yang diangkat dalam laporan ini adalah pentingnya pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up).1 Pendekatan ini bukan sekadar jargon, melainkan inti dari keberhasilan CBVT. Sebuah program pelatihan yang dirancang dari pusat, misalnya dari Jakarta, mungkin menawarkan kursus teknologi informasi dan komunikasi (TIK).2 Namun, di sebuah desa terpencil seperti Desa Mulawarman, kebutuhan yang mendesak mungkin adalah keterampilan pertanian organik, budidaya ikan, atau kerajinan tangan lokal.4 Pendekatan bottom-up memungkinkan komunitas itu sendiri yang mengidentifikasi peluang ekonomi lokal dan merancang program pelatihan yang relevan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Mulawarman.4

Kausalitasnya jelas: identifikasi kebutuhan yang akurat pada tingkat komunitas menghasilkan pelatihan yang relevan, yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan keberhasilan peserta dalam mendapatkan pekerjaan atau memulai usaha mikro. Ini adalah kunci mengapa CBVT tidak hanya berhasil dalam teori tetapi juga dalam praktik.1 Ketika program sepenuhnya mencerminkan aspirasi dan realitas lokal, tingkat partisipasi dan dampaknya secara otomatis meningkat.

 

Potret Beragam Tata Kelola Lintas G20: Kisah Adaptasi dan Otonomi Lokal

Laporan ini mengidentifikasi tiga model tata kelola utama yang digunakan oleh negara-negara G20 dalam mengelola CBVT.1 Masing-masing model mencerminkan keseimbangan yang unik antara kontrol terpusat dan otonomi lokal.

Model Sektor Formal: Vokasi sebagai Pilar Resmi Negara

Dalam model ini, CBVT diakui sebagai sektor formal yang terpisah dalam sistem pendidikan, dengan kerangka hukum, anggaran, dan regulasi yang jelas.1 Negara-negara seperti Australia, Italia, Inggris, Republik Korea, dan Afrika Selatan mengadopsi pendekatan ini.1 Di Afrika Selatan, misalnya, warisan apartheid mendorong terciptanya sistem pendidikan dan pelatihan pasca-sekolah yang formal. Perguruan tinggi komunitas (Community Education and Training Colleges) yang ada di setiap provinsi, mengelola lebih dari 2.500 pusat dan satelit pembelajaran, didukung oleh pajak gaji nasional.1

Model ini memberikan jaminan kualitas dan kredibilitas, karena lembaga-lembaga ini sering kali terdaftar sebagai Organisasi Pelatihan Terdaftar (Registered Training Organizations, RTO) yang mampu memberikan kualifikasi yang diakui secara nasional.1 Namun, laporan ini juga menyoroti tantangan untuk menjaga agar sistem yang sentralistik ini tetap responsif terhadap kebutuhan lokal yang spesifik.1

Model Jangkauan Institusi Vokasi: Sekolah Menjangkau Komunitas

Model kedua menggambarkan bagaimana institusi formal yang sudah ada, seperti universitas, perguruan tinggi, atau sekolah vokasi, memperluas jangkauan mereka ke daerah terpencil dan populasi yang terpinggirkan.1 Laporan ini mencontohkan Argentina yang meluncurkan "ruang kelas bergerak" (mobile classroom) yang lengkap dengan fasilitas multimedia dan akses internet satelit.1 Unit-unit ini dipindahkan ke lokasi yang berbeda tergantung pada permintaan dan jenis kursus yang ditawarkan.1

Di Meksiko, lebih dari 80% institusi pendidikan tinggi menjalankan program penjangkauan berbasis komunitas.1 Ini adalah cara efektif untuk memanfaatkan infrastruktur dan keahlian yang sudah ada tanpa harus membangun sistem baru.1 Jepang dan Jerman juga menunjukkan pendekatan serupa, di mana sekolah vokasi dan industri lokal bekerja sama untuk memastikan pelatihan relevan dengan kebutuhan regional.1

Model Penyedia Layanan Organisasi Komunitas: Mengandalkan Aktor Lokal

Model ketiga adalah pendekatan yang terdesentralisasi, di mana layanan pelatihan diserahkan kepada organisasi berbasis komunitas.1 Laporan ini mencontohkan India, di mana kebijakan pengembangan keterampilan nasional secara eksplisit melibatkan sektor swasta dan LSM dalam proses penawaran yang kompetitif.1 Di Indonesia, pemerintah mendirikan lebih dari 2.100 Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas yang dikelola oleh organisasi masyarakat, termasuk organisasi keagamaan, sekolah lokal, dan serikat pekerja.1 BLK Komunitas ini diharapkan dapat menjadi mandiri seiring berjalannya waktu setelah mendapatkan pendanaan awal dari pemerintah.1

Model ini memiliki keunggulan dalam fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap kebutuhan lokal.1 Namun, laporan ini juga memberikan catatan kritis bahwa tanpa kerangka regulasi atau dukungan finansial yang kuat dari tingkat nasional, organisasi-organisasi ini bisa berisiko menciptakan "sistem kelas dua" yang tidak menawarkan jalan yang jelas untuk kemajuan ke pasar kerja formal.1

 

Menembus Batasan dan Menjangkau Mereka yang Terlupakan

Laporan ini secara khusus menyoroti fakta bahwa CBVT adalah instrumen yang sangat efektif untuk menjangkau kelompok-kelompok yang secara tradisional sulit diakses oleh sistem pendidikan formal.1 Hambatan dapat berupa geografis, sosial, atau ekonomi.

Strategi Penjangkauan yang Inovatif

Negara-negara G20 menggunakan beragam cara untuk menjangkau peserta pelatihan. Di Kanada, pekerja sosial menginformasikan individu yang menerima bantuan sosial tentang program pelatihan yang tersedia.1 Di Indonesia, kepala desa di daerah terpencil memfasilitasi penjangkauan dan perekrutan peserta.1 India menggunakan acara seperti "mela" atau pameran yang diselenggarakan oleh LSM dan penyedia pelatihan swasta untuk menarik minat dan mendaftarkan calon peserta.1 Di Turki, sekolah dan pertemuan keluarga digunakan untuk meningkatkan kesadaran, dengan perhatian khusus pada perempuan.1

Layanan ekstensi pertanian juga berperan penting. Di India, Agricultural Technology Management Agency (ATMA) bekerja dengan kelompok petani untuk memberikan pelatihan.1 Namun, model ini juga menghadapi tantangan seperti elite capture (di mana manfaat hanya dirasakan oleh kelompok kaya) dan rendahnya kapasitas penyedia layanan.1

Pemberdayaan Perempuan dan Kelompok Adat

Analisis data dalam laporan ini menunjukkan bahwa CBVT memiliki dampak yang tidak proporsional dalam memberdayakan perempuan dan kelompok rentan lainnya. Di Afrika Selatan, 71% peserta di Pusat Pembelajaran Komunitas adalah perempuan.1 Begitu pula di Republik Korea, Occupational Centre for Women (OCW) bekerja sama dengan pusat-pusat komunitas untuk menjangkau perempuan yang telah lama keluar dari angkatan kerja, memberikan dukungan satu per satu yang mengintegrasikan konseling sosial, bimbingan karier, dan bantuan pencarian kerja.1 Perempuan sering kali menghadapi hambatan ganda, termasuk norma sosial dan tanggung jawab pengasuhan, yang menghalangi partisipasi mereka dalam sistem formal.1 CBVT, dengan sifatnya yang fleksibel dan berbasis di komunitas, secara langsung mengatasi hambatan ini, menjadikannya sebuah katalisator yang kuat untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi.

Laporan ini juga menyoroti bagaimana CBVT dapat disesuaikan untuk menghormati dan mendukung kelompok adat. Di Kanada, Indigenous Skills and Employment Training (ISET) Program didesain untuk merefleksikan perbedaan antara masyarakat Adat, Métis, dan Inuit.1 Program ini tidak hanya melatih keterampilan kerja, tetapi juga mempromosikan kisah-kisah sukses untuk menginspirasi generasi selanjutnya.1

 

Jalan Menuju Keahlian: Desain Pelatihan yang Adaptif dan Fleksibel

Pelatihan CBVT yang efektif dimulai jauh sebelum peserta memasuki ruang kelas. Laporan ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan terletak pada desain program yang responsif terhadap kebutuhan lokal.1 Di Indonesia, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) memiliki otonomi untuk mengidentifikasi kebutuhan komunitas, menawarkan kursus yang beragam, memobilisasi sumber daya, dan membangun kemitraan dengan organisasi lokal.1 Pendekatan ini memastikan bahwa kurikulum relevan dan adaptif.

 

Beragam Moda Pelatihan untuk Beragam Kebutuhan

Laporan ini mengidentifikasi empat pendekatan utama dalam pengiriman pelatihan, yang sering kali digunakan secara bersamaan:

  • Pelatihan berbasis kelas/pusat: Masih menjadi metode paling umum, terutama di negara-negara seperti Rusia, Amerika Serikat, dan Arab Saudi.1
  • Unit Pelatihan Bergerak: Digunakan di negara-negara dengan geografis luas seperti Argentina dan Brasil, unit-unit ini dilengkapi dengan peralatan dan teknologi untuk menjangkau komunitas terpencil.1 Di Argentina, jaringan "ruang kelas bergerak" dilengkapi dengan koneksi internet satelit dan fasilitas multimedia.1
  • Pembelajaran Berbasis Kerja (Work-Based Learning): Memegang peran penting dalam CBVT, terutama di negara-negara seperti Jerman dan Jepang.1 Laporan ini menyoroti bagaimana sistem pelatihan ganda (
    dual system) di Jerman bekerja sama dengan kamar dagang lokal untuk memastikan keterampilan yang diajarkan relevan dengan kebutuhan industri.1
  • Pembelajaran Daring dan Blended: Pandemi telah mendorong ketergantungan pada metode ini. Di Indonesia, platform Skillhub dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menawarkan pelatihan blended dan online gratis.2

 

Kritik Realistis: Sisi Gelap Revolusi Digital

Meskipun pembelajaran daring menawarkan fleksibilitas yang luar biasa, laporan ini memberikan kritik yang penting dan realistis: "ketidaksetaraan akses terhadap TIK" harus segera diatasi untuk menghindari eksklusi lebih lanjut.1 Seseorang mungkin memiliki ponsel pintar, tetapi tanpa koneksi internet yang stabil, listrik yang memadai, atau kuota data yang terjangkau, kesempatan mereka untuk belajar secara daring sangat terbatas. Laporan tersebut mencatat bahwa kesenjangan ini dapat memperlebar jurang pemisah antara mereka yang memiliki akses dan mereka yang tidak, sehingga solusi digital harus diimbangi dengan strategi lain seperti unit pelatihan bergerak atau penyediaan akses internet gratis di pusat-pusat komunitas.1

 

Sertifikasi dan Dampak Nyata: Menjembatani Keterampilan Lokal ke Pasar Global

Tujuan akhir dari CBVT bukanlah sekadar mengajar keterampilan, tetapi untuk memastikan bahwa keterampilan tersebut dapat menghasilkan pendapatan dan membuka peluang.1 Untuk mencapai ini, sistem penilaian dan sertifikasi yang efektif sangatlah penting.

Dari Keterampilan Informal ke Kualifikasi Formal

Laporan ini menyoroti peran kunci dari Recognition of Prior Learning (RPL) atau Pengakuan Pembelajaran Terdahulu.1 RPL memungkinkan individu yang memperoleh keterampilan melalui jalur informal atau non-formal untuk mendapatkan sertifikasi resmi yang diakui secara nasional. Di India, program PMKVY (Pradhan Mantri Kaushal Vikas Yojana) menggunakan RPL untuk memberikan sertifikasi kepada pekerja informal, yang memungkinkan mereka mengakses pelatihan lebih lanjut dan kesempatan kerja formal.1 Sebuah studi pelacakan di India menunjukkan bahwa upah rata-rata peserta yang berhasil memperoleh sertifikasi melalui RPL meningkat 4% dalam waktu enam bulan, sebuah lompatan nyata dari pendapatan sebelumnya.1

Namun, laporan ini juga menyajikan dilema: apakah CBVT harus fokus pada sertifikasi formal atau langsung pada pengembangan wirausaha? Di India, program seperti Kudumbashree di Kerala dan National Rural Livelihood Mission (NRLM) sengaja berfokus pada wirausaha mikro untuk pengentasan kemiskinan, tanpa memberikan kualifikasi formal.1 Hal ini relevan di wilayah di mana pasar kerja formal tidak berkembang, tetapi berisiko menjebak pekerja di ekonomi informal.1 Sebaliknya, sistem di Australia mengharuskan penyedia CBVT menjadi RTO untuk mengeluarkan sertifikat, memastikan standar dan mobilitas.1 Kunci keberhasilan adalah pendekatan ganda: mempromosikan wirausaha sambil menyediakan jalur yang jelas dan dapat diakses (melalui RPL) ke sistem formal bagi mereka yang menginginkannya.

Dukungan Pasca-Pelatihan yang Krusial

Pelatihan saja tidak cukup; dukungan pasca-pelatihan adalah faktor penentu keberhasilan CBVT.1 Dukungan ini dapat berupa bantuan pencarian kerja, pendampingan untuk memulai usaha, dan akses ke pembiayaan.1 Di Amerika Serikat, jaringan American Job Centers menyediakan layanan komprehensif seperti bimbingan karier dan bantuan penulisan resume.1 Sementara itu, di Brasil, National Rural Learning Services (SENAR) bekerja sama dengan layanan dukungan untuk usaha mikro untuk mempromosikan kewirausahaan di pedesaan.1

Pernyataan dampak nyata dari laporan ini begitu lugas: jika diterapkan secara holistik, CBVT tidak hanya melatih keterampilan baru, tetapi juga menciptakan ribuan lapangan kerja, mengurangi biaya sosial dari pengangguran, dan secara nyata meningkatkan pendapatan jutaan orang.1 Laporan tersebut mencatat bahwa dengan perluasan skala program seperti RPL yang berhasil meningkatkan upah rata-rata peserta hingga 4% hanya dalam waktu enam bulan, dampak ekonomi secara keseluruhan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan bisa luar biasa besar.1

 

Kesimpulan: Arah Baru untuk Kebijakan Ketenagakerjaan Pasca-Pandemi

CBVT adalah alat kebijakan yang penting dan kuat untuk mengatasi tantangan ekonomi dan sosial pasca-pandemi, terutama di daerah pedesaan.1 Laporan ini menyimpulkan lima pelajaran kunci untuk mewujudkan potensi CBVT:

  • Menyeimbangkan kebijakan terpusat dan kebutuhan lokal: Penting untuk memberikan otonomi kepada komunitas tanpa mengorbankan standar nasional.1
  • Menciptakan jejaring yang kuat antar aktor lokal: Penyedia pelatihan harus berinteraksi dengan lingkungan institusi lokal, pengusaha, dan pekerja untuk memastikan relevansi.1
  • Meningkatkan akses dan kualitas, menghindari "perangkap kelas dua": CBVT harus membuka jalan menuju pekerjaan formal dan pendidikan lebih lanjut, tidak menutupnya. RPL adalah kunci di sini.1
  • Mengintegrasikan isu-isu iklim dan lingkungan: Program CBVT harus dirancang untuk mengatasi krisis iklim dan mempromosikan "pekerjaan hijau".1
  • Membangun kemitraan dan dialog sosial yang efektif: Keterlibatan pengusaha dan organisasi pekerja sangat penting untuk memastikan program yang efektif dan relevan.1

Meskipun laporan ini menyajikan gambaran yang optimis, implementasi di lapangan sering kali tidak semulus niat di atas kertas. Tantangan seperti keterbatasan anggaran, birokrasi yang kaku, atau kurangnya kemauan politik dapat menghambat keberhasilan program inovatif ini. Namun, CBVT tetap menjadi investasi paling strategis yang dapat dilakukan negara-negara G20. Dengan fokus pada partisipasi komunitas, pemberdayaan diri, dan inklusi, CBVT memiliki kekuatan untuk tidak hanya memulihkan ekonomi pasca-pandemi, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan di masa depan.1

 

Sumber Artikel:

International Labour Organization. (2022, February). Initial review of community-based vocational training (CBVT) in G20 countries. Paper prepared for the 1st meeting of the G20 Employment Working Group.