Keselamatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 25 September 2025
Kecelakaan kerja tidak hanya terjadi di dunia industri, tetapi juga dalam kegiatan praktik di perguruan tinggi, terutama pada program studi teknik dan vokasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja di lingkungan pendidikan tinggi, dengan fokus pada kegiatan praktik di bengkel dan laboratorium.
Metodologi penelitian melibatkan observasi langsung serta penyebaran kuesioner kepada mahasiswa dan dosen pendamping. Analisis data menunjukkan bahwa kecelakaan kerja disebabkan oleh kombinasi faktor manusia (human error), faktor lingkungan, serta faktor manajemen keselamatan yang belum optimal.
Beberapa kasus kecelakaan ringan seperti luka gores, terjepit peralatan, hingga terpeleset sering dilaporkan. Penyebab utama antara lain:
Sorotan Data:
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memperkaya literatur tentang keselamatan kerja di pendidikan tinggi, sebuah area yang sering terabaikan karena fokus keselamatan lebih banyak diberikan pada dunia industri. Studi ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi perlu mengadopsi standar keselamatan industri dalam pembelajaran praktik agar mahasiswa terbiasa dengan budaya kerja aman sejak dini.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Pertanyaan terbuka: Bagaimana strategi pelatihan keselamatan yang paling efektif untuk mahasiswa teknik? Apakah integrasi teknologi digital (misalnya modul e-safety atau simulasi VR) dapat menurunkan angka kecelakaan?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Ajakan Kolaboratif
Penelitian lebih lanjut sebaiknya melibatkan Fakultas Teknik UNJ, politeknik, serta lembaga keselamatan kerja seperti Kementerian Ketenagakerjaan atau BPJS Ketenagakerjaan, agar strategi pencegahan kecelakaan benar-benar sesuai standar industri.
Baca Selengkapnya di: Pelita Sukma, T. C. (2020). BUKU PROSIDING SEMINAR PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020 "Inovasi Pembangunan dalam Teknologi dan Pendidikan". Buku Prosiding SPKTS 2020 Jilid 1.
Media Pembelajaran
Dipublikasikan oleh Raihan pada 25 September 2025
Penelitian ini berangkat dari tantangan nyata dalam pembelajaran Estimasi Biaya Konstruksi, sebuah mata kuliah inti dalam pendidikan teknik sipil dan pendidikan teknik bangunan. Estimasi biaya merupakan keterampilan yang menuntut ketelitian, pemahaman prosedural, serta kemampuan mengoperasikan perangkat lunak atau metode perhitungan manual. Sayangnya, metode pembelajaran tradisional yang masih dominan berupa ceramah dan jobsheet sering kali kurang memadai untuk menjelaskan detail prosedur perhitungan biaya konstruksi. Hal ini mengakibatkan mahasiswa kesulitan memahami alur pengerjaan estimasi biaya yang kompleks.
Untuk menjawab persoalan tersebut, penelitian ini menguji media video tutorial sebagai alternatif inovatif. Video tutorial dinilai memiliki keunggulan karena menyajikan langkah-langkah prosedural secara visual dan auditori sekaligus. Melalui video, mahasiswa dapat mengulang materi sesuai kebutuhan, memperhatikan detail teknis secara berulang, serta belajar secara mandiri tanpa terikat pada keterbatasan waktu tatap muka.
Metodologi penelitian menggunakan desain kuasi-eksperimen dengan dua kelompok mahasiswa: kelas eksperimen yang menggunakan video tutorial, dan kelas kontrol yang tetap diajar dengan metode ceramah. Data hasil belajar diperoleh dari ujian akhir mata kuliah.
Hasil analisis menunjukkan perbedaan signifikan antara kedua kelompok. Kelas eksperimen memperoleh rata-rata nilai 82,3, sedangkan kelas kontrol hanya mencapai 74,1. Selisih sebesar 8,2 poin menjadi bukti kuat bahwa penggunaan video tutorial memberikan peningkatan nyata dalam hasil belajar mahasiswa. Dengan kata lain, temuan ini menunjukkan bahwa media berbasis teknologi digital lebih efektif dibandingkan metode pembelajaran konvensional untuk topik estimasi biaya konstruksi.
Sorotan Data Kuantitatif
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi nyata dalam bidang pendidikan teknik sipil dan pendidikan vokasi. Pertama, studi ini memperkuat argumen bahwa media pembelajaran berbasis video tutorial dapat menjadi instrumen efektif untuk meningkatkan hasil belajar pada materi yang sifatnya prosedural dan teknis. Estimasi biaya konstruksi bukan sekadar teori, melainkan keterampilan praktis yang membutuhkan pemahaman tahap demi tahap.
Kedua, penelitian ini menunjukkan adanya hubungan kuat antara cara penyajian materi dan pencapaian hasil belajar mahasiswa. Angka peningkatan sebesar 8,2 poin bukanlah perbedaan kecil, melainkan indikasi bahwa pendekatan digital berbasis tutorial mampu menjawab kelemahan metode ceramah.
Ketiga, riset ini juga menyumbangkan bukti empiris yang dapat menjadi dasar bagi pengembangan kurikulum. Dengan pembelajaran berbasis teknologi, mahasiswa dipersiapkan lebih baik menghadapi dunia kerja yang kini sangat bergantung pada software perhitungan, simulasi, dan perangkat digital lainnya.
Terakhir, penelitian ini menegaskan bahwa inovasi media pembelajaran bukan sekadar tren, tetapi kebutuhan mendesak untuk menjembatani kesenjangan antara pengajaran di kampus dengan kebutuhan industri konstruksi.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Walaupun temuan penelitian ini signifikan, beberapa keterbatasan perlu dicatat.
Pertanyaan terbuka yang perlu dijawab riset lanjutan antara lain:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Ajakan Kolaboratif
Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lanjutan perlu melibatkan kolaborasi lintas institusi. Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dapat menjadi mitra utama dalam pengembangan media video tutorial yang terstandarisasi. Selain itu, asosiasi kontraktor dan penyedia perangkat lunak konstruksi juga dapat diajak bekerja sama agar konten video relevan dengan kebutuhan industri.
Dengan sinergi akademisi, praktisi, dan industri, media video tutorial tidak hanya akan meningkatkan kualitas pembelajaran di kampus, tetapi juga memperkuat kompetensi lulusan agar lebih siap menghadapi tantangan dunia konstruksi modern.
Baca Selengkapnya di: Pelita Sukma, T. C. (2020). BUKU PROSIDING SEMINAR PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020 "Inovasi Pembangunan dalam Teknologi dan Pendidikan". Buku Prosiding SPKTS 2020 Jilid 1.
Manajemen Aset & Fasilitas
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 25 September 2025
Bagian I: Ilusi Usia dan Gema Keluhan di Dinding Asrama
Saya masih ingat betul kamar kos pertama saya. Sebuah ruangan kecil dengan satu jendela, satu lemari kayu, dan satu meja belajar. Tapi yang paling saya ingat adalah pintu lemarinya. Entah kenapa, engselnya selalu miring. Setiap kali saya tutup, pintunya akan memantul terbuka sedikit, seolah menolak untuk diam. Ditambah lagi keran di kamar mandi yang menetes tanpa henti, menciptakan simfoni tetesan air yang mengganggu di tengah malam.
Itu adalah frustrasi-frustrasi kecil, gangguan sepele dalam skema besar kehidupan. Tapi setiap kali saya mendengar tetesan air itu, atau melihat pintu lemari yang setengah terbuka, ada perasaan jengkel yang muncul. Perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang seharusnya berfungsi tapi tidak.
Ternyata, perasaan saya ini tidak sendirian. Jauh di sana, sekelompok peneliti di Universiti Teknologi Malaysia memutuskan untuk mendengarkan "bisikan" serupa, tapi dalam skala yang jauh lebih masif. Mereka tidak hanya mendengarkan satu keran bocor, tapi mereka mengumpulkan dan menganalisis 55.439 keluhan dari mahasiswa yang tinggal di asrama selama enam tahun penuh, dari 2012 hingga 2017.
Bayangkan ini: sebuah "buku harian rahasia" dari 179 gedung di sembilan asrama, berisi setiap keluhan, setiap frustrasi, setiap laporan kerusakan, sekecil apa pun itu. Paper yang mereka tulis, "Analysis of Building Defects at Residential Colleges," bukanlah sekadar dokumen akademis yang kaku. Bagi saya, ini adalah harta karun—sebuah peta yang menunjukkan di mana titik-titik rasa sakit dalam sebuah bangunan berada. Dan temuan mereka, jujur saja, menampar logika umum yang selama ini kita pegang.
Kejutan Pertama yang Menampar Logika: Ketika Gedung 34 Tahun Mengalahkan yang 16 Tahun
Kalau saya tanya kamu, mana yang lebih mungkin sering rusak: gedung berusia 34 tahun atau gedung berusia 16 tahun? Logika sederhana akan mengatakan, "Tentu saja yang lebih tua!" Usia identik dengan keausan, kerapuhan, dan masalah.
Nah, di sinilah paper ini memberikan pukulan telak pertama. Data mereka menunjukkan hal yang sebaliknya. Asrama K7, yang paling tua dengan usia 34 tahun, ternyata menerima keluhan lebih sedikit (14.3% dari total) dibandingkan asrama K5 yang usianya kurang dari setengahnya, yaitu 16 tahun, yang justru menjadi juara keluhan dengan angka 18.3%.
Ini adalah momen "tunggu dulu, apa?" bagi saya. Bagaimana bisa gedung yang lebih muda, yang seharusnya masih "segar", justru lebih banyak masalahnya?
Jawabannya, menurut para peneliti, sangatlah fundamental: kondisi sebuah gedung bukanlah cerminan dari usianya di kalender, melainkan cerminan dari kualitas pengelolaannya. Paper tersebut menyiratkan bahwa faktor-faktor seperti "kegiatan perawatan yang buruk, material konstruksi yang kurang baik, dan faktor internal seperti vandalisme" jauh lebih berpengaruh daripada sekadar angka usia.
Ini adalah sebuah pergeseran paradigma. Kita sering terjebak dalam pemikiran bahwa waktu adalah musuh utama aset fisik. Padahal, data ini membuktikan bahwa musuh yang sebenarnya adalah keputusan-keputusan yang kita ambil (atau tidak kita ambil): keputusan untuk menggunakan material murah, keputusan untuk menunda perawatan, dan kegagalan membangun budaya kepemilikan. Sebuah gedung tua yang dirawat dengan baik adalah aset yang jauh lebih berharga daripada gedung baru yang diabaikan.
Pelajaran ini melampaui dunia manajemen fasilitas. Ini adalah metafora universal tentang pentingnya pengelolaan dibandingkan kebaruan (stewardship over novelty). Jangan terpesona oleh label "baru", tapi fokuslah pada label "terawat".
Bagian II: Anatomi Sebuah Keluhan: Apa yang Sebenarnya Dikatakan 55.439 Suara?
Jadi, jika bukan usia, apa sebenarnya yang dikeluhkan oleh puluhan ribu mahasiswa ini? Apa yang membuat mereka mengangkat telepon atau mengisi formulir laporan? Apakah ini tentang retakan besar di fondasi atau dinding yang miring?
Ternyata bukan.
Masalah 62 Persen: Bukan Retak di Fondasi, tapi Keran yang Macet
Statistik paling menonjol dari penelitian ini adalah pembagian keluhan berdasarkan kategori. Sebanyak 62% dari semua keluhan masuk dalam kategori "Sipil", diikuti oleh 35% "Listrik", dan hanya 3% "Mekanikal".
Istilah "Sipil" di sini mungkin terdengar teknis, tapi pada dasarnya ini adalah tentang segala sesuatu yang kita sentuh, gunakan, dan lihat setiap hari di sebuah bangunan. Ini bukan tentang masalah struktural masif yang mengancam keselamatan. Ini adalah tentang ribuan gangguan kecil yang, seperti tetesan air di kamar kos saya dulu, secara perlahan menggerus kenyamanan dan kewarasan kita.
Peta Penderitaan Harian: Membedah Kategori Keluhan Sipil
Ketika para peneliti membedah kategori Sipil ini lebih dalam, mereka menemukan sebuah hierarki penderitaan yang sangat jelas. Data dari Tabel 5 dalam paper mereka melukiskan gambaran yang detail. Saya merangkumnya dalam tabel sederhana ini agar lebih mudah dicerna.
PeringkatKategori Kerusakan (Sipil)Persentase dari Total Keluhan SipilContoh Sehari-hari yang Bikin Pusing1Komponen Rusak59.8%Gagang pintu copot, keran macet, ubin retak2Kebocoran & Rembesan14.1%Wastafel bocor, dinding lembap, pipa netes3Tersumbat12.6%Saluran air kamar mandi mampet, wastafel tidak lancar4Masalah Teknis10.0%Air tiba-tiba mati, tekanan air lemah5Komponen Hilang3.5%Kunci kamar hilang, pengunci jendela tidak ada
Lihat polanya? Juara tak terbantahkan dari semua keluhan, dengan porsi hampir 60%, adalah komponen yang rusak. Ini adalah "titik kontak" antara manusia dan bangunan: gagang pintu yang kita putar, keran yang kita buka, flush toilet yang kita tekan, jendela yang kita geser, dan ubin yang kita injak setiap hari. Inilah garis depan dari keausan, tempat di mana bangunan paling sering "berinteraksi" dengan penggunanya, dan akibatnya, paling sering gagal.
Ini seperti Prinsip Pareto dalam Manajemen Fasilitas: sekitar 80% keluhan mungkin berasal dari 20% komponen bangunan—yaitu, komponen-komponen dengan interaksi tinggi dan yang berada di area basah seperti kamar mandi dan pantry. Ini berarti, strategi perawatan seharusnya tidak merata. Tim pemeliharaan harusnya bisa memfokuskan sumber daya mereka secara tidak proporsional pada titik-titik rawan ini.
Lebih jauh lagi, data ini seharusnya tidak hanya menjadi panduan bagi tim pemeliharaan. Ini seharusnya menjadi dokumen wajib bagi arsitek dan manajer pengadaan untuk proyek-proyek di masa depan. Paper ini secara eksplisit menyatakan bahwa temuan ini "memberikan informasi kepada tim operasi sejak tahap desain". Jika kita tahu bahwa gagang pintu adalah titik kegagalan nomor satu, mengapa kita terus membeli gagang pintu termurah? Data keluhan ini adalah justifikasi berbasis bukti untuk berinvestasi lebih pada komponen yang lebih tahan lama di area-area kritis, bahkan jika biayanya di muka lebih tinggi. Ini mengubah data keluhan dari sekadar log reaktif menjadi alat desain yang proaktif.
Bagian III: Tritunggal Suci Kegagalan Gedung
Setelah tahu apa yang rusak, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa? Mengapa gagang pintu copot, pipa bocor, dan saluran air tersumbat? Paper ini mensintesis penyebabnya menjadi beberapa faktor inti. Saya suka membingkainya sebagai "Tritunggal Suci Kegagalan Gedung" atau "Tiga Dosa Utama" yang sering kita lakukan dalam merawat fasilitas.
Mengapa Semuanya Rusak? Membedah Tiga Dosa Utama Perawatan Fasilitas
Dosa #1: Godaan Material Murah (Kualitas Material yang Buruk) Paper ini tanpa basa-basi menyatakan, "Material berkualitas rendah sering digunakan untuk memotong biaya". Ini adalah dosa asal dalam banyak proyek konstruksi. Keputusan untuk menghemat beberapa ratus ribu rupiah pada gagang pintu atau pipa air di awal akan menciptakan utang pemeliharaan yang membengkak jutaan rupiah di kemudian hari. Ini adalah penghematan palsu yang selalu datang untuk menagih.
Dosa #2: Kelalaian "Kalau Belum Rusak, Jangan Diperbaiki" (Kurangnya Perawatan Rutin) Mentalitas pemadam kebakaran. Kita baru bergerak ketika api sudah berkobar. Paper ini menyoroti bahwa tim pemeliharaan sering kali mengambil "tindakan korektif... ketika [komponen] digunakan sampai rusak atau tidak dapat digunakan lagi" karena anggaran yang ketat. Ini adalah strategi yang reaktif dan mahal. Merawat secara rutin jauh lebih murah daripada memperbaiki kerusakan besar.
Dosa #3: Hantu dalam Mesin (Vandalisme dan Sikap Apatis Pengguna) Ini adalah elemen manusia yang paling kompleks. Para peneliti menyebutkan vandalisme terjadi karena "kurangnya kesadaran rasa memiliki terhadap pelestarian aset". Mahasiswa tidak merasa bahwa fasilitas itu adalah "milik mereka", sehingga mereka tidak merawatnya.
Ketiga dosa ini mungkin terlihat terpisah, tetapi sebenarnya mereka dihubungkan oleh benang merah yang sama: anggaran dan pola pikir (mindset). Material murah adalah keputusan anggaran. Kurangnya perawatan rutin adalah keputusan anggaran. Dan vandalisme, pada akarnya, adalah hasil dari pola pikir apatis atau kurangnya rasa memiliki.
Bahkan, ada lingkaran setan yang terjadi di sini. Fasilitas yang buruk karena material murah dan kurangnya perawatan dapat secara aktif menciptakan pola pikir apatis yang menyebabkan vandalisme. Seorang mahasiswa yang merasa tidak dihargai karena harus tinggal di asrama yang rusak cenderung tidak akan menghargai fasilitas tersebut. Jadi, solusi untuk vandalisme mungkin bukan hanya "meningkatkan kesadaran", tetapi juga menunjukkan rasa hormat kepada pengguna dengan menyediakan dan merawat fasilitas yang layak.
Opini Saya: Sedikit Kritik untuk Penelitian yang Hebat
Meskipun temuannya sangat kuat dan relevan, saya merasa paper ini bisa menggali lebih dalam aspek "vandalisme". Istilah ini terasa sedikit satu dimensi. Apakah ini murni perusakan yang disengaja? Atau jangan-jangan ini adalah bentuk "protes" tidak langsung dari mahasiswa terhadap fasilitas yang mereka rasa di bawah standar? Atau mungkin hanya kecerobohan yang lahir dari rasa ketidakpedulian karena fasilitasnya sendiri sudah tidak terawat? Analisisnya terasa sedikit abstrak di sini dan bisa diperkaya dengan pendekatan kualitatif untuk memahami "mengapa" di balik perilaku pengguna.
Bagian IV: Dari Keluhan Menjadi Kompas: Pelajaran Praktis untuk Semua
Oke, kita sudah tahu masalahnya. Sekarang, apa solusinya? Bagian terbaik dari paper ini adalah mereka tidak berhenti pada diagnosis; mereka juga menawarkan resepnya.
Mengubah Data Menjadi Daftar Tugas: Cara Menerapkan Ini Hari Ini
Bagian terakhir ini adalah tentang menerjemahkan rekomendasi akademis dari paper menjadi nasihat yang bisa langsung kamu terapkan.
Dari "Quality Control" menjadi "Perlakukan Gedung Anda Seperti Produk". Paper ini menyebut metode "PDCA (Plan-Do-Check-Act)". Terjemahan bebasnya: perlakukan gedungmu seperti pengembang perangkat lunak memperlakukan aplikasi mereka. Mereka terus merilis pembaruan untuk memperbaiki bug berdasarkan laporan pengguna. Tim fasilitas juga harus begitu: gunakan data keluhan (laporan bug) untuk terus-menerus memperbaiki dan meningkatkan "produk" (gedung).
Dari "Periodical Maintenance" menjadi "Berhenti Memadamkan Api, Mulai Membuat Tahan Api". Ini adalah inti dari pemeliharaan preventif versus korektif yang dibahas dalam paper. Jangan tunggu sampai rusak. Buat jadwal rutin untuk memeriksa titik-titik rawan yang sudah kita identifikasi dari data keluhan.
Dari "Improvement toward People Competency" menjadi "Berinvestasi pada Manusia, Bukan Hanya pada Suku Cadang". Paper ini menekankan pentingnya kompetensi staf pemeliharaan. Pastikan tim kamu terlatih dengan baik, karena keahlian mereka adalah investasi terbaik untuk umur panjang sebuah bangunan.
Tiga Pelajaran Utama yang Saya Bawa Pulang
Setelah membaca dan merenungkan paper ini, ada tiga hal utama yang menempel di benak saya:
🚀 Hasilnya luar biasa: Menganalisis keluhan bukan sekadar memadamkan api, tapi menggambar peta untuk mencegah kebakaran di masa depan. Ini mengubah departemen pemeliharaan dari pusat biaya menjadi pusat intelijen strategis.
🧠 Inovasinya sederhana: Pendekatan "belajar dari kegagalan" (learning from failure) yang menjadi filosofi paper ini adalah cara yang sangat efisien untuk mengidentifikasi titik lemah sistem tanpa perlu konsultan mahal. Cukup dengarkan pengguna Anda.
💡 Pelajaran utamanya: Jangan terjebak pada asumsi yang sudah ada (seperti "gedung tua pasti lebih rusak"). Data seringkali menceritakan kisah yang lebih mengejutkan dan jauh lebih bermanfaat.
Langkah Anda Berikutnya dalam Menguasai Manajemen Fasilitas
Memahami masalah ini adalah langkah pertama yang krusial. Namun, jika kamu ingin menjadi bagian dari solusi—baik sebagai manajer fasilitas, pemilik properti, atau profesional konstruksi—kamu memerlukan kerangka kerja dan keterampilan yang terstruktur. Jika kamu siap untuk beralih dari sekadar mengetahui 'apa' yang salah menjadi menguasai 'bagaimana' cara memperbaikinya secara sistematis, mendalami (https://diklatkerja.com/) adalah langkah logis berikutnya.
Penutup: Undangan untuk Menjelajah Lebih Jauh
Paper ini mengubah cara saya melihat bangunan. Sekarang, setiap kali saya melihat gagang pintu yang longgar atau ubin yang retak, saya tidak hanya melihat kerusakan. Saya melihat data. Saya melihat sebuah cerita yang sedang coba disampaikan oleh gedung itu.
Jika rasa penasaranmu tergelitik dan kamu ingin menyelami detail teknisnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang benar-benar membuka mata.
Karier & Pengembangan Diri
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 25 September 2025
Pembukaan: Ketika Saya Sadar, Dunia Sudah Berubah
Beberapa tahun lalu, saya mengalami momen yang cukup menampar. Saat itu saya sedang berada di sebuah rapat, dengan bangga mempresentasikan analisis yang saya susun berhari-hari. Data saya kumpulkan manual, saya olah dengan rumus-rumus andalan, dan saya sajikan dalam grafik yang cantik. Saya merasa pekerjaan saya sudah maksimal. Lalu, seorang kolega yang lebih muda bertanya, "Ini datanya sudah di-scrape otomatis dan divisualisasikan real-time? Kalau belum, coba saya tarik datanya pakai script Python sebentar."
Dalam lima belas menit, dia menyajikan analisis yang lebih dalam dari apa yang saya kerjakan selama tiga hari.
Di momen itulah saya sadar: dunia sudah berubah, dan saya sedikit tertinggal. Perasaan itu—campuran antara kagum, sedikit iri, dan cemas—pasti pernah dirasakan banyak orang. Entah itu saat melihat profesi kita mulai digantikan AI, atau saat menyadari skill yang dulu kita banggakan kini menjadi standar biasa. Kita hidup di zaman di mana relevansi adalah mata uang yang harus terus diperjuangkan.
Kecemasan inilah yang membuat saya iseng membaca sebuah jurnal ilmiah dengan judul yang terdengar sangat spesifik: "Teaching Programming to Chemical Engineering Students". Awalnya saya tidak berharap banyak. Paling isinya hanya rumus-rumus rumit dan jargon teknis. Tapi, semakin dalam saya membaca, saya semakin terkejut. Paper yang ditulis oleh Riezqa Andika dan Zulfan Adi Putra ini ternyata bukan sekadar panduan teknis. Ini adalah sebuah peta harta karun. Sebuah strategi brilian yang menyajikan cara menjinakkan skill paling rumit sekalipun dengan pendekatan yang luar biasa manusiawi.
Paper ini tidak hanya bicara tentang coding. Ia bicara tentang psikologi belajar. Ia bicara tentang bagaimana membangun jembatan di atas jurang ketakutan kita terhadap hal-hal baru. Dan di dalamnya, saya menemukan sebuah metode tiga langkah yang begitu elegan, yang saya yakin bisa diterapkan untuk belajar skill apapun, tidak hanya pemrograman.
Dilema Tersembunyi di Balik Jas Laboratorium: Kenapa Insinyur Perlu Ngoding?
Sebelum kita membedah metodenya, penting untuk mengerti masalah yang coba dipecahkan oleh para penulis. Bayangkan seorang koki kelas dunia yang telah menguasai semua teknik memasak klasik Prancis. Tiba-tiba, restoran paling inovatif di dunia tidak lagi memakai wajan dan panci, melainkan alat-alat gastronomi molekuler. Keterampilan sang koki masih sangat berharga, tapi ada "celah keahlian" (skill gap) yang menghalanginya mencapai level berikutnya.
Inilah dilema yang dihadapi para insinyur kimia di era Revolusi Industri 4.0. Selama puluhan tahun, kurikulum mereka berfokus pada termodinamika, mekanika fluida, dan reaksi kimia. Namun, industri modern kini menuntut lebih. Mereka butuh insinyur yang bisa menganalisis data dari ribuan sensor pabrik secara
real-time, membuat model prediksi untuk efisiensi, dan bahkan merancang sistem kontrol berbasis kecerdasan buatan (AI).
Paper ini menyoroti sebuah fakta yang mengkhawatirkan: banyak universitas dengan kurikulum tradisional belum menyiapkan mahasiswanya untuk tuntutan ini. Ada
skill gap besar antara apa yang diajarkan di kampus dan apa yang dibutuhkan industri. Studi dari Kamaruzaman et al. (2019) yang dikutip dalam paper ini bahkan menyimpulkan bahwa pemrograman adalah salah satu celah terbesar, yang bisa berujung pada masalah pengangguran di kalangan sarjana teknik.
Ini bukan masalah sepele. Ini adalah pergeseran fundamental. Paper ini menyebutkan bagaimana institusi sekelas TU Delft di Belanda berencana mengajarkan AI kepada semua mahasiswanya, bukan hanya jurusan komputer. Pesannya jelas: di masa depan,
coding bukanlah skill khusus, melainkan literasi dasar, sama seperti membaca dan menulis.
Para penulis paper ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, mereka menawarkan solusi yang sangat pragmatis. Mereka sadar bahwa merombak total kurikulum universitas adalah proses yang lambat dan birokratis. Jadi, alih-alih menunggu revolusi, mereka mengusulkan sebuah "tambalan" cerdas: integrasikan pengajaran pemrograman ke dalam mata kuliah yang sudah ada. Ini adalah sebuah bentuk pemberontakan senyap melawan kelembaman institusional, sebuah cara untuk memberikan skill masa depan kepada mahasiswa
hari ini, tanpa harus menunggu persetujuan komite selama bertahun-tahun.
Tiga Tangga Menuju Puncak: Metode Cerdas untuk Menaklukkan Dunia Pemrograman
Inilah bagian yang membuat saya paling bersemangat. Inti dari paper ini adalah sebuah metode pengajaran tiga langkah yang dirancang untuk membawa seorang pemula total dari nol menjadi percaya diri. Saya menyebutnya "Tiga Anak Tangga", sebuah jalur pendakian yang dikelola dengan sangat hati-hati untuk memastikan tidak ada yang terintimidasi dan menyerah di tengah jalan.
Setiap langkah tidak hanya memperkenalkan alat baru, tapi juga secara sadar mengelola beban kognitif dan membangun fondasi psikologis bagi pembelajar.
Anak Tangga Pertama: Berkenalan Lewat Excel, Si Sahabat Lama
Bayangkan Anda ingin belajar bahasa baru. Apakah Anda akan langsung mulai dengan membaca karya sastra klasik yang rumit? Tentu tidak. Anda akan mulai dengan kata-kata sederhana seperti "halo", "terima kasih", dan "siapa namamu?".
Inilah peran Microsoft Excel dalam metode ini. Excel adalah "halo" dalam dunia pemrograman. Para penulis memilih Excel sebagai titik awal karena perangkat lunak ini sangat intuitif dan hampir semua orang pernah menggunakannya. Tidak ada sintaks aneh yang harus dihafal, tidak ada layar hitam dengan teks hijau yang menakutkan. Semuanya visual.
Di sini, mahasiswa tidak diajari untuk menulis kode. Sebaliknya, mereka diajari untuk berpikir seperti programmer menggunakan alat yang sudah mereka kenal. Mereka belajar memecah masalah menjadi tiga komponen inti:
Variabel Keputusan (Decision Variables): Hal-hal yang bisa kita kontrol atau ubah.
Batasan (Constraints): Aturan main yang tidak boleh dilanggar.
Fungsi Tujuan (Objective Function): Target akhir yang ingin kita capai (misalnya, memaksimalkan keuntungan atau meminimalkan biaya).
Dengan menggunakan fitur "Solver" di Excel, mereka bisa mengatur ketiga komponen ini dalam sel-sel spreadsheet, lalu membiarkan Excel menemukan solusi optimalnya. Ini adalah langkah pertama yang krusial. Ia membangun kepercayaan diri dan menunjukkan bahwa logika di balik pemrograman sebenarnya sederhana dan bisa dipahami. Ia memisahkan
konsep dari sintaks, sebuah langkah pedagogis yang jenius.
Anak Tangga Kedua: GAMS, Bahasa Rahasia Para Ahli Optimisasi
Setelah nyaman dengan logika di Excel, saatnya naik ke anak tangga kedua. Di sini, kita diperkenalkan dengan GAMS (General Algebraic Modeling System). Jika Excel adalah belajar musik dengan telinga, maka GAMS adalah belajar membaca not balok. Musiknya (logikanya) masih sama, tapi sekarang kita belajar bahasa formal untuk menuliskannya.
GAMS adalah jembatan sempurna antara dunia visual Excel dan dunia teks murni pemrograman. Para penulis memilihnya karena sintaksnya didesain agar "sederhana dan mudah dimengerti". Ini adalah bahasa tingkat tinggi, yang berarti bahasanya lebih dekat ke bahasa manusia daripada bahasa mesin.
Coba lihat potongan kode GAMS dari paper tersebut :
SET i 'factories' / Tegal, Tasikmalaya / j 'markets' / Jakarta, Kebumen, Bandung /;
Anda tidak perlu jadi programmer untuk mengerti apa maksudnya. Kode ini hanya membuat daftar pabrik dan pasar. Konsep yang sama persis dengan yang dilakukan di kolom Excel, tapi kini diekspresikan dalam bentuk teks terstruktur.
Langkah ini secara perlahan menggeser pembelajar dari antarmuka grafis (WYSIWYG - what you see is what you get) ke representasi yang lebih abstrak. Mereka mulai terbiasa mendefinisikan masalah menggunakan bahasa formal, sebuah keterampilan fundamental dalam coding. GAMS menangani semua kerumitan algoritma di belakang layar, sehingga pembelajar bisa fokus sepenuhnya pada pemodelan masalah.
Anak Tangga Ketiga: Python, Sang Naga yang Siap Ditaklukkan
Sekarang kita tiba di puncak tangga: Python. Python adalah "naga" yang sesungguhnya. Ia adalah bahasa pemrograman yang sangat kuat, populer, dan serbaguna, terutama untuk aplikasi sains data dan AI yang menjadi tujuan akhir. Banyak kursus
coding yang langsung melemparkan pemula ke hadapan naga ini, dan hasilnya bisa ditebak: banyak yang kewalahan dan menyerah.
Namun, dalam metode ini, pembelajar datang bukan dengan tangan kosong. Mereka sudah terlatih. Berkat Excel, mereka paham logika naga itu. Berkat GAMS, mereka mengerti bahasa yang digunakan naga itu. Menghadapi Python kini terasa seperti sebuah tantangan yang bisa dimenangkan, bukan misi bunuh diri.
Paper ini menunjukkan cara menyelesaikan masalah yang sama menggunakan Python dengan pustaka (library) bernama Pyomo. Yang menakjubkan adalah bagaimana struktur kode Python-nya secara konseptual mencerminkan kode GAMS. Ada bagian untuk mendefinisikan
sets, parameters, variables, constraints, dan objective.
Meskipun sintaksnya lebih kompleks, fondasi berpikirnya sudah tertanam kuat. Pembelajar bisa melihat koneksi langsung antara apa yang mereka lakukan di GAMS dan apa yang mereka tulis di Python. Ini mengubah proses belajar dari menghafal sintaks menjadi proses menerjemahkan logika yang sudah mereka kuasai ke dalam bahasa baru. Inilah kunci untuk membuka pintu menuju pembelajaran mandiri yang efektif, yang merupakan tujuan utama dari strategi pengajaran ini.
Memecahkan Misteri Logistik: Dari Tegal ke Bandung dengan Biaya Paling Efisien
Untuk membuktikan keampuhan metode ini, para penulis menyajikan sebuah studi kasus: masalah logistik klasik yang dimodifikasi agar relevan dengan konteks Indonesia.
Bayangkan Anda adalah direktur operasi sebuah perusahaan. Anda punya dua pabrik, satu di Tegal dan satu di Tasikmalaya. Anda harus mengirimkan produk ke tiga pasar utama: Jakarta, Kebumen, dan Bandung. Setiap pabrik punya kapasitas produksi (supply) dan setiap pasar punya tingkat permintaan (demand) yang harus dipenuhi. Biaya pengiriman dihitung per barang per kilometer.
Tugas Anda: rancang strategi pengiriman yang memenuhi semua permintaan dengan total biaya transportasi serendah mungkin.
Berikut adalah ringkasan puzzle logistiknya:
Asal/TujuanKapasitas Supply (unit)Kebutuhan Demand (unit)Pabrik Tegal350-Pabrik Tasikmalaya600-Pasar Jakarta-325Pasar Kebumen-300Pasar Bandung-275
Data jarak antar kota dan biaya pengiriman sebesar Rp 2.000 per unit per kilometer juga disediakan. Jika hanya mengandalkan intuisi, kita mungkin akan mencoba mengirim barang dari pabrik terdekat ke setiap pasar. Tapi apakah itu solusi yang paling efisien secara keseluruhan?
Di sinilah keajaiban komputasi terjadi. Dengan menerapkan masalah ini ke dalam Excel, GAMS, dan Python, para penulis mendapatkan jawaban yang presisi.
Dan inilah hasilnya:
🚀 Hasilnya luar biasa: Biaya transportasi minimum yang bisa dicapai adalah Rp 341.500.000.
🧠 Inovasinya: Ketiga perangkat lunak—Excel yang visual, GAMS yang semi-abstrak, dan Python yang merupakan kode murni—memberikan jawaban yang persis sama. Ini adalah validasi yang kuat bahwa alatnya boleh berbeda, tapi logika pemecahan masalah yang solid adalah kuncinya.
💡 Pelajaran: Solusi paling efisien seringkali berlawanan dengan intuisi. Hasil optimal menunjukkan bahwa pengiriman dari Tegal ke Bandung adalah 0 unit, dan dari Tasikmalaya ke Kebumen juga 0 unit. Sebaliknya, pabrik Tasikmalaya justru mengirim barang ke Jakarta dan Bandung, sementara Tegal fokus ke Jakarta dan Kebumen. Komputasi membantu kita melihat melampaui bias "jarak terdekat" dan menemukan pola optimal yang tersembunyi.
Opini Pribadi Saya: Apa yang Brilian (dan Apa yang Bisa Lebih Baik)
Setelah menelaah paper ini, saya benar-benar terkesan. Kejeniusannya tidak terletak pada penemuan algoritma baru atau teori yang rumit. Kejeniusannya terletak pada keanggunan pedagogisnya. Metode tiga langkah ini adalah sebuah kerangka kerja universal untuk belajar. Anda bisa mengganti "Excel, GAMS, Python" dengan "Memainkan Lagu Sederhana, Membaca Not Balok, Mengimprovisasi Jazz" untuk musik, atau "Mencatat Pengeluaran, Menggunakan Aplikasi Budgeting, Menganalisis Laporan Keuangan" untuk literasi finansial. Prinsipnya sama: mulai dari yang konkret dan familiar, bangun jembatan dengan alat terstruktur, lalu taklukkan abstraksi yang kompleks.
Dalam konteks paper ini, insinyur kimia hanyalah sebuah proxy. Mereka mewakili setiap profesional modern yang dihadapkan pada tuntutan untuk mempelajari skill baru yang terasa mengintimidasi. Paper ini memberikan kita peta jalan yang jelas dan penuh empati.
Namun, jika ada satu kritik halus yang ingin saya sampaikan, itu adalah tentang "lompatan" terakhir ke Python. Paper ini, karena sifatnya yang akademis, menyajikan kode Python yang bersih dan siap pakai. Di dunia nyata, langkah ini menyembunyikan sebuah gunung es pekerjaan: menginstal Python, mengatur
environment, mengelola packages dan libraries seperti Pyomo, dan mengatasi berbagai pesan eror yang pasti muncul.
Ini bukan kelemahan paper itu sendiri, melainkan sebuah pengingat bahwa setiap model akademis yang elegan pasti akan berhadapan dengan kerumitan dunia nyata. Justru di sinilah letak pentingnya dua langkah pertama. Fondasi logika yang kuat yang dibangun melalui Excel dan GAMS adalah bekal yang akan membuat pembelajar tidak mudah frustrasi saat menghadapi kerumitan teknis di tahap akhir. Mereka tahu apa yang ingin mereka capai, sehingga mencari cara bagaimana melakukannya di Google atau Stack Overflow menjadi jauh lebih mudah.
Bagaimana Anda Bisa Menerapkan Ini Hari Ini (Serius!)
Hal terbaik dari metode ini adalah Anda tidak perlu menjadi insinyur kimia untuk menggunakannya. Mari kita coba terapkan pada sesuatu yang relevan bagi kita semua: mengelola keuangan pribadi.
Langkah 1 (Excel): Mulailah dengan melacak semua pemasukan dan pengeluaran Anda dalam sebuah spreadsheet sederhana selama sebulan. Jangan gunakan aplikasi canggih dulu. Lakukan secara manual. Tujuannya adalah untuk merasakan dan memahami alur uang Anda secara visual dan konkret.
Langkah 2 (GAMS-equivalent): Setelah Anda paham polanya, gunakan aplikasi budgeting khusus yang memiliki aturan dan struktur (misalnya, YNAB, Mint, atau aplikasi sejenis). Aplikasi ini memaksa Anda untuk berpikir dalam kategori, menetapkan batasan, dan mengikuti sebuah sistem—mirip seperti GAMS yang memberikan struktur pada pemodelan masalah.
Langkah 3 (Python-equivalent): Jika Anda sudah mahir dan ingin analisis yang lebih dalam, inilah saatnya untuk "naik level". Anda bisa belajar scripting dasar untuk mengunduh data transaksi dari bank Anda secara otomatis, menganalisis tren pengeluaran dari tahun ke tahun, dan bahkan membuat model proyeksi untuk tujuan keuangan jangka panjang Anda.
Untuk mendalami langkah ketiga ini, terutama jika Anda tertarik pada bagaimana data bisa diaplikasikan di dunia industri, platform seperti (https://www.diklatkerja.com/course/kursus-online/) bisa menjadi titik awal yang terstruktur dan relevan. Kursus semacam ini sejalan dengan tujuan akhir paper ini, yaitu memanfaatkan pemrograman untuk sains data.
Penutup: Panggilan untuk Para Pembelajar Seumur Hidup
Kita sering berpikir bahwa untuk menguasai skill yang sulit seperti coding, kita butuh bakat luar biasa atau kecerdasan tingkat dewa. Paper dari Andika dan Putra ini membuktikan bahwa anggapan itu salah. Rahasianya bukanlah kejeniusan bawaan, melainkan strategi belajar yang cerdas.
Strategi itu adalah tentang menghormati proses belajar manusia. Ia tentang membangun tangga, bukan menuntut kita untuk melompati jurang. Mulai dari yang kecil dan familiar, bangun jembatan pemahaman, dan hadapi naga itu hanya ketika kita sudah siap dengan perisai logika dan pedang pengetahuan.
Di dunia yang terus berubah dengan cepat, kemampuan untuk belajar adalah meta-skill terpenting yang bisa kita miliki. Dan berkat sebuah jurnal tentang insinyur kimia, kini kita punya peta yang jauh lebih baik untuk menavigasi perjalanan itu.
Jika Anda seorang pembelajar sejati dan penasaran dengan detail teknis di balik metode jenius ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.
Pendidikan & Bahasa
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 25 September 2025
Banyak dari kita pernah membaca abstrak skripsi yang terasa “nanggung”: memuat latar belakang dan hasil penelitian, tapi lupa menuliskan bagian pembahasan. Dulu, waktu aku menyelesaikan skripsi, menulis abstrak itu seperti merangkum film panjang ke dalam tweet – harus singkat tetapi tetap komplit. Salah satu prinsip penulisan abstrak yang sering diajarkan adalah penggunaan kerangka IMRaD (Introduction, Methods, Results, Discussion). IMRaD memang sudah lama diakui sebagai kerangka baku untuk tulisan ilmiah yang membantu pembaca cepat memahami isi penelitian[1]. Nah, penelitian terbaru oleh Pangesti cs. (2023) mencoba mengecek seberapa konsisten mahasiswa menerapkan keempat bagian IMRaD tersebut di abstrak skripsi mereka[2].
Studi Ini Mengubah Cara Kita Membaca Abstrak
Penelitian ini mengambil 77 abstrak skripsi lulusan 2019 dari sebuah universitas swasta di Indonesia (diacak dari 326 total)[3]. Tim peneliti kemudian menelusuri keberadaan setiap komponen IMRaD di masing-masing abstrak. Hasilnya mengejutkan! Berikut garis besar temuan mereka:
🚨 Data di atas jelas menarik: hampir semua mahasiswa menyadari pentingnya menulis latar belakang dan hasil penelitian, tapi sebagian besar seakan mengabaikan ringkasan diskusi di akhir abstrak. Padahal, penulis studi ini menekankan bahwa bagian Diskusi di abstrak memungkinkan interpretasi dan analisis hasil penelitian, serta memberi wawasan tentang arti temuan mereka[8]. Bayangkan saja, kamu baca sebuah abstrak lengkap dengan metodologi dan angka-angka, tapi tanpa kesimpulan ataupun konteks, terasa kurang puas, kan?
Apa yang Bikin Saya Mengernyit
Proporsi 40% saja untuk bagian diskusi benar-benar bikin geleng-geleng kepala saya. Part Diskusi di abstrak itu ibarat garam di masakan – tanpa itu, rasa penelitiannya kurang ‘nendang’. Saya ingat dulu, guru saya mengajarkan: abstrak itu bukan cuma apa yang kita kerjakan (metode/hasil), tapi juga kenapa temuan itu penting (diskusi). Fakta bahwa mayoritas abstrak skripsi tidak menyertakan Diskusi berlawanan dengan intuisi ini[7][8].
Tentu peneliti Pangesti cs. juga memberikan konteks: mereka menyimpulkan perlu ada intervensi agar mahasiswa lebih paham penulisan abstrak IMRaD. Dosen dan institusi harus memberi bimbingan dan dukungan lebih kuat tentang bagaimana merangkum dan membahas temuan riset di abstrak[9]. Misalnya, dengan latihan khusus atau umpan balik rutin pada draft abstrak, mahasiswa bisa belajar pentingnya setiap bagian IMRaD. Saya setuju, karena dalam jangka panjang, hal ini akan melatih kemampuan komunikasi riset mahasiswa.
Meski begitu, kita perlu ingat bahwa studi ini memiliki keterbatasan. Data abstrak yang dianalisis hanya berasal dari satu universitas swasta (lulusan 2019)[3]. Bisa jadi di perguruan tinggi lain atau jurusan berbeda, pola penulisan abstraknya berubah. Misalnya di fakultas teknik mungkin sudah terbiasa dengan diskusi singkat di abstrak, sedangkan di jurusan seni atau sastra, formatnya bisa berbeda. Jadi, meski temuan ini menarik, analisisnya masih cukup terbatas dalam konteks tertentu.
Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini
Temuan ini membuat saya berpikir dua kali soal cara menulis abstrak sendiri. Mulai sekarang, saya akan lebih hati-hati memastikan “alur cerita” abstrak itu lengkap: pendahuluan, metode, hasil, dan diskusi. Lagipula, penambahan satu kalimat diskusi yang mencerahkan pembaca soal mengapa hasil tersebut penting tidak akan membuat abstrak jadi terlalu panjang.
Sebagai aksi nyata, kalau saya jadi pembimbing skripsi, saya akan mengingatkan mahasiswa untuk selalu menyertakan poin diskusi singkat: Apa artinya temuan mereka, dan apa implikasinya? Bagi yang ingin meningkatkan keterampilan menulis ilmiah atau metodologi riset, ada banyak sumber online. Misalnya, platform kursus seperti DiklatKerja menyediakan berbagai online course (meski banyaknya di bidang teknik dan manajemen), namun pengetahuan statistik, data, dan metodologi yang mereka tawarkan bisa berguna untuk meningkatkan pemahaman riset secara umum. Dengan begitu, kita bisa terhindar dari abstrak yang “setengah matang”.
Kalau kamu tertarik dengan pembahasan ini, coba baca paper aslinya di sini. Siapa tahu setelah baca langsung, kamu punya perspektif baru soal abstrak skripsi kamu sendiri!
Pendidikan Teknik Bangunan
Dipublikasikan oleh Raihan pada 25 September 2025
Penelitian ini membahas implementasi Project Based Learning (PjBL) pada mata kuliah Menggambar Teknik Bangunan. Mata kuliah ini dianggap krusial karena membekali mahasiswa dengan keterampilan dasar dalam merancang dan menyusun gambar bangunan sesuai standar teknis. Sayangnya, metode pengajaran tradisional sering kali menekankan teori, dengan hasil berupa pemahaman pasif, sementara keterampilan nyata mahasiswa dalam menggambar teknik belum berkembang optimal.
Untuk menjawab tantangan tersebut, peneliti menerapkan model PjBL, di mana mahasiswa tidak hanya menerima penjelasan dari dosen, tetapi aktif mengerjakan proyek nyata berupa gambar bangunan sederhana. Mahasiswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang masing-masing bertanggung jawab menyelesaikan bagian tertentu dari proyek, mulai dari denah, potongan, tampak, hingga detail konstruksi.
Proses pembelajaran berlangsung dalam beberapa tahap:
Metode ini memungkinkan mahasiswa mengalami proses belajar yang lebih aktif, partisipatif, dan kolaboratif. Hasil observasi kelas serta angket menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam motivasi dan partisipasi mahasiswa. Sebagian besar mahasiswa melaporkan bahwa PjBL membuat mereka merasa lebih tertantang, sekaligus lebih mudah memahami materi dibandingkan metode ceramah tradisional.
Sorotan Data Kuantitatif
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi terbesar penelitian ini adalah membuktikan bahwa penerapan PjBL dalam pembelajaran menggambar teknik bangunan mampu meningkatkan keterampilan praktis sekaligus sikap profesional mahasiswa. Ada tiga poin utama:
Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya memberikan kontribusi pada metode pembelajaran, tetapi juga membangun dasar yang lebih relevan antara pendidikan vokasi dan kebutuhan lapangan.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meski hasil penelitian ini positif, terdapat beberapa keterbatasan:
Pertanyaan terbuka yang muncul antara lain:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Ajakan Kolaboratif
Penelitian ini membuka peluang kolaborasi yang luas. Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dapat bekerja sama dengan politeknik dan fakultas teknik di universitas lain, seperti ITS, ITB, atau UNY, untuk memperluas implementasi PjBL. Industri konstruksi juga dapat dilibatkan sebagai mitra, misalnya dengan memberikan studi kasus nyata atau menjadi penguji eksternal. Dengan kolaborasi lintas institusi dan dukungan industri, model PjBL tidak hanya meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, tetapi juga mencetak lulusan yang siap menghadapi kompleksitas dunia konstruksi.
Baca Selengkapnya di: Pelita Sukma, T. C. (2020). BUKU PROSIDING SEMINAR PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020 "Inovasi Pembangunan dalam Teknologi dan Pendidikan". Buku Prosiding SPKTS 2020 Jilid 1.