Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 15 Oktober 2025
Latar Belakang: Mengapa Air Hujan Harus Dikelola dari Sumbernya
Artikel ini menawarkan cara pandang baru terhadap pengelolaan air: alih-alih bergantung pada sistem terpusat, pendekatan desentralisasi berbasis rumah tangga dipandang lebih adaptif, terutama dengan memanfaatkan air hujan sebagai sumber daya utama, bukan sekadar limpasan yang terbuang. Di tengah ancaman perubahan iklim, urbanisasi ekstrem, dan krisis air global, pendekatan ini sangat relevan dan penting.
Kritik terhadap Paradigma Lama: Sentralisasi Tak Lagi Relevan
Sistem penyediaan air konvensional yang bergantung pada pengambilan air permukaan dari lokasi jauh, diikuti proses pengolahan dan distribusi melalui jaringan pipa kini dinilai tidak efisien, berbiaya tinggi, serta rentan terhadap tekanan perubahan iklim. Dalam paradigma lama, air hujan sering kali hanya dipandang sebagai gangguan yang harus segera dialirkan ke sungai, bukan sebagai sumber utama air bersih.
Paradigma Baru: Air Hujan sebagai Sumber Utama Air Bersih
Penelitian ini mengusulkan pendekatan revolusioner: rainwater-first model, di mana air hujan menjadi sumber utama, dan air tanah atau air permukaan menjadi pelengkap hanya jika diperlukan.
Argumen utama yang disangkal oleh penulis:
Studi Kasus Sukses: Tiga Lokasi, Satu Solusi
1. Barefoot College – India
Rainwater Harvesting (RWH) digunakan untuk mengatasi krisis arsenik di air tanah.
Dengan sistem tangki sederhana, masyarakat pedesaan bisa mandiri air bersih tanpa teknologi mahal.
2. West-Berlin – Jerman
Dalam masa isolasi politik (1948–1989), kota ini berhasil menutup siklus air melalui infiltrasi hujan dan recharge air tanah, menjadikan kota tahan iklim bahkan sebelum istilah "green infrastructure" populer.
3. Karibia Belanda (Sint Eustatius, Saba)
Sejak abad ke-17, rumah-rumah dilengkapi dengan tangki air hujan sebagai sumber air utama. Hingga kini, sistem ini diwajibkan oleh hukum lokal—terbukti tahan lama dan efektif.
Konsep Kilimanjaro dan Filosofi “Zero Runoff”
Konsep Kilimanjaro menyatakan bahwa semua air hujan harus dimanfaatkan, terutama dalam wilayah tropis dan subtropis. Ini sejalan dengan prinsip “zero runoff”: menangkap semua air hujan agar tidak menjadi limpasan, tetapi disimpan dan diserap kembali ke tanah.
Penulis menjabarkan rumus:
Rumus ini menegaskan bahwa setiap atap, halaman, dan permukaan dapat menjadi alat panen air.
Integrasi RWH ke dalam IWRM: Redefinisi Total
Integrated Water Resource Management (IWRM) telah lama dianggap solusi pengelolaan air menyeluruh. Namun pendekatan ini masih bias pada sistem besar dan terpusat. Penulis menegaskan bahwa jika air hujan diprioritaskan, maka:
Analisis: Potensi dan Hambatan Implementasi
Keunggulan:
Hambatan utama:
Rekomendasi Implementasi Nyata
Kesimpulan: Saatnya Kota Berbasis Air Hujan
Artikel ini memberi kontribusi besar dalam menyusun ulang narasi pengelolaan air global, terutama dalam konteks kota berkelanjutan. Penulis menantang norma lama dan memberikan landasan ilmiah bahwa air hujan adalah hak, bukan sisa.
Jika dunia ingin mencapai SDGs dan menghindari krisis air, maka solusi ada di atas kepala kita—setiap tetes hujan adalah berkah, bukan beban.
Sumber Artikel:
Siphambe, T.V., Ahana, B.S., Aliyu, A., Tiwangye, A., Fomena‑Tchinda, H., Tchouandem‑Nzali, C., Mwamila, T.B., Nya, E.L., Abdelbaki, C., Gwenzi, W., Noubactep, C. (2024). Controlling Stormwater at the Source: Dawn of a New Era in Integrated Water Resources Management. Applied Water Science, 14:262.
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 15 Oktober 2025
Mengapa Islamic Project Financing Menjadi Solusi Masa Depan Infrastruktur?
Pembangunan infrastruktur adalah motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, kebutuhan dana yang masif hanya sekitar 54% kebutuhan infrastruktur periode 2010–2014 dapat dipenuhi APBN memaksa pemerintah mencari alternatif pembiayaan yang inovatif. Islamic project financing (pembiayaan proyek berbasis syariah) muncul sebagai opsi strategis, mengingat populasi Muslim terbesar di dunia dan potensi dana syariah yang belum tergarap optimal. Artikel ini mengupas secara kritis praktik, tantangan, peluang, serta hasil studi kasus nyata Islamic project financing di Indonesia, berdasarkan riset mendalam Ayomi Dita Rarasati (2014).
Apa Itu Islamic Project Financing?
Islamic project financing adalah skema pembiayaan proyek yang mengikuti prinsip syariah: tanpa bunga (riba), bebas spekulasi (maysir), dan menghindari ketidakpastian berlebihan (gharar). Skema ini menekankan pembagian risiko dan keuntungan (profit-loss sharing), transaksi berbasis aset nyata, serta pengawasan ketat dari Dewan Syariah. Beberapa instrumen utama:
Tren Global dan Posisi Indonesia
Secara global, Islamic finance berkembang pesat di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Meski Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar, adopsi Islamic project financing untuk infrastruktur masih terbatas. Tantangan utama meliputi pemahaman stakeholder, kesiapan regulasi, dan kapasitas institusi keuangan syariah.
Studi Kasus: Empat Proyek Infrastruktur Syariah di Indonesia
Penelitian Rarasati mengupas empat studi kasus nyata: tiga pembangkit listrik mini-hidro dan satu proyek pengembangan Pelabuhan Belawan. Berikut ringkasan detailnya:
1. Mini Hydro A (PLTM Karai River, Sumatera Utara)
2. Mini Hydro B (PLTM Karai River, Sumatera Utara)
3. Mini Hydro C (PLTM Silau River, Sumatera Utara)
4. Pengembangan Pelabuhan Belawan
Analisis Angka-Angka Kunci
Temuan Kunci: Praktik, Pemahaman, dan Hambatan
Praktik di Lapangan
Tingkat Pemahaman Stakeholder
Hambatan Implementasi
Kelebihan dan Potensi Islamic Project Financing
Keterbatasan dan Tantangan
Rekomendasi Strategis untuk Indonesia
1. Penguatan Regulasi dan Standar
2. Inovasi Produk dan Skema
3. Penguatan Kapasitas SDM
4. Optimalisasi Dana Umat
5. Edukasi dan Sosialisasi
Opini dan Kritik: Islamic Project Financing Bukan Sekadar Alternatif
Penelitian Rarasati membuktikan bahwa Islamic project financing bukan sekadar “pelengkap” atau “alternatif” bagi pembiayaan infrastruktur nasional. Dengan struktur yang tepat, skema ini mampu menjadi solusi utama, terutama untuk proyek-proyek dengan aset nyata dan arus kas jelas. Namun, agar potensi ini benar-benar terwujud, dibutuhkan reformasi regulasi, inovasi produk, penguatan SDM, dan sinergi lintas sektor. Islamic project financing juga harus bertransformasi dari sekadar “copy-paste” produk perbankan syariah ke model pembiayaan infrastruktur yang benar-benar berbasis risk sharing dan value creation.
Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah kecenderungan bank syariah memilih skema sederhana (murabaha) yang pada dasarnya mirip dengan kredit konvensional, hanya tanpa bunga. Padahal, esensi Islamic finance adalah risk sharing dan keberpihakan pada sektor riil. Selain itu, keterlibatan DSN harus lebih proaktif dan memahami aspek bisnis, bukan sekadar kepatuhan formal.
Tren Global dan Relevansi Industri
Kesimpulan: Islamic Project Financing, Pilar Baru Pembangunan Infrastruktur Nasional
Islamic project financing menawarkan paradigma baru pembangunan infrastruktur Indonesia: inklusif, berbasis aset, adil, dan berkelanjutan. Studi kasus nyata membuktikan skema ini feasible dan berpotensi besar, meski masih ada tantangan di level regulasi, produk, dan SDM. Dengan komitmen antara pemerintah, regulator, perbankan, dan pelaku industri, Islamic project financing dapat menjadi pilar utama pembiayaan infrastruktur nasional, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dana, tetapi juga untuk membangun ekosistem keuangan yang lebih sehat, resilien, dan sesuai nilai-nilai bangsa.
Sumber
Ayomi Dita Rarasati. (2014). "Islamic Project Financing in Indonesian Infrastructure Development". Doctoral Thesis, Queensland University of Technology.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 15 Oktober 2025
Mengapa Multiskilling Jadi Isu Sentral dalam Industri Konstruksi?
Industri konstruksi global, termasuk di Amerika Serikat, tengah menghadapi tantangan serius berupa kekurangan tenaga kerja terampil. Menurut data terbaru, sekitar 80% kontraktor umum di AS mengalami kesulitan merekrut pekerja terampil yang cukup untuk memenuhi permintaan proyek. Kekurangan ini berdampak langsung pada produktivitas, kualitas proyek, kenaikan biaya, hingga meningkatnya insiden keselamatan kerja. Dalam konteks dinamika industri konstruksi yang menuntut efisiensi dan adaptabilitas tinggi, strategi multiskilling, yakni pelatihan tenaga kerja untuk menguasai lebih dari satu kompetensi inti, menjadi pendekatan inovatif yang kian penting untuk menjawab tantangan masa depan.
Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama paper “Applying the Tier II Construction Management Strategy to Measure the Competency Level among Single and Multiskilled Craft Professionals” karya Rakan K. Albalawi, Paul M. Goodrum, dan Timothy R. B. Taylor (2023). Dengan mengangkat studi kasus nyata, data statistik, serta membandingkan dengan tren global dan penelitian lain, artikel ini bertujuan memberikan perspektif baru yang lebih relevan dan aplikatif bagi pelaku industri, pembuat kebijakan, dan pembaca umum.
Latar Belakang: Tantangan Kekurangan Tenaga Kerja Terampil
Fakta Industri
Mengapa Multiskilling?
Inti Metodologi: Tier II Construction Management Strategy
Apa Itu Tier II Strategy?
Tier II adalah kerangka manajemen tenaga kerja yang dikembangkan untuk mengukur tingkat kompetensi pekerja konstruksi secara komprehensif. Penilaian dilakukan pada lima aspek utama:
Penelitian ini memfokuskan pada dua aspek utama: craft technical dan management skills.
Cara Penilaian
Studi Kasus & Angka-Angka Kunci: Potret Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi AS
Profil Responden
Hasil Utama: Kompetensi Multiskilled vs Single-skilled
Rata-rata Skor Kompetensi (Tier II)
Temuan Penting
Analisis Statistik: Faktor Penentu Kompetensi
Penelitian ini menggunakan multinomial logistic regression (MLR) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kompetensi pekerja.
Variabel Signifikan
Studi Kasus Spesifik: Profesi Tukang Kayu (Carpentry)
Dampak Strategi Multiskilling: Apa Saja Manfaat dan Batasannya?
Kelebihan Multiskilling
Keterbatasan
Komparasi dengan Penelitian Lain & Tren Global
Studi Internasional
Relevansi untuk Indonesia & Negara Berkembang
Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Industri & Kebijakan
Bagi Perusahaan Konstruksi
Bagi Pemerintah & Regulator
Bagi Pekerja
Opini & Kritik: Multiskilling Bukan Sekadar Tren, Tapi Kebutuhan Masa Depan
Penelitian Albalawi dkk. menegaskan bahwa multiskilling bukan sekadar “nice to have”, melainkan kebutuhan strategis di era kekurangan tenaga kerja terampil dan disrupsi teknologi. Namun, implementasi multiskilling harus diiringi dengan pelatihan berkelanjutan, validasi kompetensi yang objektif, dan pengakuan formal dari industri.
Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah masih rendahnya skor pada aspek work record, yang mencakup keselamatan, kualitas, dan produktivitas. Artinya, multiskilling belum otomatis meningkatkan budaya kerja jika tidak diikuti perubahan mindset dan sistem insentif yang tepat.
Selain itu, penelitian berbasis self-assessment perlu divalidasi dengan uji lapangan atau penilaian eksternal agar hasilnya benar-benar mencerminkan kompetensi riil di lapangan.
Tren Masa Depan: Digitalisasi, Otomasi, dan Multiskilling
Kesimpulan: Multiskilling, Pilar Transformasi Tenaga Kerja Konstruksi
Studi ini membuktikan bahwa multiskilling secara signifikan meningkatkan kompetensi tenaga kerja konstruksi, baik aspek teknis maupun manajerial. Namun, manfaat optimal hanya tercapai jika didukung pelatihan berkelanjutan, validasi objektif, dan pengakuan formal dari industri. Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengambil pelajaran penting: investasi pada multiskilling adalah investasi bagi masa depan industri konstruksi yang lebih fleksibel, produktif, dan adaptif terhadap perubahan zaman
Sumber
Albalawi, R.K.; Goodrum, P.M.; Taylor, T.R.B. (2023). Applying the Tier II Construction Management Strategy to Measure the Competency Level among Single and Multiskilled Craft Professionals. Buildings, 13, 1175.
Infrastruktur Nasional
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Penelitian “Enhancing Total Construction Safety Culture in Indonesia’s New Capital: A Structural Equation Modeling Approach” memperlihatkan bahwa aspek budaya keselamatan (Safety Culture) bukanlah tambahan opsional, melainkan elemen inti yang mempengaruhi kinerja keselamatan (safety performance) proyek. Di Ibu Kota Nusantara (IKN), selama fase perencanaan dan pembangunan, integrasi sistem manajemen keselamatan, pelatihan, sikap kepemimpinan, dan pengawasan berperan penting dalam membentuk perilaku aman.
Kebijakan nasional saat ini sering fokus pada regulasi dan kontrol administratif. Namun, studi ini menegaskan bahwa regulasi saja tidak cukup—bahkan regulasi terbaik bisa gagal jika tidak didukung oleh kepemimpinan yang konsisten, pelatihan yang relevan dan berkelanjutan, serta pengawasan perilaku di lapangan.
Beberapa artikel mendukung perspektif ini: misalnya Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku: Strategi Menuju Zero Accident di Indonesia menekankan bahwa 80% kecelakaan konstruksi akibat perilaku tidak aman; serta Mencegah Kecelakaan Kerja Melalui SDM Kompeten Dalam Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang menyebut bahwa kompetensi SDM adalah fondasi budaya keselamatan.
Dengan demikian, kebijakan K3 di tingkat nasional yang mencakup proyek-skala besar seperti IKN harus mengadopsi paradigma Total Construction Safety Culture yaitu budaya keselamatan yang melekat di semua level organisasi, dari manajemen atas sampai ke pekerja lapangan, dan didukung oleh regulasi, pelatihan, dan pengawasan yang konkret.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif
Peningkatan Leading Indicator: Studi mencantumkan bahwa budaya keselamatan yang kuat berkontribusi pada nilai R² = 0,856 untuk indikator “leading” (misalnya kepatuhan prosedur, pelaporan near miss, penggunaan APD) — artinya hampir 86% variasi perilaku bisa dijelaskan oleh budaya keselamatan. Ini berarti potensi besar jika budaya tersebut dibangun dengan benar.
Penurunan Insiden Kerja: Dalam proyek uji coba di IKN, penerapan Safety Reward System, digital supervision, dan pelatihan teknologi seperti simulasi BIM-360 dilaporkan berhasil menurunkan insiden kerja sekitar 25-30% dalam periode enam bulan sampai satu tahun.
Peningkatan Pengawasan dan Efisiensi: Penggunaan monitoring digital (IoT / sensor) mempercepat deteksi potensi bahaya dan memungkinkan tindak korektif lebih awal — mengurangi delay proyek akibat kecelakaan dan kerusakan material.
ROI Sosial dan Reputasi: Perusahaan yang berhasil membangun budaya keselamatan memperoleh reputasi yang lebih baik, menarik lebih banyak kontrak, dan meminimalkan biaya klaim asuransi serta biaya pengobatan / kompensasi pekerja.
Hambatan
Kepemimpinan yang Tidak Konsisten
Banyak proyek dimana team manajemen dan pengawas belum sepenuhnya memahami pentingnya budaya keselamatan; terkadang keselamatan dianggap penghambat target waktu atau biaya.
Keterbatasan Tenaga Ahli dan Kapasitas SDM
Walau sudah ada kursus-kursus, jumlah personel dengan sertifikasi kepemimpinan K3, pelatihan behavior-based safety, dan pengawas lapangan yang kompeten masih terbatas.
Biaya Penerapan Teknologi dan Sistem Digital
Alat pemantauan IoT, sistem dashboard, perangkat simulasi, dan platform pelaporan digital memerlukan investasi awal yang besar — terutama sulit dijangkau UMKM.
Budaya Organisasi dan Perilaku Pekerja
Kebiasaan lama, toleransi terhadap pelanggaran kecil, kurangnya komunikasi dua arah (pekerja takut melapor), dan kurangnya penguatan perilaku aman menjadi hambatan yang nyata.
Kesenjangan Regulasi dan Pengawasan
Regulasi nasional seperti Permen PUPR dan SMKK menyebut pentingnya sistem manajemen keselamatan, tetapi pengawasan dan penegakan masih variatif antar wilayah. Beberapa proyek di daerah terpencil atau dengan pengawasan lemah belum memenuhi standar manajemen keselamatan yang konsisten.
Peluang
Kolaborasi Publik-Swasta dan Institusi Pendidikan
Pelibatan Diklatkerja, asosiasi profesi, universitas, dan kontraktor dalam kurikulum pelatihan, penelitian implementasi, dan evaluasi budaya keselamatan bisa memperluas dampak.
Digitalisasi dan Teknologi Keselamatan
Artikel Digitalisasi Konstruksi: Mendorong Efisiensi dan Transparansi Proyek menyediakan contoh bahwa sistem digital pelaporan & monitoring dapat memudahkan pengawasan, deteksi bahaya, dan pelatihan adaptif.
Standarisasi dan Sertifikasi
Penguatan SMKK dan standar internasional seperti ISO 45001 di seluruh proyek, ditambah dengan audit berkala dan sertifikasi pekerja & manajemen.
Insentif Kebijakan
Pemerintah bisa menyediakan insentif fiskal, potongan pajak, atau prioritas proyek untuk kontraktor yang menunjukkan kinerja keselamatan yang baik.
Penyebaran Budaya Keselamatan ke Semua Proyek
Mulai dari proyek besar seperti IKN hingga proyek menengah dan kecil; memperluas akses pelatihan, memperkuat komunikasi, dan menyediakan APD berkualitas bagi semua.
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Berdasarkan hambatan dan peluang di atas, berikut rekomendasi konkret:
Wajibkan Kepemimpinan Keselamatan
Setiap manajer proyek dan mandor harus melalui pelatihan kepemimpinan K3, serta secara rutin melakukan audit keselamatan dan inspeksi perilaku pekerja. Kebijakan ini bisa dimasukkan sebagai bagian dari persyaratan tender pemerintah.
Implementasikan SMKK secara Nasional
Memperkuat penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) sebagai standar wajib untuk seluruh proyek konstruksi, baik publik maupun swasta, termasuk audit dan laporan keselamatan berkala. Misalnya kursus Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi untuk Mencegah Kegagalan Bangunan dapat menjadi model aplikasi dan pelatihan terkait sistem tersebut.
Pelatihan Perilaku & Teknologi (Behavior-Based Safety + Digital Tools)
Menggabungkan pelatihan berbasis perilaku, simulasi VR/AR, dan perangkat monitoring IoT agar pekerja tidak hanya tahu teori, tetapi juga mengalami langsung praktik aman. Contoh artikel Analisis Kritis Peran Teknologi Digital dalam Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia mengulas teknologi digital sebagai pendorong utama.
Insentif & Sanksi dalam Skema Tender dan Kelengkapan Proyek
Pemerintah perlu mensyaratkan skor keselamatan sebagai bagian dari penilaian tender, memberikan bonus bagi kontraktor yang memiliki catatan keselamatan baik, dan menerapkan sanksi bagi yang melanggar standar K3.
Monitoring Data Keselamatan secara Real-Time dan Transparan
Gunakan dashboard digital, laporan near miss, alamat feedback pekerja, dan audit perilaku. Transparansi data dan pelaporan publik dapat meningkatkan akuntabilitas dan keterlibatan semua pihak.
Support terhadap UMKM dan Proyek Daerah Terpencil
Subsidi pelatihan, APD, dan teknologi dasar harus disediakan oleh pemerintah atau lembaga terkait agar UMKM dan proyek di daerah juga bisa memenuhi standar keselamatan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Walaupun langkah-langkah di atas terlihat komprehensif, beberapa potensi kegagalan harus diantisipasi:
Formalitas tanpa Esensi: Banyak kebijakan K3 dibuat menjadi persyaratan administratif; tetapi jika perilaku di lapangan tidak berubah, efeknya minimal.
Kesenjangan Sumber Daya & Infrastruktur Teknologi: Di daerah terpencil atau lokasi proyek sulit, akses ke pelatihan, APD berkualitas, internet, dan teknologi digital masih buruk.
Budaya Organisasi Lama: Kebiasaan lama yang menoleransi pelanggaran kecil bisa sulit diubah, terutama jika tidak ada konsekuensi nyata atau contoh dari pihak manajemen.
Keterbatasan Evaluasi dan Data: Jika insiden kecil (near miss) tidak dicatat, data tidak akurat, dan kebijakan sulit diukur apakah benar-benar berhasil.
Ketidaksesuaian Regulasi dan Praktik Lokal: Regulasi nasional mungkin tidak secara spesifik mengakomodasi kondisi lokal—iklim, budaya kerja, kemampuan SDM lokal, dan sumber daya proyek kecil.
Penutup
Penelitian Enhancing Total Construction Safety Culture di IKN menyiratkan bahwa masa depan industri konstruksi Indonesia sangat tergantung pada budaya keselamatan, bukan hanya regulasi atau peralatan.
Untuk menjadikan visi “Zero Accident Construction Industry” menjadi kenyataan, diperlukan kesatuan aksi: kepemimpinan yang nyata, pelatihan perilaku + teknologi, standar SMKK yang kuat, insentif & sanksi yang jelas, serta dukungan penuh terhadap proyek di semua level.
Institusi-pendidikan dan pelatihan seperti Diklatkerja memiliki peran penting dalam menyediakan materi pelatihan, modul digital, kursus kepemimpinan K3, dan mendukung budaya keselamatan yang menyeluruh.
Dengan kebijakan publik yang adaptif dan komitmen kolektif dari pemerintah, pelaksana proyek, dan tenaga kerja, proyek IKN dapat menjadi model bagi seluruh Indonesia bahwa keselamatan bukan beban — melainkan investasi masa depan.
Sumber
Enhancing Total Construction Safety Culture in Indonesia’s New Capital: A Structural Equation Modeling Approach (IJSSE, 2024)
Kemaritiman
Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 Oktober 2025
Jalur Logis Temuan dan Signifikansi Deskriptif
Laporan ini menyajikan resensi mendalam dari penelitian kualitatif yang mengeksplorasi peran kritis pendidikan dan pelatihan maritim (MET) dalam meningkatkan budaya keselamatan, dengan fokus pada model yang diterapkan oleh Maritime Academy of Asia and the Pacific (MAAP). Penelitian ini didasarkan pada data yang dikumpulkan melalui serangkaian wawancara semi-terstruktur dengan 19 responden, termasuk perwakilan perusahaan, pelaut aktif alumni MAAP, dan kadet yang telah menyelesaikan pelatihan di kapal.
Jalur logis penelitian bermula dari pengamatan terhadap paradoks keselamatan maritim global. Meskipun telah terjadi penurunan signifikan dalam kerugian total kapal—yang turun menjadi sekitar 54 pada tahun 2021—insiden dan korban maritim terus menjadi perhatian, menunjukkan adanya dinding yang perlu diatasi dalam kematangan budaya keselamatan industri. Upaya International Maritime Organization (IMO) yang dimulai sejak awal 2000-an untuk mempromosikan budaya keselamatan belum sepenuhnya berhasil menghilangkan kecelakaan.
Studi ini secara kritis menggarisbawahi kelemahan dalam investigasi kecelakaan standar industri. Secara tradisional, industri mengaitkan sekitar 80% insiden maritim pada kegagalan elemen manusia (human error). Namun, penelitian ini berpendapat bahwa atribusi persentase yang tinggi ini sering kali berfungsi sebagai taksonomi yang cacat, yang menghasilkan penyelesaian investigasi yang cepat (quick closure) tanpa mengatasi akar masalah sistemik. Akar masalah yang sebenarnya ditemukan terletak pada faktor-faktor seperti kelelahan yang diperparah oleh kekurangan tenaga kerja (under-manning) dan tekanan komersial yang intens, yang semuanya memengaruhi kinerja manusia di laut.
Temuan kualitatif mengidentifikasi hambatan utama bagi keselamatan proaktif: keengganan pelaut untuk bersuara (speak up) dan bersikap asertif ketika keselamatan dikompromikan. Defisit asertivitas ini menunjukkan kurangnya psychological safety dalam lingkungan operasional. Berdasarkan identifikasi kesenjangan sikap ini, penelitian ini berhipotesis bahwa pendidikan dan pelatihan di fase awal karir (masa kadet) adalah fondasi paling efektif untuk menanamkan sikap want-to attitude terhadap keselamatan, melampaui sekadar kepatuhan, melalui fokus pada tiga pilar utama: profesionalisme, kompetensi, dan komunikasi.
Signifikansi model MAAP diperkuat oleh metrik seleksi yang sangat ketat. Data MAAP menunjukkan bahwa proses penerimaan bersifat eksklusif, di mana dalam beberapa tahun terakhir, hanya sekitar 3% hingga 6% dari total pelamar yang diterima. Misalnya, pada kohort terbaru, hanya 3.48% dari total 12.386 pelamar yang berhasil diterima. Seleksi yang sangat ketat ini menunjukkan adanya hubungan potensial antara memilih individu dengan potensi dan karakter tertinggi dan keberhasilan pengembangan budaya keselamatan yang proaktif.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini adalah reposisi peran Pendidikan dan Pelatihan Maritim (MET) dari sekadar kepatuhan sertifikasi STCW menjadi arsitek budaya keselamatan dan karakter perwira maritim. Studi ini memaparkan model MAAP sebagai kerangka kerja holistik yang melampaui pendidikan teknis konvensional.
Tiga Pilar Fondasi Budaya Keselamatan MAAP
Konsep resiliensi ini sangat penting dalam memerangi praktik Normalization of Deviance. Dengan menanamkan karakter yang berpegang teguh pada prinsip "melakukan hal yang benar, meskipun tidak ada yang melihat," MAAP berupaya membekali pelaut dengan kekuatan moral untuk menolak tekanan sistemik—seperti memanipulasi catatan jam kerja/istirahat MLC atau mengambil jalan pintas. Upaya ini secara proaktif mengatasi akar penyebab kecelakaan yang diakui oleh responden sebagai produk dari tekanan komersial yang intens di laut.
Latihan ini diperkuat melalui program seperti Integrated Simulator Training Program (ISTP), latihan 48 jam yang memungkinkan kadet melatih keterampilan kepemimpinan dan komunikasi asertif dalam skenario krisis tanpa risiko konsekuensi nyata. Kontribusi utamanya adalah menyediakan lingkungan yang aman untuk melatih asertivitas, sebuah keterampilan yang secara langsung berkorelasi dengan pemeliharaan just culture di kapal.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun model MAAP memberikan kontribusi substansial, penelitian ini menyisakan beberapa pertanyaan terbuka yang perlu diatasi oleh riset di masa depan.
Pertama, efektivitas model ini dapat dipengaruhi oleh bias seleksi. Karena MAAP hanya menerima 3-4% pelamar berpotensi tinggi, muncul pertanyaan apakah luaran positif yang teramati adalah hasil dari keunggulan program MET atau hanya cerminan dari kualitas input kadet. Validitas eksternal model MAAP memerlukan studi yang membandingkan hasil jangka panjang alumni MAAP dengan kohort berpotensi serupa dari institusi lain yang tidak menggunakan model regimented.
Kedua, ada tantangan keberlanjutan moral. Responden mengakui bahwa tekanan komersial sering menyebabkan Normalization of Deviance, terutama dalam manipulasi jam kerja/istirahat MLC. Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: seberapa tahan fondasi etika dan disiplin yang ditanamkan di akademi terhadap lingkungan operasional yang didominasi oleh ekonomi dan kepatuhan administratif semu? Jika budaya yang ditanamkan di sekolah runtuh di bawah tekanan operasional, fokus riset harus bergeser ke desain sistem manajemen keselamatan perusahaan yang dapat menopang just culture yang diinisiasi di tingkat edukasi.
Terakhir, studi ini mengakui adanya paradoks dalam mengombinasikan kepatuhan ketat (strict obedience) dengan kebutuhan akan challenge culture asertif. Meskipun MAAP mengklaim berhasil mengelola transisi ini melalui sistem perkembangan kelas kadet, mekanismenya perlu divalidasi dan digeneralisasi. Institusi MET lain memerlukan kerangka kerja yang jelas tentang cara menumbuhkan asertivitas profesional tanpa memicu insubordinasi, sebuah tantangan besar dalam konteks maritim yang sangat hierarkis.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Rekomendasi ini ditujukan untuk komunitas akademik dan lembaga pemberi hibah, berfokus pada validasi kuantitatif dan generalisasi ilmiah dari model intervensi faktor manusia MAAP.
Rekomendasi 1: Validasi Kuantitatif Intervensi Soft Skills (MDS)
Berbasis Temuan: MDS bertujuan mengembangkan karakter, kepemimpinan, dan resiliensi sebagai prasyarat penting untuk keselamatan proaktif.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Diperlukan studi percontohan (pilot study) menggunakan desain kuasi-eksperimental. Variabel baru harus mencakup pengukuran psikometrik standar (misalnya, skala Resiliensi) yang diterapkan secara longitudinal pada kadet MAAP dan kelompok kontrol dari METI tradisional.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini harus menguji hipotesis bahwa resiliensi yang ditanamkan secara ketat menghasilkan koefisien korelasi yang signifikan dengan penurunan insiden terkait stres dan kelelahan selama periode OBT.
Rekomendasi 2: Studi Longitudinal mengenai Ketahanan terhadap Normalisasi Deviasi
Berbasis Temuan: Manipulasi catatan MLC dan pengambilan jalan pintas adalah masalah sistemik yang menguji etika pelaut.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Diperlukan studi longitudinal selama lima tahun karir awal alumni, melacak Tingkat Pelaporan Proaktif (Proactive Reporting Rate) insiden nyaris celaka (near-misses) yang dilakukan secara anonim, sebagai indikator utama integritas etika dan resistensi terhadap tekanan komersial.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Studi ini akan memberikan bukti nyata apakah pengembangan karakter yang ditekankan di akademi dapat menahan degradasi etika di lingkungan operasional berisiko tinggi dalam jangka panjang.
Rekomendasi 3: Pengujian Asertivitas Komunikasi dan Dampaknya pada Psychological Safety
Berbasis Temuan: Hambatan komunikasi dan power distance menghambat pelaut untuk speak up.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian intervensi harus dilakukan di simulator maritim multikultural. Metode baru adalah penggunaan analisis wacana untuk mengukur Peningkatan Indeks Asertivitas kadet dalam skenario kegagalan kritis (seperti perintah ilegal atau tidak aman), yang memungkinkan pengukuran langsung bagaimana English-Only Policy berkorelasi dengan kesediaan untuk menantang otoritas demi keselamatan.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Diperlukan untuk memastikan bahwa asertivitas menjadi norma budaya operasional, dan bukan hanya keterampilan bahasa yang ditingkatkan, sehingga memastikan just culture dapat dipertahankan.
Rekomendasi 4: Evaluasi Biaya-Manfaat Global dari Implementasi CMS & Kapal Latih
Berbasis Temuan: Infrastruktur MAAP, termasuk Kapal Latih dan CMS DNV Seaskills, memerlukan biaya modal yang tinggi tetapi menjanjikan hasil yang unggul.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Analisis ekonomi-risiko yang membandingkan biaya awal implementasi infrastruktur pendidikan terpadu (CMS dan Kapal Latih) dengan keuntungan jangka panjang berupa penurunan klaim asuransi (P&I clubs), peningkatan retensi kru, dan Tingkat Pengembalian Investasi Keselamatan (Safety Return on Investment - SROI).
Perlunya Penelitian Lanjutan: Untuk membenarkan replikasi model MAAP di METI negara berkembang lain, pemberi hibah membutuhkan data SROI kuantitatif yang mengukur dampak investasi infrastruktur pada keamanan finansial jangka panjang industri pelayaran.
Rekomendasi 5: Adaptasi Kurikulum MET untuk Mitigasi Risiko Teknologi Baru
Berbasis Temuan: Responden melihat perkembangan teknologi yang cepat sebagai pemicu kecelakaan karena kesulitan adaptasi kru.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian kualitatif dan kuantitatif untuk mengembangkan modul kurikulum yang fokus pada human-system integration (HMI) dan mitigasi automation complacency. Konteks baru adalah perancangan dan pengujian pelatihan kognitif yang secara eksplisit mengajarkan pelaut untuk beradaptasi dengan teknologi otonom secara kritis, menumbuhkan "sikap bertanya" terhadap output otomatisasi.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Diperlukan untuk memastikan bahwa pelatihan kompetensi teknis saat ini tidak tertinggal dari laju digitalisasi, mencegah automation complacency menjadi bentuk baru dari faktor manusia yang memicu kecelakaan.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif Jangka Panjang
Penelitian ini menegaskan bahwa model MET yang memprioritaskan fondasi karakter, resiliensi, dan asertivitas komunikasi—seperti yang ditunjukkan oleh model MAAP—adalah katalisator yang efektif untuk mengubah pelaut dari kepatuhan pasif menjadi advokat keselamatan proaktif. Model ini secara langsung menargetkan kelemahan elemen manusia yang menjadi fokus IMO: keraguan untuk bersuara dan kegagalan etika di bawah tekanan.
Implikasi jangka panjang menunjukkan bahwa investasi di MET yang terstruktur harus dianggap sebagai strategi mitigasi risiko utama. Untuk memvalidasi dan menggeneralisasi model ini ke skala global, diperlukan upaya kolaboratif yang terintegrasi di antara pemangku kepentingan utama.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi IMO (untuk mengintegrasikan temuan intervensi perilaku ke dalam kerangka kerja MET), DNV (atau badan klasifikasi lainnya untuk memvalidasi efektivitas CMS dan SROI infrastruktur), serta AMOSUP dan IMEC (untuk menyediakan akses data longitudinal kinerja pelaut dan insiden) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, dan untuk menguji penerapan model MAAP di berbagai konteks regional MET.
https://commons.wmu.se/all_dissertations/2142/
Teknologi Kontruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 Oktober 2025
Pendahuluan:
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor paling berisiko tinggi dalam hal kecelakaan kerja. Proyek konstruksi sangat dinamis: pekerja, peralatan, dan material terus bergerak sehingga potensi bahaya sulit diprediksi. Contoh kondisi berbahaya di lapangan meliputi risiko tertimpa objek atau jatuh dari ketinggian, ditambah ancaman paparan debu, bahan kimia, hingga kondisi lingkungan kerja yang keras. Di tengah tantangan ini, hadir gelombang digitalisasi dengan teknologi canggih seperti artificial intelligence (AI), Building Information Modeling (BIM), virtual reality (VR), augmented reality (AR), digital twins, Internet of Things (IoT), otomatisasi, robotika, dan sensor pintar. Semua ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan manajemen keselamatan di proyek konstruksi. Pertanyaannya: mengapa adopsi teknologi di sektor konstruksi terkesan lambat, dan bagaimana sebenarnya sikap para pelaku industri terhadap inovasi digital untuk keselamatan?
Tujuan dan Metodologi Studi:
Penelitian oleh Mara Matti dan Md Shan E. Jahan ini bertujuan mengisi kesenjangan pengetahuan tentang implementasi teknologi digital di manajemen keselamatan konstruksi, khususnya dalam konteks Swedia. Berbeda dari riset terdahulu yang banyak dilakukan di lingkungan terkontrol atau proyek percontohan, studi ini menyoroti kondisi nyata di lapangan – bagaimana sikap dan perilaku personel konstruksi terhadap alat digital keselamatan dalam keseharian proyek. Fokusnya pada tahap konstruksi (fase produksi), namun juga mempertimbangkan peran fase perencanaan dan desain dalam mewujudkan proyek yang lebih aman.
Untuk menggali dimensi manusiawi dalam adopsi teknologi, peneliti menggunakan metode kualitatif. Mereka melakukan wawancara semi-terstruktur mendalam dan observasi lapangan (fieldwork). Partisipan wawancara mencakup berbagai pemangku kepentingan di industri konstruksi, dari innovation leader di perusahaan besar, manajer dan pelatih K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), CEO perusahaan konstraktor, manajer proyek, hingga desainer BIM/CAD. Pendekatan ini memastikan sudut pandang yang beragam – mulai level manajemen puncak hingga praktisi teknis – sehingga memberikan gambaran komprehensif. Kerangka teori yang digunakan adalah Technology Acceptance Model (TAM) untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan teknologi baru. Data kualitatif dari wawancara dan observasi dianalisis menggunakan analisis tematik guna mengidentifikasi pola-pola utama dalam sikap dan perilaku terhadap teknologi keselamatan.
Hasil Utama – Sikap dan Temuan Kunci:
Studi ini menemukan bahwa secara umum para profesional konstruksi menunjukkan antusiasme terhadap potensi alat digital dalam meningkatkan keselamatan. Banyak peserta wawancara yang positif dan berharap teknologi seperti sensor deteksi, AI untuk monitoring, atau aplikasi mobile K3 dapat mencegah kecelakaan dan mempermudah pengawasan. Namun, sikap mereka juga ambivalen. Di balik optimisme, tersimpan skeptisisme dan keraguan terhadap implementasi nyata teknologi tersebut. Beberapa manajer mengakui adanya “ketakutan akan hal yang tidak diketahui” – misalnya keraguan terhadap AI atau sistem otomatis yang belum sepenuhnya mereka pahami. Seorang manajer proyek bahkan berkata, “Saya takut pada AI,” yang mencerminkan kekhawatiran bahwa teknologi baru bisa membawa risiko atau konsekuensi yang tidak diinginkan. Banyak juga yang meragukan apakah pekerja lapangan yang terbiasa dengan cara tradisional akan mau dan mampu beradaptasi menggunakan perangkat digital canggih.
Temuan kualitatif lebih lanjut mengungkap sejumlah hambatan non-teknis yang signifikan. Struktur industri konstruksi yang berbasis proyek ternyata menjadi penghalang inheren bagi penyebaran inovasi. Setiap proyek konstruksi ibarat “dunia sendiri” dengan tim dan praktik unik, sehingga transfer pengetahuan antar proyek sangat lemah. Pelajaran berharga tentang implementasi alat keselamatan digital di satu proyek sering tidak berlanjut ke proyek berikutnya – tim baru seringkali harus “mulai dari nol” lagi. Selain itu, terdapat kesenjangan digital antara fase perencanaan vs. pelaksanaan: teknologi digital (seperti BIM) lazim dipakai oleh perencana dan desainer di kantor, tetapi di lapangan konstruksi sendiri pekerjaan masih banyak yang bersifat analog (berbasis kertas, papan tulis, print-out gambar teknis). Ketidaksinambungan ini membuat inovasi keselamatan sulit mengakar konsisten sepanjang siklus proyek.
Aspek budaya organisasi juga menjadi sorotan. Penelitian ini menemukan adanya budaya “saling menyalahkan” (blame game) dalam hal keselamatan: pimpinan cenderung menyalahkan pekerja lapangan setiap terjadi insiden, sedangkan faktor sistemik kurang mendapat perhatian. Top management sering menyerukan “keselamatan itu penting”, namun kenyataannya di proyek, target waktu dan biaya lebih dominan sehingga komitmen terhadap aturan K3 kadang hanya sebatas formalitas. Di sisi pekerja, motivasi mengikuti prosedur keselamatan pun kerap dilandasi takut dihukum atau takut “tertangkap basah” oleh pengawas, bukan karena kesadaran intrinsik akan pentingnya keselamatan. Tekanan deadline yang ketat membuat pekerja fokus memenuhi target ketimbang patuh aturan, selama tidak ketahuan. Hambatan prosedural lainnya adalah kurangnya standardisasi aturan keselamatan antar perusahaan. Para pekerja mengungkapkan kebingungan karena setiap kontraktor punya kebijakan K3 berbeda – bahkan terkadang bertentangan – misalnya terkait penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Ketidakseragaman ini, ditambah minimnya pelatihan efektif untuk menggunakan perangkat atau prosedur baru, mengakibatkan sebagian pekerja kehilangan motivasi dan tidak percaya pada inisiatif digital. Alih-alih melihat teknologi sebagai solusi, mereka khawatir hanya menambah beban tanpa dukungan yang jelas, sehingga adopsi pun terhambat.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi penting pada bidang teknologi konstruksi dan manajemen keselamatan. Pertama, studi ini memperluas wawasan ilmiah dengan menyoroti betapa dominannya faktor manusia dan organisasi dalam keberhasilan penerapan teknologi keselamatan. Di saat banyak riset lain berfokus pada kecanggihan teknologinya sendiri, kajian ini secara unik menekankan aspek sikap, perilaku, dan budaya kerja di lingkungan konstruksi nyata. Pendekatan ini mengungkap mengapa berbagai teknologi menjanjikan sering gagal diimplementasikan: bukan semata soal teknis, melainkan karena hambatan psikologis dan organisasi.
Kedua, temuan studi ini mengidentifikasi kendala-kendala kunci yang sebelumnya kurang terdokumentasi secara komprehensif. Misalnya, adanya silo pengetahuan per proyek dan minimnya aliran pengalaman sukses antara proyek satu dan lainnya. Ini merupakan kontribusi bagi literatur manajemen proyek – menunjukkan perlunya mekanisme transfer pengetahuan yang lebih baik agar inovasi keselamatan dapat berkelanjutan lintas proyek.
Ketiga, penelitian ini mengungkap sikap ambivalen pelaku industri terhadap teknologi baru: perpaduan antara optimisme dan ketakutan. Menyoroti ambivalensi ini penting agar pengembang teknologi dan manajer perubahan dapat merancang strategi adopsi yang mempertimbangkan kekhawatiran pengguna akhir (misalnya ancaman kehilangan pekerjaan karena otomatisasi, atau ketidaknyamanan terhadap AI). Dengan memahami keraguan yang ada, program implementasi dapat lebih disesuaikan dan user-friendly, meningkatkan peluang sukses adopsi.
Selanjutnya, studi ini berkontribusi dengan membawa isu budaya keselamatan ke depan. Budaya saling menyalahkan, ketidaksesuaian antara retorika dan praktik manajemen, serta motivasi pekerja yang sekadar “asal tidak dihukum” menunjukkan bahwa perubahan budaya merupakan syarat keberhasilan digitalisasi K3. Ini memberikan landasan bagi peneliti dan praktisi untuk tidak hanya menyediakan teknologi, tapi juga menangani perubahan perilaku dan kebijakan internal di perusahaan konstruksi. Kesadaran baru ini dapat mendorong lahirnya kerangka kerja manajemen perubahan spesifik untuk konstruksi, yang meliputi pelibatan pekerja, kepemimpinan keselamatan yang konsisten, dan insentif yang selaras dengan tujuan keselamatan.
Terakhir, dengan fokus pada konteks Swedia yang memiliki regulasi keselamatan cukup maju, studi ini menjadi semacam barometer bagi negara lain. Kontribusinya bukan pada generalisasi hasil mentah-mentah, melainkan pada identifikasi faktor-faktor universal (misalnya kebutuhan standardisasi, pentingnya pelatihan, dukungan manajemen) yang kemungkinan relevan di berbagai konteks. Penelitian ini membuka diskusi bahwa transformasi digital di K3 konstruksi membutuhkan sinergi aspek teknis dan sosial, sehingga komunitas akademik dan industri kini memiliki dasar empiris lebih kuat untuk mengembangkan solusi holistik ke depan.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Sebagai studi kualitatif dalam konteks Swedia, hasil penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang harus disikapi dengan hati-hati. Generalisasi temuan ke negara lain atau budaya industri berbeda tidak bisa dilakukan secara langsung. Kondisi regulasi, budaya kerja, dan tingkat adopsi teknologi di tiap negara dapat berbeda, sehingga penelitian lanjutan diperlukan untuk menguji apakah temuan serupa muncul di konteks lain. Selain itu, ukuran sampel wawancara yang terbatas berarti sudut pandang yang terekam berasal dari sekelompok individu tertentu. Meskipun para partisipan mewakili beragam peran kunci, tetap ada kemungkinan bahwa pandangan pekerja lapangan lainnya atau perusahaan berbeda dapat tidak sepenuhnya terwakili. Bias persepsi dari responden juga harus dipertimbangkan, mengingat data didasarkan pada opini dan pengalaman subjektif.
Studi ini juga mengangkat isu-isu yang justru memunculkan pertanyaan baru. Misalnya, ditemukannya budaya “saling menyalahkan” menimbulkan pertanyaan lanjutan: apa akar penyebab budaya ini? Apakah karena struktur organisasi hirarkis, tekanan biaya dalam kontrak, atau kurangnya akuntabilitas di tingkat manajemen? Penelitian ini belum mendalami secara spesifik peran struktur kekuasaan organisasi dan insentif ekonomi (seperti skema kontrak, model tender) terhadap prioritas keselamatan. Analisis lebih mendalam di area tersebut menjadi pertanyaan terbuka yang layak diteliti di masa depan untuk memahami akar masalah perilaku keselamatan.
Pertanyaan lain muncul terkait sustainability inovasi: Bagaimana caranya memastikan alat digital yang berhasil di satu proyek dapat diadopsi luas di proyek-proyek lain secara konsisten? Apa strategi efektif untuk mengatasi kesenjangan digital antara tahap perencanaan (yang sudah maju secara teknologi) dan tahap konstruksi di lapangan? Begitu pula, meskipun para partisipan menyuarakan dukungan terhadap pelatihan, jenis pelatihan seperti apa yang paling efektif untuk mengubah mindset pekerja veteran yang sudah nyaman dengan cara lama? Semua ini merupakan ranah penelitian lanjutan yang disarankan, sehingga komunitas K3 konstruksi dapat menemukan model implementasi terbaik bagi transformasi digital jangka panjang.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan-temuan di atas, berikut adalah lima rekomendasi arah riset lanjutan untuk mendukung implementasi digital dalam keselamatan konstruksi:
Potensi Jangka Panjang dan Penutup:
Temuan studi ini menegaskan bahwa transformasi digital dalam keselamatan konstruksi bukan sekadar mengganti kertas dengan tablet, tetapi menyangkut evolusi budaya dan sistem kerja. Dalam jangka panjang, jika berbagai hambatan manusiawi dan organisasional yang teridentifikasi dapat diatasi, industri konstruksi berpotensi memasuki era baru keselamatan berbasis data dan teknologi. Bayangan masa depan yang muncul adalah proyek konstruksi di mana sensor IoT dan AI secara proaktif memperingatkan pekerja akan bahaya, dashboard K3 real-time digunakan manajer untuk mengambil keputusan preventif, dan seluruh tim memiliki mindset proaktif terhadap keselamatan karena didukung budaya kolaboratif tanpa saling menyalahkan. Penerapan teknologi yang sukses pada akhirnya dapat menyelamatkan banyak nyawa dan meningkatkan kinerja proyek (minim penghentian kerja akibat kecelakaan), sembari menarik generasi pekerja muda yang lebih melek digital ke industri konstruksi.
Untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan kolaborasi erat lintas sektor. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintah/regulator, perusahaan konstruksi, dan akademisi (X, Y, Z) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Dukungan dari regulator akan membantu menciptakan kebijakan dan standar yang mendorong adopsi teknologi selamat, pelibatan perusahaan memastikan inovasi yang dikaji tetap relevan dan aplikatif, sementara kontribusi perguruan tinggi menghadirkan metodologi riset yang objektif dan mendalam. Melalui kemitraan strategis ini, perjalanan menuju konstruksi digital yang aman dapat dipercepat sekaligus dipastikan keberhasilannya. Mari bergandengan tangan – akademisi, industri, dan pemerintah – untuk mentransformasi keselamatan konstruksi di era digital demi masa depan pekerjaan konstruksi yang nol kecelakaan.
https://doi.org/10.1016/j.autcon.2023.105227