Ekonomi Pariwisata

Menguak Dampak Sektor Pariwisata terhadap Pendapatan Daerah Bali: Fakta 2009–2019

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 25 September 2025


Pendahuluan: Bali, Pariwisata, dan Sumber Daya Keuangan Daerah

Bali tidak hanya menjadi primadona pariwisata nasional, tetapi juga memainkan peran sentral dalam pertumbuhan ekonomi berbasis sektor jasa. Dalam dekade terakhir, sektor pariwisata diposisikan sebagai pengungkit utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) di provinsi ini. Namun, apakah seluruh komponen sektor pariwisata memberikan kontribusi signifikan terhadap PAD? Skripsi karya Afan Wicaksono Izdiharuddin ini menjawab pertanyaan tersebut secara empiris.

Penelitian berjudul "Analisis Pengaruh Sektor Pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Bali Tahun 2009–2019" bertujuan untuk menilai sejauh mana variabel jumlah wisatawan, jumlah hotel, jumlah restoran, dan belanja modal berdampak pada PAD.

Tujuan dan Relevansi Penelitian

Studi ini penting karena memberikan gambaran kuantitatif tentang sektor yang menjadi tumpuan utama ekonomi Bali. Di tengah tantangan pandemi serta tingginya ketergantungan ekonomi pada sektor pariwisata, pemahaman terhadap faktor-faktor penyumbang PAD menjadi krusial bagi perumusan kebijakan daerah yang tangguh dan berkelanjutan.

Metodologi: Regresi Linier dan Validasi Statistik

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali selama periode 2009–2019. Variabel dependen adalah PAD, sedangkan variabel independen meliputi:

  • Jumlah Kunjungan Wisatawan

  • Jumlah Hotel

  • Jumlah Restoran

  • Belanja Modal

Teknik analisis utama adalah regresi linier berganda, dilengkapi dengan uji asumsi klasik seperti normalitas, multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.

Hasil Penelitian dan Interpretasi Data

Hasil Uji Regresi Linier Berganda:

Persamaan regresi: PAD = -576.000.000 + 333,20 (Wisatawan) - 307.407 (Hotel) + 0,00091 (Belanja Modal)

Temuan Utama:

  1. Jumlah Wisatawan → Berpengaruh Signifikan Positif terhadap PAD (t = 7,605, p < 0,01)

  2. Jumlah Hotel → Berpengaruh Signifikan Negatif terhadap PAD (t = -2,95, p < 0,05)

  3. Jumlah Restoran → Tidak signifikan

  4. Belanja Modal → Tidak signifikan

Koefisien Determinasi (R²):

  • R² = 0,968 → Menunjukkan bahwa model menjelaskan 96,8% variasi dalam PAD

Implikasi:

  • Wisatawan sebagai pendorong utama PAD terbukti secara statistik.

  • Temuan negatif dari jumlah hotel mengejutkan, menandakan bahwa kuantitas hotel tidak selalu linear terhadap peningkatan PAD. Bisa jadi karena pajak hotel belum optimal, atau banyak hotel yang belum taat pajak.

  • Belanja modal dan restoran menunjukkan kontribusi minimal terhadap PAD selama periode tersebut.

Studi Kasus: Bali 2009–2019

Data Penting:

  • Kunjungan wisatawan naik dari 5,9 juta (2009) menjadi 16,8 juta (2019)

  • PAD Bali meningkat dari Rp 1,16 triliun (2009) menjadi Rp 4,02 triliun (2019)

Namun demikian, kontribusi PAD dari restoran dan hotel tetap stagnan secara proporsional. Hal ini mengindikasikan ketergantungan PAD pada volume kunjungan, bukan persebaran kontribusi sektor.

Kritik dan Evaluasi Penelitian

Kelebihan:

  • Rentang waktu data yang panjang (11 tahun)

  • Uji asumsi regresi dilakukan secara menyeluruh

  • Relevan secara praktis untuk kebijakan fiskal daerah

Keterbatasan:

  • Tidak memasukkan pendapatan pajak per sektor sebagai variabel tambahan

  • Tidak membedakan hotel berbintang dan non-bintang

  • Tidak mempertimbangkan faktor eksternal seperti bencana atau kebijakan nasional

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

Penelitian ini melengkapi temuan dari Sabrina & Mudzhalifah (2018) di Palembang, yang menyebutkan bahwa penerimaan dari sektor wisata sangat tergantung pada tingkat hunian hotel. Berbeda dari hasil Afan Wicaksono yang menunjukkan bahwa banyaknya hotel justru berdampak negatif terhadap PAD.

Studi di Yogyakarta oleh Novandre (2019) menyebutkan bahwa restoran memberi pengaruh besar pada PAD, bertolak belakang dengan hasil di Bali. Ini memperkuat asumsi bahwa efektivitas pajak dan kepatuhan pelaku usaha lokal menjadi penentu utama.

Rekomendasi Kebijakan Publik

  1. Pengawasan Pajak Hotel dan Restoran

    • Perkuat sistem digitalisasi dan transparansi pelaporan.

  2. Pendataan Kualitatif Hotel dan Restoran

    • Klasifikasikan berdasarkan omzet dan lokasi untuk evaluasi pajak yang lebih adil.

  3. Diversifikasi Penerimaan PAD

    • Bali perlu mengembangkan sektor lain (ekonomi kreatif, pertanian wisata) agar PAD tidak terlalu tergantung pada volume wisatawan.

  4. Optimalisasi Belanja Modal

    • Efisiensi dalam belanja publik sangat penting agar belanja modal benar-benar berdampak pada peningkatan pendapatan daerah.

Kesimpulan: PAD Bali Masih Bergantung pada Jumlah Wisatawan

Skripsi ini menegaskan bahwa kunjungan wisatawan merupakan pilar utama PAD Provinsi Bali. Namun demikian, komponen lain seperti hotel, restoran, dan belanja modal belum mampu secara optimal mendongkrak PAD. Penelitian ini memberi sinyal kuat bahwa pertumbuhan ekonomi berbasis pariwisata harus dibarengi dengan reformasi fiskal dan tata kelola sektor pendukungnya.

Untuk jangka panjang, kebijakan daerah perlu memprioritaskan penguatan basis pajak, diversifikasi sektor ekonomi, dan peningkatan akuntabilitas belanja publik.

Sumber

Afan Wicaksono Izdiharuddin. (2021). Analisis Pengaruh Sektor Pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Bali Tahun 2009–2019. Skripsi Sarjana Ekonomi Pembangunan, Universitas Tidar.

 

Selengkapnya
Menguak Dampak Sektor Pariwisata terhadap Pendapatan Daerah Bali: Fakta 2009–2019

Proyek Kontruksi

Mengoptimalkan Proyek Sektor Publik di Afrika Selatan: Peran Pendekatan Design and Build sebagai Katalis Kinerja Unggul

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 25 September 2025


Sektor konstruksi di Afrika Selatan, khususnya pada ranah proyek-proyek publik, menghadapi tantangan multidimensional yang secara signifikan menghambat efisiensi dan efektivitas pengiriman proyek. Keterbatasan sumber daya, kendala waktu, pembengkakan biaya, serta kualitas yang tidak optimal adalah isu-isu kronis yang kerap menghantui inisiatif pembangunan infrastruktur pemerintah.

Dalam konteks ini, laporan penelitian berjudul "Design and Build Procurement Approach as An Alternative For Improving Public Sector Construction Projects Performance In South Africa" oleh Nyiko Jeffrey Gudlhuza, yang disusun sebagai bagian dari persyaratan gelar Master of Science in Engineering di University of the Witwatersrand pada Maret 2020, menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana pendekatan pengadaan Design and Build (D&B) dapat menjadi solusi transformatif.

Laporan ini tidak hanya mengkaji potensi D&B dalam mengatasi masalah kinerja proyek, tetapi juga menggali persepsi pemangku kepentingan serta hambatan implementasinya di konteks Afrika Selatan.

Latar Belakang Tantangan Proyek Sektor Publik di Afrika Selatan

Gudlhuza memulai penelitiannya dengan menggarisbawahi urgensi pembangunan infrastruktur di Afrika Selatan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan sosial. Namun, laporan ini menyoroti bahwa banyak proyek konstruksi sektor publik di negara tersebut mengalami kendala signifikan, seperti:

  • Pembengkakan Biaya (Cost Overruns): Proyek seringkali melebihi anggaran yang dialokasikan, membebani keuangan negara dan mengurangi jumlah proyek yang dapat direalisasikan.

  • Keterlambatan Jadwal (Schedule Delays): Penundaan dalam penyelesaian proyek adalah hal yang umum, menyebabkan manfaat infrastruktur tertunda dan meningkatkan biaya tidak langsung.

  • Kualitas yang Kurang Optimal: Meskipun investasi besar, kualitas hasil akhir proyek terkadang tidak memenuhi standar yang diharapkan.

Penelitian ini mengemukakan bahwa masalah-masalah ini sebagian besar berakar pada pendekatan pengadaan tradisional, yaitu Design-Bid-Build (DBB). Dalam metode DBB, proses desain dan konstruksi dipisahkan, menciptakan fragmentasi tanggung jawab dan seringkali memicu sengketa antara desainer dan kontraktor. Kurangnya integrasi ini dapat menyebabkan keputusan yang tidak efisien, desain yang tidak dapat dibangun (unconstructible), dan perubahan desain yang mahal di kemudian hari.

Munculnya Design and Build sebagai Alternatif Strategis

Sebagai respons terhadap keterbatasan DBB, pendekatan D&B telah mendapatkan popularitas global, baik di sektor swasta maupun publik. D&B mengintegrasikan tanggung jawab desain dan konstruksi di bawah satu entitas kontrak tunggal, yang dikenal sebagai kontraktor D&B atau tim D&B. Integrasi ini diharapkan dapat membawa sejumlah manfaat, antara lain:

  • Peningkatan Efisiensi: Dengan desainer dan kontraktor bekerja sama sejak awal, potensi konflik berkurang dan pengambilan keputusan menjadi lebih cepat.

  • Inovasi: Tim D&B memiliki insentif untuk mengembangkan solusi desain dan konstruksi yang lebih inovatif yang dapat menghemat waktu dan biaya.

  • Pengurangan Risiko Pemilik: Sebagian besar risiko terkait koordinasi desain dan konstruksi dialihkan kepada tim D&B, mengurangi beban pemilik proyek.

  • Percepatan Jadwal: Proses desain dan konstruksi dapat tumpang tindih (fast-tracking), mempercepat waktu penyelesaian proyek.

  • Satu Titik Akuntabilitas: Pemilik hanya berurusan dengan satu entitas kontrak, menyederhanakan komunikasi dan manajemen.

Gudlhuza berargumen bahwa potensi manfaat ini menjadikan D&B pilihan yang menarik untuk meningkatkan kinerja proyek sektor publik di Afrika Selatan.

Metodologi Penelitian: Menggali Persepsi Pemangku Kepentingan

Untuk menguji hipotesis tentang efektivitas D&B, Gudlhuza mengadopsi pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan survei kuesioner. Populasi target adalah para profesional yang terlibat dalam proyek konstruksi sektor publik di Afrika Selatan, termasuk:

  • Kantor Kementerian Pekerjaan Umum (DPWI): Sebagai entitas utama yang bertanggung jawab atas pengadaan proyek konstruksi publik.

  • Dewan Pembangunan Industri Konstruksi (CIDB): Lembaga regulasi yang berperan dalam pengembangan kapasitas dan kebijakan industri konstruksi.

  • Perusahaan Konsultan: Desainer, insinyur, dan manajer proyek yang menyediakan layanan kepada sektor publik.

  • Perusahaan Kontraktor: Perusahaan yang melaksanakan pekerjaan konstruksi.

Total 89 kuesioner didistribusikan, dan 65 respons yang valid berhasil dikumpulkan, menghasilkan tingkat respons yang sehat sekitar 73%. Analisis data dilakukan menggunakan perangkat lunak statistik seperti SPSS (Statistical Package for the Social Sciences), dengan teknik analisis deskriptif dan inferensial (misalnya, uji reliabilitas Cronbach's Alpha, analisis frekuensi, dan uji t).

Temuan Kunci: Persepsi Positif dan Potensi D&B

Hasil penelitian Gudlhuza mengonfirmasi bahwa sebagian besar responden di Afrika Selatan memiliki persepsi yang positif terhadap D&B sebagai pendekatan pengadaan. Beberapa temuan kunci yang menarik meliputi:

  1. D&B sebagai Alternatif yang Efektif: Mayoritas responden (sekitar 70%) setuju atau sangat setuju bahwa D&B adalah alternatif yang layak dan efektif untuk meningkatkan kinerja proyek sektor publik. Ini menunjukkan adanya penerimaan yang signifikan di kalangan praktisi.

  2. Manfaat Utama D&B: Responden mengidentifikasi berbagai manfaat D&B, dengan pengurangan waktu proyek dan pengurangan cost overrun sebagai manfaat yang paling sering disebut. Ini sejalan dengan temuan literatur global tentang keunggulan D&B. Sebagai contoh, laporan yang lebih awal oleh Molenaar, Songer, dan Barash (1999) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa proyek D&B rata-rata selesai 6% lebih cepat dari jadwal dan memiliki 50% lebih sedikit klaim dibandingkan metode DBB. Temuan Gudlhuza di Afrika Selatan mengkonfirmasi tren global ini.

  3. Pengurangan Risiko: Responden juga setuju bahwa D&B membantu mengurangi risiko bagi pemilik proyek, memperkuat argumen bahwa D&B adalah metode yang lebih aman dalam menghadapi ketidakpastian.

  4. Tantangan Implementasi: Meskipun pandangan positif, responden juga mengidentifikasi tantangan dalam mengadopsi D&B. Kekhawatiran terbesar adalah kurangnya pemahaman dan pengalaman dengan D&B di sektor publik, serta kerangka regulasi yang belum sepenuhnya mendukung. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi teoretis D&B dan realitas praktis implementasinya.

  5. Kebutuhan untuk Panduan dan Legislasi: Mayoritas responden percaya bahwa CIDB harus menyediakan lebih banyak panduan dan kerangka kebijakan untuk implementasi proyek D&B. Selain itu, ada dukungan yang kuat (sekitar 75%) untuk diberlakukannya undang-undang yang mempromosikan pendekatan D&B di Afrika Selatan. Ini menunjukkan adanya konsensus bahwa dukungan institusional dan regulasi sangat dibutuhkan untuk mendorong adopsi D&B secara lebih luas.

Analisis Mendalam dan Nilai Tambah

Penelitian Gudlhuza memberikan nilai tambah yang signifikan melalui beberapa aspek:

  • Fokus Kontekstual: Berbeda dengan banyak penelitian D&B yang bersifat global atau di negara maju, penelitian ini secara spesifik berfokus pada konteks Afrika Selatan. Ini sangat penting karena setiap negara memiliki kerangka hukum, praktik industri, dan tantangan unik yang memengaruhi adopsi D&B. Temuan ini memberikan wawasan yang relevan secara lokal bagi pembuat kebijakan di Afrika Selatan.

  • Pendekatan Multi-Pemangku Kepentingan: Dengan mengumpulkan persepsi dari berbagai kelompok pemangku kepentingan (pemerintah, regulator, konsultan, kontraktor), penelitian ini menyajikan gambaran yang komprehensif tentang tantangan dan peluang D&B dari berbagai sudut pandang. Ini adalah fondasi yang kuat untuk mengembangkan strategi implementasi yang holistik.

  • Identifikasi Hambatan Kritis: Laporan ini secara jelas mengidentifikasi kurangnya pengetahuan dan pengalaman, serta kerangka regulasi yang belum matang, sebagai hambatan utama. Ini bukan hanya masalah teoretis, tetapi tantangan nyata yang perlu diatasi melalui capacity building dan reformasi kebijakan. Misalnya, di banyak negara berkembang, ketidakpahaman terhadap kompleksitas kontrak D&B dan alokasi risiko sering menjadi penyebab kegagalan proyek.

  • Rekomendasi Kebijakan Berbasis Bukti: Berdasarkan temuan survei, Gudlhuza mengajukan rekomendasi yang jelas, seperti perlunya legislasi pro-D&B dan panduan dari CIDB. Ini adalah rekomendasi yang sangat praktis dan dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah Afrika Selatan.

Kritik dan Keterbatasan Penelitian

Meskipun kuat, laporan penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan:

  • Metode Penelitian Kuantitatif Semata: Meskipun survei kuantitatif memberikan gambaran umum persepsi, penelitian ini dapat diperkaya dengan metode kualitatif, seperti wawancara mendalam atau studi kasus, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih kaya tentang "mengapa" di balik persepsi tersebut. Misalnya, wawancara dengan manajer proyek yang berpengalaman dalam D&B dapat mengungkap detail operasional dan tantangan yang tidak tertangkap oleh kuesioner.

  • Generalisasi Hasil: Meskipun sampel cukup representatif untuk tujuan tesis master, generalisasi ke seluruh sektor konstruksi publik di Afrika Selatan perlu dilakukan dengan hati-hati. Wilayah geografis atau jenis proyek yang tidak terwakili mungkin memiliki persepsi atau tantangan yang berbeda.

  • Kinerja Aktual vs. Persepsi: Penelitian ini mengukur persepsi tentang manfaat D&B, bukan kinerja aktual proyek D&B yang telah selesai. Meskipun persepsi positif adalah langkah awal yang baik, validasi empiris melalui analisis kinerja proyek D&B yang sebenarnya (misalnya, perbandingan biaya dan jadwal proyek D&B dengan DBB) akan memberikan bukti yang lebih kuat. Pekerjaan selanjutnya dapat merujuk pada penelitian seperti Gordon (1994) atau Konchar dan Sanvido (1998) yang secara langsung membandingkan kinerja D&B dan DBB.

Kaitannya dengan Tren Industri dan Tantangan Global

Temuan Gudlhuza sangat relevan dengan tren global dalam manajemen proyek konstruksi:

  • Globalisasi D&B: D&B terus menjadi metode pengiriman proyek yang dominan di banyak negara maju. Tantangan yang dihadapi Afrika Selatan dalam adopsi D&B (kurangnya pengalaman, regulasi) adalah cerminan dari kurva pembelajaran yang dialami negara-negara lain.

  • Pentingnya Kerangka Hukum: Dorongan untuk legislasi pro-D&B di Afrika Selatan mencerminkan kesadaran akan pentingnya kerangka hukum yang jelas dan mendukung untuk memfasilitasi metode pengadaan inovatif. Banyak negara telah mereformasi undang-undang pengadaan mereka untuk mengakomodasi D&B dan model pengiriman proyek terintegrasi lainnya.

  • Pembangunan Kapasitas: Kesadaran akan kebutuhan capacity building di kalangan pemangku kepentingan adalah kunci. Keberhasilan D&B tidak hanya bergantung pada adanya peraturan, tetapi juga pada kemampuan praktisi untuk memahami dan mengelola kontrak yang lebih kompleks serta risiko yang terintegrasi. Ini termasuk pelatihan untuk pemilik proyek dalam merumuskan kebutuhan proyek yang jelas dan mengevaluasi penawaran D&B yang komprehensif.

  • Efisiensi dan Akuntabilitas: Di tengah tekanan fiskal dan tuntutan publik untuk transparansi dan akuntabilitas, D&B menawarkan jalan untuk mencapai proyek infrastruktur yang lebih efisien dan akuntabel. Ini sangat penting di negara-negara berkembang di mana setiap anggaran memiliki dampak besar.

Kesimpulan

Laporan penelitian Nyiko Jeffrey Gudlhuza memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman tentang potensi pendekatan pengadaan Design and Build dalam meningkatkan kinerja proyek konstruksi sektor publik di Afrika Selatan. Dengan bukti empiris berbasis survei, Gudlhuza berhasil menunjukkan bahwa para profesional di Afrika Selatan memiliki pandangan yang positif terhadap D&B, mengakui kemampuannya untuk menghemat waktu, mengurangi biaya, dan memitigasi risiko.

Namun, laporan ini juga dengan jujur mengidentifikasi hambatan utama yang perlu diatasi, terutama terkait kurangnya pengetahuan dan perlunya kerangka regulasi yang lebih kuat. Rekomendasi untuk memberlakukan legislasi pro-D&B dan menyediakan panduan yang komprehensif dari lembaga seperti CIDB adalah langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk mempercepat adopsi D&B.

Pada akhirnya, laporan ini bukan hanya sekadar analisis akademis, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Dengan menerapkan pendekatan D&B secara strategis dan didukung oleh kebijakan yang tepat serta peningkatan kapasitas, Afrika Selatan memiliki peluang besar untuk merevolusi pengiriman proyek-proyek infrastruktur publiknya, membuka jalan bagi pembangunan yang lebih efisien, tepat waktu, dan berkualitas, yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi seluruh rakyat.

Sumber Artikel: Gudlhuza, N. J. (2020). DESIGN AND BUILD PROCUREMENT APPROACH AS AN ALTERNATIVE FOR IMPROVING PUBLIC SECTOR CONSTRUCTION PROJECTS PERFORMANCE IN SOUTH AFRICA. [Master's Research Report, University of the Witwatersrand]. ResearchGate. (Tidak ada DOI eksplisit dalam dokumen yang diberikan, namun ini adalah laporan penelitian yang kredibel dari institusi akademik).

Selengkapnya
Mengoptimalkan Proyek Sektor Publik di Afrika Selatan: Peran Pendekatan Design and Build sebagai Katalis Kinerja Unggul

Sumber Daya Air

Menakar Efisiensi dan Tantangan Investasi Infrastruktur Air di Afrika Selatan: Studi, Fakta, dan Rekomendasi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 25 September 2025


Mengapa Efisiensi Investasi Air Menjadi Kunci Masa Depan?

Di tengah krisis air global, Afrika Selatan menjadi contoh nyata negara yang menghadapi tantangan berat dalam membiayai, mengelola, dan memelihara infrastruktur air. Meski prinsip tarif dan pembiayaan air telah diatur dalam undang-undang, implementasinya kerap jauh dari harapan.

Artikel ini membedah secara kritis temuan utama, studi kasus, serta angka-angka penting dari riset Cornelius Ruiters dan Joe Amadi-Echendu (2022) tentang biaya ekonomi, efisiensi, dan tantangan investasi infrastruktur air di Afrika Selatan. Dengan mengaitkan tren global, opini, dan rekomendasi, artikel ini diharapkan memberi insight strategis bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas.

Latar Belakang: Krisis Air, Investasi, dan Kesenjangan Infrastruktur

Fakta dan Tren

  • Afrika Selatan membutuhkan investasi sekitar US$55 miliar untuk menjamin pasokan air hingga 2025.
  • Tanpa tambahan sumber air, permintaan diprediksi melampaui pasokan dalam waktu dekat.
  • Kualitas dan keandalan infrastruktur air menurun akibat kurangnya pemeliharaan, tarif air yang terlalu rendah, serta buruknya layanan sanitasi di banyak kota.

Tantangan Utama

  • Under-pricing: Tarif air yang terlalu rendah menyebabkan pendapatan tidak cukup untuk menutup biaya operasional dan investasi.
  • Inefisiensi Investasi: Banyak proyek air yang tidak memberikan imbal hasil optimal akibat lemahnya perencanaan dan pengelolaan.
  • Non-Revenue Water (NRW): Kebocoran, pencurian, dan inefisiensi distribusi menyebabkan kerugian besar.
  • Gap Investasi: Kekurangan investasi tahunan mencapai US$2,26 miliar selama 10 tahun ke depan.

Kerangka Analisis: Dari Biaya Ekonomi hingga Efisiensi Operasional

Komponen Biaya Air

  1. Full Supply Costs: Pengeluaran finansial untuk penyediaan air.
  2. Full Cost Recovery: Biaya penggunaan ditambah opportunity cost dan eksternalitas.
  3. Full Costs: Biaya penuh termasuk dampak sosial dan lingkungan.

Prinsip Ekonomi

  • Efisiensi tercapai jika seluruh biaya tercermin dalam harga air (full cost pricing).
  • Jika tarif terlalu rendah, konsumsi berlebihan dan investasi terhambat.
  • Prinsip “user pays” dan “polluter pays” idealnya diterapkan untuk mendorong efisiensi dan konservasi.

Studi Kasus: Potret Infrastruktur Air di Afrika Selatan

Sampel dan Metodologi

  • Studi melibatkan 269 pemerintah kota (municipalities) dan 425 responden dari berbagai lembaga.
  • Data dikumpulkan melalui survei, wawancara, observasi, dan analisis dokumen selama 10 tahun (2008/09–2018/19).

Temuan Kunci

1. Kerugian Ekonomi Akibat Inefisiensi

  • Under-pricing air: Kerugian sekitar US$0,413 miliar/tahun.
  • Inefisiensi return on investment: Kerugian US$0,926 miliar/tahun.
  • Non-revenue water: 36,8% dari total air hilang, setara US$0,402 miliar/tahun.
  • Total kerugian tahunan: US$0,617–1,033 miliar.

2. Gap Investasi dan Dampaknya

  • Kekurangan investasi tahunan: US$2,26 miliar (2019/20–2029/30).
  • Nilai aset infrastruktur air: US$54,51 miliar; nilai penggantiannya mencapai US$125 miliar.
  • Pendapatan tahunan: US$7,84 miliar; pengeluaran operasional: US$11,57 miliar; pengeluaran modal: US$5,13 miliar.
  • Defisit pendanaan menyebabkan penundaan pemeliharaan, menurunkan umur aset, dan meningkatkan biaya jangka panjang.

3. Non-Revenue Water (NRW)

  • Volume air hilang: 1.015 juta m³/tahun dari total 3.190 juta m³.
  • Kerugian terbesar terjadi di kota besar (kategori A), namun kota kecil dan daerah rural juga terdampak signifikan.

4. Efisiensi Anggaran dan Eksekusi Proyek

  • Hanya 79% anggaran modal yang dieksekusi, sisanya (US$0,206 miliar/tahun) hilang akibat bottleneck birokrasi dan lemahnya perencanaan.
  • Underspending anggaran modal oleh pemerintah kota mencapai US$1,547 miliar/tahun.
  • Jika bottleneck diatasi, belanja modal bisa naik 30% tanpa tambahan anggaran.

5. Multiplikasi Tarif Air

  • Tarif air dari sumber ke konsumen akhir berlipat 10 kali (raw-to-municipal multiplier: 10,48).
  • Rata-rata tarif air nasional: US$0,002/m³ (sangat rendah secara global).
  • Hanya 20% lembaga air yang mampu menutup biaya modal penuh dari tarif, sisanya hanya menutup biaya operasional.

6. Return on Capital dan Revenue Management

  • Pendapatan dari tarif air tumbuh 18,6% per tahun, menyumbang 28% pendapatan kota.
  • Namun, revenue jauh lebih kecil dibanding nilai aset, menandakan pengelolaan keuangan yang belum optimal.
  • Kenaikan biaya operasional: air baku (9%), tenaga kerja (17,8%), bahan kimia (20,5%), energi (34,4%).

Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Komparasi Global

Kelebihan Studi

  • Komprehensif: Menggabungkan analisis kuantitatif dan kualitatif dari berbagai sumber data.
  • Studi Lapangan Luas: Melibatkan hampir seluruh kota besar, menengah, dan kecil di Afrika Selatan.
  • Analisis Ekonomi Mendalam: Menyoroti hubungan antara tarif, biaya, investasi, dan efisiensi.

Keterbatasan

  • Data Sekunder: Beberapa data keuangan dan teknis bersifat estimasi atau berasal dari laporan pemerintah.
  • Generalisasi: Hasil mungkin kurang relevan untuk negara dengan struktur kelembagaan berbeda.

Komparasi dengan Negara Lain

  • OECD: Negara maju umumnya menerapkan tarif berbasis biaya penuh (full cost recovery) dan subsidi eksplisit untuk kelompok rentan.
  • Asia Tenggara: Banyak negara menghadapi masalah serupa, namun beberapa (Singapura, Korea Selatan) berhasil menekan NRW di bawah 10% melalui investasi teknologi dan manajemen ketat.
  • Amerika Latin: Kota seperti Sao Paulo dan Mexico City juga berjuang dengan NRW tinggi dan gap investasi serupa.Kota Metropolitan (Kategori A) 
  • Nilai produksi air: US$953 juta/tahun.
  • Nilai NRW: US$327 juta/tahun (34% dari total).
  • Infrastruktur relatif lebih baik, namun tantangan utama pada kebocoran jaringan lama dan pencurian air.

Kota Rural (Kategori B4)

  • Nilai produksi air: US$31 juta/tahun.
  • Nilai NRW: US$22 juta/tahun (72% dari total).
  • Infrastruktur sangat buruk, 35% aset butuh rehabilitasi segera.
  • Ketergantungan penuh pada dana hibah pemerintah pusat, tarif air sangat rendah, dan pengelolaan aset lemah.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi Strategis

1. Reformasi Tarif dan Kebijakan Subsidi

  • Penyesuaian tarif air secara bertahap agar mendekati biaya penuh, dengan subsidi eksplisit untuk kelompok miskin.
  • Transparansi subsidi: Subsidi silang antar kelompok pengguna harus jelas dan terukur.

2. Investasi pada Pemeliharaan dan Teknologi

  • Alokasikan minimal 10–15% anggaran tahunan untuk pemeliharaan preventif.
  • Investasi teknologi deteksi kebocoran dan digitalisasi sistem billing untuk menekan NRW.

3. Penguatan Kapasitas dan Tata Kelola

  • Pelatihan manajemen aset dan keuangan bagi staf pemerintah kota.
  • Audit rutin dan pengawasan independen untuk mengurangi inefisiensi dan korupsi.

4. Diversifikasi Sumber Pendanaan

  • Dorong kemitraan publik-swasta (PPP) untuk proyek infrastruktur baru.
  • Manfaatkan dana iklim internasional dan inovasi keuangan seperti green bonds untuk proyek air dan sanitasi.

5. Perencanaan Investasi Berbasis Prioritas

  • Prioritaskan proyek dengan dampak ekonomi dan sosial terbesar.
  • Gunakan metode cost-benefit dan analisis risiko untuk seleksi proyek.

Opini dan Kritik: Paradoks Air Murah, Investasi Mahal

Studi ini menegaskan paradoks klasik: air yang terlalu murah justru membuat investasi infrastruktur menjadi mahal akibat inefisiensi, kebocoran, dan backlog pemeliharaan. Tanpa reformasi tarif dan tata kelola, gap investasi akan terus melebar dan krisis air makin sulit diatasi.

Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah lemahnya political will untuk menaikkan tarif air secara rasional, serta kecenderungan mengorbankan pemeliharaan saat terjadi tekanan fiskal. Selain itu, ketergantungan pada dana hibah pusat membuat banyak kota tidak punya insentif untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi.

Komparasi dengan Tren Global dan Industri

  • Digitalisasi: Negara-negara maju mulai mengadopsi smart metering, big data, dan IoT untuk memantau konsumsi dan kebocoran air secara real-time.
  • Green Infrastructure: Investasi pada solusi berbasis alam (green infrastructure) mulai diminati sebagai pelengkap infrastruktur konvensional.
  • Blended Finance: Kombinasi dana publik, swasta, dan donor internasional menjadi kunci percepatan pembangunan infrastruktur air di negara berkembang.

Kesimpulan: Menuju Ekosistem Air yang Efisien dan Berkelanjutan

Afrika Selatan menjadi cermin tantangan global dalam pembiayaan, efisiensi, dan pengelolaan infrastruktur air. Studi Ruiters dan Amadi-Echendu menegaskan bahwa solusi bukan sekadar menambah dana, melainkan menata ulang tarif, memperkuat tata kelola, dan berinvestasi pada pemeliharaan serta teknologi. Indonesia dan negara berkembang lain dapat mengambil pelajaran penting: air murah tanpa efisiensi dan investasi hanya akan memperbesar krisis di masa depan. Reformasi tarif, diversifikasi pendanaan, dan penguatan kapasitas SDM adalah kunci menuju layanan air yang berkelanjutan dan inklusif.

Sumber

Cornelius Ruiters, Joe Amadi-Echendu. (2022). Economic costs, efficiencies and challenges of investments in the provision of sustainable water infrastructure supply systems in South Africa. Journal of Infrastructure Asset Management, doi: 10.1680/jinam.21.00014.

Selengkapnya
Menakar Efisiensi dan Tantangan Investasi Infrastruktur Air di Afrika Selatan: Studi, Fakta, dan Rekomendasi

Industri Kontruksi

Efektivitas Pelatihan Berbasis Kompetensi untuk Tenaga Kerja Konstruksi: Evaluasi, Studi Kasus, dan Rekomendasi Masa Depan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 25 September 2025


Mengapa Pelatihan Berbasis Kompetensi Menjadi Kunci Transformasi SDM Konstruksi?

Industri konstruksi Indonesia menghadapi tantangan berat di era digitalisasi dan persaingan global. Produktivitas proyek, kualitas hasil, dan keselamatan kerja sangat dipengaruhi oleh kompetensi tenaga kerja yang terlibat. Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih rendahnya proporsi pekerja konstruksi bersertifikat hanya sekitar 7,4% dari total 8,3 juta pekerja pada 2018. Pemerintah merespons dengan menerbitkan regulasi pelatihan berbasis kompetensi dan mewajibkan sertifikasi melalui UU No. 2 Tahun 2017 serta Permen PUPR No. 24/PRT/M/2014. Namun, seberapa efektif pelatihan ini dalam meningkatkan kompetensi riil tenaga kerja?

Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Dwifitra Jumas, Vivi Ariani, dan Asrini (2021) yang mengevaluasi efektivitas pelatihan berbasis kompetensi untuk tenaga kerja konstruksi di Sumatera Barat menggunakan model Kirkpatrick. Dengan mengangkat studi kasus, data statistik, serta membandingkan dengan tren industri dan penelitian lain, artikel ini bertujuan memberikan insight strategis bagi pelaku industri, pembuat kebijakan, dan pembaca umum.

Latar Belakang: Tantangan Kompetensi dan Sertifikasi di Industri Konstruksi

Fakta Industri

  • Hanya 616.000 dari 8,3 juta pekerja konstruksi Indonesia yang bersertifikat pada 2018 (7,4%).
  • Pemerintah menargetkan penambahan minimal 512.000 pekerja bersertifikat pada 2019.
  • Di Sumatera Barat, pelatihan berbasis kompetensi meningkat dari 5 kegiatan (2014) menjadi 17 kegiatan (2015), sejalan dengan target nasional.

Mengapa Kompetensi Penting?

  • Produktivitas proyek sangat dipengaruhi oleh kualitas dan keterampilan tenaga kerja.
  • Banyak kegagalan proyek disebabkan oleh kurangnya tenaga kerja terampil dan berkualitas.
  • Sertifikasi dan pelatihan menjadi instrumen utama untuk menutup gap antara kebutuhan industri dan kemampuan pekerja.

Kerangka Evaluasi: Model Kirkpatrick dalam Mengukur Efektivitas Pelatihan

Empat Level Evaluasi Kirkpatrick

  1. Reaction: Kepuasan peserta terhadap materi, instruktur, fasilitas, dan suasana pelatihan.
  2. Learning: Peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap selama pelatihan.
  3. Behavior: Perubahan perilaku dan penerapan kompetensi di tempat kerja setelah pelatihan.
  4. Results: Dampak nyata pelatihan terhadap produktivitas, kualitas kerja, dan efektivitas waktu.

Model ini dipilih karena mampu mengevaluasi pelatihan secara holistik, dari persepsi awal hingga dampak riil di lapangan.

Studi Kasus: Evaluasi Pelatihan di Sumatera Barat (2017–2018)

Metodologi Penelitian

  • Responden: 64 pekerja konstruksi yang mengikuti pelatihan berbasis kompetensi di Sumatera Barat.
  • Instrumen: Kuesioner berbasis Likert Scale, mengukur 21 indikator reaksi, 6 indikator pembelajaran, 7 indikator perilaku, dan 11 indikator hasil.
  • Analisis: Uji validitas, reliabilitas, dan normalitas data menggunakan SPSS; evaluasi efektivitas berdasarkan skor rata-rata terhadap cut-off point.

Profil Responden

  • Usia dominan: 20–30 tahun (56,3%)
  • Pendidikan: 48,4% lulusan SMA, 20,3% diploma, sisanya sarjana dan lainnya.
  • Pengalaman kerja: 40,6% kurang dari 1 tahun, 22% lebih dari 5 tahun.

Hasil Evaluasi: Efektivitas Pelatihan Berbasis Kompetensi

1. Level Reaction (Kepuasan Peserta)

  • Indikator efektif: Materi sesuai bidang, jadwal tepat, ruang memadai, konsumsi memuaskan, suasana pelatihan menyenangkan, nilai praktis tinggi.
  • Indikator kurang efektif: Kualitas instruktur (komunikasi, motivasi), waktu pelatihan, media/alat bantu, modul pelatihan.
  • Hasil: 63,71% peserta puas, namun masih ada 36,29% yang tidak puas, terutama terkait metode pengajaran dan fasilitas.

2. Level Learning (Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan)

  • Indikator efektif: Materi laporan kerja, materi spesifik sesuai pelatihan, persepsi belajar dari pelatihan.
  • Indikator kurang efektif: Materi komunikasi dan kerja sama, pembuatan jadwal kerja, K3L (Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan).
  • Hasil: 52,49% peserta mengalami peningkatan pemahaman, namun 47,51% masih belum memahami materi secara optimal.

3. Level Behavior (Perubahan Perilaku di Tempat Kerja)

  • Indikator efektif: Motivasi kerja meningkat, kerapian dalam menyimpan alat meningkat.
  • Indikator kurang efektif: Disiplin, tanggung jawab, kemandirian, perubahan perilaku komunikasi dan kerja sama.
  • Hasil: Hanya 29,27% peserta menunjukkan perubahan perilaku positif pasca pelatihan, sisanya belum menunjukkan perubahan signifikan.

4. Level Results (Dampak Nyata di Lapangan)

  • Indikator efektif: Perubahan cara berpikir dan sikap, peningkatan kemampuan membaca gambar, membuat jadwal kerja, dan laporan hasil kerja.
  • Indikator kurang efektif: Penerapan materi di pekerjaan, peningkatan hasil kerja, manajemen waktu, peningkatan skill teknis.
  • Hasil: 44,56% peserta merasakan dampak positif pada produktivitas dan kualitas kerja, namun lebih dari separuh belum merasakan manfaat nyata.

Analisis Data dan Angka-Angka Kunci

  • Variabel paling efektif: Learning (47,51%), Results (44,56%)
  • Variabel kurang efektif: Behavior (29,27%)
  • Kesimpulan utama: Pelatihan berbasis kompetensi di Sumatera Barat periode 2017–2018 dinilai masih kurang efektif secara keseluruhan.

Studi Kasus Lapangan: Tantangan dan Realitas Implementasi

Studi Kasus 1: Peserta Berpengalaman vs Peserta Baru

  • Peserta dengan pengalaman kerja lebih dari 5 tahun cenderung lebih mudah memahami materi teknis, namun kurang antusias pada materi soft skills seperti komunikasi dan kerja sama.
  • Peserta baru (kurang dari 1 tahun) lebih antusias, namun kesulitan memahami aplikasi materi di lapangan.

Studi Kasus 2: Dampak pada Produktivitas Proyek

  • Beberapa perusahaan melaporkan peningkatan produktivitas dan penurunan kecelakaan kerja setelah mengikutsertakan pekerja dalam pelatihan, namun dampaknya tidak merata.
  • Banyak peserta mengaku pelatihan hanya berdampak jangka pendek, tanpa tindak lanjut atau mentoring di tempat kerja.

Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Kelebihan Studi

  • Menggunakan model evaluasi komprehensif (Kirkpatrick) yang mengukur dari persepsi hingga dampak nyata.
  • Data lapangan aktual, melibatkan pekerja dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman.

Keterbatasan

  • Sampel terbatas (64 responden), sehingga generalisasi ke seluruh Indonesia perlu kehati-hatian.
  • Evaluasi berbasis self-assessment berpotensi bias persepsi.
  • Tidak membahas faktor eksternal seperti budaya kerja perusahaan, insentif, atau lingkungan kerja.

Komparasi dengan Penelitian Lain

  • Studi Kodri et al. (2018) dan Windapo (2016) menegaskan pentingnya pelatihan dan sertifikasi untuk produktivitas, namun juga menggarisbawahi perlunya pembinaan berkelanjutan dan integrasi pelatihan dengan kebutuhan proyek.
  • Penelitian di negara maju menunjukkan pelatihan efektif jika didukung mentoring, insentif, dan pengakuan industri.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi Strategis

1. Rekrutmen Peserta Berbasis Standar Kompetensi

  • Seleksi peserta pelatihan harus mengacu pada SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) secara tegas dan disiplin.
  • Peserta yang tidak memenuhi syarat sebaiknya tidak diikutkan, agar pelatihan lebih fokus dan efektif.

2. Penguatan Kualitas Instruktur dan Materi

  • Instruktur wajib menyiapkan modul dan materi sesuai bidang dan kebutuhan riil proyek.
  • Pelatihan instruktur secara berkala, terutama dalam metode pengajaran interaktif dan digital.

3. Integrasi Pelatihan dengan Proyek Nyata

  • Pelatihan harus diikuti mentoring di proyek nyata, sehingga peserta bisa langsung mempraktikkan ilmu yang didapat.
  • Kolaborasi dengan perusahaan konstruksi untuk monitoring dan evaluasi pasca pelatihan.

4. Evaluasi dan Pembaruan Kurikulum

  • Materi pelatihan harus terus diperbarui mengikuti perkembangan teknologi, digitalisasi, dan kebutuhan industri.
  • Penambahan porsi soft skills (komunikasi, kerja sama, problem solving) yang selama ini kurang efektif.

5. Insentif dan Pengakuan Industri

  • Sertifikasi dan pelatihan harus diakui sebagai nilai tambah dalam rekrutmen dan promosi jabatan.
  • Pemerintah dan asosiasi industri perlu memberikan insentif bagi perusahaan yang aktif mengikutsertakan pekerjanya dalam pelatihan.

6. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan

  • Evaluasi pelatihan tidak berhenti pada akhir program, tapi dilanjutkan dengan monitoring penerapan di tempat kerja.
  • Pengembangan sistem feedback dua arah antara peserta, instruktur, dan perusahaan.

Tren Global: Digitalisasi, Lifelong Learning, dan Kolaborasi Industri

  • Digitalisasi pelatihan: Pandemi dan era 4.0 mendorong pelatihan daring, simulasi virtual, dan e-learning sebagai solusi efisiensi dan aksesibilitas.
  • Lifelong learning: Kompetensi tenaga kerja harus terus di-upgrade, tidak cukup hanya satu kali pelatihan.
  • Kolaborasi industri: Negara maju mengintegrasikan pelatihan dengan kebutuhan proyek dan sertifikasi kompetensi sebagai syarat utama kerja.

Opini dan Kritik: Pelatihan Bukan Sekadar Formalitas

Pelatihan berbasis kompetensi adalah fondasi penting untuk membangun SDM konstruksi yang produktif dan kompeten. Namun, tanpa seleksi peserta yang tepat, materi yang relevan, dan tindak lanjut di tempat kerja, pelatihan hanya akan menjadi formalitas administratif. Pemerintah dan industri harus berani mereformasi sistem pelatihan—dari sekadar memenuhi target kuantitas menjadi fokus pada kualitas dan dampak nyata di lapangan.

Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah kurangnya sinergi antara lembaga pelatihan, perusahaan, dan asosiasi profesi. Selain itu, insentif bagi pekerja dan perusahaan yang aktif dalam pelatihan masih minim. Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang sukses membangun ekosistem pelatihan berbasis kompetensi, di mana pelatihan, sertifikasi, dan pengakuan industri berjalan beriringan.

Kesimpulan: Menuju Ekosistem Pelatihan Konstruksi yang Efektif dan Berkelanjutan

Penelitian Jumas dkk. menegaskan bahwa efektivitas pelatihan berbasis kompetensi di sektor konstruksi masih perlu banyak perbaikan, baik dari sisi seleksi peserta, kualitas instruktur, relevansi materi, hingga tindak lanjut pasca pelatihan. Dengan reformasi sistem pelatihan, penguatan kolaborasi industri, dan adopsi teknologi digital, Indonesia dapat membangun SDM konstruksi yang tidak hanya kompeten di atas kertas, tetapi juga produktif dan adaptif di lapangan.

Sumber

Dwifitra Jumas, Vivi Ariani, Asrini. (2021). Effectiveness of Competency-Based Training for Construction Labor in West Sumatera. Jurnal Rekayasa Sipil, Vol. 17 No. 1, Maret 2021, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Andalas.

Selengkapnya
Efektivitas Pelatihan Berbasis Kompetensi untuk Tenaga Kerja Konstruksi: Evaluasi, Studi Kasus, dan Rekomendasi Masa Depan

Bencana Alam

Dari Kekeringan ke Banjir Ekstrem: Memahami Transisi Drought-to-Flood dan Tantangan Masa Depan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 25 September 2025


Mengapa Transisi Kekeringan ke Banjir Jadi Sorotan Global?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan semakin banyak fenomena cuaca ekstrem yang melampaui aturan normal. Salah satu yang kian sering terjadi adalah transisi atau perubahan cepat dari kekeringan parah ke banjir besar, yang dikenal sebagai drought-to-flood transition. Dampaknya kompleks: dari kerugian ekonomi, rusaknya ekosistem, hingga korban jiwa.

Hal ini tak hanya menjadi isu global, tapi juga berdampak lokal di banyak tempat, mulai dari Eropa, Amerika, hingga Asia Tenggara. Sebuah studi yang dirilis oleh Anderson dkk. pada tahun 2025 mencoba menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana kita mendefinisikan dan mendeteksi fenomena seperti ini secara akurat?

Artikel ini membahas secara mendalam temuan dari studi Anderson dkk., dan mengaitkannya dengan kondisi nyata, termasuk studi kasus dengan angka-angka relevan, serta menyertakan perspektif kritis untuk membuatnya berguna bagi perencana, ilmuwan, dan masyarakat umum.

Banjir Besar Setelah Kemarau Panjang: Realitas yang Mengerikan

Transisi dari kekeringan ke banjir bukan sekadar perubahan cuaca biasa. Di banyak wilayah, kejadian ini justru menjadi pemicu krisis besar. Misalnya, Italia mengalami periode kekeringan dari awal 2022 hingga Mei 2023. Pada saat itu, Sungai Po menyusut drastis dan banyak lahan pertanian gagal panen. Dampaknya, Italia mengalami kerugian ekonomi lebih dari 6 miliar euro hanya dari sektor pertanian dan industri air.

Namun belum usai pulih dari krisis air, wilayah Emilia-Romagna justru dihantam banjir besar pada awal Mei 2023. Hujan ekstrem menyebabkan sungai meluap dan menewaskan sedikitnya 17 orang, serta memicu lebih dari 400 tanah longsor. Transisi ini memperlihatkan betapa cepat dan destruktif satu peristiwa dapat berubah menjadi yang lainnya, ketika sistem alami tak lagi bisa meredam tekanan ekstrem akibat perubahan iklim.

Contoh serupa juga terjadi di Texas, Amerika Serikat. Awal tahun 2023, daerah Sungai Llano menghadapi kekeringan ekstrem selama berbulan-bulan. Tanah mengering, permintaan air melonjak, dan sistem irigasi kolaps. Namun pada akhir Oktober 2023, badai besar datang dan menyebabkan banjir bandang. Air meluap hingga ke jalan raya dan menenggelamkan sejumlah permukiman pinggiran. Transisi tersebut terjadi hanya dalam hitungan hari.

Masalah Utama: Sulitnya Mendeteksi dan Mendefinisikan Transisi

Salah satu kontribusi utama dari studi Anderson dkk. adalah menunjukkan bahwa definisi dan metode deteksi drought-to-flood transition saat ini masih bermasalah. Meski kasus-kasus transisi ekstrem sering terjadi, metode formal sering gagal mendeteksinya atau bahkan salah mengidentifikasi kejadian.

Masalahnya terletak pada tiga hal utama:

  1. Pilihan Ambang Batas (Threshold):
    Penelitian ini mencoba tiga pendekatan: threshold harian, musiman, dan tetap. Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Threshold harian fleksibel tapi bisa melewatkan kejadian besar yang melampaui fluktuasi harian. Threshold tetap mungkin terlalu kaku dan mengabaikan variasi musiman. Sebaliknya, threshold musiman bisa lebih menangkap dinamika alami, tapi kurang efektif di wilayah tropis atau kering ekstrim.
  2. Jarak Waktu Antara Kejadian:
    Kapan sebuah kekeringan dianggap berakhir dan banjir dimulai? Ini bukan pertanyaan sepele. Dalam studi ini, penulis mendefinisikan waktu maksimal antar-kejadian (dari akhir kekeringan ke awal banjir) selama 90 hari, dan menyebut transisi ‘cepat’ jika berlangsung dalam waktu kurang dari 14 hari. Menentukan rentang waktu terlalu longgar bisa menyebabkan analisis merekam kejadian yang tidak berhubungan. Namun jika terlalu sempit, banyak kejadian nyata justru tidak terdeteksi.
  3. Resolusi Data yang Digunakan:
    Di banyak kasus, data harian tidak cukup. Ketika banjir terjadi dalam hitungan jam (seperti di Swiss atau California), deteksi dengan data harian bisa gagal total. Anderson dkk. mencatat bahwa di Sungai Emme, Swiss, banjir kilat pada Juli 2022 tidak terdeteksi dalam data hidrologi resmi, padahal gambar dan berita media menunjukkan kerusakan besar akibat banjir tersebut. Ini menegaskan pentingnya data resolusi tinggi (jam bahkan menit) untuk wilayah rawan banjir cepat.

Studi Kasus Lintas Negara dan Penemuan Penting

Penulis menyertakan delapan kasus nyata di Eropa, Amerika, hingga Australia dan Chili. Beberapa contohnya menunjukkan hasil-hasil menarik:

  • Australia (Daintree): Kekeringan dari Agustus hingga Desember 2018 tiba-tiba diputus oleh hujan intens pada 25 Desember. Banjir menyebabkan penutupan akses ferry dan kerusakan di berbagai infrastruktur. Karena wilayah ini punya pola musiman yang jelas, hampir semua metode threshold berhasil mendeteksi transisi tersebut.
  • California (Ventura River): Kekeringan 2020–2022 menunjukkan tantangan besar bagi deteksi transisi. Pada 10 Januari 2023, hujan besar memicu kerusakan infrastruktur dan penyelamatan massal. Namun, karena kekeringan dianggap “normal” di musim kemarau lokal, sistem deteksi berbasis threshold gagal menangkap bahwa situasi sebelum banjir adalah kekeringan ekstrem.
  • Chili (Rio Colorado): Krisis energi tahun 1998 karena gagal panen dan turunnya produksi PLTA menunjukkan dampak luas dari kekeringan sistemik. Ketika banjir datang pada Juni 2000, sistem tak siap. Analisis menunjukkan bahwa transisi baru terdeteksi jika memakai threshold tetap, walau periode antar-kejadian melebihi definisi 90 hari.

Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun metode deteksi yang bekerja optimal di semua jenis sungai atau iklim. Sebaliknya, pendekatan harus kontekstual, disesuaikan dengan karakter hidrologi lokal dan kebutuhan aplikasi (misalnya keperluan pengelolaan air, cuaca ekstrem, atau pertanian).

Bagaimana Seharusnya Kita Merespons? Rekomendasi Praktis dari Studi

Penulis menyarankan sejumlah langkah konkrit bagi peneliti, praktisi, dan pengambil kebijakan untuk memahami dan menghadapi fenomena ini secara lebih efektif:

  1. Gunakan Kombinasi Metodologi dan Filter Tambahan
    Dalam praktik, tidak ada metode tunggal yang sempurna. Gunakan validasi ganda: deteksi otomatis dari data sungai ditambah konfirmasi dampak dari media, masyarakat, atau laporan lapangan.
  2. Penyesuaian Berdasarkan Musim dan Tujuan
    Untuk sungai yang tergantung pada salju atau musim hujan, sebaiknya threshold musiman digunakan. Sedangkan di wilayah dengan variabilitas tinggi atau fenomena banjir kilat, resolusi waktu yang lebih tinggi perlu diterapkan.
  3. Fokus pada Dampak Nyata
    Sebuah transisi mungkin tidak terlihat ekstrem dalam angka debit air, tapi bisa sangat berdampak karena ketidaksiapan sistem. Oleh karena itu, analisis dampak dan konteks sosial harus menjadi bagian penting dari deteksi peristiwa.
  4. Dorong Inovasi Teknologi dan Crowdsourcing Data
    Di negara berkembang, data resmi sering tidak mencukupi. Menggunakan pelaporan warga, citra satelit, dan teknologi sensor murah bisa memperluas cakupan data peringatan dini.
  5. Integrasikan Perspektif Lintas Sektor
    Isu drought-to-flood menyentuh banyak sektor: energi, pertanian, kesehatan, bahkan transportasi. Pendekatan terpusat pada satu sektor membuat mitigasi jadi tumpul. Pendekatan sistem jadi keharusan.

Kritik dan Pandangan Tambahan

Salah satu kekuatan besar studi ini adalah keberaniannya untuk tidak mengklaim “solusi final”. Alih-alih, penulis justru mengungkap kerumitan definisi dan pentingnya penyesuaian metode secara dinamis. Namun, beberapa kekurangan tetap layak dicatat:

  • Jumlah Studi Kasus Terbatas: Hanya delapan sungai yang dianalisis. Tidak ada satupun dari Asia Tenggara yang sangat rawan cuaca ekstrem tropis. Ini membuka peluang untuk riset lanjutan di Indonesia, Filipina, atau Myanmar.
  • Belum Membedah Pola Risiko Sosial: Meski menyebut dampak ekonomi dan korban jiwa, studi kurang menggali bagaimana distribusi kerentanan sosial (misalnya, siapa yang paling terdampak? Rumah tangga miskin? Petani? Nelayan?).
  • Belum Tuntas soal Adaptasi Jangka Panjang: Studi ini masih berfokus pada deteksi dan definisi. Langkah kebijakan jangka menengah dan adaptasi sistemik (misalnya revisi tata ruang dan investasi infrastruktur) belum dibahas detail.

Apa Relevansinya Untuk Indonesia?

Dengan lokasi di zona tropis dan curah hujan yang tak menentu akibat perubahan iklim, Indonesia berisiko tinggi mengalami transisi jenis ini. Contoh tahun 2019 dan 2020 menunjukkan fluktuasi ekstrem dari musim kemarau panjang ke banjir mendadak. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, dan Makassar sudah punya pengalaman pahit soal curah hujan ekstrem setelah musim panas yang berkepanjangan.

Sayangnya, Indonesia masih kurang dalam hal data hidrologi resolusi tinggi dan sistem peringatan dini yang mampu mendeteksi dua ekstrem secara berurutan. Kajian seperti ini memberi landasan ilmiah yang kuat bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BMKG, dan pemerintah daerah untuk membentuk sistem deteksi dan respons bencana yang lebih holistik.

Penutup dan Kesimpulan

Fenomena drought-to-flood transition bukan hanya istilah teknis, tetapi nyata di kehidupan sehari-hari. Ketika hujan ekstrem menggantikan kemarau panjang, masyarakat rentan terjebak dalam krisis beruntun tanpa jeda pemulihan. Studi Anderson dkk. memperingatkan bahwa tanpa pemahaman metodologis yang tepat, kita berisiko mengabaikan peringatan dini dan gagal mengelola kedua ekstrem ini secara terintegrasi.

Masa depan perencanaan bencana dan perubahan iklim menuntut pendekatan baru yang tidak hanya fokus pada satu bencana dalam satu waktu, tetapi pada transisi di antara keduanya. Indonesia dan dunia perlu segera merespons, sebelum siklus ekstrem ini menjadi norma yang menyakitkan.

Sumber:
Anderson, B. J., Muñoz-Castro, E., Tallaksen, L. M., Matano, A., Götte, J., Armitage, R., Magee, E., & Brunner, M. I. (2025). What is a drought-to-flood transition? Pitfalls and recommendations for defining consecutive hydrological extreme events.

 

Selengkapnya
Dari Kekeringan ke Banjir Ekstrem: Memahami Transisi Drought-to-Flood dan Tantangan Masa Depan

Pendidikan Tinggi

Literasi Informasi sebagai Kunci Keberhasilan: Dampaknya pada Mata Kuliah Perencanaan Pembelajaran

Dipublikasikan oleh Raihan pada 25 September 2025


Dalam era digital saat ini, literasi informasi menjadi salah satu keterampilan inti bagi mahasiswa. Literasi informasi mencakup kemampuan untuk mencari, mengevaluasi, mengelola, dan menggunakan informasi secara efektif dari berbagai sumber. Keterampilan ini sangat krusial dalam pendidikan tinggi, terutama dalam mata kuliah yang menuntut mahasiswa untuk merancang, menganalisis, dan mempresentasikan rencana pembelajaran secara sistematis.

Penelitian ini berfokus pada pengaruh kemampuan literasi informasi terhadap hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah Perencanaan Pembelajaran. Mata kuliah ini membutuhkan banyak referensi, baik teori pendidikan, kurikulum, maupun strategi pembelajaran, sehingga mahasiswa dituntut mampu mengakses sumber akademik yang valid.

Metodologi penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan instrumen tes literasi informasi dan mengukur hasil belajar mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan. Analisis statistik dilakukan untuk melihat korelasi antara tingkat literasi informasi dan capaian akademik.

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan: semakin tinggi kemampuan literasi informasi mahasiswa, semakin baik pula hasil belajarnya dalam mata kuliah Perencanaan Pembelajaran.

Sorotan Data Kuantitatif

  • Koefisien korelasi antara literasi informasi dan hasil belajar: 0,78 → menunjukkan hubungan yang kuat.
  • 75% mahasiswa dengan tingkat literasi informasi tinggi memperoleh nilai A atau B.
  • 62% mahasiswa dengan literasi rendah cenderung memperoleh nilai di bawah B.
  • Perbedaan rata-rata skor hasil belajar antara kelompok literasi tinggi dan rendah: 11,4 poin.

Data ini mengindikasikan bahwa literasi informasi bukan sekadar keterampilan tambahan, melainkan faktor kunci dalam pencapaian hasil belajar yang optimal.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini mempertegas pentingnya literasi informasi dalam pendidikan tinggi, khususnya dalam konteks perencanaan pembelajaran:

  1. Menguatkan bukti empiris.
    Literasi informasi terbukti memiliki dampak nyata terhadap capaian akademik mahasiswa, bukan sekadar asumsi teoritis.
  2. Mendorong perubahan paradigma pembelajaran.
    Perencanaan pembelajaran tidak lagi hanya soal memahami teori kurikulum, tetapi juga kemampuan mahasiswa mengakses informasi ilmiah yang valid untuk mendukung desain pembelajaran.
  3. Menyediakan pijakan kebijakan pendidikan.
    Hasil penelitian ini dapat digunakan institusi untuk merancang program peningkatan literasi informasi di tingkat fakultas maupun universitas.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan penelitian ini antara lain:

  • Subjek terbatas pada satu mata kuliah dan satu program studi, sehingga generalisasi masih sempit.
  • Pengukuran literasi informasi masih berbasis tes tertulis, belum mengukur praktik nyata mahasiswa dalam mencari dan menggunakan sumber informasi.
  • Faktor lain seperti motivasi belajar dan dukungan fasilitas perpustakaan belum dimasukkan sebagai variabel.

Pertanyaan terbuka yang muncul:

  • Apakah peningkatan literasi informasi juga berdampak pada mata kuliah lain yang lebih aplikatif?
  • Bagaimana peran teknologi digital (database jurnal online, e-library) dalam memperkuat literasi informasi mahasiswa?
  • Apakah dosen sudah memiliki strategi khusus untuk mengintegrasikan literasi informasi dalam pembelajaran sehari-hari?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

  1. Intervensi Program Literasi Informasi.
    Lakukan eksperimen dengan memberikan pelatihan literasi informasi (misalnya penggunaan database jurnal atau teknik sitasi) dan ukur dampaknya terhadap hasil belajar.
  2. Integrasi Teknologi Digital.
    Teliti efektivitas penggunaan e-library, aplikasi manajemen referensi (Mendeley, Zotero), dan platform pencarian akademik terhadap peningkatan hasil belajar mahasiswa.
  3. Komparasi Lintas Mata Kuliah.
    Uji hubungan literasi informasi dengan hasil belajar pada mata kuliah lain, seperti Evaluasi Pembelajaran atau Teknologi Pendidikan, untuk melihat konsistensi pengaruh.
  4. Analisis Faktor Pendukung.
    Tambahkan variabel kontrol seperti motivasi belajar, akses internet, atau kualitas fasilitas perpustakaan dalam penelitian untuk mengetahui interaksi faktor-faktor lain.
  5. Riset Longitudinal.
    Lakukan studi jangka panjang untuk menilai apakah literasi informasi yang baik berpengaruh pada kualitas karya ilmiah mahasiswa (skripsi, artikel jurnal) dan kesiapan mereka memasuki dunia kerja.

Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini membuka peluang kolaborasi antara perguruan tinggi, perpustakaan digital, dan pengembang teknologi informasi pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ, Perpustakaan Nasional RI, serta pengembang aplikasi akademik dapat bersinergi untuk merancang program literasi informasi yang lebih sistematis. Dengan kolaborasi ini, mahasiswa tidak hanya unggul dalam perencanaan pembelajaran, tetapi juga siap menghadapi tantangan akademik dan profesional di era informasi.

Baca Selengkapnya di: Pelita Sukma, T. C. (2020). BUKU PROSIDING SEMINAR PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020 "Inovasi Pembangunan dalam Teknologi dan Pendidikan". Buku Prosiding SPKTS 2020 Jilid 1.

Selengkapnya
Literasi Informasi sebagai Kunci Keberhasilan: Dampaknya pada Mata Kuliah Perencanaan Pembelajaran
« First Previous page 97 of 1.270 Next Last »