Sumber Air

Peluang dan Teknologi Pemanfaatan Air Hujan untuk Mengatasi Krisis Air Bersih di Negara Berkembang

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025


Krisis air bersih menjadi masalah utama di banyak negara berkembang, terutama di daerah dengan curah hujan yang tidak merata dan risiko kekeringan tinggi. Paper berjudul Opportunities in Rainwater Harvesting oleh B. Helmreich dan H. Horn (2008) mengulas secara komprehensif potensi dan teknologi pemanenan air hujan (Rainwater Harvesting/RWH) sebagai solusi efektif dalam mengatasi masalah tersebut. Dengan memanfaatkan air hujan yang jatuh selama musim hujan, teknologi ini dapat menyediakan sumber air minum dan air untuk pertanian, sekaligus mengurangi krisis pangan dan air di wilayah rawan kekeringan.

Konteks dan Tantangan Air di Wilayah Semi-Arid

Sebagian besar negara berkembang yang mengalami krisis air berada di zona semi-arid dengan curah hujan rendah dan tidak merata, berkisar antara 200 hingga 600 mm per tahun, sementara potensi evapotranspirasi jauh lebih tinggi, mencapai 1500-2300 mm per tahun. Kondisi ini menyebabkan masa tanam yang pendek, hanya sekitar 2,5 hingga 4 bulan, sehingga produktivitas pertanian rendah dan rentan terhadap kekeringan.

Sebagian besar air hujan yang jatuh hilang melalui evaporasi tanah (30-50%) dan limpasan permukaan (10-25%), sementara hanya 15-30% yang digunakan oleh tanaman melalui transpirasi. Dengan kondisi ini, kebutuhan air untuk pertanian seringkali tidak terpenuhi hanya dengan curah hujan langsung, sehingga pemanenan air hujan menjadi metode yang penting untuk meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman dan mengurangi risiko gagal panen.

Teknik Pemanfaatan Air Hujan

Penelitian ini mengklasifikasikan tiga bentuk utama pemanenan air hujan:

  • In situ RWH: Pengumpulan dan penyimpanan air hujan langsung di lokasi jatuhnya, biasanya dengan meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah.
  • External water harvesting: Pengumpulan limpasan air hujan dari area lain dan penyimpanannya di lokasi terpisah, umumnya untuk keperluan pertanian.
  • Domestic Rainwater Harvesting (DRWH): Pengumpulan air hujan dari atap bangunan, jalan, dan halaman rumah untuk kebutuhan domestik.

Pemanfaatan untuk Pertanian

RWH untuk pertanian terutama digunakan untuk irigasi tanaman hujan (rainfed crops) di daerah kering dan semi-kering, yang menyumbang hingga 90% produksi serealia di wilayah tersebut. Untuk keberhasilan RWH pertanian, beberapa syarat harus dipenuhi, seperti adanya kontur lahan yang memungkinkan limpasan air terkonsentrasi, perbedaan elevasi untuk mengalirkan air, serta tanah yang cukup dalam dan bertekstur baik untuk menyimpan air.

Beberapa sistem yang umum digunakan adalah:

  • Micro-catchment systems: Area kontur khusus dengan lereng dan tanggul kecil yang mengumpulkan limpasan air ke dalam basin tanam yang terlindung dari evaporasi.
  • Sub-surface dams atau sand dams: Penyimpanan air di bawah permukaan tanah dengan membuat bendungan bawah tanah yang menaikkan muka air tanah lokal.
  • Tangki penyimpanan: Terbuat dari berbagai bahan seperti plastik, semen, tanah liat, dan dapat dibangun di atas atau bawah tanah sesuai kebutuhan dan kapasitas investasi.

Pemanfaatan untuk Kebutuhan Domestik

DRWH mengumpulkan air hujan dari atap rumah dan area sekitar, yang kemudian disimpan dalam tangki tertutup baik di atas maupun bawah tanah. Tangki penyimpanan bervariasi dari ukuran kecil (beberapa liter) hingga besar (puluhan meter kubik), dengan bahan seperti keramik, ferrocement, plastik polietilen, dan lainnya.

Keuntungan utama DRWH adalah menyediakan air bersih dekat dengan rumah sehingga mengurangi beban berjalan jauh untuk mengambil air. Namun, tangki harus dirancang dengan baik agar air tidak terkontaminasi oleh kotoran, serangga, atau mikroorganisme. Biaya investasi bervariasi, dengan tangki kecil berkisar 20-40 poundsterling dan tangki besar sekitar 120-140 poundsterling.

Kualitas Air Hujan dan Perlakuan

Meskipun air hujan relatif bersih, kualitasnya sangat bergantung pada kondisi atmosfer dan permukaan penangkapnya. Di daerah pedesaan, air hujan cenderung lebih bersih, sedangkan di perkotaan sering tercemar oleh partikel, logam berat, dan polutan organik dari lalu lintas dan industri.

Beberapa bahan atap seperti genteng, aluminium, dan batu tulis lebih aman untuk penangkapan air hujan dibandingkan atap logam berlapis atau bambu yang dapat mencemari air. Kontaminasi mikrobiologis dari kotoran hewan juga menjadi masalah serius, dengan temuan bakteri coliform di lebih dari 80% sampel air hujan.

Untuk menjamin keamanan air hujan, berbagai metode pengolahan disarankan:

  • First flush diverters: Mengalirkan air hujan awal yang mengandung kotoran agar tidak masuk ke tangki.
  • Klorinasi: Metode disinfeksi murah dan efektif, meski beberapa parasit tahan terhadap dosis rendah.
  • Filtrasi pasir lambat: Menggunakan lapisan pasir untuk menghilangkan mikroorganisme secara biologis, cocok untuk penggunaan rumah tangga di negara berkembang.
  • Disinfeksi dengan energi surya (solar pasteurization): Menggunakan sinar UV dan panas matahari untuk membunuh bakteri, efektif dan murah dengan alat sederhana seperti botol plastik hitam dan reflektor aluminium.
  • Filtrasi membran: Teknologi canggih dengan pori-pori sangat kecil untuk menghilangkan bakteri dan protozoa, namun membutuhkan biaya dan perawatan tinggi.

Studi Kasus dan Contoh Implementasi

Paper ini menyajikan contoh penggunaan teknologi RWH di berbagai negara berkembang, seperti:

  • Sistem tangki bambu berlapis plastik di India yang murah dan mudah dibuat.
  • Penggunaan filter pasir lambat di Afrika dan Asia untuk meningkatkan kualitas air minum.
  • Teknologi solar disinfection (SODIS) yang mampu memproduksi hingga 100 liter air bersih per meter persegi kolektor surya per hari.

Hambatan dan Tantangan Implementasi

Meskipun RWH menjanjikan, terdapat beberapa kendala yang menghambat penerapan luas, antara lain:

  • Teknologi yang kurang sesuai dengan kondisi lokal atau terlalu mahal.
  • Kurangnya penerimaan dan motivasi masyarakat.
  • Minimnya data hidrologi dan perencanaan yang matang.
  • Masalah sosial-ekonomi seperti kepemilikan lahan dan pengangguran.
  • Kurangnya strategi pemerintah jangka panjang dan regulasi yang mendukung.
  • Di beberapa wilayah, RWH bahkan ilegal karena regulasi air yang ketat.

Penggunaan teknologi GIS untuk pemetaan potensi RWH dapat membantu mengidentifikasi lokasi yang paling sesuai dan memaksimalkan manfaatnya.

Kesimpulan dan Implikasi

Pemanfaatan air hujan merupakan metode yang efektif dan berkelanjutan untuk mengurangi krisis air di negara berkembang, terutama di wilayah semi-arid dengan curah hujan yang tidak merata. Penggunaan sumber daya lokal dan tenaga kerja setempat sangat dianjurkan untuk pembangunan sistem RWH yang murah dan mudah dipelihara.

Untuk pertanian, sebagian besar air hujan dapat disimpan di bawah tanah untuk mengurangi evaporasi dan meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman. Sementara untuk kebutuhan domestik, perhatian khusus harus diberikan pada kualitas air yang dipanen, dengan penerapan metode disinfeksi yang sesuai seperti filtrasi pasir lambat dan teknologi surya.

Pengembangan dan implementasi RWH perlu didukung oleh kebijakan pemerintah, edukasi masyarakat, dan teknologi yang tepat guna agar dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengatasi masalah air dan pangan di masa depan.

Sumber Artikel:
B. Helmreich dan H. Horn, "Opportunities in Rainwater Harvesting," Desalination, Vol. 248, 2009, hlm. 118–124.

Selengkapnya
Peluang dan Teknologi Pemanfaatan Air Hujan untuk Mengatasi Krisis Air Bersih di Negara Berkembang

Sumber Air

Kajian Subreservoir Air Hujan pada Ruang Terbuka Hijau dalam Mereduksi Genangan Air (Banjir)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025


Perubahan fungsi lahan di wilayah perkotaan yang sangat pesat telah menyebabkan meningkatnya permukaan tanah kedap air, sehingga air hujan yang jatuh tidak dapat terserap dengan baik dan berujung pada peningkatan volume limpasan permukaan (runoff). Kondisi ini berkontribusi pada debit banjir yang lebih tinggi dan risiko banjir besar di wilayah hilir, terutama di kawasan permukiman dan pusat kota. Fenomena ini diperparah oleh urbanisasi yang menyebabkan alih fungsi lahan bervegetasi menjadi lahan berpenutup permanen seperti perumahan, jalan, dan pabrik.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan setiap kota menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30% dari luas wilayahnya sebagai upaya mitigasi bencana banjir dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, masih banyak kota di Indonesia yang belum memenuhi ketentuan ini, sehingga risiko banjir semakin tinggi.

Paper karya Sarbidi (2012) mengkaji potensi penerapan teknologi subreservoir air hujan pada RTH sebagai solusi inovatif untuk menampung, meresapkan, dan memanfaatkan air hujan guna mereduksi genangan air di perkotaan. Penelitian ini menggunakan data dari Kota Bandung, Bogor, dan Jakarta, serta metode analisis hidrologi dan statistik seperti distribusi Gumbel dan rumus Talbot, Ishiguro, Sherman, dan Mononobe untuk menghitung intensitas hujan dan debit banjir.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Fungsinya

RTH merupakan elemen penting dalam tata ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan konservasi hidrologis dan pengendalian air larian. RTH terdiri dari RTH publik dan privat, meliputi taman, hutan kota, jalur hijau, sempadan sungai, dan pekarangan rumah. Pemanfaatan RTH yang optimal dapat meningkatkan kapasitas penyerapan air hujan dan mengurangi limpasan permukaan.

Dalam konteks pengendalian banjir, RTH dapat dimanfaatkan sebagai lokasi pembangunan subreservoir air hujan, yaitu sistem penampungan air hujan yang dibangun di bawah permukaan tanah tanpa mengurangi fungsi ruang terbuka hijau di atasnya. Hal ini menjadi solusi efektif mengingat keterbatasan lahan di perkotaan untuk kolam retensi konvensional yang memerlukan area luas.

Teknologi Subreservoir Air Hujan

Subreservoir air hujan adalah sistem kombinasi penampungan, peresapan, dan pemanfaatan air hujan dari atap rumah atau bangunan yang dirancang untuk menahan air limpasan hingga 100%. Sistem ini dilengkapi dengan inlet penangkap kotoran, filter kasar, tangki eksplorasi, dan sumur resapan. Air hujan yang tertampung dapat digunakan kembali atau diserap ke dalam tanah, sehingga mengurangi debit limpasan yang masuk ke sistem drainase kota.

Kapasitas subreservoir bervariasi mulai dari 5 m³ hingga 65 m³, dan dapat dikombinasikan secara seri atau paralel untuk menyesuaikan luas atap dan kebutuhan kawasan. Modul subreservoir seperti SR5, SR10, SR15, SR25, SR50, dan SR65 disesuaikan dengan luas atap antara 100 m² hingga lebih dari 2000 m².

Studi Kasus: Kota Bandung, Bogor, dan Jakarta

Penelitian menggunakan data luas wilayah dan RTH dari tiga kota besar di Indonesia:

  • Kota Bandung dengan luas wilayah sekitar 16.730 hektar dan RTH wajib 30% (sekitar 5.019 ha), RTH prediktif 16%, dan RTH eksisting sekitar 9%.
  • Kota Bogor dengan luas wilayah 11.850 hektar, RTH wajib 30%, RTH prediktif mencapai 34%, dan RTH eksisting sekitar 16%.
  • Kota Jakarta dengan luas wilayah 64.895 hektar, RTH wajib 30%, RTH prediktif 15,75%, dan RTH eksisting sekitar 9,78%.

Curah hujan maksimum dengan durasi pendek (sekitar 5 menit) di ketiga kota tersebut juga dianalisis. Intensitas hujan rencana untuk periode ulang 5 tahun dan durasi 5 menit dihitung menggunakan berbagai rumus hidrologi, menghasilkan intensitas hujan sekitar 204 mm/jam untuk Bandung, 345 mm/jam untuk Bogor, dan 205 mm/jam untuk Jakarta.

Dengan data ini, debit genangan air atau banjir rencana dihitung menggunakan rumus rasional yang mempertimbangkan koefisien limpasan, intensitas hujan, dan luas daerah pengaliran.

Hasil dan Analisis Reduksi Genangan Air

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin luas RTH yang dimanfaatkan untuk pembangunan subreservoir air hujan, semakin besar kapasitasnya dalam mereduksi genangan air di kawasan permukiman kota. Jika seluruh RTH yang wajib disediakan (30% dari luas kota) digunakan untuk subreservoir, potensi reduksi debit puncak banjir dapat mencapai sekitar 48%, yang berarti hampir setengah dari genangan air dapat dicegah secara preventif.

Sebaliknya, jika RTH yang tersedia hanya sekitar 16% (prediktif), peluang terjadinya genangan banjir meningkat hingga 74%, dan jika RTH eksisting hanya sekitar 9%, peluang genangan banjir mencapai lebih dari 86%. Ini menegaskan bahwa ketersediaan dan pemanfaatan RTH sangat krusial dalam pengendalian banjir perkotaan.

Teknologi subreservoir air hujan juga memungkinkan tercapainya kondisi zero runoff, yaitu seluruh air hujan yang jatuh dapat tertahan dan dimanfaatkan tanpa mengalir ke sistem drainase kota, sehingga mengurangi beban drainase dan risiko banjir.

Nilai Tambah dan Implikasi Kebijakan

Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam pengembangan konsep drainase ramah lingkungan yang mengintegrasikan konservasi air dan pengendalian banjir melalui pemanfaatan ruang terbuka hijau. Dengan mengaplikasikan teknologi subreservoir air hujan, kota-kota besar dapat mengatasi masalah genangan air yang kerap terjadi saat musim hujan tanpa harus mengorbankan ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota.

Dari sisi kebijakan, hasil penelitian mendukung implementasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 yang mewajibkan penyediaan dan pemanfaatan RTH untuk konservasi air dan pengendalian air larian. Pemerintah daerah dan pengembang perlu mendorong penerapan subreservoir air hujan sebagai bagian dari desain tata ruang dan pembangunan perkotaan.

Kritik dan Rekomendasi

Meskipun hasil penelitian sangat menjanjikan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, efektivitas subreservoir sangat bergantung pada pemeliharaan dan pengelolaan yang baik agar tidak menjadi sumber pencemaran atau tempat berkembang biaknya vektor penyakit. Kedua, perlu adanya studi lanjutan terkait integrasi teknologi ini dengan sistem drainase kota secara menyeluruh dan dampaknya terhadap kualitas air tanah.

Rekomendasi yang diajukan antara lain:

  • Memanfaatkan RTH untuk pengendalian air larian dan konservasi air dengan penerapan subreservoir air hujan sesuai ketentuan perundangan.
  • Menyesuaikan kapasitas subreservoir dengan luas atap bangunan untuk efisiensi penampungan.
  • Melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat dan pengembang agar teknologi ini dapat diterapkan secara luas dan berkelanjutan.
  • Mengintegrasikan subreservoir dengan sistem resapan dan pengelolaan air hujan lainnya untuk meningkatkan kapasitas konservasi air.

Kesimpulan

Kajian ini membuktikan bahwa subreservoir air hujan pada ruang terbuka hijau merupakan teknologi efektif untuk mereduksi genangan air dan banjir di kawasan perkotaan. Dengan memanfaatkan ruang terbuka hijau seluas 30% dari wilayah kota untuk membangun subreservoir, potensi pengurangan debit puncak banjir dapat mencapai hampir 50%. Semakin besar luas RTH yang dimanfaatkan, semakin besar pula pengurangan genangan air yang dapat dicapai.

Teknologi ini juga berkontribusi pada konservasi air tanah dan pengelolaan air hujan yang berkelanjutan, mendukung konsep drainase ramah lingkungan dan zero runoff. Implementasi subreservoir air hujan harus didukung oleh kebijakan yang kuat, perencanaan yang matang, serta partisipasi aktif masyarakat dan pemangku kepentingan.

Sumber Artikel:
Sarbidi, "Kajian Subreservoir Air Hujan pada Ruang Terbuka Hijau dalam Mereduksi Genangan Air (Banjir)," Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3, November 2012, hlm. 176-184.

Selengkapnya
Kajian Subreservoir Air Hujan pada Ruang Terbuka Hijau dalam Mereduksi Genangan Air (Banjir)

Sumber Air

Potensi dan Strategi Pemanfaatan Air Hujan untuk Menunjang Kebutuhan Air Baku Jangka Panjang di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025


Pemindahan ibu kota negara (IKN) ke wilayah Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, menghadirkan tantangan besar dalam penyediaan air baku yang cukup dan berkelanjutan. Dengan proyeksi perpindahan sekitar 1,5 juta jiwa ke IKN, kebutuhan air baku diperkirakan akan meningkat drastis dalam beberapa dekade mendatang. Namun, potensi sumber daya air (SDA) yang ada saat ini masih terbatas, sehingga diperlukan solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan air minum yang berkualitas dan kuantitas memadai.

Paper karya Teddy W. Sudinda (2020) mengkaji potensi pemanfaatan air hujan sebagai alternatif sumber air baku jangka panjang untuk IKN. Penelitian ini sangat relevan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, sekaligus menghubungkan konsep konservasi air dengan kebutuhan pembangunan kota baru yang ramah lingkungan.

Proyeksi Kebutuhan Air Baku di Kawasan IKN dan Sekitarnya

Berdasarkan metode geometris dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk antara 1,05% hingga 1,97% per tahun di wilayah sekitar IKN, proyeksi kebutuhan air baku untuk penyediaan air minum selama 50 tahun ke depan menunjukkan peningkatan signifikan. Pada tahun 2023, kebutuhan air baku diperkirakan mencapai sekitar 27.232 liter per detik. Angka ini terus meningkat menjadi 31.828 liter per detik pada tahun 2033, 37.211 liter per detik pada 2043, dan diperkirakan mencapai 59.594 liter per detik pada tahun 2073. Kebutuhan terbesar berasal dari kawasan inti ibu kota (KIKN) yang mencapai 2.812 liter per detik, diikuti kawasan penunjang dan pusat pemerintahan. Proyeksi ini menegaskan bahwa tanpa penambahan sumber air baru, pasokan air baku akan mengalami defisit mulai tahun 2031.

Potensi Sumber Daya Air Eksisting dan Infrastruktur Pendukung

Saat ini, sumber air baku utama berasal dari beberapa bendungan dan embung di sekitar IKN, seperti Bendungan Manggar, Teritip, Samboja, dan lainnya, dengan total kapasitas sekitar 38.777 liter per detik. Namun, penggunaan 80% dari potensi ini (skenario yang dipilih untuk perencanaan jangka panjang) hanya mampu memenuhi kebutuhan hingga sekitar tahun 2031. Rencana pembangunan bendungan baru seperti Bendungan Sepaku Semoi dengan kapasitas 10,6 juta meter kubik dan debit 2.500 liter per detik ditargetkan rampung pada awal 2023 untuk mendukung pasokan air baku IKN dan mengurangi risiko banjir. Selain itu, pembangunan bendungan lain seperti Batu Lepek dan Selamayu juga direncanakan untuk menambah kapasitas pasokan air.

Pemanfaatan Air Hujan sebagai Alternatif Strategis

Konsep dan Manfaat Pemanenan Air Hujan (PAH)

Pemanenan air hujan adalah teknik mengumpulkan dan menyimpan air hujan dari atap bangunan atau permukaan tanah untuk digunakan sebagai sumber air bersih. Di wilayah tropis seperti Kalimantan Timur, dengan curah hujan tahunan mencapai 2.551 mm (data BMKG 2011-2015), potensi air hujan sangat besar dan tersebar merata sepanjang tahun.

Manfaat utama pemanenan air hujan meliputi pengurangan ketergantungan pada sumber air permukaan dan air tanah yang terbatas, penghematan energi dan biaya pengolahan serta transportasi air, pengurangan risiko banjir, dan peningkatan peresapan air ke dalam tanah yang membantu pengisian kembali air tanah. Selain itu, air hujan yang dipanen relatif berkualitas dan mudah diolah, serta mendukung konsep kota spons (sponge city) yang diterapkan di IKN untuk mengelola air hujan secara alami dan berkelanjutan.

Potensi Volume dan Penghematan

Dengan asumsi efisiensi penangkapan air hujan sebesar 80% dan kehilangan 20% karena evaporasi dan kebocoran, volume air hujan yang dapat dipanen dari atap rumah tangga diperkirakan mencapai sekitar 204.080 liter per tahun per bangunan. Jika diasumsikan harga air galon Rp 1.000 per galon, maka satu keluarga dapat menghemat pengeluaran sekitar Rp 53.877.000 per tahun. Dengan proyeksi jumlah bangunan rumah di IKN sebanyak lebih dari 5 juta unit (asumsi 6 orang per keluarga), potensi total air hujan yang dapat dipanen mencapai triliunan liter per tahun, yang cukup signifikan untuk menutupi kebutuhan air baku domestik dan mengurangi tekanan pada sumber air utama.

Sistem Pemanenan Air Hujan dan Teknologi Pendukung

Teknologi pemanenan air hujan yang dibahas meliputi sistem atap bangunan sebagai daerah tangkapan air, saluran pengumpul air hujan yang terhubung ke tangki penampungan, filter untuk menyaring kotoran dan daun, serta tangki penyimpanan yang dirancang untuk menampung air hujan selama periode kering. Sistem ini dapat diterapkan di rumah tinggal, perkantoran, hotel, dan fasilitas publik lainnya. Contoh inovasi seperti Wavin Aquacell, yaitu sistem resapan bawah tanah yang dapat menyimpan dan meresapkan air hujan, juga menjadi solusi modern yang mendukung konservasi air dan pengendalian banjir.

Implementasi Konsep Kota Spons di IKN

Konsep kota spons yang akan diterapkan di IKN bertujuan mengurangi limpasan permukaan dengan menjaga permeabilitas tanah, memaksimalkan peresapan air hujan melalui ruang terbuka hijau dan rain garden, serta menerapkan sistem pemanenan air hujan yang terintegrasi dengan alur sungai, parit, dan waduk sebagai ruang terbuka biru. Konsep ini sekaligus mengembalikan siklus alami air dan meningkatkan kualitas serta kuantitas air tanah, sekaligus mengurangi risiko banjir di kawasan perkotaan.

Perbandingan dengan Studi dan Praktik Global

Beberapa studi internasional menunjukkan efektivitas pemanfaatan air hujan dalam menghemat penggunaan air bersih. Di Singapura, pemanfaatan air hujan mampu mengurangi penggunaan air bersih hingga 12,4% untuk keperluan toilet. Di Australia, penghematan air bersih mencapai 29,9% di Perth dan 32,3% di Sydney. Di Jordan, penggunaan air hujan mengurangi konsumsi air minum hingga 19,7%. Di Brasil, beberapa SPBU menghemat penggunaan air bersih antara 32,7% hingga 70% dengan pemanfaatan air hujan untuk pencucian kendaraan dan kebutuhan lainnya. Hal ini menegaskan bahwa penerapan pemanenan air hujan di IKN sangat potensial untuk mengurangi defisit air baku dan mendukung pembangunan berkelanjutan.

Tantangan dan Rekomendasi

Meskipun potensi besar, implementasi pemanenan air hujan menghadapi beberapa tantangan, seperti kurangnya kesadaran dan edukasi masyarakat mengenai manfaat dan teknik pemanenan air hujan, keterbatasan regulasi yang mewajibkan pembangunan sistem pemanenan air hujan di bangunan baru, kebutuhan insentif dan dukungan pemerintah untuk mendorong adopsi teknologi ini, serta perlunya desain sistem yang efisien dan ekonomis agar dapat diterapkan secara luas.

Rekomendasi yang diajukan meliputi mensosialisasikan dan memberikan pelatihan mengenai pemanenan air hujan kepada masyarakat, menambahkan persyaratan izin mendirikan bangunan (IMB) yang mengharuskan pembuatan sistem penampungan air hujan, mendorong pembangunan tangki penampungan dan sumur resapan secara komunal, memberikan insentif fiskal atau teknis bagi pengguna air hujan, serta mengintegrasikan sistem pemanenan air hujan dengan konsep kota spons untuk pengelolaan air yang holistik.

Kesimpulan

Paper ini memberikan analisis komprehensif mengenai potensi pemanfaatan air hujan sebagai solusi strategis untuk memenuhi kebutuhan air baku jangka panjang di Ibu Kota Negara Nusantara. Dengan proyeksi kebutuhan air yang terus meningkat dan keterbatasan sumber air permukaan, pemanenan air hujan menawarkan alternatif yang ramah lingkungan, ekonomis, dan berkelanjutan. Implementasi sistem pemanenan air hujan yang didukung oleh teknologi modern dan konsep kota spons dapat mengurangi risiko krisis air, menekan biaya pengolahan air, serta mendukung konservasi air tanah. Keberhasilan penerapan konsep ini sangat bergantung pada dukungan kebijakan, edukasi masyarakat, dan perencanaan tata ruang yang terintegrasi.

Sumber Artikel:
Teddy W Sudinda, "Pemanfaatan Air Hujan Untuk Memenuhi Kebutuhan Air Baku Jangka Panjang Ibu Kota Negara," Indonesian Journal on Construction Engineering and Sustainable Development, Vol. 03 No 1 Juli 2020.

Selengkapnya
Potensi dan Strategi Pemanfaatan Air Hujan untuk Menunjang Kebutuhan Air Baku Jangka Panjang di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara

Air Bersih

Strategi Mitigasi Penurunan Kadar Air Danau Eğirdir di Tengah Dampak Kekeringan dan Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025


Danau Eğirdir, yang terletak di bagian barat daya Turki, merupakan danau air tawar terbesar kedua di negara tersebut dan sumber utama air minum bagi wilayah sekitarnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dampak perubahan iklim, khususnya kekeringan yang berkepanjangan, serta aktivitas manusia seperti irigasi pertanian yang intensif, telah menyebabkan penurunan signifikan pada level air danau ini. Paper oleh Meltem Kacikoc dan kolega (2025) mengkaji secara mendalam perubahan level air Danau Eğirdir dalam kondisi aliran normal dan kekeringan, serta mengevaluasi berbagai alternatif mitigasi guna menjaga keamanan pasokan air di wilayah tersebut.

Studi Kasus: Penurunan Level Air dan Dampak Kekeringan

Kondisi Geografis dan Hidrologis Danau Eğirdir

Danau Eğirdir berada di provinsi Isparta, di bagian hulu DAS Antalya, dengan luas sekitar 460 km² dan kedalaman yang relatif dangkal. Level air operasional yang ditetapkan oleh otoritas berada di kisaran 914,62 mASL (minimum) hingga 918,96 mASL (maksimum), dengan volume penyimpanan antara 2.099 hingga 4.001 juta m³. Danau ini menerima aliran utama dari beberapa sungai dan saluran derivasi, serta menjadi sumber air irigasi utama untuk berbagai dataran pertanian di sekitarnya.

Penurunan Level Air dan Faktor Penyebab

Data historis menunjukkan penurunan volume air danau yang signifikan sejak 1990-an, dengan anomali aliran tahunan terendah terjadi pada tahun 2001 (-44%) dan 2021 (-50%). Penurunan ini terutama disebabkan oleh kekeringan hidrologis yang berkepanjangan dan peningkatan konsumsi air, terutama untuk irigasi pertanian. Evaporasi dari permukaan danau mencapai 347 juta m³ per tahun, hampir setara dengan volume air yang diambil untuk irigasi sebesar 301 juta m³ per tahun, sehingga tekanan terhadap keseimbangan air danau sangat besar.

Indeks Kekeringan dan Krisis Air

Indeks Water Depletion Index (WDI) yang dihitung menunjukkan bahwa Danau Eğirdir mengalami kekurangan air yang terus-menerus sejak 1990-an, dengan tingkat kekeringan yang meningkat menjadi sangat parah pada tahun 2001. Setelah 2007, meskipun curah hujan relatif lebih tinggi, konsumsi air yang meningkat drastis menyebabkan kekeringan yang parah berlanjut hingga beberapa tahun terakhir.

Metodologi: Pemodelan Hidrologi dan Simulasi Manajemen Air

Penelitian ini menggunakan perangkat lunak AQUATOOL+ dengan modul EVALHID untuk simulasi aliran hujan-limpasan dan SIMGES untuk manajemen air dan simulasi level danau. Tiga model hidrologi diuji: GR2M, Témez, dan HBV, dengan model HBV menunjukkan performa terbaik pada sebagian besar titik kalibrasi, sedangkan GR2M unggul pada satu titik. Kalibrasi model dilakukan dengan data dari 1990 hingga 2014, dan validasi menggunakan data level air dari 2016 hingga 2021 menunjukkan hasil simulasi yang sangat baik (NSE 0,84 dan PBIAS 0,0002%).

Proyeksi Level Air dan Skenario Kekeringan

Penelitian ini menyusun dua skenario utama:

  • Skenario 1 (Normal): Menggunakan data aliran rata-rata dari 1990-2021 untuk memproyeksikan level air hingga 2050.
  • Skenario 2 (Kekeringan): Menggunakan periode kekeringan referensi selama 3 tahun (tahun 2001) untuk simulasi penurunan level air.

Tanpa tindakan mitigasi, skenario normal memprediksi penurunan level air di bawah ambang kritis (914,74 mASL) setelah tahun 2038, sedangkan skenario kekeringan memperkirakan penurunan terjadi lebih cepat, yaitu setelah tahun 2028. Penurunan ini berpotensi menyebabkan danau terbelah menjadi dua bagian fisik di area Kemer Boğazı, yang akan berdampak serius pada ekosistem dan ketersediaan air.

Alternatif Mitigasi: Pendekatan Terpadu untuk Keamanan Air

Berdasarkan masukan dari pemangku kepentingan dan kebijakan nasional, tiga alternatif mitigasi dikembangkan dan diuji:

  1. Alternatif 1: Pembatasan irigasi defisit sebesar 30%, rehabilitasi sistem irigasi menjadi sistem pipa tertutup dan irigasi tetes, serta pemanfaatan air limbah terolah untuk irigasi.
  2. Alternatif 2: Pembatasan irigasi defisit sebesar 50% dengan langkah-langkah serupa.
  3. Alternatif 3: Pembatasan irigasi defisit 50% hanya diterapkan selama tahun 2025-2026, disertai rehabilitasi sistem irigasi, pemanfaatan air limbah terolah, dan peningkatan aliran air tawar ke danau melalui saluran derivasi tambahan.

Efektivitas Alternatif Mitigasi

Simulasi menunjukkan ketiga alternatif mampu mencegah penurunan level air di bawah ambang kritis dalam kedua skenario. Namun, Alternatif 3 dipilih sebagai solusi optimal karena mampu menjaga level air dalam batas aman dengan pembatasan irigasi yang minimal dan dampak sosial ekonomi yang lebih rendah.

Nilai Tambah dan Relevansi dengan Tren Global

Penelitian ini menonjolkan pentingnya pendekatan adaptif dan mitigasi berbasis data dalam menghadapi dampak perubahan iklim pada sumber daya air tawar. Penggunaan teknologi irigasi efisien seperti irigasi tetes dan pemanfaatan air limbah terolah sejalan dengan tren global dalam konservasi air dan peningkatan efisiensi penggunaan air di sektor pertanian.

Selain itu, keterlibatan aktif pemangku kepentingan lokal dalam pengembangan strategi mitigasi menunjukkan pentingnya pendekatan partisipatif untuk keberhasilan pengelolaan sumber daya air. Kondisi keterbatasan data yang dihadapi di daerah pedesaan seperti sekitar Danau Eğirdir juga menjadi tantangan yang relevan bagi banyak wilayah lain di negara berkembang.

Kritik dan Rekomendasi

Meskipun model hidrologi yang digunakan telah menunjukkan hasil yang memuaskan, keterbatasan data meteorologi, khususnya tidak adanya data salju dan salju leleh, menjadi sumber ketidakpastian yang perlu diatasi pada penelitian lanjutan. Penambahan data ini dapat memperbaiki akurasi prediksi dan perencanaan pengelolaan air.

Selain itu, implementasi teknologi irigasi dan penggunaan air limbah terolah memerlukan dukungan kebijakan, insentif, dan pelatihan teknis agar dapat diterapkan secara luas dan efektif, terutama di wilayah dengan keterbatasan sumber daya.

Kesimpulan

Penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan menguji berbagai alternatif mitigasi untuk menjaga keamanan air Danau Eğirdir di tengah tekanan perubahan iklim dan aktivitas manusia. Dengan menggunakan pemodelan hidrologi dan manajemen air berbasis AQUATOOL+, ditemukan bahwa tanpa intervensi, danau berisiko mengalami penurunan level air yang kritis dan terbelah menjadi dua bagian fisik.

Alternatif mitigasi terpadu yang menggabungkan pembatasan irigasi, rehabilitasi sistem irigasi, pemanfaatan air limbah terolah, dan peningkatan aliran air tawar terbukti efektif dalam menjaga level air danau dalam batas aman. Implementasi strategi ini telah diterima dan mulai diberlakukan oleh otoritas Turki sejak Juni 2024.

Penelitian ini memberikan kontribusi penting bagi pengelolaan sumber daya air di daerah dengan data terbatas dan menghadapi tantangan perubahan iklim, serta menjadi referensi bagi pengembangan kebijakan dan praktik konservasi air di wilayah serupa.

Sumber Artikel

Meltem Kacikoc, Buket Mesta, Yakup Karaaslan, "Evaluating changes in water levels during periods of normal flow and drought with a specific emphasis on water withdrawal," Journal of Water and Climate Change, 2025.

Selengkapnya
Strategi Mitigasi Penurunan Kadar Air Danau Eğirdir di Tengah Dampak Kekeringan dan Perubahan Iklim

Krisis Air

Potensi dan Implementasi Pemanfaatan Air Hujan sebagai Solusi Krisis Air Bersih di Kota Makassar

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025


Kota-kota pantai di Indonesia, khususnya Makassar, menghadapi tantangan serius dalam penyediaan air bersih akibat pertumbuhan penduduk yang pesat, perubahan tata guna lahan, dan penurunan muka air tanah. Paper berjudul Potensi Pemanfaatan Air Hujan di Kota Pantai (Penerapan di Kota Makassar) oleh M. Yahya Siradjuddin dan rekan (2017) mengangkat isu ini dengan mengkaji potensi air hujan sebagai alternatif sumber air bersih yang berkelanjutan. Dengan curah hujan tahunan yang tinggi, Makassar memiliki peluang besar untuk mengoptimalkan pemanenan air hujan sebagai solusi mengatasi keterbatasan pasokan air bersih.

Dampak Perubahan Tata Guna Lahan dan Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi di Makassar menyebabkan perubahan signifikan dalam penggunaan lahan. Data menunjukkan bahwa antara 2003-2008, lahan pemukiman bertambah seluas 1.239,75 hektar (6,99%), dan pada 2008-2013 bertambah lagi 693 hektar (3,91%). Konversi lahan terbuka menjadi area terbangun ini meningkatkan koefisien limpasan permukaan (runoff) sehingga mengurangi daerah resapan air dan mempercepat penurunan muka air tanah.

Fenomena ini diperparah oleh eksploitasi air tanah yang berlebihan, menyebabkan debit air tanah menurun drastis dan mengancam keberlanjutan pasokan air bersih bagi masyarakat perkotaan. Meskipun curah hujan di Makassar cukup tinggi, potensi air hujan ini belum dimanfaatkan secara optimal karena minimnya sistem penampungan dan pengolahan air hujan di tingkat rumah tangga maupun komunitas.

Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Sistem Informasi Geografis

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data primer dan sekunder melalui survei literatur, observasi lapangan, dan analisis data spasial berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Variabel yang dianalisis meliputi curah hujan, kontur topografi, kepadatan bangunan, penggunaan lahan, dan evapotranspirasi. Model Expert System berbasis SIG digunakan untuk memetakan potensi pemanenan air hujan di wilayah perkotaan Makassar yang berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS).

Potensi dan Manfaat Pemanenan Air Hujan

Pemanenan air hujan adalah teknik mengumpulkan, menyampaikan, dan menyimpan limpasan air hujan dari atap bangunan, permukaan tanah, atau area lainnya untuk digunakan sebagai sumber air bersih. Paper ini menyoroti beberapa manfaat utama pemanfaatan air hujan, antara lain:

  • Pengurangan dampak lingkungan: Menggunakan infrastruktur yang sudah ada (atap rumah, taman, tempat parkir) mengurangi kebutuhan pembangunan baru dan meminimalkan dampak ekologis.
  • Kualitas air yang relatif bersih: Air hujan yang dikumpulkan memenuhi standar air baku dengan atau tanpa pengolahan lebih lanjut.
  • Cadangan air saat darurat: Air hujan dapat menjadi sumber air alternatif saat terjadi gangguan pasokan air bersih, seperti bencana alam.
  • Pengurangan ketergantungan pada sistem air kota: Mengurangi beban pada sistem distribusi air kota dan menekan biaya operasional.
  • Konservasi air: Menghemat penggunaan air tanah dan air permukaan yang semakin terbatas.
  • Teknologi yang mudah dan fleksibel: Sistem pemanenan air hujan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal tanpa memerlukan tenaga ahli khusus.

Studi Kasus: Kota Makassar dan Potensi Pemanenan Air Hujan

Makassar memiliki curah hujan rata-rata tahunan sekitar 2.263 mm, yang tersebar cukup merata sepanjang tahun. Namun, konversi lahan terbuka menjadi area terbangun menyebabkan berkurangnya daerah resapan air. Dengan pemodelan SIG dan data curah hujan, penelitian ini menunjukkan bahwa potensi volume air hujan yang dapat dipanen sangat besar dan dapat memenuhi kebutuhan air perkotaan secara signifikan.

Sebagai contoh, di kawasan perumahan Anging Mammiri, penelitian lain menunjukkan potensi pemanenan air hujan sebesar 86.993,8 liter per hari, yang mampu memenuhi sekitar 52% dari kebutuhan air bersih harian warga (sekitar 142.500 liter/hari). Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan air hujan secara optimal dapat mengurangi ketergantungan pada air PDAM dan sumur dangkal yang sering mengalami kekeringan saat musim kemarau.

Tantangan dan Keterbatasan Sistem Pemanenan Air Hujan

Meskipun banyak manfaat, sistem pemanenan air hujan juga menghadapi beberapa kendala, antara lain:

  • Kapasitas tangkapan dan penyimpanan terbatas: Pada musim kemarau panjang, tangki penyimpanan bisa habis dan tidak ada suplai air.
  • Perawatan dan kualitas air: Sistem yang tidak dirawat dengan baik dapat menurunkan kualitas air dan menjadi tempat berkembang biaknya serangga seperti nyamuk.
  • Pengaruh terhadap pendapatan perusahaan air minum: Jika diterapkan luas, dapat mengurangi pendapatan PDAM.
  • Kurangnya regulasi dan kesadaran: Pemerintah dan masyarakat belum sepenuhnya mengadopsi dan mendukung sistem ini.
  • Faktor lokasi: Topografi, ruang, dan keberadaan utilitas bawah tanah mempengaruhi desain dan efektivitas sistem.
  • Potensi kontaminasi limpasan: Air hujan yang ditampung dari permukaan tanah bisa terkontaminasi oleh polutan.

Rekomendasi Desain dan Implementasi Sistem

Penelitian merekomendasikan dua model desain utama sistem pemanenan air hujan:

  1. Sistem dual penggunaan indoor dan outdoor: Cocok untuk daerah dengan iklim dingin, memerlukan tangki penyimpanan di bawah tanah atau ruangan beriklim terkendali untuk mencegah pembekuan.
  2. Sistem musiman untuk penggunaan outdoor: Tangki di atas atau bawah tanah yang digunakan selama musim hujan, cocok untuk daerah tropis seperti Makassar.

Pertimbangan desain lain meliputi:

  • Penempatan tangki sesuai topografi untuk meminimalkan kebutuhan pompa.
  • Penghindaran genangan air di sekitar pondasi bangunan.
  • Penyesuaian dengan keberadaan utilitas bawah tanah dan muatan kendaraan di atas tangki.

Analisis dan Opini: Relevansi dengan Tren Global dan Lokal

Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih telah menjadi tren global, terutama di negara dengan sumber air terbatas dan perubahan iklim ekstrem. Kota-kota seperti Singapura dan Australia telah mewajibkan sistem pemanenan air hujan pada bangunan baru sebagai bagian dari strategi ketahanan air dan keberlanjutan lingkungan.

Di Indonesia, khususnya Makassar, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Paper ini memberikan kontribusi penting dengan pendekatan berbasis data spasial dan analisis lokal yang konkret, sehingga dapat menjadi acuan kebijakan dan implementasi di tingkat kota.

Namun, keberhasilan pemanenan air hujan sangat tergantung pada dukungan regulasi, edukasi masyarakat, dan integrasi teknologi yang tepat guna. Pemerintah daerah perlu mendorong insentif dan regulasi yang mengakomodasi sistem ini agar dapat diadopsi secara luas.

Kesimpulan

Paper ini secara komprehensif menguraikan potensi pemanfaatan air hujan di kota pantai Makassar sebagai solusi strategis mengatasi keterbatasan pasokan air bersih akibat urbanisasi dan perubahan tata guna lahan. Dengan curah hujan yang melimpah, pemanenan air hujan dapat menjadi sumber air alternatif yang efektif, ramah lingkungan, dan ekonomis.

Manfaat utama meliputi pengurangan dampak lingkungan, peningkatan ketahanan air kota, dan konservasi sumber daya air. Namun, tantangan teknis dan sosial harus diatasi melalui perencanaan matang, regulasi, dan edukasi masyarakat.

Implementasi sistem pemanenan air hujan yang optimal dapat mengurangi beban pada sistem air kota dan membantu mengatasi krisis air bersih yang kian nyata di kawasan urban Indonesia.

Referensi Artikel Asli

M. Yahya Siradjuddin, Ananto Yudono, Arifuddin Akil, Farouk Maricar, "Potensi Pemanfaatan Air Hujan di Kota Pantai (Penerapan di Kota Makassar)," Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2017, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

Selengkapnya
Potensi dan Implementasi Pemanfaatan Air Hujan sebagai Solusi Krisis Air Bersih di Kota Makassar

Air Bersih

Pemanfaatan Air Bersih untuk Kebutuhan Rumah Tangga dari Mata Air Oelnaisanam di Kelurahan Bakunase II, Kota Kupang

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025


Air bersih merupakan kebutuhan primer yang sangat vital bagi kehidupan manusia, tidak hanya untuk konsumsi langsung seperti minum dan memasak, tetapi juga untuk aktivitas sehari-hari seperti mandi, mencuci, serta untuk kebutuhan pertanian dan industri. Di daerah semi-arid seperti Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), penyediaan air bersih menjadi tantangan besar karena curah hujan yang rendah dan evaporasi yang tinggi. Kelurahan Bakunase II, sebagai bagian dari Kota Kupang, menghadapi masalah ketersediaan air bersih yang semakin meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan aktivitas pembangunan. Paper oleh Lomi, Messakh, dan Tamelan (2021) ini mengkaji potensi sumber mata air Oelnaisanam sebagai solusi penyediaan air bersih bagi masyarakat setempat, termasuk pola konsumsi, proyeksi kebutuhan, dan strategi pemenuhannya12.

Potensi dan Pemanfaatan Mata Air Oelnaisanam

Mata air Oelnaisanam merupakan salah satu sumber air tanah yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kelurahan Bakunase II untuk memenuhi kebutuhan domestik dan pertanian. Berdasarkan pengamatan lapangan selama dua hari, kapasitas pemanfaatan air dari mata air ini untuk pengambilan air tangki mencapai 1.195.000 liter (1195 m³) dengan rata-rata pengambilan 6,92 liter/detik. Pengambilan langsung oleh masyarakat dengan ember dan jerigen berkapasitas kecil mencapai 785 liter selama dua hari, dengan laju pengambilan rata-rata 0,0045 liter/detik. Selain itu, untuk kebutuhan pertanian, air dipompa dengan kapasitas motor air 450 liter/menit selama 7 jam per hari, menghasilkan konsumsi sekitar 4 liter/detik atau total 378 m³ selama dua hari pengamatan1.

Data ini menunjukkan bahwa mata air Oelnaisanam masih mampu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan pertanian di sekitar wilayah tersebut, dengan total pengambilan air bersih gabungan mencapai 1.574 m³ selama dua hari pengamatan, atau sekitar 18,22 liter/detik secara rata-rata1.

Pola Konsumsi Air Bersih Masyarakat Kelurahan Bakunase II

Hasil survei terhadap 30 responden menunjukkan pola konsumsi air bersih rata-rata per orang per hari sebesar 75 liter, yang masih jauh di bawah standar kebutuhan air bersih untuk kota besar yaitu 150-175 liter/orang/hari. Rincian konsumsi harian meliputi:

  • Minum: 5 liter
  • Memasak: 6 liter
  • Mencuci: 13 liter
  • Mandi: 25 liter
  • Kebutuhan lain-lain: 25 liter

Pola ini mencerminkan keterbatasan akses dan ketersediaan air bersih yang memaksa masyarakat untuk menghemat penggunaan air, serta masih adanya ketergantungan pada pembelian air tangki untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari1.

Proyeksi Kebutuhan Air Bersih 2020-2030

Pertumbuhan penduduk Kelurahan Bakunase II yang cukup signifikan mempengaruhi kebutuhan air bersih. Berdasarkan metode Least Square, jumlah penduduk diproyeksikan meningkat dari 5.898 jiwa pada tahun 2020 menjadi 6.770 jiwa pada tahun 2030. Dengan asumsi kebutuhan air bersih per kapita meningkat dan pelayanan air bersih mencapai 100%, kebutuhan air bersih domestik diperkirakan naik dari 3,74 liter/detik pada 2020 menjadi 4,84 liter/detik pada 20301.

Proyeksi ini menegaskan perlunya strategi pengelolaan air yang efektif untuk menjamin ketersediaan air bersih yang cukup bagi masyarakat, terutama mengingat kondisi iklim semi-arid yang membatasi sumber air alami.

Strategi Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih

Penelitian ini merekomendasikan beberapa strategi penting untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Kelurahan Bakunase II selama dekade mendatang, antara lain:

  1. Pemanfaatan Sumber Mata Air Lain: Mengoptimalkan potensi mata air lain di wilayah tersebut untuk menambah pasokan air bersih.
  2. Pelestarian dan Pengelolaan Mata Air Oelnaisanam: Melakukan perawatan rutin, pembersihan, dan reboisasi di sekitar mata air guna menjaga kualitas dan kuantitas air.
  3. Pengendalian Pemanfaatan untuk Pertanian: Mengatur waktu dan volume pemakaian air untuk pertanian agar tidak mengganggu pasokan air domestik.
  4. Pembangunan Infrastruktur Distribusi: Menyediakan jaringan perpipaan yang dapat mendistribusikan air bersih langsung ke rumah-rumah warga, mengurangi ketergantungan pada pembelian air tangki.
  5. Pengembangan Sistem Pemanenan Air Hujan: Membangun waduk atau embung sebagai penampungan air hujan untuk menambah cadangan air selama musim kemarau.
  6. Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Melibatkan masyarakat dalam menjaga dan memelihara sumber mata air serta menghemat penggunaan air1.

Studi Kasus: Pengambilan Air Tangki dan Dampaknya

Pengambilan air tangki dari mata air Oelnaisanam menjadi solusi sementara bagi masyarakat yang jarak rumahnya cukup jauh dari sumber mata air atau yang tidak memiliki akses jaringan perpipaan. Selama dua hari pengamatan, terdapat 10 tangki air berkapasitas 5.000 liter yang melakukan pengambilan sebanyak minimal 10 kali per tangki, menghasilkan total pengambilan sekitar 615.000 liter per hari atau rata-rata 6,92 liter/detik1.

Namun, ketergantungan pada air tangki ini menimbulkan biaya tambahan bagi masyarakat dan tidak menjamin kontinuitas pasokan air bersih. Oleh karena itu, pembangunan jaringan perpipaan menjadi solusi jangka panjang yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Analisis dan Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian ini menonjolkan pentingnya pemanfaatan sumber mata air lokal sebagai solusi penyediaan air bersih di daerah semi-arid yang memiliki keterbatasan sumber air permukaan. Hal ini sejalan dengan studi lain yang menekankan pendekatan berbasis sumber daya lokal dan konservasi air sebagai strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk3.

Namun, dibandingkan dengan penelitian yang mengusulkan teknologi desalinasi atau pengolahan air limbah, pendekatan ini lebih sederhana dan ekonomis, sangat cocok untuk daerah dengan keterbatasan dana dan infrastruktur seperti Kelurahan Bakunase II. Kelemahan utama adalah ketergantungan pada kondisi alam yang dapat berubah dan perlunya pengelolaan yang baik agar sumber mata air tidak cepat habis atau tercemar.

Kesimpulan

Paper ini memberikan gambaran komprehensif mengenai potensi dan pemanfaatan mata air Oelnaisanam sebagai sumber air bersih utama bagi masyarakat Kelurahan Bakunase II, Kota Kupang. Dengan pola konsumsi saat ini yang masih di bawah standar, dan proyeksi kebutuhan yang meningkat, diperlukan strategi terpadu yang meliputi pemanfaatan sumber air alternatif, konservasi sumber mata air, pembangunan infrastruktur distribusi, serta peningkatan kesadaran masyarakat.

Pemanfaatan mata air Oelnaisanam saat ini mampu memenuhi kebutuhan air bersih domestik dan pertanian dengan kapasitas rata-rata 18,22 liter/detik. Namun, untuk menjamin ketersediaan air bersih yang berkelanjutan dan merata, pembangunan jaringan perpipaan dan sistem pemanenan air hujan menjadi langkah strategis yang perlu segera direalisasikan.

Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya

Penelitian ini merekomendasikan perlunya studi lanjutan yang lebih mendalam, terutama dalam hal perhitungan debit air secara akurat dan desain jaringan perpipaan yang efektif untuk distribusi air bersih ke seluruh masyarakat. Selain itu, kajian tentang dampak sosial ekonomi dan lingkungan dari pemanfaatan mata air juga penting untuk memastikan keberlanjutan sumber daya air di wilayah ini1.

Sumber Artikel:
Richard Albertho Lomi, Jakobis J. Messakh, dan Paul G. Tamelan, "Pemanfaatan Air Bersih untuk Kebutuhan Rumah Tangga dari Mata Air Oelnaisanam di Kelurahan Bakunase II, Kota Kupang," Jurnal Batakarang, Vol. 2, No. 1, Edisi Juni 2021, ISSN 2747-0512.

Selengkapnya
Pemanfaatan Air Bersih untuk Kebutuhan Rumah Tangga dari Mata Air Oelnaisanam di Kelurahan Bakunase II, Kota Kupang
« First Previous page 97 of 1.119 Next Last »