Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Air, SDG 6, dan Krisis Global
Air adalah sumber kehidupan yang menopang kesehatan, ketahanan, dan kemakmuran manusia serta planet. Namun, dunia saat ini menghadapi krisis air yang semakin mendalam akibat konsumsi berlebihan, polusi, perubahan iklim, dan tata kelola yang lemah. Laporan “The United Nations World Water Development Report 2023: Partnerships and Cooperation for Water” yang diterbitkan UNESCO atas nama UN-Water, menjadi dokumen kunci dalam memahami tantangan dan peluang mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 6: air bersih dan sanitasi untuk semua.
Laporan ini menyoroti bahwa kemitraan dan kerja sama lintas sektor, wilayah, dan aktor adalah kunci untuk mengatasi tantangan air dunia. Dengan pendekatan yang inklusif, laporan ini menampilkan studi kasus, data global, dan strategi inovatif yang relevan dengan tren industri, kebijakan, dan kebutuhan masyarakat saat ini.
Gambaran Global: Permintaan, Ketersediaan, dan Kualitas Air
Pertumbuhan Permintaan dan Ketimpangan Regional
Selama 40 tahun terakhir, penggunaan air global meningkat sekitar 1% per tahun dan diprediksi akan terus tumbuh hingga 2050, didorong pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan perubahan pola konsumsi. Mayoritas peningkatan terjadi di negara berpendapatan menengah dan rendah, khususnya di ekonomi berkembang. Sektor pertanian masih menjadi pengguna terbesar (72% dari total penarikan air), diikuti oleh industri dan domestik. Namun, tren regional sangat bervariasi: di Eropa, industri menyerap 45% air, sementara di Asia Selatan, pertanian mencapai 91%1.
Ketersediaan Air dan Stres Air
Ketersediaan air per kapita menurun di semua wilayah dunia akibat pertumbuhan penduduk. Antara tahun 2000–2018, penurunan terbesar terjadi di Afrika Sub-Sahara (41%), Asia Tengah (30%), dan Asia Barat (29%). Stres air fisik—rasio penggunaan terhadap ketersediaan—menjadi endemik di banyak wilayah. Pada 2018, 18,4% sumber air tawar global telah diambil, namun angka ini menutupi masalah lokal: Asia Tengah dan Selatan serta Afrika Utara mengalami tingkat stres air di atas 25%, bahkan mencapai kategori kritis di beberapa negara1.
Kualitas Air dan Tantangan Polusi
Kualitas air menurun akibat limbah domestik yang tidak terolah, limpasan pertanian, dan limbah industri. Pada 2020, sekitar 44% limbah domestik dunia tidak diolah dengan aman sebelum dibuang ke lingkungan. Hanya sekitar 60% badan air yang dilaporkan memiliki kualitas baik, dengan data global sangat bias ke negara berpendapatan tinggi. Negara-negara miskin sangat kurang terwakili dalam pelaporan kualitas air, sehingga risiko polusi dan penyakit tetap tinggi1.
Ekosistem Air dan Bencana
Sekitar 80% lahan rawa alami hilang sejak era pra-industri, dan 85% permukaan lahan telah berubah akibat aktivitas manusia. Banjir dan kekeringan menjadi bencana paling mematikan dan merugikan secara ekonomi: antara 2000–2019, banjir menyebabkan kerugian US$650 miliar dan menewaskan lebih dari 100.000 orang, sementara kekeringan memengaruhi 1,43 miliar orang dengan kerugian US$130 miliar1.
Kemajuan Menuju SDG 6: Realitas dan Tantangan
Capaian dan Kesenjangan
Stagnasi dan Perluasan Gap
Laju pencapaian SDG 6 sangat lambat. Untuk mencapai target 2030, laju peningkatan akses air dan sanitasi harus dikalikan empat. Negara-negara termiskin dan wilayah konflik menghadapi tantangan paling berat, terutama dalam memperluas layanan ke daerah pedesaan dan populasi rentan1.
Kemitraan dan Kerja Sama: Kunci Percepatan SDG 6
Jenis Kemitraan
Studi Kasus dan Praktik Terbaik
Tantangan Regional: Perspektif Global
Afrika Sub-Sahara
Kekurangan infrastruktur, data, dan kapasitas memperberat tantangan air. Kemitraan komunitas-publik (CPPs) antara utilitas dan komunitas berhasil meningkatkan layanan dan berbagi pengetahuan. Namun, kerja sama lintas negara di cekungan sungai dan akuifer tetap lemah dan perlu diperkuat1.
Asia dan Pasifik
Pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi meningkatkan permintaan air, namun ketimpangan akses sangat nyata, terutama bagi perempuan yang sering terpinggirkan dalam pengambilan keputusan. Kerja sama lintas batas dan pengelolaan polusi menjadi tantangan utama1.
Eropa dan Amerika Utara
Kerja sama lintas batas sudah mapan, seperti Komisi Bersama Internasional (IJC) antara Kanada-AS. Partisipasi pemangku kepentingan dan transparansi menjadi prioritas, meski tantangan tetap ada dalam harmonisasi kebijakan dan pelibatan masyarakat1.
Amerika Latin dan Karibia
Kemitraan lokal fokus pada penyediaan air minum dan sanitasi di pedesaan serta kelompok produsen pertanian. Organisasi pengelola DAS sudah lama berdiri, namun sering terkendala kapasitas teknis dan pendanaan1.
Kawasan Arab
Keterbatasan air permukaan, ketergantungan pada sumber lintas batas, dan tekanan pertanian menuntut kerja sama regional. Meskipun ada hambatan politik dan finansial, beberapa inisiatif kolaboratif telah berhasil membangun kepercayaan dan berbagi data1.
Akselerator SDG 6: Pendidikan, Data, Inovasi, Pendanaan, dan Tata Kelola
Pendidikan dan Pengembangan Kapasitas
Kemitraan dalam pendidikan dan pelatihan—termasuk komunitas praktik, citizen science, dan pembelajaran seumur hidup—menjadi kunci adopsi praktik pengelolaan air yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Proyek citizen science meningkatkan kesadaran publik dan transparansi, misal dalam pemantauan polusi lokal1.
Data dan Informasi
Kekurangan data menjadi penghambat utama. Kemitraan antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta diperlukan untuk menghasilkan, membagi, dan mengelola data air yang relevan. Monitoring bersama sumber air lintas batas memperkuat pemahaman sistem dan membangun kepercayaan1.
Inovasi
Kolaborasi antara universitas, inkubator bisnis, dan perusahaan teknologi mempercepat adopsi teknologi baru dalam pengolahan, distribusi, dan pemantauan air. Namun, inovasi harus inklusif agar tidak memperlebar kesenjangan digital dan sosial1.
Pendanaan
Diperlukan peningkatan investasi tiga kali lipat untuk mencapai akses air minum aman pada 2030. Skema blended finance dan water funds mendorong kolaborasi multi-pihak, memperluas sumber pendanaan, dan membagi risiko investasi1.
Tata Kelola: Pendekatan Whole-of-Society
Tata kelola air yang baik menuntut partisipasi inklusif, transparansi, dan integrasi lintas sektor. Kemitraan publik-swasta (PPP) sukses jika didukung kerangka hukum yang jelas dan stabil. Mengatasi korupsi dan membangun kepercayaan menjadi fondasi utama keberhasilan tata kelola air1.
Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Studi Lain
Nilai Tambah Laporan
Laporan ini sangat komprehensif, menampilkan data lintas sektor, studi kasus nyata, dan solusi inovatif. Penekanannya pada kemitraan lintas sektor dan wilayah sangat relevan dengan kompleksitas tantangan air saat ini. Laporan ini juga menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat, gender, dan kelompok rentan dalam tata kelola air.
Kritik dan Keterbatasan
Perbandingan dengan Studi Lain
Temuan laporan ini sejalan dengan riset Bank Dunia dan WHO yang menyoroti perlunya investasi besar, inovasi tata kelola, dan kemitraan lintas sektor untuk mengatasi krisis air global. Namun, laporan ini lebih menekankan pada peran kemitraan sebagai katalis perubahan, bukan sekadar pelengkap kebijakan1.
Relevansi Industri dan Tren Masa Depan
Tren Industri
Peluang dan Tantangan
Kesimpulan dan Rekomendasi
Laporan ini menegaskan bahwa tanpa kemitraan dan kerja sama yang kuat, dunia tidak akan mampu mencapai SDG 6 dan tujuan pembangunan lainnya. Setiap pihak—pemerintah, swasta, masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas lokal—memiliki peran penting dalam membangun tata kelola air yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Rekomendasi utama:
Dengan kolaborasi nyata, inovasi, dan komitmen politik, air dapat menjadi sumber perdamaian, kesejahteraan, dan keberlanjutan bagi generasi mendatang.
Sumber Artikel
United Nations, The United Nations World Water Development Report 2023: Partnerships and Cooperation for Water. UNESCO, Paris.
Logistik Cerdas
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 24 Juni 2025
Pendahuluan
Tesis master berjudul "Last-Mile Delivery: Logistics Service Quality, Perceived Value, Satisfaction, and Loyalty" oleh Trinh Ngoc Anh dari Lund University (2019) membahas tentang persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan logistik last-mile dan dampaknya pada perceived value, kepuasan pelanggan, dan loyalitas. Tesis ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kualitas layanan logistik, perceived value, kepuasan pelanggan, dan loyalitas dalam konteks pengiriman last-mile, yang semakin penting dalam era e-commerce.
Latar Belakang dan Motivasi
Pertumbuhan e-commerce telah meningkatkan jumlah pengiriman langsung ke pelanggan, membuat last-mile delivery menjadi bagian yang paling mahal, tidak efisien, dan mencemari dari rantai pasok. Penelitian ini menyoroti pentingnya memahami perspektif pelanggan dalam mengevaluasi kinerja layanan last-mile. Kualitas layanan telah lama menjadi isu penting untuk kesuksesan bisnis, terutama dengan munculnya e-commerce. Berbagai model kualitas layanan telah dikembangkan, dan industri ritel global telah mengalami revolusi dalam rantai pasok, dari order fulfillment hingga last-mile, untuk memberikan layanan terbaik kepada pelanggan.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari tesis ini adalah:
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan melakukan survei online dan mengumpulkan 210 respons valid dari dua platform online yang berbeda. Data dianalisis menggunakan teknik Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM).
Kerangka Teoretis
Tesis ini membahas beberapa konsep kunci, termasuk:
Hasil dan Diskusi
Temuan Utama
Studi Kasus dan Angka
Meskipun tesis ini tidak menyajikan studi kasus spesifik, ia merujuk pada penelitian sebelumnya yang menyoroti pentingnya kualitas layanan dalam e-commerce. Misalnya, pangsa pasar e-commerce terus berkembang di seluruh dunia, dan pengecer bersaing semakin ketat dengan menerapkan berbagai strategi operasional untuk melayani permintaan pelanggan yang meningkat.
Implikasi Praktis
Kesimpulan
Tesis ini menyimpulkan bahwa kualitas layanan logistik, terutama ketepatan waktu, adalah faktor kunci dalam membentuk perceived value dalam konteks last-mile delivery. Kepuasan pelanggan memainkan peran penting dalam memediasi hubungan antara perceived value dan loyalitas.
Keterbatasan dan Penelitian Masa Depan
Tesis ini mengakui beberapa keterbatasan, termasuk fokus pada persepsi pelanggan dan kurangnya data empiris tentang biaya dan efisiensi operasional. Penelitian masa depan dapat fokus pada:
Sumber : Trinh Ngoc Anh. (2019). Last-Mile Delivery: Logistics Service Quality, Perceived Value, Satisfaction, and Loyalty. Master’s Thesis, Lund University.
Air Lintas Negara
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Mengapa Suara Masyarakat Adat Penting dalam Diplomasi Air Lintas Batas?
Transboundary Water Cooperation (TWC) atau kerjasama air lintas batas menjadi isu strategis di dunia yang semakin terfragmentasi oleh perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan eksploitasi sumber daya. Namun, satu aktor kunci sering terpinggirkan: masyarakat adat. Paper SIWI (2024) ini menyoroti urgensi, tantangan, dan peluang memasukkan perspektif masyarakat adat dalam pengelolaan air lintas negara—bukan hanya sebagai “stakeholder”, melainkan sebagai pemilik hak, penentu kebijakan, dan penjaga ekosistem. Resensi ini mengulas secara kritis isi paper, memperkaya dengan studi kasus, angka-angka penting, serta membandingkan dengan tren global dan literatur mutakhir.
Transboundary Water Cooperation: Realitas dan Tantangan
Air lintas batas menyumbang 60% aliran air tawar dunia, melintasi 47% permukaan bumi, dan melibatkan lebih dari 150 negara serta 286 basin sungai danau serta 592 akuifer lintas negara. Namun, dua pertiga sungai lintas batas dunia belum memiliki kerangka kerjasama formal—padahal tekanan akibat perubahan iklim, polusi, dan perubahan tata guna lahan terus meningkat. Dalam konteks ini, masyarakat adat menghadapi tantangan ganda: mereka sangat tergantung pada ekosistem air, namun hak dan pengetahuannya sering diabaikan dalam perundingan lintas negara12.
Masyarakat Adat: Fakta, Peran, dan Hak
Masyarakat adat berjumlah sekitar 476,6 juta jiwa (6% populasi dunia), tersebar di 90 negara, berbicara lebih dari 4.000 bahasa, dan mengelola 38 juta km² wilayah tradisional (22% daratan dunia)12. Wilayah-wilayah ini mencakup sumber air penting, lahan basah, akuifer, serta “water towers” yang menopang siklus hidrologi global. Ironisnya, hanya 10% wilayah tradisional masyarakat adat yang diakui secara hukum, sementara 25% wilayah mereka berada di bawah tekanan industri ekstraktif, pertanian komersial, dan urbanisasi12.
Mengapa Inklusi Masyarakat Adat dalam TWC Penting?
1. Pengetahuan dan Tata Kelola Tradisional
Penelitian menunjukkan bahwa wilayah yang dikelola masyarakat adat memiliki tingkat biodiversitas dan kualitas ekosistem lebih tinggi dibanding wilayah sekitarnya. Di Amazon, misalnya, 80% biodiversitas dunia berada di tanah adat, meski mereka hanya 6% populasi global. Pengetahuan lokal tentang tata air, pemulihan ekosistem, dan keadilan restoratif menjadi aset penting dalam menghadapi krisis air dan lingkungan12.
2. Hak dan Keadilan
Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007) dan Konvensi ILO 169 menegaskan hak masyarakat adat atas tanah, air, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Namun, implementasi di tingkat nasional dan internasional masih lemah. Banyak proyek lintas negara—bendungan, irigasi, pertambangan—mengabaikan hak masyarakat adat, memicu konflik, dan memperparah ketidakadilan12.
3. Keragaman Nilai dan Tujuan
Masyarakat adat memandang air bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan bagian dari identitas, spiritualitas, dan relasi sosial. Jika nilai-nilai ini tidak diakui, kebijakan air akan bias pada kepentingan negara atau korporasi, mengorbankan keberlanjutan dan keadilan12.
Studi Kasus: Praktik, Tantangan, dan Peluang
1. Isleta Pueblo dan Sungai Rio Grande (AS-Meksiko)
Komunitas Isleta Pueblo di New Mexico menjadi suku pertama yang menetapkan standar air sendiri di bawah Clean Water Act AS, mengatur kualitas air dan limbah di Rio Grande. Hak ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung AS (Winters v. United States, 1908) yang mengakui hak prioritas air bagi masyarakat adat. Namun, meski secara hukum diakui, partisipasi Isleta Pueblo dalam perjanjian lintas negara Rio Grande tetap terbatas. Mereka berhasil mengamankan hak atas kualitas air, tetapi belum menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan lintas batas12.
2. Mackenzie River Basin (Kanada)
Basin Mackenzie (1,8 juta km²) adalah ekosistem utuh terbesar di Amerika Utara, dihuni oleh sekitar 300.000 orang, 10% di antaranya masyarakat adat First Nations, Métis, dan Inuvialuit. Dewan Basin Mackenzie (MRBB) didirikan pada 1997, melibatkan pemerintah federal, provinsi, teritori, dan pemerintah adat. MRBB mengadopsi pendekatan “braided knowledge”—menggabungkan pengetahuan adat dan sains dalam monitoring dan evaluasi. Namun, partisipasi masyarakat adat masih terbatas: hanya satu perwakilan per yurisdiksi, dan pengambilan keputusan tetap didominasi pemerintah. Meski sudah ada kemajuan, fragmentasi tata kelola dan ketidakseimbangan kekuasaan masih menjadi tantangan utama12.
3. Amazon Basin (Amerika Selatan)
Basin Amazon (7,5 juta km², 8 negara, lebih dari 400 kelompok adat) adalah contoh penting peran masyarakat adat dalam menjaga ekosistem air global. Organisasi Perjanjian Kerjasama Amazon (OTCA) dan protokol strategisnya mengakui peran masyarakat adat sebagai penentu, bukan sekadar penerima manfaat. Namun, pelaksanaan di lapangan masih minim. Hanya sebagian kecil kelompok adat yang benar-benar terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelanggaran hak, pembunuhan pembela lingkungan (358 kasus di 35 negara pada 2021, sepertiga di antaranya masyarakat adat), serta eksploitasi sumber daya terus terjadi. Amazon menjadi laboratorium penting: ketika masyarakat adat diberi ruang, ekosistem lebih terjaga; ketika diabaikan, kerusakan dan konflik meningkat12.
Angka-Angka Kunci dan Fakta Lapangan
Dimensi Kritis: Mengapa Inklusi Sering Gagal?
1. Asimetri Kekuasaan dan Hukum
Sistem hukum internasional masih berorientasi pada kedaulatan negara (Westphalian system), sehingga hak masyarakat adat di lintas negara sering diabaikan. Bahkan di negara yang mengakui UNDRIP, partisipasi masyarakat adat dalam TWC masih minim, terutama dalam proyek besar lintas batas yang berdampak lintas negara12.
2. Kurangnya Sumber Daya dan Kapasitas
Partisipasi bermakna butuh sumber daya: pengetahuan hukum, keahlian teknis, dana, dan kepemimpinan. Banyak masyarakat adat kekurangan akses ke sumber daya ini, sementara negara dan korporasi punya keunggulan besar dalam negosiasi12.
3. Nilai dan Tujuan yang Berbeda
Kebijakan air sering bias pada nilai ekonomi (kuantitas, efisiensi, harga), mengabaikan nilai relasional, spiritual, dan sosial masyarakat adat. Akibatnya, solusi yang dihasilkan cenderung tidak berkelanjutan dan tidak adil12.
Rekomendasi Kebijakan: Jalan Menuju Inklusi yang Bermakna
Paper ini menawarkan empat rekomendasi utama untuk memperkuat inklusi masyarakat adat dalam TWC132:
Analisis Kritis dan Perbandingan Global
Kekuatan Paper
Kritik dan Tantangan
Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan
Rekomendasi Praktis untuk Pengambil Kebijakan dan Industri
Menuju Diplomasi Air yang Adil dan Berkelanjutan
Paper SIWI (2024) menegaskan bahwa inklusi masyarakat adat dalam kerjasama air lintas batas bukan sekadar tuntutan moral, tetapi prasyarat keberlanjutan dan keadilan. Tanpa pengakuan hak, nilai, dan kapasitas masyarakat adat, kebijakan air akan terus bias, rentan konflik, dan gagal menjaga ekosistem. Inklusi yang bermakna, dukungan sumber daya, dan pengakuan nilai relasional air adalah kunci menuju masa depan air yang adil dan berkelanjutan.
Sumber Artikel Asli
Goldie-Ryder. K., Hebart-Coleman. D., and Martinez-Cruz, T.E., 2024. Working Paper: Supporting the Inclusion of Indigenous Peoples in Transboundary Water Cooperation, Stockholm: International Centre for Water Cooperation, Water Governance Facility, Stockholm International Water Institute.
Kualitas Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Mengapa Tata Kelola Kualitas Air Butuh Pendekatan Baru?
Kualitas air adalah fondasi bagi kesehatan manusia, ekosistem, dan pembangunan ekonomi. Namun, di seluruh dunia, upaya memperbaiki kualitas air sering kali gagal mencapai target ambisius, baik di negara maju maupun berkembang. Disertasi Susanne Wuijts (2020) membedah akar masalah ini melalui lensa multidisipliner: bagaimana menyelaraskan perspektif sosial-ekonomi, hukum, dan ekologi agar tata kelola kualitas air benar-benar efektif di lapangan. Dengan fokus pada pengalaman Eropa (khususnya Belanda) dan kerangka hukum Uni Eropa, karya ini menawarkan wawasan segar yang sangat relevan bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi.
Latar Belakang: Tekanan Multidimensi pada Kualitas Air
Air digunakan untuk minum, pertanian, industri, rekreasi, dan pelestarian alam. Setiap penggunaan menuntut standar kualitas berbeda dan sering kali saling bertentangan. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, dan perubahan iklim memperberat tekanan pada sistem air. Dampaknya, dua pertiga sistem air tawar dunia kini terancam sedang hingga berat oleh aktivitas manusia—mulai dari pertanian intensif, polusi industri, hingga modifikasi morfologi sungai.
Di Eropa, kerangka hukum seperti Water Framework Directive (WFD), Groundwater Directive, dan Bathing Water Directive menjadi tulang punggung regulasi kualitas air. Namun, hingga 2015, hanya 38% badan air permukaan dan 74% air tanah yang mencapai status ekologi dan kimiawi “baik”. Artinya, mayoritas negara anggota Uni Eropa gagal memenuhi target WFD, meski sudah ada instrumen hukum dan investasi besar-besaran.
Kerangka Konseptual: Tiga Perspektif dan Interaksinya
Wuijts mengidentifikasi tiga perspektif utama dalam tata kelola kualitas air:
Wuijts menyoroti bahwa ketidaksinkronan antara tiga perspektif ini menjadi penyebab utama kegagalan tata kelola kualitas air. Misalnya, standar hukum yang ketat tanpa dukungan sosial atau pemahaman ekologi yang mendalam sering tidak efektif di lapangan.
Studi Kasus: Implementasi di Belanda dan Eropa
1. Sumber Air Minum
Kasus di Belanda menunjukkan bahwa standar kualitas air minum diatur ketat oleh Drinking Water Directive dan hukum nasional. Namun, pencemaran oleh pestisida dan nutrien dari pertanian tetap sulit dikendalikan. Di beberapa wilayah, target regional untuk nutrien empat kali lebih ketat dari standar nasional, namun realisasinya sangat tergantung pada kebijakan lokal dan insentif sukarela.
2. Ekosistem Air Tawar
Restorasi sungai dan danau di Eropa banyak dilakukan melalui rekayasa morfologi (misal, pembuatan tebing ramah lingkungan). Meski ada perbaikan, dampak ekologisnya tidak selalu langsung terlihat. Di Belanda, misalnya, meski investasi besar pada rekayasa sungai, hanya sebagian kecil badan air yang mencapai status ekologi “baik”.
3. Air Rekreasi Perkotaan
Studi di Amsterdam dan Rotterdam menunjukkan bahwa upaya membuka lokasi mandi air tawar di kota menghadapi tantangan ganda: polusi mikrobiologis dan kimia, serta keamanan fisik. Wawancara dengan 19 pemangku kepentingan menunjukkan bahwa keberhasilan sangat bergantung pada koordinasi antarinstansi, keterlibatan masyarakat, dan kejelasan pembagian tanggung jawab.
Angka-Angka Kunci dan Temuan Empiris
Analisis Kritis: Apa yang Menghambat Efektivitas?
1. Data dan Monitoring
Kurangnya data yang dapat dibandingkan antarwilayah menjadi kendala besar. Monitoring sering tidak memadai untuk mengidentifikasi sumber polusi secara spesifik, sehingga intervensi cenderung generik dan tidak tepat sasaran.
2. Ambiguitas Peran dan Tanggung Jawab
Banyak kasus menunjukkan tumpang tindih atau kekosongan tanggung jawab antarinstansi. Misalnya, dalam pengelolaan air rekreasi, siapa yang bertanggung jawab atas keamanan dan kualitas air sering tidak jelas, terutama ketika melibatkan pemerintah lokal, otoritas air regional, dan swasta.
3. Keterbatasan Hukum dan Politik
Implementasi WFD sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Di Belanda, misalnya, ada keputusan politik untuk tidak membebani sektor pertanian dengan biaya tambahan untuk memenuhi WFD, meski secara hukum seharusnya ada prinsip “polluter pays”.
4. Partisipasi Stakeholder: Antara Legitimasi dan Efektivitas
Partisipasi masyarakat dan stakeholder sering dianggap “baik secara normatif”, namun tidak selalu efektif. Banyak proses partisipatif berakhir pada kompromi yang menurunkan ambisi ekologi demi kepentingan ekonomi atau politik.
Pelajaran dari Studi Kasus dan Literatur
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
Kritik dan Nilai Tambah
Disertasi Wuijts menonjol dalam mengidentifikasi bahwa tidak ada “one size fits all” dalam tata kelola kualitas air. Pendekatan multidisipliner dan analisis interaksi antar-perspektif menjadi kekuatan utama karya ini. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi di lapangan: bagaimana mengubah temuan akademik menjadi kebijakan konkret di tengah keterbatasan politik, ekonomi, dan kapasitas institusi.
Dibandingkan dengan literatur lain, Wuijts lebih menekankan pentingnya fase realisasi (bukan hanya perencanaan), serta perlunya evaluasi berkelanjutan dan adaptasi kebijakan. Ini sejalan dengan tren global yang menuntut tata kelola air yang lebih responsif, adaptif, dan kolaboratif.
Relevansi Global dan Tren Industri
Menuju Tata Kelola Kualitas Air yang Efektif dan Berkelanjutan
Disertasi ini menegaskan bahwa efektivitas tata kelola kualitas air hanya bisa dicapai jika perspektif ekologi, hukum, dan sosial-ekonomi diselaraskan secara sistemik. Konektivitas antaraktor, fleksibilitas hukum, monitoring berbasis data, dan partisipasi bermakna adalah kunci keberhasilan. Tanpa perbaikan mendasar pada aspek-aspek ini, target ambisius seperti WFD dan SDG 6 akan sulit tercapai. Studi Wuijts menjadi referensi penting bagi siapa pun yang ingin memahami dan memperbaiki tata kelola kualitas air di era kompleksitas dan ketidakpastian.
Sumber Artikel Asli
Susanne Wuijts, 2020. Towards more effective water quality governance: Improving the alignment of social-economic, legal and ecological perspectives to achieve water quality ambitions in practice. Proefschrift Universiteit Utrecht.
Keamanan Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Air dan Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan
Dalam dua dekade terakhir, konsep water security atau keamanan air menjadi pusat perhatian dunia sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan. Namun, makna dan cakupan keamanan air sangat beragam, tergantung perspektif dan konteks. Artikel review oleh Marcal dkk. (2021) menawarkan ulasan komprehensif tentang definisi, kerangka penilaian, indikator, dan aksi nyata untuk meningkatkan keamanan air di berbagai skala. Dengan pendekatan multidisipliner dan fokus pada relevansi kebijakan, paper ini menjadi referensi penting bagi peneliti, pembuat kebijakan, dan pelaku industri air di era perubahan iklim dan urbanisasi pesat1.
Definisi Keamanan Air: Dinamis, Multidimensi, dan Kontekstual
Evolusi dan Keragaman Definisi
Keamanan air pertama kali diangkat sebagai isu kebijakan global pada World Water Forum 2000. Sejak itu, berbagai definisi muncul dari lembaga internasional seperti Global Water Partnership, UN-Water, UNESCO, dan OECD. Definisi-definisi ini menyoroti dimensi yang berbeda: ketersediaan air, kualitas, akses, risiko bencana, ekosistem, dan pembangunan ekonomi. Konsensus global sulit dicapai karena setiap definisi menyesuaikan skala, tujuan, dan konteks lokal1.
Marcal dkk. merekomendasikan penggunaan definisi UN-Water yang holistik: keamanan air adalah “kapasitas masyarakat untuk memastikan akses berkelanjutan terhadap air dalam jumlah dan kualitas yang memadai, melindungi dari risiko air (banjir, kekeringan, polusi), menjaga ekosistem, serta mendukung pembangunan ekonomi dan sosial.” Meski komprehensif, definisi ini sulit dioperasionalkan tanpa kerangka dan indikator yang jelas.
Mengapa Keamanan Air Penting?
Studi Kasus dan Tantangan Regional
1. Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA)
Sebanyak 12 dari 17 negara dengan stres air tertinggi berada di MENA, di mana lebih dari 80% air permukaan diambil untuk pertanian, industri, dan kota. Negara-negara seperti Yordania menghadapi tantangan tambahan akibat pertumbuhan penduduk, pengungsi, dan sabotase infrastruktur air. Solusi inovatif seperti daur ulang air limbah dan efisiensi penggunaan air menjadi kunci, namun tantangan politik dan keamanan tetap besar1.
2. Amerika Selatan dan Sao Paulo, Brasil
Meski Brasil dikenal sebagai negara dengan cadangan air melimpah, kota Sao Paulo mengalami krisis air terparah pada 2014—akibat kombinasi perubahan iklim, deforestasi, dan tata kelola yang lemah. Krisis ini menunjukkan bahwa kelimpahan air secara nasional tidak menjamin keamanan air di tingkat kota jika tata kelola dan infrastruktur tidak adaptif1.
3. Amerika Serikat
AS, negara dengan sumber daya alam dan ekonomi besar, tetap rentan terhadap bencana air. Dalam 20 tahun terakhir, 90% bencana alam di dunia berhubungan dengan air. Badai, banjir, dan kekeringan menyebabkan kerugian ekonomi besar dan mengancam ketahanan pangan serta energi1.
4. Urbanisasi di Afrika
Urbanisasi pesat di Afrika memicu migrasi dari desa ke kota, memperburuk ketimpangan akses air dan sanitasi. Banyak kota besar menghadapi stres air, polusi, dan infrastruktur yang tidak memadai, memicu studi tentang keamanan air di skala rumah tangga dan komunitas1.
Kerangka Penilaian Keamanan Air: Skala, Pendekatan, dan Indikator
Skala Penilaian
Pendekatan dan Metodologi
Indikator dan Dimensi
Indikator keamanan air sangat beragam dan biasanya dikelompokkan dalam empat dimensi utama menurut UN-Water:
Indikator-indikator ini sering dihubungkan dengan SDGs, khususnya SDG 6 (air bersih dan sanitasi), SDG 3 (kesehatan), SDG 8 (pertumbuhan ekonomi), SDG 13 (iklim), dan SDG 1 (pengentasan kemiskinan).
Dari Penilaian ke Aksi: Solusi dan Inovasi
Aksi Kunci untuk Meningkatkan Keamanan Air
Studi Kasus Aksi Nyata
Analisis Kritis dan Opini
Kekuatan Paper
Kritik dan Tantangan
Relevansi Industri dan Kebijakan
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
Menuju Keamanan Air yang Adaptif dan Berkelanjutan
Paper Marcal dkk. (2021) menegaskan bahwa keamanan air adalah konsep dinamis, multidimensi, dan sangat kontekstual. Penilaian dan aksi nyata harus terintegrasi, adaptif, dan berbasis data. Inovasi, kolaborasi, dan kebijakan yang inklusif adalah kunci untuk memastikan air tetap menjadi fondasi kesejahteraan, ekonomi, dan ekosistem di masa depan. Keamanan air bukan hanya target teknis, tetapi agenda sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus dijalankan bersama.
Sumber Artikel Asli
Marcal, J., Antizar-Ladislao, B., & Hofman, J. (2021). Addressing Water Security: An Overview. Sustainability, 13(24), 13702.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Air sebagai Medium Utama Dampak Perubahan Iklim
Dalam konteks perubahan iklim global, air adalah medium utama di mana dampak paling awal dan nyata dirasakan oleh manusia, ekosistem, dan ekonomi. Paper ini menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya air harus menjadi fokus utama adaptasi perubahan iklim, karena air adalah bagian dari masalah sekaligus solusi. Melalui ulasan multidisipliner, Sadoff dan Muller menawarkan kerangka konseptual dan respons kebijakan yang relevan untuk negara berkembang maupun maju, dengan menyoroti pentingnya investasi pada tiga pilar: informasi, institusi, dan infrastruktur.
Mengapa Air dan Keamanan Air Semakin Sentral?
Air dan Adaptasi: Framing the Issue
Perubahan iklim memengaruhi pola curah hujan, aliran sungai, recharge air tanah, dan kualitas air. Dampak ini memperbesar ketidakpastian, meningkatkan risiko banjir, kekeringan, penyakit, dan kelangkaan air. IPCC menegaskan bahwa bahkan jika mitigasi berhasil, adaptasi tetap wajib dilakukan karena perubahan iklim sudah menjadi realitas. Air menjadi “leverage point”—perubahan suhu kecil bisa mengubah debit sungai 10–40% di beberapa wilayah dan menurunkan 10–30% di wilayah lain.
Krisis air bukan hanya soal kekurangan, tapi juga kelebihan (banjir) dan kualitas (polusi, salinisasi). Negara-negara dengan variabilitas hidrologi tinggi, seperti Ethiopia, Kenya, atau negara-negara Sahel, sangat rentan: satu musim kering saja bisa memangkas pertumbuhan ekonomi tahunan hingga 10% dan menurunkan PDB hingga 38% dalam 12 tahun. Di Asia, banjir ekstrem seperti di Mumbai (2005) dan Bangladesh (2007) menyebabkan ribuan korban jiwa dan kerugian ekonomi besar.
Studi Kasus: Ethiopia, Andes, dan Lesotho Highlands
1. Ethiopia – Variabilitas Hujan dan Pertumbuhan Ekonomi
Ekonomi Ethiopia sangat sensitif terhadap fluktuasi curah hujan. Satu musim kering dalam 12 tahun bisa memangkas pertumbuhan ekonomi rata-rata 10%. Kapasitas penyimpanan air Ethiopia kurang dari 1% dibanding Amerika Utara, sehingga negara ini sangat rentan terhadap gagal panen dan kemiskinan siklikal. Model ekonomi menunjukkan variabilitas hidrologi bisa menurunkan potensi pertumbuhan PDB hingga 38%—dampak yang berlipat jika tidak diatasi dengan infrastruktur dan institusi yang kuat.
2. Andes (Chile–Argentina) – Dampak Pencairan Salju dan Gletser
Di Andes, 80% ketersediaan air untuk pertanian dan kota berasal dari salju dan gletser. Model iklim memproyeksikan kenaikan suhu hingga 4°C dan penurunan curah hujan 15% di beberapa wilayah pada akhir abad ke-21. Simulasi menunjukkan kenaikan suhu 3°C saja bisa menggandakan debit sungai di musim dingin, namun mengurangi debit musim panas hingga 30%. Jika penurunan curah hujan juga terjadi, debit musim panas bisa turun lebih dari 50%. Dampak ini mengancam 1,3 juta hektar pertanian di Chile dan 400.000 hektar di Argentina, serta keamanan air kota besar seperti Santiago.
3. Lesotho Highlands Water Project – Investasi Adaptasi di Tengah Ketidakpastian
Kasus investasi air untuk Johannesburg, Afrika Selatan, menyoroti dilema adaptasi: memilih antara memperluas proyek Lesotho Highlands (memanfaatkan gravitasi, rendah emisi) atau mengambil air dari sungai di timur (lebih mahal dan intensif energi). Keputusan akhirnya memilih Lesotho karena lebih rendah emisi dan ada manfaat regional, meski prediksi iklim masih penuh ketidakpastian. Studi ini menekankan perlunya desain infrastruktur yang tahan berbagai skenario iklim, bukan hanya mengandalkan prediksi model.
Kerangka Adaptasi: Tiga Pilar Investasi (3I) dan Tiga Tujuan (3E)
1. Informasi
Pengelolaan air adaptif membutuhkan data hidrologi yang akurat dan sistem monitoring yang kuat. Namun, sejak 1992, banyak negara mengalami kemunduran data hidrologi akibat pemotongan anggaran dan konflik. Data global tentang debit sungai, kualitas air, dan recharge air tanah kini banyak yang sudah usang (>30 tahun). Tanpa data, kebijakan adaptasi menjadi spekulatif dan rentan gagal.
2. Institusi
Institusi yang kuat diperlukan untuk mengelola ketidakpastian, mengintegrasikan stakeholder lintas sektor, dan menghubungkan pengambilan keputusan dari tingkat lokal hingga nasional. Kelemahan institusi membuat masyarakat dan negara lebih rentan terhadap variabilitas air, seperti terlihat di Ethiopia dan banyak negara berkembang.
3. Infrastruktur
Infrastruktur fisik (bendungan, jaringan distribusi, pengolahan limbah) sangat penting, namun harus seimbang dengan investasi “soft” seperti penguatan institusi dan informasi. Banyak negara miskin kekurangan kapasitas penyimpanan air, sehingga sangat rentan terhadap kekeringan dan banjir. Namun, pembangunan infrastruktur besar juga harus memperhatikan risiko sosial dan lingkungan, seperti relokasi penduduk dan dampak ekosistem.
Tiga Tujuan (3E): Equity, Environment, Economics
Adaptasi air harus menyeimbangkan keadilan sosial (equity), perlindungan lingkungan (environment), dan pertumbuhan ekonomi (economics). Trade-off antara ketiganya tidak bisa dihindari; seni adaptasi adalah menemukan kombinasi investasi 3I yang optimal untuk mencapai keseimbangan 3E.
Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kunci
1. Pertanian
Pertanian adalah sektor terbesar pengguna air (hingga 70% pengambilan global). Di sub-Sahara Afrika, skenario terburuk bisa menurunkan pendapatan pertanian hingga 90% pada 2100 tanpa adaptasi. Di sisi lain, investasi pada irigasi, efisiensi air, dan diversifikasi tanaman bisa mengurangi risiko. Namun, petani kecil paling rentan karena minim akses asuransi, teknologi, dan data iklim.
2. Energi dan Hidroelektrik
Hidropower adalah sumber energi terbarukan terbesar dunia, namun sangat rentan terhadap fluktuasi debit air. Di Uganda, Malawi, dan Kenya, kekeringan ekstrem menyebabkan pemadaman listrik massal dan lonjakan tarif karena harus beralih ke pembangkit berbasis minyak. Di China, biaya relokasi dan mitigasi lingkungan pada proyek Three Gorges lebih tinggi dari biaya konstruksi dam itu sendiri.
3. Kota dan Industri
Urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi meningkatkan permintaan air kota dan industri. Di negara berkembang, 80% penduduk urban hidup di kota dengan infrastruktur air yang rapuh. Perubahan pola curah hujan dan banjir memperbesar biaya penyediaan air bersih, pengolahan limbah, dan perlindungan infrastruktur. Di Afrika dan Asia, populasi urban diprediksi naik dua kali lipat antara 2000–2030, memperberat tekanan pada layanan air.
4. Ekosistem dan Lingkungan
Ekosistem air (sungai, rawa, danau) sering jadi korban pertama saat air langka. Di banyak negara, tidak ada mekanisme efektif untuk menjamin “environmental flow” (aliran minimum untuk ekosistem). Kenaikan suhu, perubahan debit, dan polusi mempercepat degradasi biodiversitas dan jasa lingkungan.
Studi Kasus Lanjutan: Kontroversi Dam dan Adaptasi Multi-Sektor
Proyek-proyek besar seperti Mphanda Nkuwa di Mozambik (1.300 MW) dan Three Gorges di China menyoroti pentingnya perencanaan multi-sektor. Di Mozambik, meski risiko hidrologi rendah dan biaya murah, proyek tertunda karena kontroversi lingkungan dan sosial. Di Australia, sistem hak air di Murray-Darling Basin memungkinkan alokasi ulang air ke sektor bernilai tinggi selama kekeringan, menjaga nilai produksi pertanian meski debit turun drastis.
Tantangan Data dan Sains: Kesenjangan Pengetahuan
Salah satu tantangan utama adalah kurangnya data dan model prediksi yang andal. Model iklim global masih belum bisa memprediksi curah hujan dan debit sungai secara presisi di tingkat lokal. Banyak negara, bahkan maju, mengalami penurunan kualitas data hidrologi karena anggaran monitoring dipotong. Tanpa data, keputusan investasi adaptasi menjadi spekulatif dan berisiko.
Dilema Investasi dan Trade-off Adaptasi
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Paper ini sangat kuat dalam menggabungkan analisis sains, ekonomi, dan kebijakan. Studi kasus konkret dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin memperkaya argumen dan memberi pelajaran nyata tentang dilema dan solusi adaptasi air. Namun, tantangan terbesar tetap pada implementasi: lemahnya data, kapasitas institusi, dan fragmentasi kebijakan di banyak negara berkembang. Paper ini juga menyoroti perlunya inovasi pendanaan dan integrasi adaptasi dalam pembangunan nasional, bukan sekadar proyek donor.
Dibandingkan literatur lain, Sadoff dan Muller lebih menekankan pentingnya investasi jangka panjang pada sistem dan kapasitas nasional, serta perlunya solusi adaptif yang berbasis data dan kolaborasi lintas sektor-negara.
Relevansi Global dan Tren Industri
Adaptasi Air sebagai Fondasi Ketahanan Masa Depan
Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan adaptasi perubahan iklim sangat bergantung pada pengelolaan air yang adaptif, berbasis data, dan kolaboratif. Investasi pada informasi, institusi, dan infrastruktur harus seimbang, dengan kebijakan yang menyeimbangkan keadilan, lingkungan, dan ekonomi. Tanpa reformasi mendasar, negara berkembang akan semakin rentan terhadap siklus krisis air, kemiskinan, dan konflik. Namun, dengan strategi yang tepat, air bisa menjadi fondasi ketahanan, pertumbuhan, dan keberlanjutan di era perubahan iklim.
Sumber Artikel Asli
Claudia Sadoff and Mike Muller. Water Management, Water Security and Climate Change Adaptation: Early Impacts and Essential Responses. Global Water Partnership Technical Committee (TEC) Background Papers No. 14, 2009.