Teknologi & Inovasi

Saat Teknologi 'Cerdas' Justru Terasa Bodoh: Pelajaran dari Ghana Tentang Inovasi yang Sesungguhnya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 15 Oktober 2025


Saat Teknologi "Cerdas" Justru Terasa Bodoh

Beberapa malam yang lalu, saya mendapati diri saya berdiri di tengah ruang tamu, berdebat dengan lampu. Ya, lampu. Lampu "pintar" yang seharusnya bisa saya kendalikan dengan suara, tapi malam itu ia memutuskan untuk mogok kerja. Saya mencoba mematikan dan menyalakan kembali, me-reset koneksi Wi-Fi, bahkan membisikkan kata-kata manis—semuanya sia-sia. Di momen frustrasi itulah sebuah ironi menghantam saya: teknologi yang dirancang untuk membuat hidup lebih mudah sering kali justru menambah lapisan kerumitan yang tidak terduga.

Frustrasi kecil dengan lampu pintar ini adalah miniatur dari sebuah tantangan yang jauh lebih besar. Jika satu perangkat saja bisa begitu merepotkan, bayangkan kerumitan mengelola seluruh bangunan yang "pintar". Kita tidak lagi berbicara tentang satu lampu, tapi tentang sebuah ekosistem. Smart Building Technology (SBT) atau Teknologi Gedung Cerdas bukanlah sekadar gedung yang dijejali gadget. Bayangkan ia sebagai sebuah organisme hidup dengan sistem saraf pusatnya sendiri. Ia memiliki sensor untuk "merasakan" suhu, cahaya, dan pergerakan; sistem otomatisasi untuk "merespons" kebutuhan penghuninya; dan kemampuan analisis data untuk "belajar" dan beradaptasi demi efisiensi energi, kenyamanan, dan keamanan yang maksimal.  

Konsep ini terdengar seperti utopia dari masa depan. Namun, mengapa masa depan ini terasa begitu lambat datangnya, terutama di tempat-tempat yang paling membutuhkannya?

Beberapa minggu lalu, saya menemukan sebuah jurnal penelitian yang terasa seperti membaca cerita detektif. Judulnya “Assessing the Level of Awareness of Smart Building Technologies (SBTs) in the Developing Countries”. Lokasinya di Ghana, sebuah negara di Afrika Barat yang sedang mengalami ledakan konstruksi. Misterinya adalah: mengapa teknologi yang begitu menjanjikan ini seolah membentur tembok tak kasat mata? Paper ini tidak hanya memberikan jawaban, tapi juga membongkar asumsi-asumsi keliru yang selama ini kita pegang tentang inovasi dan perubahan.

Sebuah Perjalanan ke Ghana (Lewat Selembar Jurnal)

Misteri Kesadaran Rendah di Tengah Kebutuhan Mendesak

Untuk memahami mengapa studi ini begitu penting, kita perlu melihat konteksnya. Negara-negara berkembang seperti Ghana sedang membangun dengan kecepatan luar biasa. Gedung-gedung baru bermunculan di mana-mana, memberikan tekanan hebat pada jaringan listrik dan sumber daya energi lainnya. Dalam situasi seperti ini, SBT bukan lagi sebuah kemewahan, melainkan sebuah kebutuhan mendesak. Gedung yang bisa mengurangi konsumsi energinya sendiri, memprediksi kapan perlu perawatan, dan berkontribusi pada pengurangan emisi CO2​ adalah sebuah solusi yang sangat relevan.  

Logikanya, para profesional di industri konstruksi Ghana—arsitek, insinyur, manajer proyek—seharusnya menjadi yang paling antusias menyambut teknologi ini. Namun, inilah temuan pertama yang mengejutkan dari penelitian tersebut: dari 227 profesional yang disurvei, tingkat kesadaran mereka terhadap SBT secara umum ditemukan "rendah rata-rata" (averagely low).  

Tapi apa sebenarnya arti "kesadaran rendah" itu? Di sinilah data dari para peneliti menjadi begitu hidup dan bercerita. Bayangkan Anda seorang manajer proyek di Accra, ibu kota Ghana. Anda melihat kota tumbuh di sekitar Anda setiap hari. Anda tahu betul soal pemadaman listrik bergilir dan tagihan energi yang membengkak. Anda mungkin pernah mendengar istilah "Smart Building", tapi apa artinya dalam praktik sehari-hari di proyek Anda?

Penelitian ini membedah "kesadaran" menjadi beberapa lapisan, dan hasilnya sangat menarik:

  • Hampir semua orang pernah mendengarnya. Sebanyak 202 dari 227 responden (sekitar 89%) menjawab "Ya" saat ditanya apakah mereka pernah mendengar tentang Smart Building. Ini seperti tahu judul film yang sedang populer tapi belum pernah menontonnya. Mereka tahu istilahnya, tapi tidak lebih dari itu.  

  • Namun, pemahaman praktisnya minim. Ketika pertanyaan didalami, gambaran mulai retak. Hanya sekitar separuh (118 dari 227) yang tahu aplikasi dari SBT, dan lebih sedikit lagi (103 dari 227) yang paham cara kerjanya secara teknis. Ada jurang besar antara "tahu nama" dan "tahu cara".  

  • Aspirasi mengalahkan kapabilitas. Inilah bagian yang paling krusial. Meskipun tidak tahu detail teknisnya, mayoritas besar responden percaya bahwa implementasi SBT akan menguntungkan (164 dari 227) dan merasa ada kebutuhan mendesak untuk SBT di Ghana (183 dari 227).  

Data ini mengungkap sebuah paradoks yang kuat: para profesional ini tidak menolak perubahan. Sebaliknya, mereka menginginkannya. Mereka melihat potensinya dan merasakan kebutuhannya. Masalahnya bukan pada motivasi, melainkan pada kapabilitas. Mereka antusias, tetapi tidak diperlengkapi dengan pengetahuan yang memadai. Ini bukan masalah "mengapa" kita harus berubah, tetapi masalah "bagaimana" caranya.

Inilah Dua Kunci yang Sebenarnya (dan Satu yang Kita Salah Sangka)

Bukan Peraturan Pemerintah, Tapi Pengetahuan Pribadi yang Menggerakkan Roda Perubahan

Jika para profesional ini sudah ingin berubah, lantas apa yang sebenarnya menahan mereka? Apa tuas yang perlu ditarik untuk membuka potensi ini? Para peneliti menguji tiga "tersangka" utama yang diduga memengaruhi tingkat kesadaran: konteks organisasi (adanya program pelatihan), lingkungan (peraturan dan kebijakan pemerintah), dan faktor individu (pengetahuan yang dimiliki).  

Kita sering kali berpikir bahwa perubahan besar dalam industri membutuhkan dorongan dari atas—peraturan pemerintah yang memaksa, insentif pajak, atau standar bangunan yang baru. Itulah asumsi konvensional. Namun, hasil analisis statistik dari penelitian ini memberikan sebuah kejutan yang meruntuhkan asumsi tersebut.

Setelah data dari 227 responden diolah melalui analisis regresi berganda, dua faktor terbukti memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik: "program pelatihan" yang disediakan oleh organisasi dan "pengetahuan individu" dari para profesional itu sendiri. Dalam bahasa statistik, signifikansi diukur dengan p-value. Nilai di bawah 0.05 menunjukkan adanya hubungan nyata yang bukan sekadar kebetulan. Program pelatihan (p=0.032) dan pengetahuan individu (p=0.021) lolos tes ini dengan gemilang.  

Lalu, bagaimana dengan "tersangka" ketiga, yaitu peraturan pemerintah? Inilah pukulan telak bagi pemikiran konvensional: faktor ini ternyata tidak signifikan secara statistik (p=0.096).  

Mari kita jeda sejenak untuk meresapi implikasinya. Studi ini menunjukkan bahwa di lapangan, perubahan tidak menunggu instruksi dari istana negara. Perubahan lahir di ruang-ruang seminar, di sesi-sesi pelatihan internal perusahaan, dan di dalam benak setiap insinyur yang proaktif mencari tahu hal baru.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Perubahan tidak datang dari undang-undang, tapi dari ruang kelas dan rasa ingin tahu pribadi. Pelatihan terstruktur dan inisiatif belajar mandiri adalah pendorong paling signifikan untuk meningkatkan kesadaran akan teknologi baru.

  • 🧠 Inovasinya: Studi ini membuktikan bahwa perubahan datang dari bawah (individu) dan tengah (organisasi), bukan melulu dari atas (pemerintah). Ini adalah sebuah pesan pemberdayaan bagi setiap praktisi di lapangan. Anda tidak perlu menunggu, Anda bisa memulai.

  • 💡 Pelajaran Penting: Jangan terjebak dalam penantian akan kebijakan besar. Kekuatan untuk berinovasi sudah ada di tangan para profesional dan perusahaan yang berani berinvestasi pada aset terpenting mereka: sumber daya manusia.

Temuan ini menyiratkan sebuah model inovasi yang terdesentralisasi. Agensi atau kekuatan untuk berubah diletakkan langsung di tangan individu dan organisasi mereka. Ini menunjukkan bahwa budaya perusahaan yang mendukung pembelajaran dan proaktivitas individu bisa jadi merupakan pendorong adopsi teknologi yang lebih kuat daripada kebijakan nasional. Alih-alih menulis peraturan, mungkin peran pemerintah yang paling efektif adalah memfasilitasi dan memberi insentif bagi perusahaan untuk mengadakan pelatihan dan bagi individu untuk terus belajar.

Apa yang Tidak Diceritakan oleh Angka-Angka Ini?

Apa yang saya sukai dari paper ini adalah fokusnya yang tajam dan pragmatis. Alih-alih berspekulasi tentang masa depan, para peneliti turun ke lapangan, bertanya langsung kepada 227 profesional, dan membiarkan data yang berbicara. Ini adalah bukti empiris yang solid, bukan sekadar opini.  

Namun, jika ada satu hal yang membuat saya penasaran, itu adalah batasan dari siapa yang mereka tanyai. Studi ini berfokus pada tim desain dan manajer proyek—otak di balik setiap konstruksi. Ini adalah perspektif yang sangat penting, tentu saja. Tapi, bagaimana dengan para pekerja di lokasi proyek? Para teknisi yang nantinya akan memasang dan memelihara sensor-sensor canggih ini? Apakah kesadaran di tingkat implementasi memiliki dinamika yang berbeda? Studi ini, dengan segala kehebatannya, membuat saya lapar akan riset lanjutan yang menyelami lapisan-lapisan lain dari industri ini.  

Meskipun studi ini berlatar di Ghana, para peneliti sendiri menyatakan bahwa temuannya dapat menjadi pelajaran bagi negara berkembang lainnya. Gema dari temuan ini terasa begitu kuat di sini, di Indonesia. Kita juga menyaksikan ledakan konstruksi, merasakan tekanan pada pasokan energi, dan terus-menerus berbicara tentang smart city. Pertanyaannya menjadi relevan untuk kita: apakah kita juga mengalami kesenjangan yang sama antara aspirasi yang tinggi dan kapabilitas yang masih perlu diasah?  

Dari Jurnal ke Tindakan Nyata di Meja Kerja Anda

Sebuah penelitian yang hebat tidak hanya memberikan wawasan, tetapi juga menginspirasi tindakan. Berikut adalah tiga langkah praktis yang bisa kita ambil hari ini, terinspirasi dari pelajaran di Ghana.

1. Untuk Anda sebagai Profesional Individu

Paper ini adalah panggilan untuk bertindak bagi setiap dari kita. Jangan menunggu perusahaan mengadakan pelatihan wajib atau pemerintah mengeluarkan peraturan baru. Rasa ingin tahu Anda adalah aset terbesar Anda. Mulailah dari hal kecil: baca artikel, tonton video tentang Building Automation Systems (BAS), atau ikuti webinar tentang Internet of Things (IoT) dalam konstruksi. Jika Anda serius ingin meningkatkan permainan Anda, pertimbangkan untuk mengambil kursus yang relevan. Tingkatkan pengetahuan Anda tentang teknologi konstruksi dan manajemen proyek melalui. Ingat, temuan studi ini jelas: "pengetahuan individu" adalah salah satu dari dua pendorong utama perubahan.

2. Untuk Anda sebagai Pemimpin Perusahaan atau Manajer

Bagi para pemimpin, pesan dari Ghana ini sangat jelas: program pelatihan Anda bukanlah pos pengeluaran, melainkan investasi dengan ROI tertinggi dalam inovasi. Mendorong Continuous Professional Development (CPD) atau Pengembangan Profesional Berkelanjutan, seperti yang disarankan oleh paper ini , akan membangun kapabilitas internal yang tidak bisa dibeli dari luar. Ciptakan budaya di mana bertanya dihargai, belajar dirayakan, dan kegagalan dalam bereksperimen dilihat sebagai bagian dari proses. Perusahaan Anda hanya bisa menjadi "pintar" jika orang-orang di dalamnya terus belajar.  

3. Untuk Kita Semua sebagai Warga Digital

Pada akhirnya, gedung "pintar" dibangun oleh manusia yang "sadar". Kesadaran, seperti yang ditunjukkan studi ini, dimulai dari pengetahuan. Baik Anda bekerja di industri konstruksi atau tidak, pelajaran ini bersifat universal. Masa depan tidak terjadi begitu saja; ia dibangun oleh individu dan tim yang secara sadar memilih untuk mempelajari alat-alat baru, memahami implikasinya, dan berani menerapkannya.

Masa Depan Dimulai dari Keingintahuan Anda

Kita sering melihat teknologi sebagai kekuatan eksternal yang datang dari atas—sebuah gelombang besar yang mau tidak mau akan menerpa kita. Studi dari Ghana ini membalikkan narasi itu. Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati untuk adopsi teknologi terletak di dalam diri kita—dalam pengetahuan seorang insinyur, dalam program pelatihan sebuah perusahaan, dalam rasa ingin tahu kita semua.

Gedung-gedung di masa depan mungkin akan penuh dengan sensor dan algoritma, tetapi fondasinya tetaplah manusia. Manusia yang belajar, beradaptasi, dan berani mengambil langkah pertama, bahkan ketika jalannya belum sepenuhnya jelas.

Tulisan ini hanya menggores permukaan dari kekayaan data dan analisis dalam penelitian ini. Kalau Anda tertarik dengan metodologi lengkap, rincian statistik, dan argumen para peneliti secara utuh, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.1108/JEDT-11-2020-0465)

Selengkapnya
Saat Teknologi 'Cerdas' Justru Terasa Bodoh: Pelajaran dari Ghana Tentang Inovasi yang Sesungguhnya

Karier & Pengembangan Diri

Nyaris Celaka di Meja Kerja, Saya Belajar 52 Cara Mencegah Bencana dari Sebuah Paper Ilmiah

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 15 Oktober 2025


Kecelakaan yang Nyaris Terjadi di Meja Kerja Saya

Pagi ini, saya hampir celaka di meja kerja sendiri. Bukan karena mesin berat atau bahan kimia berbahaya, tapi karena kabel charger laptop yang menjuntai. Sambil buru-buru bangkit untuk mengambil kopi, kaki saya tersangkut. Selama sepersekian detik, dunia saya miring. Cangkir kopi di tangan saya terlempar, untungnya ke arah yang aman, dan saya berhasil menyeimbangkan diri sebelum jatuh menimpa tumpukan buku. Jantung saya berdebar kencang.

Itu adalah insiden kecil, sebuah gangguan yang mudah dilupakan. Tapi setelah adrenalin mereda, saya duduk dan menatap "sarang ular" di bawah meja saya: kabel monitor, charger ponsel, lampu meja, dan extension cord yang sudah bekerja keras. Saya sadar, di ruang kerja yang seharusnya paling aman ini, saya telah mengabaikan sebuah risiko yang sangat jelas.

Kejadian sepele itu memicu sebuah pertanyaan di benak saya: jika saya bisa begitu buta terhadap bahaya di lingkungan saya yang terkendali, bahaya apa saja yang tersembunyi di tempat-tempat di mana taruhannya adalah nyawa?

Rasa penasaran ini membawa saya ke sebuah "lubang kelinci" di internet, dan saya menemukan sebuah paper penelitian yang menarik. Judulnya terdengar teknis: "Identifikasi Bahaya Proses Blasting dan Painting di Perusahaan Fabrikasi Menggunakan Job Hazard Analysis (JHA)". Paper ini, ditulis oleh Arina 'arofatuz Zakiyah dan timnya, pada dasarnya adalah sebuah cerita detektif di sebuah pabrik fabrikasi baja di Surabaya. Para peneliti ini tidak mencari penjahat, melainkan mencari "tersangka" lain: setiap potensi bahaya yang bisa mencelakai pekerja.  

Mereka menggunakan sebuah metode yang disebut Job Hazard Analysis (JHA) untuk memetakan setiap risiko dalam dua proses kerja spesifik: blasting (pembersihan karat dengan semprotan pasir bertekanan tinggi) dan painting (pengecatan industri). Hasilnya? Mereka menemukan 52 potensi bahaya yang berbeda. Angka itu mengejutkan saya dan membuat saya ingin tahu lebih dalam.  

Membedah Sebuah Dunia yang Asing: Perjalanan ke Jantung Pabrik Fabrikasi Baja

Bayangkan sebuah dunia yang jauh dari kantor kita yang nyaman. Sebuah dunia yang didominasi oleh suara bising, percikan api, dan bau tajam bahan kimia. Inilah dunia pabrik fabrikasi baja. Paper ini membawa kita ke dua area spesifik di sana.

Pertama, area blasting. Ini bukan sekadar membersihkan debu. Proses ini adalah badai terkendali, di mana "pasir steel grit dengan angin bertekanan tinggi" ditembakkan ke permukaan baja untuk melucuti karat dan kotoran. Prosesnya sangat keras dan menghasilkan debu yang luar biasa banyak.  

Kedua, area painting. Lupakan kuas cat yang lembut. Di sini, pengecatan adalah proses industrial untuk melindungi baja dari korosi. Pekerja menggunakan cat dan thinner dalam jumlah besar, sering kali dengan metode semprot yang memenuhi udara dengan uap kimia.  

Di tengah lingkungan yang penuh risiko ini, bagaimana para peneliti bisa menemukan 52 bahaya? Mereka menggunakan Job Hazard Analysis (JHA).

Cara terbaik untuk memahami JHA adalah dengan sebuah analogi. Bayangkan Anda sedang menulis resep masakan yang rumit untuk seorang pemula. Dengan JHA, Anda tidak hanya menulis langkah-langkahnya ("potong bawang", "panaskan minyak"), tapi Anda juga bertanya dengan paranoid, "Apa hal terburuk yang bisa terjadi di setiap langkah?"

  • Langkah: Potong bawang. Bahaya: Pisau tajam, bawang licin. Risiko: Jari teriris. Pengendalian: Gunakan talenan yang stabil, pastikan pisau selalu tajam (pisau tumpul lebih berbahaya), dan ajarkan teknik memotong yang benar.

  • Langkah: Panaskan minyak. Bahaya: Minyak panas. Risiko: Terciprat ke kulit atau mata, menyebabkan luka bakar. Pengendalian: Gunakan wajan yang dalam, jangan masukkan bahan basah ke minyak panas, dan sediakan penutup wajan.

Para peneliti di paper ini menerapkan logika "koki paranoid" yang sama ke tujuh tahapan kerja di pabrik, mulai dari saat pekerja mempersiapkan diri di pagi hari hingga saat mereka membersihkan area kerja di sore hari. Mereka memecah setiap proses menjadi bagian-bagian kecil, mengidentifikasi bahaya, dan merekomendasikan cara pengendaliannya. Ini adalah sebuah model berpikir yang sangat kuat untuk menyelesaikan masalah secara proaktif.  

Peta Harta Karun Bahaya: Menemukan 52 Risiko di Tujuh Tahapan Kerja

Saat saya menyelami tabel-tabel hasil penelitian, saya menemukan pola yang menarik. Ke-52 bahaya ini bukan sekadar daftar acak; mereka menceritakan sebuah kisah tentang bagaimana kecelakaan kerja terjadi. Saya mengelompokkannya menjadi tiga tema besar.

Bahaya Bukan Dimulai dari Mesin, Tapi dari Pikiran dan Tubuh Manusia

Hal yang paling mengejutkan dari penelitian ini adalah titik awalnya. Analisis bahaya tidak dimulai dari mesin yang meledak atau tumpahan bahan kimia. Analisis ini dimulai dari dalam diri pekerja itu sendiri. Tabel pertama dalam paper ini didedikasikan sepenuhnya untuk "Persiapan Pekerja".  

Di sini, bahaya yang teridentifikasi bukanlah hal-hal fisik, melainkan kondisi internal:

  • Kesehatan pekerja kurang baik: Risiko yang ditimbulkan adalah pekerja bisa jatuh sakit saat bekerja, yang tentu saja menurunkan konsentrasi dan kewaspadaan.

  • Pekerja kurang mengetahui peraturan K3: Ini adalah resep bencana. Pekerja yang tidak tahu aturannya tidak akan tahu cara melindungi diri sendiri atau rekan kerjanya.

  • Konflik kerja: Ini bukan lagi masalah personal, tapi masalah keselamatan. Konflik bisa menyebabkan "stres kerja," dan pekerja yang stres lebih mungkin melakukan human error—faktor yang disebut sebagai penyebab 80-85% kecelakaan kerja.  

Ini adalah sebuah pengungkapan yang mendalam. Para peneliti secara sadar menempatkan faktor manusia sebagai prioritas pertama. Ini menyiratkan bahwa sistem keselamatan paling canggih sekalipun akan gagal jika manusianya tidak dalam kondisi prima—baik secara fisik maupun mental. Bahaya terbesar sering kali bukanlah mesin yang rusak, melainkan pikiran yang terganggu atau tubuh yang lelah. Ini berarti, budaya kerja yang mendukung kesehatan mental, memberikan pelatihan yang memadai (safety induction, toolbox meeting), dan memastikan pekerja kompeten adalah fondasi dari semua upaya keselamatan.

Drama di Balik Kabel, Selang, dan Lantai yang Berlubang: Ketika Hal Sepele Menjadi Mematikan

Ketika kita membayangkan kecelakaan industri, mungkin yang terlintas adalah ledakan dahsyat. Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar bahaya justru datang dari hal-hal yang "membosankan" dan sering kita anggap remeh.

Saya menemukan bahaya-bahaya ini tersebar di beberapa tabel:

  • Dari persiapan peralatan: "Penempatan kompresor... tidak rata" yang bisa membuatnya terjatuh, atau "Kabel tidak terisolasi" yang berisiko sengatan listrik dan kebakaran.  

  • Dari persiapan lokasi: "Lantai licin dan berlubang" yang bisa membuat pekerja terpeleset atau tersandung, dan "Area kerja kotor" yang bisa menjadi sarang penyakit.  

  • Dari proses housekeeping: "Peralatan berantakan" yang bisa membuat orang tersandung atau terluka.  

Bahaya-bahaya kecil ini bisa memicu efek domino yang mematikan. Bayangkan seorang pekerja berjalan di "lantai licin" sambil membawa peralatan. Ia "terpeleset," lalu terjatuh menimpa "plat baja tajam" yang tergeletak karena "peralatan berantakan." Dalam skenario lain, ia mungkin menyenggol drum berisi "cat/thinner" yang mudah terbakar, menyebabkan kebakaran.

Pola ini mengajarkan kita bahwa disiplin adalah alat keselamatan. Rekomendasi pengendalian yang paling sering muncul dalam paper ini adalah "Penerapan housekeeping yang baik sesuai 5R". Ini bukan sekadar anjuran untuk bersih-bersih. Ini adalah strategi manajemen risiko. Menjaga kerapian, memastikan semua alat berada di tempatnya, dan segera membersihkan tumpahan adalah tindakan pencegahan kecelakaan yang paling fundamental.  

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Dari 52 bahaya, sebagian besar berasal dari hal-hal yang kita anggap sepele, seperti kabel yang berserakan atau lantai yang tidak rata.

  • 🧠 Inovasinya: Pendekatan JHA memaksa kita untuk melihat setiap objek—bukan sebagai alat, tapi sebagai bagian dari sistem yang bisa gagal kapan saja.

  • 💡 Pelajaran: Jangan pernah meremehkan kekuatan dari "kerapian". Disiplin dalam menjaga lingkungan kerja adalah bentuk pencegahan kecelakaan paling mendasar.

Di Dalam Badai Pasir dan Kabut Cat: Mengurai Risiko yang Tak Terlihat

Tentu saja, ada juga bahaya-bahaya dramatis yang spesifik untuk proses blasting dan painting. Namun, yang paling menarik perhatian saya bukanlah risiko ledakan yang instan, melainkan risiko yang membunuh secara perlahan dan tak terlihat.

Dalam proses blasting, bahaya utamanya adalah "Debu atau pasir steel grit." Risikonya bukan sekadar batuk, tapi "gangguan pernapasan, sesak nafas, iritasi mata, gangguan paru-paru". Paparan terus-menerus terhadap debu silika bisa menyebabkan penyakit paru-paru yang tidak dapat disembuhkan.  

Dalam proses painting, musuh tak terlihatnya adalah "Uap dan bau cat/thinner." Ini bukan hanya soal bau yang menyengat. Risikonya jauh lebih mengerikan: "kanker, gangguan ginjal". Bahan kimia yang terhirup hari ini bisa merusak organ tubuh secara permanen bertahun-tahun kemudian.  

Selain itu, ada juga bahaya "Kebisingan" dari mesin kompresor yang bisa menyebabkan "tuli permanen," dan "Posisi kerja tidak ergonomis" yang menyebabkan "sakit pinggang atau nyeri sendi" kronis.  

Ini mengubah cara saya memandang risiko. Keselamatan bukan hanya tentang mencegah apa yang bisa membunuhmu hari ini, tapi juga tentang mencegah apa yang bisa membunuhmu 20 tahun dari sekarang. Ini menyoroti betapa krusialnya alat pengendalian yang sering tak terlihat: ventilasi yang baik ("pemasangan exhaust fan"), pemantauan lingkungan kerja, dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang tepat, seperti masker respirator berkualitas tinggi.

Apa yang Paling Mengejutkan Saya (dan Sedikit Kritik Halus)

Setelah membaca keseluruhan paper, saya terkejut dengan betapa sederhananya sebagian besar solusi yang diusulkan. Saya mengharapkan rekomendasi tentang robot canggih atau sistem AI yang kompleks. Kenyataannya, solusi yang paling sering diulang adalah: "Pelaksanaan inspeksi K3 secara berkala," "Pastikan pekerja mengikuti prosedur," dan "Penerapan housekeeping yang baik".  

Pelajaran terbesarnya adalah: keunggulan dalam keselamatan (dan mungkin dalam banyak hal lain) tidak datang dari solusi ajaib, melainkan dari eksekusi yang konsisten dan tanpa henti terhadap hal-hal dasar.

Namun, ada satu hal yang membuat saya berpikir. Meski temuannya hebat dan sangat detail, ada satu pola dalam kolom "Upaya Pengendalian" yang sedikit mengganjal. Hampir setiap bahaya diakhiri dengan rekomendasi "Menggunakan APD" (Alat Pelindung Diri). Tentu, APD itu vital. Tapi dalam hierarki pengendalian risiko yang juga disinggung di paper ini, APD adalah garis pertahanan terakhir, bukan yang pertama. Hirarki ini memprioritaskan solusi dari yang paling efektif ke yang paling tidak efektif: eliminasi (hilangkan bahaya), substitusi (ganti dengan yang lebih aman), rekayasa teknik (pasang pelindung mesin), kontrol administratif (buat prosedur), dan terakhir, APD.

Ketergantungan pada APD mungkin mencerminkan realitas di lapangan—lebih mudah memberikan helm daripada merancang ulang seluruh proses untuk menghilangkan bahaya dari akarnya. Paper ini adalah potret yang jujur, tapi juga pengingat bahwa kita harus selalu menantang diri untuk mencari solusi yang lebih tinggi di piramida pengendalian.

Mencuri Ilmu K3 untuk Kehidupan Sehari-hari

Mungkin Anda berpikir, "Ini semua menarik, tapi saya bekerja di kantor, bukan di pabrik baja." Di sinilah letak keindahan dari JHA. Ini bukan hanya metode untuk K3; ini adalah kerangka berpikir universal untuk mengurangi risiko dalam tugas apa pun.

Bayangkan Anda seorang manajer proyek. Anda bisa menggunakan JHA untuk membedah proyek Anda. Setiap fase adalah "tahapan kerja." Anda bertanya, "Apa yang bisa membuat kita gagal di sini? Ketergantungan pada vendor? Kode yang buggy? Komunikasi yang buruk?" Anda mengidentifikasi risiko dan membuat rencana mitigasi sebelum masalah terjadi.

Bahkan Anda bisa menerapkan JHA mini untuk hari Anda.

  • Tugas: Menulis laporan penting.

  • Potensi Bahaya: Gangguan dari media sosial, kelelahan, kebuntuan ide.

  • Risiko: Laporan terlambat atau berkualitas buruk.

  • Pengendalian: Matikan notifikasi (rekayasa teknik), gunakan teknik Pomodoro (prosedur), siapkan kopi (bahan pendukung).

Kemampuan untuk memecah proses, mengidentifikasi potensi kegagalan, dan secara proaktif mengendalikannya adalah skill fundamental di abad ke-21. Ini bukan hanya tentang keselamatan fisik; ini tentang kompetensi profesional dan efektivitas. Jika Anda tertarik untuk mengasah kemampuan analisis dan manajemen seperti ini dalam konteks profesional yang lebih luas, program-program yang ditawarkan di (https://diklatkerja.com/) bisa menjadi langkah awal yang sangat baik untuk membangun fondasi tersebut.

Kesimpulan: Bekerja Lebih Cerdas dengan Melihat yang Tak Terlihat

Kembali ke meja kerja saya. Kabel yang hampir membuat saya celaka tadi pagi sekarang sudah saya rapikan dengan cable organizer. Sebuah tindakan kecil, sebuah "upaya pengendalian" sederhana.

Paper tentang pabrik baja di Surabaya ini mengajarkan saya sebuah pelajaran berharga. Tanda sejati seorang profesional—baik itu pekerja baja, dokter bedah, atau penulis—bukan hanya kemampuan untuk melakukan tugasnya dengan baik, tetapi juga kemampuan untuk melihat dan menetralkan apa yang bisa salah. Keselamatan bukanlah tentang menghindari pekerjaan; ini tentang menciptakan kondisi di mana pekerjaan yang luar biasa dapat terjadi tanpa rasa takut atau kegagalan.

Penelitian ini memberi kita cetak biru untuk mengembangkan kewaspadaan itu. Ia mengajak kita untuk melihat dunia di sekitar kita dengan mata seorang "detektif bahaya," mencari petunjuk-petunjuk kecil yang bisa mengarah pada masalah besar, dan menyelesaikannya sebelum terjadi.

Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari sebuah penelitian yang padat dan detail. Jika Anda seorang profesional K3, engineer, atau sekadar seorang kutu buku seperti saya yang terpesona oleh metodologi di baliknya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.55123/insologi.v3i2.3422)

Selengkapnya
Nyaris Celaka di Meja Kerja, Saya Belajar 52 Cara Mencegah Bencana dari Sebuah Paper Ilmiah

Kebijakan Konstruksi

Perilaku Aman di Konstruksi: Tantangan, Kebijakan, dan Jalan Menuju “Zero Accident

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Penelitian “Case Studies on the Current Safety Issue and Work Behaviour of Construction Site Workers in Malaysia” (IJAFB, 2020) mengungkap bahwa perilaku manusia (human behaviour) adalah salah satu penyebab utama kecelakaan di sektor konstruksi. Mayoritas insiden disebabkan oleh pelanggaran prosedur keselamatan, kelelahan, atau pengawasan yang lemah.

Untuk Indonesia, konteks ini sangat krusial. Sektor konstruksi menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah, termasuk daerah terpencil. Tekanan target waktu, minimnya sumber daya, dan kebutuhan proyek untuk selesai cepat sering menekan aspek keselamatan. Kebijakan formal saja tidak cukup; harus diiringi dengan perubahan budaya dan sistem yang mempromosikan perilaku aman di lapangan.

Artikel Tindakan Tidak Aman: Faktor Dominan Penyebab Kecelakaan Kerja pada Pekerja Konstruksi menunjukkan bahwa perilaku tidak aman memiliki dampak paling signifikan dibanding faktor seperti umur atau pengalaman kerja. 

Selain itu, artikel Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku: Strategi Menuju Zero Accident di Indonesia menggarisbawahi bahwa teknologi dan perilaku harus berjalan beriringan agar keselamatan menjadi bagian dari budaya proyek. 

Kebijakan publik harus memastikan bahwa regulasi keselamatan kerja bukan hanya kewajiban administratif, melainkan bagian integral dari standar operasional, pengawasan, dan perilaku sehari-hari. Ini mencakup kepemimpinan yang tegas, pelatihan efektif, dan sistem feedback yang mendukung pekerja berbicara tentang bahaya tanpa takut sanksi tidak adil.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak

Ketika perilaku aman dan sistem pengelolaan keselamatan dijalankan dengan baik, dampaknya nyata:

  • Penurunan insiden kecelakaan kerja, terutama yang disebabkan oleh tindakan tidak aman.

  • Peningkatan kepercayaan pekerja terhadap manajemen: pekerja lebih mau melapor jika melihat potensi risiko tanpa takut dihukum secara tidak adil.

  • Efisiensi proyek meningkat – karena kecelakaan menyebabkan waktu jeda, investigasi, dan biaya tambahan, sementara proyek yang “bersih” dari insiden bisa berjalan lebih lancar.

Misalnya, dalam artikel “Meningkatkan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi: Pelajaran dari Praktik di Johor, Malaysia dan Relevansinya bagi Indonesia”, disebut bahwa kontraktor yang konsisten menerapkan budaya keselamatan menurunkan kecelakaan lebih dari 35% dalam beberapa tahun.

Hambatan

Namun di lapangan berbagai hambatan sering muncul:

  • Kurangnya pelatihan & kesadaran pekerja: Banyak pekerja belum mendapat pelatihan K3 yang memadai, atau pelatihan tidak relevan dengan risiko di proyek spesifik.

  • Keterbatasan SDM pengawas dan pemimpin yang bisa memberi contoh perilaku aman, serta komunikator bahaya yang baik.

  • Budget dan prioritas proyek: Proyek terkadang memotong alokasi keselamatan jika terjadi pembengkakan biaya atau tenggat waktu yang mendesak.

  • Budaya organisasi yang lemah dalam hal keselamatan: Keselamatan dianggap sebagai biaya tambahan, bukan bagian dari nilai proyek. Artikel Kecelakaan Masih Marak, Keselamatan Konstruksi Belum Jadi Budaya menyoroti bahwa meskipun regulasi dan SMKK sudah ada, budaya keselamatan belum merata di lapangan. 

  • Perilaku prioritas kebutuhan dasar pekerja: Kadang pekerja mengabaikan APD atau protokol keselamatan karena merasa tidak nyaman atau karena upah tambahan dianggap lebih penting. Artikel Paradoks K3 di Lokasi Konstruksi: Mengapa Pekerja Memprioritaskan Kebutuhan Dasar menjelaskan hal ini. 

Peluang

Meskipun hambatan besar, banyak peluang strategis yang bisa dimanfaatkan:

  • Pelatihan berbasis perilaku dan teknologi: Menggunakan simulasi, virtual reality, dan modul interaktif yang mendekati skenario nyata.

  • Penguatan SMKK / Sistem Manajemen K3: SMKK sebagai landasan formal bisa diperluas dengan audit lapangan rutin dan pengawasan peer-to-peer. Artikel “Mencegah Kecelakaan Kerja Melalui SDM Kompeten Dalam Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi” menggarisbawahi bahwa pelatihan SMKK dapat meningkatkan kompetensi dan kesadaran pekerja. 

  • Komunikasi efektif dan budaya keselamatan: Supaya pekerja merasa aman melapor bahaya dan manajer proaktif mendengarkan kritik dan saran dari lapangan. Artikel “Meningkatkan Keselamatan di Situs Konstruksi: Peran Komunikasi Efektif dan Budaya Keselamatan” melakukan penekanan pada ini.

  • Insentif dan pengakuan bagi praktik keselamatan baik: pengurangan waktu sakit, bonus keselamatan, penghargaan atau prioritas tender.

  • Keterlibatan komunitas dan pekerja lapangan dalam perencanaan K3, termasuk masukan untuk desain lokasi proyek agar risiko perilaku tidak aman bisa dikurangi.

Rekomendasi Kebijakan Praktis

Berdasarkan temuan utama dari studi Malaysia dan bukti dari artikel-artikel lokal Diklatkerja, berikut rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat implementasi K3 di Indonesia:

  1. Pelatihan perilaku pekerja yang spesifik & interaktif
    Pemerintah dan penyedia proyek harus mensyaratkan pelatihan K3 yang menekankan identifikasi risiko spesifik proyek, dialog dua arah antara pekerja dan pengawas, dan pelatihan simulatif. Kurikulum pelatihan harus mencakup bagian mengenai perilaku aman, penggunaan APD, dan mitigasi risiko jatuh. Modul seperti yang dibahas dalam “Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku” bisa dijadikan model. 

  2. Kewajiban sistem manajemen keselamatan proyek (SMKK / OHSMS) dengan audit berkala
    Semua proyek konstruksi, terutama proyek publik, wajib menggunakan SMKK atau OHSMS dengan audit independen dan pengawasan lapangan rutin. Regulasi seperti Permen PUPR yang sudah mengamanatkan SMKK harus diperkuat dengan sanksi dan pelaporan transparan.

  3. Kepemimpinan keselamatan di tingkat manajemen proyek
    Pemimpin proyek dan mandor harus mengikuti pelatihan kepemimpinan K3, karena kepemimpinan moral dan teknis sangat menentukan implementasi perilaku aman. Mereka harus aktif memonitor dan memberi contoh.

  4. Komunikasi K3 efektif dan budaya keselamatan
    Membentuk mekanisme komunikasi dua arah di lapangan: pekerja bisa melaporkan bahaya tanpa takut dampak negatif, manajer mendengarkan dan menindaklanjuti. Kampanye internal proyek, papan skor keselamatan, safety moment, dan umpan balik harian dapat membantu.

  5. Insentif dan sanksi berdasarkan perilaku keselamatan
    Kontraktor yang memiliki catatan “unsafe behavior” rendah dan mematuhi protokol keselamatan diberi insentif (misalnya bonus proyek, kredit dalam tender). Sebaliknya, perusahaan dengan pelanggaran harus menghadapi sanksi administratif atau pengurangan skor tender.

  6. Penyesuaian APD yang nyaman dan sesuai kebutuhan pekerja
    APD harus dipilih dengan memperhatikan kenyamanan, ergonomi, iklim lokal. Jika APD tidak nyaman, pekerja cenderung tidak menggunakannya.

  7. Digitalisasi pengawasan dan pelaporan perilaku tidak aman
    Pemanfaatan aplikasi mobile atau sistem digital untuk pelaporan instan bahaya, pelanggaran SOP, dan near miss. Data ini bisa digunakan dalam audit keamanan proyek.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Meskipun rekomendasi di atas nampak lengkap, ada beberapa risiko kegagalan yang perlu diwaspadai:

  • Komitmen yang lemah dari pihak manajemen: Jika manajemen proyek melihat K3 sebagai beban, pelaksanaannya bisa hanya formalitas.

  • Ketidaksesuaian intervensi dengan kondisi lokal: Proyek di daerah terpencil, iklim tropis, geografis sulit memerlukan pendekatan yang berbeda dengan proyek di kota.

  • Kurangnya SDM terlatih terutama untuk penggunaan teknologi, audit lapangan, dan pelatihan perilaku.

  • Insentif yang tidak jelas atau tidak dijalankan: Jika bonus atau prioritas tender untuk kepatuhan keselamatan tidak dielakkan atau tidak transparan, motivasi bisa hilang.

  • Evaluasi dan pemantauan yang kurang sistematis: Tanpa data yang baik dan pelaporan perilaku tidak aman (unsafe actions) dan near misses, sulit melihat apakah kebijakan berhasil.

Penutup

Studi dari Malaysia mengingatkan kita bahwa perilaku pekerja adalah inti dari masalah kecelakaan di konstruksi regulasi dan protokol hanya akan efektif jika perilaku praktik aman menjadi bagian budaya kerja sehari-hari.

Indonesia memiliki fondasi regulasi K3 dan SMKK, tetapi perlu memperkuat aspek perilaku, pengawasan, pelatihan, dan insentif agar keselamatan jangan hanya jadi formalitas. Melibatkan pekerja dalam komunikasi bahaya, menggunakan teknologi pelaporan, dan memberikan contoh kepemimpinan yang aman adalah kunci.

Visi zero accident construction industry bisa menjadi kenyataan dengan kebijakan yang tidak hanya ditulis, tetapi dihidupi oleh semua pemangku kepentingan: pemerintah, kontraktor, pekerja, dan lembaga pelatihan.

Sumber

Ahmad, N., Rahim, N. A., & Hassan, A. (2020). Case Studies on the Current Safety Issue and Work Behaviour of Construction Site Workers in Malaysia. International Journal of Advanced Financial and Business (IJAFB), Vol. 29(11), 1-14.

Selengkapnya
Perilaku Aman di Konstruksi: Tantangan, Kebijakan, dan Jalan Menuju “Zero Accident

Manajemen & Strategi Bisnis

Saya Hampir Gagal Total, Lalu Sebuah Paper dari Yordania Mengubah Cara Saya Bekerja

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 15 Oktober 2025


Saat Proyek Impian Saya Hampir Karam di Tengah Jalan

Saya ingat betul perasaan itu. Perut melilit, jantung berdebar kencang, dan pikiran kosong. Proyek yang sudah saya siapkan selama enam bulan, yang saya yakini akan menjadi karya terbaik saya, tiba-tiba berada di ambang kehancuran. Semua berjalan sempurna di atas kertas. Tim solid, anggaran disetujui, timeline realistis. Kami merasa tak terkalahkan.

Lalu, badai datang. Tiga hari sebelum peluncuran, vendor utama kami mengabarkan bahwa mereka tidak bisa mengirimkan komponen krusial. Di saat yang sama, salah satu anggota tim kunci harus mengambil cuti darurat karena urusan keluarga. Rencana sempurna kami hancur berkeping-keping. Kepanikan melanda. Kami begadang, menelepon ke sana-sini, dan mencoba menambal lubang di kapal yang bocor deras.

Risiko. Kata itu terdengar begitu korporat, begitu kering. Sesuatu yang dibicarakan dalam rapat dewan direksi sambil menyeruput kopi. Tapi saat itu, saya menyadari risiko bukanlah angka di spreadsheet. Risiko adalah detak jantung yang bertambah cepat saat Anda sadar rencana Anda baru saja meledak. Risiko adalah perasaan tak berdaya ketika sesuatu yang tidak pernah Anda bayangkan terjadi.

Kami berhasil menyelamatkan proyek itu, meski dengan susah payah dan hasil yang jauh dari sempurna. Tapi pengalaman itu meninggalkan bekas. Saya terobsesi dengan satu pertanyaan: Bagaimana caranya agar kita tidak hanya jago memadamkan api, tapi juga mampu membangun struktur yang tahan api sejak awal?

Anehnya, petunjuk terbaik yang saya temukan bukan berasal dari buku bisnis terlaris di Silicon Valley atau seminar motivasi yang mahal. Saya menemukannya di sebuah paper penelitian akademis sepanjang 28 halaman dari Yordania. Dan apa yang saya baca di sana benar-benar mengubah cara saya memandang bisnis, produktivitas, dan bahkan karier saya sendiri.

Mengapa Sebuah Paper dari Yordania Mengubah Cara Saya Melihat Bisnis

Judulnya tidak terdengar seksi: "Factors Affecting Risk Management in Industrial Companies in Jordan". Penulisnya adalah sekelompok akademisi: Nadia Abu Kwaik, Rateb J. Sweis, Baraa Allan, dan Ghaleb Sweis. Mereka tidak mencoba menjual buku atau kursus. Mereka hanya mencoba menjawab satu pertanyaan fundamental: Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, apa yang benar-benar membuat sebuah perusahaan tetap kokoh?  

Konteksnya sangat spesifik. Yordania adalah negara dengan sumber daya alam terbatas. Perekonomiannya sangat bergantung pada sektor industri, yang menyumbang sekitar 24% dari PDB negara itu. Jadi, bagi perusahaan-perusahaan di sana, manajemen risiko bukanlah sekadar latihan teoretis; ini adalah soal bertahan hidup.  

Awalnya saya ragu. Apa relevansinya pabrik di Yordania dengan pekerjaan saya? Tapi semakin saya membaca, saya sadar bahwa prinsip-prinsip yang mereka temukan bersifat universal. Risiko adalah risiko, entah Anda mengelola pabrik baja di Amman, startup teknologi di Jakarta, agensi kreatif di Bali, atau bahkan karier Anda sebagai seorang freelancer.

Yang membuat studi ini begitu kuat adalah metodenya. Para peneliti ini tidak hanya duduk di menara gading dan berteori. Mereka turun ke lapangan. Mereka menyusun kuesioner dan menyebarkannya ke 56 perusahaan industri besar. Mereka berhasil mendapatkan jawaban dari 242 manajer, mulai dari CEO dan dewan direksi hingga manajer departemen di level bawah. Mereka bertanya langsung kepada orang-orang di garis depan: "Menurut Anda, apa faktor terpenting yang menjaga perusahaan ini dari kehancuran?"  

Ini adalah "kebenaran dari lapangan" (ground truth). Ini bukan apa yang seharusnya penting menurut seorang konsultan, tetapi apa yang dirasakan penting oleh orang-orang yang menghadapi ketidakpastian setiap hari. Dan jawaban mereka, setelah diolah secara statistik, menghasilkan sebuah peta harta karun yang mengejutkan.

12 Kunci Rahasia: Peringkat Faktor yang Membuat Perusahaan Tetap Kokoh

Setelah menganalisis semua data, para peneliti mengidentifikasi 12 faktor utama yang memengaruhi manajemen risiko. Tapi yang paling menarik bukanlah daftar itu sendiri, melainkan urutannya. Peringkat ini, bagi saya, seperti cetak biru yang menunjukkan di mana kita seharusnya memfokuskan energi kita untuk membangun ketahanan.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Peringkat ini menunjukkan bahwa fondasi (ukuran perusahaan, kemampuan beradaptasi, dan tata kelola) jauh lebih krusial daripada alat bantu (seperti teknologi) atau proses internal (seperti pelatihan SDM).

  • 🧠 Inovasinya: Ini adalah pandangan holistik. Manajemen risiko bukanlah tugas satu departemen saja. Ia adalah hasil dari 12 elemen yang saling terkait, dari struktur organisasi hingga budaya kepercayaan.  

  • 💡 Pelajaran: Jangan mudah terjebak pada solusi yang sedang tren (misalnya, membeli software terbaru). Fokuslah pada fundamental yang terbukti kokoh dari waktu ke waktu.

Tiga Teratas yang Bikin Saya Melongo: Karakter, Adaptasi, dan... Auditor?

Mari kita bedah tiga faktor teratas, karena di sinilah pelajaran paling berharga tersembunyi.

Peringkat 1: Karakteristik Perusahaan - Ternyata Ukuran Itu Penting

Faktor nomor satu yang dianggap paling penting oleh para manajer adalah "Karakteristik Perusahaan," terutama ukurannya. Paper ini menjelaskan bahwa "perusahaan besar kemungkinan akan mengadopsi manajemen risiko perusahaan karena kebutuhan mereka akan strategi manajemen risiko yang komprehensif".  

Analogi terbaik untuk ini adalah kapal. Bayangkan sebuah kapal pesiar raksasa dan sebuah perahu nelayan kecil. Kapal pesiar (perusahaan besar) memiliki sistem navigasi yang canggih, radar cuaca, puluhan sekoci, dan kru yang terlatih untuk menghadapi badai. Mengapa? Karena ukurannya yang besar dan jumlah penumpang yang banyak memaksanya untuk sangat serius dalam mengelola risiko. Perahu nelayan (bisnis kecil), di sisi lain, mungkin hanya punya kompas dan jaket pelampung.

Ini bukan berarti bisnis kecil pasti akan tenggelam. Tapi ini berarti perusahaan besar, karena kompleksitas dan sumber dayanya, secara alami terdorong untuk membangun sistem manajemen risiko yang lebih kuat. Pelajaran bagi kita? Sadari "ukuran" kapal Anda. Jika Anda masih berupa perahu kecil, jangan mencoba menyeberangi samudra tanpa persiapan. Fokuslah membangun fondasi yang kuat sesuai skala Anda, sebelum bermimpi memiliki radar canggih.

Peringkat 2: Fleksibilitas & Adaptasi - Menjadi Bambu, Bukan Ek

Faktor terpenting kedua adalah "Fleksibilitas dan Adaptasi dalam Lingkungan Ekonomi". Paper ini mengutip bahwa kemampuan perusahaan untuk bertahan dari krisis sangat bergantung pada kelenturan mereka.  

Ini mengingatkan saya pada perumpamaan pohon ek dan bambu saat diterpa badai. Pohon ek, yang tampak begitu kuat, kaku, dan kokoh, justru bisa patah dan tumbang oleh angin yang terlalu kencang. Sementara itu, bambu, yang terlihat lebih rapuh, akan membungkuk mengikuti arah angin, bertahan, dan kembali tegak setelah badai berlalu.

Dalam dunia bisnis, menjadi bambu berarti memiliki kemampuan untuk mengubah model bisnis, menyesuaikan operasi, dan merespons perubahan pasar dengan cepat. Bayangkan sebuah restoran selama pandemi. Restoran yang kaku dan bersikeras hanya melayani dine-in (pohon ek) akan bangkrut. Sementara restoran yang fleksibel, yang dengan cepat beralih ke layanan pengantaran, cloud kitchen, dan menu frozen food (bambu), justru bisa bertahan dan bahkan berkembang. Kemampuan beradaptasi ini, menurut para manajer, adalah pertahanan kedua terbaik melawan ketidakpastian.

Peringkat 3: Kualitas Audit Eksternal - Cermin Jujur dari Luar

Ini adalah salah satu yang paling mengejutkan bagi saya. Peringkat ketiga adalah "Kualitas Audit Eksternal". Mengapa pandangan dari orang luar begitu penting? Paper ini menyatakan bahwa "perusahaan yang menggunakan auditor berkualitas tinggi lebih berkomitmen pada manajemen risiko".  

Seorang auditor eksternal yang baik itu seperti kombinasi antara dokter dan pelatih pribadi. Mereka datang tanpa emosi, tanpa bias internal, dan tugas mereka adalah memberitahu Anda kebenaran yang pahit. Mereka akan menunjukkan di mana "lemak" menumpuk dalam proses Anda, di mana "otot" Anda lemah, dan di mana ada "penyakit" tersembunyi yang tidak Anda sadari.

Memiliki pandangan objektif dari luar ini memaksa perusahaan untuk jujur pada diri sendiri. Sangat mudah untuk terjebak dalam "gelembung" kita sendiri dan merasa semuanya baik-baik saja. Auditor eksternal adalah jarum yang meletuskan gelembung itu. Mereka adalah cermin yang tidak bisa berbohong. Fakta bahwa para manajer menempatkan ini di peringkat ketiga menunjukkan betapa mereka menghargai kebenaran yang tidak terfilter, bahkan jika itu menyakitkan.

Yang Paling Mengejutkan: Ternyata Teknologi Bukan Jawaban Utama

Sekarang, mari kita bicara tentang gajah di dalam ruangan. Di era di mana kita terus-menerus diberitahu bahwa data adalah minyak baru, transformasi digital adalah kunci, dan AI akan mengubah segalanya, di manakah peringkat "Teknologi Informasi"?

Peringkat 12. Paling buncit.  

Saya harus membaca ulang bagian itu beberapa kali. Bagaimana mungkin? Apakah para manajer di Yordania ini anti-teknologi? Saya rasa bukan itu masalahnya. Paper ini tidak mengatakan bahwa IT tidak penting. Sebaliknya, IT disebut berfungsi untuk "meningkatkan efektivitas manajemen risiko" dan "mengumpulkan data historis".  

Perhatikan kata-katanya: "meningkatkan," bukan "menentukan." "Mengumpulkan," bukan "menciptakan." Peran IT di sini adalah sebagai pendukung, bukan sebagai pemeran utama.

Analogi yang paling pas adalah dasbor mobil. Dasbor Anda sangat berguna. Ia memberitahu kecepatan Anda, sisa bensin, suhu mesin. Tapi dasbor tidak bisa menyetir mobilnya. Yang menyetir adalah Anda (Manajemen Puncak, Peringkat 5). Yang menentukan performa adalah mesinnya (Karakteristik Perusahaan, Peringkat 1). Dan yang membuat Anda selamat di jalanan macet adalah kemampuan Anda bermanuver (Fleksibilitas, Peringkat 2).

Temuan ini adalah penawar racun yang kuat untuk narasi "teknologi adalah segalanya" yang mendominasi dunia bisnis saat ini. Para manajer di lapangan ini, yang setiap hari berurusan dengan risiko nyata, sepertinya ingin mengatakan: "Fondasi manusianya dulu, baru teknologinya."

Meski temuannya hebat, saya merasa paper ini agak terlalu abstrak dalam menjelaskan mengapa IT mendapat peringkat begitu rendah. Apakah karena para manajer di sana belum sepenuhnya melek digital? Atau justru karena mereka sangat bijaksana dan memahami batasan teknologi? Analisis kuantitatifnya tidak bisa menjawab pertanyaan ini, meninggalkan sebuah misteri yang menarik. Mungkin, mereka hanya lebih peduli pada kekuatan fondasi rumah daripada kecanggihan catnya.

Bos dan Anak Buah Ternyata Sehati: Pelajaran tentang Keselarasan Organisasi

Ada satu temuan lagi yang tersembunyi di dalam data, yang menurut saya sama pentingnya. Para peneliti penasaran: apakah ada perbedaan pandangan antara manajemen puncak (para bos besar) dan manajemen level bawah (manajer lini) tentang apa yang paling penting?.  

Logika umum akan berkata, "Tentu saja ada!" Kita sering mendengar cerita tentang bos yang terputus dari realitas lapangan, sementara karyawan di garis depan tahu masalah sebenarnya.

Hasilnya? Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik. Nilai p-value dari uji Mann-Whitney adalah 0.654, yang jauh di atas ambang batas signifikansi 0.05. Artinya, baik CEO maupun manajer departemen, pada dasarnya, setuju tentang urutan pentingnya ke-12 faktor risiko tersebut.  

Bayangkan sebuah kapal di mana kapten di anjungan dan kepala mesin di ruang bawah sama-sama setuju bahwa gunung es di depan adalah ancaman terbesar, dan kekuatan mesin adalah prioritas utama untuk menghindar. Itulah yang ditemukan penelitian ini. Semua orang, dari atas ke bawah, melihat peta risiko yang sama.

Ini adalah temuan yang sangat kuat. Ini meruntuhkan narasi bahwa masalah utama di perusahaan adalah "ketidakselarasan" atau "mispersepsi." Jika semua orang setuju tentang apa yang penting, lalu mengapa masalah masih terjadi?

Ini menggeser fokus kita. Masalahnya mungkin bukan kurangnya kesadaran, tetapi kurangnya tindakan. Mungkin manajemen puncak tahu bahwa pelatihan SDM itu penting (Peringkat 10), tetapi mereka tidak mengalokasikan anggaran untuk itu. Mungkin manajemen bawah tahu bahwa struktur organisasi (Peringkat 6) perlu diubah, tetapi mereka tidak memiliki wewenang untuk melakukannya. Keselarasan dalam persepsi tidak ada artinya tanpa keselarasan dalam eksekusi.

Cara Menerapkan Ini dalam Hidup Anda (dan Kamu Juga Bisa)

Oke, ini semua teori yang menarik. Tapi bagaimana kita bisa menerapkannya dalam pekerjaan dan kehidupan kita sehari-hari? Mari kita coba gunakan kerangka "Bayangkan jika..."

  • Untuk Anda yang seorang Freelancer atau Profesional Mandiri: Bayangkan jika Anda mengelola karier Anda seperti sebuah perusahaan. Apa "Karakteristik Perusahaan" Anda (Peringkat 1)? Mungkin itu adalah reputasi, keahlian spesialis, dan portofolio Anda. Seberapa kokoh fondasi ini? Lalu, bagaimana dengan "Fleksibilitas" Anda (Peringkat 2)? Apakah Anda hanya bergantung pada satu klien besar (sangat berisiko!), atau Anda secara aktif mendiversifikasi sumber pendapatan dan keahlian Anda? Siapa "auditor eksternal" Anda (Peringkat 3)? Apakah Anda punya mentor atau rekan yang bisa memberikan masukan jujur tentang pekerjaan Anda?

  • Untuk Anda yang seorang Manajer Tim: Bayangkan jika Anda menerapkan peringkat ini pada tim kecil Anda. Seberapa jelas "Struktur Organisasi" (Peringkat 6) di dalam tim? Apakah semua orang tahu peran dan tanggung jawab mereka? Seberapa efektif "Komunikasi" Anda (Peringkat 7)? Apakah informasi penting mengalir dengan lancar, atau sering tersumbat? Apakah Anda secara sadar membangun "Kepercayaan" (Peringkat 9) setiap hari melalui tindakan Anda?

  • Untuk Anda yang seorang Pemimpin Bisnis: Lihatlah 12 faktor ini sebagai dasbor kesehatan perusahaan Anda. Lakukan audit internal yang jujur. Di mana lampu Anda berwarna hijau, kuning, atau merah? Apakah Anda terlalu banyak berinvestasi di Peringat 12 (IT) sambil mengabaikan pentingnya Peringkat 5 (keterlibatan Manajemen Puncak)? Apakah budaya perusahaan Anda (Peringkat 11) mendorong adaptasi atau justru menghukumnya?

Menguasai prinsip-prinsip ini, terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan, komunikasi, dan efisiensi SDM, membutuhkan lebih dari sekadar kesadaran—itu membutuhkan keterampilan praktis. Jika Anda serius ingin membangun fondasi yang kokoh untuk tim atau bisnis Anda, saya sangat merekomendasikan untuk melihat kursus-kursus yang relevan. Salah satu platform yang bisa Anda coba adalah(https://www.diklatkerja.com), yang menawarkan pelatihan terstruktur untuk mengembangkan kompetensi ini.

Penutup: Dari Yordania ke Meja Kerjamu

Membaca paper ini terasa seperti menemukan peta kuno yang menunjukkan jalan yang lebih aman melewati lautan yang bergejolak. Pesan utamanya sederhana namun mendalam: manajemen risiko yang efektif bukanlah tentang membeli perangkat lunak canggih atau menulis manual prosedur setebal bantal.

Ini tentang kembali ke dasar.

Ini tentang membangun organisasi yang memiliki fondasi kuat namun tetap lentur seperti bambu. Ini tentang memiliki pemimpin yang terlibat dan selaras dengan timnya. Ini tentang keberanian untuk mendengarkan kebenaran dari luar. Dan ini tentang memahami bahwa teknologi adalah pelayan, bukan tuan.

Proyek saya yang hampir karam bertahun-tahun lalu itu akhirnya selamat. Bukan karena kami menemukan alat ajaib, tetapi karena kami berhenti sejenak, berkomunikasi secara jujur (Peringkat 7), mempercayai satu sama lain (Peringkat 9), dan dengan cepat menyesuaikan rencana kami (Peringkat 2). Tanpa sadar, kami sedang menerapkan pelajaran inti dari paper Yordania ini.

Peta sudah ada di tangan Anda. Pertanyaannya sekarang, ke mana Anda akan mengarahkan kapal Anda?

Jika Anda merasa terinspirasi dan ingin menggali lebih dalam data dan metodologi di baliknya, saya sangat menganjurkan Anda untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang padat, tetapi sangat berharga.

(https://doi.org/10.3390/admsci13050132)

Selengkapnya
Saya Hampir Gagal Total, Lalu Sebuah Paper dari Yordania Mengubah Cara Saya Bekerja

Pengembangan SDM

Resep Sukses dari Ponorogo: 6 Pilar Tak Terlihat di Balik Program Sertifikasi Konstruksi yang Berhasil

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 15 Oktober 2025


Prolog: Secarik Kertas yang Bisa Mengubah Nasib (Dan Kenapa Seringkali Gagal)

Saya masih ingat perasaan memegang sertifikat profesional pertama saya. Secarik kertas tebal dengan logo resmi dan nama saya tercetak rapi. Rasanya lebih dari sekadar bukti kelulusan; ia terasa seperti paspor. Paspor menuju dunia baru yang penuh pengakuan, kesempatan, dan—jujur saja—harapan akan gaji yang lebih baik. Bagi banyak dari kita, sertifikasi adalah jembatan antara "siapa kita sekarang" dan "siapa kita di masa depan".

Namun, di luar kisah pribadi, ada sebuah drama nasional yang sedang berlangsung di balik layar pembangunan gedung-gedung pencakar langit dan jalan tol yang kita banggakan. Ini adalah drama tentang sertifikasi di sektor konstruksi Indonesia.

Bayangkan ini: dari sekitar 8,3 juta pekerja konstruksi di Indonesia, hanya segelintir yang memegang "paspor" kompetensi itu. Angkanya bervariasi tergantung sumber, tapi gambarannya konsisten suram. Ada yang menyebut hanya 8% , kurang dari 6% , bahkan ada data yang menunjukkan angka di bawah 5%. Artinya, lebih dari 90% pahlawan pembangunan infrastruktur kita bekerja tanpa bukti formal atas keahlian mereka.  

Ini bukan sekadar masalah administrasi. Kesenjangan sertifikasi ini adalah retakan di fondasi pembangunan kita. Ia berdampak langsung pada kualitas proyek, memicu pembengkakan biaya akibat inefisiensi , membahayakan keselamatan kerja , dan pada akhirnya, melemahkan daya saing bangsa.  

Pemerintah, tentu saja, tidak tinggal diam. Sejak lama, melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2017, sertifikasi kompetensi kerja (seperti Sertifikat Keterampilan Kerja atau SKT) menjadi kewajiban hukum. Program percepatan digenjot, kolaborasi digalang. Namun, mandat yang kuat dari atas ini seolah menabrak tembok tebal dari bawah.  

Mengapa? Karena bagi para pekerja di lapangan, sertifikasi seringkali terasa seperti beban, bukan kesempatan. Sebuah studi mengungkap empat penghalang utama yang menjadi biang keladinya :  

  1. Biaya yang Mahal: Biaya sertifikasi dianggap terlalu memberatkan kantong para pekerja terampil.

  2. Insentif yang Tak Terasa: Tidak ada jaminan kenaikan upah yang signifikan setelah bersusah payah mendapatkan sertifikat.

  3. Proses yang Rumit: Pelaksanaan sertifikasi seringkali sulit diakses, kurang sosialisasi, dan membingungkan.

  4. Nilai yang Dipertanyakan: Sertifikat dianggap hanya "formalitas kertas" yang tidak terlalu dipandang oleh perusahaan saat rekrutmen.

Ini menciptakan sebuah paradoks yang pelik. Di satu sisi, negara butuh tenaga kerja bersertifikat. Di sisi lain, tenaga kerja merasa enggan dan tidak termotivasi. Pertanyaannya pun menjadi: jika gambaran nasionalnya tampak begitu kusut, bagaimana mungkin sebuah kabupaten di Jawa Timur berhasil mengurai benang tersebut?

Di sinilah saya menemukan sebuah "peta harta karun" dalam bentuk jurnal ilmiah sederhana dari Ponorogo. Paper ini tidak membahas kegagalan berskala nasional, melainkan menelisik sebuah keberhasilan di tingkat lokal. Ia adalah anomali positif, sebuah studi kasus mendalam tentang sebuah program yang, melawan segala rintangan, ternyata berhasil. Mari kita bedah bersama resep rahasia dari Ponorogo ini.  

Di Balik Angka dan Jargon: Membedah Resep Sukses ala Ponorogo

Mari kita bermain peran sejenak. Bayangkan Anda adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kabupaten Ponorogo. Di meja Anda ada dua fakta keras. Pertama, mandat hukum yang jelas dari UU No. 2 Tahun 2017. Kedua, masalah nyata di lapangan: dari sekitar 700 tenaga kerja konstruksi di wilayah Anda, lebih dari 500 orang belum memiliki Sertifikat Keterampilan Kerja (SKT) yang wajib itu.  

Tugas Anda bukan sekadar menerbitkan surat edaran. Tugas Anda adalah merancang sebuah sistem, sebuah mesin, yang bisa mengubah 500 orang tanpa sertifikat menjadi 500 orang yang kompeten dan diakui. Apa yang akan Anda lakukan?

Penelitian yang dilakukan oleh Tri Wantini ini menggunakan sebuah "kacamata" analisis yang disebut model implementasi kebijakan publik dari Van Metter dan Van Horn. Terdengar rumit? Lupakan istilah akademisnya. Anggap saja ini adalah sebuah checklist berisi enam pilar fundamental yang harus kokoh berdiri agar sebuah rencana tidak berakhir menjadi angan-angan. Keenam pilar inilah yang akan kita bongkar satu per satu, karena di dalamnya tersimpan pelajaran berharga yang relevan bagi siapa pun—baik Anda seorang manajer proyek, pemimpin tim, atau bahkan seorang PNS yang ingin membuat perubahan nyata.  

Enam Pilar Tak Terlihat yang Menopang Jembatan Keberhasilan

Inilah inti dari penemuan di Ponorogo. Keberhasilan program mereka tidak ditopang oleh satu tiang pancang ajaib, melainkan oleh enam pilar yang saling menguatkan.

Pilar 1: Peta yang Jelas, Bukan Perintah Buta (Standar dan Sasaran Kebijakan)

Bayangkan Anda diminta pergi ke suatu tempat. Mana yang lebih membantu: instruksi "pergilah ke arah utara" atau sebuah peta Google Maps lengkap dengan rute, estimasi waktu, dan tujuan akhir yang ditandai pin merah? Tentu saja yang kedua.

Inilah kekuatan pilar pertama. Program di Ponorogo memiliki tujuan yang sangat jernih, spesifik, dan tidak bisa ditawar: setiap tenaga kerja konstruksi wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKT) sesuai amanat Pasal 70 UU No. 2 Tahun 2017. Sasarannya bukan sesuatu yang abstrak seperti "meningkatkan kualitas" atau "mendorong profesionalisme", melainkan target yang konkret dan biner: punya atau tidak punya sertifikat.  

Kejelasan ekstrem ini menjadi penawar racun bagi kegagalan implementasi. Di tingkat nasional, banyak program gagal karena pesannya kabur dan membingungkan. Para pekerja dan perusahaan cenderung mengabaikan program yang tidak mereka pahami. Dengan mengikat program pada kewajiban hukum yang tidak bisa diganggu gugat dan satu hasil yang terukur (kepemilikan SKT), Dinas PUPKP Ponorogo menghilangkan kebingungan. Mereka menciptakan sebuah motivator yang kuat berbasis kepatuhan. Fondasi program ini dibangun di atas batu karang kejelasan, bukan pasir hisap ambiguitas.  

Pilar 2: Bukan Sekadar Uang, Tapi Manusia yang Kompeten (Sumber Daya)

Dalam sebuah tim balap Formula 1, punya tangki bahan bakar penuh (anggaran besar) tidak ada artinya jika pembalap dan kru pit-stopnya amatir. Anda butuh manusia yang kompeten untuk menjalankan mesinnya.

Studi ini mengungkap sebuah temuan yang mengejutkan. Ketika membahas "sumber daya", fokusnya bukan pada anggaran, melainkan pada kompetensi para pelaksananya. Para pegawai Dinas PUPKP yang menjadi instruktur dalam Bimbingan Teknis (Bimtek) dan pelatihan bukanlah pegawai biasa. Mereka adalah para profesional yang telah mengantongi sertifikat Training of Trainer (TOT) dan Management of Training (MOT).  

Ini adalah sebuah pemahaman tingkat kedua yang sangat mendalam. Banyak inisiatif pemerintah atau perusahaan gagal karena terlalu fokus pada "apa" yang diajarkan (kurikulum) dan melupakan "siapa" yang mengajar (instruktur). Ponorogo menerapkan filosofi "latih para pelatih". Dengan memastikan para fasilitatornya adalah komunikator dan pengajar yang andal, mereka menjamin kualitas penyampaian materi. Mereka tidak hanya mengelola program, mereka menyampaikannya dengan ahli. Hal ini secara langsung menjawab keluhan nasional tentang "pelaksanaan sertifikasi yang kurang efektif". Investasi terbaik dalam program peningkatan kapasitas adalah pada kapasitas para pembangunnya itu sendiri.  

Pilar 3: Kapal yang Tepat untuk Pelayaran Sulit (Karakteristik Agen Pelaksana)

Anda tidak akan membawa kapal pesiar untuk membelah lautan es di Arktik; Anda butuh kapal pemecah es. Institusi pelaksana harus dirancang sesuai dengan misinya.

Dalam kasus ini, Dinas PUPKP Ponorogo bertindak sebagai "kapal pemecah es" yang tepat. Mereka menjalankan program ini dengan berpegang teguh pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka. Mungkin ini terdengar birokratis, tapi ini sangat krusial. Dengan bergerak di dalam koridor kewenangan yang jelas, mereka memiliki legitimasi dan fokus. Tidak ada perang ego antar-dinas atau kebingungan tentang siapa yang bertanggung jawab. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengeksekusi mandat dengan presisi dan efisiensi, tanpa terganggu oleh drama organisasi.  

Pilar 4: Hati yang Terlibat, Bukan Tangan yang Terpaksa (Sikap/Kecenderungan Pelaksana)

Resep masakan yang sama bisa menghasilkan hidangan yang luar biasa atau biasa saja, tergantung pada gairah dan komitmen sang koki. Sikap para pelaksana adalah bumbu rahasia yang menentukan hasil akhir.

Para pegawai di Ponorogo bukanlah eksekutor pasif yang hanya menunggu perintah. Paper ini menggambarkan mereka sebagai pihak yang "berperan aktif". Mereka proaktif menyebarkan informasi tentang aturan-aturan terbaru. Mereka berinisiatif membentuk "Tim Pembina Jasa Konstruksi Kabupaten Ponorogo", sebuah tim lintas instansi untuk menyatukan visi dan langkah.  

Sikap mereka adalah sikap kepemilikan (ownership), bukan sekadar kepatuhan. Inilah elemen manusia yang mengubah kebijakan di atas kertas menjadi kenyataan di lapangan. Studi kualitatif ini berhasil menangkap variabel tak kasat mata yang sangat menentukan ini. Keberhasilan di Ponorogo bukan hanya karena perencanaan yang baik, tetapi karena ada sebuah tim yang percaya pada misinya. Ini adalah perbedaan antara sebuah proyek yang sekadar dikelola dengan sebuah misi yang diperjuangkan.

Pilar 5: Obrolan Warung Kopi yang Disulap Jadi Koordinasi Lintas Instansi (Komunikasi)

Sebuah proyek kompleks tanpa komunikasi yang baik ibarat orkestra tanpa dirigen—setiap orang memainkan alat musiknya sendiri, menghasilkan suara bising, bukan simfoni.

Strategi komunikasi yang diterapkan di Ponorogo sangat cerdas dan berlapis. Mereka tidak hanya mengandalkan satu jalur.

  • Jalur Formal: Mereka mengadakan rapat tahunan rutin dengan anggota Tim Pembina Jasa Konstruksi untuk membahas masalah dan regulasi terbaru.  

  • Jalur Cepat dan Informal: Mereka memanfaatkan teknologi informasi seperti email dan WhatsApp untuk koordinasi yang lebih lincah dan responsif.  

  • Jalur Jaringan (Network): Inilah bagian yang paling brilian. Alih-alih mencoba menjangkau ratusan pekerja satu per satu, mereka menyebarkan informasi melalui titik-titik simpul yang strategis: para ketua asosiasi jasa konstruksi. Para ketua inilah yang kemudian meneruskan informasi tersebut ke anggota-anggotanya.  

Ini adalah contoh canggih dari manajemen pemangku kepentingan (stakeholder management). Mereka menciptakan sebuah ekosistem komunikasi yang kokoh, memastikan informasi mengalir deras dan efisien ke segala arah. Strategi ini secara efektif memecahkan masalah nasional tentang "kurangnya sosialisasi" program sertifikasi.  

Pilar 6: Badai yang Datang Tiba-Tiba (Dan Pelajaran Tentang Kerapuhan)

Sebuah ekspedisi yang direncanakan dengan sangat teliti sekalipun bisa porak-poranda oleh badai tak terduga. Di sinilah ketangguhan sebuah sistem diuji.

Bagi program di Ponorogo, badai itu datang dalam wujud pandemi COVID-19. Paper ini mencatat dengan jujur bahwa faktor lingkungan eksternal ini memberikan pukulan telak. Kegiatan pembinaan dan pemberdayaan terpaksa ditunda untuk memutus mata rantai penularan. Lebih dari itu, anggaran program dialihkan untuk penanganan dampak virus corona.  

Temuan ini membawa kisah sukses mereka kembali membumi. Program yang dirancang nyaris sempurna sekalipun tetap rapuh di hadapan guncangan sistemik. Ini adalah pelajaran penting tentang manajemen risiko: fondasi yang kuat membuat pemulihan menjadi mungkin, tetapi tidak ada program yang kebal terhadap krisis. Fakta bahwa penelitian ini tetap menyimpulkan program tersebut berhasil (sebelum pandemi) justru semakin memvalidasi kekuatan kelima pilar sebelumnya.

Apa yang Bikin Saya Terkejut (Dan Sedikit Kritis)

Membaca paper ini memberikan saya sebuah pencerahan. Di tengah hiruk pikuk diskusi tentang perlunya teknologi canggih dan anggaran triliunan untuk pembangunan, studi dari Ponorogo ini mengingatkan kita pada sebuah kebenaran fundamental: keberhasilan sebuah program seringkali ditentukan oleh hal-hal yang sangat manusiawi. Bukan pada big data, tapi pada obrolan di grup WhatsApp. Bukan pada anggaran jumbo, tapi pada kompetensi para instrukturnya. Bukan pada perintah dari pusat, tapi pada hati yang terlibat di daerah.

Namun, ada satu hal yang membuat saya sedikit gelisah. Meskipun model enam pilar ini adalah "sinar-X" manajerial yang ampuh untuk membedah program, ia secara tak terhindarkan menempatkan subjek utamanya—para pekerja konstruksi itu sendiri—pada jarak analisis. Saya jadi penasaran dan ingin mendengar suara mereka secara langsung. Apakah sertifikat itu benar-benar membuat mereka bekerja lebih baik? Apakah mereka merasa lebih dihargai di lokasi proyek? Kerangka analisis ini menjelaskan "bagaimana" programnya berhasil, tapi menyisakan pertanyaan "lalu kenapa" bagi para pekerjanya.

Meski begitu, pelajaran yang bisa dipetik sangatlah kaya.

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Program ini secara nyata berhasil menciptakan tenaga kerja yang lebih terampil, kompeten, dan berkualitas, memenuhi tujuan utamanya untuk menyiapkan mereka mendapatkan sertifikasi wajib.  

  • 🧠 Inovasinya: Inovasi sesungguhnya bersifat low-tech dan high-touch: berinvestasi pada para pelatih (sertifikasi TOT/MOT), membangun jaringan komunikasi multi-jalur, dan menumbuhkan kolaborasi lintas instansi yang proaktif.  

  • 💡 Pelajaran Utama: Keberhasilan implementasi sejati tidak didikte dari atas ke bawah, melainkan ditumbuhkan dari bawah ke atas melalui ekosistem yang solid: tujuan yang jelas, pelaksana yang cakap, dan komunikasi yang cair.

  • ⚠️ Titik Lemah: Ketergantungan program pada anggaran spesifik dan pertemuan tatap muka membuatnya sangat rentan terhadap guncangan eksternal seperti pandemi COVID-19.  

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini

Kisah dari Ponorogo ini bukan hanya untuk para birokrat. Ada pelajaran universal di dalamnya yang bisa kita tarik ke dalam pekerjaan kita sehari-hari, apapun profesi kita.

  1. Tentukan Garis Finis Terlebih Dahulu. Sebelum memulai proyek apapun, definisikan seperti apa "kesuksesan" itu secara spesifik dan terukur. Seperti Dinas PUPKP yang menargetkan "kepemilikan SKT", bukan "peningkatan kualitas" yang ambigu. Tujuan yang jelas adalah kompas yang menjaga semua orang tetap bergerak ke arah yang sama (Pilar 1).

  2. Investasi pada Tim Pelaksana Anda. Seringkali kita fokus pada anggaran proyek, tapi lupa pada orang-orang yang akan menjalankannya. Apakah tim Anda punya kapasitas yang cukup? Apakah mereka termotivasi? Ponorogo mengajarkan kita untuk berinvestasi pada kompetensi dan semangat tim pelaksana, karena merekalah mesin penggerak yang sesungguhnya (Pilar 2 & 4).

  3. Bangun Jembatan Komunikasi, Bukan Tembok Silo. Jangan hanya mengandalkan email atau rapat formal. Ciptakan berbagai saluran komunikasi. Identifikasi siapa "ketua asosiasi" di organisasi Anda—orang-orang berpengaruh yang bisa membantu menyebarkan pesan secara efektif. Gunakan teknologi seperti grup chat untuk koordinasi cepat, tapi jangan lupakan pertemuan tatap muka untuk membangun hubungan (Pilar 5).

Benang merah dari keberhasilan Ponorogo adalah fokus tanpa henti pada pembangunan kompetensi—baik pada fasilitator program maupun pesertanya. Jika Anda terinspirasi untuk menerapkan pelajaran ini, langkah pertama adalah membangun kapabilitas Anda sendiri. Jelajahi beragam(https://www.diklatkerja.com) untuk mengasah keterampilan dalam manajemen proyek, komunikasi, dan kepemimpinan yang terbukti menjadi kunci sukses program ini.

Epilog: Dari Ponorogo untuk Indonesia (Dan untuk Kita Semua)

Ponorogo telah memberikan kita sebuah cetak biru yang sangat berharga. Mereka menunjukkan bagaimana cara menjalankan program sertifikasi yang efektif. Mereka berhasil memecahkan masalah implementasi dan komunikasi yang selama ini menjadi momok di tingkat nasional. Namun, ini baru separuh dari pertempuran.  

Kisah sukses ini belum menyentuh teka-teki terbesar yang masih menghantui: masalah insentif. Ada sebuah diskoneksi fundamental di lapangan. Di satu sisi, para pekerja yang sudah bersertifikat sangat percaya bahwa sertifikat itu meningkatkan upah mereka. Di sisi lain, ketiadaan jaminan kenaikan upah menjadi alasan utama bagi pekerja yang belum bersertifikat untuk tetap enggan ikut serta.  

Tantangan besar berikutnya bagi Indonesia adalah menciptakan sebuah ekosistem ekonomi di mana nilai sertifikasi tidak hanya dirasakan, tetapi benar-benar nyata. Ini membutuhkan kolaborasi multi-pihak. Perusahaan perlu memprioritaskan tenaga kerja bersertifikat dalam rekrutmen, promosi, dan standar upah. Pemerintah bisa memberikan insentif bagi perusahaan yang melakukannya. Hanya dengan begitu, "paspor kompetensi" ini akan menjadi sesuatu yang dikejar, bukan dihindari.  

Ini menjadi semakin mendesak saat kita menatap masa depan. Industri konstruksi sedang bergerak menuju digitalisasi dengan adopsi teknologi seperti Building Information Modelling (BIM). Visi besar "Indonesia Emas 2045" menuntut adanya sarana dan prasarana berkualitas yang dibangun oleh sumber daya manusia yang unggul. Semua ini mustahil tercapai tanpa fondasi tenaga kerja yang kompeten dan tersertifikasi.  

Pada akhirnya, kisah dari Ponorogo adalah bukti bahwa masalah yang tampak rumit dan berskala nasional sekalipun bisa mulai diurai dari inisiatif lokal yang dijalankan dengan baik. Ini adalah pengingat bahwa di balik setiap kebijakan yang sukses, selalu ada sekelompok orang yang berdedikasi, berkomunikasi dengan baik, dan bekerja dengan hati.

Bagi Anda yang ingin menyelami lebih dalam analisis akademis di balik kisah luar biasa ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.37729/ji@p.v10i1.5122)

Selengkapnya
Resep Sukses dari Ponorogo: 6 Pilar Tak Terlihat di Balik Program Sertifikasi Konstruksi yang Berhasil

Pengembangan Karier

Kenapa Kerja Keras Saja Tidak Cukup: Pelajaran Karier Tak Terduga dari Mandor Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 15 Oktober 2025


Pernahkah Kamu Merasa Bekerja Keras, Tapi Hasilnya Kurang Diapresiasi?

Saya mau cerita. Bayangkan seorang desainer grafis yang menghabiskan waktu berjam-jam menyempurnakan gradasi warna dan kerning font pada sebuah logo. Baginya, ini adalah puncak keahlian teknis, sebuah mahakarya detail. Tapi bagi klien atau CEO, yang terpenting adalah apakah logo itu bisa dikenali dari jarak 50 meter di papan reklame jalan tol dan apakah warnanya sesuai dengan citra merek yang ingin dibangun. Keduanya benar, tapi mereka seolah berbicara dalam bahasa yang berbeda.

Si desainer merasa kerja kerasnya pada detail tidak dihargai. Si CEO merasa desainer tidak memahami gambaran besar bisnis.

Kisah ini, dalam berbagai bentuk, terjadi setiap hari di hampir semua industri. Saya menyebutnya The Great Perception Gap—kesenjangan besar antara apa yang kita, sebagai eksekutor, anggap penting dalam pekerjaan kita (keunggulan teknis, kesempurnaan detail) dan apa yang dianggap penting oleh atasan atau organisasi (dampak strategis, efisiensi, hasil akhir). Kesenjangan ini adalah sumber frustrasi, demotivasi, dan perasaan "kerja keras tapi tak dianggap" yang paling umum di dunia profesional. Kita fokus pada input (usaha, jam kerja, kerumitan teknis), sementara mereka fokus pada output (hasil, ketepatan waktu, kesesuaian dengan tujuan besar).

Baru-baru ini, saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian dari dunia yang mungkin terdengar jauh dari keseharian kita: konstruksi. Paper ini menganalisis kompetensi para mandor di proyek-proyek konstruksi di Surabaya. Awalnya saya skeptis, apa relevansinya untuk saya? Tapi setelah membacanya, saya sadar bahwa paper ini bukan sekadar bacaan teknis yang kering. Ini adalah "peta harta karun" yang secara tidak sengaja memetakan The Great Perception Gap dengan data yang sangat jernih dan angka yang tidak bisa dibantah.  

Studi ini, meski berlatar belakang debu dan baja, memegang cermin bagi kita semua—para desainer, programmer, penulis, marketer, dan profesional lainnya. Ia mengungkap dinamika tersembunyi di tempat kerja dan menunjukkan dengan tepat di mana letak miskomunikasi antara "pekerja di lapangan" dan "manajer di kantor". Dan yang lebih penting, ia memberi petunjuk tentang cara menjembatani kesenjangan itu.

Dua Dunia yang Berbeda: Apa yang Paling Penting Menurut Mandor vs. Kontraktor

Inti dari penemuan ini terletak pada satu pertanyaan sederhana yang diajukan kepada dua kelompok: para mandor (eksekutor di lapangan) dan para kontraktor (manajer mereka). Pertanyaannya adalah: "Dari 30 kompetensi ini, mana yang paling penting untuk sukses?" Jawaban mereka, seperti yang akan kita lihat, seolah berasal dari dua planet yang berbeda.

Fokus Sang Eksekutor: "Beri Aku Gambar Kerja, Sisanya Aku Urus"

Bagi para mandor, dunia mereka berputar pada eksekusi. Ketika ditanya apa skill terpenting, jawaban nomor satu mereka sangat jelas: "Membaca dan memahami gambar kerja dengan teliti dan tepat". Bagi mereka, keunggulan adalah tentang presisi teknis. Mereka melihat diri mereka sebagai seorang craftsman, seorang seniman lapangan yang tugasnya adalah mengubah cetak biru (gambar kerja) menjadi kenyataan fisik tanpa cacat sedikit pun.  

Pola pikir ini diperkuat oleh dua prioritas utama mereka lainnya: "Memimpin para tukang dengan baik" dan "Memiliki cara komunikasi kerja yang baik dengan tenaga kerja". Semuanya berfokus ke dalam—pada tim internal, pada pelaksanaan tugas, pada kesempurnaan teknis sesuai instruksi yang diberikan. Dunia mereka adalah dunia bagaimana pekerjaan itu dilakukan.  

Pandangan Sang Manajer: "Pahami Gambaran Besarnya, Bukan Hanya Tugasmu"

Sekarang, mari kita beralih ke dunia kontraktor. Apa yang mereka anggap sebagai kompetensi nomor satu? Bukan kemampuan teknis membaca gambar. Prioritas utama mereka adalah "Memiliki pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan".  

Ini adalah sebuah perbedaan yang fundamental. Kontraktor tidak hanya peduli bagaimana sebuah dinding dibangun, tetapi mengapa dinding itu dibangun di sana, apa batasannya, dan bagaimana pembangunan dinding itu memengaruhi jadwal keseluruhan proyek dan anggarannya. Mereka membutuhkan mandor yang memahami konteks, batasan proyek, tujuan komersial, dan bagaimana tugas-tugas individu saling terhubung. Ini adalah pola pikir seorang project manager.

Dunia mereka adalah dunia mengapa dan apa. Mereka sangat menghargai mandor yang "Konsisten dalam menjalankan prosedur pekerjaan yang telah ditentukan". Mengapa? Karena konsistensi dan pemahaman lingkup adalah tentang mitigasi risiko dan prediktabilitas—dua hal yang membuat seorang manajer bisa tidur nyenyak di malam hari.

Dan di sinilah letak bom waktunya. Ada satu kompetensi yang perbedaannya paling drastis: "Memiliki pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3)". Para mandor menempatkan skill ini di peringkat paling buncit, nomor 30 dari 30!. Bagi mereka, K3 mungkin terasa seperti birokrasi yang memperlambat pekerjaan. Namun, bagi kontraktor, K3 adalah prioritas 10 besar. Mengapa? Karena satu kecelakaan kerja bisa menghentikan seluruh proyek, menimbulkan kerugian miliaran, dan merusak reputasi perusahaan.  

Apa yang dianggap "gangguan" oleh eksekutor adalah "keharusan absolut" bagi manajer. Dan kesenjangan inilah yang seringkali membuat karier seseorang mandek.

Satu Lembar Kertas yang Mengubah Segalanya: Kekuatan Tersembunyi dari Sertifikasi

Jadi, kita punya dua dunia dengan prioritas yang berbeda. Apakah mereka ditakdirkan untuk tidak pernah bertemu? Ternyata tidak. Penelitian ini menemukan satu faktor yang secara dramatis mampu menjembatani kesenjangan tersebut: sertifikasi.

Awalnya saya pikir, "Ah, sertifikasi. Cuma selembar kertas, kan?" Tapi data dari studi ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Kontraktor secara konsisten menilai mandor yang memiliki sertifikat kompetensi kerja jauh lebih tinggi dalam beberapa area krusial—area yang paling mereka hargai.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Data Bicara Lebih Keras dari Opini

Ketika para peneliti membandingkan mandor bersertifikat dengan yang tidak, perbedaannya sangat signifikan secara statistik. Ini bukan lagi soal opini, ini soal angka.

  • 🚀 Pengetahuan Strategis: Mandor bersertifikat dinilai jauh lebih unggul dalam memiliki pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan dan pengetahuan tentang K3. Ini adalah dua skill yang paling dihargai kontraktor dan paling diremehkan mandor. Sertifikasi, tampaknya, "memaksa" mereka untuk melihat gambaran besar.  

  • 🧠 Pengawasan Presisi: Mereka juga dinilai signifikan lebih baik dalam mengawasi pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan metode kerja, spesifikasi teknis, dan jadwal kerja. Ini bukan lagi sekadar mengawasi, ini tentang mengawasi sesuai standar—bahasa yang dimengerti oleh manajemen.  

  • 🎯 Akurasi Terukur: Mereka terbukti lebih baik dalam mengukur dan menghitung hasil kerja tepat sesuai kenyataan. Ini menunjukkan keandalan, akuntabilitas, dan transparansi—tiga pilar kepercayaan antara manajer dan timnya.  

  • 💡 Mentor Tersembunyi: Dan ini yang paling membuat saya terkesima. Perbedaan paling dramatis dari semuanya ada pada indikator "memiliki keinginan untuk mengajar / mendorong orang lain dalam pekerjaannya". Mandor bersertifikat dinilai jauh, jauh lebih tinggi di sini. Ini adalah sebuah transformasi. Sertifikasi tidak hanya membuat mereka menjadi eksekutor yang lebih baik, tapi mengubah mereka dari seorang individual contributor menjadi seorang force multiplier—seseorang yang membangun kapasitas seluruh tim.  

Sertifikasi, ternyata, bukan hanya tentang belajar skill teknis baru. Ia tentang mengadopsi bahasa dan pola pikir manajemen. Ia mengajari para eksekutor untuk melihat pekerjaan mereka melalui kacamata manajer mereka.

Sebuah Kritik Halus dan Refleksi Pribadi

Meskipun temuan tentang sertifikasi ini luar biasa, saya tidak bisa tidak bertanya-tanya: apa kata para pekerja di bawah mandor? Studi ini dengan bijak menyarankan penelitian di masa depan harus menyertakan perspektif mereka. Apakah mandor bersertifikat yang dinilai "lebih baik" oleh kontraktor ini juga dirasakan sebagai pemimpin yang lebih baik oleh tim yang dipimpinnya setiap hari? Itu adalah kepingan puzzle yang hilang.  

Satu hal lagi yang menarik perhatian saya adalah temuan bahwa, pada beberapa aspek, kontraktor menilai kompetensi mandor lebih tinggi daripada penilaian mandor terhadap diri mereka sendiri. Ini mengingatkan saya pada imposter syndrome. Mungkin kita seringkali lebih kompeten dari yang kita kira, tapi kita tidak pernah tahu karena tidak ada yang memberi tahu kita, atau karena kita terlalu fokus pada kekurangan teknis kita sendiri dan lupa melihat dampak yang sudah kita hasilkan.  

Pelajaran untuk Kita Semua, Bahkan Jika Kamu Bukan Mandor Konstruksi

Oke, jadi apa artinya semua ini bagi kita yang tidak memakai helm proyek setiap hari? Artinya sangat besar. "Mandor" dan "kontraktor" hanyalah metafora untuk setiap hubungan karyawan-manajer.

Kamu mungkin seorang programmer (mandor) yang terobsesi pada keindahan dan efisiensi kode. Atasanmu adalah manajer produk (kontraktor) yang terobsesi pada jadwal rilis dan tingkat adopsi pengguna. Kamu fokus pada "gambar kerja" (spesifikasi teknis), dia fokus pada "lingkup pekerjaan" (kebutuhan pasar). Kesenjangan itu nyata, dan menjembataninya adalah kunci untuk akselerasi karier.

Dari studi ini, kita bisa menarik tiga pelajaran praktis:

  1. Bicaralah dalam Bahasa Manajermu. Lain kali saat kamu melaporkan progres, jangan hanya bilang, "Saya sudah menyelesaikan tugas A, B, dan C." Coba katakan, "Saya sudah menyelesaikan A, yang akan mengurangi risiko X. Saya juga sudah menyelesaikan B, yang akan membuat kita bisa rilis lebih cepat sesuai jadwal. Dan C akan membantu tim lain untuk bekerja lebih efisien." Alih-alih melaporkan aktivitas (dunia mandor), laporkan dampak (dunia kontraktor).

  2. Cari "Sertifikasi" Versimu. Ini tidak harus berupa sertifikat formal. Ini bisa berarti mengambil kursus online, menghadiri lokakarya, atau bahkan hanya membaca buku tentang manajemen proyek, strategi bisnis, atau keuangan di bidangmu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan "pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan" di luar tugas harianmu. Jika Anda ingin mengambil langkah nyata untuk menutup kesenjangan kompetensi ini, mengikuti kursus terstruktur bisa menjadi solusi. Platform seperti(https://diklatkerja.com) menawarkan berbagai program yang dirancang untuk meningkatkan skill manajerial dan teknis Anda, membantu Anda berbicara dalam bahasa yang sama dengan para pengambil keputusan.

  3. Jadilah "Mentor Tersembunyi". Ingat temuan paling mengejutkan tentang mandor bersertifikat? Mereka punya keinginan untuk mengajar. Mulailah secara proaktif berbagi pengetahuan dengan rekan timmu. Buat dokumentasi sederhana. Tawarkan bantuan pada anggota tim yang lebih junior. Ini tidak hanya membantu mereka, tetapi juga mengubah persepsi manajemen tentangmu—dari seorang eksekutor andal menjadi seorang calon pemimpin.

Selami Datanya Sendiri dan Kesimpulan Akhir

Pada akhirnya, keunggulan karier sejati terletak di persimpangan antara keahlian teknis (dunia mandor) dan pemahaman strategis (dunia kontraktor). Menjadi hebat dalam pekerjaanmu itu penting. Tapi memahami mengapa pekerjaanmu penting adalah hal yang akan benar-benar membedakanmu dari yang lain.

Studi tentang para mandor di Surabaya ini, bagi saya, adalah pengingat yang kuat bahwa terkadang wawasan paling berharga datang dari tempat yang paling tidak kita duga. Ia mengajarkan kita untuk sesekali mengangkat kepala dari "gambar kerja" kita dan mencoba melihat "lingkup proyek" yang lebih luas.

Kalau kamu tipe orang yang suka melihat angka di balik cerita, atau jika kamu bekerja di industri terkait dan ingin detail yang lebih dalam, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang padat tapi sangat mencerahkan.

(https://doi.org/10.9744/petra.v20i1.0000)

Selengkapnya
Kenapa Kerja Keras Saja Tidak Cukup: Pelajaran Karier Tak Terduga dari Mandor Konstruksi
« First Previous page 90 of 1.306 Next Last »