Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 15 Oktober 2025
Mengapa Multiskilling Jadi Isu Sentral dalam Industri Konstruksi?
Industri konstruksi global, termasuk di Amerika Serikat, tengah menghadapi tantangan serius berupa kekurangan tenaga kerja terampil. Menurut data terbaru, sekitar 80% kontraktor umum di AS mengalami kesulitan merekrut pekerja terampil yang cukup untuk memenuhi permintaan proyek. Kekurangan ini berdampak langsung pada produktivitas, kualitas proyek, kenaikan biaya, hingga meningkatnya insiden keselamatan kerja. Dalam konteks dinamika industri konstruksi yang menuntut efisiensi dan adaptabilitas tinggi, strategi multiskilling, yakni pelatihan tenaga kerja untuk menguasai lebih dari satu kompetensi inti, menjadi pendekatan inovatif yang kian penting untuk menjawab tantangan masa depan.
Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama paper “Applying the Tier II Construction Management Strategy to Measure the Competency Level among Single and Multiskilled Craft Professionals” karya Rakan K. Albalawi, Paul M. Goodrum, dan Timothy R. B. Taylor (2023). Dengan mengangkat studi kasus nyata, data statistik, serta membandingkan dengan tren global dan penelitian lain, artikel ini bertujuan memberikan perspektif baru yang lebih relevan dan aplikatif bagi pelaku industri, pembuat kebijakan, dan pembaca umum.
Latar Belakang: Tantangan Kekurangan Tenaga Kerja Terampil
Fakta Industri
Mengapa Multiskilling?
Inti Metodologi: Tier II Construction Management Strategy
Apa Itu Tier II Strategy?
Tier II adalah kerangka manajemen tenaga kerja yang dikembangkan untuk mengukur tingkat kompetensi pekerja konstruksi secara komprehensif. Penilaian dilakukan pada lima aspek utama:
Penelitian ini memfokuskan pada dua aspek utama: craft technical dan management skills.
Cara Penilaian
Studi Kasus & Angka-Angka Kunci: Potret Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi AS
Profil Responden
Hasil Utama: Kompetensi Multiskilled vs Single-skilled
Rata-rata Skor Kompetensi (Tier II)
Temuan Penting
Analisis Statistik: Faktor Penentu Kompetensi
Penelitian ini menggunakan multinomial logistic regression (MLR) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kompetensi pekerja.
Variabel Signifikan
Studi Kasus Spesifik: Profesi Tukang Kayu (Carpentry)
Dampak Strategi Multiskilling: Apa Saja Manfaat dan Batasannya?
Kelebihan Multiskilling
Keterbatasan
Komparasi dengan Penelitian Lain & Tren Global
Studi Internasional
Relevansi untuk Indonesia & Negara Berkembang
Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Industri & Kebijakan
Bagi Perusahaan Konstruksi
Bagi Pemerintah & Regulator
Bagi Pekerja
Opini & Kritik: Multiskilling Bukan Sekadar Tren, Tapi Kebutuhan Masa Depan
Penelitian Albalawi dkk. menegaskan bahwa multiskilling bukan sekadar “nice to have”, melainkan kebutuhan strategis di era kekurangan tenaga kerja terampil dan disrupsi teknologi. Namun, implementasi multiskilling harus diiringi dengan pelatihan berkelanjutan, validasi kompetensi yang objektif, dan pengakuan formal dari industri.
Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah masih rendahnya skor pada aspek work record, yang mencakup keselamatan, kualitas, dan produktivitas. Artinya, multiskilling belum otomatis meningkatkan budaya kerja jika tidak diikuti perubahan mindset dan sistem insentif yang tepat.
Selain itu, penelitian berbasis self-assessment perlu divalidasi dengan uji lapangan atau penilaian eksternal agar hasilnya benar-benar mencerminkan kompetensi riil di lapangan.
Tren Masa Depan: Digitalisasi, Otomasi, dan Multiskilling
Kesimpulan: Multiskilling, Pilar Transformasi Tenaga Kerja Konstruksi
Studi ini membuktikan bahwa multiskilling secara signifikan meningkatkan kompetensi tenaga kerja konstruksi, baik aspek teknis maupun manajerial. Namun, manfaat optimal hanya tercapai jika didukung pelatihan berkelanjutan, validasi objektif, dan pengakuan formal dari industri. Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengambil pelajaran penting: investasi pada multiskilling adalah investasi bagi masa depan industri konstruksi yang lebih fleksibel, produktif, dan adaptif terhadap perubahan zaman
Sumber
Albalawi, R.K.; Goodrum, P.M.; Taylor, T.R.B. (2023). Applying the Tier II Construction Management Strategy to Measure the Competency Level among Single and Multiskilled Craft Professionals. Buildings, 13, 1175.
Infrastruktur Nasional
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Penelitian “Enhancing Total Construction Safety Culture in Indonesia’s New Capital: A Structural Equation Modeling Approach” memperlihatkan bahwa aspek budaya keselamatan (Safety Culture) bukanlah tambahan opsional, melainkan elemen inti yang mempengaruhi kinerja keselamatan (safety performance) proyek. Di Ibu Kota Nusantara (IKN), selama fase perencanaan dan pembangunan, integrasi sistem manajemen keselamatan, pelatihan, sikap kepemimpinan, dan pengawasan berperan penting dalam membentuk perilaku aman.
Kebijakan nasional saat ini sering fokus pada regulasi dan kontrol administratif. Namun, studi ini menegaskan bahwa regulasi saja tidak cukup—bahkan regulasi terbaik bisa gagal jika tidak didukung oleh kepemimpinan yang konsisten, pelatihan yang relevan dan berkelanjutan, serta pengawasan perilaku di lapangan.
Beberapa artikel mendukung perspektif ini: misalnya Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku: Strategi Menuju Zero Accident di Indonesia menekankan bahwa 80% kecelakaan konstruksi akibat perilaku tidak aman; serta Mencegah Kecelakaan Kerja Melalui SDM Kompeten Dalam Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang menyebut bahwa kompetensi SDM adalah fondasi budaya keselamatan.
Dengan demikian, kebijakan K3 di tingkat nasional yang mencakup proyek-skala besar seperti IKN harus mengadopsi paradigma Total Construction Safety Culture yaitu budaya keselamatan yang melekat di semua level organisasi, dari manajemen atas sampai ke pekerja lapangan, dan didukung oleh regulasi, pelatihan, dan pengawasan yang konkret.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif
Peningkatan Leading Indicator: Studi mencantumkan bahwa budaya keselamatan yang kuat berkontribusi pada nilai R² = 0,856 untuk indikator “leading” (misalnya kepatuhan prosedur, pelaporan near miss, penggunaan APD) — artinya hampir 86% variasi perilaku bisa dijelaskan oleh budaya keselamatan. Ini berarti potensi besar jika budaya tersebut dibangun dengan benar.
Penurunan Insiden Kerja: Dalam proyek uji coba di IKN, penerapan Safety Reward System, digital supervision, dan pelatihan teknologi seperti simulasi BIM-360 dilaporkan berhasil menurunkan insiden kerja sekitar 25-30% dalam periode enam bulan sampai satu tahun.
Peningkatan Pengawasan dan Efisiensi: Penggunaan monitoring digital (IoT / sensor) mempercepat deteksi potensi bahaya dan memungkinkan tindak korektif lebih awal — mengurangi delay proyek akibat kecelakaan dan kerusakan material.
ROI Sosial dan Reputasi: Perusahaan yang berhasil membangun budaya keselamatan memperoleh reputasi yang lebih baik, menarik lebih banyak kontrak, dan meminimalkan biaya klaim asuransi serta biaya pengobatan / kompensasi pekerja.
Hambatan
Kepemimpinan yang Tidak Konsisten
Banyak proyek dimana team manajemen dan pengawas belum sepenuhnya memahami pentingnya budaya keselamatan; terkadang keselamatan dianggap penghambat target waktu atau biaya.
Keterbatasan Tenaga Ahli dan Kapasitas SDM
Walau sudah ada kursus-kursus, jumlah personel dengan sertifikasi kepemimpinan K3, pelatihan behavior-based safety, dan pengawas lapangan yang kompeten masih terbatas.
Biaya Penerapan Teknologi dan Sistem Digital
Alat pemantauan IoT, sistem dashboard, perangkat simulasi, dan platform pelaporan digital memerlukan investasi awal yang besar — terutama sulit dijangkau UMKM.
Budaya Organisasi dan Perilaku Pekerja
Kebiasaan lama, toleransi terhadap pelanggaran kecil, kurangnya komunikasi dua arah (pekerja takut melapor), dan kurangnya penguatan perilaku aman menjadi hambatan yang nyata.
Kesenjangan Regulasi dan Pengawasan
Regulasi nasional seperti Permen PUPR dan SMKK menyebut pentingnya sistem manajemen keselamatan, tetapi pengawasan dan penegakan masih variatif antar wilayah. Beberapa proyek di daerah terpencil atau dengan pengawasan lemah belum memenuhi standar manajemen keselamatan yang konsisten.
Peluang
Kolaborasi Publik-Swasta dan Institusi Pendidikan
Pelibatan Diklatkerja, asosiasi profesi, universitas, dan kontraktor dalam kurikulum pelatihan, penelitian implementasi, dan evaluasi budaya keselamatan bisa memperluas dampak.
Digitalisasi dan Teknologi Keselamatan
Artikel Digitalisasi Konstruksi: Mendorong Efisiensi dan Transparansi Proyek menyediakan contoh bahwa sistem digital pelaporan & monitoring dapat memudahkan pengawasan, deteksi bahaya, dan pelatihan adaptif.
Standarisasi dan Sertifikasi
Penguatan SMKK dan standar internasional seperti ISO 45001 di seluruh proyek, ditambah dengan audit berkala dan sertifikasi pekerja & manajemen.
Insentif Kebijakan
Pemerintah bisa menyediakan insentif fiskal, potongan pajak, atau prioritas proyek untuk kontraktor yang menunjukkan kinerja keselamatan yang baik.
Penyebaran Budaya Keselamatan ke Semua Proyek
Mulai dari proyek besar seperti IKN hingga proyek menengah dan kecil; memperluas akses pelatihan, memperkuat komunikasi, dan menyediakan APD berkualitas bagi semua.
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Berdasarkan hambatan dan peluang di atas, berikut rekomendasi konkret:
Wajibkan Kepemimpinan Keselamatan
Setiap manajer proyek dan mandor harus melalui pelatihan kepemimpinan K3, serta secara rutin melakukan audit keselamatan dan inspeksi perilaku pekerja. Kebijakan ini bisa dimasukkan sebagai bagian dari persyaratan tender pemerintah.
Implementasikan SMKK secara Nasional
Memperkuat penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) sebagai standar wajib untuk seluruh proyek konstruksi, baik publik maupun swasta, termasuk audit dan laporan keselamatan berkala. Misalnya kursus Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi untuk Mencegah Kegagalan Bangunan dapat menjadi model aplikasi dan pelatihan terkait sistem tersebut.
Pelatihan Perilaku & Teknologi (Behavior-Based Safety + Digital Tools)
Menggabungkan pelatihan berbasis perilaku, simulasi VR/AR, dan perangkat monitoring IoT agar pekerja tidak hanya tahu teori, tetapi juga mengalami langsung praktik aman. Contoh artikel Analisis Kritis Peran Teknologi Digital dalam Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia mengulas teknologi digital sebagai pendorong utama.
Insentif & Sanksi dalam Skema Tender dan Kelengkapan Proyek
Pemerintah perlu mensyaratkan skor keselamatan sebagai bagian dari penilaian tender, memberikan bonus bagi kontraktor yang memiliki catatan keselamatan baik, dan menerapkan sanksi bagi yang melanggar standar K3.
Monitoring Data Keselamatan secara Real-Time dan Transparan
Gunakan dashboard digital, laporan near miss, alamat feedback pekerja, dan audit perilaku. Transparansi data dan pelaporan publik dapat meningkatkan akuntabilitas dan keterlibatan semua pihak.
Support terhadap UMKM dan Proyek Daerah Terpencil
Subsidi pelatihan, APD, dan teknologi dasar harus disediakan oleh pemerintah atau lembaga terkait agar UMKM dan proyek di daerah juga bisa memenuhi standar keselamatan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Walaupun langkah-langkah di atas terlihat komprehensif, beberapa potensi kegagalan harus diantisipasi:
Formalitas tanpa Esensi: Banyak kebijakan K3 dibuat menjadi persyaratan administratif; tetapi jika perilaku di lapangan tidak berubah, efeknya minimal.
Kesenjangan Sumber Daya & Infrastruktur Teknologi: Di daerah terpencil atau lokasi proyek sulit, akses ke pelatihan, APD berkualitas, internet, dan teknologi digital masih buruk.
Budaya Organisasi Lama: Kebiasaan lama yang menoleransi pelanggaran kecil bisa sulit diubah, terutama jika tidak ada konsekuensi nyata atau contoh dari pihak manajemen.
Keterbatasan Evaluasi dan Data: Jika insiden kecil (near miss) tidak dicatat, data tidak akurat, dan kebijakan sulit diukur apakah benar-benar berhasil.
Ketidaksesuaian Regulasi dan Praktik Lokal: Regulasi nasional mungkin tidak secara spesifik mengakomodasi kondisi lokal—iklim, budaya kerja, kemampuan SDM lokal, dan sumber daya proyek kecil.
Penutup
Penelitian Enhancing Total Construction Safety Culture di IKN menyiratkan bahwa masa depan industri konstruksi Indonesia sangat tergantung pada budaya keselamatan, bukan hanya regulasi atau peralatan.
Untuk menjadikan visi “Zero Accident Construction Industry” menjadi kenyataan, diperlukan kesatuan aksi: kepemimpinan yang nyata, pelatihan perilaku + teknologi, standar SMKK yang kuat, insentif & sanksi yang jelas, serta dukungan penuh terhadap proyek di semua level.
Institusi-pendidikan dan pelatihan seperti Diklatkerja memiliki peran penting dalam menyediakan materi pelatihan, modul digital, kursus kepemimpinan K3, dan mendukung budaya keselamatan yang menyeluruh.
Dengan kebijakan publik yang adaptif dan komitmen kolektif dari pemerintah, pelaksana proyek, dan tenaga kerja, proyek IKN dapat menjadi model bagi seluruh Indonesia bahwa keselamatan bukan beban — melainkan investasi masa depan.
Sumber
Enhancing Total Construction Safety Culture in Indonesia’s New Capital: A Structural Equation Modeling Approach (IJSSE, 2024)
Kemaritiman
Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 Oktober 2025
Jalur Logis Temuan dan Signifikansi Deskriptif
Laporan ini menyajikan resensi mendalam dari penelitian kualitatif yang mengeksplorasi peran kritis pendidikan dan pelatihan maritim (MET) dalam meningkatkan budaya keselamatan, dengan fokus pada model yang diterapkan oleh Maritime Academy of Asia and the Pacific (MAAP). Penelitian ini didasarkan pada data yang dikumpulkan melalui serangkaian wawancara semi-terstruktur dengan 19 responden, termasuk perwakilan perusahaan, pelaut aktif alumni MAAP, dan kadet yang telah menyelesaikan pelatihan di kapal.
Jalur logis penelitian bermula dari pengamatan terhadap paradoks keselamatan maritim global. Meskipun telah terjadi penurunan signifikan dalam kerugian total kapal—yang turun menjadi sekitar 54 pada tahun 2021—insiden dan korban maritim terus menjadi perhatian, menunjukkan adanya dinding yang perlu diatasi dalam kematangan budaya keselamatan industri. Upaya International Maritime Organization (IMO) yang dimulai sejak awal 2000-an untuk mempromosikan budaya keselamatan belum sepenuhnya berhasil menghilangkan kecelakaan.
Studi ini secara kritis menggarisbawahi kelemahan dalam investigasi kecelakaan standar industri. Secara tradisional, industri mengaitkan sekitar 80% insiden maritim pada kegagalan elemen manusia (human error). Namun, penelitian ini berpendapat bahwa atribusi persentase yang tinggi ini sering kali berfungsi sebagai taksonomi yang cacat, yang menghasilkan penyelesaian investigasi yang cepat (quick closure) tanpa mengatasi akar masalah sistemik. Akar masalah yang sebenarnya ditemukan terletak pada faktor-faktor seperti kelelahan yang diperparah oleh kekurangan tenaga kerja (under-manning) dan tekanan komersial yang intens, yang semuanya memengaruhi kinerja manusia di laut.
Temuan kualitatif mengidentifikasi hambatan utama bagi keselamatan proaktif: keengganan pelaut untuk bersuara (speak up) dan bersikap asertif ketika keselamatan dikompromikan. Defisit asertivitas ini menunjukkan kurangnya psychological safety dalam lingkungan operasional. Berdasarkan identifikasi kesenjangan sikap ini, penelitian ini berhipotesis bahwa pendidikan dan pelatihan di fase awal karir (masa kadet) adalah fondasi paling efektif untuk menanamkan sikap want-to attitude terhadap keselamatan, melampaui sekadar kepatuhan, melalui fokus pada tiga pilar utama: profesionalisme, kompetensi, dan komunikasi.
Signifikansi model MAAP diperkuat oleh metrik seleksi yang sangat ketat. Data MAAP menunjukkan bahwa proses penerimaan bersifat eksklusif, di mana dalam beberapa tahun terakhir, hanya sekitar 3% hingga 6% dari total pelamar yang diterima. Misalnya, pada kohort terbaru, hanya 3.48% dari total 12.386 pelamar yang berhasil diterima. Seleksi yang sangat ketat ini menunjukkan adanya hubungan potensial antara memilih individu dengan potensi dan karakter tertinggi dan keberhasilan pengembangan budaya keselamatan yang proaktif.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini adalah reposisi peran Pendidikan dan Pelatihan Maritim (MET) dari sekadar kepatuhan sertifikasi STCW menjadi arsitek budaya keselamatan dan karakter perwira maritim. Studi ini memaparkan model MAAP sebagai kerangka kerja holistik yang melampaui pendidikan teknis konvensional.
Tiga Pilar Fondasi Budaya Keselamatan MAAP
Konsep resiliensi ini sangat penting dalam memerangi praktik Normalization of Deviance. Dengan menanamkan karakter yang berpegang teguh pada prinsip "melakukan hal yang benar, meskipun tidak ada yang melihat," MAAP berupaya membekali pelaut dengan kekuatan moral untuk menolak tekanan sistemik—seperti memanipulasi catatan jam kerja/istirahat MLC atau mengambil jalan pintas. Upaya ini secara proaktif mengatasi akar penyebab kecelakaan yang diakui oleh responden sebagai produk dari tekanan komersial yang intens di laut.
Latihan ini diperkuat melalui program seperti Integrated Simulator Training Program (ISTP), latihan 48 jam yang memungkinkan kadet melatih keterampilan kepemimpinan dan komunikasi asertif dalam skenario krisis tanpa risiko konsekuensi nyata. Kontribusi utamanya adalah menyediakan lingkungan yang aman untuk melatih asertivitas, sebuah keterampilan yang secara langsung berkorelasi dengan pemeliharaan just culture di kapal.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun model MAAP memberikan kontribusi substansial, penelitian ini menyisakan beberapa pertanyaan terbuka yang perlu diatasi oleh riset di masa depan.
Pertama, efektivitas model ini dapat dipengaruhi oleh bias seleksi. Karena MAAP hanya menerima 3-4% pelamar berpotensi tinggi, muncul pertanyaan apakah luaran positif yang teramati adalah hasil dari keunggulan program MET atau hanya cerminan dari kualitas input kadet. Validitas eksternal model MAAP memerlukan studi yang membandingkan hasil jangka panjang alumni MAAP dengan kohort berpotensi serupa dari institusi lain yang tidak menggunakan model regimented.
Kedua, ada tantangan keberlanjutan moral. Responden mengakui bahwa tekanan komersial sering menyebabkan Normalization of Deviance, terutama dalam manipulasi jam kerja/istirahat MLC. Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: seberapa tahan fondasi etika dan disiplin yang ditanamkan di akademi terhadap lingkungan operasional yang didominasi oleh ekonomi dan kepatuhan administratif semu? Jika budaya yang ditanamkan di sekolah runtuh di bawah tekanan operasional, fokus riset harus bergeser ke desain sistem manajemen keselamatan perusahaan yang dapat menopang just culture yang diinisiasi di tingkat edukasi.
Terakhir, studi ini mengakui adanya paradoks dalam mengombinasikan kepatuhan ketat (strict obedience) dengan kebutuhan akan challenge culture asertif. Meskipun MAAP mengklaim berhasil mengelola transisi ini melalui sistem perkembangan kelas kadet, mekanismenya perlu divalidasi dan digeneralisasi. Institusi MET lain memerlukan kerangka kerja yang jelas tentang cara menumbuhkan asertivitas profesional tanpa memicu insubordinasi, sebuah tantangan besar dalam konteks maritim yang sangat hierarkis.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Rekomendasi ini ditujukan untuk komunitas akademik dan lembaga pemberi hibah, berfokus pada validasi kuantitatif dan generalisasi ilmiah dari model intervensi faktor manusia MAAP.
Rekomendasi 1: Validasi Kuantitatif Intervensi Soft Skills (MDS)
Berbasis Temuan: MDS bertujuan mengembangkan karakter, kepemimpinan, dan resiliensi sebagai prasyarat penting untuk keselamatan proaktif.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Diperlukan studi percontohan (pilot study) menggunakan desain kuasi-eksperimental. Variabel baru harus mencakup pengukuran psikometrik standar (misalnya, skala Resiliensi) yang diterapkan secara longitudinal pada kadet MAAP dan kelompok kontrol dari METI tradisional.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini harus menguji hipotesis bahwa resiliensi yang ditanamkan secara ketat menghasilkan koefisien korelasi yang signifikan dengan penurunan insiden terkait stres dan kelelahan selama periode OBT.
Rekomendasi 2: Studi Longitudinal mengenai Ketahanan terhadap Normalisasi Deviasi
Berbasis Temuan: Manipulasi catatan MLC dan pengambilan jalan pintas adalah masalah sistemik yang menguji etika pelaut.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Diperlukan studi longitudinal selama lima tahun karir awal alumni, melacak Tingkat Pelaporan Proaktif (Proactive Reporting Rate) insiden nyaris celaka (near-misses) yang dilakukan secara anonim, sebagai indikator utama integritas etika dan resistensi terhadap tekanan komersial.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Studi ini akan memberikan bukti nyata apakah pengembangan karakter yang ditekankan di akademi dapat menahan degradasi etika di lingkungan operasional berisiko tinggi dalam jangka panjang.
Rekomendasi 3: Pengujian Asertivitas Komunikasi dan Dampaknya pada Psychological Safety
Berbasis Temuan: Hambatan komunikasi dan power distance menghambat pelaut untuk speak up.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian intervensi harus dilakukan di simulator maritim multikultural. Metode baru adalah penggunaan analisis wacana untuk mengukur Peningkatan Indeks Asertivitas kadet dalam skenario kegagalan kritis (seperti perintah ilegal atau tidak aman), yang memungkinkan pengukuran langsung bagaimana English-Only Policy berkorelasi dengan kesediaan untuk menantang otoritas demi keselamatan.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Diperlukan untuk memastikan bahwa asertivitas menjadi norma budaya operasional, dan bukan hanya keterampilan bahasa yang ditingkatkan, sehingga memastikan just culture dapat dipertahankan.
Rekomendasi 4: Evaluasi Biaya-Manfaat Global dari Implementasi CMS & Kapal Latih
Berbasis Temuan: Infrastruktur MAAP, termasuk Kapal Latih dan CMS DNV Seaskills, memerlukan biaya modal yang tinggi tetapi menjanjikan hasil yang unggul.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Analisis ekonomi-risiko yang membandingkan biaya awal implementasi infrastruktur pendidikan terpadu (CMS dan Kapal Latih) dengan keuntungan jangka panjang berupa penurunan klaim asuransi (P&I clubs), peningkatan retensi kru, dan Tingkat Pengembalian Investasi Keselamatan (Safety Return on Investment - SROI).
Perlunya Penelitian Lanjutan: Untuk membenarkan replikasi model MAAP di METI negara berkembang lain, pemberi hibah membutuhkan data SROI kuantitatif yang mengukur dampak investasi infrastruktur pada keamanan finansial jangka panjang industri pelayaran.
Rekomendasi 5: Adaptasi Kurikulum MET untuk Mitigasi Risiko Teknologi Baru
Berbasis Temuan: Responden melihat perkembangan teknologi yang cepat sebagai pemicu kecelakaan karena kesulitan adaptasi kru.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian kualitatif dan kuantitatif untuk mengembangkan modul kurikulum yang fokus pada human-system integration (HMI) dan mitigasi automation complacency. Konteks baru adalah perancangan dan pengujian pelatihan kognitif yang secara eksplisit mengajarkan pelaut untuk beradaptasi dengan teknologi otonom secara kritis, menumbuhkan "sikap bertanya" terhadap output otomatisasi.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Diperlukan untuk memastikan bahwa pelatihan kompetensi teknis saat ini tidak tertinggal dari laju digitalisasi, mencegah automation complacency menjadi bentuk baru dari faktor manusia yang memicu kecelakaan.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif Jangka Panjang
Penelitian ini menegaskan bahwa model MET yang memprioritaskan fondasi karakter, resiliensi, dan asertivitas komunikasi—seperti yang ditunjukkan oleh model MAAP—adalah katalisator yang efektif untuk mengubah pelaut dari kepatuhan pasif menjadi advokat keselamatan proaktif. Model ini secara langsung menargetkan kelemahan elemen manusia yang menjadi fokus IMO: keraguan untuk bersuara dan kegagalan etika di bawah tekanan.
Implikasi jangka panjang menunjukkan bahwa investasi di MET yang terstruktur harus dianggap sebagai strategi mitigasi risiko utama. Untuk memvalidasi dan menggeneralisasi model ini ke skala global, diperlukan upaya kolaboratif yang terintegrasi di antara pemangku kepentingan utama.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi IMO (untuk mengintegrasikan temuan intervensi perilaku ke dalam kerangka kerja MET), DNV (atau badan klasifikasi lainnya untuk memvalidasi efektivitas CMS dan SROI infrastruktur), serta AMOSUP dan IMEC (untuk menyediakan akses data longitudinal kinerja pelaut dan insiden) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, dan untuk menguji penerapan model MAAP di berbagai konteks regional MET.
https://commons.wmu.se/all_dissertations/2142/
Teknologi Kontruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 Oktober 2025
Pendahuluan:
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor paling berisiko tinggi dalam hal kecelakaan kerja. Proyek konstruksi sangat dinamis: pekerja, peralatan, dan material terus bergerak sehingga potensi bahaya sulit diprediksi. Contoh kondisi berbahaya di lapangan meliputi risiko tertimpa objek atau jatuh dari ketinggian, ditambah ancaman paparan debu, bahan kimia, hingga kondisi lingkungan kerja yang keras. Di tengah tantangan ini, hadir gelombang digitalisasi dengan teknologi canggih seperti artificial intelligence (AI), Building Information Modeling (BIM), virtual reality (VR), augmented reality (AR), digital twins, Internet of Things (IoT), otomatisasi, robotika, dan sensor pintar. Semua ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan manajemen keselamatan di proyek konstruksi. Pertanyaannya: mengapa adopsi teknologi di sektor konstruksi terkesan lambat, dan bagaimana sebenarnya sikap para pelaku industri terhadap inovasi digital untuk keselamatan?
Tujuan dan Metodologi Studi:
Penelitian oleh Mara Matti dan Md Shan E. Jahan ini bertujuan mengisi kesenjangan pengetahuan tentang implementasi teknologi digital di manajemen keselamatan konstruksi, khususnya dalam konteks Swedia. Berbeda dari riset terdahulu yang banyak dilakukan di lingkungan terkontrol atau proyek percontohan, studi ini menyoroti kondisi nyata di lapangan – bagaimana sikap dan perilaku personel konstruksi terhadap alat digital keselamatan dalam keseharian proyek. Fokusnya pada tahap konstruksi (fase produksi), namun juga mempertimbangkan peran fase perencanaan dan desain dalam mewujudkan proyek yang lebih aman.
Untuk menggali dimensi manusiawi dalam adopsi teknologi, peneliti menggunakan metode kualitatif. Mereka melakukan wawancara semi-terstruktur mendalam dan observasi lapangan (fieldwork). Partisipan wawancara mencakup berbagai pemangku kepentingan di industri konstruksi, dari innovation leader di perusahaan besar, manajer dan pelatih K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), CEO perusahaan konstraktor, manajer proyek, hingga desainer BIM/CAD. Pendekatan ini memastikan sudut pandang yang beragam – mulai level manajemen puncak hingga praktisi teknis – sehingga memberikan gambaran komprehensif. Kerangka teori yang digunakan adalah Technology Acceptance Model (TAM) untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan teknologi baru. Data kualitatif dari wawancara dan observasi dianalisis menggunakan analisis tematik guna mengidentifikasi pola-pola utama dalam sikap dan perilaku terhadap teknologi keselamatan.
Hasil Utama – Sikap dan Temuan Kunci:
Studi ini menemukan bahwa secara umum para profesional konstruksi menunjukkan antusiasme terhadap potensi alat digital dalam meningkatkan keselamatan. Banyak peserta wawancara yang positif dan berharap teknologi seperti sensor deteksi, AI untuk monitoring, atau aplikasi mobile K3 dapat mencegah kecelakaan dan mempermudah pengawasan. Namun, sikap mereka juga ambivalen. Di balik optimisme, tersimpan skeptisisme dan keraguan terhadap implementasi nyata teknologi tersebut. Beberapa manajer mengakui adanya “ketakutan akan hal yang tidak diketahui” – misalnya keraguan terhadap AI atau sistem otomatis yang belum sepenuhnya mereka pahami. Seorang manajer proyek bahkan berkata, “Saya takut pada AI,” yang mencerminkan kekhawatiran bahwa teknologi baru bisa membawa risiko atau konsekuensi yang tidak diinginkan. Banyak juga yang meragukan apakah pekerja lapangan yang terbiasa dengan cara tradisional akan mau dan mampu beradaptasi menggunakan perangkat digital canggih.
Temuan kualitatif lebih lanjut mengungkap sejumlah hambatan non-teknis yang signifikan. Struktur industri konstruksi yang berbasis proyek ternyata menjadi penghalang inheren bagi penyebaran inovasi. Setiap proyek konstruksi ibarat “dunia sendiri” dengan tim dan praktik unik, sehingga transfer pengetahuan antar proyek sangat lemah. Pelajaran berharga tentang implementasi alat keselamatan digital di satu proyek sering tidak berlanjut ke proyek berikutnya – tim baru seringkali harus “mulai dari nol” lagi. Selain itu, terdapat kesenjangan digital antara fase perencanaan vs. pelaksanaan: teknologi digital (seperti BIM) lazim dipakai oleh perencana dan desainer di kantor, tetapi di lapangan konstruksi sendiri pekerjaan masih banyak yang bersifat analog (berbasis kertas, papan tulis, print-out gambar teknis). Ketidaksinambungan ini membuat inovasi keselamatan sulit mengakar konsisten sepanjang siklus proyek.
Aspek budaya organisasi juga menjadi sorotan. Penelitian ini menemukan adanya budaya “saling menyalahkan” (blame game) dalam hal keselamatan: pimpinan cenderung menyalahkan pekerja lapangan setiap terjadi insiden, sedangkan faktor sistemik kurang mendapat perhatian. Top management sering menyerukan “keselamatan itu penting”, namun kenyataannya di proyek, target waktu dan biaya lebih dominan sehingga komitmen terhadap aturan K3 kadang hanya sebatas formalitas. Di sisi pekerja, motivasi mengikuti prosedur keselamatan pun kerap dilandasi takut dihukum atau takut “tertangkap basah” oleh pengawas, bukan karena kesadaran intrinsik akan pentingnya keselamatan. Tekanan deadline yang ketat membuat pekerja fokus memenuhi target ketimbang patuh aturan, selama tidak ketahuan. Hambatan prosedural lainnya adalah kurangnya standardisasi aturan keselamatan antar perusahaan. Para pekerja mengungkapkan kebingungan karena setiap kontraktor punya kebijakan K3 berbeda – bahkan terkadang bertentangan – misalnya terkait penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Ketidakseragaman ini, ditambah minimnya pelatihan efektif untuk menggunakan perangkat atau prosedur baru, mengakibatkan sebagian pekerja kehilangan motivasi dan tidak percaya pada inisiatif digital. Alih-alih melihat teknologi sebagai solusi, mereka khawatir hanya menambah beban tanpa dukungan yang jelas, sehingga adopsi pun terhambat.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi penting pada bidang teknologi konstruksi dan manajemen keselamatan. Pertama, studi ini memperluas wawasan ilmiah dengan menyoroti betapa dominannya faktor manusia dan organisasi dalam keberhasilan penerapan teknologi keselamatan. Di saat banyak riset lain berfokus pada kecanggihan teknologinya sendiri, kajian ini secara unik menekankan aspek sikap, perilaku, dan budaya kerja di lingkungan konstruksi nyata. Pendekatan ini mengungkap mengapa berbagai teknologi menjanjikan sering gagal diimplementasikan: bukan semata soal teknis, melainkan karena hambatan psikologis dan organisasi.
Kedua, temuan studi ini mengidentifikasi kendala-kendala kunci yang sebelumnya kurang terdokumentasi secara komprehensif. Misalnya, adanya silo pengetahuan per proyek dan minimnya aliran pengalaman sukses antara proyek satu dan lainnya. Ini merupakan kontribusi bagi literatur manajemen proyek – menunjukkan perlunya mekanisme transfer pengetahuan yang lebih baik agar inovasi keselamatan dapat berkelanjutan lintas proyek.
Ketiga, penelitian ini mengungkap sikap ambivalen pelaku industri terhadap teknologi baru: perpaduan antara optimisme dan ketakutan. Menyoroti ambivalensi ini penting agar pengembang teknologi dan manajer perubahan dapat merancang strategi adopsi yang mempertimbangkan kekhawatiran pengguna akhir (misalnya ancaman kehilangan pekerjaan karena otomatisasi, atau ketidaknyamanan terhadap AI). Dengan memahami keraguan yang ada, program implementasi dapat lebih disesuaikan dan user-friendly, meningkatkan peluang sukses adopsi.
Selanjutnya, studi ini berkontribusi dengan membawa isu budaya keselamatan ke depan. Budaya saling menyalahkan, ketidaksesuaian antara retorika dan praktik manajemen, serta motivasi pekerja yang sekadar “asal tidak dihukum” menunjukkan bahwa perubahan budaya merupakan syarat keberhasilan digitalisasi K3. Ini memberikan landasan bagi peneliti dan praktisi untuk tidak hanya menyediakan teknologi, tapi juga menangani perubahan perilaku dan kebijakan internal di perusahaan konstruksi. Kesadaran baru ini dapat mendorong lahirnya kerangka kerja manajemen perubahan spesifik untuk konstruksi, yang meliputi pelibatan pekerja, kepemimpinan keselamatan yang konsisten, dan insentif yang selaras dengan tujuan keselamatan.
Terakhir, dengan fokus pada konteks Swedia yang memiliki regulasi keselamatan cukup maju, studi ini menjadi semacam barometer bagi negara lain. Kontribusinya bukan pada generalisasi hasil mentah-mentah, melainkan pada identifikasi faktor-faktor universal (misalnya kebutuhan standardisasi, pentingnya pelatihan, dukungan manajemen) yang kemungkinan relevan di berbagai konteks. Penelitian ini membuka diskusi bahwa transformasi digital di K3 konstruksi membutuhkan sinergi aspek teknis dan sosial, sehingga komunitas akademik dan industri kini memiliki dasar empiris lebih kuat untuk mengembangkan solusi holistik ke depan.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Sebagai studi kualitatif dalam konteks Swedia, hasil penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang harus disikapi dengan hati-hati. Generalisasi temuan ke negara lain atau budaya industri berbeda tidak bisa dilakukan secara langsung. Kondisi regulasi, budaya kerja, dan tingkat adopsi teknologi di tiap negara dapat berbeda, sehingga penelitian lanjutan diperlukan untuk menguji apakah temuan serupa muncul di konteks lain. Selain itu, ukuran sampel wawancara yang terbatas berarti sudut pandang yang terekam berasal dari sekelompok individu tertentu. Meskipun para partisipan mewakili beragam peran kunci, tetap ada kemungkinan bahwa pandangan pekerja lapangan lainnya atau perusahaan berbeda dapat tidak sepenuhnya terwakili. Bias persepsi dari responden juga harus dipertimbangkan, mengingat data didasarkan pada opini dan pengalaman subjektif.
Studi ini juga mengangkat isu-isu yang justru memunculkan pertanyaan baru. Misalnya, ditemukannya budaya “saling menyalahkan” menimbulkan pertanyaan lanjutan: apa akar penyebab budaya ini? Apakah karena struktur organisasi hirarkis, tekanan biaya dalam kontrak, atau kurangnya akuntabilitas di tingkat manajemen? Penelitian ini belum mendalami secara spesifik peran struktur kekuasaan organisasi dan insentif ekonomi (seperti skema kontrak, model tender) terhadap prioritas keselamatan. Analisis lebih mendalam di area tersebut menjadi pertanyaan terbuka yang layak diteliti di masa depan untuk memahami akar masalah perilaku keselamatan.
Pertanyaan lain muncul terkait sustainability inovasi: Bagaimana caranya memastikan alat digital yang berhasil di satu proyek dapat diadopsi luas di proyek-proyek lain secara konsisten? Apa strategi efektif untuk mengatasi kesenjangan digital antara tahap perencanaan (yang sudah maju secara teknologi) dan tahap konstruksi di lapangan? Begitu pula, meskipun para partisipan menyuarakan dukungan terhadap pelatihan, jenis pelatihan seperti apa yang paling efektif untuk mengubah mindset pekerja veteran yang sudah nyaman dengan cara lama? Semua ini merupakan ranah penelitian lanjutan yang disarankan, sehingga komunitas K3 konstruksi dapat menemukan model implementasi terbaik bagi transformasi digital jangka panjang.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan-temuan di atas, berikut adalah lima rekomendasi arah riset lanjutan untuk mendukung implementasi digital dalam keselamatan konstruksi:
Potensi Jangka Panjang dan Penutup:
Temuan studi ini menegaskan bahwa transformasi digital dalam keselamatan konstruksi bukan sekadar mengganti kertas dengan tablet, tetapi menyangkut evolusi budaya dan sistem kerja. Dalam jangka panjang, jika berbagai hambatan manusiawi dan organisasional yang teridentifikasi dapat diatasi, industri konstruksi berpotensi memasuki era baru keselamatan berbasis data dan teknologi. Bayangan masa depan yang muncul adalah proyek konstruksi di mana sensor IoT dan AI secara proaktif memperingatkan pekerja akan bahaya, dashboard K3 real-time digunakan manajer untuk mengambil keputusan preventif, dan seluruh tim memiliki mindset proaktif terhadap keselamatan karena didukung budaya kolaboratif tanpa saling menyalahkan. Penerapan teknologi yang sukses pada akhirnya dapat menyelamatkan banyak nyawa dan meningkatkan kinerja proyek (minim penghentian kerja akibat kecelakaan), sembari menarik generasi pekerja muda yang lebih melek digital ke industri konstruksi.
Untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan kolaborasi erat lintas sektor. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintah/regulator, perusahaan konstruksi, dan akademisi (X, Y, Z) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Dukungan dari regulator akan membantu menciptakan kebijakan dan standar yang mendorong adopsi teknologi selamat, pelibatan perusahaan memastikan inovasi yang dikaji tetap relevan dan aplikatif, sementara kontribusi perguruan tinggi menghadirkan metodologi riset yang objektif dan mendalam. Melalui kemitraan strategis ini, perjalanan menuju konstruksi digital yang aman dapat dipercepat sekaligus dipastikan keberhasilannya. Mari bergandengan tangan – akademisi, industri, dan pemerintah – untuk mentransformasi keselamatan konstruksi di era digital demi masa depan pekerjaan konstruksi yang nol kecelakaan.
https://doi.org/10.1016/j.autcon.2023.105227
Manajemen Keselamatan Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 Oktober 2025
Analisis Elemen Program Keselamatan di Industri Konstruksi Irak: Peta Jalan Riset Kausalitas untuk Komunitas Akademik
Industri konstruksi di negara berkembang menghadapi tantangan unik dalam implementasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3), sering kali disebabkan oleh kelemahan struktural dan kurangnya penegakan regulasi . Penelitian ini berfokus pada industri konstruksi Irak, yang dikenal memiliki kinerja keselamatan yang buruk . Tujuan utama studi ini adalah untuk mengidentifikasi dan memvalidasi elemen-elemen program keselamatan kunci yang dapat diterapkan untuk memperbaiki kondisi ini, sekaligus merumuskan agenda riset ke depan yang ditujukan secara eksplisit untuk komunitas akademik, peneliti, dan lembaga pemberi hibah.
Justifikasi Krisis dan Jalur Logis Penemuan
Tingkat kecelakaan kerja di industri konstruksi global tetap berada pada level yang tidak dapat diterima . Di Irak, krisis ini sangat akut, dengan industri konstruksi menyumbang 38% dari total kecelakaan industri pada tahun 2018 . Meskipun data ini menggarisbawahi urgensi masalah kesehatan masyarakat, penelitian mengenai program keselamatan di sektor ini telah "diabaikan" . Kerangka keselamatan yang kuat sangat diperlukan untuk memfasilitasi peningkatan kinerja keselamatan, namun studi yang ada menekankan bahwa subjek ini memerlukan diagnosis spesifik negara karena konteks operasional dan budaya Irak yang unik.
Studi ini dirancang untuk mengisi kesenjangan tersebut melalui pendekatan metodologi campuran yang ketat . Proses penelitian dimulai dengan tinjauan literatur untuk menyusun daftar awal elemen program keselamatan. Daftar ini kemudian diverifikasi dan divalidasi secara kualitatif melalui wawancara semi-terstruktur dengan 16 pakar industri di Irak . Proses validasi oleh para pakar (yang memiliki pengalaman kerja antara 8 hingga 40 tahun) memastikan bahwa daftar elemen yang dihasilkan relevan dengan realitas lapangan, bukan sekadar adopsi model Barat .
Setelah validasi kualitatif, daftar akhir 25 elemen dimasukkan ke dalam kuesioner . Data dari 150 responden valid kemudian dianalisis menggunakan Analisis Faktor Eksploratori (EFA) untuk mengelompokkan elemen-elemen tersebut ke dalam dimensi yang terstruktur . Analisis EFA menyimpulkan bahwa 25 elemen ini dapat dikelompokkan secara efektif ke dalam empat dimensi yang saling terkait: Komitmen Manajemen dan Keterlibatan Karyawan (MCEI), Analisis Tempat Kerja (WA), Pencegahan dan Pengendalian Bahaya (HPC), dan Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan (SHT) . Struktur empat faktor yang divalidasi ini menjadi model kredibel yang dapat memandu intervensi kebijakan.
Kekuatan Metodologis dan Validitas Konstruk
Rigor metodologis penelitian ini diperkuat oleh uji statistik EFA yang memberikan kepercayaan tinggi terhadap validitas konstruk yang dihasilkan. Uji kecukupan sampling Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) menghasilkan koefisien 0.863 . Nilai ini jauh melebihi ambang batas yang disarankan, menunjukkan kecukupan data yang kuat untuk analisis faktor. Selain itu, uji sferisitas Bartlett terbukti penting, dengan nilai , menegaskan bahwa korelasi antar variabel memadai untuk pembentukan faktor .
EFA berhasil mengekstrak empat faktor dengan nilai eigenvalue lebih besar dari 1, yang secara kolektif menjelaskan 64.54% dari total varians . Angka ini menunjukkan bahwa keempat dimensi yang diidentifikasi mencakup porsi variabilitas yang signifikan dari program keselamatan. Keandalan internal instrumen ini juga sangat tinggi, diukur melalui koefisien Alpha Cronbach yang berkisar antara 0.856 hingga 0.916 di seluruh empat komponen, mengindikasikan konsistensi dan stabilitas pengukuran yang kuat .
Meskipun MCEI diakui secara kualitatif sebagai elemen yang mendasari, distribusi varians dalam model struktural memberikan panduan prioritas yang menarik bagi peneliti dan pengambil keputusan. Model ini menyajikan struktur empat dimensi dengan kontribusi varians yang berbeda. Hazard Prevention and Control (HPC), yang berfokus pada mitigasi risiko teknis, kontrol rekayasa, dan prosedur tanggap darurat, menjelaskan varians tertinggi (20.622%), menegaskan kontribusi terbesarnya pada struktur program. Management Commitment and Employee Involvement (MCEI), yang menjadi fondasi kebijakan, alokasi sumber daya, kepemimpinan, dan akuntabilitas, menjelaskan 17.85% dari varians. Selanjutnya, Worksite Analysis (WA), yang mencakup identifikasi bahaya, inspeksi, investigasi insiden, dan analisis tren, menjelaskan 17.424% . Terakhir, dimensi Safety and Health Training (SHT), yang bertujuan pada peningkatan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan spesifik, menjelaskan varians struktural terendah (8.648%) . Distribusi ini menunjukkan bahwa meskipun pelatihan esensial untuk meningkatkan kesadaran, kekuatan struktural program sangat bergantung pada komitmen manajemen dan kontrol bahaya yang konkret .
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi ini memberikan kontribusi yang bersifat fundamental. Pertama, ia menyediakan basis pengetahuan yang sangat dibutuhkan tentang keselamatan di sektor konstruksi Irak, area yang sebelumnya sangat kurang diselidiki . Kedua, temuan ini memberikan panduan presisi bagi para pengambil keputusan mengenai fokus implementasi. Model ini menegaskan sifat interdependen dari empat dimensi tersebut, di mana MCEI diidentifikasi sebagai komponen mendasar (underlying component) yang mendukung semua upaya keselamatan lainnya . Komitmen manajemen adalah prasyarat untuk menyediakan sumber daya yang memadai, menetapkan kebijakan yang jelas, dan mendorong keterlibatan karyawan, yang pada gilirannya memungkinkan efektivitas WA, HPC, dan SHT. Ketiga, sebagai studi kasus yang ketat dari negara berkembang, temuan ini menawarkan kerangka kerja yang dapat digunakan oleh praktisi konstruksi di negara-negara berkembang lainnya untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan sehat .
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun model struktural telah divalidasi, desain penelitian ini memiliki keterbatasan yang memerlukan investigasi lanjutan. EFA adalah teknik deskriptif untuk mereduksi dimensi dan tidak dapat digunakan untuk menguji hubungan sebab-akibat. Oleh karena itu, hubungan kausalitas, mediasi, atau moderasi antara dimensi-dimensi yang divalidasi (misalnya, bagaimana MCEI secara langsung memediasi peningkatan HPC) terhadap kinerja keselamatan akhir (pengurangan kecelakaan) masih merupakan pertanyaan terbuka.
Keterbatasan kritis lainnya terletak pada varians yang tidak dijelaskan. Empat faktor yang diekstrak hanya menjelaskan 64.54% dari total varians , yang menyiratkan bahwa sekitar 35.46% dari variabilitas kinerja program keselamatan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal atau variabel kontekstual yang belum dimasukkan dalam model . Faktor-faktor ini mungkin termasuk kondisi ekonomi makro, tekanan jadwal proyek yang ekstrem, kurangnya penegakan regulasi (yang dianggap sebagai batu loncatan penting untuk perbaikan ), atau aspek budaya organisasi yang lebih luas. Identifikasi dan pengujian variabel eksogen ini sangat penting untuk riset di masa depan.
Terakhir, fokus penelitian ini adalah memvalidasi input (elemen program), bukan mengukur output (dampak atau keberhasilan proyek). Untuk mendapatkan dukungan finansial dari lembaga pemberi hibah, studi lanjutan perlu mengukur bagaimana elemen-elemen ini diterjemahkan menjadi keberhasilan proyek secara keseluruhan .
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Arah riset ke depan harus bergeser dari pemahaman struktur (deskriptif) ke pemodelan fungsi dan dampak (kausal dan prediktif).
1. Pemodelan Kausalitas Program Keselamatan Terhadap Keberhasilan Proyek Menggunakan SEM
2. Investigasi Peran Faktor Eksogen dan Pengaruh Moderasi
3. Studi Longitudinal Efikasi Pelatihan (SHT) dan Perubahan Budaya
4. Pengembangan dan Validasi Silang Daftar Periksa Implementasi Keselamatan (Checklist)
5. Replikasi dan Validasi Lintas Budaya di Kawasan MENA
Implikasi Jangka Panjang dan Panggilan Kolaborasi
Temuan studi ini, yang secara empiris memvalidasi struktur program keselamatan di lingkungan yang sulit, memberikan kerangka kerja yang stabil untuk reformasi kebijakan . Dengan menetapkan MCEI sebagai fondasi yang harus didukung penuh, penelitian ini secara implisit mengarahkan investasi modal dan politik pada akar penyebab masalah kinerja keselamatan. Potensi jangka panjang terletak pada kemampuan untuk membuktikan, melalui agenda riset kausalitas yang diusulkan, bahwa kepatuhan keselamatan (yang dimungkinkan oleh MCEI dan ditegakkan oleh WA, HPC, dan SHT) tidak hanya menyelamatkan nyawa tetapi juga meningkatkan keberlanjutan dan profitabilitas proyek secara keseluruhan.
Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil yang optimal serta untuk mengimplementasikan peta jalan riset kausalitas yang ambisius ini, diperlukan sinergi antar pihak. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik regional (untuk kolaborasi metodologis dan validasi silang), badan regulasi pemerintah Irak (seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Urusan Sosial), dan organisasi non-pemerintah internasional yang berfokus pada pembangunan infrastruktur (untuk memfasilitasi akses data dan implementasi pilot project) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di tingkat kebijakan dan implementasi lapangan.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 Oktober 2025
Pengantar: Dekonstruksi Krisis Keselamatan Perilaku Konstruksi
Sektor konstruksi secara universal diakui sebagai salah satu industri paling berbahaya, di mana diperkirakan 60.000 kecelakaan fatal terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, Occupational Safety and Health Administration (OSHA) mencatat bahwa 90% fatalitas muncul dari 'Fatal Four' (jatuh, tersetrum, tertabrak, dan terjepit). Ini menekankan peran sentral perilaku tidak aman, yang disinyalir berkontribusi hingga 80%–90% dari seluruh insiden.
Laporan ini meninjau studi krusial yang mengidentifikasi faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi perilaku keselamatan para pekerja terampil (tradesmen) di sektor konstruksi Negara Bagian Lagos, Nigeria. Penelitian ini digerakkan oleh kebutuhan mendesak untuk mengisi kekosongan data, mengingat konteks Nigeria. Meskipun industri ini berperan besar, menyumbang sekitar 3.01% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan mempekerjakan sekitar 25% tenaga kerja—kedua terbesar setelah pertanian —negara ini menghadapi kegagalan pelaporan kecelakaan formal. Sebagai contoh, kurang dari 100 kecelakaan dilaporkan secara resmi antara tahun 2001 dan 2006. Kondisi anomali ini membuat penelitian mengenai faktor perilaku spesifik di lingkungan negara berkembang ini semakin relevan, karena faktor yang berlaku di negara maju tidak dapat digeneralisasi karena kekhasan sosio-ekonomi dan regulasi lokal.
Metodologi yang digunakan bersifat kuantitatif, mengumpulkan data dari 117 tradesmen (tukang batu, tukang kayu, tukang besi) yang dipilih dari 53 perusahaan konstruksi terdaftar di Lagos. Para responden menilai 37 faktor yang bersumber dari literatur menggunakan skala Likert lima poin. Data dianalisis menggunakan Mean Item Score (MIS) untuk menentukan signifikansi faktor, dan Analisis Komponen Utama (PCA) untuk mengelompokkan faktor-faktor ini ke dalam klaster laten yang dominan.
Jalur Logis Temuan dan Sorotan Kuantitatif
Jalur temuan penelitian ini menunjukkan pergeseran logis dari identifikasi faktor permukaan yang paling dihargai pekerja menuju penemuan pendorong kausalitas inti di tingkat manajemen.
Pertama, analisis kelayakan data (Factorability) menunjukkan nilai Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) sebesar 0.822. Nilai ini melebihi batas yang direkomendasikan (0.6), mengindikasikan bahwa data yang dikumpulkan memiliki korelasi yang memadai antarvariabel untuk pemodelan multivariat yang lebih maju. Temuan ini menegaskan hubungan kuat antara variabel yang diukur, yang selanjutnya membuka potensi kuat untuk pengembangan model persamaan struktural (Structural Equation Modeling/SEM) di penelitian lanjutan.
Kedua, melalui analisis Mean Item Score (MIS), penelitian ini mengidentifikasi 25 dari 37 faktor (67.56%) sebagai faktor yang "sangat penting" (dengan MIS di atas rata-rata MIS 3.90) yang mempengaruhi perilaku keselamatan tradesmen. Faktor-faktor teratas yang dinilai paling berpengaruh (MIS > 4.31) berpusat pada intervensi fisik dan penegakan yang sangat terlihat oleh pekerja. Faktor dengan peringkat tertinggi adalah Penyediaan Alat Pelindung Diri (PPE) yang memadai dengan MIS 4.50, diikuti oleh Penegakan aturan dan regulasi keselamatan (MIS 4.40). Nilai-nilai MIS yang tinggi untuk item-item yang nyata dan langsung ini menunjukkan bahwa pekerja lini depan sangat menghargai infrastruktur keselamatan yang dapat mereka lihat dan akses.
Ketiga, penemuan kausalitas inti dicapai melalui Analisis Komponen Utama (PCA). PCA berhasil mengelompokkan 37 variabel tersebut menjadi 8 komponen utama yang secara kumulatif menjelaskan 62.877% dari total varians yang diamati. Faktor yang paling dominan, atau Principal Factor, yang menjelaskan persentase varians terrotasi tertinggi sebesar 13.148%, adalah Komitmen Manajemen (Management Commitment). Faktor ini bertindak sebagai payung kausal yang menaungi tindakan-tindakan terukur, seperti penegakan, pelatihan, dan penyediaan PPE.
Penggabungan antara data MIS dan PCA menunjukkan bahwa meskipun pekerja menghargai PPE dan penegakan aturan secara individu, kedua faktor tersebut hanya dapat terwujud secara efektif jika didorong oleh variabel laten Komitmen Manajemen. Artinya, keputusan manajemen untuk menyediakan dan kemauan untuk menegakkan aturan (visibilitas dan akuntabilitas manajemen) adalah prasyarat sistemik yang lebih kuat daripada sekadar keberadaan kebijakan atau peralatan itu sendiri. Keputusan di tingkat puncak ini secara efektif mengubah kebijakan tertulis menjadi infrastruktur keselamatan fisik dan prosedural yang dipersepsikan oleh pekerja.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi ini memberikan kontribusi signifikan, terutama dalam konteks penelitian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di negara berkembang, dengan memecah anomali data K3 Nigeria dan memfokuskan lensa penelitian pada segmen tenaga kerja yang paling berisiko.
Validasi Data Persepsi di Tengah Kegagalan Pelaporan
Penelitian ini memvalidasi penggunaan persepsi pekerja sebagai proksi pengukuran risiko yang relevan di lingkungan di mana pelaporan kecelakaan formal hampir tidak ada. Dengan mengidentifikasi 25 faktor yang dinilai sangat penting (MIS > 3.90) , penelitian ini memberikan daftar prioritas yang teruji secara statistik untuk intervensi di tingkat perusahaan yang telah disetujui oleh para pelaksana pekerjaan di lapangan.
Identifikasi Principal Factor dalam Konteks Negara Berkembang
Penemuan bahwa Komitmen Manajemen adalah faktor penentu terkuat (menjelaskan 13.148% varians) sangat krusial untuk manajemen proyek di negara berkembang. Hal ini menegaskan bahwa di lingkungan di mana peraturan eksternal (pemerintah atau badan regulasi) mungkin tidak memiliki gigi penegakan yang kuat, inisiatif keselamatan didorong secara intrinsik dari internal perusahaan, dimulai dari kepemimpinan. Dengan demikian, investasi riset harus berfokus pada instrumen pengukuran komitmen internal ini.
Menyoroti Stabilitas Kerja di Atas Insentif
Analisis ini secara eksplisit menggeser fokus dari insentif yang sering diusulkan dalam literatur Barat. Insentif moneter dan non-moneter ditemukan kurang berpengaruh, dengan insentif non-moneter (promosi) menempati peringkat terbawah (MIS 3.27, peringkat 37). Sebaliknya, pekerja menempatkan nilai tinggi pada faktor stabilitas yang lebih mendasar, seperti Kepuasan Kerja dan Keamanan (Job Satisfaction and Security) dengan MIS 4.15.
Peringkat yang relatif tinggi untuk keamanan kerja dan peringkat yang rendah untuk insentif ini menunjukkan bahwa bagi tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan rendah dan tantangan sosio-ekonomi (mayoritas SSCE ke bawah) , terdapat hierarki kebutuhan keselamatan. Kebutuhan fisiologis (gaji yang stabil, keamanan kerja) harus dipenuhi sebelum motivasi tingkat tinggi (insentif atau promosi) dapat secara efektif mengubah perilaku. Oleh karena itu, intervensi K3 di konteks ini tidak boleh meniru program insentif Barat secara membabi buta, melainkan harus diintegrasikan dengan kebijakan retensi tenaga kerja dan jaminan sosial untuk mencapai keberlanjutan perilaku yang aman.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun penelitian ini meletakkan fondasi yang kuat, keterbatasan yang diakui secara eksplisit dan implisit membuka pertanyaan mendesak bagi komunitas akademik dan penerima hibah riset untuk agenda masa depan.
Keterbatasan Generalisasi dan Lingkup Profesi
Batasan utama studi ini adalah fokusnya yang ketat pada opini tradesmen di Lagos, dan secara eksplisit dicatat bahwa temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisasi untuk profesional konstruksi (arsitek, insinyur, manajer proyek). Karena Komitmen Manajemen adalah faktor utama, muncul pertanyaan terbuka: Bagaimana Komitmen Manajemen diterjemahkan atau dimediasi melalui perilaku profesional tingkat atas, dan apakah terdapat diskrepansi persepsi yang signifikan mengenai prioritas keselamatan antara pekerja lini depan dan pengawas/manajer. Penelitian lebih lanjut harus membandingkan persepsi ini untuk mengidentifikasi hambatan komunikasi vertikal.
Keterbatasan Metodologis: Struktur Kausalitas Lintas Faktor
Meskipun PCA berhasil mengelompokkan faktor (KMO = 0.822), PCA hanya teknik reduksi dimensi, bukan pemodelan kausal. Penelitian ini menyajikan delapan klaster faktor yang berkontribusi menjelaskan 62.877% varians total , namun belum memetakan hubungan hierarkis dan prediktif di antara klaster-klaster ini. Sebagai contoh, klaster Project Design (5.931% varians) dan Environmental (5.871% varians) pasti memengaruhi klaster Safety Process and Procedure (9.797% varians). Oleh karena itu, pertanyaan terbuka adalah bagaimana merancang model yang menguji jalur kausal di antara 8 klaster faktor ini, memungkinkan pemahaman prediktif sistem keselamatan.
Keterbatasan Budaya dan Pendidikan dalam Intervensi
Fakta bahwa sebagian besar responden berpendidikan SSCE ke bawah dan membutuhkan bantuan peneliti untuk memahami kuesioner menimbulkan masalah efikasi untuk intervensi yang bergantung pada teks dan literasi tinggi, seperti "Well written safety policy and plans" (MIS 4.23). Jika kebijakan tertulis tidak dapat dipahami, maka faktor tersebut tidak akan pernah mencapai potensi dampaknya. Pertanyaan terbuka yang timbul adalah bagaimana efektivitas berbagai modalitas pelatihan (visual, lisan, simulasi, atau Virtual Reality/VR) pada kelompok pekerja konstruksi dengan tingkat literasi formal yang rendah di Nigeria, dan bagaimana hal ini memengaruhi koefisien transfer perilaku keselamatan jangka panjang.
Struktur komponen utama yang diekstraksi memberikan peta jalan untuk fokus riset berikutnya.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Principal Factor dan celah pengetahuan yang diidentifikasi dari keterbatasan, lima rekomendasi riset strategis diusulkan.
1. Pemodelan Persamaan Struktural (SEM) untuk Memvalidasi Hubungan Kausal antara Klaster Faktor
Justifikasi Ilmiah: Hasil PCA mengidentifikasi Komitmen Manajemen sebagai pendorong terbesar (13.148% varians). Namun, belum jelas bagaimana klaster sekunder bekerja sebagai mediator. Kelayakan data yang ditunjukkan oleh KMO 0.822 mendukung pengujian kausalitas. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menerapkan SEM orde tinggi untuk menguji hipotesis di mana Komitmen Manajemen berperan sebagai variabel latent orde tinggi yang secara positif dan signifikan memprediksi perilaku keselamatan. Pengujian harus fokus pada jalur di mana proses keselamatan (9.797% varians) dan kebijakan (8.883% varians) memediasi hubungan antara komitmen puncak dan hasil di lapangan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan menghasilkan koefisien jalur kausal yang terkuantifikasi, memungkinkan manajer dan penerima hibah untuk memprioritaskan alokasi sumber daya dengan presisi ilmiah, beralih dari korelasi ke prediksi.
2. Studi Komparatif Lintas Regional dan Lintas Profesi di Nigeria
Justifikasi Ilmiah: Studi ini terbatas pada tradesmen di Lagos, dan temuan tidak digeneralisasi untuk profesional. Lagos memiliki kekhasan yang mungkin berbeda dengan pusat konstruksi lain. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus direplikasi di pusat konstruksi utama lain di Nigeria (misalnya, Abuja) dan secara eksplisit menyertakan profesional konstruksi (manajer proyek, insinyur) dalam pengambilan sampel. Variabel baru yang harus diuji adalah Persepsi Ketidakcocokan Antar-Level Organisasi (Inter-Level Organizational Discrepancy) untuk mengukur perbedaan prioritas keselamatan antara manajemen dan pekerja lapangan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Perbandingan lintas regional dan profesional ini akan menentukan generalisabilitas faktor pendorong K3, memungkinkan pengembangan Kerangka K3 Nasional yang adaptif, bukan hanya Solusi Lagos yang terisolasi.
3. Eksplorasi Peran Variabel Kognitif dan Literasi dalam Pelaksanaan Pelatihan K3
Justifikasi Ilmiah: Pelatihan (MIS 4.31 dan 4.25) sangat penting , tetapi mayoritas responden memiliki literasi formal yang rendah, yang mengurangi efikasi kebijakan berbasis teks. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus mengadopsi desain kuasi-eksperimental untuk menguji efektivitas intervensi pelatihan berbasis visual/simulasi (misalnya, pelatihan gamified atau VR sederhana) yang secara khusus ditujukan pada pekerja dengan literasi rendah. Variabel yang diukur adalah retensi pengetahuan keselamatan dan koefisien transfer perilaku (sejauh mana pengetahuan diterjemahkan menjadi tindakan aman). Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini akan menghasilkan modul pelatihan K3 yang efisien dan budaya-sensitif, memastikan bahwa investasi Komitmen Manajemen dalam pelatihan (yang merupakan bagian dari faktor principal) menghasilkan perubahan perilaku yang nyata di lapangan.
4. Analisis Pengaruh Upstream Planning (Project Design dan Environmental Factors)
Justifikasi Ilmiah: Klaster Project Design (5.931% varians) dan Environmental (5.871% varians) menunjukkan bahwa keputusan perencanaan yang diambil di awal proyek memiliki kontribusi yang terukur terhadap perilaku di situs. Variabel seperti planned and organized site layout menempati peringkat yang relatif rendah (MIS 3.79, peringkat 29) , menunjukkan perlunya perbaikan hulu. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menggunakan studi kasus mendalam untuk mengukur Safety-in-Design (SiD) Maturity Index dari proyek di Lagos dan secara retrospektif menghubungkannya dengan perilaku tidak aman yang dilaporkan. Fokus harus pada integrasi keputusan desain dengan faktor lingkungan yang dapat dikendalikan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini memungkinkan pergeseran pencegahan kecelakaan dari intervensi reaktif pada tingkat pekerja (hilir) ke desain dan perencanaan proaktif di tingkat manajer dan perancang (hulu), yang memiliki potensi dampak pencegahan sistemik yang jauh lebih besar.
5. Pengembangan Indeks Kepatuhan Manajemen Berbasis Tindakan yang Diukur (MVA Index)
Justifikasi Ilmiah: Komitmen Manajemen adalah faktor utama, tetapi perlu diukur secara objektif. Komponennya mencakup tindakan terukur seperti inspeksi rutin (MIS 4.32), penegakan aturan (MIS 4.40), dan alokasi sumber daya. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus merancang dan memvalidasi Management Visibility and Accountability (MVA) Index yang mengukur frekuensi, kualitas, dan konsistensi dari tindakan manajemen ini. Indeks ini harus mencakup dimensi sanksi yang dialokasikan kepada pekerja karena melanggar aturan keselamatan (MIS 3.95) sebagai ukuran penegakan yang objektif. Perlunya Penelitian Lanjutan: Indeks MVA akan berfungsi sebagai alat diagnostik standar bagi perusahaan dan regulator untuk secara objektif menilai efektivitas Komitmen Manajemen, memfasilitasi audit K3 yang transparan dan dapat diperbandingkan di seluruh industri.
Potensi Jangka Panjang dan Keterhubungan Sistemik
Temuan bahwa Komitmen Manajemen adalah pendorong kausalitas utama menawarkan potensi jangka panjang yang transformatif bagi sektor konstruksi Nigeria. Jika institusi penelitian berhasil mengembangkan dan memvalidasi alat pengukuran dan intervensi berbasis Management Commitment (seperti MVA Index dan modul pelatihan non-literasi), hal ini akan menciptakan efek domino sistemik:
Ajakan Kolaboratif
Untuk memastikan keberlanjutan, generalisabilitas, dan validitas hasil dari agenda riset yang disarankan di atas—terutama implementasi model SEM, studi komparatif regional, dan validasi indeks MVA—penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin dan lintas benua. Secara khusus, penelitian harus melibatkan Bamidele Olumilua University of Education, Science and Technology, Osun State University, Obafemi Awolowo University (mewakili konteks lokal dan keahlian di Nigeria), Western Sydney University (mewakili praktik terbaik dan validasi metrik di negara maju), dan Universidade Federal do Rio de Janeiro (mewakili keahlian di negara berkembang non-Afrika) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil yang dapat diterapkan secara global.
(https://doi.org/10.1080/15623599.2024.2325750)