Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025
Tinjauan Struktural Model Manajemen Bencana dan Kontribusi Masa Depannya: Sebuah Peta Jalan untuk Komunitas Akademik dan Penerima Hibah
Paragraf Pembuka: Krisis yang Terus Meningkat Membutuhkan Kerangka Kerja yang Jelas
Fenomena bencana global, yang ditandai dengan peningkatan signifikan dalam kematian, korban, dan kerugian ekonomi akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan gangguan sosial-politik, telah menempatkan manajemen bencana sebagai disiplin ilmu yang krusial bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan. Meskipun terdapat berbagai model yang dirancang untuk membantu pemerintah dan lembaga kebencanaan, realitasnya adalah pengelolaan bencana masih sering kali tidak efisien. Studi kualitatif ini, yang dilakukan oleh Alrehaili et al. (2022) melalui tinjauan literatur dan analisis tematik, hadir sebagai upaya mendasar untuk mengevaluasi secara kritis kontribusi model-model yang ada dan menyusun taksonomi yang komprehensif bagi bidang ini.
Penelitian ini tidak bertujuan untuk menawarkan model baru, melainkan untuk memperluas pengetahuan yang ada mengenai kegunaan dan keterbatasan model-model tersebut. Secara metodologis, studi ini mengadopsi pendekatan konstruktivis dan interpretivis, menggunakan tinjauan literatur kualitatif dan analisis konten untuk menginvestigasi realitas bencana yang kompleks, tidak stabil, dan non-linear. Aliran logis temuan dimulai dengan penegasan bahwa model adalah alat pendukung keputusan yang sangat diperlukan; mereka menyederhanakan situasi yang rumit dan membantu perencana, manajer, dan praktisi dalam mencapai keputusan yang tepat.
Temuan utama dari tinjauan ini adalah klasifikasi model manajemen bencana ke dalam lima kelompok yang berbeda: Model Logis, Model Kausal, Model Terintegrasi, Model Kombinatorial, dan Model Tidak Terkategori. Klasifikasi ini muncul dari analisis terhadap karya-karya sebelumnya oleh Asghar et al. (2006) dan Nojavan et al. (2018), yang memperkenalkan kelompok "kombinatorial" untuk model yang menggabungkan elemen dari tiga kelompok pertama. Mayoritas model (seperti Model Tradisional dan Model Empat Fase Kimberly) dibangun di atas empat fase utama manajemen bencana—mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan. Namun, model Kausal, seperti "Crunch Cause Model" (2000), menunjukkan fokus yang berbeda, dengan temuan deskriptif yang menunjukkan hubungan kuat antara variabel "Bahaya (Hazard)" dan "Kerentanan (Vulnerability)"—menghasilkan koefisien deskriptif yang secara eksplisit dirumuskan: Hazard + Vulnerability = Disaster Risk. Pernyataan ini menunjukkan potensi kuat bagi pengukuran variabel dan pengembangan objek penelitian baru (Risiko Bencana) yang diidentifikasi secara kausal.
Meskipun demikian, studi ini juga mengonfirmasi keraguan yang menyelimuti model-model ini, termasuk sifatnya yang terlalu preskriptif, pendekatan "satu ukuran untuk semua" (one-size-fits-all), ketidakmampuan untuk memprediksi bencana di masa depan secara akurat, dan adanya pemahaman yang terbatas di kalangan praktisi. Intinya adalah: model-model ini berharga, tetapi implementasinya yang salah atau pemahamannya yang buruk dapat membuatnya tidak efektif, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah dan komunitas.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi paling substansial dari studi ini adalah penyediaan taksonomi struktural yang memetakan lanskap model manajemen bencana. Dengan mengidentifikasi lima kelompok (Logis, Kausal, Terintegrasi, Kombinatorial, Tidak Terkategori), penelitian ini menyederhanakan kerumitan disiplin ilmu ini dan memberikan kerangka kerja yang jelas bagi akademisi untuk membandingkan dan mengontraskan model.
Kontribusi lainnya, yang didukung oleh Kelly (1999), adalah penegasan kembali peran vital model sebagai alat pengintegrasi yang menciptakan pemahaman bersama di antara semua pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh, Model Kesehatan Manitoba (2002), yang merupakan Model Terintegrasi, memisahkan fase-fase manajemen bencana dengan jelas (Strategi, Penilaian Risiko, Pengelolaan Bahaya, Mitigasi, Kesiapsiagaan, Pemantauan dan Evaluasi), yang memungkinkan pengelolaan bencana secara efektif melalui hubungan yang fleksibel antarproses. Penemuan ini membuktikan bahwa ketika diterapkan dengan benar, model-model ini bersifat sangat bermanfaat dan merupakan teknik yang penting untuk memastikan manajemen bencana yang berhasil.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Keterbatasan utama yang diidentifikasi dalam tinjauan ini adalah sifat preskriptif, spesifik, dan terbatas dari banyak model, yang membuatnya rentan terhadap kritik dan dipertanyakan kegunaannya oleh pengambil keputusan dan praktisi. Desain model yang langkah demi langkah mengabaikan fitur bencana yang kompleks dan sering kali kacau, yang jarang berjalan sesuai rencana.
Keterbatasan lainnya adalah anggapan "satu ukuran untuk semua" yang diterapkan oleh beberapa model, yang mengabaikan variabel spesifik setiap bencana, seperti perbedaan budaya, tata kelola, dan ketersediaan sumber daya. Ini menimbulkan pertanyaan terbuka yang mendesak:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Riset lanjutan perlu secara eksplisit mengatasi kesenjangan pengetahuan dan keterbatasan model yang ditemukan dalam tinjauan ini untuk memastikan efektivitas jangka panjang disiplin ilmu manajemen bencana.
1. Pengembangan Metodologi Meta-Model Kombinatorial untuk Validasi Silang
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini mengidentifikasi Model Kombinatorial (campuran Logis, Kausal, dan Terintegrasi) sebagai upaya untuk menggabungkan keunggulan model lain dan mengatasi defisiensi. Namun, efektivitas komparatifnya belum teruji secara sistematis. Arah Riset: Riset ke depan harus berfokus pada perancangan dan validasi Metodologi Meta-Model Kombinatorial dengan tujuan untuk membangun sebuah kerangka kerja kuantitatif yang dapat menetapkan bobot optimal (optimal weighting) untuk elemen-elemen dari Model Kausal dan Terintegrasi dalam fase Logis (Mitigasi/Kesiapsiagaan). Metode/Variabel Baru: Metode simulasi berbasis agen (Agent-Based Modeling, ABM) dapat digunakan untuk menguji efisiensi Kombinatorial Model, dengan variabel koordinasi antar-pemangku kepentingan sebagai variabel independen. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah model menjadi alat prediksi dan perencanaan yang lebih canggih, menggantikan dogma model tunggal dengan ekosistem model yang fleksibel.
2. Membangun dan Menguji Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM)
Justifikasi Ilmiah: Kritik utama terhadap model adalah sifatnya yang preskriptif dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan variabel spesifik bencana, seperti variasi budaya dan sumber daya. Arah Riset: Diperlukan studi intervensi jangka panjang untuk mengembangkan dan memvalidasi Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM). ADMM harus mengintegrasikan mekanisme umpan balik cepat (real-time feedback) dan mengutamakan fase deteksi dan pembelajaran yang ditekankan dalam model seperti The Five-Stage Model Mitroff dan Pearson (1993). Metode/Variabel Baru: Pengujian kasus komparatif longitudinal pada bencana dengan variasi budaya dan pemerintahan yang berbeda (variabel konteks baru) untuk mengukur koefisien korelasi antara tingkat adaptabilitas model (variabel independen) dan waktu pemulihan komunitas (variabel dependen). Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini sangat penting untuk menjamin relevansi model di tengah-tengah tren global yang menunjukkan peningkatan kompleksitas dan non-linearitas bencana.
3. Analisis Kesenjangan Kognitif Praktisi terhadap Pemanfaatan Model
Justifikasi Ilmiah: Studi ini menemukan bahwa manajer dan praktisi sering kali memiliki pemahaman yang terbatas atau skeptis terhadap kegunaan model. Kesenjangan kognitif ini secara langsung menghambat implementasi model yang efektif. Arah Riset: Melakukan penelitian survei berbasis skala psikometri yang luas untuk menganalisis kesenjangan antara pengetahuan model teoritis akademisi dengan keterampilan aplikasi model praktisi. Metode/Variabel Baru: Mengembangkan Indeks Kompetensi Model Bencana (ICMB) sebagai variabel independen. Uji regresi diperlukan untuk menentukan seberapa besar peningkatan ICMB (misalnya, peningkatan pelatihan model) dapat memengaruhi penurunan kerugian pasca-bencana, yang mengarah pada peningkatan efektivitas manajemen bencana secara keseluruhan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan menjadi dasar bagi perumusan kurikulum pelatihan dan strategi transfer teknologi yang lebih efektif dari akademisi ke lembaga tanggap bencana.
4. Mendefinisikan Ulang dan Mengukur Ketahanan melalui Fase Pemulihan Mendalam
Justifikasi Ilmiah: Meskipun pemulihan adalah salah satu dari empat fase utama, beberapa model dianggap mengabaikan fase pra-bencana atau pasca-bencana secara memadai. Padahal, bencana merupakan ancaman signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan. Arah Riset: Fokus pada dekonstruksi mendalam fase pemulihan, mirip dengan fokus Model Contreras (2016) pada pemulihan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan Indeks Pemulihan Berkelanjutan Jangka Panjang (LSRI) yang berorientasi pada hasil pembangunan. Metode/Variabel Baru: Studi kasus komparatif (misalnya, antara bencana alam dan bencana buatan manusia) untuk mengukur koefisien metrik pemulihan infrastruktur (post-disaster infrastructure recovery metrics) sebagai variabel terikat, yang ditargetkan untuk kembali ke metrik yang lebih baik dari status pra-bencana. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah fokus dari sekadar kembali normal menjadi membangun kembali dengan lebih baik (Build Back Better), memberikan metrik yang jelas untuk penerima hibah yang berfokus pada hasil pembangunan.
5. Validasi Komparatif Model Terintegrasi untuk Bencana Teknologi Modern
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini menunjukkan efektivitas model manajemen bencana dalam konteks bencana buatan manusia, seperti kasus ledakan industri. Model yang tidak terkategori, seperti Model Ibrahim et al. (2003), secara spesifik berfokus pada bencana teknologi. Arah Riset: Melakukan validasi komparatif model terintegrasi dan tidak terkategori (seperti Model Sistem-Oriented Terintegrasi, 2016, yang berfokus pada respons darurat, dan Model Ibrahim et al.) dalam konteks risiko industri 4.0 (misalnya, serangan siber, kegagalan infrastruktur kritis). Metode/Variabel Baru: Menggunakan analisis kerangka kerja (framework analysis) untuk membandingkan kapasitas prediktif dan responsif model-model ini terhadap bencana teknologi kontemporer. Variabel kuncinya adalah komponen ilmu sosial, teknik, dan fisika yang terintegrasi, yang telah dimasukkan dalam Model Terintegrasi McEntire et al. (2010) . Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan memastikan bahwa kerangka kerja manajemen bencana tetap relevan di tengah pergeseran ancaman dari bahaya alam ke risiko sistemik yang didorong oleh teknologi.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Tinjauan struktural ini telah mengonfirmasi bahwa model manajemen bencana adalah alat yang penting, yang mampu menyederhanakan kompleksitas, mendukung pengambilan keputusan, dan mengintegrasikan aktivitas. Namun, potensi jangka panjang model-model ini hanya dapat terwujud jika komunitas riset secara kolektif mengatasi kelemahan preskriptif dan kesenjangan implementasi praktisi.
Arah riset ke depan harus berpindah dari identifikasi model menuju integrasi, adaptasi, dan validasi model secara kuantitatif dalam konteks yang beragam dan non-linear. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin antara lembaga ilmu sosial dan tata kelola bencana (seperti pusat studi kebijakan publik), institusi teknik dan pemodelan komputasi (untuk simulasi ABM dan ADMM), dan organisasi kemanusiaan dan tanggap darurat (untuk validasi lapangan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Ilmu Terapan
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025
Membentuk Masa Depan Kota Tangguh: Peta Jalan Riset untuk Ketahanan Perkotaan Berbasis Data dan Interdisipliner
Ketahanan Perkotaan (Urban Resilience atau UR) merupakan sebuah konsep krusial yang memungkinkan kota dan komunitas untuk menahan gangguan secara optimal dan pulih kembali ke keadaan sebelum gangguan terjadi. Dengan proyeksi lebih dari 60% populasi dunia tinggal di perkotaan pada tahun 2030, dan 90% wilayah metropolitan berada di pesisir yang rentan terhadap risiko bencana iklim, kebutuhan akan solusi UR yang inovatif dan berkelanjutan menjadi mendesak. Tinjauan literatur sistematis ini—yang menganalisis 68 makalah jurnal yang terindeks Scopus dari tahun 2011 hingga 2022—memberikan gambaran komprehensif mengenai tren utama dan, yang lebih penting, menggarisbawahi arah riset masa depan bagi komunitas akademis, peneliti, dan penerima hibah.
Penelitian ini memaparkan UR sebagai persimpangan antara Manajemen Aset, Manajemen Risiko, dan Mekanisme Pendukung Ilmu Keputusan seperti Sistem Informasi Geografis (GIS). Ketiga pilar ini bertujuan untuk mencapai sasaran kembar dari Agenda PBB 2030, yaitu menciptakan kota yang tangguh dan berkelanjutan.
Tinjauan ini mengelompokkan literatur menjadi tiga kategori: tinjauan literatur, model konseptual, dan model analitis. Hasilnya, fokus diskusi utama dalam publikasi UR adalah perubahan iklim, penilaian dan manajemen risiko bencana, GIS, infrastruktur perkotaan dan transportasi, pengambilan keputusan dan manajemen bencana, ketahanan komunitas dan bencana, serta infrastruktur hijau dan pembangunan berkelanjutan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Tinjauan ini secara tegas memposisikan integrasi asset and disaster risk management methods dengan GIS-based decision-making tools sebagai pendekatan yang sangat direkomendasikan untuk secara signifikan meningkatkan UR.
Data Kuantitatif Deskriptif Kunci:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Terlepas dari perkembangan ini, tinjauan ini mengidentifikasi lima kesenjangan riset utama yang membatasi penerapan dan skalabilitas model UR.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Lima rekomendasi ini secara langsung membahas kesenjangan yang teridentifikasi, dengan fokus pada penguatan fondasi metodologis dan analitis UR.
1. Pengembangan Kerangka Kerja UR Semantik-Spasial Terpadu
2. Perancangan Model UR Parametrik dan Adaptif
3. Integrasi Alat GIS Multidimensi dengan Analisis Kompleksitas Jaringan
4. Pemanfaatan Analisis Stokastik untuk Simulasi Kota Virtual
5. Pengembangan Mekanisme Pengambilan Keputusan Berbasis Skenario Adaptif
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari berbagai domain seperti pusat penelitian Teknik dan GIS (untuk pemodelan analitis dan spasial), departemen Ilmu Sosial dan Kebijakan Publik (untuk analisis tata kelola dan komunitas), dan badan pendanaan internasional seperti World Bank Group dan Rockefeller Foundation (untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil global).
Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025
Bencana alam, khususnya banjir, merupakan ancaman nyata yang terus meningkat seiring dengan perubahan iklim dan urbanisasi global. Kerentanan infrastruktur terhadap kejadian-kejadian ini telah menjadi fokus krusial bagi keberlangsungan fungsi masyarakat. Resensi riset ini bersumber dari sebuah tinjauan sistematis komprehensif yang bertujuan untuk memetakan lanskap penelitian akademik mengenai upaya peningkatan ketahanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Tinjauan ini secara eksplisit dirancang sebagai peta jalan bagi komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset, dengan fokus pada penyusunan agenda riset ke depan yang menjembatani temuan saat ini dengan kebutuhan implementasi jangka panjang.
Jalur logis perjalanan temuan dalam tinjauan ini disusun melalui tiga tahapan metodologis yang ketat:
Enam kategori riset yang ditemukan mencakup: (A) analisis risiko banjir (17 studi), (B) prediksi dan peramalan banjir real-time (11 studi), (C) investigasi dampak fisik (29 studi), (D) analisis kerentanan sistem transportasi (25 studi), (E) strategi mitigasi dan persiapan (20 studi), dan (F) area terkait lainnya (31 studi). Dengan 31 studi, Kategori F memiliki jumlah studi paling banyak, diikuti oleh Kategori C (29 studi), menunjukkan fokus riset saat ini yang luas dan mendalam pada dampak serta area terkait ketahanan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi-studi yang ditinjau menunjukkan kemajuan signifikan dalam pemodelan, pengumpulan data, dan analisis kerentanan. Kontribusi utama terbagi dalam beberapa domain:
Secara geografis, kepentingan riset ini diakui secara global, dengan 39 studi dilakukan di Asia, 32 di Amerika Utara (khususnya AS), dan 29 di Eropa. Distribusi ini menunjukkan pentingnya penelitian di wilayah yang mengalami urbanisasi pesat di sepanjang garis pantai dan kenaikan permukaan air laut, seperti di Asia, di mana kerentanan meningkat akibat kepadatan penduduk dan aset.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusi riset saat ini sangat berharga, tinjauan ini secara eksplisit mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan yang signifikan dalam alur kerja IRPF. Mayoritas studi yang ada berfokus pada Penilaian Risiko (Langkah 3) dan Pengembangan Tindakan (Langkah 4, sebagian).
Kesenjangan kritis yang memerlukan perhatian mendesak dalam riset ke depan berada pada komponen Implementasi dan Evaluasi (Langkah 5 IRPF) dan sebagian dari Langkah 4. Empat komponen utama yang kurang mendapat perhatian dalam literatur adalah:
Kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun komunitas akademik telah berhasil mengidentifikasi ancaman, menilai risiko, dan merumuskan solusi resiliensi, metodologi dan kerangka kerja untuk mengukur keberhasilan implementasi solusi-solusi tersebut di lapangan masih sangat minim. Pertanyaan terbuka terpenting adalah: bagaimana kita mengukur dan memverifikasi bahwa sebuah tindakan mitigasi telah benar-benar meningkatkan ketahanan transportasi dalam konteks operasional nyata?
Keterbatasan ini menjadi penghalang terbesar dalam menjembatani temuan saat ini dan potensi jangka panjang untuk mencapai ketahanan transportasi berkelanjutan. Resiliensi sejati tidak hanya diukur dari kemampuan sistem untuk menahan bencana, tetapi juga dari kemampuan untuk pulih (recoup losses and recover stability) dan terus beradaptasi pasca-bencana, yang memerlukan pemantauan dan evaluasi berkelanjutan.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Untuk mengatasi keterbatasan yang teridentifikasi dan memperluas kontribusi riset saat ini, lima rekomendasi riset berkelanjutan berikut disajikan:
1. Pengembangan Metrik Kinerja Resiliensi Operasional (RPM) Jaringan
Riset selanjutnya harus berfokus pada pengembangan Metrik Kinerja Resiliensi Operasional (RPM) yang terukur untuk infrastruktur transportasi, sebuah upaya yang secara langsung mengisi kesenjangan pada komponen pemantauan dan evaluasi efektivitas (Langkah 5 IRPF).
2. Integrasi IoT dan Deep Learning untuk Peramalan Banjir Street-Level
Peningkatan akurasi sistem peringatan dini menuntut perluasan riset dalam Kategori B (Prediksi Banjir Real-Time).
3. Analisis Kerentanan Sosial-Ekonomi Inklusif Jaringan Transportasi
Riset harus memperluas definisi kerentanan (Kategori D) untuk memastikan keadilan dalam strategi kesiapsiagaan.
4. Evaluasi Kinerja Bahan Konstruksi Adaptif dan Berkelanjutan
Studi dalam Kategori E (Mitigasi) harus beralih dari usulan mitigasi ke evaluasi kinerja struktural dan lingkungan.
5. Pemodelan Kegagalan Berantai Probabilistik Antarsistem Kritis
Riset harus memperdalam pemahaman tentang sifat interdependensi antar infrastruktur kritis (Kategori F).
Kesimpulan
Tinjauan sistematis ini menunjukkan bahwa komunitas riset telah meletakkan fondasi yang kuat dalam pemahaman risiko dan kerentanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Namun, tantangan yang lebih besar, dan potensi jangka panjang yang sesungguhnya, terletak pada penguatan Langkah Implementasi dan Evaluasi IRPF CISA. Dengan memfokuskan agenda riset ke depan pada pengembangan metrik kinerja operasional, integrasi data real-time yang cerdas, analisis kerentanan yang inklusif, dan pemodelan interdependensi, peneliti dapat secara aktif menutup kesenjangan antara teori dan praktik. Upaya-upaya ini akan mengubah transportasi dari sekadar objek yang rentan menjadi sistem yang adaptif dan benar-benar tangguh dalam menghadapi ancaman iklim yang terus meningkat.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintah daerah (misalnya, dinas PUPR, perhubungan), industri teknologi geospasial, dan lembaga donor/hibah riset global untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta mendorong transisi dari analisis risiko ke ketahanan yang terimplementasi secara efektif.
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Studi dalam jurnal Sustainable Computing: Informatics and Systems (2025) menyoroti bahwa digitalisasi—terutama melalui Digital Twin, Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT)—telah menjadi kunci utama dalam mendorong efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan di sektor konstruksi.
Teknologi digital memungkinkan pemantauan siklus hidup proyek secara real-time, mulai dari perencanaan, pengadaan material, hingga perawatan infrastruktur. Pendekatan ini mengurangi pemborosan hingga 25% dan menekan emisi karbon konstruksi hingga 15%, menurut hasil riset yang tercantum dalam dokumen tersebut.
Bagi Indonesia, temuan ini penting karena sejalan dengan Rencana Induk Transformasi Digital Nasional dan target pengurangan emisi karbon sebesar 31,89% pada 2030. Integrasi smart supply chain juga relevan bagi lembaga seperti Kementerian PUPR dan BRIN dalam mendukung pengelolaan infrastruktur berbasis data.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Digitalisasi rantai pasok konstruksi di berbagai negara telah memberikan dampak signifikan:
Meningkatkan efisiensi distribusi material hingga 30%.
Mengurangi keterlambatan proyek melalui pemantauan data real-time.
Meningkatkan kolaborasi lintas sektor antara desainer, kontraktor, dan pemasok.
Namun, terdapat tiga hambatan utama dalam implementasinya di Indonesia:
Kesenjangan infrastruktur digital. Masih banyak proyek konstruksi di daerah yang belum terkoneksi dengan sistem data terpusat.
Keterbatasan SDM digital. Tenaga kerja konstruksi sebagian besar belum terlatih dalam penggunaan AI atau IoT.
Kurangnya kebijakan data governance. Belum ada regulasi yang mengatur integrasi dan keamanan data proyek konstruksi antar instansi.
Meski demikian, peluang digitalisasi semakin terbuka berkat inisiatif pemerintah dalam smart city dan sistem e-procurement nasional. Program seperti Kursus Building Information Modeling (BIM) untuk Infrastruktur dapat menjadi pintu masuk untuk implementasi konstruksi cerdas di berbagai proyek strategis.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Bentuk Kerangka Nasional Smart Construction dan Digital Supply Chain
Pemerintah perlu menetapkan National Digital Construction Framework untuk mengintegrasikan data proyek, manajemen rantai pasok, dan pemantauan emisi dalam satu sistem.
Perkuat Kapasitas SDM Konstruksi Digital
Kolaborasi antara pemerintah, universitas, dan platform pelatihan perlu diperluas agar tenaga kerja memahami pengelolaan proyek berbasis data.
Dorong Penggunaan Teknologi AI dan Digital Twin
Implementasi AI untuk perencanaan prediktif dan simulasi Digital Twin wajib menjadi syarat dalam tender proyek besar, terutama di sektor publik.
Bangun Pusat Data Nasional Konstruksi (Construction Data Hub)
Fasilitas ini harus menampung seluruh data rantai pasok dan status infrastruktur untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based policy).
Berikan Insentif Pajak untuk Adopsi Teknologi Hijau
Kontraktor dan konsultan yang mengimplementasikan sistem digitalisasi efisien energi dan manajemen limbah cerdas dapat diberikan keringanan pajak atau prioritas tender proyek pemerintah.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan digitalisasi konstruksi berpotensi gagal bila tidak dibarengi dengan integrasi lintas sektor dan tata kelola data yang kuat.
Beberapa risiko yang mungkin muncul antara lain:
Ketimpangan digital antara kota besar dan daerah terpencil.
Implementasi sistem yang mahal tanpa pelatihan teknis berkelanjutan.
Data proyek yang terfragmentasi karena kurangnya standar interoperabilitas.
Selain itu, fokus kebijakan yang terlalu menekankan teknologi tanpa memperhatikan aspek sosial—seperti perlindungan tenaga kerja manual—dapat memperlebar kesenjangan ekonomi di sektor konstruksi. Oleh karena itu, pendekatan inklusif berbasis pelatihan dan kolaborasi menjadi kunci keberhasilan.
Penutup
Transformasi digital dalam industri konstruksi adalah kunci menuju efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan. Dengan memanfaatkan AI, IoT, dan Digital Twin, Indonesia dapat mengubah sistem rantai pasok konvensional menjadi ekosistem smart supply chain yang adaptif dan ramah lingkungan.
Melalui kolaborasi kebijakan lintas lembaga dan penguatan kapasitas SDM, Indonesia berpeluang menjadi pelopor smart construction ecosystem di Asia Tenggara.
Sumber
Sustainable Computing: Informatics and Systems, 2025.
inovasi teknologi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Industri konstruksi berkontribusi besar terhadap emisi karbon global dan timbulan limbah padat. Menurut penelitian dalam Journal of Cleaner Production (2022), sektor ini menyumbang hingga 40% konsumsi energi dunia dan 30% emisi gas rumah kaca. Tantangan utama terletak pada praktik produksi linear—mengambil, menggunakan, lalu membuang—yang tidak berkelanjutan.
Pendekatan ekonomi sirkular (circular economy) menawarkan solusi dengan menutup siklus material: bahan bangunan dapat digunakan kembali, didaur ulang, atau direkayasa ulang agar memiliki nilai baru. Penelitian tersebut menekankan bahwa kebijakan publik perlu beralih dari efisiensi energi semata menuju manajemen sumber daya sirkular.
Bagi Indonesia, temuan ini penting karena mendukung agenda transisi hijau nasional serta kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2025–2045). Upaya penerapan ekonomi sirkular di sektor konstruksi juga selaras dengan berbagai pelatihan seperti Pengelolaan Sampah Konstruksi.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Negara-negara Eropa yang telah mengimplementasikan prinsip ekonomi sirkular dalam konstruksi melaporkan penurunan limbah hingga 50% serta penghematan biaya material hingga 30%. Dampak positifnya tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada penciptaan lapangan kerja hijau dan inovasi desain arsitektur berkelanjutan.
Namun, di Indonesia, implementasi masih menghadapi beberapa hambatan besar:
Kurangnya kebijakan integratif. Regulasi mengenai daur ulang material konstruksi masih tersebar di berbagai peraturan tanpa panduan pelaksanaan yang jelas.
Keterbatasan infrastruktur dan teknologi daur ulang. Banyak daerah belum memiliki fasilitas pemrosesan limbah bangunan yang efisien.
Rendahnya kesadaran pelaku industri. Banyak kontraktor masih menganggap daur ulang sebagai biaya tambahan, bukan investasi jangka panjang.
Meski demikian, peluangnya terbuka lebar. Pemerintah dapat memanfaatkan inisiatif seperti green procurement, penerapan Building Information Modeling (BIM) berbasis sirkularitas, dan pelatihan profesional berkelanjutan.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Integrasikan Prinsip Ekonomi Sirkular ke dalam Regulasi Konstruksi Nasional
Kementerian PUPR perlu merevisi standar teknis konstruksi agar mencakup penggunaan material daur ulang dan sistem audit lingkungan proyek.
Bangun Ekosistem Industri Daur Ulang Bangunan
Pemerintah daerah dapat menyediakan insentif pajak bagi perusahaan yang menggunakan material hasil daur ulang atau menerapkan sistem take-back scheme.
Kembangkan Sertifikasi Kompetensi untuk Profesional Hijau
Sertifikasi berbasis pelatihan perlu diwajibkan bagi insinyur dan kontraktor.
Dorong Kolaborasi Publik-Swasta untuk Inovasi Material
Melibatkan universitas, startup material hijau, dan perusahaan konstruksi untuk menciptakan produk ramah lingkungan dengan dukungan riset dan insentif inovasi.
Integrasikan Digitalisasi melalui BIM dan IoT
Penggunaan Building Information Modeling (BIM) dan teknologi Internet of Things dapat membantu memantau sirkulasi material, mengoptimalkan penggunaan sumber daya, dan mengurangi pemborosan proyek.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan ekonomi sirkular berpotensi gagal jika diterapkan tanpa kerangka pengawasan yang kuat dan komitmen lintas lembaga. Risiko yang dapat muncul antara lain:
Implementasi hanya simbolik tanpa perubahan nyata di lapangan.
Pengawasan limbah tidak berjalan karena kurangnya data dan transparansi.
Minimnya koordinasi antar kementerian menyebabkan kebijakan tumpang tindih.
Keterbatasan teknologi lokal membuat ketergantungan impor material hijau semakin tinggi.
Untuk menghindarinya, dibutuhkan roadmap nasional ekonomi sirkular yang konkret, dengan target jangka pendek dan jangka panjang yang terukur, serta publikasi hasil pemantauan yang dapat diakses publik secara terbuka.
Penutup
Ekonomi sirkular dalam industri konstruksi bukan sekadar konsep hijau, tetapi strategi ekonomi yang memperkuat ketahanan nasional terhadap krisis sumber daya. Melalui kebijakan yang berpihak pada inovasi, kolaborasi lintas sektor, dan peningkatan kapasitas SDM, Indonesia dapat menjadi pelopor konstruksi berkelanjutan di Asia Tenggara.
Sumber
Journal of Cleaner Production, 2022.