Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Maret 2025
Berbagai upaya peningkatan pelaksanaan dan penelitian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di bidang konstruksi telah dilakukan. Namun, masih banyak hal yang perlu diteliti, terutama untuk justifikasi ekonomi yang memerlukan kajian lebih lanjut. Untuk itu, Indonesia melalui Kementeriaan Ketenagakerjaan menyelenggarakan ASEAN-OSHNET The 1st Workshop Research on Economic Justification of Occupational Safety and Health Implementation in the Construction Sector (Penelitian Justifikasi Ekonomi Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Sektor Konstruksi).
Workshop penelitian ini diselenggarakan selama dua hari, yakni pada Rabu-Kamis (13-14/10/2021) secara virtual dan diikuti semua negara anggota ASEAN. Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Binwasnaker dan K3) Haiyani Rumondang menyatakan bahwa, workshop penelitian ini penting mengingat sektor konstruksi memiliki risiko K3 yang tinggi.
"Melalui kegiatan penelitian ini diharapkan dapat membantu menekan kecelakaan kerja melalui pendekatan justifikasi ekonomi di sektor konstruksi. Kalau kecelakaan kerja bisa ditekan, maka pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja," ujarnya.
Merujuk siaran pers ILO pada 17 September 2021, ILO dan WHO memperkirakan hampir dua juta orang meninggal karena penyakit dan cedera akibat kerja. Kecelakaan dan penyakit akibat kerja mengurangi produktivitas, membebani sistem kesehatan, dan dapat berdampak pada pendapatan pekerja.
Oleh karena itu, sambungnya, pemerintah, pengusaha, dan pekerja perlu bekerja sama untuk mengambil tindakan guna mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja mengingat rentannya bahaya di tempat kerja, khususnya di sektor konstruksi. "Pimpinan kami, Ibu Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah juga dalam berbagai kesempatan sangat menekankan pentingnya K3 di tempat kerja, terutama di sektor konstruksi yang rentan akan bahaya kecelakaan dan penyakit akibat kerja," ucapnya.
Sumber: nasional.sindonews.com
Pertambangan dan Perminyakan
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Maret 2025
Geologi dan geofisika adalah dua cabang ilmu yang mempelajari tentang bumi, tetapi dengan cara yang berbeda. Lalu sebenarnya apa perbedaan dari geologi dan geofisika? Secara umum, perbedaan dari dua cabang ilmu tersebut ada beberapa.
Perbedaan utama ada pada fokus dari masing-masing cabang ilmu dalam mempelajari bumi. Akan tetapi, secara tujuan keduanya sama-sama bertujuan untuk mengetahui keadaan bumi dan pembentukannya.
Apa Perbedaan dari Geologi dan Geofisika? Ini Jawabannya
Dikutip dari buku Pengantar Geologi, Djauhari Noor, (2014), geologi berfokus pada pengamatan langsung terhadap batuan, struktur, komposisi, dan sejarah pembentukan bumi.
Sementara itu, geofisika berfokus pada pengukuran parameter fisika di permukaan bumi untuk mendapatkan informasi tentang bagian-bagian yang tersembunyi di bawahnya.
Kedua bidang ilmu ini saling berkaitan dan saling melengkapi dalam memahami fenomena bumi, baik untuk kepentingan keilmuan maupun eksplorasi sumber daya alam. Lalu apa perbedaan dari geologi dan geofisika? Ini ulasan lengkapnya.
1. Ilmu Geologi
Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi secara umum, termasuk asal-usul, struktur, komposisi, perubahan, dan sejarahnya. Geologi juga mempelajari tentang proses-proses yang terjadi di dalam dan di atas permukaan bumi, seperti tektonik, vulkanisme, erosi, sedimentasi, metamorfisme, dan lain-lain.
Geologi menggunakan metode-metode seperti pengamatan lapangan, pemetaan, pengambilan sampel, analisis laboratorium, pengeboran, dan lainnya untuk mengumpulkan data tentang batuan dan mineral yang membentuk bumi.
Geologi juga menggunakan prinsip-prinsip dari ilmu-ilmu lain seperti kimia, biologi, fisika, dan matematika untuk menganalisa dan menginterpretasi data tersebut.
2. Ilmu Geofisika
Geofisika adalah ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip fisika untuk mengetahui dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan bumi.
Geofisika menggunakan peralatan-peralatan khusus untuk mengukur parameter fisika seperti gravitasi, magnetik, gelombang seismik, panas bumi, dan listrik di permukaan bumi.
Data-data tersebut kemudian diolah dan diinterpretasi untuk mendapatkan informasi tentang bentuk, struktur, komposisi, dan sifat-sifat fisik dari bagian-bagian bumi yang tidak dapat diamati secara langsung.
Geofisika juga menggunakan teori-teori fisika untuk memahami fenomena-fenomena geofisik seperti gempa bumi, medan magnet bumi, geodinamika, dll.
Jadi jawaban dari pertanyaan apa perbedaan utama antara geologi dan geofisika adalah jenis data yang digunakan. Geologi menggunakan data yang bersifat kualitatif dan deskriptif sementara geofisika menggunakan data yang bersifat kuantitatif dan numerik.
Sumber: kumparan.com
Pertambangan dan Perminyakan
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Maret 2025
Ada sejumlah kampus dengan jurusan Teknik Geofisika terbaik di Tanah Air yang memiliki akreditasi Unggul dan A. Salah satunya membuka dari jenjang S1 hingga S3.
Bagi sebagian orang, jurusan Teknik Geofisika mungkin masih terdengar asing. Prodi ini mempelajari aspek-aspek fisik dan dinamik bumi. Di Indonesia sendiri, sejumlah perguruan tinggi juga sudah membuka jurusan Teknik Geofisika. Beberapa di antaranya telah mendapatkan akreditasi Unggul hingga A. Berikut sejumlah kampus di Indonesia yang memiliki jurusan Teknik Geofisika terbaik. Kampus dengan Jurusan Teknik Geofisika Terbaik di Indonesia
1. Institut Teknologi Bandung (ITB)
Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan salah satu perguruan tinggi populer di Indonesia. Setiap tahunnya, cukup banyak calon mahasiswa yang mendaftar di berbagai jurusan yang disediakan. Melihat deretan jurusan kuliah yang dibuka ITB, mereka juga memiliki Teknik Geofisika. Mereka membuka program studi (prodi) Teknik Geofisika di strata S1, S2, dan S3. Prodi S1 Teknik Geofisika ITB memiliki akreditasi Unggul dari lembaga LAM Teknik dan masih berlaku hingga 20 Desember 2027 mendatang.
Sementara itu, untuk strata S2 Teknik Geofisika memiliki predikat Unggul dan jenjang S3 mempunyai akreditasi ‘A’.
2. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Tak kalah dengan ITB, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) juga memiliki peminat yang cukup besar setiap tahunnya. Dari sekian banyak jurusan yang dimiliki, mereka juga menyediakan prodi Teknik Geofisika. Prodi S1 Teknik Geofisika ITS memiliki akreditasi ‘Unggul’ dari BAN-PT. Predikat ini masih berlaku hingga 31 Maret 2024 mendatang.
Selain itu, mereka juga telah mendapatkan akreditasi internasional dari IABEE. Sertifikat tersebut didapat pada tahun 2021 lalu.
3. Universitas Syiah Kuala Universitas Syiah Kuala
adalah perguruan tinggi negeri tertua di Aceh. Mereka telah hadir sejak 2 September 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Nomor 11 tahun 1961, tanggal 21 Juli 1961. Pada perkembangannya, Universitas Syiah Kuala membuka banyak jurusan kuliah dalam bidang yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Teknik Geofisika. Saat ini, prodi S1 Teknik Geofisika Universitas Syiah Kuala mengantongi akreditasi ‘Unggul’ dari lembaga LAM Teknik. Predikat tersebut masih berlaku hingga 20 April 2028 mendatang.
4. Universitas Lampung
Berikutnya ada Universitas Lampung. Unila juga menjadi salah satu kampus yang memiliki jurusan Teknik Geofisika. Saat ini, prodi S1 Teknik Geofisika Universitas Lampung memiliki predikat ‘Unggul’ dari lembaga LAM Teknik. Akreditas ini masih berlaku sampai 20 Desember 2027.
5. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta
UPN Veteran Yogyakarta juga memiliki jurusan Teknik Geofisika. Saat ini, jenjang S1 dari prodi tersebut memiliki akreditasi ‘A’ dari BAN-PT. Akreditasi tersebut didasarkan pada SK nomor 3879/SK/BAN-PT/Akred/S/X/2019. Masa berlakunya akan habis pada 15 Oktober 2024 mendatang. Itulah sejumlah kampus dengan jurusan Teknik Geofisika terbaik di Indonesia yang memiliki akreditasi Unggul dan A.
Sumber: edukasi.sindonews.com
Pertahanan
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Maret 2025
Kesepakatan untuk membeli sejumlah pesawat jet tempur Rafale dari Prancis merupakan langkah terbaru Kementerian Pertahanan dalam meremajakan alat utama sistem senjata (alutsista) Indonesia.
Pembelian pertama jet tempur dari Prancis ini dilakukan Indonesia di tengah upaya merombak kekuatan alutsista udara yang menua - mencakup jet tempur F-16 buatan Amerika Serikat dan Su-27, Su-30 Sukhoi buatan Rusia. Pembelian itu diumumkan di tengah pengumuman Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang telah menyepakati kemungkinan penjualan pesawat F-15ID dan perlengkapan terkait senilai US$13.9 miliar (Rp200 triliun), kata Pentagon Kamis (10/02). Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah berencana berbelanja alutsista dengan anggaran sekitar Rp1.760 triliun hingga 2024.
Menurut pengamat pertahanan, pembelian pesawat-pesawat itu dilakukan ketika Indonesia sedang berusaha memperkuat pertahanannya untuk meningkatkan posisi tawar di kawasan Asia Pasifik.
Menteri urusan angkaan bersenjata Prancis, Florence Parly mengatakan setelah bertemu Prabowo di Jakarta bahwa "kemitraan strategis akan meningkatkan hubungan pertahanan kedua negara". Parly juga mengatakan Indonesia adalah negara kedua di kawasan Pasifik setelah India yang membeli jet dari Dassault Aviation.
Apa istimewanya pesawat tempur Rafale?
Rafale adalah jet tempur yang diproduksi oleh perusahaan Prancis Dassault Aviation. Pesawat yang memiliki mesin kembar ini dirancang sebagai pesawat serbaguna yang dapat menjalankan berbagai misi atau omnirole.
Rafale dibekali dengan beragam sistem persenjataan, antara lain:
Jet tempur ini juga mampu menampung senjata hingga sembilan ton. Kecepatan maksimalnya mencapai 1.384 kilometer per jam. Dengan kemampuan untuk membawa banyak jenis senjata dan sistem misi yang canggih, Rafale disebut dapat melakukan serangan udara-ke-darat, serta serangan udara-ke-udara dan pencegatan pesawat musuh dalam satu misi.
Kehadiran Rafale akan memperkuat postur pertahanan Indonesia di tengah keterbatasan alutsista dan anggaran, kata Khairul Fahmi Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).
"Dalam kondisi keterbatasan kita ini, ini menjadi penting - bisa digunakan untuk patroli, serangan spesifik, serangan kapal, ke darat, kemudian menghadapi pertempuran udara jarak dekat. Jadi banyak hal yang bisa dilakukan dan ini layak untuk kita miliki karena kita nggak mungkin belanja satu-satu .. kondisi keuangan kita terbatas," katanya kepada BBC News Indonesia.
Rafale bawa tantangan baru?
Namun kedatangan Rafale juga membawa tantangan baru, menurut pengamat pertahanan dan alutsista, Chappy Hakim. Karena sistem Rafale tidak sama dengan pesawat buatan Rusia atau Amerika, Indonesia harus "memulai dari nol" dalam hal pemeliharaannya, kata mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) itu.
"Kita musti mendidik dari awal lagi para pilot dan teknisi. Kita harus menyiapkan laboratorium pemeliharaan untuk kalibrasi peralatan-peralatan elektronik yang super canggih itu dan sebagainya," ujarnya. Chappy juga mengatakan bahwa jet tempur hanyalah satu bagian dalam sistem pertahanan udara. Meskipun ia memiliki teknologi yang canggih, kemampuannya tetap akan tergantung pada sistem pertahanan udara - radar, pangkalan, command and control, dan sebagainya. "Fighter jet itu hanya salah satu saja dari sistem besar," katanya.
Apa lagi isi kesepakatan dengan Prancis?
Selain sepakat untuk membeli 42 unit jet tempur Rafale, Indonesia juga menandatangani berbagai kerja sama dengan Prancis dalam kesepakatan bernilai Rp8,1 miliar dolar atau setara Rp116,2 triliun. Kerja sama itu termasuk pengembangan kapal selam sampai komunikasi, seperti dilaporkan kantor berita Reuters.
Secara rinci, kerja sama di bidang penelitian dan pengembangan kapal selam akan terjalin antara PT PAL dengan Naval Grup, MoU kerja sama Program Offset dan ToT antara Dassault dan PT DI, MoU kerjasama di bidang telekomunikasi antara PT LEN dan Thales Group, dan kerja sama pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad dan Nexter Munition. "Kami membahas secara mendalam beberapa hal, sebagaimana diketahui Indonesia dan Prancis telah menjalin kerjasama pertahanan cukup lama sejak 1950," kata Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam keterangan pers.
Dalam kunjungannya ke Indonesia 10 Februari 2022, Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly mencuit "Prancis bangga berkontribusi untuk memodernisasi angkatan bersenjata dari mitra, yang memainkan peran kunci di ASEAN dan kawasan Indo-Pasifik."
Mengapa kerja sama dengan Prancis?
Khairul Fahmi dari ISESS mengatakan berbagai kerja sama tersebut menjadi "poin plus" kesepakatan dengan Prancis karena Indonesia punya target mengembangkan industri pertahanan dalam negeri. Menurut Fahmi, target itu juga berarti Indonesia harus memperbanyak kemitraan dengan berbagai negara agar punya peluang untuk meningkatkan kemampuan dengan berbagai teknologi. Diharapkan dengan sistem pertahanan yang kuat, Indonesia bisa meningkatkan posisi tawarnya dalam menghadapi berbagai tantangan keamanan di kawasan, termasuk di Laut Natuna Utara yang secara sepihak diklaim China sebagai bagian dari Laut China Selatan.
"Kalau dalam konteks politik kawasan, kehadiran alutsista baru ini akan membuat Indonesia mungkin lebih diperhitungkan dan mungkin juga mampu memberikan tekanan-tekanan terhadap negara lain di kawasan," kata Fahmi.
Apa latar belakang kesepakatan ini?
Kesepakatan dengan Indonesia diteken saat Prancis berusaha mempererat hubungannya dengan negara-negara di Indo-Pasifik, setelah AS, Inggris, dan Australia membentuk aliansi strategis baru bernama AUKUS tahun lalu untuk mengonter pengaruh China yang semakin besar.
Pakta itu, yang mencakup pembangunan kapal selam bertenaga nuklir untuk Australia, membuat Prancis geram. Sebelumnya, Paris sudah meneken kontrak pembelian kapal selam bernilai miliaran dolar dengan Canberra.
Alutsista apa lagi yang akan dibeli Indonesia?
Indonesia juga berencana membeli 36 unit jet tempur F-15 serta peralatan militer lainnya dari AS senilai US$14 miliar atau sekitar Rp200 triliun. Departemen Luar Negeri AS sudah menyetujui rencana tersebut. Penjualan yang diusulkan akan meningkatkan "keamanan mitra regional penting yang merupakan kekuatan untuk kestabilan politik, dan kemajuan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik," dalam sebuah pernyataan dari Pentagon. Kesepakatan ini disebut "tidak akan mengubah keseimbangan dasar militer di kawasan tersebut."
Boeing menjadi kontraktor utama untuk jet tempur F-15, menurut rilis dari Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon, seperti dilansir Reuters. Paket tersebut termasuk 36 jet tempur, mesin cadangan, radar, pelatihan untuk kacamata mode malam, dan dukungan teknis, kata Pentagon. Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon telah memberi tahu Kongres mengenai kemungkinan penjualan ini, Kamis waktu setempat.
Meskipun sejauh ini sudah mendapat persetujuan dari Departemen Luar Negeri, pemberitahuan ini tidak mengindikasikan bahwa kontrak telah ditandatangani atau negosiasi telah selsai.
Sumber: bbc.com
Pertahanan
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Maret 2025
Ibu pertiwi menangis lagi pasca kapal selam TNI AL KRI Nanggala-402 subsunk atau tenggelam pada Sabtu, 25 April lalu di perairan laut Bali. 53 prajurit gugur setelah ikan besi yang membawa mereka terbelah, pecah, lumat dihimpit oleh air bah samudera begitu menyayat hati seluruh rakyat Indonesia.
Tragedi itu juga paling tidak membuat banyak orang-orang bertanya-tanya seberapa kuat sistem alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia?
Bukanlah kapal selam termasuk alat pertahanan yang sangat penting, dan bila kemudian ia diduga tenggelam karena uzur, alangkah memprihatinkan bangsa ini. Bangsa dengan penduduk terbesar nomor empat dunia, namun memiliki sistem alutsista yang tampak sekadar punya. Miris!
Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tidak tinggal diam. Pemerintah ingin peremajaan alutsista dapat segera dilakukan. Menhan bahkan menjanjikan untuk segera mengajukan skema dan langkah strategis guna percepatan peremajaan alutsista. Selain akan dipresentasikan kepada Presiden, skema ini juga akan disampaikan kepada DPR agar mendukung kebijakan anggaran alutsista ke angka yang ideal.
Kepedulian terhadap ketangguhan alutsista RI sudah muncul dimana-mana. Saya menemukan adanya banyak keprihatinan di masyarakat, bahkan sampai ada aksi penggalangan dana untuk membantu pemerintah. Hal ini patut, diapresiasi meski sebenarnya ini tidak perlu, tetapi membuat terenyuh. Fenomena ini mirip bagaimana masyarakat Aceh harus urunan emas untuk membelikan Presiden Soekarno sebuah pesawat, agar RI layak dipandang sebagai bangsa merdeka.
Tentu Pak Karno akan sedih, bahwa setelah lebih dari setengah abad, kejadian bisa terulang. Bagaimanapun, alutsista adalah hal utama, sehingga ia perlu bersumber dari APBN, yang tak lain juga merupakan uang rakyat. Paling tidak, kesediahan akibat KRI Nanggala di sisi lain, memunculkan secercah harapan untuk memodernisasi alusista RI. Baik pemerintah maupun masyarakat mulai menyadari aspek pertahanan negara tidak boleh diabaikan.
Anggaran Minim
Saat ini, Kemhan RI memang tampak mengantongi anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terbesar. Sebagai gambaran, pada 2021 mereka diguyur Rp134,254 triliun. Namun, perlu diketahui, melihat anggaran dari sudut pandang besaran nominal tentu tidak fair, sebab bila dibandingkan dengan nilai produk domestik bruto (PDB) tak menyentuh angka 1 persen.
Parahnya lagi, sebagian terbesar bukan untuk belanja alat perang, melainkan belanja pegawai. Akibatnya, ruang fiskal yang kecil membuat TNI tak bisa mengoperasikan alutsista terbaik.
Pagu anggaran tahun in memang naik 14,12 persen, sekaligus menjadi yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Namun, bila dibeda, tetap saja angka-angka itu sepertinya
tidak akan mengubah banyak alutsista kita. Perlu anda tahu, mayoritas anggaran Kemhan 2021 ini dialokasikan untuk program dukungan manajemen. Jumlahnya mencapai Rp74,983 triliun atau 55,2 persen dari total anggaran. Berapa dana untuk membeli senjata?
Adapun alokasi untuk program modernisasi alutsista, non-alutsista, dan sarana serta prasarana pertahanan sebesar Rp39,02 triliun atau 29,06 persen dari total anggaran. Sisanya untuk kebutuhan lain berupa operasi, latihan, dan pendidikan. Keterbatasan mata anggaran untuk modernisasi alutsista ini akan berdampak pada proses maintenance alutsista (perawatan rutin dan berkala) dan kesiapan tempur TNI dalam menjaga kedaulatan negara.
Merujuk data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), per 2020, dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan regional saja, anggaran pertahanan Indonesia termasuk yang terendah. Malaysia mengalokasikan 1,1 persen dari PDB, Singapura 3,2 persen, Thailand 1,5 persen, bahkan Timor Leste juga 1,2 persen dari PDB. Bayangkan, kita negara terbesar di kawasan ini namun memiliki anggaran alutsista paling rendah, tentu publik harus tahu kerentanan ini.
Adapun menurut data SIPRI, negara-negara yang ekonominya maju memiliki belanja pertahanan di atas 3 persen dari PDB.
Misalnya saja, Amerika Serikat sebesar 3,7 persen dari PDB, Rusia 4,3 persen, Arab Saudi 8,4 persen, dan Singapura 3,2 persen. Namun, bila rencana ini tidak terealisasi, maka Indonesia akan perlu waktu lebih lama untuk memodernisasi alutsista. Sementara, negara lain terus berupaya mengklaim wilayah Indonesia sebagai kedaulatannya.
Dorong Perpres Modernisasi Alutsista
Belakangan berhembus kabar bahwa pemerintah tengah merancang Perpres masterplan modernisasi alutsista selama 25 tahun ke depan. Skemanya akan menggunakan pinjaman luar negeri dengan jumlah kurang lebih Rp1.760 triliun. Angka itu pertama kali diungkapkan oleh Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin dalam wawancaranya di sebuah stasiun televisi beberapa waktu lalu, meskipun jumlah yang fantastis itu telah dibantah oleh Kemhan.
Masterplan itu sendiri adalah implementasi Menhan Prabowo atas perintah dari Presiden Jokowi yang meminta adanya perencanaan pengadaan alutsista selama 25 tahun sejak diangkat menjadi Menhan di 2019. Meski masih sekadar rancangan, hal ini sudah cukup bisa menjadi angin segar bagi sistem pertahanan negara yang selama ini sulit maju lantaran keterbatasan anggaran.
Meskipun banyak kritik terhadap jumlah jumbo anggaran tersebut, anggaran Rp 1.760 triliun untuk membeli alutsista selama 25 tahun itu nyatanya kecil bila dibandingkan
dengan potensi PDB Indonesia selama 25 tahun, yang besarnya bisa mencapai lebih dari Rp 375 ribu triliun, yaitu hanya 0,5 persen. Menhan Prabowo patut dipuji atas formula ini karena menjawab permasalahan yang ada.
Jika rancangan itu bisa direalisasikan pemerintah, maka target belanja pertahanan maksimal 1,5 persen dari PDB per tahun dapat terkejar, sebab anggaran tersebut akan ditambah dengan anggaran pertahanan rutin sebesar rata-rata 0,78 persen dari PDB per tahun.
Bukan Sekadar Beli Senjata
Meskipun belum terealisasi, namun langkah Presiden Jokowi dan mantan rivalnya di Pemilu lalu ini patut diacungi jempol. Sebab, setidaknya ada langkah awal pembenahan, dan tidak hanya berpangku tangan. Lebih lanjut, persepsi lawas bahwa anggaran Kemenhan yang selama ini dianggap sebagai hanya melulu belanja 'hura- hura' tanpa ada efek ekonomi perlu diubah.
Saya mencoba sebuah kalkulasi, dengan asumsi investasi pertahanan Rp1.760 triliun maka Indonesia diperkirakan mampu menjaga kegiatan ekonomi di negara ini selama 25 tahun yang angka perputarannya bisa mencapai Rp375.000 triliun.
Bila rancangan Perpres diteken presiden, lantas akan ada titik temu yang pas, sebab Presiden dan Menhan ke depan tidak lagi dipusingkan dengan dilema yang ada
selama ini: antara pembangunan infrastruktur, kesejahteraan masyarakat, atau menjaga kemampuan pertahanan dan kedaulatan negara dengan modernisasi alutsista. Sebab, kesejahteraan masyarakat tetap harus menjadi fokus pemerintah. Negara dengan jumlah orang miskin banyak akan rentan juga oleh intervensi asing yang berakibat fatal pada sisi pertahanan dan keamanan nasional.
Mau tidak mau, dengan keharusan alokasi APBN yang bersifat kontekstual atau disadarkan pada kebutuhan yang paling mendesak, maka pengorganisiran belanja alutsista seperti yang direncanakan ini perlu untuk dilakukan. Meski demikian, pemerintah perlu memperhatikan tenor dan bunga pinjamannya.
Menhan Prabowo perlu negosiasi dengan negara-negara lenders untuk mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah dan tenor yang panjang agar tidak membebani negara. Adapun pemerintah yang perlu memastikan anggaran tersebut akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dukungan Masyarakat Nyata
Meski belakangan ada sentimen negatif atas rencana ini, nyatanya pemerintah mendapat dukungan dari masyarakat. Survei Litbang Kompas baru-baru ini mengungkapkan bahwa tenggelamnya KRI Nanggala-402 membuka mata publik akan pentingnya penguatan sekaligus modernisasi alat utama sistem persenjataan.
Survei menyatakan bahwa demi meningkatkan pertahanan negara sekaligus menjaga kedaulatan RI, peningkatan kualitas alat utama sistem persenjataan atau alutsista dianggap sangat penting dilakukan.
Mengutip Jajak pendapat Kompas Selasa 25 Mei 2021, mayoritas responden (92,8 persen) menyatakan, untuk menjaga pertahanan dan kedaulatan wilayah Indonesia, pemerintah perlu secara berkala menambah alutsista dengan kualitas mutakhir atau lebih modern.
Penilaian ini juga dibarengi dengan harapan bahwa dari tiga matra TNI, Angkatan Laut (AL) harus lebih diprioritaskan dalam pemutakhiran alutsista. Hampir separuh responden menyatakan sangat perlu penambahan jumlah alutsista untuk matra laut. Penambahan bisa berupa pengadaan kapal perang, kapal selam, kapal patroli, ataupun alutsista lainnya yang mendukung matra laut.
Ada kemungkinan, tingginya harapan responden pada prioritas pengadaan alutsista di matra laut ini tak lepas dari peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala-402 beberapa waktu lalu. Selanjutnya, prioritas berikutnya adalah pengadaan alutsista pada matra darat dan udara. Harapan publik akan penguatan alutsista pada kedua matra ini relatif berimbang, yakni masing-masing berkisar 26-27 persen responden.
Hal ini memperlihatkan bahwa bagaimanapun, di mata publik, secara umum TNI merupakan lembaga yang dibanggakan meski keterbatasan sarana dan prasarana
pendukung pertahanan yang dimiliki. Harapan responden dalam jajak pendapat ini memberikan gambaran, publik tak memungkiri bahwa pemerintah seharusnya lebih peduli terhadap penyediaan sarana dan prasarana pertahanan agar lebih memadai.
Terutama terkait pengadaan alutsista yang memiliki deterrence effect (daya penggentaran) yang tinggi dan menjamin keselamatan kerja yang maksimal bagi seluruh anggota TNI.
Sangat diperlukan keseriusan pemerintah membangun kemandirian alutsista. Pasalnya, tidak mudah untuk menyediakan anggaran yang besar dan juga mendapatkan kesepakatan transfer dengan segala keterbatasan pemerintah.
Salah kaprah pemahaman "Indonesia tidak ada perang"
Sangat disayangkan bahwa beberapa pihak perpikir modernisasi alutsista secara menyeluruh tidak dibutuhkan sebab tidak ada perang di Indonesia. Faktanya, China hingga kini masih ngotot menyatakan mempunyai hak dan kedaulatan di laut Natuna. Mereka berkeras menganggap laut Natuna masuk dalam perairan Laut China Selatan. Beberapa kali pun kapal China masuk perairan Indonesia di Natuna.
Bila tidak memiliki pertahanan yang kuat, Indonesia tidak memiliki posisi tawar dalam menghadapi China. Belum lagi kemungkinan akan terjadinya perang di kawasan Asia Pasifik yang melibatkan China dan Australia semakin menguat.
Ini terjadi pasca Australia membatalkan program kerja sama pendanaan negara bagiannya dengan China, melalui konsep Belt and Road Initiative (jalur sutra). Australia dikabarkan akan meningkatkan kapasitas pangkalan militer di ujung utara Negeri Kanguru dan memperluas latihan bersama dengan pasukan Amerika Serikat.
Sebaliknya, China dikabarkan tengah memantau aktivitas sejumlah negara yang tergabung dalam Kemitraan Strategis Kompeherensif (CSP), sebuah kemitraan yang dibuat Australia dengan sejumlah negara, yaitu Amerika, Jepang, Vietnam, India, dan Indonesia.
Melihat ancaman-ancaman nyata di depan mata, sudah saatnya Indonesia memiliki pertahanan dan keamanan yang kuat. Tragedi KRI Nanggala-402 sudah sepantasnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah untuk lebih fokus pada agenda modernisasi alat utama sistem pertahanan.
Sumber: cnbcindonesia.com
Pertahanan
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Maret 2025
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan terus berupaya meningkatkan kekuatan pertahanan militernya dengan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI dari tiga matra guna menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berdasarkan catatan Global Fire Power (GFP) pada bulan Januari 2021 menyebutkan Indonesia menduduki posisi ke-16 sebagai negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia. Adapun posisi pertama di Asia Tenggara sebagai negara dengan militer terkuat, serta di posisi ke-9 di bawah Iran dan di atas Arab Saudi.
Bahkan, dalam hal anggaran belanja militer, Indonesia mengeluarkan 6,9 miliar dolar AS atau setara Rp98 triliun.
Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan nilai anggaran militer terbesar kedua setelah Singapura yang memiliki anggaran 9,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp135 triliun.
Alokasi anggaran pertahanan sendiri pada tahun 2021 sekitar Rp 136,9 triliun. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2020. Peningkatan anggaran itu diharapkan kekuatan pokok minimum atau minimum essential force (MEF) alutsista dapat tercapai pada tahun 2024.
Data Kementerian Pertahanan menyebutkan pada bulan Oktober 2020 menyebutkan TNI AD memiliki 77 persen kekuatan pokok minimal, TNI AL 67,57 persen, dan TNI AU 45,19 persen.
Jika ingin pemenuhan MEF tetap sesuai dengan rencana, yaitu terpenuhi 100 persen pada tahun 2024, Kementerian Pertahanan harus bisa mencapai pembangunan pemenuhan alutsista sekitar 36,81 persen dalam 5 tahun.
Pengamat pertahanan dan analis LAB45 Andi Widjajanto mengatakan bahwa kalkulasi kebutuhan anggaran untuk pengadaan alutsista sudah baku sejak 2006 saat Undang-Undang Pertahanan, UU TNI, dan UU Industri Pertahanan terbit. Formula tersebut tetap dilakukan sampai sekarang.
Pada tahun 2005 hingga 2006 telah terbit dokumen perencanaan alutsista jangka panjang yang disebut kekuatan pokok minimum (MEF). Hal itu disusun untuk memenuhi kebutuhan hingga 2024.
MEF itu suatu konsep rencana strategis yang dibagi tiga dan berakhir pada tahun 2024. Ada MEF I, II, dan III. Saat ini, Indonesia berada di MEF III. MEF III harus diselesaikan oleh Menteri Pertahanan Prabowo.
Oleh karena itu, Kemhan terus berupaya agar MEF hingga tahun 2024 dapat tercapai, yakni dengan pengadaan alutsista baru, seperti pesawat latih tempur T-50i Golden Eagle, kerja sama pembangunan pesawat tempur Korean Fighter Experimental/Indonesian Fighter Experimental (KFX/IFX) yang hampir batal, pengadaan dua kapal patroli untuk TNI AL, rantis Maung untuk TNI AD dan lainnya.
Kemhan melakukan pengadaan 6 unit pesawat Latih Tempur Lead-In Fighter Training (LIFT) jenis T-50i Golden Eagle dari Korea Selatan untuk TNI Angkatan Udara.
Ini merupakan kontrak pengadaan yang kedua. Kelanjutan kerja sama dengan perusahaan Korea Aerospace Industries (KAI), demikian penjelasan Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kemhan Marsma TNI Penny Radjendra dalam siaran persnya di Jakarta.
Pengadaan 6 unit pesawat T-150i dari KAI Korea Selatan ini tetap memperhatikan optimalisasi pemanfaatan komponen industri dalam negeri untuk mendukung penguatan industri strategis dalam negeri.
Nilai kesepakatan itu diprediksi mencapai 240 juta dolar Amerika Serikat, yang mau dipasok dari 16 Desember 2021 hingga 30 Oktober 2024.
Menhan Prabowo Subianto pun menyebutkan banyak alutsista TNI sudah berusia tua dan sangat mendesak untuk diganti. Kebutuhan-kebutuhan ini, menurut Menhan, sangat penting dan Indonesia bersiap menghadapi dinamika lingkungan strategis yang berkembang dengan sangat pesat.
Kementerian Pertahanan pun membuat masterplan atau rencana induk 25 tahun kemampuan pertahanan RI.
Prabowo ketika di Bali, Kamis (22/4), mengatakan bahwa Presiden Jokowi pernah memerintahkan Menhan 1 tahun yang lalu untuk bersama-sama pimpinan TNI menyusun suatu masterplan, rencana induk. Presiden mengkehendaki betul rencana induk 25 tahun yang memberi kepada pihaknya suatu totalitas kemampuan pertahanan.
Raperpres Alpalhankam
Kementerian Pertahanan pun mencari formula terbaik dengan melakukan reorganisasi belanja dan pembiayaan alpalhankam Kemhan dan TNI, seperti tertuang pada Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020—2024.
Dalam Raperpres Pasal 2 Ayat (1) disebutkan bahwa menteri menyusun Perencanaan Kebutuhan (Renbut) Alpalhankam Kemhan dan TNI untuk 5 Renstra Tahun 2020—2044 yang pelaksanaannya akan dimulai pada Renstra 2020—2024 dan membutuhkan renstra jamak dalam pembiayaan dan pengadaannya.
Dalam Pasal 3 Ayat (1) disebutkan bahwa renbut alpalhankam Kemhan/TNI seperti yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) sejumlah 124.995.000.000 dolar AS.
Pasal 3 Ayat (3) dijelaskan bahwa dari kebutuhan anggaran senilai 124.995.000.000 dolar AS, telah teralokasi sejumlah 20.747.882.720 dolar AS pada Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah Khusus Tahun 2020—2024.
Agar Indonesia memiliki alpalhankam yang efektif dan mutakhir guna mengatasi segala ancaman, menurut Juru Bicara Menteri Pertahanan RI Dahnil Anzar Simanjuntak, perlu modernisasi alutsista TNI. Hal itu perlu karena adanya keterbatasan jumlah alpalhankam dan amunisi yang dimiliki saat ini, sebagian besar berusia tua dan tidak beroperasi optimal serta bekal pokok prajurit tidak cukup untuk bertempur dalam waktu lama.
Pengadaan alutsista melalui pinjaman luar negeri itu dinilai tidak akan membebani APBN dan tidak akan mengurangi alokasi belanja lainnya dalam APBN yang menjadi prioritas pembangunan nasional.
Reorganisasi belanja dan pembiayaan alpalhankam ini akan dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan melalui mekanisme belanja alpalhankam lima renstra dibelanjakan pada satu renstra pertama, pada tahun 2020—2024 sehingga postur pertahanan ideal Indonesia bisa tercapai pada tahun 2025 atau 2026. Postur ideal tersebut bertahan sampai 2044. Dengan formula itu, kata Dahnil, pada tahun 2044 akan dimulai pembelanjaan baru untuk 25 tahun ke depan.
Dengan investasi secara langsung pada tahun 2021—2024 akan meningkatkan posisi tawar Indonesia agar mendapatkan alat pertahanan dengan harga yang lebih terjangkau.
Modernisasi Diapresiasi
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Rizal Darma Putra mengapresiasi komitmen Presiden Joko Widodo dan Menhan Prabowo Subianto untuk memodernisasi alutsista.
Perhatian Presiden Joko Widodo dan Menhan Prabowo Subianto patut diacungi jempol, demikian penilaian Rizal dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (5/6). Rizal menyatakan sepakat dengan rancangan strategis percepatan peremajaan alutsista yang kini sedang disusun Kementerian Pertahanan akan memiliki kepastian investasi pertahanan selama 25 tahun.
Hal yang selama ini tidak pernah bisa dilakukan. Rizal sepakat dengan yang saat ini tengah direncanakan oleh Pemerintah, yakni sistem pengadaan yang digeser ke depan yang dilakukan pada tahun 2021—2044.
Pemerintah tengah menyusun strategi pembiayaan investasi alat utama pertahanan. Pertama, persentase anggaran pertahanan terhadap PDB 0,8 persen yang konsisten selama 25 tahun ke depan. Jumlah anggaran pemenuhan alpalhankam prioritas pada tahun 2021—2044 disebut-sebut sebesar 125 miliar dolar AS dengan mengupayakan sumber pendanaan alternatif untuk mengurangi beban pemenuhan alpalhankam terhadap keuangan negara.
Meskipun angkanya terdengar fantastis, Rizal beranggapan 125 miliar dolar AS untuk membeli alutsista selama 25 tahun itu kecil, bahkan cenderung konservatif bila dibandingkan dengan potensi PDB Indonesia selama 25 tahun.
Investasi Pertahanan
Sementara itu, pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan akan alutsista masih banyak yang harus ditingkatkan dan dibenahi pengadaannya.
Pengembangan alutsista saat ini menggunakan paradigma baru yang menyatakan bahwa pembangunan kekuatan pertahanan adalah investasi.
Anggaran yang disediakan pemerintah untuk pengembangan kekuatan tidak dipandang sebagai biaya yang harus dikeluarkan, tetapi justru investasi yang harus memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia. Pengembangan alutsista sesuai dengan MEF, menurut kata Susaningtyas, adalah investasi untuk keutuhan NKRI dan menjamin keberlangsungan pembangunan nasional. Tanpa alutsista yang andal maka pembangunan nasional dapat terganggu, bahkan terhambat. Maka, Pemerintah perlu memberikan alokasi anggaran pertahanan dengan skema persentase PDB sekitar 1,8 sampai 2 persen.
Sumber: antaranews.com