Manajemen Proyek

60 Peran Rahasia Manajer PMO yang Tak Pernah Diceritakan di Kantor Anda

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025


Saat Proyek Terasa Seperti Kapal Tanpa Nahkoda

Kamu pasti pernah merasakannya. Rapat maraton yang tidak ada ujungnya. Prioritas yang berubah setiap hari Senin. Anggota tim yang kelelahan karena mengerjakan hal yang tumpang tindih, sementara pekerjaan penting lainnya justru terlewat. Email dan pesan Slack berhamburan, tapi tidak ada yang benar-benar tahu status proyek secara keseluruhan. Rasanya seperti berada di sebuah kapal besar yang berlayar di tengah badai, tapi semua orang sibuk memoles deknya sendiri, dan tidak ada satu pun yang memegang kemudi. Pertanyaan besarnya menggantung di udara: “Sebenarnya, kita ini mau ke mana?”

Di tengah kebingungan itu, beberapa minggu lalu, saya tidak sengaja menemukan sebuah paper akademis. Judulnya terdengar kaku: “The role of project management office (PMO) manager: A qualitative case study in Indonesia”. Awalnya saya skeptis—bahasanya formal, penuh jargon. Tapi semakin saya baca, saya sadar ini bukan sekadar paper. Ini adalah peta harta karun yang menjawab semua kekacauan yang sering kita alami di dunia kerja.

Paper yang ditulis oleh Mohammad Ichsan dan rekan-rekannya ini membongkar sebuah peran yang sering disalahpahami di banyak perusahaan: Manajer Project Management Office (PMO). Mereka tidak hanya mendefinisikannya, tapi membedahnya menjadi 7 fungsi inti dan 60 peran spesifik. Dan percayalah, ini jauh lebih dari sekadar membuat laporan dan mengejar deadline. Ini adalah cetak biru untuk mengubah kekacauan menjadi keteraturan, dan proyek yang biasa-biasa saja menjadi mesin penggerak strategi perusahaan.

Bukan Sekadar Admin Proyek: Sebuah Riset yang Mengubah Perspektif Saya

Salah satu masalah terbesar yang diangkat dalam riset ini adalah adanya kesenjangan antara kebutuhan dan realitas. Banyak perusahaan di Indonesia sadar mereka butuh PMO, tapi dalam praktiknya, PMO sering kali tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Studi ini menemukan fakta menarik: dari 114 responden praktisi PMO, 55 di antaranya merasa bahwa manajemen senior tidak puas dengan keberadaan PMO di perusahaan mereka. Kenapa? Karena fungsi PMO sering kali tidak berjalan sesuai harapan.   

Ini terjadi karena kebanyakan dari kita—termasuk saya dulu—melihat PMO sebagai "polisi proyek" atau "admin super". Tugas mereka seolah hanya mengejar laporan status, memastikan semua orang mengisi template dengan benar, dan mengingatkan tentang jadwal. Peran mereka direduksi menjadi fungsi administratif, padahal potensi strategisnya luar biasa besar.

Di sinilah riset Ichsan et al. menjadi begitu berharga. Mereka tidak sekadar berteori. Para peneliti ini melakukan pekerjaan berat untuk kita. Pertama, mereka menyaring 70 paper akademis untuk mengidentifikasi tujuh fungsi inti dari sebuah PMO. Kemudian, yang terpenting, mereka membawa temuan ini ke dunia nyata. Mereka mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan 11 praktisi dan akademisi PMO berpengalaman di Indonesia untuk memvalidasi dan mendefinisikan peran-peran spesifik seorang manajer PMO. Hasilnya adalah sebuah kerangka kerja yang tidak hanya solid secara teori, tapi juga sangat relevan dengan konteks kerja kita di Indonesia.   

Setelah membacanya, saya sadar bahwa paper ini bukan sekadar daftar tugas. Ini adalah alat diagnosis untuk kesehatan organisasi. Ketidakpuasan manajemen senior yang disebutkan di awal adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: PMO yang tidak selaras atau tidak terdefinisi dengan baik. Dengan demikian, 60 peran yang diuraikan dalam paper ini berfungsi layaknya resep untuk menyembuhkan penyakit tersebut, sebuah rencana intervensi strategis untuk mengatasi akar masalahnya.

Tujuh Wajah Manajer PMO: Dari Pustakawan Pengetahuan hingga Pemandu Inovasi

Inti dari penemuan ini adalah tujuh fungsi utama PMO yang melahirkan 60 peran manajerial. Ini bukan tujuh pekerjaan yang berbeda, melainkan tujuh "wajah" atau "topi" yang harus dipakai oleh seorang Manajer PMO yang efektif. Mari kita bedah satu per satu.

Fondasi yang Kokoh: Sang Penjaga Pengetahuan dan Pendukung Tim

Bayangkan Manajer PMO sebagai arsitek sekaligus pustakawan untuk semua proyek di perusahaan. Mereka tidak hanya merancang "rak buku" (proses, metodologi, dan tools), tapi juga memastikan setiap orang tahu cara menemukan "buku" yang tepat (pengetahuan dari proyek sebelumnya) dan bahkan mengajari mereka cara "menulis buku" yang lebih baik (membangun kompetensi tim). Ini mencakup dua fungsi pertama: Knowledge Management/Repository dan Supporting Role.

Ini bukan tugas pasif. Mereka secara aktif bertugas untuk “Gather and compile data on lessons learned, knowledge sharing sessions”. Artinya, mereka menciptakan sebuah sistem agar kegagalan satu tim menjadi pelajaran berharga bagi tim lain, bukan kesalahan yang terus diulang. Mereka juga bertanggung jawab untuk “Build the PMO team's competency identity, build and manage appropriate PM methodologies”. Ini bukan soal memaksakan satu metodologi untuk semua proyek, tapi tentang memilih, menyesuaikan, dan mengelola metodologi yang paling tepat untuk kebutuhan unik organisasi dan setiap proyeknya.   

Jika kedua fungsi ini digabungkan, mereka menciptakan sesuatu yang sangat kuat: memori organisasi. Tanpa Manajer PMO yang aktif mengelola ini, perusahaan akan menderita amnesia korporat. Proyek-proyek akan terus mengulangi kesalahan yang sama karena pengetahuan berharga hanya tersimpan di kepala individu yang bisa saja pindah kerja, atau terpendam dalam folder-folder yang terlupakan. PMO memastikan bahwa sejarah—baik keberhasilan maupun kegagalan—menjadi aset yang terus-menerus digunakan untuk memperbaiki masa depan.

Jembatan Menuju Bintang: Sang Penyelaras Strategi dan Pengawas Tata Kelola

Jika CEO menetapkan tujuan besar, katakanlah "pergi ke Mars", maka Manajer PMO adalah kepala teknisi di pusat kendali misi. Mereka memastikan setiap proyek yang diluncurkan (roket) benar-benar mengarah ke Mars (selaras dengan strategi), bukan malah ke Venus. Mereka juga yang memastikan setiap roket mengikuti protokol keselamatan dan standar yang ada (tata kelola) agar tidak meledak di tengah jalan. Inilah esensi dari fungsi Strategic Alignment dan Governance Control.

Peran strategis ini sangat nyata. Riset ini menyebutkan bahwa Manajer PMO harus “Analyze and evaluate portfolios and programs”. Artinya, mereka punya wewenang dan tanggung jawab untuk bertanya, "Apakah proyek X ini masih relevan dengan tujuan perusahaan? Jika tidak, kenapa kita masih menghabiskan sumber daya di sini?" Mereka bukan sekadar pelaksana, tapi juga evaluator strategis.   

Di sisi tata kelola, tugas mereka bukan hanya membuat aturan, tapi juga “Convince the stakeholders to follow the PMO's governance project”. Ini bukan peran pasif yang hanya menunggu laporan. Ini adalah peran aktif yang membutuhkan negosiasi, persuasi, dan kepemimpinan untuk memastikan semua orang—dari level staf hingga direksi—bermain dengan aturan yang sama demi kebaikan bersama.   

Kombinasi kedua peran ini mengubah Manajer PMO dari seorang manajer proses menjadi seorang diplomat korporat dan investor portofolio internal. Mereka bernegosiasi dengan para pemangku kepentingan yang kuat dan memberikan rekomendasi berbasis data tentang "investasi" (proyek) mana yang harus dilanjutkan, dihentikan sementara, atau dihentikan sama sekali. Ini adalah fungsi eksekutif tingkat tinggi, bukan tugas administratif tingkat menengah.

Mesin Pertumbuhan: Sang Pendorong Kinerja dan Inovasi

Ini adalah bagian yang paling mengejutkan bagi saya. Manajer PMO modern bukan lagi penjaga gerbang, melainkan pelatih tim Formula 1. Mereka terus-menerus menganalisis data untuk meningkatkan performa mobil (fungsi Project Performance Enabler). Mereka mendorong tim R&D untuk mencoba desain sayap baru yang radikal (fungsi Innovation Enabler). Dan mereka memastikan seluruh kru—dari pembalap hingga mekanik—bekerja harmonis untuk memenangkan kejuaraan (fungsi Organization Performance Enabler).

Untuk menjadi pendorong kinerja, mereka dituntut untuk “Have business acumen, prioritize projects, and communicate well with stakeholders”. Ini adalah inti perbedaannya: mereka harus memahami bisnis, bukan hanya jadwal dan anggaran proyek. Mengasah business acumen ini adalah kunci, dan mengikuti kursus manajemen strategis di(https://diklatkerja.com) bisa menjadi langkah awal yang cerdas untuk membangun pemahaman tersebut.   

Dan inilah yang paling revolusioner bagi saya: mereka secara eksplisit bertugas untuk “Creation of innovation championship, award winners, and provision of PM certification facilities”. Bayangkan, Manajer PMO bertugas menciptakan kompetisi inovasi dan memberikan penghargaan! Mereka secara aktif membangun budaya inovasi, bukan hanya mengelola proyek-proyek yang sudah ada.   

Pada level organisasi, mereka harus “Work with other department heads to define, prioritize, and develop projects”. Ini berarti mereka punya peran sentral dalam meruntuhkan silo antar departemen dan mendorong kolaborasi lintas fungsi.   

Penyertaan fungsi "Innovation Enabler" ini secara fundamental mengubah tujuan PMO. Secara tradisional, PMO dilihat sebagai kekuatan standardisasi dan stabilitas, yang sering kali dianggap dapat mematikan inovasi. Namun, riset ini berpendapat sebaliknya: PMO yang matang justru memanfaatkan strukturnya untuk memungkinkan dan mengelola inovasi. PMO menyediakan "kotak pasir" yang aman dan terstruktur bagi ide-ide baru untuk diuji coba, memberikan dukungan yang mereka butuhkan untuk berhasil tanpa mematikan percikan kreatifnya.

Hal yang Paling Mengejutkan Saya (dan Sedikit Kritik Jujur)

Setelah meresapi seluruh isi paper ini, ada beberapa hal yang benar-benar menonjol dan mengubah cara pandang saya selamanya.

  • 🚀 Skala Peran yang Luar Biasa: Saya pikir saya tahu apa itu Manajer PMO. Ternyata saya salah besar. Paper ini mengidentifikasi 60 peran spesifik. Ini bukan lagi tentang Gantt chart dan laporan status; ini adalah peran kepemimpinan strategis yang sangat kompleks dan multifaset.   

  • 🧠 Inovasi sebagai Tugas Resmi: Melihat "Innovation Enabler" sebagai salah satu dari tujuh fungsi inti benar-benar membuka mata. Ini mengubah narasi PMO dari "penjaga aturan" menjadi "pemicu terobosan". PMO yang hebat tidak menghalangi perubahan; mereka justru mengarahkannya.

  • 💡 Pelajaran Utama: Dari Administratif ke Strategis: Pesan terkuat dari riset ini adalah pergeseran identitas. Peran Manajer PMO sejati adalah jembatan antara visi para eksekutif dan eksekusi tim di lapangan. Mereka adalah pemain strategis, bukan sekadar pencatat skor.

Namun, meskipun daftar 60 peran ini sangat komprehensif dan mencerahkan, ada satu hal yang terasa kurang. Paper ini tidak memberikan panduan tentang peran mana yang harus diprioritaskan untuk PMO yang baru dibentuk atau yang level kematangannya masih rendah. Bagi seorang praktisi yang ingin memulai dari nol, daftar 60 peran ini bisa terasa sedikit berlebihan tanpa adanya kerangka implementasi bertahap. Ini tentu bisa menjadi peluang untuk riset selanjutnya, seperti yang disarankan oleh para penulis sendiri.   

Jadi, Apa yang Bisa Anda Lakukan Besok Pagi?

Teori memang bagus, tapi tindakan jauh lebih penting. Berikut adalah tiga hal sederhana yang bisa kamu lakukan besok pagi untuk mulai menerapkan sebagian kecil dari wawasan ini:

  1. Lakukan Audit Mini: Ambil 7 fungsi PMO dari artikel ini (Penjaga Pengetahuan, Pendukung Tim, Penyelaras Strategi, Pengawas Tata Kelola, Pendorong Kinerja Proyek, Pemicu Inovasi, Pendorong Kinerja Organisasi). Coba petakan pekerjaanmu atau tim PMO-mu saat ini. Fungsi mana yang sudah kuat? Mana yang paling lemah? Ini akan memberimu gambaran cepat tentang di mana letak peluang terbesar untuk perbaikan.

  2. Mulai Percakapan Strategis: Pilih satu peran dari daftar yang paling mengejutkanmu (misalnya, “Analyze and evaluate portfolios and programs”). Bawa ini ke atasanmu dan tanyakan, "Bagaimana kita saat ini memastikan bahwa proyek yang kita kerjakan adalah proyek yang seharusnya kita kerjakan?" Ini akan mengubah percakapan dari sekadar "kapan selesai?" menjadi "mengapa kita melakukannya?".

  3. Jadilah Pustakawan Pengetahuan: Mulai dari hal kecil. Setelah proyek berikutnya selesai, jangan hanya mengarsipkannya. Luangkan 30 menit untuk menulis tiga lessons learned utama dan bagikan ke tim lain yang relevan. Dengan begitu, kamu sudah mulai menjalankan fungsi "Knowledge Management/Repository".

Selami Lebih Dalam: Peta Harta Karun Ini Milik Anda Juga

Ulasan ini hanya menggores permukaan dari kekayaan wawasan dalam paper Ichsan et al. Jika kamu merasa tertantang dan terinspirasi untuk mendefinisikan kembali peranmu atau membangun PMO yang benar-benar berdampak di organisasimu, saya sangat merekomendasikan kamu untuk membaca paper aslinya dan melihat sendiri ke-60 peran tersebut secara mendetail.

Ini bukan sekadar bacaan akademis; ini adalah cetak biru untuk karier dan organisasi yang lebih baik.

(https://doi.org/10.1080/23311975.2023.2210359)

Selengkapnya
60 Peran Rahasia Manajer PMO yang Tak Pernah Diceritakan di Kantor Anda

Manajemen Proyek

Proyek Anda Sering Molor? 3 Rahasia Manajer Proyek di Ghana yang Jarang Dibahas

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025


Saya pernah gagal total merakit sebuah lemari dari IKEA. Rencananya sempurna: semua bagian ada, instruksi jelas. Tapi tiga jam kemudian, saya duduk di lantai, dikelilingi sekrup misterius dan pintu yang miring. Kegagalan kecil ini terasa personal. Rasanya seperti rencana yang matang di atas kertas hancur berkeping-keping saat berhadapan dengan kenyataan.

Sekarang, bayangkan frustrasi saya, lalu kalikan dengan miliaran dolar. Itulah yang terjadi di Ghana, di mana sebuah studi dalam disertasi doktoral menemukan bahwa sekitar 70% proyek konstruksi jalan mengalami penundaan signifikan, dan 52% mengalami pembengkakan biaya. Ini bukan lagi soal pintu lemari yang miring, melainkan soal sekolah yang tak kunjung jadi, rumah sakit yang tertunda, dan uang pajak yang menguap sia-sia.   

Biasanya, solusi untuk masalah sebesar ini dicari di seminar-seminar mahal atau buku-buku teori. Tapi saya menemukan jawaban yang paling jujur dan mengejutkan di tempat yang tak terduga: sebuah disertasi doktoral karya Degraft Gyan Kwafo. Ia tidak berteori dari menara gading. Ia turun ke lapangan dan mewawancarai 10 manajer proyek kawakan di Ghana—orang-orang yang setiap hari berjuang menyelesaikan proyek jalan, jembatan, dan perumahan yang didanai pemerintah.   

Dari percakapan mereka, muncul tiga rahasia yang mengubah cara saya memandang manajemen proyek. Ini bukan tentang software canggih atau metodologi rumit. Ini tentang strategi yang berakar pada realitas pahit, kecerdasan manusiawi, dan keberanian yang luar biasa.

Rahasia Pertama: Proyek Adalah Tentang Manusia, Bukan Sekadar Beton dan Baja

Bayangkan Anda mengelola tim proyek bukan seperti mandor yang meneriakkan perintah, tapi seperti pelatih tim juara. Pelatih terbaik tahu bahwa kemenangan tidak datang dari strategi di papan tulis saja, tapi dari kondisi fisik, mental, dan emosional setiap pemainnya. Para manajer di Ghana ini adalah pelatih-pelatih ulung.

Kesejahteraan Dulu, Produktivitas Kemudian

Di tengah ketidakpastian proyek, satu hal yang mereka pegang teguh adalah kesejahteraan tim. Ini bukan sekadar basa-basi, melainkan strategi inti. Seperti yang diungkapkan salah satu manajer, sebut saja PA, "Di Ghana, banyak manajer proyek tidak memikirkan kesejahteraan pekerja... Jika kesejahteraan tidak diurus, mereka bisa mogok, yang bisa menunda proyek.".   

Kesejahteraan bagi mereka berarti tiga hal konkret:

  1. Gaji Tepat Waktu: Ini bukan tugas administratif, melainkan fondasi kepercayaan. Menahan dana "tanpa perlu" adalah resep bencana. Di lingkungan di mana proyek bisa berhenti kapan saja karena masalah pendanaan eksternal, memastikan tim internal tetap solid adalah prioritas utama.   

  2. Keselamatan dan Perawatan: Mereka tidak main-main dengan keselamatan. Manajer PC menyediakan pusat P3K di lokasi, sementara Manajer PJ bahkan menanggung seluruh biaya rumah sakit jika ada pekerja yang cedera dan tetap membayar gaji mereka sampai pulih. PJ bahkan pernah memulangkan pekerja yang tidak memakai sepatu keselamatan, karena baginya, pencegahan adalah segalanya.   

  3. Hubungan Personal: Ini bukan sekadar hubungan atasan-bawahan. Manajer PH dan PI sengaja membangun hubungan baik agar para pekerja merasa nyaman berbagi masalah dan ide. PI bahkan mengakui, "Kami juga mendapat pengetahuan dari para tukang ini," yang menunjukkan adanya rasa saling menghormati dan alur komunikasi dua arah.   

Fokus intens pada kesejahteraan staf bukanlah tindakan altruistik semata; ini adalah strategi mitigasi risiko tingkat lanjut. Dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian eksternal, seperti pendanaan pemerintah yang tidak bisa diandalkan, satu-satunya variabel yang bisa mereka kendalikan sepenuhnya adalah moral dan loyalitas tim mereka. Dengan menciptakan lingkungan internal yang sangat stabil—gaji tepat waktu, keselamatan terjamin, hubungan yang baik—mereka membangun tim yang tangguh dan mampu menahan guncangan dari luar. Mogok kerja karena gaji telat adalah kesalahan fatal yang tidak bisa mereka tolerir ketika harus berhadapan dengan penundaan dana yang di luar kendali mereka. Dengan kata lain, soft skills menjadi alat utama mereka untuk mengelola risiko-risiko yang paling keras.

Gula dan Garam Akuntabilitas

Tim yang sejahtera bukan berarti tim yang manja. Para manajer ini menerapkan sistem akuntabilitas yang adil namun tegas, seperti memberikan gula dan garam sekaligus.

  • Insentif (Gula): Penghargaan bukan hanya soal bonus. Manajer PA, misalnya, memberikan penghargaan bulanan untuk "pekerja terbaik" dan "perilaku terbaik." Hadiahnya bisa berupa barang atau uang. Ini adalah bentuk pengakuan publik yang sangat memotivasi.   

  • Konsekuensi (Garam): Akuntabilitas ditegakkan tanpa pandang bulu. Manajer PF dan PD tidak ragu memotong gaji atau bahkan menghentikan kontrak jika menemukan kelalaian atau penundaan yang disengaja. Aturan mainnya jelas, dan semua orang tahu konsekuensinya.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Tim yang merasa dihargai secara proaktif mengatasi masalah, mengurangi risiko penundaan akibat faktor internal seperti mogok kerja atau kelalaian.

  • 🧠 Inovasinya: Menggeser fokus dari sekadar "manajemen sumber daya manusia" menjadi "pembangunan benteng manusia" yang tangguh untuk menghadapi badai ketidakpastian eksternal.

  • 💡 Pelajaran: Gaji yang telat satu hari bisa menunda proyek Anda satu bulan. Jangan pernah meremehkan fondasi kepercayaan dalam tim Anda.

Rahasia Kedua: Pertaruhan Terbesar Seorang Manajer Proyek

Setiap proyek besar pasti dimulai dengan rencana. Namun, apa yang terjadi jika sistem yang ada membuat rencana terbaik sekalipun menjadi mustahil untuk dieksekusi? Di sinilah para manajer di Ghana menunjukkan keberanian yang melampaui deskripsi pekerjaan mereka.

Fondasi yang Tak Terlihat

Tentu saja, semua dimulai dengan perencanaan yang baik. Ini adalah dasar dari semua manajemen proyek yang solid: membuat anggaran, mengalokasikan sumber daya, dan menyusun jadwal yang realistis. Para manajer ini melakukan semua itu dengan cermat. Mereka melalui proses tender yang kompetitif, melakukan riset awal untuk kebutuhan alat dan tenaga kerja, serta mengidentifikasi pemasok material yang bisa diandalkan. Namun, ada satu masalah sistemik yang tidak bisa dipecahkan oleh diagram Gantt secanggih apapun: pendanaan pemerintah yang seringkali macet.   

Ketika Manajer Menggadaikan Rumahnya Demi Proyek Negara

Inilah bagian yang paling mengejutkan dari disertasi ini. Untuk mengatasi masalah dana pemerintah yang tidak menentu, banyak manajer mengambil langkah ekstrem: membiayai proyek negara dengan uang pribadi mereka.

Nasihat dari Manajer PC sangat lugas: "Jangan tunggu dana pemerintah sebelum Anda memulai proyek [jika ingin selesai tepat waktu].".   

Namun, Manajer PJ memberikan gambaran yang lebih gamblang dan mengerikan tentang realitas di baliknya: "Serius, Anda harus punya dana. Kami mengambil pinjaman dari bank dan menggunakan rumah kami sebagai jaminan... Jika Anda tidak punya dana... Anda tidak bisa melakukannya.... Ketika Anda tidak punya dana dan membeli secara kredit, itu menggerus margin keuntungan Anda karena harga apapun yang diberikan, Anda tidak punya pilihan selain menerimanya.".   

PJ bahkan menceritakan bagaimana ia terpaksa menerima peralatan listrik berkualitas rendah karena membelinya secara kredit. Ini adalah kompromi pahit: menjaga jadwal proyek tetap berjalan dengan mengorbankan kualitas jangka panjang.   

Membaca ini membuat saya terdiam. Di satu sisi, ini adalah bukti dedikasi dan komitmen yang luar biasa. Para manajer ini mempertaruhkan segalanya, secara harfiah, demi menyelesaikan tugas mereka. Di sisi lain, ini adalah sebuah anomali sistemik yang mengerikan. Keberhasilan sebuah proyek infrastruktur publik seharusnya tidak bergantung pada apakah manajernya bersedia menggadaikan rumahnya. Ini adalah cerminan sistem yang rusak, yang memaksa individu untuk menjadi pahlawan hanya untuk menutupi kegagalan birokrasi.

Praktik ini secara fundamental mengubah deskripsi pekerjaan "Manajer Proyek" menjadi "Manajer Proyek sekaligus Pemodal". Risiko inefisiensi pemerintah dialihkan sepenuhnya dari negara ke pundak individu. Hal ini menciptakan hambatan masuk yang sangat besar bagi manajer-manajer berbakat yang mungkin tidak memiliki aset pribadi untuk dijadikan jaminan. Akibatnya, sistem ini mungkin secara tidak sengaja menyaring kandidat bukan berdasarkan keahlian manajerial, tetapi berdasarkan kekayaan pribadi. Ini adalah sebuah ironi yang tragis dalam upaya pembangunan nasional.

Rahasia Ketiga: Mata di Lapangan, Telinga di Komunitas

Setelah tim solid dan rencana (yang radikal) sudah ada, tantangan berikutnya adalah pengawasan. Di sini, para manajer di Ghana kembali menunjukkan kecerdasan mereka dengan memadukan metode klasik dan inovasi sosial yang brilian.

Kekuatan Kunjungan Dadakan (dan Panggilan Zoom)

Pengawasan langsung tetap menjadi kunci. Manajer PD dan PI menekankan pentingnya kunjungan mendadak ke lokasi. "Kami mengunjungi mereka tanpa memberitahu agar kami bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di lapangan," kata PD. Strategi sederhana ini memastikan semua orang tetap waspada dan standar kualitas terjaga.   

Namun, mereka juga adaptif. Di tengah pandemi COVID-19, teknologi menjadi penyelamat. Manajer seperti PA, PF, dan PI beralih ke panggilan video dan Zoom untuk memantau kemajuan. "Saya menggunakan panggilan video dan Zoom untuk memastikan saya bisa melihat apa yang sedang terjadi," jelas PA. WhatsApp juga menjadi alat komunikasi vital untuk koordinasi harian.   

Ketika Warga Menjadi Pengawas Proyek

Inilah strategi yang paling unik dan kuat. Sadar bahwa mereka tidak bisa berada di semua tempat sekaligus, beberapa manajer memberdayakan pihak yang paling berkepentingan dengan keberhasilan proyek: masyarakat setempat.

Mereka secara aktif melibatkan para pemimpin lokal, seperti "para kepala suku, anggota dewan, dan komite unit," untuk ikut mengawasi jalannya proyek. Peran komunitas ini bukan pasif. Mereka menjadi mata dan telinga manajer di lapangan. Manajer PD berbagi sebuah kisah luar biasa: "Ada seorang penduduk desa [yang melaporkan] kontraktor menggunakan pasir yang salah, komunitas memberi tahu kami, dan kami bisa menyelesaikan masalahnya.".   

Strategi ini lebih dari sekadar pengawasan gratis. Dengan mempekerjakan orang-orang dari komunitas tersebut, para manajer menciptakan "rasa memiliki" yang mendalam. Proyek itu bukan lagi "proyek pemerintah," melainkan "proyek kita bersama."   

Ini adalah contoh cemerlang bagaimana modal sosial dapat digunakan untuk memecahkan masalah manajemen proyek. Dalam konteks di mana pengawasan formal mungkin terbatas atau rentan terhadap korupsi (seperti yang diisyaratkan oleh Manajer PE tentang mandor yang menerima suap), komunitas menyediakan lapisan pengawasan yang gratis, sangat termotivasi, dan sulit untuk dikorupsi. Para penerima manfaat utama dari proyek tersebut menjadi penjaga yang paling waspada. Praktik ini secara fundamental mengubah definisi "pemangku kepentingan" dari seseorang yang perlu Anda kelola menjadi mitra yang bisa Anda aktifkan.   

Tiga Pertanyaan untuk Proyek Anda Berikutnya

Disertasi ini mengajarkan kita bahwa manajemen proyek yang hebat bukanlah ilmu eksakta yang dingin, melainkan sebuah praktik yang sangat manusiawi—seni menyeimbangkan empati, strategi yang berani, dan pengawasan yang adaptif.

Jadi, sebelum memulai proyek Anda berikutnya, entah itu meluncurkan produk baru, mengatur acara, atau bahkan merakit lemari, coba tanyakan pada diri Anda tiga hal ini:

  1. Manusia: "Apakah tim saya merasa dihargai dan aman? Apakah saya sudah membangun 'benteng manusia' yang solid sebelum membangun apapun?"

  2. Rencana & Risiko: "Apa 'dana pemerintah' yang telat dalam proyek saya? Di mana titik kegagalan sistemik yang paling mungkin terjadi, dan apakah saya punya rencana radikal (semoga bukan menggadaikan rumah!) untuk mengatasinya?"

  3. Pengawasan: "Siapa 'komunitas' dalam proyek saya? Siapa yang paling diuntungkan dari keberhasilan ini, dan bagaimana saya bisa mengubah mereka dari penonton menjadi pengawas yang aktif?"

Wawasan ini hanyalah puncak gunung es. Jika Anda tertarik untuk memahami lebih dalam dinamika di balik temuan ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca disertasi aslinya.

(https://scholarworks.waldenu.edu/dissertations/10522/)

Selengkapnya
Proyek Anda Sering Molor? 3 Rahasia Manajer Proyek di Ghana yang Jarang Dibahas

Manajemen Proyek

Lebih dari Sekadar 'Hijau': 3 Rahasia Konstruksi Berkelanjutan yang Akan Mengubah Cara Anda Bekerja

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025


I. Pencarian Saya akan Cetak Biru yang Lebih Baik

Saya pernah berdiri di depan sebuah proyek konstruksi besar di pusat kota, menyesap kopi pagi sambil mengamati kesibukan para pekerja. Namun, ada satu hal yang mengusik saya. Di sudut area proyek, sebuah kontainer raksasa terus-menerus diisi dengan tumpukan material yang tampak masih sangat layak: potongan kayu balok, sisa gulungan kabel, bahkan beberapa lembar papan gipsum yang hanya terpotong sedikit. Hati saya mencelos. "Pasti ada cara yang lebih baik," pikir saya. Tapi, seperti apa persisnya "cara yang lebih baik" itu?

Pertanyaan itu menghantui saya selama bertahun-tahun, sampai akhirnya saya menemukan sebuah paper penelitian yang terasa seperti peta harta karun. Judulnya, "Sustainability in Construction Projects: A Systematic Literature Review," mungkin terdengar kering, tapi isinya adalah sebuah pencerahan. Para peneliti di baliknya tidak hanya memberikan opini; mereka memetakan seluruh lanskap pemikiran tentang konstruksi berkelanjutan.

Bayangkan para peneliti ini sebagai kartografer langit. Mereka mengumpulkan setiap studi penting tentang konstruksi berkelanjutan yang terbit sejak 2015, memperlakukannya seperti bintang di galaksi. Dengan perangkat lunak canggih, mereka menarik garis antara bintang-bintang yang membahas konsep serupa. Perlahan tapi pasti, tiga konstelasi atau gugusan ide raksasa mulai terbentuk—tiga pilar utama yang mendefinisikan seluruh alam semesta tantangan ini.1

Peta ini mengungkap sebuah konflik inti yang sering kita abaikan. Di satu sisi, industri konstruksi adalah mesin ekonomi global yang luar biasa, menyumbang 13% dari PDB dunia.1 Di sisi lain, ia adalah salah satu kontributor terbesar masalah lingkungan, bertanggung jawab atas 36% penggunaan energi global dan 39% emisi karbon dioksida ($CO_{2}$).1 Ini bukan sekadar soal menjadi "hijau"; ini tentang mendamaikan dua kekuatan dahsyat yang tampaknya saling bertentangan.

Dalam tulisan ini, saya akan mengajak Anda menjelajahi tiga "konstelasi" yang ditemukan para peneliti. Tiga pilar ini mengungkap rahasia-rahasia fundamental yang akan mengubah cara kita berpikir tentang membangun masa depan.

II. Wahyu Pertama: Jika Anda Tidak Bisa Menghitung Skornya, Anda Hanya Sedang Latihan

Gugusan ide pertama yang ditemukan para peneliti adalah tentang sesuatu yang terdengar mendasar, tapi ternyata sangat krusial: Evaluasi dan Pengukuran. Sebagian besar penelitian di bidang ini ternyata tidak fokus pada teknologi canggih, melainkan pada upaya untuk mendefinisikan dan mengukur apa arti "keberlanjutan" dalam sebuah proyek.1 Istilah-istilah seperti "indikator kinerja utama" (key performance indicators), "penilaian" (assessment), dan "kinerja keberlanjutan" (sustainability performance) menjadi pusat dari konstelasi ini.1

Ini membawa kita pada wahyu pertama: Apa yang tidak bisa diukur, tidak bisa dikelola.

Fitbit untuk Gedung

Bayangkan Anda ingin "menjadi lebih sehat". Tujuan itu terlalu kabur. Anda tidak akan masuk ke gym dan sekadar "berusaha bugar". Anda akan melacak kemajuan dengan angka-angka konkret: jumlah langkah, kalori yang terbakar, berat yang diangkat, jam tidur.

Para peneliti menemukan bahwa orang-orang terpintar di industri konstruksi sedang mencoba melakukan hal yang sama untuk proyek mereka. Mereka beralih dari janji-janji samar seperti "bangunan ramah lingkungan" ke metrik yang jelas. Mereka sedang menciptakan Fitbit untuk gedung.

Paper ini mengingatkan kita pada konsep klasik Triple Bottom Line—tiga pilar yang harus seimbang: ekonomi, lingkungan, dan sosial.1 Saya suka menjelaskannya seperti ini:

  • Ekonomi: Apakah proyek ini masuk akal secara finansial sepanjang siklus hidupnya, bukan hanya pada hari pertama peresmian?

  • Lingkungan: Apakah proyek ini mengurangi dampak buruk terhadap planet dalam hal energi, air, dan limbah?

  • Sosial: Apakah proyek ini meningkatkan kualitas hidup orang-orang yang menggunakannya dan masyarakat di sekitarnya?

Pilar "sosial" sering kali menjadi yang paling abstrak, tetapi paper ini memberikan contoh nyata yang menusuk. Di Arab Saudi, investasi miliaran dolar dalam industri konstruksi ternyata tidak selalu menciptakan banyak lapangan kerja lokal atau mengembangkan keterampilan profesional.1 Akibatnya, terjadi ketidaksetaraan dan basis keterampilan nasional tidak berkembang. Ini adalah kegagalan sosial yang nyata, sebuah pengingat bahwa bangunan megah tidak ada artinya jika komunitas di sekitarnya tidak ikut terangkat.

Paradoks Pengukuran

Di sinilah letak sebuah pemahaman yang lebih dalam. Tantangan sebenarnya bukanlah menemukan satu metrik yang sempurna, melainkan menumbuhkan budaya bertanya dan berkomunikasi.

Para peneliti menyoroti berbagai sistem evaluasi yang sedang dikembangkan, mulai dari model akademis yang sangat kompleks hingga indeks yang lebih sederhana seperti CSIP (Composite Sustainability Index of a Project).1 Namun, mereka juga dengan bijak memperingatkan bahwa mereduksi keberlanjutan menjadi satu angka tunggal "berisiko kehilangan beberapa nilai esensial".1 Ini adalah sebuah ketegangan fundamental.

Bukti kuncinya datang dari studi kasus Scarborough Beach Pool di Australia.1 Kesuksesan proyek ini bukan hanya pada peringkat akhir "bintang 6" yang mereka raih. Kesuksesan sesungguhnya terletak pada proses—sebuah "tinjauan desain sementara" yang mengidentifikasi potensi untuk berbuat lebih baik. Dan yang terpenting, kemampuan tim proyek untuk mengomunikasikan kemenangan teknis tersebut (seperti pemanasan panas bumi dan penggunaan air hujan) dengan cara yang dapat dipahami dan dirayakan oleh publik.

Ini menunjukkan bahwa tujuan pengukuran bukan sekadar untuk menghasilkan rapor. Tujuannya adalah menyediakan informasi untuk membuat keputusan yang lebih baik selama proyek berlangsung, dan untuk menceritakan kisah yang menarik tentang nilai proyek tersebut setelah selesai. Fokusnya harus bergeser dari skor itu sendiri ke percakapan yang dimungkinkan oleh skor tersebut.

  • 🚀 Gagasan Utamanya: Keberlanjutan bukanlah perasaan; ini adalah serangkaian hasil yang terukur. Sebelum memulai proyek, definisikan seperti apa "kemenangan" itu di seluruh lini ekonomi, sosial, dan lingkungan.

  • 🧠 Nüansanya: Jangan terobsesi dengan satu skor tunggal. Gunakan metrik untuk memicu percakapan, menantang asumsi, dan menceritakan dampak sejati dari proyek Anda.

III. Tali Titian Manajer Proyek: Menyeimbangkan Anggaran Hari Ini dengan Planet Esok Hari

Jika gugusan pertama adalah tentang "apa" yang harus diukur, gugusan kedua menyelami "bagaimana" hal itu diwujudkan di lapangan. Konstelasi ini berpusat pada Manajemen Proyek untuk Keberlanjutan, dan ia mengungkap sebuah dilema yang dihadapi setiap praktisi.

Paper ini menyoroti adanya "ketegangan yang melekat" antara batasan proyek jangka pendek (waktu, biaya, ruang lingkup) dan tujuan keberlanjutan jangka panjang.1 Bayangkan Anda seorang manajer proyek. Anda dihadapkan pada dua pilihan: menggunakan material daur ulang yang lebih mahal dan butuh waktu pengiriman lebih lama, atau material standar yang murah, cepat, tapi tidak ramah lingkungan. Sementara itu, klien dan atasan Anda menuntut proyek selesai tepat waktu dan sesuai anggaran. Ini bukan pilihan teoretis; ini adalah pertarungan sehari-hari di lapangan.

Di sinilah saya menemukan temuan yang paling mengejutkan, sebuah bom waktu senyap dalam laporan ini. Para peneliti menunjukkan bahwa dua kerangka kerja manajemen proyek paling berpengaruh di dunia, PMBOK dan PRINCE2, ternyata "relatif diam mengenai pengelolaan keberlanjutan".1

Keheningan Kerangka Kerja

Ini adalah sebuah pengungkapan yang luar biasa. Artinya, "kitab suci" yang digunakan untuk melatih dan mensertifikasi jutaan manajer proyek di seluruh dunia tidak memberikan panduan yang memadai tentang salah satu tantangan terbesar di zaman kita. Paper ini juga menemukan bahwa jurnal-jurnal manajemen proyek terkemuka jauh lebih sedikit menerbitkan artikel tentang topik ini dibandingkan jurnal keberlanjutan, yang menandakan bahwa bidang ini tertinggal.1

Akibatnya, terciptalah sebuah kekosongan profesional. Seorang manajer proyek dinilai dan digaji berdasarkan kemampuannya mengelola "segitiga besi": waktu, biaya, dan ruang lingkup. Keberlanjutan sering kali dianggap sebagai tambahan, sesuatu yang "baik untuk dimiliki" tetapi bukan keharusan.

Maka, ketika konflik muncul—seperti pilihan material yang saya sebutkan tadi—sistem secara inheren dirancang untuk memprioritaskan segitiga besi. Mendorong pilihan yang berkelanjutan menjadi tindakan pemberontakan kecil terhadap kerangka kerja profesional yang sudah mapan. Ini menjelaskan mengapa paper ini kemudian menemukan bahwa "perilaku kewarganegaraan proyek" (project citizenship behavior)—inisiatif individu—menjadi sangat krusial.1 Sistemnya gagal, sehingga individu harus turun tangan untuk menyelamatkannya. Ini bukanlah model perubahan yang bisa diandalkan dalam jangka panjang.

Temuan ini adalah sebuah kritik halus namun tajam. Ini menunjukkan bahwa alat yang kita berikan kepada para pembangun masa depan ternyata terjebak di masa lalu. Ini seperti meminta seseorang untuk merakit mobil listrik otonom menggunakan buku manual perbaikan dari tahun 1980-an. Masalahnya bukan hanya pada proyek individu, tetapi pada seluruh sistem operasi profesi ini.

Ketika panduan resmi diam, para profesional harus mencari pengetahuan untuk diri mereka sendiri. Di sinilah pelatihan khusus menjadi penting untuk menjembatani kesenjangan antara kerangka kerja yang usang dan tantangan modern. Kursus seperti yang ada di (https://diklatkerja.com) menjadi vital untuk membekali para manajer proyek dengan pola pikir dan alat yang tidak ada dalam panduan resmi.

IV. Arus Tak Terlihat: Apa yang Sebenarnya Mendorong Proyek Menjadi Lebih Baik

Gugusan ide ketiga dan terakhir adalah tentang Pendorong Konstruksi Berkelanjutan. Jika kita sudah tahu apa yang harus diukur dan memahami dilema yang dihadapi para praktisi, pertanyaan berikutnya adalah: apa yang sebenarnya memotivasi perubahan?

Para peneliti mengidentifikasi berbagai faktor pendorong. Saya suka membayangkannya seperti arus di lautan.

Beberapa pendorong adalah arus permukaan—jelas, kuat, dan terlihat oleh semua orang. Ini adalah peraturan pemerintah, tuntutan klien untuk sertifikasi "bangunan hijau", atau standar seperti ISO 14000.1 Anda harus menavigasi arus ini.

Namun, analisis dalam paper ini mengungkap adanya arus yang lebih dalam, lebih kuat, dan sering kali tak terlihat: arus perilaku manusia di dalam tim proyek itu sendiri.

Pergeseran Kekuatan: Dari Atas ke Bawah Menjadi dari Bawah ke Atas

Secara konvensional, kita berpikir bahwa perubahan didorong dari atas: regulasi yang lebih ketat, permintaan pasar, atau mandat dari dewan direksi. Semua itu penting. Namun, paper ini memberikan porsi analisis yang signifikan pada dampak dari "perilaku proaktif individu" dan "hubungan interpersonal" di dalam tim.1

Para peneliti membuat klaim yang sangat penting: perilaku individu ini menjadi sangat penting terutama ketika indikator teknis saja tidak cukup untuk mencapai tujuan keberlanjutan. Artinya, kecerdikan, kolaborasi, dan inisiatif manusia adalah solusi terakhir yang menentukan keberhasilan.

Ini mengubah peran kepemimpinan secara fundamental. Tugas seorang manajer bukan lagi sekadar memastikan daftar periksa keberlanjutan tercentang (kepatuhan). Tugasnya adalah menciptakan kondisi di mana "perilaku menolong, kepatuhan berbasis proyek, mengambil alih tanggung jawab, dan inisiatif pribadi" dapat berkembang.1 Ini adalah pergeseran dari manajemen menjadi pemberdayaan. Ini tentang budaya, bukan hanya kontrol.

V. Membangun Fondasi Baru, Dimulai Hari Senin

Perjalanan kita melintasi peta penelitian ini telah mengungkap tiga wahyu fundamental yang mengubah cara kita memandang konstruksi berkelanjutan. Ini bukan lagi hanya tentang panel surya atau atap hijau. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam.

  1. Mulai dengan Papan Skor: Jangan hanya bertujuan untuk menjadi "berkelanjutan". Tentukan apa yang akan Anda ukur. Kejelasan adalah langkah pertama menuju perubahan.

  2. Akui Adanya Tali Titian: Sadari bahwa alat profesional kita mungkin tertinggal. Secara aktif, carilah pengetahuan dan kerangka kerja untuk menavigasi ketegangan antara tuntutan jangka pendek dan nilai jangka panjang.

  3. Nyalakan Ruang Mesin: Pahami bahwa perubahan sejati datang dari bawah ke atas. Aset Anda yang paling berharga adalah budaya tim yang mendorong pemecahan masalah secara proaktif.

Ini mungkin terdengar besar dan kompleks, tetapi perubahan selalu dimulai dengan langkah kecil. Berikut adalah tiga pertanyaan yang bisa Anda bawa ke tempat kerja Anda, terinspirasi langsung dari temuan paper ini:

  1. Terinspirasi oleh Gugus 1: "Jika kita harus membuat 'skor keberlanjutan' untuk proyek kita saat ini, tiga metrik apa yang akan kita pilih dan mengapa?"

  2. Terinspirasi oleh Gugus 2: "Di mana letak ketegangan terbesar antara 'cara lama yang biasa kita lakukan' dan pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam pekerjaan kita?"

  3. Terinspirasi oleh Gugus 3: "Satu hal apa yang bisa saya lakukan minggu ini untuk mempermudah anggota tim menyarankan cara baru yang lebih baik dalam melakukan sesuatu?"

Tulisan ini hanya menggores permukaan dari detail luar biasa dalam penelitian ini. Ini adalah peta yang akan memberi lebih banyak hadiah bagi mereka yang mau menjelajahinya lebih dalam. Jika Anda siap melihat lanskap penuh dan menyelami datanya sendiri, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.3390/su13041932)

Selengkapnya
Lebih dari Sekadar 'Hijau': 3 Rahasia Konstruksi Berkelanjutan yang Akan Mengubah Cara Anda Bekerja

Pembangunan Berkelanjutan

Hari Ketika Saya Sadar Ide Saya tentang Gedung "Hijau" Itu Salah

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025


Saya pernah berjalan di sebuah gedung perkantoran baru yang megah. Semuanya sempurna. Dindingnya terbuat dari material daur ulang, lampunya hemat energi, dan di lobi, sebuah plakat berkilauan dengan bangga memamerkan sertifikasi BREEAM (Building Research Establishment Environmental Assessment Method) peringkat tinggi. Secara teknis, gedung ini adalah sebuah mahakarya keberlanjutan. Ia efisien, bertanggung jawab secara ekologis, dan dirancang untuk meminimalkan jejak karbonnya.   

Tapi saat saya berdiri di atriumnya yang luas dan sunyi, saya merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah kekosongan. Gedung itu terasa seperti sebuah lagu yang dimainkan dengan presisi teknis sempurna tetapi tanpa emosi, atau makanan yang direkayasa secara molekuler tapi hambar. Semua notnya benar, tapi tidak ada jiwa. Tidak ada sudut untuk mengobrol santai, tidak ada ruang yang terasa mengundang komunitas, tidak ada denyut kehidupan manusia. Yang ada hanyalah efisiensi yang dingin dan steril.

Perasaan "ada yang kurang" itu menghantui saya. Bagaimana mungkin sebuah bangunan yang dicap sebagai puncak desain "berkelanjutan" terasa begitu tidak manusiawi? Jawaban atas kegelisahan saya ternyata ada dalam sebuah paper penelitian yang mengubah cara saya memandang arsitektur selamanya.

Sebuah Paper yang Membalik Cetak Biru Desain Berkelanjutan

Paper itu berjudul "Advancing Social Sustainability in BREEAM New Construction Certification Standards" oleh Anosh Nadeem Butt. Membacanya terasa seperti menemukan kepingan puzzle yang hilang. Paper ini membuka mata saya pada konsep dasar yang sering kita lupakan: keberlanjutan sejati berdiri di atas tiga pilar, bukan hanya satu. Pilar-pilar itu adalah Lingkungan (Planet), Ekonomi (Profit), dan Sosial (Manusia).   

Selama beberapa dekade, argumen utama paper ini adalah bahwa pilar "Planet" telah menjadi bintang utama. Kita telah menjadi ahli dalam mengukur kilowatt-jam yang dihemat, meter kubik air yang dikonservasi, dan ton limbah yang didaur ulang. Sistem sertifikasi seperti BREEAM, yang lahir pada tahun 1990, secara alami memprioritaskan metrik lingkungan yang terukur ini. Sejarah gerakan keberlanjutan modern itu sendiri dimulai dengan fokus pada krisis ekologis, seperti yang diperingatkan oleh laporan The Limits to Growth pada tahun 1972, yang membingkai masalah ini sebagai soal kelangkaan sumber daya.   

Meskipun laporan-laporan selanjutnya seperti Brundtland Report pada tahun 1987 mulai memperkenalkan dimensi sosial dan ekonomi, DNA awal yang berfokus pada lingkungan ini sudah terlanjur tertanam dalam perangkat yang kita gunakan. Akibatnya, pilar "Manusia"—kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan bagi penghuni dan komunitas di sekitarnya—sering kali menjadi pemeran pembantu yang terlupakan.   

Gedung "hijau" yang terasa hampa itu bukanlah sebuah kebetulan desain; itu adalah hasil logis dari sistem pengukuran kita. Kita telah membangun apa yang kita ukur, dan kita gagal mengukur apa yang benar-benar membuat sebuah bangunan terasa hidup. Paper ini tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan cetak biru tentang bagaimana kita bisa mulai mengukur—dan dengan demikian, membangun—jiwa sosial yang hilang itu.

Empat Kekuatan Super Sosial yang Hilang dari Gedung Kita

Inilah inti dari penemuan paper tersebut. Alih-alih mengusulkan perombakan total, Butt dengan cerdas mengidentifikasi celah-celah spesifik dalam kerangka BREEAM yang ada dan menunjukkan bagaimana kita dapat mengisinya. Ada empat "kekuatan super" sosial yang selama ini kita abaikan, yang dapat diintegrasikan ke dalam cara kita menilai bangunan.

Bukan Sekadar Gedung, Ini Rumah (Bahkan di Tempat Kerja): Pencarian Kepuasan Pengguna

Apa gunanya gedung yang super efisien jika orang-orang di dalamnya sengsara? Pertanyaan ini seharusnya menjadi inti dari setiap proyek desain. "Kepuasan Pengguna" lebih dari sekadar perasaan; itu adalah metrik keberhasilan yang krusial. Paper ini menunjukkan cara cerdas untuk melacaknya, bukan dengan menciptakan kategori baru yang abstrak, tetapi dengan menghubungkannya ke kredit BREEAM yang sudah ada dan sangat praktis.

Misalnya, apakah manajemen gedung memiliki rencana "Layanan Purnajual" (MAN 05) yang baik untuk menanggapi keluhan penghuni? Apakah ada "Pemantauan Energi" (ENE 02) yang transparan sehingga pengguna merasa berdaya? Apakah lingkungan sekitarnya "Aman dan Sehat" (HEA 07)? Ini adalah tindakan nyata yang secara langsung memengaruhi perasaan orang di dalam sebuah ruang.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Keberhasilan sebuah gedung bukan hanya tagihan listriknya, tetapi juga kesejahteraan penghuninya. Paper ini menunjukkan bagaimana BREEAM dapat melacak kebahagiaan pengguna dengan menghubungkannya ke kredit nyata untuk layanan purnajual, data energi yang transparan, dan ruang komunal yang aman.

  • 🧠 Inovasinya: Alih-alih memperlakukan "kepuasan" sebagai perasaan yang tidak jelas, pendekatan ini memperlakukannya sebagai hasil rekayasa. Layanan purnajual yang baik dan lingkungan yang aman bukanlah sekadar fasilitas tambahan; mereka adalah fitur desain yang menghasilkan pengguna yang puas.

  • 💡 Pelajaran: Kita perlu beralih dari merancang bangunan yang hanya berkinerja baik menjadi merancang bangunan yang membantu orang hidup dengan baik.

Manusia di Balik Pembangunan: Titik Buta Hak-Hak Pekerja

Di sinilah letak paradoks etis dari banyak diskusi keberlanjutan. Kita dengan cermat melacak jejak karbon sebatang baja, tetapi sering kali mengabaikan kesejahteraan orang yang memasangnya. Paper ini menyoroti titik buta ini: biaya manusia dari konstruksi.   

BREEAM dapat mengatasi ini dengan memperluas definisi kredit yang ada. Misalnya, "Pengadaan Sumber Material Konstruksi yang Bertanggung Jawab" (MAT 03) seharusnya tidak hanya berarti kayunya bersertifikat FSC; itu juga harus berarti perusahaan pemasoknya memiliki praktik perburuhan yang adil. "Praktik Konstruksi yang Bertanggung Jawab" (MAN 03) harus secara eksplisit mencakup kesejahteraan dan keselamatan pekerja di luar kepatuhan minimum.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Huruf "S" dalam ESG (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola) sering terlupakan di lokasi konstruksi. Paper ini mengidentifikasi celah besar dalam melindungi hak dan kesejahteraan para pekerja yang membangun masa depan "berkelanjutan" kita.

  • 🧠 Inovasinya: Usulannya adalah menanamkan hak asasi manusia langsung ke dalam rantai pasokan dan kredit manajemen. Ini menjadikan tanggung jawab sosial sebagai bagian yang tidak dapat dinegosiasikan dari proses pengadaan dan konstruksi, bukan masalah SDM yang terpisah.

  • 💡 Pelajaran: Bangunan yang benar-benar berkelanjutan tidak dapat dibangun di atas praktik perburuhan yang tidak berkelanjutan. Kesehatan bangunan dimulai dengan kesehatan dan martabat para pembangunnya.

Merancang untuk Hari Esok: Apa Warisan Arsitektur Kita?

Bayangkan membangun istana pasir yang indah tepat di tepi air—mengesankan hari ini, tetapi hilang besok. Banyak bangunan modern dirancang dengan pandangan jangka pendek yang mengejutkan. Keberlanjutan sejati adalah tentang membangun untuk keabadian dan kemampuan beradaptasi. Konsep ini disebut "Perencanaan Warisan" (Legacy Planning).

Paper ini menyarankan agar BREEAM dapat mendorong ini dengan memberikan penghargaan untuk "Perancangan untuk Daya Tahan dan Ketahanan" (MAT 05) dan, yang menarik, "Desain untuk Pembongkaran dan Adaptabilitas" (WST 06). Ini berarti memikirkan seluruh siklus hidup bangunan: Bisakah bangunan ini dengan mudah dialihfungsikan dalam 50 tahun? Bisakah komponennya didaur ulang alih-alih dihancurkan? Ini adalah tentang menjadi leluhur yang baik bagi generasi mendatang.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: "Perencanaan Warisan" memastikan bahwa sebuah bangunan tetap menjadi aset berharga bagi generasi mendatang, bukan menjadi beban.

  • 🧠 Inovasinya: Gagasan untuk memberi penghargaan pada "Desain untuk Pembongkaran" adalah revolusioner. Ini membingkai ulang sebuah bangunan bukan sebagai produk akhir, tetapi sebagai kumpulan material berharga sementara yang dapat digunakan kembali, yang secara fundamental mengubah hubungan kita dengan limbah dan keabadian.

  • 💡 Pelajaran: Desain berkelanjutan bukan hanya tentang mengurangi dampak negatif kita hari ini; ini tentang menciptakan warisan positif dan adaptif untuk hari esok.

Saat Krisis Datang: Apakah Gedung Kita Siap?

Bagian terakhir yang hilang adalah "Perencanaan Tanggap Darurat". Pandemi dan peristiwa terkait iklim telah menunjukkan kepada kita bahwa bangunan adalah garis pertahanan pertama kita. Bangunan yang berkelanjutan juga harus tangguh.

Paper ini menghubungkan hal ini dengan kredit praktis seperti "Keamanan" (HEA 06), "Deteksi Kebocoran Air" (WAT 03), dan "Pencahayaan Eksternal" (ENE 03). Ini bukan hanya tentang kenyamanan; ini adalah komponen penting dari sistem yang menjaga orang tetap aman selama krisis.   

Meskipun analisis paper ini brilian dan perlu, saya bisa membayangkan para manajer proyek menghela napas. Memetakan "respons darurat" ke kredit untuk "limbah operasional" (WST 03) terasa agak abstrak dan bisa jadi sulit diterima oleh tim yang fokus pada anggaran dan tenggat waktu. Ini menyoroti ketegangan klasik antara ketelitian akademis dan implementasi di lapangan. Di sinilah pekerjaan sebenarnya dimulai: menerjemahkan konsep-konsep vital ini ke dalam alur kerja proyek yang praktis. Untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik, para profesional memerlukan panduan terstruktur, seperti prinsip-prinsip manajemen proyek yang diajarkan dalam (https://diklatkerja.com) yang komprehensif. Mengetahui apa yang harus dilakukan adalah satu hal; mengetahui bagaimana mengintegrasikannya dengan mulus adalah hal lain.

Membangun Jembatan, Bukan Hanya Tembok: Panggilan untuk Kolaborasi Baru

Kesimpulan paling kuat dari paper ini adalah bahwa untuk memecahkan masalah ini, kita memerlukan "kolaborasi transdisipliner". Sederhananya: arsitek dan insinyur tidak bisa melakukannya sendiri.   

Ini adalah kritik mendasar terhadap struktur industri arsitektur, rekayasa, dan konstruksi (AEC) saat ini yang terkenal terkotak-kotak. Untuk merancang bangunan yang mempromosikan komunitas, Anda perlu berbicara dengan seorang sosiolog. Untuk menciptakan ruang yang meningkatkan kesehatan mental, Anda memerlukan masukan dari ahli kesehatan masyarakat. Untuk memastikan sebuah proyek melayani lingkungannya, Anda memerlukan seorang perencana kota.   

Menerapkan rekomendasi paper ini tidak cukup hanya dengan menambahkan kredit baru ke BREEAM. Komposisi tim proyek dan alur kerja itu sendiri perlu dipikirkan ulang secara radikal. Masa depan desain adalah kolaboratif, dan ide-ide paling inovatif akan datang dari meruntuhkan silo-silo profesional.

Giliran Anda Menggambar Ulang Rencana

Pada akhirnya, pesan dari paper ini sederhana namun mendalam: nilai sejati sebuah bangunan tidak diukur dalam kilowatt yang dihemat, tetapi dalam kualitas kehidupan manusia yang didukungnya. Kita memiliki alat dan pengetahuan untuk membangun ruang yang baik bagi planet dan baik bagi manusia.

Paper oleh Anosh Nadeem Butt ini bukan hanya sebuah kritik; ini adalah cetak biru praktis tentang bagaimana memulainya. Ini adalah undangan untuk kita semua—arsitek, pengembang, perencana, dan penghuni—untuk menuntut lebih dari gedung kita. Bukan hanya cangkang yang efisien, tetapi rumah yang hidup dan bernapas untuk kemanusiaan.

Jika ini memicu sesuatu dalam diri Anda—rasa frustrasi dengan status quo atau inspirasi untuk proyek Anda berikutnya—saya sangat menganjurkan Anda untuk mendalaminya lebih lanjut. Baca penelitian aslinya. Bagikan dengan tim Anda. Mulailah percakapan.

(https://doi.org/10.3390/standards5010008)

Selengkapnya
Hari Ketika Saya Sadar Ide Saya tentang Gedung "Hijau" Itu Salah

Konstruksi & Infrastruktur

Menangani Slips, Trips & Falls di Proyek Konstruksi Indonesia: Strategi Kebijakan K3

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Insiden seperti terpeleset (slips), tersandung (trips), dan terjatuh (falls) merupakan penyebab kecelakaan kerja yang sering dianggap “remaja” dibanding kecelakaan besar, tetapi dampaknya signifikan — mulai dari cedera ringan hingga cedera berat, penurunan produktivitas, hingga beban biaya besar bagi perusahaan dan negara.

Dalam konteks konstruksi dan industri Indonesia — seperti proyek gedung bertingkat, pabrik, atau area publik yang sedang dibangun risiko tersebut sangat nyata. Sebagian besar slips & trips terjadi akibat kondisi lantai licin, barang/rintangan berserakan, pencahayaan buruk, atau perubahan level permukaan yang tidak terlihat.

Temuan ini penting untuk kebijakan karena:

  • Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia selama ini lebih banyak berfokus pada kecelakaan besar atau kerja di ketinggian, padahal insiden seperti slips/trips/falls justru berfrekuensi tinggi dan memiliki dampak akumulatif signifikan.

  • Diperlukan kebijakan K3 yang memperkuat aspek preventif, seperti kondisi lantai, kelembapan, penataan jalur kerja, pencahayaan, pelatihan kesadaran bahaya, serta pengawasan rutin — bukan hanya persyaratan APD atau audit formal.

  • Pendekatan global menunjukkan bahwa negara yang berhasil menurunkan angka jatuh di tempat kerja menerapkan sistem pelaporan, analisis akar penyebab, dan desain lingkungan kerja yang lebih aman. Indonesia bisa mengambil pelajaran dengan memasukkan metrik untuk slips/trips/falls ke dalam regulasi SMKK (Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi) nasional.

Sebagai contoh lokal, artikel “K3 di Sektor Konstruksi: Panduan Lengkap untuk Mencegah Kecelakaan Kerja Berdasarkan Standar ILO” di Diklatkerja.com menyoroti bagaimana risiko terpeleset dan tersandung sering kali diabaikan padahal merupakan pemicu awal dari banyak cedera di proyek.

Selain itu, “Kenapa Penerapan Kebijakan Keselamatan di Proyek Konstruksi Masih Lemah?” menekankan pentingnya reformasi sistem pengawasan di proyek-proyek publik agar tidak hanya berorientasi pada dokumentasi, tetapi pada praktik nyata di lapangan.

Dengan demikian, kebijakan publik perlu memperluas kerangka regulasi: mencakup kondisi fisik lokasi kerja (permukaan lantai, pencahayaan, jalur aman), pelatihan dan budaya kerja (kesadaran risiko kecil), serta sistem pengawasan dan pelaporan yang menyertakan jenis insiden ini agar intervensi dapat lebih tepat sasaran.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif bila ditangani:

  • Proyek yang rutin melakukan inspeksi jalur kerja, pemeliharaan lantai, dan pelatihan kesadaran hazard mengalami penurunan insiden slips/trips/falls hingga 30%.

  • Berkurangnya absensi atau cuti medis akibat cedera ringan meningkatkan produktivitas dan reputasi proyek.

  • Terbentuk budaya kerja “jalur aman” (clear walkway) yang meningkatkan kepuasan pekerja dan menurunkan kecemasan terhadap keselamatan.

Hambatan yang sering muncul:

  • Area proyek sering berubah layout, sehingga rambu, pencahayaan, dan jalur aman sulit diperbarui tepat waktu.

  • Banyak subkontraktor menganggap pelatihan hazard kecil sebagai “biaya tambahan”.

  • Kurangnya data atau indikator spesifik untuk slips/trips/falls membuat pengawasan tidak fokus pada jenis insiden ini.

Peluang:

  • Penerapan sistem digital pelaporan near-miss slips/trips untuk mendeteksi dan mencegah insiden besar sebelum terjadi.

  • Kolaborasi dengan lembaga yang menyediakan pelatihan terkait risiko mikro dan budaya keselamatan kerja.

  • Penggunaan checklist harian keselamatan untuk menilai kondisi jalur kerja, tangga, dan kabel sebelum kegiatan proyek dimulai.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Wajibkan sistem pelaporan internal untuk slips, trips & falls di setiap proyek besar dan laporan tahunan ke instansi K3 nasional.

  2. Audit jalur kerja dan kondisi lantai dilakukan minimal setiap tiga bulan untuk memastikan area aman dari licin, rintangan, dan bahaya jatuh.

  3. Pelatihan hazard kecil bagi pekerja baru dan supervisor, termasuk simulasi kondisi licin dan rintangan, serta briefing rutin.

  4. Tata ulang jalur aman (clear walkways), kabel tertata, dan rambu hazard permanen sebagai syarat kontrak proyek publik.

  5. Berikan insentif bagi proyek dengan nol insiden slips/trips/falls, seperti pengurangan premi BPJS Ketenagakerjaan atau penghargaan nasional Safe Work Path Award.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan K3 dapat gagal jika hanya menitikberatkan pada kecelakaan besar dan mengabaikan insiden kecil yang justru lebih sering terjadi. Tanpa pencatatan insiden ringan dan near-miss, pola risiko tidak akan terlihat jelas. Selain itu, budaya kerja yang masih mengutamakan kecepatan dan target fisik di atas keselamatan “langkah per langkah” menyebabkan risiko terus berulang.Kebijakan juga rawan stagnan jika tidak dilengkapi pengukuran hasil seperti tren penurunan insiden dan tindak lanjut terhadap temuan audit. Sebagaimana ditegaskan dalam artikel “Kenapa Penerapan Kebijakan Keselamatan di Proyek Konstruksi Masih Lemah?”, keberhasilan manajemen K3 bukan hanya soal dokumen, tapi soal perubahan perilaku dan kepemimpinan di lapangan.

Penutup

Insiden slips, trips, dan falls mungkin terlihat sepele dibanding kecelakaan besar, tetapi sering menjadi pintu masuk bagi cedera serius, penurunan produktivitas, dan kerugian ekonomi.
Menjadikan pencegahan insiden ini bagian dari kebijakan K3 nasional berarti membangun ekosistem kerja yang tidak hanya patuh regulasi, tetapi juga berbudaya aman.
Melalui sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga pelatihan, Indonesia dapat memperkuat budaya keselamatan yang proaktif dan berkelanjutan di setiap proyek konstruksi dan industri.

Sumber Artikel

Muhammad Ezam Nurdin (2022). Safety in Construction Management (Thesis)

Selengkapnya
Menangani Slips, Trips & Falls di Proyek Konstruksi Indonesia: Strategi Kebijakan K3

Kebijakan Publik

Manajemen K3 di Proyek Konstruksi Indonesia: Pelajaran dari “Safety in Construction Management (Thesis)

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian Safety in Construction Management (tahun recent) menegaskan bahwa penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di proyek konstruksi masih menghadapi kendala besar — terutama pada aspek manajerial, budaya keselamatan, pelatihan, dan pengawasan lapangan. Meskipun studi tersebut dilakukan dalam konteks global, temuan-temuannya sangat relevan bagi Indonesia yang tengah menjalankan banyak proyek gedung, tol, dan infrastruktur publik dengan skala besar.

Dari riset lokal yang dibahas di Diklatkerja dalam artikel seperti “Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan” ditemukan bahwa masih terdapat jurang antara regulasi dan praktik lapangan—pelatihan sering dianggap formalitas, pengawasan melemah, dan pekerja merasa kurang dilibatkan. 

Lebih lanjut, dalam artikel “Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku: Strategi Menuju Zero Accident di Indonesia” disebutkan bahwa teknologi dan perilaku kerja harus disinergikan untuk meningkatkan efektivitas K3 di proyek konstruksi. 

Temuan ini penting karena menggambarkan bahwa kebijakan K3 tidak cukup hanya menetapkan regulasi — seperti kewajiban SMK3/SMKK, penyediaan APD atau instruksi kerja — tetapi harus memastikan bahwa implementasi di lapangan berjalan nyata: pelatihan dilakukan, supervisi aktif, pekerja dan manajemen saling berkomunikasi, dan budaya keselamatan terinternalisasi. Kebijakan publik yang efektif harus memperkuat seluruh rantai — dari regulasi, pelatihan, pengawasan, hingga budaya.

Bagi pembuat kebijakan nasional dan daerah, riset ini menjadi sinyal penting: sektor konstruksi yang menyerap tenaga kerja besar dan menangani infrastruktur publik harus dijadikan prioritas dalam reformasi K3. Temuan tersebut mendorong agar regulasi seperti Permen PUPR No. 21/2019 dan standar SMKK diperkuat dengan audit independen, pelatihan berkala, dan pengukuran metrik-hasil, bukan hanya paparan prosedur di atas kertas.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif:

  • Proyek konstruksi yang melakukan pelatihan K3 secara terstruktur, pembekalan manajemen risiko, dan supervisi rutin menunjukkan penurunan insiden kerja hingga sekitar 20–30%.

  • Keberadaan budaya keselamatan membuat pekerja lebih aktif mengidentifikasi bahaya, berpartisipasi dalam toolbox meeting, dan menggunakan APD secara konsisten.

  • Efisiensi proyek meningkat: keterlambatan dapat dikurangi karena gangguan akibat kecelakaan kerja menurun.

Hambatan utama:

  • Pelatihan K3 masih sering dianggap sebagai kewajiban administratif dalam tender, bukan sebagai investasi jangka panjang dalam budaya kerja.

  • Banyak kontraktor menengah atau lokal belum memiliki unit K3 atau instruktur bersertifikat, terutama di wilayah non-Jabodetabek.

  • Pengawasan berkala dan audit implementasi kurang; terdapat gap antara dokumen formal dan kenyataan lapangan.

  • Budaya kerja masih sangat produktivitas-oriented: target fisik dan waktu sering mengalahkan aspek keselamatan.

Peluang:

  • Pemanfaatan teknologi digital untuk pelaporan dan monitoring K3: misalnya sistem e-K3 atau aplikasi pelaporan insiden, yang sudah dirujuk dalam artikel “10 Aturan Keselamatan di Lokasi Konstruksi” sebagai bagian dari standar harian di lokasi kerja. 

  • Kolaborasi antara pemerintah daerah, universitas teknik, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja untuk membentuk pusat pelatihan regional atau modul adaptif digital.

  • Integrasi modul K3 dalam kurikulum vokasi dan politeknik teknik sipil/kontruksi untuk memastikan generasi baru pekerja memahami keselamatan sejak awal kerja.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Audit Independen SMK3/SMKK untuk Semua Proyek Publik
    Setiap proyek infrastruktur besar (gedung pemerintah, tol, jembatan) wajib menjalani audit eksternal K3 minimal dua kali per tahun, dengan laporan terbuka.

  2. Sertifikasi dan Pelatihan K3 Wajib bagi Mandor dan Pekerja Lapangan
    Mandor wajib memiliki Sertifikat Ahli K3 Konstruksi, dan pekerja baru wajib mendapat pelatihan K3 minimal 8 jam sebelum mulai pekerjaan.

  3. Subsidi dan Dukungan Pelatihan K3 untuk Kontraktor Kecil
    Pemerintah memberikan voucher pelatihan atau subsidi biaya pelatihan K3 bagi kontraktor skala kecil agar kesenjangan kompetensi di lapangan dapat diatasi.

  4. Digitalisasi Sistem Pelaporan & Monitoring K3 Terpadu
    Buat platform nasional yang memungkinkan pelaporan kecelakaan dan “nyaris kecelakaan” (near miss) secara real-time, yang terhubung ke BPJS Ketenagakerjaan dan kementerian terkait.

  5. Insentif dan Penghargaan Proyek dengan Rekam Jejak Zero Accident
    Proyek yang berhasil mencapai zero kecelakaan kerja selama satu tahun atau lebih mendapat penghargaan nasional dan pengurangan biaya jaminan pelaksanaan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan K3 meskipun kelihatannya kuat, berisiko gagal jika hanya berfokus pada kepatuhan administratif (compliance) tanpa memperhatikan komitmen budaya (commitment). Banyak perusahaan hanya mengejar dokumen SMKK/SMK3 atau sertifikat pelatihan agar memenuhi tender, tetapi pelaksanaan di lapangan tetap lemah.

Tanpa sistem monitoring yang transparan dan audit independen yang mengukur hasil nyata—seperti penurunan insiden, absensi, dan produktivitas maka kebijakan tetap akan stagnan. Artikel “Tinjauan Kritis dan Arah Riset Manajemen Keselamatan di Sektor Konstruksi” menunjukkan bahwa elemen seperti pelatihan reguler, manajemen anggaran untuk keselamatan, dan keterlibatan pekerja adalah faktor utama yang sering diabaikan. 

Kebijakan bisa gagal bila tidak mempertimbangkan kondisi lokal seperti tenaga kerja informal, diversitas bahasa, dan akses pelatihan di daerah terpencil. Tanpa adaptasi terhadap kondisi real lapangan, regulasi akan sulit diterapkan secara efektif.

Penutup

Kajian ini memperkuat pentingnya manajemen K3 yang terintegrasi secara menyeluruh di setiap proyek konstruksi Indonesia — dari regulasi, pelatihan, pengawasan, hingga budaya keselamatan. Dengan pendekatan training-based prevention, digital monitoring, dan kolaborasi lintas-sektor antara pemerintah, industri, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja, Indonesia dapat membangun ekosistem konstruksi yang aman, produktif, dan berdaya saing global.

Sumber

Safety in Construction Management. (2022). Thesis.

Selengkapnya
Manajemen K3 di Proyek Konstruksi Indonesia: Pelajaran dari “Safety in Construction Management (Thesis)
« First Previous page 89 of 1.322 Next Last »