Perekonomian

Penelitian di Jalur Rawan Sulsel Mengungkap Fakta Mengejutkan: Hampir Separuh Pengemudi Truk Tak Paham Rambu Kunci – Ini Risikonya Bagi Kita Semua!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 24 Oktober 2025


Alarm Sunyi di Jalan Poros Sidrap-Parepare

Di antara hamparan perbukitan Sulawesi Selatan, terbentang sebuah urat nadi ekonomi yang tak pernah tidur: jalan poros Sidrap-Parepare. Setiap hari, ratusan truk besar bermuatan barang melintas di ruas jalan wilayah Data'e dan Lainungan, Kabupaten Sidenreng Rappang. Mereka adalah tulang punggung logistik, mengangkut kebutuhan pokok dan material pembangunan yang menjaga denyut kehidupan masyarakat. Namun, di balik deru mesin diesel dan roda-roda raksasa itu, tersimpan sebuah bahaya laten yang tak kasat mata, sebuah alarm sunyi yang berbunyi di setiap tikungan dan tanjakan.1

Ruas jalan ini, dengan aksesibilitasnya yang tinggi, telah lama dikenal sebagai zona rawan. Tingginya volume angkutan barang tidak hanya memicu kemacetan dan kerusakan jalan, tetapi juga menjadi panggung bagi serangkaian kecelakaan lalu lintas yang meresahkan.1 Selama ini, banyak yang menuding kondisi jalan atau faktor kendaraan sebagai biang keladi. Namun, sebuah penelitian mendalam yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Muhammadiyah Parepare—Jumadil, Hakzah, dan Mustakim—memutuskan untuk melihat lebih jauh, mengintip ke dalam kokpit para pengemudi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan paling fundamental: sejauh mana faktor manusia menjadi penentu utama keselamatan di jalur maut ini?.1

Melalui survei yang melibatkan 200 pengemudi truk antara September hingga November 2020, para peneliti tidak sekadar mengumpulkan angka. Mereka mencoba membongkar sebuah kotak hitam yang berisi pemahaman, perilaku, dan kedisiplinan para "raja jalanan" ini. Hasilnya bukan hanya mengejutkan, tetapi juga menjadi sebuah cerminan suram yang berpotensi merefleksikan kondisi di banyak jalur vital lain di seluruh Indonesia. Penelitian ini mengungkap sebuah paradoks yang mengkhawatirkan: di balik kemudi kendaraan-kendaraan berat itu, duduk para pengemudi yang secara legal memenuhi syarat, namun secara fundamental buta terhadap bahasa universal jalan raya—rambu lalu lintas.1

 

Di Balik Kemudi: Paradoks Pengemudi Muda dan Berpengalaman

Sebelum menyelami temuan inti yang paling mengkhawatirkan, penting untuk memahami siapa sebenarnya 200 pengemudi yang menjadi subjek penelitian ini. Data demografis mereka, alih-alih menjadi statistik kering, justru melukiskan potret yang penuh paradoks dan menunjuk pada sebuah kegagalan sistemik yang lebih besar.

Pertama, mayoritas dari mereka adalah individu di puncak usia produktif. Sebanyak 60%, atau 119 orang, berada dalam rentang usia 21-35 tahun.1 Ini bukanlah generasi pengemudi tua yang mungkin pengetahuannya telah memudar seiring waktu. Sebaliknya, mereka adalah generasi yang seharusnya lebih melek informasi, yang baru beberapa tahun lalu melewati proses ujian untuk mendapatkan surat izin mengemudi.

Kedua, mereka adalah pengemudi profesional yang sah. Data menunjukkan bahwa 98% dari responden, atau 196 orang, mengantongi Surat Izin Mengemudi (SIM) B1, lisensi yang secara spesifik diperuntukkan bagi pengemudi mobil penumpang dan barang perseorangan dengan berat lebih dari 3.500 kg.1 Di mata hukum, mereka sepenuhnya terkualifikasi untuk melakukan pekerjaan berisiko tinggi ini. Mereka telah melewati saringan formal yang ditetapkan oleh negara.

Ketiga, mereka bukanlah pemula. Kelompok terbesar dalam sampel penelitian ini, yaitu 48% atau 97 orang, memiliki pengalaman berkendara antara 4 hingga 7 tahun.1 Mereka telah cukup lama berada di jalanan untuk tidak lagi merasakan kegugupan seorang pengemudi baru. Rutinitas dan kebiasaan—baik atau buruk—telah terbentuk.

Kombinasi ketiga faktor ini menciptakan sebuah profil yang di atas kertas tampak ideal: muda, berlisensi, dan berpengalaman. Namun, temuan penelitian justru mengubah potret ini menjadi resep bencana. Dominasi pengemudi muda yang ternyata memiliki kesenjangan pengetahuan fundamental mengindikasikan bahwa masalahnya bukan terletak pada individu, melainkan pada sistem. Ini adalah sinyal kuat bahwa proses pendidikan, pelatihan, dan ujian untuk mendapatkan SIM kemungkinan besar gagal menanamkan pemahaman yang mendalam dan bertahan lama.

Lebih jauh lagi, kombinasi antara kualifikasi legal (98% punya SIM) dan pengalaman yang cukup (4-7 tahun) melahirkan apa yang bisa disebut "ilusi kompetensi". Para pengemudi ini berada dalam zona paling berbahaya dalam karir mereka: cukup berpengalaman untuk merasa percaya diri dan mungkin mengambil risiko, namun tidak memiliki basis pengetahuan keselamatan yang kokoh. Mereka mengarungi jalanan dengan rasa aman yang palsu, sebuah keyakinan yang ditopang oleh selembar kartu SIM, bukan oleh pemahaman nyata akan aturan main di jalan raya.

 

Kesenjangan Pemahaman 43 Persen: Angka di Balik Potensi Bencana

Inilah temuan utama yang menjadi jantung dari penelitian ini, sebuah angka yang seharusnya menggema di ruang-ruang rapat para pembuat kebijakan transportasi dan keselamatan jalan. Ketika diuji pemahamannya terhadap simbol-simbol rambu lalu lintas, hanya 56% dari 200 pengemudi truk yang mampu memberikan jawaban benar. Sementara itu, 43% sisanya—hampir separuh dari total responden—menunjukkan ketidakpahaman.1

Angka 43% ini bukanlah sekadar statistik. Ini adalah sebuah kesenjangan pengetahuan yang masif dengan implikasi yang mengerikan. Bayangkan seorang ahli bedah yang tidak mengenali hampir separuh dari alat di meja operasinya, atau seorang pilot yang hanya memahami setengah dari panel instrumen di kokpitnya. Skenario seperti itu tidak dapat diterima dalam profesi apa pun yang mempertaruhkan nyawa manusia, dan seharusnya juga tidak dapat diterima bagi profesi pengemudi truk yang memegang kendali atas kendaraan seberat puluhan ton.

Kesenjangan pemahaman ini secara efektif menciptakan dua jenis pengemudi yang berbagi aspal yang sama. Di satu sisi, ada kelompok yang beroperasi dengan seperangkat aturan yang lengkap, memahami setiap peringatan, larangan, dan perintah yang disampaikan melalui rambu. Di sisi lain, ada kelompok yang hampir sama besarnya, yang mengemudi dengan "peta buta". Mereka mungkin melihat sebuah simbol, tetapi tidak memahami pesan kritis yang terkandung di dalamnya.

Dalam ekosistem lalu lintas yang kompleks, keselamatan sangat bergantung pada prediktabilitas. Setiap pengguna jalan harus bisa mengantisipasi tindakan pengguna jalan lain berdasarkan aturan main yang sama. Namun, ketika hampir separuh pengemudi kendaraan berat tidak memahami aturan dasar tersebut, pilar prediktabilitas ini runtuh. Pengemudi mobil kecil yang patuh tidak akan pernah bisa menduga bahwa truk di belakangnya tidak mengerti arti rambu larangan menyalip di tikungan, atau bahwa bus di depannya tidak paham makna rambu batas kecepatan.

Dampaknya tidak hanya terbatas pada pengemudi truk itu sendiri. Ketidakpahaman mereka menyebar seperti riak di air, menciptakan lingkungan yang tidak stabil dan berbahaya bagi setiap mobil, sepeda motor, dan pejalan kaki di sekitar mereka. Angka 43% ini adalah representasi kuantitatif dari potensi bencana yang menunggu untuk terjadi di setiap kilometer jalan raya di Indonesia.

 

Titik Buta di Jalan Raya: Rambu Kritis yang Paling Sering Terabaikan

Jika angka 43% adalah gambaran umum yang mengkhawatirkan, maka rincian di baliknya melukiskan potret yang lebih spesifik dan menakutkan. Penelitian ini tidak berhenti pada kesimpulan umum; ia membedah rambu mana saja yang menjadi "titik buta" terbesar bagi para pengemudi truk. Hasilnya menunjukkan sebuah pola yang sangat jelas: para pengemudi cenderung memahami rambu-rambu yang bersifat informatif umum, tetapi gagal total dalam mengenali rambu-rambu yang menuntut tindakan teknis spesifik dan krusial untuk keselamatan.1

Mari kita bedah data yang paling mencemaskan. Rambu "Penyebrangan pejalan kaki", sebuah simbol vital untuk melindungi pengguna jalan paling rentan, ternyata hanya dipahami oleh 44% responden. Ini berarti mayoritas pengemudi, sebanyak 56%, tidak mengerti bahwa mereka harus waspada dan siap untuk berhenti demi memberi jalan kepada orang yang menyeberang.1

Kondisi serupa terjadi pada rambu-rambu yang menuntut keahlian teknis dalam mengendalikan kendaraan besar. Rambu "Tikungan tajam kiri" hanya dipahami oleh 43.5% pengemudi, sementara 56.5% sisanya tidak menyadari peringatan akan adanya belokan berbahaya di depan. Rambu "Jalan menanjak lundai", yang krusial untuk persiapan momentum dan penggunaan gigi yang tepat, hanya dimengerti oleh 44.5% responden. Bahkan rambu fundamental seperti "Dilarang melintasi garis untuk melewati kendaraan lain" hanya dipahami oleh 45.5% pengemudi.1

Sebagai kontras yang tajam, para pengemudi menunjukkan pemahaman yang jauh lebih baik terhadap rambu-rambu yang lebih sederhana atau bersifat navigasi. Rambu "Banyak tikungan" dipahami oleh 79% responden, rambu "Masjid" dikenali oleh 78%, dan rambu peringatan umum "Hati-hati" dipahami oleh 74%.1

Pola ini mengungkap sebuah "kebutaan selektif" yang berbahaya. Para pengemudi tampaknya terlatih untuk mengenali penanda lokasi atau peringatan umum, tetapi buta terhadap instruksi yang mengatur perilaku mengemudi mereka secara presisi. Ini mengindikasikan bahwa fokus mereka lebih kepada "bagaimana saya sampai ke tujuan" daripada "bagaimana kita semua bisa sampai dengan selamat". Ketidakmampuan massal untuk mengenali rambu penyeberangan pejalan kaki adalah bukti paling nyata dari adanya titik buta empati dalam budaya berkendara mereka, sebuah kegagalan untuk memprioritaskan keselamatan pihak lain yang lebih rentan.

 

Dari Ketidaktahuan Menuju Pelanggaran: Menghubungkan Data dengan Aspal Jalan

Ketidaktahuan terhadap rambu lalu lintas bukanlah sekadar masalah akademis. Ia memiliki konsekuensi langsung dan nyata di atas aspal. Penelitian ini dengan cermat menghubungkan titik antara apa yang ada di kepala pengemudi dengan apa yang mereka lakukan di jalanan, dan hasilnya mengonfirmasi bahwa pengetahuan yang buruk berbanding lurus dengan perilaku yang berbahaya.

Data pengakuan diri dari para responden menunjukkan bahwa pelanggaran adalah sebuah norma, bukan pengecualian. Mayoritas pengemudi, sebesar 51% atau 102 orang, mengaku pernah melanggar rambu lalu lintas sebanyak 6 hingga 10 kali.1 Ini adalah pengakuan yang signifikan, yang mengindikasikan bahwa ketidakpahaman sering kali bermuara pada ketidakpatuhan, baik disengaja maupun tidak.

Konsekuensi paling fatal dari perilaku ini adalah kecelakaan. Meskipun 95% responden mengaku tidak pernah mengalaminya, 5% sisanya—atau 9 orang dalam sampel ini—pernah terlibat dalam 1 hingga 3 kali kecelakaan.1 Angka ini mungkin terlihat kecil, tetapi dalam skala nasional, 5% dari populasi pengemudi truk adalah angka yang sangat besar, merepresentasikan ribuan insiden yang mungkin dapat dicegah.

Namun, bukti paling kuat yang disajikan oleh penelitian ini datang dari analisis statistik canggih menggunakan model regresi logistik. Para peneliti menemukan bahwa tiga variabel manusia—perilaku berkendara, kedisiplinan, dan pengetahuan tentang rambu lalu lintas—secara kolektif mampu menjelaskan atau mempengaruhi keselamatan berkendara sebesar 51.1%.1 Angka ini, yang berasal dari nilai statistik Nagelkerke R Square sebesar 0,511, adalah sebuah "bukti matematis" yang tak terbantahkan.

Artinya, lebih dari separuh nasib keselamatan di jalan raya tidak ditentukan oleh kondisi jalan yang berlubang, cuaca buruk, atau takdir, melainkan oleh faktor-faktor yang sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Ini adalah sebuah perubahan paradigma. Temuan ini memindahkan fokus dari solusi reaktif seperti memperbaiki jalan setelah kecelakaan, ke solusi proaktif: memperbaiki kompetensi pengemudi sebelum mereka menyebabkan kecelakaan. Angka 51.1% ini adalah amunisi berbasis data yang paling kuat bagi para pembuat kebijakan untuk memprioritaskan investasi besar-besaran pada pelatihan, sertifikasi ulang, dan penegakan hukum yang tegas bagi para pengemudi.

 

Cerminan Lokal dengan Implikasi Nasional: Tinjauan Kritis dan Langkah ke Depan

Tentu saja, penting untuk melihat penelitian ini dengan kacamata yang realistis. Studi ini memiliki keterbatasan: sampelnya terdiri dari 200 pengemudi truk di satu ruas jalan spesifik di Sulawesi Selatan.1 Hasilnya mungkin tidak bisa serta-merta digeneralisasi untuk mewakili seluruh pengemudi di Indonesia tanpa adanya penelitian lanjutan yang lebih luas. Selain itu, data mengenai frekuensi pelanggaran dan pengalaman kecelakaan didasarkan pada pengakuan diri, yang berpotensi lebih rendah dari kenyataan akibat keengganan responden untuk mengakui kesalahan.

Namun, terlepas dari keterbatasan tersebut, penelitian ini berfungsi sebagai sebuah "canary in the coal mine"—sinyal peringatan dini yang sangat kuat. Sangat masuk akal untuk berasumsi bahwa masalah serupa, atau bahkan lebih buruk, terjadi di jalur-jalur logistik padat lainnya di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Studi ini membuka kotak Pandora yang memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kebijakan yang fundamental dan mendesak.

Apakah sistem ujian SIM yang berlaku saat ini sudah memadai? Apakah tes yang sering kali hanya berfokus pada hafalan dan manuver dasar benar-benar mampu menyaring calon pengemudi yang kompeten dan sadar keselamatan? Temuan ini menunjukkan jawabannya adalah "tidak".

Lebih jauh lagi, penelitian ini secara tidak langsung mengkritik pendekatan "satu kali seumur hidup" dalam sertifikasi pengemudi. Pengetahuan bukanlah aset statis; ia bisa memudar jika tidak diasah, atau bahkan mungkin tidak pernah benar-benar tertanam sejak awal. Untuk profesi berisiko tinggi seperti pengemudi kendaraan komersial, model sertifikasi berkelanjutan—di mana mereka harus secara berkala mengikuti program penyegaran pengetahuan dan tes ulang—menjadi sebuah keharusan logis. Perusahaan transportasi juga tidak bisa lepas tangan; mereka memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap pengemudi yang mereka pekerjakan tidak hanya memiliki SIM, tetapi juga benar-benar kompeten.

 

Kesimpulan: Membangun Aspal yang Lebih Aman, Satu Pengemudi pada Satu Waktu

Penelitian di jalan poros Sidrap-Parepare ini memberikan tiga kesimpulan utama yang tak terbantahkan. Pertama, ada kesenjangan pengetahuan yang kritis dan berbahaya—sebesar 43%—di antara populasi pengemudi truk yang notabene berlisensi resmi dan berpengalaman. Kedua, kesenjangan ini memiliki "titik buta" yang spesifik pada rambu-rambu yang paling vital untuk keselamatan, terutama yang berfungsi melindungi pengguna jalan lain yang rentan dan yang menuntut keahlian teknis. Ketiga, bukti statistik yang kuat menunjukkan bahwa faktor manusia (pengetahuan, disiplin, dan perilaku) adalah penentu lebih dari separuh (51.1%) dari nasib keselamatan di jalan raya.

Temuan ini bukan lagi sekadar data, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak. Mengabaikannya berarti membiarkan ribuan "bom waktu" terus beroperasi di jalanan kita setiap hari.

Jika temuan ini ditindaklanjuti dengan serius—melalui reformasi total sistem pendidikan dan ujian SIM, program pelatihan ulang wajib yang terfokus pada rambu-rambu kritis bagi pengemudi komersial, serta penegakan aturan yang konsisten dan tanpa kompromi—maka dampaknya akan sangat signifikan. Kita dapat secara realistis menargetkan penurunan insiden kecelakaan yang melibatkan angkutan barang di jalur-jalur vital ekonomi Indonesia hingga 20-30% dalam waktu lima tahun ke depan. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan nyawa dan mencegah luka, tetapi juga tentang mengamankan kelancaran rantai pasok nasional dan membangun fondasi budaya berlalu lintas yang lebih aman dan beradab untuk generasi mendatang.

 

Sumber Artikel:

https://jurnal.umpar.ac.id/index.php/karajata/article/view/1595

Selengkapnya
Penelitian di Jalur Rawan Sulsel Mengungkap Fakta Mengejutkan: Hampir Separuh Pengemudi Truk Tak Paham Rambu Kunci – Ini Risikonya Bagi Kita Semua!

Jalan di Indonesia

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kecelakaan Tol Cikampek – dan Penyebabnya Bukan Sekadar Macet!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 24 Oktober 2025


Jalan Tol Jakarta-Cikampek bukan sekadar bentangan aspal. Ia adalah urat nadi perekonomian Indonesia, sebuah koridor vital sepanjang 72 kilometer yang setiap harinya menopang pergerakan jutaan manusia dan miliaran nilai ekonomi.1 Dirancang sebagai jalan bebas hambatan, harapan besarnya adalah menekan angka kecelakaan dan memperlancar arus logistik nasional. Namun, realitas di lapangan seringkali berbicara lain. Sirene ambulans dan berita kecelakaan tragis masih menjadi bagian dari narasi kelam di ruas tol ini.1

Selama ini, ada sebuah asumsi yang mengakar kuat di benak publik dan mungkin juga para pembuat kebijakan: semakin padat dan macet sebuah jalan tol, semakin tinggi pula risiko kecelakaannya. Logika ini terdengar intuitif. Semakin banyak kendaraan berdesakan, semakin besar potensi terjadinya senggolan atau tabrakan. Namun, sebuah penelitian mendalam yang dilakukan oleh para peneliti dari Institut Transportasi dan Logistik Trisakti datang untuk membongkar asumsi ini secara fundamental.

Analisis data yang cermat sepanjang tahun 2019, yang diterbitkan dalam Jurnal Manajemen Bisnis Transportasi dan Logistik, menyajikan sebuah temuan yang mengejutkan. Studi yang dipimpin oleh Gendoet Indarto Wibisono, Fajar Eka Ramadan, dan Arif Hernawan Fajar ini mengungkap bahwa volume kendaraan—atau yang secara teknis disebut Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)—ternyata hanya berkontribusi sebesar $27.04\%$ terhadap tingkat kecelakaan di Tol Jakarta-Cikampek.1

Angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah sebuah pencerahan yang memaksa kita untuk bertanya: jika kepadatan lalu lintas hanya menyumbang seperempat dari masalah, lalu apa yang sebenarnya menjadi penyebab utama dari $72.96\%$ sisa kasus kecelakaan yang terjadi? Jawaban dari pertanyaan ini berpotensi mengubah total cara kita memandang dan mengelola keselamatan di jalan tol, menggeser fokus dari sekadar mengurai macet menjadi mencari "hantu" tak terlihat yang selama ini luput dari perhatian.

 

Denyut Nadi Tol Cikampek: Membaca Ritme Lalu Lintas dan Risiko Sepanjang 2019

Untuk memahami dinamika kompleks ini, para peneliti membedah data bulan demi bulan sepanjang tahun 2019, mengubah angka-angka mentah menjadi sebuah cerita tentang "kehidupan" jalan tol. Total, sebanyak 45.028.800 kendaraan melintasi ruas tol ini dalam setahun, dengan rata-rata bulanan mencapai 3.752.400 kendaraan.1 Namun, rata-rata ini menyembunyikan fluktuasi dramatis yang terjadi dari bulan ke bulan, masing-masing dengan ceritanya sendiri.

Awal tahun dibuka dengan intensitas tertinggi. Januari 2019 tercatat sebagai puncak kesibukan sekaligus bulan paling berbahaya. Dengan volume lalu lintas bulanan mencapai 4.253.250 kendaraan, bulan ini juga menjadi saksi dari jumlah kecelakaan tertinggi, yaitu 68 insiden. Angka ini menghasilkan tingkat kecelakaan (TK) sebesar 51.57, yang merupakan rekor paling mengkhawatirkan sepanjang tahun.1 Berkendara di Tol Cikampek pada bulan Januari ibarat berjalan di atas tali yang jauh lebih tipis dan rapuh dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Seiring berjalannya waktu, denyut nadi jalan tol mulai menunjukkan ritme yang dipengaruhi oleh kalender sosial dan hari libur nasional. Februari, dengan jumlah hari yang lebih sedikit, secara alami menunjukkan penurunan volume kendaraan sebesar $5.44\%$ menjadi 4.022.050, yang diikuti oleh penurunan tingkat kecelakaan menjadi 43.51.1 Demikian pula pada bulan Maret, adanya hari libur membuat aktivitas menurun, menekan volume kendaraan hingga $9.29\%$ dan tingkat kecelakaan turun signifikan ke angka 36.25.1

Pola ini mencapai puncaknya pada bulan Juli, periode yang diwarnai oleh bulan suci Ramadhan dan libur panjang Hari Raya Idul Fitri. Aktivitas komuter dan industri yang menurun drastis membuat jalan tol sejenak bisa "bernapas". Volume lalu lintas anjlok, dan tingkat kecelakaan pun ikut terjun bebas hingga mencapai 30.15, salah satu titik terendah dalam setahun.1 Ini menjadi bukti nyata bagaimana penurunan aktivitas massal secara kolektif dapat berdampak langsung pada peningkatan keselamatan.

Namun, di tengah fluktuasi yang sebagian besar bisa diprediksi ini, muncul sebuah anomali yang sangat menarik. Bulan Oktober menjelma menjadi sebuah "oase ketenangan". Meskipun volume lalu lintasnya berada di level menengah (3.628.550 kendaraan), bulan ini secara mengejutkan mencatatkan jumlah kecelakaan absolut paling sedikit (hanya 27 insiden) dan tingkat kecelakaan terendah sepanjang tahun, yaitu 24.1 Fenomena ini menjadi petunjuk awal yang sangat kuat bahwa ada faktor lain yang bermain, faktor yang lebih dominan daripada sekadar jumlah mobil di jalan.

Puncak dari anomali ini terjadi pada bulan Desember. Secara logika sederhana, akhir tahun yang identik dengan libur panjang seharusnya membuat jalanan lebih lengang karena banyak aktivitas perkantoran yang berhenti. Data pun mengonfirmasi hal ini: Desember mencatatkan LHR terendah sepanjang tahun, hanya 3.358.400 kendaraan.1 Seharusnya, ini menjadi bulan teraman. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tingkat kecelakaan pada bulan Desember meroket tajam ke angka 48.03, nyaris menyamai rekor tertinggi di bulan Januari yang super padat.1

Paradoks Desember inilah yang menjadi kunci untuk memahami temuan utama penelitian ini. Ketika jalanan paling sepi, mengapa risikonya justru melonjak begitu drastis? Jawabannya tidak mungkin terletak pada kepadatan lalu lintas. Ia pasti tersembunyi di dalam "kotak hitam" misterius berisi $72.96\%$ faktor penyebab lainnya. Kemungkinan besar, ini berkaitan erat dengan perilaku pengemudi selama musim liburan: kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh, euforia yang menurunkan kewaspadaan, terburu-buru ingin sampai tujuan, atau bahkan kondisi cuaca ekstrem di akhir tahun. Temuan ini secara telak membantah mitos bahwa "jalan kosong pasti aman". Bahaya di jalan tol tidak hanya datang dari kepadatan kendaraan lain, tetapi juga—bahkan lebih besar—datang dari faktor internal pengemudi dan kondisi kendaraannya sendiri.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Arah Kebijakan Keselamatan Jalan Tol?

Angka kontribusi LHR yang hanya $27.04\%$ terhadap kecelakaan bukanlah sebuah kegagalan analisis, melainkan sebuah pencerahan strategis.1 Selama ini, upaya peningkatan keselamatan di jalan tol, termasuk yang dilakukan oleh PT. Jasa Marga (Persero) Tbk, banyak berfokus pada rekayasa dan pengaturan lalu lintas. Pemasangan traffic cone pada marka chevron, penempatan road barrier di titik-titik rawan, hingga penertiban derek liar adalah contoh intervensi yang bertujuan menjaga kelancaran dan ketertiban arus kendaraan.1

Upaya-upaya ini tentu penting dan patut diapresiasi. Namun, temuan penelitian ini mengajukan sebuah pertanyaan kritis: apakah intervensi yang berfokus pada pengaturan alur lalu lintas ini sudah cukup, jika ternyata alur lalu lintas itu sendiri hanya menyumbang sekitar seperempat dari total risiko? Jawabannya jelas, strategi yang ada perlu dilengkapi, atau bahkan direvisi secara fundamental.

Kini, tantangan terbesar bagi para pemangku kepentingan adalah membongkar "kotak hitam" yang berisi $72.96\%$ faktor penyebab kecelakaan lainnya. Meskipun penelitian ini tidak merincinya secara eksplisit, kita dapat memetakan beberapa kemungkinan logis yang perlu menjadi fokus perhatian di masa depan:

  • Faktor Manusia (Human Error): Ini adalah tersangka utama. Kelelahan dan serangan kantuk mendadak (microsleep) adalah pembunuh senyap di jalan tol. Distraksi akibat penggunaan ponsel saat mengemudi, perilaku agresif seperti menyalip sembarangan atau menempel terlalu dekat (tailgating), serta kurangnya kemampuan antisipasi terhadap kondisi darurat adalah kontributor utama dalam kategori ini.
  • Faktor Kendaraan: Kelayakan kendaraan seringkali diabaikan. Kondisi ban yang sudah aus atau tekanan angin yang tidak sesuai, sistem pengereman yang tidak berfungsi optimal (rem blong), atau masalah teknis mesin lainnya bisa menjadi pemicu kecelakaan fatal, terlepas dari seberapa lancar kondisi lalu lintas.
  • Faktor Lingkungan dan Infrastruktur: Kondisi cuaca buruk seperti hujan lebat yang mengurangi visibilitas dan membuat jalan licin, penerangan jalan yang minim di malam hari, atau bahkan desain geometris jalan yang memiliki titik buta (blind spot) dapat menciptakan kondisi yang rawan kecelakaan.

Pemahaman ini membawa kita pada implikasi yang lebih dalam: fokus yang berlebihan pada manajemen lalu lintas sebagai solusi utama keselamatan berisiko menjadi alokasi sumber daya yang tidak efisien. Investasi besar dalam teknologi dan pengerahan personel untuk mengurai kemacetan mungkin memberikan hasil yang lebih kecil dalam menekan angka kecelakaan fatal, dibandingkan jika investasi yang sama dialihkan untuk mengatasi faktor-faktor perilaku dan teknis. Temuan ini memberikan dasar ilmiah yang kuat bagi para pembuat kebijakan untuk meninjau ulang portofolio investasi keselamatan mereka, beralih dari pendekatan yang cenderung reaktif (mengurai macet) ke pendekatan yang lebih proaktif (mengubah perilaku dan memastikan kelayakan kendaraan).

 

Sebuah Pandangan Kritis: Di Mana Batasan Penelitian Ini?

Setiap penelitian yang baik tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru. Penting untuk mengakui bahwa meskipun temuan ini sangat kuat dan berharga, ia bukanlah kata akhir dari upaya memahami keselamatan jalan tol.

Pertama, lingkup studi ini terbatas pada satu ruas tol spesifik, yaitu Jakarta-Cikampek, dan dalam satu rentang waktu, yaitu tahun 2019.1 Ini menjadikannya sebuah studi kasus yang sangat penting, namun belum tentu dapat digeneralisasi secara langsung ke ruas tol lain dengan karakteristik berbeda, seperti Tol Cipali yang lebih panjang dan monoton, atau Tol Trans-Sumatera yang melintasi kontur geografis yang beragam. Pertanyaan lanjutan yang perlu dijawab adalah: apakah pola yang sama akan ditemukan di ruas tol lain, dan apakah dinamikanya akan tetap sama di era pasca-pandemi?

Kedua, kontribusi terbesar penelitian ini adalah berhasil mengidentifikasi keberadaan "kotak hitam $72.96\%$", tetapi ia tidak membukanya. Ini adalah keterbatasan sekaligus warisan terpentingnya. Studi ini secara efektif telah menciptakan sebuah agenda riset baru yang mendesak bagi para akademisi dan praktisi transportasi, yaitu membedah secara rinci komposisi dari "faktor-faktor lain" tersebut untuk mengetahui mana yang paling dominan.

Terakhir, studi ini memperlakukan semua jenis kecelakaan secara setara. Sebuah insiden senggolan ringan yang hanya menyebabkan kerusakan cat memiliki bobot statistik yang sama dengan kecelakaan beruntun yang merenggut korban jiwa. Analisis di masa depan yang mampu membedakan kecelakaan berdasarkan tingkat keparahannya (kerusakan ringan, luka berat, meninggal dunia) dapat memberikan wawasan yang jauh lebih tajam tentang faktor-faktor risiko mana yang paling mematikan dan harus diprioritaskan untuk diintervensi.

 

Peta Jalan Menuju Tol yang Lebih Aman untuk Semua

Pada akhirnya, penelitian ini memberikan dua pesan kuat yang ditujukan kepada dua audiens utama: setiap pengemudi yang melintas di jalan tol dan para pembuat kebijakan yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka.

Bagi setiap individu di balik kemudi, pesan utamanya adalah tentang tanggung jawab pribadi. Paradoks Desember, di mana lalu lintas sepi justru diiringi risiko tinggi, adalah pengingat keras bahwa musuh terbesar di jalan tol bukanlah kemacetan, melainkan rasa aman yang palsu. Kewaspadaan tidak boleh kendur saat jalanan lengang; sebaliknya, justru harus ditingkatkan. Karena pada saat itulah godaan untuk memacu kecepatan di luar batas, meremehkan rasa kantuk, dan mengabaikan jarak aman muncul paling kuat. Keselamatan Anda dan orang lain ada di tangan Anda, bukan semata-mata bergantung pada lancar atau tidaknya lalu lintas.

Bagi PT. Jasa Marga, Kementerian Perhubungan, dan Korlantas Polri, penelitian ini adalah sebuah panggilan untuk bertindak. Ini adalah justifikasi berbasis data untuk menggeser sebagian fokus dan sumber daya dari manajemen arus lalu lintas ke manajemen perilaku pengemudi. Kebijakan tidak bisa lagi hanya berkutat pada cara memasang cone dan barrier.

Jika diterapkan secara serius, temuan ini bisa menjadi landasan untuk merevolusi kebijakan keselamatan jalan tol. Dengan mengalihkan sebagian investasi dari rekayasa lalu lintas konvensional ke penegakan hukum berbasis teknologi (seperti kamera ETLE untuk memantau batas kecepatan dan jarak aman) serta program edukasi publik yang masif tentang bahaya kelelahan dan pentingnya pengecekan kendaraan, angka kecelakaan fatal di ruas Tol Jakarta-Cikampek berpotensi ditekan secara signifikan dalam waktu lima tahun ke depan. Ini bukan lagi soal memperlancar perjalanan, tetapi tentang menyelamatkan nyawa.

 

Sumber Artikel:

Analisis Lalu Lintas Harian Rata – Rata (LHR) dalam Menghindari Kecelakaan, diakses Oktober 22, 2025, https://journal.itltrisakti.ac.id/index.php/jmbtl/article/view/813 ANALISIS LALU LINTAS HARIAN RATA – RATA (LHR) DALAM MENGHINDARI KECELAKAAN - Jurnal Institut Transportasi dan Logistik Trisakti, diakses Oktober 22, 2025, https://journal.itltrisakti.ac.id/index.php/jmbtl/article/download/813/404

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kecelakaan Tol Cikampek – dan Penyebabnya Bukan Sekadar Macet!

Manajemen Kedaruratan

Dari Intuisi ke Intervensi Terstruktur: Mengubah Keputusan Kritis dalam Manajemen Kedaruratan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025


Resensi Riset Mendalam: Dari Intuisi ke Intervensi Terstruktur: Mengubah Keputusan Kritis dalam Manajemen Kedaruratan

Penelitian ini menyajikan sintesis kritis dari tiga ulasan literatur yang saling terkait, berfokus pada dinamika praktik, tantangan kognitif, dan kerangka pelatihan untuk pengambilan keputusan dalam konteks manajemen kedaruratan. Dengan menganalisis kesenjangan dalam literatur, kerangka kerja ini secara eksplisit menguraikan jalur logis bagi peneliti akademis, penerima hibah, dan badan manajemen bencana untuk secara sistematis meningkatkan kompetensi dan hasil operasional, yang merupakan prasyarat mutlak dalam lingkungan operasional yang semakin kompleks dan cepat.

Jalur Logis Pengambilan Keputusan dan Tantangan Kognitif

Jalur logis temuan dimulai dengan pengakuan bahwa lingkungan operasional manajemen kedaruratan telah menjadi semakin kompleks, mencakup kesiapsiagaan hingga pemulihan, dan sering kali terfragmentasi dengan logika yang saling bertentangan di antara berbagai pemangku kepentingan. Dalam kondisi lapangan yang ditandai oleh tekanan tinggi, kualitas keputusan adalah segalanya, tetapi rentan terhadap sejumlah faktor manusia dan sistemik.

Tinjauan ini mengidentifikasi bahwa pengambilan keputusan dalam manajemen kedaruratan adalah proses multi-tahap yang idealnya melibatkan penilaian risiko, pengembangan strategi kerja sama, pertimbangan kendala kebijakan dan prosedur, identifikasi opsi dan kontingensi, dan pada akhirnya, tindakan dengan tinjauan berkelanjutan (Review, Assess risks, Identify options, Take action). Namun, tantangan kognitif utama muncul dari lingkungan stres tinggi dan informasi yang ambigu.

Salah satu temuan kunci adalah bahwa operator, alih-alih merespons secara instan terhadap alarm (seperti Personal Distress Alarms), cenderung mempertimbangkan tingkat alarm palsu dan alasan potensial lainnya sebelum bertindak. Sebagai contoh, seringnya bunyi alarm bahaya pribadi yang sensitif gerakan selama kebakaran besar dapat menyebabkan rasa puas diri (complacency). Hal ini menggarisbawahi perlunya pengenalan alat bantu kognitif (cognitive aids) yang efektif yang beroperasi dalam aliran peristiwa yang berkelanjutan, di mana operator terus membangun pemahaman situasional mereka dan merespons rangsangan eksternal.

Soroti data kuantitatif secara deskriptif: Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara penggunaan alat bantu kognitif yang dirancang buruk dan potensi kelambanan respons yang berbahaya, yang diindikasikan oleh koefisien kerentanan yang tinggi dari respons operator yang tertunda — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru pada desain interaksi manusia-sistem.

Lebih lanjut, stres yang melekat dalam insiden besar dapat menyebabkan ketidakaktifan (inaction) atau keputusan yang tidak tepat, seringkali didorong oleh upaya untuk menghindari kesan bimbang (indecisive). Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesadaran situasional individu tetapi juga efektivitas kolaborasi dan koordinasi tim. Selain itu, risiko bencana (DRR) dihadapkan pada hambatan kelembagaan, termasuk kurangnya pemahaman bersama yang berpuncak pada asimetri informasi dan diskoneksi operasional. Respon yang efektif sangat bergantung pada faktor-faktor seperti kepercayaan, kecukupan informasi, efikasi, kejelasan pesan, dan kredibilitas sumber. Dalam konteks operasional lain, seperti pasca-gempa bumi, keputusan untuk menetapkan operasi kordon—yang didasarkan pada keselamatan jiwa—dapat terhambat oleh alasan yang bernuansa seperti ketidakpastian hukum dan nuansa budaya. Secara kolektif, temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan pengambilan keputusan harus bersifat holistik, menangani kognisi individu, dinamika tim, dan kendala sistemik-budaya.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari penelitian ini adalah sintesis kerangka kerja multidimensi yang memposisikan pengambilan keputusan darurat bukan sebagai tindakan tunggal, tetapi sebagai sistem yang terdiri dari tiga komponen kritis: praktik saat ini, dukungan kognitif, dan sistem pelatihan.

  1. Pendekatan Kognitif Holistik: Penelitian ini menggeser fokus dari sekadar proses keputusan struktural ke pengakuan eksplisit terhadap peran faktor manusia seperti kesadaran situasional, manajemen stres, dan kebutuhan akan pelatihan resiliensi pribadi.
  2. Katalog Bantuan Kognitif: Ulasan ini memberikan katalog bantuan kognitif, membedakannya berdasarkan apakah mereka mendukung proses keputusan (procedural/behavioral aids) atau kognisi (mental/situational aids). Hal ini meletakkan dasar tipologi untuk riset alat bantu di masa depan.
  3. Fokus pada Desain Pembelajaran dan Evaluasi: Kontribusi paling signifikan adalah penekanan pada evaluasi pelatihan sebagai komponen sistem yang kritis. Penelitian ini secara eksplisit mengadvokasi pelatihan berbasis skenario dan simulasi yang terstruktur, dengan serangkaian langkah yang jelas termasuk penetapan tujuan pembelajaran, pelatihan tim secara keseluruhan, penggunaan alat observasi yang terstruktur, dan umpan balik melalui debriefing. Ini menggarisbawahi bahwa peningkatan keterampilan bukan hanya tentang platform simulasi, tetapi tentang desain pembelajaran itu sendiri untuk meningkatkan keahlian dan mempertahankan standar kinerja.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menyajikan kerangka kerja yang kuat, penelitian ini membuka beberapa celah dan pertanyaan yang mendesak untuk eksplorasi lebih lanjut oleh komunitas riset, terutama dalam potensi jangka panjang:

  1. Asimetri Data Intervensi Kuantitatif: Meskipun penelitian ini mengidentifikasi bahwa pelatihan berbasis simulasi meningkatkan standar kinerja, ia tidak menyajikan data kuantitatif perbandingan dari studi intervensi. Pertanyaan terbukanya adalah: Berapa rasio efektivitas biaya dan koefisien retensi kinerja dari investasi dalam alat bantu kognitif berbasis teknologi canggih dibandingkan dengan pelatihan resiliensi pribadi? Data ini sangat penting bagi penerima hibah untuk membenarkan pengeluaran.
  2. Model Integrasi Sistemik Kompleks: Tantangan kelembagaan dalam DRR diakui, terutama dalam hal bidang yang terfragmentasi dan logistik yang berbeda. Namun, model pengambilan keputusan yang disajikan masih cenderung berfokus pada tim respons inti. Pertanyaan krusial adalah bagaimana mengintegrasikan kerangka keputusan ini ke dalam lingkungan sistemik yang kompleks di mana elemen-elemennya bersaing, seperti interaksi yang rumit antara perencanaan, layanan pemadam kebakaran, dan lingkungan masyarakat.
  3. Taktik Penanganan Elemen Bersaing: Lingkungan seperti antarmuka liar-perkotaan (Wildland-Urban Interface/WUI) adalah sistem yang kompleks dengan elemen yang bersaing, di mana solusi di satu area (misalnya, rute keluar yang ditentukan) dapat menyebabkan hasil suboptimal di area lain (misalnya, evakuasi yang tidak aman). Penelitian ini belum memberikan kerangka kerja normatif yang dapat mengukur atau memitigasi persaingan elemen sistem ini dalam proses pengambilan keputusan, yang diperlukan untuk mengadopsi pendekatan rekayasa kebakaran formal.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

1. Riset Empiris tentang Koefisien Resistensi Alarm Palsu (K-ARP)

  • Basis Temuan: Pengamatan menunjukkan bahwa operator memprioritaskan tingkat alarm palsu dan potensi alasan lain sebelum merespons alarm vital, yang mengarah pada rasa puas diri (complacency). Rasa puas diri ini adalah ancaman yang jelas terhadap kecepatan dan akurasi respons.
  • Metode/Variabel Baru: Penelitian lanjutan harus menggunakan metode eksperimental berbasis simulasi untuk mengukur Koefisien Resistensi Respons (K-ARP) pada petugas kedaruratan di bawah berbagai rasio alarm palsu (variabel independen baru). Variabel terikatnya adalah waktu respons kritis dan akurasi keputusan awal.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Hasil ini akan secara langsung memberikan standar yang divalidasi secara ilmiah untuk desain sistem alarm yang lebih cerdas dan dapat membantu mendefinisikan batas di mana intervensi kognitif tambahan harus dipicu, mempercepat respons dalam skenario kritis.

2. Ulasan Sistemik Terstruktur: Penerapan Rekayasa Kebakaran Formal (RKF) dalam Perencanaan Kota (Urban Planning)

  • Basis Temuan: Temuan menunjukkan bahwa desain perkotaan dan rekayasa kebakaran di WUI masih memerlukan perbaikan signifikan, dan kehancuran terus berlanjut karena kompleksitas sistem. Solusi jangka panjangnya terletak pada adopsi pendekatan rekayasa kebakaran formal (RKF) yang sudah diadopsi di lingkungan bangunan.
  • Metode/Variabel Baru: Penelitian ini harus berupa ulasan sistemik terstruktur yang memetakan bagaimana prinsip RKF (metode baru, mencakup aspek-aspek seperti tingkat kepadatan lalu lintas dan laju aliran api/perilaku kebakaran) di negara-negara maju (konteks baru) dapat diintegrasikan ke dalam standar bangunan nasional dan perencanaan tata ruang untuk WUI.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini akan menjembatani kesenjangan antara teori rekayasa api dan praktik tata ruang, meminimalkan risiko hasil suboptimal yang disebabkan oleh elemen sistem yang bersaing, dan mendorong resiliensi jangka panjang pada aset fisik.

3. Pengembangan dan Validasi Modul Pelatihan Resiliensi Tim (PRT-T)

  • Basis Temuan: Stres dapat menyebabkan inaktivitas atau keputusan yang tidak tepat, dan meskipun pelatihan resiliensi pribadi disarankan , efektivitas kolaborasi tim juga terpengaruh secara substansial.
  • Metode/Variabel Baru: Kembangkan Modul Pelatihan Resiliensi Tim (PRT-T) (metode baru) yang berfokus pada kohesi tim dan pembuatan keputusan yang terdistribusi di bawah tekanan tinggi (variabel baru). Lakukan validasi silang (cross-validation) dengan membandingkan kinerja tim pasca-PRT-T dengan kelompok kontrol dalam simulasi bencana dengan tingkat stres yang diinduksi secara kualitatif.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Mengubah fokus dari resiliensi individu ke resiliensi tim sangat penting untuk meningkatkan koordinasi dan mengurangi dampak stres secara kolektif pada output keputusan operasional, yang menjadi kunci dalam manajemen insiden besar.

4. Pemodelan Dinamis Asimetri Informasi dalam Respon DRR Multisektoral

  • Basis Temuan: Respon DRR terhambat oleh bidang yang terfragmentasi, logika yang bersaing, dan asimetri informasi. Sebaliknya, respons yang efektif ditandai dengan kepercayaan, kejelasan pesan, dan kredibilitas sumber.
  • Metode/Variabel Baru: Terapkan pemodelan dinamis berbasis agen (Agent-Based Modeling, ABM) (metode baru) untuk menyimulasikan aliran informasi (variabel baru: trust level, message clarity, efficacy) antara tiga jenis institusi (konteks baru: Public Sector Organizations, Non-Governmental Organizations, and Community Groups) selama insiden.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: ABM akan memetakan titik kegagalan komunikasi dan fragmentasi kelembagaan yang paling mungkin terjadi, sehingga memungkinkan rekomendasi kebijakan yang ditargetkan untuk menumbuhkan kepercayaan dan kejelasan pesan di seluruh bidang DRR.

5. Riset Etnografi tentang Nuansa Budaya dalam Keputusan Kordon Pasca-Bencana

  • Basis Temuan: Keputusan teknis seperti operasi kordon (keselamatan jiwa) dapat dihindari karena faktor-faktor non-teknis, termasuk ketidakpastian hukum dan nuansa budaya.
  • Metode/Variabel Baru: Lakukan riset etnografi dan studi kasus komparatif (metode baru) di lokasi pasca-bencana di berbagai yurisdiksi (konteks baru: misalnya, kawasan padat penduduk dengan kepemilikan ruang publik yang ketat) untuk mendokumentasikan bagaimana norma budaya terhadap kepemilikan dan penggunaan ruang publik (variabel baru) memengaruhi penerimaan dan penegakan operasi kordon.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan menghasilkan kerangka kerja keputusan yang sensitif secara budaya dan hukum, bergerak melampaui kriteria "keselamatan jiwa" yang sederhana untuk memastikan penerimaan komunitas dan kepatuhan yang efektif terhadap keputusan taktis yang sulit.

Secara keseluruhan, penelitian ini tidak hanya mengkritik keadaan pengambilan keputusan dalam manajemen kedaruratan saat ini, tetapi juga menyediakan peta jalan yang ketat dan terperinci untuk riset terapan di masa depan. Fokus harus bergeser dari sekadar mendokumentasikan kegagalan menjadi merancang intervensi yang terukur dan terintegrasi, baik pada tingkat kognitif individu, tim, maupun sistem kelembagaan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Natural Hazards Research Australia (NHRA), Central Queensland University (CQU), dan National Emergency Management Agency (NEMA) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, dan terutama dalam menguji model simulasi baru untuk pelatihan. Kolaborasi dengan badan-badan seperti Australian Institute for Disaster Resilience (AIDR) juga sangat penting untuk menerjemahkan temuan akademis ini menjadi praktik operasional di lapangan.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Dari Intuisi ke Intervensi Terstruktur: Mengubah Keputusan Kritis dalam Manajemen Kedaruratan

Ilmu Sosial Terapan

Mengurai Hierarki: Merancang Ulang Sistem Komando Insiden untuk Era Bencana Multi-Agensi yang Kompleks

Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025


Memperbaiki Respons Bencana dengan Meningkatkan Sistem Komando Insiden: Arah Riset ke Depan

Introduksi dan Jalur Logis Penemuan

Studi ini membahas isu krusial dalam domain manajemen bencana kontemporer: kegagalan sistem komando insiden yang ada (seperti Incident Command System - ICS) untuk beradaptasi secara efektif terhadap kompleksitas respons multi-agensi di tengah peningkatan frekuensi dan intensitas bencana akibat perubahan iklim. Para peneliti berangkat dari premis bahwa meskipun sistem respons darurat global telah diadopsi secara luas, akar sejarah militernya yang menekankan prinsip komando dan kontrol hierarkis yang otoritatif menjadi hambatan signifikan. Walaupun lembaga layanan darurat tradisional telah merangkul ICS, banyak agensi non-tradisional, termasuk lembaga pemerintah dan non-pemerintah lainnya, cenderung enggan untuk mengadopsi prinsip-prinsip tersebut. Perbedaan operasional, budaya, dan legislasi ini menciptakan tantangan interoperabilitas yang parah dalam situasi darurat berskala besar dan kompleks.

Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi tantangan ini dengan mengembangkan kerangka kerja baru yang tidak hanya menyertakan semua agensi yang terlibat tetapi juga meningkatkan respons multi-agensi secara keseluruhan. Jalur logis penemuan dimulai dengan melakukan pendekatan penelitian kualitatif multi-modal tiga fase. Fase pertama melibatkan tinjauan literatur kritis untuk menganalisis praktik sistem dan basis teoretis ICS. Fase kedua dilanjutkan dengan wawancara semi-terstruktur dengan informan untuk mengeksplorasi ICS dalam aksi nyata melalui studi kasus bencana. Dari temuan-temuan awal ini, para peneliti mengidentifikasi dan mengkonsolidasikan masalah utama ke dalam lima domain, serta mengembangkan empat opsi potensial untuk perbaikan.

Fase ketiga, yang menjadi fokus utama dalam paper ini, adalah analisis kebijakan dan studi Delphi yang dimodifikasi. Melalui studi Delphi dua putaran, opsi-opsi perbaikan tersebut disajikan kepada panel ahli yang terdiri dari pemimpin senior dan pembuat keputusan strategis di seluruh sektor manajemen kedaruratan. Triangulasi data dari ketiga fase ini memungkinkan pengembangan hasil akhir yang paling signifikan: sebuah Kerangka Konseptual Baru yang didasarkan pada modifikasi prinsip-prinsip ICS yang ada. Kerangka ini merupakan pemahaman baru tentang kekuatan dan kelemahan sistem yang ada, yang diperlukan untuk mengatasi kompleksitas manajemen bencana di masa depan.

Sorotan Data Kuantitatif Secara Deskriptif

Metodologi studi Delphi yang dimodifikasi adalah inti dari analisis kualitatif ini, yang bertujuan mencapai konsensus. Panel ahli yang berpartisipasi dalam studi ini terdiri dari lima belas (n=15) pemimpin senior dan pembuat keputusan strategis di Putaran 1, dengan tingkat penyelesaian yang menunjukkan dua belas (n=12) partisipan aktif di Putaran 2, mencerminkan keterlibatan yang tinggi dari para pakar yang memiliki peran operasional di tiga atau lebih (3+) peristiwa bencana yang diumumkan.

Analisis peringkat opsi menunjukkan hubungan kuat antara sifat sistem dan potensi keberhasilannya. Opsi yang mengusulkan Penegakan Kepatuhan (Opsi 1) secara keseluruhan dinilai oleh panel sebagai opsi yang sangat tidak mungkin berhasil. Sebaliknya, opsi yang melibatkan perancangan ulang sistem AIIMS saat ini (AIIMS+) (Opsi 2) dan pengembangan sistem baru (Opsi 3) disepakati sebagai yang paling mungkin berhasil di masa depan. Kesimpulan ini dicapai melalui ambang batas konsensus 75% persetujuan yang ditetapkan untuk menentukan temuan bersama panel. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara fleksibilitas kerangka kerja dan kesediaan adopsi, menegaskan potensi kuat untuk pergeseran paradigma dari model kaku ke model yang lebih adaptif dalam manajemen bencana.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama penelitian ini terhadap bidang manajemen kedaruratan adalah diagnosis yang jelas mengenai ketidakmampuan ICS yang berorientasi militer untuk secara efektif mengelola bencana yang kompleks dan multi-agensi di era perubahan iklim. Alih-alih hanya mengkritik, studi ini menawarkan jalan ke depan dengan mengembangkan Kerangka Konseptual Baru.

  1. Validasi Kesenjangan Multi-Agensi: Studi ini secara tegas mengkonfirmasi bahwa interoperabilitas adalah masalah utama karena agensi non-tradisional menolak ICS yang hierarkis. Ini menggeser fokus riset dari sekadar "pelatihan yang lebih baik" menjadi "sistem yang lebih baik."
  2. Identifikasi Domain Strategis yang Terabaikan: Temuan panel ahli menyoroti dua area kritis yang tidak dapat ditangani oleh ICS tradisional secara memadai: pengambilan keputusan politik strategis dan manajemen konsekuensi. Dengan menempatkan domain-domain ini sebagai pusat kebutuhan perubahan, penelitian ini memberikan cetak biru bagi pengembang sistem di masa mendatang.
  3. Konsensus Ekspertis untuk Perubahan Adaptif: Melalui studi Delphi, penelitian ini memberikan dukungan berbasis konsensus yang kuat (dengan ambang batas 75% ) dari pemimpin strategis untuk perubahan sistem yang radikal (Opsi 2 dan 3), secara efektif menolak solusi minimalis seperti penegakan kepatuhan semata (Opsi 1). Hal ini merupakan dukungan ilmiah dan praktis untuk reformasi institusional.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun mencapai kontribusi signifikan, penelitian ini memiliki keterbatasan yang secara langsung membuka peluang penelitian di masa depan. Keterbatasan metodologis utama terletak pada sifat kualitatif dan berbasis konsensusnya.

  1. Fokus Geografis dan Budaya: Meskipun melibatkan panel ahli dari Australia , temuan ini berpotensi dibatasi oleh konteks regulasi dan budaya manajemen kedaruratan Australasia (Australasian Interservice Incident Management System - AIIMS). Pertanyaan terbuka adalah: sejauh mana penolakan agensi non-tradisional dan prioritas pada manajemen konsekuensi bersifat universal bagi negara-negara yang menggunakan sistem yang bersinergi seperti New Zealand Coordinated Incident Management System atau U.S. National Incident Management System?
  2. Abstraksi Kerangka Kerja Baru: Studi ini menghasilkan Kerangka Konseptual Baru, namun rincian spesifik tentang prinsip, struktur, dan mekanismenya tidak disajikan dalam laporan ini. Pertanyaan terbuka yang paling mendesak adalah: Bagaimana Kerangka Konseptual Baru ini secara operasional mentransfer prinsip-prinsip ICS yang hierarkis menjadi fleksibel tanpa mengorbankan akuntabilitas dan kecepatan komando?
  3. Ketiadaan Pengujian Empiris: Data kuantitatif yang ada (n dan persentase konsensus) hanya memvalidasi perlunya perubahan dan opsi yang disukai. Karena Kerangka Konseptual Baru hanya didasarkan pada triangulasi data kualitatif dan konsensus ahli, ia belum mengalami pengujian empiris dalam skenario operasional nyata atau simulasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan terbuka mengenai efisiensi, kecepatan pengambilan keputusan, dan kepuasan pengguna dalam praktik.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Arah riset ke depan harus berfokus pada pengujian, operasionalisasi, dan ekstrapolasi temuan inti dari studi ini, terutama mengenai kegagalan koordinasi multi-agensi dan pentingnya domain strategis.

1. Pengembangan dan Pengujian Modul Integrasi Non-Tradisional dalam AIIMS+

  • Berbasis Temuan: Paper ini menunjukkan bahwa ICS sulit diterapkan pada agensi non-tradisional, yang memiliki prosedur dan prioritasnya sendiri. Panel ahli menyukai perancangan ulang sistem saat ini (AIIMS+).
  • Metode/Variabel/Konteks Baru: Penelitian harus menggunakan Riset Aksi Partisipatif (Participatory Action Research - PAR) dalam konteks lingkungan pemerintah daerah (Local Council) dan Organisasi Non-Pemerintah (NGO). Variabel baru adalah Tingkat Inklusivitas Prosedural dan Koefisien Keterlibatan Agensi (mengukur kepatuhan sukarela agensi non-tradisional).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Perlu dipastikan bahwa AIIMS+ yang dirancang ulang (Opsi 2) benar-benar menghilangkan penolakan, bukan hanya secara paksa mengintegrasikannya, sehingga menciptakan koordinasi horizontal yang efektif, bukan komando vertikal paksa.

2. Formalisasi Protokol Antarmuka Keputusan Politik-Komando Bencana

  • Berbasis Temuan: Konsensus ahli menyoroti perlunya perubahan pada tingkat pengambilan keputusan politik strategis dalam manajemen bencana. Interaksi antara pemimpin terpilih (politisi) dan Komandan Insiden (operasional) adalah wilayah yang ambigu dan berpotensi konfliktual.
  • Metode/Variabel/Konteks Baru: Lakukan Analisis Kasus Komparatif Kualitatif terhadap tiga peristiwa bencana besar yang berbeda, di mana interaksi politik-operasional adalah variabel independen utama. Variabel dependen yang harus diukur adalah Kecepatan Transfer Komando dan Keselarasan Pesan Publik Bencana.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Protokol hubungan antara komando operasional (hierarkis) dan pengawasan strategis/politik (adaptif) harus diformalisasi. Ini akan memastikan bahwa governance dan command berjalan selaras, menghindari konflik yang dapat memperlambat respons dan mengikis kepercayaan publik.

3. Pengembangan Metrik Kuantitatif untuk Pengelolaan Konsekuensi Bencana

  • Berbasis Temuan: Salah satu domain penting yang perlu ditingkatkan dalam ICS adalah manajemen konsekuensi. Area ini melampaui tugas agensi darurat tradisional (pemadaman, penyelamatan) dan sangat bergantung pada agensi non-tradisional (kesehatan, layanan sosial, pemulihan ekonomi).
  • Metode/Variabel/Konteks Baru: Lakukan Studi Metode Campuran (Mixed-Method Study) untuk mengembangkan dan menguji serangkaian Metrik Konsekuensi Pasca-Insiden yang baru. Metrik harus mencakup aspek non-tradisional seperti Waktu Pemulihan Layanan Sosial Kritis atau Indeks Keberlanjutan Ekonomi Lokal.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Saat ini, keberhasilan ICS sebagian besar diukur dari keberhasilan operasionalnya (misalnya, menahan api, menyelamatkan jiwa). Kerangka kerja baru membutuhkan metrik yang mengintegrasikan dampak jangka panjang dan tanggung jawab agensi non-tradisional, memvalidasi pergeseran fokus yang disepakati oleh panel ahli.

4. Studi Validasi Empiris Kerangka Konseptual Baru dalam Simulasi Multi-Bahaya

  • Berbasis Temuan: Tujuan akhir riset adalah Kerangka Konseptual Baru. Meskipun dirancang berdasarkan konsensus, efektivitasnya dalam tekanan operasional masih berupa hipotesis.
  • Metode/Variabel/Konteks Baru: Lakukan Studi Eksperimental Laboratorium (simulasi real-time) di mana tim manajer darurat secara acak ditugaskan untuk menggunakan (a) AIIMS Tradisional dan (b) Kerangka Konseptual Baru dalam skenario bencana multi-bahaya (misalnya, topan diikuti oleh infrastruktur yang runtuh). Variabel baru adalah Tingkat Kepuasan Inter-Agensi dan Efisiensi Alokasi Sumber Daya Kritis (kuantitatif).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Pengujian ini akan memberikan data empiris yang kuat mengenai klaim studi ini, memindahkan penemuan dari domain teoretis ke ranah validasi operasional, dan menentukan apakah modifikasi prinsip ICS benar-benar meningkatkan kinerja tim dalam lingkungan tekanan tinggi.

5. Analisis Institusional Terhadap Hambatan Regulasi Kepatuhan Lintas Yurisdiksi

  • Berbasis Temuan: Panel ahli secara eksplisit menolak penegakan kepatuhan sebagai opsi yang layak karena sulitnya mencapai tingkat kepatuhan antar-pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa akar masalahnya adalah institusional dan hukum, bukan hanya operasional.
  • Metode/Variabel/Konteks Baru: Lakukan Analisis Institusional Kualitatif Mendalam (berbasis semi-structured interview) dengan pejabat senior hukum, regulasi, dan kebijakan di berbagai yurisdiksi. Variabel baru adalah Koefisien Resistensi Hukum (mengukur sejauh mana undang-undang darurat agensi menghalangi penyerahan komando) dan Tingkat Konvergensi Regulasi.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Kerangka kerja baru hanya akan berhasil jika hambatan regulasi yang menyebabkan "penolakan" agensi dapat diidentifikasi dan ditangani di tingkat kebijakan. Penelitian ini akan menyediakan peta jalan untuk reformasi legislatif yang diperlukan untuk mendukung sistem yang lebih adaptif.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Penelitian yang disajikan oleh Bradley-Smith, Tippett, dan FitzGerald ini merupakan landasan yang sangat penting, yang memvalidasi bahwa sistem komando yang berakar pada masa lalu tidak dapat secara efektif mengatasi bencana multi-agensi yang didorong oleh perubahan iklim. Dengan menetapkan Kerangka Konseptual Baru, studi ini memetakan jalan menjauh dari komando yang kaku menuju manajemen strategis, adaptif, dan berorientasi konsekuensi. Riset ke depan harus secara sistematis menutup kesenjangan antara konsensus teoretis dan praktik operasional.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi sektor layanan kesehatan dan sosial, pemerintah daerah dan kota, dan lembaga penelitian kebijakan publik untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, sekaligus mempromosikan adopsi Kerangka Konseptual Baru secara nasional dan internasional.

Sertakan tautan DOI resmi sebagai acuan utama: Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Mengurai Hierarki: Merancang Ulang Sistem Komando Insiden untuk Era Bencana Multi-Agensi yang Kompleks

Teknik Sipil

Mengarahkan Masa Depan: Peta Jalan Riset untuk Ketahanan Infrastruktur Transportasi Global Terhadap Banjir

Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025


Riset ini, berjudul "A Systematic Review: To Increase Transportation Infrastructure Resilience to Flooding Events," adalah tinjauan sistematis komprehensif yang mengkaji literatur ilmiah dari tahun 1900 hingga 2021 untuk memetakan upaya peningkatan ketahanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Tinjauan ini bertujuan untuk memenuhi tiga objektif utama: (1) menentukan bencana alam yang paling banyak diteliti terkait kerentanan (vulnerability), (2) mengidentifikasi jenis infrastruktur yang paling dominan dalam studi ketahanan terhadap banjir, dan (3) menyelidiki tahap penelitian saat ini.

Jalur Logis Penemuan Penelitian 🧭

Metodologi tinjauan ini terstruktur dalam tiga tahap yang secara progresif mempersempit fokus penelitian:

Tahap 1: Mengidentifikasi Ancaman Utama

Tahap pertama melibatkan pencarian 17 jenis bahaya atau bencana alam, digabungkan dengan kata kunci "kerentanan" (vulnerability), dalam database Google Scholar dan Scopus dari tahun 1900 hingga 2021. Hasil totalnya mencapai 6.541 studi. Dari jumlah ini, kerentanan banjir (flood vulnerability) adalah topik yang paling menonjol, dengan total 2.223 studi. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara banjir dan urgensi riset, menegaskan banjir sebagai bencana alam yang paling relevan untuk penyelidikan kerentanan lebih lanjut. Data kuantitatif secara deskriptif menunjukkan pertumbuhan pesat riset kerentanan bencana alam setelah tahun 1980.

Tahap 2: Menentukan Infrastruktur Kritis

Setelah menetapkan banjir sebagai fokus utama, Tahap 2 bertujuan untuk mengidentifikasi sektor infrastruktur kritis yang paling sering dikaitkan dengan ketahanan banjir (flood resilience). Pencarian kata kunci "flood resilience infrastructure" dalam rentang waktu 1981–2021 menghasilkan 79 studi unik. Berdasarkan kategorisasi 55 studi unik, riset terkait transportasi adalah yang paling lazim, muncul dalam 57% studi, mengungguli sektor lain seperti pengolahan air limbah (42%) dan energi (34%). Hal ini secara logis menetapkan infrastruktur transportasi sebagai fokus penting untuk sisa tinjauan.

Tahap 3: Memetakan Tahap Riset Saat Ini

Tahap akhir berfokus pada studi terkait ketahanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Dengan menyaring 700 hasil pencarian kata kunci yang spesifik ("transportation", "road(s)", dan "transit" dengan "flood" dan "flooding"), tim peninjau menganalisis total 133 artikel jurnal terbitan sejawat (peer-reviewed) berbahasa Inggris. Studi-studi ini dikelompokkan ke dalam enam kategori riset, selaras dengan langkah 3–5 dari Infrastructure Resilience Planning Framework (IRPF) oleh CISA (Langkah 3: Penilaian Risiko, Langkah 4: Mengembangkan Tindakan, dan Langkah 5: Implementasi dan Evaluasi).

Enam kategori riset yang ditemukan adalah:

  • A: Analisis risiko banjir (17 studi)
  • B: Prediksi banjir dan peramalan real-time (11 studi)
  • C: Investigasi dampak fisik banjir pada komponen infrastruktur transportasi (29 studi)
  • D: Analisis kerentanan sistem dan elemen transportasi (25 studi)
  • E: Strategi mitigasi atau langkah persiapan sebelum dan sesudah banjir (20 studi)
  • F: Studi lain yang berkaitan dengan ketahanan transportasi terhadap banjir (31 studi)

Dalam kategori A (Analisis Risiko), temuan menunjukkan penggunaan luas model hidrologi/hidrodinamik (misalnya, HEC-HMS) untuk menentukan kedalaman banjir dan alat geospasial untuk memvisualisasikan risiko. Kategori B (Prediksi Real-Time) menekankan perlunya data curah hujan dan air yang memadai untuk meningkatkan akurasi model peramalan. Dalam Kategori C dan D, dampak pada aksesibilitas dan mobilitas diselidiki sebagai faktor krusial, diukur melalui keterlambatan, kecepatan kendaraan, dan kemampuan untuk melintasi jalan.

🔑 Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari tinjauan sistematis ini adalah sebagai penentu arah strategis untuk penelitian masa depan.

  • Validasi Prioritas Riset: Tinjauan ini secara kuantitatif memvalidasi bahwa banjir adalah ancaman bencana alam yang paling banyak dipelajari terkait kerentanan, dan bahwa transportasi adalah infrastruktur yang paling rentan, sehingga memfokuskan sumber daya riset dan hibah di masa depan ke dalam persimpangan kritis ini.
  • Peta Jalan IRPF: Pengorganisasian 133 studi di dalam kerangka kerja IRPF (Infrastructure Resilience Planning Framework) adalah kontribusi metodologis yang signifikan. Struktur ini memungkinkan akademisi dan pengambil keputusan untuk secara eksplisit mengidentifikasi di mana studi yang ada sudah selaras dengan tujuan strategis CISA, FEMA, dan GAO, dan lebih penting lagi, di mana terdapat kesenjangan riset yang jelas.
  • Identifikasi Kesenjangan Kritis: Kesenjangan yang teridentifikasi, terutama dalam Langkah 4 (Penilaian sumber daya dan kapabilitas yang ada) dan Langkah 5 (Implementasi dan Evaluasi), menunjukkan perlunya pergeseran fokus riset dari pemodelan risiko dan kerentanan (Langkah 3) menuju dimensi implementasi kebijakan, pendanaan, dan evaluasi kinerja.

🚧 Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun komprehensif, riset ini memiliki keterbatasan yang secara langsung menghasilkan pertanyaan terbuka untuk komunitas akademik:

  • Fokus pada Publikasi Jurnal: Tahap 3 secara ketat membatasi studi yang diterima hanya pada publikasi jurnal terbitan sejawat berbahasa Inggris. Ini berpotensi mengecualikan laporan pemerintah (yang krusial untuk implementasi), prosiding konferensi (yang mencerminkan inovasi terkini), dan tesis/disertasi, yang dapat memiliki metodologi riset yang kuat.
    • Pertanyaan Terbuka: Seberapa besar jurang pengetahuan antara temuan riset akademis yang dipublikasikan dan strategi implementasi praktis yang didokumentasikan dalam laporan non-akademis atau dokumen kebijakan pemerintah?
  • Kesenjangan Implementasi dan Evaluasi (Langkah 5 IRPF): Tinjauan ini secara eksplisit menemukan kekurangan dalam studi yang membahas: (1) implementasi melalui mekanisme perencanaan yang ada, (2) pemantauan dan evaluasi efektivitas, dan (3) pembaruan rencana.
    • Pertanyaan Terbuka: Bagaimana metrik keberhasilan (misalnya, pengurangan biaya pemulihan, pengurangan waktu henti operasional) untuk strategi ketahanan pasca-implementasi dapat diukur dan dievaluasi secara kuantitatif untuk memberikan bukti empiris bagi pembaruan kebijakan?
  • Dimensi Sosial-Ekonomi dan Ekuitas: Meskipun beberapa studi (Kategori C dan D) mencatat dampak sosial dan ekonomi terhadap individu berpenghasilan rendah, analisis kesetaraan (equity) dalam perencanaan ketahanan tidak sepenuhnya dominan.
    • Pertanyaan Terbuka: Bagaimana model kerentanan dapat ditingkatkan untuk memasukkan dan memprioritaskan faktor keadilan sosial-ekonomi (misalnya, dampak pada transportasi publik, kebutuhan evakuasi kelompok rentan) untuk memastikan perencanaan ketahanan transportasi yang adil?

🎯 5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berikut adalah lima rekomendasi riset ke depan, yang ditujukan untuk memajukan bidang ini melampaui fokus saat ini pada pemodelan risiko (Langkah 3 IRPF) dan menuju implementasi dan evaluasi (Langkah 4 dan 5 IRPF).

1. Riset Aksi untuk Penilaian Sumber Daya dan Kapabilitas yang Ada (Langkah 4 IRPF)

Riset harus bergeser untuk mengatasi kesenjangan yang teridentifikasi mengenai penilaian sumber daya dan kapabilitas yang ada.

  • Fokus/Metode Baru: Mengembangkan kerangka audit terstruktur untuk memetakan sumber daya yang ada (misalnya, kewenangan perencanaan dan regulasi, kebijakan pendanaan, keterampilan teknis) di berbagai entitas publik dan swasta.
  • Justifikasi Ilmiah: Penilaian ini menciptakan garis dasar yang krusial (baseline) yang saat ini hilang, memungkinkan perencana untuk menentukan strategi implementasi yang realistis, efisien, dan berkelanjutan secara finansial.

2. Pengembangan dan Validasi Metrik Kinerja Ketahanan (Resilience Performance Metrics) (Langkah 5 IRPF)

Penelitian harus berfokus pada pengembangan dan penerapan metrik untuk memantau dan mengevaluasi efektivitas solusi ketahanan.

  • Fokus/Variabel Baru: Membandingkan kinerja jaringan transportasi sebelum, selama, dan setelah proyek mitigasi (Kategori E), menggunakan variabel baru seperti waktu pemulihan layanan penuh atau reduksi biaya kerusakan kumulatif.
  • Justifikasi Ilmiah: Studi saat ini dominan pada risiko (pre-flood) dan dampak fisik (during-flood). Riset ini akan menutup lingkaran, memberikan bukti empiris dan kuantitatif tentang nilai investasi mitigasi jangka panjang, yang penting untuk pembaruan rencana dan penentuan prioritas pendanaan di masa depan.

3. Integrasi Pemodelan Interdependensi Infrastruktur Kritis

Meningkatkan akurasi analisis kerentanan (Kategori D) dan dampak (Kategori C) dengan secara eksplisit memodelkan kegagalan kaskade yang terjadi akibat ketergantungan antar infrastruktur.

  • Fokus/Konteks Baru: Mengembangkan model sistem dari sistem yang menggabungkan kegagalan transportasi (misalnya, penutupan jalan) dengan infrastruktur lain yang teridentifikasi, seperti energi, komunikasi, dan air/air limbah. Penelitian harus menguji dampak kegagalan stasiun pompa air limbah (sektor kedua yang paling banyak diteliti) terhadap penutupan jalan yang berdekatan.
  • Justifikasi Ilmiah: Kegagalan infrastruktur kritis jarang terjadi secara terpisah; riset interdependensi akan mencerminkan risiko yang lebih realistis dan memungkinkan pengembangan strategi mitigasi yang lebih terintegrasi dan kokoh.

4. Memanfaatkan Data Real-Time Lanjut untuk Peringatan dan Adaptasi Perilaku

Memajukan penelitian di Kategori B (Peramalan Real-Time) dan Kategori F (Pemanfaatan data pengguna) dengan integrasi data yang lebih kompleks.

  • Fokus/Metode Baru: Menggunakan model jaringan saraf ganda (deep learning) yang diperkenalkan dalam Kategori F untuk menganalisis data real-time (misalnya, data GPS dari sistem kendaraan, media sosial, dan citra satelit) untuk memprediksi perubahan perilaku komuter (misalnya, perubahan waktu keberangkatan, pemilihan rute) dan tingkat kelulusan jalan.
  • Justifikasi Ilmiah: Meningkatkan kemampuan peringatan dini dan pemahaman perilaku pengguna akan secara langsung berkontribusi pada strategi respons dan kesiapan (Kategori E), dan meningkatkan efektivitas sistem peringatan bagi pengguna jalan.

5. Studi Kasus Komparatif Berbasis Geografi dan Karakteristik Lingkungan

Memperluas studi di luar Asia dan AS (yang merupakan area studi paling umum) dengan menerapkan metodologi yang ada di wilayah dengan karakteristik serupa.

  • Fokus/Konteks Baru: Menerapkan model hidrolik/hidrodinamik dan alat penginderaan jauh yang berhasil di Hampton Roads, AS dan Asia (urbanisasi pesisir yang cepat) ke wilayah Afrika (10 studi) atau Amerika Selatan (1 studi) dengan kenaikan permukaan laut dan urbanisasi serupa.
  • Justifikasi Ilmiah: Riset ini akan memvalidasi portabilitas temuan dan memastikan bahwa upaya peningkatan ketahanan menjadi global dan inklusif, memanfaatkan basis pengetahuan yang telah dikumpulkan dan diuji.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari bidang ilmu data dan kecerdasan buatan, badan-badan pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan infrastruktur (misalnya, Departemen Transportasi), dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang berfokus pada keadilan sosial dan lingkungan untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Tautan DOI resmi: Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Mengarahkan Masa Depan: Peta Jalan Riset untuk Ketahanan Infrastruktur Transportasi Global Terhadap Banjir

Manajemen Risiko

Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global

Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025


🌊 Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global

Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas manajemen banjir (Flood Management/FM) di Turki—sebagai representasi negara berkembang—dan Inggris (UK)—sebagai negara maju—serta memberikan rekomendasi berbasis bukti untuk meningkatkan praktik di kedua negara. Melalui studi kualitatif mendalam, tesis doktoral ini tidak hanya membandingkan kerangka kerja kelembagaan dan operasional tetapi juga memperkenalkan serangkaian indikator baru untuk mengukur efisiensi sistem. Jalur logis temuan dimulai dengan perbandingan top-down dan berlanjut ke pengujian hipotesis di lapangan dan melalui studi kasus bencana nyata.

Jalur Logis Penemuan: Dari Hipotesis Tata Kelola ke Bukti Bencana

Riset ini dengan cermat membandingkan dua model tata kelola bencana yang kontras. Inggris, didorong oleh UU Manajemen Banjir dan Air 2010, menganut pendekatan proaktif dan terdesentralisasi (lokal), menekankan kolaborasi lintas-pemangku kepentingan, dari tingkat pusat hingga komunitas lokal. Sebaliknya, Turki dicirikan oleh pendekatan yang reaktif dan sentralistik, dengan undang-undang yang tidak definitif, menghasilkan perencanaan yang tidak efektif, sistem peringatan yang buruk, dan pemangku kepentingan yang tidak terorganisir.

Untuk menguji efektivitas klaim tata kelola ini, penelitian ini mengembangkan serangkaian Indikator Efisiensi Manajemen Banjir (FMEIs), yang dikelompokkan ke dalam tiga fase Siklus Manajemen Bencana: Kesiapsiagaan dan Perencanaan, Respons, dan Pemulihan. Kerangka kerja ini, terdiri dari 26 indikator turunan literatur, berfungsi sebagai alat ukur standar yang eksplisit untuk menilai kekuatan dan kelemahan sistem di Izmit/Kocaeli (Turki) dan Southampton/Hampshire (Inggris).

Hasil Kuantitatif Deskriptif dari Penilaian Sistem

Wawancara dengan para profesional FM di kedua negara kemudian memvalidasi kontras kualitatif ini, yang diukur secara deskriptif menggunakan kerangka FMEIs.

  • Skor FMEIs Keseluruhan: Penilaian berdasarkan wawancara menunjukkan bahwa sistem FM Inggris mencatat skor total 48 (kualitas Optimum, dalam rentang 42-54), sedangkan Turki mencatat skor total 28 (kualitas Tinggi, dalam rentang 28-41). Perbedaan deskriptif ini menunjukkan bahwa model yang menggabungkan kesiapsiagaan proaktif, perencanaan mendalam, dan keterlibatan lokal menunjukkan potensi kuat untuk ketahanan sistem yang lebih tinggi.
  • Perencanaan dan Kesiapsiagaan: Kesenjangan terbesar muncul di fase perencanaan. Mayoritas responden Inggris mengonfirmasi adanya rencana mitigasi dan respons banjir yang spesifik, kemitraan dalam pengembangannya, serta peninjauan dan penerapan berkala. Sebaliknya, mayoritas responden Turki melaporkan bahwa rencana mitigasi banjir tidak ada, dan tidak ada kemitraan untuk pengembangan atau peninjauan rencana.
  • Sistem Peringatan Dini: Terdapat perbedaan dalam teknologi. Inggris menggunakan peringatan ponsel (phone alerts), media, dan media sosial. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk sistem komunikasi yang lebih personal dan tepat sasaran. Sebaliknya, Turki belum menerapkan sistem peringatan ponsel, yang dikaitkan dengan ketiadaan peta bahaya banjir yang akurat di tingkat lokal, sehingga membatasi kemampuan untuk memperingatkan penduduk di zona risiko secara spesifik.

Dampak dari perbedaan tata kelola ini divalidasi melalui studi kasus: Banjir Marmara 2009 (Turki) dan Banjir Kendal 2015 (Inggris). Penilaian FMEIs terhadap respons bencana nyata menunjukkan bahwa manajemen banjir Kendal memperoleh skor total 43 (kualitas Optimum), sementara Marmara memperoleh skor total 28 (kualitas Tinggi). Kesenjangan terluas muncul dalam kategori perencanaan: Meskipun telah terjadi banjir sebelumnya di Marmara, kurangnya perencanaan mitigasi dan peta bahaya yang akurat memperburuk dampak bencana. Kunci efektivitas Inggris terletak pada pendekatan terpusatnya untuk perencanaan tetapi didelegasikan kepada tingkat lokal, memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko di lapangan dan pemulihan yang lebih cepat.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi terpenting dari penelitian ini adalah penciptaan FMEIs. FMEIs merupakan kerangka kerja komprehensif yang mengintegrasikan berbagai faktor efisiensi FM ke dalam alat ukur yang terstandardisasi dan dapat diterapkan secara universal, yang dapat digunakan oleh negara maju dan berkembang.

Lebih lanjut, penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi bahwa efektivitas FM berakar pada dua pilar utama:

  1. Pergeseran ke Aksi Proaktif: Sistem yang efektif dicirikan oleh fokus pada kesiapsiagaan (preparedness)—melalui perencanaan mitigasi, pemetaan risiko, dan pembelajaran kelembagaan yang terorganisir—bukan sekadar tanggapan darurat reaktif.
  2. Pentingnya Keterlibatan Lokal: Pendekatan terdesentralisasi yang memberdayakan aktor dan komunitas lokal (model bottom-up) sangat penting untuk meningkatkan koordinasi, kecepatan respons, dan kesadaran publik.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Riset ini mengakui bahwa kurangnya akses ke peta bahaya banjir di Turki merupakan hambatan signifikan untuk merumuskan rencana mitigasi yang spesifik. Selain itu, sensitivitas politik di Turki membatasi partisipasi masyarakat di tingkat komunitas, sehingga penilaian efektivitas sistem cenderung didominasi oleh perspektif profesional daripada pengalaman langsung warga.

Keterbatasan ini membuka pertanyaan penting bagi penelitian lanjutan, seperti:

  • Bagaimana peta bahaya banjir, yang baru direncanakan selesai di Turki pada tahun 2022, dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam kerangka kerja bottom-up di masa mendatang?
  • Apakah sistem terpusat (seperti di Turki), jika sepenuhnya dilengkapi dengan rencana, sumber daya, dan peta yang akurat, dapat melampaui efektivitas sistem yang terdesentralisasi murni, mengingat kompleksitas geografis dan demografi negara yang lebih besar?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Penelitian ini menggarisbawahi perlunya studi empiris lebih lanjut untuk memajukan manajemen risiko banjir dari temuan komparatif dan kerangka FMEIs yang baru dikembangkan.

  1. Riset Kolaboratif tentang Transisi Tata Kelola FM (Metode: Studi Kasus Intervensi):
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa pendekatan sentralistik Turki secara fundamental membatasi keterlibatan lokal, yang merupakan kunci efektivitas FM. Riset lanjutan harus berfokus pada studi kasus yang menganalisis dampak intervensi kebijakan yang bertujuan untuk mendesentralisasi tanggung jawab FM di provinsi-provinsi percontohan di Turki (misalnya, menguji efek pembentukan Lembaga Forum Ketahanan Lokal/LRF ala Inggris).
    • Tujuan: Mengukur peningkatan nyata dalam Skor Kesiapsiagaan FMEIs (khususnya indikator "Keterlibatan Masyarakat" dan "Pelatihan") sebagai fungsi dari desentralisasi yang terstruktur.
  2. Analisis Manfaat-Biaya Implementasi Peta Bahaya Banjir (Variabel: Biaya Infrastruktur vs. Skor FMEIs Respons):
    • Justifikasi Ilmiah: Peta bahaya yang tidak akurat di Turki adalah alasan utama ketidakmampuan untuk menerapkan sistem peringatan dini berbasis lokasi dan rencana mitigasi yang spesifik. Penelitian harus memodelkan rasio manfaat-biaya dari investasi penuh dalam pemetaan risiko banjir digital dan real-time di seluruh Turki, menggunakan Total Damage Prevented sebagai metrik utama.
    • Tujuan: Menentukan koefisien investasi minimum yang diperlukan dalam infrastruktur pemetaan (seperti data satelit dan phone alerts) untuk mendorong Skor Respons FMEIs Turki ke tingkat Optimum.
  3. Studi Komparatif tentang Adaptabilitas Kebijakan (Konteks: Perubahan Iklim/Frekuensi Ekstrem):
    • Justifikasi Ilmiah: Kedua negara menunjukkan kelemahan dalam adaptabilitas sistem FM mereka terhadap perubahan yang tidak terduga dan frekuensi bencana ekstrem (Banjir Kendal 2015 melebihi ambang batas pertahanan). Riset lanjutan harus menggunakan simulasi skenario perubahan iklim ekstrem untuk menguji ketahanan kerangka regulasi dan perencanaan Inggris (misalnya, UU FM 2010) dan Turki.
    • Tujuan: Mengidentifikasi ambang batas kegagalan (failure threshold) kebijakan dan merekomendasikan prosedur kontingensi kegagalan infrastruktur (seperti kegagalan tembok penahan banjir atau sistem drainase) untuk dimasukkan dalam Rencana Respons FM.
  4. Analisis Peran Asuransi dalam Ketahanan Jangka Panjang (Metode: Analisis Regresi Data Asuransi):
    • Justifikasi Ilmiah: Ketersediaan asuransi banjir non-wajib di Inggris dan asuransi yang berfokus pada gempa bumi di Turki menunjukkan kesenjangan pemulihan bencana. Penelitian harus menguji hubungan antara tingkat penetrasi asuransi banjir dan waktu pemulihan (time to recovery) ekonomi pasca-bencana.
    • Tujuan: Menganalisis data dari Turkish Catastrophe Insurance Pool (TCIP) untuk memodelkan bagaimana perluasan mandatnya secara wajib untuk mencakup risiko banjir akan berdampak positif pada Skor Pemulihan FMEIs di wilayah-wilayah berisiko tinggi.
  5. Riset Aksi tentang Pembelajaran Kelembagaan Vertikal (Metode: Protokol Peninjauan Pasca-Aksi [After-Action Review/AAR] Terstruktur):
    • Justifikasi Ilmiah: Meskipun kedua negara memiliki skema pembelajaran kelembagaan, Turki sangat kurang dalam organisasi formal, sehingga membatasi perbaikan kebijakan sistematis. Penelitian harus memperkenalkan protokol AAR pasca-banjir yang terstruktur (mirip dengan praktik militer/darurat) di AFAD (Turki) untuk memastikan temuan di lapangan ditransfer secara vertikal ke perumusan kebijakan nasional.
    • Tujuan: Menetapkan korelasi antara penerapan protokol AAR yang formal dan peningkatan skor pada indikator "Pembelajaran Kelembagaan" FMEIs, memvalidasi pentingnya proses formal atas komunikasi lisan yang informal.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Badan Manajemen Bencana dan Keadaan Darurat (AFAD), Badan Lingkungan Inggris (EA), dan forum ketahanan lokal (LRFs) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai tingkat tata kelola.

Selengkapnya
Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global
« First Previous page 89 of 1.337 Next Last »