Manajemen Risiko

Melampaui Kepatuhan: Bagaimana Behavioral-Based Safety (BBS) Mendorong Budaya Keselamatan 'Generatif' di Industri Berisiko Tinggi

Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025


Resensi Riset: Jalan Ke Depan Budaya Keselamatan Organisasi

Mendefinisikan Ulang Keselamatan: Dari Kepatuhan ke Kematangan Generatif

Isu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah lama berevolusi dari sekadar penanganan kondisi kerja yang tidak aman menjadi pengakuan atas peran sentral perilaku dan budaya dalam pencegahan kecelakaan. Setelah bencana Chernobyl tahun 1986, konsep Budaya Keselamatan diperkenalkan, mengubah fokus dari kegagalan individu menjadi kegagalan sistemik yang tertanam dalam nilai-nilai dan sikap organisasi.

Penelitian ini, yang bertajuk Investigation of Behavioral-Based Safety Impacts on Organizational Safety Culture, hadir untuk menjembatani perdebatan antara pendekatan perubahan perilaku (Behavior-Based Safety atau BBS) dan perubahan budaya. Tujuannya adalah untuk secara empiris menguji hipotesis bahwa penerapan kerangka kerja BBS yang terstruktur, yang telah digunakan oleh suatu organisasi selama lebih dari satu dekade, akan menghasilkan tingkat kematangan budaya keselamatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi yang hanya mengandalkan program keselamatan tradisional.

Jalur Logis Penemuan

Alur logis penelitian ini dimulai dengan perancangan metodologi yang ketat untuk mengukur kematangan budaya keselamatan. Metodologi penelitian terdiri dari tiga bagian utama: (1) pengembangan kuesioner kematangan, (2) penerapan dan pengumpulan data, dan (3) penilaian serta perbandingan hasil.

Peneliti menggunakan Manchester Patient Safety Framework (MaPSaF) sebagai dasar, memodifikasinya menjadi kuesioner komprehensif yang terdiri dari 9 dimensi dan 25 aspek spesifik, yang dikembangkan melalui wawancara kelompok fokus dengan pekerja, lokakarya spesialis K3, dan sesi konsultasi ahli. Kuesioner ini dirancang untuk mengklasifikasikan respons di sepanjang lima level kematangan budaya: Patologis, Reaktif, Birokratis, Proaktif, dan Generatif.

Studi ini kemudian membandingkan dua perusahaan dalam industri pertahanan yang sama: Perusahaan A, yang telah menerapkan konsep BBS sejak tahun 2009, dan Perusahaan B, yang beroperasi dengan program keselamatan tradisional. Data dikumpulkan dari total 358 pekerja di Perusahaan A dan 248 pekerja di Perusahaan B.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Behavioral-Based Safety (BBS) dan kematangan budaya keselamatan organisasi yang lebih tinggi — mengonfirmasi potensi kuat BBS sebagai objek penelitian baru dalam literatur K3.

Hasil studi ini secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat kematangan budaya keselamatan Perusahaan A berada pada tingkat yang lebih tinggi di setiap aspek yang dibandingkan dengan Perusahaan B. Analisis data kuantitatif secara deskriptif memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan mendasar yang dihasilkan oleh BBS:

  • Perusahaan A (BBS) berhasil mengklasifikasikan 20 aspek dari 25 aspek budaya keselamatan pada level Generatif dan 5 aspek sisanya pada level Proaktif. Level Generatif mencerminkan budaya di mana keselamatan dipandang sebagai hal yang melekat dan terus ditingkatkan.
  • Perusahaan B (Tradisional) hanya diklasifikasikan sebagai Generatif atau Proaktif dalam 8 aspek, sementara 6 aspek tergolong Birokratis (berorientasi pada aturan), dan bahkan satu aspek diklasifikasikan sebagai Patologis (yaitu Aspek 25: The role of team member/ engagement).

Perbedaan yang paling menonjol ditemukan dalam aspek-aspek yang terkait langsung dengan filosofi BBS:

  • Aspek 5 (Priority given to safety): Perusahaan A mencapai perbedaan karena mengacu pada keselamatan sebagai nilai (value), bukan hanya prioritas. Pendekatan ini memastikan internalisasi keselamatan oleh karyawan terlepas dari perubahan prioritas operasional.
  • Aspek 20 (Wellbeing): Pendekatan BBS Perusahaan A mencakup dukungan fisik, sosial, dan psikologis, dibuktikan dengan adanya psikolog purnawaktu dan sistem bantuan karyawan. Sebaliknya, program tradisional Perusahaan B sebagian besar hanya berfokus pada kesejahteraan fisik.
  • Aspek 2 (Inspection / audit) dan Aspek 12 (Who is doing the investigation?): Perusahaan A menunjukkan kematangan yang jauh lebih tinggi karena sistem observasi BBS-nya melibatkan partisipasi pekerja dalam audit, dan sistem investigasi insiden melibatkan tim yang mencakup pekerja dan manajemen tingkat atas.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan landasan empiris untuk pengembangan teori dan praktik K3 dengan secara eksplisit mengaitkan kerangka BBS dengan peningkatan kematangan budaya, sebuah area yang sebelumnya diwarnai perdebatan teoretis.

  • Validasi BBS sebagai Pendorong Kultural: Studi ini membuktikan bahwa BBS adalah mekanisme yang efektif untuk menggeser budaya dari model Bureaucratic atau Reactive Reason/Westrum/MaPSaF menjadi model Generative. Kontribusi utamanya terletak pada data yang menunjukkan bahwa 20 dari 25 aspek K3 dapat mencapai level tertinggi kematangan berkat integrasi perilaku yang terukur.
  • Penekanan Konseptual pada Safety as a Value: Temuan pada Aspek 5 memberikan kontribusi teoretis yang penting. Dengan mendefinisikan keselamatan sebagai nilai (yang konstan) alih-alih prioritas (yang dapat berubah), Perusahaan A mampu menciptakan keunggulan budaya yang mengarah pada internalisasi dan tanggung jawab kolektif.
  • Model Partisipasi Multilevel: Riset ini menggarisbawahi pentingnya egalitas dan partisipasi menyeluruh dalam sistem keselamatan. Partisipasi pekerja dalam audit/observasi (Aspek 2) dan tim investigasi insiden (Aspek 12) menunjukkan bahwa budaya Generatif bergantung pada penghapusan hierarki dalam hal tanggung jawab keselamatan, sebuah prinsip dasar dalam pendekatan BBS.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun temuan studi ini kuat, terdapat beberapa keterbatasan yang harus diakui dan dijadikan titik awal untuk riset masa depan, terutama bagi komunitas akademik dan penerima hibah.

  • Isu Kausalitas vs. Korelasi: Studi ini adalah perbandingan pada satu titik waktu (cross-sectional), membandingkan dua entitas yang memiliki perbedaan dalam program keselamatan selama 10 tahun. Meskipun hubungan terlihat jelas, tidak ada data longitudinal yang memetakan perkembangan budaya Perusahaan A dari tahun ke tahun.
  • Konteks Spesifik Industri Pertahanan: Penerapan dan keberhasilan BBS mungkin terikat pada konteks industri pertahanan, di mana kepatuhan, kerahasiaan, dan pelatihan yang intensif sudah menjadi norma organisasi. Penerapan di sektor lain (misalnya, ritel, logistik, atau layanan) memerlukan validasi silang terhadap dimensi-dimensi yang telah ditetapkan.
  • Kekurangan Data Kualitatif Pendukung: Meskipun studi menyoroti perbedaan besar dalam aspek Wellbeing (Aspek 20) dan penggunaan psikolog, tidak ada analisis kualitatif yang dalam tentang mekanisme bagaimana intervensi psikososial ini memengaruhi perubahan perilaku keselamatan yang terukur.
  • Potensi Bias Pelaporan: Budaya Generatif sangat bergantung pada pelaporan insiden yang transparan. Keterbatasan tetap ada dalam menentukan apakah tingkat pelaporan yang tinggi di Perusahaan A adalah cerminan dari budaya yang dipercaya, atau seberapa besar hal itu dipengaruhi oleh sistem insentif yang terkait dengan BBS.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan yang mengaitkan BBS dengan kematangan budaya Generatif, arah riset ke depan harus fokus pada isolasi kausalitas, mekanisme intervensi, dan generalisasi kontekstual.

  1. Riset Longitudinal Tentang Perilaku Kepemimpinan BBS:
    • Rekomendasi: Melakukan studi longitudinal dengan fokus pada Aspek 4 (Management commitment) untuk melacak perubahan spesifik dalam perilaku manajemen, komunikasi, dan investasi yang disebabkan oleh penerapan BBS.
    • Justifikasi Ilmiah: Komitmen manajemen di Perusahaan A adalah salah satu pembeda utama. Riset di masa depan harus mengukur bagaimana komitmen manajemen ini berinteraksi dengan kepuasan pekerja dan perilaku pelaporan proaktif (seperti melaporkan nyaris celaka), memetakan jalur dari komitmen formal (Birokratik) ke model kepemimpinan transformasional (Generatif).
  2. Analisis Faktor Mediasi Kesejahteraan (Wellbeing) Psikososial:
    • Rekomendasi: Merancang model persamaan struktural (SEM) yang menguji Wellbeing Psikososial (Aspek 20) sebagai faktor mediasi antara penerapan elemen-elemen BBS dan peningkatan keterlibatan tim (Aspek 24 dan 25).
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan yang menunjukkan pentingnya dukungan psikolog purnawaktu di Perusahaan A memerlukan riset yang mengkuantifikasi bagaimana kesehatan mental pekerja memengaruhi kapasitas kognitif mereka dalam mengidentifikasi risiko dan berkolaborasi dalam tim. Hal ini akan mendukung argumen bahwa BBS harus menjadi sistem yang holistik, bukan sekadar intervensi perilaku di tempat kerja.
  3. Investigasi Efek Jaringan Observasi Pekerja (Aspek 2):
    • Rekomendasi: Menggunakan Analisis Jaringan Sosial (Social Network Analysis) untuk memetakan alur informasi dan peer-influence dalam sistem observasi BBS yang melibatkan pekerja (Aspek 2).
    • Justifikasi Ilmiah: Keterlibatan pekerja dalam audit adalah faktor krusial bagi Perusahaan A. Riset lanjutan harus mengukur kecepatan penyebaran informasi, sentralitas pekerja yang bertindak sebagai pengamat (observer), dan keandalan observasi yang mereka lakukan, membandingkan dampak umpan balik sejawat dengan umpan balik manajerial terhadap perubahan perilaku.
  4. Validasi Silang Kuesioner MaPSaF 9-Dimensi/25-Aspek di Sektor Publik:
    • Rekomendasi: Menerapkan alat ukur kematangan budaya keselamatan yang dikembangkan dalam penelitian ini di organisasi sektor publik berisiko tinggi (misalnya, badan pengelola energi, rumah sakit pemerintah) untuk menguji validitas eksternal model.
    • Justifikasi Ilmiah: Model yang dikembangkan terbukti efektif di sektor pertahanan. Validasi silang akan menentukan apakah dimensi-dimensi seperti Aspek 19 (Performance evaluation) dan Aspek 4 (Management commitment) mempertahankan kekuatan prediktifnya di lingkungan yang didorong oleh birokrasi dan insentif non-finansial yang berbeda dari lingkungan industri.
  5. Peran Keterlibatan Semua Level dalam Pembelajaran Organisasi:
    • Rekomendasi: Menginvestigasi secara kualitatif dan kuantitatif bagaimana tim investigasi insiden partisipatif (melibatkan pekerja dan manajemen, Aspek 12) memengaruhi budaya pelaporan (reporting culture) dan tindakan korektif yang berkelanjutan (Aspek 15: Evaluation of corrective actions).
    • Justifikasi Ilmiah: Partisipasi menyeluruh dalam investigasi adalah kunci perbedaan. Penelitian harus mengukur apakah persepsi keadilan prosedural yang dihasilkan dari tim investigasi yang egaliter meningkatkan kesediaan pekerja untuk melaporkan insiden near-miss, yang merupakan elemen vital dalam pembelajaran organisasi dan pencegahan jangka panjang.

Penelitian ini memberikan dasar yang tidak dapat disangkal bahwa Behavioral-Based Safety (BBS), ketika diimplementasikan sebagai sistem yang holistik yang menekankan nilai dan partisipasi setara, adalah mesin yang kuat untuk mencapai budaya keselamatan Generatif yang berkelanjutan. Keterhubungan antara perilaku individu saat ini dan potensi jangka panjang budaya organisasi terbukti: ketika pekerja merasa memiliki dan bertanggung jawab (Aspek 19), mereka secara inheren menjadi bagian dari solusi pencegahan.

Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi yang memiliki akses ke studi longitudinal, seperti pusat penelitian K3 universitas terkemuka (misalnya, Middle East Technical University, The University of Manchester), organisasi penerima hibah multinasional yang berfokus pada keselamatan kerja, dan organisasi industri berisiko tinggi yang berkomitmen untuk transisi budaya dari Reaktif ke Generatif.

Sangat penting bagi komunitas akademik dan penerima hibah untuk memandang BBS bukan sebagai tren manajemen, tetapi sebagai kerangka penelitian yang matang yang memfasilitasi integrasi perilaku, psikologi, dan sistem, yang pada akhirnya akan mengurangi dampak ekonomi (sekitar 3.94% dari PDB global) dan penderitaan yang disebabkan oleh kecelakaan kerja.

Sistem K3 masa depan harus dibangun di atas temuan ini, memprioritaskan budaya di mana setiap pekerja adalah pengamat, setiap insiden adalah pelajaran, dan keselamatan adalah nilai fundamental.

Yetik, U. S. (2020). Investigation of behavioral-based safety impacts on organizational safety culture. [Thesis (M.S.) -- Graduate School of Natural and Applied Sciences. Occupational Health and Safety.]. Middle East Technical University.

Selengkapnya
Melampaui Kepatuhan: Bagaimana Behavioral-Based Safety (BBS) Mendorong Budaya Keselamatan 'Generatif' di Industri Berisiko Tinggi

Manajemen Konstruksi

Mendanai Keselamatan: Peta Jalan Strategis untuk Mereformasi Biaya Manajemen K3 Konstruksi di Korea.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025


Menganalisis Peta Jalan untuk Efektivitas Biaya K3: Sebuah Tinjauan Riset dan Agenda Masa Depan

Industri konstruksi global secara konsisten diakui sebagai salah satu yang paling berbahaya. Sebagai respons, banyak negara telah mengamanatkan pendanaan khusus untuk intervensi keselamatan. Di Korea Selatan, dana ini dikenal sebagai Occupational Safety and Health Management Expense (OSHE), sebuah biaya wajib yang diatur undang-undang yang termasuk dalam biaya konstruksi. Namun, sebuah paradoks berbahaya telah muncul: meskipun ada sistem pendanaan yang terstruktur , tingkat kecelakaan kerja di industri konstruksi Korea, terutama kecelakaan fatal, justru menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Statistik menunjukkan peningkatan angka kematian per 10.000 pekerja dari 1,30 pada tahun 2015 menjadi 2,00 pada tahun 2020.

Studi oleh Lim et al. (2023) menyelidiki inti dari diskoneksi ini. Penelitian mereka mengidentifikasi kekakuan regulasi sebagai penghambat utama efektivitas. Di bawah pengawasan Kementerian Ketenagakerjaan dan Perburuhan (MOEL) Korea, penggunaan OSHE diatur secara ketat, terbatas pada 8 kategori item tertentu . Akibatnya, barang-barang yang berpotensi menyelamatkan nyawa—seperti produk keselamatan cerdas (smart safety) yang memanfaatkan teknologi Revolusi Industri 4.0 atau bahkan item konvensional yang terbukti efektif (misalnya, lampu depan) —tidak memenuhi syarat untuk pendanaan jika dianggap memiliki tujuan ganda (yaitu, mendukung pekerjaan sekaligus keselamatan).

Menghadapi tuntutan industri yang meningkat untuk fleksibilitas dan data kecelakaan yang memburuk , penelitian ini menetapkan tujuan untuk mengembangkan "peta jalan" (roadmap) berbasis bukti untuk mereformasi item penggunaan OSHE. Metodologi inti yang digunakan adalah Importance-Performance Analysis (IPA), sebuah teknik yang kuat untuk memprioritaskan sumber daya yang terbatas.

Perjalanan logis penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan daftar 57 item perbaikan potensial (33 konvensional, 24 cerdas) melalui wawancara pemangku kepentingan. Kumpulan ini kemudian disaring melalui konsultasi ahli (N=8) menjadi 34 item analisis akhir (14 konvensional, 20 cerdas). Para peneliti kemudian melakukan survei skala besar, mengumpulkan 536 tanggapan valid dari pemangku kepentingan utama—terutama manajer keselamatan (84,89%), klien publik (5,60%), dan praktisi lembaga pencegahan kecelakaan (9,51%). Responden mengevaluasi setiap item menggunakan skala Likert 4 poin (sengaja menghindari titik tengah netral) pada dua dimensi kritis: "Pentingnya" (didefinisikan sebagai urgensi pengenalan) dan "Kinerja" (didefinisikan sebagai efektivitas yang dirasakan dalam pencegahan kecelakaan).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama penelitian ini bukanlah sekadar identifikasi item baru, melainkan penyediaan kerangka kerja strategis yang memprioritaskan implementasi dalam tiga fase: jangka pendek, menengah, dan panjang. Ini mengubah perdebatan dari "apakah" menjadi "bagaimana dan kapan".

Secara kuantitatif, analisis IPA memetakan 34 item ke dalam empat kuadran berdasarkan skor rata-rata. Untuk item konvensional, skor rata-rata adalah 3,15 untuk Kepentingan dan 3,31 untuk Kinerja (lihat Gambar 3 ). Untuk produk keselamatan cerdas, rata-ratanya adalah 2,97 untuk Kepentingan dan 3,12 untuk Kinerja (lihat Gambar 4 ).

  1. Prioritas Jangka Pendek (Kuadran 1: Kepentingan Tinggi, Kinerja Tinggi): Studi ini mengidentifikasi 16 item (7 konvensional, 9 cerdas) yang dianggap mendesak dan sangat efektif. Ini adalah "kemenangan cepat" untuk reformasi kebijakan. Item seperti 'C8. Head lantern' (lampu depan), 'S1. Hazardous area approach detection system' (sistem deteksi pendekatan area berbahaya), dan 'S15. Safety vest with built-in airbag' (rompi keselamatan dengan kantung udara) masuk dalam kategori ini. Data ini memberikan justifikasi kuat bagi MOEL untuk segera memperbarui pedoman OSHE.
  2. Rencana Jangka Menengah (Kuadran 4: Kepentingan Rendah, Kinerja Tinggi): Lima item, termasuk 'C6. Auxiliary device for the prevention of musculoskeletal disorders' (perangkat bantu pencegahan gangguan muskuloskeletal) dan 'S20. Educational facilities using VR' (fasilitas pendidikan menggunakan VR), ditemukan di kuadran ini. Temuan ini menunjukkan hubungan kritis antara efektivitas dan biaya: para pemangku kepentingan mengakui efektivitas item-item ini (Kinerja tinggi), tetapi urgensi mereka rendah (Kepentingan rendah). Para penulis menafsirkan ini sebagai cerminan kekhawatiran bahwa, dalam anggaran OSHE yang tetap, item-item mahal ini dapat menyebabkan "kekurangan biaya esensial". Ini adalah temuan kunci bagi pembuat kebijakan, yang menunjukkan bahwa item Kuadran 4 harus diadopsi setelah ada kebijakan pendukung, seperti peningkatan rate OSHE.
  3. Rencana Jangka Panjang (Kuadran 2: Kepentingan Tinggi, Kinerja Rendah): Tiga item (1 konvensional, 2 cerdas) dinilai mendesak tetapi efektivitasnya rendah. Temuan ini menunjukkan bahwa walaupun ada permintaan pasar (urgensi), teknologinya mungkin belum matang atau belum terbukti. Item seperti 'S13. Smart safety helmet using sensor' (helm keselamatan cerdas menggunakan sensor) memerlukan "pemantauan berkelanjutan" terhadap efektivitasnya seiring perkembangan teknologi.

Menariknya, studi ini juga menunjukkan di mana analisis ahli mengesampingkan data IPA murni. 'C14. Ice box' (kotak es) berada di Kuadran 1, tetapi para ahli merekomendasikan untuk mengecualikannya dari implementasi jangka pendek, dengan alasan bahwa itu lebih merupakan biaya kesejahteraan (welfare) dan dapat menguras dana OSHE yang sudah terbatas.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kuat, studi ini memiliki keterbatasan yang secara inheren membuka jalan bagi penelitian masa depan. Keterbatasan utama adalah sifat metodologi IPA, yang bergantung pada persepsi subjektif responden. Para penulis berupaya memitigasi hal ini dengan ukuran sampel yang besar (N=536), namun "Kinerja" yang diukur adalah efektivitas yang dirasakan, bukan efektivitas yang dibuktikan secara empiris.

Hal ini memunculkan pertanyaan penelitian fundamental:

  1. Masalah Anggaran Tetap: Bagaimana Peta Jalan ini dapat diimplementasikan secara bertanggung jawab ketika anggaran OSHE tetap? Studi ini dengan jelas memperingatkan bahwa memperluas item penggunaan tanpa menambah dana dapat "menyebabkan risiko seperti biaya yang tidak mencukupi untuk pemasangan fasilitas keselamatan esensial".
  2. Validasi Kinerja: Apakah item-item yang dipersepsikan memiliki kinerja tinggi (misalnya, di Kuadran 1 dan 4) benar-benar mengurangi tingkat kecelakaan dalam praktik? Diperlukan pemantauan pasca-implementasi.
  3. Tata Kelola Teknologi Cerdas: Peta Jalan ini mengadvokasi adopsi cepat teknologi cerdas. Namun, bagaimana pembuat kebijakan memastikan dana OSHE digunakan untuk produk yang efektif dan bukan gimmick pemasaran? Studi ini menyoroti perlunya "standar penggunaan yang jelas" dan mungkin "sistem sertifikasi", tetapi tidak merinci bagaimana sistem tersebut harus dirancang.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi dalam paper, komunitas riset harus memfokuskan upaya pada lima bidang utama berikut untuk membangun di atas fondasi yang telah diletakkan oleh Lim et al.:

  1. Riset 1: Validasi Empiris Peta Jalan (Studi Efektivitas Longitudinal).
    • Justifikasi: Keterbatasan inti dari studi ini adalah ketergantungannya pada persepsi efektivitas. Keberhasilan Peta Jalan bergantung pada apakah item-item ini benar-benar mencegah kecelakaan.
    • Metode: Peneliti harus merancang studi kohort longitudinal atau studi kontrol kasus. Ini akan melibatkan pelacakan situs konstruksi yang mengadopsi item-item yang direkomendasikan Peta Jalan (terutama dari Kuadran 1 ) dan membandingkan tingkat insiden dan cedera mereka (misalnya, Total Recordable Incident Rate) dengan situs kontrol yang tidak mengadopsinya.
    • Kebutuhan: Seperti yang dinyatakan oleh penulis, "monitoring dan verifikasi tingkat kontribusi terhadap pencegahan kecelakaan kerja" setelah item-item ini diadopsi ke dalam pemberitahuan MOEL sangat penting untuk validasi empiris.
  2. Riset 2: Pengembangan Model Akuntansi OSHE yang Adaptif terhadap Risiko.
    • Justifikasi: Studi ini mengungkapkan bahwa "masalah anggaran tetap" adalah penghalang utama, yang menekan item-item yang sangat efektif (Kuadran 4) ke prioritas yang lebih rendah karena kekhawatiran biaya.
    • Metode: Analisis ekonometrik untuk mengembangkan model penetapan rate OSHE yang baru. Model ini harus beralih dari penetapan rate umum saat ini ke model yang berdiferensiasi berdasarkan "karakteristik proyek". Misalnya, penelitian harus mengeksplorasi apakah proyek dengan risiko tinggi yang teridentifikasi (misalnya, konstruksi terowongan vs. pengaspalan jalan sederhana ) harus diamanatkan rate OSHE yang lebih tinggi untuk mengakomodasi biaya item Peta Jalan.
    • Kebutuhan: Untuk membuat Peta Jalan ini berkelanjutan secara finansial, penelitian diperlukan untuk "meningkatkan rate akuntansi" dengan cara yang cerdas dan berbasis risiko, memastikan bahwa adopsi item baru tidak mengorbankan fasilitas keselamatan esensial yang ada.
  3. Riset 3: Desain Kerangka Kerja Tata Kelola dan Sertifikasi Teknologi Keselamatan Cerdas.
    • Justifikasi: Peta Jalan ini sangat merekomendasikan adopsi beberapa produk keselamatan cerdas. Namun, studi ini juga memperingatkan perlunya "standar penggunaan yang jelas" untuk menghindari pemborosan dana pada teknologi yang belum terbukti.
    • Metode: Analisis kebijakan komparatif dan pengembangan kerangka kerja (framework). Peneliti harus menganalisis bagaimana negara-negara lain yang disebutkan dalam studi (misalnya, AS, Jerman, Jepang ) memvalidasi dan meregulasi teknologi K3 baru.
    • Kebutuhan: Untuk mendukung adopsi yang aman dari item Peta Jalan, penelitian diperlukan untuk merancang "sistem sertifikasi untuk teknologi keselamatan baru". Ini akan memberikan jaminan kualitas kepada manajer keselamatan dan memastikan dana OSHE dibelanjakan secara efektif.
  4. Riset 4: Analisis Efektivitas Biaya Strategi Pengadaan (Pembelian vs. Penyewaan).
    • Justifikasi: Banyak item yang direkomendasikan (misalnya, 'S20. Fasilitas pendidikan menggunakan VR' atau 'S11. Sistem pemantauan kecelakaan berbasis bio-signal' ) memiliki biaya modal awal yang tinggi. Studi ini secara singkat menyebutkan perlunya meninjau "metode pelaksanaan biaya" seperti "pembelian atau penyewaan".
    • Metode: Analisis efektivitas biaya (Cost-Effectiveness Analysis - CEA). Untuk item-item Peta Jalan yang berbiaya tinggi, penelitian harus memodelkan Biaya Total Kepemilikan (Total Cost of Ownership - TCO) versus skenario penyewaan atau Safety-as-a-Service. Variabel dapat mencakup biaya pemeliharaan, keusangan teknologi, dan biaya pelatihan.
    • Kebutuhan: Untuk memaksimalkan dampak dari anggaran OSHE yang terbatas, penelitian harus memberikan panduan berbasis bukti kepada manajer keselamatan tentang strategi pengadaan yang paling efisien secara finansial untuk teknologi yang direkomendasikan Peta Jalan.
  5. Riset 5: Pengembangan Mekanisme Pembaruan Kebijakan yang Gesit.
    • Justifikasi: Peta Jalan ini adalah potret satu waktu. Seperti yang dicatat oleh penulis, permintaan industri dan pengembangan teknologi terus berkembang. Tanpa proses pembaruan, Peta Jalan ini akan cepat usang.
    • Metode: Riset kualitatif (misalnya, metode Delphi, kelompok fokus ahli) dan analisis sistem kebijakan. Penelitian harus berfokus pada perancangan "pedoman untuk refleksi tepat waktu" dari item-item baru ke dalam pemberitahuan MOEL.
    • Kebutuhan: Untuk memastikan relevansi jangka panjang, penelitian diperlukan untuk membangun proses kelembagaan yang berkelanjutan—sebuah "Peta Jalan yang hidup"—yang dapat secara berkala meninjau, memvalidasi, dan mengintegrasikan inovasi keselamatan baru ke dalam kerangka kerja OSHE.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaborasi

Studi oleh Lim et al. (2023) memberikan kontribusi penting dengan menawarkan jembatan berbasis data antara tuntutan industri yang mendesak dan reformasi kebijakan yang lamban. Peta Jalan IPA mereka adalah alat yang sangat diperlukan untuk memprioritaskan perubahan kebijakan guna meningkatkan efektivitas OSHE di Korea.

Namun, seperti yang ditunjukkan oleh agenda riset di atas, Peta Jalan ini bukanlah akhir, melainkan awal. Keberhasilan jangka panjangnya bergantung pada validasi empiris, reformasi anggaran yang adaptif, dan tata kelola teknologi yang cerdas. Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi pembuat kebijakan (seperti MOEL), lembaga penelitian (seperti Korea Occupational Safety and Health Agency dan akademisi), serta pelaku industri (seperti asosiasi konstruksi dan serikat pekerja) yang pemangku kepentingannya ditinjau dalam studi ini. Hanya melalui upaya terkoordinasi inilah Peta Jalan dapat beralih dari dokumen akademis menjadi alat yang secara nyata mengurangi kecelakaan dan menyelamatkan nyawa di lokasi konstruksi.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Mendanai Keselamatan: Peta Jalan Strategis untuk Mereformasi Biaya Manajemen K3 Konstruksi di Korea.

Pendidikan Vokasi

Mengukur Kesiapan Kerja Lulusan Otomotif SMK: Evaluasi CIPP Mendalam dan Arah Riset Berkelanjutan untuk Memperkuat Link and Match Global.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025


Meretas Jalan Riset Vokasional Masa Depan: Evaluasi Kritis UKK TKRO SMK Berbasis Model CIPP

Riset mengenai evaluasi program pendidikan kejuruan adalah landasan esensial untuk menjembatani kesenjangan abadi antara institusi pendidikan dan kebutuhan industri. Latar belakang urgensi ini berakar pada fakta bahwa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia masih menjadi penyumbang tingkat pengangguran terbuka tertinggi. Kesenjangan ini secara umum disebabkan oleh kurangnya keterampilan yang relevan (skills) dan ketidaksesuaian kompetensi tamatan dengan harapan pemangku kepentingan, baik sekolah maupun industri (stakeholder). Dalam konteks ini, Uji Kompetensi Keahlian (UKK) ditetapkan sebagai mekanisme vital untuk menjamin kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) lulusan SMK.

Penelitian ini berangkat dari kebutuhan mendasar untuk mengevaluasi efektivitas pelaksanaan UKK Teknik Kendaraan Ringan Otomotif (TKRO) SMK di Kota Yogyakarta, sebuah studi yang jarang dilakukan secara komprehensif. Dengan mengadopsi model evaluasi Context, Input, Process, dan Product (CIPP), penelitian ini secara sistematis memetakan perjalanan logis temuan, mulai dari kesesuaian kebijakan hingga hasil akhir penyerapan tenaga kerja.

Kerangka riset dimulai dengan menetapkan validitas instrumen melalui expert judgement dari pakar pendidikan dan praktisi industri. Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data dari 7 Ketua Kompetensi Keahlian (K3), 18 Asesor, dan 23 Guru Produktif melalui observasi, dokumentasi, dan kuesioner. Secara berurutan, evaluasi CIPP mengalirkan temuan:

  1. Context (Konteks): Penilaian menunjukkan bahwa kebijakan dan tujuan UKK secara umum sudah sesuai dengan standar dan kebutuhan untuk mengukur capaian kompetensi. Namun, benih kerentanan mulai terlihat pada butir yang menyangkut orientasi masa depan.
  2. Input (Masukan): Aspek ini mencakup kualifikasi asesor, materi uji, serta sarana dan prasarana. Secara umum, aspek Input dinilai Sangat Baik oleh K3 dan Asesor, didukung oleh terpenuhinya standar TUK (Tempat Uji Kompetensi) dan kualifikasi asesor yang memiliki sertifikat kompetensi yang relevan. Kesiapan operasional ini menjadi pondasi bagi pelaksanaan yang optimal.
  3. Process (Proses): Aspek yang berfokus pada jadwal, prosedur, dan prinsip penilaian menunjukkan kinerja terbaik, secara konsisten dinilai Sangat Baik oleh ketiga kelompok responden (K3, Asesor, dan Guru Produktif). Temuan ini mengindikasikan bahwa secara tata kelola dan operasional pelaksanaan UKK sudah berjalan dengan efektif, termasuk penerapan protokol kesehatan.
  4. Product (Produk): Aspek terakhir yang menilai hasil, sertifikat, dan pengakuan di dunia kerja menunjukkan adanya defisit kritis. Meskipun operasional pelaksanaan telah baik (Process), hasil luaran ini yang menentukan apakah tujuan link and match tercapai.

Melalui perjalanan logis ini, penelitian menegaskan bahwa masalah utama dalam UKK TKRO bukanlah pada tataran operasional harian (Process), melainkan pada tingkat strategis (Context) dan dampak jangka panjang (Product).

Sorotan Data Kuantitatif: Mengidentifikasi Titik Kritis

Analisis data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara tingginya kualitas pelaksanaan internal dengan rendahnya dampak eksternal. Secara umum, aspek Process adalah yang paling kuat, dengan rata-rata penilaian Asesor mencapai 3,73 (pada skala maksimal 4,0), yang menempatkannya pada kategori Sangat Baik.

Sebaliknya, aspek Product, yang merupakan indikator akhir dari kesuksesan, mendapatkan skor terendah. Penilaian Guru Produktif berada di angka 3,34, yang menempatkannya di kategori Baik namun sangat mendekati ambang batas Cukup (2,80).

Secara kuantitatif, temuan mendalam menunjukkan bahwa aspek Product memiliki skor terendah (skor Guru Produktif 3,34, menempatkannya pada kategori Baik namun hampir menyentuh ambang batas Cukup), mengindikasikan bahwa hasil UKK belum sepenuhnya diakui. Temuan ini secara kritis terhubung dengan skor terendah pada aspek Context, khususnya butir C11 yang menanyakan tentang peluang kerja internasional (skor terendah 2,82 dari Guru Produktif, dikategorikan Baik), menunjukkan potensi kritis untuk objek penelitian baru: mengukur korelasi antara orientasi kurikulum internasional dengan tingkat penyerapan tenaga kerja. Jarak skor minimal pada butir terendah aspek Context (2,82) dan Product (Butir D18: Komitmen DUDI/IDUKA dalam penyerapan, skor 2,88) dari Guru Produktif memperlihatkan tantangan ganda dalam relevansi global dan komitmen penyerapan lokal, yang memerlukan riset terfokus.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan tiga kontribusi substansial bagi literatur pendidikan vokasi:

Pertama, secara metodologis, studi ini memvalidasi model CIPP sebagai kerangka evaluasi yang efektif dan holistik untuk menilai program sertifikasi keahlian, membedah UKK menjadi komponen Context, Input, Process, dan Product yang dapat diukur secara kuantitatif-deskriptif. Model ini membantu peneliti mengalokasikan sumber masalah secara spesifik, yang mana dalam kasus ini, masalahnya bukan terletak pada operasional (Proses yang Sangat Baik) melainkan pada luaran strategis (Produk yang Baik/Cukup).

Kedua, secara empiris, studi ini secara eksplisit mengidentifikasi titik lemah utama yang menghambat link and match sejati. Temuan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kualitas input dan proses (Internal, rata-rata Sangat Baik) dengan pengakuan dan komitmen industri terhadap hasil (Eksternal, rata-rata Baik). Ini menyumbangkan bukti bahwa perbaikan internal SMK saja tidak akan cukup tanpa adanya intervensi kolaboratif yang lebih kuat dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri/Industri dan Dunia Kerja (DUDI/IDUKA).

Ketiga, riset ini menyoroti perlunya orientasi global dalam kurikulum vokasi. Dengan skor terendah yang berpusat pada peluang kerja internasional (butir C11: 2,82), studi ini menyajikan urgensi bagi pemerintah dan lembaga sertifikasi untuk menyesuaikan kebijakan agar selaras dengan tuntutan kualifikasi SDM global, sebagaimana diamanatkan oleh Perpres No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menyajikan temuan yang kuat, penelitian ini memiliki keterbatasan yang memunculkan pertanyaan terbuka mendasar untuk riset ke depan. Pertama, lingkup studi terbatas pada SMK TKRO di Kota Yogyakarta. Hal ini membatasi generalisasi hasil, terutama mengingat keberagaman skema UKK yang digunakan (LSP-P1 dan Mandiri) di antara sekolah yang diteliti. Kedua, pelaksanaan riset dilakukan selama masa darurat Pandemi COVID-19 , yang dapat memengaruhi penilaian responden terkait prosedur UKK (P5, menerapkan protokol kesehatan, skor tertinggi) dan kesiapan peserta didik (P6, bertanggung jawab, skor terendah).

Dari keterbatasan ini, muncul beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk agenda riset akademik berikutnya:

  1. Korelasi Kinerja vs. Penyerapan Aktual: Sejauh mana hasil UKK yang dikategorikan "Baik" (skor 3,34) berkorelasi secara statistik dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang sebenarnya (data tracer study setelah 6-12 bulan kelulusan)?
  2. Mekanisme Komitmen Industri: Mengapa komitmen DUDI/IDUKA dalam menyerap tenaga kerja (butir D18: 2,88) tetap rendah, meskipun TUK dan Kualifikasi Asesor telah dinilai Sangat Baik (Butir I26: 3,81)? Apakah ada faktor penghambat di luar kendali sekolah, seperti isu upah, soft skill non-teknis, atau kondisi pasar kerja makro?
  3. Standar Uji Internasional: Bagaimana mengintegrasikan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dalam materi uji kompetensi (MUK) agar secara otomatis memenuhi persyaratan sertifikasi internasional, guna mengatasi skor terendah pada butir C11 (2,82)?.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan titik-titik lemah yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan yang secara eksplisit diarahkan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset:

1. Studi Kausalitas Lintas Daerah pada Efektivitas UKK dan Employability

  • Rekomendasi Riset: Melakukan studi kuantitatif-kausalitas dengan menggunakan Analisis Jalur (Path Analysis) untuk menguji secara statistik pengaruh simultan dari kualitas Input (kualifikasi asesor/MUK) dan Process (prosedur) terhadap Product (penyerapan lulusan) di berbagai provinsi dengan tingkat pengangguran SMK yang berbeda.
  • Justifikasi Ilmiah: Temuan bahwa aspek Process (skor 3,62) tidak serta merta menghasilkan aspek Product yang optimal (skor 3,36) menunjukkan adanya variabel mediasi atau moderasi yang belum terungkap. Riset lanjutan ini akan membedah rantai kausalitas ini, memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih presisi, tidak hanya berfokus pada perbaikan teknis.

2. Pengembangan Model MUK Berbasis Adaptasi Teknologi Industri 4.0

  • Rekomendasi Riset: Merancang dan menguji validitas serta reliabilitas sebuah Model Materi Uji Kompetensi (MUK) yang mengadopsi standar teknologi otomotif mutakhir (misalnya, sistem Electronic Fuel Injection atau mobil listrik) dan mengacu pada standar Industri/DUDI/IDUKA Skala Nasional/Internasional. Fokus pada butir I15 (Materi Uji Kompetensi mengacu pada Standar Khusus Industri, skor terendah dari Asesor: 3,34).
  • Justifikasi Ilmiah: Skor terendah pada aspek Input (I15) menunjukkan bahwa MUK saat ini belum sepenuhnya relevan dengan tuntutan standar khusus industri. Pada era Revolusi Industri 4.0, MUK harus bergerak melampaui kompetensi dasar dan secara eksplisit mengukur transfer skill (kemampuan beradaptasi dengan peralatan baru) dan contingency management skill (kemampuan mengatasi masalah) yang merupakan tuntutan tinggi industri.

3. Riset Kualitatif Fenomenologi tentang Komitmen Penyerapan Industri

  • Rekomendasi Riset: Melakukan studi kualitatif mendalam menggunakan pendekatan fenomenologi atau Ground Theory dengan subjek Manajer Sumber Daya Manusia (SDM) dan Decision Maker dari DUDI/IDUKA. Tujuannya adalah untuk mengungkap persepsi, kriteria penolakan, dan alasan di balik rendahnya komitmen penyerapan tenaga kerja lulusan (Butir D18, skor Guru Produktif 2,88).
  • Justifikasi Ilmiah: Data kuantitatif telah menunjukkan masalah pada Product (D18), namun belum menjelaskan mengapa. Riset kualitatif diperlukan untuk menggali faktor non-teknis, seperti tuntutan soft skills, etos kerja, atau ketidaksesuaian budaya industri/perusahaan yang mungkin menjadi hambatan utama, melengkapi perspektif kuantitatif dalam paper ini.

4. Analisis Komparatif Kurikulum Vokasional Global dan Lokal (C11)

  • Rekomendasi Riset: Studi komparatif internasional yang membandingkan kurikulum dan skema sertifikasi UKK TKRO Indonesia dengan negara-negara maju yang memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja vokasi yang tinggi. Fokus pada pemetaan butir kompetensi yang secara eksplisit mendukung peluang kerja internasional (butir C11, skor terendah 2,82).
  • Justifikasi Ilmiah: Skor C11 yang sangat rendah merupakan alarm bahwa UKK saat ini tidak memposisikan lulusan untuk bersaing secara global. Riset ini akan menyediakan peta jalan (gap analysis) untuk meningkatkan SKKNI ke level yang diakui internasional, memastikan bahwa investasi dalam pendidikan vokasi berkontribusi pada daya saing SDM di pasar kerja dunia.

5. Evaluasi Sikap dan Tanggung Jawab Peserta Uji Kompetensi (Soft Skills)

  • Rekomendasi Riset: Mengembangkan dan menguji instrumen pengukuran psikometri yang fokus pada dimensi Sikap dan Tanggung Jawab peserta uji kompetensi (P6, skor K3 terendah 3,29). Metode dapat mencakup observasi terstruktur selama ujian atau survei retrospektif.
  • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa peserta didik belum sepenuhnya siap melaksanakan UKK dengan bertanggung jawab (P6) , yang berimplikasi pada kualitas hasil. Penelitian ini penting karena soft skills dan karakter seringkali menjadi faktor penentu penyerapan kerja. Pengukuran yang valid akan memungkinkan sekolah untuk mengembangkan program intervensi spesifik sebelum UKK.

Fokus pada keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang sangat penting. Keunggulan operasional yang ditemukan pada aspek Process (skor 3,62) hanya merupakan prasyarat, bukan hasil akhir. Jika keunggulan operasional ini tidak dialihkan untuk memecahkan defisit pada aspek Product (skor 3,36) —terutama dalam komitmen penyerapan dan orientasi global—maka tujuan Revitalisasi SMK, yang diamanatkan oleh Inpres Nomor 9 Tahun 2016, tidak akan tercapai, dan Indonesia akan terus bergulat dengan tingginya tingkat pengangguran lulusan vokasi. Potensi jangka panjang terletak pada kemampuan untuk mentransformasi UKK dari sekadar proses administratif menjadi sebuah pengakuan kompetensi yang dihormati secara internasional dan secara otomatis menjamin link and match di tingkat nasional.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), dan asosiasi industri otomotif utama (IDUKA skala nasional) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil dan rekomendasi.

DOI resmi sebagai acuan utama: https://doi.org/10.21831/jpvo.v5i2.59527

 

Selengkapnya
Mengukur Kesiapan Kerja Lulusan Otomotif SMK: Evaluasi CIPP Mendalam dan Arah Riset Berkelanjutan untuk Memperkuat Link and Match Global.

Manajemen Sumber Daya Manusia

: Kinerja vs. Keselamatan: Mengapa Sektor Konstruksi Ghana Harus Berinvestasi pada K3 Sekarang

Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025


Membongkar Paradoks K3 di Ghana: Tinjauan Riset Segbenya & Yeboah (2022) dan Peta Jalan untuk Riset Mendatang

Sektor konstruksi memberikan kontribusi fundamental bagi pembangunan sosial-ekonomi di Ghana. Namun, kemajuan ini dibayangi oleh tantangan besar: tingginya angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Insiden ini tidak hanya menyebabkan hilangnya nyawa tetapi juga berdampak negatif langsung pada kinerja karyawan dan organisasi. Di tengah lanskap di mana kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (OHS) sering diabaikan karena buruknya budaya keselamatan atau terdesak oleh kepentingan ekonomi lainnya, penelitian oleh Moses Segbenya dan Esi Yeboah (2022) hadir sebagai kontribusi kritis.

Menggunakan desain penelitian deskriptif kuantitatif dengan sampel 120 karyawan dari Consar Construction Ltd, studi ini mengeksplorasi pengaruh OHS terhadap kinerja pekerja konstruksi di Ghana. Penelitian ini bergerak melampaui sekadar konfirmasi bahwa K3 itu penting; ia membedah jalur logis dari kebijakan, kesadaran, praktik, hingga dampaknya pada kinerja, sambil menyoroti tantangan implementasi yang krusial.

Perjalanan temuan penelitian ini mengungkap sebuah paradoks. Di satu sisi, OHS di perusahaan yang diteliti sebagian besar telah sesuai dengan praktik terbaik internasional, seperti penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) dan kesadaran antar rekan kerja. Di sisi lain, para peneliti menemukan kegagalan implementasi yang fatal: kurangnya induksi, orientasi, dan kursus penyegaran (refresher courses) K3 yang teratur bagi pekerja.

Kesenjangan ini menciptakan diskoneksi berbahaya. Studi ini menemukan bahwa meskipun mayoritas pekerja (70.8%) sadar akan adanya kebijakan K3, angka yang hampir identik (71.7%) telah menyaksikan kecelakaan atau penyakit di tempat kerja dalam 12 bulan terakhir. Ini menunjukkan bahwa keberadaan kebijakan di atas kertas gagal diterjemahkan menjadi lingkungan kerja yang aman, kemungkinan besar karena kegagalan dalam pelatihan reguler dan penegakan hukum.

Puncak dari penelitian ini adalah analisis regresi yang mengukur dampak kegagalan ini. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat yang signifikan secara statistik antara OHS dan Kinerja Karyawan, dengan nilai Beta 0.728 (p=.000). OHS ditemukan menjelaskan 30.4% (R-Square = 0.304) varian dalam kinerja karyawan. Data kuantitatif ini secara deskriptif menunjukkan bahwa ketika OHS dikelola dengan baik, kinerja karyawan meningkat secara signifikan. Sebaliknya, pengabaian OHS secara langsung menekan kinerja.

Lantas, mengapa kesenjangan implementasi ini terjadi? Studi ini mengidentifikasi beberapa tantangan utama (RQ4):

  1. Biaya: Manajemen merasa bahwa biaya pelatihan K3 reguler terlalu tinggi.
  2. Budaya Takut: Pekerja takut dipecat jika melaporkan cedera atau insiden ringan, yang berarti data kecelakaan kemungkinan besar tidak dilaporkan secara akurat (underreported). Prosedur pelaporan juga ditemukan tidak jelas, dengan hanya 40% responden yang yakin akan adanya prosedur tersebut.
  3. Kompetensi: Ada kesulitan dalam mendapatkan personel K3 yang kompeten untuk mempromosikan praktik di tempat kerja.

Secara krusial, temuan ini menantang Teori Domino Heinrich (Heinrich Domino's theory) klasik, yang menyatakan bahwa 88% kecelakaan disebabkan oleh tindakan tidak aman pekerja. Sebaliknya, Segbenya dan Yeboah menyimpulkan bahwa tanggung jawab yang lebih besar justru terletak pada manajemen. Kegagalan manajemen untuk menyediakan pelatihan reguler dan membina budaya pelaporan yang aman adalah akar penyebab kecelakaan, bukan semata-mata kesalahan pekerja.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Studi oleh Segbenya dan Yeboah (2022) memberikan tiga kontribusi utama bagi komunitas akademik dan praktisi OHS:

  1. Pergeseran Paradigma Tanggung Jawab: Kontribusi teoretis paling signifikan adalah pembalikan sebagian dari Teori Domino Heinrich dalam konteks Ghana. Dengan menyoroti kegagalan dalam pelatihan reguler dan "budaya takut" melaporkan, penelitian ini memindahkan fokus dari "tindakan tidak aman" pekerja ke "kelalaian manajerial" sebagai prediktor utama kecelakaan.
  2. Kuantifikasi Dampak Kinerja: Penelitian ini menyediakan bukti empiris yang vital (Beta = 0.728) yang secara langsung menghubungkan praktik OHS dengan kinerja karyawan di sektor konstruksi Ghana. Ini membuktikan bahwa investasi dalam OHS bukanlah sekadar pusat biaya (cost center), melainkan pendorong kinerja (performance driver).
  3. Identifikasi Hambatan Kultural: Studi ini mengidentifikasi "takut dipecat" sebagai penghalang implementasi K3 yang kritis. Ini menyiratkan bahwa data kecelakaan resmi kemungkinan besar tidak akurat dan bahwa intervensi teknis (seperti APD) tidak akan berhasil tanpa mengatasi masalah keamanan psikologis dan keamanan kerja (job security).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun memberikan wawasan penting, penelitian ini memiliki keterbatasan yang justru membuka jalan bagi penyelidikan di masa depan. Pertama, studi ini berfokus pada satu perusahaan konstruksi besar, Consar Construction Ltd. Meskipun perusahaan ini signifikan, temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisasi ke seluruh sektor konstruksi Ghana, terutama pada kontraktor skala kecil dan menengah dengan sumber daya yang berbeda.

Kedua, model regresi menunjukkan bahwa OHS menjelaskan 30.4% varian kinerja, yang berarti 69.6% sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam studi ini. Hal ini memunculkan pertanyaan: Faktor apa lagi (misalnya, kompensasi, gaya kepemimpinan, keamanan kerja) yang berinteraksi dengan OHS untuk memengaruhi kinerja?

Ketiga, temuan tentang "kurangnya personel kompeten" dan "biaya training tinggi" masih bersifat deskriptif. Pertanyaan terbuka yang mendesak adalah:

  • Apa bottleneck spesifik dalam rantai pasokan talenta OHS di Ghana (pendidikan, sertifikasi, atau gaji)?
  • Bagaimana persepsi "biaya tinggi" dapat dilawan dengan data Return on Investment (ROI) yang kuat dari intervensi K3?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan temuan, kontribusi, dan keterbatasan yang disajikan oleh Segbenya dan Yeboah, agenda penelitian berikut direkomendasikan untuk peneliti dan lembaga pendanaan.

  1. Riset Intervensi: Analisis ROI Pelatihan K3 Reguler
  • Justifikasi Ilmiah: Temuan utama paper ini adalah kegagalan dalam menyediakan pelatihan K3 reguler (induksi, orientasi, penyegaran), yang didorong oleh persepsi manajemen tentang "biaya tinggi". Paper ini berargumen bahwa biaya kemanusiaan dan hukum lebih besar, tetapi argumen ini memerlukan data ROI yang kuat.
  • Arah Riset Baru: Melakukan studi intervensi longitudinal quasi-experimental. Peneliti harus membandingkan beberapa lokasi konstruksi: (A) Kontrol (tanpa perubahan), (B) Intervensi 1 (pelatihan K3 on-the-job berbiaya rendah), dan (C) Intervensi 2 (pelatihan off-the-job komprehensif). Variabel dependen harus mencakup (a) biaya moneter pelatihan, (b) frekuensi dan tingkat keparahan insiden (termasuk near-misses), dan (c) metrik kinerja (waktu penyelesaian tugas, kualitas kerja). Studi semacam itu akan secara langsung menguji apakah penghematan dari pengurangan kecelakaan dan peningkatan kinerja melebihi biaya investasi pelatihan.
  1. Studi Mixed-Methods: Mengatasi "Budaya Takut" dengan Pelaporan Anonim
  • Justifikasi Ilmiah: Studi ini mengungkap bahwa pekerja "takut dipecat" jika melaporkan cedera ringan, dan prosedur pelaporan yang ada tidak jelas bagi banyak pekerja. Ini menunjukkan bahwa data keselamatan tidak akurat.
  • Arah Riset Baru: Menerapkan desain penelitian mixed-methods yang mengevaluasi dampak sistem pelaporan anonim (misalnya, hotline independen atau aplikasi seluler) terhadap budaya keselamatan. Fase kualitatif akan mengeksplorasi persepsi pekerja tentang keamanan psikologis. Fase kuantitatif akan membandingkan (a) volume dan jenis laporan insiden (terutama near-misses) sebelum dan sesudah implementasi sistem anonim, dan (b) skor kinerja tim. Hipotesisnya adalah bahwa anonimitas akan meningkatkan pelaporan, menyediakan data yang lebih baik untuk pencegahan proaktif, dan memutus siklus "takut".
  1. Studi Kohort: Dampak Kesehatan Jangka Panjang (Pasca-Konstruksi)
  • Justifikasi Ilmiah: Paper ini secara eksplisit merekomendasikan penelitian di luar kecelakaan di tempat kerja untuk melihat "efek lingkungan berdebu terhadap kesehatan pekerja konstruksi setelah aktivitas konstruksi". Ini adalah perluasan penting dari OHS, dari "keselamatan" (kecelakaan) menjadi "kesehatan" (penyakit akibat kerja).
  • Arah Riset Baru: Melakukan studi kohort prospektif. Merekrut sekelompok pekerja konstruksi baru dan melacak mereka selama 5-10 tahun. Variabel independen akan mencakup tingkat paparan debu di tempat kerja (diukur melalui pemantauan udara) dan penggunaan APD. Variabel dependen akan menjadi insiden penyakit pernapasan jangka panjang yang didiagnosis secara klinis. Penelitian ini sangat penting untuk memahami total biaya kemanusiaan dari sektor ini, di luar statistik kecelakaan yang terlihat.
  1. Pemodelan Struktural: OHS dalam Konteks Manajemen SDM Holistik
  • Justifikasi Ilmiah: Model regresi menyisakan 69.6% varian kinerja tidak terjelaskan. Para penulis secara eksplisit menyarankan penelitian masa depan untuk melihat isu-isu SDM lainnya, seperti "masalah jaminan sosial" dan "tantangan retensi atau turnover".
  • Arah Riset Baru: Menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) untuk menguji model yang lebih komprehensif. Model ini harus memposisikan praktik OHS (variabel laten) bersama dengan variabel laten lainnya seperti (a) Keamanan Kerja (terkait dengan "takut dipecat"), (b) Jaminan Sosial, dan (c) Kompensasi. Model ini dapat menguji hipotesis bahwa OHS yang buruk hanyalah gejala dari praktik manajemen eksploitatif yang lebih luas, dan bagaimana variabel-variabel ini secara kolektif memprediksi turnover dan kinerja.
  1. Analisis Rantai Pasokan: Mengurai Bottleneck Kompetensi OHS
  • Justifikasi Ilmiah: Hambatan signifikan yang diidentifikasi adalah kesulitan "mendapatkan personel kesehatan dan keselamatan yang kompeten". Ini adalah masalah sistemik yang tidak dapat diselesaikan oleh satu perusahaan saja.
  • Arah Riset Baru: Melakukan analisis rantai pasokan talenta OHS di Ghana. Penelitian ini harus kualitatif, melibatkan wawancara mendalam dengan pemangku kepentingan utama: (a) institusi pendidikan tinggi dan pelatihan yang menawarkan program OHS, (b) badan sertifikasi profesional, (c) regulator pemerintah, dan (d) manajer perekrutan di berbagai perusahaan konstruksi. Tujuannya adalah untuk memetakan alur talenta dan mengidentifikasi bottleneck spesifik: Apakah masalahnya adalah kurangnya program, biaya sertifikasi yang mahal, gaji yang tidak kompetitif, atau ketidaksesuaian keterampilan antara kurikulum dan kebutuhan industri?

Ajakan untuk Kolaborasi

Studi Segbenya dan Yeboah (2022) telah meletakkan fondasi yang kuat, memberikan bukti kuantitatif (Beta=0.728) bahwa OHS adalah pendorong kinerja vital di Ghana. Penelitian ini secara tepat menggeser beban tanggung jawab dari pekerja ke manajemen, terutama dalam hal pelatihan dan budaya pelaporan.

Untuk membangun temuan ini dan mengatasi pertanyaan terbuka yang kompleks—terutama seputar ROI pelatihan, budaya takut, dan pasokan talenta kompeten—penelitian di masa depan tidak dapat dilakukan secara terisolasi. Diperlukan upaya kolaboratif. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kemitraan antara institusi akademik (seperti University of Cape Coast), regulator pemerintah yang menegakkan kerangka kerja (seperti Factories, Offices and Shops Act 1970), dan asosiasi industri konstruksi Ghana untuk memastikan bahwa temuan tidak hanya valid secara akademis tetapi juga relevan secara praktis dan berkelanjutan.

Baca paper aslinya di sini (https://doi.org/10.1177/11786302221137222)

 

Selengkapnya
: Kinerja vs. Keselamatan: Mengapa Sektor Konstruksi Ghana Harus Berinvestasi pada K3 Sekarang

Keselamatan Konstruksi (K3)

Menguak 5 Tantangan Utama K3 di Proyek Nepal: Transformasi Budaya Keselamatan dari Biaya Menjadi Nilai

Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025


Asesmen Praktik Keselamatan dan Tantangan Implementasi dalam Proyek Konstruksi Komersial di Nepal: Arah Riset Kritis Menuju Zero-Harm

Penelitian berjudul Assessment of Safety Practices in Commercial Building Construction Projects in Nepal ini menawarkan landasan empiris yang krusial bagi komunitas akademik, peneliti, dan lembaga pemberi hibah untuk memahami jurang antara kebijakan keselamatan kerja dan realitas implementasi di lapangan, khususnya dalam konteks industri konstruksi di negara berkembang. Fokus utama riset ini adalah mengidentifikasi status implementasi praktik keselamatan dan memetakan tantangan utama yang menghambat efektivitas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) melalui pendekatan kuantitatif yang ketat.

Secara logis, perjalanan temuan dalam paper ini dimulai dengan pengakuan atas sifat industri konstruksi sebagai sektor berisiko tinggi secara global dan nasional. Konteks Nepal disoroti, di mana meskipun terdapat regulasi baru (UU Kesehatan dan Keselamatan 2074), implementasi masih lemah dan tingkat kecelakaan tetap tinggi. Dengan melibatkan 487 responden dari berbagai proyek, termasuk manajer proyek dan pekerja lini depan, penelitian ini menggunakan dua metodologi utama: Bloom Cutoff dan Relative Importance Index (RII) untuk status implementasi, serta Principal Component Analysis (PCA) untuk klasterisasi tantangan.

Hasil awal, berdasarkan analisis Bloom Cutoff, segera menempatkan status implementasi keselamatan secara keseluruhan pada tingkat moderat. Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar respons, mencapai 70.64 persen, berada dalam kategori tingkat implementasi moderat. Angka ini adalah sinyal peringatan bahwa praktik keselamatan belum menjadi budaya proaktif, melainkan rutinitas kepatuhan minimal.

Selanjutnya, penggunaan RII membedah parameter praktik keselamatan. Temuan ini secara deskriptif menyoroti adanya kontradiksi implementasi di lapangan. Praktik yang paling banyak diterapkan (RII tertinggi) adalah penggunaan barikade (RII: 0.862, Peringkat 1) dan kepatuhan terhadap aturan keselamatan oleh pekerja (RII: 0.827, Peringkat 2). Kedua temuan ini menunjukkan adanya kesadaran dan praktik dasar di lokasi. Namun, data RII ini juga menunjukkan hubungan kuat antara praktik yang berorientasi pada kepatuhan visual dan administrasi yang proaktif. Sebaliknya, tiga parameter dengan implementasi terendah (RII terendah) adalah Peninjauan Desain untuk Keselamatan (RII: 0.509, Peringkat 20), Pelatihan Keselamatan (RII: 0.534, Peringkat 19), dan Rencana Kerja Keselamatan (Job Safety Plan) (RII: 0.596, Peringkat 18).

Perbedaan tajam ini memetakan jurang implementasi: Proyek Nepal cenderung berfokus pada langkah-langkah reaktif (barikade, P3K) dan mengabaikan langkah-langkah proaktif yang terintegrasi, seperti desain keselamatan dan perencanaan kerja.

Untuk mengatasi jurang ini, riset ini menggunakan PCA untuk mengidentifikasi akar masalah. Analisis PCA sangat penting karena mereduksi 22 tantangan menjadi lima klaster komponen utama yang menjelaskan total varian gabungan sebesar 68.123% dari keseluruhan masalah implementasi. Komponen pertama dan yang paling dominan adalah Budaya Keselamatan yang Buruk, yang menjelaskan varian sebesar 40.217% dengan nilai Eigen 8.848. Klaster dominan ini menegaskan bahwa masalah utama bukanlah kekurangan aturan, melainkan pandangan bahwa keselamatan dianggap sebagai 'biaya tambahan' dan hanya dilakukan untuk memenuhi persyaratan kontraktual.

Komponen lainnya adalah Manajemen Keselamatan yang Buruk (varian: 8.972%), Kurangnya Pengetahuan dan Sumber Daya Keselamatan (varian: 8.118%), Kurangnya Infrastruktur dan Komunikasi Keselamatan (varian: 5.728%), dan Masalah Tata Kelola dan Implementasi (varian: 5.267%). Struktur temuan ini, mulai dari moderatnya implementasi (Bloom Cutoff), identifikasi praktik terabaikan (RII), hingga kategorisasi akar masalah yang didominasi budaya (PCA), memberikan jalur logis yang kuat bagi pengembangan riset jangka panjang.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama penelitian ini terletak pada transformasinya dari analisis deskriptif sederhana menjadi pemodelan faktor yang lebih dalam, memberikan kerangka kerja teoretis untuk memahami disfungsi K3 di Nepal. Secara empiris, riset ini memberikan bukti kuantitatif atas dua temuan krusial:

  1. Diferensiasi Implementasi Proaktif dan Reaktif: Data RII secara eksplisit membedakan antara praktik keselamatan yang mudah diterapkan (reaktif/perawatan, seperti barikade) dan praktik yang membutuhkan perencanaan dan integrasi sistematis (proaktif, seperti peninjauan desain dan pelatihan). Gap ini adalah kontribusi yang sangat penting untuk perumusan kebijakan di tingkat perusahaan, memindahkan fokus dari kepatuhan fisik menjadi perencanaan hulu.
  2. Klasterisasi Tantangan yang Berpusat pada Budaya: PCA, dengan Komponen 1, menunjukkan hubungan kuat antara sifat Budaya Keselamatan yang Buruk dengan kurangnya inspeksi dan keinginan hanya untuk memenuhi persyaratan kontrak, menjelaskan mayoritas varian (koefisien 40.217%). Temuan ini menunjukkan hubungan yang kuat antara asumsi keselamatan sebagai biaya tambahan dan manajemen kontrak yang minimalis, yang menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam bidang ekonomi-behavioral konstruksi. Klasterisasi ini memungkinkan peneliti dan penerima hibah untuk menargetkan akar masalah alih-alih hanya mengobati gejalanya.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kuat secara statistik (KMO 0.874, Bartlett's test signifikan pada P<0.001) , penelitian ini memiliki keterbatasan kontekstual, yakni berfokus pada proyek bangunan komersial di Nepal. Generalisasi ke jenis proyek lain (infrastruktur berat) atau negara lain mungkin memerlukan validasi ulang. Selain itu, PCA mengidentifikasi Masalah Tata Kelola dan Implementasi sebagai komponen tantangan, namun komponen ini hanya didukung oleh satu item ("Hukum dan aturan yang tidak memadai") dengan korelasi 0.830. Meskipun korelasi kuat, basis item tunggal ini menimbulkan pertanyaan tentang kompleksitas dan dimensi tata kelola yang sebenarnya, yang mungkin lebih luas dari sekadar undang-undang.

Keterbatasan ini membuka pertanyaan terbuka kritis bagi penelitian masa depan:

  • Bagaimana mekanisme logis di balik temuan RII yang kontradiktif, di mana Kepatuhan Terhadap Aturan Keselamatan oleh Pekerja tinggi (RII: 0.827) sementara Budaya Keselamatan secara umum sangat buruk (PCA dominan 40.217% varian)? Apakah "kepatuhan" ini didorong oleh pengawasan reaktif daripada komitmen proaktif?
  • Mengingat tidak adanya Petugas Keselamatan di mayoritas proyek, seberapa besar peran Manajemen Menengah dalam mengemban fungsi pengawasan keselamatan, dan apakah kurangnya kompetensi mereka (termasuk dalam klaster Manajemen yang Buruk) adalah hambatan utama?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Untuk mengatasi jurang implementasi yang didominasi oleh budaya, kurangnya perencanaan hulu, dan tata kelola yang lemah, lima arah riset berkelanjutan berikut sangat dianjurkan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah:

1. Riset Pemodelan Dampak Safety by Design (SbD) pada Budaya Keselamatan

  • Basis Temuan: Praktik Peninjauan Desain untuk Keselamatan memiliki RII terendah (0.509, Peringkat 20). Klaster Budaya Keselamatan yang Buruk adalah tantangan utama (varian: 40.217%) karena keselamatan dianggap sebagai 'biaya tambahan'.
  • Fokus Riset: Mengembangkan dan menguji model Ekuasi Struktural (SEM) untuk menguji dampak integrasi SbD (variabel independen) terhadap Persepsi Biaya Keselamatan dan pada akhirnya, dampak tak langsung terhadap Komponen Budaya Keselamatan yang Buruk (variabel dependen).
  • Justifikasi Ilmiah: Mengintegrasikan keselamatan di fase desain (hulu) secara fundamental mengubah biaya pasif menjadi nilai tambah, menantang anggapan budaya bahwa keselamatan adalah 'biaya tambahan'. Riset ini akan menyediakan kerangka kuantitatif untuk mempromosikan SbD.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Mengubah budaya keselamatan jangka panjang hanya dapat dilakukan dengan mengintervensi praktik yang paling terabaikan dan paling berpengaruh secara sistemik.

2. Riset Kualitatif Mendalam: Motivasi di Balik Kepatuhan Pekerja

  • Basis Temuan: Ada kontradiksi antara Kepatuhan Terhadap Aturan Keselamatan oleh Pekerja yang memiliki RII tinggi (0.827) dan dominasi klaster Budaya Keselamatan yang Buruk di tingkat manajemen.
  • Fokus Riset: Studi kualitatif menggunakan wawancara semi-terstruktur mendalam dengan pekerja lini depan, supervisor, dan manajer untuk membedakan antara kepatuhan reaktif (misalnya karena ancaman hukuman atau pengawasan) dan komitmen intrinsik terhadap keselamatan.
  • Justifikasi Ilmiah: Memahami apakah RII yang tinggi ini adalah artefak dari metrik pengukuran yang bias ke arah perilaku teramati, atau apakah ada kesadaran mendalam di antara pekerja yang belum tersentuh oleh budaya manajemen. Ini penting untuk merancang program Pelatihan Keselamatan (RII: 0.534) yang lebih efektif yang menargetkan perubahan mentalitas, bukan hanya prosedur.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Intervensi pelatihan di masa depan harus didasarkan pada pemahaman yang jelas tentang dorongan perilaku di lapangan.

3. Riset Aksi Implementasi Job Safety Plan (JSP)

  • Basis Temuan: Rencana Kerja Keselamatan (JSP) termasuk dalam praktik yang paling sedikit diimplementasikan (RII: 0.596). Di sisi tantangan, ada Kurangnya Pengetahuan dan Sumber Daya Keselamatan (varian: 8.118%) dan tidak adanya petugas keselamatan di mayoritas proyek.
  • Fokus Riset: Menerapkan metodologi riset aksi di beberapa proyek pilot untuk memperkenalkan dan menguji efektivitas intervensi pelatihan terstruktur untuk JSP, yang dipimpin oleh Koordinator Keselamatan Bersama (peran yang diangkat dari staf senior proyek yang sudah ada).
  • Justifikasi Ilmiah: Riset JSP harus menjadi penghubung antara pelatihan (RII rendah) dan JSP itu sendiri (RII rendah). Riset aksi memberikan data waktu nyata (real-time) tentang hambatan implementasi, yang dapat digunakan untuk menyempurnakan kurikulum pelatihan dan memberikan pembenaran empiris untuk menginstitusikan peran Petugas Keselamatan atau sejenisnya di proyek skala kecil dan menengah.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Menganalisis korelasi koefisien antara intervensi JSP dan penurunan Manajemen Keselamatan yang Buruk (varian: 8.972%).

4. Studi Komparatif Efektivitas Regulasi dalam Klaster Tata Kelola

  • Basis Temuan: Masalah Tata Kelola dan Implementasi teridentifikasi sebagai tantangan (varian: 5.267%) dengan item tunggal: Hukum dan Aturan yang Tidak Memadai (korelasi: 0.830). Temuan lapangan menunjukkan kurangnya penegakan hukum di proyek non-pemerintah.
  • Fokus Riset: Studi komparatif kuantitatif antara dua kelompok proyek: (a) Proyek Pemerintah (diasumsikan memiliki penegakan hukum yang lebih ketat) dan (b) Proyek Swasta. Variabel yang diukur adalah Indeks Intensitas Penegakan Hukum dan dampaknya terhadap skor implementasi RII.
  • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini akan memberikan pemahaman yang lebih bernuansa tentang komponen Tata Kelola yang saat ini hanya diwakili oleh satu item. Hasilnya akan memberikan data empiris bagi pemerintah Nepal untuk mereformasi mekanisme pengawasan dan penegakan hukum di sektor swasta, mengkonfirmasi hubungan antara penegakan dan validitas hasil K3.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Memvalidasi atau membantah asumsi bahwa undang-undang yang ada tidak memadai dan mengukur sejauh mana masalahnya terletak pada penegakan, bukan perumusan.

5. Riset Pemodelan Jangka Panjang: Konsekuensi Finansial dari Kelalaian Praktik

  • Basis Temuan: Budaya Keselamatan yang Buruk berakar pada anggapan keselamatan sebagai 'biaya tambahan'. Praktik yang membutuhkan investasi lebih besar (Desain, Pelatihan, JSP) memiliki RII yang sangat rendah.
  • Fokus Riset: Mengembangkan model risiko dan biaya jangka panjang (misalnya, Total Cost of Ownership K3) yang menghubungkan secara eksplisit RII praktik yang paling sedikit diterapkan (0.509, 0.534, 0.596) dengan kerugian finansial di masa depan, termasuk klaim asuransi, turnover karyawan, dan penundaan proyek.
  • Justifikasi Ilmiah: Proyeksi ini bertujuan untuk mengubah perspektif pemangku kepentingan (terutama Klien dan Kontraktor, yang termasuk dalam klaster Budaya yang Buruk) dari biaya jangka pendek menjadi investasi jangka panjang, yang merupakan prasyarat untuk mengubah Budaya Keselamatan.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Memberikan data yang persuasif dan berorientasi bisnis yang sangat dibutuhkan oleh peneliti yang mencari hibah berbasis dampak ekonomi.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Lembaga Pemerintah Bidang K3 (MoLESS), Asosiasi Kontraktor Nepal, dan Akademisi Internasional untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Kolaborasi antar-disiplin ini sangat penting untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan, manajemen, dan budaya di lapangan.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Menguak 5 Tantangan Utama K3 di Proyek Nepal: Transformasi Budaya Keselamatan dari Biaya Menjadi Nilai

Pendidikan Vokasi

: Mengoptimalkan Pendidikan Vokasi Indonesia: Arah Riset Masa Depan Berdasarkan Prosiding UNY 2012

Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025


Mengoptimalkan Pendidikan Vokasi Indonesia: Arah Riset Masa Depan Berdasarkan Prosiding UNY 2012

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Teknik Mesin FT UNY tahun 2012 yang bertema "Optimalisasi Pendidikan Teknik dan Kejuruan Menuju Kemandirian Teknologi dan Generasi Bermartabat" menyajikan kumpulan pemikiran dan hasil riset yang beragam mengenai upaya peningkatan kualitas pendidikan vokasi di Indonesia, khususnya dalam bidang teknik mesin. Dokumen ini menghimpun berbagai gagasan inovatif yang relevan bagi akademisi, peneliti, dan pengambil kebijakan yang berfokus pada pengembangan pendidikan kejuruan. Resensi ini bertujuan untuk mensintesis kontribusi utama dari berbagai makalah dalam prosiding ini dan secara eksplisit mengidentifikasi arah riset masa depan yang muncul dari temuan-temuan tersebut, khusus untuk komunitas akademik dan pemangku kepentingan riset.

Fokus utama dari kumpulan riset ini adalah mencari solusi atas tantangan relevansi lulusan SMK dengan kebutuhan dunia kerja serta upaya membangun kemandirian teknologi bangsa. Berbagai pendekatan dieksplorasi, mulai dari pengembangan kurikulum yang sistemik dan berbasis kompetensi, inovasi metode pembelajaran dan pemanfaatan media, strategi penilaian hasil belajar, pentingnya kemitraan dengan industri, hingga penanaman karakter kerja pada siswa.

Dalam pengembangan kurikulum, Bayu Hikmat Purwana mengusulkan model sistemik Romiszowski untuk merancang kurikulum SMK program produktif (Teknik Kendaraan Ringan) agar lebih sesuai dengan struktur pekerjaan dan kebutuhan industri , meskipun menghadapi kendala seperti kesulitan melibatkan industri dan kesiapan tim pengembang di sekolah. Pardjono juga menekankan model pendidikan berbasis kompetensi yang mengintegrasikan aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif , dengan landasan filosofis yang eklektik untuk membentuk manusia seutuhnya. Fahmi menyoroti pentingnya kompetensi pengembangan kurikulum bagi guru SMK itu sendiri.

Di bidang metode dan media pembelajaran, prosiding ini kaya akan inovasi. Asep Hadian Sasmita menunjukkan efektivitas model Direct Instruction (DI) dalam meningkatkan penguasaan pengetahuan prosedural siswa SMK pada mesin bubut. Hasilnya menunjukkan peningkatan (N-Gain) yang signifikan (0,84 untuk DI vs 0,54 untuk konvensional) , dengan perbedaan yang nyata secara statistik (t_hitung=15,34 > t_tabel=1,669). Edy Purnomo mengimplementasikan Problem Based Learning (PBL) berbantuan modul untuk meningkatkan kualitas perkuliahan Metrologi , yang terbukti meningkatkan aktivitas, kemandirian, dan prestasi belajar mahasiswa (rerata 74,5 di kelas PBL vs baseline pre-test 29,5). Paryanto juga menemukan efektivitas metode tutorial dalam meningkatkan kompetensi teori pemesinan , dengan perbedaan prestasi belajar 42,85% antara kelas tutorial (rerata post-test 77,5) dan kontrol (rerata 54,25).

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) juga menjadi sorotan. Bambang Setiyo Hari Purwoko mengembangkan media Virtual Reality (VR) untuk pembelajaran pemrograman CNC , yang dinilai menarik dan layak digunakan untuk latihan mandiri. Tiwan mengembangkan media pembelajaran Bahan Teknik berbasis Flash , yang divalidasi 'baik' untuk materi dan 'cukup baik' untuk media oleh ahli dan mahasiswa, serta terbukti meningkatkan hasil belajar secara signifikan (t_hitung=4,8998 > t_tabel=1,6684) dibandingkan kelas kontrol. Erni Munastiwi menganalisis dampak positif model pembelajaran multimedia berbasis web terhadap motivasi belajar siswa dalam mata pelajaran kewirausahaan. Wahidin Abbas dan Apri Nuryanto juga menggali potensi blog dan media sosial (Facebook) sebagai media pembelajaran. Pendekatan Teaching Factory (TF) juga dibahas sebagai model pembelajaran yang mendekatkan suasana belajar dengan industri.

Aspek penilaian tidak luput dari perhatian. Sudiyatno meneliti penerapan penilaian portofolio untuk meningkatkan kemampuan menulis dalam Bahasa Inggris Teknik. Hasilnya menunjukkan perbedaan signifikan (t_hitung=-7,956) pada kemampuan menulis antara kelompok portofolio (rerata skor 4,9) dan kelompok kontrol (rerata 3,1). Badrun Kartowagiran mengusulkan revitalisasi model sertifikasi guru melalui penilaian kinerja yang lebih komprehensif , melibatkan uji tulis, portofolio, dan observasi kinerja di kelas maupun di luar kelas.

Pentingnya penanaman karakter dan soft skills juga ditekankan. Agus Partawibawa & Syukri Fathudin AW mengkaji internalisasi visi UNY (cendekia, mandiri, bernurani) dalam pembentukan karakter mahasiswa FT , menemukan tingkat pemahaman dan pengamalan masih dalam kategori "sedang" (misal, rerata skor 'bernurani' 16,17) , yang mengindikasikan perlunya sosialisasi dan pembiasaan berkelanjutan. Th. Sukardi membahas peran bimbingan kejuruan dalam membentuk karakter kerja siswa , sementara Putut Hargiyarto menyajikan strategi muatan karakter dalam RPP.

Kemitraan dengan dunia industri (DUDI) dianggap krusial. Suhartanta dan Zainal Arifin membahas pengembangan pola kemitraan SMK-DUDI untuk meningkatkan relevansi lulusan , mulai dari pengembangan kurikulum hingga praktik industri. Dwi Rahdiyanta mengusulkan penerapan Total Quality Management in Education (TQME) di SMK sebagai upaya sistemik untuk memenuhi kebutuhan industri modern.

Selain aspek pedagogis, beberapa makalah menyajikan pengembangan alat atau teknologi tepat guna, seperti pengembangan cetakan cor (Heri Wibowo dkk.) , jemuran otomatis (Nurul Husnah MS dkk.) , teknologi budidaya ikan (R Edy Purwanto dkk.) , shuttlecock launcher (Ficky Fristiar dkk.) , oven pengering kayu (Slamet Karyono dkk.) , alat pengering kertas (Sugiyanto & Suhartoyo) , pemotong kentang (Syafiq dkk.) , dan mesin pencacah plastik (Wijoyo dkk.). Meskipun fokus utamanya teknis, pengembangan ini berpotensi menjadi basis project-based learning atau teaching factory.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kumpulan riset dalam prosiding ini secara kolektif memberikan beberapa kontribusi penting bagi pengembangan pendidikan vokasi di Indonesia:

  1. Penekanan pada Relevansi Industri: Mayoritas makalah menggarisbawahi urgensi untuk menyelaraskan kurikulum, metode pembelajaran, dan kompetensi lulusan dengan kebutuhan DUDI yang dinamis.
  2. Eksplorasi Metode Pembelajaran Inovatif: Prosiding ini menyajikan bukti empiris awal mengenai efektivitas berbagai model pembelajaran aktif dan berpusat pada siswa (DI, PBL, Tutorial) dalam konteks pendidikan vokasi teknik mesin.
  3. Advokasi Pemanfaatan TIK: Beberapa studi menunjukkan potensi positif TIK (VR, Flash, Web, Media Sosial) sebagai media pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar, serta mendukung pembelajaran mandiri.
  4. Pengembangan Model Penilaian Alternatif: Riset tentang penilaian portofolio dan usulan model penilaian kinerja guru menunjukkan upaya untuk beralih dari penilaian konvensional ke arah asesmen yang lebih otentik dan komprehensif.
  5. Integrasi Pembentukan Karakter: Terdapat kesadaran kuat akan pentingnya pembentukan karakter kerja, etika, dan soft skills sebagai bagian integral dari pendidikan vokasi, tidak hanya fokus pada hard skills.
  6. Pentingnya Kemitraan Strategis: Kerjasama kemitraan dengan industri dipandang sebagai kunci untuk meningkatkan mutu dan relevansi, melampaui sekadar tempat praktik kerja industri.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menyajikan banyak wawasan berharga, kumpulan riset ini juga memiliki keterbatasan inheren sebagai prosiding seminar dan memunculkan pertanyaan lanjutan:

  1. Skala dan Generalisabilitas: Sebagian besar studi dilakukan dalam lingkup terbatas (satu atau beberapa kelas di UNY atau sekolah mitra). Generalisasi temuan ke konteks SMK atau perguruan tinggi vokasi yang lebih luas memerlukan kehati-hatian dan riset lanjutan.
  2. Studi Longitudinal: Mayoritas riset bersifat cross-sectional atau berlangsung dalam satu semester. Dampak jangka panjang dari intervensi (model pembelajaran, penggunaan media, dll.) terhadap kompetensi lulusan dan karir mereka belum tergali.
  3. Studi Komparatif: Meskipun beberapa studi membandingkan metode baru dengan metode konvensional, perbandingan sistematis antar berbagai metode inovatif (misalnya, PBL vs DI vs Tutorial untuk topik yang sama) masih kurang dalam koleksi ini.
  4. Implementasi Berkelanjutan: Beberapa makalah menyinggung tantangan implementasi seperti kesiapan guru , keterbatasan sumber daya , dan kesulitan melibatkan industri secara mendalam. Bagaimana memastikan keberlanjutan dan konsistensi implementasi inovasi ini di lapangan?
  5. Pengukuran Holistik: Bagaimana mengukur secara efektif dan efisien tidak hanya kompetensi teknis (hard skills), tetapi juga soft skills, karakter kerja, dan kemampuan adaptasi lulusan yang ditekankan dalam banyak makalah? Kerangka asesmen yang komprehensif masih perlu dikembangkan dan divalidasi.
  6. Integrasi Teknologi: Bagaimana mengintegrasikan berbagai TIK yang diusulkan (VR, Flash, Web) secara efektif ke dalam kurikulum dan pedagogi vokasi yang sudah ada, dengan mempertimbangkan variasi akses dan kesiapan infrastruktur antar sekolah?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan, kontribusi, dan keterbatasan yang teridentifikasi dalam prosiding ini, berikut adalah lima arah riset prioritas untuk komunitas akademik, peneliti, dan lembaga pendanaan:

  1. Studi Komparatif Longitudinal Efektivitas Model Pembelajaran Vokasi: Justifikasi: Prosiding ini menunjukkan potensi positif dari model DI, PBL, Tutorial, dan pembelajaran berbantuan TIK. Namun, studi ini terpisah dan umumnya berjangka pendek. Diperlukan riset komparatif longitudinal untuk memahami efektivitas relatif model-model ini dalam jangka panjang. Metode/Variabel/Konteks Baru: Melakukan studi quasi-eksperimen terkontrol di beberapa SMK atau program studi D3/S1 Pendidikan Teknik Mesin, membandingkan secara sistematis (misalnya) DI, PBL, dan Project-Based Learning (berbasis pengembangan produk kreatif seperti di paper teknis) untuk unit kompetensi yang sama. Variabel dependen mencakup: penguasaan kompetensi teknis (pengetahuan prosedural & psikomotor), kemampuan pemecahan masalah, keterampilan kolaborasi, motivasi belajar, dan employability skills lulusan (melalui studi pelacakan). Konteks perlu mencakup sekolah/institusi dengan tingkat sumber daya yang berbeda. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk memberikan rekomendasi berbasis bukti yang lebih kuat tentang model pedagogis mana yang paling efektif untuk tujuan pembelajaran vokasi yang berbeda dan dalam konteks sumber daya yang beragam.
  2. Pengembangan dan Validasi Model Kemitraan Industri Berkelanjutan untuk Integrasi Kurikulum dan Asesmen: Justifikasi: Kebutuhan akan relevansi industri sangat ditekankan , namun kemitraan seringkali terbatas pada PKL dan keterlibatan industri seringkali sulit. Model Teaching Factory dan TQM memerlukan keterlibatan industri yang lebih dalam. Metode/Variabel/Konteks Baru: Menggunakan pendekatan Design-Based Research atau R&D untuk mengembangkan model kemitraan SMK/Politeknik-Industri yang terstruktur dan berkelanjutan. Model ini harus mencakup mekanisme bersama untuk: (a) analisis kebutuhan kompetensi industri secara periodik, (b) pengembangan/penyesuaian kurikulum, (c) penyediaan guru tamu/magang guru, (d) implementasi Teaching Factory atau Work-Based Learning yang otentik, dan (e) pengembangan skema asesmen/uji kompetensi bersama. Variabel yang diukur adalah tingkat integrasi industri dalam proses pendidikan, kepuasan industri terhadap lulusan, dan relevansi kurikulum. Konteksnya adalah berbagai jenis industri (manufaktur, jasa) dan skala SMK/Politeknik. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk menciptakan pola kemitraan yang win-win dan terlembagakan, memastikan kurikulum dan lulusan tetap relevan dengan dinamika industri.
  3. Validasi Instrumen Asesmen Holistik (Hard Skills, Soft Skills, Karakter Kerja) dalam Konteks Vokasi: Justifikasi: Tuntutan lulusan vokasi tidak hanya kompeten secara teknis tetapi juga memiliki soft skills dan karakter kerja yang baik. Prosiding ini menyajikan metode asesmen seperti portofolio dan penilaian kinerja, namun kerangka asesmen holistik yang terintegrasi belum ada. Metode/Variabel/Konteks Baru: Mengembangkan dan memvalidasi satu set instrumen asesmen (misalnya, rubrik observasi kinerja otentik di bengkel/lab/industri, penilaian berbasis proyek, studi kasus, peer assessment, self-assessment, instrumen penilaian sikap/karakter kerja) yang secara reliabel dan valid mengukur ketiga domain: kompetensi teknis (hard skills), soft skills (misal: komunikasi, kerjasama tim, pemecahan masalah), dan karakter kerja (misal: disiplin, tanggung jawab, inisiatif). Proses validasi melibatkan ahli asesmen, guru vokasi, dan praktisi industri. Konteksnya adalah berbagai program keahlian di SMK dan Politeknik. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Menyediakan alat ukur yang kredibel bagi pendidik dan lembaga untuk memantau perkembangan siswa secara menyeluruh dan memberikan bukti pencapaian kompetensi holistik kepada DUDI.
  4. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Integrasi Efektif TIK dalam Pembelajaran Vokasi: Justifikasi: Berbagai TIK (VR, Flash, Web) terbukti berpotensi meningkatkan pembelajaran, namun implementasinya tidak selalu mudah, terkait kesiapan guru dan infrastruktur. Metode/Variabel/Konteks Baru: Melakukan studi multi-kasus di SMK/Politeknik yang telah mencoba mengimplementasikan TIK dalam pembelajaran vokasi. Menggunakan model adopsi teknologi (misal, TAM atau UTAUT) yang disesuaikan untuk konteks pendidikan vokasi. Variabel yang diteliti meliputi: persepsi kegunaan dan kemudahan penggunaan TIK oleh guru dan siswa, kompetensi digital guru, dukungan institusional (pelatihan, kebijakan, infrastruktur), ketersediaan sumber daya TIK, kesesuaian TIK dengan materi vokasi, dan dampaknya terhadap proses dan hasil belajar. Konteks meliputi sekolah/institusi di daerah urban dan rural dengan tingkat akses TIK yang berbeda. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Mengidentifikasi enabler dan barrier utama dalam pemanfaatan TIK di pendidikan vokasi, sehingga dapat dirumuskan strategi implementasi yang lebih efektif dan merata.
  5. Studi Longitudinal Dampak Pendidikan Vokasi Terhadap Lintasan Karir dan Adaptabilitas Lulusan di Era Industri 4.0: Justifikasi: Tujuan akhir pendidikan vokasi adalah kesuksesan lulusan di dunia kerja. Prosiding ini fokus pada proses pembelajaran, namun dampak jangka panjangnya belum diteliti. Dunia kerja terus berubah (tersirat dalam kebutuhan relevansi), sehingga adaptabilitas lulusan menjadi penting. Metode/Variabel/Konteks Baru: Melakukan studi pelacakan (tracer study) longitudinal terhadap kohort lulusan SMK/Politeknik dari berbagai program keahlian selama 5-10 tahun setelah lulus. Mengumpulkan data tentang: (a) jenis pekerjaan pertama dan lintasan karir, (b) tingkat penghasilan, (c) relevansi kompetensi yang dipelajari dengan pekerjaan, (d) partisipasi dalam pelatihan/pendidikan lanjutan, (e) persepsi lulusan tentang kemampuan adaptasi mereka terhadap perubahan teknologi/pekerjaan, dan (f) kepuasan kerja. Menganalisis hubungan antara pengalaman pendidikan vokasi (model pembelajaran, PKL, sertifikasi) dengan indikator kesuksesan karir dan adaptabilitas. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Memberikan bukti empiris tentang dampak jangka panjang pendidikan vokasi terhadap karir lulusan dan kemampuan mereka beradaptasi di pasar kerja yang terus berubah, sebagai umpan balik penting untuk perbaikan sistem pendidikan vokasi.

Secara keseluruhan, prosiding Seminar Nasional Pendidikan Teknik Mesin FT UNY 2012 ini memberikan landasan yang kaya untuk riset lanjutan. Temuan-temuan awal mengenai efektivitas model pembelajaran, pemanfaatan TIK, pentingnya kemitraan, dan asesmen holistik perlu didalami melalui studi yang lebih luas, komparatif, dan longitudinal.

Penelitian lebih lanjut di bidang ini idealnya melibatkan kolaborasi antara Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seperti UNY , Direktorat Pembinaan SMK Kemdikbud , asosiasi industri (seperti Dharma group) , Dewan Energi Nasional (terkait kemandirian teknologi), dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) untuk memastikan relevansi, validitas, dan keberlanjutan hasil riset dalam meningkatkan mutu pendidikan vokasi nasional.

 

Selengkapnya
: Mengoptimalkan Pendidikan Vokasi Indonesia: Arah Riset Masa Depan Berdasarkan Prosiding UNY 2012
« First Previous page 89 of 1.323 Next Last »