Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Oktober 2025
Bayangkan sebuah ambulans yang membawa pasien kritis, berjuang melintasi jalan tanah bergelombang yang lebih mirip lintasan off-road daripada akses publik. Atau sebuah truk pengangkut hasil panen yang terpaksa menjual produknya dengan harga murah karena biaya transportasi yang membengkak akibat jalanan yang hancur. Ini bukan sekadar skenario hipotetis; ini adalah krisis senyap yang terjadi setiap hari di bawah roda jutaan kendaraan di seluruh dunia, menjadi penghalang nyata bagi kemajuan ekonomi, akses kesehatan, dan simbol kesenjangan infrastruktur yang menganga.
Skala masalah ini jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Di negara maju seperti Swedia, jalan kerikil masih mencakup sekitar 20.000 km dari jaringan jalan nasional dan tambahan 75.000 km jalan pribadi yang perawatannya disubsidi oleh pemerintah.1 Di negara berkembang seperti Zambia, situasinya lebih dramatis: sekitar 75% dari jaringan jalan inti sepanjang 33.000 km tidak beraspal, dan sebagian besar berada dalam kondisi yang memprihatinkan.1 Fakta ini menggarisbawahi bahwa masalah jalan tak beraspal adalah isu global yang relevan, baik bagi negara dengan ekonomi maju maupun yang sedang berkembang.
Di sinilah letak konflik utamanya. Jalan-jalan ini adalah urat nadi kehidupan ekonomi lokal—penting untuk industri kehutanan di Swedia dan sektor pertanian vital di Zambia.1 Namun, secara alami, jalan jenis ini rusak jauh lebih cepat daripada jalan beraspal, rentan terhadap lubang, gelombang (keriting), debu, dan kerikil lepas.1 Metode pemantauan tradisional untuk mendeteksi kerusakan ini sangat mahal, memakan waktu, dan sering kali tidak efisien, menciptakan dilema besar bagi pemerintah dengan sumber daya yang terbatas. Namun, sebuah penelitian terobosan dari Keegan Mbiyana dan Mirka Kans dari Linnaeus University dan Chalmers University of Technology menawarkan secercah harapan. Solusi yang mereka usulkan tidak datang dalam bentuk alat berat baru atau satelit berteknologi tinggi, melainkan dari sesuatu yang sudah ada di saku jutaan orang di seluruh dunia: smartphone.
Mengapa Metode Lama Tak Lagi Cukup? Keterbatasan Fatal dari Inspeksi Mata Telanjang
Selama puluhan tahun, metode dominan untuk memantau kondisi jalan tak beraspal adalah melalui survei visual. Di Swedia, praktik ini dikenal sebagai "visual windscreen surveys," di mana para inspektur berkendara di sepanjang jalan dan secara subjektif menilai tingkat kerusakan.1 Di Zambia, tim inspeksi dari Roads Development Agency (RDA) melakukan survei tahunan dengan cara yang serupa untuk merencanakan pemeliharaan.1 Meskipun terdengar praktis, pendekatan ini memiliki kelemahan fundamental yang membuatnya tidak lagi memadai di era digital.
Kelemahan pertama dan paling fatal adalah subjektivitas. Penilaian kondisi jalan sangat bergantung pada persepsi dan pengalaman individu inspektur. Apa yang dianggap sebagai "kerusakan sedang" oleh satu orang mungkin dinilai sebagai "parah" oleh orang lain. Penelitian ini secara tegas menyebut metode ini "rentan terhadap subjektivitas dan kesalahan penilaian manusia".1 Ketergantungan pada penilaian personal ini membuat data yang dihasilkan tidak konsisten dan sulit untuk distandarisasi secara nasional.
Kedua, metode ini sangat tidak efisien dari segi biaya dan waktu. Mengirim tim inspeksi untuk menjelajahi ribuan kilometer jalan pedesaan yang terpencil adalah operasi logistik yang masif, memakan biaya bahan bakar, waktu perjalanan, dan tenaga kerja yang signifikan.1 Akibatnya, survei sering kali dilakukan secara sporadis—misalnya, hanya setahun sekali di Zambia.1 Frekuensi yang rendah ini berarti kerusakan kecil yang bisa diperbaiki dengan murah akan dibiarkan memburuk hingga menjadi masalah besar yang membutuhkan perbaikan mahal.
Keterbatasan ini pada akhirnya bermuara pada masalah ketiga: kurangnya data berkualitas tinggi dan relevan.1 Tanpa data yang berkelanjutan dan objektif, mustahil untuk membangun model prediktif yang akurat. Analogi yang tepat adalah seperti seorang dokter yang mencoba mendiagnosis kondisi kesehatan seorang pasien hanya dengan melihatnya dari seberang ruangan setahun sekali. Diagnosisnya hampir pasti tidak akurat, tidak lengkap, dan selalu terlambat.
Ketergantungan pada survei visual ini tanpa disadari menciptakan sebuah lingkaran setan pemeliharaan reaktif. Karena data yang buruk, pihak berwenang tidak dapat meramalkan di mana dan kapan kerusakan akan terjadi. Akibatnya, mereka hanya bisa bereaksi setelah kerusakan sudah parah. Di Swedia, sumber daya yang terbatas sering kali menggeser fokus dari tindakan pencegahan ke perbaikan korektif.1 Di Zambia, situasinya lebih ekstrem: jalan tak beraspal sering kali baru mendapat perhatian ketika kondisinya sudah "hampir tidak bisa dilewati," terutama saat musim hujan.1 Model reaktif ini tidak hanya jauh lebih mahal daripada pemeliharaan preventif, tetapi juga menyebabkan gangguan yang lebih besar bagi masyarakat yang bergantung pada jalan tersebut.
Revolusi dari Saku Anda: Memanfaatkan Warga Biasa sebagai ‘Sensor Berjalan’
Di tengah kebuntuan metode konvensional, penelitian Mbiyana dan Kans memperkenalkan sebuah konsep yang elegan dan revolusioner: pengumpulan data partisipatif (participatory data collection). Idenya adalah memberdayakan pengguna jalan sehari-hari—seperti petugas pos, sopir bus sekolah, pengemudi truk pengumpul sampah, dan penduduk lokal—untuk menjadi "sensor berjalan" yang secara otomatis mengumpulkan data kondisi jalan saat mereka melakukan aktivitas normal mereka.1
Bagaimana ini mungkin terjadi? Jawabannya terletak pada teknologi yang tersemat di dalam smartphone modern. Setiap ponsel pintar dilengkapi dengan serangkaian sensor canggih, termasuk akselerometer yang dapat mengukur getaran dan guncangan, giroskop yang mendeteksi kemiringan, dan GPS yang mencatat lokasi dengan presisi tinggi.1 Ketika sebuah kendaraan melintasi jalan yang rusak, getaran dan guncangan yang dihasilkan akan ditangkap oleh akselerometer di ponsel pengemudi.
Dengan menggunakan aplikasi khusus, data getaran ini dapat dianalisis untuk mengidentifikasi anomali. Getaran yang halus dan konsisten mengindikasikan jalan yang mulus, sementara guncangan yang keras dan tiba-tiba menandakan adanya lubang, gelombang, atau kerusakan lainnya. Setiap data getaran ini diberi label geografis oleh GPS, menciptakan peta kerusakan jalan yang sangat detail dan dinamis. Ini seperti mengubah setiap kendaraan menjadi "mesin EKG" untuk jalan raya, yang terus-menerus memantau "kesehatan" infrastruktur secara real-time. Aplikasi yang sudah ada seperti Roadroid, yang disebutkan dalam penelitian, menunjukkan potensi nyata dari pendekatan ini.1
Manfaat dari pendekatan ini sangat transformatif. Pertama, cakupan pemantauan menjadi jauh lebih luas dan berkelanjutan. Bayangkan ribuan "sensor" yang bergerak setiap hari di seluruh jaringan jalan, dibandingkan dengan segelintir tim inspeksi yang hanya bisa mencakup sebagian kecil area dalam satu waktu.1 Kedua, efisiensi biaya meningkat secara dramatis. Alih-alih berinvestasi pada peralatan survei yang mahal, pendekatan ini memanfaatkan perangkat yang sudah dimiliki oleh miliaran orang di seluruh dunia.1 Ketiga, data yang dihasilkan bersifat mendekati real-time, memungkinkan pihak berwenang untuk merespons kerusakan dengan jauh lebih cepat sebelum masalah menjadi lebih parah.
Lebih dari sekadar inovasi teknis, ini adalah pergeseran paradigma fundamental dalam manajemen infrastruktur—dari model yang sepenuhnya terpusat dan top-down ke model crowdsourced yang terdesentralisasi dan bottom-up. Ini adalah sebuah langkah menuju demokratisasi proses pemeliharaan, di mana warga negara tidak lagi hanya menjadi penerima layanan yang pasif, tetapi menjadi kontributor aktif dalam merawat aset publik mereka. Ini bukan hanya tentang mengumpulkan data; ini tentang membangun rasa kepemilikan, keterlibatan masyarakat, dan akuntabilitas baru antara pemerintah dan warganya.
Dua Negara, Satu Masalah: Pelajaran Kontras dari Swedia dan Zambia
Untuk menguji kelayakan ide ini di dunia nyata, penelitian ini melakukan studi kasus eksplorasi di dua negara yang sangat berbeda: Swedia dan Zambia. Perbandingan ini secara brilian menyoroti universalitas masalah dan fleksibilitas solusi yang diusulkan.
Di satu sisi, ada Swedia, negara maju dengan anggaran pemeliharaan infrastruktur yang besar. Jalan kerikil di sana menghabiskan sekitar 20% dari total anggaran pemeliharaan jalan.1 Meskipun memiliki sumber daya yang cukup, mereka masih berjuang dengan efisiensi pemantauan. Tantangan utama di Swedia adalah kerusakan yang disebabkan oleh periode pencairan salju (snow-thawing), di mana tanah yang mencair melemahkan struktur jalan dan membuatnya rentan terhadap kerusakan akibat lalu lintas berat.1 Menariknya, otoritas transportasi Swedia, Trafikverket, sudah menyadari potensi teknologi ini. Mereka dilaporkan sedang dalam tahap pengujian menggunakan akselerometer smartphone dan bahkan sedang dalam proses pengadaan proyek inovasi untuk mengumpulkan data dari armada kendaraan yang dilengkapi sensor.1 Sikap mereka positif: mereka bersedia mempertimbangkan pengumpulan data partisipatif di masa depan, asalkan teknologinya telah "teruji dan divalidasi sebagai andal dan kuat".1
Di sisi lain, ada Zambia, negara berkembang di mana jalan tak beraspal adalah tulang punggung kehidupan sehari-hari, menghubungkan masyarakat pedesaan ke sekolah, fasilitas kesehatan, dan pasar.1 Tantangan utama di sini bukanlah salju, melainkan musim hujan yang ekstrem, yang dapat menghanyutkan permukaan jalan, merusak jembatan, dan secara efektif mengisolasi seluruh komunitas.1 Roads Development Agency (RDA) di Zambia menghadapi keterbatasan sumber daya yang parah, di mana pemeliharaan jalan beraspal sering kali menjadi prioritas utama.1 Namun, meskipun dengan sumber daya yang terbatas, mereka juga melihat potensi besar dalam teknologi ini. Kemungkinan menggunakan smartphone untuk mengukur kekasaran permukaan jalan telah didiskusikan dan sedang dipertimbangkan.1 Hambatan utama bagi mereka bukanlah keengganan, melainkan kebutuhan praktis untuk berinvestasi dalam "infrastruktur yang diperlukan untuk mengelola data dan staf yang terlatih" untuk menangani aliran informasi baru ini.1
Kisah kontras dari Swedia dan Zambia ini mengungkapkan sebuah kebenaran yang kuat. Meskipun konteks mereka sangat berbeda—iklim ekstrem yang berlawanan (musim dingin vs. musim hujan), tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda, dan ketersediaan sumber daya yang kontras—kedua negara menghadapi masalah inti yang sama: kurangnya data kondisi jalan yang efisien, objektif, dan berkelanjutan. Dan yang lebih penting, keduanya melihat solusi potensial dalam teknologi yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa demokratisasi teknologi, terutama ketersediaan smartphone yang semakin meluas bahkan di daerah pedesaan, dapat bertindak sebagai penyeimbang (equalizer) dalam manajemen infrastruktur global. Negara berkembang seperti Zambia berpotensi untuk "melompati" (leapfrog) metode pemantauan tradisional yang mahal dan padat karya, dan langsung mengadopsi solusi digital yang lebih gesit dan hemat biaya. Ini adalah solusi yang sama yang juga sedang dieksplorasi secara serius oleh negara maju seperti Swedia. Ini membuktikan bahwa teknologi berbasis partisipasi warga bukanlah solusi "kelas dua" untuk negara miskin, melainkan pendekatan generasi berikutnya yang relevan secara universal untuk tantangan infrastruktur abad ke-21.
Di Balik Layar: Begini Cara Getaran Ponsel Diubah Menjadi Rencana Perbaikan
Mengubah getaran acak dari ribuan ponsel menjadi rencana pemeliharaan yang dapat ditindaklanjuti bukanlah sihir, melainkan sebuah proses sistematis. Para peneliti mengusulkan kerangka kerja yang didasarkan pada standar industri yang sudah ada, yaitu OSA-CBM (Open System Architecture for Condition Based Maintenance), yang memecah proses menjadi langkah-langkah logis.1
Langkah 1: Pengumpulan dan Penyimpanan Data
Proses dimulai dengan mengidentifikasi dan melatih para relawan—bisa jadi pengemudi bus, petugas pos, atau warga biasa yang sering melintasi jalan tersebut. Pelatihan ini krusial untuk memastikan kualitas data yang dikumpulkan, mencakup cara memasang perangkat dan memahami parameter pengukuran.1 Saat mereka berkendara, aplikasi di smartphone mereka secara pasif akan mengumpulkan data getaran, mengambil foto atau video kerusakan yang signifikan, dan mengunggah semuanya secara otomatis ke server cloud yang terpusat.1
Langkah 2: Analisis Cerdas - "Nowcasting" dan "Forecasting"
Setelah data terkumpul, di sinilah kecerdasan buatan dan analisis data berperan. Proses ini terbagi menjadi dua fungsi utama:
Langkah 3: Dukungan Keputusan dan Aksi Nyata
Hasil analisis ini kemudian disajikan dalam format yang mudah dipahami bagi para pengambil keputusan. Manajer pemeliharaan dapat mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara lebih efektif, memprioritaskan perbaikan berdasarkan data objektif, bukan hanya berdasarkan laporan anekdotal atau tekanan politik.1 Selain itu, manfaatnya juga dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Data yang sama dapat divisualisasikan melalui antarmuka publik, seperti aplikasi peta di ponsel, yang menunjukkan kondisi jalan saat ini. Pengguna jalan dapat merencanakan rute yang lebih aman dan nyaman, menghindari jalan yang sedang rusak parah.
Lebih jauh lagi, implementasi sistem semacam ini dapat berfungsi sebagai alat anti-korupsi dan pendorong tata kelola yang baik. Dalam lingkungan di mana keputusan pemeliharaan terkadang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-teknis, seperti yang diisyaratkan dalam kasus di Zambia di mana beberapa jalan dipaving karena "pengaruh politik" 1, sistem berbasis data yang transparan menciptakan dasar yang objektif untuk alokasi anggaran. Ketika keputusan perbaikan didasarkan pada data kerusakan yang terverifikasi dan dapat diaudit, menjadi jauh lebih sulit untuk membenarkan proyek yang tidak perlu sambil mengabaikan kebutuhan yang nyata dan mendesak. Teknologi ini, pada intinya, menggantikan pengambilan keputusan yang subjektif dan berpotensi korup dengan proses yang transparan dan akuntabel.
Bukan Jalan Mulus Tanpa Hambatan: Kritik Realistis dan Tantangan di Depan
Meskipun konsep pengumpulan data partisipatif ini sangat menjanjikan, para peneliti bersikap realistis dan mengakui bahwa implementasinya bukanlah jalan mulus tanpa hambatan. Mengadopsi pendekatan ini secara luas akan menghadirkan serangkaian tantangan teknis, logistik, dan sosial yang perlu diatasi.
Tantangan teknis yang paling signifikan adalah kualitas dan standardisasi data. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa data yang dikumpulkan dari ratusan model smartphone yang berbeda (dengan sensitivitas sensor yang bervariasi) dan dipasang di berbagai jenis kendaraan (dengan sistem suspensi yang berbeda) dapat dibandingkan secara adil? Penelitian ini menyoroti perlunya kalibrasi yang cermat berdasarkan "properti sensor, respons getaran kendaraan, dan kecepatan" untuk memastikan data yang dihasilkan akurat dan andal.1
Selanjutnya adalah tantangan logistik terkait pelatihan pengguna. Agar sistem ini efektif, para relawan perlu dilatih tentang cara menggunakan aplikasi dengan benar dan cara memasang ponsel mereka di dalam kendaraan untuk mendapatkan data yang optimal.1 Mengorganisir pelatihan semacam ini untuk ribuan partisipan di wilayah yang luas memerlukan sumber daya dan perencanaan yang matang.
Masalah privasi pengguna juga menjadi perhatian utama. Sistem ini secara inheren mengumpulkan data lokasi dan perjalanan pribadi. Oleh karena itu, sangat penting untuk membangun sistem yang kuat di mana "privasi pengguna dijamin".1 Data harus dianonimkan dan diagregasi untuk melindungi identitas individu, dan kebijakan privasi yang transparan harus diterapkan untuk membangun kepercayaan publik.
Terakhir, dan mungkin yang paling mendasar, adalah tantangan terkait infrastruktur data dan kapasitas organisasi. Baik Trafikverket di Swedia maupun RDA di Zambia menyuarakan keprihatinan yang sama: mereka harus memiliki kapasitas untuk "menerima dan mengelola semua data secara efisien".1 Ini bukan hanya tentang membeli server yang lebih besar, tetapi tentang membangun kompetensi baru di dalam organisasi.
Di sinilah tantangan terbesar mungkin bergeser dari ranah teknis ke ranah sosial dan organisasional. Meyakinkan lembaga pemerintah yang sering kali birokratis untuk beralih dari model kontrol top-down ke model manajemen yang radikal, terdesentralisasi, dan bergantung pada data yang bersumber dari warga adalah sebuah rintangan budaya yang signifikan. Ini memerlukan perubahan pola pikir yang mendalam—dari kontrol penuh menjadi kolaborasi, dari keahlian internal yang eksklusif menjadi kepercayaan pada kecerdasan kolektif. Keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada algoritma yang canggih, tetapi juga pada manajemen perubahan organisasi, membangun kepercayaan dengan publik, dan menciptakan kerangka kerja tata kelola data yang kuat yang dapat diterima oleh semua pihak.
Kesimpulan - Dampak Nyata untuk Masa Depan Jalan Pedesaan
Penelitian yang dipelopori oleh Keegan Mbiyana dan Mirka Kans menawarkan lebih dari sekadar metode baru untuk memantau jalan rusak. Ini adalah cetak biru untuk masa depan pemeliharaan infrastruktur yang lebih cerdas, lebih hemat biaya, dan secara fundamental lebih demokratis. Dengan memanfaatkan kekuatan teknologi yang ada di tangan warga negara, pendekatan partisipatif ini memiliki potensi untuk merevolusi cara kita mengelola salah satu aset publik yang paling vital.
Jika diterapkan secara luas, pendekatan berbasis partisipasi warga ini berpotensi memangkas biaya survei jalan tak beraspal hingga puluhan persen dan secara dramatis mempercepat waktu respons perbaikan dari hitungan bulan atau tahun menjadi hitungan hari atau minggu. Dalam satu dekade ke depan, ini dapat secara langsung meningkatkan keselamatan di jalan, membuka akses ekonomi bagi jutaan orang di komunitas pedesaan yang sebelumnya terisolasi, dan membangun model baru kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat yang didasarkan pada transparansi data dan kepercayaan bersama. Ini adalah sebuah visi di mana setiap warga negara, dengan ponsel di tangan mereka, dapat menjadi bagian dari solusi untuk membangun infrastruktur yang lebih baik bagi semua.
Sumber Artikel:
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Oktober 2025
Setiap kali langit menggelap dan hujan deras mengguyur, kota-kota di Indonesia seolah memasuki sebuah ritual tahunan yang melumpuhkan. Jalanan berubah menjadi sungai dadakan, lalu lintas membeku dalam kemacetan total, dan ribuan rumah terendam air keruh. Banjir bukan lagi sekadar bencana, melainkan sebuah keniscayaan musiman yang dampaknya merambat ke setiap sendi kehidupan: aktivitas ekonomi terhenti, kerugian materiil membengkak, dan ancaman penyakit mengintai di setiap genangan.1 Selama bertahun-tahun, kita menyaksikan triliunan rupiah digelontorkan untuk proyek-proyek pengendalian banjir—normalisasi sungai, pembangunan kanal, dan perbaikan saluran. Namun, mengapa ritual tahunan ini seolah tak pernah berakhir? Apakah kita hanya sibuk menambal gejala, tanpa pernah menyentuh akar penyakitnya?
Sebuah buku komprehensif berjudul Drainase Perkotaan, yang disusun oleh kolaborasi para akademisi dan praktisi rekayasa sipil, menawarkan sebuah jawaban yang radikal sekaligus mencerahkan. Buku ini bukan sekadar manual teknis, melainkan sebuah investigasi mendalam yang membongkar kegagalan filosofis dalam cara kita mengelola air di lingkungan perkotaan. Para penulisnya berargumen bahwa masalah banjir bukanlah sekadar kegagalan infrastruktur, melainkan kegagalan paradigma. Melalui analisis data dan kajian mendalam, buku ini tidak hanya membedah mengapa sistem yang ada selalu kalah, tetapi juga menyajikan sebuah peta jalan menuju solusi yang berkelanjutan, sebuah konsep yang bisa mengubah wajah kota kita selamanya.1
Mengapa Sistem Drainase Kita Seringkali Kalah Melawan Hujan? Membedah Paradigma yang Gagal
Untuk memahami mengapa banjir terus berulang, kita harus melihat filosofi yang mendasari sistem drainase konvensional yang diadopsi hampir di seluruh kota di Indonesia. Buku Drainase Perkotaan menjelaskan bahwa esensi dari paradigma lama ini sangat sederhana: "mengatuskan, mengeringkan, atau membuang air".1 Tujuannya adalah mengalirkan air hujan yang berlebih secepat mungkin dari permukaan tanah, masuk ke dalam saluran, dan membuangnya ke badan air terdekat seperti sungai atau laut. Di atas kertas, konsep ini terdengar logis. Namun, dalam praktiknya, pendekatan ini justru menjadi resep bencana di tengah laju urbanisasi yang tak terkendali.
Urbanisasi adalah musuh utama dari sistem ini. Setiap meter persegi lahan hijau yang diubah menjadi jalan aspal, lahan parkir beton, atau bangunan secara drastis mengubah siklus hidrologi alami. Lahan yang tadinya berfungsi sebagai spons alami, kini berubah menjadi permukaan kedap air (impervious surface) yang menolak air meresap ke dalam tanah.1 Buku ini melukiskan gambaran yang gamblang: sebuah taman hijau mungkin hanya melepaskan 10-20% air hujan sebagai aliran permukaan, sementara kawasan pusat bisnis yang didominasi beton dan aspal bisa menumpahkan lebih dari 90% air hujan langsung ke selokan. Ini berarti, setiap pembangunan mal atau jalan baru tanpa mitigasi adalah seperti membuka keran raksasa yang bebannya harus ditanggung oleh sistem drainase yang sama tuanya.1
Konsekuensinya, volume limpasan permukaan (runoff) meningkat secara eksponensial, jauh melampaui kapasitas saluran yang ada. Sistem yang dirancang puluhan tahun lalu kini harus menanggung beban air yang berkali-kali lipat lebih besar. Lebih buruk lagi, paradigma "buang secepatnya" ini pada dasarnya hanya memindahkan masalah. Air yang "berhasil" dialirkan dari kawasan perumahan elit di dataran yang lebih tinggi akan menjadi gelombang banjir bandang yang menerjang permukiman padat penduduk di wilayah hilir. Kita tidak menyelesaikan masalah, kita hanya mengekspornya ke tetangga kita.1
Ironisnya, sistem yang dirancang untuk mengatasi masalah kelebihan air ini secara tidak langsung menciptakan krisis lainnya. Dengan membuang air hujan—sumber daya air tawar yang berharga—langsung ke laut, kita mencegah proses pengisian ulang cadangan air tanah (groundwater recharge). Akibatnya, kota-kota kita menghadapi dua krisis sekaligus: krisis kelebihan air berupa banjir saat musim hujan, dan krisis kekurangan air yang memanifestasikan diri dalam bentuk kekeringan, penurunan muka air tanah, dan intrusi air laut saat musim kemarau. Banjir dan kekeringan bukanlah dua masalah terpisah; mereka adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu salah urus siklus air perkotaan yang fundamental.1
Revolusi Senyap di Bawah Tanah: Membedah Konsep Ecodrainage
Menghadapi kegagalan paradigma konvensional, buku Drainase Perkotaan memperkenalkan sebuah alternatif yang transformatif: Ecodrainage atau Drainase Ramah Lingkungan. Ini bukan sekadar perbaikan atau penambahan kapasitas saluran, melainkan sebuah perubahan filosofis yang mendasar. Konsep utamanya adalah membalik logika lama: alih-alih membuang air secepatnya, tujuannya adalah "meresapkan air sebanyak-banyaknya ke dalam tanah secara alamiah" dan menahannya selama mungkin di lokasi ia jatuh.1
Filosofi baru ini memperlakukan air hujan sebagai aset berharga yang harus dikelola, bukan sebagai limbah yang harus diusir. Tujuannya adalah meniru siklus hidrologi alami di dalam lingkungan buatan kota. Jika drainase konvensional dapat diibaratkan sebagai jalan tol satu arah yang lurus menuju laut, maka Ecodrainage adalah sebuah jaringan kompleks yang terdiri dari "area peristirahatan", "kolam resapan", dan "stasiun pengisian ulang" yang memastikan setiap tetes air hujan diberi kesempatan untuk bermanfaat sebelum melanjutkan perjalanannya. Pendekatan ini berdiri di atas tiga pilar utama:
Lebih dari sekadar rekayasa teknis, Ecodrainage pada hakikatnya adalah sebuah upaya desain perkotaan yang restoratif. Pembangunan kota modern telah menghilangkan fungsi-fungsi ekologis vital dari lanskap, seperti kemampuan lahan basah menyerap air atau peran hutan kota dalam mengatur siklus air. Ecodrainage bertujuan untuk merekayasa kembali fungsi-fungsi yang hilang tersebut ke dalam tatanan kota. Lubang biopori, misalnya, secara fungsional meniru aktivitas fauna tanah dalam menciptakan pori-pori untuk infiltrasi air. Kolam retensi berfungsi layaknya rawa atau danau kecil yang secara alami menampung luapan air. Dengan demikian, Ecodrainage adalah sebuah langkah ambisius untuk mendesain ulang kota agar dapat berfungsi kembali seperti ekosistem yang sehat, yang mampu mengatur dan menyembuhkan siklus airnya sendiri.1
Inovasi Cerdas untuk Kota Tahan Air: Dari Biopori hingga Sistem Polder
Buku ini memaparkan serangkaian "senjata" dalam arsenal Ecodrainage yang dapat diterapkan di berbagai skala, dari halaman belakang rumah hingga seluruh bentang kota. Setiap inovasi ini dirancang untuk bekerja secara sinergis, menciptakan sebuah sistem pertahanan air yang berlapis dan tangguh.
Kekuatan utama dari pendekatan Ecodrainage terletak pada sifatnya yang modular dan terdesentralisasi. Berbeda dengan proyek kanal raksasa yang bersifat monolitik dan sentralistik, Ecodrainage adalah jaringan solusi yang terdistribusi. Sumur resapan dan biopori dapat dibuat oleh individu dan komunitas, sementara kolam retensi dan polder menjadi tanggung jawab pengembang dan pemerintah kota. Hal ini secara fundamental mengubah peran warga dari korban pasif banjir menjadi agen aktif dalam mitigasi. Keberhasilan sistem ini tidak hanya bergantung pada proyek pemerintah berskala besar, tetapi pada akumulasi jutaan tindakan kecil yang dilakukan di seluruh penjuru kota.1
Sebuah Kritik Realistis dan Tantangan di Depan Mata
Meskipun menyajikan cetak biru yang menjanjikan, buku Drainase Perkotaan secara implisit juga mengakui bahwa transisi menuju Ecodrainage bukanlah jalan yang mudah. Ada tantangan-tantangan besar yang harus dihadapi, yang lebih bersifat sosio-politis ketimbang teknis.
Tantangan pertama adalah ketersediaan lahan. Di kota-kota yang sudah padat, menemukan ruang untuk membangun kolam retensi atau fasilitas penampungan air lainnya adalah sebuah kemewahan. Ini menuntut kreativitas dalam perencanaan tata ruang, seperti mengintegrasikan fungsi penampungan air ke dalam taman kota, lapangan olahraga, atau ruang terbuka hijau lainnya.
Kedua, biaya dan investasi. Meskipun solusi seperti biopori relatif murah, sistem yang lebih besar seperti polder atau kolam retensi membutuhkan investasi awal yang signifikan. Diperlukan komitmen anggaran jangka panjang dari pemerintah daerah, serta insentif bagi sektor swasta untuk turut berinvestasi.
Ketiga, dan mungkin yang paling krusial, adalah regulasi dan penegakan hukum. Konsep Ecodrainage hanya akan menjadi wacana jika tidak didukung oleh peraturan yang kuat dan penegakan yang tegas. Pemerintah kota harus mewajibkan setiap pembangunan baru—baik perumahan, komersial, maupun infrastruktur—untuk mengintegrasikan fasilitas Ecodrainage sebagai syarat mutlak perizinan. Tanpa "gigi" hukum yang tajam terhadap pelanggaran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), alih fungsi lahan resapan akan terus terjadi.1
Terakhir, tantangan perubahan perilaku. Teknologi secanggih apa pun akan sia-sia jika saluran drainase masih dianggap sebagai tempat sampah raksasa. Mengubah kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan mendorong partisipasi aktif dalam pemeliharaan drainase lingkungan adalah perjuangan budaya jangka panjang yang membutuhkan edukasi berkelanjutan.1 Tantangan terbesar mungkin bukan terletak pada aspek teknis yang telah diuraikan dengan baik dalam buku ini, melainkan pada kemauan politik dan kohesi sosial untuk melaksanakannya secara konsisten.
Membangun Kota sebagai Spons, Bukan Talang Air
Buku Drainase Perkotaan pada akhirnya menyampaikan sebuah pesan yang kuat dan mendesak: kita harus berhenti membangun kota kita sebagai "talang air" raksasa dari beton yang dirancang hanya untuk membuang air. Sebaliknya, kita harus mulai membangunnya sebagai "spons" hidup yang cerdas, yang mampu menyerap, menyimpan, dan beradaptasi dengan siklus air alami.
Solusi atas krisis banjir tahunan tidak terletak pada pembangunan saluran yang lebih besar dan lebih mahal, yang pada akhirnya hanya akan memindahkan masalah ke tempat lain. Solusinya terletak pada pergeseran paradigma fundamental menuju Ecodrainage—sebuah pendekatan yang menghormati air sebagai sumber kehidupan, bukan sebagai ancaman.
Jika diterapkan secara komprehensif, pendekatan yang diuraikan dalam buku ini berpotensi tidak hanya mengurangi frekuensi dan dampak banjir tahunan secara signifikan, tetapi juga meningkatkan ketahanan air kota dalam menghadapi musim kemarau yang semakin kering. Ini adalah sebuah investasi ganda yang cerdas: melindungi kota dari kelebihan air hari ini, sambil memastikan ketersediaan air yang cukup untuk hari esok. Ini adalah jalan menuju kota yang tidak hanya lebih aman, tetapi juga lebih sehat, lebih hijau, dan lebih berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Sumber Artikel:
Saidah, H., Nur, N. K., Rangan, P. R., Mukrim, M. I., Tamrin, Miswar Tumpu, Nanda, A. R., Jamal, M., Mansida, A., & Sindagamanik, F. D. (2021). Drainase Perkotaan. Yayasan Kita Menulis.