Perindustrian

Membedah Evolusi dan Kinerja Design/Build di Sektor Publik: Sebuah Analisis Mendalam

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Oktober 2025


Industri konstruksi adalah tulang punggung pembangunan infrastruktur di seluruh dunia, dan di dalamnya, pemilihan metode pengiriman proyek adalah salah satu keputusan strategis paling krusial. Selama beberapa dekade, model tradisional "desain/bid/bangun" (DBB) telah menjadi standar emas di sektor publik. Namun, seiring dengan tuntutan akan efisiensi, inovasi, dan akuntabilitas yang lebih besar, model "desain/bangun" (Design/Build – D/B) telah muncul sebagai alternatif yang semakin populer.

Artikel “Public-Sector Design/Build Evolution and Performance” oleh Keith R. Molenaar, Anthony D. Songer, dan Mouji Barash, yang dipublikasikan dalam Journal of Management in Engineering pada Maret 1999, menjadi salah satu referensi fundamental dalam memahami bagaimana D/B berkembang di sektor publik dan bagaimana kinerjanya dibandingkan dengan metode konvensional. Meskipun telah dipublikasikan lebih dari dua dekade lalu, penelitian ini tetap memberikan wawasan yang relevan dan menjadi fondasi penting dalam memahami tren kontemporer pengadaan proyek infrastruktur publik.

 

Pergeseran Paradigma: Mengapa Design/Build Menarik di Sektor Publik?

Secara historis, sektor publik telah sangat bergantung pada metode DBB, di mana proses desain dan konstruksi dipisahkan secara kontraktual. Kontraktor dipilih berdasarkan penawaran terendah setelah desain selesai sepenuhnya. Meskipun model ini menjanjikan transparansi serta kepastian biaya awal, ia juga sarat dengan fragmentasi tanggung jawab, potensi konflik antara desainer dan kontraktor, serta minimnya insentif untuk inovasi yang seharusnya dapat menekan waktu dan biaya.

Molenaar, Songer, dan Barash menggarisbawahi bahwa pergeseran menuju D/B didorong oleh keinginan pemilik proyek (pemilik publik) untuk mencapai tujuan yang lebih ambisius. D/B menawarkan entitas kontrak tunggal yang bertanggung jawab penuh atas desain dan konstruksi, menciptakan alur kerja yang lebih terintegrasi dan berpotensi mempercepat jadwal proyek. Integrasi ini juga dapat meminimalisir perubahan ruang lingkup dan klaim yang sering terjadi dalam model DBB, yang pada akhirnya dapat menghemat biaya proyek.

Penting untuk dicatat bahwa penggunaan D/B di sektor publik bukanlah tanpa tantangan. Transparansi dan akuntabilitas, yang merupakan pilar utama pengadaan publik, harus tetap terjaga dalam model yang lebih terintegrasi ini. Perubahan undang-undang pengadaan federal, seperti yang disebutkan dalam artikel, menjadi pendorong utama bagi investigasi dan pengembangan pedoman D/B yang baru. Ini menunjukkan bahwa adopsi D/B tidak hanya sekadar perubahan metode, tetapi juga memerlukan adaptasi kerangka hukum dan kelembagaan.

 

Evolusi D/B di Sektor Publik AS: Kilas Balik dan Tren

Penelitian ini mengkaji perkembangan D/B di sektor publik Amerika Serikat dari tahun 1980-an hingga akhir 1990-an. Pada awalnya, adopsi D/B sangat terbatas, dengan beberapa pengecualian di tingkat negara bagian. Namun, seiring dengan keberhasilan di sektor swasta dan perubahan persepsi terhadap efisiensi, D/B mulai mendapatkan momentum. Salah satu pendorong utama adalah perubahan undang-undang pengadaan publik yang lebih longgar, seperti Federal Acquisition Streamlining Act (FASA) of 1994 dan Clinger-Cohen Act of 1996, yang memberikan fleksibilitas lebih besar bagi lembaga federal untuk menggunakan metode D/B.

Molenaar dan rekan-rekannya menyajikan data yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah proyek D/B yang dilaporkan oleh lembaga federal. Misalnya, pada tahun 1994, hanya 15 proyek D/B yang dilaporkan, tetapi pada tahun 1997, angka ini melonjak menjadi 104 proyek. Pertumbuhan eksponensial ini mencerminkan penerimaan yang semakin besar terhadap D/B sebagai alternatif yang layak.

Lebih lanjut, mereka mengidentifikasi sektor-sektor spesifik yang menjadi pelopor dalam adopsi D/B di sektor publik. Departemen Transportasi (DOT) adalah salah satu yang paling aktif, dengan banyak proyek jalan raya dan jembatan yang menggunakan D/B. Begitu pula, proyek-proyek infrastruktur sipil lainnya, seperti fasilitas air dan limbah, juga menunjukkan peningkatan penggunaan D/B. Ini menunjukkan bahwa D/B tidak hanya cocok untuk jenis proyek tertentu, tetapi dapat diterapkan pada berbagai skala dan kompleksitas proyek infrastruktur.

Metodologi Penelitian: Mengukur Kinerja D/B

Untuk menganalisis kinerja D/B, para peneliti mengumpulkan data dari 104 proyek D/B yang selesai di sektor publik, mencakup berbagai jenis proyek seperti gedung (41%), jalan (23%), air/limbah (12%), dan fasilitas industri (9%). Data dikumpulkan melalui survei dan wawancara dengan pemilik proyek dan manajer proyek yang memiliki pengalaman dengan D/B.

Penelitian ini membandingkan kinerja D/B dengan DBB berdasarkan empat metrik utama:

  1. Indeks Biaya (Cost Index): Mengukur deviasi biaya akhir dari biaya anggaran awal. Indeks biaya kurang dari 1.0 menunjukkan proyek diselesaikan di bawah anggaran, sementara lebih dari 1.0 menunjukkan kelebihan biaya.

  2. Indeks Jadwal (Schedule Index): Mengukur deviasi jadwal akhir dari jadwal yang dianggarkan. Indeks jadwal kurang dari 1.0 menunjukkan proyek diselesaikan lebih cepat, sementara lebih dari 1.0 menunjukkan penundaan.

  3. Jumlah Klaim dan Perubahan Perintah (Number of Claims and Change Orders): Mengukur seberapa sering terjadi klaim dan perubahan selama proyek.

  4. Kualitas Proyek (Project Quality): Dievaluasi melalui survei kepuasan pemilik proyek terhadap kualitas keseluruhan proyek.

Analisis Kinerja: Apakah D/B Lebih Unggul?

Hasil analisis kinerja memberikan gambaran yang menarik. Secara keseluruhan, proyek D/B menunjukkan kinerja yang lebih baik dalam hal jadwal dan klaim, dibandingkan dengan DBB.

  • Jadwal Proyek: Indeks jadwal rata-rata untuk proyek D/B adalah 0.94, yang berarti proyek D/B selesai rata-rata 6% lebih cepat dari jadwal yang dianggarkan. Angka ini secara signifikan lebih baik daripada kinerja proyek DBB yang seringkali mengalami penundaan. Keunggulan D/B dalam jadwal disebabkan oleh integrasi desain dan konstruksi, yang memungkinkan tumpang tindihnya kegiatan dan pengambilan keputusan yang lebih cepat. Sebagai contoh nyata, banyak proyek jalan raya di Amerika Serikat yang menggunakan D/B berhasil mengurangi waktu konstruksi secara dramatis, meminimalkan gangguan lalu lintas dan mempercepat manfaat bagi publik.

  • Biaya Proyek: Indeks biaya rata-rata untuk proyek D/B adalah 0.99, yang menunjukkan bahwa proyek D/B diselesaikan rata-rata 1% di bawah anggaran. Meskipun tidak menunjukkan penghematan biaya yang dramatis seperti jadwal, ini tetap merupakan indikator positif bahwa D/B dapat membantu menjaga proyek tetap dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. Perlu dicatat bahwa penghematan biaya di sini lebih terkait dengan minimnya perubahan dan klaim, yang seringkali menjadi pemicu utama kenaikan biaya dalam model DBB.

  • Klaim dan Perubahan Perintah: Rata-rata proyek D/B hanya memiliki 0.7 klaim per proyek, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata 1.4 klaim per proyek yang ditemukan dalam studi lain untuk proyek DBB. Perbandingan ini sangat penting karena klaim dan perubahan perintah adalah penyebab utama sengketa, penundaan, dan pembengkakan biaya dalam proyek konstruksi. Struktur kontrak D/B yang terintegrasi secara inheren mengurangi ruang lingkup untuk sengketa ini, karena entitas tunggal bertanggung jawab atas seluruh proses.

  • Kualitas Proyek: Pemilik proyek yang menggunakan D/B melaporkan tingkat kepuasan yang tinggi terhadap kualitas proyek akhir. Ini menunjukkan bahwa integrasi desain dan konstruksi tidak mengorbankan kualitas. Sebaliknya, kolaborasi yang lebih erat antara desainer dan kontraktor dapat menghasilkan solusi yang lebih inovatif dan efisien tanpa mengurangi standar kualitas.

Nilai Tambah dan Implikasi Praktis:

Studi Molenaar, Songer, dan Barash adalah seminal karena menjadi salah satu penelitian awal yang secara empiris memvalidasi manfaat D/B di sektor publik. Temuan mereka telah menjadi landasan bagi advokasi D/B di banyak negara.

  1. Pembuktian Efisiensi: Penelitian ini memberikan bukti kuat bahwa D/B dapat menghemat waktu dan mengurangi klaim, yang pada akhirnya dapat menghasilkan proyek yang lebih efisien dan hemat biaya bagi pembayar pajak. Ini adalah argumen yang sangat kuat bagi lembaga pemerintah yang dituntut untuk memberikan nilai terbaik dari dana publik.

  2. Mendorong Inovasi: Integrasi desain dan konstruksi dalam D/B memberikan insentif bagi tim D/B untuk berinovasi. Mereka dapat mencari solusi desain yang lebih mudah dibangun, atau metode konstruksi yang lebih cepat dan murah, tanpa harus melalui proses persetujuan yang rumit seperti pada DBB. Hal ini sangat penting untuk proyek-proyek yang kompleks atau yang memerlukan solusi kreatif.

  3. Reduksi Risiko: Dengan satu entitas yang bertanggung jawab, risiko desain dan konstruksi sebagian besar ditransfer dari pemilik ke tim D/B. Ini mengurangi beban administrasi dan potensi litigasi bagi pemilik publik.

  4. Panduan untuk Implementasi: Temuan penelitian ini membantu membentuk pedoman dan praktik terbaik untuk implementasi D/B di sektor publik. Misalnya, pentingnya pemilihan tim D/B yang berkualitas, bukan hanya berdasarkan harga terendah, adalah pelajaran kunci yang ditekankan oleh keberhasilan proyek-proyek D/B. Proses pra-kualifikasi yang ketat menjadi sangat penting dalam konteks D/B untuk memastikan bahwa tim memiliki kemampuan dan pengalaman yang diperlukan.

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain:

Meskipun penelitian ini sangat berpengaruh, penting untuk mempertimbangkan konteks waktu publikasinya (1999). Industri konstruksi telah berkembang pesat sejak saat itu. Beberapa kritik dan perbandingan yang relevan meliputi:

  • Ukuran Sampel: Meskipun 104 proyek merupakan ukuran sampel yang signifikan pada saat itu, penelitian yang lebih baru mungkin melibatkan lebih banyak proyek untuk mendapatkan generalisasi yang lebih kuat.

  • Kriteria Kualitas: Penilaian kualitas dalam penelitian ini didasarkan pada persepsi pemilik. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan metrik kualitas yang lebih objektif atau kriteria yang lebih komprehensif.

  • Perkembangan D/B: Sejak tahun 1999, D/B telah semakin matang dan berbagai variasi model pengiriman proyek telah muncul, seperti Progressive Design/Build atau Public-Private Partnerships (PPP) yang seringkali menggabungkan elemen D/B. Studi yang lebih baru, misalnya, oleh Konchar dan Sanvido (1998) atau Gordon (1994), yang juga membahas kinerja D/B, menunjukkan konsistensi dalam temuan mengenai jadwal dan klaim, namun mungkin berbeda dalam nuansa biaya tergantung pada jenis proyek dan pasar. Konchar dan Sanvido (1998), misalnya, menemukan bahwa proyek D/B memiliki kinerja jadwal yang lebih baik sebesar 12% dan kinerja biaya yang lebih baik sebesar 5% dibandingkan DBB, yang lebih agresif dibandingkan temuan Molenaar dkk. Hal ini mungkin mencerminkan perbedaan metodologi atau data yang digunakan.

  • Kontekstualisasi Geografis: Penelitian ini berfokus pada Amerika Serikat. Penerapan D/B di negara lain mungkin menghadapi tantangan yang berbeda karena perbedaan regulasi, budaya industri, dan ketersediaan sumber daya. Sebagai contoh, di Indonesia, adopsi D/B di sektor publik masih menghadapi tantangan regulasi dan kurangnya pengalaman yang memadai dari para pemangku kepentingan.

 

Tantangan dan Tren Masa Depan:

Meski D/B terbukti unggul, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah resistensi terhadap perubahan dari metode DBB yang sudah mendarah daging. Budaya industri yang terbiasa dengan pemisahan tanggung jawab dapat menghambat kolaborasi yang diperlukan dalam D/B. Selain itu, pemilihan tim D/B yang tepat menjadi krusial. Proses pengadaan tidak bisa lagi hanya berfokus pada harga terendah, tetapi harus mempertimbangkan kualifikasi, pengalaman, dan pendekatan tim terhadap proyek.

Di masa depan, D/B kemungkinan akan terus berkembang dan menjadi lebih canggih. Integrasi teknologi seperti Building Information Modeling (BIM), Big Data, dan Internet of Things (IoT) dapat lebih meningkatkan efisiensi dan kolaborasi dalam proyek D/B. Selain itu, ada tren menuju progressive design/build, di mana kontrak D/B dipecah menjadi beberapa fase, memungkinkan pemilik untuk memiliki lebih banyak masukan dan kontrol di awal proyek sambil tetap mempertahankan manfaat integrasi.

 

Kesimpulan:

Artikel "Public-Sector Design/Build Evolution and Performance" oleh Molenaar, Songer, dan Barash adalah kontribusi berharga bagi literatur manajemen konstruksi. Penelitian ini secara empiris menunjukkan keunggulan D/B dalam hal jadwal proyek, pengurangan klaim, dan penghematan biaya dibandingkan dengan metode DBB di sektor publik Amerika Serikat. Temuan ini tidak hanya memberikan bukti yang kuat bagi para pendukung D/B tetapi juga menawarkan wawasan penting bagi para pembuat kebijakan dan praktisi yang mempertimbangkan adopsi metode pengiriman proyek yang terintegrasi ini.

Meskipun konteks waktu publikasi perlu diperhatikan, prinsip-prinsip dasar yang diungkapkan dalam artikel ini tetap relevan. Integrasi desain dan konstruksi, pengurangan risiko bagi pemilik, dan potensi untuk inovasi adalah manfaat abadi dari D/B. Seiring dengan terus berkembangnya industri konstruksi, pemahaman yang kuat tentang evolusi dan kinerja D/B akan menjadi kunci untuk mencapai keberhasilan proyek infrastruktur publik di masa depan.

Sumber Artikel: Molenaar, K. R., Songer, A. D., & Barash, M. (1999). Public-Sector Design/Build Evolution and Performance. Journal of Management in Engineering, 15(2), 46-52. DOI: 10.1061/(ASCE)0742-597X(1999)15:2(46). Penelitian ini dapat diakses di Journal of Management in Engineering, ASCE Library.

Selengkapnya
Membedah Evolusi dan Kinerja Design/Build di Sektor Publik: Sebuah Analisis Mendalam

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan

Pedoman Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Bagi Tenaga Ahli

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 01 Oktober 2025


Saat ini percepatan pembangunan infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia yang merupakan salah satu dari visi Presiden Joko Widodo telah menjadi bagian dari agenda prioritas pemerintah. Pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama merupakan pilihan yang logis dan strategis dalam meningkatkan daya saing Indonesia sekaligus untuk mengejar ketertinggalan.

Keberhasilan pembangunan infrastruktur salah satunya didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam memenuhi kebutuhan sumber daya manusia dalam hal ini tenaga kerja konstruksi, Pemerintah melalui Kementerian PUPR melakukan berbagai upaya salah satunya peningkatan kompetensi melalui pelatihan dan uji sertifikasi tenaga kerja konstruksi. Selain itu, Pemerintah mendorong tenaga kerja kualifikasi jabatan ahli untuk melakukan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) melalui beberapa regulasi yang telah ditetapkan.

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) adalah upaya memelihara dan meningkatkan kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas tenaga kerja kualifikasi jabatan ahli secara berkesinambungan.

Sesuai dengan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PP Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi bahwa ‘perpanjangan sertifikat kompetensi kerja untuk tenaga kerja kualifikasi jabatan ahli harus memenuhi kecukupan persyaratan nilai kredit pada keprofesian berkelanjutan’, yang berarti bahwa pemenuhan nilai kredit PKB menjadi salah satu persyaratan dalam perpanjangan sertifikat.

Gambar. Persyaratan Pemenuhan Nilai Kredit PKB untuk Perpanjangan SKK
 

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) diatur dalam beberapa regulasi, diantaranya yang mengatur terkait PKB sebagai salah satu persyaratan dalam perpanjangan SKK maupun regulasi yang mengatur terkait teknis pelaksanaan PKB.

Gambar. Regulasi terkait Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)

Kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 12 Tahun 2021 dibedakan berdasarkan 5 (lima) kategori, diantaranya:

1. UNSUR KEGATAN

Unsur kegiatan PKB dibedakan menjadi unsur kegiatan utama dan unsur kegiatan penunjang. Unsur kegiatan utama PKB terdiri atas:

a. pendidikan dan pelatihan formal;

b. pendidikan nonformal;

c. partisipasi dalam pertemuan profesi;

d. sayembara/kompetisi, paparan, paten, karya tulis, dan pengajaran sebagai pengajar/instruktur;

e. paparan film, gelar karya, pengenalan produk, dan ziarah arsitektur; dan

f. kegiatan utama lainnya.

Sedangkan unsur kegiatan penunjang terdiri atas:

a. pakar/narasumber;

b. pengurus organisasi profesi atau pimpinan LPJK; dan

c. penerima tanda jasa, penghargaan, dan sejenisnya.

Gambar. Unsur Kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan

2. JENIS KEGIATAN

Jenis kegiatan PKB dibedakan menjadi kegiatan PKB terverifikasi dan kegiatan PKB tidak terverifikasi. Kegiatan PKB terverifikasi merupakan Kegiatan PKB yang memenuhi tata cara:

a. pendaftaran penyelenggara Kegiatan PKB;

b. pengajuan Kegiatan PKB; dan

c. pelaporan Kegiatan PKB.

Untuk mengikuti kegiatan PKB terverifikasi, tenaga ahli harus mengikuti kegiatan PKB yang diselenggarakan oleh penyelenggara PKB yang telah terdaftar di sistem PKB LPJK yang mana kegiatannya diajukan dan dilaporkan melalui sistem PKB LPJK.

Gambar. Tahapan Kegiatan PKB Terverifikasi

Sedangkan kegiatan PKB tidak terverifikasi meliputi:

a. kegiatan yang diselenggarakan oleh penyelenggara Kegiatan PKB, namun tidak memenuhi tata cara sebagaimana kegiatan PKB terverifikasi; atau

b. Kegiatan PKB yang dilakukan secara mandiri oleh tenaga kerja kualifikasi jabatan ahli.

Gambar. Tahapan Kegiatan PKB Tidak Terverifikasi

3. SIFAT KEGIATAN

Sifat kegiatan PKB dibedakan menjadi kegiatan PKB umum dan kegiatan PKB khusus.

a. Kegiatan PKB umum merupakan kegiatan yang materinya tidak sesuai dengan kompetensi keahlian yang bersangkutan, namun menunjang PKB tenaga kerja kualifikasi jabatan ahli.

b. Kegiatan PKB khusus merupakan kegiatan yang materinya sesuai dengan kompetensi subklasifikasi tenaga kerja kualifikasi jabatan ahli.

4. METODE KEGIATAN

Metode kegiatan PKB dilaksanakan secara tatap muka dan/atau dalam jaringan.

5. TINGKAT KEGIATAN

Tingkat kegiatan PKB diselenggarakan secara nasional, internasional yang diselenggarakan di dalam negeri, dan internasional yang diselenggarakan di luar negeri. Kriteria tingkat Kegiatan PKB internasional yang diselenggarakan di dalam negeri diantaranya:

a. pihak yang terlibat paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari luar negeri; dan

b. kegiatan PKB dilaksanakan di dalam negeri.

Sesuai dengan Amanah peraturan perundang-undangan, Tenaga ahli harus mengikuti kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan dan memenuhi persyaratan nilai kredit PKB untuk dapat melakukan perpanjangan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) konstruksi. Untuk lebih jelasnya terkait alur besar perolehan angka kredit tenaga kerja kualifikasi jabatan ahli dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar. Alur Besar Perolehan Angka Kredit Tenaga Ah

Tenaga ahli terlebih dahulu harus memiliki akun PKB untuk dapat menginventarisasi kegiatan PKB yang telah diikutinya. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa kegiatan PKB berdasarkan jenisnya terdiri atas kegiatan PKB terverifikasi dan kegiatan PKB tidak terverifikasi. Pada kegiatan PKB terverifikasi, tenaga ahli tidak perlu mencatatkan kegiatan PKB secara mandiri, namun perolehan angka kredit akan otomatis tercatat pada akun PKB yang dimiliki oleh tenaga ahli. Sedangkan pada kegiatan PKB tidak terverifikasi, tenaga ahli harus mencatatkan kegiatan PKB secara mandiri pada log book akun PKB yang dimilikinya.

Perolehan angka kredit tenaga ahli dihitung per kegiatan, dengan rumus nilai dasar SKPK dikalikan dengan bobot SKPK. Nilai SKPK ditentukan berdasarkan unsur kegiatan PKB, sedangkan bobot SKPK ditentukan berdasarkan jenis, sifat, metode, dan tingkat kegiatan PKB.

Gambar. Rumus Perolehan Angka Kredit PKB

Nilai kredit tenaga ahli merupakan akumulasi dari perolehan angka kredit kegiatan PKB terverifikasi dan kegiatan PKB tidak terverifikasi yang selanjutnya akan diverifikasi kecukupan nilai kreditnya oleh LSP pada saat tenaga ahli mengajukan permohonan perpanjangan SKK.

Lebih lanjut terkait alur dan ketentuan pelaksanaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan diatur di dalam Surat Edaran Ketua LPJK Nomor: 08/SE/LPJK/2021 tentang Pedoman Verifikasi dan Validasi, serta Penilaian Kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Ketua LPJK Nomor: 04.1/SE/LPJK/2022.

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia 
 

Selengkapnya
Pedoman Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Bagi Tenaga Ahli

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Keselamatan Konstruksi di Nepal: Antara Praktik Moderat dan Tantangan Tata Kelola

Dipublikasikan oleh Raihan pada 01 Oktober 2025


Mengungkap Realitas Keselamatan Konstruksi di Nepal: Sebuah Tinjauan Mendalam

Industri konstruksi secara global dikenal sebagai salah satu sektor dengan risiko kecelakaan kerja tertinggi, dan Nepal tidak terkecuali. Setiap tahun, diperkirakan 20.000 pekerja di Nepal mengalami kecelakaan di tempat kerja, dengan 200 di antaranya berakibat fatal. Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak insiden yang tidak dilaporkan, menunjukkan bahwa angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi. Meskipun pemerintah Nepal telah menunjukkan komitmen melalui regulasi seperti UU Ketenagakerjaan 2017 dan Kebijakan Nasional K3 2019, implementasi di lapangan masih menjadi tantangan besar.

Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam Saudi Journal of Civil Engineering oleh Mahendra Acharya dkk. menyelami lebih dalam untuk menilai status praktik keselamatan di proyek gedung komersial Nepal dan mengidentifikasi tantangan utamanya.

Metodologi dan Temuan Kunci

Penelitian ini mengumpulkan data primer dari 487 responden yang tersebar di berbagai proyek konstruksi gedung komersial di Nepal. Responden berasal dari berbagai tingkatan, termasuk Manajer Proyek (11,09%), Insinyur Senior (26,90%), Insinyur Lapangan (18,89%), Sub-Insinyur (13,14%), dan lainnya (29,98%). Data yang dikumpulkan melalui kuesioner dengan skala Likert lima poin kemudian dianalisis secara kuantitatif menggunakan MS Excel dan SPSS. Tiga metode analisis utama digunakan: Bloom Cutoff untuk mengkategorikan level implementasi, Relative Importance Index (RII) untuk merangking praktik keselamatan, dan Principal Component Analysis (PCA) untuk mengekstrak tantangan utama.

Status Implementasi: Berada di Level "Moderat"

Temuan utama menunjukkan bahwa status implementasi keselamatan secara keseluruhan berada pada level moderat, di mana 70,64% responden jatuh dalam kategori ini. Hanya 16,22% yang menganggap implementasi berada pada level tinggi, sementara 13,14% lainnya menilainya rendah.

Analisis RII memberikan gambaran yang lebih detail mengenai praktik mana yang paling sering dan paling jarang diterapkan:

  • Praktik yang Paling Banyak Diterapkan:
    • Penggunaan barikade pengaman (RII = 0.862).
    • Kepatuhan pekerja terhadap aturan keselamatan (RII = 0.827).
    • Pemeliharaan peralatan secara tepat waktu (RII = 0.826).
    • Implementasi kode bangunan (NBC 114:1994) (RII = 0.819).
    • Ketersediaan fasilitas pertolongan pertama (RII = 0.794).
  • Praktik yang Paling Lemah dan Jarang Diterapkan:
    • Rencana keselamatan kerja (Job safety plan) (RII = 0.596).
    • Pelatihan keselamatan (Safety training) (RII = 0.534).
    • Tinjauan desain untuk aspek keselamatan (Design review for safety) (RII = 0.509).

Studi ini juga menemukan bahwa keberadaan

safety officer dan pelaksanaan audit keselamatan secara rutin hampir tidak ada di mayoritas proyek yang diteliti, menandakan celah pengawasan yang signifikan.

Lima Tantangan Utama Penghambat Keselamatan

Analisis PCA berhasil mengelompokkan berbagai tantangan menjadi lima faktor utama yang secara kolektif menjelaskan 68,12% dari total varians.

  1. Budaya Keselamatan yang Lemah (Poor Safety Culture): Ini adalah tantangan paling dominan, menjelaskan 40,217% varians. Faktor ini mencakup persepsi bahwa keselamatan adalah biaya tambahan (

aided cost), kecenderungan untuk hanya memenuhi persyaratan kontrak minimum, serta kurangnya inspeksi dan pemantauan keselamatan yang proaktif.

  1. Manajemen Keselamatan yang Buruk (Poor Safety Management): Faktor kedua (8,97% varians) menyoroti kurangnya komitmen dari pihak manajemen serta adanya manajer dan pekerja yang tidak kompeten dalam hal keselamatan.
  2. Kurangnya Pengetahuan dan Sumber Daya (Lack of Safety Knowledge and Resources): Menjelaskan 8,11% varians, tantangan ini berakar pada pelatihan yang tidak memadai dan tidak adanya ahli atau petugas keselamatan (safety officer) di lokasi proyek.
  3. Lemahnya Infrastruktur & Komunikasi Keselamatan (Lack of Safety Infrastructures and Communication): Faktor ini (5,72% varians) mencakup pencatatan kecelakaan yang buruk, kurangnya rambu-rambu keselamatan, serta minimnya penggunaan barikade dan jaring pengaman.
  4. Masalah Tata Kelola dan Implementasi (Problem in Governance and Implementation): Faktor terakhir (5,26% varians) menyoroti bahwa hukum dan peraturan yang ada dianggap tidak cukup dan penegakannya di lapangan sangat lemah.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Para peneliti mengakui adanya keterbatasan, termasuk potensi bias persepsi karena data sangat bergantung pada kuesioner dan observasi lapangan yang terbatas. Namun, penelitian ini membuka beberapa pertanyaan penting untuk dieksplorasi lebih lanjut: sejauh mana kebijakan pemerintah pasca 2019 benar-benar telah diimplementasikan? Apakah budaya keselamatan dapat diperbaiki secara efektif melalui sistem insentif? Dan bagaimana perbedaan tingkat kepatuhan antara proyek yang didanai publik dan swasta? Hubungan langsung antara faktor-faktor PCA (seperti budaya keselamatan) dengan angka kecelakaan aktual di lapangan juga perlu diteliti lebih lanjut.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan ini, lima arah penelitian di masa depan direkomendasikan untuk membangun fondasi keselamatan yang lebih kuat di Nepal:

  1. Evaluasi Intervensi Budaya Keselamatan melalui Studi Longitudinal.
  2. Pengaruh Keberadaan Safety Officer dan Pelatihan Keselamatan terhadap Kinerja Proyek.
  3. Analisis Biaya-Manfaat dari Implementasi Keselamatan secara Komprehensif.
  4. Studi Perbandingan Proyek Publik vs. Swasta dalam Implementasi Praktik Keselamatan.
  5. Pengembangan Model Tata Kelola Keselamatan Multi-Stakeholder di Nepal.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini menegaskan bahwa keselamatan di proyek konstruksi komersial Nepal masih berada pada level moderat dengan tantangan dominan berupa budaya keselamatan yang lemah dan tata kelola yang kurang efektif. Untuk mendorong perubahan yang nyata, diperlukan upaya kolaboratif.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintah seperti Ministry of Labour, Employment and Social Security (MoLESS), lembaga akademik teknik sipil di Nepal, serta asosiasi kontraktor dan serikat pekerja. Keterlibatan multi-pihak ini krusial untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil riset, sekaligus mendorong perubahan budaya keselamatan yang nyata dari tingkat kebijakan hingga ke implementasi di setiap proyek.

Baca paper aslinya di sini: https://doi.org/10.36348/sjce.2024.v08i09.003

Selengkapnya
Keselamatan Konstruksi di Nepal: Antara Praktik Moderat dan Tantangan Tata Kelola

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Menyingkap Paradoks K3 di Sektor Konstruksi: Analisis Kritis dan Arah Riset Masa Depan dari Studi Kasus di Ghana

Dipublikasikan oleh Raihan pada 01 Oktober 2025


Resensi dan Arah Riset Lanjutan

Penelitian oleh Moses Segbenya dan Esi Yeboah (2022) yang berjudul "Effect of Occupational Health and Safety on Employee Performance in the Ghanaian Construction Sector" menyajikan sebuah analisis krusial mengenai dinamika antara kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan dampaknya terhadap kinerja karyawan. Meskipun berlatar di Ghana, temuan-temuan dalam riset ini memiliki relevansi global, terutama bagi negara-negara berkembang di mana sektor konstruksi menjadi motor penggerak ekonomi namun seringkali diiringi dengan tingginya angka kecelakaan kerja

Studi ini berangkat dari premis bahwa sektor konstruksi secara inheren memiliki risiko tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja, mulai dari bekerja di ketinggian, paparan zat berbahaya, hingga penggunaan alat berat. Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui desain penelitian deskriptif, para peneliti menyurvei 120 karyawan dari sebuah perusahaan konstruksi terkemuka di Ghana, Consar Construction Ltd.. Analisis data menggunakan regresi standar berganda untuk mengukur pengaruh variabel-variabel K3 terhadap performa. Perjalanan logis penelitian ini dimulai dari identifikasi masalah tingginya kecelakaan kerja, kemudian menguji keselarasan kebijakan K3 yang ada dengan praktik internasional, mengukur kesadaran karyawan, hingga akhirnya mengkuantifikasi dampak K3 terhadap kinerja dan mengidentifikasi tantangan implementasinya.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi paling signifikan dari penelitian ini adalah pembuktian empiris mengenai hubungan positif antara K3 dan kinerja karyawan.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara K3 dan kinerja karyawan dengan koefisien beta 0.728, yang signifikan secara statistik (P=.000).

Secara deskriptif, variabel K3 dalam model ini mampu menjelaskan 30,4% varians dalam kinerja karyawan. Angka ini mengindikasikan bahwa lingkungan kerja yang aman dan terjamin secara langsung berkontribusi pada peningkatan produktivitas, baik melalui penyelesaian tugas yang tepat waktu maupun kualitas kerja yang lebih baik. Temuan ini memberikan justifikasi ekonomi yang kuat bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam K3, melampaui sekadar pemenuhan kewajiban hukum atau moral.

Kedua, studi ini menyoroti sebuah paradoks penting: adanya kebijakan K3 yang sejalan dengan standar internasional tidak serta-merta menjamin implementasi yang efektif di lapangan. Meskipun perusahaan menyediakan peralatan pelindung diri (APD) dan memasang pemberitahuan keselamatan , penelitian ini menemukan kelemahan fatal pada aspek fundamental, yaitu kurangnya pelatihan, induksi, dan kursus penyegaran K3 secara reguler bagi para pekerja. Kesenjangan antara kebijakan di atas kertas dan praktik nyata ini menjadi titik kritis yang menjelaskan mengapa kecelakaan masih terus terjadi meskipun sistem telah ada.

Ketiga, penelitian ini berhasil mengungkap tantangan sosio-kultural yang menghambat efektivitas K3, yaitu "budaya takut" (culture of fear). Ditemukan bahwa pekerja cenderung tidak melaporkan cedera ringan atau insiden nyaris celaka karena takut dipecat. Fenomena ini menyebabkan data kecelakaan kerja yang tidak akurat dan menghalangi manajemen untuk mengidentifikasi serta memperbaiki potensi bahaya. Di sisi lain, manajemen perusahaan menghadapi tantangan ekonomi, di mana biaya tinggi untuk pelatihan K3 dianggap sebagai beban, yang menjelaskan mengapa aspek ini sering diabaikan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun memberikan wawasan berharga, studi ini memiliki beberapa keterbatasan yang justru membuka ruang untuk penelitian di masa depan. Pertama, fokus penelitian pada satu perusahaan konstruksi, meskipun terkemuka, membatasi generalisasi temuan ke seluruh industri konstruksi di Ghana atau negara lain. Kedua, model regresi yang digunakan hanya mampu menjelaskan 30,4% varians kinerja karyawan. Ini menyisakan

69,6% varians yang tidak dapat dijelaskan

, menandakan adanya faktor-faktor lain di luar variabel K3 yang diteliti (kesadaran, kebijakan, dan praktik) yang turut memengaruhi kinerja secara signifikan.

Dari keterbatasan ini, muncul beberapa pertanyaan terbuka yang mendesak untuk dijawab:

  1. Jika biaya menjadi penghalang utama, model pelatihan K3 seperti apa yang paling efektif dari segi biaya (cost-effective) namun tetap berdampak tinggi bagi pekerja dengan tingkat literasi beragam?
  2. Bagaimana cara sistematis untuk membongkar "budaya takut" dalam pelaporan insiden? Intervensi psikologis atau organisasional apa yang dapat membangun kepercayaan antara pekerja dan manajemen?
  3. Di luar K3, variabel apa saja (misalnya, sistem kompensasi, keamanan kerja, atau gaya kepemimpinan) yang mengisi 69,6% celah dalam model kinerja karyawan di lingkungan berisiko tinggi?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan, keterbatasan, dan pertanyaan terbuka dari paper ini, berikut adalah lima arah riset prioritas bagi para akademisi, peneliti, dan lembaga pendanaan:

  1. Riset Intervensi tentang Model Pelatihan K3 Adaptif dan Berbiaya Rendah.
    • Justifikasi: Temuan utama paper ini adalah kurangnya pelatihan K3 reguler yang disebabkan oleh tingginya biaya. Riset ini diperlukan untuk menyediakan solusi berbasis bukti yang dapat diimplementasikan oleh perusahaan dengan sumber daya terbatas.
    • Metode & Variabel Baru: Menggunakan desain kuasi-eksperimental, peneliti dapat membandingkan efektivitas beberapa model pelatihan: (a) pelatihan berbasis micro-learning melalui aplikasi seluler, (b) program bimbingan peer-to-peer di lokasi proyek, dan (c) lokakarya visual-interaktif. Variabel yang diukur adalah tingkat retensi pengetahuan K3, perubahan perilaku keselamatan (penggunaan APD), dan penurunan angka insiden kecil.
  2. Studi Etnografi Mendalam tentang Budaya Keselamatan dan Hambatan Pelaporan.
    • Justifikasi: Fenomena "takut dipecat" adalah masalah budaya kompleks yang tidak dapat ditangkap sepenuhnya melalui survei kuantitatif. Penelitian kualitatif diperlukan untuk memahami akar masalahnya.
    • Metode & Konteks Baru: Melakukan studi etnografi dengan metode observasi partisipatoris dan wawancara mendalam di beberapa lokasi proyek konstruksi. Tujuannya adalah untuk memetakan dinamika kekuasaan, tingkat kepercayaan pada manajemen, tekanan dari rekan kerja, dan persepsi tentang keamanan kerja yang mendorong pekerja untuk menyembunyikan insiden.
  3. Analisis Komparatif Lintas Negara tentang Kerangka Regulasi K3 dan Efektivitas Penegakannya.
    • Justifikasi: Paper ini menyebutkan bahwa Ghana menghadapi tantangan dalam penegakan hukum dan belum memiliki kebijakan nasional yang komprehensif. Studi komparatif dapat memberikan cetak biru kebijakan yang lebih baik.
    • Konteks Baru: Membandingkan kerangka regulasi K3 di sektor konstruksi antara Ghana dengan negara-negara berkembang lain yang menunjukkan kemajuan (misalnya, Malaysia atau Afrika Selatan). Analisis harus fokus pada mekanisme penegakan hukum, sistem insentif dan disinsentif bagi perusahaan, serta peran serikat pekerja dalam pengawasan K3.
  4. Pengembangan Model Kinerja Karyawan yang Lebih Komprehensif.
    • Justifikasi: Model dalam studi ini menyisakan 69,6% varians kinerja yang tidak terjelaskan. Riset lanjutan harus mengidentifikasi prediktor-prediktor lain untuk memberikan pemahaman yang lebih holistik. Para penulis sendiri menyarankan untuk meneliti faktor lain seperti jaminan sosial.
    • Variabel Baru: Penelitian kuantitatif berikutnya dapat mengintegrasikan variabel-variabel seperti: (a) sistem kompensasi dan upah, (b) tingkat keamanan kerja (job security), (c) kualitas hubungan antara atasan dan bawahan, dan (d) tingkat stres kerja. Tujuannya adalah untuk membangun model prediksi kinerja yang lebih kuat dan akurat.
  5. Studi Longitudinal Mengenai Dampak Kesehatan Jangka Panjang dari Paparan Bahaya Kerja.
    • Justifikasi: Studi ini berfokus pada kecelakaan dan cedera akut. Namun, banyak risiko di sektor konstruksi bersifat kronis, seperti yang disarankan oleh penulis untuk meneliti efek lingkungan berdebu.
    • Metode Baru: Melakukan studi kohort longitudinal yang melacak sekelompok pekerja konstruksi selama 5–10 tahun. Data yang dikumpulkan mencakup riwayat paparan kerja (debu, kebisingan, bahan kimia), catatan kesehatan (fungsi paru-paru, pendengaran), dan implementasi praktik K3 di tempat kerja mereka. Riset ini akan mengkuantifikasi risiko penyakit akibat kerja jangka panjang yang seringkali terabaikan.

Ajakan Kolaboratif

Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil dari arah riset yang direkomendasikan di atas, kolaborasi multi-pihak sangat esensial. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan Hubungan Perburuhan Ghana, asosiasi kontraktor nasional, serikat pekerja konstruksi, serta lembaga akademik seperti University of Cape Coast.  Kemitraan semacam ini akan memastikan bahwa temuan penelitian tidak hanya valid secara ilmiah tetapi juga relevan dengan kebutuhan industri dan dapat diterjemahkan menjadi kebijakan yang efektif.

Baca Selengkapnya di : https://doi.org/10.1177/11786302221137222

Selengkapnya
Menyingkap Paradoks K3 di Sektor Konstruksi: Analisis Kritis dan Arah Riset Masa Depan dari Studi Kasus di Ghana

Pendidikan Vokasi

Bedah Kritis UKK Otomotif SMK: Mengurai Kesenjangan Antara Mutu Internal dan Komitmen Rekrutmen Industri

Dipublikasikan oleh Raihan pada 01 Oktober 2025


Evaluasi Kritis Uji Kompetensi Keahlian Otomotif: Merumuskan Arah Riset Vokasi Indonesia Berkelanjutan

Resensi penelitian ini menyajikan evaluasi Uji Kompetensi Keahlian (UKK) Teknik Kendaraan Ringan Otomotif (TKRO) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kota Yogyakarta menggunakan Model CIPP (Context, Input, Process, Product). Penelitian ini relevan secara kritis mengingat lulusan SMK secara konsisten menyumbang angka pengangguran terbuka tertinggi di Indonesia, mencapai 11,45% per Februari 2021. Penelitian yang melibatkan 48 subjek—termasuk 7 Ketua Kompetensi Keahlian (K3), 18 Asesor, dan 23 Guru Produktif—ini bertujuan untuk memastikan apakah mekanisme jaminan mutu, dalam hal ini UKK, berjalan optimal dalam mempersiapkan lulusan memasuki dunia kerja.  

Evaluasi yang dilakukan di tujuh SMK terakreditasi A di Yogyakarta ini menggunakan triangulasi data dari angket, observasi, dan dokumen, yang kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil dari penelitian ini berfungsi sebagai titik tolak diagnostik penting untuk mendefinisikan prioritas riset di masa depan, terutama dalam upaya mencapai tujuan link and match yang sesungguhnya antara pendidikan vokasi dan industri.

Paragraf Inti Temuan dan Jalur Logis

Penelitian ini memaparkan alur logis temuan yang bergerak dari identifikasi masalah makro ke penilaian mikro program, dan berakhir pada kesenjangan kualitas eksternal. Masalah utama yang mendasari studi ini adalah ketidaksesuaian kompetensi lulusan otomotif dengan harapan stakeholder, diperkuat oleh data kelulusan UKK TKRO Skema Klaster Servis & Pemeliharaan yang hanya mencapai 61,54% di Yogyakarta. Evaluasi mendalam diperlukan karena survei pendahuluan menunjukkan bahwa mayoritas SMK belum pernah melaksanakan evaluasi program UKK secara komprehensif.  

Secara agregat, hasil kuantitatif menunjukkan pandangan internal yang positif terhadap pelaksanaan UKK. Penilaian rata-rata dari seluruh aspek CIPP oleh ketiga kelompok subjek berkisar antara 3.32 hingga 3.73, yang sebagian besar masuk dalam kategori "Baik" hingga "Sangat Baik" berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Secara khusus, aspek  

Input (skor K3 3.55, Asesor 3.73) dan Process (skor K3 3.62, Asesor 3.73) dinilai sangat tinggi, menunjukkan keyakinan bahwa sumber daya dan prosedur pelaksanaan UKK sudah memadai dan terjadwal dengan baik (P1). Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara kualitas penilaian internal (Input/Process) dan kepercayaan diri internal dengan koefisien rata-rata 3.73 — menunjukkan potensi kuat untuk dijadikan objek penelitian baru yang berfokus pada validasi eksternal skor yang tinggi ini.

Namun, ketika fokus dialihkan dari skor agregat ke butir-butir penilaian spesifik yang berhubungan dengan hasil jangka panjang dan validitas eksternal, muncul kelemahan struktural. Pada aspek Context, butir C11 (Pencapaian UKK dalam membuka peluang kerja lulusan otomotif di industri internasional) mendapatkan skor terendah dari Guru Produktif, yaitu sebesar 2.82. Demikian pula, pada aspek Product, butir D18 (Komitmen DUDI/IDUKA dalam menyerap tenaga kerja hasil uji kompetensi keahlian) mendapatkan skor terendah, yakni 2.88 dari Guru Produktif. Skor-skor ini, yang mendekati batas kategori 'Cukup' (2.20–2.80), secara definitif mengindikasikan bahwa meskipun proses internalnya baik, dampak UKK terhadap penyerapan tenaga kerja (D17, D18) dan daya saing global (C11) masih jauh dari optimal.  

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi paling mendasar dari penelitian ini adalah penegasan bahwa evaluasi program vokasi harus melampaui penilaian prosedur dan sumber daya internal (Input dan Process) dan wajib memprioritaskan validitas eksternal (Context dan Product). Dengan membandingkan skor tinggi pada Input (3.73 dari Asesor) dan Process (3.73 dari Asesor) dengan skor rendah pada C11 (2.82) dan D18 (2.88), studi ini berhasil mengisolasi kesenjangan antara mutu pelaksanaan program dan capaian tujuan makro.  

Secara metodologis, penelitian ini memvalidasi Model CIPP sebagai alat diagnostik yang mampu membedah titik kelemahan kritis. Dalam konteks Indonesia, studi ini juga memberikan bukti penting mengenai implementasi sertifikasi. Ditemukan bahwa 6 dari 7 SMK menggunakan skema UKK mandiri (kerjasama DUDI/IDUKA), namun hanya 14% lulusan yang memperoleh sertifikat kompetensi berlogo burung garuda dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Realitas ini mengarahkan pada kebutuhan mendesak untuk menstandardisasi Materi Uji Kompetensi (MUK) dan memperkuat peran LSP-P1/P3, karena saat ini terjadi inkonsistensi antara harapan lembaga sertifikasi profesi (D14) dan industri (D15) terhadap hasil UKK, yang mana kedua butir ini juga mendapatkan skor yang sangat rendah.  

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan geografis penelitian, yang hanya mencakup Kota Yogyakarta, membatasi generalisasi temuan. Namun, masalah yang lebih signifikan adalah kontradiksi data internal dan eksternal yang melahirkan pertanyaan terbuka krusial bagi agenda riset dan kebijakan di masa depan.

Pertama, Disparitas Rigor Sertifikasi. Jika sertifikasi BNSP memiliki legalitas tinggi dari sisi industri, mengapa mayoritas SMK memilih skema UKK mandiri? Partisipasi industri otomotif dalam UKK di wilayah yang berdekatan seperti Kabupaten Sleman hanya 33,33%, menunjukkan adanya disinsentif struktural yang menghalangi adopsi penuh standar BNSP atau bahkan menunjukkan persepsi bahwa skema BNSP mungkin tidak sepenuhnya relevan dengan kebutuhan industri lokal mutakhir. Penelitian lanjutan harus mengungkap faktor yang mendorong SMK menjauh dari standar BNSP.  

Kedua, Kesenjangan Keterampilan Non-Rutin. Meskipun prosedur UKK dinilai sangat baik, Asesor memberikan skor yang relatif rendah pada butir P11 (mengukur kemampuan peserta mengatasi masalah dalam tugas tertentu, atau Contingency Management Skill), yaitu 3.46. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah fokus MUK (I12, I13, I14) saat ini terlalu terpaku pada task skill dan task management skill rutin, sehingga mengabaikan pengukuran kemampuan adaptif dan pemecahan masalah (D7) yang esensial di era Industri 4.0? Evaluasi ini memperkuat pandangan bahwa pelatihan asesor harus ditingkatkan untuk mampu mengukur keterampilan non-rutin tersebut.  

Ketiga, Keterputusan Link and Match di Tingkat Hasil. Skor terendah pada komitmen penyerapan tenaga kerja oleh DUDI/IDUKA (D18: 2.88) secara langsung menantang klaim keberhasilan program link and match. Pertanyaan mendalam yang perlu dijawab adalah: Jika kualitas lulusan (product) telah melalui proses uji yang baik dan memiliki skor internal yang tinggi, mengapa terjadi ketidakseimbangan antara supply lulusan TKRO dan demand tenaga kerja yang dibutuhkan DUDI/IDUKA setiap tahunnya? Analisis data ini menunjukkan bahwa masalah pengangguran vokasi lebih merupakan masalah struktural dalam komitmen kemitraan, bukan semata-mata masalah kualitas pendidikan.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan kritis dari model CIPP, khususnya pada titik lemah Context (C11), Input (I17, I110, I115), Process (P11), dan Product (D18), berikut adalah lima arah riset prioritas untuk memperkuat pendidikan vokasi Indonesia.

1. Model Evaluasi Validitas Prediktif Kemitraan DUDI/IDUKA (Menindaklanjuti D18)

Justifikasi Ilmiah: Skor D18 (Komitmen DUDI/IDUKA menyerap tenaga kerja) yang hanya 2.88 menunjukkan bahwa upaya link and match saat ini rentan terhadap perjanjian non-binding (MoU) dan belum menghasilkan komitmen rekrutmen yang terukur. Masalah pengangguran vokasi tidak dapat diselesaikan hanya dengan peningkatan kualitas guru (I5, I6) atau sarana, melainkan harus fokus pada product yang terukur.

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian Mixed-Method eksploratif (kualitatif mendahului kuantitatif). Fokus riset harus dialihkan untuk menguji variabel Indeks Koefisien Kemitraan Rekrutmen (IKKR), yang mengukur korelasi antara investasi DUDI dalam UKK (misalnya, penyediaan Asesor DUDI skala nasional—I10, atau penyediaan standar khusus industri—I15) dengan persentase nyata penyerapan lulusan enam bulan pasca-sertifikasi (D17, D18). Riset ini harus dilakukan di luar wilayah Yogyakarta untuk mendapatkan generalisasi yang lebih kuat Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini dibutuhkan untuk mengembangkan Model Kemitraan Berikat (Contractual Partnership Model) yang memiliki mekanisme feedback loop yang mengikat DUDI/IDUKA, memastikan bahwa keterlibatan mereka dalam UKK berimplikasi langsung pada rekrutmen tenaga kerja.

2. Audit Kesenjangan Kompetensi Global dan Internasionalisasi MUK (Menindaklanjuti C11)

Justifikasi Ilmiah: Skor C11 (Peluang Kerja Internasional) yang mencapai titik terendah (2.82) secara tegas menunjukkan bahwa kurikulum dan MUK yang digunakan saat ini (I12, I13) tidak memposisikan lulusan untuk bersaing di pasar tenaga kerja global. Ini menuntut sinergi yang lebih erat dengan DUDI/IDUKA dan LSP untuk meningkatkan peluang kerja di tingkat internasional, sesuai dengan tujuan pendidikan vokasi yang lebih tinggi.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian Komparatif Internasional berbasis analisis dokumen. Perlu dilakukan perbandingan MUK TKRO saat ini (termasuk yang mengacu pada SKKNI—I14) dengan standar kompetensi yang digunakan dalam kompetisi internasional (seperti World Skills Competition) atau standar teknis yang diakui oleh DUDI/IDUKA multinasional. Variabel Kunci: (1) Tingkat Kedalaman Teknologi yang diuji (misalnya, sistem manajemen mesin EFI dan diagnosa tingkat lanjut), dan (2) Validasi Kompetensi Asesor (I14, I15) terhadap standar pelatihan global.

Perlunya Penelitian Lanjutan: Hasil audit ini akan menjadi cetak biru bagi Kurikulum Berorientasi Global (K-Global) yang terstandardisasi, memastikan bahwa kompetensi lulusan (D9, D10) memenuhi tuntutan mobilitas tenaga kerja dan tuntutan IPTEK masa depan (C9).

3. Analisis Biaya-Efektivitas Dynamic Procurement Fasilitas TUK (Menindaklanjuti Aspek Input Fasilitas)

Justifikasi Ilmiah: Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana yang mutakhir adalah rekomendasi eksplisit dari penelitian. Ditemukan pula bahwa TUK di SMK mayoritas belum memiliki sarana praktik yang relevan dengan standar industri, dan bahkan skor untuk luas tanah TUK (I17) dari Guru Produktif hanya 3.02. Infrastruktur yang usang menjadi hambatan fisik bagi penerapan MUK yang modern (I14, I15).  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian Pengembangan (R&D) yang mengintegrasikan evaluasi biaya dan teknologi. Tujuannya adalah mengembangkan Model Dynamic Procurement Fasilitas Vokasi untuk mengatasi keusangan teknologi. Variabel yang diukur: (1) Indeks Tingkat Keusangan Teknologi (IKT) fasilitas praktik (I22, I24) berdasarkan siklus teknologi otomotif, (2) Rasio Keterlibatan Industri dalam Penyediaan Fasilitas (RIIP), dan (3) Korelasi antara kepemilikan SOP TUK (I26) dengan hasil UKK (Product).  

Perlunya Penelitian Lanjutan: Diperlukan untuk merancang mekanisme pendanaan dan pengadaan berkelanjutan yang melibatkan DUDI/IDUKA secara finansial, sehingga TUK (I18, I19, I20) selalu merefleksikan teknologi terkini dan dapat melampaui standar minimal pelaksanaan UKK darurat Covid-19.  

4. Studi Komparatif Rigor Penilaian Antar-Skema Sertifikasi (Menindaklanjuti BNSP vs. Mandiri)

Justifikasi Ilmiah: Tingkat pencapaian sertifikat BNSP yang rendah (14%), berlawanan dengan dominasi skema UKK mandiri, menunjukkan adanya ketidakseragaman dalam standar mutu pengujian dan penilaian. Skor rendah pada butir Pengakuan Sertifikat (D16: 3.00) dan Hasil UKK sesuai harapan LSP (D14: 3.00) membuktikan keraguan stakeholder eksternal terhadap mutu sertifikasi mandiri.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian Evaluasi Kuantitatif menggunakan desain perbandingan hasil (misalnya, Non-Equivalent Control Group Design). Konteks: Membandingkan hasil dan proses UKK di SMK yang menggunakan skema LSP-P1/P3 dengan SMK yang menggunakan skema UKK Mandiri. Variabel Fokus: (1) Indeks Reliabilitas Hasil Uji (analisis keandalan instrumen, misalnya alpha cronbach MUK) di kedua skema, (2) Kalibrasi Penilaian Asesor (P7, P8) antara Asesor BNSP dan Asesor Mandiri, dan (3) Perbedaan signifikan pada tingkat serapan tenaga kerja (D17) dan komitmen DUDI/IDUKA (D18) berdasarkan jenis sertifikat yang dimiliki lulusan.

Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini harus menjadi dasar kebijakan untuk merumuskan pedoman intervensi yang menjamin standar minimum kompetensi yang seragam (D12, D13), terlepas dari skema pengujian, sehingga memperkuat pengakuan industri terhadap sertifikat lulusan.

5. Pengembangan MUK Berbasis Contingency Management Skill (Menindaklanjuti P11)

Justifikasi Ilmiah: Kualitas Process dinilai tinggi, namun aspek pengukuran keterampilan non-rutin lemah. Asesor menilai butir P11 (Contingency Management Skill) hanya 3.46, yang menunjukkan bahwa UKK saat ini kurang efektif dalam mengukur kemampuan adaptasi peserta didik terhadap masalah tak terduga (D7) dan transfer keterampilan (D8). Keterampilan mengatasi masalah adalah kunci daya saing di industri 4.0.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian Pengembangan Instrumen Evaluasi (R&D). Tujuannya adalah merancang dan memvalidasi Materi Uji Kompetensi (MUK) Adaptif yang fokus pada simulasi diagnostik kompleks dan kasus gagal fungsi (misalnya, pada kendaraan dengan sistem EFI, yang merupakan fokus skema klaster UKK di Yogyakarta). Variabel Fokus: (1)  

Validitas Konstruk MUK baru dalam mengukur P11 dan P12 (transfer skill), (2) Efektivitas Pelatihan Asesor (I2, I3, I7) dalam menerapkan prinsip penilaian fleksibel dan objektif (P7, P9), dan (3) Pengembangan format penilaian yang mengukur peran peserta didik dalam menjaga lingkungan kerja (D6, P13).

Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini esensial untuk memastikan bahwa UKK bergerak dari sekadar verifikasi prosedur mekanis menuju pengukuran kompetensi kognitif tingkat tinggi, yang merupakan prediktor penting bagi keberhasilan karier jangka panjang.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Evaluasi UKK TKRO SMK di Kota Yogyakarta menggunakan model CIPP telah berhasil mengidentifikasi dikotomi antara keyakinan internal yang tinggi (pada aspek Input dan Process) dan lemahnya validitas eksternal (pada aspek Context dan Product). Temuan menunjukkan bahwa meskipun UKK sudah berjalan dengan baik secara prosedural, masalah mendasar terletak pada komitmen penyerapan tenaga kerja oleh DUDI/IDUKA (D18) dan ketidaksiapan lulusan menghadapi tantangan global (C11).

Lima rekomendasi riset lanjutan ini menyediakan peta jalan bagi komunitas akademik dan lembaga penyandang dana untuk secara strategis mengatasi kesenjangan struktural yang ada. Diperlukan kolaborasi multidimensi untuk mengubah hasil UKK dari sekadar dokumen kelulusan menjadi sertifikasi yang diakui secara global dan dijamin serapannya oleh industri.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) sebagai pemangku otoritas standar kompetensi, Asosiasi Industri Otomotif (seperti GAIKINDO atau Asosiasi Produsen Mobil—APM) untuk menyelaraskan demand dan supply tenaga kerja, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk memastikan keberlanjutan, rigor, dan validitas hasil di tingkat kebijakan, terutama dalam merumuskan skema link and match yang mengikat dan berjangka panjang.

(Prima Hardiyanta, Rendra & Wagiran, Wagiran. (2023). EVALUASI UJI KOMPETENSI KEAHLIAN TEKNIK KENDARAAN RINGAN OTOMOTIF SMK DI KOTA YOGYAKARTA. Jurnal Pendidikan Vokasi Otomotif. 5. 67-86. 10.21831/jpvo.v5i2.59527.)

 

Selengkapnya
Bedah Kritis UKK Otomotif SMK: Mengurai Kesenjangan Antara Mutu Internal dan Komitmen Rekrutmen Industri

Manajemen Proyek Konstruksi

Mengurai Faktor Penentu Kinerja Keselamatan di Industri Konstruksi: Arah Baru untuk Penelitian dan Praktik

Dipublikasikan oleh Raihan pada 01 Oktober 2025


Resensi Riset: Factor Affecting Safety Performance Construction Industry

Pendahuluan

Industri konstruksi berperan vital dalam pembangunan ekonomi, namun ironisnya menjadi salah satu sektor dengan tingkat kecelakaan kerja tertinggi. Statistik di Malaysia mencatat peningkatan 5,6% kecelakaan konstruksi dari 1995 hingga 2003, dengan lonjakan fatalitas sebesar 58,3% pada periode yang sama. Fakta ini menegaskan bahwa meski sektor konstruksi tumbuh, aspek keselamatan masih tertinggal.

Penelitian Nasrun et al. (2016) bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kecelakaan utama, faktor-faktor penyebab lemahnya kinerja keselamatan, serta langkah mitigasi yang diperlukan. Metode yang digunakan meliputi studi literatur dan survei kuesioner berbasis Likert scale, dengan responden dari lapangan konstruksi.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini menegaskan bahwa jatuh dari ketinggian (22%) dan tertimpa benda (17,1%) adalah jenis kecelakaan dominan di lokasi konstruksi. Faktor paling krusial yang memengaruhi keselamatan adalah kesadaran pekerja—terutama keterbatasan pendidikan, perbedaan usia yang berimplikasi pada tingkat kewaspadaan, serta absennya safety briefing atau toolbox meeting rutin.

Analisis kuantitatif menunjukkan:
- Kurangnya APD memiliki skor mean 4,05 (sangat berpengaruh).
- Kurangnya komunikasi antara manajer dan pekerja mendapat skor 3,93.
- Irresponsible behavior pekerja tercatat dengan skor 3,98.
- Kurangnya pengawasan supervisor juga menonjol (skor 3,85).
- Faktor kesadaran seperti pekerja tidak berpendidikan formal (3,75) dan tidak adanya toolbox meeting (3,58) menunjukkan hubungan kuat dengan meningkatnya kecelakaan.

Temuan ini menggarisbawahi bahwa faktor manusia dan budaya kerja lebih dominan dibanding faktor teknis murni dalam memengaruhi keselamatan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meski penelitian ini komprehensif, terdapat beberapa keterbatasan:
1. Lingkup geografis terbatas pada konteks Malaysia, sehingga generalisasi ke negara lain perlu diuji.
2. Instrumen survei berbasis persepsi (Likert scale) mungkin tidak sepenuhnya menangkap perilaku aktual di lapangan.
3. Faktor teknologi dan otomasi belum ditelaah, padahal tren industri 4.0 mulai mengubah praktik konstruksi.
4. Dinamika pekerja asing yang signifikan di sektor konstruksi Malaysia tidak didalami secara khusus.
5. Kausalitas langsung antara intervensi manajemen dan pengurangan angka kecelakaan belum diuji secara longitudinal.

Pertanyaan terbuka bagi komunitas riset adalah: bagaimana interaksi antara faktor kesadaran, teknologi keselamatan, dan regulasi dapat menciptakan sistem keselamatan yang berkelanjutan?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

1. Eksperimen Longitudinal tentang Efektivitas Toolbox Meeting

Justifikasi: Toolbox meeting mendapat skor 3,58 sebagai faktor penting, namun penerapan nyatanya lemah.
Metode: Studi longitudinal dengan intervensi harian toolbox meeting di beberapa proyek selama 12–18 bulan.
Variabel: Frekuensi meeting, tingkat pemahaman pekerja, angka kecelakaan.
Urgensi: Menentukan apakah rutinitas briefing benar-benar menurunkan kecelakaan atau sekadar formalitas.

2. Pengaruh Pendidikan Formal dan Pelatihan Terstruktur terhadap Safety Awareness

Justifikasi: Skor 3,75 menunjukkan pekerja yang kurang berpendidikan lebih rentan.
Metode: Eksperimen komparatif antara pekerja dengan sertifikasi formal (CIDB/SICW) versus non-sertifikasi.
Variabel: Pengetahuan keselamatan, kepatuhan penggunaan APD, jumlah insiden.
Urgensi: Memberikan dasar empiris bagi kebijakan pelatihan wajib.

3. Integrasi Teknologi Wearables untuk Monitoring Keselamatan

Justifikasi: Penelitian ini menekankan kurangnya pengawasan supervisor (skor 3,85). Wearables dapat menjadi solusi otomatis.
Metode: Uji coba perangkat IoT (sensor jatuh, deteksi kelelahan) di proyek skala besar.
Variabel: Jumlah notifikasi bahaya, respons supervisor, pengurangan insiden.
Urgensi: Menjawab keterbatasan pengawasan manual.

4. Studi Komparatif antar Generasi Pekerja dalam Persepsi Risiko

Justifikasi: Faktor usia berbeda memengaruhi kewaspadaan (skor 3,63).
Metode: Survei lintas usia dengan pendekatan mixed-method (kuesioner + wawancara).
Variabel: Persepsi risiko, kepatuhan prosedur, reaksi terhadap pelatihan.
Urgensi: Menentukan strategi pelatihan berbeda untuk generasi muda dan senior.

5. Analisis Kebijakan dan Regulasi OSH di Malaysia Pasca-OSHA 1994

Justifikasi: OSHA belum direvisi signifikan dalam 20 tahun, meski responden menilai kepatuhan rendah.
Metode: Studi kebijakan komparatif dengan benchmark dari negara maju (misalnya UK-HSE).
Variabel: Revisi regulasi, penerapan di lapangan, tingkat kepatuhan.
Urgensi: Menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis bukti untuk pembuat regulasi.

Kesimpulan

Penelitian ini memperlihatkan bahwa faktor kesadaran pekerja dan budaya keselamatan adalah titik lemah paling kritis dalam industri konstruksi. Skor kuantitatif menunjukkan bahwa kurangnya APD, komunikasi yang buruk, perilaku ceroboh, serta minimnya pengawasan berhubungan erat dengan tingginya angka kecelakaan.

Dengan jalur riset berkelanjutan seperti toolbox meeting, pendidikan formal, integrasi teknologi, studi lintas generasi, dan reformasi kebijakan, bidang ini berpotensi membangun sistem keselamatan konstruksi yang lebih adaptif dan berkelanjutan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti DOSH (Department of Occupational Safety and Health Malaysia), CIDB (Construction Industry Development Board), dan universitas teknis untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca selengkapnya di: Mohd Nawi, Mohd Nasrun & Siti Halipah, Ibrahim & Affandi, Rohaida & Rosli, Nor & Basri, Fazlin. (2016). Factor Affecting Safety Performance Construction Industry. Public Management Review. 6. 280-285. 

Selengkapnya
Mengurai Faktor Penentu Kinerja Keselamatan di Industri Konstruksi: Arah Baru untuk Penelitian dan Praktik
« First Previous page 89 of 1.275 Next Last »