Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025
Resensi Riset: Jalan Ke Depan Budaya Keselamatan Organisasi
Mendefinisikan Ulang Keselamatan: Dari Kepatuhan ke Kematangan Generatif
Isu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah lama berevolusi dari sekadar penanganan kondisi kerja yang tidak aman menjadi pengakuan atas peran sentral perilaku dan budaya dalam pencegahan kecelakaan. Setelah bencana Chernobyl tahun 1986, konsep Budaya Keselamatan diperkenalkan, mengubah fokus dari kegagalan individu menjadi kegagalan sistemik yang tertanam dalam nilai-nilai dan sikap organisasi.
Penelitian ini, yang bertajuk Investigation of Behavioral-Based Safety Impacts on Organizational Safety Culture, hadir untuk menjembatani perdebatan antara pendekatan perubahan perilaku (Behavior-Based Safety atau BBS) dan perubahan budaya. Tujuannya adalah untuk secara empiris menguji hipotesis bahwa penerapan kerangka kerja BBS yang terstruktur, yang telah digunakan oleh suatu organisasi selama lebih dari satu dekade, akan menghasilkan tingkat kematangan budaya keselamatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi yang hanya mengandalkan program keselamatan tradisional.
Jalur Logis Penemuan
Alur logis penelitian ini dimulai dengan perancangan metodologi yang ketat untuk mengukur kematangan budaya keselamatan. Metodologi penelitian terdiri dari tiga bagian utama: (1) pengembangan kuesioner kematangan, (2) penerapan dan pengumpulan data, dan (3) penilaian serta perbandingan hasil.
Peneliti menggunakan Manchester Patient Safety Framework (MaPSaF) sebagai dasar, memodifikasinya menjadi kuesioner komprehensif yang terdiri dari 9 dimensi dan 25 aspek spesifik, yang dikembangkan melalui wawancara kelompok fokus dengan pekerja, lokakarya spesialis K3, dan sesi konsultasi ahli. Kuesioner ini dirancang untuk mengklasifikasikan respons di sepanjang lima level kematangan budaya: Patologis, Reaktif, Birokratis, Proaktif, dan Generatif.
Studi ini kemudian membandingkan dua perusahaan dalam industri pertahanan yang sama: Perusahaan A, yang telah menerapkan konsep BBS sejak tahun 2009, dan Perusahaan B, yang beroperasi dengan program keselamatan tradisional. Data dikumpulkan dari total 358 pekerja di Perusahaan A dan 248 pekerja di Perusahaan B.
Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Behavioral-Based Safety (BBS) dan kematangan budaya keselamatan organisasi yang lebih tinggi — mengonfirmasi potensi kuat BBS sebagai objek penelitian baru dalam literatur K3.
Hasil studi ini secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat kematangan budaya keselamatan Perusahaan A berada pada tingkat yang lebih tinggi di setiap aspek yang dibandingkan dengan Perusahaan B. Analisis data kuantitatif secara deskriptif memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan mendasar yang dihasilkan oleh BBS:
Perbedaan yang paling menonjol ditemukan dalam aspek-aspek yang terkait langsung dengan filosofi BBS:
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan landasan empiris untuk pengembangan teori dan praktik K3 dengan secara eksplisit mengaitkan kerangka BBS dengan peningkatan kematangan budaya, sebuah area yang sebelumnya diwarnai perdebatan teoretis.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun temuan studi ini kuat, terdapat beberapa keterbatasan yang harus diakui dan dijadikan titik awal untuk riset masa depan, terutama bagi komunitas akademik dan penerima hibah.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan yang mengaitkan BBS dengan kematangan budaya Generatif, arah riset ke depan harus fokus pada isolasi kausalitas, mekanisme intervensi, dan generalisasi kontekstual.
Penelitian ini memberikan dasar yang tidak dapat disangkal bahwa Behavioral-Based Safety (BBS), ketika diimplementasikan sebagai sistem yang holistik yang menekankan nilai dan partisipasi setara, adalah mesin yang kuat untuk mencapai budaya keselamatan Generatif yang berkelanjutan. Keterhubungan antara perilaku individu saat ini dan potensi jangka panjang budaya organisasi terbukti: ketika pekerja merasa memiliki dan bertanggung jawab (Aspek 19), mereka secara inheren menjadi bagian dari solusi pencegahan.
Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi yang memiliki akses ke studi longitudinal, seperti pusat penelitian K3 universitas terkemuka (misalnya, Middle East Technical University, The University of Manchester), organisasi penerima hibah multinasional yang berfokus pada keselamatan kerja, dan organisasi industri berisiko tinggi yang berkomitmen untuk transisi budaya dari Reaktif ke Generatif.
Sangat penting bagi komunitas akademik dan penerima hibah untuk memandang BBS bukan sebagai tren manajemen, tetapi sebagai kerangka penelitian yang matang yang memfasilitasi integrasi perilaku, psikologi, dan sistem, yang pada akhirnya akan mengurangi dampak ekonomi (sekitar 3.94% dari PDB global) dan penderitaan yang disebabkan oleh kecelakaan kerja.
Sistem K3 masa depan harus dibangun di atas temuan ini, memprioritaskan budaya di mana setiap pekerja adalah pengamat, setiap insiden adalah pelajaran, dan keselamatan adalah nilai fundamental.
Yetik, U. S. (2020). Investigation of behavioral-based safety impacts on organizational safety culture. [Thesis (M.S.) -- Graduate School of Natural and Applied Sciences. Occupational Health and Safety.]. Middle East Technical University.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025
Menganalisis Peta Jalan untuk Efektivitas Biaya K3: Sebuah Tinjauan Riset dan Agenda Masa Depan
Industri konstruksi global secara konsisten diakui sebagai salah satu yang paling berbahaya. Sebagai respons, banyak negara telah mengamanatkan pendanaan khusus untuk intervensi keselamatan. Di Korea Selatan, dana ini dikenal sebagai Occupational Safety and Health Management Expense (OSHE), sebuah biaya wajib yang diatur undang-undang yang termasuk dalam biaya konstruksi. Namun, sebuah paradoks berbahaya telah muncul: meskipun ada sistem pendanaan yang terstruktur , tingkat kecelakaan kerja di industri konstruksi Korea, terutama kecelakaan fatal, justru menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Statistik menunjukkan peningkatan angka kematian per 10.000 pekerja dari 1,30 pada tahun 2015 menjadi 2,00 pada tahun 2020.
Studi oleh Lim et al. (2023) menyelidiki inti dari diskoneksi ini. Penelitian mereka mengidentifikasi kekakuan regulasi sebagai penghambat utama efektivitas. Di bawah pengawasan Kementerian Ketenagakerjaan dan Perburuhan (MOEL) Korea, penggunaan OSHE diatur secara ketat, terbatas pada 8 kategori item tertentu . Akibatnya, barang-barang yang berpotensi menyelamatkan nyawa—seperti produk keselamatan cerdas (smart safety) yang memanfaatkan teknologi Revolusi Industri 4.0 atau bahkan item konvensional yang terbukti efektif (misalnya, lampu depan) —tidak memenuhi syarat untuk pendanaan jika dianggap memiliki tujuan ganda (yaitu, mendukung pekerjaan sekaligus keselamatan).
Menghadapi tuntutan industri yang meningkat untuk fleksibilitas dan data kecelakaan yang memburuk , penelitian ini menetapkan tujuan untuk mengembangkan "peta jalan" (roadmap) berbasis bukti untuk mereformasi item penggunaan OSHE. Metodologi inti yang digunakan adalah Importance-Performance Analysis (IPA), sebuah teknik yang kuat untuk memprioritaskan sumber daya yang terbatas.
Perjalanan logis penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan daftar 57 item perbaikan potensial (33 konvensional, 24 cerdas) melalui wawancara pemangku kepentingan. Kumpulan ini kemudian disaring melalui konsultasi ahli (N=8) menjadi 34 item analisis akhir (14 konvensional, 20 cerdas). Para peneliti kemudian melakukan survei skala besar, mengumpulkan 536 tanggapan valid dari pemangku kepentingan utama—terutama manajer keselamatan (84,89%), klien publik (5,60%), dan praktisi lembaga pencegahan kecelakaan (9,51%). Responden mengevaluasi setiap item menggunakan skala Likert 4 poin (sengaja menghindari titik tengah netral) pada dua dimensi kritis: "Pentingnya" (didefinisikan sebagai urgensi pengenalan) dan "Kinerja" (didefinisikan sebagai efektivitas yang dirasakan dalam pencegahan kecelakaan).
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini bukanlah sekadar identifikasi item baru, melainkan penyediaan kerangka kerja strategis yang memprioritaskan implementasi dalam tiga fase: jangka pendek, menengah, dan panjang. Ini mengubah perdebatan dari "apakah" menjadi "bagaimana dan kapan".
Secara kuantitatif, analisis IPA memetakan 34 item ke dalam empat kuadran berdasarkan skor rata-rata. Untuk item konvensional, skor rata-rata adalah 3,15 untuk Kepentingan dan 3,31 untuk Kinerja (lihat Gambar 3 ). Untuk produk keselamatan cerdas, rata-ratanya adalah 2,97 untuk Kepentingan dan 3,12 untuk Kinerja (lihat Gambar 4 ).
Menariknya, studi ini juga menunjukkan di mana analisis ahli mengesampingkan data IPA murni. 'C14. Ice box' (kotak es) berada di Kuadran 1, tetapi para ahli merekomendasikan untuk mengecualikannya dari implementasi jangka pendek, dengan alasan bahwa itu lebih merupakan biaya kesejahteraan (welfare) dan dapat menguras dana OSHE yang sudah terbatas.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kuat, studi ini memiliki keterbatasan yang secara inheren membuka jalan bagi penelitian masa depan. Keterbatasan utama adalah sifat metodologi IPA, yang bergantung pada persepsi subjektif responden. Para penulis berupaya memitigasi hal ini dengan ukuran sampel yang besar (N=536), namun "Kinerja" yang diukur adalah efektivitas yang dirasakan, bukan efektivitas yang dibuktikan secara empiris.
Hal ini memunculkan pertanyaan penelitian fundamental:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi dalam paper, komunitas riset harus memfokuskan upaya pada lima bidang utama berikut untuk membangun di atas fondasi yang telah diletakkan oleh Lim et al.:
Kesimpulan dan Ajakan Kolaborasi
Studi oleh Lim et al. (2023) memberikan kontribusi penting dengan menawarkan jembatan berbasis data antara tuntutan industri yang mendesak dan reformasi kebijakan yang lamban. Peta Jalan IPA mereka adalah alat yang sangat diperlukan untuk memprioritaskan perubahan kebijakan guna meningkatkan efektivitas OSHE di Korea.
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh agenda riset di atas, Peta Jalan ini bukanlah akhir, melainkan awal. Keberhasilan jangka panjangnya bergantung pada validasi empiris, reformasi anggaran yang adaptif, dan tata kelola teknologi yang cerdas. Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi pembuat kebijakan (seperti MOEL), lembaga penelitian (seperti Korea Occupational Safety and Health Agency dan akademisi), serta pelaku industri (seperti asosiasi konstruksi dan serikat pekerja) yang pemangku kepentingannya ditinjau dalam studi ini. Hanya melalui upaya terkoordinasi inilah Peta Jalan dapat beralih dari dokumen akademis menjadi alat yang secara nyata mengurangi kecelakaan dan menyelamatkan nyawa di lokasi konstruksi.
Pendidikan Vokasi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025
Meretas Jalan Riset Vokasional Masa Depan: Evaluasi Kritis UKK TKRO SMK Berbasis Model CIPP
Riset mengenai evaluasi program pendidikan kejuruan adalah landasan esensial untuk menjembatani kesenjangan abadi antara institusi pendidikan dan kebutuhan industri. Latar belakang urgensi ini berakar pada fakta bahwa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia masih menjadi penyumbang tingkat pengangguran terbuka tertinggi. Kesenjangan ini secara umum disebabkan oleh kurangnya keterampilan yang relevan (skills) dan ketidaksesuaian kompetensi tamatan dengan harapan pemangku kepentingan, baik sekolah maupun industri (stakeholder). Dalam konteks ini, Uji Kompetensi Keahlian (UKK) ditetapkan sebagai mekanisme vital untuk menjamin kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) lulusan SMK.
Penelitian ini berangkat dari kebutuhan mendasar untuk mengevaluasi efektivitas pelaksanaan UKK Teknik Kendaraan Ringan Otomotif (TKRO) SMK di Kota Yogyakarta, sebuah studi yang jarang dilakukan secara komprehensif. Dengan mengadopsi model evaluasi Context, Input, Process, dan Product (CIPP), penelitian ini secara sistematis memetakan perjalanan logis temuan, mulai dari kesesuaian kebijakan hingga hasil akhir penyerapan tenaga kerja.
Kerangka riset dimulai dengan menetapkan validitas instrumen melalui expert judgement dari pakar pendidikan dan praktisi industri. Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data dari 7 Ketua Kompetensi Keahlian (K3), 18 Asesor, dan 23 Guru Produktif melalui observasi, dokumentasi, dan kuesioner. Secara berurutan, evaluasi CIPP mengalirkan temuan:
Melalui perjalanan logis ini, penelitian menegaskan bahwa masalah utama dalam UKK TKRO bukanlah pada tataran operasional harian (Process), melainkan pada tingkat strategis (Context) dan dampak jangka panjang (Product).
Sorotan Data Kuantitatif: Mengidentifikasi Titik Kritis
Analisis data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara tingginya kualitas pelaksanaan internal dengan rendahnya dampak eksternal. Secara umum, aspek Process adalah yang paling kuat, dengan rata-rata penilaian Asesor mencapai 3,73 (pada skala maksimal 4,0), yang menempatkannya pada kategori Sangat Baik.
Sebaliknya, aspek Product, yang merupakan indikator akhir dari kesuksesan, mendapatkan skor terendah. Penilaian Guru Produktif berada di angka 3,34, yang menempatkannya di kategori Baik namun sangat mendekati ambang batas Cukup (2,80).
Secara kuantitatif, temuan mendalam menunjukkan bahwa aspek Product memiliki skor terendah (skor Guru Produktif 3,34, menempatkannya pada kategori Baik namun hampir menyentuh ambang batas Cukup), mengindikasikan bahwa hasil UKK belum sepenuhnya diakui. Temuan ini secara kritis terhubung dengan skor terendah pada aspek Context, khususnya butir C11 yang menanyakan tentang peluang kerja internasional (skor terendah 2,82 dari Guru Produktif, dikategorikan Baik), menunjukkan potensi kritis untuk objek penelitian baru: mengukur korelasi antara orientasi kurikulum internasional dengan tingkat penyerapan tenaga kerja. Jarak skor minimal pada butir terendah aspek Context (2,82) dan Product (Butir D18: Komitmen DUDI/IDUKA dalam penyerapan, skor 2,88) dari Guru Produktif memperlihatkan tantangan ganda dalam relevansi global dan komitmen penyerapan lokal, yang memerlukan riset terfokus.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan tiga kontribusi substansial bagi literatur pendidikan vokasi:
Pertama, secara metodologis, studi ini memvalidasi model CIPP sebagai kerangka evaluasi yang efektif dan holistik untuk menilai program sertifikasi keahlian, membedah UKK menjadi komponen Context, Input, Process, dan Product yang dapat diukur secara kuantitatif-deskriptif. Model ini membantu peneliti mengalokasikan sumber masalah secara spesifik, yang mana dalam kasus ini, masalahnya bukan terletak pada operasional (Proses yang Sangat Baik) melainkan pada luaran strategis (Produk yang Baik/Cukup).
Kedua, secara empiris, studi ini secara eksplisit mengidentifikasi titik lemah utama yang menghambat link and match sejati. Temuan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kualitas input dan proses (Internal, rata-rata Sangat Baik) dengan pengakuan dan komitmen industri terhadap hasil (Eksternal, rata-rata Baik). Ini menyumbangkan bukti bahwa perbaikan internal SMK saja tidak akan cukup tanpa adanya intervensi kolaboratif yang lebih kuat dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri/Industri dan Dunia Kerja (DUDI/IDUKA).
Ketiga, riset ini menyoroti perlunya orientasi global dalam kurikulum vokasi. Dengan skor terendah yang berpusat pada peluang kerja internasional (butir C11: 2,82), studi ini menyajikan urgensi bagi pemerintah dan lembaga sertifikasi untuk menyesuaikan kebijakan agar selaras dengan tuntutan kualifikasi SDM global, sebagaimana diamanatkan oleh Perpres No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun menyajikan temuan yang kuat, penelitian ini memiliki keterbatasan yang memunculkan pertanyaan terbuka mendasar untuk riset ke depan. Pertama, lingkup studi terbatas pada SMK TKRO di Kota Yogyakarta. Hal ini membatasi generalisasi hasil, terutama mengingat keberagaman skema UKK yang digunakan (LSP-P1 dan Mandiri) di antara sekolah yang diteliti. Kedua, pelaksanaan riset dilakukan selama masa darurat Pandemi COVID-19 , yang dapat memengaruhi penilaian responden terkait prosedur UKK (P5, menerapkan protokol kesehatan, skor tertinggi) dan kesiapan peserta didik (P6, bertanggung jawab, skor terendah).
Dari keterbatasan ini, muncul beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk agenda riset akademik berikutnya:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan titik-titik lemah yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan yang secara eksplisit diarahkan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset:
1. Studi Kausalitas Lintas Daerah pada Efektivitas UKK dan Employability
2. Pengembangan Model MUK Berbasis Adaptasi Teknologi Industri 4.0
3. Riset Kualitatif Fenomenologi tentang Komitmen Penyerapan Industri
4. Analisis Komparatif Kurikulum Vokasional Global dan Lokal (C11)
5. Evaluasi Sikap dan Tanggung Jawab Peserta Uji Kompetensi (Soft Skills)
Fokus pada keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang sangat penting. Keunggulan operasional yang ditemukan pada aspek Process (skor 3,62) hanya merupakan prasyarat, bukan hasil akhir. Jika keunggulan operasional ini tidak dialihkan untuk memecahkan defisit pada aspek Product (skor 3,36) —terutama dalam komitmen penyerapan dan orientasi global—maka tujuan Revitalisasi SMK, yang diamanatkan oleh Inpres Nomor 9 Tahun 2016, tidak akan tercapai, dan Indonesia akan terus bergulat dengan tingginya tingkat pengangguran lulusan vokasi. Potensi jangka panjang terletak pada kemampuan untuk mentransformasi UKK dari sekadar proses administratif menjadi sebuah pengakuan kompetensi yang dihormati secara internasional dan secara otomatis menjamin link and match di tingkat nasional.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), dan asosiasi industri otomotif utama (IDUKA skala nasional) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil dan rekomendasi.
DOI resmi sebagai acuan utama: https://doi.org/10.21831/jpvo.v5i2.59527
Manajemen Sumber Daya Manusia
Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025
Membongkar Paradoks K3 di Ghana: Tinjauan Riset Segbenya & Yeboah (2022) dan Peta Jalan untuk Riset Mendatang
Sektor konstruksi memberikan kontribusi fundamental bagi pembangunan sosial-ekonomi di Ghana. Namun, kemajuan ini dibayangi oleh tantangan besar: tingginya angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Insiden ini tidak hanya menyebabkan hilangnya nyawa tetapi juga berdampak negatif langsung pada kinerja karyawan dan organisasi. Di tengah lanskap di mana kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (OHS) sering diabaikan karena buruknya budaya keselamatan atau terdesak oleh kepentingan ekonomi lainnya, penelitian oleh Moses Segbenya dan Esi Yeboah (2022) hadir sebagai kontribusi kritis.
Menggunakan desain penelitian deskriptif kuantitatif dengan sampel 120 karyawan dari Consar Construction Ltd, studi ini mengeksplorasi pengaruh OHS terhadap kinerja pekerja konstruksi di Ghana. Penelitian ini bergerak melampaui sekadar konfirmasi bahwa K3 itu penting; ia membedah jalur logis dari kebijakan, kesadaran, praktik, hingga dampaknya pada kinerja, sambil menyoroti tantangan implementasi yang krusial.
Perjalanan temuan penelitian ini mengungkap sebuah paradoks. Di satu sisi, OHS di perusahaan yang diteliti sebagian besar telah sesuai dengan praktik terbaik internasional, seperti penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) dan kesadaran antar rekan kerja. Di sisi lain, para peneliti menemukan kegagalan implementasi yang fatal: kurangnya induksi, orientasi, dan kursus penyegaran (refresher courses) K3 yang teratur bagi pekerja.
Kesenjangan ini menciptakan diskoneksi berbahaya. Studi ini menemukan bahwa meskipun mayoritas pekerja (70.8%) sadar akan adanya kebijakan K3, angka yang hampir identik (71.7%) telah menyaksikan kecelakaan atau penyakit di tempat kerja dalam 12 bulan terakhir. Ini menunjukkan bahwa keberadaan kebijakan di atas kertas gagal diterjemahkan menjadi lingkungan kerja yang aman, kemungkinan besar karena kegagalan dalam pelatihan reguler dan penegakan hukum.
Puncak dari penelitian ini adalah analisis regresi yang mengukur dampak kegagalan ini. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat yang signifikan secara statistik antara OHS dan Kinerja Karyawan, dengan nilai Beta 0.728 (p=.000). OHS ditemukan menjelaskan 30.4% (R-Square = 0.304) varian dalam kinerja karyawan. Data kuantitatif ini secara deskriptif menunjukkan bahwa ketika OHS dikelola dengan baik, kinerja karyawan meningkat secara signifikan. Sebaliknya, pengabaian OHS secara langsung menekan kinerja.
Lantas, mengapa kesenjangan implementasi ini terjadi? Studi ini mengidentifikasi beberapa tantangan utama (RQ4):
Secara krusial, temuan ini menantang Teori Domino Heinrich (Heinrich Domino's theory) klasik, yang menyatakan bahwa 88% kecelakaan disebabkan oleh tindakan tidak aman pekerja. Sebaliknya, Segbenya dan Yeboah menyimpulkan bahwa tanggung jawab yang lebih besar justru terletak pada manajemen. Kegagalan manajemen untuk menyediakan pelatihan reguler dan membina budaya pelaporan yang aman adalah akar penyebab kecelakaan, bukan semata-mata kesalahan pekerja.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi oleh Segbenya dan Yeboah (2022) memberikan tiga kontribusi utama bagi komunitas akademik dan praktisi OHS:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun memberikan wawasan penting, penelitian ini memiliki keterbatasan yang justru membuka jalan bagi penyelidikan di masa depan. Pertama, studi ini berfokus pada satu perusahaan konstruksi besar, Consar Construction Ltd. Meskipun perusahaan ini signifikan, temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisasi ke seluruh sektor konstruksi Ghana, terutama pada kontraktor skala kecil dan menengah dengan sumber daya yang berbeda.
Kedua, model regresi menunjukkan bahwa OHS menjelaskan 30.4% varian kinerja, yang berarti 69.6% sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam studi ini. Hal ini memunculkan pertanyaan: Faktor apa lagi (misalnya, kompensasi, gaya kepemimpinan, keamanan kerja) yang berinteraksi dengan OHS untuk memengaruhi kinerja?
Ketiga, temuan tentang "kurangnya personel kompeten" dan "biaya training tinggi" masih bersifat deskriptif. Pertanyaan terbuka yang mendesak adalah:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan temuan, kontribusi, dan keterbatasan yang disajikan oleh Segbenya dan Yeboah, agenda penelitian berikut direkomendasikan untuk peneliti dan lembaga pendanaan.
Ajakan untuk Kolaborasi
Studi Segbenya dan Yeboah (2022) telah meletakkan fondasi yang kuat, memberikan bukti kuantitatif (Beta=0.728) bahwa OHS adalah pendorong kinerja vital di Ghana. Penelitian ini secara tepat menggeser beban tanggung jawab dari pekerja ke manajemen, terutama dalam hal pelatihan dan budaya pelaporan.
Untuk membangun temuan ini dan mengatasi pertanyaan terbuka yang kompleks—terutama seputar ROI pelatihan, budaya takut, dan pasokan talenta kompeten—penelitian di masa depan tidak dapat dilakukan secara terisolasi. Diperlukan upaya kolaboratif. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kemitraan antara institusi akademik (seperti University of Cape Coast), regulator pemerintah yang menegakkan kerangka kerja (seperti Factories, Offices and Shops Act 1970), dan asosiasi industri konstruksi Ghana untuk memastikan bahwa temuan tidak hanya valid secara akademis tetapi juga relevan secara praktis dan berkelanjutan.
Baca paper aslinya di sini (https://doi.org/10.1177/11786302221137222)
Keselamatan Konstruksi (K3)
Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025
Asesmen Praktik Keselamatan dan Tantangan Implementasi dalam Proyek Konstruksi Komersial di Nepal: Arah Riset Kritis Menuju Zero-Harm
Penelitian berjudul Assessment of Safety Practices in Commercial Building Construction Projects in Nepal ini menawarkan landasan empiris yang krusial bagi komunitas akademik, peneliti, dan lembaga pemberi hibah untuk memahami jurang antara kebijakan keselamatan kerja dan realitas implementasi di lapangan, khususnya dalam konteks industri konstruksi di negara berkembang. Fokus utama riset ini adalah mengidentifikasi status implementasi praktik keselamatan dan memetakan tantangan utama yang menghambat efektivitas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) melalui pendekatan kuantitatif yang ketat.
Secara logis, perjalanan temuan dalam paper ini dimulai dengan pengakuan atas sifat industri konstruksi sebagai sektor berisiko tinggi secara global dan nasional. Konteks Nepal disoroti, di mana meskipun terdapat regulasi baru (UU Kesehatan dan Keselamatan 2074), implementasi masih lemah dan tingkat kecelakaan tetap tinggi. Dengan melibatkan 487 responden dari berbagai proyek, termasuk manajer proyek dan pekerja lini depan, penelitian ini menggunakan dua metodologi utama: Bloom Cutoff dan Relative Importance Index (RII) untuk status implementasi, serta Principal Component Analysis (PCA) untuk klasterisasi tantangan.
Hasil awal, berdasarkan analisis Bloom Cutoff, segera menempatkan status implementasi keselamatan secara keseluruhan pada tingkat moderat. Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar respons, mencapai 70.64 persen, berada dalam kategori tingkat implementasi moderat. Angka ini adalah sinyal peringatan bahwa praktik keselamatan belum menjadi budaya proaktif, melainkan rutinitas kepatuhan minimal.
Selanjutnya, penggunaan RII membedah parameter praktik keselamatan. Temuan ini secara deskriptif menyoroti adanya kontradiksi implementasi di lapangan. Praktik yang paling banyak diterapkan (RII tertinggi) adalah penggunaan barikade (RII: 0.862, Peringkat 1) dan kepatuhan terhadap aturan keselamatan oleh pekerja (RII: 0.827, Peringkat 2). Kedua temuan ini menunjukkan adanya kesadaran dan praktik dasar di lokasi. Namun, data RII ini juga menunjukkan hubungan kuat antara praktik yang berorientasi pada kepatuhan visual dan administrasi yang proaktif. Sebaliknya, tiga parameter dengan implementasi terendah (RII terendah) adalah Peninjauan Desain untuk Keselamatan (RII: 0.509, Peringkat 20), Pelatihan Keselamatan (RII: 0.534, Peringkat 19), dan Rencana Kerja Keselamatan (Job Safety Plan) (RII: 0.596, Peringkat 18).
Perbedaan tajam ini memetakan jurang implementasi: Proyek Nepal cenderung berfokus pada langkah-langkah reaktif (barikade, P3K) dan mengabaikan langkah-langkah proaktif yang terintegrasi, seperti desain keselamatan dan perencanaan kerja.
Untuk mengatasi jurang ini, riset ini menggunakan PCA untuk mengidentifikasi akar masalah. Analisis PCA sangat penting karena mereduksi 22 tantangan menjadi lima klaster komponen utama yang menjelaskan total varian gabungan sebesar 68.123% dari keseluruhan masalah implementasi. Komponen pertama dan yang paling dominan adalah Budaya Keselamatan yang Buruk, yang menjelaskan varian sebesar 40.217% dengan nilai Eigen 8.848. Klaster dominan ini menegaskan bahwa masalah utama bukanlah kekurangan aturan, melainkan pandangan bahwa keselamatan dianggap sebagai 'biaya tambahan' dan hanya dilakukan untuk memenuhi persyaratan kontraktual.
Komponen lainnya adalah Manajemen Keselamatan yang Buruk (varian: 8.972%), Kurangnya Pengetahuan dan Sumber Daya Keselamatan (varian: 8.118%), Kurangnya Infrastruktur dan Komunikasi Keselamatan (varian: 5.728%), dan Masalah Tata Kelola dan Implementasi (varian: 5.267%). Struktur temuan ini, mulai dari moderatnya implementasi (Bloom Cutoff), identifikasi praktik terabaikan (RII), hingga kategorisasi akar masalah yang didominasi budaya (PCA), memberikan jalur logis yang kuat bagi pengembangan riset jangka panjang.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini terletak pada transformasinya dari analisis deskriptif sederhana menjadi pemodelan faktor yang lebih dalam, memberikan kerangka kerja teoretis untuk memahami disfungsi K3 di Nepal. Secara empiris, riset ini memberikan bukti kuantitatif atas dua temuan krusial:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kuat secara statistik (KMO 0.874, Bartlett's test signifikan pada P<0.001) , penelitian ini memiliki keterbatasan kontekstual, yakni berfokus pada proyek bangunan komersial di Nepal. Generalisasi ke jenis proyek lain (infrastruktur berat) atau negara lain mungkin memerlukan validasi ulang. Selain itu, PCA mengidentifikasi Masalah Tata Kelola dan Implementasi sebagai komponen tantangan, namun komponen ini hanya didukung oleh satu item ("Hukum dan aturan yang tidak memadai") dengan korelasi 0.830. Meskipun korelasi kuat, basis item tunggal ini menimbulkan pertanyaan tentang kompleksitas dan dimensi tata kelola yang sebenarnya, yang mungkin lebih luas dari sekadar undang-undang.
Keterbatasan ini membuka pertanyaan terbuka kritis bagi penelitian masa depan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Untuk mengatasi jurang implementasi yang didominasi oleh budaya, kurangnya perencanaan hulu, dan tata kelola yang lemah, lima arah riset berkelanjutan berikut sangat dianjurkan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah:
1. Riset Pemodelan Dampak Safety by Design (SbD) pada Budaya Keselamatan
2. Riset Kualitatif Mendalam: Motivasi di Balik Kepatuhan Pekerja
3. Riset Aksi Implementasi Job Safety Plan (JSP)
4. Studi Komparatif Efektivitas Regulasi dalam Klaster Tata Kelola
5. Riset Pemodelan Jangka Panjang: Konsekuensi Finansial dari Kelalaian Praktik
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Lembaga Pemerintah Bidang K3 (MoLESS), Asosiasi Kontraktor Nepal, dan Akademisi Internasional untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Kolaborasi antar-disiplin ini sangat penting untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan, manajemen, dan budaya di lapangan.
Pendidikan Vokasi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025
Mengoptimalkan Pendidikan Vokasi Indonesia: Arah Riset Masa Depan Berdasarkan Prosiding UNY 2012
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Teknik Mesin FT UNY tahun 2012 yang bertema "Optimalisasi Pendidikan Teknik dan Kejuruan Menuju Kemandirian Teknologi dan Generasi Bermartabat" menyajikan kumpulan pemikiran dan hasil riset yang beragam mengenai upaya peningkatan kualitas pendidikan vokasi di Indonesia, khususnya dalam bidang teknik mesin. Dokumen ini menghimpun berbagai gagasan inovatif yang relevan bagi akademisi, peneliti, dan pengambil kebijakan yang berfokus pada pengembangan pendidikan kejuruan. Resensi ini bertujuan untuk mensintesis kontribusi utama dari berbagai makalah dalam prosiding ini dan secara eksplisit mengidentifikasi arah riset masa depan yang muncul dari temuan-temuan tersebut, khusus untuk komunitas akademik dan pemangku kepentingan riset.
Fokus utama dari kumpulan riset ini adalah mencari solusi atas tantangan relevansi lulusan SMK dengan kebutuhan dunia kerja serta upaya membangun kemandirian teknologi bangsa. Berbagai pendekatan dieksplorasi, mulai dari pengembangan kurikulum yang sistemik dan berbasis kompetensi, inovasi metode pembelajaran dan pemanfaatan media, strategi penilaian hasil belajar, pentingnya kemitraan dengan industri, hingga penanaman karakter kerja pada siswa.
Dalam pengembangan kurikulum, Bayu Hikmat Purwana mengusulkan model sistemik Romiszowski untuk merancang kurikulum SMK program produktif (Teknik Kendaraan Ringan) agar lebih sesuai dengan struktur pekerjaan dan kebutuhan industri , meskipun menghadapi kendala seperti kesulitan melibatkan industri dan kesiapan tim pengembang di sekolah. Pardjono juga menekankan model pendidikan berbasis kompetensi yang mengintegrasikan aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif , dengan landasan filosofis yang eklektik untuk membentuk manusia seutuhnya. Fahmi menyoroti pentingnya kompetensi pengembangan kurikulum bagi guru SMK itu sendiri.
Di bidang metode dan media pembelajaran, prosiding ini kaya akan inovasi. Asep Hadian Sasmita menunjukkan efektivitas model Direct Instruction (DI) dalam meningkatkan penguasaan pengetahuan prosedural siswa SMK pada mesin bubut. Hasilnya menunjukkan peningkatan (N-Gain) yang signifikan (0,84 untuk DI vs 0,54 untuk konvensional) , dengan perbedaan yang nyata secara statistik (t_hitung=15,34 > t_tabel=1,669). Edy Purnomo mengimplementasikan Problem Based Learning (PBL) berbantuan modul untuk meningkatkan kualitas perkuliahan Metrologi , yang terbukti meningkatkan aktivitas, kemandirian, dan prestasi belajar mahasiswa (rerata 74,5 di kelas PBL vs baseline pre-test 29,5). Paryanto juga menemukan efektivitas metode tutorial dalam meningkatkan kompetensi teori pemesinan , dengan perbedaan prestasi belajar 42,85% antara kelas tutorial (rerata post-test 77,5) dan kontrol (rerata 54,25).
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) juga menjadi sorotan. Bambang Setiyo Hari Purwoko mengembangkan media Virtual Reality (VR) untuk pembelajaran pemrograman CNC , yang dinilai menarik dan layak digunakan untuk latihan mandiri. Tiwan mengembangkan media pembelajaran Bahan Teknik berbasis Flash , yang divalidasi 'baik' untuk materi dan 'cukup baik' untuk media oleh ahli dan mahasiswa, serta terbukti meningkatkan hasil belajar secara signifikan (t_hitung=4,8998 > t_tabel=1,6684) dibandingkan kelas kontrol. Erni Munastiwi menganalisis dampak positif model pembelajaran multimedia berbasis web terhadap motivasi belajar siswa dalam mata pelajaran kewirausahaan. Wahidin Abbas dan Apri Nuryanto juga menggali potensi blog dan media sosial (Facebook) sebagai media pembelajaran. Pendekatan Teaching Factory (TF) juga dibahas sebagai model pembelajaran yang mendekatkan suasana belajar dengan industri.
Aspek penilaian tidak luput dari perhatian. Sudiyatno meneliti penerapan penilaian portofolio untuk meningkatkan kemampuan menulis dalam Bahasa Inggris Teknik. Hasilnya menunjukkan perbedaan signifikan (t_hitung=-7,956) pada kemampuan menulis antara kelompok portofolio (rerata skor 4,9) dan kelompok kontrol (rerata 3,1). Badrun Kartowagiran mengusulkan revitalisasi model sertifikasi guru melalui penilaian kinerja yang lebih komprehensif , melibatkan uji tulis, portofolio, dan observasi kinerja di kelas maupun di luar kelas.
Pentingnya penanaman karakter dan soft skills juga ditekankan. Agus Partawibawa & Syukri Fathudin AW mengkaji internalisasi visi UNY (cendekia, mandiri, bernurani) dalam pembentukan karakter mahasiswa FT , menemukan tingkat pemahaman dan pengamalan masih dalam kategori "sedang" (misal, rerata skor 'bernurani' 16,17) , yang mengindikasikan perlunya sosialisasi dan pembiasaan berkelanjutan. Th. Sukardi membahas peran bimbingan kejuruan dalam membentuk karakter kerja siswa , sementara Putut Hargiyarto menyajikan strategi muatan karakter dalam RPP.
Kemitraan dengan dunia industri (DUDI) dianggap krusial. Suhartanta dan Zainal Arifin membahas pengembangan pola kemitraan SMK-DUDI untuk meningkatkan relevansi lulusan , mulai dari pengembangan kurikulum hingga praktik industri. Dwi Rahdiyanta mengusulkan penerapan Total Quality Management in Education (TQME) di SMK sebagai upaya sistemik untuk memenuhi kebutuhan industri modern.
Selain aspek pedagogis, beberapa makalah menyajikan pengembangan alat atau teknologi tepat guna, seperti pengembangan cetakan cor (Heri Wibowo dkk.) , jemuran otomatis (Nurul Husnah MS dkk.) , teknologi budidaya ikan (R Edy Purwanto dkk.) , shuttlecock launcher (Ficky Fristiar dkk.) , oven pengering kayu (Slamet Karyono dkk.) , alat pengering kertas (Sugiyanto & Suhartoyo) , pemotong kentang (Syafiq dkk.) , dan mesin pencacah plastik (Wijoyo dkk.). Meskipun fokus utamanya teknis, pengembangan ini berpotensi menjadi basis project-based learning atau teaching factory.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kumpulan riset dalam prosiding ini secara kolektif memberikan beberapa kontribusi penting bagi pengembangan pendidikan vokasi di Indonesia:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun menyajikan banyak wawasan berharga, kumpulan riset ini juga memiliki keterbatasan inheren sebagai prosiding seminar dan memunculkan pertanyaan lanjutan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan, kontribusi, dan keterbatasan yang teridentifikasi dalam prosiding ini, berikut adalah lima arah riset prioritas untuk komunitas akademik, peneliti, dan lembaga pendanaan:
Secara keseluruhan, prosiding Seminar Nasional Pendidikan Teknik Mesin FT UNY 2012 ini memberikan landasan yang kaya untuk riset lanjutan. Temuan-temuan awal mengenai efektivitas model pembelajaran, pemanfaatan TIK, pentingnya kemitraan, dan asesmen holistik perlu didalami melalui studi yang lebih luas, komparatif, dan longitudinal.
Penelitian lebih lanjut di bidang ini idealnya melibatkan kolaborasi antara Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seperti UNY , Direktorat Pembinaan SMK Kemdikbud , asosiasi industri (seperti Dharma group) , Dewan Energi Nasional (terkait kemandirian teknologi), dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) untuk memastikan relevansi, validitas, dan keberlanjutan hasil riset dalam meningkatkan mutu pendidikan vokasi nasional.