Desain

Mitos Proses Sempurna: Apa yang Saya Pelajari dari 68 Studi Desain tentang Kekacauan Kreatif

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025


Mitos tentang Satu Peta yang Benar

Saya pernah terobsesi. Selama bertahun-tahun, saya berburu makhluk mitos yang dikenal sebagai "proses yang sempurna". Saya yakin jika saya bisa menemukan rutinitas pagi yang tepat, alur kerja penulisan yang ideal, atau sistem manajemen proyek yang tanpa cela, maka semua pekerjaan saya akan mengalir lancar. Saya membaca buku-buku produktivitas, mencoba puluhan aplikasi, dan mendengarkan podcast dari para "guru" yang menjanjikan kunci menuju efisiensi tanpa batas.

Setiap kali saya mencoba sistem baru, ada gelombang optimisme awal. "Inilah dia," pikir saya. Tapi tak lama kemudian, realitas yang berantakan dari pekerjaan kreatif dan kehidupan sehari-hari akan merusak sistem yang rapi itu. Proyek tak terduga muncul. Inspirasi datang di saat-saat aneh. Beberapa hari saya merasa bersemangat, hari lain saya merasa buntu. Setiap kali sebuah sistem gagal, saya tidak menyalahkan sistemnya; saya menyalahkan diri sendiri. Saya merasa seperti seorang penipu, seseorang yang tidak cukup disiplin untuk mengikuti peta yang seharusnya menuntun saya ke harta karun.

Ternyata, saya tidak sendirian dalam pencarian ini. Kegelisahan untuk menemukan "metode yang terkonsolidasi" bukan hanya keanehan pribadi; ini adalah perdebatan besar di bidang-bidang berisiko tinggi seperti desain rekayasa. Bayangkan merancang jembatan, perangkat medis, atau sistem perangkat lunak yang kompleks. Taruhannya jauh lebih tinggi daripada sekadar menyelesaikan artikel blog. Di dunia ini, memiliki proses yang andal bisa berarti perbedaan antara keberhasilan dan kegagalan total.  

Baru-baru ini, saya menemukan sebuah paper penelitian yang terasa seperti cermin dari pencarian saya sendiri. Sebuah tim peneliti, yang dipimpin oleh David Escudero-Mancebo, tampaknya merasakan frustrasi yang sama. Mereka memulai sebuah perjalanan epik: meninjau secara sistematis 68 studi terbaru dari empat jurnal desain papan atas untuk melihat apakah mereka akhirnya bisa menggambar peta tentang bagaimana riset desain yang hebat sebenarnya dilakukan.  

Paper mereka, "Research methods in engineering design: a synthesis of recent studies," pada dasarnya menanyakan: Apakah ada satu cara yang benar untuk berinovasi? Apakah ada peta yang bisa diikuti semua orang?

Ketegangan utama langsung terasa. Mereka menunjukkan bahwa Desain Rekayasa adalah "domain muda" di mana diskusi tentang "prosedur dan paradigma penelitian mana yang harus digunakan masih terbuka". Ini bukan bidang dengan aturan-aturan yang sudah mapan seperti fisika klasik. Ini adalah perbatasan liar, tempat para praktisi masih mencari tahu cara terbaik untuk maju. Keberadaan paper ini sendiri menyoroti "kecemasan proses" yang mendalam di dunia profesional. Frustrasi akademis tentang "kurangnya terminologi umum, metode riset yang terukur, dan metodologi riset yang umum" adalah versi profesional dari perasaan yang saya miliki ketika aplikasi  

to-do list saya yang ke-17 gagal. Ini adalah keyakinan bahwa proses universal yang sempurna itu ada, dan tidak memilikinya adalah tanda ketidakdewasaan atau kegagalan.  

Kita sering kali menyamakan proses dengan kemajuan. Kita percaya bahwa jika kita menemukan peta yang tepat (metodologi), perjalanan (pekerjaan kreatif) akan menjadi mudah dan dapat diprediksi. Namun, apa yang ditemukan oleh para peneliti ini dalam perjalanan mereka akan menantang keyakinan mendasar itu—dan, bagi saya, itu sangat melegakan.

Perjalanan ke Dunia Riset Desain yang Liar dan Indah

Membaca hasil penelitian mereka terasa seperti membuka buku catatan seorang penjelajah yang kembali dari dunia yang tak dikenal. Alih-alih menemukan kota emas yang teratur dengan jalan-jalan yang tertata rapi—satu metodologi tunggal—mereka justru menemukan ekosistem yang subur, beragam, dan sedikit kacau. Dan di dalam kekacauan itulah keindahan sesungguhnya terletak.

Bukan Apa yang Mereka Lakukan, tapi Bagaimana Mereka Berpikir

Penemuan pertama dan paling mengejutkan adalah bahwa tidak ada satu pun pendekatan yang mendominasi. Sebaliknya, para periset desain ini menggunakan berbagai cara berpikir untuk memecahkan masalah, yang secara kasar dapat dibagi menjadi dua kubu besar.

Para Pencerita vs. Para Ilmuwan (dan Mengapa Kita Membutuhkan Keduanya)

Bayangkan ada dua tipe detektif yang menyelidiki sebuah kasus. Tipe pertama, "Para Ilmuwan," akan menyisir TKP untuk mencari sidik jari, mengukur lintasan peluru, dan menganalisis data numerik. Mereka ingin tahu apa yang terjadi, secara objektif dan terukur. Mereka menguji teori dengan memeriksa hubungan antar variabel, sering kali menggunakan eksperimen dan analisis statistik.  

Tipe kedua, "Para Pencerita," akan mewawancarai saksi, mencoba memahami motif, dan merangkai narasi manusia di balik peristiwa tersebut. Mereka ingin tahu mengapa itu terjadi. Mereka menyelami makna yang diberikan oleh individu atau kelompok terhadap suatu masalah, sering kali dengan terjun langsung ke lingkungan partisipan.  

Dalam dunia riset desain, para peneliti menemukan bahwa pendekatan "Pencerita" sebenarnya lebih umum. Dari 68 studi yang mereka analisis, 32 di antaranya murni kualitatif (pendekatan Pencerita), sementara hanya 17 yang murni kuantitatif (pendekatan Ilmuwan), dan 12 menggunakan metode campuran. Para Pencerita ini menggunakan strategi seperti:  

  • Studi Kasus: Melakukan penyelaman mendalam ke dalam satu fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata, seperti menganalisis satu proyek desain dari awal hingga akhir.  

  • Etnografi: Menghabiskan waktu yang cukup lama di "lapangan" untuk mengamati dan mendokumentasikan keyakinan dan praktik suatu kelompok budaya dari sudut pandang orang dalam.  

Apa artinya ini? Mengapa bidang yang teknis seperti desain rekayasa begitu bergantung pada penceritaan? Jawabannya terletak pada evolusi bidang itu sendiri. Desain rekayasa modern bukan lagi sekadar mengoptimalkan mesin. Ini adalah proses "sosio-teknis" yang kompleks. Ini tentang memahami bagaimana manusia—dengan segala kebiasaan, frustrasi, dan kegembiraan mereka—berinteraksi dengan teknologi.  

Anda tidak bisa menggunakan spreadsheet untuk mengukur frustrasi pengguna atau menangkap momen "aha" dalam sesi curah pendapat tim. Anda membutuhkan cerita. Anda perlu mengamati, mendengarkan, dan menafsirkan. Ini menunjukkan bahwa keterampilan yang paling berharga bagi seorang inovator modern mungkin bukan hanya keterampilan teknis. Keterampilan itu adalah empati, observasi, dan interpretasi—keterampilan seorang pencerita ulung.

Perangkat Desainer yang Melimpah

Jika pendekatan mereka beragam, alat yang mereka gunakan bahkan lebih bervariasi. Jika Anda membayangkan laboratorium seorang peneliti desain dipenuhi dengan peralatan canggih, Anda mungkin akan terkejut. Papan bukti mereka lebih mirip papan detektif yang berantakan daripada nampan steril seorang ahli bedah.

Para peneliti menemukan bahwa tidak ada satu pun metode pengumpulan data yang dominan. Sebaliknya, para desainer hebat mengumpulkan petunjuk dari berbagai sumber.

  • 🕵️ Papan Bukti: Para periset ini adalah detektif informasi. Sumber yang paling umum bukanlah algoritma canggih, melainkan bukti-bukti klasik: dokumen teknis (ditemukan dalam 26 studi) dan wawancara dengan para ahli dan pengguna (ditemukan dalam 22 studi). Mereka membaca laporan, mempelajari spesifikasi, dan yang terpenting, mereka berbicara dengan orang-orang.  

  • 🎥 Lalat di Dinding: Mereka sangat bergantung pada pengamatan langsung (19 studi). Mereka menggunakan rekaman video, audio, dan catatan lapangan untuk menangkap apa yang  

    sebenarnya dilakukan orang, bukan hanya apa yang mereka katakan. Ini adalah perbedaan krusial antara data yang dilaporkan sendiri dan perilaku yang sebenarnya.

  • 🧱 Petunjuk Fisik: Mereka mengumpulkan dan menganalisis objek fisik—prototipe, sketsa, dan maket (17 studi)—dan memperlakukannya sebagai artefak penting yang menceritakan sebuah kisah tentang proses desain. Sebuah sketsa kasar bisa mengungkapkan lebih banyak tentang ide awal daripada laporan setebal 100 halaman.  

  • 💡 Pelajaran: Pesannya jelas: tidak ada satu "sumber kebenaran" pun. Wawasan hebat datang dari merangkai petunjuk dari berbagai sumber. Berhentilah mencari satu alat atau dataset ajaib. Keterampilan yang sebenarnya terletak pada sintesis—kemampuan untuk melihat pola dalam kekacauan.

Apa Arti Kekacauan Indah Ini bagi Kita

Jadi, kita telah melihat bahwa dunia riset desain tingkat atas bukanlah dunia dengan proses yang kaku dan seragam, melainkan sebuah ekosistem yang dinamis dan beragam. Ini menarik secara akademis, tetapi apa artinya bagi kita—para profesional, kreatif, dan siapa pun yang mencoba membuat sesuatu yang baru di dunia ini? Jawabannya, menurut saya, sangat membebaskan.

Izin untuk Merangkul Proses Anda

Selama bertahun-tahun, saya merasa bersalah karena alur kerja saya yang "berantakan". Saya tidak mengikuti satu metodologi pun dengan sempurna. Saya mencampuradukkan pendekatan, beralih antara pemikiran analitis dan penceritaan intuitif, dan menggunakan berbagai alat tergantung pada proyeknya. Paper ini, bagi saya, adalah sebuah validasi. Ini adalah izin untuk berhenti meminta maaf atas proses kita.

Alur Kerja Anda yang "Berantakan" adalah Fitur, Bukan Bug

Tesis inti yang saya ambil dari penelitian ini adalah: penemuan utama mereka tentang "keragaman pendekatan dan tujuan yang sangat tinggi" bukanlah tanda sebuah bidang yang kacau, melainkan bukti dari sebuah disiplin yang sehat, adaptif, dan matang.  

Alasan mengapa tidak ada satu metode tunggal adalah karena setiap masalah itu unik. Para peneliti mencatat bahwa desain adalah usaha yang "spesifik konteks". Mencoba menerapkan proses yang kaku dan satu ukuran untuk semua pada setiap tantangan kreatif akan menjadi tidak efektif, bahkan berbahaya. Keragaman metode yang mereka temukan adalah cerminan dari keragaman masalah yang sedang dipecahkan.  

Kemampuan beradaptasi inilah yang menjadi kekuatan super dalam pekerjaan kreatif modern. Ini bukan tentang menghafal satu resep, tetapi tentang membangun kotak peralatan pribadi yang penuh dengan metode-metode yang dapat Anda gunakan berdasarkan tantangan spesifik yang Anda hadapi. Bagi mereka yang ingin lebih sengaja dalam membangun kotak peralatan tersebut, menjelajahi program terstruktur seperti(https://diklatkerja.com/) bisa menjadi cara yang fantastis untuk menambahkan alat dan kerangka kerja baru ke dalam repertoar Anda tanpa kehilangan fleksibilitas yang membuat Anda efektif.

Kekuatan bidang ini terletak pada pluralisme metodologisnya, yang merupakan tanda kebijaksanaan, bukan ketidakdewasaan. Para penulis paper mencatat "rendahnya jumlah paper yang mengusulkan rekomendasi, pedoman, kerangka kerja, dan taksonomi" dan menyarankan ini sebagai area untuk pertumbuhan. Dari sudut pandang akademis, generalisasi dan pembangunan teori adalah tanda-tanda bidang yang matang. Namun, dari sudut pandang praktisi,  

penolakan untuk melakukan generalisasi berlebihan adalah tanda kebijaksanaan. Komunitas desain tampaknya memiliki pemahaman intuitif bahwa konteks adalah raja dan bahwa "hukum" desain universal adalah pengejaran yang sia-sia.

Data dalam paper ini adalah sanggahan yang kuat terhadap pandangan simplistis ini. Ini memberi kita "izin" untuk menolak sistem yang kaku dan mempercayai proses kita sendiri yang adaptif dan didorong oleh konteks.

Harapan Pribadi dan Kritik Halus

Studi ini adalah sebuah karya yang fenomenal. Ia mengangkat cermin ke seluruh bidang desain rekayasa dan menunjukkannya dalam segala kemuliaan yang kompleks dan kacau. Bagi seseorang seperti saya, yang merasakan kedekatan dengan kekacauan indah itu, ini sangat memvalidasi.

Namun, jika saya punya satu harapan kecil, itu adalah ini: sementara paper ini dengan mahir menggambarkan wilayahnya, ia sedikit ragu untuk menawarkan kompas bagi mereka yang baru mengenalnya. Para penulis, dalam kesimpulan mereka, dengan tepat menunjukkan bahwa temuan mereka berharga bagi para akademisi yang merancang program PhD. Namun, dengan terlalu fokus pada 

apa (keragaman metode) tanpa menawarkan kerangka kerja pemandu untuk mengapa (mengapa Anda memilih satu metode daripada yang lain dalam situasi tertentu), paper ini mungkin terasa agak abstrak bagi seorang peneliti muda atau praktisi yang baru memulai perjalanan mereka. Ini adalah peta ekosistem yang sempurna, tetapi berhenti sebelum menjadi panduan lapangan bagi penjelajah yang bercita-cita tinggi.

Undangan Anda untuk Menjelajah

Pada akhirnya, perjalanan saya mencari "proses yang sempurna" berakhir di tempat yang tidak terduga. Itu tidak berakhir dengan penemuan satu peta, tetapi dengan kesadaran bahwa peta terbaik adalah yang kita gambar sendiri saat kita berjalan.

Pesan inti dari penjelajahan mendalam ke dalam 68 studi desain ini adalah bahwa pencarian akan satu proses yang sempurna adalah mitos. Keajaiban yang sebenarnya terletak pada kekacauan yang indah—pada kemampuan beradaptasi, pada kotak peralatan yang beragam, dan pada kebijaksanaan untuk memilih pendekatan yang tepat untuk masalah yang tepat. Kekacauan itu bukanlah bug; itu adalah seluruh sistem operasi dari kreativitas dan inovasi.

Siap untuk Menyelam Lebih Dalam?

Jika intipan ke dunia riset desain ini telah memicu rasa ingin tahu Anda dan Anda ingin melihat data mentah di balik cerita ini, saya sangat menganjurkan Anda untuk menjelajahi sumber dari ide-ide ini sendiri. Paper aslinya adalah harta karun bagi siapa saja yang ingin melampaui ringkasan ini.

(https://doi.org/10.1007/s00163-022-00406-y)

Selengkapnya
Mitos Proses Sempurna: Apa yang Saya Pelajari dari 68 Studi Desain tentang Kekacauan Kreatif

Pembangunan & Infrastruktur

Masa Depan Kota Kita Dibangun di Atas Ilusi yang Berbahaya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025


Bayangkan seorang dokter sedang meninjau rekam medis pasien yang mengaku sehat walafiat. Pasien itu rutin berolahraga, makan dengan baik, dan tidak punya keluhan apa pun. Namun, hasil laboratorium di layar monitor menceritakan kisah yang sama sekali berbeda: penanda-penanda kritis berada di level yang berbahaya, dan sebuah krisis sistemik yang tersembunyi sedang berkembang.

Pasien ini adalah infrastruktur kita. Dan orang-orang yang merasa infrastruktur kita sehat adalah, yang mengkhawatirkan, para dokter generasi berikutnya—calon insinyur sipil dan manajer konstruksi kita.

Kesenjangan yang kuat inilah yang menjadi subjek dari sebuah paper penelitian yang menarik, dan sejujurnya meresahkan, yang baru saja saya baca, ditulis oleh Saeed Rokooei dan rekan-rekannya. Paper ini bukan sekadar kumpulan data; ini adalah jendela menuju pola pikir para perancang masa depan kota-kota kita, dan apa yang terlihat di baliknya menuntut perhatian kita segera.

Mengintip Isi Pikiran Para Pembangun Ahli Masa Depan

Sebelum kita menyelami hasil yang mengejutkan, mari kita apresiasi bagaimana para peneliti mengungkapnya. Mereka tidak sekadar mengajukan pertanyaan sederhana; mereka melakukan survei yang cermat terhadap 382 mahasiswa Teknik Sipil dan Konstruksi (Civil Engineering and Construction - CEC) di 15 universitas terkemuka di Amerika Serikat.

Tujuan mereka adalah untuk memahami model mental para mahasiswa ini tentang dunia—"persepsi" mereka. Mengapa? Karena apa yang kita yakini menentukan bagaimana kita bertindak. Seorang insinyur yang percaya sebuah jembatan dalam kondisi "cukup baik" akan membuat keputusan yang sangat berbeda dari insinyur yang tahu jembatan itu di ambang kegagalan. Karena itu, studi ini bukan hanya latihan akademis; ini adalah gambaran penting tentang masa depan lingkungan binaan kita.

Pilihan untuk meneliti persepsi alih-alih sekadar pengetahuan adalah kekuatan metodologis utama dari penelitian ini. Tes pengetahuan akan bertanya, "Berapa nilai rapor bendungan di AS?" Tes persepsi bertanya, "Menurut Anda, berapa nilainya?" Yang pertama mengukur ingatan. Yang kedua mengukur keyakinan, yang merupakan prediktor perilaku yang jauh lebih kuat.

Ilusi Besar Infrastruktur: Kisah Dua Rapor yang Bertolak Belakang

Bagian inilah yang menjadi inti dari analisis, menyajikan data paling mengejutkan dari paper ini sebagai serangkaian wahyu.

Pertama, Masalah Bahasa: Apakah Kita Sepakat tentang Arti "Aman"?

Para peneliti memulai dari hal mendasar: apa sebenarnya arti "resiliensi" atau ketahanan? Mereka memecahnya menjadi empat tindakan utama, berdasarkan klasifikasi National Institute of Standards and Technology (NIST), dan meminta mahasiswa untuk menilai pentingnya masing-masing dalam skala 5 poin.

  • Pencegahan (Prevention): Bersiap untuk bahaya yang diantisipasi. (Skor Mahasiswa: 4,32)

  • Mitigasi (Mitigation): Beradaptasi dengan kondisi yang berubah. (Skor Mahasiswa: 4,08)

  • Respons (Response): Bereaksi terhadap gangguan tak terduga. (Skor Mahasiswa: 4,12)

  • Pemulihan (Recovery): Bertahan dan pulih dengan cepat. (Skor Mahasiswa: 4,10)

Sekilas, skor ini terlihat tinggi. Tapi detailnya yang penting. Preferensi yang jelas untuk "Pencegahan" di atas tiga lainnya mengungkapkan bias yang halus namun mendalam. Ini menunjukkan pola pikir yang berfokus pada membangun benteng, daripada merencanakan apa yang terjadi ketika benteng itu tak terhindarkan ditembus.

Mahasiswa tampaknya memiliki definisi buku teks tentang resiliensi tetapi kurang pemahaman sistemik yang mendalam. Mereka lebih menyukai dunia pencegahan yang bersih dan dapat dihitung (beton yang lebih kuat, tanggul yang lebih tinggi) daripada dunia mitigasi, respons, dan pemulihan yang rumit dan berpusat pada manusia. Ini menunjukkan pendidikan mereka sangat condong ke arah pemecahan masalah teknis, membuat mereka kurang siap untuk pemikiran tingkat sistem yang holistik yang dibutuhkan oleh resiliensi sejati. Implikasinya adalah mereka mungkin merancang infrastruktur yang secara teknis kuat tetapi secara sosial rapuh.

Guncangan Rapor: Memberi Nilai 'B-' pada Siswa Bernilai 'F'

Inilah bagian dari paper yang membuat saya benar-benar terperangah. Para peneliti meminta mahasiswa untuk memberi nilai pada kondisi berbagai sektor infrastruktur di AS, menggunakan skala A-F yang kita kenal. Mereka kemudian membandingkan nilai rata-rata dari mahasiswa dengan nilai resmi yang dinilai oleh para ahli dari American Society of Civil Engineers (ASCE) Infrastructure Report Card. Hasilnya adalah jurang persepsi-realitas yang begitu lebar hingga menakutkan.

Mesin Pemulihan Tak Terlihat yang Gagal Dilihat Mahasiswa

Bagian terakhir dari ilusi ini berkaitan dengan apa yang sebenarnya membuat sebuah komunitas pulih dari bencana. Ketika diminta untuk menilai pentingnya berbagai faktor, mahasiswa dengan benar mengidentifikasi infrastruktur "keras" seperti jalur vital (listrik, air) sebagai hal yang krusial (skor 4,4 dari 5). Tetapi skor mereka untuk faktor-faktor sosio-ekonomi—infrastruktur "lunak" yang menggerakkan pemulihan—sangat rendah.

  • 🚀 Hasil yang mengejutkan: Faktor-faktor seperti jalur vital dan infrastruktur kritis dinilai sangat tinggi, menunjukkan pemahaman akan pentingnya perangkat keras.

  • 🧠 Titik buta yang terungkap: Faktor-faktor ekonomi dinilai jauh lebih rendah, menunjukkan kesenjangan dalam memahami mesin pemulihan yang sebenarnya.

    • Pekerjaan (Employment): 2,9 dari 5

    • Ukuran Bisnis (Business Size): 2,84 dari 5

    • Modal Perumahan (Housing Capital): 2,83 dari 5

    • Nilai Properti (Property Value): 2,79 dari 5 (yang terendah dari semua faktor)

  • 💡 Pelajaran penting: Resiliensi bukan hanya tentang beton dan baja; ini tentang kemampuan ekonomi dan sosial sebuah komunitas untuk bangkit kembali.

Ini mengungkapkan titik buta yang fundamental. Mereka melihat resiliensi sebagai tantangan teknis murni, gagal memahami bahwa kemampuan sebuah komunitas untuk bangkit kembali terkait erat dengan vitalitas ekonomi dan tatanan sosialnya. Pendidikan mereka yang berpusat pada teknik melatih mereka untuk melihat dunia dalam kerangka sistem fisik, meminggirkan sistem ekonomi dan sosial yang sama pentingnya, jika tidak lebih, untuk resiliensi jangka panjang.

Tapi Inilah Plot Twist yang Memberi Saya Harapan

Setelah berhalaman-halaman data yang mengkhawatirkan, paper ini berbelok, dan di sinilah ceritanya menjadi sangat menarik. Terlepas dari kesenjangan pengetahuan dan persepsi mereka yang keliru, para mahasiswa ini tidak apatis. Faktanya, mereka haus akan pengetahuan ini. Data menunjukkan adanya permintaan yang kuat dan belum dimanfaatkan untuk pendidikan resiliensi.

  • 🚀 Permintaan yang Luar Biasa: 94% mahasiswa yang mengejutkan melaporkan bahwa mereka tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang resiliensi komunitas dan infrastruktur.

  • 🧠 Kesenjangan Kurikulum yang Nyata: Sebagian besar mahasiswa—di semua tingkat (dari mahasiswa baru hingga pascasarjana)—percaya bahwa mereka tidak menerima informasi yang cukup tentang topik ini dalam program akademik mereka. Faktanya, hanya sekitar seperlima yang merasa mereka menerima cukup informasi.

  • 💡 Jalur Karier Masa Depan: Lebih dari 45% mahasiswa menyatakan bahwa mereka bersedia belajar lebih banyak tentang resiliensi sebagai jalur karier yang memungkinkan, dengan angka yang bahkan lebih tinggi di kalangan mahasiswa pascasarjana.

Inilah paradoks sentral yang penuh harapan dari paper ini. Para mahasiswa secara bersamaan tidak menyadari skala sebenarnya dari masalah dan sangat ingin menjadi bagian dari solusi. Ini bukan sikap apatis; ini adalah sebuah kekosongan yang menunggu untuk diisi.

Mereka menangkap semangat zaman. Mereka mendengar tentang perubahan iklim, melihat berita tentang badai dan banjir, dan merasakan bahwa "resiliensi" itu penting, bahkan jika pendidikan formal mereka belum memberi mereka kerangka kerja atau data terperinci untuk memahaminya secara mendalam. Ini berarti masalahnya bukan pada mahasiswa; masalahnya ada pada kurikulum. Permintaan ada di sana, tetapi pasokan pendidikan tertinggal.

Cara Kita Mulai Membangun Masa Depan yang Lebih Cerdas dan Aman—Hari Ini

Studi ini bukanlah dakwaan terhadap mahasiswa; ini adalah undangan bagi para pendidik, administrator, dan komunitas profesional. Paper ini diakhiri dengan menguraikan peluang yang jelas untuk berinvestasi dalam pendidikan resiliensi: pembicara tamu, lokakarya, kurikulum yang diperbarui, dan bahkan mata kuliah atau konsentrasi khusus.

Namun, perubahan akademik berjalan lambat. Bagi para mahasiswa dan profesional yang merasakan keinginan 94% untuk belajar sekarang, menunggu bukanlah pilihan. Di sinilah pengembangan profesional yang terarah menjadi penting. Menutup kesenjangan antara minat umum dan keahlian khusus memerlukan pembelajaran terfokus pada topik-topik yang sering diabaikan oleh gelar tradisional.

Misalnya, sebuah kursus tentang (https://www.diklatkerja.com/course/category/manajemen-konstruksi-dan-infrastruktur/) secara langsung mengatasi kelemahan yang diidentifikasi oleh studi ini—bergerak melampaui pencegahan sederhana menuju perencanaan proaktif dan strategi mitigasi yang kompleks yang mendefinisikan resiliensi sejati. Solusinya adalah pendekatan dua cabang: reformasi akademik jangka panjang dan pelatihan profesional jangka pendek yang mudah diakses untuk memberdayakan generasi saat ini.

Giliran Anda Meletakkan Batu Pertama

Rokooei dan rekan-rekannya telah melakukan lebih dari sekadar menerbitkan sebuah paper; mereka telah memberi kita cetak biru masalah dan rambu yang jelas menuju solusi. Kita memiliki generasi pembangun masa depan yang optimistis hingga keliru, buta terhadap beberapa faktor ekonomi dan sosial paling kritis dalam pemulihan, namun sangat ingin belajar.

Mereka berdiri siap, menunggu alat dan pengetahuan untuk membangun dunia yang lebih aman dan lebih tangguh. Ilusi yang mereka pegang saat ini berbahaya, tetapi kesediaan mereka untuk menghancurkannya adalah tanda paling penuh harapan yang bisa kita minta. Pertanyaannya bukan lagi apa masalahnya, tetapi siapa yang akan melangkah untuk menyelesaikannya.

Jika penelusuran mendalam ke dalam psikologi para pembangun masa depan kita ini telah memicu minat Anda, saya sangat mendorong Anda untuk membaca penelitian aslinya. Ini adalah sebuah mahakarya tentang bagaimana mengajukan pertanyaan yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran yang tidak nyaman tetapi esensial.

(https://doi.org/10.1061/(ASCE)EI.2643-9115.0000056)

Selengkapnya
Masa Depan Kota Kita Dibangun di Atas Ilusi yang Berbahaya

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Membedah Mitos "Zero Harm": Apa Kata Data tentang Keselamatan Konstruksi?

Dipublikasikan oleh Raihan pada 02 Oktober 2025


Filosofi keselamatan "Nol" (seperti Zero Harm atau Vision Zero) telah menjadi pendekatan dominan dalam manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di industri konstruksi global. Didukung oleh argumen etis yang tampaknya tak terbantahkan—bahwa menerima target selain nol berarti menerima adanya cedera—konsep ini diadopsi secara luas di tingkat C-Suite. Namun, di balik popularitasnya, terdapat kelangkaan bukti empiris yang mendukung efektivitasnya dalam mengurangi insiden paling parah. Paper "Making zero work for construction safety in a post-zero world" oleh Sherratt, Harch, dan Perez (2024) secara sistematis mendekonstruksi validitas "Nol", menyajikan argumen teoretis yang kuat dan analisis kuantitatif yang menantang status quo ini.  

Paper tersebut berargumen bahwa "Nol" secara konseptual cacat karena beberapa alasan fundamental. Pertama, ia bersifat ahistoris. Asumsi bahwa "semua kecelakaan dapat dicegah" mengabaikan fakta bahwa banyak tugas konstruksi dirancang selama Revolusi Industri Pertama, sebuah era di mana pekerja dianggap dapat dikorbankan dan keselamatan bukanlah pertimbangan desain utama. Akibatnya, menerapkan slogan keselamatan modern pada sistem kerja yang secara inheren tidak aman tanpa merekayasa ulang tugas itu sendiri adalah tindakan yang tidak logis. Kedua, "Nol" bertentangan dengan kerangka hukum yang mendasari regulasi K3 di banyak negara, termasuk AS, Inggris, dan Australia. Legislasi ini dibangun di atas prinsip "sejauh dapat dipraktikkan secara wajar" (so far as is reasonably practicable), yang menuntut keseimbangan antara risiko, biaya, dan upaya. Sebaliknya, "Nol" adalah sebuah absolutisme yang tidak memungkinkan adanya keseimbangan, menciptakan disonansi operasional bagi manajer. Ketiga, dari perspektif  sosial, "Nol" dipandang sebagai produk dari "hiperbola linguistik" abad ke-21. Dalam budaya korporat yang terobsesi dengan slogan-slogan ekstrem seperti "terdepan di dunia", "Nol" menjadi norma yang diharapkan. Namun, penggunaan yang berlebihan ini menyebabkan "kelelahan linguistik", di mana pekerja di lapangan menganggapnya sebagai propaganda yang tidak memiliki substansi nyata, yang berpotensi menyebabkan sinisme dan keterasingan.  

Untuk menguji klaim "Nol" secara empiris, penelitian ini menganalisis data Cedera Serius dan Kematian (Serious Injuries and Fatalities - SIF) dari industri konstruksi AS selama periode 2018–2022. Sampel terdiri dari 15 perusahaan konstruksi terbesar, yang diklasifikasikan menjadi kelompok "Nol" (n=6) yang secara publik mengadopsi kebijakan keselamatan berbasis nol, dan kelompok "non-Nol" (n=9).  

Analisis data mentah pada awalnya tampak mendukung kebijakan "Nol". Perusahaan dalam kelompok "Nol" secara kolektif mencatat lebih sedikit insiden SIF (10 kematian dan 7 cedera serius) dibandingkan dengan kelompok "non-Nol" (16 kematian dan 23 cedera serius). Namun, temuan deskriptif ini bisa menyesatkan. Untuk mengevaluasi signifikansi statistik dari perbedaan ini, peneliti menggunakan Welch's t-test, sebuah uji statistik yang sesuai untuk sampel dengan varians yang tidak sama. Hasilnya sangat mencerahkan: perbedaan dalam hasil SIF antara kedua kelompok ditemukan tidak signifikan secara statistik, dengan nilai p=0.41. Dalam terminologi statistik, ini berarti tidak ada cukup bukti untuk menolak hipotesis nol—yaitu, tidak ada perbedaan nyata dalam kinerja SIF antara perusahaan yang mengadopsi "Nol" dan yang tidak. Data tersebut bersifat ekuivokal: tidak membuktikan bahwa "Nol" gagal, tetapi juga sama sekali tidak memberikan bukti bahwa ia berhasil.  

Perbandingan Statistik Insiden SIF antara Perusahaan 'Zero' dan 'Non-Zero' (2018-2022)

Metrik untuk Perusahaan 'Zero':

  • Jumlah Perusahaan (n): 6
  • Total Kematian: 10
  • Total Cedera Serius: 7
  • Total Insiden SIF: 17
  • Rata-rata SIF per Perusahaan: 2.83
  • Standar Deviasi: 0.75

Metrik untuk Perusahaan 'Non-Zero':

  • Jumlah Perusahaan (n): 9
  • Total Kematian: 16
  • Total Cedera Serius: 23
  • Total Insiden SIF: 39
  • Rata-rata SIF per Perusahaan: 4.33
  • Standar Deviasi: 5.10

Hasil Welch's t-test (p−value) untuk kedua kelompok: 0.41 (Tidak Signifikan)

Sumber: Diadaptasi dari Sherratt et al. (2024)

Temuan kuantitatif ini, yang menggemakan hasil studi serupa sebelumnya di Inggris, menunjukkan hubungan yang lemah antara retorika keselamatan "Nol" dan hasil keselamatan yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi "Nol" mungkin lebih merupakan cerminan dari kematangan organisasi atau tekanan eksternal daripada strategi intervensi yang efektif secara inheren.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian oleh Sherratt et al. (2024) memberikan tiga kontribusi signifikan bagi bidang K3. Pertama, ia menyediakan data empiris penyeimbang yang sangat dibutuhkan dalam wacana yang didominasi oleh argumen teoretis dan etis. Dengan mereplikasi temuan dari konteks Inggris di pasar konstruksi AS yang besar, paper ini memperkuat argumen bahwa tidak ada bukti kuantitatif yang jelas yang mendukung klaim keberhasilan "Nol". Kedua, paper ini membangun kerangka kritik teoretis yang komprehensif. Dengan mengintegrasikan perspektif historis, hukum, dan sosiolinguistik, ia menawarkan pemahaman yang lebih kaya dan bernuansa tentang mengapa "Nol" mungkin gagal dalam praktik, melampaui kritik operasional yang umum seperti potensi kurangnya pelaporan (under-reporting). Ketiga, penelitian ini secara proaktif menggeser wacana ke arah alternatif yang dapat diukur. Dengan menyoroti pendekatan-pendekatan baru seperti "triase SIF" (memfokuskan upaya pada risiko paling parah) dan metrik yang mengukur "kehadiran kontrol" seperti High-Energy Control Assessment (HECA), paper ini mendorong komunitas K3 untuk bergerak melampaui perdebatan pro/kontra "Nol" dan menuju paradigma keselamatan generasi berikutnya yang berbasis bukti.  

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Para penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam penelitian mereka. Ukuran sampel yang relatif kecil (n=15) membatasi kekuatan statistik analisis. Sifat data yang korelasional berarti tidak ada klaim kausalitas yang dapat dibuat—penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa "Nol" menyebabkan hasil tertentu, hanya saja ia tidak berkorelasi dengan peningkatan kinerja SIF. Selain itu, penggunaan data SIF sebagai metrik kinerja itu sendiri bermasalah, karena insiden ini adalah peristiwa langka (black swan) yang tidak selalu mencerminkan kesehatan sistem keselamatan secara keseluruhan.  

Keterbatasan ini justru membuka beberapa pertanyaan penelitian yang mendesak. Jika "Nol" tidak terbukti berhasil, mengapa ia terus menyebar dengan begitu pesat? Apakah ini didorong oleh tekanan dari investor dan kebutuhan pelaporan Environmental, Social, and Governance (ESG), seperti yang diisyaratkan oleh argumen "minyak ular untuk keselamatan"? Apa mekanisme kausal spesifik di balik "paradoks nol"—fenomena yang diamati dalam studi sebelumnya di mana lokasi "Nol" justru memiliki lebih banyak SIF? Apakah ini karena fokus yang salah pada cedera ringan mengorbankan perhatian pada bahaya fatal? Terakhir, bagaimana pekerja di lapangan menafsirkan dan merespons berbagai implementasi "Nol" (misalnya, 'Visi' vs. 'Target'), dan apakah ada perbedaan dalam tingkat keterasingan yang dihasilkannya?  

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan pertanyaan terbuka ini, lima arah penelitian masa depan yang spesifik dapat dirumuskan untuk membangun agenda riset yang koheren dan berdampak.

  1. Mengukur Dampak 'Nol' pada Budaya Pelaporan dan Keterlibatan Pekerja
    • Justifikasi: Paper ini menyoroti kekhawatiran teoretis bahwa "Nol" dapat menyebabkan "keterasingan tenaga kerja" dan mendorong under-reporting untuk menghindari "merusak angka". Kesenjangan kritis saat ini adalah kurangnya data empiris untuk memvalidasi kekhawatiran ini.  
    • Metode yang Diusulkan: Studi longitudinal dengan metode campuran selama tiga tahun pada perusahaan yang baru menerapkan program "Nol". Penelitian ini akan menggabungkan analisis data pelaporan insiden (termasuk near-misses dan kasus P3K) dengan survei psikometrik tahunan yang mengukur keamanan psikologis, kepercayaan pada manajemen, dan persepsi keadilan, serta wawancara kualitatif mendalam.
    • Kebutuhan Lanjutan: Penelitian ini akan memberikan bukti kuantitatif dan kualitatif yang sangat dibutuhkan untuk menguji secara empiris salah satu kritik paling signifikan terhadap filosofi "Nol".
  2. Investigasi Kausalitas "Paradoks Nol" melalui Analisis Alokasi Sumber Daya
    • Justifikasi: Berdasarkan temuan "paradoks nol" dari studi Sherratt & Dainty (2017) yang dirujuk dalam paper, terdapat hipotesis bahwa program "Nol" dapat secara tidak sengaja mengalihkan sumber daya dan perhatian manajemen dari bahaya berenergi tinggi ke metrik frekuensi cedera ringan.  
    • Metode yang Diusulkan: Studi kasus komparatif mendalam pada beberapa perusahaan. Penelitian akan membandingkan perusahaan "Nol" dengan kinerja SIF yang buruk dengan perusahaan berbasis risiko (misalnya, Human and Organizational Performance - HOP) dengan kinerja SIF yang baik. Metode akan mencakup analisis dokumen (anggaran K3, agenda rapat, laporan investigasi) dan observasi etnografis untuk memetakan bagaimana waktu dan sumber daya dialokasikan.
    • Kebutuhan Lanjutan: Penelitian ini akan bergerak melampaui korelasi untuk mengeksplorasi mekanisme kausal potensial di balik paradoks tersebut, memberikan wawasan praktis tentang bagaimana fokus program keselamatan dapat salah arah.
  3. Analisis Komparatif Lintas Industri Berisiko Tinggi
    • Justifikasi: Temuan paper ini spesifik untuk industri konstruksi. Menguji generalisasi temuan ini di industri berisiko tinggi lainnya sangat penting untuk memahami apakah kegagalan "Nol" bersifat kontekstual atau universal.  
    • Metode yang Diusulkan: Studi kasus jamak yang membandingkan implementasi dan hasil "Nol" di sektor konstruksi, pertambangan, dan minyak & gas. Penelitian akan fokus pada bagaimana konteks industri (misalnya, sifat pekerjaan, budaya serikat pekerja, struktur peraturan) memoderasi hubungan antara program "Nol" dan hasil K3.
    • Kebutuhan Lanjutan: Akan menentukan apakah masalah dengan "Nol" merupakan fenomena yang lebih luas, sehingga memperkuat argumen untuk perubahan paradigma di berbagai sektor.
  4. Mengevaluasi 'Nol' sebagai Alat Komunikasi Eksternal (ESG dan CSR)
    • Justifikasi: Paper ini mengajukan hipotesis provokatif bahwa "Nol" mungkin lebih dihargai karena penampilannya bagi investor ("minyak ular untuk keselamatan") daripada dampaknya bagi pekerja.  
    • Metode yang Diusulkan: Analisis konten kuantitatif terhadap laporan tahunan dan keberlanjutan dari 100 perusahaan konstruksi teratas. Penelitian akan mengkode frekuensi retorika "Nol" dan mengkorelasikannya dengan kinerja SIF yang dilaporkan (bukan hanya metrik frekuensi seperti TRIR). Ini dapat dilengkapi dengan wawancara dengan analis investasi ESG.
    • Kebutuhan Lanjutan: Akan menguji secara empiris apakah "Nol" berfungsi terutama sebagai strategi branding dan manajemen reputasi, yang berpotensi terlepas dari kinerja keselamatan operasional yang sebenarnya.
  5. Studi Percontohan tentang Efektivitas Metrik Alternatif (misalnya, HECA)
    • Justifikasi: Paper ini diakhiri dengan menyarankan bahwa alternatif seperti HECA dapat membuat "Nol" menjadi usang dengan menggeser fokus dari ketiadaan cedera ke kehadiran kontrol. Klaim ini memerlukan validasi empiris.  
    • Metode yang Diusulkan: Studi intervensi kuasi-eksperimental. Bekerja sama dengan perusahaan untuk menerapkan metrik HECA di beberapa proyek (kelompok intervensi) sambil mempertahankan metrik tradisional di proyek lain (kelompok kontrol). Penelitian akan mengukur tidak hanya hasil SIF tetapi juga indikator utama seperti persentase verifikasi kontrol kritis yang berhasil dan kualitas percakapan keselamatan.
    • Kebutuhan Lanjutan: Akan menjadi salah satu studi pertama yang secara kuantitatif membandingkan paradigma keselamatan "berbasis ketiadaan" dengan paradigma "berbasis kehadiran", memberikan bukti penting untuk pergeseran paradigma di seluruh industri.

Secara keseluruhan, penelitian Sherratt et al. (2024) secara meyakinkan menunjukkan bahwa fondasi empiris untuk filosofi "Nol" sangat lemah. Implikasi jangka panjangnya adalah bahwa perdebatan dalam komunitas K3 tidak lagi seharusnya tentang apakah "Nol" berhasil, tetapi tentang bagaimana membangun dan memvalidasi alternatif yang berakar pada ilmu keselamatan, desain sistem, dan psikologi organisasi.

Agenda riset yang diuraikan di atas bersifat ambisius dan interdisipliner. Untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan ini secara efektif, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara pusat penelitian keselamatan konstruksi seperti Construction Safety Research Alliance (CSRA), departemen psikologi industri-organisasi di universitas riset terkemuka, dan lembaga pendanaan seperti National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). Kemitraan dengan asosiasi industri dan serikat pekerja juga penting untuk memastikan bahwa penelitian ini relevan secara praktis dan temuannya dapat diterjemahkan ke dalam praktik di lapangan untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

(https://doi.org/10.1016/j.jsr.2024.08.016)

Selengkapnya
Membedah Mitos "Zero Harm": Apa Kata Data tentang Keselamatan Konstruksi?

Pengembangan Karier

Ijazah vs. Pengalaman: Riset Ini Mengubah Cara Saya Memandang Karier

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025


I. Pengakuan Dosa Seorang Kolektor Ijazah

Izinkan saya memulai dengan sebuah pengakuan dosa. Selama bertahun-tahun, saya adalah seorang pemuja ijazah. Saya percaya dengan sepenuh hati bahwa jalan menuju kesuksesan dilapisi kertas-kertas berharga dengan logo universitas ternama di atasnya. Mentalitas saya sederhana: kumpulkan sebanyak mungkin "huruf-huruf di belakang nama," maka pintu-pintu emas akan terbuka dengan sendirinya. Saya sibuk berburu logo di atas kertas, meyakini bahwa kualifikasi formal adalah segalanya. Setiap sertifikat baru terasa seperti menabung satu keping emas untuk masa depan.

Namun, seiring waktu, sebuah kegelisahan mulai merayap. Di dunia nyata, saya melihat orang-orang dengan portofolio pengalaman yang kaya melesat lebih cepat daripada mereka yang hanya berbekal transkrip nilai cemerlang. Pertanyaan itu terus menghantui: apakah semua ijazah yang saya kumpulkan ini benar-benar sepenting yang saya kira?

Di tengah kegelisahan itulah saya menemukan sebuah paper penelitian oleh Eddie Fisher dan Yorkys Santana González. Judulnya sederhana: “Qualifications and Certificates v Practical Knowledge and Experience: Is There a Winner?”. Paper ini seolah menjadi jawaban atas pertanyaan yang sudah lama saya pendam. Ia bukan sekadar opini, melainkan sebuah investigasi sistematis yang memberikan data dan kerangka untuk memahami perdebatan klasik ini.  

Para penulisnya membuka riset mereka dengan menghadapkan dua kutipan legendaris yang seolah saling bertentangan. Di satu sisi, ada Albert Einstein yang berkata, 'Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman.' Di sisi lain, Benjamin Franklin menimpali, 'Investasi dalam pengetahuan membayar bunga terbaik'. Inilah konflik utamanya. Apakah kita berada di tim Einstein, yang mengagungkan pengalaman praktis? Ataukah kita pengikut setia Franklin, yang percaya pada kekuatan pengetahuan formal? Paper ini mengajak kita untuk tidak sekadar memilih tim, tetapi untuk memahami medan pertempuran yang sesungguhnya.  

II. Pertarungan Abadi: Apa Kata Riset Soal Ijazah vs. Pengalaman?

Saat Einstein dan Franklin Berdebat di Meja Kerjamu

Perdebatan antara ijazah dan pengalaman bukan lagi sekadar obrolan filosofis di warung kopi. Ini adalah masalah ekonomi yang sangat nyata bagi perusahaan, dan riset ini membuktikannya dengan angka yang gamblang. Bayangkan Anda seorang manajer. Setiap kali seorang karyawan mengundurkan diri, perusahaan Anda harus menanggung biaya rata-rata sebesar £31,000 untuk mencari penggantinya. Biaya ini mencakup hilangnya produktivitas selama masa transisi hingga biaya logistik rekrutmen.  

Angka yang lebih mengejutkan lagi adalah durasi adaptasi. Seorang karyawan yang pindah dari sektor industri yang sama butuh waktu sekitar 15 minggu untuk mencapai produktivitas optimal. Namun, seorang lulusan baru—fresh graduate dengan ijazah mengilap—membutuhkan waktu hingga 40 minggu, atau hampir setahun penuh, untuk mencapai level yang sama.  

Di sinilah letak inti masalahnya. "Pergeseran paradigma" dari kualifikasi ke pengalaman yang disorot dalam paper ini bukanlah sekadar tren atau mode sesaat. Ini adalah reaksi pasar yang logis, yang didorong oleh efisiensi dan biaya. Ketika model "rekrut berdasarkan ijazah" terbukti sangat mahal dan lambat, pasar secara alami akan mengoreksi dirinya sendiri. Perusahaan, yang pada dasarnya adalah entitas yang digerakkan oleh efisiensi, mulai memprioritaskan kandidat yang bisa "langsung tancap gas" dan meminimalkan biaya adaptasi selama 40 minggu tersebut. Jadi, ketika perusahaan lebih memilih kandidat berpengalaman, itu bukan karena mereka tidak menghargai pendidikan, melainkan karena mereka membuat keputusan bisnis yang rasional.  

Bukan Sekadar Kertas, Inilah Nilai Sebenarnya dari Gelarmu

Namun, menyimpulkan bahwa ijazah tidak lagi berharga adalah sebuah kesalahan fatal. Paper ini dengan adil menyajikan argumen yang kuat untuk mendukung pendidikan formal. Kualifikasi akademis bukan hanya tentang mendapatkan pekerjaan; ini adalah fondasi untuk pengembangan intelektual, personal, dan sosial.  

Saya suka menggunakan analogi ini: memiliki gelar itu seperti mempelajari denah dan fondasi sebuah bangunan. Anda mungkin belum pernah meletakkan satu bata pun, tetapi Anda memahami prinsip-prinsip fisika, material, dan desain yang membuat bangunan itu berdiri kokoh. Tanpa pengetahuan teoretis ini, pengalaman praktis hanya akan menjadi serangkaian tindakan coba-coba tanpa pemahaman yang mendalam. Seperti yang ditekankan dalam riset, aplikasi praktis sering kali didasarkan pada pengetahuan teoretis yang sudah ada sebelumnya. Teori memberi kita "peta," sementara praktik adalah perjalanannya. Tanpa peta, perjalanan bisa jadi tanpa arah.  

Tiga Tahun di "Universitas Kehidupan" yang Mengalahkan S1

Di sisi lain, argumen untuk pengalaman kerja juga tak kalah kuatnya. Riset ini mencatat bahwa seorang kandidat yang pada usia 21 tahun telah memiliki tiga tahun pengalaman kerja yang solid sering kali berada di posisi yang lebih menguntungkan daripada rekan sebayanya yang baru lulus S1. Mengapa? Karena pengalaman memberikan sesuatu yang tidak bisa ditawarkan oleh transkrip nilai: bukti nyata.  

Pengalaman kerja adalah portofolio hidup yang menunjukkan bahwa Anda bisa bekerja dalam tim, bertahan di bawah tekanan, disiplin, tepat waktu, dan mampu beradaptasi dalam lingkungan kerja yang dinamis. Ini adalah bukti bahwa Anda memahami bagaimana sebuah perusahaan benar-benar berfungsi—ritme rapat, politik kantor, cara berkomunikasi dengan atasan—hal-hal yang tidak akan pernah diajarkan di ruang kelas. Pengalaman mengubah pengetahuan abstrak menjadi kompetensi yang teruji.  

III. Pemenangnya Bukan yang Kamu Kira: Lahirnya Pendekatan Hibrida

Riset Ini Mengungkap Jawaban yang Mengejutkan (dan Melegakan)

Jadi, siapa pemenangnya? Einstein atau Franklin? Ijazah atau pengalaman? Di sinilah paper ini memberikan kesimpulan puncaknya yang brilian dan melegakan. Pemenangnya bukanlah salah satu dari keduanya. Jawabannya adalah pendekatan hibrida, tetapi dengan sebuah penekanan yang sangat penting. Pendekatan terbaik adalah fokus utama pada pengalaman praktis yang didukung oleh pengetahuan teoretis yang relevan, bukan sebaliknya.  

Ini adalah sebuah pembalikan dari cara berpikir tradisional. Selama ini kita diajarkan untuk belajar teori dulu di bangku kuliah, baru kemudian mencari pengalaman. Riset ini menyarankan sebaliknya: terjunlah, dapatkan pengalaman, dan gunakan teori untuk memperdalam, mengontekstualisasikan, dan mengoptimalkan pengalaman tersebut.

Mari kita ringkas temuan utamanya:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Pendekatan hibrida yang memprioritaskan pengalaman terbukti paling efektif untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja.

  • 🧠 Inovasinya: Urutannya penting. Bukan teori dulu baru praktik, tapi fokus pada praktik yang diperkuat oleh teori. Ini membalik cara pikir tradisional kita.

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak dalam perlombaan mengumpulkan ijazah. Mulailah membangun portofolio pengalaman, dan gunakan pengetahuan teoretis untuk membuatnya lebih bermakna.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Bukan Cuma Skill, Tapi "Mindset"

Saat saya menggali lebih dalam, saya menemukan lapisan wawasan yang lebih mengejutkan. Ternyata, di atas kualifikasi dan pengalaman, ada lapisan ketiga yang sering kali menjadi penentu utama: atribut dan kualitas pribadi.

Paper ini mengutip argumen dari Williams yang menyatakan bahwa faktor-faktor seperti kontribusi, kesesuaian budaya (cultural fit), motivasi, dan keterlibatan sering kali lebih berbobot daripada kualifikasi atau pengalaman itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh data dari Chartered Management Institute (CMI) yang menempatkan "Sikap dan ambisi" serta "Presentasi pribadi" di urutan teratas dalam faktor-faktor yang memengaruhi keputusan rekrutmen, bahkan di atas kualifikasi akademis.  

Ini membawa kita pada konsep kunci yang disebut “Employability”. Employability bukanlah sekadar gabungan dari ijazah dan pengalaman. Ini adalah sebuah "meta-skill" yang berpusat pada mindset—kemampuan untuk terus belajar, beradaptasi, dan yang terpenting, merefleksikan pengalaman. Paper ini mendefinisikannya sebagai kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Model Karier dari Sewell dan Dacre Pool bahkan melangkah lebih jauh dengan memasukkan elemen-elemen psikologis seperti  

self-esteem (harga diri), self-efficacy (keyakinan pada kemampuan diri), dan self-confidence (kepercayaan diri) sebagai komponen inti dari employability.  

Ijazah dan pengalaman hanyalah bukti atau proksi dari employability, bukan employability itu sendiri. Tujuan akhirnya bukanlah mengumpulkan kertas atau jabatan, melainkan mengembangkan mindset seorang pembelajar yang adaptif. Dalam konteks ini, pengalaman kerja, magang, dan bahkan proyek sukarela adalah "gym" terbaik untuk melatih otot employability ini.

IV. Cara Menerapkannya Hari Ini (Bahkan Jika Kamu Masih Mahasiswa)

Meretas Sistem: Cara Membangun "Portofolio Karier" Sejak Dini

Lalu, bagaimana cara menerapkan wawasan ini dalam kehidupan nyata? Jawabannya adalah dengan mengadopsi konsep "portofolio karier" (career portfolios) yang disebutkan dalam paper. Berhentilah berpikir seperti "mahasiswa" atau "karyawan junior," dan mulailah berpikir seperti "profesional dalam pelatihan." Ini berarti secara proaktif mencari setiap kesempatan—sekecil apa pun—untuk membangun bukti nyata dari kemampuan Anda. Setiap proyek kelas, kegiatan organisasi, pekerjaan paruh waktu, atau bahkan hobi bisa menjadi bagian dari portofolio Anda jika Anda bisa menceritakan apa yang Anda pelajari dari sana.  

Jadilah "Pembelajar Aktif", Bukan Kolektor Pasif

Kunci untuk membangun portofolio yang kuat adalah dengan menjadi pembelajar aktif, dan di sinilah Siklus Belajar Kolb (Kolb's Learning Cycle) yang dijelaskan dalam paper menjadi sangat relevan. Bayangkan belajar memasak. Anda tidak bisa hanya membaca buku resep (teori). Anda harus masuk ke dapur dan mencoba (  

Concrete Experience). Mungkin masakan pertama Anda gosong. Anda lalu berpikir, 'Apa yang salah? Oh, apinya terlalu besar' (Reflection & Observation). Dari sana, Anda menyimpulkan sebuah prinsip baru, 'Untuk resep ini, api sedang adalah yang terbaik' (Abstraction & Conceptualisation). Keesokan harinya, Anda mencoba lagi dengan api yang lebih kecil (Active Experimentation).

Itulah cara belajar yang sebenarnya, dan siklus ini berlaku untuk karier juga. Setiap tugas, setiap kegagalan, setiap keberhasilan adalah kesempatan untuk melalui keempat tahap ini. Orang yang memiliki employability tinggi adalah mereka yang secara sadar dan terus-menerus memutar siklus belajar ini.

Magang, Proyek Sukarela, dan "Sandwich Course" Adalah Senjata Rahasiamu

Cara paling langsung untuk menerapkan pendekatan hibrida dan memutar Siklus Belajar Kolb adalah melalui pengalaman terstruktur. Paper ini menyoroti pentingnya magang, penempatan kerja (sandwich placements), dan bahkan pekerjaan sukarela. Sebuah data menarik menyebutkan bahwa 73% perusahaan lebih memilih kandidat dengan pengalaman sukarela, dan 58% percaya bahwa pengalaman sukarela bisa lebih berharga daripada pekerjaan berbayar.  

Ini adalah senjata rahasia Anda. Jika Anda ingin meningkatkan skill praktis sambil tetap belajar teori, program seperti yang ditawarkan di(https://www.diklatkerja.com) bisa menjadi jembatan yang sempurna antara dunia kampus dan dunia kerja, membantumu menerapkan siklus belajar Kolb dalam konteks profesional.

Opini Pribadi: Di Mana Letak Kelemahan Riset Ini?

Tentu saja, tidak ada riset yang sempurna. Meskipun temuan dari paper ini sangat berharga, penting untuk melihatnya dengan kacamata kritis. Metodologi penelitian ini memiliki keterbatasan yang perlu diakui. Wawancara tatap muka yang menjadi dasar analisis kualitatifnya hanya melibatkan 21 mahasiswa psikologi sarjana di Angola. Ini berarti, meskipun wawasannya kuat secara konseptual, generalisasinya ke industri lain (misalnya, hukum atau kedokteran yang sangat bergantung pada kualifikasi formal) atau ke budaya kerja yang berbeda mungkin memerlukan kehati-hatian.  

Keterbatasan ini juga menyoroti bahaya lain yang disinggung dalam paper: fenomena “over-education” atau kelebihan kualifikasi, seperti yang terjadi di Spanyol. Di pasar kerja yang sangat kompetitif, ada kecenderungan bagi individu untuk terus menumpuk kualifikasi sebagai cara untuk "menandai" kemampuan mereka, berharap bisa menonjol dari keramaian.  

Di sinilah letak sebuah kontradiksi yang tragis. Di satu sisi, individu merasa cemas dan merespons dengan mengumpulkan lebih banyak ijazah. Di sisi lain, paper yang sama menunjukkan bahwa perusahaan semakin tidak peduli dengan sinyal tersebut dan lebih menghargai bukti pengalaman praktis. Ini adalah sebuah feedback loop negatif. Individu berinvestasi besar-besaran pada strategi yang nilainya semakin menurun di mata pasar. Peringatan bagi kita semua adalah: jangan jatuh ke dalam perangkap ini. Sadari perubahan aturan main dan jangan hanya mengikuti jalur tradisional secara membabi buta.

V. Kesimpulan: Berhenti Mengejar Gelar, Mulai Bangun Pengalaman

Kembali ke pengakuan dosa saya di awal. Setelah membaca dan merenungkan riset ini, saya menyadari bahwa saya bukanlah seorang "pemuja ijazah" lagi. Saya telah bertobat. Saya sekarang adalah seorang "pembangun portofolio."

Pesan utama dari riset ini bukanlah untuk memilih antara ijazah atau pengalaman. Pesannya jauh lebih dalam: kita harus beralih dari mentalitas "kolektor pasif" yang hanya mengumpulkan sertifikat, menjadi "pembangun aktif" yang secara sengaja menciptakan dan merefleksikan pengalaman. Kunci sukses di dunia kerja modern bukanlah ijazah atau pengalaman, melainkan integrasi cerdas antara keduanya, yang dijalankan oleh mindset seorang pembelajar seumur hidup.

Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari sebuah riset yang kaya. Kalau kamu tertarik untuk menyelami datanya lebih dalam dan melihat sendiri bagaimana para peneliti sampai pada kesimpulan ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.5296/ber.v10i2.16520)

Selengkapnya
Ijazah vs. Pengalaman: Riset Ini Mengubah Cara Saya Memandang Karier

Arsitektur & Teknologi

Perang Dingin di Meja Gambar: Bagaimana Sebuah Tesis Mengubah Cara Kita Merancang Gedung dengan AI

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025


Jika Anda seorang arsitek atau insinyur struktur, skenario ini mungkin terdengar familier. Arsitek, dengan semangat membara, menciptakan sebuah desain yang indah, inovatif, dan menantang batas. Model 3D yang megah itu kemudian dikirim ke insinyur struktur. Beberapa hari kemudian, model itu kembali dengan serangkaian "catatan merah". "Ini tidak bisa," "kolom ini harus lebih besar," "bentang ini terlalu jauh."

Maka dimulailah sebuah tarian bolak-balik yang melelahkan. Revisi, analisis ulang, rapat, kompromi. Ini adalah "perang dingin" di dunia desain—tidak ada yang berteriak, tapi ketegangan terasa, dan yang paling parah, waktu dan uang terus terkuras. Tesis Hamidavi mengidentifikasi masalah ini secara gamblang: meskipun kita punya platform kolaborasi canggih seperti BIM, "arsitek dan insinyur struktur, sebagian besar, bertindak sebagai tim terpisah," yang membuat proses integrasi menjadi "kegiatan yang padat karya dan merepotkan".  

Masalahnya bukan hanya soal ego atau komunikasi. Ini soal fundamental proses kerja kita. Tesis ini menyoroti sebuah konsep terkenal bernama "Kurva MacLeamy". Bayangkan ini seperti mencoba mengubah resep kue  

setelah adonannya masuk ke dalam oven. Di awal proses desain, kemampuan kita untuk memengaruhi biaya dan performa bangunan sangat tinggi, dan biaya untuk membuat perubahan sangat rendah. Namun, seiring berjalannya waktu, kemampuan itu menurun drastis sementara biaya perubahan meroket. Proses bolak-balik antara arsitek dan insinyur sering kali terjadi di tengah kurva, di mana setiap perubahan sudah mulai terasa mahal.

Dan ini bukan sekadar teori. Hamidavi tidak hanya berasumsi; dia bertanya. Dia menyebarkan kuesioner online ke 354 insinyur profesional terakreditasi dari lembaga bergengsi seperti IStructE, ICE, dan ASCE. Hasilnya? Analisis data menunjukkan bahwa keluhan utama mereka adalah proses yang memakan  

waktu dan masalah interoperabilitas dan kolaborasi. Ini adalah bukti dari lapangan bahwa rasa sakit itu nyata. Masalah ini bukan sekadar gangguan kecil; ini adalah pendarahan efisiensi yang terjadi di setiap proyek.  

Visi Hamidavi: Bagaimana Jika Gedung Bisa Merancang Tulang Rangkanya Sendiri?

Di sinilah tesis ini mulai bersinar. Alih-alih hanya mengeluhkan masalah, Hamidavi mengusulkan sebuah solusi radikal yang dirangkum dalam kerangka kerja yang ia sebut Structural Design and Optimisation (SDO).  

Bayangkan jika Anda mengatur alur kerja desain Anda seperti peneliti di sini. Alih-alih Anda, sang insinyur, secara manual menggambar satu opsi kerangka struktural berdasarkan model arsitek, Anda melakukan sesuatu yang berbeda. Anda mendefinisikan aturan mainnya: "Kolom tidak boleh berada di tengah ruangan ini," "gunakan salah satu dari lima jenis profil baja ini," "ketinggian lantai antara 2,7 hingga 3,2 meter." Anda pada dasarnya mendefinisikan DNA bangunan.

Kemudian, Anda menekan sebuah tombol, dan komputer, menggunakan DNA tersebut, secara otomatis menghasilkan dan menganalisis bukan hanya satu, tapi ratusan bahkan ribuan opsi kerangka struktural yang valid dalam hitungan menit. Setiap opsi dievaluasi berdasarkan kriteria yang Anda tentukan: berat, kekuatan, biaya, atau apa pun.

Ini bukan sihir. Ini adalah orkestrasi cerdas dari tiga pilar teknologi yang sudah ada :  

  1. BIM (Building Information Modelling): Ini adalah fondasinya. Model BIM (seperti dari Revit) bertindak sebagai "kembaran digital" bangunan—satu-satunya sumber kebenaran yang kaya akan data geometri dan informasi.  

  2. Desain Parametrik: Ini adalah otaknya. Alih-alih menggambar objek statis, Anda mendefinisikan hubungan dan aturan. Anda tidak menggambar kolom di koordinat (X,Y); Anda memberitahu sistem untuk menempatkan kolom di setiap persimpangan grid, di mana grid itu sendiri bisa diubah kapan saja.  

  3. Visual Programming Languages (VPL): Ini adalah sistem sarafnya. Alat seperti Dynamo bertindak sebagai "konduktor orkestra digital." Ia membaca data dari model arsitektur di Revit, menerapkannya pada aturan desain yang Anda buat, mengirimkannya ke mesin analisis seperti Robot Structural Analysis (RSA) untuk dihitung, lalu mengambil kembali hasilnya—semua dalam satu alur kerja otomatis yang mulus.  

Keindahan pendekatan ini adalah pragmatismenya. Hamidavi tidak menciptakan perangkat lunak baru dari nol. Prototipenya dibangun di atas ekosistem Autodesk (Revit, Dynamo, RSA) yang sudah banyak digunakan di industri. Ini berarti visinya bukan fiksi ilmiah yang jauh di masa depan; ini adalah sesuatu yang bisa kita mulai terapkan hari ini. Menguasai alat seperti Dynamo bukan lagi sekadar keahlian tambahan; ini adalah langkah menuju masa depan profesi kita. Jika Anda ingin memulai, ada banyak sumber daya hebat di luar sana, seperti kursus(  

https://diklatkerja.com/courses/parametric-design-with-dynamo/) yang dapat membantu Anda membangun fondasi yang kuat.

Tiga Mahkota Optimisasi: Lebih dari Sekadar Memilih Ukuran Balok

Untuk menunjukkan kekuatan kerangka kerjanya, Hamidavi tidak memilih studi kasus yang mudah. Dia memilih salah satu ikon arsitektur London: 30 St Mary Axe, atau yang lebih dikenal sebagai The Gherkin. Bentuknya yang melengkung dan struktur  

diagrid-nya yang unik adalah hasil kolaborasi yang sangat erat antara arsitek Foster + Partners dan insinyur Arup. Ini adalah contoh sempurna di mana desain arsitektur dan struktural tidak dapat dipisahkan.

Prototipe SDO menunjukkan bagaimana proses kolaborasi intensif semacam ini dapat diotomatisasi dan dipercepat melalui tiga lapisan optimisasi yang bekerja serentak.

Seni Siluet: Memahat Gedung Melawan Angin (Optimisasi Bentuk)

Langkah pertama adalah tentang bentuk luar bangunan. Untuk gedung tinggi seperti The Gherkin, bentuk bukanlah sekadar estetika; ini adalah soal performa. Bentuk silinder yang ramping membantunya mengatasi beban angin dengan lebih efektif daripada gedung kotak konvensional. Prototipe SDO dapat secara otomatis menghasilkan lusinan variasi bentuk dengan mengubah parameter seperti diameter lingkaran di setiap lantai, memungkinkan arsitek dan insinyur untuk secara visual dan analitis menemukan siluet yang paling efisien sebelum melangkah lebih jauh.  

Logika Kerangka: Menemukan Tata Letak Struktur Paling Cerdas (Optimisasi Topologi)

Setelah bentuk eksterior yang optimal ditemukan, fokus beralih ke dalam: bagaimana "tulang-tulang" bangunan disusun? Inilah optimisasi topologi—seni menempatkan material hanya di tempat yang benar-benar dibutuhkan. Untuk The Gherkin, ini berarti menentukan kepadatan dan sudut pola  

diagrid berliannya. Terlalu jarang, strukturnya lemah. Terlalu padat, ia menjadi berat, mahal, dan menghalangi pemandangan. Sistem SDO dapat mengeksplorasi berbagai konfigurasi topologi ini secara otomatis, mencari titik manis antara kekuatan, efisiensi, dan estetika.  

Sains Efisiensi: Memilih Material yang Tepat untuk Setiap Beban (Optimisasi Ukuran)

Ini adalah langkah optimisasi yang paling kita kenal: memilih ukuran profil baja yang tepat untuk setiap balok dan kolom. Namun, alih-alih melakukannya secara manual dengan metode coba-coba, sistem ini menguji ratusan kombinasi ukuran dari katalog yang telah ditentukan, mencari solusi yang paling ringan namun tetap memenuhi semua persyaratan kekuatan dan lendutan.  

Yang membuat pendekatan ini revolusioner adalah bagaimana ketiga "mahkota" optimisasi ini dijalin menjadi satu.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Sistem ini secara simultan mengoptimalkan bentuk, topologi, dan ukuran—sebuah pendekatan holistik yang jarang ditemui dalam praktik sehari-hari yang cenderung linear dan terpisah.  

  • 🧠 Inovasinya: Menggunakan data arsitektur secara langsung untuk secara otomatis menghasilkan dan menganalisis ratusan alternatif desain struktural, mengubah proses berulang yang memakan waktu menjadi eksplorasi desain yang cepat dan penuh wawasan.  

  • 💡 Pelajaran: Desain terbaik bukan tentang mengoptimalkan satu elemen secara terpisah, melainkan tentang menemukan keseimbangan optimal dari keseluruhan sistem secara terintegrasi.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: "Seleksi Alam" untuk Desain Bangunan

Saat membaca bagian optimisasi, ada satu momen "aha!" yang benar-benar membuat saya terkesima. Pertanyaannya adalah: dengan ribuan kemungkinan desain, bagaimana komputer bisa "tahu" mana yang lebih baik? Jawabannya, ternyata, terinspirasi dari proses paling kuat yang pernah ada di alam: evolusi melalui seleksi alam.

Hamidavi menggunakan teknik AI yang disebut Algoritma Genetika (Genetic Algorithms atau GA). Cara kerjanya persis seperti membiakkan kuda pacu juara, dan ini jauh lebih mudah dipahami daripada kedengarannya.  

  1. Populasi Awal: Sistem memulai dengan menghasilkan sekumpulan "kuda" (desain struktural) secara acak. Setiap desain memiliki "gen" yang unik—kombinasi variabel seperti jumlah kolom, jenis profil baja, dan sudut diagrid.  

  2. Uji Kebugaran: Setiap "kuda" diuji kecepatannya. Dalam kasus ini, setiap desain dianalisis untuk "kebugarannya"—seberapa ringan (ekonomis) dan seberapa kuat (aman) desain tersebut. Desain yang terlalu lemah atau terlalu berat diberi "nilai kebugaran" yang buruk.  

  3. Seleksi & Perkawinan Silang (Crossover): Hanya "kuda-kuda" tercepat (desain paling bugar) yang diizinkan untuk "berkembang biak". Sistem mengambil gen-gen terbaik dari dua desain induk—misalnya, tata letak kolom yang efisien dari Desain A dan ukuran balok yang ringan dari Desain B—dan menggabungkannya untuk menciptakan "keturunan" (desain baru) yang berpotensi lebih baik dari keduanya.  

  4. Mutasi: Sesekali, sistem memasukkan "mutasi" acak—sedikit perubahan tak terduga pada salah satu gen. Sering kali ini tidak menghasilkan apa-apa, tetapi kadang-kadang, secara kebetulan, mutasi ini menciptakan desain "super" yang lebih baik dari apa pun yang pernah ada sebelumnya.  

Proses ini diulang terus-menerus selama beberapa "generasi". Desain yang buruk akan punah, sementara desain yang baik akan terus berkembang biak dan berevolusi. Pada akhirnya, yang tersisa adalah sekelompok kecil desain juara yang sangat optimal—solusi yang mungkin tidak akan pernah terpikirkan oleh seorang insinyur yang bekerja sendirian. Ini adalah "survival of the fittest" yang diterapkan pada baja dan beton.

Opini Pribadi: Sebuah Cetak Biru Brilian dengan Beberapa Catatan Kaki

Setelah mencerna seluruh tesis, saya sangat terkesan. Ini bukan sekadar ide bagus di atas kertas. Kekuatan penelitian Hamidavi terletak pada rigor metodologisnya. Dia tidak hanya membangun prototipe dan berkata, "Lihat, ini berhasil." Dia memvalidasinya di setiap langkah. Dia memulai dengan survei untuk memastikan masalah yang dia coba pecahkan itu nyata. Kemudian, setelah prototipe dibangun, dia tidak hanya mengujinya sendiri; dia menunjukkannya kepada para ahli industri—insinyur terakreditasi dan bahkan tim peneliti dari Autodesk—dan mengumpulkan umpan balik mereka. Ini memberikan kredibilitas yang luar biasa pada temuannya.  

Meski temuannya hebat, ada beberapa catatan kaki yang perlu dipertimbangkan. Cara analisanya, terutama implementasi Algoritma Genetika melalui skrip Dynamo, agak terlalu abstrak untuk pemula. Walaupun VPL seperti Dynamo menghilangkan kebutuhan untuk menulis kode baris demi baris, membangun logika untuk alur kerja optimisasi yang kompleks masih memerlukan kurva pembelajaran yang curam. Adopsi massal dari pendekatan ini kemungkinan akan membutuhkan antarmuka yang lebih sederhana yang menyembunyikan sebagian dari kompleksitas tersebut di "balik layar".

Selain itu, seperti yang diakui oleh Hamidavi sendiri, prototipe ini adalah sebuah proof of concept. Ia bekerja dengan cemerlang untuk studi kasus yang disajikan, tetapi perlu pengembangan lebih lanjut untuk menangani geometri yang lebih tidak teratur, berbagai jenis material (seperti beton atau kayu), dan integrasi yang mulus dengan berbagai kode desain bangunan dari seluruh dunia.  

Masa Depan Desain Ada di Sini. Siapkah Anda Membangunnya?

Jadi, apa artinya semua ini bagi kita, para praktisi di lapangan?

Pesan terpenting yang saya tangkap dari tesis ini adalah bahwa otomatisasi dan AI bukan tentang menggantikan arsitek atau insinyur. Sebaliknya, ini tentang memberdayakan kita. Ini tentang membebaskan pikiran kita dari tugas-tugas manual yang berulang dan membosankan—menghitung puluhan alternatif, memperbarui model karena perubahan kecil—dan mengangkat peran kita menjadi pengambil keputusan strategis. Peran kita bergeser dari menjadi "juru gambar digital" menjadi "kurator pilihan desain", menggunakan intuisi dan pengalaman kita untuk memandu sistem komputasi yang kuat menuju solusi terbaik.

Penelitian seperti yang dilakukan oleh Tofigh Hamidavi bukanlah sekadar bacaan akademis; ini adalah peta menuju masa depan profesi kita. Ini menunjukkan jalan di mana kolaborasi tidak lagi menjadi sumber friksi, tetapi sebuah proses yang lancar dan didukung oleh data. Di mana optimisasi bukan lagi sebuah kemewahan yang hanya bisa dilakukan jika ada waktu, tetapi bagian integral dari setiap tahap desain.

Kalau kamu tertarik dengan ini dan ingin menyelami detail teknisnya, saya sangat menyarankan untuk membaca karya aslinya. Ini adalah salah satu bacaan paling mencerahkan yang saya temui tahun ini.

(https://researchportal.port.ac.uk/files/26557049/PhD_Thesis_Tofigh_Hamidavi.pdf)

Selengkapnya
Perang Dingin di Meja Gambar: Bagaimana Sebuah Tesis Mengubah Cara Kita Merancang Gedung dengan AI

Pendidikan & Teknologi

Lupakan 'Siapa Cepat, Dia Dapat': Pelajaran dari Universitas di Irak tentang Cara Cerdas Memilih Jalan Hidup (dan Mata Kuliah)

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025


Pembukaan: Mimpi Buruk Tahunan yang Kita Semua Kenal

Ingatkah kamu momen itu? Jam menunjukkan pukul 2:59 pagi. Jantung berdebar kencang, jari-jari melayang di atas tombol F5, siap untuk me-refresh halaman registrasi mata kuliah universitas. Di seantero negeri, ribuan mahasiswa lain melakukan hal yang sama. Ini adalah medan perang digital, sebuah ritual tahunan yang kita kenal sebagai "perang KRS". Begitu jam berdentang pukul 3:00, kamu mengklik secepat kilat, berharap bisa merebut slot terakhir di kelas Statistik yang diajar dosen favoritmu, atau setidaknya menghindari kelas Kalkulus pukul 7 pagi di gedung seberang kampus.

Sering kali, hasilnya adalah kekecewaan. Halaman web yang lambat, pesan error, dan yang paling ditakuti: tulisan merah menyala "KELAS PENUH". Proses yang seharusnya menjadi langkah awal perencanaan akademis yang matang justru berubah menjadi sebuah permainan untung-untungan yang penuh tekanan. Para peneliti di Komar University of Science and Technology (KUST) di Irak menggambarkannya sebagai proses yang "penuh tekanan, memakan waktu, melelahkan, dan membingungkan".  

Sistem "siapa cepat, dia dapat" atau first-come, first-served ini bukan sekadar ketidaknyamanan administratif. Tanpa kita sadari, desain sistem ini menanamkan sebuah filosofi: kelangkaan. Ia menciptakan sebuah arena di mana kita harus bersaing dengan teman-teman kita untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas. Ia menghargai kecepatan di atas pertimbangan, dan kepanikan di atas perencanaan. Ia mengubah mahasiswa menjadi rival.

Tapi, bagaimana jika seluruh premis ini salah kaprah? Bagaimana jika ada cara yang lebih baik, lebih manusiawi, dan secara fundamental lebih cerdas? Jawabannya, secara mengejutkan, datang dari sebuah paper penelitian yang diterbitkan dari Kurdistan, Irak. Mereka tidak hanya memperbaiki sistem; mereka mengubah filosofinya.

Jawaban Tak Terduga Itu Datang dari Irak: Prioritaskan Pertemanan

Dalam paper mereka yang berjudul "Online Course Registration and Advisory Systems Based on Students' Personal and Social Constraints", Bamo Nadir Faraj dan Aree Ali Muhammed menyajikan sebuah sistem yang radikal. Di saat sebagian besar sistem registrasi hanya berfokus pada prasyarat, kredit, dan jadwal, para peneliti di KUST mengajukan pertanyaan yang berbeda: "Bagaimana jika faktor terpenting dalam kesuksesan mahasiswa bukan hanya  

apa yang mereka pelajari, tetapi dengan siapa mereka belajar?"

Bukan Sekadar Nongkrong Bareng: Data di Balik Kekuatan Geng Belajar

Pada pandangan pertama, memprioritaskan jadwal teman mungkin terdengar seperti fitur sepele—sebuah kemewahan, bukan kebutuhan. Namun, data dari KUST menunjukkan sebaliknya. Sebuah survei yang dilakukan terhadap 604 mahasiswa mengungkapkan sebuah fakta yang mencengangkan: 155 mahasiswa, atau 25.7%, menyatakan bahwa bisa belajar bersama teman-teman mereka adalah kriteria paling penting dalam memilih jadwal. Angka ini mengalahkan keinginan untuk mengambil kredit maksimal dan hanya sedikit di bawah preferensi untuk menghabiskan waktu seminimal mungkin di kampus (36.1%).  

Faktor sosial ini ternyata bukan hanya soal preferensi, melainkan juga didorong oleh kendala dunia nyata. Di wilayah KUST, jaringan transportasi publik yang komprehensif masih kurang. Akibatnya, banyak mahasiswa bergantung pada taksi bersama untuk pulang-pergi ke kampus. Paper tersebut mencatat ada banyak kasus di mana mahasiswa terpaksa melepas mata kuliah yang sebenarnya bisa mereka ambil hanya karena tidak sanggup membayar biaya transportasi sendirian.  

Di sinilah letak kejeniusan desain sistem KUST. Ia tidak hanya melihat data survei, tetapi juga memahami konteks sosio-ekonomi mahasiswanya. Sistem ini mengubah sebuah "kendala" (transportasi yang sulit) menjadi sebuah "pendorong" untuk kesejahteraan akademis dan psikologis. Dengan memungkinkan mahasiswa menyinkronkan jadwal mereka, sistem ini secara langsung memecahkan masalah logistik dan finansial.

Lebih dari itu, paper ini juga mengutip studi psikologis yang menunjukkan bahwa mahasiswa cenderung mendapatkan hasil yang lebih baik dan lebih menikmati proses belajar ketika mereka berada di kelas yang sama dengan teman-teman mereka. Pertemanan, menurut penelitian, memainkan "peran signifikan" dalam kesuksesan akademis. Sistem ini, dengan demikian, bukan hanya alat administratif, melainkan juga alat pedagogis yang secara aktif mendorong terbentuknya kelompok belajar dan sistem dukungan sebaya.  

Sebuah Filosofi Radikal: Menghapus Kepanikan dari Persamaan

Inovasi paling mendalam dari sistem KUST bukanlah fitur pertemanan, melainkan apa yang memungkinkan fitur itu berjalan mulus: penghapusan total logika "siapa cepat, dia dapat". Ini adalah sebuah pergeseran filosofis dari kelangkaan yang dibuat-buat (manufactured scarcity) menjadi kelimpahan yang terkelola (managed abundance).

Sistem lama, dengan jumlah kursi yang terbatas per kelas, secara inheren menciptakan permainan zero-sum yang penuh tekanan. Ini tidak hanya membebani mahasiswa secara psikologis, tetapi juga membebani server universitas secara teknis, yang sering kali down akibat lonjakan permintaan.  

Sistem baru KUST membalikkan logika ini. Paper tersebut menjelaskan, "sistem yang diusulkan memungkinkan mahasiswa untuk mendaftar ke mata kuliah/seksi yang mereka inginkan tanpa adanya batasan ketersediaan".  

Bayangkan jika kamu membeli tiket konser. Alih-alih ribuan orang berebut 500 kursi, sistem ini membiarkan semua orang memilih kursi yang mereka inginkan. Baru setelah periode pemilihan berakhir, penyelenggara akan melihat polanya dan memutuskan, "Oke, sepertinya kita butuh tiga panggung untuk menampung semua orang," sambil memastikan semua kelompok pertemanan tetap duduk bersama.

Inilah yang terjadi di belakang layar sistem KUST. Mahasiswa bisa dengan tenang memilih kombinasi mata kuliah ideal mereka selama periode registrasi. Setelah periode itu ditutup, sistem secara otomatis menganalisis permintaan. Untuk mata kuliah populer yang banyak peminatnya, sistem akan "secara otomatis membagi mata kuliah tersebut menjadi beberapa seksi yang diajarkan pada hari dan waktu yang sama, sambil tetap memastikan bahwa teman-teman dialokasikan ke seksi yang sama". Inilah "sihir" yang membuat proses di sisi mahasiswa menjadi bebas stres.  

Desain ini adalah penangkal teknologi langsung terhadap Fear Of Missing Out (FOMO). Dengan menjamin setiap mahasiswa mendapatkan tempat dan memprioritaskan kohesi sosial, sistem ini mengubah kondisi mental mahasiswa dari panik reaktif menjadi perencanaan proaktif. Mereka tidak lagi sekadar menyambar apa pun yang tersisa; mereka secara sadar merancang semester ideal mereka.

Membaca Masa Depan Akademikmu dengan Angka

Selain merevolusi proses pendaftaran, sistem KUST juga berfungsi sebagai penasihat akademik pribadi yang didukung data. Ia mengubah proses pemilihan mata kuliah dari sekadar tebakan berdasarkan deskripsi silabus menjadi sebuah keputusan strategis yang terinformasi.

'Tingkat Kelulusan' dan 'Beban Prasyarat': Dua Metrik yang Mengubah Permainan

Saat memilih mata kuliah, sistem ini menyajikan dua metrik penting yang disebut dalam paper sebagai informasi "krusial".  

  1. Tingkat Kelulusan (Pass Rate): Metrik ini menunjukkan "persentase mahasiswa yang lulus mata kuliah pada percobaan pertama". Anggap saja ini seperti skor "Rotten Tomatoes" untuk sebuah mata kuliah. Ia tidak memberitahumu apakah dosennya baik atau buruk, tetapi ia memberimu gambaran objektif tentang tingkat kesulitannya berdasarkan data historis. Ini menjawab pertanyaan, "Seberapa besar kemungkinan saya akan 'suka' (baca: lulus) mata kuliah ini?"  

  2. Bobot Mata Kuliah (Course Weight): Metrik ini menunjukkan "jumlah mata kuliah di masa depan yang menjadikan mata kuliah ini sebagai prasyaratnya". Anggap saja ini seperti  

    skill tree dalam sebuah video game. Mengambil "Dasar-Dasar Pemrograman" mungkin akan membuka lima mata kuliah lanjutan, sementara mengambil mata kuliah pilihan lain mungkin hanya membuka satu. Metrik ini menjawab pertanyaan, "Seberapa penting mata kuliah ini untuk membuka jalan saya ke depan?"

Dengan dua data ini saja, mahasiswa diberdayakan untuk membuat keputusan yang jauh lebih strategis. Mereka bisa menyeimbangkan antara mata kuliah yang "aman" (tingkat kelulusan tinggi) dengan yang "strategis" (bobot prasyarat tinggi).

Algoritma yang Berbisik: "Apakah Kamu Siap untuk Kalkulus Lanjutan?"

Sistem ini melangkah lebih jauh dengan menggunakan algoritma collaborative filtering untuk memberikan rekomendasi yang dipersonalisasi. Namun, alih-alih menjadi kotak hitam yang misterius, logikanya sangat transparan.

Mari kita gunakan contoh dari paper tersebut. Misalkan seorang mahasiswa telah lulus Kalkulus I dan Kalkulus II. Salah satu mata kuliah berikutnya adalah Kalkulus Lanjutan. Haruskah ia mengambilnya?.  

Begini cara sistem berpikir: "Sistem ini secara cerdas akan mencari semua mahasiswa 'angkatan sebelumnya' yang punya nilai di Kalkulus I & II yang setara atau lebih rendah darimu. Kemudian, ia akan memeriksa: dari kelompok mahasiswa yang mirip denganmu itu, berapa persen yang berhasil lulus Kalkulus Lanjutan? Jika angka kelulusannya lebih tinggi dari 60%, sistem akan memberimu lampu hijau dan merekomendasikan mata kuliah tersebut".  

Pendekatan ini sangat cerdas karena tidak hanya melihat aturan umum, tetapi juga performa mahasiswa dengan profil akademis yang serupa.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Rekomendasi berbasis data ini dapat "mengurangi kemungkinan gagal dalam mata kuliah" , membantu mahasiswa menghindari jebakan akademis yang bisa memperpanjang masa studi mereka.  

  • 🧠 Inovasinya: Menggunakan data performa teman-teman selevel (peer performance data) untuk memberikan prediksi yang dipersonalisasi, bukan sekadar aturan umum yang kaku.

  • 💡 Pelajaran: Jangan hanya melihat deskripsi mata kuliah; lihat data historis tentang siapa yang berhasil dan siapa yang tidak, terutama mereka yang memiliki latar belakang seperti dirimu.

Yang terpenting, sistem ini tidak memaksa. Ia "menyarankan" (suggests), bukan memerintah. Ia memberikan data dan analisisnya, namun keputusan akhir tetap di tangan mahasiswa. Dengan membuat rekomendasinya transparan, sistem ini membangun kepercayaan dan memberdayakan mahasiswa sebagai mitra cerdas dalam proses pengambilan keputusan, bukan sebagai pengguna pasif.

Opini Saya: Apa yang Brilian (dan Sedikit Mengganjal) dari Sistem Ini

Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia teknologi pendidikan, saya harus mengatakan bahwa sistem yang dijelaskan dalam paper ini benar-benar brilian. Fokusnya pada pengurangan stres, pemanfaatan dinamika sosial, dan pemberdayaan mahasiswa dengan data transparan adalah sebuah revolusi kecil. Saya sangat menghargai kerendahan hati para peneliti yang di akhir paper mereka menekankan bahwa sistem ini bukanlah "pengganti penuh peran penasihat akademik tradisional," melainkan sebuah "asisten yang berharga". Sikap yang mengedepankan augmentasi (peningkatan kemampuan), bukan penggantian manusia, adalah tanda pemikiran teknologi yang matang.  

Namun, meski temuannya hebat, ada beberapa hal yang sedikit mengganjal jika kita melihatnya dari sudut pandang yang lebih kritis. Cara analisanya, yang sangat bergantung pada data historis, mungkin agak terlalu abstrak dan memiliki keterbatasan untuk pemula atau situasi tertentu.

Pertama, ketergantungan pada data historis seperti "tingkat kelulusan" bisa menyesatkan. Untuk sebuah mata kuliah yang benar-benar baru, atau mata kuliah lama yang diajar oleh dosen baru yang jauh lebih baik (atau lebih buruk), data masa lalu menjadi tidak relevan. Sistem ini mungkin akan kesulitan beradaptasi dengan perubahan dinamis dalam kualitas pengajaran.

Kedua, fitur "pertemanan", meskipun jenius, secara tidak sengaja dapat mendorong pembentukan "gelembung sosial" atau klik. Mahasiswa mungkin menjadi enggan mengambil mata kuliah yang menantang atau menarik jika tidak ada teman mereka yang ikut. Ini berpotensi membatasi eksplorasi intelektual dan kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman baru dari latar belakang yang berbeda.

Terakhir, ambang batas rekomendasi 60% terasa agak arbitrer. Mengapa 60%? Mengapa bukan 55% atau 70%? Paper tersebut tidak memberikan justifikasi untuk angka spesifik ini, padahal angka ini bisa berdampak signifikan pada mata kuliah apa yang direkomendasikan kepada mahasiswa yang berada di ambang batas kemampuan.

Pelajaran yang Bisa Kita Curi untuk Karier dan Kehidupan

Keindahan dari penelitian seperti ini adalah pelajarannya yang melampaui gerbang kampus. Bayangkan jika kamu mengatur prioritas kerjamu seperti para peneliti di KUST merancang sistem mereka.

  1. Definisikan Ulang Metrik Kesuksesanmu. Sama seperti mahasiswa yang menyadari bahwa "jadwal teman" bisa lebih penting daripada "kredit maksimal", kita perlu mempertanyakan metrik profesional kita. Apakah "jumlah jam kerja" adalah metrik yang tepat, ataukah "jumlah sesi kerja fokus yang diselesaikan bersama kolaborator kunci"?

  2. Rancang Sistem untuk Mengurangi Gesekan, Bukan Hanya Meningkatkan Efisiensi. Tujuan utama sistem KUST bukanlah membuat registrasi lebih cepat, tetapi membuatnya tidak stres. Dalam pekerjaan kita, apakah kita membangun proses yang membuat orang lain kelelahan atas nama efisiensi? Atau bisakah kita merancang alur kerja yang mendorong tindakan yang tenang dan terencana?

  3. Manfaatkan Data untuk Prediksi, Bukan Sekadar Laporan. Sistem ini menggunakan data historis untuk memberi mahasiswa gambaran sekilas tentang masa depan (potensi keberhasilan atau kegagalan). Profesional dapat melakukan hal yang sama. Sebelum memulai proyek yang kompleks, analisis data dari proyek serupa di masa lalu. Apa titik kegagalan yang umum? Keterampilan apa yang dimiliki oleh tim yang sukses? Membuat keputusan berbasis data seperti ini bukan hanya untuk mahasiswa; ini adalah skill krusial di dunia kerja. Sistem ini adalah contoh sempurna dari pengambilan keputusan yang di-augmentasi oleh data, sebuah kompetensi inti di era digital. Jika Anda ingin mengasah kemampuan untuk membaca data, melihat pola, dan membuat pilihan yang lebih cerdas dalam karier Anda, mengikuti kursus tentang(https://diklatkerja.com/) bisa menjadi langkah pertama yang sangat strategis.

Kesimpulan: Teknologi yang Seharusnya Melayani Manusia

Sistem registrasi dari KUST ini lebih dari sekadar perangkat lunak yang cerdas; ia adalah sebuah pernyataan nilai. Ia menghargai kesejahteraan di atas stres, kolaborasi di atas kompetisi, dan pilihan yang terinformasi di atas keberuntungan buta.

Ini adalah pengingat yang kuat bahwa tujuan teknologi seharusnya bukan untuk mengoptimalkan manusia menjadi seefisien mesin, tetapi untuk membangun sistem yang memahami dan mengakomodasi kebutuhan kita yang sangat manusiawi: kebutuhan akan koneksi, keamanan, dan kejelasan.

Ini adalah pemikiran yang menyegarkan di dunia yang sering kali terobsesi dengan optimalisasi tanpa henti. Kalau kamu tertarik untuk mendalami logika dan arsitektur di baliknya, coba baca paper aslinya.

(https://doi.org/10.24017/science.2021.2.8)

Selengkapnya
Lupakan 'Siapa Cepat, Dia Dapat': Pelajaran dari Universitas di Irak tentang Cara Cerdas Memilih Jalan Hidup (dan Mata Kuliah)
« First Previous page 89 of 1.280 Next Last »