Pendidikan & Sertifikasi

Revisi Model Lisensi Insinyur dan Implikasinya untuk Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Artikel Engineering Dimensions edisi Januari/Februari 2014 membahas kebutuhan untuk meninjau ulang model lisensi bagi insinyur profesional di Ontario, Kanada. Salah satu isu krusial adalah persyaratan pengalaman kerja lokal (Canadian experience) minimal 12 bulan yang menjadi prasyarat lisensi. Komisi Hak Asasi Manusia Ontario menganggapnya sebagai hambatan tidak langsung, terutama bagi insinyur imigran yang memiliki kompetensi tinggi tapi belum bekerja di Kanada.

Temuan ini penting karena menunjukkan bagaimana regulasi lisensi bisa menjadi alat proteksi nasional sekaligus hambatan mobilitas profesi. Kebijakan semacam ini memiliki dampak luas: dari integritas teknis, keadilan regulasi, hingga kompetensi publik yang dilindungi.

Bagi Indonesia, relevansinya tak bisa diabaikan. Sistem sertifikasi dan lisensi insinyur Indonesia sudah diatur oleh UU No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, tetapi implementasi di lapangan masih mengalami tantangan signifikan. Artikel Evaluasi Sertifikasi Kompetensi Insinyur Indonesia: Menjawab Tantangan Profesionalisme Era Industri 4.0 menegaskan bahwa walaupun adanya kerangka regulasi, banyak insinyur belum tersertifikasi atau belum menyadari prosedur dan manfaat sertifikasi secara penuh. 

Selanjutnya, artikel Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services membahas bagaimana regulasi di Indonesia perlu diselaraskan agar insinyur Indonesia bisa memanfaatkan pengakuan lintas negara melalui perjanjian MRA (Mutual Recognition Agreement). Hambatan regulasi, kurangnya pemahaman tentang ACPE (ASEAN Chartered Professional Engineer), dan rendahnya jumlah insinyur tersertifikasi ACPE menjadi faktor yang perlu diperbaiki.

Dengan demikian, isu pengalaman lokal vs pengakuan kompetensi internasional menjadi sangat relevan. Regulasi lisensi harus seimbang: menjaga standar keamanan dan mutu, sekaligus tidak menjadi penghalang mobilitas profesional atau pengakuan global.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak

  • Praktisi imigran dan tenaga asing sering mengalami hambatan administratif, terutama jika pengalaman kerja mereka di luar negeri belum diakui. Hal ini menimbulkan penyusutan potensi keahlian di dalam negeri.

  • Proyek teknik khusus yang memerlukan lisensi tinggi atau sertifikasi internasional dapat terhambat oleh kurangnya tenaga lokal yang memenuhi persyaratan.

  • Kredibilitas profesi teknik meningkat apabila proses lisensi dipandang adil, transparan, dan kompetensi diakui berdasarkan standar global.

Hambatan

  • Regulasi pengalaman lokal seperti pengalaman kerja di wilayah tertentu bisa membatasi insinyur yang mampu namun belum “terverifikasi” secara lokal.

  • Biaya dan birokrasi sering kali tinggi, baik untuk pendidikan tambahan yang diperlukan, pengurusan dokumen, maupun biaya sertifikasi/pengakuan.

  • Perbedaan standar pendidikan teknik: tidak semua jurusan teknik di Indonesia memiliki akreditasi yang diakui internasional atau kurikulum yang sejalan dengan standar internasional.

  • Kurangnya informasi dan pemahaman tentang prosedur sertifikasi internasional, serta manfaatnya bagi karier dan mobilitas kerja.

Peluang

  • Mengadopsi model kompetensi berbasis hasil (outcome-based) yang lebih fleksibel, dimana aspek nyata kompetensi teknis dan pengalaman lapangan mendapat penekanan, bukan hanya lokasi atau jumlah jam kerja administratif.

  • Pemerintah bersama asosiasi profesi dapat menyusun mekanisme transisi bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan pengalaman lokal, misalnya dengan pengakuan kerja luar negeri, pelatihan tambahan, atau asesmen kompetensi khusus.

  • Perluasan kerja sama internasional dan sertifikasi global seperti program di ASEAN (ACPE), Washington Accord, atau lembaga-sertifikasi internasional lainnya agar insinyur Indonesia lebih mudah diakui di luar negeri.

  • Penggunaan teknologi digital dalam proses lisensi: verifikasi dokumen secara online, sistem aplikasi yang jelas, pelacakan status lisensi, dan platform untuk publik agar dapat memeriksa lisensi seseorang—semuanya mendukung transparansi dan kepercayaan publik.

Relevansi untuk Indonesia

Indonesia sudah memiliki UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014 yang menjadi landasan hukum untuk regulasi profesi insinyur. Tetapi penerapannya masih tidak merata, terutama di daerah terpencil dan perguruan tinggi yang fasilitasnya belum lengkap. Banyak lulusan teknik yang memiliki kompetensi teknis bagus tetapi belum mendapat pengakuan formal sebagai insinyur profesional karena belum memenuhi standar lisensi (sertifikasi, pengalaman kerja, atau ujian profesional).

Selain itu, dalam era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), insinyur Indonesia yang memiliki sertifikasi global atau pengakuan internasional akan memiliki keunggulan kompetitif yang besar. Artikel Peningkatan Kualitas Insinyur melalui Sertifikasi Insinyur Profesional membahas bahwa daya saing insinyur harus ditingkatkan melalui sertifikasi yang ketat dan pengakuan kompetensi oleh industri dan pemerintah. 

Dengan belajar dari pengalaman Kanada dan analisis seperti penelitian ini, Indonesia dapat memperbaiki kebijakan lisensi agar lebih adil bagi semua pihak tanpa mengorbankan standar mutu dan pengakuan internasional.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Revisi persyaratan pengalaman kerja lokal dalam regulasi lisensi agar lebih inklusif, termasuk pengakuan pengalaman kerja internasional atau pengalaman lapangan non‐tradisional yang dibuktikan secara kompeten.

  2. Integrasi lusinan lembaga pendidikan teknik dan perguruan tinggi untuk memperluas akreditasi program studi agar sesuai standar internasional, serta memastikan kurikulum yang relevan dengan standar lisensi global.

  3. Subsidi dan insentif untuk proses sertifikasi: dari pemerintah pusat atau daerah, institusi profesi, agar biaya bukan menjadi hambatan bagi insinyur muda atau mereka di daerah yang fasilitasnya terbatas.

  4. Digitalisasi dan transparansi prosedur lisensi: pengajuan online, verifikasi dokumen, pelacakan status aplikasi, dan publikasi jumlah dan nama insinyur yang telah teregistrasi secara resmi.

  5. Kerja sama internasional dan harmonisasi standar: ikut dalam perjanjian pengakuan internasional (seperti ACPE, Washington Accord), memastikan sertifikasi yang diambil di luar negeri dapat diakui di dalam negeri.

  6. Kampanye kesadaran dan pendidikan profesional: meningkatkan pemahaman masyarakat teknik, perguruan tinggi, dan industri terhadap pentingnya lisensi dan sertifikasi; menyosialisasikan prosedur, manfaat, dan kewajiban profesional.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

  • Kebijakan lisensi bisa menjadi formalitas jika tidak disertai pengawasan dan mekanisme sanksi terhadap penyalahgunaan gelar atau praktek tanpa lisensi.

  • Jika biaya dan birokrasi tidak disederhanakan, maka kebijakan bisa malah menimbulkan ketimpangan, di mana hanya praktisi di kota besar yang dapat memenuhi persyaratan.

  • Pendidikan teknik yang belum siap (kurikulum, fasilitas, dosen/instruktur) mungkin tidak mampu memenuhi standar tinggi standar internasional; tanpa investasi besar, standar tersebut bisa menjadi beban bagi institusi pendidikan.

  • kurangnya integritas dalam pelaksanaan; misalnya pengalaman kerja yang dipaksakan, dokumentasi palsu, atau proses sertifikasi yang kurang transparan — ini bisa merusak kredibilitas sistem lisensi.

Penutup

Eksplorasi model lisensi di Kanada, khususnya isu pengalaman lokal, adalah peringatan penting bagi Indonesia bahwa regulasi profesi insinyur harus terus diperbaharui agar relevan dengan konteks nasional dan tantangan global. Standar tinggi dan akreditasi internasional sangat diperlukan, tapi mesti disertai kebijakan yang adil, akses yang merata, dan transparansi. Dengan reformasi lisensi yang tepat, insinyur Indonesia bisa lebih dihargai baik dalam negeri maupun di pasar internasional, mendorong pembangunan infrastruktur lebih baik, aman, dan profesional.

Sumber

ED-JF2014. Engineering Dimensions (Januari/Februari 2014). Artikel: “Rethinking the Licensing Model.”

Selengkapnya
Revisi Model Lisensi Insinyur dan Implikasinya untuk Indonesia

Kebijakan Publik

Akreditasi Insinyur dan Standar ASME BPV di Amerika Latin & Implikasinya untuk Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian Robles & Quadrado (2023) mengeksplorasi bagaimana persyaratan akreditasi Certifying Engineer dalam standar ASME BPV (Boiler and Pressure Vessel Code) berdampak pada negara-negara di Amerika Tengah, Selatan, dan Meksiko. Banyak insinyur lokal tidak memenuhi persyaratan akreditasi internasional sehingga proyek harus bergantung pada tenaga asing yang bersertifikasi.

Bagi Indonesia, temuan ini relevan karena menghadapi tantangan serupa seiring meningkatnya proyek teknik khusus seperti pembangkit listrik, industri minyak/gas, dan sistem tekanan tinggi lainnya. Republik Indonesia telah mengatur keinsinyuran melalui UU No. 11/2014, tetapi kelemahan dalam teknis pelaksanaan dan akreditasi masih terlihat. Sebagai perbandingan, artikel Menilik Prosedur Sertifikasi Insinyur Profesional Berdasarkan UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014 di Indonesia memaparkan berbagai prosedur dan tantangan yang dihadapi sistem sertifikasi insinyur di Indonesia.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Di lapangan, ketiadaan pengakuan internasional memaksa proyek konstruksi di Amerika Latin untuk mengalokasikan anggaran tambahan guna membayar insinyur asing. Hal ini berdampak pada meningkatnya biaya pembangunan infrastruktur, keterlambatan jadwal, serta berkurangnya peluang bagi insinyur lokal. Hambatannya terletak pada lambannya reformasi akreditasi pendidikan tinggi teknik, keterbatasan sistem registrasi insinyur, dan minimnya kolaborasi dengan lembaga internasional.

Namun, peluang tetap ada. Dengan mengajukan program studi teknik menjadi bagian dari Washington Accord atau memperoleh label EUR-ACE, negara-negara tersebut bisa mempercepat pengakuan global. Selain itu, CodeCase 3036 yang dikeluarkan ASME memberikan jalan tengah dengan memperbolehkan insinyur lokal bersertifikat di yurisdiksi mereka, meskipun masih ada banyak pembatasan.

Relevansi untuk Indonesia
Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan kondisi di Amerika Latin. Banyak insinyur Indonesia masih menghadapi hambatan pengakuan internasional karena belum semua program studi teknik terakreditasi secara global. Dengan meningkatnya proyek infrastruktur strategis dan keterlibatan perusahaan asing, kebutuhan terhadap insinyur bersertifikasi internasional semakin mendesak. Mengikuti standar akreditasi internasional akan menjadi langkah penting agar insinyur Indonesia dapat berperan penuh, tanpa harus selalu bergantung pada tenaga asing.

Rekomendasi Kebijakan
Pertama, pemerintah Indonesia perlu mendorong seluruh program studi teknik untuk memperoleh akreditasi internasional seperti Washington Accord atau EUR-ACE. Kedua, asosiasi profesi insinyur harus memperkuat proses sertifikasi agar sesuai dengan standar global. Ketiga, insentif bagi universitas dan insinyur yang mengikuti proses akreditasi internasional harus diberikan. Keempat, kerja sama dengan lembaga internasional perlu ditingkatkan untuk mempercepat transfer teknologi dan standar. Kelima, Indonesia dapat belajar dari CodeCase 3036 untuk menyusun mekanisme transisi sementara hingga pengakuan penuh diperoleh.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan
Risiko besar muncul jika kebijakan akreditasi dan sertifikasi tidak segera dilakukan. Insinyur lokal akan terpinggirkan dalam proyek besar, biaya proyek meningkat karena ketergantungan pada insinyur asing, dan posisi Indonesia dalam peta daya saing global bisa melemah. Lebih jauh, tanpa pengakuan internasional, gelar insinyur Indonesia bisa dianggap kurang kredibel di luar negeri, sehingga membatasi mobilitas global tenaga kerja teknik.

Penutup
Penelitian ini menyoroti masalah krusial dalam dunia rekayasa: pentingnya akreditasi internasional bagi insinyur untuk diakui secara global. Bagi Indonesia, pelajaran dari Amerika Latin harus menjadi dorongan untuk memperkuat sistem pendidikan teknik, sertifikasi insinyur, dan integrasi dengan standar global. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memastikan kemandirian teknis sekaligus memperluas kontribusi insinyur di panggung internasional.

Sumber
Robles, R., & Quadrado, J. (2023). Analyzing the ASME BPV Code of Construction Professional Engineer Accreditation Requirements and their Impact in Central, South America and Mexico. 21st LACCEI International Multi-Conference for Engineering, Education, and Technology, Buenos Aires, Argentina.

Selengkapnya
Akreditasi Insinyur dan Standar ASME BPV di Amerika Latin & Implikasinya untuk Indonesia

Regulasi Konstruksi

Registrasi Building Engineers di Australia Barat

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Registrasi building engineers di Australia Barat (WA) adalah tonggak penting dalam reformasi sektor konstruksi. Laporan Decision Regulatory Impact Statement (D-RIS) menegaskan bahwa insinyur yang terlibat dalam desain, pengawasan, dan pelaksanaan proyek harus memenuhi standar kompetensi minimum yang seragam. Selama bertahun-tahun, lemahnya pengawasan terhadap profesi teknik telah menyebabkan berbagai kasus kegagalan konstruksi, baik dari sisi keselamatan maupun kualitas.

Kasus apartemen Opal Tower di Sydney (2018) menjadi salah satu contoh nyata: retakan struktural yang muncul segera setelah bangunan dihuni memicu evakuasi massal dan merugikan pemilik serta investor. Investigasi mengungkap lemahnya kontrol mutu dan pengawasan teknis. Peristiwa seperti ini memunculkan dorongan kuat untuk memperkuat sistem registrasi insinyur di seluruh Australia, termasuk di WA.

Registrasi bukan hanya sekadar formalitas birokratis, melainkan sebuah mekanisme perlindungan publik. Dengan adanya registrasi, masyarakat dijamin bahwa insinyur yang bekerja pada proyek signifikan memiliki kompetensi akademik, pengalaman lapangan, serta komitmen pada pengembangan profesional berkelanjutan.

Lebih jauh lagi, kebijakan ini memperkuat akuntabilitas profesi teknik. Insinyur yang terdaftar dapat dimintai pertanggungjawaban atas pekerjaan mereka, dan dalam kasus pelanggaran, lisensi mereka dapat ditangguhkan atau dicabut. Hal ini menciptakan sistem disiplin yang tidak hanya menjaga kualitas, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap profesi insinyur.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak

  1. Keamanan Publik
    Registrasi mengurangi risiko kegagalan teknis dan kecelakaan konstruksi. Insinyur yang terdaftar dipastikan memiliki keterampilan yang sesuai standar.

  2. Kualitas Bangunan
    Standar kompetensi yang seragam meningkatkan kualitas desain dan konstruksi, serta menurunkan kemungkinan cacat bangunan.

  3. Profesionalisasi Industri
    Registrasi memperkuat citra profesi insinyur, menjadikannya setara dengan profesi hukum dan kedokteran yang sudah lama memiliki standar lisensi.

  4. Kepercayaan Investor
    Dengan sistem registrasi yang kredibel, investor asing lebih percaya pada pasar konstruksi Australia, sehingga meningkatkan aliran investasi.

Hambatan

  1. Biaya dan Administrasi
    Proses registrasi menuntut biaya, baik untuk pendaftaran maupun continuing professional development (CPD). Bagi insinyur muda atau usaha kecil, ini bisa menjadi hambatan.

  2. Fragmentasi Regulasi
    Australia memiliki sistem federal. Perbedaan regulasi antarnegara bagian menimbulkan kebingungan, sehingga diperlukan harmonisasi melalui National Registration Framework.

  3. Kapasitas Pengawasan
    Pengawasan yang efektif memerlukan sumber daya besar, baik dari segi jumlah auditor maupun sistem informasi digital yang memadai.

Peluang

  1. Digitalisasi Registrasi dan Audit
    Dengan teknologi digital, proses registrasi, pelaporan CPD, hingga audit bisa dilakukan lebih transparan dan efisien.

  2. Mobilitas Tenaga Kerja
    Prinsip mutual recognition antarnegara bagian memudahkan insinyur berpindah kerja lintas wilayah, meningkatkan efisiensi pasar tenaga kerja teknik.

  3. Daya Saing Global
    Registrasi yang kredibel meningkatkan reputasi insinyur Australia di dunia internasional, membuka peluang kerja sama lintas negara.

Relevansi untuk Indonesia

Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam pembangunan infrastruktur. Dari proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga ribuan proyek jalan, bendungan, dan transportasi massal, kebutuhan akan insinyur yang kompeten sangat mendesak. Namun, sistem keinsinyuran di Indonesia masih memiliki sejumlah kelemahan:

  1. Penggunaan Gelar Tanpa Sertifikasi
    Masih banyak lulusan teknik yang menggunakan gelar insinyur tanpa sertifikat profesi sesuai UU No. 11/2014. Artikel Gelar Insinyur tak lagi Masyur, harus punya Sertifikat Profesi menekankan bahwa sertifikasi harus menjadi kewajiban, bukan pilihan.

  2. Kecelakaan Konstruksi yang Tinggi
    Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa konstruksi termasuk sektor dengan tingkat kecelakaan kerja tertinggi. Banyak kasus terkait lemahnya pengawasan teknis dan kualitas SDM.

  3. Kurangnya CPD
    Berbeda dengan Australia, Indonesia belum memiliki sistem CPD yang wajib dan terstruktur bagi insinyur. Akibatnya, banyak insinyur tidak mengikuti perkembangan teknologi terbaru.

  4. Kurangnya Transparansi Registrasi
    Belum ada sistem digital yang memungkinkan publik memverifikasi status insinyur, sehingga masyarakat sulit membedakan insinyur tersertifikasi dan tidak.

Melihat praktik di Australia Barat, Indonesia perlu memperkuat registrasi insinyur, baik melalui PII maupun lembaga pemerintah, dengan menekankan integrasi digital dan pengawasan publik.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Membangun Sistem Registrasi Nasional Berbasis Digital
    Registrasi insinyur di Indonesia perlu dibuat online, transparan, dan dapat diakses publik.

  2. Mewajibkan CPD
    Setiap insinyur harus mengikuti pelatihan berkelanjutan minimal sejumlah jam per tahun untuk menjaga kompetensinya.

  3. Insentif untuk Insinyur Tersertifikasi
    Pemerintah dapat memberikan akses khusus ke proyek strategis nasional bagi insinyur yang telah tersertifikasi.

  4. Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum
    Lisensi harus bisa dicabut bila terjadi pelanggaran serius, agar akuntabilitas terjaga.

  5. Kolaborasi dengan Industri
    Sertifikasi insinyur harus dirancang bersama industri, sehingga kompetensi yang diuji relevan dengan kebutuhan lapangan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan

Kebijakan registrasi bisa gagal jika hanya menjadi formalitas administratif. Jika biaya terlalu tinggi, insinyur muda atau perusahaan kecil akan kesulitan mengakses sertifikasi. Tanpa pengawasan ketat, registrasi hanya menjadi simbol tanpa substansi. Lebih buruk lagi, jika lembaga pengawas tidak independen, registrasi bisa disalahgunakan untuk kepentingan komersial atau politik.

Penutup

Registrasi building engineers di Australia Barat adalah pelajaran penting bagi Indonesia. Registrasi bukan sekadar prosedur, tetapi mekanisme strategis untuk menjaga keselamatan publik, meningkatkan kualitas konstruksi, dan memperkuat profesionalisme insinyur. Dengan regulasi yang konsisten, sistem digital yang transparan, serta pengawasan yang kredibel, Indonesia dapat membangun sistem registrasi insinyur yang setara dengan praktik internasional.

Sumber

Department of Mines, Industry Regulation and Safety – Building and Energy Division. (2022). Decision Regulatory Impact Statement – Registration of Building Engineers in Western Australia.

Selengkapnya
Registrasi Building Engineers di Australia Barat

Keinsinyuran

Kebijakan Publik atas Isu Lisensi, Etika, dan Kode Struktur dalam BRPELS Journal Winter 2021-22

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

BRPELS Journal Winter 2021-22 membahas berbagai isu penting seputar regulasi profesi teknik: penggunaan gelar “insinyur/engineer”, peraturan kode bangunan yang kini menempatkan gedung lima lantai sebagai significant structures, serta penegakan etika dan sanksi terhadap pelanggaran praktik teknik. Keterkaitan antara regulasi, profesi teknik, dan keamanan publik sangat mendasar: salah satu elemen yang dibahas adalah bahwa dengan meningkatnya kompleksitas kode bangunan, kebutuhan akan standar lisensi rekayasa struktural semakin krusial.

Dalam konteks Indonesia, langkah ini sangat relevan. Artikel Visi Masa Depan Lisensi Rekayasa Struktural menyoroti pentingnya standar lisensi insinyur struktural agar “struktur signifikan” dirancang oleh profesional yang kompeten dan diatur secara resmi.

Selain itu, aspek penggunaan gelar “insinyur” juga telah menjadi fokus regulasi keinsinyuran di tanah air. Artikel Gelar Insinyur tak lagi Masyur, harus punya Sertifikat Profesi menjelaskan bahwa gelar insinyur kini harus disertai sertifikasi profesi agar penggunaan gelar dapat disahkan sesuai UU Keinsinyuran. 

Oleh sebab itu, temuan dalam jurnal ini memberi kerangka acuan bagi pembuat kebijakan untuk memastikan bahwa regulasi profesi teknik tidak hanya formalitas, melainkan instrumen perlindungan publik dan peningkatan mutu teknik di lapangan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak

  • Dengan lisensi dan regulasi yang lebih ketat, mutu desain dan konstruksi bisa meningkat, terutama pada bangunan significant structures yang memerlukan perhitungan struktural kompleks.

  • Penegakan etika dapat mencegah praktik kecerobohan atau praktik semata-mata komersial yang mengesampingkan keselamatan publik.

  • Pengakuan resmi terhadap gelar profesional dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap profesi teknik.

Hambatan

  • Resistensi dari praktisi teknik yang selama ini memakai gelar “insinyur” tanpa sertifikasi formal.

  • Tantangan administratif dan regulatori: integrasi antara lembaga negara bagian, asosiasi profesi, dan peraturan bangunan lokal sangat kompleks.

  • Perbedaan standar antara wilayah, sehingga lisensi atau regulasi yang berlaku di satu wilayah bisa tidak berlaku di wilayah lain.

Peluang

  • Pemanfaatan teknologi digital (misalnya sistem registrasi online, audit digital) untuk mempermudah pengawasan dan kepatuhan terhadap regulasi profesi teknik.

  • Kolaborasi antara asosiasi teknik (seperti PII di Indonesia) dengan pemerintah untuk membentuk standar lisensi nasional yang diakui internasional.

  • Sosialisasi dan pendidikan publik supaya masyarakat memahami perbedaan antara profesional teknik bersertifikasi dan yang tidak, sehingga tekanan pasar mendorong standar yang lebih baik.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Standarisasi Lisensi Rekayasa Struktural
    Pemerintah perlu menetapkan regulasi nasional yang mewajibkan lisensi untuk insinyur yang merancang struktur penting, sesuai skala dan klasifikasi kode bangunan.

  2. Pengaturan Penggunaan Gelar Insinyur
    Hanya mereka yang telah tersertifikasi legal yang boleh memakai gelar “insinyur / engineer”. Board profesi harus berwenang menindak penyalahgunaan gelar.

  3. Sanksi Etika Profesi yang Tegas
    Penegakan hukum terhadap pelanggaran etika teknik harus jelas: pencabutan lisensi, denda, hingga larangan praktis.

  4. Sistem Registrasi dan Audit Digital
    Pembangunan sistem elektronik nasional untuk registrasi insinyur dan audit praktik agar transparansi dan akuntabilitas meningkat.

  5. Harmonisasi Standar antar Wilayah dan Pengakuan Lintas Daerah / Negara
    Untuk mencegah inkonsistensi, lisensi teknik harus memiliki mekanisme pengakuan sejawat antar provinsi dan, bila memungkinkan, antar negara.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika regulasi hanya menjadi teks tanpa sanksi nyata, lisensi dan gelar akan menjadi formalitas kosong. Pemegang gelar tanpa kompetensi bisa melanjutkan praktik yang membahayakan publik. Selain itu, jika komponen infrastruktur pengawasan tidak memadai (seperti lembaga pengatur profesi lemah), maka kepatuhan akan rendah. Risiko lainnya adalah resistensi kolektif dari praktisi yang merasa terganggu oleh regulasi baru.

Penutup

Materi dalam BRPELS Journal Winter 2021-22 menyoroti kompleksitas regulasi profesi teknik, dari gelar, lisensi, hingga etika. Bagi Indonesia, hal-hal tersebut menjadi catatan penting saat menyusun regulasi keinsinyuran dan peraturan bangunan. Kebijakan yang konsisten, pengawasan kuat, dan dukungan institusi profesi akan memastikan bahwa teknik bukan hanya profesi teknis, tetapi profesi yang juga bertanggung jawab terhadap publik.

Sumber

BRPELS Journal Winter 2021-22. Board of Registration for Professional Engineers and Land Surveyors, Washington State.

Selengkapnya
Kebijakan Publik atas Isu Lisensi, Etika, dan Kode Struktur dalam BRPELS Journal Winter 2021-22

Infrastruktur

Menelisik Defisit Infrastruktur Indonesia: Dari Reformasi Institusi Menuju Strategi Pembangunan oleh Negara

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Oktober 2025


Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Masalah dan Solusi

 

Sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi Asia tahun 1997, pembangunan infrastruktur menjadi agenda yang tak kunjung tuntas. Padahal, infrastruktur adalah fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam makalah yang ditulis oleh Kyunghoon Kim, dibahas secara tajam bagaimana kebijakan reformasi institusional pasca-krisis ternyata gagal mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, Kim mengajukan perspektif alternatif, yaitu dengan meninjau ulang peran negara sebagai aktor utama dalam pembangunan, sebagaimana yang pernah diterapkan oleh negara-negara Asia Timur lainnya.

 

Reformasi Institusi Pascakrisis: Antara Harapan dan Kenyataan

 

Pasca-krisis 1997, Indonesia bergerak cepat melakukan reformasi institusi, dengan mengadopsi pendekatan “good governance” yang diusung lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Tujuannya adalah membasmi korupsi dan kolusi yang sudah mengakar di bawah rezim Orde Baru. Lahirnya institusi seperti KPK, LKPP, dan LPJK menjadi simbol reformasi.

Namun, Kim mencatat bahwa reformasi tersebut tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Alih-alih memperkuat tata kelola, sejumlah institusi justru rentan disusupi oleh kepentingan oligarki dan elite bisnis lokal. Proses sertifikasi usaha konstruksi yang dialihkan ke asosiasi swasta malah menciptakan lahan baru bagi rente dan praktik kartel. Studi KPPU menunjukkan bahwa sekitar 60% dari perusahaan konstruksi di awal 2010-an tidak aktif atau hanya berdiri sebagai “bendera proyek”.

 

Data dan Fakta: Ketimpangan Antara Pertumbuhan Konstruksi dan Infrastruktur

 

Salah satu temuan paling mencolok dalam makalah ini adalah kontras tajam antara pertumbuhan sektor konstruksi dengan ketersediaan infrastruktur publik. Antara tahun 2000 hingga 2014, sektor konstruksi menyumbang hingga 10,1% dari PDB Indonesia. Namun di sisi lain, investasi infrastruktur justru turun drastis dari 7,8% menjadi 2,7% dari PDB.

 

Fokus investasi lebih banyak diarahkan ke sektor properti - perumahan, apartemen, dan pusat perbelanjaan yang memang lebih menguntungkan bagi pengembang swasta. Akibatnya, kebutuhan publik akan jalan, pelabuhan, transportasi massal, dan jaringan listrik justru terabaikan.

 

Peran BUMN dan Skandal Politik

 

Kim juga menyoroti transformasi BUMN konstruksi seperti Waskita Karya, Wijaya Karya, dan Adhi Karya. Alih-alih menjadi agen pembangunan, BUMN justru sering terseret dalam skandal korupsi. Kasus Hambalang menjadi contoh nyata bagaimana pejabat BUMN terlibat dalam suap demi mendapatkan proyek besar. Bahkan proyek tersebut mangkrak dan merugikan negara secara finansial dan politis.

Meskipun BUMN telah menjalani privatisasi parsial dan mulai menerapkan prinsip tata kelola korporat modern, upaya tersebut ternyata belum mampu sepenuhnya menekan intervensi politik maupun praktik penyalahgunaan wewenang.

 

 

Kritik terhadap Pendekatan “Good Governance”

 

Salah satu poin paling kuat dari makalah ini adalah kritik terhadap pendekatan reformasi ala Barat yang mengandalkan pembentukan institusi formal dan pelepasan peran negara dalam pembangunan. Kim menilai bahwa pendekatan ini mengasumsikan pasar akan secara otomatis bekerja efisien bila institusi formal diperkuat. Padahal di negara berkembang seperti Indonesia, di mana kekuatan informal dan struktur kekuasaan masih dominan, asumsi ini tidak realistis.

Contoh nyata terlihat pada proses pengadaan proyek yang meskipun sudah digital (melalui LPSE), tetap saja dibajak oleh “permainan dalam sistem” yang melibatkan perusahaan fiktif, kontraktor pinjaman, dan pengaturan tender. Bahkan menurut KPPU, biaya sertifikasi sering kali berlipat ganda dari tarif resmi karena praktik rente yang dilakukan oleh asosiasi.

 

Bangkitnya Strategi Negara: Jokowi dan Kembalinya Peran Aktif Pemerintah

 

Dari tahun 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo memulai langkah besar dengan mengubah pendekatan menjadi lebih proaktif. Pemerintah meningkatkan anggaran infrastruktur secara signifikan, bahkan pada 2019 anggarannya empat kali lebih besar dibanding subsidi energi. Jokowi juga menjadikan BUMN sebagai pelaksana utama proyek-proyek strategis nasional seperti tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan pembangunan pelabuhan.

Transformasi ini mendorong pertumbuhan luar biasa pada beberapa BUMN. Waskita Karya, misalnya, naik dari posisi 94 ke 16 dalam daftar perusahaan publik dalam waktu lima tahun. Meski dikhawatirkan memunculkan risiko utang dan persaingan tidak sehat, strategi ini menunjukkan efektivitas negara dalam memobilisasi sumber daya.

 

Refleksi dan Opini Kritis: Menuju Model Hibrida

 

Kim tidak menolak pentingnya reformasi institusi, namun ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih kontekstual yaitu menggabungkan kekuatan negara dengan tata kelola yang baik. Dalam konteks Indonesia, pembangunan infrastruktur tidak bisa semata-mata mengandalkan pasar. Pemerintah perlu menjadi aktor aktif, tidak hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai investor dan pelaksana.

Pendekatan ini mirip dengan yang dilakukan oleh negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan China. Pemerintah di negara-negara tersebut tidak hanya membentuk institusi, tetapi juga memobilisasi BUMN untuk mendorong pembangunan strategis dengan insentif jangka panjang.

 

Kesimpulan: Kebutuhan Akan Negara yang Kembali Hadir

 

Makalah Kim menyimpulkan bahwa hambatan utama dalam pembangunan infrastruktur Indonesia bukan hanya karena kelemahan institusi, tapi karena negara terlalu mundur dari peran pembangunan. Ketika pasar tidak mampu mengatasi kegagalan koordinasi dan risiko investasi jangka panjang, maka negara harus hadir kembali, tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi sebagai motor utama pembangunan.

Untuk mengatasi defisit infrastruktur secara berkelanjutan, Indonesia perlu memadukan kekuatan institusi dan kapasitas negara. Strategi negara pembangunan (developmentalist state) bukan berarti kembali ke masa otoritarian, melainkan mengadopsi peran aktif dan strategis negara dalam konteks demokratis.

 

 

Referensi:

 

Kim, Kyunghoon. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142.

DOI: 10.1177/10245294211043355

Selengkapnya
Menelisik Defisit Infrastruktur Indonesia: Dari Reformasi Institusi Menuju Strategi Pembangunan oleh Negara

Sosiohidrologi

Sociohydrology Mengungkap Cara Manusia dan Air Saling Mempengaruhi Lingkungan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Oktober 2025


Pendahuluan: Konsep Baru untuk Dunia yang Berubah

Dalam menghadapi perubahan iklim dan tekanan terhadap sumber daya air, ilmu hidrologi dituntut untuk beradaptasi. Artikel “Sociohydrology: A New Science of People and Water” memperkenalkan socio-hydrology, disiplin baru yang memandang manusia bukan lagi sebagai faktor eksternal dalam siklus air, melainkan bagian internal yang saling berinteraksi dan membentuk dinamika sistem air secara keseluruhan.

Sociohydrology lahir dari kebutuhan untuk menjelaskan fenomena tak terduga dalam manajemen air, di mana aktivitas manusia dan sistem air saling memengaruhi melalui proses yang kompleks, non-linear, dan sering kali menghasilkan kejutan sosial maupun ekologis.

Konsep Kunci: Sistem Manusia-Air yang Saling Terhubung

Sociohydrology memandang interaksi antara manusia dan air sebagai coupled human-water system yang mengalami co-evolution. Artinya, perubahan pada satu elemen (misalnya pembangunan bendungan atau kebijakan air) dapat mengubah respons sosial (seperti migrasi, konflik, atau perubahan pola tanam) dan sebaliknya.

Contoh nyata yang dibahas dalam paper ini adalah Cekungan Sungai Murrumbidgee di Australia. Pada awal abad ke-20, pembangunan irigasi berkembang pesat hingga menguras hampir 100% aliran air saat musim kering. Pada tahun 1980-an, kerusakan ekosistem memicu perubahan kebijakan besar: pemerintah mulai membeli hak air petani dan mengalihkan fokus ke pemulihan lingkungan. Ini menunjukkan bagaimana interaksi jangka panjang manusia-air dapat memicu transformasi sosial dan ekologis.

Studi Kasus 1: Sungai Murrumbidgee, Australia

Lokasi: Tenggara Australia, 84.000 km²
Angka kunci:

  • 1950: 100% air musim kering diserap untuk irigasi
  • 2007: Pemerintah membeli hak air petani, memulai pemulihan lingkungan
  • 2030 (proyeksi): Pola irigasi bergeser kembali ke hilir

Insight:
Konflik antara irigasi dan ekosistem tak bisa dipahami hanya dari sisi teknis air. Dinamika sosial-politik, tekanan ekonomi, dan kondisi lingkungan menciptakan sistem kompleks yang tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Studi Kasus 2: Kekeringan Sahel dan Pola Curah Hujan Global

Lokasi: Kawasan Sahel, Afrika Barat
Angka kunci:

  • 60% hujan di Sahel berasal dari penguapan daratan di wilayah lain
  • Aktivitas manusia di hulu (East Africa) menyebabkan pengurangan penguapan
  • Dampak: penggurunan, kelaparan, dan migrasi paksa

Insight:
Perubahan penggunaan lahan di satu wilayah bisa memengaruhi curah hujan di wilayah lain. Ini memperkenalkan konsep precipitation shed (wilayah sumber hujan), bukan hanya watershed.

Apa Bedanya Sociohydrology dan IWRM?

IWRM (Integrated Water Resource Management) berfokus pada pengendalian dan pengelolaan sistem air untuk hasil sosial dan lingkungan tertentu, biasanya dengan pendekatan skenario.

Sociohydrology lebih menekankan pengamatan, pemahaman, dan prediksi terhadap dinamika jangka panjang antara manusia dan air, termasuk kemungkinan munculnya perilaku spontan dan tak terduga.

Contoh: IWRM mungkin membuat rencana skenario tentang irigasi, sedangkan sociohydrology ingin tahu bagaimana hubungan irigasi dan kebijakan bisa berevolusi dalam 50 tahun ke depan.

Dinamika Tak Terduga: Tipping Points dan Resiliensi

Salah satu keunggulan pendekatan ini adalah kemampuannya menjelaskan perubahan drastis dalam sistem sosial-ekologis yang melampaui ambang batas (tipping points), seperti:

  • Pergeseran dari air permukaan ke air tanah di Bangladesh, yang kemudian menyebabkan keracunan arsenik tak terduga.
  • Konflik akibat kelangkaan air, ketika sistem sosial tidak siap menghadapi perubahan mendadak seperti banjir besar, kekeringan, atau degradasi lahan.

Konsep Virtual Water Trade

Ilmu ini juga memperkenalkan konsep virtual water, yakni perdagangan air secara tidak langsung melalui komoditas pangan. Air yang digunakan dalam proses produksi seperti pada gandum atau daging secara implisit ikut “diekspor” ke negara tujuan.

Contohnya, Belanda mengimpor kedelai dari Brasil untuk produksi daging babi, namun limbah nutrisinya tertinggal di Eropa, menciptakan ketidakseimbangan ekologis yang tidak ditanggung oleh konsumen.

Tiga Jalur Riset Sociohydrology

  1. Historical Sociohydrology:
    Meneliti interaksi manusia air di masa lalu seperti keruntuhan peradaban Sumeria akibat salinisasi tanah karena irigasi besar-besaran.
  2. Comparative Sociohydrology:
    Membandingkan respons sosial dan air di berbagai wilayah (berdasarkan iklim, sosial, ekonomi) untuk memahami pola besar dan dinamika lokal.
  3. Process Sociohydrology:
    Studi mendalam jangka panjang di suatu wilayah untuk mengidentifikasi pola, hubungan sebab-akibat, dan skenario masa depan dengan basis kuantitatif.

Nilai Tambah dan Tantangan

Ilmu ini menjadi sangat penting karena hampir semua sistem air kini telah “terganggu” oleh manusia.
Tantangannya adalah menjembatani dunia fisik (hidrologi) dan sosial (kebijakan, budaya, pasar).
Diperlukan pendekatan kuantitatif berbasis data dan model baru untuk memahami dinamika sosial-air.

Kesimpulan: Paradigma Baru dalam Sains Air

Sociohydrology mengajak kita meninggalkan pandangan lama bahwa air dan manusia bisa dipisahkan dalam studi ilmiah. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya pemahaman bersama bahwa untuk mencapai keberlanjutan air, kita harus memahami perilaku manusia.

Ilmu ini tidak hanya menjelaskan apa yang terjadi dengan air, tapi juga mengapa dan bagaimana manusia ikut mengubahnya. Di masa depan, pendekatan ini bisa jadi landasan penting bagi kebijakan air yang lebih adil dan berkelanjutan di seluruh dunia.

 

Sumber Asli:

Murugesu Sivapalan, Hubert H. G. Savenije, Günter Blöschl. Sociohydrology: A New Science of People and Water. Hydrological Processes (2011). DOI: 10.1002/hyp.8426

Selengkapnya
Sociohydrology Mengungkap Cara Manusia dan Air Saling Mempengaruhi Lingkungan
« First Previous page 87 of 1.274 Next Last »