Mengapa Tata Kelola Air Perlu Berbasis Dialog dan Kolaborasi
Tantangan lingkungan seperti kelangkaan air, degradasi lahan, dan perubahan iklim menuntut lebih dari sekadar kebijakan teknokratis. Diperlukan pendekatan yang memberdayakan masyarakat untuk berpikir dan bertindak bersama. Dalam konteks ini, artikel karya Carolin Seiferth, Maria Tengö, dan Erik Andersson menawarkan perspektif menarik melalui studi kasus di Pulau Öland, Swedia, yang menunjukkan bagaimana proses ko-produksi pengetahuan dapat mendorong aksi kolektif untuk mengatasi persoalan tata kelola air.
Artikel ini menekankan bahwa aksi kolektif yang inklusif dan efektif memerlukan desain proses yang disengaja dan partisipatif, khususnya ketika berhadapan dengan masalah yang kompleks dan saling terkait dalam sistem sosial-ekologis.
Latar Belakang: Krisis Air di Öland dan Warisan Tata Kelola
Pulau Öland, pulau terbesar kedua di Swedia, menghadapi masalah kekeringan serius sejak 2016. Ciri geografisnya yang datar dan tanah tipis membuat air cepat mengalir dan tidak tertahan. Perubahan iklim memperburuk kondisi ini dengan frekuensi kekeringan yang meningkat, mempengaruhi pertanian, biodiversitas, dan pariwisata. Sejak akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, Öland mengalami transformasi besar berupa pengeringan lahan basah untuk pertanian, yang menyebabkan penurunan 90% luas lahan basah dan melemahkan daya tampung air tanah.
Sistem legal yang usang—termasuk kewajiban drainase oleh kelompok pemilik lahan (drainage enterprises)—menjadi hambatan utama dalam upaya restorasi lahan basah dan konservasi air.
Tujuan dan Pendekatan Studi: Ko-Produksi Pengetahuan Tiga Arah
Penelitian ini mengembangkan rangkaian lokakarya berbasis dialog yang dirancang untuk menyatukan beragam pemangku kepentingan dan memfasilitasi aksi kolektif. Proses ini berlandaskan pada integrasi tiga jenis pengetahuan:
- Pengetahuan sistemik (systems knowledge): Pemahaman tentang kondisi dan penyebab masalah.
- Pengetahuan sasaran (target knowledge): Visi kolektif tentang masa depan yang diinginkan.
- Pengetahuan operasional (operational knowledge): Cara-cara dan strategi untuk mencapai perubahan.
Dengan menggunakan kerangka ini, peneliti membangun proses iteratif yang memperkuat keterlibatan aktor dalam memahami dan mengatasi masalah kekeringan di Öland.
Metodologi: Lokakarya Tiga Tahap dan Pendekatan Berbasis Tempat
Sebanyak 17 peserta dari berbagai latar belakang—petani, nelayan rekreasi, organisasi lingkungan, otoritas lokal, dan akademisi—ikut serta dalam tiga rangkaian lokakarya antara November 2022 dan Maret 2023. Proses ini terdiri dari:
- Lokakarya 1: Pemetaan sistem sosial-ekologis dan diskusi visual lewat “mood board” tentang asosiasi pribadi dengan air.
- Lokakarya 2: Kunjungan lapangan ke tiga lokasi penting di lanskap Öland untuk menggali pengalaman dan narasi berbasis tempat.
- Lokakarya 3: Pemikiran skenario (Three Horizons) dan pengembangan strategi perubahan kolektif.
Hasil Utama: Empat Strategi Kolektif untuk Tata Kelola Air
1. Restorasi Fungsi Alami Lanskap Air
Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kembali level air tanah ke kondisi pra-1880 dengan menghidupkan kembali lahan basah. Restorasi ini akan mendukung pertanian berkelanjutan, pelestarian keanekaragaman hayati, dan ketersediaan air minum.
Hambatan utama:
- Sistem birokrasi dan regulasi lama yang sulit diubah.
- Tidak ada kompensasi finansial bagi pemilik lahan yang menyisihkan lahannya untuk manfaat ekosistem.
Solusi yang diusulkan:
- Pilot project restorasi di lahan non-produktif,
- Pendanaan jangka panjang,
- Kolaborasi antara pemilik lahan, LRF, dan otoritas lokal,
- Inovasi teknis seperti biochar, sistem irigasi cerdas, dan pengelolaan drainase fleksibel.
2. Edukasi dan Kesadaran Publik tentang Air
Melalui pameran permanen di Museum Öland, kunjungan sekolah, eksperimen interaktif, dan narasi budaya, strategi ini bertujuan menumbuhkan literasi air di masyarakat.
Beberapa ide kreatif:
- Teater bertema “makhluk air”,
- Serial artikel di surat kabar lokal,
- Pelibatan universitas dan sekolah tinggi rakyat.
Tantangan:
- Logistik dan biaya untuk mobilisasi siswa,
- Kebutuhan koordinasi lintas sektor (pendidikan, media, pariwisata).
3. Reformasi Drainase: Menuju Sistem yang Fleksibel
Pendekatan ini menantang sistem drainase warisan abad ke-19, yang saat ini mempersulit adaptasi terhadap perubahan iklim dan kebutuhan retensi air.
Usulan perubahan:
- Membuka ruang bagi adaptasi lokal,
- Evaluasi internal oleh kelompok kerja lintas aktor (pemilik lahan, pemerintah lokal),
- Digitalisasi peta drainase untuk efisiensi,
- Pelibatan Water Council dan lembaga pendamping pertanian.
Jika berhasil, Öland bisa menjadi model nasional untuk adaptasi iklim.
4. Petani Sebagai Inovator dan Inspirator
Strategi ini menjadikan petani sebagai sumber inspirasi dan pusat eksperimen. Melalui “open farms”, petani akan berbagi praktik pengelolaan air dan diuji coba sistem baru seperti:
- Varietas tanaman tahan kekeringan,
- Rotasi tanaman adaptif,
- Penggunaan air limbah terolah untuk irigasi.
Inisiatif ini juga mempertimbangkan tren diet generasi masa depan, mendukung pertanian kecil, dan mendorong kolaborasi antara petani, universitas, dan lembaga negara.
Perubahan Persepsi Aktor: Dari Umum ke Strategis
Perbandingan antara awal dan akhir lokakarya menunjukkan pergeseran signifikan dalam cara peserta memandang masalah dan solusi:
- Awalnya, isu difokuskan pada teknis seperti penyimpanan air, irigasi, atau lahan kering.
- Seiring waktu, muncul pemahaman tentang politik air, pentingnya nilai budaya, dan syarat perubahan kelembagaan.
Persepsi solusi juga makin matang. Jika di awal solusi masih “teknis”, pada akhirnya aktor mengusulkan strategi sistemik yang melibatkan berbagai aktor dan nilai sosial.
Kekuatan Desain Proses: Dari Pengetahuan Terisolasi ke Aksi Kolektif
Penelitian ini menunjukkan bahwa desain lokakarya yang bertahap dan interaktif:
- Memampukan aktor menyuarakan pengetahuan yang sebelumnya diam (tacit knowledge),
- Menyatukan persepsi yang berbeda ke dalam narasi kolektif,
- Mendorong keterlibatan emosional dan afektif yang mengarah pada agensi kolektif.
Strategi seperti ‘place-based encounter’ dan ‘Three Horizons thinking’ menciptakan ruang aman bagi dialog, refleksi, dan penyusunan visi bersama.
Kritik dan Refleksi
Meskipun pendekatan ini sangat kuat, artikel ini juga mencatat beberapa keterbatasan:
- Tidak ada dokumentasi audio-visual untuk mendalami dinamika diskusi.
- Sektor pariwisata tidak terwakili langsung, padahal memiliki tekanan besar pada sistem air.
- Proses sangat tergantung pada fasilitator dan aktor kunci; keberlanjutan strategi membutuhkan penguatan kelembagaan.
Relevansi Global: Pelajaran bagi Dunia yang Kekurangan Air
Meskipun studi ini berlokasi di Swedia, pelajarannya relevan bagi banyak wilayah—terutama di Global South—yang menghadapi tantangan air serupa. Indonesia, misalnya, memiliki konteks serupa di pulau-pulau kecil, pesisir yang rentan kekeringan, dan masyarakat adat dengan nilai lokal yang belum banyak terintegrasi ke kebijakan air.
Ko-produksi pengetahuan berbasis dialog dapat menjadi pendekatan kunci untuk:
- Menyusun tata kelola air lintas sektor dan komunitas,
- Menjembatani antara ilmu pengetahuan, kebijakan, dan praktik,
- Membangun solusi berbasis nilai dan pengetahuan lokal.
Dari Dialog Menuju Transformasi Sosial-Ekologis
Artikel ini bukan hanya kontribusi akademik, tetapi juga panduan praktis untuk mengatasi kompleksitas tata kelola sumber daya alam. Dalam dunia yang terfragmentasi, proses berbasis dialog dan kolaborasi bukanlah tambahan opsional, tetapi kebutuhan mutlak untuk mencapai keberlanjutan.
Dengan mengedepankan pengetahuan sistemik, sasaran, dan operasional, serta merancang proses yang mendalam dan inklusif, tata kelola air bisa menjadi gerakan sosial yang memberdayakan masyarakat, bukan sekadar urusan teknis pemerintahan.
Sumber Artikel :
Seiferth, C., Tengö, M., & Andersson, E. (2024). Designing for collective action: a knowledge co‑production process to address water governance challenges on the island of Öland, Sweden. Sustainability Science, 19, 1623–1640.