Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Air Bengkulu Jadi Sorotan?
Air merupakan komponen vital dalam kehidupan, dan di Kota Bengkulu, keberadaan badan air seperti Danau Dendam Tak Sudah dan sungai-sungai utama (Sungai Hitam, Jenggalu, Babat, dan Bengkulu) memainkan peran penting dalam ekosistem, sumber air bersih, irigasi, dan bahkan pariwisata. Namun laporan resmi Dinas Lingkungan Hidup Kota Bengkulu tahun 2022 menunjukkan bahwa kualitas air di kota ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Pemantauan dilakukan pada 16 titik sampling yang tersebar di lima badan air, dua kali dalam setahun mewakili musim kemarau dan musim hujan. Hasil pengujian dianalisis menggunakan metode STORET dan Indeks Pencemaran (IP), mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 serta Keputusan Menteri LH No. 115 Tahun 2003.
Studi Kasus: Danau Dendam Tak Sudah – Kawasan Konservasi yang Tak Lagi Aman
Danau Dendam Tak Sudah adalah kawasan cagar alam yang semestinya menjadi lokasi perlindungan lingkungan dan sumber daya air. Namun data pemantauan justru menunjukkan kondisi sebaliknya.
Pada Maret 2022, nilai pH air di danau ini berada di angka 4,68 sampai 5,25—terlalu asam, karena standar minimal pH yang aman untuk kelas II adalah 6,0. Angka ini bahkan mencerminkan kondisi perairan yang bisa membahayakan kehidupan biota air tawar.
Lebih mencengangkan, pada September 2022, nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) melonjak hingga 30 miligram per liter di beberapa titik, padahal batas aman hanya 3 mg/L. Hal ini menandakan beban limbah organik yang sangat tinggi di danau, yang bisa menyebabkan deoksigenasi dan kematian organisme akuatik.
Kadar fosfat juga mengalami lonjakan drastis. Di salah satu titik pengambilan sampel, kandungan total fosfat tercatat sebesar 4,12 miligram per liter—20 kali lipat dari batas yang diperbolehkan. Peningkatan fosfat dapat menyebabkan eutrofikasi, yakni pertumbuhan alga berlebihan yang merusak keseimbangan ekosistem air.
Kadar minyak dan lemak juga sangat tinggi, mencapai 2.300 mikrogram per liter, padahal ambang batasnya hanya 1.000 mikrogram. Selain itu, indikator pencemaran mikrobiologis seperti Total Coliform tercatat sebanyak 18.980 per 100 mililiter—jauh melampaui ambang batas maksimum 5.000.
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa sekalipun kawasan ini dilindungi secara hukum, tekanan dari pemukiman liar, perambahan kawasan, dan pembangunan infrastruktur telah merusak fungsi ekologis danau.
Sungai Hitam: Ancaman dari Limbah Logam Berat dan Limbah Domestik
Sungai Hitam, yang berada di wilayah padat penduduk, memperlihatkan degradasi kualitas air akibat kombinasi buangan domestik dan kontaminasi logam berat.
Pada titik hilir, kadar tembaga (Cu) tercatat 2,31 miligram per liter—sangat tinggi dibanding batas aman hanya 0,02 miligram. Kadar zinc (Zn) mencapai 1,39 miligram per liter, melebihi ambang yang ditetapkan sebesar 0,05 miligram.
Dari segi beban organik, BOD pada September mencapai 6 miligram per liter, dua kali lipat dari nilai maksimum yang diperbolehkan. COD (Chemical Oxygen Demand) pada Maret juga tercatat sangat tinggi, yakni 61 miligram per liter, jauh di atas batas aman 25 mg/L.
Dari aspek mikrobiologi, sungai ini juga menunjukkan pencemaran yang parah. Total Coliform dan Fecal Coliform mencapai angka 18.980 per 100 mililiter. Ini mencerminkan keberadaan limbah tinja dan risiko tinggi terhadap penyakit yang ditularkan melalui air, seperti diare, hepatitis, dan tifus.
Sungai Jenggalu: Sungai Permukiman dengan Beban Limbah Rumah Tangga
Sungai Jenggalu, yang mengalir melewati wilayah permukiman dan rumah tangga padat, menunjukkan beban pencemaran yang tinggi. Nilai residu terlarut (TDS) di titik hilir mencapai 644 miligram per liter. Daya hantar listrik (DHL) juga tinggi, yaitu 1.026 mikroSiemens per sentimeter—tanda beban ion yang signifikan dalam air.
Kadar fosfat juga sangat tinggi, dengan nilai maksimum sebesar 3,41 miligram per liter. Minyak dan lemak di beberapa titik mencapai 3.400 mikrogram per liter—lebih dari tiga kali lipat dari batas maksimal. Angka-angka ini menunjukkan bahwa sungai ini sangat tertekan oleh limbah domestik, baik dari aktivitas mencuci, memasak, maupun pembuangan limbah rumah tangga langsung ke badan air.
BOD dan COD yang tinggi di seluruh titik juga menandakan bahwa aktivitas dekomposisi bahan organik sangat intens, mempercepat penurunan kualitas air dan membuat kondisi ekosistem menjadi tidak ideal bagi ikan maupun tanaman air.
Sungai Babat dan Sungai Bengkulu: Penyangga Irigasi dan Sumber Air Minum yang Mulai Terancam
Sungai Babat dan Sungai Bengkulu selama ini menjadi sumber air untuk pertanian serta air baku PDAM. Namun tren pencemaran menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan.
Sungai Babat menunjukkan peningkatan nilai BOD dan kadar fosfat di atas ambang batas. Hal ini dipicu oleh pertumbuhan kawasan hunian serta pembuangan limbah dari sektor pertanian intensif.
Sementara itu, Sungai Bengkulu, yang dimanfaatkan sebagai sumber air oleh Instalasi Pengolahan Air Surabaya, tercatat memiliki kadar minyak dan lemak serta fosfat yang melampaui batas baku mutu, terutama pada titik-titik hilir. Beban cemar ini mengindikasikan risiko jangka panjang terhadap ketersediaan air bersih di wilayah kota.
Evaluasi Status Mutu: Dari Sedang ke Berat
Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pencemaran (IP) dan Indeks Kualitas Air (IKA), sebagian besar titik di sungai dan danau Kota Bengkulu masuk dalam kategori "cemar sedang" hingga "cemar berat". Titik-titik seperti Danau Dendam Tak Sudah dan Sungai Hitam menunjukkan skor pencemaran tertinggi, didorong oleh kombinasi antara limbah domestik, aktivitas ekonomi informal, dan limbah organik yang tidak terolah.
Implikasi dan Rekomendasi Strategis
Kondisi ini mencerminkan bahwa manajemen air di Kota Bengkulu belum terintegrasi dan belum responsif terhadap tekanan populasi dan perubahan tata guna lahan. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:
Untuk Pemerintah:
Untuk Masyarakat:
Untuk Dunia Pendidikan dan Swasta:
Menatap Masa Depan: Belajar dari Sungai yang Pulih
Kisah sukses pemulihan Sungai Cheonggyecheon di Korea Selatan atau revitalisasi Kali Code di Yogyakarta membuktikan bahwa badan air yang tercemar bisa dipulihkan—asal ada komitmen dan keterlibatan semua pihak. Kota Bengkulu dapat mengikuti jejak tersebut dengan pendekatan yang tidak hanya teknis, tapi juga sosial dan budaya.
Penutup
Laporan kualitas air tahun 2022 adalah cermin darurat ekologis Kota Bengkulu. Tanpa intervensi serius, degradasi ini akan terus berlanjut dan berdampak pada kesehatan masyarakat, ketahanan air bersih, serta kelangsungan ekonomi lokal. Namun, dengan langkah kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, badan air Bengkulu bisa kembali jernih dan bermanfaat sebagaimana mestinya.
Sumber asli:
Pemerintah Kota Bengkulu – Dinas Lingkungan Hidup. 2022. Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai dan Danau, Status Mutu dan Indeks Kualitas Air Kota Bengkulu Tahun 2022.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Sungai Citarum Jadi Sorotan Nasional?
Sungai Citarum, dengan panjang 269 km, bukan hanya tulang punggung kehidupan bagi 28 juta penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta, tetapi juga menyuplai air untuk irigasi pertanian seluas 420.000 hektar dan menyokong 20% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia melalui kawasan industri di sekitarnya. Ironisnya, sungai yang dulunya jadi kebanggaan nasional ini kini dikenal sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia.
Penelitian oleh Ratih Pratiwi dan Linda Noviana dari Universitas Sahid Jakarta (2016) memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi kualitas air Sungai Citarum dalam rentang waktu 2011 hingga 2014. Berdasarkan parameter fisik, kimia, dan biologis serta perbandingan dengan peraturan pemerintah, hasilnya menunjukkan status pencemaran berat.
Metodologi dan Lokasi Penelitian: Titik Kritis di Sepanjang Citarum
Penelitian ini dilakukan di tujuh titik strategis:
Pengambilan sampel dilakukan rutin selama empat tahun dan dianalisis menggunakan Indeks Pencemaran (IP) sesuai Kepmen LH No. 115 Tahun 2003 serta dibandingkan terhadap baku mutu air kelas II dalam PP No. 82 Tahun 2001.
Parameter Kualitas Air: Data Lapangan yang Mengejutkan
Enam parameter utama digunakan:
1. pH: Masih Dalam Ambang Normal
Nilai pH di seluruh titik berada dalam rentang 6–9, sesuai baku mutu air kelas II. Ini menunjukkan keasaman atau kebasaan air masih stabil.
2. TSS: Melewati Ambang Batas
Konsentrasi TSS mencapai angka tertinggi 108 mg/L pada 2014 di Nanjung. Padahal, ambang batas PP No. 82/2001 hanya 50 mg/L. TSS tinggi menandakan beban partikel padat tersuspensi berlebih, yang berasal dari lumpur, limbah industri, dan tinja.
3. DO: Oksigen Terlarut Menurun
Nilai DO rata-rata di bawah standar minimal 6 mg/L, bahkan menyentuh titik kritis 1,58 mg/L di Jembatan Koyod (2014), menunjukkan minimnya oksigen untuk kehidupan akuatik.
4. BOD & COD: Indikator Kuat Polusi Organik
Peningkatan signifikan BOD dan COD menandakan beban limbah organik dan industri tinggi—baik dari limbah domestik, industri tekstil, maupun pertanian.
5. Total Coliform: Alarm Kesehatan Masyarakat
Data 2014 menunjukkan angka tertinggi 24.000 MPN/100 mL di titik Jembatan Koyod, jauh melebihi batas 1.000 MPN/100 mL. Ini menandakan pencemaran tinja manusia dan hewan yang dapat menimbulkan penyakit seperti diare, hepatitis, dan tifus.
Tingkat Pencemaran Berdasarkan Indeks Pencemar (IP)
Tahun 2014 menjadi tahun terburuk, dengan nilai IP mencapai:
Klasifikasi berdasarkan IP (Kepmen LH No.115/2003):
Seluruh titik pada tahun 2014 masuk kategori cemar berat. Kondisi ini berbanding lurus dengan laporan lapangan bahwa hanya 20% dari 500-an industri di daerah hulu yang memiliki fasilitas pengolahan limbah.
Studi Kasus: Titik 3 – Setelah IPAL Cisirung
Titik ini menunjukkan fakta mencengangkan:
Padahal, titik ini merupakan penerima utama limbah yang telah “diolah” oleh IPAL gabungan. Ini menunjukkan dua kemungkinan: kapasitas IPAL tidak mencukupi atau proses pengolahan limbah tidak berjalan optimal. Kondisi ini menjadi tamparan bagi pengelolaan infrastruktur lingkungan.
Analisis & Kritik: Kegagalan Multiaktor?
Faktor Penyebab Krisis Kualitas Air:
Kurangnya Kolaborasi Antarsektor
Penanganan Citarum selama ini bersifat sektoral dan tidak terpadu lintas kabupaten/provinsi. Slogan "One River One Plan One Management" belum benar-benar dijalankan.
Tren Global: Rehabilitasi Sungai di Dunia
Kasus Sungai Citarum mirip dengan Sungai Thames (Inggris) atau Sungai Han (Korea Selatan) yang dahulu tercemar berat. Namun, berkat kebijakan tegas, pengolahan limbah modern, dan partisipasi masyarakat, keduanya kini bersih dan dapat dinikmati kembali.
Belajar dari sana, strategi nasional seperti Citarum Harum harus fokus pada:
Rekomendasi Penelitian: Arah Perbaikan
Untuk Pemerintah:
Untuk Masyarakat:
Untuk Dunia Akademik:
Penutup: Waktu Mendesak untuk Bertindak
Laporan ini mempertegas urgensi penyelamatan Sungai Citarum bukan hanya sebagai isu lokal, tetapi nasional—bahkan global. Jika dibiarkan, degradasi lingkungan akan menjadi bencana sosial dan ekonomi. Namun dengan sinergi pemerintah, industri, dan masyarakat, masih ada harapan untuk menjadikan Citarum kembali menjadi sumber kehidupan, bukan sumber penyakit.
Sumber asli:
Ratih Pratiwi & Linda Noviana. 2016. Evaluasi Kualitas Air Sungai Citarum. Laporan Penelitian Dosen Universitas Sahid Jakarta, Fakultas Teknik, Bidang Teknik Lingkungan.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Kita Harus Peduli pada Sungai Jakarta?
Sungai bukan hanya aliran air, tetapi juga urat nadi kehidupan kota. Di tengah riuhnya aktivitas metropolitan Jakarta, sungai-sungai seperti Ciliwung, Angke, dan Krukut memegang peran vital—baik sebagai pengendali banjir, sumber air baku, hingga saluran pembuangan. Namun, hasil pemantauan terbaru tahun 2023 dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan PPLH-IPB menunjukkan kenyataan yang mengkhawatirkan: mayoritas sungai di Jakarta berada dalam status cemar berat.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam hasil pemantauan kualitas air sungai Jakarta, menyajikan data, analisis, serta rekomendasi strategis. Ini adalah refleksi penting bagi warga, pemerintah, dan pelaku industri—karena kualitas sungai adalah cerminan kualitas hidup kita bersama.
Pemetaan Pemantauan: 120 Titik, 23 Sungai, dan 5 Wilayah Kota
Pada tahun 2023, pemantauan dilakukan di 120 titik yang tersebar di 23 ruas sungai, termasuk Ciliwung, Cipinang, Sunter, Angke, dan Pesanggrahan. Titik terbanyak berada di Jakarta Timur (37 titik), sedangkan Jakarta Pusat memiliki titik pemantauan paling sedikit (12 titik). Sungai Ciliwung menjadi perhatian khusus karena melintasi lima wilayah kota dan membawa beban pencemaran dari hulu di Jawa Barat.
Pemantauan dilakukan secara berkala sepanjang tahun dalam empat periode, memungkinkan evaluasi tren tahunan dan jangka panjang (2018–2023). Selain air, tahun ini juga diukur kualitas sedimen, terutama kandungan logam berat Zn (seng) dan Cu (tembaga).
Indeks Pencemaran: Mayoritas Sungai Jakarta Masuk Kategori Cemar Berat
Metodologi Penilaian
Status mutu air dievaluasi menggunakan dua pendekatan:
Kedua metode ini mengklasifikasikan status mutu ke dalam empat kategori: Baik, Cemar Ringan, Cemar Sedang, dan Cemar Berat.
Hasil 2023
Contoh:
Parameter Pencemar Utama: Fecal Coliform, BOD, COD, dan Amoniak
1. Fecal Coliform
Mikroorganisme indikator pencemaran tinja ini paling dominan. Pada tahun 2023:
Ini berarti limbah domestik belum diolah dengan baik sebelum masuk ke sungai.
2. BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand)
Nilai tinggi menunjukkan beban bahan organik terlarut sangat besar, terutama dari limbah rumah tangga dan pasar.
3. Amoniak (NH₃)
Kadar tinggi ini berbahaya bagi ikan dan dapat menimbulkan bau busuk.
Polusi Visual dan Bau: Warna, Minyak, dan Sampah
Selain data kimia, parameter fisik dan visual sungai juga dipantau:
Foto-foto lapangan menunjukkan kenyataan pahit: air sungai berwarna gelap, mengeluarkan bau, dan penuh sampah.
Logam Berat di Sedimen: Ancaman Tak Terlihat
Sedimen sungai Jakarta juga diperiksa dan menunjukkan pencemaran logam berat:
Logam ini berasal dari limbah industri, kendaraan bermotor, dan saluran air permukiman. Meskipun tidak langsung tampak, akumulasi logam berat dapat berbahaya bagi biota dan manusia melalui rantai makanan.
Tren Lima Tahun: Tidak Banyak Perubahan
Perbandingan tahun 2018 hingga 2023 menunjukkan kondisi memburuk atau stagnan:
Artinya, berbagai program penanganan belum berdampak signifikan.
Mengapa Sungai Jakarta Begitu Tercemar?
Penyebab Utama:
Dengan tingkat urbanisasi tinggi dan sistem sanitasi yang belum merata, pencemaran menjadi konsekuensi tak terelakkan.
Rekomendasi Strategis: Bukan Sekadar Bersih-Bersih
1. Optimalisasi IPAL Komunal
Pemerintah daerah perlu memperluas cakupan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di kawasan padat.
2. Monitoring Real-Time dan Terintegrasi
Disarankan pemasangan stasiun pemantauan kualitas air berbasis otomatis, online, dan real-time. Saat ini pemantauan masih manual dan berkala.
3. Kampanye Publik dan Edukasi Lingkungan
Pemahaman warga tentang dampak pencemaran masih rendah. Perlu program edukasi berbasis komunitas, sekolah, dan media sosial.
4. Sanksi Lebih Tegas untuk Industri dan Perkantoran
Penegakan hukum terhadap pelaku pencemar harus ditingkatkan, termasuk pencabutan izin dan denda progresif.
5. Revitalisasi Bantaran Sungai
Program seperti normalisasi atau naturalisasi perlu disertai penghijauan, pengelolaan sampah terpadu, dan tata ruang yang ketat.
Jakarta Bisa Lebih Baik: Contoh dari Negara Lain
Beberapa kota dunia telah berhasil merevitalisasi sungai kotanya:
Jakarta sebenarnya tidak kekurangan sumber daya. Yang dibutuhkan adalah komitmen, integrasi antarinstansi, dan keterlibatan masyarakat.
Penutup: Air Sungai Adalah Cermin Wajah Kota
Kualitas air sungai Jakarta tahun 2023 mencerminkan wajah urbanisasi yang belum ramah lingkungan. Data dan temuan dalam laporan ini menjadi alarm keras: saatnya transformasi nyata dalam pengelolaan lingkungan sungai.
Masyarakat perlu didorong menjadi bagian dari solusi, bukan hanya menyalahkan. Industri dan pemerintah harus lebih transparan, terukur, dan bertanggung jawab. Jika tidak, generasi mendatang hanya akan mengenal sungai Jakarta sebagai saluran kotor, bukan sumber kehidupan.
Sumber Asli Artikel:
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. Laporan Pemantauan Kualitas Lingkungan Air Sungai Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023. Bekerja sama dengan PPLH IPB University.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Ketinggian Sungai Mempengaruhi Kualitas Air?
Air sungai adalah sumber kehidupan yang tak tergantikan. Baik untuk kebutuhan domestik, irigasi, hingga perikanan dan rekreasi, kualitas air sangat menentukan fungsionalitas sebuah sungai. Namun, satu aspek yang kerap terlewat dalam analisis kualitas air adalah letak geografis vertikal alias ketinggian sungai dari permukaan laut.
Studi yang dilakukan oleh Tamara Pingki dan Sudarti ini mencoba menjawab pertanyaan menarik: apakah perbedaan ketinggian antara dua sungai di Kabupaten Blitar memengaruhi kualitas airnya? Jawabannya ternyata bukan hanya “ya”, tetapi juga menyimpan insight penting bagi perencanaan pengelolaan sumber daya air di daerah pegunungan dan dataran rendah.
Studi Kasus: Sungai Bladak vs Sungai Kedungrawis
Penelitian ini dilakukan di dua lokasi:
Masing-masing sungai diukur pada tiga titik dengan jarak antar titik 200 meter. Pengambilan data dilakukan lima kali dalam sehari selama lima hari berturut-turut. Parameter yang diuji meliputi:
Alat yang digunakan antara lain termometer air, kertas lakmus, TDS meter digital, dan cakram Secchi untuk pengukuran kecerahan.
Temuan Lapangan: Kualitas Air Lebih Baik di Ketinggian
1. Suhu Air: Semakin Tinggi, Semakin Dingin
Suhu merupakan indikator penting karena memengaruhi kelarutan oksigen dan aktivitas mikroorganisme dalam air. Dari data pengukuran, didapat:
Dengan suhu tertinggi pada siang hari dan terendah pada pagi hari, jelas bahwa suhu Sungai Bladak lebih rendah pada semua waktu. Ini sesuai dengan karakteristik dataran tinggi yang menerima radiasi matahari lebih sedikit.
Implikasinya: air yang lebih dingin cenderung memiliki kandungan oksigen terlarut yang lebih tinggi dan mendukung kehidupan akuatik yang lebih sehat.
2. Kecerahan Air: Sungai di Dataran Tinggi Lebih Jernih
Kecerahan diukur dengan cakram Secchi:
Nilai kecerahan di bawah 20 cm biasanya menandakan status eutrofik, artinya perairan mulai tercemar oleh zat organik seperti limbah rumah tangga atau pertanian.
Analisis: Sungai Bladak, dengan kecerahan di atas 30 cm, menunjukkan kualitas visual air yang masih baik. Sebaliknya, Sungai Kedungrawis sudah menunjukkan tanda-tanda kekeruhan yang dapat berdampak pada proses fotosintesis dan kehidupan biota air.
3. pH Air: Air Basa vs Air Asam
pH menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan air:
Air yang terlalu asam bisa berdampak buruk pada ikan dan organisme perairan lainnya. Sementara air yang sedikit basa cenderung lebih stabil dan aman untuk konsumsi maupun budidaya.
Catatan penting: Air Sungai Kedungrawis termasuk dalam kualitas yang buruk karena pH asam dalam lima hari pengamatan.
4. TDS (Total Dissolved Solid): Indikator Langsung dari Pencemaran
TDS mengukur jumlah zat padat terlarut seperti mineral, garam, dan logam:
Menurut standar:
Kesimpulan: Sungai Kedungrawis nyaris memasuki kategori “tidak layak konsumsi”, sementara Sungai Bladak masih dalam batas aman.
Korelasi Antara Ketinggian dan Kualitas Air
Data menunjukkan bahwa semakin tinggi letak sungai, semakin baik parameter kualitas airnya:
Hal ini memperkuat hipotesis bahwa topografi, suhu udara, dan aktivitas manusia di sekitar sungai sangat memengaruhi kualitas air. Dataran rendah biasanya lebih padat penduduk, lebih banyak kegiatan pertanian dan industri, serta potensi limbah lebih besar.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan temuan Irwan dan Afdal (2016) yang menyatakan bahwa konduktivitas dan suhu air berkorelasi positif dengan TDS. Juga relevan dengan studi Pramleonita et al. (2018) yang menyebutkan bahwa kecerahan air memengaruhi efisiensi fotosintesis plankton dan fitoplankton.
Yang menarik dari studi ini adalah pendekatannya yang langsung membandingkan dua sungai di lokasi berbeda dengan faktor utama: ketinggian. Sebagian besar penelitian hanya fokus pada parameter kimia atau aktivitas manusia, tetapi jarang yang menyelidiki pengaruh vertikal geografis secara eksplisit.
Rekomendasi Praktis dan Implikasi Kebijakan
Untuk Pemerintah Daerah:
Untuk Masyarakat:
Untuk Peneliti Selanjutnya:
Penutup: Sungai yang Lebih Tinggi, Kualitas yang Lebih Baik?
Penelitian ini mengajarkan kita bahwa faktor geografis, khususnya ketinggian, memainkan peran besar dalam menentukan kualitas air sungai. Dengan membandingkan Sungai Bladak dan Sungai Kedungrawis, kita melihat gambaran nyata bagaimana dataran tinggi lebih cenderung menghasilkan air yang jernih, basa, dan minim kandungan zat padat terlarut.
Namun ini bukan berarti kita bisa mengabaikan sungai di dataran rendah. Justru karena potensi pencemaran lebih tinggi, maka sungai di wilayah seperti Kademangan membutuhkan perhatian lebih serius—baik dari sisi pengelolaan limbah, edukasi masyarakat, hingga teknologi pengolahan air sederhana.
Dengan riset semacam ini, kita makin menyadari bahwa menjaga kualitas air sungai bukan hanya soal reaksi terhadap pencemaran, tapi juga soal pencegahan yang dimulai dari pemahaman lingkungan fisik sekitar.
Sumber Asli Artikel:
Tamara Pingki dan Sudarti. Analisis Kualitas Air Sungai Berdasarkan Ketinggian Sungai Bladak dan Sungai Kedungrawis di Kabupaten Blitar. Jurnal Budidaya Perairan, Vol. 9, No. 2, 2021. Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP Universitas Jember.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Sungai sebagai Urat Nadi Kehidupan yang Terancam
Sungai Martapura, yang membelah kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan, bukan hanya sekadar aliran air. Sungai ini adalah bagian vital dari kehidupan warga Banjar, menjadi sumber air untuk mandi, mencuci, irigasi, hingga transportasi. Namun, penelitian terbaru yang dilakukan oleh Ishak dan rekan-rekannya tahun 2022 menunjukkan fakta yang memprihatinkan: air Sungai Martapura mengandung logam berat dalam kadar yang melampaui ambang batas baku mutu nasional.
Penelitian ini penting, karena memberikan bukti ilmiah tentang pencemaran logam berat dan sekaligus mengusulkan urgensi intervensi dari semua pihak—pemerintah, industri, dan masyarakat.
Studi Kasus: Sungai Martapura dan Potensi Pencemaran Terhadap Warga
Sungai Martapura memiliki panjang sekitar 36,5 km dan merupakan anak Sungai Barito. Daerah sekitarnya padat aktivitas, mulai dari pemukiman, pertanian, hingga industri skala kecil dan besar. Ini menyebabkan potensi masuknya limbah cair maupun padat ke dalam badan air sangat tinggi.
Untuk menguji kualitas air, tim peneliti mengambil sampel dari empat stasiun strategis:
Pengujian dilakukan menggunakan metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) dan standar SNI ISO/IEC 17025:2017.
Temuan Penting: Tiga Logam Berat Melebihi Baku Mutu
1. Besi (Fe)
Besi terlarut ditemukan melebihi ambang batas (0,3 mg/L) di semua lokasi:
Ini artinya, kadar Fe di air Sungai Martapura mencapai 7 kali lipat dari batas aman. Logam ini dapat berasal dari limbah industri logam, pipa besi berkarat, serta limbah domestik seperti kaleng bekas.
2. Mangan (Mn)
Tercatat melebihi baku mutu (0,1 mg/L) hanya di Stasiun II:
Meskipun hanya satu titik yang melampaui ambang batas, hal ini tetap menjadi alarm karena Stasiun II berada di dekat permukiman dan lahan pertanian—dua aktivitas yang sering membuang limbah langsung ke sungai.
3. Tembaga (Cu)
Ditemukan melebihi ambang batas (0,02 mg/L) di semua titik:
Tembaga berasal dari limbah rumah tangga, bahan bangunan, kendaraan, hingga pestisida dari pertanian.
Parameter Fisik: Suhu dan pH Masih Normal
Selain logam berat, penelitian juga mencatat data suhu dan pH sebagai parameter fisik dasar:
Nilai ini masih dalam batas wajar (6–9 untuk pH dan ±29°C untuk suhu tropis), sehingga tidak langsung berdampak pada kesehatan. Namun, suhu tinggi dapat mempercepat reaksi kimia dan meningkatkan kelarutan logam dalam air.
Dampak Pencemaran: Dari Endapan Logam hingga Ancaman Kesehatan
Efek Biologis
Logam berat seperti Fe, Mn, dan Cu bila terakumulasi dalam tubuh manusia bisa menimbulkan berbagai masalah:
Bagi ekosistem air, logam berat bisa mengganggu sistem reproduksi ikan, menurunkan kadar oksigen, dan menyebabkan kematian biota.
Endapan di Dasar Sungai
Konsentrasi logam berat tidak hanya mengendap di air, tetapi juga di sedimen sungai. Penelitian sebelumnya di Sungai Martapura juga mencatat adanya logam berat di sedimen—yang artinya bahaya tidak hanya mengintai di permukaan, tetapi bisa bertahan lama di dasar sungai.
Apa Penyebab Utama Masuknya Logam Berat?
Berdasarkan observasi lapangan dan kajian literatur, ada beberapa penyebab utama:
Bagaimana Solusi Jangka Panjangnya?
1. Penegakan Regulasi
PP RI No. 22 Tahun 2021 sudah jelas mengatur baku mutu air, tetapi implementasinya masih lemah. Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengawasan terhadap industri dan rumah tangga di sepanjang sungai.
2. Instalasi Pengolahan Limbah
IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) wajib dimiliki industri dan kelompok warga di pinggir sungai. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan, baik secara teknis maupun finansial.
3. Edukasi dan Partisipasi Masyarakat
Masyarakat harus diedukasi bahwa membuang limbah ke sungai tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga kembali ke tubuh mereka melalui air dan ikan.
4. Monitoring Berbasis Komunitas
Sistem pemantauan partisipatif bisa menjadi alternatif murah namun efektif. Misalnya, melibatkan pelajar, mahasiswa, atau karang taruna untuk melakukan uji kualitas air secara berkala.
Bandingkan dengan Studi Lain: Apakah Ini Masalah Nasional?
Ya. Kasus Sungai Martapura bukan satu-satunya di Indonesia:
Artinya, banyak sungai di Indonesia kini mengalami nasib serupa. Studi ini memberi cermin penting bagi daerah lain yang memiliki karakteristik geografis dan aktivitas masyarakat yang serupa.
Kesimpulan: Air Sungai Bukan Tempat Sampah
Studi oleh Ishak dkk. menjadi bukti kuat bahwa Sungai Martapura berada dalam tekanan ekologis akibat logam berat, khususnya Fe, Mn, dan Cu. Meskipun suhu dan pH masih dalam ambang wajar, keberadaan logam berat yang melampaui baku mutu menandakan bahwa sungai ini sedang dalam kondisi darurat lingkungan.
Jika tidak ada tindakan nyata dalam beberapa tahun ke depan, Sungai Martapura bisa kehilangan fungsinya sebagai sumber kehidupan dan berubah menjadi sumber penyakit.
Solusi yang dibutuhkan bukan hanya teknologi dan regulasi, tetapi juga perubahan perilaku masyarakat, dukungan pemerintah daerah, dan peran aktif dari akademisi serta komunitas lingkungan. Kita perlu bertindak sekarang, sebelum terlalu terlambat.
Sumber Asli Artikel:
Nuning Irnawulan Ishak, Mahmudah, Kasman, Ermayanti Ishak, Irwan Junaidi Effendy, dan Latifa Fekri. Analisis Kandungan Logam Berat Pada Air Sungai Martapura, Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2022. Jurnal Sains dan Inovasi Perikanan, Vol. 7, No. 1, Januari 2023.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Kualitas Air Sungai Perlu Diuji dengan Cara yang Terpadu?
Sungai adalah sistem kehidupan yang kompleks. Ia menjadi sumber air, jalur drainase, ekosistem perairan, bahkan tempat rekreasi. Namun, di tengah urbanisasi cepat seperti yang terjadi di Surakarta, sungai juga menanggung beban berat dari limbah domestik, industri, dan pertanian. Untuk menjawab tantangan ini, pendekatan monitoring kualitas air yang hanya mengandalkan parameter fisikokimia saja tidak cukup. Maka, tesis ini mengusulkan pendekatan integratif dengan melibatkan indikator biologis: bakteri dan makroinvertebrata.
Abdallah A. Salum dalam tesisnya tahun 2015 di Universitas Sebelas Maret mengambil Sungai Pepe di Surakarta sebagai studi kasus. Penelitiannya mencoba menjawab tiga pertanyaan utama: seberapa besar pencemaran yang terjadi, bagaimana respons biologis dari makroinvertebrata terhadap kondisi tersebut, dan apakah terdapat korelasi signifikan antara parameter fisika, kimia, dan biologi?
Lokasi dan Metodologi: Dari Hulu hingga Hilir
Penelitian dilakukan di enam titik di sepanjang Sungai Pepe, yang melintasi daerah urban dan semi-urban di Surakarta. Proses pengambilan data dilakukan selama dua bulan (Januari–Februari 2015), melibatkan:
Analisis dilakukan menggunakan SPSS 18 dan Excel, dengan pendekatan statistik deskriptif, korelasi Pearson, serta indeks kualitas air seperti WPI (Water Pollution Index), STORET, dan NSF-WQI (National Sanitation Foundation – Water Quality Index).
Hasil Fisik dan Kimia: Angka-angka yang Tak Bisa Diabaikan
1. Suhu dan pH
Suhu air berkisar antara 25,1 hingga 30,5°C, relatif tinggi dan berpotensi mengurangi kelarutan oksigen. Nilai pH berada dalam rentang 6,3–8,5, dengan sebagian lokasi mencatatkan angka mendekati batas atas. Ini menandakan adanya potensi basa akibat limbah domestik atau deterjen.
2. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen
DO di beberapa titik hanya 2,6 mg/L—jauh di bawah ambang batas ideal 5–6 mg/L untuk kehidupan akuatik. BOD dan COD juga mencatatkan angka tinggi: BOD mencapai 7,3 mg/L dan COD lebih dari 45 mg/L di lokasi-lokasi tertentu. Ini menunjukkan bahwa air memiliki kandungan bahan organik tinggi yang mengonsumsi banyak oksigen saat terurai.
3. Nutrien: Nitrat dan Fosfat
Kadar nitrat mencapai 11,5 mg/L, melampaui ambang batas air minum (10 mg/L), sedangkan fosfat hingga 0,7 mg/L, menandakan eutrofikasi yang berpotensi memicu ledakan populasi alga (algal bloom).
4. TDS, TSS, dan Turbiditas
TSS melebihi 70 mg/L di titik-titik padat aktivitas manusia. TDS pun berada di atas 500 mg/L di beberapa lokasi. Ini mencerminkan partikel terlarut dan tersuspensi yang tinggi akibat erosi dan limbah.
Indikator Biologis: Makroinvertebrata Bicara Lebih Jujur
Total Coliform
Konsentrasi total coliform mencapai lebih dari 1100 MPN/100 mL di beberapa titik—angka yang menunjukkan pencemaran fekal yang signifikan. Ini bisa berasal dari limbah rumah tangga yang tidak diolah dan buangan dari toilet ke sungai.
Komposisi Makroinvertebrata
Sebanyak 42 takson makroinvertebrata berhasil diidentifikasi, termasuk kelompok peka seperti Ephemeroptera (mayfly) dan kelompok toleran seperti Chironomidae (lalat darah). Oligochaeta menjadi takson dominan dengan persebaran luas di seluruh titik pengambilan sampel.
Makroinvertebrata sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air. Komunitas yang didominasi oleh spesies toleran menandakan bahwa sungai telah mengalami tekanan ekologis berat.
Indeks Biotik dan Indeks Kualitas Air
Hilsenhoff Family Biotic Index (HFBI)
HFBI menunjukkan bahwa sebagian besar titik sampling berada dalam kategori kualitas “buruk” hingga “sangat buruk” (HFBI > 7), menandakan dominasi spesies toleran terhadap pencemaran organik.
%EPT dan %CHIR
Water Pollution Index (WPI)
Nilai WPI berkisar antara 6,85–7,5, masuk kategori tercemar sedang hingga berat.
NSF-WQI
Skor bervariasi antara 40–68, dikategorikan sebagai “marginal” hingga “poor” menurut standar NSF.
STORET
Menghasilkan nilai antara –25 hingga –48, yang mengindikasikan status “tercemar berat”.
Korelasi Antara Parameter: Apa Kata Statistik?
Korelasi Pearson antara parameter fisikokimia dan biologis menunjukkan hubungan yang signifikan:
Hasil ini menegaskan bahwa degradasi kualitas air dapat dideteksi lebih dini dan akurat jika menggabungkan metode biologis dan fisikokimia secara simultan.
Analisis Kritis: Apa yang Membuat Studi Ini Penting?
Kelebihan:
Kelemahan:
Rekomendasi Praktis untuk Surakarta dan Daerah Lain
Menutup Resensi: Air Bersih Dimulai dari Integrasi Data
Penelitian Abdallah A. Salum bukan sekadar riset akademik. Ini adalah peringatan berbasis data bagi kita semua—bahwa sungai seperti Pepe bukan hanya jalur air, tetapi indikator utama kesehatan kota. Dengan menggabungkan analisis fisik, kimia, dan biologi, studi ini memberi peta jalan untuk pemantauan yang lebih adil, akurat, dan murah.
Surakarta dan kota-kota lain di Indonesia seharusnya mulai mengadopsi pendekatan ini, bukan hanya untuk memenuhi regulasi, tetapi untuk menjamin hak dasar manusia akan air bersih.
Sumber Asli Artikel:
Abdallah A. Salum. Integrating Physicochemical and Biological Parameters for Water Quality Assessment in Pepe River in Surakarta, Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Sebelas Maret, 2015. Pembimbing: Prof. Ir. Ari Handono Ramelan, MSc (Hons), Ph.D. dan Dr. Sunarto, M.S.