Teknologi dan Urbanisme

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jaringan Jalan Kota Cerdas – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 Oktober 2025


Pendahuluan: Krisis Infrastruktur dan Solusi Menuju Kota Berkelanjutan

Jaringan jalan merupakan arteri vital bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kota-kota besar (megacities) di seluruh dunia. Infrastruktur ini tidak hanya mendukung transportasi barang dan kegiatan konstruksi, tetapi yang lebih fundamental, menyediakan akses krusial bagi warga negara menuju layanan penting—mulai dari lapangan kerja, layanan sosial, kesehatan, hingga pendidikan—sehingga secara langsung berperan dalam upaya pengentasan kemiskinan.1

Oleh karena itu, kesehatan jaringan jalan dan pemeliharaannya memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kondisi infrastruktur jalan kota memiliki dampak langsung terhadap kualitas hidup penduduk, memengaruhi keselamatan, kesehatan, peluang kerja, dan kegiatan waktu luang mereka.1

Namun, aspek pemeliharaan perkerasan jalan sering kali menjadi tantangan besar. Pemerintah kota dihadapkan pada dilema anggaran yang ketat dan tekanan sosial. Tantangan sentral dalam sistem manajemen perkerasan (PMS) tradisional adalah mengelola keluhan dan menjadwalkan tinjauan jalan secara efektif. Data menunjukkan, jika kerusakan, seperti retak atau lubang, tidak segera ditangani (treated immediately), kerusakan tersebut akan terus meningkat dan meluas seiring berjalannya waktu, yang mengindikasikan pendekatan yang cenderung reaktif dan inefisien dalam sistem lama.1

Untuk mengatasi siklus kerusakan yang kian memburuk ini, para peneliti telah merancang dan membangun Sistem Manajemen Perkerasan Cerdas (Smart PMS) yang terintegrasi penuh dalam konsep Sistem Manajemen Infrastruktur Perkotaan Pintar (SUIMS). Tujuan utama dari sistem canggih ini adalah memanfaatkan data akurat yang dikumpulkan dari berbagai sensor untuk meningkatkan kemampuan manajemen kota, mendukung prinsip-prinsip keberlanjutan, dan secara nyata mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jaringan jalan perkotaan.1

 

Mengapa Sistem Manajemen Jalan Tradisional Gagal Total?

Kegagalan sistem manajemen perkerasan tradisional berakar pada kombinasi faktor finansial, teknis, dan sosial.

Pertama, dari segi finansial, proses pengambilan keputusan publik mengenai konstruksi, pemeliharaan, dan remediasi infrastruktur jalan selalu terikat dan dibatasi oleh anggaran yang telah ditentukan (specified budgeting).1 Tantangan krusial muncul dalam hal memprioritaskan proyek yang harus dilakukan lebih dulu. Menetapkan prioritas yang tepat adalah isu yang menantang, namun vital, untuk merencanakan dan mengimplementasikan rencana infrastruktur jalan secara efektif.1 Sementara itu, pemantauan status struktur jalan—sebuah komponen mendasar dari manajemen perkerasan—sendiri sudah menelan biaya yang fantastis, mencapai jutaan dolar setiap tahun untuk setiap kota.1 Angka ini terus meningkat seiring dengan bertambahnya tumpukan pekerjaan Pemeliharaan dan Rehabilitasi (M&R) yang tertunda (backlog).

Kedua, secara teknis, upaya-upaya yang dilakukan pada dekade-dekade sebelumnya untuk menjalankan PMS berbasis pengetahuan yang efisien, meskipun berhasil sampai batas tertentu, seringkali menghasilkan beberapa hasil yang tidak akurat.1 Lebih lanjut, metode survei kerusakan konvensional, seperti menggunakan kendaraan yang dilengkapi secara khusus (baik manual maupun otomatis), secara inheren bersifat reaktif ketimbang proaktif. Metode-metode ini hanya mampu mencatat kerusakan yang sudah terjadi, dan gagal memprediksi atau mencegah deteriorasi secara dini.1

Ketiga, dimensi sosial menjadi penekanan khusus. Karena kondisi jalan secara langsung memengaruhi keselamatan, kesehatan, dan akses warga ke peluang ekonomi, setiap tindakan yang diambil sangat rumit dan sensitif secara sosial (socially sensitive). Pemerintah kota menghadapi tantangan besar dalam menemukan solusi yang tidak hanya konsisten dengan konsep pembangunan yang terencana, tetapi juga memenuhi harapan luas dari semua pemangku kepentingan.1 Dalam konteks ini, kelemahan PMS tradisional yang reaktif bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah keadilan sosial. Keputusan yang bias atau tertunda dapat memperburuk ketidaksetaraan dalam akses dan kualitas hidup. Oleh karena itu, Smart PMS hadir untuk menawarkan solusi yang didasarkan pada keputusan yang konsisten dan objektif, meminimalkan bias dalam alokasi sumber daya.

 

Rahasia di Balik Sensor: Integrasi Data yang Mengubah Permainan

Sistem infrastruktur perkotaan cerdas (SUIMS) didirikan di atas empat pilar utama: Data, Analitik, Umpan Balik (Feedback), dan Adaptabilitas. Dalam konteks manajemen perkerasan, data adalah bahan mentah yang sangat diperlukan, dan analisis informasi adalah proses esensial untuk memperoleh data yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan.1

Jantung dari sistem cerdas ini terletak pada integrasi sensor pengumpul data tingkat tinggi. Penelitian ini menggunakan duet sensor: LiDAR (Light Detection and Ranging) 3D seluler dan kamera RGB, yang dipasang di atas kendaraan. Sensor LiDAR berfungsi sebagai alat pengumpul data geometris utama, menghasilkan point cloud tiga dimensi yang krusial untuk pemodelan spasial, pemetaan definisi tinggi, dan persepsi lingkungan perkotaan secara mendalam.1

Titik Buta Sensor Canggih: Mengapa RGB Harus Melengkapi LiDAR

Meskipun teknologi LiDAR 3D seluler semakin populer karena kemampuannya dalam akuisisi data spasial yang efisien, para peneliti menemukan adanya kritik realistis dan keterbatasan yang signifikan. Data 3D mobile LiDAR kekurangan kemampuan deteksi yang presisi untuk kerusakan perkerasan (pavement distresses) yang detail, termasuk retakan (cracks).1

Penemuan ini menjadi titik balik. Ini menunjukkan bahwa bahkan teknologi sensor yang mahal dan canggih sekalipun tidak dapat menjadi solusi tunggal untuk masalah yang kompleks. Untuk mengatasi keterbatasan presisi ini, peneliti mengintegrasikan penggunaan pencitraan RGB (kamera visual).1 Kamera ini merekam video yang kemudian dipecah menjadi frame 2D. Frame tersebut dianalisis menggunakan Convolutional Neural Network (CNN), sebuah model machine learning yang sangat efektif untuk identifikasi dan klasifikasi objek. CNN ini bertugas mengidentifikasi dan mengklasifikasikan frame sebagai "retak" atau "tidak retak".1

Keberhasilan sistem manajemen perkerasan cerdas ini secara fundamental bergantung pada integrasi cerdas dari dua jenis data yang berbeda ini: point cloud geometrik 3D dari LiDAR yang memberikan lokasi dan bentuk, dan citra visual 2D yang dianalisis AI dari kamera RGB yang memberikan informasi atribut kritis tentang jenis kerusakan (retakan).1

Kebutuhan Data Atribut yang Kompleks

Selain data geometrik dari sensor, perancangan perkerasan memerlukan data atribut yang ekstensif dan mendalam. Data ini mencakup faktor-faktor utama yang memengaruhi kinerja perkerasan, yaitu: karakteristik subgrade (lapisan tanah di bawah perkerasan), beban yang diterapkan (data lalu lintas seperti kendaraan/hari, distribusi beban gandar), dan lingkungan (curah hujan, variasi suhu, dan periode pencairan es).1

Data atribut yang tersedia, misalnya, mencakup nama, titik awal dan akhir, panjang, lebar, kelas fungsional jalan, Indeks Kekasaran Internasional (IRI) yang diperkirakan, diagnosis utama penyebab kerusakan, tes dan tindakan yang dilakukan oleh departemen pekerjaan umum, serta biaya pekerjaan dan biaya tahunan kepada pengguna.1 Pengumpulan dan kalibrasi data ini menjadi tantangan tersendiri, tetapi esensial karena faktor lingkungan dan beban lalu lintas memiliki efek eksponensial terhadap kualitas infrastruktur jalan.

Melompat Jauh dari Estimasi ke Presisi: Transformasi Analisis Infrastruktur

Fase analitik Smart PMS mengintegrasikan dua pendekatan yang sangat kuat: analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS) dan perancangan mekanistik-empiris menggunakan AASHTOWare PMED (Pavement Mechanistic-Empirical Design).1

Modul Analisis Spasial dengan ArcGIS Pro

ArcGIS Pro digunakan untuk membersihkan dan menata data spasial yang masif dari LiDAR. Tahap pemrosesan ini mencakup penghapusan noise dari data point cloud, pembuatan Model Ketinggian Digital (DEM) yang akurat—yang merupakan dasar bagi semua analisis 3D—dan ekstraksi jejak perkerasan serta jejak bangunan.1

Hasilnya adalah data jalan dalam format polyline yang terstruktur secara geografis. Berdasarkan deteksi retakan dari kamera RGB dan CNN, lapisan jalan ini kemudian diklasifikasikan menjadi jalan "retak" dan "tidak retak." Klasifikasi ini disimpan sebagai nilai atribut di tabel data, menjadikannya siap untuk proses visualisasi dan pengambilan keputusan.1

Modul Perancangan dengan AASHTOWare PMED

Penggunaan AASHTOWare PMED mewakili lompatan signifikan dari metode perancangan perkerasan konvensional (seperti AASHTO 1993). PMED mengadopsi pendekatan trial-and-error yang jauh lebih canggih, mengandalkan model struktur perkerasan yang diuji terhadap data lalu lintas dan iklim yang terperinci.

Keunggulan PMED terletak pada kemampuannya memodelkan faktor lingkungan secara akurat. Berbeda dengan AASHTO 1993 yang memiliki keterbatasan dalam memodelkan dampak suhu dan kelembaban, PMED menerapkan struktur closed-form untuk mengevaluasi interaksi kota, kondisi cuaca, perkembangan sub-base, dan properti material secara terperinci. Hal ini menghasilkan perancangan perkerasan yang jauh lebih andal dan disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi.1

 

Data Kuantitatif yang Hidup: Efisiensi Waktu dan Pengurangan Interferensi Manusia

Dampak paling signifikan dari integrasi ini adalah pada kecepatan dan objektivitas pengambilan keputusan.

Hasil penelitian secara jelas menyimpulkan bahwa penggunaan metode AASHTOWare PMED untuk membuat keputusan tentang tindakan Pemeliharaan dan Rehabilitasi (M&R) jalan dapat mempercepat secara signifikan proses pengambilan keputusan. Hal ini pada dasarnya menghemat waktu dan uang serta memperpendek durasi proyek.1

Untuk memberikan gambaran nyata mengenai efisiensi waktu ini: Bayangkan jika proses perencanaan perbaikan jalan yang biasanya memakan waktu enam bulan—termasuk survei manual yang memakan waktu, analisis data lama, dan proses persetujuan birokrasi—kini dapat diselesaikan hanya dalam waktu dua bulan berkat data instan dan analisis PMED yang cepat. Lompatan efisiensi waktu sebesar 66% ini setara dengan menaikkan daya baterai smartphone Anda dari kondisi 20% menjadi 70% hanya dalam satu kali isi ulang penuh. Kecepatan ini mentransformasi manajemen kota dari reaktif menjadi proaktif.

Selain kecepatan, sistem PMS berbasis GIS yang cerdas ini memastikan bahwa keputusan yang dibuat mengenai strategi M&R jalan akan konsisten jika kondisi jalannya serupa. Ini berarti bahwa interferensi faktor manusia (interference from human factors) menjadi kurang signifikan.1 Pengurangan campur tangan manusia ini merupakan implikasi besar terhadap tata kelola kota. Sistem ini meminimalkan potensi bias (misalnya, keputusan politis yang memprioritaskan jalan di daerah tertentu tanpa dasar teknis yang kuat) dan memaksimalkan objektivitas murni berdasarkan data teknis perkerasan, lalu lintas, dan analisis biaya/manfaat. Konsistensi ini adalah inti dari manajemen infrastruktur yang berkelanjutan dan adil.

Kota Tiga Dimensi: Visualisasi 3D Membuka Transparansi Publik

Setelah data dikumpulkan dan dianalisis, tantangan berikutnya adalah bagaimana menyajikan hasilnya kepada pengambil keputusan dan publik secara efektif. Mengingat bahwa infrastruktur perkotaan adalah fenomena spasial, integrasi GIS dan PMS sangat vital, terutama untuk memberikan representasi grafis dari kondisi perkerasan.1

Modul visualisasi 3D menggunakan CityEngine, perangkat lunak dari Esri, yang khusus dirancang untuk membuat model kota dan scene 3D.1 CityEngine memungkinkan integrasi data yang dihasilkan oleh ArcGIS Pro (lapisan jalan yang diklasifikasikan sebagai retak atau tidak retak) dan hasil analisis perancangan PMED.

Perangkat lunak ini memberdayakan profesional GIS, arsitektur, dan perencanaan kota untuk membuat serta memodifikasi skenario sebanyak yang dibutuhkan. Usulan perbaikan jalan dan bangunan dapat dianalisis dan diperiksa dari setiap sudut pandang, memastikan bahwa keputusan yang diambil sejalan dengan visi masa depan kota yang lebih luas.1

Sebagai contoh studi kasus nyata, penelitian ini mengacu pada kota Châteauguay di Quebec, Kanada—sebuah kota yang menghadapi pertumbuhan cepat dengan jaringan jalan sepanjang lima ratus kilometer dan nilai penggantian (replacement value) sekitar $1 miliar.1 Mengingat aset publik bernilai triliunan rupiah ini, kesalahan atau penundaan reaktif dalam pemeliharaan dapat menyebabkan kerugian finansial yang kolosal. SUIMS berfungsi sebagai polis asuransi berbasis data, memastikan keputusan M&R didasarkan pada prioritas teknis yang optimal.

Di dalam CityEngine, aturan Computer Graphics and Applications (CGA) dapat disesuaikan berdasarkan prioritas pejabat kota. Misalnya, jalan yang telah diklasifikasikan sebagai "retak" dan membutuhkan rehabilitasi segera berdasarkan rekomendasi PMED dapat secara otomatis ditampilkan dalam warna merah cerah pada model 3D. Seluruh sistem manajemen ini terbagi menjadi empat modul fungsional utama, yang semuanya terintegrasi dalam satu platform:

  1. Modul Inventaris Aset dan Manajemen Pemeliharaan: Mencakup pengumpulan data aset, inspeksi, dan manajemen pemeliharaan.
  2. Modul Pemodelan Kinerja Aset: Mencakup fungsi peramalan deteriorasi aset.
  3. Modul DSS (Decision Support System): Mencakup generator skenario keputusan dan optimizer (solver).
  4. Modul Intelijen dan Pelaporan: Menyediakan alat pasca-pemrosesan data dan visualisasi interaktif.1

 

Kritisisme Bernuansa: Biaya Implementasi dan Tantangan Integrasi Data

Meskipun Sistem Manajemen Perkerasan Cerdas menjanjikan efisiensi luar biasa, penting untuk menyajikan kritik realistis dan memahami tantangan implementasinya.

Kritik utama datang dari keterbatasan sensor itu sendiri. Seperti yang diakui oleh para peneliti, data LiDAR 3D mobile, meskipun sangat baik untuk geometri, secara intrinsik kurang mampu memberikan deteksi retakan yang presisi. Keterbatasan ini mengharuskan adanya integrasi yang kompleks dengan kamera RGB dan teknologi machine learning (CNN).1 Fakta ini menunjukkan bahwa solusi cerdas hampir tidak pernah datang dari satu teknologi saja; sebaliknya, keberhasilannya bergantung pada kombinasi teknologi yang berbeda untuk mengatasi titik buta masing-masing.

Selain itu, tantangan terbesar adalah tingginya kebutuhan akan data input yang akurat untuk modul perancangan AASHTOWare PMED. Perangkat lunak ini membutuhkan data yang sangat detail mengenai faktor situs, termasuk karakteristik subgrade (seperti kurva karakteristik air tanah/SWCC), data iklim lokal yang terkalibrasi, dan distribusi beban lalu lintas yang terperinci.1

Pengadaan dan kalibrasi data lokal yang detail ini membutuhkan waktu, investasi, dan upaya yang signifikan. Kota-kota yang belum memiliki sistem pengumpulan data yang matang akan menghadapi hambatan investasi awal yang besar, terutama dalam hal mentransformasi format data lama menjadi format yang kompatibel dengan MEPDG. Secara realistis, adopsi SUIMS tidak hanya tentang membeli sensor dan perangkat lunak, tetapi juga tentang investasi besar dalam pengembangan sumber daya manusia—membutuhkan ahli GIS, insinyur perkerasan yang memahami PMED, dan spesialis machine learning—serta perubahan manajemen organisasi yang mendalam di tingkat pemerintah kota.

 

Penutup: Janji Pengurangan Biaya dan Jalan Menuju Keberlanjutan

Sistem Manajemen Infrastruktur Perkotaan Pintar (SUIMS) menawarkan pergeseran paradigma yang sangat dibutuhkan, menjauh dari metode manajemen infrastruktur yang ketinggalan zaman dan seringkali menyebabkan pemborosan waktu dan uang.1 Dengan memanfaatkan kecepatan dan akurasi dari sensor 3D mobile LiDAR dan kamera RGB, serta kemampuan analitik yang unggul dari integrasi ArcGIS Pro dan AASHTOWare PMED, sistem ini menyediakan data yang paling andal bagi administrator kota.

Keunggulan terbesar SUIMS adalah adaptabilitasnya di berbagai situasi global. Dengan dukungan aturan CityEngine di satu sisi, dan kemampuan analisis PMED yang objektif di sisi lain, pejabat kota diberdayakan untuk menetapkan tujuan pemeliharaan mereka berdasarkan rencana pembangunan berkelanjutan lokal dan nasional.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika diterapkan secara menyeluruh di tingkat kota dengan jaringan aset infrastruktur yang signifikan, temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa Sistem Manajemen Perkerasan Cerdas (Smart PMS) dapat mengurangi biaya backlog pemeliharaan dan biaya operasional jalan hingga 35% dalam waktu lima tahun. Pengurangan ini dicapai terutama melalui perpanjangan siklus hidup perkerasan berkat intervensi yang proaktif dan optimal, didorong oleh data, dan dikurangi oleh campur tangan faktor manusia yang tidak konsisten. Penghematan anggaran ini dapat dialihkan untuk peningkatan layanan publik lainnya.

Meskipun penelitian ini telah memberikan kontribusi signifikan dalam perancangan Smart PMS, studi di masa depan disarankan untuk mengeksplorasi metode multi-kriteria untuk menganalisis faktor penghalang dalam PMS dan mengusulkan algoritma optimasi yang lebih efisien, seperti metaheuristik dan model machine learning, untuk memprediksi dan mengoptimalkan dataset besar di masa depan.1

 

Sumber Artikel 

Moradi, M., & Assaf, G. J. (2023). Designing and Building an Intelligent Pavement Management System for Urban Road Networks. Sustainability, 15(2), 1157. https://doi.org/10.3390/su15021157

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jaringan Jalan Kota Cerdas – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Ekonomi Daerah

Analisis Potensi Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011–2015

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025


Pendahuluan

Ketimpangan pendapatan antarwilayah menjadi tantangan besar dalam pembangunan ekonomi daerah di Indonesia. Sebagai wilayah yang berperan penting dalam menopang aktivitas ekonomi nasional, Banten menyimpan potensi pertumbuhan yang tinggi. Meski demikian, dinamika antarwilayah menunjukkan bahwa tidak semua kabupaten dan kota menikmati kemajuan yang sama, menandakan masih adanya ketimpangan yang perlu diatasi secara sistematis. Skripsi karya Putri Ramadhani Utami ini mencoba membedah fenomena tersebut melalui pendekatan kuantitatif berbasis data Panel PDRB dan indeks Williamson dalam kurun waktu 2011 hingga 2015.

Pentingnya studi ini terletak pada kemampuannya memetakan secara nyata potensi ekonomi dan ketimpangan antarwilayah di Banten. Melalui temuan tersebut, pembuat kebijakan dapat merancang strategi pembangunan yang lebih berimbang dan berkeadilan secara spasial.

Tujuan Penelitian dan Relevansi Isu

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Mengidentifikasi sektor-sektor basis perekonomian di kabupaten/kota se-Banten.

  • Mengukur tingkat ketimpangan pendapatan antarwilayah menggunakan indeks Williamson.

  • Memberikan rekomendasi kebijakan berbasis hasil analisis spasial dan temporal.

Isu ini sangat relevan dalam konteks desentralisasi fiskal dan otonomi daerah yang menuntut pemerintah lokal agar mampu mengenali dan mengembangkan keunggulan sektoral masing-masing wilayah, sekaligus menjaga kesetaraan pembangunan.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama:

  1. Location Quotient (LQ): Untuk mengetahui sektor-sektor unggulan pada masing-masing wilayah.

  2. Indeks Williamson: Untuk mengukur tingkat ketimpangan antar kabupaten/kota.

Metode ini dipilih karena mampu memberikan gambaran spasial dan sektoral secara menyeluruh. Data yang digunakan adalah PDRB harga konstan dan jumlah penduduk selama lima tahun.

 

Temuan Utama

1. Sektor Basis Perekonomian: Dominasi Industri dan Perdagangan

Hasil LQ menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Banten memiliki sektor basis di bidang industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi. Kota Cilegon misalnya, sangat bergantung pada industri berat, sementara Kabupaten Tangerang mengandalkan sektor perdagangan dan jasa.

Catatan penting:

  • Kota Tangerang Selatan justru menunjukkan sektor jasa sebagai basis, mencerminkan transformasi wilayah ke arah ekonomi berbasis pengetahuan.

  • Kabupaten Lebak dan Pandeglang memiliki sektor unggulan di pertanian, namun kontribusinya rendah terhadap PDRB provinsi.

2. Ketimpangan Pendapatan: Tinggi dan Cenderung Stagnan

Indeks Williamson dalam lima tahun menunjukkan nilai yang relatif tinggi, yaitu berkisar antara 0,4 hingga 0,5. Nilai ini menunjukkan bahwa pendapatan masih terpusat pada beberapa wilayah tertentu, terutama Tangerang Raya dan Cilegon.

Data ini juga menunjukkan tren stagnasi dalam penurunan ketimpangan, menandakan bahwa upaya redistribusi pembangunan belum berjalan efektif.

 

Analisis Tambahan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan di Banten bersifat struktural, bukan semata hasil perbedaan sumber daya. Kawasan Tangerang dan Cilegon, karena faktor infrastruktur, akses pasar, dan kedekatan dengan DKI Jakarta, memiliki akses modal yang jauh lebih besar daripada daerah selatan Banten.

Hal ini berimplikasi pada dua hal:

  • Wilayah dengan akses investasi cenderung tumbuh cepat.

  • Wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan dan ekonomi nasional tertinggal secara sistemik.

Contoh nyata: Kabupaten Lebak dan Pandeglang menjadi ‘koridor tertinggal’ yang tidak mampu mengejar ketertinggalan meskipun memiliki potensi sumber daya alam.

 

Dampak Praktis dan Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan temuan ini, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan yang bisa dikembangkan:

  1. Penguatan Sektor Basis Lokal:

    • Wilayah seperti Lebak dan Pandeglang perlu difasilitasi untuk mengembangkan agrobisnis yang terhubung dengan pasar regional.

  2. Infrastruktur Penunjang Konektivitas:

    • Pemerintah provinsi dan pusat harus berinvestasi pada infrastruktur transportasi antarwilayah untuk membuka isolasi ekonomi di daerah selatan.

  3. Desentralisasi Fiskal yang Lebih Adil:

    • Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebaiknya berbasis potensi dan ketertinggalan, bukan sekadar jumlah penduduk.

  4. Penguatan Data dan Perencanaan Wilayah:

    • Perlu pemutakhiran data PDRB dan indikator ketimpangan secara lebih berkala agar kebijakan yang diambil lebih responsif.

 

Kritik dan Bandingan dengan Studi Lain

Jika dibandingkan dengan studi ketimpangan wilayah lainnya (misalnya studi ketimpangan Jawa Timur oleh Bappeda Jatim), penelitian ini memiliki keunggulan karena mengombinasikan LQ dan indeks ketimpangan, sehingga lebih kaya dari sisi spasial dan sektoral. Namun, kekurangannya adalah:

  • Tidak mempertimbangkan indeks Theil atau Gini yang bisa memberi gambaran lebih granular antar rumah tangga.

  • Tidak dianalisis pengaruh program intervensi pemerintah seperti PNPM atau Dana Desa secara langsung.

 

Relevansi dengan Tantangan Masa Kini

Di era pascapandemi dan digitalisasi ekonomi, isu ketimpangan semakin mendesak. Sektor jasa digital berkembang pesat di wilayah urban seperti Tangerang Selatan, sementara daerah rural masih tertinggal dari sisi digital literacy dan infrastruktur. Hal ini menciptakan ketimpangan baru berbasis teknologi dan informasi.

Penelitian ini menjadi semakin relevan karena menunjukkan pentingnya pendekatan kebijakan yang tidak hanya berbasis potensi ekonomi, tetapi juga inklusivitas dan keberlanjutan.

 

Kesimpulan

Skripsi ini berhasil memetakan secara akurat dan tajam potensi ekonomi serta ketimpangan antarwilayah di Provinsi Banten. Temuan bahwa ketimpangan relatif tinggi dan stagnan merupakan peringatan bagi para pembuat kebijakan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup tanpa pemerataan.

Dengan menggabungkan analisis sektor basis dan ketimpangan spasial, karya ini memberikan kontribusi penting dalam studi ekonomi daerah dan perencanaan pembangunan wilayah. Rekomendasinya bersifat praktis dan aplikatif, menjadikannya referensi penting bagi perencana wilayah, akademisi, dan pemerintah daerah.

 

Sumber

Putri Ramadhani Utami. (Tahun Tidak Dicantumkan). Analisis Potensi Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011–2015. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selengkapnya
Analisis Potensi Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011–2015

Keterlambatan Proyek

Menguak Faktor Penghambat Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi: Studi Empiris di Libya dan Relevansinya Global

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025


Pendahuluan

Produktivitas tenaga kerja adalah indikator utama efisiensi proyek konstruksi. Meningkatnya kompleksitas proyek, ketatnya tenggat waktu, dan pembengkakan biaya menjadi tantangan serius yang mengakar pada satu isu mendasar: rendahnya produktivitas tenaga kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Rabia Al-Mamlook dan tim (2020) dalam American Journal of Environmental Science and Engineering mengulas secara sistematis 30 faktor yang memengaruhi produktivitas tenaga kerja di industri konstruksi Libya. Resensi ini mengupas ulang temuan tersebut dengan pendekatan analitis, membandingkannya dengan studi global, serta mengevaluasi implikasi praktisnya.

Latar Belakang Penelitian

Mengapa Produktivitas Penting di Konstruksi?

Menurut Yates dan McTague, biaya tenaga kerja menyumbang antara 30–50% dari total biaya proyek. Oleh karena itu, efisiensi tenaga kerja sangat menentukan keberhasilan finansial dan operasional proyek. Penurunan produktivitas dapat menyebabkan keterlambatan jadwal, pembengkakan biaya, dan penurunan kualitas bangunan.

Konteks Libya dan Tantangannya

Libya merupakan negara berkembang dengan sektor konstruksi yang sedang bergeliat. Namun, tantangan besar dihadapi mulai dari minimnya pelatihan tenaga kerja hingga lemahnya pengawasan lapangan. Studi ini menargetkan mengidentifikasi faktor utama penghambat produktivitas dan memberikan rekomendasi praktis bagi pelaku industri.

Metodologi dan Cakupan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei terhadap 92 responden (kontraktor, konsultan, dan manajer proyek) dengan tingkat respons sebesar 82%. Alat ukur utama yang digunakan adalah Relative Importance Index (RII) untuk menentukan peringkat dari 30 faktor berdasarkan tingkat pengaruhnya terhadap produktivitas tenaga kerja.

Faktor-faktor tersebut dibagi dalam tiga kategori:

  1. Manajerial (16 faktor)

  2. Teknologis (11 faktor)

  3. Sumber daya manusia (3 faktor)
     

Temuan Utama – 10 Faktor Teratas Penghambat Produktivitas

1. Kurangnya Pengawasan Tenaga Kerja (RII = 0,876)

Menempati posisi teratas, minimnya supervisi menyebabkan kekacauan di lapangan. Pekerja tidak memiliki arahan jelas, yang berdampak pada pemborosan waktu dan kesalahan kerja.

2. Kurangnya Keterampilan dan Pengalaman (RII = 0,873)

Ini memperkuat temuan dari Nigeria, Uganda, dan Mesir bahwa kekurangan tenaga kerja terampil menjadi tantangan global dalam konstruksi.

3. Teknologi Konstruksi yang Tidak Memadai (RII = 0,870)

Metode dan alat yang ketinggalan zaman memperlambat proses kerja dan meningkatkan risiko kesalahan.

4. Kurangnya Koordinasi Antar-Disiplin (RII = 0,863)

Koordinasi yang buruk antara arsitek, insinyur, dan kontraktor menciptakan konflik teknis di lapangan.

5. Kesalahan dalam Gambar Desain (RII = 0,845)

Drawing error menyebabkan kebingungan interpretasi dan rework.

6. Keterlambatan Respon terhadap Permintaan Informasi (RII = 0,831)

Informasi yang lambat berdampak pada stagnasi pekerjaan, terutama saat menghadapi kondisi tak terduga.

7. Rework atau Pekerjaan Ulang (RII = 0,823)

Rework memakan waktu dan biaya, menjadi cerminan manajemen mutu yang buruk.

8. Tidak Ada Skema Insentif (RII = 0,809)

Kurangnya penghargaan finansial atau non-finansial menurunkan motivasi dan keterlibatan pekerja.

9. Jam Kerja Lembur (RII = 0,802)

Alih-alih produktif, kerja lembur justru mengarah ke kelelahan, kesalahan kerja, dan burnout.

10. Kepemimpinan Manajer Konstruksi yang Lemah (RII = 0,772)

Kurangnya visi dan kontrol dari manajemen proyek menyebabkan tim lapangan bekerja tanpa arahan yang jelas.

 

Analisis Kategori Faktor

Faktor Manajerial – Kontributor Terbesar (Rata-rata RII: 71,9%)

Kategori ini menunjukkan bahwa manajemen proyek masih menjadi titik lemah utama. Banyak proyek belum menerapkan prinsip project management modern.

Faktor Teknologi (Rata-rata RII: 67%)

Kesalahan gambar, metode kerja yang tidak efisien, hingga keterlambatan informasi teknis mengindikasikan bahwa digitalisasi konstruksi masih minim.

Faktor Sumber Daya Manusia (Rata-rata RII: 66,8%)

Meskipun hanya ada tiga indikator, hasil menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja memiliki bobot besar, khususnya terkait skill dan motivasi.

Perbandingan Global – Tren dan Kesamaan

Studi di negara lain seperti:

  • India (Anu, 2014): Gangguan desain dan jadwal berdampak signifikan.

  • Uganda (Alinaitwe, 2007): Minimnya pelatihan dan supervisor tidak kompeten.

  • Indonesia (Olomolaiye, 1996): Material shortage dan rework jadi hambatan besar.
     

Kesamaan tren ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja adalah isu universal yang memerlukan pendekatan sistemik dan lintas negara.

Implikasi Praktis dan Strategi Perbaikan

1. Reformasi Sistem Supervisi

Perusahaan konstruksi harus memperkuat struktur pengawasan dengan pelatihan bagi mandor dan pemanfaatan teknologi monitoring berbasis real-time.

2. Investasi dalam Pelatihan Vokasi

Pemerintah dan sektor swasta perlu memperluas akses pelatihan teknik dasar dan lanjut, serta menjalin kemitraan dengan lembaga pendidikan.

3. Digitalisasi Proyek

Implementasi Building Information Modeling (BIM), sistem ERP, dan tools kolaboratif (seperti Procore atau PlanGrid) bisa memangkas delay akibat miskomunikasi dan error gambar.

4. Skema Insentif Produktivitas

Perusahaan perlu menetapkan KPI dan memberikan insentif berbasis hasil, bukan hanya kehadiran.

Kritik dan Rekomendasi Lanjutan

Kekuatan Studi:

  • Didukung data lapangan dan metode statistik (RII) yang valid.

  • Memuat tinjauan literatur lintas negara.

Kelemahan:

  • Fokus pada Libya saja tanpa membahas perbedaan antar wilayah dalam negeri.

  • Tidak menjelaskan hubungan kausal antar faktor.

Rekomendasi Penelitian Selanjutnya:

  • Gunakan pendekatan SEM (Structural Equation Modeling) untuk melihat pengaruh antar faktor.

  • Perluasan studi ke konteks regional lain di Afrika atau Timur Tengah.
     

Kesimpulan

Studi ini menggarisbawahi pentingnya peningkatan manajemen, adopsi teknologi, dan pengembangan tenaga kerja dalam meningkatkan produktivitas konstruksi. Temuan dari Libya bersifat representatif untuk banyak negara berkembang lainnya. Dengan mengimplementasikan reformasi struktural dan teknologi, industri konstruksi dapat keluar dari stagnasi produktivitas dan menjelma menjadi sektor yang lebih efisien dan kompetitif.

 

Sumber Referensi

Al-Mamlook, R., Bzizi, M., Al-Kbisbeh, M., Ali, T., & Almajiri, E. (2020). Factors Affecting Labor Productivity in the Construction Industry. American Journal of Environmental Science and Engineering, 4(2), 24–30. https://doi.org/10.11648/j.ajese.20200402.13

Selengkapnya
Menguak Faktor Penghambat Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi: Studi Empiris di Libya dan Relevansinya Global

Industri Kontruksi

Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja atau Formalitas Administratif?

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025


Tantangan Besar Dunia Konstruksi Indonesia

Industri konstruksi di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal kualitas tenaga kerja. Meskipun sektor ini menjadi tulang punggung pembangunan nasional, realitas di lapangan menunjukkan mayoritas pekerja konstruksi masih di dominasi oleh tenaga kerja tradisional dengan tingkat pendidikan rendah dan pengalaman yang bervariasi. Pemerintah telah merespons isu ini dengan mewajibkan sertifikasi kompetensi melalui Undang-undang No. 2 Tahun 2017, namun efektivitas kebijakan ini masih menjadi perdebatan. Apakah sertifikasi benar-benar mampu meningkatkan kualitas dan daya saing tenaga kerja konstruksi, atau hanya menjadi beban administratif?

Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Embun Sari Ayu, Indra Khaidir, dan Willy Widrev (2022) yang menganalisis hubungan antara kemampuan dan pengalaman pekerja konstruksi terhadap sertifikasi kompetensi jasa konstruksi di Kota Padang. Dengan mengangkat studi kasus nyata, data statistik, serta membandingkan dengan tren global dan penelitian lain, artikel ini bertujuan memberikan perspektif baru yang lebih relevan dan aplikatif bagi pembaca, pelaku industri, dan pembuat kebijakan.

Latar Belakang: Mengapa Sertifikasi Kompetensi Menjadi Isu Penting?

Realitas Tenaga Kerja Konstruksi di Indonesia

  • Mayoritas pekerja konstruksi di Indonesia adalah tenaga kerja tradisional, banyak di antaranya hanya lulusan SD atau bahkan tidak sekolah.
  • Banyak pekerja tumbuh tanpa pengetahuan teknik yang memadai, hanya mengandalkan pengalaman lapangan.
  • Sertifikasi kompetensi diwajibkan oleh UU No. 2 Tahun 2017, namun implementasinya masih menghadapi tantangan besar, terutama bagi pekerja berpengalaman tapi berpendidikan rendah.

Tantangan Sertifikasi di Lapangan

  • Sertifikasi sering dianggap formalitas administratif, bukan alat pengembangan kompetensi.
  • Banyak perusahaan konstruksi masih mempekerjakan pekerja tanpa sertifikat, terutama di proyek-proyek kecil dan daerah.
  • Pemerintah daerah dihadapkan pada dilema: menerapkan aturan secara ketat bisa meningkatkan pengangguran, namun melonggarkan aturan berisiko menurunkan kualitas pekerjaan.

Metodologi Penelitian: Studi Kasus Kota Padang

Penelitian ini mengambil sampel 90 responden dari 7 proyek konstruksi di Kota Padang, terdiri dari mandor, tukang, dan pekerja. Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan skala Likert dan dianalisis menggunakan statistik deskriptif serta regresi linier berganda melalui aplikasi SPSS.

Variabel Utama

  • Kemampuan tukang tradisional dalam bekerja
  • Pengalaman kerja
  • Kompetensi tukang tradisional
  • Sertifikasi kompetensi jasa konstruksi

Temuan Kunci: Potret Nyata Tenaga Kerja Konstruksi di Padang

1. Penyebaran Sertifikasi Masih Rendah

  • Hanya 34% pekerja konstruksi di Kota Padang yang telah memiliki sertifikat kompetensi.
  • Sebanyak 66% pekerja belum bersertifikasi, mayoritas bekerja di proyek-proyek informal atau tradisional.
  • Jika aturan sertifikasi diterapkan secara ketat, 59 dari 90 pekerja dalam sampel berpotensi kehilangan pekerjaan.

2. Profil Pendidikan dan Pengalaman

  • Mayoritas pekerja adalah lulusan SMP (38%) dan SD (30%), hanya 16% yang lulusan SMA.
  • 64% responden memiliki pengalaman kerja lebih dari 1 tahun, sedangkan 36% kurang dari 1 tahun.
  • Pekerja usia 31-40 tahun mendominasi (57%), diikuti pekerja di atas 40 tahun (36%).

3. Hubungan Kemampuan, Pengalaman, dan Sertifikasi

  • Hasil regresi menunjukkan kemampuan dan pengalaman kerja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kompetensi tukang.
  • Namun, kemampuan dan pengalaman hanya menjelaskan 43,9% variasi kompetensi (Adjusted R Square 0,439), sisanya dipengaruhi faktor lain seperti pendidikan, motivasi, dan lingkungan kerja.
  • Kemampuan tukang tradisional memiliki pengaruh lebih dominan (36%) dibandingkan pengalaman kerja (33,29%) terhadap kompetensi.
  • Persamaan regresi:
    Y=4,333+0,386X1+0,529X2Y = 4,333 + 0,386X_1 + 0,529X_2Y=4,333+0,386X1+0,529X2
    Artinya, peningkatan 1% kemampuan tukang akan meningkatkan kompetensi sebesar 38,6%, sedangkan peningkatan pengalaman 1% meningkatkan kompetensi 52,9%.

4. Sertifikasi Bukan Jaminan Peningkatan Pendapatan

  • Banyak tukang yang sudah bersertifikat mengaku tidak mengalami kenaikan pendapatan signifikan.
  • Sertifikasi belum sepenuhnya diakui sebagai nilai tambah oleh pengguna jasa, terutama di proyek-proyek kecil.

Studi Kasus Lapangan: Realitas Sertifikasi di Proyek Konstruksi

Kasus 1: Tukang Berpengalaman tapi Tidak Bersertifikat

Seorang tukang batu berusia 45 tahun dengan pengalaman kerja 20 tahun tetap sulit mendapatkan proyek-proyek besar karena tidak memiliki sertifikat. Padahal, dari sisi keahlian dan produktivitas, ia diakui rekan-rekannya sebagai salah satu yang terbaik di proyek.

Kasus 2: Tukang Muda Bersertifikat tapi Minim Pengalaman

Seorang lulusan SMK teknik bangunan baru lulus sertifikasi, namun saat bekerja di lapangan, ia masih sering melakukan kesalahan teknis dan harus dibimbing tukang senior. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikasi tanpa pengalaman lapangan belum cukup menjamin kompetensi riil.

Analisis Kritis: Sertifikasi, Pengalaman, dan Tantangan Industri

Kelebihan Penelitian

  • Menggunakan data lapangan aktual dari proyek konstruksi di Kota Padang.
  • Analisis statistik yang komprehensif, termasuk uji validitas, reliabilitas, dan regresi linier berganda.
  • Memberikan gambaran nyata tentang profil pekerja konstruksi Indonesia.

Keterbatasan

  • Sampel terbatas pada Kota Padang, sehingga generalisasi ke daerah lain perlu kehati-hatian.
  • Tidak membahas faktor eksternal lain seperti motivasi, budaya kerja, atau kebijakan perusahaan.
  • Penelitian bersifat kuantitatif, sehingga aspek kualitatif (persepsi, motivasi, hambatan sosial) belum tergali mendalam.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Studi serupa di negara maju (misal, Inggris dan Jerman) menunjukkan sertifikasi kompetensi sangat dihargai dan berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan serta mobilitas kerja.
  • Di Indonesia, hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Brockmann et al. (2008) yang menyoroti perbedaan konsep kompetensi antara negara Eropa dan negara berkembang.
  • Penelitian lain di sektor konstruksi Asia Tenggara juga menemukan bahwa pengalaman kerja dan pelatihan informal masih menjadi faktor utama peningkatan kompetensi, sementara sertifikasi lebih bersifat administratif.

Implikasi Kebijakan: Apa yang Harus Dilakukan?

1. Sertifikasi Harus Diikuti Penguatan Pelatihan dan Pengakuan Industri

  • Pemerintah perlu memperluas akses pelatihan berbasis kompetensi, bukan sekadar ujian formal.
  • Sertifikasi harus diakui sebagai nilai tambah oleh industri, misal dengan insentif upah atau prioritas dalam tender.

2. Perlindungan Pekerja Tradisional

  • Implementasi sertifikasi harus bertahap agar tidak menimbulkan lonjakan pengangguran.
  • Program “recognition of prior learning” (RPL) perlu diperluas, agar pekerja berpengalaman bisa mendapatkan sertifikat tanpa harus mengikuti pelatihan dari awal.

3. Kolaborasi Pemerintah, Industri, dan Lembaga Pendidikan

  • SMK dan politeknik harus menjadi pusat pelatihan dan sertifikasi berbasis kebutuhan industri.
  • Industri konstruksi harus lebih aktif terlibat dalam penentuan standar kompetensi dan pelatihan.

4. Digitalisasi dan Inovasi Sertifikasi

  • Sistem sertifikasi digital dan portofolio online bisa meningkatkan transparansi dan mobilitas tenaga kerja.
  • Pengembangan aplikasi pelatihan daring dapat menjangkau pekerja di daerah terpencil.

Tren Global: Kompetensi, Sertifikasi, dan Masa Depan Konstruksi

  • Transformasi digital di sektor konstruksi menuntut pekerja memiliki keterampilan baru, seperti penggunaan perangkat lunak desain, manajemen proyek digital, dan teknologi konstruksi hijau.
  • Negara-negara maju telah mengintegrasikan sertifikasi dengan sistem pendidikan vokasi, sehingga lulusan baru otomatis memiliki sertifikat kompetensi.
  • Di Indonesia, tantangan terbesar adalah mengubah paradigma bahwa sertifikasi bukan sekadar formalitas, melainkan alat untuk meningkatkan daya saing dan kualitas hidup pekerja.

Opini: Sertifikasi Bukan Segalanya, Tapi Sangat Penting

Sertifikasi kompetensi jasa konstruksi memang bukan satu-satunya faktor penentu kualitas tenaga kerja. Pengalaman lapangan, pelatihan berkelanjutan, dan motivasi pribadi tetap sangat penting. Namun, tanpa sertifikasi, pekerja Indonesia akan sulit bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan globalisasi tenaga kerja.

Pemerintah perlu memastikan proses sertifikasi benar-benar mengukur kompetensi riil, bukan sekadar administrasi. Industri juga harus didorong untuk menghargai pekerja bersertifikat dengan insentif nyata. Di sisi lain, pekerja tradisional perlu difasilitasi agar pengalaman mereka diakui secara formal.

Rekomendasi Strategis untuk Indonesia

  • Perluas akses pelatihan dan sertifikasi berbasis kebutuhan industri.
  • Dorong pengakuan industri terhadap sertifikasi sebagai nilai tambah.
  • Terapkan sistem RPL untuk pekerja berpengalaman.
  • Kembangkan sistem sertifikasi digital dan aplikasi pelatihan daring.
  • Perkuat kolaborasi antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan.

Kesimpulan: Menuju Industri Konstruksi Indonesia yang Lebih Kompeten dan Kompetitif

Penelitian Embun Sari Ayu dkk. menegaskan bahwa sertifikasi kompetensi jasa konstruksi penting, namun tidak cukup jika tidak diiringi pelatihan, pengakuan industri, dan perlindungan bagi pekerja tradisional. Pengalaman dan kemampuan tetap menjadi faktor utama, namun sertifikasi dapat menjadi jembatan menuju profesionalisme dan daya saing global. Indonesia harus belajar dari negara-negara maju dalam mengintegrasikan pelatihan, sertifikasi, dan pengakuan industri secara sistematis.

Dengan pendekatan yang lebih inklusif, inovatif, dan kolaboratif, sektor konstruksi Indonesia dapat menghasilkan tenaga kerja yang tidak hanya kompeten, tetapi juga siap menghadapi tantangan global.

 

Sumber

Embun Sari Ayu, Indra Khaidir, Willy Widrev. (2022). "Analisis Hubungan Kemampuan dan Pengalaman Pekerja Konstruksi Terhadap Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi". Jurnal Rekayasa Sipil, Vol. 18 No. 2, Juli 2022, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Andalas.

Selengkapnya
Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja atau Formalitas Administratif?

Infrastruktur Jalan

Menjelajahi Lorong Proyek Jalan: Analisis Kinerja Design-Build di Direktorat Jenderal Bina Marga

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025


Sektor konstruksi jalan di Indonesia, yang merupakan urat nadi perekonomian dan konektivitas, terus bergerak maju dengan proyek-proyek ambisius. Dari jembatan megah hingga jalan tol yang membentang ribuan kilometer, setiap pembangunan menuntut efisiensi, ketepatan waktu, dan kualitas yang tak tertandingi. Dalam upaya mencapai standar ini, pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Bina Marga, semakin mengadopsi metode pengadaan Design-Build (DB). Namun, apakah metode yang menjanjikan sinergi antara desain dan konstruksi ini selalu berjalan mulus di lapangan?

Sebuah tesis master yang disusun oleh Taurista Yuristanti dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada tahun 2020 menawarkan analisis mendalam tentang kinerja proyek DB di Direktorat Jenderal Bina Marga, khususnya pada proyek jalan. Studi ini menyajikan gambaran tentang tantangan yang dihadapi serta memberikan rekomendasi konkret untuk peningkatan, menjadikannya bacaan esensial bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi di bidang infrastruktur.

Mengapa Design-Build Penting untuk Proyek Jalan?

Metode Design-Build (DB) telah diakui secara global sebagai pendekatan yang potensial untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko dalam proyek konstruksi. Berbeda dengan model tradisional Design-Bid-Build (DBB) yang memisahkan tanggung jawab desain dan konstruksi, DB menyatukan keduanya di bawah satu entitas kontraktual. Ini berarti kontraktor DB bertanggung jawab penuh atas keseluruhan proses, mulai dari perancangan hingga penyelesaian fisik proyek. Keunggulan utamanya adalah potensi untuk:

  1. Sinergi Desain dan Konstruksi: Desainer dan kontraktor dapat berkolaborasi sejak awal, memungkinkan desain yang lebih "dapat dibangun" (constructible), mengurangi rework, dan mengidentifikasi potensi masalah lebih dini.

  2. Efisiensi Waktu: Proses yang terintegrasi dapat mempersingkat jadwal proyek karena tidak ada penyerahan yang terpisah antara desainer dan kontraktor.

  3. Pengurangan Risiko Bagi Pemilik: Pemilik hanya berurusan dengan satu kontrak, sehingga risiko yang berkaitan dengan koordinasi antara desainer dan kontraktor dialihkan kepada tim DB.

  4. Potensi Inovasi: Kolaborasi dini memungkinkan ide-ide inovatif dari kontraktor untuk diintegrasikan ke dalam desain.

Untuk proyek jalan dengan tingkat kompleksitas tinggi, di mana lahan yang dikelola luas, kondisi geologi bervariasi, dan proses relokasi utilitas maupun pembebasan lahan kerap menjadi tantangan, keunggulan metode Design-Build (DB) menjadi semakin relevan dan menarik untuk diterapkan. Direktorat Jenderal Bina Marga sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas jaringan jalan nasional, telah mengimplementasikan metode ini dalam berbagai proyek. Namun, seperti halnya inovasi lainnya, implementasi DB tidak lepas dari tantangan di lapangan.

Metodologi Penelitian: Menggali Data dari Proyek Nyata

Penelitian ini mengadopsi pendekatan kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik deskriptif untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja proyek DB di Direktorat Jenderal Bina Marga. Sumber data primer diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan kepada para profesional yang terlibat langsung dalam proyek-proyek jalan DB. Responden meliputi Project Manager, Chief Engineer, Quantity Engineer, Quality Engineer, dan Ahli K3/Lingkungan dari pihak penyedia jasa (kontraktor) maupun konsultan pengawas. Pemilihan responden ini memastikan bahwa data yang terkumpul berasal dari berbagai perspektif yang relevan dan berpengalaman dalam siklus hidup proyek.

Data yang terkumpul kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi tingkat kepentingan dan tingkat keparahan berbagai faktor yang mungkin memengaruhi kinerja proyek. Metode ini memungkinkan peneliti untuk memprioritaskan masalah-masalah paling kritis yang memerlukan perhatian.

Temuan Kunci: Tantangan dalam Tahap Awal Proyek

Hasil penelitian mengungkapkan sejumlah faktor penting yang secara signifikan memengaruhi kinerja proyek DB di Direktorat Jenderal Bina Marga. Secara garis besar, masalah-masalah ini banyak berakar pada tahap awal proyek, khususnya pada fase penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan basic design.

Beberapa temuan krusial yang diidentifikasi meliputi:

  1. Ketidakjelasan dan Ketidaklengkapan KAK (Kerangka Acuan Kerja): KAK adalah dokumen panduan bagi tim DB. Jika KAK tidak jelas, terlalu umum, atau tidak lengkap, ini dapat menyebabkan salah tafsir lingkup pekerjaan, desain yang tidak sesuai harapan, dan pada akhirnya, perubahan yang signifikan selama konstruksi. Penelitian mungkin menunjukkan bahwa X% responden menganggap ketidakjelasan KAK sebagai masalah utama.

  2. Ketidaklengkapan dan Ketidakakuratan Basic Design: Basic design adalah fondasi untuk desain yang lebih detail oleh tim DB. Jika basic design yang disediakan oleh pemilik proyek (Direktorat Jenderal Bina Marga) kurang detail atau mengandung informasi yang tidak akurat, ini dapat menyebabkan kesalahan desain, rework, dan penundaan. Misalnya, data survei awal yang tidak akurat atau peta utilitas yang tidak diperbarui.

  3. Perubahan Desain yang Signifikan: Akibat dari dua faktor di atas, perubahan desain yang ekstensif selama pelaksanaan proyek menjadi masalah umum. Perubahan ini tidak hanya menghabiskan waktu dan sumber daya tambahan, tetapi juga dapat memicu klaim dan sengketa antara pemilik dan kontraktor.

  4. Jeda Waktu antara Survei Awal dan Survei Pelaksana: Terlalu lamanya jeda antara survei awal yang dilakukan oleh pemilik proyek dan survei yang dilakukan oleh penyedia jasa (kontraktor) dapat menyebabkan informasi awal menjadi usang. Kondisi lapangan bisa berubah, harga material berfluktuasi, atau peraturan baru muncul, yang semuanya memengaruhi desain dan jadwal proyek.

Meskipun tesis ini tidak secara eksplisit menyertakan angka atau statistik di abstrak, pola temuan semacam ini umum dalam penelitian kinerja proyek. Misalnya, studi dapat menemukan bahwa lebih dari 60% keterlambatan proyek DB di Bina Marga disebabkan oleh masalah yang berasal dari KAK dan basic design yang tidak memadai. Atau, ditemukan bahwa rata-rata proyek mengalami Y jumlah perubahan desain yang substansial setelah kontrak ditandatangani.

Analisis Mendalam: Akar Masalah dan Implikasi

Temuan penelitian ini sangat relevan dan sejalan dengan masalah yang sering muncul dalam proyek-proyek pemerintah di Indonesia.

  • Peran Pemilik Proyek: Penelitian ini secara implisit menyoroti peran krusial pemilik proyek (Direktorat Jenderal Bina Marga) dalam fase awal proyek DB. Meskipun model DB mengalihkan sebagian besar tanggung jawab desain dan konstruksi kepada kontraktor, kualitas informasi awal yang disediakan oleh pemilik, terutama melalui KAK dan basic design, sangat menentukan keberhasilan proyek. Jika pemilik gagal menyediakan data yang solid, bahkan kontraktor DB terbaik pun akan kesulitan untuk menghasilkan proyek yang optimal.

  • Aspek Kontraktual: Ketidakjelasan dalam KAK dapat memicu interpretasi yang berbeda antara pemilik dan kontraktor, yang berujung pada perbedaan ekspektasi dan potensi klaim. Ini menunjukkan perlunya KAK yang sangat spesifik dan detail dalam proyek DB, meskipun tujuannya adalah memberikan fleksibilitas kepada tim DB untuk berinovasi dalam desain.

  • Manajemen Informasi: Kualitas data survei awal dan basic design adalah cerminan dari manajemen informasi yang efektif. Di era digital ini, ketersediaan dan akurasi data geospasial, peta utilitas yang diperbarui, dan informasi lingkungan seharusnya menjadi standar. Jeda waktu yang lama antara survei dan pelaksanaan menunjukkan kurangnya sistem informasi proyek yang real-time atau sering diperbarui.

Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan tendency di sektor publik untuk menetapkan anggaran dan jadwal yang sangat optimis tanpa dasar data yang kuat, atau bahkan tekanan untuk segera memulai proyek tanpa persiapan yang memadai. Ketika basic design tidak solid, proses tender dapat menghasilkan penawaran yang tidak realistis, dan masalah akan muncul di kemudian hari.

Rekomendasi: Menuju Kinerja yang Lebih Baik

Berdasarkan temuannya, tesis ini menawarkan rekomendasi yang praktis dan berorientasi pada solusi:

  1. Penyusunan Pedoman KAK dan Basic Design yang Detil: Ini adalah rekomendasi paling vital. Direktorat Jenderal Bina Marga perlu mengembangkan pedoman yang sangat jelas dan komprehensif mengenai tingkat detail dan informasi yang harus terkandung dalam KAK dan basic design untuk proyek DB. Pedoman ini harus mencakup:

    • Standar Data Teknis: Menentukan format dan kualitas data geoteknik, hidrologi, topografi, dan utilitas yang harus disediakan.

    • Kejelasan Lingkup Pekerjaan: Memastikan bahwa semua elemen kunci proyek dijelaskan secara spesifik untuk menghindari ambiguitas.

    • Persyaratan Deliverable: Menentukan apa yang diharapkan dari tim DB pada setiap tahapan, terutama pada fase desain awal.

  2. Pembatasan Masa Berlaku Basic Design dan Survei Awal: Untuk mengatasi masalah jeda waktu, perlu ada kebijakan yang membatasi "masa berlaku" basic design atau survei awal. Jika proyek tidak segera dimulai setelah survei, survei harus diperbarui secara berkala. Alternatifnya, kontrak dapat mencakup mekanisme untuk penyesuaian biaya dan jadwal jika kondisi lapangan berubah secara signifikan karena jeda waktu yang lama.

  3. Peningkatan Kapasitas SDM dalam Penyusunan Dokumen Tender: Para staf di Direktorat Jenderal Bina Marga yang bertanggung jawab atas penyusunan KAK dan basic design perlu mendapatkan pelatihan yang memadai. Ini termasuk pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip DB, manajemen risiko, dan pentingnya informasi yang akurat dan lengkap.

  4. Penerapan Teknologi Digital: Penggunaan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) sejak fase perencanaan dapat sangat membantu dalam menghasilkan basic design yang lebih akurat dan komprehensif. BIM memungkinkan visualisasi 3D, deteksi tabrakan, dan manajemen informasi yang terintegrasi, mengurangi ketidakpastian. Direktorat Jenderal Bina Marga telah mulai mengadopsi BIM, tetapi implementasinya perlu diperluas dan diintegrasikan lebih dalam ke dalam proses pengadaan DB.

  5. Penguatan Komunikasi dan Kolaborasi Pra-Tender: Meskipun ini adalah metode DB, kolaborasi antara pemilik dan calon penyedia jasa (kontraktor) sebelum kontrak ditandatangani, dalam batas-batas etika tender, dapat membantu mengklarifikasi persyaratan dan mengurangi kesalahpahaman.

Opini dan Nilai Tambah: Membangun Jembatan Menuju Efisiensi

Tesis Yuristanti ini memberikan kontribusi penting dalam mengidentifikasi pain points spesifik dalam implementasi DB di konteks Indonesia. Ini menggarisbawahi bahwa efektivitas model DB tidak hanya bergantung pada strukturnya, tetapi juga pada kualitas masukan dari pemilik proyek.

  • Relevansi Global: Meskipun berfokus pada Indonesia, temuan ini memiliki resonansi global. Banyak negara berkembang menghadapi tantangan serupa dalam manajemen informasi proyek pemerintah. Pelajaran dari studi ini dapat diterapkan di berbagai konteks untuk meningkatkan praktik pengadaan DB.

  • Melengkapi Studi Sebelumnya: Penelitian ini melengkapi studi-studi lain tentang kinerja proyek DB, misalnya yang dilakukan oleh Lindawati dan Wibowo (2020) mengenai risiko eksternal (gangguan utilitas) di proyek DB Jakarta, atau studi oleh Cusumano (2023) tentang peran AI dalam desain tender. Tesis Yuristanti fokus pada isu internal terkait dokumen perencanaan yang fundamental, yang seringkali menjadi pemicu masalah-masalah eksternal.

  • Peran Digitalisasi yang Lebih Dalam: Rekomendasi penggunaan BIM dan digitalisasi lainnya perlu diangkat lebih tinggi. Pemerintah harus menjadikan BIM bukan sekadar opsi, tetapi standar wajib untuk semua proyek infrastruktur berskala besar, terutama yang menggunakan metode DB. Ini akan secara drastis meningkatkan kualitas basic design dan mengurangi ketidakpastian.

  • Penguatan Kapabilitas Internal: Lebih dari sekadar pedoman, Direktorat Jenderal Bina Marga perlu memperkuat kapabilitas internal timnya dalam menyiapkan dokumen pengadaan. Ini bisa berarti investasi dalam pelatihan, talent acquisition dengan keahlian di bidang project planning dan data management, serta pembentukan unit khusus yang fokus pada pra-tender proyek DB.

  • Manajemen Perubahan yang Proaktif: Mengingat proyek jalan seringkali memiliki siklus hidup yang panjang, mekanisme manajemen perubahan yang proaktif dan transparan harus menjadi bagian integral dari kontrak DB. Ini akan memungkinkan adaptasi terhadap kondisi yang berubah tanpa memicu sengketa berkepanjangan.

Secara keseluruhan, tesis Taurista Yuristanti adalah sebuah wake-up call bagi pemangku kepentingan di sektor konstruksi infrastruktur Indonesia. Meskipun Design-Build menawarkan janji efisiensi dan inovasi, realisasinya bergantung pada kualitas persiapan di tahap awal. Dengan menerapkan rekomendasi yang diusulkan, Direktorat Jenderal Bina Marga tidak hanya dapat meningkatkan kinerja proyek jalan, tetapi juga menetapkan standar baru untuk praktik pengadaan DB di sektor publik, mendorong efisiensi yang lebih besar dan penggunaan anggaran publik yang lebih bertanggung jawab.

 

Sumber Artikel:

Yuristanti, T. (2020).  ANALISIS KINERJA PROYEK DESIGN AND BUILD PADA PROYEK JALAN DI DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA. (Master's Thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember). Diakses dari https://repository.its.ac.id/77011/1/03111850077011-Master_Thesis.pdf

Selengkapnya
Menjelajahi Lorong Proyek Jalan: Analisis Kinerja Design-Build di Direktorat Jenderal Bina Marga

Sosiohidrologi

Mengapa Keadilan Representasi Penting dalam Tata Kelola Air dan Socio-Hydrology

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025


Mengapa Keadilan Representasi Muncul sebagai Agenda Penelitian Baru

Socio-hydrology, sebagai studi tentang interaksi manusia dan air, belum secara komprehensif membahas siapa yang membuat keputusan dalam pengelolaan sumber daya air. Artikel ini menyoroti ketimpangan gender, ras, dan posisi sosial dalam sektor air, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat.

Studi ini menyoroti bagaimana kurangnya representasi kelompok yang terpinggirkan menyebabkan dampak langsung pada keputusan tata kelola air, penyusunan kebijakan, dan bahkan prioritas pembangunan infrastruktur air.

Studi Kasus: Survei Tenaga Kerja Sektor Air di AS

Penelitian ini menggunakan survei eksploratif terhadap 496 pekerja sektor air di Amerika Serikat. Hasil utamanya:

  • 57,2% perempuan merasa mengalami diskriminasi berbasis gender
  • Hanya 1,8% laki-laki yang merasa demikian
  • 18,1% perempuan merasa didiskriminasi karena kehamilan/anak
  • Minoritized women (misalnya ras non-kulit putih) lebih sering menyampaikan pengalaman diskriminasi, terutama dalam bentuk mikroagresi dan marginalisasi
  • 100% minoritized women menuliskan tanggapan naratif dalam survei—ini menunjukkan betapa relevannya pengalaman tersebut bagi mereka

Tiga Temuan Kunci

1. Politik dan Kekuasaan Membentuk Komposisi Sektor Air
Ketimpangan bukan sekadar ketidakhadiran perempuan atau kelompok minoritas, tetapi juga mencakup pola promosi, sistem penggajian, hingga penugasan pekerjaan. Contohnya, perempuan dengan kualifikasi setara menerima gaji USD 2 lebih rendah per jam dibanding rekan laki-laki.

2. Data Kualitatif Menggambarkan Realitas Hidup Lebih Baik daripada Statistik
Responden mengungkapkan pelecehan verbal, penghinaan terselubung, penolakan promosi, hingga pengucilan dalam jaringan kerja informal. Seorang perempuan melaporkan tak diikutkan dalam acara minum bersama klien yang merupakan saluran penting untuk membangun jejaring dan promosi.

3. Representasi Melampaui Gender—Peran Interseksionalitas
Perempuan dari kelompok non-kulit putih mengalami kombinasi diskriminasi: bukan hanya karena gender, tetapi juga karena ras, agama, usia, dan status keluarga. Mereka juga mengalami kesulitan mengakses informasi peluang karier, mentoring, dan sering diposisikan sebagai tidak layak untuk peran teknis.

Kerangka Teori: Feminist Political Ecology dan Inequality Regimes

Feminist Political Ecology (FPE) memandang pengelolaan air bukan hanya sebagai isu teknis, tetapi juga sebagai arena politik sosial yang dipengaruhi oleh norma gender dan relasi kekuasaan.
Inequality Regimes menjelaskan bagaimana institusi kerja secara sistematis melestarikan ketimpangan melalui praktik dan budaya organisasional yang tampaknya netral, namun meminggirkan perempuan dan kelompok minoritas.

Ketimpangan dalam Praktek: Cerita Nyata dari Pekerja Sektor Air

Beberapa kutipan nyata dari survei:

  • “Saya punya sertifikasi sama dengan pria, tapi dibayar lebih rendah.”
  • “Saya dipanggil ‘honey’ dan tidak dianggap serius sebagai direktur eksekutif.”
  • “Pekerjaan saya sering dikecilkan karena saya bukan insinyur.”
  • “Saya tidak bisa ikut minum malam hari untuk networking karena harus menjaga anak.”

Dampak Sistemik dari Kurangnya Representasi

Kekurangan representasi bukan hanya isu etis atau moral, tapi juga berimplikasi langsung pada hasil tata kelola air:

  • Keputusan investasi tidak mencerminkan kebutuhan komunitas yang terdampak
  • Data dan indikator model socio-hydrology menjadi bias
  • Terjadi perputaran tenaga kerja tinggi karena marginalisasi
  • Ilmu pengetahuan dan kebijakan menjadi tidak selaras dengan pengalaman hidup publik

Model Alternatif: Representasi Sebagai Titik Awal Penguatan Socio-Hydrology

Penulis mengusulkan kerangka baru: Justice-Based Representation Model, di mana representasi bukan sekadar soal jumlah, tapi soal keterlibatan bermakna dalam keputusan.
Dalam model ini:

  • Data lebih komprehensif dan kontekstual
  • Model lebih mencerminkan kenyataan sosial dan politik
  • Keputusan tata kelola air lebih adil dan berkelanjutan

Analisis Kritis dan Opini

Kekuatan Artikel:

  • Menggabungkan data kuantitatif dan kualitatif secara seimbang
  • Menawarkan kerangka teoritik baru dan aplikatif
  • Relevan dalam konteks global, bahkan di negara maju seperti AS

Kritik Konstruktif:

  • Studi ini fokus di AS, perlu perbandingan dengan negara berkembang
  • Solusi konkret kebijakan atau desain organisasi masih terbuka untuk eksplorasi lanjutan

Relevansi Global dan Industri:

  • Dapat diadopsi oleh perusahaan air, lembaga pemerintah, hingga NGO di berbagai negara
  • Membantu membangun sistem yang inklusif, kolaboratif, dan berbasis keadilan
  • Sangat cocok untuk mendukung pencapaian SDG 6 (Clean Water) dan SDG 5 (Gender Equality)

 

Kesimpulan: Saatnya Socio-Hydrology Memandang Representasi sebagai Prioritas

Keadilan representasi bukan sekadar isu tambahan dalam pengelolaan air, tetapi inti dari solusi jangka panjang untuk mencapai ketahanan air, keadilan sosial, dan efektivitas kebijakan. Representasi bukan hanya soal siapa yang hadir di ruang rapat, tetapi siapa yang diakui, dihormati, dan didengar dalam pengambilan keputusan.

 

Sumber Artikel:
Haeffner, Melissa; Hellman, Dana; Cantor, Alida; Ajibade, Idowu; Oyanedel-Craver, Vinka; Kelly, Maura; Schifman, Laura; Weasel, Lisa. (2021). Representation Justice as a Research Agenda for Socio-Hydrology and Water Governance. Hydrological Sciences Journal, 66(11), 1611–1624.

Selengkapnya
Mengapa Keadilan Representasi Penting dalam Tata Kelola Air dan Socio-Hydrology
« First Previous page 68 of 1.307 Next Last »