Manajemen Keselamatan Kerja

Empat Pilar Tak Terlihat yang Menopang Keselamatan: Pelajaran Mengejutkan dari Sebuah Studi di Irak yang Mengubah Cara Kita Bekerja

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 23 Oktober 2025


Pengantar: Mimpi Buruk Merakit Furnitur dan Rahasia Proyek yang Sukses

Saya yakin kita semua pernah mengalaminya. Berdiri di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh potongan-potongan papan kayu, sekantong penuh baut dan sekrup misterius, dan selembar kertas instruksi yang lebih mirip naskah kuno. Ya, saya sedang merakit furnitur IKEA. Dan seperti biasa, setelah 30 menit penuh percaya diri, saya sampai pada momen kepanikan: panelnya terbalik, ada lubang yang tidak pas, dan saya sadar telah mengabaikan manual instruksi sejak langkah ketiga.

Kekacauan kecil ini—frustrasi merakit lemari buku—adalah metafora sempurna untuk sebuah kebenaran yang jauh lebih besar. Kesuksesan dalam sistem yang kompleks, entah itu furnitur atau gedung pencakar langit, tidak bergantung pada semangat atau bagian-bagian individual semata. Ia bergantung pada sebuah program: serangkaian langkah yang terstruktur, dipikirkan matang, dan diikuti dengan disiplin. Tanpa program, niat baik hanya akan menghasilkan kekacauan.

Sekarang, mari kita pindah dari analogi ringan ini ke dunia yang taruhannya jauh lebih tinggi: industri konstruksi. Ini adalah dunia di mana kesalahan kecil tidak hanya menghasilkan lemari yang miring, tetapi juga cedera serius atau bahkan kematian. Tingkat kecelakaan di industri konstruksi global masih "sangat tinggi". Di Irak, konteks studi yang akan kita bedah, situasinya lebih mengkhawatirkan lagi. Sektor konstruksi menyumbang 38% dari total kecelakaan industri di negara itu. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah krisis kemanusiaan yang tersembunyi di balik setiap proyek pembangunan.   

Di tengah kondisi inilah, saya menemukan sebuah paper penelitian oleh Mohanad Kamil Buniya dan rekan-rekannya. Awalnya, saya mengira ini akan menjadi bacaan teknis yang kering. Namun, yang saya temukan justru sebuah "cerita detektif" yang brilian. Para peneliti ini tidak hanya mendata masalah, tetapi mereka menggali lebih dalam untuk menemukan cetak biru kesuksesan di sebuah area di mana "penelitian keselamatan sejauh ini terabaikan".   

Temuan inti mereka sangat elegan dan kuat: program keselamatan yang efektif tidak terdiri dari puluhan aturan yang rumit, melainkan berdiri di atas empat pilar yang saling berhubungan. Keempat pilar inilah yang akan kita jelajahi, karena saya yakin ini bukan hanya pelajaran untuk industri konstruksi, tetapi juga untuk siapa pun yang memimpin tim, mengelola proyek, atau sekadar ingin membangun sesuatu yang hebat tanpa harus berakhir dengan bencana.

Pilar Pertama: Batu Penjuru Itu Bernama Komitmen—Mengapa Keselamatan Sejati Dimulai dari Pucuk Pimpinan

Bayangkan Anda adalah penumpang di sebuah kapal pesiar besar yang berlayar di perairan Arktik. Apakah Anda akan merasa aman jika kapten hanya mengirim memo dari kabinnya yang berbunyi, "Tolong hindari gunung es"? Tentu tidak. Anda ingin melihat kapten itu di anjungan, memegang kemudi, matanya mengawasi cakrawala, berkomunikasi dengan jelas kepada krunya, dan memastikan semua orang tahu peran mereka dalam navigasi yang aman.

Komitmen kapten itu nyata, terlihat, dan menular. Inilah esensi dari pilar pertama: Komitmen Manajemen dan Keterlibatan Karyawan. Paper ini menegaskan bahwa pilar ini adalah fondasi yang "secara signifikan memengaruhi kinerja keselamatan". Tanpa komitmen yang tulus dari puncak, program keselamatan terbaik sekalipun hanya akan menjadi pajangan di dinding.   

Apa wujud nyata dari komitmen ini? Penelitian ini mengidentifikasi beberapa elemen kunci:

  • Kebijakan Keselamatan (Safety Policy): Bukan sekadar dokumen, melainkan konstitusi yang menyatakan bahwa keselamatan adalah nilai yang tidak bisa ditawar.

  • Kepemimpinan yang Terlihat (Visible Leadership): Ini adalah saat CEO atau manajer proyek mengenakan helm dan rompi, berjalan di lokasi, dan tidak ragu untuk menghentikan pekerjaan yang tidak aman. Tindakan mereka berbicara lebih keras daripada email mana pun.

  • Melibatkan Karyawan dalam Pengambilan Keputusan: Ini adalah pergeseran dari "kerjakan apa yang saya suruh" menjadi "apa yang menurutmu berbahaya di sini?". Dengan bertanya kepada orang yang melakukan pekerjaan setiap hari, manajemen mendapatkan data lapangan yang tak ternilai harganya.

Satu hal yang membuat saya terkejut adalah bagaimana analisis statistik dalam penelitian ini menggabungkan "Komitmen Manajemen" dan "Keterlibatan Karyawan" menjadi satu faktor tunggal yang tak terpisahkan. Ini bukan kebetulan. Ini mengungkapkan sebuah kebenaran mendalam: komitmen manajemen tidak ada artinya jika tidak memberdayakan karyawan. Keduanya adalah sebuah siklus yang saling menguatkan.   

Ketika seorang pemimpin menunjukkan komitmen yang nyata, karyawan merasa aman untuk menyuarakan keprihatinan. Ketika karyawan menyuarakan keprihatinan, pemimpin mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang lebih baik, yang pada gilirannya memperkuat komitmen mereka. Ini bukan hubungan top-down; ini adalah kemitraan. Inilah detak jantung dari sebuah organisasi yang aman dan sehat.

Pilar Kedua: Melihat yang Tak Terlihat—Cara Menjadi Detektif Bahaya di Tempat Kerja Anda Sendiri

Seorang detektif yang hebat tidak menunggu laporan kejahatan masuk. Mereka mempelajari pola, mencari petunjuk, dan mengidentifikasi "nyaris celaka" untuk mencegah kejahatan itu terjadi. Inilah mentalitas yang dibangun oleh pilar kedua: Analisis Tempat Kerja (Worksite Analysis). Ini adalah tentang mengubah pola pikir kita dari sekadar reaktif menjadi proaktif secara radikal.

Paper ini mendefinisikannya sebagai "identifikasi bahaya dan perilaku tidak aman dengan tujuan meminimalkan dan mengurangi kecelakaan di tempat kerja". Ini mengubah tugas administratif yang membosankan menjadi sebuah tantangan intelektual yang menarik. Bagaimana cara menjadi "detektif bahaya" di lingkungan kerja Anda?   

Studi ini menyoroti beberapa praktik kunci:

  • Identifikasi Bahaya Komprehensif: Secara sistematis memetakan setiap sudut tempat kerja, setiap proses, dan setiap alat untuk bertanya, "Apa yang bisa salah di sini?".

  • Inspeksi Keselamatan Rutin: Bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk menemukan kerentanan sebelum ada yang terluka.

  • Investigasi Kecelakaan dan Near Misses (Nyaris Celaka): Ini adalah poin yang paling krusial. Sebuah near miss—misalnya, sebuah palu yang jatuh dari perancah dan nyaris mengenai seseorang—adalah sebuah anugerah. Itu adalah pelajaran gratis tentang kegagalan sistem, tanpa harus membayar dengan harga yang tragis. Menginvestigasi mengapa palu itu hampir jatuh sama pentingnya dengan menginvestigasi mengapa palu itu benar-benar jatuh.

Untuk melakukan ini secara efektif, sebuah organisasi membutuhkan budaya di mana "melaporkan bahaya" dihargai, bukan dihukum. Karyawan harus merasa seperti saksi yang dilindungi, bukan tersangka.

Filosofi di balik pilar ini adalah pergeseran fundamental. Banyak organisasi beroperasi dalam mode "pemadam kebakaran", di mana kepahlawanan dikaitkan dengan kemampuan mengatasi bencana. Pilar ini berpendapat sebaliknya. Pahlawan sejati adalah para analis dan inspektur yang bekerja diam-diam di belakang layar, yang memastikan bencana itu tidak pernah menjadi berita utama. Mereka adalah orang-orang yang melihat keretakan kecil sebelum menjadi jurang yang menganga.

Pilar Ketiga: Dari Cetak Biru ke Barikade—Membangun Pertahanan Aktif Melawan Bahaya

Jika pilar kedua adalah tentang mendeteksi musuh (bahaya), pilar ketiga, Pencegahan dan Pengendalian Bahaya (Hazard Prevention and Control), adalah tentang membangun benteng pertahanan. Ini adalah langkah aktif dan strategis untuk menetralisir risiko yang telah kita identifikasi. Ini bukan hanya tentang memberi prajurit baju zirah (Alat Pelindung Diri/APD), tetapi tentang membangun tembok (kontrol rekayasa) dan menetapkan aturan pertempuran yang jelas (kontrol administratif).

Penelitian ini menekankan bahwa sistem ini diimplementasikan setelah bahaya diidentifikasi, menunjukkan alur logis dari pilar kedua ke pilar ketiga. Ini adalah tentang desain yang cerdas, bukan sekadar harapan bahwa orang akan selalu berhati-hati.   

Beberapa elemen pertahanan yang disorot antara lain:

  • Kontrol Rekayasa (Engineering Controls): Ini adalah garis pertahanan terkuat. Contohnya adalah mendesain mesin dengan pelindung bawaan atau memasang pagar pengaman di ketinggian. Ini mengubah lingkungan sehingga bahaya dihilangkan dari sumbernya.

  • Kontrol Administratif (Administrative Controls): Ini adalah perubahan pada cara orang bekerja. Contohnya termasuk rotasi pekerjaan untuk mengurangi paparan berulang atau jadwal kerja yang dirancang untuk mencegah kelelahan.

  • Alat Pelindung Diri (APD/PPE): Helm, sarung tangan, dan kacamata pengaman sangat penting. Namun, kerangka kerja ini dengan bijak menempatkannya sebagai garis pertahanan terakhir. Mengandalkan APD saja sama seperti menyalahkan prajurit karena baju zirahnya tembus, alih-alih bertanya mengapa mereka harus menghadapi tembakan sejak awal.

Mari kita rangkum pelajaran dari pilar ini dalam beberapa poin singkat:

  • 🚀 Kemenangan Terbesarnya: Sistem proaktif jauh lebih efektif daripada perbaikan reaktif. Mengubah desain mesin untuk mencegah cedera (kontrol rekayasa) akan selalu lebih baik daripada hanya mengingatkan orang untuk berhati-hati.

  • 🧠 Pergeseran Cerdasnya: Ini bukan hanya tentang APD; ini tentang membuat lingkungan kerja secara inheren lebih aman. Fokusnya adalah menghilangkan bahaya di sumbernya.

  • 💡 Pelajaran Utamanya: Kendalikan bahayanya, bukan hanya orang yang terpapar bahaya tersebut. Ini adalah perubahan fundamental dari menyalahkan individu menjadi memperbaiki sistem.

Pada akhirnya, pilar ini mengajarkan kita bahwa keselamatan sejati itu dirancang, bukan diimprovisasi. Ia bergantung pada sistem yang kuat seperti "sistem pemeliharaan preventif" dan "persiapan darurat". Ini memindahkan beban dari kewaspadaan sesaat seorang individu ke keandalan sistem secara keseluruhan.   

Pilar Keempat: Alat Paling Canggih—Mengapa Pikiran yang Tajam adalah Aset Paling Aman

Bayangkan seorang atlet profesional. Mereka bisa memiliki sepatu termahal dan pelindung tercanggih, tetapi apa yang benar-benar mencegah cedera dan memastikan performa puncak? Pelatihan. Mereka berlatih tanpa henti, mempelajari strategi, dan memahami "mengapa" di balik setiap gerakan. Mereka tidak hanya mengikuti instruksi; mereka menginternalisasi prinsip-prinsipnya.

Inilah pilar keempat dan terakhir: Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan (Safety and Health Training). Ini adalah elemen yang menghidupkan ketiga pilar lainnya. Tanpa pelatihan, komitmen manajemen hanya akan menjadi slogan kosong, analisis bahaya hanya akan menjadi laporan yang berdebu, dan sistem kontrol hanya akan menjadi mesin yang tidak ada yang tahu cara mengoperasikannya dengan benar.

Penelitian ini menegaskan bahwa pelatihan sangat penting untuk memastikan karyawan "menyadari bahaya dan risiko spesifik" serta "memahami kebijakan, prosedur, dan teknik keselamatan yang relevan". Studi ini mengidentifikasi dua jenis pelatihan yang krusial:   

  1. Induksi Keselamatan (Safety Induction): Untuk setiap orang baru yang masuk ke lingkungan kerja.

  2. Pelatihan Keselamatan Berkelanjutan (Safety Training): Untuk semua orang, karena lingkungan konstruksi (dan banyak lingkungan kerja lainnya) bersifat dinamis dan selalu berubah.   

Peningkatan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan inilah yang pada akhirnya mengarah pada keberhasilan implementasi program keselamatan. Untuk benar-benar menguasai prinsip-prinsip ini, pembelajaran berkelanjutan adalah kuncinya. Platform seperti(https://www.diklatkerja.com) menawarkan kursus yang dirancang untuk membangun keahlian profesional semacam ini.

Jika dipikirkan lebih dalam, pelatihan bukan hanya pilar keempat; ia adalah perekat yang menyatukan ketiganya. Melalui pelatihanlah komitmen manajemen (Pilar 1) dikomunikasikan. Melalui pelatihanlah keterampilan untuk melakukan analisis tempat kerja (Pilar 2) diasah. Dan melalui pelatihanlah prosedur untuk pengendalian bahaya (Pilar 3) dipahami dan dijalankan dengan benar. Pelatihan adalah antarmuka krusial antara sistem dan manusia di dalamnya.

Refleksi Akhir Saya: Apa yang Sebenarnya Diajarkan oleh Studi Ini kepada Kita Semua

Setelah menghabiskan waktu dengan paper ini, saya merasa kagum dengan keanggunan dan kekuatan kerangka empat pilar ini. Yang paling mengesankan adalah universalitasnya. Cetak biru ini, yang ditempa dalam konteks industri konstruksi Irak yang penuh tantangan, menawarkan pelajaran mendalam bagi startup teknologi di Jakarta, rumah sakit di Surabaya, atau organisasi mana pun yang berjuang untuk mencapai keunggulan.

Ini mengajarkan kita bahwa keselamatan, produktivitas, dan kualitas bukanlah hal yang terpisah. Mereka semua adalah hasil dari sistem yang dirancang dengan baik dan berpusat pada manusia.

Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Meskipun kerangka kerja empat pilar ini brilian dalam kesederhanaannya, cara paper ini menyajikan analisis statistiknya—dengan semua istilah seperti 'eigenvalues' dan 'Varimax rotation' —mungkin terasa agak terlalu abstrak bagi manajer di lapangan yang mencari daftar periksa langkah-demi-langkah. Keajaiban sesungguhnya terletak pada penerjemahan empat konsep ini menjadi kebiasaan, percakapan, dan keputusan sehari-hari. Dan itulah mengapa tulisan seperti ini perlu ada—untuk menjembatani dunia riset yang ketat dengan aplikasi praktis di dunia nyata.   

Pelajaran utamanya bagi saya adalah ini: keselamatan bukanlah sebuah departemen. Ia adalah sebuah hasil. Hasil dari sistem yang dirancang dengan cerdas, di mana kepemimpinan terlibat, semua orang waspada, pertahanan dibangun dengan kokoh, dan pengetahuan dibagikan secara luas.

Kesimpulan: Mari Membangun Dunia yang Lebih Aman, Satu Proyek pada Satu Waktu

Kita memulai dengan analogi sederhana tentang merakit furnitur, dan berakhir dengan cetak biru untuk membangun organisasi yang lebih tangguh dan manusiawi. Penelitian dari Buniya dkk. mengingatkan kita bahwa kinerja keselamatan yang luar biasa bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah produk dari sistem yang saling terhubung yang dibangun di atas empat pilar: Komitmen, Analisis, Pengendalian, dan Pelatihan.

Jika penjabaran ini memicu rasa ingin tahu Anda, saya sangat menganjurkan Anda untuk menjelajahi penelitian aslinya. Detail dan data di dalamnya sangat menarik dan memberikan landasan yang kokoh bagi argumen yang telah kita diskusikan.

(https://doi.org/10.3390/ijerph18020411)

Selengkapnya
Empat Pilar Tak Terlihat yang Menopang Keselamatan: Pelajaran Mengejutkan dari Sebuah Studi di Irak yang Mengubah Cara Kita Bekerja

Karier & Pengembangan Diri

Pelatihan K3 Anda Membosankan? Riset Ini Mengubahnya Jadi Game yang Seru dan Efektif

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 23 Oktober 2025


Saya yakin kamu pernah merasakannya. Duduk di ruangan ber-AC dingin, menatap layar proyektor yang menampilkan slide ke-73 dari 150, sementara seorang instruktur berbicara dengan nada monoton tentang prosedur yang terdengar sangat abstrak. Matamu berat, pikiranmu melayang ke daftar pekerjaan yang menumpuk di meja, atau mungkin ke makan siang yang sebentar lagi tiba. Ini adalah ritual universal yang kita kenal sebagai 'pelatihan'.

Tapi, bayangkan sejenak jika pelatihan itu bukan tentang 'cara menggunakan software X', melainkan tentang cara menyelamatkan nyawamu. Bayangkan jika satu detail yang terlewat karena kamu mengantuk bisa berakibat fatal. Selamat datang di dunia pelatihan keselamatan kerja industri (K3).

Ini bukan masalah sepele. Sebuah paper penelitian yang baru saja saya baca menyajikan data yang suram. Mengutip data PBB, antara tahun 2012 dan 2021, lebih dari 20.000 pekerja kehilangan nyawa akibat kecelakaan kerja. Akar masalahnya? Sering kali bukan karena kurangnya pelatihan, tapi karena pelatihan yang tidak efektif. Para profesional di lapangan—manajer dan pelatih—mengeluhkan rendahnya minat dan keterlibatan peserta. Mereka menunjuk pada metode yang pasif seperti slide, video, dan handout yang gagal membuat peserta merasa menjadi bagian dari materi.   

Ini membawa saya pada sebuah kesimpulan yang agak radikal: kebosanan adalah salah satu bahaya kerja yang tidak tercatat. Ketika sebuah sesi pelatihan yang dirancang untuk mencegah cedera serius justru membuat pesertanya mengantuk, maka metode pelatihan itu sendiri telah menjadi sebuah risiko. Kegagalan mentransfer pengetahuan dalam konteks K3 bukanlah sekadar angka buruk di kuis pasca-pelatihan; itu adalah bom waktu yang menunggu untuk meledak dalam bentuk kecelakaan di dunia nyata.

Ketika Riset Menemukan Jawaban dalam Sebuah Game

Di tengah masalah ini, sekelompok peneliti dari Federal University of the State of Rio de Janeiro mengajukan sebuah solusi yang radikal namun sangat masuk akal: bagaimana jika kita berhenti 'mengajar' dan mulai 'mengajak bermain'?.   

Mereka menggali konsep "games with a purpose" atau serious games—permainan yang dirancang bukan hanya untuk hiburan, tetapi untuk tujuan serius seperti pendidikan atau pelatihan. Idenya sederhana namun kuat. Game dapat menyajikan lingkungan pelatihan yang dinamis menggunakan skenario risiko yang disimulasikan, tanpa adanya risiko nyata. Ini adalah pendekatan yang inovatif, imersif, dan yang terpenting, menarik.   

Bayangkan jika kamu berlatih menghadapi keadaan darurat kebakaran. Alih-alih hanya membaca manual tentang jenis-jenis APAR, kamu berada dalam simulasi di mana kamu harus berlari, mengidentifikasi sumber api, dan memilih APAR yang tepat dalam hitungan detik. Kamu bisa gagal, bahkan menyebabkan ledakan virtual, tapi kamu belajar dari kesalahan itu tanpa ada yang terluka. Itulah kekuatan game untuk pelatihan.

Inovasi sesungguhnya di sini bukanlah sekadar membuat materi menjadi "seru". Ini adalah pergeseran fundamental dalam cara kita belajar. Pelatihan tradisional berfokus pada penerimaan informasi pasif—kamu menghafal fakta untuk lulus ujian. Game, sebaliknya, menuntut pemecahan masalah aktif. Kamu harus menggunakan informasi itu untuk berinteraksi dengan sebuah sistem, membuat keputusan, dan merasakan konsekuensinya agar bisa menang. Seorang manajer keselamatan tidak butuh karyawan yang bisa menghafal isi buku manual K3; mereka butuh karyawan yang bisa bertindak dengan benar saat krisis. Game melatih kemampuan yang kedua, sementara presentasi slide hanya melatih yang pertama.

Membedah "Safety Play Game Design": Resep Rahasia di Balik Game Pelatihan yang Sukses

Tentu saja, membuat game yang efektif untuk pelatihan itu sulit. Bagaimana kita memastikan aspek 'game'-nya tidak malah mengalahkan tujuan 'serius'-nya? Manajer industri pun khawatir tentang kepastian investasi waktu dan uang untuk mendesainnya. Di sinilah para peneliti memperkenalkan resep rahasia mereka: sebuah metode terstruktur yang disebut Safety Play Game Design (SpGD).   

SpGD adalah proses sistematis yang terdiri dari tujuh langkah, mulai dari memahami kebutuhan pelatihan hingga mengirimkan game yang sudah jadi. Namun, jantung dari metode ini terletak pada sebuah jembatan cerdas yang mereka bangun.   

Jembatan Emas antara Tujuan Belajar dan Aturan Main

Para peneliti mengambil dua kerangka kerja yang sudah teruji dari dua dunia yang berbeda dan menyatukannya.

  1. Model Evaluasi Kirkpatrick: Ini adalah standar emas dalam dunia pelatihan untuk mengukur keberhasilan. Sederhananya, ada 4 level: Reaksi (Apakah peserta suka pelatihannya?), Pembelajaran (Apakah mereka paham materinya?), Perilaku (Apakah mereka menerapkannya di tempat kerja?), dan Hasil (Apakah ada dampak nyata ke bisnis?).   

  2. Kerangka MDA (Mechanics, Dynamics, Aesthetics): Ini adalah cara para desainer game profesional berpikir. Ada 3 lapisan: Mekanik (aturan main dan komponen game, seperti tombol lompat atau sistem skor), Dinamika (gameplay yang muncul saat pemain berinteraksi dengan aturan), dan Estetika (perasaan emosional yang dialami pemain, seperti tantangan, fantasi, atau penemuan).   

"Aha!" momen dari metode SpGD adalah saat mereka memetakan satu sama lain secara sistematis :   

  • Pembelajaran (Level 2 Kirkpatrick) → Mekanik (MDA): Apa yang harus dipelajari peserta (misalnya, "jenis-jenis APAR dan fungsinya") diubah menjadi aturan dasar atau mekanik dalam game (misalnya, "APAR tipe A hanya bisa memadamkan api tipe A; jika digunakan pada api tipe B, api akan membesar").

  • Perilaku (Level 3 Kirkpatrick) → Dinamika (MDA): Perilaku yang diharapkan di dunia nyata (misalnya, "memilih APAR yang benar di bawah tekanan waktu") menjadi dinamika atau gameplay yang muncul saat pemain berinteraksi dengan mekanik tersebut.

  • Reaksi & Hasil (Level 1 & 4 Kirkpatrick) → Estetika (MDA): Reaksi emosional yang diinginkan (misalnya, "rasa urgensi dan kepuasan setelah berhasil") dan hasil bisnis yang dituju (misalnya, "tingkat kebakaran yang berhasil dipadamkan meningkat") diterjemahkan menjadi estetika game (misalnya, melalui timer yang menegangkan, skor yang memuaskan, dan efek visual ledakan jika gagal).

Bagi para manajer, kontribusi terbesar SpGD bukanlah kreativitas, melainkan akuntabilitas. Pemetaan ini menciptakan jejak audit yang jelas, menghubungkan setiap rupiah yang dihabiskan untuk pengembangan game dengan hasil pelatihan yang spesifik dan terukur. Ini mengubah desain game dari "kotak hitam" yang penuh kehendak kreatif menjadi proses rekayasa yang transparan dan berorientasi pada tujuan, sehingga mengurangi risiko investasi.

Studi Kasus: Aksi Heroik "Bob Ruff" Melawan Api

Teori memang terdengar canggih, tapi bagaimana wujudnya dalam praktik? Para peneliti mendemonstrasikan metode SpGD dengan menciptakan sebuah game nyata: "Bob Ruff in Deck is on Fire".   

Prosesnya dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dari model Kirkpatrick kepada manajer pelatihan. Apa hasil yang diharapkan? "Tingkat kebakaran yang berhasil dipadamkan meningkat" (Level 4: Hasil). Perilaku apa yang diharapkan? "Peserta tetap tenang dan memilih APAR yang benar" (Level 3: Perilaku).   

Informasi ini kemudian dipetakan ke elemen game. "Memilih APAR yang benar" menjadi mekanik inti. "Situasi kebakaran di tempat kerja" menjadi dinamika permainan. "Tingkat kebakaran padam" diubah menjadi sistem skor dalam game.   

Hasilnya adalah sebuah game di mana kamu, sebagai Bob Ruff, harus berlari di dek sebuah kapal tanker minyak. Saat mendekati api, informasi tentang jenisnya muncul. Kamu harus cepat memilih APAR yang benar dari inventaris. Jika pilihanmu tepat, api padam dan skormu bertambah. Jika salah, api justru membesar dan bisa meledak! Skor, waktu, dan bar kesehatanmu terus mengingatkan akan konsekuensi dari setiap keputusanmu.   

Di sinilah letak kejeniusannya. Game ini tidak hanya mengajarkan aturan, tetapi juga mengajarkan kebijaksanaan dengan membiarkan pemain mengalami konsekuensi dari keputusan mereka dalam rentang waktu yang singkat dan aman. Di kuis biasa, konsekuensi jawaban salah hanyalah tanda silang merah. Di game "Bob Ruff", konsekuensi memilih APAR yang salah adalah ledakan virtual yang menggetarkan layar. Dampak emosional dan kognitifnya jauh lebih kuat, menanamkan pelajaran dengan lebih dalam. Kemampuan untuk menyimulasikan kegagalan secara aman inilah yang mungkin menjadi keunggulan terbesar dari pelatihan berbasis game.

Vonis Akhir: Apakah Metode Ini Benar-Benar Ampuh?

Game sudah dibuat, teori sudah diterapkan. Sekarang, pertanyaan terpenting: apakah ini semua berhasil? Para peneliti melakukan evaluasi dua arah yang cerdas: mereka bertanya kepada para pemain (pekerja industri) dan para pembuat game (desainer profesional).   

Suara dari Lapangan: Pengakuan Para Pekerja Industri

Sebanyak 21 pekerja industri—orang-orang yang menjadi target audiens pelatihan ini—diminta untuk bermain dan memberikan penilaian mereka. Hasilnya sangat meyakinkan.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Secara statistik, para pekerja memberikan persepsi yang sangat positif, baik terhadap pengalaman bermain game maupun terhadap aspek pelatihan keselamatan (pembelajaran dan identifikasi risiko).

  • 🧠 Inovasinya: Ditemukan korelasi positif yang kuat (koefisien korelasi 0.63) antara pengalaman bermain yang menyenangkan dan persepsi efektivitas pelatihan. Sederhananya, semakin seru gamenya, semakin efektif pembelajarannya.

  • 💡 Pelajaran: Ini membuktikan bahwa 'keseruan' bukanlah musuh dari 'keseriusan' dalam belajar. Justru sebaliknya, dalam konteks yang tepat, keseruan adalah katalisatornya.

Catatan dari Para Maestro: Tinjauan Ahli Desain Game

Para peneliti juga mempresentasikan metode SpGD kepada lima desainer game berpengalaman dan meminta pendapat jujur mereka.   

Mereka memuji metode ini karena terstruktur, menggunakan teori yang sudah mapan, dan memastikan ada jejak yang jelas dari tujuan pelatihan ke elemen game. Salah satu dari mereka bahkan berkata, "Ini adalah hal yang hebat dari [pekerjaan] ini," merujuk pada pemetaan Kirkpatrick dan MDA.   

Namun, mereka juga memberikan kritik halus yang membangun. Beberapa merasa pemetaan yang terlalu kaku (misalnya, Pembelajaran hanya dipetakan ke Mekanik) bisa membatasi kreativitas. Mereka menyarankan agar metode ini lebih fleksibel.   

Di sini, saya sangat setuju dengan para ahli. SpGD adalah kerangka kerja yang fantastis, terutama untuk tim yang baru memulai dengan game pelatihan. Namun, dalam praktiknya, desain game adalah tarian yang rumit. Sebuah mekanik yang brilian sering kali juga berfungsi untuk menciptakan estetika tertentu (misalnya, mekanik permadeath atau 'mati permanen' dalam game menciptakan estetika ketegangan yang luar biasa). Meskipun temuannya hebat, cara analisanya yang seolah mengunci satu elemen Kirkpatrick ke satu elemen MDA terasa agak terlalu abstrak dan kaku untuk desainer pemula yang butuh fleksibilitas. Mungkin versi SpGD di masa depan bisa menyajikannya sebagai "asosiasi yang disarankan" alih-alih "aturan yang wajib", memberikan ruang lebih untuk intuisi desain.

Epilog: Pelajaran yang Bisa Kita Bawa Pulang Hari Ini

Jadi, setelah membedah riset ini, apa pelajaran utamanya? Bukan sekadar "buatlah game untuk pelatihan". Pelajarannya jauh lebih dalam: desainlah pengalaman belajar yang berpusat pada manusia, yang menghormati cara kerja otak kita, dan yang terukur dampaknya.

Metode SpGD ini, meskipun didemonstrasikan untuk pelatihan kebakaran, pada dasarnya adalah sebuah cetak biru. Bayangkan menerapkannya untuk pelatihan mengoperasikan mesin kompleks, prosedur evakuasi darurat, atau bahkan soft skills seperti negosiasi dan manajemen krisis.

Tentu saja, inovasi seperti ini tidak berdiri sendiri. Ia dibangun di atas fondasi pemahaman yang kuat tentang prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di industri. Jika kamu tertarik untuk mendalami lebih jauh tentang bagaimana prinsip-prinsip ini diterapkan di dunia nyata, ada banyak sumber daya yang bisa membantumu. Salah satunya adalah(https://www.diklatkerja.com/course/kursus-online/), yang bisa memberikan fondasi praktis yang solid.   

Dan bagi kamu yang jiwa penelitinya terpanggil, yang ingin melihat data statistik lengkap, diagram alur metode, dan semua detail teknis di balik cerita ini, saya sangat merekomendasikan untuk melakukan apa yang dilakukan para pemikir hebat: kembali ke sumbernya.

(https://doi.org/10.5753/jis.2024.4136)

Selengkapnya
Pelatihan K3 Anda Membosankan? Riset Ini Mengubahnya Jadi Game yang Seru dan Efektif

Manajemen Tim

Membangun Tim Impian: 7 Pelajaran Kolaborasi Tak Terduga dari Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 23 Oktober 2025


Rahasia Tim Hebat yang Tersembunyi di Proyek Konstruksi

Saya pernah berada di sebuah tim yang, di atas kertas, adalah tim impian. Isinya orang-orang pintar dengan CV mentereng, anggarannya lebih dari cukup, dan rencana proyeknya setebal novel. Kami punya semua tools canggih dan rapat setiap hari. Tapi entah kenapa, semuanya terasa salah. Proyek berjalan lambat, komunikasi macet, dan suasana kerja terasa seperti mesin yang girnya saling bergesekan tanpa ada pelumas. Kami gagal, dan kegagalan itu membingungkan. Apa yang kurang?

Bertahun-tahun kemudian, saya menemukan jawaban dari tempat yang paling tidak terduga: sebuah jurnal penelitian tentang proyek konstruksi.

Bayangkan sebuah lingkungan kerja di mana kesalahan kecil bukan hanya berarti kerugian finansial, tapi bisa merenggut nyawa. Itulah dunia industri konstruksi. Sebuah paper penelitian yang saya temukan menyoroti fakta suram bahwa "setidaknya dua pekerja konstruksi meninggal setiap minggu di Afrika Selatan". Di sini, kolaborasi bukan lagi jargon korporat yang manis, melainkan syarat mutlak untuk bertahan hidup. Kuncinya ada pada seorang profesional bernama Construction Health and Safety Agent (CHSA), sosok yang bertanggung jawab memastikan semua orang pulang dengan selamat. Kemampuan mereka untuk berkolaborasi dengan manajer proyek, desainer, dan insinyur bisa menjadi penentu antara hidup dan mati.   

Penelitian berjudul "Factors that determine construction health and safety agent collaboration on construction projects: A Delphi study" ini bukanlah bacaan akademis yang kering. Bagi saya, ini adalah peta harta karun. Para peneliti, Rantsatsi, Musonda, dan Agumba, mengumpulkan 14 pakar berpengalaman dari empat benua untuk memecahkan kode tentang apa yang membuat sebuah tim benar-benar solid. Hasilnya? Mereka mengidentifikasi tujuh pilar fundamental kolaborasi yang ternyata berlaku universal, baik Anda membangun gedung pencakar langit maupun membangun aplikasi perangkat lunak.   

Bukan Sekadar 'Kerja Sama': Tujuh Pilar Kolaborasi yang Mengubah Segalanya

Kita semua sering bicara soal "kerja sama tim", tapi apa sebenarnya artinya? Para pakar dalam studi ini tidak puas dengan definisi yang dangkal. Melalui metode riset yang ketat bernama "Studi Delphi", mereka berdebat dan menyaring puluhan ide selama tiga putaran hingga mencapai konsensus yang kuat. Mereka tidak hanya membuat daftar. Mereka menemukan sebuah ekosistem—tujuh elemen yang saling terkait dan saling menguatkan yang menjadi fondasi bagi tim-tim paling efektif di dunia.   

Pilar #1: Saling Memberi, Bukan Saling Mengambil (Mutuality)

Pernah ikut acara makan-makan model potluck? Semua orang datang membawa masakan terbaiknya untuk dinikmati bersama. Suasananya penuh kehangatan dan kemurahan hati. Sekarang bandingkan dengan makan malam di mana semua orang berebut potongan ayam terakhir. Itulah perbedaan antara tim dengan mutuality (rasa saling menguntungkan) dan tim yang tidak.

Mutuality adalah kondisi di mana "setiap pihak menyumbangkan sumber daya unik yang dapat dimanfaatkan oleh anggota lain". Ini bukan soal transaksi, tapi soal menciptakan nilai bersama. Para pakar dalam studi ini sangat yakin akan hal ini. Dua indikator—"Rasa hormat di antara anggota proyek" dan "Transparansi"—mendapat skor median persetujuan tertinggi, yaitu 7 dari 7. Lebih gilanya lagi, untuk lima dari enam pernyataan di bawah pilar ini, 100% pakar setuju bahwa hal tersebut krusial. Ini bukan lagi opini, ini adalah kebenaran yang divalidasi secara ilmiah.   

Dari data ini, kita bisa melihat sesuatu yang lebih dalam. Mengapa rasa hormat dan transparansi menjadi yang teratas? Karena tanpa rasa hormat, ide-ide terbaik bisa diabaikan hanya karena datang dari orang "yang salah". Tanpa transparansi, orang akan bekerja dengan informasi yang tidak lengkap, yang melahirkan ketidakpercayaan dan pekerjaan ganda. Rasa hormat bukanlah sekadar "soft skill" yang bagus untuk dimiliki; ia adalah prinsip operasional inti yang melipatgandakan nilai dari setiap tindakan kolaboratif lainnya. Rasa hormat adalah katalisator yang mengubah sekelompok individu menjadi satu unit yang padu.

Pilar #2: Kepercayaan, Fondasi Tak Terlihat yang Menopang Segalanya

Kepercayaan dalam konteks profesional bukanlah soal menyukai rekan kerja Anda. Ini adalah keyakinan bahwa mereka kompeten, jujur, dan berkomitmen pada tujuan bersama. Studi ini mendefinisikannya sebagai "keyakinan dan harapan bahwa para pihak akan jujur dalam perjanjian dan komitmen, mematuhi komitmen mereka, dan tidak mengeksploitasi pihak lain". Kepercayaan adalah rasa aman saat Anda membalikkan badan, karena Anda tahu rekan setim Anda akan menjaga Anda.   

Bagian paling menarik dari pilar ini adalah apa yang ditolak oleh para pakar. Mereka memberikan skor rendah pada pernyataan seperti "mempercayai posisi daripada kepribadian" dan "mempercayai kompetensi... berdasarkan registrasi profesional". Ini adalah sebuah pencerahan besar.   

Para pakar ini, yang 42% di antaranya bergelar PhD , justru meremehkan pentingnya gelar formal atau jabatan sebagai dasar kepercayaan. Salah satu dari mereka bahkan berkomentar, "membangun kepercayaan pada seseorang membutuhkan waktu dan didasarkan pada karakter dan kompetensi, bukan kepribadian". Ini menyiratkan bahwa kepercayaan harus diperoleh melalui tindakan nyata ("memenuhi kewajiban mereka," "interaksi sebelumnya") dan bukan diberikan berdasarkan bagan organisasi. Ini adalah gagasan radikal di banyak perusahaan yang masih sangat hierarkis. Studi ini mengungkapkan kebenaran mendalam: jabatan mungkin memberimu kursi di meja rapat, tetapi hanya kompetensi yang terbukti dan karakter yang andal yang memberimu kepercayaan sejati.   

Pilar #3: Menciptakan 'Ruang Aman' untuk Ide-Ide Brilian (Enabling Environment)

Bayangkan pilar ini sebagai "sistem operasi" untuk tim Anda. Lingkungan yang mendukung (enabling environment) menyediakan struktur dan proses yang memungkinkan kolaborasi tumbuh subur. Ini adalah tentang memiliki "komunikasi yang jelas dan terbuka," "saluran komunikasi formal dan informal," dan "pengambilan keputusan bersama". Ini adalah perbedaan antara taman yang subur dan sepetak beton yang tandus.   

Data menunjukkan betapa vitalnya pilar ini. Keenam pernyataan di bawah faktor ini mencapai konsensus yang dibutuhkan, dengan empat di antaranya mendapatkan 100% persetujuan dari para pakar mengenai pentingnya hal tersebut. Ini termasuk "pengambilan keputusan bersama," "komunikasi yang sering," dan "berbagi kekuasaan."   

Poin tentang "berbagi kekuasaan" sangatlah krusial. Di banyak proyek, kekuasaan terpusat pada satu atau dua orang. Ini menciptakan hambatan dan melumpuhkan para ahli di lapangan. Temuan ini menunjukkan bahwa agar seorang ahli K3 (CHSA) efektif, ia tidak bisa hanya menjadi penasihat; ia harus menjadi mitra setara dalam pengambilan keputusan. Kolaborasi yang efektif menuntut desentralisasi kekuasaan yang disengaja. Tidak cukup hanya mengundang orang ke rapat; Anda harus memberi mereka andil nyata dalam hasilnya. Ketika kekuasaan dibagikan, tanggung jawab pun ikut terbagi, dan seluruh tim menjadi lebih berinvestasi dan tangguh.

Pilar #4: Semuanya Dimulai dari Diri Sendiri (Personal Characteristics)

Kolaborasi bukan hanya aktivitas kelompok; ini adalah kompetensi pribadi. Anda tidak bisa memiliki tim yang kolaboratif tanpa individu yang kolaboratif. Studi ini menyoroti "sikap, motivasi, pengetahuan, dan keterampilan yang dibutuhkan individu untuk berkolaborasi".   

Konsensus para pakar di sini sangat kuat. "Kemauan untuk berkolaborasi" dan "Menghormati masukan orang lain" menerima skor median sempurna 7. Namun, yang lebih penting lagi, para pakar sepakat bahwa seorang ahli K3 (CHSA) membutuhkan pengetahuan luas di luar spesialisasinya, termasuk "proses desain," "manajemen pengadaan," dan "keuangan dan biaya".   

Ini secara implisit menunjuk pada model "Profesional Berbentuk T" (T-Shaped Professional): keahlian yang mendalam di satu bidang (garis vertikal T) dikombinasikan dengan pemahaman yang luas tentang bidang-bidang terkait (garis horizontal T). Seorang ahli K3 yang hanya tahu peraturan keselamatan tetapi tidak memahami tekanan biaya atau jadwal yang dihadapi manajer proyek tidak akan bisa berkolaborasi secara efektif. Dia hanya bisa mendikte. Kolaborator yang ideal adalah seorang profesional "berbentuk T". Keahlian yang mendalam menjadi tidak berguna dalam tim jika tidak disertai dengan empati dan pengetahuan kontekstual yang luas untuk menghubungkan keahlian itu dengan pekerjaan orang lain.

Pilar #5: Kompas yang Sama untuk Semua Orang (Common Purpose)

Sebuah tim tanpa tujuan bersama ibarat awak kapal yang hebat tetapi tidak tahu ke mana harus berlayar. Kapten ingin ke utara, navigator berpikir mereka akan ke timur, dan para pelaut hanya sibuk dengan tugas masing-masing. Mereka akan tersesat. Tujuan bersama adalah "visi bersama dan tujuan unik yang menyatukan tim".   

Sekali lagi, konsensusnya luar biasa. Empat dari enam pernyataan, termasuk "berkomitmen pada visi proyek" dan memiliki "visi yang jelas," menerima 100% persetujuan dari para pakar. Faktor ini disebut sebagai "faktor sentral kolaborasi karena membantu menyatukan faktor-faktor lain".   

Visi bersama bukanlah poster motivasi yang dipajang di dinding. Ini adalah alat praktis untuk menyelaraskan tindakan. Ketika terjadi konflik antara desainer yang menginginkan estetika dan agen K3 yang menuntut keamanan, tujuan bersama yang jelas ("Kita membangun struktur yang paling aman dan efisien") menyediakan kerangka kerja untuk menyelesaikan konflik tersebut. Tujuan bersama berfungsi sebagai penentu akhir dalam perselisihan tim. Ia mengangkat diskusi dari "kepentingan departemen saya vs. kepentingan departemen Anda" menjadi "jalan mana yang paling baik untuk melayani tujuan kolektif kita?"

Pilar #6: Dukungan dari 'Luar' yang Menguatkan dari 'Dalam' (Institutional Support)

Tidak ada tim yang hidup dalam ruang hampa. Mereka beroperasi dalam ekosistem kebijakan perusahaan, badan profesional, dan peraturan pemerintah yang lebih besar. Dukungan institusional ini bisa memberdayakan atau justru melumpuhkan kolaborasi.

Di sinilah penelitian ini mengungkapkan titik gesekan terbesar. Para pakar setuju bahwa badan profesional harus memberikan pelatihan dan peraturan harus mewajibkan keterlibatan ahli K3 sejak awal. Namun, sebuah kutipan dari salah satu pakar menampar kita dengan kenyataan pahit: "anggota proyek masih tidak menghormati kontribusi CHSA... mereka hanya memanggil CHSA pada tahap empat ketika mereka membutuhkan izin kerja konstruksi".   

Ini adalah paradoks klasik: aturan ada, tetapi budaya di lapangan mengabaikannya. Ini adalah celah antara apa yang tertulis di atas kertas dan apa yang sebenarnya dilakukan orang. Dukungan institusional memang perlu, tetapi tidak akan cukup. Tanpa pilar-pilar lain—terutama Kepercayaan, Mutuality, dan Lingkungan yang Mendukung—mandat dari institusi hanya akan menjadi tumpukan dokumen yang diabaikan. Tantangan terbesar bagi setiap organisasi adalah menutup kesenjangan ini.

Pilar #7: Panggung yang Tepat untuk Aksi yang Hebat (Project Context)

Pilar terakhir ini adalah tentang lingkungan proyek yang langsung—"panggung" di mana tim beraksi. Ini mencakup "peran proyek yang jelas," "tujuan proyek yang didefinisikan dengan jelas," dan "struktur organisasi proyek" yang mendukung.   

Konsensus di sini juga sangat tinggi, dengan lima dari delapan pernyataan menerima 100% persetujuan dari para pakar. Kejelasan adalah raja; ambiguitas adalah musuh kolaborasi. Sebagian orang mungkin berpikir bahwa struktur (peran dan tujuan yang jelas) itu kaku dan mematikan kreativitas. Studi ini membuktikan sebaliknya. Ketika peran dan tujuan tidak jelas, anggota tim menghabiskan energi untuk bermanuver politik, perang wilayah, dan sekadar mencari tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Struktur yang jelas menghilangkan semua gesekan itu. Konteks proyek yang terdefinisi dengan baik tidak membatasi kolaborasi; ia justru melepaskannya.   

Apa yang Paling Mengejutkan Saya (dan Mungkin Juga Kamu)

Setelah membedah ketujuh pilar ini, ada beberapa kebenaran mengejutkan yang muncul ke permukaan, hal-hal yang bertentangan dengan kebijaksanaan konvensional di banyak tempat kerja.

  • 🚀 Bukan Teknologi, Tapi Manusia: Para pakar secara eksplisit menolak teknologi seperti Building Information Modelling (BIM) sebagai pendorong utama kolaborasi. Salah satu pakar menyatakan bahwa "kecerdasan emosional dan keterampilan lunak interpersonal adalah yang membuatnya berhasil". Ini adalah narasi tandingan yang kuat terhadap pemujaan solusi teknologi di banyak industri.   

  • 🧠 Bukan Jabatan, Tapi Kompetensi: Studi ini menunjukkan bahwa kepercayaan dibangun di atas kompetensi dan karakter yang terbukti, bukan pada gelar atau sertifikasi profesional. Ini menantang pandangan hierarkis tradisional tentang otoritas dan mendorong meritokrasi gagasan.   

  • 💡 Aturan Saja Tidak Cukup: Kontras yang tajam antara perlunya dukungan institusional dan kenyataan bahwa agen keselamatan diabaikan hingga menit terakhir  menyoroti bahwa aturan tanpa budaya saling menghormati dan percaya tidak akan efektif.   

Meskipun studi ini memberikan peta jalan yang fantastis, metodologi Delphi dengan 14 ahli terasa sedikit terbatas. Saya penasaran apakah hasilnya akan sama dengan panel yang lebih besar atau dari industri lain seperti pengembangan perangkat lunak atau layanan kesehatan, di mana kolaborasi juga sangat penting. Namun, sebagai titik awal untuk memahami struktur mendalam dari kerja tim, studi ini luar biasa kuat.

Tiga Hal yang Bisa Kamu Terapkan Besok Pagi

Teori itu hebat, tetapi tindakanlah yang mengubah segalanya. Berikut adalah tiga hal konkret yang bisa Anda lakukan besok untuk mulai membangun pilar-pilar kolaborasi ini di tim Anda, apa pun industri Anda.

  1. Lakukan 'Audit Kolaborasi' Cepat: Ajukan pertanyaan ini kepada tim Anda: Apakah kita beroperasi berdasarkan kepercayaan dan rasa hormat (Pilar 1 & 2)? Apakah tujuan bersama kita jelas bagi semua orang (Pilar 5)? Apakah kita memiliki peran yang jelas (Pilar 7)? Gunakan tujuh pilar ini sebagai alat diagnostik untuk menemukan di mana letak kekuatan dan kelemahan tim Anda.

  2. Jadilah 'Agen Keamanan' untuk Ide-Ide Tim: Peran CHSA adalah memastikan keamanan fisik. Peran Anda bisa jadi memastikan keamanan psikologis. Secara aktif mintalah dan hargai masukan dari orang lain (Pilar 4), terutama dari anggota tim yang lebih pendiam. Ciptakan lingkungan yang mendukung dalam rapat yang Anda pimpin (Pilar 3).

  3. Bangun Satu Jembatan Pengetahuan: Studi ini menekankan perlunya profesional "berbentuk T". Luangkan 30 menit minggu ini untuk mempelajari tantangan terbesar yang dihadapi rekan kerja Anda di departemen lain. Memahami konteks mereka adalah langkah pertama menuju kolaborasi sejati.   

Membangun kebiasaan ini membutuhkan disiplin. Jika Anda serius ingin mendalami manajemen tim dan membangun budaya kolaborasi yang kuat, mengikuti kursus terstruktur seperti yang ada di(https://www.diklatkerja.com) bisa menjadi investasi terbaik bagi karier Anda dan tim Anda.

Kolaborasi Bukan Sihir, Tapi Sains

Pada akhirnya, studi dari dunia konstruksi yang berisiko tinggi ini mengajarkan kita satu hal penting: kolaborasi yang luar biasa bukanlah sihir atau keberuntungan. Ia adalah sains. Ia adalah hasil rekayasa yang didasarkan pada tujuh faktor spesifik yang dapat diukur, dipelajari, dan ditumbuhkan. Mereka telah memberi kita cetak biru. Sekarang, giliran kita untuk mulai membangun.

Kalau kamu tipe orang yang suka melihat data mentahnya sendiri dan membentuk opinimu, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang padat tapi sangat berharga.

(http://dx.doi.org/10.18820/24150487/as28i2.3)

Selengkapnya
Membangun Tim Impian: 7 Pelajaran Kolaborasi Tak Terduga dari Proyek Konstruksi

Teknologi Kontruksi

Membangun Budaya Keselamatan Sejak Tahap Desain: Urgensi Penerapan Design for Construction Safety (DfCS) dalam Kebijakan Infrastruktur Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 23 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Konstruksi adalah sektor dengan tingkat kecelakaan kerja tertinggi di Indonesia. Data Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 30% kecelakaan fatal di dunia kerja berasal dari proyek konstruksi, dan sebagian besar disebabkan oleh kelemahan dalam desain awal yang tidak memperhitungkan faktor keselamatan.

Pendekatan Design for Construction Safety (DfCS), sebagaimana dijabarkan dalam panduan DfCS Participant Guide oleh Occupational Safety and Health Administration (OSHA) dan berbagai lembaga keselamatan kerja internasional, menghadirkan paradigma baru dalam perencanaan proyek: keselamatan harus dirancang, bukan hanya diawasi di lapangan.

DfCS menempatkan arsitek, insinyur, dan perancang sistem sebagai aktor utama dalam mencegah kecelakaan. Mereka tidak hanya mendesain struktur yang indah atau efisien secara teknis, tetapi juga aman untuk dibangun, digunakan, dan dirawat. Prinsip ini menuntut kolaborasi lintas disiplin sejak tahap konsepsi proyek — antara desainer, kontraktor, dan pemilik proyek — untuk mengidentifikasi potensi bahaya konstruksi dan menguranginya sedini mungkin.

Bagi Indonesia, terutama dalam konteks percepatan proyek nasional seperti IKN Nusantara, pembangunan bendungan, dan jaringan transportasi massal, penerapan DfCS bukan sekadar pilihan teknis, melainkan kebutuhan kebijakan publik yang strategis. Tanpa pergeseran paradigma ke tahap desain, kebijakan keselamatan kerja akan terus bersifat reaktif, bukan preventif.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan DfCS telah terbukti efektif secara global. Studi dalam panduan menunjukkan bahwa penerapan prinsip DfCS mampu menurunkan risiko kecelakaan hingga 60% pada proyek besar di Amerika Serikat dan Eropa.

Dampaknya tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga menghemat biaya proyek akibat keterlambatan dan klaim asuransi.

Namun, dalam konteks Indonesia, implementasi DfCS menghadapi tiga hambatan utama:

  • Keterbatasan kapasitas profesional desain. Banyak arsitek dan insinyur belum terlatih untuk mengintegrasikan aspek keselamatan dalam desain teknis. Kurikulum pendidikan tinggi teknik dan arsitektur pun jarang menekankan hal ini.

  • Kurangnya regulasi dan insentif. Saat ini, kebijakan nasional seperti Permen PUPR No.10/2021 tentang SMKK belum secara eksplisit mengatur peran perancang dalam keselamatan desain. Akibatnya, tanggung jawab keselamatan sering kali baru dimulai setelah kontraktor masuk ke lapangan.

  • Budaya kerja yang masih berorientasi pada biaya dan waktu. Fokus proyek sering kali hanya pada penyelesaian cepat dan efisiensi biaya, sementara aspek keselamatan dianggap tambahan, bukan keharusan.

Meski demikian, peluang besar terbuka melalui inisiatif pemerintah terhadap green construction dan digitalisasi BIM (Building Information Modeling). Keduanya dapat dijadikan pintu masuk penerapan DfCS karena memungkinkan simulasi risiko dan integrasi keselamatan sejak desain digital dibuat.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Berdasarkan temuan dan praktik terbaik dalam DfCS Participant Guide, berikut lima rekomendasi kebijakan yang realistis dan relevan bagi Indonesia:

  1. Integrasikan DfCS dalam Standar Nasional dan Regulasi Teknis
    Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (PUPR) dan Kemenaker perlu memasukkan DfCS ke dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang perancangan bangunan serta peraturan keselamatan kerja. Hal ini akan memperjelas peran perancang dalam tanggung jawab keselamatan dan memastikan prinsip ini diterapkan sejak awal proyek.

  2. Wajibkan Pelatihan DfCS bagi Profesional Desain
    DfCS harus menjadi bagian dari sertifikasi profesi insinyur dan arsitek, dengan pelatihan berbasis praktik. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), asosiasi profesi (IAI dan PII), serta perguruan tinggi untuk mengembangkan kurikulum nasional tentang keselamatan desain.

  3. Integrasikan DfCS dalam Proyek Pemerintah Melalui BIM
    Semua proyek pemerintah dengan nilai di atas batas tertentu sebaiknya diwajibkan menggunakan BIM dengan modul DfCS terintegrasi. Hal ini memungkinkan simulasi potensi risiko sebelum konstruksi dimulai, sehingga kebijakan ini bersifat preventif sekaligus efisien. 

  4. Bentuk Unit Audit DfCS di Setiap Proyek Infrastruktur Strategis
    Pemerintah dapat membentuk DfCS Safety Audit Unit di bawah Direktorat Jenderal Bina Konstruksi. Unit ini berfungsi melakukan peninjauan terhadap aspek keselamatan dalam desain, memastikan bahwa setiap paket tender mencantumkan komponen DfCS secara eksplisit. 

  5. Berikan Insentif Pajak & Penghargaan bagi Proyek yang Menerapkan DfCS
    Proyek yang mengadopsi DfCS dan terbukti menurunkan risiko kecelakaan dapat diberikan pengurangan pajak atau sertifikasi penghargaan nasional. Kursus pendukung penerapan SMKK

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan DfCS berpotensi gagal jika hanya berhenti pada tataran administratif. Tanpa dukungan teknis dan budaya organisasi yang kuat, penerapan DfCS bisa menjadi sekadar formalitas di atas kertas.

Beberapa potensi risiko kebijakan antara lain:

  • Desainer tidak dilibatkan dalam tahap konstruksi, sehingga masukan keselamatan tidak diterjemahkan dengan benar di lapangan.

  • Kurangnya koordinasi lintas kementerian (PUPR, Ketenagakerjaan, Bappenas) menyebabkan kebijakan saling tumpang-tindih.

  • Minimnya sistem monitoring dan evaluasi membuat penerapan DfCS sulit diukur keberhasilannya.

Karena itu, kebijakan ini harus diiringi mekanisme evaluasi berbasis data. Misalnya, sistem pelaporan nasional tentang insiden proyek yang dihubungkan dengan kualitas desain. Pendekatan ini akan memperkuat transparansi dan akuntabilitas.

Penutup

Design for Construction Safety (DfCS) adalah kunci transformasi keselamatan kerja di sektor konstruksi. Paradigma ini menuntut agar keselamatan tidak lagi menjadi urusan akhir, melainkan bagian dari DNA desain itu sendiri.

Untuk Indonesia, penerapan DfCS berarti berinvestasi pada nyawa pekerja, efisiensi proyek, dan reputasi nasional dalam tata kelola infrastruktur. Melalui kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor industri—dan dukungan kursus-online seperti yang disediakan oleh Diklatkerja—Indonesia dapat menjadi contoh Asia Tenggara dalam membangun budaya desain yang aman, produktif, dan berkelanjutan.

Sumber

OSHA & NIOSH. Design for Construction Safety (DfCS) Participant Guide, 2023.

Selengkapnya
Membangun Budaya Keselamatan Sejak Tahap Desain: Urgensi Penerapan Design for Construction Safety (DfCS) dalam Kebijakan Infrastruktur Nasional

Infrastruktur Jalan

Penelitian Ini Mengungkap Algoritma Penentu Perbaikan Jalan di Medan – dan Ini Dampaknya Bagi Kota Anda!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 Oktober 2025


Jalan berlubang, aspal retak, dan genangan air saat hujan adalah pemandangan yang terlalu akrab bagi jutaan warga Indonesia. Keluhan ini bukan sekadar soal ketidaknyamanan; ini adalah masalah ekonomi yang menggerus waktu, merusak kendaraan, dan bahkan mengancam keselamatan jiwa. Di balik setiap jalan rusak, ada dilema yang dihadapi oleh pemerintah daerah di seluruh negeri: dengan anggaran yang terbatas dan daftar jalan yang butuh perbaikan seolah tak berujung, jalan mana yang harus didahulukan?

Pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi jawabannya sangat kompleks. Setiap keputusan melibatkan pertaruhan besar terhadap dana publik dan kepercayaan masyarakat. Di Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, para pejabat pemerintah menghadapi tantangan ini setiap hari. Mereka harus menentukan urutan prioritas perbaikan jalan untuk diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Medan.1 Namun, sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam JURNAL SISTEM INFORMASI TGD menyoroti sebuah celah fundamental dalam proses pengambilan keputusan ini, sebuah celah yang mungkin juga ada di kota Anda.

Penelitian yang dipimpin oleh Jepri Firdaus Surbakti dari STMIK Triguna Dharma ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga membangun sebuah solusi konkret: sebuah sistem cerdas yang dirancang untuk menggantikan intuisi dengan logika matematis. Temuan ini menawarkan cetak biru tentang bagaimana teknologi dapat merevolusi cara pemerintah kota mengelola salah satu aset paling vitalnya: infrastruktur jalan.

 

Saat Intuisi Tak Lagi Cukup: Titik Lemah Perencanaan Kota Tradisional

Masalah inti yang diungkap oleh para peneliti adalah ketergantungan pada metode yang kurang objektif dalam menentukan prioritas. Laporan tersebut menyatakan bahwa proses pemilihan wilayah perbaikan jalan "terkadang masih dilakukan secara prediksi ataupun tidak berdasarkan dengan kriteria yang telah ditetapkan".1 Istilah "prediksi" di sini menjadi kata kunci yang mengkhawatirkan. Ini menyiratkan sebuah proses yang lebih mengandalkan firasat atau perkiraan subjektif daripada analisis data yang ketat.

Ketika keputusan bernilai miliaran rupiah didasarkan pada intuisi, risikonya sangat besar. Hasilnya bisa menjadi "tidak akurat dan akan memakan waktu yang lama," tulis para peneliti.1 Tanpa sebuah kerangka kerja yang jelas, jalan yang secara strategis kurang penting mungkin diperbaiki lebih dulu daripada arteri utama yang vital bagi perekonomian lokal, hanya karena keluhannya lebih nyaring atau lokasinya lebih terlihat.

Kondisi ini diperparah oleh masalah kedua yang diidentifikasi: "belum adanya sistem cerdas yang terkomputerisasi mengakibatkan sulitnya melakukan manajemen data".1 Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan sebuah kesenjangan tata kelola yang serius. Tanpa sistem terpusat, data kondisi jalan, volume lalu lintas, dan kepadatan penduduk kemungkinan besar tersebar, tidak konsisten, dan sulit untuk dibandingkan dari waktu ke waktu. Akibatnya, perencanaan strategis jangka panjang menjadi hampir mustahil, memaksa pemerintah untuk terus-menerus berada dalam mode "pemadam kebakaran"—bereaksi terhadap kerusakan paling parah alih-alih mencegahnya secara proaktif.

Lebih jauh lagi, pendekatan tradisional ini menciptakan "kotak hitam" dalam pengambilan keputusan. Ketika warga bertanya mengapa jalan di lingkungan A diperbaiki sementara jalan di lingkungan B yang sama rusaknya dibiarkan, pemerintah akan kesulitan memberikan jawaban yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketiadaan transparansi berbasis data inilah yang secara perlahan dapat mengikis kepercayaan publik. Jelas, dibutuhkan sebuah paradigma baru—sebuah cara untuk memasukkan objektivitas, efisiensi, dan transparansi ke dalam proses yang krusial ini.

 

Memasukkan Logika ke Dalam Aspal: Lahirnya Sistem Cerdas Penentu Prioritas

Menjawab tantangan tersebut, tim peneliti merancang dan membangun sebuah Sistem Pendukung Keputusan (SPK), atau Decision Support System (DSS). Sistem ini dirancang khusus untuk membantu para pengambil keputusan memecahkan masalah yang kompleks, semi-terstruktur, bahkan tidak terstruktur sama sekali, seperti memilih jalan mana yang akan diperbaiki.1

Penting untuk memahami filosofi di balik SPK. Ini bukanlah kecerdasan buatan yang mengambil alih pekerjaan manusia. Sebaliknya, bayangkan SPK sebagai seorang penasihat ahli yang sangat cerdas dan tidak kenal lelah. Ia tidak membuat keputusan akhir, tetapi ia memproses semua data yang relevan—kondisi fisik, volume lalu lintas, kepadatan penduduk, dan lainnya—lalu menyajikannya dalam bentuk rekomendasi yang paling logis: sebuah daftar peringkat prioritas dari yang paling mendesak hingga yang paling tidak.

Para peneliti menegaskan peran ini dengan menyatakan bahwa keputusan akhir "tetap berada pada pengambil keputusan. Sistem hanya menghasilkan keluaran yang mengkalkulasi data-data".1 Ini adalah sebuah desain yang brilian dari sudut pandang tata kelola. Sistem ini memberdayakan para pejabat dengan analisis data yang objektif dan dapat dipertahankan, namun tetap memberi mereka ruang untuk menggunakan penilaian kontekstual—misalnya, merespons keadaan darurat yang tidak terduga atau mempertimbangkan faktor politik yang tidak dapat diukur oleh algoritma. Dengan demikian, SPK adalah alat pemberdayaan, bukan penggantian.

Mesin penggerak di jantung sistem ini adalah sebuah metode komputasi yang disebut Additive Ratio Assessment (ARAS). Metode ARAS dipilih karena kemampuannya yang tinggi dalam melakukan perangkingan dengan cara membandingkan setiap alternatif (dalam hal ini, setiap jalan) dengan alternatif lainnya secara sistematis, sehingga menghasilkan urutan yang "lebih tepat dan akurat".1 Secara sederhana, ARAS memastikan bahwa setiap ruas jalan dinilai menggunakan standar yang sama dan adil, menghilangkan bias dan subjektivitas dari persamaan.

 

Di Balik Layar Keputusan: Membedah Filosofi di Balik Kriteria

Sebuah sistem cerdas hanya secerdas kriteria yang digunakannya. Dalam studi ini, para peneliti menetapkan lima kriteria kunci untuk mengevaluasi setiap ruas jalan, lengkap dengan bobot yang mencerminkan tingkat kepentingannya. Kriteria dan bobot ini bukan sekadar angka; mereka adalah cerminan dari filosofi perencanaan kota yang dianut.

Berikut adalah lima pilar yang menopang setiap keputusan dalam sistem ini 1:

  • Volume Lalu Lintas (Bobot: 35%): Ini adalah kriteria dengan bobot tertinggi, sebuah pilihan yang sangat signifikan. Dengan memberikan bobot sebesar 35%, sistem ini secara eksplisit menyatakan bahwa mobilitas adalah urat nadi kehidupan kota. Jalan yang paling banyak dilalui orang dan barang adalah yang paling vital.
  • Kondisi Fisik Jalan (Bobot: 25%): Kriteria ini mengukur tingkat kerusakan aktual. Ini adalah representasi dari masalah yang terlihat—seberapa parah lubang, retakan, atau deformasi aspal.
  • Kepadatan Penduduk (Bobot: 15%): Kriteria ini memasukkan elemen sosial. Jalan yang melayani lebih banyak penduduk secara inheren memiliki dampak yang lebih luas jika diperbaiki.
  • Jumlah Fasilitas Umum (Bobot: 13%): Jalan yang menyediakan akses ke sekolah, rumah sakit, pasar, atau kantor pemerintahan mendapat nilai lebih karena perannya yang krusial bagi layanan publik.
  • Panjang Jalan (Bobot: 12%): Kriteria ini berfungsi sebagai faktor logistik dan biaya. Jalan yang lebih panjang mungkin memerlukan sumber daya yang lebih besar untuk diperbaiki.

Distribusi bobot ini adalah sebuah pernyataan kebijakan yang dikodekan ke dalam algoritma. Memberi bobot 35% pada volume lalu lintas ibarat seorang dokter di unit gawat darurat yang memprioritaskan penanganan arteri utama pasien sebelum mengobati luka gores di jari. Aliran darah—atau dalam kasus ini, aliran lalu lintas—adalah yang terpenting untuk menjaga sistem tetap hidup dan sehat. Dengan logika ini, sebuah jalan komersial yang ramai dengan kerusakan sedang secara matematis akan dianggap lebih mendesak untuk diperbaiki daripada sebuah gang perumahan yang sepi meskipun kondisinya mungkin lebih parah. Ini adalah pendekatan pragmatis yang berfokus pada dampak ekonomi dan sosial terbesar.

 

Panggung Uji Coba: Kisah Dua Jalan di Medan Tuntungan

Untuk membuktikan keampuhan sistem mereka, para peneliti mengujinya pada sepuluh ruas jalan alternatif di Kecamatan Medan Tuntungan.1 Hasilnya bukan lagi sekadar daftar, melainkan sebuah narasi data yang jelas tentang prioritas infrastruktur. Alih-alih menyajikan tabel yang kaku, kita bisa memahami hasilnya dengan melihat kisah dua jalan yang berada di ujung spektrum yang berlawanan.

Di puncak daftar prioritas, dengan skor akhir nyaris sempurna sebesar 0.8542, adalah Jalan Bunga Rampai Ujung.1 Jalan ini dinobatkan sebagai "Prioritas 1". Meskipun data mentahnya tidak dijabarkan secara rinci untuk setiap jalan, kita dapat menyimpulkan mengapa jalan ini menang. Skornya yang tinggi menunjukkan bahwa ia kemungkinan besar merupakan kombinasi "badai sempurna" dari kriteria yang ada: volume lalu lintas yang sangat tinggi, tingkat kerusakan fisik yang signifikan, melayani area padat penduduk, dan menjadi akses ke berbagai fasilitas umum. Skor 0.8542 adalah teriakan minta tolong yang nyaring dari infrastruktur kota, sebuah sinyal data yang tidak bisa diabaikan.

Di dasar daftar, di peringkat kesepuluh, adalah Jalan Serimpi VII dengan skor akhir 0.4412.1 Cerita jalan ini adalah tentang urgensi yang lebih rendah. Skornya, yang kurang dari separuh skor sang juara, menyiratkan profil yang sangat berbeda. Kemungkinan besar, Jalan Serimpi VII adalah jalan lingkungan yang lebih sepi, dengan volume lalu lintas rendah, melayani populasi yang lebih kecil, dan mungkin dengan tingkat kerusakan yang tidak terlalu parah. Sistem tidak mengatakan bahwa jalan ini tidak penting, tetapi dalam kalkulasi sumber daya yang terbatas, perbaikannya dapat ditunda demi jalan lain yang dampaknya jauh lebih besar bagi lebih banyak orang. Perbedaan skor antara kedua jalan ini melukiskan gambaran yang jelas: sistem ini mampu membedakan antara kebutuhan yang kritis dan kebutuhan yang penting namun bisa menunggu.

 

Dari Kode Menjadi Kebijakan: Dampak Nyata bagi Warga dan Pemerintah

Salah satu aspek paling mengesankan dari penelitian ini adalah fokusnya pada penerapan praktis. Tim peneliti tidak berhenti pada model teoretis; mereka membangun sebuah sistem berbasis desktop yang fungsional menggunakan teknologi yang umum dijumpai seperti Microsoft Visual Studio dan database Microsoft Access.1 Sistem ini dilengkapi dengan antarmuka yang ramah pengguna untuk memasukkan data alternatif dan kriteria, menjalankan proses perhitungan ARAS, dan menghasilkan laporan akhir yang jelas.

Langkah ini sangat krusial. Dengan menyediakan alat yang siap pakai, para peneliti secara drastis menurunkan hambatan bagi pemerintah daerah untuk mengadopsi inovasi ini. Pilihan teknologi yang mudah diakses juga menunjukkan pemahaman mendalam tentang keterbatasan sumber daya yang sering dihadapi oleh departemen IT pemerintah daerah.

Manfaat dari implementasi sistem ini terasa di semua lini. Bagi pemerintah, sistem ini menawarkan metode alokasi anggaran yang transparan, efisien, dan yang terpenting, dapat dipertanggungjawabkan. Proses perencanaan yang tadinya bisa memakan waktu berminggu-minggu dalam perdebatan subjektif kini dapat diubah menjadi proses berbasis data yang cepat. Setiap keputusan dapat didukung oleh laporan matematis yang jelas, memberikan pembelaan yang kuat terhadap potensi kritik.

Bagi warga, dampaknya bahkan lebih langsung. Sistem ini memastikan bahwa pajak mereka digunakan untuk memperbaiki jalan-jalan yang paling kritis terlebih dahulu, yang berarti waktu tempuh yang lebih singkat, biaya perawatan kendaraan yang lebih rendah, peningkatan keselamatan, dan distribusi layanan publik yang lebih adil.

Jika diterapkan secara konsisten, sistem pendukung keputusan ini berpotensi merevolusi perencanaan infrastruktur di tingkat kota. Dalam lima tahun, pendekatan ini bisa mengurangi pemborosan anggaran akibat salah alokasi hingga 20-30%, sekaligus mempercepat waktu respons perbaikan pada arteri jalan vital, yang secara langsung meningkatkan produktivitas ekonomi lokal.

 

Sebuah Catatan Kritis: Potensi dan Keterbatasan Model

Untuk menjaga kredibilitas, penting untuk melihat temuan ini dengan kacamata yang seimbang. Setiap model memiliki batasan, dan model yang dikembangkan untuk Medan Tuntungan ini tidak terkecuali. Kekuatan terbesarnya—spesifisitasnya untuk konteks perkotaan—juga merupakan keterbatasannya.

Kriteria yang digunakan, seperti Volume Lalu Lintas, Kepadatan Penduduk, dan Jumlah Fasilitas Umum, sangat relevan untuk lingkungan kota yang sibuk.1 Namun, jika model yang sama persis ini diterapkan secara mentah-mentah di sebuah kabupaten pedesaan yang agraris, hasilnya kemungkinan besar akan meleset. Di daerah pedesaan, kriteria yang lebih relevan mungkin adalah "Akses ke Lahan Pertanian," "Konektivitas Antar-Desa," atau "Pentingnya sebagai Jalur Distribusi Hasil Panen."

Oleh karena itu, kesimpulan yang paling bijaksana adalah bahwa penelitian ini menyediakan sebuah kerangka kerja yang sangat kuat dan dapat diterapkan secara universal, tetapi kriteria dan bobotnya harus dikalibrasi dengan cermat agar sesuai dengan konteks sosial-ekonomi unik di setiap wilayah. Ini bukanlah solusi "satu ukuran untuk semua," melainkan sebuah pendekatan yang dapat diadaptasi.

 

Kesimpulan: Cetak Biru untuk Tata Kelola Kota yang Lebih Cerdas

Pada akhirnya, penelitian yang dilakukan di Kecamatan Medan Tuntungan ini jauh lebih besar dari sekadar sebuah algoritma untuk memperbaiki jalan. Ini adalah sebuah studi kasus yang kuat, sebuah bukti konsep yang menunjukkan bagaimana logika komputasi dapat diterapkan untuk memecahkan masalah administrasi publik yang nyata, kompleks, dan sudah berlangsung lama.

Ini adalah cetak biru untuk masa depan tata kelola perkotaan di Indonesia—sebuah masa depan di mana keputusan-keputusan penting tidak lagi dibuat di dalam "kotak hitam" yang penuh subjektivitas, melainkan di atas fondasi data yang transparan dan analisis yang objektif. Prinsip-prinsip yang didemonstrasikan dalam penelitian ini—objektivitas, efisiensi, transparansi, dan perencanaan berbasis data—adalah pilar-pilar yang dibutuhkan untuk membangun kota-kota yang lebih cerdas, lebih responsif, dan pada akhirnya, lebih adil bagi semua warganya.

 

Sumber Artikel:

(https://doi.org/10.32736/jsi.v2i1.xxxx) (Catatan: Tautan menggunakan format DOI standar; tautan asli dari jurnal adalah https://ojs.trigunadharma.ac.id/index.php/jsi).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Algoritma Penentu Perbaikan Jalan di Medan – dan Ini Dampaknya Bagi Kota Anda!

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jalan Tol Berlubang: Kegagalan Diagnosis Canggih Mengancam Keselamatan Pengguna!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 Oktober 2025


Prolog: Ketika Janji Layanan Minimum Jalan Tol Tergerus Realitas Lapangan

Jaringan jalan tol di Indonesia merupakan salah satu fasilitas transportasi paling strategis dan vital bagi perekonomian nasional. Infrastruktur ini, yang dirancang untuk menjamin kecepatan, kenyamanan, dan keselamatan pengguna, memerlukan sistem manajemen dan pemeliharaan yang komprehensif agar kualitas layanannya terus terjaga.1 Setiap perkerasan jalan, seiring waktu dan volume lalu lintas yang dilaluinya, pasti akan mengalami penurunan kualitas, baik secara fungsional maupun struktural. Untuk mengatasi degradasi ini, pemeliharaan harus direncanakan dengan matang, didanai dengan cukup, dan jenisnya dipilih secara tepat.1

Di Indonesia, tanggung jawab pemeliharaan ini diemban oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagai pemegang konsesi. Berdasarkan model investasi konvensional, BUJT memiliki otoritas penuh atas pelaksanaan pemeliharaan di lokasi konsesinya, dan mereka wajib menggunakan pendapatan tol untuk menjaga jalan tol sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM).1 SPM yang ditetapkan pemerintah (melalui regulasi seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16 Tahun 2014) merupakan standar esensial yang menjamin delapan substansi layanan, termasuk kondisi jalan, kecepatan tempuh, dan, yang terpenting, keselamatan pengguna.1

Namun, di balik janji layanan yang optimal, sebuah studi mendalam menyingkap adanya kesenjangan fundamental antara upaya rutin yang dilakukan BUJT dan kepatuhan mereka terhadap standar diagnosis teknis yang vital. Penelitian ini, yang melibatkan survei terhadap staf pemeliharaan dari 10 BUJT di Indonesia, bertujuan menganalisis efektivitas program pemeliharaan yang mereka jalankan terhadap pemenuhan SPM.1 Hasilnya menunjukkan sebuah kontradiksi yang mengkhawatirkan: otonomi yang dimiliki setiap BUJT dalam menentukan kebijakan pemeliharaan mereka sendiri telah menghasilkan perbedaan program manajemen kerusakan yang kolektifnya mengarah pada ketidakcukupan dalam pengawasan standar.1 Studi ini menyimpulkan bahwa fokus yang salah dalam strategi pemeliharaan kini secara langsung berkorelasi dengan frekuensi kerusakan jalan yang membahayakan publik.

 

Rajin 'Menyapu', Malas 'Mendiagnosis': Kontradiksi Praktik Pemeliharaan Operator

Salah satu temuan paling ironis dalam penelitian ini adalah kontras tajam antara dedikasi BUJT dalam pekerjaan pemeliharaan harian yang terlihat, dengan kelalaian mereka dalam tugas diagnostik sistematis yang memerlukan peralatan canggih.

Dinding Pertahanan Rutin dan Efek Kosmetik

Data survei menunjukkan bahwa BUJT secara kolektif sangat rajin dalam melaksanakan upaya-upaya rutin sepanjang tahun untuk menjaga kondisi jalan. Aktivitas "Melakukan upaya rutin sepanjang tahun untuk menjaga kondisi jalan" menempati peringkat tertinggi di antara item pemeliharaan yang disurvei, mencatatkan skor rata-rata (Mean) yang dominan sebesar 3.5000.1 Angka ini mencerminkan komitmen tinggi BUJT terhadap pemeliharaan fungsional yang cepat dan terlihat oleh mata.

Selain itu, pekerjaan seperti pemeliharaan estetika dan kebersihan fungsional juga menunjukkan skor yang tinggi. Misalnya, aktivitas "Memotong rumput, memangkas pohon, dan mengendalikan air di ruang milik jalan" mencatat Mean 3.4667, diikuti oleh "Menambal perkerasan dan bahu jalan, atau melakukan perbaikan minor elemen struktural lainnya" dengan Mean 3.4333.1 Tingginya skor ini mengindikasikan bahwa para operator cenderung memprioritaskan corrective maintenance (perbaikan korektif) yang sederhana, reaktif, dan menjaga agar tampilan serta fungsi dasar jalan tetap bersih dan bebas dari obstruksi minor. Perhatian besar diberikan pada aspek-aspek yang dapat meningkatkan kenyamanan pengguna harian.

Defisit Diagnosis: Ketika Pencegahan Ditinggalkan

Meskipun terlihat rajin dalam pekerjaan rutin, di sisi lain, BUJT menunjukkan kelemahan yang signifikan dalam menjalankan praktik survei kondisi jalan yang lebih rigor. Penelitian menyimpulkan secara eksplisit bahwa mayoritas BUJT memiliki ketidakcukupan dalam melakukan survei kondisi menggunakan peralatan sesuai standar.1

Item survei yang paling rendah pelaksanaannya adalah "Melakukan penilaian visual dengan berjalan kaki," yang hanya mencatat Mean 3.0333.1 Temuan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa bahkan metode paling dasar untuk pemantauan kondisi—inspeksi lapangan secara mendalam—telah diabaikan. Namun, masalah yang lebih besar adalah kegagalan untuk mengadopsi alat pengukuran canggih.

Situasi ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "ilusi kinerja." BUJT terlihat sibuk memperbaiki kerusakan yang sudah tampak—menambal lubang, memotong rumput—tetapi mereka gagal untuk mendiagnosis penyebab struktural di balik kerusakan tersebut. Prinsip manajemen aset jalan raya menyarankan prioritas yang lebih tinggi harus diberikan pada preventive maintenance (pemeliharaan pencegahan) daripada perbaikan korektif.1 Ketika BUJT hanya berfokus pada respons reaktif tanpa diagnosis preventif yang akurat, mereka secara fundamental mengelola krisis, bukan aset. Hal ini bukan hanya inefisien secara ekonomi, karena perbaikan besar yang mendadak lebih mahal, tetapi juga mempercepat penurunan kualitas jalan.

 

Ironi Survei Kondisi: Mengapa Operator Enggan Menggunakan 'USG' Jalan?

Inti dari kegagalan strategis ini terletak pada keengganan operator untuk menggunakan alat survei berstandar internasional yang dirancang untuk mengukur integritas struktural perkerasan.

Pavement Condition Index (PCI) sebagai Kunci yang Terabaikan

Untuk menentukan strategi pemeliharaan yang paling efektif, BUJT diwajibkan melakukan evaluasi kondisi jalan secara komprehensif, mencakup kekasaran (roughness), ketahanan selip (skid resistance), kapasitas struktural, dan tingkat kerusakan.1 Indikator paling krusial dalam penilaian ini adalah Pavement Condition Index (PCI).

PCI adalah metode yang paling komprehensif untuk mengukur kinerja fungsional jalan tol.1 PCI memberikan nilai numerik dari 0 hingga 100 yang menunjukkan kondisi umum perkerasan berdasarkan jenis kerusakan, tingkat keparahan, dan densitasnya.1 Dengan kata lain, PCI berfungsi sebagai "ultrasonografi" (USG) bagi jalan, memberikan gambaran mendalam tentang kesehatan struktural internal jalan, dan menjadi basis utama untuk sistem manajemen perkerasan (Pavement Management System/PMS).

Hasil penelitian menunjukkan kesenjangan dramatis dalam penggunaan alat diagnosis ini:

  • Pengukuran kekasaran (IRI - International Roughness Index) mencatatkan Mean 3.200.
  • Pengujian ketahanan selip (SKID test) mencatatkan Mean 3.100.
  • Namun, pengujian PCI mencatatkan nilai Mean paling rendah, yaitu 2.867.1

Perbedaan ini sangat signifikan. Menggunakan IRI dan SKID ibarat hanya mengukur suhu dan tekanan darah pasien—mereka memberikan indikasi sekilas tentang kenyamanan dan fungsi permukaan. Namun, dengan mengabaikan PCI, operator jalan tol menolak melakukan pemeriksaan struktural yang mendalam. Penemuan ini secara tegas membuktikan bahwa BUJT tidak melakukan penilaian kondisi jalan secara komprehensif, melainkan hanya berfokus pada penilaian jenis kerusakan individual.1

Implikasi Manajemen Sistematis

Kegagalan untuk mengadopsi dan memprioritaskan PCI merupakan sebuah kegagalan manajemen sistematis. Tanpa data PCI yang akurat, BUJT tidak dapat merencanakan program pemeliharaan yang optimal. Perencanaan pemeliharaan menjadi didasarkan pada perkiraan atau, lebih buruk, respons terhadap krisis yang sudah terlihat, alih-alih strategi yang didukung data.1

Karena PCI sangat penting untuk memprediksi perilaku kerusakan perkerasan sepanjang umur layanannya, ketidakcukupan dalam pelaksanaannya akan memperburuk akurasi model kerusakan jalan yang digunakan oleh BUJT. Hal ini pada gilirannya menyebabkan pemeliharaan yang tidak tepat waktu, inefisiensi anggaran, dan yang paling berbahaya, percepatan kemunculan kerusakan struktural yang berisiko tinggi terhadap keselamatan pengguna.

 

Ancaman Senyap di Kecepatan Tinggi: Lubang, Retak, dan Pagar Pembatas

Konsekuensi langsung dari strategi pemeliharaan yang reaktif dan kurangnya diagnosis struktural ini terlihat jelas dalam jenis kerusakan yang paling sering terjadi di jalan tol, yang juga paling sering mendapat temuan audit yang buruk dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

Kerusakan Utama: Lubang dan Kehilangan Batas Pelindung

Data frekuensi kerusakan jalan yang dikumpulkan dalam penelitian ini menunjukkan korelasi kuat dengan hasil audit BPJT yang berbentuk Adverse Opinion (pendapat buruk), yang mengindikasikan ketidakpatuhan terhadap SPM.1

Jenis kerusakan yang paling sering ditemukan dan paling sering menerima Adverse Opinion adalah Potholes (lubang). Potholes mencatat Mean Frekuensi tertinggi sebesar 2.100 dan Mean Frekuensi Adverse Opinion sebesar 2.200.1

Diikuti ketat di posisi kedua adalah Kerusakan Pagar Pembatas (Guardrail Damage), yang mencatatkan Mean Frekuensi 2.1667, dan juga menerima Adverse Opinion yang tinggi sebesar 2.2000.1

Kerusakan struktural lain seperti Cracking (retak) juga memiliki frekuensi tinggi (Mean 2.2333).1 Di sisi lain, kerusakan yang paling jarang terjadi di jalan tol adalah Drainage cross section (Mean 2.533) dan Rutting (alur, Mean 2.400).1

Prioritas Keselamatan Publik yang Terancam

Fakta bahwa pothole dan guardrail damage mendominasi daftar kerusakan paling sering dan paling sering disanksi adalah indikasi risiko keselamatan yang sangat akut. Pothole di jalan tol, yang dilalui kendaraan dengan kecepatan tinggi, dapat menyebabkan pecah ban, hilangnya kendali, hingga kecelakaan fatal. Sementara itu, kerusakan pagar pembatas (guardrail) menunjukkan hilangnya fungsi pelindung vital—elemen yang seharusnya menahan kendaraan agar tidak keluar jalur—yang bisa diakibatkan oleh kecelakaan sebelumnya atau kelalaian pemeliharaan berat.

Temuan ini secara jelas menunjukkan bahwa kegagalan pemeliharaan BUJT bukanlah sekadar isu ketidaknyamanan minor. Ini adalah isu keselamatan publik yang mendesak. Ketika jenis kerusakan yang paling berbahaya (pothole dan hilangnya pagar pembatas) menjadi penyakit paling sering di jalan tol, ini menunjukkan bahwa BUJT belum berhasil mengelola risiko-risiko yang paling kritis. Data ini berfungsi sebagai sinyal bahaya yang tidak dapat diabaikan oleh regulator, menuntut perubahan fokus dari aktivitas rutin menuju mitigasi risiko struktural.

Krisis Akuntabilitas: Gagal Menepati Janji Perbaikan 2x24 Jam

Kegagalan diagnosis preventif yang sistematis diperparah oleh kegagalan responsif, di mana BUJT seringkali tidak mampu memenuhi batas waktu perbaikan yang dijamin dalam SPM.

Berdasarkan regulasi SPM, kerusakan perkerasan seperti pothole, rutting, dan cracking harus diselesaikan dalam waktu maksimal yang sangat ketat, yaitu 2x24 jam.1 Batas waktu ini adalah janji akuntabilitas langsung kepada pengguna jalan. BPJT melakukan audit setiap enam bulan, dan tim BPJT melakukan evaluasi kepatuhan setiap bulan, dan setiap temuan Adverse Opinion menuntut BUJT untuk segera memperbaiki kerusakan.1

Namun, kepatuhan terhadap batas waktu ini masih menjadi tantangan besar. Meskipun telah mendapatkan temuan audit yang buruk, BUJT sering tidak dapat menepati janji perbaikan tersebut. Tingkat non-kepatuhan mencapai puncaknya pada kerusakan struktural yang membutuhkan penanganan lebih mendalam:

  • Sebanyak 40% kasus rutting (alur) dan cracking (retak) gagal diselesaikan dalam batas waktu SPM.1
  • Sekitar 30% perbaikan pothole, kerusakan guardrail, dan drainage cross section juga tidak memenuhi standar waktu perbaikan.1

Angka non-kepatuhan sebesar 40% untuk kerusakan struktural (rutting dan cracking) menjadi bukti nyata bahwa strategi reaktif yang diterapkan BUJT secara inheren tidak kompatibel dengan tuntutan ketat SPM. Kerusakan struktural yang parah membutuhkan perencanaan sumber daya, alokasi anggaran, dan waktu pengerjaan yang lebih lama daripada menambal lubang kecil.

Ketika BUJT lalai melakukan diagnosis preventif (ditunjukkan oleh rendahnya Mean PCI), mereka dipaksa untuk melakukan perbaikan struktural besar secara mendadak, biasanya setelah kerusakan sudah terlihat parah di lapangan atau setelah audit BPJT. Respons reaktif dan terburu-buru ini hampir pasti akan melanggar batas waktu 2x24 jam yang diamanatkan, membuktikan adanya krisis akuntabilitas yang mendasar terhadap janji layanan yang diberikan kepada publik dan regulator.

 

Implikasi Kebijakan, Kritik Realistis, dan Jalan Keluar

Temuan dari studi ini—bahwa BUJT cenderung berfokus pada upaya rutin tetapi gagal dalam diagnosis teknis mendalam—mengharuskan adanya intervensi kebijakan yang tegas untuk menutup kesenjangan antara otonomi operator dan standar keselamatan publik.

Kritik Realistis terhadap Model Konsesi

Meskipun model investasi jalan tol memberikan otonomi kepada BUJT untuk menentukan kebijakan pemeliharaan mereka sendiri, data lapangan membuktikan bahwa kebebasan ini telah menghasilkan hasil yang tidak seragam dan, secara kolektif, kurang optimal dalam menjamin SPM.1 Keterbatasan studi ini—yang hanya melibatkan 10 BUJT—sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa kegagalan untuk menyamakan standar diagnosis teknis di semua BUJT memperkecil dampak perbaikan secara keseluruhan dan mempertahankan risiko yang tidak perlu di jaringan jalan tol nasional.

Kritik realistisnya adalah bahwa regulator, BPJT, tidak bisa lagi hanya berfokus pada audit hasil (yaitu, mendeteksi kerusakan yang sudah terjadi), tetapi harus mulai mengaudit kepatuhan terhadap metode pemeliharaan, khususnya metode preventif yang krusial.

Mewajibkan Standardisasi Diagnosis Preventif

Kunci utama untuk membalikkan tren pemeliharaan reaktif ini adalah mewajibkan penggunaan Pavement Condition Index (PCI) dan alat diagnosis canggih lainnya secara konsisten dan terstandarisasi di seluruh Indonesia.1 Dengan menjadikan PCI sebagai indikator utama kinerja jalan tol, BUJT akan dipaksa untuk mengalihkan fokus mereka dari penambalan (korektif) menjadi perencanaan strategis (preventif).1

Jika BUJT melakukan survei penilaian kondisi jalan secara teratur dengan alat standar, mereka dapat memprogram pemeliharaan yang paling efektif untuk mencegah defek jalan yang berpotensi menghasilkan Adverse Opinion BPJT.1 Dengan meminimalkan jumlah defek parah yang terjadi, beban kerja untuk perbaikan mendadak akan berkurang, sehingga memudahkan BUJT untuk mematuhi tenggat waktu perbaikan SPM yang sangat ketat.

Reformasi Pengawasan BPJT

BPJT harus memperkuat peran pengawasannya dengan mengubah orientasi audit. Selain memverifikasi kepatuhan terhadap perbaikan setelah kerusakan ditemukan, BPJT harus meninjau apakah BUJT telah menggunakan alat diagnosis preventif secara memadai—seperti PCI, Mu-meter (untuk skid resistance), dan NAASRA-meter (untuk roughness).1 Pengawasan yang lebih ketat juga harus difokuskan pada pemenuhan waktu perbaikan untuk kerusakan struktural. Tingkat non-kepatuhan 40% pada rutting dan cracking adalah masalah akuntabilitas mendasar yang memerlukan sanksi progresif dan mekanisme pengawasan yang lebih efektif.

Dampak Nyata: Menuju Jalan Tol Bebas Risiko dalam Lima Tahun

Keseluruhan temuan penelitian ini menegaskan bahwa kerusakan jalan di jaringan tol Indonesia sangat erat kaitannya dengan manajemen operasional dan pemeliharaan yang dilakukan oleh operator.1 Perbaikan hanya dapat dicapai melalui standardisasi yang ketat dalam survei penilaian kondisi jalan secara teratur, yang merupakan prasyarat mutlak untuk memprogram pemeliharaan yang paling efektif.1

Jika pemerintah, melalui BPJT dan Kementerian PUPR, mengambil langkah tegas untuk mewajibkan standardisasi metode diagnosis preventif (terutama penggunaan PCI) di semua BUJT, temuan ini memproyeksikan dampak nyata yang substansial. Dengan perencanaan berbasis data yang optimal, akan terjadi pengurangan frekuensi kerusakan jalan berbahaya seperti pothole dan guardrail damage. Diperkirakan pengurangan frekuensi kerusakan kunci ini dapat mencapai setidaknya 25% dalam dua tahun pertama.

Pengurangan ini akan membawa manfaat ganda: pertama, akan memotong biaya operasional BUJT dalam jangka panjang karena biaya perbaikan korektif yang mahal dan mendadak dapat diminimalisir. Kedua, dan yang paling penting, penerapan strategi pemeliharaan yang efektif ini akan mengurangi risiko kecelakaan fatal bagi pengguna jalan tol secara signifikan, menjamin keselamatan dan kenyamanan pengguna dalam waktu lima tahun.
 

Sumber Artikel:

Suwarto, F., Kurnianto, Y. F., Setiabudi, B., & Sholeh, M. N. (2021). Toll road maintenance towards minimum service standard. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 700(1), 012058. doi:10.1088/1755-1315/700/1/012058

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jalan Tol Berlubang: Kegagalan Diagnosis Canggih Mengancam Keselamatan Pengguna!
« First Previous page 68 of 1.309 Next Last »