Teknik Sipil

Mengurai Kesenjangan Riset: Peta Jalan Akademik untuk Meningkatkan Ketahanan Infrastruktur Transportasi Global terhadap Banjir

Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025


Bencana alam, khususnya banjir, merupakan ancaman nyata yang terus meningkat seiring dengan perubahan iklim dan urbanisasi global. Kerentanan infrastruktur terhadap kejadian-kejadian ini telah menjadi fokus krusial bagi keberlangsungan fungsi masyarakat. Resensi riset ini bersumber dari sebuah tinjauan sistematis komprehensif yang bertujuan untuk memetakan lanskap penelitian akademik mengenai upaya peningkatan ketahanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Tinjauan ini secara eksplisit dirancang sebagai peta jalan bagi komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset, dengan fokus pada penyusunan agenda riset ke depan yang menjembatani temuan saat ini dengan kebutuhan implementasi jangka panjang.

Jalur logis perjalanan temuan dalam tinjauan ini disusun melalui tiga tahapan metodologis yang ketat:

  1. Tahap Pertama (1900–2021) mengidentifikasi ancaman alam yang paling dominan dalam studi kerentanan. Analisis menemukan bahwa penelitian yang berfokus pada 'kerentanan banjir' merupakan yang paling menonjol dengan mencatatkan 2.223 hasil; temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara banjir dan fokus riset global — jauh melampaui kerentanan kekeringan (drought vulnerability) yang berada di posisi kedua dengan 1.383 hasil. Data kuantitatif ini secara deskriptif menunjukkan potensi kuat banjir sebagai objek penelitian baru yang paling mendesak.
  2. Tahap Kedua (1981–2021) menyaring jenis infrastruktur kritis yang paling sering dikaitkan dengan ketahanan banjir (flood resilience). Dari 55 studi yang relevan, transportasi adalah jenis infrastruktur yang paling banyak diteliti, muncul di 57% dari keseluruhan studi. Kuantitas ini secara deskriptif menegaskan transportasi sebagai variabel kunci dan prioritas tertinggi untuk studi resiliensi, dibandingkan dengan infrastruktur lain seperti pengolahan air limbah (42%) atau energi (34%).
  3. Tahap Ketiga (1981–2021) mengkategorikan dan menganalisis secara mendalam 133 artikel jurnal berbahasa Inggris dan telah ditinjau sejawat (peer-reviewed) yang secara spesifik membahas peningkatan ketahanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Penelitian-penelitian ini kemudian disusun menjadi enam kategori riset utama yang dipetakan dengan Kerangka Kerja Perencanaan Ketahanan Infrastruktur (IRPF) dari Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA).

Enam kategori riset yang ditemukan mencakup: (A) analisis risiko banjir (17 studi), (B) prediksi dan peramalan banjir real-time (11 studi), (C) investigasi dampak fisik (29 studi), (D) analisis kerentanan sistem transportasi (25 studi), (E) strategi mitigasi dan persiapan (20 studi), dan (F) area terkait lainnya (31 studi). Dengan 31 studi, Kategori F memiliki jumlah studi paling banyak, diikuti oleh Kategori C (29 studi), menunjukkan fokus riset saat ini yang luas dan mendalam pada dampak serta area terkait ketahanan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Studi-studi yang ditinjau menunjukkan kemajuan signifikan dalam pemodelan, pengumpulan data, dan analisis kerentanan. Kontribusi utama terbagi dalam beberapa domain:

  1. Pemodelan Hidrologi dan Hidrodinamika: Riset saat ini telah memanfaatkan model-model canggih seperti HEC-HMS dan Mike Urban untuk menganalisis kedalaman dan risiko banjir secara spasial, sering kali dengan integrasi sistem informasi geografis (GIS) untuk memvisualisasikan data elevasi dan depresi lahan. Peningkatan ini memungkinkan identifikasi struktur drainase yang berpengaruh (seperti gorong-gorong dan saluran) sebagai karakteristik penting yang memengaruhi risiko.
  2. Sistem Prediksi Real-Time: Terdapat upaya nyata untuk memajukan sistem peringatan dini yang mampu melampaui risiko banjir historis, terutama untuk meningkatkan kemampuan tanggap darurat. Ini melibatkan penambahan data baru seperti data angin atmosfer, prediksi harmonik pasang surut, dan arus laut ke dalam model hidrodinamika.
  3. Penggunaan Data Inovatif dan Kolaboratif: Penelitian telah menunjukkan penggunaan data real-time dan non-tradisional yang semakin matang. Contohnya adalah pemanfaatan analisis citra dan metadata dari media sosial (tweet) untuk menentukan ruas jalan yang dapat dilalui (passability) selama banjir. Pendekatan ini secara signifikan mengurangi waktu pemrosesan, yang sangat penting dalam kondisi darurat.
  4. Resiliensi dan Prioritas Jaringan: Sejumlah besar studi (Kategori D) berfokus pada analisis kerentanan jaringan transportasi untuk memprioritaskan upaya resiliensi. Pemetaan ini sangat vital untuk mengalokasikan investasi secara tepat guna, memaksimalkan manfaat ekonomi dan fungsi umum.

Secara geografis, kepentingan riset ini diakui secara global, dengan 39 studi dilakukan di Asia, 32 di Amerika Utara (khususnya AS), dan 29 di Eropa. Distribusi ini menunjukkan pentingnya penelitian di wilayah yang mengalami urbanisasi pesat di sepanjang garis pantai dan kenaikan permukaan air laut, seperti di Asia, di mana kerentanan meningkat akibat kepadatan penduduk dan aset.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kontribusi riset saat ini sangat berharga, tinjauan ini secara eksplisit mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan yang signifikan dalam alur kerja IRPF. Mayoritas studi yang ada berfokus pada Penilaian Risiko (Langkah 3) dan Pengembangan Tindakan (Langkah 4, sebagian).

Kesenjangan kritis yang memerlukan perhatian mendesak dalam riset ke depan berada pada komponen Implementasi dan Evaluasi (Langkah 5 IRPF) dan sebagian dari Langkah 4. Empat komponen utama yang kurang mendapat perhatian dalam literatur adalah:

  1. Menilai sumber daya dan kapabilitas yang ada.
  2. Implementasi melalui mekanisme perencanaan yang ada (misalnya rencana komunikasi, rencana pemulihan pra-bencana).
  3. Memantau dan mengevaluasi efektivitas.
  4. Memperbarui rencana.

Kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun komunitas akademik telah berhasil mengidentifikasi ancaman, menilai risiko, dan merumuskan solusi resiliensi, metodologi dan kerangka kerja untuk mengukur keberhasilan implementasi solusi-solusi tersebut di lapangan masih sangat minim. Pertanyaan terbuka terpenting adalah: bagaimana kita mengukur dan memverifikasi bahwa sebuah tindakan mitigasi telah benar-benar meningkatkan ketahanan transportasi dalam konteks operasional nyata?

Keterbatasan ini menjadi penghalang terbesar dalam menjembatani temuan saat ini dan potensi jangka panjang untuk mencapai ketahanan transportasi berkelanjutan. Resiliensi sejati tidak hanya diukur dari kemampuan sistem untuk menahan bencana, tetapi juga dari kemampuan untuk pulih (recoup losses and recover stability) dan terus beradaptasi pasca-bencana, yang memerlukan pemantauan dan evaluasi berkelanjutan.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Untuk mengatasi keterbatasan yang teridentifikasi dan memperluas kontribusi riset saat ini, lima rekomendasi riset berkelanjutan berikut disajikan:

1. Pengembangan Metrik Kinerja Resiliensi Operasional (RPM) Jaringan

Riset selanjutnya harus berfokus pada pengembangan Metrik Kinerja Resiliensi Operasional (RPM) yang terukur untuk infrastruktur transportasi, sebuah upaya yang secara langsung mengisi kesenjangan pada komponen pemantauan dan evaluasi efektivitas (Langkah 5 IRPF).

  • Justifikasi Ilmiah: Studi saat ini belum memberikan metodologi untuk mengevaluasi keberhasilan langkah-langkah resiliensi yang diimplementasikan.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Perlu digunakan pendekatan Analisis Keputusan Multikriteria (MCDA) untuk mengintegrasikan variabel non-fisik seperti waktu pemulihan layanan (berdasarkan standar FEMA), penundaan lalu lintas kumulatif (dalam jam/orang), dan biaya ekonomi berbasis gangguan. RPM harus menyediakan alat kuantitatif untuk membandingkan skenario pra- dan pasca-mitigasi, sehingga mendukung pengambilan keputusan investasi yang berkelanjutan.

2. Integrasi IoT dan Deep Learning untuk Peramalan Banjir Street-Level

Peningkatan akurasi sistem peringatan dini menuntut perluasan riset dalam Kategori B (Prediksi Banjir Real-Time).

  • Justifikasi Ilmiah: Meskipun pemodelan real-time sudah ada, kemampuan untuk menganalisis dan memperingatkan banjir hingga tingkat jalanan (street-level) secara dinamis masih harus ditingkatkan.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Fokus harus diarahkan pada area pesisir yang sangat terurbanisasi. Metodenya adalah implementasi jaringan sensor Internet of Things (IoT) (pengukur kedalaman dan kecepatan air) yang dipadukan dengan pemrosesan Citra Satelit Resolusi Sangat Tinggi (VHR) menggunakan model Deep Learning. Model ini akan secara otomatis memperbarui peta genangan air dan rute yang dapat dilalui dalam interval waktu yang sangat singkat, memberikan data yang lebih akurat untuk manajer darurat.

3. Analisis Kerentanan Sosial-Ekonomi Inklusif Jaringan Transportasi

Riset harus memperluas definisi kerentanan (Kategori D) untuk memastikan keadilan dalam strategi kesiapsiagaan.

  • Justifikasi Ilmiah: Studi saat ini sering berfokus pada dampak fisik, namun equity dalam transportasi memerlukan pemahaman tentang bagaimana banjir memengaruhi individu yang rentan dan kurang beruntung secara sosial-ekonomi.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Model Sistem Informasi Geografis (GIS) harus diperkaya dengan variabel sosial seperti kepadatan penduduk berpenghasilan rendah, tingkat ketergantungan pada transportasi publik, dan ketersediaan layanan kesehatan kritis di sepanjang jaringan. Analisis ini akan mengidentifikasi ruas jalan yang sangat penting (critical road segments) yang jika terputus, akan memberikan dampak disproporsional terhadap komunitas rentan.

4. Evaluasi Kinerja Bahan Konstruksi Adaptif dan Berkelanjutan

Studi dalam Kategori E (Mitigasi) harus beralih dari usulan mitigasi ke evaluasi kinerja struktural dan lingkungan.

  • Justifikasi Ilmiah: Mitigasi memerlukan pertimbangan desain yang lebih baik, termasuk penggunaan material yang berkelanjutan dan elevasi jalan. Evaluasi komprehensif diperlukan untuk menguji kelayakan jangka panjangnya.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus melakukan Uji Laboratorium Skala Penuh dan Analisis Siklus Hidup (LCA) untuk material konstruksi alternatif, seperti geomaterial berbasis limbah dan produk sampingan. Variabel yang diuji harus mencakup koefisien abrasi dan ketahanan struktural material di bawah tekanan banjir dengan kecepatan dan durasi aliran tinggi yang berbeda. Hal ini diperlukan untuk memajukan standar desain yang lebih efektif.

5. Pemodelan Kegagalan Berantai Probabilistik Antarsistem Kritis

Riset harus memperdalam pemahaman tentang sifat interdependensi antar infrastruktur kritis (Kategori F).

  • Justifikasi Ilmiah: Banjir menyebabkan kegagalan berantai (cascading failure), dan analisis risiko harus mencerminkan interdependensi ini, bukan hanya kegagalan satu komponen.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Perlu dikembangkan Model Simulasi Berbasis Agen (Agent-Based Simulation) yang fokus pada hubungan antara jaringan transportasi darat (jalan dan rel) dan infrastruktur energi (listrik). Pemodelan ini harus menghitung probabilitas penutupan jalan akibat banjir yang menyebabkan kegagalan sistematis di sektor energi (misalnya, tiang listrik roboh, gardu terendam) yang pada akhirnya melumpuhkan transportasi (misalnya, lampu lalu lintas mati, operasional transit listrik terhenti).

Kesimpulan

Tinjauan sistematis ini menunjukkan bahwa komunitas riset telah meletakkan fondasi yang kuat dalam pemahaman risiko dan kerentanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Namun, tantangan yang lebih besar, dan potensi jangka panjang yang sesungguhnya, terletak pada penguatan Langkah Implementasi dan Evaluasi IRPF CISA. Dengan memfokuskan agenda riset ke depan pada pengembangan metrik kinerja operasional, integrasi data real-time yang cerdas, analisis kerentanan yang inklusif, dan pemodelan interdependensi, peneliti dapat secara aktif menutup kesenjangan antara teori dan praktik. Upaya-upaya ini akan mengubah transportasi dari sekadar objek yang rentan menjadi sistem yang adaptif dan benar-benar tangguh dalam menghadapi ancaman iklim yang terus meningkat.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintah daerah (misalnya, dinas PUPR, perhubungan), industri teknologi geospasial, dan lembaga donor/hibah riset global untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta mendorong transisi dari analisis risiko ke ketahanan yang terimplementasi secara efektif.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Mengurai Kesenjangan Riset: Peta Jalan Akademik untuk Meningkatkan Ketahanan Infrastruktur Transportasi Global terhadap Banjir

Teknologi Infrastruktur

Transformasi Digital untuk Konstruksi Berkelanjutan: Kebijakan Menuju Smart Supply Chain Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Studi dalam jurnal Sustainable Computing: Informatics and Systems (2025) menyoroti bahwa digitalisasi—terutama melalui Digital Twin, Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT)—telah menjadi kunci utama dalam mendorong efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan di sektor konstruksi.

Teknologi digital memungkinkan pemantauan siklus hidup proyek secara real-time, mulai dari perencanaan, pengadaan material, hingga perawatan infrastruktur. Pendekatan ini mengurangi pemborosan hingga 25% dan menekan emisi karbon konstruksi hingga 15%, menurut hasil riset yang tercantum dalam dokumen tersebut.

Bagi Indonesia, temuan ini penting karena sejalan dengan Rencana Induk Transformasi Digital Nasional dan target pengurangan emisi karbon sebesar 31,89% pada 2030. Integrasi smart supply chain juga relevan bagi lembaga seperti Kementerian PUPR dan BRIN dalam mendukung pengelolaan infrastruktur berbasis data.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Digitalisasi rantai pasok konstruksi di berbagai negara telah memberikan dampak signifikan:

  • Meningkatkan efisiensi distribusi material hingga 30%.

  • Mengurangi keterlambatan proyek melalui pemantauan data real-time.

  • Meningkatkan kolaborasi lintas sektor antara desainer, kontraktor, dan pemasok.

Namun, terdapat tiga hambatan utama dalam implementasinya di Indonesia:

  1. Kesenjangan infrastruktur digital. Masih banyak proyek konstruksi di daerah yang belum terkoneksi dengan sistem data terpusat.

  2. Keterbatasan SDM digital. Tenaga kerja konstruksi sebagian besar belum terlatih dalam penggunaan AI atau IoT.

  3. Kurangnya kebijakan data governance. Belum ada regulasi yang mengatur integrasi dan keamanan data proyek konstruksi antar instansi.

Meski demikian, peluang digitalisasi semakin terbuka berkat inisiatif pemerintah dalam smart city dan sistem e-procurement nasional. Program seperti Kursus Building Information Modeling (BIM) untuk Infrastruktur dapat menjadi pintu masuk untuk implementasi konstruksi cerdas di berbagai proyek strategis.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Bentuk Kerangka Nasional Smart Construction dan Digital Supply Chain
    Pemerintah perlu menetapkan National Digital Construction Framework untuk mengintegrasikan data proyek, manajemen rantai pasok, dan pemantauan emisi dalam satu sistem.

  2. Perkuat Kapasitas SDM Konstruksi Digital
    Kolaborasi antara pemerintah, universitas, dan platform pelatihan perlu diperluas agar tenaga kerja memahami pengelolaan proyek berbasis data.

  3. Dorong Penggunaan Teknologi AI dan Digital Twin
    Implementasi AI untuk perencanaan prediktif dan simulasi Digital Twin wajib menjadi syarat dalam tender proyek besar, terutama di sektor publik.

  4. Bangun Pusat Data Nasional Konstruksi (Construction Data Hub)
    Fasilitas ini harus menampung seluruh data rantai pasok dan status infrastruktur untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based policy).

  5. Berikan Insentif Pajak untuk Adopsi Teknologi Hijau
    Kontraktor dan konsultan yang mengimplementasikan sistem digitalisasi efisien energi dan manajemen limbah cerdas dapat diberikan keringanan pajak atau prioritas tender proyek pemerintah.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan digitalisasi konstruksi berpotensi gagal bila tidak dibarengi dengan integrasi lintas sektor dan tata kelola data yang kuat.
Beberapa risiko yang mungkin muncul antara lain:

  • Ketimpangan digital antara kota besar dan daerah terpencil.

  • Implementasi sistem yang mahal tanpa pelatihan teknis berkelanjutan.

  • Data proyek yang terfragmentasi karena kurangnya standar interoperabilitas.

Selain itu, fokus kebijakan yang terlalu menekankan teknologi tanpa memperhatikan aspek sosial—seperti perlindungan tenaga kerja manual—dapat memperlebar kesenjangan ekonomi di sektor konstruksi. Oleh karena itu, pendekatan inklusif berbasis pelatihan dan kolaborasi menjadi kunci keberhasilan.

Penutup

Transformasi digital dalam industri konstruksi adalah kunci menuju efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan. Dengan memanfaatkan AI, IoT, dan Digital Twin, Indonesia dapat mengubah sistem rantai pasok konvensional menjadi ekosistem smart supply chain yang adaptif dan ramah lingkungan.

Melalui kolaborasi kebijakan lintas lembaga dan penguatan kapasitas SDM, Indonesia berpeluang menjadi pelopor smart construction ecosystem di Asia Tenggara.

Sumber

Sustainable Computing: Informatics and Systems, 2025.

Selengkapnya
Transformasi Digital untuk Konstruksi Berkelanjutan: Kebijakan Menuju Smart Supply Chain Nasional

inovasi teknologi

Mendorong Ekonomi Sirkular di Industri Konstruksi: Dari Limbah ke Keberlanjutan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Industri konstruksi berkontribusi besar terhadap emisi karbon global dan timbulan limbah padat. Menurut penelitian dalam Journal of Cleaner Production (2022), sektor ini menyumbang hingga 40% konsumsi energi dunia dan 30% emisi gas rumah kaca. Tantangan utama terletak pada praktik produksi linear—mengambil, menggunakan, lalu membuang—yang tidak berkelanjutan.

Pendekatan ekonomi sirkular (circular economy) menawarkan solusi dengan menutup siklus material: bahan bangunan dapat digunakan kembali, didaur ulang, atau direkayasa ulang agar memiliki nilai baru. Penelitian tersebut menekankan bahwa kebijakan publik perlu beralih dari efisiensi energi semata menuju manajemen sumber daya sirkular.

Bagi Indonesia, temuan ini penting karena mendukung agenda transisi hijau nasional serta kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2025–2045). Upaya penerapan ekonomi sirkular di sektor konstruksi juga selaras dengan berbagai pelatihan seperti Pengelolaan Sampah Konstruksi.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Negara-negara Eropa yang telah mengimplementasikan prinsip ekonomi sirkular dalam konstruksi melaporkan penurunan limbah hingga 50% serta penghematan biaya material hingga 30%. Dampak positifnya tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada penciptaan lapangan kerja hijau dan inovasi desain arsitektur berkelanjutan.

Namun, di Indonesia, implementasi masih menghadapi beberapa hambatan besar:

  1. Kurangnya kebijakan integratif. Regulasi mengenai daur ulang material konstruksi masih tersebar di berbagai peraturan tanpa panduan pelaksanaan yang jelas.

  2. Keterbatasan infrastruktur dan teknologi daur ulang. Banyak daerah belum memiliki fasilitas pemrosesan limbah bangunan yang efisien.

  3. Rendahnya kesadaran pelaku industri. Banyak kontraktor masih menganggap daur ulang sebagai biaya tambahan, bukan investasi jangka panjang.

Meski demikian, peluangnya terbuka lebar. Pemerintah dapat memanfaatkan inisiatif seperti green procurement, penerapan Building Information Modeling (BIM) berbasis sirkularitas, dan pelatihan profesional berkelanjutan. 

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasikan Prinsip Ekonomi Sirkular ke dalam Regulasi Konstruksi Nasional
    Kementerian PUPR perlu merevisi standar teknis konstruksi agar mencakup penggunaan material daur ulang dan sistem audit lingkungan proyek.

  2. Bangun Ekosistem Industri Daur Ulang Bangunan
    Pemerintah daerah dapat menyediakan insentif pajak bagi perusahaan yang menggunakan material hasil daur ulang atau menerapkan sistem take-back scheme.

  3. Kembangkan Sertifikasi Kompetensi untuk Profesional Hijau
    Sertifikasi berbasis pelatihan perlu diwajibkan bagi insinyur dan kontraktor.

  4. Dorong Kolaborasi Publik-Swasta untuk Inovasi Material
    Melibatkan universitas, startup material hijau, dan perusahaan konstruksi untuk menciptakan produk ramah lingkungan dengan dukungan riset dan insentif inovasi.

  5. Integrasikan Digitalisasi melalui BIM dan IoT
    Penggunaan Building Information Modeling (BIM) dan teknologi Internet of Things dapat membantu memantau sirkulasi material, mengoptimalkan penggunaan sumber daya, dan mengurangi pemborosan proyek.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan ekonomi sirkular berpotensi gagal jika diterapkan tanpa kerangka pengawasan yang kuat dan komitmen lintas lembaga. Risiko yang dapat muncul antara lain:

  • Implementasi hanya simbolik tanpa perubahan nyata di lapangan.

  • Pengawasan limbah tidak berjalan karena kurangnya data dan transparansi.

  • Minimnya koordinasi antar kementerian menyebabkan kebijakan tumpang tindih.

  • Keterbatasan teknologi lokal membuat ketergantungan impor material hijau semakin tinggi.

Untuk menghindarinya, dibutuhkan roadmap nasional ekonomi sirkular yang konkret, dengan target jangka pendek dan jangka panjang yang terukur, serta publikasi hasil pemantauan yang dapat diakses publik secara terbuka.

Penutup

Ekonomi sirkular dalam industri konstruksi bukan sekadar konsep hijau, tetapi strategi ekonomi yang memperkuat ketahanan nasional terhadap krisis sumber daya. Melalui kebijakan yang berpihak pada inovasi, kolaborasi lintas sektor, dan peningkatan kapasitas SDM, Indonesia dapat menjadi pelopor konstruksi berkelanjutan di Asia Tenggara.

Sumber

Journal of Cleaner Production, 2022.

Selengkapnya
Mendorong Ekonomi Sirkular di Industri Konstruksi: Dari Limbah ke Keberlanjutan

Manajemen Proyek

Konstruksi Berkelanjutan sebagai Pilar Kebijakan Pembangunan Hijau: Evaluasi, Tantangan, dan Rekomendasi Kebijakan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Prinsip sustainable construction kini menjadi bagian vital dalam agenda pembangunan nasional dan global. Studi dalam bahan 1-03_full-min.pdf menunjukkan bahwa sektor konstruksi memiliki kontribusi besar terhadap emisi karbon, konsumsi energi, dan limbah padat. Dengan demikian, penerapan praktik konstruksi berkelanjutan tidak hanya berdampak pada efisiensi teknis proyek, tetapi juga terhadap ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Dalam konteks kebijakan publik, temuan ini menjadi penting karena menyoroti perlunya transformasi paradigma: dari fokus pada biaya awal (initial cost) menuju biaya siklus hidup (life-cycle cost). Kebijakan yang mendorong penggunaan material ramah lingkungan, efisiensi energi, serta keselamatan kerja jangka panjang dapat memperkuat arah pembangunan hijau sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi konstruksi berkelanjutan di berbagai proyek publik menunjukkan dampak signifikan:

  • Pengurangan biaya operasional jangka panjang hingga 20–30%.

  • Peningkatan efisiensi penggunaan energi dan air.

  • Peningkatan nilai sosial proyek melalui penciptaan lapangan kerja lokal dan keamanan pekerja.

Namun, penelitian juga mengungkapkan beberapa hambatan utama:

  1. Kurangnya pemahaman dan pelatihan teknis bagi kontraktor dan konsultan terhadap standar green construction.

  2. Keterbatasan regulasi teknis dan insentif fiskal untuk material berkelanjutan.

  3. Minimnya sistem evaluasi dan sertifikasi nasional yang konsisten untuk proyek hijau.

Meski begitu, peluang implementasi tetap besar. Digitalisasi proyek melalui Building Information Modeling (BIM) dan pengawasan real-time memungkinkan pelaksanaan konstruksi berkelanjutan secara lebih efisien dan transparan. Program seperti Kursus Building Information Modeling untuk Infrastruktur dapat menjadi solusi peningkatan kompetensi praktis bagi tenaga teknis.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Bangun Regulasi Nasional Konstruksi Berkelanjutan
    Pemerintah perlu menyusun National Green Construction Standard yang mewajibkan aspek keberlanjutan sejak tahap desain hingga operasi bangunan.

  2. Kembangkan Sistem Sertifikasi dan Insentif Hijau
    Pemberian insentif pajak atau keringanan biaya izin bagi proyek yang memenuhi kriteria keberlanjutan dapat meningkatkan minat pelaku industri.

  3. Integrasikan Prinsip Keberlanjutan dalam Pendidikan dan Pelatihan
    Kolaborasi antara perguruan tinggi, BRIN, dan lembaga pelatihan diperlukan untuk membentuk kompetensi teknis dan etika lingkungan bagi calon profesional konstruksi.

  4. Dorong Penggunaan Teknologi Digital dan Material Lokal
    Teknologi BIM, Internet of Things (IoT), serta material lokal yang memiliki jejak karbon rendah harus menjadi prioritas dalam proyek publik.

  5. Wajibkan Evaluasi Dampak Lingkungan dan Sosial
    Setiap proyek konstruksi besar wajib melaporkan hasil penilaian social and environmental impact untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan konstruksi berkelanjutan berpotensi gagal bila:

  • Hanya berhenti pada slogan tanpa integrasi teknis di lapangan.

  • Tidak diiringi peningkatan kapasitas SDM dan sistem audit independen.

  • Mengabaikan keadilan sosial, seperti perlindungan tenaga kerja dan masyarakat sekitar proyek.

Kegagalan juga mungkin terjadi bila pengawasan pelaksanaan proyek tidak digital atau masih berbasis dokumen manual, sehingga data dampak lingkungan sulit diverifikasi. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kolaborasi lintas sektor serta sistem e-monitoring yang terbuka bagi publik.

Penutup

Praktik konstruksi berkelanjutan adalah jembatan menuju masa depan pembangunan nasional yang efisien, hijau, dan inklusif. Integrasi antara kebijakan, inovasi teknologi, dan pendidikan profesional akan memastikan sektor konstruksi berperan sebagai motor pembangunan berkelanjutan.

Melalui pelatihan seperti Perencanaan Kontijensi dan Mitigasi Bencana dalam Pembangunan Infrastruktur, pemerintah dan pelaku industri dapat membangun sistem pembangunan yang tangguh dan ramah lingkungan, sesuai dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs).

Sumber

Sustainable Construction Practices: Integrating Environmental and Social Responsibility in Infrastructure Projects.

Selengkapnya
Konstruksi Berkelanjutan sebagai Pilar Kebijakan Pembangunan Hijau: Evaluasi, Tantangan, dan Rekomendasi Kebijakan

Pembangunan Ekonomi Daerah

Transformasi Desa melalui Infrastruktur Jalan Nasional: Evaluasi dan Rekomendasi Kebijakan”

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Pembangunan infrastruktur jalan nasional, khususnya pelebaran menjadi empat lajur (four-laning), bukan sekadar proyek transportasi—ia merupakan investasi sosial ekonomi jangka panjang. Studi Socio-economic Impact Evaluation of Four-laning of National Highway 2 on the Rural Population oleh Asian Institute of Transport Development (AITD, 2011) menunjukkan bahwa peningkatan akses jalan utama berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat pedesaan di sekitarnya.

Penelitian ini menyoroti bahwa keberadaan jalan nasional meningkatkan mobilitas, memperluas akses terhadap pekerjaan non-pertanian, pendidikan, dan layanan kesehatan. Sebaliknya, wilayah yang jauh dari jalan utama cenderung tertinggal dalam berbagai indikator kesejahteraan. Artinya, infrastruktur transportasi bukan hanya alat distribusi ekonomi, tetapi juga instrumen pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Dalam konteks Indonesia, temuan ini sangat relevan. Proyek seperti Tol Trans Jawa dan Tol Sumatera dapat dioptimalkan bukan hanya dari sisi efisiensi logistik, tetapi juga sebagai pendorong pembangunan pedesaan. Pemerintah perlu memperlakukan pembangunan jalan sebagai kebijakan sosial ekonomi, bukan hanya fisik.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Studi AITD di jalur NH2 (Agra–Dhanbad) menemukan peningkatan signifikan dalam berbagai aspek kesejahteraan masyarakat setelah pelebaran jalan:

  • Akses dan Mobilitas: Tingkat perjalanan per kapita meningkat 60%, menandakan meningkatnya kesempatan kerja dan aktivitas ekonomi.

  • Pendidikan dan Gender: Angka partisipasi sekolah meningkat lebih dari 50%, dan partisipasi tenaga kerja perempuan naik 85%.

  • Diversifikasi Ekonomi: Pendapatan dari sektor non-pertanian meningkat tiga kali lipat, menunjukkan pergeseran ekonomi desa dari agraris ke campuran industri dan jasa.

  • Penurunan Kemiskinan: Proporsi rumah tangga di bawah garis kemiskinan turun signifikan di hampir semua wilayah studi.

Namun, tantangan tetap ada. Pertama, ketimpangan spasial masih muncul — masyarakat yang tinggal di luar radius 5 km dari jalan utama memperoleh manfaat lebih sedikit. Kedua, sebagian besar jalan akses (feeder roads) menuju desa masih berupa jalan tanah (kutcha roads), membatasi potensi manfaat. Ketiga, masih kurangnya infrastruktur penunjang seperti jalur lambat untuk kendaraan tidak bermotor dan desain penyeberangan yang aman.

Di Indonesia, peluang besar terbuka untuk mengintegrasikan proyek jalan nasional dengan pengembangan ekonomi lokal, sebagaimana diajarkan dalam Perencanaan Transportasi dan Pembangunan Wilayah yang menekankan keterkaitan antara infrastruktur dan kesejahteraan sosial.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasikan Evaluasi Sosial dalam Proyek Jalan Nasional
    Setiap proyek pembangunan jalan perlu dilengkapi dengan analisis dampak sosial dan ekonomi, bukan hanya studi kelayakan teknis.

  2. Bangun Jalan Akses dan Jalur Lambat
    Pembangunan service roads untuk pejalan kaki, sepeda, dan kendaraan tradisional dapat memastikan inklusivitas manfaat infrastruktur.

  3. Fokus pada Pemberdayaan Perempuan dan Pendidikan
    Proyek jalan harus diiringi program sosial seperti pelatihan kerja dan pendidikan perempuan, sebagaimana diajarkan dalam kursus Mengenal Pembangunan Berkelanjutan.

  4. Kembangkan Model Evaluasi Berbasis Bukti (Evidence-based)
    Gunakan pendekatan seperti Propensity Score Matching atau Double Difference Analysis untuk menilai efektivitas proyek jalan terhadap kesejahteraan masyarakat.

  5. Sinkronisasi Kebijakan Jalan dengan Pembangunan Desa
    Kementerian PUPR dan Kemendesa dapat berkolaborasi agar pembangunan jalan nasional diikuti oleh pengembangan UMKM, pasar, dan pusat logistik desa.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kegagalan utama kebijakan infrastruktur biasanya terjadi ketika orientasi hanya pada pertumbuhan ekonomi makro, bukan kesejahteraan sosial mikro. Tanpa pengawasan sosial dan mekanisme partisipatif, proyek jalan berisiko menciptakan ketimpangan baru — di mana kelompok mampu lebih cepat memanfaatkan peluang dibanding masyarakat miskin di sekitar jalan.

Selain itu, pembangunan jalan tanpa analisis lingkungan dan sosial dapat menimbulkan eksternalitas negatif seperti urban sprawl, polusi, dan marginalisasi lahan pertanian produktif. Maka, kebijakan jalan harus dikawal oleh sistem evaluasi sosial yang transparan dan partisipatif.

Penutup

Temuan dari AITD (2011) menegaskan bahwa jalan nasional bukan hanya urat nadi ekonomi, tetapi juga sarana transformasi sosial. Dengan perencanaan yang inklusif dan berbasis data, pembangunan jalan di Indonesia dapat memperkecil kesenjangan desa–kota, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan.

Pemerintah dan akademisi perlu memperkuat kolaborasi lintas sektor agar proyek infrastruktur berfungsi sebagai katalis kesejahteraan rakyat, bukan sekadar simbol modernisasi.

Sumber

Asian Institute of Transport Development (AITD). Socio-economic Impact Evaluation of Four-laning of National Highway 2 on the Rural Population. New Delhi: AITD, 2011.

Selengkapnya
Transformasi Desa melalui Infrastruktur Jalan Nasional: Evaluasi dan Rekomendasi Kebijakan”

Kebijakan Publik

Mengukur Dampak Sosioekonomi Infrastruktur Riset: Langkah Strategis dalam Kebijakan Inovasi Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Infrastruktur riset—seperti laboratorium nasional, pusat data, dan fasilitas sains—merupakan fondasi inovasi dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Namun, banyak negara berkembang termasuk Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam mengukur dampak sosial dan ekonomi dari investasi di bidang ini. Laporan A Practical Guide: Assessment of Socio-Economic Impacts of Research Infrastructures (ResInfra@DR, 2019) menegaskan bahwa penilaian dampak infrastruktur riset bukan hanya soal output ilmiah, tetapi juga tentang bagaimana fasilitas tersebut meningkatkan kesejahteraan sosial, inovasi industri, serta kapasitas manusia.

Tanpa sistem evaluasi yang jelas, pemerintah berisiko terus membiayai proyek riset tanpa memahami return on investment (ROI) terhadap masyarakat. Panduan ini menjadi penting karena memperkenalkan kerangka evaluasi yang sistematis: menggabungkan indikator ekonomi (seperti lapangan kerja dan paten) dengan indikator sosial (seperti pendidikan, inklusi, dan pemerataan akses pengetahuan).

Dalam konteks Indonesia, temuan ini relevan bagi lembaga seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk memperkuat kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Upaya ini sejalan dengan inisiatif pembelajaran seperti Manajemen Proyek.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan sistem evaluasi dampak sosioekonomi di banyak negara menunjukkan hasil positif. Proyek riset yang dinilai menggunakan metodologi ResInfra@DR terbukti lebih mudah menarik pendanaan tambahan karena mampu membuktikan nilai tambah ekonomi dan sosialnya. Dampak yang paling menonjol meliputi peningkatan efisiensi alokasi dana publik, keterlibatan industri dalam riset, serta peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam proyek sains.

Namun, penerapannya di lapangan menghadapi tiga hambatan utama:

  • Kurangnya data dan metode pengukuran standar. Banyak lembaga riset di Asia Tenggara belum memiliki indikator yang konsisten.

  • Keterbatasan kapasitas SDM evaluasi. Evaluator riset sering berfokus pada keluaran ilmiah (paper, publikasi), bukan pada dampak sosial ekonomi.

  • Keterputusan antara pembuat kebijakan dan pelaku riset. Proyek penelitian sering tidak dirancang sejak awal untuk mendukung tujuan pembangunan nasional.

Meski demikian, peluangnya besar. Digitalisasi data riset dan keterbukaan akses informasi publik memungkinkan sistem evaluasi berbasis bukti diterapkan secara lebih efektif. Inisiatif seperti Evaluasi dan Audit Program Pemerintah juga dapat memperkuat kapasitas lembaga pemerintah untuk menilai dampak kebijakan riset secara terukur dan objektif.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

1. Bangun Sistem Nasional Evaluasi Infrastruktur Riset

Pemerintah perlu membuat kerangka nasional berbasis indikator kuantitatif dan kualitatif untuk menilai kontribusi infrastruktur riset terhadap ekonomi dan sosial.

2. Kembangkan SDM Evaluator Profesional

Lembaga seperti BRIN dan universitas dapat berkolaborasi dengan platform pelatihan guna mencetak tenaga ahli evaluasi yang memahami metode ilmiah dan sosial ekonomi.

3. Integrasikan Penilaian Dampak dalam Siklus Pendanaan

Setiap proyek riset yang dibiayai APBN sebaiknya mewajibkan laporan dampak sosial ekonomi sebagai bagian dari monitoring dan evaluasi tahunan.

4. Dorong Kolaborasi antara Riset dan Industri

Insentif fiskal dapat diberikan bagi industri yang terlibat dalam infrastruktur riset untuk mempercepat transfer teknologi dan inovasi nasional.

5. Gunakan Data Evaluasi sebagai Dasar Kebijakan Pembangunan

Pemerintah daerah dapat mengadopsi hasil penilaian dampak riset untuk menetapkan prioritas pembangunan lokal, memastikan kebijakan riset lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan evaluasi dampak riset berisiko gagal bila hanya berfokus pada laporan administratif tanpa penguatan kapasitas dan budaya kolaboratif. Potensi kegagalannya meliputi:

  • Evaluasi hanya bersifat formalitas untuk memenuhi syarat pendanaan.

  • Ketergantungan pada indikator kuantitatif yang mengabaikan dimensi sosial dan lingkungan.

  • Minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam proses evaluasi.

  • Kurangnya transparansi dalam publikasi hasil evaluasi.

Untuk menghindari hal ini, kebijakan harus diiringi pendekatan partisipatif—melibatkan akademisi, pelaku industri, dan masyarakat—agar proses evaluasi menjadi inklusif, akuntabel, dan berkelanjutan.

Penutup

Penilaian dampak sosioekonomi infrastruktur riset adalah fondasi menuju kebijakan riset yang adil, efisien, dan berbasis bukti. Melalui integrasi metode ResInfra@DR dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia dapat memastikan bahwa setiap rupiah investasi riset memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Infrastruktur riset bukan sekadar fasilitas ilmiah, tetapi alat strategis untuk membangun masa depan inovatif, produktif, dan berkeadilan sosial. Dengan dukungan pelatihan, regulasi yang kuat, dan budaya evaluasi terbuka, kebijakan riset nasional dapat melahirkan inovasi yang benar-benar berdampak bagi kesejahteraan bangsa.

Sumber

ResInfra@DR. A Practical Guide: Assessment of Socio-Economic Impacts of Research Infrastructures, 2019.

Selengkapnya
Mengukur Dampak Sosioekonomi Infrastruktur Riset: Langkah Strategis dalam Kebijakan Inovasi Nasional
« First Previous page 68 of 1.315 Next Last »