Sumber Daya Air

Kualitas Air Bengkulu di Ujung Tanduk: Menyingkap Fakta Pencemaran Sungai dan Danau Tahun 2022

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Air Bengkulu Jadi Sorotan?

Air merupakan komponen vital dalam kehidupan, dan di Kota Bengkulu, keberadaan badan air seperti Danau Dendam Tak Sudah dan sungai-sungai utama (Sungai Hitam, Jenggalu, Babat, dan Bengkulu) memainkan peran penting dalam ekosistem, sumber air bersih, irigasi, dan bahkan pariwisata. Namun laporan resmi Dinas Lingkungan Hidup Kota Bengkulu tahun 2022 menunjukkan bahwa kualitas air di kota ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Pemantauan dilakukan pada 16 titik sampling yang tersebar di lima badan air, dua kali dalam setahun mewakili musim kemarau dan musim hujan. Hasil pengujian dianalisis menggunakan metode STORET dan Indeks Pencemaran (IP), mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 serta Keputusan Menteri LH No. 115 Tahun 2003.

Studi Kasus: Danau Dendam Tak Sudah – Kawasan Konservasi yang Tak Lagi Aman

Danau Dendam Tak Sudah adalah kawasan cagar alam yang semestinya menjadi lokasi perlindungan lingkungan dan sumber daya air. Namun data pemantauan justru menunjukkan kondisi sebaliknya.

Pada Maret 2022, nilai pH air di danau ini berada di angka 4,68 sampai 5,25—terlalu asam, karena standar minimal pH yang aman untuk kelas II adalah 6,0. Angka ini bahkan mencerminkan kondisi perairan yang bisa membahayakan kehidupan biota air tawar.

Lebih mencengangkan, pada September 2022, nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) melonjak hingga 30 miligram per liter di beberapa titik, padahal batas aman hanya 3 mg/L. Hal ini menandakan beban limbah organik yang sangat tinggi di danau, yang bisa menyebabkan deoksigenasi dan kematian organisme akuatik.

Kadar fosfat juga mengalami lonjakan drastis. Di salah satu titik pengambilan sampel, kandungan total fosfat tercatat sebesar 4,12 miligram per liter—20 kali lipat dari batas yang diperbolehkan. Peningkatan fosfat dapat menyebabkan eutrofikasi, yakni pertumbuhan alga berlebihan yang merusak keseimbangan ekosistem air.

Kadar minyak dan lemak juga sangat tinggi, mencapai 2.300 mikrogram per liter, padahal ambang batasnya hanya 1.000 mikrogram. Selain itu, indikator pencemaran mikrobiologis seperti Total Coliform tercatat sebanyak 18.980 per 100 mililiter—jauh melampaui ambang batas maksimum 5.000.

Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa sekalipun kawasan ini dilindungi secara hukum, tekanan dari pemukiman liar, perambahan kawasan, dan pembangunan infrastruktur telah merusak fungsi ekologis danau.

Sungai Hitam: Ancaman dari Limbah Logam Berat dan Limbah Domestik

Sungai Hitam, yang berada di wilayah padat penduduk, memperlihatkan degradasi kualitas air akibat kombinasi buangan domestik dan kontaminasi logam berat.

Pada titik hilir, kadar tembaga (Cu) tercatat 2,31 miligram per liter—sangat tinggi dibanding batas aman hanya 0,02 miligram. Kadar zinc (Zn) mencapai 1,39 miligram per liter, melebihi ambang yang ditetapkan sebesar 0,05 miligram.

Dari segi beban organik, BOD pada September mencapai 6 miligram per liter, dua kali lipat dari nilai maksimum yang diperbolehkan. COD (Chemical Oxygen Demand) pada Maret juga tercatat sangat tinggi, yakni 61 miligram per liter, jauh di atas batas aman 25 mg/L.

Dari aspek mikrobiologi, sungai ini juga menunjukkan pencemaran yang parah. Total Coliform dan Fecal Coliform mencapai angka 18.980 per 100 mililiter. Ini mencerminkan keberadaan limbah tinja dan risiko tinggi terhadap penyakit yang ditularkan melalui air, seperti diare, hepatitis, dan tifus.

Sungai Jenggalu: Sungai Permukiman dengan Beban Limbah Rumah Tangga

Sungai Jenggalu, yang mengalir melewati wilayah permukiman dan rumah tangga padat, menunjukkan beban pencemaran yang tinggi. Nilai residu terlarut (TDS) di titik hilir mencapai 644 miligram per liter. Daya hantar listrik (DHL) juga tinggi, yaitu 1.026 mikroSiemens per sentimeter—tanda beban ion yang signifikan dalam air.

Kadar fosfat juga sangat tinggi, dengan nilai maksimum sebesar 3,41 miligram per liter. Minyak dan lemak di beberapa titik mencapai 3.400 mikrogram per liter—lebih dari tiga kali lipat dari batas maksimal. Angka-angka ini menunjukkan bahwa sungai ini sangat tertekan oleh limbah domestik, baik dari aktivitas mencuci, memasak, maupun pembuangan limbah rumah tangga langsung ke badan air.

BOD dan COD yang tinggi di seluruh titik juga menandakan bahwa aktivitas dekomposisi bahan organik sangat intens, mempercepat penurunan kualitas air dan membuat kondisi ekosistem menjadi tidak ideal bagi ikan maupun tanaman air.

Sungai Babat dan Sungai Bengkulu: Penyangga Irigasi dan Sumber Air Minum yang Mulai Terancam

Sungai Babat dan Sungai Bengkulu selama ini menjadi sumber air untuk pertanian serta air baku PDAM. Namun tren pencemaran menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan.

Sungai Babat menunjukkan peningkatan nilai BOD dan kadar fosfat di atas ambang batas. Hal ini dipicu oleh pertumbuhan kawasan hunian serta pembuangan limbah dari sektor pertanian intensif.

Sementara itu, Sungai Bengkulu, yang dimanfaatkan sebagai sumber air oleh Instalasi Pengolahan Air Surabaya, tercatat memiliki kadar minyak dan lemak serta fosfat yang melampaui batas baku mutu, terutama pada titik-titik hilir. Beban cemar ini mengindikasikan risiko jangka panjang terhadap ketersediaan air bersih di wilayah kota.

Evaluasi Status Mutu: Dari Sedang ke Berat

Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pencemaran (IP) dan Indeks Kualitas Air (IKA), sebagian besar titik di sungai dan danau Kota Bengkulu masuk dalam kategori "cemar sedang" hingga "cemar berat". Titik-titik seperti Danau Dendam Tak Sudah dan Sungai Hitam menunjukkan skor pencemaran tertinggi, didorong oleh kombinasi antara limbah domestik, aktivitas ekonomi informal, dan limbah organik yang tidak terolah.

Implikasi dan Rekomendasi Strategis

Kondisi ini mencerminkan bahwa manajemen air di Kota Bengkulu belum terintegrasi dan belum responsif terhadap tekanan populasi dan perubahan tata guna lahan. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:

Untuk Pemerintah:

  • Melindungi kawasan tangkapan air dan konservasi melalui regulasi yang lebih ketat dan patroli rutin
  • Membangun sistem pengolahan limbah domestik terpusat di wilayah padat penduduk
  • Menetapkan zona larangan buang limbah di sepanjang sungai dan danau

Untuk Masyarakat:

  • Mendorong kebiasaan sanitasi sehat, seperti membangun septik tank yang benar
  • Kampanye untuk tidak membuang minyak bekas dan deterjen langsung ke saluran air
  • Melakukan aksi bersih sungai secara rutin berbasis komunitas

Untuk Dunia Pendidikan dan Swasta:

  • Libatkan kampus dan pelajar dalam pemantauan partisipatif kualitas air
  • Mewajibkan CSR perusahaan untuk restorasi badan air sekitar area operasional

Menatap Masa Depan: Belajar dari Sungai yang Pulih

Kisah sukses pemulihan Sungai Cheonggyecheon di Korea Selatan atau revitalisasi Kali Code di Yogyakarta membuktikan bahwa badan air yang tercemar bisa dipulihkan—asal ada komitmen dan keterlibatan semua pihak. Kota Bengkulu dapat mengikuti jejak tersebut dengan pendekatan yang tidak hanya teknis, tapi juga sosial dan budaya.

Penutup

Laporan kualitas air tahun 2022 adalah cermin darurat ekologis Kota Bengkulu. Tanpa intervensi serius, degradasi ini akan terus berlanjut dan berdampak pada kesehatan masyarakat, ketahanan air bersih, serta kelangsungan ekonomi lokal. Namun, dengan langkah kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, badan air Bengkulu bisa kembali jernih dan bermanfaat sebagaimana mestinya.

Sumber asli:
Pemerintah Kota Bengkulu – Dinas Lingkungan Hidup. 2022. Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai dan Danau, Status Mutu dan Indeks Kualitas Air Kota Bengkulu Tahun 2022.

Selengkapnya
Kualitas Air Bengkulu di Ujung Tanduk: Menyingkap Fakta Pencemaran Sungai dan Danau Tahun 2022

Sumber Daya Air

Krisis Air Citarum: Evaluasi Kualitas dan Ancaman Masa Depan Sungai Strategis Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Sungai Citarum Jadi Sorotan Nasional?

Sungai Citarum, dengan panjang 269 km, bukan hanya tulang punggung kehidupan bagi 28 juta penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta, tetapi juga menyuplai air untuk irigasi pertanian seluas 420.000 hektar dan menyokong 20% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia melalui kawasan industri di sekitarnya. Ironisnya, sungai yang dulunya jadi kebanggaan nasional ini kini dikenal sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia.

Penelitian oleh Ratih Pratiwi dan Linda Noviana dari Universitas Sahid Jakarta (2016) memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi kualitas air Sungai Citarum dalam rentang waktu 2011 hingga 2014. Berdasarkan parameter fisik, kimia, dan biologis serta perbandingan dengan peraturan pemerintah, hasilnya menunjukkan status pencemaran berat.

Metodologi dan Lokasi Penelitian: Titik Kritis di Sepanjang Citarum

Penelitian ini dilakukan di tujuh titik strategis:

  1. Wangisagara (hulu, terdampak limbah peternakan),
  2. Jembatan Koyod (industri tekstil),
  3. Setelah IPAL Cisirung (limbah domestik dan industri gabungan),
  4. Nanjung (kawasan industri berat),
  5. Outlet Jatiluhur (sumber air baku),
  6. Bendung Walahar (untuk irigasi),
  7. Tunggak Jati (hilir, pertemuan anak sungai).

Pengambilan sampel dilakukan rutin selama empat tahun dan dianalisis menggunakan Indeks Pencemaran (IP) sesuai Kepmen LH No. 115 Tahun 2003 serta dibandingkan terhadap baku mutu air kelas II dalam PP No. 82 Tahun 2001.

Parameter Kualitas Air: Data Lapangan yang Mengejutkan

Enam parameter utama digunakan:

  • TSS (Total Suspended Solids)
  • pH
  • DO (Dissolved Oxygen)
  • BOD (Biochemical Oxygen Demand)
  • COD (Chemical Oxygen Demand)
  • Total Coliform (mikrobiologi)

1. pH: Masih Dalam Ambang Normal

Nilai pH di seluruh titik berada dalam rentang 6–9, sesuai baku mutu air kelas II. Ini menunjukkan keasaman atau kebasaan air masih stabil.

2. TSS: Melewati Ambang Batas

Konsentrasi TSS mencapai angka tertinggi 108 mg/L pada 2014 di Nanjung. Padahal, ambang batas PP No. 82/2001 hanya 50 mg/L. TSS tinggi menandakan beban partikel padat tersuspensi berlebih, yang berasal dari lumpur, limbah industri, dan tinja.

3. DO: Oksigen Terlarut Menurun

Nilai DO rata-rata di bawah standar minimal 6 mg/L, bahkan menyentuh titik kritis 1,58 mg/L di Jembatan Koyod (2014), menunjukkan minimnya oksigen untuk kehidupan akuatik.

4. BOD & COD: Indikator Kuat Polusi Organik

  • BOD (beban limbah organik yang dapat terurai): melebihi ambang batas 3 mg/L, rata-rata 10,1 mg/L.
  • COD (bahan kimia terlarut, baik organik maupun anorganik): pada 2014 tercatat rata-rata 20,86 mg/L dari batas 25 mg/L.

Peningkatan signifikan BOD dan COD menandakan beban limbah organik dan industri tinggi—baik dari limbah domestik, industri tekstil, maupun pertanian.

5. Total Coliform: Alarm Kesehatan Masyarakat

Data 2014 menunjukkan angka tertinggi 24.000 MPN/100 mL di titik Jembatan Koyod, jauh melebihi batas 1.000 MPN/100 mL. Ini menandakan pencemaran tinja manusia dan hewan yang dapat menimbulkan penyakit seperti diare, hepatitis, dan tifus.

Tingkat Pencemaran Berdasarkan Indeks Pencemar (IP)

Tahun 2014 menjadi tahun terburuk, dengan nilai IP mencapai:

  • 13,949 – tergolong cemar berat.
  • Nilai IP tertinggi tercatat di titik Setelah IPAL Cisirung, yang menjadi titik akumulasi dari limbah domestik Bandung Selatan dan IPAL.

Klasifikasi berdasarkan IP (Kepmen LH No.115/2003):

  • 0–1,0: Baik
  • 1,1–5,0: Cemar ringan
  • 5,1–10,0: Cemar sedang
  • 10,0: Cemar berat

Seluruh titik pada tahun 2014 masuk kategori cemar berat. Kondisi ini berbanding lurus dengan laporan lapangan bahwa hanya 20% dari 500-an industri di daerah hulu yang memiliki fasilitas pengolahan limbah.

Studi Kasus: Titik 3 – Setelah IPAL Cisirung

Titik ini menunjukkan fakta mencengangkan:

  • DO hanya 1,7 mg/L
  • BOD mencapai 12,5 mg/L
  • Total Coliform tembus 18.000 MPN/100 mL

Padahal, titik ini merupakan penerima utama limbah yang telah “diolah” oleh IPAL gabungan. Ini menunjukkan dua kemungkinan: kapasitas IPAL tidak mencukupi atau proses pengolahan limbah tidak berjalan optimal. Kondisi ini menjadi tamparan bagi pengelolaan infrastruktur lingkungan.

Analisis & Kritik: Kegagalan Multiaktor?

Faktor Penyebab Krisis Kualitas Air:

  • Industri Tekstil & Kimia: penyumbang limbah berat logam dan senyawa organik sintetis.
  • Permukiman Padat: membuang tinja dan limbah domestik langsung ke sungai.
  • Kebijakan Lemah: hanya 108 DAS dari 17.088 DAS di Indonesia yang punya rencana pengelolaan terpadu (RPDAST).
  • Penegakan Hukum Lemah: tidak ada sanksi efektif bagi pelanggar pengelolaan limbah.

Kurangnya Kolaborasi Antarsektor

Penanganan Citarum selama ini bersifat sektoral dan tidak terpadu lintas kabupaten/provinsi. Slogan "One River One Plan One Management" belum benar-benar dijalankan.

Tren Global: Rehabilitasi Sungai di Dunia

Kasus Sungai Citarum mirip dengan Sungai Thames (Inggris) atau Sungai Han (Korea Selatan) yang dahulu tercemar berat. Namun, berkat kebijakan tegas, pengolahan limbah modern, dan partisipasi masyarakat, keduanya kini bersih dan dapat dinikmati kembali.

Belajar dari sana, strategi nasional seperti Citarum Harum harus fokus pada:

  • Meningkatkan kapasitas IPAL industri
  • Menerapkan sistem zonasi pencemar
  • Revitalisasi vegetasi DAS hulu

Rekomendasi Penelitian: Arah Perbaikan

Untuk Pemerintah:

  • Perkuat penegakan hukum lingkungan
  • Insentif untuk industri ramah lingkungan
  • Audit IPAL dan laporkan secara transparan

Untuk Masyarakat:

  • Gerakan bersih sungai berbasis komunitas
  • Edukasi sanitasi dan pengelolaan limbah rumah tangga

Untuk Dunia Akademik:

  • Kembangkan model peringatan dini pencemaran berbasis AI
  • Libatkan mahasiswa dan dosen dalam program pemantauan partisipatif

Penutup: Waktu Mendesak untuk Bertindak

Laporan ini mempertegas urgensi penyelamatan Sungai Citarum bukan hanya sebagai isu lokal, tetapi nasional—bahkan global. Jika dibiarkan, degradasi lingkungan akan menjadi bencana sosial dan ekonomi. Namun dengan sinergi pemerintah, industri, dan masyarakat, masih ada harapan untuk menjadikan Citarum kembali menjadi sumber kehidupan, bukan sumber penyakit.

Sumber asli:
Ratih Pratiwi & Linda Noviana. 2016. Evaluasi Kualitas Air Sungai Citarum. Laporan Penelitian Dosen Universitas Sahid Jakarta, Fakultas Teknik, Bidang Teknik Lingkungan.

Selengkapnya
Krisis Air Citarum: Evaluasi Kualitas dan Ancaman Masa Depan Sungai Strategis Indonesia

Sumber Daya Air

Darurat Sungai Jakarta: Potret Kualitas Air Ibukota Tahun 2023

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Kita Harus Peduli pada Sungai Jakarta?

Sungai bukan hanya aliran air, tetapi juga urat nadi kehidupan kota. Di tengah riuhnya aktivitas metropolitan Jakarta, sungai-sungai seperti Ciliwung, Angke, dan Krukut memegang peran vital—baik sebagai pengendali banjir, sumber air baku, hingga saluran pembuangan. Namun, hasil pemantauan terbaru tahun 2023 dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan PPLH-IPB menunjukkan kenyataan yang mengkhawatirkan: mayoritas sungai di Jakarta berada dalam status cemar berat.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam hasil pemantauan kualitas air sungai Jakarta, menyajikan data, analisis, serta rekomendasi strategis. Ini adalah refleksi penting bagi warga, pemerintah, dan pelaku industri—karena kualitas sungai adalah cerminan kualitas hidup kita bersama.

Pemetaan Pemantauan: 120 Titik, 23 Sungai, dan 5 Wilayah Kota

Pada tahun 2023, pemantauan dilakukan di 120 titik yang tersebar di 23 ruas sungai, termasuk Ciliwung, Cipinang, Sunter, Angke, dan Pesanggrahan. Titik terbanyak berada di Jakarta Timur (37 titik), sedangkan Jakarta Pusat memiliki titik pemantauan paling sedikit (12 titik). Sungai Ciliwung menjadi perhatian khusus karena melintasi lima wilayah kota dan membawa beban pencemaran dari hulu di Jawa Barat.

Pemantauan dilakukan secara berkala sepanjang tahun dalam empat periode, memungkinkan evaluasi tren tahunan dan jangka panjang (2018–2023). Selain air, tahun ini juga diukur kualitas sedimen, terutama kandungan logam berat Zn (seng) dan Cu (tembaga).

Indeks Pencemaran: Mayoritas Sungai Jakarta Masuk Kategori Cemar Berat

Metodologi Penilaian

Status mutu air dievaluasi menggunakan dua pendekatan:

  • Metode STORET dari Keputusan Menteri LH No. 115/2003
  • Indeks Pencemaran (IP) berdasarkan PP No. 22/2021

Kedua metode ini mengklasifikasikan status mutu ke dalam empat kategori: Baik, Cemar Ringan, Cemar Sedang, dan Cemar Berat.

Hasil 2023

  • 63%–78% titik pemantauan masuk kategori cemar berat
  • Nilai IP tertinggi mencapai >18,0, jauh di atas ambang batas cemar berat (>5,0)
  • Titik-titik di bagian tengah sungai (dalam wilayah Jakarta) menunjukkan nilai IP lebih buruk dibanding titik masuk dari luar wilayah

Contoh:

  • Titik masuk Sungai Ciliwung dari Depok memiliki IP 9,89
  • Setelah mengalir melalui Jakarta, IP meningkat menjadi 12,23

Parameter Pencemar Utama: Fecal Coliform, BOD, COD, dan Amoniak

1. Fecal Coliform

Mikroorganisme indikator pencemaran tinja ini paling dominan. Pada tahun 2023:

  • Hampir semua titik menunjukkan nilai >1.000 MPN/100 ml (batas baku mutu)
  • Di beberapa lokasi, angkanya mencapai >24.000 MPN/100 ml

Ini berarti limbah domestik belum diolah dengan baik sebelum masuk ke sungai.

2. BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand)

  • Rata-rata BOD = 9,0–15,0 mg/L (batas maksimal = 2 mg/L)
  • COD = hingga 40 mg/L (batas maksimal = 10 mg/L)

Nilai tinggi menunjukkan beban bahan organik terlarut sangat besar, terutama dari limbah rumah tangga dan pasar.

3. Amoniak (NH₃)

  • Konsentrasi di banyak titik melebihi ambang 0,5 mg/L
  • Beberapa titik menunjukkan nilai hingga 3–4 mg/L

Kadar tinggi ini berbahaya bagi ikan dan dapat menimbulkan bau busuk.

Polusi Visual dan Bau: Warna, Minyak, dan Sampah

Selain data kimia, parameter fisik dan visual sungai juga dipantau:

  • 83% titik menunjukkan warna air keruh kecoklatan
  • 54% titik memiliki lapisan minyak di permukaan
  • 45% titik teridentifikasi terdapat timbulan sampah, terutama plastik dan organik

Foto-foto lapangan menunjukkan kenyataan pahit: air sungai berwarna gelap, mengeluarkan bau, dan penuh sampah.

Logam Berat di Sedimen: Ancaman Tak Terlihat

Sedimen sungai Jakarta juga diperiksa dan menunjukkan pencemaran logam berat:

  • Zn (Seng): melebihi nilai referensi di >60% titik
  • Cu (Tembaga): terdeteksi tinggi di 35% titik

Logam ini berasal dari limbah industri, kendaraan bermotor, dan saluran air permukiman. Meskipun tidak langsung tampak, akumulasi logam berat dapat berbahaya bagi biota dan manusia melalui rantai makanan.

Tren Lima Tahun: Tidak Banyak Perubahan

Perbandingan tahun 2018 hingga 2023 menunjukkan kondisi memburuk atau stagnan:

  • Fecal Coliform dan BOD konsisten menjadi parameter paling mencemari
  • Tidak ada peningkatan signifikan dalam angka IP
  • Daerah seperti Sungai Krukut, Cideng, dan Angke tetap berada di kategori cemar berat sejak 2018

Artinya, berbagai program penanganan belum berdampak signifikan.

Mengapa Sungai Jakarta Begitu Tercemar?

Penyebab Utama:

  • Limbah rumah tangga (grey water) yang dibuang tanpa IPAL
  • Sampah domestik yang masuk ke sungai
  • Limbah industri kecil yang tidak terpantau
  • Kondisi DAS (daerah aliran sungai) yang sudah jenuh dengan bangunan

Dengan tingkat urbanisasi tinggi dan sistem sanitasi yang belum merata, pencemaran menjadi konsekuensi tak terelakkan.

Rekomendasi Strategis: Bukan Sekadar Bersih-Bersih

1. Optimalisasi IPAL Komunal

Pemerintah daerah perlu memperluas cakupan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di kawasan padat.

2. Monitoring Real-Time dan Terintegrasi

Disarankan pemasangan stasiun pemantauan kualitas air berbasis otomatis, online, dan real-time. Saat ini pemantauan masih manual dan berkala.

3. Kampanye Publik dan Edukasi Lingkungan

Pemahaman warga tentang dampak pencemaran masih rendah. Perlu program edukasi berbasis komunitas, sekolah, dan media sosial.

4. Sanksi Lebih Tegas untuk Industri dan Perkantoran

Penegakan hukum terhadap pelaku pencemar harus ditingkatkan, termasuk pencabutan izin dan denda progresif.

5. Revitalisasi Bantaran Sungai

Program seperti normalisasi atau naturalisasi perlu disertai penghijauan, pengelolaan sampah terpadu, dan tata ruang yang ketat.

Jakarta Bisa Lebih Baik: Contoh dari Negara Lain

Beberapa kota dunia telah berhasil merevitalisasi sungai kotanya:

  • Seoul berhasil menghidupkan kembali Sungai Cheonggyecheon dengan membongkar jalan tol dan membangun ruang hijau
  • Singapura merekayasa ulang Sungai Kallang menjadi saluran multifungsi yang bersih dan estetik
  • Tokyo menjaga sungai kota dengan IPAL skala kota dan penegakan hukum lingkungan yang ketat

Jakarta sebenarnya tidak kekurangan sumber daya. Yang dibutuhkan adalah komitmen, integrasi antarinstansi, dan keterlibatan masyarakat.

Penutup: Air Sungai Adalah Cermin Wajah Kota

Kualitas air sungai Jakarta tahun 2023 mencerminkan wajah urbanisasi yang belum ramah lingkungan. Data dan temuan dalam laporan ini menjadi alarm keras: saatnya transformasi nyata dalam pengelolaan lingkungan sungai.

Masyarakat perlu didorong menjadi bagian dari solusi, bukan hanya menyalahkan. Industri dan pemerintah harus lebih transparan, terukur, dan bertanggung jawab. Jika tidak, generasi mendatang hanya akan mengenal sungai Jakarta sebagai saluran kotor, bukan sumber kehidupan.

Sumber Asli Artikel:
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. Laporan Pemantauan Kualitas Lingkungan Air Sungai Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023. Bekerja sama dengan PPLH IPB University.

 

Selengkapnya
Darurat Sungai Jakarta: Potret Kualitas Air Ibukota Tahun 2023

Sumber Daya Air

Ketinggian Sungai dan Kualitas Air: Studi Perbandingan Sungai Bladak dan Kedungrawis di Blitar

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Ketinggian Sungai Mempengaruhi Kualitas Air?

Air sungai adalah sumber kehidupan yang tak tergantikan. Baik untuk kebutuhan domestik, irigasi, hingga perikanan dan rekreasi, kualitas air sangat menentukan fungsionalitas sebuah sungai. Namun, satu aspek yang kerap terlewat dalam analisis kualitas air adalah letak geografis vertikal alias ketinggian sungai dari permukaan laut.

Studi yang dilakukan oleh Tamara Pingki dan Sudarti ini mencoba menjawab pertanyaan menarik: apakah perbedaan ketinggian antara dua sungai di Kabupaten Blitar memengaruhi kualitas airnya? Jawabannya ternyata bukan hanya “ya”, tetapi juga menyimpan insight penting bagi perencanaan pengelolaan sumber daya air di daerah pegunungan dan dataran rendah.

Studi Kasus: Sungai Bladak vs Sungai Kedungrawis

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi:

  • Sungai Bladak di Kecamatan Nglegok (±349 meter di atas permukaan laut / mdpl)
  • Sungai Kedungrawis di Kecamatan Kademangan (±252 mdpl)

Masing-masing sungai diukur pada tiga titik dengan jarak antar titik 200 meter. Pengambilan data dilakukan lima kali dalam sehari selama lima hari berturut-turut. Parameter yang diuji meliputi:

  • Suhu
  • Kecerahan
  • pH
  • TDS (Total Dissolved Solid)

Alat yang digunakan antara lain termometer air, kertas lakmus, TDS meter digital, dan cakram Secchi untuk pengukuran kecerahan.

Temuan Lapangan: Kualitas Air Lebih Baik di Ketinggian

1. Suhu Air: Semakin Tinggi, Semakin Dingin

Suhu merupakan indikator penting karena memengaruhi kelarutan oksigen dan aktivitas mikroorganisme dalam air. Dari data pengukuran, didapat:

  • Sungai Bladak:
    • Rata-rata pagi: 16,18°C
    • Rata-rata siang: 20,22°C
    • Rata-rata sore: 17,74°C
  • Sungai Kedungrawis:
    • Rata-rata pagi: 19,28°C
    • Rata-rata siang: 24,5°C
    • Rata-rata sore: 21,94°C

Dengan suhu tertinggi pada siang hari dan terendah pada pagi hari, jelas bahwa suhu Sungai Bladak lebih rendah pada semua waktu. Ini sesuai dengan karakteristik dataran tinggi yang menerima radiasi matahari lebih sedikit.

Implikasinya: air yang lebih dingin cenderung memiliki kandungan oksigen terlarut yang lebih tinggi dan mendukung kehidupan akuatik yang lebih sehat.

2. Kecerahan Air: Sungai di Dataran Tinggi Lebih Jernih

Kecerahan diukur dengan cakram Secchi:

  • Sungai Bladak: Rata-rata kecerahan 33,9 cm
  • Sungai Kedungrawis: Rata-rata kecerahan 18,7 cm

Nilai kecerahan di bawah 20 cm biasanya menandakan status eutrofik, artinya perairan mulai tercemar oleh zat organik seperti limbah rumah tangga atau pertanian.

Analisis: Sungai Bladak, dengan kecerahan di atas 30 cm, menunjukkan kualitas visual air yang masih baik. Sebaliknya, Sungai Kedungrawis sudah menunjukkan tanda-tanda kekeruhan yang dapat berdampak pada proses fotosintesis dan kehidupan biota air.

3. pH Air: Air Basa vs Air Asam

pH menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan air:

  • Sungai Bladak: Lakmus berwarna hijau → pH > 7 (basa)
  • Sungai Kedungrawis: Lakmus berwarna merah → pH < 7 (asam)

Air yang terlalu asam bisa berdampak buruk pada ikan dan organisme perairan lainnya. Sementara air yang sedikit basa cenderung lebih stabil dan aman untuk konsumsi maupun budidaya.

Catatan penting: Air Sungai Kedungrawis termasuk dalam kualitas yang buruk karena pH asam dalam lima hari pengamatan.

4. TDS (Total Dissolved Solid): Indikator Langsung dari Pencemaran

TDS mengukur jumlah zat padat terlarut seperti mineral, garam, dan logam:

  • Sungai Bladak: Rata-rata TDS = 442 ppm → masuk kategori “baik”
  • Sungai Kedungrawis: Rata-rata TDS = 1126 ppm → masuk kategori “buruk”

Menurut standar:

  • <300 ppm = sangat baik
  • 300–600 ppm = baik
  • 600–900 ppm = bisa diminum
  • 900–1200 ppm = buruk
  • 1200 ppm = sangat buruk

Kesimpulan: Sungai Kedungrawis nyaris memasuki kategori “tidak layak konsumsi”, sementara Sungai Bladak masih dalam batas aman.

Korelasi Antara Ketinggian dan Kualitas Air

Data menunjukkan bahwa semakin tinggi letak sungai, semakin baik parameter kualitas airnya:

  • Suhu lebih rendah → baik
  • Kecerahan lebih tinggi → baik
  • pH lebih basa → baik
  • TDS lebih rendah → baik

Hal ini memperkuat hipotesis bahwa topografi, suhu udara, dan aktivitas manusia di sekitar sungai sangat memengaruhi kualitas air. Dataran rendah biasanya lebih padat penduduk, lebih banyak kegiatan pertanian dan industri, serta potensi limbah lebih besar.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini sejalan dengan temuan Irwan dan Afdal (2016) yang menyatakan bahwa konduktivitas dan suhu air berkorelasi positif dengan TDS. Juga relevan dengan studi Pramleonita et al. (2018) yang menyebutkan bahwa kecerahan air memengaruhi efisiensi fotosintesis plankton dan fitoplankton.

Yang menarik dari studi ini adalah pendekatannya yang langsung membandingkan dua sungai di lokasi berbeda dengan faktor utama: ketinggian. Sebagian besar penelitian hanya fokus pada parameter kimia atau aktivitas manusia, tetapi jarang yang menyelidiki pengaruh vertikal geografis secara eksplisit.

Rekomendasi Praktis dan Implikasi Kebijakan

Untuk Pemerintah Daerah:

  • Prioritaskan perlindungan daerah aliran sungai (DAS) di wilayah dataran tinggi.
  • Terapkan pengawasan ketat terhadap limbah rumah tangga dan pertanian di dataran rendah.
  • Buat sistem peringatan dini pencemaran berbasis TDS yang murah dan bisa digunakan oleh masyarakat.

Untuk Masyarakat:

  • Gunakan filter air TDS sederhana untuk deteksi awal kualitas air sungai.
  • Hindari membuang deterjen atau limbah kimia langsung ke aliran air.
  • Partisipasi dalam pemantauan kualitas air berbasis komunitas.

Untuk Peneliti Selanjutnya:

  • Tambahkan parameter kimia lain seperti BOD, COD, atau logam berat.
  • Lakukan pengamatan musiman untuk melihat pengaruh cuaca dan curah hujan.
  • Integrasi dengan penginderaan jauh atau drone untuk analisis spasial.

Penutup: Sungai yang Lebih Tinggi, Kualitas yang Lebih Baik?

Penelitian ini mengajarkan kita bahwa faktor geografis, khususnya ketinggian, memainkan peran besar dalam menentukan kualitas air sungai. Dengan membandingkan Sungai Bladak dan Sungai Kedungrawis, kita melihat gambaran nyata bagaimana dataran tinggi lebih cenderung menghasilkan air yang jernih, basa, dan minim kandungan zat padat terlarut.

Namun ini bukan berarti kita bisa mengabaikan sungai di dataran rendah. Justru karena potensi pencemaran lebih tinggi, maka sungai di wilayah seperti Kademangan membutuhkan perhatian lebih serius—baik dari sisi pengelolaan limbah, edukasi masyarakat, hingga teknologi pengolahan air sederhana.

Dengan riset semacam ini, kita makin menyadari bahwa menjaga kualitas air sungai bukan hanya soal reaksi terhadap pencemaran, tapi juga soal pencegahan yang dimulai dari pemahaman lingkungan fisik sekitar.

Sumber Asli Artikel:
Tamara Pingki dan Sudarti. Analisis Kualitas Air Sungai Berdasarkan Ketinggian Sungai Bladak dan Sungai Kedungrawis di Kabupaten Blitar. Jurnal Budidaya Perairan, Vol. 9, No. 2, 2021. Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP Universitas Jember.

 

Selengkapnya
Ketinggian Sungai dan Kualitas Air: Studi Perbandingan Sungai Bladak dan Kedungrawis di Blitar

Sumber Daya Air

Sungai Martapura Tercemar Logam Berat: Fakta Lapangan dan Dampaknya bagi Masyarakat Kalimantan Selatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Sungai sebagai Urat Nadi Kehidupan yang Terancam

Sungai Martapura, yang membelah kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan, bukan hanya sekadar aliran air. Sungai ini adalah bagian vital dari kehidupan warga Banjar, menjadi sumber air untuk mandi, mencuci, irigasi, hingga transportasi. Namun, penelitian terbaru yang dilakukan oleh Ishak dan rekan-rekannya tahun 2022 menunjukkan fakta yang memprihatinkan: air Sungai Martapura mengandung logam berat dalam kadar yang melampaui ambang batas baku mutu nasional.

Penelitian ini penting, karena memberikan bukti ilmiah tentang pencemaran logam berat dan sekaligus mengusulkan urgensi intervensi dari semua pihak—pemerintah, industri, dan masyarakat.

Studi Kasus: Sungai Martapura dan Potensi Pencemaran Terhadap Warga

Sungai Martapura memiliki panjang sekitar 36,5 km dan merupakan anak Sungai Barito. Daerah sekitarnya padat aktivitas, mulai dari pemukiman, pertanian, hingga industri skala kecil dan besar. Ini menyebabkan potensi masuknya limbah cair maupun padat ke dalam badan air sangat tinggi.

Untuk menguji kualitas air, tim peneliti mengambil sampel dari empat stasiun strategis:

  1. Stasiun I (Hulu) – Kawasan Bincau Muara
  2. Stasiun II (Tengah) – Daerah dengan permukiman padat dan aktivitas pertanian
  3. Stasiun III (Dekat pemukiman urban)
  4. Stasiun IV (Hilir) – Dekat muara sungai ke Barito

Pengujian dilakukan menggunakan metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) dan standar SNI ISO/IEC 17025:2017.

Temuan Penting: Tiga Logam Berat Melebihi Baku Mutu

1. Besi (Fe)

Besi terlarut ditemukan melebihi ambang batas (0,3 mg/L) di semua lokasi:

  • Stasiun I: 1,261 mg/L
  • Stasiun II: 2,096 mg/L
  • Stasiun III: 0,865 mg/L
  • Stasiun IV: 1,998 mg/L

Ini artinya, kadar Fe di air Sungai Martapura mencapai 7 kali lipat dari batas aman. Logam ini dapat berasal dari limbah industri logam, pipa besi berkarat, serta limbah domestik seperti kaleng bekas.

2. Mangan (Mn)

Tercatat melebihi baku mutu (0,1 mg/L) hanya di Stasiun II:

  • Mn = 0,127 mg/L

Meskipun hanya satu titik yang melampaui ambang batas, hal ini tetap menjadi alarm karena Stasiun II berada di dekat permukiman dan lahan pertanian—dua aktivitas yang sering membuang limbah langsung ke sungai.

3. Tembaga (Cu)

Ditemukan melebihi ambang batas (0,02 mg/L) di semua titik:

  • Cu = 0,039 mg/L (Stasiun I & III), 0,042 mg/L (Stasiun II & IV)

Tembaga berasal dari limbah rumah tangga, bahan bangunan, kendaraan, hingga pestisida dari pertanian.

Parameter Fisik: Suhu dan pH Masih Normal

Selain logam berat, penelitian juga mencatat data suhu dan pH sebagai parameter fisik dasar:

  • Rata-rata suhu: 29,25°C
  • Rata-rata pH: 7,3

Nilai ini masih dalam batas wajar (6–9 untuk pH dan ±29°C untuk suhu tropis), sehingga tidak langsung berdampak pada kesehatan. Namun, suhu tinggi dapat mempercepat reaksi kimia dan meningkatkan kelarutan logam dalam air.

Dampak Pencemaran: Dari Endapan Logam hingga Ancaman Kesehatan

Efek Biologis

Logam berat seperti Fe, Mn, dan Cu bila terakumulasi dalam tubuh manusia bisa menimbulkan berbagai masalah:

  • Fe berlebih dapat menyebabkan kerusakan hati dan penyakit hemokromatosis.
  • Mn dalam kadar tinggi bisa berdampak pada sistem saraf.
  • Cu yang berlebihan menyebabkan gangguan ginjal dan saluran pencernaan.

Bagi ekosistem air, logam berat bisa mengganggu sistem reproduksi ikan, menurunkan kadar oksigen, dan menyebabkan kematian biota.

Endapan di Dasar Sungai

Konsentrasi logam berat tidak hanya mengendap di air, tetapi juga di sedimen sungai. Penelitian sebelumnya di Sungai Martapura juga mencatat adanya logam berat di sedimen—yang artinya bahaya tidak hanya mengintai di permukaan, tetapi bisa bertahan lama di dasar sungai.

Apa Penyebab Utama Masuknya Logam Berat?

Berdasarkan observasi lapangan dan kajian literatur, ada beberapa penyebab utama:

  • Industri kecil dan besar yang membuang limbah tanpa pengolahan.
  • Permukiman padat di bantaran sungai yang membuang sampah dan air cucian langsung ke sungai.
  • Pertanian intensif yang menggunakan pestisida dan pupuk berbahan logam.
  • Transportasi air dan tambang, yang turut menyumbang polusi logam berat.

Bagaimana Solusi Jangka Panjangnya?

1. Penegakan Regulasi

PP RI No. 22 Tahun 2021 sudah jelas mengatur baku mutu air, tetapi implementasinya masih lemah. Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengawasan terhadap industri dan rumah tangga di sepanjang sungai.

2. Instalasi Pengolahan Limbah

IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) wajib dimiliki industri dan kelompok warga di pinggir sungai. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan, baik secara teknis maupun finansial.

3. Edukasi dan Partisipasi Masyarakat

Masyarakat harus diedukasi bahwa membuang limbah ke sungai tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga kembali ke tubuh mereka melalui air dan ikan.

4. Monitoring Berbasis Komunitas

Sistem pemantauan partisipatif bisa menjadi alternatif murah namun efektif. Misalnya, melibatkan pelajar, mahasiswa, atau karang taruna untuk melakukan uji kualitas air secara berkala.

Bandingkan dengan Studi Lain: Apakah Ini Masalah Nasional?

Ya. Kasus Sungai Martapura bukan satu-satunya di Indonesia:

  • Sungai Mahap di Kalbar juga tercemar berat oleh Fe dan COD.
  • Sungai Jaing di Kalimantan Selatan menunjukkan IP (Indeks Pencemaran) 5–7, masuk kategori tercemar sedang hingga berat.
  • Sungai Winongo di Yogyakarta terpapar logam berat Cu, Cr, dan Mn melebihi ambang.

Artinya, banyak sungai di Indonesia kini mengalami nasib serupa. Studi ini memberi cermin penting bagi daerah lain yang memiliki karakteristik geografis dan aktivitas masyarakat yang serupa.

Kesimpulan: Air Sungai Bukan Tempat Sampah

Studi oleh Ishak dkk. menjadi bukti kuat bahwa Sungai Martapura berada dalam tekanan ekologis akibat logam berat, khususnya Fe, Mn, dan Cu. Meskipun suhu dan pH masih dalam ambang wajar, keberadaan logam berat yang melampaui baku mutu menandakan bahwa sungai ini sedang dalam kondisi darurat lingkungan.

Jika tidak ada tindakan nyata dalam beberapa tahun ke depan, Sungai Martapura bisa kehilangan fungsinya sebagai sumber kehidupan dan berubah menjadi sumber penyakit.

Solusi yang dibutuhkan bukan hanya teknologi dan regulasi, tetapi juga perubahan perilaku masyarakat, dukungan pemerintah daerah, dan peran aktif dari akademisi serta komunitas lingkungan. Kita perlu bertindak sekarang, sebelum terlalu terlambat.

Sumber Asli Artikel:
Nuning Irnawulan Ishak, Mahmudah, Kasman, Ermayanti Ishak, Irwan Junaidi Effendy, dan Latifa Fekri. Analisis Kandungan Logam Berat Pada Air Sungai Martapura, Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2022. Jurnal Sains dan Inovasi Perikanan, Vol. 7, No. 1, Januari 2023.

Selengkapnya
Sungai Martapura Tercemar Logam Berat: Fakta Lapangan dan Dampaknya bagi Masyarakat Kalimantan Selatan

Sumber Daya Air

Sungai Pepe di Surakarta: Menyingkap Realitas Kualitas Air melalui Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Kualitas Air Sungai Perlu Diuji dengan Cara yang Terpadu?

Sungai adalah sistem kehidupan yang kompleks. Ia menjadi sumber air, jalur drainase, ekosistem perairan, bahkan tempat rekreasi. Namun, di tengah urbanisasi cepat seperti yang terjadi di Surakarta, sungai juga menanggung beban berat dari limbah domestik, industri, dan pertanian. Untuk menjawab tantangan ini, pendekatan monitoring kualitas air yang hanya mengandalkan parameter fisikokimia saja tidak cukup. Maka, tesis ini mengusulkan pendekatan integratif dengan melibatkan indikator biologis: bakteri dan makroinvertebrata.

Abdallah A. Salum dalam tesisnya tahun 2015 di Universitas Sebelas Maret mengambil Sungai Pepe di Surakarta sebagai studi kasus. Penelitiannya mencoba menjawab tiga pertanyaan utama: seberapa besar pencemaran yang terjadi, bagaimana respons biologis dari makroinvertebrata terhadap kondisi tersebut, dan apakah terdapat korelasi signifikan antara parameter fisika, kimia, dan biologi?

Lokasi dan Metodologi: Dari Hulu hingga Hilir

Penelitian dilakukan di enam titik di sepanjang Sungai Pepe, yang melintasi daerah urban dan semi-urban di Surakarta. Proses pengambilan data dilakukan selama dua bulan (Januari–Februari 2015), melibatkan:

  • Parameter fisikokimia: suhu, pH, konduktivitas (CE), total padatan terlarut (TDS), total padatan tersuspensi (TSS), turbidity, BOD, COD, nitrat, fosfat.
  • Parameter biologis: total coliform (indikator bakteri), serta inventarisasi makroinvertebrata.
  • Alat dan metode: Winkler untuk DO, titrasi untuk COD dan BOD, spektrofotometer untuk nutrien, serta analisis taksonomi untuk identifikasi makroinvertebrata.

Analisis dilakukan menggunakan SPSS 18 dan Excel, dengan pendekatan statistik deskriptif, korelasi Pearson, serta indeks kualitas air seperti WPI (Water Pollution Index), STORET, dan NSF-WQI (National Sanitation Foundation – Water Quality Index).

Hasil Fisik dan Kimia: Angka-angka yang Tak Bisa Diabaikan

1. Suhu dan pH

Suhu air berkisar antara 25,1 hingga 30,5°C, relatif tinggi dan berpotensi mengurangi kelarutan oksigen. Nilai pH berada dalam rentang 6,3–8,5, dengan sebagian lokasi mencatatkan angka mendekati batas atas. Ini menandakan adanya potensi basa akibat limbah domestik atau deterjen.

2. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen

DO di beberapa titik hanya 2,6 mg/L—jauh di bawah ambang batas ideal 5–6 mg/L untuk kehidupan akuatik. BOD dan COD juga mencatatkan angka tinggi: BOD mencapai 7,3 mg/L dan COD lebih dari 45 mg/L di lokasi-lokasi tertentu. Ini menunjukkan bahwa air memiliki kandungan bahan organik tinggi yang mengonsumsi banyak oksigen saat terurai.

3. Nutrien: Nitrat dan Fosfat

Kadar nitrat mencapai 11,5 mg/L, melampaui ambang batas air minum (10 mg/L), sedangkan fosfat hingga 0,7 mg/L, menandakan eutrofikasi yang berpotensi memicu ledakan populasi alga (algal bloom).

4. TDS, TSS, dan Turbiditas

TSS melebihi 70 mg/L di titik-titik padat aktivitas manusia. TDS pun berada di atas 500 mg/L di beberapa lokasi. Ini mencerminkan partikel terlarut dan tersuspensi yang tinggi akibat erosi dan limbah.

Indikator Biologis: Makroinvertebrata Bicara Lebih Jujur

Total Coliform

Konsentrasi total coliform mencapai lebih dari 1100 MPN/100 mL di beberapa titik—angka yang menunjukkan pencemaran fekal yang signifikan. Ini bisa berasal dari limbah rumah tangga yang tidak diolah dan buangan dari toilet ke sungai.

Komposisi Makroinvertebrata

Sebanyak 42 takson makroinvertebrata berhasil diidentifikasi, termasuk kelompok peka seperti Ephemeroptera (mayfly) dan kelompok toleran seperti Chironomidae (lalat darah). Oligochaeta menjadi takson dominan dengan persebaran luas di seluruh titik pengambilan sampel.

Makroinvertebrata sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air. Komunitas yang didominasi oleh spesies toleran menandakan bahwa sungai telah mengalami tekanan ekologis berat.

Indeks Biotik dan Indeks Kualitas Air

Hilsenhoff Family Biotic Index (HFBI)

HFBI menunjukkan bahwa sebagian besar titik sampling berada dalam kategori kualitas “buruk” hingga “sangat buruk” (HFBI > 7), menandakan dominasi spesies toleran terhadap pencemaran organik.

%EPT dan %CHIR

  • %EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, Trichoptera) rendah—menandakan kondisi tercemar.
  • %CHIR (Chironomidae) tinggi—konsisten dengan ekosistem yang menerima tekanan organik.

Water Pollution Index (WPI)

Nilai WPI berkisar antara 6,85–7,5, masuk kategori tercemar sedang hingga berat.

NSF-WQI

Skor bervariasi antara 40–68, dikategorikan sebagai “marginal” hingga “poor” menurut standar NSF.

STORET

Menghasilkan nilai antara –25 hingga –48, yang mengindikasikan status “tercemar berat”.

Korelasi Antara Parameter: Apa Kata Statistik?

Korelasi Pearson antara parameter fisikokimia dan biologis menunjukkan hubungan yang signifikan:

  • pH berkorelasi negatif dengan jumlah coliform (r = –0.68, p < 0.01)
  • DO berkorelasi negatif dengan COD dan BOD (r = –0.75 dan –0.82, p < 0.01)
  • TDS dan CE berkorelasi positif sangat kuat (r = 0.995, p < 0.01)
  • Komposisi makroinvertebrata berkorelasi negatif dengan parameter pencemaran, seperti nitrat dan fosfat

Hasil ini menegaskan bahwa degradasi kualitas air dapat dideteksi lebih dini dan akurat jika menggabungkan metode biologis dan fisikokimia secara simultan.

Analisis Kritis: Apa yang Membuat Studi Ini Penting?

Kelebihan:

  • Pendekatan holistik: Menggabungkan tiga kategori parameter menjadikan hasil lebih komprehensif.
  • Biologi sebagai indikator realitas: Makroinvertebrata mencerminkan kualitas air jangka panjang, bukan hanya kondisi sesaat.
  • Metodologi kuat: Menggunakan lebih dari satu indeks (WPI, NSF-WQI, STORET, HFBI) memberi perspektif multi-layered.

Kelemahan:

  • Studi dilakukan hanya dalam dua bulan, sehingga belum menangkap variasi musiman.
  • Tidak melibatkan logam berat atau parameter toksik lainnya.
  • Kajian sosial tidak dijadikan bagian dari rekomendasi—padahal intervensi masyarakat sangat penting.

Rekomendasi Praktis untuk Surakarta dan Daerah Lain

  1. Edukasi masyarakat tentang pentingnya sanitasi dan dampak membuang limbah ke sungai.
  2. Penerapan bioassessment reguler: Gunakan makroinvertebrata sebagai metode pemantauan murah yang bisa dilakukan sekolah atau komunitas lokal.
  3. Pemanfaatan teknologi sensor seperti sistem IoT untuk monitoring DO, pH, dan CE secara real-time.
  4. Restorasi ekologis: Penanaman vegetasi di bantaran, rekayasa kanal, dan pengurangan aktivitas industri di dekat sungai.
  5. Integrasi kebijakan multisektor: Libatkan dinas kesehatan, pendidikan, dan lingkungan dalam pengelolaan bersama.

Menutup Resensi: Air Bersih Dimulai dari Integrasi Data

Penelitian Abdallah A. Salum bukan sekadar riset akademik. Ini adalah peringatan berbasis data bagi kita semua—bahwa sungai seperti Pepe bukan hanya jalur air, tetapi indikator utama kesehatan kota. Dengan menggabungkan analisis fisik, kimia, dan biologi, studi ini memberi peta jalan untuk pemantauan yang lebih adil, akurat, dan murah.

Surakarta dan kota-kota lain di Indonesia seharusnya mulai mengadopsi pendekatan ini, bukan hanya untuk memenuhi regulasi, tetapi untuk menjamin hak dasar manusia akan air bersih.

Sumber Asli Artikel:
Abdallah A. Salum. Integrating Physicochemical and Biological Parameters for Water Quality Assessment in Pepe River in Surakarta, Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Sebelas Maret, 2015. Pembimbing: Prof. Ir. Ari Handono Ramelan, MSc (Hons), Ph.D. dan Dr. Sunarto, M.S.

Selengkapnya
Sungai Pepe di Surakarta: Menyingkap Realitas Kualitas Air melalui Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi
« First Previous page 68 of 1.099 Next Last »