Mengapa Kualitas Air Sungai Perlu Diuji dengan Cara yang Terpadu?
Sungai adalah sistem kehidupan yang kompleks. Ia menjadi sumber air, jalur drainase, ekosistem perairan, bahkan tempat rekreasi. Namun, di tengah urbanisasi cepat seperti yang terjadi di Surakarta, sungai juga menanggung beban berat dari limbah domestik, industri, dan pertanian. Untuk menjawab tantangan ini, pendekatan monitoring kualitas air yang hanya mengandalkan parameter fisikokimia saja tidak cukup. Maka, tesis ini mengusulkan pendekatan integratif dengan melibatkan indikator biologis: bakteri dan makroinvertebrata.
Abdallah A. Salum dalam tesisnya tahun 2015 di Universitas Sebelas Maret mengambil Sungai Pepe di Surakarta sebagai studi kasus. Penelitiannya mencoba menjawab tiga pertanyaan utama: seberapa besar pencemaran yang terjadi, bagaimana respons biologis dari makroinvertebrata terhadap kondisi tersebut, dan apakah terdapat korelasi signifikan antara parameter fisika, kimia, dan biologi?
Lokasi dan Metodologi: Dari Hulu hingga Hilir
Penelitian dilakukan di enam titik di sepanjang Sungai Pepe, yang melintasi daerah urban dan semi-urban di Surakarta. Proses pengambilan data dilakukan selama dua bulan (Januari–Februari 2015), melibatkan:
- Parameter fisikokimia: suhu, pH, konduktivitas (CE), total padatan terlarut (TDS), total padatan tersuspensi (TSS), turbidity, BOD, COD, nitrat, fosfat.
- Parameter biologis: total coliform (indikator bakteri), serta inventarisasi makroinvertebrata.
- Alat dan metode: Winkler untuk DO, titrasi untuk COD dan BOD, spektrofotometer untuk nutrien, serta analisis taksonomi untuk identifikasi makroinvertebrata.
Analisis dilakukan menggunakan SPSS 18 dan Excel, dengan pendekatan statistik deskriptif, korelasi Pearson, serta indeks kualitas air seperti WPI (Water Pollution Index), STORET, dan NSF-WQI (National Sanitation Foundation – Water Quality Index).
Hasil Fisik dan Kimia: Angka-angka yang Tak Bisa Diabaikan
1. Suhu dan pH
Suhu air berkisar antara 25,1 hingga 30,5°C, relatif tinggi dan berpotensi mengurangi kelarutan oksigen. Nilai pH berada dalam rentang 6,3–8,5, dengan sebagian lokasi mencatatkan angka mendekati batas atas. Ini menandakan adanya potensi basa akibat limbah domestik atau deterjen.
2. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen
DO di beberapa titik hanya 2,6 mg/L—jauh di bawah ambang batas ideal 5–6 mg/L untuk kehidupan akuatik. BOD dan COD juga mencatatkan angka tinggi: BOD mencapai 7,3 mg/L dan COD lebih dari 45 mg/L di lokasi-lokasi tertentu. Ini menunjukkan bahwa air memiliki kandungan bahan organik tinggi yang mengonsumsi banyak oksigen saat terurai.
3. Nutrien: Nitrat dan Fosfat
Kadar nitrat mencapai 11,5 mg/L, melampaui ambang batas air minum (10 mg/L), sedangkan fosfat hingga 0,7 mg/L, menandakan eutrofikasi yang berpotensi memicu ledakan populasi alga (algal bloom).
4. TDS, TSS, dan Turbiditas
TSS melebihi 70 mg/L di titik-titik padat aktivitas manusia. TDS pun berada di atas 500 mg/L di beberapa lokasi. Ini mencerminkan partikel terlarut dan tersuspensi yang tinggi akibat erosi dan limbah.
Indikator Biologis: Makroinvertebrata Bicara Lebih Jujur
Total Coliform
Konsentrasi total coliform mencapai lebih dari 1100 MPN/100 mL di beberapa titik—angka yang menunjukkan pencemaran fekal yang signifikan. Ini bisa berasal dari limbah rumah tangga yang tidak diolah dan buangan dari toilet ke sungai.
Komposisi Makroinvertebrata
Sebanyak 42 takson makroinvertebrata berhasil diidentifikasi, termasuk kelompok peka seperti Ephemeroptera (mayfly) dan kelompok toleran seperti Chironomidae (lalat darah). Oligochaeta menjadi takson dominan dengan persebaran luas di seluruh titik pengambilan sampel.
Makroinvertebrata sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air. Komunitas yang didominasi oleh spesies toleran menandakan bahwa sungai telah mengalami tekanan ekologis berat.
Indeks Biotik dan Indeks Kualitas Air
Hilsenhoff Family Biotic Index (HFBI)
HFBI menunjukkan bahwa sebagian besar titik sampling berada dalam kategori kualitas “buruk” hingga “sangat buruk” (HFBI > 7), menandakan dominasi spesies toleran terhadap pencemaran organik.
%EPT dan %CHIR
- %EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, Trichoptera) rendah—menandakan kondisi tercemar.
- %CHIR (Chironomidae) tinggi—konsisten dengan ekosistem yang menerima tekanan organik.
Water Pollution Index (WPI)
Nilai WPI berkisar antara 6,85–7,5, masuk kategori tercemar sedang hingga berat.
NSF-WQI
Skor bervariasi antara 40–68, dikategorikan sebagai “marginal” hingga “poor” menurut standar NSF.
STORET
Menghasilkan nilai antara –25 hingga –48, yang mengindikasikan status “tercemar berat”.
Korelasi Antara Parameter: Apa Kata Statistik?
Korelasi Pearson antara parameter fisikokimia dan biologis menunjukkan hubungan yang signifikan:
- pH berkorelasi negatif dengan jumlah coliform (r = –0.68, p < 0.01)
- DO berkorelasi negatif dengan COD dan BOD (r = –0.75 dan –0.82, p < 0.01)
- TDS dan CE berkorelasi positif sangat kuat (r = 0.995, p < 0.01)
- Komposisi makroinvertebrata berkorelasi negatif dengan parameter pencemaran, seperti nitrat dan fosfat
Hasil ini menegaskan bahwa degradasi kualitas air dapat dideteksi lebih dini dan akurat jika menggabungkan metode biologis dan fisikokimia secara simultan.
Analisis Kritis: Apa yang Membuat Studi Ini Penting?
Kelebihan:
- Pendekatan holistik: Menggabungkan tiga kategori parameter menjadikan hasil lebih komprehensif.
- Biologi sebagai indikator realitas: Makroinvertebrata mencerminkan kualitas air jangka panjang, bukan hanya kondisi sesaat.
- Metodologi kuat: Menggunakan lebih dari satu indeks (WPI, NSF-WQI, STORET, HFBI) memberi perspektif multi-layered.
Kelemahan:
- Studi dilakukan hanya dalam dua bulan, sehingga belum menangkap variasi musiman.
- Tidak melibatkan logam berat atau parameter toksik lainnya.
- Kajian sosial tidak dijadikan bagian dari rekomendasi—padahal intervensi masyarakat sangat penting.
Rekomendasi Praktis untuk Surakarta dan Daerah Lain
- Edukasi masyarakat tentang pentingnya sanitasi dan dampak membuang limbah ke sungai.
- Penerapan bioassessment reguler: Gunakan makroinvertebrata sebagai metode pemantauan murah yang bisa dilakukan sekolah atau komunitas lokal.
- Pemanfaatan teknologi sensor seperti sistem IoT untuk monitoring DO, pH, dan CE secara real-time.
- Restorasi ekologis: Penanaman vegetasi di bantaran, rekayasa kanal, dan pengurangan aktivitas industri di dekat sungai.
- Integrasi kebijakan multisektor: Libatkan dinas kesehatan, pendidikan, dan lingkungan dalam pengelolaan bersama.
Menutup Resensi: Air Bersih Dimulai dari Integrasi Data
Penelitian Abdallah A. Salum bukan sekadar riset akademik. Ini adalah peringatan berbasis data bagi kita semua—bahwa sungai seperti Pepe bukan hanya jalur air, tetapi indikator utama kesehatan kota. Dengan menggabungkan analisis fisik, kimia, dan biologi, studi ini memberi peta jalan untuk pemantauan yang lebih adil, akurat, dan murah.
Surakarta dan kota-kota lain di Indonesia seharusnya mulai mengadopsi pendekatan ini, bukan hanya untuk memenuhi regulasi, tetapi untuk menjamin hak dasar manusia akan air bersih.
Sumber Asli Artikel:
Abdallah A. Salum. Integrating Physicochemical and Biological Parameters for Water Quality Assessment in Pepe River in Surakarta, Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Sebelas Maret, 2015. Pembimbing: Prof. Ir. Ari Handono Ramelan, MSc (Hons), Ph.D. dan Dr. Sunarto, M.S.