Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggandeng PT. Inti Konten Indonesia untuk hilirisasi produk inovasinya berupa aplikasi pemilu elektronik (e-voting). Pemanfaatan aplikasi e-voting untuk pemilu akan menjadi bagian dari kemajuan yang signifikan dalam demokrasi berbasis digital.
Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) Budi Prawara menjelaskan perjalanan pengembangan aplikasi e-voting telah dimulai sejak 2010. Guna memastikan keandalan aplikasi tersebut, telah dilakukan uji coba dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
"Keberhasilan uji coba di berbagai daerah memberikan bukti bahwa aplikasi ini tidak terlepas dari kontribusi kelompok riset digital dalam pengembangan aplikasi tersebut," kata Prawara pada penandatanganan perjanjian lisensi hak cipta aplikasi pemilu elektronik di Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, Selasa (19/03).
Prawaran menekankan pentingnya keamanan, kepercayaan, dan transparansi dalam pengembangan sistem e-voting, serta pentingnya memperhatikan aspek sosial dan dampaknya terhadap masyarakat.
“Dengan inovasi ini, kita akan terus berusaha untuk menyempurnakannya. Karena yang namanya produk riset tentu selalu membutuhkan improvement. E-voting juga saat ini sedang menjadi salah satu hot topic, karena kebetulan Indonesia juga baru selesai melaksanakan Pemilu,” terangnya.
Prawara berharap adanya kerjasama lisensi aplikasi e-voting dengan PT Inti Konten Indonesia akan memberi peluang besar bagi kedua belah pihak. Dengan menghasilkan produk riset yang berkualitas, ia meyakini produk riset Indonesia dapat bersaing tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di pasar internasional.
Dalam kesempatan yang sama, Perekayasa Ahli Utama dari Pusat Riset Sains Data dan Informasi sekaligus sebagai ketua tim pengembangan aplikasi e-voting Andrari Grahitandaru penjelasan perkembangan aplikasi e-voting. Dia menjelaskan bahwa aplikasi ini telah diujicobakan dalam pemilihan kepala desa (pilkades).
Sebelumnya, dijelaskan Andrari, aplikasi e-voting telah melewati uji materi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pengembang e-voting memastikan kesesuaian teknologi dengan regulasi yang berlaku.
Dalam Putusan MK Nomor 147/PUU-VII/2009 menyebutkan bahwa metode e-voting dapat diartikan sama dengan metode mencoblos. Untuk itu diperlukan kesiapan terhadap lima komponen yaitu teknologi, legalitas undang-undang, penyelenggara, masyarakat, dan asas luber jurdil.
Berbeda dengan negara lain yang mengadopsi e-voting secara online, e-voting Indonesia didesain agar tidak terhubung ke internet secara langsung. Selain itu, sistemnya dapat berjalan terus meskipun terjadi pemadaman listrik, dengan kemampuan untuk memulai kembali tanpa kehilangan data.
“Walaupun tiba-tiba terjadi pemadaman listrik, sistemnya ini akan nyambung terus sehingga tidak memulai dari awal, karena Pemilu itu kan tidak boleh putus di tengah jalan, harus berjalan terus” jelas Andrari.
Dia menjelaskan mekanisme pelaksanaan e-voting, pemilih akan diberikan smart card yang berguna untuk mengidentifikasi status pemilih. "Smart card ini juga dimanfaatkan untuk mendeteksi apakah pemilih mempunyai hak suara di wilayah tersebut atau tidak," jelasnya
Smart card digunakan pemilih dalam bilik suara untuk menentukan pilihannya. Menurutnya, selama proses pemilihan, perangkat e-voting tidak tersambung dengan Internet, sehingga mengurangi potensi dihack oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.
"Perangkat e-voting akan tersambung dengan internet ketika data dikirimkan ke pusat data nasional langsung dari Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tampilan hasil pemungutan suara akan disampaikan dalam bentuk tahapan berjenjang seperti per kabupaten, per provinsi, dan lain-lain," jelasnya.
Andrari berharap, momentum penandatanganan lisensi hak cipta e-voting ini menjadi langkah besar dalam memperkenalkan demokrasi digital di Indonesia dan siap mengubah wajah pemilihan umum di Tanah Air.
Sumber: https://brin.go.id/