Perencanaan tata ruang wilayah
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Juli 2025
Mengapa Integrasi DRR dan Urban Planning Jadi Isu Strategis?
Perkembangan kota yang pesat, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk telah meningkatkan kerentanan kawasan urban terhadap bencana. Tidak hanya banjir, kekeringan, dan kebakaran, namun juga bencana sosial seperti epidemi dan kecelakaan industri kini menjadi ancaman nyata bagi kota-kota besar dunia, termasuk di Afrika Selatan. Dalam konteks ini, integrasi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) ke dalam kurikulum perencanaan kota dan wilayah (Urban and Regional Planning/UP) menjadi sangat krusial. Artikel karya Koen, Coetzee, Kruger, dan Puren (2024) membedah secara kritis status integrasi DRR dalam kurikulum perencanaan di universitas Afrika Selatan, mengungkap tantangan, peluang, dan rekomendasi strategis yang sangat relevan untuk negara berkembang lain, termasuk Indonesia.
Latar Belakang: Urbanisasi, Risiko Bencana, dan Kesenjangan Kompetensi
Fakta dan Tren Global
Relevansi Integrasi DRR dalam Pendidikan Perencana Kota
Kerangka Teori dan Kebijakan: Kenapa DRR Harus Masuk Kurikulum UP?
Perspektif Akademik
Perspektif Kebijakan
Studi Kasus: Implementasi Integrasi DRR di Universitas Afrika Selatan
Metodologi Penelitian
Temuan Kunci
1. Kesadaran dan Komitmen Tinggi
2. Praktik Integrasi di Kurikulum
3. Studi Kasus Modul dan Materi
4. Tantangan Utama Integrasi
5. Dampak Integrasi yang Terbatas
Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Perbandingan Global
Kelebihan Studi
Keterbatasan
Perbandingan dengan Negara Lain
Implikasi dan Rekomendasi Strategis
1. Reformasi Kurikulum dan Materi Ajar
2. Penguatan Kapasitas Dosen dan Institusi
3. Kolaborasi Lintas Sektor dan Disiplin
4. Digitalisasi dan Inovasi Pembelajaran
5. Advokasi dan Pengakuan Profesi
Studi Angka dan Fakta: Potret Integrasi DRR di Perguruan Tinggi
Opini dan Kritik: Integrasi DRR, Momentum Reformasi atau Formalitas?
Integrasi DRR dalam kurikulum perencanaan kota bukan sekadar tuntutan kebijakan, tapi kebutuhan strategis di era bencana kompleks dan perubahan iklim. Namun, jika hanya dilakukan setengah hati—sekadar menambah satu-dua topik dalam modul—manfaatnya akan sangat terbatas. Reformasi kurikulum harus dilakukan secara menyeluruh, didukung pelatihan dosen, kolaborasi lintas sektor, dan inovasi pembelajaran.
Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah minimnya komitmen institusi dan pemerintah untuk menyediakan sumber daya dan insentif bagi pengembangan kurikulum DRR. Selain itu, penguatan jejaring antara universitas, industri, dan lembaga DRR masih sangat diperlukan untuk memastikan lulusan benar-benar siap menghadapi tantangan nyata di lapangan.
Tren Masa Depan: Kompetensi DRR sebagai Standar Baru Perencana Kota
Kesimpulan: Menuju Kota Tangguh Lewat Kurikulum Perencanaan Adaptif
Studi Koen dkk. menegaskan bahwa integrasi DRR dalam kurikulum perencanaan kota adalah fondasi utama membangun kota tangguh dan berkelanjutan. Tantangan integrasi memang besar—mulai dari keterbatasan waktu, dana, hingga kapasitas dosen—namun peluang reformasi juga terbuka lebar. Dengan komitmen bersama, kolaborasi lintas sektor, dan inovasi pembelajaran, universitas dapat menjadi motor penggerak transformasi kompetensi perencana kota masa depan. Indonesia dan negara berkembang lain dapat mengambil pelajaran penting dari pengalaman Afrika Selatan: investasi pada pendidikan DRR adalah investasi pada masa depan kota yang lebih aman, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Sumber
Koen T, Coetzee C, Kruger L, Puren K. (2024). Assessing the integration between disaster risk reduction and urban and regional planning curricula at tertiary institutions in South Africa. J transdiscipl res S Afr. 20(1), a1451.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Juli 2025
Mengapa Multi-Hazard dan Multi-Risk Semakin Penting di Era Modern?
Di tengah perubahan iklim, urbanisasi masif, dan globalisasi ekonomi, risiko bencana tidak lagi bisa dipandang sebagai ancaman tunggal yang berdiri sendiri. Fenomena seperti banjir yang memicu longsor, gempa yang diikuti tsunami, atau kebakaran hutan yang memperparah polusi udara adalah contoh nyata bagaimana satu bencana dapat memicu, memperkuat, bahkan berinteraksi dengan bencana lain. Inilah yang mendorong lahirnya paradigma multi-hazard dan multi-risk dalam manajemen risiko bencana.
Handbook “Multi-hazard, Multi-Risk Definitions and Concepts” dari proyek MYRIAD-EU (Gill et al., 2022) menjadi salah satu referensi paling komprehensif dalam membangun fondasi pemahaman, terminologi, dan indikator untuk pendekatan multi-hazard dan multi-risk. Artikel ini mengupas secara kritis isi, studi kasus, angka-angka kunci, serta relevansi dan tantangan implementasinya di ranah global dan Indonesia.
Evolusi Konsep: Dari Single Hazard Menuju Multi-Risk
Keterbatasan Pendekatan Tradisional
Paradigma Baru: Multi-Hazard dan Multi-Risk
Kerangka Dasar: Definisi dan Tipe Interaksi Multi-Hazard
Definisi Kunci
Tipe Interaksi Multi-Hazard
Studi Kasus: Kompleksitas Multi-Hazard di Dunia Nyata
1. Gempa dan Tsunami di Aceh 2004
2. Banjir dan Longsor di Eropa
3. Infrastruktur dan Multi-Risk di Australia
Angka-Angka Kunci: Skala dan Kompleksitas Risiko
Indikator Multi-Hazard dan Multi-Risk: Menuju Pengukuran yang Adaptif
Fungsi dan Manfaat Indikator
Contoh Indikator
Draft Indikator Multi-Risk MYRIAD-EU
Analisis Kritis: Keunggulan, Tantangan, dan Perbandingan
Keunggulan Handbook MYRIAD-EU
Tantangan Implementasi
Perbandingan dengan Studi Lain
Implikasi Praktis dan Relevansi untuk Indonesia
Tantangan di Indonesia
Rekomendasi Strategis
Tren Global: Digitalisasi, Kolaborasi, dan Adaptasi
Opini dan Kritik: Menjawab Tantangan Masa Depan
Handbook MYRIAD-EU berhasil menempatkan multi-hazard dan multi-risk sebagai fondasi baru mitigasi bencana. Namun, tantangan terbesar adalah implementasi di lapangan, terutama di negara berkembang yang masih terkendala data, kapasitas SDM, dan koordinasi lintas sektor. Di Indonesia, adopsi metodologi ini harus disesuaikan dengan karakteristik lokal, ketersediaan data, dan kesiapan institusi.
Kritik utama terhadap pendekatan multi-hazard adalah potensi “over-kompleksitas” yang bisa menghambat adopsi di level daerah. Untuk itu, diperlukan pelatihan, simplifikasi model untuk daerah dengan sumber daya terbatas, dan pengembangan perangkat lunak open source yang ramah pengguna. Selain itu, penguatan peran masyarakat dan pelibatan sektor swasta sangat penting untuk mempercepat transformasi menuju manajemen risiko yang lebih adaptif.
Kesimpulan: Multi-Hazard dan Multi-Risk, Pilar Ketangguhan Masa Depan
Paradigma multi-hazard dan multi-risk bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan strategis di era bencana kompleks dan perubahan iklim. Handbook MYRIAD-EU menawarkan fondasi terminologi, indikator, dan kerangka kerja yang dapat diadaptasi lintas negara dan sektor. Indonesia dan negara berkembang lain dapat mengambil pelajaran penting: investasi pada data, teknologi, dan kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih tangguh menghadapi bencana.
Sumber
Gill, J.C., Duncan, M., Ciurean, R., Smale, L., Stuparu, D., Schlumberger, J., de Ruiter, M., Tiggeloven, T., Torresan, S., Gottardo, S., Mysiak, J., Harris, R., Petrescu, E. C., Girard, T., Khazai, B., Claassen, J., Dai, R., Champion, A., Daloz, A. S., … Ward, P. 2022. MYRIAD-EU D1.2 Handbook of Multi-hazard, Multi-Risk Definitions and Concepts. H2020 MYRIAD-EU Project, grant agreement number 101003276, pp 75.
Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Juli 2025
Mengapa Standarisasi Kompetensi Nasional (SKKNI) Menjadi Kunci Daya Saing SDM?
Di tengah persaingan global dan revolusi industri 4.0, kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi penentu utama daya saing bangsa. Indonesia, dengan bonus demografi dan ekonomi yang terus tumbuh, menghadapi tantangan besar: bagaimana memastikan lulusan pendidikan dan pelatihan benar-benar siap kerja? Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) hadir sebagai jawaban strategis untuk memastikan link and match antara kebutuhan industri dan output pendidikan, sekaligus mengakselerasi pengembangan SDM unggul.
Artikel ini membedah secara kritis temuan utama, studi kasus, dan angka-angka penting dari laporan World Bank (2020) “Competency Standards as a Tool for Human Capital Development: Assessment of their Development and Introduction into TVET and Certification in Indonesia”. Resensi ini juga mengaitkan implementasi SKKNI dengan tren industri, tantangan di lapangan, dan rekomendasi strategis untuk masa depan pendidikan vokasi serta pelatihan kerja di Indonesia.
Latar Belakang: SKKNI dalam Konteks Transformasi SDM Indonesia
Regulasi dan Kerangka Hukum
SKKNI dan KKNI: Apa Bedanya?
Proses Pengembangan SKKNI: Tantangan dan Realitas
Tahapan Kunci Pengembangan SKKNI
Temuan Utama
Studi Kasus: Implementasi SKKNI di Berbagai Sektor
1. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
2. Sektor Komunikasi dan Informatika
3. Sektor Pariwisata
4. Sektor Industri
5. Sektor Kesehatan
Studi Lapangan: Implementasi SKKNI di TVET (Pendidikan dan Pelatihan Vokasi)
Profil TVET Indonesia
Temuan Kunci
Tantangan Implementasi
Studi Kasus Praktik Baik: Kolaborasi TVET dan Industri
Analisis Kritis: Keberhasilan, Tantangan, dan Pembelajaran
Keberhasilan
Tantangan
Komparasi dengan Negara Lain
Rekomendasi Strategis untuk Transformasi SKKNI dan TVET Indonesia
1. Percepat Pengembangan dan Review SKKNI
2. Perkuat Peran Komite Standar Kompetensi
3. Harmonisasi Regulasi dan Sinergi Antar Kementerian
4. Penguatan Infrastruktur dan SDM TVET
5. Transformasi Sertifikasi: Dari Supply-Driven ke Demand-Driven
6. Digitalisasi dan Inovasi
Opini dan Kritik: SKKNI, Momentum Perubahan atau Sekadar Administrasi?
SKKNI adalah fondasi penting untuk membangun SDM Indonesia yang kompeten dan siap bersaing. Namun, tanpa komitmen kuat untuk mempercepat pengembangan, merevisi, dan mengadopsi SKKNI secara masif di pendidikan, pelatihan, dan industri, standar ini berisiko menjadi sekadar dokumen administratif. Transformasi nyata hanya akan terjadi jika ada sinergi lintas sektor, partisipasi aktif industri, dan investasi berkelanjutan pada infrastruktur serta SDM pengajar.
Kritik utama terhadap implementasi saat ini adalah lambatnya proses review dan minimnya keterlibatan industri. Selain itu, sertifikasi yang masih didominasi lembaga pendidikan membuat pengakuan industri terhadap sertifikat kompetensi rendah. Indonesia perlu belajar dari praktik baik Australia dan UK, di mana industri menjadi motor penggerak utama pengembangan standar kompetensi.
Tren Masa Depan: Kompetensi Adaptif untuk Dunia Kerja Dinamis
Kesimpulan: SKKNI sebagai Pilar Transformasi SDM Indonesia
SKKNI telah menempatkan Indonesia pada jalur yang benar untuk membangun SDM kompeten dan adaptif. Namun, tantangan implementasi, harmonisasi, dan relevansi harus segera diatasi. Dengan percepatan pengembangan, kolaborasi industri, dan inovasi digital, SKKNI dapat menjadi katalis utama menuju SDM unggul, berdaya saing global, dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Sumber
World Bank. (2020). Competency Standards as a Tool for Human Capital Development: Assessment of their Development and Introduction into TVET and Certification in Indonesia.
Pariwisata
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Juli 2025
Mengapa Standarisasi Kompetensi Pariwisata Penting untuk Indonesia?
Industri pariwisata Indonesia telah menjadi salah satu sektor prioritas nasional, berkontribusi signifikan terhadap PDB, penciptaan lapangan kerja, dan devisa negara. Namun, di balik pesatnya pertumbuhan pariwisata, kualitas sumber daya manusia (SDM) justru belum mampu mengikuti laju perkembangan industri. Standarisasi kompetensi, melalui sistem SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia), diharapkan menjadi solusi strategis untuk meningkatkan daya saing SDM pariwisata Indonesia di tingkat nasional maupun internasional.
Artikel ini mengupas secara kritis hasil penelitian Sukma Yudistira (2022) tentang implementasi standarisasi kompetensi SDM pariwisata Indonesia dalam pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi. Dengan menampilkan studi kasus, data faktual, serta membandingkan dengan tren global dan praktik negara lain, artikel ini bertujuan memberikan insight strategis bagi pelaku industri, pendidik, dan pembuat kebijakan pariwisata.
Latar Belakang: Ketimpangan Kompetensi di Tengah Pertumbuhan Industri
Fakta Industri
Realitas di Lapangan
Kerangka Sistem SKKNI: Dari Regulasi ke Implementasi
Apa Itu SKKNI?
SKKNI adalah sistem nasional yang mengatur pengembangan, implementasi, harmonisasi, pembinaan, dan pengawasan standar kompetensi kerja di Indonesia. Dalam konteks pariwisata, SKKNI mengacu pada kebutuhan industri dan mengadopsi standar regional (ASEAN Common Competency Standard for Tourism Professionals/ACCSTP) serta internasional.
Pilar Utama Implementasi SKKNI
Studi Kasus & Data Kunci: Potret Implementasi SKKNI di Indonesia
1. Pendidikan dan Pelatihan Vokasi Pariwisata
2. Lembaga Pelatihan Kerja (LPK)
3. Sertifikasi Kompetensi
Analisis Kritis: Keberhasilan, Tantangan, dan Pembelajaran
Keberhasilan Implementasi SKKNI
Tantangan Utama
Studi Kasus: Sertifikasi dan Karier di Industri Pariwisata
Perbandingan dengan Negara Lain: Praktik Baik dan Pembelajaran
Australia & Laos
ASEAN
Implikasi untuk Industri dan Kebijakan
Rekomendasi Strategis
Tren Global: Digitalisasi, Mobilitas, dan Kompetensi Masa Depan
Opini dan Kritik: Standarisasi Kompetensi, Bukan Sekadar Formalitas
Penerapan SKKNI di sektor pariwisata Indonesia membuktikan bahwa standarisasi kompetensi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen strategis untuk meningkatkan daya saing SDM. Namun, tantangan terbesar adalah memperluas akses, meningkatkan kualitas lembaga pendidikan/pelatihan/sertifikasi, dan memastikan pengakuan industri terhadap sertifikat kompetensi.
Kritik utama terhadap implementasi saat ini adalah masih rendahnya jumlah tenaga kerja tersertifikasi dan dominasi pekerja non-vokasi. Selain itu, independensi lembaga sertifikasi perlu diperkuat agar hasil uji kompetensi benar-benar objektif. Indonesia juga harus belajar dari negara-negara tetangga dalam hal harmonisasi standar dan mobilitas tenaga kerja.
Kesimpulan: Menuju SDM Pariwisata Indonesia yang Kompeten dan Kompetitif
Standarisasi kompetensi melalui SKKNI telah menempatkan Indonesia pada jalur yang benar untuk meningkatkan kualitas SDM pariwisata. Namun, upaya ini perlu didukung oleh perluasan akses pendidikan vokasi, penguatan pelatihan, peningkatan jumlah dan kualitas LSP, serta pengakuan industri terhadap sertifikasi. Dengan demikian, Indonesia dapat menghasilkan SDM pariwisata yang tidak hanya kompeten di tingkat nasional, tetapi juga mampu bersaing di pasar global.
Sumber
Sukma Yudistira. (2022). "Competency Standardization for Indonesian Tourism Human Resources: Implementation in Education, Training and Competency Certification". Pusaka: Journal of Tourism, Hospitality, Travel and Business Event, Vol. 4, No. 2, 134-146.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Juli 2025
Menyikapi Dimensi Baru Risiko Bencana di Era Perubahan Iklim
Perubahan iklim global telah membawa tantangan baru dalam pengelolaan risiko bencana, khususnya pada tingkat lokal. Fenomena cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, seperti banjir dan kekeringan, menuntut pendekatan manajemen risiko yang tidak hanya mengandalkan data historis, tetapi juga mampu mengantisipasi ketidakpastian masa depan. Paper berjudul Climate change and local level disaster risk reduction planning: Need, opportunities and challenges oleh Prabhakar, Srinivasan, dan Shaw (2009) mengulas kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam perencanaan pengurangan risiko bencana di tingkat lokal, sekaligus mengidentifikasi peluang dan hambatan yang dihadapi.
Artikel ini akan menguraikan inti dari paper tersebut, menyajikan studi kasus dan data penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi bagi pengembangan kebijakan dan praktik mitigasi bencana di Indonesia dan negara berkembang lainnya.
Mengapa Perubahan Iklim Mengubah Paradigma Pengelolaan Risiko Bencana?
Kerangka Pengelolaan Risiko Bencana dalam Konteks Perubahan Iklim
Paper ini menekankan pentingnya integrasi antara komunitas pengelola bencana, ilmuwan iklim, dan pembuat kebijakan dalam sebuah kerangka kerja yang adaptif dan partisipatif. Beberapa poin kunci meliputi:
Studi Kasus dan Fakta Penting
Tren Peningkatan Bencana Hidrometeorologi
Dampak Perubahan Iklim di Beberapa Negara
Keterbatasan Perencanaan Risiko Saat Ini
Tantangan Utama dalam Integrasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana
Ketidakpastian Proyeksi Iklim
Kapasitas dan Kesadaran Lokal
Keterbatasan Ekonomi dan Sumber Daya
Peluang dan Rekomendasi Strategis
Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Literatur Lain
Paper ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko bencana harus bertransformasi dari pendekatan reaktif ke proaktif dan adaptif, sejalan dengan literatur internasional yang menyoroti pentingnya integrasi perubahan iklim dalam perencanaan bencana. Studi lain juga menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor dan peningkatan kapasitas lokal sebagai kunci keberhasilan.
Namun, tantangan terbesar tetap pada implementasi di lapangan, terutama di negara berkembang yang menghadapi keterbatasan sumber daya dan data. Oleh karena itu, inovasi dalam metode, peningkatan kesadaran, dan dukungan kebijakan sangat diperlukan agar integrasi ini dapat berjalan efektif.
Kesimpulan: Membangun Ketangguhan Lokal Melalui Integrasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana
Perubahan iklim membawa dimensi baru yang kompleks dalam pengelolaan risiko bencana, khususnya pada tingkat lokal. Paper ini mengajak kita untuk mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, adaptif, dan partisipatif dengan membentuk kelompok kerja lintas disiplin, memperkuat kapasitas lokal, dan mengembangkan alat bantu yang sesuai konteks.
Strategi no-regret dan win-win menjadi landasan penting untuk memastikan bahwa tindakan mitigasi dan adaptasi tidak hanya efektif menghadapi ketidakpastian iklim, tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat saat ini. Dengan demikian, pengurangan risiko bencana tidak hanya menjadi respons terhadap ancaman, tetapi juga sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan yang tangguh menghadapi masa depan.
Sumber
S.V.R.K. Prabhakar, Ancha Srinivasan, and Rajib Shaw. (2009). Climate change and local level disaster risk reduction planning: Need, opportunities and challenges. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 14:7-33.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Juli 2025
Mengapa Multiskilling Jadi Isu Sentral dalam Industri Konstruksi?
Industri konstruksi global, termasuk di Amerika Serikat, tengah menghadapi tantangan serius berupa kekurangan tenaga kerja terampil. Menurut data terbaru, sekitar 80% kontraktor umum di AS mengalami kesulitan merekrut pekerja terampil yang cukup untuk memenuhi permintaan proyek. Kekurangan ini berdampak langsung pada produktivitas, kualitas proyek, kenaikan biaya, hingga meningkatnya insiden keselamatan kerja. Dalam konteks inilah, strategi multiskilling—yaitu pelatihan pekerja agar menguasai lebih dari satu keahlian inti—muncul sebagai solusi inovatif yang semakin relevan bagi masa depan industri konstruksi.
Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama paper “Applying the Tier II Construction Management Strategy to Measure the Competency Level among Single and Multiskilled Craft Professionals” karya Rakan K. Albalawi, Paul M. Goodrum, dan Timothy R. B. Taylor (2023). Dengan mengangkat studi kasus nyata, data statistik, serta membandingkan dengan tren global dan penelitian lain, artikel ini bertujuan memberikan perspektif baru yang lebih relevan dan aplikatif bagi pelaku industri, pembuat kebijakan, dan pembaca umum.
Latar Belakang: Tantangan Kekurangan Tenaga Kerja Terampil
Fakta Industri
Mengapa Multiskilling?
Inti Metodologi: Tier II Construction Management Strategy
Apa Itu Tier II Strategy?
Tier II adalah kerangka manajemen tenaga kerja yang dikembangkan untuk mengukur tingkat kompetensi pekerja konstruksi secara komprehensif. Penilaian dilakukan pada lima aspek utama:
Penelitian ini memfokuskan pada dua aspek utama: craft technical dan management skills.
Cara Penilaian
Studi Kasus & Angka-Angka Kunci: Potret Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi AS
Profil Responden
Hasil Utama: Kompetensi Multiskilled vs Single-skilled
Rata-rata Skor Kompetensi (Tier II)
Temuan Penting
Analisis Statistik: Faktor Penentu Kompetensi
Penelitian ini menggunakan multinomial logistic regression (MLR) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kompetensi pekerja.
Variabel Signifikan
Studi Kasus Spesifik: Profesi Tukang Kayu (Carpentry)
Dampak Strategi Multiskilling: Apa Saja Manfaat dan Batasannya?
Kelebihan Multiskilling
Keterbatasan
Komparasi dengan Penelitian Lain & Tren Global
Studi Internasional
Relevansi untuk Indonesia & Negara Berkembang
Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Industri & Kebijakan
Bagi Perusahaan Konstruksi
Bagi Pemerintah & Regulator
Bagi Pekerja
Opini & Kritik: Multiskilling Bukan Sekadar Tren, Tapi Kebutuhan Masa Depan
Penelitian Albalawi dkk. menegaskan bahwa multiskilling bukan sekadar “nice to have”, melainkan kebutuhan strategis di era kekurangan tenaga kerja terampil dan disrupsi teknologi. Namun, implementasi multiskilling harus diiringi dengan pelatihan berkelanjutan, validasi kompetensi yang objektif, dan pengakuan formal dari industri.
Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah masih rendahnya skor pada aspek work record, yang mencakup keselamatan, kualitas, dan produktivitas. Artinya, multiskilling belum otomatis meningkatkan budaya kerja jika tidak diikuti perubahan mindset dan sistem insentif yang tepat.
Selain itu, penelitian berbasis self-assessment perlu divalidasi dengan uji lapangan atau penilaian eksternal agar hasilnya benar-benar mencerminkan kompetensi riil di lapangan.
Tren Masa Depan: Digitalisasi, Otomasi, dan Multiskilling
Kesimpulan: Multiskilling, Pilar Transformasi Tenaga Kerja Konstruksi
Studi ini membuktikan bahwa multiskilling secara signifikan meningkatkan kompetensi tenaga kerja konstruksi, baik aspek teknis maupun manajerial. Namun, manfaat optimal hanya tercapai jika didukung pelatihan berkelanjutan, validasi objektif, dan pengakuan formal dari industri. Indonesia dan negara berkembang lain dapat mengambil pelajaran penting: investasi pada multiskilling adalah investasi pada masa depan industri konstruksi yang lebih fleksibel, produktif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Sumber
Albalawi, R.K.; Goodrum, P.M.; Taylor, T.R.B. (2023). Applying the Tier II Construction Management Strategy to Measure the Competency Level among Single and Multiskilled Craft Professionals. Buildings, 13, 1175.