Korupsi Konstruksi

Mengoptimalkan Pengadaan Publik untuk Mewujudkan SDGs: Strategi, Tantangan, dan Peluang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pengadaan publik bukan hanya instrumen pengadaan barang dan jasa pemerintah, tetapi juga menjadi katalis utama pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Laporan The Role of Public Procurement in Achieving the SDGs (UNDP, 2021) merangkum hasil dialog regional ASEAN yang membahas cara-cara strategis mengubah sistem pengadaan menjadi lebih inklusif, transparan, dan berkelanjutan, serta bagaimana mempercepat pencapaian SDGs melalui kebijakan pengadaan publik.

Tantangan Besar dalam Sistem Pengadaan Publik Saat Ini

Laporan ini mengungkapkan fakta mengejutkan:

  • Dari total USD 13 triliun belanja pengadaan publik global, hanya 2,81% yang diumumkan secara terbuka.
  • Sekitar 10–20% dana tersebut hilang karena korupsi dan suap.
  • Hanya 1% dari total pengadaan yang melibatkan perusahaan milik perempuan.

Situasi ini diperburuk oleh pandemi COVID-19, yang memperlihatkan kerapuhan sistem pengadaan dalam menghadapi krisis, serta membuka ruang besar untuk inefisiensi dan penyimpangan.

Reformasi Pengadaan: Pilar Menuju Pembangunan Inklusif

Laporan ini menyoroti enam strategi kunci reformasi pengadaan publik:

1. Kemauan Politik dan Tindakan Nyata

Tanpa dukungan politik yang kuat, reformasi pengadaan akan stagnan. Pemerintah harus menyalurkan anggaran ke pengembangan teknologi pencegah korupsi, bukan hanya mengantisipasi kerugian akibat korupsi.

2. Pengadaan Berkelanjutan (Sustainable Public Procurement/SPP)

SPP harus dimasukkan dalam kerangka hukum nasional. Contohnya:

  • Indonesia mengalokasikan 40% dari paket pengadaan untuk UMKM dan koperasi dengan nilai hingga Rp1 miliar.
  • Kriteria pengadaan juga mencakup produk hijau dan pemenuhan HAM dalam rantai pasok.

3. Transparansi Data dan Standarisasi

Data pengadaan yang terbuka dan terstandar seperti OCDS (Open Contracting Data Standard) sangat penting untuk akuntabilitas. Negara seperti Mongolia bahkan mengintegrasikan data pengadaan dengan data konflik kepentingan dan registrasi bisnis untuk menganalisis penerima manfaat sebenarnya.

4. Inklusi Gender dan UMKM

Perusahaan milik perempuan hanya menyumbang 1% dari nilai pengadaan global. Hambatan utama meliputi akses ke pembiayaan, birokrasi, dan ketidaktahuan prosedur. Negara seperti Filipina dan Thailand mulai menetapkan kuota pengadaan untuk bisnis milik perempuan, dan sektor swasta seperti Unilever berkomitmen mengalokasikan EUR 2 miliar untuk bisnis yang dimiliki kelompok marjinal.

5. Kolaborasi Pemangku Kepentingan

Partisipasi warga, LSM, dan sektor swasta sangat penting. Di Filipina, program audit partisipatif mengikutsertakan warga dalam tim audit pengadaan. Di Indonesia, Indonesia Corruption Watch dan LKPP aktif membangun kapasitas masyarakat memantau pengadaan.

6. Teknologi untuk Pengadaan Transparan

Contoh dari Korea Selatan (KONEPS), Inggris (Contracts Finder), dan Microsoft (ACTS) memperlihatkan bahwa teknologi dapat menekan potensi korupsi, mengurangi waktu akses data dari 205 hari menjadi 1 menit, dan meningkatkan efisiensi hingga 90%.

Studi Kasus ASEAN: Belajar dari Lapangan

Indonesia

  • Studi tahun 2013 menunjukkan hanya 5% pengusaha perempuan ikut dalam 6 proyek pengadaan publik.
  • Solusinya adalah edukasi, simplifikasi regulasi, dan sistem informasi inklusif.
  • Kementerian Pemberdayaan Perempuan aktif dalam advokasi partisipasi perempuan.

Thailand

  • Pemerintah menerapkan pelibatan warga dalam sistem pengadaan dan mengembangkan dashboard data pengadaan yang interaktif.
  • Estimasi kerugian akibat korupsi pengadaan mencapai THB 162 triliun per tahun.

Filipina

  • Menerapkan legislasi darurat (Bayanihan Act) yang memungkinkan pengadaan cepat di masa pandemi.
  • Menjalankan platform nasional untuk transparansi pengadaan COVID-19.
  • Laporan warga dimanfaatkan untuk perbaikan kebijakan dan akuntabilitas.

Rekomendasi Praktis untuk Reformasi Pengadaan

Laporan ini menyusun 9 rekomendasi konkret:

  1. Tingkatkan proses pengadaan dan gunakan teknologi yang ada.
  2. Dorong transparansi untuk partisipasi bisnis dan efisiensi.
  3. Investasi pada kontrak bisnis responsif gender.
  4. Kumpulkan data pengadaan yang terpilah berdasarkan gender.
  5. Libatkan warga dan bangun kapasitas pemangku kepentingan.
  6. Tanggulangi korupsi di level lokal dengan pendekatan komunitas.
  7. Buat platform kolaboratif untuk teknologi, gender, dan risiko.
  8. Bangun fasilitas daring untuk pendampingan profesional pengadaan.
  9. Tingkatkan kesadaran keterkaitan antara pengadaan dan SDG 16 (lembaga yang efektif dan akuntabel).

Kesimpulan: Pengadaan Publik sebagai Kunci Masa Depan yang Berkelanjutan

Untuk mengejar target SDGs hingga 2030, kita tidak bisa mengandalkan sistem pengadaan lama yang rentan dan tertutup. Laporan ini menekankan bahwa reformasi pengadaan bukan hanya tanggung jawab teknokrat, tetapi perlu dukungan politik, keterlibatan masyarakat, dan integrasi prinsip keberlanjutan dan kesetaraan gender di seluruh sistem.

Dengan pelibatan multi-pihak dan kemauan untuk berinovasi, pengadaan publik dapat menjadi kendaraan utama mewujudkan pembangunan yang lebih adil, transparan, dan inklusif.

Sumber: Bernal, I. (2021). The Role of Public Procurement in Achieving the SDGs: Regional Dialogue Report. UNDP Bangkok Regional Hub.

Selengkapnya
Mengoptimalkan Pengadaan Publik untuk Mewujudkan SDGs: Strategi, Tantangan, dan Peluang

Korupsi Konstruksi

Mengungkap Peta Riset Korupsi Proyek Konstruksi: Tren Global dan Arah Penelitian Masa Depan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Dalam dunia konstruksi, korupsi bukan sekadar masalah etika, melainkan persoalan sistemik yang merusak akuntabilitas publik, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menguras anggaran negara. Studi oleh Zhao Zhai, Ming Shan, Amos Darko, dan Albert P. C. Chan (2021) yang berjudul Corruption in Construction Projects: Bibliometric Analysis of Global Research hadir sebagai upaya pertama untuk memetakan secara kuantitatif riset global tentang korupsi dalam proyek konstruksi (CICP) dari tahun 2000 hingga 2020. Dengan menggunakan perangkat analisis bibliometrik CiteSpace, riset ini menyaring 542 publikasi dari database Web of Science, menghasilkan peta pengetahuan komprehensif yang mencakup jurnal, penulis, institusi, negara, kata kunci utama, dan tren masa depan.

Mengapa Riset Ini Penting?

Sebelumnya, tinjauan literatur terkait CICP bersifat manual dan subjektif, mencakup hanya 30–50 studi. Kini, dengan pendekatan bibliometrik:

  • Objektivitas terjaga
  • Jumlah literatur yang ditelaah meningkat drastis
  • Keterhubungan antar-riset dapat dipetakan secara sistemik

Hasilnya adalah fondasi ilmiah yang lebih kuat untuk kebijakan antikorupsi, baik bagi akademisi, pembuat kebijakan, maupun pelaku industri.

Peningkatan Eksponensial Riset Korupsi Konstruksi

Jumlah publikasi tentang CICP melonjak sejak tahun 2014, dengan 69% dari 542 studi terbit setelah 2014. Hal ini mencerminkan meningkatnya perhatian global terhadap korupsi di sektor ini. Contohnya, tim Profesor Yun Le dari Tongji University menerbitkan 8 makalah antara 2014–2017 dengan dukungan National Natural Science Foundation of China.

Jurnal dan Penulis Terdepan dalam Isu CICP

Jurnal paling produktif:

  • Journal of Construction Engineering and Management (14 artikel)
  • Sustainability (10 artikel)
  • Journal of Management in Engineering (8 artikel)

Jurnal paling sering dikutip:

  • World Development (160 kutipan)
  • American Economic Review (142)
  • The Quarterly Journal of Economics (138)

Penulis paling berpengaruh:

  • Albert Chan (24 publikasi)
  • Emmanuel Kingsford Owusu (11)
  • Ming Shan (10)

Kolaborasi Global dalam Riset CICP

Institusi terdepan:

  • The Hong Kong Polytechnic University (22 artikel)
  • World Bank (17)
  • Australian National University (13)

Negara paling aktif:

  • Amerika Serikat (165 publikasi)
  • Tiongkok (73)
  • Inggris (73)
  • Australia (57)
  • Kanada (26)

Amerika Serikat memiliki centrality tertinggi (0.36) sebagai simpul kolaborasi riset internasional.

Fokus Utama Penelitian: Infrastruktur dan Negara Berkembang

Kata kunci yang paling sering muncul:

  • infrastructure (66)
  • growth (56)
  • governance (43)
  • developing country (29)
  • China (29)

Hal ini menunjukkan fokus dominan riset pada korupsi proyek infrastruktur di negara berkembang, termasuk pengaruh terhadap investasi asing langsung.

Enam Klaster Tematik Riset CICP

Analisis co-citation mengelompokkan riset ke dalam enam tema utama:

  1. Sektor konstruksi publik Tiongkok
    Penelitian mendalam tentang praktik korupsi dan strategi tanggapan di sektor konstruksi milik negara Tiongkok.
  2. Kinerja perusahaan konstruksi
    Bagaimana korupsi memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kinerja perusahaan.
  3. Pemerintah daerah dan pengadaan publik
    Evaluasi strategi monitoring korupsi top-down vs bottom-up (Olken, 2007).
  4. Korupsi dalam proyek infrastruktur
    Studi kasus Afrika Selatan, Ghana, dan negara berkembang lainnya.
  5. Korupsi dalam pengadaan proyek infrastruktur
    Fokus pada sistem tender dan kelemahan struktural yang membuka celah praktik ilegal.
  6. Kinerja megaprojects dan risiko korupsi
    Isu terkini dengan korelasi langsung terhadap reputasi negara dan kredibilitas internasional.

Rujukan Landmark dan Tren Baru

Beberapa artikel paling sering dikutip:

  • Le et al. (2014): Overview of Corruption Research in Construction (24 kutipan)
  • Bowen et al. (2012): Corruption in South African Construction Industry (22)
  • Tabish & Jha (2011): Evaluasi penyimpangan dalam pengadaan publik India (19)

Tren terbaru menunjukkan pergeseran fokus ke:

  • Korupsi dalam kemitraan publik-swasta (PPP)
  • Korupsi dan performa megaprojects
  • Efektivitas kebijakan antikorupsi lintas negara

Implikasi untuk Praktik dan Penelitian

Bagi Peneliti

  • Gunakan pendekatan cross-country comparison.
  • Fokus pada negara maju yang selama ini terlewatkan.
  • Eksplorasi korelasi korupsi dengan investasi infrastruktur skala besar.

Bagi Pembuat Kebijakan

  • Desain strategi berbasis data riset.
  • Waspadai titik rawan korupsi di pengadaan proyek.
  • Terapkan audit sosial berbasis teknologi.

Bagi Praktisi Industri

  • Terapkan prinsip transparansi dan pelaporan terbuka.
  • Bangun sistem pengendalian internal berbasis risiko korupsi.
  • Libatkan komunitas lokal dalam pemantauan proyek.

Kritik terhadap Studi dan Arah Selanjutnya

Meskipun metodologinya kuat, studi ini hanya mengambil data dari Web of Science, sehingga publikasi berkualitas dari Scopus atau Google Scholar bisa terlewat. Selain itu, pendekatan CiteSpace bersifat kuantitatif dan eksploratif, sehingga interpretasi hasil tetap membutuhkan analisis kualitatif tambahan.

Arah penelitian berikutnya:

  • Studi longitudinal dampak korupsi terhadap performa proyek.
  • Desain indikator kuantitatif efektivitas kebijakan antikorupsi.
  • Keterkaitan antara korupsi dan sustainability rating proyek infrastruktur.

Kesimpulan: Peta Ilmu untuk Membangun Dunia Konstruksi yang Bersih

Artikel ini adalah tonggak penting dalam upaya memahami dan menanggulangi korupsi di sektor konstruksi. Melalui pendekatan ilmiah berbasis data, studi ini membuka cakrawala baru bagi riset, kebijakan, dan praktik yang lebih jujur dan berkelanjutan. Dengan informasi yang terstruktur dan tren yang terpetakan, langkah selanjutnya tinggal kita ambil: menerjemahkan pengetahuan menjadi tindakan.

Sumber:
Zhai, Z., Shan, M., Darko, A., & Chan, A. P. C. (2021). Corruption in Construction Projects: Bibliometric Analysis of Global Research. Sustainability, 13(8), 4400.

Selengkapnya
Mengungkap Peta Riset Korupsi Proyek Konstruksi: Tren Global dan Arah Penelitian Masa Depan

Korupsi Konstruksi

Menilai Efektivitas Kebijakan Antikorupsi Sida: Pelajaran dari Kenya, Serbia, dan Georgia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Antikorupsi Berbasis Bukti: Evaluasi Strategi Sida di Negara-Negara Mitra

Korupsi bukan hanya musuh pembangunan, tapi juga penghalang utama demokrasi, perdamaian, dan keadilan sosial. Laporan "Evidence-Based Anti-Corruption? Evaluation of Sida’s Efforts to Reduce Corruption in Partner Countries" (2024) yang ditulis oleh Marina Nistotskaya dkk., memberikan kajian sistematis terhadap efektivitas strategi Swedish International Development Cooperation Agency (Sida) dalam mengurangi korupsi di negara mitra. Evaluasi ini memadukan teori antikorupsi mutakhir, survei terhadap petugas program, serta studi kasus di tiga negara: Kenya, Serbia, dan Georgia.

Kerangka Teoritis: Dari Principal-Agent ke Aksi Kolektif

Laporan ini menggunakan empat pendekatan utama untuk memahami dan menilai strategi antikorupsi:

  • Principal-Agent Theory (PAT): Korupsi dianggap akibat konflik kepentingan antara pelaksana dan pemberi mandat.
  • Collective Action Theory (CAP): Korupsi sebagai masalah norma sosial yang melekat dalam sistem.
  • Developmental Governance: Fokus pada reformasi kelembagaan secara bertahap di sektor-sektor tertentu.
  • Pendekatan Organisasi: Menekankan pentingnya budaya organisasi, struktur internal, dan koordinasi lintas lembaga.

Kesimpulan penting: Tidak ada satu pendekatan tunggal yang unggul secara empiris. Justru, kebijakan antikorupsi yang efektif adalah yang menggabungkan teori dan disesuaikan dengan konteks lokal.

Transformasi Strategi Sida: Dari Risiko ke Perubahan Sistemik

Sejak awal 2000-an, Sida telah berpindah dari strategi yang semata-mata bertujuan melindungi dana Swedia (risk perspective) ke pendekatan yang melihat korupsi sebagai hambatan utama pembangunan (development perspective). Pada 2023, alokasi bantuan untuk proyek antikorupsi meningkat tajam menjadi 138 juta SEK, dari nol pada tahun 2003.

Langkah konkret yang dilakukan Sida:

  • Membentuk Anti-Corruption Cluster (2016)
  • Mengembangkan dokumen panduan operasional
  • Mengintegrasikan antikorupsi ke dalam strategi pembangunan bilateral

Evaluasi Implementasi: Survei dan Temuan Lapangan

Survei Program Officer di Negara Mitra

Survei terhadap staf pengembangan di berbagai kedutaan besar Swedia menunjukkan:

  • Komitmen kuat terhadap isu antikorupsi
  • Pemahaman mendalam tentang konteks lokal
  • Namun, ada kekurangan dalam:
    • Pemanfaatan infrastruktur antikorupsi internal
    • Pemahaman terhadap teori perubahan (theory of change)
    • Koordinasi internal dan konsistensi kebijakan

Tiga Studi Kasus: Kenya, Serbia, dan Georgia

Kenya

Program fokus pada penguatan sektor kehakiman dan transparansi fiskal. Namun, tantangan muncul karena minimnya indikator pengukuran dampak, serta kompleksitas politik lokal.

Serbia

Meskipun memiliki kerangka hukum antikorupsi yang kuat, pelaksanaannya lemah. Staf Sida menghadapi keterbatasan mitra lokal yang kredibel, dan pengaruh politik yang besar atas birokrasi.

Georgia

Memiliki komitmen tinggi secara formal terhadap integritas, namun terdapat masalah dalam keberlanjutan reformasi dan ketergantungan pada aktor individu. Beberapa proyek antikorupsi berhasil, tetapi sulit mereplikasi dalam skala luas.

Kritik dan Celah dalam Strategi Sida

  1. Teori Perubahan Tidak Jelas
    Banyak staf di lapangan tidak memiliki pemahaman menyeluruh tentang mekanisme perubahan yang diharapkan dari intervensi antikorupsi. Akibatnya, sulit mengevaluasi efektivitas program secara sistematis.
  2. Antikorupsi Bukan Prioritas Resmi
    Meskipun penting, antikorupsi tidak diakui sebagai perspektif fundamental seperti isu perubahan iklim atau kesetaraan gender. Hal ini membuat upaya antikorupsi tersisih di tengah beban kerja tinggi.
  3. Fragmentasi Strategi
    Integrasi pendekatan antikorupsi tidak merata di seluruh kebijakan pembangunan Swedia. Beberapa strategi mencerminkan fokus mendalam, lainnya hanya menyebut antikorupsi secara simbolik.

Rekomendasi Kunci dari Evaluasi

  1. Perkuat Kebijakan Antikorupsi
    • Gunakan temuan riset terbaru
    • Perjelas jalur logis perubahan
    • Integrasikan teori CAP dan governance lebih dalam
  2. Prioritaskan Antikorupsi sebagai Perspektif Utama
    • Jadikan bagian dari semua strategi pembangunan
    • Hindari subordinasi oleh perspektif “risiko dana”
  3. Dukung Implementasi di Lapangan
    • Latih staf kedutaan besar terkait penggunaan alat bantu antikorupsi
    • Tumbuhkan ruang dialog internal lintas divisi
    • Dorong pemahaman lokal dan fleksibilitas dalam pendekatan
  4. Perkuat Koordinasi dengan Mitra Lokal
    • Pastikan adanya ownership lokal
    • Hindari dominasi pendekatan donor yang terlalu teknokratis

Kesimpulan: Potensi Besar, Tapi Butuh Konsistensi

Evaluasi ini menyimpulkan bahwa strategi antikorupsi Sida selaras dengan pengetahuan ilmiah terkini, namun tantangan besar masih ada pada implementasi di lapangan. Ketika korupsi bersifat sistemik, pendekatan teknis tidak cukup. Dibutuhkan:

  • Komitmen politik
  • Pemahaman mendalam terhadap konteks
  • Strategi jangka panjang yang konsisten

Sida berada dalam posisi unik untuk menjadi pelopor reformasi antikorupsi yang berbasis bukti. Namun, untuk mencapai hasil yang berkelanjutan, pendekatan harus terus diperbarui dan dijalankan dengan kesadaran penuh terhadap realitas politik dan sosial negara mitra.

Sumber: Nistotskaya, M., Buker, H., Grimes, M., Persson, A., D’Arcy, M., Rothstein, B., & Gafuri, A. (2024). Evidence-Based Anti-Corruption? Evaluation of Sida’s Efforts to Reduce Corruption in Partner Countries. EBA Report 2024:05, The Expert Group for Aid Studies (EBA), Sweden.

Selengkapnya
Menilai Efektivitas Kebijakan Antikorupsi Sida: Pelajaran dari Kenya, Serbia, dan Georgia

Korupsi Konstruksi

Ambisi Jalur Sutra Modern Cina: Manfaat, Risiko, dan Tantangan Bagi Asia Tengah

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Jalur Sutra Abad 21: Ambisi Cina dan Dampaknya bagi Asia Tengah

China’s Belt and Road Initiative (BRI), atau dikenal juga sebagai Jalur Sutra Baru, merupakan proyek mega-infrastruktur global yang diluncurkan Presiden Xi Jinping pada 2013. Proyek ini menghubungkan Tiongkok ke puluhan negara lewat jaringan transportasi darat dan laut, dengan Asia Tengah sebagai simpul penting. Artikel ini membedah tujuan strategis BRI, dampak ekonominya di Asia Tengah, risiko tersembunyi, dan respon negara-negara Asia Tengah terhadap ekspansi Tiongkok, berdasarkan kompilasi riset yang disunting oleh Marlene Laruelle (2018) dan diterbitkan oleh Central Asia Program, The George Washington University.

BRI: Visi Global Tiongkok dengan Motivasi Domestik

Meskipun dibungkus dengan retorika “konektivitas dan kerja sama multilateral”, BRI sejatinya lahir dari kebutuhan domestik Cina: mengatasi kelebihan kapasitas industri, memperluas pasar ekspor, dan menstabilkan kawasan perbatasan seperti Xinjiang. Investasi senilai USD 304,9 miliar telah dikucurkan sejak 2013 untuk berbagai proyek infrastruktur di Asia Tengah—mulai dari jalur kereta api, jalan raya, pembangkit listrik, hingga zona ekonomi khusus.

Manfaat Ekonomi: Harapan dan Kenyataan di Asia Tengah

Beberapa keuntungan yang diharapkan dari BRI antara lain:

  • Konektivitas regional yang meningkat: Jalur kereta barang dari Cina ke Iran melalui Kazakhstan dan Turkmenistan telah beroperasi.
  • Diversifikasi ekonomi: Investasi di sektor tekstil dan agrikultur, seperti di Dangara (Tajikistan), bertujuan mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas mentah.
  • Penciptaan lapangan kerja: Di sektor-sektor seperti garmen dan pertanian, sejumlah perusahaan Cina mulai mempekerjakan tenaga kerja lokal.

Namun kenyataannya, mayoritas proyek masih didominasi oleh pekerja, peralatan, dan kontraktor dari Cina. Misalnya, 70% proyek tenaga di Turkmenistan menggunakan tenaga kerja Cina, walaupun secara hukum seharusnya 70% tenaga kerja berasal dari lokal.

Risiko Utama: Ketergantungan Ekonomi dan Utang Berlebihan

Salah satu konsekuensi utama dari BRI adalah krisis utang di negara-negara penerima, terutama Kyrgyzstan dan Tajikistan:

  • Kyrgyzstan: 38% dari total utangnya (sekitar USD 1,5 miliar) berasal dari Exim Bank Cina.
  • Tajikistan: 59% dari utangnya berasal dari bank yang sama.
  • Kemungkinan gagal bayar meningkat seiring perlambatan ekonomi Cina.

Masalah lainnya adalah pinjaman ‘tidak transparan’ dan praktik “predatory lending”—di mana negara penerima diberi pinjaman besar, namun proyek dikunci hanya untuk kontraktor dan material dari Cina, sehingga manfaat ekonominya minim bagi negara lokal.

Kritik terhadap Strategi Konektivitas Cina

1. Konektivitas Fisik Tanpa Dampak Nyata

Meskipun jalur logistik meningkat, ekonomi lokal tidak otomatis tumbuh. Proyek seperti jalur kereta dan jalan raya hanya menjadikan negara Asia Tengah sebagai “koridor transit”, bukan pusat produksi.

2. Investasi Industri yang Tidak Seimbang

Proyek industri sering kali diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor Cina, bukan diversifikasi ekspor negara Asia Tengah. Contohnya:

  • Uzbekistan mulai mengirimkan benang katun ke Cina via kereta, padahal Cina sendiri mengembangkan industri tekstil di Xinjiang senilai USD 3 miliar.

Respons Politik dan Sosial Asia Tengah

Reaksi masyarakat dan pemerintah di Asia Tengah beragam:

  • Kazakhstan mengintegrasikan BRI dengan proyek nasional “Nurly Zhol” (USD 9 miliar) untuk mendorong pembangunan logistik dan industri.
  • Kekhawatiran atas dominasi Cina muncul lewat protes anti-Cina di Kazakhstan (2016), serta isu perebutan tanah dan pekerja migran Cina.

Namun, persepsi negatif ini mulai berkurang lewat interaksi langsung, kolaborasi bisnis, dan pelibatan warga lokal di sektor pertanian dan industri.

Peluang Nyata: Kolaborasi Industri dan Transfer Teknologi

Studi kasus dari Tajikistan menunjukkan bahwa perusahaan seperti Jing Yin Yin Hai Seeds membawa:

  • Teknologi pertanian baru
  • Kontrak farming untuk petani lokal
  • Alternatif pekerjaan bagi warga lokal yang sebelumnya bergantung pada migrasi ke Rusia

Model seperti ini menunjukkan bahwa jika dikelola dengan transparan, investasi Cina bisa menciptakan nilai nyata bagi ekonomi lokal.

Masalah Tata Kelola dan Korupsi

Namun, proyek-proyek BRI tidak lepas dari isu korupsi:

  • Di Kazakhstan, kepala zona bebas Khorgos ditangkap karena menerima suap dalam proyek hotel.
  • Di Kyrgyzstan, PM Temir Sariyev mengundurkan diri karena dugaan manipulasi tender yang dimenangkan kontraktor Cina tanpa izin.

Kurangnya transparansi ini tidak hanya merugikan reputasi Cina, tetapi juga mengancam legitimasi pemerintah lokal.

Rekomendasi untuk Negara Asia Tengah

Agar BRI membawa manfaat berkelanjutan, negara penerima harus:

  1. Menuntut keterlibatan tenaga kerja lokal secara nyata
  2. Menegosiasikan diversifikasi pasar ekspor, tidak hanya bergantung pada pasar Cina
  3. Mengembangkan kapasitas industri domestik melalui pelatihan dan transfer teknologi
  4. Memperkuat sistem hukum dan pengawasan kontrak untuk mencegah korupsi

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Konektivitas Seimbang

BRI adalah proyek strategis raksasa yang tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Namun, seperti disebutkan dalam laporan, “konektivitas tidak cukup hanya dengan infrastruktur”. Butuh reformasi kebijakan, tata kelola yang baik, dan kolaborasi sejati agar Asia Tengah tidak sekadar menjadi jalur, tetapi bagian dari pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Cina mungkin telah membentangkan jalan sutra baru, tapi arah dan manfaat perjalanannya tetap bergantung pada strategi negara-negara mitra itu sendiri.

Sumber: Laruelle, M. (Ed.). (2018). China’s Belt and Road Initiative and its Impact in Central Asia. Washington, D.C.: The George Washington University, Central Asia Program.

Selengkapnya
Ambisi Jalur Sutra Modern Cina: Manfaat, Risiko, dan Tantangan Bagi Asia Tengah

Korupsi Konstruksi

Budaya Menumbuhkan Korupsi: Membongkar Hubungan Dimensi Hofstede dan Persepsi Korupsi Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Budaya dan Korupsi: Mengapa Persepsi Tidak Bisa Dipisahkan dari Nilai Kolektif

Dalam dunia yang saling terhubung ini, korupsi bukan hanya masalah hukum dan ekonomi—tetapi juga refleksi dari budaya masyarakat. Studi oleh Wm. Dennis Huber berjudul Culture and Corruption: Using Hofstede’s Cultural Dimensions to Explain Perceptions of Corruption meneliti bagaimana lima dimensi budaya nasional ala Hofstede memengaruhi Corruption Perception Index (CPI) dari 47 negara. Hasilnya mengejutkan: 65% variasi dalam persepsi korupsi dapat dijelaskan oleh budaya nasional, terutama oleh nilai individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, dan maskulinitas.

Memahami Dimensi Budaya Hofstede yang Relevan dengan Korupsi

1. Individualisme vs Kolektivisme (IDV)
Negara-negara dengan skor tinggi dalam individualisme seperti AS dan Inggris memiliki CPI yang lebih tinggi (lebih bersih). Hal ini karena budaya individualistik lebih menekankan tanggung jawab pribadi dan sistem meritokrasi.

2. Jarak Kekuasaan (PD)
Skor tinggi pada dimensi ini berarti ketimpangan kekuasaan dianggap wajar. Negara seperti Guatemala (PD 95) atau Malaysia (PD 104) memiliki CPI rendah—menandakan korupsi dianggap sebagai bagian dari struktur sosial.

3. Penghindaran Ketidakpastian (UA)
Negara dengan skor tinggi cenderung kaku terhadap hukum namun justru menciptakan peluang korupsi melalui regulasi yang kompleks dan birokrasi tertutup. Contohnya Jepang (UA 92) atau Guatemala (UA 101).

4. Maskulinitas (MAS)
Budaya yang sangat kompetitif dan berorientasi prestasi, seperti Jepang (MAS 95), cenderung mengorbankan etika demi tujuan jangka pendek.

5. Orientasi Jangka Panjang (LTO)
Menariknya, dimensi ini tidak signifikan secara statistik dalam menjelaskan CPI. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai jangka panjang tidak selalu berkorelasi dengan integritas administratif.

Studi Kasus dan Data: Hubungan Antara Budaya dan CPI

1. Swedia vs Venezuela

Swedia (IDV 71, PD 31, CPI 9.5) memiliki masyarakat yang terbuka, demokratis, dan mendukung kesetaraan.
Venezuela (IDV 12, PD 81, CPI 2.3) menunjukkan kebalikannya: kekuasaan terpusat, kolektivisme tinggi, dan kepercayaan rendah terhadap sistem hukum.

2. AS dan Kanada vs Nigeria dan Indonesia

AS (IDV 91, CPI 7.5), Kanada (IDV 80, CPI 9.2) jauh lebih bersih dibanding Nigeria (IDV 20, CPI 1.9) atau Indonesia (IDV 14, CPI 2.0).
Hal ini menegaskan bahwa kultur individualistik dan institusi yang mendukung meritokrasi menghasilkan sistem yang lebih bersih.

3. Jepang: Efisiensi vs Ketertutupan

Meskipun dikenal efisien, Jepang (UA 92, MAS 95, CPI 5.8) memiliki persepsi korupsi yang relatif sedang. Ketertarikan pada hierarki dan kontrol ketat menciptakan zona abu-abu yang sulit diawasi.

Hasil Statistik yang Kuat dan Valid

Regresi 1 (Tanpa LTO)

Model menjelaskan 65% variasi CPI (Adjusted R² = 0.65)
Rumus regresi:
CPI = 8.871 + 0.043(IDV) - 0.040(PD) - 0.017(UA) - 0.033(MAS)

Interpretasi:

  • Semakin tinggi IDV, CPI meningkat (lebih bersih)
  • Semakin tinggi PD, UA, MAS, CPI menurun (lebih korup)

Regresi 2 (Dengan LTO)

Model menjelaskan 66.8% variasi CPI, namun hanya PD dan UA yang signifikan.
Rumus regresi:
CPI = 13.925 - 0.101(PD) - 0.036(UA)

Artinya, jarak kekuasaan dan ketidakpastian adalah prediktor paling kuat dari persepsi korupsi lintas budaya.

Implikasi Strategis untuk Dunia Bisnis dan Pemerintahan

1. Manajemen Strategis Internasional
Investor dapat menggunakan indeks budaya ini untuk memprediksi risiko korupsi sebelum ekspansi ke negara tertentu.

2. Audit dan Keuangan
Audit internal dan eksternal sebaiknya mempertimbangkan faktor budaya sebagai indikator kerentanan organisasi terhadap suap dan manipulasi data.

3. Desain Kebijakan Publik
Negara dengan PD tinggi harus difokuskan pada reformasi tata kelola, edukasi etika publik, dan transparansi birokrasi.

Kritik dan Batasan Studi

Meskipun hasilnya signifikan secara statistik, studi ini memiliki keterbatasan:

  • Persepsi ≠ Realitas: CPI mengukur persepsi, bukan kejadian faktual.
  • Data Budaya Terbatas: Hanya 47 negara dari 85 negara CPI yang bisa dipadankan dengan indeks Hofstede.
  • Basis Sampel IBM: Hofstede memakai data dari karyawan IBM, yang mungkin tidak mewakili seluruh masyarakat.
  • Generalitas Budaya: Dimensi budaya tidak selalu berlaku konsisten antar wilayah dan waktu.

Refleksi: Melawan Korupsi Lewat Transformasi Budaya?

Penelitian ini menegaskan bahwa persepsi terhadap korupsi sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya. Negara dengan budaya yang permisif terhadap ketimpangan kekuasaan, penghindaran risiko, dan nilai-nilai kompetisi maskulin, cenderung lebih permisif terhadap korupsi.

Namun mengubah budaya bukan perkara sederhana. Ia membutuhkan pendekatan jangka panjang, edukasi nilai integritas sejak dini, dan reformasi struktural di berbagai sektor.

Kesimpulan: Menggunakan Budaya untuk Mengukur Risiko Korupsi

Artikel ini memperlihatkan bahwa analisis budaya bukan hanya teori sosial, melainkan bisa dijadikan alat prediksi praktis dalam manajemen risiko global. Ketika CPI dapat dijelaskan hingga 65% oleh dimensi budaya, maka memahami budaya menjadi bagian dari upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.

Sebagaimana budaya bisa menumbuhkan toleransi terhadap korupsi, maka transformasi budaya adalah kunci untuk membasminya secara sistemik. Ini bukan pekerjaan satu malam, tetapi pekerjaan lintas generasi.

Sumber: Huber, W. D. (2001). Culture and Corruption: Using Hofstede’s Cultural Dimensions to Explain Perceptions of Corruption. SSRN Electronic Journal. 

Selengkapnya
Budaya Menumbuhkan Korupsi: Membongkar Hubungan Dimensi Hofstede dan Persepsi Korupsi Global

Korupsi Konstruksi

Korupsi Menggerogoti Lembaga Kemanusiaan: Saatnya Beralih dari Naivitas ke Kepatuhan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Bantuan kemanusiaan semestinya menjadi simbol kebaikan, integritas, dan empati global. Namun, ketika arus dana mencapai angka USD 156 miliar per tahun, sektor ini justru menjadi lahan subur bagi korupsi. Dalam tesis Malika Aït-Mohamed Parent, mantan petinggi Palang Merah Internasional, korupsi dalam ruang kemanusiaan dibedah dengan pendekatan lapangan, studi kasus nyata, dan wawancara terhadap 269 pelaku kemanusiaan lintas benua.

Konteks Masalah

Selama ini, isu korupsi kerap diabaikan dalam perdebatan formal di sektor kemanusiaan, bahkan oleh institusi besar seperti PBB, Bank Dunia, hingga SDGs 2030. Dalam dokumen Millennium Development Goals (MDGs), kata "korupsi" tak muncul sekalipun. Bahkan dalam World Humanitarian Summit 2016, isu ini nyaris tak disinggung secara serius.

Hipotesis Utama

Apakah korupsi di sektor kemanusiaan terjadi karena:

  • Ketidaktahuan (ignorance)
  • Ketidakmampuan (incompetence)
  • Konspirasi terorganisir (conspiracy)?

Jawaban terhadap pertanyaan ini menjadi dasar eksplorasi selama dua tahun penelitian intensif.

Metodologi

Penulis menggunakan kombinasi:

  • Wawancara mendalam terhadap 21 aktor senior kemanusiaan dari 17 negara.
  • Diskusi kelompok terarah (focus group) dengan 227 peserta lintas level dan region.
  • Konsultasi personal terhadap 21 orang tambahan.
  • Kajian pustaka terhadap 156 publikasi internasional.
  • Studi kasus lapangan seperti investigasi di Afrika Barat.

Temuan Utama

1. Pemahaman Minim soal Korupsi

Mayoritas pelaku kemanusiaan memahami korupsi hanya sebatas “sikap buruk” seperti keserakahan atau kebohongan, bukan sebagai skema sistemik. Hampir tidak ada yang menyebutkan sanksi hukum, mekanisme kontrol internal, atau skenario konkret.

Temuan #1: Ada "budaya niat baik" yang ironisnya menjadi penghambat kesadaran risiko korupsi.

2. Komitmen Transparansi Bersifat Deklaratif

Organisasi sering menyatakan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas, tapi minim penerapan konkret. Banyak laporan audit internal tidak dipublikasikan, dan kontrol internal justru diperlemah oleh beban birokrasi.

Temuan #4: Komitmen saja tidak cukup tanpa sistem, aturan, dan sanksi yang ditegakkan.

3. Transparansi Dapat Berbalik Kontraproduktif

Donor negara justru merasa cemas ketika organisasi terlalu transparan. Beberapa bahkan meminta agar tidak dikirimi laporan tertulis agar tak terbebani kewajiban hukum.

Temuan #8: Donor menginginkan transparansi, tapi tidak selalu siap menghadapinya.

4. Celah antara Kantor Pusat dan Lapangan

Kebijakan dibuat dari pusat, tapi implementasi di lapangan sering tidak memahami risiko dan tanggung jawab anti-korupsi. Peneliti menyebut ini sebagai celah yang "dikenali dan dimanfaatkan aktor korup."

Temuan #13: Perbedaan budaya kerja dan pemahaman risiko memperparah praktik korupsi lapangan.

5. Studi Kasus Nyata

Beberapa studi kasus yang diperiksa meliputi:

  • Kamp pengungsi di Herat, Afghanistan (2001–2003): Ditemukan praktik penyaluran bantuan yang tidak adil dan manipulasi data penerima.
  • Krisis Ebola di Afrika Barat (2015): Dana bantuan sebesar USD 5 juta tidak terpantau penggunaannya.
  • Operasi di Liberia (2003–2006): Terjadi manipulasi kontrak dan nepotisme dalam penyaluran logistik.

Rekomendasi Strategis

1. Bangun Budaya Kepatuhan, Bukan Sekadar Tata Nilai

Organisasi harus beralih dari retorika nilai (value-based) ke praktik konkret (rule-based). Dibutuhkan sistem anti-korupsi yang aktif, bukan pasif.

2. Tingkatkan Kompetensi Pelaku Kemanusiaan

Pelatihan mengenai deteksi penipuan, etika distribusi bantuan, dan sistem pelaporan wajib diberikan secara menyeluruh dan reguler.

3. Gunakan Teknologi untuk Transparansi

Implementasi real-time tracking dana, distribusi digital, dan pelaporan daring dapat menekan ruang manipulasi.

4. Wujudkan Perlindungan Whistleblower

Kasus Anders Kompass dari PBB yang dipecat karena mengungkap pelecehan seksual oleh pasukan perdamaian menjadi contoh pentingnya perlindungan terhadap pelapor.

Analisis dan Opini

Artikel ini sangat bernilai karena membuka ruang diskusi serius mengenai bahaya laten korupsi di sektor yang selama ini dianggap "kebal dosa." Peneliti berhasil memadukan pengalaman empiris, suara pelaku lapangan, dan analisis literatur global. Namun, tesis ini dapat diperkuat dengan pendekatan komparatif dari negara yang berhasil menciptakan sistem anti-korupsi di sektor sosial, seperti Norwegia atau Rwanda.

Tesis ini juga menegaskan bahwa dalam dunia kemanusiaan, korupsi bukan semata persoalan uang, tetapi tentang hilangnya kepercayaan publik, nyawa, dan martabat kemanusiaan.

Kesimpulan

Korupsi di sektor kemanusiaan bukan hanya kenyataan pahit, tapi juga ancaman nyata terhadap keselamatan dan keberlanjutan bantuan global. Penelitian ini menekankan pentingnya transformasi budaya organisasi, komitmen kolektif, dan sistem yang berjalan dari pusat hingga akar rumput. Dalam dunia yang serba darurat, compliance bukan pilihan—tapi kebutuhan mendesak.

Sumber:
Aït-Mohamed Parent, M. (2016). Corruption Prevention and Control in the Humanitarian Space: Paving the Way from Naivety to Compliance. Master’s Thesis, International Anti-Corruption Academy.

Selengkapnya
Korupsi Menggerogoti Lembaga Kemanusiaan: Saatnya Beralih dari Naivitas ke Kepatuhan
« First Previous page 51 of 1.107 Next Last »