Keamanan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025
Bayangkan sebuah ruangan remang-remang, didominasi oleh dinding video raksasa (video wall) yang menampilkan puluhan aliran kamera CCTV.1 Operator duduk di depan barisan monitor, memantau peta digital yang berkedip-kedip, data kecepatan, dan laporan insiden yang masuk. Tiba-tiba, sebuah alarm berbunyi: kecelakaan di jalan tol utama, tepat di jam sibuk pagi hari.
Di sinilah krisis kognitif dimulai. Laporan FHWA menjelaskan bahwa operator manusia, secanggih apa pun pelatihannya, adalah "pengambil keputusan" yang memiliki keterbatasan.1 Mereka menghadapi "faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan" termasuk "tekanan sosial, norma budaya, kelelahan, bias yang melekat, dan keterbatasan lainnya".1
Dalam hitungan detik, operator tersebut harus:
Masalahnya, operator yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda. Operator veteran dengan pengalaman 20 tahun mungkin memiliki "intuisi" 1 yang tajam, sementara operator baru mungkin akan kaku mengikuti prosedur—atau lebih buruk lagi, membeku karena banyaknya data. Hasilnya adalah "pengambilan keputusan yang tidak konsisten".1
Di sinilah letak pergeseran masalah yang fundamental. Dua dekade lalu, masalah TMC adalah kekurangan data. Mereka tidak tahu apa yang terjadi sampai seseorang melaporkannya. Sekarang, masalahnya adalah kelimpahan data.1 Tanpa alat bantu yang tepat, tsunami data ini justru menjadi "kebisingan" (noise) yang memperlambat respons, alih-alih menjadi sinyal yang mempercepatnya.
Laporan ini menyoroti sebuah ketegangan sentral dalam modernisasi TMC: bagaimana menyeimbangkan keahlian manusia yang bernuansa dengan kekuatan pemrosesan data mesin yang konsisten? Laporan tersebut secara jujur mengakui bahwa ketergantungan berlebih pada alat baru memiliki kelemahan, seperti "mengabaikan intuisi dan pengalaman".1 Namun, tidak melakukan apa-apa berarti membiarkan sistem transportasi kita tersandera oleh keterbatasan kognitif manusia.
Solusinya: Memperkenalkan 'Otak' Digital Baru di Pusat Kendali Lalu Lintas
Untuk menjembatani kesenjangan ini, laporan tersebut berfokus pada satu solusi teknologi: Decision-Support Tools (DST), atau Alat Pendukung Keputusan.
Ini bukanlah sekadar alarm atau peta lalu lintas yang lebih cantik. Laporan ini mendefinisikan DST sebagai "alat berbasis komputer yang dapat memproses data dalam jumlah besar, menangkap proses operasional organisasi, dan berpotensi meniru pengambilan keputusan real-time dari operator manusia".1
Secara sederhana, DST adalah "co-pilot" digital untuk operator TMC.
Laporan ini membuat perbedaan penting antara dua jenis DST, yang seringkali disalahpahami 1:
Pergeseran dari DST offline ke online menceritakan sebuah evolusi. Ini adalah lompatan dari TMC 1.0, yang beroperasi berdasarkan prosedur tetap, ke TMC 2.0, yang mampu memberikan respons adaptif. Ini adalah transisi dari "mengikuti manual" menjadi "memiliki co-pilot cerdas yang berbisik di telinga Anda."
Tiga Tipe 'Kecerdasan' Digital: Si Ahli, Si Analis, dan Si Peramal
"Alat Pendukung Keputusan" bukanlah satu teknologi tunggal. Laporan FHWA dengan sangat baik mengkategorikan alat-alat ini ke dalam tiga pendekatan utama, yang pada dasarnya mewakili tiga tingkat kecanggihan yang berbeda.1
Memahami ketiga tipe ini sangat penting bagi para pembuat kebijakan untuk memutuskan jenis investasi apa yang tepat untuk kota mereka.
Sebuah pemahaman kritis yang muncul dari analisis laporan ini adalah bahwa ketiga tipe ini bukanlah menu pilihan yang setara, di mana sebuah kota bisa langsung "membeli" opsi terbaik. Sebaliknya, ketiganya mewakili sebuah tangga kedewasaan (maturity model).
Sebuah agensi tidak dapat mengimplementasikan "Si Peramal" (Model-Driven) yang canggih jika mereka bahkan belum memiliki data historis yang bersih dan terstruktur (Data-Driven). Dan mereka tidak dapat memiliki data yang bersih jika mereka belum mendigitalkan dan menstandardisasi aturan dan prosedur dasar mereka (Knowledge-Driven).
Hubungan sebab-akibatnya jelas: kualitas data dan kedewasaan operasional sebuah agensi menentukan tipe DST apa yang mungkin untuk diimplementasikan. Implikasinya bagi para pembuat kebijakan adalah: investasi harus dimulai dari hal-hal yang "membosankan" namun fundamental—yaitu pengumpulan data yang baik dan standarisasi prosedur—sebelum melompat untuk membeli perangkat lunak simulasi yang mahal.
Mengurai Kekacauan: Empat Langkah 'Otak' Digital Mengendalikan Kemacetan
Jadi, bagaimana "otak" digital ini sebenarnya berpikir? Laporan ini menyediakan kerangka kerja yang sangat jelas untuk memahami proses kognitif DST, yang terbagi menjadi empat tahap keputusan.1
Ini adalah narasi tentang bagaimana DST mengubah kekacauan data mentah menjadi tindakan yang teratur.
Langkah 1: Monitor (Memonitor Denyut Nadi Kota)
Pertama, sistem terus-menerus "membaca" denyut nadi jaringan transportasi. Ia menyerap data dari berbagai sumber: data jaringan transportasi (kecepatan, volume, okupansi), status perangkat (apakah rambu pesan berfungsi?), data cuaca dan kondisi jalan (apakah jalan basah? ber-es?), serta laporan insiden dan peristiwa.1 Pada tahap ini, ia hanya mengamati.
Langkah 2: Calculate and Predict (Menganalisis dan Memprediksi)
Di sinilah keajaiban dimulai. Ini adalah inti dari DST. Sistem "menerapkan pemrosesan data tingkat lanjut".1 Ia tidak hanya mengatakan, "Ada kemacetan di KM 10." Ia mengatakan, "Berdasarkan data historis jam sibuk hari Senin dan fakta bahwa hujan baru saja mulai, kemacetan ini akan bertambah parah 30% dan ekornya akan mencapai pintu keluar berikutnya dalam 15 menit".1 Sistem ini bahkan dapat memprediksi "peningkatan risiko peristiwa yang berdampak," seperti mengidentifikasi lokasi-lokasi di mana kemungkinan kecelakaan baru saja meningkat drastis.1
Langkah 3: Propose (Menyajikan 'Menu' Solusi)
Setelah memprediksi masalah, DST bertindak sebagai penasihat strategis. Ia "menghasilkan satu atau lebih rencana respons".1 Ia tidak hanya memberikan satu solusi, tetapi menyajikan sebuah "menu" pilihan kepada operator. Misalnya:
Langkah 4: Select and Implement (Memilih dan Mengeksekusi)
Pada tahap akhir, operator manusia (atau dalam sistem yang sangat otomatis, sistem itu sendiri) "memilih dan melaksanakan rencana respons yang dianggap paling mungkin untuk paling efektif".1 Sistem kemudian mengeksekusi perintah ini—mengirim pesan ke rambu, mengubah sinyal, dan menyebarkan informasi ke publik.1
Kerangka kerja empat langkah ini mengungkap pergeseran peran yang mendalam bagi operator TMC. Sebelum ada DST, operator menghabiskan 90% waktu mereka untuk berjuang di Langkah 1 (Monitor) dan Langkah 2 (mencoba menghitung-hitung dampak di kepala mereka). Dengan DST, Langkah 1, 2, dan 3 sebagian besar telah diotomatisasi.
Peran operator manusia kini bergeser secara drastis ke Langkah 4. Mereka beralih dari menjadi analis data yang stres menjadi manajer keputusan strategis yang diberdayakan. Mereka tidak lagi bertanya "Apa yang sedang terjadi?", tetapi "Dari tiga solusi yang disarankan, mana yang paling strategis untuk kita ambil saat ini?"
Bukti dari Lapangan: Tiga Kota yang Menggunakan 'Co-Pilot' Digital
Laporan ini bukan hanya sekadar teori. Ia menyajikan studi kasus nyata di mana berbagai jenis "otak" digital ini telah beroperasi dan memberikan dampak.
Studi Kasus 1: Maryland (CHART) – Si Ahli yang Konsisten
Sistem Coordinated Highways Action Response Team (CHART) di Maryland adalah contoh klasik dari DST "Si Ahli" (Knowledge-Driven).1 Tujuannya adalah konsistensi.
Ketika sebuah insiden terverifikasi, operator dapat meminta DST untuk merekomendasikan "elemen rencana respons"—seperti rambu DMS mana yang harus diaktifkan dan pesan apa yang harus ditampilkan.1
Namun, bagian paling menarik adalah bagaimana sistem ini menggunakan "pohon keputusan" (decision trees) untuk memprediksi durasi insiden, seperti yang dirinci dalam laporan.1 Alih-alih menyajikan tabel teknis, bayangkan prosesnya seperti ini: Operator memasukkan beberapa variabel kunci yang mereka ketahui tentang insiden tersebut—'Apakah ada truk trailer yang terlibat?', 'Apakah insiden terjadi di jalan I-495?', 'Berapa jumlah lajur utama yang terhalang?', 'Apakah terjadi pada jam sibuk pagi?'. Berdasarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, yang didasarkan pada data historis kecelakaan sebelumnya, sistem CHART langsung memberikan kategori durasi yang terstandardisasi: 'Minor (kurang dari 30 menit)', 'Intermediate (30-120 menit)', atau 'Major (lebih dari 120 menit)'.1
Ini adalah lompatan besar. Ini menghilangkan tebak-tebakan operator, memberikan informasi waktu yang lebih konsisten kepada publik, dan menstandardisasi tingkat respons yang diperlukan.
Studi Kasus 2: Kansas City (SCOUT) – Si Analis yang Proaktif
Di Kansas City, musuh utamanya adalah cuaca musim dingin. Sistem SCOUT mereka 1 adalah contoh brilian dari DST "Si Analis" (Data-Driven) yang digabungkan dengan elemen "Si Peramal" (Model-Driven).
Sistem ini berfokus pada satu hal: perawatan jalan musim dingin. Ia menggabungkan "laporan kondisi trotoar dan cuaca real-time" dengan "model prakiraan dan probabilistik".1 Hasilnya adalah prediksi canggih tentang di mana dan kapan jalan akan membeku atau tertutup salju.
Bagi operator TMC, ini mengubah segalanya. Mereka tidak lagi reaktif—menunggu panggilan 911 tentang jalan licin. Sebaliknya, sistem memungkinkan mereka menjadi proaktif. Notifikasi seperti "heavy winter-precip" (curah salju musim dingin yang lebat) 1 memungkinkan mereka mengirimkan kru anti-icing dan bajak salju ke lokasi tertentu sebelum kondisi berbahaya terjadi.
Studi Kasus 3: San Diego (ICM) – Si Peramal Multimoda
Sistem Integrated Corridor Management (ICM) di San Diego adalah "bintang" dari laporan ini. Ini adalah contoh paling matang dari DST "Si Peramal" (Model-Driven).1
Tujuannya jauh melampaui jalan tol. Tujuannya adalah untuk mengelola seluruh koridor—termasuk jalan tol, jalan arteri permukaan, dan layanan bus transit—sebagai satu sistem yang holistik dan terintegrasi.1
Keajaiban sistem San Diego terletak pada kemampuannya menjalankan simulasi jaringan secara real-time untuk memprediksi kondisi 15 hingga 30 menit ke depan.1 Ketika sebuah peristiwa (seperti kemacetan parah) terdeteksi, DST akan mengevaluasi berbagai rencana respons.
Laporan 1 memberikan gambaran tentang bagaimana sistem ini "berpikir" secara strategis. Sistem ini memetakan respons berdasarkan dua sumbu: Tingkat Permintaan (Demand) dan Dampak Peristiwa (Event Impact). Sebagai contoh:
Di sinilah letak perbedaannya. Respons "Agresif" di San Diego bukan sekadar pesan di rambu. Ini adalah serangkaian tindakan terkoordinasi di seluruh moda transportasi: mengubah tarif di lajur tol berbayar untuk mengatur permintaan, mengalihkan lalu lintas ke rute arteri yang telah ditentukan, secara dinamis mengubah waktu puluhan lampu lalu lintas di rute alternatif tersebut, dan bahkan memberi tahu sistem bus rapid transit untuk menambah frekuensi layanan.
Satu detail penting dalam studi kasus San Diego mengungkap sebuah revolusi filosofis. Sistem ini diukur kinerjanya bukan berdasarkan "vehicle-throughput" (jumlah kendaraan yang bergerak), tetapi berdasarkan "person-throughput" (jumlah orang yang bergerak).1
Ini adalah pergeseran paradigma. Teknologi DST yang canggih (Model-Driven) telah memungkinkan para perencana dan insinyur lalu lintas untuk beralih dari sekadar terobsesi memindahkan mobil, menjadi fokus pada tujuan yang sebenarnya: memindahkan orang seefisien mungkin, apa pun moda transportasi yang mereka pilih (mobil, bus, atau kereta). Ini adalah salah satu contoh integrasi nyata pertama antara manajemen jalan raya dan manajemen transportasi publik, yang didorong oleh kekuatan data.
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Jakarta, Surabaya, dan Kota Besar Lainnya?
Meskipun laporan ini berfokus pada praktik di AS, wawasan yang dihasilkannya bersifat universal dan sangat relevan bagi kota-kota padat di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan lainnya. Kota-kota ini menghadapi paradoks yang sama: peningkatan jumlah data (dari aplikasi navigasi, data seluler, CCTV) namun tetap menghadapi kemacetan kronis.
Temuan laporan ini memberikan cetak biru bagi otoritas transportasi di Indonesia. Laporan ini menunjukkan bahwa hanya memasang lebih banyak CCTV atau meluncurkan aplikasi lalu lintas baru tidak akan cukup. Kuncinya adalah apa yang terjadi di balik layar—kemampuan TMC untuk memahami dan bertindak berdasarkan data tersebut secara real-time dan prediktif.
Studi kasus Maryland menunjukkan nilai "memulai dari yang kecil" dengan menstandardisasi aturan respons (Knowledge-Driven). Studi kasus Kansas City menunjukkan kekuatan penggunaan data untuk operasi yang proaktif (Data-Driven). Dan studi kasus San Diego menunjukkan "cawan suci" dari manajemen koridor terpadu yang sebenarnya (Model-Driven), yang mengintegrasikan jalan tol, jalan arteri, dan angkutan umum.
Kritik Realistis: Ini Bukan 'Tombol Ajaib' Penghilang Macet
Akan tetapi, laporan FHWA ini bukanlah dokumen penjualan. Ini adalah panduan teknis yang jujur, dan sebagian besar isinya (terutama Bab 4, 5, dan 6) didedikasikan untuk membahas betapa rumitnya implementasi teknologi ini. Mengadopsi DST bukanlah solusi plug-and-play; ini bukan "tombol ajaib" penghilang macet.
Laporan ini menyoroti beberapa tantangan kritis yang harus dipertimbangkan oleh setiap pembuat kebijakan.
Tantangan 1: Ini Bukan Proyek IT, Ini Proyek Perencanaan Manusia.
Kegagalan dalam proyek DST kemungkinan besar bukan karena coding yang buruk, tetapi karena perencanaan yang buruk. Laporan 1 sangat menekankan pentingnya Systems Engineering. Bab 4 secara rinci membahas proses krusial "Penilaian Kebutuhan" (Needs Assessment) 1 dan "Analisis Kesenjangan" (Gap Analysis).1 Sebuah agensi mungkin tergoda untuk membeli sistem "Si Peramal" yang canggih seperti San Diego, padahal kebutuhan operasional mereka sehari-hari sebenarnya hanya sistem "Si Ahli" seperti Maryland. Laporan ini memperingatkan bahwa tanpa memahami "kebutuhan pemangku kepentingan" 1 dan mendefinisikan masalah dengan benar, proyek ini pasti akan gagal atau membengkak biayanya.
Tantangan 2: Kualitas Data adalah Segalanya (Sampah Masuk, Sampah Keluar).
Sebuah DST hanya secerdas data yang ia konsumsi. Laporan ini merinci kerumitan luar biasa dari Data Subsystem.1 Data dari berbagai sumber harus diekstraksi, ditransformasi ke format yang seragam, dan dimuat (proses ETL) ke dalam database 1—semua dalam hitungan detik.
Lebih penting lagi, DST adalah sistem yang "hidup" dan "lapar". Ia perlu terus-menerus diberi makan data yang akurat dan terkini. Studi kasus Dallas ICM 1 memberikan contoh nyata: data statis seperti jaringan jalan baru, batas kecepatan yang berubah, dan perubahan rute transit perlu diperbarui setiap triwulan. Jika sebuah agensi tidak memiliki anggaran atau staf yang didedikasikan untuk pemeliharaan data yang konstan ini, DST akan cepat menjadi usang. Ia akan memberikan rekomendasi otoritatif berdasarkan data yang salah, yang berpotensi memperburuk kemacetan, bukan mengurainya.
Tantangan 3: Ketergantungan Berlebih dan Atrofi Keterampilan.
Laporan ini secara terbuka dan jujur mencatat "potensi kerugian dari ketergantungan berlebih pada DST, seperti mengabaikan intuisi dan pengalaman".1 Ini adalah kekhawatiran yang sangat manusiawi. Apa yang terjadi jika operator menjadi terlalu percaya pada sistem? Apa yang terjadi jika sistem tiba-tiba offline karena pembaruan perangkat keras 1 atau serangan siber, dan "generasi baru" operator tidak pernah belajar bagaimana mengelola krisis besar secara manual? Laporan ini menyiratkan perlunya keseimbangan yang hati-hati antara otomatisasi dan keahlian manusia yang tidak tergantikan.
Tantangan 4: Kita Belum Tahu Cara Mengukurnya dengan Baik.
Ini mungkin temuan yang paling mengejutkan dan penting bagi para manajer. Laporan ini 1 secara eksplisit menyatakan bahwa "informasi yang tersedia sangat sedikit tentang pemantauan dan evaluasi kinerja operasional atau pengambilan keputusan dari sebuah DST."
Dengan kata lain, agensi tahu cara mengukur uptime server dan ketersediaan sistem, tetapi mereka tidak benar-benar tahu cara mengukur secara kuantitatif apakah DST membuat keputusan yang "lebih baik" daripada manusia.1 Apakah "produktivitas DST" diukur dari jumlah respons yang dihasilkan? Atau "kepuasan operator"?.1 Tanpa metrik kinerja yang jelas, sangat sulit untuk membenarkan biaya implementasi dan pemeliharaan yang mahal, atau untuk membuktikan Return on Investment (ROI) yang nyata kepada pembuat kebijakan dan pembayar pajak.
Dampak Nyata: Masa Depan Pengelolaan Lalu Lintas Adalah Kolaborasi Manusia-Mesin
Laporan "Decision Support for Traffic Management Systems" ini adalah sebuah dokumen penting yang menandai titik balik dalam cara kita mengelola arteri perkotaan kita. Laporan ini menegaskan bahwa masa depan manajemen lalu lintas bukanlah pertarungan antara manusia melawan mesin, melainkan sebuah kolaborasi erat antara manusia dan mesin.
Teknologi DST bukanlah tentang menggantikan operator manusia. Ini tentang meningkatkan kemampuan mereka. Ini tentang membebaskan mereka dari tugas-tugas analisis data yang melelahkan dan rentan kesalahan, dan mengangkat mereka ke peran baru sebagai pengambil keputusan strategis yang diberdayakan—sebagai manajer, bukan hanya monitor.
Pergeseran dari manajemen lalu lintas yang reaktif ("Oh, ada kecelakaan") menjadi manajemen yang prediktif ("Akan ada kemacetan dalam 15 menit, ini tiga cara untuk mengatasinya") bukan lagi fiksi ilmiah. Laporan ini memberikan cetak biru teknis dan organisasi untuk mencapainya.
Jika diterapkan—dengan perencanaan yang matang, komitmen jangka panjang pada kualitas data, dan pemahaman yang realistis tentang tantangannya—temuan dalam laporan ini menunjukkan potensi yang sangat besar. Sistem ini dapat mengurangi waktu respons insiden secara signifikan, meningkatkan prediktabilitas dan keandalan waktu tempuh, dan pada akhirnya, menghemat miliaran rupiah kerugian ekonomi akibat waktu yang terbuang dalam kemacetan dalam satu dekade ke depan.
Sumber Artikel:
Kehidupan Kota
Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025
Bagian pertama dari teka-teki yang dibongkar oleh penelitian ini adalah kegagalan model emisi skala kota.1 Ketika sebuah kota ingin tahu di mana titik-titik polusi terpanasnya, mereka biasanya menggunakan apa yang disebut kerangka kerja Static Traffic Assignment (STA) atau pemodelan lalu lintas statis.1
Model STA memiliki kelemahan yang fatal: model ini mengasumsikan lalu lintas bersifat "instan" dan tidak memahami fisika dasar dari antrean kemacetan.
Bayangkan sebuah jembatan yang menjadi biang kemacetan. Model statis melihat bahwa kapasitas jembatan terlampaui dan, akibatnya, menempatkan semua polusi tambahan akibat kemacetan itu tepat di lokasi jembatan. Peta emisi kota kemudian menunjukkan jembatan tersebut sebagai zona merah pekat.
Namun, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Kemacetan tidak hanya terjadi di jembatan. Kemacetan menciptakan "perambatan antrean" (queue propagation)—antrean panjang kendaraan yang mengular ke belakang, mungkin bermil-mil jauhnya, hingga ke jalan-jalan arteri dan lingkungan perumahan.1 Kendaraan-kendaraan dalam antrean itu bergerak stop-and-go, mengerem, diam, lalu berakselerasi—sebuah siklus yang menghasilkan emisi jauh lebih tinggi daripada lalu lintas yang lancar.
Penelitian dalam Paper I dan II dari disertasi ini mengusulkan solusi: sebuah "model kuasi-dinamis".1 Model ini adalah jalan tengah yang cerdas—tidak serumit simulasi dinamis penuh, tetapi cukup canggih untuk memahami dan memetakan antrean kemacetan.
Untuk mengujinya, pendekatan baru ini diterapkan dalam dua studi kasus dunia nyata: pertama di bentangan jalan raya sepanjang 19 km di Stockholm, dan kedua di seluruh jaringan perkotaan Norrköping, Swedia.1
Hasilnya sangat mengejutkan. Model kuasi-dinamis terbukti secara signifikan "meningkatkan distribusi spatiotemporal" dari emisi.1 Di Norrköping, model ini menghasilkan "tata letak spasial emisi yang realistis," yang menunjukkan bahwa model statis lama telah salah menempatkan polusi selama ini.1 Polusi yang sebenarnya jauh lebih tinggi terdeteksi di pusat kota dan jalan lingkar—tepat di mana antrean panjang terbentuk, bukan hanya di sumber kemacetan itu sendiri.1
Implikasinya sangat besar. Jika perencana kota mengandalkan peta emisi yang salah dari model statis, mereka akan menghabiskan jutaan dolar untuk membangun penghalang kebisingan, memasang filter udara, atau melarang kendaraan di lokasi yang salah. Pendekatan kuasi-dinamis ini akhirnya memberi mereka peta yang benar.
Membaca Pikiran Jaringan: Bagaimana Data GPS Mengungkap Pola Perjalanan
Setelah memperbaiki peta polusi, tantangan berikutnya jauh lebih dalam: memahami penyebab kemacetan itu sendiri. Untuk melakukan ini, perencana perlu mengetahui permintaan lalu lintas—dari mana orang memulai perjalanan mereka (Origin) dan ke mana mereka pergi (Destination). Ini dikenal sebagai Matriks Origin-Destination (OD).
Secara historis, mendapatkan Matriks OD adalah mimpi buruk. Model lalu lintas konvensional terjebak dalam masalah "ayam-dan-telur" yang klasik, sebuah masalah ketergantungan (interdependency) yang kompleks.1
Ini memaksa perencana masuk ke dalam "proses iteratif yang mahal secara komputasi".1 Mereka harus menebak permintaan, menjalankan simulasi untuk melihat kemacetan yang dihasilkan, membandingkan hasilnya dengan data di lapangan, menyesuaikan tebakan mereka, dan mengulangi proses itu lagi dan lagi. Proses ini tidak hanya lambat tetapi juga seringkali tidak akurat, terutama karena data lapangan (CSD) yang mereka gunakan sangat terbatas.
Di sinilah letak terobosan kedua dari disertasi ini, yang dijelaskan dalam Paper III dan Paper IV.1 Penelitian ini mengajukan pertanyaan radikal: Mengapa kita harus menebak kemacetan jika kita bisa mengamatinya secara langsung?
Paper III memperkenalkan konsep Data-Driven Network Loading (DDNL).1 Alih-alih menghitung kemacetan secara internal (endogen), DDNL menggunakan "observasi waktu tempuh" (travel-time observations) dari FCD/GPS sebagai data eksogen (data dari luar).1 Pada dasarnya, model ini melewati (bypass) seluruh proses tebak-menebak kemacetan.1 Fisika perambatan aliran (flow propagation) dalam model kini dipaksa untuk sesuai dengan realitas waktu tempuh yang diamati di jalan.1
Setelah DDNL berhasil memodelkan fisika jaringan secara akurat (berkat data GPS), Paper IV menggunakan alat canggih ini untuk memecahkan masalah yang lebih besar: estimasi Matriks OD.1
Persamaannya kini dibalik. Model tidak lagi bertanya, "Jika permintaan X, kemacetannya apa?" Sebaliknya, model bertanya, "Mengingat kita tahu kemacetan (waktu tempuh) dari data GPS adalah Y, berapakah permintaan X yang paling mungkin menyebabkan skenario ini?"
Ini adalah rekayasa-balik (reverse engineering) pola perjalanan. Hasil eksperimen berbasis simulasi menunjukkan bahwa pendekatan baru ini dapat "menghasilkan estimasi yang lebih akurat" dibandingkan dengan metode berbasis data lainnya.1
Dampaknya adalah pergeseran dari perencanaan berbasis survei ke pemantauan berbasis data. Kota tidak lagi harus bergantung pada survei rumah tangga yang mahal dan usang (seringkali 5-10 tahun) untuk menebak ke mana warganya bepergian. Dengan pendekatan DDNL/OD ini, mereka berpotensi memperbarui pemahaman mereka tentang pola mobilitas kota hampir secara real-time, hanya dengan menganalisis data GPS anonim yang sudah tersedia.
Zoom-In ke Knalpot: Rahasia di Balik 'Trajektori Kendaraan Virtual'
Metodologi sejauh ini telah memperbaiki estimasi di level kota (Makro) dan level jaringan (Meso). Namun, ada satu lapisan detail terakhir yang hilang: level Mikro, yaitu perilaku kendaraan individu.
Model emisi yang paling canggih, seperti model mikroskopis (misalnya PHEM), "sensitif terhadap dinamika kendaraan".1 Model-model ini tidak peduli dengan kecepatan rata-rata kendaraan di sebuah ruas jalan. Mereka perlu tahu kinematika spesifiknya: Kapan tepatnya kendaraan itu berakselerasi? Kapan ia mengerem? Berapa lama ia diam (idle)?.1
Di sinilah kita dapat menggunakan analogi yang jelas. Menggunakan kecepatan rata-rata untuk memprediksi emisi adalah seperti mencoba menebak tagihan listrik Anda dengan memberi tahu perusahaan listrik bahwa Anda "menggunakan listrik rata-rata 8 jam sehari". Informasi itu hampir tidak berguna.
Menggunakan kinematika adalah seperti memiliki data smart meter detik demi detik. Data itu tahu persis kapan Anda menyalakan lima pendingin udara dan oven secara bersamaan (akselerasi penuh setelah lampu hijau) dan kapan Anda hanya menyalakan satu lampu (melaju konstan di jalan tol). Lonjakan konsumsi energi (dan emisi polutan) dalam skenario akselerasi penuh jauh lebih besar.
Masalahnya, tidak ada sumber data tunggal yang memberi kita data kinematika beresolusi tinggi ini. Data FCD (GPS) terlalu "jarang"—mungkin hanya melaporkan lokasi setiap 30 detik, melewatkan semua akselerasi dan pengereman kecil di antaranya. Data CSD hanya memberi tahu kecepatan di satu titik.
Solusi yang diajukan dalam Paper V adalah yang paling inovatif: menciptakan data yang hilang tersebut.1
Paper V mengusulkan metode baru untuk "menghasilkan Virtual Vehicle Trajectories (VVT)" dengan "menggabungkan data dari berbagai sumber" (fusing data from different sources).1 VVT pada dasarnya adalah "kembaran digital" (digital twin) dari kendaraan nyata. Ini adalah produk data sintetis yang dibuat dengan cerdas.
Metode ini mengambil data FCD yang jarang (untuk mengetahui titik awal dan akhir perjalanan) dan data CSD (untuk mengetahui kondisi aliran rata-rata di antaranya), dan menggunakan teori aliran lalu lintas serta interpolasi canggih untuk mengisi kekosongan. Ia menghasilkan lintasan detik demi detik yang realistis secara fisik untuk kendaraan "virtual", lengkap dengan semua data akselerasi, pengereman, dan idling yang dibutuhkan oleh model emisi mikroskopis.1
Eksperimen membuktikan bahwa "pemodelan kinematika kendaraan yang canggih ini dapat meningkatkan akurasi emisi yang diestimasi".1 Ini adalah bagian terakhir dari toolkit ini. Ini adalah jembatan vital yang menghubungkan data besar skala jaringan (Makro/Meso) langsung ke fisika mesin individu (Mikro).
Apakah Ini Solusi Ajaib? Kritik Realistis dan Dampak Nyata
Pendekatan data-driven yang diuraikan dalam disertasi ini 1 sangat kuat, tetapi ini bukanlah solusi ajaib. Seperti yang diakui oleh penelitian itu sendiri di bagian "Delimitasi" (Keterbatasan), ada pertukaran yang signifikan.1
Pertama, seluruh kerangka kerja ini menciptakan ketergantungan baru: ia membutuhkan bahan bakar data berkualitas tinggi. Pendekatan ini ibarat mesin presisi yang membutuhkan bahan bakar jet. Jika data FCD (GPS/seluler) yang dimasukkan berkualitas buruk, tidak lengkap, atau bias (misalnya, jika data hanya melacak armada taksi dan truk pengiriman, bukan populasi umum), maka prinsip "Garbage In, Garbage Out" berlaku. Estimasi Matriks OD dan peta emisi yang dihasilkan juga akan bias.1
Kedua, validasi penelitian ini, meskipun kuat, terbatas secara geografis pada jaringan jalan di Swedia (Stockholm dan Norrköping).1 Apakah metodologi ini akan bekerja sama baiknya di kota-kota dengan perilaku mengemudi yang sangat berbeda, infrastruktur jalan yang unik, atau ketersediaan data yang berbeda, masih menjadi pertanyaan terbuka.
Meskipun demikian, dampak nyata dari toolkit metodologis ini tidak dapat diremehkan. Penelitian ini menggeser paradigma dari manajemen lalu lintas yang reaktif menjadi manajemen mobilitas yang proaktif.
Selama ini, pembuat kebijakan terjebak dalam siklus reaktif: melihat kemacetan, mengukur polusi rata-rata (seringkali dengan peta yang salah), lalu membangun infrastruktur baru (yang seringkali hanya memindahkan kemacetan ke tempat lain).
Disertasi ini 1 menyediakan pipeline data yang proaktif:
Jika diterapkan, temuan ini memberi pembuat kebijakan kemampuan untuk melakukan "operasi bedah" pada kemacetan.
Dalam lima tahun, alih-alih hanya membangun ventilasi yang mahal di terowongan atau pelebaran jalan yang reaktif, kota dapat menggunakan data ini untuk menerapkan "Zona Emisi Rendah yang Dinamis" yang menyala secara otomatis hanya ketika VVT (Paper V) mendeteksi pola mengemudi berakselerasi tinggi yang berbahaya. Mereka dapat menawarkan insentif real-time kepada pengemudi untuk mengubah rute permintaan OD (Paper IV) sebelum antrean polusi yang diprediksi (Paper I/II) terbentuk.
Ini adalah langkah fundamental dari sekadar mengelola infrastruktur beton ke mengelola mobilitas itu sendiri.
Kesimpulan: Mengubah Data Mentah Menjadi Udara Bersih
Disertasi oleh Nikolaos Tsanakas 1 bukan hanya satu studi akademis; ini adalah peta jalan metodologis yang lengkap. Ini memberi para perencana kota, ilmuwan lingkungan, dan pembuat kebijakan perangkat yang mereka butuhkan—dari level makro, meso, hingga mikro—untuk akhirnya memanfaatkan banjir data GPS dan seluler yang telah lama kita miliki.1
Penelitian ini menunjukkan cara mengubah titik-titik mentah di peta menjadi pemahaman mendalam tentang perilaku manusia, dan pada akhirnya, menjadi kebijakan udara bersih yang dapat ditindaklanjuti dan menyelamatkan nyawa.1
Sumber Artikel:
Data-Driven Approaches for Traffic State and Emission Estimation - ResearchGate, https://www.researchgate.net/publication/352488909_Data-Driven_Approaches_for_Traffic_State_and_Emission_Estimation
Kehidupan Kota
Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025
Kita semua merasakannya. Deru klakson yang tak putus, laju kendaraan yang tak lebih cepat dari langkah kaki, dan perasaan frustrasi yang kian memuncak. Kemacetan telah menjadi bagian dari identitas kota-kota besar di Indonesia. Namun, sebuah penelitian mendalam yang dipresentasikan oleh Nindyo Cahyo Kresnanto dari Universitas Janabadra 1 mengungkap bahwa apa yang kita anggap sebagai "gangguan sehari-hari" sebenarnya adalah sebuah krisis multidimensi yang menggerogoti kesehatan, ekonomi, dan kewarasan kita secara senyap.1
Masalahnya berakar pada pertumbuhan yang eksplosif. Data visual dalam penelitian tersebut melukiskan gambaran yang gamblang: antara tahun 1953 hingga 2015, jumlah kendaraan di Indonesia melonjak secara eksponensial. Yang paling menonjol adalah kurva sepeda motor, yang meroket tajam melampaui mobil penumpang, bus, dan mobil barang.1 Pada tahun 2015 saja, rasionya mencapai 402 sepeda motor per 1.000 penduduk.1
Jalan-jalan kita, yang dirancang untuk volume yang jauh lebih kecil, kini tenggelam oleh lautan kendaraan. Ini bukan lagi sekadar "macet". Data penelitian ini menunjukkan bahwa ini adalah keadaan darurat kesehatan masyarakat dan bencana ekonomi skala penuh yang membutuhkan intervensi segera.
Harga Mahal yang Kita Bayar Setiap Hari untuk Sebuah Kelambanan
Fokus dari analisis ini 1 bukanlah pada kemacetan itu sendiri, tetapi pada dampaknya yang menghancurkan. Ketika kita terjebak dalam lalu lintas, kerugiannya jauh melampaui waktu yang terbuang. Penelitian ini membedah biaya-biaya tersembunyi tersebut secara rinci.1
Secara ekonomi, ada dua pukulan telak. Pertama, "Nilai Waktu" kita anjlok. Waktu tempuh perjalanan harian kita terus merangkak naik, bertambah antara 5 hingga 10 menit setiap tahunnya untuk rute yang sama.1 Bayangkan ini secara kumulatif: dalam enam tahun, seorang komuter bisa kehilangan tambahan setengah jam setiap hari untuk perjalanan yang sama persis.
Kedua, Biaya Operasional Kendaraan (BOK) meroket. Penelitian yang dirujuk 1 menunjukkan kenaikan biaya hingga Rp. 50 per kilometer per kendaraan.1 Ini adalah "pajak kemacetan" tak terlihat yang kita bayar setiap hari melalui bahan bakar yang terbakar sia-sia dan keausan komponen kendaraan, menggerogoti anggaran rumah tangga dan biaya logistik bisnis.
Namun, temuan yang paling mengejutkan adalah dampaknya terhadap kesehatan manusia. Data yang disajikan sangat mengkhawatirkan:
Kemacetan, seperti yang diungkapkan oleh penelitian ini, bukanlah masalah transportasi. Ini adalah krisis kesehatan publik.
Membawa 'Otak' Digital ke Jalan Raya: Memperkenalkan Intelligent Transportation Systems (ITS)
Menghadapi krisis ini, solusi konvensional seperti pelebaran jalan terbukti tidak lagi memadai. Penelitian ini 1 mengajukan sebuah solusi yang tidak berfokus pada penambahan beton, melainkan pada penambahan intelijen: Intelligent Transportation Systems (ITS).1
Apa sebenarnya ITS? Sederhananya, ini adalah upaya untuk memberikan "otak" dan "sistem saraf" digital pada infrastruktur transportasi kita yang selama ini "bisu". ITS didefinisikan sebagai penerapan teknologi nirkabel, elektronik, dan otomatisasi mutakhir.1
Tujuannya, menurut penelitian ini, tidak hanya untuk membuat lalu lintas bergerak lebih cepat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan tiga pilar utama: keselamatan (safety), efisiensi (efficiency), dan kenyamanan (convenience) transportasi permukaan.1 Dengan mengurangi lalu lintas stop-and-go (padat merayap), meningkatkan panduan rute, dan mengurangi penggunaan mobil pribadi, ITS memiliki dampak langsung pada pengurangan konsumsi bahan bakar.1
Skala dari ITS jauh lebih luas daripada yang dibayangkan kebanyakan orang. Ini bukan hanya tentang lampu lalu lintas yang canggih. Penelitian ini memetakan delapan kategori utama dalam "Bundel Layanan Pengguna" ITS 1, yang menunjukkan betapa terintegrasinya sistem ini:
Ekosistem inilah yang menjadi kekuatan ITS. Ini adalah platform yang memungkinkan berbagai sistem untuk "berbicara" satu sama lain. Sebagai contoh, sistem Emergency Management dapat berkomunikasi dengan Traffic Management untuk secara otomatis mengubah lampu lalu lintas menjadi hijau di sepanjang rute ambulans, membersihkan jalan bagi respons darurat.1 Ini adalah gambaran yang jauh lebih besar dan lebih terhubung daripada sekadar aplikasi peta di ponsel kita.
Mengurai Kemacetan: Teknologi Apa Saja yang Ditawarkan?
Penelitian ini 1 secara spesifik menguraikan sepuluh komponen utama dalam pilar Traffic Management yang dirancang untuk mengurangi kemacetan dan meningkatkan kapasitas jalan tanpa perlu membangun infrastruktur baru.1 Komponen-komponen ini termasuk Traffic Signal Control, Incident Management, Road/Cordon Pricing, Smart Parking Management, dan Driver/Network Behavior.1
Beberapa temuan di area ini sangat mengejutkan, terutama karena mereka menyoroti bahwa sebagian besar kemacetan kita disebabkan oleh inefisiensi informasi.
Pertama, ada fenomena "kemacetan hantu" yang disebabkan oleh pencarian parkir. Data yang disajikan sangat mencengangkan: 30% dari seluruh kemacetan di perkotaan disebabkan oleh pengemudi yang berputar-putar tanpa henti hanya untuk mencari tempat parkir.1 Bayangkan 100 mobil terjebak macet di depan Anda; data ini menunjukkan bahwa 30 di antaranya sebenarnya tidak sedang "pergi ke suatu tempat", mereka hanya mencari slot kosong. Smart Parking Management 1, yang menggunakan sensor untuk memberikan data ketersediaan parkir real-time dan navigasi ke slot kosong, dapat menghilangkan 30% kemacetan ini secara instan.1
Kedua, ada Traffic Signal Control—lampu merah yang bisa "berpikir".1 Alih-alih menggunakan pengatur waktu tetap, sistem adaptif ini menyesuaikan durasi lampu hijau berdasarkan volume lalu lintas real-time. Hasilnya signifikan: pengurangan waktu tempuh sebesar 8-10% dan penghematan bahan bakar sebesar 8-9%.1 Bagi seorang komuter yang biasanya menghabiskan 60 menit di jalan, penghematan 8-10% berarti menghemat sekitar 6 menit setiap jalan, atau satu jam penuh setiap minggu—waktu yang bisa dikembalikan untuk keluarga. Dalam kondisi optimal (dengan konfigurasi jaringan dan peralatan yang tepat), penghematan bahan bakar bahkan bisa mencapai 22%.1
Ketiga, kekuatan informasi bagi pengemudi (Driver Information) 1, yang sudah kita kenal melalui aplikasi navigasi. Dengan menyediakan informasi real-time tentang kondisi jalan, kecelakaan, atau penutupan, ITS membantu pengemudi membuat keputusan rute yang lebih cerdas. Dampaknya terhadap efisiensi sangat besar, dengan potensi pengurangan konsumsi bahan bakar sekitar 10% hingga 20%.1 Ini setara dengan menghemat satu dari setiap lima liter bensin yang Anda beli, hanya dengan membuat keputusan yang lebih baik.
Manajemen insiden (Incident Management) juga memainkan peran penting. Respon yang lebih cepat terhadap kecelakaan, dibantu oleh pengawasan yang lebih baik dan pemberitahuan dini melalui papan pesan elektronik, mengurangi kemacetan sekunder. Meskipun angkanya terlihat kecil—penurunan konsumsi bahan bakar tahunan sebesar 1-2% 1—ini adalah penghematan yang stabil dan konsisten setiap tahunnya.
Benang merah dari semua teknologi ini adalah satu hal: informasi. Kemacetan terjadi bukan hanya karena terlalu banyak mobil, tetapi karena pengemudi tidak tahu di mana ada parkir kosong 1, pengemudi tidak tahu rute mana yang terbaik 1, dan sistem tidak tahu cara mengoptimalkan aliran lalu lintas.1 ITS, pada intinya, adalah solusi untuk asimetri informasi di jalan raya.
Pelajaran dari London: Beranikah Kita Menerapkan Jalan Berbayar?
Dari semua intervensi ITS, mungkin yang paling efektif—dan paling kontroversial secara politik—adalah Road/Cordon Pricing atau sistem jalan berbayar elektronik.1 Penelitian ini menyoroti studi kasus penting dari London, yang memberikan bukti tak terbantahkan tentang efektivitas kebijakan disinsentif.1
Data dari London memberikan gambaran yang dramatis. Hanya dalam waktu enam bulan setelah penerapan biaya kemacetan (Cordon Pricing) di pusat kota, hasilnya luar biasa: sekitar 60.000 mobil lebih sedikit memasuki zona berbayar tersebut setiap hari.1
Ke mana perginya para pengemudi itu? Di sinilah data menunjukkan perubahan perilaku massal yang signifikan. Lebih dari separuh dari mereka, atau antara 50% hingga 60%, tidak mencari rute alternatif; mereka beralih sepenuhnya ke angkutan umum. Selain itu, 15% hingga 25% lainnya beralih ke moda transportasi lain seperti berbagi mobil (carpooling), sepeda, atau moped.1
Studi kasus London ini membuktikan bahwa ketika teknologi (dalam hal ini pembayaran elektronik) digabungkan dengan kebijakan yang berani, perubahan perilaku berskala besar untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik adalah mungkin terjadi. Ini adalah ujian nyata sejauh mana keseriusan sebuah kota dalam memerangi kemacetan.
Tantangan Terbesar Bukan Teknologi, Tapi Kita Sendiri
Namun, penelitian ini 1 juga memberikan peringatan keras dan kritik realistis terhadap penerapan ITS. Teknologi canggih saja tidak menjamin kesuksesan. Ada dua faktor kunci yang sangat manusiawi yang dapat menggagalkan seluruh sistem: faktor manusia dan integrasi sistem.1
Pertama adalah "Paradoks Faktor Manusia".1 Ini mungkin temuan yang paling ironis dan mengejutkan. Studi menunjukkan bahwa jika ITS berhasil dengan gemilang—jika jalan raya menjadi sangat lancar, efisien, dan bebas macet—hal itu justru dapat memicu konsekuensi yang tidak diinginkan. Kenyamanan baru ini dapat mendorong orang-orang yang sebelumnya menggunakan angkutan umum untuk kembali beralih ke kendaraan pribadi mereka.1
Ini adalah peringatan keras. Tanpa integrasi yang ketat dengan kebijakan yang secara bersamaan memperkuat dan memprioritaskan transportasi publik (seperti yang terlihat dalam studi kasus London 1), ITS berisiko hanya "menciptakan kemacetan baru yang lebih efisien" dalam jangka panjang. Teknologi saja tidak cukup jika perilaku manusia tidak dikelola melalui kebijakan.
Tantangan kedua, dan mungkin yang paling sulit diatasi di Indonesia, adalah "Integrasi Sistem".1 Kunci sukses ITS adalah kemampuannya untuk berbagi informasi secara mulus. Teknologi ini akan gagal total jika terfragmentasi dalam silo-silo birokrasi.
Penelitian ini 1 menekankan perlunya integrasi data "lintas wilayah". Agar efektif, informasi manajemen insiden di Jakarta, misalnya, harus dapat "berbicara" secara instan dan otomatis dengan sistem manajemen lalu lintas di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi untuk memberikan respons tercepat dan mengelola aliran komuter.1 Sistem manajemen angkutan umum di berbagai wilayah juga harus terintegrasi untuk memastikan layanan yang mulus bagi pengguna.1 Tantangan terbesarnya mungkin bukan teknis, tetapi kemauan politik dan birokrasi: memastikan berbagai pemangku kepentingan dan pemerintah daerah mau dan mampu berbagi data dalam satu platform terpadu.
Dampak Nyata: Seperti Apa Wajah Kota Kita Lima Tahun Lagi?
Penerapan Intelligent Transportation Systems (ITS) yang diuraikan dalam penelitian ini 1 bukanlah sekadar proyek infrastruktur; ini adalah sebuah investasi kesehatan publik yang mendesak.
Jika diterapkan secara komprehensif, temuan-temuan ini menunjukkan dampak nyata yang bisa kita rasakan. ITS dapat secara langsung mengurangi Biaya Operasional Kendaraan yang saat ini membebani kantong masyarakat dan menurunkan biaya logistik yang menghambat perekonomian nasional.1
Namun, dampak yang paling transformatif adalah pada kualitas hidup kita. Wajah kota kita bisa berubah. Dengan mengurangi kemacetan stop-and-go yang tidak efisien dan mendorong penggunaan transportasi yang lebih cerdas, teknologi ini memiliki potensi untuk secara signifikan mengurangi polusi udara. Jika berhasil, intervensi ini dapat membantu menurunkan angka penderita ISPA—yang saat ini membebani 25% penduduk Indonesia 1—secara signifikan dalam waktu lima tahun ke depan.
Pada akhirnya, ITS menawarkan sebuah visi di mana kota kita bukan lagi tempat yang penuh stres, kebisingan, dan polusi, melainkan sebuah ruang yang lebih efisien, lebih aman, dan, yang terpenting, lebih sehat untuk bernapas.
Sumber Artikel:
Analisis Kebijakan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025
Kabupaten Lombok Barat, sebuah wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Barat, telah lama dikenal sebagai salah satu etalase utama pariwisata nasional. Diberkahi dengan "pemandangan alam yang menarik", wilayah ini, khususnya di koridor seperti Senggigi, menjadi magnet bagi wisatawan domestik dan internasional.1 Namun, di balik pesona alam tersebut, terdapat sebuah paradoks yang mengkhawatirkan. Peningkatan aktivitas ekonomi dan pariwisata secara langsung menyebabkan "ruas jalan tersebut sangat padat dilalui oleh kendaraan".1 Kepadatan ini, sayangnya, berbanding lurus dengan risiko keselamatan.
Data dari Polres Lombok Barat mengonfirmasi adanya "peningkatan jumlah peristiwa kecelakaan" pada tahun 2018, memicu urgensi untuk membedah akar masalah ini.1 Sebuah studi akademis komprehensif dari Universitas Mataram, berjudul "Analisis Daerah Rawan Kecelakaan Pada Jaringan Jalan Berbasis Peta GIS" (2019) oleh Tati Juliana, menyediakan diagnosis tajam atas krisis keselamatan ini.1 Analisis jurnalistik ini akan mengulas temuan-temuan kunci dari penelitian tersebut, yang memetakan titik-titik paling berbahaya di Lombok Barat dan mengungkap faktor utama di baliknya: sebuah krisis perilaku dan legalitas pengemudi yang sistemik.
Skala Krisis: Peringatan di Balik Data Resmi Kecelakaan
Untuk memahami besarnya masalah, penelitian ini mengandalkan data sekunder primer dari instansi resmi, yakni data kecelakaan lalu lintas selama tiga tahun (2016, 2017, dan 2018) yang bersumber dari Polres Lombok Barat.1 Data tersebut mencatat jumlah total peristiwa kecelakaan sebanyak 151 kejadian pada tahun 2016, yang kemudian menurun menjadi 74 kejadian pada tahun 2017, sebelum akhirnya melonjak kembali menjadi 145 kejadian pada tahun 2018.1
Meskipun fluktuasi tahunan terlihat, tren peningkatan di tahun terakhir penelitian (2018) menjadi fokus utama. Namun, temuan yang paling fundamental bukanlah pada angka itu sendiri, melainkan pada pengakuan kritis peneliti mengenai keterbatasan data tersebut. Studi ini dengan jujur menyatakan, "Angka kecelakaan tersebut adalah angka kecelakaan yang tercatat saja, kenyataannya bisa melebihi dari angka kecelakaan tersebut".1
Penyebab dari potensi kesenjangan data ini adalah fenomena under-reporting yang lazim terjadi. Menurut penelitian tersebut, hal ini terjadi "karena pada kenyataannya masyarakat kadang tidak melaporkan kejadian kecelakaan tersebut pada pihak yang berwenang".1 Pengakuan ini sangat penting. Ini menyiratkan bahwa data resmi yang digunakan untuk analisis—yang sudah cukup mengkhawatirkan untuk mengidentifikasi beberapa ruas jalan sebagai "rawan"—kemungkinan besar hanyalah puncak dari gunung es. Tingkat keparahan masalah yang sebenarnya di lapangan bisa jadi jauh lebih buruk. Oleh karena itu, semua temuan dalam studi ini harus dibaca sebagai baseline konservatif dari krisis keselamatan jalan yang sedang dihadapi Lombok Barat.
Memetakan 'Titik Hitam': Empat Koridor Maut di Lombok Barat
Penelitian ini tidak berhenti pada penghitungan jumlah kecelakaan. Tujuan utamanya adalah melakukan pemetaan untuk mengidentifikasi "daerah rawan kecelakaan", yang lebih dikenal dengan istilah black spot.1 Dengan menggunakan kombinasi analisis statistik, seperti metode Z-Score, dan teknologi pemetaan geografis melalui software Arc GIS, studi ini berhasil menunjukkan di mana saja titik-titik bahaya paling terkonsentrasi.1
Metode Z-Score digunakan untuk membakukan data angka kecelakaan, mengidentifikasi lokasi-lokasi di mana frekuensi atau pertumbuhan kecelakaan secara statistik signifikan berada di atas nilai rata-rata.1 Hasilnya adalah identifikasi yang jelas terhadap empat ruas jalan utama di Kabupaten Lombok Barat yang memiliki "angka pertumbuhan kecelakaan tertinggi di atas rata-rata".1
Keempat ruas jalan yang diidentifikasi sebagai black spot atau koridor maut tersebut adalah 1:
Daftar ini sangat mengungkap. Kecelakaan tidak terjadi secara acak di jalan-jalan pedesaan yang terisolasi. Sebaliknya, dua dari empat black spot utama adalah arteri vital ekonomi dan pariwisata. Jalan Raya Senggigi adalah tulang punggung kawasan wisata pantai paling terkenal di Lombok Barat, sementara Jalan Raya Bypass BIL adalah koridor utama yang menghubungkan wisatawan dari Bandara Internasional Lombok (BIL) ke berbagai destinasi.1
Korelasi ini menunjukkan adanya risiko ganda. Tingginya angka kecelakaan di rute-rute ini tidak hanya mengancam keselamatan publik warga lokal dan wisatawan, tetapi juga berpotensi merusak citra pariwisata yang menjadi andalan ekonomi regional. Setiap insiden di koridor Senggigi atau Bypass BIL adalah potensi berita negatif yang dapat berdampak langsung pada kepercayaan wisatawan.
Faktor Manusia: 82 Persen Kecelakaan Dimulai dari Kesalahan Pengemudi
Setelah memetakan di mana kecelakaan terjadi, pertanyaan jurnalistik paling penting adalah mengapa kecelakaan itu terjadi. Analisis studi ini terhadap faktor penyebab kecelakaan memberikan jawaban yang tegas dan menunjuk pada satu akar masalah yang dominan.
Penelitian ini mengelompokkan faktor penyebab ke dalam lima kategori: Pengemudi (manusia), Pejalan Kaki, Kendaraan, Jalan Rusak, dan Lingkungan (cuaca, dll.).1 Berdasarkan data yang diolah dari Polres Lombok Barat selama periode 2016-2018, hasilnya sangat tidak proporsional. Faktor "Pengemudi" teridentifikasi sebagai penyebab dari 82,91 persen total kecelakaan.1
Angka ini menjadikan faktor-faktor lain terlihat kerdil. Faktor "Pejalan kaki" berada di urutan kedua dengan porsi 15,05 persen.1 Yang lebih mengejutkan adalah betapa kecilnya kontribusi dari faktor-faktor yang sering dijadikan kambing hitam dalam narasi publik.
Studi ini secara empiris membantah mitos bahwa kecelakaan di Lombok Barat sering disebabkan oleh infrastruktur yang buruk atau kendaraan yang tidak layak. Data menunjukkan faktor "Jalan rusak" hanya menyumbang 1,53 persen dari total penyebab kecelakaan.1 Demikian pula, faktor "Kendaraan"—yang mencakup masalah teknis kritis seperti "Rem tidak berfungsi" atau "Ban kurang baik"—secara total hanya menyumbang 0,51 persen dari seluruh insiden.1
Implikasi dari temuan ini sangat besar. Ini menunjukkan bahwa upaya perbaikan keselamatan yang semata-mata berfokus pada perbaikan jalan, penambahan penerangan, atau pengetatan uji KIR kendaraan akan gagal mengatasi masalah. Kebijakan semacam itu hanya akan menyentuh kurang dari 3 persen dari total penyebab kecelakaan. Data dengan jelas membuktikan bahwa krisis keselamatan di Lombok Barat bukanlah krisis infrastruktur atau mekanis, melainkan krisis perilaku manusia.
Bukan Sekadar Lengah: Budaya 'Tidak Tertib' sebagai Pembunuh Utama
Menggali lebih dalam kategori 82,91 persen "Faktor Pengemudi", penelitian ini mengungkap rincian perilaku apa yang paling sering memicu kecelakaan. Analisis deskriptif terhadap data kepolisian (Tabel 4.4 dalam studi) memecah human error menjadi beberapa sub-faktor.1
Berlawanan dengan asumsi umum bahwa kelelahan adalah musuh utama di jalan, data menunjukkan penyebab nomor satu dari kesalahan pengemudi adalah "Tidak tertib".1 Perilaku yang dapat dikategorikan sebagai ketidakpatuhan atau pelanggaran aturan yang disengaja ini tercatat sebagai penyebab dalam 175 kejadian selama periode studi.1
Penyebab kedua adalah gabungan dari "Lengah, mengantuk dan lelah", yang menyumbang 88 kejadian.1 Faktor-faktor lain yang sering disorot, seperti "Berkendara dengan kecepatan tinggi" (55 kejadian) dan "Pengaruh alkohol" (7 kejadian), juga berkontribusi tetapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan perilaku "Tidak tertib".1
Fakta bahwa "Tidak tertib" adalah kontributor utama, melampaui "Lengah" atau "Lelah" dengan perbandingan hampir 2 banding 1, adalah temuan krusial. "Lengah" bisa jadi adalah kelalaian sesaat, sebuah kesalahan yang tidak disengaja. Namun, "Tidak tertib" menyiratkan sebuah pilihan sadar untuk mengabaikan aturan lalu lintas. Ini bukanlah masalah keterampilan (skill) atau kewaspadaan (alertness), melainkan masalah budaya (culture) dan kepatuhan (compliance). Ini adalah indikasi awal dari adanya sikap abai yang lebih luas terhadap hukum di jalan raya, yang diperkuat oleh temuan demografis dan legalitas.
Potret Demografis di Balik Kemudi: Siapa Pelaku dan Korban?
Jika masalah utamanya adalah perilaku "tidak tertib" oleh pengemudi, lantas siapakah profil pengemudi ini? Studi ini memberikan potret demografis yang sangat spesifik dari pelaku dan korban kecelakaan di Lombok Barat, berdasarkan analisis usia dan tingkat pendidikan.
Pertama, dari segi usia. Data (Tabel 4.5 dalam studi) menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas bukanlah masalah yang tersebar merata di semua kelompok umur. Terdapat satu kelompok yang sangat dominan: usia produktif muda. Kelompok usia 16-30 tahun tercatat sebagai yang paling banyak terlibat, mencakup 46,48 persen dari total individu (pelaku dan korban).1
Dominasi kelompok usia ini sangat signifikan jika dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Sebagai perbandingan, kelompok usia 31-40 tahun hanya mencakup 14,73 persen, usia 41-50 tahun sebesar 15,38 persen, dan usia 51 tahun ke atas sebesar 13,08 persen.1 Peneliti sendiri mengaitkan temuan ini dengan faktor psikologis, di mana rentang usia 16-30 tahun "masih dipengaruhi labilnya emosi seseorang dalam berkendaraan" dan "masih dalam fase pematangan kedewasaan".1
Kedua, dari segi pendidikan. Data dari (Tabel 4.6 dalam studi) menunjukkan gambaran yang lebih tajam dan bahkan lebih timpang. Latar belakang pendidikan individu yang terlibat kecelakaan sangat didominasi oleh satu tingkat. Sebanyak 80,85 persen dari pelaku dan korban memiliki latar belakang pendidikan SLTA (SMA Sederajat).1
Angka ini membuat tingkat pendidikan lainnya menjadi kerdil secara statistik. Lulusan SLTP hanya 8,13 persen, SD sebesar 6,24 persen, dan ironisnya, mereka dengan pendidikan Perguruan Tinggi adalah yang paling sedikit terlibat, hanya 2,78 persen.1
Ketika dua data ini digabungkan—hampir setengahnya berusia 16-30 tahun dan lebih dari 80 persen berlatar belakang SLTA—profilnya menjadi jelas. Masalah ini secara spesifik terkonsentrasi pada demografi pengendara muda, yang berada di usia atau baru saja lulus dari bangku SMA. Ini adalah usia yang krusial di mana seseorang seharusnya belajar mengemudi dan mendapatkan lisensi resmi. Dominasi masif 80,85 persen ini menunjukkan adanya kemungkinan kegagalan sistemik dalam edukasi keselamatan lalu lintas yang efektif di tingkat pendidikan menengah, tepat pada saat calon-calon pengemudi ini pertama kali memegang kemudi.
TEMUAN KUNCI: Krisis Legalitas dan Impunitas di Jalan Raya
Analisis terhadap faktor perilaku ("tidak tertib") dan demografi (muda, lulusan SLTA) mengarah pada temuan paling inti dan paling mengkhawatirkan dari keseluruhan penelitian ini: status legalitas para pengemudi. Bagian ini menghubungkan semua titik dan mengungkap akar masalah yang sebenarnya.
Studi ini membedah data kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM) baik untuk pelaku maupun korban kecelakaan. Temuannya sangat mengejutkan dan menunjukkan adanya krisis penegakan hukum dan budaya impunitas yang mengakar.
Berdasarkan analisis data (Tabel 4.7 dalam studi), mayoritas besar pelaku kecelakaan di Lombok Barat adalah pengemudi ilegal. Sebanyak 65,14 persen pelaku kecelakaan teridentifikasi "Tanpa SIM".1 Hanya sebagian kecil, 16,97 persen, yang memiliki SIM C (untuk sepeda motor), 9,63 persen memiliki SIM A, dan 8,26 persen memiliki SIM B.1 Artinya, dua dari setiap tiga orang yang menyebabkan kecelakaan seharusnya tidak berada di jalan raya sejak awal.
Masalah ini, bagaimanapun, bukanlah pertarungan sederhana antara "pengemudi ilegal" versus "warga taat hukum". Data (Tabel 4.8 dalam studi) menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik dan diterima secara sosial. Ketika menganalisis data korban, angkanya justru lebih tinggi: sebanyak 74,23 persen dari korban kecelakaan juga teridentifikasi "Tanpa SIM".1
Ini adalah sintesis krisis yang sesungguhnya. Mari kita hubungkan data-datanya:
Hubungan sebab-akibatnya menjadi sangat jelas. Perilaku "tidak tertib" bukanlah sekadar kelalaian sesaat seperti tidak menyalakan lampu sein. Perilaku "tidak tertib" yang paling fundamental adalah keputusan sadar untuk mengemudikan kendaraan bermotor tanpa memiliki kualifikasi legal (SIM).
Fakta bahwa dua pertiga pelaku kecelakaan sudah beroperasi secara ilegal sebelum insiden terjadi menunjukkan bahwa penegakan hukum di jalan raya—seperti razia SIM atau checkpoints—tidak berjalan efektif untuk menciptakan efek jera. Ada budaya impunitas. Lebih jauh lagi, fakta bahwa tiga perempat korban juga tidak memiliki SIM menunjukkan bahwa ini telah menjadi norma sosial. Ini adalah masalah di mana mengemudi dianggap sebagai hak umum, bukan sebagai hak istimewa yang diatur oleh lisensi dan menuntut tanggung jawab.
Rekomendasi Kebijakan: Solusi Fisik dan Sosial dari Temuan Studi
Sebagai sebuah karya ilmiah terapan, penelitian ini ditutup dengan serangkaian rekomendasi yang ditujukan kepada pihak berwenang. Berdasarkan diagnosis yang telah dibuat, studi ini mengusulkan dua "Saran" utama.1
Rekomendasi pertama adalah intervensi fisik (Engineering). Studi ini menyarankan "untuk daerah rawan kecelakaan perlu dipasang rambu peringatan daerah berbahaya".1 Rambu ini harus ditempatkan "sekurang-kurangnya 50 meter sebelum memasuki ruas jalan yang dianggap berbahaya", dengan mempertimbangkan kondisi lalu lintas dan geometri jalan yang ada.1 Ini adalah solusi rekayasa lalu lintas standar yang ditujukan untuk meningkatkan kewaspadaan pengemudi di empat black spot yang telah diidentifikasi.
Rekomendasi kedua adalah intervensi sosial (Education). Peneliti menyatakan, "Perlu dilakukan penyuluhan dan sosialisasi keselamatan dalam berlalu lintas, baik melalui sekolah-sekolah maupun langsung kepada masyarakat".1 Rekomendasi ini secara khusus menyebut "sekolah-sekolah", yang sangat relevan mengingat temuan data bahwa 80,85 persen pelaku dan korban berlatar belakang pendidikan SLTA.1 Alasan diberikannya saran ini, menurut peneliti, adalah "karena kecelakaan lalu lintas ini didominasi oleh faktor manusia".1
Namun, jika dilihat secara kritis, ada kesenjangan yang signifikan antara diagnosis data dan resep yang ditawarkan. Data dalam studi ini tidak hanya menunjukkan "faktor manusia"; data tersebut meneriakkan "faktor ilegalitas", "impunitas", dan "ketidakpatuhan yang disengaja". Diagnosisnya adalah krisis penegakan hukum.
Sementara rekomendasi untuk rambu (Engineering) dan penyuluhan (Education) tentu bermanfaat, keduanya tidak secara langsung mengatasi akar masalah yang diungkap oleh data. Pertanyaan kritisnya adalah: Apakah rambu peringatan akan efektif menghentikan pengemudi yang secara sadar memilih untuk "tidak tertib" dan sudah berani berkendara "tanpa SIM"? Apakah penyuluhan akan didengar oleh demografi yang sama, yang 65 persen di antaranya sudah beroperasi di luar kerangka hukum?
Rekomendasi studi ini menyentuh dua dari tiga pilar keselamatan jalan (Engineering dan Education), tetapi pilar ketiga, yang justru paling diimplikasikan oleh data, tidak disebutkan secara eksplisit: Enforcement (Penegakan Hukum).
Kesimpulan: Peta Jalan untuk Keselamatan di Destinasi Pariwisata
Studi "Analisis Daerah Rawan Kecelakaan Pada Jaringan Jalan Berbasis Peta GIS" (2019) ini adalah sebuah dokumen diagnostik yang sangat penting bagi para pemangku kepentingan di Lombok Barat. Nilai terbesarnya terletak pada kemampuannya mengupas lapisan masalah keselamatan jalan, dari yang paling terlihat hingga ke akarnya.
Penelitian ini memetakan di mana bahaya itu berada (empat black spot, termasuk arteri pariwisata Senggigi dan Bypass BIL).1 Ia mengidentifikasi mengapa kecelakaan terjadi (82,91 persen faktor manusia).1 Ia merinci bagaimana perilaku itu bermanifestasi (dominasi "tidak tertib" di atas kelalaian).1 Ia memprofilkan siapa pelakunya (usia 16-30 tahun, berlatar belakang SLTA).1 Dan yang terpenting, ia mengungkap akar masalah sistemiknya: krisis legalitas di mana mayoritas pelaku (65,14 persen) dan korban (74,23 persen) tidak memiliki kualifikasi dasar untuk mengemudi (SIM).1
Bagi Polres Lombok Barat, Dinas Perhubungan, dan Pemerintah Daerah, laporan ini adalah peta jalan yang jelas. Ia membuktikan bahwa solusi parsial yang berfokus pada perbaikan jalan tidak akan membuahkan hasil. Sebaliknya, strategi yang efektif harus menyeimbangkan tiga pilar:
Pada akhirnya, Lombok Barat tidak dapat secara berkelanjutan memproyeksikan citranya sebagai destinasi wisata kelas dunia jika jalan-jalan arteri yang mengantarkan wisatawan ke destinasi tersebut tetap menjadi zona rawan kecelakaan yang didominasi oleh pengemudi yang tidak disiplin dan tidak berlisensi. Studi ini telah menyediakan data dan menyalakan lampu peringatan; tindak lanjutnya kini berada di tangan para pembuat kebijakan.
Sumber Artikel:
Artikel Ilmiah "Analisis Daerah Rawan Kecelakaan pada Jaringan Jalan Berbasis Peta GIS" (Tati Juliana, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Mataram, 2019).
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025
Setiap pagi, jutaan komuter di seluruh dunia memulai ritual yang sama: terjebak dalam kemacetan. Fenomena ini, yang oleh para peneliti disebut sebagai "eksternalitas" dari pertumbuhan lalu lintas yang tak terhindarkan, telah lama menjadi salah satu masalah paling pelik di perkotaan.1 Selama puluhan tahun, solusi utama yang ditawarkan adalah solusi fisik: memperlebar jalan, menambah jembatan, atau membangun infrastruktur baru. Namun, era solusi fisik murni ini telah mencapai batasnya.
Kini, kita berada di tengah revolusi senyap. Solusi atas kemacetan tidak lagi terletak pada beton, melainkan pada data. Munculnya Intelligent Transportation Systems (ITS) atau Sistem Transportasi Cerdas menjanjikan peningkatan efisiensi, kapasitas maksimal, dan minimalisasi penundaan.1 Namun, sistem cerdas ini—layaknya otak—membutuhkan 'makanan' untuk berfungsi. Selama bertahun-tahun, 'makanan' itu berkualitas rendah, menghambat potensi penuh ITS.
Sebuah sintesis penelitian penting 1 memetakan bagaimana gelombang baru teknologi pengumpulan data—mulai dari sensor Bluetooth di ponsel Anda hingga data GPS—secara fundamental mengubah cara kita mengelola lalu lintas. Ini adalah cerita tentang bagaimana kita beralih dari sekadar 'menghitung' mobil menjadi 'memprediksi' perilaku kolektif kota, menciptakan otak digital yang akhirnya cukup pintar untuk mengurai kemacetan.
Tiga Generasi Sensor: Dari 'Menghitung' Menuju 'Memahami'
Cerita di balik revolusi data ini adalah evolusi sensor lalu lintas. Penelitian ini 1 secara efektif mengkategorikan teknologi ini ke dalam tiga generasi, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya, yang secara kolektif menceritakan pergeseran dari pengumpulan data anonim menjadi pelacakan pergerakan yang presisi.1
Generasi Pertama, yang disebut 'Sensor Titik' (Point Sensors), adalah teknologi yang paling kita kenal. Ini didominasi oleh inductive loop detectors—kabel yang ditanam di bawah aspal yang mendeteksi keberadaan logam di atasnya.1 Meskipun merupakan teknologi yang paling banyak digunakan dan berbiaya relatif rendah, ia memiliki kelemahan fundamental. Pemasangan dan pemeliharaannya "mengganggu lalu lintas," dan keandalan serta akurasinya sering dipertanyakan.1
Kategori ini juga mencakup teknologi yang lebih modern seperti Video image detection systems (CCTV). Kamera-kamera ini menggunakan perangkat lunak visi mesin untuk memantau kondisi, mendeteksi insiden, dan bahkan mengklasifikasikan kendaraan. Namun, mereka memiliki kelemahan yang jelas: kinerjanya "dipengaruhi oleh kondisi cuaca buruk (seperti hujan, kabut) dan visibilitas terbatas (misalnya, malam hari)".1 Intinya, sensor Generasi Pertama hanya bisa memberi tahu kita satu hal: ada mobil yang lewat di satu titik. Mereka menghitung, tetapi tidak memahami perjalanan.
Generasi Kedua, 'Sensor Titik-ke-Titik' (Point-to-point sensors), mewakili lompatan konseptual pertama. Teknologi ini dirancang untuk "mendeteksi kendaraan di beberapa lokasi" untuk melacak pergerakan mereka.1 Contoh utamanya adalah Automated Vehicle Identification (AVI), yang menggunakan tag elektronik seperti yang kita gunakan untuk membayar tol otomatis. Dengan mendeteksi tag yang sama di gerbang tol A dan kemudian di gerbang tol B, sistem dapat menghitung waktu tempuh yang akurat.1
Namun, kelemahan AVI adalah ia memerlukan "kerja sama" pengemudi; kendaraan harus dilengkapi dengan tag khusus tersebut.1 Untuk mengatasi ini, para peneliti mengembangkan metode cerdas yang tidak memerlukan kerja sama. Mereka mulai memanfaatkan radio Bluetooth dan Wi-Fi pada ponsel pengemudi. Sensor di pinggir jalan akan "ping" alamat MAC unik perangkat saat mobil lewat, lalu mencocokkannya dengan sensor di lokasi berikutnya.1 Kritik ringan untuk teknologi ini adalah bahwa "korespondensi kendaraan-ke-perangkat tidak selalu satu-ke-satu"—satu mobil mungkin berisi tiga penumpang dengan ponsel aktif, sementara mobil lain mungkin tidak memiliki satu pun. Oleh karena itu, data ini lebih cocok untuk mengukur kecepatan daripada jumlah kendaraan.1
Generasi Ketiga, 'Sensor Cakupan Area' (Area-wide sensors), adalah tempat revolusi sejati terjadi. Para peneliti menyebutnya sebagai "sensor oportunistik"—teknologi yang tidak dirancang khusus untuk lalu lintas tetapi dapat dimanfaatkan untuk itu.1 Ini adalah data yang dihasilkan oleh GPS devices di dalam kendaraan (seperti pada aplikasi peta kita) dan data geo-lokasi anonim dari wireless service providers (operator seluler).1 Proyek percontohan seperti Mobile Century di San Francisco, yang menggunakan smartphone dengan GPS di 100 mobil, membuktikan konsep ini.1
Data Generasi Ketiga ini adalah yang terkaya dari semuanya. Alih-alih hanya menyediakan data di 'titik' (Gen 1) atau 'antar titik' (Gen 2), data ini menyediakan data jalur (path) secara keseluruhan. Pergeseran dari menghitung mobil di satu titik (Gen 1) menjadi memahami seluruh perjalanan dari jutaan individu (Gen 3) inilah yang menyediakan 'makanan' berkualitas tinggi yang diperlukan untuk membangun 'otak' manajemen lalu lintas yang sesungguhnya.
Membangun 'Otak': Bagaimana Model DTA Belajar dan Memprediksi
Data yang kaya ini tidak ada artinya tanpa sistem yang dapat mencernanya. Di sinilah Dynamic Traffic Assignment (DTA)—atau Penugasan Lalu Lintas Dinamis—masuk. DTA adalah kerangka kerja pemodelan canggih yang menjadi inti dari sistem manajemen lalu lintas modern.1 Anggap saja DTA sebagai 'otak' digital kota, sebuah sistem yang mensintesis beberapa model dan algoritma untuk mensimulasikan permintaan (ke mana pengemudi ingin pergi) dan pasokan (kondisi jaringan jalan).1
'Otak' ini memiliki dua fungsi utama yang krusial 1:
Seperti halnya otak manusia, otak DTA harus 'belajar'. Proses pembelajaran ini disebut 'kalibrasi', dan ia bekerja dalam dua mode yang saling bersinergi, seperti yang digambarkan dalam penelitian ini.1
Mode pertama adalah Kalibrasi Off-line. Ini adalah proses pembentukan 'memori jangka panjang' otak. Dengan menggunakan "Data Arsip (Beberapa Hari)," sistem DTA dikalibrasi untuk memahami pola historis.1 Ia mencerna data selama berhari-hari untuk membangun "database perkiraan historis" yang mewakili "kondisi lalu lintas rata-rata atau yang diharapkan".1 Database ini dapat distratifikasi—artinya, otak belajar bahwa kemacetan pada hari Senin pagi saat hujan berbeda dengan kemacetan pada hari Jumat sore yang cerah.1 Ini adalah fungsi perencanaan.
Mode kedua adalah Kalibrasi On-line. Ini adalah 'refleks jangka pendek' otak. Menggunakan "Data Real-Time (Kondisi Saat Ini)," otak DTA secara dinamis "menyesuaikan model input dan parameter untuk setiap interval waktu".1 Ini adalah proses "fine-tuning" di mana otak mengambil memori jangka panjangnya (misalnya, model "Senin pagi hujan") dan memperbaikinya berdasarkan apa yang terjadi detik ini—seperti kecelakaan yang tiba-tiba terjadi atau penutupan jalan yang tidak terduga.1 Ini adalah fungsi operasi.
Kalibrasi off-line menyediakan baseline yang solid, sementara kalibrasi on-line menyediakan koreksi real-time. Kombinasi keduanya, yang ditenagai oleh data sensor generasi baru, adalah yang memungkinkan sistem untuk tidak hanya melaporkan, tetapi juga mengantisipasi kemacetan.
Bukti Keberhasilan: Saat Data Mengubah Prediksi dari 'Mungkin' menjadi 'Pasti'
Teori ini terdengar menjanjikan, tetapi pertanyaan kritisnya adalah: apakah itu berhasil? Penelitian ini 1 menyoroti dua studi kasus kuantitatif yang secara gamblang menunjukkan dampak dramatis dari penambahan data baru ke dalam 'otak' DTA.
Studi Kasus 1: Los Angeles (Memaku Akurasi 'Saat Ini')
Studi kasus pertama berfokus pada model DTA (DynaMIT) di Los Angeles. Awalnya, model tersebut hanya diberi 'makanan' Generasi Pertama—data hitungan dari loop detectors konvensional. Hasilnya biasa-biasa saja. Namun, ketika para peneliti menambahkan data kecepatan (dari sensor Generasi 2 dan 3), performa model tersebut meroket.
Hasilnya menunjukkan "peningkatan kesesuaian sebesar 45% pada kecepatan jalan bebas hambatan dan 37% pada kesesuaian kecepatan jalan arteri".1 Angka-angka ini mungkin terdengar teknis, tetapi dampaknya dalam dunia nyata sangat besar. Peningkatan akurasi 45% adalah perbedaan antara aplikasi peta yang hanya memberi tahu Anda "Jalan A macet" (menampilkan garis merah) dan aplikasi yang memberi tahu Anda "Anda akan terjebak di Jalan A selama 25 menit lebih lama dari biasanya." Akurasi setinggi ini, yang "sangat menarik dalam aplikasi panduan rute dan ATIS" 1, adalah fondasi dari Waze atau Google Maps yang Anda andalkan setiap hari. Ini membuktikan bahwa data baru memungkinkan DTA berhasil dalam fungsi Estimasi Kondisi.
Studi Kasus 2: AVI (Menguasai Prediksi 'Masa Depan')
Studi kasus kedua menguji apa yang terjadi ketika data AVI (Generasi 2) ditambahkan ke dalam campuran. Data AVI tidak hanya memberi tahu kecepatan, tetapi juga jalur yang diambil kendaraan (misalnya, 30% kendaraan yang keluar dari Tol A kemudian masuk ke Tol B). Ini memberi 'makanan' langsung ke fungsi Prediksi otak DTA, membantunya menebak Asal-Tujuan (OD) pengemudi.
Hasilnya, yang dirangkum dalam Tabel 2 penelitian tersebut, bahkan lebih mengejutkan. Penambahan data AVI menghasilkan "peningkatan dalam hal normalized root mean square error (RMSN) lebih dari 40% untuk estimasi OD".1 Untuk estimasi murni, peningkatannya mencapai 47%.1
Secara naratif, peningkatan akurasi 47% berarti sistem menjadi hampir dua kali lebih baik dalam menebak mengapa Anda berada di jalan. Ini adalah langkah transformatif dari manajemen lalu lintas reaktif (yang hanya melihat kemacetan yang sudah ada) menjadi prediktif (yang melihat kemacetan yang akan terbentuk 30 menit dari sekarang, karena ia tahu ke mana semua orang menuju).
Kedua studi kasus ini secara sempurna mengilustrasikan bagaimana dua jenis data baru memberi makan dua bagian 'otak' DTA. Data kecepatan (studi LA) menyempurnakan pemahaman saat ini, sementara data jalur (studi AVI) menyempurnakan prediksi masa depan.
Masa Depan Adalah Fusi: Saat Sensor Lalu Lintas Bertemu Sensor Cuaca dan Jembatan
Visi akhir yang dipaparkan oleh penelitian ini 1 melampaui manajemen lalu lintas. Jika data GPS dan ponsel adalah revolusi saat ini, cakrawala berikutnya adalah "fusi informasi kondisi dengan data lalu lintas".1 Ini adalah tentang menciptakan sistem manajemen perkotaan yang holistik, di mana data lalu lintas hanyalah satu lapisan di antara banyak lapisan data lainnya.
Bayangkan jaringan sensor yang diperluas yang tidak hanya memantau mobil, tetapi juga denyut nadi kota itu sendiri:
Ketika lapisan-lapisan data ini digabungkan (difusikan) dengan data lalu lintas dalam 'otak' DTA, aplikasi yang benar-benar baru dan revolusioner menjadi mungkin:
Pernyataan Dampak: Jalan Menuju Kota yang Benar-Benar Responsif
Sintesis penelitian ini 1 memperjelas satu hal: meskipun kemajuan dalam model algoritmik (seperti DTA) penting, pengawasan dan pengumpulan data hingga saat ini masih berkutat pada "loop detector konvensional" yang sudah ketinggalan zaman.1
Revolusi sejati dalam manajemen lalu lintas—dan, pada akhirnya, manajemen perkotaan—adalah ketersediaan "jenis data tambahan yang sebelumnya tidak mungkin, atau terlalu sulit, untuk dikumpulkan".1 Data dari ponsel, GPS, dan tag tol Anda telah menciptakan sistem saraf pusat digital untuk kota.
Dampaknya jauh melampaui perjalanan pagi yang sedikit lebih cepat. Ini adalah tentang membangun kota yang dapat merasakan, memprediksi, dan merespons kebutuhannya sendiri. Berkat fusi data baru ini, kita sedang membangun fondasi untuk kota yang benar-benar responsif, yang dapat mengelola kemacetan, merespons keadaan darurat, dan bahkan melindungi kesehatan lingkungan warganya secara cerdas dan real-time.
Sumber Artikel:
Antoniou, C., Balakrishna, R., & Koutsopoulos, H. N. (2011). A Synthesis of emerging data collection technologies and their impact on traffic management applications. European Transport Research Review, 3, 139-148.
Dunia Penerbangan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025
Langit kita sedang berada di bawah tekanan besar. Pertumbuhan lalu lintas udara yang telah diprediksi selama bertahun-tahun kini berada di depan mata, diperparah oleh tantangan yang jauh lebih kompleks: integrasi Unmanned Aircraft System (UAS), atau drone, ke dalam koridor udara yang sudah padat.1 Dalam satu unit volume ruang udara yang sama, jumlah informasi yang harus diproses oleh manajemen lalu lintas drone (UTM) "jauh lebih tinggi" daripada manajemen lalu lintas udara (ATM) konvensional.1
Sistem saat ini, yang masih sangat bergantung pada operator manusia, secara teknis tidak akan mampu mengatasi lonjakan data dan kompleksitas ini. Solusi yang paling logis, yang telah dikembangkan selama bertahun-tahun, adalah Artificial Intelligence (AI). Sistem AI yang sangat otomatis terbukti mampu mendeteksi pola, mengidentifikasi anomali, dan menyelesaikan konflik penerbangan secara optimal.1
Namun, di sinilah letak paradoks utamanya. Dalam dunia penerbangan yang sangat mengutamakan keselamatan, AI memiliki satu kelemahan fatal: ia adalah "kotak hitam" (black box).1 Ini bukan sekadar masalah teknis kecil; ini adalah penghalang fundamental yang mempertaruhkan kepercayaan dan, pada akhirnya, keselamatan. Sebuah penelitian terobosan dari para peneliti di RMIT University kini menawarkan solusi nyata, tidak hanya untuk membuat AI lebih pintar, tetapi untuk membuatnya dapat dipercaya.
Mengapa 'Kotak Hitam' di Menara Kontrol Adalah Bencana yang Menunggu
Bayangkan Anda adalah seorang operator pemandu lalu lintas udara (ATCO) yang bertanggung jawab atas lusinan pesawat di layar Anda. Badai mendekat. Tiba-tiba, sebuah sistem AI baru menyarankan Anda untuk mengubah rute tiga pesawat secara drastis—sebuah manuver yang tampaknya tidak logis. Anda bertanya, "Mengapa?" Sistem itu hanya diam. Ia tidak bisa menjelaskan.
Inilah masalah "opaqueness" (kegelapan) dan "inexplicability" (ketidakterjelasan) yang melanda sebagian besar algoritma cerdas saat ini.1 Penelitian ini menyoroti bahwa masalah terbesar AI di menara kontrol bukanlah teknis, melainkan psikologis.
Para peneliti mengidentifikasi bahwa operator manusia yang berpengalaman "cenderung enggan mengadopsi" solusi yang disarankan dari sistem otonom jika solusi tersebut tidak "dapat dipercaya (trustworthy), dapat dilacak (traceable), dan dapat diinterpretasikan (interpretable)".1
Perilaku black box ini—di mana sistem "hanya menyajikan solusi akhir... tanpa menunjukkan penalaran (rationale) di baliknya"—secara langsung "menantang kemampuan manusia untuk memverifikasi" solusi tersebut.1 Dalam skenario terbaik, ini memperlambat pengambilan keputusan. Dalam skenario terburuk, operator bisa kehilangan kesadaran situasional (situation awareness) total, yang berpotensi fatal.1
Namun, masalah ini jauh melampaui preferensi operator. Verifikasi keputusan AI sangat "krusial... untuk operasi yang sangat penting bagi keselamatan (safety-critical operations)".1 Ini mengisyaratkan sebuah kenyataan yang lebih besar: otoritas sertifikasi penerbangan global tidak akan pernah menyetujui sistem otonom penuh yang tidak dapat menjelaskan mengapa ia mengambil keputusan kritis.
Oleh karena itu, eXplainable AI (XAI)—AI yang dapat menjelaskan cara berpikirnya—bukanlah sebuah "tambahan yang bagus". Ini adalah prasyarat fundamental, sebuah tiket masuk yang mutlak diperlukan, untuk adopsi AI yang aman dalam manajemen lalu lintas udara di masa depan.
Membedah 'Penerjemah Pikiran' untuk AI Penerbangan
Menyadari bahwa kepercayaan adalah mata uang utama dalam penerbangan, para peneliti di RMIT University tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga merancang "solusi nyata" (viable solution).1 Mereka membangun sebuah kerangka kerja yang mengintegrasikan AI prediktif dengan "penerjemah pikiran" XAI untuk menjembatani kesenjangan kepercayaan tersebut.
Arsitektur sistem mereka dapat dijelaskan dalam dua bagian:
1. Sang "Peramal": XGBoost
Para peneliti memilih untuk tidak menggunakan model AI yang sederhana. Sebaliknya, mereka memilih XGBoost, sebuah algoritma gradient-boost decision tree yang sangat kuat dan canggih.1 Ini adalah pilihan yang disengaja. XGBoost dikenal memiliki akurasi prediksi yang tinggi dan sangat unggul dalam memproses data non-linear yang kompleks (seperti data cuaca yang kacau).1 Namun, ia juga terkenal sebagai black box yang rumit. Para peneliti secara efektif memilih model dengan performa terbaik, dan kemudian secara sengaja menciptakan tantangan black box untuk mereka pecahkan. Ini adalah pernyataan penting: bahwa ATM masa depan tidak perlu memilih antara performa (akurasi) dan interpretasi (kepercayaan). Kita bisa mendapatkan keduanya.
2. Sang "Penerjemah": LIME dan SHAP
Untuk membedah black box XGBoost, tim peneliti menggunakan tidak hanya satu, tetapi dua model penjelasan post-hoc (penjelasan yang dibuat setelah fakta) yang canggih: LIME dan SHAP.1 Ini adalah langkah metodologis yang krusial, mirip dengan melakukan audit ganda pada sistem.
Para peneliti menggunakan kedua pendekatan ini untuk melakukan "triangulasi kebenaran" atas penjelasan AI. Model pertama, LIME (Local Interpretable Model-Agnostic Explanations), bertindak seperti auditor eksternal. Ia tidak perlu tahu cara kerja internal AI yang rumit; ia hanya mengutak-atik data input (misalnya, 'apa yang terjadi jika angin sedikit lebih kencang?') dan mengamati bagaimana output AI berubah, untuk menebak mengapa AI membuat keputusan tersebut. Keuntungannya, LIME bersifat 'model-agnostik'—ia dapat digunakan untuk mengaudit AI apa pun. Namun, kekurangannya adalah hasil penjelasannya terkadang bisa tidak stabil.1
Model kedua, SHAP (SHapley Additive exPlanations), bertindak sebagai auditor internal. Ia didasarkan pada teori permainan matematis dan secara sistematis menghitung kontribusi pasti dari setiap fitur—seperti 'kecepatan angin' atau 'kelembapan'—terhadap keputusan akhir AI. SHAP sangat kuat, akurat secara matematis, dan dapat diandalkan untuk model berbasis pohon seperti XGBoost, meskipun membutuhkan waktu komputasi yang lebih lama.1
Dengan menggunakan LIME (si orang luar) dan SHAP (si orang dalam) secara bersamaan, para peneliti dapat memvalidasi penjelasan itu sendiri. Jika kedua 'auditor' ini setuju tentang mengapa AI menganggap suatu situasi berisiko tinggi, kepercayaan pada penjelasan tersebut meroket.
Cerita di Balik Data: Apa yang Ditemukan Peneliti di Langit Melbourne
Sebuah model AI secanggih apa pun tidak berguna tanpa data yang baik. Di sinilah letak kekuatan penelitian ini. Model ini tidak dilatih pada data simulasi yang steril. Model ini dilatih menggunakan data dunia nyata yang 'kotor' dan kompleks: catatan historis insiden dan kecelakaan penerbangan nyata dari Australian Transport Safety Bureau (ATSB) yang dikombinasikan dengan data meteorologi terperinci dari Bureau of Meteorology (BoM).1
Fokusnya adalah pada radius 15 km di sekitar Bandara Melbourne, sebuah wilayah udara yang sibuk dan menantang.1 Para peneliti memasukkan data dari total 518 hari, menggunakan 347 hari data untuk melatih AI (disebut training set) dan 171 hari data yang tersisa untuk mengujinya (testing set).1
Hasilnya sangat mengejutkan. Model XGBoost mampu mencapai akurasi prediksi tertinggi sebesar 92,40%.1
Untuk menempatkan ini dalam konteks: ini bukan lagi tebakan cuaca. Dari setiap 100 hari, model ini secara akurat memprediksi apakah kondisi hari itu berisiko tinggi atau aman untuk penerbangan pada lebih dari 92 hari. Ini adalah lompatan besar dari sekadar reaktif menjadi prediktif secara andal.
Namun, pertanyaan besarnya tetap: Bagaimana AI bisa tahu? Di sinilah "penerjemah" SHAP dan LIME masuk dan mengungkap cerita di balik data.
Ketika para peneliti 'membuka' kotak hitam itu untuk melihat gambaran besarnya (sebuah proses yang disebut global explanation), mereka menemukan bahwa faktor paling penting yang memprediksi insiden bukanlah suhu, atau hujan, atau bahkan jarak pandang. Faktor yang mendominasi semua variabel lainnya adalah angin.
Secara spesifik, dua fitur menonjol sebagai prediktor utama: SGW (Kecepatan embusan angin maksimum) dan 9SW (Kecepatan angin rata-rata pada jam 9 pagi).1 Temuan ini sendiri sudah berharga. Tetapi wawasan yang paling kuat—dan paling mengejutkan—datang ketika para peneliti melihat lebih dalam pada local dependence plots, yang menunjukkan bagaimana tepatnya fitur-fitur ini memengaruhi risiko.
Mereka menemukan ambang batas tersembunyi, atau 'titik kritis' (tipping points), yang tidak akan pernah bisa dilihat oleh analis manusia:
Inilah kekuatan sebenarnya dari XAI. Seorang ATCO manusia mungkin waspada terhadap angin kencang atau kelembapan tinggi. AI kini dapat berkata: "Perhatian: angin saat ini 65 km/jam DAN kelembapan 65%. Kedua faktor tersebut baru saja melewati ambang batas 'lonjakan' risiko tersembunyi mereka secara bersamaan. Probabilitas insiden kini 92%."
Namun, Apakah Ini Cukup? (Sebuah Kritik Realistis)
Meskipun temuannya sangat kuat, penelitian ini memiliki satu keterbatasan besar, yang diakui secara terbuka oleh para penulis: ia berfokus pada musuh yang dikenal.
Keterbatasan utama dari studi kasus verifikasi ini adalah bahwa ia terbatas pada data lalu lintas udara konvensional—yaitu, pesawat terbang komersial dan pribadi.1 Kerangka kerja ini belum diuji pada tantangan terbesar di masa depan: manajemen lalu lintas drone (UTM).
Alasannya sederhana: masalah "keterbatasan ketersediaan data lalu lintas UAS".1 Secara teoritis, kerangka kerja AI dan XAI ini "dapat diterapkan secara langsung" ke UTM segera setelah dataset yang matang tersedia.1 Tetapi untuk saat ini, itu masih sebatas teori.
Namun, kelemahan ini bukanlah akhir dari cerita; ini adalah panggilan untuk bertindak bagi seluruh industri penerbangan. Penelitian ini secara efektif telah membangun, menguji, dan membuktikan sebuah 'mesin' yang mampu mengelola risiko penerbangan secara transparan dan akurat. Mesin ini sekarang 'lapar data'. Apa yang menghalangi penerapan kerangka kerja ini untuk merevolusi manajemen drone? Jawabannya adalah kurangnya dataset insiden UAS yang terstandarisasi, matang, dan dapat diakses publik. Laporan ini, oleh karena itu, merupakan argumen terkuat yang mendukung kolaborasi industri untuk berbagi data demi membuka kunci masa depan UTM yang aman.
Dari Data ke Kokpit: Bagaimana Tampilan 'Peringatan' AI Ini Sebenarnya
Model yang hebat tidak berguna jika informasinya mengganggu atau membingungkan operator manusia. Bagian terakhir dari penelitian ini berfokus pada jembatan penting: Human-Machine Interaction (HMI), atau bagaimana data ini disajikan kepada ATCO.1
Konsep Graphical User Interface (GUI) yang diusulkan para peneliti sangat cerdas karena dirancang untuk mengelola aset ATCO yang paling berharga: perhatian kognitif.1 Daripada membanjiri operator dengan data, sistem ini bekerja dalam dua mode berbeda 1:
Ini adalah terjemahan sempurna dari data XAI ke dalam tindakan kognitif. Sistem tidak mengambil alih. Ia tidak memberi perintah. Ia bertindak sebagai co-pilot yang sempurna: ia mengarahkan perhatian manusia yang tak tergantikan ke tempat yang paling dibutuhkan, tepat pada saat itu dibutuhkan, dengan semua bukti pendukung (dari SHAP dan LIME) yang siap ditampilkan jika operator bertanya "Mengapa?"
Jika Diterapkan: Masa Depan 'Tim' Manusia-AI di Angkasa
Penelitian ini lebih dari sekadar latihan akademis dalam prediksi cuaca. Ini adalah cetak biru. Para peneliti telah menetapkan "metode yang layak" (feasible method) untuk meningkatkan dan memperkuat human-autonomy teaming (kolaborasi tim antara manusia dan mesin otonom).1
Jika kerangka kerja ini diterapkan, dampaknya dalam lima tahun ke depan bisa sangat besar. Ini bisa menjadi standar industri yang digunakan untuk sertifikasi Decision-Support Systems (DSS) berbasis AI, memastikan bahwa tidak ada lagi black box yang diizinkan beroperasi di menara kontrol.
Tujuan akhirnya, seperti yang dinyatakan oleh para peneliti, adalah untuk "memperkuat kepercayaan timbal balik (mutual trust) antara ATCO dan sistem".1 Kepercayaan inilah, yang dibangun di atas transparansi dan penjelasan yang dapat diverifikasi, yang pada akhirnya akan memungkinkan sistem ATM dan UTM di masa depan untuk menangani kepadatan lalu lintas yang masif dengan aman.
Para peneliti di RMIT University tidak hanya membangun AI yang lebih cerdas; mereka membangun AI yang bisa dipercaya. Dan di angkasa, kepercayaan adalah segalanya.
Sumber Artikel:
Explanation of Machine-Learning Solutions in Air-Traffic Management, diakses Oktober 27, 2025, https://doi.org/10.3390/aerospace8080224