Studi Arsitektur Kolonial
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan: Bangirejo Taman, Warisan Kolonial yang Terlupakan
Bangirejo Taman di Yogyakarta menyimpan jejak sejarah arsitektur kolonial Belanda yang unik. Kawasan ini awalnya dibangun sebagai perumahan dinas untuk para amtenaar—pegawai pemerintahan kolonial—sekitar tahun 1930-an. Berbeda dari pemukiman sekitarnya, Bangirejo Taman didesain dengan taman sentral, mengusung prinsip garden city yang kala itu mulai diperkenalkan di berbagai kota kolonial.
Penelitian yang dilakukan Dimas Wihardyanto dan Ikaputra ini bertujuan untuk mengungkap karakteristik asli rumah-rumah tersebut, menggunakan pendekatan interpretive historical research, sehingga dapat mengungkap tata ruang, orientasi, sirkulasi, serta hubungan ruang dalam konteks fungsionalitas dan higienitas.
Metode Penelitian: Interpretasi Sejarah melalui Rekonstruksi Denah
Pendekatan penelitian ini tidak sekadar observasi, melainkan rekonstruksi spasial berdasarkan pengamatan lapangan terhadap 7 rumah dari total 22 rumah yang ada, dipilih menggunakan teknik snowball sampling. Peneliti juga memperhatikan konsistensi data dengan membandingkan hasil wawancara penghuni rumah untuk mendapatkan gambaran autentik tata ruang.
Penekanan pada rumah-rumah yang relatif tidak berubah memastikan validitas data, mengingat perubahan besar dapat mengaburkan karakteristik asli bangunan kolonial.
Sejarah Pembangunan: Dari Prinses Juliana Laan ke Bangirejo Taman
Sejarah mencatat kawasan ini awalnya dinamai Prinses Juliana Laan, bagian dari pengembangan kota kolonial Belanda di Yogyakarta. Letaknya yang strategis, dekat pusat pendidikan dan perdagangan, menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki nilai ekonomi dan politik yang tinggi bahkan sejak masa kolonial.
Pada tahun 1935, berdasarkan peta kuno, terlihat bahwa Bangirejo Taman telah berkembang menjadi kawasan permukiman yang terstruktur dan berorientasi taman—sebuah konsep modern saat itu.
Temuan Utama: Ciri Khas Tata Ruang dan Pola Hidup Kolonial
1. Tata Massa dan Tata Ruang
Bangunan terbagi dua massa: rumah utama (hoofdgebouw) dan bangunan servis (bijgebouw).
Keduanya dipisahkan oleh selasar terbuka, sebuah pendekatan fungsional yang juga meningkatkan sirkulasi udara dan cahaya alami.
Luas bangunan sekitar 92 m² dengan lahan 200–400 m², menghasilkan Building Coverage Ratio (BCR) rendah (23–46%), menunjang prinsip taman kota.
2. Sirkulasi dan Orientasi
Pintu utama tidak sejajar langsung dengan pintu rumah, meningkatkan privasi.
Akses ke dapur dan servis dibuat terpisah untuk efisiensi dan keselamatan, terutama terkait risiko kebakaran dari dapur.
3. Higienitas dan Ventilasi
Semua rumah menempatkan bangunan di tengah kavling, dikelilingi halaman, sehingga prinsip cross ventilation tercapai sempurna.
Penempatan kamar mandi dan WC terpisah dari ruang utama, sesuai prinsip higienitas Jawa tradisional.
4. Garden City dalam Skala Mikro
Konsep taman di tengah kawasan bukan sekadar estetika, tapi juga fungsional:
Sebagai buffer udara.
Menjadi ruang publik alami untuk komunitas.
Menghubungkan rumah-rumah dalam jaringan sosial yang sehat.
Studi Kasus: Tata Ruang dan Hirarki Bangunan Kolonial
Rekonstruksi denah menunjukkan adanya:
Sumbu ruang utama: teras → ruang tamu → ruang keluarga.
Hierarki ruang sangat tegas: ruang privat (kamar tidur) lebih dalam, ruang publik (tamu) di depan.
Selasar menjadi elemen kunci, menghubungkan fungsi rumah dan servis dengan jelas namun efisien.
Diagram hubungan ruang dan analisis pola sirkulasi memperlihatkan bahwa fungsi, privasi, dan efisiensi adalah prinsip dominan dalam desain ini—karakter yang membedakan rumah kolonial dengan rumah-rumah tradisional Jawa yang lebih terbuka.
Analisis Tambahan: Relevansi dengan Tren Arsitektur Saat Ini
Dalam konteks modern, prinsip-prinsip yang ditemukan di Bangirejo Taman masih sangat relevan:
Efisiensi lahan dan optimalisasi ventilasi menjadi keharusan di kota-kota padat.
Fleksibilitas ruang antara fungsi publik dan privat kini banyak diadopsi dalam desain rumah perkotaan kontemporer.
Konsep garden city kembali populer lewat tren eco-living dan smart urban planning.
Namun, tantangan modern adalah mengadaptasi prinsip kolonial tersebut dengan kebutuhan masa kini—misalnya, kebutuhan ruang kerja remote (home office) yang dulu tidak dipertimbangkan.
Kritik dan Perbandingan: Apa yang Kurang?
Salah satu kritik terhadap desain kolonial Bangirejo Taman adalah:
Minimnya akomodasi untuk tenaga kerja domestik di rumah kecil, padahal pada masa itu pembantu rumah tangga umum dimiliki keluarga Belanda.
Tidak adanya garasi khusus, yang menjadi kebutuhan penting saat ini.
Jika dibandingkan dengan Kotabaru, kawasan kolonial lain di Yogyakarta, Bangirejo Taman terasa lebih sederhana dan fungsional, lebih fokus pada penghuni kalangan menengah ke bawah dibandingkan elite administrasi tinggi.
Kesimpulan: Menyelamatkan Warisan Arsitektur Fungsional
Studi ini mengingatkan kita bahwa arsitektur kolonial di Indonesia bukan sekadar soal estetika Eropa, tetapi bagaimana adaptasi terhadap iklim tropis dan kebutuhan fungsional dijalankan dengan presisi tinggi.
Bangirejo Taman, meski kecil, adalah cerminan cerdas dari bagaimana prinsip desain berkelanjutan, fungsional, dan sehat diterapkan sejak awal abad ke-20. Pelestarian kawasan seperti ini, termasuk struktur tata ruang aslinya, menjadi sangat penting untuk menjaga sejarah arsitektur tropis Indonesia tetap hidup.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses di Nature: National Academic Journal of Architecture, Vol. 7 No. 2 (2020).
DOI: https://doi.org/10.24252/nature.v7i2a7
Sejarah Politik Nusantara
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan: Menyoroti Sejarah yang Terlupakan
Dalam narasi besar sejarah Kesultanan Yogyakarta, komunitas Tionghoa sering kali berada di balik bayang-bayang cerita para bangsawan Jawa. Paper “Tan Jin Sing dan Komunitas Tionghoa di Yogyakarta Awal Abad ke-19” karya Rifai Shodiq Fathoni dan Nanang Setiawan membongkar kembali babak sejarah ini, dengan fokus pada sosok Tan Jin Sing. Penelitian ini mengungkap bagaimana seorang kapitan Cina mampu mengubah dinamika politik dan sosial di tengah pergolakan kerajaan dan kolonialisme.
Menggunakan metode sejarah klasik — heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi — para penulis berhasil menghidupkan kembali figur yang selama ini kurang mendapatkan porsi dalam historiografi nasional.
Latar Belakang: Dinamika Komunitas Tionghoa di Yogyakarta
Sejak awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta tahun 1755, komunitas Tionghoa telah menjadi bagian vital dari kehidupan ekonomi lokal. Sebagaimana disebutkan Raffles dalam History of Java (1817), orang Tionghoa adalah "jiwa dan ruh perdagangan" di Nusantara.
Meskipun jumlahnya kecil (sekitar 0,36% dari populasi Yogyakarta tahun 1808), komunitas ini memegang peranan penting, terutama dalam perdagangan, pemungutan pajak, dan jasa keuangan. Namun, relasi ini tidak selamanya harmonis, terutama saat mereka dianggap kambing hitam dalam masa-masa krisis ekonomi dan politik — sebuah pola berulang yang bahkan masih terlihat hingga Tragedi Mei 1998.
Siapa Tan Jin Sing? Sebuah Transformasi Sosial-Politik
Tan Jin Sing lahir pada 1770 dari keluarga peranakan Hokkian di Jawa Tengah. Awalnya, ia dikenal sebagai saudagar sukses dan Kapitan Cina di Kedu, sebelum akhirnya pindah ke Yogyakarta. Di sana, ambisinya membawanya lebih jauh: dari pengusaha menjadi pemain politik utama.
Kunci Keunggulan Tan Jin Sing:
Menguasai banyak bahasa: Hokkian, Melayu, Jawa (kromo/ngoko), sedikit Belanda dan Inggris.
Relasi luas: membangun jaringan dengan komunitas Tionghoa, bangsawan Jawa, dan pihak kolonial.
Kemampuan negosiasi: berperan sebagai penerjemah dan perantara dalam konflik antara Keraton Yogyakarta dan Inggris.
Geger Sepehi 1812: Titik Balik Sejarah
Ketika internal Keraton memanas akibat perebutan kekuasaan antara Sultan Sepuh dan R.M. Surojo, Tan Jin Sing memanfaatkan peluang untuk memperkuat posisi komunitas Tionghoa. Ia menjadi aktor kunci dalam kesepakatan rahasia dengan pihak Inggris, yang pada akhirnya menyebabkan invasi Inggris ke Yogyakarta dalam peristiwa Geger Sepehi.
Fakta Kritis:
Tan Jin Sing membantu menyediakan logistik bagi pasukan Inggris.
Ia memfasilitasi kesepakatan politik yang menjatuhkan Sultan Sepuh.
Perannya membuatnya dihadiahi jabatan Bupati Yogyakarta dengan gelar K.R.T. Secodiningrat — posisi tertinggi yang pernah dicapai seorang Tionghoa dalam Kesultanan.
Dampak dan Konsekuensi: Antara Prestasi dan Stigma
Namun, kesuksesan politik Tan Jin Sing harus dibayar mahal. Ia menghadapi:
Kecemburuan Sosial: Komunitas Jawa melihat keberhasilan Tionghoa sebagai ancaman, memicu sentimen anti-Tionghoa.
Pengasingan Budaya: Ia dijauhi oleh komunitas Tionghoa karena dianggap mengkhianati adat dan agamanya (Tan Jin Sing berpindah ke Islam dan berperilaku seperti bangsawan Jawa).
Isolasi Politik: Setelah kematian Sultan Hamengku Buwono III dan kembalinya kekuasaan Belanda, posisinya semakin terpinggirkan.
Studi Kasus:
Pada puncak sentimen anti-Tionghoa, banyak pemukiman Tionghoa di daerah seperti Ngawi dan Bagelen diserang. Ironisnya, Tan Jin Sing yang awalnya memperjuangkan komunitasnya, justru ditinggalkan oleh komunitasnya sendiri.
Analisis Kritis: Membaca Ulang Peran Tan Jin Sing
Penulis artikel ini berhasil mengangkat Tan Jin Sing bukan hanya sebagai kolaborator kolonial, tetapi sebagai figur kompleks:
Ia berperan penting dalam membuka ruang partisipasi politik bagi komunitas Tionghoa.
Ia menjadi simbol dilema identitas dalam masyarakat multikultural: terlalu Tionghoa untuk diterima Jawa, terlalu Jawa untuk diterima kembali oleh komunitas Tionghoa.
Jika dibandingkan dengan tokoh kontemporer seperti Oei Tiong Ham (raja gula Semarang), perbedaan mencolok terletak pada pendekatan: Tan Jin Sing lebih aktif dalam politik sedangkan Oei lebih fokus pada ekonomi.
Relevansi Masa Kini: Belajar dari Tan Jin Sing
Dalam dunia yang makin global seperti sekarang, isu identitas, minoritas, dan loyalitas politik tetap menjadi tantangan di banyak negara, termasuk Indonesia. Cerita Tan Jin Sing menunjukkan:
Pentingnya memahami dinamika sosial lintas budaya.
Risiko politik minoritas dalam struktur kekuasaan yang rapuh.
Pentingnya dokumentasi sejarah yang adil bagi semua kelompok etnis.
Tren riset global juga menunjukkan minat tinggi terhadap sejarah minoritas dalam konteks kolonialisme dan pascakolonialisme. Dengan begitu, penelitian ini sangat relevan untuk pengembangan studi sejarah multikultural di Indonesia.
Kesimpulan: Warisan Tan Jin Sing dalam Bayang-Bayang Sejarah
Kisah Tan Jin Sing adalah pelajaran tentang keberanian politik, strategi sosial, dan risiko identitas di dunia yang tidak stabil. Meski pada akhirnya hidup dalam keterasingan budaya, ia membuka jalan bagi keterlibatan lebih luas komunitas Tionghoa dalam dinamika Yogyakarta.
Seperti banyak tokoh kontroversial lainnya, warisan Tan Jin Sing tidak bisa dinilai hanya dari satu sisi. Ia adalah refleksi dari betapa kompleksnya hubungan antar-etnis dalam sejarah Indonesia — sebuah cermin yang masih sangat relevan hingga hari ini.
Sumber :
Penelitian ini dapat diakses di Journal of History Studies Vol. 4 (1), 2024, oleh Rifai Shodiq Fathoni & Nanang Setiawan. DOI: 10.22437/js.v4i1.30809
Dana Desa dan Pembangunan
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan: Di Balik Peta Ada Anggaran
Dalam sistem pemerintahan desa di Indonesia, alokasi Dana Desa (ADD) memegang peran krusial untuk pembangunan lokal. Namun, apa jadinya jika dasar perhitungannya — yaitu luas wilayah desa — masih kabur? Penelitian Febi Novianti dan Heri Sutanta dari UGM ini membongkar realitas itu di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, di mana ketidakpastian batas desa berakibat langsung pada ketidakadilan distribusi dana.
Di tengah upaya nasional menerapkan Kebijakan Satu Peta (KSP), kasus Melawi memperlihatkan betapa urgennya penyelesaian batas administratif untuk mendukung pemerataan pembangunan.
Latar Belakang: Mengapa Batas Desa Penting dalam Dana Desa?
Menurut PMK No. 222/PMK.07/2020, salah satu komponen alokasi ADD adalah alokasi formula — di mana luas wilayah desa menjadi salah satu variabel kunci. Semakin luas desa, semakin besar alokasinya.
Namun, di Melawi:
Tiga instansi berbeda (RBI, DPUPR, BPS) menggunakan peta batas desa berbeda.
Tidak ada satu pun peta batas desa yang disepakati definitif.
Praktik ini berpotensi menimbulkan bias dalam pembagian dana desa.
Kondisi ini membuka risiko besar:
Desa bisa mendapatkan anggaran terlalu besar atau terlalu kecil hanya karena perbedaan peta.
Metodologi Penelitian: Menggabungkan Peta dan Data
Penelitian ini dilakukan dengan metode:
Overlay peta batas desa dari RBI, DPUPR, dan BPS.
Perhitungan luas wilayah menggunakan ArcGIS.
Perhitungan perubahan alokasi dana desa berbasis formula resmi Kementerian Keuangan.
Sampel: 82 desa dari 5 kecamatan yang berbatasan langsung dengan provinsi lain di Melawi.
Data yang dipakai:
Batas desa (3 sumber)
Luas desa dari DPMD
Data jumlah penduduk, penduduk miskin, dan indeks kesulitan geografis.
Hasil Penelitian: Fakta-Fakta Mengejutkan
📈 Perbedaan Segmen Batas
218 segmen identik di ketiga peta.
131 segmen menunjukkan ketidaksesuaian batas antar instansi.
Faktor penyebab utama: skala peta yang berbeda dan tujuan pembuatan peta yang beragam (peta sensus vs peta administratif).
📈 Perubahan Luas Wilayah Desa
Semua desa mengalami perubahan luas dibanding data DPMD.
Desa Balai Agas mengalami perubahan paling ekstrem:
Luas data RBI: 34.900,9 ha.
Luas data DPMD: hanya 1.725,21 ha.
Perbedaan: lebih dari 1.700%!
Distribusi perubahan:
100% perubahan: 10-12 desa tergantung peta.
20–80% perubahan: sekitar 50% desa.
📈 Dampak terhadap Alokasi Dana Desa
Semua desa mengalami perubahan alokasi formula.
7 desa mengalami perubahan nilai ADD di atas Rp 100 juta.
Sebagian besar perubahan ADD memang <10%, namun bagi desa kecil, perubahan ini tetap signifikan dalam membiayai infrastruktur dasar seperti:
Jalan desa
Jaringan air bersih
Bangunan pendidikan PAUD.
Analisis Tambahan: Implikasi Nyata di Lapangan
📌 Studi Kasus: Desa Balai Agas
Dengan perubahan luas hampir 2.000%, potensi kehilangan atau kelebihan ADD di Balai Agas bisa mencapai ratusan juta rupiah. Ini menunjukkan betapa rentannya desa terhadap ketidakakuratan data spasial.
📌 Tren Nasional: Penerapan Kebijakan Satu Peta
Kebijakan Satu Peta (KSP) bertujuan mengintegrasikan seluruh data geospasial menjadi satu referensi nasional. Namun, tantangan di lapangan:
Rendahnya kapasitas teknis daerah.
Konflik klaim batas antar desa.
Ketidakselarasan antar instansi pemerintah.
Tanpa batas desa definitif, pemerataan pembangunan desa menjadi utopia belaka.
Kritik terhadap Penelitian
❗ Kelemahan:
Penelitian hanya fokus pada aspek spasial dan ekonomi, tidak membahas aspek sosial (seperti konflik antar masyarakat desa).
Tidak melibatkan verifikasi lapangan untuk segmen batas yang dipertentangkan.
💡 Saran:
Penelitian lanjutan perlu mengintegrasikan pendekatan partisipatif melibatkan masyarakat desa dalam proses penetapan batas.
Implementasi sistem boundary dispute resolution berbasis data spasial perlu dikembangkan di level kabupaten.
Dampak Praktis: Mengapa Ini Penting?
Ketidakpastian batas desa → ketidakadilan fiskal → ketimpangan pembangunan.
Risiko konflik antar desa semakin besar jika pembangunan melintasi batas yang tidak disepakati.
Potensi penyalahgunaan dana desa meningkat karena perbedaan luas wilayah dimanfaatkan untuk manipulasi anggaran.
Solusi?
Segera menuntaskan penetapan batas definitif.
Mendorong sinkronisasi data spasial lintas instansi di daerah.
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa batas desa bukan hanya soal administrasi, tetapi soal keadilan ekonomi. Ketidakakuratan batas berimbas pada distribusi dana yang timpang, menciptakan potensi konflik, dan menghambat pembangunan.
Di era digital, akurasi spasial menjadi landasan utama keadilan fiskal.
Tanpa batas yang jelas, mimpi pemerataan pembangunan desa hanya akan menjadi slogan kosong.
Sumber
Novianti, F., & Sutanta, H. (2022). Pengaruh Perubahan Batas Desa Terhadap Alokasi Formula Dana Desa di Kabupaten Melawi. Geoid, 18(1), 69–81.
Peristiwa Sejarah Nasional
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan
Perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta antara tahun 1946 hingga 1949 menjadi peristiwa strategis yang sangat menentukan perjalanan sejarah bangsa. Dalam skripsinya, Joko Winarto (2009) mengangkat bagaimana perubahan tersebut tidak hanya berdampak pada aspek politik, tetapi juga sosial, ekonomi, dan budaya. Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menambahkan analisis tambahan, mengaitkan dengan tren sejarah modern, serta menawarkan interpretasi kritis untuk memperkaya pemahaman.
Latar Belakang Sejarah: Urgensi Perpindahan Ibukota
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, situasi keamanan di Jakarta memburuk drastis akibat agresi tentara sekutu dan Belanda (NICA). Serangan teror yang meningkat terhadap pemimpin Republik membuat Jakarta tidak lagi aman untuk menjalankan pemerintahan. Karena itu, pada 4 Januari 1946, Ibukota dipindahkan ke Yogyakarta — suatu keputusan yang terbukti krusial dalam menjaga kelangsungan Republik.
Studi Kasus:
Pada Desember 1945, terjadi upaya pembunuhan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Insiden di Senen dan Kwitang Jakarta memperlihatkan ancaman nyata terhadap keamanan elite Republik.
Mengapa Yogyakarta?
Menurut Joko Winarto, ada beberapa alasan strategis:
Dukungan Sultan HB IX: Komitmen politik Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII untuk mendukung Republik menjadi faktor utama.
Letak Geografis: Yogyakarta berada di tengah Pulau Jawa, memudahkan akses ke berbagai wilayah dan relatif terlindung dari ancaman militer asing.
Kondisi Sosial-Politik: Tidak adanya revolusi sosial seperti di daerah lain menjadikan Yogyakarta stabil.
Ketersediaan Infrastruktur: Yogyakarta memiliki sistem birokrasi yang sudah terorganisir, serta markas besar militer di bawah Jenderal Sudirman.
Data Tambahan:
Penduduk Yogyakarta melonjak dari 170.000 jiwa menjadi 600.000 jiwa pada masa ini, akibat eksodus warga dan pemerintahan.
Sistem Pemerintahan di Yogyakarta
Selama periode 1946–1949, sistem pemerintahan di Yogyakarta menggabungkan unsur tradisional kerajaan dan struktur republik modern. Sultan HB IX dan Paku Alam VIII bertindak sebagai kepala daerah dengan dukungan KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah).
Unsur Kritis:
Pemerintahan ini mencerminkan bentuk negara hybrid, yang menggabungkan monarki dan republik, sebuah model yang jarang ditemui dalam sejarah negara modern.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Dampak Sosial:
Lonjakan penduduk memicu krisis perumahan: satu rumah bahkan dihuni lebih dari 10 keluarga.
Munculnya “kampung-kampung darurat” dan kelangkaan pangan.
Dampak Ekonomi:
Blokade Ekonomi Belanda menyebabkan inflasi parah.
Pemerintah menerbitkan ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk menggantikan uang Jepang.
Didirikannya Bank Negara Indonesia pada 1 November 1946 sebagai upaya stabilisasi keuangan.
Studi Banding:
Jika dibandingkan dengan Phnom Penh saat pengungsian masa Perang Saudara Kamboja (1975), kondisi Yogyakarta menunjukkan adaptasi lebih cepat terhadap tekanan eksternal.
Serangan Belanda dan Strategi Bertahan
Belanda meluncurkan Agresi Militer II pada Desember 1948, menyerang Yogyakarta sebagai Ibukota RI. Namun, melalui strategi gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman, serta diplomasi intensif (misalnya, Perjanjian Roem-Roijen), Indonesia mampu menjaga eksistensinya di kancah internasional.
Angka Penting:
Durasi Agresi II: 19 Desember 1948 – 5 Januari 1949.
Jumlah korban sipil di Yogyakarta akibat agresi ini mencapai ribuan.
Analisis Tambahan: Relevansi Sejarah dalam Konteks Modern
Kondisi Yogyakarta 1946–1949 memperlihatkan pelajaran penting:
Manajemen Krisis Pemerintahan: Bagaimana pemerintahan bisa berpindah tanpa kehilangan legitimasi.
Kekuatan Simbolik Kota: Seperti Yogyakarta yang menjadi simbol perjuangan nasional, di era sekarang, kota-kota cadangan seperti Bandung atau Palangkaraya juga sering disebut sebagai alternatif pusat pemerintahan darurat.
Kritik dan Evaluasi
Walaupun skripsi ini cukup sistematis, beberapa kritik yang dapat diajukan:
Kurang membahas perspektif masyarakat akar rumput: Fokus lebih banyak pada elite politik.
Minim analisis perbandingan dengan daerah lain: Seperti Aceh atau Surabaya yang mengalami revolusi sosial lebih keras.
Keterbatasan Sumber Primer: Reliansi besar pada literatur sekunder mengurangi kekayaan sudut pandang.
Opini Tambahan:
Seandainya skripsi ini lebih mengangkat kisah para pengungsi atau tokoh lokal non-elit di Yogyakarta, narasinya akan terasa lebih hidup dan berimbang.
Kesimpulan
Perpindahan Ibukota ke Yogyakarta menjadi bukti ketahanan Republik muda dalam menghadapi situasi krisis. Dukungan sosiopolitik lokal, kombinasi kekuatan diplomasi dan militer, serta inovasi ekonomi seperti penerbitan ORI menjadi faktor vital dalam mempertahankan eksistensi Republik Indonesia.
Relevansi Saat Ini:
Pemerintah Indonesia saat ini tengah mempersiapkan perpindahan Ibukota ke Nusantara (IKN) di Kalimantan. Belajar dari Yogyakarta 1946, kunci suksesnya adalah mendapatkan dukungan lokal, menjaga keamanan nasional, dan membangun infrastruktur pemerintahan yang fleksibel.
Sumber
Winarto, Joko. (2009). Kondisi Yogyakarta Saat Perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta Tahun 1946–1949. Universitas Negeri Semarang.
Mitigasi Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan: Menjaga Keselamatan di Negeri Seribu Lereng
Indonesia, negeri yang dikenal dengan keindahan alamnya, juga menyimpan ancaman serius di balik topografinya: bencana tanah longsor. Fenomena ini bukan hanya tentang tanah yang bergerak, melainkan tentang risiko kehilangan jiwa, kerugian ekonomi, hingga kerusakan ekosistem.
Di tengah meningkatnya frekuensi bencana, terutama akibat perubahan iklim dan penggunaan lahan yang tidak terkendali, riset dari Hamida dan Widyasamratri menjadi krusial. Mereka menekankan pentingnya pemetaan risiko longsor berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mendukung upaya mitigasi bencana yang lebih presisi dan efisien.
Mengapa Longsor Menjadi Masalah Serius di Indonesia?
Menurut data DIBI-BNPB (2005-2015), 78% bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, termasuk longsor. Faktor penyebab longsor antara lain:
Curah hujan tinggi
Lereng terjal
Jenis tanah yang tidak stabil
Penggundulan hutan
Penggunaan lahan yang tidak terkontrol
Ironisnya, kebutuhan lahan permukiman dan ekonomi terus memaksa manusia tinggal di kawasan rawan, memperparah tingkat kerentanan.
Metode: Menggabungkan Data Geospasial untuk Pemetaan Risiko
Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan:
Analisis Ancaman (Hazard): Mengkaji parameter geologi, curah hujan, dan penggunaan lahan.
Analisis Kerentanan (Vulnerability): Melihat aspek sosial-ekonomi, infrastruktur, dan lingkungan.
Analisis Kapasitas (Capacity): Mengukur kesiapan masyarakat dan fasilitas dalam menghadapi bencana.
Semua data diolah menggunakan SIG melalui teknik overlay untuk menghasilkan peta risiko.
Hasil Utama: Fakta-Fakta Penting dari Kajian
📈 Pemetaan Risiko Menghasilkan Informasi Vital:
Zona risiko tinggi, sedang, dan rendah dipetakan secara spasial.
Risiko bervariasi antar komunitas, bahkan dalam satu kawasan yang sama.
📈 Studi Kasus yang Diperkuat Data:
Kota Semarang:
8 kelurahan risiko rendah, 10 kelurahan risiko sedang, 15 kelurahan risiko tinggi.
Mitigasi berbasis peta SIG membantu mempercepat respons bencana.
Desa Sriharjo, Bantul:
119 rumah di zona merah (tinggi), 136 rumah di zona kuning (sedang).
Solusi: Relokasi, penguatan lereng, dan jalur evakuasi.
Kecamatan Sukasada, Buleleng:
9.203 hektar area berisiko.
Strategi: Kontrol penggunaan lahan dan sosialisasi mitigasi berbasis komunitas.
Analisis Tambahan: Studi Global dan Tren Mitigasi
Di Jepang, teknologi serupa (GIS + early warning system) telah mengurangi korban longsor hingga 40% selama dekade terakhir (JICA, 2020).
Tren global juga menunjukkan bahwa integrasi remote sensing, big data, dan machine learning dalam SIG makin berkembang, menghasilkan prediksi risiko bencana yang lebih akurat dan real-time.
Kritik dan Refleksi
❗ Kelemahan Penelitian:
Kurangnya data real-time (misalnya data curah hujan harian) yang bisa meningkatkan akurasi prediksi.
Studi fokus pada level kawasan, bukan individu keluarga.
💡 Peluang Pengembangan:
Integrasi dengan Internet of Things (IoT) untuk monitoring lereng berbasis sensor.
Pendidikan kebencanaan berbasis komunitas untuk memperkuat kapasitas sosial.
Implikasi Praktis: Mengapa Ini Penting untuk Kita Semua?
Mitigasi berbasis SIG bukan hanya untuk pemerintah. Komunitas lokal, pengembang perumahan, hingga investor properti perlu memahami risiko spasial sebelum merencanakan pembangunan.
Contoh nyata: Pembangunan proyek perumahan di kawasan Puncak, Bogor, yang mengabaikan peta risiko tanah longsor akhirnya berujung pada tragedi longsor besar tahun 2017.
Kesimpulan: Menuju Mitigasi Bencana Berbasis Data
Penelitian ini menegaskan bahwa memahami risiko bencana bukan sekadar mengetahui di mana ancaman berada, tapi mengenali siapa yang paling rentan dan seberapa siap mereka menghadapinya.
Dengan bantuan SIG, Indonesia bisa melangkah ke arah mitigasi yang lebih proaktif, lebih akurat, dan lebih berbasis komunitas. Karena di negeri dengan ribuan lereng, peta risiko bukan lagi pilihan—tetapi kebutuhan untuk bertahan hidup.
Sumber
Hamida, F. N., & Widyasamratri, H. (2019). Risiko Kawasan Longsor dalam Upaya Mitigasi Bencana Menggunakan Sistem Informasi Geografis. PONDASI, Vol 24, No 1.
Festival Seni Nusantara
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan: Seni Bukan Hanya Estetika, tapi Penanda Sejarah
Di tengah riuh rendah polemik politik mengenai keistimewaan Yogyakarta, lahirlah sebuah peristiwa budaya yang sarat makna: Festival Seni Rupa "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat". Acara ini bukan sekadar pameran estetika, melainkan sebuah deklarasi sikap melalui seni rupa tentang posisi strategis Yogyakarta dalam sejarah bangsa.
Hagung Kuntjara dalam artikelnya membedah festival ini bukan hanya dari aspek artistik, tetapi juga dari dimensi historis, politis, dan sosiokultural, mengajak pembaca melihat bagaimana seni menjadi bahasa perlawanan terhadap lupa kolektif bangsa.
Latar Belakang: "Perang Melawan Lupa" dan Krisis Ingatan Sejarah
Festival ini lahir di tengah memanasnya perdebatan mengenai apakah Sultan otomatis menjadi Gubernur atau harus melalui pemilihan umum. Di balik wacana tersebut, mengendap sindrom nasional: cepat lupa sejarah.
Menurut Hagung, bangsa ini mengalami akselerasi teknologi tanpa pondasi budaya yang kuat. Akibatnya, banyak nilai sejarah yang tercerabut. Festival ini hadir sebagai "Titi Pranoto Mongso"—penanda waktu—agar bangsa tak kehilangan akarnya.
Metodologi Kritik: Identifikasi, Analisis, Interpretasi, dan Evaluasi
Hagung Kuntjara menggunakan empat tahap fundamental dalam menyusun kritik seni:
Identifikasi: Mengamati langsung pameran, mencatat gagasan, suasana, hingga dialog dengan seniman.
Analisis: Meneliti alur pameran, partisipasi seniman, teknik karya, dan interaksi pengunjung.
Interpretasi: Membaca festival sebagai "penanda" sejarah 1 Abad HB IX untuk Republik Indonesia.
Evaluasi: Menarik pelajaran tentang pentingnya ingatan sejarah lewat seni.
Metodologi ini membuat kritik Hagung terasa hidup, reflektif, dan kaya sudut pandang.
Isi dan Sorotan Festival: Ketika Seni Berbicara Lebih Lantang daripada Orasi
🎨 Ragam Karya, Ragam Ekspresi
Hampir 100 perupa berpartisipasi.
Media beragam: batik, wayang, lukisan, patung, instalasi, video art.
Gaya bebas dari konvensional, absurd, hingga modern-konseptual.
Karya-karya tersebut bukan hanya memperindah ruang pamer, tetapi membentuk narasi kolektif tentang cinta, penghormatan, dan keprihatinan terhadap Yogyakarta dan HB IX.
🎨 Studi Kasus Karya Penting
"Kawulo Gonjang-Ganjing di Plengkung Gading" - Joko Pekik
Melukiskan ribuan rakyat berduka mengiringi jenazah HB IX, mengabadikan rasa kehilangan dalam warna-warna tanah yang membisu.
"Air Susu untuk Republik" - Ardian Kresna
Bayi menyusu ke simbol kerajaan: metafora tentang Republik yang berutang besar pada Yogyakarta.
"Republik of Lost & Found" - Eko Nugroho
Kritik satir tentang bangsa yang lupa asal-usulnya, divisualkan melalui sosok manusia berhelm celeng.
"Tetangga yang Berisik" - Sigit Raharjo
Menggambarkan ketidakpedulian rakyat Jogja terhadap riuh politik nasional lewat visual satire.
"Jogya International" - Dunadi
Sosok bertopeng Spiderman di atas bola dunia: Jogja dengan kekuatan lokalnya menembus dunia.
Interpretasi Kritis: Festival Sebagai Kritik Sosial Kultural
Melalui beragam ekspresi, festival ini menyuarakan satu pesan:
👉 "Yogyakarta adalah tiang kokoh Republik ini, dan keistimewaannya bukan hadiah, melainkan hasil pengorbanan sejarah."
Karya-karya yang ditampilkan tidak hanya bersifat kontemplatif, tetapi bersifat politis dan edukatif, mengajak publik merenungkan kembali arti nasionalisme, sejarah, dan identitas lokal di era globalisasi.
Nilai Tambah: Relevansi dan Perbandingan
📌 Relevansi Hari Ini
Di tengah euforia Pilkada, otonomi daerah, dan debat tentang otonomi khusus, festival ini masih sangat relevan. Ia mengingatkan kita bahwa kebijakan harus berpijak pada penghormatan terhadap sejarah dan budaya lokal, bukan sekadar agenda politik pragmatis.
📌 Perbandingan dengan Peristiwa Serupa
Festival ini dapat dibandingkan dengan Documenta di Kassel (Jerman) yang juga menggunakan seni sebagai kritik sosial-politik. Namun, yang unik dari "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat" adalah muatan lokal yang sangat kuat, tanpa kehilangan daya universalnya.
Kritik terhadap Penyelenggaraan
❗ Kelemahan:
Tidak semua karya memiliki kekuatan kritis yang seimbang; ada beberapa karya yang cenderung hanya "ikut meramaikan."
Kurangnya dokumentasi digital profesional membuat festival ini kurang terekspos di ranah internasional.
💡 Saran:
Perlu ada arsip digitalisasi karya dan publikasi internasional untuk memperkuat diplomasi budaya Indonesia.
Kesimpulan: Seni Sebagai Pilar Memori Kolektif
Festival Seni Rupa "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat" berhasil membuktikan bahwa seni bisa menjadi alat diplomasi budaya, kritik sosial, dan sarana pendidikan sejarah. Kritik Hagung Kuntjara membawa pembaca untuk tidak sekadar mengapresiasi estetika, melainkan menyelami denyut sejarah, politik, dan jati diri bangsa melalui karya seni.
Seni, dalam konteks ini, bukan hanya cermin masyarakat—tetapi juga penanda, pengingat, sekaligus peringatan.
Sumber
Kuntjara, H. (2013). Kritik Seni dengan Kasus Festival Seni Rupa "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat". HUMANIORA Vol.4 No.2 Oktober 2013: 755–762.
Link dokumen sumber: (file internal)