Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan Analitis: Circular Economy sebagai Janji, Ketegangan, dan Problem Struktural
Dalam satu dekade terakhir, circular economy hampir selalu diposisikan sebagai jawaban rasional atas krisis lingkungan global. Ia ditawarkan sebagai koreksi atas ekonomi linear yang boros sumber daya, sarat limbah, dan berorientasi jangka pendek. Dalam narasi kebijakan, laporan industri, hingga wacana akademik, ekonomi sirkular digambarkan sebagai solusi yang mampu menyelaraskan efisiensi ekonomi dengan keberlanjutan ekologis. Namun, di balik optimisme tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar yang jarang dibahas secara serius: apakah circular economy benar-benar dapat diwujudkan dalam struktur masyarakat modern yang sangat terfragmentasi secara fungsional?
Paper Gonser dan Hinske tidak memulai diskusi dari wilayah teknis—seperti desain produk, daur ulang, atau inovasi material—melainkan dari level yang lebih dalam dan sering diabaikan, yakni struktur sosial dan logika koordinasi antarsektor. Pendekatan ini penting karena banyak kegagalan implementasi circular economy bukan disebabkan oleh keterbatasan teknologi, melainkan oleh ketidakmampuan aktor-aktor yang terlibat untuk benar-benar berkoordinasi secara bermakna. Circular economy menuntut keterlibatan simultan dan terkoordinasi dari negara, pasar, administrasi publik, masyarakat sipil, dan komunitas ilmiah. Masalahnya, setiap sektor tersebut beroperasi dengan logika internal yang berbeda, bahkan sering kali saling bertentangan.
Di sinilah ketegangan utama muncul. Circular economy, terutama ketika dipadukan dengan tujuan keberlanjutan, mengandaikan adanya keselarasan nilai, tujuan, dan tindakan lintas sektor. Namun, teori sosiologi modern—khususnya konsep functional differentiation—menunjukkan bahwa masyarakat modern justru berkembang dengan cara sebaliknya: melalui pemisahan fungsi yang semakin tajam. Sistem ekonomi beroperasi dengan logika profit dan efisiensi; sistem politik dengan kekuasaan dan legitimasi; sistem hukum dengan legalitas; sistem sains dengan kebenaran; dan masyarakat sipil dengan nilai, identitas, serta keadilan. Tidak ada “bahasa bersama” yang secara natural dapat menjembatani seluruh sistem ini.
Banyak literatur circular economy mengasumsikan bahwa jika semua aktor “duduk bersama”, maka kolaborasi akan tercipta secara otomatis. Asumsi ini tampak intuitif, tetapi problematik. Paper ini justru menunjukkan bahwa intersektoralitas bukan sekadar tantangan koordinasi, melainkan persoalan struktural. Ketika aktor dari sektor berbeda terlibat dalam satu proses circular economy, yang bertemu bukan hanya kepentingan yang berbeda, tetapi juga definisi keberhasilan, standar kualitas, cara mengambil keputusan, dan toleransi risiko yang tidak sepadan. Dalam konteks ini, circular economy bukan sekadar proyek lingkungan, melainkan arena benturan logika sosial.
Lebih jauh, penulis menyoroti kecenderungan untuk menyamakan circular economy dengan sustainability. Penyamaan ini terlihat praktis dan politis, tetapi menyembunyikan persoalan penting. Sustainability bersifat normatif dan lintas generasi, sementara circular economy sering kali dioperasionalkan melalui indikator-indikator teknis yang sempit. Ketika sustainability diperlakukan sebagai “output alami” dari circular economy, maka proses sosial yang kompleks—termasuk konflik nilai dan ketimpangan kepentingan—cenderung direduksi atau diabaikan. Padahal, justru pada titik inilah banyak inisiatif circular economy kehilangan daya transformasinya.
Pendahuluan ini dengan demikian menggeser fokus diskusi dari pertanyaan “bagaimana membuat produk lebih sirkular” menjadi “bagaimana masyarakat yang terfragmentasi secara fungsional dapat bertindak secara kolektif”. Gonser dan Hinske tidak menolak circular economy, tetapi juga tidak meromantisasinya. Mereka mengajukan tesis yang lebih tidak nyaman namun realistis: dalam kerangka teori tertentu, circular economy yang berkelanjutan secara etis dan sistemik dapat dianggap sebagai sesuatu yang secara struktural mustahil. Klaim ini bukan untuk menghentikan diskusi, melainkan untuk memaksa pembacaan ulang terhadap asumsi-asumsi dasar yang selama ini dianggap wajar.
Dengan demikian, Section ini berfungsi sebagai pintu masuk analitis. Ia menegaskan bahwa persoalan circular economy tidak bisa diselesaikan hanya dengan alat manajemen, inovasi teknologi, atau regulasi parsial. Persoalannya terletak lebih dalam, pada cara masyarakat modern diorganisasikan dan bagaimana sistem-sistem sosial tersebut dapat—atau tidak dapat—berkomunikasi satu sama lain. Tanpa pemahaman ini, circular economy berisiko menjadi sekadar slogan normatif yang sulit diwujudkan secara konsisten di lapangan
2. Circular Economy, Sustainability, dan Governance Antar-Sektor: Sebuah Kerangka Konseptual
Untuk memahami mengapa circular economy kerap menghadapi hambatan struktural dalam praktik, perlu terlebih dahulu memperjelas kerangka konseptual yang menopang gagasan ini. Dalam banyak diskursus kebijakan dan bisnis, circular economy sering diperlakukan sebagai konsep teknis—berkaitan dengan daur ulang, desain produk, atau efisiensi material. Namun, paper Gonser dan Hinske menempatkan circular economy dalam ranah yang lebih luas: sebagai proses tata kelola lintas sektor yang sarat dengan implikasi sosial, politik, dan normatif.
Circular economy dalam pengertian ini bukan sekadar model produksi alternatif, melainkan sebuah proyek koordinasi sosial. Ia menuntut perubahan cara berbagai aktor—negara, pasar, masyarakat sipil, dan institusi pengetahuan—berinteraksi dalam keseluruhan siklus hidup produk. Penekanan ini penting karena keberhasilan circular economy tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi atau desain kebijakan, tetapi oleh kemampuan aktor-aktor tersebut untuk menyelaraskan tindakan mereka dalam konteks tujuan bersama.
Di titik inilah konsep sustainability menjadi krusial. Sustainability, sebagaimana dipahami secara normatif, berorientasi pada kepentingan lintas generasi dan kepentingan publik yang melampaui kalkulasi ekonomi jangka pendek. Ketika sustainability ditempatkan sebagai inti dari circular economy, maka lingkup aktor yang relevan otomatis meluas. Tidak cukup hanya melibatkan produsen dan konsumen; aktor politik, administrasi publik, organisasi masyarakat sipil, bahkan komunitas ilmiah, menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Circular economy dengan demikian bertransformasi dari isu teknis menjadi arena governance intersektoral.
Konsep governance antar-sektor—sering juga disebut collaborative governance—berangkat dari asumsi bahwa persoalan publik yang kompleks tidak dapat diselesaikan oleh satu sektor saja. Dalam pendekatan ini, negara tidak lagi berperan sebagai pengendali tunggal, melainkan sebagai salah satu aktor di antara jaringan aktor lain yang saling bergantung. Dalam konteks circular economy, governance antar-sektor tampak sebagai pendekatan yang masuk akal: tidak ada satu aktor pun yang menguasai seluruh siklus hidup produk, sehingga koordinasi menjadi keniscayaan.
Namun, paper ini secara kritis menunjukkan bahwa asumsi kolaborasi yang “alami” tersebut problematik. Governance antar-sektor sering kali diasumsikan dapat berjalan hanya dengan menciptakan forum dialog, mekanisme partisipasi, atau kerangka kerja kolaboratif. Padahal, keberadaan forum bersama tidak serta-merta menghapus perbedaan logika tindakan yang melekat pada setiap sektor. Pemerintah beroperasi dengan logika legitimasi dan regulasi; bisnis dengan profitabilitas dan efisiensi; akademisi dengan kebenaran dan metodologi; masyarakat sipil dengan nilai keadilan dan keberlanjutan jangka panjang. Perbedaan ini bukan sekadar variasi kepentingan, melainkan perbedaan cara mendefinisikan realitas.
Di sinilah teori functional differentiation menjadi kunci analisis. Dalam masyarakat modern, pembagian kerja sosial berkembang bukan hanya secara organisatoris, tetapi secara fungsional. Setiap sistem sosial mengembangkan kode internalnya sendiri untuk menentukan apa yang relevan dan apa yang tidak. Akibatnya, komunikasi lintas sistem tidak berlangsung secara simetris. Argumen etis tentang keberlanjutan lingkungan, misalnya, tidak otomatis “terbaca” dalam sistem ekonomi kecuali diterjemahkan ke dalam kategori biaya, risiko, atau peluang pasar.
Implikasi dari kondisi ini sangat signifikan bagi circular economy. Ketika sustainability diposisikan sebagai tujuan bersama, terdapat kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa nilai tersebut dapat menjadi landasan normatif yang menyatukan. Namun, dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional, nilai moral tidak berfungsi sebagai bahasa universal. Sebaliknya, setiap sistem hanya merespons isu keberlanjutan sejauh isu tersebut dapat diartikulasikan dalam logika internalnya. Inilah sebabnya mengapa banyak inisiatif circular economy berujung pada kompromi teknokratis yang dangkal, alih-alih transformasi sistemik.
Dengan demikian circular economy tidak dapat dipahami hanya sebagai persoalan desain kebijakan atau inovasi model bisnis. Ia adalah tantangan konseptual dan institusional yang berakar pada cara masyarakat modern mengorganisasikan dirinya. Governance antar-sektor bukanlah solusi otomatis, melainkan medan konflik logika yang perlu dianalisis secara realistis. Tanpa pemahaman ini, circular economy berisiko terus direproduksi sebagai narasi normatif yang sulit diwujudkan dalam praktik yang konsisten dan berkelanjutan
3. Functional Differentiation dan Klaim “Impossibility”: Mengapa Circular Economy Sulit Diselaraskan
Setelah circular economy dipahami sebagai proyek governance antar-sektor, pertanyaan kuncinya bergeser dari bagaimana mengoordinasikan aktor menjadi apakah koordinasi tersebut secara struktural mungkin. Di titik inilah Gonser dan Hinske mengajukan argumen paling radikal dalam paper mereka: bahwa circular economy yang berorientasi pada sustainability menghadapi batas struktural yang bersumber dari functional differentiation masyarakat modern.
Functional differentiation merujuk pada cara masyarakat modern mengorganisasikan dirinya melalui sistem-sistem sosial yang otonom dan terspesialisasi. Sistem ekonomi, politik, hukum, sains, dan masyarakat sipil tidak hanya berbeda aktor, tetapi berbeda logika komunikasi, kriteria keberhasilan, dan kode nilai. Dalam perspektif ini, masyarakat tidak dipersatukan oleh satu tujuan bersama, melainkan oleh koeksistensi berbagai sistem yang saling bergantung namun tidak sepenuhnya saling memahami.
Implikasi teoretisnya sangat signifikan. Circular economy—terutama ketika dikaitkan dengan sustainability—mengandaikan adanya komunikasi lintas sistem yang bersifat normatif dan proaktif. Ia mengasumsikan bahwa aktor ekonomi dapat menyesuaikan diri atas dasar pertimbangan etis, bahwa sistem politik dapat menginternalisasi pengetahuan ilmiah secara utuh, dan bahwa kepentingan publik dapat diterjemahkan secara konsisten ke dalam keputusan pasar. Namun, dalam kerangka functional differentiation, asumsi ini tidak berdiri di atas fondasi yang kokoh.
Setiap sistem sosial hanya dapat memproses informasi yang relevan menurut logikanya sendiri. Sistem ekonomi, misalnya, tidak “menolak” sustainability karena tidak bermoral, tetapi karena sustainability sebagai nilai normatif tidak secara otomatis kompatibel dengan kode profit–loss. Demikian pula, sistem politik merespons isu circular economy bukan berdasarkan kebenaran ilmiah semata, melainkan melalui pertimbangan legitimasi, kekuasaan, dan stabilitas. Akibatnya, komunikasi lintas sistem tidak pernah berlangsung secara netral atau setara.
Di sinilah klaim impossibility muncul. Gonser dan Hinske tidak mengatakan bahwa circular economy mustahil secara praktis, melainkan bahwa komunikasi etis yang selaras lintas sistem—sebagaimana sering diasumsikan dalam diskursus sustainability—tidak dapat terjadi secara langsung. Moralitas, dalam perspektif functional differentiation, bukanlah medium komunikasi universal. Ia tidak mampu menjembatani sistem-sistem yang beroperasi dengan kode internal yang tertutup.
Konsekuensinya, banyak upaya circular economy yang bersifat kolaboratif justru menghadapi friksi yang sulit diidentifikasi secara eksplisit. Ketika aktor-aktor dari sektor berbeda duduk dalam satu forum, mereka sering kali menggunakan istilah yang sama—seperti “keberlanjutan”, “nilai”, atau “tanggung jawab”—namun dengan makna yang berbeda. Ketidaksinkronan ini tidak selalu terlihat sebagai konflik terbuka, tetapi muncul sebagai ketidakselarasan keputusan, keterlambatan implementasi, atau pengenceran tujuan awal.
Lebih jauh, paper ini menyoroti bahwa banyak metodologi perencanaan dan manajemen yang digunakan dalam proyek circular economy justru memperparah masalah. Metodologi tersebut sering dikembangkan dalam konteks satu sistem tertentu—misalnya logika bisnis atau administrasi publik—dan kemudian diterapkan seolah-olah bersifat netral lintas sektor. Akibatnya, perspektif sistem lain menjadi “tidak terlihat”, bukan karena tidak relevan, tetapi karena tidak kompatibel dengan kerangka analisis yang digunakan.
Dalam konteks ini, circular economy menghadapi paradoks ganda. Di satu sisi, ia menuntut kolaborasi lintas sektor untuk mencapai sustainability. Di sisi lain, struktur masyarakat modern justru membatasi kemungkinan kolaborasi tersebut pada level nilai dan tujuan bersama. Yang tersisa hanyalah koordinasi parsial, berbasis terjemahan kepentingan sempit atau paksaan institusional, bukan kesepahaman normatif yang sering diasumsikan.
Section ini dengan demikian memperjelas bahwa problem circular economy bukan sekadar soal implementation gap, melainkan ketegangan struktural antara tuntutan normatif sustainability dan realitas komunikasi sosial modern. Klaim impossibility yang diajukan bukan untuk menutup diskusi, melainkan untuk membongkar asumsi optimistik yang selama ini mendasari banyak kebijakan dan strategi circular economy. Tanpa pengakuan atas batas-batas ini, upaya circular economy berisiko terus terjebak dalam siklus ekspektasi tinggi dan hasil yang terbatas
4. Melampaui “Impossibility”: Pendekatan Alternatif dalam Koordinasi Circular Economy
Klaim bahwa circular economy menghadapi kemustahilan struktural dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional berpotensi dibaca sebagai jalan buntu. Namun, Gonser dan Hinske secara eksplisit menolak interpretasi tersebut. Alih-alih menghentikan diskursus, mereka menggunakan konsep impossibility sebagai alat analitis untuk mengevaluasi pendekatan-pendekatan koordinasi yang lebih adaptif, bukan normatif. Dengan kata lain, pertanyaannya bukan lagi apakah circular economy dapat diwujudkan secara “ideal”, melainkan dalam kondisi apa dan melalui mekanisme apa keterbatasan struktural tersebut dapat dikelola.
Untuk itu, penulis memperkenalkan sejumlah perspektif teoretis yang melengkapi pendekatan functional differentiation. Perspektif-perspektif ini tidak menyangkal fragmentasi sistem sosial, tetapi berusaha bekerja di dalam batas-batasnya.
Pendekatan pertama yang dibahas adalah institutional economics. Dalam kerangka ini, kolaborasi antar-sektor dianalisis melalui pembagian biaya dan manfaat antara aktor individual dan kepentingan kolektif. Circular economy, jika diposisikan sebagai penyedia public good—misalnya pengurangan tekanan ekologis atau stabilitas jangka panjang—harus mampu memberikan insentif yang dapat dikenali oleh masing-masing aktor sesuai logika sistemnya. Artinya, keberlanjutan tidak dipaksakan sebagai nilai moral universal, melainkan diterjemahkan menjadi skema kompensasi, pembagian risiko, atau pengaturan institusional yang menciptakan situasi win–win.
Pendekatan ini secara implisit mengakui keterbatasan komunikasi lintas sistem. Sistem ekonomi tidak diharapkan berubah karena alasan etis semata, tetapi karena perubahan institusional mengubah struktur insentifnya. Namun, pendekatan ini juga memiliki batas. Ia bergantung pada tingkat interdependensi aktor, kemampuan desain institusional, serta kesediaan politik untuk melakukan redistribusi biaya dan manfaat. Tanpa kondisi tersebut, koordinasi berisiko tetap timpang dan tidak berkelanjutan.
Pendekatan kedua bertumpu pada deliberative processes, yang berakar pada teori komunikasi dan demokrasi deliberatif. Di sini, fokus berpindah dari struktur insentif ke kualitas proses interaksi. Circular economy dipahami sebagai arena di mana aktor-aktor dari sistem berbeda perlu membangun ruang diskursif bersama—sering disebut sebagai third space—yang memungkinkan pertukaran argumen secara setara. Dalam ruang ini, klaim kebenaran, kepentingan, dan nilai dinegosiasikan melalui dialog yang transparan.
Pendekatan deliberatif menawarkan harapan normatif yang lebih besar, tetapi sekaligus paling rentan. Keberhasilannya sangat bergantung pada kapasitas aktor untuk membangun kepercayaan, menangguhkan logika sektoralnya sementara, dan menerima argumen terbaik terlepas dari sumber kekuasaan. Dalam praktik circular economy yang melibatkan rantai pasok global, asimetri kekuasaan, perbedaan budaya, dan keterbatasan waktu sering kali membuat kondisi deliberatif ideal sulit dicapai secara konsisten.
Pendekatan ketiga yang dibahas bersifat culturalistic, dan dalam banyak hal paling berbeda dari dua pendekatan sebelumnya. Di sini, koordinasi tidak dimulai dari institusi atau proses formal, melainkan dari makna, identitas, dan tujuan hidup aktor individual. Circular economy dipahami sebagai bagian dari pencarian akan “kehidupan yang baik”, bukan sekadar sebagai kebijakan lingkungan atau strategi bisnis. Dengan mengaitkan tindakan kolektif pada identitas dan makna personal, pendekatan ini berupaya menjembatani jurang antara sistem sosial melalui motivasi intrinsik.
Pendekatan kultural ini relevan dalam konteks organisasi baru, kepemimpinan transformatif, dan kerja lintas sektor yang lebih cair. Namun, ia juga menghadapi keterbatasan skalabilitas. Apa yang berhasil pada tingkat komunitas atau organisasi tertentu belum tentu dapat direplikasi dalam skala industri atau kebijakan nasional.
Melalui ketiga pendekatan ini, Gonser dan Hinske menunjukkan bahwa impossibility bukanlah akhir dari circular economy, melainkan peringatan epistemologis. Circular economy tidak dapat diwujudkan melalui satu lensa atau satu metodologi tunggal. Setiap pendekatan membuka kemungkinan tertentu sekaligus menutup kemungkinan lain. Kesalahan umum dalam praktik adalah memperlakukan satu pendekatan seolah-olah cukup untuk menjawab seluruh kompleksitas koordinasi lintas sektor.
Section ini memperkuat argumen bahwa tantangan utama circular economy bukan terletak pada kurangnya solusi, melainkan pada kecenderungan untuk menyederhanakan masalah yang secara inheren kompleks. Mengelola keterbatasan struktural membutuhkan kesadaran teoretis, desain institusional yang cermat, kualitas proses yang tinggi, dan pemahaman mendalam tentang makna serta motivasi aktor. Tanpa kombinasi tersebut, circular economy akan terus berada dalam ketegangan antara ambisi normatif dan realitas sosial yang membatasi
5. Implikasi Metodologis dan Strategis: Mengelola Kompleksitas dalam Circular Economy
Setelah membedah keterbatasan struktural circular economy dan mengeksplorasi pendekatan alternatif untuk mengelola koordinasi lintas sektor, Gonser dan Hinske mengajukan satu langkah lanjutan yang krusial: apa implikasi konkret dari analisis ini bagi strategi dan metodologi yang digunakan dalam praktik circular economy? Alih-alih menawarkan satu metode baru yang bersifat universal, mereka mengidentifikasi sejumlah dimensi kunci yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam perancangan kebijakan, strategi organisasi, dan proses kolaboratif.
Dimensi pertama adalah kompleksitas sistemik. Circular economy, terutama ketika dipahami sebagai proyek lintas sektor, beroperasi dalam sistem yang tidak linier, penuh ketidakpastian, dan sarat umpan balik. Kompleksitas ini bukan sekadar banyaknya aktor yang terlibat, melainkan keterkaitan dinamis antara keputusan, dampak, dan konteks yang terus berubah. Dalam kondisi seperti ini, pendekatan manajerial yang mengandalkan perencanaan linier, target statis, dan indikator tunggal menjadi tidak memadai. Metodologi yang relevan justru harus mampu menangkap interaksi antarelemen sistem, mengenali ketergantungan jalur (path dependency), serta mengantisipasi perubahan rezim yang tidak terduga.
Implikasi strategisnya jelas: circular economy membutuhkan cara berpikir yang melampaui optimasi lokal. Fokus sempit pada efisiensi material atau penutupan siklus produk tertentu dapat menghasilkan keberhasilan parsial, tetapi gagal menangkap dampak sistemik yang lebih luas. Tanpa kerangka yang sensitif terhadap kompleksitas, intervensi circular economy berisiko menciptakan efek samping yang justru melemahkan tujuan keberlanjutan jangka panjang.
Dimensi kedua berkaitan dengan biaya dan manfaat individual versus kolektif. Seperti ditunjukkan melalui perspektif institutional economics, salah satu cara mengelola fragmentasi sistem sosial adalah dengan memisahkan analisis pada tingkat aktor individual dan tingkat kepentingan publik. Circular economy sering kali menjanjikan manfaat kolektif—seperti pengurangan tekanan ekologis atau peningkatan ketahanan sistem—tetapi menuntut biaya jangka pendek dari aktor tertentu. Ketidakseimbangan ini, jika tidak ditangani secara eksplisit, menjadi sumber resistensi yang berulang.
Oleh karena itu, metodologi yang digunakan harus mampu memetakan siapa menanggung biaya, siapa menikmati manfaat, dan pada horizon waktu yang mana. Strategi circular economy yang mengabaikan dimensi distribusional ini cenderung rapuh secara politik dan sosial. Sebaliknya, desain institusional yang mampu mengoreksi ketimpangan—melalui insentif, kompensasi, atau mekanisme pembagian risiko—lebih berpeluang menciptakan kolaborasi yang stabil.
Dimensi ketiga adalah kualitas proses. Dalam banyak praktik circular economy, perhatian sering terpusat pada hasil akhir: target daur ulang, tingkat efisiensi, atau pengurangan emisi. Paper ini mengingatkan bahwa dalam konteks lintas sektor, kualitas proses justru menentukan legitimasi dan keberlanjutan hasil tersebut. Proses yang transparan, inklusif, dan berbasis pengetahuan bersama memungkinkan aktor dengan logika berbeda untuk setidaknya mencapai pemahaman operasional, meskipun tidak sepenuhnya berbagi nilai yang sama.
Kualitas proses juga berfungsi sebagai mekanisme pengurang konflik. Ketika asumsi, data, dan kepentingan diartikulasikan secara terbuka, potensi miskomunikasi antar-sistem dapat dikelola lebih awal. Sebaliknya, proses yang didominasi oleh satu logika sektoral—misalnya logika bisnis atau administrasi—cenderung menyingkirkan perspektif lain dan memperkuat ketegangan laten.
Dimensi keempat, dan sering kali paling diabaikan, adalah makna dan tujuan. Pendekatan kulturalistik yang dibahas sebelumnya menemukan relevansinya di sini. Circular economy tidak hanya dijalankan oleh organisasi, tetapi oleh individu yang membawa identitas, nilai, dan pemahaman tentang “kehidupan yang baik”. Metodologi yang sepenuhnya teknokratis cenderung gagal memobilisasi komitmen jangka panjang, karena tidak menyentuh dimensi motivasi intrinsik aktor.
Secara strategis, ini berarti bahwa circular economy perlu diposisikan bukan hanya sebagai kewajiban regulatif atau peluang pasar, tetapi sebagai bagian dari narasi yang lebih luas tentang arah pembangunan dan makna tindakan kolektif. Tanpa dimensi ini, circular economy berisiko direduksi menjadi serangkaian proyek terpisah yang kehilangan kohesi normatifnya.
Keempat dimensi tersebut menunjukkan bahwa tantangan circular economy tidak dapat diatasi melalui satu alat atau satu kerangka kerja tunggal. Yang dibutuhkan adalah arsitektur metodologis yang reflektif, mampu menyesuaikan diri dengan konteks, dan sadar akan batas-batas struktural koordinasi lintas sektor. Dalam konteks ini, keberhasilan circular economy lebih bergantung pada kecerdasan dalam mengelola kompleksitas sosial daripada pada kesempurnaan solusi teknis semata
6. Circular Economy Arus Utama dan Blind Spot Konseptual: Sebuah Perbandingan Kritis
Setelah membangun argumen mengenai keterbatasan struktural circular economy dan implikasi metodologisnya, penting untuk menempatkan pendekatan Gonser dan Hinske dalam lanskap literatur yang lebih luas. Hal ini tidak hanya memperjelas kontribusi paper, tetapi juga mengungkap blind spot yang masih mendominasi diskursus circular economy arus utama.
Sebagian besar literatur circular economy kontemporer berangkat dari asumsi teknokratis. Fokusnya terletak pada desain produk, efisiensi material, inovasi rantai pasok, dan pengembangan indikator kinerja. Pendekatan ini terlihat jelas dalam banyak kerangka kerja kebijakan dan panduan praktis yang diproduksi oleh lembaga internasional maupun konsultan industri. Circular economy diposisikan sebagai masalah optimasi: bagaimana “menutup loop” dengan biaya serendah mungkin dan dampak ekonomi setinggi mungkin.
Pendekatan tersebut memiliki nilai praktis yang tidak dapat disangkal. Ia menawarkan bahasa yang mudah diterjemahkan ke dalam strategi bisnis dan kebijakan publik. Namun, di sinilah blind spot utama muncul. Dengan menempatkan circular economy sebagai persoalan teknis, literatur arus utama cenderung mengabaikan dinamika sosial dan institusional yang justru menentukan keberhasilan implementasi. Konflik kepentingan, perbedaan logika sektoral, dan ketimpangan kekuasaan sering kali diperlakukan sebagai hambatan sekunder, bukan sebagai bagian inti dari masalah.
Kontras dengan itu, pendekatan Gonser dan Hinske menolak anggapan bahwa circular economy dapat “diskalakan” hanya dengan memperbanyak best practice. Mereka menunjukkan bahwa kegagalan banyak inisiatif circular economy bukan disebabkan oleh kurangnya komitmen atau teknologi, melainkan oleh asumsi keliru tentang kemampuan sistem sosial untuk berkomunikasi secara normatif lintas sektor. Dalam literatur arus utama, kolaborasi sering dipresentasikan sebagai solusi, sementara dalam paper ini kolaborasi justru diperlakukan sebagai objek analisis yang problematik.
Blind spot kedua berkaitan dengan penyamaan circular economy dan sustainability. Banyak publikasi dan dokumen kebijakan menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian, seolah-olah circular economy secara otomatis menghasilkan keberlanjutan. Pendekatan ini memudahkan komunikasi, tetapi menyederhanakan realitas. Gonser dan Hinske memperlihatkan bahwa sustainability adalah konsep normatif lintas generasi yang menuntut koordinasi nilai, sementara circular economy sering dioperasionalkan melalui indikator sempit yang tidak menangkap dimensi etis dan sosial secara memadai.
Literatur arus utama juga cenderung optimistik terhadap governance antar-sektor. Forum multipihak, kemitraan publik–swasta, dan ko-kreasi dipromosikan sebagai mekanisme yang secara inheren positif. Paper ini, sebaliknya, memperingatkan bahwa tanpa pemahaman tentang functional differentiation, governance antar-sektor berisiko menjadi ritual partisipatif yang menghasilkan konsensus semu. Kesepakatan yang dicapai sering kali bersifat dangkal karena dibangun di atas istilah yang sama tetapi makna yang berbeda.
Perbandingan ini menempatkan kontribusi Gonser dan Hinske pada posisi yang tidak populer namun penting. Mereka tidak menawarkan solusi cepat atau model replikasi, melainkan kritik struktural terhadap fondasi konseptual circular economy itu sendiri. Dalam konteks literatur yang didominasi oleh optimisme solusionis, pendekatan ini berfungsi sebagai koreksi yang diperlukan. Ia mengingatkan bahwa keberlanjutan bukan hanya soal doing things better, tetapi juga soal understanding what cannot be easily aligned.
Section ini memperkuat nilai tambah artikel dengan menunjukkan bahwa diskursus circular economy saat ini masih timpang. Fokus berlebihan pada aspek teknis dan manajerial telah menghasilkan kemajuan parsial, tetapi juga menciptakan ilusi bahwa tantangan utama telah dipahami. Dengan membawa teori sosial ke pusat analisis, paper ini membuka ruang refleksi yang lebih jujur tentang batas-batas transformasi yang dapat dicapai dalam kerangka masyarakat modern yang terdiferensiasi secara fungsional
7. Keterbatasan dan Kritik Balik: Sejauh Mana “Impossibility” Berlaku?
Meskipun argumen Gonser dan Hinske menawarkan kontribusi konseptual yang kuat, klaim mengenai impossibility circular economy dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional tidak lepas dari keterbatasan dan ruang kritik. Mengangkat keterbatasan ini penting bukan untuk melemahkan argumen utama, melainkan untuk menempatkannya secara proporsional dalam diskursus yang lebih luas tentang transformasi keberlanjutan.
Keterbatasan pertama terletak pada tingkat abstraksi analisis. Functional differentiation sebagai kerangka teoretis bekerja sangat efektif untuk menjelaskan pola komunikasi dan batas-batas koordinasi pada level makro masyarakat modern. Namun, pada level ini pula, teori cenderung kurang sensitif terhadap variasi empiris. Dalam praktik, tidak semua konteks sosial menunjukkan tingkat fragmentasi yang sama. Negara dengan tradisi koordinasi korporatis, sistem kesejahteraan yang kuat, atau budaya deliberatif tertentu sering kali menunjukkan kemampuan lintas sektor yang lebih adaptif dibandingkan gambaran ideal-typical yang disajikan teori.
Dengan kata lain, impossibility yang diidentifikasi lebih tepat dipahami sebagai batas struktural ideal, bukan sebagai vonis universal terhadap semua bentuk circular economy. Dalam konteks tertentu, terutama ketika terdapat institusi perantara yang kuat atau sejarah kolaborasi lintas sektor yang mapan, sebagian ketegangan antar logika dapat dikelola secara pragmatis, meskipun tidak pernah sepenuhnya dihapuskan.
Kritik kedua berkaitan dengan risiko determinisme struktural. Dengan menekankan otonomi sistem sosial dan keterbatasan komunikasi normatif, terdapat potensi untuk meremehkan kapasitas aktor—baik individu maupun organisasi—dalam melakukan pembelajaran lintas sektor. Padahal, sejarah kebijakan publik dan inovasi sosial menunjukkan bahwa perubahan sering kali muncul dari praktik eksperimental yang justru melanggar batas-batas logika sektoral yang mapan. Walaupun perubahan tersebut jarang bersifat linier atau stabil, ia menunjukkan bahwa struktur sosial tidak sepenuhnya tertutup terhadap refleksi dan adaptasi.
Keterbatasan ketiga menyangkut peran kekuasaan dan konflik. Paper ini lebih menekankan perbedaan logika sistem daripada relasi kekuasaan antar aktor. Dalam praktik circular economy, kegagalan koordinasi tidak hanya disebabkan oleh miskomunikasi lintas sistem, tetapi juga oleh ketimpangan sumber daya, posisi tawar, dan kepentingan ekonomi-politik yang tidak seimbang. Dengan demikian, sebagian hambatan yang tampak sebagai masalah komunikasi sebenarnya merupakan hasil dari konflik kepentingan yang disengaja, bukan sekadar konsekuensi struktural dari functional differentiation.
Selain itu, pendekatan paper ini relatif berhati-hati dalam menilai peran regulasi koersif. Dalam beberapa kasus, perubahan signifikan menuju praktik yang lebih sirkular justru terjadi melalui intervensi regulatif yang kuat, bukan melalui keselarasan normatif atau deliberasi. Hal ini menunjukkan bahwa impossibility komunikasi etis lintas sistem tidak selalu menghalangi perubahan, tetapi sering kali menggeser cara perubahan tersebut dipaksakan atau dinegosiasikan.
Meski demikian, kritik-kritik ini tidak meniadakan nilai argumen utama. Justru sebaliknya, mereka memperjelas posisi impossibility sebagai alat refleksi, bukan sebagai kesimpulan final. Dengan menyadari keterbatasan struktural, praktisi dan pembuat kebijakan dapat menghindari ekspektasi berlebihan terhadap kolaborasi lintas sektor dan lebih realistis dalam merancang intervensi. Circular economy, dalam pembacaan ini, bukan proyek harmonisasi nilai, melainkan proses pengelolaan ketegangan yang terus-menerus.
Section ini memperkaya artikel dengan menunjukkan bahwa kontribusi Gonser dan Hinske terletak pada kemampuannya untuk mengganggu optimisme yang tidak kritis, tanpa jatuh ke dalam pesimisme absolut. Impossibility bukan akhir dari tindakan, tetapi pengingat bahwa transformasi keberlanjutan selalu berlangsung dalam kondisi sosial yang tidak ideal dan penuh kompromi
8. Kesimpulan: Circular Economy sebagai Proyek Pengelolaan Ketegangan, Bukan Harmoni
Artikel ini berangkat dari satu pertanyaan mendasar yang jarang diajukan secara eksplisit dalam diskursus circular economy: apakah transformasi menuju ekonomi sirkular yang berkelanjutan memang selaras dengan cara masyarakat modern diorganisasikan? Melalui pembacaan kritis terhadap argumen Gonser dan Hinske, jelas bahwa tantangan circular economy tidak berhenti pada persoalan teknis, insentif ekonomi, atau desain kebijakan. Tantangan utamanya bersifat struktural, berakar pada fragmentasi fungsional masyarakat modern yang membatasi kemungkinan koordinasi normatif lintas sektor.
Dengan memosisikan circular economy sebagai proyek governance antar-sektor, artikel ini menunjukkan bahwa kolaborasi bukanlah kondisi alami, melainkan arena ketegangan antar logika sosial yang berbeda. Sistem ekonomi, politik, hukum, sains, dan masyarakat sipil tidak hanya membawa kepentingan yang beragam, tetapi juga cara memahami realitas yang tidak sepenuhnya kompatibel. Dalam konteks ini, klaim impossibility tidak dimaksudkan sebagai penolakan terhadap circular economy, melainkan sebagai kritik terhadap asumsi optimistik bahwa keselarasan nilai dan tujuan dapat dicapai secara langsung melalui kolaborasi.
Analisis ini juga memperjelas bahwa penyamaan circular economy dengan sustainability merupakan penyederhanaan yang berisiko. Sustainability adalah konsep normatif lintas generasi yang menuntut koordinasi nilai dan tanggung jawab kolektif, sementara circular economy sering dioperasionalkan melalui indikator teknis yang sempit. Ketika circular economy diperlakukan sebagai substitusi sustainability, perhatian terhadap dimensi sosial, etis, dan institusional cenderung melemah. Akibatnya, banyak inisiatif circular economy menghasilkan perbaikan parsial tanpa transformasi sistemik.
Namun demikian, artikel ini juga menolak kesimpulan fatalistik. Dengan menelaah pendekatan alternatif—mulai dari institutional economics, proses deliberatif, hingga perspektif kultural—terlihat bahwa keterbatasan struktural tidak berarti stagnasi. Yang berubah adalah cara memahami keberhasilan. Circular economy yang realistis bukanlah proyek harmonisasi nilai lintas sektor, melainkan proses pengelolaan ketegangan yang terus-menerus, melalui desain institusional yang adaptif, proses yang berkualitas, dan narasi tujuan yang bermakna bagi aktor yang terlibat.
Kontribusi utama paper Gonser dan Hinske, dan juga artikel ini, terletak pada pergeseran fokus dari solusi ke pemahaman batas. Dalam lanskap literatur circular economy yang didominasi oleh optimisme teknokratis, pendekatan ini berfungsi sebagai koreksi yang penting. Ia mengingatkan bahwa kegagalan implementasi sering kali bukan akibat kurangnya komitmen atau teknologi, melainkan akibat asumsi keliru tentang bagaimana masyarakat modern dapat bertindak secara kolektif.
Bagi pembuat kebijakan, praktisi industri, dan peneliti, implikasinya jelas. Circular economy tidak dapat diperlakukan sebagai paket kebijakan siap pakai atau model bisnis universal. Ia menuntut kepekaan terhadap konteks sosial, kesadaran akan konflik logika sektoral, dan kesiapan untuk bekerja dalam ketidakpastian. Keberlanjutan, dalam kerangka ini, bukan tujuan yang dicapai melalui konsensus penuh, melainkan melalui kompromi yang disadari dan dikelola secara reflektif.
Dengan demikian, circular economy tidak gagal karena terlalu ambisius, tetapi karena sering kali dipahami terlalu sederhana. Mengakui batas-batas struktural bukan berarti menyerah, melainkan langkah awal menuju praktik keberlanjutan yang lebih jujur, dewasa, dan berdaya tahan dalam menghadapi kompleksitas dunia nyata.
Daftar Pustaka
Anderson, L., Gold, J., Stewart, J., & Thorpe, R. (2015). Concepts and theory building. London: SAGE.
Ansell, C., & Gash, A. (2007). Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571.
Brundtland, G. et al. (1987). Our common future. New York: United Nations.
Buttkereit, S. (2009). Intersectoral alliances: An institutional economics perspective. Berlin: WVB.
Emerson, K., & Nabatchi, T. (2015). Collaborative governance regimes. Washington, D.C.: Georgetown University Press.
Geissdoerfer, M., Savaget, P., Bocken, N. M. P., & Hultink, E. (2017). The circular economy – A new sustainability paradigm? Journal of Cleaner Production, 143, 757–768.
Gonser, M., & Hinske, C. (2022). Circular economy, sustainability and functional differentiation: An impossibility and its strategic-methodological implications. Dalam The Impossibilities of the Circular Economy. London: Routledge.
Habermas, J. (1981). Theorie des kommunikativen Handelns. Frankfurt am Main: Suhrkamp.
Luhmann, N. (1984). Die Wirtschaft der Gesellschaft als autopoietisches System. Zeitschrift für Soziologie, 13(4), 308–327.
Luhmann, N. (1990). Ökologische Kommunikation. Opladen: Westdeutscher Verlag.
Reckwitz, A. (2001). Die Ethik des Guten und die Soziologie. Dalam Gute Gesellschaft? Zur Konstruktion sozialer Ordnungen. Opladen.
Stahel, W. R. (2019). The circular economy: A user’s guide. London: Routledge.
Webster, K. (2017). The circular economy: A wealth of flows. Isle of Wight: Ellen MacArthur Foundation.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan: Antara Mimpi Sirkular dan Realitas Fisik
Ekonomi sirkular sering dipromosikan sebagai jawaban elegan atas krisis lingkungan global: sebuah sistem di mana limbah tidak lagi ada, material terus berputar, dan pertumbuhan ekonomi dapat berlanjut tanpa batas ekologis. Narasi ini terdengar intuitif dan politis menarik, terutama ketika dikemas dalam bahasa desain, inovasi, dan optimisme teknologi. Namun di balik daya tarik tersebut, terdapat pertanyaan mendasar yang jarang dihadapi secara serius: sejauh mana ekonomi sirkular realistis jika ditinjau dari hukum fisika dan batas material dunia nyata?
Artikel ini berangkat dari kritik terhadap apa yang dapat disebut sebagai circularity dreams—yakni kecenderungan untuk memperlakukan ekonomi sirkular bukan sebagai kerangka kerja praktis yang penuh keterbatasan, tetapi sebagai janji sistemik yang hampir tanpa batas. Dalam banyak dokumen kebijakan dan strategi korporasi, prinsip seperti “waste equals food” atau “desain tanpa limbah” sering diperlakukan seolah-olah menggambarkan kondisi nyata, bukan sekadar aturan desain ideal. Di sinilah risiko konseptual mulai muncul.
Dari perspektif fisika, khususnya termodinamika, setiap proses ekonomi selalu melibatkan degradasi energi dan material. Material dengan kualitas tinggi—misalnya logam murni atau energi terpusat—secara alami akan terurai menjadi bentuk yang lebih tersebar dan kurang berguna. Upaya untuk “menutup lingkaran” selalu memerlukan energi tambahan, waktu, dan infrastruktur, yang pada gilirannya menciptakan dampak lingkungan baru. Dengan kata lain, sirkularitas penuh bukan hanya sulit dicapai, tetapi secara prinsipil dibatasi oleh hukum alam.
Kritik ini tidak bertujuan untuk menolak ekonomi sirkular secara keseluruhan. Justru sebaliknya, ia mengingatkan bahwa ekonomi sirkular akan kehilangan relevansinya jika dibangun di atas asumsi yang terlalu optimistis dan ahistoris. Perdebatan mengenai batas fisik pertumbuhan ekonomi, keterbatasan daur ulang, dan ilusi pemisahan total antara pertumbuhan dan konsumsi sumber daya sebenarnya telah berlangsung sejak dekade 1960–1970-an. Namun dalam diskursus kontemporer, perdebatan ini sering dipinggirkan demi narasi solusi cepat dan positif.
Dalam konteks inilah pendahuluan ini memposisikan ekonomi sirkular sebagai alat berpikir, bukan tujuan absolut. Ia berguna untuk mendorong desain yang lebih cerdas, pengurangan pemborosan, dan perpanjangan umur produk. Namun ketika ekonomi sirkular dipromosikan sebagai jalan menuju pertumbuhan hijau tanpa batas, ia berisiko menjadi mitos kebijakan yang justru menunda pembahasan tentang pengurangan konsumsi absolut, perubahan pola produksi, dan keterbatasan ekologis yang tidak dapat dinegosiasikan.
Jika ekonomi sirkular ingin berkontribusi secara serius terhadap keberlanjutan, maka ia harus dibumikan: diakui batasnya, dilepaskan dari klaim berlebihan, dan ditempatkan dalam kerangka transformasi ekonomi yang lebih luas—bukan sebagai mimpi teknokratis, melainkan sebagai pendekatan parsial dalam dunia yang secara fisik terbatas.
2. Mengapa “Waste Equals Food” Bermasalah secara Fisik dan Ekonomi
Salah satu slogan paling populer dalam ekonomi sirkular adalah waste equals food. Gagasan ini menyiratkan bahwa seluruh limbah dapat menjadi input berguna bagi proses lain, sehingga tidak ada residu yang benar-benar terbuang. Sebagai prinsip desain, slogan ini efektif secara komunikatif. Namun ketika diangkat sebagai gambaran sistem ekonomi nyata, ia menyederhanakan persoalan yang secara fisik dan ekonomi jauh lebih kompleks.
Dari sudut pandang fisika, tidak semua limbah setara. Material yang telah melewati beberapa siklus penggunaan mengalami degradasi kualitas. Campuran material, kontaminasi, dan keausan membuat banyak limbah tidak lagi memiliki karakteristik yang sama dengan bahan awalnya. Proses untuk “mengembalikan” limbah tersebut ke bentuk yang berguna memerlukan energi tambahan, teknologi pemisahan, dan infrastruktur yang tidak netral secara lingkungan. Dengan demikian, setiap upaya menjadikan limbah sebagai “makanan” selalu memiliki biaya fisik yang nyata.
Masalah ini diperkuat oleh hukum termodinamika. Proses ekonomi tidak hanya memindahkan material, tetapi juga mengubah energi. Energi berkualitas tinggi—yang dibutuhkan untuk produksi dan daur ulang—akan selalu terdegradasi menjadi panas yang tersebar dan tidak dapat digunakan kembali sepenuhnya. Artinya, bahkan jika material dapat dipulihkan sebagian, sistem tetap bergantung pada aliran energi baru. Dalam konteks ini, sirkularitas material tidak pernah berarti sirkularitas energi.
Secara ekonomi, slogan waste equals food juga mengaburkan persoalan kelayakan. Tidak semua limbah layak diproses ulang dari sisi biaya dan manfaat. Banyak aliran limbah memiliki nilai ekonomi yang rendah, sementara biaya pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan tinggi. Ketika kebijakan atau strategi bisnis memaksakan sirkularitas penuh tanpa mempertimbangkan rasio energi dan biaya, hasilnya sering kali kontraproduktif—baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Lebih jauh, narasi ini berisiko menciptakan moral hazard kebijakan. Jika limbah selalu dianggap dapat dimanfaatkan kembali, maka tekanan untuk mengurangi produksi limbah sejak awal menjadi melemah. Fokus bergeser dari pencegahan menuju pengelolaan, dari pengurangan konsumsi absolut menuju optimasi teknis pasca-produksi. Dalam jangka panjang, pendekatan ini dapat mempertahankan bahkan memperbesar skala sistem produksi dan konsumsi, dengan dalih bahwa limbah “akan ditangani” secara sirkular.
Kritik terhadap waste equals food bukan berarti menolak pemanfaatan limbah. Yang dipersoalkan adalah klaim implisit bahwa tidak ada batas fisik dan ekonomi dalam proses tersebut. Dalam praktiknya, hanya sebagian kecil limbah yang benar-benar dapat berfungsi sebagai input bernilai tinggi bagi proses lain. Sisanya akan tetap menjadi residu, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil atau bentuk yang berbeda.
Oleh karena itu, pendekatan yang lebih realistis adalah memahami ekonomi sirkular sebagai strategi pengurangan kerugian, bukan penghapusan total limbah. Prinsip sirkular paling efektif ketika diterapkan di hulu—melalui desain sederhana, pengurangan kompleksitas material, dan pembatasan volume produksi—bukan ketika dibebankan sepenuhnya pada sistem daur ulang di hilir. Tanpa pengakuan atas batas fisik ini, ekonomi sirkular berisiko berubah dari alat transisi menjadi narasi penenang yang menunda perubahan struktural yang lebih sulit namun esensial.
3. Ilusi Decoupling dan Batas Pertumbuhan Hijau
Salah satu klaim paling sering digunakan untuk membenarkan ekonomi sirkular adalah gagasan decoupling—yakni kemungkinan memisahkan pertumbuhan ekonomi dari penggunaan sumber daya dan dampak lingkungan. Dalam narasi ini, inovasi desain, efisiensi material, dan sirkularitas memungkinkan ekonomi terus tumbuh tanpa meningkatkan tekanan ekologis. Klaim ini terdengar meyakinkan, tetapi menjadi problematis ketika tidak dibedakan antara relative decoupling dan absolute decoupling.
Relative decoupling terjadi ketika penggunaan sumber daya per unit produk menurun, sementara total produksi tetap meningkat. Fenomena ini cukup umum dan sering dijadikan bukti keberhasilan kebijakan efisiensi. Namun secara ekologis, yang menentukan tekanan lingkungan adalah total skala aktivitas, bukan intensitas per unit. Ketika efisiensi meningkatkan daya saing dan menurunkan biaya, konsumsi total sering justru meningkat—sebuah mekanisme yang dikenal sebagai rebound effect.
Sebaliknya, absolute decoupling menuntut agar total penggunaan sumber daya dan dampak lingkungan menurun secara konsisten, meskipun ekonomi tumbuh. Di sinilah klaim ekonomi sirkular menjadi rapuh. Secara empiris dan fisik, sangat sedikit bukti bahwa absolute decoupling dapat dicapai dalam skala besar dan jangka panjang, terutama untuk material dan energi yang tidak terbarukan.
Ekonomi sirkular sering ditempatkan sebagai solusi teknis untuk menjembatani kontradiksi ini. Namun tanpa pembatasan skala produksi dan konsumsi, sirkularitas hanya memperlambat laju kerusakan, bukan membalikkannya. Material yang diputar kembali tetap mengalami kehilangan kualitas, dan sistem tetap membutuhkan input energi serta material baru. Dalam konteks ini, pertumbuhan hijau berbasis sirkularitas penuh berisiko menjadi ilusi kebijakan.
Masalah lain muncul ketika decoupling digunakan sebagai pembenaran politik untuk menghindari diskusi tentang pengurangan konsumsi absolut. Dengan mengandalkan janji teknologi dan desain sirkular, kebijakan dapat menunda keputusan sulit terkait batas produksi, pola konsumsi berlebihan, dan distribusi ekonomi. Ekonomi sirkular lalu berfungsi bukan sebagai alat transformasi, tetapi sebagai narasi legitimasi status quo.
Pendekatan yang lebih jujur adalah mengakui bahwa ekonomi sirkular memiliki kapasitas terbatas dalam mendukung pertumbuhan tanpa batas. Ia sangat efektif untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi pemborosan, dan memperpanjang umur produk. Namun ia tidak dapat menggantikan kebutuhan akan strategi pengurangan skala di sektor-sektor tertentu, terutama yang intensif material dan energi.
Dengan demikian, peran ekonomi sirkular seharusnya ditempatkan secara proporsional: sebagai komponen penting dalam strategi transisi, bukan sebagai jaminan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dilepaskan sepenuhnya dari batas ekologis. Tanpa pengakuan ini, diskursus sirkular berisiko kehilangan ketajaman analitis dan berubah menjadi janji teknokratis yang tidak pernah sepenuhnya terpenuhi.
4. Implikasi Kebijakan: Kapan Ekonomi Sirkular Membantu, Kapan Justru Menyesatkan
Jika ekonomi sirkular dipahami sebagai solusi universal, kebijakan publik berisiko terjebak pada optimisme berlebihan. Oleh karena itu, pertanyaan kunci bagi perumus kebijakan bukanlah apakah ekonomi sirkular “baik atau buruk”, melainkan dalam kondisi apa ia efektif, dan di mana batas kegunaannya. Tanpa pembedaan ini, ekonomi sirkular dapat menghasilkan kebijakan yang secara politis nyaman tetapi secara ekologis lemah.
Ekonomi sirkular paling membantu ketika diarahkan pada pengurangan pemborosan struktural. Intervensi di hulu—seperti penyederhanaan desain, pengurangan variasi material, dan perpanjangan umur produk—memberikan manfaat nyata karena langsung menekan kebutuhan produksi baru. Dalam konteks kebijakan, ini berarti fokus pada standar desain, hak untuk memperbaiki, dan pengadaan publik berbasis biaya siklus hidup, bukan sekadar target daur ulang.
Sebaliknya, ekonomi sirkular menjadi menyesatkan ketika digunakan untuk membenarkan ekspansi produksi tanpa batas. Target sirkularitas yang tinggi, tetapi dilepaskan dari pengendalian volume, menciptakan ilusi kemajuan. Sistem terlihat “lebih efisien”, sementara total aliran material dan energi tetap meningkat. Dalam situasi ini, kebijakan sirkular justru berfungsi sebagai tameng retoris bagi model pertumbuhan yang tidak berubah.
Risiko lain muncul ketika kebijakan terlalu menekankan solusi teknis hilir. Investasi besar pada fasilitas daur ulang dapat menciptakan ketergantungan institusional terhadap aliran limbah yang stabil. Akibatnya, pencegahan limbah dan pengurangan produksi menjadi bertentangan dengan kepentingan ekonomi infrastruktur tersebut. Paradoks ini menunjukkan bahwa kebijakan sirkular perlu dirancang dengan kesadaran terhadap insentif jangka panjang yang diciptakannya.
Implikasi penting lainnya adalah perlunya integrasi ekonomi sirkular dengan kebijakan permintaan. Selama konsumsi absolut tidak disentuh, sirkularitas hanya bekerja di sisi penawaran. Instrumen seperti pembatasan iklan produk sekali pakai, standar umur pakai minimum, atau pengenaan pajak berbasis material dapat melengkapi pendekatan sirkular dengan sinyal pengendalian skala.
Dengan demikian, ekonomi sirkular seharusnya diposisikan sebagai alat selektif, bukan paradigma tunggal. Ia efektif ketika digunakan untuk mengurangi inefisiensi dan pemborosan, tetapi menyesatkan ketika dijadikan alasan untuk menghindari pembahasan tentang batas pertumbuhan dan kebutuhan akan pengurangan konsumsi di sektor tertentu. Kebijakan yang matang adalah kebijakan yang mampu menempatkan ekonomi sirkular dalam kerangka transformasi yang lebih luas, jujur terhadap batas fisik, dan berani menghadapi implikasi politiknya.
5. Penutup Reflektif: Membumikan Ekonomi Sirkular dalam Dunia yang Terbatas
Rangkaian pembahasan ini menunjukkan bahwa ekonomi sirkular bukanlah konsep yang keliru, tetapi konsep yang sering diperlakukan secara berlebihan. Ketika dipahami sebagai alat untuk mengurangi pemborosan, meningkatkan efisiensi, dan memperpanjang umur produk, ekonomi sirkular memiliki nilai strategis yang nyata. Namun ketika ia dipromosikan sebagai solusi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi tanpa batas dalam dunia yang secara fisik terbatas, ia berubah menjadi narasi problematis.
Kritik terhadap mimpi sirkular, slogan waste equals food, dan klaim decoupling bukanlah seruan untuk kembali ke pesimisme ekologis, melainkan ajakan untuk bersikap jujur terhadap batas. Kejujuran ini penting agar kebijakan tidak terjebak pada solusi semu yang menenangkan secara politis, tetapi lemah secara material. Tanpa pengakuan atas degradasi energi, keterbatasan daur ulang, dan efek skala, ekonomi sirkular berisiko memperpanjang ilusi keberlanjutan.
Dalam konteks kebijakan, implikasinya jelas. Ekonomi sirkular perlu dipadukan dengan strategi pengurangan konsumsi absolut, pembatasan produksi di sektor tertentu, dan perubahan pola permintaan. Tanpa kombinasi ini, sirkularitas hanya akan memperlambat laju masalah, bukan mengubah arahnya. Keberanian kebijakan terletak bukan pada seberapa inovatif jargon yang digunakan, tetapi pada kesediaan menghadapi konsekuensi ekonomi dan politik dari dunia yang memiliki batas.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular paling berguna ketika ia dibumikan, bukan dimitoskan. Ia harus dilihat sebagai bagian dari perangkat transisi—berguna, penting, tetapi tidak mahakuasa. Dengan menempatkannya secara proporsional, diskursus keberlanjutan dapat bergerak dari janji-janji teknokratis menuju strategi transformasi yang lebih realistis, jujur, dan bertanggung jawab terhadap kenyataan fisik planet ini.
Daftar Pustaka
Geissdoerfer, M., Savaget, P., Bocken, N. M. P., & Hultink, E. J. (2017). The Circular Economy – A new sustainability paradigm? Journal of Cleaner Production.
Korhonen, J., Honkasalo, A., & Seppälä, J. (2018). Circular Economy: The Concept and its Limitations. Ecological Economics.
Ayres, R. U., & Warr, B. (2009). The Economic Growth Engine: How Energy and Work Drive Material Prosperity. Edward Elgar.
Georgescu-Roegen, N. (1971). The Entropy Law and the Economic Process. Harvard University Press.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 22 Desember 2025
Pendahuluan
Gangguan kesehatan akibat kerja tidak selalu disebabkan oleh paparan bahan berbahaya atau kondisi lingkungan ekstrem. Dalam banyak kasus, sumber utama masalah justru berasal dari cara kerja yang tidak ergonomis, seperti postur janggal, pengangkatan beban yang tidak tepat, serta desain tempat kerja yang tidak sesuai dengan karakteristik tubuh manusia.
Materi yang menjadi dasar artikel ini disampaikan dalam sebuah webinar oleh dosen dan praktisi ergonomi yang menyoroti pentingnya pengukuran dan pengendalian aktivitas kerja berdasarkan faktor ergonomi, khususnya dalam konteks regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Ergonomi tidak lagi diposisikan sebagai pelengkap, melainkan telah menjadi bagian dari sistem K3 yang diatur secara formal melalui peraturan dan standar nasional.
Artikel ini menyajikan resensi analitis dari materi tersebut dengan merangkum konsep utama, metode pengukuran, serta implikasi praktis ergonomi bagi industri dan perkantoran.
Landasan Regulasi Ergonomi di Indonesia
Ergonomi dalam Perspektif K3 Nasional
Dasar hukum pengukuran dan pengendalian faktor ergonomi di Indonesia merujuk pada:
Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja
SNI 901 Tahun 2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Risiko Ergonomi
Dalam regulasi tersebut, faktor penyebab penyakit akibat kerja dikelompokkan menjadi:
faktor fisika,
faktor kimia,
faktor biologis,
faktor ergonomi, dan
faktor psikososial.
Menariknya, meskipun ergonomi sering dipersepsikan sebagai solusi pencegahan, regulasi menyebutnya sebagai faktor yang perlu diukur dan dikendalikan karena berpotensi menimbulkan penyakit akibat kerja jika tidak dikelola dengan baik.
Ruang Lingkup Faktor Ergonomi
Tiga Fokus Utama Ergonomi dalam Regulasi
Permenaker dan SNI menekankan tiga aspek utama ergonomi, yaitu:
Postur dan posisi kerja
Desain tempat dan alat kerja
Cara pengangkatan dan pemindahan beban
Ketiga aspek ini menjadi sumber utama gangguan muskuloskeletal atau Musculoskeletal Disorders (MSDs) apabila tidak dirancang dan dioperasikan secara ergonomis.
Postur Kerja dan Risiko Gangguan Otot Rangka
Postur Netral vs Postur Janggal
Postur kerja yang ideal adalah postur netral, yaitu kondisi di mana:
tulang belakang relatif lurus,
sendi tidak berada pada sudut ekstrem,
otot bekerja pada tingkat beban minimum.
Sebaliknya, postur janggal—seperti membungkuk lebih dari 20°, jongkok dalam waktu lama, atau mengangkat tangan di atas bahu—secara signifikan meningkatkan risiko MSDs, khususnya low back pain.
Kasus di bengkel dan workshop menunjukkan bahwa kebiasaan bekerja jongkok atau membungkuk masih umum terjadi, bahkan di industri besar, akibat lemahnya kesadaran ergonomi dan desain stasiun kerja yang tidak sesuai.
Metode Penilaian Postur Kerja: RULA
Rapid Upper Limb Assessment (RULA)
Salah satu metode yang dibahas secara rinci adalah RULA, yang digunakan untuk menilai risiko ergonomi berdasarkan postur kerja.
Kelompok Penilaian Tubuh
Kelompok A: lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan
Kelompok B: leher, punggung, dan kaki
Penilaian mempertimbangkan:
sudut postur,
beban kerja,
keterlibatan otot (statis atau repetitif).
Interpretasi Skor RULA
Skor 1–2: risiko rendah
Skor 3–4: risiko rendah–menengah
Skor 5–6: risiko menengah
Skor ≥7: risiko tinggi dan perlu tindakan segera
RULA menegaskan bahwa penilaian postur bukan asumsi visual, tetapi berbasis skor dan kriteria biomekanika.
Pengangkatan Beban dan Lifting Index
Konsep Recommended Weight Limit (RWL)
Untuk aktivitas manual handling, digunakan pendekatan NIOSH Lifting Equation, yang menghasilkan nilai Recommended Weight Limit (RWL) dan Lifting Index (LI).
Lifting Index dihitung dari:
LI = Beban aktual / Beban yang direkomendasikan
Interpretasi umum:
LI ≤ 1: aman
LI 1–3: perlu perhatian
LI > 3: risiko tinggi MSDs
Konteks Antropometri Indonesia
Materi menekankan bahwa rumus asli NIOSH dikembangkan berdasarkan data populasi Barat. Untuk Indonesia, nilai konstanta disesuaikan berdasarkan tinggi siku berdiri rata-rata (±69 cm), sehingga perhitungan menjadi lebih relevan secara antropometris.
SNI 901: Pendekatan Praktis Evaluasi Ergonomi
Daftar Periksa Risiko Ergonomi
Untuk memudahkan implementasi di industri, SNI 901:2021 menyediakan instrumen daftar periksa yang lebih praktis dibanding metode analitis kompleks seperti RULA atau NIOSH.
Penilaian mencakup:
keluhan pekerja (berbasis Nordic Body Map),
frekuensi dan tingkat keparahan nyeri,
identifikasi bagian tubuh dominan yang terdampak.
Hasil penilaian diklasifikasikan menjadi:
risiko rendah (hijau),
risiko sedang (kuning),
risiko tinggi (merah).
Desain Tempat Kerja Berbasis Antropometri
Mengapa Antropometri Penting
Desain ergonomi menekankan prinsip:
Mesin dan tempat kerja menyesuaikan manusia, bukan sebaliknya.
Antropometri digunakan untuk menentukan:
tinggi meja kerja,
tinggi kursi,
jarak jangkauan tangan,
posisi monitor dan alat kerja.
Prinsip Persentil dalam Desain
Alih-alih menggunakan nilai rata-rata, desain ergonomi umumnya menggunakan:
persentil 5% (untuk dimensi minimum),
persentil 95% (untuk dimensi maksimum).
Pendekatan ini memastikan bahwa ±90–95% populasi pengguna dapat bekerja dengan nyaman dan aman.
Ergonomi di Kantor: Risiko yang Sering Diabaikan
Materi menegaskan bahwa ergonomi tidak hanya relevan untuk pekerja lapangan. Pekerja kantoran juga berisiko mengalami:
nyeri pinggang,
carpal tunnel syndrome,
kelelahan mata,
saraf terjepit.
Penggunaan kursi tanpa sandaran lumbar, posisi keyboard terlalu tinggi, dan durasi kerja statis yang panjang menjadi pemicu utama gangguan tersebut.
Implementasi Ergonomi sebagai Sistem
Tiga Prinsip Kunci Implementasi
Dukungan manajemen
Pendekatan bertahap dan sistematis
Integrasi dengan SMK3 dan kebijakan perusahaan
Ergonomi tidak efektif jika hanya dibebankan kepada operator tanpa perubahan desain, kebijakan, dan fasilitas.
Kesimpulan
Pengukuran dan pengendalian aktivitas kerja berbasis ergonomi merupakan instrumen penting dalam pencegahan gangguan otot rangka dan peningkatan produktivitas. Melalui pendekatan regulatif, metode penilaian terstandar, serta desain tempat kerja berbasis antropometri, ergonomi dapat diterapkan secara praktis dan berkelanjutan.
Artikel ini menegaskan bahwa ergonomi bukan sekadar kenyamanan, melainkan investasi kesehatan, keselamatan, dan kinerja jangka panjang bagi organisasi.
📚 Sumber Utama
Webinar Pengukuran dan Pengendalian Aktivitas Kerja Berdasarkan Faktor Ergonomi
Permenaker No. 5 Tahun 2018
SNI 901:2021 – Ergonomi
📖 Referensi Pendukung
ILO. Ergonomic Checkpoints
NIOSH. Revised Lifting Equation
Bridger, R. Introduction to Ergonomics
Kroemer & Grandjean. Fitting the Task to the Human
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan: Ketika Transformasi Dimulai dari Keputusan Nyata
Transisi menuju ekonomi sirkular sering dibingkai sebagai agenda kebijakan jangka panjang yang menunggu regulasi, insentif, atau kesepakatan global. Namun dalam praktiknya, perubahan sering kali dimulai dari keputusan aktor di lapangan—pelaku usaha yang memilih jalur berbeda meskipun menghadapi ketidakpastian pasar dan biaya awal yang lebih tinggi. Di sinilah kepemimpinan dalam ekonomi sirkular menemukan maknanya: bukan pada retorika, melainkan pada tindakan.
Artikel ini menyoroti bagaimana transformasi ekonomi sirkular di Indonesia digerakkan oleh kepemimpinan berbasis aksi. Pelaku usaha tidak menunggu sistem menjadi sempurna, tetapi mulai bereksperimen dengan model bisnis, rantai pasok, dan pendekatan kolaboratif yang lebih berkelanjutan. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa ekonomi sirkular bukan hanya hasil kebijakan top-down, tetapi juga proses pembelajaran yang tumbuh dari praktik.
Dalam konteks Indonesia, kepemimpinan berbasis aksi memiliki signifikansi tersendiri. Struktur pasar yang masih berkembang, keterbatasan infrastruktur, dan persepsi konsumen yang belum matang membuat transisi sirkular tidak selalu rasional secara jangka pendek. Namun justru dalam kondisi inilah keputusan untuk bertindak menjadi penentu arah perubahan.
Dengan pendekatan analitis, artikel ini membahas ekonomi sirkular melalui lensa kepemimpinan praktis. Fokusnya bukan pada daftar inisiatif, tetapi pada pelajaran struktural: apa yang mendorong pelaku usaha mengambil langkah sirkular, tantangan apa yang mereka hadapi, dan bagaimana tindakan tersebut berkontribusi pada perubahan sistem yang lebih luas.
2. Motivasi Pelaku Usaha: Antara Nilai, Risiko, dan Peluang Jangka Panjang
Keputusan pelaku usaha untuk mengadopsi prinsip ekonomi sirkular jarang didorong oleh satu faktor tunggal. Motivasi yang muncul umumnya merupakan kombinasi antara nilai, kalkulasi risiko, dan visi jangka panjang. Dalam banyak kasus, kepedulian lingkungan menjadi titik awal, tetapi tidak cukup untuk menopang transformasi tanpa justifikasi ekonomi yang masuk akal.
Sebagian pelaku usaha melihat ekonomi sirkular sebagai strategi diferensiasi. Di pasar yang semakin kompetitif, pendekatan berkelanjutan menawarkan narasi nilai yang membedakan produk dan layanan. Namun diferensiasi ini juga membawa risiko, terutama ketika konsumen belum sepenuhnya menghargai nilai keberlanjutan dalam keputusan pembelian mereka.
Motivasi lain yang semakin menguat adalah manajemen risiko jangka panjang. Ketergantungan pada bahan baku primer, volatilitas harga, dan tekanan regulasi mendorong pelaku usaha mencari model yang lebih tangguh. Dalam konteks ini, ekonomi sirkular dipahami bukan sebagai biaya tambahan, tetapi sebagai investasi ketahanan bisnis.
Selain itu, terdapat motivasi yang bersifat eksperimental. Beberapa pelaku usaha memandang ekonomi sirkular sebagai ruang inovasi, tempat mereka dapat menguji model bisnis baru dan membangun kapabilitas yang belum dimiliki pesaing. Pendekatan ini menempatkan aksi sebagai sarana belajar, di mana kegagalan awal dipandang sebagai bagian dari proses transformasi.
Motivasi-motivasi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam ekonomi sirkular tidak selalu lahir dari kepastian. Justru, ia tumbuh dari keberanian mengambil keputusan dalam kondisi tidak sempurna, dengan keyakinan bahwa perubahan sistemik hanya dapat terjadi jika ada aktor yang bersedia melangkah lebih dulu.
3. Tantangan Nyata di Lapangan: Biaya, Pasar, dan Persepsi Konsumen
Meskipun motivasi untuk beralih ke ekonomi sirkular semakin kuat, implementasinya dihadapkan pada tantangan yang sangat nyata. Biaya awal menjadi hambatan paling sering disebut. Investasi pada desain ulang produk, perubahan rantai pasok, dan pengembangan sistem pengumpulan sering kali lebih mahal dibandingkan mempertahankan praktik linear yang sudah mapan.
Tantangan biaya ini diperparah oleh keterbatasan skala. Banyak inisiatif sirkular dimulai dari volume kecil, sehingga sulit mencapai efisiensi biaya. Tanpa kepastian permintaan, pelaku usaha berada dalam dilema antara memperluas skala dan menanggung risiko finansial yang lebih besar.
Pasar juga belum sepenuhnya matang. Persepsi konsumen terhadap produk sirkular masih beragam, mulai dari apresiasi terhadap nilai keberlanjutan hingga keraguan terhadap kualitas dan harga. Dalam konteks ini, pelaku usaha tidak hanya menjual produk, tetapi juga mengedukasi pasar, sebuah proses yang membutuhkan waktu dan sumber daya.
Selain itu, struktur pasar yang ada sering kali tidak mendukung inovasi sirkular. Produk konvensional dengan harga murah dan eksternalitas lingkungan yang tidak tercermin dalam harga membuat produk sirkular sulit bersaing. Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi pelaku usaha bersifat sistemik, bukan sekadar persoalan manajemen internal.
4. Kolaborasi sebagai Strategi Bertahan dan Bertumbuh
Menghadapi tantangan sistemik, banyak pelaku usaha sirkular di Indonesia mengandalkan kolaborasi sebagai strategi utama. Kolaborasi memungkinkan pembagian risiko, penggabungan sumber daya, dan penciptaan skala yang sulit dicapai secara individual. Dalam ekonomi sirkular, kolaborasi bukan pilihan tambahan, melainkan prasyarat keberhasilan.
Kolaborasi terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari kemitraan rantai pasok, kerja sama lintas sektor, hingga keterlibatan komunitas dan pemerintah daerah. Melalui kolaborasi, pelaku usaha dapat mengamankan pasokan bahan baku sekunder, memperluas akses pasar, dan meningkatkan legitimasi model sirkular di mata publik.
Pendekatan kolaboratif juga mempercepat pembelajaran. Dengan berbagi pengalaman dan praktik, pelaku usaha dapat menghindari pengulangan kesalahan dan mengadopsi solusi yang telah teruji. Dalam konteks ini, kepemimpinan tidak lagi dipahami sebagai dominasi, tetapi sebagai kemampuan mengorkestrasi kerja bersama.
Namun kolaborasi juga memiliki tantangan tersendiri. Perbedaan kepentingan, kapasitas, dan ekspektasi dapat menghambat kerja sama jangka panjang. Tanpa kerangka tata kelola yang jelas, kolaborasi berisiko menjadi simbolis dan tidak menghasilkan dampak nyata. Oleh karena itu, peran fasilitasi dan regulasi tetap diperlukan untuk memastikan kolaborasi berjalan efektif.
5. Peran Negara sebagai Enabler Transisi Ekonomi Sirkular
Pengalaman pelaku usaha menunjukkan bahwa kepemimpinan berbasis aksi memiliki batas ketika berhadapan dengan struktur pasar dan regulasi yang belum selaras. Di titik ini, peran negara sebagai enabler menjadi penentu apakah inisiatif sirkular dapat berkembang melampaui skala pionir. Negara tidak dituntut menggantikan peran pasar, tetapi menciptakan kondisi yang memungkinkan aksi-aksi sirkular menjadi pilihan rasional.
Salah satu fungsi utama negara adalah memperbaiki sinyal ekonomi. Selama eksternalitas lingkungan tidak tercermin dalam harga, produk dan model bisnis sirkular akan terus bersaing dalam medan yang tidak seimbang. Melalui instrumen fiskal, standar produk, dan kebijakan pengadaan publik, negara dapat menggeser struktur insentif tanpa harus mengatur secara mikro praktik bisnis.
Negara juga berperan dalam menurunkan risiko transisi. Kepastian regulasi, dukungan pembiayaan, dan fasilitasi kolaborasi lintas sektor membantu pelaku usaha mengambil keputusan jangka panjang. Dalam konteks Indonesia, peran ini penting karena banyak inisiatif sirkular berada pada tahap eksperimental dan rentan terhadap guncangan pasar.
Selain itu, negara memiliki posisi strategis sebagai penghubung ekosistem. Ekonomi sirkular melibatkan aktor yang beragam—industri, UMKM, komunitas, pemerintah daerah, dan konsumen. Tanpa koordinasi, upaya-upaya ini akan berjalan terpisah dan kehilangan daya dorong sistemik. Peran negara sebagai enabler bukan berarti sentralisasi, melainkan kemampuan membangun kerangka kerja bersama yang memungkinkan pembelajaran dan replikasi.
6. Kesimpulan Analitis: Kepemimpinan Aksi sebagai Penggerak Perubahan Sistem
Pembahasan ini menegaskan bahwa transformasi ekonomi sirkular di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh desain kebijakan, tetapi juga oleh kepemimpinan berbasis aksi di tingkat praktik. Pelaku usaha yang berani bereksperimen, berkolaborasi, dan bertahan menghadapi ketidakpastian telah membuka jalan bagi perubahan sistemik yang lebih luas.
Artikel ini menunjukkan bahwa aksi-aksi tersebut bukan tanpa tantangan. Biaya awal, pasar yang belum matang, dan persepsi konsumen menjadi hambatan nyata. Namun justru di tengah keterbatasan inilah kepemimpinan menemukan relevansinya. Dengan bertindak lebih dulu, pelaku usaha menciptakan bukti konsep yang dapat dipelajari dan diadaptasi oleh aktor lain.
Pada saat yang sama, pengalaman ini menegaskan bahwa kepemimpinan aksi tidak dapat berdiri sendiri. Tanpa peran negara sebagai enabler, inisiatif sirkular berisiko stagnan di skala kecil. Oleh karena itu, transisi ekonomi sirkular memerlukan interaksi dinamis antara aksi pelaku usaha dan kebijakan publik.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular Indonesia tidak akan dibangun semata oleh rencana dan dokumen strategi. Ia akan tumbuh melalui keputusan-keputusan nyata yang diambil di lapangan, diperkuat oleh kebijakan yang memahami bahwa perubahan sistem selalu dimulai dari tindakan. Dalam konteks inilah, memimpin lewat aksi menjadi kunci masa depan ekonomi sirkular Indonesia.
Daftar Pustaka
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Ekonomi Sirkular untuk Pembangunan Rendah Karbon Indonesia. Jakarta: Bappenas.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Low Carbon Development Indonesia: A Paradigm Shift Towards a Green Economy. Jakarta: Bappenas.
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change. EMF.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan: Ketika Sampah Dipahami sebagai Masalah Nilai, Bukan Sekadar Limbah
Selama ini, persoalan sampah di Indonesia hampir selalu diposisikan sebagai isu lingkungan dan tata kelola perkotaan. Pendekatan yang dominan berfokus pada pengelolaan akhir—pengangkutan, pembuangan, dan pengurangan beban TPA. Perspektif ini penting, tetapi tidak menyentuh persoalan yang lebih mendasar: hilangnya nilai ekonomi dalam sistem produksi dan konsumsi.
Dalam kerangka ekonomi sirkular, sampah dipahami bukan sebagai residu tak berguna, melainkan sebagai indikator kegagalan sistem dalam mempertahankan nilai material, energi, dan tenaga kerja. Ketika produk dan kemasan berakhir sebagai sampah, nilai yang sebelumnya diciptakan di sepanjang rantai produksi ikut terbuang. Oleh karena itu, solusi sirkular tidak hanya berorientasi pada pengurangan volume sampah, tetapi pada rekonstruksi logika nilai dalam sistem ekonomi.
Artikel ini merujuk pada kumpulan praktik bisnis ekonomi sirkular di Indonesia yang menunjukkan bagaimana pendekatan berbasis nilai dapat mengubah sampah menjadi sumber daya ekonomi. Studi-studi ini memperlihatkan bahwa sektor swasta, start-up, dan inisiatif sosial mampu memainkan peran strategis dalam menutup siklus material, bahkan di tengah keterbatasan sistem pengelolaan limbah konvensional.
Dengan pendekatan analitis, artikel ini membahas bagaimana inisiatif bisnis sirkular di Indonesia memanfaatkan limbah sebagai input ekonomi. Fokusnya bukan pada keberhasilan individual semata, tetapi pada pelajaran struktural: apa yang membuat model ini bekerja, batasannya, dan implikasinya bagi kebijakan ekonomi sirkular nasional.
2. Model Bisnis Sirkular: Dari Pengelolaan Sampah ke Penciptaan Nilai
Perbedaan utama antara pendekatan konvensional dan ekonomi sirkular terletak pada tujuan akhirnya. Pengelolaan sampah bertujuan mengurangi dampak negatif, sementara model bisnis sirkular bertujuan menciptakan nilai baru dari material yang sebelumnya dianggap tidak bernilai. Pergeseran tujuan ini mengubah posisi sampah dari beban menjadi aset ekonomi.
Dalam praktik bisnis sirkular, limbah diperlakukan sebagai bahan baku sekunder yang memiliki karakteristik ekonomi tersendiri. Nilainya ditentukan oleh kualitas pemilahan, konsistensi pasokan, dan kemampuannya diintegrasikan ke dalam proses produksi. Oleh karena itu, banyak inisiatif sirkular tidak hanya berinvestasi pada teknologi pengolahan, tetapi juga pada sistem pengumpulan, edukasi pemasok, dan kemitraan rantai nilai.
Model ini juga menggeser struktur biaya dan pendapatan. Alih-alih bergantung pada volume penjualan produk baru, nilai diciptakan melalui efisiensi material, substitusi bahan baku primer, dan diferensiasi produk berbasis keberlanjutan. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini relevan karena mampu mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku sekaligus menciptakan lapangan kerja lokal di sektor pengolahan dan logistik.
Namun keberhasilan model bisnis sirkular tidak terlepas dari tantangan. Variabilitas kualitas limbah, ketidakpastian pasokan, dan keterbatasan infrastruktur menjadi hambatan utama. Tanpa dukungan kebijakan dan ekosistem yang memadai, model ini berisiko tetap berada di skala niche. Oleh karena itu, memahami dinamika model bisnis sirkular menjadi langkah awal untuk menilai potensi replikasi dan skalabilitasnya dalam konteks ekonomi nasional.
3. Tipologi Inisiatif Bisnis Sirkular di Indonesia
Inisiatif ekonomi sirkular berbasis bisnis di Indonesia menunjukkan keragaman pendekatan yang mencerminkan konteks pasar dan struktur rantai nilai yang berbeda. Meskipun sama-sama berangkat dari upaya memanfaatkan limbah, model yang digunakan tidak homogen. Perbedaan ini penting untuk dipahami agar kebijakan dan strategi pengembangan tidak bersifat seragam dan tidak efektif.
Salah satu tipologi utama adalah model substitusi bahan baku, di mana limbah diolah menjadi material pengganti bahan primer. Model ini menargetkan efisiensi biaya dan pengurangan ketergantungan impor. Keberhasilannya sangat bergantung pada konsistensi kualitas dan volume limbah, serta kemampuan memenuhi standar industri.
Tipologi berikutnya adalah model produk bernilai tambah, yang mengubah limbah menjadi produk baru dengan diferensiasi desain, fungsi, atau narasi keberlanjutan. Dalam model ini, nilai tidak hanya berasal dari material, tetapi juga dari persepsi pasar. Pendekatan ini sering digunakan oleh usaha rintisan dan bisnis berbasis gaya hidup, namun menghadapi tantangan skala dan harga.
Model lain yang berkembang adalah layanan sirkular, seperti pengumpulan, pemilahan, dan logistik balik. Model ini menutup celah dalam sistem pengelolaan limbah konvensional dan menjadi prasyarat bagi model sirkular lain. Namun margin keuntungan sering tipis dan sangat sensitif terhadap biaya operasional dan regulasi.
Tipologi-tipologi ini menunjukkan bahwa ekonomi sirkular berbasis bisnis bukan satu model tunggal, melainkan ekosistem pendekatan yang saling bergantung. Tanpa pemahaman ini, intervensi kebijakan berisiko hanya menguntungkan satu jenis model dan menghambat perkembangan ekosistem secara keseluruhan.
4. Faktor Penentu Keberhasilan dan Hambatan Skalabilitas
Keberhasilan inisiatif bisnis sirkular di Indonesia ditentukan oleh kombinasi faktor teknis, pasar, dan kelembagaan. Salah satu faktor kunci adalah kualitas input limbah. Tanpa sistem pemilahan dan pengumpulan yang memadai, biaya pengolahan meningkat dan nilai ekonomi menurun. Oleh karena itu, banyak bisnis sirkular berinvestasi pada penguatan hulu rantai pasok, bukan hanya teknologi pengolahan.
Akses pasar juga menjadi faktor penentu. Produk sirkular harus bersaing dengan produk konvensional yang sering kali lebih murah dan mapan. Diferensiasi nilai—baik melalui kualitas, desain, maupun narasi keberlanjutan—menjadi strategi penting, tetapi tidak selalu cukup untuk mencapai skala besar.
Dari sisi kelembagaan, ketidakpastian regulasi dan keterbatasan dukungan pembiayaan menjadi hambatan utama. Banyak inisiatif sirkular berada di antara kategori usaha mikro dan industri, sehingga sulit mengakses skema pembiayaan yang ada. Tanpa kebijakan yang secara eksplisit mendukung model sirkular, risiko bisnis tetap tinggi.
Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa tantangan utama ekonomi sirkular bukan pada kelayakan teknis, tetapi pada konteks sistemik tempat bisnis tersebut beroperasi. Skalabilitas hanya dapat dicapai jika ekosistem kebijakan, pasar, dan infrastruktur bergerak seiring.
5. Peran Kebijakan Publik dalam Menskalakan Bisnis Sirkular
Skala merupakan tantangan utama bagi sebagian besar inisiatif bisnis sirkular di Indonesia. Di sinilah peran kebijakan publik menjadi krusial. Tanpa dukungan kebijakan yang tepat, bisnis sirkular cenderung terjebak pada skala kecil, meskipun modelnya layak secara ekonomi dan lingkungan.
Salah satu peran utama kebijakan adalah menciptakan kepastian pasar. Standar produk, regulasi material, dan kebijakan pengadaan publik dapat memberikan permintaan awal yang stabil bagi produk sirkular. Ketika negara berfungsi sebagai pembeli awal, risiko pasar berkurang dan investasi swasta menjadi lebih menarik.
Kebijakan fiskal dan pembiayaan juga berpengaruh besar. Insentif bagi penggunaan bahan baku sekunder, pembiayaan berbasis kinerja lingkungan, dan dukungan bagi investasi infrastruktur sirkular dapat menurunkan hambatan masuk. Tanpa koreksi insentif, bisnis sirkular harus bersaing dalam struktur pasar yang dirancang untuk ekonomi linear.
Selain itu, kebijakan publik berperan dalam membangun ekosistem. Koordinasi lintas sektor, penguatan kapasitas pemerintah daerah, dan integrasi ekonomi sirkular ke dalam perencanaan pembangunan menjadi faktor penentu keberhasilan jangka panjang. Tanpa pendekatan ekosistem, intervensi kebijakan berisiko terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Dengan demikian, peran negara bukan menggantikan pasar, tetapi menciptakan kondisi yang memungkinkan bisnis sirkular tumbuh dan berkontribusi secara signifikan terhadap transformasi ekonomi nasional.
6. Kesimpulan Analitis: Dari Studi Kasus ke Agenda Nasional
Pembahasan ini menegaskan bahwa inisiatif bisnis sirkular di Indonesia telah menunjukkan potensi nyata dalam mengubah limbah menjadi nilai ekonomi. Namun studi kasus individual, meskipun inspiratif, tidak cukup untuk menggerakkan transisi sistemik. Tantangan sesungguhnya adalah menerjemahkan praktik-praktik tersebut menjadi agenda pembangunan nasional.
Artikel ini menunjukkan bahwa keberhasilan bisnis sirkular tidak hanya ditentukan oleh inovasi pelaku usaha, tetapi juga oleh konteks kebijakan dan ekosistem. Tanpa reformasi regulasi, pembiayaan, dan perencanaan, model sirkular akan tetap berada di pinggiran ekonomi arus utama.
Dari perspektif kebijakan, pelajaran utama adalah perlunya pendekatan yang bersifat enabling, bukan preskriptif. Negara perlu membuka ruang bagi beragam model sirkular, sambil memastikan bahwa manfaat ekonomi dan lingkungan dapat terakumulasi secara sistemik.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular berbasis bisnis menawarkan lebih dari sekadar solusi pengelolaan sampah. Ia menghadirkan peluang untuk membangun ekonomi yang lebih efisien, tangguh, dan inklusif. Dengan mengangkat praktik-praktik ini ke tingkat kebijakan nasional, Indonesia dapat mempercepat transisi dari ekonomi linear menuju ekonomi yang mempertahankan nilai dalam jangka panjang.
Daftar Pustaka
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Ekonomi Sirkular untuk Pembangunan Rendah Karbon Indonesia. Jakarta: Bappenas.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Low Carbon Development Indonesia: A Paradigm Shift Towards a Green Economy. Jakarta: Bappenas.
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change. EMF.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan: Mengapa Umur Produk Menjadi Isu Pusat Ekonomi Sirkular
Dalam praktik ekonomi modern, keberhasilan produk sering diukur dari kecepatan perputaran pasar. Model ini mendorong inovasi cepat, tetapi juga menghasilkan siklus penggantian produk yang semakin pendek. Akibatnya, tekanan terhadap sumber daya alam, energi, dan sistem pengelolaan limbah meningkat secara struktural. Dalam konteks ini, ekonomi sirkular menuntut perubahan cara pandang: dari seberapa cepat produk diganti menjadi seberapa lama nilai produk dapat dipertahankan.
Artikel ini merujuk pada kerangka ekonomi sirkular Indonesia yang menempatkan perpanjangan umur produk sebagai strategi inti, bukan pelengkap. Pendekatan ini menegaskan bahwa dampak lingkungan terbesar sering terjadi pada tahap produksi awal. Oleh karena itu, memperpanjang masa pakai produk memiliki efek pengurangan emisi dan penggunaan sumber daya yang jauh lebih signifikan dibandingkan intervensi di akhir siklus hidup.
Di Indonesia, isu ini menjadi semakin relevan karena pertumbuhan konsumsi yang cepat, urbanisasi, dan meningkatnya volume limbah, termasuk limbah pangan, tekstil, dan elektronik. Tanpa strategi perpanjangan umur produk, ekonomi sirkular berisiko terjebak pada solusi hilir yang mahal dan terbatas dampaknya.
Dengan pendekatan analitis, artikel ini membahas perpanjangan umur produk sebagai pilar yang sering terabaikan dalam ekonomi sirkular Indonesia. Fokusnya adalah menjelaskan mengapa strategi ini krusial, bagaimana ia bekerja lintas sektor, dan implikasinya bagi kebijakan publik dan praktik bisnis.
2. Perpanjangan Umur Produk sebagai Pengungkit Utama Pengurangan Dampak
Perpanjangan umur produk bekerja melalui mekanisme yang sederhana namun berdampak besar: mengurangi kebutuhan produksi baru. Setiap produk yang digunakan lebih lama menunda ekstraksi bahan baku, proses manufaktur, dan distribusi—tahapan yang umumnya paling intensif energi dan emisi. Dalam banyak kasus, manfaat lingkungan dari memperpanjang umur produk melampaui manfaat daur ulang.
Pendekatan ini menempatkan aktivitas seperti perawatan, perbaikan, penggunaan kembali, dan redistribusi sebagai bagian inti dari sistem ekonomi. Nilai ekonomi tidak lagi hanya diciptakan pada saat penjualan pertama, tetapi sepanjang siklus hidup produk. Dalam konteks ini, sektor jasa—perbaikan, pemeliharaan, dan logistik balik—memperoleh peran strategis.
Di Indonesia, pengungkit ini memiliki dimensi sosial-ekonomi yang penting. Banyak praktik perpanjangan umur produk sebenarnya telah lama ada dalam ekonomi informal dan komunitas lokal. Namun praktik-praktik tersebut sering dipinggirkan oleh model bisnis modern yang berorientasi pada volume. Ekonomi sirkular memberi peluang untuk merevitalisasi dan memformalkan praktik-praktik ini sebagai bagian dari strategi pembangunan.
Meski demikian, perpanjangan umur produk menghadapi tantangan struktural. Desain produk yang tidak dapat diperbaiki, ketersediaan suku cadang yang terbatas, dan insentif pasar yang mendorong penggantian cepat menjadi hambatan utama. Tanpa intervensi kebijakan dan perubahan desain pasar, strategi ini sulit berkembang secara luas.
3. Pangan, Tekstil, dan E-Waste: Sektor Kritis Perpanjangan Umur Produk
Efektivitas strategi perpanjangan umur produk sangat bergantung pada sektor yang menjadi sasaran. Di Indonesia, tiga sektor menonjol karena skala dampak dan kompleksitas tantangannya: pangan, tekstil, dan limbah elektronik. Ketiganya mencerminkan pola konsumsi yang cepat, intensitas sumber daya tinggi, dan kerugian nilai yang signifikan ketika produk berakhir terlalu dini.
Pada sektor pangan, perpanjangan umur produk berhubungan erat dengan pencegahan kehilangan dan pemborosan. Sebagian besar nilai lingkungan pangan hilang bukan karena produk tidak layak konsumsi, tetapi karena kegagalan sistem distribusi, penyimpanan, dan standar estetika. Strategi seperti pengelolaan inventori yang lebih baik, redistribusi pangan, dan pemanfaatan produk mendekati masa kedaluwarsa dapat menurunkan tekanan sumber daya secara substansial tanpa meningkatkan produksi.
Di sektor tekstil, perpanjangan umur produk menantang budaya fast fashion yang mendorong pergantian cepat. Desain tahan lama, perbaikan, penggunaan kembali, dan pasar sekunder menjadi kunci untuk menahan laju konsumsi material. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini juga membuka ruang bagi keterampilan lokal dan usaha kecil yang bergerak di bidang reparasi dan penyesuaian pakaian.
Sementara itu, e-waste menghadirkan tantangan teknis dan institusional yang lebih kompleks. Produk elektronik sering dirancang dengan siklus hidup pendek dan keterbatasan perbaikan. Perpanjangan umur melalui perbaikan, pembaruan perangkat lunak, dan penggunaan kembali dapat mengurangi risiko lingkungan dan kesehatan yang signifikan. Namun strategi ini menuntut standar, infrastruktur, dan kepastian pasar yang belum sepenuhnya terbentuk.
Ketiga sektor ini menunjukkan bahwa perpanjangan umur produk bukan strategi generik. Ia memerlukan pendekatan kebijakan dan model bisnis yang disesuaikan dengan karakteristik sektor dan rantai nilainya.
4. Model Bisnis dan Inovasi untuk Penggunaan Jangka Panjang
Perpanjangan umur produk menuntut pergeseran model bisnis. Ketika nilai ekonomi tidak lagi bertumpu pada penjualan unit baru, pelaku usaha perlu mengembangkan sumber pendapatan dari layanan, kualitas, dan hubungan jangka panjang dengan pengguna. Inovasi dalam model bisnis menjadi prasyarat agar strategi ini layak secara ekonomi.
Model berbasis layanan, perbaikan berlangganan, dan penjualan kembali menjadi contoh pendekatan yang mendukung penggunaan jangka panjang. Dalam model ini, produsen memiliki insentif untuk merancang produk yang tahan lama dan mudah dirawat, karena kinerja produk langsung memengaruhi biaya dan reputasi mereka. Pendekatan ini juga menggeser risiko dari konsumen ke produsen, mendorong desain yang lebih bertanggung jawab.
Di Indonesia, inovasi semacam ini mulai muncul, tetapi masih menghadapi tantangan skala dan pembiayaan. Pasar sering kali belum menghargai kualitas dan daya tahan, sementara biaya awal desain produk yang lebih baik relatif tinggi. Tanpa dukungan kebijakan dan pembiayaan, model bisnis jangka panjang sulit bersaing dengan produk murah berumur pendek.
Inovasi sosial juga berperan penting. Platform penggunaan kembali, komunitas perbaikan, dan inisiatif zero waste hospitality menunjukkan bahwa nilai dapat diciptakan melalui kolaborasi dan perubahan praktik, bukan hanya teknologi. Inisiatif ini memperluas pemahaman perpanjangan umur produk dari isu teknis menjadi strategi sosial-ekonomi.
5. Peran Kebijakan Publik dalam Mendorong Perpanjangan Umur Produk
Perpanjangan umur produk tidak dapat berkembang hanya melalui kesadaran konsumen atau inisiatif bisnis individual. Kebijakan publik memegang peran kunci dalam membentuk struktur insentif yang menentukan apakah penggunaan jangka panjang menjadi pilihan rasional di pasar. Tanpa intervensi kebijakan, produk murah berumur pendek akan terus lebih kompetitif dibandingkan produk tahan lama.
Salah satu peran utama kebijakan adalah menetapkan standar desain dan kualitas. Regulasi yang mendorong keterbaikan, ketersediaan suku cadang, dan transparansi informasi umur pakai dapat menggeser pasar menuju produk yang lebih tahan lama. Kebijakan semacam ini tidak melarang inovasi, tetapi mengarahkan inovasi ke arah yang lebih efisien secara sumber daya.
Instrumen fiskal juga berpengaruh besar. Insentif bagi layanan perbaikan, penggunaan kembali, dan redistribusi produk dapat menurunkan biaya relatif strategi perpanjangan umur. Sebaliknya, struktur pajak dan bea masuk yang tidak membedakan produk tahan lama dan sekali pakai justru memperkuat model konsumsi cepat. Reformasi fiskal yang selaras dengan tujuan sirkular menjadi prasyarat penting.
Selain itu, negara berperan sebagai pencipta pasar awal. Melalui pengadaan publik, pemerintah dapat memprioritaskan produk dan layanan dengan umur pakai panjang dan biaya siklus hidup rendah. Pendekatan ini tidak hanya menurunkan biaya jangka panjang bagi negara, tetapi juga memberi sinyal kuat kepada produsen untuk menyesuaikan desain dan model bisnis mereka.
Dengan demikian, kebijakan publik berfungsi sebagai pengungkit yang memungkinkan perpanjangan umur produk bergerak dari praktik niche menuju arus utama ekonomi.
6. Kesimpulan Analitis: Mengapa “Old Is Gold” Relevan bagi Pembangunan Indonesia
Pembahasan ini menegaskan bahwa perpanjangan umur produk merupakan strategi kunci dalam ekonomi sirkular Indonesia. Dibandingkan pendekatan hilir seperti daur ulang, penggunaan jangka panjang menawarkan dampak pengurangan sumber daya dan emisi yang lebih besar karena menyasar akar konsumsi dan produksi.
Artikel ini menunjukkan bahwa strategi “old is gold” relevan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ia membuka peluang penciptaan nilai tambah melalui layanan, perbaikan, dan penggunaan kembali, sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi domestik. Dalam konteks Indonesia, strategi ini juga berpotensi mengangkat praktik lokal dan ekonomi komunitas yang selama ini terpinggirkan.
Namun keberhasilan perpanjangan umur produk tidak bersifat otomatis. Tanpa dukungan kebijakan, inovasi model bisnis, dan perubahan desain pasar, produk berumur pendek akan tetap mendominasi. Oleh karena itu, perpanjangan umur produk perlu dipahami sebagai agenda kebijakan pembangunan, bukan sekadar pilihan gaya hidup.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular Indonesia tidak hanya ditentukan oleh seberapa efektif limbah dikelola, tetapi oleh seberapa lama nilai produk dipertahankan dalam sistem ekonomi. Dengan menjadikan umur produk sebagai indikator utama keberhasilan, Indonesia memiliki peluang untuk membangun lintasan pembangunan yang lebih efisien, inklusif, dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Ekonomi Sirkular untuk Pembangunan Rendah Karbon Indonesia. Jakarta: Bappenas.
Ellen MacArthur Foundation. (2017). A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future. EMF.
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change. EMF.