Sains & Teknologi

Penelitian Jalan Anoa Mengungkap Rahasia di Balik Kemacetan Tersembunyi Kota Baubau – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 Oktober 2025


Denyut Nadi Kota Baubau yang Mulai Terengah-engah

Di jantung Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, terbentang sebuah urat nadi aspal sepanjang 10.6 kilometer bernama Jalan Anoa. Ini bukan sekadar jalan biasa; ia adalah arteri primer berstatus jalan nasional yang menopang denyut kehidupan ekonomi, sosial, dan mobilitas ribuan warganya setiap hari.1 Namun, seperti banyak kota lain di Indonesia yang tengah berakselerasi, arteri vital ini mulai menunjukkan gejala sesak napas.

Sebuah penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli teknik sipil dari Universitas Dayanu Ikhsanuddin baru-baru ini menyorot sebuah realitas yang tak terhindarkan: pertumbuhan jumlah kendaraan di Baubau melesat pesat, sementara lebar Jalan Anoa tetap sama, tak sejengkal pun bertambah.1 Fenomena ini menciptakan sebuah bom waktu, di mana kenyamanan berkendara perlahan tergerus dan potensi kelumpuhan lalu lintas di masa depan menjadi ancaman nyata.

Menyadari urgensi ini, para peneliti turun ke lapangan untuk melakukan sebuah "pemeriksaan kesehatan" komprehensif terhadap Jalan Anoa. Mereka tidak hanya menghitung jumlah kendaraan yang lewat, tetapi juga menyelami dinamika kompleks di baliknya melalui analisis manajemen dan rekayasa lalu lintas. Tujuannya jelas: membedah kondisi jalan secara ilmiah dan menganalisis kapasitas maksimalnya sebelum masalah kecil hari ini menjadi krisis besar di kemudian hari.1 Apa yang mereka temukan bukan hanya sekumpulan data, melainkan sebuah cerita tentang bagaimana sebuah kota bertumbuh, dan bagaimana infrastrukturnya berjuang untuk mengimbanginya.

 

Di Balik Angka: Bagaimana Peneliti Mengukur 'Kesehatan' Sebuah Jalan?

Untuk memahami kondisi sebuah jalan, para peneliti tidak bisa hanya mengandalkan perasaan atau pengamatan kasat mata. Mereka memerlukan alat ukur yang presisi dan metodologi ilmiah yang teruji. Dalam studi ini, para ahli menggunakan serangkaian konsep dan alat analisis canggih untuk mendiagnosis "kesehatan" Jalan Anoa, mengubah lalu lintas yang tampak acak menjadi data yang bisa diinterpretasikan.1

Konsep utama yang menjadi pegangan adalah Level of Service (LOS) atau Tingkat Pelayanan Jalan. Bayangkan ini sebagai sebuah "Rapor Jalan" dengan nilai dari A hingga F.

  • Nilai A ($V/C$ 0.00-0.19) adalah kondisi ideal, seperti melaju di jalan tol kosong pada dini hari, di mana pengemudi punya kebebasan penuh.1
  • Nilai C ($V/C$ 0.45-0.69), yang menjadi temuan umum di Jalan Anoa, ibarat berjalan di koridor sekolah saat jam istirahat. Ramai, arusnya stabil, tetapi Anda harus sedikit bersabar dan waspada untuk bermanuver atau mengubah lajur.1 Ini adalah standar desain yang umum untuk jalan perkotaan.
  • Nilai E ($V/C$ 0.80-1.00) dan F ($V/C > 1.00$) adalah zona merah. Ini adalah kondisi saat bel pulang sekolah berbunyi dan semua orang berdesakan di pintu keluar. Arus menjadi tidak stabil, kecepatan menurun drastis, sering terjadi henti-henti singkat, dan kemacetan parah mengintai.1

Untuk mendapatkan nilai rapor ini, peneliti membandingkan dua variabel kunci: Volume dan Kapasitas. Volume adalah jumlah kendaraan yang benar-benar melintas pada satu waktu. Sementara Kapasitas adalah jumlah maksimum kendaraan yang mampu ditampung oleh jalan tersebut sebelum akhirnya "tumpah" menjadi kemacetan. Ibarat pipa air, kapasitas adalah diameter pipa, sedangkan volume adalah banyaknya air yang mengalir. Masalah muncul ketika volume air mendekati kapasitas maksimal pipa.1

Untuk menghitung kapasitas sejati Jalan Anoa, para peneliti menggunakan model matematika eksponensial yang dikenal sebagai Metode Underwood. Metode ini secara ilmiah menghubungkan tiga elemen fundamental lalu lintas—kecepatan, kepadatan, dan volume—untuk menemukan titik kritis di mana arus lalu lintas akan pecah.1 Ini memastikan bahwa angka kapasitas yang dihasilkan bukanlah tebakan, melainkan hasil perhitungan rekayasa yang akurat.

Tentu saja, tidak semua kendaraan diciptakan sama. Sebuah truk besar jelas memberikan beban yang berbeda pada jalan dibandingkan sebuah sepeda motor. Untuk itu, perhitungan dilakukan menggunakan Satuan Mobil Penumpang (smp). Dalam standar yang digunakan, sebuah kendaraan berat (HV) seperti truk dihitung setara dengan 1.3 mobil, sementara sepeda motor (MC) hanya dihitung setara 0.4 mobil.1 Konversi ini memastikan analisis mencerminkan beban lalu lintas yang sesungguhnya di lapangan.

 

Temuan Mengejutkan di Tiga Titik Krusial Jalan Anoa

Dengan metodologi yang solid, para peneliti memfokuskan pengamatan mereka pada tiga titik strategis di sepanjang Jalan Anoa: Pos 1 di Kelurahan Kokalukuna, Pos 2 di Waruruma, dan Pos 3 di Waliabuku. Pengamatan yang dilakukan selama empat hari—mewakili hari kerja (Selasa, Senin) dan akhir pekan (Sabtu, Minggu)—mengungkapkan sebuah drama lalu lintas dengan dinamika yang sangat berbeda di setiap lokasi.1

Pos 1 (Kokalukuna) – Raksasa Lebar yang Terancam Tumbang

Pos 1, yang terletak di Kokalukuna, adalah bagian terluas dari Jalan Anoa dengan lebar mencapai 7.1 meter.1 Secara teori, ini seharusnya menjadi bagian yang paling lancar. Data kapasitasnya pun luar biasa. Pada hari Sabtu, titik ini mampu menampung beban lalu lintas hingga 1644 smp/jam, kapasitas tertinggi yang tercatat selama penelitian.1 Namun, di balik kekuatan ini tersembunyi sebuah kerentanan yang mengejutkan.

Temuan paling dramatis terjadi pada hari Minggu. Di saat banyak orang mengira jalanan akan lebih lengang, Pos 1 justru berada di ambang kolaps. Tingkat Pelayanan Jalan (LOS) anjlok ke level E, dengan rasio volume terhadap kapasitas mencapai 0.86.1 Ini adalah kondisi arus tidak stabil, di mana kecepatan sangat rendah dan kemacetan bisa terjadi kapan saja. Data per jam menunjukkan bahwa pada sore hari Minggu, antara pukul 17.00 hingga 18.00, volume kendaraan melonjak hingga 766.3 smp/jam, membuktikan bahwa akhir pekan bukanlah jaminan kelancaran.1 Temuan ini mematahkan mitos "akhir pekan yang sepi" dan menunjukkan pergeseran pola mobilitas warga Baubau, di mana aktivitas rekreasi dan sosial di akhir pekan kini memberikan tekanan pada infrastruktur yang setara, atau bahkan lebih parah, dari jam sibuk hari kerja.

Pos 3 (Waliabuku) – Titik Sempit, Peringatan Dini Sistemi

Berbanding terbalik 180 derajat dengan Pos 1, Pos 3 di Waliabuku adalah titik tersempit di sepanjang ruas jalan yang diteliti, dengan lebar hanya 4.7 meter—hampir 35% lebih sempit dari Pos 1.1 Titik ini adalah biang keladi sesungguhnya, sebuah sumbatan yang menentukan kinerja seluruh sistem jalan sepanjang 10.6 km.

Jika Jalan Anoa adalah sebuah selang air, maka Pos 3 adalah bagian yang terinjak. Tidak peduli seberapa besar tekanan air di pangkalnya (Pos 1), aliran yang keluar akan selalu kecil dan tersendat di titik ini. Data membuktikan analogi ini dengan gamblang. Kapasitas di Pos 3 secara konsisten menjadi yang terendah, bahkan pernah mencapai titik nadir hanya 489 smp/jam pada hari Selasa.1 Angka ini kurang dari sepertiga kapasitas puncak di Pos 1. Artinya, seluruh efisiensi jalan yang lebar di Kokalukuna menjadi sia-sia karena harus "mengantre" untuk melewati lubang jarum di Waliabuku. Titik ini adalah kelemahan Achilles dari Jalan Anoa, dan penelitian ini memberikan diagnosis yang sangat tajam dan terfokus pada masalah utamanya.

Pola Tersembunyi: Jam Sibuk yang Bergeser dan Kabar Baik yang Tak Terduga

Dengan menganalisis data per jam, para peneliti berhasil memetakan ritme kehidupan kota yang tercermin di jalan raya. Pada hari kerja seperti Selasa, puncak kesibukan di Pos 1 terjadi pada pagi hari antara pukul 09.00-10.00, jelas mencerminkan aktivitas berangkat kerja dan sekolah.1 Namun, pola ini berbalik di akhir pekan. Pada hari Sabtu, puncak volume bergeser ke siang hari (12.00-13.00), dan pada hari Minggu, puncaknya terjadi di sore hari (17.00-18.00), menandakan pergerakan warga untuk tujuan rekreasi, belanja, atau sosial.1

Namun, di tengah semua tantangan ini, ada satu temuan yang memberikan secercah harapan dan kejelasan. Para peneliti juga mengukur "Hambatan Samping"—faktor-faktor pengganggu seperti pejalan kaki, kendaraan yang parkir atau berhenti, serta kendaraan yang keluar-masuk dari properti di sisi jalan. Secara mengejutkan, di dua lokasi pengamatan hambatan samping, termasuk di dekat SMPN 9 Baubau dan perempatan Pesantren Liabuku, tingkat hambatannya tergolong "L (Rendah)".1

Ini adalah kabar baik yang sangat penting. Artinya, masalah utama di Jalan Anoa bukanlah perilaku pengguna jalan yang tidak tertib, parkir liar, atau aktivitas pedagang kaki lima yang sering menjadi kambing hitam kemacetan di banyak kota. Masalahnya jauh lebih fundamental dan "bersih": ini adalah murni masalah rekayasa geometrik dan volume kendaraan yang melebihi kapasitas desain jalan di titik-titik tertentu. Penemuan ini memberi tahu para perencana kota dengan tepat di mana mereka harus memfokuskan energi dan anggaran: pada perbaikan fisik jalan itu sendiri, bukan pada penegakan hukum yang kompleks dan seringkali tidak efektif untuk masalah perilaku.

 

Bukan Sekadar Angka: Dampak Nyata Bagi Kehidupan Warga Bauba

Data teknis seperti rasio V/C atau nilai LOS mungkin terdengar abstrak, tetapi dampaknya sangat nyata dan dirasakan langsung oleh setiap warga yang melintasi Jalan Anoa setiap hari. Penelitian ini membantu menerjemahkan angka-angka tersebut ke dalam pengalaman manusiawi.

  • Peringatan Dini di Ambang Batas: Sebagian besar waktu, Jalan Anoa beroperasi pada LOS C. Ini adalah kondisi "cukup lancar tapi waspada". Anda masih bisa melaju dengan kecepatan yang memuaskan, namun untuk menyalip atau berpindah lajur, Anda harus lebih sabar menunggu celah. Namun, penelitian ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara kondisi ini dengan kelumpuhan. Beberapa titik, terutama pada akhir pekan, sudah sering tergelincir ke LOS D (arus mendekati tidak stabil) dan bahkan LOS E (arus tidak stabil, stop-and-go). Ini adalah peringatan dini bahwa Jalan Anoa beroperasi di ujung tanduk; sedikit saja peningkatan volume kendaraan di masa depan dapat mendorongnya secara permanen ke zona kemacetan parah.
  • Akhir Pekan Bukan Lagi Jaminan Kelancaran: Bagi warga Baubau, anggapan bahwa akhir pekan adalah waktu untuk berkendara santai mungkin perlu ditinjau ulang. Data menunjukkan bahwa jam-jam sibuk baru telah muncul pada hari Sabtu dan Minggu, bahkan dengan tingkat kepadatan yang lebih parah daripada jam sibuk hari kerja di beberapa lokasi. Perencanaan perjalanan kini harus memperhitungkan variabel baru ini.
  • Biang Keladi Utama Teridentifikasi: Setiap antrean panjang atau pelambatan laju kendaraan yang Anda alami di sepanjang Jalan Anoa, kemungkinan besar akarnya berasal dari satu titik: penyempitan jalan di area Waliabuku (Pos 3). Ini adalah sumber frustrasi sistemik yang dampaknya merambat ke seluruh ruas jalan.
  • Solusi yang Lebih Jelas: Kabar baiknya adalah masalah ini memiliki solusi yang lebih jelas dan terarah. Karena penyebab utamanya adalah geometrik jalan, bukan perilaku yang sulit diatur, maka intervensi rekayasa seperti pelebaran jalan di titik kritis menjadi solusi yang paling logis dan berpotensi paling efektif.

 

Sebuah Kritik Realistis dan Pandangan ke Depa

Meskipun memberikan wawasan yang sangat berharga, penting untuk memandang hasil penelitian ini dalam konteksnya. Studi ini ibarat sebuah foto snapshot yang sangat detail dari kondisi lalu lintas, bukan sebuah film dokumenter panjang. Data dikumpulkan selama empat hari spesifik pada bulan September 2020.1 Walaupun hari-hari tersebut telah dipilih untuk mewakili hari kerja dan akhir pekan, pola lalu lintas bisa saja menunjukkan dinamika yang berbeda selama musim liburan panjang, saat ada acara besar di kota, atau pada tahun-tahun berikutnya seiring pertumbuhan kota. Ini bukanlah sebuah kelemahan, melainkan batasan yang wajar dari sebuah studi akademis, dan justru membuka pintu bagi penelitian lanjutan serta perlunya pemantauan lalu lintas secara berkelanjutan.

Selain itu, studi ini berfokus secara eksklusif pada Jalan Anoa. Tentu saja, "kesehatan" jalan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi jalan-jalan arteri dan kolektor lain yang terhubung dengannya. Sebuah analisis yang mencakup seluruh jaringan jalan Kota Baubau di masa depan akan memberikan gambaran yang lebih holistik dan memungkinkan perencanaan yang lebih terintegrasi.

 

Kesimpulan: Peta Jalan Menuju Baubau yang Lebih Lancar

Pada akhirnya, penelitian mengenai manajemen dan rekayasa lalu lintas di Jalan Anoa ini lebih dari sekadar tumpukan kertas akademis; ia adalah sebuah peta jalan yang jelas dan berbasis bukti bagi pemerintah Kota Baubau. Dengan data ini di tangan, para perencana kota tidak lagi perlu meraba-raba dalam gelap untuk mengambil keputusan. Studi ini telah mengidentifikasi dengan tepat di mana letak "penyakit" utama, kapan "gejalanya" paling parah, dan apa "penyebab" dasarnya.

Jika diterapkan, temuan ini bisa menjadi dasar untuk intervensi kebijakan yang sangat efisien. Misalnya, dengan memprioritaskan pelebaran jalan di titik sempit sekitar Pos 3 di Waliabuku, pemerintah bisa membuka sumbatan utama dan secara signifikan meningkatkan kelancaran di seluruh ruas jalan sepanjang 10.6 km. Proyek yang terfokus seperti ini, yang didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat, berpotensi mencegah kerugian ekonomi akibat kemacetan, mengurangi polusi udara, dan menghemat ribuan jam waktu komuter bagi warga setiap tahunnya dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.

Kisah Jalan Anoa adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi banyak kota berkembang. Pertumbuhan adalah sebuah keniscayaan, tetapi kemacetan adalah sebuah pilihan. Dengan menjadikan data dan analisis ilmiah sebagai kompas, Baubau memiliki kesempatan untuk memilih jalur pertumbuhan yang lebih cerdas, efisien, dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Dairi, R. H., & Khairani, I. (2021). Manajemen dan rekayasa lalu lintas pada ruas Jalan Anoa Kota Baubau. Jurnal Media Inovasi Teknik Sipil Unidayan, X(2), 67–77.

Selengkapnya
Penelitian Jalan Anoa Mengungkap Rahasia di Balik Kemacetan Tersembunyi Kota Baubau – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian di Manado Mengungkap Paradoks Jalan Satu Arah – Temuan Ini Bisa Mengubah Wajah Kota Anda!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 Oktober 2025


Bagian I: Membedah Temuan Mengejutkan di Jalan Bethesda, Manado (Resensi Jurnalistik)

Mitos Kelancaran Jalan Satu Arah yang Terpatahkan

Di tengah deru mesin dan lautan kendaraan yang menyesaki kota-kota besar Indonesia, ada satu keyakinan yang seolah menjadi mantra sakti para perencana kota: jika macet, buatlah jalan satu arah. Logikanya sederhana, dengan menghilangkan konflik dari arah berlawanan, arus kendaraan akan melaju lebih cepat dan lancar. Namun, bagaimana jika solusi yang selama ini kita anggap sebagai obat mujarab justru dalam kondisi tertentu bisa menjadi racun yang memperparah penyakit?

Sebuah penelitian yang cermat dan mendetail dari jantung kota Manado, Sulawesi Utara, mengguncang asumsi lama ini. Tim peneliti dari Program Studi Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi, yang dipimpin oleh Gerwin Wa'Bone, melakukan sebuah investigasi mendalam di Jalan Bethesda, sebuah koridor vital di Kecamatan Sario.1 Jalan ini unik karena memiliki dua segmen yang bersebelahan: satu menerapkan sistem dua arah, dan satu lagi sistem satu arah. Kondisi ini menjadikannya laboratorium perkotaan yang sempurna untuk menjawab pertanyaan fundamental: di antara keduanya, manakah yang benar-benar lebih efektif dalam memerangi kemacetan? Jawabannya, yang terungkap melalui data lapangan dan simulasi digital canggih, ternyata sangat mengejutkan dan berpotensi mengubah cara kita memandang manajemen lalu lintas di seluruh Indonesia.

 

Di Balik Angka: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Jantung Kota Manado?

Untuk membongkar realitas lalu lintas di Jalan Bethesda, para peneliti tidak hanya duduk di belakang meja. Mereka melakukan "investigasi" lapangan yang intensif. Selama tiga hari—mencakup dua hari kerja dan satu hari libur—tim ini secara manual menghitung setiap kendaraan yang melintas, mengukur kecepatannya, dan mencatat setiap gangguan kecil yang terjadi di tepi jalan, mulai dari pejalan kaki yang menyeberang hingga mobil yang parkir sembarangan.1

Dari ribuan data yang terkumpul, mereka mengidentifikasi momen paling kritis: jam puncak pada hari Kamis, 15 September 2022, antara pukul 12.00 hingga 13.00 WITA. Pada satu jam genting ini, total 4.282 kendaraan membanjiri persimpangan tersebut.1 Bayangkan, setiap jamnya, lebih dari empat ribu kendaraan—cukup untuk membuat antrean sepanjang 20 kilometer jika dijejerkan—berdesakan di satu titik. Ini adalah potret nyata dari tekanan luar biasa yang dialami infrastruktur perkotaan kita setiap hari.

Namun, data mentah saja tidak cukup. Untuk memahami dinamika yang kompleks, tim peneliti membawa "medan perang" lalu lintas ini ke dalam dunia digital. Mereka menggunakan PTV Vissim, sebuah perangkat lunak simulasi mikro yang diakui secara global, untuk menciptakan kembaran virtual (digital twin) dari Jalan Bethesda.1 Ini bukan sekadar animasi biasa. Para peneliti dengan teliti memasukkan semua data lapangan—volume kendaraan, kecepatan rata-rata, hingga perilaku pengemudi lokal—ke dalam model.

Langkah krusial berikutnya adalah kalibrasi dan validasi. Model digital ini "diuji" berulang kali, dan parameternya disesuaikan hingga perilakunya cocok dengan kondisi nyata di lapangan. Keakuratannya diukur menggunakan rumus statistik bernama GEH. Hasilnya, setelah kalibrasi, model simulasi mereka terbukti sangat akurat, dengan nilai GEH jauh di bawah ambang batas toleransi.1 Langkah ini memberikan bobot ilmiah yang luar biasa pada temuan mereka, memastikan bahwa kesimpulan yang ditarik bukan berasal dari spekulasi, melainkan dari model yang telah terverifikasi secara ketat.

 

Mengurai Misteri Kinerja Jalan

Hasil dari laboratorium digital ini kemudian dianalisis menggunakan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, sebuah panduan standar untuk mengukur kesehatan jalan raya.1 Ada dua indikator utama yang menjadi fokus: "Tingkat Pelayanan" (Level of Service - LOS) dan "Derajat Kejenuhan" (Degree of Saturation - DS).

Bayangkan Tingkat Pelayanan (LOS) sebagai rapor kinerja sebuah jalan, dengan skala dari A (sangat lancar) hingga F (macet total). Sementara itu, Derajat Kejenuhan (DS) bisa diibaratkan sebagai tingkat kepenuhan sebuah botol air; angka 1.0 (atau 100%) berarti botol itu sudah penuh sesak dan tidak bisa menampung air lagi.

Di sinilah letak temuan yang tak terduga itu:

  • Jalan Bethesda Dua Arah: Mendapatkan rapor C. Ini berarti arus lalu lintas masih stabil, dan pengemudi masih memiliki kebebasan untuk mengendalikan kecepatan kendaraannya. Tingkat kepenuhannya hanya 0,519 (atau 51,9%).1 Jalan ini masih memiliki banyak ruang untuk menampung lebih banyak kendaraan sebelum mencapai titik kritis.
  • Jalan Bethesda Satu Arah: Secara mengejutkan, kinerjanya lebih buruk dengan rapor D. Kategori ini menandakan arus mulai tidak stabil, kecepatan menurun drastis, dan kondisi lalu lintas sangat sensitif terhadap gangguan. Yang lebih mengkhawatirkan, tingkat kepenuhannya mencapai 0,813 (atau 81,3%).1

Angka 0,813 ini adalah sebuah alarm bahaya. Menurut standar MKJI 1997, nilai DS di atas 0,75 menandakan bahwa jalan tersebut sudah berada di ambang kolaps.4 Sedikit saja ada gangguan tambahan—seperti mobil mogok atau angkot berhenti mendadak—dapat memicu kemacetan total yang merambat dengan cepat. Dengan kata lain, segmen jalan satu arah di Bethesda hidup di tepi jurang kemacetan setiap saat, sementara "saudaranya" yang dua arah justru bernapas lebih lega. Temuan ini secara telak mematahkan mitos bahwa sistem satu arah secara otomatis lebih unggul.

 

Bukan Arah Jalannya, Tapi Aktivitas di Tepiannya

Lalu, apa yang menyebabkan anomali ini? Jika secara teori jalan satu arah seharusnya lebih efisien, mengapa di Jalan Bethesda justru sebaliknya? Para peneliti menemukan "tersangka utamanya" bukan pada desain arah jalan itu sendiri, melainkan pada faktor yang sering kali terabaikan: hambatan samping.

Hambatan samping adalah istilah teknis untuk segala aktivitas di tepi jalan yang mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Ini mencakup pejalan kaki yang menyeberang sembarangan, kendaraan yang parkir di badan jalan, angkutan umum yang berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, serta kendaraan yang keluar-masuk dari properti seperti toko atau rumah makan.1

Dalam studi ini, kedua segmen Jalan Bethesda—baik yang satu arah maupun dua arah—diklasifikasikan memiliki tingkat hambatan samping Sangat Tinggi (VH). Data menunjukkan lebih dari 2.000 "insiden" pengganggu terjadi setiap harinya di masing-masing segmen, menciptakan "gesekan" konstan yang memperlambat laju kendaraan.1

Namun, dampak dari gesekan ini ternyata berbeda secara signifikan antara kedua sistem:

  • Kerentanan Sistem Satu Arah: Peneliti menemukan bahwa sistem satu arah, yang secara teoretis mendorong kecepatan lebih tinggi, justru menjadi lebih rapuh terhadap hambatan samping. Ketika sebuah mobil tiba-tiba mengerem karena ada motor keluar dari gang, efek "gelombang kejut" pengereman ini merambat ke belakang dengan sangat cepat di lajur yang searah, menyebabkan antrean panjang dalam sekejap.
  • Ketangguhan Sistem Dua Arah: Sebaliknya, jalan dua arah, dengan kecepatan yang secara alami lebih terkontrol karena adanya lalu lintas dari arah berlawanan, terbukti lebih "tangguh" atau resilien. Gangguan-gangguan kecil di tepi jalan tidak serta-merta memicu kemacetan parah karena kecepatan rata-rata kendaraan yang lebih rendah memberikan lebih banyak waktu bagi pengemudi lain untuk bereaksi dan beradaptasi.

Dengan kata lain, jalan satu arah ibarat seorang pelari cepat yang bisa dengan mudah tersandung oleh kerikil kecil, sementara jalan dua arah lebih seperti seorang pejalan yang stabil, yang meskipun lebih lambat, tidak mudah jatuh saat menghadapi rintangan serupa.

 

Kritik dan Konteks: Seberapa Luas Dampak Temuan Ini?

Tentu saja, penting untuk melihat temuan ini dengan kacamata yang jernih. Seperti yang diakui oleh para peneliti, ini adalah potret mendalam dari satu ruas jalan di satu kota.1 Kondisi geometrik, komposisi kendaraan, dan perilaku pengemudi di kota lain mungkin akan menghasilkan dinamika yang berbeda. Namun, pelajaran yang diungkap sangat universal.

Satu kritik yang bisa diajukan, bukan terhadap penelitiannya tetapi pada standar yang digunakan, adalah ketergantungan pada MKJI 1997. Panduan ini dirilis lebih dari seperempat abad yang lalu, jauh sebelum ledakan populasi sepeda motor dan kemunculan fenomena ojek dan taksi online yang kini mendominasi jalanan Indonesia.6 Karakteristik lalu lintas modern yang jauh lebih cair dan acak mungkin tidak sepenuhnya terwakili oleh model-model lama. Pertanyaan yang diajukan oleh studi ini, meskipun secara tidak langsung, menjadi sangat relevan: Apakah standar yang kita gunakan untuk merancang kota kita masih sesuai dengan kekacauan lalu lintas abad ke-21?

 

Pelajaran dari Manado untuk Seluruh Indonesia

Pada akhirnya, penelitian di Jalan Bethesda ini memberikan sebuah pesan yang kuat dan jelas: solusi untuk kemacetan perkotaan tidak sesederhana mengubah panah arah di rambu lalu lintas. Mengubah jalan menjadi satu arah tanpa mengatasi masalah fundamental di tepiannya—yaitu hambatan samping—sering kali hanya akan memindahkan masalah atau bahkan memperburuknya.

Temuan ini adalah panggilan bagi para perencana kota dan pembuat kebijakan di seluruh Indonesia untuk berpikir lebih holistik. Penegakan aturan parkir, penyediaan fasilitas pejalan kaki yang aman, desain halte yang efisien, dan penataan aktivitas ekonomi informal di pinggir jalan bukan lagi sekadar "pelengkap", melainkan elemen krusial dalam manajemen lalu lintas yang efektif.

Jika pemerintah kota di seluruh Indonesia mulai mengaudit ulang sistem jalan satu arah mereka dengan mempertimbangkan faktor hambatan samping yang dominan, temuan dari Manado ini bisa menjadi kunci untuk merancang ulang jalanan yang tidak hanya lebih lancar, tetapi juga lebih hidup, aman, dan ekonomis bagi warganya dalam lima tahun ke depan. Ini bukan lagi soal memilih antara satu atau dua arah, tetapi tentang memilih untuk merancang kota bagi manusia, bukan hanya untuk kendaraan.

 

Bagian II: Debat Global Sistem Satu Arah vs. Dua Arah: Perspektif Internasional

Temuan mengejutkan dari Jalan Bethesda di Manado bukanlah sebuah anomali yang terisolasi. Sebaliknya, ia merupakan bagian dari percakapan global yang lebih besar dan perdebatan sengit dalam dunia perencanaan kota yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Keputusan untuk menerapkan sistem jalan satu arah atau mengembalikannya menjadi dua arah mencerminkan pergeseran fundamental dalam filosofi tentang untuk siapa sebenarnya jalanan kota dirancang.

Sejarah Singkat Rekayasa Lalu Lintas: Dari Arus Kendaraan ke Kualitas Hidup

Pada pertengahan abad ke-20, terutama di era pasca-Perang Dunia II, kota-kota di seluruh dunia, khususnya di Amerika Serikat, menghadapi tantangan baru: ledakan kepemilikan mobil pribadi. Jalanan yang dirancang untuk kereta kuda dan pejalan kaki tiba-tiba dipenuhi oleh kendaraan bermotor. Respons dari para insinyur lalu lintas saat itu adalah pragmatis dan berfokus pada satu tujuan tunggal: memaksimalkan kecepatan dan volume kendaraan.7 Dalam paradigma ini, sistem jalan satu arah dianggap sebagai sebuah inovasi brilian. Dengan menghilangkan konflik belok kiri dan lalu lintas dari arah berlawanan, kapasitas jalan dapat ditingkatkan secara dramatis, dan sinyal lalu lintas dapat disinkronkan untuk menciptakan "gelombang hijau" yang melancarkan arus.9

Namun, kebijakan yang sangat berorientasi pada mobil ini secara tidak sengaja melahirkan serangkaian "efek samping" yang merusak. Jalan-jalan di pusat kota berubah menjadi "jalan raya urban" (urban highways), yang mendorong kecepatan berbahaya, memutus konektivitas antar lingkungan, dan menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi pejalan kaki serta mematikan bisnis lokal yang bergantung pada lalu lintas pejalan kaki.10 Efisiensi yang dicapai dalam pergerakan kendaraan harus dibayar mahal dengan penurunan kualitas hidup perkotaan.

Menjelang akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, sebuah paradigma baru mulai muncul sebagai respons atas kegagalan model lama. Konsep seperti "Livable Streets" (Jalan yang Layak Huni) dan "Complete Streets" (Jalan Lengkap) mulai mendapatkan perhatian.13 Filosofi baru ini mengubah pertanyaan fundamental dari "Bagaimana cara memindahkan mobil secepat mungkin?" menjadi "Bagaimana cara menciptakan jalan yang aman, nyaman, dan produktif untuk semua orang—termasuk pejalan kaki, pesepeda, pengguna transportasi publik, anak-anak, dan lansia?". Dalam kerangka berpikir baru ini, sistem jalan satu arah yang dirancang semata-mata untuk kecepatan mulai dipertanyakan secara serius.

Studi Kasus Internasional: Ketika Kota-Kota Memilih "Putar Balik"

Pergeseran paradigma ini bukan hanya sekadar wacana teoretis. Banyak kota di seluruh dunia telah mulai mengambil langkah nyata untuk mengkonversi kembali jalan-jalan satu arah mereka menjadi dua arah, dan hasilnya didokumentasikan dengan baik, memberikan bukti empiris yang kuat.

Salah satu contoh paling menonjol adalah Louisville, Kentucky. Pada tahun 2011, kota ini mengembalikan dua jalan utama, 1st Street dan Brook Street, menjadi sistem dua arah. Sebuah studi komprehensif yang membandingkan kondisi sebelum dan sesudah konversi mengungkapkan hasil yang menakjubkan. Meskipun volume lalu lintas di kedua jalan tersebut justru meningkat (karena menjadi rute yang lebih logis dan langsung), total angka kecelakaan lalu lintas menurun drastis sebesar 49%. Lebih dari itu, angka kejahatan di sepanjang koridor tersebut juga turun sebesar 23%. Penurunan ini membantah argumen klasik bahwa jalan satu arah lebih aman dan menunjukkan bahwa kecepatan yang lebih terkontrol di jalan dua arah menciptakan lingkungan yang lebih aman secara keseluruhan.12 Dari sisi ekonomi, konversi ini juga memicu peningkatan nilai properti dan vitalitas bisnis di sekitarnya, membuktikan adanya hubungan langsung antara desain jalan yang ramah manusia dan kemakmuran ekonomi.16

Kisah serupa juga terjadi di kota-kota lain. Di Vine Street, Cincinnati, sebuah studi mencatat bahwa 40% bisnis di jalan tersebut tutup setelah diubah menjadi sistem satu arah, karena aksesibilitas dan visibilitas bagi pelanggan menurun drastis.17 Sebaliknya, di Vancouver, jalanan utama yang dikembalikan ke sistem dua arah dilaporkan kembali "hidup" hampir dalam semalam, dengan peningkatan aktivitas pejalan kaki dan bisnis.17 Analisis ekonomi yang dilakukan untuk kota Fargo, North Dakota, bahkan memproyeksikan bahwa konversi kembali ke dua arah dapat menghasilkan peningkatan penjualan ritel jangka pendek sebesar 10% hingga 13%.17

Data-data ini secara kolektif membangun sebuah argumen yang kuat: efisiensi yang ditawarkan oleh jalan satu arah adalah efisiensi yang didefinisikan secara sempit dari sudut pandang pergerakan kendaraan. Ketika metrik efisiensi diperluas untuk mencakup keselamatan publik, kesehatan ekonomi lokal, dan kualitas hidup secara umum, sistem jalan dua arah sering kali terbukti jauh lebih unggul di lingkungan perkotaan yang padat.

Dampak Tersembunyi: Ekonomi Lokal, Pejalan Kaki, dan Keadilan Spasial

Debat antara sistem satu dan dua arah pada dasarnya adalah perdebatan tentang dampak orde kedua dan ketiga dari sebuah desain infrastruktur. Dampak-dampak ini sering kali tidak terlihat dalam analisis lalu lintas konvensional, namun sangat dirasakan oleh penduduk kota.

Ekonomi Skala Mikro: Jalan dua arah secara inheren lebih menguntungkan bagi bisnis kecil dan ritel. Kecepatan kendaraan yang lebih lambat memberikan pengemudi lebih banyak waktu untuk mengamati etalase toko dan membuat keputusan impulsif untuk berhenti. Akses yang mudah dari kedua arah juga menghilangkan hambatan bagi calon pelanggan yang mungkin enggan untuk berputar-putar satu blok hanya untuk mengunjungi sebuah toko.8 Jalan satu arah, dengan fokusnya pada kecepatan, mengubah jalanan dari "destinasi" menjadi sekadar "koridor transit", yang merugikan bisnis yang bergantung pada visibilitas dan aksesibilitas.

Keselamatan Pejalan Kaki: Jalan satu arah terbukti lebih berbahaya bagi pejalan kaki. Desainnya yang sering kali lebih lebar dan lurus mendorong pengemudi untuk melaju lebih cepat. Selain itu, pengemudi yang berbelok ke jalan satu arah cenderung hanya melihat ke satu arah sumber datangnya lalu lintas kendaraan, sering kali mengabaikan pejalan kaki yang mungkin menyeberang dari arah yang tidak terduga.11 Lingkungan yang didominasi oleh kendaraan berkecepatan tinggi ini menciptakan rasa tidak aman dan mengintimidasi, yang pada akhirnya mengurangi keinginan orang untuk berjalan kaki.

Keadilan Spasial dan Transportasi Publik: Dampak sistem satu arah juga sangat dirasakan oleh operator dan pengguna transportasi publik. Sebuah studi kasus dari Bogor, Indonesia, memberikan gambaran yang jelas. Penerapan sistem satu arah memaksa angkutan kota (angkot) untuk menempuh rute yang lebih panjang dan berputar-putar. Hal ini tidak hanya meningkatkan konsumsi bahan bakar, tetapi juga mengurangi jumlah perjalanan pulang-pergi (Round Trip Time - RTT) yang dapat diselesaikan dalam sehari. Akibatnya, pendapatan harian para supir angkot terpangkas hingga 25-50%.18 Ini adalah contoh nyata bagaimana sebuah keputusan rekayasa lalu lintas dapat memiliki implikasi keadilan sosial dan ekonomi yang signifikan, membebani kelompok masyarakat yang paling bergantung pada efisiensi rute transportasi publik.

Secara keseluruhan, pengalaman internasional menunjukkan bahwa konversi kembali ke jalan dua arah bukanlah sebuah langkah mundur, melainkan sebuah langkah maju menuju pemahaman yang lebih matang tentang fungsi jalan dalam ekosistem perkotaan. Ini adalah pengakuan bahwa jalan bukanlah sekadar saluran untuk kendaraan, tetapi ruang publik multifungsi yang harus menyeimbangkan kebutuhan mobilitas, ekonomi, dan interaksi sosial. Temuan dari Manado, oleh karena itu, sangat sejalan dengan narasi global ini, memperkuat argumen bahwa evaluasi ulang terhadap sistem jalan satu arah yang ada adalah langkah yang mendesak dan perlu.

 

Bagian III: Arah Baru Perencanaan Transportasi Urban di Indonesia

Studi kasus di Jalan Bethesda, Manado, dan pelajaran dari berbagai kota di dunia memberikan momentum krusial untuk mengevaluasi kembali arah perencanaan transportasi perkotaan di Indonesia. Temuan-temuan ini bukan lagi sekadar data akademis, melainkan sebuah peringatan keras sekaligus peta jalan menuju kota-kota yang lebih efisien, aman, dan manusiawi. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita perlu berubah, tetapi bagaimana kita harus berubah.

Relevansi Studi Manado dalam Konteks Indonesia: Sebuah Peringatan Keras

Keunikan dan kekuatan utama dari penelitian di Manado adalah relevansinya yang luar biasa bagi konteks perkotaan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Faktor "hambatan samping" yang menjadi biang keladi penurunan kinerja jalan satu arah di Manado adalah cerminan dari realitas sehari-hari di jalanan kota-kota Indonesia.1

Konteks "Hambatan Samping" yang Unik: Aktivitas ekonomi informal yang meluber hingga ke badan jalan, budaya parkir liar yang sulit ditertibkan, perilaku angkutan umum dan ojek online yang berhenti di sembarang tempat, serta arus keluar-masuk kendaraan dari properti komersial adalah karakteristik endemik lalu lintas kita.19 Karakteristik ini menciptakan tingkat "gesekan" yang sangat tinggi dan tidak terduga, yang sering kali membuat model-model rekayasa lalu lintas teoretis yang diadopsi dari negara maju menjadi tidak efektif. Studi Manado secara empiris membuktikan bahwa dalam kondisi gesekan tinggi seperti ini, sistem satu arah yang seharusnya cepat justru menjadi sangat rapuh.

Dominasi Sepeda Motor: Faktor lain yang membuat konteks Indonesia berbeda adalah dominasi sepeda motor dalam komposisi lalu lintas. Standar lama seperti MKJI 1997 tidak sepenuhnya dirancang untuk mengakomodasi perilaku lalu lintas campuran dengan proporsi sepeda motor yang sangat tinggi.6 Kelincahan sepeda motor dalam mengisi setiap celah kosong dan melakukan manuver menyalip yang agresif dapat memperburuk "gelombang kejut" kemacetan pada sistem satu arah yang sudah terganggu oleh hambatan samping. Kecepatan tinggi yang difasilitasi oleh jalan satu arah justru meningkatkan risiko kecelakaan fatal yang melibatkan pengendara sepeda motor.

Studi Manado sebagai "Canary in the Coal Mine": Dengan demikian, penelitian ini dapat dipandang sebagai "burung kenari di tambang batu bara"—sebuah peringatan dini tentang bahaya yang tersembunyi. Jika di Manado, di mana sistem satu arah diterapkan secara berdampingan dengan dua arah, kinerjanya terbukti lebih buruk, maka ada kemungkinan yang sangat besar bahwa banyak sistem jalan satu arah lain di kota-kota besar Indonesia juga tidak seefektif yang diasumsikan. Kebijakan tersebut mungkin hanya berhasil memindahkan titik kemacetan dari satu ruas jalan ke ruas jalan lain di dalam jaringan, tanpa benar-benar menyelesaikan masalah kapasitas secara keseluruhan, persis seperti yang terjadi dalam studi kasus di Depok dan Semarang.4

Rekomendasi Kebijakan: Menuju "Jalan Lengkap" (Complete Streets) ala Indonesia

Berangkat dari pemahaman ini, diperlukan sebuah pergeseran paradigma dalam kebijakan transportasi perkotaan di Indonesia. Fokus harus beralih dari solusi rekayasa tunggal (seperti mengubah arah jalan) ke pendekatan yang lebih holistik dan berpusat pada manusia.

1. Audit Nasional Sistem Satu Arah: Langkah pertama yang paling mendesak adalah melakukan audit komprehensif terhadap efektivitas semua sistem jalan satu arah yang ada di kota-kota besar. Audit ini harus melampaui metrik tradisional seperti volume dan kecepatan kendaraan. Ia harus mencakup analisis dampak ekonomi terhadap bisnis lokal, evaluasi tingkat kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki dan pesepeda, serta pengukuran efisiensi dan aksesibilitas transportasi publik. Penggunaan alat modern seperti simulasi mikro PTV Vissim, seperti yang dilakukan dalam studi Manado, harus menjadi standar untuk mendapatkan gambaran yang akurat dan dinamis.1

2. Prioritaskan Manajemen Hambatan Samping: Studi Manado dengan jelas menunjukkan bahwa akar masalah sering kali bukan terletak pada arah arus, melainkan pada kekacauan di tepi jalan.1 Oleh karena itu, sebelum mempertimbangkan rekayasa lalu lintas yang mahal dan disruptif, prioritas utama pemerintah kota seharusnya adalah manajemen hambatan samping. Ini adalah "buah yang menggantung rendah" yang dapat memberikan perbaikan signifikan dengan biaya yang relatif lebih kecil. Langkah-langkah konkret meliputi:

  • Penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap parkir liar.
  • Penyediaan kantong-kantong parkir off-street yang memadai di dekat pusat-pusat kegiatan.
  • Desain ulang halte bus dan titik penjemputan ojek online agar tidak mengganggu lajur lalu lintas utama.
  • Penataan pedagang kaki lima (PKL) secara manusiawi namun teratur, yang memisahkan aktivitas komersial dari jalur pergerakan kendaraan.19

3. Adopsi Formal Prinsip "Jalan Lengkap" (Complete Streets): Indonesia perlu secara formal mengadopsi kebijakan "Jalan Lengkap" (Complete Streets) dan mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan yang mengikat, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan panduan desain infrastruktur nasional dan daerah.13 Prinsip ini menegaskan bahwa jalan harus dirancang untuk melayani semua pengguna secara aman dan nyaman. Implementasinya dapat berupa:

  • Aksi Kebijakan: Mewajibkan setiap proyek pembangunan atau perbaikan jalan untuk secara eksplisit mempertimbangkan dan menyediakan fasilitas bagi pejalan kaki, pesepeda, dan pengguna transit.
  • Alokasi Ruang: Mengalokasikan sebagian dari lebar jalan (right-of-way) untuk trotoar yang lebar, jalur sepeda terproteksi, dan jalur khusus bus (jika memungkinkan).
  • Penerapan Traffic Calming: Mengintegrasikan elemen "penenang lalu lintas" (traffic calming) sebagai standar desain. Ini termasuk penyempitan lajur kendaraan, pembangunan pulau median, chicanes (jalur berliku), dan speed humps (polisi tidur yang dirancang dengan baik) untuk mengontrol kecepatan kendaraan secara alami, bukan hanya mengandalkan rambu batas kecepatan.14

4. Pembaruan Standar Nasional: Ketergantungan pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 sudah tidak dapat dipertahankan lagi.1 Pemerintah, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perhubungan, harus mempercepat adopsi dan implementasi penuh dari Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (PKJI) versi terbaru (misalnya PKJI 2023).6 Standar baru ini harus secara eksplisit mencakup:

  • Parameter yang lebih akurat untuk lalu lintas campuran dengan dominasi sepeda motor.
  • Faktor penyesuaian yang lebih realistis untuk dampak hambatan samping yang tinggi, sesuai dengan kondisi khas Indonesia.
  • Metrik kinerja yang lebih luas, yang tidak hanya mengukur Derajat Kejenuhan (DS) tetapi juga memasukkan indikator keselamatan, aksesibilitas multi-moda, dan kualitas lingkungan jalan.

Kesimpulan: Bukan Sekadar Mengatur Lalu Lintas, Tetapi Membangun Kota untuk Manusia

Studi di Jalan Bethesda, Manado, meskipun berskala kecil, memberikan pelajaran yang sangat besar bagi Indonesia. Ia menjadi bukti empiris bahwa solusi teknokratis yang diimpor tanpa penyesuaian terhadap konteks sosial, ekonomi, dan perilaku lokal akan menemui kegagalan. Ia menunjukkan bahwa jalanan yang paling efisien bukanlah jalanan yang paling cepat, melainkan jalanan yang paling seimbang dalam melayani berbagai fungsi dan pengguna.

Pada akhirnya, pilihan antara sistem satu arah atau dua arah, atau antara standar MKJI 1997 dan PKJI 2023, bukanlah sekadar pilihan teknis. Ini adalah pilihan fundamental tentang visi masa depan kota-kota kita. Apakah kita ingin terus membangun kota yang dirancang untuk memindahkan kotak-kotak logam (mobil) secepat mungkin dari titik A ke B, dengan mengorbankan keselamatan, vitalitas ekonomi lokal, dan kualitas ruang publik? Ataukah kita ingin mulai membangun kota yang dirancang sebagai tempat tinggal, berinteraksi, berjalan kaki, dan berbisnis bagi manusia?

Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan kualitas hidup jutaan warga perkotaan Indonesia untuk dekade-dekade yang akan datang. Pelajaran dari Manado sudah ada di depan mata; sekarang saatnya untuk bertindak.

 

Sumber Artikel:

  1. Wa'Bone, G., Rumayar, A. L. E., & Pandey, S. V. (2023). Analisis pemanfaatan manajemen lalu lintas sistem dua arah dan satu arah terhadap efektifitas kinerja ruas jalan (Studi kasus: Jalan Bethesda, Kec. Sario, Kota Manado). TEKNO, 21(83), 147-156.
  2. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Simpang Menggunakan Simulasi PTV Vissim 9.0 (Studi Kasus - Iptek ITS, diakses Oktober 22, 2025, https://iptek.its.ac.id/index.php/jats/article/download/20596/9384
  3. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan memuat landasan teori berupa rangkuman teori-teori yang diambil dari pustaka y, diakses Oktober 22, 2025, http://eprints.itenas.ac.id/1198/5/05%20Bab%202%20222015162.pdf
  4. Efektifitas Pemberlakuan Sistem Satu Arah pada ... - E-Journal UNDIP, diakses Oktober 22, 2025, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mkts/article/download/11230/8819
  5. PENENTUAN KAPASITAS JALAN DUA LAJUR DUA ARAH TIDAK TERBAGI DENGAN METODE MKJI, KONSEP PKJI, DAN SURVEI - Journal Untar, diakses Oktober 22, 2025, https://journal.untar.ac.id/index.php/jmts/article/view/5675/3779
  6. Perbandingan Metode MKJI 1997 Dengan PKJI 2023 Pada Analisis Kinerja Simpang Bersinyal (Studi Kasus - ETD UGM, diakses Oktober 22, 2025, https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/234071
  7. Two-way conversions - Cedar-Rapids.org, diakses Oktober 22, 2025, https://www.cedar-rapids.org/local_government/departments_g_-_v/public_works/two-way_conversions.php
  8. One-Way or the Other? Two-Way Traffic Conversion Requires Study - Ayres Associates, diakses Oktober 22, 2025, https://www.ayresassociates.com/one-way-or-the-other-two-way-traffic-conversion-requires-study/
  9. Should Cities Convert One-Way Streets to Two Way? - The Thoreau Institute, diakses Oktober 22, 2025, https://ti.org/vaupdate30.html
  10. Apakah Jalan Satu Arah Menyelesaikan Masalah? | by Nefertari ..., diakses Oktober 22, 2025, https://medium.com/kolektif-agora/apakah-jalan-satu-arah-menyelesaikan-masalah-330ea1c69e4b
  11. 3 Reasons to Turn These One-Way Streets into Two-Ways - Strong Towns Archive, diakses Oktober 22, 2025, https://archive.strongtowns.org/journal/2016/8/4/farwell-prospect-one-way-two-way-streets
  12. Cities benefit from restoring two-way traffic - CNU.org, diakses Oktober 22, 2025, https://www.cnu.org/publicsquare/2019/07/09/cities-benefit-one-way-two-way-conversions
  13. Complete Streets: A Primer | Congress.gov, diakses Oktober 22, 2025, https://www.congress.gov/crs-product/R47947
  14. Module 2: Traffic Calming Basics | FHWA - Department of Transportation, diakses Oktober 22, 2025, https://highways.dot.gov/safety/speed-management/traffic-calming-eprimer/module-2-traffic-calming-basics
  15. Livable Streets - SFMTA, diakses Oktober 22, 2025, https://www.sfmta.com/units/livable-streets
  16. (PDF) Two-Way Street Conversion - ResearchGate, diakses Oktober 22, 2025, https://www.researchgate.net/publication/281892163_Two-Way_Street_Conversion
  17. One Way to Two Way Street Conversion Benefits | City of Dallas, diakses Oktober 22, 2025, https://dallascityhall.com/government/citycouncil/district14/DCH%20documents/McKinney-Cole%20Two-Way/One-way%20to%20Two-way%20Benefits.pdf
  18. ANALISIS DAMPAK PENERAPAN SISTEM SATU Terhadap ..., diakses Oktober 22, 2025, https://www.journal.lppmunindra.ac.id/index.php/JABE/article/download/2717/pdf
  19. pengaruh aktivitas pedagang kaki lima (pkl) terhadap kemacetan lalu lintas di jalan kh - Repository UNISSULA, diakses Oktober 22, 2025, https://repository.unissula.ac.id/24460/1/31201700045_fulltextpdf.pdf
  20. Analisis Pengaruh Hambatan Samping Terhadap Kinerja Lalu Lintas Pada Jalan Satu Arah (Studi Kasus: Jalan Walanda Maramis) | TEKNO - E-Journal UNSRAT, diakses Oktober 22, 2025, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/tekno/article/view/60790
  21. EVALUASI PERUBAHAN LALU – LINTAS AKIBAT SISTEM SATU ARAH (STUDI KASUS JL. ARIF RAHMAN HAKIM, DEPOK), diakses Oktober 22, 2025, https://journal.istn.ac.id/index.php/cline/article/view/702/510
  22. PTV VISSUM : Optimalisasi Transportasi Untuk Kota Masa Depan - Akademi Sipil, diakses Oktober 22, 2025, https://akademisipil.com/2025/03/21/ptv-vissum-optimalisasi-transportasi-untuk-kota-masa-depan/
  23. Planning for Whole Communities toolkit - Complete Streets, diakses Oktober 22, 2025, https://www.psrc.org/sites/default/files/2022-03/complete_streets.pdf
  24. Complete Streets Policy Action Guide - CityHealth, diakses Oktober 22, 2025, https://www.cityhealth.org/resource-center/complete-streets-action-guide/
  25. 3.12 Traffic Calming - Streets Illustrated - Seattle.gov, diakses Oktober 22, 2025, https://streetsillustrated.seattle.gov/design-standards/trafficcalming/
  26. (PDF) Comparison Analysis of Road Performance Method Between MKJI 1997 and PKJI 2023 using Case Study at Jalan Jendral Ahmad Yani - ResearchGate, diakses Oktober 22, 2025, https://www.researchgate.net/publication/388799016_Comparison_Analysis_of_Road_Performance_Method_Between_MKJI_1997_and_PKJI_2023_using_Case_Study_at_Jalan_Jendral_Ahmad_Yani
Selengkapnya
Penelitian di Manado Mengungkap Paradoks Jalan Satu Arah – Temuan Ini Bisa Mengubah Wajah Kota Anda!

Transportasi

Penelitian Universitas Indonesia Mengungkap Mata Rantai yang Hilang dalam Perawatan Kereta Api Modern – dan Ini Pertaruhannya bagi Keamanan Anda!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 Oktober 2025


Setiap pagi, jutaan orang di seluruh Indonesia melangkah ke peron stasiun, menaruh kepercayaan mereka pada janji ketepatan waktu dan keamanan yang ditawarkan oleh kereta api. Transportasi ini bukan lagi sekadar pilihan, melainkan urat nadi yang menopang denyut kehidupan sosial dan ekonomi bangsa. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan gambaran yang jelas: selama satu dekade, dari 2012 hingga 2022, jumlah penumpang kereta api tumbuh rata-rata 10% setiap tahun, sementara volume kargo melonjak 11% per tahun.1 Angka-angka ini adalah bukti hidup betapa vitalnya rel baja bagi pergerakan manusia dan barang.

Pemerintah pun merespons dengan ambisi besar, merencanakan penambahan kapasitas penumpang hingga 40% untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.1 Di atas kertas, ini adalah kabar gembira. Namun, di balik deru roda kereta dan visi kemajuan, sebuah penelitian mendalam dari para periset di Departemen Teknik Sipil Universitas Indonesia, Nurul Inayah Wardahni dan Yusuf Latief, mengungkap sebuah paradoks yang mengkhawatirkan.

Kereta api selama ini dikenal sebagai benteng keselamatan transportasi darat, dengan risiko kecelakaan tujuh kali lebih rendah dibandingkan jalan raya.1 Namun, keamanan ini bukanlah sebuah keniscayaan. Ia adalah hasil dari sistem perawatan infrastruktur yang kompleks, presisi, dan sering kali tak terlihat. Ironisnya, kesuksesan dan popularitas kereta api yang meroket justru menjadi pedang bermata dua. Semakin banyak kereta yang melintas, semakin sering rel, jembatan, dan sinyal menanggung beban, yang pada akhirnya mempercepat keausan dan "peningkatan deteriorasi".1

Pertumbuhan pesat ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "paradoks keamanan". Semakin kita bergantung pada sistem ini, semakin besar potensi guncangan katastropik jika fondasi pendukungnya—yakni sistem perawatannya—gagal berevolusi. Penelitian ini membunyikan alarm bahwa isu perawatan kereta api bukan lagi sekadar masalah operasional teknis, melainkan telah menjadi isu krusial bagi keamanan publik dan ketahanan ekonomi nasional.

 

Krisis Senyap di Bawah Rel: Mengapa Sistem Perawatan Konvensional Tak Lagi Cukup?

Masalah yang dihadapi sistem perawatan kereta api saat ini bukanlah hal sepele. Penelitian ini membedah serangkaian tantangan yang mengakar, mulai dari kesulitan dalam pengambilan keputusan terkait kontrak dan strategi, hingga masalah teknis seperti implementasi yang tidak terintegrasi dan sistem pemantauan yang lemah.1 Bayangkan seorang dokter yang mencoba mendiagnosis penyakit kompleks hanya dengan meraba dahi pasien, tanpa stetoskop, MRI, atau rekam medis yang lengkap. Begitulah gambaran sistem perawatan konvensional yang bersifat reaktif.

Kondisi di Indonesia, menurut temuan dalam studi literatur ini, menghadapi tantangan yang lebih spesifik dan struktural. Masalahnya terbagi dalam tiga aspek utama: manajemen keuangan, struktur organisasi, dan manajemen aset.1 Dalam aspek keuangan, sistem kontrak tahunan dan struktur pasar yang cenderung monopolistik disebut "membunuh inovasi". Tanpa persaingan sehat dan visi jangka panjang, tidak ada insentif kuat untuk berinvestasi dalam teknologi atau metode yang lebih efisien. Kontrak jangka pendek menghalangi perencanaan strategis yang dibutuhkan untuk adopsi teknologi canggih.

Dari sisi organisasi, isu transparansi dan potensi lemahnya kontrol menjadi sorotan. Ketika regulator dan operator memiliki hubungan yang terlalu erat, fungsi pengawasan bisa menjadi tumpul. Namun, kelemahan paling fundamental terletak pada manajemen aset. Strategi perawatan yang dominan saat ini adalah Time Based Maintenance (TBM) atau perawatan berbasis waktu, dan Failure Based Maintenance (FBM) atau perawatan berbasis kegagalan.1

Untuk memahaminya dengan mudah: TBM ibarat mengganti oli mobil setiap 5.000 km, terlepas dari apakah olinya masih bagus atau sudah sangat buruk. Ini bisa jadi pemborosan. Sementara FBM, yang lebih berbahaya, adalah seperti menunggu mobil mogok di tengah jalan tol saat jam sibuk baru kemudian memanggil montir. Keduanya sangat tidak efisien, mahal, dan yang terpenting, membuka celah risiko yang seharusnya bisa dihindari. Akar masalahnya bukanlah sekadar kurangnya alat canggih, melainkan kerangka kerja sistemik yang secara aktif menghambat efisiensi dan inovasi.

 

E-Maintenance, Janji Revolusi Digital untuk Perkeretaapian

Di tengah tantangan ini, dunia global menawarkan sebuah solusi transformatif yang dikenal sebagai e-maintenance. Ini bukanlah sekadar digitalisasi formulir kertas. E-maintenance adalah sebuah konsep revolusioner yang mengintegrasikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ke dalam jantung strategi perawatan untuk memungkinkan pengambilan keputusan yang proaktif.1 Tujuannya sederhana namun kuat: beralih dari paradigma "memperbaiki kerusakan" menjadi "mencegah kegagalan".

Penelitian ini mengidentifikasi berbagai teknologi yang menjadi tulang punggung e-maintenance di berbagai negara maju seperti Jepang, Italia, dan Tiongkok. Teknologi ini bukan lagi fiksi ilmiah, melainkan alat yang sudah terbukti di lapangan.1

  • Sensor Cerdas: Bayangkan rel kereta memiliki "sistem saraf digital" yang mampu 'merasakan' getaran abnormal, retakan mikro, atau pergeseran suhu sekecil apa pun, jauh sebelum bisa dideteksi oleh mata manusia.
  • Building Information Modeling (BIM): Ini adalah "avatar digital 3D" yang hidup untuk setiap jembatan, terowongan, dan stasiun. Bukan lagi sekadar cetak biru statis, BIM memungkinkan para insinyur untuk menyimulasikan bagaimana sebuah struktur menua, merespons beban ekstrem, atau bahkan merencanakan rute perbaikan paling efisien tanpa harus menutup jalur.1
  • Geographic Information System (GIS): Anggap saja ini "Google Maps super canggih" untuk seluruh jaringan kereta api. GIS dapat melapisi data kondisi rel dengan data cuaca, peta risiko longsor, dan jadwal perawatan, memberikan pandangan mata elang yang komprehensif bagi para perencana untuk mengalokasikan sumber daya secara bijak.1
  • Kecerdasan Buatan (AI): AI berperan sebagai "otak" dari keseluruhan sistem. Ia menganalisis jutaan titik data yang masuk dari sensor, BIM, dan GIS untuk kemudian memberikan prediksi akurat, seperti: "Bantalan rel di Jembatan Cisomang kilometer 100 menunjukkan tanda keausan 23% lebih cepat dari normal dan kemungkinan besar akan mencapai titik kritis dalam 87 hari ke depan.".1

Pergeseran ini secara fundamental mengubah hubungan antara manusia dan infrastruktur. Jika sebelumnya manusia harus secara aktif mencari kerusakan melalui inspeksi manual, kini infrastruktur secara proaktif melaporkan kondisi kesehatannya secara terus-menerus. Peran manusia pun bergeser, dari sekadar "pencari masalah" menjadi "penafsir data dan pengambil keputusan strategis".

 

Temuan Kunci: Ketika Teknologi Canggih Ternyata Hanya Setengah Jawaban

Setelah memaparkan potensi luar biasa dari e-maintenance, penelitian Wardahni dan Latief sampai pada sebuah titik balik—sebuah temuan kunci yang mengejutkan dan menjadi inti dari kontribusi mereka. Mereka menemukan sebuah kelemahan fundamental yang selama ini tersembunyi di depan mata: implementasi e-maintenance di sektor perkeretaapian secara global ternyata terlalu fokus pada adopsi teknologi itu sendiri.1

Para peneliti mengidentifikasi adanya "mata rantai yang hilang", sebuah kesenjangan kritis di mana tidak ada integrasi yang layak antara aspek manajerial dengan teknologi informasi.1 Analogi yang tepat adalah seperti memiliki mobil Formula 1 tercanggih di dunia, lengkap dengan mesin hibrida dan aerodinamika mutakhir, tetapi tidak memiliki tim pit stop yang terlatih, tidak punya strategi balapan yang jelas, dan bahkan mengabaikan aturan keselamatan dasar. Anda mungkin punya kecepatan, tetapi kecelakaan fatal hampir pasti tak terhindarkan.

Penelitian ini menyoroti elemen-elemen manajerial krusial yang sering kali terabaikan dalam euforia digitalisasi:

  • Regulasi: Aturan main yang kokoh untuk menstandardisasi pengumpulan data, menjamin keamanan siber, dan memastikan semua sistem dapat "berbicara" satu sama lain.
  • Struktur Rincian Kerja (Work Breakdown Structure - WBS): Peta jalan yang terperinci untuk setiap tindakan perawatan. WBS memastikan bahwa setiap data anomali dari sensor terhubung langsung ke serangkaian prosedur standar yang jelas, terukur, dan dapat diaudit.1
  • Manajemen Risiko: Kemampuan untuk tidak hanya melihat data, tetapi juga memahami implikasinya. Ini adalah proses untuk menjawab pertanyaan, "Apa artinya jika prediksi AI ini benar? Apa rencana mitigasi kita? Apa skenario terburuknya?".1
  • Keselamatan (Safety & OHS): Protokol yang memastikan bahwa proses perawatan digital yang baru tidak secara tidak sengaja menciptakan bahaya baru, baik bagi para pekerja di lapangan maupun bagi publik.

Kesenjangan ini adalah gejala dari sebuah jebakan pemikiran yang disebut techno-solutionism—keyakinan buta bahwa semua masalah kompleks dapat diselesaikan hanya dengan menerapkan teknologi baru. Kenyataannya, membeli drone atau perangkat lunak canggih jauh lebih mudah daripada melakukan pekerjaan yang sulit dan kurang glamor: mereformasi proses internal, mengubah budaya kerja, dan membangun kerangka manajerial yang solid.

Namun, sebagai sebuah tinjauan literatur, studi ini secara inheren berfokus pada analisis penelitian yang ada, bukan pada studi kasus lapangan secara langsung di Indonesia. Ini berarti kesenjangan yang diidentifikasi adalah berdasarkan tren global dalam literatur akademik, yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan setiap nuansa praktik di lapangan. Hal ini justru membuka peluang emas untuk penelitian lanjutan yang menguji dan memvalidasi kerangka kerja terpadu ini pada proyek perkeretaapian spesifik di Indonesia, seperti kereta cepat atau MRT.

 

Peta Jalan Menuju Perawatan Cerdas Seutuhnya: Apa yang Harus Dilakukan

Mengidentifikasi masalah adalah satu hal, tetapi penelitian ini juga secara implisit menawarkan peta jalan menuju solusinya. Kunci untuk membuka potensi penuh e-maintenance bukanlah dengan menambah lebih banyak teknologi, melainkan dengan membangun sebuah "ekosistem" yang terintegrasi, di mana teknologi dan manajemen berjalan beriringan.

Kerangka kerja ideal yang diusulkan mencakup lima pilar utama yang harus dibangun secara simultan 1:

  1. Regulasi sebagai Fondasi: Pemerintah perlu menetapkan standar nasional untuk data perawatan infrastruktur, keamanan siber, dan interoperabilitas sistem agar semua pemangku kepentingan dapat berkolaborasi dengan lancar.
  2. Strategi & WBS sebagai Arsitektur: Setiap operator harus mengembangkan strategi perawatan yang jelas, di mana setiap data dari teknologi TIK terhubung dengan tindakan yang terdefinisi dengan baik, terjadwal, dan terukur.
  3. Organisasi sebagai Penggerak: Struktur organisasi harus beradaptasi. Departemen perawatan tidak bisa lagi hanya diisi oleh teknisi lapangan; mereka membutuhkan analis data, ilmuwan data, dan manajer strategis yang mampu menerjemahkan wawasan prediktif menjadi keputusan bisnis yang cerdas.
  4. Budaya sebagai Sistem Operasi: Ini mungkin pilar yang paling sulit namun paling penting. Perlu ada transformasi budaya dari reaktif menjadi proaktif, dari bekerja dalam silo menjadi kolaborasi lintas-fungsi berbasis data, dan menanamkan kesadaran akan risiko dan keselamatan sebagai prioritas utama di setiap level.
  5. Teknologi sebagai Alat Pendukung: Akhirnya, teknologi ditempatkan pada posisinya yang semestinya—sebagai enabler yang kuat, bukan sebagai solusi tunggal.

Tantangan terbesar dalam implementasi e-maintenance yang seutuhnya bukanlah tantangan teknis, melainkan tantangan organisasional dan kultural. Ini adalah proyek transformasi budaya yang membutuhkan kepemimpinan yang kuat, manajemen perubahan yang efektif, dan kemauan politik yang solid. Inisiatif ini harus menjadi agenda utama di tingkat direksi dan pemerintah, bukan sekadar proyek yang didelegasikan ke departemen IT.

 

Dampak Nyata bagi Penumpang, Perekonomian, dan Masa Depan Indonesia

Pada akhirnya, penelitian dari Universitas Indonesia ini lebih dari sekadar wacana akademis. Ia adalah sebuah peringatan sekaligus peta jalan yang sangat relevan bagi Indonesia, sebuah negara yang sedang berinvestasi triliunan rupiah untuk membangun dan memodernisasi infrastruktur transportasinya. Pesan utamanya jelas: teknologi saja tidak akan pernah cukup.

Kunci menuju masa depan perkeretaapian yang benar-benar aman, andal, dan efisien terletak pada integrasi cerdas antara teknologi canggih dengan kerangka kerja manajerial yang kokoh—sebuah mata rantai yang selama ini hilang.

Jika kerangka kerja terpadu yang diidentifikasi dalam riset ini diterapkan secara serius, dampaknya akan sangat besar. Indonesia tidak hanya akan melindungi investasi infrastrukturnya yang masif. Dalam satu dekade ke depan, kita bisa menyaksikan penurunan drastis dalam insiden terkait kegagalan infrastruktur, optimalisasi biaya perawatan yang dapat menghemat anggaran negara secara signifikan, dan yang terpenting, peningkatan kepercayaan publik terhadap sistem transportasi yang menjadi tulang punggung kemajuan bangsa.

Pertaruhannya jauh lebih besar dari sekadar memastikan kereta datang tepat waktu. Ini adalah tentang membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan, di atas segalanya, melindungi keselamatan jutaan nyawa yang setiap hari menggantungkan harapan pada kokohnya rel baja di bawah mereka.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.1088/1755-1315/1324/1/012045

Selengkapnya
Penelitian Universitas Indonesia Mengungkap Mata Rantai yang Hilang dalam Perawatan Kereta Api Modern – dan Ini Pertaruhannya bagi Keamanan Anda!

Infrastruktur & Pembangunan

Rapor Merah Jalan Raya Gondanglegi-Turen: Penelitian Ungkap Ancaman Tersembunyi di Balik Aspal Mulus dan Resep Perbaikan Rp773 Juta

Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 Oktober 2025


Denyut Nadi Ekonomi Malang yang Terancam Retak

Di bawah langit Kabupaten Malang, terbentang sebuah jalur aspal yang lebih dari sekadar jalan. Jalan Raya Gondanglegi-Turen adalah arteri vital yang memompa kehidupan ekonomi bagi tiga kecamatan sekaligus: Gondanglegi, Turen, dan Dampit. Setiap hari, deru mesin truk-truk besar pengangkut pasir, koral, dan batu—material esensial bagi pembangunan regional—berbaur dengan hiruk pikuk ribuan warga yang mengandalkan jalur ini untuk bekerja, bersekolah, dan berdagang. Jalan nasional sepanjang 6,9 kilometer ini, dengan statusnya sebagai jalan kolektor, sejatinya adalah tulang punggung yang menopang stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi kawasan.1

Namun, di balik perannya yang krusial, denyut nadi ini mulai terasa melemah. Keluhan para pengguna jalan tentang lubang, retakan, dan permukaan yang tidak nyaman bukan lagi sekadar desas-desus, melainkan sebuah realitas pahit yang mengancam keselamatan dan kelancaran distribusi barang dan jasa. Kerusakan yang dibiarkan berlarut-larut tidak hanya berpotensi menimbulkan kecelakaan, tetapi juga secara perlahan menggerogoti efisiensi ekonomi, layaknya penyakit kronis yang menyerang organ vital.1

Menghadapi situasi ini, tim peneliti dari Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Malang turun tangan. Mereka tidak datang sebagai penambal jalan biasa, melainkan sebagai sebuah "tim dokter spesialis infrastruktur" dengan misi yang jelas. Tujuan mereka bukan hanya untuk menghitung jumlah lubang di permukaan, tetapi untuk melakukan diagnosis komprehensif terhadap "kesehatan" jalan tersebut. Mereka berupaya mengungkap kategori kerusakan secara detail, merumuskan bentuk penanganan yang paling efektif, menentukan metode perbaikan yang presisi, dan yang terpenting, menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang akurat untuk proses "penyembuhan".1 Penelitian ini menjadi sebuah upaya untuk mengubah keluhan menjadi data, dan data menjadi solusi nyata.

 

Membaca "DNA" Kerusakan: Bagaimana Peneliti Mendiagnosis Kondisi Aspal?

Untuk memahami kondisi sebuah jalan secara menyeluruh, para peneliti tidak bisa hanya mengandalkan pandangan mata. Mereka memerlukan alat diagnosis canggih dan prosedur standar yang teruji, layaknya seorang dokter yang memeriksa pasien. Dalam studi ini, tim mengadopsi pendekatan dua lapis yang diamanatkan oleh standar nasional, memastikan tidak ada "gejala" sekecil apa pun yang terlewat.

Metodologi pertama yang digunakan adalah Surface Distress Index (SDI), sebuah metode yang diatur oleh Bina Marga. Ini dapat dianalogikan sebagai proses "pemeriksaan fisik" menyeluruh pada permukaan jalan. Para peneliti secara teliti menyisir setiap segmen jalan sepanjang 100 meter untuk menginspeksi gejala-gejala kerusakan visual. Mereka mengukur luas dan lebar retakan, mirip seperti dokter memeriksa tingkat keparahan luka pada kulit. Mereka menghitung jumlah lubang yang ada, layaknya mengidentifikasi borok yang bisa menjadi sumber infeksi. Terakhir, mereka mengukur kedalaman bekas roda (rutting), sebuah deformasi yang mirip dengan pembengkakan pada jaringan tubuh, yang menandakan adanya tekanan berlebih dan kelemahan struktural.1 Metode SDI memberikan gambaran detail tentang kondisi visual dan "estetika" kesehatan jalan.

Namun, penampilan luar bisa menipu. Sebuah jalan yang terlihat retak mungkin masih terasa nyaman dilalui, dan sebaliknya. Untuk itu, para peneliti menggunakan alat diagnosis kedua yang lebih berfokus pada fungsi dan performa: International Roughness Index (IRI). Jika SDI adalah pemeriksaan fisik, maka IRI adalah "tes elektrokardiogram (EKG)" untuk jalan. Metode ini tidak peduli dengan penampilan, melainkan mengukur tingkat ketidakrataan atau "kenyamanan" permukaan jalan saat dilewati kendaraan. Dengan menggunakan teknologi modern berupa aplikasi Roadroid pada ponsel pintar, peneliti dapat mengukur getaran dan guncangan secara presisi, menghasilkan skor IRI yang objektif.1 Semakin rendah nilai IRI, semakin mulus dan sehat "irama jantung" jalan tersebut.

Kombinasi kedua metode inilah yang menjadi kekuatan utama penelitian ini. Menggunakan SDI saja hanya akan mengungkap kerusakan di permukaan. Sebaliknya, mengandalkan IRI saja hanya akan memberi tahu kita tentang kenyamanan berkendara, yang bisa memberikan rasa aman palsu. Dengan menggabungkan keduanya, peneliti mampu melakukan diagnosis silang. Mereka dapat mengidentifikasi segmen jalan di mana permukaannya terasa sangat mulus (IRI baik), tetapi secara visual sudah dipenuhi retakan-retakan halus (SDI sedang). Ini adalah temuan krusial yang mengungkap adanya kerusakan laten—penyakit yang gejalanya belum sepenuhnya muncul namun sudah menggerogoti struktur dari dalam. Pendekatan ganda ini memungkinkan para "dokter jalan" untuk melihat melampaui gejala yang tampak dan memahami akar permasalahan yang sebenarnya.

 

Temuan Mengejutkan di Setiap Kilometer: Rapor Kesehatan Jalan yang Sebenarnya

Setelah proses diagnosis yang mendalam, hasil "laboratorium" dari Jalan Raya Gondanglegi-Turen pun keluar, dan hasilnya menyajikan sebuah paradoks yang mengejutkan. Di satu sisi, ada kabar baik: dari total panjang jalan yang disurvei, tidak ditemukan satu meter pun yang masuk dalam kategori "rusak berat" atau "sangat buruk" (0%).1 Ini menandakan bahwa jalan tersebut belum mencapai titik kehancuran total.

Namun, kabar baik itu segera dibayangi oleh temuan yang jauh lebih mengkhawatirkan dan menjadi inti dari permasalahan. Analisis menunjukkan bahwa mayoritas besar jalan, atau sekitar 64%, berada dalam kondisi "sedang". Ditambah dengan 22% yang berada dalam kondisi "rusak ringan", maka total 86% dari panjang jalan ini berada dalam status waspada. Hanya 14% sisanya yang benar-benar bisa dikategorikan dalam kondisi "baik".1

Bayangkan jalan ini sebagai sebuah baterai raksasa yang menggerakkan roda perekonomian lokal. Penelitian ini menemukan bahwa 86% dari kapasitas baterai tersebut tidak lagi terisi penuh. Ia masih berfungsi, tetapi dayanya terus menurun dan berisiko padam mendadak jika tidak segera mendapatkan penanganan. Angka ini melukiskan gambaran sebuah infrastruktur yang sedang berjuang untuk bertahan di tengah beban lalu lintas yang tinggi, terutama dari kendaraan berat pengangkut material.1

Anomali paling signifikan muncul ketika data kerusakan visual (SDI) disandingkan dengan data kenyamanan berkendara (IRI). Data IRI menunjukkan hasil yang sangat kontras: sebanyak 73% permukaan jalan ternyata memiliki tingkat kerataan "sangat baik", dan 26% lainnya masuk kategori "baik-cukup".1 Bagi pengguna jalan biasa yang hanya merasakan getaran di dalam kendaraan, jalan ini mungkin terasa mulus dan aman. Mereka merasakan data IRI. Namun, para peneliti, dengan "kaca pembesar" metode SDI, melihat apa yang tidak dirasakan oleh para pengendara: retakan yang mulai menjalar, lubang-lubang kecil yang siap membesar, dan deformasi dini akibat beban kendaraan.

Kontradiksi inilah yang mengungkap bahaya tersembunyi. Kerusakan yang terjadi bersifat laten; ia sudah menyebar luas di permukaan, tetapi belum cukup parah untuk berkembang menjadi lubang-lubang besar yang mengganggu kenyamanan secara signifikan. Kondisi ini menciptakan ilusi keamanan. Pengguna jalan dan mungkin juga para pembuat kebijakan bisa jadi merasa bahwa kondisi jalan masih "baik-baik saja" karena masih nyaman dilalui. Padahal, di bawah permukaan aspal yang terasa mulus itu, kerusakan struktural sedang menyebar secara diam-diam, menunggu waktu yang tepat—seperti musim hujan atau lonjakan volume kendaraan—untuk muncul sebagai kerusakan parah yang tiba-tiba. Penelitian ini, pada dasarnya, membunyikan alarm peringatan dini terhadap sebuah "bom waktu" infrastruktur.

  • Status Waspada: Hampir dua pertiga (64%) dari total panjang jalan berada dalam kondisi "sedang"—sebuah zona abu-abu antara kondisi baik dan rusak total, yang memerlukan perhatian segera.
  • Ancaman Tak Terlihat: Meskipun 73% jalan terasa sangat mulus saat dilewati, kerusakan berupa retakan dan lubang kecil telah menyebar di sebagian besar ruas jalan, menandakan adanya degradasi struktural yang sedang berlangsung.
  • Jendela Peluang Emas: Angka 0% untuk kategori "rusak berat" adalah sinyal krusial. Ini berarti kesempatan untuk melakukan intervensi preventif dengan biaya yang jauh lebih rendah masih terbuka lebar, sebelum kerusakan menjadi katastropik dan membutuhkan rekonstruksi total yang memakan biaya berkali-kali lipat.

 

Bukan Sekadar Tambal Sulam: Resep Perbaikan Senilai Rp773 Juta

Berdasarkan diagnosis yang komprehensif, para peneliti tidak hanya berhenti pada identifikasi masalah. Mereka merumuskan sebuah "resep" perbaikan yang terukur, strategis, dan efisien, dengan total anggaran mencapai Rp773.000.000. Solusi yang ditawarkan bukanlah pendekatan "satu untuk semua", melainkan strategi ganda yang disesuaikan dengan tingkat keparahan "penyakit" di setiap segmen jalan.

Strategi pertama adalah Pemeliharaan Rutin, yang direkomendasikan untuk 78% dari total area jalan yang mengalami kerusakan.1 Pendekatan ini dapat diibaratkan sebagai tindakan "perawatan harian" atau "pemberian vitamin" untuk mencegah penyakit menjadi lebih parah. Dengan anggaran sebesar Rp 564.000.000, fokus utamanya adalah tindakan preventif.1 Analisis lebih dalam menunjukkan bahwa dalam kategori ini, metode perbaikan yang paling dominan adalah pekerjaan sealing (pengisian retak) yang mencakup 74% dari total tindakan. Ini seperti "menutup luka dengan plester antiseptik" untuk mencegah infeksi dan kerusakan lebih lanjut. Pekerjaan penambalan lubang (patching) yang lebih reaktif hanya mencakup 22%, sementara sisanya adalah pelapisan tipis aspal pasir (latasir).1 Komposisi ini menunjukkan sebuah strategi cerdas yang memprioritaskan pencegahan.

Strategi kedua adalah Pemeliharaan Berkala, yang ditargetkan untuk 22% sisa area jalan yang menunjukkan tingkat kerusakan lebih lanjut.1 Ini bisa dianalogikan sebagai "intervensi medis terjadwal" yang memerlukan penanganan lebih serius. Anggaran yang dialokasikan untuk tahap ini adalah Rp 209.000.000.1 Meskipun pekerjaan sealing masih menjadi mayoritas (58%), porsi pekerjaan penambalan (patching) meningkat signifikan menjadi 30%.1 Pergeseran komposisi ini mencerminkan sebuah realitas bahwa pada segmen-segmen ini, "luka" sudah mulai berkembang menjadi "infeksi" yang membutuhkan pengobatan lebih intensif, bukan sekadar pencegahan.

Alokasi anggaran yang diajukan oleh para peneliti ini sendiri merupakan sebuah cerminan dari strategi yang sangat efisien. Dana yang jauh lebih besar dialokasikan untuk pemeliharaan rutin (Rp 564 juta) dibandingkan pemeliharaan berkala (Rp 209 juta). Keputusan ini didasarkan pada temuan bahwa sebagian besar masalah (78%) masih berada pada tahap awal dan dapat diatasi dengan tindakan preventif yang biayanya per meter persegi jauh lebih murah. Dengan menginvestasikan lebih banyak dana untuk "mencegah" daripada "mengobati", total biaya perbaikan dalam jangka panjang dapat ditekan secara signifikan. Ini adalah argumen finansial yang sangat kuat bagi para pembuat kebijakan: bertindak sekarang dengan biaya terukur jauh lebih baik daripada menunggu kerusakan menjadi parah dan menghadapi biaya rekonstruksi total yang bisa membengkak. Penelitian ini tidak hanya memberikan diagnosis, tetapi juga peta jalan finansial yang paling logis dan bertanggung jawab.

 

Peta Jalan Menuju Aspal Mulus: Dampak Nyata dan Catatan Kritis

Rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini lebih dari sekadar proposal teknis; ia adalah sebuah peta jalan menuju masa depan yang lebih aman dan efisien bagi Kabupaten Malang. Jika rekomendasi senilai total Rp773 juta ini diimplementasikan secara penuh, dampaknya akan terasa jauh melampaui sekadar aspal yang lebih mulus. Dalam waktu kurang dari lima tahun, investasi ini dapat diterjemahkan menjadi penurunan biaya operasional bagi kendaraan logistik yang melintas, yang pada gilirannya dapat menstabilkan harga komoditas lokal. Lebih penting lagi, perbaikan ini akan secara signifikan mengurangi risiko kecelakaan fatal, terutama bagi pengendara roda dua yang sangat rentan terhadap kondisi jalan yang buruk. Pada akhirnya, implementasi rekomendasi ini adalah sebuah langkah krusial untuk menjaga stabilitas denyut nadi ekonomi yang menghubungkan Gondanglegi, Turen, dan Dampit.

Kekuatan utama dari studi ini terletak pada metodologinya yang presisi dan rekomendasinya yang sangat dapat ditindaklanjuti (actionable). Penelitian ini tidak menyisakan ruang untuk spekulasi; ia memberikan data yang jelas, analisis yang tajam, dan solusi yang terukur lengkap dengan rincian anggaran. Ini adalah sebuah cetak biru yang siap dieksekusi oleh pihak berwenang yang bertanggung jawab atas pemeliharaan jalan nasional.

Namun, seperti halnya setiap penelitian, ada catatan kritis yang perlu dipertimbangkan. Studi ini, dengan fokusnya pada jalan nasional, secara tidak langsung menyoroti potensi adanya kesenjangan data pada infrastruktur di level yang lebih rendah. Kondisi jalan-jalan kabupaten dan desa, yang seringkali menjadi urat nadi kehidupan masyarakat pedesaan, mungkin luput dari analisis sedetail ini. Oleh karena itu, keberhasilan model penelitian ini seharusnya menjadi pemicu bagi pemerintah daerah untuk mereplikasi pendekatan serupa di wilayah yurisdiksi mereka. Penggunaan teknologi yang relatif terjangkau seperti aplikasi Roadroid menunjukkan bahwa keterbatasan anggaran tidak lagi bisa menjadi alasan untuk tidak memiliki data kondisi jalan yang akurat dan terkini.

Pada akhirnya, penelitian tentang Jalan Raya Gondanglegi-Turen ini memberikan pelajaran berharga yang melampaui konteks lokal. Ia menegaskan kembali bahwa manajemen infrastruktur yang proaktif dan berbasis data bukanlah sekadar urusan teknis para insinyur. Ini adalah fondasi fundamental bagi kemajuan ekonomi, keselamatan publik, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Mengabaikan retakan-retakan kecil hari ini berarti mengundang bencana infrastruktur di kemudian hari.

 

Sumber Artikel:

Fitri, A., Marjono, & Dhaniarti, N. (2024). Analisis Kerusakan Perkerasan Jalan dengan Metode Bina Marga pada Jalan Raya Gondanglegi-Turen Kabupaten Malang. JURNAL ONLINE SKRIPSI MANAJEMEN REKAYASA KONSTRUKSI POLINEMA, 5(2), 159-165.

Selengkapnya
Rapor Merah Jalan Raya Gondanglegi-Turen: Penelitian Ungkap Ancaman Tersembunyi di Balik Aspal Mulus dan Resep Perbaikan Rp773 Juta

Produktivitas

52,5% Kinerja Anda Ditentukan oleh Rasa Aman: Pelajaran Produktivitas Mengejutkan dari Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 23 Oktober 2025


I. Pembukaan: Ketika Rasa Aman Menjadi Bahan Bakar Kinerja

Pernah merasa seharian di kantor tapi tidak ada satu pun pekerjaan yang beres? Mungkin karena AC terlalu dingin, kursi yang bikin punggung sakit, atau bahkan cemas karena mendengar desas-desus PHK. Kita semua pernah merasakannya. Perasaan tidak nyaman atau tidak aman, sekecil apa pun, adalah pencuri fokus yang ulung. Ia bekerja diam-diam di latar belakang pikiran kita, menggerogoti energi mental yang seharusnya kita pakai untuk berpikir kreatif dan menyelesaikan masalah.

Sekarang, bayangkan jika 'tidak nyaman' itu berarti risiko tertimpa material, dan 'tidak aman' berarti bekerja di ketinggian puluhan meter dengan pijakan terbatas. Skalanya langsung berubah drastis. Inilah realitas sehari-hari di dunia konstruksi, sebuah sektor yang, menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dikutip dalam sebuah riset yang baru-baru ini saya temukan, merupakan salah satu penyumbang kecelakaan kerja tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2010 saja, angkanya mencapai 31,9% dari total kecelakaan kerja. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah cerita tentang lingkungan kerja yang sangat menuntut, di mana fokus bukan hanya soal menyelesaikan tugas, tapi juga soal pulang dengan selamat.   

Jujur saja, saya tidak menyangka akan menemukan salah satu pelajaran produktivitas paling mendalam dari sebuah paper teknis berjudul "Analisis Pengaruh Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Terhadap Kinerja Pekerja Konstruksi Pada Proyek Pembangunan Fly Over Palur". Tapi di sanalah, di antara data statistik dan analisis regresi yang rumit, tersembunyi sebuah rahasia fundamental tentang bagaimana kinerja manusia sesungguhnya bekerja, sebuah prinsip yang berlaku universal, baik di lokasi proyek yang berdebu maupun di ruang kantor yang ber-AC.

II. Di Balik Beton dan Baja: Sebuah Studi yang Mengubah Cara Kita Memandang Kerja

Para peneliti di Universitas Sebelas Maret ini pada dasarnya bertanya sebuah pertanyaan sederhana namun sangat kuat: "Apakah semua aturan K3—helm, sepatu bot, jaring pengaman, dan jaminan kesehatan—hanyalah kewajiban birokrasi yang merepotkan? Atau, apakah hal-hal itu benar-benar membuat para pekerja menjadi lebih baik dalam pekerjaannya?". Mereka tidak hanya berspekulasi; mereka mengukurnya secara matematis.   

Untuk melakukannya, mereka memecah konsep K3 yang luas menjadi dua pilar utama yang mereka amati pengaruhnya terhadap kinerja.

Pilar pertama mereka sebut Keselamatan Kerja (X1). Ini adalah segala sesuatu yang bisa kamu lihat dan sentuh. Helm di kepala, tali pengaman di badan, area kerja yang bersih dari paku berkarat, dan prosedur yang jelas untuk mengoperasikan alat berat. Ini adalah tentang melindungi tubuh dari bahaya yang langsungterlihat, dan berpotensi fatal.   

Pilar kedua adalah Kesehatan Kerja (X2). Ini sedikit lebih subtil, lebih tersembunyi. Ini tentang memastikan pekerjaan itu sendiri tidak pelan-pelan merusak tubuh dari dalam. Apakah gizi makanan yang disediakan cukup untuk menopang kerja fisik yang berat? Apakah prosedur kerja dirancang agar tidak menyebabkan cedera punggung kronis? Apakah lingkungan kerja bebas dari debu atau zat kimia berbahaya yang dampaknya baru terasa bertahun-tahun kemudian?.   

Saat membaca pemisahan ini, sebuah gagasan muncul di benak saya: Keselamatan fisik sebenarnya adalah sebuah alat produktivitas psikologis. Otak manusia, pada dasarnya, adalah mesin bertahan hidup. Sebagian besar kapasitas kognitif bawah sadar kita didedikasikan untuk memindai lingkungan dan mencari potensi ancaman. Ini adalah "pajak mental" yang kita bayar setiap saat. Ketika seorang pekerja konstruksi mengenakan helm, sepatu bot yang kokoh, dan melihat jaring pengaman terpasang di bawahnya, "pajak mental" itu berkurang drastis. Otaknya tidak perlu lagi membuang energi untuk bertanya, "Apakah saya akan jatuh?" atau "Bagaimana jika ada sesuatu yang menimpa saya?". Beban kognitif itu terangkat, dan semua kapasitas mental yang tadinya terpakai untuk waspada kini bisa dialihkan sepenuhnya ke tugas di depan mata: mengukur dengan presisi, berkomunikasi dengan jelas, dan bekerja dengan efisien. Rasa aman bukanlah bonus; ia adalah prasyarat untuk kinerja puncak.

III. Angka-Angka Berbicara: Apa yang Paling Mengejutkan Saya

Dan inilah bagian yang membuat saya terdiam sejenak. Setelah mengumpulkan data dari 40 pekerja di proyek Fly Over Palur melalui kuesioner dan wawancara, para peneliti memasukkan semua angka ke dalam model statistik mereka. Hasilnya, yang terangkum dalam sebuah nilai bernama R-square, sungguh mencengangkan.   

Nilai R-square yang mereka dapatkan adalah 0,525. Dalam bahasa manusia, ini berarti kedua pilar tadi—Keselamatan dan Kesehatan—secara bersama-sama bertanggung jawab atas 52,5% dari kinerja para pekerja.   

Biarkan angka itu meresap sejenak. Lebih dari separuh kemampuan seorang pekerja untuk bekerja dengan baik, cepat, dan akurat tidak datang dari keahlian teknis, pengalaman bertahun-tahun, atau bahkan motivasi pribadinya. Lebih dari separuhnya datang dari seberapa aman dan sehat lingkungan yang disediakan perusahaan untuknya. Ini adalah sebuah pengungkapan yang mengubah cara kita memandang sumber produktivitas.

Formula Rahasia Kinerja Terungkap

Temuan utama dari studi ini bisa diringkas dalam beberapa poin kunci yang mengubah perspektif:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: K3 (Kesehatan & Keselamatan Kerja) secara kolektif menjelaskan 52,5% dari kinerja para pekerja. Ini bukan korelasi kecil-kecilan, ini adalah fondasi utama dari kinerja itu sendiri.   

  • 🧠 Inovasinya: Penelitian ini membuktikan secara matematis bahwa investasi pada manusia adalah investasi pada hasil. K3 bukan sekadar pos biaya untuk asuransi atau pemenuhan regulasi, melainkan sebuah tuas pendorong produktivitas yang sangat kuat.   

  • 💡 Pelajaran utamanya: Saat dipecah lebih lanjut, faktor yang paling dominan adalah Keselamatan Fisik (X1), yang menyumbang 54,38% dari total pengaruh K3. Ini sedikit lebih tinggi dibandingkan pilar Kesehatan (X2) yang berada di angka 45,62%. Ini memperkuat gagasan bahwa mengatasi ancaman yang paling langsung dan nyata memberikan dorongan kinerja yang paling besar.   

Namun, yang lebih menarik lagi bagi saya adalah sisa 47,5% yang tidak dijelaskan oleh studi ini. Di dalam 47,5% itu mungkin ada hal-hal yang biasa kita bicarakan di dunia kerja: skill, pengalaman, manajemen yang baik, kerja tim yang solid, dan motivasi intrinsik. Tapi pesan tersembunyi dari riset ini sangat jelas: sebelum kita sibuk memikirkan cara memotivasi tim atau mengirim mereka ke pelatihan mahal untuk mengoptimalkan yang 47,5%, kita harus bertanya dulu, "Apakah kita sudah mengamankan fondasi 52,5% ini?" Mengabaikannya sama seperti mencoba membangun gedung pencakar langit di atas tanah longsor. Anda bisa memiliki arsitek dan pekerja terbaik di dunia, tapi jika fondasinya tidak kokoh, semuanya akan sia-sia.   

IV. Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Bahkan di Meja Kerja Saya)

Tentu, kebanyakan dari kita tidak bekerja di proyek konstruksi. Tapi prinsip di baliknya sangat bisa diterapkan di lingkungan kerja mana pun.

Bayangkan jika kamu mengatur lingkungan kerjamu seperti para peneliti ini. "Keselamatan" kita di kantor bukanlah helm atau sepatu bot, melainkan keselamatan psikologis. Apakah kamu merasa aman untuk memberikan ide yang mungkin terdengar gila tanpa ditertawakan? Apakah kamu merasa aman untuk mengakui sebuah kesalahan tanpa takut dihukum atau dipermalukan? Apakah kamu merasa aman untuk tidak setuju dengan atasan secara konstruktif? Lingkungan kerja yang penuh politik kantor, saling menyalahkan, dan ketakutan adalah setara dengan area konstruksi yang penuh paku berkarat. Ia mungkin tidak melukai fisik, tapi ia melukai inisiatif, membunuh kreativitas, dan membuat semua orang bekerja hanya untuk "bertahan hidup", bukan untuk berprestasi.

Lalu ada pilar "Kesehatan". Bagi pekerja kantoran, ini adalah kesehatan digital dan mental. Apakah perusahaanmu mendorong budaya "selalu online" yang memaksa karyawan membalas email di jam 10 malam? Apakah kamu punya waktu dan ruang untuk istirahat sejenak, berjalan-jalan, dan mengisi ulang energi tanpa merasa bersalah? Bekerja 12 jam di depan laptop tanpa jeda, didorong oleh ekspektasi tak tertulis, sama berbahayanya bagi tubuh dan pikiran dalam jangka panjang seperti mengangkat beban berat dengan postur yang salah setiap hari.

Membangun fondasi K3 yang kuat di lingkungan kerja modern, baik fisik maupun psikologis, membutuhkan pemahaman yang sistematis. Ini bukan sesuatu yang bisa diimprovisasi. Jika Anda seorang manajer atau profesional HR yang ingin membawa prinsip ini ke tim Anda, Anda bisa memulainya dengan mengikuti kursus relevan di(https://diklatkerja.com) untuk memperkuat kompetensi dalam menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan manusiawi.

Para peneliti bahkan memberikan kita "resep" matematis dari temuan mereka, yang bisa kita lihat sebagai formula universal untuk kinerja: Kinerja = 14,706 + (1,309 x Upaya Keselamatan) + (1,098 x Upaya Kesehatan).   

Lihatlah angka-angka pengali itu. Setiap satu unit "investasi" pada keselamatan (X1) memberikan imbalan kinerja sebesar 1,309 kali lipat. Setiap satu unit "investasi" pada kesehatan (X2) memberikan imbalan 1,098 kali lipat. Ini adalah bukti paling gamblang bahwa menciptakan rasa aman dan lingkungan yang sehat bukanlah biaya, melainkan investasi dengan ROI yang sangat jelas dan terukur.

V. Sebuah Catatan Kritis: Di Mana Riset Ini Bisa Lebih Baik?

Meski temuannya hebat dan implikasinya sangat luas, ada satu detail kecil dalam metodologi mereka yang membuat saya berpikir. Saat melakukan uji validitas kuesioner, para peneliti menemukan bahwa mereka harus membuang tiga dari delapan pertanyaan yang terkait dengan pilar 'Kesehatan' (X2) karena dianggap tidak valid secara statistik.   

Ini bukan sebuah kesalahan; sebaliknya, ini menunjukkan ketelitian dan kejujuran akademis mereka. Namun, ini mengisyaratkan sebuah tantangan yang lebih besar: mengukur 'Kesehatan' (aspek-aspek seperti gizi, kelelahan, atau dampak jangka panjang) jauh lebih sulit dan subjektif daripada mengukur 'Keselamatan' (apakah ada helm atau tidak). Hal ini membuat saya bertanya-tanya: mungkinkah pengaruh kesehatan kerja yang terukur sebesar 45,62% itu sebenarnya adalah angka yang konservatif? Bisa jadi pengaruhnya lebih besar lagi, hanya saja kita belum punya cara yang sempurna untuk mengukurnya dengan pertanyaan kuesioner.

Selain itu, dengan sampel sebanyak 40 pekerja di satu lokasi proyek spesifik , akan sangat menarik untuk melihat apakah 'formula rahasia' kinerja ini tetap berlaku pada skala yang lebih besar, di berbagai jenis proyek, dan bahkan di industri yang berbeda. Studi ini adalah sebuah pembuka percakapan yang luar biasa, sebuah fondasi yang kokoh, bukan kata akhir.   

VI. Kesimpulan: Produktivitas Bukan Dipaksa, Tapi Dibangun

Pada akhirnya, pelajaran dari para pekerja di proyek Fly Over Palur ini bersifat universal dan mendalam. Kinerja dan produktivitas sejati bukanlah sesuatu yang bisa kita peras atau paksa dari seseorang. Ia bukanlah hasil dari tekanan, target yang tidak realistis, atau pengawasan yang ketat. Ia adalah buah, hasil alami dari sebuah lingkungan yang dibangun dengan sengaja di atas fondasi rasa aman dan kesejahteraan.

Kita terlalu sering mencari 'life hack' produktivitas yang rumit, aplikasi manajemen tugas terbaru, atau metodologi kerja yang kompleks. Padahal, rahasia terbesarnya mungkin ada di hal yang paling mendasar dan paling manusiawi: ciptakan sebuah tempat di mana orang bisa berkembang, bukan hanya sekadar bertahan hidup. Baik itu di bawah terik matahari proyek konstruksi, atau di bawah cahaya lampu neon di kantor.

Kalau kamu tertarik dengan detail teknis dan metodologi statistik di baliknya, saya sangat merekomendasikan untuk melihat langsung sumbernya. Siapa tahu kamu menemukan wawasan lain yang terlewat oleh saya.

(https://doi.org/10.20961/mateksi.v5i4.37039)

Selengkapnya
52,5% Kinerja Anda Ditentukan oleh Rasa Aman: Pelajaran Produktivitas Mengejutkan dari Proyek Konstruksi

Manajemen Keselamatan Kerja

Empat Pilar Tak Terlihat yang Menopang Keselamatan: Pelajaran Mengejutkan dari Sebuah Studi di Irak yang Mengubah Cara Kita Bekerja

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 23 Oktober 2025


Pengantar: Mimpi Buruk Merakit Furnitur dan Rahasia Proyek yang Sukses

Saya yakin kita semua pernah mengalaminya. Berdiri di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh potongan-potongan papan kayu, sekantong penuh baut dan sekrup misterius, dan selembar kertas instruksi yang lebih mirip naskah kuno. Ya, saya sedang merakit furnitur IKEA. Dan seperti biasa, setelah 30 menit penuh percaya diri, saya sampai pada momen kepanikan: panelnya terbalik, ada lubang yang tidak pas, dan saya sadar telah mengabaikan manual instruksi sejak langkah ketiga.

Kekacauan kecil ini—frustrasi merakit lemari buku—adalah metafora sempurna untuk sebuah kebenaran yang jauh lebih besar. Kesuksesan dalam sistem yang kompleks, entah itu furnitur atau gedung pencakar langit, tidak bergantung pada semangat atau bagian-bagian individual semata. Ia bergantung pada sebuah program: serangkaian langkah yang terstruktur, dipikirkan matang, dan diikuti dengan disiplin. Tanpa program, niat baik hanya akan menghasilkan kekacauan.

Sekarang, mari kita pindah dari analogi ringan ini ke dunia yang taruhannya jauh lebih tinggi: industri konstruksi. Ini adalah dunia di mana kesalahan kecil tidak hanya menghasilkan lemari yang miring, tetapi juga cedera serius atau bahkan kematian. Tingkat kecelakaan di industri konstruksi global masih "sangat tinggi". Di Irak, konteks studi yang akan kita bedah, situasinya lebih mengkhawatirkan lagi. Sektor konstruksi menyumbang 38% dari total kecelakaan industri di negara itu. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah krisis kemanusiaan yang tersembunyi di balik setiap proyek pembangunan.   

Di tengah kondisi inilah, saya menemukan sebuah paper penelitian oleh Mohanad Kamil Buniya dan rekan-rekannya. Awalnya, saya mengira ini akan menjadi bacaan teknis yang kering. Namun, yang saya temukan justru sebuah "cerita detektif" yang brilian. Para peneliti ini tidak hanya mendata masalah, tetapi mereka menggali lebih dalam untuk menemukan cetak biru kesuksesan di sebuah area di mana "penelitian keselamatan sejauh ini terabaikan".   

Temuan inti mereka sangat elegan dan kuat: program keselamatan yang efektif tidak terdiri dari puluhan aturan yang rumit, melainkan berdiri di atas empat pilar yang saling berhubungan. Keempat pilar inilah yang akan kita jelajahi, karena saya yakin ini bukan hanya pelajaran untuk industri konstruksi, tetapi juga untuk siapa pun yang memimpin tim, mengelola proyek, atau sekadar ingin membangun sesuatu yang hebat tanpa harus berakhir dengan bencana.

Pilar Pertama: Batu Penjuru Itu Bernama Komitmen—Mengapa Keselamatan Sejati Dimulai dari Pucuk Pimpinan

Bayangkan Anda adalah penumpang di sebuah kapal pesiar besar yang berlayar di perairan Arktik. Apakah Anda akan merasa aman jika kapten hanya mengirim memo dari kabinnya yang berbunyi, "Tolong hindari gunung es"? Tentu tidak. Anda ingin melihat kapten itu di anjungan, memegang kemudi, matanya mengawasi cakrawala, berkomunikasi dengan jelas kepada krunya, dan memastikan semua orang tahu peran mereka dalam navigasi yang aman.

Komitmen kapten itu nyata, terlihat, dan menular. Inilah esensi dari pilar pertama: Komitmen Manajemen dan Keterlibatan Karyawan. Paper ini menegaskan bahwa pilar ini adalah fondasi yang "secara signifikan memengaruhi kinerja keselamatan". Tanpa komitmen yang tulus dari puncak, program keselamatan terbaik sekalipun hanya akan menjadi pajangan di dinding.   

Apa wujud nyata dari komitmen ini? Penelitian ini mengidentifikasi beberapa elemen kunci:

  • Kebijakan Keselamatan (Safety Policy): Bukan sekadar dokumen, melainkan konstitusi yang menyatakan bahwa keselamatan adalah nilai yang tidak bisa ditawar.

  • Kepemimpinan yang Terlihat (Visible Leadership): Ini adalah saat CEO atau manajer proyek mengenakan helm dan rompi, berjalan di lokasi, dan tidak ragu untuk menghentikan pekerjaan yang tidak aman. Tindakan mereka berbicara lebih keras daripada email mana pun.

  • Melibatkan Karyawan dalam Pengambilan Keputusan: Ini adalah pergeseran dari "kerjakan apa yang saya suruh" menjadi "apa yang menurutmu berbahaya di sini?". Dengan bertanya kepada orang yang melakukan pekerjaan setiap hari, manajemen mendapatkan data lapangan yang tak ternilai harganya.

Satu hal yang membuat saya terkejut adalah bagaimana analisis statistik dalam penelitian ini menggabungkan "Komitmen Manajemen" dan "Keterlibatan Karyawan" menjadi satu faktor tunggal yang tak terpisahkan. Ini bukan kebetulan. Ini mengungkapkan sebuah kebenaran mendalam: komitmen manajemen tidak ada artinya jika tidak memberdayakan karyawan. Keduanya adalah sebuah siklus yang saling menguatkan.   

Ketika seorang pemimpin menunjukkan komitmen yang nyata, karyawan merasa aman untuk menyuarakan keprihatinan. Ketika karyawan menyuarakan keprihatinan, pemimpin mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang lebih baik, yang pada gilirannya memperkuat komitmen mereka. Ini bukan hubungan top-down; ini adalah kemitraan. Inilah detak jantung dari sebuah organisasi yang aman dan sehat.

Pilar Kedua: Melihat yang Tak Terlihat—Cara Menjadi Detektif Bahaya di Tempat Kerja Anda Sendiri

Seorang detektif yang hebat tidak menunggu laporan kejahatan masuk. Mereka mempelajari pola, mencari petunjuk, dan mengidentifikasi "nyaris celaka" untuk mencegah kejahatan itu terjadi. Inilah mentalitas yang dibangun oleh pilar kedua: Analisis Tempat Kerja (Worksite Analysis). Ini adalah tentang mengubah pola pikir kita dari sekadar reaktif menjadi proaktif secara radikal.

Paper ini mendefinisikannya sebagai "identifikasi bahaya dan perilaku tidak aman dengan tujuan meminimalkan dan mengurangi kecelakaan di tempat kerja". Ini mengubah tugas administratif yang membosankan menjadi sebuah tantangan intelektual yang menarik. Bagaimana cara menjadi "detektif bahaya" di lingkungan kerja Anda?   

Studi ini menyoroti beberapa praktik kunci:

  • Identifikasi Bahaya Komprehensif: Secara sistematis memetakan setiap sudut tempat kerja, setiap proses, dan setiap alat untuk bertanya, "Apa yang bisa salah di sini?".

  • Inspeksi Keselamatan Rutin: Bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk menemukan kerentanan sebelum ada yang terluka.

  • Investigasi Kecelakaan dan Near Misses (Nyaris Celaka): Ini adalah poin yang paling krusial. Sebuah near miss—misalnya, sebuah palu yang jatuh dari perancah dan nyaris mengenai seseorang—adalah sebuah anugerah. Itu adalah pelajaran gratis tentang kegagalan sistem, tanpa harus membayar dengan harga yang tragis. Menginvestigasi mengapa palu itu hampir jatuh sama pentingnya dengan menginvestigasi mengapa palu itu benar-benar jatuh.

Untuk melakukan ini secara efektif, sebuah organisasi membutuhkan budaya di mana "melaporkan bahaya" dihargai, bukan dihukum. Karyawan harus merasa seperti saksi yang dilindungi, bukan tersangka.

Filosofi di balik pilar ini adalah pergeseran fundamental. Banyak organisasi beroperasi dalam mode "pemadam kebakaran", di mana kepahlawanan dikaitkan dengan kemampuan mengatasi bencana. Pilar ini berpendapat sebaliknya. Pahlawan sejati adalah para analis dan inspektur yang bekerja diam-diam di belakang layar, yang memastikan bencana itu tidak pernah menjadi berita utama. Mereka adalah orang-orang yang melihat keretakan kecil sebelum menjadi jurang yang menganga.

Pilar Ketiga: Dari Cetak Biru ke Barikade—Membangun Pertahanan Aktif Melawan Bahaya

Jika pilar kedua adalah tentang mendeteksi musuh (bahaya), pilar ketiga, Pencegahan dan Pengendalian Bahaya (Hazard Prevention and Control), adalah tentang membangun benteng pertahanan. Ini adalah langkah aktif dan strategis untuk menetralisir risiko yang telah kita identifikasi. Ini bukan hanya tentang memberi prajurit baju zirah (Alat Pelindung Diri/APD), tetapi tentang membangun tembok (kontrol rekayasa) dan menetapkan aturan pertempuran yang jelas (kontrol administratif).

Penelitian ini menekankan bahwa sistem ini diimplementasikan setelah bahaya diidentifikasi, menunjukkan alur logis dari pilar kedua ke pilar ketiga. Ini adalah tentang desain yang cerdas, bukan sekadar harapan bahwa orang akan selalu berhati-hati.   

Beberapa elemen pertahanan yang disorot antara lain:

  • Kontrol Rekayasa (Engineering Controls): Ini adalah garis pertahanan terkuat. Contohnya adalah mendesain mesin dengan pelindung bawaan atau memasang pagar pengaman di ketinggian. Ini mengubah lingkungan sehingga bahaya dihilangkan dari sumbernya.

  • Kontrol Administratif (Administrative Controls): Ini adalah perubahan pada cara orang bekerja. Contohnya termasuk rotasi pekerjaan untuk mengurangi paparan berulang atau jadwal kerja yang dirancang untuk mencegah kelelahan.

  • Alat Pelindung Diri (APD/PPE): Helm, sarung tangan, dan kacamata pengaman sangat penting. Namun, kerangka kerja ini dengan bijak menempatkannya sebagai garis pertahanan terakhir. Mengandalkan APD saja sama seperti menyalahkan prajurit karena baju zirahnya tembus, alih-alih bertanya mengapa mereka harus menghadapi tembakan sejak awal.

Mari kita rangkum pelajaran dari pilar ini dalam beberapa poin singkat:

  • 🚀 Kemenangan Terbesarnya: Sistem proaktif jauh lebih efektif daripada perbaikan reaktif. Mengubah desain mesin untuk mencegah cedera (kontrol rekayasa) akan selalu lebih baik daripada hanya mengingatkan orang untuk berhati-hati.

  • 🧠 Pergeseran Cerdasnya: Ini bukan hanya tentang APD; ini tentang membuat lingkungan kerja secara inheren lebih aman. Fokusnya adalah menghilangkan bahaya di sumbernya.

  • 💡 Pelajaran Utamanya: Kendalikan bahayanya, bukan hanya orang yang terpapar bahaya tersebut. Ini adalah perubahan fundamental dari menyalahkan individu menjadi memperbaiki sistem.

Pada akhirnya, pilar ini mengajarkan kita bahwa keselamatan sejati itu dirancang, bukan diimprovisasi. Ia bergantung pada sistem yang kuat seperti "sistem pemeliharaan preventif" dan "persiapan darurat". Ini memindahkan beban dari kewaspadaan sesaat seorang individu ke keandalan sistem secara keseluruhan.   

Pilar Keempat: Alat Paling Canggih—Mengapa Pikiran yang Tajam adalah Aset Paling Aman

Bayangkan seorang atlet profesional. Mereka bisa memiliki sepatu termahal dan pelindung tercanggih, tetapi apa yang benar-benar mencegah cedera dan memastikan performa puncak? Pelatihan. Mereka berlatih tanpa henti, mempelajari strategi, dan memahami "mengapa" di balik setiap gerakan. Mereka tidak hanya mengikuti instruksi; mereka menginternalisasi prinsip-prinsipnya.

Inilah pilar keempat dan terakhir: Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan (Safety and Health Training). Ini adalah elemen yang menghidupkan ketiga pilar lainnya. Tanpa pelatihan, komitmen manajemen hanya akan menjadi slogan kosong, analisis bahaya hanya akan menjadi laporan yang berdebu, dan sistem kontrol hanya akan menjadi mesin yang tidak ada yang tahu cara mengoperasikannya dengan benar.

Penelitian ini menegaskan bahwa pelatihan sangat penting untuk memastikan karyawan "menyadari bahaya dan risiko spesifik" serta "memahami kebijakan, prosedur, dan teknik keselamatan yang relevan". Studi ini mengidentifikasi dua jenis pelatihan yang krusial:   

  1. Induksi Keselamatan (Safety Induction): Untuk setiap orang baru yang masuk ke lingkungan kerja.

  2. Pelatihan Keselamatan Berkelanjutan (Safety Training): Untuk semua orang, karena lingkungan konstruksi (dan banyak lingkungan kerja lainnya) bersifat dinamis dan selalu berubah.   

Peningkatan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan inilah yang pada akhirnya mengarah pada keberhasilan implementasi program keselamatan. Untuk benar-benar menguasai prinsip-prinsip ini, pembelajaran berkelanjutan adalah kuncinya. Platform seperti(https://www.diklatkerja.com) menawarkan kursus yang dirancang untuk membangun keahlian profesional semacam ini.

Jika dipikirkan lebih dalam, pelatihan bukan hanya pilar keempat; ia adalah perekat yang menyatukan ketiganya. Melalui pelatihanlah komitmen manajemen (Pilar 1) dikomunikasikan. Melalui pelatihanlah keterampilan untuk melakukan analisis tempat kerja (Pilar 2) diasah. Dan melalui pelatihanlah prosedur untuk pengendalian bahaya (Pilar 3) dipahami dan dijalankan dengan benar. Pelatihan adalah antarmuka krusial antara sistem dan manusia di dalamnya.

Refleksi Akhir Saya: Apa yang Sebenarnya Diajarkan oleh Studi Ini kepada Kita Semua

Setelah menghabiskan waktu dengan paper ini, saya merasa kagum dengan keanggunan dan kekuatan kerangka empat pilar ini. Yang paling mengesankan adalah universalitasnya. Cetak biru ini, yang ditempa dalam konteks industri konstruksi Irak yang penuh tantangan, menawarkan pelajaran mendalam bagi startup teknologi di Jakarta, rumah sakit di Surabaya, atau organisasi mana pun yang berjuang untuk mencapai keunggulan.

Ini mengajarkan kita bahwa keselamatan, produktivitas, dan kualitas bukanlah hal yang terpisah. Mereka semua adalah hasil dari sistem yang dirancang dengan baik dan berpusat pada manusia.

Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Meskipun kerangka kerja empat pilar ini brilian dalam kesederhanaannya, cara paper ini menyajikan analisis statistiknya—dengan semua istilah seperti 'eigenvalues' dan 'Varimax rotation' —mungkin terasa agak terlalu abstrak bagi manajer di lapangan yang mencari daftar periksa langkah-demi-langkah. Keajaiban sesungguhnya terletak pada penerjemahan empat konsep ini menjadi kebiasaan, percakapan, dan keputusan sehari-hari. Dan itulah mengapa tulisan seperti ini perlu ada—untuk menjembatani dunia riset yang ketat dengan aplikasi praktis di dunia nyata.   

Pelajaran utamanya bagi saya adalah ini: keselamatan bukanlah sebuah departemen. Ia adalah sebuah hasil. Hasil dari sistem yang dirancang dengan cerdas, di mana kepemimpinan terlibat, semua orang waspada, pertahanan dibangun dengan kokoh, dan pengetahuan dibagikan secara luas.

Kesimpulan: Mari Membangun Dunia yang Lebih Aman, Satu Proyek pada Satu Waktu

Kita memulai dengan analogi sederhana tentang merakit furnitur, dan berakhir dengan cetak biru untuk membangun organisasi yang lebih tangguh dan manusiawi. Penelitian dari Buniya dkk. mengingatkan kita bahwa kinerja keselamatan yang luar biasa bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah produk dari sistem yang saling terhubung yang dibangun di atas empat pilar: Komitmen, Analisis, Pengendalian, dan Pelatihan.

Jika penjabaran ini memicu rasa ingin tahu Anda, saya sangat menganjurkan Anda untuk menjelajahi penelitian aslinya. Detail dan data di dalamnya sangat menarik dan memberikan landasan yang kokoh bagi argumen yang telah kita diskusikan.

(https://doi.org/10.3390/ijerph18020411)

Selengkapnya
Empat Pilar Tak Terlihat yang Menopang Keselamatan: Pelajaran Mengejutkan dari Sebuah Studi di Irak yang Mengubah Cara Kita Bekerja
« First Previous page 38 of 1.279 Next Last »