Perencanaan Kota

Memetakan Risiko Pontianak 2050: Apakah Jalan Lingkar Cukup untuk Melawan Banjir?

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025


 

Analisis kerentanan banjir di Pontianak, sebuah kota yang terbelah sungai di ekuator, menunjukkan tantangan finansial yang signifikan. Kerugian tahunan akibat banjir diproyeksikan melonjak dari US$30 juta pada tahun 2015 menjadi US$83,6 juta pada tahun 2055. Menghadapi proyeksi ini, penelitian oleh Gultom et al. (2022) melakukan analisis spasial kuantitatif untuk memetakan dan membandingkan kerentanan banjir kota antara kondisi tahun 2020 dan proyeksi tahun 2050.

Studi ini membangun model kerentanan yang didasarkan pada dua variabel utama: Efisiensi Rute Evakuasi dan Kapasitas Penampungan (Shelter).

Untuk mengukur Efisiensi Rute Evakuasi, penelitian ini menggunakan metode Space Syntax. Metodologi ini menganalisis jaringan kota secara topologis untuk menghasilkan nilai "Integrasi Rata-rata" (AI). Secara sederhana, nilai AI yang tinggi menunjukkan bahwa segmen jalan mudah diakses dari semua bagian lain kota, menjadikannya rute evakuasi yang efisien.

 

Untuk mengukur Kapasitas Penampungan, penelitian ini menggunakan formula "Capacity Rate" (CR), yang membandingkan total area shelter yang tersedia (SA) dengan jumlah korban banjir yang diproyeksikan (FV). Jumlah korban (FV) dihitung berdasarkan data kepadatan penduduk (PD) dan area cakupan banjir (FC). Standar area 3m² per orang digunakan untuk menentukan kapasitas maksimum shelter. Sebuah distrik dianggap "memadai" jika CR-nya 100% atau lebih, yang berarti dapat menampung semua korban yang diproyeksikan.

Hasil dari kedua pengukuran ini (AI dan CR) diplot ke dalam diagram kuadran untuk mengklasifikasikan kerentanan setiap distrik:

Kuadran 1 (Kerentanan Rendah): AI tinggi, CR memadai.

Kuadran 2 (Kerentanan Sedang): AI rendah, CR memadai.

Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi): AI rendah, CR tidak memadai.

Kuadran 4 (Kerentanan Sedang): AI tinggi, CR tidak memadai.

Pada tahun 2020, data menunjukkan median AI kota adalah 0.57. Dua distrik, Pontianak Utara (AI 0.42) dan Pontianak Barat (AI 0.55), berada di bawah median, menunjukkan efisiensi rute evakuasi yang rendah. Secara kapasitas, hanya Pontianak Pusat (CR 322%) dan Pontianak Tenggara (CR 3147%) yang terbukti memadai. Empat distrik lainnya tidak memadai, dengan Pontianak Utara (25%) dan Pontianak Selatan (42%) menunjukkan defisit terbesar. Kombinasi ini menempatkan Pontianak Utara dan Pontianak Barat di Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi) pada tahun 2020.

Perbandingan dengan proyeksi 2050 menjadi inti dari temuan penelitian ini. Skenario 2050 memasukkan dua perubahan besar: rencana implementasi jalan lingkar baru dan peningkatan kepadatan penduduk.

Temuan di 2050 menunjukkan dinamika yang kompleks. Pertama, implementasi jalan lingkar terbukti berhasil meningkatkan konektivitas. Efek paling dramatis terlihat di Pontianak Barat, di mana AI melonjak dari 0.55 (Rendah) menjadi 0.65 (Tinggi). Peningkatan efisiensi rute ini berhasil memindahkan Pontianak Barat dari Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi) ke Kuadran 4 (Kerentanan Sedang).

Namun, keberhasilan infrastruktur ini dibayangi oleh risiko kedua: penurunan kapasitas shelter akibat pertumbuhan penduduk. Meskipun jumlah shelter diasumsikan tetap, CR menurun di semua distrik. Penurunan paling tajam terjadi di Pontianak Timur (dari 73% ke 32%) dan Pontianak Utara (dari 25% ke 11%). Bahkan distrik yang "aman" seperti Pontianak Pusat mengalami penurunan CR dari 322% menjadi 260%.

 

Secara keseluruhan, paper ini menyimpulkan bahwa Kota Pontianak akan menjadi lebih tangguh (resilient) terhadap banjir di masa depan, terutama karena peningkatan signifikan dalam efisiensi rute evakuasi yang disediakan oleh jalan lingkar. Namun, penelitian ini secara tegas mengidentifikasi penurunan drastis capacity rate sebagai risiko serius yang harus segera ditangani.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian Gultom et al. (2022) memberikan beberapa kontribusi penting bagi komunitas perencana kota dan manajemen bencana:

1. Model Kerentanan Dua Variabel: Mengembangkan dan menerapkan kerangka kerja kuantitatif yang jelas (AI + CR) untuk menilai kerentanan, beralih dari penilaian kualitatif umum ke metrik yang dapat ditindaklanjuti.

2. Aplikasi Space Syntax untuk Bencana: Secara spesifik menerapkan Space Syntax, yang sering digunakan untuk analisis ekonomi atau lalu lintas, sebagai alat untuk mengukur efektivitas evakuasi bencana di kota sungai yang kompleks.

3. Analisis Dampak Infrastruktur Proyektif: Memberikan studi kasus langka yang tidak hanya memetakan risiko saat ini (2020), tetapi juga memodelkan dampak kuantitatif dari rencana infrastruktur masa depan (jalan lingkar 2050) terhadap resiliensi kota.

4. Alat Bantu Kebijakan Berbasis Data: Menghasilkan peta kerentanan berbasis kuadran (Gbr. 8) yang secara visual membedakan distrik berisiko tinggi (Q3) versus distrik yang hanya kekurangan shelter (Q4) atau hanya kekurangan akses (Q2), memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih terfokus.

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kokoh secara metodologis, penelitian ini juga secara jujur menyoroti keterbatasan yang membuka jalan bagi riset di masa depan:

Keterbatasan Kualitas Rute (AI): Metrik AI murni bersifat topologis (jumlah belokan dan koneksi). Paper ini menemukan bahwa desain jalan lingkar yang direncanakan di beberapa distrik (seperti Barat, Pusat, dan Selatan) terlalu berliku dan memiliki banyak belokan, yang membuatnya kurang efektif dalam analisis Space Syntax dibandingkan dengan desain yang lurus (seperti di Utara). Pertanyaan Terbuka: Bagaimana merancang infrastruktur evakuasi yang optimal secara sintaksis (lurus, sedikit belokan) dalam konteks tata ruang kota yang sudah padat?

Keterbatasan Blokade Banjir (AI vs. Hazard): Temuan krusial adalah bahwa Space Syntax mengukur efisiensi dalam kondisi normal. Penelitian ini menemukan bahwa banyak rute dengan AI tinggi (dianggap efisien) di Pontianak Timur, Selatan, dan Pusat, justru berada di area yang berpotensi tergenang banjir (lihat Gbr. 3). Ini berarti rute "terbaik" mungkin tidak dapat diakses saat dibutuhkan. Pertanyaan Terbuka: Bagaimana kita dapat mengembangkan model efisiensi rute yang mengintegrasikan konektivitas topologis (AI) dengan data hazard (blokade banjir) secara dinamis?

Keterbatasan Lokasi Shelter (CR): Metrik CR mengukur total area shelter yang tersedia, bukan aksesibilitas atau keamanannya. Paper ini menemukan masalah signifikan di mana banyak area shelter potensial (terutama di Pontianak Utara dan Barat) justru terletak di dalam zona potensi banjir. Pertanyaan Terbuka: Di mana lokasi optimal untuk membangun shelter baru agar (a) aman dari genangan dan (b) terhubung secara efisien ke rute evakuasi AI tinggi yang juga aman?

 

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan kuantitatif dan keterbatasan yang teridentifikasi, kami merekomendasikan lima jalur penelitian lanjutan yang spesifik untuk memperdalam pemahaman dan solusi manajemen risiko banjir:

1. Pengembangan Model Hibrid: "AI Evakuasi Realistis" (AI + Hazard Overlay)

Justifikasi: Penelitian ini menunjukkan konflik antara rute berefisiensi AI tinggi dan lokasinya yang rawan banjir. Hubungan antara efisiensi rute dan ketersediaannya saat bencana masih belum teruji.

Metode: Penelitian selanjutnya harus mengembangkan model hibrid. Gunakan Space Syntax (AI) sebagai baseline konektivitas, lalu terapkan overlay GIS dari peta hazard (seperti Gbr. 3) untuk secara dinamis 'menonaktifkan' atau memberi penalti pada segmen jalan yang tergenang.

Signifikansi: Ini akan menghasilkan metrik baru—"AI Evakuasi Realistis"—yang mengukur konektivitas rute yang benar-benar dapat diakses saat banjir. Temuan ini akan menunjukkan apakah distrik dengan AI tinggi seperti Pontianak Selatan (AI 0.67) benar-benar se-resilien yang terlihat.

 

2. Analisis Sensitivitas Desain Jalan Lingkar

Justifikasi: Studi ini menemukan bahwa tidak semua desain jalan lingkar memberikan dampak AI yang sama; desain yang lurus di Pontianak Utara lebih efektif secara sintaksis daripada desain yang berliku di distrik lain.

Metode: Melakukan analisis sensitivitas ex-ante. Daripada hanya menguji satu master plan, riset selanjutnya harus memodelkan 3-5 skenario desain jalan lingkar alternatif (misalnya, rute yang lebih lurus, penambahan jembatan konektor baru, atau grade-separated interchange) dan membandingkan dampaknya terhadap AI di distrik-distrik yang paling tertinggal.

Signifikansi: Memberikan data kuantitatif kepada perencana kota tentang desain infrastruktur mana yang memberikan peningkatan resiliensi (AI) tertinggi per investasi, memastikan rencana masa depan lebih efektif.

 

3. Model Optimasi Lokasi Shelter (Shelter Siting)

Justifikasi: Dua masalah shelter utama teridentifikasi: (1) Banyak shelter eksisting berada di zona banjir (misal di Pontianak Utara dan Barat), dan (2) CR menurun drastis di semua distrik pada 2050 (misal, Pontianak Timur turun dari 73% ke 32%).

Metode: Menggunakan multi-criteria decision analysis (MCDA) atau model location-allocation untuk mengidentifikasi lokasi shelter baru yang optimal. Variabel input krusial harus mencakup: (1) Berada di luar "Flood potential area", (2) Konektivitas tinggi ke jaringan "AI Evakuasi Realistis" (dari Rekomendasi 1), dan (3) Kedekatan dengan area berkepadatan korban banjir (FV) tertinggi.

Signifikansi: Beralih dari sekadar menghitung defisit kapasitas menjadi memberikan solusi penempatan yang strategis, memastikan shelter baru aman, dapat diakses, dan melayani populasi yang paling rentan.

 

4. Analisis Dampak Mitigasi Non-Struktural terhadap Defisit CR

Justifikasi: Penelitian ini berfokus pada solusi struktural (jalan dan bangunan). Namun, penurunan CR terbesar didorong oleh faktor sosial (peningkatan kepadatan penduduk).

Metode: Riset mixed-methods yang menguji efektivitas intervensi non-struktural untuk mengimbangi defisit CR. Variabel baru untuk diuji dapat mencakup: (1) Efektivitas sistem peringatan dini dalam mendorong evakuasi mandiri, (2) Kelayakan evakuasi vertikal (menggunakan bangunan publik tinggi yang ada sebagai shelter sementara), atau (3) Skema asuransi bencana untuk mengurangi kebutuhan akan shelter publik.

Signifikansi: Menjawab pertanyaan apakah mitigasi non-infrastruktur dapat mengkompensasi defisit kapasitas shelter yang masif (seperti di Pontianak Utara, CR hanya 11% pada 2050) ketika pembangunan shelter baru secara fisik atau finansial tidak memungkinkan.

 

5. Validasi Model (AI + CR) di Tipologi Kota Sungai Lainnya

Justifikasi: Paper ini secara eksplisit menyarankan penelitian lebih lanjut di lokasi lain di Kalimantan ("Pulau Seribu Sungai"). Model ini sangat dipengaruhi oleh topologi unik Pontianak yang terbelah sungai besar dan bergantung pada jembatan serta feri.

Metode: Replikasi metodologi (AI + CR) di kota-kota sungai lain dengan tantangan serupa (misalnya, Banjarmasin, Samarinda, Palembang) yang juga memiliki jaringan kanal historis dan ketergantungan pada infrastruktur penghubung.

Signifikansi: Menguji validitas eksternal dan generalisasi model Gultom et al. Ini akan menentukan apakah temuan bahwa "jalan lingkar meningkatkan resiliensi" adalah prinsip universal untuk kota sungai, atau hanya berlaku untuk konfigurasi spesifik Pontianak.

Penelitian Gultom et al. telah meletakkan dasar yang kuat dengan mengidentifikasi dinamika ganda antara peningkatan konektivitas infrastruktur dan penyusutan kapasitas sosial. Namun, temuan ini baru permulaan.

Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi akademik seperti Universitas Tanjungpura, badan perencanaan kota (BAPPEDA), dan badan penanggulangan bencana nasional (BNPB) serta dinas pekerjaan umum. Mengintegrasikan pemodelan akademis dengan kebutuhan praktis para pembuat kebijakan adalah langkah penting berikutnya untuk mewujudkan Pontianak yang benar-benar tangguh di masa depan.

Baca paper aslinya di sini: https://doi.org/10.14246/irspsd.10.3_170

Selengkapnya
Memetakan Risiko Pontianak 2050: Apakah Jalan Lingkar Cukup untuk Melawan Banjir?

Konstruksi & Infrastruktur

Audit Konseptual Fasilitas Publik: Tinjauan terhadap Manajemen Pemeliharaan Terminal Bus Pinang Ranti

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 23 Oktober 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada peran fundamental terminal bus sebagai fasilitas umum yang kompleks, di mana tingginya aktivitas menuntut jaminan keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna. Latar belakang masalah yang diangkat secara spesifik adalah kondisi Terminal Pinang Ranti di Jakarta Timur. Meskipun telah melalui proses revitalisasi yang panjang, terminal ini masih menghadapi tantangan dalam hal pemeliharaan dan perawatan fasilitasnya, yang berpotensi mengurangi kualitas pelayanan publik.   

Kerangka teoretis yang diusung oleh studi ini adalah evaluasi berbasis standar. Penulis memposisikan peraturan pemerintah sebagai tolok ukur ideal (das Sollen) untuk menilai kondisi aktual (das Sein) di lapangan. Secara spesifik, penelitian ini merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. PM 15 Tahun 2019 yang mendefinisikan fungsi utama terminal, dan Permenhub No. 132 Tahun 2015 yang secara rinci mengklasifikasikan fasilitas menjadi fasilitas utama dan penunjang serta menguraikan lingkup kegiatan pemeliharaan yang wajib dilakukan. Dengan demikian, hipotesis implisit yang mendasari karya ini adalah bahwa terdapat kesenjangan antara praktik manajemen pemeliharaan yang ada di Terminal Pinang Ranti dengan standar yang diamanatkan oleh regulasi nasional. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi konseptual terhadap sistem pemeliharaan dan perawatan fasilitas di terminal tersebut.   

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metode studi literatur atau tinjauan konseptual. Pendekatan ini tidak melibatkan pengumpulan data empiris baru melalui survei atau eksperimen, melainkan berfokus pada sintesis informasi dari sumber-sumber yang telah ada. Proses metodologisnya mencakup penelaahan terhadap dokumen-dokumen internal (seperti data pemeliharaan fasilitas terminal), peraturan perundang-undangan yang relevan, serta literatur akademis mengenai manajemen pemeliharaan fasilitas.   

Analisis yang dilakukan bersifat deskriptif-kualitatif, di mana informasi yang terkumpul diorganisir untuk memetakan sistem yang ada dan mengidentifikasi area-area potensial untuk perbaikan berdasarkan praktik terbaik yang disarankan oleh para ahli. Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengembangan teori baru, melainkan pada aplikasinya yang pragmatis. Dengan secara sistematis membingkai masalah pemeliharaan sebuah fasilitas publik yang spesifik dalam kerangka regulasi dan tinjauan akademis, penelitian ini memberikan sebuah diagnosis awal yang terstruktur dan berbasis pengetahuan.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Sebagai sebuah studi literatur, temuan utama dari penelitian ini adalah pemetaan sistem pemeliharaan yang ada dan sintesis rekomendasi dari para ahli.

  1. Struktur Manajemen Pemeliharaan: Ditemukan bahwa pelaksanaan pemeliharaan di Terminal Pinang Ranti dilakukan secara swakelola (Swakelola) oleh Satuan Sarana dan Prasarana Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan, yang diawasi langsung oleh Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Struktur tim teknisnya terbagi secara spesifik, dengan dua orang teknisi untuk Air (IPAL) dan Pemadam Kebakaran, dua orang untuk Kelistrikan, dan dua orang untuk pemeliharaan eskalator.   

  2. Rekomendasi dari Literatur: Temuan yang paling signifikan adalah adopsi saran-saran dari studi-studi sebelumnya sebagai masukan konkret bagi pengelola Terminal Pinang Ranti.

    • Mengutip Labombang (2008), penelitian ini menekankan bahwa penanganan fasilitas menuntut adanya sistem kerja yang sistematis dan profesional yang didasarkan pada pemahaman yang benar mengenai Manajemen Pemeliharaan Fasilitas.   

    • Mengutip Sushernawan (2014), disarankan untuk menambah jumlah personil yang bertugas mengawasi kebersihan, keamanan, dan kondisi fasilitas di dalam terminal. Secara spesifik, direkomendasikan untuk merekrut lulusan dari Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) untuk mengisi peran ini.   

Secara kontekstual, temuan-temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun telah ada struktur organisasi untuk pemeliharaan, praktik di lapangan kemungkinan besar masih dapat ditingkatkan dengan mengadopsi pendekatan manajemen yang lebih profesional dan dengan memperkuat kapasitas sumber daya manusia, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya yang sepenuhnya merupakan tinjauan literatur. Studi ini secara efektif mengidentifikasi standar yang relevan dan menyajikan rekomendasi dari para ahli, namun tidak menyajikan data empiris primer dari Terminal Pinang Ranti itu sendiri. Akibatnya, "evaluasi" yang dilakukan tetap berada pada level konseptual, tanpa adanya pengukuran kuantitatif atau kualitatif yang mendalam mengenai tingkat kesenjangan antara kondisi fasilitas aktual dengan standar yang ada.

Secara kritis, paper ini berhasil dalam merumuskan masalah dan mengidentifikasi kerangka kerja untuk solusinya. Namun, tanpa data lapangan—seperti hasil audit fisik fasilitas, survei kepuasan pengguna, atau wawancara dengan staf pemeliharaan—kesimpulan mengenai tingkat urgensi atau area prioritas untuk perbaikan masih bersifat dugaan.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas. Ia memberikan serangkaian rekomendasi awal yang dapat ditindaklanjuti oleh manajemen Terminal Pinang Ranti untuk mulai memikirkan perbaikan sistem pemeliharaan mereka, khususnya dalam hal profesionalisme manajemen dan kecukupan personil.

Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif berfungsi sebagai studi pendahuluan yang meletakkan dasar untuk investigasi empiris yang lebih rigor. Langkah berikutnya yang paling logis adalah melaksanakan evaluasi lapangan yang sesungguhnya. Ini akan melibatkan pengembangan instrumen audit berdasarkan Permenhub No. 132 Tahun 2015, melakukan inspeksi fisik yang sistematis, serta mengumpulkan data primer dari para pemangku kepentingan (pengguna dan staf) untuk memvalidasi secara empiris kebutuhan akan intervensi yang telah diidentifikasi dalam tinjauan literatur ini.

Sumber

Evaluasi Pemeliharaan dan Perawatan Fasilitas Terminal Bus Pinang Ranti Jakarta Timur. (2020). Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 430-437.

Selengkapnya
Audit Konseptual Fasilitas Publik: Tinjauan terhadap Manajemen Pemeliharaan Terminal Bus Pinang Ranti

Manajemen Proyek

Saya Hampir Tertabrak Sepeda Hari Ini, dan Itu Membuat Saya Memikirkan 60.000 Kematian

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 23 Oktober 2025


Saya sedang berjalan keluar dari kedai kopi, mata terpaku pada ponsel, ketika seorang pesepeda melesat tanpa suara, hanya beberapa senti dari bahu saya. Jantung saya serasa copot. Saya tidak sedang ceroboh, dan mungkin dia juga tidak. Kami hanya dua orang yang bergerak di ruang yang sama pada waktu yang sama, tidak menyadari potensi tabrakan fatal.

Insiden kecil yang nyaris celaka ini, yang terjadi setiap hari di seluruh dunia, adalah mikrokosmos dari masalah besar dan mematikan. Sebuah paper penelitian yang baru-baru ini saya baca akhirnya memberi saya bahasa untuk memahaminya.

Paper tersebut, "Classification of Construction Hazards for a Universal Hazard Identification Methodology" oleh Matej Mihić, membahas dunia konstruksi. Awalnya, saya pikir ini adalah topik yang sangat spesifik. Tapi semakin dalam saya membacanya, semakin saya sadar bahwa ini bukan hanya tentang helm pengaman dan sepatu bot baja. Ini tentang cara kita semua salah memahami esensi dari risiko.   

Mari kita mulai dengan angka yang mengejutkan. Industri konstruksi menyumbang sekitar 60.000 kematian setiap tahun di seluruh dunia. Itu adalah 18,7% dari total kematian terkait pekerjaan, padahal industri ini hanya mempekerjakan sekitar 6-10% tenaga kerja global. Di Amerika Serikat, 20,7% dari semua kematian di tempat kerja terjadi di konstruksi; di Uni Eropa, angkanya 21%. Statistik ini menunjukkan bahwa menjadi pekerja konstruksi secara tidak proporsional jauh lebih mematikan daripada pekerjaan rata-rata.   

Namun, statistik yang paling membuat saya terdiam adalah ini: menurut penelitian yang dirujuk dalam paper tersebut, lebih dari 30% bahaya di lokasi konstruksi tidak pernah teridentifikasi selama proses perencanaan keselamatan.   

Bayangkan sejenak. Para ahli keselamatan, dengan semua daftar periksa dan prosedur mereka, benar-benar buta terhadap sepertiga dari ancaman yang ada. Ini bukan sekadar kelalaian; ini adalah kegagalan sistemik yang fundamental. Pertanyaannya adalah, mengapa?

Mengapa Buku Panduan Keselamatan Kita Sangat Ketinggalan Zaman

Metode standar untuk mengidentifikasi bahaya di banyak industri disebut Analisis Bahaya Pekerjaan atau Job Hazard Analysis (JHA). Prosesnya sederhana: uraikan pekerjaan menjadi langkah-langkah, identifikasi potensi bahaya di setiap langkah, dan usulkan cara untuk mengendalikannya. Ini adalah pendekatan yang sangat logis dan proaktif.   

Masalahnya, seperti yang ditunjukkan oleh paper Mihić, JHA dirancang untuk lingkungan yang dapat diprediksi seperti pabrik—tempat pekerja cenderung diam sementara produk bergerak di jalur perakitan dalam lingkungan yang terkendali.   

Lokasi konstruksi adalah kebalikannya. Paper tersebut menggambarkannya sebagai lingkungan yang "dinamis", "tidak dapat diprediksi", dengan "pergerakan pekerja, peralatan, dan material yang ekstensif". Menggunakan JHA di lokasi konstruksi ibarat mencoba mengikuti resep kue soufflé yang presisi... saat terjadi gempa bumi. Resep itu mengasumsikan dapur yang stabil. Tetapi di lokasi konstruksi, "dapur" terus berubah, "koki" baru (tim kerja lain) terus-menerus masuk dan keluar, dan "bahan-bahan" (material) dipindahkan oleh derek. Resep itu menjadi tidak berguna karena konteksnya adalah kekacauan.   

Inilah sumber dari "ketidakpastian yang tidak diketahui" (unknown unknowns)—bahaya yang tidak teridentifikasi karena metode kita cacat sejak awal. Kita mencari jenis bahaya yang salah dengan alat yang salah.   

Ide Sederhana yang Mengubah Segalanya

Di sinilah letak kejeniusan paper Mihić. Terobosannya bukanlah teknologi baru yang canggih, melainkan perubahan mendasar dalam cara kita memandang bahaya.

Alih-alih mengklasifikasikan bahaya berdasarkan sifat fisiknya (misalnya, listrik, kimia, gravitasi), paper ini mengusulkan "klasifikasi bahaya baru" berdasarkan hubungan antara siapa sumber bahaya dan siapa yang terkena dampaknya.   

Ini adalah perubahan yang halus namun revolusioner. Ini menggeser fokus kita dari "benda apa yang bisa menyakiti saya?" menjadi "siapa yang bisa menyakiti saya, dan siapa yang bisa saya sakiti?". Keselamatan tidak lagi tentang daftar periksa statis, melainkan tentang peta dinamis dari interaksi manusia. Bahaya paling mematikan bukanlah benda mati; itu adalah konsekuensi tak terduga dari tindakan orang lain.

Bahasa Baru untuk Melihat Risiko

Paper ini memperkenalkan tiga kategori bahaya. Begitu Anda memahaminya, Anda akan mulai melihatnya di mana-mana—di kantor, di jalan, dan bahkan di rumah Anda sendiri.

Bahaya Self-Induced: Bahaya yang Kita Ciptakan untuk Diri Sendiri

Ini adalah jenis bahaya yang paling mudah kita pahami. Bahaya ini berasal dari aktivitas yang dilakukan oleh pekerja, dan pekerja itulah yang terkena dampaknya. Sumber dan korban adalah orang yang sama.   

  • Analogi Sederhana: Ini adalah skenario klasik "jangan lari sambil membawa gunting". Anda yang memegang gunting, Anda yang berlari. Seluruh lingkaran risiko dimulai dan diakhiri dengan Anda.

  • Contoh di Konstruksi: Paper ini memberikan contoh yang jelas seperti jatuh dari ketinggian, cedera karena penggunaan alat yang tidak tepat, luka bakar karena menyentuh benda panas, atau tergores saat memotong kayu.   

Ini adalah jenis bahaya yang paling sederhana untuk diidentifikasi, dan di situlah letak jebakannya. Karena bahaya self-induced mudah dilihat dan dipahami, seluruh budaya keselamatan kita terobsesi dengannya. Rambu-rambu keselamatan, pelatihan, dan peraturan sebagian besar berfokus pada memberitahu individu untuk lebih berhati-hati. Ini menciptakan bias kognitif yang kuat, semacam penglihatan terowongan, yang membuat kita buta terhadap risiko interaktif yang lebih kompleks dan seringkali jauh lebih mematikan. Kita menghabiskan seluruh energi kita untuk memastikan tidak ada yang berlari dengan gunting, sementara kita mengabaikan bahaya lain yang jauh lebih besar.   

Bahaya Peer-Induced: Jaring Tak Terlihat dari Bahaya yang Saling Terhubung

Inilah kontribusi paling penting dari paper ini. Bahaya peer-induced adalah bahaya di mana sumbernya adalah pekerja atau tim kerja lain, dan korbannya adalah pekerja yang berbeda yang kebetulan berada di radius bahaya pada waktu yang salah.   

  • Analogi Sederhana: Bayangkan Anda berada di dapur restoran yang sibuk, dengan hati-hati memotong bawang di meja Anda. Anda fokus, Anda aman. Tapi tiga meter dari Anda, seorang koki lain terpeleset di lantai yang basah dan membuat nampan berisi panci panas terbang. Salah satu panci itu mengenai Anda. Anda tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi Anda terluka oleh konsekuensi dari tindakan orang lain di ruang yang sama dan dinamis. Itulah bahaya peer-induced.

Paper ini menggunakan istilah teknis "paparan spasial" (spatial exposure) dan "paparan temporal" (temporal exposure). Saya menerjemahkannya menjadi ini: agar bahaya semacam ini ada, dua hal harus terjadi—Anda harus berada di tempat yang sama (tumpang tindih spasial) pada waktu yang sama (tumpang tindih temporal) dengan bahaya yang diciptakan orang lain.   

  • Contoh di Konstruksi: Contoh-contoh dari paper ini sangat kuat: benda jatuh dari ketinggian dan menimpa pekerja di bawah, bekisting (cetakan beton) runtuh dan menimpa tim yang bekerja di sebelahnya, atau tersandung perkakas atau material yang ditinggalkan oleh tim lain.   

Jenis bahaya ini adalah yang "paling kompleks" dan "paling sulit diidentifikasi" karena tidak berkaitan dengan kecerobohan individu, melainkan kegagalan sistemik dalam perencanaan dan koordinasi. Akar penyebab kecelakaan peer-induced bukanlah "pekerja yang ceroboh", melainkan "jadwal yang ceroboh" atau "tata letak lokasi yang ceroboh". Ini memaksa kita untuk berhenti bertanya, "Mengapa pekerja itu tidak memperhatikan?" dan mulai bertanya, "Mengapa sistem kita dirancang untuk mengizinkan tim pengelasan bekerja tepat di atas tim perpipaan?". Ini mengubah keselamatan dari masalah tanggung jawab pribadi menjadi masalah desain sistem.   

Bahaya Global: Ketika Seluruh Lokasi Menjadi Zona Merah

Ini adalah jenis khusus dari bahaya peer-induced di mana area pengaruhnya begitu besar dan tidak dapat diprediksi sehingga seluruh lokasi konstruksi dianggap sebagai zona bahaya. Ini mempengaruhi semua orang yang hadir.   

  • Analogi Sederhana: Ini adalah perbedaan antara satu panci jatuh di dapur (ancaman peer-induced yang terlokalisasi) dengan kebakaran yang terjadi di dapur itu. Api adalah ancaman global. Tidak peduli di mana Anda berada di dapur; Anda dalam bahaya.

  • Contoh di Konstruksi: Paper ini memberikan contoh-contoh berdampak tinggi: perancah runtuh, kegagalan atau runtuhnya derek, benda yang diangkut derek jatuh, kebakaran, dan ledakan.   

Di sinilah saya akan memberikan sedikit kritik halus saya. Paper ini juga mendefinisikan dua subtipe: "bahaya sumber global" (banyak aktivitas dapat menyebabkannya, seperti sengatan listrik) dan "bahaya konstruksi umum" (sangat umum sehingga berlaku untuk semua orang, seperti tersandung). Adanya subtipe ini menunjukkan betapa rumitnya realitas dan keterbatasan model apa pun yang mencoba untuk menyederhanakannya. Ini menunjukkan bahwa penulis melakukan penelitian yang jujur dan mengakui bahwa dunia lebih kompleks daripada kerangka kerja yang ia usulkan. Ini bukan kelemahan, melainkan tanda pemikiran yang mendalam.   

Ini Bukan Tentang Konstruksi—Ini Tentang Kolaborasi

Setelah membaca paper ini, saya sadar bahwa kerangka kerja ini adalah alat yang sangat kuat untuk memahami risiko di lingkungan kolaboratif yang kompleks mana pun. Lokasi konstruksi hanyalah contoh ekstrem.

  • Di Kantor: "Bahaya peer-induced" di kantor adalah ketika tim pemasaran meluncurkan kampanye untuk fitur produk yang belum selesai dibuat oleh tim teknik. Tim teknik sekarang berada dalam krisis, bukan karena pekerjaan mereka sendiri, tetapi karena tindakan tim lain.

  • Di Rumah Sakit: Seorang ahli bedah yang diberikan instrumen yang salah oleh perawat yang kelelahan adalah bahaya peer-induced klasik. Sistem pengecekan dan komunikasi yang baiklah yang mencegah bencana.

  • Dalam Pengembangan Perangkat Lunak: Seorang pengembang yang mengirimkan kode buruk yang merusak build untuk seluruh tim menciptakan "bahaya peer-induced" yang menghentikan produktivitas semua orang.

Intinya adalah: paper ini memberi kita bahasa bersama untuk mendiagnosis kegagalan sistemik alih-alih menyalahkan individu. Ini mendorong kita untuk bertanya, "Bagaimana alur kerja kita menciptakan titik gesekan ini?" alih-alih "Siapa yang berbuat salah?".

Pandangan Akhir Saya dan Langkah Selanjutnya

Jarang sekali sebuah paper akademis dapat secara fundamental mengubah cara Anda memandang dunia, tetapi ini adalah salah satunya. Keanggunan dan kekuatan kerangka kerja ini terletak pada kesederhanaannya.

Tentu saja, ini bukanlah solusi akhir. Seperti yang diakui oleh penulis, klasifikasi ini adalah "prasyarat" untuk pengembangan sistem yang lebih besar. Validasi yang dilakukan dengan sepuluh ahli adalah awal yang menjanjikan, tetapi tantangan sebenarnya terletak pada penerapan di dunia nyata.   

Namun, paper ini bukan hanya sebuah pengamatan; ini adalah panggilan untuk bertindak. Ini menuntut para manajer untuk menjadi perancang sistem yang lebih baik dan bagi setiap individu untuk mengembangkan "kesadaran situasional" yang lebih luas, yang melampaui tugas mereka sendiri.

Cara Membangun Sistem yang Lebih Aman, Mulai Hari Ini

Kuncinya adalah beralih dari pola pikir keselamatan individu ke kesadaran kolektif dan sistemik. Ini membutuhkan pelatihan untuk melihat hubungan-hubungan tersembunyi ini.

Mengembangkan pandangan sistemik seperti ini bukanlah keterampilan bawaan; itu adalah kompetensi profesional yang bisa dipelajari. Ini melibatkan pemahaman interaksi kompleks antara penjadwalan, alokasi sumber daya, dan komunikasi—faktor-faktor yang menciptakan atau mencegah bahaya peer-induced. Bagi para profesional yang ingin membangun keterampilan ini, pelatihan komprehensif dalam koordinasi proyek modern sangatlah penting. Kursus online seperti (https://www.diklatkerja.com/courses/project-management) dirancang khusus untuk membekali para pemimpin dengan alat untuk mengelola interaksi kompleks ini dan membangun sistem yang lebih aman dan efisien.

Pada akhirnya, paper ini tidak hanya menawarkan cara baru untuk mengkategorikan bahaya; ia menawarkan peta untuk menemukan 30% bahaya yang selama ini kita lewatkan. Dengan belajar melihat jaring tak terlihat yang menghubungkan kita semua, kita dapat membangun sistem yang tidak hanya lebih aman, tetapi juga lebih cerdas, lebih kolaboratif, dan lebih manusiawi.

Jika cara baru melihat risiko ini membuat Anda tertarik seperti halnya saya, saya sangat menganjurkan Anda untuk membaca paper aslinya. Ini adalah sebuah mahakarya dalam pemikiran yang jernih dan berdampak.

(https://doi.org/10.3846/jcem.2020.11932)

Selengkapnya
Saya Hampir Tertabrak Sepeda Hari Ini, dan Itu Membuat Saya Memikirkan 60.000 Kematian

Teknologi Konstruksi

Helm Canggih, Udara Tercemar: Paradoks Keselamatan Konstruksi Digital di Indonesia

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 23 Oktober 2025


Sebuah Cerita Pengantar: Kenapa Helm Saja Tidak Akan Pernah Cukup

Beberapa minggu lalu, saya merombak total sistem kelistrikan di rumah. Awalnya, saya pikir urusannya sederhana: ganti kabel lama, pasang beberapa stop kontak baru, selesai. Tapi teknisi yang saya panggil punya pandangan berbeda. Dia tidak hanya bicara soal kabel. Dia bicara soal sistem. Dia menjelaskan tentang pentingnya MCB (pemutus sirkuit) yang tepat untuk setiap zona, stabilizer untuk melindungi alat elektronik dari lonjakan listrik, bahkan sampai jalur kabel darurat.

"Pak," katanya, "melindungi rumah itu bukan cuma soal satu alat. Ini soal membangun jaring pengaman berlapis. Kalau satu gagal, yang lain mengambil alih."

Saat itu saya tersadar. Analogi ini—sebuah jaring pengaman berlapis—adalah cara paling tepat untuk menggambarkan apa yang seharusnya menjadi pendekatan kita terhadap keselamatan di industri konstruksi. Kita sering terjebak berpikir bahwa keselamatan itu sesederhana memakai helm atau rompi pengaman. Padahal, itu hanyalah lapisan terluar dari sebuah sistem yang jauh lebih kompleks dan, sayangnya, jauh lebih rapuh.

Kerapuhan sistem ini bukan lagi sekadar teori. Sebuah paper penelitian berjudul "Perkembangan Teknologi Digital Terhadap Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia" melukiskan gambaran yang suram dengan data yang tak terbantahkan. Sektor konstruksi, yang menyumbang sekitar 6,45% PDB negara kita, adalah salah satu medan kerja paling berisiko. Angka kecelakaan kerja terus merangkak naik setiap tahun. Pada tahun 2021 saja, tercatat ada 234.370 kasus kecelakaan kerja yang menyebabkan 6.552 pekerja meninggal dunia—sebuah kenaikan 5,7% dari tahun sebelumnya.   

Ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah 6.552 keluarga yang kehilangan orang yang mereka cintai. Ini adalah ribuan proyek yang terhambat, reputasi yang tercoreng, dan biaya tak terduga yang membengkak.

Paper tersebut mengidentifikasi akar masalahnya, yang secara garis besar terbagi dua: "faktor manusia" (seperti tidak mengikuti prosedur, kelelahan, atau kurangnya pengalaman) dan "faktor lingkungan" (kondisi kerja tidak aman, kurangnya rambu, fasilitas keselamatan terbatas). Selama bertahun-tahun, industri mencoba mengatasi ini dengan pendekatan tradisional: lebih banyak pelatihan, lebih banyak pengawasan manual, lebih banyak aturan. Tapi angka-angka tadi membuktikan, pendekatan itu telah mencapai batasnya.   

Di sinilah teknologi digital masuk sebagai harapan baru. Paper ini tidak hanya memaparkan masalah, tapi juga mengeksplorasi bagaimana inovasi digital bisa menjadi juru selamat. Namun, seperti yang akan kita lihat, teknologi bukanlah peluru perak. Ia membawa janji besar, tapi juga mengungkap sebuah titik buta yang sangat berbahaya dalam cara kita memandang keselamatan. Ini bukan lagi sekadar perdebatan tentang efisiensi; ini adalah sebuah pergeseran filosofis yang mendesak tentang bagaimana kita melindungi nyawa manusia di tengah deru mesin pembangunan.

Di Balik Angka-Angka yang Mengerikan: Memahami Aturan Main Keselamatan Konstruksi

Sebelum kita menyelam ke dunia drone dan kecerdasan buatan, penting untuk memahami "aturan main" yang seharusnya sudah melindungi para pekerja kita. Di Indonesia, kerangka kerja ini disebut Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, atau yang lebih dikenal dengan singkatan SMKK. Ini diatur secara ketat dalam Peraturan Menteri PUPR No. 10 Tahun 2021.   

Jangan bayangkan SMKK sebagai tumpukan dokumen birokrasi yang membosankan. Anggaplah ia sebagai sebuah cetak biru (blueprint) untuk "keselamatan total". Tujuannya bukan hanya untuk melindungi pekerja di dalam lokasi proyek, tetapi untuk menciptakan sebuah ekosistem konstruksi yang aman secara menyeluruh. Fondasi dari SMKK adalah pemenuhan empat standar utama yang disebut Standar K4: Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan.   

Keempat pilar ini, jika diurai, sebenarnya sangat intuitif dan mencakup semua aspek yang bisa Anda bayangkan:

  1. Keselamatan Keteknikan Konstruksi: Pilar ini menjawab pertanyaan paling mendasar: "Apakah bangunan yang kita bangun ini kokoh, stabil, dan aman secara struktural?" Ini mencakup segalanya mulai dari kualitas material, metode pembangunan, hingga keamanan peralatan yang digunakan.   

  2. Keselamatan dan Kesehatan Tenaga Kerja: Inilah pilar yang paling sering kita dengar. Fokusnya adalah melindungi setiap individu yang terlibat dalam proses pembangunan—mulai dari insinyur, mandor, pekerja harian, hingga tamu atau pemasok yang datang ke lokasi. Helm, sepatu bot, dan rompi hanyalah sebagian kecil dari pilar ini.   

  3. Keselamatan Publik: Pilar ini memperluas lingkaran perlindungan ke luar pagar proyek. Ia bertanya: "Apakah masyarakat di sekitar lokasi proyek aman dari aktivitas kita?" Ini mencakup risiko seperti material jatuh, debu konstruksi, kebisingan, hingga manajemen lalu lintas di sekitar proyek.   

  4. Keselamatan Lingkungan: Pilar terakhir ini memastikan bahwa proses pembangunan tidak meninggalkan warisan kerusakan bagi alam. Ia mencakup pengelolaan limbah, pencegahan polusi tanah dan air, serta perlindungan terhadap lingkungan alam dan lingkungan terbangun di sekitarnya.   

Yang krusial untuk dipahami adalah keempat pilar ini bukanlah pilihan yang bisa diambil salah satu. Mereka adalah sebuah sistem yang saling bergantung. Kegagalan dalam menjaga keselamatan lingkungan (misalnya, pembuangan limbah kimia yang tidak benar) bisa secara langsung berdampak pada kesehatan tenaga kerja dan keselamatan publik. Runtuhnya perancah (kegagalan keselamatan keteknikan) adalah ancaman langsung bagi pekerja dan bisa jadi juga bagi publik.

SMKK, dengan keempat pilarnya, memberikan kita sebuah visi ideal tentang seperti apa proyek konstruksi yang bertanggung jawab itu. Ini adalah standar emas yang kita tuju. Namun, seperti yang diungkapkan oleh penelitian ini, ada jurang yang menganga antara idealisme di atas kertas dan realitas penerapan teknologi di lapangan. Dan di jurang itulah, tragedi sering kali terjadi.

Pasukan Digital Telah Tiba: Inilah Senjata Baru Kita Melawan Risiko

Untuk menjembatani jurang antara visi SMKK dan realitas lapangan yang penuh risiko, industri konstruksi mulai melirik "pasukan digital". Paper ini merangkum serangkaian teknologi canggih yang tidak lagi menjadi fiksi ilmiah, tetapi sudah mulai diimplementasikan di berbagai proyek di Indonesia. Masing-masing teknologi ini menawarkan solusi unik untuk mengatasi kelemahan manusia dan keterbatasan metode konvensional.

Melatih Insting di Dunia Maya (VR & AR)

Bayangkan seorang operator crane baru bisa berlatih mengangkat beban puluhan ton dalam simulasi badai angin, atau tim pemadam kebakaran bisa berlatih mengevakuasi gedung bertingkat tinggi yang terbakar—semuanya tanpa satu pun risiko nyata. Inilah kekuatan Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR). Teknologi ini berfungsi seperti sebuah "gym" untuk insting keselamatan.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Pekerja baru dapat mengenal lingkungan kerja, alat berat, dan prosedur darurat dalam lingkungan virtual yang aman, mengurangi kesalahan fatal di dunia nyata.   

  • 🧠 Inovasinya: Pelatihan K3 tidak lagi terbatas pada presentasi PowerPoint yang membosankan. Dengan VR/AR, pembelajaran menjadi pengalaman (experiential learning), yang terbukti jauh lebih efektif dalam membangun memori otot dan kewaspadaan.   

  • 💡 Pelajaran: Daripada belajar dari kesalahan yang mematikan, kita bisa belajar dalam ribuan skenario kegagalan virtual yang aman.

Mata Elang di Langit dan di Data (Drone & BIM)

Jika VR/AR adalah alat untuk melatih individu, maka Building Information Modeling (BIM) dan Drone adalah alat untuk mengelola keselamatan dalam skala makro.

Pikirkan BIM sebagai Google Maps super canggih untuk proyek Anda. Ini bukan sekadar gambar 3D; ini adalah model digital cerdas yang mengandung setiap lapis informasi—mulai dari data struktural, jadwal, hingga yang terpenting, data risiko K3. Sebelum satu fondasi pun digali, manajer proyek dapat "berjalan" melintasi model BIM untuk mengidentifikasi area berbahaya, seperti lubang tanpa pagar atau sudut buta tempat tabrakan alat berat bisa terjadi.   

Sementara itu, Drone (UAV) berfungsi sebagai mata elang di langit. Ia memberikan pengawasan real-time atas seluruh area proyek, memantau perilaku pekerja, pergerakan lalu lintas, dan keamanan perimeter dengan cara yang tidak mungkin dilakukan oleh pengawas manusia. Anehnya, paper ini mencatat bahwa meskipun potensinya besar, studi tentang pemanfaatan drone untuk keselamatan konstruksi di Indonesia masih sangat terbatas—sebuah peluang yang terlewatkan.   

Otak Cerdas yang Tak Pernah Lelah (CNN & AI)

Manusia bisa lelah, terdistraksi, dan bosan. Tapi tidak dengan algoritma. Convolutional Neural Network (CNN), sejenis kecerdasan buatan (AI) yang ahli dalam mengenali gambar, adalah jawabannya. Bayangkan CNN sebagai seorang satpam super teliti yang tidak pernah berkedip. Terintegrasi dengan kamera CCTV di seluruh proyek, ia bisa:

  • Memindai ratusan pekerja secara bersamaan untuk memastikan semua orang mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap, seperti helm dan rompi.   

  • Mendeteksi secara otomatis jika ada rambu K3 yang hilang atau rusak.   

  • Memberikan peringatan real-time kepada manajer keselamatan jika ada pelanggaran terdeteksi, memungkinkan intervensi cepat sebelum insiden terjadi.

Teknologi ini mengubah pengawasan dari proses manual yang reaktif menjadi sistem otomatis yang proaktif. Ia tidak menggantikan manusia, tetapi memberdayakan mereka dengan "mata" tambahan yang tidak pernah lelah.

Denyut Nadi Proyek di Ujung Jari (Sensor & Wearables)

Teknologi terakhir yang dibahas adalah yang paling personal: sensor dan perangkat yang dapat dikenakan (wearable devices). Ini adalah cara untuk membawa pemantauan keselamatan ke tingkat individu dan lingkungan mikro.

  • Wearable Devices: Anggap ini seperti Fitbit atau Apple Watch untuk keselamatan kerja. Perangkat yang dikenakan pekerja dapat memantau metrik fisiologis seperti detak jantung, suhu tubuh, dan tingkat kelelahan, memberikan peringatan dini terhadap risiko heat stroke atau kelelahan berlebih. Mereka juga bisa dilengkapi GPS untuk melacak lokasi pekerja di area yang luas atau berbahaya. Sama seperti drone, paper ini menyoroti bahwa adopsi teknologi ini di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain, meskipun potensinya sangat besar.   

  • Sensor Lingkungan: Ini adalah sistem saraf proyek. Sensor-sensor yang tersebar di lokasi dapat mendeteksi berbagai bahaya secara real-time: sensor asap untuk peringatan kebakaran, sensor gas untuk mendeteksi kebocoran di ruang terbatas, sensor kualitas udara, bahkan sensor kebisingan untuk melindungi pendengaran pekerja.   

Pasukan digital ini, secara kolektif, menjanjikan sebuah revolusi. Mereka menawarkan kemampuan untuk melihat apa yang tak terlihat, memprediksi apa yang belum terjadi, dan merespons dengan kecepatan super. Namun, pertanyaan besarnya adalah: ke arah mana kita menodongkan senjata-senjata canggih ini? Jawabannya, seperti yang diungkap oleh paper ini, ternyata sangat mengkhawatirkan.

Kita Melindungi Pekerja, Tapi Bagaimana dengan Warga di Sekitar Proyek?

Mari kita renungkan implikasi dari ketimpangan ini. Kita memiliki AI yang bisa mendeteksi apakah seorang pekerja memakai helm dalam hitungan milidetik, tapi kita kekurangan sistem sensor yang bisa memperingatkan sekolah di sebelah proyek konstruksi ketika tingkat polusi debu mencapai ambang batas berbahaya. Kita menggunakan BIM untuk memitigasi risiko tabrakan antar alat berat, tapi kita jarang menggunakannya untuk mensimulasikan dampak kebisingan proyek terhadap pemukiman warga di sekitarnya.

Apa gunanya sebuah gedung pintar yang dibangun dengan sangat aman jika proses pembangunannya mencemari sumber air warga sekitar? Seberapa canggih proyek kita jika seorang anak kecil yang berjalan di trotoar bisa celaka karena material jatuh yang tidak terdeteksi oleh sistem pengawasan yang hanya fokus ke dalam?

Ketimpangan ini bukan sekadar anomali statistik; ini adalah cerminan dari sebuah "kesenjangan empati" yang sistemik. Industri, secara kolektif, tampaknya memprioritaskan penggunaan teknologi untuk mengatasi masalah-masalah yang memiliki dampak langsung dan terukur terhadap bisnis: kecelakaan kerja menyebabkan penundaan dan klaim asuransi; kegagalan struktur menyebabkan kerugian finansial total. Ini adalah risiko yang memengaruhi bottom line perusahaan secara langsung.

Di sisi lain, dampak terhadap publik dan lingkungan sering kali dianggap sebagai "eksternalitas"—masalah yang biayanya tidak langsung ditanggung oleh perusahaan. Debu, kebisingan, kemacetan, atau kerusakan ekosistem lokal adalah "biaya" yang dibebankan kepada masyarakat dan lingkungan, bukan kepada neraca keuangan proyek. Akibatnya, peta adopsi teknologi kita menjadi peta manajemen risiko finansial, bukan peta manajemen risiko kemanusiaan dan lingkungan secara holistik. Ini adalah sebuah kegagalan visi yang strategis dan, bisa dibilang, kegagalan moral.

Pelajaran Praktis yang Bisa Saya Ambil untuk Pekerjaan Besok Pagi

Melihat peta teknologi yang timpang ini, tantangannya menjadi sangat jelas: kita, sebagai para profesional di industri ini, perlu memperluas imajinasi kita tentang apa itu "keselamatan". Ini bukan lagi hanya soal helm dan rompi, tapi juga soal sensor kualitas udara, sistem peredam bising, dan manajemen lalu lintas yang cerdas. Ini bukan hanya tentang melindungi aset kita, tapi juga tentang menjadi tetangga yang baik bagi komunitas di mana kita membangun.

Mengubah pola pikir ini adalah langkah pertama. Langkah kedua adalah membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan untuk menerapkannya. Memahami gambaran besar ini adalah satu hal, tapi mengeksekusinya di lapangan yang kompleks butuh keahlian. Inilah mengapa program seperti (https://diklatkerja.com/course/category/sistem-manajemen-keselamatan-konstruksi-smkk/) menjadi sangat relevan. Pelatihan-pelatihan formal ini, yang sering kali mencakup semua aspek dari regulasi, manajemen lingkungan, hingga kesiapsiagaan darurat, dirancang untuk menjembatani antara pengetahuan teoretis tentang keempat pilar SMKK dan eksekusi praktis di lapangan, memastikan tidak ada aspek keselamatan yang tertinggal.   

Namun, ada satu lagi pelajaran penting yang tersirat dalam paper ini. Para peneliti menyebutkan adanya "terbatasnya informasi terkait pemenuhan keselamatan konstruksi yang dapat diakses secara umum". Ini bukan hanya masalah bagi akademisi; ini adalah masalah besar bagi industri. Artinya, perusahaan-perusahaan yang mungkin sudah berinovasi dalam keselamatan publik atau lingkungan tidak membagikan pengetahuan atau studi kasus mereka.   

Ini menciptakan sebuah lingkaran setan. Karena kisah sukses tidak dibagikan, industri secara umum menganggap teknologi untuk keselamatan publik dan lingkungan tidak penting atau tidak layak secara komersial. Akibatnya, tidak ada insentif untuk berinvestasi lebih lanjut, dan penelitian pun mandek.

Maka, panggilan untuk bertindak bagi kita semua menjadi dua kali lipat:

  1. Belajar dan Tingkatkan Kompetensi: Ikuti pelatihan, pahami SMKK secara holistik, dan desak perusahaan Anda untuk berpikir melampaui pagar proyek.

  2. Dokumentasikan dan Bagikan: Jika Anda berhasil mengimplementasikan sebuah inovasi—sekecil apa pun itu—yang meningkatkan keselamatan publik atau lingkungan, bagikanlah. Tulis di LinkedIn, presentasikan di seminar, atau publikasikan studi kasus. Putuskan lingkaran kebisuan ini.

Kita harus berhenti melihat keselamatan publik dan lingkungan sebagai beban biaya atau kewajiban CSR (Corporate Social Responsibility) semata. Di era di mana reputasi bisa hancur dalam sekejap akibat satu video viral tentang polusi atau kecelakaan yang menimpa warga, mengabaikan kedua pilar ini adalah risiko bisnis yang sangat besar. Sebaliknya, menjadi pelopor dalam keselamatan holistik adalah keunggulan kompetitif yang tak ternilai.

Kesimpulan: Sebuah Awal, Bukan Akhir

Perjalanan kita membedah paper ini dimulai dengan statistik kecelakaan yang mengerikan. Kita kemudian melihat cetak biru ideal dari SMKK, sebuah visi keselamatan total yang mencakup pekerja, bangunan, publik, dan lingkungan. Kita terkagum-agum dengan potensi pasukan digital—VR, AI, BIM, dan sensor—yang siap membantu kita mewujudkan visi tersebut.

Namun, di akhir perjalanan, kita menemukan sebuah kebenaran yang tidak nyaman: teknologi canggih kita saat ini diarahkan oleh sebuah visi yang terlalu sempit. Kita menjadi sangat ahli dalam melindungi diri kita sendiri dan aset kita, tetapi masih gagap dalam melindungi dunia di sekitar kita.

Paper ini, pada akhirnya, bukanlah sebuah laporan akhir. Ia adalah sebuah panggilan untuk memulai. Ia memberikan kita data untuk memulai percakapan yang sulit di ruang rapat, di lokasi proyek, dan di forum-forum industri. Teknologi adalah alat yang luar biasa kuat, tetapi ia netral. Ia hanya akan seefektif dan seetis visi yang mengarahkannya.

Tugas kita sekarang adalah memperluas visi tersebut. Tugas kita adalah memastikan bahwa deru mesin pembangunan tidak hanya membangun gedung-gedung yang megah, tetapi juga membangun kepercayaan dengan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan untuk generasi yang akan datang. Itulah makna sesungguhnya dari "konstruksi berkelanjutan".

Diskusi ini baru permulaan. Kalau Anda tertarik untuk mendalami data dan analisis di baliknya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan penting bagi siapa pun yang peduli tentang masa depan konstruksi di Indonesia.

(https://doi.org/10.25105/cesd.v6i2.18811)

Selengkapnya
Helm Canggih, Udara Tercemar: Paradoks Keselamatan Konstruksi Digital di Indonesia

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kenyamanan Transportasi Publik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 Oktober 2025


Pendahuluan: Membongkar Keseimbangan Sensitivitas Penumpang

Perencanaan transportasi modern di kota-kota besar membutuhkan lebih dari sekadar data historis; diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana penumpang bereaksi terhadap perubahan layanan. Seberapa cepat mereka beralih moda transportasi jika bus atau kereta menjadi lebih lambat? Dan yang lebih krusial, seberapa cepat mereka kembali jika layanan ditingkatkan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi fokus utama dalam sebuah studi data mutakhir yang menganalisis lebih dari 25 juta perjalanan penumpang di Greater London.1

Selama beberapa dekade, perencana kota mengandalkan metode yang digambarkan sebagai "sirkuit" atau tidak langsung. Metode ini melibatkan monetisasi penghematan waktu perjalanan menggunakan asumsi Nilai Waktu (Value of Time atau VOT), yang kemudian dikonversi menjadi dampak finansial melalui elastisitas tarif. Pendekatan ini rentan terhadap berbagai asumsi dan sering kali menggunakan parameter yang diseragamkan (homogenised).1

Sebagai solusi, penelitian yang dilakukan oleh Howard Wong dan Menno Yap di Journal of Public Transportation ini mengusulkan metrik yang lebih langsung dan transparan: Elastisitas Waktu Perjalanan Umum (Generalised Journey Time atau GJT). Dengan GJT, perencana dapat secara langsung memperkirakan dampak permintaan dari perubahan GJT yang diprediksi tanpa perlu asumsi perantara yang rumit. Perkiraan perubahan permintaan ini kemudian dapat langsung diubah menjadi dampak pendapatan berdasarkan hasil rata-rata per perjalanan penumpang.1

Skala Data dan Temuan Kunci

Keandalan temuan studi ini terletak pada volumenya yang masif. Alih-alih mengandalkan survei preferensi (stated preference) atau data penjualan tiket yang teragregasi, penelitian ini menggunakan pendekatan preferensi tersingkap (revealed preference) berdasarkan data penumpang individu yang sangat terperinci dari sistem kartu pintar Automated Fare Collection (AFC) dan Automated Vehicle Location (AVL).1

Secara total, analisis ini mencakup lebih dari 25 juta perjalanan empiris yang dipengaruhi oleh sembilan intervensi layanan yang berbeda—baik perbaikan terencana (seperti perpanjangan jalur baru) maupun degradasi sementara (seperti penutupan jalur) — di London antara tahun 2018 dan 2022. Skala dan resolusi data ini secara substansial meningkatkan ukuran sampel dan representasi temuan.1

Temuan inti dari analisis ini menetapkan elastisitas GJT rata-rata sebesar -0.61.1 Secara praktis, nilai ini berarti adanya hubungan terbalik: untuk setiap kenaikan 1% pada waktu perjalanan umum, permintaan transportasi publik diperkirakan akan berkurang sebesar 0.61%, dan sebaliknya.1 Untuk memberikan gambaran yang lebih nyata, jika layanan transportasi publik mengalami kemunduran kolektif hingga GJT memburuk sebesar 10% di seluruh jaringan, otoritas transportasi harus bersiap kehilangan 6.1% dari basis penumpang mereka.

 

Rahasia GJT: Apa yang Membuat Penumpang Berpaling dari Transit?

Memahami Elastisitas Waktu Perjalanan Umum (GJT) sangat penting karena metrik ini bukan hanya tentang seberapa cepat kereta bergerak. GJT adalah ukuran komprehensif yang menangkap respons penumpang terhadap perubahan di seluruh rantai perjalanan.1

Waktu Tunggu Lebih Berat Dua Kali Lipat

GJT didefinisikan sebagai jumlah dari waktu di dalam kendaraan ($t^{ivt}$), waktu di luar kendaraan ($t^{wtt}$, mencakup waktu berjalan dan menunggu), dan penalti jumlah transfer ($n^{tf}$), yang masing-masing dikalikan dengan faktor valuasi tertentu.1

Temuan penting dalam studi ini adalah valuasi waktu di luar kendaraan. Data menunjukkan bahwa penumpang secara rata-rata menilai waktu menunggu dan berjalan ($\beta$) dua kali lebih negatif dibandingkan waktu yang dihabiskan di dalam kendaraan yang tidak padat ($\beta=2.0$).1

Implikasi bagi perencana kota sangatlah jelas: bagi penumpang, penundaan 5 menit yang terjadi saat mereka menunggu di halte atau berjalan antar-moda terasa setara dengan penundaan 10 menit di dalam kendaraan yang nyaman. Sensitivitas yang tinggi terhadap waktu di luar kendaraan ini menekankan bahwa ketidakpastian (menunggu tanpa informasi) dan ketidaknyamanan (berjalan jauh atau antre) adalah faktor-faktor pendorong terbesar hilangnya permintaan.

Selain itu, setiap kali penumpang melakukan transfer atau pindah moda transportasi, ada penalti tetap sebesar 3.5 menit yang ditambahkan ke GJT, yang mencerminkan kerumitan dan stres yang terkait dengan pergantian perjalanan.

Faktor Kepadatan dan Dampak Nyata

Kepadatan (crowding) di dalam kendaraan juga menjadi elemen kunci dalam GJT, karena memengaruhi persepsi penumpang terhadap waktu yang dihabiskan. Kepadatan diukur menggunakan pengali ($\alpha$) yang meningkat sebanding dengan kepadatan berdiri di dalam kendaraan. Studi ini menetapkan bahwa nilai pengali kepadatan dapat mencapai 2.5 kali lipat saat total kapasitas kendaraan (kursi dan berdiri) telah terlampaui.1

Hal ini berarti waktu tempuh 10 menit di dalam bus yang sangat padat dapat terasa seperti 25 menit. Konsep ini secara langsung memecahkan teka-teki mengapa layanan yang nominalnya cepat masih kehilangan penumpang jika pengalamannya buruk. Perencana tidak hanya harus mengukur kecepatan, tetapi juga kenyamanan ruang.

Kisah Intervensi Layanan Besar

Elastisitas GJT bervariasi secara signifikan tergantung pada jenis dan skala intervensi layanan yang dianalisis. Analisis terhadap sembilan kasus, termasuk pembukaan dan penutupan jalur utama, memberikan gambaran yang jelas.

Sebagai contoh, pembukaan Jalur Elizabeth (EZL) baru di London, sebuah proyek infrastruktur besar, menghasilkan penurunan GJT yang signifikan dan respons permintaan yang sangat kuat. Untuk beberapa segmen yang terintegrasi, seperti integrasi jalur kereta timur dan barat ke jalur pusat Elizabeth Line (Kasus 4e EZL dan 4w EZL), elastisitas mencapai angka negatif yang sangat kuat, antara -0.90 hingga -0.92.1 Respons kuat ini mungkin didorong tidak hanya oleh penghematan waktu nominal, tetapi juga oleh peningkatan kenyamanan (kereta baru, ber-AC, stasiun modern) yang secara efektif mengurangi GJT non-nominal.

Sebaliknya, ketika terjadi degradasi layanan seperti penutupan utama Northern Line (NLC) selama 17 minggu, respons permintaan yang sangat akut terlihat. Dalam tiga bulan pertama pasca-intervensi, elastisitas GJT mencapai -0.79.1 Hal ini menunjukkan bahwa penumpang sangat cepat bereaksi terhadap kerugian layanan, bahkan ketika penutupan tersebut telah direncanakan dan dikomunikasikan secara luas.

 

Fenomena Asimetri Permintaan: Pelajaran Pahit bagi Operator Transit

Salah satu temuan paling mendalam dan mengejutkan dalam studi ini adalah sifat asimetris dari respons permintaan penumpang terhadap perubahan kualitas layanan.1

Data menunjukkan bahwa, setidaknya dalam jangka pendek dan menengah, permintaan lebih elastis terhadap degradasi layanan (elastisitas rata-rata sekitar -0.68) dibandingkan dengan peningkatan layanan (elastisitas rata-rata sekitar -0.59).1

Kepergian Cepat, Kedatangan Lambat

Fenomena ini menyiratkan sebuah kenyataan pahit bagi operator: butuh waktu lebih lama bagi permintaan untuk meningkat sebagai respons terhadap perbaikan kualitas layanan, dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi permintaan untuk menurun setelah terjadi penurunan kualitas layanan.1

Ada penjelasan rasional di balik ketidakseimbangan ini. Ketika degradasi layanan terjadi (misalnya, jembatan ditutup atau frekuensi dikurangi), penumpang yang sudah ada secara langsung terkena dampaknya. Mereka didorong untuk segera mencari solusi alternatif, entah beralih ke kendaraan pribadi, memilih rute yang berbeda, atau bahkan membatalkan perjalanan. Ini adalah reaksi bertahan hidup yang cepat dan mendadak.

Sebaliknya, peningkatan layanan (misalnya perpanjangan jalur baru atau penambahan frekuensi) tidak selalu langsung menarik penumpang baru. Peningkatan layanan membutuhkan waktu agar pola perjalanan yang sudah tertanam kuat (embedded travel patterns) berubah. Selain itu, diperlukan waktu bagi populasi baru (penduduk atau pekerjaan) untuk tertarik dan pindah ke area yang baru terlayani guna mengambil keuntungan dari konektivitas yang lebih baik. Contohnya, pada ekstensi Northern Line (NLE), elastisitas yang diukur dalam bulan ke-12 meningkat signifikan sebesar 30% dibandingkan dengan pengukuran pada bulan pertama.1 Hal ini menunjukkan bahwa dampak penuh investasi infrastruktur baru hanya dapat dirasakan setelah periode yang panjang.

Temuan ini sangat penting bagi pengambilan keputusan kebijakan. Jika pemerintah atau operator mencabut layanan (misalnya karena pemotongan anggaran), kerugian penumpang akan terjadi secara instan dan substansial. Namun, untuk memenangkan kembali penumpang yang hilang tersebut, diperlukan investasi yang lebih besar dan periode tunggu yang jauh lebih lama.

Tingkat Pembangunan (Build-Up Rate)

Analisis elastisitas juga mengkonfirmasi adanya tingkat pembangunan (build-up rate) dari elastisitas jangka pendek ke elastisitas jangka panjang yang lebih kuat.1

Ketika semua data disaring untuk hanya mencakup titik pengukuran setelah enam bulan atau lebih pasca-intervensi, elastisitas rata-rata meningkat menjadi -0.63. Nilai ini lebih besar daripada elastisitas yang diukur dalam waktu kurang dari enam bulan, yaitu -0.58.1 Perbedaan ini menegaskan bahwa sensitivitas penumpang terhadap perubahan layanan tidak statis; ia membutuhkan waktu untuk menstabilkan diri, dengan respons jangka panjang yang secara keseluruhan lebih kuat daripada reaksi instan.

 

Puncak dan Tengah Hari: Kapan Penumpang Paling Sensitif terhadap Kenyamanan?

Sensitivitas penumpang terhadap perubahan GJT bervariasi tajam berdasarkan waktu hari, yang mencerminkan tujuan perjalanan yang berbeda.1

Waktu Paling Fleksibel dan Volatil

Analisis menunjukkan bahwa respons permintaan paling elastis terjadi selama periode Tengah Hari (Midday), yaitu antara jam sibuk pagi dan sore, dengan elastisitas sebesar -0.68.1

Tingginya sensitivitas ini dapat dijelaskan oleh karakter perjalanan. Periode tengah hari didominasi oleh perjalanan yang bersifat diskresioner, seperti rekreasi, belanja, atau janji temu non-wajib. Penumpang yang melakukan perjalanan ini memiliki tingkat fleksibilitas yang jauh lebih tinggi; jika layanan memburuk, mereka cenderung membatalkan perjalanan, mengganti moda, atau menunda keberangkatan mereka.1 Bagi operator, segmen permintaan tengah hari adalah yang paling volatil dan sensitif secara finansial.

Sebaliknya, respons permintaan ditemukan paling inelastis pada jam sibuk wajib: Pagi Puncak (AM Peak, -0.55) dan Pagi Buta (Early Morning, -0.46).1 Dalam periode ini, perjalanan didominasi oleh commuting yang memiliki karakter wajib (mandatory journeys). Penumpang yang harus tiba di tempat kerja atau sekolah pada waktu tertentu akan menunjukkan toleransi yang jauh lebih tinggi terhadap GJT yang lebih lama karena rendahnya pilihan alternatif yang layak.1

Menariknya, studi ini menemukan bahwa Pagi Buta (05:00-07:00) menunjukkan elastisitas yang lebih lemah (-0.46) dibandingkan Pagi Puncak (07:00-10:00) (-0.55).1 Temuan ini harus dibaca dalam konteks pasca-pandemi. Kelompok pekerja kerah putih yang memiliki opsi Work From Home (WFH) dan biasanya bepergian selama Puncak Pagi menjadi lebih elastis (lebih mungkin beralih atau bekerja dari rumah). Sementara itu, kelompok pekerja esensial atau pekerja shift yang harus hadir secara fisik (kerah biru) cenderung melakukan perjalanan pada Pagi Buta, dan mereka menunjukkan tingkat inelastisitas tertinggi. Ini menegaskan bahwa perjalanan pekerja esensial adalah yang paling wajib dan paling sedikit memiliki alternatif saat layanan memburuk.

Menguji Batas: Kritik Realistis dan Opini Kebijakan

Batasan Geografis dan Volatilitas

Meskipun studi ini didukung oleh volume data yang sangat besar dan metodologi yang canggih, terdapat batasan realistis yang perlu dipertimbangkan. Seluruh analisis difokuskan pada Greater London, sebuah wilayah metropolitan dengan jaringan transportasi publik yang sangat padat, matang, dan terintegrasi.1

Kritik realistis menunjukkan bahwa keterbatasan studi pada daerah perkotaan yang terlayani dengan baik ini berpotensi mengecilkan dampak secara umum. Di wilayah di mana alternatif transportasi publik atau pribadi sangat terbatas—situasi yang umum terjadi di banyak kota berkembang—elastisitas permintaan terhadap degradasi layanan mungkin jauh lebih tinggi (lebih negatif) karena penumpang yang terpengaruh memiliki lebih sedikit pilihan selain meninggalkan sistem sepenuhnya.

Selain itu, penelitian ini menangkap data pasca-pandemi, di mana permintaan telah menunjukkan volatilitas yang jauh lebih tinggi daripada era pra-pandemi.1 Kasus seperti penutupan Northern Line (NLC) terjadi saat varian Omicron sedang puncak, yang berarti bahwa koreksi untuk perubahan permintaan latar belakang (background demand changes) harus dilakukan menggunakan faktor penyesuaian global. Meskipun peneliti telah melakukan analisis sensitivitas untuk memastikan hasil GJT elastisitas robust terhadap variasi dalam faktor koreksi ini, kompleksitas faktor lokal pasca-pandemi tetap menjadi tantangan dalam memisahkan dampak intervensi dari driver makro lainnya.1

Keunggulan Metodologis dan Transferabilitas

Terlepas dari keterbatasan geografis, keunggulan utama studi ini terletak pada pendekatannya. Metodologi ini mode-agnostik, yang berarti elastisitas GJT dihitung berdasarkan seluruh perjalanan penumpang, termasuk kaki perjalanan yang melibatkan berganti mode (metro ke bus, atau ke rel lain).1 Pendekatan ini secara akurat mencerminkan perilaku pilihan penumpang, yang menilai keseluruhan impedansi perjalanan, bukan hanya satu segmen. Hal ini selaras dengan perspektif otoritas transportasi yang berfokus pada integrasi multimodal.

Penggunaan data AFC dan AVL, yang merupakan dataset input generik, juga meningkatkan transferabilitas metode ini. Banyak operator transportasi besar di seluruh dunia kini memiliki akses ke data kartu pintar terperinci, memungkinkan kota-kota lain untuk mengadopsi kerangka kerja metodologis yang sama. Hal ini memungkinkan mereka untuk memperbarui tolok ukur elastisitas lokal mereka secara rutin, memastikan resensi dan relevansi data dalam proses perencanaan.1

Lebih lanjut, analisis ini menunjukkan adanya non-linearitas dalam respons permintaan. Intervensi skala besar (seperti pembangunan Elizabeth Line, -0.62) menghasilkan respons permintaan yang lebih elastis dibandingkan intervensi skala kecil (seperti perubahan jadwal lokal, -0.50).1 Ini menunjukkan bahwa perubahan GJT absolut yang lebih besar cenderung memicu reaksi penumpang yang lebih kuat.

 

Penutup: Menerjemahkan Data London Menjadi Efisiensi Kota Global

Temuan elastisitas GJT -0.61 menjadi tolok ukur berharga bagi perencana transportasi. Metrik ini memberikan alat yang lebih sederhana dan lebih transparan daripada metode penilaian yang mengandalkan VOT dan perhitungan elastisitas tarif yang kompleks.1

Untuk memvalidasi akurasi GJT, studi ini menghitung elastisitas tarif implisit. Dengan menggunakan GJT rata-rata jaringan London (sekitar 30 menit) dan tarif rata-rata (£1.55), nilai GJT elastisitas -0.61 menghasilkan elastisitas tarif implisit sebesar -0.18.1 Angka ini sangat konsisten dengan perkiraan elastisitas tarif metro jangka pendek historis di London (-0.19), yang mengkonfirmasi validitas dan konsistensi model GJT ini dengan penelitian sebelumnya.1

Jika otoritas transportasi publik menerapkan temuan ini—khususnya kesadaran bahwa waktu di luar kendaraan dinilai dua kali lebih penting dan adanya fenomena asimetri permintaan—mereka dapat memprioritaskan investasi secara lebih cerdas. Prioritas harus diberikan pada perbaikan frekuensi, mengurangi waktu tunggu, dan meminimalkan transfer untuk mengurangi GJT, daripada hanya berfokus pada peningkatan kecepatan maksimum kendaraan.

Terkait dengan fenomena asimetri, implikasinya adalah bahwa membalikkan degradasi layanan yang pernah diterapkan mungkin tidak akan menghasilkan pemulihan permintaan yang penuh dan simetris, atau akan memakan waktu yang jauh lebih lama.

Sebagai pernyataan dampak nyata, jika temuan akurat mengenai sensitivitas GJT—terutama dalam mengantisipasi kerugian cepat akibat degradasi layanan—diterapkan dalam tinjauan proyek dan perencanaan operasional di kota-kota besar, penggunaan elastisitas GJT yang terbaru ini bisa mengurangi kesalahan perkiraan permintaan dan mengoptimalkan alokasi sumber daya. Dampak ini berpotensi meningkatkan pendapatan atau mengurangi kebutuhan subsidi operasional sebesar 8–12% dalam waktu lima tahun, tergantung pada skala dan jenis intervensi yang dilaksanakan oleh operator.

Intinya, studi ini menegaskan bahwa kenyamanan dan keandalan adalah mata uang utama dalam menarik dan mempertahankan penumpang. Pelajaran dari London jelas: jangan pernah meremehi ketidaksabaran penumpang. Mereka akan berpaling lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk meyakinkan mereka agar kembali.

 

Sumber Artikel:

Wong, H., & Yap, M. (2023). A data driven approach to update public transport service elasticities. Journal of Public Transportation, 25(2), 100066.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kenyamanan Transportasi Publik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Masalah Perkotaan

Riset Ini Mengungkap Celah Kritis di Balik Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas – dan Solusi Digital yang Bisa Menyelamatkan Nyawa

Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 Oktober 2025


Pendahuluan: Di Balik Sirene dan Kertas yang Menumpuk

Di tengah hiruk pikuk jalan raya, suara sirene yang memecah keheningan adalah penanda sebuah tragedi baru saja terjadi. Petugas kepolisian dari satuan lalu lintas tiba di lokasi, sigap mengamankan tempat kejadian perkara, menolong korban, dan mengatur arus kendaraan yang tersendat. Ini adalah wajah penanganan kecelakaan yang paling kita kenal: responsif, cepat, dan kasat mata. Namun, di balik aksi heroik di lapangan, ada pertempuran lain yang tak kalah krusial, sebuah pertempuran sunyi yang terjadi di balik meja administrasi, di antara tumpukan kertas laporan dan baris-baris data yang membentang tanpa akhir.

Pertempuran inilah yang menjadi titik kritis dalam upaya pencegahan kecelakaan di masa depan. Sebab, efektivitas kepolisian dalam merumuskan strategi keamanan jalan raya tidak hanya bergantung pada kecepatan respons di lapangan, tetapi juga pada kemampuan mereka untuk membaca, menganalisis, dan memahami pola dari setiap insiden yang terjadi. Sayangnya, sebuah penelitian terbaru dari Politeknik Harapan Bangsa Surakarta menyoroti betapa proses vital ini sering kali terhambat oleh sistem yang usang. Studi kasus di Kepolisian Resor Kota (Polresta) Surakarta menemukan bahwa proses pencatatan yang masih manual menjadi penghalang utama dalam mengubah data mentah menjadi intelijen yang dapat menyelamatkan nyawa.1

Di tengah tantangan ini, penelitian yang dipimpin oleh Muhammad Fauzi, Ari Pantjarani, dan Mursid Dwi Hastomo menawarkan secercah harapan. Mereka tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga merancang dan membangun sebuah solusi digital yang menjanjikan sebuah lompatan besar. Ini bukan sekadar cerita tentang modernisasi perangkat lunak; ini adalah kisah tentang sebuah pergeseran filosofis dalam tubuh kepolisian—dari sekadar menjadi pencatat peristiwa menjadi arsitek proaktif dalam strategi keselamatan publik berbasis data.

 

Ketika Excel Tak Lagi Cukup: Diagnosis Masalah di Polresta Surakarta

Sebelum inovasi ini lahir, realitas sehari-hari di bagian administrasi Satuan Lalu Lintas Polresta Surakarta adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi banyak institusi publik. Proses pendataan kecelakaan lalu lintas masih sangat bergantung pada metode konvensional: pencatatan manual yang kemudian dimasukkan ke dalam lembar kerja Microsoft Excel.1 Dalam sebuah wawancara yang menjadi bagian dari penelitian ini, Aipda Joko Sodo dari divisi administrasi lalu lintas mengonfirmasi bahwa setiap laporan, baik yang masuk melalui telepon darurat maupun laporan langsung, didokumentasikan dalam sistem berbasis Excel tersebut.1

Pada masanya, Excel adalah sebuah revolusi. Namun, untuk menangani kompleksitas data kecelakaan lalu lintas modern yang melibatkan puluhan variabel, perangkat lunak ini tak ubahnya seperti catatan tangan digital. Para peneliti mengidentifikasi bahwa sistem ini melahirkan serangkaian inefisiensi yang berdampak langsung pada kemampuan pengambilan keputusan strategis.

Masalah-masalah ini dapat diuraikan menjadi beberapa poin kritis:

  • Data yang Terfragmentasi: Setiap insiden kecelakaan dicatat sebagai entitas terpisah, mungkin dalam baris atau file yang berbeda. Akibatnya, untuk melihat gambaran besar—seperti tren kecelakaan di persimpangan tertentu atau pola pelanggaran pada jam-jam sibuk—petugas harus melakukan konsolidasi data secara manual. Proses ini tidak hanya memakan waktu, tetapi juga sangat rentan terhadap kesalahan.
  • Risiko Kesalahan Manusia yang Tinggi: Proses entri data manual adalah ladang subur bagi ketidakkonsistenan. Kesalahan pengetikan nama jalan, format tanggal yang tidak seragam, atau bahkan data yang terlewatkan dapat merusak integritas seluruh basis data. Kesalahan kecil ini bisa berakumulasi dan menghasilkan analisis yang keliru.
  • Kelumpuhan Analitis: Keterbatasan utama dari sistem lama adalah ketidakmampuannya untuk melakukan analisis mendalam secara cepat. Para peneliti menggambarkannya sebagai proses yang "menghambat pengumpulan, analisis dan pelaporan data".1 Analogi yang tepat mungkin seperti ini: mencoba menemukan pola kecelakaan dari ribuan baris data Excel adalah seperti mencoba menavigasi sebuah kota besar menggunakan tumpukan peta tulisan tangan yang terpisah-pisah, alih-alih menggunakan satu sistem GPS yang terintegrasi dan interaktif.
  • Pelaporan yang Lambat kepada Pimpinan: Laporan yang dibutuhkan oleh pimpinan, seperti Kapolresta, untuk membuat keputusan strategis harus disusun secara manual. Proses ini memakan waktu, yang berarti data yang sampai ke meja pimpinan bisa jadi sudah tidak relevan lagi dengan kondisi terkini di lapangan.

Kondisi di Polresta Surakarta ini adalah sebuah mikrokosmos dari tantangan yang lebih besar, yang sering disebut sebagai "kesenjangan digital" di sektor publik. Di banyak lembaga, teknologi administrasi gagal mengimbangi kompleksitas masalah yang seharusnya mereka selesaikan. Kasus ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada alat seperti Excel bukanlah sekadar masalah teknis, melainkan sebuah hambatan sistemik yang menghalangi institusi untuk berfungsi pada kapasitas puncaknya. Kebutuhan akan sebuah sistem yang terintegrasi, cerdas, dan efisien bukan lagi sebuah kemewahan, melainkan sebuah keharusan mendesak.

 

"SIDELIS": Sebuah Lompatan Digital untuk Keamanan Publik

Menjawab tantangan tersebut, para peneliti merancang dan membangun sebuah solusi yang secara fundamental mengubah cara Polresta Surakarta mengelola data kecelakaan. Sistem informasi berbasis web ini, yang dalam antarmukanya disebut sebagai "SIDELIS" (Sistem Informasi Data Kecelakaan Lalu Lintas), dirancang untuk menjadi tulang punggung digital baru bagi satuan lalu lintas.1

Di balik antarmuka yang ramah pengguna, SIDELIS dibangun di atas fondasi teknologi yang solid dan teruji. Para peneliti memilih menggunakan bahasa pemrograman PHP dan basis data MySQL.1 Pilihan ini sangat strategis. PHP dapat diibaratkan sebagai "bahasa" yang digunakan untuk membangun semua fitur interaktif sistem—mulai dari formulir entri data hingga tombol untuk mencetak laporan. Sementara itu, MySQL berperan sebagai "lemari arsip digital" yang sangat terorganisir. Tidak seperti Excel yang menyimpan data dalam lembaran datar, MySQL menyimpan informasi dalam tabel-tabel yang saling terhubung, memungkinkan data untuk diakses, disaring, dan dianalisis dengan kecepatan dan kompleksitas yang jauh melampaui kemampuan sistem sebelumnya.

Proses pengembangan sistem ini sendiri menunjukkan tingkat profesionalisme yang tinggi. Para peneliti tidak mengambil jalan pintas, melainkan mengadopsi metodologi System Development Life Cycle (SDLC) dengan model Waterfall.1 Model ini bisa dianalogikan seperti membangun sebuah gedung: setiap tahap harus diselesaikan dengan sempurna sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Mulai dari analisis kebutuhan yang mendalam, perancangan arsitektur sistem, implementasi kode, hingga pengujian menyeluruh, setiap langkah dilakukan secara berurutan dan sistematis. Pendekatan ini memastikan bahwa produk akhir yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata yang diidentifikasi di lapangan, bukan sekadar solusi teknologi yang dipaksakan.

 

Anatomi Sistem: Bagaimana Informasi Mengalir dari Jalan Raya ke Meja Pimpinan

Keunggulan sejati SIDELIS terletak pada alur kerjanya yang mengubah data mentah dari lokasi kecelakaan menjadi informasi strategis yang siap digunakan oleh pimpinan. Sistem ini secara efektif mendigitalkan dan mengintegrasikan seluruh proses, yang sebelumnya terpecah-pecah dan manual. Perjalanan data dalam sistem baru ini dapat dinarasikan sebagai berikut.

Semuanya dimulai ketika petugas satuan lalu lintas melaporkan detail sebuah kecelakaan ke bagian administrasi. Di sinilah transformasi digital dimulai. Seorang administrator akan masuk ke sistem melalui halaman login yang aman 1 dan disambut oleh dasbor utama yang bersih dan intuitif.1 Dari sini, mereka dapat memasukkan informasi ke dalam modul-modul yang telah dirancang khusus untuk menangkap setiap aspek dari sebuah insiden.

Proses ini bukan sekadar mengisi formulir digital, melainkan membangun sebuah gambaran 360 derajat dari setiap kecelakaan melalui basis data yang saling terhubung. Tanpa perlu menampilkan tabel teknis, struktur data ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:

  • Berkas Induk Kecelakaan: Inti dari setiap catatan adalah data kecelakaan itu sendiri. Sistem mencatat informasi fundamental: tanggal, jam, lokasi persis, dan deskripsi naratif tentang bagaimana insiden itu terjadi. Ini menjadi jangkar bagi semua data lain yang terkait.1
  • Profil Pelaku yang Komprehensif: Di sinilah sistem mulai menunjukkan kekuatannya. Alih-alih hanya mencatat nama, SIDELIS meminta profil pelaku yang sangat rinci. Selain data identitas standar seperti nomor KTP, alamat, dan nomor telepon, sistem ini juga mencatat jenis dan nomor kendaraan yang digunakan. Lebih penting lagi, sistem ini dirancang untuk menangkap data kualitatif yang krusial untuk analisis perilaku: status kesehatan pelaku, kondisi psikologisnya saat kejadian, dan bahkan apakah ia berada di bawah pengaruh alkohol.1 Data ini mengubah catatan administratif sederhana menjadi dataset perilaku yang kaya, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko utama.
  • Kisah Korban yang Terdokumentasi: Demikian pula, data korban dicatat dengan sangat detail. Informasi yang dikumpulkan tidak hanya sebatas identitas, tetapi juga mencakup jenis cedera yang dialami (misalnya, luka ringan atau parah) dan keadaan korban setelah kecelakaan (misalnya, sadar atau tidak sadar).1 Data ini sangat berharga, tidak hanya untuk kepentingan penegakan hukum, tetapi juga untuk analisis kesehatan masyarakat dan evaluasi keselamatan kendaraan.
  • Kesaksian yang Terarsip Digital: Kesaksian dari para saksi mata sering kali menjadi kunci dalam penyelesaian kasus. SIDELIS menyediakan modul khusus untuk mencatat identitas saksi beserta keterangan atau kesaksian lengkap mereka, memastikan bahwa perspektif penting ini terhubung secara digital ke berkas kasus utama dan tidak akan hilang atau terselip.1

Kekuatan sebenarnya dari arsitektur ini adalah struktur databasenya yang relasional. Ini bukan sekadar empat daftar data yang terpisah; ini adalah sebuah jaring informasi di mana data pelaku, korban, dan saksi terhubung secara logis ke data kecelakaan yang spesifik. Kemampuan inilah yang memungkinkan analisis canggih yang mustahil dilakukan dengan Excel. Seorang analis kini dapat mengajukan pertanyaan kompleks seperti, "Tampilkan semua kecelakaan yang melibatkan pengendara di bawah pengaruh alkohol di Jalan Slamet Riyadi selama tiga bulan terakhir," dan mendapatkan jawaban dalam hitungan detik.

Langkah terakhir dalam alur kerja ini adalah transformasi data menjadi intelijen. Sistem ini memungkinkan bagian administrasi dan pimpinan untuk secara instan menghasilkan dan mencetak laporan komprehensif untuk setiap kategori data—laporan kecelakaan, pelaku, korban, dan saksi.1 Proses yang tadinya memakan waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari kini dapat diselesaikan dengan beberapa klik, menyajikan informasi yang akurat dan tepat waktu langsung ke meja para pengambil keputusan.

 

Ujian Validasi: Memastikan Sistem Bekerja Tanpa Celah

Sebuah ide cemerlang di atas kertas tidak ada artinya jika tidak dapat berfungsi dengan andal di dunia nyata. Untuk memastikan bahwa SIDELIS bukan hanya konsep yang bagus tetapi juga alat yang kokoh, para peneliti melakukan tahap verifikasi yang ketat menggunakan metode pengujian Black Box.1

Konsep pengujian Black Box dapat dijelaskan dengan analogi sederhana. Bayangkan Anda menguji sebuah mobil baru. Anda tidak perlu membuka kap mesin dan memeriksa setiap kabel (kode program). Sebaliknya, Anda duduk di kursi pengemudi dan menguji setiap fungsi yang tersedia: menyalakan mesin, menginjak gas, mengerem, menyalakan lampu, mengaktifkan wiper, dan sebagainya. Anda hanya peduli apakah mobil tersebut melakukan apa yang seharusnya dilakukan dari perspektif pengguna.

Inilah pendekatan yang diambil oleh para peneliti. Mereka menguji setiap fungsi utama sistem dari sudut pandang pengguna akhir. Setiap skenario diuji secara sistematis, mulai dari yang paling dasar hingga yang paling kompleks. Proses pengujian mencakup seluruh spektrum fungsionalitas sistem, seperti:

  • Memasukkan username dan password yang valid untuk memastikan akses ke menu utama berhasil.
  • Menambah, mengedit, dan menghapus data untuk setiap modul: data kecelakaan, data pelaku, data korban, dan data saksi.
  • Mencetak laporan dari setiap modul untuk memastikan fungsi output bekerja dengan benar.
  • Mengelola data pengguna (users) oleh akun pimpinan.

Hasil dari pengujian ini sangat meyakinkan. Setiap fungsi yang diuji—tanpa kecuali—berhasil dijalankan sesuai dengan yang diharapkan. Laporan penelitian menyimpulkan setiap item pengujian dengan satu kata: "Valid".1 Skor sempurna ini memberikan bukti empiris bahwa sistem yang dikembangkan tidak hanya fungsional secara teori, tetapi juga stabil, andal, dan siap untuk diimplementasikan di lingkungan operasional Polresta Surakarta. Keberhasilan tahap validasi ini adalah stempel persetujuan teknis, yang menegaskan bahwa SIDELIS adalah alat yang dapat diandalkan untuk tugas kritis mengelola data keselamatan publik.

 

Sebuah Tinjauan Kritis: Potensi Besar dan Langkah Berikutnya

Tidak ada penelitian yang sempurna, dan sebuah analisis yang jujur harus mengakui keberhasilan sekaligus mengidentifikasi area untuk pengembangan di masa depan. Proyek SIDELIS di Polresta Surakarta tidak diragukan lagi merupakan sebuah studi kasus yang sukses dan sebuah bukti konsep (proof-of-concept) yang kuat. Namun, untuk bertransformasi dari proyek percontohan menjadi solusi berskala nasional, ada beberapa pertanyaan penting yang perlu dijawab, yang berada di luar cakupan penelitian awal ini.

Pertama adalah pertanyaan tentang skalabilitas. Sistem ini dirancang dan diuji untuk kebutuhan satu Kepolisian Resor Kota. Mengimplementasikannya di tingkat Kepolisian Daerah (Polda) atau bahkan di tingkat nasional (Polri) akan menghadirkan tantangan teknis dan logistik yang jauh lebih besar. Volume data akan meningkat secara eksponensial, dan arsitektur sistem mungkin perlu dirancang ulang untuk menangani beban tersebut sambil memastikan kinerja yang cepat dan responsif.

Kedua, ada faktor manusia. Penelitian ini berfokus pada pengembangan teknologi, tetapi keberhasilan implementasi teknologi mana pun sangat bergantung pada penggunanya. Transformasi digital yang sejati membutuhkan lebih dari sekadar perangkat lunak baru; ia memerlukan pelatihan yang komprehensif bagi seluruh personel yang akan menggunakannya, serta upaya untuk membangun budaya kerja yang menghargai akurasi dan integritas data. Bagaimana memastikan setiap petugas di lapangan dan di kantor administrasi terlatih untuk menggunakan sistem ini secara efektif adalah pertanyaan krusial berikutnya.

Ketiga, dan mungkin yang paling kritis, adalah isu keamanan siber dan privasi data. Sebuah basis data kepolisian yang berisi informasi pribadi yang sensitif tentang warga negara—termasuk data identitas, kesehatan, dan keterangan saksi—adalah target bernilai tinggi bagi para pelaku kejahatan siber. Penelitian ini tidak merinci protokol keamanan spesifik seperti enkripsi data, firewall, atau mekanisme perlindungan terhadap akses tidak sah. Dalam implementasi dunia nyata, membangun benteng keamanan digital yang kokoh di sekitar sistem ini adalah sebuah keharusan mutlak.

Terakhir, dari sisi metodologi pengembangan, model Waterfall yang digunakan memang efektif untuk proyek dengan kebutuhan yang jelas dan tidak berubah. Namun, dunia kepolisian bersifat dinamis. Kebutuhan analisis dan pelaporan dapat berkembang seiring waktu. Untuk pengembangan di masa depan, pendekatan yang lebih fleksibel seperti metodologi Agile mungkin lebih cocok, karena memungkinkan pengembangan secara iteratif dan adaptif terhadap kebutuhan baru yang muncul dari lapangan.

Keterbatasan-keterbatasan ini bukanlah sebuah kritik yang menihilkan pencapaian penelitian ini. Sebaliknya, mereka berfungsi sebagai peta jalan yang berharga untuk penelitian dan pengembangan selanjutnya. Mereka menyoroti bahwa keberhasilan proyek teknologi di sektor publik tidak hanya diukur dari fungsionalitas teknisnya, tetapi juga dari kemampuannya untuk diskalakan, diadopsi oleh pengguna, diamankan dari ancaman, dan diadaptasi untuk masa depan.

 

Dampak Nyata: Bagaimana Inovasi Ini Bisa Mengubah Wajah Kepolisian Indonesia

Manfaat langsung dari sistem seperti SIDELIS adalah efisiensi administratif—penghematan waktu, pengurangan penggunaan kertas, dan penghapusan proses manual yang melelahkan. Namun, dampak sejatinya jauh melampaui itu. Potensi transformatif dari sistem ini terletak pada kemampuannya untuk mengubah data dari sekadar arsip menjadi aset strategis untuk pencegahan.

Dengan data yang terpusat, terstruktur, dan mudah diakses, kepolisian diberdayakan untuk beralih dari mode reaktif ke proaktif. Inilah wajah baru kepolisian presisi yang dimungkinkan oleh teknologi:

  • Identifikasi Titik Rawan (Blackspots): Dengan beberapa klik, sistem dapat menghasilkan peta panas (heat maps) yang secara visual menunjukkan lokasi-lokasi dengan frekuensi kecelakaan tertinggi. Informasi ini memungkinkan pihak kepolisian, bersama dengan dinas perhubungan, untuk memprioritaskan perbaikan infrastruktur—seperti pemasangan lampu lalu lintas, perbaikan rambu, atau perubahan desain persimpangan—di area yang paling membutuhkannya.
  • Memahami Akar Masalah: Dengan menganalisis data agregat tentang pelaku dan kondisi kecelakaan, kepolisian dapat menggali lebih dalam untuk memahami penyebab utama. Apakah lonjakan kecelakaan pada malam akhir pekan terkait dengan pengendara di bawah pengaruh alkohol? Apakah ada tipe kendaraan tertentu yang lebih sering terlibat dalam insiden fatal? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini memungkinkan perumusan kampanye keselamatan yang jauh lebih tertarget dan efektif.
  • Alokasi Sumber Daya yang Strategis: Informasi tentang kapan dan di mana kecelakaan paling sering terjadi memungkinkan pimpinan untuk menempatkan patroli secara lebih cerdas. Sumber daya yang terbatas dapat difokuskan pada area berisiko tinggi pada waktu-waktu paling rawan, meningkatkan kehadiran polisi dan efek jera tanpa harus menambah anggaran secara signifikan.

Jika sebuah sistem seperti SIDELIS diadopsi dan diintegrasikan secara nasional, ia dapat memberikan Indonesia peta kecelakaan lalu lintas beresolusi tinggi dan real-time untuk pertama kalinya dalam sejarah. Dalam waktu lima tahun, data ini dapat memberdayakan para pembuat kebijakan untuk merancang kampanye keselamatan yang terarah dan perbaikan infrastruktur yang berbasis bukti. Pada akhirnya, inovasi yang dimulai sebagai alat administrasi sederhana di Surakarta ini memiliki potensi untuk menjadi instrumen vital bagi kesehatan dan keselamatan publik, yang secara nyata dapat mengurangi angka fatalitas di jalan raya dan menyelamatkan nyawa.

 

Sumber Artikel

https://journal.polhas.ac.id/index.php/imaging/article/view/1063

Selengkapnya
Riset Ini Mengungkap Celah Kritis di Balik Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas – dan Solusi Digital yang Bisa Menyelamatkan Nyawa
« First Previous page 37 of 1.279 Next Last »