Sistem Informasi Akademik
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 03 September 2025
Pendahuluan
Tesis “Innovative Performance in the CEE Countries: A Cross-Country Study Using Fuzzy-Set Theory” karya Peter Johansson (Lund University, 2001–2002) membahas dinamika kinerja inovatif di tujuh negara Eropa Tengah dan Timur (CEE-7): Bulgaria, Republik Ceko, Hungaria, Polandia, Rumania, Slovakia, dan Slovenia. Dengan memanfaatkan metode fuzzy-set social science, Johansson berupaya menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana inovasi terbentuk dalam konteks transformasi pasca-1989, sejauh mana ia terkait dengan kekuatan masyarakat sipil, dan bagaimana letak geografis berperan dalam memperkuat atau melemahkan performa inovatif.
Tulisan ini akan menguraikan tesis tersebut dengan pendekatan konseptual (membedah kerangka teori) dan reflektif (memberi interpretasi serta kritik). Fokus utama ialah kontribusi ilmiah, argumentasi teoretis, hasil empiris, serta potensi implikasi bagi kajian inovasi dan transformasi sosial.
Kerangka Teori: Dari Risiko hingga Inovasi
Risiko dan Pengangguran
Johansson menempatkan risiko pengangguran sebagai latar belakang utama. Ia mengutip definisi risiko sebagai probabilitas efek disfungsional terhadap sistem sosial. Inovasi, dalam kerangka ini, dipandang sebagai sarana mengurangi risiko pengangguran baik jangka pendek (menyerap tenaga kerja) maupun jangka panjang (menciptakan fleksibilitas ekonomi). Refleksi saya: pendekatan ini menegaskan inovasi bukan sekadar agenda ekonomi, melainkan strategi perlindungan sosial.
Globalisasi sebagai Kerangka
Globalisasi diterima sebagai fakta empiris. Johansson mengacu pada dimensi teknologi, ekonomi, politik, dan budaya yang saling mengikat. Negara-negara CEE berada di persimpangan: mereka harus membuka pasar untuk modal asing, tetapi juga menghadapi risiko social dumping dan kompetisi global. Kritiknya tepat: globalisasi menghadirkan peluang dan ancaman, sementara posisi geografis menentukan intensitas tekanan.
Pertumbuhan Ekonomi dan Teori Kesenjangan Teknologi
Neo-klasik cenderung melihat biaya tenaga kerja sebagai faktor utama pertumbuhan. Johansson menolak pandangan ini dengan menekankan teknologi dan inovasi. Ia mengadopsi teori technology-gap, yaitu ketimpangan inovasi antara negara pelopor dan negara pengejar. CEE-7 dilihat sebagai pengejar: difusi teknologi asing penting, tetapi tanpa inovasi domestik mereka tetap tertinggal.
Konsep Inovasi
Mengutip Schumpeter, inovasi dipahami sebagai kombinasi baru: produk, proses, organisasi, atau pasar. Johansson menolak pemisahan inovasi dan difusi; imitasi pun dianggap inovasi karena memerlukan perubahan tindakan. Dua indikator dipilih: Foreign Direct Investment (FDI) sebagai faktor eksternal, dan Research & Development (R&D) sebagai kapasitas internal.
Metodologi Fuzzy-Set: Menjembatani Teori dan Data
Mengapa Fuzzy-Set?
Penelitian sosial sering terjebak antara kuantitatif (N besar) dan kualitatif (N kecil). Johansson memilih fuzzy-set Qualitative Comparative Analysis (fs/QCA) untuk menangani N menengah (7 negara). Metode ini memungkinkan negara diberi skor keanggotaan (0–1) dalam suatu set, misalnya “negara inovatif” atau “negara paternalistik”.
Prinsip Dasar
Negasi: jika negara X 0,8 dalam “inovatif”, maka ia 0,2 dalam “statis”.
Minimum (AND): hasil ditentukan oleh faktor terlemah.
Maksimum (OR): hasil ditentukan oleh faktor terkuat.
Refleksi saya: pendekatan ini membantu memvisualisasi spektrum, bukan dikotomi. Namun, tantangannya ialah subjektivitas penetapan skor fuzzy yang sangat bergantung pada peneliti.
Ideal Types
Johansson menyusun ideal type:
Negara inovatif (FDI tinggi + R&D tinggi).
Negara statis (FDI rendah + R&D rendah).
Masyarakat sipil kuat vs paternalistik.
Geografis Barat vs Geografis Timur.
Dengan ini, ia menilai sejauh mana masing-masing negara CEE masuk atau keluar dari set.
Analisis Empiris: Inovasi di CEE-7
FDI sebagai Indikator
Data FDI per kapita (1989–2000) menunjukkan perbedaan tajam:
Republik Ceko (2.102 USD) & Hungaria (1.935 USD) → skor 1,0 (paling inovatif via FDI).
Slovenia (768 USD) & Polandia (751 USD) → skor menengah (0,59–0,60).
Slovakia (669 USD) → borderline (0,50).
Bulgaria (407 USD) → skor rendah (0,17).
Rumania (303 USD) → hampir nol (0,01).
Refleksi saya: angka ini mengungkap pola klasterisasi barat–timur. Negara dekat inti Eropa menerima lebih banyak modal, sementara Balkan tetap tertinggal.
R&D sebagai Indikator
Proporsi R&D terhadap PDB memperkuat pola:
Slovenia (1,42%) → hampir penuh (0,92).
Slovakia (1,18%) & Ceko (1,16%) → cukup tinggi (0,73–0,74).
Hungaria (0,74%) & Polandia (0,72%) → menengah (0,50).
Bulgaria (0,52%) & Rumania (0,58%) → rendah (0,33–0,38).
Interpretasi: kapasitas penelitian domestik masih terbatas, terutama di Rumania dan Bulgaria. FDI tanpa R&D lokal berisiko hanya menciptakan ketergantungan.
Skor Gabungan Inovasi
Dengan menggabungkan FDI dan R&D, Johansson menyimpulkan:
Ceko & Hungaria → fully capable.
Slovenia & Polandia → more or less capable.
Slovakia → borderline.
Bulgaria & Rumania → incapable.
Refleksi saya: hasil ini menunjukkan spektrum diferensiasi kapitalisme di CEE, mendukung tesis varieties of capitalism. Transformasi pasca-1989 tidak seragam.
Masyarakat Sipil dan Geografi
Masyarakat Sipil
Johansson berargumen bahwa masyarakat sipil yang kuat berfungsi sebagai pondasi institusional inovasi. Data dari Nations in Transit dipakai untuk mengukur kekuatan CS. Negara dengan tradisi organisasi sipil (misalnya Polandia dengan sejarah Solidarność) lebih siap menyerap inovasi. Refleksi saya: indikator CS cukup valid, namun terlalu agregat—dinamika internal (Polandia A vs Polandia B) tidak tercakup.
Faktor Geografis
Geografi dipandang sebagai variabel moderasi: semakin ke timur, semakin lemah fondasi inovatif dan sipil. Johansson menyajikan pola linear: barat (Slovenia, Ceko, Hungaria) lebih maju, timur (Bulgaria, Rumania) lebih tertinggal. Kritik saya: geografi di sini lebih berfungsi sebagai proksi bagi faktor historis-politik ketimbang variabel mandiri.
Narasi Argumentatif dan Logika
Alur Argumentasi
Transformasi pasca-1989 menimbulkan tantangan struktural.
Inovasi menjadi kunci menghadapi pengangguran dan globalisasi.
Inovasi dipahami melalui FDI + R&D.
Hubungan inovasi dengan masyarakat sipil diuji lewat fuzzy-set.
Geografi memperkuat pola klasterisasi.
Kekuatan
Integrasi teori Schumpeter, globalisasi, dan varieties of capitalism.
Pemakaian fuzzy-set sebagai metodologi alternatif.
Data empiris konkret (FDI, R&D, skor CS).
Kelemahan
Penentuan skor fuzzy cukup subjektif.
Faktor politik negara (kebijakan industri, stabilitas) kurang dibahas.
Geografi diperlakukan terlalu simplistik.
Refleksi saya: Johansson berhasil membuka ruang diskusi baru dengan fs/QCA, namun perlu kehati-hatian agar tidak terjebak pada simplifikasi metodologis.
Kritik Metodologis
Indikator terbatas: hanya FDI & R&D, padahal inovasi juga terkait pendidikan, regulasi, dan kultur organisasi.
Data agregat nasional: mengabaikan disparitas regional (misalnya, perbedaan Polandia barat vs timur).
Fuzzy scoring: meskipun transparan, tetap rentan pada bias peneliti.
Asumsi linearitas geografis: padahal sejarah kolonial, relasi Uni Soviet, dan integrasi UE juga berperan.
Namun demikian, penggunaan fuzzy-set sebagai “jembatan” antara teori dan data merupakan kontribusi metodologis signifikan, terutama untuk studi dengan N menengah.
Implikasi Ilmiah
Tesis ini memberikan beberapa implikasi penting:
Konseptual: memperluas pemahaman inovasi sebagai kombinasi faktor eksternal (FDI) dan internal (R&D), terkait erat dengan masyarakat sipil.
Metodologis: memperkenalkan fs/QCA sebagai alternatif bagi studi perbandingan lintas negara dengan N menengah.
Empiris: menegaskan pola barat–timur dalam performa inovatif CEE, mendukung gagasan “varieties of capitalism”.
Kebijakan: menunjukkan perlunya memperkuat masyarakat sipil dan R&D domestik agar FDI memberi efek jangka panjang.
Kesimpulan
Peter Johansson melalui tesis ini berhasil menggabungkan teori globalisasi, inovasi, dan transformasi sosial dengan metode fuzzy-set untuk menganalisis kinerja inovatif negara-negara CEE. Hasilnya menunjukkan diferensiasi tajam antarnegara, di mana kedekatan geografis dengan Eropa Barat dan kekuatan masyarakat sipil menjadi faktor penting.
Secara ilmiah, kontribusinya terletak pada penggunaan fs/QCA untuk menghubungkan konsep abstrak dengan data empiris. Walau terdapat keterbatasan metodologis, karya ini tetap menjadi referensi penting untuk memahami inovasi dalam konteks transformasi pasca-sosialis.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 03 September 2025
Krisis Infrastruktur dan Kebutuhan Solusi Inovatif
Zimbabwe saat ini menghadapi krisis multidimensi dalam sektor air dan sanitasi, dipicu oleh penurunan kapasitas infrastruktur, minimnya investasi, serta instabilitas politik dan ekonomi yang berlangsung selama beberapa dekade. Dalam paper “Framework Model for Financing Sustainable Water and Sanitation Infrastructure in Zimbabwe” (2024) oleh Justice Mundonde dan Patricia Lindelwa Makoni, ditawarkan sebuah model pembiayaan berbasis kemitraan publik-swasta (PPP) yang diharapkan mampu mengatasi krisis layanan dasar ini sekaligus mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 6.
H2: Konteks Krisis Air dan Sanitasi di Zimbabwe
H3: Infrastruktur Usang dan Ancaman Kesehatan Publik
Zimbabwe mengalami kerusakan serius pada jaringan air dan sanitasi. Beberapa fakta mencolok:
Kondisi ini memperparah risiko kesehatan masyarakat, memperbesar ketimpangan, dan menghambat pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
H2: Potensi dan Hambatan PPP dalam Pembiayaan Infrastruktur
H3: Peluang Kolaborasi
Kemitraan publik-swasta (PPP) dinilai sebagai strategi penting untuk menutup kesenjangan pembiayaan. Negara-negara seperti China telah berhasil menerapkan PPP di sektor air melalui:
H3: Kegagalan Implementasi di Zimbabwe
Namun, Zimbabwe belum mampu mereplikasi keberhasilan ini. Sebagai contoh:
H2: Sumber-Sumber Pembiayaan untuk Proyek Air dan Sanitasi
H3: Sumber Publik
H3: Sumber Swasta
H2: Temuan Ekonometrik: Apa yang Mendorong Investasi PPP?
Penelitian ini menggunakan model Tobit dengan data dari 1996 hingga 2021 untuk menganalisis faktor-faktor penentu pembiayaan PPP. Beberapa hasil utama:
H2: Rangka Pembiayaan yang Diusulkan
H3: Tiga Komponen Biaya Utama
H3: Sumber Pembiayaan yang Terintegrasi
Rangka model merekomendasikan kombinasi sumber:
H2: Studi Kasus: Harare dan Proyeksi Nasional
Studi memperkirakan kebutuhan investasi untuk sistem air dan sanitasi di Harare sebesar USD 1,4 miliar hingga 2030. Bila kota-kota besar lain seperti Bulawayo dan Mutare disertakan, angka ini meningkat drastis.
Namun, tanpa kerangka kerja pembiayaan yang solid, angka ini hanyalah aspirasi. Kerangka yang ditawarkan Mundonde dan Makoni menyusun roadmap berbasis kondisi ekonomi, status pasar keuangan, dan struktur institusi di Zimbabwe.
H2: Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari?
H3: Keunggulan Studi
H3: Kelemahan dan Tantangan
Kesimpulan: Menjahit Harapan dengan Investasi Cerdas
Paper ini menegaskan bahwa air dan sanitasi bukan sekadar isu teknis, tetapi soal keadilan sosial dan pembangunan jangka panjang. Untuk menjamin layanan yang andal dan terjangkau, Zimbabwe perlu:
Model pembiayaan ini tidak hanya relevan bagi Zimbabwe, tetapi juga menawarkan kerangka rujukan bagi negara-negara berkembang lain yang tengah berupaya menutup kesenjangan layanan dasar melalui mekanisme inovatif dan kolaboratif.
Sumber asli:
Mundonde, J., & Makoni, P. L. (2024). Framework Model for Financing Sustainable Water and Sanitation Infrastructure in Zimbabwe. Preprints.org, doi:10.20944/preprints202404.0805.v1.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 03 September 2025
Mengapa Lahan Basah (Wetlands) Penting?
Lahan basah merupakan ekosistem vital yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan: menyerap limpasan air hujan, menyaring polutan, menyimpan karbon, dan mendukung keanekaragaman hayati. Namun, seperti di banyak negara lain, Swedia telah kehilangan lebih dari 65% lahan basah alaminya karena ekspansi pertanian dan pengeringan lahan. Untuk membalikkan tren ini, sejak 1980-an, pemerintah Swedia mulai mendorong restorasi dan pembangunan lahan basah baru, terutama melalui insentif finansial.
Makalah tesis karya Amanda Speks (2021) yang berjudul “Analyzing the Impact of the Financial Systems for Constructing Wetlands in Sweden” menelaah efektivitas tiga skema pembiayaan utama: LOVA, LONA, dan Rural Development Programme (RDP), serta menganalisis variasi pembangunan lahan basah antar wilayah (county).
H2: Gambaran Umum Tiga Skema Pembiayaan
H3: LOVA – Local Water Preservation Grant
Namun, jumlah aplikasi sangat bervariasi antar county. Contohnya, Skåne dan Stockholm banyak menerima dana, sementara Gotland dan Dalarna jauh lebih sedikit.
H3: LONA – Local Initiative for Nature Conservation
Meskipun bertahan cukup lama, dampak LONA terhadap pembangunan lahan basah relatif kecil, hanya menyumbang 1% dari total luas lahan basah yang dibangun selama periode studi.
H3: RDP – Rural Development Programme
RDP merupakan pemberi dampak terbesar, menyumbang 90% dari total luas pembangunan lahan basah baru selama periode 2007–2020.
H2: Studi Kasus Nasional: Seberapa Banyak Lahan Basah yang Dibangun?
Selama 2007–2020:
Temuan ini sangat mencolok karena menunjukkan dominasi RDP dalam mendanai pembangunan ekosistem penting ini.
H2: Variasi Regional dalam Implementasi: Skåne Memimpin
H3: Mengapa Wilayah Skåne Mendominasi?
Dari seluruh county yang dianalisis, Skåne menempati posisi teratas baik dalam jumlah maupun luas lahan basah yang dibangun. Alasan utamanya:
Sebaliknya, daerah seperti Värmland dan Gotland menunjukkan performa yang lebih rendah, sebagian karena proporsi lahan pertanian yang kecil, atau rendahnya kapasitas administrasi lokal.
H2: Tujuan dan Ukuran Lahan Basah: Fokus yang Berbeda
Berdasarkan data dari RDP:
Rata-rata luas:
Menariknya, 77% dari semua lahan basah berukuran di bawah 3 ha, menunjukkan bahwa proyek kecil lebih umum dan mungkin lebih mudah diterapkan secara administratif.
H2: Analisis Komparatif: Apa yang Membuat RDP Lebih Efektif?
Beberapa faktor menjadikan RDP lebih unggul dibanding LOVA dan LONA:
Sebaliknya, LOVA dan LONA memiliki keterbatasan administratif dan regulasi—terutama dalam kriteria penerima dan pendeknya periode proyek.
H2: Tantangan Administratif dan Rekomendasi Kebijakan
H3: 1. Kerumitan Proses Aplikasi
Banyak pemilik lahan yang enggan mengajukan hibah karena:
H3: 2. Ketimpangan Regional
Distribusi dana yang didasarkan pada variabel seperti jumlah populasi atau luas lahan pertanian justru memperbesar ketimpangan, karena kabupaten dengan kelembagaan yang sudah kuat akan lebih diuntungkan.
H3: 3. Keterbatasan Data dan Evaluasi Dampak
Kurangnya evaluasi dampak jangka panjang terhadap kualitas air, keanekaragaman hayati, atau perubahan iklim menjadi kendala dalam mengukur efektivitas sebenarnya dari pembangunan lahan basah ini.
H2: Pembelajaran Global: Relevansi bagi Negara Lain
Pendekatan Swedia—terutama keberhasilan RDP—dapat menjadi model bagi negara lain, khususnya:
Namun, perlu diingat bahwa keberhasilan sangat bergantung pada:
H2: Kesimpulan: Memadukan Ekonomi, Ekologi, dan Pemerintahan
Amanda Speks dalam tesisnya memberikan kontribusi penting terhadap diskusi mengenai peran keuangan dalam pelestarian lingkungan. Kesimpulan utama yang bisa ditarik dari penelitian ini adalah:
Jika negara-negara ingin mempercepat pencapaian SDG 6, fokus tidak boleh berhenti pada pendanaan semata. Struktur tata kelola yang efektif serta kapasitas lokal yang memadai juga perlu diperkuat agar setiap dana yang dikeluarkan benar-benar menghasilkan manfaat ekologi yang optimal.
Sumber asli:
Speks, Amanda. (2021). Analyzing the Impact of the Financial Systems for Constructing Wetlands in Sweden. Master Thesis in Sustainable Development, Uppsala University, No. 2021/25.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 03 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Perkembangan teknologi digital dewasa ini berlangsung sangat pesat dan memberikan manfaat besar dalam menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi proses konstruksi. Di Indonesia, sektor konstruksi menyumbang sekitar 6,45% PDB nasional dan mempekerjakan hingga 7–8% tenaga kerja. Namun demikian, tingkat kecelakaan kerja di industri konstruksi masih tinggi; misalnya pada 2021 tercatat lebih dari 234.000 kasus kecelakaan dengan 6.552 kematian. Faktor utama penyebab kecelakaan adalah faktor manusia (seperti perilaku tidak aman, pengalaman kerja, usia, tingkat pendidikan) diikuti oleh faktor lingkungan dan peralatan. Kondisi ini menegaskan perlunya inovasi keselamatan (K3) yang lebih baik.
Berbagai teknologi digital diidentifikasi dapat membantu mitigasi risiko tersebut. Misalnya virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) memungkinkan simulasi situasi berbahaya untuk pelatihan keselamatan, sementara teknologi pengenalan citra seperti convolutional neural network (CNN) dapat mengidentifikasi kelengkapan alat pelindung diri (APD) pekerja secara otomatis. Penggunaan drone (pesawat nirawak) memungkinkan pengawasan proyek dari udara, serta building information modeling (BIM) mendukung integrasi data keselamatan sepanjang siklus proyek. Di samping itu, teknologi wearable dan sensor berbasis Internet of Things (IoT) mampu memantau kondisi fisiologis pekerja atau kualitas lingkungan kerja secara real time.
Regulasi juga mendukung penggunaan teknologi dalam K3 konstruksi. Peraturan Menteri PUPR No.10/2021 menetapkan pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) yang menuntut pemenuhan aspek Keamanan Keteknikan, Keselamatan & Kesehatan Kerja, Keselamatan Publik, dan Keselamatan Lingkungan (Standar K4). Implementasi SMKK bertujuan menjamin integritas struktur bangunan, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, keselamatan publik serta kelestarian lingkungan. Dengan latar belakang itu, kajian ini menelusuri bagaimana perkembangan teknologi digital dapat membantu memenuhi substansi SMKK dalam praktik konstruksi di Indonesia.
Metodologi dan Kebaruan
Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Para penulis mengumpulkan dan mengolah data sekunder berupa literatur terkait proyek konstruksi Indonesia (jurnal ilmiah, prosiding, buku, dan situs resmi). Penelitian deskriptif dipahami sebagai metode yang menggambarkan fenomena atau kondisi terkini secara objektif. Data yang diperoleh berupa fakta ataupun data numerik kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengidentifikasi pola pemanfaatan teknologi digital dalam keselamatan konstruksi.
Kebaruan studi ini terletak pada pemetaan komprehensif pengembangan teknologi digital dalam konstelasi SMKK di Indonesia. Penelitian ini merangkum berbagai inovasi — mulai dari VR, AR, CNN, BIM, drone, hingga perangkat wearable dan sensor IoT — dalam konteks empat substansi SMKK. Dengan mengacu pada standar Permen PUPR No.10/2021 dan Peraturan Pemerintah terkait K3 konstruksi, studi ini menyajikan kerangka kerja sistematis untuk mengevaluasi aspek-aspek mana saja dari keselamatan konstruksi yang sudah terakomodasi oleh inovasi digital. Tinjauan ini menjadi penting karena belum banyak literatur yang membahas teknologi digital secara holistik untuk keselamatan konstruksi Indonesia dengan kerangka SMKK.
Secara spesifik, penulis menerapkan proses kuantifikasi temuan literatur. Sebagai contoh, penelitian-penelitian terkait teknologi untuk setiap kategori SMKK dihitung jumlahnya, lalu dikelompokkan dalam tabel klasifikasi. Pendekatan ini memungkinkan pemetaan gambaran umum penggunaan teknologi tertentu pada berbagai aspek keselamatan. Selain itu, studi ini membuka diskusi kritis tentang celah penelitian yang ada (keterbatasan empiris) dan potensi pengembangan selanjutnya. Dengan demikian, inovasi kajian ini bukan hanya pada kompilasi literatur, tetapi juga pada kerangka analisis yang mengaitkan teknologi dengan kerangka regulasi nasional.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Hasil kajian mengidentifikasi beragam teknologi yang sudah banyak dibahas dalam literatur keselamatan konstruksi di Indonesia, sekaligus menyoroti bagian-bagian substansi SMKK mana saja yang telah terlayani. Temuan utama dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: teknologi visualisasi, teknologi wearable dan sensor, serta tingkat keterpenuhan substansi SMKK. Setiap kelompok ditekankan dengan konteks penggunaannya dalam industri konstruksi nasional.
Teknologi Visual
Teknologi visual atau visualisasi terbukti dominan dikaji dalam keselamatan konstruksi. Beberapa temuan utamanya adalah:
Teknologi Wearable dan Sensor-Based
Kelompok teknologi kedua berfokus pada perangkat yang dikenakan oleh pekerja atau sensor lingkungan untuk memantau kondisi kesehatan dan potensi bahaya:
Secara keseluruhan, temuan mengindikasikan bahwa teknologi wearable dan sensor menawarkan pendekatan pemantauan K3 yang bersifat real-time dan personal. Namun, gap empiris masih besar: literatur menyebutkan hanya sedikit inovasi wearable yang benar-benar diterapkan dalam proyek konstruksi Indonesia dan masih banyak kendala adopsi. Kebutuhan akan riset lanjut, termasuk studi lapangan uji coba, sangat nyata agar manfaat teknologi ini dapat benar-benar dirasakan di lapangan.
Keterpenuhan terhadap Substansi SMKK
Analisis data menunjukkan adanya ketimpangan dalam cakupan aspek SMKK. Hasil pemetaan literatur mengindikasikan 16 penelitian yang membahas aspek keselamatan keteknikan konstruksi (misalnya bangunan, peralatan, material), 28 penelitian untuk aspek keselamatan dan kesehatan kerja (meliputi pemilik/pemberi kerja dan tenaga kerja konstruksi), 10 penelitian pada aspek keselamatan publik (masyarakat di sekitar proyek), dan 12 pada aspek keselamatan lingkungan (lingkungan kerja maupun alam). Dengan kata lain, penelitian-penelitian yang ada telah mencakup empat pilar SMKK tersebut, namun tidak merata.
Studi ini menemukan hanya lima penelitian yang secara holistik mengaitkan implementasi teknologi dengan pemenuhan sistem manajemen keselamatan (SMKK) secara menyeluruh. Artinya, sebagian besar kajian hanya fokus pada teknologi tertentu untuk aspek spesifik K3. Tabel 1 yang disusun penulis menggambarkan keterkaitan antara jenis teknologi digital dan substansi SMKK. Misalnya, CNN (pengenalan citra) dominan pada aspek bangunan dan tenaga kerja (dengan enam studi), BIM mengerucut pada aspek pemilik/pemberi kerja (empat studi), sedangkan drone banyak terkait dengan keselamatan lingkungan (empat studi). Virtual reality dan augmented reality muncul di berbagai aspek (teknik bangunan, pemilik, masyarakat sekitar) meski tiap kajian cenderung satu-dua aspek saja. Sebaliknya, beberapa substansi seperti pengaruh projek pada “masyarakat terpapar” dan “lingkungan terdampak proyek” masih sedikit mendapatkan perhatian, bahkan dalam tabel terdeteksi sangat minim studi terkait.
Temuan ini kontekstual: walaupun teknologi digital telah banyak diadopsi untuk menunjang keselamatan konstruksi, pemanfaatannya belum sepenuhnya berorientasi pada semua standar SMKK. Banyak studi terpusat pada pelatihan dan pengawasan (keselamatan kerja) serta integrasi data (keselamatan teknik), sementara aspek publik dan lingkungan masih menjadi peluang riset yang belum digarap optimal. Dengan demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa implementasi teknologi digital di Indonesia baru memenuhi sebagian substansi SMKK, dan ada kebutuhan memperluas fokus penelitian agar seluruh aspek SMKK terpenuhi dalam praktik keselamatan konstruksi nasional.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Pendekatan penelitian ini bersifat kajian literatur deskriptif, sehingga ada beberapa keterbatasan yang perlu dicermati:
Dengan demikian, walaupun kajian ini komprehensif dalam ruang lingkup literatur, pembaca perlu menyadari bahwa temuan yang disajikan lebih bersifat indikatif. Analisisnya memberikan kerangka konseptual dan klasifikasi awal, namun belum mencakup validasi lapangan atau analisis statistik yang solid. Kritik kritis diarahkan pada perlunya verifikasi empiris, metode perbandingan yang lebih mendalam, dan penajaman fokus pada efektivitas nyata teknologi di proyek konstruksi Indonesia.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Berdasarkan hasil dan keterbatasan di atas, ada sejumlah arahan penelitian dan implikasi akademik yang dapat digarisbawahi:
Secara keseluruhan, kajian ini membuka jalan bagi berbagai kajian berikutnya yang menekankan aspek inovasi teknologi, evaluasi empiris, dan pengembangan kerangka kerja implementasi. Implikasi ilmiahnya adalah memperkuat fondasi penelitian K3 konstruksi digital di Indonesia, sekaligus mendorong integrasi antara teknologi canggih dan manajemen keselamatan yang berbasis regulasi.
Refleksi Akhir
Temuan kajian ini relevan dengan dinamika keselamatan konstruksi nasional. Resensi menunjukkan bahwa Indonesia tengah mengikuti tren global dalam pengaplikasian teknologi digital untuk keselamatan kerja. Penggunaan VR, AR, BIM, drone, serta wearable menunjukkan bahwa industri mulai menyadari manfaat teknologi canggih dalam mencegah kecelakaan dan meningkatkan produktivitas. Namun, masih ada kesenjangan implementasi. Sebagai contoh, meskipun teknologi sensor dan wearable menawarkan pengawasan real-time, pemanfaatannya dalam praktik lokal masih minim. Hal ini mengindikasikan perlunya adopsi yang lebih serius, baik dari segi investasi perusahaan maupun dukungan kebijakan pemerintah.
Dalam konteks regulasi, hasil kajian memberi sinyal bahwa implementasi SMKK di lapangan dapat lebih optimal dengan memanfaatkan kemajuan teknologi ini. Regulator dan praktisi konstruksi dapat memetakan prioritas: misalnya, memperkuat penggunaan VR/AR di pelatihan K3 sesuai regulasi, atau memanfaatkan drone dan sensor untuk aspek keselamatan lingkungan yang kini tergolong lemah. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang efektif akan sangat terbantu bila didukung oleh infrastruktur digital yang memadai. Oleh karena itu, penemuan ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara penyusun kebijakan, akademisi, dan pelaku industri untuk mengintegrasikan inovasi teknologi dalam praktik K3 nasional.
Pada akhirnya, resensi ini menegaskan bahwa era digital membuka peluang besar bagi peningkatan keselamatan konstruksi di Indonesia. Meskipun kebijakan dan komitmen perusahaan mulai menuntut standar SMKK yang ketat, sinergi dengan teknologi informasi mutlak diperlukan untuk merealisasikannya. Penelitian lebih lanjut dan penerapan nyata di lapangan akan menentukan sejauh mana potensial teknologi tersebut terwujud menjadi penurunan kecelakaan kerja yang signifikan. Dengan perhatian bersama, perkembangan teknologi digital bisa menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan konstruksi yang lebih aman, sehat, dan berkelanjutan bagi Indonesia.
📚 Sumber:
Faisal, U. F., & Fansuri, I. (2023). Perkembangan Teknologi Digital terhadap Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia. CESD Journal, 6(2), 35–45. Universitas Trisakti. https://doi.org/10.25105/cesd.v6i2.18811
Pengelolaan Air
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 September 2025
Pendahuluan: Mengapa Proyek Ini Penting untuk Indonesia?
Eks Proyek Lahan Gambut (Ex-Mega Rice Project/EMRP) di Kalimantan Tengah adalah contoh nyata dari ambisi besar yang kurang mepertimbangkan kondisi ekologi dan sosial secara menyeluruh. Proyek ini dibuka pada era Orde Baru dengan target menjadikan Kalimantan sebagai lumbung beras nasional. Namun dalam praktiknya, pembangunan kanal tanpa studi lingkungan yang cukup justru menyebabkan kerusakan besar pada ekosistem gambut tropis yang sensitif.
Laporan ini menjadi salah satu rujukan teknis utama untuk merancang strategi rehabilitasi lahan dan air secara komprehensif di kawasan EMRP, dengan menyeimbangkan antara konservasi dan pembangunan pertanian.
Sejarah Singkat Proyek: Dari Ambisi Menjadi Krisis Lingkungan
Mega Rice Project (MRP) dimulai tahun 1995 dengan tujuan membuka satu juta hektare lahan untuk sawah. Namun realisasinya justru menyebabkan kerusakan gambut yang luas:
Studi Kasus: Blok A Lamunti & Dadahup
Blok A menjadi lokasi transmigrasi baru dengan infrastruktur irigasi sebagian selesai. Namun karena desain yang tidak tuntas dan ketidaksesuaian lahan (termasuk gambut dalam), banyak transmigran meninggalkan area. Mereka yang tetap mencoba untuk mengelola sawah dan palawija, namun menghadapi masalah air, keasaman tanah, dan saluran irigasi tak terpelihara.
Fakta Penting EMRP
Masalah Utama yang Diidentifikasi
1. Kerusakan Ekosistem Gambut
Over-drainage dari kanal-kanal besar menyebabkan kekeringan, kebakaran, dan hilangnya fungsi ekosistem gambut.
2. Infrastruktur Tidak Terselesaikan
Desain irigasi seperti “kolam” dan kanal mati menghambat sirkulasi air, menyebabkan stagnasi dan meningkatkan keasaman.
3. Ketidakcocokan Sosial dan Budaya
Transmigran dari Jawa tidak memiliki pengalaman mengelola tanah rawa dan gambut, tidak seperti masyarakat lokal (Banjar dan Dayak).
4. Kurangnya Operasi dan Pemeliharaan
O&M pasca-krisis 1998 lumpuh total akibat desentralisasi mendadak dan keterbatasan SDM di tingkat daerah.
Klasifikasi Hidrologi dan Zonasi
Laporan ini membagi kawasan menjadi empat zona berdasarkan pengaruh pasang-surut dan sungai:
Strategi Pengelolaan Air dan Lahan
Konservasi Lahan Gambut
Revitalisasi Pertanian
Pemanfaatan Lahan Tidur
Peran Komunitas Lokal: Pembelajaran dari Banjar dan Dayak
Sistem “Handil” Tradisional
Dampak Iklim dan Perubahan Topografi
Proyeksi menunjukkan:
Rekomendasi Teknis Kunci
Kesimpulan: Masa Depan EMRP Ada di Tangan Sistem yang Adaptif
Laporan ini menekankan bahwa rehabilitasi lahan eks-PLG harus berbasis ilmu, bukan sekedar ambisi politik. Keberhasilan program bergantung pada pemahaman menyeluruh terhadap ekosistem, pengelolaan air, serta keterlibatan masyarakat lokal dan kelembagaan yang kuat.
Tidak cukup hanya membangun infrastruktur tanpa perawatan dan kesesuaian sosial-ekologis, semua akan kembali gagal. Lahan gambut bukan sekadar tanah, tapi ekosistem hidup yang kompleks.
📚 Sumber Asli:
Houterman, J. dan Ritzema, H. (2009). Land and Water Management in the Ex-Mega Rice Project Area in Central Kalimantan. Technical Report No. 4. Euroconsult Mott MacDonald dan Deltares | Delft Hydraulics, Maret 2009.
Integration
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 September 2025
Integritas dalam proses pengadaan barang dan jasa, terutama dalam proyek-proyek yang melibatkan dana publik, adalah pilar utama tata kelola pemerintahan yang baik. Namun, realitasnya, praktik persekongkolan tender atau kartel tender masih menjadi persoalan serius yang terus menggerogoti efisiensi anggaran dan keadilan persaingan usaha.
Tesis berjudul "Persekongkolan Tender pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha: Studi Putusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-L/2007 & Perkara Nomor 23/KPPU-L/2007" oleh Maduseno Dewobroto menyajikan analisis yang mendalam dan relevan mengenai fenomena ini di Indonesia. Disusun pada Juli 2008, tesis ini membedah dua putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menjadi sorotan. Kajian tersebut menghadirkan prespektif kritis untuk memahami modus operandi persekongkolan serta upaya hukum persaingan usaha dalam menanggulanginya.
Penelitian ini tidak hanya penting dari sisi akademis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang besar bagi pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas. Dalam konteks masifnya pembangunan infrastruktur dan intensitas proyek kerja sama pemerintah-swasta (KPS/PPP) di Indonesia, pemahaman mengenai praktik persekongkolan tender memiliki peran krusial. Pemahaman tersebut menjadi kunci untuk menjamin akuntabilitas serta optimalisasi manfaat proyek bagi masyarakat. Tesis ini berhasil menyoroti kerumitan pembuktian persekongkolan serta implikasi hukumnya, menjadikannya referensi berharga dalam diskusi tentang persaingan usaha yang sehat.
Anatomia Persekongkolan Tender: Modus Operandi dan Dampaknya
Persekongkolan tender, atau dikenal juga sebagai bid rigging, adalah bentuk kartel horizontal di mana para pesaing bersepakat untuk memanipulasi proses penawaran dalam suatu tender. Tujuan utamanya sederhana: menghindari persaingan harga yang sehat dan memastikan salah satu pihak memenangkan tender dengan harga lebih tinggi atau syarat yang lebih menguntungkan. Pada akhirnya, praktik ini merugikan pemberi pekerjaan, baik pemerintah maupun entitas swasta.
Maduseno Dewobroto dalam tesisnya menunjukkan bahwa praktik persekongkolan tender bukan hanya merugikan secara finansial—misalnya melalui anggaran yang membengkak atau kualitas proyek yang menurun—tetapi juga berdampak pada aspek yang lebih mendasar, yakni kepercayaan publik terhadap proses pengadaan. Bayangkan sebuah proyek jalan tol bernilai triliunan rupiah. Jika beberapa perusahaan konstruksi bersekongkol untuk mengatur pemenang tender, harga proyek bisa melonjak 10-20% dari estimasi wajar. Apabila pola ini berlangsung di proyek-proyek berskala nasional, kerugian negara yang timbul akan sangat besar. Padahal, dana tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk sektor pendidikan, kesehatan, atau layanan publik lainnya.
Penelitian ini membahas sejumlah bentuk umum persekongkolan tender. Walaupun tidak dijabarkan secara eksplisit, putusan KPPU yang dianalisis memungkinkan kita melakukan inferensi terhadap modus yang terjadi. Secara garis besar, modus tersebut mencakup:
Penawaran Pelengkap (Complementary Bidding): Peserta tender lainnya sengaja memasukkan penawaran yang lebih tinggi atau kurang menarik agar penawaran pemenang yang telah disepakati terlihat paling kompetitif. Ini seperti pementasan teater di mana hanya satu aktor yang boleh menjadi bintang utama.
Rotasi Tender (Bid Rotation): Peserta tender bergiliran memenangkan tender. Minggu ini perusahaan A, bulan depan perusahaan B, dan seterusnya, memastikan setiap anggota kartel mendapatkan bagian pasar. Ini memberikan ilusi persaingan, padahal di baliknya ada perjanjian terselubung.
Subkontrak (Subcontracting): Pemenang tender yang telah disepakati memberikan pekerjaan subkontrak kepada perusahaan yang "kalah" dalam tender, sebagai kompensasi atas partisipasi mereka dalam persekongkolan. Ini adalah cara halus untuk berbagi keuntungan dari praktik ilegal.
Pengunduran Diri Peserta (Bid Suppression): Beberapa peserta tender sengaja menarik diri atau tidak mengajukan penawaran, sehingga memberi jalan bagi pihak yang telah ditentukan sebagai pemenang.
Dampak dari persekongkolan ini sangat multi-dimensi. Dari sisi ekonomi, terjadi inefisiensi alokasi sumber daya, harga barang/jasa menjadi tidak kompetitif, dan inovasi terhambat karena perusahaan tidak perlu bersaing secara sehat. Dari sisi hukum, praktik ini melanggar prinsip persaingan usaha yang adil dan dapat menimbulkan sanksi pidana maupun perdata. Dan yang paling penting, dari sisi sosial, persekongkolan tender mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah dan mekanisme pasar, menciptakan persepsi korupsi yang meluas.
KPPU sebagai Benteng Penjaga Persaingan: Studi Putusan Kasus
Fokus utama tesis ini pada dua putusan KPPU, yaitu Perkara Nomor 15/KPPU-L/2007 dan Perkara Nomor 23/KPPU-L/2007, adalah jantung analisisnya. Sayangnya, detail spesifik mengenai pihak-pihak yang terlibat, jenis proyek, atau besaran kerugian dari kedua perkara ini tidak disertakan dalam cuplikan tesis yang diberikan. Namun, penekanan pada putusan KPPU menunjukkan bahwa tesis ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas lembaga independen dalam menegakkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kehadiran KPPU merupakan anugerah bagi iklim persaingan usaha di Indonesia. Sebelum KPPU berdiri, praktik monopoli dan persaingan tidak sehat sulit untuk ditindak. KPPU memiliki kewenangan yang luas, mulai dari penyelidikan, pemeriksaan, hingga menjatuhkan sanksi berupa denda, pembatalan perjanjian, atau penghentian kegiatan tertentu. Tesis ini secara tidak langsung menggambarkan betapa krusialnya peran KPPU dalam menjaga integritas proses tender, terutama dalam proyek-proyek KPS yang seringkali melibatkan anggaran besar dan risiko tinggi.
Pembuktian persekongkolan tender adalah tantangan besar. Seringkali, tidak ada bukti langsung berupa perjanjian tertulis. Oleh karena itu, KPPU harus membangun argumentasi melalui bukti tidak langsung, misalnya harga penawaran yang mencurigakan, dokumen yang salah ketik atau identik antar peserta, pola penawaran yang tidak wajar, atau komunikasi antar peserta yang tidak wajar. Penerapan per se rule dalam hukum persaingan usaha, yang mengkualifikasikan tindakan tertentu sebagai pelanggaran tanpa perlu membuktikan adanya niat, menjadi relevan dalam konteks pembuktian persekongkolan tender. Jika ada bukti bahwa peserta tender bertemu dan melakukan koordinasi, maka persekongkolan bisa langsung diasumsikan. Namun, di lapangan, pembuktian ini sangatlah rumit dan membutuhkan kejelian serta sumber daya investigasi yang kuat.
Proyek Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS/PPP): Medan Pertarungan Baru
Tesis ini secara spesifik menempatkan persekongkolan tender dalam konteks proyek KPS. Proyek KPS, yang semakin populer di Indonesia sebagai alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur, melibatkan dana publik yang besar dan seringkali kompleks. Ini menjadikan proyek KPS sangat rentan terhadap praktik persekongkolan.
Mengapa proyek KPS lebih rentan?
Ukuran Proyek Besar: Proyek KPS seringkali berskala besar dan bernilai tinggi (misalnya, pembangunan bandara, pelabuhan, jalan tol, atau pembangkit listrik). Nilai proyek yang besar menarik perhatian pelaku kartel karena potensi keuntungan yang juga besar.
Sedikit Peserta Pasar: Dalam banyak proyek KPS, terutama yang membutuhkan keahlian atau teknologi spesifik, jumlah perusahaan yang mampu berpartisipasi dalam tender mungkin terbatas. Jumlah peserta yang sedikit memudahkan koordinasi dan persekongkolan.
Informasi Asimetris: Pihak swasta mungkin memiliki informasi lebih banyak mengenai biaya dan teknologi dibandingkan pemerintah, yang bisa dimanfaatkan untuk memanipulasi penawaran.
Koneksi dan Pengaruh: Seringkali, perusahaan besar yang terlibat dalam KPS memiliki koneksi politik atau birokrasi, yang dapat disalahgunakan untuk mempengaruhi proses tender.
Pada saat tesis ini ditulis (2008), tren proyek KPS di Indonesia mungkin belum semasif sekarang. Namun, relevansi tesis ini semakin meningkat seiring dengan digencarkannya pembangunan infrastruktur melalui skema KPS. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa komitmen investasi melalui skema KPS terus bertumbuh, bahkan mencapai angka puluhan triliun rupiah per tahun untuk proyek-proyek infrastruktur saja. Angka ini menegaskan urgensi untuk menjaga integritas proses tender dalam setiap proyek KPS. Jika 10% dari nilai proyek ini bocor akibat persekongkolan, kerugian yang ditimbulkan akan sangat besar dan memperlambat laju pembangunan nasional.
Nilai Tambah dan Opini: Melampaui Analisis Kasus
Tesis Maduseno Dewobroto ini patut diapresiasi karena keberaniannya mengangkat isu krusial seperti persekongkolan tender. Namun, untuk memberikan nilai tambah yang lebih dalam dan relevan dengan konteks kekinian, ada beberapa aspek yang bisa dipertimbangkan sebagai kritik dan proyeksi ke depan:
Dampak Implementasi Kebijakan Pasca-Tesis: Sejak 2008, regulasi terkait pengadaan barang/jasa pemerintah telah mengalami beberapa kali perubahan (misalnya, Perpres No. 54 Tahun 2010, Perpres No. 16 Tahun 2018). Bagaimana perubahan regulasi ini memengaruhi praktik persekongkolan tender? Apakah KPPU semakin efektif atau justru menghadapi tantangan baru? Analisis komparatif dengan regulasi terkini akan sangat relevan.
Peran Teknologi dalam Pencegahan dan Pembuktian: Di era digital ini, praktik e-procurement atau pengadaan secara elektronik sudah jamak dilakukan. Bagaimana teknologi ini membantu atau justru masih rentan terhadap persekongkolan? Misalnya, sistem e-procurement dapat secara otomatis mendeteksi pola penawaran yang tidak wajar atau mengidentifikasi dokumen yang identik. Namun, di sisi lain, pelaku persekongkolan mungkin juga menggunakan teknologi untuk menyamarkan jejak mereka.
Keterlibatan Sektor Swasta dalam Pencegahan: Perusahaan-perusahaan yang sering mengikuti tender KPS seharusnya memiliki compliance program yang kuat untuk mencegah karyawan mereka terlibat dalam praktik persekongkolan. Bagaimana peran asosiasi industri atau kamar dagang dalam mempromosikan praktik tender yang bersih? Opini tentang bagaimana peran proaktif dari sektor swasta dapat menjadi pelengkap kerja KPPU akan sangat bermanfaat.
Tantangan Global dan Cross-Border Cartel: Dalam proyek-proyek KPS yang melibatkan investasi asing, potensi cross-border cartel atau persekongkolan lintas negara bisa saja terjadi. Bagaimana KPPU berkolaborasi dengan otoritas persaingan usaha di negara lain untuk menindak praktik semacam ini? Ini adalah dimensi yang semakin relevan di era globalisasi.
Peran Whistleblower dan Perlindungan Saksi: Seringkali, informasi tentang persekongkolan berasal dari orang dalam. Bagaimana perlindungan bagi whistleblower dan saksi di Indonesia dapat diperkuat untuk mendorong lebih banyak pengungkapan kasus? Ini adalah aspek praktis yang sangat penting dalam upaya pemberantasan persekongkolan.
Tesis ini juga membuka ruang diskusi tentang pentingnya pendidikan dan kesadaran hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan. Pemerintah harus terus meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya untuk mendeteksi indikasi persekongkolan. Pelaku usaha perlu memahami konsekuensi hukum dari praktik ilegal ini dan memilih untuk bersaing secara sehat.
Secara keseluruhan, Maduseno Dewobroto telah memberikan kontribusi penting dalam literatur hukum persaingan usaha di Indonesia dengan tesis ini. Meskipun diterbitkan pada tahun 2008, relevansi isu persekongkolan tender pada proyek KPS tidak pernah pudar, bahkan mungkin semakin menguat. Tesis ini menegaskan bahwa tanpa pengawasan yang ketat serta penegakan hukum yang konsisten, integritas pengadaan barang dan jasa—khususnya dalam kerja sama antara pemerintah dan swasta—akan terus berada dalam posisi rentan, dengan masyarakat sebagai pihak yang menanggung dampak paling besar.
Sumber Artikel:
Tesis ini berjudul "Persekongkolan Tender pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha: Studi Putusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-L/2007 & Perkara Nomor 23/KPPU-L/2007" oleh Maduseno Dewobroto. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) di Program Studi Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, pada Juli 2008.