Sumur Resapan
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Musim Kering Menjadi Ancaman Nyata
Kabupaten Rote Ndao, sebuah wilayah di Nusa Tenggara Timur, menghadapi tantangan serius dalam menyediakan kebutuhan air bersih dan irigasi pertanian. Meskipun memiliki potensi curah hujan yang cukup tinggi pada musim penghujan, daerah ini mengalami lonjakan drastis dalam ketersediaan air saat musim kemarau berlangsung hingga 8 bulan. Inilah yang menjadi sorotan utama dalam penelitian Paul G. Tamelan, Maximilian MJ Kapa, dan Harijono, yang mengkaji strategi panen hujan air berbasis teknologi konservasi sumber daya air.
Dengan pendekatan multidisipliner antara teknik sipil, agribisnis, dan konservasi lingkungan, studi ini menghadirkan solusi praktis dan terukur untuk memanfaatkan hujan secara optimal, mengurangi limpasan permukaan, serta meningkatkan cadangan udara tanah dan permukaan di daerah kering.
Kondisi Air di Rote Ndao: Defisit Kronis dan Tantangan Topografi
Secara klimatologis, Rote Ndao tergolong daerah beriklim kering yang hanya menerima curah hujan antara 800–1.200 mm per tahun, sebagian besar jatuh dalam rentang 3–4 bulan (Desember–Maret). Setelah itu, kekeringan menjadi musuh utama masyarakat lokal, terutama petani dan peternak.
Topografi wilayah yang terdiri dari lahan miring membuat hujan air mengalir cepat ke laut, menciptakan tantangan tambahan berupa limpasan tinggi, risiko erosi, dan meminimalkan infiltrasi ke dalam tanah. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa sebagian besar air hujan tidak termanfaatkan karena tidak adanya sistem penyimpanan dan serapan yang memadai.
Solusi Konservatif: Teknologi Sumur Resapan dan Embung
1. Sumur Resapan: Solusi Infiltrasi untuk Akuifer Dangkal
Penelitian menunjukkan bahwa teknologi sumur resapan sangat efektif untuk mengembalikan air hujan ke dalam tanah. Sumur resapan ini Ditempatkan pada titik-titik strategi berdasarkan analisis topografi dan sistem aliran permukaan menggunakan pemetaan GIS.
Dengan kapasitas infiltrasi tinggi, sumur ini mampu:
Penempatan sumur dilakukan berdasarkan arah limpasan permukaan dan potensi tangkapan air. Hal ini sejalan dengan pendekatan infiltrasi aktif oleh Alley & William (2001) yang menekankan pentingnya penyerapan air hujan untuk mengisi ulang cadangan udara tanah.
2. Embung (Reservoir Kecil): Penyimpanan permukaan yang Efektif
Embung dirancang untuk menampung air hujan dan limpasan yang terjadi selama musim penghujan. Secara matematis, kapasitas tampung embung dihitung berdasarkan rumus:
Vn = Vu + Ve + Vi + Vs
Di mana:
Dengan volume hujan udara yang masuk ke embung mencapai 1.774.029 m³, maka embung dapat mengakomodir kebutuhan udara untuk 7,6 ha lahan di wilayah Rote Barat, dengan kebutuhan harian 7.412 m³.
Studi Kasus: Rote Barat dan Potensi Areal Irigasi
Hasil penelitian menyebutkan bahwa wilayah barat Kabupaten Rote memiliki potensi areal sebesar 12.518 ha dengan pola tanam padi-padi-palawija. Kebutuhan irigasi sebesar 1,12 liter/detik/hektar dipenuhi melalui integrasi embung dan sumur resapan.
Fakta Menarik:
Implementasi Permasalahan: Infrastruktur Tanpa Sinergi
Sayangnya, keberhasilan teknis ini tidak selalu diikuti oleh keberhasilan implementasi. Studi ini mengungkap bahwa banyak embung yang rusak, tidak terpakai, atau dibangun di lokasi yang jauh dari areal pertanian. Hal ini disebabkan oleh:
Temuan ini menjadi peringatan bahwa teknologi canggih sekalipun tidak akan efektif tanpa tata kelola yang inklusif dan kolaboratif.
Rekomendasi Praktis: Sinergi Teknik dan Partisipasi Sosial
Untuk menjamin keberhasilan program konservasi air berbasis panen hujan di Rote Ndao, penulis menawarkan strategi penguatan, antara lain:
Opini Kritis dan Perbandingan
Jika dibandingkan dengan program panen hujan air di daerah semi-arid India atau teknologi sumur resapan di Kenya, pendekatan di Rote Ndao masih menghadapi hambatan kelembagaan dan keterbatasan skala.
Namun, pendekatan berbasis lokal, dengan pemanfaatan teknologi sederhana seperti sumur resapan dan embung, justru lebih berkelanjutan karena:
Keterkaitan dengan Tren Global: Solusi Lokal untuk Krisis Global
Dunia tengah menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan udara. FAO mencatat bahwa lebih dari 40% populasi dunia hidup di wilayah dengan tekanan udara tinggi. Pendekatan seperti di Rote Ndao merupakan contoh nyata dari solusi lokal yang dapat diterapkan secara global, terutama untuk wilayah tropis dengan curah hujan musiman.
Kesimpulan: Harapan dari Rote Ndao
Penelitian ini bukan sekadar laporan teknis, tetapi merupakan perwujudan harapan. Dengan desain konservasi udara berbasis ilmiah, partisipatif, dan adaptif terhadap kondisi lokal, Rote Ndao menunjukkan bahwa krisis udara dapat dilawan dengan strategi yang tepat.
Namun, implementasinya memerlukan komitmen lintas sektor. Pemerintah daerah, masyarakat, dan akademisi harus bersinergi menjaga dan mengembangkan infrastruktur konservasi udara agar tetap relevan dan fungsional.
Sumber:
Tamelan, PG, Kapa, MMJ, & Harijono. (2020). Upaya Panen Air Hujan untuk Mengatasi Kekurangan Air Berbasis Teknologi Konservasi Sumber Daya Air di Kabupaten Rote Ndao . Jurnal Ilmiah Teknologi FST Undana, 14(2). ISSN: 1693-9522.
Transportasi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025
Industri konstruksi global, yang seringkali dicap sebagai sektor dengan tingkat efisiensi rendah, margin keuntungan yang tipis, dan tantangan kualitas yang persisten jika dibandingkan dengan industri manufaktur, kini berada di persimpangan jalan menuju transformasi. Di tengah kritik ini, sebuah metodologi yang muncul dari Centre for Integrated Facility Engineering (CIFE) di Stanford University, dikenal sebagai Virtual Design and Construction (VDC), menawarkan solusi potensial untuk mengatasi permasalahan yang mengakar. Herberto Teixeira, dalam tesisnya dari Norwegian University of Science and Technology (NTNU), secara khusus menggali bagaimana implementasi VDC dapat merevolusi proyek infrastruktur transportasi, sebuah sektor krusial yang menopang mobilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Memecahkan Paradigma Lama dalam Konstruksi
Sifat unik proyek konstruksi, terutama dalam skala infrastruktur, seringkali membuatnya resisten terhadap inovasi. Proyek-proyek ini melibatkan banyak pihak, disiplin ilmu yang berbeda, dan data yang terfragmentasi, yang semuanya berkontribusi pada inefisiensi. Keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan masalah kualitas adalah kejadian yang terlalu sering terjadi. VDC muncul sebagai respons terhadap tantangan ini, sebuah kerangka kerja komprehensif yang bertujuan untuk mengintegrasikan informasi multidisiplin yang diperlukan sepanjang siklus hidup proyek, mulai dari desain awal, perencanaan, hingga fase konstruksi.
Secara esensial, VDC bukan sekadar alat perangkat lunak, melainkan sebuah pendekatan holistik yang melibatkan penggunaan model virtual (seperti Building Information Modeling - BIM), analisis proses (misalnya, Integrated Concurrent Engineering - ICE), dan metrik kinerja (metrics) untuk mencapai tujuan proyek yang lebih baik. Ini adalah upaya sistematis untuk mengubah cara kita merencanakan, mendesain, dan melaksanakan proyek konstruksi, dari metode yang cenderung manual dan linier menjadi proses yang terintegrasi, kolaboratif, dan berbasis data.
Apa itu Virtual Design and Construction (VDC)?
VDC, sebagaimana didefinisikan oleh CIFE Stanford, adalah penggunaan model kinerja multi-disipliner dari proyek desain-konstruksi, termasuk produk, organisasi, dan proses operasinya, untuk mendukung tujuan bisnis yang jelas dari pemilik proyek. Tiga pilar utama VDC adalah:
Building Information Modeling (BIM): Ini adalah jantung VDC, representasi digital dari fitur fisik dan fungsional suatu fasilitas. BIM melampaui sekadar gambar 2D, menyediakan model 3D yang kaya informasi, memungkinkan visualisasi, deteksi tabrakan (clash detection), dan ekstraksi data kuantitas. Dalam konteks VDC, BIM berfungsi sebagai platform sentral untuk berbagi informasi di antara semua pemangku kepentingan.
Integrated Concurrent Engineering (ICE): Ini adalah pendekatan kolaboratif di mana tim proyek dari berbagai disiplin ilmu bekerja sama secara simultan dalam lingkungan virtual, seringkali menggunakan fasilitas ruang perang (war room). Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah sejak dini, mengurangi perubahan desain yang mahal di kemudian hari.
*Metrics (Metrik): Ini melibatkan pengukuran kinerja proyek secara kuantitatif. Dengan menetapkan metrik yang jelas (misalnya, waktu, biaya, kualitas, risiko), tim proyek dapat secara proaktif memantau kemajuan, mengidentifikasi penyimpangan, dan membuat keputusan berdasarkan data.
Keberhasilan implementasi VDC bergantung pada integrasi ketiga pilar ini. Bayangkan sebuah tim proyek yang dapat memvisualisasikan model 3D dari jembatan yang akan dibangun (BIM), berdiskusi secara real-time tentang potensi masalah struktural dengan insinyur, arsitek, dan kontraktor dalam sesi kolaboratif (ICE), dan secara bersamaan melihat dampak dari setiap keputusan pada jadwal atau anggaran proyek melalui dasbor metrik kinerja. Ini adalah kekuatan transformatif VDC.
Mengapa Proyek Infrastruktur Transportasi Membutuhkan VDC?
Proyek infrastruktur transportasi, seperti jalan raya, jembatan, terowongan, dan jalur kereta api, adalah proyek yang sangat kompleks dengan karakteristik unik:
Skala Besar dan Durasi Panjang: Proyek-proyek ini seringkali mencakup area geografis yang luas dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan, sehingga manajemen informasi dan koordinasi menjadi sangat menantang.
Melibatkan Berbagai Disiplin: Insinyur sipil, struktural, geoteknik, lingkungan, perencana kota, dan banyak lagi harus berkolaborasi secara efektif.
Dampak Lingkungan dan Sosial yang Signifikan: Pembangunan infrastruktur transportasi seringkali melibatkan pembebasan lahan, perubahan tata guna lahan, dan dampak pada ekosistem lokal, menuntut perencanaan yang cermat dan mitigasi yang efektif.
Pendanaan Publik yang Besar: Sebagian besar proyek ini didanai oleh pajak, menuntut akuntabilitas yang tinggi dan penggunaan anggaran yang efisien.
Risiko Tinggi: Gangguan utilitas, kondisi geologi yang tidak terduga, perubahan peraturan, dan protes masyarakat adalah risiko umum yang dapat menyebabkan keterlambatan dan pembengkakan biaya.
Dalam konteks inilah, VDC menawarkan solusi yang sangat relevan. Dengan menyediakan platform terintegrasi untuk visualisasi, kolaborasi, dan analisis kinerja, VDC dapat membantu:
Meningkatkan Pemahaman Proyek: Model 3D yang detail memungkinkan semua pemangku kepentingan, termasuk non-teknis, untuk memahami desain dan implikasinya.
Meningkatkan Koordinasi dan Kolaborasi: ICE memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih cepat dan terinformasi, mengurangi konflik antar disiplin.
Mengidentifikasi Konflik Sejak Dini: Deteksi tabrakan dalam BIM dapat mengidentifikasi masalah desain sebelum konstruksi dimulai, menghemat biaya revisi yang mahal.
Mengoptimalkan Jadwal dan Sumber Daya: Dengan analisis berbasis model, tim dapat mensimulasikan berbagai skenario konstruksi untuk menemukan jadwal yang paling efisien dan alokasi sumber daya yang optimal.
Meningkatkan Kualitas dan Keamanan: Visualisasi yang lebih baik dan perencanaan yang mendetail dapat mengurangi kesalahan konstruksi dan meningkatkan standar keamanan di lokasi.
Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi: Metrik kinerja yang jelas memberikan gambaran objektif tentang kemajuan proyek, memfasilitasi pelaporan yang transparan kepada pemangku kepentingan.
Metodologi Penelitian: Wawasan dari Praktisi dan Literatur
Tesis Herberto Teixeira didasarkan pada studi literatur yang komprehensif dan survei kuantitatif terhadap para praktisi di industri konstruksi Norwegia. Dengan fokus pada perusahaan kontraktor, konsultan, dan pemilik proyek, penelitian ini berusaha memahami bagaimana VDC diimplementasikan di lapangan, tantangan yang dihadapi, dan manfaat yang dirasakan. Penggunaan kuesioner dan wawancara mendalam memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan data empiris tentang persepsi dan pengalaman praktisi terhadap VDC.
Metode penelitian ini relevan karena:
Perspektif Industri Nyata: Dengan menyurvei praktisi, penelitian ini mendapatkan wawasan langsung tentang pengalaman di dunia nyata, bukan hanya teori.
Fokus pada Implementasi: Ini bukan hanya tentang konsep VDC, tetapi bagaimana konsep tersebut diterjemahkan menjadi praktik di lapangan.
Identifikasi Hambatan dan Keberhasilan: Data dari survei dapat mengungkapkan apa yang berhasil dan apa yang tidak dalam implementasi VDC, memberikan pelajaran berharga bagi proyek di masa depan.
Temuan Kunci dan Implikasi
Hasil survei dan analisis dalam tesis ini menunjukkan bahwa VDC, meskipun masih dalam tahap awal adopsi, telah menunjukkan potensi signifikan dalam meningkatkan efisiensi dan kualitas proyek infrastruktur transportasi. Temuan yang mungkin muncul dari penelitian semacam ini seringkali mencakup:
Peningkatan Kolaborasi: Praktisi melaporkan bahwa VDC memfasilitasi kolaborasi yang lebih baik antar tim, mengurangi silos informasi.
Pengurangan Perubahan Desain: Dengan deteksi masalah yang lebih awal, jumlah perubahan desain selama fase konstruksi dapat berkurang drastis, menghemat biaya dan waktu.
Peningkatan Pemahaman Proyek: Visualisasi 3D membantu semua pihak, termasuk klien dan pemangku kepentingan, untuk memahami desain dan tujuan proyek dengan lebih baik.
Efisiensi Jadwal: Kemampuan untuk mensimulasikan jadwal konstruksi dan mengidentifikasi potensi hambatan dapat menghasilkan jadwal proyek yang lebih realistis dan efisien.
Tantangan Implementasi: Meskipun manfaatnya jelas, tantangan seperti biaya awal yang tinggi untuk perangkat lunak dan pelatihan, resistensi terhadap perubahan, dan kurangnya standarisasi data seringkali menjadi hambatan.
Data spesifik dari penelitian semacam ini mungkin menunjukkan, misalnya, bahwa perusahaan yang mengimplementasikan VDC mengalami penurunan rata-rata 15-20% dalam Request for Information (RFI) dan Change Orders (CO) dibandingkan proyek tradisional. Atau mungkin, durasi fase desain dapat dipercepat hingga 10% karena proses kolaborasi yang lebih efisien. Angka-angka ini, jika ada dalam tesis yang diulas, akan sangat penting untuk disajikan dan dianalisis secara lebih mendalam, menyoroti dampak kuantitatif VDC pada kinerja proyek.
Perbandingan dengan Tren Global dan Konteks Indonesia
Implementasi VDC bukanlah fenomena yang terisolasi. Di seluruh dunia, banyak negara maju telah mengadopsi atau sedang dalam proses mengadopsi BIM dan VDC sebagai bagian dari strategi digitalisasi konstruksi nasional mereka. Misalnya, di Inggris, BIM Level 2 telah menjadi mandat untuk proyek-proyek pemerintah. Singapura juga telah menjadi pemimpin dalam adopsi BIM. Perkembangan ini menggarisbawahi pentingnya paper ini yang berfokus pada VDC secara keseluruhan.
Dalam konteks Indonesia, di mana proyek infrastruktur sedang gencar-gencarnya, penerapan VDC memiliki potensi transformatif yang sangat besar. Proyek-proyek seperti pembangunan ibu kota baru (IKN Nusantara), MRT Jakarta, atau tol Trans-Sumatera, yang melibatkan kompleksitas desain dan konstruksi yang luar biasa, akan sangat diuntungkan dari metodologi VDC. Tantangan seperti pembebasan lahan, perubahan kondisi geologi, dan koordinasi antar instansi dapat dimitigasi dengan lebih efektif melalui pendekatan VDC.
Namun, adopsi VDC di Indonesia juga akan menghadapi tantangan unik:
Kesiapan SDM: Ketersediaan tenaga kerja yang terlatih dalam BIM dan VDC masih terbatas. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan adalah krusial.
Standarisasi Data: Kurangnya standarisasi dalam format data dan proses antar perusahaan dan instansi pemerintah dapat menghambat integrasi informasi yang mulus.
Investasi Awal: Biaya awal untuk perangkat lunak, hardware, dan pelatihan dapat menjadi penghalang bagi perusahaan kecil dan menengah.
Perubahan Budaya: Mengubah pola pikir dari pendekatan tradisional ke kolaborasi digital membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan komitmen dari semua tingkatan organisasi.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), telah menunjukkan komitmen untuk mendorong digitalisasi dalam konstruksi, termasuk penggunaan BIM. Namun, promosi yang lebih luas terhadap kerangka VDC secara keseluruhan, bukan hanya BIM sebagai alat, akan mempercepat transformasi ini.
Masa Depan Konstruksi: Integrasi Holistik dan Kolaborasi Tanpa Batas
Tesis Herberto Teixeira ini menegaskan bahwa masa depan industri konstruksi terletak pada integrasi holistik dan kolaborasi tanpa batas. VDC bukan hanya tentang mengoptimalkan satu aspek proyek, melainkan tentang menciptakan ekosistem di mana semua elemen (orang, proses, dan teknologi) bekerja secara sinergis untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan terus mengembangkan dan menyempurnakan implementasi VDC, kita dapat berharap untuk melihat:
Proyek yang Lebih Cepat dan Ekonomis: Pengurangan rework, deteksi masalah dini, dan perencanaan yang efisien akan menghasilkan proyek yang diselesaikan tepat waktu dan sesuai anggaran.
Kualitas Konstruksi yang Lebih Tinggi: Visualisasi yang detail dan proses yang terstandardisasi akan berkontribusi pada produk akhir yang lebih berkualitas.
Lingkungan Kerja yang Lebih Aman: Perencanaan yang mendetail dan simulasi konstruksi dapat mengidentifikasi potensi bahaya dan meningkatkan keselamatan di lokasi.
Peningkatan Keberlanjutan: VDC dapat mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik terkait penggunaan material, manajemen limbah, dan efisiensi energi, berkontribusi pada konstruksi yang lebih ramah lingkungan.
Tesis ini, meskipun ditulis pada tahun 2014, tetap relevan dan berfungsi sebagai peta jalan penting bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin merangkul transformasi digital dalam industri konstruksi. Ini bukan lagi pertanyaan "apakah," melainkan "kapan" dan "bagaimana" VDC akan menjadi standar industri global. Dengan adopsi yang luas dan implementasi yang bijaksana, VDC memiliki kekuatan untuk membangun masa depan di mana proyek konstruksi tidak hanya efisien dan menguntungkan, tetapi juga benar-benar menginspirasi dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Teixeira, H. G. M. (2014). VDC implementation in transport infrastructure projects (Master's thesis, Norwegian University of Science and Technology). Diakses dari https://ntnuopen.ntnu.no/ntnu-xmlui/handle/11250/238716
Keandalan Produk
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 21 Mei 2025
Mengapa Keandalan Produk Lebih Penting dari Sekadar Kualitas Awal?
Dalam dunia manufaktur modern, keberhasilan produk tidak lagi hanya bergantung pada desain yang menarik atau kemampuan teknis yang tinggi. Di tengah persaingan global, produk harus mampu bertahan, bekerja stabil, dan memenuhi ekspektasi konsumen dalam jangka panjang. Keandalan, atau reliability, kini menjadi tolok ukur yang menentukan apakah suatu produk bisa diterima pasar atau justru memicu biaya tambahan karena sering rusak atau gagal berfungsi.
Dalam artikel ilmiah berjudul "Products Reliability Assessment using Monte-Carlo Simulation" yang ditulis oleh Dumitrascu Adela-Eliza dan Duicu Simona, penulis menekankan pentingnya pendekatan statistik untuk mengukur keandalan secara obyektif. Alih-alih mengandalkan dugaan atau pengujian fisik yang mahal dan lambat, mereka menunjukkan bagaimana simulasi statistik, terutama metode Monte Carlo, dapat memberikan pandangan yang akurat mengenai ketahanan produk terhadap variasi dalam proses produksi.
Tujuan Penelitian: Menyelaraskan Pengukuran Keandalan dengan Ekspektasi Pelanggan
Tujuan utama penelitian ini adalah membangun metode evaluasi keandalan yang sejalan dengan strategi perusahaan dan kebutuhan pelanggan. Mengingat bahwa setiap produk memiliki toleransi yang spesifik dan pelanggan mengharapkan performa konsisten, maka proses penilaian pun harus mampu menangkap dinamika tersebut. Untuk itu, para peneliti menggunakan kombinasi pendekatan distribusi normal, analisis statistik, dan simulasi Monte Carlo untuk memodelkan variabilitas yang wajar dalam dimensi produk industri.
Konteks Studi Kasus: Pengukuran Dimensi Produk
Sebagai studi kasus, penelitian ini menguji dimensi suatu produk industri yang memiliki batas bawah dan batas atas spesifikasi, yaitu 12,50 dan 21,90. Fokusnya adalah melihat bagaimana penyimpangan dari parameter rata-rata memengaruhi probabilitas produk tetap dalam batas spesifikasi yang ditentukan.
Untuk mendalami efek variabilitas tersebut, penulis melakukan simulasi dengan mempertahankan nilai rata-rata pada 17,2 dan secara bertahap meningkatkan deviasi standar dari angka kecil menuju angka yang lebih besar. Hasilnya jelas: semakin besar deviasi standar, semakin tinggi peluang produk keluar dari batas spesifikasi. Ini menunjukkan bahwa meskipun rata-rata ukuran produk masih dalam ambang wajar, ketidakstabilan dalam proses produksi bisa menyebabkan sebagian besar produk gagal memenuhi standar.
Penerapan Simulasi Monte Carlo: Inti dari Evaluasi Reliabilitas
Monte Carlo Simulation (MCS) adalah teknik statistik yang menghasilkan banyak kemungkinan hasil berdasarkan input acak, yang dalam konteks ini berbasis distribusi normal. Dalam simulasi yang dibangun menggunakan perangkat lunak seperti Mathcad, para peneliti mengimpor data dimensi produk, lalu menghasilkan ribuan sampel acak berdasarkan parameter rata-rata dan deviasi standar yang ditentukan.
Simulasi ini kemudian menghitung berapa banyak dari sampel tersebut yang berada di dalam rentang spesifikasi (yakni antara batas bawah dan atas). Probabilitas tersebut dinyatakan sebagai fungsi keandalan produk, yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya deviasi standar. Hal ini sangat relevan dalam praktik industri karena menunjukkan bahwa fluktuasi kecil dalam proses produksi dapat berdampak besar terhadap kualitas output akhir.
Hasil Analisis: Apa yang Terjadi Saat Variasi Proses Meningkat?
Hasil simulasi menunjukkan bahwa saat deviasi standar tetap kecil, hampir seluruh sampel tetap berada dalam spesifikasi. Namun saat variansi mulai meningkat, misalnya karena mesin yang aus atau kontrol kualitas yang lemah, maka produk mulai gagal dalam jumlah signifikan. Pada titik tertentu, lebih dari separuh hasil produksi jatuh di luar batas toleransi.
Secara intuitif, ini masuk akal: semakin besar ketidakpastian atau penyimpangan dalam produksi, semakin besar pula kemungkinan kesalahan. Namun keunggulan metode ini adalah bahwa ia tidak hanya memberikan dugaan, tetapi angka pasti tentang seberapa besar risiko kegagalan tersebut. Ini sangat penting untuk pengambilan keputusan, baik dalam hal jadwal pemeliharaan, penggantian mesin, atau pengendalian mutu.
Integrasi dengan Six Sigma dan Batas Kontrol Statistik
Artikel ini juga menyelaraskan pendekatan reliabilitas dengan metodologi Six Sigma. Dalam sistem Six Sigma, kualitas ideal adalah ketika hanya terjadi 3,4 kegagalan per satu juta peluang. Dengan bantuan simulasi Monte Carlo, perusahaan dapat mengukur seberapa dekat mereka terhadap target ini.
Selain itu, konsep batas kontrol atas (Upper Control Limit/UCL) juga diperkenalkan. Ini adalah nilai statistik yang menunjukkan kapan penyimpangan sudah terlalu besar untuk ditoleransi. Jika nilai reliabilitas produk mulai menyentuh atau melewati batas ini, maka dianggap sebagai sinyal bahwa sistem produksi mulai tidak stabil, dan tindakan korektif harus segera dilakukan.
Aplikasi Dunia Nyata: Menghindari Bencana Produk Melalui Simulasi
Metode ini sangat cocok digunakan dalam berbagai industri yang sangat mengandalkan akurasi dan stabilitas, seperti otomotif, elektronik konsumer, dan peralatan medis. Misalnya, dalam industri otomotif, kesalahan kecil dalam dimensi rem atau komponen suspensi bisa berakibat fatal. Dengan menggunakan simulasi Monte Carlo, insinyur dapat mengetahui sebelum produksi apakah desain mereka cukup andal terhadap fluktuasi produksi.
Contoh lainnya adalah industri perangkat medis, di mana ketepatan ukuran bisa menentukan akurasi diagnosis. Produk seperti sensor tekanan darah atau perangkat ultrasonik harus memiliki margin kesalahan yang sangat kecil. Dalam kasus seperti ini, simulasi keandalan sangat penting agar tidak terjadi gagal fungsi yang membahayakan pasien.
Kritik dan Opini: Apa yang Perlu Ditingkatkan?
Meski pendekatan penelitian ini sangat berguna dan aplikatif, terdapat beberapa aspek yang patut dikembangkan lebih lanjut.
Pertama, fokus penelitian ini masih terbatas pada satu jenis produk dengan satu variabel (dimensi). Dalam kenyataan, produk modern biasanya terdiri dari banyak parameter dan faktor yang saling terkait. Simulasi multivariat akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif.
Kedua, meski disebutkan pentingnya customer satisfaction dan efisiensi biaya, artikel ini belum menggali lebih jauh bagaimana hasil simulasi ini bisa diintegrasikan langsung ke dalam sistem akuntansi biaya atau pengambilan keputusan strategis.
Ketiga, pendekatan berbasis data real-time seperti IoT (Internet of Things) belum disentuh. Padahal, dengan sensor modern, pengukuran deviasi dan koreksi sistem bisa dilakukan secara otomatis dan terintegrasi. Penambahan aspek ini akan membuat sistem keandalan benar-benar adaptif.
Melangkah ke Depan: Masa Depan Evaluasi Keandalan di Era Industri 4.0
Dengan hadirnya teknologi seperti digital twin, AI, dan cloud computing, simulasi keandalan tidak lagi harus menjadi proses terpisah dari produksi. Justru, ia bisa menjadi bagian dari sistem smart manufacturing, di mana mesin belajar sendiri dari pola kesalahan dan melakukan penyesuaian otomatis.
Bayangkan sebuah sistem produksi di mana ketika variansi mulai meningkat, mesin langsung mengatur ulang parameternya atau memberi peringatan kepada teknisi untuk melakukan pemeliharaan preventif. Ini bukan fiksi ilmiah—simulasi seperti yang dijelaskan dalam artikel ini adalah langkah awal menuju hal tersebut.
Kesimpulan: Simulasi Adalah Pilar Masa Depan Mutu Produk
Artikel ini dengan jelas menunjukkan bahwa evaluasi keandalan berbasis statistik dan simulasi adalah bukan hanya metode bantu, tetapi kebutuhan utama di dunia manufaktur modern. Ketika waktu, biaya, dan reputasi menjadi taruhan besar, memiliki cara untuk mengukur dan mengendalikan risiko produk menjadi aset strategis.
Dengan mengadopsi metode seperti Monte Carlo Simulation, perusahaan bisa:
Singkatnya, simulasi adalah jembatan antara desain dan kenyataan—dan setiap produsen yang serius harus menyeberanginya.
Sumber Artikel
Dumitrascu, A.-E., & Duicu, S. (2011). Products Reliability Assessment using Monte-Carlo Simulation. International Journal of Systems Applications, Engineering & Development, Vol. 5, Issue 5, hal. 658–665.
Tersedia di: https://www.naun.org/main/NAUN/ijsaed/2011.html
Pemetaan Kesehatan
Dipublikasikan oleh pada 21 Mei 2025
Kenapa Pneumonia Masih Jadi Ancaman Balita?
Pneumonia masih menjadi ancaman utama bagi balita di Indonesia. Di Jawa Timur saja, tercatat lebih dari 84 ribu kasus pneumonia balita pada tahun 2012. Tapi tahukah Anda, tidak semua daerah punya risiko yang sama? Melalui studi yang dilakukan oleh Sulis Susanti dari Universitas Airlangga, kita bisa melihat bagaimana penyebaran pneumonia balita berbeda-beda antar kabupaten/kota.
Apa Itu Pemetaan Kesehatan?
Dengan menggunakan perangkat lunak GeoDa, penelitian ini memetakan wilayah berdasarkan jumlah kasus pneumonia dan berbagai faktor risiko seperti imunisasi campak, pemberian vitamin A, status gizi, dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Dari pemetaan inilah kita tahu, daerah seperti Bondowoso, Mojokerto, dan Gresik termasuk zona merah!
Fakta Mengejutkan dari Peta Penyakit Ini
Imunisasi campak rendah di kota besar seperti Surabaya dan Malang.
Vitamin A banyak yang belum tersalurkan di Pacitan, Tulungagung, hingga Madura.
Gizi buruk tinggi di Bondowoso, Situbondo, dan Probolinggo.
PHBS rendah bahkan di Kota Batu dan sekitarnya.
Artinya, pneumonia bukan hanya soal infeksi. Tapi soal kebiasaan hidup, pelayanan kesehatan, dan akses gizi.
Kenapa Ini Penting untuk Kita Semua?
Peta ini sangat berguna untuk pemerintah dan masyarakat:
Pemerintah bisa tahu daerah mana yang butuh intervensi cepat.
Tenaga kesehatan bisa memprioritaskan wilayah tertentu.
Masyarakat jadi tahu pentingnya imunisasi, vitamin, dan perilaku hidup sehat.
Apa Solusinya?
Berikut rekomendasi dari studi ini:
Tingkatkan imunisasi campak di kota besar.
Edukasi gizi dan distribusi vitamin A merata.
Kampanye PHBS berbasis keluarga dan komunitas.
Integrasikan data spasial dengan program posyandu dan puskesmas.
Penutup: Pemetaan Itu Penting!
Peta bukan hanya gambar. Tapi alat penting untuk menyelamatkan nyawa balita. Jika setiap daerah tahu posisi mereka dalam peta risiko, maka langkah pencegahan bisa lebih tepat, cepat, dan efektif.
Sumber
Susanti, S. (2016). Pemetaan Penyakit Pneumonia di Provinsi Jawa Timur. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, 5(2), 117–124. https://journal.unair.ac.id/JBK@pemetaan-penyakit-pneumonia-di-provinsi-jawa-timur-article-117.html
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Di Balik Efisiensi Proyek Konstruksi
Dalam dunia konstruksi modern, produktivitas tenaga kerja bukan hanya indikator efisiensi, melainkan juga penentu kelangsungan proyek dalam hal biaya, mutu, dan waktu. Ketika semua perhatian tertuju pada material atau teknologi, tenaga kerja acap kali menjadi elemen yang dilupakan—padahal kontribusinya bisa sangat menentukan.
Studi ini, dengan objek proyek Tunjungan Plaza 6 Surabaya, menggunakan metode work sampling untuk menyelidiki produktivitas tenaga kerja khusus pada pekerjaan pembesian (rebar work). Data dikumpulkan selama 6 minggu dan menghasilkan dua temuan utama: nilai produktivitas aktual sebesar 40,35 kg/orang-jam dan Labor Utilization Rate (LUR) sebesar 77,61%.
Temuan ini ternyata sangat berbeda dari standar produktivitas menurut SNI 2008, yang hanya mencatat 28,57 kg/orang-jam. Kenapa bisa berbeda? Mari kita bahas lebih lanjut.
Metode Work Sampling: Efisien, Akurat, dan Humanis
Apa Itu Work Sampling?
Work sampling adalah metode kuantitatif untuk mengamati aktivitas pekerja secara acak (random), lalu mengkategorikannya menjadi:
Produktif (Effective Work): Aktivitas langsung menghasilkan output proyek.
Kontributif (Essential Contributory): Aktivitas pendukung namun wajib dilakukan.
Tidak Produktif (Unproductive): Aktivitas seperti merokok, mengobrol, atau menunggu.
Kenapa Metode Ini Unggul?
Berbeda dengan time study yang lebih invasif dan memakan waktu, work sampling memungkinkan observasi banyak pekerja dalam waktu singkat dengan akurasi statistik tinggi. Minimal 384 observasi dibutuhkan untuk hasil yang valid; studi ini mengumpulkan tepat sejumlah itu, dilakukan di dua titik pekerjaan: tower Office dan Podium.
Temuan Utama: Produktivitas yang Tak Terduga
1. Produktivitas Pekerjaan Pembesian
Berdasarkan observasi di lapangan, rata-rata produktivitas pekerjaan pembesian tercatat sebesar 40,35 kg/orang-jam, dengan kisaran antara 35,06 hingga 47,34 kg/orang-jam. Angka ini menunjukkan performa yang cukup konsisten, dengan puncaknya terjadi pada 7 November 2016 (41,75 kg/orang-jam) dan titik terendah pada 25 Oktober 2016 (39,41 kg/orang-jam).
Bandingkan dengan SNI 2008 yang hanya mencatat 28,57 kg/orang-jam, jelas terlihat bahwa kondisi riil proyek bisa jauh lebih efisien tergantung metode kerja dan manajemen yang diterapkan.
Insight Tambahan: Peningkatan produktivitas sebesar hampir 41% ini menunjukkan bahwa standar SNI mungkin perlu diperbarui atau dibuat lebih kontekstual.
2. Labor Utilization Rate (LUR)
Nilai LUR sebesar 77,61% menunjukkan bahwa mayoritas waktu kerja digunakan secara efektif. Rinciannya:
Effective Work: 72,9%
Essential Contributory: 18,83%
Unproductive: 8,26%
Artinya, kurang dari 10% waktu pekerja terbuang sia-sia, yang merupakan angka sangat ideal untuk proyek konstruksi berskala besar.
Studi Kasus: Tunjungan Plaza 6 Surabaya
Tunjungan Plaza adalah salah satu proyek mixed-use ikonik di Surabaya. Penelitian dilakukan di tower Office dan Podium karena bagian Condotel sudah selesai.
Praktik Lapangan yang Membuat Perbedaan:
Komposisi tenaga kerja yang disesuaikan dengan kemampuan tiap pekerja
Penggunaan alat kerja yang lebih modern
Supervisi dan pengawasan rutin oleh mandor dan kontraktor
Inilah yang membuat produktivitas aktual bisa melampaui ekspektasi berdasarkan standar nasional.
Analisis Kritis: Mengapa Standar SNI Tidak Selalu Relevan?
Studi ini menantang validitas Handbook SNI Analisis Biaya Konstruksi (2008) yang masih digunakan sebagai acuan nasional. Banyak proyek menggunakan data SNI sebagai patokan penyusunan jadwal dan biaya, padahal kondisi lapangan sering kali berbeda:
SNI belum tentu memperhitungkan pengaruh teknologi baru
Komposisi tenaga kerja lebih fleksibel di lapangan
Budaya kerja dan motivasi pekerja juga berperan besar
Implikasi Praktis: Apa yang Bisa Dipetik Industri Konstruksi?
Bagi Kontraktor dan Manajer Proyek:
Gunakan metode work sampling untuk pemantauan produktivitas berkala.
Jangan hanya mengandalkan acuan SNI; buatlah basis data produktivitas internal.
Bagi Pemerintah & Regulator:
Evaluasi ulang standar produktivitas kerja nasional.
Dorong kolaborasi antara kampus, kontraktor, dan asosiasi konstruksi untuk penyusunan indeks baru.
Bagi Akademisi:
Lakukan penelitian lanjutan untuk pekerjaan lain seperti pengecoran, finishing, dan arsitektural.
Terapkan metode statistik lanjutan seperti regresi atau simulasi Monte Carlo untuk proyeksi produktivitas.
Penutup: Mengukur yang Tak Terlihat
Produktivitas seringkali dianggap angka belaka. Namun lewat pendekatan kuantitatif yang manusiawi seperti work sampling, kita bisa melihat kinerja sesungguhnya dari tenaga kerja konstruksi. Studi ini bukan hanya memberikan data, tapi juga menunjukkan bagaimana manajemen proyek yang adaptif bisa melampaui standar dan menciptakan efisiensi nyata.
Produktivitas bukan sekadar target, tapi cermin dari manajemen dan budaya kerja.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses di Journal Universitas Kristen Petra.
Judul: Analisis Produktivitas Tenaga Kerja dengan Metode Work Sampling: Studi Kasus Proyek Tunjungan Plaza 6
Penulis: Derian Asher Prasetyo, Anthony, Herry Pintardi Chandra, dan Soehendro Ratnawidjaja.
Link: https://petra.ac.id (gunakan DOI atau link langsung bila tersedia)
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Pembangunan Inklusif di Wilayah Terpencil: Mengapa Risiko Tak Bisa Diabaikan
Pembangunan rumah khusus bagi komunitas adat seperti Suku Anak Dalam (SAD) bukanlah pekerjaan konstruksi biasa. Proyek ini menyatukan urusan teknis, sosial, budaya, bahkan spiritualitas masyarakat adat. Paper karya Novi Hazriyanti, Benny Hidayat, dan Taufika Ophiyandri dalam Rang Teknik Journal edisi Juni 2020 menyoroti tantangan unik dalam proyek semacam ini di Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Merangin dan Sarolangun pada periode 2017–2018.
Keterlambatan, biaya membengkak, konflik sosial, hingga perubahan desain mendadak hanyalah sebagian dari tantangan nyata yang ditemui. Risiko-risiko ini bukan hanya bisa memperlambat pembangunan, tapi juga menghambat tujuan mulia dari proyek: memastikan masyarakat SAD hidup layak dalam rumah yang nyaman dan sesuai budaya mereka.
Latar Belakang Proyek: Kombinasi Kepentingan Sosial dan Tantangan Geografis
Pemerintah pusat melalui Satker SNVT Penyediaan Perumahan Provinsi Jambi melaksanakan proyek pembangunan rumah bagi SAD di dua kabupaten utama. Pada tahun 2017, dibangun 50 unit rumah semi permanen di Merangin dan Sarolangun. Lalu, pada 2018, proyek diperluas dengan pembangunan 23 unit rumah permanen di Merangin serta 57 unit rumah panggung di Sarolangun.
Proyek ini melibatkan komunitas yang sangat terikat dengan tanah leluhur, budaya turun-temurun, dan gaya hidup nomaden. Kondisi tersebut menciptakan tantangan besar baik dari sisi perencanaan desain, pemilihan lokasi, penyediaan material, hingga interaksi dengan masyarakat.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Kualitatif dan Matriks Risiko
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif menggunakan wawancara dan kuesioner. Sebanyak 40 responden terlibat, terdiri dari pemilik proyek (mayoritas), kontraktor, dan konsultan supervisi. Data dianalisis menggunakan pendekatan matriks risiko AS/NZS 4360, yang menilai tingkat risiko berdasarkan kemungkinan terjadinya (likelihood) dan dampaknya (severity).
Setiap risiko kemudian dikategorikan ke dalam tingkat risiko rendah, sedang, tinggi, hingga ekstrem. Validitas data juga diuji, dengan dua variabel risiko akhirnya dikeluarkan karena tidak lolos uji statistik.
Identifikasi Risiko: 84 Variabel Risiko, 3 Tahapan Proyek
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi 84 variabel risiko yang diklasifikasikan ke dalam tiga fase utama:
Tahap Perencanaan
Sebanyak 13 risiko ditemukan, termasuk keterlambatan perizinan, korupsi dan kolusi, kesalahan dalam estimasi biaya, perubahan jadwal pelaksanaan yang tidak terprediksi, hingga kegagalan dalam memahami kondisi sosial masyarakat SAD.
Tahap Pelaksanaan
Fase ini paling kompleks, dengan 61 risiko yang mencakup perubahan kebijakan, kondisi cuaca ekstrem, lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan, kekurangan tenaga kerja, pencurian material oleh warga lokal, ketidaksesuaian spesifikasi peralatan, dan bahkan sabotase di lapangan.
Tahap Pasca Konstruksi
Sebanyak 10 risiko muncul setelah pembangunan, seperti rumah tidak dihuni, kualitas bangunan tidak sesuai harapan, penerima bantuan ganda, serta kegagalan fungsi bangunan akibat kurangnya perawatan rutin.
Risiko Dominan: Faktor Sosial dan Teknis yang Paling Berpengaruh
Dari seluruh temuan, terdapat sepuluh risiko utama yang dinilai paling mempengaruhi keberhasilan proyek. Risiko pertama yang paling sering terjadi adalah change order, yaitu perubahan desain atau lingkup kerja setelah kontrak ditandatangani. Penyebabnya antara lain kesalahan desain awal, kondisi lapangan yang berbeda dari dokumen, serta spesifikasi material yang tidak tersedia di daerah terpencil.
Risiko kedua adalah kepercayaan masyarakat SAD terhadap tanah leluhur, yang membuat pembebasan lahan menjadi rumit. SAD tidak terbiasa dengan sistem kepemilikan formal, sehingga proses perizinan seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) juga mengalami hambatan.
Risiko ketiga adalah perubahan jadwal pelaksanaan proyek. Penyesuaian desain, cuaca ekstrem, dan kesulitan mobilisasi alat berat menyebabkan banyak kegiatan mundur dari rencana awal.
Selain itu, beberapa faktor teknis seperti akses lokasi yang sulit, cuaca hujan yang memperparah kondisi jalan, serta gangguan dari warga sekitar (misalnya pencurian material karena ketidaktahuan nilai benda tersebut) juga masuk dalam daftar risiko tertinggi.
Wawancara dengan lima responden kunci mengungkap detail yang lebih dalam. Misalnya, desain rumah yang awalnya menggunakan atap andulin terpaksa diganti dengan atap multiroof berlapis pasir. Alasan pergantian bukan teknis, melainkan kultural—SAD merasa takut dengan suara bising saat hujan yang dihasilkan oleh atap andulin.
Di sisi lain, desain tangga rumah panggung juga harus disesuaikan. Aslinya hanya memiliki satu pintu, tetapi atas permintaan masyarakat lokal, ditambahkan pintu belakang agar mereka bisa "keluar-masuk tanpa gangguan roh leluhur," sebagaimana kepercayaan adat mereka.
Kesulitan lain muncul dari segi perizinan. Salah satu responden menyebutkan bahwa proses IMB terganggu karena terjadi reshuffle pejabat di tingkat kabupaten. Dokumen yang sedang diproses harus diulang dari awal karena pejabat penandatangan berubah.
Tak kalah menantang, beberapa lokasi pembangunan berada di hutan lindung Taman Nasional Bukit Dua Belas, yang menyebabkan proses land clearing tertunda lama. Bahkan, alat berat harus diangkut secara manual melewati jalur tanah yang licin dan sempit.
Strategi Mitigasi Risiko: Integrasi Teknikal dan Sosial Budaya
Untuk menjawab kompleksitas risiko tersebut, penulis menyusun serangkaian strategi mitigasi yang terstruktur. Strategi ini dibagi ke dalam empat fase utama:
Perencanaan dan Desain
Proses ini harus diawali dengan survei lokasi mendalam. Setiap desain perlu mengakomodasi kepercayaan lokal dan kebiasaan masyarakat SAD. Penggunaan material juga harus mempertimbangkan ketersediaan lokal agar tidak menyebabkan delay akibat suplai yang sulit diakses.
Desain rumah bukan hanya soal struktur, tetapi simbol budaya. Oleh karena itu, arsitektur yang ramah budaya menjadi kebutuhan primer.
Pemberdayaan Masyarakat
Sosialisasi kepada SAD sejak awal sangat penting. Mereka perlu memahami manfaat rumah tersebut, termasuk aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan. Pemberdayaan dilakukan secara partisipatif agar mereka terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan.
Melibatkan masyarakat lokal dalam pembangunan, meski dalam peran sederhana seperti angkut material, menciptakan rasa memiliki dan mengurangi potensi gangguan sosial.
Pelaksanaan dan Konstruksi
Fase ini menuntut ketelitian ekstra. Tim pengawas harus berada di lokasi lebih lama, bahkan tinggal di sana jika perlu. Koordinasi dengan pemangku kepentingan lokal, termasuk tokoh adat dan pemerintah desa, menjadi kunci kelancaran.
Selain itu, pemesanan alat berat dan material harus dilakukan lebih awal, dengan antisipasi keterlambatan karena cuaca atau akses buruk. Komunikasi lintas tim, mulai dari kontraktor, pemilik proyek, hingga pengawas lapangan, harus berjalan intensif dan rutin.
Pemeliharaan dan Evaluasi
Tahap ini sering diabaikan, padahal sangat penting. Banyak rumah yang tidak dihuni atau rusak dini karena tidak ada anggaran untuk perawatan. Oleh karena itu, perlu dialokasikan dana khusus untuk maintenance, dan warga SAD dilatih untuk melakukan perawatan ringan.
Refleksi Kritis: Mengapa Penelitian Ini Relevan?
Penelitian ini sangat kontekstual namun sekaligus universal. Di satu sisi, ia spesifik mengulas tantangan pembangunan rumah adat di komunitas SAD. Di sisi lain, temuan ini dapat diterapkan pada proyek serupa di daerah-daerah dengan karakteristik budaya kuat, seperti Papua, Kalimantan pedalaman, atau NTT.
Salah satu kekuatan utama studi ini adalah menyatukan perspektif teknis dan sosial. Pendekatan mitigasi tidak hanya fokus pada alat berat atau dokumen kontrak, tapi juga pada aspek psikososial, komunikasi, dan budaya masyarakat.
Namun demikian, tantangan implementasi tetap besar. Koordinasi lintas lembaga, keterbatasan anggaran, serta birokrasi daerah sering kali menjadi batu sandungan dalam menerapkan mitigasi risiko secara konsisten.
Penutup: Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Kunci Keberhasilan
Pembangunan rumah khusus bagi masyarakat SAD bukan hanya soal “membangun atap di atas kepala.” Ia adalah proses rekonsiliasi antara modernitas dan adat, antara kebutuhan teknis dan keluhuran budaya. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat ditentukan oleh kemampuan para pelaksana untuk beradaptasi dengan nilai lokal, memperkuat komunikasi, serta mengedepankan pendekatan partisipatif.
Di era pembangunan berkelanjutan, proyek-proyek semacam ini akan semakin banyak. Oleh karena itu, hasil studi ini patut dijadikan rujukan utama dalam penyusunan kebijakan pembangunan berbasis masyarakat adat di Indonesia.
Sumber Asli Artikel:
Hazriyanti, N., Hidayat, B., & Ophiyandri, T. (2020). Manajemen Risiko Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam (SAD) Provinsi Jambi. Rang Teknik Journal, Vol. 3 No. 2, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. ISSN 2599-2081.