K3 Konstruksi

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penerapan K3 pada Proyek Konstruksi: Tinjauan Kritikal dari Studi Kasus Gedung Resto Apung Muara Angke

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan

Industri konstruksi merupakan salah satu sektor dengan risiko kecelakaan kerja tertinggi di Indonesia. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan signifikan pada angka kecelakaan kerja, dengan 234.270 kasus pada 2021, naik 5,65% dari tahun sebelumnya yang mencatat 221.740 kasus. Kondisi ini menegaskan pentingnya penerapan sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang efektif pada proyek konstruksi.

Studi yang dilakukan oleh Pajri, Widyatami, dan Mentari (2024) menganalisis faktor-faktor kunci yang mempengaruhi penerapan K3 pada proyek konstruksi Gedung Resto Apung Muara Angke, Jakarta Utara. Tinjauan ini akan mengelaborasi temuan penting dari penelitian tersebut dan mengaitkannya dengan konteks yang lebih luas dalam industri konstruksi di Indonesia.

Latar Belakang Permasalahan K3 di Indonesia

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan aspek krusial dalam industri konstruksi yang sering terabaikan. Fakta bahwa 80-85% kecelakaan kerja terjadi akibat kelalaian pekerja sendiri menunjukkan betapa pentingnya aspek manusia dalam manajemen K3. Selain kelalaian, faktor-faktor seperti perilaku tidak hati-hati, ketidakpatuhan terhadap SOP, dan pengabaian penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) menjadi kontributor utama kecelakaan kerja di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menegaskan pentingnya penerapan K3 yang komprehensif, tidak hanya berfokus pada pekerja konstruksi tetapi juga memperhatikan faktor non-pekerja dan aspek keamanan pasca-konstruksi hingga tahap pemeliharaan di sekitar lokasi proyek.

Metodologi Penelitian

Penelitian yang dilakukan Pajri et al. menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data melalui riset lapangan, kuesioner, pengutipan langsung, dan riset kepustakaan. Studi ini melibatkan 90 responden yang terdiri dari:

  • 73 responden dari kontraktor utama
  • 12 responden dari konsultan perencana/pengawas
  • 5 responden dari pemilik proyek

Profil responden didominasi oleh pekerja berusia 26-30 tahun (41,1%), berjenis kelamin laki-laki (71,1%), dengan pendidikan Strata 1 (55,6%), dan pengalaman kerja kurang dari 5 tahun (60%).

Penelitian ini menganalisis tiga variabel independen (X) yaitu:

  1. Level Jenjang Pendidikan (X1)
  2. Tingkat Jabatan (X2)
  3. Pengalaman Bekerja (X3)

Dan satu variabel dependen (Y) yaitu Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan (K3).

Hasil Analisis Deskriptif

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa semua variabel yang diteliti berada dalam kategori "tinggi" menurut persepsi responden:

  1. Level Jenjang Pendidikan (X1) memiliki rata-rata 3,791 (kategori tinggi)
    • Indikator tertinggi adalah pemahaman terhadap rambu-rambu keselamatan dan pentingnya mengikuti safety talk di tempat kerja.
  2. Tingkat Jabatan (X2) memiliki rata-rata 3,862 (kategori tinggi)
    • Indikator tertinggi adalah suasana dan hubungan kerja yang kondusif untuk bekerja.
  3. Pengalaman Bekerja (X3) memiliki rata-rata 3,683 (kategori tinggi)
    • Indikator tertinggi adalah perhatian terhadap rambu-rambu keselamatan dan kepatuhan pada SOP yang diterapkan di tempat kerja.
  4. Keamanan, Keselamatan, Kesehatan (K3) (Y) memiliki rata-rata 3,853 (kategori tinggi)
    • Indikator tertinggi adalah pemberian penindakan/hukuman terhadap pelanggaran penggunaan APD dan pelanggaran SOP.

Hasil Pengujian Hipotesis

Hasil uji regresi linier berganda menghasilkan persamaan berikut: Y = 1,227 + 0,272 X₁ + 0,334 X₂ + 0,437 X₃

Persamaan ini menunjukkan bahwa semua variabel independen (X1, X2, X3) memiliki pengaruh positif terhadap variabel dependen (Y). Kenaikan pada setiap variabel independen akan menyebabkan peningkatan pada variabel K3.

Koefisien determinasi (Adjusted R Square) sebesar 0,675 menunjukkan bahwa 67,5% variabel K3 dipengaruhi oleh ketiga variabel independen, sedangkan 32,5% sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti.

Berdasarkan nilai relatif kontribusi, Pengalaman Bekerja memberikan pengaruh paling dominan (43,99%), diikuti oleh Tingkat Jabatan (30,93%), dan Level Jenjang Pendidikan (25,08%).

Analisis Mendalam tentang Pengaruh Tiap Variabel

1. Pengaruh Level Jenjang Pendidikan terhadap K3

Tingkat pendidikan pekerja berpengaruh signifikan terhadap kesadaran dan implementasi K3. Pekerja dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi cenderung lebih mudah menerima dan menerapkan prinsip-prinsip K3. Penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang memahami rambu-rambu keselamatan dan pentingnya safety talk cenderung lebih peduli terhadap aspek keselamatan.

Temuan ini menegaskan pentingnya program pelatihan dan edukasi K3 yang berkelanjutan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pekerja. Peneliti menyarankan bahwa perusahaan konstruksi perlu mengupayakan pemberian informasi yang jelas, terperinci, dan menyeluruh tentang K3 untuk meningkatkan pengetahuan pekerja.

2. Pengaruh Tingkat Jabatan terhadap K3

Tingkat jabatan seseorang dalam hierarki organisasi proyek konstruksi berpengaruh signifikan terhadap implementasi K3. Penelitian menunjukkan bahwa komitmen pimpinan proyek sangat menentukan keberhasilan penerapan K3. Ketika pimpinan menunjukkan komitmen kuat terhadap K3, hal ini akan mendorong pekerja pada level di bawahnya untuk turut memperhatikan aspek keselamatan.

Suasana kerja yang kondusif juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi kesadaran K3. Ketika manajemen menciptakan lingkungan kerja yang mendukung implementasi K3, pekerja cenderung lebih patuh terhadap protokol keselamatan.

Para ahli dalam penelitian ini menekankan bahwa sikap level jabatan yang masih menganggap sepele K3 perlu mendapat perhatian khusus. Diperlukan komitmen kuat dari manajemen dan kedisiplinan/konsistensi para petugas safety induction dalam memberikan pemahaman tentang pentingnya K3.

3. Pengaruh Pengalaman Bekerja terhadap K3

Pengalaman bekerja memberikan kontribusi terbesar (43,99%) terhadap implementasi K3. Pekerja yang berpengalaman cenderung lebih memahami risiko dan bahaya di lokasi konstruksi, sehingga lebih waspada dan mengutamakan aspek keselamatan.

Meskipun demikian, penelitian juga menemukan fenomena menarik bahwa terkadang pekerja berpengalaman justru cenderung mengabaikan protokol keselamatan karena merasa sudah terbiasa dengan lingkungan kerja. Sebagai contoh, beberapa pekerja yang telah mengetahui peraturan tetap tidak melaksanakannya, seperti enggan menggunakan sarung tangan dan baju pelindung karena merasa kurang nyaman.

Penelitian juga menunjukkan bahwa pekerja yang bertindak dengan benar pun bisa mengalami kecelakaan kerja karena kurangnya pelatihan, pengetahuan yang terbatas, atau sikap yang tidak mendukung. Tindakan keselamatan yang benar merupakan akumulasi dari pengetahuan dan sikap yang tepat.

Penerapan K3 di Proyek Gedung Resto Apung Muara Angke

Penelitian menemukan bahwa penerapan K3 pada proyek konstruksi Gedung Resto Apung Muara Angke sudah dilaksanakan dengan baik, yang ditunjukkan dengan beberapa program dan inisiatif berikut:

  1. Program Sosialisasi K3
    • Perusahaan melakukan sosialisasi K3 kepada pekerja dan staff
    • Bekerja sama dengan pihak eksternal untuk keperluan K3 pekerja
  2. Penerapan Safety Sign dan Spanduk K3
    • Safety sign dan spanduk K3 telah terpasang di lokasi proyek
    • Symbol atau petunjuk bahaya lainnya sudah diterapkan untuk menjaga keselamatan
    • Upaya untuk mencapai target zero accident
  3. Penerapan Alat Pelindung Diri (APD)
    • APD tersedia dan memenuhi syarat (helm, rompi, body harness untuk pekerjaan di ketinggian)
    • Meskipun demikian, masih ditemukan pekerja yang tidak menggunakan APD secara konsisten
  4. Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko (IBPR)
    • IBPR dilakukan di lapangan saat terjadi kendala pengerjaan proyek
    • Sistem pengawasan dan kontrol berjalan dengan baik
    • Pelaporan dan penanganan masalah K3 dilakukan secara langsung
  5. Prosedur Job Safety Analysis (JSA)
    • JSA diterapkan untuk mencegah kecelakaan yang dapat berakibat pada timbulnya korban jiwa
    • Prosedur ini juga bertujuan mencegah kerusakan pada alat-alat kerja

Rekomendasi untuk Peningkatan Implementasi K3

Berdasarkan temuan penelitian, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk meningkatkan implementasi K3 pada proyek konstruksi:

  1. Peningkatan Program Edukasi dan Pelatihan
    • Menyelenggarakan program pelatihan K3 secara berkala untuk meningkatkan pengetahuan pekerja
    • Memberikan informasi yang jelas dan menyeluruh tentang K3
    • Meningkatkan kesadaran akan pentingnya safety talk sebelum memulai pekerjaan
  2. Penguatan Komitmen Manajemen
    • Mendorong pimpinan proyek untuk menunjukkan komitmen yang kuat terhadap K3
    • Menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk implementasi K3
    • Melakukan evaluasi K3 secara konsisten melalui inspeksi dan audit
  3. Peningkatan Pengawasan dan Sanksi
    • Meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan APD
    • Memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran protokol keselamatan
    • Menerapkan sistem reward untuk pekerja yang konsisten mematuhi peraturan K3
  4. Pemberdayaan Pekerja Berpengalaman
    • Memanfaatkan pengalaman pekerja senior untuk mentoring pekerja junior
    • Melibatkan pekerja berpengalaman dalam penyusunan prosedur keselamatan
    • Mendorong budaya saling mengingatkan antar pekerja tentang aspek keselamatan
  5. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan
    • Melakukan monitoring dan evaluasi K3 secara berkala
    • Melakukan review terhadap insiden atau near-miss untuk pembelajaran
    • Mengupdate protokol keselamatan sesuai dengan perkembangan teknologi dan standar industri

Kontribusi Penelitian dalam Konteks yang Lebih Luas

Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi K3 di industri konstruksi Indonesia. Temuan bahwa pengalaman bekerja memberikan kontribusi terbesar (43,99%) terhadap implementasi K3 menggarisbawahi pentingnya merekrut dan mempertahankan pekerja berpengalaman, sekaligus memberikan pelatihan yang memadai untuk pekerja yang kurang berpengalaman.

Selain itu, peran tingkat jabatan (30,93%) yang cukup signifikan menegaskan pentingnya pendekatan top-down dalam implementasi K3. Komitmen dari pimpinan proyek dan manajemen senior menjadi kunci keberhasilan program K3.

Meskipun level jenjang pendidikan memberikan kontribusi paling kecil (25,08%), namun tetap signifikan dan tidak bisa diabaikan. Peningkatan pengetahuan pekerja melalui program edukasi dan pelatihan tetap menjadi aspek penting dalam meningkatkan kesadaran dan implementasi K3.

Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan oleh Pajri, Widyatami, dan Mentari (2024) mengungkapkan bahwa Level Jenjang Pendidikan, Tingkat Jabatan, dan Pengalaman Bekerja secara signifikan mempengaruhi implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada proyek konstruksi Gedung Resto Apung Muara Angke. Ketiga variabel tersebut berpengaruh sebesar 67,5% terhadap implementasi K3, dengan Pengalaman Bekerja memberikan kontribusi terbesar (43,99%).

Studi ini juga menemukan bahwa penerapan K3 pada proyek tersebut sudah dilaksanakan dengan baik, ditunjukkan dengan adanya program sosialisasi K3, penerapan safety sign dan spanduk K3, penerapan APD, prosedur Job Safety Analysis (JSA), dan Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko (IBPR) yang dilaporkan ke manajemen.

Untuk mempertahankan dan meningkatkan penerapan K3, diperlukan monitoring dan evaluasi yang berkala, peningkatan program edukasi dan pelatihan, penguatan komitmen manajemen, peningkatan pengawasan dan sanksi, serta pemberdayaan pekerja berpengalaman.

Dengan memahami dan mengelola faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi K3, industri konstruksi Indonesia dapat bergerak menuju praktik kerja yang lebih aman dan sehat, yang pada akhirnya akan mengurangi angka kecelakaan kerja dan meningkatkan produktivitas.

Sumber : Pajri, S., Widyatami, F. S., & Mentari, S. (2024). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) pada Konstruksi Pembangunan Gedung Resto Apung Muara Angke. Jurnal Komposit: Jurnal Ilmu-ilmu Teknik Sipil, 8(1), 1-8.

Selengkapnya
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penerapan K3 pada Proyek Konstruksi: Tinjauan Kritikal dari Studi Kasus Gedung Resto Apung Muara Angke

K3 Konstruksi

Kegagalan Implementasi K3 di Proyek Konstruksi: Studi Kasus CV. Mupakat Jaya Teknik dan Relevansinya dengan UU Ketenagakerjaan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Mengapa K3 Krusial di Sektor Konstruksi?

Industri konstruksi di Indonesia terus berkembang pesat, menjadi motor penggerak ekonomi nasional melalui pembangunan infrastruktur. Namun, di balik kemajuan tersebut, sektor konstruksi juga menyimpan risiko kecelakaan kerja yang sangat tinggi. Data Kementerian Pekerjaan Umum (2016) menunjukkan bahwa sektor konstruksi dan manufaktur menyumbang 32% kecelakaan kerja nasional, jauh di atas sektor transportasi (9%), kehutanan (4%), dan pertambangan (2%). Fakta ini menegaskan pentingnya perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi pekerja konstruksi.

Landasan Hukum dan Konsep K3

Pemerintah Indonesia telah mengatur perlindungan pekerja melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlindungan ini meliputi:

  • Keselamatan dan kesehatan kerja
  • Perlindungan hak dasar pekerja
  • Jaminan sosial dan kesejahteraan
  • Perlindungan khusus bagi pekerja perempuan

UU No. 13/2003, khususnya Pasal 87, mewajibkan setiap perusahaan menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang terintegrasi dengan manajemen perusahaan. SMK3 diatur lebih lanjut dalam PP No. 50 Tahun 2012, bertujuan meningkatkan efektivitas perlindungan K3, mencegah kecelakaan, serta menciptakan lingkungan kerja yang aman dan produktif.

Studi Kasus: Implementasi K3 di CV. Mupakat Jaya Teknik

CV. Mupakat Jaya Teknik adalah perusahaan konstruksi yang berbasis di Blitar, Jawa Timur, dengan 25 pekerja tetap dan proyek-proyek besar seperti pembangunan gedung sekolah, jembatan, hingga kantor pemerintah. Penelitian Nur Rofiah (2016) mengkaji implementasi perlindungan K3 di perusahaan ini dari sudut pandang UU No. 13/2003 dan mashlahah mursalah (prinsip kemaslahatan dalam hukum Islam).

Temuan Utama:

  1. Penyediaan Alat Pelindung Diri (APD)
    • Perusahaan telah menyediakan APD, namun banyak pekerja enggan menggunakannya.
    • Tidak ada sanksi atau pengawasan ketat atas pelanggaran penggunaan APD.
  2. Penerapan SMK3
    • CV. Mupakat Jaya Teknik belum menerapkan SMK3 secara formal, padahal perusahaan dengan potensi bahaya tinggi diwajibkan menerapkannya.
    • Tidak ada pelatihan K3 terstruktur, audit internal, atau sistem dokumentasi insiden.
  3. Budaya K3
    • Kesadaran pekerja terhadap pentingnya K3 masih rendah.
    • Tidak ada program promosi kesehatan atau pencegahan kecelakaan yang berkelanjutan.
  4. Pengawasan dan Penegakan
    • Pengawasan internal lemah, tidak ada petugas khusus K3.
    • Pemeriksaan kesehatan pekerja tidak rutin dilakukan.

Angka-angka Penting:

  • 32% kecelakaan kerja nasional berasal dari sektor konstruksi dan manufaktur.
  • 25 pekerja tetap di CV. Mupakat Jaya Teknik, namun belum ada sistem K3 yang berjalan efektif.

Analisis Perspektif Mashlahah Mursalah

Mashlahah mursalah menekankan pentingnya kemaslahatan umum dan pencegahan mudarat (bahaya) tanpa harus menunggu dalil eksplisit dari syariat. Dalam konteks K3, perlindungan terhadap pekerja merupakan bagian dari upaya menjaga jiwa (hifz al-nafs), yang sangat ditekankan dalam maqashid syariah.

Implementasi K3 yang baik bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga perintah moral dan agama. Perlindungan ini tidak hanya bermanfaat bagi pekerja, tetapi juga meningkatkan produktivitas dan reputasi perusahaan.

Kritik dan Opini

Kegagalan penerapan K3 di CV. Mupakat Jaya Teknik mencerminkan masalah klasik di sektor konstruksi Indonesia: lemahnya budaya keselamatan, minimnya pengawasan, dan rendahnya penegakan hukum. Padahal, investasi pada K3 terbukti menurunkan angka kecelakaan, mengurangi biaya kompensasi, dan meningkatkan produktivitas.

Jika dibandingkan dengan perusahaan konstruksi besar yang sudah menerapkan SMK3 secara ketat, gap-nya sangat jelas: perusahaan besar cenderung memiliki angka kecelakaan lebih rendah, sistem pelaporan insiden yang baik, serta budaya K3 yang tertanam kuat. Sebaliknya, perusahaan skala menengah-kecil seperti CV. Mupakat Jaya Teknik sering menganggap K3 sebagai beban biaya, bukan investasi.

Studi Kasus Lain dan Tren Industri

Di tingkat nasional, beberapa perusahaan BUMN konstruksi seperti PT Wijaya Karya dan PT PP telah berhasil menurunkan angka kecelakaan kerja hingga di bawah 1% per tahun setelah menerapkan SMK3 dan program pelatihan K3 berkelanjutan. Mereka juga rutin melakukan audit, simulasi evakuasi, dan insentif bagi pekerja yang patuh pada aturan K3.

Tren global menunjukkan bahwa perusahaan yang serius menerapkan K3 mampu menghemat biaya operasional hingga 20% akibat penurunan kecelakaan dan absensi pekerja. Selain itu, sertifikasi SMK3 kini menjadi syarat wajib dalam banyak tender proyek pemerintah dan swasta.

Rekomendasi dan Solusi

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas, berikut beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan CV. Mupakat Jaya Teknik maupun perusahaan konstruksi lain:

  1. Wajibkan penggunaan APD dengan pengawasan ketat dan sanksi tegas.
  2. Segera terapkan SMK3 sesuai PP No. 50 Tahun 2012, termasuk pelatihan rutin, audit internal, dan pelaporan insiden.
  3. Tingkatkan edukasi dan budaya K3 melalui kampanye, poster, dan reward bagi pekerja yang disiplin.
  4. Libatkan pekerja dalam penyusunan SOP K3 agar mereka merasa memiliki dan memahami pentingnya keselamatan.
  5. Lakukan pemeriksaan kesehatan rutin dan monitoring kondisi lingkungan kerja.
  6. Kolaborasi dengan Dinas Tenaga Kerja untuk mendapatkan pendampingan dan pelatihan K3.

Kesimpulan

Perlindungan K3 di sektor konstruksi adalah kebutuhan mutlak, bukan sekadar formalitas hukum. Studi kasus CV. Mupakat Jaya Teknik membuktikan bahwa tanpa komitmen manajemen, pengawasan, dan edukasi yang berkelanjutan, upaya K3 hanya akan menjadi slogan tanpa makna. Implementasi K3 yang baik tidak hanya melindungi pekerja, tetapi juga membawa kemaslahatan bagi perusahaan dan masyarakat luas, sejalan dengan prinsip mashlahah mursalah.

Originalitas dan relevansi penelitian ini sangat penting untuk mendorong perubahan budaya keselamatan di sektor konstruksi Indonesia, terutama pada perusahaan menengah-kecil yang selama ini masih abai terhadap K3.

Sumber : Rofiah, N. (2016). Implementasi Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bagi Pekerja Proyek Konstruksi di CV. Mupakat Jaya Teknik (Tinjauan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dan Mashlahah Mursalah). Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah, 7(1).

Selengkapnya
Kegagalan Implementasi K3 di Proyek Konstruksi: Studi Kasus CV. Mupakat Jaya Teknik dan Relevansinya dengan UU Ketenagakerjaan

K3 Konstruksi

Evaluasi Penerapan K3 di Proyek Konstruksi: Studi Kasus New SFB Cikarang oleh PT. Dwi Tunggal Surya Jaya

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Mengapa K3 Penting di Industri Konstruksi?

Industri konstruksi di Indonesia menjadi tulang punggung pembangunan nasional, namun di balik kemajuannya, sektor ini dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar kecelakaan kerja. Kecelakaan di proyek konstruksi bukan hanya berdampak pada kerugian fisik, tapi juga ekonomi, reputasi perusahaan, hingga psikologi pekerja. Data dari penelitian ini menyoroti betapa pentingnya penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara konsisten dan terukur, terutama pada proyek-proyek besar seperti New SFB di Cikarang.

Latar Belakang dan Tantangan K3 di Proyek Konstruksi

Perpindahan ekonomi dari sektor pertanian ke industri telah mendorong pembangunan infrastruktur secara masif. Namun, karakteristik proyek konstruksi yang dinamis, lokasi kerja yang terbuka, kondisi cuaca yang berubah-ubah, dan dominasi tenaga kerja yang belum terlatih, membuat sektor ini sangat rentan terhadap kecelakaan. Kecelakaan kerja di sektor konstruksi seringkali menimpa usia produktif dan berdampak jangka panjang, baik secara materil maupun non-materil.

Pemerintah sebenarnya telah mengatur K3 melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-01/Men/1980, tetapi implementasinya di lapangan masih jauh dari optimal. Rendahnya kesadaran akan pentingnya K3 dan lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab utama masih tingginya angka kecelakaan kerja.

Studi Kasus: Proyek New SFB Cikarang oleh PT. Dwi Tunggal Surya Jaya

Penelitian yang dilakukan Wahidin, Soedarmin Soenyoto, dan Azharie Hasan ini mengambil lokasi di proyek New SFB, kawasan industri JABABEKA III Cikarang, Bekasi. Penelitian berlangsung pada November hingga Desember 2012, dengan fokus pada tiga jenis pekerjaan utama: beton, baja, dan bata.

Metodologi Penelitian

  • Metode: Deskriptif dengan analisis kuantitatif
  • Sampel: 30% dari total pekerja pada tiap bidang pekerjaan (beton, baja, bata), yaitu 30 orang
  • Teknik Pengumpulan Data: Dokumentasi, observasi terstruktur (checklist), dan wawancara terstruktur dengan project manager, kepala seksi K3, kepala teknik, supervisor, dan pekerja.

Hasil Penelitian: Data Capaian Penerapan K3

Penelitian ini mengukur tingkat penerapan K3 pada tiga jenis pekerjaan utama di proyek New SFB:

  • Pemasangan Rangka Baja: 81,48%
  • Pekerjaan Beton: 78,81%
  • Pemasangan Bata: 74,43%

Angka-angka ini menunjukkan bahwa secara umum penerapan K3 sudah cukup baik, namun masih ada ruang perbaikan, terutama pada pekerjaan bata yang memiliki tingkat penerapan terendah.

Studi Kasus Lapangan

Dari hasil observasi dan wawancara, ditemukan beberapa hal penting:

  • Pada pekerjaan baja, penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti helm, sarung tangan, dan sepatu safety sudah cukup konsisten, namun masih ada beberapa pekerja yang mengabaikan aturan karena alasan kenyamanan.
  • Pada pekerjaan beton, risiko terpeleset dan tertimpa material masih sering terjadi, meskipun prosedur K3 sudah disosialisasikan.
  • Pada pekerjaan bata, tingkat kepatuhan pada K3 paling rendah. Banyak pekerja tidak menggunakan masker dan sarung tangan, terutama saat cuaca panas.

Analisis Kritis dan Opini

Penerapan K3 di proyek New SFB sudah berada di atas rata-rata nasional, namun belum mencapai standar ideal. Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain:

  • Budaya K3: Masih ada pekerja yang menganggap K3 sebagai formalitas, bukan kebutuhan.
  • Pengawasan: Pengawasan dari manajemen sudah ada, tetapi belum maksimal, terutama pada jam-jam sibuk.
  • Pelatihan: Pelatihan K3 sudah dilakukan, namun perlu lebih sering dan interaktif agar pekerja benar-benar memahami risiko dan cara pencegahan kecelakaan.

Jika dibandingkan dengan proyek-proyek konstruksi di negara maju, penerapan K3 di Indonesia memang masih tertinggal. Di Jepang dan Australia, misalnya, tingkat kepatuhan terhadap K3 bisa mencapai lebih dari 90% karena adanya insentif, sanksi tegas, dan budaya kerja yang disiplin. Di Indonesia, masih banyak pekerja yang mengabaikan APD karena dianggap mengganggu kenyamanan atau memperlambat kerja.

Tren Industri dan Pembelajaran dari Studi Lain

Tren global menunjukkan bahwa investasi pada K3 dapat menurunkan biaya operasional hingga 20% karena berkurangnya kecelakaan, absensi, dan kompensasi. Di Indonesia, beberapa perusahaan besar mulai menerapkan sistem reward bagi pekerja yang patuh pada K3, serta audit internal rutin untuk memastikan standar K3 tetap terjaga.

Penelitian lain oleh Angkat (2008) juga menemukan bahwa biaya kecelakaan kerja bisa jauh lebih besar daripada biaya pencegahan melalui K3. Ini meliputi biaya pengobatan, kompensasi, premi asuransi, hingga kerugian reputasi dan peluang bisnis.

Rekomendasi dan Solusi

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, berikut beberapa rekomendasi untuk meningkatkan penerapan K3 di proyek konstruksi seperti New SFB:

  1. Tingkatkan edukasi dan pelatihan K3 secara berkala agar pekerja benar-benar memahami pentingnya K3.
  2. Perkuat pengawasan di lapangan, terutama pada jam-jam sibuk dan pekerjaan dengan risiko tinggi.
  3. Berikan insentif bagi pekerja yang patuh pada aturan K3 dan sanksi tegas bagi pelanggar.
  4. Libatkan pekerja dalam penyusunan SOP K3 agar mereka merasa memiliki dan lebih bertanggung jawab.
  5. Perbarui dan lengkapi fasilitas APD sesuai kebutuhan dan kenyamanan pekerja.
  6. Lakukan audit internal secara rutin untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kelemahan dalam penerapan K3.

Kesimpulan

Penerapan K3 di proyek New SFB Cikarang oleh PT. Dwi Tunggal Surya Jaya sudah cukup baik, terutama pada pekerjaan baja dan beton, namun masih perlu peningkatan pada pekerjaan bata. Tantangan utama terletak pada budaya kerja, pengawasan, dan pelatihan yang berkelanjutan. Dengan komitmen manajemen, edukasi yang efektif, serta insentif dan sanksi yang jelas, penerapan K3 dapat ditingkatkan sehingga risiko kecelakaan kerja dapat diminimalkan.

Penelitian ini memberikan gambaran nyata tentang kondisi K3 di lapangan, sekaligus menjadi alarm bagi seluruh pelaku industri konstruksi untuk tidak menganggap remeh pentingnya keselamatan kerja. Dengan penerapan K3 yang optimal, bukan hanya pekerja yang terlindungi, tetapi juga perusahaan dan masyarakat luas yang diuntungkan.

Sumber : Wahidin, Soedarmin Soenyoto, & Azharie Hasan. (2014). Penerapan K3 pada Pelaksanaan Proyek New SFB di Cikarang yang Dilaksanakan PT. Dwi Tunggal Surya Jaya. Jurnal Bentang, 2(2).

Selengkapnya
Evaluasi Penerapan K3 di Proyek Konstruksi: Studi Kasus New SFB Cikarang oleh PT. Dwi Tunggal Surya Jaya

K3 Konstruksi

Membedah Budaya Keselamatan Kerja: Mengapa Industri Konstruksi Swedia Lebih Aman daripada Denmark?

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Mengapa Budaya Keselamatan Kerja Sangat Penting di Industri Konstruksi?

Industri konstruksi di seluruh dunia dikenal sebagai salah satu sektor paling berisiko tinggi terhadap kecelakaan kerja. Dalam data global tahun 2003, tercatat sekitar 360.000 kecelakaan kerja fatal, dan di Eropa sendiri, 4,8% pekerja konstruksi melaporkan mengalami cedera dalam satu tahun. Angka ini menegaskan bahwa keselamatan kerja bukan hanya soal aturan dan alat pelindung, tetapi juga budaya yang tumbuh di lingkungan kerja.

Swedia dan Denmark, dua negara Skandinavia yang secara sosial dan budaya sangat mirip, justru menunjukkan perbedaan mencolok dalam tingkat kecelakaan kerja di sektor konstruksi. Denmark memiliki tingkat kecelakaan fatal 33% lebih tinggi daripada Swedia. Bahkan, pada proyek besar seperti Jembatan dan Terowongan Öresund, kecelakaan di pihak Denmark empat kali lebih banyak dibandingkan Swedia. Mengapa bisa demikian, padahal kedua negara ini sering dianggap satu klaster budaya?

Studi Kasus: Eksplorasi Budaya Keselamatan Kerja Swedia vs Denmark

Penelitian oleh Grill, Grytnes, dan Törner (2015) menggunakan pendekatan kualitatif dengan mewawancarai lima manajer konstruksi dan empat pekerja dari kedua negara. Tujuannya: menangkap persepsi profesional tentang perbedaan budaya keselamatan yang berdampak pada perilaku dan hasil keselamatan kerja.

Metode Penelitian

  • Wawancara semi-terstruktur dengan 9 informan (4 Swedia, 5 Denmark) dari berbagai latar belakang perusahaan, posisi, dan pengalaman.
  • Analisis data menggunakan semantic thematic analysis untuk menemukan tema utama yang membedakan budaya keselamatan di kedua negara.

Tujuh Tema Utama Budaya Keselamatan Kerja

Hasil penelitian menemukan tujuh tema utama yang membedakan budaya keselamatan di industri konstruksi Swedia dan Denmark:

1. Manajemen Partisipatif vs Direktif

  • Swedia: Manajemen cenderung partisipatif, mengajak pekerja terlibat dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, baik di tahap desain maupun pelaksanaan proyek.
  • Denmark: Gaya manajemen lebih direktif, di mana keputusan dan instruksi lebih banyak datang dari atasan tanpa banyak melibatkan pekerja.

2. Tantangan terhadap Otoritas vs Kepatuhan

  • Swedia: Budaya kerja mendorong pekerja untuk berani menantang otoritas dan mengajukan pertanyaan jika ada potensi bahaya.
  • Denmark: Pekerja cenderung patuh pada instruksi tanpa banyak bertanya, sehingga potensi bahaya kadang terabaikan.

3. Kepatuhan terhadap Aturan

  • Swedia: Kepatuhan terhadap aturan keselamatan sangat tinggi, didorong oleh norma sosial dan pengawasan kolektif.
  • Denmark: Ada kecenderungan untuk “mengakali” aturan demi efisiensi, sehingga aturan keselamatan sering dilanggar.

4. Kerja Sama vs Konflik

  • Swedia: Kerja sama antara pekerja dan manajemen sangat menonjol, menciptakan lingkungan yang saling mendukung untuk keselamatan.
  • Denmark: Lebih banyak konflik dan kurangnya rasa saling percaya antara pekerja dan manajemen.

5. Kehati-hatian vs Keberanian Berlebihan

  • Swedia: Pekerja dikenal lebih berhati-hati dan sangat memperhatikan pencegahan kecelakaan.
  • Denmark: Ada kecenderungan “cockiness” atau keberanian berlebihan yang justru meningkatkan risiko.

6. Perencanaan Jangka Panjang

  • Swedia: Menekankan perencanaan dan manajemen jangka panjang, termasuk dalam aspek keselamatan.
  • Denmark: Lebih sering mengambil keputusan ad-hoc yang kadang mengorbankan aspek K3.

7. Keamanan Kerja dan Tenur

  • Swedia: Keamanan kerja dan masa kerja panjang mendorong pekerja untuk lebih peduli pada keselamatan jangka panjang.
  • Denmark: Kontrak kerja lebih pendek, sehingga pekerja lebih fokus pada hasil cepat daripada keselamatan jangka panjang.

Studi Lapangan: Angka dan Fakta

  • Tingkat kecelakaan fatal di Denmark 33% lebih tinggi daripada Swedia.
  • Pada proyek Öresund Bridge & Tunnel, kecelakaan di pihak Denmark empat kali lebih banyak dibandingkan Swedia.
  • Kepatuhan terhadap aturan keselamatan di Swedia lebih tinggi, didukung budaya kerja sama dan partisipasi.

Analisis Kritis: Mengapa Swedia Lebih Aman?

Kunci utama keberhasilan Swedia terletak pada budaya partisipatif, kepatuhan pada aturan, dan kerja sama. Pekerja merasa memiliki suara dalam pengambilan keputusan, sehingga lebih peduli pada keselamatan diri dan rekan kerja. Norma sosial yang menuntut kepatuhan, serta pengawasan kolektif, menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman.

Sebaliknya, budaya kerja di Denmark yang lebih individualistik dan direktif justru membuat pekerja kurang terlibat dalam upaya pencegahan kecelakaan. Sikap “cockiness” atau keberanian berlebihan, serta kecenderungan mengabaikan aturan demi efisiensi, memperbesar risiko kecelakaan.

Perbandingan dengan Penelitian Lain & Tren Global

Penelitian Christian dkk. (2010) dan Tholén dkk. (2009) juga menegaskan bahwa iklim keselamatan (safety climate) dan kualitas kepemimpinan sangat berpengaruh pada perilaku keselamatan pekerja. Negara-negara dengan budaya kerja partisipatif dan kepemimpinan yang mendukung, cenderung memiliki tingkat kecelakaan lebih rendah.

Di negara maju lain seperti Jepang dan Australia, budaya pelaporan insiden, pelatihan berkelanjutan, dan reward system untuk pekerja yang patuh pada K3 juga terbukti efektif menurunkan angka kecelakaan.

Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi Indonesia

Industri konstruksi Indonesia dapat belajar banyak dari model Swedia:

  • Mendorong partisipasi pekerja dalam pengambilan keputusan terkait K3.
  • Membangun budaya kepatuhan melalui norma sosial, bukan hanya sanksi.
  • Meningkatkan kerja sama lintas level organisasi.
  • Memperkuat perencanaan dan keamanan kerja jangka panjang.

Faktor-faktor ini tidak hanya menurunkan kecelakaan, tetapi juga meningkatkan produktivitas dan loyalitas pekerja.

Rekomendasi untuk Praktisi K3 dan Manajemen Proyek

  1. Adopsi Manajemen Partisipatif: Libatkan pekerja dalam identifikasi bahaya dan penyusunan SOP K3.
  2. Bangun Budaya Kepatuhan: Jadikan kepatuhan sebagai norma bersama, bukan sekadar kewajiban hukum.
  3. Perkuat Kerja Sama: Ciptakan forum komunikasi rutin antara manajemen dan pekerja.
  4. Fokus pada Pencegahan: Prioritaskan pelatihan dan edukasi pencegahan kecelakaan.
  5. Jaga Keamanan Kerja: Upayakan kontrak kerja jangka panjang agar pekerja lebih peduli pada keselamatan.

Kesimpulan

Budaya keselamatan adalah fondasi utama untuk menurunkan angka kecelakaan kerja di industri konstruksi. Studi ini membuktikan bahwa meski Swedia dan Denmark sangat mirip secara budaya dan sistem sosial, perbedaan dalam gaya manajemen, kepatuhan, dan kerja sama menghasilkan dampak besar pada keselamatan kerja.

Swedia membuktikan bahwa partisipasi, kepatuhan, dan kerja sama adalah kunci sukses dalam membangun budaya keselamatan yang efektif. Industri konstruksi di negara lain, termasuk Indonesia, dapat mengambil pelajaran penting dari model ini untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, produktif, dan berkelanjutan.

Sumber : Grill, M., Grytnes, R., & Törner, M. (2015). Approaching safety in the Swedish and Danish construction industry: Professionals’ perceptions of safety culture differences.

Selengkapnya
Membedah Budaya Keselamatan Kerja: Mengapa Industri Konstruksi Swedia Lebih Aman daripada Denmark?

K3 Konstruksi

Membedah Praktik K3 di Proyek Konstruksi Lagos: Tantangan, Budaya, dan Solusi Nyata

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Mengapa K3 di Industri Konstruksi Masih Jadi Masalah Global?

Industri konstruksi di seluruh dunia dikenal sebagai sektor paling rentan terhadap kecelakaan kerja. Menurut ILO (2005), setiap tahun 2,3 juta orang meninggal akibat kecelakaan dan penyakit kerja, dengan 313 juta kecelakaan non-fatal terjadi setiap tahun. Bahkan, 20–40% kematian akibat kerja di negara industri terjadi di sektor konstruksi. Di Afrika Selatan, tingkat fatalitas mencapai 19,2 per 100.000 pekerja, sedikit lebih rendah dari rata-rata sub-Sahara (21 per 100.000). Nigeria sendiri, meski menjadi anggota ILO, belum sepenuhnya menerapkan standar dan kebijakan K3 secara nasional.

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa praktik K3 yang buruk bukan hanya masalah teknis, tapi juga budaya, ekonomi, dan regulasi. Penelitian Kukoyi & Smallwood (2017) secara khusus menyoroti praktik K3 di Lagos, Nigeria, yang menjadi cerminan tantangan serupa di negara-negara berkembang lainnya.

Studi Kasus: Praktik K3 di Proyek Konstruksi Lagos

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi langsung di lapangan. Lima pekerja dari profesi berbeda (tukang atap, besi, listrik, cat, dan batu) menjadi responden utama. Seluruhnya pria dewasa berusia 30–49 tahun, memiliki pengalaman kerja lebih dari 8 tahun, namun mayoritas hanya lulusan sekolah dasar atau menengah dan belajar secara informal.

Temuan Utama

1. Minimnya Pelatihan dan Sosialisasi K3

  • Hampir semua pekerja mengaku tidak pernah mendapat pelatihan K3. R5 menyatakan, “Tidak pernah ada pelatihan atau pertemuan K3 sejak saya bekerja di sini.”
  • Pekerja bahkan menganggap pelatihan K3 tidak penting, karena belum pernah diperkenalkan atau diwajibkan oleh kontraktor.

2. Persepsi Risiko dan Penggunaan APD

  • Mayoritas pekerja menyadari bahwa pekerjaan mereka berisiko tinggi, namun tidak memahami pentingnya penggunaan alat pelindung diri (APD).
  • Banyak pekerja tidak menggunakan APD karena tidak tahu cara pakai, merasa tidak nyaman, atau menganggapnya tidak perlu.
  • Faktor budaya dan ekonomi juga berperan: pekerja menilai risiko sebagai bagian dari pekerjaan, dan upah rendah membuat mereka enggan berinvestasi pada keselamatan pribadi.

3. Komitmen Manajemen dan Keterlibatan Pekerja

  • Tidak ada kebijakan atau program K3 yang jelas dari pihak kontraktor.
  • Kontraktor lebih fokus pada keuntungan, memilih pekerja murah tanpa pelatihan, dan enggan mengeluarkan biaya untuk APD atau pelatihan K3.
  • Tidak ada keterlibatan pekerja dalam pengambilan keputusan terkait K3, sehingga mereka merasa tidak punya suara.

4. Faktor Sosial, Budaya, dan Ekonomi

  • Budaya lokal dan kepercayaan agama turut memengaruhi sikap terhadap risiko dan keselamatan.
  • Mayoritas pekerja belajar dari pengalaman sendiri atau rekan kerja, bukan dari pelatihan formal.
  • Kondisi ekonomi memaksa pekerja menerima risiko demi penghasilan.

Analisis Kritis: Mengapa K3 Gagal Diterapkan Secara Efektif?

Kegagalan penerapan K3 di Lagos bukan hanya soal kurangnya regulasi, tapi juga minimnya edukasi, lemahnya komitmen manajemen, dan pengaruh budaya. Beberapa faktor utama yang teridentifikasi:

  • Kurangnya pengawasan dan sanksi: Tanpa pengawasan dari pemerintah atau asosiasi profesi, kontraktor cenderung abai terhadap K3.
  • Minimnya insentif ekonomi: Pekerja berpenghasilan rendah tidak melihat manfaat langsung dari investasi pada keselamatan.
  • Budaya kerja informal: Sistem magang dan pembelajaran non-formal mendominasi, sehingga pengetahuan K3 sangat terbatas.
  • Ketiadaan sertifikasi lokal: Tidak ada standar atau sertifikasi K3 yang diakui secara luas, sehingga perusahaan tidak merasa terikat menerapkan K3.

Studi Banding & Tren Global

Di negara maju, seperti Jepang, Australia, dan Swedia, penerapan K3 didorong oleh regulasi ketat, budaya pelaporan insiden, pelatihan berkelanjutan, dan sistem reward bagi pekerja yang patuh. Di Nigeria dan banyak negara berkembang lain, budaya keselamatan masih lemah dan K3 sering dianggap beban, bukan investasi.

Penelitian serupa di Asia Tenggara menunjukkan bahwa pelatihan K3 secara rutin dan keterlibatan pekerja dalam penyusunan SOP mampu menurunkan kecelakaan kerja hingga 30%. Sementara itu, di Nigeria, tingkat kecelakaan dan fatalitas tetap tinggi karena faktor-faktor yang telah disebutkan di atas.

Rekomendasi Solusi dan Perubahan Nyata

Berdasarkan temuan dan analisis, berikut beberapa rekomendasi konkret untuk meningkatkan K3 di proyek konstruksi Lagos dan negara berkembang lain:

1. Wajibkan Pelatihan K3 Lokal

  • Pemerintah dan asosiasi profesi harus mewajibkan sertifikasi K3 sebelum pekerja boleh terjun ke proyek.

2. Sosialisasi dan Edukasi Berkelanjutan

  • Lakukan kampanye K3 dengan pendekatan budaya lokal, gunakan bahasa sehari-hari, dan libatkan tokoh masyarakat.

3. Insentif dan Sanksi

  • Berikan insentif bagi kontraktor dan pekerja yang mematuhi K3, serta sanksi tegas bagi pelanggar.

4. Libatkan Pekerja dalam Pengambilan Keputusan

  • Bentuk forum pekerja untuk membahas K3, sehingga mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab.

5. Kolaborasi Multistakeholder

  • Libatkan pemerintah, kontraktor, serikat pekerja, dan LSM dalam penyusunan dan pengawasan kebijakan K3.

6. Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum

  • Perlu regulasi nasional yang jelas dan penegakan hukum yang konsisten agar K3 tidak hanya menjadi formalitas.

Opini, Kritik, dan Implikasi Lebih Luas

Penelitian ini mengungkap realita pahit di lapangan: K3 sering diabaikan karena dianggap tidak menghasilkan keuntungan langsung. Namun, jika dilihat dari perspektif jangka panjang, kecelakaan kerja justru meningkatkan biaya operasional melalui penurunan produktivitas, biaya pengobatan, dan kerugian reputasi.

Kritik utama terhadap sistem K3 di Nigeria adalah absennya keterlibatan pekerja dan lemahnya kepemimpinan manajemen. Jika hanya mengandalkan inisiatif individu, perubahan tidak akan terjadi. Dibutuhkan perubahan sistemik, mulai dari edukasi, regulasi, hingga perubahan budaya kerja.

Perbandingan dengan negara lain menunjukkan bahwa investasi pada K3 bukan hanya menyelamatkan nyawa, tapi juga meningkatkan efisiensi dan daya saing industri konstruksi. Indonesia dan negara berkembang lain bisa mengambil pelajaran dari studi ini, terutama dalam membangun budaya keselamatan berbasis komunitas dan regulasi yang kuat.

Kesimpulan

Praktik K3 di proyek konstruksi Lagos masih jauh dari ideal. Minimnya pelatihan, lemahnya komitmen manajemen, dan pengaruh budaya serta ekonomi menjadi tantangan utama. Namun, perubahan tetap mungkin dilakukan dengan pendekatan sistemik: edukasi, regulasi, insentif, dan keterlibatan pekerja.

Studi ini menegaskan bahwa keselamatan kerja bukan sekadar formalitas, melainkan investasi jangka panjang untuk keberlanjutan industri konstruksi. Budaya keselamatan harus dibangun dari bawah, melibatkan semua pihak, dan disesuaikan dengan konteks lokal agar benar-benar efektif.

Sumber : Kukoyi, P. O., & Smallwood, J. J. (2017). A Qualitative Study of Health and Safety (H&S) Construction Practices in Lagos. Journal of Construction Business and Management, 1(1), 1-7.

Selengkapnya
Membedah Praktik K3 di Proyek Konstruksi Lagos: Tantangan, Budaya, dan Solusi Nyata

K3 Konstruksi

Fitur Proyek Konstruksi Menyebabkan Kecelakaan Kerja Jika Tidak Direncanakan Sejak Awal

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam proyek konstruksi seringkali diasosiasikan dengan tindakan di lapangan, seperti penggunaan alat pelindung diri. Namun, studi oleh Manu, Ankrah, Proverbs, dan Suresh menyoroti bahwa banyak kecelakaan kerja justru disebabkan oleh keputusan yang dibuat pada tahap awal proyek—sebelum satu bata pun diletakkan.

Studi ini meneliti secara empiris fitur proyek konstruksi (Construction Project Features/CPFs)—seperti desain yang kompleks, lokasi terbatas, sistem pengadaan, dan metode konstruksi—yang berpotensi menyebabkan kecelakaan kerja. Data diperoleh melalui wawancara dan survei pada lebih dari 180 profesional konstruksi di Inggris.

Konsep CPFs dan Bahayanya

CPFs adalah karakteristik organisasi, fisik, dan operasional dari proyek yang ditentukan sebelum konstruksi dimulai. Ini mencakup keputusan klien, perancang, dan manajer proyek. Contohnya:

  • Tingkat ketinggian bangunan
  • Kompleksitas desain
  • Lokasi sempit (misalnya pusat kota)
  • Durasi proyek yang sempit
  • Subkontrak berlapis

Berdasarkan model teori kecelakaan seperti Constraint–Response Model (Suraji et al., 2001) dan ConCA Model (Haslam et al., 2005), CPFs memunculkan faktor penyebab kecelakaan di lapangan—disebut proximate factors seperti kerja di ketinggian, kemacetan area kerja, dan kesulitan membangun.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode campuran:

  1. Wawancara dengan 11 profesional konstruksi dengan rata-rata pengalaman 26 tahun. Mereka mengkonfirmasi bahwa desain kompleks, lokasi terbatas, dan waktu yang mepet meningkatkan risiko kecelakaan.
  2. Survei kuantitatif kepada 1.000 kontraktor, menghasilkan 184 respon valid. Survei mengukur tiga hal:
    • Potensi CPFs menyebabkan kecelakaan
    • Seberapa umum proximate factors dalam CPF
    • Seberapa besar proximate factors memicu kecelakaan

Data diolah menggunakan regresi linear dan moderasi dengan SPSS dan R Software.

Temuan Kunci

1. Fitur Proyek yang Paling Berisiko Tinggi

Dari 22 CPF yang dinilai, demolition, konstruksi bawah tanah, durasi proyek ketat, dan desain kompleks dinilai memiliki tingkat risiko tertinggi terhadap kecelakaan:

  • Demolition: skor 3.17 dari 5
  • Konstruksi bawah tanah: 2.83
  • Durasi ketat: 2.83
  • Desain kompleks: 2.61

Sedangkan fitur dengan potensi paling rendah antara lain:

  • Desain sederhana: 1.54
  • Subkontrak tunggal: 1.62
  • Lokasi tidak padat: 1.79

2. Keterkaitan Statistis yang Signifikan

Hipotesis H1 dan H2 diuji dan keduanya terbukti signifikan:

  • H1: Semakin sering faktor bahaya muncul dalam CPF, semakin besar potensi CPF menyebabkan kecelakaan (β = 0.77, p < 0.001).
  • H2: Faktor bahaya (proximate factor) memperkuat hubungan ini, seperti efek ganda antara desain kompleks dan kesulitan membangun (β = 0.24, p < 0.001).

Model menjelaskan 85% variansi potensi CPF terhadap kecelakaan, angka yang sangat kuat dalam riset sosial.

Contoh Nyata dari Industri

Beberapa kutipan dari profesional menunjukkan realitas keras di lapangan:

"A complex project brings more risk, a restricted site brings more risk, a tight duration brings more risk and a high rise also brings more risk." – Project Manager

“The two greatest factors that influence accidents on site are time constraints and design buildability.” – H&S Manager

Diskusi dan Analisis Tambahan

Meskipun metode pengadaan seperti Design and Build sering dianggap lebih aman, data menunjukkan potensi kecelakaan tetap moderat, kemungkinan karena:

  • Budaya kerja kolaboratif belum sepenuhnya diterapkan.
  • Fragmentasi tim proyek masih terjadi bahkan dalam sistem pengadaan yang seharusnya kolaboratif.

Hal serupa berlaku untuk pre-assembly. Meski secara teori lebih aman karena lebih sedikit aktivitas di lokasi, data menunjukkan risikonya tidak jauh berbeda dari metode tradisional. Ini mungkin karena mekanisasi kerja di lokasi juga meningkat.

Implikasi untuk Perencanaan Pra-Konstruksi

Keputusan yang diambil di awal proyek sangat menentukan keselamatan. Studi ini menyarankan:

  • Gunakan CPF dengan risiko moderat, bukan tinggi, jika memungkinkan.
  • Atur waktu proyek secara realistis—deadline sempit meningkatkan risiko signifikan.
  • Bangun sistem desain yang memperhitungkan aspek buildability (kemudahan membangun) sejak awal.
  • Terapkan strategi kontrol risiko seperti memperkecil prevalensi proximate factor atau membuatnya lebih aman melalui regulasi teknis dan pelatihan.

Kesimpulan

Fitur proyek konstruksi memiliki pengaruh nyata dan signifikan terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Bukan hanya aktivitas di lokasi, tetapi keputusan awal—terkait desain, jadwal, dan metode pelaksanaan—yang menjadi akar dari banyak insiden.

Dengan pendekatan berbasis data dan uji statistik yang kuat, studi ini membuktikan bahwa keselamatan harus dimulai sejak tahap perencanaan, bukan saat helm dibagikan. Memahami dan mengelola CPFs adalah langkah awal yang krusial untuk menurunkan angka kecelakaan kerja di sektor konstruksi.

Sumber Artikel: Manu, P., Ankrah, N., Proverbs, D., & Suresh, S. (2013). The Health and Safety Impact of Construction Project Features. Engineering, Construction and Architectural Management, 20(6), 571–589. https://doi.org/10.1108/ECAM-07-2012-007

Selengkapnya
Fitur Proyek Konstruksi Menyebabkan Kecelakaan Kerja Jika Tidak Direncanakan Sejak Awal
« First Previous page 27 of 1.119 Next Last »