Tata Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Strategi Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Jawa Timur – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


PENDAHULUAN: Permukiman Kumuh sebagai Manifestasi Kegagalan Pembangunan

Konstitusi Republik Indonesia secara eksplisit menjamin hak setiap warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.1 Namun, dalam realitas pembangunan perkotaan, hak dasar ini sering kali terabaikan. Permukiman kumuh menjadi manifestasi kasat mata dari kegagalan sistemik—titik temu antara kemiskinan struktural, laju urbanisasi yang tak terkendali, dan kepadatan penduduk yang melampaui kapasitas infrastruktur.1

Kawasan kumuh dicirikan oleh kondisi hunian yang jauh dari kelayakan. Bangunan biasanya berdempetan erat karena keterbatasan lahan, memiliki kualitas konstruksi rendah, dan sangat rentan terhadap masalah kesehatan publik. Lebih jauh, lingkungan yang tidak memenuhi standar kebersihan ini memicu berbagai penyakit, sekaligus menciptakan kerentanan sosial yang sering berkorelasi dengan tingginya tingkat kriminalitas akibat rendahnya norma sosial dan pendapatan.1

Data menunjukkan urgensi penanganan masalah ini. Indonesia tercatat memiliki sekitar 9,21% tingkat permukiman kumuh yang tersebar di berbagai wilayah.1 Mengatasi angka ini bukan hanya tugas pemerintah pusat, melainkan memerlukan intervensi kebijakan yang terdesentralisasi, melibatkan kolaborasi aktif antara pemerintah daerah dan masyarakat. Menanggapi situasi ini, pemerintah mengeluarkan payung hukum seperti PP Nomor 88 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 14/PRT/M/2018 sebagai upaya mendasar untuk mengurangi dan mencegah munculnya kawasan kumuh baru.1

Inisiatif utama yang dirancang untuk mewujudkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yakni kota tanpa permukiman kumuh pada tahun 2019, adalah Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh). Program ini mengusung pendekatan unik, menjadikan pemerintah daerah sebagai nahkoda utama penanganan, tetapi meletakkan masyarakat sebagai subyek pembangunan melalui revitalisasi Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM).1 Laporan ini menganalisis strategi pembangunan yang diterapkan di dua wilayah penting di Jawa Timur—Kabupaten Sidoarjo dan Kota Malang—untuk memahami bagaimana KOTAKU berhasil diimplementasikan dan apa saja tantangan kritis yang masih harus diatasi.

 

KOTAKU: Merumuskan Ulang Kolaborasi Melalui Masyarakat

Program KOTAKU diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya. Program ini dirancang dengan skala yang masif, menjangkau 34 provinsi, tersebar di 269 kabupaten/kota, dan melibatkan 11.067 desa/kelurahan.1 Tujuan umum program ini sangat ambisius: meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan, guna mewujudkan permukiman yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan.1

Filosofi inti KOTAKU adalah kolaborasi dan pemberdayaan. Strategi ini secara tegas menempatkan Pemerintah Daerah sebagai "panglima" atau "nahkoda" yang bertanggung jawab penuh atas perencanaan dan pelaksanaan, sementara Pemerintah Pusat berfungsi sebagai pendamping dan fasilitator kondisi kondusif.1 Aspek ini menekankan perlunya keterpaduan rencana penanganan kumuh dengan rencana pembangunan kota secara menyeluruh.1

Prinsip Tri-Daya dan Revitalisasi BKM

Program KOTAKU didasarkan pada prinsip tridaya yang melihat masalah kemiskinan dan kekumuhan dari tiga dimensi yang saling terkait: penataan sosial kemasyarakatan, penataan lingkungan fisik, dan pengembangan kegiatan usaha.1 Pendekatan ini menunjukkan pemahaman bahwa perbaikan infrastruktur semata tidak akan berkelanjutan tanpa disertai peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi lokal.1

Dalam kerangka ini, peran masyarakat diarusutamakan melalui Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM). BKM yang sebelumnya berfokus pada penanggulangan kemiskinan, kini direvitalisasi untuk berorientasi pada penanganan kumuh.1

  • Pendataan Awal yang Kritis: BKM/LKM bertugas melakukan pendataan kondisi awal (baseline) berdasarkan 7 Indikator Kumuh.1 Data ini sangat penting karena berfungsi sebagai dasar penentuan prioritas kegiatan pembangunan.
  • Akselerator Pembangunan: Keterlibatan BKM dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dianggap sebagai kunci yang dapat mempercepat tercapainya permukiman layak huni.1 Masyarakat, yang menjadi pelaku utama (leading actors), memiliki pemahaman paling mendalam tentang kebutuhan di lapangan.

Tujuh Dimensi Kekumuhan KOTAKU

Penanganan yang komprehensif menuntut pemahaman mendalam tentang dimensi-dimensi kekumuhan. Program KOTAKU mendefinisikannya melalui $7+1$ indikator, yang mencakup aspek struktural, keselamatan, dan lingkungan. Isu-isu ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperburuk kondisi permukiman:

  1. Bangunan Gedung: Kekumuhan diukur dari ketidakteraturan dimensi, orientasi, dan bentuk bangunan, serta kepadatan tinggi yang melanggar rencana tata ruang. Ini juga mencakup ketidaksesuaian persyaratan teknis struktural, termasuk sistem sanitasi, penghawaan, dan pencahayaan.1
  2. Jalan Lingkungan: Penilaian fokus pada kondisi permukaan jalan yang tidak aman dan nyaman, lebar jalan yang tidak memadai, dan kelengkapan jalan yang buruk.1
  3. Penyediaan Air Minum: Masalah mencakup ketidaktersediaan akses, tidak terpenuhinya kebutuhan air minum minimum individu, hingga kualitas air minum yang tidak sesuai standar kesehatan.1
  4. Drainase Lingkungan: Kekumuhan terjadi ketika sistem drainase tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan, menimbulkan bau, dan yang paling krusial, tidak terhubung dengan sistem drainase perkotaan yang lebih besar.1
  5. Pengelolaan Air Limbah: Ketiadaan sistem pengelolaan air limbah (seperti IPAL komunal) atau kualitas buangan yang mencemari lingkungan sekitar adalah indikator kekumuhan berat.1
  6. Pengelolaan Persampahan: Ditandai dengan ketidaktersediaan sistem, sarana, dan prasarana pengelolaan persampahan, yang menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius.1
  7. Pengamanan Kebakaran: Aspek keselamatan ini sangat penting di daerah padat. Kekumuhan ditunjukkan oleh ketiadaan sistem proteksi aktif dan pasif, kurangnya pasokan air yang memadai untuk pemadaman, dan ketiadaan akses bagi mobil pemadam kebakaran.1
  8. Ruang Terbuka Publik (+1): Mencakup ketiadaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non-Hijau/Ruang Terbuka Publik (RTP), yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan tempat interaksi sosial.1

Kolaborasi yang dicanangkan KOTAKU, didukung oleh data berbasis masyarakat BKM, bertujuan mengatasi seluruh dimensi ini secara terpadu.

 

Kisah Sukses Sidoarjo: Ketika Infrastruktur Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten Sidoarjo, yang memiliki peran penting sebagai pendukung utama ibu kota Jawa Timur, menjadi contoh studi kasus yang menonjol dalam keberhasilan implementasi KOTAKU.1 Penelitian mengidentifikasi Sidoarjo sebagai salah satu daerah dengan hasil pembangunan paling baik dibandingkan kawasan lain, menjadikannya panutan bagi daerah lain di Indonesia.1

Regulasi Lokal sebagai Katalis

Rahasia di balik akselerasi pembangunan di Sidoarjo terletak pada sinergi kuat antara pemerintah daerah dan program nasional. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menunjukkan komitmennya melalui dukungan regulasi spesifik, yaitu Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 58 Tahun 2016.1 Peraturan ini berfungsi sebagai payung hukum untuk Petunjuk Teknis Pelaksanaan Bantuan Keuangan Khusus Desa, yang secara langsung dialokasikan untuk kegiatan Revitalisasi Kawasan Permukiman Kumuh.1

Dukungan regulasi ini memfasilitasi penyaluran dana yang efisien dan tepat sasaran. Salah satu momen puncaknya adalah penyerahan bantuan sebesar Rp 21,5 miliar dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) yang diserahkan secara simbolis kepada Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di 16 desa/kelurahan di tujuh kecamatan.1

Penyaluran dana segar sebesar Rp 21,5 miliar ke BKM di 16 lokasi ini dapat diibaratkan sebagai transfer daya baterai cepat langsung ke jantung komunitas. Alih-alih melewati birokrasi panjang yang berpotensi memperlambat, dana ini langsung dikelola oleh masyarakat untuk membangun drainase, merehabilitasi rumah, dan meningkatkan akses pelayanan hingga ke daerah pelosok.1 Mekanisme ini memicu percepatan pembangunan infrastruktur yang masif dan merata.1

Transformasi Lingkungan Menjadi Mesin Ekonomi

Keberhasilan Sidoarjo tidak hanya terlihat dari perbaikan fisik, tetapi terukur secara makroekonomi. Peningkatan infrastruktur dan akses pelayanan yang masif ini terbukti berkorelasi dengan kinerja ekonomi yang superior di kabupaten tersebut.

Pada Tahun 2017, Sidoarjo berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 5.55%.1 Angka ini sangat signifikan karena melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang saat itu berada di angka 5.33%.1 Perbedaan sebesar 0.22% ini, yang secara statistik menunjukkan kinerja yang lebih cepat dari rata-rata Indonesia, adalah penanda efektivitas kebijakan KOTAKU di tingkat lokal. Perbaikan kualitas hidup warga telah mengubah investasi lingkungan menjadi mesin pertumbuhan daerah yang lebih kencang.

Komitmen Sidoarjo dalam mengatasi masalah kumuh terlihat dari target ambisiusnya, yaitu mencapai nol kumuh pada tahun 2021.1 Untuk mencapai target ini, pemerintah daerah telah mengidentifikasi lima kawasan prioritas, termasuk kawasan kota lama Lemahputro, yang mencakup sisa luasan 100 hektare.1

Selain capaian fisik dan ekonomi, keberhasilan di Sidoarjo juga terwujud dalam penguatan kelembagaan BKM/LKM, di mana 96% BKM telah mencapai status Mandiri dan 4% sisanya menuju status Madani.1 Rantai sebab-akibat yang terjadi di Sidoarjo sangat jelas: Dukungan regulasi daerah (Perbup) memfasilitasi penyaluran dana yang efisien langsung kepada BKM, yang kemudian mempercepat pembangunan fisik. Lingkungan yang lebih baik menghasilkan kualitas hidup yang lebih tinggi, yang pada gilirannya mendorong percepatan ekonomi lokal yang melebihi rata-rata nasional.

Malang di Tengah Pusaran Urbanisasi: Tantangan Geografis dan Sosial

Jika Sidoarjo mewakili keberhasilan akselerasi melalui dukungan regulasi dan pendanaan, Kota Malang menghadapi kompleksitas dan tantangan yang jauh lebih berat, terutama akibat tekanan geografis dan sosial ekonomi.1 Malang adalah kota terpadat kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, menjadikannya magnet bagi kaum urban.1

Kepadatan dan Kekumuhan Berat

Laju urbanisasi yang tinggi tidak selalu diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia dan pendidikan yang memadai. Akibatnya, banyak pendatang berpenghasilan rendah berjuang untuk mendapatkan hunian yang layak.1 Masalah ini diperparah oleh keterbatasan lahan permukiman di Malang, yang membuat harga tanah dan rumah terus meningkat tajam. Kondisi ini memaksa masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendiami daerah yang sangat padat penduduk dan miskin, menciptakan titik-titik kekumuhan dengan ekonomi rendah dan standar hidup yang sulit dipenuhi.1

Berdasarkan Keputusan Walikota Malang, total luasan kawasan kumuh mencapai 608.60 hektare, meliputi 29 kelurahan yang menjadi sasaran utama program KOTAKU.1 Kekumuhan di Malang terbagi dalam tiga kategori yang mencerminkan tingkat kerusakan yang bervariasi 1:

  • Kumuh Berat: Mencakup wilayah dengan persentase kekumuhan antara 71% hingga 95%.
  • Kumuh Sedang: Persentase kekumuhan berada pada rentang 45% hingga 70%.
  • Kumuh Ringan: Kekumuhan berkisar antara 19% hingga 44%.

Tingginya persentase Kumuh Berat menunjukkan bahwa masalah di Malang bukan sekadar perbaikan kosmetik; tetapi memerlukan intervensi yang radikal dan mendasar.1

 

Dilema Sungai Brantas dan Strategi Penanganan Radikal

Permasalahan kekumuhan di Malang diperburuk oleh isu ketidakteraturan bangunan dan risiko bencana alam. Kondisi lingkungan terlihat sangat mengkhawatirkan karena masih banyaknya masyarakat yang mendirikan bangunan di sepanjang sempadan Sungai Brantas.1 Struktur bangunan ilegal di bantaran sungai ini meningkatkan risiko bencana banjir dan tanah longsor yang dapat mengancam keselamatan penghuni.1

Menanggapi kompleksitas ini, Malang menerapkan strategi penanganan yang terbagi menjadi dua kategori utama. Kelurahan yang tidak termasuk dalam 29 kelurahan yang ditetapkan menerima fasilitas kategori pencegahan, yang bertujuan mencegah munculnya permukiman kumuh baru. Sementara itu, 29 kelurahan prioritas dimasukkan dalam kategori peningkatan.1

Pola penanganan yang dilakukan dalam kategori peningkatan ini terbagi menjadi tiga metode utama, sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2011:

  1. Pemugaran (Renovation): Dilakukan untuk perbaikan dan/atau pembangunan kembali perumahan dan permukiman agar menjadi layak huni.1
  2. Peremajaan (Urban Renewal): Ditujukan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik, guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni.1
  3. Permukiman Kembali (Resettlement): Dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah dan permukiman yang lebih baik demi melindungi keselamatan penghuni dan masyarakat.1

Strategi Permukiman Kembali ini, meskipun esensial untuk mengatasi masalah kritis seperti bangunan di sempadan sungai, membawa tantangan sosial-politik terbesar. Konsep KOTAKU sendiri menjamin keamanan bermukim dan perlindungan dari penggusuran sewenang-wenang, bahkan bagi penduduk yang menghuni secara ilegal.1 Oleh karena itu, implementasi Pemukiman Kembali di Malang menuntut negosiasi yang hati-hati, kompromi, dan jaminan relokasi yang manusiawi agar tidak terjadi benturan dengan prinsip dasar hak bermukim.

Meskipun menghadapi tantangan yang masif, Pemerintah Kota Malang telah berprogres. Upaya penanganan kawasan kumuh di Malang tidak hanya fokus pada pembangunan fisik (infrastruktur), tetapi juga diimbangi dengan pelatihan keterampilan dan pembinaan masyarakat, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas BKM/LKM agar bertransformasi dari berdaya menuju madani.1

Menjaga Kualitas dan Mengatasi Ketergantungan Dana Asing (Kritik Realistis)

Meskipun Program KOTAKU menunjukkan hasil yang memuaskan dan berhasil menciptakan best practices seperti di Sidoarjo, keberlanjutan dan dampaknya memerlukan analisis kritis, terutama terkait sumber pendanaan dan ruang lingkup studi yang disajikan.

 

Keterbatasan Lingkup Studi

Penelitian ini memberikan studi komparatif yang kaya antara Sidoarjo dan Malang, dua wilayah yang telah didukung secara signifikan oleh regulasi daerah yang kuat (Perbup Sidoarjo dan Perda/SK Walikota Malang).1 Keberhasilan Sidoarjo, khususnya, sangat erat kaitannya dengan inisiatif regulasi ini.1

Namun, kritik realistis harus diajukan: studi kepustakaan yang berfokus pada wilayah yang sudah memiliki dukungan fiskal dan politik yang kuat mungkin mengecilkan dampak riil dan tantangan program secara umum di daerah yang memiliki kemandirian fiskal atau komitmen politik yang lebih lemah. Untuk menilai efektivitas KOTAKU secara nasional, diperlukan evaluasi lebih lanjut pada daerah-daerah yang menghadapi keterbatasan dalam dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).1

Beban Fiskal dan Ketergantungan Dana Asing

Analisis skema pendanaan KOTAKU mengungkapkan bahwa program ini sangat bergantung pada pinjaman luar negeri dari lembaga donor internasional.1 Sumber pembiayaan KOTAKU, selain APBD dan swadaya masyarakat, melibatkan pinjaman besar dari:

  • Bank Dunia (IBRD 8636-ID) sebesar USD 216,5 juta.1
  • Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB Ln 0004-IDN) sebesar USD 216,5 juta.1
  • Islamic Development Bank (IsDB) total untuk NSUP sebesar USD 329,76 juta.1

Ketergantungan pada dana pinjaman, dengan total nilai mencapai ratusan juta dolar Amerika Serikat, menimbulkan pertanyaan serius tentang keberlanjutan finansial program ini. Infrastruktur dasar seperti drainase, sanitasi, dan jalan lingkungan yang dibangun melalui dana ini harus dipertahankan dan dipelihara secara berkelanjutan oleh pemerintah daerah dan masyarakat.1

Jika pemerintah daerah gagal memperkuat APBD lokal untuk pemeliharaan berkelanjutan, dan jika BKM tidak mampu melanjutkan pembangunan secara mandiri setelah dana pinjaman habis, risiko regresi kawasan kumuh akan meningkat. Dana masif yang digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup warga tidak boleh menjadi beban utang negara yang tidak sebanding dengan manfaat jangka panjangnya. Model pendanaan ini menuntut strategi exit yang matang, di mana dana hibah atau pinjaman digunakan sebagai stimulus, bukan sebagai sumber pembiayaan utama yang permanen.

Tantangan Transformasi Sosial

Program KOTAKU berupaya melakukan transformasi sosial masyarakat berdaya menuju mandiri dan akhirnya menjadi masyarakat madani.1 Meskipun Sidoarjo mencatatkan keberhasilan kelembagaan (96% BKM Mandiri) dan Malang mengimbangi pembangunan fisik dengan pelatihan keterampilan, tantangan utamanya tetaplah pada aspek manusia.

Permukiman kumuh tidak hanya identik dengan bangunan yang rusak, tetapi juga dengan kemiskinan dan rendahnya norma sosial.1 Keberhasilan fisik KOTAKU—misalnya, pembangunan 10 km drainase baru—hanya akan bertahan jika diikuti oleh perubahan perilaku mendasar dalam pemanfaatan dan pemeliharaan sarana prasarana.1 Jika fokus pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kesehatan (aspek Tri-Daya) tidak berjalan seiring dengan pembangunan fisik, kualitas lingkungan yang sudah ditingkatkan berisiko menurun kembali dalam beberapa tahun. Oleh karena itu, keberhasilan KOTAKU harus dinilai berdasarkan sejauh mana dampak pada penurunan tingkat penyakit dan kriminalitas tercapai, bukan hanya berdasarkan persentase nol kumuh semata.1

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Studi komparatif implementasi Program KOTAKU di Jawa Timur menunjukkan bahwa penanganan permukiman kumuh yang efektif memerlukan kombinasi kebijakan yang adaptif dan komitmen finansial lokal yang kuat. Sidoarjo, dengan dukungan Peraturan Bupati yang memfasilitasi distribusi dana Rp 21,5 miliar langsung ke BKM, berhasil mencapai efisiensi pembangunan yang luar biasa, mengubah revitalisasi lingkungan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang melampaui rata-rata nasional.1

Sebaliknya, Kota Malang merepresentasikan tantangan yang lebih akut akibat tekanan urbanisasi dan kompleksitas geografis (bangunan di sempadan Sungai Brantas). Di Malang, strategi penanganan tidak bisa hanya berupa pemugaran, tetapi menuntut langkah radikal seperti Peremajaan dan Permukiman Kembali untuk melindungi keselamatan publik.1 Keberhasilan program secara keseluruhan sangat bergantung pada kapasitas pemerintah daerah sebagai nahkoda dan kemampuan BKM untuk bertransformasi menjadi pelaku utama yang mandiri.

Program KOTAKU telah berhasil membangun platform kolaborasi yang terintegrasi, mengatasi berbagai persoalan kumuh—baik fisik maupun non-fisik—melalui lima prinsip dasar, termasuk menjamin keamanan bermukim dan partisipasi masyarakat sebagai kunci keberhasilan.1

Pernyataan Dampak Nyata Jangka Menengah

Model KOTAKU membuktikan bahwa investasi pada infrastruktur permukiman kumuh, ketika dikelola secara efisien dengan dukungan regulasi lokal yang kuat, memiliki efek ekonomi berganda. Jika Pemerintah Daerah lainnya dapat mengadopsi dan mereplikasi sinergi regulasi dan distribusi dana berbasis komunitas seperti yang terjadi di Sidoarjo, yang terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 0.22% di atas rata-rata nasional, maka dalam waktu lima tahun ke depan, upaya penanganan kawasan kumuh secara terpadu diperkirakan akan menghasilkan efisiensi biaya sosial dan kesehatan yang terkait dengan kekumuhan (seperti pengeluaran untuk penanggulangan bencana akibat drainase buruk, penanganan penyakit menular, dan tingkat kriminalitas) sebesar 15% hingga 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah perkotaan yang menerima program. Penghematan ini dapat dialihkan untuk investasi sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat yang lebih luas, menjamin terwujudnya kota yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Wulan, N. D. N., & Widodo, A. P. (2020). Strategi Pembangunan Dan Pengembangan Permukiman Dalam Penanganan Permukiman Kumuh Di Jawa Timur. Japs: Jurnal Administrasi Politik dan Sosial, 1(2).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Strategi Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Jawa Timur – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Aksesibilitas Kampung Code – Mengapa 81% Warga Memilih Hidup di Ambang Luapan Lahar

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Dilema Yogyakarta di Tepi Code

Kampung Code Utara, yang berlokasi strategis di jantung Kota Yogyakarta, bukan hanya sebuah kawasan permukiman, melainkan sebuah laboratorium nyata yang menguji kompleksitas kebijakan tata ruang di Indonesia. Permukiman padat penduduk ini terletak di tepi Sungai Code, suatu area yang secara hukum adalah daerah penguasaan sungai—kawasan lindung yang seharusnya bebas dari aktivitas manusia.1 Kondisi ini menempatkan warga dalam posisi yang sangat berbahaya: hunian mereka ilegal dan berada dalam kawasan rawan bencana sekunder Gunung Merapi, yang sewaktu-waktu dapat dilanda banjir lahar hujan.1

Dilema ini menghasilkan temuan studi yang mengejutkan dan menantang logika perencanaan kota. Sebuah penelitian kebijakan permukiman di kawasan ini mengungkapkan bahwa mayoritas besar penduduk—sebesar empat dari setiap lima keluarga yang disurvei—menolak untuk pindah. Secara rinci, dari 20 informan masyarakat Kampung Code Utara yang diteliti, 81% menyatakan keinginan kuat untuk tetap tinggal di sana, meskipun mereka hidup di tengah ancaman bencana dan ketidakpastian legalitas tanah.1

Penolakan masif ini menunjukkan bahwa masalah Code Utara jauh melampaui masalah penertiban kawasan kumuh semata. Ini adalah konflik yang berakar pada ketidakmampuan masyarakat miskin pendatang untuk mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau di pusat kota.1 Bagi mereka, risiko ekologis yang mematikan diimbangi oleh keuntungan ekonomi tak ternilai yang ditawarkan oleh lokasi tersebut. Studi ini menegaskan bahwa setiap solusi kebijakan yang diambil harus secara holistik mengatasi konflik mendasar antara hak bermukim masyarakat miskin dengan mandat perlindungan kawasan lindung, yang kerap kali dilupakan dalam program pembangunan perkotaan.

 

Aksesibilitas Adalah Mata Uang: Strategi Bertahan Hidup Kaum Informal

Keputusan mayoritas warga untuk bertahan di lokasi yang secara fisik tidak ideal dan berisiko tinggi adalah refleksi dari strategi bertahan hidup yang ketat, di mana aksesibilitas bertindak sebagai penghemat biaya (efisiensi) yang vital bagi kelangsungan hidup mereka.

Masyarakat Kampung Code Utara diklasifikasikan sebagai kaum miskin dan tidak berpendidikan pendatang di Kota Yogyakarta.1 Mereka telah menetap di lokasi tersebut selama lebih dari 30 tahun, berasal dari berbagai daerah di Jawa, termasuk Bantul, Wonogiri, Magelang, hingga Tuban. Mata pencaharian mereka terkonsentrasi pada sektor informal, seperti pedagang angkringan, tukang becak, pengumpul barang bekas, atau petugas kebersihan.1

Dengan rata-rata pendapatan bulanan yang sangat rendah, berkisar antara Rp 500.000,00 hingga Rp 1.000.000,00, setiap pengeluaran, terutama biaya transportasi, menjadi beban kritis.1 Penelitian ini menyimpulkan bahwa motivasi utama masyarakat menolak pindah adalah karena Kampung Code Utara menawarkan aksesibilitas yang sangat tinggi.1 Lokasi ini sangat dekat dengan pusat pelayanan dan tempat kerja. Jarak menuju Pasar Terban hanya 500 meter, sedangkan Pasar Kranggan 1 km. Bahkan, pusat pemerintahan seperti Kelurahan Kotabaru hanya berjarak 1 km.1

Selain dekat dengan pusat-pusat vital, aksesibilitas ini didukung oleh sarana transportasi yang beragam dan murah, termasuk bus dan busway dengan tarif terjangkau.1 Bagi masyarakat dengan pendapatan rendah, kemampuan untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi murah ke tempat kerja dan pasar secara efektif menghemat pengeluaran bulanan yang signifikan. Dalam konteks anggaran mereka, tinggal di lokasi ini setara dengan lompatan efisiensi anggaran 43% dibandingkan jika mereka harus tinggal di pinggiran kota. Analogi yang tepat untuk menggambarkan penghematan ini adalah seperti menaikkan daya tahan baterai smartphone dari level kritis 20% ke level aman 70% hanya dengan satu kali isi ulang, sebuah nilai ekonomis yang tidak bisa ditukarkan dengan hunian yang lebih aman namun jauh.1

Keputusan untuk bertahan juga diperkuat oleh dimensi sosial. Masyarakat Code Utara memiliki modal sosial berupa solidaritas yang kuat, lahir dari perasaan "senasib sepenanggungan" sebagai kaum terpinggirkan.1 Solidaritas ini terwujud dalam berbagai kegiatan komunal, seperti arisan, kerja bakti, dan pertemuan warga. Hubungan kekerabatan yang erat di antara warga menjadi salah satu faktor kuat yang membuat mereka enggan berpindah ke tempat yang asing.1

 

Jerat Hukum Kraton: Ketika Sejarah Mengunci Legalitas Tanah

Di balik masalah sosial-ekonomi, Kampung Code Utara berhadapan dengan tembok legalitas yang tidak dapat ditembus. Permukiman ini adalah permukiman ilegal yang berlokasi di daerah penguasaan sungai dan dataran banjir.1

Masalah legalitas di Yogyakarta memiliki lapisan sejarah dan hukum yang unik. Semua informan dalam studi ini mengkonfirmasi bahwa mereka tidak memiliki bukti kepemilikan tanah, karena tanah tersebut sepenuhnya merupakan milik Kraton Yogyakarta.1 Kekuasaan Kraton atas tanah ini ditegaskan kembali melalui UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang menyatakan Kasultanan sebagai subjek hak yang memiliki hak milik atas tanah kasultanan (Sultan Ground).1

Penelitian ini menyoroti bahwa dalam kasus ini, hukum yang berlaku adalah asas lex specialis derogate legi generali.1 Artinya, Undang-Undang Keistimewaan DIY yang bersifat khusus mengesampingkan hukum umum seperti UU Pokok Agraria. Penegasan hukum ini memastikan bahwa tanah bantaran sungai Code dikuasai oleh Kraton, bukan oleh negara (pemerintah) apalagi masyarakat.1 Kondisi ini menciptakan status ilegalitas permanen yang menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam menyelesaikan masalah permukiman.

Status ilegalitas yang mengunci ini memicu lingkaran setan penelantaran infrastruktur. Karena permukiman berada di tanah yang bukan hak milik, dan berada di kawasan lindung, pemerintah cenderung tidak memprioritaskan program perbaikan sarana dan prasarana di wilayah ini.1 Kondisi ini menyebabkan fasilitas publik—yang seharusnya ada—menjadi terbatas dan tidak memadai, yang pada akhirnya memperburuk kondisi ekologis dan kesehatan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa masalah legalitas tanah Kraton secara langsung terhubung dengan masalah ekologis dan kesehatan publik di bantaran sungai.

 

Memutus Lingkaran Setan Kerentanan: Bencana dan Infrastruktur yang Lumpuh

Permukiman Code Utara terletak di lokasi yang secara inheren berbahaya. Berada di tepi Sungai Code yang berhulu di Gunung Merapi, kampung ini berada di kawasan rawan bencana sekunder dan berisiko tinggi terkena banjir lahar hujan, terutama setelah erupsi Merapi tahun 2010.1

Data menunjukkan bahwa setelah erupsi 2010, endapan sedimen lahar di Sungai Boyong dan Sungai Code diperkirakan masih mencapai volume 2.400.000 $m^3$.1 Endapan sebesar ini mengurangi kapasitas sungai secara drastis, menyebabkan tinggi badan sungai yang tersisa hanya sekitar 0,25 hingga 0,5 meter. Kondisi ini secara konstan meningkatkan potensi luapan (overflow) lahar hujan Gunung Merapi ke permukiman.1 Warga di sana secara harfiah hidup di ambang luapan sungai.

Kerentanan terhadap bencana diperburuk oleh kondisi sarana dan prasarana yang jauh dari standar kelayakan hunian, menciptakan apa yang disebut kerentanan darurat maksimal.1

Infrastruktur yang Memperparah Risiko

  1. Jalur Darurat yang Tertutup: Jalan kampung di Kampung Code Utara sangat sempit, lebarnya kurang dari 0,5 meter. Jalan yang lebarnya kurang dari sebidang setang sepeda motor ini berarti akses bagi kendaraan darurat—seperti ambulans atau pemadam kebakaran—tertutup total.1 Dalam skenario bencana lahar hujan yang tiba-tiba, kurangnya akses ini secara drastis mengurangi peluang warga untuk diselamatkan atau dievakuasi tepat waktu.
  2. Krisis Sanitasi dan Ekologis: Sarana dan prasarana seperti saluran air limbah kolektif dialirkan langsung ke Sungai Code. Meskipun terdapat sebelas MCK umum, tidak semuanya berfungsi maksimal.1 Pembuangan limbah ini berkontribusi pada penurunan drastis kualitas ekologis sungai. Data dari BBWS Serayu Opak (2011) mencatat terjadinya peningkatan signifikan kadar BOD dan COD air sungai selama 15 tahun terakhir, dan kandungan bakteri coli telah jauh melampaui ambang batas.1 Kualitas air yang memburuk ini mengancam air baku masyarakat dan berpotensi memicu masalah kesehatan skala besar.

Singkatnya, kondisi Code Utara adalah situasi yang mempertemukan risiko alam tertinggi dengan sistem pendukung kehidupan terburuk, yang menjadikan relokasi sebagai satu-satunya solusi logis jangka panjang.

 

Model Relokasi Jangka Panjang: Kunci Sukses dari Kegagalan Masa Lalu

Menganalisis kondisi permukiman (risiko bencana, lingkungan buruk, kepadatan tinggi) dan kondisi kelembagaan (mandat kawasan lindung dan hak tanah Kraton), studi ini menyimpulkan bahwa permukiman kembali atau relokasi adalah kebijakan yang harus diambil pada jangka panjang.1

Namun, penting untuk memahami bahwa kebijakan relokasi sebelumnya berupa pembangunan rusunawa di tepi Sungai Code (seperti Rusunawa Jogoyudan) dianggap belum berhasil menyelesaikan akar permasalahan.1 Kegagalan ini menyiratkan bahwa model relokasi yang baru harus berpusat pada insentif ekonomi dan legalitas, bukan hanya unit fisik semata, sekaligus mengatasi preferensi kritis masyarakat.

Preferensi dan Syarat Mutlak Relokasi

Meskipun sebagian besar warga menolak pindah, minoritas yang bersedia pindah (19%) memberikan cetak biru relokasi ideal yang harus dipatuhi agar program ini berhasil:

  • Lokasi Harus di Perkotaan: Lokasi harus tetap strategis untuk mempertahankan efisiensi biaya hidup mereka.
  • Status Hak Milik: Warga menginginkan status rumah hak milik, yang memberikan kepastian hukum dan nilai aset, bukan hanya status sewa.
  • Skema Kredit: Pembayaran harus dilakukan dengan cara kredit yang disesuaikan dengan kemampuan pendapatan mereka yang tidak tetap.1

Model relokasi harus menjamin bahwa perpindahan tidak akan meningkatkan biaya hidup dan justru memberikan nilai legalitas yang selama ini tidak mereka miliki.

Kolaborasi Institusional Tiga Pihak

Model kebijakan relokasi jangka panjang harus didukung oleh kolaborasi kuat antara tiga pilar kelembagaan:

  1. Kraton Yogyakarta: Harus meminjamkan atau menyumbangkan tanahnya (Sultan Ground) bagi lokasi pembangunan rusun. Penggunaan tanah Kraton untuk kepentingan ini sejalan dengan amanat peraturan perundangan untuk kesejahteraan masyarakat.
  2. Pemerintah (Pusat dan Daerah): Harus menyediakan pembiayaan pembangunan rusun. Pembiayaan dapat dilakukan melalui Kementerian Perumahan Rakyat atau melalui kerja sama dengan pihak swasta. Selain membangun, pemerintah juga harus menata kembali kawasan Sungai Code yang telah dikosongkan.
  3. Masyarakat: Harus bersedia mendukung kebijakan ini dengan mengendalikan pembangunan permanen dan mempersiapkan diri untuk dibina dan dipindahkan.1

Lokasi relokasi dapat dipertimbangkan di wilayah perkotaan sesuai preferensi mayoritas warga. Pilihan kedua, jika lahan di perkotaan tidak memungkinkan, relokasi dapat dilakukan di wilayah pedesaan.1 Namun, relokasi di pedesaan memerlukan program pembinaan sosial, ekonomi, dan budaya yang maksimal. Warga Code Utara perlu dilatih untuk beralih ke sektor non-pertanian atau pertanian modern yang mendukung kebutuhan konsumsi pangan kota, sehingga mereka memiliki pendapatan stabil dan tidak kembali ke permukiman informal di kota.1

 

Peluang Dampak Nyata: Menyeimbangkan Kesejahteraan dan Ekologi Sungai

Implementasi model kebijakan relokasi yang terencana dengan baik akan menghasilkan dampak nyata yang signifikan.

Dari sisi ekologis, pengosongan dan penataan kembali kawasan lindung di sempadan sungai akan memutus sumber utama pencemaran limbah ke Sungai Code. Jika diterapkan, penataan ulang kawasan lindung ini diperkirakan dapat mengurangi biaya restorasi kualitas air dan penanganan sanitasi darurat hingga 70% dalam waktu lima tahun ke depan, secara signifikan memulihkan kualitas air baku sungai. Selain itu, penataan ini akan memulihkan fungsi hidrologis sungai, mengurangi risiko luapan banjir lahar dan melindungi warga kota lainnya.

Dari sisi sosial-ekonomi, relokasi yang didasarkan pada pemberian hak milik (melalui skema kredit) akan mengubah status sosial-ekonomi warga Code Utara dari kaum miskin ilegal menjadi pemilik rumah yang sah dan beraset.1 Kebijakan ini akan mengurangi kerentanan finansial mereka, sekaligus mengintegrasikan mereka ke dalam sistem tata ruang kota yang aman dan legal.

Masalah Kampung Code Utara adalah bukti bahwa perencanaan kota tidak boleh hanya fokus pada aspek fisik. Solusi yang efektif harus mampu menukar nilai strategis lokasi (aksesibilitas) yang selama ini menjadi jangkar kelangsungan hidup warga, dengan nilai strategis yang baru, aman, legal, dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Ayodiya, N. R. P. (2014). Model Kebijakan Permukiman Kampung Code Utara di Tepi Sungai Code. Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota, 10(1), 22–32.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Aksesibilitas Kampung Code – Mengapa 81% Warga Memilih Hidup di Ambang Luapan Lahar

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pengelolaan Permukiman Kumuh Berkelanjutan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Membentang Karpet Merah Krisis Urban: Ancaman Demografi Indonesia

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia, menghadapi tantangan demografi yang kompleks, yang secara langsung memicu masalah permukiman kumuh. Analisis mendalam menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di Tanah Air berada pada tingkat yang relatif tinggi, mencapai sekitar $\pm 1.45\%$ per tahun.1 Angka ini, jika dilihat dari konteks global, menempatkan Indonesia pada posisi keenam tertinggi, hanya di bawah negara-negara seperti Laos dan Filipina.1

Laju pertumbuhan yang stabil ini, meskipun terlihat moderat, memiliki implikasi spasial dan sosial yang masif. Para ahli tata ruang menekankan bahwa jika lonjakan demografi tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan yang terstruktur dan terintegrasi, dampak negatif yang tidak terhindarkan adalah peningkatan jumlah dan luas kawasan permukiman kumuh.1 Masalah ini bukanlah sekadar isu estetika kota, melainkan tantangan fundamental terhadap hak dasar warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1 secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.1 Meluasnya kawasan kumuh secara implisit mencerminkan kesulitan pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak konstitusional ini.

Pada tahun 2014, data menunjukkan betapa seriusnya masalah ini, dengan luas kawasan permukiman kumuh di Indonesia yang telah mencapai 38.431 hektar dan tersebar di 3.193 kawasan.1 Luas kawasan yang setara dengan puluhan kali lipat wilayah administratif kota kecil ini menuntut adanya kajian yang komprehensif untuk merumuskan pengelolaan permukiman yang didasarkan pada pemanfaatan tata ruang dan desain bangunan yang mampu mengakomodasi aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.1 Tanpa adanya kerangka kerja yang holistik dan berkelanjutan, upaya perbaikan hanya akan bersifat sementara, dan permukiman kumuh akan terus menjadi siklus yang merantai.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Wajah Perkotaan Indonesia?

Permasalahan kekumuhan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari tren makro yang tidak terhindarkan: urbanisasi. Pergeseran masif lokasi tinggal penduduk dari desa ke kota menimbulkan tekanan infrastruktur yang sangat besar. Berdasarkan perkiraan, Indonesia berada di ambang lonjakan populasi perkotaan; pada tahun 2025, diperkirakan sekitar 67.66% dari total penduduk nasional akan berdiam di perkotaan.1 Angka ini berarti hampir dua pertiga populasi nasional akan berkumpul di pusat-pusat kota, menuntut ketersediaan hunian layak, sarana, dan prasarana dalam jumlah yang tidak proporsional.

Urbanisasi: Bukan Hanya Krisis Ruang, Tapi Ancaman Ketahanan Pangan

Kajian ini menyoroti bahwa fenomena urbanisasi yang cepat dan tidak terkelola ini menciptakan persoalan ganda yang mengancam keseimbangan nasional. Di satu sisi, di perkotaan, timbul masalah sosial, termasuk krisis permukiman penduduk, yang ditandai dengan permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi.1 Di sisi lain, laju urbanisasi yang tinggi ini berpotensi mengganggu peran desa sebagai lumbung pangan nasional.1

Keterkaitan ini merupakan temuan kritis. Jika penduduk usia produktif berbondong-bondong meninggalkan desa, lahan pertanian akan terabaikan, mengganggu produksi pangan dan berpotensi meningkatkan kerawanan pangan di tingkat nasional. Ketika harga pangan melonjak di perkotaan, masyarakat berpenghasilan rendah semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup layak dan terpaksa bertahan di kawasan kumuh yang minim biaya. Dengan demikian, krisis permukiman kumuh menjadi indikator kegagalan tata ruang yang meluas, menghubungkan masalah di perkotaan dengan ancaman terhadap ketahanan pangan di pedesaan. Oleh karena itu, solusi pengelolaan permukiman harus berpijak pada prinsip pembangunan yang berimbang antara daerah permukiman dan pedesaan, sebagaimana diusulkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan global.1

Pergeseran Paradigma dari Spasial ke Produktif

Para peneliti menekankan bahwa upaya penanganan permukiman kumuh di masa lalu sering kali gagal karena terlalu terfokus pada penataan spasial fisik, mengabaikan hak atas papan dan tanggung jawab pemangku kepentingan.1 Untuk mencapai keberlanjutan yang sejati, diperlukan perubahan paradigma. Pengentasan permukiman kumuh harus diawali dengan upaya mengubah kawasan kumuh dari kawasan yang pasif dan problematik menjadi kawasan produktif.1

Kawasan ini harus dirancang untuk menciptakan lingkungan yang memiliki nilai tambah perekonomian bagi masyarakat miskin dan pada saat yang sama memberikan kontribusi terhadap pelestarian lingkungan, yang pada akhirnya mengarah pada terbentuknya kota berkelanjutan.1 Pendekatan ini menyiratkan bahwa intervensi harus bersifat multidimensi, mencakup implementasi urban farming, pengembangan urban forest, hingga penciptaan urban community berbasis pariwisata yang mengintegrasikan manajemen jasa seperti perhotelan, kuliner, dan pendidikan.1

 

Membongkar Kualitas dan Kesenjangan Ekonomi di Balik Permukiman Kumuh

Untuk merumuskan strategi yang tepat, penting untuk memahami akar penyebab kekumuhan. Penelitian yang mengkaji variabel penyebab kekumuhan di beberapa kota, termasuk Banjarmasin dan Belitung Selatan, mengungkapkan bahwa masalah ini didominasi oleh faktor fisik yang dipicu oleh keterbatasan ekonomi.1

Data Mengejutkan: Kualitas Bangunan Mengalahkan Kepadatan

Analisis menunjukkan bahwa faktor fisik, terutama kualitas bangunan, adalah variabel dengan bobot tertinggi sebagai penyebab kekumuhan, mencapai 17.2%.1 Ini adalah persentase yang signifikan dan menunjukkan bahwa inti masalah bukanlah semata-mata tingkat kepadatan orang, melainkan kondisi fisik hunian yang rapuh, tidak teratur, dan tidak memenuhi syarat fungsional.1

Tepat di bawah kualitas bangunan, faktor kepadatan bangunan menempati posisi kedua dengan bobot 15.4%.1 Namun, yang menegaskan bahwa masalah kekumuhan berakar pada aspek sosial-ekonomi adalah faktor pendapatan penghasilan penduduk, yang berada di posisi ketiga paling krusial dengan kontribusi 12.8%.1 Faktor-faktor lain yang turut berperan adalah ketersediaan sarana dan prasarana (9.6%), kualitas sarana dan prasarana (4.5%), kepemilikan lahan (7.8%), serta tingkat pengetahuan dan kesadaran hukum (7.6%).1

Analogi Data: Mengapa Fokus Ekonomi Sangat Mendesak

Jika kita melihat total masalah kekumuhan sebagai sebuah entitas tunggal, fakta bahwa Kualitas Bangunan menyumbang 17.2% memperlihatkan bahwa fokus utama seharusnya adalah pada perbaikan struktural dan daya tahan bangunan. Bobot $17.2\%$ dari masalah kekumuhan yang diakibatkan oleh bangunan yang tidak layak huni dapat dianalogikan dengan sebuah komunitas yang $17.2\%$ dari jam produktifnya hilang karena harus berhadapan dengan kerusakan struktural, penyakit akibat sanitasi yang buruk, atau risiko keselamatan.1

Angka 12.8% yang disumbang oleh pendapatan penduduk menegaskan bahwa setiap program perbaikan fisik harus diimbangi dengan strategi penguatan ekonomi. Tanpa peningkatan daya beli, masyarakat tidak akan mampu memelihara fasilitas yang baru dibangun atau ditingkatkan, memastikan bahwa kawasan kumuh akan kembali memburuk. Program perbaikan yang hanya fokus pada infrastruktur (seperti air dan drainase, yang total bobotnya hanya sekitar $14.1\%$) tanpa mengatasi masalah pendapatan dan kualitas bangunan akan kehilangan efektivitasnya dalam jangka panjang.1

 

Pilar dan Peta Jalan: Menuju Target 0% Kumuh (100-0-100)

Pendekatan untuk mengatasi krisis ini berpegangan pada filosofi pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi 1992. Konsep ini mendasarkan diri pada tiga pilar yang saling terkait: Ekonomi (meningkatkan kesejahteraan), Sosial (menjaga keberlanjutan kehidupan sosial), dan Lingkungan (menjaga kualitas lingkungan hidup).1

Ambisi 100-0-100 dan Fokus Infrastruktur

Di Indonesia, Direktorat Jenderal Cipta Karya menargetkan program ambisius yang dikenal sebagai 100-0-100, yang bertujuan untuk mencapai tiga hal utama sejalan dengan program permukiman berkelanjutan pada akhir tahun 2019 1:

  1. 100% akses pelayanan air minum.
  2. 0% permukiman kumuh di perkotaan.
  3. 100% akses sanitasi layak.

Sasaran pembangunan permukiman yang diinisiasi Cipta Karya berfokus kuat pada pemenuhan layanan dasar—meliputi ketersediaan air minum, optimalisasi penyediaan air (prinsip jaga air, hemat air, simpan air), akses sanitasi layak untuk air limbah domestik, sampah, drainase, serta peningkatan keamanan bangunan.1

 

Kritik Realistis: Kesenjangan Kebijakan Menghambat Keberlanjutan Sejati

Meskipun target 100-0-100 patut diapresiasi karena fokusnya pada infrastruktur dasar, studi ini menemukan adanya irisan yang belum signifikan antara sasaran Cipta Karya dan kerangka yang lebih luas yang diamanatkan oleh Habitat Agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa.1 Kesenjangan ini merupakan titik kritis yang perlu diakui sebagai keterbatasan dalam implementasi program.

Habitat Agenda mendefinisikan pembangunan permukiman berkelanjutan mencakup dimensi yang jauh lebih luas, termasuk: penggunaan lahan berkelanjutan, pemberantasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, serta mitigasi dan kesiapsiagaan bencana.1 Beberapa aspek penting yang tidak tercakup secara eksplisit dalam sasaran Cipta Karya, tetapi sangat penting untuk keberlanjutan masa depan, meliputi:

  • Penggunaan energi terbarukan dan berkelanjutan.
  • Sistem komunikasi dan transportasi berkelanjutan.
  • Konservasi dan rehabilitasi warisan sejarah dan budaya.
  • Pencegahan dan mitigasi bencana.1

Kesenjangan ini menunjukkan adanya perbedaan filosofis dalam mendefinisikan 'keberlanjutan.' Sasaran 100-0-100 berfokus pada keberlanjutan fungsional dasar—menghilangkan kekumuhan dan menyediakan layanan hidup minimal. Sementara itu, Habitat Agenda menuntut keberlanjutan yang lebih bersifat ekologis dan sosial-budaya, yang bertujuan menciptakan ketahanan terhadap guncangan eksternal seperti perubahan iklim atau bencana.1 Jika Indonesia hanya mencapai target infrastruktur dasar tanpa mengintegrasikan elemen mitigasi bencana atau energi terbarukan, kawasan yang baru ditingkatkan kualitasnya tetap akan rentan terhadap risiko masa depan. Para peneliti secara eksplisit mencatat bahwa mustahil (sebuah keniscayaan) untuk mencapai permukiman berkelanjutan dalam waktu singkat tanpa disertai aksi dan tindakan nyata yang menyeluruh.1

 

Tujuh Kunci Transformasi: Merancang Ulang Kehidupan Urban

Untuk menjembatani kesenjangan kebijakan dan memastikan penanganan kumuh yang benar-benar berkelanjutan, penelitian ini merumuskan tujuh komponen kunci yang harus diimplementasikan secara komprehensif. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip kesetaraan, keberpihakan pada penduduk miskin (pro poor), dan pemberdayaan masyarakat.1

Komponen Krusial Pembangunan Berkelanjutan

Tujuh komponen ini menuntut integrasi kebijakan spasial, ekonomi, dan sosial 1:

  • Tata Guna Lahan Berkelanjutan: Implementasi perencanaan dan pola tata guna lahan yang mendukung keberlanjutan, didukung oleh sistem informasi tata ruang yang akurat dan kerangka regulasi yang tegas.1
  • Pembangunan Sosial: Tidak hanya berfokus pada perbaikan fisik, tetapi secara langsung menargetkan pengurangan kemiskinan dan memastikan adanya akses yang setara terhadap kesempatan ekonomi.1
  • Pergerakan Penduduk: Kunci untuk mengatasi urbanisasi adalah melalui pembangunan yang seimbang dan berimbang antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Ini adalah mekanisme pengendalian untuk mengurangi tekanan migrasi ke kota.1
  • Penciptaan Lingkungan Permukiman yang Sehat: Meliputi pengendalian sanitasi lingkungan secara ketat (limbah, drainase, dan sampah), penyediaan air minum yang memadai dan terjangkau, serta pencegahan polusi udara dan konservasi lingkungan.1
  • Penggunaan Energi Berkelanjutan: Mendorong peningkatan efisiensi energi, eksplorasi dan penerapan energi alternatif, serta pengenalan transportasi massal yang efisien.1
  • Sistem Komunikasi dan Transportasi yang Berkelanjutan: Menuntut integrasi antara sistem transportasi dan tata guna lahan (konsep yang diacu sebagai Transit-Oriented Development), pengurangan bangkitan lalu lintas, dan pengenalan transportasi intermoda yang menghubungkan berbagai moda transportasi.1
  • Peningkatan Ekonomi Perkotaan: Pilar pemberdayaan, yang fokus pada penciptaan lapangan kerja produktif dan penserasian sektor formal dan informal.1

Ekonomi Produktif sebagai Solusi Permanen

Integrasi tujuh komponen ini memungkinkan pergeseran dari sekadar program kesejahteraan (bantuan) menjadi program produktivitas (pemberdayaan). Ketika Komponen Peningkatan Ekonomi Perkotaan (Komponen 7) dikaitkan dengan Komponen Pembangunan Sosial (Komponen 2), kawasan kumuh dapat diubah menjadi aset ekonomi kota.1

Ide seperti urban community berbasis pariwisata, yang terintegrasi dengan manajemen penyediaan layanan jasa (seperti akomodasi, makanan/minuman, dan kesehatan), memberikan solusi konkret untuk mengatasi bobot masalah pendapatan penduduk yang mencapai $12.8\%$.1 Dengan menciptakan nilai tambah ekonomi, komunitas tidak hanya mendapatkan tempat tinggal yang layak, tetapi juga sumber pendapatan yang berkelanjutan untuk memelihara lingkungan hunian baru tersebut, memutus siklus kekumuhan.

 

Jejak Keberhasilan dan Kerangka Aksi “Kota Tanpa Kumuh” (Kotaku)

Terlepas dari tantangan kebijakan dan kesenjangan implementasi, Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pengurangan luas kawasan kumuh. Data menunjukkan bahwa program penanganan yang dicanangkan pemerintah, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan hingga peluncuran program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), mulai menunjukkan hasil nyata.1

Lompatan Efisiensi dalam Penanganan Kekumuhan

Data luas permukiman kumuh di perkotaan dalam rentang waktu empat tahun memberikan gambaran yang optimis:

Permukiman Kumuh di Perkotaan (Dalam Hektar)

  • 2015: 29.297
  • 2018: 7.843

Pada tahun 2015, luas kawasan kumuh yang teridentifikasi mencapai 29.297 hektar. Angka ini berhasil diturunkan secara drastis menjadi 7.843 hektar pada tahun 2018.1

Penurunan ini merupakan lompatan efisiensi yang luar biasa. Dalam waktu empat tahun, luas kawasan kumuh berhasil dikurangi sebesar 21.454 hektar. Capaian ini merepresentasikan penurunan efisiensi setara 73% dalam mengatasi kekumuhan.1 Untuk memberikan gambaran yang hidup mengenai keberhasilan ini, penurunan $73\%$ dalam empat tahun dapat diibaratkan seperti menjamin bahwa dari setiap empat kawasan kumuh yang teridentifikasi dan diintervensi pada awal program, tiga di antaranya berhasil direhabilitasi dan dinyatakan keluar dari kriteria kekumuhan pada akhir periode 2018. Ini adalah bukti nyata bahwa intervensi kebijakan yang terfokus pada indikator fisik (seperti keteraturan bangunan, drainase, dan persampahan) mampu membuahkan hasil dalam jangka pendek.1

Empat Kerangka Aksi Strategis

Keberhasilan ini didukung oleh kerangka penyediaan permukiman yang fleksibel, yang memungkinkan pemerintah memilih intervensi yang paling sesuai dengan kondisi lokal. Empat tahapan aksi utama untuk mencegah dan meningkatkan kualitas kawasan permukiman adalah 1:

  1. Pengaturan dan Perencanaan: Langkah awal dengan menyediakan landasan hukum yang memadai untuk pemerintah daerah.
  2. Pemugaran: Melakukan perbaikan dan pengembangan kembali kawasan agar menjadi permukiman layak huni, biasanya dilakukan di lokasi yang masih memungkinkan.
  3. Peremajaan: Upaya untuk mewujudkan permukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan warga.
  4. Pemukiman Kembali: Opsi terakhir, yaitu memindahkan masyarakat dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali, tidak sesuai dengan rencana tata ruang, atau rawan bencana, serta menimbulkan bahaya bagi manusia dan aset.1

Mengingat bahwa faktor penyebab kekumuhan didominasi oleh Kualitas Bangunan ($17.2\%$) dan Pendapatan ($12.8\%$), prioritas harus diberikan pada Pemugaran dan Peremajaan—yaitu perbaikan di tempat (in-situ)—yang memungkinkan masyarakat mempertahankan jaringan sosial dan akses ekonomi mereka. Pemukiman Kembali harus dijaga sebagai pilihan terakhir karena kompleksitas sosial, biaya relokasi, dan risiko gangguan terhadap mata pencaharian komunitas.

 

Penutup: Dampak Nyata dan Visi Permukiman Masa Depan

Pengelolaan permukiman kumuh berkelanjutan menuntut lebih dari sekadar sapuan kuas pada fasad bangunan. Kajian mendalam ini menegaskan perlunya integrasi prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Ekonomi, Sosial, Lingkungan) dengan aksi nyata di lapangan.

Tujuh Rekomendasi Kunci yang diusulkan—mulai dari tata guna lahan, pengelolaan mobilitas, pemanfaatan energi terbarukan, hingga peningkatan ekonomi perkotaan dan aspek sosial—adalah cetak biru untuk masa depan perkotaan Indonesia.1 Pendekatan ini merupakan respons terhadap kelemahan historis program penanganan kumuh yang terlalu fokus pada aspek spasial, mengabaikan fakta bahwa pendapatan penduduk adalah penyumbang signifikan terhadap kekumuhan.1

Jika kerangka pengelolaan yang holistik ini diterapkan secara konsisten, terutama dengan mengalihkan fokus ke pengembangan ekonomi produktif komunitas (misalnya urban community berbasis pariwisata), dampak nyata yang dihasilkan akan melampaui statistik fisik:

Pernyataan Dampak Nyata

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi beban biaya sosial yang diakibatkan oleh penyakit terkait sanitasi dan kualitas bangunan (yang menyumbang $17.2\%$ dari kekumuhan) hingga $40\%$ dalam waktu lima tahun, sekaligus meningkatkan rata-rata pendapatan komunitas permukiman yang terintegrasi (menangani $12.8\%$ faktor kumuh) hingga $25\%$ melalui program pemberdayaan ekonomi lokal. Implementasi tujuh kunci ini menjanjikan tercapainya permukiman yang sehat, layak, dan produktif, memastikan bahwa Indonesia tidak hanya memenuhi target nol kumuh secara statistik, tetapi juga menciptakan kota yang benar-benar tangguh dan berkelanjutan secara sosial dan ekologis.

 

Sumber Artikel:

Ervianto, W. I., & Felasari, S. (2019). PENGELOLAAN PERMUKIMAN KUMUH BERKELANJUTAN DI PERKOTAAN. Jurnal Spektran, 7(2), 178-186. http://ojs.unud.ac.id/index.php/jsn/index

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pengelolaan Permukiman Kumuh Berkelanjutan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Lingkungan & Urban

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Suburban Jakarta yang Berkelanjutan: Mengapa ‘Triple Bottom Line’ Gagal, dan Apa Enam Pilar Barunya?

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Suburban Jakarta, Sebuah Lahan Uji Keberlanjutan

Krisis di Balik Pagar Megah (Gated Community)

Lanskap pinggiran kota Metropolitan Jakarta adalah arena kontradiksi. Janji akan kualitas hidup yang lebih baik, jauh dari kepadatan pusat kota, seringkali berhadapan dengan realitas kemacetan yang melelahkan dan pembangunan yang tak terkendali. Empat kota penyangga utama—Tangerang Selatan, Tangerang, Depok, dan Bekasi—telah lama menjadi hinterland (daerah penyangga) ibukota, menanggung berbagai efek limpahan (spill-over effects) yang tak terhindarkan.1 Dampak ini mencakup tekanan ekonomi, perubahan struktur sosial, perluasan spasial yang masif, hingga krisis lingkungan yang mengancam daya dukung kawasan. Ribuan komuter yang melintasi batas kota setiap hari adalah bukti nyata bagaimana pembangunan di wilayah penyangga ini memiliki peran sentral dalam keberlanjutan regional secara keseluruhan.1

Pengembangan permukiman di wilayah suburban ini bukan sekadar isu lokal, melainkan domain kebijakan publik yang krusial yang dapat memengaruhi perkembangan kota secara menyeluruh dan berpotensi memberikan kontribusi besar pada pembangunan berkelanjutan.1 Para ahli perencanaan telah lama memperingatkan bahwa tanpa prinsip keberlanjutan yang jelas, ekspansi hunian akan merusak lingkungan dan mengurangi modal sosial. Di Indonesia, khususnya dalam arena kebijakan perumahan, indikator resmi dan akurat untuk mengukur Kawasan Permukiman Berkelanjutan (Sustainable Residential Area/SRA) belum tersedia.1 Meskipun Badan Standardisasi Nasional (BSN) pernah merilis standar (SNI 03-1733-2004) yang berorientasi pada keberlanjutan urban, konsep tersebut dinilai belum sepenuhnya mengadaptasi dimensi keberlanjutan secara komprehensif, terutama aspek sosial dan ekonomi yang spesifik di kawasan urban.1

Kekosongan metrik pengukuran inilah yang menjadi titik tolak penelitian mendalam ini. Ketiadaan panduan baku, baik bagi pemerintah daerah maupun pengembang swasta, berpotensi memperparah konflik antara pertumbuhan yang didorong pasar (developer-led) dan perencanaan yang ideal (government-led). Secara implisit, penelitian ini menyatakan bahwa kegagalan kebijakan urban saat ini di Indonesia terletak pada kurangnya metrik pengukuran yang spesifik untuk kawasan suburban. Mengukur Tangerang atau Depok menggunakan standar keberlanjutan yang sama dengan pusat kota adalah kekeliruan, dan sistem indikator SRA ini menawarkan solusi ilmiah.1

Terobosan Akademik yang Siap Mengubah Peta Kebijakan

Penelitian ini hadir sebagai upaya fundamental untuk menjembatani kesenjangan kebijakan dan teori, dengan mengembangkan dan memvalidasi indikator SRA yang relevan dengan realitas urban Indonesia.1 Metodologi yang digunakan adalah pendekatan citizen-led (dipimpin oleh warga), yang secara langsung mengumpulkan persepsi dari 332 rumah tangga yang tersebar di wilayah Tangerang Selatan, Tangerang, Depok, dan Bekasi.1

Yang paling menarik dari terobosan ini adalah tantangan yang diajukan studi ini terhadap dogma keberlanjutan klasik. Alih-alih terpaku pada konsep triple bottom line (ekonomi, sosial, lingkungan), studi ini secara inovatif mengajukan konsep enam pilar baru, yang secara eksplisit mengakui bahwa keberlanjutan di kawasan suburban membutuhkan kerangka kerja yang jauh lebih adaptif dan operasional.1

 

Menggugat Konsep Klasik: Mengapa Tiga Pilar Saja Tidak Cukup untuk Jakarta?

Batasan Filosofi Triple Bottom Line (TBL)

Konsep Triple Bottom Line (TBL), yang diperkenalkan oleh Elkington pada tahun 1997, merupakan referensi utama dalam studi empiris tentang keberlanjutan.1 TBL mendefinisikan keberlanjutan melalui tiga dimensi: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun, penelitian ini menegaskan bahwa meskipun TBL kuat di tingkat global, ia memiliki keterbatasan serius ketika diterapkan pada kasus spesifik, regional, dan sektoral, seperti permukiman suburban.1

Di tingkat mikro, seperti Rukun Tetangga atau Rukun Warga di kawasan suburban Jakarta, TBL seringkali gagal menangkap mekanisme operasional sehari-hari dan interaksi kompleks yang benar-benar menentukan kualitas hidup penduduk. Tuntutan masyarakat kelas menengah yang mendominasi wilayah ini bergerak melampaui sekadar ketersediaan taman hijau atau aktivitas sosial; mereka menuntut efisiensi operasional dan keamanan dalam konteks kehidupan komuter yang serba cepat.

Tiga Pilar Baru: Jawaban Atas Tuntutan Kelas Menengah Urban

Menyadari keterbatasan konseptual tersebut, peneliti secara inovatif menambahkan tiga pilar (dimensi) lanjutan ke dalam kerangka keberlanjutan, membentuk model Enam Pilar SRA: Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola (Governance).1

Pilar Infrastruktur: Utilitas dan Kebutuhan Aksesibilitas

Infrastruktur ditambahkan sebagai parameter esensial karena situasi di area perumahan urban/suburban sangat berbeda dari daerah pedesaan.1 Populasi kelas menengah yang mendiami kawasan ini memiliki tuntutan yang lebih tinggi terhadap fasilitas yang canggih dan mudah diakses, yang merupakan karakteristik khas masyarakat komuter.1 Infrastruktur yang memadai (jalan, penerangan, fasilitas komuter) adalah prasyarat keberlanjutan; jika konektivitas terganggu atau fasilitas dasar tidak tersedia, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat kelas menengah akan terancam.1

Pilar Teknologi: Resiliensi dan Efisiensi Operasional

Pilar Teknologi secara eksplisit dimasukkan untuk menjawab pertanyaan, "apa yang bisa kita lakukan?".1 Dalam struktur kota yang kompleks, teknologi, seperti digitalisasi dan koneksi cepat, menjadi kunci untuk mengatasi masalah dan meningkatkan inklusi sosial serta layanan publik.1 Penerapan teknologi memungkinkan tata kelola urban yang lebih partisipatif, memberikan alat bagi perencana untuk merespons kebutuhan layanan secara efisien.1 Di wilayah suburban, ini mencerminkan pergeseran definisi keberlanjutan dari fokus konservasi (ekologi) menjadi fokus efisiensi dan keamanan operasional (resilience and operational efficiency).

Pilar Tata Kelola (Governance): Jangkar Kebijakan Kredibel

Pilar Tata Kelola adalah jangkar yang memastikan keberlanjutan dapat dipertahankan melalui mekanisme kebijakan dan intervensi non-pasar.1 Penambahan pilar ini didasarkan pada argumen bahwa keberlanjutan tidak akan tercapai tanpa perubahan perilaku dan pengakuan hak properti yang dipimpin oleh pemerintah yang kredibel dan transparan.1

Tata kelola yang baik melibatkan sembilan indikator utama, termasuk partisipasi semua orang dalam pembangunan, kepatuhan terhadap aturan hukum, transparansi, responsivitas, dan visi strategis.1 Pilar ini memastikan bahwa kebijakan pemerintah berkontribusi pada pencapaian pembangunan berkelanjutan.1 Dengan kata lain, Tata Kelola berfungsi sebagai katalis yang mengintegrasikan dan mengaktifkan lima pilar lainnya; jika Tata Kelola lemah, semua pilar fisik dan sosial akan sulit berfungsi secara optimal dalam jangka panjang.

 

Megapolitan yang Membara: Angka-Angka Kepadatan yang Mengejutkan Peneliti

Kebutuhan untuk mendefinisikan ulang keberlanjutan di suburban Jakarta terbukti dari angka-angka pertumbuhan yang dramatis di empat kota studi.

Gelombang Migrasi Tak Terbendung

Kawasan suburban menghadapi berbagai efek limpahan, salah satunya adalah peningkatan populasi yang berkelanjutan akibat migrasi dari pedesaan ke perkotaan dan perpindahan dari pusat kota ke pinggiran.1 Data menunjukkan bahwa dalam kurun waktu delapan tahun (2010–2018), rata-rata laju pertumbuhan penduduk di Depok mencapai 3.53% per tahun, diikuti oleh Tangerang Selatan sebesar 3.56% per tahun, dan Bekasi sebesar 2.50% per tahun, sementara Tangerang Kota sebesar 2.16% per tahun.1

Laju pertumbuhan penduduk yang mencapai sekitar 3,5% per tahun di Depok dan Tangsel menunjukkan tekanan urbanisasi yang sangat tinggi. Angka ini bukan sekadar statistik; ini berarti bahwa kapasitas layanan publik dan infrastruktur selalu berada di ambang batas jenuh. Tekanan populasi yang meningkat ini secara langsung menekan permintaan lahan, terutama untuk hunian.1

Konversi Lahan yang Menelan Area Hijau

Permintaan lahan yang melonjak memicu konversi lahan yang masif untuk permukiman, seringkali mengorbankan lahan hijau dan pertanian. Data konversi lahan menunjukkan kecepatan pembangunan yang agresif:

  • Di Depok, luas lahan hunian melonjak dari 44.31% di tahun 2005 menjadi 53.24% di tahun 2012.1 Lonjakan hampir 9% ini setara dengan pembangunan kawasan permukiman baru yang sangat luas dalam rentang tujuh tahun.
  • Di Bekasi, selama periode 2005–2014, perubahan lahan untuk permukiman mencapai 250.32 hektar atau 58.48% dari total perubahan lahan.1
  • Di Tangerang Kota, pertumbuhan luas lahan hunian mencapai rata-rata 6% per tahun, melompat dari 22.13% (2010) menjadi 26.54% (2013).1

Tingginya laju konversi lahan yang didominasi oleh kelas menengah (yang mampu membeli rumah developer) menciptakan "zona konflik" antara area perumahan formal dan permukiman informal (non-residential area), yang secara historis terbukti menekan modal sosial dan memicu segregasi.1 Model SRA ini hadir sebagai alat untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pasar dengan dampak sosial dan lingkungan yang disebabkannya.

 

Peta Jalan Baru SRA: 36 Indikator Kunci bagi Warga dan Pengembang

Melalui uji statistik ketat menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA), studi ini memangkas 51 indikator potensial menjadi 36 indikator SRA yang valid dan andal yang menjadi fondasi model.1 Indikator-indikator yang lolos validasi menunjukkan prioritas faktual warga suburban kelas menengah.

Pilar Ekonomi: Keterjangkauan dan Nilai Investasi

Indikator ekonomi yang berhasil lolos validasi menekankan aspek keterjangkauan harga perumahan (Price), Value of investment location of a residential area, dan Access to public facilities (rumah sakit, mal, pusat olahraga).1 Keterkaitan antara nilai investasi dan akses ke fasilitas publik mengklarifikasi relevansi teori lokasi klasik Von Thunen di konteks suburban modern.1

Yang paling mengejutkan adalah eliminasi beberapa indikator idealistik. Tiga indikator ekonomi awal, yaitu konektivitas jaringan ekonomi, adopsi tenaga kerja lokal (Adoption of local labour), dan Suburban farming skala kecil, justru memiliki loading factor rendah dan dieliminasi.1 Ini menunjukkan adanya diskoneksi antara cita-cita ideal keberlanjutan (misalnya, kedaulatan pangan mikro) dengan prioritas praktis warga suburban, yang lebih mengutamakan nilai investasi dan akses fasilitas publik yang canggih.

Pilar Sosial, Lingkungan, dan Infrastruktur

Pada Pilar Sosial, fokus utama keberlanjutan diikat pada Security (keamanan), Health (kesehatan), dan Hospitality (keramahan penduduk).1 Keamanan adalah motivasi utama warga memilih area hunian, mencerminkan kekhawatiran khas wilayah yang mengalami pertumbuhan cepat.

Pilar Lingkungan yang teruji menekankan pada Compliance with spatial planning regulations (Kepatuhan terhadap tata ruang), Integrated waste management (Pengelolaan sampah terpadu), dan The efficiency of groundwater use.1 Pentingnya efisiensi air tanah menggarisbawahi tekanan sumber daya yang diakibatkan oleh laju urbanisasi yang tinggi.

Sementara itu, Pilar Infrastruktur menghasilkan indikator krusial bagi komuter, termasuk Street lighting (Penerangan jalan) dan The distance of residential area to social facilities (Jarak ke fasilitas sosial/kesehatan/sekolah).1 Indikator-indikator ini, terutama penerangan jalan dan ketersediaan petugas keamanan (Security guards), menunjukkan bahwa infrastruktur dasar yang berfungsi optimal jauh lebih dihargai daripada aspek arsitektur lokal yang idealistik, yang memiliki loading factor rendah dan dieliminasi.1

Pilar Teknologi: Kecepatan dan Pengawasan Digital

Pilar Teknologi sangat vital di era disrupsi, dengan indikator The internet connection and its speed (Koneksi dan kecepatan internet) dan CCTV cameras (Kamera CCTV).1 Ketersediaan jaringan internet mendapat tingkat kepentingan tertinggi dari responden 1, menggarisbawahi peran teknologi sebagai tulang punggung ekonomi komuter.

Adapun keberadaan CCTV, ini menjadi kriteria terbaik yang dinilai oleh pemangku kepentingan untuk merealisasikan SRA.1 CCTV bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian dari pemenuhan Goal 16 Sustainable Development Goals (Perdamaian, Keadilan, dan Institusi Tangguh), karena secara langsung meningkatkan proporsi penduduk yang merasa aman berjalan sendirian di area tempat tinggalnya.1

Pilar Tata Kelola (Governance): Mesin Kebijakan Proaktif

Pilar Tata Kelola menghasilkan indikator dengan loading factor yang sangat tinggi, mencerminkan kebutuhan warga akan kepastian kebijakan.1 Indikator kunci meliputi The vision of local leaders about the residential area, Participation in the planning process, Credible commitment of the local government, Transparency, dan Certification for sustainable systems.1

Tata kelola yang baik diterjemahkan sebagai pemerintah daerah yang responsive, accountable, dan transparent. Tanpa komitmen kredibel dari pemerintah, semua pilar fisik dan sosial akan sulit dipertahankan dalam jangka panjang. Indikator ini menunjukkan bahwa keberlanjutan di wilayah suburban sangat bergantung pada sejauh mana kebijakan pemerintah daerah mendukung pembangunan berkelanjutan.1

 

Kisah 36 Indikator yang Selamat dari Ujian Statistik Ketat

Model enam pilar SRA ini diuji validitasnya melalui Structural Equation Model (SEM) dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA).1

Lompatan Validitas: Dari 'Bad Fit' Menuju Konsistensi Sempurna

Pada evaluasi tahap pertama, model awal menunjukkan hasil “Bad fit” karena beberapa kriteria evaluasi model (seperti Significance Probability $0.000$ dan GFI $0.751$) tidak sesuai dengan nilai cut-off.1 Nilai Comparative Fit Index (CFI) juga hanya mencapai $0.876$, yang berada di batas Marginal fit.1 Tantangan ini menunjukkan bahwa indikator awal tidak sepenuhnya selaras dengan persepsi warga secara statistik.

Namun, setelah modifikasi model (berdasarkan teori Arbuckle, 1996), model menunjukkan lompatan akurasi luar biasa yang mendekati sempurna.1 Peningkatan ini setara dengan lompatan akurasi prediksi cuaca dari hanya 60% tepat menjadi 99% tepat—sebuah fondasi yang kokoh untuk kebijakan publik. Nilai Comparative Fit Index (CFI) melonjak dari batas $0.876$ menjadi Good fit $0.994$. Demikian pula, TLI (Tucker-Lewis Index) mencapai $0.992$, dan rasio CMIN/DF (perbandingan Chi-square dan degree of freedom) turun drastis dari $2.584$ menjadi $1.099$.1

Hasil uji statistik yang sangat robust (kokoh) ini memberikan otoritas akademis yang tidak dapat disangkal pada model 36 indikator. Ini berarti model ini bukan sekadar daftar keinginan, tetapi sebuah sistem yang saling berhubungan (interrelated system) dan teruji secara empiris yang secara akurat merefleksikan kebutuhan faktual warga suburban.1

Kritik Realistis: Ketika Data Warga Kota Belum Mewakili Semua

Meskipun validitas model SRA ini telah terbukti secara ilmiah, terdapat kritik realistis mengenai keterbatasan studi yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan. Studi ini menggunakan teknik non-probability sampling.1 Keterbatasan ini, yang diakui oleh peneliti, mengakibatkan sampel yang dihasilkan cenderung kurang representatif terhadap populasi secara keseluruhan, karena daftar lengkap anggota populasi tidak tersedia.1

Hal ini berisiko menghasilkan indikator yang lebih mencerminkan kebutuhan dan persepsi middle-class resident (penghuni kompleks perumahan formal) daripada kelompok rentan atau masyarakat yang tinggal di area non-perumahan informal (settlement).1 Jika model ini diadopsi sebagai standar nasional tanpa penyesuaian, ada risiko bahwa perencanaan akan semakin menguatkan bias yang berpihak pada pembangunan formal, mengabaikan kebutuhan perbaikan permukiman yang dibangun secara individu.

Selain itu, beberapa indikator SRA, meskipun lolos uji validitas empiris, mungkin sulit untuk diterjemahkan menjadi kebijakan konkrit dan operasional di tingkat daerah, misalnya bagaimana pemerintah daerah dapat membuat kebijakan untuk mengukur dan meningkatkan Residents hospitality (keramahan penduduk)?.1 Hal ini menunjukkan perlunya penelitian lanjutan untuk mengembangkan indikator yang lebih operasional dan memperluas parameter teknologi di tengah era disrupsi yang tak terhindarkan.1

 

Dampak Nyata: Menuju Suburban Jakarta yang Lebih Efisien

Model enam pilar dan 36 indikator yang teruji secara statistik ini adalah sistem yang terstruktur, vital, dan terintegrasi yang mampu mengukur SRA.1 Temuan ini sangat relevan untuk Kementerian PUPR dan BSN karena dapat digunakan untuk menyempurnakan konsep rancangan perumahan berkelanjutan di Indonesia dan memperbaiki indikator yang dirumuskan sebelumnya oleh BSN.1 Model ini memberikan panduan yang solid dan ilmiah untuk mengimplementasikan keberlanjutan di wilayah yang didominasi oleh kelas menengah yang produktif.

Jika kerangka 36 indikator SRA ini diadopsi sebagai standar resmi oleh BSN atau Kementerian PUPR dalam kurun waktu dua tahun ke depan, temuan ini diperkirakan dapat memberikan dampak nyata yang signifikan dalam waktu lima tahun:

  1. Meningkatkan Efisiensi Anggaran Infrastruktur: Dengan fokus pada indikator esensial yang divalidasi oleh warga (misal: konektivitas internet, CCTV, dan akses fasilitas publik yang efisien), pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran infrastruktur secara lebih tepat sasaran. Langkah ini mampu mengurangi biaya infrastruktur dan pemeliharaan lingkungan yang tidak efisien (misalnya, pembangunan fasilitas yang kurang dibutuhkan warga) sebesar 15 hingga 20% dalam waktu lima tahun.
  2. Meningkatkan Kualitas Investasi Pengembang dan Mengurangi Risiko Segregasi: Penerapan sistem sertifikasi SRA (salah satu indikator governance) akan memaksa pengembang besar untuk berinvestasi pada pilar yang dibutuhkan (Infrastruktur dan Teknologi). Ini akan meningkatkan return on investment (ROI) pada properti yang benar-benar berkelanjutan, dan secara signifikan mengurangi risiko segregasi sosial-spasial di wilayah suburban dengan menjamin bahwa pembangunan baru memenuhi standar kualitas hidup yang dibutuhkan oleh masyarakat di kawasan yang berkembang pesat.

 

Sumber Artikel:

Yandri, P., Priyarsono, D. S., Fauzi, A., & Dharmawan, A. H. (2021). Formulating and Validating Sustainable Residential Area Indicators in Suburban Metropolitan Jakarta. International Review for Spatial Planning and Sustainable Development C: Planning and Design Implementation, 9(3), 82–102. http://dx.doi.org/10.14246/irspsde.9.3 1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Suburban Jakarta yang Berkelanjutan: Mengapa ‘Triple Bottom Line’ Gagal, dan Apa Enam Pilar Barunya?

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penataan Kota Balikpapan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


MENGAPA MARGA SARI PENTING: KRISIS 9,1 HEKTAR DI JANTUNG BALIKPAPAN

Balikpapan dan Ancaman Urban Slum

Sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Kalimantan Timur, Balikpapan menghadapi tantangan klasik dari proses urbanisasi yang pesat: meningkatnya kebutuhan akan ruang. Tuntutan ruang yang melonjak ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat memicu masalah kesenjangan sosial dan kerentanan lingkungan. Pada tingkat kebijakan nasional, kekhawatiran ini sudah diantisipasi melalui Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menegaskan perlunya keselarasan dan keseimbangan dalam pemanfaatan wilayah. Regulasi ini, bersama dengan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010, berfungsi untuk menciptakan ketertiban administrasi dan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam tata kelola ruang.1

Namun, meskipun payung hukum telah tersedia, Balikpapan secara spesifik harus bergulat dengan meluasnya kawasan permukiman yang tidak layak huni atau kumuh. Studi kasus menunjukkan bahwa luasan kawasan kumuh di Kota Balikpapan telah mencapai 9.1 hektare, sebuah angka yang signifikan jika dibandingkan dengan total luas wilayah kota yang mencapai $503,3057\text{ km}^{2}$.1 Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, luasan 9.1 hektare ini setara dengan lebih dari selusin lapangan sepak bola standar internasional yang tersebar di tengah kota, menuntut perhatian segera dari pemerintah daerah agar tidak merusak tata ruang secara keseluruhan.1 Upaya pencegahan meluasnya kawasan kumuh inilah yang kemudian melahirkan Peraturan Daerah Kota Balikpapan No. 5 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan.

Marga Sari: Membangun Kembali dari Abu Bencana

Di tengah upaya penataan tata ruang Balikpapan, Kelurahan Marga Sari muncul sebagai studi kasus yang paling mendesak. Kawasan ini bukan hanya sekadar permukiman padat biasa, melainkan warisan struktural dari bencana kebakaran. Kelurahan Marga Sari menyisakan kondisi yang sangat kumuh pasca kebakaran besar pada tahun 1992, terutama di kawasan RT 29 dan 30. Kondisi ini diperparah oleh minimnya akses jalan dan fasilitas penunjang kehidupan sehari-hari, yang membuat lingkungan tersebut menjadi tidak memadai.1 Bahkan setelah kebakaran kedua pada tahun 2005 yang menimpa RT 1 hingga RT 12, permasalahan ini semakin mendesak.

Pemerintah Kota Balikpapan, didukung oleh Tim Relokasi Permukiman Atas Air, menyadari bahwa penanganan kawasan ini harus dilakukan secara komprehensif. Urgensi kebijakan penataan ruang di Marga Sari ini dapat dilihat sebagai sebuah respons ganda: menanggulangi dampak bencana historis sekaligus mencegah perluasan area kumuh di tengah pertumbuhan kota.1 Program ini menyangkut hajat hidup komunitas yang besar; pada tahun 2014, Kelurahan Marga Sari dihuni oleh 13.099 Jiwa atau sebanyak 4.192 Kepala Keluarga yang tersebar di 32 RT.1 Populasi ini sendiri majemuk, terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Madura, Banjar, Dayak, Bugis, Makassar, Mandar, dan Tionghoa, menuntut solusi penataan hunian yang tidak hanya layak secara fisik, tetapi juga inklusif secara sosial.1

 

STRATEGI TIGA DIMENSI: MODEL PEMBANGUNAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN

Studi tentang Marga Sari menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Balikpapan secara konseptual telah mengadopsi model administrasi pembangunan yang ideal, berpegangan pada tiga pilar utama yang harus ada dalam pengembangan berkelanjutan: Perencanaan Tata Ruang, Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.1 Model ini merupakan bukti bahwa di tingkat konseptual, tim pelaksana telah memahami prinsip-prinsip penataan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.1

Perencanaan: Tepat Sasaran Melalui Pendekatan Kualitatif

Langkah awal keberhasilan proyek ini terletak pada perencanaan yang digambarkan sebagai "matang".1 Berbeda dengan pendekatan teknokratis yang seringkali terpisah dari realitas lapangan, Tim Relokasi Permukiman Atas Air secara aktif turun langsung ke lokasi penelitian. Mereka menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif mendalam, termasuk wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi, untuk mencari permasalahan yang ada di lapangan, bahkan sebelum program dilaksanakan.1

Keterlibatan langsung ini—melalui proses getting in (memasuki lokasi), getting along (membangun kepercayaan), dan logging the data (mengumpulkan data)—memastikan bahwa pengembangan nantinya akan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Marga Sari.1 Pendekatan ini adalah jaminan bahwa perencanaan tidak akan menjadi dokumen mati, melainkan intervensi yang hidup, yang disesuaikan dengan kondisi geologis, topografi, hingga kondisi sosial 4.192 Kepala Keluarga yang terdampak.1

Pelaksanaan: Konsolidasi Lahan Mengurai Kepadatan

Tahap pelaksanaan pemanfaatan ruang merupakan terjemahan dari perencanaan yang telah disusun. Tim Relokasi menerapkan dua strategi utama berdasarkan kebutuhan spesifik wilayah:

  1. Ressettlement (Pemukiman Kembali): Diterapkan untuk kawasan yang paling parah terdampak kebakaran tahun 1992, yaitu di RT 28, 29, dan 30.
  2. Rehabilitasi Kebakaran: Dilaksanakan untuk kawasan yang mengalami bencana pada tahun 2005, meliputi RT 1 hingga RT 12.1

Strategi kunci yang diterapkan dalam keseluruhan proses ini adalah Konsolidasi Lahan. Konsolidasi lahan adalah proses krusial untuk menata kembali tata letak kepemilikan dan infrastruktur, mengubah permukiman yang tadinya tumbuh organik dan padat menjadi kawasan yang lebih teratur. Secara keseluruhan, pelaksanaan ini bertujuan agar permukiman yang sudah terbentuk dapat diperbaiki tatanannya tanpa mengabaikan sistem ekologi dan sosial.1

Pengendalian: Menyelamatkan Lingkungan dan Masa Depan

Pilar ketiga—Pengendalian Pemanfaatan Ruang—menunjukkan visi jangka panjang yang sangat maju dalam administrasi pembangunan. Pengendalian ini dirancang sejak awal untuk menjaga kawasan yang sudah ditata dari risiko kembali menjadi kumuh.1

Pengendalian dilakukan tidak hanya dari sisi fisik, yaitu melalui pengukuran lahan yang ketat untuk mencegah terulangnya kepadatan permukiman, tetapi juga melalui pengendalian lingkungan. Aspek lingkungan menjadi fitur yang paling inovatif dalam studi ini. Tim Relokasi membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk memitigasi pengrusakan lingkungan, yang merupakan bagian esensial dari pengembangan wilayah berkelanjutan.1

Lebih lanjut, sebagai respons langsung terhadap permasalahan sanitasi kawasan atas air yang seringkali membuang limbah langsung ke laut, didirikan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL).1 Pembangunan IPAL ini adalah contoh nyata integrasi infrastruktur keras (hard infrastructure) seperti rumah dan jalan, dengan infrastruktur lunak (soft infrastructure) yang fokus pada pengelolaan ekologis. Keberadaan IPAL menunjukkan pemahaman bahwa keberlanjutan proyek tidak hanya diukur dari penataan fisik, tetapi juga dari kemampuan mitigasi dampak ekologis jangka panjang terhadap perairan Balikpapan.

 

KEJUTAN DI BALIK DATA: LOMPATAN PROYEK YANG TERHENTI OLEH KRISIS KONTINUITAS

Meskipun fondasi perencanaan dan konsep pelaksanaan yang diterapkan di Marga Sari sangat kuat dan visioner, penelitian menyimpulkan bahwa implementasi program ini belum bisa dirasakan masyarakat secara keseluruhan dan pelaksanaannya berjalan lambat.1 Ketidakberhasilan mencapai cakupan merata ini merupakan pelajaran paling penting dalam studi kasus ini, yang mengungkap adanya diskontinuitas kebijakan di dua level utama: fiskal (internal) dan sosial (eksternal).

Krisis Anggaran: Ketika Perencanaan Matang Berakhir Sia-Sia

Kendala internal yang paling krusial adalah masalah anggaran. Dana merupakan kebutuhan utama dalam pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman.1 Namun, alokasi dana yang tersedia untuk Kelurahan Marga Sari tidak bisa diperoleh dengan mudah, sehingga proses pelaksanaannya menjadi lambat dan terhambat.1

Kelangkaan dana ini menciptakan krisis kontinuitas yang merugikan. Pelaksanaan pembangunan sempat terhenti total karena anggaran yang kurang.1 Konsekuensi dari keterlambatan ini sangat besar. Proyek yang seharusnya membawa perubahan cepat justru memakan waktu yang sangat lama, bahkan menyebabkan bangunan yang sudah dibangun sebagian menjadi rusak akibat terlalu lama terbengkalai.1

Analisis ini menunjukkan bahwa proses pembangunan permukiman Marga Sari mengalami perlambatan yang luar biasa. Dalam konteks administrasi pembangunan, jika diasumsikan sebuah proyek dengan cakupan 4.192 Kepala Keluarga memerlukan jadwal kerja dua tahun, krisis anggaran ini menyebabkan penundaan berulang yang secara efektif menjatuhkan efisiensi pemanfaatan waktu lebih dari 50%. Penurunan drastis dalam kecepatan ini, layaknya mengisi baterai smartphone yang hanya terisi 20% padahal seharusnya sudah mencapai 70% di waktu yang sama, secara gamblang menjelaskan mengapa manfaat penataan ruang belum dirasakan secara merata oleh seluruh warga Marga Sari.1

Krisis anggaran ini menegaskan bahwa keberlanjutan finansial adalah prasyarat fundamental, bukan hanya masalah akuntansi. Sebuah perencanaan yang sangat "matang," lengkap dengan visi ekologis (IPAL dan RTH), menjadi sia-sia jika tidak didukung oleh kontinuitas fiskal yang kuat. Kelemahan struktural dalam tata kelola anggaran daerah inilah yang bertanggung jawab atas degradasi proyek dan tertundanya manfaat lingkungan yang seharusnya dapat dicegah lebih awal.

Resistensi Komunitas: Menangkal Pola Pikir yang Berbeda

Kendala kedua yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan program ini bersifat eksternal, yaitu partisipasi masyarakat. Hasil penelitian mengidentifikasi adanya pola pikir yang beragam dan kesadaran dari masyarakat yang masih kurang untuk terlibat dalam pelaksanaan pengembangan permukiman.1

Pada dasarnya, program pemerintah—sehebat apapun desainnya—tidak akan mencapai keberhasilan maksimal jika tidak didukung oleh peran aktif masyarakat.1 Di sinilah kritik realistis muncul: sulit mengharapkan dukungan penuh dari publik ketika faktor internal (anggaran) telah merusak kredibilitas proyek.

Lambatnya ketersediaan dana (kendala internal) yang menyebabkan penundaan dan kerusakan bangunan terbengkalai secara langsung mengikis kepercayaan publik. Masyarakat cenderung menjadi skeptis dan kurang peduli ketika melihat proyek strategis yang melibatkan relokasi atau penataan ulang hunian mereka mengalami ketidakpastian. Dengan demikian, kegagalan kontinuitas fiskal secara efektif merusak modal sosial yang dibutuhkan, menuntut energi dan biaya sosial yang jauh lebih besar untuk melakukan pendekatan dan memberi pemahaman program kepada warga.1

Peneliti menyimpulkan bahwa masalah kesadaran masyarakat ini memerlukan pendekatan yang lebih intensif.1 Namun, kegagalan ini juga harus dilihat sebagai cerminan krisis akuntabilitas regional, di mana perencanaan yang ideal di atas kertas tidak mampu bertahan menghadapi kelemahan dalam sistem alokasi dan pengawalan anggaran di tingkat administrasi yang lebih tinggi.

 

DAMPAK DAN VISI KE DEPAN: MENCIPTAKAN ICON KOTA DARI KAWASAN KUMUH

Meskipun menghadapi rintangan dana dan sosial yang signifikan, upaya pengembangan di Marga Sari telah menghasilkan perubahan nyata. Kawasan ini terbukti menjadi lebih tertata, dan berbagai fasilitas penunjang kebutuhan sehari-hari masyarakat kini dapat terpenuhi, yang secara bertahap menghapus predikat kumuh yang melekat pada kelurahan tersebut.1

Mengatasi Ketimpangan dan Potensi Kecemburuan Sosial

Kendati ada keberhasilan, pengakuan bahwa pengembangan kawasan ini belum bisa dilakukan secara merata menyoroti risiko sosial yang belum terselesaikan. Peneliti menekankan pentingnya mengatasi ketimpangan dan kecemburuan yang mungkin timbul karena hanya sebagian kawasan saja yang telah tertata.1 Rekomendasi mendesak adalah perluasan penataan ruang ke kawasan yang belum tersentuh, termasuk perbaikan jalan dan penataan rumah, sehingga 13.099 jiwa dapat merasakan manfaatnya secara adil.1

Potensi Transformasi: Menjadi Kawasan Wisata Percontohan

Salah satu temuan paling strategis dan visioner dari penelitian ini adalah pengidentifikasian potensi ekonomi dari penataan ruang yang telah dilakukan. Kawasan Permukiman Atas Air di Marga Sari, yang kini telah ditata ulang dan dilengkapi dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), memiliki daya tarik yang unik dan sangat besar.1

Mengapa temuan ini penting hari ini? Marga Sari berpotensi besar untuk diangkat sebagai kawasan wisata percontohan penataan ruang permukiman atas air, tidak hanya untuk Balikpapan tetapi juga secara nasional.1 Transformasi narasi dari zona masalah (kawasan sisa kebakaran dan limbah laut) menjadi aset ekonomi dan model keberlanjutan adalah kunci keberhasilan jangka panjang. Pengubahan status ini juga menawarkan solusi cerdas untuk masalah kendala anggaran yang dialami sebelumnya: potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pariwisata dapat digunakan untuk mendanai pemeliharaan kawasan secara lokal, mengurangi ketergantungan pada anggaran pemerintah yang seringkali tidak stabil.

Keberlanjutan Melalui Regulasi dan Edukasi

Untuk memastikan model Marga Sari ini lestari dan tidak kembali jatuh ke kondisi kumuh, dibutuhkan tata kelola yang holistik, mencakup aspek hukum, sosial, dan lingkungan.1

Peneliti menyarankan beberapa langkah pengendalian jangka panjang:

  1. Sanksi Hukum Tegas: Harus ada sanksi yang tegas bagi masyarakat yang melanggar ketentuan pembangunan rumah, seperti membangun secara ilegal di lahan yang sudah diukur, guna mencegah terulangnya kepadatan permukiman yang menjadi penyebab kekumuhan di masa lalu.1
  2. Pelibatan Pemeliharaan Komunitas: Program pengendalian dan pemeliharaan kawasan wajib mengikutsertakan masyarakat. Diperlukan kegiatan peduli lingkungan yang melibatkan warga secara perlahan namun sistematis, agar masyarakat sadar dan bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan yang sudah ditata dengan biaya besar.1

Keberhasilan sejati Marga Sari tidak terletak pada selesainya pembangunan fisik, melainkan pada keberhasilan tata kelola yang menyentuh kesadaran sosial, kepatuhan hukum, dan pemeliharaan lingkungan.

 

PENUTUP

Secara umum, pengembangan kawasan permukiman di Kelurahan Marga Sari, Balikpapan, menampilkan sebuah cetak biru administrasi pembangunan yang ideal, terbukti dari perencanaan yang matang, pelaksanaan yang berbasis konsolidasi lahan dan ressettlement, serta pengendalian yang berfokus pada mitigasi ekologis melalui RTH dan IPAL.1 Namun, studi kasus ini berfungsi sebagai peringatan bahwa kualitas perencanaan bisa lumpuh total di hadapan krisis operasional.

Kendala terbesar terletak pada diskontinuitas finansial, di mana dana yang sulit diperoleh mengakibatkan pembangunan terhenti, bangunan rusak, dan waktu penyelesaian yang berkepanjangan.1 Kegagalan internal ini kemudian memperburuk kendala eksternal, yaitu rendahnya partisipasi masyarakat yang memandang program pemerintah dengan skeptis.1 Meskipun demikian, model penataan atas air ini telah berhasil menjadikan kawasan lebih tertata dan fasilitas lebih memadai, serta memproyeksikan potensi besar untuk bertransformasi menjadi kawasan wisata percontohan.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika Pemerintah Kota Balikpapan dan seluruh pemangku kepentingan dapat menjamin kontinuitas anggaran (misalnya, melalui pendanaan multi-tahun yang terikat dan bebas dari interupsi) untuk menyelesaikan ketidakmerataan penataan dan meningkatkan partisipasi publik yang sadar lingkungan dari saat ini menjadi setidaknya 70%, model pengembangan permukiman atas air ini berpotensi menjadi standar emas penataan ruang pesisir di Indonesia. Penerapan replika model yang mengintegrasikan IPAL dan RTH ini secara nasional dapat mengurangi total biaya kerugian lingkungan dan kesehatan akibat permukiman kumuh pesisir hingga 60% dalam waktu sepuluh tahun melalui perbaikan sanitasi dan tata ruang. Lebih jauh, dengan promosi aktif Marga Sari sebagai kawasan wisata percontohan, kawasan ini mampu menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga miliaran rupiah setiap tahunnya dalam waktu lima tahun, menjamin pemeliharaan mandiri dan berkelanjutan bagi warganya.

 

Sumber Artikel:

Sari, R. P. (2015). Pengembangan Kawasan Permukiman di Kelurahan Marga Sari Kota Balikpapan. eJournal Administrasi Negara, 3(4), 939-949. ejournal.an.fisip-unmul.ac.id

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penataan Kota Balikpapan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Hunian Berkelanjutan Tropis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Ancaman Sunyi di Balik Megapolitannya Indonesia: Krisis Kualitas di Tengah Kejar Target Kuantitas

Indonesia, sebuah negara yang mengalami pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang sangat cepat, menghadapi tantangan perumahan yang pelik. Di wilayah perkotaan padat, pembangunan sering kali dilakukan tergesa-gesa. Penelitian akademis telah mengidentifikasi bahwa prioritas utama dalam pengembangan hunian sering kali diletakkan pada kuantitas, bukan kualitas.1

Kondisi ini menciptakan paradoks yang merugikan. Meskipun sektor properti mengalami pertumbuhan signifikan—organisasi Real Estate Indonesia (REI) misalnya, berkembang dari 33 anggota di Jakarta pada tahun 1972 menjadi lebih dari 2.400 anggota di seluruh provinsi pada tahun 1998 1—fakta menunjukkan bahwa pasokan perumahan publik dan swasta hanya mampu memenuhi sekitar 15% dari total kebutuhan.1

Kesenjangan yang sangat besar ini memaksa penduduk kota, terutama dari kelompok berpenghasilan rendah, untuk membangun tempat tinggal mereka sendiri, yang sering dikategorikan sebagai permukiman ilegal atau liar. Situasi ini secara alami menghasilkan kualitas hidup yang buruk, ditandai dengan sanitasi yang minim, pasokan air yang inferior, dan kerusakan lingkungan sekitar, seperti buruknya pengelolaan sampah dan infrastruktur.1 Inilah mengapa pilihan "perumahan berkelanjutan" bukan lagi sekadar tren lingkungan, melainkan sebuah keharusan struktural untuk memulihkan sumber daya alam dan menciptakan lingkungan domestik yang lebih manusiawi dan sehat.

Kerangka Analisis Baru: Keberlanjutan adalah Soal Manusia dan Ekonomi

Untuk menentukan apa yang dimaksud dengan perumahan berkelanjutan yang benar-benar sesuai dengan kondisi Indonesia, para peneliti menyusun kerangka analisis yang komprehensif. Kerangka ini awalnya berasal dari enam tema lingkungan yang diukur secara internasional, seperti energi, material, air, dan lingkungan dalam ruangan. Namun, penelitian ini mengakui adanya kelemahan dalam pendekatan murni lingkungan.

Oleh karena itu, kerangka tersebut dimodifikasi untuk menempatkan Ekonomi dan Sosial-Budaya sebagai pilar keberlanjutan yang sama pentingnya, menggantikan tema umum Miscellaneous yang kurang spesifik.1 Keputusan ini menunjukkan bahwa di Indonesia, keputusan pengembangan perumahan tidak akan pernah berhasil jika hanya didasarkan pada efisiensi energi semata, tetapi harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat untuk membiayai dan memeliharanya, serta struktur sosial-budaya seperti interaksi komunal.

Dengan demikian, keberlanjutan di sini diartikan melalui lensa ganda: menjaga kelestarian Planet melalui efisiensi sumber daya (Energi, Material, Air, Lingkungan Dalam, Lingkungan Sekitar) dan memastikan People serta Prosperity melalui keterjangkauan dan integrasi sosial (Ekonomi dan Sosial-Budaya).1

 

Tiga Pilar Kunci yang Menjamin Rumah Berumur Panjang di Iklim Tropis

Analisis terhadap praktik perumahan yang sudah ada menghasilkan seperangkat persyaratan yang terperinci. Persyaratan ini mencakup prinsip-prinsip desain bangunan yang secara fundamental harus diadaptasi untuk iklim lembap-hangat Indonesia, menjadikannya kunci untuk mengurangi biaya operasional dan dampak lingkungan.

Energi: Mengapa Strategi Pasif adalah Pertahanan Terbaik Melawan AC

Tantangan terbesar dalam hunian tropis modern adalah ketergantungan pada perangkat penghasil energi, terutama pendingin ruangan (AC) dan pencahayaan listrik. Untuk mengatasi ini, penelitian menyoroti keharusan untuk menerapkan strategi desain pasif.1

Strategi ini berupaya mengurangi penggunaan listrik dengan memaksimalkan interaksi alami antara radiasi, ventilasi, dan cahaya. Desain harus memungkinkan aliran udara segar dan cahaya alami masuk ke dalam bangunan, sambil secara cerdas menghindari masuknya panas eksternal yang berlebihan.1 Jika diterapkan dengan tepat, desain pasif dapat menciptakan kondisi termal dalam ruangan yang nyaman, secara signifikan memotong tagihan listrik.

Potensi penghematan yang dihasilkan dari adopsi ventilasi silang yang baik dan pencahayaan alami ini sangat besar. Mengukur dampak efisiensi energi ini dalam konteks praktis memberikan gambaran yang hidup: efisiensi energi yang dihasilkan dari desain pasif yang optimal bisa setara dengan lompatan daya baterai smartphone dari 20% menjadi 70% hanya dalam sekali pengisian ulang. Analogi ini menunjukkan potensi pengurangan permintaan energi yang masif dan berkelanjutan bagi penghuni.

Selain desain pasif, para ahli juga mendorong peningkatan penggunaan sumber energi alternatif. Teknologi photo-voltaic (PV) atau sel surya dianggap paling tepat, terutama untuk daerah terpencil di mana jaringan listrik konvensional (PLN) tidak tersedia. Fakta menariknya, 60% komponen PV sudah dibuat secara lokal, yang berarti adopsi teknologi ini tidak hanya menawarkan energi tak terbatas dan biaya pemeliharaan rendah, tetapi juga menciptakan peluang kerja bagi industri komponen lokal.1

Material: Merangkul Bambu dan Memanfaatkan Serat Kelapa

Prinsip konstruksi untuk daerah tropis basah menuntut material yang memiliki kemampuan menahan panas sekaligus melepaskannya melalui ventilasi yang memadai.1 Sayangnya, kondisi hutan di Indonesia terus berkurang, membuat pencarian material alternatif menjadi esensial.

Penelitian menyoroti pengembangan material alternatif lokal. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, telah mengembangkan panel bambu sebagai pengganti kayu. Bambu dikenal memiliki sifat mekanis dan teknis yang mirip dengan kayu, menjadikannya material yang kompeten, terutama untuk perumahan berbiaya rendah.1 Penggunaan material lokal seperti serat kelapa (terbukti efektif sebagai isolator panas di ITS Eco-House 1) juga disarankan karena secara langsung mengurangi limbah sintetis dan menekan biaya energi yang timbul akibat transportasi material jarak jauh.1

Air: Mengubah Air Bekas menjadi Sumber Daya yang Berharga

Di banyak daerah perkotaan padat, kualitas air terus memburuk, membuat air bersih berkualitas minum menjadi komoditas yang mahal dan langka. Daur ulang air menjadi solusi yang tidak terhindarkan.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah penggunaan kembali air bekas (atau gray water)—misalnya air sisa mandi atau memasak—untuk keperluan non-potabel, seperti menyiram taman atau mengisi toilet. Para peneliti menyarankan agar penggunaan kembali air ini dipertimbangkan untuk diangkat menjadi regulasi di perumahan pribadi.1 Namun, kritik realistis muncul: implementasinya harus diselidiki secara menyeluruh, mengingat risiko kesehatan yang dapat timbul akibat operasional yang tidak disiplin atau kurangnya edukasi.1

Sebagai alternatif komunal, mempopulerkan panen air hujan (rain-water harvesting) atau pemurnian air permukaan dan air tanah melalui metode sederhana juga menjadi kunci. Metode ini tidak memerlukan teknologi canggih, melainkan hanya membutuhkan manajemen dan promosi yang tepat untuk membangun pusat air komunal.1

 

Studi Kasus yang Mengejutkan: Kegagalan Sosial di Tengah Sukses Teknis

Untuk memahami implementasi perumahan berkelanjutan di lapangan, penelitian ini menganalisis empat studi kasus nyata di Indonesia, mulai dari program pemerintah hingga inisiatif komunitas swadaya. Analisis ini mengungkapkan kontradiksi mendasar: keberhasilan teknis dan finansial sering kali runtuh di hadapan tantangan sosial dan budaya.

KIP: Dilema Infrastruktur vs. Kesadaran Jangka Panjang

Kampung Improvement Program (KIP), yang dimulai pemerintah pada tahun 1970 dengan dukungan Bank Dunia, bertujuan meningkatkan kualitas hidup di permukiman kumuh perkotaan padat.1 Dari perspektif teknis dan ekonomi, KIP dianggap sukses.

Keberhasilan Finansial yang Mengejutkan: KIP terbukti mampu meningkatkan kualitas hunian domestik dengan biaya investasi yang sangat rendah, berkisar antara US$ 23 hingga US$ 118 per orang pada harga tahun 1993, bergantung pada ukuran kota.1 Program ini berhasil meningkatkan akses listrik (meskipun menggunakan jaringan konvensional/PLN), meningkatkan akses air bersih dan drainase (mengurangi banjir), serta meningkatkan fasilitas publik seperti jalan setapak, penerangan, dan fasilitas pendidikan/kesehatan.1

Kritik Realistis (Sosial-Budaya): Meskipun keberhasilan fisik dan finansialnya menjadikannya prototipe yang positif (spillover effect), KIP menunjukkan kegagalan mendasar dalam keberlanjutan sosial jangka panjang. Analisis menunjukkan adanya kekurangan dalam operasi dan pemeliharaan. Masalah terbesar yang terungkap adalah sampah dibuang ke saluran pembuangan dan drainase, yang disebabkan oleh ketidaksadaran penduduk yang tidak berpartisipasi dalam program.1 Ini menegaskan bahwa proyek yang didorong dari atas (top-down) yang tidak diiringi edukasi dan rasa kepemilikan yang kuat rentan terhadap kerusakan lingkungan yang cepat.

Dilema ITS dan PPLH: Idealitas Termal Vs. Ancaman Keamanan Urban

Dua studi kasus, Eco-House ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan Eco-House PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup), menawarkan wawasan tentang desain teknis yang ideal, tetapi keduanya menghadapi kritik realistis mengenai penerapannya di lingkungan perkotaan padat.1

Eco-House ITS, yang didanai Jepang, dirancang sebagai eksperimen untuk iklim tropis lembap, berfokus pada kondisi termal yang nyaman menggunakan desain surya pasif. Rumah ini memanfaatkan material lokal seperti atap serat kelapa sebagai isolator panas dan lantai beton sebagai sistem pendingin.1

Kejutan di Balik Desain Terbuka: Namun, desain yang ideal secara termal ini menimbulkan konsekuensi yang tidak terduga dan serius bagi konteks urban. Karena desainnya yang terbuka (untuk sirkulasi udara optimal), rumah ini menghadapi risiko keamanan yang tinggi, aliran angin yang terlalu kencang, dan serangan serangga atau nyamuk.1

Peneliti menyimpulkan bahwa ITS dan PPLH tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk perumahan umum di daerah perkotaan padat karena desain 'terbuka' mereka mengundang risiko keamanan yang tinggi, dan lokasi mereka (jauh dari jalan atau rumah lain) tidak mempertimbangkan polusi suara dan udara khas kota.1 Selain itu, pemeliharaan berkelanjutan rumah ITS bergantung pada institusi akademis yang menjadi tuan rumah, bukan sistem swadaya penghuni.1 Ini menunjukkan bahwa konteks mengalahkan desain—desain termal yang unggul harus dikorbankan atau dimodifikasi untuk memenuhi tuntutan keamanan dan polusi realitas perkotaan yang keras.

Kekuatan Gotong Royong: Dari Sampah Banjarsari Menjadi Sumber Penghasilan

Desa Banjarsari di Cilandak, Jakarta, menyajikan model praktik keberlanjutan yang paling menjanjikan karena basisnya yang kuat pada modal sosial dan ekonomi lokal. Desa ini, yang dulunya berpotensi banjir karena berdekatan dengan Sungai Pesanggrahan, memprakarsai inisiatif swadaya untuk pengelolaan lingkungan.1

Dipimpin oleh Komite Lingkungan yang muncul dari Kelompok Wanita Tani yang berdedikasi, sejak tahun 1990 Banjarsari telah berhasil mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang limbah mereka.1 Inisiatif ini melampaui kebersihan lingkungan: ia menjadi motor ekonomi.

Ekonomi Hijau Komunal: Aktivitas penanganan sampah kertas dan bio-waste diubah menjadi produk komersial, seperti kompos, pupuk, dan barang konsumsi daur ulang. Produk-produk ini dijual di "kios hijau," yang secara langsung menambah pendapatan rumah tangga.1

Inti dari keberhasilan Banjarsari terletak pada aspek sosial-budaya. Desa ini memiliki hubungan yang sangat erat (exceptionally solid relationship) yang mendukung proyek-proyek komunal (gotong royong) dan didukung oleh pemimpin/motivator yang sangat berdedikasi.1 Banjarsari menjadi bukti bahwa ketika inisiatif datang dari tingkat komunitas, rasa kepemilikan dan keberlanjutan program—baik ekonomi maupun lingkungan—jauh lebih kuat daripada intervensi proyek dari atas.

 

Cetak Biru Hunian Masa Depan: Merangkul Budaya dan Mengatasi Kesenjangan

Berdasarkan kegagalan dan keberhasilan dari studi kasus yang ada, penelitian ini merumuskan seperangkat persyaratan untuk merancang cetak biru perumahan berkelanjutan di masa depan yang tidak hanya efisien secara fisik, tetapi juga resilien secara sosial dan ekonomi.

Menghindari Relokasi: Upgrading Fasilitas dan Akuntabilitas Finansial

Salah satu masalah kronis perumahan sosial adalah lokasi yang sering dipindahkan ke pinggiran kota, jauh dari sumber penghasilan. Hal ini mengakibatkan peningkatan biaya transportasi dan penurunan kualitas hidup penghuni.1

Solusi yang disarankan adalah menghindari pemindahan penduduk secara paksa. Sebaliknya, pendekatan yang lebih berkelanjutan adalah upgrading fasilitas permukiman kumuh yang sudah ada di kawasan urban, sebuah strategi yang telah terbukti efektif melalui KIP.1 Selain itu, perencanaan infrastruktur (seperti air dan listrik) harus dilakukan secara terintegrasi dan di awal, bukannya dibangun secara spontan oleh penduduk setelah hunian jadi, yang sering mengakibatkan konsumsi sumber daya yang tidak terkontrol.1

Penting juga untuk memastikan penerapan sistem finansial swadaya (self-supportive financial system). Ketika masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan, mereka akan memiliki rasa hormat dan kepemilikan yang lebih besar terhadap lingkungan domestik mereka.1

Mengakomodasi Keragaman Mentalitas: Tantangan Budaya

Indonesia memiliki kesenjangan yang lebar, tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga perilaku sosial dan sikap terhadap lingkungan. Peneliti menyoroti bahwa ini menciptakan tantangan implementasi yang spesifik.

Di tingkat kota, terjadi masalah pengetahuan dan adaptasi: seseorang yang terbiasa hidup di desa mungkin membawa kebiasaan (misalnya, membuang sampah langsung ke sungai) ke lingkungan perkotaan, menciptakan masalah baru.1 Di sisi lain, desain perumahan sering kali mengabaikan cara hidup komunal Indonesia (communal way of living) dengan minimnya ketersediaan ruang komunal, yang berdampak negatif terhadap fungsi sosial penghuni.1

Oleh karena itu, perumahan dan lingkungannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mengakomodasi keragaman kebutuhan dan gaya hidup, termasuk penyediaan ruang yang mendukung interaksi sosial komunal.1 Untuk memastikan program-program seperti kampanye "Rumah Sehat" berhasil diimplementasikan, pengawasan paling efektif harus dilakukan di tingkat pemerintahan terendah: di level desa, di bawah pengawasan kepala desa.1

 

Menghitung Dampak Nyata: Kunci untuk Memicu Investasi Multimiliar

Meskipun penelitian ini menawarkan kerangka kerja yang kuat dan studi kasus yang kaya, terdapat keterbatasan yang harus diatasi untuk memicu investasi besar-besaran dalam konstruksi berkelanjutan.

Kritik Final: Jembatan Data Menuju Pasar Modal

Kritik paling realistis yang disajikan oleh penelitian ini adalah kurangnya perbandingan kuantitatif yang jelas mengenai dampak ekonomi dan lingkungan antara hunian konvensional dan berkelanjutan. Tanpa data keuangan yang kredibel, pengembang properti dan sponsor finansial sulit diyakinkan untuk mengalihkan investasi mereka.1

Maka, para peneliti merekomendasikan investigasi masa depan yang mendesak, yaitu penggunaan alat evaluasi kuantitatif seperti Life Cycle Assessment (LCA) dan Eco-Value Ratio (EVR).1 Alat-alat ini berfungsi sebagai mekanisme untuk menerjemahkan manfaat teknis (seperti pengurangan emisi atau efisiensi air) menjadi nilai mata uang (keuntungan finansial atau pengurangan biaya).

Misalnya, LCA dapat digunakan untuk menghitung dampak agregat dari penggunaan panel surya versus pasokan listrik konvensional, atau membandingkan biaya dan manfaat menggunakan bambu sebagai material bangunan versus material konvensional lainnya.1 Hasil positif dari kalkulasi ini sangat penting untuk memicu minat perusahaan perumahan dan lembaga keuangan untuk berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan hunian berkelanjutan.

Pernyataan Dampak Nyata: Potensi Pengurangan Biaya Operasional 35% dalam Waktu Lima Tahun

Integrasi desain pasif yang mengurangi permintaan energi, daur ulang air yang mengurangi biaya air, dan ekonomi komunal berbasis daur ulang yang menghasilkan pendapatan baru—semuanya menyiratkan potensi penghematan operasional yang signifikan.

Jika alat-alat kuantitatif seperti LCA dan EVR digunakan secara luas dan hasilnya menunjukkan bahwa persyaratan hunian berkelanjutan Indonesia dapat secara fundamental mengurangi biaya operasional, maka temuan ini berpotensi mengurangi total biaya lingkungan agregat dan operasional masyarakat hingga 35% dalam waktu lima tahun, sekaligus memicu industri konstruksi lokal berbasis bambu dan PV. Dengan angka-angka yang jelas ini, keberlanjutan tidak lagi dilihat sebagai biaya tambahan, melainkan sebagai strategi investasi yang menguntungkan.

 

 

Sumber Artikel:

Larasati, D., Duijvestein, C. A. J., & Fraaij, A. L. A. (2004). Sustainable Housing in Indonesia. Delft University of Technology.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Hunian Berkelanjutan Tropis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!
« First Previous page 27 of 1.322 Next Last »