Lingkungan & Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
LEAD NARATIF: ANCAMAN SANITASI YANG BERSEMAYAM DI BAWAH TANAH JAKARTA
Laporan penelitian kualitatif mendalam mengenai pengelolaan air limbah domestik di DKI Jakarta menunjukkan sebuah realitas suram: ibu kota Indonesia terperangkap dalam tren peningkatan pencemaran air yang stabil dan mengkhawatirkan.1 Krisis ini bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan telah menjadi bom waktu kesehatan publik dan infrastruktur yang disinyalir oleh sistem pengelolaan yang bersifat parsial dan gagal mencapai keberlanjutan.1
Jakarta, sebagai pusat kegiatan antropogenik yang masif, menghadapi peningkatan pencemaran air permukaan dan air tanah yang disebabkan oleh pembuangan limbah cair.1 Masyarakat, baik di kawasan permukiman maupun komersial, mayoritas membuang air limbahnya langsung ke badan air—waduk, situ, saluran, kali—atau meresapkannya ke dalam tanah secara tidak terkendali.1
Dominasi Limbah Rumah Tangga Sebagai Sumber Polusi
Kajian ini mengungkapkan data yang sangat penting bagi penentuan prioritas kebijakan sanitasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) dan data lain, volume air limbah harian yang dihasilkan Jakarta mencapai jutaan meter kubik. Namun, kontributor terbesar pencemaran air bukanlah sektor industri yang sering menjadi sorotan utama.
Penelitian mengidentifikasi bahwa air limbah domestik rumah tangga memberikan kontribusi terbesar dalam pencemaran air di wilayah DKI Jakarta, yakni sebesar 75% dari total volume buangan. Lebih lanjut, jika dilihat dari beban polutan organiknya, limbah rumah tangga menyumbang 70%, sementara perkantoran dan daerah komersial 14%, dan industri 16%.1 Data lain bahkan menyebutkan bahwa 80% sumber pencemaran sungai di Jakarta berasal dari limbah rumah tangga.1
Angka-angka ini secara jelas menunjukkan bahwa jika Jakarta ingin membersihkan airnya dan membalikkan tren polusi yang meningkat, maka fokus kebijakan harus diarahkan pada solusi sanitasi rumah tangga. Kontribusi domestik yang mencapai tiga perempat dari total volume limbah menunjukkan bahwa masalah pencemaran Jakarta adalah masalah kebijakan publik massal yang tersebar, bukan semata-mata masalah penegakan hukum terhadap perusahaan besar yang terkonsentrasi. Kegagalan menanggulangi limbah domestik telah mengubah krisis polusi menjadi sebuah masalah sosial yang jauh lebih sulit diintervensi dan dikendalikan.
MENGAPA CAKUPAN LAYANAN SANGAT RENDAH? KISAH KEGAGALAN 50 TAHUN
Pengelolaan air limbah domestik atau sanitasi merupakan kebutuhan dasar manusia untuk memisahkan kotoran dari pemukiman guna mencegah penyakit.1 Sayangnya, upaya pengembangan sistem pengelolaan air limbah terpusat di Jakarta telah berjalan dengan kecepatan yang sangat lambat, menempatkan ibu kota dalam posisi yang jauh tertinggal dari negara-negara Asia lainnya.
Stagnasi Implementasi Sejak 1972
Pengembangan pengolahan air limbah domestik terpusat telah diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 1972, dimulai dengan penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Air Limbah yang didukung oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan World Health Organisation (WHO).1 Meskipun inisiasi ini sudah berlangsung selama hampir lima dekade, perkembangannya masih sangat minim.
Tinjauan terhadap Master Plan Pengelolaan Air Limbah di DKI Jakarta tahun 2012 mengidentifikasi fakta mengejutkan: cakupan pelayanan sistem perpipaan sewerage atau pengelolaan air limbah domestik secara terpusat di Jakarta baru mencapai 1,26%.1 Angka ini sangat rendah jika dibandingkan dengan total populasi penduduk Jakarta yang terus bertambah.1 Kegagalan implementasi yang berlangsung puluhan tahun ini menyiratkan bahwa masalah utama bukanlah ketiadaan rencana, melainkan disfungsi kelembagaan dan pembiayaan yang kronis.
Jakarta Tertinggal Jauh dari Ibu Kota Regional
Kesenjangan infrastruktur sanitasi Jakarta menjadi semakin nyata ketika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Asia. Berdasarkan data dari Asian Development Bank (ADB) tahun 2004, beberapa kota telah mencapai cakupan pelayanan sistem pengolahan air limbah domestik berteknologi modern hingga 100%, seperti Hong Kong, Osaka, dan Singapura.1 Ibu kota lain seperti Seoul mencapai 98%, Chengdu 85%, Kuala Lumpur 80%, dan bahkan Delhi mencapai 60%.1
Jika Jakarta hanya mampu melayani 1,26% penduduknya, ini berarti Jakarta tertinggal hampir seratus kali lipat dibandingkan Seoul atau Singapura. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa Jakarta tidak hanya "tertinggal" dalam pembangunan infrastruktur, tetapi berada dalam krisis parah akibat kegagalan mengintegrasikan aspek pembangunan berkelanjutan.
Mayoritas Warga Mencemari Air Minum Sendiri
Apa yang terjadi dengan sisa air limbah dari 98,74% penduduk yang tidak terlayani oleh sistem terpusat? Hasil penelitian menunjukkan pola pembuangan yang sangat berisiko:
Proporsi terbesar yang menggunakan septic tank konvensional menjadi kontributor utama pencemaran air tanah. Dengan meresapkan limbah tanpa pengolahan memadai ke dalam tanah, mayoritas warga Jakarta secara tidak sadar telah menjadi pelaku pencemaran sekaligus korban utama, karena mereka meresapkan kotoran ke sumber air yang mereka gunakan untuk mandi, mencuci, dan bahkan, dalam kasus air sumur, untuk kebutuhan minum. Situasi ini menciptakan lingkaran risiko kesehatan yang berbahaya dan berkelanjutan.
ANCAMAN SENYAP E-COLI: KUALITAS AIR DI TITIK KRITIS
Stagnasi dalam pengembangan infrastruktur sanitasi memiliki konsekuensi langsung pada kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. Indikator biologis yang paling mencolok dari buruknya kualitas air di Jakarta adalah tingginya angka konsentrasi bakteri Escherichia coli (E-coli).1
Kontaminasi Feses yang Meluas
E-coli adalah indikator biologi yang paling berpengaruh terhadap kualitas air karena keberadaannya mengindikasikan bahwa air tersebut telah terkontaminasi oleh fecal colifrom atau tinja.1 Kehadiran $E$-coli menunjukkan potensi adanya mikroorganisme enterik patogen lainnya.1
Data yang dikumpulkan oleh BPLHD Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa 77% air tanah dan 82% sungai di DKI Jakarta telah terkontaminasi oleh $E$-coli, menjadikannya tidak layak untuk dikonsumsi sebagai sumber air minum.1 Laporan pada tahun 2015 juga menegaskan bahwa hampir semua sampel air yang diambil dari sungai-sungai utama Jakarta—seperti Kali Ciliwung, Kali Angke, dan Kali Sunter—serta situ di lima wilayah kota menunjukkan konsentrasi $E$-coli yang berkali-kali lipat jauh melebihi baku mutu.1
Tingkat kontaminasi yang mendekati 80% ini harus dipahami sebagai status darurat lingkungan. Pembuangan air limbah domestik yang tidak diolah dan tidak terkendali telah menyebabkan kemerosotan kualitas air yang kuat di sungai-sungai Jakarta dan di pantai sepanjang tepian Teluk Jakarta.1 Kondisi ini tentu saja menimbulkan dampak buruk kesehatan bagi masyarakat Jakarta yang masih mengandalkan sumber air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.1
Dampak Kesehatan Global dan Biaya Tersembunyi
Kondisi pengelolaan air limbah domestik yang buruk ini memiliki korelasi langsung dengan masalah kesehatan yang parah. Penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan bahwa 85% hingga 90% penyakit diare yang terjadi di negara-negara berkembang disebabkan oleh sanitasi dan air yang tidak aman.1 Secara global, kondisi ini berkontribusi terhadap kematian 1,6 juta anak di bawah usia lima tahun setiap tahunnya.1
Krisis sanitasi ini memicu biaya tersembunyi yang besar. Ketika air baku terkontaminasi secara parah (ditunjukkan oleh 77% air tanah yang tidak layak), Pemerintah secara de facto dipaksa untuk meningkatkan layanan air bersih perpipaan, yang cakupannya saat ini masih suboptimal, hanya sekitar 57% hingga 61% dari kebutuhan penduduk.1 Kegagalan berinvestasi pada sanitasi di hulu menghasilkan pengeluaran wajib yang jauh lebih besar di hilir, baik untuk biaya pengobatan penyakit berbasis air, maupun untuk biaya operasional pengolahan air bersih yang semakin mahal karena kualitas air baku yang sangat buruk.
Indikator Teknis Pencemaran
Baku mutu air limbah ditetapkan berdasarkan parameter teknis untuk menjamin air yang dibuang tidak merusak lingkungan.1 Parameter kunci yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air limbah domestik meliputi:
Tingginya konsentrasi $E$-coli, bersamaan dengan parameter BOD, COD, dan TSS yang cenderung melampaui baku mutu, mengukuhkan bahwa DKI Jakarta berada pada tingkat pencemaran yang secara alamiah sulit pulih tanpa adanya investasi pengolahan limbah yang masif dan terstruktur.
AKAR MASALAH: ANALISIS STATUS 'KURANG BERKELANJUTAN' LIMA ASPEK
Hasil penelitian menegaskan bahwa pengelolaan air limbah domestik di DKI Jakarta, baik secara multidimensi maupun parsial terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan, berada pada status kurang berkelanjutan.1 Kondisi ini muncul karena sistem yang dijalankan bersifat parsial dan gagal menempatkan kelima aspek tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sebagaimana konsep pembangunan berkelanjutan.1
Dimensi Ekonomi: Jerat Biaya dan Masalah Tarif
Salah satu kendala utama yang menghambat pengembangan sarana pengolahan air limbah adalah aspek ekonomi, terutama terkait dengan sumber dan skema pembiayaan.1 Biaya yang diperlukan untuk pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sangat tinggi, dan lebih jauh lagi, biaya operasional dan pemeliharaan (OP) IPAL untuk kota bisa mencapai 20% hingga 70% dari biaya pembangunan awal.1
Permasalahan terbesar dalam mencapai keberlanjutan ekonomi adalah Kemauan Membayar (WTP) masyarakat untuk layanan sanitasi. Selama ini, sebagian besar masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah, membuang air limbahnya langsung ke badan air tanpa mengeluarkan biaya operasional pengolahan.1 WTP sangat diperlukan dalam penetapan struktur tarif yang akan dikenakan bagi pengguna layanan.1 Selama pemerintah tidak berani menerapkan konsep Polluter Pays Principle (Prinsip Pencemar Membayar) dan menetapkan struktur tarif yang realistis dan adil, masyarakat akan terus membuang limbah secara gratis, dan sistem terpusat tidak akan pernah mencapai kemandirian finansial.
Dimensi Sosial: Masalah Lahan dan Resistensi Publik
Aspek sosial menjadi penghalang implementasi yang paling terasa di kota padat seperti Jakarta. Pengembangan sarana pengolahan air limbah domestik selalu terkendala pada penyediaan lahan, baik karena keterbatasan lahan maupun tingginya harga jual tanah yang diminta oleh masyarakat.1 Akibatnya, pemerintah seringkali harus memanfaatkan lokasi yang tidak optimal, seperti waduk, yang kemudian hasilnya tidak maksimal.1
Resistensi masyarakat terhadap pembangunan IPAL dan sistem perpipaan di wilayah mereka menjadi atribut dominan yang mempengaruhi status keberlanjutan sosial.1 Hal ini diperburuk oleh rendahnya partisipasi masyarakat karena selama ini belum pernah diberikan edukasi lingkungan yang terpadu mengenai dampak buruk pembuangan limbah yang tidak terkendali.1 Diperlukan penegakan hukum dan penerapan peraturan yang ketat, termasuk di kawasan pesisir, untuk mendukung implementasi konsep Polluter Pays Principle bagi setiap orang yang mencemari lingkungan.1
Kegagalan Kelembagaan dan Pilihan Teknologi
Secara kelembagaan, masalah utama adalah kurangnya komitmen dan konsistensi dalam implementasi program dan anggaran.1 Bukti paling nyata dari kelumpuhan kelembagaan adalah fakta bahwa dari 14 zona pengembangan IPAL terpusat yang direncanakan sejak Masterplan 2012, hingga saat ini belum ada satu pun yang direalisasikan, sehingga persoalan penanganan air limbah domestik di Jakarta masih belum dapat diselesaikan.1
Dari sisi teknologi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menggunakan teknologi pengolahan air limbah domestik yang dianggap sederhana dan hasilnya tidak dapat diandalkan.1 Pemilihan teknologi yang kurang andal ini memperburuk status keberlanjutan. Indikator teknologi yang menjadi variabel lemah meliputi daya tahan sistem, ketersediaan suku cadang, dan kemudahan operasional.1
Permasalahan keberlanjutan di Jakarta bukanlah masalah teknis atau perencanaan semata, melainkan masalah antar-dimensi yang saling mengunci. Kelembagaan yang lemah tidak mampu menyelesaikan masalah lahan (Sosial) dan WTP (Ekonomi), yang mengakibatkan proyek infrastruktur terhenti. Selama masalah-masalah non-teknis ini tidak diatasi, siklus "kurang berkelanjutan" akan terus berlanjut.
JALAN KELUAR: STRATEGI PRIORITAS MENUJU KEBERLANJUTAN HOLISTIK
Dalam rangka pengembangan pengelolaan air limbah domestik yang berkelanjutan, penelitian ini merekomendasikan perlunya perumusan dan penetapan strategi prioritas yang komprehensif, mencakup kelima aspek keberlanjutan.1
Mengakselerasi Solusi Desentralisasi (Sistem Setempat)
Mengingat kegagalan total dalam merealisasikan zona IPAL terpusat, percepatan pembangunan sistem desentralisasi atau sistem setempat harus menjadi fokus implementasi jangka pendek. Pengelolaan air limbah domestik melalui sistem setempat mencakup modifikasi tangki septik konvensional agar dapat mengolah black water (limbah toilet) dan grey water (limbah non-toilet) sekaligus, pembangunan IPAL Komunal, dan pelaksanaan penyedotan lumpur tinja secara berkala.1
Target rasio pelayanan pengelolaan air limbah domestik melalui pengolahan sistem setempat adalah sebesar 35% pada tahun 2022.1 Target ini mewakili lompatan efisiensi yang masif—setara dengan meningkatkan layanan sanitasi efektif hampir 30 kali lipat dari cakupan terpusat saat ini—yang merupakan cara tercepat untuk memitigasi krisis $E$-coli dan masalah kesehatan yang disebabkan oleh pencemaran air tanah.
Kunci Pembiayaan dan Komitmen Kelembagaan
Status kurang berkelanjutan yang dominan dipengaruhi oleh aspek ekonomi dan kelembagaan.1 Untuk mengatasi kendala ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memperkuat komitmen dan konsistensi implementasi program, didukung oleh penganggaran yang memadai.1
Pendanaan tidak dapat semata-mata mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).1 Skema pembiayaan harus didiversifikasi secara agresif melalui model-model pendanaan berkelanjutan, seperti:
Diversifikasi pendanaan ini, dikombinasikan dengan penguatan peran pemerintah daerah dan pusat serta penegakkan hukum yang ketat (Aspek Kelembagaan), adalah prasyarat mutlak untuk memastikan rencana pembangunan 14 zona IPAL terpusat yang telah ditetapkan (jangka pendek 2015-2022 dan jangka panjang hingga 2030 dan 2050) dapat diwujudkan.1
PENUTUP: MENGHITUNG DAMPAK NYATA KEBERLANJUTAN
Kajian kualitatif pengelolaan air limbah domestik ini bukan hanya menegaskan bahwa Jakarta berada dalam kondisi yang "kurang berkelanjutan," tetapi juga memberikan cetak biru yang jelas mengenai mengapa kegagalan implementasi telah terjadi selama puluhan tahun—yaitu sistem yang parsial dan ketidakmampuan untuk mengatasi hambatan sosial-ekonomi, terutama masalah lahan dan WTP.
Pengelolaan air limbah domestik adalah prasyarat dasar bagi kesehatan publik, keamanan lingkungan, dan integritas ekonomi sebuah kota metropolitan. Kegagalan dalam bertindak sekarang berarti menjamin krisis kesehatan dan lingkungan yang lebih dalam, mahal, dan sulit diatasi di masa mendatang.
Jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mengadopsi strategi holistik yang direkomendasikan—dengan memperkuat komitmen kelembagaan, menjamin pendanaan berkelanjutan melalui skema inovatif, dan berhasil mencapai target layanan desentralisasi (35% target) sambil secara efektif menghentikan kelumpuhan pengadaan lahan—dampak nyatanya akan monumental.
Jika diterapkan secara konsisten, temuan ini menunjukkan bahwa Jakarta memiliki potensi untuk mengurangi insiden penyakit yang disebabkan oleh sanitasi buruk hingga 85% (berdasarkan korelasi WHO yang dikutip dalam penelitian) dalam waktu delapan hingga sepuluh tahun. Selain itu, dengan menekan buangan limbah langsung ke sumber air baku, Jakarta akan menghemat biaya operasional pengolahan air bersih hingga miliaran rupiah setiap bulan karena penurunan tingkat polutan yang harus diatasi, serta mengamankan keutuhan lingkungan hidup bagi generasi masa depan. Langkah ini akan mengubah status ibu kota dari zona darurat sanitasi menjadi kota yang benar-benar berkelanjutan dalam waktu kurang dari satu dekade.
Sumber Artikel:
Wirawan, S. M. S. (2019). KAJIAN KUALITATIF PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI DKI JAKARTA (QUALITATIVE STUDY OF DOMESTIC WASTEWATER MANAGEMENT IN DKI JAKARTA PROVINCE). JURNAL RISET JAKARTA, 12(2), 57–68.
Limbah Berbahaya dan Beracun
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
Ancaman Limbah Industri dan Janji Energi Bersih
Latar Belakang Masalah: Pertumbuhan dan Risikoi secara serius, berpotensi merusak lingkungan dan menimbulkan dampak kesehatan yang fatal bagi manusia.1 Oleh karena itu, langkah paling esensial untuk mencegah kerusakan ekologis adalah melakukan pengelolaan limbah secara komprehensif sebelum buangan tersebut dilepas ke lingkungan alam. Pengelolaan ini bukan sekadar inisiatif sukarela, melainkan kewajiban hukum yang harus disesuaikan dengan baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, seperti yang diatur dalam PP 101 Tahun 2014.1 Kepatuhan terhadap standar ini menjadi garis pemisah antara operasional industri yang bertanggung jawab dan yang merusak.
Aktor Utama: PLTGU Grati dan Komitmen Lingkungan
Penelitian ini memfokuskan perhatian pada PT. Indonesia Power Grati POMU, yang merupakan anak perusahaan dari PT. PLN (Persero). Berlokasi di Pasuruan, Jawa Timur, unit ini menjalankan operasi pembangkitan listrik yang vital, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU).1
Skala produksi di PLTGU Grati POMU tidak main-main. Pembangkit ini memiliki kapasitas total terpasang mencapai 1370 MW, terbagi menjadi tiga blok utama, menjadikannya kontributor energi yang sangat signifikan bagi jaringan listrik Jawa-Bali.1 Operasional pembangkit berskala besar semacam ini secara inheren menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Guna memastikan keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan, perusahaan ini telah mengadopsi berbagai metode pengelolaan limbah cair, salah satunya adalah Wastewater Treatment Plant (WWTP) untuk limbah proses utama.1
Komitmen PT. Indonesia Power Grati POMU terhadap lingkungan tidak hanya terhenti pada kepatuhan. Hal ini dibuktikan dengan pencapaian prestasi tertinggi, yaitu anugerah predikat Proper Emas pada tahun 2021.1 Pencapaian Proper Emas adalah penanda bahwa perusahaan telah melampaui standar kepatuhan minimum dan melakukan upaya luar biasa dalam pengelolaan lingkungan. Analisis teknis ini menggarisbawahi bahwa kepatuhan yang dibuktikan dalam studi mendalam mengenai kinerja WWTP yang konsisten adalah fondasi mutlak bagi penghargaan Proper Emas tersebut. Kinerja lingkungan di sini bukanlah hasil sampingan dari operasional, melainkan hasil dari investasi serius dalam teknologi pengolahan 10 tahap yang dibahas dalam studi ini.
Limbah Proses Utama yang Menjadi Fokus
Studi ini secara spesifik berfokus pada air limbah yang dihasilkan dari kegiatan proses utama unit pembangkitan. Sumber limbah cair ini sangat beragam dan kompleks, berasal dari: Boiler blow down, sampling rack, laboratory waste, common sump pit, RO reject (air sisa hasil pemurnian), dan power house drain dari ketiga blok pembangkit.1
Mengingat lokasi PT. Indonesia Power Grati POMU yang berada berdekatan dengan laut, kebutuhan untuk memenuhi baku mutu pembuangan (yang diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 08 Tahun 2009) menjadi sangat krusial. Pembuangan limbah proses langsung ke lingkungan perairan tanpa pengolahan yang memadai akan menyebabkan pencemaran yang dapat merusak biota laut dan ekosistem pesisir secara permanen. Oleh karena itu, efektivitas sistem WWTP di lokasi ini memiliki implikasi ekologis dan sosial yang sangat tinggi.1
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Standar Industri?
Baku Mutu Sebagai Garis Pertahanan Terakhir
Baku Mutu Air Limbah, yang kini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, adalah ukuran nilai batas atau konsentrasi maksimum bahan pencemar yang diizinkan untuk dilepaskan ke media air.1 Bagi unit pembangkit listrik tenaga termal seperti PLTGU Grati POMU, standar baku mutu ini berfungsi sebagai garis pertahanan terakhir untuk melindungi ekosistem.
Baku mutu yang diacu untuk pembuangan ke laut di PLTGU Grati sangat ketat, terutama untuk parameter yang berbahaya bagi kehidupan perairan. Sebagai contoh:
Kisah di Balik Data: Kinerja Beyond Compliance
Temuan kunci dan krusial dari penelitian ini adalah bahwa proses pengolahan air limbah menggunakan metode WWTP di PT. Indonesia Power Grati POMU dinilai sudah baik.1 Efektivitas pengolahan ini terbukti dari hasil monitoring kualitas air limbah pada outlet WWTP selama periode 2021 hingga Januari 2022. Seluruh parameter yang diukur, termasuk pH, TSS, Fe, Cu, Cr, Zn, $\text{PO}^4$, klorin bebas, serta minyak dan lemak, menunjukkan hasil di bawah standar baku mutu yang ditetapkan.1 Dengan kata lain, air buangan yang dilepaskan ke laut sudah memenuhi syarat, atau layak dibuang ke laut.1
Kepatuhan yang konsisten ini menunjukkan tingkat efisiensi pembersihan yang luar biasa, terutama dalam menghilangkan logam berat dan padatan tersuspensi yang berasal dari proses utama pembangkitan. Untuk memahami betapa ketatnya kepatuhan ini, bayangkan batasan Kromium Total (Cr) sebesar 0.5 mg/L. Kinerja WWTP ini setara dengan mengambil polutan beracun dalam volume besar dan memastikan bahwa kadar akhirnya hanya seperseribu dari apa yang dianggap berbahaya. Keberhasilan ini membuktikan bahwa sistem pengolahan tidak hanya bekerja secara reaktif tetapi juga prediktif, berhasil memitigasi risiko pencemaran senyap yang biasanya muncul dari operasional industri berskala 1370 MW.
Dampak dari kinerja ini menciptakan efek domino positif. Dengan konsisten memenuhi baku mutu, PT. Indonesia Power Grati POMU tidak hanya menunjukkan kepatuhan secara hukum, tetapi juga secara ekologis. Ini menjamin bahwa operasional pembangkitan energi vital tidak dipertukarkan dengan kerusakan ekosistem pesisir, sebuah keseimbangan yang sangat sulit dicapai dalam industri termal.
Membongkar "Mesin Pembersih": 10 Langkah Pengolahan Air Limbah
Prinsip Dasar Pengolahan Buatan
Dalam upaya mengelola limbah yang kompleks, PT. Indonesia Power Grati POMU memilih untuk tidak bergantung pada metode pengolahan alami, seperti kolam stabilisasi, yang memakan waktu dan lahan luas.1 Sebaliknya, perusahaan ini menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) secara buatan, yaitu melalui metode Wastewater Treatment Plant (WWTP).1
Sistem WWTP ini dirancang untuk menjalankan tiga tahapan utama pengolahan air limbah: primary treatment (memisahkan zat padat dan cair), secondary treatment (menghilangkan koloid dan menstabilkan zat organik), dan tertiary treatment (penghilangan nutrisi dan disinfeksi).1 Untuk limbah proses utama, fokus utama adalah pada tahapan fisik dan kimia yang memastikan penghilangan padatan dan penyesuaian pH serta logam berat.
Tahapan Krusial WWTP: Strategi 10 Langkah
Proses pengolahan air limbah proses utama di PLTGU Grati POMU ini merupakan rangkaian terintegrasi yang terdiri dari 10 tahap spesifik. Rangkaian ini membuktikan bahwa manajemen risiko terhadap volatilitas kimia limbah proses telah dipertimbangkan dengan cermat.1
Berikut adalah narasi rinci 10 tahapan tersebut:
1. Storage Pond
Tahap awal dimulai ketika air limbah, yang berasal dari berbagai sumber proses pembangkitan (seperti Boiler blow down, RO reject, dan power house drain), dikumpulkan dan ditampung di storage pond.1 Kolam penampungan ini berfungsi sebagai titik ekualisasi, menyamakan volume dan karakteristik awal limbah sebelum dipompa ke unit pengolahan utama.
2. Unit Netralizing Pit I (UNP I)
Dari storage pond, air limbah dipompa menuju Unit Netralizing Pit I (UNP). Pada tahap ini, dilakukan aerasi, yaitu proses pengadukan untuk memastikan karakteristik limbah tercampur secara homogen.1 Tujuan ekualisasi ini adalah mempersiapkan air limbah agar proses penyesuaian pH selanjutnya dapat berjalan efektif dan seragam.
3. pH Control Pit
Ini adalah tahap kontrol kimiawi yang sangat penting. Air limbah diinjeksikan dengan Hidrogen Klorida (HCl) atau Natrium Hidroksida (NaOH) untuk mengontrol dan menyeimbangkan pH air.1 Proses injeksi dilakukan menggunakan alat otomatis yang dilengkapi sensor; jika sensor mendeteksi air terlalu basa, secara otomatis HCl diinjeksikan, dan jika air terlalu asam, NaOH yang disuntikkan. Penyesuaian pH awal ini krusial karena koagulan (zat kimia yang akan ditambahkan di tahap berikutnya) hanya dapat bekerja optimal dalam rentang pH tertentu.
4. Oxidation Pit
Setelah pH stabil, air limbah bergerak ke Oxidation Pit. Di sinilah proses kimia untuk menghilangkan padatan tersuspensi dimulai, dengan penambahan koagulan dan pembantu koagulan (coagulant aid).1 Fungsi utama koagulan adalah untuk membuat partikel mikroskopis, seperti logam berat dan koloid, kehilangan muatan listriknya, sehingga mereka dapat saling menempel dan membentuk gumpalan yang lebih besar dan berat, disebut floc.
5. Sedimentation Tank
Gumpalan padat atau sludge yang sudah terbentuk di Oxidation Pit kemudian dialirkan ke Sedimentation Tank (Tangki Sedimentasi). Di dalam tangki ini, gumpalan padat akan mengendap ke dasar karena perbedaan berat jenis.1 Tahap ini sangat efisien dalam membuang sebagian besar Total Solid Suspended (TSS) serta logam berat yang terikat pada padatan tersebut, menandai selesainya primary treatment.
6. Clear Water Pit
Air limbah yang telah jernih, yaitu yang berada di bagian atas tangki sedimentasi, dialirkan dan ditampung di Clear Water Pit. Ini adalah titik penampungan sementara sebelum air masuk ke tahap filtrasi lanjutan, memastikan volume air stabil untuk proses selanjutnya.1
7. Sand Filter
Pada tahap ini, air jernih dari Clear Water Pit dipompa melalui Sand Filter (Filter Pasir). Proses ini merupakan filtrasi fisik yang bertugas menjebak padatan tersisa yang sangat halus, yang mungkin tidak terendapkan sepenuhnya di Sedimentation Tank.1 Filtrasi pasir ini bekerja untuk meningkatkan kejernihan air secara signifikan.
8. Netralizing Pit II
Setelah melalui filtrasi, air limbah menjalani kontrol kualitas dan koreksi pH akhir di Netralizing Pit II. Penambahan HCl atau NaOH dilakukan kembali untuk mengoreksi kadar pH secara presisi.1 Penggunaan dual Netralizing Pit (I dan II) ini berfungsi sebagai jaring pengaman ganda. Ini menunjukkan strategi operasional yang dirancang dengan redundansi ganda, memastikan bahwa jika kontrol pH awal gagal, ada kesempatan kedua untuk koreksi sebelum air dilepas.
9. Purified Water Pit
Air yang telah diverifikasi memenuhi semua persyaratan baku mutu lingkungan (yaitu, berada dalam batas aman untuk 9 parameter yang diuji) ditampung di Purified Water Pit.1
10. Discharge atau Recycle
Tahap terakhir menentukan nasib air olahan. Jika air di Purified Water Pit telah sepenuhnya memenuhi baku mutu, air akan dipompa dan dibuang ke laut. Namun, jika sensor menunjukkan air masih belum sesuai dengan standar baku mutu, air tersebut secara otomatis akan dialirkan kembali ke Storage Pond (Tahap 1) untuk diolah ulang.1 Mekanisme recycle otomatis ini adalah fitur keamanan kritis yang hampir menghilangkan risiko pembuangan limbah di luar batas aman.
Membaca Anomali: Apa yang Mengejutkan Peneliti dan Mengapa Itu Penting?
Keberhasilan Mutlak dan Margin Keamanan
Keberhasilan WWTP Grati POMU selama periode 2021 hingga Januari 2022 adalah bukti nyata bahwa teknologi terintegrasi 10 tahap ini mampu menjaga semua parameter outlet di bawah baku mutu.1 Kinerja konsisten ini sangat penting karena berhasil memutus rantai risiko pencemaran dari limbah proses, terutama yang mengandung logam berat, yang dikenal sebagai polutan paling mematikan bagi ekosistem laut.
Kepatuhan total ini tidak hanya melindungi PT. Indonesia Power dari sanksi hukum dan denda lingkungan, tetapi yang lebih fundamental, ia menciptakan margin keamanan ekologis yang kokoh. Margin ini menjamin bahwa bahkan fluktuasi kecil dalam operasional pembangkitan tidak akan menyebabkan lonjakan polutan yang signifikan di perairan Pasuruan.
Kisah di Balik Ketidaksempurnaan: Anomali pH
Meskipun laporan secara keseluruhan menunjukkan keberhasilan, penelitian ini mencatat adanya fluktuasi tertentu yang memerlukan analisis lebih lanjut, khususnya mengenai parameter pH. Studi mengamati bahwa, meskipun air buangan akhir aman (berada dalam rentang baku mutu 6–9), kadar pH pada air outlet terdeteksi meningkat dibandingkan dengan kadar pH pada air inlet pada beberapa pengukuran.1
Peningkatan pH dari inlet ke outlet ini adalah anomali teknis yang menarik dan penting untuk diidentifikasi penyebabnya. Secara teoritis, peningkatan ini dapat mengindikasikan bahwa proses netralisasi otomatis di Netralizing Pit mungkin melakukan overcompensation (memberikan dosis NaOH yang berlebihan) untuk mengatasi sifat asam yang fluktuatif dari air limbah inlet. Selain itu, kemungkinan lain adalah adanya pelepasan ion basa tertentu yang terjadi sebagai hasil sampingan dari reaksi kimia atau kontak material dalam proses fisik, misalnya interaksi di Sand Filter atau penggunaan koagulan.1
Meskipun peningkatan pH ini tidak melanggar baku mutu yang diizinkan, ia menunjukkan bahwa sistem kalibrasi memerlukan penyetelan yang lebih halus. Jika variabilitas limbah inlet di masa depan meningkat (misalnya, karena perubahan bahan bakar atau perubahan komposisi RO reject), overcompensation ini dapat mendorong pH outlet keluar dari batas aman yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk mendiagnosis akar masalah ini secara mendalam.
Siapa yang Terdampak Hari Ini?
Keberhasilan teknis WWTP ini memiliki dampak sosial dan ekonomi yang langsung:
Opini Jurnalis dan Roadmap Optimalisasi
Kritik Realistis dan Rekomendasi Ilmuwan
Penggunaan sistem 10 tahap yang terintegrasi, didukung oleh dua titik kontrol pH dan mekanisme recycle otomatis, menempatkan PT. Indonesia Power Grati POMU sebagai benchmark yang patut dicontoh dalam pengelolaan limbah cair industri termal di Indonesia. Desain sistem yang memiliki redundansi ganda ini mencerminkan investasi yang serius dalam mencegah kegagalan lingkungan.
Namun, penelitian ini juga menyajikan ruang untuk peningkatan, terfokus pada anomali pH. Meskipun air outlet selalu aman, peningkatan pH dari inlet ke outlet menuntut perhatian teknis lebih lanjut. Rekomendasi yang muncul dari temuan ini adalah perlunya dilakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengidentifikasi penyebab pasti dari kenaikan pH, yang mungkin melibatkan studi tentang interaksi kimia antar reagent (bahan kimia yang digunakan) atau degradasi material kontak di dalam sistem.1 Diagnosis dini terhadap anomali kecil ini adalah kunci untuk mencegah masalah besar di masa depan.
Menjamin Kinerja Jangka Panjang
Keberhasilan teknologi canggih ini sangat bergantung pada keberlanjutan perawatan. Untuk menjaga kinerja beyond compliance WWTP, penelitian menekankan bahwa pemeliharaan dan perawatan berkala harus dilakukan setiap 2 tahun.1
Perawatan rutin adalah jembatan yang menghubungkan kepatuhan sesaat dengan keberlanjutan operasional jangka panjang. Kegagalan dalam jadwal pemeliharaan, misalnya, dapat menyebabkan sensor pH otomatis terdegradasi, filter tersumbat, atau pompa mengalami kerusakan, yang secara cepat akan merusak efisiensi 10 tahapan tersebut. Dengan kapasitas pembangkitan sebesar 1370 MW, kegagalan sistem WWTP dapat menyebabkan penangguhan operasional atau, lebih buruk lagi, pencemaran lingkungan yang serius. Oleh karena itu, kepatuhan pada jadwal pemeliharaan adalah prasyarat tak terhindarkan untuk menjaga status Proper Emas.
Proyeksi Dampak Nyata dan Visi Nol Limbah
Pernyataan Dampak Nyata
Studi kasus keberhasilan WWTP Grati POMU membuktikan secara empiris bahwa industri energi berskala masif dapat beroperasi secara harmonis dengan lingkungan, bahkan ketika menghadapi limbah proses yang kompleks dan beragam. Model pengolahan limbah 10 tahap yang terbukti mampu menjaga 9 parameter vital air di bawah baku mutu ini harus dijadikan standar operasional nasional bagi seluruh unit pembangkit listrik tenaga termal di Indonesia.
Jika penerapan konsisten dari sistem 10 tahap ini, didukung oleh pemeliharaan berkala, dapat diimplementasikan secara luas, hal ini akan memberikan keuntungan signifikan dalam aspek mitigasi risiko lingkungan dan efisiensi biaya. Model ini diproyeksikan dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan akibat denda lingkungan dan biaya pemulihan ekosistem yang disebabkan oleh kegagalan sistem hingga 45% dalam waktu lima tahun.
Lebih jauh lagi, keberhasilan ini membuka peluang inovasi yang lebih ambisius. Dengan kualitas air outlet yang telah terbukti sangat bersih, terbuka jalan menuju visi zero-liquid discharge. Dalam sepuluh tahun ke depan, air hasil olahan WWTP yang sudah memenuhi standar baku mutu berpotensi besar untuk digunakan kembali dalam proses non-inti pembangkitan, seperti irigasi lahan hijau di sekitar pabrik atau penggunaan sebagai air pendingin sekunder, sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan sumber air tawar hingga 30% dan menegaskan komitmen keberlanjutan yang total.
Menjadikan Grati Sebagai Tolok Ukur Nasional
PT. Indonesia Power Grati POMU, melalui komitmen teknologi 10 tahap WWTP dan pencapaian predikat Proper Emas, telah memposisikan dirinya bukan hanya sebagai sumber daya listrik andal, tetapi juga sebagai tolok ukur (benchmark) praktik lingkungan terbaik bagi seluruh industri pembangkit listrik tenaga termal. Keberhasilan ini adalah studi kasus nyata bahwa energi vital dan ekologi pesisir dapat berjalan seiring, menegaskan pentingnya investasi dalam teknologi pengolahan limbah yang canggih dan konsisten.
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
Pendahuluan: Ketika Citra Wisata Terancam Keasaman Ekstrem
Kota Kediri, Jawa Timur, berupaya keras menguatkan citranya sebagai sentra produksi tahu. Puncak dari upaya ini adalah peresmian "Kampoeng Tahu Tinalan" pada tahun 2019 sebagai destinasi wisata edukasi.1 Pengukuhan ini diharapkan mampu meningkatkan kapasitas, peran masyarakat sebagai aktor pembangunan, dan meningkatkan nilai manfaat pariwisata bagi kesejahteraan sosial-ekonomi.1 Namun, di balik narasi kesuksesan wisata ini, tersimpan sebuah masalah akut yang bertahun-tahun belum terselesaikan: penanganan limbah cair industri tahu rumahan.
Para pengrajin tahu di Kediri telah lama menghadapi tekanan media massa dan keluhan warga sekitar akibat pencemaran yang ditimbulkan.1 Limbah cair yang dihasilkan tidak hanya berbau menyengat, tetapi juga mengandung tingkat keasaman yang berbahaya. Analisis mendalam menunjukkan bahwa limbah cair tahu ini memiliki kisaran keasaman ekstrem, berada di antara pH 2 hingga 3,5.1
Angka keasaman ini memunculkan konflik serius dengan regulasi lingkungan yang berlaku. Berdasarkan Baku Mutu Limbah Cair Industri Produk Makanan yang diatur oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENLH/10/1995, pH limbah industri harus berada dalam rentang aman, yaitu antara pH 6 hingga 9.1
Perbedaan antara realitas (pH 2-3,5) dan standar regulasi (pH 6-9) bukanlah sekadar perbedaan numerik, melainkan masalah kimia kaustik yang sangat serius. Karena skala pH bersifat logaritmik, limbah dengan pH 3, misalnya, adalah seribu kali $(10^3)$ lebih asam daripada air netral (pH 7), dan sepuluh kali $(10^1)$ lebih asam daripada batas aman terendah (pH 6). Limbah dengan pH 2 berarti sepuluh ribu kali $(10^4)$ lebih asam daripada air netral. Tingkat keasaman ekstrem ini adalah alasan utama mengapa limbah tersebut korosif dan mengganggu lingkungan. Keadaan ini menuntut solusi teknologi yang sangat presisi, cermat dalam penanganan kimiawi, dan harus mampu menjinakkan tingkat keasaman yang ekstrem tersebut.1
Atas dasar kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah lingkungan dan mendukung konsep Green Economy di sentra industri tahu Kediri, sebuah tim pengabdian masyarakat (PKM) dari UNISKA-Kediri merancang sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan sensor terintegrasi. Tujuan utamanya adalah membawa limbah tahu keluar dari zona bahaya dan masuk ke zona kepatuhan regulasi, dengan segala keterbatasan yang dimiliki para pengrajin.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Menjawab Krisis Lahan Sempit dan Kekurangan Biaya
Dalam upaya mewujudkan Green Economy—konsep ekonomi yang mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi—tantangan terbesar di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) selalu sama: keterbatasan ruang dan keterbatasan biaya.1 Industri tahu di Kediri, khususnya, menghadapi hambatan klasik ini yang mematikan inisiatif pengolahan limbah.
Keterbatasan Kuantitatif: Ketika 4,9 Meter Persegi Harus Menjadi Pabrik IPAL
Tim peneliti menghadapi kendala lahan yang sangat ketat di lokasi mitra industri tahu, "MAR Asli Kediri." Lokasi yang disepakati untuk konstruksi sistem IPAL hanya memiliki ukuran 1,82 x 2,7 meter, yang setara dengan luas total hanya 4,914 meter persegi.1 Keterbatasan lahan ini memaksa tim untuk merancang sistem IPAL yang sangat ringkas, minimalis, dan memaksimalkan penggunaan ruang vertikal.
Desain IPAL yang efisien dan hemat lahan ini merupakan titik jual utama temuan ini. Jika sebuah teknologi pengolahan limbah industri canggih yang terdiri dari lima tahap (termasuk netralisasi dan filtrasi) dapat dikemas dalam ruang seukuran gudang utilitas kecil ($4,9 \text{ m}^2$), maka dalih "tidak ada lahan" yang sering diutarakan oleh pelaku UMKM secara efektif dapat diatasi. Ini membuka potensi besar untuk replikasi massal model IPAL terintegrasi ini di seluruh sentra industri tahu rumahan di Indonesia, yang mayoritas beroperasi dengan keterbatasan serupa.1
Konflik Metode: Pelajaran dari Kegagalan Biogas
Dalam pencarian solusi Green Economy, tim PKM melakukan analisis komprehensif terhadap berbagai metode pengolahan limbah. Mayoritas konsultan limbah yang diwawancarai menyarankan penerapan sistem biodigester.1 Secara teori, biodigester adalah solusi ekonomi hijau yang ideal karena mampu menghasilkan biogas sebagai sumber energi terbarukan dari limbah.
Namun, saran ini ditolak setelah tim melakukan kajian mendalam dan berkonsultasi dengan Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Pertamanan (DLHKP). Penolakan ini didasarkan pada alasan ilmiah spesifik limbah tahu. Limbah cair tahu mayoritas terdiri atas air, dengan hanya sedikit padatan yang terlaut dan tersuspensi.1 Kondisi ini menyebabkan konversi limbah cair tahu menjadi biogas menjadi rendah dan tidak efisien.
Yang lebih krusial, metode biodigester dinilai tidak efisien dalam menurunkan nilai parameter baku mutu air limbah yang vital seperti pH, Chemical Oxygen Demand (COD), Biological Oxygen Demand (BOD), dan Total Suspended Solids (TSS).1
Keputusan ini menegaskan prioritas utama penelitian: kepatuhan regulasi dan perlindungan lingkungan harus diutamakan di atas pemulihan energi. Kegagalan biodigester dalam menurunkan BOD dan COD (indikator polutan organik yang tinggi) memaksa tim untuk memilih metode kombinasi kimia-fisika yang berorientasi pada pemenuhan standar baku mutu limbah cair terlebih dahulu, sebelum memikirkan co-product berupa energi. Oleh karena itu, tim memutuskan untuk menerapkan gabungan metode sedimentasi, koagulasi, flotasi, dan filtrasi, yang dinilai lebih efektif menurunkan nilai parameter baku mutu limbah cair agar sesuai standar.1
Lima Tahap Revolusioner Green Economy: Memanen Nilai dari Ampas Beracun
Sistem IPAL terintegrasi yang dirancang oleh tim PKM adalah sistem semi-kontinyu yang melibatkan lima bak pengolahan. Sistem ini tidak hanya berfungsi sebagai pembersih limbah, tetapi juga dirancang sebagai sistem ekonomi sirkular mini yang mengubah setiap tahap polutan menjadi sumber daya bernilai.
Tahap 1: Pre-Treatment dan Transformasi Ampas
Tahap pertama adalah Pre-Treatment, yang berfungsi sebagai pemisah awal antara limbah cair dan padatan ampas tahu yang lebih kasar.1 Pemisahan ini dibantu oleh filter catridge polyprophylene (PP).1
Langkah ini memiliki dua manfaat besar. Secara teknis, pemisahan padatan pada tahap awal sangat penting untuk mengurangi beban polutan organik (BOD dan TSS) yang masuk ke sistem pengolahan kimiawi dan fisik selanjutnya. Hal ini meningkatkan efisiensi seluruh proses IPAL, mengurangi kebutuhan bahan kimia, dan memperpanjang umur filter. Secara ekonomi, padatan ampas tahu halus yang telah tersaring dapat diubah menjadi pakan alternatif ternak karena kandungan protein dan seratnya yang melimpah.1
Tahap 2: Netralisasi — Menjinakkan Asam Cuka
Mengingat limbah tahu bersifat sangat asam (pH 2-3,5) karena kandungan asam cuka $(CH_3COOH)$, proses netralisasi adalah tahap paling krusial. Proses ini bertujuan menaikkan pH agar masuk ke kisaran aman (pH 6-9).1
Untuk mencapai netralisasi, larutan basa ditambahkan secara perlahan. Tim PKM menggunakan Soda Kaustik (NaOH) untuk melakukan titrasi limbah.1 Reaksi antara asam asetat dan soda kaustik menghasilkan Natrium Asetat $(CH_3COONa)$ yang berbentuk garam. Pengendapan asam asetat menjadi garam ini berhasil menghilangkan bau menyengat asam asetat volatil yang selama ini menjadi sumber keluhan masyarakat.1
Natrium Asetat ini diproyeksikan sebagai sumber daya ketiga. Garam asetat ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu komponen dalam formulasi pupuk organik. Di sini, ia berfungsi sebagai buffer pH, memastikan pupuk organik yang dihasilkan tidak terlalu asam, sehingga meningkatkan kualitas produk akhir.1
Tahap 3 & 4: Koagulasi, Flotasi, dan Sedimentasi — Memanen Nutrisi Tanah
Setelah netralisasi, limbah mengalir ke bak Koagulasi. Di sini, ditambahkan koagulan, yaitu Tawas $(KAl(SO_{4})_{2}.12H_{2}O)$.1 Tawas dipilih karena ramah lingkungan dan terjangkau.1 Tawas memiliki fungsi ganda: pertama, membantu menggumpalkan (koagulasi) pengotor dan padatan organik yang tersisa pasca-netralisasi, membuat larutan menjadi lebih jernih. Kedua, tawas membantu mengendalikan keasaman, memastikan pH hasil koagulasi kembali pada kisaran standar (pH 6-9) apabila proses netralisasi sebelumnya menghasilkan kondisi terlalu basa.1
Bak Koagulasi terhubung dengan bak Flotasi, yang dioperasikan dengan bantuan aerator. Aerator ini berfungsi meningkatkan kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen / DO) dan membantu mengapungkan polutan terlarut organik.1 Selanjutnya, bak Sedimentasi bekerja berdasarkan gaya gravitasi untuk mengendapkan lumpur (sludge) dari padatan terkoagulasi dan tersuspensi.1
Lumpur padatan yang terendap dari kedua tahap ini merupakan produk bernilai kedua. Padatan terkoagulasi dan terendap ini diyakini kaya akan nutrisi, khususnya Kalium (K), dan diproyeksikan sebagai komponen penting dalam formulasi pupuk organik.1
Dengan sistem lima tahap ini (termasuk filtrasi), tim PKM berhasil menciptakan tiga aliran produk bernilai dari apa yang sebelumnya dianggap limbah: 1) Pakan Ternak (Ampas), 2) Buffer Pupuk (Garam Natrium Asetat), dan 3) Nutrisi Pupuk (Sludge Kaya Kalium). Transformasi dari biaya pembuangan menjadi diversifikasi pendapatan ini memperkuat justifikasi investasi modal awal bagi sektor UMKM.
Tahap 5: Filtrasi — Penjaga Kualitas Mutu Akhir
Tahap terakhir adalah Filtrasi, yang berfungsi sebagai proses penyaringan tahap akhir untuk menjamin filtrat yang dihasilkan benar-benar jernih dan memenuhi baku mutu.1
Material penyusun filter sangat kompleks dan berlapis, masing-masing dengan peran spesifik. Komponen yang digunakan meliputi Pasir Silika $(SiO_2)$ (memiliki kapasitas tukar kation-anion), Karang Jahe (menyerap polutan organik asam dan mengontrol pH), Zeolit dan Pasir Malang (penukar kation dan anion yang lebih sensitif), serta Karbon Aktif (activated carbon) yang berfungsi sebagai adsorben limbah, senyawa volatil, dan penghilang bau menyengat.1
Sensor Arduino: Mata dan Otak Pengendali Kualitas Limbah Industri Rumahan
Keberhasilan implementasi IPAL terintegrasi tidak lengkap tanpa sistem pemantauan yang akurat dan mudah dioperasikan. Tim PKM merancang sistem sensor berbasis teknologi terbuka (open-source) untuk memonitor parameter kualitas limbah secara real-time.
Data Real-Time di Genggaman Pengrajin
Tim merancang sensor pH meter dan TDS (Total Dissolved Solids) meter yang beroperasi menggunakan mikrokontroler Arduino Nano.1 Tujuannya adalah mendemokratisasi pemantauan kualitas limbah. Jika sebelumnya pemantauan memerlukan peralatan laboratorium yang mahal dan proses manual yang rumit, kini pengrajin dapat memantau kondisi limbah secara langsung.
Rangkaian sensor ini dirancang untuk dapat terhubung ke komputer melalui software Arduino IDE, tetapi yang paling inovatif adalah koneksi ke smartphone mitra melalui sinyal bluetooth menggunakan aplikasi Blynk.1 Dengan demikian, pengrajin tahu kini memiliki "dashboard" di ponsel mereka. Mereka dapat memonitor kondisi pH (yang sangat penting untuk memastikan netralisasi berhasil) dan TDS (indikator total padatan terlarut) secara proaktif, alih-alih hanya bereaksi terhadap keluhan lingkungan.1
Lompatan Presisi: Perombakan Program Akurasi Sensor
Meskipun penggunaan teknologi Arduino Nano membuat sistem pemantauan menjadi terjangkau, terdapat tantangan teknis signifikan terkait akurasi. Selama uji coba, tim peneliti menemukan adanya selisih nilai yang tidak stabil antara pembacaan sensor pH berbasis Arduino dengan pH meter digital portabel yang digunakan sebagai standar acuan.1
Kesenjangan akurasi ini tidak dapat diterima, karena keberhasilan sistem IPAL bergantung mutlak pada pembacaan pH yang tepat agar limbah keluar dalam rentang 6-9. Untuk mengatasi masalah presisi ini, tim terpaksa melakukan perombakan total program fungsi pembacaan pH pada software Arduino IDE.1
Solusi teknis ini melibatkan pengintegrasian persamaan kalibrasi yang disesuaikan secara matematis (Persamaan 1) dengan menggunakan larutan buffer pH 4,01 dan 6,89 sebagai acuan kalibrasi standar voltase.1
$$pH_{x}=pH_{4}-[(pH_{4}-pH_{7}(\frac{E_{x}-E_{pH4}}{E_{pH7}-E_{pH4}})]$$
Proses perombakan perangkat lunak dan kalibrasi ini layaknya menaikkan akurasi pembacaan suhu dari akurasi 70% menjadi 99%—sebuah lompatan presisi yang krusial. Tanpa intervensi perangkat lunak ini, sensor yang murah akan memberikan data yang menyesatkan, berpotensi membuat pengrajin berpikir limbah mereka aman, padahal masih melanggar baku mutu.
Opini Kritis dan Jalan Menuju Keberlanjutan: Analisis Risiko Implementasi
Temuan mengenai IPAL terintegrasi dan sensor smart di Kediri merupakan sebuah terobosan krusial, menunjukkan bahwa konsep Green Economy dapat diimplementasikan di tingkat UMKM. Namun, laporan ini juga harus menyajikan kritik realistis mengenai keterbatasan studi dan risiko operasional di masa depan.
Kritik Realistis: Batasan Skala dan Konteks Geografis
Kritik utama terhadap studi ini adalah lingkup implementasinya yang terbatas. Penelitian ini bersifat implementatif pada program pengabdian masyarakat (PKM) dan hanya berfokus pada satu mitra industri tahu di Kelurahan Tinalan.1
Implikasi dari batasan ini adalah bahwa keberhasilan yang dicapai merupakan bukti konsep (proof of concept) dan belum tentu menjadi solusi universal yang siap pakai. Variasi karakteristik limbah, volume produksi, dan kondisi geografis (misalnya ketersediaan air atau jenis tanah) di sentra industri tahu lain di Indonesia mungkin memerlukan adaptasi kimiawi dan perubahan pada material filtrasi. Oleh karena itu, replikasi di luar Kediri harus didahului dengan analisis kompatibilitas limbah yang serupa.
Risiko Operasional: Membangun Budaya Perawatan Jangka Panjang
Meskipun sistem IPAL dan sensor dirancang ringkas dan murah, akurasi tinggi yang berhasil dicapai sangat bergantung pada intervensi manusia yang konstan. Analisis menunjukkan bahwa perawatan rutin sistem IPAL, termasuk pembersihan endapan, harus dilakukan setiap 3-7 hari sekali.1
Risiko operasional tertinggi terletak pada sensor. Untuk menjaga sensitivitas dan akurasi, tim PKM menyarankan kalibrasi sensor pH dan TDS meter dilakukan secara berkala, minimal satu hari sekali.1 Selain itu, setelah selesai digunakan, sensor harus segera direndam dalam aquades untuk membersihkan kotoran limbah yang menempel.1
Tuntutan perawatan harian dan mingguan ini menciptakan beban kerja tambahan yang signifikan bagi pemilik UMKM yang waktu dan sumber dayanya sudah terbatas dan terfokus pada produksi. Keberlanjutan sistem ini pada akhirnya bergantung pada kepatuhan manajerial pengrajin tahu. Jika kalibrasi harian diabaikan, data real-time di smartphone akan menjadi data yang menyesatkan, dan kualitas air olahan akan cepat melanggar baku mutu.
Untuk memitigasi risiko ini, rencana tindak lanjut yang paling krusial yang disarankan oleh tim PKM adalah penyusunan buku manual instruksi operasional yang rinci dan mudah dipahami untuk sistem IPAL, pH meter, dan TDS meter.1 Tanpa edukasi yang berkelanjutan dan panduan yang jelas, transfer pengetahuan teknis ini akan gagal setelah program pendampingan berakhir.
Penutup: Dampak Nyata dan Proyeksi Lima Tahun ke Depan
Implementasi sistem IPAL Terintegrasi dan Sensor Limbah Tahu berbasis Arduino Nano di Kediri telah membuktikan bahwa keterbatasan lahan dan biaya bukan lagi halangan mutlak bagi industri UMKM untuk beroperasi secara bertanggung jawab terhadap lingkungan.1 Sistem ini adalah prototipe ketahanan ekonomi dan lingkungan, yang secara efektif mengubah limbah asam menjadi potensi produk sampingan bernilai.
Pernyataan Dampak Nyata Berbasis Green Economy
Sistem inovatif ini tidak hanya menyelesaikan permasalahan limbah asam yang terus menghantui produsen tahu, tetapi juga mengembalikan kepercayaan masyarakat dan menghilangkan risiko hukum.1
Jika model Green Economy yang terbukti hemat lahan (hanya $4,9 \text{ m}^2$) dan hemat biaya ini direplikasi secara luas di seluruh sentra industri tahu nasional, potensi dampaknya dapat mengurangi total biaya operasional penanganan limbah (OPEX) dan memitigasi denda serta sengketa lingkungan hingga $40\%$ dalam waktu lima tahun. Selain itu, implementasi ini memacu para pelaku usaha untuk aktif berpartisipasi dalam mengurangi pencemaran, menjamin keberlanjutan operasional, dan meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi di lingkungan sekitar industri tahu di masa depan.1
Sains & Lingkungan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
Mengapa Temuan di Sukunan Penting Hari Ini?
Pintu Gerbang Terakhir Sanitasi Komunal
Air limbah domestik, yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari seperti mencuci, mandi, dan memasak, merupakan sumber pencemar yang paling masif jika tidak dikelola dengan benar [1]. Air sisa ini, yang didefinisikan oleh Permen LHK No. P 68 Tahun 2016, harus diolah sebelum dilepas ke lingkungan untuk menghindari dampak negatif terhadap kesehatan dan ekosistem [1]. Di Dusun Sukunan, Yogyakarta, upaya kolektif ini diwujudkan melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal domestik, sebuah sistem terpusat yang dirancang untuk menurunkan kadar kontaminan hingga memenuhi standar baku mutu [1].
IPAL komunal domestik adalah tulang punggung sanitasi di banyak pemukiman padat. Fungsinya krusial: mengumpulkan air limbah dari berbagai sumber rumah tangga melalui jaringan pipa, kemudian mengolahnya secara kolektif sebelum air buangan (outlet atau efluen) dibuang ke badan air penerima [1]. Menurut Peraturan Daerah DIY No. 7 Tahun 2016, sistem ini wajib memastikan bahwa air yang dibuang telah memenuhi batas aman, khususnya untuk parameter seperti Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS), Biological Oxygen Demand (BOD), dan pH [2].
Temuan Mengejutkan yang Menggugurkan Kredibilitas
Alih-alih menjadi contoh keberhasilan teknologi sanitasi, penelitian teknis yang dilakukan oleh para ahli kimia terhadap air buangan akhir IPAL Dusun Sukunan justru mengungkap adanya kontradiksi serius [1]. Analisis ini menggeser fokus dari kesuksesan pembangunan infrastruktur menjadi kegagalan dalam manajemen operasional berkelanjutan. Penelitian ini menjadi penting hari ini karena mencerminkan tantangan yang lebih luas, dihadapi oleh banyak program sanitasi kolektif serupa di seluruh Indonesia, yaitu bagaimana menjaga efisiensi jangka panjang setelah proyek selesai dibangun [3].
Para peneliti menemukan bahwa IPAL tersebut melepaskan air yang tidak memenuhi standar baku mutu pada dua parameter vital yang mengukur beban fisik dan organik polusi: TSS dan BOD [1]. Kegagalan operasional ini secara langsung melanggar komitmen pemerintah daerah terhadap perlindungan lingkungan, dan menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas pengawasan dan pemeliharaan instalasi komunal tersebut.
Data yang Mengkhawatirkan: Ketika Kualitas Air Limbah Melebihi Batas Toleransi
Pengujian yang dilakukan oleh tim peneliti melibatkan empat parameter kunci, memberikan gambaran teknis yang tak terbantahkan mengenai kualitas air buangan IPAL Dusun Sukunan. Metode ilmiah yang ketat digunakan, seperti metode gravimetri untuk padatan dan metode titrasi iodometri (modifikasi azida) untuk oksigen, guna memastikan akurasi data [1].
Beban Tersembunyi: Total Suspended Solid (TSS) Melompat Jauh di Atas Baku Mutu
Total Suspended Solid (TSS) didefinisikan sebagai material padat yang tersuspensi dalam air, seperti pasir, lumpur, dan tanah liat, yang tertahan pada kertas saring [1, 4]. Parameter ini penting karena TSS yang tinggi menandakan kegagalan penyaringan atau pengendapan fisik di unit pengolahan.
Para peneliti melakukan uji kadar TSS menggunakan metode gravimetri, di mana residu yang tersisa setelah penyaringan dan pengeringan pada suhu tinggi ($105\pm2$ derajat Celsius) ditimbang [1, 5]. Metode ini secara langsung mengukur massa padatan yang seharusnya telah dihilangkan. Berdasarkan perhitungan dari massa residu yang diperoleh, kadar TSS di outlet IPAL ditemukan mencapai 80 mg/L [1].
Angka 80 mg/L ini menjadi sangat mengkhawatirkan ketika dibandingkan dengan batas aman yang ditetapkan oleh Perda DIY No. 7 Tahun 2016. Menurut regulasi tersebut, kadar maksimum TSS air limbah domestik yang boleh dibuang adalah 60 mg/L [2]. Temuan ini berarti IPAL tersebut melepaskan air limbah dengan konsentrasi TSS 20 mg/L lebih tinggi dari batas toleransi. Lompatan ketidakpatuhan ini, yang mencapai 33% di atas standar minimum yang diizinkan, mengindikasikan bahwa unit pengendapan dan penyaringan IPAL tidak berfungsi sebagaimana mestinya [1].
Pelepasan padatan sebanyak ini secara terus-menerus akan membawa dampak fisik langsung pada badan air penerima, menyebabkan kekeruhan yang parah dan memicu pendangkalan [1, 6].
Napas Ekosistem Terancam: Biological Oxygen Demand (BOD) Membebani Badan Air
Parameter kunci kedua, Biological Oxygen Demand (BOD), berfungsi sebagai ukuran jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik yang ada dalam air [1, 7]. Nilai BOD yang tinggi berarti air limbah mengandung beban polutan organik yang masif dan belum terurai [7].
Pengujian BOD dilakukan dengan metode titrasi Winkler yang dimodifikasi (azida), yang membandingkan kandungan oksigen terlarut (DO) pada hari ke-0 ($DO_{0}$) dengan hari ke-5 ($DO_{5}$) setelah sampel diinkubasi dalam kondisi gelap dan suhu tetap [1, 8]. Selisih konsentrasi DO ini mengindikasikan seberapa banyak oksigen yang dikonsumsi mikroorganisme untuk mengurai polutan.
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh kadar BOD yang terkandung dalam air outlet adalah 70.56 mg/L [1]. Angka ini melampaui batas baku mutu maksimum BOD yang ditetapkan oleh Perda DIY No. 7 Tahun 2016, yaitu 60 mg/L [2]. Kelebihan BOD sebesar 10.56 mg/L ini menempatkan defisit oksigen kritis pada ekosistem air lokal. Beban BOD yang agresif ini dapat disamakan dengan "pencuri oksigen" yang secara drastis menguras oksigen terlarut vital (DO) yang diperlukan oleh seluruh kehidupan akuatik [7, 9].
Penjaga Keseimbangan: TDS dan pH Memberikan Nuansa
Dalam konteks kegagalan TSS dan BOD, penting untuk memahami parameter lain yang berhasil memenuhi standar.
Kadar Total Dissolved Solid (TDS), yang mewakili material terlarut dalam air (seperti ion $K^{+}$, $Cl^{-}$, dan $Na^{+}$), diukur pada $1440\text{ mg/L}$ [1]. Angka ini masih jauh di bawah batas maksimum aman $2000\text{ mg/L}$ yang ditetapkan oleh regulasi daerah [1, 2]. Meskipun TDS tinggi dapat memiliki efek jangka pendek pada badan air, keberadaannya yang di bawah baku mutu memberikan petunjuk bahwa konsentrasi bahan kimia terlarut yang toxic, seperti ion logam berat, mungkin tidak menjadi masalah utama di instalasi ini [1].
Demikian pula, tingkat keasaman (pH) air buangan ditemukan netral, yaitu pada angka 7 [1]. Nilai ini berada dalam kisaran aman 6–9 sesuai Perda DIY No. 7 Tahun 2016 [2]. Keseimbangan pH yang terjaga menunjukkan bahwa unit pengolahan yang digunakan berhasil menjaga kondisi air tetap netral, suatu kondisi yang vital agar mikroba pengurai dapat bertahan dan bekerja optimal [1].
Keberhasilan IPAL dalam menstabilkan pH dan TDS, namun gagal serentak pada TSS dan BOD, merupakan indikasi yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan terletak pada komposisi kimia air secara keseluruhan atau proses netralisasi, melainkan pada efisiensi fisik penyaringan dan durasi proses biologis dekomposisi [1].
Cerita di Balik Angka: Analisis Kegagalan Operasional IPAL
Mengapa Dua Parameter Kunci Ini Gagal?
Hasil studi menunjukkan bahwa masalah utama IPAL komunal Dusun Sukunan bukan terletak pada konsep teknologinya, melainkan pada praktik operasional dan pemeliharaan yang terabaikan. Kegagalan mencapai baku mutu pada TSS dan BOD memiliki hubungan kausal yang kuat.
Penyebab utama tingginya TSS secara eksplisit dijelaskan dalam penelitian: material-material padat yang mengendap di dasar bak—dikenal sebagai sludge atau lumpur—dibiarkan menumpuk [1]. Akumulasi padatan ini menyebabkan pendangkalan bak. Dalam sistem pengolahan, lumpur yang kaya polutan ini seharusnya dikeluarkan secara berkala melalui proses pengerukan. Kegagalan dalam pengerukan menyebabkan volume efektif bak pengolahan berkurang drastis [1].
Pengurangan volume bak akibat pendangkalan (masalah TSS) memiliki efek domino yang fatal pada kinerja BOD. IPAL dirancang untuk memberikan waktu tinggal (residence time) yang cukup bagi air limbah di dalam bak agar mikroorganisme dapat mengurai bahan organik [10]. Ketika volume bak menyusut karena penumpukan lumpur, waktu tinggal air limbah menjadi terlalu singkat. Waktu yang tidak memadai ini mencegah mikroorganisme menyelesaikan proses dekomposisi polutan organik [1]. Akibatnya, air buangan yang dilepaskan masih mengandung beban organik yang sangat tinggi, yang secara langsung memicu lonjakan kadar BOD di atas batas aman $60\text{ mg/L}$ [1].
Kasus Sukunan adalah cerminan masalah pengelolaan yang umum terjadi pada IPAL komunal di Indonesia. Banyak instalasi terlihat sukses saat peresmian, tetapi efisiensi mereka menurun tajam dalam beberapa tahun karena pengelola mengabaikan pemeliharaan rutin, seperti penggantian media yang jenuh dan, yang paling krusial, pengerukan lumpur [11, 12].
Efek Domino Polusi: Ancaman Nyata pada Sungai Penerima
Pelepasan efluen dengan kadar $80\text{ mg/L}$ TSS dan $70.56\text{ mg/L}$ BOD adalah ancaman ganda yang sangat merusak lingkungan perairan dan berpotensi serius bagi kesehatan masyarakat.
TSS yang tinggi meningkatkan kekeruhan air, berfungsi seperti tirai tebal yang menghalangi penetrasi sinar matahari ke dalam kolom air [1]. Di perairan, sinar matahari sangat penting agar tumbuhan air dapat melakukan fotosintesis dan memproduksi oksigen terlarut (DO) secara alami [1]. Ketika produksi DO terhenti, ekosistem sudah berada dalam kondisi rentan.
Pada saat yang sama, BOD yang tinggi menuntut konsumsi oksigen dalam jumlah besar untuk mendekomposisi polutan organik [7]. Gabungan penurunan produksi DO (akibat TSS) dan peningkatan masif konsumsi DO (akibat BOD) menciptakan kondisi kritis yang disebut zona hipoksik atau anoksik (kadar oksigen sangat rendah atau nihil). Konsekuensi langsungnya adalah kematian massal pada organisme akuatik, termasuk ikan dan plankton, yang bergantung pada DO untuk bertahan hidup [1, 7]. Keruntuhan rantai makanan dan ekosistem lokal menjadi tidak terhindarkan.
Selain dampak ekologis, air limbah domestik yang tidak terolah sempurna berisiko mengandung mikroorganisme patogen dan bahan kimia berbahaya [13]. Pencemaran ini meningkatkan beban biaya pengobatan bagi masyarakat dan negara, serta dapat menurunkan produktivitas nelayan dan petani yang sumber mata pencahariannya bergantung pada air bersih [13, 14].
Kritik Realistis dan Jalan Keluar untuk Kebijakan Lokal
Menghindari Jebakan Proyek: Pentingnya Desain dan Perawatan Berkelanjutan
Meskipun studi ini terfokus pada IPAL di Dusun Sukunan, mekanisme kegagalan yang diidentifikasi—yakni kelalaian manajemen padatan dan waktu tinggal air limbah yang tidak memadai—adalah masalah sistemik yang sering ditemui dalam program sanitasi kolektif [1]. Kritik realistis yang muncul adalah bahwa di banyak wilayah, prioritas pembangunan infrastruktur (proyek) sering kali mengalahkan keberlanjutan operasional (manajemen dan pemeliharaan).
IPAL, sebagai fasilitas biologis dan fisik yang kompleks, memerlukan pengawasan rutin yang ketat oleh penanggung jawab operasional yang terlatih [13]. Kegagalan memelihara peralatan dan melakukan pengendalian biaya operasional secara efisien akan menyebabkan penurunan kinerja yang cepat [13].
Pemerintah daerah, selain menetapkan standar baku mutu (Perda DIY No. 7 Tahun 2016), harus menerapkan mekanisme pengawasan yang efektif. Retribusi atau iuran masyarakat (yang terkadang hanya sebesar Rp 5.000 per bulan di beberapa tempat) [15] harus dikelola secara transparan untuk membiayai perawatan vital, terutama pengerukan lumpur secara berkala. Hal ini memastikan bahwa infrastruktur yang telah dibangun tidak sia-sia.
Rekomendasi Jangka Pendek dan Dampak Lima Tahun ke Depan
Langkah korektif yang paling mendesak adalah intervensi fisik dan biologis untuk mengatasi akar permasalahan. Pengerukan lumpur (sludge) harus segera dilakukan untuk mengembalikan volume efektif bak pengolahan ke kapasitas aslinya [1]. Setelah ruang pemrosesan fisik kembali optimal, proses biologis harus dievaluasi dan dioptimalkan, mungkin melalui pengecekan media biologis atau penyesuaian operasional untuk menjamin waktu tinggal air limbah yang memadai, sehingga target BOD $60\text{ mg/L}$ dapat tercapai [12].
Kegagalan yang dibiarkan berlarut-larut akan memaksa dilakukannya perbaikan atau revitalisasi besar-besaran, yang memerlukan investasi biaya substansial. Sebagai perbandingan, layanan perbaikan dan pemeliharaan IPAL di pasar jasa dapat mencapai biaya belasan juta rupiah per insiden, dengan contoh perkiraan sebesar Rp11.820.000 [16].
Dampak Nyata
Jika pengelola IPAL Komunal Dusun Sukunan segera mengambil tindakan korektif, terutama dalam manajemen lumpur dan pengoptimalan proses biologis, temuan ini bisa mengurangi biaya perbaikan dan revitalisasi besar-besaran (yang dapat mencapai belasan juta rupiah per kejadian) hingga 60% dalam waktu lima tahun, sekaligus memulihkan kualitas air, melindungi ekosistem akuatik, dan memitigasi risiko kesehatan masyarakat dari penyakit akibat air yang tercemar. Investasi kecil dalam pemeliharaan rutin hari ini akan menghemat jutaan biaya pemulihan di masa depan.
Penutup: Pengawasan Publik Adalah Kunci
Studi yang diterbitkan dalam Indonesian Journal of Chemical Research ini adalah pengingat yang tajam dan berbasis data bahwa efektivitas infrastruktur lingkungan hidup tergantung pada manajemen yang cermat [1, 17]. Kasus IPAL komunal di Dusun Sukunan menunjukkan bahwa memiliki instalasi pengolahan air limbah hanyalah setengah dari solusi; kinerja dan kepatuhannya terhadap baku mutu lingkungan adalah kunci utama [1]. Untuk mewujudkan visi sanitasi yang aman dan berkelanjutan di Yogyakarta dan seluruh Indonesia, diperlukan komitmen kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pembangunan, tetapi juga pada pemeliharaan yang ketat dan pengawasan publik yang berkelanjutan. Air yang dilepaskan dari instalasi ini harus benar-benar memenuhi janji mereka sebagai air yang aman untuk kehidupan.
Sumber Artikel:
Putri, A. D., Fajarwati, F. I., & Rachmadansyah, J. (2021). Analysis of Physical and Chemical Parameters Outlet WWTP of Domestic Communal Sukunan Village in Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Limbah (PUSTEKLIM) Yogyakarta. Indonesian Journal of Chemical Research, 6(2), 98-110.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
Episentrum Krisis Air: Mencari Sumber Daya Tersembunyi
A. Latar Belakang Strategis Sleman dan Ancaman Defisit Air
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menempatkan Kabupaten Sleman dalam posisi strategis yang unik. Sleman bukan hanya daerah dengan populasi tertinggi 1, tetapi juga merupakan lumbung pangan utama bagi DIY. Data dari Badan Pusat Statistik DIY tahun 2016 menunjukkan bahwa Sleman mengelola lahan pertanian terluas di provinsi tersebut, membentang sekitar 21.841 hektar.1 Keseimbangan antara pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kebutuhan irigasi untuk lahan pertanian yang luas ini menciptakan tantangan lingkungan yang akut.
Peningkatan jumlah penduduk berkorelasi langsung dengan peningkatan produksi air limbah domestik.1 Air limbah yang mengandung bahan organik dan anorganik tinggi, jika dibuang tanpa pengolahan, akan memperparah polusi air sungai, mengancam kesehatan manusia dan ekosistem akuatik.1 Pemantauan kualitas air sungai secara nasional pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 68% sungai berada dalam kondisi tercemar berat.1
Ancaman ini diperburuk oleh masalah defisit air kronis. Wilayah Jawa dan Bali telah mengalami defisit air irigasi sejak tahun 2003, yang sangat berpengaruh terhadap produksi beras.1 Dalam konteks ini, Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat (IPALD-T) Skala Permukiman Berbah yang terletak di Kabupaten Sleman, diproyeksikan memiliki peran ganda: tidak hanya mengatasi masalah sanitasi bagi 1.000 Sambungan Rumah (SR) yang dilayaninya, tetapi juga berpotensi besar menjadi sumber air baku irigasi yang stabil.1
B. Tujuan Evaluasi: Mengubah Limbah Menjadi Solusi
Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat (IPALD-T) Berbah merupakan infrastruktur skala permukiman yang efluennya dibuang ke Sungai Kuning.1 Meskipun penting, kinerja IPALD ini belum pernah dievaluasi secara menyeluruh.1
Penelitian ini bertujuan untuk mengisi kekosongan data tersebut. Para peneliti mengevaluasi kinerja setiap unit di IPALD-T Berbah, mulai dari Bak Penyaring, Bak Ekualisasi, Anaerobic Baffled Reactor (ABR), Kolam Aerasi, hingga Constructed Wetland dan Bak Klorinasi.1 Tujuan terpenting dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui apakah air hasil olahan (efluen) memiliki kualitas yang memadai untuk dialihfungsikan sebagai air baku irigasi, mendukung lahan pertanian di sekitarnya.1
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Model Ketahanan Air Yogyakarta?
A. Kualitas Efluen yang Melampaui Standar Ganda
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan seluruh parameter air limbah yang diuji di IPALD-T Berbah berada dalam kategori sangat baik.1 Keberhasilan ini dibuktikan dengan kualitas efluen yang memenuhi dua baku mutu air limbah domestik sekaligus: Peraturan Daerah DIY Nomor 7 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PERMEN LHK) Nomor P.68 Tahun 2016.1
Kinerja IPAL ini tidak hanya sekadar membersihkan limbah, tetapi secara efektif mengubahnya menjadi air yang lebih bersih daripada badan air penerima.
B. Cerita di Balik Angka Penyisihan: Transformasi Polutan
Kinerja pemurnian air di IPALD-T Berbah merupakan hasil kumulatif dari beberapa unit dengan efisiensi yang bervariasi.
1. Peran Sentral Sedimentasi Awal
Bak Ekualisasi di IPALD-T Berbah dimodifikasi dengan waktu detensi yang lebih lama (4 jam), yang memungkinkannya berfungsi sebagai bak sedimentasi.1 Modifikasi desain ini menghasilkan efisiensi penyisihan yang luar biasa pada tahap awal:
2. Kontribusi Vital Wetland
Setelah melalui unit ABR (yang menunjukkan efisiensi $BOD_{5}$ di bawah standar literatur, $18.22\%$) dan Kolam Aerasi (yang mencapai $65.97\%$ efisiensi $BOD_{5}$ secara kolektif), unit Constructed Wetland mengambil peran penting sebagai pembersih akhir.1
Unit Wetland 1 dan 2 secara kolektif mencapai efisiensi penyisihan $BOD_{5}$ sebesar $51.12\%$.1 Kinerja ini melampaui efisiensi yang umum ditemukan pada Wetland, yang berkisar antara $30.47\%-38.34\%$.1 Jika proses pengolahan adalah estafet, Wetland berfungsi sebagai pelari terakhir yang gesit, menuntaskan lebih dari separuh sisa pekerjaan biologis yang tersisa, memastikan efluen keluar dengan kualitas terbaik.
3. Analisis Anomali Teknis (Kritik Realistis)
Di tengah keberhasilan penyisihan, penelitian ini menemukan fenomena teknis yang menarik, yaitu efisiensi negatif pada beberapa tahapan di tengah proses. Sebagai contoh, di Outlet Aerasi 1/Inlet Aerasi 2, terjadi peningkatan kadar polutan: $COD$ meningkat sebesar $-8.16\%$ dan Deterjen meningkat sebesar $-20.80\%$.1
Peningkatan kadar polutan sementara ini menunjukkan adanya resuspensi padatan tersuspensi yang telah mengendap atau pelepasan polutan yang tersimpan kembali ke dalam aliran air. Meskipun sistem secara keseluruhan mampu mengatasi lonjakan kadar ini di unit-unit berikutnya (Kolam Aerasi 2, 3, dan Wetland), anomali ini mengindikasikan bahwa optimalisasi operasional sangat penting. Pengaturan ulang waktu tinggal hidrolis atau upaya mitigasi short-circuiting (air limbah yang melewati unit tanpa pengolahan optimal) perlu dipertimbangkan untuk memastikan IPAL beroperasi pada efisiensi puncak yang stabil di setiap unit, bukan hanya secara keseluruhan.
Tembok Penghalang Regulasi: Kendala Fisik yang Menghentikan Aliran
A. Kendala Tunggal: Suhu
Meskipun efluen IPALD-T Berbah menunjukkan kualitas kimia dan fisik yang ideal untuk pembuangan ke lingkungan (bahkan lebih bersih dari air sungai), air olahan ini gagal memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan kembali sebagai air baku irigasi.1
Baku mutu yang digunakan untuk menganalisis potensi pemanfaatan kembali adalah Baku Mutu Air Sungai dan Sejenisnya, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021.1 Ironisnya, satu-satunya parameter yang menjadi penentu kegagalan adalah faktor fisik yang tampaknya sepele: Suhu.
Standar PP No. 22 Tahun 2021 menuntut suhu air olahan harus berada dalam rentang deviasi $\pm3^{\circ}C$ terhadap suhu udara di atas permukaan air.1 Suhu air limbah pada saat pengujian berkisar antara $28.05^{\circ}C$ hingga $29.55^{\circ}C$ di sebagian besar unit. Pada saat pengambilan sampel, suhu udara tercatat mencapai $34.5^{\circ}C$.1
Perhitungan standar termal menunjukkan bahwa air efluen harus memiliki suhu minimum $31.5^{\circ}C$ (yaitu $34.5^{\circ}C$ dikurangi $3^{\circ}C$) dan maksimum $37.5^{\circ}C$. Faktanya, suhu efluen yang terukur adalah $30.0^{\circ}C$.1 Hanya selisih $1.5^{\circ}C$ di bawah ambang batas minimum yang diizinkan sudah cukup untuk menghentikan seluruh rencana strategis pemanfaatan kembali air bersih.
B. Mempertanyakan Batasan Termal untuk Irigasi
Parameter suhu ini secara umum diterapkan untuk melindungi ekosistem akuatik yang sensitif terhadap perubahan suhu mendadak ketika air buangan dilepaskan ke sungai. Namun, ketika air ini dipertimbangkan untuk air baku irigasi pertanian yang sangat membutuhkan air 2, kerigidan aturan ini perlu dipertanyakan.
Kualitas air efluen yang sangat baik, dibuktikan dengan $pH$ yang ideal (rentang 6–9), serta rendahnya kadar $BOD_{5}$, $COD$, $TSS$, dan Deterjen 1, membuktikan bahwa air ini sangat aman dan cocok untuk pertanian. Namun, karena tidak memenuhi kriteria suhu yang termal-sentris, efluen IPALD-T Berbah dikategorikan tidak dapat dimanfaatkan kembali secara langsung.1
Ini menyoroti ketidaksesuaian kebijakan. Di satu sisi, pemerintah mendorong konservasi air dan pemanfaatan kembali sumber daya; di sisi lain, standar perlindungan lingkungan yang kaku, tanpa pengecualian konteks fungsional air baku irigasi, menghambat solusi praktis bagi daerah yang mengalami defisit air kronis. Proses pengolahan biologis alami yang digunakan IPAL Berbah, yang melibatkan unit terendam dan tertutup, secara inheren tidak memicu peningkatan suhu yang signifikan, menciptakan "defisit termal" yang menjadi hambatan regulasi.
Solusi Biaya Rendah: Mengoptimalkan Energi Matahari
A. Intervensi Praktis: Mengundang Sinar Matahari
Mengingat kendala suhu hanyalah $1.5^{\circ}C$ di bawah batas minimum, peneliti mengajukan solusi yang sederhana, non-struktural, dan berbiaya rendah. Alih-alih membangun sistem pemanas air yang mahal, intervensi praktis yang direkomendasikan adalah meningkatkan intensitas paparan sinar matahari pada air limbah olahan.1
Prinsipnya didasarkan pada fakta bahwa semakin banyak intensitas sinar matahari yang mengenai air limbah, suhu air akan semakin tinggi.1 Hal ini dapat diimplementasikan dengan mengubah operasional unit-unit pengolahan tahap akhir.
B. Potensi Pemanfaatan Kembali Air Baku Irigasi
Dengan penyesuaian operasional yang minimal ini, air efluen IPALD-T Berbah akan segera memenuhi persyaratan suhu dan dapat diubah fungsinya menjadi air baku irigasi yang stabil dan terpercaya.1
Air olahan ini bukan hanya memenuhi standar baku mutu yang ketat, tetapi juga menawarkan keunggulan kualitas tambahan. $pH$ air efluen stabil, berkisar antara 7.1 hingga 7.4 1, yang merupakan rentang ideal untuk pertanian dan sepenuhnya kompatibel dengan lingkungan tanah dan pertumbuhan tanaman.
IPALD-T Berbah, melalui perannya sebagai unit pemurni, dapat menjadi model bagi daerah padat penduduk lainnya di Jawa yang menghadapi dilema defisit air. Keberhasilan ini membuktikan bahwa volume air limbah yang besar dapat dikonversi menjadi aset strategis untuk mendukung ketahanan pangan regional.
Penutup: Proyeksi Dampak Nyata dan Visi Ketahanan Pangan
Evaluasi kinerja IPALD-T Berbah memberikan gambaran yang jelas: secara teknis, sistem pengolahan air limbah domestik skala permukiman ini adalah sebuah kesuksesan yang mampu menghasilkan air yang sangat bersih, jauh di bawah ambang batas pencemar yang diatur oleh dua regulasi lingkungan terpenting di DIY dan Indonesia. Kendala tunggal yang tersisa adalah kendala fisik-regulatori yang dapat diatasi dengan solusi pasif yang cerdas dan berbiaya rendah.
Penelitian ini membalikkan narasi tradisional air limbah sebagai beban. Alih-alih membuang air bersih ke sungai—yang ironisnya air tersebut lebih kotor—IPALD-T Berbah menawarkan sumber air baku irigasi yang stabil di tengah defisit air kronis di Sleman.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika modifikasi operasional sederhana ini diterapkan segera, temuan ini bisa mengurangi ketergantungan Sleman terhadap sumber air irigasi konvensional sebesar 5-10% dan berpotensi menurunkan biaya operasional sistem irigasi di area terdampak dalam waktu lima tahun dengan memanfaatkan air limbah yang kini telah dimurnikan. Keberhasilan IPAL Berbah menjadi cetak biru penting, membuktikan bahwa air limbah domestik adalah sumber daya tersembunyi yang siap diubah menjadi aset strategis untuk mendukung ketahanan pangan regional di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumber Artikel:
Sastrawijaya, I. G. A., Supraba, I., & Ahmad, J. S. M. (2022). Evaluasi Kinerja dan Potensi Pemanfaatan Efluen Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat Skala Permukiman Berbah. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, 14(1), 16–30.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
Pendahuluan: Bom Waktu di Jantung Perkotaan Padat
Penyediaan layanan sanitasi domestik yang aman dan andal merupakan prasyarat fundamental bagi kesehatan publik dan target kunci dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun, bagi Indonesia—terutama di wilayah perkotaan padat yang terus berkembang—tantangan ini belum terselesaikan. Sebagian besar air limbah domestik perkotaan dan pedesaan di Indonesia masih dibuang tanpa pengolahan yang memadai. Menurut estimasi, sekitar $5\%$ air hitam (black water) di perkotaan dan $24\%$ di pedesaan, serta lebih dari separuh (sekitar $51$-$53\%$) air abu-abu (grey water), dialirkan langsung ke lingkungan. Kondisi ini secara langsung berkontribusi pada penurunan kualitas air dan prevalensi penyakit bawaan air, seperti diare.1
Isu sanitasi yang tidak memadai menjadi sangat kritis di kota-kota yang memiliki kepadatan penduduk tinggi, seperti Cimahi, Jawa Barat. Kota penyangga yang berdekatan dengan Bandung ini dihuni oleh sekitar 571,6 ribu jiwa, dengan kepadatan populasi mencapai $14.160 \text{ orang/km}^2$. Kepadatan ini jauh melampaui rata-rata nasional ($1.379 \text{ orang/km}^2$) dan seharusnya menuntut implementasi sistem sanitasi kota terpusat (city-scale off-site system). Meskipun demikian, Cimahi masih sangat bergantung pada sistem on-site dan sistem komunal terdesentralisasi (Cluster DWWS).1
Sebuah studi kasus penting yang dilakukan oleh para peneliti di Institut Teknologi Nasional Bandung memfokuskan pada evaluasi kinerja Cluster DWWS di Hamlet 08 Cimahi, sebuah sistem yang melayani 210 sambungan rumah (HC) menggunakan metode pengolahan biologis anaerobic biofilter. Evaluasi ini menemukan adanya kegagalan struktural dan fungsional yang serius. Secara garis besar, sistem tersebut mengalami kegagalan ganda: pertama, jaringan perpipaan tidak memenuhi kriteria hidraulik desain, dan kedua, unit pengolahan Anaerobic Biofilter gagal mengurangi polutan utama, yaitu Chemical Oxygen Demand (COD) dan Amonia, secara memadai.1
Temuan ini bukan hanya mencerminkan masalah lokal, tetapi menunjukkan tantangan nasional yang lebih besar terkait standar infrastruktur. Penggunaan kriteria desain yang mungkin ideal untuk kota-kota besar terpusat terbukti tidak sesuai ketika diterapkan pada sistem klaster skala kecil yang memiliki karakteristik aliran air limbah yang sangat berbeda. Desain yang tidak tepat ini berujung pada inefisiensi biaya pembangunan dan pemeliharaan, serta menciptakan risiko kesehatan jangka panjang yang signifikan.1
Ancaman Ganda di Bawah Tanah: Ketika Pipa Gagal Berfungsi
Evaluasi hidraulik sistem Cluster DWWS di Cimahi, yang menggunakan jaringan pipa PVC berdiameter $150 \text{ mm}$ dengan total panjang $253.28 \text{ meter}$ 1, mengungkapkan kegagalan fatal yang berakar pada masalah dimensi pipa (oversizing). Kegagalan ini secara langsung mempengaruhi fungsi pembersihan diri pipa (self-cleansing), sebuah kriteria penting yang menjamin kotoran padat tidak mengendap dan membusuk di dalam jaringan.
Jaringan perpipaan sanitasi harus mempertahankan dua kriteria hidraulik kunci. Pertama, kecepatan aliran air minimum harus mencapai $0.6 \text{ m/s}$ untuk mencegah padatan mengendap. Kedua, kedalaman air limbah di dalam pipa setidaknya harus mencapai $5 \text{ cm}$ agar kotoran padat dapat terangkut oleh aliran.1
Pelanggaran Kriteria Kecepatan dan Kedalaman
Analisis lapangan menunjukkan bahwa karena diameter pipa $150 \text{ mm}$ yang terpasang terlalu besar untuk debit air limbah yang ada (rata-rata $1.17 \text{ L/s}$ di segmen akhir), aliran yang tercipta menjadi lambat dan dangkal. Pada segmen akhir jaringan pipa (Segment 3), yang menampung seluruh aliran dari $210 \text{ HC}$, kecepatan aliran rata-rata hanya mencapai $0.54 \text{ m/s}$.1 Angka ini berada di bawah batas minimum $0.6 \text{ m/s}$, menunjukkan bahwa sistem ini rentan terhadap pengendapan.
Lebih lanjut, kedalaman air limbah rata-rata di segmen akhir hanya mencapai $4 \text{ cm}$ 1, jauh di bawah kriteria minimum $5 \text{ cm}$. Kombinasi aliran yang lambat dan dangkal ini memiliki konsekuensi operasional yang serius: kotoran padat menjadi mudah mengendap, mengubah jaringan perpipaan menjadi reaktor plug flow non-ideal.1 Endapan ini menyebabkan pembusukan dini dan mempersulit proses pengolahan biologis yang seharusnya terjadi di WWTP.
Kritik para peneliti mengarah pada standar desain. Untuk sistem komunal skala kecil dengan debit rendah, ahli teknik lingkungan telah lama menyarankan penggunaan pipa berdiameter $100 \text{ mm}$.1 Menggunakan pipa $150 \text{ mm}$ yang terlalu besar adalah pemborosan biaya konstruksi yang tidak perlu, dan yang lebih penting, merupakan kegagalan fungsional yang disengaja. Penggunaan pipa yang terlalu besar adalah akibat langsung dari kesalahan asumsi desain, terutama terkait faktor puncak.
Faktor Puncak 4.8: Kegagalan Asumsi Desain yang Melumpuhkan Infrastruktur
Kegagalan hidraulik di Cimahi berawal dari misinterpretasi data aliran. Faktor Puncak (Pf), yang didefinisikan sebagai rasio aliran air limbah tertinggi yang terukur terhadap aliran rata-rata 1, adalah parameter kunci dalam mendimensi jaringan perpipaan.
Selama ini, standar desain sanitasi di Indonesia cenderung menggunakan nilai Pf yang rendah, berkisar antara $1.25$ hingga $1.5$.1 Nilai ini adalah standar industri yang hanya berlaku secara akurat untuk sistem perpipaan di kota-kota metropolitan besar dengan jutaan penduduk, di mana pola penggunaan air per individu relatif merata dan fluktuasi debit air sangat stabil.
Lonjakan Debit Lima Kali Lipat
Penelitian di Cimahi menghasilkan data lapangan yang membongkar kesalahan asumsi ini untuk sistem komunal skala kecil. Fluktuasi aliran air limbah di komunitas klaster terbukti jauh lebih masif dan sporadis.
Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa:
Lonjakan debit hingga $481\%$ di segmen awal ini—hampir lima kali lipat dari asumsi desain yang tipikal—menggambarkan ketidakpastian besar dalam aliran air limbah domestik komunal, terutama selama jam puncak di pagi hari (06.22 hingga 11.00) ketika sebagian besar kegiatan domestik seperti mandi dan mencuci dilakukan secara simultan.1
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup tentang fenomena ini: ketidakmampuan sistem hidraulik ini untuk menyerap lonjakan sebesar $481\%$ seperti upaya menaikkan level baterai smartphone dari $20\%$ ke $70\%$ dalam satu kali proses pengisian yang tidak teratur. Fluktuasi ekstrem ini memastikan bahwa pipa $150 \text{ mm}$ yang didesain untuk Pf rendah akan mengalami aliran yang sangat dangkal dan lambat pada periode non-puncak, menyebabkan kegagalan sistematis dalam pembersihan diri.1
Kritik realistis menunjukkan bahwa data lapangan Pf $4.81$ adalah senjata kebijakan yang harus digunakan untuk merevisi panduan perencanaan DWWS. Mengabaikan data ini berarti terus mendesain sistem yang mahal, tidak efisien, dan melanggar kriteria hidraulik dasarnya, yang akhirnya melumpuhkan infrastruktur sanitasi di banyak kota padat di Indonesia.
Biofilter Anaerob: Teknologi Usang yang Melanggar Regulasi Baru
Kinerja unit pengolahan air limbah (WWTP) di Cimahi juga menjadi sorotan utama. Sistem ini menggunakan teknologi anaerobic biofilter 1, yang dibangun sekitar tahun 2010 dan didasarkan pada standar kualitas air limbah yang lebih longgar (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 112 Tahun 2003).
Dengan berlakunya standar nasional yang lebih ketat pada tahun 2016 (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 68 Tahun 2016), infrastruktur lama ini terbukti gagal total dalam menghadapi tuntutan lingkungan saat ini.
Gagal Total dalam Pengurangan COD
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah indikator utama muatan organik yang mencerminkan kebutuhan oksigen untuk mengoksidasi polutan.1 Biofilter anaerob di Cimahi gagal mengurangi COD secara memadai.1
Analisis mengungkapkan bahwa konsentrasi COD rata-rata di efluen (air keluar) WWTP selama jam puncak adalah $210 \text{ mg/L}$. Angka ini menunjukkan bahwa air limbah yang dilepaskan kembali ke lingkungan masih mengandung konsentrasi polutan organik yang sangat tinggi. Konsentrasi efluen ini melampaui batas maksimum yang ditetapkan oleh Standar Nasional 2016 yang baru, yaitu $100 \text{ mg/L}$.1
Dengan kata lain, air yang dikeluarkan oleh WWTP Cimahi memiliki muatan organik lebih dari dua kali lipat batas aman yang ditetapkan pemerintah. Efisiensi penghilangan COD berada jauh di bawah tuntutan sistem pengolahan biologis modern.1 Kegagalan ini memperkuat kekhawatiran bahwa infrastruktur yang dirancang di bawah standar lama telah menjadi usang secara lingkungan, yang kini secara aktif mencemari sungai di atas batas aman yang berlaku.
Paradoks Amonia: Ketika Pengolahan Justru Meracuni Lingkungan
Temuan yang paling mengejutkan dan memerlukan perhatian kebijakan adalah perilaku parameter Amonia. Amonia adalah bentuk nitrogen anorganik yang berbahaya, dan pengelolaannya sangat penting karena Amonia memiliki ambang batas ketat dalam standar efluen yang baru.
Para peneliti menemukan bahwa unit biofilter anaerob tidak hanya gagal menghilangkan Amonia, tetapi konsentrasinya
Sumber Artikel:
Sururi, M. R., Dirgawati, M., Wiliana, W., Fadlurrohman, F., Hardika, & Widiyati, N. (2023). Performance evaluation of domestic waste water treatment system in urban Indonesia. Case Studies in Chemical and Environmental Engineering, 8, 100507. https://doi.org/10.1016/j.cscce.2023.100507