Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Artikel dalam BRPELS Journal Winter 2021–22 menyoroti tiga isu kebijakan penting:
Penggunaan gelar “Engineer” oleh individu yang tidak memiliki lisensi, menimbulkan konflik antara kebebasan berpendapat (First Amendment) dengan kebutuhan perlindungan publik.
Revisi Building Code yang mengklasifikasikan bangunan 5 lantai ke atas sebagai significant structures, sehingga wajib dirancang atau diawasi oleh Structural Engineer berlisensi.
Regulasi praktik on-site wastewater engineering, untuk mempertegas standar kompetensi dan lisensi.
Isu-isu ini menunjukkan betapa pentingnya kebijakan publik yang menyeimbangkan kebebasan individu, kebutuhan pasar kerja, dan keselamatan publik.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif dari Regulasi Profesi
Melindungi keselamatan publik dengan memastikan hanya tenaga ahli berlisensi yang menangani proyek berisiko tinggi.
Meningkatkan kredibilitas profesi insinyur di mata masyarakat.
Menyediakan kejelasan hukum dalam penggunaan gelar profesional.
Hambatan
Perdebatan hukum: pembatasan penggunaan gelar bisa dianggap melanggar kebebasan berekspresi.
Resistensi dari sebagian pelaku industri yang merasa aturan baru membatasi fleksibilitas.
Biaya lisensi & sertifikasi dianggap beban bagi sebagian profesional.
Peluang Strategis
Regulasi yang jelas bisa mendorong standardisasi global dalam praktik keinsinyuran.
Penerapan building code berbasis risiko mendukung ketahanan infrastruktur terhadap bencana.
Pendidikan berkelanjutan bagi insinyur dapat difasilitasi melalui kursus daring, seperti artikel Diklatkerja tentang Integrasi BIM dalam Pendidikan Vokasi Teknik Konstruksi, yang menekankan pentingnya keterkaitan standar profesi dengan teknologi digital.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Pertegas Aturan Penggunaan Gelar “Engineer”
Hanya individu berlisensi yang boleh menggunakan gelar resmi dalam dokumen, kontrak, atau promosi publik.
Klasifikasi Risiko Bangunan
Semua bangunan 5 lantai ke atas wajib berada di bawah pengawasan Structural Engineer berlisensi.
Standarisasi Nasional Lisensi & Sertifikasi
Harmonisasi regulasi lintas negara bagian/provinsi untuk mempermudah mobilitas insinyur.
Regulasi Wastewater Engineering yang Jelas
Atur kompetensi minimum, lisensi, serta pengawasan agar instalasi tidak mengancam kesehatan publik.
Program Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan
Dorong insinyur mengikuti pelatihan berkelanjutan berbasis teknologi, sejalan dengan kebutuhan era digital dan industri 4.0.
Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius
Keselamatan publik terancam jika bangunan besar dikerjakan oleh tenaga tanpa lisensi.
Kebingungan hukum dalam penggunaan gelar “engineer” dapat menurunkan kepercayaan publik.
Standar profesi melemah jika sertifikasi dan lisensi tidak ditegakkan secara konsisten.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia
Meskipun konteks artikel ini diambil dari kasus internasional, pelajarannya sangat relevan untuk Indonesia:
Pemerintah perlu mempertegas regulasi profesi insinyur melalui UU Keinsinyuran dan peraturan turunannya.
Standar bangunan harus menempatkan keselamatan publik di atas pertimbangan biaya.
Regulasi sanitasi dan infrastruktur hijau harus dipadukan dengan kebijakan SDM yang berbasis kompetensi.
Dengan kebijakan yang kuat, profesi insinyur tidak hanya menjaga keselamatan publik, tetapi juga menjadi motor pembangunan berkelanjutan.
Sumber
BRPELS Journal Winter 2021–22
Pendidikan Vokasi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Artikel ini menyoroti peran kunci kemitraan publik–swasta (PPP) dalam memperkuat sistem pendidikan vokasi (TVET). Di Filipina, swasta mendukung pelatihan vokasi yang fleksibel dan dekat industri, sedangkan di Korea Selatan, pemerintah memegang peranan utama dalam regulasi, namun tetap mendorong kolaborasi dengan industri.
Konteks ini penting untuk kebijakan publik: TVET hanya efektif bila ada sinergi antara pemerintah, pendidikan, dan dunia usaha. PPP bukan sekadar opsi—melainkan kebutuhan untuk meningkatkan relevansi dan akses pendidikan vokasi.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif
Filipina: tambah akses pelatihan melalui lembaga vokasi swasta.
Korea Selatan: sistem TVET yang terstruktur dan terintegrasi dengan kebutuhan nasional.
Di kedua negara, PPP membantu penyusunan kurikulum yang relevan dengan dunia industri.
Hambatan
Pendanaan terbatas di Filipina menyebabkan ketergantungan tinggi pada sektor swasta.
Ketimpangan akses ke pelatihan vokasi, terutama di wilayah tertinggal.
Coordinasi lemah: mismatch antara kurikulum dan kebutuhan industri terjadi bila tidak ada kolaborasi efektif.
Peluang Strategis
TVET relevan dengan Industri 4.0 melalui kurikulum digital dan teknis yang mutakhir.
Sertifikasi bersama pemerintah–industri memberikan kejelasan kompetensi lulusan.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Ciptakan Skema PPP Resmi untuk TVET
Pemerintah perlu merumuskan regulasi penguatan kemitraan pendidikan vokasi dengan industri.
Kembangkan Kurikulum Vokasi Bersama Industri
Materi harus disusun berdasar kebutuhan nyata sektor usaha agar relevan dan adaptif.
Skema Pendanaan Bersama (Cost-Sharing)
TVET perlu didukung lewat pembiayaan bersama antara pemerintah, industri, dan masyarakat.
Sertifikasi Kompetensi Regional/ASEAN
Standarisasi sertifikasi bagi lulusan TVET meningkatkan mobilitas tenaga kerja lintas negara.
Tingkatkan Kompetensi Pendidik Vokasi
Guru dan pelatih vokasi perlu mengikuti pelatihan industri terkini—sejalan dengan pendekatan BIM seperti di artikel Integrasi BIM dalam Pendidikan Vokasi Teknik Konstruksi: Strategi Menuju SDM Digital Siap Industri
Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius
Tanpa skema PPP dan regulasi yang jelas, pendidikan vokasi bisa kehilangan arah: industri merasa tidak relevan, sementara kurikulum tetap ketinggalan zaman. Filipina berisiko tertinggal jika tak ada peran pemerintah yang kuat seperti di Korea Selatan.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Filipina
Filipina sebaiknya mengadopsi pendekatan hybrid: memperkuat koordinasi pemerintah dalam mengelola TVET, sambil tetap memberikan ruang inovatif bagi industri. PPP harus menjadi pilar kebijakan publik demi mencetak lulusan siap kerja dan berdaya saing global.
Sumber
Alternative Approaches to TVET Provision: Public–Private Partnerships in the Philippines and the Republic of Korea; dan artikel diklatkerja mengenai Integrasi BIM.
Pendidikan Vokasi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Artikel ini menggarisbawahi pentingnya uji sertifikasi kompetensi bagi lulusan SMK dalam menghadapi persaingan tenaga kerja regional dan global, terutama di era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Sertifikasi menilai keterampilan teknis, sikap kerja, dan profesionalisme—kunci dalam merevitalisasi pendidikan vokasi Indonesia. Regulasi publik harus mendukung agar sertifikasi menjadi instrumen nyata dalam memperkuat daya saing SDM.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif
Kepercayaan Industri Meningkat: lulusan bersertifikat lebih diminati oleh sektor pekerjaan formal.
Mobilitas Regional Terbuka: sertifikasi diakui antar-ASEAN.
Kualitas Pendidikan Terangkat: SMK terdorong menyesuaikan kurikulum sesuai kebutuhan industri.
Hambatan
Fasilitas TUK Terbatas: kurangnya Tempat Uji Kompetensi makin dirasakan di daerah.
Asesor Kompetensi Minim: belum cukup tenaga penguji bersertifikat.
Biaya Sertifikasi Tinggi: menjadi beban bagi sebagian peserta.
Peluang Strategis
Presiden terkait Instruksi Presiden No. 9/2016 membuka peluang revitalisasi SMK kepada standardisasi kompetensi.
Kolaborasi Pendidikan–Industri semakin relevan, dapat disokong melalui pelatihan dan kebijakan berbasis industri.
Konten Diklatkerja seperti artikel "Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi: …" membahas urgensi sertifikasi sebagai instrumen strategis, bukan sekadar formalitas.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Wajibkan Sertifikasi Kompetensi untuk Lulusan SMK
Label kompetensi menjadi bagian formal dari proses kelulusan SMK.
Integrasi Materi Sertifikasi ke Kurikulum Vokasi
Materi uji kompetensi disinkronisasi dengan pelajaran inti SMK.
Perluasan TUK Terakreditasi
Pemerintah mendorong kehadiran Tempat Uji Kompetensi di banyak daerah, bekerja sama dengan industri dan lembaga.
Subsidi Sertifikasi bagi Peserta Didik
Negara mendukung akses yang lebih luas melalui subsidi biaya sertifikasi.
Kolaborasi Multipihak dalam Rancang Uji Kompetensi
Sinergi antara pemerintah, LSP, dunia usaha, dan pendidikan vokasi jadi kunci—sejalan dengan pembahasan di blog Diklatkerja mengenai sertifikasi konstruksi. diklatkerja.com
Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius
Tanpa regulasi yang kuat dan dukungan nyata, Indonesia berisiko menghadapi:
Lulusan SMK sulit bersaing di pasar domestik maupun ASEAN.
Rendahnya kepercayaan industri terhadap kualitas tenaga kerja.
Ketimpangan mutu vokasi yang semakin dalam antara daerah maju dan daerah tertinggal.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia
Sertifikasi kompetensi bukan hanya alat validasi individu, tetapi instrumen kebijakan publik vital. Dengan regulasi yang kuat, struktur pelatihan vokasi—sertifikasi terjangkau, dan kolaborasi multiaktor—Indonesia dapat menjamin lulusan SMK siap kerja dan kompetitif di tingkat global.
Sumber
Implementation of Competence Certification Test for the Improvement of Vocational School of Work Graduation Readiness (2019)
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Artikel Model-Model Pembelajaran Kreatif dan Kolaboratif menyoroti pergeseran penting dalam dunia pendidikan: dari pendekatan tradisional yang berpusat pada guru menuju pendekatan yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif. Perubahan ini sejalan dengan tuntutan Revolusi Industri 4.0 yang menekankan kreativitas, berpikir kritis, kolaborasi, dan komunikasi sebagai keterampilan inti abad ke-21.
Beberapa model pembelajaran yang dibahas antara lain:
Problem Based Learning (PBL): siswa dilatih memecahkan masalah nyata secara sistematis.
Project Based Learning (PjBL): siswa menghasilkan produk atau karya nyata melalui kerja tim.
Inquiry & Discovery Learning: siswa didorong untuk mengeksplorasi dan menemukan konsep sendiri.
Cooperative Learning: pembelajaran berbasis kelompok dengan tanggung jawab bersama.
Peer Tutoring & Team Teaching: kolaborasi antar siswa dan guru untuk saling mendukung proses belajar.
Temuan ini relevan dengan kebijakan publik karena Indonesia masih menghadapi tantangan kualitas pendidikan: rendahnya hasil asesmen internasional (PISA), kesenjangan antarwilayah, dan keterbatasan kompetensi pedagogik guru.
Dampak, Hambatan, dan Peluang: Analisis Kebijakan
Dampak Sosial
Implementasi pembelajaran kreatif dan kolaboratif dapat meningkatkan partisipasi aktif siswa, membangun kepercayaan diri, serta memperkuat kerja sama lintas latar belakang sosial.
Dampak Ekonomi
Dengan pembelajaran yang menumbuhkan kreativitas dan kolaborasi, lulusan sekolah akan lebih siap menghadapi dunia kerja modern, mengurangi angka pengangguran terdidik, dan meningkatkan daya saing global.
Dampak Administratif
Penerapan model ini menuntut reorientasi kurikulum dan pelatihan guru. Administrasi sekolah harus memberi ruang inovasi, termasuk fleksibilitas penilaian berbasis proyek.
Hambatan
Keterbatasan fasilitas belajar interaktif, khususnya di sekolah daerah.
Guru masih banyak yang terbiasa dengan metode ceramah.
Sistem evaluasi nasional (ujian) masih lebih menekankan hasil akhir, bukan proses belajar.
Peluang
Kurikulum Merdeka memberi ruang inovasi pembelajaran berbasis proyek.
Bonus demografi: generasi muda digital-native siap menerima pendekatan interaktif.
Dukungan teknologi (platform daring, LMS, media digital) memudahkan implementasi kolaboratif.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik
1. Reformasi Sistem Evaluasi Pendidikan
Ujian nasional berbasis pilihan ganda perlu diganti dengan penilaian autentik seperti portofolio, proyek, dan presentasi kolaboratif.
2. Program Pelatihan Guru tentang Pembelajaran Kreatif
Pemerintah perlu menyediakan pelatihan wajib bagi guru tentang model PBL, PjBL, dan cooperative learning. Teknik Kreativitas dalam Lingkungan Belajar dapat menjadi sarana peningkatan kapasitas.
3. Penyediaan Infrastruktur Pendidikan Kolaboratif
Sekolah perlu didukung dengan ruang belajar fleksibel, akses internet, serta media digital yang menunjang interaksi kelompok dan proyek.
4. Insentif untuk Sekolah Inovatif
Berikan penghargaan dan insentif bagi sekolah yang berhasil menerapkan model pembelajaran kreatif dan menghasilkan prestasi siswa di bidang inovasi.
5. Integrasi Soft Skills dalam Kurikulum Nasional
Soft skills seperti komunikasi, kepemimpinan, dan kerja tim harus masuk ke kurikulum inti agar siswa tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga siap berkontribusi di masyarakat.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Jika pembelajaran kreatif hanya ditekankan secara teoritis tanpa dukungan nyata (pelatihan guru, fasilitas, evaluasi baru), maka penerapannya hanya akan menjadi jargon. Kebijakan harus konsisten dari level pusat hingga sekolah.
Penutup: Peta Jalan Pendidikan untuk Indonesia
Artikel ini menegaskan bahwa pendidikan abad 21 menuntut lebih dari sekadar transfer pengetahuan. Indonesia perlu kebijakan yang memprioritaskan pembelajaran kreatif dan kolaboratif sebagai inti kurikulum. Dengan itu, generasi muda akan lebih adaptif, inovatif, dan siap menghadapi tantangan global.
Sumber:
Artikel “Model-Model Pembelajaran Kreatif dan Kolaboratif” – Jurnal Pendidikan (2025).
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 September 2025
Mengapa Temuan Ini Relevan untuk Kebijakan?
Artikel karya Shinji Asai dan Takashi Goso (2025) membedah isu krusial tentang ketenagakerjaan dan pengembangan insinyur sipil asing di industri konstruksi Jepang. Jepang menghadapi krisis tenaga kerja akibat populasi menua, penurunan jumlah insinyur muda, serta sistem subkontraktor berlapis yang memperlebar kesenjangan upah dan peluang karier.
Untuk mengatasi kekurangan, Jepang merekrut insinyur asing melalui jalur technical intern trainee, specific skilled worker, dan T/H/I (technical/humanities/international business) workers. Namun, penelitian ini menemukan bahwa keberlanjutan kerja insinyur asing terganjal oleh:
Hambatan bahasa Jepang untuk sertifikasi resmi dan komunikasi di proyek.
Ketimpangan upah & benefit antar lapisan kontraktor.
Integrasi sosial terbatas, khususnya bagi lulusan universitas luar negeri.
Gap ekspektasi karier antara insinyur asing (lebih suka kontrak berbasis pekerjaan) dan perusahaan Jepang (cenderung mendorong loyalitas jangka panjang).
Melalui wawancara insinyur asing dan manajer Jepang, artikel ini menyoroti bahwa faktor kepuasan non-finansial—seperti counseling, kesempatan membawa keluarga, serta kejelasan jalur karier—sering lebih menentukan dari sekadar gaji.
Dampak, Hambatan, dan Peluang: Analisis Kebijakan
Dampak Sosial
Kehadiran insinyur asing membantu menjaga kelangsungan proyek infrastruktur di Jepang, tetapi integrasi budaya dan hambatan bahasa menimbulkan kerentanan sosial, terutama dalam komunikasi keselamatan di lapangan.
Dampak Ekonomi
Rekrutmen insinyur asing mendukung strategi ekspansi infrastruktur Jepang ke luar negeri. Namun, tanpa kebijakan pengembangan kapasitas dan karier, ketergantungan jangka panjang bisa berbalik menjadi risiko turnover tinggi.
Dampak Administratif
Regulasi lisensi dan sertifikasi Jepang menuntut standar tinggi. Keterbatasan akses bahasa bagi insinyur asing membuat mereka sulit naik ke posisi strategis. Situasi ini menciptakan ketidakselarasan antara kebutuhan tenaga ahli dan aturan administratif.
Hambatan
Tingginya syarat bahasa Jepang untuk ujian sertifikasi.
Subkontraktor berlapis memperlebar kesenjangan upah.
Minimnya dukungan psikososial bagi pekerja asing.
Peluang
Insinyur asing dapat menjadi motor ekspansi ODA Jepang.
Teknologi digital & AI membuka peluang training jarak jauh (bahasa, sertifikasi, manajemen proyek).
Jejaring internasional memberi nilai tambah dalam proyek lintas negara.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik untuk Indonesia
1. Reformasi Sistem Sertifikasi Insinyur
Indonesia perlu memperkuat sertifikasi profesi insinyur dengan fleksibilitas bahasa Inggris sebagai alternatif pada ujian internasional. Hal ini akan menarik talenta asing sekaligus memperkuat daya saing lokal.
2. Skema Perlindungan dan Integrasi Sosial
Seperti Jepang, Indonesia juga berpotensi menarik insinyur asing di era pembangunan masif. Oleh karena itu, penting menyiapkan program integrasi sosial (counseling, pelatihan bahasa Indonesia, izin keluarga menyertai) agar keberlanjutan kerja lebih terjamin.
3. Transparansi Remunerasi di Sektor Konstruksi
Untuk mencegah kesenjangan upah antar kontraktor, pemerintah dapat menetapkan standar remunerasi minimum bagi insinyur lokal maupun asing, mengacu pada tingkat pengalaman dan sertifikasi.
4. Dukungan Pelatihan Berkelanjutan (Continuing Professional Development)
Indonesia bisa mencontoh Jepang dalam memperkuat pelatihan OFFJT, tetapi dengan memanfaatkan kursus online. Misalnya, kursus Overview of Construction Management dapat menjadi platform peningkatan kapasitas.
5. Kolaborasi Regional untuk Ekspansi Infrastruktur
Mengacu pada strategi “CORE JAPAN”, Indonesia dapat mendorong kemitraan perusahaan konstruksi lokal dengan asing dalam proyek regional ASEAN, dengan syarat transfer pengetahuan dan pengembangan kapasitas insinyur lokal.
Kritik terhadap Kebijakan
Jika kebijakan hanya berfokus pada rekrutmen tanpa memperhatikan faktor non-finansial (bahasa, integrasi sosial, counseling, jalur karier), maka insinyur asing cenderung bertahan sebentar. Hal ini bukan hanya merugikan perusahaan, tetapi juga berpotensi memperburuk krisis tenaga kerja jangka panjang.
Penutup: Pelajaran untuk Indonesia
Artikel ini menunjukkan bahwa ketahanan SDM teknik tidak bisa hanya bergantung pada gaji atau perekrutan masif. Indonesia harus memadukan kebijakan sertifikasi fleksibel, perlindungan sosial, serta pengembangan kapasitas berkelanjutan. Dengan langkah tersebut, pembangunan infrastruktur tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga mampu menciptakan daya saing regional.
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Laporan Professional Engineers Employment and Remuneration Report 2021/22 memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi ketenagakerjaan insinyur profesional di Australia, termasuk tingkat gaji, perbedaan sektor publik dan swasta, keterwakilan gender, dampak COVID-19, hingga tren jam kerja. Walaupun konteksnya berbasis Australia, data ini punya nilai strategis bagi Indonesia sebagai negara yang tengah mendorong industrialisasi, transformasi digital, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Beberapa temuan utama yang patut diperhatikan adalah:
Kesenjangan upah: Median gaji insinyur di sektor publik sedikit lebih tinggi dibandingkan swasta.
Kesenjangan gender: Insinyur perempuan masih menerima gaji lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan gap sekitar AUD 12.000 per tahun.
Jam kerja panjang: Rata-rata jam kerja mingguan lebih dari 44 jam, memunculkan risiko kelelahan.
Dampak COVID-19: Pemutusan kontrak, penurunan jam kerja, hingga ketidakpastian kontrak banyak dialami.
Faktor non-upah: Profesional lebih mengutamakan work-life balance, kesempatan pengembangan karir, dan budaya kerja sehat ketimbang sekadar kenaikan gaji.
Temuan ini menyiratkan bahwa kebijakan publik di Indonesia harus memikirkan kesejahteraan jangka panjang tenaga insinyur, bukan hanya menyiapkan lapangan kerja.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Sosial
Kesejahteraan insinyur berdampak langsung pada kualitas infrastruktur publik, keamanan transportasi, serta efektivitas pembangunan nasional. Jika insinyur bekerja di bawah tekanan, risiko kesalahan teknis meningkat.
Dampak Ekonomi
Remunerasi yang kompetitif mencegah brain drain ke luar negeri. Sebaliknya, ketidakadilan gaji atau minimnya pengembangan karir bisa memperburuk krisis talenta teknik di Indonesia.
Dampak Administratif
Laporan menegaskan pentingnya akreditasi profesional. Engineer yang terakreditasi cenderung memperoleh gaji lebih tinggi. Pemerintah Indonesia bisa menjadikan hal ini dasar untuk memperkuat sertifikasi dan standar profesi.
Hambatan
Minimnya regulasi khusus perlindungan tenaga insinyur.
Budaya kerja di sektor konstruksi dan industri manufaktur yang masih cenderung menormalisasi jam kerja panjang.
Rendahnya jumlah perempuan di bidang teknik di Indonesia, serupa dengan tren global.
Peluang
Bonus demografi: banyak lulusan teknik yang siap masuk dunia kerja.
Dukungan digitalisasi dan green economy membuka lahan kerja baru bagi insinyur di bidang energi terbarukan, AI, dan data engineering.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
1. Standarisasi Sistem Remunerasi Nasional
Pemerintah dapat menginisiasi skala gaji nasional untuk profesi insinyur yang transparan, mengacu pada level tanggung jawab, pengalaman, dan sertifikasi. Hal ini bisa mengurangi kesenjangan antara sektor publik dan swasta.
2. Program Kesetaraan Gender dalam Profesi Teknik
Kesenjangan upah gender harus ditangani dengan kebijakan equal pay audit di perusahaan, serta insentif fiskal bagi perusahaan yang berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan dalam posisi insinyur senior.
3. Perlindungan Jam Kerja dan Kesehatan Mental
Berdasarkan laporan, jam kerja rata-rata melebihi 44 jam per minggu. Pemerintah perlu menegakkan regulasi jam kerja maksimal untuk profesi teknik, sekaligus mendorong program kesehatan mental di lingkungan kerja.
4. Insentif Akreditasi Profesional
Engineer dengan sertifikasi akreditasi terbukti memiliki pendapatan lebih tinggi. Pemerintah bisa memberikan subsidi biaya akreditasi atau menjadikannya syarat dalam proyek infrastruktur nasional.
5. Diversifikasi Karir dan Pengembangan Kapasitas
Kebijakan pelatihan berkelanjutan (continuing professional development/CPD) harus diprioritaskan. Misalnya, insinyur di sektor konstruksi didorong mengambil kursus tentang digital engineering dan manajemen rantai pasok. Untuk itu Pemodelan Rantai Pasok dapat dijadikan sarana penguatan kapasitas.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Jika kebijakan publik hanya fokus pada kenaikan gaji tanpa memperhatikan faktor non-finansial seperti budaya kerja, pengembangan karir, dan kesetaraan gender, maka perbaikan yang diharapkan bisa gagal. Laporan ini jelas menegaskan bahwa engineer tidak hanya mengejar upah, melainkan juga stabilitas, work-life balance, dan pengakuan profesional.
Penutup: Peta Jalan Kebijakan untuk Indonesia
Laporan 2021/22 Professional Engineers Employment and Remuneration Report memberi cermin berharga bagi Indonesia. Kesejahteraan insinyur bukan hanya soal upah, melainkan juga soal kualitas hidup, pengembangan kompetensi, serta kesetaraan kesempatan. Dengan menerapkan kebijakan berbasis data seperti yang direkomendasikan, Indonesia dapat memastikan keberlanjutan pembangunan infrastruktur, mencegah brain drain, dan meningkatkan daya saing global.
Sumber:
Professional Engineers Employment and Remuneration Report 2021/22 – Professionals Australia