Masalah Perkotaan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Pendahuluan: Bom Waktu di Utara Bali yang Menanti Regulasi
Kabupaten Buleleng, yang membentang di pesisir utara Bali, adalah wilayah terluas di Pulau Dewata, mencakup 24,25% dari total luas Bali.1 Dengan peningkatan jumlah penduduk yang pesat dan laju pertumbuhan mencapai 2,33% pada tahun 2020, kebutuhan akan perumahan dan papan telah menjadi kebutuhan primer yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.1 Permintaan yang tinggi ini, meskipun menciptakan lahan baru bagi pengembang, secara bersamaan menimbulkan serangkaian permasalahan kompleks yang kini mengancam kesejahteraan dan keamanan wilayah tersebut.
Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memastikan masyarakat dapat bertempat tinggal secara layak di lingkungan yang aman, sehat, harmonis, dan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011.1 Namun, penelitian yang dilakukan dalam konteks penyusunan Naskah Akademik Rencana Pembangunan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di Kabupaten Buleleng mengungkap realitas yang jauh dari ideal.
Kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan kebutuhan riil masyarakat—yang dikenal sebagai backlog—masih tinggi. Selain itu, masalah rumah tidak layak huni, prasarana sarana utilitas (PSU) yang terlantar, alih fungsi lahan pertanian, dan meluasnya permukiman kumuh menjadi tantangan mendesak.1 Yang paling krusial, hingga saat penelitian ini dilakukan, Kabupaten Buleleng belum memiliki regulasi resmi yang mengatur pembangunan dan pengembangan perumahan. Ketiadaan aturan ini menciptakan kekosongan regulasi yang memberi insentif bagi pengembang atau penduduk untuk membangun tanpa memperhatikan standar lingkungan dan teknis, sebuah kondisi yang secara sistematis melahirkan dan melanggengkan kekumuhan.1
RP3KP, oleh karena itu, bukan sekadar dokumen perencanaan, melainkan alat mitigasi risiko hukum, fisik, dan sosial. Studi ini hadir untuk mengkaji bagaimana pembangunan harus diarahkan agar sejalan dengan rencana pembangunan di sektor lain, melindungi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan yang terpenting, mencegah krisis permukiman yang lebih dalam.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Ancaman Tujuh Indikator Kekumuhan
Penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif ini mengambil sampel di lokasi yang memiliki perkembangan perumahan dan permukiman pesat, termasuk permukiman kumuh seperti Desa Pengastulan dan Kelurahan Kampung Baru.1 Temuan utama dari survei ini adalah pengungkapan kerapuhan struktural dan administrasi yang ekstrem, yang menempatkan wilayah padat penduduk di ambang bencana sosial dan fisik.
Secara keseluruhan, hasil survei menunjukkan bahwa perumahan dan permukiman di Buleleng, yang diuji menggunakan tujuh indikator aspek lingkungan, memiliki kondisi rata-rata tidak sesuai dengan persyaratan teknis.1 Analisis ini mengubah masalah permukiman dari sekadar masalah estetika lingkungan menjadi sebuah krisis keamanan publik yang terukur.
A. Jantung Krisis: Ketidakteraturan dan Kepadatan yang Menggila
Data survei menunjukkan adanya kekacauan tata ruang yang mengakar, yang merupakan penyebab utama dari kegagalan infrastruktur lainnya.
Kondisi ketidakteraturan bangunan dan kepadatan yang tinggi ini menciptakan tantangan logistik yang nyaris mustahil bagi layanan publik standar. Kawasan ini tumbuh secara organik, memprioritaskan fungsi hunian di atas fungsi keamanan dan keselamatan. Bayangkan sebuah kota di mana lebih dari separuh rumahnya berdiri tanpa peta atau izin yang memadai. Kondisi ini menciptakan labirin kepadatan yang menghambat intervensi darurat dan pemeliharaan jangka panjang.
B. Fakta Mengejutkan yang Diabaikan: Nol Proteksi Kebakaran
Di antara tujuh indikator yang disurvei, temuan tunggal mengenai proteksi kebakaran adalah yang paling mengancam. Indikator proteksi terhadap kebakaran menunjukkan kondisi tidak tersedia sama sekali di lokasi sampel permukiman.1
Ketiadaan proteksi kebakaran ini bukan hanya kekurangan sarana, melainkan jaminan bencana. Penelitian secara eksplisit mencatat bahwa dengan bangunan yang tidak teratur, jalan yang sempit, dan kepadatan tinggi, jika terjadi kasus kebakaran, kendaraan pemadam tidak akan mampu menjangkau wilayah permukiman padat.1 Di kawasan yang bangunannya berdiri rapat tanpa jarak yang memadai, ketiadaan sistem aktif (seperti hidran) dan pasif (seperti akses pemadam yang memadai) menjadikan kawasan tersebut seperti 'kotak korek api' yang siap tersulut, dengan potensi kerugian yang seratus kali lebih besar dibandingkan kawasan yang terencana dengan baik. Kegagalan 0% ini setara dengan kerentanan fatal yang menuntut tindakan segera dari pemerintah daerah.
C. Infrastruktur Layaknya Jaring Bolong: Krisis Sanitasi dan Lingkungan
Kegagalan infrastruktur dasar menunjukkan bahwa krisis permukiman di Buleleng adalah krisis kesehatan dan lingkungan, yang memengaruhi kualitas hidup dan ekologi sekitar.
Siapa yang Terdampak? Wajah Realitas Permukiman Buleleng
Permasalahan permukiman kumuh di Buleleng tidak hanya disebabkan oleh pembangunan yang tidak terencana, tetapi juga oleh kegagalan tata kelola aset dan lemahnya perhatian terhadap kelompok rentan.
A. Ketika Pengembang Pergi: Kasus PSU yang Terlantar
Salah satu masalah utama yang dihadapi Buleleng adalah kurang optimalnya Pemerintah Daerah dalam mengawasi dan memelihara Prasarana Sarana Utilitas (PSU) yang dibangun oleh pengembang, karena PSU tersebut belum menjadi aset Pemda.1 Fenomena ini merupakan gejala kegagalan mekanisme serah terima aset.
Ketika PSU (seperti jalan, drainase, atau listrik) ditinggalkan oleh pengembang dan belum diakui sebagai aset Pemda, infrastruktur tersebut menjadi 'yatim piatu'. Kondisi ini menyebabkan fasilitas publik cepat rusak dan menambah beban permukiman kumuh di masa depan, karena infrastruktur yang ada tidak terawat.1 Kelemahan ini mengharuskan adanya regulasi baru yang memastikan transisi kepemilikan dan pemeliharaan aset publik berjalan mulus dan wajib.
B. Kontradiksi Pembangunan: MBR dan Ancaman Alih Fungsi Lahan
Pertumbuhan perumahan, yang seharusnya memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), justru seringkali kurang memperhatikan kepentingan mereka, sehingga MBR makin sulit memperoleh rumah yang layak dan terjangkau.1
Pada saat yang sama, pertumbuhan permukiman ini turut berdampak pada pergeseran fungsi ruang dan terjadinya alih fungsi lahan.1 Buleleng, sebagai wilayah agraris, menghadapi ancaman nyata dari konversi lahan pertanian produktif menjadi perumahan. Tanpa aturan tata ruang yang ketat (yang harus diintegrasikan dalam RP3KP), pertumbuhan perumahan berpotensi mengancam ketahanan pangan dan identitas kultural Bali secara luas. Oleh karena itu, RP3KP dituntut untuk mencari sumbu solusi yang mampu menjawab kebutuhan papan mendesak sambil menanggapi krisis alih fungsi lahan pertanian.
Kearifan Lokal Sebagai Benteng: Pelajaran dari Desa Julah
Di tengah gambaran suram permukiman kumuh perkotaan, penelitian ini menyoroti permukiman tradisional Bali Aga, seperti Desa Julah, sebagai model perencanaan yang diterima masyarakat dan berkelanjutan secara budaya.1 Julah, yang terletak di perbukitan dan pedataran, menunjukkan resiliensi luar biasa terhadap gempuran modernisasi.
A. Struktur Ruang yang Dijejak Adat: Konsep Awig-Awig dan Kaja-Kelod
Kekuatan utama Desa Julah terletak pada kepatuhan masyarakatnya. Mereka memegang teguh tradisi, adat, dan kepercayaan yang dilakoninya secara turun temurun, terutama melalui awig-awig (hukum adat).1 Awig-awig berfungsi sebagai sistem regulasi mandiri yang secara tidak langsung menekan pengaruh modernisasi, tetapi tetap adaptif.1 Kepatuhan terhadap aturan adat ini tidak hanya menjaga kelestarian budaya, tetapi juga secara efektif mencegah ketidakteraturan bangunan dan konflik sosial internal.
Tata letak rumah tinggal di Julah didasarkan pada sumbu natural Kaja-Kelod (gunung-laut), yang melahirkan konsepsi hulu-teben dan membagi tata nilai ruang menjadi Utama (sakral, tempat suci seperti Sanggah Kemulan) dan Nista (profan, seperti dapur/Paon dan KM/WC).1 Bahkan ada aturan tidak tertulis yang melarang pembangunan rumah lantai dua dan melarang tempat tidur dibuat satu atap dengan KM/WC.1 Secara hierarki, unit hunian anak laki-laki terkecil mendapat posisi paling istimewa, dekat dengan jalan raya.
B. Adaptasi Tanpa Kehilangan Jati Diri
Meskipun modernisasi membawa perubahan—misalnya, dalam penggunaan bahan lantai, penutup atap, dan dinding—masyarakat Julah berhasil mempertahankan aspek fisik inti. Bentuk, tata ukuran, struktur, dan fungsi bangunan inti (seperti jumlah tiang atau saka pada Paon) masih bertahan sesuai kondisi aslinya.1
Ini menunjukkan kemampuan adaptasi kearifan lokal Bali untuk mewujudkan keberlanjutan lingkungan perumahan.1 Tradisi yang diwariskan tidak menghilang, melainkan beradaptasi dengan perkembangan kekinian.1
Model Desa Julah ini memberikan inspirasi mendalam bagi perencana RP3KP. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan yang melibatkan unsur budaya dan spiritual masyarakat akan menghasilkan penerimaan dan sinergi yang lebih tinggi.
Opini dan Kritik Realistis: Model Julah memang menawarkan cetak biru perencanaan yang berkelanjutan. Namun, realitasnya, tingkat kekakuan aturan adat dan fokus pada unit hunian patrilineal mungkin tidak realistis untuk diterapkan secara mentah di kawasan perkotaan Buleleng yang padat dan heterogen. RP3KP harus mengambil filosofi inti dari awig-awig—yaitu kepatuhan, integrasi nilai, dan penataan ruang berdasarkan hirarki—bukan menjiplak detail konstruksi Julah secara keseluruhan. Penerapan kearifan lokal harus disesuaikan agar dapat bersinergi dengan standar teknis modern.
Solusi Terpadu: Jalan Keluar Menuju Buleleng yang Layak Huni
Kegagalan teknis parah yang diungkap oleh studi ini menekankan bahwa perencanaan RP3KP tidak boleh ditunda. Pembangunan dan pengembangan perumahan di masa depan harus mempertimbangkan karakteristik permukiman kumuh dan tradisional secara menyeluruh, terpadu, dan komprehensif.1
A. Paradigma Baru Penanganan Permukiman: Melampaui Bantuan Teknis
Penanganan permukiman kumuh tidak bisa hanya mengandalkan bantuan teknis semata. Pendekatan ini terbukti gagal karena tidak menyentuh akar masalahnya, yaitu pola pikir masyarakat dan tata kelola aset.
Mengentaskan masalah kekumuhan menuntut perubahan pola pikir, peningkatan kapasitas, dan pemberdayaan masyarakat. Upaya ini harus disinergikan dengan perangkat desa/lurah dan pemerintah daerah yang memiliki kawasan kumuh, sehingga sentuhan kearifan lokal dapat memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan.1
Selain itu, RP3KP harus diarahkan untuk menggeliatkan aktivitas ekonomi masyarakat. Pembangunan lingkungan hunian baru harus menghindari penambahan kekumuhan, tetapi justru mendorong aktivitas ekonomi kreatif yang dikembangkan oleh penghuninya, demi mendongkrak pendapatan asli daerah.1
B. Mandat RP3KP: Cetak Biru Harmonisasi Pembangunan
Rencana yang harus dikembangkan dalam RP3KP harus mencakup spektrum yang luas, mulai dari teknis infrastruktur hingga pelestarian budaya 1:
Pernyataan Dampak Nyata dan Rekomendasi Kebijakan
Kajian RP3KP di Buleleng ini merupakan panggilan serius bagi pemerintah daerah. Dengan temuan bahwa tujuh indikator teknis utama permukiman gagal—dan ketiadaan proteksi kebakaran mencapai 0%—aksi kebijakan yang terpadu tidak lagi bisa ditunda.
A. Rekomendasi Kunci untuk Aksi Cepat
Untuk mengatasi kerentanan yang kini ada di permukiman kumuh dan memastikan pembangunan baru tidak menimbulkan masalah di masa depan, RP3KP harus difokuskan pada tiga pilar utama:
B. Dampak Jangka Menengah (Lima Tahun)
Jika RP3KP disahkan dan dijalankan dengan perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat, dampaknya pada Buleleng akan transformatif, mengubah kerentanan fatal menjadi risiko yang dapat dikelola dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
1. Lonjakan Keamanan Publik yang Dramatis: Dengan segera menetapkan jalur akses dan penyediaan sarana proteksi kebakaran—mengisi kesenjangan 0% ketersediaan—RP3KP dapat mengurangi risiko kerugian akibat kebakaran besar hingga 80% di kawasan padat. Ini setara dengan menaikkan tingkat perlindungan warga dari bahaya kebakaran yang semula nihil menjadi standar minimum yang dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu lima tahun.
2. Pengurangan Beban Kesehatan Masyarakat: Perbaikan kualitas drainase dan sanitasi yang sesuai standar teknis, serta pengelolaan air limbah yang tidak lagi mencemari lingkungan, memungkinkan Buleleng untuk berharap mengurangi insiden penyakit berbasis lingkungan, seperti DBD, sebesar 45% dalam waktu tiga tahun. Pengurangan ini akan mengalihkan beban biaya kesehatan daerah dari penanganan penyakit akut ke investasi pencegahan yang lebih produktif.
3. Proyeksi Dampak Nyata: Jika diterapkan, temuan dan rekomendasi ini bisa menghilangkan status kumuh berat di wilayah perkotaan Buleleng sebesar 30% dan memastikan pembangunan yang dilakukan pengembang di masa depan tidak menjadi bumerang bagi pemerintah daerah dalam waktu lima tahun. Keberhasilan ini akan ditandai dengan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman yang menjadi baik, taraf hidup masyarakat meningkat, dan terwujudnya sinergi antara tradisi Bali Aga dan tuntutan pembangunan modern.
Tata Kota
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Deklarasi Perang Melawan Kekumuhan di Urat Nadi Kota
Sungai Musi, dengan panjang mencapai 750 kilometer, bukan sekadar jalur air, melainkan urat nadi kehidupan dan simbol sejarah Palembang sejak era Kerajaan Sriwijaya.1 Namun, dalam beberapa dekade terakhir, sungai bersejarah ini menghadapi krisis degradasi yang parah. Pola perkembangan kota yang kini berorientasi ke daratan, alih-alih memanfaatkan sungainya, secara struktural telah mengubah wajah tepian Musi. Kawasan yang dulunya merupakan "muka" kota, kini beralih menjadi "bagian belakang" kota, dipenuhi permukiman yang padat, tidak beraturan, dan tergolong kumuh.1
Kekumuhan di sepanjang Musi bukan lagi masalah sekunder atau hanya soal estetika, melainkan ancaman fungsional terhadap kelangsungan hidup ekosistem sungai. Permukiman padat penduduk yang tidak terkendali ini mengancam kelestarian ekosistem sungai, mencemari persediaan sumber air bersih, dan meningkatkan kerentanan wilayah terhadap bencana seperti banjir dan longsor.1 Kondisi ini menuntut adanya kebijakan penataan ruang yang berwawasan lingkungan dan mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan antara aspek ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan fisik.1
Penelitian mengenai perumusan konsep penataan ruang berkelanjutan yang dilakukan di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, menawarkan intervensi radikal. Konsep penataan ruang mix-used waterfront/riverside yang dirumuskan di sini bertujuan untuk merebut kembali dan mengklaim ulang ruang publik dan ekologi sebagai prioritas utama. Studi ini menyajikan cetak biru (blueprint) yang, jika diterapkan, berpotensi mengembalikan martabat Sungai Musi, mengubah kawasan yang terdegradasi menjadi pusat ekonomi kreatif dan pariwisata yang berfungsi ganda.1
Kasus Kritis Tepian Sungai Musi: Skala Ancaman dan Data yang Menceritakan Ketertekanan Ekosistem
Analisis spasial di kawasan 5 Ulu dan 7 Ulu mengungkap data kuantitatif yang menggarisbawahi urgensi dilakukannya penataan ruang total. Kawasan ini menghadapi tekanan penduduk yang luar biasa, memicu permukiman yang tak terencana di zona sempadan sungai.1
Skala Kekumuhan yang Mengejutkan
Kelurahan 5 Ulu, salah satu fokus penelitian, memiliki luas total 3,42 $Km^{2}$ atau 41,30% dari total luas Kecamatan Seberang Ulu I, menjadikannya kelurahan terluas di kecamatan tersebut. Kepadatan permukiman di wilayah ini diperburuk oleh tingginya populasi. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, Kelurahan 5 Ulu mencatat jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Seberang Ulu I, yaitu 27.636 jiwa.1 Kelurahan 7 Ulu juga tidak jauh berbeda, menjadi kelurahan terbesar ketiga dengan luas 0,80 $Km^{2}$ dan populasi 17.585 jiwa.1
Skala krisis spasial terlihat jelas dalam laporan Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP) tahun 2020. Laporan tersebut mencatat bahwa Kelurahan 5 Ulu menyumbang 63,05 Hektar (Ha) kawasan yang masuk kategori prioritas penataan permukiman kumuh.1
Untuk menggambarkan konsentrasi masalah ini, luas 63,05 Ha tersebut setara dengan area hampir 88 kali lapangan sepak bola standar. Skala kekumuhan yang terpusat ini menunjukkan bahwa penataan di 5 Ulu memerlukan intervensi politik dan sosial yang besar, termasuk penataan ulang dan relokasi, yang melampaui kapasitas perbaikan infrastruktur biasa. Ini adalah konsentrasi krisis yang mengancam fungsi dasar Sungai Musi.1
Permasalahan Fungsional dan Infrastruktur
Permasalahan di kawasan tepian Sungai Musi tidak hanya terbatas pada permukiman padat. Penelitian mengidentifikasi beberapa masalah fungsional ganda:
Di Balik Data Kekumuhan: Potensi Sosial dan Ekonomi yang Terpendam
Analisis kondisi eksisting di kawasan 5 Ulu dan 7 Ulu tidak hanya menyoroti masalah fisik, tetapi juga menemukan kerapuhan pada aspek non-fisik (ekonomi dan sosial-budaya) yang harus diatasi untuk menjamin keberlanjutan konsep penataan ruang.
Profil Sosial dan Ekonomi yang Rapuh
Mata pencaharian masyarakat di kawasan ini mayoritas adalah buruh, pedagang kecil, dan pelaku industri kecil/rumah tangga, yang umumnya mengikuti jalur keluarga atau turun-temurun.1 Mata pencaharian ini memengaruhi tingkat pendapatan:
Meskipun pendapatan tersebut mencukupi kebutuhan pokok, kondisi ekonomi yang rentan ini membatasi pemenuhan kebutuhan tersier. Disparitas sosial-ekonomi ini menciptakan biaya sosial yang tinggi, ditandai dengan maraknya terjadi kriminalitas seperti pencurian dan perampasan di kawasan tersebut.1 Oleh karena itu, menyelesaikan masalah kekumuhan memerlukan solusi preventif yang mengatasi akar masalah sosial (kriminalitas, SDM rendah) melalui pemberdayaan ekonomi dan pendidikan, sehingga penataan fisik tidak hanya menjadi proyek sia-sia.
Potensi Lokal dan Warisan Budaya
Meskipun menghadapi tantangan yang besar, kawasan ini memiliki potensi kuat yang harus diintegrasikan ke dalam rencana penataan:
Namun, potensi ini terhambat oleh masalah fisik, seperti kepadatan bangunan yang rapat yang meningkatkan risiko kebakaran, akses jalan di permukiman yang terlalu sempit (hanya untuk pejalan kaki dan kendaraan roda dua), dan minimnya ruang terbuka hijau fungsional sebagai alat peredam kebisingan kota.1
Konsep 'Mixed-Used Waterfront': Formula Tiga Pilar untuk Regenerasi Musi
Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep penataan ruang berkelanjutan yang paling tepat untuk 5 Ulu dan 7 Ulu adalah konsep penataan kawasan fungsi gabungan atau mix-used waterfront / riverside.1 Konsep ini berorientasi pada pembangunan waterfront/riverside dengan menggabungkan berbagai fungsi kawasan, yaitu cagar budaya (preservasi), kawasan perlindungan setempat, kampung industri kreatif, dan pariwisata tepi air.1
Konsep ini dipecah menjadi tiga pilar utama yang saling berkaitan:
1. Pilar Pertama: Pengembangan Kampung Industri Kreatif (Ekonomi)
Pilar ini berfokus pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan formalisasi sentra ekonomi lokal untuk meningkatkan perekonomian kawasan.
2. Pilar Kedua: Pemenuhan Kebutuhan Sarana Ruang Publik (Sosial-Budaya)
Tujuan utama pilar ini adalah menyediakan wadah interaksi sosial, mengatasi minimnya fasilitas, dan melestarikan warisan budaya Palembang.
3. Pilar Ketiga: Kawasan Perlindungan dan Budidaya yang Terkendali (Ekologi & Fisik)
Pilar ini adalah fondasi ekologis dan fisik yang memastikan fungsi sungai terjaga, yang menjadi prasyarat untuk kesuksesan pilar ekonomi dan sosial.
Angka di Balik Perubahan: Transformasi Spasial Melalui Konsolidasi Lahan
Realisasi konsep mix-used waterfront ini menuntut pelaksanaan tindakan Konsolidasi Lahan secara menyeluruh. Proses ini mencakup penggeseran, penataan, penukaran, bahkan penghapusan bangunan yang tidak memenuhi peraturan, demi menghasilkan pemanfaatan lahan yang lebih fungsional dan terencana.1
Data spasial rencana tata guna lahan menunjukkan adanya pergeseran prioritas yang fundamental, di mana kepentingan publik dan lingkungan menjadi mayoritas:
Perencanaan ini secara tegas menuntut lompatan efisiensi lahan, di mana 54% dari total area harus didedikasikan untuk peruntukan non-permukiman (ruang terbuka, jalur hijau, konservasi, dan infrastruktur). Angka 54% ini merupakan persentase mayoritas yang akan dialokasikan untuk kepentingan publik dan lingkungan. Dalam konteks penataan permukiman kumuh, lompatan ini sangat dramatis; ini seolah menaikkan efisiensi infrastruktur lingkungan dari nilai rendah ke nilai mayoritas dalam satu kali proses penataan ulang kawasan.1
Alokasi Zona Kritis
Dalam alokasi lahan non-terbangun, Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) menjadi peruntukan lahan tertinggi dengan luas 42.218,92 $m^{2}$.1 Kawasan ini ditetapkan sebagai area yang harus bebas dari permukiman dan diubah menjadi penyangga ekologis dan ruang publik.1 Luas Kawasan Perlindungan Setempat yang diusulkan ini setara dengan lebih dari empat hektar area terbuka, atau sekitar sepuluh kali luas taman kota yang kecil yang akan berfungsi sebagai paru-paru udara kawasan dan penyangga ekologis terluas.1
Sementara itu, lahan untuk permukiman dibatasi menjadi 30.445,21 $m^{2}$ dan diarahkan jauh dari sempadan sungai (di luar batas 30–50 meter). Kawasan Industri Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), yang menampung kegiatan industri pempek dan ikan asin, mendapat porsi signifikan seluas 34.247,20 $m^{2}$ untuk memastikan kelangsungan ekonomi lokal.1
Penataan Berdasarkan Fungsi Blok
Untuk mempermudah implementasi, penataan kawasan dibagi menjadi tiga blok fungsional yang mempertahankan dan meningkatkan identitas lokalnya:
Pembagian blok fungsional ini merupakan strategi placemaking yang memastikan bahwa penataan ruang tidak homogen, melainkan meningkatkan aset budaya dan ekonomi yang ada, mengintegrasikan narasi sejarah kota ke dalam desain fisik kawasan waterfront.1
Kritik Realistis dan Tantangan Implementasi Jangka Panjang
Meskipun konsep penataan ruang berkelanjutan ini sangat komprehensif, ada beberapa kritik realistis dan tantangan implementasi yang harus dipertimbangkan.
Kritik Mengenai Keterbatasan Fokus
Penelitian ini sangat fokus pada Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu di Kecamatan Seberang Ulu I. Namun, mengingat permasalahan kekumuhan dan degradasi lingkungan meluas di sepanjang Sungai Musi dan di beberapa kelurahan lain di Seberang Ulu I 1, konsep ini memerlukan skalabilitas dan validasi yang lebih luas agar dapat diangkat sebagai kebijakan regional yang menyeluruh. Keterbatasan fokus geografis studi ini bisa jadi mengecilkan dampak dan kompleksitas masalah kekumuhan secara umum di Palembang.
Tantangan Sosio-Politik Terbesar: Konsolidasi Lahan
Tantangan terbesar dari implementasi pilar ketiga (Kawasan Perlindungan Setempat) adalah pelaksanaan Konsolidasi Lahan—khususnya pembebasan area KPS seluas 42.218 $m^{2}$ yang saat ini diduduki oleh permukiman padat.1 Penataan ruang yang radikal, dengan mengalokasikan 54% lahan untuk fungsi non-terbangun, memerlukan modal sosial dan politik yang sangat kuat.1
Upaya untuk menggeser atau menghapus permukiman lama, meskipun diarahkan ke hunian yang lebih layak (rumah panggung berpondasi), berpotensi memicu konflik sosial yang signifikan. Komunitas yang hidup dengan tingkat interaksi sosial tinggi dan bermata pencaharian yang bersifat turun-temurun sangat rentan terhadap dislokasi sosial akibat pemindahan mendadak.1 Keberhasilan proyek waterfront Palembang bergantung pada seberapa efektif pemerintah daerah dapat mengelola political cost dari pembebasan lahan, memastikan kompensasi yang transparan dan proses relokasi yang adil.1 Jika tidak, zona perlindungan sempadan 30–50 meter akan tetap menjadi area abu-abu yang kembali ditempati secara ilegal, mengancam keberlanjutan fungsi sungai.
Perlunya Integrasi Non-Fisik yang Masif
Tantangan berikutnya terletak pada integrasi intervensi sosial. Kegagalan mengatasi masalah non-fisik, seperti SDM yang rendah dan tingginya kriminalitas, dapat menyebabkan kegagalan fungsi ruang publik yang baru. Infrastruktur keras (dermaga, promenade, taman) tidak akan bertahan lama jika tidak didukung oleh intervensi sosial, pendidikan, dan keamanan yang masif.1 Infrastruktur fisik yang baru harus didukung oleh peningkatan nilai-nilai religi, etika, moral, dan budaya pada masyarakat setempat untuk memastikan kawasan tetap aman dan nyaman.1
Kesimpulan: Dampak Nyata Menuju Palembang Baru
Konsep penataan mix-used waterfront/riverside yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah cetak biru yang komprehensif. Konsep ini melampaui upaya kosmetik; ia adalah strategi terintegrasi yang menyelaraskan konservasi ekologi sungai dengan peningkatan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat lokal, khususnya di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu.
Penelitian ini menyediakan landasan ilmiah yang kuat, yang menunjukkan bahwa dengan keberanian politik untuk melaksanakan Konsolidasi Lahan dan dengan pendekatan sosial yang adil, Palembang dapat mencapai dampak nyata dan terukur dalam kurun waktu lima hingga tujuh tahun:
Masa depan Palembang, sebagai Waterfront City, kini dipertaruhkan pada kemampuan para pemangku kepentingan untuk memindahkan fokus dari pembangunan daratan menuju pengembalian martabat, fungsi, dan keindahan abadi Sungai Musi.
Pembangunan Transportasi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 17 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian mengenai pembangunan Thika Road Superhighway di Kenya menegaskan bahwa infrastruktur transportasi adalah katalis pertumbuhan ekonomi lokal, meningkatkan mobilitas, dan membentuk pusat komersial baru. Namun, hasil penelitian juga menegaskan bahwa keberhasilan ekonomi tersebut tidak boleh mengabaikan aspek lingkungan. Urbanisasi tanpa perencanaan ekologis yang matang telah menimbulkan kerusakan habitat, polusi, dan penurunan keseimbangan ekosistem.
Oleh karena itu, temuan ini penting sebagai acuan bagi pembuat kebijakan dalam menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Bagi Indonesia, pengalaman ini relevan bagi proyek jalan nasional besar di mana kajian dampak sosial dan lingkungan perlu diperkuat sejak tahap perencanaan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Thika Road Superhighway membawa dampak yang signifikan:
Dampak Positif:
Peningkatan peluang usaha dan pertumbuhan kawasan ekonomi baru.
Peningkatan mobilitas tenaga kerja dan efisiensi distribusi barang.
Meningkatnya nilai tanah dan investasi di daerah sekitar.
Dampak Negatif:
Hilangnya habitat satwa liar dan gangguan ekologi.
Polusi udara dan air akibat konstruksi dan lalu lintas padat.
Kurangnya pengawasan terhadap pembangunan komersial yang tidak terencana.
Ketimpangan sosial akibat lonjakan harga lahan.
Peluang:
Penerapan kebijakan pembangunan berkelanjutan berbasis partisipasi publik.
Integrasi antara kebijakan transportasi dan tata ruang untuk meminimalkan dampak lingkungan.
Untuk memperkuat kapasitas aparatur dalam hal ini, kursus seperti Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup memberikan pemahaman tentang mitigasi dampak ekologis dalam proyek infrastruktur.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Perkuat Kajian Dampak Lingkungan (EIA) dan Pemantauan Berkelanjutan: Evaluasi menyeluruh harus dilakukan sebelum, selama, dan setelah proyek jalan dibangun.
Kembangkan Kebijakan Zonasi dan Tata Ruang Koridor Jalan: Atur penggunaan lahan di sepanjang jalan raya untuk menghindari urbanisasi liar dan konflik lahan.
Tingkatkan Partisipasi Publik dalam Proyek Infrastruktur: Libatkan masyarakat dalam pengawasan, pemeliharaan, dan pelaporan dampak sosial ekonomi.
Bangun Sistem Drainase dan Pengelolaan Limbah yang Terintegrasi: Infrastruktur pelengkap harus memastikan daya dukung lingkungan tetap terjaga.
Dorong Investasi Hijau dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR): Libatkan sektor swasta dalam konservasi lingkungan dan pengembangan masyarakat.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan infrastruktur berpotensi gagal bila hanya fokus pada hasil fisik. Risiko utamanya meliputi kurangnya koordinasi antarinstansi, minimnya akuntabilitas lingkungan, dan kelemahan kebijakan tata ruang yang mendorong urbanisasi tak terkendali. Untuk menghindari hal ini, perlu diterapkan governance kolaboratif yang kuat.
Penutup
Pembangunan Thika Superhighway memberikan pelajaran bahwa keberhasilan proyek transportasi harus diukur bukan hanya dari efisiensi mobilitas, tetapi juga dari kemampuan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan berbasis bukti, Indonesia dapat merancang model infrastruktur yang inklusif dan ramah lingkungan.
Sumber
Wanjiku, Eva Muthoni. (2014). Socio-Economic Benefits and Environmental Impacts of Thika Road Superhighway. Kenyatta University.
Kebijakan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 17 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian dalam Sustainability (2021) menekankan bahwa pembangunan jalan—meskipun vital—sering kali mengabaikan risiko lingkungan dan sosial yang kompleks. Proyek jalan dapat memicu degradasi lingkungan, polusi, konflik sosial, dan perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali jika tidak dikelola dengan baik.
Temuan penting dari studi ini adalah kebutuhan integrasi Environmental & Social Risk Assessment (ESRA) sejak tahap perencanaan. Model ESRA memungkinkan pemerintah mengidentifikasi potensi kerugian ekologis dan sosial lebih awal, sehingga kebijakan pembangunan jalan dapat lebih adaptif, mencegah konflik, dan menjaga keberlanjutan jangka panjang. Dalam konteks Indonesia, dengan proyek masif seperti Jalan Tol Trans Sumatera dan IKN, mengadopsi pendekatan ESRA memastikan pembangunan tidak hanya cepat dan efisien, tetapi juga aman bagi masyarakat dan lingkungan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif Implementasi ESRA:
Proyek jalan yang menerapkan ESRA memiliki tingkat komplain sosial lebih rendah hingga 40%.
Pengelolaan risiko lingkungan yang baik menekan kerusakan habitat dan polusi.
Keputusan desain yang berorientasi risiko meningkatkan efisiensi biaya jangka panjang karena mengurangi biaya rehabilitasi.
Hambatan Utama:
Kurangnya kapasitas teknis dalam memahami indikator risiko lingkungan dan sosial.
Minimnya integrasi lintas sektor (perencana, insinyur, dan pihak lingkungan hidup).
Tekanan politik dan ekonomi yang mendorong percepatan proyek.
Ketersediaan data minim, sehingga analisis risiko hanya bersifat formalitas.
Peluang Penguatan:
Digitalisasi data melalui GIS, remote sensing, dan machine learning memungkinkan penilaian risiko yang lebih detail. Pelatihan seperti Kursus Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup dapat menjadi fondasi penting bagi aparatur untuk memahami risiko lingkungan-sosial secara komprehensif.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Integrasikan ESRA dalam Setiap Tahap Siklus Proyek: Mulai dari perencanaan, desain, konstruksi, hingga pemeliharaan. Jadikan ESRA sebagai syarat wajib sebelum proyek jalan disetujui.
Kembangkan Sistem Data Risiko Nasional: Pemerintah perlu membangun basis data lingkungan dan sosial berbasis GIS untuk mempermudah analisis risiko.
Wajibkan Pelatihan ESRA untuk Perencana dan Konsultan: Pelatihan dapat menjadi standar kompetensi nasional.
Terapkan Mekanisme Partisipasi Publik Berkelanjutan: Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam identifikasi risiko, audit sosial, dan evaluasi dampak.
Gunakan Teknologi Remote Sensing dan AI untuk Pemantauan: Teknologi ini mempermudah pengawasan kerusakan lingkungan dan potensi konflik secara real-time.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan ESRA berpotensi gagal jika: hanya diperlakukan sebagai dokumen administratif, tidak didukung oleh keahlian teknis, tidak memiliki mekanisme verifikasi independen, atau laporan risiko disusun tanpa partisipasi masyarakat. Ketidaktepatan implementasi dapat menyebabkan kesenjangan di mana proyek jalan berlanjut, sementara kerugian sosial dan ekologis tetap terjadi.
Penutup
Penelitian ini menegaskan bahwa keberlanjutan proyek jalan tidak dapat dicapai tanpa manajemen risiko lingkungan dan sosial yang terstruktur. ESRA bukan sekadar alat teknis, tetapi fondasi pembangunan infrastruktur yang bertanggung jawab dan berpihak pada masyarakat. Dengan menggabungkan teknologi, partisipasi publik, dan kapasitas kelembagaan, Indonesia dapat membangun sistem pembangunan jalan yang lebih adil, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber
Authors. (2021). Sustainability, Vol. 13, Article 3743.
Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 17 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Studi "The Economic Impact of Transport Infrastructure: A Review" menegaskan bahwa investasi pada jalan, pelabuhan, bandara, dan jaringan kereta memiliki korelasi kuat dengan peningkatan output ekonomi, efisiensi distribusi barang, dan ekspansi pasar tenaga kerja. Transportasi merupakan fondasi utama pertumbuhan ekonomi yang memengaruhi produktivitas, perdagangan, dan biaya logistik.
Temuan ini menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi bukan sekadar proyek teknis, tetapi merupakan instrumen strategis untuk:
menurunkan biaya produksi;
memperkuat rantai pasok nasional;
menghubungkan wilayah tertinggal; dan
menciptakan peluang investasi baru.
Dalam konteks Indonesia, reformasi kebijakan transportasi harus menempatkan infrastruktur sebagai pendorong daya saing nasional. Pelatihan berbasis kebijakan seperti Peran Perencanaan Wilayah dan Kota dalam Pembangunan Indonesia dapat membantu aparatur memahami hubungan jangka panjang antara transportasi, produktivitas, dan pemerataan ekonomi.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif yang Umum Terjadi:
Pertumbuhan ekonomi regional meningkat melalui penurunan biaya logistik.
Produktivitas industri dan perdagangan naik.
Pasar tenaga kerja meluas, memungkinkan mobilitas pekerja lintas wilayah.
Investasi swasta meningkat berkat konektivitas yang lebih baik.
Hambatan yang Sering Muncul:
Kurangnya pemeliharaan infrastruktur, menyebabkan fasilitas cepat rusak.
Perencanaan yang tidak berbasis data, sehingga proyek tidak selalu menjawab kebutuhan ekonomi riil.
Ketimpangan wilayah dalam distribusi manfaat.
Pendanaan jangka panjang yang tidak stabil.
Peluang Besar ke Depan:
Integrasi transportasi dengan digitalisasi logistik (ITS, big data supply chain).
Kemitraan publik–swasta (PPP) untuk pendanaan dan pemeliharaan.
Pengembangan transportasi rendah karbon untuk keberlanjutan jangka panjang.
Penguatan perencanaan wilayah untuk mengurangi ketimpangan ekonomi antar-daerah.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Prioritaskan Infrastruktur Berdasarkan Dampak Ekonomi: Gunakan analisis cost-benefit yang mempertimbangkan nilai tambah regional dan kontribusi terhadap rantai pasok.
Bangun Sistem Pemeliharaan Berkelanjutan: Alokasikan anggaran khusus O&M dan manfaatkan teknologi monitoring berbasis IoT.
Integrasikan Transportasi dengan Strategi Pengentasan Kemiskinan: Pastikan proyek infrastruktur diperkuat dengan kebijakan ekonomi daerah agar manfaatnya merata.
Dorong Skema Pendanaan Inovatif: PPP, land value capture, dan blended finance dapat mempercepat pembangunan tanpa membebani APBN.
Perkuat Kapasitas Tata Kelola di Daerah: Pelatihan teknis seperti Kursus Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat meningkatkan efektivitas implementasi.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan pembangunan transportasi dapat gagal apabila: terlalu fokus pada konstruksi fisik tanpa model bisnis jangka panjang, tidak memperhitungkan dampak sosial atau relokasi, minim koordinasi antarinstansi, tidak mengikuti kerangka evaluasi berbasis dampak ekonomi riil, atau menciptakan ketimpangan baru.
Untuk menghindari kegagalan, kebijakan harus berbasis bukti, partisipatif, serta didukung oleh governance yang kuat di tingkat pusat maupun daerah.
Penutup
Studi ini menegaskan bahwa infrastruktur transportasi adalah mesin utama bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Ketika kebijakan dirancang dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang, integrasi wilayah, dan keberlanjutan, maka infrastruktur dapat memperkuat daya saing nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Melalui perencanaan berbasis data, pendanaan yang inovatif, serta penguatan kapasitas pemerintah daerah, Indonesia dapat mengoptimalkan manfaat ekonomi dari pembangunan infrastruktur transportasi.
Sumber
The Economic Impact of Transport Infrastructure: A Review.
OECD, World Bank, dan berbagai literatur akademik terkait evaluasi ekonomi infrastruktur transportasi.
Analisis Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 17 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian ini menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur jalan memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, produktivitas tenaga kerja, dan integrasi pasar. Jalan yang memadai menurunkan biaya transportasi, mempercepat distribusi barang, dan meningkatkan konektivitas wilayah, terutama antara pusat produksi dan pusat konsumsi.
Temuan penting dari studi ini menunjukkan bahwa investasi jalan memberikan manfaat jangka panjang melalui peningkatan arus perdagangan, pengembangan wilayah terpencil, dan penguatan daya saing nasional. Oleh karena itu, pembangunan jalan harus diprioritaskan sebagai instrumen pembangunan ekonomi berbasis bukti, bukan sekadar proyek pembangunan fisik. Bagi Indonesia, hasil ini sangat relevan mengingat tantangan ketimpangan wilayah dan tingginya biaya logistik nasional.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif:
Penurunan biaya logistik dan biaya transportasi.
Peningkatan arus perdagangan antarwilayah, memperluas pasar bagi pelaku UMKM.
Peningkatan produktivitas tenaga kerja karena waktu tempuh lebih efisien.
Pertumbuhan ekonomi regional dan dorongan investasi.
Hambatan dalam Implementasi:
Keterbatasan dana pemeliharaan, sehingga jalan cepat mengalami kerusakan.
Kualitas konstruksi yang tidak merata akibat lemahnya pengawasan.
Kurangnya integrasi rencana pembangunan antarinstansi pemerintah.
Masih tingginya biaya pembebasan lahan.
Peluang Strategis:
Pemanfaatan teknologi pemetaan dan monitoring digital untuk pengelolaan infrastruktur.
Peningkatan kerja sama melalui Public-Private Partnership (PPP).
Integrasi pembangunan jalan dengan kawasan industri dan koridor ekonomi.
Untuk memperkuat perencanaan dan tata kelola ini, pelatihan seperti Kursus Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat membantu aparatur menguasai manajemen proyek berbasis kinerja.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Prioritaskan Pembangunan Jalan dengan Dampak Ekonomi Tinggi: Fokus pada koridor logistik, jalur produksi pertanian, dan akses menuju kawasan industri.
Perkuat Sistem Pemeliharaan Jalan Nasional dan Daerah: Terapkan skema pendanaan khusus dan pengawasan berbasis teknologi.
Integrasikan Infrastruktur Jalan dengan Kebijakan Pengembangan Wilayah: Rancang proyek jalan sebagai bagian dari strategi pengentasan ketimpangan ekonomi.
Percepat Kerja Sama Pemerintah–Swasta dalam Pembiayaan: PPP dapat mempercepat pembangunan sekaligus memastikan efisiensi jangka panjang.
Gunakan Data dan Evaluasi Dampak sebagai Dasar Perencanaan: Setiap pembangunan jalan harus disertai analisis ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan infrastruktur jalan dapat gagal apabila: fokus hanya pada pembangunan fisik tanpa memikirkan keberlanjutan dan pemeliharaan, tidak ada evaluasi dampak, tata kelola lemah, atau tidak mempertimbangkan analisis sosial-lingkungan. Kebijakan yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek tersebut berpotensi menyebabkan jalan justru menjadi beban fiskal, bukan pendorong pertumbuhan ekonomi.
Penutup
Pembangunan jalan adalah salah satu fondasi terpenting bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Studi ini membuktikan bahwa jalan yang terencana dengan baik mampu menciptakan konektivitas, menurunkan biaya logistik, memperkuat produktivitas, dan mempercepat pemerataan wilayah. Dengan strategi kebijakan yang berbasis bukti, tata kelola yang transparan, serta integrasi lintas sektor, pembangunan jalan dapat menjadi motor utama pembangunan nasional.
Sumber
The Impact of Road Infrastructure Development on Economic Growth