Energi Terbarukan & Pemeliharaan AI
Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 08 September 2025
Artificial Intelligence Based Prognostic Maintenance of Renewable Energy Systems
Paper “Artificial Intelligence Based Prognostic Maintenance of Renewable Energy Systems: A Review of Techniques, Challenges, and Future Research Directions” karya Yasir Saleem Afridi, Kashif Ahmad, dan Laiq Hassan (2021) adalah salah satu tulisan penting yang membedah bagaimana Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning (ML) berperan besar dalam meningkatkan Prognostic Maintenance (pemeliharaan prediktif) pada sistem energi terbarukan, khususnya tenaga hidro, angin, dan surya. Paper ini tidak hanya membahas teori, tetapi juga menyoroti implementasi nyata, tantangan besar di lapangan, serta peluang masa depan yang bisa dimanfaatkan industri energi. Dalam resensi panjang ini, gue akan membahas isi paper dengan gaya yang aplikatif, menyoroti relevansi terhadap kebutuhan dunia nyata, dan sekaligus memberi opini kritis tentang kelebihan maupun kelemahan dari pendekatan yang dipaparkan.
Kenapa Prognostic Maintenance Jadi Isu Penting?
Di era transisi energi sekarang, dunia bergerak cepat dari ketergantungan bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Energi terbarukan di sini mencakup hydropower (pembangkit listrik tenaga air), wind power (pembangkit listrik tenaga angin), dan solar power (pembangkit listrik tenaga surya). Tantangan utama dari energi terbarukan bukan hanya soal produksi, tapi juga keandalan operasi. Sebab, ketika satu unit turbin angin besar gagal beroperasi, kerugian finansial bisa mencapai ratusan ribu dolar akibat downtime, biaya teknisi, hingga kehilangan energi yang seharusnya masuk ke jaringan listrik.
Tradisionalnya, ada dua jenis metode pemeliharaan mesin:
Keduanya dinilai tidak efisien di sistem modern yang kompleks. Misalnya, preventive maintenance bisa terlalu sering dilakukan walaupun mesin masih sehat, sedangkan run-to-failure bisa bikin downtime panjang. Maka, muncullah konsep Condition-Based Monitoring (CBM) yang memanfaatkan sensor untuk membaca kondisi real-time mesin, serta Prognostic Health Management (PHM) yang bahkan bisa memprediksi kerusakan sebelum terjadi.
Prognostic Maintenance ini memanfaatkan data sensor, analitik, dan algoritma AI untuk memperkirakan Remaining Useful Life (RUL) dari komponen. Konsep RUL ini penting karena menentukan kapan idealnya suatu komponen diganti agar efisien dan tidak menunggu rusak total. Dengan kata lain, AI di sini berperan sebagai “dokter” mesin, yang bisa memantau kondisi kesehatan dan kasih peringatan dini.
Evolusi Condition-Based Monitoring (CBM)
Dalam paper, penulis menjelaskan bagaimana CBM berevolusi dari sekadar System Health Monitoring (SHM) yang sifatnya observatif menjadi sistem prognostik yang prediktif. Ada tiga langkah utama dalam CBM modern:
Menariknya, paper juga menyoroti perbedaan antara diagnostics dan prognostics. Diagnostics adalah analisis pasca-kerusakan, sedangkan prognostics adalah prediksi sebelum kerusakan. Dalam praktiknya, prognostics lebih unggul untuk mengurangi downtime, tapi diagnostics tetap penting untuk identifikasi cepat jika prediksi gagal.
Penerapan pada Energi Terbarukan
1. Pembangkit Listrik Tenaga Air (Hydropower)
Hydropower adalah energi terbarukan tertua yang masih diandalkan banyak negara. Tantangan utama di sini adalah menjaga availability (ketersediaan operasi) karena turbin air harus bekerja 24/7 untuk pasokan base load.
🔎 Analisis Praktis:
Keunggulan AI di hydropower adalah mengurangi risiko kerusakan turbin besar, yang biaya perbaikannya bisa sangat mahal. Namun, masalah utamanya adalah data real-life jarang tersedia. Kebanyakan model dilatih dengan data simulasi, sehingga saat masuk ke dunia nyata, adaptasinya sulit. Ini bikin perusahaan kadang ragu menginvestasikan AI kalau hasil prediksi belum terbukti robust.
2. Pembangkit Listrik Tenaga Angin (Wind Power)
Wind power adalah sektor yang paling banyak diteliti karena turbin angin punya tingkat kegagalan tinggi. Beberapa poin penting dari paper:
🔎 Analisis Praktis:
Untuk turbin lepas pantai, akses teknisi mahal (pakai kapal atau helikopter). Kalau prediksi AI bisa akurat, downtime bisa ditekan dan biaya O&M jauh lebih efisien. Namun, tantangannya adalah kondisi ekstrem seperti badai atau variasi beban yang bikin akurasi prediksi masih rendah.
3. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (Solar Power)
Sistem PV (photovoltaic) relatif lebih jarang rusak karena tidak ada bagian mekanik. Tapi ada isu lain seperti shading, degradasi modul, hingga inverter failure.
🔎 Analisis Praktis:
Di ladang surya besar yang terdiri dari ribuan panel, maintenance manual jelas mahal. Dengan AI + drone, perusahaan bisa hemat biaya tenaga kerja sekaligus mempercepat inspeksi. Tapi kelemahannya tetap sama: butuh data cuaca dan radiasi matahari historis yang lengkap agar prediksi PR benar-benar akurat.
Teknik AI dan Machine Learning dalam Prognostic Maintenance
Penulis mengklasifikasi empat pendekatan utama:
🔎 Insight Industri:
Perusahaan kecil-menengah bisa mulai dari SVM atau fuzzy logic karena murah dan lebih mudah dijelaskan. Sedangkan perusahaan besar dengan akses big data bisa memanfaatkan LSTM atau CNN untuk sistem yang lebih kompleks.
Dataset Publik yang Tersedia
Paper ini juga membahas beberapa dataset penting untuk pelatihan model AI:
🔎 Opini: Dataset ini bagus untuk akademik, tapi dalam dunia nyata, data kegagalan jarang dibuka ke publik karena alasan komersial. Ini salah satu penghambat riset prediktif.
Tantangan dan Kritik
Beberapa tantangan yang diangkat penulis:
Arah Masa Depan
Penulis menegaskan bahwa masa depan ada di:
Kesimpulan
Paper ini layak jadi landasan literatur utama untuk topik prognostic maintenance di energi terbarukan. Kelebihannya ada pada cakupan komprehensif, membahas hidro, angin, dan surya sekaligus. Namun ada beberapa kelemahan: solusi data terbatas belum jelas, keamanan dibahas dangkal, dan business case kurang kuat.
Meski begitu, kontribusinya besar: industri energi bisa mulai mengadopsi AI sederhana sembari menunggu solusi deep learning matang. Dengan tren global menuju net zero emission, sistem prediktif berbasis AI akan jadi fondasi penting untuk menjaga keandalan infrastruktur energi hijau.
Sistem Informasi Akademik
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 08 September 2025
Pendahuluan
Artikel “The Effects of TQM Practices on Performance of Organizations: A Case of Selected Manufacturing Industries in Saudi Arabia” (Harith Yasa, Alanoud Bandar Alsaud, Hajar Ahmed Almaghrabi, Amani Ahmed Almaghrabi, dan Bestoon Othman, 2021) diterbitkan dalam Management Science Letters. Studi ini menelaah bagaimana Total Quality Management (TQM) dan praktik pemasaran berkontribusi terhadap kinerja organisasi, khususnya di sektor manufaktur Saudi Arabia. Dengan data dari 289 responden dan analisis menggunakan SPSS serta korelasi Pearson, penulis menyajikan temuan empiris yang memperkuat pentingnya TQM dalam meningkatkan daya saing global.
Resensi ini memparafrasekan isi artikel, menyoroti kerangka teori yang digunakan, menguraikan hasil numerik, dan memberikan refleksi kritis atas metodologi serta narasi argumentatif yang ditawarkan.
Kerangka Teoretis
Teori Kontinjensi
Studi ini berlandaskan pada teori kontinjensi struktural (Donaldson, 1996). Inti dari teori ini adalah bahwa tidak ada satu struktur organisasi yang ideal untuk semua situasi. Sebaliknya, organisasi harus menyesuaikan diri dengan faktor-faktor kontinjensi seperti teknologi, ukuran perusahaan, tingkat ketidakpastian, dan akuntabilitas.
Penulis mengadopsi model SARFIT (Structural Adaptation to Regain Fit) dengan lima tahap:
Organisasi berada dalam kondisi fit dengan lingkungannya.
Terjadi perubahan faktor kontinjensi.
Organisasi masuk ke kondisi misfit, kinerja menurun.
Organisasi menyesuaikan struktur untuk mengatasi misfit.
Tercapai fit baru, kinerja meningkat kembali.
Refleksi saya: teori ini relevan dengan konteks manufaktur Saudi, yang menghadapi tekanan globalisasi. TQM diinterpretasikan sebagai mekanisme adaptasi struktural untuk mempertahankan fit.
Konsep TQM dan Pemasaran
TQM dipahami sebagai seperangkat praktik manajerial: keterlibatan karyawan, fokus pada pelanggan, dan peningkatan berkelanjutan. Pemasaran ditempatkan sebagai pendukung TQM, karena kualitas produk harus dikomunikasikan kepada pasar. Secara konseptual, penulis menyatukan dua ranah: proses internal (TQM) dan orientasi eksternal (pemasaran) sebagai determinan kinerja.
Metodologi
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif dengan survei online (SurveyMonkey). 289 karyawan dari berbagai industri manufaktur di Saudi dipilih secara acak. Ukuran sampel dihitung dengan formula Kish, menghasilkan jumlah tepat 289.
Teknik Analisis
Deskriptif statistik: menggambarkan profil responden.
Korelasi Pearson: menilai hubungan antara TQM, pemasaran, dan kinerja.
Hipotesis diuji: keterlibatan karyawan, fokus pelanggan, pemasaran → kinerja organisasi.
Refleksi metodologis: pendekatan ini cukup standar untuk riset manajemen. Namun, penggunaan korelasi saja membatasi inferensi kausalitas; hasil hanya menunjukkan asosiasi.
Hasil Empiris
Profil Responden
Usia dominan: 26–34 tahun (48,9%).
Mayoritas pria: 71,1%.
Jabatan: 52% manajer, 48% pemilik.
Skala usaha bervariasi: karyawan <5 hingga >75 orang; omzet <500 ribu hingga >1 juta riyal.
Interpretasi: sampel merepresentasikan spektrum luas industri manufaktur Saudi, namun dengan bias gender signifikan (maskulin).
Analisis TQM
Keterlibatan karyawan: 48% responden sangat setuju bahwa keterlibatan karyawan berpengaruh positif; hanya 7% ragu.
Fokus pelanggan: 43% sangat setuju bahwa fokus pada pelanggan meningkatkan kinerja; 11% ragu.
Pemasaran: 91% sangat setuju bahwa strategi pemasaran memengaruhi kinerja, tanpa ada yang menolak.
Korelasi Statistik
Keterlibatan karyawan ↔ kinerja: r = 0,247; p = 0,011.
Fokus pelanggan ↔ kinerja: r = 0,214; p = 0,025.
Pemasaran ↔ kinerja: r = 0,431; p = 0,021.
Interpretasi: pemasaran ternyata memiliki kekuatan hubungan lebih tinggi dibanding dimensi TQM lainnya. Hal ini menyoroti pentingnya aspek eksternal dalam performa.
Diskusi Reflektif
Kekuatan Studi
Mengintegrasikan teori kontinjensi dengan praktik TQM.
Menyediakan bukti empiris dari konteks Saudi yang relatif jarang diteliti.
Menampilkan hasil numerik yang jelas (r, p-value) sebagai basis analisis.
Kritik Metodologi
Keterbatasan korelasi: asosiasi tidak sama dengan kausalitas.
Variabel terbatas: hanya menyoroti keterlibatan, pelanggan, pemasaran. Dimensi TQM lain (misalnya proses, sistem terintegrasi) diabaikan.
Bias responden: dominasi pria dan manajer dapat membentuk persepsi positif yang tidak mencerminkan realitas karyawan operasional.
Reduksi kompleksitas: pemasaran diperlakukan homogen, padahal strategi bisa beragam (digital, konvensional, relasi pelanggan).
Refleksi Teoretis
Narasi artikel menegaskan bahwa kualitas internal harus dipadukan dengan komunikasi eksternal. Dalam kerangka kontinjensi, TQM memberi fit internal, sementara pemasaran menjaga fit eksternal dengan lingkungan pasar. Hubungan positif yang ditemukan memperkuat argumen bahwa keberhasilan organisasi adalah hasil dari interaksi keduanya.
Implikasi Ilmiah dan Praktis
Implikasi Ilmiah
Konfirmasi relevansi teori kontinjensi dalam konteks manufaktur Saudi.
Memberikan bukti empiris bahwa pemasaran tidak boleh dipisahkan dari TQM.
Menawarkan model sederhana keterkaitan antara keterlibatan, pelanggan, pemasaran, dan kinerja.
Implikasi Praktis
Manajer manufaktur perlu memperkuat program keterlibatan karyawan (pelatihan, partisipasi keputusan).
Fokus pelanggan harus berbasis riset pasar dinamis.
Pemasaran strategis terbukti sebagai pengungkit utama performa.
Kesimpulan
Artikel ini menyimpulkan bahwa TQM dan pemasaran memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi manufaktur di Saudi Arabia. Keterlibatan karyawan dan fokus pelanggan penting, tetapi strategi pemasaran terbukti paling kuat. Secara konseptual, karya ini menekankan pentingnya menyesuaikan struktur organisasi dengan faktor internal dan eksternal (kontinjensi) agar tercapai kinerja optimal.
Meski terbatas dalam lingkup variabel dan metodologi, kontribusinya nyata: menunjukkan sinergi TQM dan pemasaran sebagai fondasi keberhasilan organisasi dalam era globalisasi.
DOI resmi: https://doi.org/10.5267/j.msl.2020.9.017
Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025
Saat Bencana dan Konflik Bertabrakan
Dalam konteks global yang semakin kompleks, strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction / DRR) tidak bisa lagi dipisahkan dari dinamika sosial-politik, terutama konflik bersenjata. Paper berjudul “Disaster Risk Reduction Strategies: Navigating Conflict Contexts” yang ditulis oleh Katie Peters, Laura E.R. Peters, John Twigg, dan Colin Walch (2019) menyoroti pentingnya penyelarasan strategi DRR dengan konteks konflik yang masih jarang diperhatikan secara sistematis.
Laporan ini merupakan hasil kolaborasi antara Overseas Development Institute (ODI), GIZ (Jerman), dan BMZ, serta merupakan bagian dari proyek When disasters and conflict collide. Dengan meninjau strategi internasional, regional, dan nasional serta alat teknis DRR, paper ini memperlihatkan celah besar dalam pendekatan DRR terhadap wilayah konflik. Lebih jauh, laporan ini memberikan arahan strategis yang sangat relevan untuk konteks negara-negara seperti Indonesia, Myanmar, atau Afghanistan.
H2: Target E Sendai Framework dan Relevansi Konteks Konflik
Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 menjadi kerangka kerja utama dalam kebijakan DRR global. Di antara tujuh target globalnya, Target E memiliki tenggat waktu paling mendesak, yakni meningkatkan jumlah negara yang memiliki strategi DRR nasional dan lokal pada tahun 2020. Namun, implementasi Target E cenderung mengabaikan aspek konflik bersenjata yang justru sangat krusial di negara-negara rawan bencana.
Dalam praktiknya, wilayah yang tergolong sebagai conflict-affected, post-conflict, atau fragile states justru memiliki kemungkinan paling rendah untuk memiliki strategi DRR yang memadai. Contoh negara dalam kategori ini meliputi Afghanistan, Chad, Haiti, Liberia, dan Kolombia.
H2: Studi Kasus Negara: Tantangan Merancang DRR di Wilayah Konflik
H3: Afghanistan – Antara Bencana dan Ketidakstabilan Politik
Afghanistan merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko bencana dan konflik tertinggi di dunia. Dengan lebih dari 2,5 juta pengungsi dan 1,3 juta pengungsi internal, interaksi antara kekeringan, banjir, dan konflik menjadi sangat kompleks.
Dokumen DRR seperti Afghanistan Strategic National Action Plan (SNAP) menyebutkan bahwa perbedaan antara bencana alam dan buatan manusia semakin kabur. Strategi ini juga mengakui bahwa konflik menghancurkan kapasitas coping masyarakat dan pemerintah, dan bahwa DRR dapat berperan dalam membangun perdamaian.
Namun, meskipun ambisi tersebut ada, strategi nasional DRR Afghanistan belum menjabarkan secara rinci bagaimana DRR dapat digunakan sebagai alat perdamaian. Masih belum tersedia kerangka kerja implementatif yang jelas tentang Do No Harm atau conflict-sensitive DRR.
H2: Analisis Kerangka Internasional dan Regional
H3: Minimnya Dimensi Konflik dalam Framework Global
Dua kerangka kerja global utama, yakni Hyogo Framework (2005–2015) dan Sendai Framework (2015–2030), hampir tidak memuat referensi eksplisit terhadap konflik atau istilah seperti violence, fragility, peace, atau Do No Harm. Meski negara-negara dengan konflik menandatangani kerangka ini, tidak ada dorongan kuat agar strategi DRR disesuaikan dengan kondisi konflik mereka.
Saat penyusunan Sendai Framework, sejumlah negara anggota keberatan terhadap penyebutan eksplisit “armed conflict” atau “foreign occupation” karena alasan politis. Akibatnya, aspek konflik tersingkir dari kerangka kerja final.
H3: Afrika – Pengakuan Terbatas terhadap Hubungan Konflik dan Bencana
Strategi DRR regional Afrika cukup eksplisit dalam mengakui hubungan antara konflik dan bencana. Misalnya:
Namun, dokumen tersebut tidak menjabarkan mekanisme atau panduan untuk melaksanakan strategi DRR di wilayah konflik.
H3: Asia dan Timur Tengah – Banyak PR yang Tertinggal
Di Asia, walaupun memiliki struktur DRR yang maju, sebagian besar strategi DRR tidak membahas keterkaitan antara bencana dan konflik. Fokus lebih diberikan pada isu keamanan pangan atau kekerasan berbasis gender. Misalnya:
Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan besar antara pengakuan terhadap konflik sebagai risiko dan penerapannya dalam kebijakan DRR.
H2: Alat Teknis dan Kerangka Evaluasi: Apakah Lebih Baik?
H3: Disaster Recovery Framework (DRF)
DRF dikembangkan oleh GFDRR dan digunakan untuk merancang strategi pemulihan pascabencana. Namun, meskipun disebut komprehensif, DRF jarang sekali memasukkan dinamika konflik sebagai variabel dalam perencanaan pemulihan.
H3: Vulnerability and Capacity Assessment (VCA)
VCA banyak digunakan oleh NGO seperti IFRC, namun hanya sedikit yang mengadaptasikan alat ini untuk konteks wilayah konflik. Sebagian besar hanya mengevaluasi kerentanan fisik dan sosial tanpa mempertimbangkan potensi konflik sebagai penghambat implementasi DRR.
H2: Rekomendasi Strategis: Menjahit Ulang Strategi DRR untuk Wilayah Konflik
Penulis mengajukan sejumlah rekomendasi penting untuk menjembatani celah antara DRR dan konteks konflik:
H2: Kesenjangan Praktik dan Tantangan Global
Paper ini juga mengungkap bahwa:
Kesimpulan: Waktunya DRR Bertransformasi Menjadi Strategi Responsif Konflik
Paper ini menggarisbawahi bahwa strategi DRR konvensional tidak cukup untuk menjawab tantangan wilayah konflik. Ketika konflik dan bencana bersinggungan, strategi DRR perlu melangkah lebih jauh dari sekadar respons terhadap risiko alam. Ia harus mampu beradaptasi dengan kondisi konflik, menyesuaikan pendekatan teknis, serta membuka peluang untuk perdamaian dan rekonsiliasi.
Dengan menerapkan conflict-sensitive DRR, pengambil kebijakan dapat merancang intervensi yang tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial-politik masyarakat di wilayah paling rentan di dunia.
Sumber asli:
Katie Peters, Laura E.R. Peters, John Twigg, dan Colin Walch. (2019). Disaster Risk Reduction Strategies: Navigating Conflict Contexts. Working Paper 555, Overseas Development Institute (ODI).
Faktor Produktivitas
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 September 2025
Pendahuluan
Produktivitas dalam industri konstruksi telah lama menjadi sorotan, terutama karena perannya yang vital terhadap efisiensi biaya, ketepatan waktu, dan keberlanjutan proyek. Namun, definisi produktivitas sendiri kerap bervariasi tergantung konteks dan wilayah. Artikel oleh Mohammed Hamza Momade dan rekan-rekannya mengangkat hal unik: menelaah 122 publikasi ilmiah dari seluruh dunia dan menyintesisnya berdasarkan pendekatan geografis. Fokus artikel ini bukan hanya pada faktor produktivitas tenaga kerja konstruksi (Construction Labor Productivity atau CLP), melainkan menyoroti ketidakkonsistenan temuan antarwilayah yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam literatur akademik.
Definisi Produktivitas: Lebih dari Sekadar Output/Input
Dalam kajian ini, produktivitas didefinisikan secara umum sebagai rasio output terhadap input. Namun, Momade dkk. menekankan bahwa ukuran produktivitas tidak boleh tunggal, karena banyak variabel yang terlibat seperti durasi kerja, efisiensi teknis, hingga manajemen sumber daya. Definisi ini sejalan dengan sejumlah literatur internasional (Shiru et al., 2020; Momade et al., 2020), dan menggarisbawahi bahwa optimisasi proses kerja dan pemanfaatan sumber daya adalah inti dari produktivitas sejati.
Metodologi Kajian: Sistematis dan Representatif
Penelitian ini mengadopsi metode kajian sistematis dengan mengakses lebih dari 400 artikel dari Scopus, Web of Science, dan Google Scholar. Setelah seleksi ketat berdasarkan relevansi dan fokus pada CLP, tersisa 122 artikel dari 56 jurnal berbeda. Analisis selanjutnya dilakukan terhadap:
Definisi produktivitas yang digunakan
Faktor-faktor CLP yang diidentifikasi
Wilayah atau negara tempat studi dilakukan
Konsistensi atau variasi hasil antarwilayah
Temuan Utama: Perbedaan Signifikan antarwilayah
A. Dominasi Asia dalam Penelitian CLP
58% studi dilakukan di Asia, dengan India dan Malaysia sebagai kontributor utama
Amerika Utara dan Eropa menyumbang 28%, sedangkan Afrika hanya 10%
B. Variasi Faktor Dominan Menurut Wilayah
Studi ini menemukan bahwa faktor utama yang memengaruhi produktivitas berbeda-beda tergantung wilayah, bahkan dalam satu negara:
India: Motivasi pekerja, ketersediaan material, dan pengambilan keputusan.
Timur Tengah: Kesalahan gambar kerja, perubahan desain, keterampilan tenaga kerja.
Afrika: Kurangnya alat dan bahan, metode konstruksi yang salah, cuaca.
Amerika Utara: Program manajemen efektif, pengalaman tenaga kerja, perencanaan buruk.
Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia): Keterlambatan material, kurangnya pelatihan, komunikasi buruk.
Australia & Selandia Baru: Rework (pengulangan kerja) adalah faktor dominan.
C. Ketidakkonsistenan dalam Negara Sama
Sebagai contoh, India memiliki lima studi dengan temuan berbeda. Ini disebabkan oleh:
Perbedaan provinsi dan budaya kerja lokal
Ukuran sampel yang kecil dan tidak proporsional
Dominasi responden dari satu profesi saja (misalnya manajer proyek)
Analisis Tambahan: Mengapa Perbedaan Ini Penting?
Variasi antarwilayah menandakan bahwa pengelolaan produktivitas tidak bisa digeneralisasi secara global. Negara maju cenderung berfokus pada efisiensi manajerial dan teknologi, sedangkan negara berkembang menghadapi persoalan dasar seperti material dan keterampilan tenaga kerja. Oleh karena itu:
Standar global (misalnya SNI, ISO) perlu diadaptasi lokal
Pelatihan berbasis masalah lokal lebih efektif daripada kurikulum generik
Data mikro lokal lebih berharga daripada statistik makro global
Studi Kasus Nyata: Produktivitas di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, Soekiman et al. (2011) mengidentifikasi faktor-faktor seperti keterlambatan pengiriman material, mogok kerja, dan petunjuk kerja yang tidak jelas sebagai penyebab utama penurunan CLP. Ini berbeda dengan temuan di Malaysia yang menekankan manajemen proyek sebagai faktor kunci. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan antarnegara bertetangga pun, strategi peningkatan produktivitas harus dibedakan.
Kelebihan dan Kritik terhadap Studi
A. Kelebihan:
Komprehensif: mencakup 122 studi dari seluruh dunia
Menggunakan pendekatan lintas-wilayah yang belum banyak dieksplorasi
Memberikan dasar kuat untuk penelitian lanjutan berbasis lokal
B. Keterbatasan:
Tidak melakukan wawancara atau survei primer
Tidak menggunakan alat statistik kuantitatif untuk mengukur konsistensi temuan
Mayoritas responden dari kalangan manajemen proyek, bukan pekerja lapangan
Rekomendasi Praktis dan Strategis
Untuk Pemerintah dan Pembuat Kebijakan:
Bentuk database nasional CLP berdasarkan studi mikro per wilayah
Revisi kebijakan pelatihan tenaga kerja agar lebih adaptif
Untuk Kontraktor dan Konsultan:
Lakukan evaluasi produktivitas berdasarkan faktor lokal, bukan standar umum
Gunakan teknologi seperti BIM atau aplikasi mobile untuk pelaporan produktivitas secara real-time
Untuk Akademisi dan Peneliti:
Libatkan lebih banyak pekerja langsung dalam survei
Gunakan alat statistik multivariat (seperti SEM) untuk menguji keterkaitan faktor
Kesimpulan
Studi Momade dkk. mengubah paradigma dalam melihat produktivitas tenaga kerja konstruksi. Dengan membedah hasil studi dari prespektif geografis, artikel ini mengungkap bahwa produktivitas adalah variabel yang bersifat kontekstual, bukan universal. Temuan mereka menjadi pengingat bahwa pengelolaan proyek konstruksi yang efektif dimulai dari memahami kondisi lokal, bukan hanya mengadopsi praktik dari tempat lain.
Sebagai kontribusi ilmiah, artikel ini bukan hanya menyusun ulang literatur, tetapi menyajikan arah baru dalam memahami dan mengelola CLP secara lebih cerdas, kontekstual, dan adaptif.
Sumber:
Mohammed Hamza Momade, Shamsuddin Shahid, Ghaith Falah, Deprizon Syamsunur, Dave Estrella. (2021). Review of construction labor productivity factors from a geographical standpoint. International Journal of Construction Management. DOI: 10.1080/15623599.2021.1917285
Ritual Sakral & Warisan Budaya Bali
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 September 2025
Pendahuluan: Ritual dan Estetika dalam Harmoni Budaya Bali
Tari Sanghyang Kungkang yang berasal dari Desa Adat Pekraman Bebandem, Karangasem, Bali, merupakan salah satu bentuk kesenian sakral yang masih eksis hingga kini. Ditarikan dalam konteks upacara keagamaan Hindu, tarian ini tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi spiritual tetapi juga memiliki makna sosial dan simbolis yang mendalam. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Ni Nyoman Suartini (2014) di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, kajian ini menyoroti bentuk pertunjukan, fungsi sosial-religius, serta tantangan pelestarian dari Tari Sanghyang Kungkang.
Memahami Konsep Sakral dalam Tari Sanghyang (H2)
Latar Belakang dan Etimologi (H3)
Nama "Sanghyang" merujuk pada roh suci atau dewa dalam kepercayaan Hindu-Bali, sedangkan "Kungkang" merupakan akronim dari "Ung" (simbol Dewa Wisnu) dan "Ang" (simbol Dewa Brahma), yang ditambahkan awalan dan sisipan menjadi "Kungkang." Nama ini melambangkan dualitas kekuatan suci yang bersatu dalam tarian.
Tarian ini diyakini sebagai media turunnya Betari Dewi Sri, dewi kesuburan, untuk memberikan berkah kesuburan dan kesejahteraan pada masyarakat desa. Ia ditarikan oleh seorang perempuan yang telah dipilih secara spiritual sebagai medium atau "tapakan."
Konteks Ritual (H3)
Tari Sanghyang Kungkang hanya dipentaskan saat upacara Piodalan Ngusaba Sri yang jatuh pada Purnama Kedasa di Pura Bale Agung. Prosesi pertunjukan diawali dengan mapiuning (ritual pemuspaan), diikuti oleh upacara Nyegara-Gunung, dan diakhiri dengan pertunjukan tarian dalam kondisi trance.
Bentuk Pertunjukan Tari Sanghyang Kungkang (H2)
Struktur Pertunjukan (H3)
Tari ini berbentuk tari tunggal dan hanya dibawakan oleh satu penari wanita yang telah dipilih melalui upacara metedun sekar. Gerakannya sederhana namun sarat makna simbolik dan hanya muncul dalam kondisi kerauhan (kerasukan), memperlihatkan bahwa tubuh sang penari telah dirasuki oleh kekuatan spiritual.
Elemen Visual dan Auditori (H3)
Busana dan Properti: Penari mengenakan busana khas dengan bunga lenter dan base sulasih sebagai simbol kesuburan.
Musik: Gamelan gambang dengan gending khusus "Kungkang" mengiringi tarian.
Ritual Batang Dadap: Batang dadap digunakan sebagai tongkat sakral yang digerakkan dalam empat arah mata angin, simbolisasi perlindungan dan penyebaran energi positif.
Fungsi dan Makna Tari dalam Kehidupan Masyarakat (H2)
Fungsi Sakral (H3)
Sebagai tari wali atau persembahan sakral dalam upacara dewa yadnya.
Penolakan bala dan pengundang berkah, khususnya dalam aspek agrikultural seperti perlindungan dari gagal panen.
Fungsi Sosial dan Psikologis (H3)
Menumbuhkan solidaritas kolektif di antara warga desa.
Menjadi sarana penguat identitas budaya dan spiritualitas lokal.
Memberikan ketenangan batin melalui prosesi yang dipercaya membawa kedamaian dan kemakmuran.
Pelestarian dan Tantangan di Era Modern (H2)
Ancaman Modernisasi (H3)
Minimnya regenerasi penari karena pemilihan penari harus melalui wahyu spiritual.
Tantangan dokumentasi dan kurangnya media digital untuk memperkenalkan tarian ini secara luas.
Upaya Pelestarian (H3)
Dokumentasi akademik seperti penelitian Suartini berperan penting.
Keterlibatan masyarakat lokal, pemangku adat, dan lembaga pendidikan dalam menjaga tradisi ini.
Pentingnya digitalisasi sebagai sarana pengarsipan dan promosi budaya.
Studi Banding: Posisi Tari Sanghyang Kungkang dalam Konstelasi Tari Sakral Bali (H2)
Tari Sanghyang Dedari dan Jaran mungkin lebih dikenal luas, namun Sanghyang Kungkang menonjol dari struktur tunggalnya dan simbolisasi penggunaan batang dadap sebagai wahana komunikasi spiritual. Berbeda dari tari sakral lainnya yang dapat ditarikan oleh anak-anak atau kelompok, Sanghyang Kungkang sangat personal dan intens.
Kritik dan Implikasi Akademik (H2)
Penelitian ini menunjukkan pendekatan mendalam namun masih bersifat deskriptif. Ke depan, perlu ada:
Studi etnografi komparatif dengan desa lain.
Analisis antropologi simbolik lebih lanjut untuk memperdalam makna elemen-elemen visual dan naratif dalam tarian.
Penggunaan media audiovisual untuk menyajikan data interaktif.
Kesimpulan: Tarian sebagai Jembatan Spiritual dan Sosial (H2)
Tari Sanghyang Kungkang bukan sekadar pertunjukan, melainkan ritual kompleks yang menyatukan nilai estetika, spiritualitas, dan solidaritas sosial. Fungsinya sebagai medium komunikasi antara manusia dan alam semesta menjadi bukti bahwa kesenian tradisional memiliki dimensi transenden yang tak tergantikan. Dalam era globalisasi, pelestarian tarian ini menjadi bukti keteguhan masyarakat Bali dalam menjaga akar budaya mereka.
Sumber
Suartini, Ni Nyoman. (2014). Kajian Bentuk dan Fungsi Tari Sanghyang Kungkang di Desa Adat Pekraman Bebandem Karangasem. Institut Seni Indonesia Denpasar.
Teknologi Pariwisata Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 September 2025
Pariwisata di Indonesia, khususnya di kawasan dengan kekayaan budaya dan alam yang melimpah seperti Toraja Utara, memiliki potensi besar untuk menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, mewujudkan potensi ini seringkali terbentur pada keterbatasan sumber daya dan kapasitas pemerintah daerah. Dalam konteks inilah, kemitraan antara sektor publik dan swasta, atau yang lebih dikenal dengan Public Private Partnership (PPP), muncul sebagai solusi strategis.
Tesis yang komprehensif oleh Muhammad Hidayat Djabbari, "Public Private Partnership dalam Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Toraja Utara," menawarkan eksplorasi mendalam mengenai implementasi PPP dalam pengembangan pariwisata, menyoroti tantangan dan peluang, serta mengidentifikasi indikator keberhasilan yang krusial.
Penelitian ini tidak hanya berhenti pada tinjauan konseptual PPP, melainkan beranjak ke analisis praktis di lapangan, menjadikannya studi kasus yang relevan dan bernilai. Dengan mengambil studi kasus Kabupaten Toraja Utara, wilayah yang terkenal akan warisan budaya khas dan keindahan alamnya, tesis ini berupaya menjawab pertanyaan fundamental: bagaimana PPP dapat secara efektif mendorong pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dan memberikan manfaat maksimal bagi semua pemangku kepentingan?
Pondasi Kemitraan: Memahami Konsep Public Private Partnership
Inti dari tesis ini terletak pada pemahaman dan penerapan model PPP. Secara fundamental, PPP adalah sebuah perjanjian kerja sama jangka panjang antara pemerintah dan pihak swasta untuk menyediakan aset atau layanan publik. Dalam konteks pariwisata, ini bisa berarti investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur pariwisata seperti hotel, resor, atau atraksi baru, sementara pemerintah memfasilitasi regulasi, perizinan, dan promosi destinasi. Keuntungan utama dari PPP adalah kemampuan untuk menggabungkan efisiensi dan inovasi sektor swasta dengan legitimasi dan jangkauan pemerintah, sehingga proyek dapat diwujudkan dalam skala lebih besar dan dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan bila dijalankan secara terpisah.
Penulis dengan cermat menguraikan model Life Cycle Contract (LCC) sebagai salah satu kerangka kerja PPP yang relevan dalam pengembangan pariwisata di Toraja Utara. LCC, yang mencakup tahapan Build, Design, Finance, dan Maintain, menawarkan pendekatan holistik di mana pihak swasta bertanggung jawab atas seluruh siklus hidup proyek, mulai dari perencanaan hingga pemeliharaan.
Ini sangat krusial dalam proyek pariwisata yang kompleks, di mana keberlanjutan operasional dan pemeliharaan jangeluruh ka panjang seringkali menjadi tantangan. Bayangkan pembangunan sebuah eco-resort di area terpencil Toraja Utara. Dengan LCC, investor swasta tidak hanya membangunnya, tetapi juga merancang sesuai dengan kearifan lokal, membiayai penuh proyek, serta mengelola operasional dan pemeliharaan dalam jangka panjang. Ini mengurangi beban finansial dan manajerial pemerintah daerah, sambil memastikan standar kualitas yang tinggi dan keberlanjutan.
Indikator Keberhasilan PPP: Mengukur Dampak yang Sesungguhnya
Salah satu kontribusi signifikan tesis ini adalah penekanan pada indikator keberhasilan kemitraan menurut Casanova. Casanova mengidentifikasi empat pilar utama: Equity (Keadilan), Effectiveness (Efektivitas), Efficiency (Efisien), dan Exportability (Tingkah Laku). Mengaplikasikan kerangka ini ke dalam konteks pengembangan pariwisata Toraja Utara memberikan alat ukur yang konkret untuk menilai kinerja PPP.
Keadilan (Equity): Apakah manfaat dan risiko dari kemitraan terdistribusi secara adil antara pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal? Dalam kasus Toraja Utara, ini berarti memastikan bahwa masyarakat adat terlibat dalam proses perencanaan, mendapatkan bagian dari pendapatan pariwisata, dan tidak terpinggirkan oleh pembangunan. Contoh nyatanya adalah ketika sebuah proyek hotel besar dibangun, apakah ada klausul yang mewajibkan penyerapan tenaga kerja lokal atau melibatkan pengusaha kecil dan menengah setempat dalam rantai pasok? Tanpa keadilan, PPP berisiko menciptakan kesenjangan sosial dan resistensi dari masyarakat.
Efektivitas (Effectiveness): Sejauh mana PPP mencapai tujuan yang telah ditetapkan? Dalam pengembangan pariwisata, ini berarti apakah jumlah kunjungan wisatawan meningkat, apakah pendapatan daerah dari sektor pariwisata naik, atau apakah citra destinasi Toraja Utara semakin kuat di mata wisatawan global? Jika target pertumbuhan jumlah wisatawan sebesar 20% per tahun tidak tercapai setelah lima tahun kemitraan, maka efektivitasnya perlu dievaluasi ulang.
Efisiensi (Efficiency): Apakah proyek dilaksanakan dengan penggunaan sumber daya yang optimal? PPP seringkali dipilih karena potensi efisiensi yang ditawarkannya, seperti penghematan biaya atau penyelesaian proyek yang lebih cepat. Dalam konteks Toraja Utara, efisiensi bisa diukur dari seberapa cepat infrastruktur pariwisata dibangun dibandingkan dengan proyek-proyek yang dikelola pemerintah secara independen, atau seberapa baik penggunaan anggaran untuk promosi wisata.
Tingkah Laku (Exportability): Merujuk pada kemampuan model kemitraan untuk direplikasi atau diadaptasi di wilayah lain. Jika model PPP di Toraja Utara terbukti sukses, apakah elemen-elemen kunci dari kemitraan tersebut dapat diterapkan di destinasi pariwisata lain di Indonesia yang memiliki karakteristik serupa? Ini menunjukkan potensi multiplier effect dari model yang dikembangkan.
Analisis Mendalam: Studi Kasus Toraja Utara
Tesis ini secara spesifik mengkaji bagaimana pengelolaan pariwisata di Kabupaten Toraja Utara dapat ditingkatkan melalui PPP. Kondisi geografis yang menantang dan warisan budaya yang sangat kental menjadikan Toraja Utara sebagai kasus yang menarik. Di satu sisi, keunikan budayanya menarik wisatawan; di sisi lain, keterbatasan infrastruktur dan kapasitas pemerintah daerah menjadi penghambat.
Salah satu poin penting yang diangkat dalam tesis adalah peran Memorandum of Understanding (MOU) sebagai landasan awal kemitraan. Meskipun terlihat formalitas, MOU adalah gerbang awal untuk menyusun visi, tujuan, dan pembagian peran yang jelas antara pihak publik dan swasta. Tanpa MOU yang kuat, potensi konflik dan kesalahpahaman di kemudian hari akan jauh lebih besar.
Tesis ini menyiratkan bahwa dengan menerapkan LCC dan mengukur keberhasilan dengan indikator Casanova, Toraja Utara dapat memaksimalkan potensi pariwisata yang dimilikinya. Misalnya, melalui PPP, pemerintah daerah dapat menarik investasi swasta untuk mengembangkan homestay berbasis komunitas, membangun pusat informasi turis yang modern, atau bahkan mengelola festival budaya berskala internasional. Ini akan mengurangi beban APBD yang seringkali terbatas dan membuka peluang bagi inovasi yang dibawa oleh sektor swasta.
Tren Industri dan Tantangan di Lapangan
Mengaitkan temuan tesis dengan tren industri pariwisata saat ini, kita melihat adanya pergeseran minat wisatawan menuju pengalaman yang lebih otentik dan berkelanjutan. Toraja Utara, dengan daya tarik budaya dan alamnya, sangat cocok dengan tren ini. Namun, pengembangan yang tidak terencana dengan baik dapat merusak keaslian dan keberlanjutan tersebut. PPP yang sukses harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan dan sosial, tidak hanya profitabilitas ekonomi.
Salah satu tantangan nyata di lapangan adalah bagaimana menyelaraskan kepentingan yang beragam antara pemerintah, sektor swasta yang berorientasi profit, dan masyarakat lokal yang ingin melestarikan budaya dan lingkungan mereka. Tesis ini secara implisit menekankan bahwa dialog dan partisipasi aktif dari semua pihak adalah kunci. Misalnya, sebelum proyek pembangunan resort besar dimulai, pemerintah dan investor swasta harus mengadakan konsultasi publik yang ekstensif dengan masyarakat adat untuk memahami kekhawatiran mereka dan mencari solusi yang saling menguntungkan.
Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia memiliki kontribusi signifikan terhadap PDB. Pada tahun 2019 (sebelum pandemi), sektor pariwisata menyumbang sekitar 4,3% terhadap PDB Indonesia dan menciptakan jutaan lapangan kerja. Angka ini menegaskan betapa krusialnya investasi yang tepat dan pengelolaan yang efektif dalam pengembangan pariwisata. Dengan PPP, diharapkan investasi yang masuk tidak hanya dalam bentuk modal, tetapi juga transfer pengetahuan, teknologi, dan praktik manajemen yang baik.
Nilai Tambah dan Opini: Sebuah Kritis dan Proyeksi ke Depan
Tesis Muhammad Hidayat Djabbari memberikan landasan yang kuat untuk memahami peran PPP dalam pengembangan pariwisata. Namun, seperti halnya setiap penelitian, ada ruang untuk refleksi dan pengembangan lebih lanjut.
Pertama, meskipun tesis ini menyoroti kerangka pikir dan model yang relevan, analisis kuantitatif yang lebih mendalam mengenai dampak finansial dan sosial dari implementasi PPP di Toraja Utara akan sangat berharga. Misalnya, data mengenai peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata setelah proyek PPP, atau jumlah lapangan kerja yang tercipta, akan memperkuat argumen tentang efektivitas dan efisiensi.
Kedua, perbandingan dengan studi kasus PPP pariwisata di daerah lain, baik di Indonesia maupun di luar negeri, akan memberikan perspektif yang lebih luas. Apa pelajaran yang dapat diambil dari keberhasilan atau kegagalan PPP di destinasi lain seperti Bali, Lombok, atau bahkan negara-negara tetangga seperti Thailand? Perbandingan ini bisa menyoroti praktik terbaik dan tantangan umum yang mungkin dihadapi Toraja Utara.
Ketiga, penting untuk membahas aspek mitigasi risiko dalam PPP. Proyek-proyek berskala besar seperti ini tidak lepas dari risiko, mulai dari perubahan kebijakan pemerintah, fluktuasi ekonomi, hingga masalah lingkungan atau sosial. Bagaimana perjanjian PPP dapat dirancang untuk memitigasi risiko-risiko ini secara adil bagi semua pihak? Tesis dapat lebih jauh mengelaborasi tentang mekanisme penyelesaian sengketa atau pembagian risiko yang efektif.
Secara keseluruhan, tesis ini mengingatkan kita bahwa pengembangan pariwisata yang berkelanjutan di Toraja Utara tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kolaborasi strategis dengan sektor swasta, yang didasari oleh prinsip keadilan, efektivitas, efisiensi, dan kemampuan replikasi, adalah kunci untuk membuka potensi penuh daerah ini. Dengan warisan budaya yang tak ternilai dan keindahan alam yang memukau, Toraja Utara berhak menjadi destinasi pariwisata kelas dunia, dan PPP adalah salah satu jembatan menuju visi tersebut.
Sumber Artikel:
Tesis ini berjudul "Public Private Partnership dalam Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Toraja Utara" dan merupakan karya oleh Muhammad Hidayat Djabbari, dengan nomor mahasiswa E012191006. Tesis ini diajukan dan dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Program Magister Program Studi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar, pada tanggal 30 April 2021.