Transformasi Digital

Digitalisasi untuk Transisi Keberlanjutan: Rekomendasi Kebijakan Publik bagi Organisasi Sektor Publik

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 08 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Artikel Digitalization and Sustainability Transitions in Public Sector Organizations menegaskan bahwa digitalisasi di sektor publik bukan sekadar alat efisiensi, tetapi bagian dari strategi nasional menuju pembangunan berkelanjutan.

Di era perubahan iklim dan krisis global, organisasi publik menghadapi tuntutan untuk beradaptasi lebih cepat, melayani lebih inklusif, dan tetap selaras dengan SDGs. Digitalisasi memberi peluang itu—namun, jika salah arah, justru bisa memperlebar kesenjangan digital, menciptakan beban baru, atau bahkan memperkuat birokrasi kaku.

Bagi pembuat kebijakan, digitalisasi bukan hanya soal teknologi, tapi tentang governance, kepemimpinan, transparansi, dan keadilan akses.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

  1. Dampak Positif

    • Efisiensi Layanan Publik: Digitalisasi mempercepat layanan administratif, memotong rantai birokrasi panjang, dan menekan biaya.

    • Transparansi & Akuntabilitas: Sistem digital memudahkan monitoring kinerja, sehingga potensi korupsi lebih terkendali.

    • Dukungan Agenda Hijau: Pengurangan penggunaan kertas, transportasi fisik, dan energi tak efisien mendukung target dekarbonisasi.

  2. Hambatan Nyata

    • Kesenjangan Infrastruktur: Daerah terpencil sering kali tertinggal dalam akses internet dan perangkat digital.

    • Kapasitas SDM: Pegawai publik banyak yang masih gagap teknologi, sehingga butuh pelatihan intensif.

    • Fragmentasi Regulasi: Kebijakan digital yang tidak terkoordinasi menyebabkan tumpang tindih program antar kementerian.

  3. Peluang Strategis

    • E-Governance & Smart City: Data besar dapat digunakan untuk manajemen lalu lintas, energi, kesehatan, hingga mitigasi bencana.

    • Kolaborasi Inovatif: Pemerintah bisa menggandeng sektor swasta dan universitas untuk membangun ekosistem digital hijau.

    • Optimasi Supply Chain: Teknologi digital mendukung efisiensi logistik, sesuai dengan Pemodelan Rantai Pasok yang mengajarkan manajemen rantai pasok berkelanjutan.

  4. Contoh Global

    • Estonia: 99% layanan publik online, menghemat biaya hingga miliaran euro per tahun.

    • Singapura (Smart Nation): Digitalisasi dipakai untuk efisiensi energi, mobilitas berkelanjutan, dan perencanaan kota pintar.

    • Finlandia: Menjadikan digitalisasi sebagai bagian dari strategi net-zero emission.

5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis

  1. Roadmap Nasional Digitalisasi–Keberlanjutan
    Harus ada strategi lintas kementerian yang menjadikan digitalisasi sebagai tulang punggung pencapaian SDGs, bukan hanya efisiensi birokrasi.

  2. Peningkatan Kapasitas SDM Publik
    Pelatihan digital perlu menjadi prioritas nasional. Aparatur negara harus dibekali kemampuan teknis sekaligus wawasan keberlanjutan. 

  3. Investasi Infrastruktur Digital Hijau
    Bangun pusat data hemat energi, jaringan fiber optik ramah lingkungan, serta infrastruktur digital berbasis energi terbarukan.

  4. Kerangka Regulasi Terpadu
    Regulasi harus menghubungkan digitalisasi dengan target lingkungan, termasuk green IT standards, perlindungan data publik, dan integrasi SDGs.

  5. Kolaborasi Multipihak untuk Inovasi SDGs
    Dorong kemitraan antara pemerintah, swasta, LSM, dan kampus dalam menciptakan solusi digital hijau. Pemerintah bisa mengadopsi pola public-private partnership untuk mempercepat implementasi teknologi.

Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius

Jika kebijakan digital tidak diarahkan ke keberlanjutan, ada risiko besar:

  • Kesenjangan Digital makin melebar antara pusat dan daerah.

  • Proyek Teknologi Jangka Pendek tanpa dampak nyata pada SDGs.

  • Ketidakselarasan Nasional & Global, di mana digitalisasi gagal mendukung komitmen internasional Filipina terhadap Agenda 2030.

Penutup: Relevansi Strategis untuk Filipina

Digitalisasi sektor publik adalah alat strategis untuk governance hijau, efisien, dan inklusif. Filipina memiliki peluang untuk meniru praktik sukses global sekaligus menyesuaikan dengan konteks lokal.

Kuncinya adalah:

  • Roadmap digital berkelanjutan,

  • SDM yang kompeten digital & hijau,

  • Infrastruktur ramah lingkungan,

  • Regulasi terpadu,

  • Kolaborasi lintas sektor.

Dengan langkah ini, Filipina bisa menjadikan digitalisasi bukan hanya transformasi administratif, tetapi motor penggerak utama transisi keberlanjutan.

Sumber

Digitalization and Sustainability Transitions in Public Sector Organizations: A Systematic Literature Review, 2024.

Selengkapnya
Digitalisasi untuk Transisi Keberlanjutan: Rekomendasi Kebijakan Publik bagi Organisasi Sektor Publik

Estimasi

Efficient Design of Lifetime Tests to Estimate Product Reliability

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025


Pendahuluan: Tantangan Utama dalam Pengujian Umur Produk

Dalam dunia industri modern, di mana kualitas dan keandalan menjadi tolok ukur utama daya saing produk, metode pengujian umur produk (lifetime testing) memegang peran vital. Tesis karya Marije J. Pronk berjudul "Efficient Design of Lifetime Tests to Estimate Product Reliability" (2010), yang disusun di bawah bimbingan Universitas Twente dan mitra industri CQM, menghadirkan pendekatan strategis dalam merancang pengujian umur produk yang efisien. Resensi ini akan membedah isi tesis tersebut secara mendalam, mengungkap nilai tambah, dan membandingkannya dengan tren industri terkini agar lebih aplikatif bagi praktisi.

H2: Konteks Industri dan Signifikansi Penelitian

Pengujian keandalan (reliability testing) bukan sekadar evaluasi performa jangka panjang, tetapi juga investasi besar dalam hal waktu, biaya, dan sumber daya. Dalam banyak kasus, perusahaan menghadapi dilema: seberapa lama dan seberapa banyak sampel perlu diuji untuk mencapai estimasi keandalan yang bisa diandalkan?

Pronk menyoroti pentingnya efisiensi dalam pengujian ini. Tujuan utamanya adalah mengembangkan strategi pengujian yang meminimalkan biaya serta waktu tanpa mengurangi estimasi keandalan produk dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Pendekatan ini sangat relevan di industri dengan siklus hidup produk yang pendek dan tekanan time-to-market tinggi, seperti elektronik konsumen dan otomotif.

H2: Metodologi Utama dan Inovasi Pendekatan

H3: Eksplorasi Metode Censoring

Salah satu elemen penting dalam tesis ini adalah pemanfaatan teknik censoring dalam eksperimen, khususnya type I censoring (berhenti pada waktu tertentu) dan type II censoring (berhenti setelah jumlah kegagalan tertentu terjadi). Pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk menghentikan pengujian lebih awal tanpa kehilangan validitas statistik.

Misalnya, dalam pengujian 20 perangkat dengan batas waktu 1.000 jam, jika 15 perangkat masih berfungsi pada akhir waktu, maka data dari perangkat yang belum gagal bisa tetap digunakan untuk mengestimasi keandalan secara statistik. Ini menghemat waktu tanpa mengorbankan akurasi.

H3: Optimasi Ukuran Sampel dan Waktu Uji

Dengan membandingkan metode berdasarkan ukuran sampel, batas waktu pengujian, dan tingkat kepercayaan (confidence level), Pronk menunjukkan bagaimana parameter-parameter ini saling mempengaruhi. Dalam simulasi Monte Carlo yang dilakukan, semakin tinggi tingkat kepercayaan yang diinginkan, semakin besar pula ukuran sampel yang diperlukan jika waktu pengujian tetap.

Sebagai contoh, untuk mencapai tingkat kepercayaan 95% terhadap MTBF (mean time between failures), jumlah unit uji yang diperlukan lebih dari dua kali lipat dibandingkan bila hanya menargetkan 80%, dengan asumsi waktu pengujian yang sama.

H2: Studi Kasus dan Simulasi: Validasi Realistis

Dalam tesis ini, Pronk menggunakan simulasi berbasis distribusi eksponensial, model yang umum dalam failure analysis untuk mengevaluasi efektivitas strategi censoring. Hasilnya menunjukkan bahwa type I censoring memberikan fleksibilitas yang tinggi, terutama ketika ada kendala waktu.

Selain itu, ia menunjukkan bahwa pengujian dengan batas waktu singkat namun melibatkan sampel berukuran besar dapat memberikan hasil yang setara dengan pengujian jangka panjang menggunakan unit lebih sedikit, asalkan distribusi kegagalan yang diasumsikan selaras dengan kondisi nyata.

H2: Implikasi Industri: Dari Teori ke Praktik

H3: Efisiensi Biaya dan Sumber Daya

Dengan mengintegrasikan hasil simulasi ke dalam pengambilan keputusan, perusahaan dapat menentukan kapan pengujian bisa dihentikan secara statistik tanpa menunggu semua produk gagal. Pendekatan ini mengurangi:

  • Biaya peralatan: Lebih sedikit waktu berarti lebih sedikit pemakaian alat uji.
  • Lead time produk: Hasil lebih cepat berarti bisa mempercepat validasi produk.
  • Risiko over-testing: Menghindari pengujian yang tidak perlu terhadap produk yang kemungkinan besar tidak akan gagal dalam periode pengujian.

H3: Aplikasi pada Produk Konsumen Cepat

Untuk industri seperti smartphone atau perangkat wearable, yang memiliki siklus hidup pendek, hasil tesis ini sangat relevan. Mengandalkan type I censoring memungkinkan perusahaan untuk membuat keputusan cepat tentang kelayakan produk sebelum peluncuran pasar massal.

H2: Kritik dan Nilai Tambah: Di Mana Tesis Ini Bisa Lebih Kuat?

H3: Asumsi Distribusi Eksponensial

Salah satu asumsi utama dalam model Pronk adalah bahwa waktu kegagalan mengikuti distribusi eksponensial, yang berarti tingkat kegagalan konstan sepanjang waktu. Namun, dalam kenyataan, banyak produk mengikuti distribusi Weibull di mana tingkat kegagalan meningkat atau menurun seiring waktu.

Jika distribusi yang digunakan tidak sesuai dengan karakteristik kegagalan sebenarnya, estimasi keandalan dapat bias. Akan lebih kuat jika tesis ini juga menguji sensitivitas model terhadap variasi distribusi kegagalan.

H3: Tidak Adanya Data Lapangan Nyata

Tesis ini sepenuhnya berbasis simulasi. Meskipun simulasi memberikan kontrol tinggi dan fleksibilitas, integrasi data kegagalan nyata dari perusahaan mitra (CQM) akan memperkuat validitas model dan meningkatkan aplikabilitasnya dalam dunia nyata.

H2: Perbandingan dengan Penelitian Lain

Studi Pronk sejalan dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Meeker & Escobar (1998), yang juga menekankan pentingnya censoring dalam pengujian keandalan. Namun, Pronk membedakan dirinya dengan fokus kuat pada efisiensi biaya dan waktu, menjadikannya lebih relevan untuk industri masa kini yang serba cepat.

Berbeda dengan literatur keandalan klasik yang menekankan pada “akurasi sempurna”, Pronk menawarkan pendekatan pragmatis: bagaimana merancang pengujian yang cukup andal untuk mendukung pengambilan keputusan, tanpa pemborosan waktu maupun biaya.

H2: Implikasi ke Masa Depan: Testing yang Adaptif dan Agile

Tesis ini menyiratkan pergeseran paradigma dalam pengujian produk: dari proses statis dan panjang ke proses adaptif dan berbasis data. Dengan integrasi teknologi digital, seperti sensor pintar dan pemantauan berbasis IoT, pendekatan censoring dapat semakin dioptimalkan.

Bayangkan jika unit pengujian dapat memberikan data real-time tentang tekanan, suhu, dan performa operasional. Sistem bisa secara otomatis menghentikan pengujian begitu ambang kepercayaan statistik tercapai. Ini akan membawa pengujian ke era otomatisasi penuh dan efisiensi maksimal.

Kesimpulan: Praktik Terbaik Pengujian Umur Produk yang Lebih Cerdas

Marije Pronk melalui tesis ini berhasil memberikan pendekatan sistematis dan aplikatif terhadap tantangan dalam pengujian umur produk. Dengan mengombinasikan prinsip censoring, statistik, dan simulasi Monte Carlo, ia menunjukkan bahwa kita tidak perlu mengorbankan efisiensi demi akurasi, dengan strategi tepat, keduanya bisa dicapai.

Rekomendasi untuk industri:

  • Gunakan type I censoring untuk produk dengan time-to-market tinggi.
  • Pertimbangkan distribusi Weibull untuk produk dengan fase "infant mortality" atau "wear-out".
  • Integrasikan data sensor dan pemantauan real-time untuk menciptakan sistem pengujian adaptif.

Dengan pendekatan semacam ini, perusahaan tidak hanya bisa menghemat biaya dan waktu, tetapi juga meningkatkan kecepatan inovasi, suatu faktor krusial dalam persaingan pasar saat ini.

Sumber:
Marije J. Pronk (2010). Efficient Design of Lifetime Tests to Estimate Product Reliability. Master Thesis, University of Twente.
[DOI belum tersedia secara daring – salinan arsip pribadi]

Selengkapnya
Efficient Design of Lifetime Tests to Estimate Product Reliability

Ketenagakerjaan

Mempersiapkan Tenaga Kerja Era AI: Lima Rekomendasi Kebijakan Publik untuk Masa Depan Pekerjaan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 08 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Artificial Intelligence (AI) kini menempati posisi strategis dalam ekonomi global. Tidak hanya menjadi alat efisiensi produksi, tetapi juga pendorong transformasi sosial dan industri. Artikel AI in the Workforce: Preparing for Tomorrow’s Jobs menunjukkan bahwa adopsi AI di Filipina bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan.

Pemerintah harus menyadari bahwa isu ini melampaui ranah teknologi; ia menyentuh dimensi sosial (perlindungan pekerja), ekonomi (daya saing industri), pendidikan (kurikulum baru), dan etika (perlindungan privasi serta keadilan algoritmik). Tanpa regulasi, AI berpotensi memperdalam ketimpangan sosial: segelintir orang dengan akses teknologi mendapat manfaat besar, sementara mayoritas berisiko kehilangan pekerjaan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

  1. Dampak Positif

    • Efisiensi dan Produktivitas: Proses manufaktur dan layanan publik dapat berjalan lebih cepat dengan biaya rendah.

    • Lapangan Kerja Baru: Profesi baru di bidang analisis data, keamanan siber, dan manajemen sistem AI mulai bermunculan.

    • Peningkatan Kualitas Layanan: Layanan kesehatan berbasis AI mampu mempercepat diagnosis, sementara sektor finansial bisa memprediksi risiko kredit lebih akurat.

  2. Dampak Negatif

    • Penggantian Pekerjaan Rutin: Profesi administratif, customer service, hingga operator manual sangat rentan otomatisasi.

    • Ketimpangan Digital: Masyarakat yang tidak memiliki literasi digital akan semakin tertinggal.

    • Risiko Sosial-Etika: AI tanpa regulasi bisa melanggengkan bias gender, etnis, atau status sosial.

  3. Hambatan Nyata di Filipina

    • Akses Pendidikan Terbatas: Kurangnya kurikulum berbasis AI di sekolah dan perguruan tinggi.

    • Infrastruktur Digital: Jaringan internet di daerah pedesaan belum merata, menghambat pemanfaatan AI.

    • Regulasi Minim: Belum ada standar etis dan hukum yang kuat mengenai penggunaan data dan algoritma.

  4. Peluang Strategis

    • Membangun Knowledge Economy: Filipina bisa menggeser ekonominya dari berbasis tenaga kerja murah menuju ekonomi digital bernilai tinggi.

    • Kolaborasi Publik-Swasta: Universitas, pemerintah, dan sektor swasta dapat bersinergi dalam membangun center of excellence di bidang AI.

    • Pelatihan Massal: Program upskilling dan reskilling bisa menjadikan pekerja lebih adaptif.

5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis

  1. Desain Kurikulum Pendidikan Nasional yang Visioner
    Pemerintah harus menanamkan literasi digital, coding, dan pemahaman etika teknologi sejak sekolah dasar. Di level perguruan tinggi, perlu ada program khusus AI dan data science. Hal ini relevan dengan Dasar-Dasar Artificial Intelligence sebagai fondasi pengetahuan.

  2. Program Nasional Upskilling dan Reskilling Tenaga Kerja
    Gelombang otomatisasi akan berdampak langsung pada pekerja menengah dan bawah. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran khusus untuk pelatihan ulang berskala besar, misalnya dalam bentuk voucher training. Skema ini bisa diperkaya melalui pelatihan daring, seperti kursus AI di Diklatkerja.

  3. Kerangka Regulasi Etika dan Keamanan Data AI
    Perlu regulasi yang mencegah diskriminasi algoritmik, melindungi privasi pekerja, dan mengatur akuntabilitas sistem otomatis. Badan pengawas independen untuk teknologi AI bisa dibentuk agar regulasi bersifat adaptif.

  4. Mendorong Industri AI Lokal dan Inovasi Startup
    Filipina harus mengembangkan ekosistem startup AI lokal dengan memberikan insentif fiskal, grant research, serta tech hub. Langkah ini bukan hanya memperkuat industri, tapi juga menciptakan lapangan kerja baru. Penelitian bisa diarahkan ke bidang strategis seperti big data analytics, healthcare AI, atau computer vision, relevan dengan Computer Vision in Big Data Applications.

  5. Kolaborasi Regional dan Internasional
    Filipina perlu menjalin kerja sama dengan ASEAN maupun mitra global dalam bidang regulasi, penelitian, dan inovasi. Hal ini akan mempercepat transfer pengetahuan sekaligus menyiapkan pekerja lokal untuk pasar tenaga kerja global.

Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius

Jika pemerintah hanya mengandalkan mekanisme pasar, adopsi AI bisa memperparah dual economy: pekerja terampil makin kaya, sementara pekerja tidak terampil kehilangan pekerjaan. Tanpa regulasi etis, AI dapat memperburuk ketidakadilan sosial. Negara lain yang lebih cepat mengadopsi AI juga bisa menarik investasi yang seharusnya masuk ke Filipina.

Penutup: Relevansi Strategis untuk Filipina

Artikel ini menegaskan bahwa AI adalah fondasi ekonomi masa depan. Dengan strategi kebijakan publik yang tepat, Filipina bisa memanfaatkan AI untuk mendorong produktivitas, menciptakan lapangan kerja baru, serta memperkuat daya saing global.

Namun keberhasilan ini hanya mungkin jika ada komitmen politik, koordinasi lintas sektor, dan investasi serius pada manusia, bukan sekadar teknologi.

Sumber

Institute of Integrated Electrical Engineers of the Philippines, The Electrical Engineer, April/August 2024 Issue.

Selengkapnya
Mempersiapkan Tenaga Kerja Era AI: Lima Rekomendasi Kebijakan Publik untuk Masa Depan Pekerjaan

Teknologi Pertanian

Strategi Adaptif Hadapi Banjir Sawah: Inovasi Pertanian Padi Menuju Ketahanan Iklim

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025


Pendahuluan: Saat Banjir Tak Lagi Musiman, tapi Sistemik

Banjir di lahan pertanian, khususnya sawah padi, bukan lagi sekedar masalah musiman. Di wilayah seperti Subang, Karawang, Sragen, dan Demak, banjir telah berubah menjadi ancaman tahunan terhadap sistem. Tak hanya menghambat pertumbuhan tanaman, banjir juga memutus rantai produksi pangan, memicu kerugian ekonomi masif, dan memperparah ketimpangan petani.

Dalam konteks inilah, kajian yang dilakukan Abdul Karim Makarim dan Ikhwani mengambil posisi penting. Menggabungkan pendekatan ilmiah, simulasi matematik, serta pengalaman lapangan, penelitian ini menyuguhkan strategi dan inovasi konkret untuk mengurangi kerugian usahatani padi akibat banjir.

Dampak Banjir: Dari Hasil Menurun hingga Pendapatan Terpangkas

Kehilangan Data Produksi

Banjir selama periode 2006–2010 menurunkan hasil padi sebesar:

  • 2,5 ton/ha di Jawa Barat
  • 3,0 ton/ha di Jawa Tengah

Pendapatan petani pun diperkirakan hingga Rp6,5–7 juta per hektar. Total kerugian produksi diperkirakan mencapai:

  • 10–46 ribu ton gabah kering panen (GKP)
  • Senilai Rp24–112 miliar/tahun

Tanpa tindakan adaptasi, kerugian ini diproyeksi meningkat menjadi:

  • 12–58 ribu ton GKP
  • Senilai Rp30–140 miliar pada 2015

Faktor Penyebab: Iklim, Hidrologi, dan Agronomi

Penelitian ini mengidentifikasi tiga penyebab utama banjir di sawah:

1. Iklim

Fenomena seperti El Niño, La Niña, IOD, dan MJO membuat curah hujan menjadi ekstrem dan tak menentu. Tren pemanasan global—yang dalam seratus tahun terakhir mencatat kenaikan suhu rata-rata 0,74°C—kian memperkuat ketidakstabilan ini.

2. Hidrologi

Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sistem drainase menyebabkan udara tidak bisa mengalir dengan lancar. Endapan di saluran irigasi, pertumbuhan eceng gondok, serta jembatan sempit memperparah banjir.

3. Agronomi

Kebutuhan udara tanaman yang tidak seimbang dengan ketersediaannya menyebabkan stres udara. Jika pasokan air melampaui kebutuhan, banjir merusak tanaman; sebaliknya, bila pasokan lebih rendah, kekeringan terjadi. Dalam kedua kondisi, produktivitas padi terancam.

Studi Kasus Jawa Barat & Jawa Tengah: Dampak Langsung dan Strategi Petani

Wilayah Jawa Barat: Karawang, Subang, dan Indramayu

Saluran pembuangan udara yang menyempit karena pengendapan lumpur merupakan salah satu penyebab utama banjir dimana sistem drainase tidak mampu mengatasi limpasan dari desa-desa di hulu. Saat musim hujan (Januari–Februari), banjir sering terjadi.

Petani biasanya menanam dua kali:

  • Musim I (Des–Jan): selalu terkena banjir.
  • Musim II (Mei–Juni): relatif aman namun rawan kekeringan.

Hama seperti keong mas semakin ganas saat banjir. Dalam rendaman udara, mereka bergerak cepat dan memangsa padi muda.

Wilayah Jawa Tengah: Sragen, Demak, dan Pati

Banjir menyebabkan puso (gagal panen) hingga 20 hari. Luapan sungai, tanggul jebol, dan saluran irigasi lebih tinggi dari lahan sawah memperparah kondisi.

Petani mencoba berbagai strategi:

  • Menggeser waktu tanam lebih awal.
  • Menggunakan bibit tua agar lebih tahan rendaman.
  • Membangun saluran pembuangan sendiri secara swadaya, meski belum permanen.

Solusi Adaptif: Inovasi Teknologi dan Budaya Bertani

1. Penggunaan Varietas Tahan Rendaman

Varietas seperti Inpara 3, 4 (Swarna Sub-1), dan Inpara 5 (IR64 Sub-1) mampu bertahan 10–14 hari dalam rendaman. Ini jauh lebih baik dibandingkan varietas biasa yang hanya tahan 4–7 hari.

2. Perbaikan Teknik Pemupukan

Penggunaan pupuk slow release atau briket nitrogen terbukti menekan kehilangan unsur hara akibat banjir. Waktu pemupukan yang tepat juga berkontribusi pada pemulihan tanaman.

3. Penataan Pola Tanah

  • Evaluasi rotasi tanaman satu musim.
  • Pengaturan jarak tanam dan populasi agar tanaman lebih cepat pulih pasca banjir.
  • Menunda tanam jika prakiraan cuaca menunjukkan potensi banjir.

4. Penanganan Hama Adaptif

Strategi pengendalian keong mas disesuaikan kondisi:

  • Banjir : manual atau pestisida di saluran ditampilkan.
  • Normal : pembersihan rutin dan pengelolaan ekosistem udara.

Model Simulasi: RENDAMAN.CSM

Model ini dikembangkan untuk menyiarkan dampak rendaman banjir pada hasil padi. Hasil simulasi menunjukkan:

  • VUB (varietas unggul biasa) hasil panen turun drastis setelah 6 hari rendaman (dari 5,77 ton/ha menjadi 3,13 ton/ha).
  • VTR (varietas tahan rendaman) mampu mempertahankan hasil meski direndam hingga 14 hari.

Simulasi ini mendukung kebijakan perencanaan berbasis data, khususnya dalam menentukan jadwal tanam dan distribusi varietas tahan.

Proyeksi Kerugian: 2020 Menjadi Titik Krisis

Menurut model, jika tidak ada kondisi:

  • Luas sawah yang terkena banjir meningkat hingga 1,3× pada tahun 2020.
  • Produksi yang hilang di tiga kabupaten (Subang, Karawang, Indramayu) mencapai >138 ribu ton GKP.
  • Total kerugian yang diprediksi mencapai >Rp354 miliar hanya dalam satu tahun.

Strategi Kebijakan: Prioritas, Keterpaduan, dan Partisipasi

Studi ini merekomendasikan tiga pilar strategi kebijakan:

a. Prioritas Wilayah

Area identifikasi dengan kerusakan DAS berat, drainase buruk, dan pusat produksi padi.

b. Langkah Sistematis

  • Jadwal tanam berbasis prakiraan iklim.
  • Penyesuaian komoditas sesuai debit udara.
  • Perbaikan mikro tata air dan infrastruktur saluran.

c. Sinergi Lintas Sektor

Pemerintah daerah, kelompok tani, dinas pertanian, dan pengairan perlu duduk bersama menyusun protokol darurat banjir dan kekeringan.

Opini dan Perbandingan: Dari Strategi Lokal ke Agenda Nasional

Studi ini layak diapresiasi karena menyatukan dimensi teknis, sosial, dan ekologi. Dibandingkan penelitian serupa di Vietnam dan Bangladesh, Indonesia relatif tertinggal dalam penerapan varietas tahan banjir dalam skala luas. Padahal, menurut IRRI, varietas seperti Swarna Sub-1 dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional secara signifikan.

Indonesia juga perlu mencontohkan India, yang berhasil membangun pusat prediksi banjir berbasis satelit untuk menjadwalkan tanam dan mendistribusikan benih.

Kesimpulan: Banjir Tak Bisa Dihindari, Tapi Bisa Diantisipasi

Penelitian ini menegaskan bahwa banjir memang akan terus datang. Namun, dengan strategi adaptif, teknologi inovatif, dan kolaborasi lintas sektor, dampaknya dapat ditekan secara signifikan.

Usahatani padi bukan hanya tentang tanam dan panen, tetapi juga tentang memahami iklim, mengelola risiko, dan bersiap menghadapi masa depan yang semakin tak pasti.

Sumber:

Makarim, AK, & Ikhwani. (2011). Inovasi dan Strategi untuk Mengurangi Pengaruh Banjir pada Usahatani Padi . Jurnal Tanah dan Lingkungan, 13(1), 35–41.

Selengkapnya
Strategi Adaptif Hadapi Banjir Sawah: Inovasi Pertanian Padi Menuju Ketahanan Iklim

Banjir Semarang

Mengukur Efektivitas Polder di Semarang: Studi Kinerja Drainase Kota dengan Balanced Scorecard

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025


Pendahuluan: Antara Perluasan Kota dan Ancaman Air

Sebagai kota pesisir sekaligus ibu kota Provinsi Jawa Tengah, Semarang menghadapi tekanan ganda: pesatnya urbanisasi di satu sisi, dan ancaman banjir serta rob di sisi lain. Di kawasan seperti Tambakmulyo, Tanjung Mas, dan Bandarharjo tercatat penurunan muka tanah mencapai rata-rata 40 cm per tahun. Pemerintah merespons kondisi ini melalui pembangunan sistem polder sebagai solusi struktural utama.

Namun, sejauh mana efektivitas sistem polder yang kini terdapat empat (Polder Tanah Mas, Banger, Kali Semarang, dan Tawang) dalam mengendalikan banjir dan rob?

Untuk menjawabnya, Nugroho dkk. mencakup kinerja keempat polder dengan pendekatan strategi manajemen populer, Balanced Scorecard (BSC),sebuah alat ukur komprehensif yang tidak hanya menilai aspek teknis, tetapi juga menimbang kepuasan pengguna, kapasitas keuangan, hingga pembelajaran dan pengembangan sistem.

Apa Itu Sistem Polder dan Mengapa Penting?

Sistem polder adalah sistem pengelolaan tata udara terpadu di dataran rendah. Komponennya meliputi:

  • Kolam retensi
  • Drainase
  • Tanggul
  • Pompa air
  • Pintu air

Sistem ini memungkinkan kawasan di bawah permukaan laut tetap kering melalui manajemen udara aktif. Di kota-kota seperti Rotterdam, Belanda, sistem ini telah terbukti menyelamatkan jutaan meter persegi dari penampungan udara.

Semarang pun meniru strategi ini, dan mulai mengembangkan polder sejak dua dekade terakhir. Tetapi seiring berjalannya waktu, muncul masalah: beberapa polder tidak terpelihara, kolam dipenuhi sampah, masyarakat tidak merasa memiliki, bahkan sebagian, seperti Polder Tawang, beralih fungsi menjadi arena prostitusi dan perdagangan informal.

Metodologi: Mengukur Kinerja dengan Balanced Scorecard

Balanced Scorecard (Kaplan & Norton, 1992) mengukur kinerja organisasi dari empat perspektif:

  1. Keuangan
  2. Kepuasan pengguna
  3. Proses internal
  4. Pembelajaran dan pengembangan

Penelitian ini menambahkan perspektif kelima: kinerja badan pengelola, dengan pendekatan kuantitatif menggunakan bobot Analytic Hierarchy Process (AHP) dan kuisioner lapangan.

Nilai akhir dihitung dari skor setiap indikator di lima bidang kinerja, lalu ditotal untuk menentukan polder mana yang paling ideal dari sisi manajemen, teknis, dan sosial.

Hasil Penilaian: Siapa yang Unggul?

1. Polder Tanah Mas – Skor: 73,81

✅ Nilai tertinggi secara keseluruhan. Dikelola oleh paguyuban masyarakat (P5L), menunjukkan kemandirian finansial dan pengelolaan demokratis.
❌ Nilai “pembelajaran dan pengembangan” masih lemah.

2. Polder Banger – Skor: 67,21

✅ Terencana sejak awal. Nilai tinggi dalam proses internal dan badan pengelola.
❌ Namun, kepuasan pengguna masih rendah karena belum berfungsi sempurna.

3. Polder Kali Semarang – Skor: 58,70

✅ Memiliki sistem operasional yang cukup stabil.
❌ Nilai keuangan dan partisipasi masyarakat rendah.

4. Polder Tawang – Skor: 58,65

✅ Nilai pengguna cukup tinggi.
❌ Kondisi kolam retensi memprihatinkan—tidak higienis, tidak aman, dan minim fungsi edukatif maupun estetika.

Analisis Tambahan: Apa yang Menentukan Kinerja?

Faktor Penentu Kinerja Tinggi:

  • Badan pengelola yang legal, aktif, dan inklusif.
  • Partisipasi masyarakat dalam operasional dan dana.
  • Pemeliharaan rutin dan SOP pengendalian udara yang jelas.
  • Sistem pengarsapan, pemantauan kualitas udara, dan tanggapan terhadap keluhan.

Masalah Umum:

  • Keterbatasan dana operasional. Banyak polder yang masih tergantung APBD.
  • Kurangnya edukasi dan peran serta warga.
  • Tidak semua polder punya rencana jangka panjang.

Opini dan Perbandingan: Belajar dari Model Luar Negeri

Semarang bisa belajar dari:

  • Rotterdam : kolaborasi antara warga, pemerintah, dan sektor swasta menjadi dasar sistem drainase adaptif dan cerdas.
  • Tokyo : memiliki sistem monitoring rob otomatis dan tanggul bawah tanah raksasa.
  • Jakarta : proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) yang menggabungkan polder, tanggul laut, dan reklamasi.

Namun kunci keberhasilannya tetap satu: keterlibatan masyarakat secara aktif.

Saran untuk Semarang: Menuju Pengelolaan Polder Berbasis Komunitas

  1. Legalitas dan profesionalisasi badan pengelola harus menjadi syarat mutlak setiap pembangunan polder baru.
  2. Transparansi dana dan partisipasi warga dalam operasional menjamin kepunahan.
  3. Fungsi edukatif dan rekreatif kolam retensi perlu diaktifkan untuk mencegah perubahan fungsi sosial negatif.
  4. Insentif untuk warga yang berpartisipasi aktif dalam pemeliharaan, misalnya lewat diskon iuran atau program padat karya.

Kesimpulan: Infrastruktur Tak Cukup, Manajemen Adalah Kunci

Polder sebagai teknologi bisa dibangun dengan cepat. Namun pengelolaannya—baik dari aspek keuangan, teknis, maupun sosial—menentukan apakah sistem ini berhasil atau gagal. Studi Nugroho dkk. menunjukkan bahwa model berbasis masyarakat seperti di Tanah Mas adalah yang paling ideal.

Pengendalian perampokan dan banjir bukan hanya urusan teknokrat, tetapi juga partisipasi warga, visi jangka panjang, dan keberanian mengadopsi manajemen modern seperti Balanced Scorecard.

Sumber:

Nugroho, H., Kurniani, D., Asiska, M., & Nuraini. (2016). Kajian Kinerja Sistem Polder sebagai Model Pengembangan Drainase Kota Semarang Bagian Bawah dengan Balanced Scorecard . Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, 22(1), 43–50.

Selengkapnya
Mengukur Efektivitas Polder di Semarang: Studi Kinerja Drainase Kota dengan Balanced Scorecard

Inovasi Teknologi

Resensi Konseptual dan Reflektif: Investigating the Nexus between Green Transformational Leadership, Green Innovation, and Environmental Performance

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 08 September 2025


Pendahuluan

Artikel “Investigating the Nexus between Green Transformational Leadership, Green Innovation, and Environmental Performance” (Ibrahim A. Elshaer, Hazem Rasheed, et al., 2022) diterbitkan dalam jurnal Sustainability. Penelitian ini menguji hubungan antara kepemimpinan transformasional hijau (Green Transformational Leadership, GTL), inovasi hijau, dan kinerja lingkungan dalam konteks sektor pariwisata di Pakistan. Dengan data dari 439 manajer hotel dan analisis berbasis Partial Least Squares-Structural Equation Modeling (PLS-SEM), studi ini berupaya menjawab bagaimana gaya kepemimpinan pro-lingkungan dapat mendorong inovasi dan hasil lingkungan yang lebih baik.

Resensi ini menafsirkan ulang seluruh isi paper dengan pendekatan konseptual dan reflektif, menyoroti kontribusi ilmiah, kerangka teori, narasi argumentatif, serta mengkritisi metodologi yang digunakan.

Kerangka Teori: Kepemimpinan dan Keberlanjutan

Transformational Leadership dan Variannya

Dasar teoritis penelitian adalah teori transformational leadership yang dipopulerkan oleh Bass. Kepemimpinan ini menekankan pengaruh karismatik, inspirasi, stimulasi intelektual, dan perhatian individual. Artikel ini mengembangkan varian green transformational leadership (GTL), yaitu gaya kepemimpinan yang mengarahkan visi dan nilai-nilai karyawan ke arah keberlanjutan.

Refleksi: pendekatan ini menunjukkan evolusi teori kepemimpinan—dari orientasi kinerja menuju keberlanjutan lingkungan. Namun, tantangannya ialah mendefinisikan dengan tepat sejauh mana “green” berbeda dari kepemimpinan transformasional biasa.

Green Innovation

Konsep inovasi hijau merujuk pada adopsi produk, proses, atau praktik baru yang mengurangi dampak lingkungan. Penulis menekankan dua jenis:

  • Green product innovation (misalnya desain ramah lingkungan).

  • Green process innovation (misalnya teknologi hemat energi).

Interpretasi saya: inovasi hijau diposisikan sebagai jembatan antara kepemimpinan hijau dan hasil lingkungan. Ini konsisten dengan literatur inovasi yang menempatkan proses kreatif sebagai mediator utama.

Environmental Performance

Kinerja lingkungan diukur melalui indikator seperti pengurangan limbah, efisiensi energi, dan kepatuhan terhadap regulasi. Penulis melihatnya sebagai hasil akhir dari interaksi antara GTL dan inovasi hijau.

Metodologi

Desain dan Sampel

Penelitian menggunakan desain kuantitatif survei. Data dikumpulkan dari 439 manajer hotel di Pakistan, dengan tingkat respons 73%. Jumlah ini memadai untuk model PLS-SEM.

Analisis Statistik

  • PLS-SEM dipilih karena cocok untuk model prediktif dan variabel laten.

  • Validitas konvergen dan diskriminan diuji.

  • Reliabilitas konstruk dikonfirmasi (Cronbach’s alpha > 0,70).

Refleksi metodologis: PLS-SEM tepat digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal dalam model kompleks. Namun, pendekatan cross-sectional membatasi inferensi temporal.

Hasil Empiris

Hubungan Antarvariabel

  • GTL → Green Innovation: hubungan positif signifikan (β = 0,621, p < 0,001).

  • Green Innovation → Environmental Performance: hubungan positif signifikan (β = 0,544, p < 0,001).

  • GTL → Environmental Performance: hubungan positif signifikan (β = 0,327, p < 0,001).

Interpretasi: GTL tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kinerja lingkungan, tetapi juga secara tidak langsung melalui inovasi hijau. Artinya, inovasi bertindak sebagai mediator.

Uji Mediasi

Analisis mediasi menunjukkan bahwa green innovation memediasi sebagian hubungan GTL dan kinerja lingkungan. Dengan kata lain, tanpa inovasi, pengaruh GTL tetap ada tetapi lebih lemah.

R² Model

  • Green Innovation: R² = 0,386 (cukup kuat).

  • Environmental Performance: R² = 0,417 (cukup kuat).

Refleksi teoritis: angka ini menegaskan kontribusi signifikan GTL dan inovasi dalam menjelaskan variasi kinerja lingkungan.

Diskusi Reflektif

Kontribusi Ilmiah

  1. Pengembangan konsep GTL: memperluas teori kepemimpinan transformasional ke ranah keberlanjutan.

  2. Peran inovasi hijau: dibuktikan secara empiris sebagai mekanisme kunci.

  3. Konteks pariwisata Pakistan: memberikan data dari kawasan yang jarang diteliti dalam literatur keberlanjutan.

Kritik Metodologi

  • Cross-sectional: sulit menangkap dinamika perubahan jangka panjang.

  • Self-reported data: potensi bias sosial-desirabilitas, karena manajer cenderung melaporkan perilaku pro-lingkungan.

  • Konteks terbatas: hanya industri hotel di Pakistan, sehingga generalisasi terbatas.

Narasi Argumentatif

Penulis membangun argumen dengan runtut: GTL membentuk visi hijau → karyawan berinovasi → organisasi meningkatkan kinerja lingkungan. Logika ini konsisten, meskipun cenderung linier. Refleksi saya: hubungan bisa lebih kompleks, misalnya dipengaruhi faktor eksternal (regulasi, pasar global).

Implikasi Ilmiah dan Praktis

Implikasi Ilmiah

  • Menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan dapat diposisikan sebagai variabel kunci dalam studi keberlanjutan.

  • Memvalidasi pentingnya inovasi sebagai mediator, mendukung teori difusi inovasi dalam konteks hijau.

  • Memberi dasar bagi penelitian komparatif lintas sektor dan negara.

Implikasi Praktis

  • Manajer hotel perlu menginternalisasi nilai-nilai hijau dalam kepemimpinan sehari-hari.

  • Kebijakan pariwisata dapat dirancang dengan mendorong program kepemimpinan hijau.

  • Investasi inovasi (produk dan proses) harus diprioritaskan untuk hasil lingkungan yang optimal.

Kesimpulan

Artikel ini membuktikan bahwa kepemimpinan transformasional hijau berkontribusi signifikan terhadap kinerja lingkungan, baik secara langsung maupun melalui inovasi hijau. Dengan data empiris dari sektor perhotelan Pakistan, studi ini memperluas cakrawala teori kepemimpinan dan inovasi hijau.

Secara reflektif, kontribusinya terletak pada penggabungan aspek kepemimpinan, inovasi, dan keberlanjutan dalam satu kerangka. Meski terbatas dalam konteks dan desain, penelitian ini tetap membuka jalan bagi kajian lintas disiplin tentang peran manusia dalam agenda keberlanjutan global.

DOI resmi: https://doi.org/10.3390/su141911917

Selengkapnya
Resensi Konseptual dan Reflektif: Investigating the Nexus between Green Transformational Leadership, Green Innovation, and Environmental Performance
« First Previous page 26 of 1.167 Next Last »