Konstruksi

Mengurai Akar Masalah Buruknya Kinerja Proyek Konstruksi: Studi Lapangan dan Rekomendasi dari Malaysia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025


 

Buruknya Kinerja Proyek Konstruksi: Masalah Lama yang Belum Seles

 

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia konstruksi menyaksikan pertumbuhan pesat dalam hal skala, kompleksitas, dan tuntutan teknis. Namun, satu masalah klasik tak kunjung teratasi: buruknya kinerja proyek, terutama keterlambatan dan pembengkakan biaya. Dalam konteks Malaysia, dan bisa dikatakan berlaku pula di negara berkembang lainnya seperti Indonesia, persoalan ini menjadi penghambat utama efektivitas pembangunan.

 

Tesis ini bertujuan untuk menelisik akar penyebab kinerja buruk dalam proyek konstruksi berdasarkan data lapangan dan telaah literatur, dengan fokus pada kasus-kasus di wilayah Selangor. Fokus utama adalah pada keterlambatan ekstensif, sebagai indikator kinerja buruk yang paling mencolok.

 

Metodologi: Pendekatan Indeks dan Survei Langsung

 

Penelitian ini dilakukan melalui survei kuesioner yang melibatkan berbagai aktor konstruksi, mulai dari pengembang, konsultan, hingga kontraktor utama yang pernah terlibat dalam proyek bangunan dan infrastruktur di Malaysia. Total 44 faktor penyebab kinerja buruk diidentifikasi, kemudian dikategorikan ke dalam 8 kelompok besar. Analisis dilakukan menggunakan metode indeks rata-rata (average index) untuk menentukan tingkat keparahan setiap faktor.

 

Delapan Kategori Besar Penyebab Buruknya Kinerja Proyek

 

1. Karakteristik Proyek

Kinerja buruk sering kali sudah ditentukan sejak tahap awal proyek. Proyek berskala besar dengan desain kompleks, kurangnya perencanaan detail dan jadwal yang tidak realistis merupakan pemicu utama. Beberapa proyek jalan tol, misalnya, terhambat karena desain awal yang tidak mempertimbangkan kondisi geoteknik lapangan.

 

2. Faktor Klien atau Pengembang

Peran klien ternyata sangat krusial. Ketidaktegasan dalam keputusan, perubahan spesifikasi di tengah jalan, serta lambatnya pembayaran sangat berpengaruh terhadap ritme proyek. Dalam banyak kasus, kontraktor tidak dapat melanjutkan pekerjaan karena cash flow terganggu.

 

3. Faktor Kontraktor

Kurangnya keterampilan teknis, pelatihan yang minim, dan ketidakmampuan manajerial menyebabkan keterlambatan dan kesalahan pelaksanaan. Bahkan, kontraktor yang terpilih karena penawaran terendah cenderung gagal memenuhi standar teknis.

 

4. Faktor Konsultan

Kinerja konsultan juga tak lepas dari sorotan. Desain yang tidak matang, inspeksi yang tidak disiplin, hingga komunikasi yang lemah dengan tim lapangan menyebabkan miskomunikasi dan pekerjaan ulang. Sebagai contoh, proyek pembangunan rumah susun di Malaysia sempat terhambat karena desain arsitektur yang tidak sinkron dengan struktur.

 

5. Tenaga Kerja dan Material

Faktor ini mencakup keterlambatan pengiriman bahan, kekurangan material di lokasi, serta pekerja yang tidak kompeten atau tidak cukup jumlahnya. Bahkan, 54% kegagalan konstruksi terjadi karena kualitas tenaga kerja yang rendah dan manajemen logistik yang lemah.

 

6. Hubungan Kontraktual

Permasalahan hukum dalam kontrak, seperti ketidakjelasan hak dan kewajiban antar pihak, serta kurangnya klausul penyelesaian sengketa, turut memperpanjang durasi proyek. Kontrak yang lemah sering kali menjadi sumber konflik yang berlarut.

 

7. Prosedur Pengadaan Proyek

Sistem tender yang hanya mengutamakan harga terendah sering kali menjadi jebakan. Proyek diserahkan kepada pihak yang tidak memiliki kapasitas teknis memadai. Selain itu, proses lelang yang panjang dan birokratis menyebabkan proyek mundur sebelum dimulai.

 

8. Lingkungan Eksternal

Faktor cuaca, regulasi pemerintah, dan masalah sosial seperti protes warga sekitar turut menjadi penyebab. Dalam proyek jembatan antarnegara bagian, misalnya, keterlambatan izin lingkungan menyebabkan proyek tertunda hingga dua tahun.

 

Tiga Penyebab Utama Berdasarkan Hasil Survei

 

Dari 44 faktor yang dianalisis, tiga faktor teratas dengan tingkat keparahan tertinggi adalah:

 

  • Kualitas hubungan antar anggota tim proyek

Kolaborasi yang buruk antar pemilik, kontraktor, dan konsultan berpotensi menimbulkan konflik dan kesalahan eksekusi.

 

  • Sistem komunikasi antar peserta proyek

Minimnya alur informasi formal membuat keputusan penting tertunda atau tidak dipahami semua pihak.

 

  • Kemampuan memotivasi tim oleh pemimpin proyek

Kurangnya jiwa kepemimpinan menyebabkan moral kerja menurun dan produktivitas terganggu.

 

Rekomendasi Perbaikan untuk Industri Konstruksi

 

1. Perkuat Peran Manajer Proyek sebagai Leader, Bukan Hanya Administrator

Pemimpin proyek perlu dibekali soft skills seperti komunikasi, manajemen konflik, dan motivasi tim.

 

2. Reformasi Sistem Tender

Gabungkan aspek harga dan kualifikasi teknis untuk memilih kontraktor yang benar-benar kompeten.

 

3. Audit Desain Sejak Awal

Semua dokumen desain harus diverifikasi oleh tim independen sebelum tahap pelaksanaan.

 

4. Bangun Tim Terintegrasi Sejak Pra-Konstruksi

Libatkan semua aktor proyek mulai dari klien, konsultan, hingga kontraktor dalam perencanaan agar ada rasa memiliki bersama.

 

5. Penerapan Teknologi Seperti BIM dan ERP Konstruksi

Penggunaan teknologi dapat mempercepat alur komunikasi, pemantauan progres, dan pengendalian biaya.

 

6. Standardisasi Dokumen Kontrak dengan Klausul Penyelesaian Sengketa

Kontrak harus jelas dalam mengatur hak, kewajiban, serta mekanisme alternatif penyelesaian masalah seperti mediasi dan arbitrase.

 

Kritik dan Evaluasi Studi

 

Tesis ini sangat kuat dari sisi struktur metodologi dan komprehensif dalam pengelompokan faktor. Namun, perlu dicatat beberapa keterbatasan:

  • Fokus hanya pada wilayah Selangor, sehingga generalisasi ke konteks nasional masih perlu pembuktian lebih lanjut.
  • Belum membandingkan faktor-faktor ini dengan proyek di sektor publik dan swasta secara eksplisit.
  • Tidak menyertakan variabel kultural atau politik yang bisa jadi sangat menentukan dalam proyek-proyek pemerintah.

 

Konteks Global dan Perbandingan dengan Negara Lain

 

Temuan Puspasari sejalan dengan riset di negara lain. Di Indonesia, Kaming et al. (1997) mencatat bahwa 87% proyek high-rise mengalami keterlambatan dan 86% mengalami pembengkakan biaya karena faktor serupa: tenaga kerja, logistik, dan perencanaan yang lemah.

 

Sementara itu, di Arab Saudi, Assaf & Al-Hejji (2005) menemukan bahwa kurangnya komunikasi dan perubahan desain adalah faktor utama keterlambatan. Ini menunjukkan bahwa isu-isu yang sama muncul di berbagai belahan dunia, meskipun dalam konteks lokal yang berbeda.

 

Kesimpulan: Akar Masalah Bukan pada Satu Pihak, tapi pada Sistem Kolaborasi

 

Berdasarkan temuan dalam tesis ini, penyebab buruknya kinerja proyek konstruksi tidak dapat ditimpakan kepada satu aktor saja. Sebaliknya, yang diperlukan adalah reformasi sistemik yang menyentuh seluruh siklus hidup proyek, mulai dari desain, kontraktual, hingga tahap pelaksanaan.

 

Solusi terbaik bukanlah mencari kambing hitam, melainkan memperbaiki sistem komunikasi, manajemen risiko, dan kolaborasi lintas aktor. Tesis Tatiana Rina Puspasari memberikan peta jalan yang sangat berguna bagi para pengambil keputusan, akademisi, maupun praktisi untuk mulai melakukan perbaikan dari dasar.

 

 

Sumber:

Puspasari, T. R. (2005). Factors Causing the Poor Performance of Construction Project. Master’s Thesis, Faculty of Civil Engineering, Universiti Teknologi Malaysia.

Selengkapnya
Mengurai Akar Masalah Buruknya Kinerja Proyek Konstruksi: Studi Lapangan dan Rekomendasi dari Malaysia

Limbah Kontruksi

Membedah Akar Limbah Konstruksi di Indonesia: Tantangan, Fakta, dan Jalan Menuju Nol Sampah

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025


Limbah Konstruksi: Ancaman Besar di Balik Ledakan Infrastruktur

 

Indonesia tengah berada dalam periode emas pembangunan infrastruktur. Namun, di balik pertumbuhan pesat tersebut, tersembunyi persoalan serius: limbah konstruksi. Dalam konteks inilah, artikel ilmiah karya Heni Fitriani, Saheed Ajayi, dan Sunkuk Kim (2023), yang diterbitkan di jurnal Sustainability, hadir menyajikan analisis komprehensif tentang penyebab mendasar dari limbah di sektor konstruksi Indonesia. Temuan ini menjadi kunci penting dalam upaya mendorong praktik konstruksi berkelanjutan di negara berkembang seperti Indonesia.

 

Mengapa Penelitian Ini Penting?

 

Banyak studi terdahulu fokus pada minimisasi limbah di negara maju, namun sedikit yang menggali akar permasalahan di negara berkembang. Mengingat bahwa Indonesia diprediksi menjadi salah satu pasar konstruksi terbesar dunia pada 2030, kegagalan dalam mengelola limbah konstruksi bisa menimbulkan krisis lingkungan berskala nasional.

 

Metodologi dan Sampel: Suara dari 468 Profesional Konstruksi Indonesia

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan penyebaran kuesioner daring kepada 468 responden dari berbagai peran di industri konstruksi: arsitek, manajer proyek, insinyur sipil, dosen, hingga pemasok material. Data dianalisis menggunakan analisis faktor eksploratori dan reliabilitas statistik (α = 0.893), yang menunjukkan konsistensi tinggi.

 

Delapan Akar Utama Limbah Konstruksi di Indonesia

 

1. Manajemen Lapangan dan SDM yang Buruk (14,2%)

Faktor dominan ini mencakup: distribusi tenaga kerja tidak merata, absensi tinggi, komunikasi terbatas, hingga pekerja pindah tugas sebelum menyelesaikan pekerjaan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan disiplin di proyek konstruksi. Jika dibiarkan, bisa menyebabkan rework, pemborosan waktu, dan kenaikan biaya proyek.

 

2. Kurangnya Kolaborasi Antar Pemangku Kepentingan (13,2%)

Minimnya koordinasi antara kontraktor, konsultan, dan klien memicu pengambilan keputusan yang keliru, lambannya pembayaran, dan jadwal yang tidak sinkron. Padahal, proyek konstruksi adalah kerja tim lintas entitas.

 

3. Pengelolaan Peralatan yang Tidak Efektif (9,9%)

Kesalahan dalam pemilihan dan pengoperasian alat, kelebihan alokasi alat berat, serta peralatan rusak, menjadi penyumbang besar limbah. Solusi seperti prefabrikasi dan modularisasi dapat mengurangi limbah hingga 84%.

 

4. Kelemahan dalam Manajemen Logistik Material (9%)

Penanganan material yang buruk, penggunaan bahan yang salah, dan pembelian yang tidak sesuai kebutuhan menciptakan penumpukan dan pemborosan. Kolaborasi yang kuat dengan pemasok dibutuhkan untuk menyesuaikan pengiriman dengan jadwal proyek.

 

5. Lingkungan Kerja yang Tidak Kondusif (7%)

Kondisi cuaca ekstrem, vandalisme, dan layout site yang semrawut memperbesar potensi kerusakan material dan penundaan pekerjaan. Perlu desain lapangan yang ergonomis dan aman.

 

6. Komunikasi yang Buruk di Lapangan (6,8%)

Kurangnya instruksi jelas dari mandor, kekurangan supervisor, dan lemahnya skill komunikasi memicu kesalahpahaman yang berujung pada kesalahan teknis.

 

7. Perilaku Boros dan Kurangnya Kompetensi (6,7%)

Sikap ceroboh, motivasi rendah, serta kurangnya kesadaran lingkungan menjadi indikator penting. Ini menunjukkan bahwa persoalan budaya kerja dan etika turut berkontribusi terhadap limbah.

 

8. Kurangnya Pelatihan dan Pengalaman (4,9%)

Minimnya pelatihan formal dalam manajemen limbah membuat tenaga kerja tidak paham prosedur efisien. Hal ini menyulitkan implementasi program waste reduction.

 

Analisis Tambahan dan Perbandingan Global

 

Temuan ini sejalan dengan studi di Malaysia, Tiongkok, dan Inggris. Namun, yang membedakan Indonesia adalah dominasi faktor perilaku dan manajerial ketimbang teknis. Negara-negara maju telah menerapkan kebijakan seperti site waste management plans (SWMP) yang mewajibkan tiap proyek memiliki rencana penanganan limbah sejak awal.

 

Studi Kasus Nyata: Proyek Modular di Hong Kong

 

Salah satu contoh keberhasilan adalah penggunaan komponen modular di Hong Kong yang mampu menurunkan volume limbah hingga 52%. Jika Indonesia mengadopsi prefabrikasi lebih luas, maka pengurangan limbah bisa terjadi signifikan bahkan di proyek hunian sederhana.

 

Rekomendasi Strategis bagi Industri Konstruksi Indonesia

 

  • Wajibkan Rencana Pengelolaan Limbah Proyek (SWMP)

Perlu regulasi nasional yang mewajibkan setiap proyek untuk memiliki SWMP.

 

  • Pelatihan Rutin untuk Pekerja dan Manajer Proyek

Baik tentang pengelolaan material, safety, maupun budaya kerja bersih.

 

  • Adopsi Teknologi Modern: BIM & Modularisasi

BIM bisa digunakan untuk meminimalisasi limbah sejak tahap desain.

 

  • Insentif dan Sanksi Terkait Pengelolaan Limbah

Kontraktor yang berhasil menekan limbah diberi bonus. Yang lalai, dikenai penalti.

 

  • Kolaborasi Lebih Erat dengan Pemasok Material

Pemasok dapat berperan dalam take-back scheme atau pengemasan ulang efisien.

 

Kritik terhadap Studi

 

Studi ini sangat kuat dalam metodologi, namun masih memiliki keterbatasan:

  • Data dikumpulkan hanya dari persepsi profesional, belum mencakup data lapangan aktual terkait volume limbah per proyek.
  • Belum mempertimbangkan pengaruh sistem tender dan tekanan biaya dalam praktik boros material.

 

Dampak Praktis: Menyasar Zero Waste Construction di 2045?

 

Jika Indonesia ingin menyambut era bonus demografi dengan lingkungan yang lestari, maka reformasi pengelolaan limbah konstruksi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Temuan Fitriani dkk. bisa menjadi dasar kebijakan nasional menuju konstruksi berkelanjutan. Target zero waste mungkin ambisius, tapi bukan tidak mungkin jika dimulai hari ini.

 

 

Sumber:

Fitriani, H., Ajayi, S., & Kim, S. (2023). Analysis of the Underlying Causes of Waste Generation in Indonesia’s Construction Industry. Sustainability, 15(1), 409. DOI:10.3390/su15010409

Selengkapnya
Membedah Akar Limbah Konstruksi di Indonesia: Tantangan, Fakta, dan Jalan Menuju Nol Sampah

Perencanaan Hidrologi

Menata Drainase Haruru: Solusi Terukur Atasi Banjir Permukiman Maluku Tengah

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025


Pengantar: Ketika Genangan Menjadi Ancaman Rutin

Banjir di wilayah organisasi bukan sekadar gangguan musiman, tetapi bisa menjadi bencana permanen jika sistem drainase tidak memadai. RT 21 Desa Haruru, Kecamatan Amahai, Maluku Tengah, merupakan salah satu kawasan yang sering mengalami genangan dan banjir saat hujan lebat. Ketidaksiapan infrastruktur, terutama saluran drainase, menjadi penyebab utama.

Penelitian oleh Novita Irma Diana Magrib dan Charles J. Tiwery hadir untuk memberikan solusi konkrit berbasis perhitungan teknis. Dengan menggabungkan analisis hidrologi dan hidrolika, mereka merancang sistem drainase yang adaptif terhadap kondisi lokal dan berbagai skenario hujan.

Masalah Utama: Kurangnya Saluran dan Berkurangnya Daya Resap Lahan

Luas wilayah RT 21 mencapai 131.137 m², yang secara status masuk sebagai desa berkembang. Sayangnya, perkembangan ini tidak disebabkan oleh sistem drainase yang memadai. Alih fungsi lahan menyebabkan resapan air berkurang drastis. Akibatnya, saat hujan deras terjadi, air tidak memiliki jalur aliran yang cukup cepat dan menimbulkan genangan.

Fakta ini menekankan pentingnya sistem drainase yang terencana dan sesuai beban hidrologis aktual.

Perencanaan Strategi: Mulai dari Rencana Hujan hingga Bentuk Saluran

1. Analisis Hidrologi: Distribusi Curah Hujan dan Debit Rencana

Penelitian ini memanfaatkan data curah hujan maksimum harian dari BMKG Amahai selama periode 2011–2020. Distribusi Log Pearson Type III dipilih setelah uji menunjukkan kesesuaian metode ini paling sesuai. Hasilnya:

  • Hujan rencana 2 tahun: 154,2 mm
  • Hujan rencana 5 tahun: 204,23 mm
  • Hujan rencana 10 tahun: 236,73 mm

Rencana debit dihitung menggunakan metode rasional:
Q = 0,278 × C × I × A
dengan hasil debit minimum 0,010 m³/detik hingga maksimum 2,737 m³/detik.

2. Waktu Konsentrasi dan Intensitas Hujan

Waktu konsentrasi dihitung dengan pendekatan t₀ + tᵈ, mempertimbangkan permukaan lahan, jarak aliran, serta kemiringan topografi. Intensitas hujan menggunakan rumus Mononobe, yang menghasilkan data penting untuk dimensi saluran.

3. Pemilihan Bentuk dan Ukuran Saluran

Saluran yang dirancang berbentuk persegi, dinilai paling efisien dan mudah diterapkan di area padat. Dimensi bervariasi:

  • Minimum: tinggi 0,10 m dan lebar 0,20 m
  • Maksimum: tinggi 0,60 m dan lebar 1,20 m

Saluran terbesar (S37) dirancang untuk debit hampir 3,3 m³/detik, menunjukkan skenario ekstrem dapat ditangani.

Hasil Efisiensi: Tinggi dan Konsisten

Salah satu aspek penting dalam studi ini adalah pengukuran efisiensi saluran :

  • Kala ulang 2 tahun : 132,45% → overdesain, sangat aman
  • Kala ulang 5 tahun : 100% → tepat guna
  • Kala ulang 10 tahun : 86,19% → risiko melimpas mulai muncul

Hasil ini menunjukkan bahwa desain drainase tidak hanya menyesuaikan hujan masa kini, tetapi mengantisipasi perubahan iklim jangka panjang.

Studi Kasus: Saluran S37 dan Tantangan Kapasitas Maksimum

Saluran S37 dirancang untuk menampung beban tertinggi (3,276 m³/detik). Ukurannya besar: tinggi 0,98 m dan lebar 1,96 m. Efisiensi saluran tetap mencapai 100% untuk kala ulang 5 tahun dan masih memadai pada kala ulang 10 tahun.

Kasus ini menunjukkan pentingnya skalabilitas desain —saluran harus mampu menangani limpasan ekstrem tanpa meluap ke jalan atau rumah warga.

Opini dan Nilai Tambah: Apa yang Bisa Ditingkatkan?

Kritik:

  • Desain yang berdasarkan data hujan bisa historis bias jika tren iklim berubah dengan cepat. Diperlukan pendekatan prakiraan iklim jangka menengah.
  • Tidak semua warga memahami peran drainase. Diperlukan edukasi agar saluran tidak tersumbat sampah.
  • Biaya implementasi belum dihitung secara rinci, suatu aspek penting dalam penganggaran desa.

Bandingkan dengan Wilayah Lain:

  • Di Kota Ambon, pendekatan menggunakan underdrain box storage menjadi pelengkap saluran terbuka.
  • Kota Surakarta berhasil menambahkan sumur resapan sebagai solusi per rumah yang menurunkan tekanan pada drainase utama.

Kombinasi solusi lokal dengan pendekatan berbasis komunitas dapat memperkuat sistem drainase.

Implikasi Praktis: Bukan Sekadar Saluran, Tapi Ketahanan Wilayah

Penelitian ini menunjukkan bahwa drainase bukan sekedar infrastruktur teknis, tetapi jantung dari ketahanan lingkungan organisasi. Saluran yang mampu menampung debit air tinggi bisa menyelamatkan nyawa, aset, dan kualitas hidup.

Manfaat nyata dari desain drainase optimal:

  • Menekan biaya kerusakan pasca banjir
  • Meningkatkan nilai properti
  • Mendorong pengembangan wilayah yang aman dan ramah lingkungan

Kesimpulan: Drainase adalah Investasi, Bukan Beban

Desain saluran drainase di RT 21 Desa Haruru yang dirancang oleh Magrib dan Tiwery adalah contoh penerapan teknik sipil berbasis data dan efisiensi. Dengan dimensi yang disesuaikan untuk berbagai debit, serta efisiensi yang diuji hingga skenario ekstrim, sistem ini terbukti layak diterapkan.

Lebih dari itu, studi ini menjadi pengingat bahwa solusi banjir tidak harus menunggu bencana besar,  melainkan dapat dimulai dari pemetaan kecil, perhitungan yang cermat, dan keberanian bertindak sejak dini.

Sumber:

Magrib, NID, & Tiwery, CJ (2023). Perencanaan Saluran Drainase untuk Penanggulangan Banjir (Studi Kasus di RT 21 Desa Haruru Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah) . ARIKA, 17(1), 12–22.

Selengkapnya
Menata Drainase Haruru: Solusi Terukur Atasi Banjir Permukiman Maluku Tengah

Distribusi

Lokasi DG Berbasis Keandalan Menggunakan Teknik Simulasi Monte-Carlo

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025


Pendahuluan

Dalam lanskap energi modern, jaringan distribusi listrik adalah urat nadi yang membawa listrik dari gardu induk ke setiap rumah tangga dan bisnis. Namun, seiring dengan peningkatan permintaan listrik dan harapan masyarakat akan pasokan yang tanpa henti, keandalan jaringan distribusi menjadi perhatian utama bagi operator jaringan. Pemadaman listrik, bahkan yang singkat sekalipun, dapat menyebabkan ketidaknyamanan, kerugian ekonomi, dan mengikis kepercayaan publik. Untuk mengatasi tantangan ini, integrasi pembangkit terdistribusi (Distributed Generation - DG) telah muncul sebagai solusi menjanjikan. DG, seperti panel surya atap atau turbin angin skala kecil, dapat menghasilkan listrik lebih dekat ke titik konsumsi. Mekanisme ini mengurangi ketergantungan pada jaringan transmisi pusat dan meningkatkan ketahanan lokal.

Makalah ilmiah yang berjudul "Reliability-based DG location using Monte-Carlo simulation technique" oleh Mohd Ikhwan Muhammad Ridzuan, Nur Nabihah Rusyda Roslan, NoorFatin Farhanie Mohd Fauzi, dan Muhammad Adib Zufar Rusli ini menyelami isu krusial mengenai penempatan DG secara strategis dalam jaringan distribusi. 

Berbeda dari studi sebelumnya yang seringkali memprioritaskan pada aspek tenis seperti pengurangan rugi-rugi atau peningkatan profil tegangan, penelitian ini secara eksplisit berfokus pada peningkatan kinerja keandalan, baik dari perspektif sistem maupun pelanggan. Dengan memanfaatkan teknik simulasi Monte Carlo yang telah teruji, makalah ini mengilustrasikan bagaimana penempatan DG yang cerdas dapat menjadi pilar utama untuk jaringan distribusi yang lebih tangguh dan efisien.

Urgensi Keandalan Jaringan Distribusi di Era Modern

Sebelum kita menggali lebih dalam metodologi yang diusulkan, mari kita pahami mengapa keandalan jaringan distribusi menjadi begitu sentral dalam operasi perusahaan listrik dan ekspektasi konsumen.

  • Tuntutan Regulator dan Sanksi Finansial: Di banyak negara, regulator energi telah menetapkan target keandalan minimum yang harus dicapai oleh operator jaringan distribusi (Distribution Network Operators - DNOs). Kegagalan untuk memenuhi target ini seringkali berujung pada denda atau sanksi finansial yang signifikan. Misalnya, di Inggris, Office of Gas and Electricity Markets (OFGEM) secara rutin memantau dan mengenakan sanksi pada DNOs yang gagal memenuhi Standar Kinerja yang Dijamin (Guaranteed Standards of Performance) terkait pemadaman listrik. Hal ini mendorong DNOs untuk secara aktif mencari solusi peningkatan keandalan.
  • Dampak Ekonomi dan Sosial Pemadaman: Pemadaman listrik, bahkan yang singkat, dapat mengganggu aktivitas bisnis, menghentikan produksi industri, merusak peralatan elektronik, dan memengaruhi layanan publik esensial seperti rumah sakit dan sistem transportasi. Menurut laporan dari berbagai sumber, kerugian ekonomi akibat pemadaman listrik dapat mencapai miliaran dolar per tahun secara global. Di negara-negara berkembang, di mana infrastruktur mungkin lebih rentan, dampak ini bisa jauh lebih parah.
  • Pergeseran Paradigma ke Smart Grid: Konsep Smart Grid menekankan integrasi teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan keandalan jaringan. Dalam visi smart grid, DG memainkan peran penting sebagai sumber daya terdistribusi yang dapat meningkatkan resiliensi lokal dan mengurangi ketergantungan pada infrastruktur pusat yang mungkin lebih rentan.

Makalah ini secara tepat menyoroti bahwa meskipun manfaat lain dari DG (seperti pengurangan rugi-rugi daya dan peningkatan profil tegangan) telah banyak diteliti, aspek keandalan yang fundamental ini seringkali kurang mendapat perhatian dalam konteks penempatan optimal.

Memahami Indikator Keandalan Kritis

Untuk menilai keandalan, makalah ini menggunakan dua kategori indikator utama yang diakui secara luas dalam industri:

  1. Indikator Keandalan Terkait Sistem (System-Related Reliability Indices): Ini memberikan gambaran umum tentang kinerja keandalan seluruh jaringan. Contohnya termasuk:
    • SAIFI (System Average Interruption Frequency Index): Rata-rata frekuensi pemadaman per pelanggan dalam setahun.
    • SAIDI (System Average Interruption Duration Index): Rata-rata durasi pemadaman per pelanggan dalam setahun (sering diukur dalam jam atau menit).
    • ASAI (Average System Availability Index): Persentase waktu pelanggan memiliki pasokan listrik dalam setahun.
  2. Indikator Keandalan Terkait Pelanggan (Customer-Related Reliability Indices): Ini fokus pada dampak keandalan pada pelanggan individual. Contohnya termasuk:
    • CAIDI (Customer Average Interruption Duration Index): Rata-rata durasi pemadaman per pelanggan yang mengalami pemadaman. Ini membantu mengidentifikasi seberapa lama pelanggan yang terpengaruh harus menanggung pemadaman.

Dengan mengukur dan membandingkan indikator-indikator ini sebelum dan sesudah penempatan DG, para peneliti dapat secara kuantitatif menunjukkan peningkatan keandalan yang dicapai.

Kekuatan Simulasi Monte Carlo dalam Penilaian Keandalan

Makalah ini menggunakan teknik simulasi Monte Carlo untuk menilai kinerja keandalan jaringan. Mengapa Monte Carlo menjadi pilihan yang tepat untuk tugas ini?

Simulasi Monte Carlo adalah pendekatan berbasis probabilitas yang menggunakan pengambilan sampel acak untuk mensimulasikan peristiwa tak terduga dalam sistem. Dalam konteks keandalan jaringan distribusi, ini berarti:

  • Pemodelan Kegagalan Acak: Komponen jaringan (misalnya, saluran, transformator, pemutus sirkuit) memiliki tingkat kegagalan acak. Monte Carlo dapat mensimulasikan kegagalan ini berdasarkan distribusi probabilitasnya (misalnya, distribusi eksponensial untuk waktu antar kegagalan atau durasi perbaikan).
  • Memperhitungkan Ketidakpastian: Selain kegagalan komponen, Monte Carlo juga dapat memodelkan ketidakpastian lain, seperti variasi beban atau ketersediaan DG yang berintermiten (misalnya, tenaga surya atau angin).
  • Analisis Skenario Kompleks: Jaringan distribusi adalah sistem yang kompleks dengan banyak interkoneksi dan mode operasi yang berbeda. Monte Carlo dapat mensimulasikan ribuan atau jutaan skenario kegagalan dan perbaikan, serta dampaknya terhadap aliran daya dan pasokan pelanggan.
  • Estimasi Indeks Keandalan: Dengan melakukan simulasi jangka panjang misalnya satu tahun operasional dan mendokumentasikan seluruh kejadian pemadaman, durasi, serta jumlah pelanggan yang terdampak, metode Monte Carlo mampu memperkirakan berbagai indeks keandalan (SAIFI, SAIDI, CAIDI, dan lainnya) dengan tingkat akurasi statistik yang tinggi.

Meskipun Monte Carlo dikenal intensif komputasi, fleksibilitasnya dalam memodelkan sistem yang kompleks dan ketidakpastian menjadikannya alat yang tak tergantikan dalam penilaian keandalan.

Studi Kasus: Jaringan Distribusi Urban dan Suburban

Untuk mendemonstrasikan efektivitas metodologi yang diusulkan, para peneliti menerapkan model mereka pada dua jenis jaringan distribusi yang umum:

  1. Jaringan Distribusi Menengah (MV) Suburban: Ini adalah representasi realistis dari jaringan yang melayani area perumahan atau komersial dengan kepadatan sedang. Jaringan MV beroperasi pada tegangan sekitar 11 kV hingga 33 kV.
  2. Jaringan Distribusi Tegangan Rendah (LV) Suburban: Ini adalah bagian akhir dari jaringan distribusi yang membawa listrik langsung ke konsumen pada tegangan rendah (misalnya, 230/400 V).

Penerapan pada kedua jenis jaringan ini sangat penting karena karakteristik keandalan dan dampak penempatan DG dapat sangat bervariasi antara tingkat tegangan yang berbeda. Misalnya, kegagalan pada jaringan MV cenderung memengaruhi lebih banyak pelanggan daripada kegagalan pada jaringan LV individual.

Meskipun makalah ini tidak menyajikan angka spesifik dari setiap simulasi dalam abstrak, temuan utamanya menegaskan bahwa penempatan DG, baik di jaringan MV maupun LV, secara konsisten menunjukkan peningkatan kinerja keandalan. Ini adalah hasil yang sangat berarti bagi DNOs yang ingin memenuhi target regulasi dan meningkatkan kepuasan pelanggan.

Implikasi dari temuan ini sangat besar. Misalnya, jika sebuah jaringan MV memiliki SAIDI sebesar 250 menit/pelanggan/tahun, penempatan DG yang optimal mungkin dapat mengurangi angka ini menjadi 150 menit/pelanggan/tahun. Ini bukan hanya angka di atas kertas; ini berarti ribuan pelanggan mengalami pemadaman yang lebih jarang dan lebih singkat.

Analisis Mendalam dan Nilai Tambah: Membangun Jaringan yang Lebih Tangguh

Makalah ini tidak hanya menyajikan hasil, tetapi juga membuka peluang untuk analisis dan inovasi lebih lanjut:

Beyond Hanya Lokasi: Optimalisasi Ukuran dan Teknologi DG: Meskipun makalah ini berfokus pada lokasi, penelitian di masa depan berpontensi memperluas kerangka kerja ini untuk secara bersamaan mengoptimalkan ukuran (kapasitas) dan jenis teknologi DG (misalnya, surya, angin, baterai penyimpanan) untuk hasil keandalan terbaik. Lokasi optimal untuk surya mungkin berbeda dari lokasi optimal untuk penyimpanan baterai karena karakteristik operasionalnya yang berbeda.

Integrasi Aspek Ekonomi: Meskipun fokus utama makalah ini adalah keandalan, penempatan DG juga memiliki implikasi ekonomi yang signifikan (biaya instalasi, biaya operasional, pendapatan dari penjualan listrik). Penelitian di masa depan dapat mengintegrasikan analisis biaya-manfaat keandalan yang lebih mendalam, termasuk nilai ekonomi dari pengurangan downtime melalui Cost of Customer Interruption (COCI), untuk mencapai solusi penempatan yang paling ekonomis.

Pertimbangan Regulasi dan Kebijakan: Kebijakan energi dan insentif regulasi memainkan peran besar dalam adopsi dan penempatan DG. Makalah ini secara implisit mendukung argumen bagi pembuat kebijakan untuk menyediakan kerangka kerja yang mendukung investasi DG, khususnya yang berfokus pada peningkatan keandalan. Misalnya, program insentif yang memberikan poin bonus atau kompensasi kepada DNOs yang mencapai peningkatan keandalan signifikan melalui DG.

Resiliensi Terhadap Peristiwa Ekstrem: Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya frekuensi peristiwa cuaca ekstrem (badai, banjir), kemampuan DG untuk menciptakan microgrid atau beroperasi dalam mode islanded (terisolasi dari jaringan utama) menjadi semakin penting untuk resiliensi. Makalah ini menyediakan fondasi untuk penelitian yang lebih jauh tentang bagaimana penempatan DG yang optimal dapat meningkatkan kemampuan jaringan untuk pulih lebih cepat dari gangguan besar.

Keterkaitan dengan Active Distribution Networks: Dengan semakin banyaknya DG yang terhubung, jaringan distribusi bertransformasi dari jaringan pasif menjadi Active Distribution Networks (ADN). Dalam ADN, aliran daya bisa dua arah, dan ada kebutuhan untuk kontrol yang lebih canggih. Makalah ini berkontribusi pada pemahaman tentang bagaimana merancang ADN yang andal, menyoroti pentingnya mempertimbangkan keandalan sejak awal dalam perencanaan dan operasional.

Perbandingan dengan Penelitian Lain: Makalah ini memperkuat temuan dari penelitian sebelumnya yang mendukung manfaat DG terhadap keandalan. Namun, penekanannya pada penggunaan Monte Carlo untuk menilai kedua indikator sistem dan pelanggan secara bersamaan, serta penerapannya pada jaringan MV dan LV di area suburban, memberikan nilai tambah yang unik. Banyak penelitian mungkin hanya berfokus pada satu jenis indikator atau satu jenis jaringan.

Tantangan dan Arah Penelitian Masa Depan: Beberapa tantangan masih ada. Bagaimana mengatasi kompleksitas komputasi Monte Carlo untuk jaringan yang sangat besar? Apakah ada cara untuk mengintegrasikan optimasi berbasis metaheuristik (misalnya, algoritma genetik, optimasi partikel) dengan Monte Carlo untuk mencari lokasi optimal dengan lebih cepat? Bagaimana memodelkan dampak intermitensi DG (misalnya, variasi output surya atau angin) secara lebih akurat dalam penilaian keandalan? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah area yang matang untuk penelitian lebih lanjut.

Kesimpulan: Membangun Jaringan yang Lebih Kuat dengan DG yang Terlokasi Strategis

Makalah "Reliability-based DG location using Monte-Carlo simulation technique" oleh Muhammad Ridzuan dan rekan-rekannya adalah kontribusi yang relevan dan berharga bagi bidang rekayasa sistem tenaga. Dengan secara eksplisit berfokus pada peningkatan keandalan melalui penempatan pembangkit terdistribusi, dan dengan memanfaatkan kekuatan simulasi Monte Carlo, mereka telah menunjukkan peta jalan yang jelas bagi DNOs untuk memenuhi target regulasi sekaligus meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan.

Temuan bahwa penempatan DG secara konsisten meningkatkan kinerja keandalan di berbagai tingkat jaringan (MV dan LV) adalah pesan penting. Ini bukan hanya tentang menambahkan sumber daya, tetapi tentang menempatkannya secara strategis untuk memaksimalkan manfaat. Pada akhirnya, penelitian ini memperkuat arah pengembangan jaringan distribusi menuju sistem yang lebih cerdas, tangguh, dan andal. Suatu prasyarat penting bagi masyarakat modern yang kian bergantung pada pasokan listrik berkelanjutan.

Sumber Artikel:

Muhammad Ridzuan, M.I., Ruslan, N.N.R., Fauzi, N.F.F.M. et al. Reliability-based DG location using Monte-Carlo simulation technique. SN Appl. Sci. 2, 145 (2020). DOI: 10.1007/s42452-019-1609-7

Selengkapnya
Lokasi DG Berbasis Keandalan Menggunakan Teknik Simulasi Monte-Carlo

Pendidikan

Menakar Dampak Kompetensi dan Motivasi terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi: Studi Kasus Proyek Villa Jimbaran Greenhill R.13

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025


Pendahuluan

Produktivitas tenaga kerja konstruksi masih menjadi tantangan besar di Indonesia, bahkan di daerah sepesat Bali yang tengah berkembang pesat secara infrastruktur. Dalam konteks inilah, penelitian yang dilakukan oleh Komang Gde Krisna Maha dan timnya dari Politeknik Negeri Bali menjadi relevan dan penting. Melalui kajian atas pengaruh kompetensi dan motivasi terhadap produktivitas, serta analisis perbandingan koefisien tenaga kerja lapangan dengan standar SNI 2022, studi ini memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan praktik konstruksi nasional.

Latar Belakang Masalah

Menurut BPS (2018), lebih dari 18,57% proyek konstruksi mengalami keterlambatan. Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya kompetensi tenaga kerja. Ironisnya, dari sekitar 4,9 juta pekerja konstruksi di Indonesia, hanya sekitar 3% yang telah memiliki sertifikat keahlian. Ini menegaskan adanya kesenjangan serius antara kebutuhan keterampilan dan kenyataan di lapangan.

Dalam proyek pembangunan Villa Jimbaran Greenhill R.13, penelitian ini bertujuan mengukur sejauh mana kompetensi dan motivasi individu dapat meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Hal ini dilakukan untuk menciptakan pendekatan produktivitas berbasis data yang relevan dan kontekstual.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelatif dengan 30 responden. Data dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara, dan observasi lapangan.

Instrumen pengumpulan data telah diuji validitas dan reliabilitasnya:

  • Semua item kuesioner menunjukkan nilai r-hitung > r-tabel.

  • Cronbach’s Alpha untuk seluruh variabel di atas 0,76 (termasuk reliabel).
     

Analisis dilakukan menggunakan regresi linier berganda dan perbandingan koefisien tenaga kerja lapangan dengan acuan SNI 2022.

Temuan Utama: Kompetensi, Motivasi, dan Produktivitas

A. Hasil Regresi dan Uji Statistik

  • Kompetensi kerja (X1) berpengaruh signifikan terhadap produktivitas (t-hitung 4,218 > t-tabel 2,048).

  • Motivasi kerja (X2) juga berpengaruh signifikan (t-hitung 2,808 > t-tabel 2,048).

  • Nilai R-Square sebesar 0,936, menunjukkan bahwa 93,6% variasi produktivitas dijelaskan oleh kedua variabel tersebut.
     

B. Hasil Analisis Deskriptif

  • Rata-rata skor kompetensi: 4,20 (kategori setuju).

  • Rata-rata skor motivasi: 4,18.

  • Rata-rata produktivitas: 4,19.
     

Dengan nilai yang tinggi dan saling terkait, hasil ini menunjukkan bahwa meningkatkan kompetensi dan motivasi secara simultan akan memberikan hasil nyata pada produktivitas proyek.

Studi Kasus: Perbandingan Upah Riil vs SNI

Penelitian ini juga membandingkan selisih upah tenaga kerja berdasarkan dua pendekatan koefisien:

1. Pemasangan Bata Ringan (10 cm):

  • Total biaya lapangan: Rp 22.200/m2

  • Total biaya menurut SNI: Rp 233.620/m2

  • Selisih: Rp 211.400/m2 atau 90% lebih tinggi menurut SNI
     

2. Plesteran Dinding (20 mm):

  • Total biaya lapangan: Rp 24.280/m2

  • Total biaya menurut SNI: Rp 65.680/m2

  • Selisih: Rp 41.400/m2 atau 63% lebih tinggi menurut SNI
     

Temuan ini menunjukkan adanya potensi pemborosan biaya jika hanya mengandalkan standar tanpa mempertimbangkan realisasi lapangan. Selain itu, menjadi penting bahwa standar nasional harus fleksibel dan adaptif terhadap kondisi aktual proyek.

Nilai Tambah dan Refleksi Industri

A. Kontribusi Studi:

  • Memberikan dasar empiris untuk kebijakan peningkatan kompetensi tenaga kerja.

  • Menyediakan data pembanding aktual yang dapat digunakan dalam estimasi biaya konstruksi.
     

B. Kritik dan Keterbatasan:

  • Jumlah responden terbatas (30 orang), kurang representatif untuk generalisasi nasional.

  • Studi dilakukan hanya pada satu proyek dan belum memperhitungkan faktor eksternal seperti cuaca, teknologi, atau manajemen proyek.
     

C. Perbandingan Penelitian Lain:

Penelitian ini konsisten dengan hasil studi oleh Mariana et al. (2018) yang juga menegaskan bahwa motivasi kerja berkorelasi positif dengan produktivitas. Hal serupa juga ditemukan oleh Prasetyo (2022) dan Agassy (2019) dalam kajian perbandingan koefisien lapangan vs SNI.

Implikasi Praktis

  • Bagi kontraktor: Perlu dilakukan penyesuaian estimasi biaya berdasarkan observasi realisasi lapangan.

  • Bagi pemerintah: Diperlukan revisi reguler terhadap SNI agar tetap relevan dan tidak menyebabkan overestimasi.

  • Bagi pendidikan vokasi: Perlu memperbanyak program sertifikasi untuk tenaga kerja konstruksi.
     

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa kompetensi dan motivasi memiliki pengaruh kuat terhadap produktivitas tenaga kerja konstruksi. Dengan kontribusi 93,6% terhadap variasi produktivitas, dua faktor ini layak menjadi prioritas dalam pelatihan dan pengelolaan sumber daya manusia proyek.

Selain itu, analisis terhadap selisih koefisien biaya lapangan dan SNI menegaskan perlunya pendekatan biaya berbasis realita, bukan sekadar standar.

Penelitian ini membuka ruang untuk riset lanjutan yang lebih luas, lintas proyek dan daerah, guna mendukung pengambilan keputusan berbasis data di sektor konstruksi Indonesia.

 

Sumber:
Komang Gde Krisna Maha, Lilik Sudiajeng, I Made Anom Santiana. (2023). Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Kerja terhadap Produktivitas serta Koefisien Tenaga Kerja pada Proyek Pembangunan Villa Jimbaran Greenhill R.13. Politeknik Negeri Bali.

Selengkapnya
Menakar Dampak Kompetensi dan Motivasi terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi: Studi Kasus Proyek Villa Jimbaran Greenhill R.13

Studi Gender dan Budaya

Warisan, Gender, dan Perubahan Sosial: Studi Antargenerasi dalam Masyarakat Pedesaan Bali

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025


Pendahuluan: Memahami Warisan Lewat Kacamata Gender

Distribusi warisan dalam masyarakat tradisional seringkali menjadi refleksi dari struktur sosial, relasi kekuasaan, dan norma budaya yang mengakar. Dalam konteks Bali, distribusi properti tidak semata menyangkuy kepemilikan harta, tetapi juga melibatkan makna simbolik dan posisi gender dalam keluarga. Artikel "Gender and the Intergenerational Transmission of Property in Rural Bali" karya Ida Ayu Grhamtika Saitya menyoroti kompleksitas pembagian warisan di masyarakat pedesaan Bali, sekaligus mengungkap bagaimana perubahan sosial memengaruhi norma-norma tradisional dalam pembagian hak kepemilikan.

Struktur Sosial Bali dan Sistem Patrilineal (H2)

Norma Tradisional: Warisan untuk Anak Laki-laki (H3)

Dalam sistem kekerabatan patrilineal yang dominan di Bali, anak laki-laki secara tradisional dianggap sebagai pewaris utama. Hal ini berakar pada konsep bahwa laki-laki akan tetap tinggal di rumah asal dan menjaga pura keluarga, sementara perempuan akan "keluar" dari keluarga saat menikah. Dalam praktiknya:

  • Anak laki-laki menerima tanah warisan dan rumah adat.

  • Anak perempuan hanya mendapatkan "pembekalan" berupa barang bergerak saat menikah.

Posisi Perempuan dalam Tradisi Bali (H3)

Perempuan tidak diharapkan untuk menjadi ahli waris penuh, bahkan ketika mereka secara ekonomi berkontribusi dalam keluarga. Konsepsi bahwa perempuan adalah "tamu" dalam keluarga asal memperkuat eksklusi mereka dari hak kepemilikan penuh.

Perubahan Sosial dan Negosiasi Gender (H2)

Modernisasi dan Mobilitas Sosial (H3)

Penelitian Saitya mengungkap bahwa urbanisasi dan pendidikan mendorong perubahan cara pandang masyarakat terhadap gender dan warisan. Dalam keluarga yang memiliki lebih dari satu anak perempuan, muncul praktik kompromi:

  • Warisan dibagi merata antara anak laki-laki dan perempuan.

  • Anak perempuan diberikan tanah sebagai bentuk investasi masa depan.

Studi Kasus: Negosiasi dalam Pembagian Tanah (H3)

Salah satu informan perempuan berhasil mendapatkan sebidang tanah dari orang tuanya sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya selama merawat orang tua. Ini menjadi bukti bahwa:

  • Norma patriarkal tidak lagi mutlak.

  • Ada ruang negosiasi dalam keluarga berbasis dialog.

Ketimpangan Hak dan Praktik Hukum (H2)

Peran Hukum Adat vs Hukum Nasional (H3)

Hukum adat Bali cenderung memperkuat sistem patriarkal, sementara hukum nasional Indonesia membuka peluang kesetaraan gender. Namun dalam praktik:

  • Hukum adat masih dominan dalam penyelesaian sengketa warisan.

  • Perempuan yang menggugat hak warisan sering dianggap menyalahi norma.

Ketegangan antara Norma dan Realitas (H3)

Beberapa perempuan memilih tidak menuntut hak waris demi menjaga harmoni keluarga, meskipun mereka secara hukum berhak. Di sisi lain, keluarga yang lebih terbuka cenderung menerapkan prinsip keadilan berbasis kebutuhan dan kontribusi.

Analisis Teoritis dan Implikasi Sosial (H2)

Perspektif Feminisme dan Struktur Kekuasaan (H3)

Penelitian ini menggunakan lensa teori gender dan feminisme untuk membedah:

  • Bagaimana struktur kekuasaan dibentuk melalui warisan.

  • Peran perempuan yang dibatasi oleh norma tradisional dan simbolik.

Dampak pada Emansipasi Perempuan Bali (H3)

Dengan meningkatnya pendidikan dan kesadaran hukum, perempuan Bali mulai:

  • Menegosiasikan haknya secara aktif.

  • Mengembangkan strategi hukum maupun sosial untuk mengakses properti.

Rekomendasi dan Relevansi Praktis (H2)

Bagi Pemerintah dan Aparat Desa:

  • Perlu edukasi hukum waris berbasis gender.

  • Pelatihan mediasi konflik keluarga berbasis kesetaraan.

Bagi Aktivis dan Akademisi:

  • Dorongan untuk mendokumentasikan praktik alternatif yang lebih setara.

  • Membuat model kebijakan lokal yang menyelaraskan adat dan hukum nasional.

Kesimpulan: Menuju Sistem Waris yang Lebih Inklusif (H2)

Penelitian ini membuka ruang diskusi kritis tentang bagaimana perubahan sosial dan kesadaran gender mempengaruhi distribusi warisan. Meskipun sistem adat masih kuat, terdapat tanda-tanda perubahan menuju praktik yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan. Perubahan ini harus didukung oleh pendidikan, kebijakan, dan kesadaran kolektif agar transmisi properti di masa depan tidak lagi timpang berdasarkan gender.

Sumber

Saitya, Ida Ayu Grhamtika. (2022). Gender and the Intergenerational Transmission of Property in Rural Bali.

Selengkapnya
Warisan, Gender, dan Perubahan Sosial: Studi Antargenerasi dalam Masyarakat Pedesaan Bali
« First Previous page 25 of 1.172 Next Last »