Sains & Teknologi

Di Balik Kemacetan: Bagaimana Data GPS dan Ponsel Menciptakan 'Otak' Baru untuk Mengakhiri Era Macet

Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025


Setiap pagi, jutaan komuter di seluruh dunia memulai ritual yang sama: terjebak dalam kemacetan. Fenomena ini, yang oleh para peneliti disebut sebagai "eksternalitas" dari pertumbuhan lalu lintas yang tak terhindarkan, telah lama menjadi salah satu masalah paling pelik di perkotaan.1 Selama puluhan tahun, solusi utama yang ditawarkan adalah solusi fisik: memperlebar jalan, menambah jembatan, atau membangun infrastruktur baru. Namun, era solusi fisik murni ini telah mencapai batasnya.

Kini, kita berada di tengah revolusi senyap. Solusi atas kemacetan tidak lagi terletak pada beton, melainkan pada data. Munculnya Intelligent Transportation Systems (ITS) atau Sistem Transportasi Cerdas menjanjikan peningkatan efisiensi, kapasitas maksimal, dan minimalisasi penundaan.1 Namun, sistem cerdas ini—layaknya otak—membutuhkan 'makanan' untuk berfungsi. Selama bertahun-tahun, 'makanan' itu berkualitas rendah, menghambat potensi penuh ITS.

Sebuah sintesis penelitian penting 1 memetakan bagaimana gelombang baru teknologi pengumpulan data—mulai dari sensor Bluetooth di ponsel Anda hingga data GPS—secara fundamental mengubah cara kita mengelola lalu lintas. Ini adalah cerita tentang bagaimana kita beralih dari sekadar 'menghitung' mobil menjadi 'memprediksi' perilaku kolektif kota, menciptakan otak digital yang akhirnya cukup pintar untuk mengurai kemacetan.

 

Tiga Generasi Sensor: Dari 'Menghitung' Menuju 'Memahami'

Cerita di balik revolusi data ini adalah evolusi sensor lalu lintas. Penelitian ini 1 secara efektif mengkategorikan teknologi ini ke dalam tiga generasi, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya, yang secara kolektif menceritakan pergeseran dari pengumpulan data anonim menjadi pelacakan pergerakan yang presisi.1

Generasi Pertama, yang disebut 'Sensor Titik' (Point Sensors), adalah teknologi yang paling kita kenal. Ini didominasi oleh inductive loop detectors—kabel yang ditanam di bawah aspal yang mendeteksi keberadaan logam di atasnya.1 Meskipun merupakan teknologi yang paling banyak digunakan dan berbiaya relatif rendah, ia memiliki kelemahan fundamental. Pemasangan dan pemeliharaannya "mengganggu lalu lintas," dan keandalan serta akurasinya sering dipertanyakan.1

Kategori ini juga mencakup teknologi yang lebih modern seperti Video image detection systems (CCTV). Kamera-kamera ini menggunakan perangkat lunak visi mesin untuk memantau kondisi, mendeteksi insiden, dan bahkan mengklasifikasikan kendaraan. Namun, mereka memiliki kelemahan yang jelas: kinerjanya "dipengaruhi oleh kondisi cuaca buruk (seperti hujan, kabut) dan visibilitas terbatas (misalnya, malam hari)".1 Intinya, sensor Generasi Pertama hanya bisa memberi tahu kita satu hal: ada mobil yang lewat di satu titik. Mereka menghitung, tetapi tidak memahami perjalanan.

Generasi Kedua, 'Sensor Titik-ke-Titik' (Point-to-point sensors), mewakili lompatan konseptual pertama. Teknologi ini dirancang untuk "mendeteksi kendaraan di beberapa lokasi" untuk melacak pergerakan mereka.1 Contoh utamanya adalah Automated Vehicle Identification (AVI), yang menggunakan tag elektronik seperti yang kita gunakan untuk membayar tol otomatis. Dengan mendeteksi tag yang sama di gerbang tol A dan kemudian di gerbang tol B, sistem dapat menghitung waktu tempuh yang akurat.1

Namun, kelemahan AVI adalah ia memerlukan "kerja sama" pengemudi; kendaraan harus dilengkapi dengan tag khusus tersebut.1 Untuk mengatasi ini, para peneliti mengembangkan metode cerdas yang tidak memerlukan kerja sama. Mereka mulai memanfaatkan radio Bluetooth dan Wi-Fi pada ponsel pengemudi. Sensor di pinggir jalan akan "ping" alamat MAC unik perangkat saat mobil lewat, lalu mencocokkannya dengan sensor di lokasi berikutnya.1 Kritik ringan untuk teknologi ini adalah bahwa "korespondensi kendaraan-ke-perangkat tidak selalu satu-ke-satu"—satu mobil mungkin berisi tiga penumpang dengan ponsel aktif, sementara mobil lain mungkin tidak memiliki satu pun. Oleh karena itu, data ini lebih cocok untuk mengukur kecepatan daripada jumlah kendaraan.1

Generasi Ketiga, 'Sensor Cakupan Area' (Area-wide sensors), adalah tempat revolusi sejati terjadi. Para peneliti menyebutnya sebagai "sensor oportunistik"—teknologi yang tidak dirancang khusus untuk lalu lintas tetapi dapat dimanfaatkan untuk itu.1 Ini adalah data yang dihasilkan oleh GPS devices di dalam kendaraan (seperti pada aplikasi peta kita) dan data geo-lokasi anonim dari wireless service providers (operator seluler).1 Proyek percontohan seperti Mobile Century di San Francisco, yang menggunakan smartphone dengan GPS di 100 mobil, membuktikan konsep ini.1

Data Generasi Ketiga ini adalah yang terkaya dari semuanya. Alih-alih hanya menyediakan data di 'titik' (Gen 1) atau 'antar titik' (Gen 2), data ini menyediakan data jalur (path) secara keseluruhan. Pergeseran dari menghitung mobil di satu titik (Gen 1) menjadi memahami seluruh perjalanan dari jutaan individu (Gen 3) inilah yang menyediakan 'makanan' berkualitas tinggi yang diperlukan untuk membangun 'otak' manajemen lalu lintas yang sesungguhnya.

 

Membangun 'Otak': Bagaimana Model DTA Belajar dan Memprediksi

Data yang kaya ini tidak ada artinya tanpa sistem yang dapat mencernanya. Di sinilah Dynamic Traffic Assignment (DTA)—atau Penugasan Lalu Lintas Dinamis—masuk. DTA adalah kerangka kerja pemodelan canggih yang menjadi inti dari sistem manajemen lalu lintas modern.1 Anggap saja DTA sebagai 'otak' digital kota, sebuah sistem yang mensintesis beberapa model dan algoritma untuk mensimulasikan permintaan (ke mana pengemudi ingin pergi) dan pasokan (kondisi jaringan jalan).1

'Otak' ini memiliki dua fungsi utama yang krusial 1:

  1. Estimasi Kondisi (State Estimation): Ini adalah kemampuan otak untuk memahami apa yang terjadi saat ini. DTA menggabungkan informasi pengawasan real-time dari sensor dengan data historis untuk "menangkap kondisi lalu lintas saat ini".1
  2. Generasi Prediksi (Prediction-based information generation): Ini adalah kemampuan otak untuk memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Tujuannya adalah untuk "menghasilkan informasi lalu lintas yang tidak bias dan konsisten" untuk disebarluaskan kepada pelancong.1

Seperti halnya otak manusia, otak DTA harus 'belajar'. Proses pembelajaran ini disebut 'kalibrasi', dan ia bekerja dalam dua mode yang saling bersinergi, seperti yang digambarkan dalam penelitian ini.1

Mode pertama adalah Kalibrasi Off-line. Ini adalah proses pembentukan 'memori jangka panjang' otak. Dengan menggunakan "Data Arsip (Beberapa Hari)," sistem DTA dikalibrasi untuk memahami pola historis.1 Ia mencerna data selama berhari-hari untuk membangun "database perkiraan historis" yang mewakili "kondisi lalu lintas rata-rata atau yang diharapkan".1 Database ini dapat distratifikasi—artinya, otak belajar bahwa kemacetan pada hari Senin pagi saat hujan berbeda dengan kemacetan pada hari Jumat sore yang cerah.1 Ini adalah fungsi perencanaan.

Mode kedua adalah Kalibrasi On-line. Ini adalah 'refleks jangka pendek' otak. Menggunakan "Data Real-Time (Kondisi Saat Ini)," otak DTA secara dinamis "menyesuaikan model input dan parameter untuk setiap interval waktu".1 Ini adalah proses "fine-tuning" di mana otak mengambil memori jangka panjangnya (misalnya, model "Senin pagi hujan") dan memperbaikinya berdasarkan apa yang terjadi detik ini—seperti kecelakaan yang tiba-tiba terjadi atau penutupan jalan yang tidak terduga.1 Ini adalah fungsi operasi.

Kalibrasi off-line menyediakan baseline yang solid, sementara kalibrasi on-line menyediakan koreksi real-time. Kombinasi keduanya, yang ditenagai oleh data sensor generasi baru, adalah yang memungkinkan sistem untuk tidak hanya melaporkan, tetapi juga mengantisipasi kemacetan.

 

Bukti Keberhasilan: Saat Data Mengubah Prediksi dari 'Mungkin' menjadi 'Pasti'

Teori ini terdengar menjanjikan, tetapi pertanyaan kritisnya adalah: apakah itu berhasil? Penelitian ini 1 menyoroti dua studi kasus kuantitatif yang secara gamblang menunjukkan dampak dramatis dari penambahan data baru ke dalam 'otak' DTA.

Studi Kasus 1: Los Angeles (Memaku Akurasi 'Saat Ini')

Studi kasus pertama berfokus pada model DTA (DynaMIT) di Los Angeles. Awalnya, model tersebut hanya diberi 'makanan' Generasi Pertama—data hitungan dari loop detectors konvensional. Hasilnya biasa-biasa saja. Namun, ketika para peneliti menambahkan data kecepatan (dari sensor Generasi 2 dan 3), performa model tersebut meroket.

Hasilnya menunjukkan "peningkatan kesesuaian sebesar 45% pada kecepatan jalan bebas hambatan dan 37% pada kesesuaian kecepatan jalan arteri".1 Angka-angka ini mungkin terdengar teknis, tetapi dampaknya dalam dunia nyata sangat besar. Peningkatan akurasi 45% adalah perbedaan antara aplikasi peta yang hanya memberi tahu Anda "Jalan A macet" (menampilkan garis merah) dan aplikasi yang memberi tahu Anda "Anda akan terjebak di Jalan A selama 25 menit lebih lama dari biasanya." Akurasi setinggi ini, yang "sangat menarik dalam aplikasi panduan rute dan ATIS" 1, adalah fondasi dari Waze atau Google Maps yang Anda andalkan setiap hari. Ini membuktikan bahwa data baru memungkinkan DTA berhasil dalam fungsi Estimasi Kondisi.

Studi Kasus 2: AVI (Menguasai Prediksi 'Masa Depan')

Studi kasus kedua menguji apa yang terjadi ketika data AVI (Generasi 2) ditambahkan ke dalam campuran. Data AVI tidak hanya memberi tahu kecepatan, tetapi juga jalur yang diambil kendaraan (misalnya, 30% kendaraan yang keluar dari Tol A kemudian masuk ke Tol B). Ini memberi 'makanan' langsung ke fungsi Prediksi otak DTA, membantunya menebak Asal-Tujuan (OD) pengemudi.

Hasilnya, yang dirangkum dalam Tabel 2 penelitian tersebut, bahkan lebih mengejutkan. Penambahan data AVI menghasilkan "peningkatan dalam hal normalized root mean square error (RMSN) lebih dari 40% untuk estimasi OD".1 Untuk estimasi murni, peningkatannya mencapai 47%.1

Secara naratif, peningkatan akurasi 47% berarti sistem menjadi hampir dua kali lebih baik dalam menebak mengapa Anda berada di jalan. Ini adalah langkah transformatif dari manajemen lalu lintas reaktif (yang hanya melihat kemacetan yang sudah ada) menjadi prediktif (yang melihat kemacetan yang akan terbentuk 30 menit dari sekarang, karena ia tahu ke mana semua orang menuju).

Kedua studi kasus ini secara sempurna mengilustrasikan bagaimana dua jenis data baru memberi makan dua bagian 'otak' DTA. Data kecepatan (studi LA) menyempurnakan pemahaman saat ini, sementara data jalur (studi AVI) menyempurnakan prediksi masa depan.

 

Masa Depan Adalah Fusi: Saat Sensor Lalu Lintas Bertemu Sensor Cuaca dan Jembatan

Visi akhir yang dipaparkan oleh penelitian ini 1 melampaui manajemen lalu lintas. Jika data GPS dan ponsel adalah revolusi saat ini, cakrawala berikutnya adalah "fusi informasi kondisi dengan data lalu lintas".1 Ini adalah tentang menciptakan sistem manajemen perkotaan yang holistik, di mana data lalu lintas hanyalah satu lapisan di antara banyak lapisan data lainnya.

Bayangkan jaringan sensor yang diperluas yang tidak hanya memantau mobil, tetapi juga denyut nadi kota itu sendiri:

  • Pemantauan Lingkungan: "Stasiun cuaca" yang ditempatkan secara strategis tidak hanya melaporkan suhu, tetapi juga "kondisi perkerasan (licin/basah)" atau "visibilitas (misalnya, karena kabut)".1 "Stasiun kualitas udara" dapat memetakan polusi terkait lalu lintas secara real-time.1
  • Pemantauan Kondisi Infrastruktur: "Sensor serat optik" atau "pengukur regangan" yang tertanam di jembatan, terowongan, dan jalan layang, secara konstan memantau kesehatan struktur dan memperingatkan otoritas tentang "potensi kegagalan" sebelum bencana terjadi.1

Ketika lapisan-lapisan data ini digabungkan (difusikan) dengan data lalu lintas dalam 'otak' DTA, aplikasi yang benar-benar baru dan revolusioner menjadi mungkin:

  • Manajemen Multi-Tujuan: Sistem dapat secara dinamis mengubah rute lalu lintas tidak hanya untuk "minimalisasi waktu tempuh" tetapi juga "emisi".1 Jika satu area mengalami polusi udara yang tinggi, lalu lintas dapat dialihkan untuk membiarkan area itu 'bernafas'.
  • Evakuasi Darurat Cerdas: Selama keadaan darurat seperti banjir atau gempa bumi, fusi data ini menjadi vital. "Sensor pemantau kondisi" dapat memberi tahu manajer rute mana yang "aman" (jembatan tidak akan runtuh), sensor lingkungan dapat melacak "tumpahan bahan kimia," dan sensor lalu lintas dapat menemukan "kapasitas cadangan" untuk memandu evakuasi massa secara efisien.1
  • Model Ekonomi Baru: Proliferasi teknologi pelacakan ini juga membuka jalan bagi aplikasi ekonomi baru, seperti "pembayaran pengguna berbasis jarak" (distance-based user charging) atau skema "asuransi bayar-sesuai-pemakaian" (pay-as-you-go insurance).1

 

Pernyataan Dampak: Jalan Menuju Kota yang Benar-Benar Responsif

Sintesis penelitian ini 1 memperjelas satu hal: meskipun kemajuan dalam model algoritmik (seperti DTA) penting, pengawasan dan pengumpulan data hingga saat ini masih berkutat pada "loop detector konvensional" yang sudah ketinggalan zaman.1

Revolusi sejati dalam manajemen lalu lintas—dan, pada akhirnya, manajemen perkotaan—adalah ketersediaan "jenis data tambahan yang sebelumnya tidak mungkin, atau terlalu sulit, untuk dikumpulkan".1 Data dari ponsel, GPS, dan tag tol Anda telah menciptakan sistem saraf pusat digital untuk kota.

Dampaknya jauh melampaui perjalanan pagi yang sedikit lebih cepat. Ini adalah tentang membangun kota yang dapat merasakan, memprediksi, dan merespons kebutuhannya sendiri. Berkat fusi data baru ini, kita sedang membangun fondasi untuk kota yang benar-benar responsif, yang dapat mengelola kemacetan, merespons keadaan darurat, dan bahkan melindungi kesehatan lingkungan warganya secara cerdas dan real-time.

 

Sumber Artikel:

Antoniou, C., Balakrishna, R., & Koutsopoulos, H. N. (2011). A Synthesis of emerging data collection technologies and their impact on traffic management applications. European Transport Research Review, 3, 139-148.

Selengkapnya
Di Balik Kemacetan: Bagaimana Data GPS dan Ponsel Menciptakan 'Otak' Baru untuk Mengakhiri Era Macet

Dunia Penerbangan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Insiden Penerbangan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui Tentang 'Penerjemah Pikiran' AI

Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025


Langit kita sedang berada di bawah tekanan besar. Pertumbuhan lalu lintas udara yang telah diprediksi selama bertahun-tahun kini berada di depan mata, diperparah oleh tantangan yang jauh lebih kompleks: integrasi Unmanned Aircraft System (UAS), atau drone, ke dalam koridor udara yang sudah padat.1 Dalam satu unit volume ruang udara yang sama, jumlah informasi yang harus diproses oleh manajemen lalu lintas drone (UTM) "jauh lebih tinggi" daripada manajemen lalu lintas udara (ATM) konvensional.1

Sistem saat ini, yang masih sangat bergantung pada operator manusia, secara teknis tidak akan mampu mengatasi lonjakan data dan kompleksitas ini. Solusi yang paling logis, yang telah dikembangkan selama bertahun-tahun, adalah Artificial Intelligence (AI). Sistem AI yang sangat otomatis terbukti mampu mendeteksi pola, mengidentifikasi anomali, dan menyelesaikan konflik penerbangan secara optimal.1

Namun, di sinilah letak paradoks utamanya. Dalam dunia penerbangan yang sangat mengutamakan keselamatan, AI memiliki satu kelemahan fatal: ia adalah "kotak hitam" (black box).1 Ini bukan sekadar masalah teknis kecil; ini adalah penghalang fundamental yang mempertaruhkan kepercayaan dan, pada akhirnya, keselamatan. Sebuah penelitian terobosan dari para peneliti di RMIT University kini menawarkan solusi nyata, tidak hanya untuk membuat AI lebih pintar, tetapi untuk membuatnya dapat dipercaya.

 

Mengapa 'Kotak Hitam' di Menara Kontrol Adalah Bencana yang Menunggu

Bayangkan Anda adalah seorang operator pemandu lalu lintas udara (ATCO) yang bertanggung jawab atas lusinan pesawat di layar Anda. Badai mendekat. Tiba-tiba, sebuah sistem AI baru menyarankan Anda untuk mengubah rute tiga pesawat secara drastis—sebuah manuver yang tampaknya tidak logis. Anda bertanya, "Mengapa?" Sistem itu hanya diam. Ia tidak bisa menjelaskan.

Inilah masalah "opaqueness" (kegelapan) dan "inexplicability" (ketidakterjelasan) yang melanda sebagian besar algoritma cerdas saat ini.1 Penelitian ini menyoroti bahwa masalah terbesar AI di menara kontrol bukanlah teknis, melainkan psikologis.

Para peneliti mengidentifikasi bahwa operator manusia yang berpengalaman "cenderung enggan mengadopsi" solusi yang disarankan dari sistem otonom jika solusi tersebut tidak "dapat dipercaya (trustworthy), dapat dilacak (traceable), dan dapat diinterpretasikan (interpretable)".1

Perilaku black box ini—di mana sistem "hanya menyajikan solusi akhir... tanpa menunjukkan penalaran (rationale) di baliknya"—secara langsung "menantang kemampuan manusia untuk memverifikasi" solusi tersebut.1 Dalam skenario terbaik, ini memperlambat pengambilan keputusan. Dalam skenario terburuk, operator bisa kehilangan kesadaran situasional (situation awareness) total, yang berpotensi fatal.1

Namun, masalah ini jauh melampaui preferensi operator. Verifikasi keputusan AI sangat "krusial... untuk operasi yang sangat penting bagi keselamatan (safety-critical operations)".1 Ini mengisyaratkan sebuah kenyataan yang lebih besar: otoritas sertifikasi penerbangan global tidak akan pernah menyetujui sistem otonom penuh yang tidak dapat menjelaskan mengapa ia mengambil keputusan kritis.

Oleh karena itu, eXplainable AI (XAI)—AI yang dapat menjelaskan cara berpikirnya—bukanlah sebuah "tambahan yang bagus". Ini adalah prasyarat fundamental, sebuah tiket masuk yang mutlak diperlukan, untuk adopsi AI yang aman dalam manajemen lalu lintas udara di masa depan.

 

Membedah 'Penerjemah Pikiran' untuk AI Penerbangan

Menyadari bahwa kepercayaan adalah mata uang utama dalam penerbangan, para peneliti di RMIT University tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga merancang "solusi nyata" (viable solution).1 Mereka membangun sebuah kerangka kerja yang mengintegrasikan AI prediktif dengan "penerjemah pikiran" XAI untuk menjembatani kesenjangan kepercayaan tersebut.

Arsitektur sistem mereka dapat dijelaskan dalam dua bagian:

1. Sang "Peramal": XGBoost

Para peneliti memilih untuk tidak menggunakan model AI yang sederhana. Sebaliknya, mereka memilih XGBoost, sebuah algoritma gradient-boost decision tree yang sangat kuat dan canggih.1 Ini adalah pilihan yang disengaja. XGBoost dikenal memiliki akurasi prediksi yang tinggi dan sangat unggul dalam memproses data non-linear yang kompleks (seperti data cuaca yang kacau).1 Namun, ia juga terkenal sebagai black box yang rumit. Para peneliti secara efektif memilih model dengan performa terbaik, dan kemudian secara sengaja menciptakan tantangan black box untuk mereka pecahkan. Ini adalah pernyataan penting: bahwa ATM masa depan tidak perlu memilih antara performa (akurasi) dan interpretasi (kepercayaan). Kita bisa mendapatkan keduanya.

2. Sang "Penerjemah": LIME dan SHAP

Untuk membedah black box XGBoost, tim peneliti menggunakan tidak hanya satu, tetapi dua model penjelasan post-hoc (penjelasan yang dibuat setelah fakta) yang canggih: LIME dan SHAP.1 Ini adalah langkah metodologis yang krusial, mirip dengan melakukan audit ganda pada sistem.

Para peneliti menggunakan kedua pendekatan ini untuk melakukan "triangulasi kebenaran" atas penjelasan AI. Model pertama, LIME (Local Interpretable Model-Agnostic Explanations), bertindak seperti auditor eksternal. Ia tidak perlu tahu cara kerja internal AI yang rumit; ia hanya mengutak-atik data input (misalnya, 'apa yang terjadi jika angin sedikit lebih kencang?') dan mengamati bagaimana output AI berubah, untuk menebak mengapa AI membuat keputusan tersebut. Keuntungannya, LIME bersifat 'model-agnostik'—ia dapat digunakan untuk mengaudit AI apa pun. Namun, kekurangannya adalah hasil penjelasannya terkadang bisa tidak stabil.1

Model kedua, SHAP (SHapley Additive exPlanations), bertindak sebagai auditor internal. Ia didasarkan pada teori permainan matematis dan secara sistematis menghitung kontribusi pasti dari setiap fitur—seperti 'kecepatan angin' atau 'kelembapan'—terhadap keputusan akhir AI. SHAP sangat kuat, akurat secara matematis, dan dapat diandalkan untuk model berbasis pohon seperti XGBoost, meskipun membutuhkan waktu komputasi yang lebih lama.1

Dengan menggunakan LIME (si orang luar) dan SHAP (si orang dalam) secara bersamaan, para peneliti dapat memvalidasi penjelasan itu sendiri. Jika kedua 'auditor' ini setuju tentang mengapa AI menganggap suatu situasi berisiko tinggi, kepercayaan pada penjelasan tersebut meroket.

 

Cerita di Balik Data: Apa yang Ditemukan Peneliti di Langit Melbourne

Sebuah model AI secanggih apa pun tidak berguna tanpa data yang baik. Di sinilah letak kekuatan penelitian ini. Model ini tidak dilatih pada data simulasi yang steril. Model ini dilatih menggunakan data dunia nyata yang 'kotor' dan kompleks: catatan historis insiden dan kecelakaan penerbangan nyata dari Australian Transport Safety Bureau (ATSB) yang dikombinasikan dengan data meteorologi terperinci dari Bureau of Meteorology (BoM).1

Fokusnya adalah pada radius 15 km di sekitar Bandara Melbourne, sebuah wilayah udara yang sibuk dan menantang.1 Para peneliti memasukkan data dari total 518 hari, menggunakan 347 hari data untuk melatih AI (disebut training set) dan 171 hari data yang tersisa untuk mengujinya (testing set).1

Hasilnya sangat mengejutkan. Model XGBoost mampu mencapai akurasi prediksi tertinggi sebesar 92,40%.1

Untuk menempatkan ini dalam konteks: ini bukan lagi tebakan cuaca. Dari setiap 100 hari, model ini secara akurat memprediksi apakah kondisi hari itu berisiko tinggi atau aman untuk penerbangan pada lebih dari 92 hari. Ini adalah lompatan besar dari sekadar reaktif menjadi prediktif secara andal.

Namun, pertanyaan besarnya tetap: Bagaimana AI bisa tahu? Di sinilah "penerjemah" SHAP dan LIME masuk dan mengungkap cerita di balik data.

Ketika para peneliti 'membuka' kotak hitam itu untuk melihat gambaran besarnya (sebuah proses yang disebut global explanation), mereka menemukan bahwa faktor paling penting yang memprediksi insiden bukanlah suhu, atau hujan, atau bahkan jarak pandang. Faktor yang mendominasi semua variabel lainnya adalah angin.

Secara spesifik, dua fitur menonjol sebagai prediktor utama: SGW (Kecepatan embusan angin maksimum) dan 9SW (Kecepatan angin rata-rata pada jam 9 pagi).1 Temuan ini sendiri sudah berharga. Tetapi wawasan yang paling kuat—dan paling mengejutkan—datang ketika para peneliti melihat lebih dalam pada local dependence plots, yang menunjukkan bagaimana tepatnya fitur-fitur ini memengaruhi risiko.

Mereka menemukan ambang batas tersembunyi, atau 'titik kritis' (tipping points), yang tidak akan pernah bisa dilihat oleh analis manusia:

  • Cerita Angin (The Wind Tipping Point): Secara intuitif, kita tahu angin kencang itu berbahaya. Tapi AI menemukan aturan yang jauh lebih spesifik. Risiko insiden tidak meningkat secara perlahan seiring dengan meningkatnya kecepatan angin. Analisis SHAP (secara spesifik pada Gambar 11 dalam paper tersebut) menunjukkan gambaran yang jauh lebih dramatis. Dari 0 hingga 60 km/jam, risikonya ada tetapi dapat dikelola. Namun, tepat di 60 km/jam, kurva risiko "melonjak" (surges) secara vertikal. Kemudian, setelah 70 km/jam, risiko mencapai "langit-langit" (ceiling)—menjadi sangat tinggi dan tidak lagi bertambah seberapa pun kencangnya angin.1 Ini adalah aturan yang sangat jelas dan dapat ditindaklanjuti: 60 km/jam adalah ambang batas kewaspadaan kritis, dan 70 km/jam adalah batas bahaya absolut.
  • Paradoks Kelembapan (The Humidity Paradox): Temuan yang lebih mengejutkan datang dari analisis kelembapan relatif jam 3 sore (3 p.m. relative humidity, pada Gambar 12). Berlawanan dengan intuisi, AI menemukan bahwa ketika kelembapan berada antara 40% dan 60%, hal itu justru memiliki dampak negatif pada risiko.1 Dengan kata lain, secara statistik lebih aman terbang dalam kondisi tersebut. Para peneliti tidak berspekulasi mengapa, tetapi ini mungkin menunjukkan kondisi cuaca yang sangat stabil (misalnya, mendung tapi tenang, tanpa turbulensi termal). Namun, begitu kelembapan melebihi 60%, risiko "naik tajam" (rises sharply). Dan ketika mencapai 70% atau lebih, kelembapan "berkontribusi nyata" terhadap terjadinya insiden.1

Inilah kekuatan sebenarnya dari XAI. Seorang ATCO manusia mungkin waspada terhadap angin kencang atau kelembapan tinggi. AI kini dapat berkata: "Perhatian: angin saat ini 65 km/jam DAN kelembapan 65%. Kedua faktor tersebut baru saja melewati ambang batas 'lonjakan' risiko tersembunyi mereka secara bersamaan. Probabilitas insiden kini 92%."

 

Namun, Apakah Ini Cukup? (Sebuah Kritik Realistis)

Meskipun temuannya sangat kuat, penelitian ini memiliki satu keterbatasan besar, yang diakui secara terbuka oleh para penulis: ia berfokus pada musuh yang dikenal.

Keterbatasan utama dari studi kasus verifikasi ini adalah bahwa ia terbatas pada data lalu lintas udara konvensional—yaitu, pesawat terbang komersial dan pribadi.1 Kerangka kerja ini belum diuji pada tantangan terbesar di masa depan: manajemen lalu lintas drone (UTM).

Alasannya sederhana: masalah "keterbatasan ketersediaan data lalu lintas UAS".1 Secara teoritis, kerangka kerja AI dan XAI ini "dapat diterapkan secara langsung" ke UTM segera setelah dataset yang matang tersedia.1 Tetapi untuk saat ini, itu masih sebatas teori.

Namun, kelemahan ini bukanlah akhir dari cerita; ini adalah panggilan untuk bertindak bagi seluruh industri penerbangan. Penelitian ini secara efektif telah membangun, menguji, dan membuktikan sebuah 'mesin' yang mampu mengelola risiko penerbangan secara transparan dan akurat. Mesin ini sekarang 'lapar data'. Apa yang menghalangi penerapan kerangka kerja ini untuk merevolusi manajemen drone? Jawabannya adalah kurangnya dataset insiden UAS yang terstandarisasi, matang, dan dapat diakses publik. Laporan ini, oleh karena itu, merupakan argumen terkuat yang mendukung kolaborasi industri untuk berbagi data demi membuka kunci masa depan UTM yang aman.

 

Dari Data ke Kokpit: Bagaimana Tampilan 'Peringatan' AI Ini Sebenarnya

Model yang hebat tidak berguna jika informasinya mengganggu atau membingungkan operator manusia. Bagian terakhir dari penelitian ini berfokus pada jembatan penting: Human-Machine Interaction (HMI), atau bagaimana data ini disajikan kepada ATCO.1

Konsep Graphical User Interface (GUI) yang diusulkan para peneliti sangat cerdas karena dirancang untuk mengelola aset ATCO yang paling berharga: perhatian kognitif.1 Daripada membanjiri operator dengan data, sistem ini bekerja dalam dua mode berbeda 1:

  1. "Silent Mode" (Mode Senyap): Ketika model XAI terus memprediksi risiko rendah (misalnya, angin di bawah 60 km/jam dan kelembapan di bawah 60%), sistem tetap diam. Itu hanya menampilkan status tenang di sudut layar: "Predictive Alert: Active".1 Sistem ini membangun kepercayaan dengan tidak terus-menerus "menangis serigala" atau menginterupsi alur kerja.
  2. "Prompt Mode" (Mode Peringatan): Saat ambang batas risiko terlampaui, sistem langsung bertransisi. Status "Active" berubah menjadi "Predictive Alert: Warning" dan berkedip untuk menarik perhatian visual. Secara bersamaan, tag atau label pesawat yang terkait dengan risiko tersebut (misalnya, yang terbang menuju area berisiko) juga berkedip di layar radar utama.1

Ini adalah terjemahan sempurna dari data XAI ke dalam tindakan kognitif. Sistem tidak mengambil alih. Ia tidak memberi perintah. Ia bertindak sebagai co-pilot yang sempurna: ia mengarahkan perhatian manusia yang tak tergantikan ke tempat yang paling dibutuhkan, tepat pada saat itu dibutuhkan, dengan semua bukti pendukung (dari SHAP dan LIME) yang siap ditampilkan jika operator bertanya "Mengapa?"

 

Jika Diterapkan: Masa Depan 'Tim' Manusia-AI di Angkasa

Penelitian ini lebih dari sekadar latihan akademis dalam prediksi cuaca. Ini adalah cetak biru. Para peneliti telah menetapkan "metode yang layak" (feasible method) untuk meningkatkan dan memperkuat human-autonomy teaming (kolaborasi tim antara manusia dan mesin otonom).1

Jika kerangka kerja ini diterapkan, dampaknya dalam lima tahun ke depan bisa sangat besar. Ini bisa menjadi standar industri yang digunakan untuk sertifikasi Decision-Support Systems (DSS) berbasis AI, memastikan bahwa tidak ada lagi black box yang diizinkan beroperasi di menara kontrol.

Tujuan akhirnya, seperti yang dinyatakan oleh para peneliti, adalah untuk "memperkuat kepercayaan timbal balik (mutual trust) antara ATCO dan sistem".1 Kepercayaan inilah, yang dibangun di atas transparansi dan penjelasan yang dapat diverifikasi, yang pada akhirnya akan memungkinkan sistem ATM dan UTM di masa depan untuk menangani kepadatan lalu lintas yang masif dengan aman.

Para peneliti di RMIT University tidak hanya membangun AI yang lebih cerdas; mereka membangun AI yang bisa dipercaya. Dan di angkasa, kepercayaan adalah segalanya.

 

Sumber Artikel:

Explanation of Machine-Learning Solutions in Air-Traffic Management, diakses Oktober 27, 2025, https://doi.org/10.3390/aerospace8080224

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Insiden Penerbangan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui Tentang 'Penerjemah Pikiran' AI

Perekonomian

Ekonomi Sirkular dan Produktivitas Industri: Strategi Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Oktober 2025


Selama lebih dari satu abad, sistem ekonomi global didominasi oleh model linear — take, make, dispose — yang menitikberatkan pada ekstraksi sumber daya alam, produksi massal, dan konsumsi cepat. Meskipun model ini berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pesat, ia juga meninggalkan jejak ekologis yang dalam: degradasi lingkungan, limbah industri berlebih, dan ketergantungan tinggi terhadap sumber daya alam yang terbatas.

Di tengah tantangan perubahan iklim dan keterbatasan material, muncul paradigma baru yang disebut ekonomi sirkular (circular economy). Berbeda dengan sistem linear, ekonomi sirkular berupaya mempertahankan nilai produk, material, dan sumber daya selama mungkin dalam siklus ekonomi melalui re-use, repair, remanufacture, dan recycle. Pendekatan ini tidak hanya menekan limbah, tetapi juga menciptakan peluang baru bagi produktivitas industri dan inovasi berkelanjutan.

Laporan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) menegaskan bahwa ekonomi sirkular bukan semata agenda lingkungan, melainkan strategi ekonomi yang dapat memperkuat daya saing industri dan mendorong pertumbuhan inklusif.
Dengan efisiensi sumber daya dan peningkatan nilai tambah melalui desain berkelanjutan, konsep ini membuka ruang bagi transformasi industri menuju sistem produksi yang lebih cerdas, hemat energi, dan ramah lingkungan.

 

Prinsip Utama Ekonomi Sirkular 

Ekonomi sirkular didasarkan pada gagasan bahwa kesejahteraan ekonomi tidak harus bergantung pada konsumsi sumber daya alam yang terus meningkat. Berbeda dari sistem ekonomi linear yang mengekstraksi bahan mentah, memproduksi, mengonsumsi, lalu membuang ekonomi sirkular berupaya menutup siklus sumber daya, menjaga agar nilai material, energi, dan produk tetap berputar selama mungkin dalam sistem ekonomi.

UNIDO mendefinisikan ekonomi sirkular sebagai an industrial system that is restorative or regenerative by intention and design — sebuah sistem industri yang dirancang secara sadar untuk memperbarui dirinya sendiri, bukan menguras sumber daya.
Pendekatan ini menuntut perubahan mendasar dalam cara perusahaan mendesain produk, mengelola rantai pasok, serta mendefinisikan nilai ekonomi.

Secara konseptual, terdapat tiga prinsip utama yang menjadi pilar ekonomi sirkular:

1. Desain untuk Menghilangkan Limbah dan Polusi

Prinsip pertama berfokus pada pencegahan, bukan perbaikan. Dalam paradigma linear, limbah dianggap sebagai hasil tak terelakkan dari produksi; sementara dalam paradigma sirkular, limbah adalah konsekuensi dari desain yang keliru.
Dengan pendekatan eco-design dan life-cycle thinking, produk dirancang agar bahan penyusunnya dapat digunakan kembali, mudah diperbaiki, atau dipisahkan untuk proses daur ulang.

Sebagai contoh, perusahaan elektronik global kini mulai menggunakan desain modular untuk memperpanjang umur perangkat dan memudahkan perbaikan. Di industri otomotif, desain kendaraan dengan komponen yang dapat dipisahkan mempercepat proses remanufaktur dan menekan penggunaan logam baru. Dengan demikian, desain sirkular tidak hanya mengurangi limbah, tetapi juga meningkatkan efisiensi biaya dan produktivitas material.

2. Menjaga Produk dan Material Tetap Digunakan Lebih Lama

Prinsip kedua adalah memperpanjang umur produk melalui pemeliharaan, perbaikan, reuse, dan remanufacture.
Dalam konteks industri, strategi ini berarti menciptakan nilai ekonomi baru dari aset yang sudah ada suatu bentuk produktifitas sekunder yang mengubah paradigma konsumsi.

UNIDO menekankan bahwa model bisnis berbasis sirkular seperti product-as-a-service (PaaS) dan leasing system dapat memperkuat efisiensi sumber daya. Misalnya, perusahaan manufaktur yang sebelumnya menjual mesin kini beralih menyediakan layanan operasional per jam. Dengan cara ini, produsen tetap bertanggung jawab atas pemeliharaan, efisiensi energi, dan umur panjang produknya menciptakan insentif ekonomi untuk inovasi berkelanjutan.

Prinsip ini juga sejalan dengan tujuan produktivitas: menghasilkan output maksimal dari input yang terbatas.
Ketika setiap unit produk dapat digunakan lebih lama dan diperbarui kembali, total nilai ekonomi yang dihasilkan meningkat tanpa harus menambah eksploitasi sumber daya baru.

3. Regenerasi Sistem Alam dan Pemulihan Nilai Material

Prinsip ketiga menempatkan ekonomi sirkular dalam konteks ekologi. Berbeda dari pandangan ekonomi tradisional yang melihat alam hanya sebagai sumber input, pendekatan sirkular berupaya mengembalikan fungsi ekosistem melalui regenerasi. Dalam praktiknya, ini mencakup pemanfaatan bahan organik untuk kompos atau bioenergi, serta pemulihan nilai logam, plastik, dan bahan anorganik melalui daur ulang canggih.

Prinsip regeneratif ini juga berarti bahwa proses industri harus dirancang agar selaras dengan kapasitas alam memperbarui dirinya.
Misalnya, limbah organik dari sektor pertanian dapat diubah menjadi energi biogas atau pupuk alami, menutup siklus energi dan nutrien. Pendekatan ini bukan hanya ramah lingkungan, tetapi juga menciptakan rantai nilai baru yang memperkuat ketahanan ekonomi lokal dan mengurangi ketergantungan impor bahan baku.

Integrasi Prinsip-Prinsip Sirkular dalam Praktik Industri

Ketiga prinsip tersebut saling terhubung dalam kerangka Resource Efficient and Cleaner Production (RECP) yang diusung UNIDO.
RECP menekankan bahwa produktivitas dan keberlanjutan tidak harus berjalan terpisah.
Melalui efisiensi energi, penghematan bahan baku, dan pengurangan limbah, perusahaan dapat mencapai peningkatan produktivitas yang sejalan dengan tujuan lingkungan.

Dalam berbagai studi kasus UNIDO, penerapan RECP di industri manufaktur menurunkan konsumsi energi hingga 20–30 persen, meningkatkan pemanfaatan material lebih dari 25 persen, serta mengurangi biaya produksi tanpa mengorbankan kualitas.
Artinya, transisi menuju ekonomi sirkular pada dasarnya adalah strategi produktivitas industri.

Lebih jauh lagi, ekonomi sirkular menuntut perubahan sistemik dari model bisnis, pola konsumsi, hingga kebijakan publik.
Ia mendorong sinergi antarindustri melalui konsep eco-industrial park, di mana limbah dari satu perusahaan menjadi sumber daya bagi perusahaan lain. Pendekatan ini menciptakan efisiensi kolektif, memperkuat inovasi lintas sektor, dan membuka peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.

 

Ekonomi Sirkular dan Produktivitas Industri

Hubungan antara ekonomi sirkular dan produktivitas industri dapat dipahami melalui satu konsep kunci: efisiensi dalam penggunaan sumber daya. Selama ini, pertumbuhan industri seringkali dikaitkan dengan peningkatan input — energi, bahan mentah, dan tenaga kerja. Namun, dalam konteks ekonomi sirkular, pertumbuhan yang berkelanjutan justru dicapai melalui optimalisasi output dari input yang ada. Dengan kata lain, perusahaan tidak perlu menambah sumber daya untuk meningkatkan nilai, tetapi memperpanjang siklus nilai dari sumber daya yang telah dimiliki.

Menurut laporan UNIDO, transisi menuju ekonomi sirkular mampu menciptakan “produktivitas ganda”: perusahaan tidak hanya meningkatkan efisiensi produksi, tetapi juga menekan biaya eksternal seperti limbah dan emisi. Pendekatan ini menjadikan produktivitas tidak lagi semata ukuran output per jam kerja, melainkan kapasitas industri untuk menghasilkan nilai tambah bersih (net value creation) nilai yang memperhitungkan efisiensi energi, sirkulasi material, dan kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan.

1. Efisiensi Sumber Daya sebagai Sumber Produktivitas Baru

Dalam model sirkular, efisiensi sumber daya tidak hanya berfungsi sebagai strategi penghematan, tetapi juga mekanisme peningkatan produktivitas struktural. Dengan mengurangi pemborosan material, mengoptimalkan desain produk, dan memperpanjang umur aset, perusahaan memperoleh penghematan biaya yang langsung memperkuat margin laba. Selain itu, efisiensi material juga mengurangi risiko fluktuasi harga bahan baku global, sehingga meningkatkan stabilitas operasional jangka panjang.

Sebagai contoh, perusahaan tekstil yang menerapkan sistem daur ulang serat (fiber recycling) mampu menghemat hingga 30 persen bahan baku dan mengurangi konsumsi air hingga separuhnya. Hasilnya bukan hanya penurunan biaya produksi, tetapi juga peningkatan daya saing karena produk ramah lingkungan semakin diminati pasar internasional. Di tingkat makro, efisiensi sumber daya ini berkontribusi langsung pada peningkatan Total Factor Productivity (TFP) nasional, memperkuat struktur industri tanpa perlu ekspansi input besar-besaran.

2. Inovasi Model Bisnis dan Nilai Tambah Berkelanjutan

Ekonomi sirkular juga mendorong perubahan cara perusahaan menciptakan dan mengelola nilai. Alih-alih berfokus pada volume produksi, perusahaan diarahkan untuk membangun nilai dari siklus hidup produk yang lebih panjang dan berulang. Konsep seperti product-as-a-service (PaaS), leasing system, dan remanufacturing memperpanjang hubungan antara produsen dan konsumen sekaligus menciptakan arus pendapatan baru yang lebih stabil.

Dalam model PaaS, misalnya, perusahaan tidak lagi menjual mesin, melainkan menyediakan layanan penggunaan dengan biaya berbasis waktu atau kinerja. Pendekatan ini menciptakan insentif bagi produsen untuk menjaga kualitas dan efisiensi produk karena keuntungan mereka bergantung pada performa jangka panjang, bukan pada penjualan tunggal. Akibatnya, desain produk menjadi lebih tahan lama, efisiensi meningkat, dan limbah menurun, semua faktor yang mendukung produktivitas industri.

Lebih jauh lagi, inovasi sirkular membuka peluang bagi ekonomi jasa berbasis pemulihan nilai, seperti pengelolaan limbah elektronik, perbaikan produk, dan daur ulang bahan industri. Sektor-sektor ini menciptakan lapangan kerja baru, terutama bagi tenaga kerja dengan keterampilan teknis menengah, sekaligus memperluas basis produktivitas nasional.

3. Simbiosis Industri dan Efisiensi Kolektif

Ekonomi sirkular juga mendorong kolaborasi antarperusahaan dalam bentuk simbiosis industri (industrial symbiosis). Dalam konsep ini, limbah atau produk sampingan dari satu proses produksi digunakan sebagai input bagi proses lainnya. Contohnya, panas buangan dari pabrik semen dapat dimanfaatkan oleh industri makanan, atau sisa organik dari agroindustri digunakan sebagai bahan bakar biomassa.

Simbiosis industri menciptakan efisiensi kolektif yang melampaui efisiensi individual perusahaan. UNIDO mencatat bahwa kawasan industri yang mengadopsi sistem eco-industrial park mampu mengurangi emisi karbon hingga 25 persen dan menekan konsumsi energi lebih dari 20 persen. Selain dampak lingkungan, efisiensi kolektif ini meningkatkan daya saing kawasan industri secara keseluruhan, karena menurunkan biaya energi, logistik, dan pengelolaan limbah secara terintegrasi.

Dalam konteks Indonesia, penerapan konsep ini mulai terlihat di beberapa kawasan industri seperti Kawasan Industri Batamindo dan Jababeka, yang mulai menerapkan prinsip pertukaran energi dan limbah lintas perusahaan. Jika diperluas secara nasional, sistem ini dapat menjadi tulang punggung produktivitas hijau yang mendukung Visi Indonesia Emas 2045.

4. Produktivitas sebagai Ukuran Keberlanjutan

Penting untuk dipahami bahwa dalam kerangka ekonomi sirkular, produktivitas tidak lagi diukur hanya dari jumlah output yang dihasilkan, tetapi dari efisiensi penggunaan sumber daya per unit output serta kemampuan industri mempertahankan nilai ekonomi tanpa merusak ekosistem. Pendekatan ini membawa dimensi baru pada kebijakan produktivitas nasional — dari peningkatan kapasitas produksi menuju peningkatan kualitas pertumbuhan.

UNIDO menekankan bahwa keberhasilan ekonomi sirkular di masa depan bergantung pada kemauan industri untuk mengintegrasikan indikator keberlanjutan ke dalam sistem pengukuran kinerja produktivitas. Artinya, energy intensity, material circularity rate, dan waste recovery ratio perlu menjadi bagian dari indikator produktivitas sektor industri di samping ukuran konvensional seperti output dan laba bersih.

Dengan demikian, produktivitas dan keberlanjutan bukan dua agenda yang terpisah, melainkan dua dimensi dari paradigma pembangunan industri yang sama. Semakin efisien dan bersih proses produksi, semakin tinggi nilai tambah yang dapat diciptakan baik bagi perusahaan maupun bagi lingkungan ekonomi secara keseluruhan.

Secara keseluruhan, hubungan antara ekonomi sirkular dan produktivitas industri menegaskan bahwa masa depan pertumbuhan tidak lagi bergantung pada akumulasi sumber daya, tetapi pada inovasi dalam sirkulasi nilai. Ketika efisiensi, desain berkelanjutan, dan kolaborasi lintas sektor menjadi bagian dari strategi bisnis, industri dapat mencapai pertumbuhan yang berdaya saing sekaligus berketahanan fondasi penting menuju ekonomi hijau dan inklusif di abad ke-21.

Tantangan dan Peluang Implementasi (Versi Diperluas)

Transisi menuju ekonomi sirkular bukan hanya perubahan teknis, melainkan transformasi sistemik yang melibatkan seluruh rantai nilai  dari desain produk, proses produksi, hingga perilaku konsumsi. Meskipun potensinya besar, implementasi konsep ini masih menghadapi berbagai tantangan, baik di tingkat industri maupun kebijakan publik. Namun di sisi lain, sejumlah peluang strategis juga muncul seiring meningkatnya kesadaran global terhadap keberlanjutan dan efisiensi sumber daya.

1. Tantangan Struktural: Biaya Awal dan Keterbatasan Teknologi

Salah satu kendala utama dalam penerapan ekonomi sirkular adalah tingginya biaya investasi awal yang dibutuhkan untuk teknologi daur ulang, sistem logistik limbah, dan perancangan ulang proses produksi. Bagi banyak perusahaan, terutama UMKM, peralihan ke sistem sirkular dianggap mahal dan berisiko karena memerlukan adaptasi peralatan, pelatihan tenaga kerja, serta waktu untuk mengubah model bisnis.

Selain itu, ketersediaan teknologi pendukung masih terbatas, terutama di sektor industri tradisional seperti tekstil, makanan, dan konstruksi. Sebagian besar perusahaan masih mengandalkan mesin konvensional dengan efisiensi rendah, sementara fasilitas pengolahan material sekunder belum merata di seluruh wilayah. Keterbatasan ini menyebabkan biaya logistik daur ulang tinggi dan menghambat upaya perusahaan untuk mempertahankan nilai material dalam siklus ekonomi.

2. Tantangan Kelembagaan: Regulasi dan Koordinasi Lintas Sektor

Selain hambatan teknis, ekonomi sirkular juga menghadapi tantangan kelembagaan berupa tumpang tindih regulasi dan kurangnya koordinasi lintas kementerian. Kebijakan pengelolaan limbah industri, efisiensi energi, dan insentif hijau sering kali berjalan sendiri-sendiri tanpa kerangka koordinasi nasional yang jelas. Hal ini menyebabkan pelaku industri menghadapi ketidakpastian hukum dan kesulitan mengakses dukungan kebijakan.

Dalam konteks Indonesia, misalnya, pengaturan mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) belum sepenuhnya mendukung konsep waste-to-resource. Material yang sebenarnya masih memiliki nilai ekonomi tinggi kerap dikategorikan sebagai limbah berisiko, sehingga penggunaannya kembali memerlukan izin panjang dan proses administrasi yang kompleks. Kondisi ini perlu diatasi melalui reformasi regulasi berbasis prinsip sirkularitas, yang melihat limbah bukan sekadar residu, tetapi sebagai bahan ekonomi sekunder (secondary resource).

3. Tantangan Budaya dan Kognitif: Paradigma Industri dan Konsumen

Tantangan lain yang sering diabaikan adalah resistensi terhadap perubahan budaya produksi dan konsumsi. Banyak pelaku industri masih memandang efisiensi sumber daya sebagai tanggung jawab lingkungan, bukan strategi bisnis. Sementara itu, di sisi konsumen, preferensi terhadap barang murah dan cepat (fast consumption culture) menciptakan tekanan bagi produsen untuk terus memproduksi dalam volume besar dan siklus pendek.

Perubahan paradigma ini membutuhkan pendekatan edukatif dan insentif pasar. Kampanye kesadaran publik, label produk ramah lingkungan, serta mekanisme green procurement dapat membantu mendorong pergeseran permintaan menuju produk yang tahan lama, dapat diperbaiki, atau terbuat dari bahan daur ulang. Seiring waktu, kesadaran konsumen akan menjadi faktor penting dalam mempercepat transisi menuju ekonomi sirkular.

4. Peluang Teknologi: Digitalisasi dan Inovasi Material

Meskipun tantangannya besar, ekonomi sirkular juga membuka ruang inovasi yang luas. Kemajuan teknologi digital seperti Internet of Things (IoT), artificial intelligence (AI), dan blockchain memungkinkan sistem pemantauan material yang lebih efisien, transparan, dan terukur. Dengan teknologi ini, perusahaan dapat melacak siklus hidup produk, memprediksi waktu perawatan, serta mengoptimalkan penggunaan material untuk meminimalkan limbah.

Selain itu, inovasi dalam bidang teknologi material dan bioteknologi turut memperkuat penerapan ekonomi sirkular.
Material baru seperti bioplastik, serat alami terbarukan, dan bahan komposit hasil daur ulang kini menjadi alternatif yang layak secara ekonomi dan ramah lingkungan. Industri yang mampu mengadopsi inovasi ini berpotensi meningkatkan daya saing sekaligus memperluas pasar ke segmen hijau yang tumbuh pesat secara global.

5. Peluang Kebijakan: Ekonomi Hijau dan Insentif Produktivitas

Dari sisi kebijakan, momentum global menuju ekonomi hijau memberikan kesempatan strategis bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.Kebijakan seperti carbon pricing, green financing, dan extended producer responsibility (EPR) mendorong perusahaan untuk berinovasi dan memperbaiki rantai nilai mereka. Jika diintegrasikan dengan kebijakan produktivitas nasional, insentif hijau dapat menjadi motor peningkatan efisiensi industri.

Sebagai contoh, program green tax incentives atau super deduction untuk investasi efisiensi energi dapat menurunkan beban biaya awal yang selama ini menjadi hambatan utama penerapan sistem sirkular. Di sisi lain, pembangunan eco-industrial park dan inisiatif Resource Efficient and Cleaner Production (RECP) yang didorong UNIDO dapat menjadi laboratorium kebijakan bagi penerapan konsep ini secara lebih luas.

6. Peluang Ekonomi dan Sosial: Penciptaan Nilai dan Lapangan Kerja Hijau

Ekonomi sirkular tidak hanya menawarkan efisiensi ekonomi, tetapi juga penciptaan nilai sosial yang inklusif.
Sektor daur ulang, perbaikan produk, dan pengolahan limbah berpotensi menciptakan lapangan kerja baru bagi kelompok masyarakat dengan keterampilan menengah. Menurut estimasi UNIDO, transisi sirkular dapat menghasilkan jutaan green jobs di sektor pengelolaan limbah, energi biomassa, dan logistik material.

Di Indonesia, potensi ini dapat dimanfaatkan melalui penguatan rantai nilai lokal dan kolaborasi antara industri besar dan sektor informal. Dengan pengaturan kelembagaan yang tepat, pekerja sektor informal daur ulang dapat menjadi bagian dari ekosistem produktif yang lebih aman, terlatih, dan bernilai ekonomi tinggi.

7. Arah Transformasi ke Depan

Keberhasilan implementasi ekonomi sirkular bergantung pada kemampuan negara dan pelaku industri mengubah tantangan menjadi peluang produktif. Investasi dalam teknologi dan SDM harus dilihat sebagai bagian dari strategi produktivitas jangka panjang, bukan sekadar biaya transisi. Selain itu, kolaborasi lintas sektor — antara pemerintah, dunia usaha, lembaga riset, dan masyarakat — menjadi prasyarat agar sistem ekonomi sirkular dapat berfungsi secara penuh dan berkelanjutan.

Dengan dukungan kebijakan yang adaptif dan visi pembangunan hijau yang konsisten, ekonomi sirkular dapat menjadi fondasi bagi produktivitas industri yang resilien, efisien, dan berkeadilan. Transisi ini bukan hanya soal menjaga lingkungan, tetapi tentang menciptakan sistem ekonomi yang mampu bertahan, berinovasi, dan tumbuh dalam batas-batas planet yang sehat.

 

Arah Strategis untuk Indonesia

Bagi Indonesia, ekonomi sirkular bukan sekadar respons terhadap isu lingkungan global, tetapi strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi produktivitas jangka panjang. Dengan kekayaan sumber daya alam yang besar, populasi produktif yang terus tumbuh, dan tekanan terhadap kapasitas lingkungan yang meningkat, transisi menuju model ekonomi yang lebih efisien dan berketahanan menjadi keharusan strategis.

Laporan UNIDO (2023) menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin ekonomi sirkular di kawasan Asia Tenggara, asalkan mampu mengintegrasikan prinsip sirkularitas ke dalam kebijakan industri, energi, dan sumber daya manusia secara terkoordinasi.

1. Integrasi Ekonomi Sirkular dalam Kebijakan Produktivitas Nasional

Langkah pertama adalah menjadikan ekonomi sirkular sebagai komponen eksplisit dari kebijakan produktivitas nasional.
Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029 telah menempatkan efisiensi sumber daya dan inovasi hijau sebagai pilar utama peningkatan Total Factor Productivity (TFP).
Dengan memperkuat koneksi antara efisiensi energi, pengelolaan limbah industri, dan inovasi teknologi, ekonomi sirkular dapat menjadi instrumen utama untuk mewujudkan produktivitas yang berkelanjutan.

Kebijakan produktivitas yang berbasis sirkularitas tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan bahwa pertumbuhan tersebut tidak mengorbankan sumber daya masa depan. Hal ini selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan visi Indonesia Emas 2045, yang menekankan keseimbangan antara daya saing industri dan ketahanan ekologis nasional.

2. Membangun Infrastruktur dan Ekosistem Industri Hijau

Implementasi ekonomi sirkular membutuhkan infrastruktur pendukung yang kuat. Indonesia perlu mempercepat pembangunan zona industri hijau (eco-industrial parks) di berbagai daerah, di mana industri dapat saling memanfaatkan sumber daya, energi, dan limbah secara efisien. Model seperti ini sudah berhasil diterapkan di berbagai negara — misalnya Kalundborg Symbiosis di Denmark — dan kini mulai diadaptasi di kawasan industri seperti Kawasan Ekonomi Khusus Batam dan Jababeka.

Selain itu, perlu dikembangkan pusat inovasi sirkular (Circular Innovation Hubs) yang mempertemukan industri, akademisi, dan pemerintah dalam merancang solusi teknologi baru. Pusat ini berfungsi sebagai ruang riset terapan untuk mengembangkan teknologi daur ulang material, inovasi desain produk, serta platform digital untuk pelacakan sumber daya (resource traceability).

Dengan membangun ekosistem semacam ini, Indonesia dapat mempercepat penciptaan rantai nilai industri yang lebih efisien, berdaya saing, dan rendah karbon fondasi penting bagi produktivitas masa depan.

3. Insentif Fiskal dan Pembiayaan Hijau untuk Transformasi Industri

Transisi menuju ekonomi sirkular tidak dapat berjalan tanpa dukungan finansial yang memadai. Pemerintah perlu memperkuat instrumen insentif fiskal dan pembiayaan hijau agar industri memiliki dorongan ekonomi untuk berinovasi.Kebijakan seperti green tax incentives, super deduction tax untuk investasi efisiensi energi, serta pembiayaan berbiaya rendah melalui green bonds dapat membantu perusahaan menutupi biaya awal transformasi digital dan sirkular.

Selain itu, lembaga keuangan publik seperti Bappenas dan OJK dapat memperluas skema Sustainable Finance Roadmap untuk mencakup proyek daur ulang, pengolahan limbah, dan produksi energi terbarukan di tingkat industri kecil dan menengah.
Dengan cara ini, transformasi sirkular menjadi bukan hanya agenda lingkungan, tetapi juga strategi investasi produktif nasional.

4. Penguatan Kapasitas SDM dan Budaya Industri Sirkular

Penerapan ekonomi sirkular hanya akan berhasil jika didukung oleh tenaga kerja yang memiliki keterampilan dan pemahaman baru.
Pemerintah bersama industri dan lembaga pendidikan perlu memperluas program vokasi hijau (green vocational training) yang mengajarkan keterampilan seperti pengelolaan limbah industri, audit energi, desain produk berkelanjutan, dan analisis siklus hidup (Life Cycle Assessment).

Selain aspek teknis, diperlukan perubahan budaya industri — dari orientasi jangka pendek berbasis volume menuju orientasi nilai jangka panjang berbasis efisiensi dan inovasi. Program sertifikasi sirkular untuk manajer dan teknisi industri dapat membantu membangun kesadaran bahwa produktivitas modern tidak diukur dari seberapa banyak yang diproduksi, melainkan seberapa sedikit sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan nilai yang sama atau lebih tinggi.

5. Kolaborasi Multi-Pihak dan Tata Kelola Terpadu

Ekonomi sirkular memerlukan koordinasi lintas sektor yang kuat. Kementerian Perindustrian, Lingkungan Hidup, dan Ketenagakerjaan perlu bekerja dalam satu kerangka kebijakan terpadu, bersama pemerintah daerah dan sektor swasta. Kemitraan publik–swasta (public–private partnership) dapat menjadi instrumen efektif dalam memperluas investasi teknologi dan mempercepat transfer pengetahuan.

Selain itu, kerja sama internasional melalui UNIDO, OECD, dan ASEAN Circular Economy Framework dapat memberikan akses terhadap teknologi bersih, sumber pendanaan, serta standar industri hijau global. Dengan memperkuat tata kelola kolaboratif ini, Indonesia dapat mempercepat adopsi prinsip sirkular di seluruh rantai nilai industri nasional.

6. Ekonomi Sirkular sebagai Pilar Produktivitas Masa Depan

Secara strategis, ekonomi sirkular bukan sekadar kebijakan lingkungan, tetapi pondasi produktivitas masa depan. Ketika efisiensi sumber daya menjadi bagian dari sistem industri, daya saing nasional akan meningkat bukan karena eksploitasi sumber daya baru, tetapi karena kemampuan menciptakan nilai dari sumber daya yang sama secara berulang. Model ini menjadikan produktivitas Indonesia lebih tangguh terhadap krisis global baik akibat fluktuasi harga bahan baku, perubahan iklim, maupun tekanan pasar internasional terhadap praktik industri hijau.

Jika arah strategis ini dijalankan secara konsisten, Indonesia memiliki peluang nyata untuk menjadi pusat produksi sirkular di Asia Tenggara, dengan industri yang tidak hanya tumbuh cepat, tetapi juga tumbuh cerdas dan berkelanjutan.

 

Ekonomi sirkular tidak lagi dapat dipandang sebagai konsep alternatif, tetapi sebagai keharusan strategis bagi industri dan negara yang ingin tumbuh secara berkelanjutan. Paradigma ini menawarkan jalan keluar dari dilema klasik antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan, dengan mengubah cara nilai ekonomi diciptakan — bukan dari volume eksploitasi sumber daya, tetapi dari kemampuan mempertahankan nilai material, energi, dan produk selama mungkin dalam siklus ekonomi.

Bagi Indonesia, penerapan prinsip ekonomi sirkular memiliki makna yang lebih luas. Ia bukan hanya bagian dari kebijakan lingkungan, tetapi juga instrumen produktivitas nasional. Ketika efisiensi sumber daya, inovasi desain, dan kolaborasi industri diterapkan secara sistemik, maka output ekonomi meningkat tanpa harus menambah tekanan terhadap sumber daya alam.
Dengan kata lain, pertumbuhan dapat dicapai melalui kecerdasan penggunaan sumber daya, bukan melalui ekstensifikasi eksploitasi.

Hasil analisis UNIDO menunjukkan bahwa negara yang lebih cepat mengadopsi praktik sirkular cenderung memiliki Total Factor Productivity (TFP) yang lebih tinggi dan ketahanan industri yang lebih baik terhadap guncangan global. Indonesia, dengan potensi demografis dan kapasitas industrinya, memiliki peluang untuk menempuh jalur yang sama, asalkan transformasi ini diiringi oleh reformasi kelembagaan, peningkatan kompetensi SDM, dan dukungan kebijakan fiskal yang adaptif.

Transformasi menuju ekonomi sirkular juga berimplikasi sosial.
Model ini mampu menciptakan lapangan kerja baru di bidang daur ulang, perbaikan produk, teknologi material, dan logistik hijau.
Dengan memadukan strategi industri hijau, ekonomi digital, dan pengembangan keterampilan teknis, Indonesia dapat menumbuhkan ekonomi produktif yang inklusif dan berketahanan.

Lebih dari sekadar efisiensi, ekonomi sirkular membawa visi baru tentang produktivitas: bahwa kemajuan tidak diukur dari seberapa banyak yang dihasilkan, melainkan seberapa efisien dan berkelanjutan proses penciptaan nilai tersebut. Dalam konteks Visi Indonesia Emas 2045, paradigma ini menjadi fondasi bagi pembangunan industri yang tangguh, adil, dan ramah lingkungan. Membangun ekonomi sirkular berarti membangun masa depan yang efisien dan bertanggung jawab masa depan di mana produktivitas dan keberlanjutan berjalan seiring, dan kemajuan ekonomi tidak lagi harus dibayar dengan kerusakan ekologis. Inilah arah baru produktivitas Indonesia: tumbuh cerdas, berinovasi hijau, dan berdaya saing global.

 

Refrensi:

United Nations Industrial Development Organization. (2023). Circular economy: A new paradigm for sustainable industrial development. Vienna: UNIDO.
United Nations Industrial Development Organization. (2021). Resource Efficient and Cleaner Production (RECP) Programme: Global assessment report. Vienna: UNIDO.
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. (2023). Making Indonesia 4.0: Peta Jalan Industri Nasional. Jakarta: Kementerian Perindustrian.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2024). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kemenko Perekonomian.
Bappenas. (2022). Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia (RANES) 2023–2040. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Organisation for Economic Co-operation and Development. (2022). Global lessons for circular economy transition in emerging economies. Paris: OECD Publishing.

Selengkapnya
Ekonomi Sirkular dan Produktivitas Industri: Strategi Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Produktivitas Kerja

Transformasi Digital dan Produktivitas di Indonesia: Bukti Empiris dan Arah Kebijakan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Oktober 2025


Dalam dua dekade terakhir, transformasi digital telah menjadi salah satu penentu utama dinamika ekonomi global. Digitalisasi mengubah cara perusahaan memproduksi, mendistribusikan, dan berinteraksi dengan pasar. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, proses ini bukan sekadar adaptasi terhadap kemajuan teknologi, tetapi pergeseran struktural yang menentukan arah pertumbuhan jangka panjang.

Transformasi digital menghadirkan dua peluang besar. Pertama, digitalisasi mampu meningkatkan efisiensi proses produksi dan pengambilan keputusan melalui otomatisasi dan analisis data real time. Kedua, ia membuka ruang partisipasi ekonomi yang lebih luas, memungkinkan pelaku usaha skala kecil mengakses pasar dan sumber daya yang sebelumnya hanya dapat dijangkau oleh korporasi besar.

Namun, untuk Indonesia, digitalisasi bukan sekadar tren global, melainkan tulang punggung produktivitas nasional di masa depan.
Pertumbuhan ekonomi yang selama ini didorong oleh ekspansi input, tenaga kerja dan investasi fisik mulai menghadapi batas struktural. Dalam konteks tersebut, peningkatan Total Factor Productivity (TFP) melalui teknologi digital menjadi strategi utama untuk mempertahankan momentum pertumbuhan dan memperbaiki kualitas output ekonomi.

Laporan World Bank (2023) menunjukkan bahwa digitalisasi memiliki kontribusi signifikan terhadap peningkatan produktivitas di negara-negara ASEAN, terutama di sektor manufaktur dan jasa. Namun, kontribusi serupa di Indonesia masih tergolong moderat, disebabkan oleh kesenjangan adopsi teknologi, ketimpangan infrastruktur digital, serta disparitas keterampilan tenaga kerja.
Kondisi ini menjadikan kajian empiris tentang digitalisasi dan produktivitas di Indonesia sangat relevan, baik secara akademik maupun kebijakan.

Penelitian terbaru yang diterbitkan oleh Springer (2024) berupaya menjawab pertanyaan penting tersebut: sejauh mana transformasi digital berkontribusi terhadap peningkatan produktivitas di Indonesia, dan faktor apa yang menentukan keberhasilannya?
Dengan menggunakan data panel lintas sektor dan pendekatan ekonometrika, studi ini menemukan bahwa adopsi teknologi digital memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas perusahaan, meski dampaknya bervariasi tergantung pada tingkat kesiapan teknologi, ukuran perusahaan, dan kapasitas sumber daya manusia.

Temuan ini memberikan dasar empiris yang kuat bahwa digitalisasi bukan hanya alat bantu operasional, tetapi penggerak fundamental bagi pertumbuhan ekonomi yang efisien dan inklusif.
Lebih dari itu, hasil penelitian ini juga menegaskan perlunya kebijakan yang menempatkan transformasi digital dalam kerangka produktivitas nasional bukan sekadar strategi modernisasi industri.

Oleh karena itu, artikel ini akan membahas secara ringkas hubungan antara digitalisasi dan produktivitas di Indonesia, menyoroti hasil temuan utama penelitian tersebut, serta menggali arah kebijakan yang diperlukan agar manfaat transformasi digital dapat dirasakan secara luas dan berkelanjutan di seluruh lapisan ekonomi nasional.

 

Temuan Empiris Utama: Hubungan Digitalisasi dan Produktivitas

Penelitian Springer (2024) menyajikan bukti kuat bahwa digitalisasi berperan signifikan dalam meningkatkan produktivitas perusahaan di Indonesia. Berdasarkan analisis data panel lintas sektor industri, ditemukan bahwa perusahaan yang mengadopsi teknologi digital mengalami pertumbuhan produktivitas yang lebih tinggi secara konsisten dibandingkan dengan yang belum melakukan transformasi.

Korelasi positif ini terlihat jelas pada sektor manufaktur, logistik, jasa keuangan, dan perdagangan, di mana digitalisasi memiliki dampak langsung terhadap efisiensi rantai pasok, pengendalian biaya operasional, serta kecepatan pengambilan keputusan.
Dalam konteks manufaktur, adopsi Internet of Things (IoT) dan sistem produksi otomatis terbukti mampu mengurangi waktu henti produksi (downtime) serta meningkatkan akurasi penggunaan bahan baku.
Sementara di sektor jasa keuangan, penerapan teknologi analitik dan cloud computing mempercepat proses verifikasi transaksi serta menurunkan biaya administrasi hingga dua digit persentase.

Menariknya, efek digitalisasi tidak bersifat linier. Studi menemukan bahwa manfaat produktivitas dari digitalisasi baru terasa signifikan setelah perusahaan mencapai tingkat kematangan digital tertentu. Pada tahap awal, perusahaan seringkali menghadapi peningkatan biaya investasi baik untuk infrastruktur, pelatihan, maupun integrasi sistem sehingga dampak terhadap produktivitas bersifat lambat.


Namun, ketika adopsi teknologi sudah menyatu dengan proses bisnis dan budaya organisasi, terjadi lonjakan efisiensi yang substansial. Fenomena ini dikenal sebagai delayed productivity effect dan merupakan karakteristik umum dalam fase transisi digital di negara berkembang.

Selain itu, penelitian juga mengonfirmasi adanya perbedaan dampak berdasarkan skala perusahaan.
Perusahaan besar dan menengah dengan struktur organisasi mapan serta akses pendanaan yang kuat memperoleh manfaat produktivitas lebih besar. Sebaliknya, UMKM menghadapi hambatan signifikan dalam memanfaatkan potensi digitalisasi, terutama karena keterbatasan modal, minimnya literasi digital, serta rendahnya kemampuan integrasi sistem.


Sebagian besar UMKM hanya menggunakan teknologi digital untuk fungsi dasar seperti pemasaran atau komunikasi, bukan untuk otomasi proses produksi atau analisis data. Akibatnya, peningkatan produktivitas yang dihasilkan bersifat terbatas dan belum menciptakan dampak agregat yang berarti bagi perekonomian nasional.

Riset juga menemukan perbedaan antarwilayah yang cukup tajam. Perusahaan di wilayah Jawa dan sebagian Sumatra yang memiliki infrastruktur internet dan logistik lebih baik menunjukkan peningkatan produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah timur Indonesia. Kesenjangan infrastruktur ini memperkuat kesimpulan bahwa digitalisasi dan produktivitas tidak dapat dipisahkan dari konteks spasial dan kelembagaan. Tanpa pemerataan akses teknologi dan pelatihan, transformasi digital berpotensi memperdalam ketimpangan produktivitas antarwilayah.

Dari sisi tenaga kerja, penelitian menyoroti pentingnya kapasitas adaptif organisasi dan kompetensi SDM.Perusahaan yang memiliki tenaga kerja dengan keterampilan digital menengah–tinggi (misalnya operator sistem data, analis produksi, atau programmer) menunjukkan peningkatan produktivitas lebih besar dibandingkan yang masih bergantung pada tenaga kerja manual. Hal ini menegaskan bahwa digitalisasi bukan sekadar investasi teknologi, melainkan transformasi pengetahuan. Produktivitas baru muncul ketika teknologi dipadukan dengan kemampuan manusia untuk menggunakannya secara efektif

Temuan empiris ini memberikan pelajaran penting:

  • Transformasi digital bukan proses yang seragam, melainkan proses evolutif yang membutuhkan waktu, pembelajaran organisasi, dan dukungan kelembagaan.
  • Manfaatnya tidak datang otomatis dari investasi teknologi, tetapi dari kombinasi antara kesiapan SDM, inovasi manajerial, dan tata kelola digital yang baik.

Secara keseluruhan, hasil studi ini menunjukkan bahwa digitalisasi berkontribusi nyata terhadap peningkatan produktivitas di Indonesia, namun efeknya masih belum merata. Kesenjangan antarperusahaan, sektor, dan wilayah menandakan perlunya pendekatan kebijakan yang lebih terarah agar transformasi digital benar-benar menjadi kekuatan produktif bagi seluruh pelaku ekonomi nasional.

 

Analisis Kontekstual: Dimensi Sumber Daya Manusia dan Teknologi

Transformasi digital tidak dapat dilepaskan dari dua dimensi utama: kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan ketersediaan teknologi. Kedua faktor ini berperan sebagai prasyarat sekaligus penggerak utama produktivitas di era digital. Tanpa tenaga kerja yang siap dan infrastruktur teknologi yang memadai, investasi digital hanya akan menghasilkan modernisasi semu — bukan peningkatan efisiensi yang nyata.

1. Kapasitas Sumber Daya Manusia sebagai Faktor Penentu

Penelitian Springer (2024) menegaskan bahwa kualitas SDM memiliki efek moderasi yang kuat dalam hubungan antara digitalisasi dan produktivitas.
Perusahaan yang memiliki tenaga kerja dengan kompetensi digital menengah hingga tinggi mampu mengubah investasi teknologi menjadi efisiensi operasional dan peningkatan nilai tambah.
Sebaliknya, di perusahaan yang masih mengandalkan keterampilan konvensional, dampak positif digitalisasi menjadi terbatas.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa transformasi digital sejatinya adalah transformasi kompetensi.
Peningkatan produktivitas tidak terjadi karena perangkat digital itu sendiri, melainkan karena manusia yang mampu mengelolanya dengan efektif.
Hal ini menjelaskan mengapa investasi pada pelatihan digital, sertifikasi profesi, dan pendidikan vokasi berbasis teknologi menjadi semakin strategis bagi pertumbuhan industri nasional.

Sayangnya, laporan tersebut juga menemukan adanya ketimpangan signifikan dalam kesiapan tenaga kerja antarwilayah dan antarlevel industri. Tenaga kerja di wilayah perkotaan dan perusahaan besar cenderung lebih siap secara digital dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor tradisional, terutama manufaktur kecil dan industri berbasis sumber daya. Ketimpangan ini menimbulkan kesenjangan produktivitas yang semakin melebar situasi yang hanya bisa diatasi melalui kebijakan pengembangan keterampilan digital secara sistematis dan inklusif.

2. Infrastruktur dan Akses Teknologi

Dari sisi teknologi, penelitian menyoroti peran penting investasi dalam infrastruktur digital dan aset teknologi informasi.
Perusahaan dengan akses terhadap konektivitas internet stabil, perangkat keras modern, dan sistem manajemen data terintegrasi memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang masih beroperasi secara manual.

Investasi dalam Information and Communication Technology (ICT capital) terbukti memiliki kontribusi besar terhadap efisiensi proses produksi dan koordinasi antarunit bisnis. Teknologi seperti Enterprise Resource Planning (ERP), data analytics, dan cloud computing memungkinkan perusahaan mengurangi waktu pengambilan keputusan, menekan biaya inventori, serta meningkatkan ketepatan rantai pasok.

Namun, penelitian juga menekankan bahwa tingkat kesiapan teknologi antarperusahaan di Indonesia masih sangat beragam.
Sektor keuangan, telekomunikasi, dan logistik menunjukkan tingkat digitalisasi tinggi, sedangkan sektor pertanian dan manufaktur kecil masih tertinggal. Hal ini mencerminkan adanya “digital divide” yang tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga kelembagaan. Banyak pelaku industri kecil belum memiliki infrastruktur dasar seperti sistem komputerisasi manajemen atau data digital yang terdokumentasi dengan baik.

3. Sinergi SDM dan Teknologi sebagai Sumber Produktivitas Baru

Hubungan antara manusia dan teknologi bukan hubungan substitusi, melainkan komplementer.
Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas paling optimal terjadi ketika investasi teknologi disertai dengan penguatan kapasitas manusia. Perusahaan yang menyeimbangkan kedua aspek ini — teknologi dan pelatihan — menunjukkan peningkatan Total Factor Productivity (TFP) yang lebih cepat dibandingkan mereka yang hanya fokus pada salah satunya.

Dengan demikian, strategi digitalisasi yang berorientasi produktivitas harus menempatkan pengembangan keterampilan digital sebagai bagian dari investasi teknologi itu sendiri. Program reskilling dan upskilling tidak boleh dianggap sebagai pelengkap, melainkan inti dari kebijakan transformasi industri.

4. Implikasi untuk Pembangunan Produktivitas Nasional

Dari hasil analisis kontekstual ini, dapat disimpulkan bahwa produktivitas nasional di era digital bergantung pada kemampuan Indonesia untuk mengintegrasikan teknologi dan kompetensi manusia dalam satu ekosistem kebijakan. Kebijakan digital nasional yang hanya menekankan infrastruktur tanpa memperhatikan kapasitas SDM berisiko menciptakan ketimpangan baru, sementara strategi pengembangan tenaga kerja tanpa dukungan teknologi akan kehilangan relevansi terhadap kebutuhan industri masa depan.

Oleh karena itu, arah kebijakan transformasi digital Indonesia perlu menekankan tiga hal pokok:

  1. Pemerataan literasi digital melalui pendidikan formal dan pelatihan industri;

  2. Peningkatan akses terhadap teknologi dan infrastruktur digital bagi sektor kecil-menengah;

  3. Integrasi antara inovasi teknologi dan peningkatan kapasitas manusia dalam kebijakan produktivitas nasional.

Ketiganya akan menjadi dasar bagi pertumbuhan produktivitas yang berkelanjutan, sekaligus memastikan bahwa transformasi digital tidak hanya meningkatkan efisiensi ekonomi, tetapi juga memperluas inklusivitas sosial dan kesempatan kerja produktif di seluruh wilayah Indonesia.

 

Implikasi Kebijakan: Membangun Ekosistem Digital Produktif

Transformasi digital telah terbukti menjadi pendorong efisiensi dan inovasi di tingkat perusahaan. Namun, untuk memastikan bahwa dampak positif ini meluas ke seluruh perekonomian, diperlukan ekosistem digital nasional yang terintegrasi dan produktif. Ekosistem tersebut tidak hanya mencakup teknologi dan infrastruktur, tetapi juga regulasi, insentif, dan tata kelola yang mendorong kolaborasi lintas sektor.

1. Inklusi Digital sebagai Dasar Kebijakan Produktivitas

Penelitian menunjukkan bahwa salah satu hambatan utama produktivitas digital di Indonesia adalah ketimpangan akses dan adopsi teknologi antarwilayah dan antar-skala usaha.
Karena itu, langkah pertama adalah memastikan inklusi digital menjadi bagian inti dari kebijakan produktivitas nasional.
Pemerataan konektivitas internet, akses terhadap data, dan kemampuan penggunaan teknologi digital harus dipandang sebagai hak produktif setiap pelaku ekonomi, bukan sekadar fasilitas tambahan.

Program seperti Desa Digital, 100 Smart Cities, dan Ekosistem UMKM Go Digital perlu diintegrasikan dalam kerangka kebijakan produktivitas nasional, dengan fokus pada hasil ekonomi (output) bukan hanya jumlah pelaku yang terhubung secara digital.
Pendekatan berbasis hasil ini memastikan digitalisasi benar-benar berkontribusi pada peningkatan efisiensi, bukan hanya pada angka adopsi teknologi.

2. Penguatan Kapasitas SDM Digital dan Kelembagaan Industri

Kualitas sumber daya manusia tetap menjadi faktor kunci keberhasilan transformasi digital.
Kebijakan produktivitas perlu mengintegrasikan program pelatihan digital berskala nasional yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan.
Program seperti Digital Talent Scholarship dan SMK Pusat Keunggulan perlu diperluas dan disesuaikan dengan kebutuhan spesifik industri, termasuk manufaktur, logistik, dan jasa keuangan.

Selain individu, kapasitas kelembagaan juga perlu diperkuat. Banyak perusahaan, terutama UMKM, belum memiliki sistem manajemen berbasis data yang mampu menampung dan mengolah informasi produktivitas secara real time.
Pemerintah dapat mendorong adopsi sistem ini melalui skema insentif fiskal untuk digitalisasi, misalnya potongan pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam sistem ERP atau otomasi produksi.

3. Penguatan Infrastruktur dan Integrasi Teknologi Nasional

Ketersediaan infrastruktur digital yang merata menjadi fondasi bagi produktivitas berbasis teknologi.
Kebijakan perlu diarahkan untuk mempercepat pembangunan jaringan internet berkecepatan tinggi di luar Pulau Jawa, memperluas pusat data nasional (data centers), serta memastikan keamanan siber yang mendukung aktivitas bisnis digital.

Selain aspek fisik, integrasi antarplatform dan antarinstansi juga krusial.
Sistem digital pemerintah dan industri harus saling terhubung agar aliran data dan proses bisnis lebih efisien.
Konsep interoperability atau kemampuan sistem yang berbeda untuk berbagi dan memanfaatkan data bersama menjadi syarat penting dalam membangun ekosistem produktivitas digital yang inklusif.

4. Insentif Inovasi dan Investasi Teknologi Lokal

Hasil penelitian juga menegaskan pentingnya dukungan terhadap riset dan inovasi domestik.
Selama ini, sebagian besar teknologi yang digunakan di industri Indonesia masih berasal dari luar negeri, yang menyebabkan ketergantungan teknologi dan aliran nilai tambah keluar dari ekonomi nasional.
Untuk mengubah situasi ini, pemerintah perlu memperkuat National Research and Innovation Agency (BRIN) dan mendorong kemitraan riset antara perguruan tinggi dan sektor industri.

Skema seperti innovation voucher atau public–private co-funding dapat membantu perusahaan, terutama menengah dan kecil, melakukan eksperimen digital dengan risiko finansial yang terkendali.
Selain itu, kebijakan fiskal yang ramah terhadap investasi teknologi seperti super deduction tax untuk riset dan pelatihan  akan mempercepat proses modernisasi industri.

5. Kolaborasi Lintas Sektor untuk Produktivitas Nasional

Transformasi digital tidak bisa diserahkan pada pasar semata. Diperlukan koordinasi lintas kementerian dan sektor agar kebijakan produktivitas digital berjalan konsisten.
Kementerian Perindustrian, Kominfo, dan Ketenagakerjaan perlu berbagi peran dalam satu kerangka strategis yang menautkan inovasi, tenaga kerja, dan efisiensi industri.

Selain itu, kolaborasi antara sektor publik dan swasta harus diarahkan untuk membangun Digital Productivity Alliances platform kolaboratif di mana pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan komunitas teknologi bekerja bersama mengembangkan standar dan solusi produktivitas digital.
Langkah ini akan memastikan bahwa transformasi digital tidak hanya menguntungkan perusahaan besar, tetapi juga membuka ruang bagi partisipasi inklusif dari sektor menengah dan mikro.

6. Digitalisasi Sebagai Pilar Reformasi Produktivitas Nasional

Pada akhirnya, digitalisasi bukan sekadar alat efisiensi, tetapi strategi pembangunan nasional.
Kebijakan produktivitas di era digital harus mampu menggeser paradigma pembangunan ekonomi dari berbasis sumber daya alam menuju berbasis inovasi dan pengetahuan. Transformasi digital yang dikelola dengan baik dapat mempercepat transisi ini dengan menciptakan rantai nilai baru, memperkuat ekspor jasa berbasis teknologi, dan mendorong penciptaan lapangan kerja berkualitas tinggi.

Dengan arah kebijakan yang terukur, inklusif, dan kolaboratif, Indonesia berpotensi menjadikan transformasi digital sebagai sumber utama pertumbuhan produktivitas nasional, bukan sekadar agenda modernisasi teknologi.

 

Transformasi digital di Indonesia kini bergerak melampaui sekadar perubahan teknologi. Ia telah menjadi strategi produktivitas nasional, yang menentukan bagaimana perusahaan, tenaga kerja, dan kebijakan publik beradaptasi terhadap ekonomi berbasis pengetahuan. Temuan empiris dari studi Springer (2024) memberikan bukti kuat bahwa adopsi teknologi digital berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas di berbagai sektor, terutama di industri manufaktur, jasa keuangan, dan logistik.

Namun, dampak digitalisasi tidak bersifat otomatis. Manfaatnya baru terasa optimal ketika perusahaan memiliki kapasitas organisasi dan tenaga kerja yang siap secara digital. Kualitas SDM menjadi faktor pembeda antara digitalisasi yang sekadar simbolik dan yang benar-benar meningkatkan nilai tambah ekonomi. Karena itu, kebijakan produktivitas nasional tidak cukup hanya berfokus pada infrastruktur digital, tetapi juga pada pengembangan keterampilan manusia dan sistem manajemen yang adaptif.

Kesenjangan digital antarwilayah dan antar skala usaha masih menjadi tantangan besar. Tanpa upaya serius dalam pemerataan akses teknologi dan pelatihan digital, transformasi ini berisiko menciptakan produktivitas yang eksklusif hanya dinikmati oleh perusahaan besar dan kawasan maju. Untuk itu, strategi ke depan harus menempatkan inklusivitas digital sebagai pilar utama pembangunan produktivitas nasional, memastikan bahwa UMKM dan wilayah non-perkotaan dapat berpartisipasi dalam ekonomi digital secara bermakna.

Dari sisi kebijakan, transformasi digital perlu dikelola melalui ekosistem yang terintegrasi. Sinergi lintas sektor antara pendidikan, industri, dan riset harus diperkuat agar inovasi teknologi berjalan seiring dengan pengembangan kompetensi tenaga kerja. Selain itu, pemerintah perlu memastikan keberlanjutan investasi dalam riset dan infrastruktur digital agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga produsen pengetahuan dan inovasi.

Pada tingkat makro, digitalisasi menjadi kunci untuk menggerakkan Total Factor Productivity (TFP) — indikator utama yang menentukan daya saing jangka panjang suatu negara. Ketika produktivitas berbasis teknologi dan manusia berjalan beriringan, Indonesia memiliki peluang nyata untuk keluar dari jebakan pertumbuhan moderat dan menuju ekonomi bernilai tambah tinggi.

Dengan arah kebijakan yang konsisten, kolaborasi lintas sektor, dan keberpihakan terhadap inklusi digital, transformasi ini dapat menjadi fondasi bagi pencapaian Visi Indonesia Emas 2045: ekonomi produktif, inovatif, dan berdaya saing global.

 

Refrensi:

S&P Global. (2025, January). Indonesia Manufacturing PMI®: Manufacturing sector starts the year with strong expansion. S&P Global Market Intelligence.
Springer. (2024). Digital transformation and productivity in Indonesia: Empirical evidence and policy implications. Singapore: Springer Nature.
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. (2023). Making Indonesia 4.0: Peta Jalan Industri Nasional. Jakarta: Kementerian Perindustrian.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2024). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kemenko Perekonomian.

 

Selengkapnya
Transformasi Digital dan Produktivitas di Indonesia: Bukti Empiris dan Arah Kebijakan

Industri Manufaktur

Kebangkitan Sektor Manufaktur Indonesia Awal 2025: Optimisme di Tengah Tekanan Biaya

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 29 Oktober 2025


Sektor manufaktur Indonesia memulai tahun 2025 dengan sinyal pemulihan yang kuat. Berdasarkan laporan Purchasing Managers’ Index (PMI®) dari S&P Global, aktivitas industri meningkat untuk ketiga kalinya secara berturut-turut, dengan indeks naik menjadi 51,9 poin pada Januari  angka tertinggi sejak pertengahan 2024. Nilai di atas ambang batas 50,0 menandakan ekspansi, mengindikasikan bahwa sektor manufaktur kembali berada dalam fase pertumbuhan setelah menghadapi tekanan global yang panjang sepanjang 2023–2024, termasuk perlambatan ekonomi dunia dan ketidakpastian rantai pasok.

Pemulihan ini tidak terjadi secara kebetulan. Kenaikan PMI mencerminkan konsolidasi fundamental ekonomi Indonesia: stabilitas makroekonomi, daya beli domestik yang relatif terjaga, serta kebijakan industri yang mulai berorientasi pada peningkatan efisiensi dan daya saing ekspor. Sektor manufaktur, yang selama ini menjadi kontributor penting terhadap lapangan kerja dan pertumbuhan PDB, menunjukkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan pasar global dan dorongan kuat dari sektor hilir industri berbasis sumber daya.

Lebih jauh, tren positif ini memiliki makna strategis dalam konteks jangka panjang. Manufaktur bukan hanya mesin produksi, tetapi juga penggerak produktivitas nasional. Kinerja industri mencerminkan sejauh mana perekonomian mampu memanfaatkan tenaga kerja, modal, dan teknologi secara efisien. Karena itu, peningkatan PMI awal tahun ini menjadi indikator penting bahwa agenda transformasi industri menuju ekonomi bernilai tambah tinggi mulai menunjukkan hasil nyata.

Dengan ekspansi permintaan, peningkatan perekrutan tenaga kerja, dan optimisme bisnis yang menguat, Januari 2025 menjadi awal yang menjanjikan bagi sektor manufaktur Indonesia. Tantangannya kini adalah memastikan momentum ini dapat dipertahankan di tengah tekanan biaya dan inflasi input global yang masih tinggi.

Kinerja manufaktur Indonesia pada awal 2025 menunjukkan pola ekspansi yang semakin solid. Berdasarkan data S&P Global, indeks pesanan baru (new orders) meningkat secara signifikan dibandingkan bulan sebelumnya, didorong oleh kebangkitan permintaan domestik dan perbaikan kondisi pasar ekspor. Perusahaan manufaktur melaporkan peningkatan produksi di berbagai subsektor mulai dari barang konsumsi, elektronik, hingga bahan kimia menandakan bahwa momentum pertumbuhan kini mulai menyentuh lapisan industri yang lebih luas, bukan hanya sektor unggulan tertentu.

Kenaikan permintaan dalam negeri menjadi motor utama ekspansi ini. Setelah periode inflasi tinggi di 2023 yang menekan daya beli, stabilitas harga pada akhir 2024 dan meningkatnya keyakinan konsumen telah menghidupkan kembali permintaan terhadap produk manufaktur lokal. Di sisi lain, kebijakan pemerintah dalam mendorong belanja infrastruktur dan memperkuat pengadaan industri nasional turut memberikan efek pengganda yang signifikan. Sektor swasta merespons dengan meningkatkan aktivitas pembelian bahan baku dan memperluas kapasitas produksi untuk mengantisipasi lonjakan pesanan di kuartal pertama 2025.

Tidak hanya pasar domestik, permintaan ekspor juga mulai membaik setelah perlambatan global di tahun sebelumnya. Membaiknya kondisi logistik internasional dan stabilisasi harga komoditas mendorong pesanan baru dari negara mitra utama seperti Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat. Meski pemulihan ekspor masih bersifat hati-hati, tren ini memberi sinyal positif bagi kinerja perdagangan manufaktur Indonesia, terutama di sektor bernilai tambah seperti komponen elektronik dan produk kimia industri.

Salah satu indikator penting dari laporan PMI adalah waktu pengiriman pemasok (supplier delivery times) yang membaik, menandakan efisiensi logistik yang meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa rantai pasok nasional, yang sempat terganggu oleh krisis global dan kenaikan biaya transportasi, kini mulai pulih. Namun demikian, beberapa perusahaan masih menghadapi tantangan dalam hal ketersediaan bahan impor tertentu, terutama yang terkait dengan komponen teknologi menengah-tinggi, sehingga efisiensi pasokan tetap menjadi fokus kebijakan industri ke depan.

 

Kinerja dan Dinamika Permintaan

Kinerja manufaktur Indonesia pada awal 2025 menunjukkan pola ekspansi yang semakin solid. Berdasarkan data S&P Global, indeks pesanan baru (new orders) meningkat secara signifikan dibandingkan bulan sebelumnya, didorong oleh kebangkitan permintaan domestik dan perbaikan kondisi pasar ekspor.
Perusahaan manufaktur melaporkan peningkatan produksi di berbagai subsektor mulai dari barang konsumsi, elektronik, hingga bahan kimia menandakan bahwa momentum pertumbuhan kini mulai menyentuh lapisan industri yang lebih luas, bukan hanya sektor unggulan tertentu.

Kenaikan permintaan dalam negeri menjadi motor utama ekspansi ini. Setelah periode inflasi tinggi di 2023 yang menekan daya beli, stabilitas harga pada akhir 2024 dan meningkatnya keyakinan konsumen telah menghidupkan kembali permintaan terhadap produk manufaktur lokal. Di sisi lain, kebijakan pemerintah dalam mendorong belanja infrastruktur dan memperkuat pengadaan industri nasional turut memberikan efek pengganda yang signifikan. Sektor swasta merespons dengan meningkatkan aktivitas pembelian bahan baku dan memperluas kapasitas produksi untuk mengantisipasi lonjakan pesanan di kuartal pertama 2025.

Tidak hanya pasar domestik, permintaan ekspor juga mulai membaik setelah perlambatan global di tahun sebelumnya. Membaiknya kondisi logistik internasional dan stabilisasi harga komoditas mendorong pesanan baru dari negara mitra utama seperti Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat. Meski pemulihan ekspor masih bersifat hati-hati, tren ini memberi sinyal positif bagi kinerja perdagangan manufaktur Indonesia, terutama di sektor bernilai tambah seperti komponen elektronik dan produk kimia industri.

Salah satu indikator penting dari laporan PMI adalah waktu pengiriman pemasok (supplier delivery times) yang membaik, menandakan efisiensi logistik yang meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa rantai pasok nasional, yang sempat terganggu oleh krisis global dan kenaikan biaya transportasi, kini mulai pulih. Namun demikian, beberapa perusahaan masih menghadapi tantangan dalam hal ketersediaan bahan impor tertentu, terutama yang terkait dengan komponen teknologi menengah-tinggi, sehingga efisiensi pasokan tetap menjadi fokus kebijakan industri ke depan.

Peningkatan aktivitas produksi juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja baru, sebuah sinyal vital bagi produktivitas nasional. Dengan bertambahnya kapasitas operasi, banyak perusahaan melaporkan peningkatan perekrutan staf dan tenaga teknis untuk menjaga stabilitas output. Fenomena ini menunjukkan bahwa ekspansi manufaktur awal tahun bukan hanya bersifat reaktif terhadap permintaan pasar, tetapi juga bagian dari strategi jangka menengah untuk memperkuat struktur tenaga kerja dan kesiapan menghadapi pertumbuhan lanjutan.

Secara keseluruhan, dinamika permintaan yang membaik di awal 2025 menunjukkan titik balik penting bagi sektor manufaktur Indonesia. Kombinasi antara pulihnya konsumsi domestik, stabilisasi ekspor, dan perbaikan rantai pasok memberi dasar yang kuat untuk ekspansi berkelanjutan. Namun, untuk menjaga momentum ini, diperlukan dukungan kebijakan yang konsisten terutama dalam menjaga stabilitas harga bahan baku, memperkuat infrastruktur logistik, dan memperluas akses teknologi bagi industri kecil-menengah agar dampak pertumbuhan dapat tersebar lebih merata.

 

Optimisme dan Penyerapan Tenaga Kerja

Optimisme pelaku industri menjadi salah satu temuan paling menonjol dari laporan S&P Global PMI Januari 2025.
Setelah menghadapi ketidakpastian global sepanjang 2023–2024, perusahaan manufaktur kini menunjukkan tingkat kepercayaan yang lebih kuat terhadap prospek bisnis ke depan. Indeks ekspektasi output mencatat peningkatan tajam, menandakan bahwa mayoritas pelaku industri memperkirakan pertumbuhan permintaan akan terus berlanjut sepanjang tahun 2025.

Optimisme ini tidak muncul secara spontan, melainkan berakar pada perubahan kondisi fundamental industri.
Stabilitas nilai tukar, turunnya inflasi domestik, serta mulai pulihnya rantai pasok global menciptakan ruang bagi perusahaan untuk merencanakan ekspansi dengan lebih percaya diri. Selain itu, dorongan kebijakan pemerintah untuk mempercepat hilirisasi dan memperkuat basis manufaktur dalam negeri juga berkontribusi menciptakan lingkungan bisnis yang lebih kondusif.

Salah satu dampak langsung dari meningkatnya kepercayaan ini adalah perluasan tenaga kerja industri.
Data S&P Global menunjukkan bahwa pada Januari 2025, tingkat perekrutan tenaga kerja di sektor manufaktur Indonesia meningkat pada laju tercepat dalam dua setengah tahun terakhir. Perusahaan mulai menambah jumlah staf produksi, teknisi, serta tenaga administratif untuk mendukung peningkatan output dan menjaga kelancaran operasi.

Fenomena ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, sektor manufaktur kembali berfungsi sebagai motor penciptaan lapangan kerja formal, setelah beberapa tahun mengalami perlambatan akibat pandemi dan tekanan biaya produksi.
Kedua, peningkatan perekrutan juga menandakan pergeseran strategi industri dari bertahan ke ekspansi, sebuah langkah yang penting dalam memperkuat kapasitas produktif nasional.

Namun, peningkatan jumlah tenaga kerja belum tentu otomatis meningkatkan produktivitas jika tidak diikuti oleh peningkatan kualitas dan kompetensi. Banyak pelaku industri kini mulai menyadari perlunya investasi dalam pelatihan kerja, sertifikasi keahlian, dan digitalisasi proses produksi. Tren ini sejalan dengan arah kebijakan pemerintah dalam memperkuat upskilling dan reskilling tenaga kerja industri melalui program vokasi dan kemitraan dengan dunia usaha. Dengan demikian, ekspansi tenaga kerja di awal 2025 dapat menjadi momentum untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan bukan sekadar menambah kapasitas manual.

Selain aspek tenaga kerja, optimisme industri juga tercermin dari peningkatan aktivitas investasi internal. Banyak perusahaan melaporkan rencana untuk memperbarui peralatan produksi dan meningkatkan efisiensi energi, termasuk adopsi teknologi berbasis otomasi dan digitalisasi rantai pasok. Langkah ini bukan hanya untuk menekan biaya jangka panjang, tetapi juga sebagai strategi menghadapi kompetisi global yang semakin ketat.

Optimisme yang tumbuh di awal tahun juga memiliki dimensi sosial-ekonomi yang penting. Dengan meningkatnya kesempatan kerja di sektor manufaktur, pendapatan rumah tangga di kawasan industri berpotensi naik, yang pada gilirannya memperkuat konsumsi domestik menciptakan siklus produktivitas positif antara tenaga kerja, permintaan, dan produksi. Jika siklus ini dapat dijaga, maka manufaktur akan kembali memainkan perannya sebagai lokomotif utama pertumbuhan inklusif di Indonesia.

Singkatnya, peningkatan kepercayaan bisnis dan ekspansi tenaga kerja di awal 2025 bukan hanya tanda pemulihan, tetapi awal dari fase restrukturisasi industri yang lebih sehat dan produktif. Namun, tantangan tetap ada: menjaga keseimbangan antara pertumbuhan tenaga kerja dan peningkatan efisiensi agar produktivitas tidak hanya tumbuh dalam angka, tetapi juga dalam kualitas.
Dengan dukungan kebijakan pelatihan yang tepat, kemitraan industri pendidikan, dan penerapan teknologi yang inklusif, sektor manufaktur Indonesia berpotensi memperkuat pondasi produktivitas nasional secara berkelanjutan.

 

Tantangan: Tekanan Biaya dan Inflasi Input 

Di balik optimisme dan ekspansi produksi yang menguat, industri manufaktur Indonesia masih harus berhadapan dengan tantangan klasik yang terus membayangiyaitu tekanan biaya produksi dan inflasi input.
Laporan S&P Global mencatat bahwa biaya input, terutama bahan baku dan energi, mengalami kenaikan signifikan pada Januari 2025, sehingga menekan margin keuntungan banyak produsen.
Meski tidak setinggi lonjakan pasca-pandemi, tren kenaikan ini tetap menjadi faktor pembatas bagi percepatan produktivitas nasional.

 

1. Akar Tekanan Biaya: Faktor Global dan Domestik

Kenaikan biaya input sebagian besar dipicu oleh fluktuasi harga komoditas global serta gangguan rantai pasok regional. Harga minyak mentah dunia yang masih tinggi menular pada biaya energi dan logistik, sementara ketegangan geopolitik di beberapa kawasan perdagangan utama menyebabkan keterlambatan pasokan bahan mentah industri, seperti logam dasar dan bahan kimia impor.

Di tingkat domestik, tekanan juga datang dari kenaikan ongkos transportasi dan logistik, terutama bagi produsen di luar Pulau Jawa yang masih bergantung pada distribusi antarpulau. Keterbatasan efisiensi infrastruktur dan biaya pengiriman yang tinggi mempersempit ruang bagi perusahaan untuk menekan harga jual, sehingga daya saing produk Indonesia di pasar global menjadi lebih rentan.

2. Strategi Perusahaan: Menahan Harga, Menjaga Permintaan

Meski menghadapi tekanan biaya, sebagian besar perusahaan manufaktur memilih untuk tidak langsung menaikkan harga jual.
Langkah ini mencerminkan strategi hati-hati dalam menjaga loyalitas pelanggan dan mempertahankan permintaan yang baru pulih. S&P Global melaporkan bahwa kenaikan harga jual pada Januari hanya bersifat moderat, jauh lebih lambat dibanding kenaikan harga input.

Kebijakan menahan harga ini memang menekan margin keuntungan jangka pendek, namun di sisi lain menunjukkan kedewasaan manajerial dan stabilitas pasar. Perusahaan semakin sadar bahwa menjaga permintaan tetap stabil jauh lebih penting daripada sekadar menutupi biaya produksi. Strategi efisiensi internal, digitalisasi proses, dan diversifikasi bahan baku menjadi solusi yang banyak ditempuh untuk menahan laju inflasi biaya.

Beberapa perusahaan besar mulai beralih ke sumber energi yang lebih efisien, seperti gas alam dan panel surya industri, untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar impor. Sementara itu, pelaku industri menengah dan kecil mulai menerapkan sistem manajemen stok berbasis digital dan pembelian kolektif untuk menekan harga bahan baku melalui skala ekonomi.

3. Dampak Terhadap Rantai Pasok dan Kinerja Produksi

Tekanan biaya input tidak hanya memengaruhi harga jual akhir, tetapi juga menyulitkan perencanaan produksi jangka menengah.
Ketika harga bahan baku berfluktuasi cepat, perusahaan cenderung menahan ekspansi kapasitas karena ketidakpastian biaya.
Hal ini dapat menghambat kelancaran rantai pasok, terutama bagi sektor yang bergantung pada produksi berkelanjutan seperti tekstil, elektronik, dan makanan olahan.

Di sisi lain, ketergantungan pada bahan impor membuat sektor manufaktur Indonesia rentan terhadap volatilitas nilai tukar. Meskipun stabilitas rupiah cukup terjaga pada awal 2025, potensi pelemahan global dapat memicu tekanan baru terhadap biaya impor bahan mentah.
Karena itu, penguatan sektor hulu dan substitusi impor menjadi agenda penting dalam strategi jangka menengah pemerintah.

4. Peran Pemerintah: Menjaga Stabilitas dan Mendorong Efisiensi

Untuk menjaga momentum ekspansi manufaktur, pemerintah perlu memperkuat peran kebijakan industri dan fiskal dalam meredam dampak inflasi biaya.
Langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan meliputi:

  • Stabilisasi harga energi dan transportasi logistik, terutama untuk sektor berorientasi ekspor;

  • Peningkatan efisiensi rantai distribusi bahan baku, melalui integrasi sistem digital dan optimalisasi pelabuhan utama;

  • Insentif bagi industri efisien energi, termasuk pajak rendah bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi hijau; dan

  • Fasilitasi kemitraan bahan baku antarperusahaan domestik untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Selain itu, pemerintah juga perlu mempercepat implementasi kebijakan Making Indonesia 4.0 yang menekankan efisiensi berbasis teknologi digital dan otomasi. Dengan sistem produksi yang lebih pintar dan adaptif, industri dapat mengantisipasi fluktuasi biaya dengan lebih cepat dan akurat.

5. Implikasi Terhadap Produktivitas Nasional

Tekanan biaya yang tinggi menuntut perusahaan untuk tidak hanya berhemat, tetapi juga berinovasi. Dalam konteks produktivitas nasional, inflasi input dapat menjadi katalis positif jika mendorong efisiensi proses produksi, optimalisasi tenaga kerja, dan adopsi teknologi baru. Dengan kata lain, tekanan biaya dapat menjadi ujian bagi ketahanan industri sekaligus peluang untuk memperbaiki struktur efisiensi jangka panjang.

Namun, agar transformasi ini berhasil, dukungan kebijakan harus konsisten  baik dalam bentuk insentif fiskal, peningkatan kapasitas SDM industri, maupun koordinasi kelembagaan antara kementerian ekonomi dan perindustrian.

 

Makna Strategis bagi Perekonomian Nasional 

Ekspansi sektor manufaktur di awal 2025 memiliki makna strategis yang jauh melampaui pencapaian statistik bulanan. Ia mencerminkan kebangkitan kembali salah satu pilar utama ekonomi nasional yang selama dua dekade terakhir menunjukkan gejala stagnasi. Kenaikan indeks PMI menjadi 51,9 poin bukan hanya indikasi ekspansi aktivitas industri, tetapi juga sinyal awal bahwa mesin produktivitas nasional mulai bergerak lebih efisien.

 

1. Manufaktur sebagai Penggerak Produktivitas dan Ketenagakerjaan

Sektor manufaktur memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang tinggi terhadap perekonomian.
Setiap peningkatan aktivitas manufaktur mendorong pertumbuhan di sektor pendukung  mulai dari logistik, energi, hingga jasa keuangan sekaligus memperluas lapangan kerja formal dengan produktivitas lebih tinggi. Dengan meningkatnya permintaan dan perekrutan tenaga kerja baru, ekspansi manufaktur di awal 2025 berpotensi meningkatkan pendapatan rumah tangga serta memperkuat daya beli masyarakat, yang pada gilirannya mendukung stabilitas ekonomi domestik.

Lebih jauh, kinerja positif sektor manufaktur juga memperlihatkan keberhasilan sebagian kebijakan struktural yang digulirkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, seperti program hilirisasi sumber daya alam, Making Indonesia 4.0, dan revitalisasi industri padat karya berbasis ekspor. Jika kebijakan ini terus dikonsolidasikan, maka manufaktur dapat kembali menjadi penggerak utama produktivitas nasional bukan hanya dari sisi output, tetapi juga dari kualitas tenaga kerja dan kapasitas teknologi industri.

2. Momentum Pemulihan sebagai Titik Awal Transformasi Struktural

Kinerja industri di awal tahun ini juga menandai titik balik menuju transformasi struktural yang lebih matang.
Selama ini, kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia terus menurun, sementara sektor jasa tumbuh pesat namun belum berorientasi pada nilai tambah tinggi. Kenaikan PMI menunjukkan bahwa industri manufaktur mulai pulih dan memiliki peluang untuk mengembalikan peran strategisnya sebagai penggerak pertumbuhan produktif.

Namun, agar momentum ini tidak bersifat sementara, diperlukan konsistensi kebijakan industri dan koordinasi lintas lembaga.
Kebijakan moneter, fiskal, dan ketenagakerjaan harus diarahkan pada satu tujuan besar: memperkuat efisiensi dan daya saing industri nasional. Tanpa koordinasi, ekspansi industri akan mudah terhambat oleh tekanan biaya, infrastruktur yang tidak merata, atau mismatch keterampilan tenaga kerja.

3. Konektivitas Antara Pertumbuhan Industri dan Visi Indonesia Emas 2045

Dalam kerangka Visi Indonesia Emas 2045, pertumbuhan manufaktur memiliki posisi sentral.
Visi tersebut menargetkan Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi dengan struktur ekonomi berbasis inovasi dan produktivitas tinggi.
Sektor manufaktur, dengan kemampuan menghasilkan nilai tambah, menyerap tenaga kerja produktif, dan memperkuat ekspor, merupakan kunci untuk mewujudkan lompatan ekonomi tersebut.

Kinerja positif pada Januari 2025 menunjukkan bahwa fondasi menuju tujuan itu mulai terbentuk.
Namun, keberlanjutan pertumbuhan hanya dapat dijaga jika ekspansi industri diikuti dengan reformasi produktivitas yang mendalam:

  • Peningkatan investasi teknologi dan digitalisasi produksi,

  • Penguatan pendidikan vokasi dan upskilling tenaga kerja,

  • Insentif bagi riset dan inovasi industri, serta

  • Tata kelola rantai pasok yang efisien dan berkelanjutan.

Jika keempat elemen ini terintegrasi, maka manufaktur tidak hanya menjadi penyumbang PDB, tetapi juga pembentuk peradaban produktif yang memadukan inovasi, efisiensi, dan keberlanjutan sosial.

4. Penguatan Ketahanan Ekonomi dan Daya Saing Global

Makna lain dari kebangkitan manufaktur adalah meningkatnya ketahanan ekonomi nasional terhadap gejolak eksternal.
Ketika basis produksi dalam negeri menguat, ketergantungan terhadap impor barang jadi akan berkurang, sementara kapasitas ekspor produk bernilai tambah akan meningkat. Hal ini sejalan dengan arah National Industrial Policy 2025–2029 yang menekankan diversifikasi struktur ekspor dan pengurangan defisit neraca transaksi berjalan.

Di tingkat global, ekspansi manufaktur juga memperkuat posisi Indonesia dalam rantai nilai regional (regional value chains), terutama di Asia Tenggara. Dengan peningkatan kualitas produksi dan efisiensi logistik, Indonesia berpotensi menjadi pusat manufaktur menengah-tinggi di kawasan menggeser posisi tradisionalnya sebagai eksportir bahan mentah.

5. Dari Momentum ke Konsolidasi Produktivitas Nasional

Ekspansi manufaktur di awal tahun ini adalah momentum berharga namun tanpa konsolidasi, ia bisa cepat meredup.
Karena itu, dibutuhkan agenda produktivitas nasional yang konsisten, di mana sektor industri menjadi jangkar bagi kebijakan lintas bidang: pendidikan, investasi, dan riset. Pendekatan ini akan memastikan bahwa pertumbuhan tidak hanya terukur secara makro, tetapi juga berakar pada efisiensi mikro dan kemampuan inovasi di tingkat perusahaan.

 

Kebangkitan sektor manufaktur Indonesia pada awal 2025 menandai awal fase baru pemulihan ekonomi nasional. Peningkatan permintaan, ekspansi tenaga kerja, dan optimisme bisnis menunjukkan bahwa fondasi industri mulai menguat kembali. Namun, tantangan inflasi biaya dan efisiensi rantai pasok tetap menuntut perhatian serius agar momentum ini tidak berhenti pada pertumbuhan jangka pendek.


Ke depan, keberhasilan Indonesia dalam menjaga tren positif ini akan bergantung pada konsistensi kebijakan produktivitas, digitalisasi industri, dan penguatan sumber daya manusia. Jika dijaga dengan tepat, kebangkitan manufaktur ini bukan hanya tanda pemulihan melainkan langkah nyata menuju ekonomi produktif, berdaya saing, dan berkelanjutan yang menjadi fondasi Visi Indonesia Emas 2045.

 

Refrensi:

S&P Global. (2025, January). Indonesia Manufacturing PMI®: Manufacturing sector starts the year with strong expansion. S&P Global Market Intelligence.

 

Selengkapnya
Kebangkitan Sektor Manufaktur Indonesia Awal 2025: Optimisme di Tengah Tekanan Biaya

Transportasi

Menilai Dampak Sosial dan Lingkungan dalam Kebijakan Transportasi: Mewujudkan Infrastruktur yang Inklusif dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 29 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Kebijakan transportasi sering kali menilai proyek jalan hanya berdasarkan efisiensi ekonomi, tanpa mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan. Walter Hook (Institute for Transportation and Development Policy) menyoroti pentingnya memperhitungkan dampak eksternal seperti polusi udara, kebisingan, kecelakaan, dan pemisahan sosial (severance) dalam analisis ekonomi proyek jalan.

Pendekatan ini penting bagi Indonesia karena banyak proyek jalan di kota besar—seperti pembangunan jalan tol dan ring road—dapat meningkatkan kecepatan kendaraan, tetapi juga menciptakan hambatan bagi pejalan kaki dan pengguna non-motor. Tanpa perhitungan sosial yang menyeluruh, kebijakan publik berisiko mendorong ketimpangan mobilitas dan memperburuk akses masyarakat berpenghasilan rendah.

Kursus seperti Analisis Dampak Sosial dan Ekonomi Infrastruktur Publik di Diklatkerja menjadi relevan untuk memperkuat kemampuan teknokrat dan perencana kebijakan dalam merancang analisis sosial ekonomi yang komprehensif dan adil. Business with Social Impact.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan ekonomi tradisional (misalnya Highway Development and Management Model – HDM) sering mengabaikan:

  • Dampak terhadap pengguna non-motor seperti pejalan kaki dan pesepeda.

  • Biaya sosial akibat polusi, kecelakaan, dan pemindahan penduduk (involuntary resettlement).

  • Ketimpangan antara moda transportasi: jalan mobil disubsidi besar-besaran, sedangkan angkutan umum ditekan subsidi.

Sebagai contoh, proyek jalan di Surabaya yang diteliti oleh GTZ (2002) justru meningkatkan waktu tempuh warga miskin akibat sistem jalan satu arah dan penghalang pejalan kaki. Akibatnya, mobilitas masyarakat rendah malah menurun.

Namun, peluang muncul melalui penerapan Strategic Environmental Assessment (SEA) dan kebijakan “Least-Cost Planning” yang mempertimbangkan alternatif transportasi seperti busway dan jalur sepeda. Inisiatif seperti Kursus Manajemen Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah dapat membantu memperkuat perencanaan lintas moda yang berorientasi sosial. Berikut adalah kursus yang relevan Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Masukkan Biaya Sosial dalam Evaluasi Ekonomi Proyek Setiap proyek jalan harus menghitung biaya eksternal (polusi, kecelakaan, pemisahan sosial) dalam analisis cost-benefit.

  2. Terapkan Strategic Environmental Assessment (SEA) Pastikan dampak lingkungan dan sosial dianalisis sejak tahap awal perencanaan.

  3. Perkuat Pendekatan Mode-Based Targeting Prioritaskan pembiayaan untuk infrastruktur yang digunakan kelompok berpendapatan rendah (jalan kaki, sepeda, transportasi publik).

  4. Integrasikan Evaluasi Sosial dan Fiskal Analisis proyek tidak hanya fokus pada keuntungan ekonomi, tetapi juga efek terhadap keuangan pemerintah dan subsidi antar moda.

  5. Dorong Transparansi dan Partisipasi Publik Publikasikan hasil social impact assessment dan kontrak proyek untuk memastikan akuntabilitas serta partisipasi masyarakat.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan jalan bisa gagal bila hanya menekankan efisiensi kendaraan bermotor. Risiko kegagalannya mencakup:

  • Proyek jalan meningkatkan ketimpangan akses dan memperburuk keselamatan publik.

  • Evaluasi sosial hanya bersifat formalitas dan tidak berpengaruh pada keputusan pendanaan.

  • Tidak ada keseimbangan antara subsidi untuk mobil pribadi dan transportasi publik.

Untuk menghindarinya, pemerintah harus menerapkan tata kelola transportasi berkeadilan yang menilai proyek berdasarkan manfaat sosial, bukan sekadar kecepatan kendaraan.

Penutup

Pendekatan baru dalam evaluasi proyek jalan harus menempatkan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan sebagai inti kebijakan. Seperti ditekankan oleh Walter Hook, transportasi bukan hanya tentang efisiensi ekonomi, tetapi juga tentang siapa yang benar-benar diuntungkan dan siapa yang dirugikan.

Melalui pelatihan seperti yang diselenggarakan oleh Diklatkerja, para pembuat kebijakan di Indonesia dapat membangun sistem transportasi yang lebih inklusif, aman, dan ramah lingkungan.

Sumber

Hook, W. (2003). Appraising the Social Costs and Benefits of Road Projects. Institute for Transportation and Development Policy (ITDP).

Selengkapnya
Menilai Dampak Sosial dan Lingkungan dalam Kebijakan Transportasi: Mewujudkan Infrastruktur yang Inklusif dan Berkelanjutan
« First Previous page 25 of 1.285 Next Last »