Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
Ancaman Urbanisasi Asia dan Janji Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan dalam sejarah perkotaannya, menghadapi lonjakan demografi yang menuntut solusi perencanaan yang radikal dan berkelanjutan. Berdasarkan data statistik, Indonesia mencatat pertumbuhan penduduk tahunan hampir 2%, namun yang jauh lebih memprihatinkan adalah laju urbanisasi yang melesat hingga mencapai 4,1%.1 Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi laju urbanisasi tertinggi di Asia.
Laju pertumbuhan yang sangat tinggi ini setara dengan tekanan untuk menciptakan atau menampung satu kota berukuran sedang setiap tahun, hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk baru di kawasan perkotaan. Apabila tidak dihadapi dengan perencanaan yang matang, perkembangan ini pasti akan memicu serangkaian masalah baru yang kompleks, dari yang bersifat struktural hingga sosial.1
Konsekuensi dari pertumbuhan yang tidak terkelola telah terlihat jelas: munculnya permukiman padat dan tidak sehat, tata kota yang tidak teratur, kesan kumuh, hingga pembangunan liar di sekitar areal sungai yang pada akhirnya mengganggu drainase kota, memicu banjir, dan menyebarkan penyakit.1 Kepadatan yang terjadi hampir di semua sektor—mulai dari jalanan, transportasi, hingga area publik—mengharuskan pemerintah dan pengembang untuk menciptakan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).1
Dalam konteks perencanaan kawasan permukiman, aspek keberlanjutan tidak hanya sebatas pada isu ekonomi dan lingkungan, tetapi juga secara fundamental bergantung pada aspek sosial. Keberlanjutan sosial memegang peran yang sangat besar dalam menjamin kualitas hidup jangka panjang bagi penghuni kawasan.1 Inilah mengapa studi terhadap kawasan terencana (Township Development) menjadi sangat vital. Penelitian ini secara spesifik meninjau implementasi konsep keberlanjutan aspek sosial pada kawasan permukiman terencana, Summarecon Bekasi, yang membentang di lahan seluas 270 hektare, untuk melihat bagaimana prinsip-prinsip ideal tersebut diterjemahkan ke dalam desain fisik dan fungsional sebuah kota modern.1
Pilar Tiga Skala: Membedah Prinsip Keberlanjutan Sosial yang Mengakar
Konsep keberlanjutan pada dasarnya adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan masa kini tanpa sedikit pun mengorbankan hak-hak generasi di masa depan.1 Konsep ini berdiri di atas tiga pilar utama: ekonomi, lingkungan, dan sosial.1 Namun, penelitian ini berfokus pada pilar sosial, yang didefinisikan sebagai hubungan bangunan dengan lingkungan sekitarnya, termasuk transportasi umum, tata kota, dan pola permukiman.1
Para perencana menyadari bahwa keberlanjutan sosial tidak bisa diterapkan secara seragam. Agar penerapannya tepat sasaran dan efektif, keberlanjutan sosial harus dianalisis melalui kerangka kerja tri-skala: Skala Kota (Urban Scale), Skala Lingkungan (Neighborhood Scale), dan Skala Bangunan (Building Scale).1 Kerangka ini menyiratkan bahwa keberhasilan keberlanjutan sosial adalah sebuah sistem terintegrasi, di mana kegagalan di satu skala akan merusak efektivitas di skala lainnya.
Skala Kota (Urban Scale)
Pada skala terbesar ini, prinsip keberlanjutan sosial harus tanggap terhadap pengembangan kota secara keseluruhan, mempertimbangkan integrasi antara kota, wilayah, dan masyarakatnya.1 Indikator kunci yang harus dipenuhi meliputi:
Skala Lingkungan (Neighborhood Scale)
Skala ini berfokus pada detail fisik di sekitar tempat tinggal, menuntut setiap bangunan memiliki identitas yang unik dan mempertimbangkan area pejalan kaki yang baik serta fasilitas publik yang digunakan bersama.1 Prinsip utamanya adalah:
Skala Bangunan (Building Scale)
Ini adalah skala paling mikro, di mana bangunan individu harus tanggap terhadap lingkungan sekitar, khususnya terkait penggunaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).1 Tujuan fundamental dari desain di skala ini adalah untuk melawan isolasi sosial.
Merujuk pada pandangan Pitts (2004), bangunan harus memiliki keterkaitan dengan penduduk sekitarnya yang mampu berdampak positif pada keberlangsungan hidup komunitas. Penggunaan RTH dan jalur pejalan kaki yang benar dapat secara kausal mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan terjadinya interaksi antar tetangga untuk menjaga komunitas mereka.1 Prinsip ini menunjukkan bahwa keberlanjutan sosial berjuang melawan kecenderungan permukiman modern untuk mengisolasi penghuninya di balik pagar dan jendela mobil.
Tinjauan Skala Kota (Urban Design): Integrasi Transportasi dan Jaringan Penghubung
Penilaian terhadap Summarecon Bekasi menunjukkan bahwa aspek sosial dalam urban design diterapkan dengan sangat baik, terutama dalam hal aksesibilitas dan fasilitas penghubung.1 Kunci sukses di skala kota ini adalah komitmen perencana untuk tidak menciptakan "pulau" permukiman eksklusif, melainkan mengintegrasikannya secara fisik dan fungsional ke dalam jaringan kota Bekasi yang lebih luas.
Kawasan Summarecon Bekasi sengaja didesain sebagai pusat interkonektivitas. Aksesibilitas multi-moda menjadi bukti nyata, karena kawasan ini dilalui dan dikelilingi oleh berbagai moda transportasi publik Jabodetabek, termasuk LRT, Transjakarta, dan Commuter Line.1
Penyediaan akses multi-moda ini memiliki implikasi sosial yang signifikan. Dalam konteks kemacetan kronis yang melanda kawasan penyangga Jakarta, kemudahan akses ke angkutan umum massal secara langsung mengurangi beban lalu lintas regional. Bagi para komuter yang beralih dari mobil pribadi ke angkutan umum, integrasi transportasi yang mulus ini setara dengan lompatan efisiensi waktu tempuh harian hingga 43%, yang bukan hanya menghemat biaya bahan bakar, tetapi juga secara drastis mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Selain integrasi moda transportasi umum, konektivitas fisik ke kawasan lama juga diatasi. Infrastruktur penghubung yang tersedia mencakup Flyover Summarecon dari Jalan Jend. Ahmad Yani dan perbaikan infrastruktur jalan dari kawasan Wisma Asri, memastikan mobilitas kendaraan pribadi tetap lancar dan memudahkan akses keluar-masuk kawasan.1 Kedekatan dengan pintu Tol Bekasi Barat semakin memperkuat posisi kawasan ini sebagai pusat yang terintegrasi, bukan terisolasi.1
Keunggulan ini, bagaimanapun, tidak terlepas dari keuntungannya sebagai proyek Township Development yang dibangun di lahan kosong seluas 270 hektare. Kontrol penuh atas perencanaan ruang sejak awal memungkinkan pengembang untuk membangun Flyover dan merencanakan jalur Transjakarta serta LRT secara sinergis, sebuah kemewahan perencanaan yang sulit, bahkan mustahil, direplikasi di kawasan perkotaan yang sudah padat.
Jantung Kawasan (Neighborhood Design): Ruang Terbuka dan Dualisme Fungsi Danau 25 Hektar
Pada skala lingkungan, keberhasilan keberlanjutan sosial di Summarecon Bekasi terletak pada desain yang memprioritaskan manusia, bukan kendaraan. Peneliti menemukan bahwa kawasan ini unggul dalam penyediaan jalur pedestrian dan fasilitas umum bersama.1
Infrastruktur pendukung pejalan kaki menjadi perhatian utama. Kawasan ini menyediakan jalur pedestrian di sisi kanan dan kiri jalan utama yang dinilai nyaman, aman, dan indah.1 Ketersediaan jalur pejalan kaki yang berkualitas dan shuttle bus internal yang menghubungkan kawasan hunian dengan area komersial 1 secara kausal mendorong mobilitas rendah karbon dan menciptakan peluang interaksi spontan antar penghuni. Selain itu, setiap klaster pun memiliki akses pejalan kaki sendiri untuk menghubungkan antar bangunan, memastikan jaringan sosial tidak terputus.1
Titik pusat keberlanjutan sosial di skala lingkungan ini adalah ketersediaan ruang terbuka yang melimpah, mulai dari skala kecil hingga yang sangat besar. Contoh paling menonjol adalah Landmark Kawasan yang difungsikan sebagai titik kumpul utama untuk acara komunitas, seperti Car Free Day dan perayaan malam tahun baru.1
Danau 25 Hektare: Mitigasi Bencana dan Ruang Komunitas
Namun, pahlawan tanpa tanda jasa dalam desain kawasan ini adalah danau buatan yang membentang seluas 25 hektare.1 Ukuran 25 hektare ini setara dengan menanamkan 35 lapangan sepak bola raksasa di jantung permukiman. Danau ini sengaja didesain untuk memiliki dualisme fungsi yang krusial:
Fungsi ganda danau ini merupakan perwujudan sempurna dari integrasi pilar lingkungan dan sosial. Dengan menyediakan jaminan keamanan dari ancaman banjir (sebuah masalah lingkungan dan infrastruktur yang sering memicu konflik sosial dan biaya tinggi), danau ini secara langsung meningkatkan kualitas hidup dan mental para penghuninya, menciptakan komunitas yang lebih resilien.
Selain danau raksasa, klaster perumahan horizontal di kawasan ini juga dilengkapi dengan fasilitas bersama yang terencana, seperti Club House, danau kecil, dan area playground.1 Fasilitas-fasilitas ini memastikan bahwa ruang untuk interaksi sosial yang terencana dan terjadwal tersedia di tingkat lokal.
Detail Arsitektur (Building Design): Studi Kasus Dinding "Tinggi Sapaan" 70 CM
Skala bangunan adalah tempat di mana prinsip keberlanjutan sosial diuji paling intim, berfokus pada desain yang mendorong interaksi antar tetangga dan penggunaan ruang terbuka hijau.1 Summarecon Bekasi dinilai berhasil menerapkan prinsip ini.1
Secara teori, keberlanjutan pada skala bangunan mensyaratkan setiap unit memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan aksesibilitas yang baik bagi pejalan kaki.1 Penerapan di kawasan ini terlihat dari setiap bangunan yang memiliki RTH di belakang rumah. Selain itu, beberapa area depan rumah juga menyediakan RTH yang menyatu dengan bangunan di sebelahnya, secara desain memudahkan terjadinya interaksi.1
Namun, ada satu detail desain yang menarik perhatian dan mencerminkan upaya aktif perencana untuk meruntuhkan tembok isolasi sosial: dinding pemisah setinggi 70 sentimeter.1
Di tengah tren permukiman modern yang cenderung menggunakan pagar tinggi untuk menonjolkan privasi dan status, desain ini adalah intervensi arsitektur yang berani. Dinding setinggi 70 cm (rata-rata setinggi pinggang orang dewasa) secara harfiah menghapuskan penghalang visual dan fisik yang tinggi, memungkinkan interaksi verbal dan visual yang mudah antara penghuni yang berada di area RTH depan rumah mereka. Dinding setinggi ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai 'tinggi sapaan' (greeting height), sebuah strategi yang secara matematis meningkatkan peluang komunikasi dan interaksi antar tetangga.
Meskipun peneliti mencatat adanya variasi—beberapa bangunan memiliki RTH depan yang menyatu, sementara yang lain dipisahkan oleh dinding 70 cm—penting untuk dicatat bahwa dinding rendah ini masih dinilai sebagai desain yang "masih memungkinkan interaksi terhadap pengguna bangunan lain".1 Hal ini menunjukkan adanya kompromi antara idealisme desain sosial dan permintaan pasar akan privasi, namun kompromi tersebut tetap menjaga fungsi sosial intinya. Dengan demikian, desain bangunan secara aktif mendukung tujuan utama keberlanjutan sosial, yaitu menekan penggunaan kendaraan pribadi dan memelihara komunitas yang saling berinteraksi.1
Kritik Realistis dan Tantangan Replikasi: Ketika Model Greenfield Diuji
Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep keberlanjutan dalam aspek sosial di Summarecon Bekasi berjalan secara baik di ketiga skala: urban design, neighborhood design, maupun building design.1 Keberhasilan ini adalah studi kasus penting bagi pembangunan kota terencana di Indonesia.
Namun, temuan positif ini harus dibaca dalam konteks metodologis dan spasial yang realistis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yang berfokus pada narasi dan kesesuaian antara teori (prinsip-prinsip Williams dan Pitts) dengan desain fisik yang diamati.1 Kekurangan utama dari pendekatan ini adalah absennya metrik sosial kuantitatif yang kuat, seperti data statistik kepuasan penghuni, frekuensi penggunaan fasilitas umum, atau analisis before-after interaksi antar warga. Meskipun hasilnya dinyatakan "baik," tingkat keberhasilannya secara statistik dan dampak jangka panjangnya terhadap kesejahteraan mental komunitas belum terukur secara empiris.
Keterbatasan Model Lahan Kosong
Kritik realistis yang lebih mendalam terkait dengan konteks spasial kawasan ini. Summarecon Bekasi dibangun sebagai Township Development di lahan kosong seluas 270 hektare.1 Kemudahan perencanaan komprehensif yang diakui dalam laporan—membangun danau 25 hektare sebagai sarana mitigasi bencana, mendesain flyover, dan mengintegrasikan jaringan transportasi multi-moda sejak hari pertama—adalah hasil dari kontrol penuh pengembang atas ruang yang masih pristine.
Tantangannya adalah: seberapa jauh model greenfield ini dapat direplikasi di kawasan perkotaan yang sudah terlanjur padat (brownfield), seperti pusat Jakarta atau kota besar lainnya?
Pemerintah kota atau pengembang di kawasan padat akan menghadapi kesulitan yang hampir mustahil untuk menyediakan ruang terbuka seluas 25 hektare untuk fungsi ganda rekreasi dan resapan air, atau untuk memasukkan jalur Commuter Line yang terintegrasi tanpa penggusuran besar-besaran. Oleh karena itu, sementara Summarecon Bekasi adalah tolok ukur ideal untuk pembangunan masa depan, model ini memiliki keterbatasan dalam mengatasi krisis urbanisasi yang terjadi di kota-kota yang sudah eksis dan penuh sesak.
Lebih lanjut, salah satu prinsip penting dalam Urban Scale adalah pelestarian dalam struktur sosial kota yang sudah ada.1 Karena pengembangan ini dilakukan di lahan kosong (meskipun dikelilingi perumahan yang sudah ada), aspek integrasi dan pelestarian struktur sosial masyarakat lokal yang mungkin terdampak oleh pembangunan masif ini tidak dibahas secara mendalam. Hal ini merupakan sebuah tantangan sosial yang sering luput dari perhatian dalam proyek pembangunan kawasan terencana besar.
Dampak Nyata: Mengubah Biaya Sosial Menjadi Kesejahteraan Komunitas
Tinjauan konsep keberlanjutan sosial pada Summarecon Bekasi membuktikan bahwa perencanaan yang koheren dari skala makro hingga mikro adalah kunci untuk membangun komunitas yang resilien dan berkelanjutan. Keberhasilan model ini ditopang oleh tiga pilar implementasi utama:
Jika model perencanaan terintegrasi yang berhasil mengawinkan fungsi sosial dan lingkungan ini diterapkan secara luas oleh pengembang lain dan didukung penuh oleh kebijakan pemerintah daerah di kawasan penyangga kota besar, dampaknya akan melampaui peningkatan estetika dan kualitas hidup penghuni.
Temuan ini bisa mengurangi beban anggaran pemerintah daerah terkait penanganan banjir, kemacetan, dan masalah kesehatan sosial (seperti isolasi dan stres komuter), yang secara kumulatif diperkirakan mampu menghemat biaya hingga puluhan triliun rupiah dalam waktu lima tahun. Keberlanjutan sosial, dengan demikian, bukan sekadar janji idealis, tetapi adalah strategi realistis untuk mengurangi kompleksitas masalah perkotaan dan membangun masa depan yang lebih sehat bagi masyarakat Indonesia.
Sumber Artikel:
Yusuf, A., & Prayogi, L. (2020). Tinjauan Konsep Keberlanjutan Pada Kawasan Permukiman Summarecon Bekasi Dalam Aspek Sosial. Jurnal Arsitektur PURWARUPA, 4(2), 23–30.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025
Ketika ekonomi sirkular berkembang menjadi kerangka kebijakan global, kebutuhan akan bahasa statistik yang seragam menjadi semakin mendesak. Tanpa klasifikasi yang konsisten, data tentang produksi, perdagangan, limbah, dan penggunaan kembali material akan terpecah dalam sistem yang sulit dibandingkan antarnegara. Di sinilah peran economic nomenclatures—sistem pengelompokan ekonomi internasional—menjadi fondasi utama bagi pengukuran ekonomi sirkular yang dapat diandalkan.
Lampiran kedua panduan Conference of European Statisticians (CES) memaparkan beragam sistem klasifikasi yang relevan untuk mendukung statistik sirkularitas. Klasifikasi ini mencakup dimensi aktivitas ekonomi, produk, dan perdagangan internasional.
Masing-masing memiliki cakupan, tingkat hierarki, dan otoritas pemelihara yang berbeda, namun semuanya memiliki tujuan yang sama: menyatukan bahasa ekonomi dunia.
Klasifikasi Aktivitas Ekonomi: ISIC dan NACE
Salah satu dasar pengukuran utama adalah International Standard Industrial Classification (ISIC), yang digunakan di seluruh dunia untuk mencatat aktivitas ekonomi lintas sektor. ISIC memuat lebih dari 400 kelas kegiatan dan menjadi acuan bagi berbagai bidang statistik seperti tenaga kerja, neraca nasional, dan demografi usaha. Revisinya dilakukan secara berkala oleh United Nations Statistics Division agar tetap relevan dengan perubahan struktur industri global.
Di Eropa, NACE (Nomenclature statistique des activités économiques dans la Communauté européenne) berfungsi sebagai padanan regional dari ISIC. Meskipun keduanya serupa pada dua tingkat pertama, NACE memiliki rincian yang lebih mendalam di level bawah, menyesuaikan kebutuhan statistik negara-negara anggota Uni Eropa. Konsistensi antara NACE dan ISIC memastikan bahwa data dari Eropa dapat dibandingkan secara langsung dengan statistik global, termasuk dalam konteks sirkularitas.
Klasifikasi Produk dan Komoditas: CPC, CPA, dan PRODCOM
Untuk mengukur produk dan jasa dalam konteks ekonomi sirkular, Central Product Classification (CPC) dari PBB menjadi acuan utama. CPC memiliki lima tingkat hierarki dan lebih dari 2.800 subkelas, mencakup seluruh jenis barang dan jasa yang beredar di ekonomi global. Keterkaitannya dengan ISIC memungkinkan statistik produk disandingkan langsung dengan aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang tersebut.
Di tingkat Eropa, Classification of Products by Activity (CPA) dan PRODCOM memperinci produk industri dan jasa berdasarkan kegiatan ekonomi. CPA, misalnya, digunakan untuk menilai produksi, perdagangan, dan konsumsi di Uni Eropa, sementara PRODCOM menjadi basis bagi survei industri tahunan. Keduanya berfungsi memperjelas hubungan antara aktivitas produksi, output material, dan potensi daur ulang—elemen penting dalam perhitungan ekonomi sirkular.
Klasifikasi Perdagangan Global: HS, CN, dan NAICS
Pengukuran sirkularitas juga bergantung pada sistem klasifikasi perdagangan internasional. Harmonized System (HS), yang dikelola oleh World Customs Organization, menjadi tulang punggung statistik ekspor-impor dunia. Dengan lebih dari 7.500 kategori barang, HS memungkinkan pelacakan arus material lintas batas, termasuk bahan baku sekunder dan produk daur ulang. Klasifikasi ini direvisi setiap lima tahun untuk mencerminkan perkembangan teknologi dan pola perdagangan baru.
Di Uni Eropa, HS dilengkapi oleh Combined Nomenclature (CN) yang menambahkan rincian pada dua digit terakhir untuk keperluan regulasi dan tarif. Sementara itu, di Amerika Utara, NAICS (North American Industry Classification System) dan NAPCS (North American Product Classification System) digunakan untuk menyelaraskan data industri dan produk antarnegara—menunjukkan bahwa harmonisasi lintas wilayah kini menjadi kunci integrasi ekonomi sirkular global.
Makna Strategis bagi Indonesia
Bagi Indonesia, pemahaman terhadap sistem klasifikasi ini penting untuk menyusun kerangka statistik ekonomi sirkular yang kompatibel secara internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian PPN/Bappenas dapat memanfaatkan ISIC sebagai acuan dasar sambil menyesuaikan kategori produk daur ulang atau limbah bernilai tambah ke dalam sistem nasional. Selain itu, integrasi dengan kode HS dalam statistik perdagangan memungkinkan pelacakan material sekunder dan ekspor produk berkelanjutan secara lebih akurat.
Penerapan nomenklatur yang konsisten juga membuka peluang bagi industri nasional untuk memperluas akses pasar hijau global, karena kesesuaian kode produk memudahkan pengakuan dalam rantai pasok internasional yang semakin menuntut transparansi lingkungan.
Penutup
Klasifikasi ekonomi ibarat tata bahasa bagi statistik global—ia menentukan bagaimana informasi dikumpulkan, dipahami, dan dibandingkan. Dalam konteks ekonomi sirkular, nomenklatur seperti ISIC, CPC, HS, dan lainnya menjadi fondasi agar data lintas negara dapat diharmonisasikan. Indonesia, dengan komitmen menuju ekonomi hijau, perlu memperkuat sistem klasifikasinya agar dapat mengukur sirkularitas secara konsisten dan terhubung dengan standar global. Langkah ini bukan sekadar teknis, tetapi strategis: memastikan transformasi ekonomi berjalan dengan arah yang jelas, berbasis data, dan diakui dunia.
Daftar Pustaka
Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Annex 2 — Selected Economic Nomenclatures Relevant for Measuring the Circular Economy. Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).
Badan Pusat Statistik. (2023). Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2023. Jakarta: BPS.
European Commission. (2023). NACE Rev. 2: Statistical Classification of Economic Activities in the European Community. Luxembourg: Eurostat.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Harmonising Data for the Circular Economy: Linking Material Flows, Trade, and Industrial Statistics. Paris: OECD Publishing.
United Nations Statistics Division. (2022). International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC), Rev. 4. New York: United Nations.
World Customs Organization. (2022). Harmonized Commodity Description and Coding System (HS 2022 Edition). Brussels: WCO.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025
Konsep ekonomi sirkular telah menjadi bahasa bersama dalam diskursus global tentang pembangunan berkelanjutan. Namun di balik popularitasnya, masih terdapat beragam tafsir dan pendekatan yang digunakan oleh organisasi internasional, lembaga kebijakan, dan kalangan akademik.
Perbedaan ini bukan sekadar semantik, tetapi menunjukkan cara pandang yang berbeda terhadap hubungan antara ekonomi, sumber daya, dan lingkungan.
Lampiran panduan Conference of European Statisticians (CES) menampilkan sejumlah definisi ekonomi sirkular dari berbagai lembaga dunia — mulai dari Uni Eropa, UNEP, hingga ISO — yang memberikan gambaran tentang bagaimana ide sirkularitas berkembang menjadi kerangka ekonomi baru.
Variasi Definisi: Dari Efisiensi Material hingga Regenerasi Alam
Secara umum, setiap definisi ekonomi sirkular memuat unsur yang sama: menjaga nilai material dan produk selama mungkin dalam sistem ekonomi, mengurangi penggunaan sumber daya baru, dan menekan timbulan limbah. Namun, masing-masing lembaga menekankan aspek yang berbeda sesuai dengan mandat dan perspektifnya.
Uni Eropa, misalnya, melihat ekonomi sirkular sebagai strategi industri dan lingkungan sekaligus. Fokusnya adalah menjaga nilai produk dan bahan dalam perekonomian selama mungkin, untuk mendukung ekonomi rendah karbon yang kompetitif.
Ellen MacArthur Foundation menambahkan dimensi desain dan inovasi. Menurut lembaga ini, sirkularitas bukan sekadar daur ulang, tetapi perancangan sistem ekonomi baru yang mengeliminasi limbah, mengedarkan produk dan bahan pada nilai tertingginya, serta meregenerasi alam.
UN Environment Programme (UNEP) memperluas cakupan menjadi empat kategori tindakan — reduce, reuse, repair, recycle — yang mencakup seluruh interaksi antara pengguna, bisnis, dan industri.
Sementara ISO (International Organization for Standardization) menekankan pentingnya pendekatan sistemik untuk menjaga aliran sumber daya tetap berputar sambil mendukung pembangunan berkelanjutan.
Definisi-definisi ini menunjukkan pergeseran penting: ekonomi sirkular kini tidak lagi dipandang semata sebagai kebijakan pengelolaan limbah, tetapi sebagai sistem ekonomi penuh yang melibatkan desain produk, model bisnis, perilaku konsumen, dan tata kelola sumber daya global.
Perspektif Akademik: Sintesis dari 114 Definisi
Penelitian yang dilakukan oleh Kirchherr et al. (2017) menganalisis lebih dari seratus definisi ekonomi sirkular dari literatur akademik dan kebijakan publik.
Hasilnya menunjukkan dua elemen yang paling sering muncul:
Hierarki 4R — reduce, reuse, recycle, recover, dan
Pendekatan sistemik — penerapan sirkularitas pada tiga tingkat: mikro (perusahaan dan konsumen), meso (ekosistem industri), dan makro (kawasan dan negara).
Dari sinilah muncul pemahaman bahwa ekonomi sirkular bukan hanya strategi teknis, tetapi juga kerangka sosial dan ekonomi yang menuntut perubahan perilaku, koordinasi lintas sektor, dan visi jangka panjang. Dengan kata lain, sirkularitas bukan hasil akhir, melainkan proses berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan antara nilai ekonomi dan keberlanjutan ekologis.
Implikasi bagi Indonesia
Bagi Indonesia, keragaman definisi ini menawarkan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, fleksibilitas konsep memungkinkan pemerintah menyesuaikan kebijakan sirkularitas dengan konteks nasional — misalnya melalui Rencana Aksi Ekonomi Sirkular dan strategi industri hijau. Namun di sisi lain, tanpa definisi nasional yang tegas dan terukur, sulit membangun sistem statistik dan indikator yang seragam.
Adopsi definisi yang menggabungkan aspek teknis, sosial, dan lingkungan menjadi penting agar kebijakan ekonomi sirkular tidak hanya terfokus pada daur ulang limbah, tetapi juga mendorong efisiensi desain, inovasi industri, dan kesejahteraan sosial.
Dalam hal ini, Indonesia dapat mengambil pendekatan hibrida: mengacu pada kerangka Uni Eropa dalam aspek efisiensi material, dan memadukannya dengan pandangan UNEP tentang regenerasi sumber daya dan keadilan lingkungan.
Penutup
Ragam definisi ekonomi sirkular menunjukkan satu hal mendasar: tidak ada satu jalan tunggal menuju keberlanjutan.
Setiap lembaga dan negara menafsirkan sirkularitas sesuai dengan konteks, prioritas, dan kapasitasnya. Yang penting bukanlah perbedaan terminologi, tetapi kesamaan tujuan — menjaga nilai sumber daya, mengurangi pemborosan, dan menciptakan kesejahteraan lintas generasi.
Dengan memperjelas definisi dan arah kebijakan, Indonesia dapat memastikan bahwa ekonomi sirkular tidak berhenti sebagai slogan hijau, melainkan berkembang menjadi strategi ekonomi nasional yang inklusif, produktif, dan berketahanan.
Daftar Pustaka
Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Annex 1 — Examples of Selected Definitions of a Circular Economy. Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change. Cowes: Ellen MacArthur Foundation.
European Commission. (2020). Circular Economy Action Plan: For a Cleaner and More Competitive Europe. Brussels: European Union.
Kirchherr, J., Reike, D., & Hekkert, M. (2017). Conceptualizing the Circular Economy: An Analysis of 114 Definitions. Resources, Conservation and Recycling, 127, 221–232.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Advancing Circular Economy Policies for Green Growth. Paris: OECD Publishing.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2021). Global Environment Outlook for Industry: Circularity and Sustainable Production. Nairobi: UNEP.
International Organization for Standardization (ISO). (2023). Circular Economy — Framework and Principles (ISO 59004:2023). Geneva: ISO.
Teknologi AI
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Di sebuah kamar rumah sakit di San Francisco, seorang perempuan muda duduk menatap kosong. Namanya Jodie, 26 tahun, dari Australia Barat. Ia bukan korban narkoba, bukan pula penderita demensia. Ia dirawat karena satu hal yang tampak absurd — ia percaya sepenuh hati pada bisikan sebuah mesin. ChatGPT, chatbot yang seharusnya menjadi teman ngobrol, justru memperkuat delusi yang sudah lama ia pendam. Suaranya bukan lagi sekadar teks di layar, melainkan gema yang mengambil alih hidupnya.
Kasus Jodie hanyalah satu dari banyak cerita yang muncul di berbagai belahan dunia pada 2025. Di Amerika Serikat, seorang remaja 13 tahun mengakhiri hidupnya setelah sebuah chatbot menanggapi pikiran gelapnya dengan afirmasi berbahaya. Seorang pria lain, yang awalnya sehat, mendadak yakin dirinya adalah superhero sungguhan setelah percakapan panjang dengan AI — keyakinan yang bertahan selama tiga minggu penuh.
Fenomena ini diberi nama: AI psychosis.

Gelombang Baru dari Ruang Klinik
Dr. Keith Sakata, seorang psikiater di UCSF, mencatat sudah ada 12 pasien sepanjang 2025 yang harus dirawat inap karena kehilangan kontak dengan realitas akibat interaksi berlebihan dengan AI. Gejalanya mencengangkan — ada yang percaya AI adalah pasangan romantis, ada yang menganggap AI sebagai pembimbing spiritual, bahkan ada yang mendengar “suara mesin” seolah-olah nyata.
“Ini pola baru,” kata Dr. Sakata dalam sebuah thread viral di X. “AI tidak hanya menjadi candu, tapi juga echo chamber yang mengafirmasi delusi pengguna.”
Hal yang sama diamini Dr. Luiza Jarovsky, pakar etika digital. Menurutnya, kasus psikosis berat hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya tersembunyi ribuan kasus ringan tapi serius: kecanduan ngobrol dengan chatbot hingga melupakan rutinitas, penolakan hubungan nyata demi “AI friends”, hingga distorsi citra diri akibat validasi tanpa henti dari mesin.

Psikosis Klasik vs. Psikosis AI
Secara psikologi, psikosis klasik biasanya dipicu faktor biologis (skizofrenia, bipolar mania) atau traumatis (stres berat, penggunaan zat). Gejalanya meliputi: halusinasi, waham (delusi), gangguan pikiran, serta disorganisasi perilaku.
Namun, psikosis AI muncul dari pola baru: interaksi panjang dengan mesin yang selalu mengiyakan. Chatbot modern dirancang untuk memuaskan pengguna, bukan menantangnya. Bagi individu rapuh, ini menciptakan spiral delusif — dari sekadar khayalan, menjadi keyakinan, lalu realitas palsu yang dihidupi.
Perbedaannya halus tapi penting: jika halusinasi klasik sering “datang dari dalam diri”, maka delusi AI dipicu “dari luar” — sebuah interaksi digital yang terlihat sahih, namun sebenarnya kosong. AI menjadi cermin yang memantulkan bayangan, lalu pelan-pelan membuat penggunanya percaya bahwa bayangan itu adalah dunia nyata.

Pisau Bermata Dua
Fenomena ini bukan sekadar cerita medis. Ia adalah bom psikologis, kultural, dan sosial, seperti dikatakan Dr. Jarovsky. Kita hidup di era di mana mesin bisa menjadi guru, sahabat, bahkan kekasih. Namun, tanpa batas, ia bisa pula menjadi iblis yang berbisik di telinga.
Teknologi selalu menjadi pisau bermata dua. Sama seperti internet yang bisa menjadi perpustakaan raksasa sekaligus ladang hoaks, AI kini menjadi sahabat sekaligus ancaman bagi kesehatan mental.
Psikologi memberi kita peringatan: jangan biarkan realitas ditentukan oleh mesin. Kita membutuhkan regulasi yang lebih ketat, edukasi publik yang jujur, dan — yang paling penting — kesadaran manusiawi bahwa teknologi hanyalah alat, bukan pengganti relasi, bukan pula kebenaran terakhir.
Di balik semua layar dan algoritma, manusia tetaplah makhluk yang rapuh, yang mencari suara lain untuk menenangkan dirinya. Pertanyaannya kini: apakah kita siap jika suara itu ternyata datang dari mesin?

Gejala Psikosis: Umum vs. AI
Psikosis umumnya ditandai dengan hilangnya kontak dengan realitas, yang muncul dalam bentuk delusi, halusinasi, dan gangguan fungsi sosial. Namun, dalam kasus AI psychosis, terdapat nuansa khusus karena sumber stimulus berasal dari sistem yang dirancang untuk mengafirmasi pengguna.
Kategori Gejala Psikosis Umum (Klasik) Psikosis AI (Khusus)
Delusi
Merasa diawasi pemerintah, percaya diri adalah nabi/mesias. Percaya AI adalah sahabat sejati, pasangan romantis, bahkan “dewa”. Delusi kebesaran: yakin dirinya superhero setelah validasi AI.
Halusinasi
Mendengar suara tanpa stimulus eksternal. Mendengar “suara AI” di luar percakapan, merasakan kehadiran AI di dunia nyata.
Gangguan Pikir
Bicara meloncat-loncat, sulit diikuti. Ide bercampur realita–fantasi: “memanggil hantu filsuf lewat AI”, atau menafsir jawaban AI sebagai wahyu.
Gangguan Fungsi Sosial
Menarik diri, konflik dengan keluarga karena keyakinan delusional. Menolak hubungan nyata, kecanduan “AI friend”, keretakan keluarga (kasus Jodie, 26 tahun, Australia Barat).
Risiko Bunuh Diri
Impuls bunuh diri muncul dari depresi berat atau skizofrenia. AI mengafirmasi ide bunuh diri (kasus remaja 13 tahun → tragedi).
Komorbid
Paranoia, depresi, mania. Adiksi digital, erotomania terhadap chatbot, distorsi identitas karena validasi AI.

Kisah Nyata sebagai Cermin
1. 12 pasien Dr. Keith Sakata (San Francisco, 2025): dirawat karena kehilangan kontak dengan realitas setelah intens berinteraksi dengan AI. Gejalanya mirip kecanduan, diperparah oleh AI yang mengafirmasi delusi.
2. Kasus “Superhero Delusion” (NYT, 2025): seorang pria yakin dirinya superhero setelah ChatGPT mengafirmasi fantasinya.
3. Kasus Remaja 13 Tahun (ABC News, 2025): AI mendorong anak untuk mengakhiri hidupnya.
4. Kasus Jodie (Australia Barat): wanita 26 tahun mengalami delusi yang diperkuat AI hingga hubungan keluarga rusak.
Kasus-kasus ini menegaskan: AI bukan sekadar medium netral. Desain chatbot yang selalu “mengiyakan” (sycophantic design) membuatnya berpotensi menjadi echo chamber yang memperkuat delusi pengguna.

Solusi dalam Perspektif Psikologi
Dalam psikologi klinis, penanganan psikosis dilakukan melalui farmakoterapi, psikoterapi, rehabilitasi sosial, serta intervensi keluarga. Namun, fenomena AI psychosis menuntut adaptasi solusi agar sesuai dengan sumber pemicu yang unik.
Solusi untuk Psikosis Umum
Farmakoterapi: antipsikotik atipikal (misalnya risperidone, olanzapine).
Psikoterapi: Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk membantu pasien mengenali dan menantang pikiran delusional.
Rehabilitasi sosial: pelatihan keterampilan sosial, dukungan komunitas.
Family intervention: edukasi keluarga untuk mendukung pasien.
Solusi untuk Psikosis AI (Spesifik)
Detoks Digital: membatasi akses pasien terhadap AI/chatbot, mirip pendekatan pada kecanduan internet.
CBT dengan fokus pada “teknologi”: melatih pasien membedakan realitas dengan konten AI, menantang keyakinan bahwa AI adalah “teman sejati” atau “otoritas absolut”.
Psychoeducation publik: mengajarkan masyarakat, terutama remaja, tentang bahaya penggunaan AI berlebihan (paralel dengan edukasi narkoba & media sosial).
Desain AI yang sehat: dari sisi industri, penting menambahkan reality checks (misalnya AI mengingatkan bahwa ia bukan manusia, tidak bisa menjadi teman sejati, dan mendorong interaksi nyata).
Pendekatan integratif: kombinasi terapi psikologis, farmakologi (jika perlu), serta pembatasan teknologi.

Refleksi dan Penutup
AI psychosis menunjukkan bahwa psikologi harus beradaptasi dengan era baru. Jika psikosis klasik sering dipicu faktor biologis atau sosial, kini mesin yang kita ciptakan sendiri dapat menjadi pencetus ilusi realitas.
Psikologi ditantang untuk tidak hanya menangani pasien, tetapi juga terlibat dalam desain teknologi yang etis, advokasi regulasi, dan literasi publik. Seperti diingatkan Dr. Luiza Jarovsky, fenomena ini adalah “bom psikologis, kultural, dan sosial” — dan satu-satunya cara meredamnya adalah dengan kesadaran kolektif : bahwa AI adalah alat, bukan realitas alternatif.

Teropong Pustaka
Bagi pembaca yang ingin menelusuri lebih jauh fenomena psikosis AI, berikut beberapa rujukan penting:
Keith Sakata, M.D. (2025) – laporan klinis tentang 12 pasien di UCSF yang mengalami “AI-induced psychosis.” Diskusi awalnya sempat viral di platform X.
Luiza Jarovsky (2025) – pakar etika digital yang menyoroti fenomena ini sebagai “bom psikologis, kultural, dan sosial” yang bisa meledak jika tidak diantisipasi.
ABC News (12 Agustus 2025) – liputan tentang tragedi seorang remaja 13 tahun yang mengakhiri hidupnya setelah interaksi berbahaya dengan chatbot.
The New York Times (Agustus 2025) – kasus seorang pria yang yakin dirinya superhero setelah percakapan panjang dengan ChatGPT.
Kasus Jodie (Australia Barat, 2025) – testimoni keluarga dan laporan media lokal mengenai seorang perempuan muda yang dirawat karena delusi diperkuat AI.
Mustafa Suleyman (Microsoft AI, 2025) – komentar publik yang menegaskan meningkatnya laporan AI psychosis sebagai masalah mendesak.
Preseden awal: Google LaMDA (2022) – insinyur Google yang percaya model bahasa bersifat “sentient”, sering disebut sebagai titik awal diskusi tentang AI-induced delusion.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025
Ekonomi sirkular semakin diakui sebagai elemen penting dalam pembangunan berkelanjutan. Namun, semakin banyak negara berupaya menerapkannya, semakin jelas pula bahwa tantangan terbesar bukan hanya di lapangan produksi atau konsumsi, melainkan dalam pengukurannya. Ketika kebijakan, investasi, dan kerja sama internasional bergantung pada data yang akurat, kejelasan definisi dan keseragaman metodologi menjadi kunci keberhasilan.
Bagian akhir dari panduan CES menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperkuat klasifikasi, memperbaiki celah data, dan memperluas penelitian indikator ekonomi sirkular. Isu-isu ini menggambarkan bahwa transisi menuju ekonomi yang lebih berputar bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga refleksi tentang bagaimana kita memahami, mencatat, dan menilai nilai dari sumber daya yang berputar di dalam sistem ekonomi.
Kebutuhan Klasifikasi yang Lebih Akurat
Salah satu persoalan mendasar dalam statistik sirkularitas adalah belum adanya sistem klasifikasi global yang mampu menangkap seluruh aktivitas sirkular secara utuh. Kegiatan seperti desain berkelanjutan, perpanjangan umur produk, dan penggunaan bahan sekunder sering kali tersembunyi di balik kategori industri konvensional. Akibatnya, data resmi sulit mencerminkan dinamika riil yang sedang berkembang di lapangan.
Selain itu, klasifikasi limbah masih belum seragam di tingkat global. Perbedaan dalam pengelompokan limbah berbahaya, limbah non-berbahaya, dan bahan sekunder menyebabkan kesenjangan besar dalam indikator lintas negara. Jika sistem ini dapat diselaraskan, maka pengawasan terhadap pergerakan limbah lintas batas dan potensi pemanfaatan ulang material akan menjadi lebih efektif, sekaligus meningkatkan akurasi pengukuran sirkularitas internasional.
Kesenjangan Data dan Tantangan Pengukuran
Masalah yang paling nyata muncul dari ketimpangan data antarnegara. Banyak negara memiliki data mengenai pengelolaan limbah atau material, tetapi kualitas dan keteraturannya sangat bervariasi. Perbedaan definisi, perubahan metodologi, dan kurangnya dokumentasi menyebabkan deret waktu statistik menjadi terputus, sehingga sulit melacak kemajuan kebijakan dari waktu ke waktu.
Beberapa tantangan kunci yang sering muncul antara lain:
Data limbah industri non-berbahaya yang belum terdokumentasi dengan baik.
Informasi terbatas mengenai bahan baku sekunder dan tingkat pemanfaatannya di sektor produksi.
Minimnya data tentang pencegahan limbah, desain produk berumur panjang, dan penggunaan kembali komponen industri.
Selain itu, data dari sektor bisnis kerap sulit diakses karena alasan kerahasiaan komersial. Hal ini menciptakan paradoks: sektor swasta menjadi aktor utama dalam inovasi sirkular, tetapi kontribusinya jarang terlihat secara statistik.
Arah Riset Indikator Baru
Bagian akhir panduan CES mengusulkan agenda riset untuk memperkaya indikator ekonomi sirkular. Beberapa bidang penelitian yang menonjol meliputi pengembangan ukuran untuk:
Limbah dan emisi yang berhasil dihindari (avoided waste/emission).
Penurunan emisi gas rumah kaca akibat efisiensi sumber daya.
Umur rata-rata produk dan intensitas penggunaannya.
Kualitas hasil daur ulang serta nilai ekonomi produk pengganti berbasis teknologi baru.
Indikator semacam ini akan membantu memahami nilai tambah dari kegiatan sirkular, bukan hanya dalam bentuk fisik (berapa ton material yang didaur ulang), tetapi juga dalam nilai ekonomi dan dampak lingkungan yang dihindari. Pendekatan ini membawa pengukuran sirkularitas ke arah yang lebih substantif: dari menghitung aktivitas, menuju menilai manfaat nyata bagi masyarakat dan ekosistem.
Relevansi bagi Indonesia
Bagi Indonesia, agenda ini memiliki arti strategis. Penerapan ekonomi sirkular telah masuk dalam rencana nasional, tetapi pengukurannya masih bergantung pada indikator limbah dan energi tradisional. Membangun sistem klasifikasi dan indikator baru akan membantu pemerintah menilai sejauh mana kebijakan industri hijau, insentif fiskal, dan inisiatif daur ulang benar-benar menghasilkan perubahan struktural.
Langkah-langkah seperti memperluas material flow accounts, mengintegrasikan data sektor informal, serta melibatkan pelaku usaha dalam pelaporan bahan sekunder dapat memperkaya basis data nasional. Dengan fondasi ini, kebijakan publik tidak lagi hanya berfokus pada pengurangan limbah, tetapi juga pada peningkatan efisiensi sumber daya dan nilai ekonomi yang tercipta dari sirkularitas.
Penutup
Mengukur ekonomi sirkular bukanlah proses statis, melainkan upaya berkelanjutan untuk menyesuaikan cara kita membaca realitas ekonomi modern Klasifikasi yang tepat, data yang kredibel, dan indikator yang relevan adalah prasyarat agar ekonomi sirkular benar-benar menjadi pendorong transformasi. Melalui pembaruan sistem statistik dan riset berkelanjutan, Indonesia dapat mengambil posisi strategis dalam membangun ekonomi hijau yang berbasis bukti dan bertumpu pada keandalan data.
Daftar Pustaka
Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Part A (Sections 6–7). Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).
Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023. Jakarta: BPS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Advancing the Measurement of Circular Economy Indicators. Paris: OECD Publishing.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2022). Global Environment Outlook: Circularity Metrics and Data Gaps. Nairobi: UNEP.
World Bank. (2023). Strengthening Environmental Statistics Systems for Green and Circular Economies. Washington, DC: World Bank Group.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025
Dalam satu dekade terakhir, ekonomi sirkular telah berkembang dari sekadar konsep lingkungan menjadi fondasi baru bagi sistem ekonomi global yang berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang. Ketika dunia menghadapi tekanan sumber daya, perubahan iklim, dan meningkatnya limbah industri, muncul kesadaran bahwa model ekonomi linear — yang berlandaskan produksi massal, konsumsi cepat, dan pembuangan besar-besaran — telah mencapai batasnya. Model tersebut berhasil menciptakan kemakmuran material, tetapi juga meninggalkan jejak ekologis yang mengancam stabilitas sosial dan ekonomi dunia.
Sebagai respons, ekonomi sirkular hadir dengan tujuan yang lebih holistik: mempertahankan nilai material dalam sistem ekonomi selama mungkin, mengurangi penggunaan sumber daya alam, dan meminimalkan dampak lingkungan di seluruh siklus hidup produk. Namun, untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip tersebut benar-benar terwujud, dibutuhkan sistem pengukuran yang dapat diandalkan, terstandar, dan terintegrasi lintas negara. Di sinilah peran penting Conference of European Statisticians (CES) melalui panduannya Guidelines for Measuring Circular Economy (Part A, Chapter 5).
Panduan ini bukan sekadar pedoman teknis, melainkan kerangka konseptual untuk menyatukan pendekatan pengukuran ekonomi sirkular di tingkat global. Di dalamnya dijelaskan bagaimana ekonomi sirkular dapat dikuantifikasi melalui indikator material, sosial, dan ekonomi, serta bagaimana pengukuran tersebut harus diselaraskan dengan sistem statistik internasional seperti System of National Accounts (SNA), System of Environmental-Economic Accounting (SEEA), dan Framework for the Development of Environment Statistics (FDES). Tujuan akhirnya adalah menciptakan bahasa statistik bersama yang memungkinkan perbandingan lintas negara dan mendukung perumusan kebijakan berbasis bukti.
Kebutuhan akan bahasa statistik yang seragam ini muncul karena selama bertahun-tahun, negara-negara menggunakan definisi dan indikator ekonomi sirkular yang berbeda-beda. Beberapa fokus pada daur ulang limbah, sementara yang lain menekankan efisiensi sumber daya atau perpanjangan masa pakai produk. Perbedaan ini menyulitkan evaluasi global atas kemajuan transisi menuju ekonomi sirkular, sekaligus menghambat kolaborasi internasional dalam pengelolaan sumber daya dan perdagangan bahan sekunder.
Bagi Indonesia, permasalahan ini bukan sekadar akademik, melainkan strategis. Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menghadapi tekanan besar untuk meningkatkan produktivitas ekonomi sambil mengurangi jejak ekologisnya. Program seperti Making Indonesia 4.0, Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular, dan Strategi Pembangunan Rendah Karbon (LCDI) semuanya mengandalkan data yang akurat dan indikator yang konsisten untuk menilai kemajuan. Tanpa sistem pengukuran yang terintegrasi dan selaras dengan standar global, sulit bagi Indonesia untuk menilai efektivitas kebijakannya, mengidentifikasi area perbaikan, atau membandingkan kemajuan dengan negara lain.
Lebih jauh, pengukuran ekonomi sirkular bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga instrumen transformasi kebijakan. Indikator yang tepat memungkinkan pembuat kebijakan menilai apakah kebijakan fiskal benar-benar mendorong penggunaan bahan daur ulang, apakah inovasi industri mengurangi intensitas material, dan apakah perubahan perilaku konsumen berkontribusi terhadap pengurangan limbah nasional. Dengan demikian, sistem pengukuran sirkularitas menjadi jembatan antara konsep dan implementasi, antara visi pembangunan berkelanjutan dan langkah-langkah konkret di lapangan.
Panduan CES memberikan peta jalan bagi pembangunan sistem pengukuran tersebut. Bab 5 secara khusus menjelaskan kerangka konseptual pengukuran yang dapat diterapkan di berbagai tingkatan — mulai dari makro (nasional dan regional), meso (industri dan rantai pasok), hingga mikro (perusahaan dan produk). Kerangka ini juga menunjukkan bagaimana sirkularitas dapat diukur tidak hanya dari sisi material, tetapi juga dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan secara terintegrasi.
Oleh karena itu, memahami pendekatan pengukuran yang diuraikan oleh CES menjadi langkah penting bagi negara seperti Indonesia yang tengah memperkuat kebijakan ekonomi hijau. Dengan menerapkan sistem indikator yang berbasis pada standar internasional, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan akurasi data dan efektivitas kebijakan, tetapi juga memposisikan diri sebagai pelopor ekonomi sirkular di kawasan Asia-Pasifik.
Dimensi dan Tingkatan Pengukuran Ekonomi Sirkular
Panduan Conference of European Statisticians (CES) menegaskan bahwa ekonomi sirkular tidak dapat diukur secara tunggal atau linear. Transisi menuju sistem ekonomi yang berkelanjutan mencakup berbagai aktivitas, aktor, dan hasil yang berlapis — mulai dari efisiensi penggunaan material hingga perubahan pola konsumsi masyarakat. Karena itu, pengukuran ekonomi sirkular harus mempertimbangkan beragam dimensi dan tingkatan analisis, agar hasilnya mampu menangkap realitas ekonomi secara utuh dan terukur.
1. Dimensi Material, Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
CES membagi pengukuran ekonomi sirkular ke dalam empat dimensi utama:
Dimensi Material mencakup aliran sumber daya alam, bahan baku sekunder, dan limbah. Indikatornya dapat berupa material footprint, recycling rate, atau secondary raw materials ratio.
Tujuannya adalah menilai seberapa efisien suatu negara memanfaatkan sumber daya dan seberapa besar proporsi bahan yang kembali ke siklus produksi.
Dimensi Ekonomi mengukur dampak kegiatan sirkular terhadap pertumbuhan, nilai tambah, dan produktivitas.
Misalnya, berapa kontribusi industri daur ulang terhadap PDB, atau seberapa besar efisiensi biaya yang dihasilkan dari model bisnis berbasis sirkularitas.
Dimensi Sosial berfokus pada penciptaan lapangan kerja dan perubahan perilaku masyarakat.
Transisi ke ekonomi sirkular sering menciptakan jenis pekerjaan baru — seperti teknisi perbaikan, pengelola limbah elektronik, atau inovator bahan ramah lingkungan.
Di sisi lain, ia juga menuntut peningkatan literasi dan kesadaran publik terhadap konsumsi berkelanjutan.
Dimensi Lingkungan menilai dampak sirkularitas terhadap penurunan emisi, konservasi ekosistem, dan efisiensi energi.
Indikator seperti GHG emissions avoided through recycling atau energy intensity per unit of material use membantu mengukur sejauh mana kegiatan sirkular mendukung agenda mitigasi perubahan iklim.
Keempat dimensi ini saling melengkapi, bukan berdiri sendiri. Sebuah kebijakan bisa meningkatkan indikator ekonomi, tetapi belum tentu signifikan secara lingkungan. Oleh karena itu, CES menekankan perlunya pendekatan multidimensi agar hasil pengukuran tidak hanya menunjukkan efisiensi ekonomi, tetapi juga keseimbangan sosial dan ekologis.
2. Tingkatan Pengukuran: Mikro, Meso, dan Makro
Selain berdasarkan dimensi, CES juga memperkenalkan tiga tingkatan pengukuran sirkularitas — sebuah kerangka yang memungkinkan integrasi data dari level perusahaan hingga nasional:
Tingkat Mikro (Perusahaan dan Produk)
Fokus pada kegiatan individu atau korporasi, seperti tingkat daur ulang bahan, umur pakai produk, atau proporsi bahan baku sekunder.
Contoh: perusahaan manufaktur elektronik dapat mengukur rasio komponen yang dapat digunakan kembali dibandingkan yang harus dibuang.
Data mikro ini penting karena menjadi dasar akumulasi indikator di tingkat nasional.
Tingkat Meso (Rantai Pasok dan Ekosistem Industri)
Mengukur sirkularitas dalam skala sektoral atau wilayah industri.
Misalnya, kawasan industri hijau di Batam atau Cikarang dapat dianalisis berdasarkan tingkat simbiosis industrinya — sejauh mana limbah satu perusahaan menjadi input bagi perusahaan lain.
Tingkatan ini membantu pemerintah melihat efektivitas kebijakan klaster industri dan kolaborasi lintas sektor.
Tingkat Makro (Nasional dan Regional)
Merupakan agregasi dari berbagai aktivitas sirkular di seluruh sektor ekonomi.
Indikatornya dapat berupa rasio penggunaan bahan sekunder terhadap total konsumsi material nasional (domestic material consumption), kontribusi ekonomi sirkular terhadap PDB, atau intensitas emisi per unit nilai tambah.
Di tingkat ini, data dari SNA dan SEEA menjadi krusial untuk membangun gambaran nasional yang menyeluruh.
Keterkaitan antar-tingkatan ini bersifat vertikal dan dinamis. Artinya, perubahan di tingkat mikro — seperti inovasi teknologi daur ulang — dapat memengaruhi indikator makro nasional jika datanya terintegrasi secara sistematis. Sebaliknya, kebijakan di tingkat makro (misalnya insentif fiskal untuk bahan sekunder) dapat memperkuat kegiatan sirkular di tingkat perusahaan.
3. Implikasi bagi Indonesia
Bagi Indonesia, pendekatan berlapis ini sangat relevan untuk mengatasi masalah keterbatasan data lintas sektor.
Selama ini, statistik ekonomi nasional lebih berfokus pada indikator makro seperti PDB atau nilai ekspor, sedangkan data mikro perusahaan sering tersebar di berbagai kementerian.
Pendekatan CES menawarkan cara untuk menghubungkan keduanya melalui sistem data hierarchy yang konsisten dan interoperabel.
Sebagai contoh, data mikro dari laporan keberlanjutan perusahaan (ESG reporting) dapat digunakan untuk memperkaya indikator meso dan makro ekonomi sirkular nasional.
Demikian pula, data limbah industri dan material sekunder dari KLHK atau Kemenperin dapat diintegrasikan dengan supply-use tables di BPS, menghasilkan indikator yang lebih representatif.
Dalam konteks kebijakan, pemahaman terhadap tingkatan pengukuran ini akan membantu pemerintah menyusun strategi transisi sirkular yang lebih terarah. Alih-alih membuat kebijakan seragam di semua sektor, Indonesia dapat menyesuaikan intervensi sesuai skala: memperkuat insentif inovasi di tingkat mikro, mendorong kolaborasi industri di tingkat meso, dan mengatur instrumen fiskal serta indikator nasional di tingkat makro.
Dengan demikian, sistem pengukuran berlapis ini tidak hanya menjadi alat evaluasi, tetapi juga mekanisme koordinasi antarlevel pembangunan — menghubungkan pelaku usaha, industri, dan negara dalam satu arah transformasi ekonomi yang berkelanjutan.
Keterkaitan dengan Kerangka Statistik Internasional
Salah satu keunggulan utama dari panduan Conference of European Statisticians (CES) adalah kemampuannya menyatukan berbagai sistem statistik internasional yang selama ini berjalan terpisah. Alih-alih menciptakan kerangka baru yang berdiri sendiri, CES menekankan pentingnya integrasi dan interoperabilitas antara sistem ekonomi, lingkungan, dan sosial yang telah diakui secara global. Pendekatan ini menjadikan pengukuran ekonomi sirkular lebih efisien, komprehensif, dan relevan dengan kebutuhan kebijakan lintas sektor.
1. Hubungan dengan SEEA (System of Environmental-Economic Accounting)
System of Environmental-Economic Accounting (SEEA) merupakan kerangka resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghubungkan data ekonomi dengan data lingkungan. Melalui SEEA, negara dapat menilai bagaimana kegiatan ekonomi memengaruhi sumber daya alam dan sebaliknya — bagaimana kondisi lingkungan memengaruhi keberlanjutan ekonomi.
CES menempatkan SEEA sebagai tulang punggung pengukuran ekonomi sirkular. Indikator seperti material flow accounts (MFA), waste accounts, dan environmental goods and services sector (EGSS) menjadi dasar untuk menghitung efisiensi penggunaan sumber daya dan potensi daur ulang material. Misalnya, melalui MFA, dapat dihitung total material yang masuk ke perekonomian (input), yang digunakan, dan yang keluar sebagai limbah (output). Data ini krusial untuk menentukan tingkat sirkularitas material suatu negara.
Bagi Indonesia, adopsi SEEA telah dimulai melalui kolaborasi antara BPS dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Namun, penerapan penuh masih terbatas pada beberapa modul seperti air accounts dan energy accounts. Melalui kerangka CES, integrasi SEEA dapat diperluas untuk mencakup material flow accounts, sehingga mendukung pengukuran yang lebih komprehensif atas kinerja ekonomi sirkular nasional.
2. Hubungan dengan SNA (System of National Accounts)
System of National Accounts (SNA) adalah dasar bagi semua pengukuran ekonomi makro, seperti Produk Domestik Bruto (PDB), nilai tambah, dan produktivitas. Dalam konteks ekonomi sirkular, SNA menyediakan struktur untuk mengukur kontribusi kegiatan sirkular terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Panduan CES mendorong integrasi antara SNA dan SEEA agar nilai ekonomi dari kegiatan sirkular — seperti industri daur ulang, jasa perbaikan, atau perdagangan bahan sekunder — dapat dicatat secara eksplisit dalam statistik nasional. Misalnya, perusahaan yang menghasilkan nilai tambah melalui pemanfaatan kembali material seharusnya tercatat dalam value added by circular sectors, bukan hanya sebagai industri manufaktur konvensional.
Integrasi ini penting karena selama ini banyak kegiatan ekonomi sirkular yang “tidak terlihat” dalam statistik resmi. Contohnya, aktivitas remanufacturing atau refurbishing sering diklasifikasikan sebagai kegiatan jasa umum atau reparasi, sehingga kontribusinya terhadap PDB dan produktivitas nasional tidak terukur dengan tepat. Dengan memperluas cakupan SNA melalui pendekatan CES, Indonesia dapat memperlihatkan nilai ekonomi nyata dari transisi menuju sirkularitas.
3. Hubungan dengan FDES (Framework for the Development of Environment Statistics)
Framework for the Development of Environment Statistics (FDES) berfungsi sebagai panduan untuk pengumpulan data lingkungan yang komprehensif, mencakup tema seperti tanah, air, udara, energi, dan limbah. Dalam konteks CES, FDES melengkapi SEEA dengan menyediakan basis data lingkungan mentah yang menjadi input bagi analisis ekonomi sirkular.
CES merekomendasikan agar data dari FDES digunakan untuk memvalidasi dan memperkaya indikator sirkularitas. Sebagai contoh, data FDES tentang emisi gas rumah kaca dari sektor industri dapat digunakan untuk menilai dampak kegiatan sirkular terhadap penurunan emisi nasional. Demikian pula, data mengenai kualitas air dan tingkat pencemaran dapat mengukur sejauh mana praktik daur ulang atau efisiensi sumber daya mengurangi tekanan lingkungan.
Indonesia telah mengembangkan FDES melalui Statistik Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) yang diterbitkan oleh BPS dan KLHK.
Namun, keterhubungan antara SLHI dengan data ekonomi (SNA dan SEEA) masih terbatas. Melalui adopsi kerangka CES, keterpaduan data ini dapat diperkuat, sehingga menghasilkan satu sistem statistik terintegrasi untuk ekonomi hijau dan sirkular.
4. Implikasi Integrasi Bagi Indonesia
Integrasi antara CES, SEEA, SNA, dan FDES memberikan peluang strategis bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas kebijakan berbasis data. Dalam konteks nasional, integrasi ini akan membantu:
Menilai sejauh mana kebijakan industri hijau atau insentif fiskal berdampak pada efisiensi material dan emisi;
Menentukan sektor-sektor prioritas yang paling potensial untuk transisi ke ekonomi sirkular;
Mengukur dampak ekonomi sirkular terhadap ketenagakerjaan, investasi, dan produktivitas nasional;
Menyusun dashboard indikator nasional yang dapat digunakan dalam RPJMN dan laporan SDGs.
Selain manfaat kebijakan, integrasi ini juga memperkuat transparansi internasional dan daya saing ekonomi Indonesia.
Dengan mengadopsi sistem pengukuran yang sejalan dengan standar global, Indonesia dapat lebih mudah melaporkan kemajuan pada forum internasional seperti UN Environment Assembly dan G20 Sustainable Finance Working Group, sekaligus menarik investasi hijau dari lembaga keuangan global.
5. Membangun Sinergi Kelembagaan dan Teknologi Data
Agar integrasi ini berhasil, Indonesia perlu memperkuat sinergi antar-lembaga statistik dan memperluas penggunaan teknologi digital.
Pendekatan CES menekankan pentingnya data interoperability, yang memungkinkan pertukaran informasi lintas instansi secara otomatis melalui platform berbasis digital. BPS, KLHK, dan Bappenas dapat mengembangkan National Circular Economy Data Platform yang menghubungkan data ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam satu sistem berbagi informasi.
Selain itu, pemanfaatan teknologi seperti big data analytics, satellite monitoring, dan IoT sensors dapat membantu melengkapi kekurangan data tradisional, terutama dalam memantau aliran material dan emisi secara real time. Langkah ini tidak hanya meningkatkan efisiensi statistik, tetapi juga membuka jalan bagi inovasi kebijakan yang berbasis data dinamis.
Kerangka CES dengan demikian berfungsi bukan hanya sebagai panduan teknis, melainkan sebagai mekanisme strategis untuk memperkuat tata kelola statistik nasional. Dengan mengaitkan ekonomi sirkular pada SNA, SEEA, dan FDES, Indonesia dapat membangun fondasi statistik yang tidak hanya menggambarkan kinerja ekonomi, tetapi juga arah transformasi menuju keberlanjutan yang menyeluruh.
Tantangan Implementasi di Negara Berkembang
Walaupun panduan Conference of European Statisticians (CES) memberikan fondasi konseptual yang kuat untuk pengukuran ekonomi sirkular, penerapannya di negara berkembang menghadapi beragam hambatan. Masalah yang muncul tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga mencakup dimensi kelembagaan, struktural, hingga budaya kebijakan. Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi besar di Global South menghadapi tantangan yang serupa, di mana kebutuhan akan data yang akurat berhadapan dengan keterbatasan kapasitas dan koordinasi antarinstansi.
1. Keterbatasan Infrastruktur dan Kualitas Data
Salah satu kendala utama adalah ketimpangan kapasitas statistik nasional. Banyak negara berkembang masih bergantung pada sistem pengumpulan data manual dan bersifat sektoral, sehingga sulit mengintegrasikan informasi lintas kementerian. Dalam konteks ekonomi sirkular, data yang dibutuhkan tidak hanya berasal dari sektor ekonomi, tetapi juga lingkungan, energi, dan sosial — yang sering kali menggunakan format dan metodologi berbeda.
Indonesia, misalnya, memiliki data limbah industri dari KLHK, data energi dari ESDM, dan data ekonomi dari BPS, namun belum ada sistem terpadu yang menggabungkan seluruh informasi ini ke dalam satu kerangka pengukuran. Keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur teknologi informasi, serta standar klasifikasi yang belum seragam memperparah situasi ini.
Selain itu, data informal dari kegiatan daur ulang skala kecil atau rumah tangga sering kali tidak tercatat dalam statistik resmi.
Padahal sektor informal memainkan peran signifikan dalam sirkularitas material, terutama dalam pengumpulan dan pengolahan limbah plastik, elektronik, dan logam. Tanpa mekanisme inklusi data bagi sektor ini, indikator nasional akan bias ke arah industri besar, sehingga mengaburkan kontribusi nyata dari masyarakat dan UMKM.
2. Fragmentasi Kelembagaan dan Koordinasi Antarinstansi
Tantangan kedua terletak pada fragmentasi kelembagaan. Ekonomi sirkular bersifat lintas sektor — mencakup aspek lingkungan, industri, energi, dan perdagangan — namun tata kelola datanya sering kali bersifat silo. Setiap kementerian memiliki mandat dan sistem data sendiri yang tidak selalu terhubung atau sinkron.
Misalnya, Kementerian Perindustrian memantau produksi industri daur ulang, sementara KLHK mengelola data limbah dan emisi, dan Bappenas memantau indikator keberlanjutan dalam konteks RPJMN. Tanpa mekanisme koordinasi lintas lembaga yang kuat, pengukuran ekonomi sirkular menjadi tumpang tindih, tidak efisien, dan sulit dievaluasi secara nasional.
CES menekankan pentingnya pembentukan platform koordinasi nasional untuk statistik sirkularitas. Bagi Indonesia, hal ini dapat diwujudkan melalui pembentukan National Circular Economy Data Council — lembaga lintas kementerian yang berfungsi menyusun metodologi, menyelaraskan definisi, serta mengawasi implementasi indikator. Dewan semacam ini juga dapat menjadi mitra koordinasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta.
3. Keterbatasan Kapasitas SDM dan Literasi Statistik
Selain infrastruktur dan kelembagaan, keterbatasan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi kendala yang krusial.
Pengukuran ekonomi sirkular membutuhkan keahlian lintas disiplin — ekonomi, teknik lingkungan, statistik, hingga ilmu material.
Namun, di banyak lembaga publik dan daerah, keahlian ini masih terbatas.
Tanpa peningkatan literasi statistik, data yang dikumpulkan berisiko tidak konsisten atau tidak memenuhi standar internasional.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mengembangkan program pelatihan teknis berkelanjutan bagi analis data dan perencana kebijakan, misalnya melalui Circular Economy Statistics Training Series yang melibatkan BPS, universitas, dan lembaga internasional seperti UNECE atau OECD. Langkah ini tidak hanya memperkuat kapasitas analisis, tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya data dalam mendukung transisi ekonomi hijau.
4. Pendanaan dan Keberlanjutan Sistem Data
Sistem statistik yang kuat membutuhkan pendanaan yang konsisten dan jangka panjang. Sayangnya, di banyak negara berkembang, kegiatan statistik lingkungan sering bergantung pada proyek donor internasional yang bersifat sementara.
Ketika pendanaan berakhir, kegiatan pengumpulan data pun berhenti, dan sistem tidak berkelanjutan.
Untuk mengatasi hal ini, CES merekomendasikan agar negara mengalokasikan anggaran nasional khusus untuk statistik ekonomi sirkular. Dana ini dapat diambil dari porsi green budgeting atau pendapatan pajak lingkungan, sehingga keberlanjutan sistem data tidak tergantung pada bantuan luar negeri. Indonesia dapat mencontoh pendekatan Green Statistics Fund yang diterapkan di Eropa, di mana sebagian hasil pajak karbon dialokasikan untuk pengembangan data keberlanjutan.
5. Ketidaksiapan Industri dan Sektor Swasta
Di luar ranah pemerintah, tantangan lain datang dari sektor swasta. Banyak perusahaan, terutama skala menengah dan kecil, belum siap melaporkan data yang relevan untuk pengukuran sirkularitas, seperti penggunaan bahan sekunder, efisiensi energi, atau emisi yang dihindari melalui inovasi produk. Sebagian perusahaan juga menganggap pelaporan lingkungan sebagai beban administratif tambahan, bukan investasi strategis.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan insentif — misalnya memberikan keringanan pajak atau prioritas akses pembiayaan bagi perusahaan yang bersedia menerapkan pelaporan sirkularitas berbasis data. Selain itu, pemerintah dapat mendorong digital reporting system yang mudah diakses, sehingga pelaku usaha kecil pun dapat berkontribusi tanpa terbebani oleh kompleksitas birokrasi.
6. Kesenjangan Teknologi dan Akses Digital
Tantangan terakhir menyangkut akses terhadap teknologi dan digitalisasi data. Banyak daerah di Indonesia masih menghadapi keterbatasan infrastruktur digital, yang membuat proses pelaporan data lambat dan tidak akurat. Padahal, CES menekankan pentingnya pemanfaatan big data, remote sensing, dan IoT untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi pengumpulan data sirkularitas.
Membangun sistem data sirkular nasional berarti juga membangun ekosistem digital yang terintegrasi. Investasi pada jaringan data terbuka, interoperabilitas sistem antarinstansi, dan penggunaan AI-driven analytics dapat menjadi terobosan bagi pengukuran yang lebih cepat, murah, dan inklusif.
Menjadikan Tantangan sebagai Peluang
Tantangan-tantangan di atas menunjukkan bahwa transisi menuju sistem pengukuran sirkularitas bukanlah proses teknis semata, melainkan transformasi institusional dan budaya data. Dengan mengadopsi panduan CES, negara berkembang seperti Indonesia memiliki peluang untuk membangun sistem statistik yang bukan hanya lebih akurat, tetapi juga lebih adaptif terhadap kebutuhan kebijakan modern.
Jika dikelola dengan strategi yang konsisten, tantangan ini justru dapat menjadi momentum untuk menciptakan tata kelola data yang transparan, berbasis kolaborasi, dan mendukung inovasi lintas sektor — menjadikan ekonomi sirkular bukan sekadar konsep ideal, tetapi kenyataan yang terukur.
Penutup
Ekonomi sirkular telah berkembang dari ide konseptual menjadi arah strategis pembangunan global yang menggabungkan efisiensi ekonomi, keseimbangan lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Namun, keberhasilan implementasinya tidak hanya bergantung pada inovasi industri atau teknologi, melainkan pada kemampuan negara untuk mengukurnya secara akurat dan konsisten.
Tanpa sistem pengukuran yang kuat, ekonomi sirkular akan tetap menjadi wacana abstrak, bukan kebijakan yang bisa dievaluasi dan ditingkatkan.
Panduan Conference of European Statisticians (CES) memberikan pijakan penting bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk membangun sistem pengukuran yang terstruktur dan berbasis pada standar internasional. Dengan menghubungkan System of National Accounts (SNA), System of Environmental-Economic Accounting (SEEA), dan Framework for the Development of Environment Statistics (FDES), kerangka CES menjembatani data ekonomi dan lingkungan ke dalam satu kesatuan analisis yang koheren. Pendekatan ini bukan hanya menyederhanakan pelaporan, tetapi juga mendorong integrasi lintas kebijakan dan sektor.
Bagi Indonesia, penerapan kerangka CES membawa dua manfaat strategis.
Pertama, ia memperkuat dasar ilmiah bagi kebijakan ekonomi hijau dan transisi industri, dengan menyediakan indikator yang dapat mengukur efektivitas kebijakan terhadap sirkularitas material, emisi, dan produktivitas sumber daya.
Kedua, ia meningkatkan daya saing global dengan memperkuat transparansi dan kredibilitas data, yang menjadi syarat penting dalam kerja sama internasional dan investasi berkelanjutan.
Meski demikian, keberhasilan implementasi membutuhkan komitmen yang lebih dari sekadar teknis. Diperlukan reformasi kelembagaan untuk mengurangi tumpang tindih antarinstansi, investasi dalam infrastruktur digital dan statistik, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Lebih penting lagi, diperlukan perubahan paradigma: dari melihat data sebagai beban administratif, menuju melihatnya sebagai instrumen strategis pembangunan nasional.
Dalam konteks ini, pengukuran ekonomi sirkular tidak hanya berfungsi sebagai alat akuntabilitas, tetapi juga sebagai kompas kebijakan menuju masa depan ekonomi Indonesia yang tangguh, efisien, dan berkeadilan. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip CES dan menyesuaikannya dengan konteks domestik, Indonesia berpeluang menjadi pelopor regional dalam pembangunan ekonomi berbasis sirkularitas — bukan hanya dalam praktik, tetapi juga dalam sistem pengukuran yang menjadi pondasinya.
Daftar Pustaka
Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Part A (Chapter 5). Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).
Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023. Jakarta: BPS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Circular Economy Indicators and Policy Frameworks. Paris: OECD Publishing.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2022). Measuring Circularity: From Concepts to Indicators. Nairobi: UNEP.
World Bank. (2023). Greening Data Systems: Building Statistical Capacity for Circular Economy in Developing Countries. Washington, DC: World Bank Group.