teknologi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025
Saya baru saja membaca paper teknis yang padat tentang masa depan keselamatan di jalan raya, dan temuan utamanya jauh lebih personal dari yang saya kira.
Minggu lalu, saya hampir tertabrak mobil.
Saya tidak sedang jaywalking. Saya berada di dalam zebra cross, lampu pejalan kaki berwarna hijau. Tapi saya juga sedang melihat ponsel saya, membalas email kerja. Sebuah SUV berbelok ke kanan, bannya berdecit di aspal saat pengemudi itu menginjak rem, berhenti hanya beberapa senti dari lutut saya.
Kami berdua sama-sama kaget. Dia (mungkin) juga sedang terdistraksi. Saya (pasti) sedang terdistraksi. Tapi intinya adalah: dia tidak melihat saya. Dan dalam pertarungan antara SUV seberat dua ton dan saya, saya akan selalu kalah.
Momen "nyaris celaka" ini menyoroti kegagalan fundamental dalam sistem transportasi kita. Mobil adalah kotak baja berkecepatan tinggi yang berevolusi dengan sensor, radar, dan pengereman darurat. Sementara itu, pejalan kaki dan pengendara sepeda—secara teknis disebut "Pengguna Jalan Rentan" atau VRU (Vulnerable Road Users)—pada dasarnya masih sama seperti 50 tahun yang lalu.
Dan kegagalan ini mematikan.
Saya baru saja selesai membaca sebuah paper penelitian teknis oleh Hamdan Hejazi dan László Bokor yang terbit di jurnal Computer Networks. Paper ini dibuka dengan statistik yang membuat saya terdiam: VRU—pejalan kaki, pengendara sepeda, pengendara motor—merupakan 54% dari total angka kematian lalu lintas global.
Ini bukan masalah sepele. Ini adalah masalah utama. Lebih dari separuh orang yang tewas di jalan adalah mereka yang berada di luar mobil. Ini membuktikan bahwa pendekatan kita saat ini—mencoba membuat mobil menjadi benteng yang terisolasi dan bisa "melihat" segalanya—telah mencapai batasnya.
Paper ini menguji solusi yang, terus terang, jauh lebih cerdas: Bagaimana jika kita berhenti hanya mengandalkan sensor mobil (yang pasif) dan mulai membiarkan pejalan kaki secara aktif menyiarkan keberadaan mereka?
Ini adalah pergeseran dari persepsi pasif ke komunikasi aktif.
Perbedaan Antara 'Melihat' dan 'Mendengar'
Untuk memahami mengapa ini penting, kita perlu mengerti dua filosofi yang sangat berbeda dalam mendeteksi pejalan kaki, yang diuraikan dengan baik oleh Hejazi dan Bokor. Saya akan menjelaskannya dengan analogi sederhana.
Pendekatan Pasif: Mobil Berbisik ke Mobil Lain (CPM)
Ini adalah teknologi "saat ini" yang sedang dikembangkan, yang disebut Collective Perception Message (CPM).
Analogi: Bayangkan Anda mengemudi di tengah kabut tebal. Sensor Radar atau LIDAR di mobil Anda adalah senter yang remang-remang. Anda mungkin melihat "sesuatu" yang tidak jelas di depan. Dengan CPM, Anda kemudian menggunakan radio V2X (Vehicle-to-Everything) Anda untuk berbisik ke mobil di belakang Anda, "Hei, senter saya mendeteksi 'objek' di koordinat X."
Bahasa Teknisnya: Paper ini menyebutnya sebagai "representasi pasif". Sebuah kendaraan atau unit di pinggir jalan (RSU) menggunakan sensornya untuk mendeteksi objek, mengklasifikasikannya (semoga benar) sebagai VRU, dan kemudian menyiarkan informasi tersebut.
Opini Pribadi Saya: Ini lebih baik daripada tidak sama sekali, tapi sangat terbatas. Rantai informasinya rapuh: Peristiwa -> Sensor Mobil 1 -> Algoritma Klasifikasi -> Pesan CPM -> Mobil 2. Bagaimana jika senter Anda (sensor) terhalang oleh truk parkir? Bagaimana jika AI salah mengklasifikasikan anak kecil sebagai kantong sampah? Mobil penerima mendapatkan data yang sudah disaring, berpotensi salah, dan seringkali terlambat.
Pendekatan Aktif: Pejalan Kaki yang 'Berteriak' (VAM)
Ini adalah teknologi baru yang diuji oleh paper ini, yang disebut VRU Awareness Message (VAM).
Analogi: Sekarang, bayangkan setiap pejalan kaki (VRU) memiliki megafon—yaitu, ponsel cerdas mereka atau jam tangan pintar. Alih-alih mobil mencoba menebak-nebak dalam kabut, pejalan kaki itu sendiri secara aktif berteriak, "SAYA SEORANG PEJALAN KAKI, SAYA DI SINI DI KOORDINAT Y, DAN SAYA BERGERAK KE UTARA DENGAN KECEPATAN 5 KM/JAM!"
Bahasa Teknisnya: Ini adalah "representasi aktif". VAM memungkinkan VRU untuk secara langsung berpartisipasi dan "menjadi bagian dari ekosistem ITS." Pesan itu berisi "status dan atribut" dari si pejalan kaki—posisi, gerak, dll. Ini adalah ground truth, langsung dari sumbernya.
Ini, bagi saya, adalah perubahan paradigma. VAM memotong perantara. Rantai informasinya menjadi: Peristiwa (Pejalan Kaki) -> Pesan VAM -> Mobil 2.
Ini secara fundamental memindahkan beban pendeteksian. Keselamatan tidak lagi 100% bergantung pada sensor mobil yang mahal dan tidak sempurna. Ini mendemokratisasi keselamatan dengan memanfaatkan perangkat (ponsel) yang sudah dimiliki oleh sebagian besar VRU. Ini mengubah kita, para pejalan kaki, dari objek pasif yang harus dihindari menjadi peserta aktif dalam jaringan keselamatan lalu lintas.
Mari Kita Uji Coba: Skenario Lampu Merah yang Mengerikan
Tentu saja, VAM "terdengar" bagus dalam teori. Tapi apakah itu benar-benar berfungsi?
Para peneliti di sini tidak hanya berteori. Mereka membangun simulasi yang sangat rinci menggunakan platform canggih (Artery, OMNET++, dan SUMO) untuk menguji kedua pendekatan ini.
Skenario pertama mereka adalah mimpi buruk klasik di perkotaan: seorang pejalan kaki melanggar lampu merah, berjalan tepat di depan mobil yang melaju.
Bayangkan Anda adalah mobilnya. Anda melaju, dan pejalan kaki ini tiba-tiba muncul. Para peneliti kemudian mengukur: seberapa sering mobil "melihat" pejalan kaki, dan pada jarak berapa?
Hasil Radar (Pasif): Seperti yang saya duga, hasilnya adalah lotere. Itu sepenuhnya bergantung pada seberapa bagus sensor radar mobil.
Jika mobil memiliki sensor dengan Field of View (FOV) yang sempit (misalnya, 10 derajat, seperti penglihatan terowongan), ia hampir tidak pernah melihat pejalan kaki tepat waktu.
Jika sensornya canggih (FOV lebar 120 derajat dan jangkauan 200m), ia mendeteksi pejalan kaki lebih sering. Tapi pada jarak berapa? Grafik menunjukkan deteksi terjadi pada jarak yang relatif dekat (paling baik sekitar 120 meter). Itu lebih baik daripada 0, tapi masih memberi Anda waktu reaksi yang tidak banyak.
Hasil VAM (Aktif): Kemudian, para peneliti mematikan sensor radar (secara kiasan) dan menyalakan VAM. Pejalan kaki itu sekarang "berteriak" lokasinya.
Hasilnya bikin saya kaget.
Jumlah Deteksi: 100%. Setiap saat. Tidak peduli apa "sensor" mobilnya, karena mobil itu mendengarkan, bukan melihat.
Jarak Deteksi: Ini adalah bagian yang menakjubkan. Jarak deteksi selalu pada jangkauan komunikasi maksimum (lebih dari 250 meter dalam skenario ini).
Ini adalah momen "aha!" bagi saya. Keamanan berbasis sensor adalah reaktif dan tidak pasti. Keberhasilan Anda bergantung pada sudut sensor Anda, cuaca, dan apakah ada truk van yang menghalangi pandangan Anda. Keamanan berbasis VAM adalah proaktif dan pasti (selama Anda berada dalam jangkauan radio).
Ini menunjukkan bahwa mobil yang lebih murah dengan radio V2X yang solid bisa lebih aman dalam skenario krusial ini daripada mobil mewah senilai miliaran rupiah yang hanya mengandalkan sensor optik.
Tes Sebenarnya: Melemparkannya ke 'Kekacauan' Lalu Lintas Kota Bologna
Skenario lampu merah itu sederhana. Satu mobil, satu pejalan kaki. Bagaimana di dunia nyata, yang penuh kekacauan?
Para peneliti kemudian mengambil model simulasi yang sangat kompleks dari area Andrea Costa di Bologna, Italia. Ini bukan main-main. Kita berbicara tentang data lalu lintas dunia nyata:
Area 2,45 km²
474 mobil
403 pejalan kaki
7 lampu lalu lintas
Ini pada dasarnya adalah simulasi Smart City. Ini bukan hanya tentang satu mobil dan satu pejalan kaki; ini tentang seluruh ekosistem perangkat yang terhubung. Ini adalah implementasi praktis dari apa yang kita sebut sebagai(https://diklatkerja.com/course/category/internet-of-things-basic/), di mana setiap kendaraan dan pejalan kaki menjadi "benda" yang dapat saling berbicara dalam satu jaringan besar.
Para peneliti kemudian menjalankan simulasi ini berulang kali, mengubah berapa banyak mobil dan pejalan kaki yang "mengaktifkan" VAM mereka (ini disebut "tingkat penetrasi").
Seperti yang diharapkan, network effect itu nyata. Semakin banyak pejalan kaki menggunakan VAM, semakin tinggi jumlah total pejalan kaki yang terdeteksi oleh mobil-mobil.
Tapi ini dia data emas dari keseluruhan paper ini :
Ketika 100% mobil dan 100% pejalan kaki menggunakan sistem... jarak deteksi rata-rata adalah 421 meter.
Mari kita berhenti sejenak dan pikirkan apa artinya itu.
Sensor radar atau mata manusia mungkin mendeteksi pejalan kaki yang terhalang pada jarak 50-80 meter. Pada kecepatan 60 km/jam, itu memberi pengemudi (atau AI) hanya beberapa detik untuk bereaksi. Ini mengarah pada pengereman darurat yang mendadak, tidak nyaman, dan berpotensi berbahaya (menyebabkan tabrakan dari belakang).
421 meter bukanlah jarak reaksi. Itu adalah jarak perencanaan.
Pada jarak 421 meter, mobil tidak perlu mengerem mendadak. Ia bisa meluncur. Ia bisa memperlambat kecepatan secara bertahap. Ia bisa memberi tahu pengemudi dengan tenang, "Akan ada pejalan kaki menyeberang di depan dalam 30 detik."
Ini mengubah keselamatan dari tindakan refleksif (panik) menjadi manuver terencana (tenang). Ini tidak hanya mencegah kecelakaan tetapi juga meningkatkan arus lalu lintas, efisiensi bahan bakar, dan kenyamanan penumpang.
Apa yang Paling Mengejutkan Saya (Dan Apa yang Sedikit Mengkhawatirkan)
Sebagai seorang analis, saya selalu skeptis. Ada dua hal yang langsung muncul di benak saya, dan paper ini ternyata menjawab keduanya.
Kekhawatiran Saya: Apakah Ini Akan 'Menyumbat' Internet?
Ini adalah kekhawatiran yang valid. Jika 474 mobil dan 403 pejalan kaki semuanya "berteriak" (mengirim pesan VAM, CAM, dan CPM) setiap sepersekian detik di area 2,45 km², apakah saluran komunikasi nirkabel akan macet total?
Para peneliti mengukur ini menggunakan metrik yang disebut Channel Busy Ratio (CBR).
Hasil yang Mengejutkan: Ternyata, tidak. Bahkan dalam skenario terburuk—100% penetrasi mobil dan 100% penetrasi VAM, dengan semua jenis pesan (VAM, CAM, CPM) aktif—CBR maksimum yang teramati hanya 0.383 (atau 38,3%).
Paper ini mencatat bahwa nilai ini masih berada dalam konfigurasi "Relaxed" menurut standar Decentralized Congestion Control (DCC). Ini sangat melegakan. Ini adalah bukti kuantitatif bahwa secara teknis, ini layak. Jaringan tidak "meledak". Kita memiliki kapasitas untuk melakukan ini sekarang.
🚀 Hasilnya luar biasa: Deteksi pada jarak rata-rata 421m mengubah permainan dari "refleks" menjadi "perencanaan".
🧠 Inovasinya: Menggunakan VAM (komunikasi aktif pejalan kaki) secara telak mengalahkan keterbatasan sensor pasif (FOV/jangkauan).
💡 Pelajaran: Jangan terjebak pola pikir yang sudah ada (yaitu, hanya membuat sensor mobil yang lebih baik). Solusi yang lebih kuat mungkin datang dari konektivitas.
Kritik Halus: Ini Hebat, Tapi Sedikit Abstrak...
Meski temuan simulasi ini hebat, cara analisanya (model simulasi Artery/OMNET++) agak terlalu abstrak untuk pemula. Ini adalah kritik halus saya.
Simulasi seperti ini sangat penting untuk membuktikan konsep. Namun, simulasi adalah lingkungan yang sempurna. Itu tidak memperhitungkan baterai ponsel yang mati, sinyal yang terhalang oleh canyon gedung-gedung tinggi di Jakarta atau New York, atau pejalan kaki (seperti saya) yang ponselnya ada di dalam tas ransel berlapis foil.
Para penulis sendiri mengakui ini secara implisit di bagian akhir. Mereka menyimpulkan dengan menyatakan bahwa "Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk... meningkatkan akurasi... dan algoritma fusi sensor yang relevan.".
Dan "fusi sensor" itu adalah kata kuncinya.
Masa depan yang sebenarnya bukanlah salah satu atau yang lain. Ini adalah keduanya. Paper ini menguji Radar (pasif) VERSUS VAM (aktif). Tapi masa depan yang sesungguhnya adalah VAM PLUS Radar PLUS LIDAR PLUS Kamera.
Bayangkan skenario ini:
Ponsel Anda (VAM) menyiarkan dari jarak 421m, "Saya seorang pejalan kaki di koordinat X."
Mobil menerima ini. Sistem ADAS mobil kemudian tidak langsung mengerem.
Sebaliknya, ia menugaskan sensor-sensornya: "Hei LIDAR, hei Kamera, putar dan fokus ke koordinat X. Konfirmasi secara visual bahwa ada pejalan kaki di sana."
Kamera mengonfirmasi: "Ya, terkonfirmasi. Pejalan kaki sedang melihat ponselnya."
Mobil sekarang mengambil keputusan yang cerdas: "Oke, kurangi kecepatan secara bertahap."
Ini adalah yang terbaik dari kedua dunia: VAM memberikan deteksi awal dan identifikasi ("apa itu"), sementara sensor onboard memberikan konfirmasi visual dan konteks yang kaya ("apakah dia akan berlari?").
Yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Bahkan Sebagai Non-Insinyur)
Paper ini lebih dari sekadar latihan akademis. Ini adalah cetak biru untuk pergeseran fundamental dalam cara kita mendekati keselamatan di jalan raya.
Bagi saya, pelajaran terbesarnya adalah kita harus beralih dari berpikir tentang keselamatan sebagai produk (airbag, sensor yang lebih baik) menjadi keselamatan sebagai jaringan kooperatif.
Keberhasilan sistem V2X ini bergantung pada pemahaman mendalam tentang jaringan perangkat. Ini adalah tantangan(https://www.diklatkerja.com/course/category/internet-of-things-intermediate/) yang masif. Ini membutuhkan keterampilan khusus dalam konektivitas multi-protokol untuk membuat VAM, CAM, CPM, 5G, dan Wi-Fi semuanya bekerja bersama dengan mulus.
Paper ini meyakinkan saya bahwa teknologi untuk secara drastis mengurangi 54% kematian di jalan raya itu sudah ada. Pertanyaannya bukan lagi "Bisakah kita melakukannya?" tetapi "Kapan kita akan menerapkannya?"
Ini adalah topik yang sangat padat, dan saya baru saja menggores permukaannya. Jika Anda seorang geek teknologi, pengembang, perencana kota, atau hanya seseorang yang tertarik pada masa depan transportasi, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya untuk melihat data mentahnya.
Teknologi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025
Perlombaan menuju mobil otonom Level 5 (sepenuhnya tanpa pengemudi) telah menghabiskan miliaran dolar, namun paper ini menyoroti jurang pemisah antara ambisi teknologi dan kenyataan di lapangan.
Dua Pertanyaan Sederhana yang Menghantui Para Insinyur
Para peneliti merumuskan dua pertanyaan yang tampak sederhana namun implikasinya masif :
"Apa yang akan terjadi pada jalan kita jika mobil-mobil ini benar-benar ada di mana-mana?" (Apa dampak AV pada infrastruktur fisik?)
"Apa yang dibutuhkan mobil-mobil ini dari jalan kita agar tidak menabrak?" (Apa yang dibutuhkan AV dari infrastruktur untuk berkendara dengan aman?)
Pertanyaan ini menggeser beban. Selama ini kita bertanya, "Kapan Tesla akan cukup pintar?" Paper ini memaksa kita bertanya, "Kapan Departemen Pekerjaan Umum akan cukup siap?"
Yang Membuat Saya Terkejut: 13 Masalah yang Kita Anggap Remeh
Paper ini mengidentifikasi "tiga belas topik utama" infrastruktur fisik yang akan terdampak atau dibutuhkan oleh AV. Tiga belas!
Membacanya terasa seperti daftar periksa renovasi rumah yang tidak pernah Anda pikirkan. Anda ingin dapur baru yang canggih (mobil AV), tetapi paper ini datang dan memberi tahu Anda bahwa pondasi Anda retak (permukaan jalan), pipa Anda bocor (drainase), dan kabel Anda bisa terbakar (marka jalan).
Ketiga belas topik itu mencakup segalanya, mulai dari desain geometri jalan, marka jalan, rambu lalu lintas, permukaan aspal, persimpangan, jembatan, terowongan, hingga hal sepele seperti lampu jalan dan got.
Saya tidak akan membahas ketigabelasnya, tapi saya akan membagikan temuan-temuan paling mengejutkan yang membuat saya terdiam.
Perjalanan Menuruni "Lubang Kelinci" (Bagian 1: Jalan yang "Dapat Dibaca")
Kita lupa bahwa AV tidak melihat jalan seperti kita. Sensor mereka (kamera, Lidar) bukanlah mata manusia. Mereka adalah pembaca literal yang membutuhkan teks yang jelas, dan jalan kita saat ini penuh dengan "salah ketik".
Garis Putus-putus yang Menjadi Tali Penopang Hidup
Bayangkan Anda mengemudi di jalan yang marka lajurnya sudah pudar total. Anda mungkin akan sedikit melambat, tapi Anda masih bisa "menebak" di mana lajur Anda seharusnya berada berdasarkan lebar jalan atau alur kendaraan di depan.
AV tidak bisa "menebak".
Bagi sistem Lane Keeping Assist (LKA) yang ada di mobil kita saat ini (Level 1-2), marka jalan adalah "salah satu area penelitian paling menonjol" karena mereka sangat bergantung padanya untuk menentukan posisi. Paper ini menyoroti bahwa banyak kegagalan atau disengagements (saat AV menyerah dan meminta manusia mengambil alih) terjadi hanya karena marka jalan yang "buruk" atau "tidak konsisten".
Masalahnya diperparah oleh hal yang kita anggap remeh: drainase (Topik 12). Drainase yang buruk menyebabkan genangan air yang menutupi marka. Lebih buruk lagi, di malam hari, pantulan lampu depan dari permukaan jalan yang basah ("high-intensity reflections") dapat "membutakan" sensor kamera, membuat mobil Anda buta sesaat.
Pelajaran: Drainase buruk -> Jalan basah -> Marka tak terlihat & Sensor silau -> AV gagal berfungsi.
Membaca Rambu yang Dibuat untuk Mata Manusia
AV menggunakan computer vision untuk membaca rambu lalu lintas (Topik 5). Tapi teknologi ini, menurut paper tersebut, "belum mencapai level yang diinginkan." Sistem ini masih menderita "false positives" (melihat rambu "Stop" padahal itu adalah iklan di bus) dan "false negatives" (melewatkan rambu batas kecepatan).
Mengapa?
Variabilitas: Rambu di setiap negara (bahkan setiap kota) bisa berbeda bentuk, ukuran, atau warnanya. AI harus dilatih untuk setiap variasi.
Rambu Digital (VMS): Rambu pesan elektronik di jalan tol seringkali sulit dibaca oleh kamera karena refresh rate dan teknologinya dirancang untuk mata manusia, bukan lensa kamera.
Data yang paling mengejutkan: sebuah studi di Kroasia menemukan bahwa computer vision gagal mendeteksi 25% rambu kecepatan di jalan raya terpisah (divided roads). Bayangkan seperempat rambu batas kecepatan tidak terlihat oleh mobil Anda.
Cahaya, Cahaya, dan "Kebisingan" Sisi Jalan
Ini bukan hanya tentang apa yang bisa dilihat, tapi seberapa jelas. Paper ini mengutip studi (Ye et al., 2021) yang menemukan bahwa kecelakaan AV di "pencahayaan buruk, bahkan dengan lampu jalan menyala" (Topik 11) menghasilkan "jumlah korban yang jauh lebih tinggi".
Dan bukan hanya cahaya, tapi juga "kekacauan" visual. Bagi kita, pohon, semak, tempat sampah, dan halte bus (Topik 10) adalah latar belakang. Bagi AI, itu semua adalah "kebisingan" (noise). Paper itu menyatakan, "Semakin banyak objek seperti itu berarti lingkungan semakin kompleks" bagi AV untuk mengidentifikasi mana ancaman nyata (anak kecil berlari) dan mana yang bukan (daun berguguran).
Implikasinya? Kita mungkin perlu "membersihkan" dan menyederhanakan lanskap kota kita hanya agar robot bisa bernavigasi.
Perjalanan (Bagian 2: Desain Fisik Jalan Kita)
Jika Bagian 1 adalah tentang bagaimana AV melihat, bagian ini adalah tentang bagaimana mereka merasakan dan berinteraksi dengan desain fisik jalan.
Ironi Presisi: Saat Mobil Pintar Merusak Jalannya Sendiri
Ini adalah temuan favorit saya, karena sangat ironis.
Coba perhatikan cara Anda mengemudi. Anda tidak pernah mengemudi di garis lurus yang sempurna di tengah lajur. Anda secara alami sedikit melayang ke kiri dan ke kanan. Ini disebut "wheel wander" (jejak roda yang berkelana).
Ternyata, ketidaksempurnaan manusia ini baik untuk jalan. Itu menyebarkan beban kendaraan ke seluruh permukaan aspal, membuatnya lebih awet.
Masalahnya? AV (Topik 3) terlalu presisi. Mereka melacak di tepat tengah lajur, atau di jalur yang sama persis setiap saat. Ini menciptakan "beban berulang di titik yang sama" yang menyebabkan kelelahan material dan rutting (pembentukan alur di jalan) yang dipercepat.
Satu studi (Zhou et al., 2019) yang dikutip paper ini memperkirakan bahwa presisi AV dapat "mempersingkat umur kelelahan perkerasan hingga 22% dan meningkatkan kedalaman alur hingga 30%".
Solusi yang dibahas di paper ini? Sebuah paradoks indah: kita mungkin harus memprogram AV untuk "berkeliaran secara merata" di lajur—pada dasarnya, memprogram mereka untuk meniru ketidaksempurnaan manusia agar jalan kita selamat.
Geometri Jalan yang Dibuat untuk Nenek, Bukan untuk Robot
Desain jalan kita saat ini (Topik 1)—seberapa tajam tikungan, seberapa curam bukit—didasarkan pada satu hal: Perception-Reaction Time (PRT) manusia. Rata-rata, kita butuh sekitar 2,5 detik untuk melihat bahaya dan menginjak rem.
AV memiliki PRT super cepat (misalnya, 0,5 detik). Ini berarti Stopping Sight Distance (SSD) mereka jauh lebih pendek. Secara teori, ini adalah peluang: kita bisa membangun jalan baru di masa depan dengan tikungan lebih tajam dan tanjakan lebih curam, menghemat miliaran biaya konstruksi dan pembebasan lahan.
Namun, untuk jalan yang sudah ada, desain lama ini justru berbahaya. Tikungan horizontal yang tajam dan puncak bukit (vertical crest curves) adalah mimpi buruk bagi AV Level 2 saat ini. Sensor mereka tidak bisa "melihat menembus" bukit atau "melihat mengitari" tikungan. Paper ini mencatat bahwa fungsi driver-assist seringkali mati mendadak (disengaged) di situasi ini, membuat pengemudi terkejut.
Lajur yang Menyempit dan Bahu Jalan yang Tiba-tiba Menjadi Krusial
Ini adalah temuan lain yang berlawanan dengan intuisi saya.
Mitos: AV sangat presisi, jadi kita bisa membuat "lebar lajur yang lebih sempit" (Topik 2).
Realitas: Ide ini populer. Bayangkan, kita bisa "memuat lajur tambahan" di jalan tol yang ada tanpa konstruksi baru. Di kota, ruang ekstra bisa untuk jalur sepeda. TETAPI, tes pada AV Level 2 saat ini menunjukkan sistem LKA cenderung gagal di lajur sempit (di bawah 2,75 meter). Ditambah lagi, "stabilitas posisi" setiap merek mobil sangat bervariasi.
Mitos: AV sangat aman, jadi kita tidak perlu bahu jalan.
Realitas: Paper ini berargumen bahwa bahu jalan akan "lebih dibutuhkan dari sebelumnya".
Mengapa? Untuk AV Level 3-4, ada konsep Operational Design Domain (ODD)—semacam "zona nyaman" di mana AV dirancang untuk bekerja (misalnya, jalan tol, cuaca cerah). Jika mobil menghadapi situasi di luar ODD—seperti badai salju mendadak atau zona konstruksi—ia harus menyerahkan kembali kendali ke manusia. Jika manusia tidak merespons (mungkin sedang tidur), mobil memerlukan "safe harbour" (pelabuhan aman) untuk berhenti darurat. Bahu jalan adalah pelabuhan itu.
Ini berarti kita mungkin perlu menambah tempat pemberhentian darurat, terutama di jembatan atau terowongan yang tidak memiliki bahu jalan. Ini adalah tantangan Manajemen Infrastruktur yang masif.
Perjalanan (Bagian 3: Kekacauan Manusiawi di Persimpangan)
Ini adalah bagian tersulit. Di sinilah logika biner AI bertemu dengan kekacauan tak terduga dari perilaku manusia dan struktur warisan.
Struktur Raksasa: Saat Iring-iringan Truk Pintar Menghancurkan Jembatan Tua
Platooning (iring-iringan) truk otonom adalah fitur efisiensi bahan bakar yang hebat. Tapi itu adalah mimpi buruk bagi insinyur sipil (Topik 8).
Desain jembatan saat ini mengasumsikan beban terdistribusi (kendaraan acak, menyebar). Platooning menciptakan beban terkonsentrasi yang ekstrem—beberapa truk super berat, berdekatan, tanpa "wheel wander"—yang "tidak dipertimbangkan" oleh standar desain jembatan saat ini.
Implikasinya? Jembatan bentang panjang yang ada mungkin perlu "dihitung ulang secara struktural" atau bahkan "diperkuat". Di terowongan, masalahnya beda lagi: sinyal satelit (GPS) hilang, membuat penentuan posisi sulit, dan perubahan pencahayaan yang cepat di pintu masuk/keluar dapat "membutakan" sensor kamera.
Anarki Bundaran yang Ditakuti AI
Persimpangan (Topik 6) adalah "situasi lalu lintas yang kompleks" dan mewakili "kemacetan". Ironisnya, di sinilah kecelakaan AV paling sering terjadi. Sebuah studi (Favarò et al., 2017) menemukan bahwa 89% kecelakaan AV yang dilaporkan (kebanyakan tabrakan dari belakang oleh manusia) terjadi di persimpangan.
Para ahli terpecah. Beberapa percaya AV akan membuat bundaran lebih efisien. Namun, paper ini menyoroti bahwa persimpangan bersinyal (lampu merah/hijau) mungkin "lebih mudah ditangani oleh AV" karena lebih "deterministik" (perintah berhenti/jalan yang dapat diprediksi).
Bundaran membutuhkan "negosiasi" sosial—kontak mata, anggukan kepala, membaca bahasa tubuh—yang sangat manusiawi. Algoritma lebih menyukai perintah biner "merah" atau "hijau".
Tantangan Terbesar: Kita (Pejalan Kaki)
Dan inilah hambatan terbesar: kita. Vulnerable Road Users (VRUs)—pejalan kaki, pengendara sepeda (Topik 9)—disebut sebagai "hambatan terbesar" bagi sistem penghindaran tabrakan.
Masalahnya dua:
Deteksi: Paper ini mengutip studi (Combs et al., 2019) yang menemukan bahwa kamera saja (opsi termurah) hanya dapat mencegah <30% kematian pejalan kaki. Hanya kombinasi mahal (Kamera + Lidar + Radar) yang bisa mencapai >90%.
Interaksi: Bagaimana AV berinteraksi dengan kita? Paper ini mengusulkan solusi radikal: mengganti zebra cross (yang ambigu dan butuh negosiasi) dengan perlintasan bersinyal (lampu pejalan kaki) yang "jauh lebih deterministik" untuk AV.
Ini adalah poin besar. Kita mungkin harus mengubah tatanan kota kita—membuatnya kurang cair dan kurang spontan—hanya untuk mengakomodasi robot.
Ironi Parkir Valet Otonom yang Tidak Menemukan Sinyal
Terakhir, Automated Valet Parking (AVP) (Topik 7) terdengar hebat. Mobil mengantar Anda dan parkir sendiri.
Masalahnya? Sebagian besar tempat parkir (terutama di perkotaan) ada di bawah tanah, di mana "sinyal GPS tidak kuat." Selain itu, tempat parkir ini sering dioperasikan secara pribadi dan "tidak menggunakan marka jalan standar," yang membingungkan sensor.
Paper ini memprediksi kita tidak akan menghilangkan parkir, tapi memindahkannya. Kita akan membutuhkan "area pemuatan di tepi jalan yang diperluas" untuk pick-up dan drop-off (PUDO). Ruang tepi jalan akan menjadi komoditas yang "semakin berharga".
Opini Pribadi Saya: Kita Tidak Hanya Membutuhkan Mobil yang Lebih Pintar
Membaca 13 topik ini seperti disiram air dingin. Paper ini, bagi saya, adalah dakwaan senyap terhadap mentalitas "Silicon Valley-sentris" dalam pengembangan AV. Para raksasa teknologi berlomba-lomba membuat AI yang sempurna, dengan asumsi dunia adalah lingkungan yang steril dan sempurna seperti di sandbox simulasi mereka.
Kenyataannya, dunia nyata berantakan. Catnya pudar (Topik 4), aspalnya berlubang (Topik 3), drainasenya buruk (Topik 12), dan rambunya tertutup pohon (Topik 10).
Meski temuannya hebat, paper ini (sebagai review) hanya bisa merangkum masalah. Saya masih penasaran dengan solusi birokrasinya. Paper ini menyoroti (di bagian Kesimpulan) bahwa industri teknologi "seringkali enggan untuk berbagi apa yang mereka harapkan dari infrastruktur jalan" karena mereka "dalam persaingan serius".
Ini gila.
Jadi, Departemen PU (disebut IOOs dalam paper) dibiarkan menebak-nebak. Standar apa yang harus mereka gunakan untuk mengecat marka? Seberapa terang lampu yang dibutuhkan? Haruskah mereka membangun bahu jalan atau lajur sempit? Kekacauan komunikasi ini adalah penghalang terbesar, bukan teknologinya.
Paper ini ditutup dengan peringatan tentang "equity gap" (kesenjangan keadilan). Jika kita tidak hati-hati, AV mungkin hanya akan berfungsi di lingkungan kaya yang baru dibangun dan terawat baik, sementara gagal di pusat kota yang lebih tua atau jalan pedesaan. Ini adalah resep untuk apartheid mobilitas.
🚀 Hasilnya luar biasa: Paper ini membuktikan bahwa AV membutuhkan jalan yang dirawat dengan standar jauh lebih tinggi dari yang kita miliki saat ini.
🧠 Inovasinya: Mengalihkan fokus dari AI di dalam mobil ke kualitas aspal, cat, dan drainase di luar mobil.
💡 Pelajaran: Kita perlu berhenti bertanya, "Kapan mobil self-driving siap?" dan mulai bertanya, "Kapan jalan kita siap untuk mereka?".
Jadi, Apa yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini?
Jika Anda berpikir ini semua adalah masalah masa depan, Anda salah.
Masalah-masalah ini sudah terjadi sekarang. Sistem LKA dan driver-assist (Level 1-2) di mobil baru Anda sudah menghadapi masalah marka jalan yang pudar dan desain tikungan yang membingungkan. Ini adalah masalah Keselamatan Infrastruktur Jalan saat ini, bukan besok.
Tapi ada harapan, dan itu datang dari tempat yang tidak terduga.
Paper ini menyoroti (Topik 13) bahwa AV di masa depan dapat menjadi alat perawatan jalan terbaik. Bayangkan: setiap mobil di jalan adalah inspektur jalan. Sensor mereka (kamera, lidar) dapat "mengumpulkan data inventaris dan kondisi" jalan—retakan, lubang, marka pudar—secara real-time dan mengirimkannya ke otoritas.
Ini dapat merevolusi Manajemen Infrastruktur. Alih-alih survei manual yang lambat dan mahal, kita bisa mendapatkan peta panas real-time tentang di mana perbaikan paling dibutuhkan.
Tentu saja, ini menimbulkan pertanyaan baru: Siapa yang memiliki data itu? Bagaimana kita mengelola big data ini?.
Pada akhirnya, paper ini meyakinkan saya akan satu hal: revolusi AV tidak akan dimenangkan oleh pembuat kode di Silicon Valley saja. Ini membutuhkan generasi baru insinyur sipil yang memahami(https://www.diklatkerja.com/course/teknik-jalan/) dan computer vision, serta manajer aset yang memahami big data sama baiknya dengan mereka memahami campuran aspal.
Jalan pulang saya mungkin masih akan macet untuk waktu yang lama. Tapi setidaknya sekarang saya tahu mengapa.
Kalau kamu tertarik dengan "dapur" dari semua masalah ini—dan ini benar-benar menarik—coba baca paper aslinya.
Teknologi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025
Jujur saja, saya seorang penggila keselamatan mobil. Selama bertahun-tahun, saya terobsesi dengan crash test rating, jumlah airbag, dan bagaimana chassis baja dapat menyerap benturan. Saya selalu berpikir bahwa "keselamatan jalan" berarti membuat mobil—kotak-kotak baja yang kita kendarai—menjadi benteng yang tidak bisa ditembus. Saat saya mengemudi, dikelilingi oleh sensor, lane-keeping assist, dan blind-spot monitoring, saya merasa aman dalam "gelembung" teknologi saya.
Saya pikir kita telah memecahkan masalah keselamatan. Ternyata, saya salah besar.
Minggu lalu, saya menemukan sebuah paper penelitian dari Swedia yang benar-benar menjungkirbalikkan asumsi saya. Judulnya teknis, "Characteristics of future crashes in Sweden," tapi temuannya adalah sesuatu yang harus dibaca oleh setiap perencana kota, insinyur teknologi, dan, terus terang, siapa pun yang berjalan kaki atau bersepeda.
Para peneliti ini melakukan sesuatu yang brilian. Mereka pada dasarnya bertindak sebagai peramal, tetapi menggunakan data. Mereka ingin memprediksi seperti apa kecelakaan dan cedera di masa depan (spesifiknya tahun 2020 dan 2030).
Bayangkan begini: Mereka mengambil data dasar semua cedera kecelakaan di Swedia dari tahun 2014. Kemudian, mereka secara sistematis "mengurangi" jumlah cedera tersebut berdasarkan semua intervensi keselamatan yang direncanakan. Ini termasuk infrastruktur baru seperti pembatas median jalan, dan yang lebih penting, semua teknologi kendaraan canggih yang sedang kita kembangkan—pikirkan Autonomous Emergency Braking (AEB) yang bisa mendeteksi pejalan kaki, Lane Keeping Assist (LKA) yang canggih, dan Electronic Stability Control (ESC) yang lebih baik.
Logikanya, dengan semua teknologi hebat ini, jumlah cedera di masa depan seharusnya anjlok di semua kategori, bukan?
Nah, di sinilah letak masalahnya.
Paradoks Hebat: Mengapa Teknologi Mobil Terbaik Gagal Melindungi Kita
Temuan inti dari paper ini mengungkap apa yang saya sebut sebagai "Kesenjangan Intervensi" yang masif. Ini adalah sebuah paradoks yang seharusnya membuat kita semua berhenti sejenak.
Bayangkan Anda adalah seorang raja yang membangun kastil di Abad Pertengahan. Anda menghabiskan 90% anggaran pertahanan untuk membangun tembok benteng yang lebih tinggi, lebih tebal, dan anti-meriam. Dan Anda berhasil! Benteng Anda (yaitu, mobil penumpang) menjadi luar biasa aman. Tidak ada yang bisa menembusnya.
Tapi kemudian Anda menyadari bahwa 80% dari populasi Anda sebenarnya adalah petani dan pedagang yang tinggal di gubuk-gubuk kayu tipis di luar tembok benteng. Dan semua meriam musuh sekarang hanya mengarah ke mereka.
Itulah yang terjadi di jalan raya kita.
Di Dalam Benteng (Penumpang Mobil): Untuk orang-orang di dalam mobil, beritanya fantastis. Paper tersebut mengonfirmasi bahwa intervensi yang ada—terutama ESC dan pembatas median jalan—telah sukses luar biasa dalam mengurangi kecelakaan fatal. Studi ini memproyeksikan tren positif ini akan berlanjut. Berkat teknologi yang lebih baik, jumlah cedera serius (PMI1%+) untuk penumpang mobil diperkirakan turun sebesar 28% antara 2014 dan 2030. Kita benar-benar berhasil membuat "benteng" kita lebih aman.
Di Luar Benteng (VRU): Tapi bagaimana dengan semua orang di luar benteng? Para peneliti menyebut mereka VRU (Vulnerable Road Users)—Pengguna Jalan yang Rentan. Ini adalah pengendara sepeda, pejalan kaki, dan pengendara motor. Dan untuk mereka, paper itu memberikan kesimpulan yang brutal: tindakan yang direncanakan "diperkirakan tidak memadai untuk pengguna jalan yang rentan".
Mengapa kita begitu hebat dalam melindungi satu kelompok tetapi gagal total pada kelompok lain? Jawabannya, ternyata, terletak pada apa yang kita putuskan untuk dihitung.
Berhenti Menghitung Kematian, Mulai Menghitung "Kehidupan yang Berubah"
Ini adalah bagian dari paper yang membuat saya terdiam. Selama beberapa dekade, cara kita mengukur "keselamatan jalan" pada dasarnya salah.
Kita secara historis terfokus pada fatalitas—jumlah orang yang meninggal. Data ini biasanya berasal dari laporan polisi. Dan tebak di mana sebagian besar fatalitas terjadi? Di jalan pedesaan, dalam tabrakan berkecepatan tinggi, yang melibatkan... Anda bisa menebaknya... penumpang mobil. Jadi, secara logis, kita menghabiskan semua uang dan R&D kita untuk memecahkan masalah itu (ESC, pembatas median, airbag).
Tetapi para peneliti Swedia ini berkata, "Tunggu dulu." Alih-alih hanya menggunakan data polisi tentang kematian, mari kita gunakan data rumah sakit tentang cedera. Dan alih-alih hanya menghitung setiap cedera sebagai "satu", mari kita ukur konsekuensi jangka panjangnya.
Mereka menggunakan metrik yang mengubah permainan yang disebut RPMI—Risk for Permanent Medical Impairment (Risiko Cacat Medis Permanen).
Dalam bahasa manusiawi, RPMI tidak hanya bertanya, "Apakah Anda terluka?" RPMI bertanya, "Apakah cedera ini akan mengubah hidup Anda selamanya?"
Metrik ini menghitung risiko seseorang menderita cacat permanen 1% atau lebih, yang didefinisikan sebagai "hilangnya fungsi, rasa sakit, dan/atau disfungsi mental". Ini adalah perbedaan antara pergelangan tangan yang terkilir yang sembuh dalam enam minggu, dan pergelangan tangan yang tidak akan pernah bisa Anda gunakan untuk mengangkat cangkir kopi atau menggendong anak Anda lagi.
Saat Anda mengubah metrik dari kematian menjadi kecacatan permanen, seluruh lanskap masalah berubah total.
Masalah terbesar bukan lagi tabrakan di jalan tol. Masalah terbesarnya adalah kecelakaan yang tampaknya "ringan" di perkotaan yang menghancurkan hidup. Dan siapa yang paling menderita akibat ini? Pengguna Jalan Rentan.
Apa yang Paling Bikin Saya Terkejut (Ada Dua Hal)
Di sinilah data menjadi benar-benar menakutkan. Ketika para peneliti memproyeksikan data RPMI ini ke tahun 2030 (setelah menerapkan semua teknologi canggih kita), dua kelompok muncul sebagai tantangan keselamatan terbesar di masa depan.
Dan keduanya adalah kelompok yang hampir sepenuhnya diabaikan oleh revolusi teknologi mobil kita.
Musuh Terbesar Pengendara Sepeda... Bukanlah Mobil
Saya selalu berasumsi bahwa bahaya terbesar bagi pengendara sepeda adalah ditabrak mobil. Jadi, saya pikir, teknologi AEB baru yang dapat mendeteksi pengendara sepeda akan menjadi penyelamat.
Saya salah.
Lihatlah data proyeksi 2030 (Gambar 3 di paper). Cedera penumpang mobil anjlok (penurunan 28%). Cedera pengendara sepeda? Jumlahnya nyaris tidak bergerak. Perkiraan penurunannya hanya 4%.
Empat persen!
Faktanya, pada tahun 2030, pengendara sepeda diproyeksikan menjadi kelompok pengguna jalan dengan cedera serius paling banyak dalam lalu lintas, melampaui penumpang mobil.
Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah AEB akan menyelamatkan mereka? Nah, inilah twist-nya. Paper tersebut memang memperhitungkan AEB. Dan teknologi itu berhasil! Kecelakaan antara sepeda dan kendaraan bermotor diperkirakan turun 37%.
Lalu mengapa total cederanya tidak berkurang?
Inilah bomnya, yang tersembunyi di Gambar 6 dari paper tersebut: 79% dari semua cedera sepeda yang parah adalah KECELAKAAN TUNGGAL.
Baca lagi. Tujuh puluh sembilan persen.
Ini bukan mobil yang menabrak sepeda. Ini adalah orang-orang yang jatuh sendiri. Mereka jatuh karena jalan berlubang, kerikil yang tidak dibersihkan, tambalan aspal yang buruk, trotoar yang retak, atau lapisan es tipis di pagi hari.
Mobil Tesla Anda yang seharga 1 miliar rupiah, dengan semua sensor Lidar dan AI-nya, sama sekali tidak berdaya untuk mencegah 79% dari masalah cedera sepeda yang paling serius. Kita telah dibutakan oleh teknologi. Kita pikir masalahnya adalah "mobil vs sepeda", padahal masalah utamanya adalah "pengendara sepeda vs aspal".
Ancaman Tak Terlihat yang Ditertawakan oleh Industri Keselamatan
Jika Anda pikir data sepeda itu mengejutkan, data pejalan kaki akan membuat Anda marah.
Dalam sebuah langkah radikal, para peneliti ini memasukkan data untuk "pejalan kaki yang jatuh di sistem transportasi jalan tanpa keterlibatan kendaraan".
Pikirkan tentang ini: nenek Anda terpeleset di trotoar yang membeku saat berjalan ke halte bus. Secara tradisional, kita tidak menyebut ini sebagai "masalah keselamatan lalu lintas". Kita menyebutnya "nasib buruk".
Para peneliti ini menyebutnya sebagai krisis data.
Lihatlah angka-angka baseline tahun 2014 (Tabel I).
Cedera penumpang mobil (MAIS1+): 3.996
Cedera pengendara sepeda: 10.736
Cedera pejalan kaki jatuh: 11.641
Kelompok "pejalan kaki jatuh" ini sudah menjadi yang terbesar. Itu bahkan sebelum kita berbicara tentang populasi yang menua.
Dan sekarang, inilah bagian terburuknya. Inilah proyeksi untuk tahun 2030. Ketika para peneliti melihat daftar panjang intervensi keselamatan yang direncanakan—ESC, AEB, LKA, Pembatas Median, dll. (Tabel III) —mereka mencari satu intervensi yang ditujukan untuk mencegah pejalan kaki jatuh.
Dan mereka tidak menemukan apa-apa.
Saya akan mengutip langsung dari paper karena ini sangat penting: "Karena tidak ada asumsi intervensi keselamatan jalan yang terencana yang menargetkan kelompok ini, tidak ada pengurangan untuk kelompok ini yang diperkirakan".
NOL.
Tidak ada satu pun dari teknologi miliaran dolar kita yang ditujukan untuk masalah cedera terbesar di sistem transportasi kita.
Lihat saja Gambar 7 di paper. Ini adalah grafik batang yang menunjukkan jumlah cedera pada tahun 2030. Batang untuk "Pejalan Kaki Jatuh" menjulang tinggi di atas segalanya, membuat batang "penumpang mobil" terlihat seperti kesalahan pembulatan statistik.
Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini
Membaca paper ini seperti disiram air es. Ini mengubah cara saya berpikir tentang data, teknologi, dan apa arti "aman".
Inilah yang saya bawa pulang:
🚀 Hasilnya luar biasa: Teknologi di dalam mobil (seperti ESC dan desain crashworthiness) benar-benar berfungsi. Mereka telah dan akan terus menyelamatkan penumpang mobil dari cedera parah. Penurunan 28% itu nyata dan harus dirayakan.
🧠 Inovasinya: Inovasi terbesar dalam paper ini bukanlah teknologi; itu adalah metodologi. Keberanian untuk mengubah metrik dari 'fatalitas' (data polisi) menjadi 'RPMI' (cacat permanen dari data rumah sakit) adalah tindakan jenius. Ini adalah contoh sempurna tentang bagaimana data, jika dilihat dengan cara yang benar, dapat mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
💡 Pelajaran: Kita terjebak dalam pola pikir 'melindungi mobil'. Masa depan keselamatan adalah merancang sistem holistik untuk semua orang. Seperti yang disimpulkan paper ini, kita perlu "mendefinisikan sistem keselamatan untuk pengguna jalan yang rentan".
Opini Pribadi & Kritik Halus Saya
Meskipun temuan ini mengubah paradigma, metode analisisnya sendiri memiliki beberapa kelemahan, yang secara jujur diakui oleh penulis di bagian "Diskusi".
Pertama, model mereka adalah "metode deterministik," bukan "prediksi statistik sejati". Dalam bahasa manusiawi, ini lebih merupakan perhitungan "bagaimana-jika" raksasa daripada ramalan yang pasti. Keakuratannya sepenuhnya bergantung pada asumsi yang mereka buat tentang seberapa efektif teknologi masa depan (misalnya, AEB akan mengurangi tabrakan X sebesar 50%) dan seberapa cepat teknologi itu akan diadopsi oleh masyarakat.
Kedua, mereka mengakui bahwa ini adalah skenario "bisnis seperti biasa" (business-as-usual). Model ini tidak memperhitungkan guncangan tak terduga. Ini ditulis pada tahun 2016. Model ini tidak tahu tentang pandemi COVID-19 yang mengubah pola lalu lintas, atau ledakan e-scooter yang tiba-tiba, yang menciptakan kategori VRU baru yang sangat berbahaya. Hal ini membuat proyeksi 2030 mereka terasa agak rapuh dan terlalu abstrak, meskipun saya yakin arah umumnya 100% benar.
Menghubungkan ke Keterampilan
Wawasan seperti ini—menemukan bahwa 79% cedera sepeda adalah kecelakaan tunggal—tidak muncul begitu saja. Itu datang dari kemampuan untuk menggali data mentah dan menantang asumsi yang ada. Ini adalah inti dari apa yang dilakukan oleh analisis data.
Kemampuan untuk tidak hanya melaporkan angka ("cedera sepeda tidak turun") tetapi juga menggali mengapa ("karena itu kecelakaan tunggal, bukan tabrakan mobil") adalah yang membedakan seorang analis sejati. Jika Anda tertarik untuk belajar bagaimana menemukan cerita tersembunyi di balik angka-angka di bidang Anda sendiri, kursus seperti(https://diklatkerja.com/course/big-data-analytics-data-visualization-and-data-science/) adalah tempat yang luar biasa untuk memulai.
Kesimpulan: Kita Ingin Kota yang Sehat, Tapi Apakah Kita Siap Membayar Harga Keselamatannya?
Inilah ironi terakhir yang diangkat oleh paper ini, yang paling melekat pada saya.
Para penulis mencatat bahwa Swedia, seperti kebanyakan negara maju, secara aktif mendorong warganya untuk beralih ke "moda transportasi yang lebih ramah lingkungan dan mempromosikan kesehatan" seperti bersepeda.
Pikirkan tentang paradoks kebijakan ini sejenak.
Kita, sebagai masyarakat, secara aktif mendorong orang untuk keluar dari lingkungan yang relatif aman (mobil, dengan penurunan risiko cedera 28%) dan masuk ke lingkungan yang jauh lebih berbahaya (sepeda, dengan penurunan risiko cedera hanya 4%).
Para penulis memberikan peringatan keras: "sangat penting untuk tidak menukar manfaat dan kerugian satu sama lain". Kita tidak bisa mempromosikan bersepeda untuk kesehatan jangka panjang jika itu berarti kita mengabaikan epidemi cedera traumatis jangka pendek.
Kita membutuhkan pendekatan holistik.
Masa depan keselamatan jalan raya tidak akan ditemukan di dalam chip silikon mobil otonom. Itu akan ditemukan dalam hal-hal yang membosankan namun sangat penting: kualitas aspal di jalur sepeda. Pembersihan salju dan es di trotoar. Desain trotoar yang lebih baik yang tidak membuat orang tersandung. Pencahayaan kota yang lebih baik.
Kita telah menghabiskan 50 tahun terakhir untuk membangun benteng yang luar biasa bagi mobil. Sekarang saatnya untuk akhirnya mulai melindungi orang-orang yang tinggal di luarnya.
Ini baru permukaan. Kalau kamu tertarik dengan data mentah dan ingin melihat analisis lengkapnya—terutama Tabel III yang merinci setiap intervensi dan asumsi efektivitasnya—coba baca paper aslinya.
(http://www.ircobi.org/wordpress/downloads/irc16/pdf-files/15.pdf)
Teknologi AI
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025
Dalam dua dekade terakhir, dunia industri mengalami pergeseran mendasar: dari ketergantungan pada efisiensi mekanik menuju integrasi kecerdasan digital. Artikel “Heavy Machinery Meets AI” karya Vijay Govindarajan dan Venkat Venkatraman menggambarkan transformasi ini dengan tajam—bahwa keunggulan masa depan tidak lagi ditentukan oleh kepemilikan aset fisik, melainkan oleh kemampuan menggabungkan steel and silicon, antara mesin analog dan kecerdasan buatan.
Perusahaan seperti Deere & Company, produsen alat pertanian berusia hampir dua abad, menunjukkan bagaimana fusi ini mengubah cara nilai diciptakan. Dari traktor otonom hingga sistem penyemprot cerdas See & Spray, Deere bukan sekadar menjual mesin, melainkan membangun ekosistem data yang memantau jutaan hektar lahan pertanian secara real time. Data tersebut menjadi bahan bakar bagi algoritma pembelajaran mesin yang meningkatkan efisiensi, mengurangi penggunaan pestisida, dan mengoptimalkan hasil panen.
Kisah seperti ini menandai babak baru industri berat: era fusi antara produk fisik dan kecerdasan digital. Bagi Indonesia—dengan basis industri manufaktur, pertambangan, dan alat berat yang kuat—paradigma ini membuka peluang sekaligus tantangan besar.
Dari Internet of Things ke Strategi Fusi
Banyak pelaku industri menganggap digitalisasi sekadar pemasangan sensor atau sistem pemantauan daring, mirip dengan konsep Internet of Things (IoT). Namun, strategi fusi jauh melampaui itu. IoT berfokus pada pengumpulan data, sementara strategi fusi menekankan penggunaan data secara aktif untuk menciptakan nilai baru dan meningkatkan kinerja produk di lapangan.
Dalam strategi fusi, tanggung jawab tidak lagi terbatas pada departemen operasional, tetapi menjadi kolaborasi lintas fungsi antara teknologi, desain, layanan pelanggan, dan kepemimpinan strategis. Tujuannya adalah menciptakan siklus inovasi berkelanjutan: produk menghasilkan data, data memberi wawasan, dan wawasan memperbarui produk.
Bagi industri manufaktur Indonesia, ini berarti perubahan besar dalam cara berpikir. Digitalisasi bukan hanya proyek TI, tetapi strategi bisnis utama. Integrasi sensor, kecerdasan buatan, dan analitik prediktif harus diarahkan untuk memberikan nilai nyata bagi pengguna akhir, seperti produktivitas, keamanan, dan efisiensi biaya.
Empat Pilar Strategi Fusi
Govindarajan dan Venkatraman mengidentifikasi empat bentuk strategi fusi yang menjadi fondasi bagi industri modern:
Fusion Products
Produk dirancang dari awal untuk memanfaatkan data dan AI. Contohnya, Tesla menciptakan “komputer di atas roda” dengan kemampuan memantau performa kendaraan dan melakukan pembaruan perangkat lunak secara langsung.
Di Indonesia, pendekatan ini bisa diterapkan pada sektor otomotif, alat berat, dan pertanian cerdas (smart farming). Misalnya, traktor produksi dalam negeri yang dilengkapi sensor tanah dan cuaca dapat memberikan rekomendasi otomatis bagi petani kecil.
Fusion Services
Layanan berbasis AI menggantikan layanan manual. Rolls-Royce menggunakan AI untuk menganalisis data mesin pesawat dan menghemat biaya operasional hingga ratusan juta dolar.
BUMN seperti PT Dirgantara Indonesia atau PT INKA dapat mengadopsi model serupa untuk layanan purna jual dan perawatan prediktif.
Fusion Systems
Sistem yang menghubungkan berbagai mesin dan perangkat dari banyak produsen. Contoh ekstremnya adalah integrasi sistem fasilitas Burj Khalifa oleh Honeywell yang menurunkan waktu perawatan hingga 40%.
Untuk konteks nasional, pendekatan sistemik seperti ini dapat diterapkan dalam proyek infrastruktur besar—bandara, pelabuhan, atau kawasan industri—dengan mengintegrasikan sensor, energi, dan data operasional.
Fusion Solutions
Merupakan puncak dari strategi fusi—menggabungkan produk, layanan, dan sistem menjadi solusi holistik yang memecahkan masalah pelanggan secara menyeluruh. Di sektor agrikultur, Deere berkolaborasi dengan perusahaan analitik seperti Granular untuk membantu petani merencanakan panen, biaya, dan profit. Indonesia bisa meniru model ini untuk membangun ecosystem solution antara produsen alat, lembaga riset, dan startup agritech.
Implikasi untuk Industri Indonesia
Indonesia memiliki fondasi kuat untuk menerapkan strategi fusi, terutama melalui program Making Indonesia 4.0.
Namun, masih ada tantangan besar:
Kesenjangan digitalisasi antar industri. Banyak pabrik masih beroperasi secara manual tanpa sistem data terintegrasi.
Kurangnya tenaga ahli AI industri. SDM teknik belum terbiasa dengan kolaborasi data dan algoritma.
Model bisnis tradisional. Fokus masih pada penjualan produk, bukan pada layanan berbasis data.
Untuk mengatasinya, Indonesia perlu mendorong kolaborasi lintas sektor: industri, universitas, dan pemerintah.
Strategi fusi menuntut pendekatan ekosistem, bukan individual. Misalnya, integrasi antara produsen alat berat (seperti Pindad atau Komatsu Indonesia) dengan penyedia cloud lokal dan startup AI dapat menciptakan fusion ecosystem yang memajukan daya saing global.
Selain itu, kebijakan nasional perlu mengakomodasi keamanan data industri, interoperabilitas sistem, dan insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam R&D berbasis AI.
Kesimpulan
Strategi fusi bukan hanya tren digital, melainkan fondasi baru bagi keunggulan industri abad ke-21. Dengan menggabungkan kecanggihan mesin fisik dan kecerdasan buatan, perusahaan tidak lagi menjual alat, tetapi menjual kemampuan untuk belajar dan beradaptasi.
Bagi Indonesia, menerapkan strategi ini berarti memperkuat posisi dalam rantai nilai global, mempercepat transformasi manufaktur, dan membangun industri yang berdaya tahan terhadap disrupsi teknologi. Masa depan industri berat bukan lagi soal logam yang kuat, tetapi tentang seberapa cerdas logam itu memahami dunia di sekitarnya.
Daftar Pustaka
Govindarajan, V., & Venkatraman, V. (2024). Heavy machinery meets AI. Harvard Business Review, 102(3), 256–273.
Ministry of Industry of the Republic of Indonesia. (2023). Making Indonesia 4.0 roadmap: Accelerating industrial transformation. Jakarta: Kementerian Perindustrian RI.
World Economic Forum. (2024). Industrial transformation with AI and digital twins. Geneva: WEF.
OECD. (2023). AI and productivity in manufacturing: Policy approaches for inclusive digitalization. Paris: OECD Publishing.
Kominfo. (2023). Laporan tahunan transformasi digital sektor industri 2023. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
International Federation of Robotics. (2024). World robotics report 2024: Industrial automation and AI convergence. Frankfurt: IFR.
Analisis Data
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025
Banyak organisasi di Indonesia telah berinvestasi besar dalam sistem data—mulai dari data lake, sensor IoT, hingga analitik berbasis AI. Namun, hasilnya sering kali belum sepadan dengan besarnya investasi. Seperti diuraikan oleh Veeral Desai dan koleganya dalam Harvard Business Review, permasalahan utama bukan terletak pada kurangnya data, melainkan pada cara organisasi memperlakukannya. Alih-alih menjadikan data sebagai aset yang siap digunakan, banyak organisasi masih memperlakukannya sebagai “produk sampingan” dari operasional.
Dalam praktik terbaik dunia, pendekatan baru muncul: memperlakukan data sebagai produk (data as a product). Konsep ini memandang data sebagai entitas bernilai yang memiliki siklus hidup, pengguna, dan ukuran kinerja tersendiri. Pendekatan ini membantu organisasi menghasilkan nilai jangka pendek sekaligus membangun fondasi pemanfaatan data berkelanjutan.
Data sebagai Produk: Mengubah Paradigma Lama
Pendekatan tradisional sering terjebak dalam dua ekstrem: proyek besar terpusat yang lambat (big bang approach) atau proyek kecil yang terfragmentasi antar tim. Keduanya gagal menciptakan nilai yang konsisten. Sebaliknya, memperlakukan data sebagai produk berarti mengembangkan set data yang siap pakai, terstandar, dan dapat digunakan lintas aplikasi—mirip dengan produk komersial yang memiliki pengguna dan pembaruan berkala.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini bisa diadaptasi oleh BUMN dan lembaga publik yang mengelola data lintas sektor.
Misalnya, data pelanggan di sektor energi atau transportasi dapat dikemas menjadi data product yang dapat digunakan oleh divisi pemasaran, perencanaan, dan layanan pelanggan tanpa perlu membangun ulang sistem data masing-masing.
Hal ini tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga mempercepat inovasi internal.
Lima Pola Konsumsi Data dalam Organisasi
Desai dan koleganya mengidentifikasi lima pola utama (consumption archetypes) yang menjelaskan bagaimana data digunakan di dalam organisasi:
Aplikasi Digital – memerlukan data real-time untuk mendukung operasi, misalnya sistem pelacakan logistik atau aplikasi pelanggan.
Analitik Lanjutan (AI/ML) – membutuhkan data yang bersih dan terstruktur agar algoritma dapat berjalan efektif.
Pelaporan dan Kepatuhan – memerlukan data yang diaudit, lengkap, dan akurat untuk laporan internal maupun regulator.
Sandbox Penemuan – area eksperimen bagi tim data untuk menjajaki pola baru dan peluang inovasi.
Berbagi Data Eksternal – berbasis kolaborasi antar organisasi, seperti berbagi data fraud antar bank atau rantai pasok antara produsen dan pemasok.
Kelima pola ini dapat ditemukan di banyak organisasi Indonesia, dari perbankan hingga manufaktur. Tantangannya adalah menyatukan arsitektur data agar mendukung semua pola tersebut secara efisien dan aman.
Mengelola Data Produk dan Pusat Keunggulan
Untuk menjalankan konsep ini, setiap data product harus dikelola oleh manajer produk data (data product manager)—peran baru yang memadukan keahlian teknis dan pemahaman bisnis. Mereka bertanggung jawab memastikan data memiliki kualitas, konsistensi, dan kemudahan akses. Selain itu, organisasi perlu memiliki pusat keunggulan data (data excellence center) yang berfungsi menetapkan standar, desain arsitektur, serta praktik terbaik dalam dokumentasi, audit, dan tata kelola.
Contoh sukses dapat dilihat dari sebuah perusahaan telekomunikasi global yang menerapkan sistem ini. Dengan mengelola data jaringan sebagai produk, perusahaan mampu mendukung lebih dari 150 kasus penggunaan dalam tiga tahun, menghasilkan miliaran dolar efisiensi dan pendapatan baru.
Pendekatan serupa bisa diterapkan di sektor telekomunikasi Indonesia untuk mempercepat transformasi digital yang berkelanjutan.
Tantangan dan Arah Implementasi di Indonesia
Implementasi data as a product di Indonesia menghadapi sejumlah kendala khas:
Kualitas dan fragmentasi data akibat sistem lama yang belum terintegrasi.
Kurangnya tenaga ahli data engineering dan product ownership.
Budaya organisasi yang belum terbiasa dengan pendekatan lintas fungsi.
Ketidakjelasan metrik nilai data, yang membuat proyek data sulit diukur dampaknya.
Untuk mengatasinya, organisasi perlu mengadopsi pendekatan bertahap:
Mulai dari unit bisnis dengan kesiapan data tinggi.
Pilih kasus penggunaan dengan potensi nilai cepat (misalnya penghematan biaya operasional).
Bentuk tim lintas fungsi dengan peran teknis dan bisnis yang seimbang.
Ukur dampak setiap data product agar dapat menjustifikasi pengembangan berikutnya.
Penutup
Mengelola data seperti produk adalah langkah penting untuk menjadikan data sebagai motor pertumbuhan dan inovasi. Dengan pendekatan ini, organisasi tidak hanya menghemat biaya pengelolaan data hingga 30%, tetapi juga mempercepat waktu penerapan hingga 90%.
Bagi Indonesia, terutama bagi BUMN dan sektor publik, ini berarti membangun tata kelola data yang tangguh, memperkuat kepercayaan terhadap data nasional, dan mempercepat visi transformasi digital yang berkelanjutan.
Data bukan lagi sekadar aset teknis — ia adalah produk strategis yang menentukan keunggulan kompetitif masa depan.
Daftar Pustaka
Desai, V., Fountaine, T., & Rowshankish, K. (2022). A better way to put your data to work. Harvard Business Review, 100(4), 239–255.
World Bank. (2023). Data governance for development: Unlocking public value through responsible data use. Washington, DC: World Bank.
OECD. (2022). Data-driven public sector: Enabling the digital transformation of government. Paris: OECD Publishing.
Kementerian Kominfo RI. (2023). Panduan tata kelola data sektor publik dan interoperabilitas nasional. Jakarta: Kominfo.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Setiap kali Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan PDB, headline media langsung ramai: ekonomi tumbuh 5%, inflasi terkendali, atau surplus perdagangan berlanjut. Kita bersorak seolah semua masalah selesai. Tapi benarkah demikian? Pertumbuhan sesaat bisa membuat kita bangga, tetapi apakah ia cukup untuk membawa Indonesia keluar dari middle income trap?
Pertanyaan mendasar muncul: apakah kita puas dengan pertumbuhan jangka pendek, atau berani melakukan restrukturisasi ekonomi jangka panjang?

Mesin Pertumbuhan Jangka Pendek
Kerangka GDP = C + I + G + (X – M) menjelaskan empat mesin utama penggerak ekonomi.
Konsumsi (C):
- Konsumsi rumah tangga menyumbang 53–55% PDB Indonesia.
Artinya, lebih dari separuh pertumbuhan kita ditopang oleh belanja masyarakat.
Tapi apakah aman bergantung pada konsumsi semata? Pada 2022, inflasi pangan sempat menembus 5,5%, memukul daya beli masyarakat berpendapatan rendah. Optimisme konsumen bisa cepat hilang jika harga beras dan energi naik.
Investasi (I) :
- Porsinya sekitar 30–33% PDB.
- Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) pada 2023 mencapai Rp 744 triliun, naik dari tahun sebelumnya.
Namun, investasi jangka panjang butuh kepastian hukum. Bagaimana mungkin investor global mau menanam modal puluhan tahun jika regulasi bisa berubah dalam hitungan bulan?
Belanja Pemerintah (G) :
- Menyumbang 8–10% PDB.
- Pada 2020, saat pandemi, APBN berperan besar: defisit fiskal melebar ke 6,1% PDB demi menyelamatkan ekonomi.
Namun setiap tahun kita mendengar keluhan sama: serapan anggaran lambat, proyek produktif kalah dari belanja rutin. Apakah kita hanya pandai mengalokasikan, tapi tidak mampu merealisasikan?
Ekspor Neto (X – M):
- Tahun 2022, Indonesia menikmati surplus perdagangan terbesar sepanjang sejarah: USD 54,5 miliar—berkat harga batu bara, CPO, dan nikel yang melambung.
- Tetapi pada 2023, surplus turun jadi USD 36,9 miliar seiring turunnya harga komoditas. Bukankah ini bukti bahwa kita masih seperti penumpang roller coaster harga global?

Fondasi Struktural: Jalan yang Lebih Sulit
Pertumbuhan jangka pendek ibarat kembang api — indah, tapi cepat padam. Fondasi struktural adalah akar pohon — tak terlihat, tapi menentukan apakah kita sanggup bertahan menghadapi badai.
Produktivitas Tenaga Kerja:
- Produktivitas pekerja Indonesia hanya sekitar USD 25.000 per pekerja per tahun (data ILO, 2022), jauh di bawah Korea Selatan (USD 80.000) atau Malaysia (USD 55.000).
Bonus demografi bisa menjadi berkah, tapi tanpa skill dan kesehatan memadai, ia berubah jadi bom waktu pengangguran.
Transformasi Industri:
- Kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia stagnan di kisaran 19–20% sejak awal 2000-an.
- Bandingkan dengan Vietnam: sektor manufakturnya melonjak dari 17% (2005) ke 25% (2022), menjadikan negara itu basis ekspor elektronik dunia.
Pertanyaannya: maukah kita tetap menjual CPO mentah dan batu bara, sementara tetangga menjual semikonduktor dan smartphone?
Inovasi & Teknologi:
- Belanja riset Indonesia hanya 0,23% PDB (UNESCO, 2021). Korea Selatan? 4,8%. China? 2,4%.
Selama kita hanya mengimpor teknologi, kapan kita akan menjadi pencipta, bukan sekadar pengguna?
Kepastian Politik & Hukum:
- Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih 34/100 (2023, Transparency International)—tergolong rendah.
Padahal, tanpa kepastian hukum, investasi strategis jangka panjang sulit bertahan. Bukankah fondasi ekonomi kuat tidak mungkin tumbuh di atas tanah hukum yang rapuh?

Studi Kasus: Belajar dari Dunia
1. Korea Selatan
1960-an: PDB per kapita hanya USD 158—lebih rendah dari Ghana saat itu.
Kini: USD 33.000 (2022).
Rahasianya? Industrialisasi agresif, investasi pendidikan, dan konsistensi lintas rezim. Mereka memilih jalan restrukturisasi, bukan sekadar angka pertumbuhan.
2. Brasil
Awal 2000-an: dipuji sebagai raksasa baru berkat booming komoditas.
2015–2016: ekonomi jatuh ke resesi terdalam, kontraksi -3,5%, karena gagal diversifikasi industri.
Pelajaran: bergantung pada komoditas ibarat mengikat masa depan pada harga global yang tak bisa kita kendalikan.
3. China
Sejak 1978, rata-rata pertumbuhan 9–10% per tahun.
Tapi mereka tidak berhenti di situ: lewat Made in China 2025, China menargetkan dominasi di AI, kendaraan listrik, dan semikonduktor.
Mereka membuktikan: pertumbuhan jangka pendek bisa dijalankan bersamaan dengan restrukturisasi jangka panjang.
4. Indonesia Sendiri
1970-an: ekonomi tumbuh pesat berkat booming minyak.
1980-an: harga minyak jatuh, APBN terguncang, utang menumpuk.
Reformasi 1998 melahirkan stabilitas makro, tapi sejak 2000-an, industri manufaktur stagnan.
Sementara itu, Vietnam melesat, ekspor manufakturnya menembus USD 371 miliar (2022), hampir dua kali lipat Indonesia (USD 223 miliar).

Dilema Indonesia
Pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah kita puas menyalakan kembang api pertumbuhan PDB tiap kuartal, atau kita berani menanam pohon ekonomi yang akarnya kuat?
Pertumbuhan jangka pendek memberi stabilitas politik, tapi restrukturisasi memberi daya tahan lintas generasi. Kita tidak bisa selamanya bersembunyi di balik surplus komoditas, apalagi membiarkan bonus demografi lewat begitu saja.

Penutup
Mengejar angka PDB jangka pendek penting —bia menjaga stabilitas, membangun optimisme, dan memberi ruang fiskal. Tetapi tanpa restrukturisasi, semua itu rapuh. Indonesia perlu keberanian politik untuk menyeimbangkan keduanya: menjaga mesin pertumbuhan tetap hidup, sambil menanam fondasi produktivitas, inovasi, dan industrialisasi.
Karena pada akhirnya, pertumbuhan sejati bukanlah soal seberapa cepat kita berlari, melainkan seberapa kokoh tanah yang kita pijak.