Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 April 2025
Dalam dunia konstruksi yang penuh dengan dinamika dan banyak pihak terlibat, komunikasi visual menjadi kunci utama keberhasilan proyek. Artikel ini menyoroti betapa pentingnya penggunaan Visual Management (VM) sebagai bagian dari pendekatan Lean Construction. Diadaptasi dari kesuksesan lean manufacturing milik Toyota, pendekatan lean dalam konstruksi bertujuan mengurangi limbah dan meningkatkan nilai proyek. VM menjadi alat bantu yang sangat efektif dalam mendukung tujuan tersebut karena menyederhanakan komunikasi dan pengambilan keputusan langsung di lapangan.
Tujuan Penelitian dan Metodologi
Penelitian ini bertujuan menganalisis penggunaan dan efektivitas 12 alat visual dalam proyek konstruksi di India. Data dikumpulkan melalui survei terhadap 725 profesional konstruksi (kontraktor, konsultan, akademisi, dan lembaga pemerintah), yang menghasilkan 153 tanggapan valid. Metode analisis yang digunakan meliputi:
Pendekatan kuantitatif dan kualitatif dikombinasikan untuk memberikan gambaran menyeluruh.
Visual Management Tools: Alat yang Menyederhanakan Kompleksitas
Berikut ini beberapa alat visual yang dievaluasi dalam penelitian:
Big Room
Big Room adalah ruang kolaboratif yang dilengkapi dengan papan informasi, kode warna, dan jadwal kerja (LPS). Pertemuan harian 15 menit (disebut hurdle meeting) menjadi sarana untuk mengevaluasi status proyek, membahas kendala, dan menyelaraskan jadwal antar tim. RII Big Room: 92% (paling tinggi dalam survei)
5S (Sort, Set in Order, Shine, Standardize, Sustain)
Teknik manajemen lokasi kerja ini berasal dari Jepang dan bertujuan mengatur, membersihkan, dan menstandarkan lingkungan kerja agar lebih efisien. 5S memungkinkan pengurangan waktu pencarian alat dan meningkatkan disiplin visual. RII 5S: 91%
Last Planner System (LPS)
Sistem perencanaan kolaboratif lima tahap ini memungkinkan perencanaan jangka pendek yang realistis dan disepakati bersama, mengurangi ketidakpastian di lapangan. RII LPS: 90%
Building Information Modeling (BIM)
BIM digunakan untuk menyatukan semua informasi desain dan teknik dalam satu model digital. BIM membantu dalam clash detection dan memvisualisasikan hasil akhir proyek sejak awal. RII BIM: 88%
Augmented Construction Field Visualization
Teknologi realitas tertambah ini memproyeksikan desain 3D ke lokasi nyata, memudahkan stakeholder memahami hasil akhir dan melakukan revisi desain sebelum pekerjaan dimulai. RII: 85%
Temuan Utama: RII dan Cluster Analysis
Penelitian mengidentifikasi tiga kategori utama alat berdasarkan nilai RII:
Salah satu insight menarik dari cluster analysis adalah bahwa BIM, meskipun tidak mendapatkan RII tertinggi, menjadi predictor paling kuat dalam meningkatkan nilai proyek.
Studi Kasus: Praktik Visual Management di Lapangan
Salah satu studi kasus menampilkan pelaksanaan Big Room yang memperlihatkan manfaat besar dalam menyelaraskan komunikasi antar kontraktor dan subkontraktor. Misalnya, dengan memasang informasi status proyek secara visual, semua pekerja dari berbagai latar belakang bahasa dapat langsung memahami prioritas dan kendala tanpa harus melalui rapat panjang.
Sebagai contoh, ketika proyek mengalami keterlambatan dalam pengiriman beton pracetak, papan visual menampilkan status logistik real-time yang memungkinkan tim proyek segera mengatur ulang urutan pekerjaan. Ini menghindarkan biaya idle tinggi yang biasanya muncul karena informasi tidak tersebar dengan cepat.
Tantangan dan Hambatan
Meskipun manfaatnya jelas, masih banyak proyek yang belum menerapkan visual management. Alasan utamanya:
Penggunaan alat seperti Heijunka masih sangat minim, padahal teknik ini dapat mengatur produksi secara merata dan menghindari kelebihan stok yang sering kali membebani lokasi proyek.
Rekomendasi Penulis
Penulis memberikan beberapa rekomendasi kunci:
Opini Penulis Resensi: Visual Management sebagai Masa Depan Lean Konstruksi
Artikel ini menjadi jembatan penting antara teori lean dan praktik lapangan yang nyata. Visual Management tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga platform koordinasi, pemantauan, hingga motivasi kerja. Dalam konteks proyek-proyek konstruksi di Indonesia yang juga memiliki masalah fragmentasi stakeholder dan keterlambatan logistik, pendekatan ini sangat relevan.
Dengan era digital yang terus berkembang dan adopsi teknologi seperti BIM semakin umum, visual management menjadi pilar utama dalam transformasi manajemen konstruksi yang lebih transparan, efisien, dan kolaboratif. Ini bukan sekadar tren, tapi kebutuhan.
Sumber asli artikel:
Subhav Singh & Kaushal Kumar. A study of lean construction and visual management tools through cluster analysis. Ain Shams Engineering Journal, 12 (2021), 1153–1162.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 April 2025
Dalam era transformasi digital industri konstruksi, Building Information Modeling (BIM) menjadi pusat perhatian karena potensinya dalam meningkatkan efisiensi, mengurangi kesalahan, dan menyatukan berbagai pemangku kepentingan dalam satu platform terintegrasi. Artikel “Building Information Modeling Implementation through Maturity Evaluation and Critical Success Factors Management” karya Romain Morlhon, Robert Pellerin, dan Mario Bourgault dari École Polytechnique de Montréal memberikan panduan sistematis tentang bagaimana mengimplementasikan BIM secara efektif dengan mempertimbangkan tingkat kematangan organisasi dan faktor keberhasilan kritis (Critical Success Factors atau CSF).
Artikel ini merupakan salah satu yang paling komprehensif dalam menawarkan model praktis bagi organisasi yang ingin mengadopsi atau meningkatkan penerapan BIM dalam proses kerja mereka.
Konteks dan Tantangan Penerapan BIM
Meskipun BIM telah banyak dikenal sejak awal tahun 2000-an, penetrasinya dalam industri konstruksi masih tergolong lambat. Salah satu alasannya adalah resistensi terhadap perubahan, minimnya standar adopsi, dan kurangnya pemahaman tentang bagaimana mengintegrasikan BIM ke dalam proses yang sudah ada. Bahkan, laporan menyebutkan bahwa kekurangan interoperabilitas dalam industri konstruksi AS menambah biaya sebesar USD 6,12 per kaki persegi. Ini menunjukkan adanya potensi kerugian besar akibat rendahnya adopsi sistem informasi terintegrasi seperti BIM.
Studi ini mengidentifikasi bahwa kendala dalam implementasi BIM tidak hanya berasal dari aspek teknis, tetapi juga dari sisi manajemen, budaya organisasi, pelatihan SDM, hingga koordinasi antar pemangku kepentingan.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari artikel ini adalah mengembangkan sebuah model bantuan bagi organisasi yang ingin mengimplementasikan BIM. Model ini memadukan tiga komponen:
Tiga Pilar Pendekatan Model: CMM, CSF, dan Tindakan
1. Capability Maturity Model (CMM)
CMM digunakan untuk menilai sejauh mana BIM telah diterapkan dalam suatu organisasi. Penilaian dilakukan terhadap 11 kategori seperti:
Masing-masing aspek dinilai dari level 1 hingga 10. Misalnya, dalam kategori Data Richness, level 1 berarti hanya data dasar yang tersedia, sedangkan level 10 menunjukkan bahwa data sepenuhnya terintegrasi dengan manajemen pengetahuan (knowledge management).
Penilaian ini memberikan gambaran umum bagi organisasi tentang di mana mereka berada dan area mana yang perlu diperkuat.
2. Critical Success Factors (CSFs)
Berdasarkan kajian literatur dan studi kasus, penulis mengidentifikasi beberapa CSF utama yang berpengaruh langsung terhadap implementasi dan pemanfaatan BIM, antara lain:
CSF ini tidak hanya penting saat implementasi, tetapi juga berdampak jangka panjang terhadap keberhasilan penggunaan BIM.
3. Tindakan Praktis
Setiap CSF dikaitkan dengan beberapa tindakan nyata. Misalnya:
Tindakan-tindakan ini didasarkan pada pengalaman nyata di proyek-proyek sebelumnya dan diturunkan dari rekomendasi para ahli.
Studi Kasus: Proyeksi Implementasi Model dalam Proyek Nyata
Meskipun artikel ini tidak menyebutkan satu studi kasus spesifik secara rinci, model yang ditawarkan memungkinkan penerapannya di berbagai jenis proyek konstruksi—baik gedung komersial, rumah sakit, hingga infrastruktur publik.
Sebagai contoh, dalam proyek rumah sakit skala besar, BIM digunakan untuk mendeteksi konflik antar komponen desain (clash detection). Namun, proyek tersebut menemui kendala karena sebagian besar subkontraktor belum terbiasa dengan BIM. Dengan menggunakan model dari artikel ini, organisasi dapat menilai bahwa aspek “pelatihan teknis” dan “keterlibatan pihak eksternal” mendapat skor rendah dalam CMM. Maka fokus tindakan difokuskan pada pelatihan dan adaptasi kontrak kerja yang menyertakan persyaratan keterampilan BIM.
Keunggulan Model Ini
Kritik dan Rekomendasi
Penulis mengakui bahwa model ini belum sepenuhnya tervalidasi oleh para praktisi industri. Oleh karena itu, mereka merancang rencana validasi menggunakan metode Delphi, yakni konsultasi berulang dengan para ahli untuk menguji relevansi tiap CSF dan tindakan.
Selain itu, penulis menyarankan adanya:
Relevansi Global dan Implikasi untuk Indonesia
Meskipun penelitian ini berbasis di Kanada, temuan dan modelnya sangat relevan untuk industri konstruksi di negara berkembang seperti Indonesia. Dengan banyaknya proyek infrastruktur skala besar dan meningkatnya adopsi digital, adopsi BIM menjadi keniscayaan.
Namun, rendahnya kesiapan SDM dan infrastruktur TI menjadi tantangan. Di sinilah model dari Morlhon dkk. bisa menjadi alat bantu strategis dalam menyusun roadmap BIM nasional, dimulai dari evaluasi kematangan hingga pelatihan terstruktur.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan kontribusi nyata dalam menjawab tantangan klasik implementasi BIM—yakni ketidakjelasan panduan langkah demi langkah. Dengan menggabungkan Capability Maturity Model, daftar Critical Success Factors, dan tindakan konkret, penulis menawarkan pendekatan sistematis yang bisa diadopsi dan disesuaikan oleh berbagai organisasi konstruksi.
Model ini ideal tidak hanya bagi perusahaan besar yang sudah menggunakan BIM, tetapi juga bagi kontraktor menengah yang baru memulai. Ia menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik serta menekankan pentingnya kombinasi kesiapan teknis dan manajerial dalam suksesnya implementasi BIM.
Sumber artikel asli:
Romain Morlhon, Robert Pellerin, Mario Bourgault. Building Information Modeling Implementation through Maturity Evaluation and Critical Success Factors Management. Procedia Technology 16 (2014) 1126–1134.
Sustainable Practices
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 April 2025
Dalam dunia konstruksi jalan yang sarat tekanan waktu dan logistik kompleks, ketepatan perencanaan dan kelancaran rantai pasok (supply chain) menjadi penentu utama keberhasilan proyek. Artikel berjudul “The Analysis of Supply Chain Performance Measurement at Construction Project” karya M. Agung Wibowo dan Moh Nur Sholeh membahas secara mendalam bagaimana model SCOR—yang biasa digunakan di industri manufaktur—bisa diadaptasi untuk mengukur kinerja rantai pasok proyek konstruksi, khususnya jalan raya.
Mengapa Rantai Pasok Penting dalam Proyek Jalan?
Konstruksi jalan bukan hanya soal cor beton dan aspal. Material seperti baja, beton, pasir, dan alat berat harus tersedia tepat waktu. Sedikit keterlambatan dalam pengiriman satu komponen saja dapat menyebabkan efek domino, merugikan biaya dan waktu. Di tengah kompleksitas ini, pendekatan SCOR (Supply Chain Operations Reference) menjadi relevan untuk menilai efisiensi dan ketepatan distribusi material serta koordinasi antar pihak.
Dalam konteks proyek infrastruktur Indonesia, model pengukuran seperti SCOR belum banyak digunakan. Padahal, dengan tingginya jumlah proyek jalan nasional dan daerah, kebutuhan akan sistem manajemen pasok yang cerdas dan adaptif sangatlah penting.
Studi Kasus: Proyek Pelebaran Jalan Siliwangi di Semarang
Penelitian ini dilakukan di proyek pelebaran Jalan Siliwangi yang dikerjakan oleh PT Adhi Karya, dengan melibatkan pemasok baja dari Sidoarjo, berjarak sekitar 350 kilometer dari lokasi proyek. Tantangan utama dalam proyek ini adalah keterlambatan pengiriman baja dan gangguan pasokan beton akibat erupsi Gunung Merapi yang memperparah distribusi material bangunan.
Ketika proyek mencapai tahap konstruksi 60 persen, material baja yang sangat dibutuhkan justru mengalami penundaan signifikan. Imbasnya, seluruh jadwal kerja terpaksa direvisi. Inilah yang memicu perlunya pengukuran performa rantai pasok secara sistematis.
Pendekatan dan Metodologi yang Digunakan
Model SCOR yang diadopsi dalam studi ini mencakup lima indikator utama:
Setiap indikator dievaluasi menggunakan gabungan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan bobot pentingnya, dan OMAX untuk mengukur performa aktual. Hasil akhirnya divisualisasikan dengan sistem warna “traffic light”—merah untuk buruk, kuning untuk sedang, dan hijau untuk baik.
Hasil Penelitian: Kinerja Masih Dalam Kategori “Cukup”
Dari pengukuran yang dilakukan, skor keseluruhan performa rantai pasok dalam proyek ini mencapai angka 6,4 dari skala 10. Ini menempatkan proyek dalam kategori sedang—artinya sudah ada koordinasi yang baik, namun masih banyak ruang untuk perbaikan, khususnya dalam aspek waktu pengiriman dan fleksibilitas.
Sebagai contoh, tingkat keterpenuhan pesanan berada pada angka 94,5 persen, menunjukkan bahwa pesanan yang diterima sesuai dengan spesifikasi proyek. Namun, waktu pemenuhan rata-rata mencapai 12 hari—melewati target ideal yang hanya 7 hari. Hal ini memperlihatkan adanya kendala dalam distribusi logistik atau koordinasi dengan pemasok.
Sementara itu, fleksibilitas produksi juga masih rendah. Artinya, jika terjadi perubahan dalam kebutuhan desain atau permintaan tambahan material di lapangan, sistem rantai pasok tidak cukup tangkas untuk merespons dengan cepat.
Strategi dan Taktik Mitigasi Keterlambatan
Peneliti menemukan bahwa salah satu strategi efektif untuk mengatasi keterlambatan adalah dengan meminjam stok material dari proyek lain milik perusahaan yang sama. Pendekatan ini menjadi solusi darurat yang cukup berhasil menstabilkan progres proyek. Namun, praktik ini hanya mungkin dilakukan jika perusahaan memiliki portofolio proyek yang berdekatan secara geografis.
Selain itu, PT Adhi Karya juga mulai mempertimbangkan penggunaan sistem digital pemantau logistik agar pengiriman bisa dipantau secara real time. Dengan data yang lebih presisi, potensi gangguan pasokan bisa diidentifikasi lebih awal, sehingga kontraktor dapat membuat rencana cadangan yang lebih akurat.
Refleksi atas Penggunaan Model SCOR
Menggunakan SCOR dalam proyek konstruksi adalah pendekatan inovatif, mengingat model ini lebih sering diterapkan di sektor manufaktur. Kelebihannya adalah, SCOR menawarkan struktur dan indikator yang sangat sistematis, sehingga memudahkan manajer proyek dalam membaca performa logistik secara menyeluruh.
Namun, kelemahannya adalah belum sepenuhnya cocok dengan karakteristik proyek konstruksi yang sangat dinamis dan bergantung pada kondisi cuaca, medan, dan regulasi lokal. Oleh karena itu, penerapan SCOR dalam konstruksi sebaiknya disesuaikan dengan realitas lapangan, atau dikombinasikan dengan pendekatan lean construction atau BIM.
Implikasi bagi Dunia Industri dan Akademik
Bagi industri konstruksi, studi ini membuka jalan bagi adopsi model pengukuran rantai pasok berbasis data yang konkret. Jika SCOR bisa diimplementasikan secara konsisten di berbagai proyek, maka manajemen logistik yang selama ini jadi titik lemah dapat ditingkatkan drastis.
Sementara itu, bagi kalangan akademisi dan institusi pendidikan teknik sipil, model SCOR bisa dimasukkan ke dalam kurikulum manajemen proyek. Mahasiswa teknik tidak cukup hanya menguasai desain struktur, tapi juga harus memahami bagaimana material sampai ke lokasi proyek tepat waktu dan sesuai anggaran.
Opini Penulis dan Rekomendasi
Penulis artikel merekomendasikan agar pengukuran rantai pasok seperti ini dilakukan secara berkala, tidak hanya di akhir proyek. Dengan begitu, manajer proyek dapat membuat keputusan berbasis data sejak awal. Mereka juga menyarankan agar perusahaan konstruksi mengembangkan unit khusus logistik internal yang bertugas mengelola alur pasok secara lebih proaktif.
Sebagai pengembangan lanjutan, perlu dilakukan studi lintas proyek—misalnya membandingkan proyek jalan, jembatan, dan perumahan—untuk mengetahui perbedaan performa rantai pasok antar tipe konstruksi.
Penutup
Resensi ini menunjukkan bahwa pengukuran rantai pasok dalam konstruksi bukanlah sekadar aktivitas tambahan, melainkan bagian inti dari strategi sukses proyek. Dengan menggunakan model SCOR, pelaku konstruksi bisa mengidentifikasi titik lemah logistik, mengambil tindakan korektif lebih dini, dan menjaga proyek tetap berjalan di jalurnya.
Jika ingin menciptakan proyek jalan yang efisien, bebas dari keterlambatan dan pemborosan, maka rantai pasok bukan lagi urusan belakang layar—tetapi harus menjadi bagian dari manajemen utama yang dirancang sejak hari pertama.
Sumber artikel asli:
M. Agung Wibowo dan Moh Nur Sholeh. The Analysis of Supply Chain Performance Measurement at Construction Project. Procedia Engineering 125 (2015): 25–31.
Sustainable Practices
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 April 2025
Industri konstruksi global sedang mengalami transformasi besar-besaran. Dua pendekatan manajemen yang sering diperbincangkan untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan adalah Lean Construction (LC) dan Sustainable Construction (SC). Namun, dalam praktiknya, integrasi dua pendekatan ini belum optimal, terutama di negara berkembang seperti Malaysia. Dalam artikel “The Integration of Lean Construction and Sustainable Construction: A Stakeholder Perspective in Analyzing Sustainable Lean Construction Strategies in Malaysia,” Ahmad Huzaimi Abd Jamil dan Mohamad Syazli Fathi mencoba menjembatani kesenjangan ini dengan menyusun kerangka kerja konseptual yang mendalam, berbasis kajian pustaka dan pendekatan pemangku kepentingan (stakeholder).
Lean dan Sustainable Construction: Dua Pilar yang Seharusnya Saling Menguatkan
Secara prinsip, baik LC maupun SC sama-sama berupaya menghilangkan pemborosan (waste), hanya saja orientasinya berbeda. LC fokus pada efisiensi proses dan nilai pelanggan, sementara SC menekankan keseimbangan antara aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dalam artikel ini, penulis menunjukkan bahwa sinergi antara keduanya bisa menghasilkan manfaat ganda—meningkatkan profitabilitas sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Namun, hasil literatur dari 118 studi menunjukkan bahwa integrasi LC dan SC belum banyak dipraktikkan secara holistik, bahkan cenderung berjalan sendiri-sendiri. Banyak proyek konstruksi yang gagal karena kurangnya perhatian pada aspek lingkungan dan ketidakterlibatan pemangku kepentingan secara penuh.
Metodologi dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini bersifat konseptual dengan metode integrative literature review dan kerangka pengodean (coding framework). Tujuannya adalah membangun pemahaman teoritis dan praktis dari integrasi LC dan SC menjadi Sustainable Lean Construction (SLC). Fokus utama ditujukan pada bagaimana keterlibatan pemangku kepentingan dapat meningkatkan keberhasilan implementasi SLC.
Penulis juga mengembangkan sebuah model integrasi berdasarkan kajian literatur terdahulu, khususnya dari Koranda et al. (2012), namun memperluasnya dengan pendekatan analisis pemangku kepentingan yang lebih komprehensif.
Pilar-Pilar Sustainable Construction (SC)
SC dalam konteks ini mencakup tujuh komponen utama:
Beberapa studi menyatakan bahwa keberhasilan implementasi SC sangat tergantung pada pengetahuan dan komitmen stakeholder. Studi dari Abdullah et al. (2009) menyebutkan bahwa kurangnya pemahaman SC menjadi salah satu hambatan utama. Lam et al. (2010) mengidentifikasi kendala lainnya seperti hambatan budaya, kurangnya teknologi hijau, serta rendahnya keterlibatan pemangku kepentingan.
Pilar-Pilar Lean Construction (LC)
LC memiliki akar dari industri manufaktur dan berfokus pada pengelolaan produksi berbasis nilai tambah. Prinsip utama LC meliputi:
Namun, dalam praktik di Malaysia, LC masih terhambat. Studi oleh Johansen dan Walter (2007) menunjukkan bahwa implementasi LC di industri konstruksi Malaysia tergolong lambat. Hambatan yang sering muncul antara lain rendahnya kesadaran lean, kurangnya dukungan manajemen puncak, serta lemahnya sistem kolaborasi antar-stakeholder.
Studi Kasus: Proyek Pentagon dan Toyota South Campus
Dua studi kasus penting yang dibahas dalam artikel ini adalah renovasi Pentagon dan pembangunan kampus Toyota South di Amerika Serikat. Keduanya berhasil menerapkan integrasi SC dan LC melalui:
Dalam proyek Pentagon, integrasi SC dan LC menghasilkan penghematan biaya dan waktu yang signifikan. Strategi pengadaan yang fleksibel menjadi kunci keberhasilan.
Model Integrasi LC dan SC (Koranda et al., 2012)
Penulis mengadopsi dan memodifikasi model Koranda untuk merancang pendekatan implementasi SLC di Malaysia. Model ini menekankan:
Dalam konteks Malaysia, pendekatan ini sangat penting karena 45,9% keterlambatan proyek konstruksi terjadi pada fase pelaksanaan (Abdul Rahman et al., 2006). Selain itu, masalah klasik seperti banjir kilat, erosi tanah, dan pencemaran suara adalah indikator lemahnya implementasi SC.
Peran Kritis Stakeholder dalam SLC
Salah satu sumbangan utama paper ini adalah memperluas pendekatan lean menjadi berbasis stakeholder. Menurut Aaltonen (2011), persepsi pemangku kepentingan tentang keberhasilan proyek dapat sangat berbeda. Oleh karena itu, keterlibatan aktif mereka dari tahap awal sangat penting. Hal ini diperkuat oleh studi Davis (2014) yang menyatakan bahwa pemahaman terhadap lingkungan stakeholder akan menentukan pendekatan strategi SC dan LC yang digunakan.
Studi ini menegaskan bahwa komunikasi lintas fungsi, seperti pada proyek Integrated Project Delivery (IPD), mampu mereduksi konflik desain dan meningkatkan efisiensi waktu.
Tantangan Utama dan Saran Ke Depan
Berikut adalah beberapa tantangan utama yang diidentifikasi:
Untuk menjawab tantangan tersebut, penulis menyarankan:
Model yang dikembangkan diharapkan menjadi panduan praktis bagi pemangku kepentingan untuk mengartikulasikan kebutuhan dan tujuan proyek secara lebih strategis.
Simpulan
Paper ini menjadi landasan penting bagi perumusan strategi Sustainable Lean Construction di negara berkembang seperti Malaysia. Dengan pendekatan berbasis stakeholder dan model integrasi yang jelas, artikel ini bukan hanya memperkaya literatur akademik, tetapi juga memberikan arahan praktis bagi pelaku industri konstruksi.
Keberhasilan integrasi LC dan SC sangat tergantung pada kolaborasi lintas fungsi, kepemimpinan yang visioner, dan kemampuan memahami dinamika lokal. Apabila diterapkan secara konsisten, strategi ini dapat menjadi alat transformatif bagi industri konstruksi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan berorientasi sosial.
Sumber artikel asli:
Ahmad Huzaimi Abd Jamil dan Mohamad Syazli Fathi. “The Integration of Lean Construction and Sustainable Construction: A Stakeholder Perspective in Analyzing Sustainable Lean Construction Strategies in Malaysia.” Procedia Computer Science, 100 (2016) 634–643.
Sustainable Practices
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 April 2025
Dalam beberapa dekade terakhir, sektor konstruksi menghadapi tekanan besar untuk bertransformasi menjadi industri yang tidak hanya efisien secara ekonomi tetapi juga berkontribusi terhadap keberlanjutan sosial dan lingkungan. Paper berjudul “Toward a Holistic View on Lean Sustainable Construction: A Literature Review” karya Sam Solaimani dan Mohamad Sedighi menjadi upaya penting dalam menjembatani kesenjangan pemahaman tentang bagaimana prinsip-prinsip Lean dapat berkontribusi secara nyata terhadap triple bottom line: people (sosial), planet (lingkungan), dan profit (ekonomi). Resensi ini mengulas paper tersebut secara komprehensif, dengan menganalisis data, menyajikan studi kasus, serta mengaitkannya dengan praktik industri dan arah masa depan konstruksi berkelanjutan.
Membedah Integrasi Lean dan Keberlanjutan: Mengapa Perlu?
Lean Construction, yang berakar dari sistem produksi Toyota, pada awalnya berfokus pada efisiensi dan pengurangan limbah (waste) dalam proses. Namun, dalam perkembangan terbaru, pendekatan ini mulai diperluas ke ranah keberlanjutan. Solaimani dan Sedighi menggunakan metode Systematic Literature Review (SLR) terhadap 118 artikel dari tahun 1998–2017 untuk menjawab satu pertanyaan mendasar: Bagaimana Lean Construction berkontribusi terhadap keberlanjutan secara menyeluruh?
Hasil studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar literatur masih condong ke aspek ekonomi, sementara aspek sosial dan lingkungan kurang mendapatkan porsi perhatian yang seimbang. Paper ini kemudian menyusun framework holistik berdasarkan tiga dimensi utama: aktor (supplier, developer, customer), fase konstruksi (dari ekstraksi hingga okupansi), dan dimensi keberlanjutan (ekonomi, lingkungan, sosial).
Dimensi Ekonomi: Efisiensi dan Efektivitas Proses
Studi Kasus: JIT dan VSM untuk Efisiensi Material
Dalam fase extraction and processing, penggunaan strategi Just-In-Time (JIT) terbukti mampu mengurangi biaya inventaris dan limbah material. Sebagai contoh, penerapan VSM (Value Stream Mapping) oleh Mullens (2008) dalam pabrik prefab menunjukkan peningkatan signifikan dalam alur kerja dan efisiensi waktu.
Solaimani dan Sedighi juga menyoroti bagaimana pemanfaatan pull-based production dan kemitraan jangka panjang dengan supplier dapat mengurangi variasi pasokan dan meningkatkan keandalan distribusi. Hal ini diperkuat oleh pendekatan Kaizen (perbaikan berkelanjutan) serta 5S dalam pengaturan ruang kerja.
Visualisasi dan BIM dalam Perencanaan
Di tahap design and planning, penggunaan BIM (Building Information Modeling) dan perangkat lunak simulasi seperti CAD dan TEKLA membantu mengantisipasi bottleneck, meningkatkan kolaborasi, dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data. Studi oleh Sacks et al. menunjukkan bahwa BIM mampu mengurangi kesalahan desain dan mempercepat proses perencanaan hingga 30%.
Dimensi Lingkungan: Efisiensi Energi dan Minimasi Limbah
Lean Construction tidak hanya tentang biaya, tetapi juga tentang bagaimana mengurangi dampak lingkungan. Paper ini menunjukkan bahwa dalam fase logistik dan distribusi, kelebihan pengiriman material merupakan salah satu sumber utama emisi karbon. Upaya mengoptimalkan estimasi material dan pemesanan yang tepat waktu menjadi kunci.
Studi Kasus: Proyek Net-Zero Energy
Dalam proyek skala besar yang menerapkan prinsip net-zero energy, monitoring konsumsi energi dan penggunaan bahan lokal mampu menurunkan jejak karbon secara signifikan. Koranda et al. (2012) mencatat bahwa pengurangan emisi CO2 hingga 20% dicapai hanya dengan mengurangi jarak distribusi material.
Namun, paper ini juga mencatat adanya ketimpangan antara proyek besar dan kecil. Proyek besar cenderung lebih siap secara struktur dan pendanaan untuk menerapkan prinsip Lean dan ramah lingkungan, sedangkan proyek kecil sering kali kesulitan.
Dimensi Sosial: Kesejahteraan, Keselamatan, dan Keadilan
Aspek sosial menjadi bagian yang paling menantang karena sulit diukur secara kuantitatif. Namun, penting untuk tidak diabaikan.
Autonomation untuk Keselamatan Pekerja
Konsep autonomation, yaitu pemberian kewenangan kepada pekerja untuk menghentikan proses produksi jika terdeteksi potensi bahaya, menjadi salah satu pilar Lean yang berkontribusi pada keselamatan kerja. Ikuma et al. (2011) menekankan bahwa sistem ini menurunkan risiko cedera kerja secara signifikan dalam proyek high-rise dengan tingkat repetisi tinggi.
Modulasi dan Ergonomi
Penerapan modularisasi mengurangi pekerjaan manual dan meningkatkan ergonomi di lokasi kerja. Ini bukan hanya efisien secara operasional, tetapi juga mengurangi kelelahan dan cedera. Visualisasi juga membantu meningkatkan koordinasi dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat.
Cakupan Global dan Pola Penelitian
Sebagian besar studi Lean-Sustainable Construction berasal dari AS, Inggris, dan India, dengan pendekatan yang sangat didominasi oleh studi kasus (40 studi tunggal dan 18 multi-kasus). Ini mencerminkan betapa kontekstualnya implementasi Lean dan pentingnya mempertimbangkan kondisi lokal dalam adopsinya.
Namun, masih sedikit studi yang menggunakan pendekatan kuantitatif atau eksploratif jangka panjang seperti longitudinal atau action research. Padahal, hal ini penting untuk menguji efektivitas jangka panjang dari integrasi Lean dan keberlanjutan.
Trade-off dan Tantangan Integrasi
Paper ini tidak mengabaikan adanya potensi konflik antara tiga pilar keberlanjutan. Misalnya:
Solaimani dan Sedighi menggunakan causal loop diagram untuk menunjukkan bahwa intervensi Lean yang positif di satu area dapat menghasilkan penguatan atau bahkan ketegangan di area lain. Inilah pentingnya pendekatan holistik.
Kritik dan Implikasi Praktis
Salah satu nilai tambah utama paper ini adalah struktur framework “GLean Construction” – gabungan Green dan Lean – yang menjadi referensi praktis dan teoritis. Namun, penulis juga mengakui keterbatasan seperti kurangnya perhatian pada aspek teknologi terkini (Industry 4.0), inovasi lokal, dan pengelolaan SDM berbasis Lean.
Praktisi di lapangan bisa menggunakan insight dari paper ini untuk:
Sementara itu, akademisi bisa mendorong penelitian baru di bidang Lean HRM, penggunaan AI/IoT dalam optimasi keberlanjutan, serta studi lintas negara tentang penerapan Lean-Sustainable Construction.
Penutup: Menuju Konstruksi yang Benar-benar Holistik
Paper ini adalah panggilan untuk melampaui sekadar efisiensi biaya dan berpikir dalam kerangka besar. Keberlanjutan bukan sekadar slogan, tetapi proses kolaboratif antar aktor konstruksi yang harus mempertimbangkan manusia, lingkungan, dan ekonomi secara seimbang.
Dalam era perubahan iklim dan tekanan urbanisasi yang masif, hanya pendekatan holistik seperti yang ditawarkan oleh Solaimani dan Sedighi yang bisa menjadi panduan untuk masa depan konstruksi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Sumber artikel asli:
Solaimani, S., & Sedighi, M. (2020). Toward a Holistic View on Lean Sustainable Construction: A Literature Review. Journal of Cleaner Production, 248, 119213.
Teknik Industri
Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 22 April 2025
Rekayasa Sistem (SE) tumpang tindih dengan banyak bidang, seperti Teknik Industri (IE), Manajemen Rekayasa, Riset Operasi, Manajemen Proyek, dan Rekayasa Desain. Faktanya, badan pengetahuan utama Teknik Industri, yang disebut Industrial and Systems Engineering Body of Knowledge (ISEBoK) (IISE 2021), menyertakan kata “sistem” dalam judulnya dan menyertakan bagian tentang desain dan rekayasa sistem, yang merujuk pada SEBoK. Artikel ini menjelaskan persamaan dan perbedaan antara SE dan IE berdasarkan standar, buku pedoman, dan badan pengetahuan masing-masing. Berdasarkan penilaian ini, artikel ini menjelaskan peran potensial yang dilakukan oleh insinyur sistem dan insinyur industri selama siklus hidup sistem.
Pendahuluan
Ketika insinyur sistem dan insinyur industri berada dalam organisasi yang sama, mereka memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda. Meskipun jabatan pekerjaan berbeda-beda di setiap organisasi, banyak organisasi yang memiliki individu yang melakukan aktivitas SE dan IE. Artikel ini mencoba untuk membantu insinyur sistem dan insinyur industri untuk lebih memahami perspektif yang berbeda dari bidang tersebut dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan pelanggan mereka. Artikel ini membandingkan penggunaan standar internasional dan isi dari badan pengetahuan untuk SE dan IE.
Rekayasa sistem
International Council on Systems Engineering (INCOSE) adalah “organisasi keanggotaan nirlaba yang didirikan untuk mengembangkan dan menyebarluaskan prinsip-prinsip dan praktik-praktik interdisipliner yang memungkinkan terwujudnya sistem yang sukses.” INCOSE mendefinisikan rekayasa sistem sebagai
pendekatan transdisipliner dan integratif untuk memungkinkan realisasi, penggunaan, dan penghentian sistem rekayasa yang berhasil, dengan menggunakan prinsip dan konsep sistem, serta metode ilmiah, teknologi, dan manajemen. (INCOSE 2021)
Di sini, istilah “rekayasa” dan “rekayasa” digunakan dalam arti yang paling luas: “tindakan bekerja dengan penuh seni untuk menghasilkan sesuatu.” “Sistem rekayasa” dapat terdiri dari salah satu atau semua orang, produk, layanan, informasi, proses, dan elemen alam.
INCOSE menyelaraskan Buku Panduan SE-nya dengan ISO/IEC/IEEE 15288, Proses Siklus Hidup Sistem, yang berfokus pada proses. SEBoK Bagian 3 Rekayasa dan Manajemen Sistem, yang membahas proses teknis dan manajemen SE utama, juga diatur di sekitar area proses 15288. Dalam pandangan ini, SE berorientasi pada proses. Setiap edisi Buku Panduan SE selaras dengan edisi ISO/IEC/IEEE 15288. Gambar 1 menunjukkan proses 15288 dan bagaimana proses tersebut selaras dengan area topik SE Handbook dan SEBoK. Kemudian dalam artikel ini, topik dan area pengetahuan SEBoK ini dibandingkan dengan area pengetahuan IE. Area pengetahuan pada Gambar 1 selaras dengan siklus hidup sistem jika dimulai dari bagian atas kolom pertama dan dilintasi ke bawah, dilanjutkan di bagian bawah kolom kedua dan dilintasi ke atas, dan kemudian dilanjutkan di bagian bawah kolom ketiga dan dilintasi ke atas.
Sumber: sebokwiki.org Gambar 1. Topik Teknis Area Pengetahuan SEBoK yang Dipetakan ke Proses Teknis ISO/IEC/IEEE 15288. (SEBoK 2022)
Teknik industri
Institute of Industrial and Systems Engineers (IISE) menyatakan bahwa mereka adalah “satu-satunya masyarakat profesional internasional, nirlaba, yang didedikasikan untuk memajukan keunggulan teknis dan manajerial para insinyur industri.” (IISE 2021). IISE dimulai pada tahun 1948 sebagai Institut Insinyur Industri Amerika. Pada tahun 1981, organisasi ini berganti nama menjadi Institute of Industrial Engineers untuk mencerminkan keanggotaan internasionalnya yang terus berkembang. Pada tahun 2016, para anggota memilih untuk mengubah nama menjadi Institute of Industrial and Systems Engineers. Penambahan ini mencerminkan suara dari para anggotanya dan selaras dengan “perubahan ruang lingkup profesi yang, dengan tetap mempertahankan basis industrinya, telah melihat lebih banyak insinyur industri dan sistem yang bekerja dengan sistem terintegrasi berskala besar di berbagai sektor”.
Pada pergantian abad ini, teknik industri tercermin dengan baik dalam dua publikasi terkemuka: Buku Pegangan Teknik Industri (Salvendy 2001) dan edisi kelima Buku Pegangan Teknik Industri Maynard (Zandin 2001). Salvendy (2001) menyatakan bahwa insinyur industri dilatih untuk merancang dan menganalisis komponen-komponen yang menyusun sistem manusia-mesin. Mereka menyatukan elemen-elemen individual yang dirancang melalui disiplin ilmu teknik lainnya dan mensinergikan subsistem-subsistem ini secara tepat bersama dengan komponen-komponen manusia untuk sebuah sistem manusia-mesin yang terintegrasi secara menyeluruh. Insinyur industri berfokus pada peningkatan sistem apa pun yang sedang dirancang atau dievaluasi. Mereka membuat tugas manusia menjadi lebih produktif dan efisien dengan mengoptimalkan aliran, menghilangkan gerakan yang tidak perlu, memanfaatkan bahan alternatif untuk meningkatkan manufaktur, meningkatkan aliran produk melalui proses, dan mengoptimalkan konfigurasi ruang kerja. Pada dasarnya, insinyur industri bertugas untuk mengurangi biaya dan meningkatkan profitabilitas dengan memastikan penggunaan sumber daya manusia, material, fisik, dan/atau keuangan secara efisien.
Pandangan IE telah berkembang selama dua dekade terakhir. IISE mengembangkan IISE Body of Knowledge pada tahun 2021 (IISE 2021). Edisi keenam dari Buku Pegangan Teknik Industri Maynard (Zandin 2022) diharapkan akan diterbitkan pada tahun 2022. IISEBoK memiliki 14 bidang pengetahuan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. 13 area pengetahuan pertama mengidentifikasi pengetahuan Teknik Industri. Bidang keempat belas adalah Desain dan Rekayasa Sistem, yang mengacu pada SEBoK. IISEBoK memberikan penjelasan singkat tentang setiap area pengetahuan, garis besar topik area pengetahuan, dan daftar referensi. IISEBoK tidak menggunakan standar sebagai dasarnya. Faktanya, Standard Practice for Systems Safety (MIL-STD-0-882D) adalah satu-satunya standar yang dikutip di bagian referensi. IISE saat ini tidak memiliki buku panduan yang dikembangkan oleh atau untuk Institut, meskipun Zandin (2022) diharapkan dapat menyelaraskan dengan IISEBoK.
Sumber: sebokwiki.org Gambar 2. Area Pengetahuan Rekayasa Industri dan Sistem (IISE 2022, Digunakan dengan Izin) [1]
14 area topik yang termasuk dalam IISEBoK dapat dikaitkan dengan banyak standar internasional meskipun IISEBoK tidak menggunakan standar sebagai fondasinya atau memberikan referensi ke standar di sebagian besar area topiknya.
Perbandingan diagram venn
Bagian ini membandingkan kedua badan pengetahuan tersebut. Gambar 3 adalah Diagram Venn yang mengidentifikasi area pengetahuan yang biasanya dilakukan oleh insinyur sistem, yang biasanya dilakukan oleh insinyur industri, dan yang digunakan oleh kedua disiplin ilmu.
Sumber: sebokwiki.org Gambar 3. Diagram Venn (SEBoK Original
Terdapat 11 area pengetahuan utama SE, 7 area pengetahuan utama IE, dan 12 area pengetahuan yang tumpang tindih. Tabel 1 memberikan beberapa contoh ilustrasi tentang perbedaan fokus SE dan IE dalam area pengetahuan yang tumpang tindih.
Sumber: sebokwiki.org
Peran dalam Siklus Hidup Sistem
Insinyur sistem dan insinyur industri memainkan peran penting dalam siklus hidup sistem. Gambar 4 memodifikasi format dari Buede dan Miller (2016). Gambar tersebut menunjukkan tahapan siklus hidup sistem dan, berdasarkan analisis pada bagian sebelumnya, mengidentifikasi dan merangkum peran utama insinyur sistem, insinyur industri, dan insinyur desain. Beberapa proses telah digabungkan untuk menyederhanakan gambar.
Sumber: sebokwiki.org
Disadur dari: sebokwiki.org