Kebijakan Publik

Membangun Kohesi Sosial melalui Akses: Pelajaran dari Proyek Jalan di Kisumu, Kenya

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 07 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian ini menyoroti dampak proyek infrastruktur jalan terhadap interaksi sosial-spasial dan kualitas hidup warga di Kisumu, Kenya. Temuan ini penting karena menunjukkan bahwa pembangunan jalan tidak selalu memperburuk fragmentasi sosial, seperti banyak kekhawatiran sebelumnya. Sebaliknya, proyek perluasan jalan justru meningkatkan aksesibilitas, interaksi sosial, serta persepsi positif terhadap kualitas hidup, baik di wilayah terencana maupun tidak terencana.

Bagi pembuat kebijakan, temuan ini menegaskan pentingnya memasukkan dimensi sosial dan spasial dalam setiap perencanaan infrastruktur agar pembangunan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan keadilan spasial.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak:

Studi menemukan peningkatan akses ke fasilitas umum seperti sekolah, pasar, dan layanan kesehatan. Aksesibilitas yang lebih baik mendorong interaksi antarwarga, memperkuat jaringan sosial, serta meningkatkan rasa memiliki terhadap lingkungan. Sebanyak 90% warga di area terencana dan 86% di area tidak terencana merasa “betah” di lingkungannya setelah proyek jalan rampung.

Hambatan:

Meski demikian, masih ada tantangan berupa ketimpangan ekonomi antarwilayah, kurangnya infrastruktur penyeberangan aman, dan risiko meningkatnya polusi serta ketegangan sosial akibat perbedaan kelas sosial.

Peluang:

Peningkatan interaksi sosial menciptakan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengintegrasikan kebijakan transportasi dengan pengembangan komunitas, memperkuat identitas kota yang inklusif, dan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 11 tentang kota berkelanjutan.

Untuk mendukung perencanaan yang inklusif, pelatihan seperti Peran Perencanaan Wilayah dan Kota dalam Pembangunan Indonesia sangat relevan bagi aparatur perencana dalam menyusun kebijakan yang menyatukan tata ruang dan transportasi.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Desain Jalan yang Inklusif: Tambahkan fasilitas penyeberangan aman, jalur sepeda, dan ruang publik yang memfasilitasi pertemuan antarwarga dari berbagai latar sosial.

  2. Integrasi Rencana Tata Ruang dan Transportasi: Hindari pembangunan jalan yang memisahkan wilayah miskin dan kaya; gunakan perencanaan yang menyatukan.

  3. Kebijakan Partisipatif: Libatkan warga dari area terencana maupun tidak terencana dalam perencanaan proyek sejak tahap awal.

  4. Pemantauan Sosial Berkelanjutan: Bentuk sistem monitoring yang menilai perubahan interaksi sosial dan kualitas hidup pascaproyek.

  5. Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Dorong kegiatan ekonomi mikro di sekitar infrastruktur baru untuk memperkuat dampak positif ekonomi.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Meski hasilnya positif, penelitian ini mengingatkan bahwa peningkatan kualitas hidup tidak selalu merupakan akibat langsung dari pembangunan jalan. Faktor lain seperti intervensi pemerintah, dukungan NGO, dan program sosial turut berperan besar. Tanpa sinergi lintas sektor, ada risiko proyek serupa hanya menghasilkan “akses fisik” tanpa memperkuat integrasi sosial.

Penutup

Penelitian Khanani memberikan pelajaran penting bahwa infrastruktur jalan tidak semata-mata soal konektivitas transportasi, tetapi juga konektivitas sosial. Ketika proyek dirancang dengan mempertimbangkan interaksi antarwilayah dan kesejahteraan warga, hasilnya dapat memperkuat kohesi sosial dan memperbaiki kualitas hidup perkotaan secara menyeluruh. Kebijakan yang menggabungkan dimensi spasial dan sosial harus menjadi standar dalam pembangunan infrastruktur di negara berkembang.

Sumber

Khanani, R. S. (2019). The Impact of a Road Infrastructure Project on Socio-Spatial Interaction and Quality of Life of Planned and Unplanned Fragments in Kisumu City. University of Twente.

Selengkapnya
Membangun Kohesi Sosial melalui Akses: Pelajaran dari Proyek Jalan di Kisumu, Kenya

Ekonomi Pedesaan

Dampak Sosial Ekonomi Infrastruktur Jalan Tani terhadap Pembangunan Pedesaan di Zamboanga Sibugay, Filipina

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 07 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian ini menunjukkan bahwa pembangunan jalan tani (farm-to-market roads) di Provinsi Zamboanga Sibugay, Filipina, terbukti menjadi instrumen transformasi sosial-ekonomi pedesaan yang efektif. Pembangunan jalan tani terbukti meningkatkan produktivitas pertanian hingga 25%, memperluas akses pasar sebesar 30%, dan menaikkan pendapatan rumah tangga sekitar 20%.

Temuan ini penting bagi pembuat kebijakan karena menegaskan bahwa investasi pada infrastruktur transportasi pedesaan adalah investasi pada ketahanan masyarakat dan pengurangan kemiskinan. Hasil ini mempertegas perlunya tata kelola yang transparan dan berbasis bukti untuk memastikan efektivitas program seperti Inpres Jalan Daerah (IJD) atau Dana Desa di Indonesia.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif:

  • Peningkatan hasil panen dan penurunan biaya logistik.

  • Meningkatnya partisipasi pasar dan munculnya sentra ekonomi baru di pedesaan.

  • Perbaikan kesejahteraan keluarga melalui akses pendidikan dan kesehatan.

  • Penguatan ekonomi lokal dan berkembangnya usaha mikro.

Hambatan utama:

  • Praktik patronase politik dan birokrasi yang memperlambat realisasi proyek.

  • Keterbatasan dana dan perawatan jalan pasca-pembangunan.

  • Kurangnya integrasi kebijakan lintas sektor (pertanian, transportasi, ekonomi daerah).

Peluang:

  • Implementasi kebijakan berbasis data dan partisipasi komunitas.

  • Penguatan tata kelola dengan akuntabilitas publik dan evaluasi dampak sosial ekonomi secara berkala.

Untuk mendukung keberlanjutan infrastruktur ini, pelatihan seperti Pengenalan Manajemen Aset sangat krusial bagi pemerintah daerah agar mampu mengelola, memelihara, dan mengoptimalkan aset jalan tani untuk jangka panjang.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Perkuat Perencanaan Berbasis Data: Gunakan survei sosial-ekonomi dan peta spasial untuk menentukan lokasi prioritas pembangunan jalan tani.

  2. Kembangkan Mekanisme Pendanaan Terpadu: Libatkan sektor swasta dan masyarakat lokal dalam skema pendanaan serta pemeliharaan jalan.

  3. Dorong Transparansi dan Akuntabilitas Publik: Terapkan sistem pemantauan terbuka untuk memastikan efektivitas dan efisiensi proyek.

  4. Tingkatkan Kapasitas Pemerintah Daerah: Selenggarakan pelatihan teknis agar aparatur mampu merancang kebijakan berbasis bukti.

  5. Fasilitasi Partisipasi Masyarakat: Libatkan warga desa dalam proses perencanaan, pembangunan, dan evaluasi proyek agar hasilnya sesuai kebutuhan lokal.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kegagalan kebijakan infrastruktur dapat terjadi bila hanya berorientasi pada output fisik tanpa memperhatikan governance dan keberlanjutan sosial. Risiko yang diidentifikasi antara lain: proyek tidak sesuai kebutuhan lokal, ketimpangan wilayah meningkat, dan kurangnya mekanisme pemeliharaan jangka panjang. Untuk mencegahnya, pemerintah perlu memperkuat kolaborasi lintas sektor dan mekanisme pengawasan partisipatif.

Penutup

Studi ini menegaskan bahwa jalan tani adalah fondasi pembangunan inklusif. Dengan tata kelola yang baik dan kebijakan berbasis data, pembangunan infrastruktur dapat menjadi katalis pemerataan ekonomi di wilayah pedesaan. Melalui integrasi kebijakan publik dan pelatihan profesional, Indonesia dapat memperkuat efektivitas program infrastruktur pedesaan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Sumber

Callanta, D. S. A., & Moreno, F. (2024). The Socioeconomic Implications of Farm-to-Market Road Infrastructure on Rural Development in Zamboanga Sibugay Province, Philippines: An Analysis of Policy and Community Outcomes. Department of Agriculture – Philippine Rural Development Project.

Selengkapnya
Dampak Sosial Ekonomi Infrastruktur Jalan Tani terhadap Pembangunan Pedesaan di Zamboanga Sibugay, Filipina

Pembangunan Berkelanjutan

Menilai Dampak Lingkungan dan Sosial dalam Proyek Jalan Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 07 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Menegaskan bahwa keberhasilan proyek jalan berskala besar harus diukur tidak hanya dari aspek teknis, tetapi juga dari Environmental Performance Evaluation (EPE) dan manfaat sosialnya. Tanpa evaluasi sistematis seperti ini, risiko degradasi lingkungan, kehilangan keanekaragaman hayati, dan ketimpangan sosial dapat meningkat.

Temuan ini sangat penting karena sejalan dengan prinsip sustainable infrastructure development, menuntut kebijakan publik untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan keberlanjutan ekologis dan sosial. Untuk Indonesia, di mana proyek-proyek besar menghadapi isu deforestasi dan relokasi warga, integrasi kajian lingkungan dan sosial ke dalam siklus kebijakan infrastruktur nasional adalah keharusan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) yang kuat membawa dampak positif:

  • Meningkatnya transparansi proyek dan kepercayaan publik.

  • Pengurangan konflik sosial berkat konsultasi masyarakat.

  • Efisiensi biaya jangka panjang karena mitigasi risiko dilakukan lebih awal.

Hambatan:

  • Kajian lingkungan masih dianggap formalitas administratif, bukan alat pengambilan keputusan.

  • Terbatasnya tenaga ahli di bidang penilaian dampak lingkungan dan sosial.

  • Keterbatasan data lingkungan di tingkat daerah.

Peluang:

  • Digitalisasi proses ESIA melalui geo-environmental databases.

  • Kemitraan antara pemerintah, universitas, dan LSM untuk memperkuat kapasitas analisis.

  • Integrasi hasil ESIA ke dalam sistem penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting).

Untuk memperkuat kapasitas aparatur dalam hal ini, kursus seperti Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Diklatkerja memberikan pemahaman mendalam tentang AMDAL dan mitigasi dampak ekologis.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Wajibkan ESIA Sejak Tahap Pra-Perencanaan: Kajian sosial dan lingkungan perlu dilakukan sebelum penentuan trase, bukan setelah desain teknis selesai.

  2. Bangun Sistem Data Terpadu Lingkungan dan Sosial: Kembangkan national dashboard yang memuat data dampak sosial-ekonomi dan ekologis proyek infrastruktur.

  3. Perkuat Kapasitas Lembaga Evaluasi: SDM pemerintah dan konsultan harus kompeten dalam pelaksanaan ESIA melalui pelatihan berkelanjutan.

  4. Terapkan Prinsip Partisipatif dan Transparan: Libatkan masyarakat lokal dalam tahap konsultasi publik untuk meningkatkan legitimasi kebijakan.

  5. Gunakan Evaluasi Kinerja Lingkungan Sebagai Syarat Pendanaan: Lembaga pendanaan publik dan swasta hanya mendukung proyek yang memenuhi kriteria kinerja lingkungan minimum.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kegagalan utama terjadi ketika penilaian dampak hanya berorientasi pada pemenuhan regulasi dan bukan pada perubahan perilaku kelembagaan. Risiko meliputi:

  • Evaluasi dilakukan terlambat (setelah proyek berjalan).

  • Kurangnya integrasi antara hasil ESIA dan keputusan pendanaan proyek.

  • Rendahnya keterlibatan masyarakat sipil, yang menimbulkan persepsi negatif.

Untuk menghindari hal ini, perlu diterapkan sistem audit lingkungan berkelanjutan dan laporan dampak sosial tahunan sebagai syarat penilaian kinerja proyek.

Penutup

Menegaskan bahwa keberlanjutan pembangunan jalan ditentukan oleh kualitas pengelolaan dampak sosial dan lingkungannya. EPE yang baik dapat memastikan setiap kilometer jalan yang dibangun benar-benar membawa manfaat bagi manusia dan alam.

Melalui penguatan kapasitas teknis, transparansi data, serta kolaborasi antar lembaga, Indonesia dapat mewujudkan kebijakan infrastruktur jalan yang hijau, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan dukungan program pelatihan, prinsip pembangunan berwawasan lingkungan dapat menjadi fondasi bagi kebijakan transportasi nasional.

Sumber

U.S. Department of Transportation. (2020). PE-ENV-01108-01: Environmental Performance Evaluation Guidelines for Road Construction Projects.

Selengkapnya
Menilai Dampak Lingkungan dan Sosial dalam Proyek Jalan Nasional

Ekonomi

EKONOMI ITU SEBETULNYA PERCAKAPAN (Catatan Perjalanan Saya Membaca Pasar sebagai Ekosistem Komunikasi & Psikologi)

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

📌

Pembuka: Ekonomi, Obrolan, dan Emosi Kita

Ada masa ketika saya kira ekonomi itu semata soal angka. Soal kurs, inflasi, PDB. Tapi semakin sering saya mengamati orang antre BBM, panik belanja masker, atau mendadak euforia saham gorengan, saya makin yakin: ekonomi itu lebih mirip obrolan warung kopi ketimbang mesin kalkulator.

Pasar hidup karena kita percaya cerita, karena kita terpengaruh emosi, karena kita ingin diakui tetangga atau komunitas online. Ekonomi, dengan kata lain, adalah ekosistem komunikasi dan psikologi.

Saya tahu ini bukan ide jatuh dari langit. Sejarah panjang pemikiran sudah menyinggung hal ini. Mari kita lihat bersama, sambil saya ajak ngobrol dari Adam Smith sampai fiqh muamalah, lalu kita hubungkan ke Elon Musk, kripto, sampai hustle culture startup.

.

📌

Adam Smith dan Perasaan Moral yang Masih Hidup di Bursa Saham

Banyak yang ingat Smith lewat “tangan tak terlihat.” Tapi Smith juga menulis Theory of Moral Sentiments. Ia bilang, manusia itu bukan hanya makhluk egois, melainkan juga makhluk yang peduli pada pandangan orang lain. Kita beli, jual, nabung, bukan sekadar demi laba, tapi juga demi pengakuan sosial.

Coba lihat hari ini: kita masih menyebut “sentimen pasar.” Saham bisa naik hanya karena “suasana hati kolektif” investor. Itu moral sentiments dalam bentuk baru.

.

📌

Ibn Khaldun dan Asabiyyah: Solidaritas Bikin Ekonomi Jalan

Ibn Khaldun, jauh sebelum ekonomi modern lahir, sudah bicara soal asabiyyah — kohesi sosial. Baginya, peradaban berdiri di atas solidaritas. Kalau solidaritas rapuh, ekonomi pun ambruk.

Membaca Khaldun seperti membaca grup WhatsApp keluarga: kalau masih akur, gotong-royong jalan, rejeki terbagi. Begitu mulai saling curiga, komunikasi pecah, pasar jadi rapuh.

.

📌

Marx dan Fetisisme: Barang Bicara Seperti Manusia

Marx bikin saya sadar : harga itu bukan fakta netral. Ada ideologi di dalamnya. Ia menulis tentang fetisisme komoditas: barang seolah punya nilai “alami,” padahal ia hasil relasi sosial.

Hari ini kita lihat fenomena serupa. Kripto bisa melonjak hanya karena meme “to the moon.” Itu Marx versi Twitter. Harga jadi bahasa, bukan angka semata.

.

📌

Weber dan Schumpeter: Etos dan Spirit yang Menggerakkan

Weber bilang, kapitalisme modern lahir dari etika kerja religius: disiplin, hemat, rajin. Itu komunikasi budaya yang membentuk psikologi kolektif.

Schumpeter menambahkannya dengan spirit pengusaha: berani ambil risiko, bikin cerita baru, mengubah status quo lewat creative destruction. Apa bedanya dengan jargon startup masa kini? Pitch deck founder yang memesona investor adalah seni komunikasi sekaligus psikologi optimisme.

.

📌

Fiqh Muamalah: Pasar Sebagai Amanah

Dalam tradisi Islam, pasar bukan ruang kosong. Ia ruang penuh etika.

- Ijab-qabul = komunikasi yang bikin akad sah.

- Larangan gharar & tadlis = melindungi psikologi kepercayaan dari ketidakpastian dan penipuan.

- Hisbah = pengawas pasar, mirip regulator hari ini.

- Pasar Madinah = prototipe marketplace tanpa monopoli dan tanpa pajak berlebihan.

- Riba = komunikasi sepihak yang eksploitatif — seperti pinjaman online berbunga mencekik.

- Ridha & tawakkal = psikologi spiritual: transaksi harus bikin hati tenang, bukan cemas.

Al-Ghazali mengingatkan perdagangan itu ibadah sosial. Ibn Taymiyyah menulis soal harga wajar. Asy-Syatibi dengan maqasid-nya menegaskan tujuan syariah: melindungi harta, akal, dan jiwa dari kerusakan.

Kalau dipikir, semua itu adalah upaya membangun ekologi trust.

 

📌

Jembatan Benang Merah

Kalau saya rangkum:

- Smith → moral sentiments.

- Khaldun → asabiyyah.

- Marx → ideologi.

- Weber → etos budaya.

- Schumpeter → spirit inovasi.

- Fiqh muamalah → ridha, trust, amanah.

Semuanya mengaku: ekonomi bukan sekadar kalkulasi. Ekonomi adalah komunikasi dan psikologi.

.

📌

Dunia Kita Hari Ini

Sekarang kita hidup di era meme, hoaks, Elon Musk nge-tweet Dogecoin, orang mengejar pensiun dini lewat investasi kilat.

- Sentimen pasar? Masih hidup, cuma lewat grafik candlestick.

- Asabiyyah? Berganti jadi social trust dan komunitas online.

- Fetisisme Marx? Wujudnya saham gorengan atau kripto.

- Etos Weber & spirit Schumpeter? Reinkarnasinya hustle culture startup.

- Hisbah? Bentuk barunya adalah OJK, BI, atau regulator digital yang menjaga agar marketplace tak dipenuhi dark pattern dan penipuan.

.

✍️

Catatan untuk Indonesia

Di negeri kita, percakapan ini terasa nyata :

- Ekonomi syariah tumbuh, tapi masih butuh kejelasan komunikasi akad biar orang benar-benar percaya.

- Pinjaman online marak, tapi tanpa “hisbah digital” bisa menjebak psikologi orang kecil.

- Semangat startup ada, tapi tanpa regulasi komunikasi, creative destruction bisa berubah jadi predatoris.

.

🗣️✍️

Penutup: Ekonomi Sebagai Percakapan Besar

Semakin lama saya belajar, semakin yakin: ekonomi adalah percakapan besar manusia tentang nilai, makna, dan masa depan. Dari Madinah abad ke-7 sampai Silicon Valley abad ke-21, pasar hanya hidup jika ada komunikasi yang jujur dan psikologi kolektif yang sehat.

Jadi, ketika kita bicara pembangunan atau kebijakan ekonomi, jangan hanya sibuk menghitung angka. Kita juga perlu mengurus bahasa pasar (informasi yang jelas, jujur) dan emosi pasar (rasa aman, ridha, kepercayaan). Tanpa itu semua, ekonomi hanyalah angka kosong.

.

📖📚

Glosarium Mini

Sentimen pasar

Perasaan kolektif pelaku pasar (optimisme, ketakutan, euforia) yang bisa menggerakkan harga saham, kripto, atau komoditas — sering lebih kuat daripada logika fundamental.

Moral sentiments

Konsep Adam Smith tentang perasaan simpati dan empati manusia yang ikut mengatur perilaku ekonomi, bukan hanya kepentingan pribadi.

Asabiyyah

Istilah Ibn Khaldun untuk solidaritas atau kohesi sosial yang membuat masyarakat kuat dan ekonomi berkembang. Kalau melemah, peradaban ikut runtuh.

Fetisisme komoditas

Gagasan Karl Marx: barang dagangan seolah punya “nilai” sendiri, padahal nilai itu sebenarnya lahir dari hubungan sosial (pekerja, produksi). Kini sering muncul dalam bentuk “nilai” kripto atau meme stocks yang hanya digerakkan hype.

Creative destruction

Konsep Joseph Schumpeter tentang siklus kapitalisme: inovasi baru menggusur yang lama. Startup baru bisa menghancurkan bisnis mapan, tapi sekaligus menciptakan peluang.

Hustle culture

Budaya kerja ekstrem ala startup: kerja keras, tidur sedikit, selalu produktif. Disebut juga “budaya nge-gas terus,” sering dipandang glamor tapi juga bisa menekan psikologi pekerja.

Ijab-qabul

Dialog singkat “saya jual – saya beli” dalam akad transaksi. Simbol komunikasi dan kerelaan dalam jual beli menurut fiqh Islam.

Gharar

Ketidakpastian atau ketidakjelasan berlebihan dalam transaksi, misalnya jual barang yang tidak jelas ukurannya atau belum ada wujudnya. Dilarang dalam fiqh karena bisa merusak kepercayaan.

Tadlis

Penipuan atau menyembunyikan cacat barang dalam jual beli. Misalnya menjual ponsel rusak tapi bilang masih mulus.

Hisbah

Lembaga pengawas pasar dalam tradisi Islam klasik. Tugasnya mirip regulator hari ini: memastikan timbangan benar, harga transparan, dan pedagang jujur.

Riba

Tambahan (bunga) yang bersifat menekan dan eksploitatif dalam pinjaman. Dalam Islam, riba diharamkan karena dianggap merugikan pihak lemah dan menciptakan ketidakadilan.

Maqāṣid al-syarī‘ah

Konsep Asy-Syatibi tentang tujuan syariah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam ekonomi, berarti aturan harus menjaga kemaslahatan publik dan melindungi pihak rentan.

Ridha

Kerelaan hati dalam transaksi. Tanpa ridha, jual beli dianggap batil dalam fiqh muamalah.

Tawakkal

Sikap spiritual yang benar: berusaha sekuat tenaga terlebih dahulu, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah ﷻ. Inilah makna tawakkal yang ditekankan Al-Qur’an (QS. Āli ‘Imrān [3]:159). Tawakkal menumbuhkan ketenangan psikologis dalam aktivitas ekonomi — orang berdagang atau berinvestasi tetap realistis, tapi tidak diliputi rasa cemas berlebih.

.

Selengkapnya
EKONOMI ITU SEBETULNYA PERCAKAPAN (Catatan Perjalanan Saya Membaca Pasar sebagai Ekosistem Komunikasi & Psikologi)

Teknologi

Pentingnya Literasi AI di Rumah dan di Sekolah

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Pagi itu, Dika, murid kelas lima SD, menatap layar gawai dengan dahi berkerut. “ChatGPT, tolong buatkan karangan tentang pahlawanku,” tulisnya. Lima detik kemudian, paragraf demi paragraf mengalir rapi. Ia tersenyum puas — tapi ibunya hanya diam.

Di sisi lain kota, Bu Sari, guru bahasa Indonesia di sekolah semi-rural, memeriksa tugas-tugas muridnya yang semua tampak “terlalu sempurna”. Ia gelisah: “Apakah anak-anak ini masih belajar menulis, atau sekadar menyalin dari mesin?”

Kisah kecil ini bukan sekadar anekdot. Ia adalah cermin zaman: anak-anak kita tumbuh bersama kecerdasan buatan (AI) — kadang tanpa tahu bagaimana ia bekerja, apa batasnya, dan kapan harus berkata “tidak” pada mesin pintar.

Artikel ini membahas urgensi literasi AI bagi anak-anak di rumah dan sekolah, menelaah aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang perlu dikembangkan, serta meninjau praktik baik dari berbagai negara. Dengan pendekatan reflektif dan berbasis bukti ilmiah, tulisan ini mengajak guru dan orang tua untuk mendampingi anak mengenali AI bukan sebagai “pengganti otak”, melainkan sahabat belajar yang harus dijinakkan dengan akal, hati, dan etika.

 

Pendahuluan: Anak, Mesin, dan Rasa Ingin Tahu

Dika bukan satu-satunya. Di banyak rumah, anak-anak kini terbiasa “berdialog” dengan chatbot — dari mencari ide tugas, minta ringkasan pelajaran, hingga curhat soal teman. Mereka hidup di dunia di mana rekomendasi YouTube, filter spam, dan algoritma TikTok sudah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari.

Namun, di balik kecanggihan itu, muncul tanya yang sunyi: apakah anak-anak memahami *bagaimana* mesin-mesin itu berpikir? Ataukah mereka hanya menuruti logika yang tak mereka pahami?

Dalam salah satu survei UNESCO (2023), lebih dari 60% siswa usia sekolah dasar di Asia mengaku menggunakan alat berbasis AI untuk membantu belajar, tetapi kurang dari 15% memahami prinsip dasarnya. UNICEF (2021) menegaskan bahwa anak berhak mengetahui cara kerja sistem yang memengaruhi kehidupannya — dari algoritma yang menentukan video yang mereka tonton, hingga aplikasi yang mengumpulkan datanya.

Literasi AI bukan soal mengajarkan coding atau robotika semata, tetapi membantu anak memahami hubungan antara manusia dan mesin. Ini soal melatih mereka berpikir kritis terhadap informasi, berempati dalam dunia digital, dan bertanggung jawab dalam menggunakan kecerdasan buatan.

 

Mengapa Anak Perlu Literasi AI

1. AI sudah menjadi lingkungan belajar anak

Kecerdasan buatan bukan lagi “alat masa depan” — ia sudah hadir di ruang belajar hari ini. Sistem adaptive learning seperti Khanmigo atau Duolingo, chatbot seperti ChatGPT, hingga fitur autocorrect dan search prediction di ponsel — semuanya berbasis AI.

Menurut Long & Magerko (2020), anak-anak berinteraksi dengan sistem cerdas rata-rata 30 kali per hari tanpa menyadarinya. Maka, memahami AI berarti memahami dunia di sekitar mereka.

2. Risiko manipulasi dan miskonsepsi

Anak yang tidak memahami batas AI rentan misinformed — mudah percaya pada jawaban yang salah atau bias algoritma. Penelitian dari MIT Media Lab (2023) menunjukkan bahwa anak-anak yang menganggap chatbot “serba benar” cenderung menunjukkan learning helplessness, yakni kehilangan inisiatif belajar mandiri karena terlalu bergantung pada mesin.

Tanpa literasi, anak tidak belajar “berpikir dengan AI”, tetapi “disetir oleh AI”.

3. Kesiapan menghadapi masa depan kerja dan etika digital

OECD (2021) mencatat bahwa 65% pekerjaan masa depan akan melibatkan sistem berbasis AI. Namun, tantangan terbesar bukan sekadar teknis, melainkan etis: bagaimana anak-anak membuat keputusan yang adil, menghormati privasi, dan mempertimbangkan dampak sosial teknologi.

Karenanya, literasi AI juga bagian dari pendidikan karakter — melatih akal sekaligus budi.

 

Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik Literasi AI

Mengacu pada kerangka AI Literacy Framework (Ng et al., 2021; Druga et al., 2019), pendidikan literasi AI yang komprehensif perlu mengembangkan tiga ranah utama:

1. Aspek Kognitif: Memahami dan Menalar

Anak diajak memahami konsep dasar seperti data, algoritma, bias, dan pembelajaran mesin.

Tujuannya bukan menjadikan mereka ahli komputer, tetapi *pembelajar kritis* yang bisa menilai kebenaran informasi. Misalnya, saat chatbot memberi jawaban, anak dilatih untuk bertanya:

> “Dari mana datanya? Apakah semua orang akan mendapatkan jawaban yang sama?”

2. Aspek Afektif: Nilai, Etika, dan Empati Digital

AI sering kali “dingin” — ia tak punya hati. Di sinilah pendidikan berperan.

Anak perlu diajak merenung: apakah adil jika robot menggantikan pekerjaan manusia? Apakah etis jika AI mengenali wajah tanpa izin?

UNESCO (2023) menekankan *rights-based approach* — bahwa setiap anak harus belajar tentang hak privasi, keberagaman, dan tanggung jawab digital.

3. Aspek Psikomotorik: Membuat, Menguji, dan Mengendalikan

Anak belajar *hands-on* membuat model sederhana: mengenali pola, mengatur logika keputusan, atau melatih chatbot mini.

Melalui kegiatan ini, mereka bukan hanya pengguna, tetapi *pencipta sadar*. Di sekolah dasar Finlandia, misalnya, anak-anak dilatih membuat sistem klasifikasi warna menggunakan *machine learning* sederhana — bukan untuk lomba, tapi untuk memahami cara berpikir mesin.

.

Best Practices Literasi AI di Berbagai Negara

Finlandia – “Elements of AI” untuk Semua Usia

Program nasional Elements of AI tidak hanya untuk mahasiswa, tapi juga diadaptasi untuk anak-anak. Pendekatannya humanistik: AI diajarkan sebagai cara berpikir, bukan sekadar teknologi. Guru dibekali modul “AI for Teachers” agar bisa mengintegrasikan konsep sederhana ke pelajaran harian.

Amerika – "AI + Ethics”

MIT mengembangkan kurikulum AI + Ethics for Kids (2023) yang mengajarkan anak usia 8–13 tahun melalui permainan peran dan eksperimen. Anak belajar menebak bagaimana mesin mengambil keputusan dan mendiskusikan apakah keputusan itu adil.

Singapura – AI For Everyone (AIFE) dan AI for Students

Singapura memasukkan literasi AI sejak SD melalui program “AI for Students” (Infocomm Media Development Authority, 2022). Fokusnya: awareness, ethics, dan application. Anak diajak melihat manfaat AI dalam kehidupan nyata — dari transportasi hingga lingkungan.

Korea Selatan – Smart Learning Schools

Korea membangun ekosistem pembelajaran berbasis AI di sekolah semi-rural, agar kesenjangan digital tidak makin lebar. Programnya menekankan *AI inclusion*, memastikan setiap anak, meski di desa, memiliki akses dan pemahaman dasar.

.

Refleksi dan Implikasi bagi Pendidikan di Indonesia

Indonesia menghadapi dua realitas: anak-anak kota yang sudah akrab dengan ChatGPT, dan anak-anak desa yang baru mengenal ponsel pintar. Namun keduanya menghadapi bahaya yang sama: *ketergantungan tanpa pemahaman.*

Guru perlu menumbuhkan rasa ingin tahu yang sehat — bukan sekadar mengajarkan teknologi, tetapi membimbing anak bertanya, menguji, dan berefleksi. Orang tua, di sisi lain, harus hadir sebagai “penerjemah zaman”: tidak melarang teknologi, tapi menuntun arah penggunaannya.

Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan bagi segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Di era AI, tuntunan itu berarti membimbing mereka agar tetap menjadi *manusia merdeka berpikir* — bukan manusia yang digerakkan oleh mesin.

.

 

Penutup: Antara Hati, Otak, dan Mesin

Malam itu, Dika kembali membuka laptopnya. Ia menatap kursor yang berkedip di layar. Kali ini ia tidak langsung mengetik “ChatGPT, buatkan karangan…”. Ia menulis sendiri, lalu bertanya pada mesin:

> “Bisakah kamu bantu saya memperbaikinya?”

Sang ibu tersenyum dari pojok dapur. Bukan karena Dika menulis sempurna, tapi karena ia *belajar berdialog dengan teknologi, bukan diperintah olehnya*.

Itulah tujuan akhir literasi AI — bukan menolak kecerdasan buatan, melainkan menumbuhkan *kecerdasan manusia* yang lebih jernih, beretika, dan berpihak pada kehidupan.

.

Glosarium

AI (Artificial Intelligence): Sistem komputer yang meniru cara berpikir dan belajar manusia.

Algoritma: Serangkaian instruksi logis yang mengatur bagaimana komputer membuat keputusan.

Bias algoritmik:Ketidakseimbangan hasil keputusan AI akibat data yang tidak netral.

Chatbot:Program yang bisa “berdialog” dengan manusia, seperti ChatGPT.

Learning Helplessness:Kondisi ketika anak terlalu bergantung pada bantuan luar hingga kehilangan motivasi belajar mandiri.

Adaptive Learning:Sistem pembelajaran yang menyesuaikan materi dengan kemampuan dan gaya belajar pengguna.

Ethical AI: Prinsip penggunaan AI yang adil, transparan, dan menghormati hak manusia.

.

Daftar Pustaka:

Druga, S., Williams, R., Breazeal, C., & Resnick, M. (2019). *How do children conceptualize AI?* Proceedings of the 2019 CHI Conference on Human Factors in Computing Systems, 1–13. [ https://doi.org/10.1145/3290605.3300533 ] ( https://doi.org/10.1145/3290605.3300533 )

Infocomm Media Development Authority. (2022). *AI for Students: Building an AI-ready generation.* Government of Singapore.

Long, D., & Magerko, B. (2020). *What is AI literacy? Proceedings of the 2020 CHI Conference on Human Factors in Computing Systems*, 1–16. [ https://doi.org/10.1145/3313831.3376727 ] ( https://doi.org/10.1145/3313831.3376727 )

MIT Media Lab. (2023). *AI + Ethics for Kids Curriculum.* Massachusetts Institute of Technology.

Ng, D., Chu, S., & Koo, A. (2021). *A Framework for Artificial Intelligence Literacy in K–12 Education.* SpringerOpen.

OECD. (2021). *AI and the Future of Skills, Volume 1: Capabilities and Assessments.* OECD Publishing.

UNESCO. (2023). *Guidelines for Policy Makers on Child Rights and AI.* United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.

UNICEF. (2021). *Policy Guidance on AI for Children.* United Nations Children’s Fund.

Selengkapnya
Pentingnya Literasi AI di Rumah dan di Sekolah

Ekonomi

ETIKA & EKONOMI BARU Menggugah, Bukan Menggoda: Menyusun Etika Baru Ekonomi Klik

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Uang, Klik, dan Kepercayaan

Di sebuah ruang redaksi kecil di Yogyakarta, seorang jurnalis bercerita lirih,

> “Kami ingin menulis berita yang jujur, tapi kalau tidak viral, kami tidak bisa bertahan.”

Kalimat sederhana itu merangkum dilema eksistensial jurnalisme digital: integritas butuh waktu, sedangkan iklan butuh klik. Ekonomi klik menempatkan media pada posisi sulit. Setiap artikel adalah pertarungan antara etika dan algoritma. Yang paling cepat menang, bukan yang paling benar. Namun, pertanyaannya:

Apakah kita harus memilih antara bertahan hidup dan bertahan bermoral?

Apakah jurnalisme etis selalu berarti jurnalisme miskin?

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa jawabannya: tidak. Masih ada jalan tengah antara trafik dan integritas — sebuah paradigma baru yang disebut etika ekonomi klik.

 

1. Krisis Model Lama: Ketika Iklan Menjadi Tuan

Sampai satu dekade lalu, model bisnis media sederhana: konten → pembaca → iklan → pendapatan.

Namun setelah dua raksasa, Google dan Meta, menguasai lebih dari 70% belanja iklan digital global, media kehilangan kendali atas sirkulasi uang dan perhatian.

Menurut laporan Pew Research (2022), hanya 15–20% pendapatan iklan digital yang benar-benar kembali ke media pembuat konten. Sisanya diserap oleh platform melalui sistem lelang otomatis dan algoritma rekomendasi. Di Indonesia, efeknya lebih terasa: portal berita menumpuk konten ringan demi page view, sementara media lokal kesulitan membiayai liputan investigatif yang mahal. Kita menghadapi apa yang disebut Victor Pickard (2020) sebagai “market failure of journalism.” Dalam sistem ini, setiap klik adalah transaksi kecil — tapi tidak ada nilai tambah sosial di baliknya. Kita menghasilkan “lalu lintas” tanpa arah, bukan literasi yang mencerahkan.

 

2. Membangun Ekonomi Kepercayaan

Namun tidak semua media menyerah pada logika klik.

Beberapa mulai bereksperimen dengan model berbasis kepercayaan (trust-based journalism).

🔹 The Guardian

Menolak paywall sejak 2016 dan mengandalkan donasi sukarela pembaca.

Kini memiliki lebih dari 1,5 juta pendukung aktif dan membukukan laba.

Mereka menjual nilai, bukan sensasi:

> “Support the journalism you can trust.”

🔹 ProPublica

Dibiayai oleh sumbangan lembaga dan publik, semua data investigasi dibuka gratis.

Mereka menukar eksklusivitas dengan kolaborasi: berita mereka dipakai ratusan media lokal.

🔹 The Conversation

Menjembatani ilmuwan dan jurnalis, menulis dengan bahasa sederhana tanpa clickbait.

Pendekatannya: slow journalism for fast minds.

Contoh-contoh itu membuktikan bahwa trust bisa menjadi currency baru.

Kepercayaan menghasilkan loyalitas, dan loyalitas menghasilkan keberlanjutan.

 

3. Prinsip Etika Baru dalam Ekonomi Klik

Bagaimana prinsip ini bisa diterapkan di konteks media Indonesia?

Ada empat rumusan etika ekonomi klik yang dapat menjadi pedoman redaksi dan regulator:

1. Transparansi sebagai Modal Dasar

Media harus terbuka tentang sumber pendapatan dan proses editorialnya.

Pembaca berhak tahu apakah berita ditulis murni informatif atau berbayar (sponsored content).

Kejujuran finansial adalah bentuk pertama dari kejujuran editorial.

> “Kalau pembaca tak tahu siapa yang membayar berita,

> mereka takkan tahu siapa yang sedang berbicara kepada mereka.”

2. Nilai Sosial sebagai Keuntungan Utama

Setiap berita harus mengandung manfaat publik — bukan sekadar menarik perhatian.

Media perlu menilai keberhasilan bukan hanya lewat traffic analytics, tapi juga impact metrics:

apakah berita ini mendorong debat sehat, kebijakan baru, atau perubahan perilaku positif?

Model seperti Solutions Journalism Network (SJN) di AS menunjukkan bahwa

berita yang konstruktif lebih mungkin dibagikan secara organik dibanding berita sensasional.

3. Kolaborasi sebagai Strategi Bertahan

Daripada bersaing dalam sensasi, media bisa saling menguatkan lewat kolaborasi data dan liputan.

Contoh: proyek lintas redaksi “IndonesiaLeaks” yang menyatukan investigasi korupsi.

Kolaborasi seperti ini menurunkan biaya, meningkatkan dampak, dan menjaga etika.

4. Literasi Pembaca sebagai Tanggung Jawab Redaksi

Media tidak bisa menunggu publik menjadi cerdas; media harus ikut mencerdaskan publik.

Program literasi media — seperti rubrik “Belajar dari Judul” atau “Fakta vs Framing” — dapat memperkuat kepercayaan dua arah.

Seperti kata Jay Rosen (2006) dalam esainya yang terkenal :

> “Audience are not consumers anymore — they are the public.”

> Pembaca bukan target; mereka bagian dari ekosistem kejujuran.

 

5. Klik yang Punya Nurani

Etika ekonomi klik berarti mengembalikan klik ke makna moralnya. Klik bukan sekadar tindakan konsumsi, tapi tanda kepercayaan mikro. Setiap klik adalah “ya kecil” dari pembaca kepada media:

“Ya, saya percaya pada niatmu memberi tahu saya sesuatu yang penting.”

Jika kepercayaan itu dikhianati berkali-kali, pembaca akan berhenti mengklik — dan yang hilang bukan sekadar trafik, tapi kredibilitas. Karena itu, ekonomi jurnalisme masa depan harus beralih dari attention economy ke trust economy. Dari sekadar menghitung jumlah klik menjadi menakar kualitas hubungan antara media dan pembacanya.

 

5. Model “Clickworth Ecosystem”

Untuk menyeimbangkan idealisme dan bisnis, kita bisa membayangkan model tiga lapis berikut:

1. Lapisan Konten:

Produksi berita berbasis verifikasi dan kebermanfaatan.

Hindari “factory news,” perbanyak explanatory journalism.

2. Lapisan Komunitas:

Bangun forum diskusi pembaca, buletin, atau membership yang mendorong partisipasi.

Gunakan data untuk memahami kebutuhan sosial, bukan memanipulasi preferensi emosional.

3. Lapisan Keberlanjutan:

Kombinasikan donasi pembaca, iklan etis, dan kemitraan dengan lembaga pendidikan atau sains.

Ukur keberhasilan dengan trust score, bukan click score.

> Dalam ekosistem ini, “klik” menjadi pintu masuk menuju relasi, bukan akhir dari transaksi.

 

6. Harapan di Tengah Algoritma

Teknologi tidak harus jadi musuh jurnalisme; ia bisa menjadi alat kebenaran jika diarahkan dengan nurani. AI, misalnya, bisa membantu redaksi menganalisis bias, memeriksa fakta, atau mengukur kepercayaan publik secara real time. Yang dibutuhkan bukan perang melawan mesin, melainkan reprogramming moral: menjadikan integritas sebagai parameter algoritma. Bayangkan jika suatu hari “berita yang paling dipercaya” diberi peringkat lebih tinggi daripada “berita yang paling banyak diklik.” Itulah cita-cita ekonomi klik yang beradab — tempat nilai dan trafik tidak lagi bertentangan, tetapi saling memperkuat.

 

✍️

Penutup – Menyusuri Jalan Tengah

Di ujung serial “Menggugah, Bukan Menggoda”, satu pelajaran utama tersisa :  Jurnalisme tidak akan mati karena kurang klik, tetapi karena kehilangan makna.

Ekonomi klik telah mengajarkan kita bahwa perhatian manusia bisa dibeli. Namun jurnalisme sejati mengingatkan bahwa kepercayaan tidak bisa. Etika baru ini tidak menghapus pasar, tapi menginsankan pasar. Ia mengajak kita menulis berita bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dipercayai. Maka, biarlah media masa depan bukan hanya menghitung klik, tetapi juga menghitung hati yang disentuh dan pikiran yang tercerahkan.

 

📚

Referensi & Bacaan Pendukung

Victor Pickard – Democracy Without Journalism? (2020)

Pew Research Center – State of the News Media 2022

Jay Rosen – The People Formerly Known as the Audience (2006)

Solutions Journalism Network – Restoring Trust in News (2020)

The Guardian – Annual Report on Reader Contributions (2023)

Shoshana Zuboff – The Age of Surveillance Capitalism (2019)

Reuters Institute – Paying for News Report (2024)

 

🚧

sby, 08-10-2025

Selengkapnya
ETIKA & EKONOMI BARU Menggugah, Bukan Menggoda: Menyusun Etika Baru Ekonomi Klik
« First Previous page 17 of 1.295 Next Last »