Manajemen Proyek

Titik Buta Fatal di Proyek Konstruksi: Mengapa Sektor Swasta Mengabaikan Kunci Keselamatan Terpenting

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 28 Oktober 2025


Beberapa minggu lalu, saya merakit sebuah rak buku. Kamu tahu, jenis yang datang dalam kotak datar dengan sejuta sekrup dan instruksi yang terlihat seperti hieroglif kuno. Saya mengikuti semua langkah besar: menyatukan sisi-sisinya, memasang papan belakang, memalu pasak-pasak kayu. Tapi ada satu langkah kecil—mengencangkan sekrup penstabil di bagian paling bawah—yang saya anggap remeh. "Ah, tidak penting," pikir saya.

Hasilnya? Rak buku itu berdiri, tapi goyang. Setiap kali saya menaruh buku baru, seluruh strukturnya bergetar seolah akan runtuh. Noda kopi di instruksi manual saya menjadi pengingat abadi akan kesalahan kecil yang merusak keseluruhan rencana.

Kegagalan kecil di ruang tamu saya ini mungkin hanya soal estetika. Tapi bayangkan jika "rak buku" itu adalah gedung pencakar langit 30 lantai. Bayangkan jika "sekrup yang terlupakan" itu adalah prosedur keselamatan yang diabaikan. Konsekuensinya bukan lagi rak yang goyang, tapi nyawa yang melayang.

Inilah jurang pemisah yang menghantui industri konstruksi: antara aturan keselamatan yang tertulis rapi di atas kertas dan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan yang berdebu. Baru-baru ini, saya menemukan sebuah paper penelitian oleh Sheikh Azim Ur Rashid dan Bonaventura HW Hadikusumo yang menyoroti jurang ini dengan data yang tajam dan mengejutkan. Ini bukan sekadar teks akademis yang kering; ini adalah laporan lapangan dari 172 manajer proyek di Bangladesh, sebuah potret nyata dari dua dunia konstruksi yang sangat berbeda: proyek pemerintah dan proyek swasta.1

Dan di dalam data mereka, tersembunyi sebuah kebenaran yang berlawanan dengan intuisi—sebuah pelajaran tentang apa yang paling sering kita abaikan, dan mengapa pengabaian itu bisa berakibat fatal.

Mendekonstruksi Bahaya: Lima Pilar Keselamatan di Lokasi Proyek

Sebelum kita menyelam ke dalam temuannya, mari kita pahami dulu cara para peneliti ini memetakan "medan perang" keselamatan. Mereka tidak melihat keselamatan sebagai satu daftar panjang berisi ratusan aturan. Sebaliknya, melalui analisis statistik yang canggih, mereka menemukan bahwa 28 area aturan keselamatan yang paling krusial di Bangladesh secara alami mengelompok menjadi lima pilar utama.1

Saya suka membayangkannya seperti ini:

  • Pilar 1: Kesejahteraan Pekerja (Workers' Welfare - WF)

    Ini adalah fondasi paling dasar dari martabat manusia. Bukan tentang teknologi canggih, tapi tentang hal-hal esensial: menyediakan air minum bersih, fasilitas sanitasi yang layak, kotak P3K, dan pencahayaan yang cukup. Ini adalah cara kita mengatakan, "Nyawa dan kesehatan Anda berharga".1

  • Pilar 2: Tata Graha (Housekeeping - HK)

    Lokasi konstruksi pada dasarnya adalah kekacauan yang terorganisir. Pilar ini adalah tentang disiplin untuk menjaga kekacauan itu agar tidak menjadi bahaya. Ini mencakup menjaga jalur lalu lintas bebas dari rintangan, menyimpan material dengan aman, dan membuang limbah secara teratur. Ini adalah tentang menciptakan keteraturan dari kekacauan.1

  • Pilar 3: Lingkungan Kerja (Working Environment - WE)

    Ini adalah tentang mengelola risiko aktif yang muncul dari pekerjaan itu sendiri. Hal-hal seperti memastikan instalasi listrik aman, mencegah dinding galian tanah runtuh, dan memeriksa kekuatan perancah (scaffolding). Ini adalah tentang menjinakkan bahaya yang dinamis di sekitar kita.1

  • Pilar 4: Peralatan (Equipment - EQP)

    Pilar ini berfokus pada interaksi antara manusia dan mesin. Memastikan mesin-mesin berat memiliki pelindung, prosedur pengangkatan material dilakukan dengan benar, dan beban tidak melebihi kapasitas aman. Ini adalah tentang menghormati kekuatan dan bahaya dari alat-alat yang kita gunakan.1

  • Pilar 5: Alat Pelindung Diri (Personal Protective Equipment - PPE)

    Ini adalah garis pertahanan terakhir. Ketika semua sistem lain gagal, inilah yang melindungi individu. Helm, sabuk pengaman, sepatu bot, kacamata pelindung. Ini adalah baju zirah pribadi setiap pekerja di medan perang konstruksi.1

Kelima pilar ini bukan sekadar kategori acak. Mereka menunjukkan sebuah filosofi, bergerak dari kepedulian kolektif (lingkungan yang bersih dan kesejahteraan untuk semua) hingga perlindungan individu (helm di kepala satu orang). Pertanyaannya, apakah semua orang membangun pilar-pilar ini dengan kekuatan yang sama?

Kisah Dua Proyek: Jurang Menganga Antara Pemerintah dan Swasta

Di sinilah temuan pertama yang menarik dari paper ini muncul. Ternyata, proyek yang didanai pemerintah (publik) dan proyek yang didanai swasta memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap kelima pilar ini. Ini seperti dua siswa yang belajar untuk ujian yang sama, tetapi dengan strategi yang sama sekali berbeda.

Rapor Proyek Pemerintah: Rapi, Terurus, dan Fokus pada Fondasi

Data menunjukkan bahwa proyek-proyek pemerintah secara signifikan lebih baik dalam menerapkan semua kategori aturan keselamatan dibandingkan proyek swasta.1 Mereka membangun budaya keselamatan mereka di atas fondasi yang kokoh dan teratur.

  • 🚀 Prioritas Utama: Tata Graha (HK) mendapat skor implementasi tertinggi ($M=4.526$). Artinya, proyek pemerintah sangat serius dalam menjaga lokasi mereka tetap bersih, terorganisir, dan bebas dari bahaya lingkungan.

  • 🧠 Prioritas Kedua: Kesejahteraan Pekerja (WF) menyusul dengan skor tinggi ($M=4.443$). Mereka memastikan kebutuhan dasar manusia para pekerjanya terpenuhi.

  • 💡 Pelajaran: Dengan sumber daya yang lebih fleksibel dan mandat untuk kepentingan publik, proyek pemerintah memprioritaskan penciptaan lingkungan kerja yang aman secara fundamental sebelum hal-hal lainnya.1

Pertaruhan Sektor Swasta: Kisah Pengabaian Hal Mendasar

Di sisi lain, sektor swasta melukiskan gambaran yang lebih mengkhawatirkan. Meskipun prioritas utama mereka juga Kesejahteraan Pekerja (WF), skor implementasinya jauh lebih rendah ($M=3.886$).1 Namun, temuan yang paling mengejutkan adalah tentang apa yang mereka—dan juga sektor publik—abaikan bersama.

  • 📉 Kegagalan Universal: Pilar dengan peringkat implementasi terendah untuk kedua sektor adalah Alat Pelindung Diri (PPE).

  • 🚨 Krisis di Sektor Swasta: Pengabaian ini sangat parah di proyek swasta, di mana PPE berada di posisi paling buncit dengan skor menyedihkan $M=3.553$.1 Paper ini mencatat bahwa kontraktor sering enggan menyediakan PPE yang layak, dan para pekerja pun terkadang enggan menggunakannya—menandakan adanya masalah budaya yang dalam.1

Ini membuat saya berpikir. Mengapa PPE, garis pertahanan terakhir yang begitu personal, menjadi anak tiri di kedua sektor? Mungkin karena pilar lain seperti Tata Graha dan Kesejahteraan Pekerja bersifat lebih sistemik. Anda bisa menyewa kru kebersihan atau memasang dispenser air sekali jalan. Tapi memastikan setiap pekerja memakai helm dan sabuk pengaman setiap saat membutuhkan pengawasan aktif, terus-menerus, dan sering kali konfrontatif. Mungkinkah para manajer, terutama di sektor swasta yang lebih tertekan oleh waktu dan biaya, tanpa sadar memilih "jalan yang lebih mudah"?

Pengungkapan Terbesar: Fokus Kita vs. Apa yang Sebenarnya Efektif

Jika ceritanya berhenti di sini, ini sudah menjadi studi kasus yang menarik. Tapi para peneliti melangkah lebih jauh. Mereka tidak hanya bertanya, "Apa yang Anda lakukan?" Mereka juga bertanya, "Dari semua yang Anda lakukan, apa yang paling efektif dalam meningkatkan kinerja keselamatan?"

Jawabannya, yang ditemukan melalui analisis regresi, adalah bagian yang paling mengubah cara saya memandang masalah ini. Ini seperti seorang dokter yang menyadari bahwa obat yang selama ini paling sering ia resepkan bukanlah yang paling manjur.

Taruhan Cerdas Proyek Pemerintah: Strategi yang Selaras

Untuk proyek pemerintah, ceritanya cukup lurus. Hal-hal yang menjadi prioritas mereka—Tata Graha (HK) dan Kesejahteraan Pekerja (WF)—ternyata juga merupakan prediktor paling kuat untuk hasil keselamatan yang baik (perilaku aman, kondisi aman, dan penerimaan klien).1 HK dan WF secara konsisten menempati peringkat #1 dan #2 dalam hal dampak. Dengan kata lain, strategi mereka selaras dengan hasil. Fokus mereka tepat sasaran.

Titik Buta Kritis Sektor Swasta: Inilah Bahayanya

Di sinilah drama sesungguhnya terungkap. Analisis untuk sektor swasta menunjukkan ketidakselarasan yang berbahaya antara fokus dan dampak.

  • Pendorong yang Terabaikan: Ingat bagaimana proyek swasta menempatkan PPE di peringkat paling bawah dalam implementasi? Ternyata, data menunjukkan bahwa PPE adalah salah satu pendorong paling signifikan secara statistik untuk ketiga indikator kinerja keselamatan.1

  • Paradoks dalam Angka: Mereka secara aktif mengabaikan salah satu alat paling ampuh yang mereka miliki. Mereka fokus pada Kesejahteraan Pekerja (yang tentu saja baik), tetapi dampak PPE pada kinerja keselamatan mereka ternyata jauh lebih besar. Mereka sibuk memoles perabot sementara fondasi rumah mereka retak.

Ini adalah inti dari penemuan paper ini, sebuah wawasan yang seharusnya menjadi alarm bagi setiap kontraktor swasta. Mereka tidak hanya kurang dalam implementasi; mereka kurang dalam hal yang paling penting.

Opini Pribadi Saya: Sebuah Kritik Halus

Saya harus angkat topi untuk para peneliti karena berhasil mengungkap wawasan yang begitu jernih dan dapat ditindaklanjuti ini. Namun, jika ada kritik kecil, itu adalah cara penyajiannya di paper asli. Tabel-tabel regresi penuh dengan koefisien beta dan nilai $R^{2}$ yang bisa membuat pusing siapa pun yang tidak akrab dengan statistik.1 Inilah mengapa saya merasa perlu "menerjemahkan" temuan emas ini ke dalam bahasa manusia—karena pesannya terlalu penting untuk terkunci di balik jargon akademis.

Wawasan Praktis: Apa Artinya Ini Bagi Anda, Mulai Hari Ini

Baik, kita sudah membedah masalahnya. Sekarang, apa yang bisa kita lakukan? Paper ini bukan hanya sekadar diagnosis; ia juga menawarkan peta jalan menuju perbaikan.

Untuk Manajer di Bidang Apapun: Konteks adalah Raja

Pelajaran terbesar adalah bahwa daftar periksa keselamatan "satu untuk semua" adalah sebuah ilusi. Data ini membuktikan bahwa pendorong keselamatan di proyek pemerintah berbeda dengan di proyek swasta.1 Kuncinya bukan hanya memiliki rencana keselamatan, tetapi memahami secara empiris bagian mana dari rencana itu yang memberikan dampak terbesar dalam konteks spesifik Anda.

Pesan Langsung untuk Kontraktor Swasta: Kelemahan Terbesarmu adalah Peluang Terbesarmu

Jalan menuju peningkatan keselamatan yang dramatis bagi sektor swasta ternyata tidak rumit atau mahal. Data menunjukkan intervensi yang sangat jelas dan tertarget:

  1. Angkat Derajat PPE: Berhentilah memperlakukan PPE sebagai item centang di daftar kepatuhan. Jadikan itu sebagai Indikator Kinerja Utama (KPI) inti. Ukur, kelola, dan berikan penghargaan untuk penggunaannya yang konsisten.

  2. Fokus pada Lingkungan Kerja (WE): Ini adalah pilar lain yang berdampak tinggi namun sering kali kurang dihargai di proyek swasta, menurut data regresi.1 Pastikan keamanan listrik, galian, dan perancah menjadi prioritas utama.

  3. Investasi pada Budaya, Bukan Hanya Alat: Paper ini menyoroti bahwa keengganan pekerja menggunakan PPE adalah masalah nyata.1 Ini bukan masalah teknis, ini masalah manajemen dan budaya. Ini bukan hanya soal membeli lebih banyak helm; ini tentang membangun budaya di mana keselamatan tidak bisa ditawar. Investasi dalam pengetahuan dasar, mungkin melalui (https://diklatkerja.com), bukan hanya soal kepatuhan—tapi soal mengatasi titik kegagalan terbesar Anda secara langsung.

Prinsip 80/20 berlaku di sini. Bagi sektor swasta, 80% peningkatan keselamatan bisa datang dari fokus pada 20% area yang tepat: PPE dan Lingkungan Kerja.

Membangun Hari Esok yang Lebih Baik: Cetak Biru Terakhir

Kita kembali ke analogi rak buku saya yang goyang. Paper ini, bagi saya, adalah kebijaksanaan untuk mengetahui "sekrup" mana dalam instruksi yang tidak boleh dilewati. Ini bukan tentang menambah lebih banyak aturan, tetapi tentang memiliki kejernihan untuk fokus pada aturan yang paling penting.

Bagi proyek pemerintah, pesannya adalah untuk terus memperkuat fondasi Tata Graha dan Kesejahteraan Pekerja mereka. Bagi proyek swasta, pesannya lebih mendesak: sadarilah bahwa garis pertahanan terakhir Anda—Alat Pelindung Diri—sedang Anda biarkan runtuh, padahal di situlah letak kunci terbesar untuk menyelamatkan nyawa.

Ini adalah perjalanan saya membaca paper yang luar biasa ini. Ia mengubah cara saya berpikir tentang perbedaan antara sibuk dan efektif. Jika Anda siap untuk melihat data mentahnya dan menarik kesimpulan Anda sendiri, saya sangat merekomendasikan untuk menyelami riset aslinya.

(https://doi.org/10.14445/23488352/IJCE-V1215P111)

Selengkapnya
Titik Buta Fatal di Proyek Konstruksi: Mengapa Sektor Swasta Mengabaikan Kunci Keselamatan Terpenting

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Nyawa di Ujung Helm: Kenapa Paper Sederhana Ini Mengubah Cara Saya Melihat Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 28 Oktober 2025


Saya masih ingat dengan jelas sore itu. Ayah saya, seorang amatir pertukangan yang percaya diri, sedang memperbaiki talang air di atap rumah kami. Tiba-tiba, saya mendengar suara genting berderak diikuti teriakan kecil. Jantung saya serasa berhenti berdetak. Saya lari keluar dan melihatnya tergelincir, untungnya ia berhasil berpegangan pada lisplang di detik-detik terakhir. Tidak ada yang terluka, hanya sedikit lecet dan ego yang memar. Tapi perasaan panik itu—bayangan "bagaimana jika"—masih membekas sampai sekarang.

Kecelakaan kecil di rumah saja bisa membuat dunia kita seakan runtuh. Sekarang, bayangkan risiko itu dalam skala proyek konstruksi bernilai miliaran, di mana puluhan, bahkan ratusan nyawa bergantung pada setiap keputusan, setiap prosedur, dan setiap keterampilan yang dimiliki. Bahaya bukan lagi sekadar tangga yang licin, melainkan perancah setinggi puluhan meter, kabel listrik bertegangan tinggi, dan ruang bawah tanah yang pengap.

Baru-baru ini, saya menemukan sebuah paper akademis berjudul “Approaches for Bridging Health and Safety Skills Gap of Nigerian Construction Professionals”. Judulnya terdengar kering dan teknis, tipikal bacaan yang mungkin hanya menarik bagi kalangan akademisi. Namun, saat saya mulai membacanya, saya sadar bahwa di balik data statistik dan analisis kuantitatif, Oni Oluwole Joseph dan William Samuel Opeyemi sedang menceritakan sebuah kisah yang sangat manusiawi. Sebuah kisah tentang bahaya yang tersembunyi di depan mata kita, dan bagaimana sebuah "kesenjangan" kecil dalam keterampilan bisa berakibat fatal. Paper ini bukan sekadar kumpulan angka; ini adalah panggilan mendesak untuk kita semua.   

Sebuah Kesenjangan yang Tak Terlihat: Apa yang Sebenarnya Ditemukan Para Peneliti?

Istilah "kesenjangan keterampilan" atau skills gap terdengar seperti jargon korporat. Tapi dalam paper ini, definisinya sangat lugas dan mengerikan: "ketidakcukupan dalam kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan fungsi pekerjaan tertentu". Dengan kata lain, ini adalah jurang berbahaya antara apa yang seharusnya diketahui oleh seorang profesional di lapangan dan apa yang sebenarnya mereka ketahui. Ini adalah ruang kosong di mana kecelakaan menunggu untuk terjadi.   

Untuk memetakan jurang ini, para peneliti tidak berspekulasi. Mereka melakukan hal yang paling mendasar: bertanya langsung kepada para ahlinya. Mereka menyebarkan kuesioner kepada 70 profesional konstruksi di Nigeria—arsitek, quantity surveyor, insinyur sipil, dan manajer bangunan. Mereka adalah orang-orang yang setiap hari berhadapan dengan risiko. Jawaban mereka memberikan gambaran yang mengejutkan tentang di mana titik-titik paling rawan itu berada.   

Bukan Sekadar "Kurang Terampil", Tapi di Mana Tepatnya Titik Rawannya?

Saat memikirkan bahaya di proyek konstruksi, apa yang terlintas di benak Anda? Mungkin bekerja di ketinggian atau mengoperasikan alat berat. Itu tidak salah, tapi temuan studi ini menunjukkan bahwa bahaya terbesar justru datang dari area yang sering kita abaikan.

Data dari para profesional di lapangan mengungkap prioritas yang tak terduga:

  • 🚀 Paling Kritis: Keterampilan bekerja di ruang terbatas (confined spaces) dan penyediaan peralatan tanggap darurat (emergency response equipment). Keduanya menduduki peringkat pertama dengan skor Relative Importance Index (RII) 0.91, yang menandakan urgensi tertinggi.   

  • 🧠 Inovasinya: Bukan bahaya yang paling jelas seperti bekerja di ketinggian (peringkat 3) atau menangani peralatan listrik (peringkat 6) yang menjadi masalah utama. Kelemahan terbesar justru terletak pada penanganan situasi tak terduga dan bahaya yang tak terlihat.   

  • 💡 Pelajaran: Kita sering kali terlalu fokus pada bahaya yang kasatmata dalam rutinitas harian, padahal kesiapan kita saat terjadi kondisi darurat adalah mata rantai terlemah.

Mari kita bedah lebih dalam. "Bekerja di ruang terbatas" bukan sekadar tentang lorong yang sempit. Ini tentang bekerja di tangki, gorong-gorong, atau ruang bawah tanah dengan sirkulasi udara yang buruk, jalur evakuasi yang terbatas, dan risiko terperangkap oleh gas beracun atau kekurangan oksigen. Ini adalah skenario berisiko tinggi yang jarang terjadi, tetapi sekali terjadi, akibatnya bisa sangat fatal.   

Begitu pula dengan "peralatan tanggap darurat". Ini bukan hanya tentang menyediakan kotak P3K. Ini tentang memastikan alat pemadam api berfungsi, alarm kebakaran terpasang, dan yang terpenting, ada personel yang benar-benar terlatih untuk menggunakannya saat kepanikan melanda. Temuan ini menyiratkan sebuah masalah sistemik: pelatihan kita mungkin sudah cukup baik dalam mengajarkan "cara bekerja", tetapi sangat kurang dalam mengajarkan "cara bertahan hidup" ketika terjadi hal yang tidak beres.   

Efek Domino Mengerikan: Ketika Satu Keterampilan Hilang, Seluruh Proyek Bisa Runtuh

Salah satu hal yang paling membuat saya tercengang dari paper ini adalah bagaimana ia secara gamblang menunjukkan bahwa keselamatan kerja bukanlah sekadar isu moral atau kemanusiaan. Ini adalah isu bisnis yang sangat krusial. Kesenjangan keterampilan dalam K3 tidak berhenti pada satu insiden kecil. Ia memicu efek domino yang bisa meruntuhkan seluruh proyek.

Para peneliti meminta para profesional untuk menilai dampak dari kesenjangan K3 ini. Hasilnya adalah sebuah argumen bisnis yang tak terbantahkan untuk memprioritaskan keselamatan. Dampak nomor satu yang paling dirasakan bukanlah "peningkatan angka kematian" (peringkat 9), melainkan "pembengkakan biaya proyek" (cost overrun of projects) yang menduduki peringkat pertama dengan RII 0.91.   

Ini adalah sebuah tamparan keras bagi siapa pun yang masih menganggap K3 sebagai "biaya tambahan". Data ini membuktikan sebaliknya: mengabaikan K3 justru merupakan strategi finansial yang paling buruk.

Lebih dari Sekadar Angka: Kisah di Balik Pembengkakan Biaya dan Reputasi yang Hancur

Bagaimana sebuah kekurangan skill bisa membengkakkan biaya? Paper ini, melalui datanya, menceritakan sebuah alur cerita yang logis dan menakutkan:

  1. Sebuah kecelakaan terjadi di lokasi proyek karena ada profesional yang tidak memiliki keterampilan yang memadai. Ini adalah dampak langsung kedua yang paling dirasakan: "peningkatan kecelakaan di lokasi" (peringkat 2).   

  2. Insiden ini segera menyebabkan "gangguan aktivitas di lokasi" (peringkat 4), yang secara otomatis membuat "proyek menjadi tertunda" (peringkat 4). Waktu adalah uang, dan setiap hari penundaan berarti biaya operasional yang terus berjalan.   

  3. Kemudian, muncul biaya-biaya tak terduga: "biaya hukum untuk pembelaan klaim" (peringkat 4) dan "kompensasi untuk cedera atau kematian" (peringkat 10).   

  4. Semua faktor ini—penundaan, gangguan, dan biaya hukum—bermuara pada satu hal: "pembengkakan biaya proyek" yang menjadi dampak paling utama.   

Namun, efek domino tidak berhenti di situ. Ada dampak jangka panjang yang lebih merusak. Peringkat ketiga adalah "dampak negatif pada reputasi perusahaan". Sebuah perusahaan konstruksi yang dikenal tidak aman akan kesulitan memenangkan tender di masa depan. Lebih jauh lagi, ada dampak tersembunyi yang menciptakan lingkaran setan: "kemungkinan kehilangan pekerja lapangan berpengalaman" (peringkat 7).   

Para talenta terbaik tidak akan mau mempertaruhkan nyawa mereka di perusahaan yang abai. Mereka akan pindah ke tempat kerja yang lebih aman. Akibatnya, perusahaan tersebut akan semakin kekurangan tenaga kerja terampil, yang pada gilirannya memperburuk kesenjangan keterampilan yang menjadi akar masalah. Ini adalah spiral negatif yang menghancurkan perusahaan dari dalam: kehilangan uang, kehilangan reputasi, dan kehilangan talenta terbaiknya.

Menjembatani Jurang: Solusi Praktis yang Bisa Kita Terapkan Hari Ini

Setelah memaparkan masalah yang begitu gamblang, untungnya paper ini tidak berhenti di situ. Ia beralih ke solusi, memberikan peta jalan yang jelas dan berbasis data untuk menjembatani jurang keterampilan yang berbahaya ini. Dan sekali lagi, solusinya berpusat pada sebuah tema yang konsisten: membangun kompetensi secara proaktif dan sistematis.

Solusi dengan peringkat tertinggi adalah "Pelatihan penggunaan peralatan tanggap darurat" (RII 0.93), yang secara langsung menjawab kesenjangan keterampilan nomor satu yang teridentifikasi. Ini menunjukkan betapa pentingnya melatih orang untuk menghadapi skenario terburuk.   

Namun, pelatihan saja tidak cukup. Solusi peringkat kedua dan ketiga menyoroti pentingnya sebuah sistem: "Memantau kepatuhan terhadap kebijakan keselamatan di lokasi" (RII 0.92) dan "Pelatihan keselamatan rutin bagi para profesional di lokasi" (RII 0.91). Ini menggarisbawahi sebuah kebenaran fundamental: keselamatan bukanlah sebuah acara seminar satu kali, melainkan sebuah budaya yang harus dibangun melalui pendidikan berkelanjutan (pelatihan) dan penegakan aturan yang konsisten (pemantauan). Anda bisa melatih seseorang sebaik mungkin, tetapi tanpa pengawasan, kebiasaan lama akan kembali. Sebaliknya, Anda bisa mengawasi seketat mungkin, tetapi jika mereka tidak pernah dilatih dengan benar, tidak ada perilaku baik untuk ditegakkan. Keduanya harus berjalan beriringan.   

Opini Pribadi Saya: Temuan Brilian dengan Sedikit Catatan Kritis

Secara pribadi, saya merasa studi ini brilian karena kepraktisannya. Ia tidak hanya menunjuk masalah, tapi langsung memberikan peta jalan solusinya yang berbasis data. Bagi manajer proyek, pimpinan perusahaan, atau bahkan profesional individu, temuan ini adalah cetak biru yang bisa langsung diterapkan untuk membuat perubahan nyata.

Meski temuannya hebat, saya merasa pendekatan survei kuantitatifnya terasa sedikit "dingin". Angka-angka ini menunjukkan apa yang menjadi masalah, tetapi tidak sepenuhnya menjelaskan mengapa. Saya penasaran, apa cerita di balik para profesional yang merasa kurang terampil ini? Apakah karena kurikulum pendidikan formal yang kurang relevan? Atau tekanan proyek yang membuat pelatihan K3 dikesampingkan? Wawancara kualitatif bisa menambah lapisan pemahaman yang lebih dalam. Namun, sebagai fondasi untuk tindakan, paper ini sudah lebih dari cukup.

Data ini mengkonfirmasi apa yang sebenarnya sudah kita tahu: kompetensi tidak datang begitu saja, ia harus dibangun secara sistematis. Inilah mengapa platform pembelajaran berkelanjutan menjadi sangat vital. Bagi para profesional di bidang ini, mengikuti kursus spesialis seperti (https://www.diklatkerja.com/course/k3-konstruksi/) bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan strategis untuk melindungi nyawa dan keberlangsungan proyek.

Langkah Anda Selanjutnya: Dari Pembaca Menjadi Pelaku

Paper ini bukan sekadar bacaan menarik di sore hari. Ini adalah cermin. Setelah membacanya, saya tidak bisa tidak bertanya pada diri sendiri: di mana "ruang terbatas" dalam pekerjaan saya? Di mana titik buta saya? Apakah tim saya benar-benar siap jika terjadi keadaan darurat?

Saya mengajak Anda untuk melakukan refleksi yang sama. Tanyakan pada diri sendiri dan tim Anda: Apakah kita hanya fokus pada tugas sehari-hari sambil mengabaikan persiapan untuk hal tak terduga? Apakah kita sudah memiliki budaya di mana keselamatan adalah tanggung jawab semua orang, bukan hanya tugas petugas K3?

Masalahnya jelas, tetapi begitu pula solusinya. Kekuatan untuk menjembatani jurang ini ada di tangan kita—para profesional yang memilih untuk tidak pernah berhenti belajar dan selalu menempatkan keselamatan di urutan pertama.

Jika Anda, seperti saya, tergelitik oleh data dan metodologi di baliknya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ada lebih banyak nuansa di sana yang bisa memperkaya pemahaman Anda.

(https://ijrpr.com/uploads/V4ISSUE8/IJRPR16198.pdf)

Selengkapnya
Nyawa di Ujung Helm: Kenapa Paper Sederhana Ini Mengubah Cara Saya Melihat Proyek Konstruksi

Kecelakaan Lalu Lintas

Algoritma Ini Bisa Memprediksi Kecelakaan Lalu Lintas Sebelum Terjadi – Inilah Cetak Biru di Baliknya, dan Mengapa Ini Penting bagi Kota Anda

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


Kecelakaan lalu lintas jalan raya terus menjadi salahsatu masalah paling mematikan dan merugikan di seluruh dunia. Ini adalah epidemi senyap yang, menurut berbagai statistik, menyebabkan angka kematian yang tinggi dan kerugian ekonomi yang masif. Kita hidup di era paradoks. Jalan raya kita dipenuhi dengan sistem kendaraan inovatif, sensor canggih, dan infrastruktur yang terus berkembang. Namun, angka korban jiwa dan cedera—terutama di kawasan perkotaan yang padat dan penuh konflik—menolak untuk turun sebanding dengan kemajuan teknologi tersebut. Masalahnya, sebagian besar pendekatan kita terhadap keselamatan jalan raya bersifat fundamental reaktif. Kita sangat ahli dalam menganalisis kecelakaan setelah terjadi. Kita mengirim tim forensik, mengukur bekas rem, dan mengumpulkan data untuk laporan.1 Tapi itu semua terjadi setelah tragedi. Sebuah penelitian konseptual baru yang diterbitkan dalam Journal of Scientific Insight oleh sekelompok peneliti dari Mesir dan Kuwait menawarkan sebuah cetak biru untuk pergeseran radikal.1 Dipimpin oleh Mohamed H. Abdelati, penelitian ini mengajukan pertanyaan sederhana namun transformatif: Bagaimana jika kita bisa menghentikan kecelakaan sebelum terjadi? Para peneliti mengusulkan sebuah kerangka kerja yang memanfaatkan dua alat paling kuat di era modern: data lalu lintas terbuka (open traffic data) dan kecerdasan buatan (machine learning). Ini bukan sekadar perbaikan teknis; para penulis menyebutnya sebagai "pergeseran transformatif" dalam cara kita mengelola keselamatan publik.1 Ini adalah proposal untuk beralih dari reaksi menjadi prediksi. Laporan ini akan membedah cara kerja cetak biru tersebut, potensi dampaknya yang luar biasa bagi kehidupan kota, dan—yang paling penting—hambatan besar dan kritik realistis yang menghadangnya.

 

Epidemi di Jalan Raya: Mengapa Pendekatan Saat Ini Gagal Melindungi Kita

Masalah inti yang diidentifikasi oleh para peneliti adalah ketergantungan kita pada strategi "reaktif". Tindakan keselamatan lalu lintas saat ini sebagian besar dirancang untuk menangani kecelakaan pasca-kejadian.1 Ini adalah model yang secara inheren selalu tertinggal satu langkah di belakang tragedi.

Sebagai gantinya, penelitian ini memperjuangkan pergeseran total ke strategi "proaktif".1 Pendekatan proaktif tidak menunggu sirene berbunyi. Ia dirancang secara eksplisit untuk mencegah kecelakaan sebelum terjadi.1

Bagaimana cara kerjanya di dunia nyata? Strategi proaktif berarti menggunakan teknologi untuk memprediksi dan mengelola arus lalu lintas secara dinamis, menyesuaikan waktu sinyal lampu lalu lintas berdasarkan permintaan real-time, dan mengantisipasi kemacetan sebelum menjadi titik bahaya.1 Model prediksi lalu lintas dan sistem manajemen otomatis telah terbukti mengurangi frekuensi dan keparahan kecelakaan.1

Di sinilah letak kebaruan (novelty) dari penelitian Abdelati et al..1 Inovasi mereka terletak pada pemanfaatan open traffic data—harta karun informasi yang semakin banyak tersedia dari sensor kota, laporan cuaca, dan database publik—dan menggabungkannya dengan machine learning untuk secara proaktif memprediksi dan mencegah kecelakaan.1

Alih-alih hanya menganalisis kecelakaan yang lalu, pendekatan ini berfokus pada pemodelan prediktif dan strategi intervensi real-time. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi situasi berisiko tinggi sebelum berkembang menjadi tabrakan, yang secara signifikan mengurangi cedera dan menyelamatkan nyawa.1

 

Membaca Masa Depan: Membedah 'Cetak Biru' Keselamatan Jalan Berbasis AI

Jadi, bagaimana sebenarnya sebuah algoritma dapat "memprediksi" kecelakaan? Para peneliti mengusulkan kerangka kerja metodologis yang terstruktur, yang pada dasarnya adalah resep 6 langkah untuk membangun sistem prediksi ini.1

Langkah 1: Input Data (Mengumpulkan Bahan Baku)

Setiap resep AI yang baik dimulai dengan bahan-bahan berkualitas. Langkah pertama adalah pengumpulan data dari berbagai penyedia data transportasi publik. Ini bukan hanya satu jenis data, melainkan gabungan dari: riwayat kecelakaan historis, data kepadatan lalu lintas dari sensor jalan, kondisi cuaca terperinci, dan bahkan karakteristik jalan seperti geometri tikungan atau jumlah lajur.1

Langkah 2: Preprocessing (Membersihkan Data)

Data mentah hampir selalu "kotor" dan tidak terstruktur. Langkah ini adalah data cleaning.1 Ini adalah pekerjaan krusial namun tidak glamor untuk menghapus outlier (data aneh, misalnya sensor melaporkan kecepatan 500 km/jam), mengisi nilai yang hilang, dan melakukan normalisasi data agar sebanding. Seperti yang diakui sendiri oleh para peneliti, kualitas data adalah salahsatu tantangan terbesar; jika data yang bias atau kotor dimasukkan, prediksinya juga akan bias dan kotor.1

Langkah 3: Feature Selection (Menemukan Pola Kunci)

Setelah bersih, model AI perlu tahu apa yang harus dicari. Para peneliti mengarahkan AI untuk fokus pada "prediktor penting".1 Ini adalah faktor-faktor yang paling berkorelasi dengan kecelakaan, yang dikategorikan menjadi tiga: fitur temporal (Kapan kecelakaan terjadi?), fitur spasial (Di mana?), dan aspek lingkungan (Dalam kondisi apa?).1 Ini ibarat mencari "DNA" dari sebuah kecelakaan.

Langkah 4 & 5: Model Training & Evaluation (Melatih AI)

Di sinilah keajaiban machine learning terjadi. Data yang sudah bersih dan terfilter "dimasukkan" ke dalam model untuk "dilatih".1 Paper ini menyarankan penggunaan beberapa model, termasuk Random Forests—yang sangat baik untuk menganalisis pentingnya setiap fitur dan relatif mudah diinterpretasi—dan Neural Networks, yang hebat dalam menangkap hubungan non-linear yang sangat kompleks yang seringkali tidak terlihat oleh analis manusia.1

Ini juga menyoroti dilema inti dalam AI: pertarungan antara interpretabilitas (kemampuan untuk menjelaskan mengapa sebuah prediksi dibuat) dan akurasi (kemampuan untuk membuat prediksi yang benar, bahkan jika prosesnya adalah "kotak hitam").1

Langkah 6: Outputs (Hasil yang Dapat Ditindaklanjuti)

Pada akhirnya, kerangka kerja ini menghasilkan dua produk nyata yang dapat digunakan oleh pembuat kebijakan dan manajer lalu lintas 1:

  1. Prediksi Hotspot Kecelakaan: Peta visual yang dihasilkan oleh sistem informasi geografis (GIS) yang menyoroti zona-zona merah di kota—area yang paling rentan terhadap kecelakaan.
  2. Peringatan Real-Time: Notifikasi instan yang dapat dikirim ke otoritas terkait untuk intervensi segera.

 

Bukan Sekadar Kecepatan: Mengurai Faktor Tersembunyi Penyebab Kecelakaan

Sebuah kecelakaan jarang disebabkan oleh satu faktor tunggal. Seringkali, itu adalah "badai sempurna" dari berbagai kondisi yang bertemu pada satu titik waktu dan lokasi. Bagian terpenting dari kerangka kerja AI ini adalah kemampuannya untuk menganalisis interaksi kompleks dari lima kategori faktor.1 Studi ini menguraikannya secara rinci, yang kami sajikan di sini dalam format deskriptif.

Faktor 1: Kapan Anda Berkendara (Temporal)

Waktu adalah prediktor utama. Model ini menganalisis data seperti Waktu dalam Hari, Hari dalam Minggu, dan Tren Musiman. Data ini, yang bersumber dari log sistem lalu lintas dan laporan polisi, sangat penting untuk memprediksi probabilitas kecelakaan. Risiko berkendara pada Jumat malam pukul 22:00 jelas sangat berbeda dengan Selasa pagi pukul 10:00, terutama selama musim liburan atau musim hujan.1

Faktor 2: Di Mana Anda Berkendara (Spasial)

Lokasi sangat menentukan. Faktor ini mencakup Geometri Jalan (apakah jalannya lurus atau menikung tajam?), Kedekatan dengan Persimpangan (titik konflik utama), dan Batas Kecepatan yang berlaku. Data yang diambil dari sumber seperti OpenStreetMap dan catatan infrastruktur ini sangat penting karena berdampak pada dua hal: probabilitas kecelakaan (persimpangan yang ramai lebih mungkin) dan keparahan kecelakaan (tikungan buta di jalan tol jauh lebih mematikan).1

Faktor 3: Kondisi di Luar Kendali Anda (Lingkungan)

Ini adalah faktor alam. Model ini memindai data meteorologi dan catatan pengawasan untuk Kondisi Cuaca, seperti hujan, kabut, atau angin kencang, serta Kondisi Pencahayaan, seperti silau matahari terbenam atau jalanan yang gelap gulita. Para peneliti mencatat bahwa faktor-faktor ini "sangat memengaruhi keparahan kecelakaan." Hujan gerimis mungkin hanya meningkatkan probabilitas senggolan kecil, tetapi kabut tebal dapat secara drastis meningkatkan keparahan, yang berpotensi menyebabkan tabrakan beruntun yang fatal.1

Faktor 4: Kekacauan di Sekitar Anda (Dinamika Lalu Lintas)

Model ini juga mengukur "denyut nadi" jalan raya secara real-time. Ini termasuk Volume Lalu Lintas, Tingkat Kemacetan, dan Jenis Kendaraan (misalnya, jalan yang padat dengan campuran truk berat dan sepeda motor). Data dari sensor lalu lintas ini terutama terkait dengan probabilitas kecelakaan. Secara logika, semakin banyak kendaraan di ruang yang sempit, semakin tinggi kemungkinan terjadinya kontak.1

Faktor 5: Faktor Manusia (Perilaku Pengemudi)

Ini adalah variabel yang paling tidak terduga, paling sulit diukur, namun seringkali menjadi yang paling penting. Model ini mencoba menangkap pola perilaku melalui data dari laporan polisi dan perangkat telematika (jika tersedia). Prediktornya meliputi Ngebut (Speeding), Peristiwa Gangguan (Distraction Events) seperti penggunaan ponsel, dan Laporan Kelelahan (Fatigue Reports). Sama seperti faktor spasial, para peneliti menyimpulkan bahwa perilaku pengemudi "sangat berdampak pada probabilitas kecelakaan dan keparahannya".1

Kekuatan sejati AI ini adalah kemampuannya untuk melihat kombinasi mematikan dari faktor-faktor ini secara bersamaan: misalnya, seorang pengemudi yang lelah (Perilaku) di jalan yang gelap dan berkabut (Lingkungan) mendekati persimpangan yang dirancang dengan buruk (Spasial) selama jam sibuk (Temporal).

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Wajah Kota Anda?

Kerangka kerja konseptual ini bukan hanya latihan akademis. Jika diterapkan, ia memiliki tiga aplikasi praktis yang dapat secara langsung mengubah cara kita mengelola kota dan menyelamatkan nyawa.1

1. Manajemen Lalu Lintas Perkotaan yang Lebih Cerdas

Alih-alih hanya bereaksi terhadap kemacetan dan kecelakaan, otoritas dapat bertindak terlebih dahulu.

  • Skenario Dunia Nyata: Bayangkan pusat manajemen lalu lintas kota menerima peringatan AI: "Risiko kecelakaan 85% di Persimpangan X dalam 60 menit ke depan," berdasarkan data historis, prediksi cuaca, dan volume lalu lintas saat ini. Alih-alih menunggu tabrakan, mereka dapat secara proaktif menugaskan polisi lalu lintas tambahan ke zona rawan tersebut sebelum jam sibuk, atau bahkan secara dinamis mengubah waktu lampu lalu lintas dari jarak jauh untuk mengurai kemacetan sebelum terbentuk.1

2. Alokasi Sumber Daya yang Menyelamatkan Nyawa

Data prediksi ini sangat berharga untuk efisiensi layanan darurat dan perencanaan jangka panjang.

  • Skenario Dunia Nyata (Medis): Peta hotspot kecelakaan memungkinkan petugas pertolongan pertama dan fasilitas medis (ambulans) ditempatkan di dekat area berisiko tinggi, alih-alih menunggu panggilan di pangkalan.1 Ini secara drastis memotong waktu respons, yang seringkali menjadi pembeda antara hidup dan mati.
  • Skenario Dunia Nyata (Kebijakan): Pembuat kebijakan tidak perlu lagi menebak-nebak di mana harus menginvestasikan anggaran infrastruktur yang terbatas. Data prediktif dapat menunjukkan dengan tepat persimpangan mana yang paling mendesak membutuhkan desain ulang jalan atau di mana kebijakan kontrol kecepatan yang baru harus diterapkan.1

3. Pemantauan dan Peringatan Langsung ke Genggaman Anda (Real-Time)

Ini adalah visi masa depan dari kerangka kerja ini. Dengan mengintegrasikan sistem dengan Internet of Things (IoT)—seperti kamera lalu lintas pintar dan sensor kendaraan—sistem ini menjadi hidup.1

  • Skenario Dunia Nyata: Anda sedang mengemudi. Aplikasi peta di ponsel Anda (yang terhubung ke sistem AI kota) memberi peringatan proaktif: "Bahaya: Risiko tabrakan tinggi 2 km di depan karena kombinasi kemacetan mendadak dan jarak pandang rendah".1 Ini bukan lagi navigasi reaktif (memberi tahu Anda ada kemacetan), tetapi keselamatan prediktif (memberi tahu Anda ada bahaya sebelum Anda melihatnya).

 

Opini: Sebuah Cetak Biru Menjanjikan, Namun Belum Siap Dibangun

Penting untuk menjaga kredibilitas dan menginjak bumi. Meskipun visi yang dijabarkan sangat menjanjikan, para peneliti sendiri jujur tentang keterbatasan signifikan dan tantangan berat yang harus diatasi sebelum cetak biru ini menjadi kenyataan.1

Kritik Utama: Ini Masih di Atas Kertas

Keterbatasan terbesar adalah bahwa kerangka kerja ini sepenuhnya bersifat "konseptual".1 Ia dibangun di atas "asumsi teoritis dan bukti yang diambil dari literatur," bukan dari "eksperimen atau aplikasi data" di dunia nyata. Belum ada bukti efisiensinya yang ditetapkan dalam sistem lalu lintas yang nyata, dinamis, dan kompleks. Ini adalah ide cemerlang yang belum teruji di lapangan.1

Hambatan 1: Masalah Data "Sampah Masuk, Sampah Keluar"

Kegunaan seluruh sistem ini "sangat bergantung pada kualitas dan cakupan" data yang dimasukkan.1 Big data seringkali tidak terstruktur, mengandung kesenjangan, dan memiliki perbedaan regional yang masif.1 Selain itu, ketersediaan data terbuka berkualitas tinggi tidak merata di seluruh dunia. Sebuah model yang dilatih di kota "pintar" yang kaya data mungkin akan gagal total di wilayah yang datanya tidak lengkap. Ini berisiko menciptakan "kesenjangan keselamatan digital" global.1

Hambatan 2: Ranjau Darat Etika: Privasi dan Keadilan

Di sinilah letak masalah terbesarnya. Agar benar-benar efektif, sistem ini perlu memakan data real-time dari sensor IoT dan mungkin telematika kendaraan.1 Para penulis memperingatkan bahwa penggabungan data ini dapat "mengekspos data yang sangat sensitif".1 Kepatuhan yang ketat terhadap undang-undang perlindungan data seperti GDPR (Peraturan Perlindungan Data Umum) adalah mutlak, tetapi sulit.

Lebih dalam lagi adalah masalah keadilan. Para penulis memperingatkan tentang "bias asli dalam dataset".1 Apa yang terjadi jika kecelakaan di lingkungan berpenghasilan rendah secara historis kurang dilaporkan? AI akan "belajar" bahwa area tersebut aman. Ini dapat menyebabkan skenario mimpi buruk berupa "ketidaksetaraan dalam langkah-langkah perlindungan," di mana AI secara tidak sengaja mengalokasikan lebih banyak polisi dan ambulans ke lingkungan kaya (yang datanya lebih baik) dan mengabaikan komunitas yang paling membutuhkannya.1

Hambatan 3: Biaya dan Politik Implementasi

Menerapkan ini mahal. Ini membutuhkan "biaya infrastruktur komputasi" yang besar untuk analisis data skala besar dan "biaya untuk menghubungkan" sistem prediktif ini ke Sistem Manajemen Lalu Lintas (TMS) yang ada.1

Namun, hambatan terbesar mungkin bukan teknis, melainkan manusia. Para peneliti mencatat potensi "resistensi dari pemangku kepentingan".1 Pemerintah daerah mungkin "enggan" mengadopsi teknologi yang begitu kompleks dan mahal.1 Secara politis, seorang walikota mungkin tidak ingin sistem AI secara publik menyoroti semua hotspot kecelakaan di wilayah mereka, karena itu sama saja dengan mengakui kegagalan infrastruktur.

 

Masa Depan Keselamatan: Dari Data Statis ke Sensor Real-Time

Menyadari keterbatasan ini, penelitian ini tidak berhenti pada cetak biru. Para penulis juga memberikan rekomendasi jelas untuk penelitian di masa depan guna mematangkan konsep ini.1

Langkah selanjutnya adalah:

  • Integrasi Data Real-Time: Ini adalah lompatan terbesar. Untuk menjadi benar-benar proaktif, sistem tidak bisa hanya mengandalkan data historis yang "statis".1 Penelitian di masa depan harus melibatkan sensor IoT dan feed visual (kamera) untuk membuat prediksi in-the-moment.1
  • Validasi Global: Sebuah model yang dilatih di Kairo mungkin gagal di Jakarta. Diperlukan pengujian tambahan untuk skalabilitas di berbagai zona dengan pola lalu lintas yang berbeda secara fundamental.1
  • Teknik AI yang Lebih Canggih: Dunia AI bergerak cepat. Para peneliti menyarankan untuk mengeksplorasi metode baru seperti reinforcement learning (di mana AI belajar dari coba-gagal dalam simulasi) dan federated learning (teknik yang melatih model di berbagai lokasi tanpa mengumpulkan data sensitif ke satu tempat, yang berpotensi membantu mengatasi masalah privasi).1

Pada akhirnya, studi ini menyajikan pendekatan baru yang menjanjikan dengan mengintegrasikan data terbuka dan machine learning.1 Ia meletakkan dasar bagi kolaborasi masa depan antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pakar industri untuk menciptakan solusi proaktif. Namun, jelas bahwa tantangan terkait kualitas data, masalah privasi, dan hambatan implementasi yang mahal harus diatasi terlebih dahulu. Jika kerangka kerja ini dapat divalidasi secara empiris dan—yang terpenting—diterapkan secara etis dan adil, dampaknya akan sangat besar. Dalam satu dekade, kita mungkin tidak lagi hanya bereaksi terhadap berita kecelakaan tragis di pagi hari. Sebaliknya, kita mungkin akan mengelola sistem yang secara aktif mencegah ribuan tragedi tersebut, mengubah keselamatan jalan raya dari permainan untung-untungan menjadi ilmu prediksi.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.69930/jsi.v114.237

Selengkapnya
Algoritma Ini Bisa Memprediksi Kecelakaan Lalu Lintas Sebelum Terjadi – Inilah Cetak Biru di Baliknya, dan Mengapa Ini Penting bagi Kota Anda

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Evolusi Digital Lampu Lalu Lintas dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


Era Pertama: Upaya Awal dengan Sensor Inframerah dan Kelemahan Fatalnya

Upaya paling awal untuk membuat lampu lalu lintas menjadi "pintar" tidak melibatkan kamera, melainkan sensor fisik. Para insinyur mencoba menggunakan perangkat keras seperti sensor inframerah yang ditanam di jalan untuk mendeteksi keberadaan kendaraan.1

Secara teori, idenya sederhana: sensor mendeteksi mobil yang menunggu, lalu mengirimkan sinyal ke microcontroller (otak komputer kecil) untuk mengatur durasi lampu hijau sesuai kebutuhan.1 Namun, implementasi di dunia nyata membentur tembok.

Kajian ini menyoroti temuan dari penelitian A. Kanungo et al. yang mengungkap kelemahan fatal dari pendekatan ini 1:

  • Biaya Perawatan Tinggi: Sistem ini membutuhkan "perawatan konstan yang memakan biaya".1
  • Kerapuhan Fisik: Sensor yang tertanam di aspal "lebih rentan terhadap kerusakan karena berbagai kondisi eksternal" 1, seperti perubahan cuaca ekstrem, genangan air, atau sekadar beban tonase kendaraan yang lalu-lalang.

Sistem ini terbukti terlalu mahal dan terlalu rapuh untuk diterapkan dalam skala besar. Kegagalan era sensor fisik ini memaksa para peneliti untuk mencari solusi yang lebih murah, lebih tangguh, dan tidak terlalu invasif: mereka beralih dari "perasa" fisik ke "mata" digital.

 

Lompatan ke Era Kedua: Revolusi 'Mata' Digital (Image Processing)

Era kedua ditandai oleh transisi ke teknologi Image Processing (Pemrosesan Citra). Ini adalah sebuah lompatan besar karena dua alasan utama yang diidentifikasi dalam kajian tersebut. Pertama, solusi ini "membutuhkan biaya minim" 1—kamera CCTV jauh lebih murah untuk dipasang dan dirawat daripada membongkar aspal untuk menanam sensor.

Kedua, seperti dicatat oleh V. Pandit et al. , masukan berbasis visi (vision-based) jauh "lebih berguna".1 Kamera tidak hanya memberi tahu 'ada mobil' (ya/tidak), tetapi juga dapat memberikan quantitative description (deskripsi kuantitatif) seperti kecepatan dan jumlah kendaraan, serta qualitative description (deskripsi kualitatif) tentang seberapa parah kemacetan itu.1

Dua metode utama mendominasi era ini, yang pada dasarnya adalah cara-cara sederhana bagi komputer untuk "melihat" kepadatan 1:

  1. Metode Edge Detection (Deteksi Tepi): Digunakan dalam studi dan , metode ini pada dasarnya bekerja seperti seorang seniman sketsa. Sistem akan memproses gambar video dan "menggambar" garis tepi (edges) pada setiap kendaraan yang dideteksinya.1 Kepadatan lalu lintas kemudian diukur dengan menghitung berapa banyak "tepi" atau "titik" yang berhasil dideteksi dalam satu ruas jalan.1
  2. Metode Image Subtraction (Pengurangan Citra): Digunakan dalam studi , metode ini bekerja seperti permainan "cari perbedaan". Sistem pertama-tama mengambil gambar "referensi" jalanan dalam keadaan kosong. Kemudian, ia terus membandingkan gambar real-time dengan gambar referensi tersebut. Piksel yang berbeda (yaitu kendaraan yang muncul) akan diisolasi.1 Kepadatan diukur berdasarkan "luas kumpulan" piksel yang berbeda tersebut.1

Metode pemrosesan citra sederhana ini terbukti berhasil. Kajian tersebut merujuk pada hasil kuantitatif dari studi , yang melaporkan "nilai rata-rata percentage improvement sebesar 35%".1

Ini adalah kemajuan yang signifikan. Lompatan efisiensi 35% ini setara dengan memotong waktu perjalanan Anda yang biasanya memakan 30 menit di serangkaian persimpangan padat menjadi hanya sekitar 20 menit. Sebuah pencapaian impresif hanya dengan "mengajari" lampu lalu lintas untuk melihat.

 

Keterbatasan 'Mata' Saja: Mengapa Image Processing Belum Cukup

Meskipun menjanjikan, era Image Processing ternyata memiliki titik buta yang kritis. Tinjauan pustaka ini mengidentifikasi kelemahan mendasar yang menghambat adopsi teknologi era kedua ini secara luas.1

Masalahnya adalah, sistem ini "kaku".

Kelemahan utama yang diidentifikasi oleh para peneliti adalah "kurangnya kemampuan untuk melakukan penyesuaian terhadap parameter-parameter yang ada, seperti lebar jalan dan posisi CCTV".1

Ini adalah poin krusial. Sistem Edge Detection atau Image Subtraction tidak benar-benar memahami apa itu "mobil". Mereka hanya dilatih untuk mendeteksi "kumpulan piksel tepi" atau "area piksel yang berubah".

Jika posisi CCTV sedikit bergeser karena angin kencang, atau jika sistem yang sama coba diterapkan di persimpangan yang lebih lebar, seluruh kalibrasi perhitungan "kepadatan" yang telah diatur secara manual akan gagal total. Sistem ini, ironisnya, sama rapuhnya dengan sensor fisik era pertama, hanya saja kerapuhannya bersifat digital.

Sistem era kedua ini bisa melihat, tetapi tidak bisa memahami atau beradaptasi. Kegagalan adaptasi inilah yang mendorong lahirnya era ketiga: era di mana lampu lalu lintas tidak hanya diberi mata, tetapi juga otak.

 

Era Ketiga: Saat Lampu Lalu Lintas Mulai 'Berpikir' dengan Kecerdasan Buatan (AI)

Era ketiga adalah tentang Kecerdasan Buatan (AI). Tujuannya adalah untuk mengatasi kekakuan era Image Processing. Dengan AI, sistem diharapkan "akan lebih mampu beradaptasi kepada berbagai macam skenario yang masing-masingnya akan menghadirkan parameter-parameter baru" dalam masalah lalu lintas.1

Tinjauan pustaka ini kemudian membedah berbagai "otak" AI yang telah diuji oleh para peneliti di seluruh dunia, mengubah data kuantitatif dari studi 1 menjadi narasi evolusi kecerdasan.

Perjalanan ini dimulai dengan AI yang relatif sederhana, seperti Support Vector Machine (SVM) , yang pada dasarnya bertugas sebagai "pengklasifikasi" canggih untuk mengategorikan tingkat kepadatan lalu lintas.1

Namun, lompatan besar terjadi dengan Deep Learning (Pembelajaran Mendalam).

  • Sebuah penelitian menggunakan jaringan saraf Deep Learning untuk "memprediksi" volume kendaraan. Hasilnya cukup baik, namun masih mencatat nilai RMSE (Root Mean Square Error, ukuran untuk tingkat kesalahan) sebesar 3.4507.1
  • Penelitian selanjutnya menggunakan metode Backpropagation untuk "menentukan" durasi lampu hijau yang optimal. Hasilnya menunjukkan lompatan presisi yang luar biasa: nilai RMSE anjlok menjadi hanya 0.088897.1

Ini adalah peningkatan yang dramatis. Jika model pertama memiliki tingkat kesalahan yang setara dengan salah memprediksi 3-4 mobil dalam antrean, model kedua mengurangi kesalahan itu menjadi hampir nol. Prediksinya menjadi sangat akurat.

Selanjutnya, AI tidak hanya "memprediksi" angka, tetapi juga "melihat" objek secara cerdas.

  • Metode Faster R-CNN menggunakan Deep Learning untuk secara spesifik menggambar "bounding box" (kotak penanda) di sekitar setiap kendaraan yang terdeteksi.1 Hasilnya sangat impresif: sistem ini mencapai "nilai akurasi deteksi sebesar 97.027%".1 Ini berarti AI tersebut mampu mengenali 97 dari 100 kendaraan di layar dengan benar.
  • Metode yang lebih canggih lagi adalah Deep Reinforcement Learning (DRL) . Ini adalah AI yang "belajar" seperti manusia, melalui trial and error. Kajian tersebut menjelaskan 1 bahwa "agent" (otak AI) akan mencoba satu durasi lampu hijau, lalu mengukur "hadiah" (reward) berupa pengurangan waktu tunggu. Jika strateginya gagal, ia akan mencoba strategi lain di siklus berikutnya, terus-menerus mengoptimalkan kinerjanya. Hasilnya? Model ini berhasil "mengurangi waktu tunggu rata-rata sebesar 20%".1

Bagi pengendara, pengurangan 20% itu sangat terasa. Jika Anda biasanya menghabiskan total 5 menit menunggu di serangkaian persimpangan dalam rute harian Anda, sistem ini memangkasnya menjadi 4 menit.

 

Puncak Evolusi: Dua Metode AI yang Menjanjikan Efisiensi Radikal

Dari dua belas literatur yang dikaji, tinjauan pustaka ini 1 menyoroti dua metode AI yang menonjol sebagai "juara" dalam perlombaan efisiensi ini. Temuan mereka, yang tersembunyi dalam data kuantitatif 1, menunjukkan hasil yang paling transformatif.

**1. Sang Juara Efisiensi: Hybrid Neural Network **

Metode ini, yang menggabungkan beberapa jenis jaringan saraf, memberikan hasil paling dramatis dalam hal pengalaman pengemudi. Data pengujiannya 1 sungguh menakjubkan:

  • Mampu "mengurangi rata-rata waktu penundaan (delay) setiap kendaraan sebesar 78%".
  • Mampu "mengurangi rata-rata waktu penghentian (stop time) setiap kendaraan sebesar 85%".

Angka-angka ini adalah pengubah permainan. Pengurangan waktu henti sebesar 85% pada dasarnya adalah perbedaan antara Anda harus berhenti total di lampu merah dan menunggu dua hingga tiga siklus penuh, dibandingkan dengan Anda dapat melaju mulus (atau hanya berhenti sangat sebentar) saat tiba di persimpangan. Sistem ini juga terbukti mampu "mengungguli kinerja sistem GLIDE" (sistem adaptif lain yang ada).1

**2. Sang Juara Kecepatan: YOLO (You Only Look Once) **

Metode kedua yang disorot adalah YOLO. Model ini (khususnya YOLO v2) juga menunjukkan akurasi yang sangat tinggi, dengan "nilai mAP (mean average precision) lebih dari 90%" 1, menunjukkan kemampuannya yang luar biasa dalam mendeteksi kendaraan secara akurat.

Namun, bukan hanya akurasinya yang membuat YOLO spesial. Tinjauan pustaka ini 1 secara eksplisit menobatkan YOLO dalam Abstrak dan Kesimpulannya sebagai metode yang memiliki "hasil yang memuaskan" dan "paling cocok" untuk diimplementasikan.

Mengapa? Jawabannya terletak pada kecepatan. Kajian tersebut 1 mencatat bahwa keunggulan unik YOLO adalah kemampuannya "dapat mendeteksi objek secara real time" dan "kemampuannya yang dapat memproses data secara real time dan cepat."

Ini mengungkap sebuah wawasan penting: dalam manajemen lalu lintas, kecepatan respons sama pentingnya dengan kedalaman analisis. Lalu lintas adalah masalah yang sangat dinamis dan kacau. Sebuah solusi yang "cukup baik" tapi instan (YOLO) mungkin jauh lebih unggul di dunia nyata daripada solusi "sempurna" yang membutuhkan waktu pemrosesan beberapa detik lebih lama (seperti sistem hibrida yang mungkin lebih berat).

 

Kritik Realistis: 'Data Hantu' di Balik Perlombaan AI Ini

Namun, sebelum kita terburu-buru mengganti semua lampu lalu lintas kita dengan AI, tinjauan pustaka dari UII ini 1 juga menyertakan kritik realistis yang tajam—sebuah kelemahan yang mengintai di balik angka-angka impresif tadi.

Kelemahan besar yang terungkap adalah kurangnya transparansi dan standardisasi data pengujian.1

  • Dari dua belas literatur yang dikaji, "Hanya ada empat literatur yang menyebutkan data set yang digunakan".1
  • Lebih mengejutkan lagi, salah satu data set yang digunakan untuk melatih AI canggih hanya berisi "153 gambar mainan berbentuk kendaraan".1

Ini adalah kritik ilmiah yang serius. Ini seperti membandingkan catatan waktu 12 pelari juara tanpa mengetahui apakah mereka berlari di lintasan datar, menanjak, atau di atas treadmill mainan.

Angka pengurangan delay 78% dari studi memang fantastis, tetapi apakah itu diuji pada simulasi komputer yang sederhana, atau pada data lalu lintas real-time yang kacau seperti data dari Seoul (yang digunakan studi YOLO )? Tinjauan pustaka ini menyoroti bahwa kita tidak selalu tahu.

Kritik lainnya adalah tidak adanya definisi standar untuk "kepadatan lalu lintas".1 Beberapa studi 1 mengukurnya sebagai "luas kumpulan kendaraan", yang lain sebagai "total titik putih pada citra", dan yang lain lagi sebagai "panjang antrean kendaraan". Perbedaan definisi ini membuat perbandingan langsung antar metode menjadi semakin sulit.

 

Dampak Nyata: Masa Depan Persimpangan di Kota Anda

Meskipun ada keterbatasan dalam penelitian, narasi evolusi yang dipetakan oleh Khatami, Rajagede, dan Rahmadi 1 sangat jelas. Kita telah bergerak dari sensor fisik yang mahal dan rapuh 1, ke mata digital yang "kaku" 1, dan akhirnya tiba di era otak AI yang mampu beradaptasi secara real-time.1

Kesimpulannya jelas: teknologi AI, khususnya yang berfokus pada kecepatan real-time seperti YOLO dan efisiensi mendalam seperti sistem Hibrida , memegang kunci untuk manajemen lalu lintas masa depan.

Jika diterapkan dalam skala besar, temuan ini bisa secara drastis mengubah produktivitas dan kualitas hidup perkotaan.

Bayangkan jika setiap persimpangan utama di kota Anda mengadopsi teknologi yang terbukti dalam studi . Jika waktu henti (stop time) di setiap lampu merah dapat dikurangi sebesar 85%, dampaknya akan sangat besar. Ini bukan lagi hanya soal menghemat 87 menit waktu pribadi Anda yang terbuang karena macet.1 Ini berarti pengurangan emisi bahan bakar secara masif dari kendaraan yang idle, penurunan tingkat stres kolektif 1, dan peningkatan efisiensi logistik yang dapat bernilai triliunan rupiah bagi perekonomian nasional dalam lima tahun ke depan.

 

Sumber Artikel:

Khatami, M. S., Rajagede, R. A., & Rahmadi, R. (n.d.). Sebuah tinjauan pustaka dari studi-studi terkini tentang sistem manajemen lampu lalu lintas adaptif. Jurusan Informatika, Universitas Islam Indonesia.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Evolusi Digital Lampu Lalu Lintas dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Tragedi Sungai Musi – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


BAGIAN 1: ANALISIS KONTEKSTUAL DAN LATAR BELAKANG STRATEGIS

1.1. Darurat Tak Terlihat di Jalur Air Indonesia

Transportasi sungai dan danau merupakan urat nadi vital bagi perekonomian dan mobilitas sosial di banyak wilayah Indonesia. Kegiatan ini diakui sebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dari "satu kesatuan sistem transportasi nasional".1 Namun, di balik peran krusialnya, tersembunyi sebuah krisis keselamatan yang mendesak. Tingkat kecelakaan lalu lintas dan angkutan sungai di Indonesia tercatat "cukup tinggi".1

Akar masalah dari tingginya angka kecelakaan ini bersifat ganda. Di satu sisi, terdapat masalah teknis yang nyata, yaitu "rendahnya tingkat kelaikan angkutan yang di gunakan". Di sisi lain, dan seringkali menjadi faktor penentu, adalah "faktor manusia".1 Kelalaian pengemudi, pengabaian terhadap standar keselamatan yang ada, dan minimnya sosialisasi kesadaran berkeselamatan menciptakan kombinasi fatal yang berulang kali memakan korban jiwa dan kerugian materi yang besar.1

Konteks ini lebih dari sekadar statistik kecelakaan; ini adalah isu keadilan infrastruktur. Di banyak daerah di Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Sumatera, sungai bukanlah alternatif, melainkan satu-satunya "jalan raya" yang menghubungkan antar desa.1 Kegagalan infrastruktur keselamatan di jalur air ini memiliki dampak yang setara dengan kegagalan sistem jalan tol di perkotaan. Dengan demikian, kelalaian pengemudi seringkali hanya gejala dari masalah yang lebih dalam: tidak adanya sistem yang dirancang untuk mencegah atau memitigasi kelalaian tersebut.

1.2. Studi Kasus Tragedi: Anatomi Tabrakan di Musi Banyuasin

Masalah ini bukan sekadar hipotesis. Sebuah studi kasus tragis yang diangkat dalam penelitian ini menyoroti kegagalan sistemik tersebut secara gamblang. Pada hari Kamis, 3 Desember 2020, terjadi kecelakaan maut di Sungai Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.1

Kecelakaan ini adalah contoh klasik dari "faktor manusia" yang berakibat fatal. Kronologinya dimulai saat speedboat Wawan Putra yang sedang melaju "mendadak keluar dari jalur primer P17 dan mengambil lajur sebelah kanan". Pada saat yang bersamaan, speedboat Semoga Abadi 04 melintas dari arah berlawanan. Tabrakan pun tak terhindarkan. Akibatnya, beberapa penumpang terpental ke sungai, dengan satu orang ditemukan tewas dan satu penumpang lainnya dinyatakan hilang.1

Istilah kunci yang digunakan untuk menggambarkan insiden ini adalah "mencuri jalur".1 Ini adalah "pelanggaran marka" versi perairan, di mana pengemudi secara sengaja atau tidak sengaja mengambil jalur yang bukan haknya. Tragedi Musi Banyuasin ini berfungsi sebagai "pasien nol" bagi penelitian yang dianalisis. Ini membuktikan bahwa kecelakaan tersebut bukanlah peristiwa acak, melainkan kegagalan sistemik yang dapat diprediksi. Pengemudi "mencuri jalur" karena tidak ada sistem informasi yang efektif untuk memberitahunya bahwa ada perahu lain yang datang dari arah berlawanan, dan tidak ada sistem penegakan aturan otomatis untuk menghentikannya.

1.3. Tantangan Geografis: Problem 'Terowongan' Rammang-Rammang

Penelitian ini secara spesifik berfokus pada kondisi geografis unik yang memperburuk risiko tabrakan: jalur lalu lintas yang sempit. Di banyak sungai di Indonesia, terdapat titik-titik penyempitan alami, yang dalam penelitian ini disebut sebagai "terowongan".1

Karakteristik utama dari "terowongan" ini adalah kondisinya yang "tidak memungkinkan ada 2 perahu yang berpapasan".1 Penelitian ini secara khusus menyoroti kebutuhan infrastruktur di area seperti terowongan di kawasan Rammang-Rammang, Sulawesi Selatan.1 Di lokasi-lokasi rawan seperti ini, kelalaian sekecil apa pun tidak memiliki margin kesalahan; tabrakan adalah hasil yang hampir pasti jika dua perahu mencoba melintas bersamaan dari arah berlawanan.

Kondisi geografis ini menghadirkan tantangan teknis yang unik. Solusi infrastruktur tradisional, seperti pengerukan atau pelebaran alur sungai, tidak hanya memakan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama, tetapi juga berpotensi merusak lingkungan secara signifikan, terutama di kawasan karst sensitif seperti Rammang-Rammang. Oleh karena itu, solusi yang dibutuhkan bukanlah solusi "kekuatan bruta", melainkan solusi teknologi yang ringan, cerdas, dan presisi. Inilah celah yang coba diisi oleh para peneliti melalui pengembangan model lampu lalu lintas berbasis Internet of Things (IoT).

 

BAGIAN 2: RESENSI JURNALISTIK UTAMA

Judul: Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Tragedi Sungai Musi – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kamis, 3 Desember 2020. Di perairan tenang Sungai Lalan, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sebuah tragedi terjadi begitu cepat. Sebuah speedboat, Wawan Putra, dilaporkan mendadak banting setir, keluar dari jalur primernya dan "mencuri jalur" di sebelah kanan. Tepat pada saat bersamaan, speedboat Semoga Abadi 04 melaju dari arah berlawanan. Tabrakan maut tak terhindarkan.1

Benturan keras membuat penumpang terpental. Saat regu penyelamat tiba, satu orang ditemukan tewas, dan satu lainnya hilang, ditelan arus sungai.1

Kecelakaan ini, seperti banyak insiden serupa di jalur air Indonesia, dikategorikan sebagai "kelalaian pengemudi". Namun, dua peneliti dari Politeknik Negeri Ujung Pandang, Dahliah Nur dan Kasim, melihat lebih dari sekadar human error. Mereka melihat masalah infrastruktur. Mereka melihat sebuah kegagalan sistemik yang bisa dicegah dengan teknologi.1

Apa jadinya jika di tikungan maut itu, atau di jalur sempit itu, ada sebuah "lampu merah" versi sungai? Pertanyaan inilah yang mendorong lahirnya penelitian mereka: "Model Lampu Lalu Lintas Sungai Berbasis IoT".

Tragedi yang Memicu Inovasi: Mengapa Jalur Sungai Kita Rawan?

Setiap tahun, tingkat kecelakaan di angkutan sungai dan danau Indonesia tercatat "cukup tinggi".1 Penyebabnya adalah kombinasi dari kelaikan angkutan yang rendah dan faktor manusia yang sering mengabaikan keselamatan.1 Tragedi Musi Banyuasin adalah bukti nyata dari kelalaian "mencuri jalur".1

Masalah ini diperparah oleh geografi unik Indonesia. Di banyak wilayah, seperti di kawasan karst Rammang-Rammang, Sulawesi Selatan, sungai menyempit membentuk "terowongan" alami. Di jalur ini, mustahil bagi dua perahu untuk berpapasan dengan aman.1 Tanpa sistem peringatan, setiap perahu yang masuk ke terowongan ini sejatinya sedang "berjudi", berharap tidak ada perahu lain dari arah berlawanan.

Para peneliti dari Politeknik Negeri Ujung Pandang ini memutuskan untuk merancang sebuah solusi. Bukan dengan melebarkan sungai—yang mahal dan merusak lingkungan—tetapi dengan mengatur lalu lintasnya secara cerdas.

Memasang Lampu Merah di Sungai: Seperti Apa Wujud Teknologi IoT Ini?

Bayangkan sebuah lampu lalu lintas standar, namun alih-alih ditenagai listrik PLN dan diatur oleh timer kota, lampu ini berdiri mandiri di tengah hutan bakau, ditenagai matahari, dan mampu "berpikir" sendiri. Itulah inti dari model yang mereka kembangkan.1

Sistem ini dibangun dari tiga modul utama yang bekerja secara harmonis 1:

  1. Mata Pengawas (Sensor): Di kedua ujung "terowongan" (Ujung A dan Ujung B), dipasang sensor untuk mendeteksi setiap perahu yang mendekat atau masuk.1
  2. Sistem Saraf (Kontroler): Begitu sensor mendeteksi perahu, sebuah mikrokontroler (ESP 8266) langsung bekerja. Komponen ini adalah "kurir" digital yang mengirimkan data—"Ada perahu terdeteksi!"—setiap 30 detik melalui transmisi nirkabel (protokol MQTT).1
  3. Otak (Server): Data dari "saraf" diterima oleh "otak" sistem, yaitu sebuah komputer mini Raspberry Pi 4. Di sinilah keputusan dibuat. Raspberry Pi akan mengolah data, menghitung "kepadatan" lalu lintas, dan menentukan siapa yang berhak jalan.1
  4. Jantung yang Mandiri (Sumber Daya): Ini adalah bagian paling krusial untuk kondisi Indonesia. Seluruh sistem—sensor, saraf, dan otak—ditenagai oleh Panel Solar Cell dan disimpan dalam Baterai (AKI). Tujuannya jelas: "agar tidak bergantung pada jaringan PLN".1 Sistem ini dirancang untuk kemandirian total, memungkinkannya dipasang di hulu sungai paling terpencil sekalipun.

Alur kerjanya sederhana namun efektif. Sebuah perahu mendekati Ujung A terowongan. "Mata" sensor melihatnya. "Saraf" (ESP8266) mengirim laporan ke "Otak" (Raspberry Pi). Otak segera mengecek: "Apakah terowongan dalam keadaan kosong?".1

Jika ya, Otak akan memberi perintah: Lampu Navigasi di Ujung A berubah menjadi Hijau, mempersilakan perahu masuk. Secara bersamaan, lampu di Ujung B (ujung seberang) berubah menjadi Merah, menghentikan perahu lain yang mungkin datang.1 Lampu merah di Ujung B akan terus menyala "selama perahu masih berada dalam terowongan" 1, memastikan tidak ada tabrakan head-to-head.

Di Balik Laboratorium: Mencari 'Titik Manis' untuk Mata Sensor

Merancang sistem ini tidak semudah kedengarannya. Tantangan terbesar bagi para peneliti adalah mengkalibrasi "mata" sensor. Pertanyaan krusialnya: Seberapa tinggi sensor harus dipasang dari permukaan air agar bisa mendeteksi perahu secara akurat dan cepat, tanpa terganggu oleh ombak atau pantulan air?

Tim peneliti melakukan serangkaian pengujian presisi untuk menemukan "titik manis" tersebut.1 Mereka menguji sensor pada berbagai ketinggian, meter demi meter, dan mengukur waktu respons lampu lalu lintas.

Hasilnya sangat menarik. Saat sensor dipasang hanya 1 meter di atas air, respons waktunya relatif lambat, yakni 2,10 detik di satu node dan 2,30 detik di node lainnya. Ketika dinaikkan ke 2 meter, kinerjanya membaik, mencatatkan waktu 1,96 detik.1

Namun, temuan emas didapat pada ketinggian 3 meter. Di ketinggian ini, sensor mengunci target perahu dengan respons tercepat, hanya 1,48 detik di Node 1 dan 1,87 detik di Node 2.1 Ini lebih cepat dari kedipan mata—presisi yang dibutuhkan untuk menghentikan speedboat yang melaju kencang.

Menariknya, saat pengujian dilanjutkan ke 4 meter, responsnya justru melambat lagi menjadi 2,42 detik. Dan pada ketinggian 5 meter, sensor tersebut praktis menjadi "buta". Catatan penelitian tegas menyatakan: "objek tidak terbaca".1

Data ini membuktikan bahwa penempatan sensor bukanlah perkara sepele. Para peneliti menyimpulkan bahwa 3 meter adalah ketinggian optimal untuk mendapatkan respons tercepat, sebuah temuan yang menjadi kunci keberhasilan seluruh model ini.1

Mengatur Antrean Perahu: Sistem Ini 'Berpikir' dan Terbukti 100% Berhasil

Setelah "mata" terkalibrasi, pertanyaan berikutnya adalah: Seberapa andal "otak" sistem ini dalam mengatur lalu lintas?

Para peneliti melakukan 10 kali pengujian skenario lalu lintas yang padat, dengan jumlah perahu yang bervariasi di kedua ujung terowongan.1 Hasilnya sempurna. Dari 10 kali pengujian yang merepresentasikan berbagai tingkat kepadatan, sistem ini "Berhasil" 100% dalam mengaktifkan lampu yang benar dan mencegah konflik.1 Keandalannya teruji.

Namun, bagian yang paling mengesankan bukanlah sekadar keandalannya, melainkan kecerdasannya. Ini bukan timer bodoh yang menyalakan lampu merah selama 30 detik tanpa peduli situasi. Sistem ini adaptif. Ia "berpikir" dan menyesuaikan delay waktu berdasarkan jumlah perahu yang sedang mengantre.1

Data pengujian menunjukkan kecerdasan adaptif ini dengan jelas:

  • Skenario 1: Satu Perahu. Bayangkan seorang nelayan tunggal ingin melintas. Sistem mendeteksi hanya satu perahu yang antre. Hasilnya? Waktu delay adalah 0 detik.1 Sistem ini cukup pintar untuk tidak membuat nelayan itu menunggu lampu merah yang tidak perlu. Ia bisa langsung melintas.
  • Skenario 2: Dua Perahu. Sekarang, dua perahu wisata kecil datang bersamaan. Sistem mendeteksi "antrean" ringan ini. Ia secara otomatis memberlakukan delay selama 10 detik 1 untuk memastikan kedua perahu itu memiliki cukup waktu untuk mulai bergerak sebelum lampu di seberang berganti.
  • Skenario 3: Tiga Perahu. Jika antrean padat—misalnya tiga perahu—sistem menghitung kepadatan yang lebih tinggi dan menahan lalu lintas di seberang lebih lama, memberlakukan delay 20 detik.1

Lompatan dari 0 detik untuk satu perahu menjadi 20 detik untuk tiga perahu menunjukkan ini adalah sistem manajemen lalu lintas yang dinamis. Ia secara aktif menghitung kepadatan 1 dan mengalokasikan slot waktu yang aman, mencegah "konvoi" perahu bertabrakan dengan perahu tunggal dari arah lain.

Opini: Apakah Ini Solusi Ajaib? Sebuah Kritik Realistis

Prototipe ini menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan. Namun, sebelum kita membayangkan lampu lalu lintas ini terpasang di setiap sungai Indonesia, ada beberapa kritik realistis yang perlu ditangani.

Pertama, ada kebingungan teknis yang signifikan dalam dokumen penelitian ini. Di satu sisi, Abstrak 1 dan Kesimpulan 1 dengan jelas menyatakan bahwa sistem ini menggunakan "sensor ultra sonic". Namun, di sisi lain, Diagram Blok Sistem 1 dan Skema Rangkaian 1 secara eksplisit melabeli komponen deteksi sebagai "Sensor Laser" dan "Laser Detector".

Ini bukan sekadar salah ketik; ini adalah dua teknologi yang fundamental berbeda. Sensor ultrasonik menggunakan gelombang suara, yang kinerjanya bisa sangat terganggu oleh angin kencang di atas permukaan air. Sebaliknya, sensor laser menggunakan cahaya, yang bisa gagal total dalam kondisi kabut tebal, hujan deras, atau pantulan sinar matahari yang menyilaukan—semua kondisi yang sangat umum di sungai tropis Indonesia.

Pertanyaan krusial yang belum terjawab adalah: Model mana yang sebenarnya diuji? Apakah respons super cepat 1,48 detik 1 itu dicapai oleh sensor ultrasonik atau laser? Kejelasan mengenai komponen inti ini mutlak diperlukan sebelum implementasi skala penuh.

Kedua, ada masalah ruang lingkup. Model ini dirancang dengan brilian untuk satu skenario spesifik: "terowongan" sempit di mana dua perahu tidak bisa berpapasan.1 Namun, mari kita kembali ke tragedi Musi Banyuasin. Kecelakaan itu terjadi di "jalur primer P17" yang lebih lebar, disebabkan oleh perilaku "mencuri jalur".1 Apakah sistem lampu lalu lintas ini—yang dirancang untuk lalu lintas satu lajur—dapat diadaptasi untuk mencegah speedboat saling "curi jalur" di tikungan buta (blind corners) atau persimpangan sungai yang lebar? Keterbatasan studi yang hanya berfokus pada skenario "terowongan" ini bisa jadi mengecilkan kompleksitas masalah navigasi sungai secara umum.

Dampak Nyata: Mencegah Musi Banyuasin Berikutnya

Terlepas dari kritik tersebut, inovasi yang dipresentasikan oleh Dahliah Nur dan Kasim adalah sebuah langkah maju yang fundamental. Ini adalah bukti konsep bahwa kecelakaan di sungai dapat dimitigasi dengan teknologi IoT yang cerdas, mandiri energi, dan relatif murah.

Jika sistem ini, atau variasinya yang telah disempurnakan, diterapkan secara strategis di ratusan "terowongan" alami dan titik rawan navigasi sungai di seluruh Indonesia, dampaknya akan sangat nyata. Sistem ini bisa mengakhiri "perjudian" yang setiap hari dilakukan oleh para pengemudi perahu di Rammang-Rammang. Sistem ini bisa menjadi penjaga otomatis yang mencegah perilaku "mencuri jalur" seperti yang terjadi di Sungai Lalan.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya sosial dan ekonomi akibat tabrakan perahu secara signifikan, menyelamatkan nyawa, dan membuat urat nadi transportasi air kita jauh lebih aman dalam waktu lima tahun ke depan.

 

BAGIAN 3: ANALISIS AHLI: IMPLIKASI, TANTANGAN, DAN SKALABILITAS

3.1. Di Luar Prototipe: Hambatan Implementasi di Dunia Nyata

Penelitian ini menyajikan sebuah "model" atau prototipe yang sukses dalam lingkungan terkontrol.1 Transisi dari model laboratorium ke implementasi lapangan yang tangguh (robust) di lokasi target seperti Rammang-Rammang 1 akan menghadapi tiga tantangan utama di dunia nyata:

  1. Pemeliharaan dan Ketahanan Lingkungan: Sistem ini dirancang untuk lokasi terpencil menggunakan panel surya dan baterai (AKI).1 Di iklim tropis yang lembap, panel surya rentan tertutup lumut, jamur, atau kotoran burung, yang secara drastis menurunkan efisiensi pengisian daya. Sensor—baik itu laser maupun ultrasonik—juga rentan terhadap obstruksi dari sarang laba-laba, debu, atau lumpur. Pertanyaan operasional yang krusial adalah: Siapa yang akan melakukan pembersihan dan pemeliharaan rutin infrastruktur ini, dan seberapa sering?
  2. Vandalisme dan Keamanan Aset: Infrastruktur teknologi tak berawak yang dipasang di area publik, terutama yang terpencil, sangat rentan terhadap vandalisme dan pencurian. Komponen bernilai jual tinggi seperti panel surya dan AKI (baterai) 1 adalah target utama. Desain implementasi harus mencakup langkah-langkah pengamanan fisik yang kuat untuk melindungi aset-aset vital ini agar sistem tetap beroperasi.
  3. Konektivitas dan Skalabilitas Jaringan: Model ini bergantung pada komunikasi nirkabel (disebutkan sebagai WiFi dan protokol MQTT) antara node sensor di kedua ujung terowongan dan base station (Raspberry Pi).1 Prototipe ini mungkin berfungsi baik dalam jarak dekat. Namun, bagaimana jika "terowongan" sungai tersebut memiliki panjang 1 kilometer atau lebih, atau terhalang oleh bukit karst? Keandalan sinyal nirkabel dalam jarak jauh di lingkungan yang kompleks akan menjadi penentu skalabilitas sistem.

3.2. Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Berikutnya

Berdasarkan analisis prototipe dan tantangan implementasinya, beberapa langkah strategis direkomendasikan untuk pemangku kepentingan terkait:

Untuk Regulator (Kementerian Perhubungan dan Syahbandar):

Penelitian ini harus dilihat sebagai cetak biru berbiaya rendah yang sangat menjanjikan untuk mitigasi risiko di titik rawan geografis. Temuan ini harus ditinjau dan dipertimbangkan untuk diintegrasikan ke dalam standar keselamatan sungai nasional, yang secara spesifik mengatur tentang Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran di alur pelayaran sempit.1

Untuk Tim Peneliti (Politeknik Negeri Ujung Pandang):

Untuk memajukan model ini dari prototipe sukses menjadi solusi yang siap diterapkan, tiga langkah berikutnya sangat mendesak:

  1. Klarifikasi Sensor Teknis: Langkah pertama dan paling penting adalah mempublikasikan errata atau studi lanjutan yang secara definitif mengklarifikasi kontradiksi antara sensor ultrasonik 1 dan sensor laser.1 Pengujian komparatif kinerja kedua sensor di lingkungan sungai yang sebenarnya (misalnya, saat hujan lebat vs. angin kencang) akan memberikan data yang tak ternilai bagi regulator.
  2. Uji Coba Lapangan (In-Situ): Melakukan uji coba lapangan jangka panjang (misalnya, 6-12 bulan) di lokasi target Rammang-Rammang.1 Uji coba ini harus fokus pada pengujian ketahanan terhadap cuaca tropis, efektivitas panel surya dalam jangka panjang, dan mengidentifikasi potensi masalah vandalisme serta kebutuhan pemeliharaan.
  3. Perluasan Model Skenario: Mengembangkan model ini lebih lanjut untuk mengatasi skenario yang lebih kompleks dan umum, seperti tikungan "buta" (blind corners) atau persimpangan antar sungai, yang merupakan lokasi umum terjadinya "pencurian jalur" seperti dalam kasus Musi Banyuasin.

 

Sumber Artikel:
Nur, D., & Kasim. (2022). MODEL LAMPU LALU LINTAS SUNGAI BERBASIS IoT. Prosiding 6th Seminar Nasional Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat 2022, 165-172. Diperoleh dari https://jurnal.poliupg.ac.id/index.php/snp2m/article/view/3876

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Tragedi Sungai Musi – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Wawasan Perkotaan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Ambang Kelumpuhan: Potret Jalan Ahmad Yani Sebelum Intervensi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


Di Ambang Kelumpuhan: Potret Jalan Ahmad Yani Sebelum Intervensi

Untuk memahami skala kemenangan rekayasa ini, kita harus terlebih dahulu memahami betapa parahnya kondisi "sebelum 2021". Jalan Ahmad Yani, sebagai pusat bisnis dan komersial, menderita kemacetan parah dan ketidaktertiban lalu lintas.1

Analisis penelitian ini, menggunakan standar Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, melukiskan gambaran suram:

  • Derajat Kejenuhan (DS) Kritis: Sebelum SSA, nilai DS—sebuah rasio yang mengukur seberapa penuh jalan—berada di titik nadir. Pada jam puncak hari kerja, angkanya mencapai 0,927. Pada jam puncak akhir pekan, angkanya melonjak menjadi 0,935.1
  • Arti Sebenarnya dari Angka 0,935: Ini bukan statistik akademis yang kering. Angka ini menempatkan Jalan Ahmad Yani dalam Tingkat Pelayanan (Level of Service) E.1 Dalam terminologi MKJI 1997, Level E berarti "arus lalu lintas tidak stabil dan terkadang terhenti." Jalan itu, secara sederhana, 93,5% penuh sesak.
  • Pipa yang Tersumbat: Ini adalah potret jalan raya yang "tercekik". Kapasitasnya, yang terhitung hanya 969 satuan mobil penumpang (smp) per jam, jelas tidak lagi mampu menampung volume kendaraan yang melewatinya.1 Kesimpulan penelitian ini tegas: dasar penerapan SSA adalah karena kapasitas jalan dua arah sudah tidak mampu menampung permintaan.1

Simulasi komputer canggih menggunakan software PTV VISSIM mengonfirmasi diagnosis ini. Sebelum intervensi, waktu tundaan (delay) rata-rata—waktu henti yang dialami setiap kendaraan akibat kemacetan—adalah 1,07 detik per kendaraan di hari kerja, dan melonjak menjadi 1,47 detik per kendaraan di akhir pekan.1

Jalan Ahmad Yani, sebelum 2021, berada di ambang gagal jantung lalu lintas.

 

Membedah Solusi: Mengapa Satu Arah Menjadi Resep Ajaib?

Di sinilah letak paradoks besar dari proyek Tegal City Walk. Latar belakang penelitian mencatat bahwa proyek ini melibatkan "menata trotoar" dan "menyediakan tempat untuk PKL," yang berarti "lebar jalan dikurangi".1

Data survei lapangan dalam tesis ini mengonfirmasi hal tersebut secara dramatis. Sebelum SSA, sistem dua arah memiliki lebar jalan efektif (aspal untuk kendaraan) total 12 meter.1 Setelah implementasi SSA dan Tegal City Walk, lebar jalan efektif untuk kendaraan dipangkas menjadi hanya 5 meter.1

Bagaimana bisa memotong lebar jalan lebih dari setengah (pengurangan 58%) justru menyelesaikan kemacetan?

Jawabannya adalah inti dari manajemen rekayasa lalu lintas: efisiensi sebuah jalan tidak ditentukan oleh lebarnya, tetapi oleh minimnya titik konflik. Sistem dua arah di CBD penuh dengan konflik: kendaraan dari arah berlawanan, dan yang lebih buruk, kendaraan yang membelok memotong arus.

Sistem Satu Arah (SSA) menghilangkan konflik paling fatal tersebut. Dan hasilnya, yang dibuktikan oleh penelitian ini, sungguh ajaib:

Meskipun lebar aspal dipotong drastis, kapasitas (daya tampung) aktual Jalan Ahmad Yani justru melonjak. Kapasitas jalan meningkat dari 969 smp/jam (saat masih 12 meter, dua arah) menjadi 1.104 smp/jam (setelah menjadi 5 meter, satu arah).1

Ini adalah lompatan efisiensi sebesar 14%. Bayangkan Anda merenovasi dapur, membuang separuh luas lantainya, namun entah bagaimana desain baru itu memungkinkan Anda memasak 14% lebih banyak makanan secara bersamaan. Itulah yang dicapai Tegal. SSA adalah alur kerja (workflow) yang jauh lebih superior untuk lalu lintas.

 

Hasil yang Mengejutkan: Data Kemenangan Rekayasa Tegal

Data kinerja "setelah" SSA yang disajikan dalam tesis ini sangat dramatis, mengonfirmasi keberhasilan total pertaruhan tersebut.

Jika analisis MKJI 1997 sebelumnya menunjukkan Level Pelayanan E (tercekik), analisis pasca-SSA menunjukkan keruntuhan pada tingkat kejenuhan. Derajat Kejenuhan (DS) di akhir pekan—yang sebelumnya 0,935 (Level E)—jatuh bebas ke 0,420. Di hari kerja, jatuh dari 0,927 ke 0,358.1

Bagi pengemudi, ini adalah perubahan transformasional. Jalan Ahmad Yani melompat dari Level E (arus tidak stabil, macet) ke Level B (arus lalu lintas tetap stabil, pengemudi memiliki kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan mereka).1 Ini mengubah pengalaman berkendara dari frustrasi penuh ketidakpastian menjadi perjalanan yang lancar dan dapat diprediksi.

Namun, data paling mengejutkan datang dari simulasi mikroskopis PTV VISSIM, yang mengukur waktu tundaan (delay).

  • Pada jam puncak hari kerja: Waktu tundaan rata-rata ambruk dari 1,07 detik/kendaraan menjadi hanya 0,08 detik/kendaraan.1
  • Pada jam puncak akhir pekan: Waktu tundaan ambruk dari 1,47 detik/kendaraan menjadi hanya 0,11 detik/kendaraan.1

Penurunan dari 1,07 detik menjadi 0,08 detik adalah pengurangan tundaan sebesar 92,5%. Ini bukan perbaikan; ini adalah eliminasi kemacetan.

Untuk memberi gambaran, lompatan efisiensi ini ibarat Anda biasanya membutuhkan waktu satu jam untuk mengisi baterai ponsel dari 20% ke 100%, dan kini, dengan teknologi baru, Anda bisa melakukannya hanya dalam 5 menit.

Tentu saja, angka-angka simulasi ini terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, penelitian ini memastikan kredibilitasnya. Peneliti melakukan proses kalibrasi dan validasi yang ketat untuk memastikan model VISSIM berperilaku persis seperti lalu lintas di dunia nyata.1

Menggunakan rumus statistik Geoffrey E. Havers (GEH) untuk membandingkan data simulasi dengan data observasi lapangan 1, semua skenario simulasi divalidasi. Hasilnya (misalnya, nilai GEH 2,53; 1,59; 0,40) semuanya jauh di bawah ambang batas kesalahan 5,0.1 Ini membuktikan secara ilmiah bahwa simulasi VISSIM adalah "kembaran digital" yang akurat dari Jalan Ahmad Yani. Kemenangan ini nyata.

 

Opini: Namun, Solusi Jitu Melahirkan Masalah Baru

Laporan ini tidak akan menjadi rilis humas sempurna bagi Pemerintah Kota Tegal. Sebagaimana layaknya sebuah penelitian akademis yang jujur, tesis ini tidak hanya menyoroti keberhasilan "perangkat keras" (hardware) rekayasa, tetapi juga mengungkap masalah baru pada "perangkat lunak" (software) perilaku manusia.1

Pada Bab 5.2 (Saran), penelitian ini memberikan kritik realistis yang krusial. Setelah merekomendasikan sosialisasi kepada publik mengenai perubahan sistem, tesis ini secara spesifik menyoroti masalah baru:

"Hal ini disebabkan oleh banyaknya pengguna jalan, terutama pengendara sepeda motor yang melawan arah." 1

Ini adalah wawasan kunci. Keberhasilan rekayasa teknis telah menggeser masalah dari kemacetan struktural menjadi ketidakpatuhan perilaku.

Mengapa ini terjadi? Meskipun SSA sangat efisien, sistem ini seringkali memaksa pengguna jalan untuk mengambil rute memutar yang lebih jauh untuk mencapai tujuan yang sebenarnya dekat. Kelancaran baru (Level B) dan ruang jalan yang kini terasa lebih lega menciptakan godaan besar bagi pengendara motor untuk "memotong" melawan arus, merusak tatanan yang telah dirancang.

Ini adalah pengingat penting: infrastruktur rekayasa terbaik di dunia pun akan terancam gagal jika tidak didukung oleh "perangkat lunak" berupa edukasi publik yang masif dan, yang terpenting, penegakan hukum yang konsisten. Musuh baru lalu lintas Tegal bukanlah volume kendaraan, tetapi budaya ketidakdisiplinan.

 

Mengapa Temuan Tegal Penting bagi Kota Anda?

Kisah sukses Jalan Ahmad Yani bukan hanya berita lokal untuk Tegal. Ini adalah studi kasus yang terbukti valid secara kuantitatif untuk ratusan CBD di kota-kota lapis kedua dan ketiga di Indonesia yang menghadapi masalah serupa: arteri utama yang tersumbat, dan kepercayaan tradisional bahwa solusinya adalah "pelebaran jalan".

Tesis ini membuktikan mitos itu salah. Tegal melakukan hal sebaliknya: mereka mempersempit ruang kendaraan di jalan utama mereka—dari 12 meter menjadi 5 meter—untuk memberi ruang bagi kehidupan (Tegal City Walk).1 Dan melalui penerapan manajemen rekayasa yang cerdas (SSA), mereka tidak hanya mempertahankan, tetapi justru meningkatkan kapasitas tampung jalan sebesar 14% 1 dan secara virtual menghilangkan kemacetan (pengurangan tundaan 92,5%).1

Bagi para pembuat kebijakan perkotaan, ini adalah cetak biru untuk efisiensi anggaran. Studi ini adalah bukti ilmiah bahwa manajemen yang cerdas jauh lebih murah, lebih cepat, dan lebih efektif daripada pembangunan infrastruktur yang mahal, yang seringkali melibatkan pembebasan lahan yang rumit.

Yang terdampak oleh temuan ini adalah:

  1. Pengguna Jalan Harian: Pengalaman mereka berubah dari stres Level E menjadi kelancaran Level B.
  2. Pemilik Bisnis CBD: Aksesibilitas ke area komersial meningkat drastis.
  3. Pemerintah Kota (di seluruh Indonesia): Mereka kini memiliki studi kasus tervalidasi (baik via MKJI 1997 maupun VISSIM) bahwa solusi kemacetan tidak harus mahal.

 

Kesimpulan: Dampak Nyata dan Langkah Selanjutnya

Evaluasi ilmiah terhadap SSA di Jalan Ahmad Yani Tegal adalah sebuah kisah sukses rekayasa lalu lintas yang luar biasa. Transformasi dari Level Pelayanan E (ambang lumpuh) ke Level B (stabil dan lancar), didukung oleh data simulasi VISSIM yang menunjukkan eliminasi 92,5% waktu tundaan, adalah pencapaian yang patut ditiru.1

Jika model intervensi low-cost high-impact (SSA) yang telah divalidasi VISSIM ini diterapkan secara strategis di arteri-arteri CBD kota lain di Indonesia yang saat ini menderita di Level Layanan E atau F, dampaknya akan sangat besar. Penghematan bahan bakar nasional, pengurangan emisi karbon, dan peningkatan produktivitas ekonomi akibat waktu tempuh yang jauh lebih cepat dapat mencapai triliunan rupiah hanya dalam lima tahun ke depan.

Namun, seperti yang diperingatkan oleh penelitian ini, keberhasilan infrastruktur hanyalah separuh dari cerita. Langkah selanjutnya bagi Tegal—dan bagi kota mana pun yang menirunya—bukan lagi di bidang rekayasa aspal, tetapi rekayasa sosial: edukasi dan disiplin. Jika tidak, kelancaran yang telah dicapai dengan susah payah ini akan dirusak oleh satu pengendara motor yang melawan arah.1

 

Sumber Artikel:

Prihiyandhoko, H. (2023). Evaluasi Manajemen Rekayasa Lalu Lintas Sistem Satu Arah (SSA) Dengan Program VISSIM Pada Ruas Jalan Ahmad Yani Kota Tegal.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Ambang Kelumpuhan: Potret Jalan Ahmad Yani Sebelum Intervensi
« First Previous page 17 of 1.275 Next Last »