Limbah Kontruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025
Limbah Konstruksi: Ancaman Besar di Balik Ledakan Infrastruktur
Indonesia tengah berada dalam periode emas pembangunan infrastruktur. Namun, di balik pertumbuhan pesat tersebut, tersembunyi persoalan serius: limbah konstruksi. Dalam konteks inilah, artikel ilmiah karya Heni Fitriani, Saheed Ajayi, dan Sunkuk Kim (2023), yang diterbitkan di jurnal Sustainability, hadir menyajikan analisis komprehensif tentang penyebab mendasar dari limbah di sektor konstruksi Indonesia. Temuan ini menjadi kunci penting dalam upaya mendorong praktik konstruksi berkelanjutan di negara berkembang seperti Indonesia.
Mengapa Penelitian Ini Penting?
Banyak studi terdahulu fokus pada minimisasi limbah di negara maju, namun sedikit yang menggali akar permasalahan di negara berkembang. Mengingat bahwa Indonesia diprediksi menjadi salah satu pasar konstruksi terbesar dunia pada 2030, kegagalan dalam mengelola limbah konstruksi bisa menimbulkan krisis lingkungan berskala nasional.
Metodologi dan Sampel: Suara dari 468 Profesional Konstruksi Indonesia
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan penyebaran kuesioner daring kepada 468 responden dari berbagai peran di industri konstruksi: arsitek, manajer proyek, insinyur sipil, dosen, hingga pemasok material. Data dianalisis menggunakan analisis faktor eksploratori dan reliabilitas statistik (α = 0.893), yang menunjukkan konsistensi tinggi.
Delapan Akar Utama Limbah Konstruksi di Indonesia
1. Manajemen Lapangan dan SDM yang Buruk (14,2%)
Faktor dominan ini mencakup: distribusi tenaga kerja tidak merata, absensi tinggi, komunikasi terbatas, hingga pekerja pindah tugas sebelum menyelesaikan pekerjaan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan disiplin di proyek konstruksi. Jika dibiarkan, bisa menyebabkan rework, pemborosan waktu, dan kenaikan biaya proyek.
2. Kurangnya Kolaborasi Antar Pemangku Kepentingan (13,2%)
Minimnya koordinasi antara kontraktor, konsultan, dan klien memicu pengambilan keputusan yang keliru, lambannya pembayaran, dan jadwal yang tidak sinkron. Padahal, proyek konstruksi adalah kerja tim lintas entitas.
3. Pengelolaan Peralatan yang Tidak Efektif (9,9%)
Kesalahan dalam pemilihan dan pengoperasian alat, kelebihan alokasi alat berat, serta peralatan rusak, menjadi penyumbang besar limbah. Solusi seperti prefabrikasi dan modularisasi dapat mengurangi limbah hingga 84%.
4. Kelemahan dalam Manajemen Logistik Material (9%)
Penanganan material yang buruk, penggunaan bahan yang salah, dan pembelian yang tidak sesuai kebutuhan menciptakan penumpukan dan pemborosan. Kolaborasi yang kuat dengan pemasok dibutuhkan untuk menyesuaikan pengiriman dengan jadwal proyek.
5. Lingkungan Kerja yang Tidak Kondusif (7%)
Kondisi cuaca ekstrem, vandalisme, dan layout site yang semrawut memperbesar potensi kerusakan material dan penundaan pekerjaan. Perlu desain lapangan yang ergonomis dan aman.
6. Komunikasi yang Buruk di Lapangan (6,8%)
Kurangnya instruksi jelas dari mandor, kekurangan supervisor, dan lemahnya skill komunikasi memicu kesalahpahaman yang berujung pada kesalahan teknis.
7. Perilaku Boros dan Kurangnya Kompetensi (6,7%)
Sikap ceroboh, motivasi rendah, serta kurangnya kesadaran lingkungan menjadi indikator penting. Ini menunjukkan bahwa persoalan budaya kerja dan etika turut berkontribusi terhadap limbah.
8. Kurangnya Pelatihan dan Pengalaman (4,9%)
Minimnya pelatihan formal dalam manajemen limbah membuat tenaga kerja tidak paham prosedur efisien. Hal ini menyulitkan implementasi program waste reduction.
Analisis Tambahan dan Perbandingan Global
Temuan ini sejalan dengan studi di Malaysia, Tiongkok, dan Inggris. Namun, yang membedakan Indonesia adalah dominasi faktor perilaku dan manajerial ketimbang teknis. Negara-negara maju telah menerapkan kebijakan seperti site waste management plans (SWMP) yang mewajibkan tiap proyek memiliki rencana penanganan limbah sejak awal.
Studi Kasus Nyata: Proyek Modular di Hong Kong
Salah satu contoh keberhasilan adalah penggunaan komponen modular di Hong Kong yang mampu menurunkan volume limbah hingga 52%. Jika Indonesia mengadopsi prefabrikasi lebih luas, maka pengurangan limbah bisa terjadi signifikan bahkan di proyek hunian sederhana.
Rekomendasi Strategis bagi Industri Konstruksi Indonesia
Perlu regulasi nasional yang mewajibkan setiap proyek untuk memiliki SWMP.
Baik tentang pengelolaan material, safety, maupun budaya kerja bersih.
BIM bisa digunakan untuk meminimalisasi limbah sejak tahap desain.
Kontraktor yang berhasil menekan limbah diberi bonus. Yang lalai, dikenai penalti.
Pemasok dapat berperan dalam take-back scheme atau pengemasan ulang efisien.
Kritik terhadap Studi
Studi ini sangat kuat dalam metodologi, namun masih memiliki keterbatasan:
Dampak Praktis: Menyasar Zero Waste Construction di 2045?
Jika Indonesia ingin menyambut era bonus demografi dengan lingkungan yang lestari, maka reformasi pengelolaan limbah konstruksi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Temuan Fitriani dkk. bisa menjadi dasar kebijakan nasional menuju konstruksi berkelanjutan. Target zero waste mungkin ambisius, tapi bukan tidak mungkin jika dimulai hari ini.
Sumber:
Fitriani, H., Ajayi, S., & Kim, S. (2023). Analysis of the Underlying Causes of Waste Generation in Indonesia’s Construction Industry. Sustainability, 15(1), 409. DOI:10.3390/su15010409
Perencanaan Hidrologi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025
Pengantar: Ketika Genangan Menjadi Ancaman Rutin
Banjir di wilayah organisasi bukan sekadar gangguan musiman, tetapi bisa menjadi bencana permanen jika sistem drainase tidak memadai. RT 21 Desa Haruru, Kecamatan Amahai, Maluku Tengah, merupakan salah satu kawasan yang sering mengalami genangan dan banjir saat hujan lebat. Ketidaksiapan infrastruktur, terutama saluran drainase, menjadi penyebab utama.
Penelitian oleh Novita Irma Diana Magrib dan Charles J. Tiwery hadir untuk memberikan solusi konkrit berbasis perhitungan teknis. Dengan menggabungkan analisis hidrologi dan hidrolika, mereka merancang sistem drainase yang adaptif terhadap kondisi lokal dan berbagai skenario hujan.
Masalah Utama: Kurangnya Saluran dan Berkurangnya Daya Resap Lahan
Luas wilayah RT 21 mencapai 131.137 m², yang secara status masuk sebagai desa berkembang. Sayangnya, perkembangan ini tidak disebabkan oleh sistem drainase yang memadai. Alih fungsi lahan menyebabkan resapan air berkurang drastis. Akibatnya, saat hujan deras terjadi, air tidak memiliki jalur aliran yang cukup cepat dan menimbulkan genangan.
Fakta ini menekankan pentingnya sistem drainase yang terencana dan sesuai beban hidrologis aktual.
Perencanaan Strategi: Mulai dari Rencana Hujan hingga Bentuk Saluran
1. Analisis Hidrologi: Distribusi Curah Hujan dan Debit Rencana
Penelitian ini memanfaatkan data curah hujan maksimum harian dari BMKG Amahai selama periode 2011–2020. Distribusi Log Pearson Type III dipilih setelah uji menunjukkan kesesuaian metode ini paling sesuai. Hasilnya:
Rencana debit dihitung menggunakan metode rasional:
Q = 0,278 × C × I × A
dengan hasil debit minimum 0,010 m³/detik hingga maksimum 2,737 m³/detik.
2. Waktu Konsentrasi dan Intensitas Hujan
Waktu konsentrasi dihitung dengan pendekatan t₀ + tᵈ, mempertimbangkan permukaan lahan, jarak aliran, serta kemiringan topografi. Intensitas hujan menggunakan rumus Mononobe, yang menghasilkan data penting untuk dimensi saluran.
3. Pemilihan Bentuk dan Ukuran Saluran
Saluran yang dirancang berbentuk persegi, dinilai paling efisien dan mudah diterapkan di area padat. Dimensi bervariasi:
Saluran terbesar (S37) dirancang untuk debit hampir 3,3 m³/detik, menunjukkan skenario ekstrem dapat ditangani.
Hasil Efisiensi: Tinggi dan Konsisten
Salah satu aspek penting dalam studi ini adalah pengukuran efisiensi saluran :
Hasil ini menunjukkan bahwa desain drainase tidak hanya menyesuaikan hujan masa kini, tetapi mengantisipasi perubahan iklim jangka panjang.
Studi Kasus: Saluran S37 dan Tantangan Kapasitas Maksimum
Saluran S37 dirancang untuk menampung beban tertinggi (3,276 m³/detik). Ukurannya besar: tinggi 0,98 m dan lebar 1,96 m. Efisiensi saluran tetap mencapai 100% untuk kala ulang 5 tahun dan masih memadai pada kala ulang 10 tahun.
Kasus ini menunjukkan pentingnya skalabilitas desain —saluran harus mampu menangani limpasan ekstrem tanpa meluap ke jalan atau rumah warga.
Opini dan Nilai Tambah: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
Kritik:
Bandingkan dengan Wilayah Lain:
Kombinasi solusi lokal dengan pendekatan berbasis komunitas dapat memperkuat sistem drainase.
Implikasi Praktis: Bukan Sekadar Saluran, Tapi Ketahanan Wilayah
Penelitian ini menunjukkan bahwa drainase bukan sekedar infrastruktur teknis, tetapi jantung dari ketahanan lingkungan organisasi. Saluran yang mampu menampung debit air tinggi bisa menyelamatkan nyawa, aset, dan kualitas hidup.
Manfaat nyata dari desain drainase optimal:
Kesimpulan: Drainase adalah Investasi, Bukan Beban
Desain saluran drainase di RT 21 Desa Haruru yang dirancang oleh Magrib dan Tiwery adalah contoh penerapan teknik sipil berbasis data dan efisiensi. Dengan dimensi yang disesuaikan untuk berbagai debit, serta efisiensi yang diuji hingga skenario ekstrim, sistem ini terbukti layak diterapkan.
Lebih dari itu, studi ini menjadi pengingat bahwa solusi banjir tidak harus menunggu bencana besar, melainkan dapat dimulai dari pemetaan kecil, perhitungan yang cermat, dan keberanian bertindak sejak dini.
Sumber:
Magrib, NID, & Tiwery, CJ (2023). Perencanaan Saluran Drainase untuk Penanggulangan Banjir (Studi Kasus di RT 21 Desa Haruru Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah) . ARIKA, 17(1), 12–22.
Distribusi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025
Pendahuluan
Dalam lanskap energi modern, jaringan distribusi listrik adalah urat nadi yang membawa listrik dari gardu induk ke setiap rumah tangga dan bisnis. Namun, seiring dengan peningkatan permintaan listrik dan harapan masyarakat akan pasokan yang tanpa henti, keandalan jaringan distribusi menjadi perhatian utama bagi operator jaringan. Pemadaman listrik, bahkan yang singkat sekalipun, dapat menyebabkan ketidaknyamanan, kerugian ekonomi, dan mengikis kepercayaan publik. Untuk mengatasi tantangan ini, integrasi pembangkit terdistribusi (Distributed Generation - DG) telah muncul sebagai solusi menjanjikan. DG, seperti panel surya atap atau turbin angin skala kecil, dapat menghasilkan listrik lebih dekat ke titik konsumsi. Mekanisme ini mengurangi ketergantungan pada jaringan transmisi pusat dan meningkatkan ketahanan lokal.
Makalah ilmiah yang berjudul "Reliability-based DG location using Monte-Carlo simulation technique" oleh Mohd Ikhwan Muhammad Ridzuan, Nur Nabihah Rusyda Roslan, NoorFatin Farhanie Mohd Fauzi, dan Muhammad Adib Zufar Rusli ini menyelami isu krusial mengenai penempatan DG secara strategis dalam jaringan distribusi.
Berbeda dari studi sebelumnya yang seringkali memprioritaskan pada aspek tenis seperti pengurangan rugi-rugi atau peningkatan profil tegangan, penelitian ini secara eksplisit berfokus pada peningkatan kinerja keandalan, baik dari perspektif sistem maupun pelanggan. Dengan memanfaatkan teknik simulasi Monte Carlo yang telah teruji, makalah ini mengilustrasikan bagaimana penempatan DG yang cerdas dapat menjadi pilar utama untuk jaringan distribusi yang lebih tangguh dan efisien.
Urgensi Keandalan Jaringan Distribusi di Era Modern
Sebelum kita menggali lebih dalam metodologi yang diusulkan, mari kita pahami mengapa keandalan jaringan distribusi menjadi begitu sentral dalam operasi perusahaan listrik dan ekspektasi konsumen.
Makalah ini secara tepat menyoroti bahwa meskipun manfaat lain dari DG (seperti pengurangan rugi-rugi daya dan peningkatan profil tegangan) telah banyak diteliti, aspek keandalan yang fundamental ini seringkali kurang mendapat perhatian dalam konteks penempatan optimal.
Memahami Indikator Keandalan Kritis
Untuk menilai keandalan, makalah ini menggunakan dua kategori indikator utama yang diakui secara luas dalam industri:
Dengan mengukur dan membandingkan indikator-indikator ini sebelum dan sesudah penempatan DG, para peneliti dapat secara kuantitatif menunjukkan peningkatan keandalan yang dicapai.
Kekuatan Simulasi Monte Carlo dalam Penilaian Keandalan
Makalah ini menggunakan teknik simulasi Monte Carlo untuk menilai kinerja keandalan jaringan. Mengapa Monte Carlo menjadi pilihan yang tepat untuk tugas ini?
Simulasi Monte Carlo adalah pendekatan berbasis probabilitas yang menggunakan pengambilan sampel acak untuk mensimulasikan peristiwa tak terduga dalam sistem. Dalam konteks keandalan jaringan distribusi, ini berarti:
Meskipun Monte Carlo dikenal intensif komputasi, fleksibilitasnya dalam memodelkan sistem yang kompleks dan ketidakpastian menjadikannya alat yang tak tergantikan dalam penilaian keandalan.
Studi Kasus: Jaringan Distribusi Urban dan Suburban
Untuk mendemonstrasikan efektivitas metodologi yang diusulkan, para peneliti menerapkan model mereka pada dua jenis jaringan distribusi yang umum:
Penerapan pada kedua jenis jaringan ini sangat penting karena karakteristik keandalan dan dampak penempatan DG dapat sangat bervariasi antara tingkat tegangan yang berbeda. Misalnya, kegagalan pada jaringan MV cenderung memengaruhi lebih banyak pelanggan daripada kegagalan pada jaringan LV individual.
Meskipun makalah ini tidak menyajikan angka spesifik dari setiap simulasi dalam abstrak, temuan utamanya menegaskan bahwa penempatan DG, baik di jaringan MV maupun LV, secara konsisten menunjukkan peningkatan kinerja keandalan. Ini adalah hasil yang sangat berarti bagi DNOs yang ingin memenuhi target regulasi dan meningkatkan kepuasan pelanggan.
Implikasi dari temuan ini sangat besar. Misalnya, jika sebuah jaringan MV memiliki SAIDI sebesar 250 menit/pelanggan/tahun, penempatan DG yang optimal mungkin dapat mengurangi angka ini menjadi 150 menit/pelanggan/tahun. Ini bukan hanya angka di atas kertas; ini berarti ribuan pelanggan mengalami pemadaman yang lebih jarang dan lebih singkat.
Analisis Mendalam dan Nilai Tambah: Membangun Jaringan yang Lebih Tangguh
Makalah ini tidak hanya menyajikan hasil, tetapi juga membuka peluang untuk analisis dan inovasi lebih lanjut:
Beyond Hanya Lokasi: Optimalisasi Ukuran dan Teknologi DG: Meskipun makalah ini berfokus pada lokasi, penelitian di masa depan berpontensi memperluas kerangka kerja ini untuk secara bersamaan mengoptimalkan ukuran (kapasitas) dan jenis teknologi DG (misalnya, surya, angin, baterai penyimpanan) untuk hasil keandalan terbaik. Lokasi optimal untuk surya mungkin berbeda dari lokasi optimal untuk penyimpanan baterai karena karakteristik operasionalnya yang berbeda.
Integrasi Aspek Ekonomi: Meskipun fokus utama makalah ini adalah keandalan, penempatan DG juga memiliki implikasi ekonomi yang signifikan (biaya instalasi, biaya operasional, pendapatan dari penjualan listrik). Penelitian di masa depan dapat mengintegrasikan analisis biaya-manfaat keandalan yang lebih mendalam, termasuk nilai ekonomi dari pengurangan downtime melalui Cost of Customer Interruption (COCI), untuk mencapai solusi penempatan yang paling ekonomis.
Pertimbangan Regulasi dan Kebijakan: Kebijakan energi dan insentif regulasi memainkan peran besar dalam adopsi dan penempatan DG. Makalah ini secara implisit mendukung argumen bagi pembuat kebijakan untuk menyediakan kerangka kerja yang mendukung investasi DG, khususnya yang berfokus pada peningkatan keandalan. Misalnya, program insentif yang memberikan poin bonus atau kompensasi kepada DNOs yang mencapai peningkatan keandalan signifikan melalui DG.
Resiliensi Terhadap Peristiwa Ekstrem: Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya frekuensi peristiwa cuaca ekstrem (badai, banjir), kemampuan DG untuk menciptakan microgrid atau beroperasi dalam mode islanded (terisolasi dari jaringan utama) menjadi semakin penting untuk resiliensi. Makalah ini menyediakan fondasi untuk penelitian yang lebih jauh tentang bagaimana penempatan DG yang optimal dapat meningkatkan kemampuan jaringan untuk pulih lebih cepat dari gangguan besar.
Keterkaitan dengan Active Distribution Networks: Dengan semakin banyaknya DG yang terhubung, jaringan distribusi bertransformasi dari jaringan pasif menjadi Active Distribution Networks (ADN). Dalam ADN, aliran daya bisa dua arah, dan ada kebutuhan untuk kontrol yang lebih canggih. Makalah ini berkontribusi pada pemahaman tentang bagaimana merancang ADN yang andal, menyoroti pentingnya mempertimbangkan keandalan sejak awal dalam perencanaan dan operasional.
Perbandingan dengan Penelitian Lain: Makalah ini memperkuat temuan dari penelitian sebelumnya yang mendukung manfaat DG terhadap keandalan. Namun, penekanannya pada penggunaan Monte Carlo untuk menilai kedua indikator sistem dan pelanggan secara bersamaan, serta penerapannya pada jaringan MV dan LV di area suburban, memberikan nilai tambah yang unik. Banyak penelitian mungkin hanya berfokus pada satu jenis indikator atau satu jenis jaringan.
Tantangan dan Arah Penelitian Masa Depan: Beberapa tantangan masih ada. Bagaimana mengatasi kompleksitas komputasi Monte Carlo untuk jaringan yang sangat besar? Apakah ada cara untuk mengintegrasikan optimasi berbasis metaheuristik (misalnya, algoritma genetik, optimasi partikel) dengan Monte Carlo untuk mencari lokasi optimal dengan lebih cepat? Bagaimana memodelkan dampak intermitensi DG (misalnya, variasi output surya atau angin) secara lebih akurat dalam penilaian keandalan? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah area yang matang untuk penelitian lebih lanjut.
Kesimpulan: Membangun Jaringan yang Lebih Kuat dengan DG yang Terlokasi Strategis
Makalah "Reliability-based DG location using Monte-Carlo simulation technique" oleh Muhammad Ridzuan dan rekan-rekannya adalah kontribusi yang relevan dan berharga bagi bidang rekayasa sistem tenaga. Dengan secara eksplisit berfokus pada peningkatan keandalan melalui penempatan pembangkit terdistribusi, dan dengan memanfaatkan kekuatan simulasi Monte Carlo, mereka telah menunjukkan peta jalan yang jelas bagi DNOs untuk memenuhi target regulasi sekaligus meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan.
Temuan bahwa penempatan DG secara konsisten meningkatkan kinerja keandalan di berbagai tingkat jaringan (MV dan LV) adalah pesan penting. Ini bukan hanya tentang menambahkan sumber daya, tetapi tentang menempatkannya secara strategis untuk memaksimalkan manfaat. Pada akhirnya, penelitian ini memperkuat arah pengembangan jaringan distribusi menuju sistem yang lebih cerdas, tangguh, dan andal. Suatu prasyarat penting bagi masyarakat modern yang kian bergantung pada pasokan listrik berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Muhammad Ridzuan, M.I., Ruslan, N.N.R., Fauzi, N.F.F.M. et al. Reliability-based DG location using Monte-Carlo simulation technique. SN Appl. Sci. 2, 145 (2020). DOI: 10.1007/s42452-019-1609-7
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025
Pendahuluan
Produktivitas tenaga kerja konstruksi masih menjadi tantangan besar di Indonesia, bahkan di daerah sepesat Bali yang tengah berkembang pesat secara infrastruktur. Dalam konteks inilah, penelitian yang dilakukan oleh Komang Gde Krisna Maha dan timnya dari Politeknik Negeri Bali menjadi relevan dan penting. Melalui kajian atas pengaruh kompetensi dan motivasi terhadap produktivitas, serta analisis perbandingan koefisien tenaga kerja lapangan dengan standar SNI 2022, studi ini memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan praktik konstruksi nasional.
Latar Belakang Masalah
Menurut BPS (2018), lebih dari 18,57% proyek konstruksi mengalami keterlambatan. Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya kompetensi tenaga kerja. Ironisnya, dari sekitar 4,9 juta pekerja konstruksi di Indonesia, hanya sekitar 3% yang telah memiliki sertifikat keahlian. Ini menegaskan adanya kesenjangan serius antara kebutuhan keterampilan dan kenyataan di lapangan.
Dalam proyek pembangunan Villa Jimbaran Greenhill R.13, penelitian ini bertujuan mengukur sejauh mana kompetensi dan motivasi individu dapat meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Hal ini dilakukan untuk menciptakan pendekatan produktivitas berbasis data yang relevan dan kontekstual.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelatif dengan 30 responden. Data dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara, dan observasi lapangan.
Instrumen pengumpulan data telah diuji validitas dan reliabilitasnya:
Semua item kuesioner menunjukkan nilai r-hitung > r-tabel.
Cronbach’s Alpha untuk seluruh variabel di atas 0,76 (termasuk reliabel).
Analisis dilakukan menggunakan regresi linier berganda dan perbandingan koefisien tenaga kerja lapangan dengan acuan SNI 2022.
Temuan Utama: Kompetensi, Motivasi, dan Produktivitas
A. Hasil Regresi dan Uji Statistik
Kompetensi kerja (X1) berpengaruh signifikan terhadap produktivitas (t-hitung 4,218 > t-tabel 2,048).
Motivasi kerja (X2) juga berpengaruh signifikan (t-hitung 2,808 > t-tabel 2,048).
Nilai R-Square sebesar 0,936, menunjukkan bahwa 93,6% variasi produktivitas dijelaskan oleh kedua variabel tersebut.
B. Hasil Analisis Deskriptif
Rata-rata skor kompetensi: 4,20 (kategori setuju).
Rata-rata skor motivasi: 4,18.
Rata-rata produktivitas: 4,19.
Dengan nilai yang tinggi dan saling terkait, hasil ini menunjukkan bahwa meningkatkan kompetensi dan motivasi secara simultan akan memberikan hasil nyata pada produktivitas proyek.
Studi Kasus: Perbandingan Upah Riil vs SNI
Penelitian ini juga membandingkan selisih upah tenaga kerja berdasarkan dua pendekatan koefisien:
1. Pemasangan Bata Ringan (10 cm):
Total biaya lapangan: Rp 22.200/m2
Total biaya menurut SNI: Rp 233.620/m2
Selisih: Rp 211.400/m2 atau 90% lebih tinggi menurut SNI
2. Plesteran Dinding (20 mm):
Total biaya lapangan: Rp 24.280/m2
Total biaya menurut SNI: Rp 65.680/m2
Selisih: Rp 41.400/m2 atau 63% lebih tinggi menurut SNI
Temuan ini menunjukkan adanya potensi pemborosan biaya jika hanya mengandalkan standar tanpa mempertimbangkan realisasi lapangan. Selain itu, menjadi penting bahwa standar nasional harus fleksibel dan adaptif terhadap kondisi aktual proyek.
Nilai Tambah dan Refleksi Industri
A. Kontribusi Studi:
Memberikan dasar empiris untuk kebijakan peningkatan kompetensi tenaga kerja.
Menyediakan data pembanding aktual yang dapat digunakan dalam estimasi biaya konstruksi.
B. Kritik dan Keterbatasan:
Jumlah responden terbatas (30 orang), kurang representatif untuk generalisasi nasional.
Studi dilakukan hanya pada satu proyek dan belum memperhitungkan faktor eksternal seperti cuaca, teknologi, atau manajemen proyek.
C. Perbandingan Penelitian Lain:
Penelitian ini konsisten dengan hasil studi oleh Mariana et al. (2018) yang juga menegaskan bahwa motivasi kerja berkorelasi positif dengan produktivitas. Hal serupa juga ditemukan oleh Prasetyo (2022) dan Agassy (2019) dalam kajian perbandingan koefisien lapangan vs SNI.
Implikasi Praktis
Bagi kontraktor: Perlu dilakukan penyesuaian estimasi biaya berdasarkan observasi realisasi lapangan.
Bagi pemerintah: Diperlukan revisi reguler terhadap SNI agar tetap relevan dan tidak menyebabkan overestimasi.
Bagi pendidikan vokasi: Perlu memperbanyak program sertifikasi untuk tenaga kerja konstruksi.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kompetensi dan motivasi memiliki pengaruh kuat terhadap produktivitas tenaga kerja konstruksi. Dengan kontribusi 93,6% terhadap variasi produktivitas, dua faktor ini layak menjadi prioritas dalam pelatihan dan pengelolaan sumber daya manusia proyek.
Selain itu, analisis terhadap selisih koefisien biaya lapangan dan SNI menegaskan perlunya pendekatan biaya berbasis realita, bukan sekadar standar.
Penelitian ini membuka ruang untuk riset lanjutan yang lebih luas, lintas proyek dan daerah, guna mendukung pengambilan keputusan berbasis data di sektor konstruksi Indonesia.
Sumber:
Komang Gde Krisna Maha, Lilik Sudiajeng, I Made Anom Santiana. (2023). Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Kerja terhadap Produktivitas serta Koefisien Tenaga Kerja pada Proyek Pembangunan Villa Jimbaran Greenhill R.13. Politeknik Negeri Bali.
Studi Gender dan Budaya
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025
Pendahuluan: Memahami Warisan Lewat Kacamata Gender
Distribusi warisan dalam masyarakat tradisional seringkali menjadi refleksi dari struktur sosial, relasi kekuasaan, dan norma budaya yang mengakar. Dalam konteks Bali, distribusi properti tidak semata menyangkuy kepemilikan harta, tetapi juga melibatkan makna simbolik dan posisi gender dalam keluarga. Artikel "Gender and the Intergenerational Transmission of Property in Rural Bali" karya Ida Ayu Grhamtika Saitya menyoroti kompleksitas pembagian warisan di masyarakat pedesaan Bali, sekaligus mengungkap bagaimana perubahan sosial memengaruhi norma-norma tradisional dalam pembagian hak kepemilikan.
Struktur Sosial Bali dan Sistem Patrilineal (H2)
Norma Tradisional: Warisan untuk Anak Laki-laki (H3)
Dalam sistem kekerabatan patrilineal yang dominan di Bali, anak laki-laki secara tradisional dianggap sebagai pewaris utama. Hal ini berakar pada konsep bahwa laki-laki akan tetap tinggal di rumah asal dan menjaga pura keluarga, sementara perempuan akan "keluar" dari keluarga saat menikah. Dalam praktiknya:
Anak laki-laki menerima tanah warisan dan rumah adat.
Anak perempuan hanya mendapatkan "pembekalan" berupa barang bergerak saat menikah.
Posisi Perempuan dalam Tradisi Bali (H3)
Perempuan tidak diharapkan untuk menjadi ahli waris penuh, bahkan ketika mereka secara ekonomi berkontribusi dalam keluarga. Konsepsi bahwa perempuan adalah "tamu" dalam keluarga asal memperkuat eksklusi mereka dari hak kepemilikan penuh.
Perubahan Sosial dan Negosiasi Gender (H2)
Modernisasi dan Mobilitas Sosial (H3)
Penelitian Saitya mengungkap bahwa urbanisasi dan pendidikan mendorong perubahan cara pandang masyarakat terhadap gender dan warisan. Dalam keluarga yang memiliki lebih dari satu anak perempuan, muncul praktik kompromi:
Warisan dibagi merata antara anak laki-laki dan perempuan.
Anak perempuan diberikan tanah sebagai bentuk investasi masa depan.
Studi Kasus: Negosiasi dalam Pembagian Tanah (H3)
Salah satu informan perempuan berhasil mendapatkan sebidang tanah dari orang tuanya sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya selama merawat orang tua. Ini menjadi bukti bahwa:
Norma patriarkal tidak lagi mutlak.
Ada ruang negosiasi dalam keluarga berbasis dialog.
Ketimpangan Hak dan Praktik Hukum (H2)
Peran Hukum Adat vs Hukum Nasional (H3)
Hukum adat Bali cenderung memperkuat sistem patriarkal, sementara hukum nasional Indonesia membuka peluang kesetaraan gender. Namun dalam praktik:
Hukum adat masih dominan dalam penyelesaian sengketa warisan.
Perempuan yang menggugat hak warisan sering dianggap menyalahi norma.
Ketegangan antara Norma dan Realitas (H3)
Beberapa perempuan memilih tidak menuntut hak waris demi menjaga harmoni keluarga, meskipun mereka secara hukum berhak. Di sisi lain, keluarga yang lebih terbuka cenderung menerapkan prinsip keadilan berbasis kebutuhan dan kontribusi.
Analisis Teoritis dan Implikasi Sosial (H2)
Perspektif Feminisme dan Struktur Kekuasaan (H3)
Penelitian ini menggunakan lensa teori gender dan feminisme untuk membedah:
Bagaimana struktur kekuasaan dibentuk melalui warisan.
Peran perempuan yang dibatasi oleh norma tradisional dan simbolik.
Dampak pada Emansipasi Perempuan Bali (H3)
Dengan meningkatnya pendidikan dan kesadaran hukum, perempuan Bali mulai:
Menegosiasikan haknya secara aktif.
Mengembangkan strategi hukum maupun sosial untuk mengakses properti.
Rekomendasi dan Relevansi Praktis (H2)
Bagi Pemerintah dan Aparat Desa:
Perlu edukasi hukum waris berbasis gender.
Pelatihan mediasi konflik keluarga berbasis kesetaraan.
Bagi Aktivis dan Akademisi:
Dorongan untuk mendokumentasikan praktik alternatif yang lebih setara.
Membuat model kebijakan lokal yang menyelaraskan adat dan hukum nasional.
Kesimpulan: Menuju Sistem Waris yang Lebih Inklusif (H2)
Penelitian ini membuka ruang diskusi kritis tentang bagaimana perubahan sosial dan kesadaran gender mempengaruhi distribusi warisan. Meskipun sistem adat masih kuat, terdapat tanda-tanda perubahan menuju praktik yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan. Perubahan ini harus didukung oleh pendidikan, kebijakan, dan kesadaran kolektif agar transmisi properti di masa depan tidak lagi timpang berdasarkan gender.
Sumber
Saitya, Ida Ayu Grhamtika. (2022). Gender and the Intergenerational Transmission of Property in Rural Bali.
Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025
Mengapa Isu Keberlanjutan dalam Perencanaan Proyek Begitu Krusial?
Dalam dunia konstruksi modern, tekanan untuk menjalankan proyek secara efisien dan bertanggung jawab terhadap lingkungan semakin tinggi. Di tengah krisis iklim dan percepatan urbanisasi, pendekatan konstruksi berkelanjutan bukan hanya tren, tapi sebuah keniscayaan. Khususnya pada tahap perencanaan di mana visi proyek dirumuskan keputusan yang diambil akan menentukan seberapa ramah lingkungan dan inklusif hasil akhirnya.
Dalam konteks inilah skripsi Nur Afifah Tri Ramadhani Surahman mengambil posisi penting. Melalui studi pada proyek Polder Green Garden di Jakarta, peneliti mengevaluasi seberapa dalam prinsip keberlanjutan tertanam dalam perencanaan proyek design and build, dan bagaimana kriteria keberlanjutan tersebut diprioritaskan dengan pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP).
Polder Green Garden: Proyek Strategis Pengendali Banjir
Polder Green Garden bukan sembarang proyek. Ia dibangun sebagai solusi sistemik atas banjir yang kerap melanda kawasan Kedoya Utara, Jakarta Barat, terutama saat luapan Kali Angke dan Mookervart tak lagi terbendung. Dengan sistem drainase tertutup dan pompa raksasa, polder ini menjadi bagian dari infrastruktur krusial ibukota.
Menariknya, pembangunan polder kini tidak lagi semata-mata berorientasi pada fungsi teknis, melainkan juga mengintegrasikan prinsip keberlanjutan mulai dari pelibatan masyarakat hingga upaya konservasi sumber daya.
Mengapa AHP?
Analytic Hierarchy Process (AHP) dipilih sebagai metode karena mampu memetakan kompleksitas pengambilan keputusan multikriteria. Melalui perbandingan berpasangan (pairwise comparison), AHP memudahkan peneliti menentukan prioritas dari berbagai aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi secara kuantitatif.
Sumber Data
Sumber primer: Kuesioner kepada para profesional proyek
Sumber sekunder: Regulasi seperti Permen PUPR No. 9 Tahun 2021 tentang Konstruksi Berkelanjutan
Hasil: Apa yang Paling Penting dalam Perencanaan Berkelanjutan?
Dari hasil AHP, bobot terbesar justru berasal dari aspek yang selama ini sering diabaikan: Kenyamanan dan Kesehatan (0.40). Artinya, desain proyek yang memperhatikan kualitas udara, pencahayaan, aksesibilitas, dan kenyamanan pengguna menempati prioritas tertinggi.
Catatan Penting:
Sub-kriteria seperti konservasi air, energi, dan partisipasi masyarakat memiliki bobot yang kecil (0.01–0.02).
Namun, meskipun bobotnya kecil, elemen-elemen ini tetap wajib hadir untuk mencapai triple bottom line keberlanjutan: sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Tinjauan Kritis: Apakah Sudah Cukup?
Kelebihan Penelitian:
Menggunakan AHP untuk memetakan prioritas keberlanjutan secara kuantitatif
Berbasis pada proyek nyata dengan tantangan kompleks (banjir perkotaan)
Memperhatikan peraturan nasional dan lokal dalam sektor konstruksi berkelanjutan
Kritik dan Saran:
Belum menyentuh aspek digital seperti BIM untuk mendukung keputusan berbasis data
Perlu studi lanjutan pada fase implementasi dan operasional (post-occupancy)
Disarankan menambahkan dimensi resilience terhadap perubahan iklim, bukan sekadar keberlanjutan
Implikasi Nyata: Apa yang Bisa Diambil dari Studi Ini?
Bagi Pemerintah:
Harus memperkuat regulasi teknis dalam pengadaan D&B agar menekankan aspek keberlanjutan
Perlu mendorong integrasi perencanaan partisipatif dalam proyek-proyek publik
Bagi Profesional:
Tim perencana harus mulai menjadikan kenyamanan pengguna dan interaksi sosial sebagai bagian dari KPI proyek
Manajemen proyek harus menggunakan AHP atau metode serupa untuk memprioritaskan sumber daya
Bagi Dunia Akademik:
Studi ini membuka jalan bagi riset kuantitatif lanjutan tentang keberlanjutan berbasis fase proyek
Menawarkan model aplikatif berbasis data untuk mengevaluasi aspek non-teknis dalam proyek infrastruktur
Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian ini menguatkan temuan dari Aghimien et al. (2019) yang menunjukkan bahwa keberlanjutan dalam tahap perencanaan jauh lebih menentukan daripada implementasi teknis semata. Namun skripsi ini melangkah lebih jauh dengan memasukkan konteks lokal (Jakarta) dan skenario aktual (pengendalian banjir), menjadikannya sangat relevan bagi tata kota tropis.
Kesimpulan: Perencanaan adalah Pondasi Keberlanjutan
Keberlanjutan dalam proyek konstruksi bukan hanya soal panel surya atau toilet hemat air .Fondasinya justru diletakkan sejak perencanaan awal ketika orientasi bangunan, tata tapak, material, dan sistem utilitas ditentukan.
Melalui penelitian ini, jelas bahwa proyek design and build seperti Polder Green Garden tidak hanya bisa efisien secara teknis, tetapi juga dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan secara sistematis sejak tahap awal. Asalkan, prioritasnya diletakkan pada apa yang benar-benar penting: manusia, lingkungan, dan nilai ekonomi jangka panjang.
Sumber
Surahman, N. A. T. R. (2023). Penerapan Konstruksi Berkelanjutan pada Tahapan Perencanaan pada Kontrak Rancang dan Bangun (Studi Kasus: Proyek Polder Green Garden Wilayah DKI Jakarta). Skripsi, Universitas Hasanuddin.