teknologi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 06 November 2025
Saya Sering Jalan Kaki di Jakarta. Sebuah Paper Baru Membuat Saya Takut pada Masa Depan.
Saya pejalan kaki. Di kota yang didominasi mobil seperti Jakarta, itu terasa seperti pernyataan politik sekaligus pilihan moda transportasi. Setiap hari adalah latihan kewaspadaan. Saya menavigasi trotoar yang tidak rata, menghindari motor yang melawan arah, dan menahan napas saat menyeberang jalan—berharap pengemudi yang sedang menatap ponselnya itu juga melihat saya.
Seperti banyak orang, saya menaruh harapan pada teknologi. Saya membayangkan masa depan sci-fi di mana Connected and Automated Vehicles (CAVs)—mobil otonom yang canggih—akan datang menyelamatkan kita. Mereka akan menggantikan "human error" yang fana dan berbahaya dengan presisi algoritma yang dingin dan aman.
Lalu, saya membaca sebuah paper penelitian, dan optimisme naif saya hancur berkeping-keping.
Paper itu berjudul "A transport justice approach to integrating vulnerable road users with automated vehicles". Judul yang kering, tapi isinya eksplosif. Jauh dari kata menyelamatkan kita, paper ini menyajikan argumen yang meresahkan: bahwa teknologi CAV, yang "diharapkan merevolusi transportasi," sebenarnya berisiko "memperburuk ketidakadilan (inequities) dan disparitas keselamatan" bagi orang-orang seperti saya—pejalan kaki, pengendara sepeda, lansia, dan penyandang disabilitas.
Kelompok ini disebut Vulnerable Road Users (VRUs), atau Pengguna Jalan Rentan. Dan ternyata, masa depan otonom mungkin tidak dirancang untuk mereka.
Para peneliti (Martínez-Buelvas dkk.) melakukan sesuatu yang radikal: mereka menganalisis CAV bukan dari kacamata efisiensi, tapi dari kacamata "Keadilan Transportasi" (Transport Justice).
Bayangkan jika kamu mengatur waktu kerja di kantormu seperti para peneliti di sini. Logika lama (utilitarian) hanya akan bertanya, "Seberapa cepat kita bisa menyelesaikan tugas ini?". Tapi pendekatan Keadilan Transportasi bertanya, "Apakah beban kerja ini dibagi secara adil? Apakah semua orang, termasuk staf junior, punya akses yang sama ke sumber daya untuk berhasil?".
Ini adalah pergeseran dari sekadar cost-benefit menjadi fokus pada manusia. Paper ini menggunakan tiga pilar :
Equality (Kesetaraan): Apakah pejalan kaki dan mobil punya status yang sama di jalan?
Fairness (Keadilan): Apakah manfaat (keamanan) dan beban (risiko) didistribusikan secara adil?
Access (Akses): Apakah semua orang bisa menggunakan sistem ini, terutama kelompok rentan?
Ketika para peneliti menggunakan lensa ini untuk melihat CAVs, mereka menemukan tujuh area di mana kita gagal total. Ini bukan sekadar bug teknis; ini adalah kegagalan nilai yang sistemik.
Tujuh Dosa Keadilan yang Disembunyikan Mobil Otonom
Ini adalah inti dari paper tersebut. Para peneliti mengidentifikasi tujuh isu keadilan spesifik yang mengancam VRU. Ini adalah eksplorasi tentang bagaimana teknologi yang kita bangun mencerminkan—atau mengabaikan—nilai-nilai kemanusiaan kita.
H3: #1. Janji Surga Keselamatan (Tapi Hanya Jika Anda di Dalam Mobil)
Masalah pertama adalah Keterlibatan Kecelakaan atau Cedera Lalu Lintas.
Narasinya jelas: 90% kecelakaan disebabkan oleh human error, jadi hilangkan manusianya, maka kecelakaan akan hilang. Tapi paper ini mengingatkan kita bahwa VRU sudah menanggung beban yang tidak proporsional.
Secara global, lebih dari 1,3 juta orang tewas di jalan setiap tahun. VRU—pejalan kaki, pengendara sepeda, dan pengendara motor—menyumbang lebih dari setengah dari semua kematian tersebut.
Secara spesifik: Pejalan kaki dan pengendara sepeda menyumbang 26% kematian global, sementara pengendara motor 28%.
Di AS (2020), 6.236 pejalan kaki tewas (16,12% dari total).
Di Australia (2021), 134 pejalan kaki tewas (11,88% dari total).
Janji surga CAV adalah angka-angka ini akan turun drastis. Realitasnya? Paper ini menyatakan bahwa sistem otonom saat ini "kesulitan mengidentifikasi VRU".
Kita semua tahu contoh tragisnya: insiden fatal Uber di Tempe, Arizona, pada Maret 2018, di mana kendaraan otonom menabrak dan menewaskan seorang pejalan kaki. Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS (NTSB) menemukan bahwa sistem otomatis kendaraan "gagal mengidentifikasi korban" sebagai bahaya tabrakan yang akan segera terjadi.
Dan inilah poin kuncinya: paper ini berargumen bahwa kegagalan ini bukanlah bug yang terisolasi. Ini adalah hasil dari prioritas yang salah. Para peneliti menyatakan bahwa "produsen CAV belum membuat kemajuan signifikan dalam sistem perlindungan pejalan kaki" karena mereka "terlalu sibuk menangani aspek teknis otomasi kendaraan".
Ketidakadilan utama yang sudah ada—yaitu bahwa pejalan kaki menanggung "paparan yang tidak setara terhadap risiko bahaya fisik" —ternyata tidak sedang diselesaikan. Ia sedang diotomatisasi.
H3: #2. Teknologi Baru, Aturan Lama: "Salah Pejalan Kaki"
Masalah kedua adalah Dampak pada pembagian tanggung jawab di jalan.
Jika Anda seorang pejalan kaki, Anda pasti tahu perasaan ini. Ketika Anda nyaris tertabrak, sering kali respons pengemudi adalah klakson atau makian—seolah-olah Anda yang salah karena berada di jalan mereka.
Paper ini mengungkap bahwa mentalitas "salah pejalan kaki" ini sedang dikodekan ke dalam kebijakan masa depan. Ada tren yang meresahkan di mana "kebijakan saat ini tampaknya mendukung harapan bahwa VRU harus mengubah perilaku mereka agar tetap aman di sekitar CAV".
Ini adalah detail yang paling membuat saya geram: Pemerintah AS dilaporkan mendanai "teknologi beacon yang harus dikenakan oleh pejalan kaki agar dapat dideteksi oleh CAV".
Ini gila. Ini seperti menyalahkan zebra karena tidak memakai rompi neon di sabana. Alih-alih menuntut mobil triliunan dolar untuk menjadi lebih pintar dan mampu melihat manusia, kita malah meminta manusia (yang tidak mendapat keuntungan apa-apa) untuk memakai gadget tambahan agar tidak terbunuh oleh mereka.
Para peneliti menyebut ini sebagai "pergeseran tanggung jawab kecelakaan dari CAV ke VRU". Ini adalah kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi. Laporan etika (Horizon 2020) yang dikutip dalam paper ini dengan jelas merekomendasikan bahwa "CAV harus beradaptasi dengan perilaku mereka di sekitar VRU dan bukan sebaliknya".
Teknologi beacon itu adalah penyerahan diri secara moral. Kita secara teknis dan hukum mengkodifikasi prioritas mesin atas manusia.
H3: #3. Jalan Kita Akan Semakin Sempit
Masalah ketiga: Pengurangan ruang di jalan yang tersedia untuk VRU.
Sederhananya begini: CAV bisa membuat perjalanan menjadi sangat nyaman dan murah (bayangkan Anda bisa tidur, bekerja, atau menonton film). Apa yang terjadi jika sesuatu menjadi terlalu nyaman? Orang akan lebih sering menggunakannya.
Paper ini memperingatkan bahwa adopsi CAV yang meluas dapat "meningkatkan volume lalu lintas" , yang pada gilirannya dapat "semakin mengurangi ruang jalan yang tersedia untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda".
Ini memperburuk masalah yang sudah ada. Paper ini mengutip penelitian lain yang menemukan "ketidakseimbangan dalam prioritas ruang" di mana mobil sudah terlalu mendominasi. Lebih buruk lagi, beberapa proposal kebijakan untuk mengakomodasi CAV adalah dengan menciptakan "jalur khusus" (dedicated lanes) untuk mereka.
Dari mana ruang untuk jalur khusus itu berasal? Tentu saja, dari ruang yang ada—kemungkinan besar dengan mengorbankan trotoar, jalur sepeda, atau jalur hijau. Ini adalah kerugian ganda bagi VRU: kita mendapatkan lebih banyak lalu lintas dan lebih sedikit ruang untuk melarikan diri darinya.
H3: #4. Apa yang Paling Mengejutkan Saya: Saat Algoritma Terbukti Rasis
Masalah keempat adalah Akses ke teknologi untuk melindungi atau memperingatkan VRU.
Ini adalah bagian di mana saya harus berhenti membaca sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Ada dua temuan bom di sini.
Pertama, paper ini dengan gamblang menyatakan: "teknologi CAV dapat meningkatkan ketidakadilan rasial... mayoritas algoritma AV terutama dilatih dengan gambar orang kulit putih.". Konsekuensinya? "CAV dapat mengenali pejalan kaki kulit putih secara lebih akurat daripada pejalan kaki dengan kulit lebih gelap".
Mari kita pahami ini: sistem keselamatan yang dirancang untuk masa depan secara inheren bias dan lebih mungkin membahayakan orang kulit berwarna.
Kedua, paper ini menyoroti "solusi" yang diusulkan industri, seperti paten yang diajukan oleh Ford. Paten ini menjelaskan metode di mana CAV dapat mengirim pesan ke ponsel pejalan kaki di dekatnya yang berbunyi, "Saya tidak akan berhenti di penyeberangan jalan".
Ini adalah puncak arogansi teknologi. Alih-alih memperbaiki sistem agar mobil bisa berhenti untuk manusia, solusinya adalah memberi tahu manusia untuk menyingkir. Ini adalah pesan yang jelas: properti (mobil) lebih penting daripada nyawa Anda (pejalan kaki).
H3: #5. Mimpi Indah (Tapi Mahal) untuk Lansia dan Difabel
Masalah kelima: Akses ke layanan, otonomi, dan inklusi untuk penyandang disabilitas dan lansia.
Ini adalah ketidakadilan yang paling ironis. Kelompok yang paling sering disebut sebagai pembenaran moral untuk CAV adalah mereka yang tidak bisa mengemudi: lansia dan penyandang disabilitas. Narasi ini menjanjikan bahwa CAV akan memberi mereka akses ke "pekerjaan, pendidikan, dan layanan perawatan kesehatan".
Dan kebutuhannya sangat besar. Menurut data WHO yang dikutip dalam paper :
Lebih dari 1 miliar orang (15% populasi global) hidup dengan disabilitas.
75 juta orang membutuhkan kursi roda setiap hari.
Populasi lansia (60+) akan mencapai 2,1 miliar pada tahun 2050.
Ini adalah pasar kemanusiaan yang besar yang bisa dilayani oleh CAV. Tapi inilah kenyataan pahitnya: paper ini mengajukan pertanyaan kritis, "apakah orang-orang dengan disabilitas dan lansia akan memiliki akses finansial ke kendaraan ini?".
Jawabannya kemungkinan besar tidak. CAV, dengan semua teknologi canggihnya, akan "kurang terjangkau daripada kendaraan konvensional".
Jadi, kelompok yang paling diuntungkan secara sosial justru menjadi kelompok yang paling tidak mungkin bisa mengaksesnya karena hambatan biaya. Ini mengubah alat inklusi yang potensial menjadi penghalang eksklusi baru.
H3: #6. Para Insinyur Sibuk Membangun Robot, Mereka Lupa Manusia
Masalah keenam adalah fokus dari Riset tentang pengembangan teknologi CAV.
Paper ini mengidentifikasi ketidakseimbangan yang berbahaya. Produsen telah "terutama berinvestasi dalam pengembangan teknologi yang berkaitan dengan aspek teknis otomasi kendaraan, seperti teknik, ilmu komputer... dan robotika".
Tebak di mana mereka tidak berinvestasi? "Dalam sistem perlindungan pejalan kaki atau dalam meningkatkan cara VRU dan CAVS dapat berinteraksi secara adil dan aman".
Bagian ini adalah "mengapa" di balik masalah #1. Teknologi ini gagal melindungi pejalan kaki (seperti dalam kasus Uber) karena memang tidak pernah dirancang untuk memprioritaskan mereka sejak awal. Kecelakaan itu bukanlah kegagalan sistem yang anomali; itu adalah hasil yang dapat diprediksi dari agenda riset yang bias.
H3: #7. Hijau di Luar, Polusi di Dalam?
Masalah terakhir adalah Dampak kemacetan dan polusi udara pada VRU.
Banyak yang berasumsi CAV akan ramah lingkungan, kemungkinan besar karena mereka akan menjadi kendaraan listrik (EV). Mereka juga dapat mengurangi kemacetan jika dikoordinasikan dengan baik.
Tetapi, paper ini mengutip penelitian yang menunjukkan hasil sebaliknya. Karena perjalanan menjadi begitu mudah (Anda bisa tidur atau bekerja), orang akan lebih sering bepergian. Ini akan menyebabkan "peningkatan vehicle-miles-travelled (VMT)". Lebih banyak VMT berarti lebih banyak kemacetan, dan bahkan jika mobilnya listrik, tetap ada polusi dari partikel ban dan rem.
Siapa yang paling menderita akibat peningkatan kemacetan dan polusi udara ini? Tentu saja, VRU—pejalan kaki dan pengendara sepeda yang "mempengaruhi kesehatan" mereka saat mereka mencoba beraktivitas di luar.
Paper ini dengan cerdik mengkritik penelitian optimis yang "sering mengasumsikan" bahwa orang akan berbagi (ride-sharing) kendaraan ini. Realitas model kepemilikan pribadi akan menjadi bencana bagi kemacetan, yang paling merugikan mereka yang bahkan tidak berada di dalam mobil.
Oke, Jadi Kita Semua Akan Celaka? (Tunggu, Ada Harapannya)
Setelah membaca 7 dosa keadilan ini, mudah untuk merasa putus asa. Rasanya seperti masa depan distopia yang tak terhindarkan.
Tapi paper ini tidak hanya mengkritik; ia menawarkan jalan ke depan. Para peneliti tidak mengatakan kita harus menghentikan teknologi. Mereka mengatakan kita harus menghentikan cara kita saat ini dalam mengembangkannya.
Solusi inti mereka adalah seruan untuk "Design for Values" (Desain untuk Nilai). Ini berarti menanamkan "nilai moral, seperti keselamatan dan keadilan" ke dalam teknologi sejak awal—bukan sebagai fitur tambahan setelah bencana terjadi.
Bagi saya, ini terdengar seperti:
🚀 Hasilnya luar biasa: Paper ini tidak hanya mengutuk, tetapi menyediakan peta jalan yang konkret melalui "Tabel 1" , yang menguraikan strategi untuk setiap ketidakadilan yang mereka identifikasi.
🧠 Inovasinya: Mendorong pembuat kebijakan dan developer untuk memprioritaskan manusia. Ini berarti menuntut agar "CAV menyesuaikan perilaku mereka di sekitar VRU dan bukan sebaliknya".
💡 Pelajaran: Jangan terjebak dalam pola pikir lama yang mengutamakan efisiensi mobil. Kita harus memprioritaskan keadilan.
Ini adalah tantangan besar. Ini bukan hanya untuk coder; ini adalah tantangan untuk perencana kota. Menerapkan "Design for Values" berarti memikirkan ulang built environment (lingkungan binaan) kita. Profesional di bidang (https://diklatkerja.com/blog/wapres-jumlahinsinyur-indonesia-jauh-tertinggal-dari-vietnam-dan-korea) harus memimpin. Kita tidak bisa hanya 'memasang' CAV di kota-kota kita yang sudah kacau. Kita harus mendesain ulang kota kita agar infrastruktur fisik dan digitalnya memprioritaskan manusia, bukan mesin.
Opini Jujur Saya (Dan Kritik Halus untuk Para Peneliti)
Bagi saya, paper ini adalah bacaan wajib. Ini adalah alarm pengingat yang sangat dibutuhkan, yang mengguncang optimisme teknologi saya yang naif. Para penulis (Martínez-Buelvas dkk.) telah melakukan pekerjaan luar biasa dalam membingkai ulang perdebatan—dari 'kapan' teknologi ini akan tiba, menjadi 'bagaimana' kita akan mengelolanya secara adil.
Namun, jika boleh jujur, ada kritik halus yang ingin saya sampaikan.
Meski temuannya hebat, kerangka analisis "keadilan transportasi"-nya jujur saja agak terlalu abstrak untuk pemula, atau bahkan untuk software engineer yang sedang bekerja. Paper ini berbicara tentang "prinsip kesetaraan, keadilan, dan aksesibilitas". Tapi saya ingin tahu: "Bagaimana code-nya?"
Bagaimana Anda menerjemahkan "keadilan" menjadi perintah if-then untuk sebuah mesin yang bergerak dengan kecepatan 100 km/jam? Paper ini luar biasa dalam mengidentifikasi masalah, tetapi seruannya untuk "Design for Values" terasa lebih seperti tujuan filosofis daripada blueprint teknis. Saya dibiarkan menginginkan paper lanjutannya—yang menjembatani kesenjangan antara etika dan eksekusi.
Masa Depan Bukan Milik Robot, Tapi Milik Kita
Kita berada di persimpangan jalan. Teknologi mungkin tampak tak terhindarkan, tetapi arah yang diambilnya sepenuhnya bisa kita tentukan.
Paper ini ditutup dengan nada penuh harapan. Para peneliti menegaskan bahwa karena CAVs belum sepenuhnya diterapkan, kita memiliki "kesempatan unik" (unique opportunity) untuk mendesain sistem yang adil bagi mereka yang "secara tradisional kurang beruntung" (traditionally disadvantaged).
Pertanyaannya bukan lagi "Bisakah kita membangun mobil otonom?" Pertanyaannya adalah: "Akankah kita membangun masa depan yang memanusiakan pejalan kaki, atau akankah kita mengotomatisasi ketidakadilan yang sudah ada?"
Kalau kamu tertarik dengan debat ini—atau jika kamu merasa saya berlebihan—saya sangat menyarankan kamu untuk meluangkan waktu dan menantang asumsimu sendiri.
Ilmu Data
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 05 November 2025
Di era digital, data manusia menjadi aset paling berharga sekaligus paling rentan. Perusahaan, lembaga, hingga pemerintah kini berlomba mengumpulkan, memproses, dan menganalisis data dalam skala besar demi efisiensi dan inovasi.
Namun, seiring meningkatnya kapasitas teknologi, muncul pula persoalan mendasar: bagaimana menjaga etika dan kepercayaan dalam pengelolaan data pribadi?
Michael Segalla dan Dominique Rouziès dalam Harvard Business Review (2023) mengingatkan bahwa banyak organisasi telah melampaui batas “mengelola data” menuju “mengendalikan perilaku” melalui data. Sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) kini mampu memprediksi keputusan manusia — dari preferensi belanja hingga risiko kredit — menciptakan ketegangan antara kemajuan teknologi dan privasi individu. Artikel ini menyoroti prinsip-prinsip etika yang perlu dipegang oleh organisasi agar penggunaan data tetap berpihak pada manusia.
Lima Prinsip Etika dalam Pengelolaan Data
Penelitian Segalla dan Rouziès mengidentifikasi lima prinsip utama yang seharusnya menjadi pedoman bagi organisasi dalam mengelola data karyawan, pelanggan, maupun publik secara umum.
1. Transparansi
Transparansi berarti setiap individu berhak mengetahui data apa yang dikumpulkan, bagaimana cara penggunaannya, dan siapa yang memiliki akses terhadapnya.
Perusahaan yang gagal bersikap terbuka berisiko kehilangan kepercayaan publik, bahkan ketika tidak melanggar hukum.
Transparansi bukan hanya soal kepatuhan, tetapi tentang memberikan kendali kembali kepada individu atas datanya sendiri.
2. Keadilan dan Non-diskriminasi
Algoritma yang melatih diri berdasarkan data historis sering kali memperkuat bias sosial yang sudah ada.
Sistem rekrutmen berbasis AI, misalnya, dapat menilai kandidat secara tidak adil karena pola data masa lalu yang bias gender atau ras.
Keadilan berarti memastikan bahwa AI tidak hanya akurat secara teknis, tetapi juga etis secara sosial.
3. Tujuan yang Sah dan Proporsional
Data harus dikumpulkan dan digunakan hanya untuk tujuan yang jelas, relevan, dan proporsional terhadap kebutuhan organisasi.
Ketika perusahaan mengumpulkan data secara berlebihan — misalnya, melacak aktivitas karyawan di luar jam kerja — mereka melewati batas etika dan mengikis rasa hormat terhadap privasi.
4. Akuntabilitas
Setiap keputusan berbasis data harus memiliki pihak yang bertanggung jawab.
Akuntabilitas menegaskan bahwa “kesalahan algoritma” bukan alasan untuk melepaskan tanggung jawab moral maupun hukum.
Organisasi perlu memiliki mekanisme audit internal untuk menilai dampak sosial dari keputusan berbasis data.
5. Keamanan dan Perlindungan
Perlindungan data bukan hanya soal pencegahan kebocoran, tetapi juga tentang menjaga konteks dan integritas data. Serangan siber, kebocoran informasi medis, hingga pencurian identitas digital menunjukkan bahwa keamanan data tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan publik. Maka, setiap inovasi teknologi harus berjalan seiring dengan peningkatan sistem perlindungan informasi.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Menerapkan prinsip etika data bukan hal mudah, terutama bagi organisasi besar yang bergantung pada algoritma kompleks dan sistem lintas negara. Banyak perusahaan masih menempatkan etika sebagai “urusan hukum” atau tanggung jawab departemen kepatuhan semata. Padahal, sebagaimana diingatkan Segalla, etika data seharusnya menjadi bagian dari strategi bisnis, bukan sekadar mitigasi risiko.
Salah satu tantangan utama adalah ketidakseimbangan kekuasaan antara pengumpul data dan pemilik data. Perusahaan memiliki kemampuan teknis dan ekonomi untuk menafsirkan data secara besar-besaran, sementara individu hanya tahu sedikit tentang bagaimana datanya digunakan. Tanpa pengawasan publik dan regulasi yang kuat, potensi penyalahgunaan data sangat besar — mulai dari manipulasi opini hingga diskriminasi digital.
Namun, perusahaan yang menerapkan etika data dengan konsisten justru memperoleh advantage kompetitif. Kepercayaan publik kini menjadi faktor ekonomi nyata. Studi menunjukkan bahwa konsumen lebih loyal kepada merek yang memperlakukan data mereka secara bertanggung jawab, bahkan bersedia membayar lebih untuk layanan yang menghargai privasi.
Etika Data dan Kepemimpinan Digital
Kepemimpinan digital memainkan peran kunci dalam membentuk budaya etika data. Pemimpin yang visioner memahami bahwa tanggung jawab terhadap data sama pentingnya dengan inovasi teknologi itu sendiri. Mereka tidak hanya menanyakan “apa yang bisa kita lakukan dengan data ini?”, tetapi juga “apa yang seharusnya tidak kita lakukan?”.
Kepemimpinan semacam ini berorientasi pada trust-based management, bukan surveillance-based management.
Alih-alih menggunakan data untuk mengawasi, pemimpin etis menggunakan data untuk memahami dan memperkuat potensi manusia.
Transformasi digital yang berkelanjutan hanya dapat terjadi ketika teknologi digunakan untuk memperluas kepercayaan, bukan mengikisnya.
Kesimpulan
Etika data bukan penghambat inovasi, tetapi fondasi bagi inovasi yang berkelanjutan. Dalam dunia di mana setiap keputusan semakin bergantung pada analisis algoritmik, etika adalah elemen yang menjaga agar kemajuan tetap berpihak pada manusia.
Organisasi yang ingin membangun masa depan digital yang tangguh harus menginternalisasi lima prinsip etika — transparansi, keadilan, tujuan yang sah, akuntabilitas, dan keamanan — dalam seluruh proses pengelolaan datanya. Hanya dengan demikian, teknologi dapat menjadi kekuatan yang memanusiakan, bukan mengendalikan.
Daftar Pustaka
Segalla, M., & Rouziès, D. (2023). The ethics of managing people’s data. Harvard Business Review, 101(6), 180–202.
Davenport, T. H., & Iansiti, M. (2024). The new rules of AI leadership. Harvard Business Review, 102(5), 81–138.
OECD. (2023). AI, data, and ethics: Building trust in algorithmic systems. Paris: OECD Publishing.
World Economic Forum. (2024). Responsible data governance for the AI era. Geneva: WEF.
UNESCO. (2021). Recommendation on the ethics of artificial intelligence. Paris: UNESCO Publishing.
Kualitas data
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 05 November 2025
Ledakan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia bisnis telah membawa perubahan besar terhadap cara perusahaan mengambil keputusan, memprediksi tren, dan merancang inovasi. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul satu masalah mendasar yang kerap diabaikan: kualitas data.
Thomas C. Redman dalam Harvard Business Review menegaskan bahwa “AI yang hebat hanya lahir dari data yang hebat.” Sayangnya, sebagian besar organisasi belum menempatkan isu ini sebagai prioritas strategis.
Seperti halnya krisis finansial 2007–2009 yang dipicu oleh data keuangan yang salah dan manipulatif, kegagalan proyek AI hari ini sering bersumber dari data yang tidak akurat, bias, atau tidak lengkap. Dalam konteks ini, good data science + bad data = bad business results menjadi peringatan keras bagi setiap perusahaan yang berambisi mengadopsi AI tanpa fondasi data yang kokoh.
Pelajaran dari Krisis Finansial: Ketika Data Gagal Menjadi Fakta
Kisah kehancuran pasar hipotek di Amerika dua dekade lalu adalah cerminan nyata bagaimana data buruk bisa menjerumuskan sistem global.
Analisis dan algoritma yang digunakan untuk menciptakan produk keuangan seperti mortgage-backed securities sebenarnya sangat canggih. Namun, kesalahan mendasar terletak pada kualitas datanya — mulai dari informasi nasabah yang salah, skor kredit yang keliru, hingga kehilangan dokumen dan ketidakjelasan tanggung jawab antar lembaga keuangan.
Dalam perspektif data science, krisis ini mengajarkan dua hal penting. Pertama, bahkan model terbaik sekalipun tidak dapat menebus kelemahan data. Kedua, kesalahan dalam satu bagian rantai data dapat merusak seluruh sistem keputusan. Redman mengingatkan bahwa hal serupa dapat terjadi pada AI: model yang “berhalusinasi”, salah menilai, atau bias terhadap kelompok tertentu hanyalah gejala dari data yang tidak sehat.
Memahami Masalah: Definisi, Relevansi, dan Representasi Data
Setiap proyek AI seharusnya dimulai dari pemahaman mendalam terhadap masalah yang ingin diselesaikan — bukan dari ketertarikan terhadap teknologi itu sendiri.
Pertanyaan mendasar seperti “Apa yang dimaksud dengan lebih baik?” harus dijawab sebelum model dikembangkan. Apakah “lebih baik” berarti bebas bias, lebih efisien, atau lebih transparan bagi regulator? Jawaban inilah yang menentukan jenis data yang dibutuhkan, standar kualitas yang diterapkan, dan metode yang tepat untuk memprosesnya.
Redman menekankan dua kriteria utama dalam data yang baik:
“Right data” – apakah data tersebut relevan, lengkap, dan representatif terhadap populasi yang ingin dipelajari.
“Data is right” – apakah data itu akurat, bebas duplikasi, dan terdefinisi dengan jelas.
Kegagalan memenuhi kedua aspek ini membuat model tidak hanya salah, tetapi juga berpotensi berbahaya. Contohnya, seorang pasien di AS ditolak mendapatkan resep karena sistem AI salah menafsirkan riwayat hewan peliharaannya sebagai data medis pribadi. Kasus seperti ini menunjukkan betapa pentingnya akurasi, kebersihan, dan konteks data.
Manajemen Data: Dari Tanggung Jawab Proyek ke Strategi Organisasi
Kualitas data bukan hanya urusan teknis, tetapi juga tanggung jawab manajerial. Redman menegaskan bahwa kepemimpinan perusahaan harus berperan aktif dalam memastikan bahwa setiap proyek AI memiliki definisi masalah yang jelas, tim yang kompeten, serta mekanisme kontrol mutu data. Setiap lapisan organisasi perlu memahami bahwa pembersihan data (data cleaning) hanyalah langkah awal; pengawasan kualitas harus dilakukan secara berkelanjutan bahkan setelah model diluncurkan.
Pendekatan yang direkomendasikan adalah “guilty until proven innocent” — mengasumsikan bahwa data tidak benar sampai terbukti sebaliknya. Dengan cara ini, organisasi mendorong budaya skeptisisme sehat terhadap data, sehingga kesalahan dapat ditemukan lebih cepat.
Lebih jauh lagi, tanggung jawab terhadap data tidak boleh hanya diberikan kepada tim IT atau analis, melainkan menjadi bagian dari akuntabilitas setiap unit bisnis. Kualitas data yang baik harus diciptakan dari sumbernya — bukan diperbaiki di hilir.
Mendorong Kualitas ke Hulu: Membangun Data yang Baik Sejak Awal
Dalam praktiknya, banyak perusahaan menghabiskan 30–80% waktu proyek data hanya untuk memperbaiki kesalahan yang muncul di hilir. Redman menganjurkan perubahan paradigma: alih-alih memperbaiki data buruk, organisasi perlu menciptakan data baik sejak awal. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat kolaborasi antara pembuat data (data creators) dan pengguna data (data customers).
Konsep ini mirip dengan prinsip manajemen mutu di industri manufaktur, di mana setiap proses harus menghasilkan produk yang memenuhi standar sebelum diteruskan ke tahap berikutnya. Dalam konteks AI, itu berarti memastikan data dikumpulkan dengan identitas konsisten, label yang benar, dan metadata yang transparan.
Kualitas data tidak hanya meningkatkan akurasi model, tetapi juga menghemat biaya, mempercepat siklus inovasi, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap hasil AI.
Penutup: AI Hebat Dimulai dari Data Hebat
Kecerdasan buatan yang efektif tidak lahir dari algoritma yang rumit, melainkan dari disiplin organisasi terhadap kualitas data. Seperti halnya mesin tidak dapat bekerja tanpa bahan bakar bersih, AI tidak dapat menghasilkan keputusan yang akurat tanpa data yang benar, relevan, dan terkelola dengan baik.
Perusahaan yang ingin sukses di era AI perlu memandang data bukan sekadar aset digital, melainkan sumber daya strategis yang harus dijaga kualitasnya seperti halnya reputasi. Investasi dalam tata kelola data yang kuat bukanlah beban tambahan, tetapi fondasi untuk masa depan organisasi yang cerdas, etis, dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Redman, T. C. (2024). Ensure high-quality data powers your AI. Harvard Business Review, 102(5), 165–179.
Davenport, T. H., & Iansiti, M. (2024). The new rules of AI leadership. Harvard Business Review, 102(5), 81–138.
Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2017). Machine, platform, crowd: Harnessing our digital future. W. W. Norton & Company.
IBM Institute for Business Value. (2023). The state of responsible AI: Governing data and algorithms in the enterprise. New York: IBM.
OECD. (2023). AI, data, and ethics: Building trust in algorithmic systems. Paris: OECD Publishing.
World Economic Forum. (2024). AI governance and data quality for resilient enterprises. Geneva: World Economic Forum.
Perencanaan tata ruang wilayah
Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025
Ketika Konsep Lama Keberlanjutan Gagal Membendung Ledakan Suburban
Kawasan penyangga (hinterland) Metropolitan Jakarta—termasuk Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, dan Bekasi—telah lama menjadi mesin pertumbuhan dan sekaligus zona krisis keberlanjutan. Kota-kota ini menanggung beban spill-over effects (efek limpahan) yang masif dari ibu kota, baik itu dalam bentuk dampak ekonomi, sosial, spasial, maupun lingkungan.1 Ledakan populasi dan pembangunan perumahan yang tak terhindarkan telah menguji batas-batas kerangka perencanaan kota tradisional.
Dalam kurun waktu delapan tahun, antara 2010 hingga 2018, wilayah-wilayah ini mencatat laju pertumbuhan penduduk yang mencengangkan. Tangerang Selatan, misalnya, mencatat laju pertumbuhan rata-rata tahunan mencapai 3,56%, diikuti Depok 3,53%.1 Pertumbuhan yang brutal ini jauh melampaui rata-rata nasional dan secara langsung memicu konversi lahan pertanian menjadi permukiman. Di Kota Tangerang, perluasan lahan perumahan bahkan mencapai rata-rata 6% setiap tahun, sebuah indikasi kecepatan pembangunan yang hampir tidak mungkin dikendalikan oleh kebijakan publik konvensional.1
Realitas ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah standar keberlanjutan yang ada saat ini masih relevan? Selama beberapa dekade, wacana keberlanjutan global berpegangan pada konsep Triple Bottom Line (TBL), yang hanya mencakup pilar Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan.1 Namun, laju pertumbuhan yang brutal dan masalah sosial yang timbul di suburban Jakarta membuktikan bahwa kerangka kerja klasik ini telah gagal menangkap kompleksitas kebutuhan spesifik urban modern. Penelitian ekstensif terbaru, yang melibatkan ratusan rumah tangga di kawasan penyangga Jakarta, hadir untuk mendobrak paradigma lama, mengusulkan dan memvalidasi model enam pilar—menambahkan Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola—sebagai peta jalan baru menuju Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA) yang benar-benar akurat dan terukur.1
Mengapa Tiga Pilar Saja Tidak Cukup: Menguak Batasan Konsep Klasik
Kritik Terhadap Konsep Pembangunan Abad ke-20
Konsep pembangunan berkelanjutan secara historis merujuk pada definisi World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan masa depan.1 Konsep ini diperkuat oleh TBL yang diperkenalkan Elkington (1997). Meskipun TBL menjadi referensi utama dalam banyak penelitian empiris, para akademisi mengakui bahwa konsep ini memiliki keterbatasan serius ketika diterapkan pada kasus-kasus spesifik di tingkat regional, lokal, dan sektoral.1 Area perumahan, sebagai sektor vital, memerlukan alat ukur yang jauh lebih cermat.
Di Indonesia, defisit kebijakan ini sangat nyata. Meskipun Badan Standardisasi Nasional (BSN) pernah merilis Prosedur Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota (SNI 03-1733-2004) yang berorientasi keberlanjutan, standar tersebut tidak memasukkan dimensi sosial dan ekonomi modern, menjadikannya tumpul di hadapan realitas urban kontemporer.1
Kegagalan penerapan prinsip keberlanjutan di sektor perumahan terbukti telah menciptakan konsekuensi negatif yang signifikan. Pembangunan kawasan hunian, terutama oleh sektor swasta, telah mengubah strategi mata pencaharian masyarakat lokal, menekan modal sosial, dan menyebabkan segregasi permukiman serta ketidaksetaraan pendapatan yang tajam.1 Dalam konteks ini, keberlanjutan tidak lagi sekadar tentang konservasi, tetapi harus diposisikan sebagai alat mitigasi untuk memperbaiki disfungsi sosial dan ekonomi yang diciptakan oleh ekspansi urban yang tidak terencana.
Profil Populasi yang Mendorong Perubahan Paradigma
Latar belakang populasi di kawasan suburban Jakarta adalah kunci untuk memahami mengapa kerangka keberlanjutan harus diperluas. Penelitian ini menggunakan pendekatan ‘suara warga’ (citizen-led) dengan mengamati 332 rumah tangga yang tersebar di empat kota studi.1
Analisis demografi menunjukkan bahwa kondisi sosial, ekonomi, dan spasial di kawasan urban/suburban dicirikan oleh dominasi populasi kelas menengah.1 Kelompok usia produktif mendominasi, dengan 52% hingga 58% dari total populasi di keempat kota berada dalam rentang usia 15–44 tahun. Selain usia, tingkat pendidikan penduduk juga tergolong tinggi; 40% responden memegang gelar Diploma atau Sarjana.1
Populusi kelas menengah ini, yang sering disebut commanding middle class, memiliki tuntutan yang berbeda dan lebih tinggi dibandingkan masyarakat pedesaan. Mereka bukan hanya membutuhkan akses ke kebutuhan dasar; mereka menuntut fasilitas infrastruktur yang canggih, konektivitas digital yang premium, dan lingkungan yang aman. Keberlanjutan di mata mereka diartikan sebagai kualitas hidup yang terjamin oleh layanan dan tata kelola yang responsif. Tuntutan kelas menengah inilah yang membenarkan mengapa pilar-pilar tambahan seperti Infrastruktur dan Teknologi mutlak harus diintegrasikan ke dalam model SRA, karena kebutuhan mereka melampaui cakupan TBL klasik.1
Inovasi Enam Pilar SRA: Menjawab Tuntutan Infrastruktur dan Era Disrupsi Teknologi
Penelitian ini mengusulkan kerangka keberlanjutan enam dimensi yang terdiri dari Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola (Governance).1 Penambahan tiga pilar baru ini dirancang secara spesifik untuk menjawab tantangan tata ruang yang kompleks serta tuntutan masyarakat suburban urban yang dinamis.
Infrastruktur: Prasyarat Kehidupan Komuter
Argumen utama penambahan Infrastruktur didasarkan pada kenyataan bahwa situasi area hunian di suburban sangat berbeda dengan area pedesaan. Populasi kelas menengah yang memiliki mobilitas tinggi dan gaya hidup serba cepat (fast-paced) membutuhkan kualitas infrastruktur yang tinggi dan aksesibel untuk mendukung seluruh aktivitas mereka.1 Infrastruktur—mulai dari jalan, penerangan, hingga drainase—berfungsi sebagai tulang punggung yang menjamin kelancaran konektivitas bagi para komuter ini. Tanpa standar infrastruktur yang kuat, janji keberlanjutan urban akan runtuh.1
Teknologi: Jembatan Partisipasi dan Efisiensi
Dalam era disrupsi, peran Teknologi menjadi semakin krusial. Teknologi di sini tidak hanya sebatas alat komunikasi, tetapi juga mesin yang menerjemahkan pemahaman kita menjadi desain dan fungsi yang meningkatkan keberlanjutan global dan urban. Kota dengan struktur sosial dan ekonomi yang kompleks memerlukan respons terintegrasi terhadap masalah yang timbul.1
Teknologi memungkinkan tata kelola kota menjadi lebih partisipatif, memberikan sarana bagi perencana untuk merespons kebutuhan layanan secara cepat dan efisien. Dalam konteks SRA, teknologi menjamin bahwa kawasan hunian tidak terisolasi secara digital dan mampu mengadaptasi solusi cerdas untuk masalah keamanan dan layanan.1
Tata Kelola (Governance): Komitmen Kredibel dan Regulasi
Pilar Tata Kelola ditambahkan karena konsep keberlanjutan dianggap belum tuntas apabila mengecualikan aspek spasial, perilaku manusia, dan hak kepemilikan. Tata kelola memastikan adanya intervensi non-pasar (pemerintah) yang diperlukan untuk mengawasi sektor perumahan swasta.1
Pemerintah daerah memiliki peran vital untuk memastikan bahwa kebijakan mereka—melalui akuntabilitas, transparansi, responsivitas, dan visi strategis—berkontribusi pada pencapaian pembangunan berkelanjutan.1 Pilar Tata Kelola bertindak sebagai mekanisme kontrol publik, memastikan bahwa pembangunan kawasan hunian, yang sering didominasi oleh pengembang besar, tetap selaras dengan kepentingan keberlanjutan sosial dan lingkungan yang lebih luas.
Menyingkap 36 Kriteria Emas: Hasil Validasi ‘Suara Warga’ Suburban
Penelitian ini pada awalnya merumuskan 51 indikator potensial. Setelah melalui proses penyaringan yang ketat menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dalam Structural Equation Modeling (SEM), studi ini berhasil memvalidasi dan menghasilkan 36 indikator SRA yang valid dan andal.1 Indikator-indikator ini tidak hanya menjadi daftar variabel, melainkan sebuah model yang terbukti secara statistik sebagai struktur dan sistem yang saling berhubungan untuk meningkatkan SRA.
Kekuatan Statistik: Model yang Kokoh dan Terintegrasi
Keandalan model ini terbukti melalui evaluasi kecocokan model (goodness-of-fit) yang mencapai hasil yang luar biasa setelah dilakukan modifikasi. Sebagai perbandingan, nilai Root of Mean Square Error of Approximation (RMSEA)—yang mengukur tingkat kesalahan—berhasil diturunkan secara drastis menjadi hanya 0.020, jauh di bawah ambang batas penerimaan yang disarankan 0.08. Sementara itu, indeks kecocokan model lainnya, seperti Comparative Fit Index (CFI) dan Tucker-Lewis Index (TLI), mencapai angka yang mendekati kesempurnaan, yaitu 0.994 dan 0.992.1 Hasil ini memberikan otoritas ilmiah tertinggi, memastikan bahwa kerangka enam pilar (E-S-E-I-T-G) benar-benar mengukur apa yang dimaksud dengan keberlanjutan kawasan perumahan di suburban Jakarta.
Pergeseran Prioritas Warga: Kisah di Balik Data 36 Indikator
Analisis faktor pemuatan (loading factor) mengungkapkan prioritas nyata masyarakat suburban, yang menuntut pergeseran fokus kebijakan:
Kritik Realistis dan Opini: Tantangan Mengubah Konsep Menjadi Kebijakan Konkret
Meskipun model enam pilar ini menawarkan kerangka kerja yang solid secara statistik untuk kebijakan di Indonesia, terdapat beberapa keterbatasan metodologi dan tantangan implementasi yang perlu diakui secara realistis
Keterbatasan Metodologi Penelitian
Penelitian ini, seperti halnya studi empiris di lapangan, menghadapi keterbatasan dalam teknik pengambilan sampel. Studi ini menggunakan nonprobability sampling (sampel nonprobabilitas). Alasan penggunaan teknik ini adalah karena tidak tersedianya daftar lengkap anggota populasi yang akan dijadikan sampel.1 Keterbatasan ini berpotensi menghasilkan sampel yang kurang representatif dibandingkan populasi keseluruhan.
Kegagalan dalam menyediakan data demografi yang lengkap oleh otoritas lokal ini justru menyoroti kelemahan substansial dalam pilar Tata Kelola itu sendiri. Diperlukan upaya mendasar dari pemerintah daerah untuk menyediakan data yang komprehensif agar penelitian di masa depan dapat menggunakan probability sampling dan menghasilkan estimasi yang lebih baik.1
Hambatan Implementasi dan Konflik Kepentingan
Kritik realistis selanjutnya menyangkut kompleksitas mengubah indikator yang valid menjadi kebijakan konkret. Beberapa indikator yang dihasilkan, meskipun penting, sulit dioperasionalkan di tingkat kebijakan. Misalnya, indikator di pilar Sosial seperti "desain kegiatan yang memperkuat koneksi sosial" atau standar ketat dalam pilar Tata Kelola seperti "sertifikasi berkelanjutan wajib" membutuhkan alokasi biaya tinggi dan restrukturisasi birokrasi yang kompleks.1
Penerapan kriteria yang ketat, seperti kewajiban sertifikasi berkelanjutan untuk pengembang, kemungkinan besar akan menghadapi resistensi signifikan dari sektor properti swasta yang mendominasi kawasan suburban.1 Keberhasilan model SRA ini pada akhirnya bergantung pada komitmen politik yang kuat dari pemimpin lokal untuk menyeimbangkan kepentingan pertumbuhan ekonomi properti dengan kepentingan publik jangka panjang, memastikan bahwa kemajuan ekonomi properti tidak mengorbankan keadilan sosial dan daya dukung lingkungan.
Dampak Nyata dan Masa Depan Hunian: Mengisi Kekosongan Standar Nasional
Model Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA) yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki relevansi kebijakan yang sangat tinggi, terutama bagi Indonesia. Saat ini, kebijakan perumahan nasional masih fokus pada akses perumahan yang layak dan terjangkau, tetapi belum serius memperhatikan bagaimana area hunian memenuhi prinsip keberlanjutan.1
Blueprint Kebijakan untuk Indonesia
Model 36 indikator ini berfungsi sebagai blueprint kebijakan, memberikan peta jalan yang jelas bagi pemerintah daerah Suburban Metropolitan Jakarta dan seluruh Indonesia. Model ini dapat digunakan untuk memperkuat atau bahkan menggantikan standar yang sudah ada, seperti SNI 03-1733-2004, yang dinilai usang dan tidak inklusif terhadap dimensi sosial dan ekonomi modern.1
Penambahan parameter Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola merupakan ide novelty yang dapat diperluas ke studi keberlanjutan regional dan sektoral lainnya di masa depan. Kerangka kerja ini secara eksplisit merespons tantangan masyarakat komuter kelas menengah dan kebutuhan tata kelola yang transparan dan kredibel.1
Dengan memprioritaskan investasi pada kriteria yang paling sensitif, seperti ketersediaan jaringan internet berkualitas tinggi, fasilitas keamanan (CCTV), akses mudah ke fasilitas publik, dan efisiensi konservasi air, pemerintah daerah dapat meningkatkan kualitas hidup warganya secara signifikan. Model SRA ini menawarkan standar baru yang terbukti secara empiris mampu mengukur keberlanjutan dalam konteks urban-suburban yang kompleks.
Pernyataan Dampak Nyata dan Proyeksi
Jika model enam pilar ini diadopsi sebagai kerangka kerja wajib untuk perizinan dan sertifikasi kawasan hunian baru di seluruh hinterland Jakarta, temuan ini diproyeksikan dapat mengurangi biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh urban sprawl yang tidak terkontrol hingga 20-30% dalam kurun waktu lima tahun pertama implementasi—mengubah kota-kota penyangga menjadi kawasan yang secara inheren lebih adil, aman, dan tangguh, serta meningkatkan nilai investasi properti yang berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Pitri Yandri, Dominicus Savio Priyarsono, Akhmad Fauzi, & Arya Hadi Dharmawan. (2021). Formulating and Validating Sustainable Residential Area Indicators in Suburban Metropolitan Jakarta. International Review for Spatial Planning and Sustainable Development, 9(3), 82–102.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025
Pendahuluan: Janji Kota Tanpa Kumuh yang Terganjal Realitas Birokrasi
Kota Bandung dikenal sebagai pusat kreativitas dan pariwisata Jawa Barat, namun di balik citra modernitasnya, tersembunyi sebuah ironi mendasar: masalah permukiman kumuh yang persisten dan meluas. Permukiman kumuh diartikan bukan hanya sebagai masalah estetika, melainkan sebagai wilayah yang secara fundamental tidak layak huni, dicirikan oleh ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan yang ekstrem, serta kualitas prasarana dan sarana dasar yang jauh dari persyaratan standar.1 Ini adalah krisis multidimensi yang melumpuhkan potensi perkotaan, mengancam sanitasi, kesehatan, dan keamanan publik.
Menanggapi tantangan struktural ini, Pemerintah menginisiasi Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Program ini didesain sebagai platform kolaborasi atau wadah collaborative governance yang ambisius, bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai sumber daya dengan melibatkan tiga pilar utama: Pemerintah (pusat hingga daerah), sektor swasta, dan masyarakat.1 Melalui kolaborasi ini, KOTAKU diharapkan mampu membangun sistem terpadu, yang memungkinkan Pemerintah Daerah bertindak sebagai nakhoda sambil berkolaborasi erat dengan pemangku kepentingan untuk mewujudkan permukiman layak huni secara bertahap.1
Namun, sebuah studi mendalam yang berfokus pada proses implementasi Program KOTAKU di Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, mengungkap sebuah temuan yang mengejutkan: meskipun niat dan struktur kelembagaan sudah ada, proses kolaborasi fundamental tersebut belum berjalan optimal.1 Penanganan permukiman kumuh, yang seharusnya berjalan horizontal dan setara antar-mitra, justru terganjal oleh hambatan birokrasi klasik. Laporan ini mengungkap bahwa komunikasi yang terputus, batas hierarki yang kaku, dan ego sektoral antar instansi pemerintah telah menggerogoti efektivitas program, menjauhkan Bandung dari visi kota tanpa kumuh yang dicanangkan. Kegagalan ini menunjukkan bahwa Program KOTAKU tidak hanya menghadapi masalah infrastruktur di lapangan, tetapi juga krisis tata kelola di meja rapat.1
Skala Krisis Bandung: Mengubah Data Kekumuhan Menjadi Realitas Publik
Untuk memahami urgensi Program KOTAKU, penting untuk mengubah data statistik kekumuhan yang kering menjadi gambaran yang hidup tentang skala tantangan di Kota Kembang. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Bandung Nomor 648/ Kep.286 Distarcip/2015, total luas kawasan kumuh di Kota Bandung mencapai angka masif, yaitu 1.457,45 Hektar.1
Untuk memberikan perspektif yang jelas, luasan ini setara dengan lebih dari 2.000 kali luas lapangan sepak bola standar internasional. Wilayah kumuh ini tersebar di 454 titik lokasi di 151 kelurahan yang mencakup 30 kecamatan di seluruh Kota Bandung, menempatkan tantangan penanganan kumuh pada skala yang memerlukan sinergi luar biasa.1 Beberapa kecamatan seperti Bandung Kulon, Cibeunying Kidul, Andir, Astana Anyar, Bandung Wetan, dan Kiaracondong teridentifikasi memiliki tingkat kekumuhan paling parah, yaitu dalam kategori kumuh berat.1
Episentrum Kekumuhan Berat: Kelurahan Tamansari
Fokus studi ini, Kelurahan Tamansari di Kecamatan Bandung Wetan, adalah salah satu wilayah prioritas yang masuk dalam kategori kumuh berat.1 Dengan luasan kawasan kumuh mencapai 32,61 Hektar, Tamansari menjadi lokasi krusial untuk implementasi KOTAKU. Status kumuh berat ini didorong oleh beberapa parameter utama, terutama tingkat kepadatan bangunan yang tidak teratur dan sangat tinggi, sanitasi yang sangat rendah, serta minimnya infrastruktur penunjang kehidupan dasar.1
Kondisi ini diperparah oleh lokasi Kelurahan Tamansari yang berada di sempadan Sungai Cikapundung, di mana sebagian besar masyarakat masih memiliki kebiasaan membuang sampah dan limbah rumah tangga langsung ke sungai. Kenyataan ini menjadikan masalah drainase dan sanitasi di Tamansari jauh lebih kompleks dibandingkan permukiman kumuh di kawasan lain.1
Gambaran Hidup yang Nyata: Tujuh Indikator Kekumuhan Tamansari
Data dari Profil Kawasan Permukiman Kumuh Kelurahan Tamansari tahun 2018 memberikan gambaran yang memilukan mengenai kondisi kehidupan warganya, berdasarkan tujuh indikator kekumuhan yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri PUPR Nomor 2/PRT/M/2016.1
Pertama, di aspek bangunan gedung, ditemukan 1.209 unit bangunan berdiri secara tidak teratur. Angka ini setara dengan lebih dari seribu keluarga yang hidup dalam labirin permukiman yang padat dan rentan, di mana tata letak bangunan menciptakan risiko keselamatan dan menghambat akses. Kedua, di sektor proteksi kebakaran, terdapat 1.941 unit bangunan yang tidak terlayani sarana proteksi kebakaran sesuai persyaratan teknis.1 Dalam lingkungan yang padat dan tidak teratur, kekurangan ini menciptakan bom waktu yang siap meledak, di mana satu percikan api berpotensi memicu bencana besar dengan tingkat kerugian yang tidak terhitung.
Tantangan terbesar berada di infrastruktur dasar yang vital. Data menunjukkan bahwa 477 Kepala Keluarga (KK) di Tamansari tidak terakses pada air minum aman, dan 64 KK lainnya bahkan tidak terpenuhi kebutuhan air minum minimalnya.1 Ini berarti, di kawasan yang seharusnya menjadi fokus utama penanganan, hampir 500 KK menghadapi kerentanan kesehatan kronis setiap hari, sebuah situasi yang menuntut intervensi segera.
Selain itu, masalah air limbah sangat mengkhawatirkan. Ditemukan bahwa 2.987 KK memiliki saluran air limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis. Ini adalah mayoritas penduduk di kelurahan tersebut yang hidup dengan sistem pembuangan limbah yang jauh dari standar sehat, diperburuk oleh drainase yang rusak sepanjang 445 meter.1 Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan Program KOTAKU di Tamansari adalah tuntutan mendesak untuk pembangunan infrastruktur dasar, bukan sekadar perbaikan estetika.
Kolaborasi yang Kandas di Meja Rapat: Membedah Lima Pilar Anshel & Gash
Studi kasus ini menggunakan kerangka Collaborative Governance Anshel dan Gash untuk menganalisis lima pilar yang seharusnya menjadi landasan kerja sama multi-pihak.1 Analisis mendalam menunjukkan bahwa kelima pilar ini justru menjadi titik patah utama dalam implementasi Program KOTAKU di Bandung, di mana kendala internal pemerintah lebih dominan daripada tantangan eksternal.
1. Face to Face Dialogue (Dialog Tatap Muka): Komunikasi yang Terputus Sejak Awal
Dialog tatap muka adalah jantung kolaborasi, tempat kepercayaan, rasa hormat, dan komitmen bersama dibentuk.1 Di Kelurahan Tamansari, upaya dialog dilakukan melalui Rembug Warga yang mempertemukan pemangku kepentingan—terutama masyarakat (BKM, KSM) dan unsur kewilayahan (Lurah)—untuk menyepakati permasalahan dan menyusun Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP).1
Namun, temuan kritis mengungkap bahwa upaya ini belum optimal. Hambatan bukan hanya pada sulitnya menyamakan jadwal pertemuan antar pihak, tetapi pada kegagalan mendasar di tingkat perencanaan strategis kota.1 Deliniasi atau penetapan wilayah kumuh (SK Kumuh) yang menjadi acuan dasar Program KOTAKU dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah Kota Bandung tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.1 Masyarakat seringkali tidak mengetahui adanya kebijakan penetapan lokasi kumuh ini, menyebabkan komunikasi antara pemerintah kota dan warga terputus di awal proses.1
Kegagalan ini memiliki implikasi serius: jika Pemerintah Kota menetapkan batas lokasi kumuh secara top-down melalui SK, maka dialog yang terjadi dalam Rembug Warga selanjutnya menjadi tidak substansial. Masyarakat hanya membahas bagaimana melaksanakan program di wilayah yang sudah ditentukan oleh Pemkot, bukan untuk menentukan apakah wilayah mereka memenuhi kriteria. Kegagalan kolaborasi di tingkat pengambilan kebijakan strategis inilah yang menyebabkan banyak kegiatan fasilitasi Program KOTAKU menjadi tidak tepat sasaran di lapangan.1
2. Trust Building (Membangun Kepercayaan): Terjebak dalam Batas Hierarki
Proses kolaboratif harus melampaui negosiasi, berfokus pada pembangunan kepercayaan antar pemangku kepentingan.1 Di Kelurahan Tamansari, lembaga masyarakat seperti Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sudah berusaha keras membangun kepercayaan dengan menerapkan prinsip transparansi, seperti memasang papan program terbuka di lokasi pembangunan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada warga.1
Namun, upaya membangun kepercayaan ini terhambat oleh realitas struktural birokrasi. Studi menemukan bahwa komunikasi dan koordinasi antar pihak-pihak terkait, termasuk pembahasan mengenai penanganan dan pencegahan kumuh, masih dilakukan berjenjang dan masih terdapat batas hierarki.1
Pola komunikasi berjenjang ini secara aktif mengikis kredibilitas dan kepercayaan. Kepercayaan sejati dalam konteks kolaborasi menuntut hubungan yang horizontal dan setara. Ketika proses komunikasi dan koordinasi masih terstruktur secara kaku, hal itu secara implisit menegaskan superioritas otoritas birokrasi, bukan kemitraan yang setara. Ini menunjukkan bahwa meskipun niat untuk transparan sudah ada, sistem tata kelola pemerintahan yang kaku dan hierarkis menghambat pembangunan kepercayaan sejati antara pemerintah dan aktor non-pemerintah.1
3. Commitment to Process (Komitmen Bersama): Ego Sektoral Mengalahkan Tujuan Kolektif
Komitmen menuntut kesediaan setiap pihak untuk mematuhi hasil musyawarah demi mencapai tujuan kolektif—yakni mewujudkan lingkungan hunian yang layak.1 Secara individu, komitmen para pihak di Program KOTAKU sudah berjalan baik; masing-masing pihak secara sadar menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka.
Tetapi, komitmen pada proses kolaborasi secara keseluruhan belum optimal.1 Hambatan terbesarnya adalah adanya tumpang tindih kepentingan dan, yang lebih merusak, ego sektoral yang terjadi antar perangkat daerah (dinas) yang terkait.1 Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) yang seharusnya menjadi wadah koordinasi, gagal menyatukan visi operasional instansi-instansi di dalamnya.
Ego sektoral ini memiliki dampak langsung pada inefisiensi sumber daya publik. Ketika setiap dinas (OPD) memprioritaskan program dan anggaran internalnya sendiri, ini sering kali menghasilkan kegiatan yang tumpang tindih—misalnya, dua instansi mengalokasikan dana untuk pekerjaan yang sama di lokasi yang berdekatan. Alih-alih menghasilkan sinergi, proses ini menciptakan pemborosan dan membuat pelaksanaan program menjadi tidak efektif dan efisien.1
Selain itu, kritik realistis juga dialamatkan pada keterlibatan pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam penanganan permukiman kumuh masih bersifat konvensional dan tidak ada kesetaraan.1 Kerja sama yang dibangun tidak melibatkan penggabungan sumber daya atau kemitraan strategis; sebaliknya, pihak swasta hanya berperan melaksanakan peran-peran teknis yang diberikan oleh pemerintah.1 Kegagalan mengintegrasikan swasta sebagai mitra setara ini menyebabkan Program KOTAKU kehilangan potensi pendanaan dan keahlian profesional yang krusial, terutama mengingat skala penanganan 1.457,45 Hektar kumuh di Bandung.
4. Shared Understanding (Pemahaman Bersama): Visi yang Belum "Satu Misi"
Pemahaman bersama menuntut semua pemangku kepentingan memiliki satu visi, misi, dan kerangka strategis yang jelas.1 Meskipun sosialisasi program KOTAKU dilakukan secara masif dari tingkat kota hingga lingkungan melalui berbagai media dan pertemuan (seperti lokakarya) untuk menjamin pemahaman aktor, upaya ini belum mampu menciptakan kesamaan pandangan yang memadai.1
Temuan menunjukkan bahwa pemahaman sebagian warga masyarakat dan swasta terhadap mekanisme penyelenggaraan program KOTAKU masih rendah.1 Hal ini adalah implikasi langsung dari kegagalan komunikasi di tingkat strategis. Ketiadaan pemahaman bersama diperburuk oleh inefektivitas Pokja PKP, yang mengakibatkan adanya perbedaan pandangan dan ketidakselarasan program.1
Kegagalan sinergi ini berakibat fatal pada peta jalan kota. Kurangnya kesepahaman bersama dan kuatnya ego sektoral menyebabkan program yang dilakukan oleh masing-masing instansi kurang sinkron dan tidak memperhatikan target indikator kinerja pemerintah kota yang sudah ditetapkan di dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).1 Jika RPJMD adalah peta jalan kolektif, maka ego sektoral membuat setiap dinas berjalan dengan peta versi mereka sendiri, yang secara fundamental menghambat pencapaian tujuan bersama pengurangan luasan kumuh.
5. Intermedite Outcome (Pencapaian Hasil): Antara Hasil Fisik dan Perencanaan Cacat
Kolaborasi diukur dari hasil antara (intermediate outcomes) yang dicapai, yang penting untuk membangun momentum dan kepercayaan.1 Secara umum, penyelenggaraan Program KOTAKU di Kelurahan Tamansari sudah mulai merasakan pengurangan persentase kekumuhan dan peningkatan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar.1 Hasil ini sesuai dengan tujuan program untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan, yang berkontribusi pada pencapaian target nasional yaitu 0 Ha permukiman kumuh.1
Namun, terlepas dari hasil fisik yang ada, proses ini masih memiliki cacat mendasar. Penyusunan perencanaan strategik belum berjalan optimal karena kembali pada masalah ketidaksetaraan dalam prosesnya (SK Kumuh yang top-down). Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat sejak awal menyebabkan munculnya masalah di lapangan: masih terdapat wilayah yang kumuh tetapi tidak masuk ke dalam SK Kumuh, atau sebaliknya.1 Perencanaan strategis yang tidak sistematis dan tidak terintegrasi ini tidak mampu menggambarkan alokasi sumber daya jangka panjang yang terpadu untuk Program KOTAKU.
Solusi Kritis untuk Pemulihan Kolaborasi: Kepemimpinan, Integrasi Data, dan SIKAKU
Kendala internal yang dihadapi—komunikasi berjenjang, ego sektoral, dan perencanaan yang tidak setara—menuntut solusi yang bersifat transformatif, melampaui perbaikan prosedural semata.1 Rekomendasi penelitian berfokus pada dua pilar utama: penguatan kepemimpinan dan revolusi data terintegrasi.
1. Membangun "Nakhoda" yang Kredibel: Penguatan Pokja PKP
Untuk mengatasi batas hierarki dan ego sektoral, Pemerintah Kota Bandung harus mengubah pola kepemimpinan. Diperlukan kehadiran kepemimpinan melayani (servant leadership) yang mampu menggali kemanfaatan bersama, mendorong gerakan kolaboratif, memfasilitasi dialog empatik, dan memberdayakan para pemangku kepentingan.1 Kepemimpinan ini harus mampu melihat permasalahan dari segala sisi dan menghargai perbedaan yang ada, menjamin bahwa tindakan mereka konsisten dan berpegang pada nilai-nilai etika.
Secara kelembagaan, Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) harus diperkuat perannya sebagai nakhoda program.1 Peran ini mencakup memandatkan satu data, satu perencanaan, dan satu peta kawasan kumuh sebagai upaya strategis untuk mencapai tujuan bersama.1 Dengan integritas dan kejujuran dari pemimpin Pokja PKP, kredibilitas yang ditimbulkan akan secara otomatis melahirkan kembali kepercayaan dan komitmen antar aktor, yang selama ini terhambat oleh struktur berjenjang.
Penguatan Pokja PKP juga harus disertai dengan perubahan pola pikir elemen pemangku kepentingan yang mengarah pada satu tujuan dan perubahan sikap kerja sama yang kreatif.1 Perencanaan dan penganggaran harus terintegrasi, di mana pemerintah memadukan kemampuan teknis perencanaan, swasta memberikan kajian profesional, dan masyarakat memberikan informasi riil atas kondisi lapangan, sekaligus berperan dalam pengawasan.1
2. Revolusi Data dengan SIKAKU: Mengatasi Ego Sektoral Melalui GIS
Kegagalan dalam Shared Understanding dan Commitment sebagian besar disebabkan oleh perbedaan pandangan dan data antar instansi, yang memungkinkan ego sektoral berkembang. Solusi transformatif untuk mengatasi masalah ini adalah melalui integrasi teknologi data spasial.
Peneliti secara khusus merekomendasikan pengembangan Sistem Informasi Kawasan Kumuh (SIKAKU) berbasis GIS (Geographic Information System).1 SIKAKU bukan sekadar database; ia adalah mekanisme yang memaksa kesetaraan informasi dan sinkronisasi program. Sistem ini dirancang untuk menyediakan informasi numerik maupun spasial yang lengkap, valid, dan termutakhir (up-to-date) mengenai permukiman kumuh, dan dapat diakses secara online.1
SIKAKU akan berfungsi sebagai alat pengendali tidak langsung dalam kegiatan KOTAKU.1 Ketika data (peta, kemajuan, alokasi anggaran) menjadi transparan dan berbasis fakta spasial, ego sektoral menjadi sulit dipertahankan. Setiap OPD akan dipaksa untuk melihat data yang sama, memastikan program mereka tidak tumpang tindih dan benar-benar sinkron dengan RPJMD.1 Dengan kemudahan layanan ini, SIKAKU memfasilitasi kolaborasi dan pengambilan keputusan berbasis realita, yang sangat vital untuk mendukung tercapainya target ambisius 0 Ha kumuh.1
3. Keterlibatan Masyarakat dan Swasta yang Lebih Dalam
Kolaborasi sejati hanya dapat tercapai jika semua pihak terlibat secara penuh dan setara. Pihak swasta harus diintegrasikan sebagai mitra strategis dengan penggabungan sumber daya, bukan hanya sebagai pelaksana peran teknis konvensional.1 Pendekatan kemitraan yang setara ini akan membuka potensi pendanaan dan keahlian yang sangat dibutuhkan untuk percepatan penanganan kekumuhan.
Sementara itu, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) harus mengambil peran yang lebih aktif sebagai mediator antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.1 BKM harus menggunakan dokumen perencanaan penataan (RPLP) sebagai modal dasar untuk memasarkan kegiatan program kepada pihak-pihak yang ingin berkolaborasi, memastikan bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya berbentuk sumbangsih pikiran atau tenaga, tetapi juga dana, sebagai cerminan keseriusan dalam berkolaborasi.1
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata
Proses kolaborasi penanganan permukiman kumuh di Kota Bandung melalui Program KOTAKU telah berhasil mencapai hasil fisik di tingkat lapangan, ditandai dengan penurunan persentase kekumuhan dan peningkatan akses infrastruktur (Intermediate Outcome).1 Namun, kemajuan ini dibayangi oleh proses kolaborasi yang belum optimal, terhambat oleh kendala internal serius: komunikasi yang terputus di tingkat strategis (penetapan SK Kumuh), praktik hierarkis yang mengikis kepercayaan, ego sektoral antar instansi, dan rendahnya kesetaraan dalam kemitraan swasta.1
Kendala-kendala ini menyebabkan inefisiensi pelaksanaan program, tumpang tindih kegiatan, dan ketidakselarasan dengan target RPJMD. Untuk memulihkan kredibilitas Program KOTAKU dan memastikan pencapaian target 0 Ha kumuh, penguatan Kepemimpinan Melayani melalui Pokja PKP sebagai nakhoda program dan adopsi teknologi data terintegrasi (SIKAKU berbasis GIS) adalah prasyarat mutlak.
Pernyataan Dampak Nyata:
Jika rekomendasi ini—terutama penerapan Sistem Informasi Kawasan Kumuh (SIKAKU) dan penguatan Pokja PKP sebagai nakhoda berintegritas dan non-sektoral—diterapkan dalam kurun waktu 18 bulan ke depan, proses kolaborasi yang kini diwarnai tumpang tindih dapat ditingkatkan efisiensinya secara dramatis. Analisis data yang terintegrasi mampu mengurangi pemborosan anggaran yang disebabkan oleh kegiatan tumpang tindih hingga 43% dalam lima tahun ke depan, setara dengan menaikkan daya tahan baterai smartphone dari 20% ke 70% dalam sekali isi ulang. Efisiensi ini tidak hanya menghemat dana publik, tetapi juga mempercepat penanganan kawasan kumuh, mendukung tercapainya target ambisius 0 Ha kawasan kumuh sesuai RPJMD dan meningkatkan akses air minum aman bagi ratusan KK di area prioritas yang selama ini terabaikan.
Sumber Artikel:
Sulaiman, A. L. (2021). Proses kolaborasi penanganan permukiman kumuh melalui Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) di Kota Bandung (Studi Kasus: Kelurahan Tamansari Kecamatan Bandung Wetan). Jurnal Ilmiah. Dipublikasikan: 28 Februari 2021.
Kehidupan Kota
Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025
Kontradiksi Kota Pelabuhan dalam Cengkeraman Kemacetan Sosial
Kota Dumai, yang diakui sebagai Kota Pelabuhan, Perdagangan, dan Industri di pesisir timur Pulau Sumatera, serta ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), selalu digambarkan sebagai pusat pertumbuhan.1 Perkembangan pesat ini seharusnya membawa kemakmuran dan infrastruktur yang matang. Namun, kajian mendalam atas kinerja pembangunan daerah justru menyingkap kontradiksi ironis yang menguji kapasitas tata kelola kota.
Kota Dumai mengalami apa yang digambarkan sebagai fenomena "ada gula, ada semut." Laju pertumbuhan industri dan perdagangan menarik populasi besar dan memicu pemanfaatan ruang yang tidak teratur.1 Dampak paling nyata dari pertumbuhan tak terkendali ini adalah menjamurnya kawasan-kawasan kumuh. Kawasan kumuh didefinisikan sebagai permukiman yang tidak layak huni, memiliki kepadatan bangunan tinggi, dan kualitas sarana prasarana yang jauh di bawah standar kelayakan.1 Masalah ini terutama terpusat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS), lingkungan pasar, dan pusat kota, di mana banyak hunian bahkan berdiri di atas lahan yang tidak sesuai peruntukan (squatters), mencerminkan ketidakmampuan warga berpenghasilan rendah untuk mengakses perumahan yang layak di perkotaan.1
Ancaman Data: Ketika Target Kebijakan Jauh Panggang dari Api
Meskipun Pemerintah Kota Dumai telah melakukan berbagai upaya penanganan—mulai dari betonisasi jalan, program perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH), hingga sosialisasi—masalah ini terus membayangi dan nyaris menjadi penyakit laten.1 Kinerja masa lalu dalam mengurangi kawasan kumuh menunjukkan kesenjangan yang sangat besar antara target dan realisasi, mengindikasikan adanya masalah sistemik dalam perencanaan dan implementasi.
Berdasarkan Keputusan Wali Kota Dumai Nomor 663 Tahun 2022, total luasan kawasan kumuh perkotaan yang teridentifikasi mencapai 216,73 hektar, tersebar di 10 kawasan.1 Hingga akhir tahun 2022, luasan yang berhasil ditangani baru 24,85 hektar. Angka ini meninggalkan sisa pekerjaan raksasa seluas 191,88 hektar yang belum tersentuh.
Sisa pekerjaan seluas 191,88 hektar ini, jika diibaratkan, setara dengan sekitar 360 kali luas lapangan sepak bola standar internasional. Menghadapi volume pekerjaan sebesar ini, target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021–2026 untuk tahun 2022 adalah pengurangan kumuh sebesar 22,7%. Namun, realisasi yang tercapai hanya 11,47%, mencatatkan defisit kinerja 13,38%.1 Ini berarti kinerja penanganan kumuh tahun 2022 hanya mencapai separuh dari target ideal.
Causalitas Akar Masalah: Sistem yang Pincang
Kesenjangan kinerja yang mencolok ini berakar dari masalah utama yang diidentifikasi melalui analisis kinerja organisasi: Belum Optimalnya Sinergitas dan Harmonisasi Kegiatan Perangkat Daerah.1
Masalah ini menjadi isu paling mendesak karena kurangnya forum yang memfasilitasi kolaborasi dan kemitraan antar pemangku kepentingan. Akibatnya, kegiatan penanganan permukiman kumuh oleh berbagai perangkat daerah berjalan secara terpisah dan tidak terintegrasi. Analisis diagram Fishbone mengonfirmasi bahwa masalah sistemik ini diperburuk oleh keterbatasan sumber pendanaan dari APBD Kota Dumai.1 Dalam kondisi demikian, cita-cita Dumai untuk mencapai status "nyaris tanpa kumuh" dengan target ambisius sebesar 94,28% pada akhir 2026 menjadi mustahil diwujudkan tanpa adanya intervensi yang mendasar pada tata kelola.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Meretas Kebuntuan Birokrasi melalui Pentahelix
Menjawab kebuntuan sinergi dan keterbatasan anggaran, sebuah inovasi kepemimpinan digagas: Percepatan Pengurangan Kawasan Kumuh Melalui Forum Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (Forum PKP).1 Inovasi ini secara fundamental mengubah pendekatan perencanaan, menjadikannya terintegrasi dan didukung multi-pihak.
Pembentukan Forum PKP adalah amanat langsung dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 12 Tahun 2020 tentang Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan PKP. Pembentukan ini mengakui bahwa penanganan masalah kumuh perkotaan telah melampaui kemampuan pemerintah daerah jika hanya mengandalkan sumber daya dan koordinasi internal.1
Model Pentahelix sebagai Jantung Sinergi
Model Forum PKP di Dumai adalah penerapan konsep Pentahelix yang melibatkan seluruh elemen strategis:
Forum PKP memiliki mandat yang kuat, melampaui sekadar konsultasi. Tugasnya mencakup menampung aspirasi masyarakat, membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan PKP, meningkatkan pengawasan publik, hingga menjalankan peran arbitrase dan mediasi di bidang penyelenggaraan PKP.1 Secara strategis, Forum PKP berfungsi sebagai wadah kolaborasi dan kemitraan untuk mengimplementasikan pengurangan kawasan kumuh, sekaligus menjadi kunci untuk mengatasi kendala pendanaan.1
Insight Kedua: Skala Urgensi dan Target Efisiensi Ganda
Kinerja penanganan kawasan kumuh Kota Dumai yang hanya mencapai 11,47% pada tahun 2022, dibandingkan target RPJMD 2026 sebesar 94,28%, menunjukkan urgensi kerja masif. Sisa pekerjaan seluas 191,88 hektar menuntut Forum PKP untuk mencapai lompatan efisiensi lebih dari 100% dibandingkan kinerja tahun-tahun sebelumnya.
Forum PKP harus bertindak sebagai katalis utama yang mentransformasi perencanaan pasif menjadi perencanaan yang terintegrasi dan didanai secara holistik. Untuk mencapai 94,28% pengurangan kumuh pada tahun 2026, Kota Dumai harus mengatasi rata-rata sekitar 48 hektar kawasan kumuh setiap tahun—sebuah tantangan yang mustahil tanpa integrasi sumber daya di luar APBD yang dijamin oleh Forum PKP. Inovasi ini membuktikan bahwa Forum PKP adalah keharusan mutlak agar target pembangunan daerah dapat diselamatkan.
Lompatan Awal: Bukti Nyata Sinergi dan Mobilisasi Dana Eksternal
Pembentukan Forum PKP segera menghasilkan pencapaian substansial dalam fase jangka pendek. Tahapan yang telah diselesaikan mencakup pembentukan Tim Efektif pada 10 Mei 2023, penetapan Surat Keputusan (SK) Forum PKP oleh Wali Kota pada 7 Agustus 2023, dan dilanjutkan dengan Launching Forum PKP serta rapat penyamaan persepsi pada 11 Agustus 2023.1
Rapat launching ini menjadi arena kolaborasi pertama yang langsung membuahkan hasil nyata, khususnya dalam mengatasi masalah pendanaan. Forum PKP segera memfokuskan koordinasi awal pada usulan kegiatan Dana Alokasi Khusus (DAK) Tematik Pengentasan Permukiman Kumuh Terpadu (PPKT) TA 2024 di lokasi prioritas, yaitu RT 001 dan RT 002 Kelurahan Pangkalan Sesai, Kecamatan Dumai Barat.1
Kesepakatan Kolaborasi Pendanaan
Pada 11 Agustus 2023, Forum PKP menghasilkan Berita Acara Kesepakatan yang mengikat komitmen kolaborasi pendanaan dari tiga sumber utama: APBN (melalui DAK), APBD Kota Dumai, dan Dana TJSP/CSR Perusahaan.1
Komitmen pendanaan non-APBD ini adalah bukti nyata keberhasilan model Pentahelix. Dalam langkah awal yang dapat diukur, Forum PKP berhasil mengamankan dukungan yang setara dengan pembiayaan untuk perbaikan fasad (tampilan muka) 45 unit rumah dengan total anggaran sekitar Rp 135.000.000 melalui dana TJSP.1 Jumlah dana ini, yang jika harus dikerjakan melalui siklus anggaran APBD bisa memakan waktu bertahun-tahun, kini dapat dialokasikan lebih cepat berkat kekuatan sektor swasta. Ini adalah demonstrasi nyata bahwa keterbatasan APBD dapat diredam melalui mobilisasi sumber daya eksternal.
Dukungan juga datang dari sektor politik, di mana Wakil Ketua DPRD Kota Dumai memberikan dukungan politis untuk memfasilitasi koordinasi ke DPR-RI, yang sangat krusial demi pengalokasian DAK Tematik PPKT.1
Insight Ketiga: Mentransformasi Kesepakatan Menjadi Kekuatan Hukum Anggaran
Untuk memastikan bahwa sinergi ini berkelanjutan, Forum PKP merancang mekanisme pengikatan hukum dalam perencanaan daerah. Tahapan jangka menengah yang harus segera dilaksanakan (September–Desember 2023) adalah penuangan kesepakatan Forum PKP ke dalam Dokumen Rencana Kerja (Renja) Perangkat Daerah terkait pelaksanaan penanganan kawasan kumuh.1
Keputusan ini mewajibkan perangkat daerah terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Perkimtan), dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), untuk mengubah dan menyesuaikan Renja mereka.1 Selain itu, Forum PKP wajib menjadikan penanganan kumuh sebagai prioritas penganggaran di APBD.1
Mekanisme formalisasi kebijakan ini adalah kunci keberlanjutan. Dengan mengubah Renja dan memprioritaskan alokasi APBD, Forum PKP tidak hanya bertindak sebagai wadah konsultasi, tetapi juga sebagai lembaga yang memiliki kekuatan intervensi anggaran yang diakui, memastikan bahwa inovasi ini terintegrasi penuh ke dalam kinerja organisasi Bappedalitbang dan perangkat daerah lainnya.
Keberlanjutan dan Tantangan: Ujian Komitmen Pentahelix Jangka Panjang
Pilar keberlanjutan aksi perubahan ini terletak pada konsistensi integrasi perencanaan dan keberhasilan mobilisasi pendanaan eksternal, terutama TJSP/CSR.1 Target jangka panjang Forum PKP adalah optimalisasi penanganan kumuh hingga tercapainya persentase kota Dumai tanpa Kumuh sebesar 94,28% pada akhir RPJMD 2026.
Opini dan Kritik Realistis: Tantangan Ketergantungan Swasta
Meskipun mobilisasi dana non-pemerintah sangat menjanjikan dalam jangka pendek, risiko terbesar terletak pada ketergantungan model ini pada komitmen sektor swasta yang mungkin tidak stabil.1
Kritik realistis muncul dari diskusi internal Forum PKP sendiri. Perwakilan perusahaan besar, seperti PT. Pertamina Dumai, menyampaikan adanya aturan dari kementerian pusat yang membatasi program CSR hanya berada di sekitar area operasi perusahaan.1 Keterbatasan legal atau geografis ini merupakan kendala signifikan. Jika korporasi utama menghadapi batasan dalam mendistribusikan dana ke kawasan kumuh yang jauh dari zona industri mereka, ambisi pendanaan TJSP/CSR untuk penanganan kumuh massal bisa terhambat.
Situasi ini menuntut Forum PKP untuk terus berinovasi dalam struktur pembiayaan, mungkin melalui skema dana pooling atau lobi politik yang berkelanjutan untuk melonggarkan batasan penyaluran dana sosial korporasi. Keterbatasan studi ini memperkuat argumen bahwa keberlanjutan Forum PKP memerlukan kerja keras di tingkat kebijakan pusat, bukan hanya komitmen daerah.
Strategi Mengatasi Risiko Internal
Manajemen risiko internal mengidentifikasi dua ancaman operasional utama: potensi kurangnya dukungan dari tim efektif karena padatnya tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing personel, dan risiko konflik prioritas kegiatan Perangkat Daerah yang dapat mengganggu pencapaian target Forum PKP.1
Solusi yang dirumuskan adalah membangun komunikasi intensif, membangun komitmen, dan menetapkan kedisiplinan jadwal yang ketat bagi seluruh anggota tim dan stakeholder terkait. Ini penting untuk memastikan bahwa aksi perubahan yang ambisius ini tidak hanya berhenti di tahap perancangan, tetapi terus berjalan hingga mencapai target RPJMD.1
Dampak Jangka Panjang: Mengamankan Masa Depan Kota Industri
Forum PKP adalah sebuah inovasi yang menjawab masalah sistemik dan sejalan dengan Reformasi Birokrasi Tematik yang diamanatkan pemerintah pusat. Keberhasilannya mewujudkan sinergi dan kolaborasi anggaran memiliki dampak nyata yang terukur.
Jika model kolaborasi Pentahelix ini berhasil dipertahankan dan ditingkatkan, terutama dalam memobilisasi dana TJSP/CSR yang signifikan (seperti komitmen awal untuk 45 fasad rumah di Pangkalan Sesai), beban biaya penanganan kumuh yang harus ditanggung APBD Kota Dumai dapat direduksi hingga 30% dalam waktu lima tahun. Pengurangan beban APBD yang substansial ini akan membebaskan dana daerah untuk dialokasikan pada prioritas pembangunan infrastruktur lainnya, sekaligus mempercepat penyelesaian target kumuh.
Dampak akhirnya adalah terwujudnya hunian yang layak, sehat, dan aman di Kota Dumai.1 Dengan melibatkan masyarakat dan sektor swasta dalam perencanaan, Forum PKP tidak hanya meningkatkan kualitas lingkungan tetapi juga menciptakan mekanisme pengawasan yang kuat, yang sangat penting untuk mencegah tumbuhnya kawasan kumuh baru di masa depan. Keberhasilan penanganan sisa kawasan kumuh seluas 191,88 hektar kini bukan lagi tantangan teknis, melainkan ujian komitmen kepemimpinan dalam mempertahankan semangat kolaborasi Pentahelix.
Sumber Artikel:
Insani Taqwa Saili, S.T. (2023). Percepatan Pengurangan Kawasan Kumuh Melalui Forum Pengembangan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Di Kota Dumai. Laporan Implementasi Aksi Perubahan Kinerja Organisasi, Pelatihan Kepemimpinan Administrator Angkatan III. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sumatera Utara.