Ekonomi

Mengukur Sirkularitas: Membangun Ekonomi yang Hemat Sumber Daya dan Inklusif

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025


Isu ekonomi sirkular kini menjadi salah satu topik strategis dalam kebijakan pembangunan global. Model ekonomi yang menekankan efisiensi sumber daya dan pengurangan limbah ini dipandang sebagai solusi terhadap tiga krisis utama abad ke-21: degradasi lingkungan, ketimpangan sosial, dan volatilitas ekonomi akibat ketergantungan pada sumber daya alam terbatas.

Dokumen Conference of European Statisticians Guidelines for Measuring Circular Economy menegaskan bahwa ekonomi sirkular bukan sekadar agenda lingkungan, melainkan juga paradigma ekonomi baru. Pendekatan ini bertujuan menjaga nilai material dalam sistem ekonomi selama mungkin, meminimalkan konsumsi bahan baku, serta mencegah timbulan limbah dan dampak negatif lingkungan di sepanjang siklus hidup produk.

Bagi Indonesia, yang sedang memperkuat kebijakan green economy dan low-carbon development, memahami dan mengukur sirkularitas bukan sekadar kebutuhan statistik—tetapi fondasi bagi perencanaan industri masa depan.

Prinsip Utama: Dari Reduce hingga Recover

Salah satu kerangka paling dikenal dalam ekonomi sirkular adalah R-Framework, yang berkembang dari konsep 3R klasik (Reduce, Reuse, Recycle) menjadi 10R, dimulai dari Refuse hingga Recover. Setiap “R” mencerminkan tahapan intervensi untuk memperpanjang umur material dan produk, mulai dari perancangan produk yang menolak penggunaan bahan baru (Refuse), penggunaan bersama (Rethink), hingga pengolahan kembali limbah menjadi energi (Recover).

Kerangka ini memperluas perspektif bahwa ekonomi sirkular bukan hanya daur ulang, melainkan mencakup seluruh siklus hidup material—dari desain, konsumsi, pemeliharaan, hingga rekondisi. Dalam konteks kebijakan publik, pendekatan 10R membantu pemerintah dan industri menentukan prioritas intervensi, misalnya mendorong perancangan produk yang mudah diperbaiki (Repair), atau memperkuat ekosistem industri remanufaktur.

Mekanisme Sirkularitas: Menutup, Memperlambat, dan Menyempitkan Aliran Sumber Daya

Laporan ini membedakan tiga mekanisme utama yang membentuk transisi menuju ekonomi sirkular:

  1. Menutup (Closing) Siklus Sumber Daya
    Berfokus pada pencegahan limbah melalui penggunaan bahan daur ulang dan produk bekas, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap bahan mentah baru.
    Contoh aplikatif di Indonesia adalah program pengelolaan limbah plastik menjadi secondary raw materials yang kini diadopsi oleh sektor kemasan dan tekstil.

  2. Memperlambat (Slowing) Aliran Sumber Daya
    Berupaya memperpanjang umur produk melalui desain tahan lama, kemudahan perbaikan, dan model bisnis berbasis kepemilikan bersama (sharing economy).
    Ini relevan bagi sektor otomotif dan elektronik Indonesia, di mana perpanjangan usia produk dapat menekan konsumsi material baru.

  3. Menyempitkan (Narrowing) Aliran Sumber Daya
    Meningkatkan efisiensi produksi dan konsumsi melalui inovasi teknologi dan perubahan perilaku.
    Pendekatan ini mendorong perusahaan untuk menghasilkan lebih banyak nilai ekonomi dari jumlah bahan yang lebih sedikit, seperti penerapan eco-efficiency di industri manufaktur.

Ketiga mekanisme ini membentuk fondasi operasional bagi negara yang ingin menurunkan jejak ekologis tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Definisi Global dan Kerangka Konseptual

Salah satu kontribusi utama laporan ini adalah penyusunan definisi kerja internasional tentang ekonomi sirkular yang dapat diadaptasi oleh negara-negara anggota.
Definisi tersebut menekankan tiga prinsip utama:

  1. Nilai material harus dipertahankan selama mungkin dalam sistem ekonomi.

  2. Penggunaan dan konsumsi material harus diminimalkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

  3. Timbulan limbah dan dampak lingkungan harus dicegah di seluruh siklus hidup material.

Untuk mengukur kemajuan, dibangun kerangka konseptual yang terdiri dari empat komponen utama:

  • Siklus hidup material dan rantai nilai, mencakup input bahan baku, konsumsi, hingga limbah akhir.

  • Interaksi dengan lingkungan, mengukur dampak aktivitas ekonomi terhadap iklim, air, tanah, dan biodiversitas.

  • Tanggapan dan kebijakan, meliputi insentif ekonomi, inovasi teknologi, dan instrumen regulasi.

  • Peluang sosial ekonomi, termasuk penciptaan lapangan kerja, inovasi model bisnis, dan peningkatan keterampilan.

Kerangka ini menciptakan dasar bagi sistem indikator nasional yang konsisten dengan standar internasional seperti System of Environmental-Economic Accounting (SEEA).

Dampak Lingkungan dan Sosial dari Material Ekonomi

Salah satu bagian penting dalam laporan ini menyoroti bagaimana setiap kelompok material—biomassa, kayu, energi fosil, logam, hingga mineral konstruksi—memiliki jejak ekologis berbeda. Sebagai contoh, sekitar setengah emisi gas rumah kaca global berasal dari kegiatan pengelolaan material, sementara lebih dari 90% kehilangan biodiversitas terkait dengan ekstraksi sumber daya alam.

Pendekatan ekonomi sirkular dapat menekan dampak tersebut melalui:

  • Substitusi bahan tak terbarukan dengan sumber daya terbarukan.

  • Penerapan prinsip cascading use, seperti pemanfaatan kayu dalam beberapa siklus penggunaan sebelum dibakar untuk energi.

  • Pengurangan konsumsi energi fosil melalui efisiensi proses industri.

Lebih jauh, konsep ini juga berimplikasi sosial. Transisi menuju ekonomi sirkular menciptakan peluang kerja baru di sektor reuse, repair, dan remanufacture, sekaligus menuntut peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan teknis dan literasi lingkungan.

Kebijakan dan Instrumen Pendukung

Untuk mempercepat penerapan ekonomi sirkular, laporan ini merekomendasikan berbagai instrumen kebijakan, seperti:

  • Insentif fiskal untuk perusahaan yang menerapkan desain produk sirkular atau menggunakan bahan daur ulang.

  • Kebijakan publik hijau (green procurement) untuk mendorong permintaan pasar terhadap produk berkelanjutan.

  • Extended Producer Responsibility (EPR) yang menuntut produsen bertanggung jawab terhadap siklus hidup produknya.

  • Investasi R&D dalam teknologi daur ulang dan material alternatif.

  • Edukasi dan sertifikasi profesional dalam bidang sirkularitas, terutama di sektor konstruksi dan industri berat.

Indonesia telah mulai mengarah ke arah ini melalui Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon serta Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular yang tengah disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas.

Kesimpulan

Ekonomi sirkular bukan hanya wacana ekologis, tetapi strategi pembangunan lintas sektor yang menghubungkan efisiensi ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Pedoman internasional seperti yang disusun oleh Conference of European Statisticians menyediakan fondasi metodologis yang dapat diadaptasi untuk konteks nasional, termasuk Indonesia.

Dengan membangun sistem pengukuran yang solid, memperkuat kebijakan insentif, serta meningkatkan kapasitas manusia, Indonesia berpeluang menjadi salah satu pionir ekonomi sirkular di kawasan Asia Tenggara—sebuah ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga berputar dengan bijak.

 

Daftar Pustaka

Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Part A. Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2022). Kebijakan pengelolaan limbah dan strategi circular economy nasional. Jakarta: KLHK RI.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Measuring circular economy and material flows. Paris: OECD Publishing.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2023). Global environment outlook: Circularity and resource efficiency. Nairobi: UNEP.

World Bank. (2023). Towards a circular economy in emerging markets: Policy insights for sustainable industrial growth. Washington, DC: World Bank Group.

Selengkapnya
Mengukur Sirkularitas: Membangun Ekonomi yang Hemat Sumber Daya dan Inklusif

Kebijakan Publik

Evaluasi Ekonomi Jalan: Menghubungkan Pembangunan Infrastruktur dengan Efisiensi Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Laporan Road Deterioration Study oleh World Bank (1988) menegaskan bahwa biaya perawatan jalan yang rendah pada awalnya dapat berujung pada biaya sosial dan ekonomi yang jauh lebih tinggi dalam jangka panjang. Jalan yang tidak dirawat menyebabkan peningkatan Vehicle Operating Cost (VOC), memperlambat arus barang, serta menurunkan daya saing industri dan pertanian.

Dengan kata lain, investasi kecil dalam pemeliharaan jalan mampu menghasilkan penghematan ekonomi besar melalui efisiensi transportasi dan pengurangan biaya logistik nasional. Bagi Indonesia, temuan ini sangat relevan. Dengan program strategis nasional, pemerintah perlu memastikan kebijakan pemeliharaan jalan menjadi prioritas utama, bukan sekadar pembangunan baru. Pelatihan seperti Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat memperkuat kapasitas aparatur dalam menilai dampak ekonomi jangka panjang dari investasi jalan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Hasil studi menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalokasikan 10–20% dari anggaran infrastruktur untuk pemeliharaan rutin mengalami penurunan signifikan dalam biaya logistik nasional hingga 25%.

Hambatan utama:

  • Pendanaan tidak berkelanjutan – pemeliharaan sering kali bergantung pada proyek donor dan bukan sistem fiskal nasional.

  • Kurangnya data jalan – kondisi jalan tidak selalu dimonitor secara sistematis.

  • Kelemahan institusional – lembaga pengelola jalan sering tidak memiliki kapasitas teknis yang memadai.

Peluang muncul melalui digitalisasi sistem pemeliharaan berbasis sensor dan remote monitoring, serta kolaborasi publik-swasta. Inisiatif seperti Pengenalan Manajemen Aset dapat mendukung penerapan kebijakan berbasis data dan aset di tingkat daerah.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Bangun Sistem Nasional Pemeliharaan Jalan Berbasis Data: Gunakan teknologi GIS dan sensor kendaraan untuk pemantauan kondisi jalan secara real-time.

  2. Alokasikan Dana Pemeliharaan secara Tetap dan Proporsional: Tentukan persentase tetap dari APBN/APBD untuk perawatan rutin agar tidak bergantung pada proyek donor.

  3. Kembangkan Kapasitas SDM Teknis dan Evaluator Jalan: Melalui pelatihan keahlian di bidang manajemen aset dan infrastruktur.

  4. Integrasikan Kebijakan Jalan dengan Strategi Ekonomi Wilayah: Pastikan pembangunan dan pemeliharaan jalan mendukung distribusi logistik nasional.

  5. Dorong Kolaborasi Publik–Swasta (PPP): Terutama dalam perawatan jalan tol dan jalan arteri strategis untuk menjaga efisiensi jangka panjang.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan jalan sering gagal karena berfokus pada pembangunan baru tanpa memperhitungkan biaya pemeliharaan jangka panjang. Risiko lainnya:

  • Fokus politis jangka pendek yang mengabaikan aspek teknis pemeliharaan.

  • Kurangnya akuntabilitas kontraktor, yang mengurangi kualitas pekerjaan.

  • Tidak adanya indikator kinerja berbasis dampak sosial dan ekonomi.

Tanpa sistem evaluasi yang transparan dan berbasis bukti, kebijakan infrastruktur mudah terjebak pada pemborosan fiskal dan degradasi aset publik.

Penutup

Road Deterioration Study membuktikan bahwa pemeliharaan infrastruktur adalah investasi, bukan biaya. Negara yang menyeimbangkan pembangunan baru dan perawatan lama akan menuai pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Bagi Indonesia, prioritas ke depan adalah menjaga kualitas dan efisiensi jalan sebagai fondasi ekonomi nasional. Dukungan pelatihan dan riset kebijakan dapat memperkuat arah pembangunan infrastruktur yang produktif, berkeadilan, dan berbasis bukti.

Sumber

World Bank. (1988). Road Deterioration in Developing Countries: Causes and Remedies (Road Deterioration Study, Vol. 1). Washington, D.C.: World Bank.

Selengkapnya
Evaluasi Ekonomi Jalan: Menghubungkan Pembangunan Infrastruktur dengan Efisiensi Nasional

Infrastruktur Pembangunan

Membangun Jalan Menuju Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan: Sinergi Infrastruktur, Pendidikan, dan Ekspor

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Studi oleh Ng et al. (2019) menegaskan bahwa pembangunan jalan berperan krusial dalam mendorong mobilitas, akses pasar, dan efisiensi distribusi, yang secara signifikan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB per kapita).

Namun, temuan ini juga menggarisbawahi bahwa investasi infrastruktur jalan saja tidak cukup; faktor lain seperti pendidikan, ekspor, dan modal fisik per pekerja memiliki kontribusi besar. Temuan ini penting bagi Indonesia untuk merancang kebijakan pembangunan yang terintegrasi—menggabungkan investasi infrastruktur dengan peningkatan kualitas SDM dan produktivitas industri ekspor.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif yang ditemukan:

  • Pertumbuhan ekonomi meningkat seiring dengan penambahan panjang jalan.

  • Infrastruktur jalan mendorong pertumbuhan ekspor dan mempercepat distribusi barang.

  • Peningkatan pengeluaran pendidikan meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

  • Modal fisik per pekerja berperan langsung dalam peningkatan output industri dan pertanian.

Hambatan utama yang diidentifikasi:

  • Kesenjangan antarwilayah dalam kualitas dan kapasitas jaringan jalan.

  • Urbanisasi berlebih yang dapat menurunkan efisiensi ekonomi (inverted U-curve effect).

  • Keterbatasan dana pemeliharaan dan perencanaan berbasis data di negara berkembang.

Peluang besar muncul melalui integrasi kebijakan, digitalisasi data infrastruktur, dan kolaborasi publik-swasta. Pelatihan seperti Perencanaan Wilayah dan Kota dalam Pembangunan Indonesia dapat menjadi wadah untuk mengasah kemampuan dalam merancang kebijakan berbasis bukti dan sinergi multisektor.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasikan Pembangunan Jalan dengan Kebijakan Pendidikan dan Ekspor: Investasi infrastruktur harus selaras dengan pengembangan SDM dan strategi ekspor nasional.

  2. Bangun Sistem Pemantauan Infrastruktur Nasional: Gunakan data spasial dan ekonomi untuk mengevaluasi dampak pembangunan jalan terhadap PDB dan produktivitas daerah.

  3. Dorong Investasi Swasta dalam Infrastruktur Jalan: Skema Public-Private Partnership (PPP) dapat mempercepat perluasan dan pemeliharaan jaringan jalan.

  4. Kendalikan Urbanisasi Berlebihan: Rancang kebijakan tata ruang yang mencegah konsentrasi ekonomi di kota besar agar pertumbuhan lebih merata.

  5. Fokus pada Infrastruktur Lokal dan Aksesibilitas Desa: Pembangunan jalan pedesaan dan penghubung antarkawasan dapat memperkuat ekonomi regional dan inklusi sosial.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan infrastruktur berpotensi gagal bila: terlalu fokus pada target fisik tanpa integrasi sosial dan ekonomi, tidak mempertimbangkan kapasitas pemeliharaan jangka panjang, mengabaikan sinergi antara transportasi, pendidikan, dan industri ekspor, atau tidak memperhatikan risiko urbanisasi berlebih.

Kebijakan perlu diarahkan pada keseimbangan antara pembangunan fisik dan peningkatan kapasitas manusia agar dampaknya inklusif dan berkelanjutan.

Penutup

Penelitian Ng et al. (2019) menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur jalan adalah katalis penting bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi hanya efektif bila diiringi dengan peningkatan pendidikan, ekspor, dan tata kelola urbanisasi.

Bagi Indonesia, strategi pembangunan nasional seharusnya menekankan kolaborasi multisektor—antara pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat—agar jalan yang dibangun tidak hanya menghubungkan wilayah, tetapi juga memperkuat konektivitas sosial dan ekonomi bangsa.

Sumber

Ng, C.P., Law, T.H., Jakarni, F.M., & Kulanthayan, S. (2019). Road Infrastructure Development and Economic Growth. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 512(1), 012045. DOI:10.1088/1757-899X/512/1/012045

Selengkapnya
Membangun Jalan Menuju Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan: Sinergi Infrastruktur, Pendidikan, dan Ekspor

Infrastruktur dan Teknologi Berkelanjutan

Inovasi Pemantauan Infrastruktur Jalan Berbasis Remote Sensing untuk Pembangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian terbaru dalam Remote Sensing (2024) menyoroti bagaimana citra satelit resolusi tinggi dapat digunakan untuk menilai dampak ekologis pembangunan jalan, termasuk degradasi lahan, deforestasi, dan perubahan tata guna lahan.

Temuan ini penting karena membuka jalan bagi pendekatan berbasis data real-time dalam perencanaan infrastruktur nasional. Pemerintah dapat menggunakan data satelit untuk mendeteksi dampak lingkungan sejak tahap konstruksi, memastikan pembangunan jalan tidak hanya fokus pada efisiensi transportasi, tetapi juga keberlanjutan ekologis. Dalam konteks Indonesia—di mana ekspansi jaringan jalan terus berjalan—penerapan remote sensing dapat membantu Kementerian PUPR dan KLHK dalam mengintegrasikan kebijakan infrastruktur dengan kebijakan lingkungan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan remote sensing dalam pemantauan jalan memberikan dampak positif:

  • Efisiensi pemantauan lingkungan: Perubahan vegetasi dan tutupan lahan terdeteksi secara periodik melalui citra satelit.

  • Peningkatan akuntabilitas proyek: Data spasial memungkinkan pelacakan pembangunan terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW).

  • Pencegahan bencana ekologis: Deteksi dini terhadap erosi, banjir, atau sedimentasi akibat pembangunan jalan.

Hambatan utama:

  • Keterbatasan kapasitas teknis daerah dalam memanfaatkan data geospasial.

  • Akses terbatas terhadap data satelit komersial yang beresolusi tinggi.

  • Kurangnya integrasi antarinstansi antara lembaga infrastruktur dan lingkungan.

Peluang besar muncul dengan semakin mudahnya akses data open-source (Sentinel dan Landsat) serta kemajuan machine learning untuk analisis spasial. Melalui pelatihan seperti Perencanaan Wilayah dan Kota dalam Pembangunan Indonesia, pemerintah daerah dapat meningkatkan kemampuan teknis dalam mengelola data dan kebijakan berbasis peta.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasikan Pemantauan Lingkungan Berbasis Remote Sensing dalam Proyek Jalan Nasional: Setiap proyek strategis perlu memasukkan indikator lingkungan berbasis citra satelit.

  2. Bangun Pusat Data Geospasial Terpadu untuk Infrastruktur Jalan: Pusat ini harus melibatkan Bappenas, KLHK, dan PUPR untuk sinkronisasi data dan kebijakan.

  3. Tingkatkan Kapasitas SDM Pemerintah Daerah: Aparatur perlu memahami analisis spasial dan indikator keberlanjutan.

  4. Dorong Kolaborasi Akademik dan Industri Teknologi: Kemitraan dapat memperluas riset dan penerapan sistem pemantauan berbasis AI.

  5. Gunakan Indikator Lingkungan dalam Evaluasi Kinerja Proyek Jalan: Penilaian keberhasilan proyek harus mencakup dampak ekologis yang terukur.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan berbasis remote sensing berisiko gagal bila diterapkan tanpa kesiapan teknis dan koordinasi. Potensi kegagalannya antara lain: ketergantungan pada data tanpa verifikasi lapangan, informasi menjadi usang karena minimnya pemeliharaan sistem, dan kurangnya pemahaman pengambil kebijakan tentang interpretasi data spasial. Agar kebijakan ini berhasil, dibutuhkan integrasi multi-stakeholder yang kuat.

Penutup

Pemanfaatan remote sensing dalam kebijakan infrastruktur jalan menandai era baru pembangunan berbasis bukti dan berorientasi lingkungan. Melalui pendekatan ini, pemerintah dapat memastikan bahwa pembangunan fisik berjalan seiring dengan perlindungan ekosistem. Bagi Indonesia, langkah menuju digitalisasi pemantauan infrastruktur adalah transformasi tata kelola yang menjamin transparansi, efisiensi, dan keberlanjutan.

Sumber

  • Remote Sensing (2024). Monitoring Road Infrastructure and Its Environmental Impacts Using Remote Sensing.

Selengkapnya
Inovasi Pemantauan Infrastruktur Jalan Berbasis Remote Sensing untuk Pembangunan Berkelanjutan

Kebijakan Publik

Meningkatkan Kualitas Proyek Konstruksi Jalan: Pembelajaran dari Praktik di Swedia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian ini menyoroti pentingnya kualitas dalam proyek konstruksi jalan sebagai faktor utama dalam efisiensi anggaran publik dan keberlanjutan infrastruktur. Studi di Swedia menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dalam tahap desain, pelaksanaan, dan pengawasan berkontribusi terhadap pemborosan anggaran, keterlambatan proyek, serta rendahnya umur layanan jalan.

Dalam konteks kebijakan publik, temuan ini menekankan perlunya sistem quality assurance yang kuat dan mekanisme audit independen. Swedia, melalui kebijakan Total Quality Management (TQM) dan sistem evaluasi kontraktor berbasis kinerja, berhasil menekan tingkat kegagalan proyek.

Bagi Indonesia, studi ini menjadi relevan mengingat persoalan klasik seperti jalan cepat rusak dan lemahnya pengawasan mutu. Pelatihan seperti Kursus Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat menjadi sarana peningkatan kompetensi aparatur dan kontraktor dalam memastikan pembangunan jalan yang efisien, transparan, dan berkelanjutan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Temuan lapangan di Swedia menunjukkan beberapa dampak positif dari kebijakan peningkatan kualitas konstruksi jalan:

  • Penurunan biaya pemeliharaan jangka panjang hingga 30% melalui perbaikan mutu material dan kontrol desain.

  • Peningkatan kepuasan pengguna jalan akibat stabilitas struktur.

  • Terbangunnya kepercayaan antara pemerintah dan kontraktor melalui sistem evaluasi berbasis kinerja.

Hambatan yang ditemukan:

  • Resistensi dari kontraktor kecil terhadap standar mutu baru karena peningkatan biaya awal.

  • Kurangnya tenaga ahli di bidang manajemen mutu dan audit proyek.

  • Proses birokrasi yang panjang dalam penyesuaian regulasi kontrak publik.

Peluang besar muncul melalui penerapan digital project management systems dan Building Information Modeling (BIM) yang mampu meningkatkan transparansi dan efisiensi pelaksanaan proyek di Indonesia.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Bangun Sistem Evaluasi Kinerja Kontraktor Nasional: Terapkan model seperti Swedish Transport Administration’s Contractor Assessment untuk menilai mutu pekerjaan dan kepatuhan.

  2. Tingkatkan Kapasitas Aparatur dalam Quality Management: Adakan pelatihan berkala untuk memperkuat kompetensi teknis dan administratif.

  3. Gunakan Teknologi Digital untuk Monitoring Proyek: Terapkan sistem digital monitoring berbasis sensor dan BIM guna meminimalkan penyimpangan proyek.

  4. Dorong Kolaborasi Publik-Swasta dalam Inovasi Material: Libatkan universitas dan industri untuk mengembangkan bahan konstruksi yang lebih tahan lama.

  5. Perkuat Regulasi Audit Independen dan Transparansi Proyek: Pastikan lembaga pengawas memiliki independensi penuh dalam menilai kualitas dan biaya proyek.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan peningkatan kualitas konstruksi berisiko gagal jika hanya berfokus pada aspek teknis tanpa memperhatikan tata kelola kelembagaan. Risiko utamanya meliputi:

  • Ketergantungan pada kontraktor besar, yang menyingkirkan pelaku usaha kecil.

  • Ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menerapkan sistem quality assurance.

  • Kurangnya transparansi publik yang dapat memunculkan potensi moral hazard.

Untuk mencegah hal ini, kebijakan mutu perlu diiringi dengan reformasi kelembagaan, pelibatan masyarakat dalam pengawasan proyek, dan sistem penghargaan bagi kontraktor yang berintegritas.

Penutup

Kualitas proyek jalan adalah indikator keberhasilan kebijakan infrastruktur nasional. Pengalaman Swedia menunjukkan bahwa peningkatan mutu konstruksi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga manajemen, akuntabilitas, dan inovasi.

Dengan penerapan sistem evaluasi berbasis kinerja, pelatihan kompetensi teknis, serta integrasi teknologi dalam pengawasan proyek, Indonesia dapat menciptakan sistem pembangunan jalan yang efisien, tahan lama, dan berdaya saing tinggi.

Sumber

Swedish Transport Administration (2022). Quality of Road Construction Projects in Sweden: Analysis and Policy Lessons.

Selengkapnya
Meningkatkan Kualitas Proyek Konstruksi Jalan: Pembelajaran dari Praktik di Swedia

Teknologi

Hantu di Persimpangan: Membedah AI yang Bisa Membaca Niat Pejalan Kaki

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025


Pertama, mari kita sepakati: jalanan kita saat ini bodoh. Sistem keselamatan mobil kita, secanggih apa pun, pada dasarnya reaktif. Mereka punya sensor, tapi mereka bereaksi terhadap apa yang sudah terjadi. Rem darurat otomatis baru bekerja setelah seorang anak berlari ke jalan.

Masalahnya, seperti yang dijabarkan di bagian "Motivation" paper ini, dunia tidak memberi kita kemewahan waktu.   

Para peneliti menyoroti statistik suram dari World Health Organization: 27% dari 1,24 juta korban jiwa lalu lintas di seluruh dunia adalah VRU. Di Jerman, tempat penelitian ini berasal, 69% kecelakaan fatal terjadi di perkotaan, terutama di persimpangan.   

Mengapa persimpangan begitu mematikan? Para peneliti menunjuk dua alasan yang sangat manusiawi:

  1. Oklusi (Occlusions): Sederhananya, titik buta. Mobil Anda tidak bisa melihat anak yang berlari dari balik bus yang sedang parkir atau pesepeda yang terhalang truk.   

  2. Ketidakpastian (Unpredictability): Ini yang paling penting. Pejalan kaki dan pesepeda bisa "secara tiba-tiba memulai gerakan atau mengubah arah" dalam "beberapa ratus milidetik".   

Sistem reaktif gagal total menghadapi dua masalah ini. Saat sensor mobil Anda akhirnya melihat anak yang keluar dari balik bus (memecahkan oklusi), Anda mungkin sudah tidak punya waktu "beberapa ratus milidetik" itu untuk bereaksi.

Di sinilah letak lompatan konseptual besar dari paper ini. Solusinya tidak bisa reaktif; ia harus prediktif. Kita tidak perlu mendeteksi gerakan pejalan kaki; kita perlu mendeteksi niat mereka untuk bergerak.

Saat Mobil, Lampu Lalu Lintas, dan Ponsel Anda Mulai Berbisik

Jadi, bagaimana cara Anda memprediksi niat? Anda tidak bisa memasang satu kamera super di setiap mobil dan berharap selesai. Masalah oklusi tetap ada.

Solusi brilian yang diusulkan paper ini adalah: "Collective Intelligence" (CI) atau Kecerdasan Kolektif.   

Lupakan ide tentang satu mobil super-jenius ala Tesla yang berjuang sendirian. Bayangkan satu mobil adalah satu neuron. Sendirian, dia tidak terlalu pintar. Dia hanya bisa melihat apa yang ada tepat di depannya. Tapi paper ini mengusulkan untuk menghubungkan semua neuron di persimpangan.

Siapa "agen" dalam jaringan kecerdasan kolektif ini?    

  1. Kendaraan Cerdas: Mobil Anda, mobil di sebelah Anda, bus di depan Anda.

  2. Infrastruktur: Ini adalah pengubah permainan. Kamera di lampu lalu lintas, pemindai laser yang dipasang di sudut jalan.

  3. VRU Sendiri: Dan ini bagian yang paling menarik. Smartphone Anda, smartwatch Anda, atau sensor yang Anda pakai.

Tiba-tiba, masalah oklusi mulai terpecahkan. Mobil Anda tidak bisa melihat pesepeda di balik bus. Tapi, kamera di tiang lampu lalu lintas bisa melihatnya. Dan smartphone di saku si pesepeda tahu dari akselerometernya bahwa dia sedang bergerak.   

Ketika semua agen ini "berbisik" satu sama lain melalui jaringan ad hoc , mereka menciptakan apa yang disebut paper ini sebagai "Global Vision" atau pandangan-dewa dari persimpangan. Tujuannya adalah untuk "memperluas cakrawala persepsi" setiap agen individu melampaui sensor mereka sendiri.   

Sistem "agen" heterogen yang saling berbicara dan berbagi data ini adalah definisi buku teks dari(https://diklatkerja.com/course/internet-of-things-basic). Ini bukan lagi kulkas pintar yang memesan susu; ini adalah infrastruktur yang saling terhubung yang dirancang untuk menyelamatkan nyawa.   

Paper Ini Tidak Sedang Memprediksi Ke Mana Anda Pergi, Tapi Bagaimana Anda Akan Pergi

Di sinilah letak inti teknis dari paper ini, dan bagian yang paling membuat saya terkesan. Oke, sistemnya bisa "melihat" semua orang. Terus? Bagaimana itu membedakannya dari sistem pengawasan biasa?

Jawabannya: sistem ini tidak hanya melacak titik. Ia mencoba membaca pikiran.

Para peneliti membagi "Intention Detection" menjadi dua lapisan yang berbeda namun saling berhubungan.   

H3: Lapisan Niat Pertama: Prediksi Gerakan Dasar (The 'Vibe')

Ini adalah "getaran" atau "bahasa tubuh" dari seorang VRU. Secara teknis, mereka menyebutnya "Basic Movement Primitive Prediction".   

Sistem ini tidak hanya melihat "objek pejalan kaki". Ia dilatih menggunakan machine learning untuk mengenali perbedaan halus antara:

  • Seseorang yang "berdiri" (mungkin menunggu bus).

  • Seseorang yang "berdiri-dan-akan-berjalan" (misalnya, ada pergeseran berat badan, kepala menoleh berulang kali ke arah lalu lintas).

  • Seorang pesepeda yang "mengayuh stabil".

  • Seorang pesepeda yang "melambat untuk berhenti".

  • Seorang pesepeda yang "melambat-sambil-menoleh-ke-belakang-untuk-berbelok".   

Sistem ini bahkan dilatih untuk mengenali gestur, seperti "mengangkat lengan untuk memberi tanda belok". Ini adalah deteksi transisi keadaan. Ini adalah psikologinya.   

H3: Lapisan Niat Kedua: Ramalan Lintasan (The 'Physics')

Setelah, dan hanya setelah, sistem memahami niat ("dia akan berbelok"), barulah ia bisa memprediksi jalur fisiknya secara akurat.

Ini disebut "Forecast of the future trajectory". Ini adalah ramalan fisika murni: ke mana titik-titik di tubuh orang itu (kepala, pusat gravitasi, persendian) akan bergerak dalam ruang 3D selama 1-3 detik ke depan.   

Mengapa memisahkan keduanya adalah sebuah terobosan?

Karena model-model lama (yang disebut di paper seperti Bayesian recursive state estimator ) gagal total karena mereka hanya melakukan Lapisan 2 (Prediksi Lintasan). Mereka melihat pejalan kaki dan pada dasarnya mengasumsikan dia akan terus berjalan lurus seperti robot. Begitu pejalan kaki itu tiba-tiba berubah pikiran, model itu hancur.   

Paper ini menyatakan bahwa Lapisan 1 ("Prediksi Gerakan Dasar") harus menginformasikan Lapisan 2 ("Ramalan Lintasan").   

Bayangkan skenario ini: Sistem melihat seorang pesepeda melambat.

  • Model Lama (Hanya Fisika): "Dia melambat. Data historis mengatakan 90% orang yang melambat akan berhenti. Prediksi saya: dia akan berhenti di tepi jalan."

  • Model Baru (Niat + Fisika): Lapisan 1 mendeteksi "lengan terangkat untuk memberi tanda belok". Sistem langsung berpikir, "Aha! Dia bukan berhenti, dia bersiap berbelok." Sistem kemudian mengabaikan model prediksi "berhenti" dan beralih ke model prediksi "berbelok".   

Inilah lompatan besar dalam keandalan.

Di Dapur Para Insinyur: Cara Mereka Menggabungkan Gosip Digital Ini

Oke, jadi mobil, kamera, dan ponsel semuanya "berbisik" dalam jaringan. Tapi bagaimana "otak" kolektif mendengarkan semua gosip ini dan mengambil satu keputusan yang koheren? Ini adalah masalah fusi data.

Para peneliti mengusulkan arsitektur (di Gambar 3) yang memungkinkan dua strategi fusi yang berbeda (di Gambar 4). Saya akan menjelaskannya dengan analogi.   

H3: Metode 1: 'Tim Detektif' (Feature-level Fusion)

Ini adalah sisi kiri dari Gambar 4 di paper.   

  • Analogi: Bayangkan sebuah tim detektif yang menyelidiki sebuah kasus. Setiap "agen" (mobil, kamera) tidak membuat kesimpulan. Mereka hanya mengumpulkan petunjuk mentah (disebut "fitur").

    • Mobil: "Saya melihat bentuk kabur bergerak dengan kecepatan 10 km/jam."

    • Kamera: "Saya melihat warna merah dan dua lingkaran berputar (roda sepeda)."

    • Ponsel: "Saya mendeteksi guncangan dari akselerometer yang konsisten dengan 'mengayuh'."

  • Semua "fitur" mentah ini dikirim ke satu "detektif kepala" (sistem fusi pusat) yang melihat semua petunjuk bersama-sama dan baru membuat satu kesimpulan: "Itu adalah pesepeda yang sedang mengayuh."

  • Pro/Kontra: Ini berpotensi sangat akurat karena detektif kepala melihat gambaran lengkapnya. Tapi, ini sangat boros bandwidth (mengirim banyak data mentah) dan bisa jadi lambat.

H3: Metode 2: 'Panel Ahli' (Decision-level Fusion)

Ini adalah sisi kanan dari Gambar 4.   

  • Analogi: Bayangkan sebuah panel ahli. Setiap "agen" adalah ahli yang cerdas. Mereka melihat semua data sendiri dan membuat kesimpulan mereka sendiri terlebih dahulu.

    • Mobil: "Setelah analisis saya, saya 80% yakin itu pesepeda yang akan lurus."

    • Kamera: "Saya 95% yakin itu pesepeda yang akan belok kiri."

    • Ponsel: "Saya 70% yakin itu pesepeda yang akan lurus."

  • Mereka lalu mengirimkan keputusan mereka (bukan data mentah) ke "moderator" (sistem fusi) yang pada dasarnya melakukan voting (mungkin dengan bobot, berdasarkan seberapa "yakin" si ahli) untuk membuat keputusan akhir.   

  • Pro/Kontra: Ini jauh lebih cepat dan sangat hemat bandwidth (hanya mengirim pesan "80% yakin"). Tapi, ada risiko kehilangan nuansa penting yang ada di data mentah.

Bagian yang cerdas adalah paper ini tidak memilih satu. Arsitektur mereka  dirancang untuk mendukung keduanya. Ini berarti sistem dapat beradaptasi. Dalam situasi lalu lintas yang sepi, ia bisa menggunakan "Tim Detektif" yang lambat tapi akurat. Di persimpangan yang kacau balau saat jam sibuk, ia bisa beralih ke "Panel Ahli" yang cepat untuk keputusan real-time.   

Seluruh proses ini—mengambil data mentah (fitur), melatih model untuk mengenalinya (menggunakan teknik seperti Histogram of Oriented Gradients (HOG) , Support Vector Machines (SVMs), dan Artificial Neural Networks (ANNs) )—adalah inti dari Artificial Intelligence dan(https://diklatkerja.com/course/big-data-dan-artificial-intelligence). Ini adalah salah satu aplikasi dunia nyata paling keren dari konsep-konsep tersebut yang pernah saya baca.   

Poin-Poin Penting yang Harus Anda Ingat (Versi Cepat)

Paper ini adalah proposal arsitektur, jadi tidak ada hasil bombastis seperti "62% lebih efisien". Fokusnya adalah pada visi dan inovasi metodologi.   

  • 🚀 Visinya Luar Biasa: Kita bergeser dari paradigma "mobil otonom tunggal" (setiap mobil adalah benteng yang berjuang sendiri) ke "ekosistem otonom kolaboratif" (setiap mobil, tiang lampu, dan pejalan kaki adalah rekan satu tim).

  • 🧠 Inovasi Utamanya: Memecahkan masalah "oklusi" (titik buta) dengan sensor fusion. Mobil Anda tidak perlu melihat Anda untuk tahu Anda ada di sana, karena infrastruktur dan ponsel Anda sudah memberitahunya.   

  • 💡 Pelajaran Buat Saya: Solusi terbaik untuk masalah yang kompleks seringkali bukan satu agen super-pintar, tapi banyak agen "cukup pintar" yang mau berkolaborasi dan berbagi data. Itulah inti dari "Collective Intelligence".   

  • 🤯 Konsep Kunci: Memisahkan niat psikologis ("basic movement primitive") dari aksi fisik ("trajectory forecast"). Ini adalah kunci untuk prediksi yang benar-benar andal.   

Sebuah Kritik Halus: Apa yang (Sengaja?) Dilewatkan oleh Paper Ini

Meskipun saya menyukai visi ini, ada beberapa hal yang membuat saya mengernyitkan dahi. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang—menurut saya—tidak dijawab oleh paper ini.

H3: Masalah Kesenjangan Digital (The Digital Divide)

Seluruh arsitektur yang agung ini (digambarkan di Gambar 3) memiliki tiga pilar: Mobil, Infrastruktur, dan "Body" (sensor yang dipakai VRU). Pilar "Body" ini bergantung pada "VRU yang dilengkapi dengan perangkat pintar".   

Mari kita pikirkan sejenak. Siapa VRU yang paling rentan di jalanan? Seringkali anak-anak yang berlari mengejar bola, lansia, atau tunawisma. Mereka adalah kelompok yang paling tidak mungkin membawa smartphone atau smartwatch terbaru yang menjalankan aplikasi pelacakan ini.

Apakah sistem ini secara tidak sengaja menciptakan "kasta" keselamatan di jalan? Di mana mereka yang kaya dan memiliki teknologi terbaru menjadi "terlihat" dan dilindungi oleh sistem, sementara mereka yang tidak mampu membelinya menjadi semakin tidak terlihat dan rentan? Paper ini tidak membahas bias sosio-ekonomi yang sangat nyata ini.

H3: Masalah Ketergantungan dan Akurasi

Paper ini dengan jujur mengakui di bagian akhir bahwa data dari sensor yang dipakai di tubuh (ponsel) "jauh kurang akurat mengenai penentuan posisi absolut" dibandingkan, katakanlah, video dari kamera infrastruktur.   

Mereka lalu mengatakan ini tidak apa-apa karena (1) informasi yang tidak akurat pun lebih baik daripada tidak ada informasi sama sekali (terutama saat terhalang) dan (2) "sistem sensor di perangkat seluler akan terus ditingkatkan".   

Alasan kedua itu, terus terang, adalah sedikit hand-waving—mengandalkan teknologi masa depan untuk memperbaiki masalah desain hari ini. Menggantungkan sistem keselamatan real-time yang kritis pada akurasi GPS ponsel yang terkenal buruk di "hutan kota" (dikelilingi gedung tinggi) terasa sangat berisiko bagi saya.

H3: Masalah Privasi dan Komunikasi

Mari kita bahas gajah di dalam ruangan. Smartphone saya akan terus-menerus menyiarkan "niat" saya—pergerakan dasar saya, ke mana saya melihat, prediksi ke mana saya akan melangkah—ke setiap mobil dan infrastruktur di sekitar saya?

Siapa yang memiliki data ini? Bagaimana data ini dianonimkan? Apa yang terjadi jika data ini diretas?

Secara teknis, paper ini hanya menyebutkan bahwa "strategi baru untuk jaringan ad hoc diusulkan". Ini adalah cara akademis untuk mengatakan, "Kami tahu ini masalah besar, tapi itu bukan fokus kami." Menciptakan jaringan on-the-fly yang stabil, aman, dan berlatensi sangat rendah antara puluhan agen yang bergerak (mobil, orang) di persimpangan yang kacau adalah tantangan teknik yang monumentalPaper ini mengidentifikasinya, tetapi tidak menyelesaikannya.   

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Bukan Cuma di Mobil)

Anda mungkin tidak sedang membangun mobil otonom. Saya juga tidak. Tapi prinsip-prinsip dalam paper ini sangat relevan dengan cara kita bekerja setiap hari.

Pelajaran 1: Hancurkan Silo Data Anda. Mobil yang sendirian di paper ini adalah "silo". Ia buta terhadap apa yang tidak bisa dilihatnya. Di kantor Anda, tim sales adalah "silo". Tim marketing adalah "silo". Tim produk adalah "silo". Mereka semua memiliki "oklusi" (titik buta). Visi "Collective Intelligence"  adalah tentang menciptakan fusi data. Bagaimana Anda bisa membuat data dari tim sales (umpan balik pelanggan) secara otomatis menginformasikan model tim marketing (target audiens)?   

Pelajaran 2: Debat 'Feature' vs. 'Decision' di Rapat Anda. Ingat analogi 'Tim Detektif' (feature-level) vs. 'Panel Ahli' (decision-level)?. Ini terjadi di setiap rapat yang pernah Anda hadiri. Apakah Anda ingin tim Anda membawa "data mentah" (fitur) ke rapat untuk dianalisis bersama? (Ini lambat, tapi mendalam). Atau Anda ingin setiap anggota tim datang dengan "keputusan" mereka yang sudah matang dan Anda tinggal melakukan voting? (Ini cepat, tapi dangkal). Keduanya adalah strategi yang valid, dan paper ini mengajarkan kita untuk bersikap fleksibel tentang kapan menggunakan yang mana.   

Mengelola semua bagian yang bergerak ini—data dari agen yang berbeda, tujuan yang saling bertentangan, timeline yang ketat, dan komunikasi antar tim—pada dasarnya adalah inti dari Project ManagementPaper ini, pada intinya, adalah proposal untuk sistem manajemen proyek yang sangat canggih untuk keselamatan lalu lintas.   

Bayangkan kembali "tarian" canggung di persimpangan yang saya ceritakan di awal.

Sekarang bayangkan ini: Anda melangkah ke tepi trotoar. Bahkan sebelum kaki Anda meninggalkan trotoar, sistem "Collective Intelligence" ini telah mendeteksi pergeseran postur dan arah pandangan Anda. Ia mengklasifikasikan "gerakan dasar" Anda sebagai 'akan-menyeberang'.   

Secara instan, sistem ini memberi tahu setiap mobil dalam radius 100 meter bahwa niat Anda adalah 'akan-menyeberang'. Mobil yang mendekat tidak hanya "melihat" Anda sebagai objek. Ia memahami niat Anda. Tidak ada lagi tarian canggung. Tidak ada lagi ambiguitas.

Itu adalah dunia yang sedang dibangun oleh para peneliti ini. Ya, ini rumit. Ya, ini sedikit menyeramkan dari sisi privasi. Tapi ini juga sangat brilian.

Kalau kamu tertarik dengan ini, dan ingin ikut pusing-pusing seru bareng saya memikirkan detail teknisnya, coba baca paper aslinya. Ini bacaan yang padat, tapi sangat sepadan.

(https://doi.org/10.48550/arXiv.1809.03916)    

Selengkapnya
Hantu di Persimpangan: Membedah AI yang Bisa Membaca Niat Pejalan Kaki
« First Previous page 17 of 1.298 Next Last »