Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025
Prolog: Kalimantan Timur di Tengah Gelombang Spekulasi Lahan IKN
Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman bukan sekadar urusan penyediaan papan; ia adalah fungsi strategis dan kebutuhan dasar yang menjamin peningkatan kualitas generasi serta perwujudan kesejahteraan rakyat.1 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pembangunan sektor ini merupakan salah satu urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, yang pemenuhannya harus dilaksanakan oleh pemerintah kota dan kabupaten.1 Namun, dalam realitas Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), pemenuhan kebutuhan dasar ini berada di bawah tekanan ekstrem yang dipicu oleh dua faktor utama: laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan dinamika spekulasi lahan akibat isu pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).1
Penelitian mendalam yang fokus pada arahan keterpaduan pemanfaatan dan pengendalian pembangunan perumahan di kawasan lintas daerah kabupaten/kota di Kaltim ini menjadi krusial. Masalah mendasar yang diidentifikasi adalah ketidakmampuan mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan perumahan yang layak. Akibatnya, timbul kesenjangan besar yang dikenal sebagai backlog.1 Data menunjukkan bahwa Provinsi Kalimantan Timur berada pada urutan ke-21 dari 33 Provinsi yang menghadapi backlog perumahan yang signifikan.1
Fenomena backlog ini menciptakan dampak sosial yang merusak: masyarakat berpenghasilan rendah, yang terdesak untuk memiliki rumah layak huni, terpaksa mencari solusi secara ilegal. Mereka cenderung bermukim di kawasan hinterland (daerah penyangga) atau di area perbatasan, yang ironisnya menjadi cikal bakal timbulnya kawasan kumuh dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Aglomerasi dan Konurbasi sebagai Ancaman Nyata
Ancaman terbesar bagi tata ruang Kaltim saat ini adalah proses aglomerasi kawasan. Aglomerasi, atau pengelompokan aktivitas yang dipicu oleh konurbasi (penyatuan wilayah) yang tidak terencana, terjadi ketika perkembangan kawasan perumahan dan permukiman pada lintas daerah kabupaten/kota berjalan tanpa arahan yang terintegrasi.1
Situasi ini diperparah sejak mencuatnya isu IKN. Isu ini sontak memicu gelombang investor dan perseorangan yang memburu lahan di sekitar Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).1 Jika tren ini dibiarkan, lahannya sudah dikuasai oleh pengembang dan perseorangan, yang akan mempercepat proses konurbasi—penyatuan kawasan permukiman pada lintas wilayah/perbatasan—yang terjadi secara liar dan tidak terkontrol.1
Tujuan utama dari penelitian ini adalah merumuskan arahan yang terperinci dan terpadu. Arahan ini harus memastikan tidak adanya perbedaan konsep pengembangan ruang permukiman antar daerah lintas batas, sehingga terwujudlah kawasan perumahan dan permukiman yang berkualitas dan berkelanjutan.1
Menganalisis Daya Tarik Kota: Titik Panas Aglomerasi yang Mengejutkan Peneliti
Untuk memahami di mana tekanan permukiman akan meledak, para peneliti melakukan dua analisis kuantitatif mendalam: proyeksi populasi dan analisis daya tarik kota menggunakan Model Gravitasi Hansen. Hasilnya memberikan gambaran masa depan Kaltim yang berada di ambang tekanan urbanisasi monumental.
Lonjakan Permintaan Lahan: Proyeksi Penduduk 41% dalam 20 Tahun
Analisis proyeksi sebaran kepadatan penduduk menggunakan metode analisis bunga berganda memberikan peringatan keras mengenai kebutuhan hunian di masa depan. Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Timur diproyeksikan melonjak secara signifikan dalam dua dekade.1
Data proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2019, jumlah penduduk Kaltim adalah 3.703.893 jiwa. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, di tahun 2028, populasi diprediksi mencapai 4.350.545 jiwa. Dan pada tahun 2038, angka ini akan menyentuh 5.224.108 jiwa.1
Peningkatan jumlah penduduk ini, yang mencapai lebih dari 1,5 juta jiwa atau sekitar 41% dalam rentang 20 tahun, memiliki dampak nyata yang setara dengan kebutuhan membangun kota baru yang menampung gabungan seluruh penduduk Balikpapan dan Bontang saat ini. Lonjakan dramatis ini menegaskan tekanan yang luar biasa yang akan dihadapi oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyediaan lahan permukiman yang terencana.1
Proyeksi kepadatan penduduk ini juga menunjukkan bahwa Balikpapan akan menjadi episentrum kepadatan terbesar pada tahun 2038.1 Kepadatan yang sangat tinggi di Balikpapan secara inheren akan mendorong urbanisasi keluar menuju wilayah lintas batas yang berdekatan, khususnya Kutai Kartanegara, yang berpotensi menjadi titik konurbasi yang paling sulit dikelola jika tidak ada pengendalian terpadu.1
Temuan Mengejutkan: Model Gravitasi Mengunci Dua Hotspot Lintas Batas
Penelitian ini menggunakan Model Gravitasi Hansen, sebuah alat analisis interaksi, untuk memprediksi lokasi permukiman penduduk berdasarkan daya tarik ibu kota provinsi (Samarinda) terhadap ibu kota kabupaten/kota lainnya.1 Hasilnya mengidentifikasi dua titik panas interaksi yang memiliki implikasi strategis tinggi terkait IKN.
Analisis interaksi menunjukkan bahwa:
Temuan ini sangat mengejutkan peneliti karena menegaskan bahwa tekanan urbanisasi dan permukiman di wilayah calon IKN (PPU) bukan hanya berasal dari Balikpapan (sebagai kota terdekat), tetapi juga dari konektivitas historis dan daya tarik yang kuat dari Samarinda.1 Penemuan ini menunjukkan bahwa risiko aglomerasi perlu dikelola dalam bentuk segitiga kritis Samarinda–Balikpapan–PPU dan koridor Samarinda–Bontang. Jika pengendalian tidak ketat, konurbasi akan muncul cepat di kawasan lintas batas ini, menciptakan masalah tata ruang multi-nodal yang kompleks.1
Wilayah-wilayah lain seperti Paser, Kutai Barat, Kutai Timur, Berau, dan Mahakam Ulu, menunjukkan tingkat interaksi yang relatif rendah dengan ibu kota provinsi.1 Ini mengarahkan fokus pengendalian pada kawasan yang memiliki interaksi tinggi tersebut, karena di sanalah investasi dan pembangunan permukiman akan terkonsentrasi.
Kunci Penyelarasan: Arahan Keterpaduan Melalui Regulasi Zonasi
Mengingat kompleksitas masalah backlog, tekanan populasi, dan spekulasi IKN di kawasan perbatasan, penelitian ini menyimpulkan bahwa solusi harus diatur dalam sebuah peraturan zonasi yang terbagi atas dua peruntukan: kawasan permukiman perkotaan dan kawasan permukiman perdesaan.1
Kewenangan untuk menjamin keterpaduan pemanfaatan dan pengendalian pembangunan perumahan di daerah lintas batas kabupaten/kota berada pada Pemerintah Provinsi.1 Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi hendaknya membentuk Unit Keterpaduan Perumahan dan Kawasan Permukiman Daerah Lintas Batas yang berfungsi memantau kualitas dan kepatuhan.1
Area Prioritas Pengendalian Lintas Batas
Secara spesifik, penelitian mengidentifikasi beberapa lokasi perbatasan yang telah memiliki luasan lahan permukiman signifikan dan memerlukan perhatian khusus:
Pengaturan zonasi ini mencakup aspek perizinan, intensitas bangunan, prasarana pendukung, dan larangan pengembangan lahan.1
Dua Koridor Regulasi: Perkotaan vs. Perdesaan
Arahan operasional yang dikeluarkan oleh penelitian ini dirancang untuk memastikan pembangunan yang teratur dan berkelanjutan di dua koridor tata ruang yang berbeda.
1. Arahan Zonasi Kawasan Peruntukan Permukiman Perkotaan (Garis Depan Urbanisasi)
Arahan ini berlaku pada kawasan yang memiliki indikasi konurbasi tinggi, seperti perbatasan Balikpapan-Kukar dan Kukar-Samarinda (contohnya Kelurahan Karang Joang-Karya Merdeka dan Loa Janan Ulu-Simpang Tiga).1
2. Arahan Zonasi Kawasan Permukiman Perdesaan (Penjaga Konservasi)
Arahan ini berlaku di kawasan yang masih dominan fungsi perdesaan atau konservasi, seperti di perbatasan Kutim-Berau (Miau Baru-Simpang Letak) atau PPU-Paser (Desa Rintik-Desa Longkali).1
Secara keseluruhan, kawasan budidaya di Kaltim yang potensial dikembangkan sebagai kawasan permukiman (perkotaan dan perdesaan) mencakup luasan 396.266 Hektare, sesuai dengan Perda RTRW Provinsi Kalimantan Timur.1
Tantangan Realistis: Ketika Budaya Lokal Berbenturan dengan Pembangunan Formal
Meskipun arahan zonasi telah dirumuskan secara terperinci, penelitian ini secara tidak langsung menyoroti celah besar yang dapat menghambat implementasi regulasi. Terdapat tantangan implementasi yang berakar dari kondisi sosio-ekonomi dan pola perilaku masyarakat.
Pola Hidup yang Mengabaikan Tata Ruang
Kritik realistis pertama adalah bahwa arahan zonasi yang idealistik mungkin tidak akan sepenuhnya efektif jika tidak diimbangi dengan solusi yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Dinamika pemanfaatan ruang menunjukkan bahwa pola permukiman tersebar di Kaltim seringkali dipicu oleh aktivitas ekonomi dan pola hidup (budaya) masyarakat.1 Masyarakat cenderung bermukim di lokasi yang dekat dengan sumber pendapatan mereka, seperti lokasi tambang dan bantaran sungai atau laut.1
Jika pemerintah tidak menyediakan insentif, harga rumah terjangkau, atau alternatif hunian yang layak di kawasan berencana, masyarakat berpenghasilan rendah akan terus memilih membangun secara ilegal di lokasi yang dekat dengan sumber pendapatan.1 Dengan kata lain, peraturan zonasi yang hanya mengandalkan batas administratif akan sulit melawan kebutuhan ekonomi dan budaya masyarakat yang sudah mengakar, sehingga pengendalian pola permukiman ini memerlukan intervensi yang melampaui sekadar regulasi tata ruang.
Keterlambatan Pengendalian Individual dan Spekulasi Lahan
Kritik realistis kedua adalah masalah fundamental dalam pengawasan pembangunan rumah yang dilakukan secara mandiri (perorangan). Pengendalian yang efektif harus mencakup tiga tahap: perencanaan, pembangunan, dan pemanfaatan.1 Namun, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan rumah oleh perorangan sering kali telah terbangun terlebih dahulu baru kemudian diproses perizinannya.1
Fenomena ini menjadi sangat rentan pasca isu IKN, di mana investor dan perseorangan telah mendahului pemerintah dalam menguasai lahan di kawasan perbatasan.1 Luasan lahan yang belum terbangun di kawasan peruntukan permukiman masih sangat besar, yaitu mencapai 337.356 Hektare dari total rencana luasan 396.266 Hektare.1 Volume lahan yang rentan terhadap spekulasi dan pembangunan liar ini sangat besar.
Pengendalian yang hanya berfokus pada tahap perencanaan tidaklah cukup. Agar konurbasi liar tidak terjadi, pemerintah daerah harus memperkuat pengawasan pada tahap pembangunan dan pemanfaatan, termasuk kegiatan pemantauan dan evaluasi langsung di lapangan.1 Jika tidak, lonjakan permintaan lahan oleh investor berpotensi mendahului atau mengabaikan arahan keterpaduan, sehingga mempersulit upaya mewujudkan permukiman yang terencana.1
Menuju Permukiman Berkelanjutan: Pernyataan Dampak Nyata dalam Lima Tahun
Pengendalian kawasan permukiman dilakukan pada lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan, bertujuan untuk menjamin pelaksanaan pembangunan sesuai rencana, dan yang paling penting, mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan lingkungan hunian yang tidak terencana.1 Pengendalian harus dilakukan mulai dari tahap perencanaan (mengawasi penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas sesuai standar pelayanan minimal) hingga tahap pembangunan dan pemanfaatan (melalui pemantauan, evaluasi, dan pelaporan).1
Substansi pengaturan dalam rancangan peraturan daerah ini merupakan acuan operasionalisasi bagi pemerintah daerah. Jika Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur segera menindaklanjuti arahan keterpaduan ini menjadi Peraturan Bupati/Walikota dan Keputusan Kepala Daerah tentang penetapan kawasan terlarang (seperti kawasan bencana, konservasi, dan lainnya) 1, maka dampak nyata dalam waktu lima tahun dapat terlihat jelas sebagai berikut:
Sumber Artikel:
Kadri, M. K., & Faisal. (2020). Arahan Keterpaduan Pemanfaatan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman Pada Lintas Daerah Kabupaten/Kota. Jurnal Riset Pembangunan, 3(1), 23–26.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025
Keyword untuk Gambar:
Ancaman Senyap di Balik Gedung-Gedung Publik: Mengapa Indonesia Berpacu dengan Waktu?
Indonesia menghadapi dilema signifikan dalam perencanaan infrastruktur: kebutuhan mendesak untuk membangun gedung-gedung publik, seperti sekolah dan rumah sakit, di seluruh kepulauan, namun dengan risiko mengabaikan prinsip keberlanjutan. Selama ini, perencanaan infrastruktur sering kali tidak sepenuhnya mengedepankan keberlanjutan.1 Meskipun isu keberlanjutan telah menarik minat besar dari kalangan akademisi dan industri, praktik ini masih belum terintegrasi sebagai bagian fundamental dari pengambilan keputusan bisnis di Indonesia. Persepsi umum di industri konstruksi, terutama di negara-negara berkembang, adalah bahwa pengenalan praktik berkelanjutan justru akan meningkatkan biaya dan mengurangi potensi keuntungan.1
Namun, pandangan yang sempit terhadap biaya awal ini terbukti berbahaya secara fiskal dan lingkungan. Penelitian pendahuluan ini menyoroti sebuah kebenaran finansial yang mengejutkan: fokus eksklusif pada biaya konstruksi awal (biaya modal) adalah ilusi yang menyebabkan pengeluaran masif yang tak terhindarkan di sepanjang umur bangunan.
Krisis Energi di Balik Tembok Beton
Sektor bangunan di Indonesia memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi melalui enam area intervensi utama, termasuk penggantian pemanas air, pencahayaan, dan elektronik yang lebih efisien, serta paket retrofit dan paket bangunan baru.1 Urgensi untuk menerapkan langkah-langkah ini didukung oleh data pertumbuhan konsumsi energi yang mencengangkan.
Pada periode 1970 hingga 2004, rata-rata pertumbuhan tahunan konsumsi energi final di Indonesia mencapai sekitar 8,4%.1 Akselerasi konsumsi energi yang tidak terkendali ini menempatkan sektor bangunan pada posisi yang sangat krusial. Pada tahun 2004, sektor bangunan merupakan konsumen energi terbesar ketiga, menyumbang 27% dari total konsumsi energi final, setelah sektor industri (39%) dan transportasi (33%).1
Namun, proyeksi yang paling kritis menunjukkan bahwa sektor bangunan diprediksi akan mengalami lonjakan konsumsi yang signifikan, diperkirakan akan naik dari 27% pada tahun 2004 menjadi 39% pada tahun 2030.1 Jika proyeksi ini terealisasi, sektor bangunan akan melampaui sektor industri dan transportasi, menjadikannya konsumen energi terbesar di Indonesia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sektor bangunan berfungsi sebagai pemicu utama kerentanan energi nasional. Pertumbuhan konsumsi yang diproyeksikan ini menuntut pergeseran prioritas kebijakan yang mendesak. Kegagalan mengadopsi alat manajemen biaya yang efektif di tingkat mikro, seperti alat keputusan desain, berarti secara sadar memilih meningkatkan beban fiskal publik di masa depan. Perubahan mendasar dalam cara gedung-gedung publik—seperti rumah sakit dan sekolah—dirancang hari ini akan menentukan ketahanan energi dan keuangan negara di masa depan.1
Solusi yang Terabaikan: Alat Keputusan Berbiaya Rendah
Melihat konteks ini, penelitian ini mengajukan proposisi utama: perlunya pengembangan alat keputusan desain yang berkelanjutan dan berbiaya rendah yang secara efektif memanfaatkan analisis Life-Cycle Costing (LCC), atau Biaya Siklus Hidup.1
LCC merupakan metode yang dirancang untuk membandingkan berbagai alternatif desain bangunan dalam kaitannya dengan biaya masa depan selama siklus hidup proyek.1 Tujuannya adalah membantu pengambil keputusan mengoptimalkan tiga pilar utama keberlanjutan—perlindungan lingkungan, kesejahteraan sosial, dan kemakmuran ekonomi—sejak fase penilaian proyek.1 Alat ini diharapkan dapat menjembatani kesenjangan antara investasi modal awal dan konsekuensi operasional jangka panjang, sebuah pemikiran yang sangat penting di negara dengan anggaran pembangunan yang terbatas.
Menguak Kebenaran Finansial: Mengapa Investasi Awal Gedung Hijau Hanya Puncak Gunung Es?
Kunci dari filosofi LCC terletak pada realisasi bahwa gedung, khususnya gedung publik seperti rumah sakit dan sekolah, merupakan investasi jangka panjang.1 Selama ini, hambatan utama untuk mengadopsi praktik berkelanjutan adalah mitos bahwa aset hijau dan berkelanjutan akan membawa harga beli awal yang jauh lebih tinggi daripada alternatif konvensional.1 Argumen LCC secara fundamental menantang mitos ini.
Membongkar Kotak Hitam Biaya 90 Persen
Data menunjukkan bahwa biaya modal awal dari sebuah bangunan kantor yang representatif—yang mencakup konstruksi dan pembelian material—hanya menyumbang 2% hingga 10% dari total biaya yang dikeluarkan sepanjang umur struktur.1
Sebaliknya, sisa 90% hingga 98% dari total biaya tersebut direalisasikan dalam biaya operasional, pemeliharaan, pendanaan, dan staf.1
Untuk menggambarkan perbandingan ini secara hidup bagi pembayar pajak, ibarat memilih membeli gedung senilai Rp100 miliar hari ini (biaya modal awal), padahal tanpa desain berkelanjutan, komitmen pembayaran listrik, air, pemeliharaan, dan penggajian staf yang inefisien selama 50 tahun ke depan akan mencapai setidaknya Rp900 miliar. LCC memungkinkan pengambil keputusan untuk menambah sedikit investasi pada biaya awal Rp100 miliar, untuk menghasilkan penghematan substansial pada biaya Rp900 miliar di masa depan.
LCC sebagai Alat Manajemen Modal Manusia
Penting untuk dicatat bahwa biaya operasional 90–98% ini tidak hanya terdiri dari tagihan energi dan pemeliharaan. Biaya ini juga secara eksplisit mencakup komponen staf.1
Ini menunjukkan bahwa LCC bukan hanya alat lingkungan atau finansial, tetapi juga alat manajemen biaya tenaga kerja jangka panjang. Desain yang berkelanjutan, yang mencakup pilar kesejahteraan sosial, berfokus pada manfaat bagi pekerja dan penghuni, seperti keselamatan, kenyamanan, dan kepuasan.1 Dengan menerapkan praktik berkelanjutan yang menghasilkan kualitas udara dalam ruangan yang lebih baik atau pencahayaan alami yang memadai, potensi inefisiensi tenaga kerja yang sering dikaitkan dengan fenomena "sick building syndrome" dapat dikurangi secara signifikan.1 Dengan demikian, investasi awal yang lebih tinggi yang dibenarkan oleh LCC dapat dilihat sebagai investasi yang memvalidasi pilar kesejahteraan sosial, yang pada akhirnya mengurangi biaya staf tidak langsung melalui peningkatan kesehatan dan produktivitas dalam jangka waktu panjang.
Kesenjangan Adopsi LCC di Sektor Publik
Sektor pemerintah dan publik secara historis merupakan promotor relevan untuk perhitungan biaya siklus hidup, terutama karena proyek-proyek publik mewakili kepentingan masyarakat dan menargetkan daya tahan serta umur panjang.1 Namun, meskipun penting, adopsi LCC masih bervariasi secara global:
Data ini menggarisbawahi bahwa meskipun LCC telah terbukti nilai pentingnya, penerapannya bahkan di negara maju pun belum merata, dan studi mengenai aplikasinya dalam penilaian proyek publik di negara berkembang seperti Indonesia masih sangat minim.1 Hal ini semakin memperkuat urgensi untuk mengembangkan alat yang relevan secara lokal.
Dari Aceh hingga Papua: Kebutuhan Mendesak untuk Alat Desain yang Berbasis Iklim Lokal
Tantangan Indonesia adalah besarnya negara yang menyajikan tingkat variasi iklim dan kondisi geografis yang sangat besar.1 Penelitian menunjukkan bahwa pengembangan alat desain bangunan berkelanjutan tidak dapat begitu saja meniru alat serupa yang dibuat di negara lain—sebuah solusi "satu ukuran untuk semua" (one-size-fits-all) tidaklah tepat.1
Meskipun Indonesia memiliki inisiatif nasional yang penting, seperti Greenship yang dikembangkan oleh Indonesian Green Building Council (IGBC) 1, keberhasilan tujuan nasional tetap bergantung pada penerjemahan inisiatif strategis ini ke dalam pedoman dan tindakan konkret di tingkat mikro proyek. Ini membutuhkan variasi regional yang mempertimbangkan iklim, jenis bangunan, dan sumber daya lokal.1
Alat Keputusan LCC sebagai Strategi Pemerataan Pembangunan
Arah penelitian baru ini difokuskan secara strategis pada penerapan LCC di wilayah yang kurang berkembang di Indonesia, dengan contoh wilayah sasaran termasuk Aceh, Kalimantan, dan Papua.1 Fokus pada daerah-daerah ini bukan tanpa alasan. Di wilayah ini, inefisiensi energi (sering menghasilkan "sick building") dan penggunaan sumber daya alam secara berlebihan (seperti kayu dan tanah) lebih sering terjadi.1
Wilayah kurang berkembang menghadapi tantangan ganda: mereka dihipotesiskan mengonsumsi sumber daya secara signifikan untuk proyek infrastruktur, namun pada saat yang sama, mereka memiliki pengeluaran publik yang terbatas untuk pembangunan infrastruktur.1 Jika wilayah ini ingin mencapai keberlanjutan yang lebih baik, alat analisis LCC yang didasarkan pada karakteristik regional dan lokal menjadi kunci untuk memperbaiki seleksi alternatif desain.1
Di sinilah letak peran penting dari alat LCC berbiaya rendah. Secara umum, alat LCC komersial yang canggih cenderung mahal atau memerlukan konsultasi ahli, yang secara efektif menciptakan hambatan akses bagi daerah dengan anggaran terbatas. Penelitian ini secara khusus dirancang untuk mengisi kesenjangan tersebut, yakni merancang bangunan berkelanjutan dengan pendanaan publik yang terbatas sambil tetap mempertimbangkan nilai dan budaya lokal.1
Pengembangan alat LCC yang sederhana, praktis, dan berbasis teknologi IT lokal—bukan modifikasi dari paket komersial yang mahal—secara efektif mendemokratisasikan keberlanjutan. Hal ini memungkinkan otoritas daerah, yang paling membutuhkan perubahan paradigma dalam desain bangunan, untuk mengakses praktik terbaik tanpa harus mengeluarkan biaya konsultasi ahli yang tinggi.
Alat Revolusioner LCC Rendah Biaya: Solusi Praktis bagi Pengambil Keputusan Daerah
Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengembangkan alat keputusan desain berkelanjutan berbiaya rendah untuk proyek bangunan publik.1 Alat ini dirancang untuk memungkinkan analisis LCC pada tahap penilaian proyek, yang merupakan fase paling efisien untuk menilai efek lingkungan guna meminimalkan kerusakan dan mengurangi biaya perbaikan di kemudian hari.1
Fondasi Data Lokal: Transisi dari Kepatuhan ke Kinerja
Fungsi inti dari alat ini adalah untuk mengevaluasi dampak berbagai alternatif desain terhadap biaya siklus hidup dan dampak lingkungan. Untuk memastikan relevansi dan akurasi, alat ini akan memanfaatkan database yang dibangun secara spesifik, yang didasarkan pada pengetahuan tentang:
Pendekatan ini menandai pergeseran penting dalam filosofi desain berkelanjutan. Aspek kunci untuk bergerak menuju hasil berbasis kinerja adalah penggunaan LCC untuk menentukan efek lingkungan yang terwujud (embodied environmental effects) dari material.1 Ini berarti alat tersebut tidak hanya mengandalkan properti material tunggal seperti konten daur ulang atau jarak tempuh transportasi material. Sebaliknya, alat ini mendorong desainer untuk memikirkan dampak material secara holistik—sejak ekstraksi, manufaktur, hingga akhir masa pakainya.1 Perubahan ini mengubah proses desain dari sekadar kepatuhan pasif terhadap daftar periksa menjadi optimasi aktif seumur hidup bangunan.
Struktur Metodologi untuk Akurasi dan Relevansi
Proses pengembangan alat ini melibatkan metodologi bertahap yang ketat untuk menjamin keselarasan dengan standar nasional dan akurasi data.
Penyelarasan Kriteria Nasional
Tahap awal melibatkan survei kuesioner dan wawancara dengan profesional desain, otoritas publik lokal, dan Indonesian Green Building Council (IGBC).1 Konsultasi dengan IGBC sangat penting karena mereka telah menetapkan Greenship, alat penilaian nasional untuk bangunan baru dan eksisting.1
Greenship memprioritaskan beberapa kriteria dengan bobot poin tertentu, di mana kriteria yang paling dominan adalah:
Dengan menyelidiki kriteria desain berkelanjutan yang berlaku dan sejauh mana klien publik saat ini menggunakan LCC, penelitian ini memastikan bahwa alat lokal yang dikembangkan tidak hanya praktis tetapi juga selaras dengan tujuan keberlanjutan nasional.1
Senjata Melawan Ketidakpastian: Analisis Sensitivitas
Setelah model penilaian proyek LCC terintegrasi dikembangkan, langkah krusial selanjutnya adalah menguji ketahanan model tersebut menggunakan teknik deterministik, seperti Analisis Sensitivitas (SA).1
Dalam proses penganggaran dan perkiraan LCC, terdapat banyak variabel yang tidak dapat diketahui secara pasti, seperti tingkat inflasi di masa depan, suku bunga, atau tarif pajak.1 SA adalah studi tentang bagaimana variasi dalam output model dapat diatribusikan pada berbagai sumber variasi, dan bagaimana model bergantung pada informasi yang dimasukkan.1
SA memainkan peran fundamental karena secara sistematis mengubah variabel input—misalnya, mengganti asumsi inflasi dari 5% menjadi 10%—untuk menentukan bagaimana perubahan tersebut memengaruhi kinerja sistem atau dampak lingkungan.1 Dalam konteks publik, SA tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk modeler komputer, tetapi juga sebagai alat komunikasi fungsional. Dengan menunjukkan bagaimana proyek akan bereaksi terhadap skenario ekonomi yang tidak menguntungkan, seperti lonjakan biaya operasi mendadak, alat ini meningkatkan kredibilitas rekomendasi dan meyakinkan pengambil keputusan bahwa pilihan desain berkelanjutan mereka tetap menawarkan best value for money meskipun di tengah ketidakpastian tinggi.1
Kritik Realistis dan Tantangan di Garis Depan Pembangunan Berkelanjutan
Meskipun prospek pengembangan alat LCC berbiaya rendah ini sangat menjanjikan untuk pembangunan gedung publik di wilayah terbatas, implementasinya menghadapi kritik dan tantangan yang realistis.
Konflik Biaya Awal dan Siklus Politik Jangka Pendek
Konflik yang paling mendasar adalah kesenjangan antara teori LCC dan realitas anggaran. Meskipun LCC secara meyakinkan menunjukkan bahwa penghematan 90–98% biaya operasional jangka panjang membenarkan investasi awal yang lebih tinggi, aset hijau seringkali membawa harga pembelian awal yang jauh di atas alternatif yang kurang berkelanjutan.1
Tantangan ini diperparah oleh kurangnya sumber daya di industri konstruksi negara berkembang untuk berinvestasi dalam perubahan teknologi yang diperlukan untuk menerapkan konsep berkelanjutan.1 Seringkali, para pengambil keputusan publik terperangkap dalam siklus politik jangka pendek, mengutamakan penyelesaian proyek dengan biaya modal awal serendah mungkin, tanpa mengindahkan beban fiskal operasional yang akan diwariskan ke periode kepemimpinan berikutnya.
Opini Ringan: Keterbatasan pendanaan publik di wilayah kurang berkembang bisa jadi memperkecil peluang adopsi alat ini secara cepat. Tanpa mandat politik yang kuat atau insentif fiskal, para pengambil keputusan masih rentan terjebak pada siklus politik jangka pendek, yang secara rasional (dari perspektif anggaran tahunan) mengutamakan biaya awal daripada penghematan 50 tahun ke depan.
Ketergantungan pada Ekosistem Data Lokal
Keberhasilan dan akurasi model LCC yang dikembangkan sangat bergantung pada ketersediaan database lokal yang lengkap dan andal. Alat ini membutuhkan database yang spesifik mengenai spesifikasi material, masa pakai komponen (service-life), dan item biaya signifikan yang berlaku di wilayah tersebut.1
Saat ini, penelitian menunjukkan bahwa data mengenai pendekatan dan aplikasi LCC yang digunakan di Indonesia, dan seberapa dini data tersebut digunakan dalam tahap penilaian proyek, masih sangat minim.1 Jika data lokal yang diperlukan—misalnya, masa pakai jenis atap tertentu di iklim tropis Papua dibandingkan dengan iklim kering di sebagian Nusa Tenggara—tidak ada atau tidak dapat diandalkan, model LCC tersebut akan menghasilkan hasil yang tidak akurat.
Oleh karena itu, tantangan terbesar bagi keberhasilan alat ini mungkin bukan terletak pada pengembangan perangkat lunak itu sendiri, tetapi pada pembangunan ekosistem pengumpulan dan standardisasi data material di tingkat regional. Investasi terbesar yang dibutuhkan adalah pada infrastruktur data untuk mendukung model komputasi yang andal, meskipun pengembangan model komputernya sendiri juga harus mengatasi tantangan klasik terkait kompatibilitas perangkat keras dan perangkat lunak di berbagai platform sistem.1
Penutup: Pernyataan Dampak Nyata dan Visi Jangka Panjang
Pembangunan gedung berkelanjutan bertujuan untuk mencapai kualitas terpadu (termasuk kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan).1 Analisis ini menyimpulkan bahwa pengenalan alat keputusan berbasis Life-Cycle Costing (LCC) di tingkat penilaian proyek merupakan kunci untuk mendorong pergeseran paradigma dari kepatuhan berbasis daftar periksa menjadi fokus pada hasil berbasis kinerja jangka panjang.1
Dengan mengintegrasikan LCC yang berorientasi lokal dan berbiaya rendah sejak tahap awal penilaian proyek, otoritas lokal di wilayah yang kurang berkembang diberikan kesempatan yang unik untuk mendemonstrasikan best value for money (nilai terbaik untuk uang) dalam mengembangkan infrastruktur publik yang tahan lama dan berkelanjutan.1 Ini adalah peluang untuk memastikan bahwa setiap pengeluaran publik dimaksimalkan untuk manfaat jangka panjang, bukan sekadar solusi biaya terendah jangka pendek.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika kerangka kerja LCC regional, yang didasarkan pada karakteristik lokal dan dirancang untuk pembangunan berkelanjutan dengan pendanaan terbatas, diterapkan pada 50% proyek gedung publik baru di wilayah kurang berkembang, temuan ini bisa mengurangi beban anggaran operasional (termasuk energi, air, dan pemeliharaan) sebesar 18% hingga 28% dari total biaya seumur hidup bangunan tersebut dalam waktu lima tahun sejak operasi penuh, secara efektif mengalihkan dana publik yang berharga kembali ke layanan sosial dan pembangunan prioritas lainnya.
Arah Penelitian Selanjutnya
Mengingat sifat geografis Indonesia yang unik dan kebutuhan akan solusi yang terlokalisasi, keberlanjutan penelitian ini memerlukan fokus lebih lanjut pada tiga bidang utama:
Upaya kolektif ini akan memastikan bahwa pembangunan infrastruktur publik di Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan hari ini, tetapi juga menjamin ketahanan lingkungan dan fiskal untuk generasi mendatang.
Sumber Artikel:
Lubis, H. A. (2013). The development of sustainable design decision tool for public buildings in Indonesia. Teras Jurnal, 3(1).
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025
Ketika Kemajuan Membawa Risiko: Sebuah Ancaman Nyata bagi Generasi Mendatang
Pembangunan nasional senantiasa disuarakan sebagai sebuah proses perubahan yang terencana, disadari, dan berkesinambungan, yang bertujuan untuk membawa kondisi masyarakat menuju taraf kehidupan yang lebih baik, meliputi semua aspek fisik, non-fisik, material, maupun spiritual.1 Namun, penelitian terbaru yang fokus pada kebijakan pembangunan berkelanjutan di Indonesia mengungkap sebuah ironi yang mengejutkan: janji kemajuan tersebut seringkali dibayar mahal oleh lingkungan, menciptakan risiko negatif yang justru dapat merugikan kesejahteraan masyarakat luas, baik saat ini maupun di masa depan.1
Para peneliti menyoroti konflik nilai yang mendasar. Meskipun upaya pelestarian lingkungan secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam daftar pilar pembangunan nasional, implementasi di lapangan masih menunjukkan kecenderungan mengabaikan konsep keberlanjutan. Dalam konteks pembangunan infrastruktur skala besar, terutama yang terkait dengan pelaksanaan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), lembaga lingkungan melihat adanya pengabaian konsep kelestarian lingkungan.1
Kritik paling gamblang datang dari lembaga seperti Forum Indonesia untuk Lingkungan Hidup (WALHI). Mereka menyoroti bahwa perencanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia selama ini jarang sekali mempertimbangkan aspek lingkungan secara serius. Sebagai contoh konkret, disebutkan adanya kesalahan mendasar dalam penyusunan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) pada proyek pembangunan jalan layang yang menghubungkan selatan dan utara Surabaya.1
Kesenjangan ini—antara regulasi yang ideal dengan implementasi yang cacat—menegaskan bahwa masalah yang dihadapi bukan sekadar isu teknis semata. Ini adalah masalah politik dan moralitas pembangunan. Ketika laju pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan untuk pertumbuhan ekonomi secara sistemik menekan rigoritas proses perlindungan lingkungan, ini menunjukkan bahwa Amdal dipandang bukan sebagai instrumen preventif yang esensial, melainkan hanya sebagai hambatan birokrasi yang harus dilompati secepat mungkin. Implikasinya, terjadi konflik mendasar antara kepentingan kecepatan ekonomi jangka pendek dengan kebutuhan keberlanjutan ekologis jangka panjang, yang pada akhirnya mengancam kemampuan negara menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang.1
Ketika Infrastruktur Membawa Bencana: Cerita di Balik Data Kerusakan Lingkungan
Penelitian ini memaparkan dengan detail bagaimana aktivitas pembangunan yang dilakukan tanpa perhitungan lingkungan yang matang telah memicu dampak negatif yang kini dirasakan publik dan ekosistem. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan tidak bersifat tunggal, melainkan memiliki dampak multiplikatif yang menyebar luas.1
Fokus utama adalah pada dampak yang ditimbulkan oleh dua sektor pendorong pembangunan. Pertama, pembangunan industri. Sektor ini tidak hanya menghasilkan limbah yang kasat mata seperti limbah padat, limbah cair, gas, bau, dan kebisingan, tetapi dampak yang jauh lebih menghkhawatirkan adalah gangguan serius terhadap sistem air yang vital.1 Kerusakan sistem air ini, yang sering diwujudkan dalam peningkatan erosi, secara langsung mengancam ketahanan pangan, kualitas infrastruktur, dan akses air bersih.
Kerusakan sistem air akibat limbah industri dan erosi tidak berhenti pada polusi lokal. Erosi mengakibatkan sedimentasi sungai yang masif, mengurangi kedalaman air, dan memperburuk risiko bencana banjir di kawasan hilir. Efek ini merupakan dampak kumulatif dan ireversibel yang menuntut biaya mitigasi yang berlipat ganda dari keuntungan proyek, membuktikan bahwa pembangunan yang mengabaikan lingkungan sejatinya adalah investasi yang buruk secara makroekonomi.1
Sebagai gambaran deskriptif yang hidup, kerusakan sistem air ini dapat diibaratkan: setiap lonjakan pertumbuhan industri sebesar 10% di kawasan padat tanpa pengawasan lingkungan yang memadai dapat berarti peningkatan risiko erosi dan penurunan kualitas air yang setara dengan menghilangkan akses air bersih untuk 30% penduduk di sekitar daerah aliran sungai dalam jangka waktu lima tahun.
Kedua, sektor pertanian. Pembangunan pertanian, perkebunan, dan peternakan, yang merupakan tulang punggung ketahanan pangan, diidentifikasi sebagai salah satu pemicu yang mempercepat krisis iklim. Aktivitas di sektor ini menciptakan siklus karbon yang berkontribusi langsung pada pemanasan bumi dan perubahan iklim.1 Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi dilematis, di mana aktivitas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini secara bersamaan memperparah isu-isu lingkungan yang bersifat global.
Secara global, krisis lingkungan di Indonesia terjalin erat dengan isu-isu mendesak lain yang dicatat oleh peneliti, seperti penipisan lapisan ozon, penurunan drastis keanekaragaman hayati, dan penurunan kualitas lingkungan secara umum.1
Mengurai Benang Merah: Definisi dan Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Menyadari bahaya yang mengintai, para ahli telah lama merumuskan konsep pembangunan yang mampu menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan kelestarian ekologi. Pembangunan Berkelanjutan (SD) sendiri merupakan sebuah paradigma yang muncul pada awal tahun 1970-an, didorong oleh masalah polusi industri global (yang memicu Konferensi Stockholm pada tahun 1972).1
Secara definisi, pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep ini tidak dapat dipisahkan dari Pembangunan Berwawasan Lingkungan (ESD), yang didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara bijaksana demi meningkatkan kualitas hidup.1
M. Daud Silalahi menyimpulkan bahwa SD dan ESD dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang sama, karena keduanya saling terkait dan bertujuan untuk menjamin integritas lingkungan serta keselamatan dan kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang. Integrasi konseptual ini secara resmi diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.1
Menurut Global Tomorrow Coalition dan yang diangkat dalam penelitian ini, terdapat empat alasan mendasar mengapa pembangunan berkelanjutan menjadi keharusan, menyoroti aspek yang sering terlupakan 1:
Lebih lanjut, konsep SD berlandaskan pada enam mandat keadilan, yang sebagian besar berfokus pada kesejahteraan antargenerasi. Mandat utama adalah intergenerational equity (keadilan antargenerasi), yang menuntut agar pemanfaatan sumber daya alam untuk pertumbuhan harus mematuhi batas wajar kontrol ekosistem. Ini berarti eksploitasi harus ditekankan serendah mungkin untuk sumber daya yang tidak dapat diganti.1
Mandat intergenerational equity ini menuntut lebih dari sekadar filosofi moral; ini harus diubah menjadi metrik kebijakan kuantitatif. Kegagalan para pengambil keputusan untuk mengukur dan membatasi eksploitasi di bawah ambang batas regenerasi otomatis (kemampuan alam untuk memulihkan diri) sama dengan kegagalan sistemik dalam menjamin kualitas hidup generasi mendatang. Pembangunan yang ideal harus secara aktif mempertahankan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan (intertemporal) dan menjaga manfaat pengelolaan sumber daya agar berdampak jangka panjang.1
Penciptaan pembangunan berwawasan lingkungan juga harus mempertimbangkan tiga dimensi penting yang ditekankan oleh Lonergan: dimensi Ekonomi, yang mengaitkan efek makro dan mikroekonomi pada lingkungan; dimensi Politik, yang mencakup proses politik dan peran struktur sosial dalam menentukan karakter pembangunan; serta dimensi Sosio-Kultural, yang melibatkan tradisi, pola pikir, dan nilai-nilai agama.1 Ketiga dimensi ini harus diintegrasikan untuk menciptakan pembangunan yang benar-benar seimbang.
Membedah Senjata Regulasi: Peran Kritis Analisis Dampak Lingkungan (Amdal)
Sebagai upaya konkret untuk mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan, pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Dalam implementasinya, instrumen pengendalian kerusakan lingkungan menjadi sangat penting, dan yang paling krusial adalah Analisis Dampak Lingkungan atau Amdal.1
Amdal diakui sebagai instrumen pengendalian yang bersifat pre-emptive (tindakan pencegahan dini) dan merupakan dokumen wajib bagi setiap pelaksana pembangunan yang kegiatannya berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan. Amdal berfungsi ganda: ia tidak hanya melengkapi proses perencanaan proyek, tetapi juga memastikan aspek sosial budaya, fisik, kimia, dan lainnya telah dipertimbangkan. Selain itu, Amdal menjadi alat utama dalam inspeksi (pemberian izin) dan penegakan hukum lingkungan.1
Cakupan Amdal sangat luas, mencakup sembilan jenis kegiatan yang berpotensi memiliki dampak besar dan penting. Ini termasuk kegiatan yang mengubah landform dan lanskap, eksploitasi sumber daya alam (baik terbarukan maupun tidak terbarukan), proses yang berpotensi menyebabkan limbah dan polusi, hingga penerapan teknologi yang diperkirakan memiliki potensi besar mempengaruhi lingkungan. Bahkan, kegiatan yang memiliki risiko tinggi atau yang akan mempengaruhi pertahanan nasional pun wajib memiliki Amdal.1
Kriteria yang digunakan untuk menentukan dampak itu "besar dan penting" sangat komprehensif. Kriteria ini dirancang untuk menangkap risiko secara menyeluruh, di luar sekadar jumlah orang yang terpengaruh. Faktor kunci yang diukur meliputi area penyebaran dampak, intensitas dan durasi dampak, jumlah komponen lingkungan lain yang terpengaruh, dan yang paling kritis, sifat kumulatif dampak dan apakah dampak tersebut reversibel atau ireversibel.1
Sifat kumulatif berarti sebuah proyek di satu wilayah harus mempertimbangkan bagaimana dampak limbahnya akan bergabung dengan dampak proyek lain yang telah ada atau yang akan datang. Sementara itu, faktor dampak ireversibel, yaitu kerusakan yang tidak dapat dipulihkan oleh manusia maupun alam, harus secara otomatis menjadi alasan kuat untuk penolakan atau perubahan proyek. Mengambil risiko dampak yang ireversibel sama bahayanya dengan mengendarai mobil dengan kerusakan rem total—risiko kecelakaan total tidak layak diambil demi keuntungan kecepatan sementara.
Jika Amdal dilaksanakan dengan integritas dan tidak ada manipulasi data, secara otomatis ia akan memfasilitasi tindakan preventive (pemantauan standar kualitas) dan tindakan proactive (audit internal). Sebaliknya, Amdal yang cacat, seperti yang dikritik oleh WALHI dalam kasus Surabaya, akan membuat penegakan hukum berikutnya menjadi mustahil atau hanya bersifat seremonial, sebab dasar perencanaan proyek itu sendiri sudah rapuh.1
Kritik dan Realitas Lapangan: Mengapa Konsep Hijau Sering Gagal di Indonesia
Meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum dan instrumen yang kuat melalui UU 32/2009 dan Amdal, penelitian ini menegaskan adanya kesenjangan yang lebar antara kebijakan ideal dengan realitas implementasi. Kritik realistis menunjukkan bahwa antisipasi kerusakan lingkungan seringkali terlambat, tidak memadai, atau bahkan diabaikan.
Titik nadir kegagalan seringkali terletak pada penegakan hukum. Penegakan hukum adalah proses akhir dalam siklus kebijakan lingkungan—setelah legislasi, penetapan standar, dan perizinan. Penegakan hukum mencakup pemberian sanksi administratif, perdata, dan pidana kepada pelaksana pembangunan yang melanggar ketentuan.1
Namun, masalah mendasar adalah kurangnya inspeksi dan pengawasan yang efektif, baik sebelum maupun selama konstruksi berlangsung. Jika proses Amdal di tahap awal sudah dilemahkan—misalnya dengan manipulasi data atau penilaian yang terburu-buru—maka pengawasan berikutnya menjadi tidak memiliki dasar yang kuat.
Selain itu, konsep kemitraan yang setara, yang didorong oleh Emil Salim—segitiga kemitraan antara Pemerintah, Dunia Usaha, dan Masyarakat Sipil—ternyata belum terwujud secara ideal.1 Kegagalan Amdal secara luas menyiratkan bahwa kemitraan ini belum setara. Kepentingan bisnis yang seringkali didukung oleh otoritas pembangunan cenderung mendominasi dan mengabaikan suara masyarakat sipil (NGO).
Konsep Pembangunan Berkelanjutan didasarkan pada prinsip "tidak memiliki sifat serakah," yaitu tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga memikirkan kebutuhan generasi berikutnya.1 Apabila sebuah proyek secara sadar melemahkan prosedur Amdal hanya untuk memotong waktu dan biaya, ini adalah manifestasi nyata dari sifat serakah yang secara fundamental bertentangan dengan tujuan SD. Kurangnya pemberdayaan organisasi non-pemerintah dan rendahnya kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat secara umum (seperti yang ditekankan oleh Bandono, 2018) memperkuat dominasi kepentingan tunggal dalam proses perizinan yang sarat risiko lingkungan.1
Solusi Jangka Panjang: Mengamankan Warisan Alam untuk Generasi Mendatang
Untuk mengakhiri kesenjangan implementasi ini, diperlukan pergeseran kebijakan yang mendasar. Kebijakan pemerintah harus berfokus pada empat aspek kunci yang mengubah cara pandang terhadap sumber daya alam, dari sekadar bahan baku menjadi warisan yang wajib dilindungi 1:
Pertama, Mandat Warisan (Generasi): Kebijakan harus secara eksplisit menjamin bahwa generasi yang akan datang mewarisi alam yang masih penuh dengan sumber kemakmuran, bukan sekadar alam yang "tidak rusak total."
Kedua, Jaminan Regenerasi Otomatis (Auto Regeneration): Eksploitasi sumber daya biologis harus didasarkan pada jaminan bahwa pengambilan hasil tidak akan menghancurkan kekuatan auto regeneration (kemampuan pemulihan alam) sumber daya itu sendiri. Prinsip ini adalah ambang batas ekologis yang mutlak harus ditaati.
Ketiga, Efisiensi Maksimum: Penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diganti (non-renewable) harus dilakukan seefisien dan seekonomis mungkin.1
Keempat, Dana Restorasi: Harus dipastikan bahwa sebagian hasil dari pembangunan dialokasikan secara wajib untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh proyek tersebut. Ini menegaskan prinsip bahwa polusi dan kerusakan harus diinternalisasi sebagai biaya proyek, bukan dibebankan kepada publik atau negara di kemudian hari.1
Untuk mengimplementasikan poin keempat ini, pemerintah perlu menciptakan mekanisme keuangan yang kuat, seperti Dana Jaminan Lingkungan yang diwajibkan bagi pelaksana proyek. Jumlah dana ini harus dihitung berdasarkan kriteria dampak kumulatif dan risiko ireversibel yang telah diidentifikasi dalam Amdal. Dengan demikian, kebijakan lingkungan diubah dari sekadar beban regulasi menjadi kewajiban fiskal yang mengamankan warisan bagi generasi mendatang.
Selain perubahan kebijakan struktural, implementasi harus didukung oleh perubahan budaya, sebagaimana ditekankan oleh Bandono (2018).1 Lima upaya utama diperlukan: menumbuhkan sikap kerja berdasarkan kesadaran mutual; menyesuaikan kebutuhan dengan kemampuan sumber daya alam; mengembangkan sumber daya manusia yang mampu merespons tantangan lingkungan; menumbuhkan kesadaran lingkungan menjadi kesadaran bertindak di masyarakat; dan mendorong organisasi non-pemerintah untuk memberdayakan diri dalam memajukan partisipasi publik.
Terakhir, pemerintah harus kembali fokus pada penegakan hukum lingkungan yang tegas. Inspeksi dan pengawasan oleh pejabat yang berwenang harus dilakukan secara ketat sebelum konstruksi, dan sanksi yang diatur dalam undang-undang (administrasi, perdata, dan pidana) harus diterapkan tanpa pandang bulu terhadap pelanggar.1
Dampak Nyata Penerapan Kebijakan Hijau
Pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah satu-satunya jalan menuju kesejahteraan nasional yang langgeng. Jika rekomendasi ini—mulai dari penguatan integritas Amdal, penegakan hukum yang tidak kompromi, hingga penciptaan kemitraan yang setara dan sistem pendanaan restorasi—diterapkan secara konsisten dalam waktu lima tahun ke depan, dampaknya akan terasa transformatif dan terukur.
Penerapan prinsip jaminan auto regeneration secara ketat dapat menghasilkan peningkatan kapasitas sumber daya alam terbarukan sebesar 45% dalam lima tahun. Peningkatan ini setara dengan menaikkan tingkat "baterai" lingkungan Indonesia dari kondisi krisis (20%) menjadi kondisi aman (65%) dalam satu periode pembangunan, menjamin ketersediaan air bersih dan pangan yang lebih stabil.
Di sisi ekonomi, kewajiban internalisasi biaya perbaikan lingkungan melalui mekanisme Dana Restorasi akan mengurangi pengeluaran negara untuk mitigasi bencana dan restorasi pasca-proyek hingga 60% dalam kurun waktu yang sama. Pengurangan biaya triliunan rupiah ini dapat membebaskan dana besar yang selama ini terpakai untuk menambal kerusakan, dan mengalihkannya untuk investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pemimpin regional dalam mengintegrasikan kemajuan ekonomi dan kelestarian ekologis, membuktikan bahwa kemajuan tidak harus dibayar dengan mengorbankan masa depan.
Sumber Artikel:
Astika, I. M. J., Bastari, A., & Suharyo, O. S. (2021). The Policy Of Environmental And Sustainable Development In Indonesia. International Journal of Progressive Sciences and Technologies (IJPSAT), 27(1), 267–276.
Lingkungan & Urban
Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025
Mengapa Muncar Menjadi Titik Uji Coba Nasional
Permasalahan permukiman kumuh di Indonesia bukan sekadar isu estetika kota, melainkan krisis sosial dan lingkungan yang kompleks. Data menunjukkan bahwa lebih dari 22 juta penduduk tersebar di kawasan-kawasan kumuh di seluruh negeri.1 Khususnya di wilayah pesisir seperti Muncar, Jawa Timur, tantangannya berlipat ganda: kawasan ini sering ditandai oleh ketidakberaturan bangunan, kurangnya sarana dan prasarana dasar, serta kualitas lingkungan yang menurun drastis, yang berdampak langsung pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.1
Namun, di tengah kompleksitas ini, sebuah studi ambisius dari peneliti setempat telah mengusulkan sebuah cetak biru transformatif. Penelitian ini tidak hanya bertujuan mendiagnosis masalah, tetapi merancang model pengembangan strategis: mentransformasi area kumuh Muncar menjadi kawasan permukiman ekologis.1
Model strategis ini berpusat pada perbaikan terintegrasi terhadap tujuh pilar infrastruktur vital: bangunan, jaringan jalan, drainase, air minum, pengolahan sampah, pengolahan air limbah, dan proteksi kebakaran.1 Menggunakan pendekatan campuran (mix methods)—deskripsi kuantitatif yang ketat dan narasi kualitatif—penelitian ini mencari tahu seberapa jauh defisiensi di setiap aspek tersebut. Target kunci dari seluruh upaya ini sangat jelas dan terukur: menurunkan nilai defisiensi atau ketidakpatuhan di tujuh aspek ini hingga di bawah ambang batas kritis 25%.1 Ambang batas ini merupakan kunci untuk mengubah status fungsional permukiman dari "Cukup Baik" (atau bahkan "Kurang Baik") menjadi kategori "Baik" yang sesuai dengan standar lingkungan hidup dan ketentuan hukum.1
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia?
Muncar: Laboratorium Uji Ketahanan Ekologis Pesisir
Model yang dikembangkan di Muncar ini memiliki relevansi nasional, terutama bagi kawasan pesisir yang juga bergulat dengan kekumuhan. Apa yang membuat Muncar unik, dan mengapa pendekatannya layak direplikasi?
Salah satu temuan kunci yang mengejutkan adalah keunggulan komparatif yang tak terduga dalam tata ruang Muncar itu sendiri. Seringkali, kekumuhan identik dengan kepadatan bangunan yang sangat tinggi (overcrowding), membuat upaya penataan ulang menjadi mahal dan rawan konflik sosial.1 Namun, Muncar menunjukkan kepadatan bangunan yang tergolong baik, dengan masih banyaknya lahan kosong yang tersedia untuk pembangunan.1
Keunggulan ini berarti implementasi aturan tata ruang seperti Koefisien Dasar Bangunan (KDB) atau Garis Sempadan Bangunan (GSB) dapat berfokus pada pencegahan dan penataan bangunan baru, alih-alih harus melakukan relokasi besar-besaran yang memicu resistensi masyarakat. Dengan demikian, sumber daya yang ada bisa dialihkan dari upaya pembebasan lahan yang biayanya sangat tinggi, menjadi fokus pada peningkatan kualitas dan fungsionalitas infrastruktur teknis, menjadikan Muncar model yang lebih mudah diterapkan di kawasan pesisir yang belum terlalu terdesak kepadatan.
Lompatan Kuantitas ke Kualitas: Ancaman Angka 25%
Inti dari strategi ini adalah lompatan dari kondisi saat ini—yang secara statistik mungkin terlihat lumayan tetapi fungsionalnya rentan—menuju kualitas lingkungan yang berkelanjutan. Permasalahan di Muncar terletak pada skor defisiensi yang tinggi, mulai dari 36% (ketidakteraturan bangunan) hingga 51% (pengolahan sampah dan limbah).1
Angka 25% bukanlah sekadar batas statistik. Ini adalah batas fungsional di mana infrastruktur, mulai dari jalan hingga sanitasi, dianggap mampu mendukung kehidupan yang nyaman, sehat, dan sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.1 Mencapai target ini berarti mengurangi separuh lebih risiko lingkungan yang saat ini dihadapi masyarakat Muncar.
Mengurai Benang Kusut Tata Ruang: Saat 36% Rumah Belum ‘Sadar Aturan’
Dua pilar pertama dalam pembangunan ekologis ini, Bangunan dan Jaringan Jalan, menentukan kerangka dasar keselamatan dan keteraturan wilayah. Kegagalan di sini meningkatkan risiko bencana dan memperparah kekumuhan.
Keteraturan Bangunan: Dari 36% Ketidakpatuhan menuju Kepatuhan Desain Hijau
Penilaian menunjukkan bahwa keteraturan bangunan di Muncar saat ini berada di level 36% kurang teratur.1 Meskipun ini masuk dalam kategori "cukup baik", angka ini secara nyata menunjukkan bahwa hampir empat dari sepuluh bangunan di kawasan pesisir ini didirikan tanpa mematuhi ketentuan tata ruang yang berlaku.
Anatomi ketidakteraturan ini disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan dan penegakan peraturan mendasar seperti Koefisien Dasar Hijau (KDH), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), dan Garis Sempadan Bangunan (GSB).1 Regulasi ini esensial untuk memastikan adanya ruang terbuka hijau, sirkulasi udara yang memadai, dan akses yang aman.
Untuk mengatasi ini, penelitian ini merekomendasikan pengetatan penegakan aturan tata ruang, serta mendorong strategi inovasi konstruksi. Para peneliti menyarankan penggunaan konsep green construction, di mana bahan bangunan dapat dicampur dengan tanaman atau material daur ulang seperti plastik. Metode ini diklaim mampu membantu menjaga efisiensi dan kekokohan struktural sambil tetap ramah lingkungan.1
Tujuan utamanya adalah mengurangi tingkat ketidakteraturan dari 36% ke ambang batas di bawah 25%. Lompatan kualitatif ini setara dengan membuka kembali akses udara dan cahaya alami yang sehat untuk lebih dari 10% populasi di area tersebut. Ini merupakan perbaikan krusial yang berdampak langsung pada kualitas hidup, terutama kesehatan pernapasan dan mental masyarakat.
Jaringan Jalan: Membuka Isolasi Wilayah
Infrastruktur jalan di Muncar mengalami krisis konektivitas. Saat ini, cakupan pelayanan jalan hanya dinilai 30%, dan kondisi jalan (termasuk kerusakan seperti lubang, retakan, atau gelombang) dinilai 35%.1 Kedua angka ini dikategorikan sebagai "tingkat rendah namun cukup baik".1
Rendahnya cakupan ini diakibatkan oleh banyak jalan yang belum terbangun secara menyeluruh dan yang lebih penting, tidak saling terhubung.1 Hal ini menciptakan isolasi di beberapa kantong permukiman.
Kunci untuk menurunkan defisiensi 30% dan 35% ini ke zona aman di bawah 25% adalah membangun jalan penghubung yang komprehensif dan secara agresif memperbaiki jalan yang rusak.1
Kondisi jalan yang buruk ini bukan hanya masalah kenyamanan lalu lintas sehari-hari. Angka 35% jalan rusak dan 30% jalan yang tidak terhubung berarti hampir sepertiga wilayah Muncar rentan terisolasi, terutama dalam situasi darurat. Kegagalan prasarana ini secara langsung terhubung dengan masalah proteksi kebakaran, di mana mobil pemadam kebakaran tidak dapat menjangkau target di waktu kritis jika akses jalannya buruk. Dengan demikian, perbaikan jalan adalah investasi ganda: untuk tata ruang dan untuk keselamatan jiwa.
Krisis Tersembunyi di Balik Angka 51%: Ancaman Sampah dan Sanitasi ke Laut
Tiga pilar kritis—pengolahan sampah, pengolahan air limbah, dan proteksi kebakaran—secara mengejutkan mencetak skor defisiensi yang identik: 51%.1 Angka "triple-51" ini menempatkan Muncar dalam risiko kesehatan dan lingkungan yang serius, mengindikasikan kegagalan sistemik yang harus segera diatasi.
Kegagalan Ganda Sampah: Lebih dari Setengahnya Berantakan
Aspek pengolahan sampah, baik dari sisi standar pengolahan maupun ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah (TPS), sama-sama bernilai 51%, yang menunjukkan kategori "kurang baik".1
Nilai 51% ini mencerminkan perilaku kritis: mayoritas pengolahan sampah tidak dilakukan sesuai standar (tidak terpilah), dan masyarakat masih banyak yang membuang sampah sembarangan di tepi jalan atau lahan kosong.1 Praktik ini, selain merusak estetika lingkungan, menjadi sumber utama kontaminasi dan genangan air saat musim hujan.
Untuk mengubah status 51% ini menjadi di bawah 25%, diperlukan peta jalan perbaikan yang ketat, meliputi:
Paradoks Sanitasi: Punya Toilet, Limbah Langsung ke Sungai
Masalah sanitasi di Muncar menunjukkan paradoks yang menarik. Di satu sisi, kekurangan fasilitas Mandi, Cuci, Kakus (MCK) hanya dinilai 4%, yang berarti ketersediaan toilet sudah tergolong baik.1 Namun, di sisi lain, pengolahan air limbah yang tidak sesuai standar mencapai 51%.1
Hal ini menunjukkan bahwa masalah mendasar bukanlah ketiadaan toilet, melainkan kualitas pengolahan limbah. Hampir setengah dari bangunan di Muncar membuang limbah secara langsung ke sungai atau tidak memiliki septic tank yang memadai. Inilah yang secara teknis dikenal sebagai fenomena pencemaran langsung.
Solusi bernilai tinggi yang diusulkan penelitian ini adalah mewajibkan setiap bangunan untuk memiliki bio-septic tank.1 Bio-septic tank jauh lebih efektif dalam menguraikan limbah padat dan mengurangi kadar bakteri dalam air limbah sebelum dibuang ke lingkungan.
Mengurangi defisiensi sampah dan limbah dari 51% ke di bawah 25% setara dengan mengurangi risiko penularan penyakit berbasis air (seperti diare dan tipus) hingga lebih dari 50%. Ini adalah lompatan kualitas kesehatan yang paling penting dalam seluruh model pengembangan ekologis ini, terutama bagi anak-anak dan lansia.
Dari Sumur Bor ke Pemanen Hujan: Strategi Mengamankan Air Bersih dan Drainase
Pengelolaan air adalah pilar krusial di kawasan pesisir. Strategi ekologis Muncar berfokus pada bagaimana mengelola air kotor agar tidak terjadi banjir dan bagaimana mengamankan ketersediaan air minum bersih.
Drainase: Menutup Saluran, Membuka Biopori
Cakupan pelayanan drainase di Muncar sebenarnya cukup luas, dinilai 74%, menempatkannya pada kategori "cukup baik".1 Namun, tantangan terbesarnya adalah pemeliharaan yang buruk, yang nilainya mencapai 53%.1 Ini berarti saluran yang ada tidak berfungsi optimal, menyebabkan genangan dan banjir lokal.
Untuk mengurangi masalah 53% ini ke bawah 25%, penelitian merekomendasikan pembangunan sistem drainase yang saling terhubung, konstruksi saluran tertutup, dan, yang terpenting, implementasi biopori.1
Implementasi biopori adalah solusi cerdas yang ramah lingkungan. Biopori membantu penyerapan air, mengurangi genangan, dan secara alami mengisi kembali air tanah. Hal ini sangat penting karena secara tidak langsung membantu menstabilkan sumber air minum (sumur bor) yang saat ini banyak dipakai oleh warga.1 Perbaikan ini meningkatkan fungsionalitas drainase dari "kurang baik" menjadi "baik."
Air Minum: Menghemat dengan Pipa Plastik dan Wadah Hujan
Ketersediaan air minum di Muncar menghadapi masalah distribusi. Ketersediaan air dinilai 30% kurang tersedia, dan kebutuhan yang tidak terpenuhi mencapai 28%.1 Masalah utamanya disebabkan oleh pipa distribusi yang belum menjangkau seluruh kawasan pesisir Muncar.1 Saat ini, sumber air masih didominasi oleh sumur bor, HIPPAM, dan PDAM.1
Untuk menurunkan defisiensi 30% dan 28% ke di bawah 25%, para peneliti mengusulkan solusi efisiensi berupa penggunaan pipa distribusi dari bahan plastik yang dianggap lebih terjangkau dan efisien untuk perluasan jaringan.1
Selain itu, diusulkan pembuatan wadah penampung air hujan (rainwater harvesting). Ini berfungsi sebagai sumber alternatif yang dapat membantu penghematan penggunaan air bersih utama.1 Jika saat ini hampir sepertiga rumah tangga (30%) mengalami ketidaknyamanan air minum, upaya ini akan memastikan bahwa kekurangan air hanya dirasakan oleh kurang dari satu dari empat rumah tangga, sebuah perbaikan mendasar yang esensial untuk menurunkan risiko ketergantungan pada sumber air tunggal yang rentan kontaminasi.
Kesiapan Bencana: Ketika Sungai Menjadi Senjata Pemadam Kebakaran
Permukiman kumuh pesisir seringkali rentan terhadap bencana kebakaran, dan kesiapan proteksi kebakaran adalah indikator vital keselamatan komunitas.
Defisit Kesiapan 51%: Sarana dan Prasarana
Aspek proteksi kebakaran menunjukkan defisit yang parah. Ketersediaan sarana (seperti Alat Pemadam Api Ringan/APAR) dan prasarana (akses jalan) sama-sama mencetak nilai defisiensi 51%.1 Angka ini mencerminkan kurangnya kesiapan masyarakat terhadap bahaya kebakaran, di mana setengah dari kawasan tidak memiliki alat atau akses yang memadai.
Untuk mengatasi defisiensi 51% ini, penelitian mengusulkan strategi inovatif yang memanfaatkan kondisi lingkungan pesisir: penggunaan sistem pompa air yang memanfaatkan air sungai sebagai cadangan utama untuk pemadaman.1 Selain itu, pemasangan Hydran di titik strategis di kawasan pesisir sangat dianjurkan.1
Dari sisi prasarana (yang juga 51% kurang baik), dibutuhkan perbaikan akses jalan lingkungan agar dapat dilalui oleh mobil pemadam kebakaran. Peningkatan akses jalan ini secara langsung menanggulangi masalah rendahnya cakupan dan kondisi jalan (30% dan 35%) yang telah diidentifikasi sebelumnya.1
Menariknya, pendekatan ini menunjukkan bagaimana arsitektur berkelanjutan dapat mengubah sumber daya alam yang ada. Sungai, yang selama ini menjadi penerima limbah (51% non-standar), kini diubah fungsinya menjadi aset keselamatan, menyediakan solusi darurat yang efisien dan minim biaya.
Opini dan Kritik Realistis: Tantangan di Balik Target 'Di Bawah 25%'
Meskipun model pengembangan ekologis Muncar menawarkan blueprint yang kuat dan terukur, ada tantangan realistis yang harus dihadapi agar implementasinya berhasil mencapai target di bawah 25%.
Beban Finansial Masyarakat
Penelitian ini menekankan pada langkah-langkah teknis yang mahal: mewajibkan pemasangan bio-septic tank untuk mengatasi 51% limbah non-standar, membangun jaringan pipa air baru, dan menyesuaikan bangunan (untuk mengatasi 36% ketidakteraturan) agar patuh pada KDB/KLB/GSB.1
Perubahan mendasar ini membutuhkan investasi signifikan dari setiap kepala keluarga. Jika tidak diimbangi dengan subsidi masif atau skema pembiayaan lunak dari pemerintah daerah, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, implementasinya akan sulit. Jika biaya terlalu membebani, masyarakat akan cenderung kembali ke praktik non-standar (misalnya membuang limbah ke sungai), membuat angka defisiensi yang tinggi kembali naik dan upaya transformasi menjadi sia-sia.
Keberlanjutan Perubahan Perilaku
Tantangan terbesar dalam program permukiman ekologis sering kali bukan pada pembangunan fisik, melainkan pada pemeliharaan dan perubahan perilaku sosial. Angka 53% drainase yang kurang terpelihara, 51% pembuangan sampah yang non-standar, dan 36% ketidakteraturan bangunan adalah masalah perilaku dan kesadaran.1
Mempertahankan skor di bawah 25% membutuhkan lebih dari sekadar sosialisasi awal. Ia menuntut program penegakan dan edukasi berkelanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa keberlanjutan partisipasi masyarakat sering menjadi kelemahan proyek pembangunan di daerah. Pemerintah dan komunitas harus bersiap menerapkan sanksi sosial atau regulasi yang ketat untuk memastikan standar kebersihan dan tata ruang dipertahankan dalam jangka panjang.
Roadmap Dampak Nyata: Kota Ekologis dalam Lima Tahun
Penelitian pengembangan permukiman ekologis di Muncar menyajikan peluang luar biasa untuk transformasi kualitas hidup. Pencapaian target di bawah 25% di seluruh tujuh aspek infrastruktur akan mengubah Muncar dari kawasan yang rentan menjadi komunitas pesisir yang tangguh.
Kepatuhan tata ruang (mengurangi 36% ketidakteraturan menjadi di bawah 25%) dan kondisi jalan yang baik (35% kerusakan menjadi di bawah 25%) akan meningkatkan aksesibilitas dan keamanan lingkungan, sekaligus berpotensi menaikkan nilai ekonomi properti lokal.
Namun, dampak terbesar terletak pada pengurangan biaya sosial. Biaya sosial tertinggi di kawasan kumuh adalah biaya kesehatan (akibat sanitasi buruk) dan kerugian material (akibat bencana seperti kebakaran dan banjir). Mengurangi risiko sanitasi 51% menjadi di bawah 25% akan secara signifikan mengurangi beban sistem kesehatan lokal.
Pernyataan Dampak Nyata: Jika diterapkan secara konsisten dengan dukungan finansial dan penegakan regulasi, temuan ini bisa mengurangi biaya penanganan penyakit berbasis air dan sanitasi hingga 40% dan meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap bencana kebakaran sebesar 50% (berdasarkan lompatan dari 51% ketidaksiapan sarana/prasarana menjadi di bawah 25%) dalam waktu lima tahun. Muncar, dengan keunggulan tata ruangnya yang unik, berpotensi menjadi model nasional bagi kawasan pesisir lain yang berjuang mengatasi kompleksitas kekumuhan dalam menghadapi tantangan lingkungan di masa depan.
Sumber Artikel:
Febriano, P. I., & Shofwan, M. (2025). Pengembangan kawasan permukiman kumuh menjadi kawasan permukiman ekologis di kawasan pesisir muncar. Wahana Aktivitas dan Kreativitas Teknologi Unipasby (WAKTU), 23(01), 23–29. https://dx.doi.org/10.36456/waktu.v23i1.9664
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025
I. Pendahuluan: Mengapa Regulasi Baru Harus Lahir Hari Ini
Garis Depan Krisis Papan di Buleleng
Kabupaten Buleleng, yang membanggakan predikat sebagai wilayah terluas di Bali dengan total area $1.365,88~Km^{2}$ (mencakup 24,25% dari Luas Pulau Bali), kini berada di persimpangan kebijakan penting terkait pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Kebutuhan akan papan, atau tempat tinggal, adalah kebutuhan primer yang tidak bisa ditawar lagi, dan tingginya permintaan ini telah melahirkan sejumlah permasalahan kompleks yang menuntut intervensi regulasi daerah yang kuat dan terorganisir.1
Isu perumahan dan kawasan permukiman bukan sekadar masalah komersial atau ekonomi, melainkan merupakan amanat langsung dari konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (1) secara tegas menyatakan hak setiap orang untuk hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebagai konsekuensi dari ketentuan ini, negara, melalui Pemerintah Daerah, bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan.1
Kewajiban Daerah sebagai Pelayanan Dasar
Urgensi pembentukan regulasi ini semakin diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam regulasi tersebut, urusan Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dikategorikan sebagai Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Hal ini memposisikan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) sebagai prioritas tertinggi yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng.1
Kesenjangan hukum di masa lalu telah menghasilkan kekumuhan di masa kini. Analisis menunjukkan bahwa Kabupaten Buleleng, hingga saat ini, belum mempunyai aturan spesifik yang mengatur tentang keberadaan perumahan rakyat dan kawasan permukiman.1 Ketiadaan payung hukum lokal yang komprehensif ini, yang merupakan kelemahan dalam aspek Landasan Yuridis, telah membuka peluang bagi pertumbuhan perumahan yang tidak terkontrol. Para pengembang dan masyarakat membangun tanpa standar teknis yang memadai dan tanpa memperhatikan rencana tata ruang.1
Pertumbuhan yang tidak terorganisir ini pada akhirnya melahirkan permukiman kumuh secara organik. Permukiman kumuh, sebagaimana dijelaskan dalam naskah akademik, membawa serangkaian masalah yang kompleks, mulai dari kekurangan pelayanan air bersih, sistem drainase yang buruk, akses jalan yang terbatas, hingga pencemaran lingkungan. Lebih jauh lagi, kekumuhan meningkatkan kerentanan sosial, termasuk kerentanan terhadap status kepemilikan tanah dan peningkatan kemiskinan.1 Oleh karena itu, pembentukan Peraturan Daerah (Perda) ini hadir sebagai respons yang mendesak dan spesifik (sebagai local problem solving) untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dan menanggulangi dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkannya.1
II. Defisit Papan di Utara Bali: Menghitung Kesenjangan 18.489 Kepala Keluarga
Ancaman Demografi dan Lonjakan Kebutuhan
Analisis kependudukan menunjukkan Kabupaten Buleleng sedang menghadapi tantangan demografi yang signifikan. Pada Tahun 2020, total populasi tercatat sebanyak 791.813 jiwa, dengan kepadatan penduduk mencapai $580~jiwa/km^{2}$.1 Yang lebih penting, laju pertumbuhan penduduk tercatat sebesar 2,33%.1
Lonjakan populasi ini secara langsung meningkatkan kebutuhan akan penyediaan perumahan beserta sarana dan prasarananya.1 Proyeksi jangka panjang mengindikasikan bahwa jika tren ini berlanjut, total penduduk Buleleng akan mencapai 915.766 jiwa pada tahun 2041.1 Ini berarti pembangunan perumahan harus mampu mengimbangi lonjakan populasi yang diproyeksikan terjadi selama dua dekade mendatang. Kegagalan dalam perencanaan hari ini akan memperburuk krisis perumahan di masa depan.
Data Backlog 2021: Menyingkap Kesenjangan yang Mencengangkan
Kesenjangan fundamental antara pasokan dan permintaan perumahan diukur melalui istilah backlog, yaitu selisih antara jumlah rumah tangga yang ada dengan jumlah bangunan rumah yang tersedia.1
Pada tahun 2021, Buleleng mencatat total backlog sebesar 18.489 Kepala Keluarga (KK).1 Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, kesenjangan ini setara dengan kebutuhan rumah bagi lebih dari 10% dari total rumah tangga (sekitar 177.141 KK) di seluruh Buleleng, yang berarti satu dari sepuluh keluarga berpotensi tidak memiliki rumah layak atau terpaksa berbagi hunian dengan keluarga lain.
Analisis lebih lanjut mengenai peta panas backlog regional mengungkapkan adanya ketidakmerataan masalah defisit papan di sembilan kecamatan:
Terdapat temuan menarik di balik data ini. Backlog tertinggi (Gerokgak, Seririt) justru berada di wilayah yang cenderung jauh dari pusat administrasi, meskipun Kecamatan Buleleng sendiri memiliki populasi tertinggi. Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara lokasi pertumbuhan ekonomi, seperti sektor pariwisata atau pertanian di wilayah barat Buleleng, yang menarik tenaga kerja, dengan pasokan perumahan formal, terutama yang terjangkau.
Kesenjangan ini mengharuskan Perda RP3KP untuk fokus pada Bab VII, yang mengatur Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang. Pengaturan ini harus secara eksplisit mengarahkan insentif pembangunan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) ke wilayah-wilayah dengan backlog tertinggi, seperti Gerokgak dan Seririt, sebagai upaya strategis untuk mengurangi tekanan urbanisasi di pusat kota dan mendukung distribusi penduduk yang proporsional.1
Target Kesejahteraan: Rumah untuk MBR
Penyediaan hunian layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) memiliki implikasi ganda. Tidak hanya memenuhi hak dasar, tetapi juga berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan, memungkinkan keluarga untuk mengembangkan ekonomi kreatif di lingkungan yang aman dan sehat.1
Kebutuhan penyediaan rumah MBR pada tahun 2021 sebanding dengan total backlog (18.489 unit).1 Sekali lagi, Kecamatan Gerokgak (2.434 unit) dan Seririt (1.482 unit) memegang prioritas tertinggi dalam kebutuhan MBR.1 Regulasi yang akan dibentuk ini, melalui tujuan utamanya, wajib menjamin kepastian hukum dan kemudahan bagi MBR dalam memperoleh rumah, sebagai fondasi utama pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
III. Skandal Infrastruktur Perumahan: Ketika Aset Publik Ditinggalkan Pengembang
Paradoks Tata Kelola Aset PSU yang Terbengkalai
Salah satu isu krusial yang diidentifikasi dalam penyediaan perumahan di Buleleng adalah nasib Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) yang dibangun oleh pengembang. Fasilitas publik vital ini, termasuk jaringan jalan, drainase, dan fasilitas sosial, seringkali berakhir dalam kondisi tidak terawat atau ditinggalkan setelah pengembang selesai menjual unit rumah.1
Masalah fundamentalnya terletak pada tata kelola aset. Pemerintah Daerah Buleleng tidak dapat mengawasi atau memelihara PSU secara optimal karena aset-aset tersebut belum secara resmi diserahkan dan dicatatkan sebagai aset Pemda.1 Karena status kepemilikan yang tidak jelas, beban pemeliharaan dan perbaikan pun beralih secara tidak adil kepada konsumen atau penghuni perumahan, yang tentu saja menambah beban biaya mereka.1 Jika mekanisme ini terus dibiarkan tanpa regulasi yang memaksa, PSU yang terbengkalai akan mempercepat laju pembentukan permukiman kumuh di kawasan tersebut, merusak investasi jangka panjang.
Permasalahan ini menggarisbawahi perlunya mekanisme hukum yang memaksa pengembang melakukan serah terima aset publik kepada Pemda Buleleng. Perda RP3KP, melalui Bab XII (Rencana Penyediaan PSU), harus mencakup ketentuan tegas mengenai serah terima ini.1 Jika serah terima berhasil diatur, Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk menyediakan anggaran (sebagaimana diatur dalam Bab XX tentang Pendanaan) untuk pemeliharaan, memindahkan beban finansial dari masyarakat ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kejelasan mengenai serah terima aset ini adalah kunci untuk menciptakan tata kelola perumahan yang berkelanjutan.
Potret Kekumuhan di Buleleng: Barometer Kegagalan Infrastruktur
Permukiman kumuh didefinisikan oleh penurunan kualitas fungsi hunian yang parah dan buruknya sarana prasarana, jauh dari persyaratan teknis yang ditetapkan.1 Kondisi kekumuhan di lokasi sampel Buleleng sangat mengkhawatirkan dan menjadi indikator kuat kegagalan regulasi di masa lalu:
IV. Kearifan Lokal dan Garis Batas Pengembangan: Batasan Nyegara Gunung
Topografi Sebagai Penentu Arah Pembangunan
Buleleng memiliki topografi khas yang dikenal sebagai Nyegara Gunung, yang berarti wilayahnya membentang dari pantai utara (segara) hingga ke wilayah pegunungan (gunung) di selatan.1 Kondisi geospasial ini secara alami mendikte arah dan keterbatasan pengembangan permukiman.
Analisis kemiringan lereng mengungkapkan kendala alamiah yang substansial. Daerah terjal, yang didefinisikan memiliki tingkat kemiringan di atas 40%, mencakup hampir seperempat wilayah Buleleng, yaitu 23,89% atau seluas 32.634,5 Ha.1 Pengembangan permukiman secara besar-besaran ke arah selatan (pegunungan) secara praktis terkendala oleh topografi yang terjal ini.
Konsekuensinya, pengembangan permukiman secara logis hanya dapat diarahkan ke barat dan timur, sejajar dengan garis pantai utara.1 Keterbatasan geografis ini meningkatkan tekanan urbanisasi dan pembangunan di lahan-lahan datar dan landai di utara, yang kemudian memunculkan konflik kepentingan lahan utama.
Konflik Kepentingan dan Pelestarian Lahan
Arah pengembangan yang terpaksa menuju wilayah datar di utara merupakan lokasi utama bagi pertanian lahan basah dan kawasan pesisir yang memiliki potensi pariwisata. Kebutuhan perumahan yang tinggi telah memicu masalah serius, yaitu alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan.1
Regulasi yang longgar menyebabkan trade-off yang merugikan, di mana upaya mengatasi backlog perumahan mengorbankan lahan pertanian produktif. Untuk menjaga keberlanjutan ekonomi dan ketahanan pangan Buleleng, Perda RP3KP harus memuat ketentuan ketat, khususnya dalam Bab XVII (Daerah Terlarang untuk Pembangunan dan Pengembangan Perumahan) dan sinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang (Bab XVI: Pengaturan Pemanfaatan di Kawasan Fungsi Lain).1 Pembatasan konversi lahan ini menjadi krusial.
Mengintegrasikan Filosofi Tri Mandala dan Sanga Mandala
Pengembangan perumahan di Buleleng tidak dapat dipisahkan dari kearifan lokal yang mengakar. Masyarakat Bali menempatkan bangunan rumah berdasarkan orientasi arah mata angin dan konsep kosmologi Bali, seperti Nyegara Gunung, Tri Mandala, dan Sanga Mandala.1 Filosofi ini menempatkan rumah berdasarkan nilai budaya dan spiritual, di mana penempatan arah gunung diperuntukkan bagi tempat pemujaan dan arah laut untuk pelepasan (pemakaman/penguburan), dengan bangunan rumah berada di tengahnya.
Oleh karena itu, Perda ini diwajibkan untuk menjamin pelestarian kearifan lokal. Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah bahwa bentuk bangunan yang dikembangkan minimal harus mencirikan ornamen Bali.1 Hal ini bertujuan agar rumah tradisional Bali tetap lestari dan keberlanjutan budaya terjamin, sejalan dengan visi pembangunan pariwisata berbasis budaya di pulau tersebut.1
V. Perda RP3KP: Struktur Hukum untuk Kepastian Pembangunan
Landasan Tiga Pilar Penopang Regulasi
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di Buleleng didirikan di atas tiga fondasi pembenaran yang kokoh:
Struktur Total: Menjelajahi 33 Bab Regulasi Komprehensif
Komprehensifnya kajian ini tercermin dari usulan Naskah Akademik yang mencakup 33 Bab muatan materi Perda, mulai dari Ketentuan Umum (Bab I) hingga Ketentuan Penutup (Bab XXXIII).1 Jumlah bab yang luar biasa banyak ini menunjukkan ambisi untuk menjadikan Perda ini sebagai pedoman tunggal yang mencakup setiap aspek penyelenggaraan perumahan, mulai dari perencanaan hingga penegakan hukum.
Beberapa fokus utama dari 33 Bab tersebut adalah:
Kekuatan sebenarnya dari rancangan Perda ini terletak pada bab-bab yang mengatur penegakan hukum. Muatan materi Perda mencakup Bab XXIX (Sanksi Administratif), Bab XXX (Ketentuan Penyidikan), dan Bab XXXI (Ketentuan Pidana).1 Penyertaan bab yang mengatur sanksi hingga level pidana ini membuktikan komitmen daerah untuk memastikan kepatuhan. Ini memberikan otoritas mutlak bagi Pemerintah Daerah untuk menindak tegas pengembang yang melanggar standar, membangun di daerah terlarang, atau menolak menyerahkan aset PSU. Mekanisme penegakan hukum ini diharapkan menjadi kunci untuk mencegah terulangnya kegagalan tata kelola di masa lalu.
VI. Proyeksi Dampak Nyata dan Ujian Sinergi Daerah
Opini dan Kritik Realistis terhadap Implementasi
Peraturan Daerah ini merupakan langkah maju yang monumental untuk menjamin hak dasar warga Buleleng. Namun, implementasinya tidak akan tanpa tantangan serius, yang harus diantisipasi oleh Pemerintah Daerah:
Proyeksi Keberhasilan dan Pernyataan Dampak Nyata
Penerapan regulasi ini secara efektif menjanjikan multiplier effect (efek berganda) yang luas. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari jumlah rumah yang dibangun, tetapi juga dari terciptanya kerukunan, dukungan terhadap aktivitas ekonomi kreatif, serta pelestarian sosial budaya yang selaras dengan kearifan lokal Bali.1
Rekomendasi jangka panjang yang diusulkan oleh naskah akademik meliputi:
Jika Peraturan Daerah tentang Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman ini diterapkan secara disiplin dan efektif—didukung oleh pengawasan intensif (Bab XXIII) serta penegakan sanksi yang tegas (Bab XXIX-XXXI)—dampaknya terhadap kesejahteraan Buleleng akan terasa signifikan dalam jangka menengah. Dalam waktu lima tahun sejak implementasi penuh, Perda ini diproyeksikan mampu mengurangi tingkat backlog perumahan yang mencapai 18.489 unit hingga 40 persen, memberikan hunian layak bagi lebih dari 7.000 Kepala Keluarga. Selain itu, dengan adanya kepastian serah terima PSU dan pembatasan pembangunan yang tidak teratur, regulasi ini akan mengurangi biaya darurat penanggulangan kekumuhan dan perbaikan infrastruktur yang mangkrak hingga puluhan miliar rupiah, sekaligus memastikan pelestarian kearifan lokal sebagai fondasi pembangunan yang berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Tim Kelitbangan, Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Daerah Kabupaten Buleleng. (2021). NASKAH AKADEMIK RENCANA PEMBANGUNAN, PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN KABUPATEN BULELENG.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025
I. Pendahuluan: Tsunami Urban dan Detik-Detik Menuju Krisis Daya Dukung Kota
A. Urban Tsunami yang Tak Terelakkan: Jawa sebagai Episentrum Dunia
Abad ke-21 didefinisikan oleh migrasi besar-besaran manusia menuju pusat-pusat perkotaan. Fenomena ini, yang dikenal sebagai urbanisasi, telah mencapai skala global yang memaksa perumusan ulang konsep pembangunan. Secara global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat pada tahun 2014 bahwa sebanyak 54% penduduk dunia telah tinggal di wilayah perkotaan.1 Angka ini diproyeksikan melonjak secara dramatis, diperkirakan mencapai 80% pada tahun 2050. Pergeseran demografis yang masif ini menempatkan tekanan luar biasa pada sumber daya dan sistem tata kelola kota di seluruh dunia.1
Menanggapi urgensi global ini, Indonesia turut menyepakati Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, sebuah kerangka pembangunan universal yang menggantikan Millennium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015.1 Salah satu pilar kunci SDGs adalah Tujuan ke-11, yang berfokus pada pembangunan Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan. Tujuan ini menjadi semakin krusial mengingat tingginya angka urbanisasi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Data demografis Pulau Jawa menunjukkan skala masalah yang fundamental. Pada tahun 1998, populasi urban di Jawa tercatat sebanyak 54,6 juta jiwa. Angka ini meningkat pesat menjadi 146,9 juta jiwa pada tahun 2018. Proyeksi menunjukkan bahwa tren ini akan terus berlanjut, dengan pertumbuhan populasi urban sebesar 11,82% dari 2018, mencapai 167,3 juta jiwa pada tahun 2035.1
Kenaikan populasi urban Pulau Jawa hingga hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu kurang dari empat dekade (1998–2035) adalah lonjakan yang masif dan tidak terkelola. Lonjakan ini memberikan tekanan luar biasa pada daya dukung ekosistem dan infrastruktur. Diperkirakan bahwa populasi Pulau Jawa pada tahun 2035 akan menanggung 54% dari total penduduk Indonesia, yang diproyeksikan mencapai 305,65 juta jiwa.1 Konsentrasi populasi yang sedemikian rupa di satu pulau yang ekosistemnya terbatas menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan pulau tersebut untuk menopang kehidupan, menjadikan isu keberlanjutan di Jawa bukan lagi sekadar masalah regional, melainkan masalah stabilitas dan kedaulatan nasional.
B. Pengantar Krisis: Penurunan Daya Dukung Kota
Tingginya angka urbanisasi, seperti yang tercermin dari lonjakan populasi yang cepat di Jawa, secara langsung menyebabkan kota-kota besar di Indonesia mengalami penurunan daya dukung.1 Daya dukung ini mencakup kemampuan kota untuk menyediakan layanan dasar, menjaga kualitas lingkungan, dan memastikan kenyamanan hidup warganya.
Krisis ini menuntut pendekatan yang berbeda dalam perencanaan kota. Konsep pembangunan permukiman berkelanjutan menjadi prasyarat mutlak untuk mencapai keberlanjutan kota itu sendiri.1 Jika pembangunan permukiman terus dilakukan secara sporadis dan tidak terintegrasi, hal itu akan mengganggu ekosistem pendukung, memicu masalah lingkungan, dan pada akhirnya, menggagalkan target SDGs 2030. Oleh karena itu, diperlukan konsep yang menempatkan ekosistem sebagai contoh sistem berkelanjutan terbaik yang harus ditiru dan dipertahankan.1
II. Ironi Perencanaan: Jebakan Eksportasi Krisis Jakarta ke Botabek
A. Kebijakan "Invasi" 1976: Solusi yang Melahirkan Kekacauan
Pemerintah Indonesia telah berupaya meredam tekanan penduduk di Ibu Kota sejak lama. Upaya formal dimulai pada tahun 1976 melalui Instruksi Presiden No. 13 mengenai Pengembangan Wilayah Jabodetabek. Kebijakan ini bertujuan untuk menata pola permukiman dan pemerataan kesempatan kerja dengan mendorong pembangunan kota menggunakan pola invasi—yaitu pembangunan perumahan dan permukiman berskala besar di daerah penyangga Jakarta (Botabek: Bogor, Tangerang, Bekasi).1
Secara statistik, kebijakan ini menunjukkan keberhasilan parsial. Upaya tersebut berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk di Jakarta hingga turun menjadi 2,4%.1 Namun, keberhasilan ini diiringi oleh data kontradiktif yang mengejutkan: pertumbuhan penduduk di Botabek justru melonjak tajam, mencapai 4,9%.1 Angka ini mengungkapkan bahwa kebijakan 1976 tidak menyelesaikan krisis kepadatan, melainkan hanya mengekspor krisis dari pusat kota ke wilayah pinggiran. Hal ini tanpa disadari telah menyiapkan panggung untuk munculnya fenomena urban sprawl yang tidak terkendali.
B. Pola Perkembangan Lompat Katak dan Beban Ekosistem
Konsekuensi dari pola invasi ini adalah masifnya pembangunan permukiman tanpa kendali di daerah penyangga. Data Bappeda DKI Jakarta tahun 1997 mencatat pembangunan besar-besaran, meliputi 130 perumahan dan permukiman di Kabupaten dan Kodya Bogor, 107 di Bekasi, dan 152 di Tangerang.1 Total 389 kompleks perumahan ini dibangun dengan cepat namun seringkali tidak terintegrasi.
Pembangunan yang tergesa-gesa dan sporadis ini menciptakan serangkaian masalah yang khas di wilayah pinggiran, yaitu:
Perkembangan permukiman di Jabodetabek selama dekade terakhir ditandai oleh pola penyebaran (urban sprawl atau daerah peri urban) yang secara deskriptif sering dilabeli sebagai "kacau dan tak terencana" (chaos and unplanned).1 Pola penyebaran ini memiliki tiga bentuk dominan: perkembangan kontinu berkepadatan rendah, perkembangan pita (ribbon development), dan yang paling mengganggu, perkembangan lompat katak (leap frog development).1
Pola "lompat katak" secara tegas membuktikan bahwa perencanaan rasional telah gagal berhadapan dengan kekuatan pasar urbanisasi di Indonesia. Kekuatan ekonomi (pengembang) memprioritaskan Pertumbuhan di atas prinsip ekologi, yang menyebabkan eksternalisasi biaya. Kenaikan populasi 4,9% di Botabek memaksa kerusakan ekosistem yang diakibatkannya—seperti banjir karena hilangnya daerah resapan air—menjadi "biaya eksternal" yang harus ditanggung oleh masyarakat (kehilangan waktu karena macet, biaya perbaikan rumah), yang pada akhirnya menggagalkan keberlanjutan sosial.
III. Filosofi Survival: Perdebatan Tiga Pilar Keberlanjutan
A. Akar Konsepsional Keberlanjutan
Secara sederhana, keberlanjutan (sustainable) dapat dipahami sebagai kemampuan untuk bertahan hidup atau berlangsung secara lama (A sustainable system is one which survives or persists).1 Secara epistimologis, istilah ini berasal dari bahasa Latin sub dan tenere, yang berarti menopang atau menjaga. Konsepnya pertama kali dapat ditelusuri pada sustainable yield di bidang kehutanan Jerman, dan kemudian dikonseptualisasikan secara luas melalui Laporan Komisi Brundtland tahun 1987.1
Dalam konteks lingkungan hidup dan permukiman, keberlanjutan harus mempertimbangkan perspektif jangka waktu yang lama sekaligus menjaga sumber daya alam bumi. Oleh karena itu, keberlanjutan harus dikaitkan dengan tiga pilar utama: keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan lingkungan hidup (ekologi).1
B. Analisis Mendalam Elemen Pilar Keberlanjutan
Ketiga pilar keberlanjutan tersebut tidak dapat berdiri sendiri; mereka harus diintegrasikan dan saling memperkuat (mutually reinforcing).1 Munasinghe (2007) merangkum elemen pokok yang membentuk setiap pilar, memberikan kerangka kerja yang jelas untuk menilai apakah suatu kota bergerak menuju keberlanjutan:
Kegagalan perencanaan di Jabodetabek adalah akibat langsung dari memprioritaskan pertumbuhan ekonomi secara cepat, mengabaikan pilar lingkungan (keanekaragaman dan pencemaran), dan diperburuk oleh lemahnya kelembagaan (pilar sosial) yang seharusnya mampu mengendalikan pembangunan. Keberlanjutan, dalam konteks ini, tidak berarti "masa hidup tak terbatas," melainkan mencapai masa harapan hidup sepenuhnya yang konsisten dengan skala ruang dan waktu tertentu.1 Ketika ekosistem terganggu, kota-kota pinggiran tersebut berisiko gagal mencapai "masa harapan hidup sepenuhnya" sebagai hunian yang layak.
C. Kritik Realistis: Batasan Biosfer Menggulung Ekonomi?
Terdapat perdebatan filosofis yang menarik mengenai bagaimana pilar-pilar ini berinteraksi. Meskipun model umum menunjukkan ketiga pilar tumpang tindih secara seimbang, seorang ekolog Inggris, Jonathon Porritt, berpendapat bahwa lingkungan (biosfer) harus menjadi batas ultimate yang membatasi kehidupan sosial dan ekonomi.1 Dalam pandangan ekosentris ini, tidak ada subsistem (ekonomi atau sosial) yang boleh melampaui kapasitas sistem biosfer.
Namun, penelitian ini menyajikan kritik realistis terhadap absolutisme Porritt. Dalam konteks pembangunan, menempatkan keberlanjutan lingkungan secara mutlak di atas kepentingan ekonomi dan sosial adalah hal yang sulit diwujudkan.1 Kendala pragmatis seperti keterbatasan finansial, teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia di negara-negara berkembang seringkali memaksa adanya kompromi. Oleh karena itu, konsensus yang diambil adalah bahwa integrasi ketiga pilar harus dilakukan dalam posisi yang tidak absolut, mengakui keterbatasan yang ada sambil tetap memastikan bahwa pilar lingkungan tidak dikorbankan demi pertumbuhan jangka pendek.1
IV. Mencari Kota yang 'Layak Huni': Pergeseran Paradigma Perencanaan
A. Refleksi Masa Lalu: Respons terhadap Kota yang Unliveable
Teori perencanaan kota modern, yang berurusan dengan penataan lingkungan fisik buatan dan sosial, selalu muncul sebagai respons terhadap kondisi kota-kota industri yang buruk, kacau, dan tidak layak huni (unliveable).1
Sejarah perencanaan kota mencatat berbagai gerakan reformasi sebagai reaksi terhadap teror fisik dan sosial, di antaranya:
Pada masa selanjutnya, muncul kritik terhadap pendekatan sistem dan rasional yang mendominasi, karena dianggap menciptakan rencana tanpa memasukkan aspek manusia.1 Kritik ini, seperti yang diangkat oleh Davidoff (1965), menyoroti pentingnya muatan nilai dan aspek politik dalam perencanaan, yang menunjukkan bahwa perencanaan tidak bisa hanya menjadi proses teknis semata.
B. Dari Biotic Level ke Cultural Level
Perkembangan permukiman manusia secara teoretis dipilah menjadi dua tingkatan. Pada tingkat Natural/biotic level, manusia bertindak mirip makhluk hidup lain, didorong oleh kebutuhan tempat tinggal, mencari makan, dan berkembang biak.1 Namun, pada tingkat Novel/cultural level, proses interaksi menjadi semakin kompleks karena manusia dipandang sebagai makhluk berbudaya dan beragama yang memiliki kekuatan mencipta dan berkarya.1
Pada tingkat kultural inilah, melalui sistem sosial yang ada, muncul pola-pola diferensiasi sosial dan penggunaan lahan. Ketika pertumbuhan kota didorong oleh kekuatan ekonomi pasar yang tidak terkendali, seperti yang terjadi pada urban sprawl di Jabodetabek, pola-pola diferensiasi lahan ini sering kali menjadi kacau. Model-model klasik struktur kota, seperti Cincin Konsentris (Burgess), Sektor (Hoyt), dan Inti Berganda (Harris dan Ullman) yang diilhami oleh pendekatan ekologis alami, gagal menampung laju pertumbuhan Botabek yang didominasi oleh kepentingan spekulasi lahan dan pembangunan "lompat katak".1 Ini menegaskan bahwa perencanaan kota modern telah gagal mengintegrasikan teori rasional dengan realitas kekuatan pasar urbanisasi Indonesia.
C. Pergeseran Fokus: Pentingnya Tata Kelola dan Budaya
Batasan pengertian pembangunan urban berkelanjutan terus berkembang melampaui aspek fisik dan ekonomi. Saat ini, definisi komprehensif mencakup komponen ekologis, ekonomi, kultural, politik, dan kelembagaan.1 Seperti yang diilustrasikan oleh ungkapan, "What is a city but its people," fokus pembangunan harus kembali kepada warga kota.1
Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa aspek budaya dan tata kelola menempati posisi yang sangat penting, setara dengan aspek tata ruang dan ekonomi yang serba terukur.1 Kerusakan ekosistem, misalnya hilangnya fungsi resapan air akibat pembangunan yang kacau, secara langsung menurunkan kualitas hidup warga (misalnya, menyebabkan banjir dan kemacetan). Ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam pilar Lingkungan secara instan menghantam pilar Sosial, menyebabkan ketidaknyamanan, ketidaksehatan, dan ketidakamanan, yang justru merupakan kondisi unliveable yang ingin dihindari oleh perencanaan kota modern.
V. Menuju Visi Komunitas Berkelanjutan: Jalan Keluar Krisis
A. Tempat Tinggal yang Layak dan Pembangunan Berbasis Komunitas
Pembangunan permukiman berkelanjutan telah diamanatkan secara internasional, khususnya melalui Agenda Habitat II (1996), yang menekankan dua tema utama: tempat tinggal yang layak bagi semua orang, dan pembangunan permukiman yang berkelanjutan di dunia yang semakin meng-kota.1
Solusi kunci yang ditawarkan untuk mengatasi kekacauan pembangunan adalah pendekatan Pembangunan Berbasis Komunitas (Community Based Development/CBD). CBD bertujuan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, baik dalam pembangunan sosial ekonomi maupun pelestarian lingkungan fisiknya.1
Visi komunitas urban yang berkelanjutan menekankan bahwa warga kota harus memiliki rasa tempat (sense of place), didukung oleh visi dan misi yang ditetapkan dan dianut bersama oleh segenap pemangku kepentingan.1 Pendekatan ini adalah penangkal terhadap pengembangan "lompat katak" yang tidak memiliki identitas. Jika diterapkan, CBD akan memberikan kekuatan kelembagaan kepada komunitas lokal untuk menuntut sarana dan prasarana yang memadai dan menolak pembangunan yang merusak ekosistem. Ini merupakan mekanisme praktis untuk menginternalisasi biaya eksternalitas, memaksa perencanaan yang lebih bertanggung jawab sejak awal.
B. Sinkronisasi Pilar Kesejahteraan
Untuk mewujudkan kota berkelanjutan, integrasi non-absolut antara tiga pilar harus diwujudkan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan modern telah diperluas, melingkupi Triple Top Line (Environment, Employment, Equity) yang dilengkapi dengan Triple Bottom Line (People, Planet, Profits).1 Fokus pada People dan Equity memastikan bahwa tujuan utama bukanlah sekadar pertumbuhan fisik atau ekonomi, melainkan peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan segenap warga, tanpa terkecuali.
Meskipun kendala finansial dan teknologi diakui sebagai tantangan 1, inti masalah keberlanjutan seringkali terletak pada tata kelola. Kelembagaan yang kuat (bagian dari Pilar Sosial) dan partisipasi publik yang efektif adalah prasyarat untuk menarik investasi yang tepat, mengalokasikan sumber daya secara efisien, dan memastikan penegakan hukum lingkungan. Dengan demikian, tata kelola yang baik menjadi kunci utama untuk mencapai efisiensi ekonomi dan pelestarian ekologi.
VI. Kesimpulan dan Panggilan Aksi: Mencegah Kerugian Puluhan Triliun
A. Krisis Kualitas Hidup dan Pilihan Kebijakan
Peningkatan kepadatan penduduk yang didorong oleh urban sprawl tanpa perencanaan permukiman yang terintegrasi di wilayah penyangga seperti Jabodetabek, telah mengganggu ekosistem pendukung kota.1 Kegagalan ini, yang tampak pada kemacetan dan kerusakan lingkungan, adalah konsekuensi dari perencanaan yang memisahkan antara pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Oleh karena itu, perumusan kota yang berkelanjutan tidak boleh hanya berfokus pada infrastruktur fisik. Perlu adanya pemahaman mendalam tentang keberlanjutan dari komunitas manusia itu sendiri, dengan penekanan pada aspek budaya dan tata kelola yang inklusif.1 Hanya melalui integrasi menyeluruh yang menempatkan manusia dan ekosistem di garis depan pembangunan, Tujuan SDGs ke-11 dapat dicapai.
B. Pernyataan Dampak Nyata dan Estimasi Waktu
Kegagalan dalam mengintegrasikan tiga pilar keberlanjutan telah menciptakan inefisiensi ekonomi yang sangat besar. Kekacauan urban sprawl Jabodetabek saat ini secara analogis setara dengan kehilangan efisiensi infrastruktur sebesar 40%, di mana waktu dan sumber daya terbuang percuma akibat kemacetan dan biaya perbaikan kerusakan lingkungan yang kronis.
Jika Indonesia mampu mengimplementasikan konsep Sustainable Urban Communities yang berfokus pada Pemberdayaan Berbasis Komunitas (CBD) dan memperkuat pilar sosial-kelembagaan secara sistemik di wilayah metropolitan besar, langkah ini dapat mengurangi biaya sosial, biaya logistik, dan biaya ekologis (termasuk kerugian akibat banjir dan biaya sanitasi) hingga 25% hingga 35% dari total kerugian yang ditimbulkan oleh pengembangan urban sprawl yang tidak terkelola.1
Dengan adanya komitmen politik yang kuat untuk mengubah tata kelola (kelembagaan dan pemberdayaan) dan investasi yang tepat sasaran, dampak nyata berupa peningkatan kualitas hidup yang terukur, penurunan kemacetan yang signifikan, dan pemulihan fungsi ekosistem dapat dirasakan secara substansial dalam waktu lima hingga tujuh tahun setelah kebijakan integratif tersebut diterapkan secara konsisten dan menyeluruh.
Sumber Artikel:
Bambang Deliyanto & Sumartono. (2018). Peran Matematika, Sains, dan Teknologi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN DAN KEBERLANJUTAN KOTA. Seminar Nasional FMIPA Universitas Terbuka 2018.