Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan India 2025: Tarif Tinggi, Regulasi Impor Ketat, dan Ekspansi Kontrol Digital dalam Ekonomi Berkembang Terbesar Dunia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


India adalah salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia sekaligus mitra strategis bagi banyak negara besar. Namun, struktur kebijakan perdagangannya menunjukkan kombinasi antara proteksionisme tarif, regulasi teknis yang cepat berubah, serta kebijakan digital yang semakin intervensif. Bersumber dari 2025 National Trade Estimate – India Section, artikel ini menguraikan hambatan perdagangan India dalam klaster kebijakan inti: tarif dan pajak, lisensi impor, TBT, SPS, regulasi bioteknologi, data & digital trade, layanan, serta subsidi pertanian.

Tarif India: Tertinggi di Dunia untuk Ekonomi Besar

India mempertahankan struktur tarif yang sangat tinggi:

  • Tarif MFN rata-rata: 17% (tertinggi di antara ekonomi besar dunia)

  • Non-pertanian: 13,5%

  • Pertanian: 39%

  • Tarif ekstrem: buah & kacang (100%), alkohol (150%), karet alam (70%), obat tertentu (20%+), bunga & otomotif (60%), serta ayam beku & produk pangan lain.

Perbedaan besar antara tarif bound (komitmen WTO) dan applied membuat India dapat mengubah tarif sewaktu-waktu tanpa konsultasi publik, menciptakan ketidakpastian tinggi bagi eksportir.

India juga menerapkan tarif retaliasi (2019–2023) terhadap 28 produk AS sebelum akhirnya dicabut pada 2023.

Pajak Impor Tambahan dan Sistem Kepabeanan yang Rumit

Sejak 2018, India menambahkan 10% surcharge untuk banyak impor. Tarif dan pajak bisa berubah sewaktu-waktu melalui notifikasi tanpa proses komentar.

Sistem kepabeanan India:

  • sering menolak transaction value dan memakai benchmark price;

  • membutuhkan dokumentasi ganda (digital & fisik);

  • menerapkan inspeksi yang tidak berbasis risiko;

  • memiliki variasi antarwilayah sehingga keputusan di satu kantor bea cukai tidak berlaku di wilayah lain.

Hal ini mengakibatkan biaya transaksi lebih tinggi dan ketidakpastian administratif bagi eksportir.

Non-Tariff Barriers: Larangan, Pembatasan, dan Kuota Impor yang Tak Stabil

India masih melarang beberapa produk (misal tallow hewan), membatasi impor melalui lisensi non-otomatis, dan mengatur beberapa barang hanya lewat monopoli impor pemerintah (misalnya jagung melalui TRQ).

Selain itu:

  • kuota untuk pulses sering berubah tanpa pola jelas,

  • pembatasan boric acid bersifat diskriminatif dan sulit dipenuhi eksportir,

  • persyaratan importasi barang refurbished/used sangat ketat.

Lisensi Impor untuk ICT, Medis, dan Barang Remanufaktur

India membedakan barang baru, secondhand, remanufactured, dan refurbished:

  • barang remanufaktur wajib lisensi,

  • refurbished harus berusia <7 tahun,

  • banyak produk ICT (laptop, tablet, server) kini memerlukan lisensi impor,

  • proses aplikasi panjang, detail teknis berlebihan, dan dapat ditunda tanpa batas waktu.

Pada 2024, India bahkan menghentikan sementara penerbitan izin untuk perangkat medis impor, mengganggu pasokan alat kesehatan.

Quality Control Orders (QCO): Standardisasi Nasional sebagai Hambatan Teknis

Sejak 2019, India mewajibkan BIS (Bureau of Indian Standards) untuk puluhan kategori produk:

  • kimia, elektronik, baterai, tekstil, pangan, medis

  • banyak QCO hanya mengakui uji laboratorium dalam negeri,

  • inspeksi pabrik oleh pejabat India menjadi syarat wajib untuk beberapa komoditas,

  • transisi tidak jelas dan sering diumumkan mendadak.

QCO ini menimbulkan hambatan signifikan karena tidak selalu selaras dengan standar internasional.

Mandatory Domestic Testing untuk Perangkat Telekomunikasi

India mewajibkan pengujian dan sertifikasi domestik untuk 175+ produk telekomunikasi:

  • uji keamanan dan siber harus di India,

  • tidak mengakui hasil uji dari laboratorium internasional,

  • beberapa skema meminta pengungkapan source code dan data internal—isu sensitif bagi industri.

Regulasi CRO (2014, diperluas 2021) serta ComSec 2023 meningkatkan biaya kepatuhan jutaan dolar dan menyebabkan duplikasi pengujian.

SPS: Persyaratan Ketat untuk Pangan, Produk Hewan, dan Pertanian

India menerapkan persyaratan SPS yang sering tidak berbasis risiko, termasuk:

  • standar nol-toleransi untuk beberapa hama tumbuhan,

  • persyaratan fumigasi metil bromida hanya di negara asal (meski suhu tidak memungkinkan),

  • penolakan terhadap cold treatment/hot water treatment untuk kacang dan buah tertentu,

  • pembatasan terhadap produk daging & unggas, termasuk sejarah sengketa WTO terkait AI (avian influenza).

Bioteknologi & GE Products: Proses Sangat Lambat dan Kurang Transparan

Persetujuan bioteknologi oleh GEAC:

  • lambat, politis, dan tidak konsisten,

  • tidak selaras dengan proses berbasis sains negara lain,

  • belum memiliki kerangka jelas untuk produk NGT.

India juga mewajibkan GM-free certificate untuk 24 produk meski banyak produk tersebut tidak memiliki varian GE yang diperdagangkan secara global—hambatan yang tidak berbasis risiko.

Regulasi Produk Pertanian: Sertifikat Baru, Pendaftaran Fasilitas, dan Aturan Khusus Per Komoditas

India meningkatkan persyaratan sertifikasi untuk:

  • susu & produk susu,

  • daging & ikan,

  • produk telur,

  • nutraceutical.

Banyak sertifikat baru memiliki pernyataan ganda dan persyaratan yang tidak terkait keamanan pangan. Selain itu, FSSAI kini mewajibkan registrasi fasilitas asing, menambah lapisan administrasi baru.

Kebijakan Layanan: FDI Terbatas, Dominasi BUMN, dan Pembatasan Distribusi

India membatasi kepemilikan asing dalam:

  • media: radio (49%), surat kabar (26%), media digital berita (26%),

  • retail: multi-brand retail hanya sampai 51% dan tergantung persetujuan tiap negara bagian,

  • insurance: meskipun batas FDI naik ke 100%, banyak safeguard tetap berlaku,

  • perbankan: kepemilikan asing dibatasi dan ekspansi cabang harus disetujui tahunan.

FDI dalam e-commerce model inventory-based tetap dilarang, membuat pemain asing harus beroperasi dalam model marketplace yang dibatasi.

Telekomunikasi, Satelit, dan Digital Trade: Intervensi Tinggi

Beberapa hambatan utama:

Preferensi Satelit Domestik

  • operator DTH wajib membeli kapasitas satelit melalui ISRO (Antrix),

  • penggunaan satelit asing dikenakan biaya tambahan.

Regulasi eSIM

TRAI merekomendasikan agar seluruh perangkat M2M dengan eSIM internasional dipaksa beralih ke operator domestik—berpotensi mengganggu perangkat IoT global.

30% Market Cap untuk Pembayaran Digital

NPCI menetapkan batas pangsa pasar untuk penyedia pembayaran asing di UPI.

Negara Sering Melakukan Internet Shutdown

Penutupan akses internet lokal berdampak pada bisnis digital, keamanan data, dan transaksi.

Data Localization & Data Privacy: Kerangka Baru yang Ketat

Digital Personal Data Protection Act (DPDPA) 2023 dan draft aturan 2025:

  • memungkinkan pembatasan transfer lintas negara,

  • mewajibkan penyimpanan data domestik untuk beberapa kategori,

  • mewajibkan pemberian akses data ke pemerintah,

  • berpotensi menciptakan regulasi sektoral tambahan.

Ini menambah biaya kepatuhan bagi perusahaan global yang menggunakan arsitektur cloud internasional.

Subsidi Pertanian: MSP dan Dukungan Besar-Besaran

India menawarkan subsidi luas:

  • kredit, asuransi, benih, listrik, bahan bakar, dan input lain,

  • Minimum Support Price (MSP) untuk 25 komoditas,

  • stok publik besar yang memengaruhi keputusan tanam dan perdagangan.

India telah melampaui batas subsidi WTO untuk beras selama empat tahun berturut-turut, namun mengklaim perlindungan melalui Public Stockholding exemption.

Subsidi besar ini menciptakan distorsi harga domestik dan mengurangi permintaan impor, sekaligus meningkatkan daya saing ekspor produk tertentu.

Transparansi Regulasi: Salah Satu Tantangan Terbesar

Dokumen menyimpulkan bahwa salah satu hambatan utama India adalah minimnya transparansi:

  • rancangan regulasi sering diumumkan tanpa masa komentar,

  • notifikasi ke WTO tidak konsisten,

  • aturan baru diberlakukan mendadak,

  • konsultasi publik terbatas atau tidak ada.

Hal ini membuat kepatuhan menjadi tantangan besar bagi eksportir dan investor asing.

Penutup

Struktur kebijakan India menunjukkan pendekatan proteksionis yang berlapis: tarif tinggi, lisensi impor yang ketat, standardisasi nasional, persyaratan SPS dan bioteknologi yang tidak selaras dengan standar global, serta regulasi digital yang semakin mengarah pada isolasi data dan preferensi domestik. Dengan dinamika ini, akses pasar India memerlukan strategi kepatuhan yang disiplin, adaptasi cepat terhadap perubahan regulasi, dan pemantauan berkelanjutan terhadap kebijakan pemerintah pusat maupun negara bagian.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – India Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan India 2025: Tarif Tinggi, Regulasi Impor Ketat, dan Ekspansi Kontrol Digital dalam Ekonomi Berkembang Terbesar Dunia

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan Uni Eropa 2025 (Bagian 2): SPS, Bioteknologi, Produk Hewan, Regulasi Digital, dan Sektor Layanan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


Sebagai pasar tunggal terbesar di dunia, Uni Eropa (UE) memegang pengaruh besar terhadap arsitektur regulasi global. Namun, integrasi internalnya sering menciptakan hambatan baru bagi eksportir dari luar kawasan—terutama melalui kebijakan SPS, regulasi pestisida, standar keamanan pangan, dan aturan digital. Bagian kedua ini menguraikan kelompok hambatan yang secara langsung memengaruhi agrikultur, pangan, teknologi, dan sektor layanan berdasarkan 2025 National Trade Estimate Report – EU Section.

Kebijakan SPS UE: Pendekatan Precautionary yang Menjadi Hambatan Sistemik

Kebijakan SPS UE sering mengadopsi prinsip precautionary yang lebih ketat daripada standar Codex atau WOAH. Tantangannya meliputi:

Beberapa keputusan SPS diambil tanpa konsultasi publik memadai atau notifikasi tepat waktu ke WTO, mengurangi peluang masukan dari pelaku usaha non-UE.

Maximum Residue Limits (MRL) dan Regulasi Pestisida: Divergensi Besar dengan Standar Global

UE terus menurunkan MRL sejumlah zat aktif, seringkali melampaui standar Codex dan praktik negara maju lainnya.

Tantangan utama:

  • MRL dijaga sangat rendah (termasuk default 0,01 mg/kg) bahkan untuk zat yang legal digunakan secara global.

  • Import tolerances sulit diperoleh karena prosesnya lambat, kurang transparan, dan sering ditolak tanpa analisis risiko lengkap.

  • Banyak eksportir menghadapi non-tariff barrier de facto, terutama untuk buah, sayuran, rempah, dan biji-bijian.

Penetapan MRL juga tidak selalu mempertimbangkan pola penggunaan pestisida di negara pengekspor, yang membuat ketidaksesuaian regulasi semakin besar.

Bioteknologi Pertanian: Persetujuan Lambat, Notifikasi Minim, dan Ketergantungan Impor yang Ironis

Uni Eropa sangat bergantung pada impor kedelai, jagung, dan produk pakan berbasis bioteknologi, namun:

  • Proses persetujuan GMO sangat lambat dan politis.

  • Komite tetap negara anggota sering gagal mencapai mayoritas, menyebabkan keputusan kembali ke Komisi yang juga bergerak lambat.

  • UE tidak memproses pemberitahuan WTO untuk perubahan besar dalam penilaian risiko.

  • Regulasi terkait NGT (New Genomic Techniques) masih tertunda dan menambah ketidakpastian.

Akibatnya, ketidakpastian regulasi dapat mengancam stabilitas pasokan pakan Eropa sendiri.

Produk Hewan, Unggas, Seafood, dan Shellfish: Aturan Ketat yang Memperlambat Akses Pasar

a. Daging & Unggas

UE menetapkan berbagai pembatasan:

  • larangan penggunaan antimikroba tertentu meskipun digunakan secara global,

  • persyaratan kesejahteraan hewan yang berbeda antarnegara anggota,

  • aturan pemrosesan daging yang lebih ketat dibanding Codex.

Hal ini mempersulit eksportir yang harus memodifikasi fasilitas hanya untuk memenuhi permintaan pasar UE.

b. Produk Perikanan: Shellfish

Larangan UE terhadap shellfish dari perairan tertentu sering tidak selaras dengan standar WOAH. Sistem klasifikasi air, sampling, dan sanitary measures berbeda dari norma internasional, sehingga akses pasar menjadi terbatas.

Tallow, Animal By-Products, dan Gelatin: Regulasi Sangat Ketat Pasca-BSE

Meski risiko BSE telah menurun global, regulasi UE tetap ekstrem:

  • pembatasan penggunaan tallow & gelatin,

  • persyaratan inspeksi dan sertifikasi yang berbeda-beda antarnegara anggota,

  • persyaratan fasilitas pemrosesan khusus untuk ekspor.

Aturan ini tetap berlaku meskipun lembaga internasional sudah memperbarui standar keamanan.

Food Labeling: Fragmentasi Negara Anggota dan Kasus Alkohol Irlandia

Selain standar label pangan EU-wide, negara anggota masih menambahkan aturan mereka sendiri.

Contoh paling jelas: Irlandia

  • mewajibkan labeling kesehatan untuk alkohol,

  • notifikasi ke WTO dilakukan terlambat,

  • berpotensi menciptakan preseden fragmentasi label di seluruh Eropa.

Hal ini dapat membuat produsen global harus mencetak label khusus per negara.

Wine & Spirits: Pengetatan Aturan Additives dan Viticulture

UE telah memperketat:

  • daftar aditif anggur,

  • aturan enological practices,

  • persyaratan indikasi geografis.

Perubahan sering diumumkan dalam waktu relatif singkat, menyulitkan eksportir yang memerlukan waktu adaptasi proses produksi.

Medical Devices & Pharmaceuticals: Regulasi Baru yang Berat dan Tidak Sinkron

a. Medical Devices Regulation (MDR)

Masalah utama:

  • kapasitas notified bodies tidak cukup,

  • waktu sertifikasi mundur berbulan-bulan,

  • produk berisiko rendah ikut terkena dampak backlog,

  • biaya sertifikasi meningkat signifikan.

b. Pharmaceuticals

  • UE mempertimbangkan revisi besar pharmaceutical legislation, termasuk eksklusivitas data dan akses pasien.

  • Kekhawatiran terbesar pelaku usaha global adalah ketidakpastian atas model regulatory data protection (RDP) yang dapat berubah.

Digital Regulation: GDPR, Data Act, AI Act, dan Hambatan Akses Pasar Teknologi

Uni Eropa memimpin dalam regulasi digital—namun hal ini juga menciptakan hambatan signifikan.

GDPR

  • Transfer data lintas negara memerlukan mekanisme yang rumit (SCC, BCR).

  • Banyak negara non-UE, termasuk AS, tidak dianggap “adequate”.

Data Act

  • Mengatur akses dan penggunaan data industri & IoT.

  • Kekhawatiran: kewajiban membuka data dapat mengurangi insentif investasi dan melanggar IP.

AI Act

  • Persyaratan baru bagi high-risk AI systems.

  • Standar teknis masih belum final, meningkatkan ketidakpastian biaya kepatuhan.

Digital Markets Act (DMA) & Digital Services Act (DSA)

  • Platform besar menghadapi kewajiban kepatuhan berat.

  • Potensi bias terhadap perusahaan non-UE.

Transportasi, Aviation, Maritime, dan Carbon Pricing

Aturan iklim UE juga menciptakan hambatan baru:

  • EU ETS kini mencakup penerbangan internasional, menaikkan biaya maskapai asing,

  • FuelEU Maritime menetapkan persyaratan intensitas karbon yang ketat bagi kapal non-UE,

  • CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) menambah beban dokumentasi dan verifikasi bagi eksportir baja, aluminium, dan pupuk.

Government Procurement: Akses Terbatas bagi Non-EU

UE memiliki rezim modern untuk tender pemerintah, namun:

  • beberapa sektor kunci tertutup bagi perusahaan non-EU,

  • inisiatif International Procurement Instrument (IPI) dapat membatasi akses negara non-reciprocal,

  • negara anggota tidak selalu konsisten mengikuti prinsip keterbukaan.

 

Hambatan perdagangan Uni Eropa pada 2025 memperlihatkan bagaimana dimensi SPS, MRL pestisida, bioteknologi, produk hewan, pangan, farmasi, perangkat medis, serta regulasi digital menjadi sumber tantangan terbesar bagi pelaku usaha global. Berbeda dari hambatan tarif yang relatif rendah, hambatan non-tarif UE justru semakin intensif dan tersebar dalam berbagai regulasi teknis serta kebijakan keamanan pangan.

Pendekatan UE yang sangat berhati-hati—mulai dari penetapan MRL yang sangat rendah, proses GMO yang lambat, hingga aturan SPS yang tidak selalu selaras dengan standar internasional—memaksa eksportir untuk menyiapkan strategi kepatuhan yang jauh lebih kompleks. Sementara itu, kebijakan digital seperti GDPR, Data Act, dan AI Act membentuk lanskap baru yang menuntut investasi besar untuk pemenuhan data, privasi, dan keamanan.

Bagi pelaku usaha internasional, tantangan utama bukan hanya memahami setiap regulasi tersebut, tetapi juga menyesuaikan rantai pasok dan proses internal agar mampu memenuhi persyaratan UE yang berubah cepat, sering tidak seragam antarnegara anggota, dan cenderung semakin ketat. Dalam konteks 2025, keberhasilan mengakses pasar Uni Eropa sangat bergantung pada kesiapan teknis, kemampuan mengelola risiko regulatif, serta adaptasi berkelanjutan terhadap standar yang terus berkembang.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – European Union Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan Uni Eropa 2025 (Bagian 2): SPS, Bioteknologi, Produk Hewan, Regulasi Digital, dan Sektor Layanan

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan Uni Eropa 2025 (Bagian 1): Tarif, Customs, Regulasi Teknis, dan Arsitektur Standardisasi yang Semakin Kompleks

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


Uni Eropa (UE) merupakan mitra dagang terbesar Amerika Serikat sekaligus salah satu pasar paling terintegrasi di dunia. Namun, kedalaman integrasi internal ini sering kali tidak sejalan dengan akses pasar eksternal, terutama bagi pelaku usaha global yang menghadapi kerangka regulasi kompleks, standar teknis regional, serta proses notifikasi yang tidak selalu transparan. Tahun 2025 memperlihatkan dinamika baru: UE memperluas kebijakan lingkungan, memperketat regulasi kimia, dan menata ulang standardisasi, sehingga hambatan perdagangan semakin berlapis.

Artikel pertama ini mengulas kluster hambatan paling mendasar: kebijakan tarif, prosedur kepabeanan, TBT, standardisasi regional, dan regulasi lingkungan teknis, berdasarkan 2025 National Trade Estimate Report – European Union Section.

Kebijakan Tarif: Tarif Rendah tetapi Struktur Kompleks

Tarif rata-rata MFN UE berada pada level rendah (5%), namun beberapa komoditas masih dikenakan tarif tinggi:

  • hingga 26% untuk ikan dan seafood,

  • 22% untuk truk,

  • 14% untuk sepeda,

  • 10% untuk kendaraan penumpang,

  • 6,5% untuk pupuk dan plastik.

Sistem Meursing

Produk makanan olahan—misalnya cokelat, roti, atau permen—dikenakan tarif berdasarkan kandungan susu, gula, dan pati.

Dampaknya:

  • produk yang secara komersial setara dapat memiliki tarif berbeda,

  • perhitungan tarif kompleks dan menyulitkan eksportir,

  • ketidakpastian tinggi untuk produk inovatif

Walau secara keseluruhan tarif UE tidak agresif, struktur seperti Meursing membuat operasional ekspor lebih rumit dibandingkan banyak pasar maju lain.

Hambatan Impor Non-Tarif: Lisensi, Interpretasi Administratif, dan Ketidakpastian

Beberapa hambatan yang masih terjadi:

Import Licensing – Contoh Kasus Pisang

Italia secara sepihak menafsirkan ulang validitas lisensi pisang pra-2006, memungut tarif retroaktif, dan baru membayar kembali setelah putusan Mahkamah Agung Italia.

Walaupun kasus spesifik, isu ini mencerminkan pola interpretasi negara anggota yang tidak seragam.

Hambatan Kepabeanan: Fragmentasi Administrasi dalam Uni Pabean

Meskipun UE memiliki Union Customs Code (UCC) sebagai aturan tunggal, implementasi di lapangan bersifat terfragmentasi:

  • Setiap negara anggota memiliki otoritas bea cukai dan prosedur administratif sendiri.

  • Perbedaan penafsiran terkait klasifikasi, penilaian nilai, dan asal barang sering terjadi.

  • Mekanisme Binding Tariff Information (BTI) tidak mengikat negara anggota lain.

  • Penyelesaian sengketa memerlukan proses banding di masing-masing negara.

Akibatnya, konsistensi penerapan hukum bea cukai UE masih jauh dari seragam. Proses harmonisasi data UCC bahkan baru diproyeksikan selesai akhir 2025, dengan reformasi besar baru dimulai 2028.

Technical Barriers to Trade (TBT): Proses Regulasi yang Kurang Transparan

Produsen global menghadapi peningkatan jumlah regulasi teknis UE dengan pola masalah sebagai berikut:

Kurangnya Transparansi Notifikasi

  • Banyak draft regulasi diberitahukan ke WTO terlalu terlambat untuk menerima masukan bermakna.

  • Notifikasi sering tidak spesifik atau mengacu pada standar regional yang “belum ada”.

  • Perubahan besar saat negosiasi trilog (Komisi–Parlemen–Dewan) tidak selalu diberi notifikasi ulang.

Konsultasi Publik Tidak Konsisten

Dalam regulasi kimia (REACH dan CLP), proposal sering dipublikasikan setelah diskusi internal selesai—membatasi ruang komentar non-EU.

Dampaknya adalah ketidakpastian regulatif bagi pelaku usaha global, terutama yang mengandalkan waktu penyesuaian produk dan supply chain.

Standardisasi dan Conformity Assessment: Dominasi Standar Regional Eropa

UE menggunakan standar regional EN standards, yang dikembangkan oleh:

  • CEN

  • CENELEC

  • ETSI

Kendala utama:

  • Non-EU hampir tidak dapat berpartisipasi dalam perumusan standar, dan tidak memiliki hak suara.

  • Produk yang mematuhi standar internasional (misalnya ISO/IEC) tidak mendapat presumption of conformity jika tidak sesuai EN.

  • Strategi Standardisasi UE 2022 semakin membatasi partisipasi asing dan mendorong adopsi global terhadap standar UE.

Efeknya adalah technical regionalism—de facto hambatan pasar bagi produk yang diproduksi di luar UE.

Regulasi Kimia: REACH, CLP, dan Ekspansi Prinsip Hazard-Based

REACH dan CLP

Masalah yang dihadapi eksportir:

  • notifikasi ke WTO dilakukan terlambat,

  • basis hazard, bukan risk, mendorong larangan sebelum analisis penggunaan aktual,

  • data requirements berat sehingga sering dianggap “tidak dapat mengukur risiko”.

PFAS Restriction Proposal

Usulan larangan besar-besaran PFAS (2023) berpotensi menghapus penggunaan seluruh kelompok kimia, termasuk:

  • komponen energi terbarukan,

  • semikonduktor,

  • perangkat medis,

  • substitusi untuk zat perusak ozon.

Kekhawatiran utama pelaku usaha global adalah ketiadaan analisis diferensiasi antar-substansi.

F-Gas Regulation (2024)

Pembatasan percepatan phase-out F-gas termasuk HFO (low-GWP), meskipun zat tersebut tidak dibatasi dalam Protokol Montreal.

Peraturan ini berisiko menciptakan ketidaksesuaian antara kebijakan global dan kebijakan UE.

Packaging & Packaging Waste Regulation (2025/40): Ambisius tetapi Berisiko Fragmentasi

Regulasi 2025/40 memperkenalkan persyaratan:

  • minimum recycled content,

  • sertifikasi keberlanjutan bagi daur ulang—termasuk fasilitas di luar UE yang harus memenuhi kriteria UE,

  • harmonisasi lintas negara anggota (berlaku 2026).

UE akan menentukan metodologi verifikasi daur ulang di negara ketiga pada 2026.
Hingga itu terjadi, eksportir menghadapi:

  • ketidakpastian sertifikasi,

  • potensi duplikasi audit,

  • tingginya biaya penyesuaian

Emerging Barriers: Labeling Alkohol dan Perubahan Regulasi di Level Negara Anggota

Contoh terbaru adalah regulasi labeling alkohol Irlandia, yang:

  • diberitahukan terlambat,

  • tidak memberi waktu komentar yang cukup,

  • berpotensi menciptakan preseden fragmentasi standar pangan di dalam UE.

Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa ketidakpastian regulatif tidak hanya berasal dari Brussels, tetapi juga dari kebijakan domestik negara anggota.

Hambatan perdagangan UE pada 2025 menunjukkan pola yang jelas: regulasi teknis dan standardisasi menjadi arena utama hambatan baru, menggantikan tarif yang relatif rendah. Pelaku usaha global menghadapi:

  • prosedur bea cukai yang tidak seragam,

  • standardisasi regional yang menutup partisipasi asing,

  • kebijakan lingkungan yang cepat berubah,

  • dan notifikasi TBT yang kurang transparan.

Artikel 2 akan membahas SPS, MRL pestisida, bioteknologi pangan, produk hewan, shellfish, tallow, regulasi farmasi, medical devices, serta aturan digital dan data seperti GDPR dan Data Act—separuh kedua dari hambatan UE yang sama kompleksnya.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – European Union Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan Uni Eropa 2025 (Bagian 1): Tarif, Customs, Regulasi Teknis, dan Arsitektur Standardisasi yang Semakin Kompleks

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan di Honduras 2025: Distorsi Lisensi Impor, Ketidakpastian Regulasi, dan Tantangan Sektor Distribusi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


Sebagai bagian dari Central American Common Market (CACM) dan anggota CAFTA–DR, Honduras memiliki kerangka liberalisasi perdagangan yang relatif maju dibandingkan beberapa negara Amerika Tengah lainnya. Namun, praktik administratif, mekanisme lisensi impor yang semakin kompleks, serta hambatan struktural dalam sektor distribusi membuat kondisi akses pasar tidak selalu sesuai dengan komitmen integrasi tersebut. Tahun 2025 menunjukkan bahwa Honduras berada pada persimpangan antara liberalisasi formal dan kendala implementasi di lapangan.

Kebijakan Tarif: CACM yang Terharmonisasi dan CAFTA–DR sebagai Pendorong Liberalitas

Honduras menetapkan tarif eksternal CACM dengan tarif maksimum 15% untuk sebagian besar barang. Namun, di bawah CAFTA–DR:

  • seluruh barang non-pertanian dari AS sudah bebas bea sejak 2015,

  • hampir semua produk pertanian dari AS juga bebas bea,

  • tarif beras dan chicken leg quarters dihapus pada 2023,

  • tarif produk susu dihapus pada 2025,

  • liberalisasi jagung putih dilakukan melalui perluasan TRQ secara bertahap.

Meskipun struktur tarif relatif ramah pasar, akses riil sering tertahan pada hambatan non-tarif yang semakin kompleks.

Hambatan Non-Tarif: Sistem Lisensi Impor yang Berlapis dan Lambat

Mulai 2023–2024, Honduras mengadopsi beberapa sistem lisensi impor baru untuk produk-produk sensitif:

a. Lisensi Impor untuk Unggas dan Beras (2023)

Karakteristik hambatan:

  • kewajiban berinteraksi dengan banyak lembaga pemerintah,

  • dokumen harus melalui SENASA, Kementerian Pertanian, Kementerian Pembangunan Ekonomi, dan Bea Cukai,

  • terdapat sekitar delapan langkah tambahan di setiap institusi,

  • beberapa dokumen awalnya harus diserahkan secara fisik.

Setelah tekanan diplomatik, Honduras memperbolehkan pengunggahan dokumen secara elektronik, namun proses birokrasi tetap lambat dan tidak terkoordinasi.

b. Lisensi Impor Bawang (2024)

Aturan dalam Ministerial Agreement 071-2024 memperpanjang kompleksitas serupa ke komoditas bawang.
Akibatnya, importir menghadapi:

  • waktu proses yang tidak menentu,

  • kesulitan memenuhi persyaratan multi-agency,

  • potensi penundaan ketika perizinan tidak disinkronkan antar lembaga.

Walaupun Honduras berjanji untuk memberi notifikasi terhadap WTO sesuai kewajiban CAFTA–DR, hingga akhir 2024 belum ada notifikasi yang disampaikan. Situasi ini menciptakan risiko ketidakpatuhan pada aturan perdagangan internasional.

Pajak Diferensial Berdasarkan Bahasa Label: Inkonsistensi Regulasi Pangan

Honduras menerapkan 15% sales tax terhadap produk iga babi jika label menggunakan bahasa Inggris, tetapi menganggap produk yang sama sebagai “kebutuhan pokok” dan bebas pajak apabila diberi label dalam bahasa Spanyol.

Ketidakkonsistenan ini menimbulkan:

  • beban biaya tambahan bagi eksportir yang menggunakan labeling standar internasional,

  • risiko perlakuan diskriminatif,

  • ketidakpastian tarif yang tidak sesuai prinsip CAFTA–DR.

AS telah meminta revisi regulasi ini agar tidak terjadi pembedaan berdasarkan bahasa label.

Perlindungan Kekayaan Intelektual: Penegakan Lemah dalam Lingkungan Risiko Tinggi

Honduras menghadapi tantangan besar dalam penegakan IP:

  • pembajakan perangkat lunak,

  • cable signal piracy,

  • penjualan barang bajakan secara komersial,

  • rendahnya tingkat penuntutan dan tindakan hukum.

Meskipun kerangka hukum dipengaruhi oleh CAFTA–DR, kapasitas penegakan terbatas dan infrastruktur hukum belum mampu mengatasi tingginya tingkat pelanggaran digital.

Hambatan Layanan Distribusi: Keberlanjutan Decree Law No. 549

Honduras masih memberlakukan beberapa aspek dari Decree Law No. 549 (1977) mengenai agen dan distributor, meskipun sebagian ketentuannya seharusnya tidak berlaku untuk produk AS di bawah CAFTA–DR.

Akibatnya:

  • perusahaan asing dapat dipaksa bekerja dengan distributor lokal,

  • distributor lokal dapat mendaftarkan diri sebagai satu-satunya distributor resmi,

  • eksportir AS melaporkan kasus produk mereka ditolak masuk karena sengketa distribusi.

Hambatan ini menciptakan risiko komersial dan menghambat kompetisi.

Isu Ketenagakerjaan: Standar Tenaga Kerja dan Pemantauan CAFTA–DR

Walaupun laporan DOL 2015 menjadi acuan penting dan pemantauan masih berlangsung, Honduras tetap menghadapi masalah struktural:

  • hak kebebasan berserikat,

  • negosiasi kolektif,

  • perlindungan usia kerja,

  • kondisi kerja sektor pertanian, pengolahan, dan tekstil.

Isu ini memengaruhi persepsi risiko investasi dan berpotensi membawa implikasi perdagangan dalam kerangka CAFTA–DR.

Penutup: Hambatan Baru dalam Sistem yang Semestinya Liberal

Secara formal, Honduras memiliki komitmen liberalisasi yang kuat di bawah CAFTA–DR dan CACM. Namun implementasi di lapangan menunjukkan tren baru:

  • birokrasi lisensi impor yang semakin rumit,

  • pengenaan pajak yang tidak konsisten,

  • hambatan distribusi yang mengakar,

  • dan lemahnya penegakan IP.

Pelaku usaha global yang beroperasi di Honduras pada 2025 perlu mempertimbangkan risiko administratif yang tinggi sekaligus memantau perubahan regulasi yang sering tidak diberitahukan. Dalam konteks seri hambatan perdagangan internasional, Honduras menjadi ilustrasi negara dengan liberalisasi formal tetapi realitas operasional yang penuh friksi.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Honduras Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan di Honduras 2025: Distorsi Lisensi Impor, Ketidakpastian Regulasi, dan Tantangan Sektor Distribusi

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan di Kawasan GCC 2025: Integrasi Regional, Fragmentasi Regulasi, dan Tantangan Akses Pasar bagi Pelaku Usaha Global

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


Cooperation Council (GCC)—yang terdiri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab—merupakan blok ekonomi dengan peran penting dalam perdagangan global, terutama bagi energi, logistik, dan produk manufaktur. Meski secara formal memiliki struktur integrasi yang relatif solid melalui Common External Tariff (CET) dan pekerjaan harmonisasi standar melalui Gulf Standardization Organization (GSO), kenyataannya hambatan perdagangan di kawasan ini justru menunjukkan tingkat fragmentasi regulasi yang tinggi.

Dengan meningkatnya tekanan geopolitik, transformasi ekonomi domestik (seperti Saudi Vision 2030 dan UAE’s Operation 300 Billion), serta penguatan kebijakan keamanan pangan dan digital, tahun 2025 menjadi titik di mana konsistensi kebijakan GCC diuji.

Kebijakan Tarif: CET yang Seragam, namun Pengecualian Nasional Masih Dominan

GCC menerapkan Common External Tariff 5% untuk sebagian besar barang impor. Namun setiap negara anggota memiliki daftar pengecualian:

  • Kuwait: lebih dari 400 jenis barang esensial bebas tarif.

  • Qatar: sekitar 800 produk dikecualikan dari tarif, sementara alkohol, tembakau, dan daging babi dikenai tarif 100%.

  • Arab Saudi: tarif untuk barang yang bersaing dengan industri lokal berkisar 6,5–40%, dan 99 jenis produk mengalami kenaikan tarif sejak 2022.

  • UAE: lebih dari 800 barang bebas bea, termasuk donasi dan barang diplomatik.

Selain tarif, GCC menerapkan excise tax 50–100% pada minuman manis dan energi, namun implementasinya tidak seragam antarnegara, menciptakan ketidakpastian bagi eksportir.

Import Licensing dan Pembatasan Impor: Sistem Agen Lokal dan Ketentuan yang Tidak Seragam

Sebagian besar negara GCC mewajibkan importir untuk memiliki lisensi impor, dan hanya perusahaan lokal atau agen lokal yang dapat menjadi pemegang lisensi.

  • Kuwait: agen dan importir harus warga negara Kuwait atau perusahaan lokal.

  • Oman: izin khusus diperlukan untuk alkohol, hewan hidup, dan berbagai produk pertanian.

  • Qatar: importir harus entitas lokal; produk tertentu hanya dapat diimpor oleh distributor milik pemerintah (contoh: alkohol & babi oleh Qatar Distribution Company).

  • Arab Saudi & UAE: kategori produk tertentu memerlukan persetujuan khusus, seperti benih pertanian, wireless equipment, barang sensitif moral, atau perangkat perjudian.

Ketentuan agen lokal, terutama di Qatar dan UAE, dinilai menghambat persaingan dan meningkatkan biaya masuk bagi perusahaan asing.

3. Dokumentasi dan Konsularisasi: Beban Administratif yang Tinggi

Qatar dan UAE masih menerapkan konsularisasi dokumen—setiap invoice, sertifikat asal, dan dokumen pendukung harus dilegalisasi oleh kedutaan negara tersebut di negara asal.

  • Proses ini memakan biaya tambahan dan memperlambat pengiriman.

  • Qatar mengenakan denda 1% atas nilai barang jika invoice tidak dilegalisasi.

Pelaku usaha juga mengeluhkan keterlambatan translasi regulasi, khususnya di Qatar, yang menyebabkan interpretasi berbeda antara versi Arab dan Inggris.

Hambatan Teknis dan SPS: Fragmentasi Standar dan Duplikasi Sertifikasi

Standar Teknis

Walaupun GSO menjadi lembaga harmonisasi, implementasinya masih berbeda-beda antarnegara. Contohnya:

  • Arab Saudi mulai hanya menerima standar UNECE untuk otomotif, bukan lagi standar AS seperti FMVSS.

  • UAE menerapkan Emirates Conformity Assessment Scheme (ECAS) dan Emirates Quality Mark (EQM) yang menambah lapisan sertifikasi.

  • Program Saber di Arab Saudi mewajibkan PCoC dan SCoC untuk hampir semua produk impor—dikritik karena biaya tinggi dan proses tidak konsisten.

Regulasi Halal

Peraturan halal semakin ketat di seluruh GCC:

  • Kuwait (2024): sertifikasi halal harus disetujui oleh dua negara GCC atau Gulf Accreditation Center → banyak lembaga halal AS terdelisting.

  • Qatar: mewajibkan halal sertifikasi untuk semua produk hewani, termasuk gelatin dan aditif pangan.

  • Saudi Arabia: sejak 2024 hanya menerima sertifikat halal baru yang diterbitkan oleh platform SFDA—menambah hambatan teknis dan administratif.

SPS

Hambatan SPS mencakup:

  • inspeksi pangan 100% di Kuwait, tanpa sistem manajemen risiko,

  • MRL Saudi yang mengacu pada standar Uni Eropa ketika Codex tidak tersedia,

  • persyaratan fasilitas listing untuk madu, seafood, dan produk hewan sebelum ekspor ke Arab Saudi, dengan biaya audit ditanggung eksportir.

Pengadaan Pemerintah: Preferensi Lokal, Offset, dan Kewajiban Investasi

Pengadaan di GCC umumnya memberi preferensi harga 10–20% untuk produk dan perusahaan lokal.

Contoh hambatan:

  • Kuwait: kontraktor asing wajib membeli 30% input dari domestik dan mensubkontrakkan 30% pekerjaan ke perusahaan lokal.

  • Qatar: tender hingga QAR 5 juta hanya terbuka untuk UKM lokal; proyek besar mensyaratkan local content minimal 30%.

  • Arab Saudi: mewajibkan regional headquarters (RHQ) per 2024 untuk ikut tender pemerintah.

  • UAE: ICV Program memperluas kewajiban penggunaan input dalam negeri, namun kriterianya dianggap tidak transparan.

Keterlambatan pembayaran terhadap kontraktor asing—khususnya di Kuwait dan Arab Saudi—juga menjadi hambatan besar yang berulang.

Perlindungan Kekayaan Intelektual: Perbaikan Ada, Tantangan Masih Terasa

Penegakan IP di GCC bervariasi:

  • Bahrain dan Oman relatif kuat dalam regulasinya, tetapi penegakan tidak konsisten.

  • Saudi Arabia menunjukkan peningkatan signifikan melalui SAIP tetapi masih menghadapi masalah barang palsu dan kurangnya transparansi.

  • UAE telah meluncurkan platform IP terpadu, tetapi daerah seperti Deira Market tetap menjadi pusat barang bajakan.

Hambatan Jasa: Kepemilikan Asing dan Regulasi Sektor Strategis

Sektor Keuangan

Pembatasan umum meliputi:

  • batas kepemilikan asing 49–60% untuk perbankan,

  • batas jumlah cabang bank asing,

  • pajak emirat 20% untuk bank asing di UAE.

Telekomunikasi

Seluruh negara GCC mempertahankan kepemilikan negara dalam penyedia layanan inti:

  • Qatar: hanya Ooredoo dan Vodafone, keduanya dikuasai pemerintah.

  • UAE: e& dan du tetap memonopoli pasar telekomunikasi dan VoIP.

  • Kuwait dan Oman: pembatasan lisensi dan kontrol infrastruktur.

Profesional Services

Sebagian besar negara mensyaratkan:

  • partisipasi lokal,

  • kewarganegaraan lokal untuk profesi tertentu (notaris, pengacara, arsitek).

Digital Trade dan Data Localization: Aturan Ketat yang Menghambat Akses

Beberapa regulasi data memperketat arus data lintas negara:

  • Saudi PDPL (2024): tidak menjamin AS sebagai mitra transfer data, pedoman kepatuhan masih tidak jelas.

  • UAE Data Protection Law (2022): membatasi transfer data kecuali negara tujuan dianggap “adequate.”

  • UAE Health Data Law (2019–2024): melarang penyimpanan data kesehatan di luar negeri tanpa pengecualian khusus.

  • Qatar: larangan total terhadap cryptocurrency dan batas ketat terhadap penyedia layanan digital asing

Investasi: Keterbukaan Bertahap, tetapi Banyak Sektor Masih Tertutup

  • Kuwait: mayoritas bisnis harus 51% dimiliki warga lokal; proses pendirian bisnis lambat.

  • Oman: lebih dari 120 sektor dilarang untuk investasi asing.

  • Qatar: kepemilikan asing di sektor strategis (banking, insurance, minyak & gas) tetap dibatasi.

  • Saudi Arabia: sektor tertentu masih memerlukan izin khusus, dengan daftar “excluded activities.”

  • UAE: mengizinkan 100% FDI untuk banyak sektor sejak 2021, namun beberapa sektor sensitif masih membatasi kepemilikan asing hingga 49%.

Penutup: Integrasi yang Ambisius namun Implementasi yang Tidak Seragam

Meskipun GCC mempromosikan diri sebagai pasar tunggal regional dengan pergerakan barang yang harmonis, realitasnya menunjukkan ketidakseragaman yang kuat antarnegara. Hambatan teknis, kebijakan halal yang tidak selaras, kewajiban agen lokal, serta aturan data dan telekomunikasi yang ketat menciptakan lingkungan perdagangan yang kompleks bagi pelaku usaha global.

Bagi perusahaan yang ingin menembus pasar GCC, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh pemahaman tarif dan kerangka CET, tetapi juga oleh kemampuan menavigasi perbedaan regulasi nasional yang signifikan di dalam blok yang seharusnya terintegrasi.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Gulf Cooperation Council (GCC) Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan di Kawasan GCC 2025: Integrasi Regional, Fragmentasi Regulasi, dan Tantangan Akses Pasar bagi Pelaku Usaha Global

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan di Guatemala 2025: Ketergantungan pada CAFTA–DR, Distorsi Administratif, dan Tantangan Kepatuhan bagi Pelaku Usaha Global

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


Guatemala, sebagai salah satu ekonomi terbesar di Amerika Tengah, memainkan peran strategis dalam kerangka Central American Common Market (CACM) dan CAFTA–DR. Meskipun negara ini mengadopsi banyak komitmen liberalisasi perdagangan, realitas di lapangan menunjukkan adanya hambatan tarif, non-tarif, dan administratif yang secara signifikan mempengaruhi kelancaran arus barang internasional. Tahun 2025 menjadi periode ketika berbagai distorsi struktural semakin terlihat—mulai dari penggunaan basis data referensi yang tidak akurat hingga proses karantina yang menghambat produk pertanian segar.

Kebijakan Tarif: Harmonis Secara Regional, Liberal di Atas Kertas

Sebagai anggota CACM, Guatemala memberlakukan tarif eksternal maksimum 15% untuk sebagian besar produk. Namun melalui CAFTA–DR, barang non-pertanian asal Amerika Serikat telah bebas bea sejak 2015.

Pada sektor pertanian, liberalisasi berlangsung bertahap, termasuk:

  • penghapusan tarif beras (2023),

  • penghapusan tarif produk susu (2025),

  • ekspansi bertahap TRQ untuk jagung putih.

Namun, TRQ yang dikelola melalui sistem lisensi impor bisa menciptakan hambatan akses pasar apabila penerbitan izin mengalami keterlambatan, sebuah persoalan yang sering disoroti oleh eksportir.

Di sisi perpajakan, Guatemala memiliki mekanisme withholding VAT 15%, yang sering membebani arus kas perusahaan. Proses restitusi kredit pajak memakan waktu dan tidak selalu diproses secara tepat waktu, menambah biaya kepatuhan

Hambatan Non-Tarif: Valuasi Kepabeanan, Referensi Harga, dan Proses Banding yang Panjang

Pelaku usaha kerap menghadapi kendala dalam penentuan nilai pabean akibat penggunaan basis data referensi oleh otoritas perpajakan (SAT). Masalah yang sering dilaporkan meliputi:

  • penggunaan nilai referensi sebagai minimum price, bukan acuan fleksibel,

  • perbandingan barang dengan produk yang tidak sejenis,

  • investigasi nilai yang berujung pada penahanan barang hingga 20 hari,

  • proses banding yang dapat berlangsung hingga empat tahun.

Pemerintah Guatemala telah bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk menerapkan sistem otomasi guna mempercepat pelonggaran barang dengan jaminan (bond), namun implementasinya masih bertahap.

Hambatan Teknis dan SPS: Registrasi Berulang, Protokol Karantina, dan Ketidakpastian Bioteknologi

Registrasi Produk yang Berulang

Guatemala mewajibkan registrasi produk pangan, pakan hewan, dan pet food untuk setiap importir, terlepas dari apakah produk tersebut sudah terdaftar oleh importir lain. Prosedur ini memperlambat masuknya produk baru ke pasar dan meningkatkan biaya duplikasi administratif.

Protokol Karantina dan Rantai Dingin

Walaupun Guatemala telah memperbaiki protokol karantina melalui Ministerial Decree 57-2021, pemeriksaan yang dilakukan oleh OIRSA masih bersifat menyeluruh. Beberapa perbaikan telah diterapkan, seperti:

  • inspeksi dalam ruang berpendingin di Pelabuhan Quetzal dan Santo Tomas,

  • pembangunan ruang pendingin baru (2023).

Namun pemeriksaan penuh untuk seluruh produk segar tetap menyebabkan kemacetan logistik. Pemerintah AS meminta penerapan sistem berbasis risiko agar inspeksi lebih selektif.

Status Regulasi Bioteknologi

Meskipun Guatemala memiliki regulasi bioteknologi berbasis sains sejak 2019 dan telah menyetujui dua aplikasi pada 2021, sejak 2022 pemerintah menolak menerima aplikasi baru tanpa penjelasan. Penghentian proses ini menciptakan ketidakpastian bagi industri agribisnis yang mengandalkan produk bioteknologi.

Pengadaan Pemerintah: Digital secara Formal, Praktis Terdistorsi

Sistem GUATECOMPRAS semestinya meningkatkan transparansi tender, namun pelaku usaha asing menilai kenyataan di lapangan masih dipengaruhi:

  • praktik korupsi,

  • ketidakpastian jadwal,

  • kewajiban menunjuk perwakilan lokal,

  • serta kecenderungan kontrak yang tidak kompetitif.

Guatemala bukan bagian dari GPA WTO dan tidak menjadi pengamat, yang membatasi standar internasional dalam tender domestik.

Perlindungan Kekayaan Intelektual: Kerangka Hukum Ada, Penegakan Lemah

Meskipun Guatemala memiliki undang-undang IP yang cukup kuat di atas kertas, penegakan lemah karena:

  • keterbatasan sumber daya,

  • minimnya koordinasi antar lembaga,

  • maraknya pemalsuan pakaian, farmasi, dan konten digital,

  • penggunaan perangkat lunak tanpa lisensi di lembaga pemerintah.

Sektor penyiaran juga masih menghadapi masalah pembajakan sinyal dan IPTV ilegal, sehingga merugikan pemilik hak.

Hambatan Jasa dan Investasi: Persyaratan Lokal dan Kompleksitas Regulasi

Pada sektor jasa profesional, perusahaan asing hanya dapat beroperasi melalui kemitraan dengan entitas lokal. Notaris wajib merupakan warga negara Guatemala, yang membatasi layanan hukum lintas negara.

Di sektor investasi, perusahaan AS melaporkan:

  • interpretasi regulasi yang tidak konsisten,

  • proses peradilan yang tidak dapat diprediksi,

  • serta kekhawatiran bahwa lingkungan regulasi dapat digunakan secara diskriminatif.

Kasus ketenagakerjaan yang sebelumnya dibawa ke mekanisme penegakan CAFTA–DR telah ditutup, tetapi isu pelanggaran hak-hak buruh masih mencuat, terutama di sektor pelabuhan, pertanian, dan pengolahan.

Hambatan Tambahan: Struktur Inspeksi Ganda dan Potensi Korupsi

Guatemala memiliki tiga unit keamanan independen di pelabuhan:

  • DIPAFRONT,

  • SGAIA,

  • UCC (program PBB).

Semua unit ini memiliki kewenangan inspeksi sekunder, di luar otoritas bea cukai dan MAGA. Tumpang tindih kewenangan ini menyebabkan:

  • penundaan,

  • proses yang tidak terintegrasi,

  • peluang korupsi untuk menghindari pemeriksaan pada secondary ramps.

Situasi semacam ini menciptakan risiko operasional bagi importir, terutama produk bernilai tinggi atau sensitif.

Penutup: Pasar Strategis dengan Tantangan Struktural yang Belum Terselesaikan

Guatemala memiliki potensi besar bagi perdagangan internasional melalui posisinya di CAFTA–DR dan CACM. Namun hambatan kepabeanan, proses registrasi yang berulang, ketidakpastian bioteknologi, serta struktur inspeksi berlapis masih menjadi kendala besar bagi pelaku usaha global.

Dalam konteks 2025, keberhasilan memasuki pasar Guatemala tidak hanya bergantung pada preferensi tarif di bawah CAFTA–DR, tetapi juga pada kemampuan perusahaan untuk menavigasi labirin administratif yang kompleks, memperkirakan risiko penundaan logistik, serta memastikan kepatuhan terhadap standar yang tidak selalu konsisten.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Guatemala Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan di Guatemala 2025: Ketergantungan pada CAFTA–DR, Distorsi Administratif, dan Tantangan Kepatuhan bagi Pelaku Usaha Global
« First Previous page 16 of 1.336 Next Last »