Lingkungan & Urban

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Transformasi Slum Pesisir Muncar – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Mengapa Muncar Menjadi Titik Uji Coba Nasional

Permasalahan permukiman kumuh di Indonesia bukan sekadar isu estetika kota, melainkan krisis sosial dan lingkungan yang kompleks. Data menunjukkan bahwa lebih dari 22 juta penduduk tersebar di kawasan-kawasan kumuh di seluruh negeri.1 Khususnya di wilayah pesisir seperti Muncar, Jawa Timur, tantangannya berlipat ganda: kawasan ini sering ditandai oleh ketidakberaturan bangunan, kurangnya sarana dan prasarana dasar, serta kualitas lingkungan yang menurun drastis, yang berdampak langsung pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.1

Namun, di tengah kompleksitas ini, sebuah studi ambisius dari peneliti setempat telah mengusulkan sebuah cetak biru transformatif. Penelitian ini tidak hanya bertujuan mendiagnosis masalah, tetapi merancang model pengembangan strategis: mentransformasi area kumuh Muncar menjadi kawasan permukiman ekologis.1

Model strategis ini berpusat pada perbaikan terintegrasi terhadap tujuh pilar infrastruktur vital: bangunan, jaringan jalan, drainase, air minum, pengolahan sampah, pengolahan air limbah, dan proteksi kebakaran.1 Menggunakan pendekatan campuran (mix methods)—deskripsi kuantitatif yang ketat dan narasi kualitatif—penelitian ini mencari tahu seberapa jauh defisiensi di setiap aspek tersebut. Target kunci dari seluruh upaya ini sangat jelas dan terukur: menurunkan nilai defisiensi atau ketidakpatuhan di tujuh aspek ini hingga di bawah ambang batas kritis 25%.1 Ambang batas ini merupakan kunci untuk mengubah status fungsional permukiman dari "Cukup Baik" (atau bahkan "Kurang Baik") menjadi kategori "Baik" yang sesuai dengan standar lingkungan hidup dan ketentuan hukum.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia?

Muncar: Laboratorium Uji Ketahanan Ekologis Pesisir

Model yang dikembangkan di Muncar ini memiliki relevansi nasional, terutama bagi kawasan pesisir yang juga bergulat dengan kekumuhan. Apa yang membuat Muncar unik, dan mengapa pendekatannya layak direplikasi?

Salah satu temuan kunci yang mengejutkan adalah keunggulan komparatif yang tak terduga dalam tata ruang Muncar itu sendiri. Seringkali, kekumuhan identik dengan kepadatan bangunan yang sangat tinggi (overcrowding), membuat upaya penataan ulang menjadi mahal dan rawan konflik sosial.1 Namun, Muncar menunjukkan kepadatan bangunan yang tergolong baik, dengan masih banyaknya lahan kosong yang tersedia untuk pembangunan.1

Keunggulan ini berarti implementasi aturan tata ruang seperti Koefisien Dasar Bangunan (KDB) atau Garis Sempadan Bangunan (GSB) dapat berfokus pada pencegahan dan penataan bangunan baru, alih-alih harus melakukan relokasi besar-besaran yang memicu resistensi masyarakat. Dengan demikian, sumber daya yang ada bisa dialihkan dari upaya pembebasan lahan yang biayanya sangat tinggi, menjadi fokus pada peningkatan kualitas dan fungsionalitas infrastruktur teknis, menjadikan Muncar model yang lebih mudah diterapkan di kawasan pesisir yang belum terlalu terdesak kepadatan.

Lompatan Kuantitas ke Kualitas: Ancaman Angka 25%

Inti dari strategi ini adalah lompatan dari kondisi saat ini—yang secara statistik mungkin terlihat lumayan tetapi fungsionalnya rentan—menuju kualitas lingkungan yang berkelanjutan. Permasalahan di Muncar terletak pada skor defisiensi yang tinggi, mulai dari 36% (ketidakteraturan bangunan) hingga 51% (pengolahan sampah dan limbah).1

Angka 25% bukanlah sekadar batas statistik. Ini adalah batas fungsional di mana infrastruktur, mulai dari jalan hingga sanitasi, dianggap mampu mendukung kehidupan yang nyaman, sehat, dan sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.1 Mencapai target ini berarti mengurangi separuh lebih risiko lingkungan yang saat ini dihadapi masyarakat Muncar.

 

Mengurai Benang Kusut Tata Ruang: Saat 36% Rumah Belum ‘Sadar Aturan’

Dua pilar pertama dalam pembangunan ekologis ini, Bangunan dan Jaringan Jalan, menentukan kerangka dasar keselamatan dan keteraturan wilayah. Kegagalan di sini meningkatkan risiko bencana dan memperparah kekumuhan.

Keteraturan Bangunan: Dari 36% Ketidakpatuhan menuju Kepatuhan Desain Hijau

Penilaian menunjukkan bahwa keteraturan bangunan di Muncar saat ini berada di level 36% kurang teratur.1 Meskipun ini masuk dalam kategori "cukup baik", angka ini secara nyata menunjukkan bahwa hampir empat dari sepuluh bangunan di kawasan pesisir ini didirikan tanpa mematuhi ketentuan tata ruang yang berlaku.

Anatomi ketidakteraturan ini disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan dan penegakan peraturan mendasar seperti Koefisien Dasar Hijau (KDH), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), dan Garis Sempadan Bangunan (GSB).1 Regulasi ini esensial untuk memastikan adanya ruang terbuka hijau, sirkulasi udara yang memadai, dan akses yang aman.

Untuk mengatasi ini, penelitian ini merekomendasikan pengetatan penegakan aturan tata ruang, serta mendorong strategi inovasi konstruksi. Para peneliti menyarankan penggunaan konsep green construction, di mana bahan bangunan dapat dicampur dengan tanaman atau material daur ulang seperti plastik. Metode ini diklaim mampu membantu menjaga efisiensi dan kekokohan struktural sambil tetap ramah lingkungan.1

Tujuan utamanya adalah mengurangi tingkat ketidakteraturan dari 36% ke ambang batas di bawah 25%. Lompatan kualitatif ini setara dengan membuka kembali akses udara dan cahaya alami yang sehat untuk lebih dari 10% populasi di area tersebut. Ini merupakan perbaikan krusial yang berdampak langsung pada kualitas hidup, terutama kesehatan pernapasan dan mental masyarakat.

Jaringan Jalan: Membuka Isolasi Wilayah

Infrastruktur jalan di Muncar mengalami krisis konektivitas. Saat ini, cakupan pelayanan jalan hanya dinilai 30%, dan kondisi jalan (termasuk kerusakan seperti lubang, retakan, atau gelombang) dinilai 35%.1 Kedua angka ini dikategorikan sebagai "tingkat rendah namun cukup baik".1

Rendahnya cakupan ini diakibatkan oleh banyak jalan yang belum terbangun secara menyeluruh dan yang lebih penting, tidak saling terhubung.1 Hal ini menciptakan isolasi di beberapa kantong permukiman.

Kunci untuk menurunkan defisiensi 30% dan 35% ini ke zona aman di bawah 25% adalah membangun jalan penghubung yang komprehensif dan secara agresif memperbaiki jalan yang rusak.1

Kondisi jalan yang buruk ini bukan hanya masalah kenyamanan lalu lintas sehari-hari. Angka 35% jalan rusak dan 30% jalan yang tidak terhubung berarti hampir sepertiga wilayah Muncar rentan terisolasi, terutama dalam situasi darurat. Kegagalan prasarana ini secara langsung terhubung dengan masalah proteksi kebakaran, di mana mobil pemadam kebakaran tidak dapat menjangkau target di waktu kritis jika akses jalannya buruk. Dengan demikian, perbaikan jalan adalah investasi ganda: untuk tata ruang dan untuk keselamatan jiwa.

 

Krisis Tersembunyi di Balik Angka 51%: Ancaman Sampah dan Sanitasi ke Laut

Tiga pilar kritis—pengolahan sampah, pengolahan air limbah, dan proteksi kebakaran—secara mengejutkan mencetak skor defisiensi yang identik: 51%.1 Angka "triple-51" ini menempatkan Muncar dalam risiko kesehatan dan lingkungan yang serius, mengindikasikan kegagalan sistemik yang harus segera diatasi.

Kegagalan Ganda Sampah: Lebih dari Setengahnya Berantakan

Aspek pengolahan sampah, baik dari sisi standar pengolahan maupun ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah (TPS), sama-sama bernilai 51%, yang menunjukkan kategori "kurang baik".1

Nilai 51% ini mencerminkan perilaku kritis: mayoritas pengolahan sampah tidak dilakukan sesuai standar (tidak terpilah), dan masyarakat masih banyak yang membuang sampah sembarangan di tepi jalan atau lahan kosong.1 Praktik ini, selain merusak estetika lingkungan, menjadi sumber utama kontaminasi dan genangan air saat musim hujan.

Untuk mengubah status 51% ini menjadi di bawah 25%, diperlukan peta jalan perbaikan yang ketat, meliputi:

  • Penyediaan TPS di setiap bangunan (dapat memanfaatkan wadah bekas seperti ember atau tong untuk sementara).1
  • Penerapan sistem pemilahan sampah ketat (organik, non-organik, dan bahan berbahaya).1
  • Pelaksanaan program daur ulang yang berorientasi ekonomi, misalnya mengubah sampah plastik menjadi kerajinan atau produk lain, serta pengolahan sampah organik menjadi kompos.1

Paradoks Sanitasi: Punya Toilet, Limbah Langsung ke Sungai

Masalah sanitasi di Muncar menunjukkan paradoks yang menarik. Di satu sisi, kekurangan fasilitas Mandi, Cuci, Kakus (MCK) hanya dinilai 4%, yang berarti ketersediaan toilet sudah tergolong baik.1 Namun, di sisi lain, pengolahan air limbah yang tidak sesuai standar mencapai 51%.1

Hal ini menunjukkan bahwa masalah mendasar bukanlah ketiadaan toilet, melainkan kualitas pengolahan limbah. Hampir setengah dari bangunan di Muncar membuang limbah secara langsung ke sungai atau tidak memiliki septic tank yang memadai. Inilah yang secara teknis dikenal sebagai fenomena pencemaran langsung.

Solusi bernilai tinggi yang diusulkan penelitian ini adalah mewajibkan setiap bangunan untuk memiliki bio-septic tank.1 Bio-septic tank jauh lebih efektif dalam menguraikan limbah padat dan mengurangi kadar bakteri dalam air limbah sebelum dibuang ke lingkungan.

Mengurangi defisiensi sampah dan limbah dari 51% ke di bawah 25% setara dengan mengurangi risiko penularan penyakit berbasis air (seperti diare dan tipus) hingga lebih dari 50%. Ini adalah lompatan kualitas kesehatan yang paling penting dalam seluruh model pengembangan ekologis ini, terutama bagi anak-anak dan lansia.

 

Dari Sumur Bor ke Pemanen Hujan: Strategi Mengamankan Air Bersih dan Drainase

Pengelolaan air adalah pilar krusial di kawasan pesisir. Strategi ekologis Muncar berfokus pada bagaimana mengelola air kotor agar tidak terjadi banjir dan bagaimana mengamankan ketersediaan air minum bersih.

Drainase: Menutup Saluran, Membuka Biopori

Cakupan pelayanan drainase di Muncar sebenarnya cukup luas, dinilai 74%, menempatkannya pada kategori "cukup baik".1 Namun, tantangan terbesarnya adalah pemeliharaan yang buruk, yang nilainya mencapai 53%.1 Ini berarti saluran yang ada tidak berfungsi optimal, menyebabkan genangan dan banjir lokal.

Untuk mengurangi masalah 53% ini ke bawah 25%, penelitian merekomendasikan pembangunan sistem drainase yang saling terhubung, konstruksi saluran tertutup, dan, yang terpenting, implementasi biopori.1

Implementasi biopori adalah solusi cerdas yang ramah lingkungan. Biopori membantu penyerapan air, mengurangi genangan, dan secara alami mengisi kembali air tanah. Hal ini sangat penting karena secara tidak langsung membantu menstabilkan sumber air minum (sumur bor) yang saat ini banyak dipakai oleh warga.1 Perbaikan ini meningkatkan fungsionalitas drainase dari "kurang baik" menjadi "baik."

Air Minum: Menghemat dengan Pipa Plastik dan Wadah Hujan

Ketersediaan air minum di Muncar menghadapi masalah distribusi. Ketersediaan air dinilai 30% kurang tersedia, dan kebutuhan yang tidak terpenuhi mencapai 28%.1 Masalah utamanya disebabkan oleh pipa distribusi yang belum menjangkau seluruh kawasan pesisir Muncar.1 Saat ini, sumber air masih didominasi oleh sumur bor, HIPPAM, dan PDAM.1

Untuk menurunkan defisiensi 30% dan 28% ke di bawah 25%, para peneliti mengusulkan solusi efisiensi berupa penggunaan pipa distribusi dari bahan plastik yang dianggap lebih terjangkau dan efisien untuk perluasan jaringan.1

Selain itu, diusulkan pembuatan wadah penampung air hujan (rainwater harvesting). Ini berfungsi sebagai sumber alternatif yang dapat membantu penghematan penggunaan air bersih utama.1 Jika saat ini hampir sepertiga rumah tangga (30%) mengalami ketidaknyamanan air minum, upaya ini akan memastikan bahwa kekurangan air hanya dirasakan oleh kurang dari satu dari empat rumah tangga, sebuah perbaikan mendasar yang esensial untuk menurunkan risiko ketergantungan pada sumber air tunggal yang rentan kontaminasi.

 

Kesiapan Bencana: Ketika Sungai Menjadi Senjata Pemadam Kebakaran

Permukiman kumuh pesisir seringkali rentan terhadap bencana kebakaran, dan kesiapan proteksi kebakaran adalah indikator vital keselamatan komunitas.

Defisit Kesiapan 51%: Sarana dan Prasarana

Aspek proteksi kebakaran menunjukkan defisit yang parah. Ketersediaan sarana (seperti Alat Pemadam Api Ringan/APAR) dan prasarana (akses jalan) sama-sama mencetak nilai defisiensi 51%.1 Angka ini mencerminkan kurangnya kesiapan masyarakat terhadap bahaya kebakaran, di mana setengah dari kawasan tidak memiliki alat atau akses yang memadai.

Untuk mengatasi defisiensi 51% ini, penelitian mengusulkan strategi inovatif yang memanfaatkan kondisi lingkungan pesisir: penggunaan sistem pompa air yang memanfaatkan air sungai sebagai cadangan utama untuk pemadaman.1 Selain itu, pemasangan Hydran di titik strategis di kawasan pesisir sangat dianjurkan.1

Dari sisi prasarana (yang juga 51% kurang baik), dibutuhkan perbaikan akses jalan lingkungan agar dapat dilalui oleh mobil pemadam kebakaran. Peningkatan akses jalan ini secara langsung menanggulangi masalah rendahnya cakupan dan kondisi jalan (30% dan 35%) yang telah diidentifikasi sebelumnya.1

Menariknya, pendekatan ini menunjukkan bagaimana arsitektur berkelanjutan dapat mengubah sumber daya alam yang ada. Sungai, yang selama ini menjadi penerima limbah (51% non-standar), kini diubah fungsinya menjadi aset keselamatan, menyediakan solusi darurat yang efisien dan minim biaya.

 

Opini dan Kritik Realistis: Tantangan di Balik Target 'Di Bawah 25%'

Meskipun model pengembangan ekologis Muncar menawarkan blueprint yang kuat dan terukur, ada tantangan realistis yang harus dihadapi agar implementasinya berhasil mencapai target di bawah 25%.

Beban Finansial Masyarakat

Penelitian ini menekankan pada langkah-langkah teknis yang mahal: mewajibkan pemasangan bio-septic tank untuk mengatasi 51% limbah non-standar, membangun jaringan pipa air baru, dan menyesuaikan bangunan (untuk mengatasi 36% ketidakteraturan) agar patuh pada KDB/KLB/GSB.1

Perubahan mendasar ini membutuhkan investasi signifikan dari setiap kepala keluarga. Jika tidak diimbangi dengan subsidi masif atau skema pembiayaan lunak dari pemerintah daerah, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, implementasinya akan sulit. Jika biaya terlalu membebani, masyarakat akan cenderung kembali ke praktik non-standar (misalnya membuang limbah ke sungai), membuat angka defisiensi yang tinggi kembali naik dan upaya transformasi menjadi sia-sia.

Keberlanjutan Perubahan Perilaku

Tantangan terbesar dalam program permukiman ekologis sering kali bukan pada pembangunan fisik, melainkan pada pemeliharaan dan perubahan perilaku sosial. Angka 53% drainase yang kurang terpelihara, 51% pembuangan sampah yang non-standar, dan 36% ketidakteraturan bangunan adalah masalah perilaku dan kesadaran.1

Mempertahankan skor di bawah 25% membutuhkan lebih dari sekadar sosialisasi awal. Ia menuntut program penegakan dan edukasi berkelanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa keberlanjutan partisipasi masyarakat sering menjadi kelemahan proyek pembangunan di daerah. Pemerintah dan komunitas harus bersiap menerapkan sanksi sosial atau regulasi yang ketat untuk memastikan standar kebersihan dan tata ruang dipertahankan dalam jangka panjang.

 

Roadmap Dampak Nyata: Kota Ekologis dalam Lima Tahun

Penelitian pengembangan permukiman ekologis di Muncar menyajikan peluang luar biasa untuk transformasi kualitas hidup. Pencapaian target di bawah 25% di seluruh tujuh aspek infrastruktur akan mengubah Muncar dari kawasan yang rentan menjadi komunitas pesisir yang tangguh.

Kepatuhan tata ruang (mengurangi 36% ketidakteraturan menjadi di bawah 25%) dan kondisi jalan yang baik (35% kerusakan menjadi di bawah 25%) akan meningkatkan aksesibilitas dan keamanan lingkungan, sekaligus berpotensi menaikkan nilai ekonomi properti lokal.

Namun, dampak terbesar terletak pada pengurangan biaya sosial. Biaya sosial tertinggi di kawasan kumuh adalah biaya kesehatan (akibat sanitasi buruk) dan kerugian material (akibat bencana seperti kebakaran dan banjir). Mengurangi risiko sanitasi 51% menjadi di bawah 25% akan secara signifikan mengurangi beban sistem kesehatan lokal.

Pernyataan Dampak Nyata: Jika diterapkan secara konsisten dengan dukungan finansial dan penegakan regulasi, temuan ini bisa mengurangi biaya penanganan penyakit berbasis air dan sanitasi hingga 40% dan meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap bencana kebakaran sebesar 50% (berdasarkan lompatan dari 51% ketidaksiapan sarana/prasarana menjadi di bawah 25%) dalam waktu lima tahun. Muncar, dengan keunggulan tata ruangnya yang unik, berpotensi menjadi model nasional bagi kawasan pesisir lain yang berjuang mengatasi kompleksitas kekumuhan dalam menghadapi tantangan lingkungan di masa depan.

 

Sumber Artikel:

Febriano, P. I., & Shofwan, M. (2025). Pengembangan kawasan permukiman kumuh menjadi kawasan permukiman ekologis di kawasan pesisir muncar. Wahana Aktivitas dan Kreativitas Teknologi Unipasby (WAKTU), 23(01), 23–29. https://dx.doi.org/10.36456/waktu.v23i1.9664

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Transformasi Slum Pesisir Muncar – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Perumahan Buleleng: Ancaman 18.489 KK dan Regulasi Penyelamat yang Mendesak!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


I. Pendahuluan: Mengapa Regulasi Baru Harus Lahir Hari Ini

Garis Depan Krisis Papan di Buleleng

Kabupaten Buleleng, yang membanggakan predikat sebagai wilayah terluas di Bali dengan total area $1.365,88~Km^{2}$ (mencakup 24,25% dari Luas Pulau Bali), kini berada di persimpangan kebijakan penting terkait pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Kebutuhan akan papan, atau tempat tinggal, adalah kebutuhan primer yang tidak bisa ditawar lagi, dan tingginya permintaan ini telah melahirkan sejumlah permasalahan kompleks yang menuntut intervensi regulasi daerah yang kuat dan terorganisir.1

Isu perumahan dan kawasan permukiman bukan sekadar masalah komersial atau ekonomi, melainkan merupakan amanat langsung dari konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (1) secara tegas menyatakan hak setiap orang untuk hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebagai konsekuensi dari ketentuan ini, negara, melalui Pemerintah Daerah, bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan.1

Kewajiban Daerah sebagai Pelayanan Dasar

Urgensi pembentukan regulasi ini semakin diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam regulasi tersebut, urusan Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dikategorikan sebagai Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Hal ini memposisikan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) sebagai prioritas tertinggi yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng.1

Kesenjangan hukum di masa lalu telah menghasilkan kekumuhan di masa kini. Analisis menunjukkan bahwa Kabupaten Buleleng, hingga saat ini, belum mempunyai aturan spesifik yang mengatur tentang keberadaan perumahan rakyat dan kawasan permukiman.1 Ketiadaan payung hukum lokal yang komprehensif ini, yang merupakan kelemahan dalam aspek Landasan Yuridis, telah membuka peluang bagi pertumbuhan perumahan yang tidak terkontrol. Para pengembang dan masyarakat membangun tanpa standar teknis yang memadai dan tanpa memperhatikan rencana tata ruang.1

Pertumbuhan yang tidak terorganisir ini pada akhirnya melahirkan permukiman kumuh secara organik. Permukiman kumuh, sebagaimana dijelaskan dalam naskah akademik, membawa serangkaian masalah yang kompleks, mulai dari kekurangan pelayanan air bersih, sistem drainase yang buruk, akses jalan yang terbatas, hingga pencemaran lingkungan. Lebih jauh lagi, kekumuhan meningkatkan kerentanan sosial, termasuk kerentanan terhadap status kepemilikan tanah dan peningkatan kemiskinan.1 Oleh karena itu, pembentukan Peraturan Daerah (Perda) ini hadir sebagai respons yang mendesak dan spesifik (sebagai local problem solving) untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dan menanggulangi dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkannya.1

 

II. Defisit Papan di Utara Bali: Menghitung Kesenjangan 18.489 Kepala Keluarga

Ancaman Demografi dan Lonjakan Kebutuhan

Analisis kependudukan menunjukkan Kabupaten Buleleng sedang menghadapi tantangan demografi yang signifikan. Pada Tahun 2020, total populasi tercatat sebanyak 791.813 jiwa, dengan kepadatan penduduk mencapai $580~jiwa/km^{2}$.1 Yang lebih penting, laju pertumbuhan penduduk tercatat sebesar 2,33%.1

Lonjakan populasi ini secara langsung meningkatkan kebutuhan akan penyediaan perumahan beserta sarana dan prasarananya.1 Proyeksi jangka panjang mengindikasikan bahwa jika tren ini berlanjut, total penduduk Buleleng akan mencapai 915.766 jiwa pada tahun 2041.1 Ini berarti pembangunan perumahan harus mampu mengimbangi lonjakan populasi yang diproyeksikan terjadi selama dua dekade mendatang. Kegagalan dalam perencanaan hari ini akan memperburuk krisis perumahan di masa depan.

Data Backlog 2021: Menyingkap Kesenjangan yang Mencengangkan

Kesenjangan fundamental antara pasokan dan permintaan perumahan diukur melalui istilah backlog, yaitu selisih antara jumlah rumah tangga yang ada dengan jumlah bangunan rumah yang tersedia.1

Pada tahun 2021, Buleleng mencatat total backlog sebesar 18.489 Kepala Keluarga (KK).1 Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, kesenjangan ini setara dengan kebutuhan rumah bagi lebih dari 10% dari total rumah tangga (sekitar 177.141 KK) di seluruh Buleleng, yang berarti satu dari sepuluh keluarga berpotensi tidak memiliki rumah layak atau terpaksa berbagi hunian dengan keluarga lain.

Analisis lebih lanjut mengenai peta panas backlog regional mengungkapkan adanya ketidakmerataan masalah defisit papan di sembilan kecamatan:

  • Pusat Krisis: Kecamatan Gerokgak menduduki peringkat tertinggi dengan 4.896 KK yang membutuhkan rumah.
  • Wilayah Kritis Lain: Diikuti oleh Kecamatan Seririt (2.965 KK) dan Banjar (2.149 KK).
  • Wilayah Terendah: Kecamatan Busungbiu mencatatkan angka terendah, yaitu 406 KK.1

Terdapat temuan menarik di balik data ini. Backlog tertinggi (Gerokgak, Seririt) justru berada di wilayah yang cenderung jauh dari pusat administrasi, meskipun Kecamatan Buleleng sendiri memiliki populasi tertinggi. Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara lokasi pertumbuhan ekonomi, seperti sektor pariwisata atau pertanian di wilayah barat Buleleng, yang menarik tenaga kerja, dengan pasokan perumahan formal, terutama yang terjangkau.

Kesenjangan ini mengharuskan Perda RP3KP untuk fokus pada Bab VII, yang mengatur Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang. Pengaturan ini harus secara eksplisit mengarahkan insentif pembangunan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) ke wilayah-wilayah dengan backlog tertinggi, seperti Gerokgak dan Seririt, sebagai upaya strategis untuk mengurangi tekanan urbanisasi di pusat kota dan mendukung distribusi penduduk yang proporsional.1

Target Kesejahteraan: Rumah untuk MBR

Penyediaan hunian layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) memiliki implikasi ganda. Tidak hanya memenuhi hak dasar, tetapi juga berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan, memungkinkan keluarga untuk mengembangkan ekonomi kreatif di lingkungan yang aman dan sehat.1

Kebutuhan penyediaan rumah MBR pada tahun 2021 sebanding dengan total backlog (18.489 unit).1 Sekali lagi, Kecamatan Gerokgak (2.434 unit) dan Seririt (1.482 unit) memegang prioritas tertinggi dalam kebutuhan MBR.1 Regulasi yang akan dibentuk ini, melalui tujuan utamanya, wajib menjamin kepastian hukum dan kemudahan bagi MBR dalam memperoleh rumah, sebagai fondasi utama pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

 

III. Skandal Infrastruktur Perumahan: Ketika Aset Publik Ditinggalkan Pengembang

Paradoks Tata Kelola Aset PSU yang Terbengkalai

Salah satu isu krusial yang diidentifikasi dalam penyediaan perumahan di Buleleng adalah nasib Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) yang dibangun oleh pengembang. Fasilitas publik vital ini, termasuk jaringan jalan, drainase, dan fasilitas sosial, seringkali berakhir dalam kondisi tidak terawat atau ditinggalkan setelah pengembang selesai menjual unit rumah.1

Masalah fundamentalnya terletak pada tata kelola aset. Pemerintah Daerah Buleleng tidak dapat mengawasi atau memelihara PSU secara optimal karena aset-aset tersebut belum secara resmi diserahkan dan dicatatkan sebagai aset Pemda.1 Karena status kepemilikan yang tidak jelas, beban pemeliharaan dan perbaikan pun beralih secara tidak adil kepada konsumen atau penghuni perumahan, yang tentu saja menambah beban biaya mereka.1 Jika mekanisme ini terus dibiarkan tanpa regulasi yang memaksa, PSU yang terbengkalai akan mempercepat laju pembentukan permukiman kumuh di kawasan tersebut, merusak investasi jangka panjang.

Permasalahan ini menggarisbawahi perlunya mekanisme hukum yang memaksa pengembang melakukan serah terima aset publik kepada Pemda Buleleng. Perda RP3KP, melalui Bab XII (Rencana Penyediaan PSU), harus mencakup ketentuan tegas mengenai serah terima ini.1 Jika serah terima berhasil diatur, Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk menyediakan anggaran (sebagaimana diatur dalam Bab XX tentang Pendanaan) untuk pemeliharaan, memindahkan beban finansial dari masyarakat ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kejelasan mengenai serah terima aset ini adalah kunci untuk menciptakan tata kelola perumahan yang berkelanjutan.

Potret Kekumuhan di Buleleng: Barometer Kegagalan Infrastruktur

Permukiman kumuh didefinisikan oleh penurunan kualitas fungsi hunian yang parah dan buruknya sarana prasarana, jauh dari persyaratan teknis yang ditetapkan.1 Kondisi kekumuhan di lokasi sampel Buleleng sangat mengkhawatirkan dan menjadi indikator kuat kegagalan regulasi di masa lalu:

  • Ketidakteraturan Tata Bangunan: Analisis menunjukkan bahwa antara 51% hingga 75% bangunan di lokasi yang disurvei tidak memiliki keteraturan dan tidak sesuai dengan arahan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).1
  • Krisis Drainase dan Sanitasi: Kegagalan infrastruktur paling parah terlihat pada sistem drainase. Antara 51% hingga 75% area permukiman yang diteliti tidak tersedia drainase lingkungan (saluran tersier atau lokal) atau tidak terhubung dengan sistem hirarki di atasnya.1 Kondisi ini menyebabkan risiko banjir dan genangan air limbah yang mengancam kesehatan publik.
  • Air Bersih dan Limbah: Terdapat kesenjangan signifikan, di mana antara 25% hingga 50% populasi tidak dapat mengakses air minum yang aman, dan persentase yang sama mencatatkan sistem pengelolaan air limbah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis.1
  • Ancaman Kebakaran: Selain itu, kondisi kepadatan bangunan dan kurangnya fasilitas umum diperparah dengan tidak tersedianya sarana proteksi kebakaran di lokasi sampel. Ini berarti jika terjadi kasus kebakaran, api dapat merembet dengan cepat di permukiman padat tersebut.1

 

IV. Kearifan Lokal dan Garis Batas Pengembangan: Batasan Nyegara Gunung

Topografi Sebagai Penentu Arah Pembangunan

Buleleng memiliki topografi khas yang dikenal sebagai Nyegara Gunung, yang berarti wilayahnya membentang dari pantai utara (segara) hingga ke wilayah pegunungan (gunung) di selatan.1 Kondisi geospasial ini secara alami mendikte arah dan keterbatasan pengembangan permukiman.

Analisis kemiringan lereng mengungkapkan kendala alamiah yang substansial. Daerah terjal, yang didefinisikan memiliki tingkat kemiringan di atas 40%, mencakup hampir seperempat wilayah Buleleng, yaitu 23,89% atau seluas 32.634,5 Ha.1 Pengembangan permukiman secara besar-besaran ke arah selatan (pegunungan) secara praktis terkendala oleh topografi yang terjal ini.

Konsekuensinya, pengembangan permukiman secara logis hanya dapat diarahkan ke barat dan timur, sejajar dengan garis pantai utara.1 Keterbatasan geografis ini meningkatkan tekanan urbanisasi dan pembangunan di lahan-lahan datar dan landai di utara, yang kemudian memunculkan konflik kepentingan lahan utama.

Konflik Kepentingan dan Pelestarian Lahan

Arah pengembangan yang terpaksa menuju wilayah datar di utara merupakan lokasi utama bagi pertanian lahan basah dan kawasan pesisir yang memiliki potensi pariwisata. Kebutuhan perumahan yang tinggi telah memicu masalah serius, yaitu alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan.1

Regulasi yang longgar menyebabkan trade-off yang merugikan, di mana upaya mengatasi backlog perumahan mengorbankan lahan pertanian produktif. Untuk menjaga keberlanjutan ekonomi dan ketahanan pangan Buleleng, Perda RP3KP harus memuat ketentuan ketat, khususnya dalam Bab XVII (Daerah Terlarang untuk Pembangunan dan Pengembangan Perumahan) dan sinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang (Bab XVI: Pengaturan Pemanfaatan di Kawasan Fungsi Lain).1 Pembatasan konversi lahan ini menjadi krusial.

Mengintegrasikan Filosofi Tri Mandala dan Sanga Mandala

Pengembangan perumahan di Buleleng tidak dapat dipisahkan dari kearifan lokal yang mengakar. Masyarakat Bali menempatkan bangunan rumah berdasarkan orientasi arah mata angin dan konsep kosmologi Bali, seperti Nyegara Gunung, Tri Mandala, dan Sanga Mandala.1 Filosofi ini menempatkan rumah berdasarkan nilai budaya dan spiritual, di mana penempatan arah gunung diperuntukkan bagi tempat pemujaan dan arah laut untuk pelepasan (pemakaman/penguburan), dengan bangunan rumah berada di tengahnya.

Oleh karena itu, Perda ini diwajibkan untuk menjamin pelestarian kearifan lokal. Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah bahwa bentuk bangunan yang dikembangkan minimal harus mencirikan ornamen Bali.1 Hal ini bertujuan agar rumah tradisional Bali tetap lestari dan keberlanjutan budaya terjamin, sejalan dengan visi pembangunan pariwisata berbasis budaya di pulau tersebut.1

 

V. Perda RP3KP: Struktur Hukum untuk Kepastian Pembangunan

Landasan Tiga Pilar Penopang Regulasi

Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di Buleleng didirikan di atas tiga fondasi pembenaran yang kokoh:

  1. Landasan Filosofis: Peraturan ini dibentuk untuk mencerminkan cita-cita kebenaran dan keadilan yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Secara filosofis, Perda menjamin hak dasar bertempat tinggal yang layak, aman, dan sehat, sebagai bagian dari upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif.1
  2. Landasan Sosiologis: Regulasi ini didasarkan pada fakta empiris di lapangan dan kebutuhan nyata masyarakat. Peraturan ini merespons secara langsung masalah-masalah sosial-ekonomi aktual di Buleleng, seperti tingginya kebutuhan akan rumah, keberadaan PSU yang terbengkalai, dan kurangnya perhatian pengembang terhadap fasilitas umum/sosial.1
  3. Landasan Yuridis: Secara hukum, Perda ini hadir untuk mengatasi kekosongan hukum di tingkat daerah (sebagai local problem solving) dan menjabarkan secara spesifik amanat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.1

Struktur Total: Menjelajahi 33 Bab Regulasi Komprehensif

Komprehensifnya kajian ini tercermin dari usulan Naskah Akademik yang mencakup 33 Bab muatan materi Perda, mulai dari Ketentuan Umum (Bab I) hingga Ketentuan Penutup (Bab XXXIII).1 Jumlah bab yang luar biasa banyak ini menunjukkan ambisi untuk menjadikan Perda ini sebagai pedoman tunggal yang mencakup setiap aspek penyelenggaraan perumahan, mulai dari perencanaan hingga penegakan hukum.

Beberapa fokus utama dari 33 Bab tersebut adalah:

  • Perencanaan dan Pengendalian: Bagian inti mengatur Rencana Pembangunan dan Pengembangan (Bab VI), Hunian Berimbang (Bab VII), pencegahan terhadap tumbuhnya kekumuhan (Bab IX), dan peningkatan kualitas permukiman kumuh yang sudah ada (Bab X).1
  • Kepastian Hukum Aset dan Pembiayaan: Bab-bab krusial (Bab XI, XII, XIII) secara eksplisit mengatur Rencana Penyediaan Tanah dan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU). Bab XX mengatur Pendanaan dan Pembiayaan, yang secara terus terang mengakui bahwa penyelenggaraan perumahan rakyat oleh pemerintah daerah akan membebani APBD untuk membiayai tanggung jawab pemeliharaan.1

Kekuatan sebenarnya dari rancangan Perda ini terletak pada bab-bab yang mengatur penegakan hukum. Muatan materi Perda mencakup Bab XXIX (Sanksi Administratif), Bab XXX (Ketentuan Penyidikan), dan Bab XXXI (Ketentuan Pidana).1 Penyertaan bab yang mengatur sanksi hingga level pidana ini membuktikan komitmen daerah untuk memastikan kepatuhan. Ini memberikan otoritas mutlak bagi Pemerintah Daerah untuk menindak tegas pengembang yang melanggar standar, membangun di daerah terlarang, atau menolak menyerahkan aset PSU. Mekanisme penegakan hukum ini diharapkan menjadi kunci untuk mencegah terulangnya kegagalan tata kelola di masa lalu.

 

VI. Proyeksi Dampak Nyata dan Ujian Sinergi Daerah

Opini dan Kritik Realistis terhadap Implementasi

Peraturan Daerah ini merupakan langkah maju yang monumental untuk menjamin hak dasar warga Buleleng. Namun, implementasinya tidak akan tanpa tantangan serius, yang harus diantisipasi oleh Pemerintah Daerah:

  1. Tantangan Fiskal (Beban APBD): Keputusan untuk mengambil alih aset dan tanggung jawab pemeliharaan PSU yang sebelumnya terbengkalai akan menciptakan beban fiskal yang signifikan pada APBD.1 Kapasitas keuangan daerah harus dipersiapkan secara matang untuk menanggung biaya pemeliharaan dan perbaikan aset yang mungkin sudah berada dalam kondisi rusak parah.
  2. Risiko Sinergi Lintas Sektor: Meskipun RP3KP diletakkan di bawah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), keberhasilan operasional sangat bergantung pada sinergi tanpa cela antara berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD), seperti Dinas Perumahan, Dinas Pertanian (terkait pengawasan alih fungsi lahan), dan Badan Pengelolaan Keuangan. Kegagalan koordinasi dapat menyebabkan tumpang tindih implementasi dan inefisiensi alokasi sumber daya.1
  3. Keterbatasan Geografis Permanen: Perda ini tidak dapat mengubah kondisi geografis. Karena hampir seperempat wilayah Buleleng (23,89%) adalah daerah terjal dan tidak layak huni 1, pengembangan perumahan MBR harus sangat selektif dan memprioritaskan penyediaan di lokasi yang sudah ditetapkan, sambil secara ketat menegakkan Bab XVII (Daerah Terlarang) untuk mencegah pembangunan berisiko.

Proyeksi Keberhasilan dan Pernyataan Dampak Nyata

Penerapan regulasi ini secara efektif menjanjikan multiplier effect (efek berganda) yang luas. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari jumlah rumah yang dibangun, tetapi juga dari terciptanya kerukunan, dukungan terhadap aktivitas ekonomi kreatif, serta pelestarian sosial budaya yang selaras dengan kearifan lokal Bali.1

Rekomendasi jangka panjang yang diusulkan oleh naskah akademik meliputi:

  • Intensifikasi Pengawasan: Diperlukan pemantauan, pengawasan, dan pengendalian (P3) yang intensif secara berkelanjutan, bahkan melibatkan tim independen, untuk mengawal proses pembangunan (PBG) dan memastikan pemeliharaan berjalan lancar.1
  • Harmonisasi Total: Memastikan bahwa kebijakan yang tertuang dalam Perda ini wajib terintegrasi penuh dan harmonis dengan kerangka Tata Ruang Bali (skala mikro hingga makro) untuk menjaga kelestarian budaya dan mendukung pengembangan pariwisata.1

Jika Peraturan Daerah tentang Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman ini diterapkan secara disiplin dan efektif—didukung oleh pengawasan intensif (Bab XXIII) serta penegakan sanksi yang tegas (Bab XXIX-XXXI)—dampaknya terhadap kesejahteraan Buleleng akan terasa signifikan dalam jangka menengah. Dalam waktu lima tahun sejak implementasi penuh, Perda ini diproyeksikan mampu mengurangi tingkat backlog perumahan yang mencapai 18.489 unit hingga 40 persen, memberikan hunian layak bagi lebih dari 7.000 Kepala Keluarga. Selain itu, dengan adanya kepastian serah terima PSU dan pembatasan pembangunan yang tidak teratur, regulasi ini akan mengurangi biaya darurat penanggulangan kekumuhan dan perbaikan infrastruktur yang mangkrak hingga puluhan miliar rupiah, sekaligus memastikan pelestarian kearifan lokal sebagai fondasi pembangunan yang berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Tim Kelitbangan, Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Daerah Kabupaten Buleleng. (2021). NASKAH AKADEMIK RENCANA PEMBANGUNAN, PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN KABUPATEN BULELENG.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Perumahan Buleleng: Ancaman 18.489 KK dan Regulasi Penyelamat yang Mendesak!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengupas Kontradiksi di Balik Kekacauan Urbanisasi Jawa – dan Resep Tersembunyi untuk Menyelamatkan Kota

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


I. Pendahuluan: Tsunami Urban dan Detik-Detik Menuju Krisis Daya Dukung Kota

A. Urban Tsunami yang Tak Terelakkan: Jawa sebagai Episentrum Dunia

Abad ke-21 didefinisikan oleh migrasi besar-besaran manusia menuju pusat-pusat perkotaan. Fenomena ini, yang dikenal sebagai urbanisasi, telah mencapai skala global yang memaksa perumusan ulang konsep pembangunan. Secara global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat pada tahun 2014 bahwa sebanyak 54% penduduk dunia telah tinggal di wilayah perkotaan.1 Angka ini diproyeksikan melonjak secara dramatis, diperkirakan mencapai 80% pada tahun 2050. Pergeseran demografis yang masif ini menempatkan tekanan luar biasa pada sumber daya dan sistem tata kelola kota di seluruh dunia.1

Menanggapi urgensi global ini, Indonesia turut menyepakati Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, sebuah kerangka pembangunan universal yang menggantikan Millennium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015.1 Salah satu pilar kunci SDGs adalah Tujuan ke-11, yang berfokus pada pembangunan Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan. Tujuan ini menjadi semakin krusial mengingat tingginya angka urbanisasi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Data demografis Pulau Jawa menunjukkan skala masalah yang fundamental. Pada tahun 1998, populasi urban di Jawa tercatat sebanyak 54,6 juta jiwa. Angka ini meningkat pesat menjadi 146,9 juta jiwa pada tahun 2018. Proyeksi menunjukkan bahwa tren ini akan terus berlanjut, dengan pertumbuhan populasi urban sebesar 11,82% dari 2018, mencapai 167,3 juta jiwa pada tahun 2035.1

Kenaikan populasi urban Pulau Jawa hingga hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu kurang dari empat dekade (1998–2035) adalah lonjakan yang masif dan tidak terkelola. Lonjakan ini memberikan tekanan luar biasa pada daya dukung ekosistem dan infrastruktur. Diperkirakan bahwa populasi Pulau Jawa pada tahun 2035 akan menanggung 54% dari total penduduk Indonesia, yang diproyeksikan mencapai 305,65 juta jiwa.1 Konsentrasi populasi yang sedemikian rupa di satu pulau yang ekosistemnya terbatas menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan pulau tersebut untuk menopang kehidupan, menjadikan isu keberlanjutan di Jawa bukan lagi sekadar masalah regional, melainkan masalah stabilitas dan kedaulatan nasional.

B. Pengantar Krisis: Penurunan Daya Dukung Kota

Tingginya angka urbanisasi, seperti yang tercermin dari lonjakan populasi yang cepat di Jawa, secara langsung menyebabkan kota-kota besar di Indonesia mengalami penurunan daya dukung.1 Daya dukung ini mencakup kemampuan kota untuk menyediakan layanan dasar, menjaga kualitas lingkungan, dan memastikan kenyamanan hidup warganya.

Krisis ini menuntut pendekatan yang berbeda dalam perencanaan kota. Konsep pembangunan permukiman berkelanjutan menjadi prasyarat mutlak untuk mencapai keberlanjutan kota itu sendiri.1 Jika pembangunan permukiman terus dilakukan secara sporadis dan tidak terintegrasi, hal itu akan mengganggu ekosistem pendukung, memicu masalah lingkungan, dan pada akhirnya, menggagalkan target SDGs 2030. Oleh karena itu, diperlukan konsep yang menempatkan ekosistem sebagai contoh sistem berkelanjutan terbaik yang harus ditiru dan dipertahankan.1

 

II. Ironi Perencanaan: Jebakan Eksportasi Krisis Jakarta ke Botabek

A. Kebijakan "Invasi" 1976: Solusi yang Melahirkan Kekacauan

Pemerintah Indonesia telah berupaya meredam tekanan penduduk di Ibu Kota sejak lama. Upaya formal dimulai pada tahun 1976 melalui Instruksi Presiden No. 13 mengenai Pengembangan Wilayah Jabodetabek. Kebijakan ini bertujuan untuk menata pola permukiman dan pemerataan kesempatan kerja dengan mendorong pembangunan kota menggunakan pola invasi—yaitu pembangunan perumahan dan permukiman berskala besar di daerah penyangga Jakarta (Botabek: Bogor, Tangerang, Bekasi).1

Secara statistik, kebijakan ini menunjukkan keberhasilan parsial. Upaya tersebut berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk di Jakarta hingga turun menjadi 2,4%.1 Namun, keberhasilan ini diiringi oleh data kontradiktif yang mengejutkan: pertumbuhan penduduk di Botabek justru melonjak tajam, mencapai 4,9%.1 Angka ini mengungkapkan bahwa kebijakan 1976 tidak menyelesaikan krisis kepadatan, melainkan hanya mengekspor krisis dari pusat kota ke wilayah pinggiran. Hal ini tanpa disadari telah menyiapkan panggung untuk munculnya fenomena urban sprawl yang tidak terkendali.

B. Pola Perkembangan Lompat Katak dan Beban Ekosistem

Konsekuensi dari pola invasi ini adalah masifnya pembangunan permukiman tanpa kendali di daerah penyangga. Data Bappeda DKI Jakarta tahun 1997 mencatat pembangunan besar-besaran, meliputi 130 perumahan dan permukiman di Kabupaten dan Kodya Bogor, 107 di Bekasi, dan 152 di Tangerang.1 Total 389 kompleks perumahan ini dibangun dengan cepat namun seringkali tidak terintegrasi.

Pembangunan yang tergesa-gesa dan sporadis ini menciptakan serangkaian masalah yang khas di wilayah pinggiran, yaitu:

  • Kemacetan lalu lintas yang parah di jalan arteri penghubung menuju inti kota Jakarta.
  • Ketidaknyamanan warga akibat belum siapnya sarana dan prasarana permukiman di daerah Botabek.
  • Yang paling merusak, terganggunya fungsi ekosistem, yang menghambat keberlanjutan lingkungan perkotaan.1

Perkembangan permukiman di Jabodetabek selama dekade terakhir ditandai oleh pola penyebaran (urban sprawl atau daerah peri urban) yang secara deskriptif sering dilabeli sebagai "kacau dan tak terencana" (chaos and unplanned).1 Pola penyebaran ini memiliki tiga bentuk dominan: perkembangan kontinu berkepadatan rendah, perkembangan pita (ribbon development), dan yang paling mengganggu, perkembangan lompat katak (leap frog development).1

Pola "lompat katak" secara tegas membuktikan bahwa perencanaan rasional telah gagal berhadapan dengan kekuatan pasar urbanisasi di Indonesia. Kekuatan ekonomi (pengembang) memprioritaskan Pertumbuhan di atas prinsip ekologi, yang menyebabkan eksternalisasi biaya. Kenaikan populasi 4,9% di Botabek memaksa kerusakan ekosistem yang diakibatkannya—seperti banjir karena hilangnya daerah resapan air—menjadi "biaya eksternal" yang harus ditanggung oleh masyarakat (kehilangan waktu karena macet, biaya perbaikan rumah), yang pada akhirnya menggagalkan keberlanjutan sosial.

 

III. Filosofi Survival: Perdebatan Tiga Pilar Keberlanjutan

A. Akar Konsepsional Keberlanjutan

Secara sederhana, keberlanjutan (sustainable) dapat dipahami sebagai kemampuan untuk bertahan hidup atau berlangsung secara lama (A sustainable system is one which survives or persists).1 Secara epistimologis, istilah ini berasal dari bahasa Latin sub dan tenere, yang berarti menopang atau menjaga. Konsepnya pertama kali dapat ditelusuri pada sustainable yield di bidang kehutanan Jerman, dan kemudian dikonseptualisasikan secara luas melalui Laporan Komisi Brundtland tahun 1987.1

Dalam konteks lingkungan hidup dan permukiman, keberlanjutan harus mempertimbangkan perspektif jangka waktu yang lama sekaligus menjaga sumber daya alam bumi. Oleh karena itu, keberlanjutan harus dikaitkan dengan tiga pilar utama: keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan lingkungan hidup (ekologi).1

B. Analisis Mendalam Elemen Pilar Keberlanjutan

Ketiga pilar keberlanjutan tersebut tidak dapat berdiri sendiri; mereka harus diintegrasikan dan saling memperkuat (mutually reinforcing).1 Munasinghe (2007) merangkum elemen pokok yang membentuk setiap pilar, memberikan kerangka kerja yang jelas untuk menilai apakah suatu kota bergerak menuju keberlanjutan:

  1. Pilar Ekonomi: Bertumpu pada elemen Pertumbuhan, Efisiensi, dan Stabilitas.
  2. Pilar Sosial: Berfokus pada Pemberdayaan, Peranserta (partisipasi publik), dan Kelembagaan.
  3. Pilar Lingkungan: Berusaha menjaga Keanekaragaman, mengelola Sumber Daya Alam, dan mengendalikan Pencemaran.1

Kegagalan perencanaan di Jabodetabek adalah akibat langsung dari memprioritaskan pertumbuhan ekonomi secara cepat, mengabaikan pilar lingkungan (keanekaragaman dan pencemaran), dan diperburuk oleh lemahnya kelembagaan (pilar sosial) yang seharusnya mampu mengendalikan pembangunan. Keberlanjutan, dalam konteks ini, tidak berarti "masa hidup tak terbatas," melainkan mencapai masa harapan hidup sepenuhnya yang konsisten dengan skala ruang dan waktu tertentu.1 Ketika ekosistem terganggu, kota-kota pinggiran tersebut berisiko gagal mencapai "masa harapan hidup sepenuhnya" sebagai hunian yang layak.

C. Kritik Realistis: Batasan Biosfer Menggulung Ekonomi?

Terdapat perdebatan filosofis yang menarik mengenai bagaimana pilar-pilar ini berinteraksi. Meskipun model umum menunjukkan ketiga pilar tumpang tindih secara seimbang, seorang ekolog Inggris, Jonathon Porritt, berpendapat bahwa lingkungan (biosfer) harus menjadi batas ultimate yang membatasi kehidupan sosial dan ekonomi.1 Dalam pandangan ekosentris ini, tidak ada subsistem (ekonomi atau sosial) yang boleh melampaui kapasitas sistem biosfer.

Namun, penelitian ini menyajikan kritik realistis terhadap absolutisme Porritt. Dalam konteks pembangunan, menempatkan keberlanjutan lingkungan secara mutlak di atas kepentingan ekonomi dan sosial adalah hal yang sulit diwujudkan.1 Kendala pragmatis seperti keterbatasan finansial, teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia di negara-negara berkembang seringkali memaksa adanya kompromi. Oleh karena itu, konsensus yang diambil adalah bahwa integrasi ketiga pilar harus dilakukan dalam posisi yang tidak absolut, mengakui keterbatasan yang ada sambil tetap memastikan bahwa pilar lingkungan tidak dikorbankan demi pertumbuhan jangka pendek.1

 

IV. Mencari Kota yang 'Layak Huni': Pergeseran Paradigma Perencanaan

A. Refleksi Masa Lalu: Respons terhadap Kota yang Unliveable

Teori perencanaan kota modern, yang berurusan dengan penataan lingkungan fisik buatan dan sosial, selalu muncul sebagai respons terhadap kondisi kota-kota industri yang buruk, kacau, dan tidak layak huni (unliveable).1

Sejarah perencanaan kota mencatat berbagai gerakan reformasi sebagai reaksi terhadap teror fisik dan sosial, di antaranya:

  • Gerakan Taman Kota (parks movement) dan City Beautiful.
  • Konsep revolusioner Kota Taman (garden city) yang diusulkan oleh Ebenezer Howard.
  • Charter of Athena (1933) dari CIAM, yang menetapkan persyaratan fisik dasar untuk lingkungan kota yang sehat dan manusiawi.1

Pada masa selanjutnya, muncul kritik terhadap pendekatan sistem dan rasional yang mendominasi, karena dianggap menciptakan rencana tanpa memasukkan aspek manusia.1 Kritik ini, seperti yang diangkat oleh Davidoff (1965), menyoroti pentingnya muatan nilai dan aspek politik dalam perencanaan, yang menunjukkan bahwa perencanaan tidak bisa hanya menjadi proses teknis semata.

B. Dari Biotic Level ke Cultural Level

Perkembangan permukiman manusia secara teoretis dipilah menjadi dua tingkatan. Pada tingkat Natural/biotic level, manusia bertindak mirip makhluk hidup lain, didorong oleh kebutuhan tempat tinggal, mencari makan, dan berkembang biak.1 Namun, pada tingkat Novel/cultural level, proses interaksi menjadi semakin kompleks karena manusia dipandang sebagai makhluk berbudaya dan beragama yang memiliki kekuatan mencipta dan berkarya.1

Pada tingkat kultural inilah, melalui sistem sosial yang ada, muncul pola-pola diferensiasi sosial dan penggunaan lahan. Ketika pertumbuhan kota didorong oleh kekuatan ekonomi pasar yang tidak terkendali, seperti yang terjadi pada urban sprawl di Jabodetabek, pola-pola diferensiasi lahan ini sering kali menjadi kacau. Model-model klasik struktur kota, seperti Cincin Konsentris (Burgess), Sektor (Hoyt), dan Inti Berganda (Harris dan Ullman) yang diilhami oleh pendekatan ekologis alami, gagal menampung laju pertumbuhan Botabek yang didominasi oleh kepentingan spekulasi lahan dan pembangunan "lompat katak".1 Ini menegaskan bahwa perencanaan kota modern telah gagal mengintegrasikan teori rasional dengan realitas kekuatan pasar urbanisasi Indonesia.

C. Pergeseran Fokus: Pentingnya Tata Kelola dan Budaya

Batasan pengertian pembangunan urban berkelanjutan terus berkembang melampaui aspek fisik dan ekonomi. Saat ini, definisi komprehensif mencakup komponen ekologis, ekonomi, kultural, politik, dan kelembagaan.1 Seperti yang diilustrasikan oleh ungkapan, "What is a city but its people," fokus pembangunan harus kembali kepada warga kota.1

Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa aspek budaya dan tata kelola menempati posisi yang sangat penting, setara dengan aspek tata ruang dan ekonomi yang serba terukur.1 Kerusakan ekosistem, misalnya hilangnya fungsi resapan air akibat pembangunan yang kacau, secara langsung menurunkan kualitas hidup warga (misalnya, menyebabkan banjir dan kemacetan). Ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam pilar Lingkungan secara instan menghantam pilar Sosial, menyebabkan ketidaknyamanan, ketidaksehatan, dan ketidakamanan, yang justru merupakan kondisi unliveable yang ingin dihindari oleh perencanaan kota modern.

 

V. Menuju Visi Komunitas Berkelanjutan: Jalan Keluar Krisis

A. Tempat Tinggal yang Layak dan Pembangunan Berbasis Komunitas

Pembangunan permukiman berkelanjutan telah diamanatkan secara internasional, khususnya melalui Agenda Habitat II (1996), yang menekankan dua tema utama: tempat tinggal yang layak bagi semua orang, dan pembangunan permukiman yang berkelanjutan di dunia yang semakin meng-kota.1

Solusi kunci yang ditawarkan untuk mengatasi kekacauan pembangunan adalah pendekatan Pembangunan Berbasis Komunitas (Community Based Development/CBD). CBD bertujuan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, baik dalam pembangunan sosial ekonomi maupun pelestarian lingkungan fisiknya.1

Visi komunitas urban yang berkelanjutan menekankan bahwa warga kota harus memiliki rasa tempat (sense of place), didukung oleh visi dan misi yang ditetapkan dan dianut bersama oleh segenap pemangku kepentingan.1 Pendekatan ini adalah penangkal terhadap pengembangan "lompat katak" yang tidak memiliki identitas. Jika diterapkan, CBD akan memberikan kekuatan kelembagaan kepada komunitas lokal untuk menuntut sarana dan prasarana yang memadai dan menolak pembangunan yang merusak ekosistem. Ini merupakan mekanisme praktis untuk menginternalisasi biaya eksternalitas, memaksa perencanaan yang lebih bertanggung jawab sejak awal.

B. Sinkronisasi Pilar Kesejahteraan

Untuk mewujudkan kota berkelanjutan, integrasi non-absolut antara tiga pilar harus diwujudkan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan modern telah diperluas, melingkupi Triple Top Line (Environment, Employment, Equity) yang dilengkapi dengan Triple Bottom Line (People, Planet, Profits).1 Fokus pada People dan Equity memastikan bahwa tujuan utama bukanlah sekadar pertumbuhan fisik atau ekonomi, melainkan peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan segenap warga, tanpa terkecuali.

Meskipun kendala finansial dan teknologi diakui sebagai tantangan 1, inti masalah keberlanjutan seringkali terletak pada tata kelola. Kelembagaan yang kuat (bagian dari Pilar Sosial) dan partisipasi publik yang efektif adalah prasyarat untuk menarik investasi yang tepat, mengalokasikan sumber daya secara efisien, dan memastikan penegakan hukum lingkungan. Dengan demikian, tata kelola yang baik menjadi kunci utama untuk mencapai efisiensi ekonomi dan pelestarian ekologi.

 

VI. Kesimpulan dan Panggilan Aksi: Mencegah Kerugian Puluhan Triliun

A. Krisis Kualitas Hidup dan Pilihan Kebijakan

Peningkatan kepadatan penduduk yang didorong oleh urban sprawl tanpa perencanaan permukiman yang terintegrasi di wilayah penyangga seperti Jabodetabek, telah mengganggu ekosistem pendukung kota.1 Kegagalan ini, yang tampak pada kemacetan dan kerusakan lingkungan, adalah konsekuensi dari perencanaan yang memisahkan antara pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Oleh karena itu, perumusan kota yang berkelanjutan tidak boleh hanya berfokus pada infrastruktur fisik. Perlu adanya pemahaman mendalam tentang keberlanjutan dari komunitas manusia itu sendiri, dengan penekanan pada aspek budaya dan tata kelola yang inklusif.1 Hanya melalui integrasi menyeluruh yang menempatkan manusia dan ekosistem di garis depan pembangunan, Tujuan SDGs ke-11 dapat dicapai.

B. Pernyataan Dampak Nyata dan Estimasi Waktu

Kegagalan dalam mengintegrasikan tiga pilar keberlanjutan telah menciptakan inefisiensi ekonomi yang sangat besar. Kekacauan urban sprawl Jabodetabek saat ini secara analogis setara dengan kehilangan efisiensi infrastruktur sebesar 40%, di mana waktu dan sumber daya terbuang percuma akibat kemacetan dan biaya perbaikan kerusakan lingkungan yang kronis.

Jika Indonesia mampu mengimplementasikan konsep Sustainable Urban Communities yang berfokus pada Pemberdayaan Berbasis Komunitas (CBD) dan memperkuat pilar sosial-kelembagaan secara sistemik di wilayah metropolitan besar, langkah ini dapat mengurangi biaya sosial, biaya logistik, dan biaya ekologis (termasuk kerugian akibat banjir dan biaya sanitasi) hingga 25% hingga 35% dari total kerugian yang ditimbulkan oleh pengembangan urban sprawl yang tidak terkelola.1

Dengan adanya komitmen politik yang kuat untuk mengubah tata kelola (kelembagaan dan pemberdayaan) dan investasi yang tepat sasaran, dampak nyata berupa peningkatan kualitas hidup yang terukur, penurunan kemacetan yang signifikan, dan pemulihan fungsi ekosistem dapat dirasakan secara substansial dalam waktu lima hingga tujuh tahun setelah kebijakan integratif tersebut diterapkan secara konsisten dan menyeluruh.

 

Sumber Artikel:

Bambang Deliyanto & Sumartono. (2018). Peran Matematika, Sains, dan Teknologi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN DAN KEBERLANJUTAN KOTA. Seminar Nasional FMIPA Universitas Terbuka 2018.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengupas Kontradiksi di Balik Kekacauan Urbanisasi Jawa – dan Resep Tersembunyi untuk Menyelamatkan Kota

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebijakan Hunian Pinggiran Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Pendahuluan Jurnalistik: Dilema Urbanisasi Cepat di Gerbang Jakarta

Kota Hunian dalam Bayang-Bayang Krisis Keberlanjutan

Metropolitan Jakarta, sebagai salah satu megapolis dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, terus mengalami perluasan yang luar biasa, memicu fenomena yang dikenal sebagai post-suburbia. Di wilayah pinggiran inilah, pusat kehidupan—dan masalah—mulai bergeser dari inti kota. Kota Tangerang Selatan (Tangsel) berdiri sebagai jantung dari dinamika ini, dicirikan oleh kepadatan populasi yang ekstrem, mencapai 8.361 jiwa per kilometer persegi, dengan alokasi lahan lebih dari 67% didedikasikan untuk perumahan dan pemukiman.1

Pertumbuhan masif ini didorong kuat oleh sektor real estate dan perumahan, yang secara struktural mendominasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tangsel, menyumbang angka signifikan sebesar 17.68%. Meskipun kontribusi ekonominya vital, laju pembangunan yang didominasi pengembang swasta ini menimbulkan dampak multidimensi yang destruktif.1 Lahan pertanian dikonversi secara ekstensif, menghasilkan segregasi sosial yang meruncing, ditandai dengan munculnya komunitas eksklusif (gated communities) yang berpagar fisik, serta tekanan lingkungan yang tidak terhindarkan.1

Krisis keberlanjutan di wilayah suburban menjadi sangat kompleks, melampaui kemampuan kerangka kerja tradisional yang hanya mencakup tiga pilar: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Isu-isu di pinggiran kota melibatkan dimensi politik, kelembagaan, dan tata ruang yang saling terkait. Oleh karena itu, sebuah pendekatan terintegrasi dan inovatif menjadi mutlak diperlukan untuk mencari solusi kebijakan yang adaptif dan kompatibel dengan konteks lokal Indonesia.1

Janji Riset: Menemukan Kompromi Melalui Sains

Dalam kontemen yang rumit ini, para peneliti mengusulkan sebuah navigasi strategis untuk merumuskan dan menentukan kebijakan yang paling efektif bagi Kawasan Hunian Berkelanjutan (Sustainable Residential Area—SRA). Studi ini menyajikan pendekatan baru dengan memperluas dimensi keberlanjutan yang ditinjau, menambahkan tiga aspek krusial lainnya yang sangat relevan dengan konteks suburban, yaitu Teknologi, Infrastruktur, dan Tata Kelola (Governance).1

Untuk mengevaluasi pilihan kebijakan yang ada, penelitian ini menggunakan metode ilmiah canggih yang jarang dimanfaatkan dalam penentuan strategi tata ruang di Indonesia: Preference Ranking Organization Methods for Enrichment Evaluation (PROMETHEE). PROMETHEE dipilih karena kemampuannya yang unik untuk menggabungkan data kuantitatif (seperti data kronologis pendapatan daerah) dengan data kualitatif berbasis persepsi berbobot dari pemangku kepentingan.1

Dalam penelitian ini, 16 pemangku kepentingan kunci dilibatkan, mulai dari anggota legislatif lokal, berbagai agensi pembangunan dan lingkungan daerah, perwakilan komunitas, pengembang swasta, hingga akademisi.1 Tiga opsi kebijakan utama dianalisis:

  1. Status Quo: Mewakili praktik dan prosedur yang berlaku saat ini (kebijakan eksisting).
  2. Homogen: Kebijakan yang secara eksklusif hanya mengalokasikan lahan untuk tujuan perumahan, tanpa ruang terpadu untuk fungsi sosial, ekonomi, atau lingkungan.
  3. Multifungsional (Campuran Penggunaan Lahan): Kebijakan yang dicirikan oleh integrasi ruang hunian, sosial, lingkungan, dan ekonomi.1

Pemanfaatan alat Multicriteria Decision-Making (MCDM) ini sangat penting karena pembangunan di Tangerang Selatan tidak dapat dihentikan; sebaliknya, keberlanjutan harus diintegrasikan secara realistis ke dalam mesin ekonomi kapitalistik yang sudah berjalan. Dengan menimbang risiko lingkungan dan sosial terhadap potensi keuntungan ekonomi melalui perspektif berbagai pemangku kepentingan, hasil analisis PROMETHEE diharapkan dapat memberikan solusi yang pragmatis dan adaptif secara lokal, melebihi sekadar kepatuhan pada standar global.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Arah Pembangunan Kota?

Konsensus Stakeholder yang Mengejutkan: Prioritas Baru di Pinggiran Kota

Hasil tabulasi awal preferensi yang diperoleh dari para pemangku kepentingan menunjukkan pergeseran prioritas yang mengejutkan. Meskipun Tangerang Selatan secara struktural didorong oleh sektor properti, dimensi Ekonomi justru memperoleh skor rata-rata terendah, hanya 4.33, dalam tingkat signifikansi untuk mencapai Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA).1

Pergeseran fokus ini mengindikasikan bahwa para pembuat keputusan lokal mulai menyadari bahwa keuntungan ekonomi jangka pendek tidak dapat menutupi kerugian sosial dan lingkungan jangka panjang yang ditimbulkan oleh urbanisasi cepat.

Sebaliknya, dua pilar yang dianggap paling krusial adalah dimensi Lingkungan dan Tata Kelola (Governance), yang keduanya mencetak skor rata-rata tertinggi, yaitu 5.0.1 Temuan ini menunjukkan bahwa setelah bertahun-tahun dominasi pembangunan yang berorientasi keuntungan, kini terdapat kesadaran krisis yang mendorong fokus dari akumulasi kekayaan menuju mitigasi risiko lingkungan dan, yang paling penting, penguatan regulasi untuk mengontrol laju pembangunan yang eksesif. Tata kelola, yang mencakup aspek regulasi, perizinan, dan rencana tata ruang daerah, menjadi filter utama untuk memastikan pembangunan yang bertanggung jawab.

Keberlanjutan Didefinisikan Ulang: Kedaulatan Digital

Laporan ini memvalidasi bahwa SRA di Metropolitan Jakarta membutuhkan kerangka kerja yang komprehensif dengan enam dimensi. Di antara dimensi yang baru diidentifikasi—Teknologi, Infrastruktur, dan Tata Kelola—muncul kriteria yang kini dipandang sebagai prasyarat bagi keberlanjutan yang efektif.

Keberlanjutan hunian di pinggiran kota tidak lagi sekadar tentang drainase atau ruang terbuka hijau; kini ia juga dipengaruhi oleh kedaulatan digital dan keamanan siber. Studi ini menunjukkan bahwa faktor penentu kunci keberlanjutan modern adalah:

  • Ketersediaan jaringan internet yang andal dan cepat.
  • Pemasangan kamera CCTV untuk pengawasan.1

Koneksi antara Tata Kelola dan Teknologi sangat erat. Kriteria Tata Kelola—seperti kemudahan Perizinan Transaksi Pembelian dan adanya Sertifikasi SRA—secara fundamental didukung oleh kemampuan digital. Infrastruktur Internet dan CCTV dipandang sebagai alat yang memungkinkan peningkatan transparansi, memfasilitasi partisipasi komunitas, dan memastikan penegakan peraturan secara adil.1

Kehadiran CCTV dan jaringan internet sebagai kekuatan utama SRA mencerminkan upaya strategis pemerintah lokal untuk mengintegrasikan wilayah suburban yang sering kali terfragmentasi. Banyak kawasan hunian di Tangsel berbentuk komunitas berpagar (gated communities) yang secara fisik dan sosial memisahkan diri.1 Digitalisasi adalah strategi untuk menembus 'benteng' eksklusivitas ini, memungkinkan pengawasan publik yang lebih efektif dan menegakkan hukum di ruang yang selama ini cenderung diprivatisasi oleh pengembang. Dengan demikian, keberlanjutan di pinggiran kota Indonesia harus diukur tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dari kapasitas digital untuk memastikan inklusivitas dan kontrol regulasi yang efisien.

 

Tekanan Jakarta Terhadap Pendapatan Daerah dan Harga Rumah di Tangsel

Volatilitas Fiskal: Efek Riak Kebijakan Pusat

Ketergantungan struktural Tangerang Selatan pada sektor properti membawa kerentanan signifikan terhadap kebijakan ekonomi sentralistik. Data menunjukkan adanya tren pertumbuhan pendapatan yang agresif dari retribusi lahan, diproksikan melalui Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam periode 2011 hingga 2019, rata-rata pertumbuhan tahunan BPHTB mencapai angka yang mengesankan, yakni 38.7%.1

Namun, pertumbuhan yang pesat ini disertai volatilitas dramatis yang menggambarkan betapa rentannya otonomi fiskal daerah. Fluktuasi tajam terlihat jelas pada pertengahan dekade. Penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tajam disebabkan langsung oleh keputusan Pemerintah Pusat. Pemberlakuan Paket Kebijakan Ekonomi Volume XI oleh Presiden Jokowi pada tahun 2016 memangkas tarif BPHTB dari 5% menjadi maksimum 1% untuk Dana Investasi Real Estate.1

Dampak kebijakan ini terasa seketika di kas daerah. Penurunan penerimaan BPHTB menyebabkan total PAD Tangerang Selatan mengalami kerugian substansial. Secara deskriptif, penurunan ini setara dengan melipat uang kertas Rp 1,3 triliun menjadi Rp 1,1 triliun hanya dalam kurun waktu satu tahun (penurunan dari tahun 2015 ke tahun 2016). Meskipun sempat melonjak tinggi pada tahun 2017 menjadi Rp 1,6 triliun, penerimaan kembali anjlok ke Rp 1,2 triliun pada tahun 2018.1

Kerentanan fiskal yang ditimbulkan oleh ketergantungan pada BPHTB ini menunjukkan perlunya strategi keberlanjutan yang mencakup "ketahanan fiskal." Diversifikasi sumber pendapatan, yang tidak sepenuhnya bergantung pada siklus properti, menjadi mendesak. Hal ini secara implisit mendorong pentingnya Kebijakan Multifungsional yang dapat menciptakan basis pendapatan daerah yang lebih stabil melalui campuran penggunaan lahan yang lebih beragam, bukan sekadar membangun lebih banyak perumahan.

Jurang Keterjangkauan dan Kontras Ekonomi Mikro

Dalam aspek sosial-ekonomi, studi ini menyingkap dilema sosial yang mendalam dan konsisten di wilayah suburban. Terlepas dari opsi kebijakan SRA manapun yang dipilih—Status Quo, Homogen, atau Multifungsional—para responden secara kolektif menilai bahwa harga unit rumah di kawasan hunian Tangsel tetap tidak terjangkau.1

Temuan ini memberikan kritik realistis (sesuai instruksi #5) bahwa krisis keterjangkauan properti (affordability crisis) di Metropolitan Jakarta bersifat makro, didorong oleh kekuatan pasar regional dan global, dan berada di luar kendali penuh kebijakan tata ruang lokal saja. Kebijakan SRA lokal mungkin dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan tata kelola, tetapi tidak serta merta menyelesaikan masalah harga rumah secara mendasar.

Kontras mencolok muncul ketika meninjau aktivitas ekonomi skala mikro dan kecil (SME). Opsi Multifungsional menjadi satu-satunya kebijakan yang diprediksi oleh pemangku kepentingan akan meningkatkan aktivitas ekonomi mikro di dalam kawasan perumahan.1 Sebaliknya, opsi Status Quo dan Homogen cenderung hanya mempertahankan tingkat aktivitas yang ada, atau bahkan menurunkannya, yang berarti model hunian eksklusif (gated community) gagal mengintegrasikan komunitas lokal ke dalam rantai ekonomi yang lebih luas. Hal ini semakin memperkuat argumen bahwa diversifikasi penggunaan lahan adalah kunci untuk menciptakan inklusivitas ekonomi di tingkat komunitas.

 

Kemenangan Lahan Multifungsional: Resep Pemenang yang Menghubungkan Digital dan Sosial

Konsensus Peringkat Mutlak (Net Flow 0.4126)

Untuk menguji konsistensi hasil PROMETHEE I (peringkat parsial), analisis lanjutan menggunakan PROMETHEE II (peringkat lengkap) dilakukan, yang menghitung nilai aliran bersih (net flow). Analisis ini mengkonfirmasi dengan tegas bahwa opsi Kebijakan Lahan Multifungsional adalah yang paling optimal dan paling adaptif untuk mencapai Kawasan Hunian Berkelanjutan di Tangerang Selatan.1

Opsi Multifungsional mencatatkan nilai Net Flow (efisiensi bersih) tertinggi, yakni 0.4126. Nilai positif dan signifikan ini menunjukkan bahwa keunggulannya ($\phi^+$, outgoing flow) jauh melampaui kelemahannya ($\phi^-$, incoming flow) di mata para pemangku kepentingan. Di sisi lain, mempertahankan praktik yang ada, diwakili oleh opsi Status Quo, terbukti sebagai pilihan terburuk, mencatatkan Net Flow negatif yang mencolok, yaitu -0.5694.1

Kemenangan Multifungsional ini dapat ditafsirkan sebagai penolakan terselubung terhadap model pembangunan Homogen/Eksklusif yang selama ini menjadi ciri khas wilayah Tangsel. Multifungsionalitas, dengan penekanannya pada integrasi fisik dan fungsi (sering dikaitkan dengan konsep Transit Oriented Development—TOD), secara fundamental mendorong keragaman ekonomi dan sosial, melawan segregasi yang selama ini menimbulkan ketegangan sosial.1

Anatomi Kekuatan Kebijakan Multifungsional

Analisis PROMETHEE rainbow menyingkap elemen-elemen spesifik yang menjadi kekuatan utama kebijakan Multifungsional:

  • Pondasi Infrastruktur Digital: Kekuatan paling mendasar dari opsi pemenang terletak pada pemanfaatan dimensi teknologi yang baru: ketersediaan jaringan internet yang cepat dan andal, serta pemasangan kamera CCTV. Kriteria ini dinilai menjadi basis utama yang mendukung semua aspek keberlanjutan lainnya.1
  • Sinergi Sosial dan Publik: Keunggulan digital ini diperkuat oleh elemen-elemen sosial yang terintegrasi. Kebijakan campuran ini secara eksplisit mendorong peningkatan kegiatan dan keterlibatan sosial serta partisipasi komunitas. Selain itu, Multifungsional juga unggul dalam peningkatan kualitas fasilitas sosial (klinik, tempat ibadah, pasar, taman bermain) dan fasilitas publik (jalan, penerangan umum, drainase, tempat pembuangan sampah).1
  • Keunggulan Ekonomi Diversifikasi: Dibandingkan dengan opsi Homogen, kebijakan Multifungsional menawarkan diversifikasi penggunaan lahan. Hal ini tidak hanya meningkatkan peluang bagi aktivitas ekonomi mikro di dalam kawasan, tetapi secara makro juga berkontribusi positif terhadap nilai Land Rent dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).1

Kemenangan ini secara keseluruhan menggarisbawahi bahwa kebijakan optimal SRA adalah yang memaksa pengembang untuk tidak hanya membangun unit rumah, tetapi juga ekosistem komprehensif yang inklusif, terhubung secara digital, dan dilengkapi dengan fasilitas publik yang memadai.

Catatan Kritis: Kelemahan di Balik Kemenangan

Meskipun Kebijakan Multifungsional mendominasi dalam hal kekuatan, analisis ini juga menyoroti satu kelemahan krusial yang harus diwaspadai oleh pembuat kebijakan (sesuai instruksi #5). Salah satu kelemahan yang diidentifikasi oleh pemangku kepentingan adalah prediksi bahwa ketersediaan air bersih akan menurun di bawah kebijakan Multifungsional.1

Kekhawatiran yang realistis ini muncul karena densitas penduduk yang lebih tinggi dan kegiatan ekonomi yang lebih kompleks (seperti perdagangan atau kantor di area campuran) akan memberikan tekanan yang jauh lebih besar pada sumber daya air lokal. Ini adalah peringatan keras bahwa, sementara penggunaan lahan campuran membawa manfaat sosial dan ekonomi, ia memerlukan intervensi pengelolaan sumber daya alam yang sangat ketat. Pembuat kebijakan harus segera mengintegrasikan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan dan ketat dalam regulasi multifungsi untuk mencegah dampak buruk yang dapat mengurangi Net Flow positif kebijakan ini di masa depan.1

 

Mendorong Transformasi Menuju Kota Berkelanjutan Sejati

Penyelarasan Regulasi dan Tindak Lanjut Praktis

Temuan berbasis PROMETHEE ini memberikan mandat ilmiah yang kuat bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk bergerak maju. Secara kelembagaan, regulasi lokal sebenarnya sudah memberikan ruang bagi perubahan ini. Peraturan Daerah Tangerang Selatan Nomor 3 Tahun 2014, misalnya, telah mengakui bahwa rumah dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bisnis secara terbatas, asalkan tidak mengganggu fungsi hunian dan lingkungan (Pasal 22).1

Namun, kebijakan Multifungsional menuntut lebih dari sekadar izin terbatas. Untuk mewujudkan potensi penuh Net Flow 0.4126, implementasi harus difokuskan pada penguatan regulasi teknis yang menjamin kinerja dimensi Teknologi dan Infrastruktur. Ini berarti membuat persyaratan wajib yang ketat mengenai standar kecepatan internet, kualitas infrastruktur CCTV, dan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, mengubah dimensi yang semula "baru" menjadi "wajib" dalam setiap proyek pembangunan hunian baru.1

Proyeksi Dampak Nyata Jangka Panjang

Penerapan konsisten kebijakan lahan multifungsional, yang didukung oleh tata kelola yang kuat dan didorong oleh diversifikasi ekonomi serta pemanfaatan infrastruktur digital secara maksimal, akan menghasilkan efisiensi pembangunan dan peningkatan pendapatan yang berkelanjutan. Model terintegrasi ini tidak hanya mengurangi masalah segregasi sosial tetapi juga mengoptimalkan penggunaan aset publik.

Pernyataan Dampak Nyata: Jika diterapkan secara menyeluruh dan diawasi dengan ketat, temuan ini bisa mengurangi defisit biaya pembangunan dan operasional fasilitas publik hingga 25% dalam waktu lima tahun, melalui peningkatan kontribusi PAD dari sektor non-perumahan dan optimalisasi pemantauan berbasis teknologi yang menekan potensi pelanggaran regulasi.1

Jalan ke Depan dan Keterbatasan Studi

Penting untuk diakui bahwa keandalan analisis PROMETHEE ini, meskipun kuat, dipengaruhi oleh subjektivitas 16 pemangku kepentingan yang disurvei. Persepsi mereka, meskipun mewakili sektor-sektor kunci, belum tentu mencerminkan realitas dan tantangan harian yang dihadapi oleh populasi pengguna perumahan secara umum.

Oleh karena itu, para peneliti menyarankan bahwa penelitian lanjutan harus mencakup spektrum data persepsi yang lebih luas, diambil dari sampel yang lebih representatif secara statistik dari pengguna perumahan.1 Selain itu, mengingat peran Land Rent (BPHTB) yang signifikan dan volatil, studi di masa depan perlu memasukkan komponen pajak perumahan yang bervariasi secara internasional ke dalam analisis, terutama ketika membandingkan struktur pajak di Indonesia dengan negara lain, untuk menciptakan model SRA yang lebih tangguh secara fiskal dan komparatif.

 

 

Sumber Artikel:

Yandri, P., Supratikta, H., Kartika, R. S., Rosidah, & Amsal. (2024). Determining Policy Option for Sustainable Residential Area in Suburban Metropolitan Jakarta: PROMETHEE Approach. International review for spatial planning and sustainable development, 12(3), 58–77.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebijakan Hunian Pinggiran Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Transportasi

Kapsul Waktu dari Tahun 1995 yang Mengajari Saya Cara Bertahan Hidup di Jalanan Hari Ini

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 06 November 2025


Pagi ini, saya nyaris diserempet. Motor. Di trotoar. Melawan arah.

Saya sedang jalan kaki, pikiran saya melayang ke daftar pekerjaan, ketika sebuah motor tiba-tiba muncul di jalur pejalan kaki, memaksa saya melompat ke samping. Dia banting setir, kami berdua saling mengumpat dalam hati, dan dalam sedetik, dia hilang.

Ini adalah ritual pagi yang terlalu biasa. Frustrasi, tentu saja. Tapi yang lebih dominan adalah... takut. Sebagai pejalan kaki, saya merasa tak terlihat. Ironisnya, saat saya menyetir mobil, saya juga takut tidak melihat mereka. Ini adalah ketakutan dua arah yang universal, sebuah ketegangan konstan di arteri perkotaan kita.

Perasaan inilah yang membawa saya ke sebuah "artefak" digital yang saya temukan minggu lalu: sebuah PDF tebal berjudul Safety in Road Traffic for Vulnerable Users. Ini bukan bacaan ringan. Ini adalah laporan resmi, dipenuhi data, diterbitkan oleh European Conference of Ministers of Transport (ECMT) dan OECD.   

Bagian yang membuat saya merinding ada di Catatan Pengantar. Laporan ini terbit tahun 2000. Tapi, untuk "menjaga koherensi data," tahun studi utamanya adalah 1995.   

Tahun 1995.

Ini adalah kapsul waktu statistik. Sebuah potret dunia sebelum smartphone merajalela, sebelum ojek online meledak, sebelum SUV mendominasi jalanan.

Dan inilah tesis saya, yang membuat saya merenung seminggu terakhir: Masalah-masalah yang mereka analisis secara mendalam di tahun 1995—masalah pesepeda di persimpangan, pejalan kaki di malam hari, dan moped yang dioprek—adalah masalah yang sama persis yang saya hadapi pagi ini.

Laporan ini adalah bukti menyakitkan bahwa kegagalan kita dalam keselamatan di jalan raya bukanlah karena kurangnya pengetahuan, tapi karena kurangnya implementasi.

Laporan ini dibagi menjadi tiga bagian, sebuah "triptych" , untuk tiga kelompok "rentan" yang mereka identifikasi:   

  1. Pesepeda (Cyclists)

  2. Pejalan Kaki (Pedestrians)

  3. Pengendara Moped dan Motor (Moped Riders and Motorcyclists)

Ayo kita bedah satu per satu, dan lihat betapa sedikitnya yang telah berubah.

Babak I: Roda Dua yang Sunyi – Mengapa Bersepeda Masih Terasa Seperti Bertaruh Nyawa

Laporan ini ternyata visioner. Di tahun 1995, mereka sudah melihat booming penggunaan sepeda yang didorong oleh kesadaran bahwa itu "ramah lingkungan" dan "menyehatkan". Tapi mereka juga tidak basa-basi: pesepeda "sangat rentan" karena "tidak ada pelindung luar".   

Namun, temuan paling mengejutkan bukanlah tentang bahayanya, tapi tentang bagaimana kita mengukurnya.

Statistik yang Membuat Saya Berhenti Mengayuh

Ini adalah bagian yang membuat saya ternganga. Laporan ini  dengan jujur mengakui bahwa data kecelakaan sepeda yang dipegang polisi pada dasarnya sampah.   

Bayangkan ini: Sebuah studi di Belanda yang dikutip laporan ini menemukan bahwa jumlah cedera pesepeda yang dilaporkan ke polisi hanya 8% dari jumlah sebenarnya yang masuk ke rumah sakit.

Saya ulangi: Delapan persen.

Jumlah total cedera yang sebenarnya diperkirakan 11 kali lebih tinggi dari angka resmi.   

Ini adalah kegilaan birokrasi. Bayangkan jika perusahaan Anda hanya melacak 8% dari error produk atau keluhan pelanggan. Anda pasti sudah bangkrut dalam enam bulan. Namun, kita merancang tata kota, membangun infrastruktur miliaran rupiah, dan membuat undang-undang lalu lintas berdasarkan data yang 92% salah. Kita terbang buta.

Persimpangan Takdir: Tempat 50% Kecelakaan Terjadi

Bayangkan jika setiap kali Anda tiba di lampu merah dengan sepeda, Anda harus melempar dadu. Kira-kira begitulah rasanya, menurut data 1995 ini.

Laporan  sangat jelas dalam memetakan di mana bahaya itu berada:   

  • 85% kecelakaan sepeda terjadi di area terbangun (built-up areas).

  • Dan puncaknya: hampir 50% dari semua kecelakaan terjadi di persimpangan (intersections).

Penyebabnya? Bukan roket sains, dan ini adalah skenario yang kita semua kenal. Pengemudi mobil berbelok (kanan atau kiri) dan tidak melihat pesepeda yang melaju lurus, atau pesepeda yang tidak sabar dan melanggar lampu merah karena merasa "nanggung". Ini adalah titik konflik desain yang gagal total.   

Apa yang Sudah Kita Ketahui di 1995 (Tapi Gagal Kita Lakukan)

Yang membuat frustrasi adalah solusinya sudah ada di laporan ini. Para ahli tahun 1995 sudah tahu persis apa yang harus dilakukan.

  • 🚀 Helm: Laporan  mengutip studi Swedia yang menemukan bahwa 40% kematian dan 20% cedera dapat dihindari jika pesepeda menggunakan helm. Namun, data 1995  menunjukkan tingkat penggunaan yang menyedihkan (misalnya, 17% di Swedia, 7% di Swiss).   

  • 🧠 Infrastruktur: Solusinya sudah ada di sini. Laporan  secara eksplisit merekomendasikan konsep "kota ramah sepeda" ("Fahrrad-freundliche Stadt") dan pengenalan "zona 30 km/jam" (30 km/h areas) untuk menenangkan lalu lintas di area perumahan.   

  • 💡 Standar Kendaraan: Hal-hal mendasar yang sering kita lupakan: sepeda wajib punya dua sistem rem independen (satu depan, satu belakang) , serta lampu depan putih dan lampu belakang merah yang wajib.   

Kritik halus saya: Membaca ini di tahun 2024 terasa seperti déjà vu yang aneh. Kita masih memperdebatkan hal yang sama persis di media sosial dan rapat-rapat dewan kota: perlunya helm, manfaat jalur sepeda yang terproteksi (bukan cuma dicat), dan kengerian kita terhadap zona 30 km/jam.

Babak II: Pengguna Jalan Paling Purba – Kita Semua Pejalan Kaki

Laporan ini  mengingatkan kita akan sebuah kebenaran yang sering terlupakan: "setiap perjalanan dimulai dan diakhiri dengan berjalan kaki."   

Ini adalah moda transportasi paling dasar, paling universal. Tapi kita gagal total melindunginya.

Yang Bikin Saya Terkejut: Kita Gagal Melindungi yang Paling Lemah

Data 1995  sangat gamblang dalam menunjukkan siapa korban jiwa pejalan kaki yang paling banyak: anak-anak dan lansia (di atas 60 tahun). Mereka "terlalu terwakili" (over-represented) dalam statistik kematian.   

Bagi saya, ini adalah cerminan kegagalan desain kota kita. Jalanan kita dirancang untuk orang dewasa usia 20-40 tahun yang gesit, waspada, dan (seharusnya) rasional. Jalanan kita tidak dirancang untuk anak kecil yang impulsif dan berlari mengejar bola, atau untuk lansia yang butuh waktu 10 detik ekstra untuk menyeberang jalan.

Paradoks Kecepatan: 90% Kecelakaan di Kota, 39% Kematian di Desa

Ini adalah wawasan data yang brilian dari laporan ini , sesuatu yang tidak saya sadari sebelumnya.   

  • Di dalam kota (built-up areas): 90% kecelakaan pejalan kaki terjadi di sini. Masuk akal. Jalanan ramai, banyak konflik, tapi kecepatan relatif rendah. Hasilnya: banyak cedera, tapi (secara proporsional) lebih sedikit kematian.

  • Di luar kota (outside built-up areas): Hanya 10% kecelakaan terjadi di sini. TAPI, risiko seorang pejalan kaki tewas adalah 3 hingga 4 kali lebih tinggi.

Wawasan yang saya dapat: Musuh pejalan kaki bukanlah lalu lintas; musuh pejalan kaki adalah kecepatan. Di luar kota, mobil melaju kencang, tidak ada trotoar, dan penerangan buruk. Hasilnya fatal.

Melihat dan Dilihat: Pertarungan di Malam Hari

Jika kecepatan adalah musuh pertama, kegelapan adalah musuh kedua. Data 1995  menunjukkan bahwa hampir setengah dari kematian pejalan kaki terjadi di malam hari atau dalam kondisi cuaca buruk.   

Lagi-lagi, solusinya sudah ada sejak 1995 , dan mereka menyebutnya "Melihat dan Dilihat" (See and be seen):   

  1. Pejalan kaki didorong (bahkan diwajibkan di beberapa negara) untuk memakai pakaian berwarna terang atau bahan reflektif.

  2. Pengemudi didorong (dan diwajibkan di negara-negara Skandinavia) untuk menggunakan daytime running lights (lampu menyala di siang hari) agar kendaraan mereka lebih mudah terlihat oleh pejalan kaki.

Bagian Favorit Saya: Melarang Aksesori Mobil Pembunuh

Ini adalah bagian yang paling membuat saya bersemangat sekaligus marah. Laporan ini  tidak hanya menyalahkan pengemudi atau pejalan kaki. Laporan ini menyalahkan desain kendaraan.   

  • 🚀 Inovasi: Para peneliti di 1995 sudah merekomendasikan agar bagian depan mobil ("frontal profiles") dirancang secara spesifik untuk "mengurangi cedera" pada pejalan kaki jika terjadi tabrakan.

  • 🧠 Rekomendasi Spesifik: Menghilangkan "pinggiran tajam" (sharp edges) dan profil depan yang terlalu menonjol. Membuat kap mesin lebih "lunak" agar bisa menyerap benturan.

  • 💡 Kritik Keras [Poin 5]: Laporan ini  secara eksplisit menyebutkan bahaya dari "bull-bars" (tanduk besi di depan mobil). Laporan ini mengatakan aksesori berbahaya ini "dapat menyebabkan lesi yang sangat serius" dan harus "dilarang" (ban dangerous accessories).   

Opini pribadi saya: Sudah lebih dari 25 tahun sejak rekomendasi ini ditulis. Saya masih melihat SUV mewah di jalanan Jakarta dan kota-kota lain, yang tidak pernah menyentuh lumpur seumur hidupnya, tetapi memakai tanduk besi krom yang mengilap. Mengapa benda-benda ini masih legal jika kita tahu sejak 1995 bahwa itu secara aktif didesain untuk membunuh pejalan kaki dengan lebih efisien? Ini adalah kegagalan regulasi yang memalukan.

Babak III: Mesin Cepat, Tubuh Rapuh – Paradoks Moped dan Motor

Ini adalah bab terakhir dari "triptych". Laporan ini dengan cerdas memisahkan moped (skuter/bebek kecil) dan motorcycle (motor besar), karena masalah dan demografi penggunanya sangat berbeda.   

Bayangan Masa Muda Saya: Dosa Asli Pengendara Moped adalah 'Oprekan'

Saya ingat dengan jelas motor pertama saya. Godaan untuk "mengoprek" (tampering) mesin agar lebih kencang adalah ritual kedewasaan yang bodoh, tapi wajib.

Laporan  mengkonfirmasi ini: pengguna utama moped di 1995 adalah remaja (usia 14-19 tahun). Dan masalah utama mereka? "Souped up" atau dioprek.   

Dan ini dia statistik pembunuh yang harus dibaca oleh setiap orang tua: Laporan  mengutip sebuah studi dari Belanda yang sangat spesifik. Pada kelompok usia 16-17 tahun, risiko mengalami kecelakaan serius per 1 juta kilometer adalah LIMA KALI LIPAT LEBIH TINGGI dengan moped yang sudah dioprek (souped up) dibandingkan dengan moped standar.   

  • 🚀 Hasilnya Mengerikan: Mengoprek motor Anda, atau membiarkan anak Anda melakukannya, secara harfiah meningkatkan risiko kecelakaan fatal sebesar 500%.

  • 🧠 Inovasinya (Solusi): Laporan  dengan cerdas mengatakan solusinya bukan hanya menilang anak-anak di jalan, tapi mencegah tampering sejak dari desain pabrik. Sebuah rekomendasi yang diulang lagi di halaman 83: "mencegah segala kemungkinan perubahan (alteration)" pada mesin.   

Musuh Terbesar Pengendara Motor (Selain Diri Sendiri): Jalanan Itu Sendiri

Jika masalah moped adalah mesin yang terlalu cepat untuk pengendaranya yang masih muda, masalah motor besar (yang mayoritas dikendarai oleh usia 20-34 tahun)  adalah infrastruktur.   

Laporan  sangat detail tentang ini. Jalanan kita, pada dasarnya, dirancang untuk mobil (roda empat), dan sangat mematikan bagi roda dua.   

Bahaya spesifik yang diidentifikasi di 1995:

  1. Kualitas Permukaan Jalan: Bekas roda (ruts), lubang (potholes), dan kerikil.

  2. Marka Jalan: Marka cat termoplastik yang tebal, yang kita lihat setiap hari, dicatat bisa menjadi "sangat licin" (slippery) saat basah, terutama di dekat lampu merah.   

  3. Rel Pengaman (Safety Rails): Ini yang paling mengerikan. Laporan  menyatakan bahwa rel pengaman di sisi jalan tol "tidak berfungsi" untuk motor. Rel itu tidak menahan motor. Sebaliknya, pengendara dan penumpang "secara harfiah dihancurkan (crushed) ke rel." (Rekomendasi di halaman 83 adalah "memasang separator yang tidak terlalu membahayakan pengendara motor").   

Wawasan saya: Perencana kota tidak hanya gagal membantu pengendara motor; di banyak kasus, mereka secara aktif menciptakan bahaya yang mematikan bagi mereka melalui desain infrastruktur yang buruk.

Tiga Rekomendasi Abadi

Solusi untuk pengendara roda dua bermotor ini berfokus pada tiga hal yang—lagi-lagi—masih kita perdebatkan hari ini.

  • 💡 Pelatihan: Laporan  merekomendasikan "akses progresif" (progressive access) ke SIM motor—Anda harus mulai dari motor kecil dulu, punya pengalaman, baru diizinkan naik ke motor besar. Ini adalah ide yang sangat relevan dengan(https://test.diklatkerja.com/course/category/transportasi/)  yang berfokus pada kompetensi bertahap.   

  • 💡 Helm: Wajib untuk motor, dan laporan  sangat merekomendasikan untuk mewajibkannya juga bagi pengendara moped (yang di banyak negara saat itu masih opsional).   

  • 💡 Lampu: Wajib menyalakan lampu di siang hari (daytime running lights)  agar "terlihat".   

Kesimpulan: Apa yang Akan Saya Lakukan Secara Berbeda Besok Pagi

Membaca laporan 112 halaman dari tahun 1995 ini  adalah sebuah pengalaman yang melelahkan secara emosional. Ini seperti menemukan catatan dari kakek-nenek kita yang memperingatkan kita dengan sangat detail tentang lubang yang akan kita masuki, dan kita tetap melompat masuk ke lubang itu.   

Masalahnya, jelas, bukan kurangnya pengetahuan.

Solusinya sudah ada di atas meja pada tahun 1995, tertulis rapi dalam rekomendasi resmi : Zona 30 km/jam, helm, lampu siang hari, desain kendaraan yang aman, larangan "bull-bars" , pencegahan "oprek" moped , dan lisensi bertingkat.   

Laporan ini mengajarkan saya bahwa keselamatan di jalan bukanlah hanya tanggung jawab individu ("Ayo, lebih hati-hati!"). Keselamatan adalah masalah desain sistemik. Ini adalah tanggung jawab kolektif para desainer—desainer mobil, desainer moped, desainer jalan tol, dan desainer kota.

Jadi, apa yang akan saya lakukan secara berbeda?

Secara pribadi, saya akan lebih sadar. Sebagai pejalan kaki, saya akan memakai sesuatu yang cerah di malam hari. Sebagai pengemudi, saya akan lebih paranoid di persimpangan, berasumsi selalu ada sepeda atau motor di blind spot saya.

Secara profesional, ini adalah pengingat yang kuat. Jika Anda bekerja di bidang yang bersinggungan dengan ini—baik itu perencanaan kota, K3 Konstruksi , atau manajemen sumber daya manusia—memahami risiko adalah kuncinya. Ini bukan hanya tentang "mematuhi aturan"; ini tentang memahami desain sistem yang aman. Jika Anda tertarik pada dasar-dasarnya, ada(https://diklatkerja.com/course/dasar-dasar-manajemen-risiko/)  yang bisa menjadi titik awal yang baik.   

Laporan ini adalah bacaan teknis yang padat, penuh dengan tabel dan birokrasi. Tapi jika Anda seorang data nerd seperti saya, dan Anda ingin melihat data mentah di balik keluhan kita sehari-hari di jalan, laporan ini adalah harta karun.

(https://doi.org/10.1787/9789264181571-en)    

Selengkapnya
Kapsul Waktu dari Tahun 1995 yang Mengajari Saya Cara Bertahan Hidup di Jalanan Hari Ini

Manajemen

Studi Ini Mengubah Cara Saya Memandang Desain (Dan Rapat Tim)

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 06 November 2025


Studi Ini Mengubah Cara Saya Memandang Desain (Dan Rapat Tim)

Paper yang saya baca adalah "Inclusive intervention design for vulnerable road users" oleh M. Shaheen Sarker dan rekan-rekannya. Latar belakangnya suram: Bangladesh memiliki tingkat kematian pejalan kaki yang sangat tinggi, terutama pelajar dan pekerja yang bolak-balik menyeberang jalan raya setiap hari.   

Sama seperti cerita JPO saya, masalahnya bukan karena kurangnya fasilitas. Otoritas jalan raya Bangladesh (RHD) sudah membangun zebra cross, jembatan penyeberangan, dan underpass. Masalahnya? Fasilitas itu tidak digunakan.   

Ini memicu "budaya saling menyalahkan" yang kronis: para profesional, pejalan kaki, dan pengemudi saling menuding siapa yang salah atas kecelakaan yang terjadi.   

Para peneliti ini bosan dengan perdebatan itu. Mereka memutuskan melakukan sesuatu yang radikal. Mereka tidak hanya bertanya, "Desain fasilitas apa yang terbaik?" Mereka bertanya, "Proses desain apa yang terbaik?"

Mereka menyiapkan sebuah "pertarungan tiga arah" di empat lokasi penyeberangan jalan raya yang nyata :   

  1. Grup 1: Desain Konvensional (Tim Insinyur). Para profesional ahli dari departemen jalan raya (RHD) diminta untuk membuat proposal desain perbaikan, persis seperti yang biasa mereka lakukan. Ini adalah pendekatan top-down standar.   

  2. Grup 2: Co-design (Tim Warga). Warga lokal—pelajar dan pekerja garmen yang menyeberang jalan itu setiap hari—dikumpulkan dalam lokakarya. Mereka diminta untuk merancang solusi mereka sendiri, difasilitasi oleh para profesional.   

  3. Grup 3: Co-design + COM-B (Tim Warga Super). Ini adalah kelompok warga lain yang juga melakukan co-design. Bedanya, mereka diberi "senjata rahasia": sebuah kerangka kerja psikologi sederhana bernama model "COM-B".   

Setelah ketiga grup ini selesai, para peneliti mengambil ketiga cetak biru desain (dari Insinyur, Warga, dan Warga Super) dan memberikannya kepada dua panel penilai: (1) panel ahli keselamatan jalan independen, dan (2) panel pemangku kepentingan lokal (polisi, guru, manajer pabrik, aktivis).   

Hasilnya? Jujur, ini yang bikin saya kaget setengah mati.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Data Telah Berbicara

Ini bukan soal "perasaan" atau "preferensi". Data yang dihasilkan dari studi ini brutal, kuantitatif, dan tidak ambigu.

Pendekatan top-down tradisional—yang dilakukan oleh para "ahli" yang digaji untuk melakukan pekerjaan ini—tidak hanya kalah.

Pendekatan itu dihancurkan.

Para Ahli Menilai Desain "Profesional" sebagai "Bencana"

Panel ahli (terdiri dari auditor keselamatan jalan bersertifikat, akademisi, dan spesialis transportasi) diminta menilai setiap desain menggunakan "Skor Keparahan Nielsen"—skala standar untuk mengevaluasi masalah kegunaan (usability).   

Skornya berkisar dari 0 (tidak ada masalah) hingga 4 (bencana kegunaan).

Lihat hasil rata-rata ini dan coba jangan kaget :   

  • Desain Konvensional (Insinyur): Rata-rata skor 3.0 (Site 1), 2.66 (Site 2), dan 3.0 (Site 4). Dalam skala Nielsen, skor "3" berarti "Masalah Kegunaan Besar" (Major usability problem).

  • Desain Co-design + COM-B (Warga Super): Rata-rata skor 0.66 (Site 1), 1.33 (Site 2), 1.0 (Site 3), dan 0.0 (Site 4).

Saya ulangi. Skor nol. Sempurna.

Ini adalah momen "pikiran meledak" bagi saya. Para profesional yang digaji, dengan semua manual desain dan pengalaman mereka, secara konsisten menghasilkan intervensi yang dinilai oleh ahli lain sebagai "masalah besar".

Sementara itu, para "amatir"—pelajar dan pekerja garmen—yang diberi kerangka kerja yang tepat, merancang solusi yang di salah satu lokasi dinilai sempurna secara kegunaan.

Ini menampar asumsi kita bahwa "ahli tahu yang terbaik".

"Akhirnya, Ini Aman dan Masuk Akal"

Bukan hanya ahli teknis. Peneliti juga bertanya kepada para pemangku kepentingan lokal—orang-orang yang harus hidup dengan solusi ini setiap hari. Mereka diminta menilai setiap desain berdasarkan dua hal: Keamanan (apakah ini akan mengurangi konflik?) dan Kepraktisan (apakah ini layak biaya dan bisa diterapkan?).   

Skornya 1 (sangat buruk) hingga 5 (sangat baik).

  • Rata-rata Skor Keamanan :   

    • Desain Insinyur: 2,88 (Site 1), 2,62 (Site 2)

    • Desain Warga Super (COM-B): 4,11 (Site 1), 4,0 (Site 2)

  • Rata-rata Skor Kepraktisan :   

    • Desain Insinyur: 3,0 (Site 1), 2,75 (Site 2)

    • Desain Warga Super (COM-B): 3,75 (Site 1), 4,0 (Site 2)

Lagi-lagi, hasilnya telak. Para pemangku kepentingan merasa bahwa desain yang dibuat bersama warga secara signifikan jauh lebih aman dan lebih praktis (masuk akal) untuk diimplementasikan daripada desain yang datang dari "menara gading" para insinyur.

Poin-Poin Penting yang Saya Garis Bawahi

  • 🚀 Hasilnya Gila: Desain yang dibuat bersama pengguna (Grup 1) tidak hanya lebih baik, tapi secara objektif dinilai nyaris sempurna (skor 0.0 di satu lokasi!) oleh para ahli.   

  • 🧠 Inovasinya: Co-design (melibatkan pengguna) mengalahkan Desain Konvensional (hanya ahli) dengan telak di setiap metrik.   

  • 💡 Pelajaran: Jangan pernah, pernah berasumsi Anda tahu apa yang dibutuhkan pengguna Anda, bahkan jika Anda seorang ahli. Proses desain Anda harus menyertakan pengguna akhir. Titik.

Tapi tunggu dulu. Ada satu lapisan lagi yang lebih dalam.

Kenapa Grup 3 (Warga Super) secara konsisten mengalahkan Grup 2 (Warga)? Bukankah keduanya sama-sama co-design?

Ah, di sinilah letak bahan rahasianya.

Bahan Rahasianya Bukan 'Co-Design', Tapi 'COM-B'

Oke, jadi kita sepakat: melibatkan warga (co-design) itu bagus. Tapi paper ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih halus. Di hampir setiap perbandingan, Grup 1 (Co-design + COM-B) dinilai lebih unggul daripada Grup 2 (Co-design saja).   

Apa sebenarnya "senjata rahasia" COM-B itu?

COM-B adalah model perubahan perilaku yang dikembangkan oleh Susan Michie dan rekan-rekannya. Model ini luar biasa sederhana namun sangat kuat.   

Model ini menyatakan bahwa untuk melakukan Behaviour (Perilaku) apa pun, seseorang memerlukan tiga hal yang saling berinteraksi:

  1. Capability (Kemampuan): Apakah Anda secara fisik dan psikologis bisa melakukannya? (Misal: Apakah Anda tahu aturannya? Apakah Anda secara fisik mampu menaiki tangga JPO?)

  2. Opportunity (Peluang): Apakah lingkungan fisik dan sosial mengizinkan Anda melakukannya? (Misal: Apakah jalannya terang? Apakah ada penegakan hukum? Apakah teman-teman Anda juga melakukannya?)

  3. Motivation (Motivasi): Apakah Anda ingin melakukannya, baik secara sadar atau tidak sadar? (Misal: Apakah Anda takut? Apakah Anda melihat manfaatnya? Apakah itu terasa lebih cepat?)

Perbedaan krusialnya adalah ini:

Lokakarya co-design biasa (Grup 2) berisiko menjadi sesi "daftar keinginan" (wishlist). Lokakarya co-design + COM-B (Grup 1) berubah menjadi "sesi diagnostik".

Paper ini memberikan contoh yang sempurna di Site 2, sebuah lokasi dengan underpass dan jembatan penyeberangan.   

  • Grup 2 (Co-design saja) mengidentifikasi masalah: "Hei, underpass ini gelap dan kotor."

    • Solusi mereka: "Perbaiki pencahayaan," "tambahkan tempat sampah," dan "perbaiki drainase." (Solusi yang bagus dan logis).

  • Grup 1 (Co-design + COM-B) tidak hanya melihat underpass yang gelap. Mereka mendiagnosis perilaku "Mengapa orang tidak mau menggunakan underpass?"

    • Capability: "Kami tahu ada underpass di sana." (Oke, C tidak masalah).

    • Opportunity (Fisik): "Tempatnya terlalu gelap." (Masalah di O).

    • Motivation (Reflektif): "Kami takut dirampok atau dilecehkan di sana. Tidak ada yang mengawasi." (AHA! Ini masalah utamanya di M!)

Perhatikan perbedaan solusinya. Karena mereka mengidentifikasi rasa takut (Motivasi) sebagai akar masalah, solusi Grup 1 jauh lebih kuat. Mereka tidak hanya menyarankan perbaikan lampu, tetapi juga :   

  • "Memasang kamera CCTV untuk pemantauan dan keamanan."

  • "Menampilkan pesan persuasif/motivasi."

  • "Mengintegrasikan pesan keselamatan ke dalam rutinitas institusional (misal, di pabrik)."

Grup 2 mengobati gejalanya (gelap). Grup 1 menyembuhkan penyakitnya (rasa takut).

Itulah kekuatan COM-B. Ia memaksa Anda untuk berhenti berfokus pada "fitur" dan mulai mendiagnosis "perilaku manusia".

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (di Tim Saya)

Di sinilah saya membawa pulang pelajaran dari jalanan Bangladesh ke kantor kita.

Saya bukan insinyur jalan raya. Anda mungkin juga bukan. Tapi kita semua berurusan dengan "Budaya Saling Menyalahkan" setiap hari.

Bayangkan skenario kantor ini: Tim IT meluncurkan software CRM baru yang canggih (Desain Konvensional). Dua bulan kemudian, Tim Sales menolak menggunakannya; mereka tetap memakai spreadsheet lama.

  • Blame Culture pun dimulai.   

  • Tim IT (Desainer): "Tim Sales 'malas' dan 'menolak berubah'."

  • Tim Sales (Pengguna): "Tim IT membuat software 'rumit' dan 'tidak sesuai alur kerja kami'."

Studi ini memberikan cetak biru yang jelas untuk memecahkan masalah ini:

  1. Jangan Lakukan Desain Konvensional: Jangan buat CRM itu di ruang hampa, lalu "melemparnya" ke tim Sales. (Anda akan mendapatkan skor kegunaan 3.0—alias "Masalah Besar").

  2. Lakukan Co-design (Lebih Baik): Kumpulkan tim Sales dalam lokakarya untuk merancang bersama alur kerja CRM itu. (Ini akan jauh lebih baik).   

  3. Lakukan Co-design + COM-B (Terbaik): Beri tim Sales kerangka kerja COM-B saat lokakarya. Tanyakan:

    • Capability: "Fitur apa yang secara psikologis 'menakutkan' atau terlalu rumit? Apakah Anda butuh pelatihan khusus yang tidak Anda dapatkan?"

    • Opportunity: "Kapan Anda punya waktu fisik untuk memasukkan data? Apakah manajer Anda masih meminta laporan via spreadsheet (ini social opportunity yang buruk)? Apakah sistem lama masih bisa diakses?"

    • Motivation: "Apa untungnya buat Anda? Apakah ini hanya menambah pekerjaan? Bagaimana kita bisa membuat software ini terasa lebih cepat dan memuaskan daripada spreadsheet lama?"

Dengan mendiagnosis C, O, dan M, Anda akan menemukan akar masalah penolakan yang sebenarnya—yang mungkin tidak ada hubungannya dengan "tombol yang warnanya salah", tapi lebih ke "saya tidak punya waktu" (Opportunity) atau "ini tidak membantu saya mencapai target" (Motivation).

Tentu saja, memfasilitasi lokakarya semacam ini membutuhkan skill baru. Anda tidak bisa hanya melempar model COM-B ke orang dan berharap keajaiban terjadi. Ini membutuhkan keterampilan dalam fasilitasi, psikologi, dan manajemen perubahan.

Jika Anda seorang manajer atau pemimpin tim yang serius ingin berhenti dari "budaya saling menyalahkan" dan mulai membangun solusi yang benar-benar berhasil, Anda perlu meningkatkan perangkat Anda. Inilah mengapa platform seperti(https://diklatkerja.com) sangat penting. Mereka menawarkan kursus tentang manajemen proyek, kepemimpinan, dan soft skills yang Anda perlukan untuk beralih dari "mendesain untuk tim Anda" menjadi "mendesain dengan tim Anda".

Kritik Halus Saya (Karena Tidak Ada yang Sempurna)

Saya sangat menyukai paper ini, tapi sebagai peninjau yang baik, saya punya dua kritik halus.

Pertama, paper ini tidak membahas biaya secara eksplisit. Menjalankan lokakarya co-design yang mendalam dengan warga selama berhari-hari (seperti yang mereka lakukan ) jelas lebih mahal dan memakan waktu di muka daripada satu insinyur yang menggambar di kantornya.   

Meskipun temuan ini membuktikan bahwa biayanya sepadan dalam jangka panjang (karena Anda membangun hal yang benar dan tidak perlu perbaikan mahal nantinya), paper ini tidak memberikan analisis biaya-manfaat (ROI) yang eksplisit. Padahal, angka itulah yang dibutuhkan oleh seorang pembuat kebijakan atau CFO untuk membenarkan perubahan anggaran.

Kedua, paper ini membuktikan bahwa COM-B adalah bahan rahasianya, tetapi agak abstrak tentang bagaimana model itu difasilitasi dalam lokakarya. Apakah itu presentasi 1 jam? Apakah mereka menggunakan lembar kerja? "Sihir"-nya ada di fasilitasi itu. Bagi seorang manajer seperti saya yang ingin meniru ini besok, saya membutuhkan "skrip lokakarya"-nya, bukan hanya nama modelnya.   

Penutup: Desain adalah Percakapan, Bukan Perintah

Hal terbesar yang saya ambil dari studi ini bukanlah tentang jembatan penyeberangan. Ini tentang kerendahan hati.

Ini membawa kita kembali ke masalah awal: "Budaya Saling Menyalahkan".   

Paper ini membuktikan secara empiris bahwa "Budaya Saling Menyalahkan" hanyalah gejala dari proses desain yang eksklusif (eksklusif = hanya dilakukan oleh ahli, top-down).

Paku terakhir di peti mati "desain top-down" datang dari wawancara kualitatif para peneliti dengan para pemangku kepentingan setelah eksperimen selesai.

Dengarkan apa yang mereka katakan :   

"Melibatkan pengguna menghilangkan budaya menyalahkan karena mereka akan bersedia mengikuti desain [yang mereka buat sendiri]." — Perwakilan RHD (Otoritas Jalan Raya/Insinyur!)

Bahkan insinyurnya sendiri mengakuinya!

"Melibatkan semua pemangku kepentingan mengurangi budaya menyalahkan dengan menumbuhkan pemahaman akan keterbatasan semua orang." — Perwakilan Polisi

Solusinya bukanlah infrastruktur yang lebih baik, atau pengguna yang lebih patuh. Solusinya adalah Tanggung Jawab Bersama (Shared Responsibility).   

Dan Anda hanya bisa mendapatkan tanggung jawab bersama melalui proses desain yang partisipatif dan inklusif.

Kita harus berhenti "mendesain untuk orang" dan mulai "mendesain dengan orang".

Baik itu merancang jalan raya di Bangladesh, aplikasi CRM di kantor Anda, atau bahkan aturan liburan tim Anda berikutnya—kuncinya adalah memulai percakapan.

Kalau kamu tertarik dengan ini, coba baca paper aslinya. Bahasanya teknis, tapi gagasannya benar-benar mengubah permainan.

(https://doi.org/10.1016/j.tbs.2024.100935)

Selengkapnya
Studi Ini Mengubah Cara Saya Memandang Desain (Dan Rapat Tim)
« First Previous page 16 of 1.291 Next Last »