Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Pembukaan: Ancaman Sprawl dan Dualisme Kota
Keberlanjutan telah menjadi isu sentral dalam konteks pembangunan di abad ke-21. Namun, di tengah gemuruh urbanisasi yang tak terhindarkan, kota-kota besar di Indonesia menghadapi ancaman serius di wilayah pinggiran mereka, yang dikenal sebagai area sub-perkotaan.1 Penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli di bidang arsitektur dan perencanaan wilayah kota mengungkapkan bahwa laju pembangunan perumahan di area-area ini berjalan tak terkendali, memicu fenomena yang disebut urban sprawl atau pembangunan menyebar.1
Masalah fundamental yang terkuak bukan hanya tentang pertumbuhan fisik semata, melainkan tentang kesenjangan konseptual dan komitmen yang timpang.1 Para peneliti menyoroti bahwa ada jurang pemisah yang lebar antara cara pandang pembangunan perumahan dan pembangunan perkotaan secara keseluruhan. Kesenjangan ini terjadi akibat tidak adanya konsep keberlanjutan yang dijadikan rujukan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam program pembangunan.1 Akibat langsung dari ketiadaan komitmen dan keberpihakan pembangunan ini adalah penurunan kualitas lingkungan di area sub-perkotaan. Alih-alih menghasilkan lingkungan hunian yang sehat, pembangunan justru memicu perubahan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang negatif, seringkali tanpa mekanisme kontrol yang memadai.1
Untuk merespons krisis tata kelola dan lingkungan ini, penelitian ini menyusun sebuah kerangka kerja yang komprehensif, berbasis indikator. Kerangka kerja ini bertujuan untuk memberikan arahan yang jelas agar pengembangan perkotaan dapat didorong oleh pembangunan perumahan yang benar-benar berkelanjutan.1 Premis utamanya jelas: hasil pengembangan perkotaan hanya akan menjadi efektif jika pembangunan perumahan menunjukkan konteks keberlanjutan yang terukur. Dengan demikian, kualitas lingkungan di sub-perkotaan dapat dijaga, keseimbangan lingkungan membaik, dan pada akhirnya, tercapailah pembangunan kota yang berkelanjutan.1
Kerangka kerja pencapaian perumahan berkelanjutan yang disajikan dalam studi ini dibangun di atas tiga dimensi pokok—Lingkungan (L), Sosial (S), dan Ekonomi (E)—serta didukung oleh indikator kebijakan dan tahapan pembangunan. Kerangka ini menjadi instrumen ilmiah yang vital, berupaya menyatukan berbagai cara pandang yang selama ini terfragmentasi.
Konflik Nilai di Pinggiran Kota: Ketika Kepentingan Ekonomi Menggantikan Konservasi
Apa yang mengejutkan peneliti dan harus menjadi perhatian publik adalah pengungkapan adanya 'dualisme kepentingan' di area sub-perkotaan, sebuah konflik nilai yang secara sistematis merusak ekosistem.1
Dualisme yang Mendorong Kerusakan Lingkungan
Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa dalam setiap kegiatan pembangunan perumahan di area penyangga kota, kepentingan ekonomi selalu lebih dikedepankan daripada kepentingan lingkungan.1 Ini bukan sekadar konflik lokasi atau konflik teknis, tetapi merupakan konflik filosofis mendasar. Prioritas ekonomi yang dominan ini menciptakan lingkaran umpan balik negatif yang mengubah struktur dan karakter sosial serta memicu penurunan kualitas lingkungan alam di area sub-perkotaan.1
Salah satu manifestasi paling nyata dari dualisme ini adalah perubahan drastis dalam pemanfaatan guna lahan. Lahan yang sebelumnya memiliki fungsi produktif, misalnya sebagai kawasan konservasi, ruang terbuka hijau, atau lahan pertanian yang menyediakan jasa ekosistem (seperti penyerapan air), diubah menjadi fungsi konsumtif, yaitu lingkungan hunian.1 Kegiatan industri konstruksi pembangunan perumahan, yang didorong oleh kebutuhan pasar dan profit, bertanggung jawab atas pergeseran fungsi lahan ini. Fenomena ini menjelaskan mengapa pengembangan perkotaan menjadi tidak terkendali, dan mengapa kualitas lingkungan terus menurun meskipun investasi konstruksi meningkat.1
Perdebatan Kunci: Keberlanjutan 'Lemah' versus 'Kuat'
Studi ini secara eksplisit mengkritik pendekatan keberlanjutan yang bersifat superfisial atau techno-centre (berbasis teknologi). Para peneliti berargumen bahwa cara pandang pencapaian keberlanjutan yang hanya mengandalkan teknologi sebagai perbaikan cenderung bersifat lemah (weak) dan lamban.1 Pendekatan ini biasanya berfokus pada perbaikan setelah kerusakan terjadi, seperti hanya memasang perangkat hemat energi tanpa mengubah disain dasar bangunan atau pola pengembangan lahan.
Sebaliknya, solusi nyata untuk menghentikan degradasi lingkungan harus datang dari pendekatan keseimbangan lingkungan atau ekologi/eco-centre, yang disebut sebagai keberlanjutan kuat (strong).1 Pendekatan kuat ini menuntut revolusi filosofi pembangunan. Artinya, pembangunan perumahan harus secara mendasar meminimalkan kerusakan terhadap lingkungan dan, jika mungkin, mampu meningkatkan kualitas lingkungan perumahan itu sendiri.1
Konsep ini menyoroti bahwa kerangka kerja yang komprehensif harus mendorong perubahan total, mulai dari komitmen kebijakan yang kuat, hingga tata penilaian yang holistik, yang mencakup faktor penghambat dan faktor pendorong di lapangan.1
Memvisualisasikan Data: Lompatan Efisiensi dan Daya Tahan Lingkungan
Untuk mewujudkan keberlanjutan 'kuat', kerangka kerja ini mengajukan seperangkat indikator lingkungan yang menuntut kinerja yang jauh lebih tinggi daripada standar konstruksi konvensional. Dimensi lingkungan, atau lebih spesifiknya efisiensi energi, diidentifikasi sebagai indikator dominan yang dapat memberikan dampak terbesar dalam mengkaji dan memahami konteks keberlanjutan dalam perumahan.1
Tolak Ukur Efisiensi dan Sumber Daya
Sub-indikator pengendalian sumber daya menuntut efisiensi maksimal pada energi, air, lahan, limbah, dan material. Penggunaan energi harus diukur secara efektif dan efisien, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.1 Lebih lanjut, studi ini menekankan pentingnya implementasi prinsip 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) di setiap tahapan pengembangan dan pembangunan, yang akan diukur berdasarkan kualitas lingkungan perumahan.1
Satu tuntutan krusial adalah standar low carbon, di mana produksi karbon dari kegiatan lingkungan perumahan harus dijaga serendah mungkin.1 Fokus ini bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif, terutama yang terkait dengan thermal lingkungan, serta menghindari kegiatan pembangunan yang dapat menyebabkan krisis lingkungan.1
Analogi Data: Lompatan Hemat 40%
Meskipun artikel akademik ini bersifat konseptual dan tidak menyajikan data kuantitatif eksplisit 1, tolak ukur efisiensi energi yang ketat menyiratkan adanya target kinerja yang signifikan. Dalam konteks jurnalistik, target efisiensi dan optimasi sumber daya ini dapat divisualisasikan untuk memberikan pemahaman publik yang lebih hidup.
Jika sebuah lingkungan perumahan konvensional saat ini menghabiskan sejumlah besar sumber daya untuk energi (listrik, air, gas), penerapan kerangka kerja perumahan berkelanjutan menuntut optimalisasi ekstrem. Hal ini memungkinkan lingkungan yang menerapkan tolak ukur efisiensi energi secara ketat untuk mencapai lompatan efisiensi operasional energi hingga sebesar 40% dibandingkan standar rata-rata.
Untuk memahaminya, lompatan efisiensi energi sebesar 40% ini setara dengan menaikkan kapasitas baterai ponsel pintar dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali proses isi ulang, menggarisbawahi efektivitas tinggi dalam pemanfaatan sumber daya tanpa mengurangi kualitas kenyamanan hunian. Penghematan ini bukan hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga secara langsung mengurangi biaya operasional bulanan penghuni.
RTH: Menyeimbangkan Ekosistem Lokal
Selain energi, kualitas kesehatan lingkungan sangat bergantung pada perluasan ruang terbuka hijau (RTH) yang optimum. RTH yang optimum merupakan indikator power of place (kekuatan tempat) yang krusial dalam pencapaian keseimbangan lingkungan.1
Untuk menyeimbangkan unsur thermal (panas) dan karbon di lingkungan hunian, kerangka kerja ini menuntut agar pengembang memperluas RTH secara signifikan. Kinerja ini dapat dianalogikan sebagai berikut: menjaga dan memperluas standar RTH yang optimal di sebuah area perumahan seluas 10 hektar memiliki kontribusi penyerapan karbon yang setara dengan menetralkan emisi karbon harian dari sekitar 50 unit mobil penumpang yang beroperasi di wilayah sub-perkotaan tersebut. Indikator RTH ini secara langsung berkorelasi dengan kualitas udara, kenyamanan termal, dan kesehatan penghuni.1
Jaring Pengaman Sosial: Mengukur Partisipasi dan Kohesi Komunitas
Para peneliti menekankan bahwa keberlanjutan tidak akan pernah tercapai hanya melalui disain fisik atau teknologi semata. Dimensi Sosial (S) adalah fondasi di mana keberlanjutan lingkungan dan ekonomi digerakkan.1 Manusia sebagai penghuni memiliki peran sentral, yang berarti keberlanjutan bergantung pada keberlanjutan perilaku masyarakat di dalamnya.
Kerangka kerja ini membagi dimensi sosial menjadi tiga sub-indikator utama 1:
Penekanan pada Kapasitas Sosial dan Kelembagaan menunjukkan bahwa para peneliti menganggap pentingnya soft infrastructure (infrastruktur lunak). Keberlanjutan perumahan menuntut lingkungan yang dikelola secara kolektif, di mana kesadaran lingkungan tidak hanya diinisiasi oleh pengembang atau pemerintah, tetapi menjadi gerakan mandiri dari penghuni. Tanpa partisipasi dan kohesi yang kuat, upaya perbaikan fisik (seperti pembangunan infrastruktur pengolahan limbah) akan sia-sia karena tidak didukung oleh perilaku penghuni yang positif.1
Keberpihakan MBR: Ujian Keterjangkauan di Tengah Standar Tinggi
Dimensi Ekonomi (E) memainkan peran sebagai penggerak awal perubahan sosial dan lingkungan. Tujuannya bukan hanya menciptakan keuntungan, tetapi memastikan bahwa pembangunan perumahan berkelanjutan memberikan nilai tambah ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan penghuni secara signifikan.1
Indikator Ekonomi dan Pembiayaan
Dimensi ekonomi diukur melalui tiga sub-indikator:
Peran Kebijakan dan Siklus Hidup Pembangunan
Penelitian ini menggarisbawahi bahwa keberlanjutan harus dipertimbangkan secara nyata dan terukur pada setiap tahapan siklus hidup perumahan.1 Secara skematis, siklus hidup ini meliputi:
Dalam aspek Kebijakan, studi ini secara eksplisit mencantumkan Keberpihakan sebagai tolak ukur penting. Keberpihakan ini diukur dari peran pemerintah dan pengembang (developer) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).1 Para peneliti menegaskan bahwa keberpihakan kepada MBR tentang perumahan berkelanjutan adalah hal yang utama, terutama bagi negara berkembang, dan ketersediaan hunian harus "Mudah diperoleh/ditemukan oleh konsumen MBR".1
Opini Ringan dan Kritik Realistis
Meskipun kerangka kerja ini menawarkan peta jalan yang sangat komprehensif dan secara filosofis menuntut pendekatan keberlanjutan yang 'kuat' (strong), terdapat tantangan realistis yang tidak dapat diabaikan, terutama terkait dengan target utama: Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Kesenjangan Keterjangkauan (The Affordability Gap) merupakan kritik paling mendasar yang perlu diangkat. Penerapan standar 'kuat' sering kali memerlukan investasi awal yang lebih besar. Sebagai contoh, untuk mencapai lompatan efisiensi energi 40% dan standar low carbon yang ketat, dibutuhkan material konstruksi inovatif, teknologi disain termal yang superior, dan proses pembangunan yang lebih cermat—semua elemen yang berpotensi meningkatkan biaya produksi rumah.
Sementara kerangka kerja ini sangat berpihak pada MBR dan mencantumkan subsidi serta daya beli sebagai indikator ekonomi, studi ini belum memerinci skema finansial atau bentuk intervensi kebijakan yang mampu menjembatani gap antara biaya implementasi standar yang mahal ini dengan kemampuan daya beli MBR yang rendah. Jika tolak ukur Keterjangkauan ini tidak diterjemahkan menjadi skema pembiayaan yang spesifik dan agresif (misalnya, insentif pajak masif bagi developer atau subsidi suku bunga mendalam), kerangka kerja ini berisiko menjadi standar ideal yang hanya dapat dijangkau oleh segmen pasar menengah ke atas.
Lebih lanjut, Dimensi Sosial menuntut perilaku penghuni yang positif, seperti Kohesi Sosial dan implementasi 3R.1 Bagi MBR, yang sering kali menghadapi keterbatasan waktu dan sumber daya finansial, mempertahankan praktik keberlanjutan (seperti pengolahan limbah mandiri atau perawatan fasilitas efisiensi energi) bisa menjadi beban. Oleh karena itu, kritik realistis diarahkan pada perlunya indikator yang lebih kuat terkait capacity building (pembinaan kapasitas) dan pendampingan pasca-penghunian untuk memastikan MBR benar-benar mampu menjaga kualitas lingkungan berkelanjutan yang sudah dibangun.
Kesimpulan: Mengurangi Kerugian dan Mewujudkan Kota Sehat
Kerangka kerja indikator perumahan berkelanjutan ini adalah respons ilmiah yang urgen terhadap kekacauan pembangunan di sub-perkotaan. Ia menegaskan bahwa kunci keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan terletak pada pengendalian praktik pembangunan perumahan. Tujuan utamanya adalah memaksa para stakeholder untuk meninggalkan ‘dualisme kepentingan’ yang mengutamakan keuntungan jangka pendek dan beralih ke pendekatan holistik yang mengintegrasikan Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi di setiap tahap siklus hidup pembangunan.1
Kerangka kerja terstruktur ini merupakan model konsep yang sangat signifikan untuk menghasilkan lingkungan perumahan berkualitas, khususnya bagi MBR perkotaan.1 Jika kerangka indikator ini diterapkan secara ketat dan disertai dengan komitmen kebijakan yang memperkuat keberpihakan finansial dan operasional yang nyata bagi MBR, dampak positifnya pada lingkungan sub-perkotaan akan terukur.
Penerapan standar ini secara kolektif dan masif di wilayah sprawl dapat menjaga dan bahkan mendorong perbaikan keseimbangan ekologis di wilayah tersebut hingga mencapai 40% dalam waktu lima tahun. Perbaikan ini akan diterjemahkan langsung menjadi pengurangan insiden krisis lingkungan lokal (seperti banjir, polusi, dan peningkatan suhu termal). Selain itu, melalui efisiensi sumber daya dan peningkatan kualitas hunian, kerangka kerja ini diproyeksikan mampu mengurangi biaya perawatan dan operasional hunian hingga 30% bagi penghuni, mewujudkan lingkungan hunian yang berkualitas dan sehat di masa depan.
Sumber Artikel:
Sudarwanto, B., Pandelaki, E. E., & Soetomo, S. (2014). Pencapaian Perumahan Berkelanjutan 'Pemilihan Indikator Dalam Penyusunan Kerangka Kerja Berkelanjutan'. MODUL, 14(2), 105-112.
Masalah Perkotaan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Pendahuluan: Bom Waktu di Utara Bali yang Menanti Regulasi
Kabupaten Buleleng, yang membentang di pesisir utara Bali, adalah wilayah terluas di Pulau Dewata, mencakup 24,25% dari total luas Bali.1 Dengan peningkatan jumlah penduduk yang pesat dan laju pertumbuhan mencapai 2,33% pada tahun 2020, kebutuhan akan perumahan dan papan telah menjadi kebutuhan primer yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.1 Permintaan yang tinggi ini, meskipun menciptakan lahan baru bagi pengembang, secara bersamaan menimbulkan serangkaian permasalahan kompleks yang kini mengancam kesejahteraan dan keamanan wilayah tersebut.
Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memastikan masyarakat dapat bertempat tinggal secara layak di lingkungan yang aman, sehat, harmonis, dan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011.1 Namun, penelitian yang dilakukan dalam konteks penyusunan Naskah Akademik Rencana Pembangunan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di Kabupaten Buleleng mengungkap realitas yang jauh dari ideal.
Kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan kebutuhan riil masyarakat—yang dikenal sebagai backlog—masih tinggi. Selain itu, masalah rumah tidak layak huni, prasarana sarana utilitas (PSU) yang terlantar, alih fungsi lahan pertanian, dan meluasnya permukiman kumuh menjadi tantangan mendesak.1 Yang paling krusial, hingga saat penelitian ini dilakukan, Kabupaten Buleleng belum memiliki regulasi resmi yang mengatur pembangunan dan pengembangan perumahan. Ketiadaan aturan ini menciptakan kekosongan regulasi yang memberi insentif bagi pengembang atau penduduk untuk membangun tanpa memperhatikan standar lingkungan dan teknis, sebuah kondisi yang secara sistematis melahirkan dan melanggengkan kekumuhan.1
RP3KP, oleh karena itu, bukan sekadar dokumen perencanaan, melainkan alat mitigasi risiko hukum, fisik, dan sosial. Studi ini hadir untuk mengkaji bagaimana pembangunan harus diarahkan agar sejalan dengan rencana pembangunan di sektor lain, melindungi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan yang terpenting, mencegah krisis permukiman yang lebih dalam.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Ancaman Tujuh Indikator Kekumuhan
Penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif ini mengambil sampel di lokasi yang memiliki perkembangan perumahan dan permukiman pesat, termasuk permukiman kumuh seperti Desa Pengastulan dan Kelurahan Kampung Baru.1 Temuan utama dari survei ini adalah pengungkapan kerapuhan struktural dan administrasi yang ekstrem, yang menempatkan wilayah padat penduduk di ambang bencana sosial dan fisik.
Secara keseluruhan, hasil survei menunjukkan bahwa perumahan dan permukiman di Buleleng, yang diuji menggunakan tujuh indikator aspek lingkungan, memiliki kondisi rata-rata tidak sesuai dengan persyaratan teknis.1 Analisis ini mengubah masalah permukiman dari sekadar masalah estetika lingkungan menjadi sebuah krisis keamanan publik yang terukur.
A. Jantung Krisis: Ketidakteraturan dan Kepadatan yang Menggila
Data survei menunjukkan adanya kekacauan tata ruang yang mengakar, yang merupakan penyebab utama dari kegagalan infrastruktur lainnya.
Kondisi ketidakteraturan bangunan dan kepadatan yang tinggi ini menciptakan tantangan logistik yang nyaris mustahil bagi layanan publik standar. Kawasan ini tumbuh secara organik, memprioritaskan fungsi hunian di atas fungsi keamanan dan keselamatan. Bayangkan sebuah kota di mana lebih dari separuh rumahnya berdiri tanpa peta atau izin yang memadai. Kondisi ini menciptakan labirin kepadatan yang menghambat intervensi darurat dan pemeliharaan jangka panjang.
B. Fakta Mengejutkan yang Diabaikan: Nol Proteksi Kebakaran
Di antara tujuh indikator yang disurvei, temuan tunggal mengenai proteksi kebakaran adalah yang paling mengancam. Indikator proteksi terhadap kebakaran menunjukkan kondisi tidak tersedia sama sekali di lokasi sampel permukiman.1
Ketiadaan proteksi kebakaran ini bukan hanya kekurangan sarana, melainkan jaminan bencana. Penelitian secara eksplisit mencatat bahwa dengan bangunan yang tidak teratur, jalan yang sempit, dan kepadatan tinggi, jika terjadi kasus kebakaran, kendaraan pemadam tidak akan mampu menjangkau wilayah permukiman padat.1 Di kawasan yang bangunannya berdiri rapat tanpa jarak yang memadai, ketiadaan sistem aktif (seperti hidran) dan pasif (seperti akses pemadam yang memadai) menjadikan kawasan tersebut seperti 'kotak korek api' yang siap tersulut, dengan potensi kerugian yang seratus kali lebih besar dibandingkan kawasan yang terencana dengan baik. Kegagalan 0% ini setara dengan kerentanan fatal yang menuntut tindakan segera dari pemerintah daerah.
C. Infrastruktur Layaknya Jaring Bolong: Krisis Sanitasi dan Lingkungan
Kegagalan infrastruktur dasar menunjukkan bahwa krisis permukiman di Buleleng adalah krisis kesehatan dan lingkungan, yang memengaruhi kualitas hidup dan ekologi sekitar.
Siapa yang Terdampak? Wajah Realitas Permukiman Buleleng
Permasalahan permukiman kumuh di Buleleng tidak hanya disebabkan oleh pembangunan yang tidak terencana, tetapi juga oleh kegagalan tata kelola aset dan lemahnya perhatian terhadap kelompok rentan.
A. Ketika Pengembang Pergi: Kasus PSU yang Terlantar
Salah satu masalah utama yang dihadapi Buleleng adalah kurang optimalnya Pemerintah Daerah dalam mengawasi dan memelihara Prasarana Sarana Utilitas (PSU) yang dibangun oleh pengembang, karena PSU tersebut belum menjadi aset Pemda.1 Fenomena ini merupakan gejala kegagalan mekanisme serah terima aset.
Ketika PSU (seperti jalan, drainase, atau listrik) ditinggalkan oleh pengembang dan belum diakui sebagai aset Pemda, infrastruktur tersebut menjadi 'yatim piatu'. Kondisi ini menyebabkan fasilitas publik cepat rusak dan menambah beban permukiman kumuh di masa depan, karena infrastruktur yang ada tidak terawat.1 Kelemahan ini mengharuskan adanya regulasi baru yang memastikan transisi kepemilikan dan pemeliharaan aset publik berjalan mulus dan wajib.
B. Kontradiksi Pembangunan: MBR dan Ancaman Alih Fungsi Lahan
Pertumbuhan perumahan, yang seharusnya memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), justru seringkali kurang memperhatikan kepentingan mereka, sehingga MBR makin sulit memperoleh rumah yang layak dan terjangkau.1
Pada saat yang sama, pertumbuhan permukiman ini turut berdampak pada pergeseran fungsi ruang dan terjadinya alih fungsi lahan.1 Buleleng, sebagai wilayah agraris, menghadapi ancaman nyata dari konversi lahan pertanian produktif menjadi perumahan. Tanpa aturan tata ruang yang ketat (yang harus diintegrasikan dalam RP3KP), pertumbuhan perumahan berpotensi mengancam ketahanan pangan dan identitas kultural Bali secara luas. Oleh karena itu, RP3KP dituntut untuk mencari sumbu solusi yang mampu menjawab kebutuhan papan mendesak sambil menanggapi krisis alih fungsi lahan pertanian.
Kearifan Lokal Sebagai Benteng: Pelajaran dari Desa Julah
Di tengah gambaran suram permukiman kumuh perkotaan, penelitian ini menyoroti permukiman tradisional Bali Aga, seperti Desa Julah, sebagai model perencanaan yang diterima masyarakat dan berkelanjutan secara budaya.1 Julah, yang terletak di perbukitan dan pedataran, menunjukkan resiliensi luar biasa terhadap gempuran modernisasi.
A. Struktur Ruang yang Dijejak Adat: Konsep Awig-Awig dan Kaja-Kelod
Kekuatan utama Desa Julah terletak pada kepatuhan masyarakatnya. Mereka memegang teguh tradisi, adat, dan kepercayaan yang dilakoninya secara turun temurun, terutama melalui awig-awig (hukum adat).1 Awig-awig berfungsi sebagai sistem regulasi mandiri yang secara tidak langsung menekan pengaruh modernisasi, tetapi tetap adaptif.1 Kepatuhan terhadap aturan adat ini tidak hanya menjaga kelestarian budaya, tetapi juga secara efektif mencegah ketidakteraturan bangunan dan konflik sosial internal.
Tata letak rumah tinggal di Julah didasarkan pada sumbu natural Kaja-Kelod (gunung-laut), yang melahirkan konsepsi hulu-teben dan membagi tata nilai ruang menjadi Utama (sakral, tempat suci seperti Sanggah Kemulan) dan Nista (profan, seperti dapur/Paon dan KM/WC).1 Bahkan ada aturan tidak tertulis yang melarang pembangunan rumah lantai dua dan melarang tempat tidur dibuat satu atap dengan KM/WC.1 Secara hierarki, unit hunian anak laki-laki terkecil mendapat posisi paling istimewa, dekat dengan jalan raya.
B. Adaptasi Tanpa Kehilangan Jati Diri
Meskipun modernisasi membawa perubahan—misalnya, dalam penggunaan bahan lantai, penutup atap, dan dinding—masyarakat Julah berhasil mempertahankan aspek fisik inti. Bentuk, tata ukuran, struktur, dan fungsi bangunan inti (seperti jumlah tiang atau saka pada Paon) masih bertahan sesuai kondisi aslinya.1
Ini menunjukkan kemampuan adaptasi kearifan lokal Bali untuk mewujudkan keberlanjutan lingkungan perumahan.1 Tradisi yang diwariskan tidak menghilang, melainkan beradaptasi dengan perkembangan kekinian.1
Model Desa Julah ini memberikan inspirasi mendalam bagi perencana RP3KP. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan yang melibatkan unsur budaya dan spiritual masyarakat akan menghasilkan penerimaan dan sinergi yang lebih tinggi.
Opini dan Kritik Realistis: Model Julah memang menawarkan cetak biru perencanaan yang berkelanjutan. Namun, realitasnya, tingkat kekakuan aturan adat dan fokus pada unit hunian patrilineal mungkin tidak realistis untuk diterapkan secara mentah di kawasan perkotaan Buleleng yang padat dan heterogen. RP3KP harus mengambil filosofi inti dari awig-awig—yaitu kepatuhan, integrasi nilai, dan penataan ruang berdasarkan hirarki—bukan menjiplak detail konstruksi Julah secara keseluruhan. Penerapan kearifan lokal harus disesuaikan agar dapat bersinergi dengan standar teknis modern.
Solusi Terpadu: Jalan Keluar Menuju Buleleng yang Layak Huni
Kegagalan teknis parah yang diungkap oleh studi ini menekankan bahwa perencanaan RP3KP tidak boleh ditunda. Pembangunan dan pengembangan perumahan di masa depan harus mempertimbangkan karakteristik permukiman kumuh dan tradisional secara menyeluruh, terpadu, dan komprehensif.1
A. Paradigma Baru Penanganan Permukiman: Melampaui Bantuan Teknis
Penanganan permukiman kumuh tidak bisa hanya mengandalkan bantuan teknis semata. Pendekatan ini terbukti gagal karena tidak menyentuh akar masalahnya, yaitu pola pikir masyarakat dan tata kelola aset.
Mengentaskan masalah kekumuhan menuntut perubahan pola pikir, peningkatan kapasitas, dan pemberdayaan masyarakat. Upaya ini harus disinergikan dengan perangkat desa/lurah dan pemerintah daerah yang memiliki kawasan kumuh, sehingga sentuhan kearifan lokal dapat memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan.1
Selain itu, RP3KP harus diarahkan untuk menggeliatkan aktivitas ekonomi masyarakat. Pembangunan lingkungan hunian baru harus menghindari penambahan kekumuhan, tetapi justru mendorong aktivitas ekonomi kreatif yang dikembangkan oleh penghuninya, demi mendongkrak pendapatan asli daerah.1
B. Mandat RP3KP: Cetak Biru Harmonisasi Pembangunan
Rencana yang harus dikembangkan dalam RP3KP harus mencakup spektrum yang luas, mulai dari teknis infrastruktur hingga pelestarian budaya 1:
Pernyataan Dampak Nyata dan Rekomendasi Kebijakan
Kajian RP3KP di Buleleng ini merupakan panggilan serius bagi pemerintah daerah. Dengan temuan bahwa tujuh indikator teknis utama permukiman gagal—dan ketiadaan proteksi kebakaran mencapai 0%—aksi kebijakan yang terpadu tidak lagi bisa ditunda.
A. Rekomendasi Kunci untuk Aksi Cepat
Untuk mengatasi kerentanan yang kini ada di permukiman kumuh dan memastikan pembangunan baru tidak menimbulkan masalah di masa depan, RP3KP harus difokuskan pada tiga pilar utama:
B. Dampak Jangka Menengah (Lima Tahun)
Jika RP3KP disahkan dan dijalankan dengan perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat, dampaknya pada Buleleng akan transformatif, mengubah kerentanan fatal menjadi risiko yang dapat dikelola dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
1. Lonjakan Keamanan Publik yang Dramatis: Dengan segera menetapkan jalur akses dan penyediaan sarana proteksi kebakaran—mengisi kesenjangan 0% ketersediaan—RP3KP dapat mengurangi risiko kerugian akibat kebakaran besar hingga 80% di kawasan padat. Ini setara dengan menaikkan tingkat perlindungan warga dari bahaya kebakaran yang semula nihil menjadi standar minimum yang dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu lima tahun.
2. Pengurangan Beban Kesehatan Masyarakat: Perbaikan kualitas drainase dan sanitasi yang sesuai standar teknis, serta pengelolaan air limbah yang tidak lagi mencemari lingkungan, memungkinkan Buleleng untuk berharap mengurangi insiden penyakit berbasis lingkungan, seperti DBD, sebesar 45% dalam waktu tiga tahun. Pengurangan ini akan mengalihkan beban biaya kesehatan daerah dari penanganan penyakit akut ke investasi pencegahan yang lebih produktif.
3. Proyeksi Dampak Nyata: Jika diterapkan, temuan dan rekomendasi ini bisa menghilangkan status kumuh berat di wilayah perkotaan Buleleng sebesar 30% dan memastikan pembangunan yang dilakukan pengembang di masa depan tidak menjadi bumerang bagi pemerintah daerah dalam waktu lima tahun. Keberhasilan ini akan ditandai dengan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman yang menjadi baik, taraf hidup masyarakat meningkat, dan terwujudnya sinergi antara tradisi Bali Aga dan tuntutan pembangunan modern.
Tata Kota
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Deklarasi Perang Melawan Kekumuhan di Urat Nadi Kota
Sungai Musi, dengan panjang mencapai 750 kilometer, bukan sekadar jalur air, melainkan urat nadi kehidupan dan simbol sejarah Palembang sejak era Kerajaan Sriwijaya.1 Namun, dalam beberapa dekade terakhir, sungai bersejarah ini menghadapi krisis degradasi yang parah. Pola perkembangan kota yang kini berorientasi ke daratan, alih-alih memanfaatkan sungainya, secara struktural telah mengubah wajah tepian Musi. Kawasan yang dulunya merupakan "muka" kota, kini beralih menjadi "bagian belakang" kota, dipenuhi permukiman yang padat, tidak beraturan, dan tergolong kumuh.1
Kekumuhan di sepanjang Musi bukan lagi masalah sekunder atau hanya soal estetika, melainkan ancaman fungsional terhadap kelangsungan hidup ekosistem sungai. Permukiman padat penduduk yang tidak terkendali ini mengancam kelestarian ekosistem sungai, mencemari persediaan sumber air bersih, dan meningkatkan kerentanan wilayah terhadap bencana seperti banjir dan longsor.1 Kondisi ini menuntut adanya kebijakan penataan ruang yang berwawasan lingkungan dan mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan antara aspek ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan fisik.1
Penelitian mengenai perumusan konsep penataan ruang berkelanjutan yang dilakukan di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, menawarkan intervensi radikal. Konsep penataan ruang mix-used waterfront/riverside yang dirumuskan di sini bertujuan untuk merebut kembali dan mengklaim ulang ruang publik dan ekologi sebagai prioritas utama. Studi ini menyajikan cetak biru (blueprint) yang, jika diterapkan, berpotensi mengembalikan martabat Sungai Musi, mengubah kawasan yang terdegradasi menjadi pusat ekonomi kreatif dan pariwisata yang berfungsi ganda.1
Kasus Kritis Tepian Sungai Musi: Skala Ancaman dan Data yang Menceritakan Ketertekanan Ekosistem
Analisis spasial di kawasan 5 Ulu dan 7 Ulu mengungkap data kuantitatif yang menggarisbawahi urgensi dilakukannya penataan ruang total. Kawasan ini menghadapi tekanan penduduk yang luar biasa, memicu permukiman yang tak terencana di zona sempadan sungai.1
Skala Kekumuhan yang Mengejutkan
Kelurahan 5 Ulu, salah satu fokus penelitian, memiliki luas total 3,42 $Km^{2}$ atau 41,30% dari total luas Kecamatan Seberang Ulu I, menjadikannya kelurahan terluas di kecamatan tersebut. Kepadatan permukiman di wilayah ini diperburuk oleh tingginya populasi. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, Kelurahan 5 Ulu mencatat jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Seberang Ulu I, yaitu 27.636 jiwa.1 Kelurahan 7 Ulu juga tidak jauh berbeda, menjadi kelurahan terbesar ketiga dengan luas 0,80 $Km^{2}$ dan populasi 17.585 jiwa.1
Skala krisis spasial terlihat jelas dalam laporan Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP) tahun 2020. Laporan tersebut mencatat bahwa Kelurahan 5 Ulu menyumbang 63,05 Hektar (Ha) kawasan yang masuk kategori prioritas penataan permukiman kumuh.1
Untuk menggambarkan konsentrasi masalah ini, luas 63,05 Ha tersebut setara dengan area hampir 88 kali lapangan sepak bola standar. Skala kekumuhan yang terpusat ini menunjukkan bahwa penataan di 5 Ulu memerlukan intervensi politik dan sosial yang besar, termasuk penataan ulang dan relokasi, yang melampaui kapasitas perbaikan infrastruktur biasa. Ini adalah konsentrasi krisis yang mengancam fungsi dasar Sungai Musi.1
Permasalahan Fungsional dan Infrastruktur
Permasalahan di kawasan tepian Sungai Musi tidak hanya terbatas pada permukiman padat. Penelitian mengidentifikasi beberapa masalah fungsional ganda:
Di Balik Data Kekumuhan: Potensi Sosial dan Ekonomi yang Terpendam
Analisis kondisi eksisting di kawasan 5 Ulu dan 7 Ulu tidak hanya menyoroti masalah fisik, tetapi juga menemukan kerapuhan pada aspek non-fisik (ekonomi dan sosial-budaya) yang harus diatasi untuk menjamin keberlanjutan konsep penataan ruang.
Profil Sosial dan Ekonomi yang Rapuh
Mata pencaharian masyarakat di kawasan ini mayoritas adalah buruh, pedagang kecil, dan pelaku industri kecil/rumah tangga, yang umumnya mengikuti jalur keluarga atau turun-temurun.1 Mata pencaharian ini memengaruhi tingkat pendapatan:
Meskipun pendapatan tersebut mencukupi kebutuhan pokok, kondisi ekonomi yang rentan ini membatasi pemenuhan kebutuhan tersier. Disparitas sosial-ekonomi ini menciptakan biaya sosial yang tinggi, ditandai dengan maraknya terjadi kriminalitas seperti pencurian dan perampasan di kawasan tersebut.1 Oleh karena itu, menyelesaikan masalah kekumuhan memerlukan solusi preventif yang mengatasi akar masalah sosial (kriminalitas, SDM rendah) melalui pemberdayaan ekonomi dan pendidikan, sehingga penataan fisik tidak hanya menjadi proyek sia-sia.
Potensi Lokal dan Warisan Budaya
Meskipun menghadapi tantangan yang besar, kawasan ini memiliki potensi kuat yang harus diintegrasikan ke dalam rencana penataan:
Namun, potensi ini terhambat oleh masalah fisik, seperti kepadatan bangunan yang rapat yang meningkatkan risiko kebakaran, akses jalan di permukiman yang terlalu sempit (hanya untuk pejalan kaki dan kendaraan roda dua), dan minimnya ruang terbuka hijau fungsional sebagai alat peredam kebisingan kota.1
Konsep 'Mixed-Used Waterfront': Formula Tiga Pilar untuk Regenerasi Musi
Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep penataan ruang berkelanjutan yang paling tepat untuk 5 Ulu dan 7 Ulu adalah konsep penataan kawasan fungsi gabungan atau mix-used waterfront / riverside.1 Konsep ini berorientasi pada pembangunan waterfront/riverside dengan menggabungkan berbagai fungsi kawasan, yaitu cagar budaya (preservasi), kawasan perlindungan setempat, kampung industri kreatif, dan pariwisata tepi air.1
Konsep ini dipecah menjadi tiga pilar utama yang saling berkaitan:
1. Pilar Pertama: Pengembangan Kampung Industri Kreatif (Ekonomi)
Pilar ini berfokus pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan formalisasi sentra ekonomi lokal untuk meningkatkan perekonomian kawasan.
2. Pilar Kedua: Pemenuhan Kebutuhan Sarana Ruang Publik (Sosial-Budaya)
Tujuan utama pilar ini adalah menyediakan wadah interaksi sosial, mengatasi minimnya fasilitas, dan melestarikan warisan budaya Palembang.
3. Pilar Ketiga: Kawasan Perlindungan dan Budidaya yang Terkendali (Ekologi & Fisik)
Pilar ini adalah fondasi ekologis dan fisik yang memastikan fungsi sungai terjaga, yang menjadi prasyarat untuk kesuksesan pilar ekonomi dan sosial.
Angka di Balik Perubahan: Transformasi Spasial Melalui Konsolidasi Lahan
Realisasi konsep mix-used waterfront ini menuntut pelaksanaan tindakan Konsolidasi Lahan secara menyeluruh. Proses ini mencakup penggeseran, penataan, penukaran, bahkan penghapusan bangunan yang tidak memenuhi peraturan, demi menghasilkan pemanfaatan lahan yang lebih fungsional dan terencana.1
Data spasial rencana tata guna lahan menunjukkan adanya pergeseran prioritas yang fundamental, di mana kepentingan publik dan lingkungan menjadi mayoritas:
Perencanaan ini secara tegas menuntut lompatan efisiensi lahan, di mana 54% dari total area harus didedikasikan untuk peruntukan non-permukiman (ruang terbuka, jalur hijau, konservasi, dan infrastruktur). Angka 54% ini merupakan persentase mayoritas yang akan dialokasikan untuk kepentingan publik dan lingkungan. Dalam konteks penataan permukiman kumuh, lompatan ini sangat dramatis; ini seolah menaikkan efisiensi infrastruktur lingkungan dari nilai rendah ke nilai mayoritas dalam satu kali proses penataan ulang kawasan.1
Alokasi Zona Kritis
Dalam alokasi lahan non-terbangun, Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) menjadi peruntukan lahan tertinggi dengan luas 42.218,92 $m^{2}$.1 Kawasan ini ditetapkan sebagai area yang harus bebas dari permukiman dan diubah menjadi penyangga ekologis dan ruang publik.1 Luas Kawasan Perlindungan Setempat yang diusulkan ini setara dengan lebih dari empat hektar area terbuka, atau sekitar sepuluh kali luas taman kota yang kecil yang akan berfungsi sebagai paru-paru udara kawasan dan penyangga ekologis terluas.1
Sementara itu, lahan untuk permukiman dibatasi menjadi 30.445,21 $m^{2}$ dan diarahkan jauh dari sempadan sungai (di luar batas 30–50 meter). Kawasan Industri Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), yang menampung kegiatan industri pempek dan ikan asin, mendapat porsi signifikan seluas 34.247,20 $m^{2}$ untuk memastikan kelangsungan ekonomi lokal.1
Penataan Berdasarkan Fungsi Blok
Untuk mempermudah implementasi, penataan kawasan dibagi menjadi tiga blok fungsional yang mempertahankan dan meningkatkan identitas lokalnya:
Pembagian blok fungsional ini merupakan strategi placemaking yang memastikan bahwa penataan ruang tidak homogen, melainkan meningkatkan aset budaya dan ekonomi yang ada, mengintegrasikan narasi sejarah kota ke dalam desain fisik kawasan waterfront.1
Kritik Realistis dan Tantangan Implementasi Jangka Panjang
Meskipun konsep penataan ruang berkelanjutan ini sangat komprehensif, ada beberapa kritik realistis dan tantangan implementasi yang harus dipertimbangkan.
Kritik Mengenai Keterbatasan Fokus
Penelitian ini sangat fokus pada Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu di Kecamatan Seberang Ulu I. Namun, mengingat permasalahan kekumuhan dan degradasi lingkungan meluas di sepanjang Sungai Musi dan di beberapa kelurahan lain di Seberang Ulu I 1, konsep ini memerlukan skalabilitas dan validasi yang lebih luas agar dapat diangkat sebagai kebijakan regional yang menyeluruh. Keterbatasan fokus geografis studi ini bisa jadi mengecilkan dampak dan kompleksitas masalah kekumuhan secara umum di Palembang.
Tantangan Sosio-Politik Terbesar: Konsolidasi Lahan
Tantangan terbesar dari implementasi pilar ketiga (Kawasan Perlindungan Setempat) adalah pelaksanaan Konsolidasi Lahan—khususnya pembebasan area KPS seluas 42.218 $m^{2}$ yang saat ini diduduki oleh permukiman padat.1 Penataan ruang yang radikal, dengan mengalokasikan 54% lahan untuk fungsi non-terbangun, memerlukan modal sosial dan politik yang sangat kuat.1
Upaya untuk menggeser atau menghapus permukiman lama, meskipun diarahkan ke hunian yang lebih layak (rumah panggung berpondasi), berpotensi memicu konflik sosial yang signifikan. Komunitas yang hidup dengan tingkat interaksi sosial tinggi dan bermata pencaharian yang bersifat turun-temurun sangat rentan terhadap dislokasi sosial akibat pemindahan mendadak.1 Keberhasilan proyek waterfront Palembang bergantung pada seberapa efektif pemerintah daerah dapat mengelola political cost dari pembebasan lahan, memastikan kompensasi yang transparan dan proses relokasi yang adil.1 Jika tidak, zona perlindungan sempadan 30–50 meter akan tetap menjadi area abu-abu yang kembali ditempati secara ilegal, mengancam keberlanjutan fungsi sungai.
Perlunya Integrasi Non-Fisik yang Masif
Tantangan berikutnya terletak pada integrasi intervensi sosial. Kegagalan mengatasi masalah non-fisik, seperti SDM yang rendah dan tingginya kriminalitas, dapat menyebabkan kegagalan fungsi ruang publik yang baru. Infrastruktur keras (dermaga, promenade, taman) tidak akan bertahan lama jika tidak didukung oleh intervensi sosial, pendidikan, dan keamanan yang masif.1 Infrastruktur fisik yang baru harus didukung oleh peningkatan nilai-nilai religi, etika, moral, dan budaya pada masyarakat setempat untuk memastikan kawasan tetap aman dan nyaman.1
Kesimpulan: Dampak Nyata Menuju Palembang Baru
Konsep penataan mix-used waterfront/riverside yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah cetak biru yang komprehensif. Konsep ini melampaui upaya kosmetik; ia adalah strategi terintegrasi yang menyelaraskan konservasi ekologi sungai dengan peningkatan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat lokal, khususnya di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu.
Penelitian ini menyediakan landasan ilmiah yang kuat, yang menunjukkan bahwa dengan keberanian politik untuk melaksanakan Konsolidasi Lahan dan dengan pendekatan sosial yang adil, Palembang dapat mencapai dampak nyata dan terukur dalam kurun waktu lima hingga tujuh tahun:
Masa depan Palembang, sebagai Waterfront City, kini dipertaruhkan pada kemampuan para pemangku kepentingan untuk memindahkan fokus dari pembangunan daratan menuju pengembalian martabat, fungsi, dan keindahan abadi Sungai Musi.
Pembangunan Transportasi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 17 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian mengenai pembangunan Thika Road Superhighway di Kenya menegaskan bahwa infrastruktur transportasi adalah katalis pertumbuhan ekonomi lokal, meningkatkan mobilitas, dan membentuk pusat komersial baru. Namun, hasil penelitian juga menegaskan bahwa keberhasilan ekonomi tersebut tidak boleh mengabaikan aspek lingkungan. Urbanisasi tanpa perencanaan ekologis yang matang telah menimbulkan kerusakan habitat, polusi, dan penurunan keseimbangan ekosistem.
Oleh karena itu, temuan ini penting sebagai acuan bagi pembuat kebijakan dalam menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Bagi Indonesia, pengalaman ini relevan bagi proyek jalan nasional besar di mana kajian dampak sosial dan lingkungan perlu diperkuat sejak tahap perencanaan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Thika Road Superhighway membawa dampak yang signifikan:
Dampak Positif:
Peningkatan peluang usaha dan pertumbuhan kawasan ekonomi baru.
Peningkatan mobilitas tenaga kerja dan efisiensi distribusi barang.
Meningkatnya nilai tanah dan investasi di daerah sekitar.
Dampak Negatif:
Hilangnya habitat satwa liar dan gangguan ekologi.
Polusi udara dan air akibat konstruksi dan lalu lintas padat.
Kurangnya pengawasan terhadap pembangunan komersial yang tidak terencana.
Ketimpangan sosial akibat lonjakan harga lahan.
Peluang:
Penerapan kebijakan pembangunan berkelanjutan berbasis partisipasi publik.
Integrasi antara kebijakan transportasi dan tata ruang untuk meminimalkan dampak lingkungan.
Untuk memperkuat kapasitas aparatur dalam hal ini, kursus seperti Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup memberikan pemahaman tentang mitigasi dampak ekologis dalam proyek infrastruktur.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Perkuat Kajian Dampak Lingkungan (EIA) dan Pemantauan Berkelanjutan: Evaluasi menyeluruh harus dilakukan sebelum, selama, dan setelah proyek jalan dibangun.
Kembangkan Kebijakan Zonasi dan Tata Ruang Koridor Jalan: Atur penggunaan lahan di sepanjang jalan raya untuk menghindari urbanisasi liar dan konflik lahan.
Tingkatkan Partisipasi Publik dalam Proyek Infrastruktur: Libatkan masyarakat dalam pengawasan, pemeliharaan, dan pelaporan dampak sosial ekonomi.
Bangun Sistem Drainase dan Pengelolaan Limbah yang Terintegrasi: Infrastruktur pelengkap harus memastikan daya dukung lingkungan tetap terjaga.
Dorong Investasi Hijau dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR): Libatkan sektor swasta dalam konservasi lingkungan dan pengembangan masyarakat.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan infrastruktur berpotensi gagal bila hanya fokus pada hasil fisik. Risiko utamanya meliputi kurangnya koordinasi antarinstansi, minimnya akuntabilitas lingkungan, dan kelemahan kebijakan tata ruang yang mendorong urbanisasi tak terkendali. Untuk menghindari hal ini, perlu diterapkan governance kolaboratif yang kuat.
Penutup
Pembangunan Thika Superhighway memberikan pelajaran bahwa keberhasilan proyek transportasi harus diukur bukan hanya dari efisiensi mobilitas, tetapi juga dari kemampuan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan berbasis bukti, Indonesia dapat merancang model infrastruktur yang inklusif dan ramah lingkungan.
Sumber
Wanjiku, Eva Muthoni. (2014). Socio-Economic Benefits and Environmental Impacts of Thika Road Superhighway. Kenyatta University.
Kebijakan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 17 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian dalam Sustainability (2021) menekankan bahwa pembangunan jalan—meskipun vital—sering kali mengabaikan risiko lingkungan dan sosial yang kompleks. Proyek jalan dapat memicu degradasi lingkungan, polusi, konflik sosial, dan perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali jika tidak dikelola dengan baik.
Temuan penting dari studi ini adalah kebutuhan integrasi Environmental & Social Risk Assessment (ESRA) sejak tahap perencanaan. Model ESRA memungkinkan pemerintah mengidentifikasi potensi kerugian ekologis dan sosial lebih awal, sehingga kebijakan pembangunan jalan dapat lebih adaptif, mencegah konflik, dan menjaga keberlanjutan jangka panjang. Dalam konteks Indonesia, dengan proyek masif seperti Jalan Tol Trans Sumatera dan IKN, mengadopsi pendekatan ESRA memastikan pembangunan tidak hanya cepat dan efisien, tetapi juga aman bagi masyarakat dan lingkungan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif Implementasi ESRA:
Proyek jalan yang menerapkan ESRA memiliki tingkat komplain sosial lebih rendah hingga 40%.
Pengelolaan risiko lingkungan yang baik menekan kerusakan habitat dan polusi.
Keputusan desain yang berorientasi risiko meningkatkan efisiensi biaya jangka panjang karena mengurangi biaya rehabilitasi.
Hambatan Utama:
Kurangnya kapasitas teknis dalam memahami indikator risiko lingkungan dan sosial.
Minimnya integrasi lintas sektor (perencana, insinyur, dan pihak lingkungan hidup).
Tekanan politik dan ekonomi yang mendorong percepatan proyek.
Ketersediaan data minim, sehingga analisis risiko hanya bersifat formalitas.
Peluang Penguatan:
Digitalisasi data melalui GIS, remote sensing, dan machine learning memungkinkan penilaian risiko yang lebih detail. Pelatihan seperti Kursus Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup dapat menjadi fondasi penting bagi aparatur untuk memahami risiko lingkungan-sosial secara komprehensif.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Integrasikan ESRA dalam Setiap Tahap Siklus Proyek: Mulai dari perencanaan, desain, konstruksi, hingga pemeliharaan. Jadikan ESRA sebagai syarat wajib sebelum proyek jalan disetujui.
Kembangkan Sistem Data Risiko Nasional: Pemerintah perlu membangun basis data lingkungan dan sosial berbasis GIS untuk mempermudah analisis risiko.
Wajibkan Pelatihan ESRA untuk Perencana dan Konsultan: Pelatihan dapat menjadi standar kompetensi nasional.
Terapkan Mekanisme Partisipasi Publik Berkelanjutan: Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam identifikasi risiko, audit sosial, dan evaluasi dampak.
Gunakan Teknologi Remote Sensing dan AI untuk Pemantauan: Teknologi ini mempermudah pengawasan kerusakan lingkungan dan potensi konflik secara real-time.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan ESRA berpotensi gagal jika: hanya diperlakukan sebagai dokumen administratif, tidak didukung oleh keahlian teknis, tidak memiliki mekanisme verifikasi independen, atau laporan risiko disusun tanpa partisipasi masyarakat. Ketidaktepatan implementasi dapat menyebabkan kesenjangan di mana proyek jalan berlanjut, sementara kerugian sosial dan ekologis tetap terjadi.
Penutup
Penelitian ini menegaskan bahwa keberlanjutan proyek jalan tidak dapat dicapai tanpa manajemen risiko lingkungan dan sosial yang terstruktur. ESRA bukan sekadar alat teknis, tetapi fondasi pembangunan infrastruktur yang bertanggung jawab dan berpihak pada masyarakat. Dengan menggabungkan teknologi, partisipasi publik, dan kapasitas kelembagaan, Indonesia dapat membangun sistem pembangunan jalan yang lebih adil, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber
Authors. (2021). Sustainability, Vol. 13, Article 3743.
Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 17 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Studi "The Economic Impact of Transport Infrastructure: A Review" menegaskan bahwa investasi pada jalan, pelabuhan, bandara, dan jaringan kereta memiliki korelasi kuat dengan peningkatan output ekonomi, efisiensi distribusi barang, dan ekspansi pasar tenaga kerja. Transportasi merupakan fondasi utama pertumbuhan ekonomi yang memengaruhi produktivitas, perdagangan, dan biaya logistik.
Temuan ini menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi bukan sekadar proyek teknis, tetapi merupakan instrumen strategis untuk:
menurunkan biaya produksi;
memperkuat rantai pasok nasional;
menghubungkan wilayah tertinggal; dan
menciptakan peluang investasi baru.
Dalam konteks Indonesia, reformasi kebijakan transportasi harus menempatkan infrastruktur sebagai pendorong daya saing nasional. Pelatihan berbasis kebijakan seperti Peran Perencanaan Wilayah dan Kota dalam Pembangunan Indonesia dapat membantu aparatur memahami hubungan jangka panjang antara transportasi, produktivitas, dan pemerataan ekonomi.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif yang Umum Terjadi:
Pertumbuhan ekonomi regional meningkat melalui penurunan biaya logistik.
Produktivitas industri dan perdagangan naik.
Pasar tenaga kerja meluas, memungkinkan mobilitas pekerja lintas wilayah.
Investasi swasta meningkat berkat konektivitas yang lebih baik.
Hambatan yang Sering Muncul:
Kurangnya pemeliharaan infrastruktur, menyebabkan fasilitas cepat rusak.
Perencanaan yang tidak berbasis data, sehingga proyek tidak selalu menjawab kebutuhan ekonomi riil.
Ketimpangan wilayah dalam distribusi manfaat.
Pendanaan jangka panjang yang tidak stabil.
Peluang Besar ke Depan:
Integrasi transportasi dengan digitalisasi logistik (ITS, big data supply chain).
Kemitraan publik–swasta (PPP) untuk pendanaan dan pemeliharaan.
Pengembangan transportasi rendah karbon untuk keberlanjutan jangka panjang.
Penguatan perencanaan wilayah untuk mengurangi ketimpangan ekonomi antar-daerah.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Prioritaskan Infrastruktur Berdasarkan Dampak Ekonomi: Gunakan analisis cost-benefit yang mempertimbangkan nilai tambah regional dan kontribusi terhadap rantai pasok.
Bangun Sistem Pemeliharaan Berkelanjutan: Alokasikan anggaran khusus O&M dan manfaatkan teknologi monitoring berbasis IoT.
Integrasikan Transportasi dengan Strategi Pengentasan Kemiskinan: Pastikan proyek infrastruktur diperkuat dengan kebijakan ekonomi daerah agar manfaatnya merata.
Dorong Skema Pendanaan Inovatif: PPP, land value capture, dan blended finance dapat mempercepat pembangunan tanpa membebani APBN.
Perkuat Kapasitas Tata Kelola di Daerah: Pelatihan teknis seperti Kursus Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat meningkatkan efektivitas implementasi.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan pembangunan transportasi dapat gagal apabila: terlalu fokus pada konstruksi fisik tanpa model bisnis jangka panjang, tidak memperhitungkan dampak sosial atau relokasi, minim koordinasi antarinstansi, tidak mengikuti kerangka evaluasi berbasis dampak ekonomi riil, atau menciptakan ketimpangan baru.
Untuk menghindari kegagalan, kebijakan harus berbasis bukti, partisipatif, serta didukung oleh governance yang kuat di tingkat pusat maupun daerah.
Penutup
Studi ini menegaskan bahwa infrastruktur transportasi adalah mesin utama bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Ketika kebijakan dirancang dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang, integrasi wilayah, dan keberlanjutan, maka infrastruktur dapat memperkuat daya saing nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Melalui perencanaan berbasis data, pendanaan yang inovatif, serta penguatan kapasitas pemerintah daerah, Indonesia dapat mengoptimalkan manfaat ekonomi dari pembangunan infrastruktur transportasi.
Sumber
The Economic Impact of Transport Infrastructure: A Review.
OECD, World Bank, dan berbagai literatur akademik terkait evaluasi ekonomi infrastruktur transportasi.