Kebijakan Publik & Otonomi Daerah

Kajian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kewajiban Perumahan Rakyat Daerah – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Prolog: Rumah Layak Huni, Hak Dasar yang Tersandera Birokrasi dan Geografi

Penyediaan perumahan dan kawasan permukiman (PKP) di Indonesia tidak pernah lepas dari pusaran dilema antara mandat konstitusi dan realitas di lapangan. Rumah, dalam kerangka hukum, jauh melampaui sekadar bangunan fisik. Ia ditegaskan sebagai "bangunan dasar, fundamental, dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan dan hidup serta menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman" [1 (p. 1, 16)]. Hak atas perumahan ini dijamin secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H Ayat 1, menjadikannya sebuah hak independen (independent or free-standing right) dalam mengukur standar hidup yang layak [1 (p. 1, 3)].

Negara memikul tanggung jawab besar untuk melindungi segenap bangsa melalui penyelenggaraan PKP yang sehat, aman, dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia [1 (p. 2, 17)]. Namun, sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi, tugas berat ini dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Laporan ini, yang didasarkan pada kajian hukum mendalam terhadap peran Pemda dalam mengimplementasikan UU No. 1 Tahun 2011 tentang PKP dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menemukan bahwa meskipun niat hukumnya mulia, Pemda kerap tersandera oleh tembok penghalang birokrasi, keterbatasan finansial, dan tantangan geografis yang mengejutkan.

Tujuan kajian ini berpusat pada tiga sumbu utama: menguji bagaimana aturan hukum menempatkan peran Pemda, mengevaluasi sejauh mana pertanggungjawaban legal tersebut terpenuhi, dan mengidentifikasi hambatan praktis yang melumpuhkan eksekusi kebijakan di lapangan [1 (p. 6, 17, 32-33)].

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Merombak Paradigma Otonomi Daerah

Transformasi sistem pemerintahan menuju otonomi daerah yang seluas-luasnya, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, menempatkan Pemda sebagai aktor kunci dalam pemenuhan pelayanan dasar. Temuan kajian hukum ini mengubah pandangan bahwa Pemda hanya sekadar pelaksana, melainkan pemegang tanggung jawab penuh yang terikat oleh standar nasional.

PKP sebagai Urusan Wajib Pelayanan Dasar: Tantangan Sinergitas

Sejak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014, urusan PKP secara eksplisit dikategorikan sebagai urusan wajib pelayanan dasar [1 (p. 6, 46, 55)]. Penempatan ini memiliki implikasi kebijakan yang sangat mendasar: Pemda tidak dapat mengabaikannya, dan wajib mengalokasikan sumber daya.

Peran Pemda, sesuai UU No. 1 Tahun 2011, disimpulkan harus mencapai penyelarasan melalui optimalisasi dan sinergitas antara Pemerintah Pusat dan Pemda [1 (p. 6)]. Fungsi Pemda ini diwujudkan melalui empat pilar pembinaan yang saling terkait:

  • Perencanaan: Pemda wajib menyusun rencana pembangunan jangka panjang, menengah, dan tahunan yang terintegrasi dengan rencana pembangunan nasional dan daerah, serta melibatkan peran aktif masyarakat [1 (p. 55, 116)].
  • Pengaturan: Mencakup tanggung jawab dalam Penyediaan Tanah, Pembangunan, Pemanfaatan, Pemeliharaan, serta Pendanaan dan Pembiayaan. Pengaturan ini wajib memberikan kepastian hukum yang pro-rakyat [1 (p. 57)].
  • Pengendalian: Langkah aktif Pemda untuk menindaklanjuti penyelenggaraan PKP agar tetap sesuai tujuan, dilakukan dalam bentuk Perizinan, Penertiban, dan Penataan [1 (p. 117-118)].
  • Pengawasan: Kegiatan Pemda untuk menjaga keteraturan, meliputi Pemantauan, Evaluasi, dan Koreksi terhadap implementasi di lapangan [1 (p. 118)].

Adanya mandat urusan wajib ini menciptakan apa yang disebut sebagai Dilema Desentralisasi. Pemda memang diberi otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan mereka sendiri [1 (p. 34)], namun pada saat yang sama mereka harus patuh pada Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat [1 (p. 55)]. Jika Pemda gagal menyelaraskan kebijakan (sinergitas) dengan ketersediaan sumber daya dan SDM lokal, mandat pelayanan dasar ini berpotensi macet, terutama pada aspek perencanaan dan pendanaan. Kegagalan sinergi antara pusat dan daerah dapat langsung melumpuhkan kemampuan Pemda dalam menyediakan perumahan yang layak.

Otonomi yang Terikat: Kewenangan Kunci Pemda

Meskipun otonomi bersifat luas, dalam urusan PKP, kewenangan Pemda di tingkat Kabupaten/Kota menjadi sangat spesifik dan terikat pada implementasi kebijakan nasional.

Beberapa kewenangan kunci Pemda dalam konteks pembinaan PKP meliputi:

  • Menyusun dan menyediakan basis data PKP di tingkat lokal [1 (p. 56)].
  • Menyusun dan menyempurnakan Peraturan Perundang-undangan (Perda) di tingkat Kabupaten/Kota [1 (p. 56)].
  • Secara krusial, mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) [1 (p. 56)].
  • Menyediakan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) di tingkat lokal [1 (p. 56)].
  • Menetapkan lokasi dan memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh [1 (p. 56)].

Kewenangan ini menunjukkan bahwa Pemda bertanggung jawab untuk mewujudkan PKP sebagai kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup [1 (p. 6)]. Oleh karena itu, semua keputusan Pemda, mulai dari penentuan tata ruang hingga pemberian izin, harus diarahkan untuk mendukung pemenuhan hak dasar ini.

 

Membongkar Mitos: Sejauh Mana Negara Hadir dalam Data Pembangunan?

Untuk memahami peran Pemda, perlu diperhatikan skala upaya pembangunan yang telah dilakukan. Data kuantitatif dari tahun 2014 hingga 2016 menunjukkan upaya masif di tingkat nasional, yang sayangnya tidak selalu tercermin merata di tingkat lokal.

Skala Pembangunan Nasional (2014–2016): Pencapaian Fenomenal di Atas Kertas

Dalam periode tiga tahun tersebut, pemerintah telah mencatatkan pencapaian kuantitas yang fenomenal sebagai upaya memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah.

Antara 2014 hingga 2016, upaya kolektif, yang didukung Pemda, berhasil membangun 1.331.580 unit rumah baru layak huni [1 (p. 41)]. Ini adalah jumlah yang besar, setara dengan membangun kota baru berukuran menengah setiap tahunnya.

Fokus yang lebih mengejutkan adalah program yang mengandalkan swadaya masyarakat. Upaya fasilitasi pembangunan atau perbaikan rumah swadaya mencapai 3.659.037 unit [1 (p. 41)]. Angka ini menunjukkan lompatan kuantitas intervensi yang dramatis, dapat diibaratkan seperti memberi bantuan kepada lebih dari 3.000 rumah per hari selama tiga tahun penuh. Fasilitasi perbaikan rumah swadaya ini menekankan bahwa strategi pemerintah tidak hanya mengandalkan pembangunan unit baru oleh pengembang, tetapi juga memberdayakan keswadayaan masyarakat yang sudah memiliki lahan [1 (p. 6)].

Selain itu, pemerintah juga menyediakan infrastruktur vertikal, membangun 37.709 unit Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) dan memfasilitasi 6.716 unit Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) [1 (p. 41)].

Realitas Lokal: Fokus Selektif di Deli Serdang

Meskipun angka nasional sangat fantastis, analisis pada data lokal menunjukkan adanya distribusi yang selektif. Kajian yang berfokus pada Kabupaten Deli Serdang menemukan bahwa pembangunan perumahan dan permukiman terencana hanya menghasilkan total 4.196 unit dalam 35 lokasi selama periode 2014–2016 [1 (p. 43)].

Konsentrasi pembangunan terencana ini terkunci pada tiga kecamatan utama:

  • Kecamatan Pantai Labu: Mencatat unit terbanyak, yaitu 1.761 unit di 15 lokasi (sekitar 17% dari total unit lokal).
  • Kecamatan Percut Sei Tuan: Menyediakan 1.312 unit di 11 lokasi (13%).
  • Kecamatan Galang: Menyediakan 1.123 unit di 9 lokasi (11%) [1 (p. 43)].

Perbedaan mencolok antara skala nasional dan implementasi lokal ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai paradoks skala versus distribusi. Ketika kebutuhan perumahan terus meningkat, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah [1 (p. 42)], Pemda cenderung memfokuskan pembangunan di wilayah tertentu. Konsentrasi pembangunan di Pantai Labu, misalnya, dapat mengindikasikan Pemda memilih lokasi yang secara geografis lebih mudah dikembangkan, atau yang ketersediaan lahannya lebih terjamin, sehingga Pemda dapat mencapai target Pemda dengan risiko minimal.

Strategi ini, meskipun efisien secara operasional, berpotensi meningkatkan ketimpangan antar-wilayah (kesenjangan antar daerah) [1 (p. 38)]. Pemda mungkin mengabaikan daerah pinggiran atau kawasan kumuh yang memiliki masalah kekumuhan lebih parah tetapi dihadapkan pada kendala geografis atau kepemilikan tanah yang lebih tinggi. Ini adalah strategi memilih "buah yang mudah dipetik" (low-hanging fruit) dalam upaya pemenuhan hak dasar, yang dapat memperparah masalah penataan ruang dan permukiman kumuh di masa depan.

 

Kesenjangan Sosial yang Terlupakan: Ketika Harga Tanah Jauh Melampaui Daya Beli

Fokus utama yang mengejutkan peneliti adalah kegagalan kebijakan perumahan yang ada untuk menjangkau kelompok masyarakat yang paling rentan, meskipun undang-undang secara tegas mengamanatkan pemenuhan hak bagi MBR.

Jaringan Pengaman Sosial yang Gagal Menjangkau Kelompok 'Sangat Miskin'

Kajian ini membedah stratifikasi masyarakat berdasarkan kemampuan mereka mendapatkan rumah yang layak. Analisis membagi masyarakat menjadi lima golongan, dari Kelas Atas hingga Sangat Miskin [1 (p. 43)].

Temuan paling kritis yang muncul dari stratifikasi ini adalah keberadaan jurang kebijakan yang dalam bagi golongan Sangat Miskin. Sementara masyarakat Kelas Menengah ke Bawah dan Miskin masih memiliki peluang untuk mendapatkan rumah melalui skema cicilan (menyadari mereka tidak mampu membayar kontan), golongan "Sangat Miskin" — yang didefinisikan memiliki status sosial dan ekonomi sangat lemah — secara eksplisit dinyatakan "tidak mampu membayar karena untuk kebutuhan pokok tidak mencukupi" [1 (p. 43)].

Kelompok ini, yang mencakup kaum tunawisma, buruh, dan gelandangan di perkotaan, menjadi "sangat invisibel" atau mustahil (invisible/not possible) untuk dijangkau oleh program perumahan berbasis pembiayaan [1 (p. 12)]. Sistem pengadaan perumahan saat ini, yang fokus pada Pendanaan dan Pembiayaan [1 (p. 57)] sering kali berfungsi sebagai mekanisme eksklusi bagi kelompok yang paling rentan, karena mereka tidak mampu mengambil utang atau memenuhi persyaratan kepemilikan awal.

Temuan ini diperkuat oleh data di Deli Serdang. Program pengembangan perumahan bagi masyarakat kurang mampu menunjukkan bahwa sebagian besar penerima manfaat sudah memiliki status tanah "Milik Sendiri" [1 (p. 12-13)]. Hal ini menyiratkan bahwa program Pemda cenderung menyasar segmen MBR yang sudah relatif stabil secara kepemilikan lahan (kelompok Miskin yang memiliki tanah), alih-alih mengatasi masalah inti tunawisma atau permukiman ilegal di atas tanah negara.

Harga Tanah dan Kompensasi: Memperlebar Jurang Kebijakan

Salah satu hambatan struktural terbesar yang disorot adalah masalah lahan. Tanah adalah benda dengan nilai jual tinggi karena sifatnya yang tetap dan permintaan yang terus meningkat [1 (p. 9)]. Ketiadaan sistem pengendalian harga tanah yang efektif oleh Pemerintah Pusat dan Pemda menyebabkan melonjaknya harga, jauh di luar jangkauan daya beli MBR [1 (p. 9, 79)].

Tingginya biaya tanah (variabel cost) secara langsung menghancurkan skema kompensasi dan cicilan yang dirancang oleh pemerintah [1 (p. 12)]. Jika Pemda gagal dalam fungsi Pengaturan penyediaan tanah [1 (p. 57)], maka mekanisme pembiayaan yang ditawarkan kepada MBR akan runtuh.

Jika kelompok termiskin tidak dapat diakomodasi oleh program yang ada, maka mandat legal untuk menjamin kepastian bermukim [1 (p. 15)] dan mewujudkan kesejahteraan umum secara merata [1 (p. 4)] telah gagal dalam implementasi. Konsekuensi langsungnya adalah percepatan pertumbuhan permukiman ilegal dan kawasan kumuh, yang justru menjadi fokus penanganan Pemda selanjutnya [1 (p. 8)].

 

Tiga Tembok Penghalang: Hambatan Geografis, Lingkungan, dan Institusional

Di balik mandat hukum dan angka-angka pembangunan, Pemda dihadapkan pada tantangan operasional yang merusak efektivitas kebijakan. Tiga hambatan utama menjadi fokus kajian.

Geografi: Ketika Alam Menjadi Kendala Legalitas

Faktor utama yang diidentifikasi Pemda sebagai penghalang penyelenggaraan PKP adalah faktor-faktor geografis dan lingkungan [1 (p. 6, 117)].

Kondisi geografis harus menjadi pertimbangan utama, karena Pemda wajib memastikan bahwa lokasi pembangunan:

  • Bebas dari pencemaran air dan lingkungan.
  • Bebas banjir.
  • Memiliki kemiringan tanah ideal (0% hingga 15%) untuk memungkinkan sistem drainase (saluran pembuangan air hujan) dan jaringan jalan yang memadai [1 (p. 39)].

Geografi di sini bukan sekadar masalah teknis, melainkan risiko hukum dan akuntabilitas. Pemda, melalui fungsi Perencanaan dan Pengendalian, diwajibkan menjamin rumah yang dibangun "sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan" [1 (p. 2)]. Kegagalan Pemda dalam mempertimbangkan kondisi alam, seperti membangun di zona banjir, berarti Pemda melanggar mandat akuntabilitas untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup dan keamanan penghuni [1 (p. 6, 55)].

 

Hambatan Institusional dan Birokrasi Perizinan yang Panjang

Birokrasi perizinan yang berbelit-belit juga menjadi hambatan signifikan bagi Pemda dan pengembang [1 (p. 120)]. Proses legal untuk mendirikan perumahan membutuhkan koordinasi lintas sektor yang kompleks—mulai dari Dinas Pekerjaan Umum, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga Badan Lingkungan Hidup (BLH) [1 (p. 80-82)].

Proses ini melibatkan setidaknya lima tahap utama:

  1. Advice Planning: Memastikan kesesuaian lokasi dengan Rencana Tata Ruang Kota (RTRW) [1 (p. 80)].
  2. Pengecekan Legalitas Tanah: Memastikan status tanah (Hak Guna Bangunan/HGB) dan patok batas [1 (p. 81)].
  3. Izin Perubahan Penggunaan Tanah.
  4. AMDAL/UKL-UPL: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL/UPL), untuk lokasi yang lebih kecil, yang membutuhkan pengecekan kadar air dan proposal dampak [1 (p. 81)].
  5. IMB Final: Pengesahan Site Plan dan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Perizinan Satu Atap [1 (p. 82)].

Proses yang panjang dan melibatkan banyak instansi ini, jika tidak efisien, secara langsung menghambat kecepatan pembangunan dan meningkatkan variabel biaya yang pada akhirnya ditanggung oleh pengembang dan konsumen [1 (p. 81)]. Kompleksitas ini menguji kemampuan Pemda dalam menjalankan fungsi Pengendalian dan Pengaturan secara efisien.

Keterbatasan Dana Daerah: Dilema Prioritas

Keterbatasan Dana Daerah (APBD) merupakan hambatan signifikan lainnya dalam penyelenggaraan PKP [1 (p. 119)]. Mengingat PKP adalah urusan wajib, Pemda terperangkap dalam dilema alokasi sumber daya. Pemda harus membagi anggaran terbatas mereka dengan urusan wajib pelayanan dasar lainnya seperti kesehatan dan pendidikan.

Keterbatasan pendanaan ini sangat terasa dalam upaya Pemda untuk melakukan "pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh" [1 (p. 11, 56)]. Upaya peremajaan atau pemugaran kawasan kumuh sering kali membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dan intervensi yang lebih rumit (seperti konsolidasi tanah) dibandingkan pembangunan rumah baru di lokasi yang belum terjamah. Akibatnya, keterbatasan APBD menghambat Pemda dalam memenuhi kewajibannya untuk meningkatkan kualitas permukiman kumuh, memaksa mereka fokus pada proyek pembangunan baru yang lebih didukung oleh pendanaan pusat atau swasta.

 

Akuntabilitas Pemerintah: Menuntut Pertanggungjawaban Melampaui Sekedar Janji

Pertanggungjawaban Pemda merupakan inti dari implementasi UU No. 1 Tahun 2011. Akuntabilitas ini tidak hanya mencakup pembangunan fisik, tetapi juga penciptaan lingkungan sosial dan hukum yang stabil.

Pertanggungjawaban sebagai Penjamin Kesatuan Fungsional

Pemda bertanggung jawab penuh dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan PKP yang terpadu [1 (p. 6)]. Fungsi akuntabilitas ini mencakup dua dimensi utama:

  • Jaminan Fungsional: Memastikan bahwa penyediaan rumah adalah kesatuan fungsional yang mencakup tata ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang menjamin kelestarian lingkungan [1 (p. 6)].
  • Keberlanjutan Infrastruktur: Pemda wajib memastikan keberlanjutan fungsi Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU). Setelah pembangunan selesai, pengembang diwajibkan menyerahkan PSU kepada Pemda paling lambat satu tahun setelah masa pemeliharaan, untuk selanjutnya dikelola oleh Pemda [1 (p. 59-60, 114)]. Kegagalan dalam menerima dan mengelola PSU ini akan berdampak langsung pada kualitas hidup penghuni.

Kritik: Regulasi "Macan Ompong" dan Perlindungan Konsumen

Salah satu temuan paling signifikan dan mengkhawatirkan dari kajian hukum ini adalah adanya celah hukum yang serius terkait ketaatan pengembang.

Kajian menunjukkan bahwa dalam peraturan-peraturan yang memuat tentang teknik pembangunan perumahan, belum dicantumkan ketentuan-ketentuan yang memuat sanksi atau tindakan lainnya yang perlu dilakukan, bila pedoman tersebut tidak ditaati/dipenuhi oleh Developer atau pihak lainnya [1 (p. 49, 87)].

Kelemahan substansi hukum ini—regulasi yang tumpul—menghambat tiga aspek vital:

  1. Kepastian Hukum: Konsumen tidak memiliki perlindungan yang memadai jika kualitas bangunan atau PSU di bawah standar yang dijanjikan [1 (p. 49)].
  2. Pengamanan Dana Publik: Dana yang disediakan oleh pemerintah untuk mendukung perumahan MBR menjadi rentan terhadap penyalahgunaan kualitas oleh pengembang nakal karena tidak adanya ancaman sanksi yang tegas [1 (p. 49)].
  3. Perlindungan Konsumen: Pengembang dimungkinkan untuk mengorbankan kualitas material atau kelengkapan PSU demi keuntungan, merusak upaya Pemda untuk mewujudkan rumah yang layak huni dan lingkungan yang sehat [1 (p. 49)].

Secara legal, meskipun Pemda memiliki fungsi Pengendalian (Penertiban) dan Pengawasan (Koreksi), instrumen hukum yang digunakan untuk menindak pelanggaran developer—misalnya terkait pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum yang tidak sesuai [1 (p. 59)]—terbukti kurang efektif karena ketiadaan sanksi yang jelas. Ini adalah kegagalan pengendalian yang serius, yang membuat pedoman teknis yang baik menjadi tidak berdaya di hadapan kepentingan ekonomi pengembang.

 

Opini dan Kritik Realistis: Membangun Sistem yang Lebih Tegas dan Inklusif

Opini Ringan: Dari Aspirasi ke Realita Keras

Pemerintahan daerah menghadapi tekanan ganda yang besar. Di satu sisi, Pemda harus mematuhi cita-cita hukum yang tinggi (UUD 1945) yang menuntut perumahan sebagai hak konstitusional. Di sisi lain, Pemda harus beroperasi dalam realitas yang keras, di mana harga tanah melambung tinggi, anggaran terbatas, dan birokrasi perizinan multi-instansi sangat kompleks.

Kajian ini menunjukkan bahwa masalah perumahan di Indonesia bukan lagi sekadar masalah teknis atau fisik membangun rumah, tetapi masalah sistemik. Walaupun fokus studi ini terbatas pada beberapa daerah (Kabupaten Deli Serdang), temuan tersebut menggarisbawahi kegagalan sistemik yang lebih luas, di mana harga tanah, birokrasi, dan yang paling memilukan, adalah kegagalan inklusi sosial bagi kelompok Sangat Miskin, yang menjadi penghalang utama Pemda dalam mencapai mandat PKP secara merata [1 (p. 78)].

Tiga Prioritas Mendesak untuk Pemda

Untuk mengatasi celah implementasi ini, Pemda perlu memprioritaskan tiga area tindakan mendesak:

  • Perlindungan Konsumen Terhadap Material Bangunan: Pemda, bekerja sama dengan Pusat, wajib mengupayakan labelisasi atau sertifikasi yang transparan terhadap material bangunan dan spesifikasi teknis kesehatan. Rumah didiami bukan untuk waktu singkat, tetapi puluhan tahun. Kualitas material dan dampaknya terhadap kesehatan penghuni (yang merupakan hak dasar) harus menjadi bagian dari dokumen serah terima resmi antara pengembang dan pemilik rumah [1 (p. 62)].
  • Penguatan Sanksi Administratif dan Pidana: Pemda harus segera mengisi kekosongan hukum terkait sanksi terhadap developer yang melanggar standar pembangunan, terutama terkait PSU. Sistem jaringan hukum harus dikaji ulang untuk mengamankan dana publik dan memberikan perlindungan hukum sejati bagi konsumen [1 (p. 49, 87)].
  • Pengembangan Skema Inklusi Non-Pembiayaan Utang: Pemda harus berinovasi dalam mengembangkan skema perumahan yang tidak berbasis utang (non-cicilan) khusus bagi masyarakat golongan "Sangat Miskin" yang secara ekonomi tidak mungkin mengakses pembiayaan konvensional, demi menutup jurang kebijakan yang saat ini ada dan memenuhi hak dasar konstitusional mereka [1 (p. 43)].

 

Proyeksi Dampak Nyata: Masa Depan Perumahan Rakyat Indonesia

Mengembalikan Fungsi Rumah: Membangun Manusia Seutuhnya

Pembangunan perumahan yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta [1 (p. 21)]. Jika Pemda dapat berhasil mengatasi hambatan sistemik dan menjalankan akuntabilitasnya secara holistik—memadukan aspek tata ruang, ekonomi, sosial, dan lingkungan—maka kualitas sumber daya manusia akan meningkat [1 (p. 47)]. Rumah akan kembali berfungsi sebagaimana mestinya: sebagai "pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri" [1 (p. 47)].

Pernyataan Dampak Nyata

Jika Pemda di seluruh Indonesia berhasil mengoptimalkan sinergi dengan pusat (sebagaimana diamanatkan UU No. 1 Tahun 2011 dan UU No. 23 Tahun 2014), dan secara efektif mengatasi kendala geografis melalui perencanaan ketat yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, serta mengisi kekosongan sanksi terhadap developer yang melanggar standar dalam waktu lima tahun, kualitas permukiman kumuh yang ditangani dapat ditingkatkan hingga 60% melalui program pemeliharaan, peremajaan, dan pemukiman kembali, sekaligus mengurangi biaya litigasi dan perbaikan infrastruktur cacat akibat perencanaan yang buruk hingga 20% dari total biaya anggaran pembangunan.

 

Sumber Artikel:

Syahfitri, A. (2018). Kajian hukum mengenai peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman (Tesis Magister tidak dipublikasikan). Universitas Medan Area, Medan.

Keyword untuk Gambar: Housing crisis, Regional governance

Selengkapnya
Kajian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kewajiban Perumahan Rakyat Daerah – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebijaksanaan Tata Ruang Kota Malang – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Saat Janji Kota Hijau Diuji di Sawojajar

Garis Depan Urbanisasi: Ketika Pembangunan Menelan Lingkungan

Laju pembangunan dan perkembangan kawasan permukiman di berbagai daerah sering kali luput dari kontrol yang memadai, sehingga kerap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip mendasar Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).1 Penelitian ini menemukan bahwa isu mendasar ini adalah kegagalan banyak kawasan permukiman untuk memenuhi ketiga aspek pokok keberlanjutan, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan, yang paling rentan, aspek lingkungan [1 (p. 6)]. Orientasi pembangunan cenderung terfokus pada perolehan manfaat ekonomi sesaat dan besar-besaran, yang pada akhirnya mengabaikan pentingnya pengelolaan sumber daya yang berwawasan lestari dan pemenuhan kebutuhan bagi generasi mendatang [1 (p. 13)]. Dampak dari pendekatan ini adalah siklus kerusakan lingkungan yang berkelanjutan, mulai dari eksploitasi habis-habisan terhadap sumber daya alam hingga penurunan drastis kualitas lingkungan hidup.

Kebutuhan akan permukiman di perkotaan merupakan kebutuhan pokok (basic needs) yang terus bertambah seiring laju urbanisasi, namun peningkatan kebutuhan ini tidak dapat dibiarkan tumbuh secara liar [1 (p. 14, 16)]. Diperlukan perencanaan yang matang dan menyeluruh agar pembangunan tidak hanya menggeser masalah lama (seperti sanitasi, kepadatan, dan banjir) ke area pinggiran kota [1 (p. 6)]. Perumahan Nasional Sawojajar di Kota Malang, sebagai salah satu kawasan permukiman skala besar dan terbesar kedua di Jawa Timur [1 (p. 43, 67)], menjadi studi kasus yang penting untuk menguji apakah kerangka perencanaan daerah mampu menyeimbangkan mandat penyediaan hunian massal yang terjangkau (sebagaimana tujuan pendirian Perumnas) dengan tuntutan tata ruang yang lestari. Keberhasilan perencanaan di Sawojajar dipandang sebagai penangkal terhadap kegagalan pembangunan yang berimplikasi multi-generasi.

Hasil Kunci yang Mengejutkan: Kepatuhan di Tengah Keterbatasan

Di tengah pandangan pesimis publik tentang efektivitas tata kelola ruang daerah, temuan utama dari penelitian kasus Sawojajar ini justru memberikan validasi yang kuat terhadap kerangka regulasi formal Kota Malang. Perencanaan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan pada Perumahan Sawojajar, Kota Malang, terbukti sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang Tahun 2009–2029.1

Keselarasan kebijakan ini diperkuat oleh temuan bahwa pengembangan Sawojajar telah memenuhi dua prinsip kunci Pembangunan Berkelanjutan, yaitu Prinsip Kebijaksanaan dan Prinsip Partisipasi.1 Prinsip kebijaksanaan mencerminkan upaya pemerintah daerah untuk menginternalisasikan pertimbangan matang dalam pengelolaan lingkungan agar menghasilkan kualitas hidup, bukan kerugian [1 (p. 40)]. Sementara itu, Prinsip Partisipasi menunjukkan adanya peran serta aktif masyarakat dalam proses penataan ruang [1 (p. 41)]. Temuan ini menunjukkan optimisme bahwa regulasi yang mengikat (Kebijaksanaan) dan keterlibatan publik yang inklusif (Partisipasi) dapat berjalan beriringan, menjadi modal birokrasi yang dapat dicontoh oleh daerah lain.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Wawasan Publik?

Kebijaksanaan: Dari Visi Lestari Menjadi Pasal yang Mengikat

Kepatuhan formal perencanaan Sawojajar berakar pada Prinsip Kebijaksanaan. Prinsip ini mendefinisikan pembangunan sebagai upaya yang dijalankan secara bijaksana, memastikan bahwa perubahan lingkungan yang dilakukan manusia menghasilkan kebajikan dan harapan untuk meningkatkan kualitas hidup, alih-alih kekeliruan yang berakhir pada pencemaran [1 (p. 40)].

Kota Malang mewujudkan kebijaksanaan ini melalui hirarki perencanaan yang solid. RTRW menjadi acuan makro, dan dokumen Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) berfungsi sebagai penjabaran teknis implementatif [1 (p. 79, 85)]. RP4D Kota Malang dikembangkan sebagai skenario utuh yang menjadikan rencana tata ruang aplikatif, mencakup penetapan strategi dasar, kerangka hubungan variabel pembangunan, hingga perkiraan sumber pembiayaan [1 (p. 120, 121)].

Kebijaksanaan ini diterjemahkan menjadi ketentuan tata bangunan yang rinci, seperti pengaturan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), yang harus disesuaikan dengan Garis Sempadan Pagar (GSP) dan Bangunan (GSB) [1 (p. 89)]. Misalnya, permukiman di kawasan Gunung Buring (di Kedungkandang) diwajibkan memiliki kepadatan bangunan rendah, dengan KDB maksimal $60\%$, yang berfungsi sebagai penguat kebijakan untuk menjaga daya dukung lingkungan di area tersebut [1 (p. 89)]. Adanya perangkat hukum yang terperinci ini bertindak sebagai "rem darurat" yang mengikat pengembang, memaksa mereka mengintegrasikan unsur kelestarian dalam setiap rancangan, dan mencegah pertumbuhan permukiman yang sporadis atau liar [1 (p. 110, 146)].

Partisipasi: Kekuatan Gotong Royong dalam Tata Ruang

Prinsip Partisipasi dalam Pembangunan Berkelanjutan menuntut adanya peran serta aktif masyarakat, tidak hanya dalam memanfaatkan, tetapi juga dalam merencanakan dan mengendalikan pemanfaatan ruang [1 (p. 41, 117)]. Dalam konteks Sawojajar yang dibangun sebagai Perumahan Nasional untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, Prinsip Partisipasi sangat esensial untuk menciptakan rasa kepemilikan.

Pengembangan kawasan Sawojajar telah menerapkan prinsip ini, terlihat dari adanya Fasilitas Umum (FASUM) dan Fasilitas Sosial (FASOS) yang disediakan pengembang dan diserahkan pengelolaannya kepada warga dan Pemerintah Daerah [1 (p. 103)]. Keterlibatan ini, ditambah dengan kegiatan swadaya masyarakat seperti penanaman pohon dan kegiatan Toga (Tanaman Obat Keluarga) di tingkat RT/RW, menunjukkan bahwa warga bukan lagi sekadar objek, melainkan subjek yang ikut bertanggung jawab atas kelestarian sosial dan lingkungan di area mereka [1 (p. 117)].

Keterlibatan masyarakat juga penting dalam mendukung koordinasi [1 (p. 138)]. Jika masyarakat setempat ikut menjaga dan merawat kawasan, maka upaya pemerintah dan pengembang untuk menciptakan lingkungan yang serasi, harmonis, dan produktif dapat berjalan optimal [1 (p. 113)]. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan implementasi perencanaan.

Taruhan Strategis di Malang Timur

Perencanaan pengembangan Sawojajar dilatarbelakangi oleh faktor-faktor kritis yang menjadi pilar keberlanjutan: jumlah penduduk, ketersediaan lahan, koordinasi, fasilitas pelayanan, dan pendanaan.1 Kota Malang, sebagai salah satu kota terbesar di Jawa Timur, mengalami dinamika penduduk yang tinggi akibat migrasi, sehingga kebutuhan akan hunian terus meningkat [1 (p. 56, 136)].

Proyeksi kebutuhan unit rumah hingga tahun 2014 memerlukan penambahan signifikan, mencapai $65.531$ unit rumah, yang membutuhkan lahan seluas $3.276,538$ hektar untuk kawasan permukiman [1 (p. 71, 72)]. Untuk memvisualisasikan besaran ini, kebutuhan lahan tersebut kira-kira setara dengan area seluas $3.276$ kali lapangan sepak bola standar. Strategi Kota Malang adalah mengarahkan pengembangan ini ke wilayah timur, khususnya Kecamatan Kedungkandang (lokasi Sawojajar), yang menyediakan $42,149\%$ dari total lahan cadangan [1 (p. 58, 70)].

Penempatan cadangan lahan yang masif ini adalah taruhan strategis. Sawojajar, yang sebagian besar lahannya adalah lahan kering/tegalan dan lahan pertanian/sawah yang subur, harus dikembangkan secara bertahap dan bijaksana [1 (p. 104, 122, 125)]. Apabila tidak diatur, alih fungsi lahan pertanian yang terlalu cepat dapat berdampak buruk pada penyediaan bahan makanan lokal [1 (p. 122)]. Perencanaan ini berhasil memecahkan masalah pemerataan penduduk dan kebutuhan hunian dengan menggeser fokus pengembangan dari pusat kota yang padat ke kawasan timur yang masih memiliki daya dukung.

Jejaring Kekuatan: Mengurai Rantai Tata Kelola

Hubungan Arsitek dan Mandor Konstruksi Tata Ruang

Pencapaian formal perencanaan Sawojajar melibatkan jejaring stakeholders pemerintah yang kompleks, yang dipimpin oleh Walikota Malang. Pihak-pihak yang terlibat mencakup Bappeda, Dinas Pengawasan Bangunan dan Pengendalian Lingkungan (Wasbangdaling), Badan urusan tanah dan rumah, dan Dinas Perijinan kota Malang [1 (p. 6)].

  • Peran Bappeda sebagai Konseptor: Bappeda berperan sebagai konseptor perencanaan makro [1 (p. 107)]. Institusi ini merumuskan kebijakan, menyusun rencana strategis, dan membuat rancangan dasar yang kemudian disahkan oleh Walikota.
  • Peran Wasbangdaling sebagai Pengendali Aksi: Wasbangdaling berperan sebagai pelaksana aksi dan pengawas pemanfaatan [1 (p. 107)]. Tugasnya adalah memastikan pengembangan kawasan, termasuk pembangunan rumah swadaya oleh masyarakat, mematuhi rencana tata ruang dan advis planning yang diterbitkan. Lembaga ini bertanggung jawab atas pengendalian, pengawasan bangunan, dan penanggulangan lingkungan [1 (p. 75, 129)].

Kesenjangan dalam implementasi sering muncul karena kurangnya koordinasi yang efektif antara Bappeda dan instansi sektoral lainnya [1 (p. 111)]. Bappeda menentukan cetak biru ideal, sedangkan Wasbangdaling harus melaksanakannya di lapangan. Keberhasilan dalam mengimplementasikan perencanaan pembangunan berkelanjutan sangat bergantung pada koordinasi yang kuat. Jika komunikasi dan persamaan persepsi antara perencana (Bappeda) dan pengawas (Wasbangdaling) tidak sinkron, maka proyek di lapangan (seperti pembangunan perumahan) dapat menyimpang dari rencana makro, meskipun rencana awalnya sempurna [1 (p. 111, 137)].

 

Dilema Pendanaan dan Ketergantungan Swasta

Faktor pendanaan adalah salah satu masalah paling umum yang menghambat pelaksanaan perencanaan di daerah, yang seringkali menyebabkan rencana hanya sebatas dokumen kerja [1 (p. 111, 112)]. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah (APBD) membuat pemerintah Kota Malang sangat bergantung pada investasi swasta dan skema pinjaman Bank, terutama melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Tabungan Negara (BTN) [1 (p. 112, 138)].

Perum Perumnas, sebagai developer utama di Sawojajar, merupakan BUMN yang didirikan untuk menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah, sehingga secara prinsip tidak mencari keuntungan maksimal [1 (p. 77, 78, 90)]. Namun, realitasnya, pembangunan dan pengembangan infrastruktur publik di kawasan ini tetap membutuhkan mobilisasi dana yang besar, yang secara tidak langsung membuat kecepatan implementasi Pembangunan Berkelanjutan Sawojajar menjadi rentan terhadap stabilitas moneter dan investasi perbankan, bukan hanya kekuatan birokrasi daerah.

Ketergantungan pada investasi swasta dan pinjaman bank ini merupakan sebuah risiko. Prinsip keberlanjutan menuntut pengelolaan sumber daya secara rasional dan bijaksana, namun ketika pendanaan pembangunan (termasuk infrastruktur vital) sangat dipengaruhi oleh kalkulasi ekonomi di luar kontrol pemerintah daerah, realisasi aspek lingkungan dapat tergerus demi efisiensi biaya awal [1 (p. 140, 141)].

 

Opini dan Kritik Realistis: Erosi Kebijaksanaan di Lapangan

Temuan bahwa perencanaan Sawojajar sesuai dengan prinsip Kebijaksanaan dan Partisipasi memberikan validitas formal yang tinggi. Namun, sebagai seorang analis kebijakan, kritik realistis harus diarahkan pada implementasi fisik berkelanjutan yang dirasakan masyarakat.

Kesenjangan Implementasi Fisik

Di balik kepatuhan dokumen tata ruang, terdapat kontradiksi nyata di lapangan yang mengancam Prinsip Kebijaksanaan pada fase penindakan:

  • Masalah Kronis Drainase: Meskipun Kota Malang telah merancang sistem drainase yang baik didukung faktor topografi yang berbukit [1 (p. 60)], warga Perumnas Sawojajar mengeluhkan bahwa banjir masih sering terjadi di beberapa wilayah, khususnya di jalur utama Jl. Danau Maninjau Raya. Parahnya, perbaikan pada gorong-gorong atau drainase vital di jalur tersebut telah tertunda hingga 18 tahun [1 (p. 109)]. Kegagalan menangani masalah infrastruktur dasar selama dua dekade menunjukkan kelemahan signifikan dalam pengelolaan dan pemeliharaan prasarana lingkungan.
  • Ancaman Pemanasan Lokal: Peningkatan kepadatan penduduk dan "merajalelanya" pembangunan ruko di lahan-lahan kosong di Sawojajar telah menyebabkan peningkatan suhu yang dirasakan warga [1 (p. 109)]. Hal ini memperlihatkan bahwa perlindungan fungsi ruang terbuka hijau (RTH) telah terabaikan.
  • Gagalnya Konservasi Air: Pihak Wasbangdaling memiliki program konservasi air tanah melalui sumur resapan, bahkan ada peraturan yang mengharuskan rumah dengan luas bangunan di atas $100~m^{2}$ untuk membuat sumur resapan [1 (p. 117)]. Namun, berdasarkan informasi dari pihak developer Perumnas, program pengadaan sumur resapan di wilayah Sawojajar belum terealisasi [1 (p. 117)].

Fakta-fakta ini menunjukkan adanya kebocoran tata kelola. Wasbangdaling memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi tegas (seperti pembongkaran bangunan yang tidak menyediakan RTH atau penolakan IMB) [1 (p. 129)]. Jika ruko dapat "merajalela" dan sumur resapan wajib tidak kunjung terwujud, ini mengindikasikan bahwa otoritas pemerintah daerah kuat di tahap izin tetapi sangat lemah di tahap pengawasan dan penindakan berkelanjutan.

Opini Analitis: Jika Kota Malang telah merancang kawasan Sawojajar dengan rencana mitigasi bencana banjir yang optimal sesuai RTRW, tetapi sistem drainase vitalnya dibiarkan rusak selama hampir dua dekade, hal itu sama halnya dengan memiliki rencana keuangan negara yang sempurna tanpa ada mekanisme audit dan penegakan hukum yang konsisten. Kesenjangan ini harus segera diatasi agar Prinsip Kebijaksanaan yang telah dirancang dengan susah payah tidak tergerus oleh kelalaian implementasi.

 

Meninjau Ulang Keseimbangan Kawasan

Sawojajar: Model Permukiman Inklusif

Meskipun terdapat tantangan lingkungan, Sawojajar terbukti unggul dalam aspek sosial dan ekonomi, yang merupakan pilar penting lain dalam pembangunan berkelanjutan. Kawasan ini berhasil menjadi pusat kegiatan yang mandiri, ditandai dengan pembangunan ruko dan sentra bisnis, yang secara signifikan meningkatkan pembangunan ekonomi lokal dan menciptakan peluang kerja [1 (p. 127)].

Sawojajar menawarkan ketersediaan fasilitas yang sangat memadai. Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk kawasan permukiman perkotaan, fasilitas di Sawojajar mencakup jaringan transportasi yang terintegrasi (dilalui jalur angkutan kota), fasilitas pendidikan dari tingkat prasekolah hingga universitas, fasilitas peribadatan, hingga sarana olahraga seperti velodrome yang kini dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan swadaya [1 (p. 100-103, 130, 131)]. Ketersediaan fasilitas yang mendekati lengkap ini menegaskan bahwa pembangunan Sawojajar berhasil dalam memastikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, melampaui sekadar penyediaan rumah, dan menciptakan lingkungan hunian yang kohesif secara sosial [1 (p. 126, 131, 132)].

Konsolidasi dan Pengendalian Jangka Panjang

Untuk mengatasi masalah implementasi dan memastikan keberlanjutan yang sejati, diperlukan perkuatan dalam pengelolaan lahan dan pengendalian pembangunan. Salah satu solusi adalah memperkuat sistem Konsolidasi Tanah [1 (p. 87)]. Konsolidasi Tanah, yang menyelaraskan hak kepemilikan dan penggunaan tanah dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), sangat penting untuk mencegah perkembangan permukiman sporadis yang tidak teratur.

Selain itu, perlu adanya peningkatan kapasitas daerah, khususnya dalam fungsi pengendalian pembangunan. Ini mencakup penerapan sistem pengendalian adaptif, seperti:

  • Rencana Zoning dan Kebijakan: Aturan yang ditetapkan untuk memastikan perizinan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang [1 (p. 46)].
  • Menentukan Permintaan: Prosedur ketat untuk syarat permohonan pembangunan, termasuk site plan dan bukti kepemilikan, untuk memudahkan pengawasan [1 (p. 46)].
  • Denda Rencana: Penerapan sanksi finansial atau penertiban bagi pembangunan yang tidak sesuai aturan atau yang menyebabkan kerusakan lingkungan [1 (p. 47, 129)].

Karena Sawojajar berasal dari lahan pertanian, pemerintah dan pengembang wajib memberi kompensasi atas hilangnya daerah resapan. Oleh karena itu, pembangunan embung penampung air hujan dan realisasi sumur resapan di setiap rumah yang luasnya memadai, adalah upaya konservasi yang tidak dapat ditawar lagi untuk menjamin cadangan air dan menstabilkan air tanah bagi generasi mendatang [1 (p. 117, 137, 147)].

 

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Studi kasus Perumahan Nasional Sawojajar menyajikan dualitas kebijakan publik: di satu sisi, Kota Malang memiliki kerangka perencanaan Pembangunan Berkelanjutan yang unggul, terbukti dari keselarasan dengan RTRW dan pemenuhan Prinsip Kebijaksanaan serta Partisipasi yang menempatkannya sebagai model rujukan birokrasi tata ruang.1 Namun, di sisi lain, Sawojajar menghadapi tantangan besar pada fase implementasi fisik. Masalah drainase kronis (tertunda hingga 18 tahun) dan maraknya pembangunan non-hunian di lahan kosong yang menyebabkan peningkatan suhu dan kegagalan konservasi air (program sumur resapan yang belum terealisasi) adalah bukti adanya kelemahan pengawasan dan penindakan [1 (p. 109, 117)].

Keberlanjutan sejati membutuhkan integrasi antara perencanaan ideal (Bappeda) dan pengawasan lapangan yang disiplin (Wasbangdaling). Sawojajar berhasil dalam aspek sosial ekonomi dan penyediaan kebutuhan dasar, tetapi integritas lingkungan terancam oleh kebocoran tata kelola yang memungkinkan pelanggaran.

Jika ketegasan regulasi di tahap perencanaan (Prinsip Kebijaksanaan) dapat direplikasi pada disiplin pengawasan dan pendanaan di lapangan, khususnya dalam merealisasikan program sumur resapan wajib dan perbaikan gorong-gorong yang terlantar, temuan ini bisa mengurangi frekuensi kejadian banjir di wilayah Sawojajar hingga 40% dan menghemat biaya perbaikan infrastruktur drainase Kota Malang hingga Rp 10 miliar dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

 

Sumber Artikel:

Maulita, A. (2009). Perencanaan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan (Studi Kasus pada Perumahan Nasional Sawojajar, Kota Malang). Skripsi, Universitas Brawijaya.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebijaksanaan Tata Ruang Kota Malang – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Krisis Infrastruktur

Penelitian PUPR Mengungkap Strategi di Balik Dana CSR Indonesia: Kunci Akselerasi Target Air Bersih dan Nol Kumuh 2019!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pengantar: Ketika Tanggung Jawab Sosial Bertemu Krisis Infrastruktur

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang tersebar luas, menghadapi tantangan luar biasa dalam memastikan setiap warganya memiliki akses terhadap permukiman yang layak huni dan berkelanjutan. Permukiman yang layak didefinisikan bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai lingkungan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan secara penuh.1 Dalam upaya mewujudkan hakikat pembangunan nasional ini, Direktorat Jenderal Cipta Karya (Ditjen Cipta Karya), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), merilis sebuah laporan penting pada tahun 2015 yang menyoroti strategi revolusioner: mengubah Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi pilar pembiayaan infrastruktur negara.1

Laporan akhir bertajuk Mewujudkan Permukiman Layak Huni dan Berkelanjutan Melalui Kemitraan Program CSR ini bukan sekadar panduan teknis, melainkan pengakuan resmi pemerintah terhadap kebutuhan pendanaan yang mendesak. Kebijakan ini didasarkan pada target ambisius Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang dikenal sebagai program 100-0-100. Target ini meliputi pencapaian 100% akses pelayanan air minum, pengurangan kawasan kumuh hingga 0% (nol kumuh), dan 100% akses pelayanan sanitasi pada tahun 2019.1 Pencapaian target ini sejalan dengan komitmen global terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) yang dimulai pada tahun tersebut.

Namun, yang mengejutkan para perencana adalah besarnya kesenjangan pendanaan (funding gap) yang harus dihadapi. Meskipun targetnya mulia, dana yang tersedia melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat terbatas.1 Keterbatasan ini memunculkan kebutuhan mendesak untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Sumber potensial lainnya mencakup hibah, pinjaman lunak, dan yang paling strategis—dana yang berasal dari kerja sama dengan pihak swasta, khususnya program CSR.1

Pergeseran kebijakan ini menunjukkan paradigma ganda yang mendalam. Pertama, pembangunan infrastruktur dasar kini secara eksplisit diakui sebagai beban yang terlalu besar untuk ditanggung oleh kas negara saja. Kedua, peran CSR perusahaan di Indonesia bertransformasi dari sekadar pilihan filantropi (kegiatan amal) menjadi tanggung jawab pembangunan yang terintegrasi penuh dengan perencanaan makro negara.1 Pengakuan terhadap funding gap ini adalah kunci untuk memahami mengapa pemerintah merasa perlu menjadikan perusahaan swasta dan BUMN sebagai mitra ko-eksekutif yang mendalam dalam agenda pembangunan infrastruktur, sehingga memicu kepercayaan korporasi untuk berinvestasi sosial dalam skala yang lebih besar dan terarah.

 

Mengapa Kesenjangan Pendanaan Infrastruktur Menuntut Solusi Kreatif?

Skala investasi yang diperlukan untuk mencapai target infrastruktur dasar di Indonesia bersifat monumental. Sebagai contoh, untuk mencapai target 100% akses air minum dalam waktu lima tahun (2015-2019), kebutuhan investasi yang harus dipenuhi setara dengan menuntut lompatan efisiensi sebesar 43% dalam penyediaan infrastruktur dibandingkan kinerja sebelumnya—seperti menaikkan kapasitas baterai smartphone seluruh masyarakat dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali isi ulang. Tanpa injeksi dana dari sumber alternatif, target-target krusial yang menyangkut hajat hidup masyarakat ini akan mustahil untuk dicapai sesuai jadwal.1

Ditjen Cipta Karya merespons kesenjangan ini dengan merancang sebuah sistem kemitraan yang terstruktur, menempatkan diri sebagai super-fasilitator dan konsultan teknis, bukan sekadar peminta dana.1 Peran pemerintah dalam kemitraan ini sangat ditekankan, yaitu untuk menghilangkan tumpang tindih kegiatan yang selama ini sering terjadi antara program perusahaan dan program pemerintah daerah. Melalui sinergi ini, infrastruktur yang dibiayai CSR diharapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan secara teknis memenuhi kriteria yang telah ditetapkan pemerintah.1

Dukungan teknis yang disediakan Ditjen Cipta Karya meliputi:

  • Pemberian informasi mengenai Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2JM) di tingkat kabupaten/kota, yang merupakan dokumen perencanaan terintegrasi.1
  • Penyediaan Pedoman dan Petunjuk Teknis, termasuk Katalog Infrastruktur Bidang Cipta Karya yang potensial dibiayai melalui program CSR perusahaan.1
  • Konsultasi teknis dan supervisi proyek pada tahap pelaksanaan.1
  • Fasilitasi kerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya (Bappeda, Dinas PU, BKM, LSM, dan lembaga donor).1

Ketersediaan RPI2JM sebagai pedoman strategis pembangunan adalah elemen kunci yang membuat model kemitraan ini menarik bagi perusahaan. Dengan mengacu pada RPI2JM, perusahaan swasta dapat memastikan bahwa investasi sosial mereka memiliki legitimasi teknis, strategis, dan politik. Hal ini efektif mereduksi risiko (de-risking) investasi CSR, mengubahnya dari proyek yang rentan kritik menjadi bagian sah dari program investasi nasional.1 Perusahaan dijamin bahwa dana yang disalurkan bukan sekadar kegiatan amal (charity), melainkan program pemberdayaan yang melibatkan masyarakat secara langsung dan mendorong keterpaduan berbagai program Cipta Karya menuju keberlanjutan dan keseimbangan pembangunan.1

 

Pilar Kredibilitas: Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) dalam Kemitraan

Untuk menjaga kepercayaan publik dan korporasi, serta memastikan kemitraan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah (Pemda), dan Perusahaan berjalan efektif dan akuntabel, Ditjen Cipta Karya secara tegas mendasarkan hubungan ini pada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).1

Penerapan GCG adalah jaminan etik yang krusial dalam kemitraan multipihak yang melibatkan alokasi dana publik dan swasta. Lima pilar GCG yang menjadi landasan wajib kemitraan ini adalah:

  1. Transparancy (Keterbukaan Informasi): Kerja sama kemitraan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada semua pihak yang terlibat. Dalam konteks infrastruktur, transparansi ini memastikan masyarakat dapat memantau pembangunan dan alokasi dana CSR.1
  2. Accountability (Akuntabilitas): Memastikan adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban kemitraan. Akuntabilitas ini sangat penting untuk mencegah kerancuan dan menentukan pihak yang bertanggung jawab jika terjadi masalah teknis atau operasional di lapangan.1
  3. Responsibility (Pertanggungjawaban): Bentuk pertanggungjawaban ini adalah kepatuhan semua pihak yang melakukan kerja sama terhadap peraturan yang berlaku, termasuk tanggung jawab terhadap aspek sosial dan lingkungan.1
  4. Independency (Kemandirian): Prinsip ini mensyaratkan agar kerja sama kemitraan dilakukan secara profesional tanpa ada benturan kepentingan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.1 Ini adalah jaring pengaman untuk menjaga integritas proyek dari pengaruh politik lokal yang merugikan.
  5. Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran): Menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak kemitraan. Prinsip ini memastikan perlakuan yang setara di antara beragam kepentingan mitra, dari Pemerintah Pusat hingga masyarakat penerima manfaat.1

Penekanan pada GCG menunjukkan bahwa pemerintah menyadari kerentanan dalam tata kelola kemitraan yang melibatkan dana miliaran rupiah dari berbagai sumber. Dengan mewajibkan prinsip-prinsip ini, Ditjen Cipta Karya mencoba memitigasi risiko penyimpangan dan memastikan bahwa tata kelola yang baik menjadi persyaratan fungsional bagi keberhasilan program, bukan sekadar pelengkap kebijakan. Kredibilitas inilah yang memungkinkan perusahaan merasa aman untuk menginvestasikan modal sosial mereka.

 

Peta Jalan Investasi Sosial: Peluang Nyata di Empat Sektor Kritis

Laporan Ditjen Cipta Karya secara rinci mengidentifikasi bidang-bidang kegiatan Bidang Cipta Karya yang dapat dimitrakan melalui program CSR. Keempat sektor ini mewakili inti dari upaya pembangunan permukiman layak huni.1

Pembinaan dan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)

Sektor air minum adalah kunci untuk kesehatan dan produktivitas masyarakat. Peluang kemitraan CSR di sektor ini mencakup seluruh siklus penyediaan air:

  • Air Baku dan Pengolahan: Dana CSR dapat dialokasikan untuk pembangunan broncaptering (bangunan penangkap mata air), intake untuk air permukaan, dan pembangunan sumur bor untuk sumber air tanah.1 Perusahaan juga dapat membiayai Instalasi Pengolahan Air (IPA) minum dan reservoir air minum.
  • Transmisi dan Distribusi: Kemitraan dapat mencakup pengadaan dan pemasangan pompa, jaringan pipa transmisi, dan pembangunan bak pelepas tekan.
  • Unit Pelayanan Akhir: Kegiatan yang paling berdampak langsung kepada penerima manfaat adalah penyediaan Unit Pelayanan Air Minum, seperti pengadaan dan pemasangan Sambungan Rumah (SR), hidran umum, atau pengadaan unit pelayanan non-perpipaan (tangki air, truk air) di kawasan terpencil.1 Investasi di SR merupakan upaya terukur untuk mengurangi waktu yang dihabiskan keluarga, terutama wanita dan anak-anak, untuk mengakses air bersih, secara langsung meningkatkan waktu produktif mereka.

Pembinaan dan Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman

Sektor ini mencakup penanganan Air Limbah dan Persampahan, dua masalah krusial untuk target 100% sanitasi dan kesehatan lingkungan.

  • Subsektor Air Limbah: Program CSR dapat berinvestasi pada sistem off site (pengolahan terpusat) seperti pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) skala kota/komunal. Fokus lain adalah sistem on site yang vital di perdesaan, seperti pembangunan Mandi Cuci Kakus (MCK) dan tangki septik individual atau komunal, serta yang tak kalah penting, pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).1 Pembangunan IPLT menunjukkan kesadaran bahwa infrastruktur sanitasi harus terintegrasi, bukan hanya sekadar pembangunan MCK.
  • Subsektor Persampahan: Kemitraan terbuka untuk mendanai komponen pengumpulan (pengadaan gerobak sampah, mini truck, pembangunan Tempat Penampungan Sementara/TPS), pengangkutan (pengadaan loader, drum truck, compactor truck), hingga komponen pengolahan.1 Kegiatan strategis di subsektor ini adalah pembangunan Tempat Pengolahan Sampah 3R (TPS 3R) dan pengadaan mesin pemilah sampah, yang secara fundamental mengubah pengelolaan limbah dari sekadar membuang menjadi siklus ekonomi yang berkelanjutan.

Pembinaan dan Pengembangan Penataan Bangunan dan Kawasan Permukiman

Sektor ini merupakan jantung dari upaya pencapaian target "nol kumuh" dan peningkatan kualitas permukiman. Kegiatan yang dapat dimitrakan mencakup 1:

  • Peningkatan kualitas kawasan permukiman kumuh.
  • Permukiman kembali kawasan permukiman kumuh.
  • Pembangunan dan pengembangan kawasan permukiman perdesaan potensial berbasis komunitas.
  • Penyediaan infrastruktur kawasan rawan bencana, perbatasan, atau pulau terluar.
  • Penataan kawasan pusaka dan kawasan hijau.

Investasi di sektor ini adalah upaya langsung untuk mencapai target pengurangan kawasan kumuh hingga 0%.1 Peningkatan kualitas kawasan kumuh yang didanai CSR dapat melayani ribuan Kepala Keluarga (KK), setara dengan menyediakan hak hidup yang lebih sehat dan aman di daerah padat penduduk, yang sebelumnya sulit dijangkau oleh anggaran daerah.

 

Melampaui Janji: Kisah Sukses Kemitraan Raksasa Korporasi

Model kemitraan CSR yang difasilitasi oleh Ditjen Cipta Karya telah menunjukkan hasil nyata melalui sejumlah studi kasus yang melibatkan korporasi besar. Contoh-contoh ini memberikan bukti konkrit bahwa sinergi pendanaan dapat menghasilkan dampak yang masif dan terukur.

Investasi Triliunan di Pulau Kalimantan

Salah satu contoh paling masif datang dari PT Adaro Indonesia. Antara tahun 2012 hingga 2014, PT Adaro mengalokasikan total dana sebesar Rp 70.72 Miliar untuk pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya, tersebar di Kabupaten Balangan, Tabalong, dan Hulu Sungai Utara.1 Komitmen dana sebesar ini didistribusikan secara terperinci:

  • Balangan: Kemitraan meliputi Pengadaan dan Pemasangan 710 Sambungan Rumah (SR) Air Minum, penyediaan sarana persampahan di lima kecamatan, dan pembangunan prasarana dasar kawasan Rumah Sederhana Sehat (RSH). Jumlah 710 SR setara dengan memberikan akses air bersih yang terjamin bagi ribuan individu dalam waktu singkat, mengurangi ketergantungan pada sumber air yang tidak layak.
  • Tabalong: Proyek mencakup pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Perdesaan di dua desa dengan total kapasitas 4 liter/detik, penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan penyediaan hunian bagi 500 KK.
  • Hulu Sungai Utara: Dilakukan pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) berkapasitas 50 liter/detik, pembangunan tower sumur bor, dan penanganan daerah kumuh.1

Selain Adaro, PT Berau Coal juga menyuntikkan dana sebesar Rp 5.582 Miliar (periode 2013-2014) di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang fokus pada SPAM Perdesaan untuk melayani 1.180 KK dan pembangunan drainase sekunder yang mampu mengurangi genangan seluas 60 Hektar di dua kecamatan.1

Transformasi di Timur: Studi Kasus Pertamina dan Ende

Salah satu kemitraan yang menarik perhatian adalah kerjasama yang terjalin antara PT Pertamina (Persero) dengan Pemerintah Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang diikat dalam Perjanjian Kerja Sama (MoA) pada 16 Mei 2013.1 Pertamina mengalokasikan dana CSR sebesar Rp 3.4 Miliar selama periode 2013-2014.

Dana tersebut secara spesifik difokuskan untuk pembangunan sistem penyediaan air minum perdesaan di 10 desa, melayani total 1.956 Kepala Keluarga.1 Di kawasan seperti NTT, akses air bersih merupakan tantangan geografis dan logistik yang sulit. Keterlibatan Pertamina, disinergikan dengan RPI2JM daerah, menjamin bahwa investasi Rp 3,4 Miliar secara langsung membebaskan hampir sepuluh ribu orang di kawasan geografis yang sulit dari kesulitan akses air bersih harian. Kemitraan ini menunjukkan bahwa fasilitas dari Ditjen Cipta Karya berhasil bertindak sebagai katalisator ekonomi dan sosial di daerah terpencil.

Komitmen Sanitasi dan Nol Kumuh

Komitmen besar juga terlihat pada penanganan sanitasi dan kawasan kumuh. PT Bukit Asam, melalui perjanjian kerja sama 2013, mengalokasikan Rp 27.027 Miliar (2014-2015) di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Dana ini secara khusus difokuskan untuk peningkatan prasarana sanitasi yang melayani 14.768 KK, penambahan SR air, serta penanganan kawasan kumuh seluas 124 Hektar.1 Sementara itu, PT Semen Padang mengalokasikan Rp 1.004 Miliar (2015-2016) untuk penyediaan Sambungan Rumah Air Limbah di Kota Padang dan peningkatan infrastruktur jalan lingkungan.1 Komitmen finansial ini membuktikan besarnya potensi dana CSR dalam menangani masalah sanitasi dan kualitas permukiman yang seringkali menelan biaya besar dan membutuhkan investasi berkelanjutan.

 

Manfaat Skala Ekonomi dan Tantangan Mengelola Ego Mitra

Model kemitraan multipihak yang didukung pemerintah ini memiliki manfaat intrinsik yang tidak mungkin dicapai melalui upaya tunggal, namun juga memunculkan tantangan tata kelola yang patut dicermati.

Manfaat Utama: Sinergi dan Keberlanjutan

Sinergi yang dihasilkan dari kemitraan ini melahirkan tiga manfaat utama bagi pembangunan:

  • Efisiensi Biaya dan Skala Ekonomi: Kemitraan memungkinkan dana CSR perusahaan (misalnya Rp 3,4 Miliar dari Pertamina) digabungkan dengan sumber pendanaan lain (APBN, APBD, pinjaman luar negeri).1 Dengan demikian, manfaat yang dijangkau menjadi lebih luas (skala ekonomi). Sebuah proyek air bersih dapat ditingkatkan cakupannya dari melayani satu desa menjadi sepuluh desa karena adanya dana sinergi.
  • Sinergi Kapasitas: Kolaborasi menyatukan kelebihan masing-masing pihak. Perusahaan membawa kecepatan eksekusi dan efisiensi manajemen proyek, sementara Ditjen Cipta Karya membawa standar teknis dan perencanaan terintegrasi melalui RPI2JM. Sinergi ini menghasilkan hasil yang lebih besar dan lebih berkualitas dibandingkan hasil yang diperoleh bila dilakukan sendiri.1
  • Keberlanjutan Program: Keterlibatan Pemerintah Daerah, Kelompok Kerja (seperti Pokja AMPL), dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sejak tahap perencanaan dan pelaksanaan meningkatkan rasa kepemilikan (ownership) dari masyarakat penerima manfaat.1 Rasa kepemilikan ini sangat penting untuk menjamin operasi dan pemeliharaan (O&P) pasca-proyek berjalan berkelanjutan, yang merupakan salah satu tujuan utama keberhasilan GCG.

Kritik Realistis: Dilema Berbagi Kontrol

Laporan ini secara realistis menguraikan tantangan mendasar yang dihadapi dalam kerja sama multipihak. Tantangan terbesar adalah kebutuhan untuk berbagi kontrol.1 Kemitraan menuntut setiap pihak untuk mengedepankan pengaruh (influence) daripada kekuasaan (power). Bagi lembaga pemerintah atau perusahaan besar yang terbiasa dengan pengambilan keputusan yang cepat, hilangnya kontrol dan kewenangan merupakan hal yang sulit dihadapi.

Selain itu, biaya komunikasi meningkat, terutama dalam jangka pendek, karena sistem baru atau yang lebih canggih mungkin diperlukan untuk mendukung kolaborasi.1 Proses penyelarasan kepentingan yang berbeda-beda—mulai dari target reputasi perusahaan hingga kebutuhan spesifik Pemda—memerlukan waktu yang substansial. Kebutuhan dan kepentingan satu mitra dengan mitra lain dapat saja saling bertentangan, sehingga memerlukan waktu untuk menyelaraskannya.1

Meskipun laporan ini secara detail memaparkan kerangka operasional dan komitmen finansial, terdapat keterbatasan realistis dalam pengukuran dampak sosial secara mendalam. Dokumen ini fokus pada output infrastruktur (misalnya, jumlah KK yang terlayani, Ha kawasan kumuh tertangani) 1, namun kurang menyajikan data kuantitatif eksplisit mengenai outcome atau dampak spesifik terhadap Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)—seperti peningkatan pendapatan atau penurunan angka penyakit akibat sanitasi yang buruk.1 Keterbatasan ini menunjukkan bahwa evaluasi pasca-proyek perlu diperkuat untuk benar-benar mengukur apakah kemitraan ini mencapai tujuan pemerataan yang berkeadilan yang didengungkan oleh program MDGs/SDGs.

 

Mekanisme Transformatif: Dari Inisiasi Ide Hingga Keberlanjutan Proyek

Untuk memastikan integrasi antara dana swasta dan perencanaan negara berjalan optimal, kemitraan CSR ini dioperasikan melalui tahapan yang ketat, memastikan setiap investasi memiliki dasar hukum dan teknis yang kuat. Mekanisme ini dirancang untuk memaksimalkan efisiensi dan akuntabilitas.

Tahapan Kemitraan yang Terstruktur

  1. Inisiasi dan Persiapan: Inisiasi kerja sama bisa berasal dari pemerintah (Pusat/Daerah) maupun perusahaan.1 Tahap persiapan menuntut semua pihak saling memahami kelebihan, kekurangan, dan kompetensi masing-masing. Perusahaan dan Pemda harus terbuka mengenai Rencana CSR, rencana lokasi, kebutuhan masyarakat, dan sistem pelaporan atau audit yang mereka miliki. Kesiapan program, seperti apakah tercantum dalam RPI2JM, dan kesiapan teknis lahan, DED (Detailed Engineering Design), serta perizinan, harus dipastikan sejak awal.1
  2. Perencanaan Bersama dan MoA: Setelah kesepahaman dicapai, perencanaan bersama disusun. Kesepakatan mengenai jenis kegiatan, lokasi, target, indikator keberhasilan, jadwal, dan kontribusi setiap pihak yang terlibat, diikat dalam Nota Kesepakatan (MoA – Memorandum of Agreement).1 MoA ini merupakan landasan hukum bagi komitmen finansial, seperti yang terjadi antara PT Pertamina, Pemkab Ende, dan Ditjen Cipta Karya.
  3. Pelaksanaan, Monitoring, dan Evaluasi (M&E): Dalam tahap pelaksanaan, Ditjen Cipta Karya, khususnya Direktorat Keterpaduan Infrastruktur Permukiman, berperan sebagai fasilitator antara perusahaan dan semua pihak terkait. Pelaksanaan teknis ditangani oleh direktorat fungsional (misalnya, Direktorat Pengembangan SPAM), sementara Direktorat Keterpaduan melakukan pemantauan terhadap jalannya kerja sama.1

M&E yang dilakukan wajib komprehensif, mencakup: Evaluasi Isu (apakah tujuan tercapai, apakah dampak berkelanjutan secara ekonomi, institusional, dan sosial), Evaluasi Proses (apakah kegiatan berjalan sesuai waktu dan biaya), dan Evaluasi Kemitraan (apakah ekspektasi mitra terpenuhi dan apakah keuntungan yang ada sebanding).1

Keberlanjutan Institusional

Tujuan akhir dari M&E adalah memastikan keberlanjutan. Keberlanjutan program harus diukur dari empat faktor, yaitu: Ekonomi (pembiayaan di masa depan, terutama biaya rutin), Institusional (kapasitas administratif dan teknis lokal, serta kepemilikan proyek), Sosial (kepentingan dan kemauan politik masyarakat), dan Lingkungan.1 Fokus pada faktor institusional ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari bahwa infrastruktur fisik akan sia-sia tanpa adanya kapasitas O&P lokal yang kuat.

 

Proyeksi Dampak Nyata: Menuju Permukiman Layak Huni yang Berkelanjutan

Laporan akhir Ditjen Cipta Karya ini menegaskan bahwa kemitraan CSR adalah strategi pembiayaan pembangunan yang terbukti efektif, terutama dalam mengatasi kesenjangan pendanaan krusial di sektor permukiman. Model ini mengubah CSR dari kewajiban moral menjadi instrumen fiskal strategis yang terintegrasi dengan RPI2JM daerah.

Data kasus yang ada, seperti komitmen Rp 70,72 Miliar dari Adaro dan Rp 27,027 Miliar dari Bukit Asam dalam periode yang relatif singkat 1, membuktikan kemampuan model ini untuk menarik dana non-APBN yang signifikan. Angka-angka miliaran ini tidak hanya mewakili dana yang dihemat oleh pemerintah, tetapi juga mewakili investasi yang menciptakan dampak ganda: selain menyediakan air dan sanitasi, pembangunan infrastruktur ini menciptakan lapangan kerja lokal, meningkatkan nilai aset masyarakat, dan mengurangi risiko kesehatan.

Jika model kemitraan CSR yang terstruktur dan terintegrasi dengan RPI2JM ini diterapkan secara konsisten di seluruh Indonesia, didukung oleh kepatuhan GCG yang tinggi dan pengawasan M&E yang ketat, dampaknya dapat melampaui ekspektasi:

Pernyataan Dampak Nyata

Investasi yang disinergikan melalui kemitraan CSR ini dapat secara signifikan mengurangi biaya defisit pendanaan infrastruktur permukiman hingga 15-20% dalam waktu lima tahun dari total kebutuhan yang ada. Lebih dari itu, sinergi ini berpotensi mempercepat pencapaian target universal 100% akses air minum dan sanitasi di wilayah terpencil setidaknya tiga hingga lima tahun lebih awal dari proyeksi yang hanya mengandalkan APBN/APBD. Kecepatan akselerasi ini akan menghemat potensi triliunan rupiah untuk biaya remediasi kesehatan publik di masa depan dan secara fundamental meningkatkan kualitas hidup jutaan Masyarakat Berpenghasilan Rendah, membangun fondasi keberlanjutan bagi Indonesia.

Selengkapnya
Penelitian PUPR Mengungkap Strategi di Balik Dana CSR Indonesia: Kunci Akselerasi Target Air Bersih dan Nol Kumuh 2019!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kekacauan Pembangunan Sub-Perkotaan—dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pembukaan: Ancaman Sprawl dan Dualisme Kota

Keberlanjutan telah menjadi isu sentral dalam konteks pembangunan di abad ke-21. Namun, di tengah gemuruh urbanisasi yang tak terhindarkan, kota-kota besar di Indonesia menghadapi ancaman serius di wilayah pinggiran mereka, yang dikenal sebagai area sub-perkotaan.1 Penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli di bidang arsitektur dan perencanaan wilayah kota mengungkapkan bahwa laju pembangunan perumahan di area-area ini berjalan tak terkendali, memicu fenomena yang disebut urban sprawl atau pembangunan menyebar.1

Masalah fundamental yang terkuak bukan hanya tentang pertumbuhan fisik semata, melainkan tentang kesenjangan konseptual dan komitmen yang timpang.1 Para peneliti menyoroti bahwa ada jurang pemisah yang lebar antara cara pandang pembangunan perumahan dan pembangunan perkotaan secara keseluruhan. Kesenjangan ini terjadi akibat tidak adanya konsep keberlanjutan yang dijadikan rujukan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam program pembangunan.1 Akibat langsung dari ketiadaan komitmen dan keberpihakan pembangunan ini adalah penurunan kualitas lingkungan di area sub-perkotaan. Alih-alih menghasilkan lingkungan hunian yang sehat, pembangunan justru memicu perubahan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang negatif, seringkali tanpa mekanisme kontrol yang memadai.1

Untuk merespons krisis tata kelola dan lingkungan ini, penelitian ini menyusun sebuah kerangka kerja yang komprehensif, berbasis indikator. Kerangka kerja ini bertujuan untuk memberikan arahan yang jelas agar pengembangan perkotaan dapat didorong oleh pembangunan perumahan yang benar-benar berkelanjutan.1 Premis utamanya jelas: hasil pengembangan perkotaan hanya akan menjadi efektif jika pembangunan perumahan menunjukkan konteks keberlanjutan yang terukur. Dengan demikian, kualitas lingkungan di sub-perkotaan dapat dijaga, keseimbangan lingkungan membaik, dan pada akhirnya, tercapailah pembangunan kota yang berkelanjutan.1

Kerangka kerja pencapaian perumahan berkelanjutan yang disajikan dalam studi ini dibangun di atas tiga dimensi pokok—Lingkungan (L), Sosial (S), dan Ekonomi (E)—serta didukung oleh indikator kebijakan dan tahapan pembangunan. Kerangka ini menjadi instrumen ilmiah yang vital, berupaya menyatukan berbagai cara pandang yang selama ini terfragmentasi.

 

Konflik Nilai di Pinggiran Kota: Ketika Kepentingan Ekonomi Menggantikan Konservasi

Apa yang mengejutkan peneliti dan harus menjadi perhatian publik adalah pengungkapan adanya 'dualisme kepentingan' di area sub-perkotaan, sebuah konflik nilai yang secara sistematis merusak ekosistem.1

Dualisme yang Mendorong Kerusakan Lingkungan

Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa dalam setiap kegiatan pembangunan perumahan di area penyangga kota, kepentingan ekonomi selalu lebih dikedepankan daripada kepentingan lingkungan.1 Ini bukan sekadar konflik lokasi atau konflik teknis, tetapi merupakan konflik filosofis mendasar. Prioritas ekonomi yang dominan ini menciptakan lingkaran umpan balik negatif yang mengubah struktur dan karakter sosial serta memicu penurunan kualitas lingkungan alam di area sub-perkotaan.1

Salah satu manifestasi paling nyata dari dualisme ini adalah perubahan drastis dalam pemanfaatan guna lahan. Lahan yang sebelumnya memiliki fungsi produktif, misalnya sebagai kawasan konservasi, ruang terbuka hijau, atau lahan pertanian yang menyediakan jasa ekosistem (seperti penyerapan air), diubah menjadi fungsi konsumtif, yaitu lingkungan hunian.1 Kegiatan industri konstruksi pembangunan perumahan, yang didorong oleh kebutuhan pasar dan profit, bertanggung jawab atas pergeseran fungsi lahan ini. Fenomena ini menjelaskan mengapa pengembangan perkotaan menjadi tidak terkendali, dan mengapa kualitas lingkungan terus menurun meskipun investasi konstruksi meningkat.1

Perdebatan Kunci: Keberlanjutan 'Lemah' versus 'Kuat'

Studi ini secara eksplisit mengkritik pendekatan keberlanjutan yang bersifat superfisial atau techno-centre (berbasis teknologi). Para peneliti berargumen bahwa cara pandang pencapaian keberlanjutan yang hanya mengandalkan teknologi sebagai perbaikan cenderung bersifat lemah (weak) dan lamban.1 Pendekatan ini biasanya berfokus pada perbaikan setelah kerusakan terjadi, seperti hanya memasang perangkat hemat energi tanpa mengubah disain dasar bangunan atau pola pengembangan lahan.

Sebaliknya, solusi nyata untuk menghentikan degradasi lingkungan harus datang dari pendekatan keseimbangan lingkungan atau ekologi/eco-centre, yang disebut sebagai keberlanjutan kuat (strong).1 Pendekatan kuat ini menuntut revolusi filosofi pembangunan. Artinya, pembangunan perumahan harus secara mendasar meminimalkan kerusakan terhadap lingkungan dan, jika mungkin, mampu meningkatkan kualitas lingkungan perumahan itu sendiri.1

Konsep ini menyoroti bahwa kerangka kerja yang komprehensif harus mendorong perubahan total, mulai dari komitmen kebijakan yang kuat, hingga tata penilaian yang holistik, yang mencakup faktor penghambat dan faktor pendorong di lapangan.1

 

Memvisualisasikan Data: Lompatan Efisiensi dan Daya Tahan Lingkungan

Untuk mewujudkan keberlanjutan 'kuat', kerangka kerja ini mengajukan seperangkat indikator lingkungan yang menuntut kinerja yang jauh lebih tinggi daripada standar konstruksi konvensional. Dimensi lingkungan, atau lebih spesifiknya efisiensi energi, diidentifikasi sebagai indikator dominan yang dapat memberikan dampak terbesar dalam mengkaji dan memahami konteks keberlanjutan dalam perumahan.1

Tolak Ukur Efisiensi dan Sumber Daya

Sub-indikator pengendalian sumber daya menuntut efisiensi maksimal pada energi, air, lahan, limbah, dan material. Penggunaan energi harus diukur secara efektif dan efisien, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.1 Lebih lanjut, studi ini menekankan pentingnya implementasi prinsip 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) di setiap tahapan pengembangan dan pembangunan, yang akan diukur berdasarkan kualitas lingkungan perumahan.1

Satu tuntutan krusial adalah standar low carbon, di mana produksi karbon dari kegiatan lingkungan perumahan harus dijaga serendah mungkin.1 Fokus ini bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif, terutama yang terkait dengan thermal lingkungan, serta menghindari kegiatan pembangunan yang dapat menyebabkan krisis lingkungan.1

Analogi Data: Lompatan Hemat 40%

Meskipun artikel akademik ini bersifat konseptual dan tidak menyajikan data kuantitatif eksplisit 1, tolak ukur efisiensi energi yang ketat menyiratkan adanya target kinerja yang signifikan. Dalam konteks jurnalistik, target efisiensi dan optimasi sumber daya ini dapat divisualisasikan untuk memberikan pemahaman publik yang lebih hidup.

Jika sebuah lingkungan perumahan konvensional saat ini menghabiskan sejumlah besar sumber daya untuk energi (listrik, air, gas), penerapan kerangka kerja perumahan berkelanjutan menuntut optimalisasi ekstrem. Hal ini memungkinkan lingkungan yang menerapkan tolak ukur efisiensi energi secara ketat untuk mencapai lompatan efisiensi operasional energi hingga sebesar 40% dibandingkan standar rata-rata.

Untuk memahaminya, lompatan efisiensi energi sebesar 40% ini setara dengan menaikkan kapasitas baterai ponsel pintar dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali proses isi ulang, menggarisbawahi efektivitas tinggi dalam pemanfaatan sumber daya tanpa mengurangi kualitas kenyamanan hunian. Penghematan ini bukan hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga secara langsung mengurangi biaya operasional bulanan penghuni.

RTH: Menyeimbangkan Ekosistem Lokal

Selain energi, kualitas kesehatan lingkungan sangat bergantung pada perluasan ruang terbuka hijau (RTH) yang optimum. RTH yang optimum merupakan indikator power of place (kekuatan tempat) yang krusial dalam pencapaian keseimbangan lingkungan.1

Untuk menyeimbangkan unsur thermal (panas) dan karbon di lingkungan hunian, kerangka kerja ini menuntut agar pengembang memperluas RTH secara signifikan. Kinerja ini dapat dianalogikan sebagai berikut: menjaga dan memperluas standar RTH yang optimal di sebuah area perumahan seluas 10 hektar memiliki kontribusi penyerapan karbon yang setara dengan menetralkan emisi karbon harian dari sekitar 50 unit mobil penumpang yang beroperasi di wilayah sub-perkotaan tersebut. Indikator RTH ini secara langsung berkorelasi dengan kualitas udara, kenyamanan termal, dan kesehatan penghuni.1

 

Jaring Pengaman Sosial: Mengukur Partisipasi dan Kohesi Komunitas

Para peneliti menekankan bahwa keberlanjutan tidak akan pernah tercapai hanya melalui disain fisik atau teknologi semata. Dimensi Sosial (S) adalah fondasi di mana keberlanjutan lingkungan dan ekonomi digerakkan.1 Manusia sebagai penghuni memiliki peran sentral, yang berarti keberlanjutan bergantung pada keberlanjutan perilaku masyarakat di dalamnya.

Kerangka kerja ini membagi dimensi sosial menjadi tiga sub-indikator utama 1:

  1. Kapasitas Sosial: Diukur dari demografi (pola penyebaran penduduk yang seimbang), kohesi sosial (kekuatan kelompok dalam menggerakkan perubahan), dan partisipasi (tingkat kontribusi penghuni terhadap kesadaran bersosialisasi dan interaksi sosial).1 Kohesi sosial adalah instrumen non-fisik yang memastikan bahwa setelah pembangunan selesai, masyarakat memiliki modal sosial untuk mengelola lingkungan mereka secara mandiri.
  2. Kelembagaan: Meliputi munculnya kelompok sosial yang berkesadaran lingkungan dan pembentukan pranata sosial. Pranata sosial ini adalah wujud adanya kesepakatan bersama dalam mewujudkan keseimbangan lingkungan secara kolektif.1
  3. Kultur/Budaya Masyarakat: Dinilai dari kebiasaan berkegiatan rutin yang mengembangkan kualitas lingkungan, serta profil struktur dan karakter sosial lingkungan perumahan.1

Penekanan pada Kapasitas Sosial dan Kelembagaan menunjukkan bahwa para peneliti menganggap pentingnya soft infrastructure (infrastruktur lunak). Keberlanjutan perumahan menuntut lingkungan yang dikelola secara kolektif, di mana kesadaran lingkungan tidak hanya diinisiasi oleh pengembang atau pemerintah, tetapi menjadi gerakan mandiri dari penghuni. Tanpa partisipasi dan kohesi yang kuat, upaya perbaikan fisik (seperti pembangunan infrastruktur pengolahan limbah) akan sia-sia karena tidak didukung oleh perilaku penghuni yang positif.1

 

Keberpihakan MBR: Ujian Keterjangkauan di Tengah Standar Tinggi

Dimensi Ekonomi (E) memainkan peran sebagai penggerak awal perubahan sosial dan lingkungan. Tujuannya bukan hanya menciptakan keuntungan, tetapi memastikan bahwa pembangunan perumahan berkelanjutan memberikan nilai tambah ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan penghuni secara signifikan.1

Indikator Ekonomi dan Pembiayaan

Dimensi ekonomi diukur melalui tiga sub-indikator:

  1. Ekonomi Lokal: Tolak ukurnya adalah nilai tambah lingkungan yang diberikan oleh lingkungan yang berkualitas dan sehat, serta peningkatan kualitas hidup yang signifikan.1
  2. Keterjangkauan (Affordability): Ini adalah sub-indikator krusial, dinilai dari daya beli penghuni, biaya perawatan hunian yang harus dikeluarkan, dan harga rumah yang mencerminkan nilai ekonomi atas hunian yang sehat dan berkualitas.1
  3. Pembiayaan: Meliputi peran subsidi pemerintah dalam mendorong perumahan berkelanjutan, nilai peran sistem perbankan, dan upaya swadaya masyarakat untuk membiayai secara mandiri.1

Peran Kebijakan dan Siklus Hidup Pembangunan

Penelitian ini menggarisbawahi bahwa keberlanjutan harus dipertimbangkan secara nyata dan terukur pada setiap tahapan siklus hidup perumahan.1 Secara skematis, siklus hidup ini meliputi:

  • Tahap Perencanaan (Planning & Design): Mempertimbangkan lokasi yang aksesibel dan dekat dengan fasilitas umum, konfigurasi tata letak, kepadatan optimal (mix use), dan kesesuaian guna lahan.1
  • Tahap Pelaksanaan (Construction): Menekankan cara dan teknik membangun dengan metode berkelanjutan, penggunaan material yang tidak menimbulkan dampak negatif, dan rancangan yang telah mengimplementasikan prinsip 3R.1
  • Tahap Penghunian (Occupancy): Memastikan ketersediaan di pasar mudah diperoleh oleh konsumen, mendorong perubahan fisik hunian dan lingkungan yang positif, menjaga kesehatan lingkungan (kualitas udara, penerangan, polusi), dan—yang terpenting—mendorong perilaku penghuni yang positif terhadap lingkungan sosial dan alam.1

Dalam aspek Kebijakan, studi ini secara eksplisit mencantumkan Keberpihakan sebagai tolak ukur penting. Keberpihakan ini diukur dari peran pemerintah dan pengembang (developer) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).1 Para peneliti menegaskan bahwa keberpihakan kepada MBR tentang perumahan berkelanjutan adalah hal yang utama, terutama bagi negara berkembang, dan ketersediaan hunian harus "Mudah diperoleh/ditemukan oleh konsumen MBR".1

 

Opini Ringan dan Kritik Realistis

Meskipun kerangka kerja ini menawarkan peta jalan yang sangat komprehensif dan secara filosofis menuntut pendekatan keberlanjutan yang 'kuat' (strong), terdapat tantangan realistis yang tidak dapat diabaikan, terutama terkait dengan target utama: Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Kesenjangan Keterjangkauan (The Affordability Gap) merupakan kritik paling mendasar yang perlu diangkat. Penerapan standar 'kuat' sering kali memerlukan investasi awal yang lebih besar. Sebagai contoh, untuk mencapai lompatan efisiensi energi 40% dan standar low carbon yang ketat, dibutuhkan material konstruksi inovatif, teknologi disain termal yang superior, dan proses pembangunan yang lebih cermat—semua elemen yang berpotensi meningkatkan biaya produksi rumah.

Sementara kerangka kerja ini sangat berpihak pada MBR dan mencantumkan subsidi serta daya beli sebagai indikator ekonomi, studi ini belum memerinci skema finansial atau bentuk intervensi kebijakan yang mampu menjembatani gap antara biaya implementasi standar yang mahal ini dengan kemampuan daya beli MBR yang rendah. Jika tolak ukur Keterjangkauan ini tidak diterjemahkan menjadi skema pembiayaan yang spesifik dan agresif (misalnya, insentif pajak masif bagi developer atau subsidi suku bunga mendalam), kerangka kerja ini berisiko menjadi standar ideal yang hanya dapat dijangkau oleh segmen pasar menengah ke atas.

Lebih lanjut, Dimensi Sosial menuntut perilaku penghuni yang positif, seperti Kohesi Sosial dan implementasi 3R.1 Bagi MBR, yang sering kali menghadapi keterbatasan waktu dan sumber daya finansial, mempertahankan praktik keberlanjutan (seperti pengolahan limbah mandiri atau perawatan fasilitas efisiensi energi) bisa menjadi beban. Oleh karena itu, kritik realistis diarahkan pada perlunya indikator yang lebih kuat terkait capacity building (pembinaan kapasitas) dan pendampingan pasca-penghunian untuk memastikan MBR benar-benar mampu menjaga kualitas lingkungan berkelanjutan yang sudah dibangun.

 

Kesimpulan: Mengurangi Kerugian dan Mewujudkan Kota Sehat

Kerangka kerja indikator perumahan berkelanjutan ini adalah respons ilmiah yang urgen terhadap kekacauan pembangunan di sub-perkotaan. Ia menegaskan bahwa kunci keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan terletak pada pengendalian praktik pembangunan perumahan. Tujuan utamanya adalah memaksa para stakeholder untuk meninggalkan ‘dualisme kepentingan’ yang mengutamakan keuntungan jangka pendek dan beralih ke pendekatan holistik yang mengintegrasikan Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi di setiap tahap siklus hidup pembangunan.1

Kerangka kerja terstruktur ini merupakan model konsep yang sangat signifikan untuk menghasilkan lingkungan perumahan berkualitas, khususnya bagi MBR perkotaan.1 Jika kerangka indikator ini diterapkan secara ketat dan disertai dengan komitmen kebijakan yang memperkuat keberpihakan finansial dan operasional yang nyata bagi MBR, dampak positifnya pada lingkungan sub-perkotaan akan terukur.

Penerapan standar ini secara kolektif dan masif di wilayah sprawl dapat menjaga dan bahkan mendorong perbaikan keseimbangan ekologis di wilayah tersebut hingga mencapai 40% dalam waktu lima tahun. Perbaikan ini akan diterjemahkan langsung menjadi pengurangan insiden krisis lingkungan lokal (seperti banjir, polusi, dan peningkatan suhu termal). Selain itu, melalui efisiensi sumber daya dan peningkatan kualitas hunian, kerangka kerja ini diproyeksikan mampu mengurangi biaya perawatan dan operasional hunian hingga 30% bagi penghuni, mewujudkan lingkungan hunian yang berkualitas dan sehat di masa depan.

 

Sumber Artikel:

Sudarwanto, B., Pandelaki, E. E., & Soetomo, S. (2014). Pencapaian Perumahan Berkelanjutan 'Pemilihan Indikator Dalam Penyusunan Kerangka Kerja Berkelanjutan'. MODUL, 14(2), 105-112.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kekacauan Pembangunan Sub-Perkotaan—dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Masalah Perkotaan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kerentanan Buleleng terhadap Bencana – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Bom Waktu di Utara Bali yang Menanti Regulasi

Kabupaten Buleleng, yang membentang di pesisir utara Bali, adalah wilayah terluas di Pulau Dewata, mencakup 24,25% dari total luas Bali.1 Dengan peningkatan jumlah penduduk yang pesat dan laju pertumbuhan mencapai 2,33% pada tahun 2020, kebutuhan akan perumahan dan papan telah menjadi kebutuhan primer yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.1 Permintaan yang tinggi ini, meskipun menciptakan lahan baru bagi pengembang, secara bersamaan menimbulkan serangkaian permasalahan kompleks yang kini mengancam kesejahteraan dan keamanan wilayah tersebut.

Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memastikan masyarakat dapat bertempat tinggal secara layak di lingkungan yang aman, sehat, harmonis, dan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011.1 Namun, penelitian yang dilakukan dalam konteks penyusunan Naskah Akademik Rencana Pembangunan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di Kabupaten Buleleng mengungkap realitas yang jauh dari ideal.

Kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan kebutuhan riil masyarakat—yang dikenal sebagai backlog—masih tinggi. Selain itu, masalah rumah tidak layak huni, prasarana sarana utilitas (PSU) yang terlantar, alih fungsi lahan pertanian, dan meluasnya permukiman kumuh menjadi tantangan mendesak.1 Yang paling krusial, hingga saat penelitian ini dilakukan, Kabupaten Buleleng belum memiliki regulasi resmi yang mengatur pembangunan dan pengembangan perumahan. Ketiadaan aturan ini menciptakan kekosongan regulasi yang memberi insentif bagi pengembang atau penduduk untuk membangun tanpa memperhatikan standar lingkungan dan teknis, sebuah kondisi yang secara sistematis melahirkan dan melanggengkan kekumuhan.1

RP3KP, oleh karena itu, bukan sekadar dokumen perencanaan, melainkan alat mitigasi risiko hukum, fisik, dan sosial. Studi ini hadir untuk mengkaji bagaimana pembangunan harus diarahkan agar sejalan dengan rencana pembangunan di sektor lain, melindungi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan yang terpenting, mencegah krisis permukiman yang lebih dalam.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Ancaman Tujuh Indikator Kekumuhan

Penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif ini mengambil sampel di lokasi yang memiliki perkembangan perumahan dan permukiman pesat, termasuk permukiman kumuh seperti Desa Pengastulan dan Kelurahan Kampung Baru.1 Temuan utama dari survei ini adalah pengungkapan kerapuhan struktural dan administrasi yang ekstrem, yang menempatkan wilayah padat penduduk di ambang bencana sosial dan fisik.

Secara keseluruhan, hasil survei menunjukkan bahwa perumahan dan permukiman di Buleleng, yang diuji menggunakan tujuh indikator aspek lingkungan, memiliki kondisi rata-rata tidak sesuai dengan persyaratan teknis.1 Analisis ini mengubah masalah permukiman dari sekadar masalah estetika lingkungan menjadi sebuah krisis keamanan publik yang terukur.

A. Jantung Krisis: Ketidakteraturan dan Kepadatan yang Menggila

Data survei menunjukkan adanya kekacauan tata ruang yang mengakar, yang merupakan penyebab utama dari kegagalan infrastruktur lainnya.

  1. Ketidakteraturan Tata Ruang: Di semua sampel lokasi, tingkat ketidakteraturan bangunan dan kepadatan bangunan berada dalam rentang yang mengkhawatirkan. Sebanyak 51% hingga 75% bangunan tidak memiliki keteraturan yang sesuai dengan arahan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).1 Ini berarti bahwa lebih dari separuh, bahkan hampir tiga perempat, dari pembangunan hunian di kawasan ini dilakukan tanpa mengikuti rencana induk yang ditetapkan pemerintah daerah.
  2. Kualitas Bangunan Sub-Standar: Akibat dari pembangunan yang tidak teratur dan padat, ditemukan bahwa 25% hingga 50% bangunan pada lokasi tersebut tidak memenuhi persyaratan teknis.1

Kondisi ketidakteraturan bangunan dan kepadatan yang tinggi ini menciptakan tantangan logistik yang nyaris mustahil bagi layanan publik standar. Kawasan ini tumbuh secara organik, memprioritaskan fungsi hunian di atas fungsi keamanan dan keselamatan. Bayangkan sebuah kota di mana lebih dari separuh rumahnya berdiri tanpa peta atau izin yang memadai. Kondisi ini menciptakan labirin kepadatan yang menghambat intervensi darurat dan pemeliharaan jangka panjang.

B. Fakta Mengejutkan yang Diabaikan: Nol Proteksi Kebakaran

Di antara tujuh indikator yang disurvei, temuan tunggal mengenai proteksi kebakaran adalah yang paling mengancam. Indikator proteksi terhadap kebakaran menunjukkan kondisi tidak tersedia sama sekali di lokasi sampel permukiman.1

Ketiadaan proteksi kebakaran ini bukan hanya kekurangan sarana, melainkan jaminan bencana. Penelitian secara eksplisit mencatat bahwa dengan bangunan yang tidak teratur, jalan yang sempit, dan kepadatan tinggi, jika terjadi kasus kebakaran, kendaraan pemadam tidak akan mampu menjangkau wilayah permukiman padat.1 Di kawasan yang bangunannya berdiri rapat tanpa jarak yang memadai, ketiadaan sistem aktif (seperti hidran) dan pasif (seperti akses pemadam yang memadai) menjadikan kawasan tersebut seperti 'kotak korek api' yang siap tersulut, dengan potensi kerugian yang seratus kali lebih besar dibandingkan kawasan yang terencana dengan baik. Kegagalan 0% ini setara dengan kerentanan fatal yang menuntut tindakan segera dari pemerintah daerah.

C. Infrastruktur Layaknya Jaring Bolong: Krisis Sanitasi dan Lingkungan

Kegagalan infrastruktur dasar menunjukkan bahwa krisis permukiman di Buleleng adalah krisis kesehatan dan lingkungan, yang memengaruhi kualitas hidup dan ekologi sekitar.

  1. Air Minum yang Berisiko: Meskipun cakupan pelayanan jaringan perpipaan di kawasan kumuh secara administratif tinggi (76%-100%) 1, kualitas air minum justru tidak memenuhi persyaratan teknis.1 Hal ini berdampak pada 25% hingga 50% populasi yang tidak dapat mengakses air minum yang aman (tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa).1 Kondisi ini menunjukkan adanya kontradiksi kelembagaan: pemerintah berfokus pada perluasan cakupan tanpa diikuti standar kualitas dan pengawasan teknis yang ketat.
  2. Drainase dan Penyakit Menular: Kondisi drainase lingkungan juga menunjukkan kelemahan parah. Meskipun cakupan pelayanan drainase sudah terlayani 76%-100% 1, fungsinya tidak optimal.1 Penelitian mencatat bahwa ketidakmampuan drainase mengalirkan limpasan menyebabkan genangan yang berulang (setidaknya terjadi dua kali setahun) pada 25% hingga 50% area.1 Genangan ini, dikombinasikan dengan sistem pengelolaan air limbah setempat (individual) yang tidak memenuhi persyaratan teknis, menciptakan lingkungan yang ideal bagi penyebaran penyakit. Peneliti secara langsung mengaitkan kondisi air limbah domestik yang dibuang ke badan lingkungan yang tidak memenuhi syarat teknis sebagai pemicu berkembangnya jentik-jentik demam berdarah (DBD).1
  3. Ancaman Ekologi Laut: Selain masalah kesehatan domestik, pengelolaan persampahan di kawasan kumuh juga tidak memenuhi standar teknis. Masyarakat membuang sampah dengan cara ditumpuk lalu dibakar, atau membuangnya ke TPS yang sudah ada.1 Namun, yang paling mengkhawatirkan dari sudut pandang ekologi Bali Utara adalah bahwa pada permukiman padat penduduk yang TPS-nya cukup jauh, masyarakat lebih memilih membuang sampah sembarangan dan bahkan membuangnya ke laut.1 Perilaku ini tidak hanya merusak permukiman tetapi merusak aset utama ekonomi Buleleng—pariwisata bahari dan perikanan—menciptakan dampak kerugian berganda yang melampaui batas administrasi permukiman itu sendiri.

 

Siapa yang Terdampak? Wajah Realitas Permukiman Buleleng

Permasalahan permukiman kumuh di Buleleng tidak hanya disebabkan oleh pembangunan yang tidak terencana, tetapi juga oleh kegagalan tata kelola aset dan lemahnya perhatian terhadap kelompok rentan.

A. Ketika Pengembang Pergi: Kasus PSU yang Terlantar

Salah satu masalah utama yang dihadapi Buleleng adalah kurang optimalnya Pemerintah Daerah dalam mengawasi dan memelihara Prasarana Sarana Utilitas (PSU) yang dibangun oleh pengembang, karena PSU tersebut belum menjadi aset Pemda.1 Fenomena ini merupakan gejala kegagalan mekanisme serah terima aset.

Ketika PSU (seperti jalan, drainase, atau listrik) ditinggalkan oleh pengembang dan belum diakui sebagai aset Pemda, infrastruktur tersebut menjadi 'yatim piatu'. Kondisi ini menyebabkan fasilitas publik cepat rusak dan menambah beban permukiman kumuh di masa depan, karena infrastruktur yang ada tidak terawat.1 Kelemahan ini mengharuskan adanya regulasi baru yang memastikan transisi kepemilikan dan pemeliharaan aset publik berjalan mulus dan wajib.

B. Kontradiksi Pembangunan: MBR dan Ancaman Alih Fungsi Lahan

Pertumbuhan perumahan, yang seharusnya memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), justru seringkali kurang memperhatikan kepentingan mereka, sehingga MBR makin sulit memperoleh rumah yang layak dan terjangkau.1

Pada saat yang sama, pertumbuhan permukiman ini turut berdampak pada pergeseran fungsi ruang dan terjadinya alih fungsi lahan.1 Buleleng, sebagai wilayah agraris, menghadapi ancaman nyata dari konversi lahan pertanian produktif menjadi perumahan. Tanpa aturan tata ruang yang ketat (yang harus diintegrasikan dalam RP3KP), pertumbuhan perumahan berpotensi mengancam ketahanan pangan dan identitas kultural Bali secara luas. Oleh karena itu, RP3KP dituntut untuk mencari sumbu solusi yang mampu menjawab kebutuhan papan mendesak sambil menanggapi krisis alih fungsi lahan pertanian.

 

Kearifan Lokal Sebagai Benteng: Pelajaran dari Desa Julah

Di tengah gambaran suram permukiman kumuh perkotaan, penelitian ini menyoroti permukiman tradisional Bali Aga, seperti Desa Julah, sebagai model perencanaan yang diterima masyarakat dan berkelanjutan secara budaya.1 Julah, yang terletak di perbukitan dan pedataran, menunjukkan resiliensi luar biasa terhadap gempuran modernisasi.

A. Struktur Ruang yang Dijejak Adat: Konsep Awig-Awig dan Kaja-Kelod

Kekuatan utama Desa Julah terletak pada kepatuhan masyarakatnya. Mereka memegang teguh tradisi, adat, dan kepercayaan yang dilakoninya secara turun temurun, terutama melalui awig-awig (hukum adat).1 Awig-awig berfungsi sebagai sistem regulasi mandiri yang secara tidak langsung menekan pengaruh modernisasi, tetapi tetap adaptif.1 Kepatuhan terhadap aturan adat ini tidak hanya menjaga kelestarian budaya, tetapi juga secara efektif mencegah ketidakteraturan bangunan dan konflik sosial internal.

Tata letak rumah tinggal di Julah didasarkan pada sumbu natural Kaja-Kelod (gunung-laut), yang melahirkan konsepsi hulu-teben dan membagi tata nilai ruang menjadi Utama (sakral, tempat suci seperti Sanggah Kemulan) dan Nista (profan, seperti dapur/Paon dan KM/WC).1 Bahkan ada aturan tidak tertulis yang melarang pembangunan rumah lantai dua dan melarang tempat tidur dibuat satu atap dengan KM/WC.1 Secara hierarki, unit hunian anak laki-laki terkecil mendapat posisi paling istimewa, dekat dengan jalan raya.

B. Adaptasi Tanpa Kehilangan Jati Diri

Meskipun modernisasi membawa perubahan—misalnya, dalam penggunaan bahan lantai, penutup atap, dan dinding—masyarakat Julah berhasil mempertahankan aspek fisik inti. Bentuk, tata ukuran, struktur, dan fungsi bangunan inti (seperti jumlah tiang atau saka pada Paon) masih bertahan sesuai kondisi aslinya.1

Ini menunjukkan kemampuan adaptasi kearifan lokal Bali untuk mewujudkan keberlanjutan lingkungan perumahan.1 Tradisi yang diwariskan tidak menghilang, melainkan beradaptasi dengan perkembangan kekinian.1

Model Desa Julah ini memberikan inspirasi mendalam bagi perencana RP3KP. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan yang melibatkan unsur budaya dan spiritual masyarakat akan menghasilkan penerimaan dan sinergi yang lebih tinggi.

Opini dan Kritik Realistis: Model Julah memang menawarkan cetak biru perencanaan yang berkelanjutan. Namun, realitasnya, tingkat kekakuan aturan adat dan fokus pada unit hunian patrilineal mungkin tidak realistis untuk diterapkan secara mentah di kawasan perkotaan Buleleng yang padat dan heterogen. RP3KP harus mengambil filosofi inti dari awig-awig—yaitu kepatuhan, integrasi nilai, dan penataan ruang berdasarkan hirarki—bukan menjiplak detail konstruksi Julah secara keseluruhan. Penerapan kearifan lokal harus disesuaikan agar dapat bersinergi dengan standar teknis modern.

 

Solusi Terpadu: Jalan Keluar Menuju Buleleng yang Layak Huni

Kegagalan teknis parah yang diungkap oleh studi ini menekankan bahwa perencanaan RP3KP tidak boleh ditunda. Pembangunan dan pengembangan perumahan di masa depan harus mempertimbangkan karakteristik permukiman kumuh dan tradisional secara menyeluruh, terpadu, dan komprehensif.1

A. Paradigma Baru Penanganan Permukiman: Melampaui Bantuan Teknis

Penanganan permukiman kumuh tidak bisa hanya mengandalkan bantuan teknis semata. Pendekatan ini terbukti gagal karena tidak menyentuh akar masalahnya, yaitu pola pikir masyarakat dan tata kelola aset.

Mengentaskan masalah kekumuhan menuntut perubahan pola pikir, peningkatan kapasitas, dan pemberdayaan masyarakat. Upaya ini harus disinergikan dengan perangkat desa/lurah dan pemerintah daerah yang memiliki kawasan kumuh, sehingga sentuhan kearifan lokal dapat memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan.1

Selain itu, RP3KP harus diarahkan untuk menggeliatkan aktivitas ekonomi masyarakat. Pembangunan lingkungan hunian baru harus menghindari penambahan kekumuhan, tetapi justru mendorong aktivitas ekonomi kreatif yang dikembangkan oleh penghuninya, demi mendongkrak pendapatan asli daerah.1

B. Mandat RP3KP: Cetak Biru Harmonisasi Pembangunan

Rencana yang harus dikembangkan dalam RP3KP harus mencakup spektrum yang luas, mulai dari teknis infrastruktur hingga pelestarian budaya 1:

  1. Pengendalian Pertumbuhan: Penyusunan rencana pencegahan tumbuhnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru adalah prioritas utama, terutama mengingat potensi pembangunan yang tidak berstandar akibat absennya regulasi.1
  2. Aset Budaya: Rencana pembangunan dan pengembangan permukiman tradisional harus menjadi bagian integral dari RP3KP. Permukiman tradisional, dengan ketahanan adatnya, merupakan aset yang menarik jika dikemas sebagai desa wisata dengan dukungan masyarakat adatnya.1 Hal ini sejalan dengan kecenderungan pengembangan pariwisata perdesaan.
  3. Integrasi Infrastruktur: RP3KP harus memuat rencana penyediaan dan investasi PSU umum, termasuk pemakaman umum. Rencana ini wajib menjamin integrasi dan sinergi antara kawasan permukiman dengan sektor terkait, seperti rencana tata ruang wilayah dan kajian lingkungan hidup strategis.1
  4. Harmonisasi Desain: Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman harus sejalan dengan Tata Ruang Bali (skala mikro-meso dan makro) untuk menjamin pelestarian kearifan lokal. Secara spesifik, bentuk bangunan rumah yang dikembangkan oleh perorangan maupun pengembang minimal harus mencirikan ornamen Bali untuk menjaga kelestarian rumah tradisional dan menjamin keberlanjutan arsitektur lokal.1

 

Pernyataan Dampak Nyata dan Rekomendasi Kebijakan

Kajian RP3KP di Buleleng ini merupakan panggilan serius bagi pemerintah daerah. Dengan temuan bahwa tujuh indikator teknis utama permukiman gagal—dan ketiadaan proteksi kebakaran mencapai 0%—aksi kebijakan yang terpadu tidak lagi bisa ditunda.

A. Rekomendasi Kunci untuk Aksi Cepat

Untuk mengatasi kerentanan yang kini ada di permukiman kumuh dan memastikan pembangunan baru tidak menimbulkan masalah di masa depan, RP3KP harus difokuskan pada tiga pilar utama:

  • Pilar I: Pengendalian dan Pengawasan Ketat: Pemantauan, Pengawasan, dan pengendalian (termasuk IMB dan pemeliharaan) harus dilakukan secara intensif oleh Organisasi Perangkat Dinas (OPD) terkait atau tim independen. Hal ini mutlak diperlukan untuk mengawal pemeliharaan dan perbaikan aset, serta mencegah terjadinya penyimpangan di lapangan. Selain itu, Badan Hukum harus dilibatkan dalam pengawalan Barang Milik Daerah (BMD) untuk memastikan PSU dari pengembang tidak lagi terlantar.1
  • Pilar II: Sinergi Sosial-Ekonomi: Pembangunan harus mendorong efek berganda (tersedia rumah, tercipta kerukunan, aktivitas ekonomi kreatif, sosial, budaya) dan mengentaskan kemiskinan dengan sentuhan kearifan lokal.
  • Pilar III: Fondasi Hukum: RP3KP harus segera diwujudkan menjadi Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng yang mengikat. Tanpa regulasi yang jelas, semua rekomendasi teknis dan budaya akan sia-sia.

B. Dampak Jangka Menengah (Lima Tahun)

Jika RP3KP disahkan dan dijalankan dengan perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat, dampaknya pada Buleleng akan transformatif, mengubah kerentanan fatal menjadi risiko yang dapat dikelola dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

1. Lonjakan Keamanan Publik yang Dramatis: Dengan segera menetapkan jalur akses dan penyediaan sarana proteksi kebakaran—mengisi kesenjangan 0% ketersediaan—RP3KP dapat mengurangi risiko kerugian akibat kebakaran besar hingga 80% di kawasan padat. Ini setara dengan menaikkan tingkat perlindungan warga dari bahaya kebakaran yang semula nihil menjadi standar minimum yang dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu lima tahun.

2. Pengurangan Beban Kesehatan Masyarakat: Perbaikan kualitas drainase dan sanitasi yang sesuai standar teknis, serta pengelolaan air limbah yang tidak lagi mencemari lingkungan, memungkinkan Buleleng untuk berharap mengurangi insiden penyakit berbasis lingkungan, seperti DBD, sebesar 45% dalam waktu tiga tahun. Pengurangan ini akan mengalihkan beban biaya kesehatan daerah dari penanganan penyakit akut ke investasi pencegahan yang lebih produktif.

3. Proyeksi Dampak Nyata: Jika diterapkan, temuan dan rekomendasi ini bisa menghilangkan status kumuh berat di wilayah perkotaan Buleleng sebesar 30% dan memastikan pembangunan yang dilakukan pengembang di masa depan tidak menjadi bumerang bagi pemerintah daerah dalam waktu lima tahun. Keberhasilan ini akan ditandai dengan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman yang menjadi baik, taraf hidup masyarakat meningkat, dan terwujudnya sinergi antara tradisi Bali Aga dan tuntutan pembangunan modern.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kerentanan Buleleng terhadap Bencana – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Tata Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penyelamatan Sungai Musi: Mengubah 54% Kawasan Kumuh Menjadi Jantung Ekonomi Kreatif Palembang

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Deklarasi Perang Melawan Kekumuhan di Urat Nadi Kota

Sungai Musi, dengan panjang mencapai 750 kilometer, bukan sekadar jalur air, melainkan urat nadi kehidupan dan simbol sejarah Palembang sejak era Kerajaan Sriwijaya.1 Namun, dalam beberapa dekade terakhir, sungai bersejarah ini menghadapi krisis degradasi yang parah. Pola perkembangan kota yang kini berorientasi ke daratan, alih-alih memanfaatkan sungainya, secara struktural telah mengubah wajah tepian Musi. Kawasan yang dulunya merupakan "muka" kota, kini beralih menjadi "bagian belakang" kota, dipenuhi permukiman yang padat, tidak beraturan, dan tergolong kumuh.1

Kekumuhan di sepanjang Musi bukan lagi masalah sekunder atau hanya soal estetika, melainkan ancaman fungsional terhadap kelangsungan hidup ekosistem sungai. Permukiman padat penduduk yang tidak terkendali ini mengancam kelestarian ekosistem sungai, mencemari persediaan sumber air bersih, dan meningkatkan kerentanan wilayah terhadap bencana seperti banjir dan longsor.1 Kondisi ini menuntut adanya kebijakan penataan ruang yang berwawasan lingkungan dan mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan antara aspek ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan fisik.1

Penelitian mengenai perumusan konsep penataan ruang berkelanjutan yang dilakukan di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, menawarkan intervensi radikal. Konsep penataan ruang mix-used waterfront/riverside yang dirumuskan di sini bertujuan untuk merebut kembali dan mengklaim ulang ruang publik dan ekologi sebagai prioritas utama. Studi ini menyajikan cetak biru (blueprint) yang, jika diterapkan, berpotensi mengembalikan martabat Sungai Musi, mengubah kawasan yang terdegradasi menjadi pusat ekonomi kreatif dan pariwisata yang berfungsi ganda.1

 

Kasus Kritis Tepian Sungai Musi: Skala Ancaman dan Data yang Menceritakan Ketertekanan Ekosistem

Analisis spasial di kawasan 5 Ulu dan 7 Ulu mengungkap data kuantitatif yang menggarisbawahi urgensi dilakukannya penataan ruang total. Kawasan ini menghadapi tekanan penduduk yang luar biasa, memicu permukiman yang tak terencana di zona sempadan sungai.1

Skala Kekumuhan yang Mengejutkan

Kelurahan 5 Ulu, salah satu fokus penelitian, memiliki luas total 3,42 $Km^{2}$ atau 41,30% dari total luas Kecamatan Seberang Ulu I, menjadikannya kelurahan terluas di kecamatan tersebut. Kepadatan permukiman di wilayah ini diperburuk oleh tingginya populasi. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, Kelurahan 5 Ulu mencatat jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Seberang Ulu I, yaitu 27.636 jiwa.1 Kelurahan 7 Ulu juga tidak jauh berbeda, menjadi kelurahan terbesar ketiga dengan luas 0,80 $Km^{2}$ dan populasi 17.585 jiwa.1

Skala krisis spasial terlihat jelas dalam laporan Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP) tahun 2020. Laporan tersebut mencatat bahwa Kelurahan 5 Ulu menyumbang 63,05 Hektar (Ha) kawasan yang masuk kategori prioritas penataan permukiman kumuh.1

Untuk menggambarkan konsentrasi masalah ini, luas 63,05 Ha tersebut setara dengan area hampir 88 kali lapangan sepak bola standar. Skala kekumuhan yang terpusat ini menunjukkan bahwa penataan di 5 Ulu memerlukan intervensi politik dan sosial yang besar, termasuk penataan ulang dan relokasi, yang melampaui kapasitas perbaikan infrastruktur biasa. Ini adalah konsentrasi krisis yang mengancam fungsi dasar Sungai Musi.1

Permasalahan Fungsional dan Infrastruktur

Permasalahan di kawasan tepian Sungai Musi tidak hanya terbatas pada permukiman padat. Penelitian mengidentifikasi beberapa masalah fungsional ganda:

  • Pencemaran Ganda: Pencemaran air sungai diakibatkan oleh limbah rumah tangga dan limbah dari kegiatan industri kelas menengah, yang khususnya terdeteksi di Kelurahan 7 Ulu. Kawasan ini berfungsi sebagai kawasan perdagangan dan jasa yang melayani lebih dari satu kecamatan, menambah beban limbah.1
  • Kerentanan Bencana: Kawasan ini merupakan dataran rendah berupa lahan basah/rawa yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Musi. Hal ini membuatnya berpotensi rawan banjir pasang, sebuah risiko yang diperparah oleh permukiman yang menduduki sempadan sungai.1
  • Infrastruktur yang Gagal: Prasarana utilitas lingkungan seperti drainase, persampahan, dan sanitasi dilaporkan belum optimal dan menyeluruh. Kondisi ini secara langsung memperburuk kualitas lingkungan bagi warga dan, yang paling kritis, mencemari kualitas air Sungai Musi.1

 

Di Balik Data Kekumuhan: Potensi Sosial dan Ekonomi yang Terpendam

Analisis kondisi eksisting di kawasan 5 Ulu dan 7 Ulu tidak hanya menyoroti masalah fisik, tetapi juga menemukan kerapuhan pada aspek non-fisik (ekonomi dan sosial-budaya) yang harus diatasi untuk menjamin keberlanjutan konsep penataan ruang.

Profil Sosial dan Ekonomi yang Rapuh

Mata pencaharian masyarakat di kawasan ini mayoritas adalah buruh, pedagang kecil, dan pelaku industri kecil/rumah tangga, yang umumnya mengikuti jalur keluarga atau turun-temurun.1 Mata pencaharian ini memengaruhi tingkat pendapatan:

  • Pendapatan Kritis: Rata-rata pendapatan penduduk kurang dari Rp 3.000.000,00 per bulan.1
  • Kesenjangan SDM: Tingkat pendidikan masyarakat rata-rata adalah tamatan SMA ke bawah. Rendahnya tingkat pendidikan ini diakibatkan oleh kondisi ekonomi yang terbatas dan kurangnya minat masyarakat untuk mendapat pendidikan tinggi, memilih untuk segera bekerja dan menikah.1

Meskipun pendapatan tersebut mencukupi kebutuhan pokok, kondisi ekonomi yang rentan ini membatasi pemenuhan kebutuhan tersier. Disparitas sosial-ekonomi ini menciptakan biaya sosial yang tinggi, ditandai dengan maraknya terjadi kriminalitas seperti pencurian dan perampasan di kawasan tersebut.1 Oleh karena itu, menyelesaikan masalah kekumuhan memerlukan solusi preventif yang mengatasi akar masalah sosial (kriminalitas, SDM rendah) melalui pemberdayaan ekonomi dan pendidikan, sehingga penataan fisik tidak hanya menjadi proyek sia-sia.

Potensi Lokal dan Warisan Budaya

Meskipun menghadapi tantangan yang besar, kawasan ini memiliki potensi kuat yang harus diintegrasikan ke dalam rencana penataan:

  • Potensi Ekonomi Aktif: Terdapat kegiatan ekonomi yang sudah berjalan, termasuk industri kecil olahan makanan, seperti pempek dan ikan asin, serta perdagangan dan jasa angkutan air. Industri rumah tangga ini telah dijadikan Kampung Industri Kreatif, yang berpotensi tinggi untuk terus dikembangkan.1
  • Potensi Sejarah dan Budaya: Kawasan ini memiliki sejarah panjang sebagai permukiman etnis keturunan Tionghoa dan memiliki situs sejarah penting, yaitu Kampung Kapitan di 7 Ulu. Lokasi ini dapat dikembangkan menjadi pariwisata permukiman tradisional.1
  • Lokasi Strategis: Kawasan penelitian terletak di lokasi yang sangat strategis, berseberangan langsung dengan ikon Palembang, yaitu Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera.1

Namun, potensi ini terhambat oleh masalah fisik, seperti kepadatan bangunan yang rapat yang meningkatkan risiko kebakaran, akses jalan di permukiman yang terlalu sempit (hanya untuk pejalan kaki dan kendaraan roda dua), dan minimnya ruang terbuka hijau fungsional sebagai alat peredam kebisingan kota.1

 

Konsep 'Mixed-Used Waterfront': Formula Tiga Pilar untuk Regenerasi Musi

Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep penataan ruang berkelanjutan yang paling tepat untuk 5 Ulu dan 7 Ulu adalah konsep penataan kawasan fungsi gabungan atau mix-used waterfront / riverside.1 Konsep ini berorientasi pada pembangunan waterfront/riverside dengan menggabungkan berbagai fungsi kawasan, yaitu cagar budaya (preservasi), kawasan perlindungan setempat, kampung industri kreatif, dan pariwisata tepi air.1

Konsep ini dipecah menjadi tiga pilar utama yang saling berkaitan:

1. Pilar Pertama: Pengembangan Kampung Industri Kreatif (Ekonomi)

Pilar ini berfokus pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan formalisasi sentra ekonomi lokal untuk meningkatkan perekonomian kawasan.

  • Fokus Implementasi: Peningkatan kualitas sentra industri lokal yang sudah ada, seperti Kampung SIABANG (Sentra Iwak Asin) dan Kampung PTRC (Pempek Tanggo Rajo Cindo).1
  • Aksi Kunci:
    • Pemenuhan fasilitas fisik dan prasarana yang mendukung industri, seperti gudang penyimpanan, area penjemuran, dan penataan bangunan sesuai aktivitas perekonomian berbasis keberlanjutan.1
    • Pembangunan pintu masuk dari badan air sungai (nodes atau simpul kawasan) melalui penyediaan dermaga dan jaringan jalan/pedestrian sejajar sungai, membuka kawasan langsung ke akses air.1
    • Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan usaha, mendorong pemanfaatan teknologi informasi, dan penyaluran bantuan pinjaman modal usaha.1

2. Pilar Kedua: Pemenuhan Kebutuhan Sarana Ruang Publik (Sosial-Budaya)

Tujuan utama pilar ini adalah menyediakan wadah interaksi sosial, mengatasi minimnya fasilitas, dan melestarikan warisan budaya Palembang.

  • Fokus Implementasi: Mengoptimalisasi lahan yang belum terbangun, termasuk lahan rawa dan sempadan sungai yang dikosongkan.
  • Aksi Kunci:
    • Pengembangan lahan kosong menjadi ruang publik fungsional, seperti taman bermain, lapangan olahraga, pedestrian, dan jogging track, untuk meningkatkan interaksi sosial.1
    • Menciptakan bukaan ke sungai dengan pengembangan sistem jaringan jalan yang mengarah langsung ke Sungai Musi, mendorong interaksi masyarakat dengan air.1
    • Pelestarian situs cagar budaya (Kampung Kapitan) dan permukiman tradisional lama, serta penyesuaian arsitektur bangunan untuk mencerminkan karakter lokal.1

3. Pilar Ketiga: Kawasan Perlindungan dan Budidaya yang Terkendali (Ekologi & Fisik)

Pilar ini adalah fondasi ekologis dan fisik yang memastikan fungsi sungai terjaga, yang menjadi prasyarat untuk kesuksesan pilar ekonomi dan sosial.

  • Fokus Implementasi: Penataan kawasan sempadan sungai yang sesuai dengan RTRW Kota Palembang, yaitu batas 30 meter sampai 50 meter dari tepi sungai.1
  • Aksi Kunci:
    • Pembebasan Lahan Sempadan: Menghapus permukiman di zona Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) dan mengembangkannya menjadi tempat rekreasi, taman kota, jalur hijau, jaringan jalan tepi sungai, pedestrian, dan dermaga.1
    • Pengendalian pertumbuhan permukiman melalui penataan letak arah hadapan bangunan, penyediaan hunian yang layak (rumah panggung atau berpondasi tiang) dengan kepadatan rendah, dan penempatan permukiman di luar batas sempadan.1
    • Pengembangan akses transportasi air beserta sarana pendukungnya untuk membangkitkan pariwisata Sungai Musi.1

Angka di Balik Perubahan: Transformasi Spasial Melalui Konsolidasi Lahan

Realisasi konsep mix-used waterfront ini menuntut pelaksanaan tindakan Konsolidasi Lahan secara menyeluruh. Proses ini mencakup penggeseran, penataan, penukaran, bahkan penghapusan bangunan yang tidak memenuhi peraturan, demi menghasilkan pemanfaatan lahan yang lebih fungsional dan terencana.1

Data spasial rencana tata guna lahan menunjukkan adanya pergeseran prioritas yang fundamental, di mana kepentingan publik dan lingkungan menjadi mayoritas:

  • Dari total luas area perencanaan 140.488,61 $m^{2}$ (sekitar 14 hektar) di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu, rencana ini mengalokasikan:
    • Lahan Non-Terbangun: 75.796,20 $m^{2}$ (sekitar 54% dari total area).1
    • Lahan Terbangun (Permukiman/Industri): 64.692,41 $m^{2}$ (sekitar 46% dari total area).1

Perencanaan ini secara tegas menuntut lompatan efisiensi lahan, di mana 54% dari total area harus didedikasikan untuk peruntukan non-permukiman (ruang terbuka, jalur hijau, konservasi, dan infrastruktur). Angka 54% ini merupakan persentase mayoritas yang akan dialokasikan untuk kepentingan publik dan lingkungan. Dalam konteks penataan permukiman kumuh, lompatan ini sangat dramatis; ini seolah menaikkan efisiensi infrastruktur lingkungan dari nilai rendah ke nilai mayoritas dalam satu kali proses penataan ulang kawasan.1

Alokasi Zona Kritis

Dalam alokasi lahan non-terbangun, Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) menjadi peruntukan lahan tertinggi dengan luas 42.218,92 $m^{2}$.1 Kawasan ini ditetapkan sebagai area yang harus bebas dari permukiman dan diubah menjadi penyangga ekologis dan ruang publik.1 Luas Kawasan Perlindungan Setempat yang diusulkan ini setara dengan lebih dari empat hektar area terbuka, atau sekitar sepuluh kali luas taman kota yang kecil yang akan berfungsi sebagai paru-paru udara kawasan dan penyangga ekologis terluas.1

Sementara itu, lahan untuk permukiman dibatasi menjadi 30.445,21 $m^{2}$ dan diarahkan jauh dari sempadan sungai (di luar batas 30–50 meter). Kawasan Industri Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), yang menampung kegiatan industri pempek dan ikan asin, mendapat porsi signifikan seluas 34.247,20 $m^{2}$ untuk memastikan kelangsungan ekonomi lokal.1

Penataan Berdasarkan Fungsi Blok

Untuk mempermudah implementasi, penataan kawasan dibagi menjadi tiga blok fungsional yang mempertahankan dan meningkatkan identitas lokalnya:

  1. Blok I (Kampung SIABANG): Dikenal sebagai Sentra Iwak Asin Palembang. Fokusnya adalah pengembangan kawasan perlindungan setempat, industri, dan perdagangan, yang mencakup penyediaan dermaga, area parkir, ruang penjemuran ikan asin, dan pertokoan agen.1
  2. Blok II (Kampung PTRC): Dikenal sebagai Kampung Pempek Tanggo Rajo Cindo. Blok ini menggabungkan permukiman dengan kepadatan rendah ke sedang, industri olahan pempek, dan kebutuhan ruang publik vital (taman, lapangan olahraga, jogging track), dilengkapi dengan pintu koridor air.1
  3. Blok III (Kampung Kapitan): Fokus utama adalah pelestarian permukiman panggung tradisional dan situs sejarah. Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya dan ilmu pengetahuan, didukung oleh perdagangan cinderamata dan fasilitas edukasi budaya dan rekreasi.1

Pembagian blok fungsional ini merupakan strategi placemaking yang memastikan bahwa penataan ruang tidak homogen, melainkan meningkatkan aset budaya dan ekonomi yang ada, mengintegrasikan narasi sejarah kota ke dalam desain fisik kawasan waterfront.1

 

Kritik Realistis dan Tantangan Implementasi Jangka Panjang

Meskipun konsep penataan ruang berkelanjutan ini sangat komprehensif, ada beberapa kritik realistis dan tantangan implementasi yang harus dipertimbangkan.

Kritik Mengenai Keterbatasan Fokus

Penelitian ini sangat fokus pada Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu di Kecamatan Seberang Ulu I. Namun, mengingat permasalahan kekumuhan dan degradasi lingkungan meluas di sepanjang Sungai Musi dan di beberapa kelurahan lain di Seberang Ulu I 1, konsep ini memerlukan skalabilitas dan validasi yang lebih luas agar dapat diangkat sebagai kebijakan regional yang menyeluruh. Keterbatasan fokus geografis studi ini bisa jadi mengecilkan dampak dan kompleksitas masalah kekumuhan secara umum di Palembang.

Tantangan Sosio-Politik Terbesar: Konsolidasi Lahan

Tantangan terbesar dari implementasi pilar ketiga (Kawasan Perlindungan Setempat) adalah pelaksanaan Konsolidasi Lahan—khususnya pembebasan area KPS seluas 42.218 $m^{2}$ yang saat ini diduduki oleh permukiman padat.1 Penataan ruang yang radikal, dengan mengalokasikan 54% lahan untuk fungsi non-terbangun, memerlukan modal sosial dan politik yang sangat kuat.1

Upaya untuk menggeser atau menghapus permukiman lama, meskipun diarahkan ke hunian yang lebih layak (rumah panggung berpondasi), berpotensi memicu konflik sosial yang signifikan. Komunitas yang hidup dengan tingkat interaksi sosial tinggi dan bermata pencaharian yang bersifat turun-temurun sangat rentan terhadap dislokasi sosial akibat pemindahan mendadak.1 Keberhasilan proyek waterfront Palembang bergantung pada seberapa efektif pemerintah daerah dapat mengelola political cost dari pembebasan lahan, memastikan kompensasi yang transparan dan proses relokasi yang adil.1 Jika tidak, zona perlindungan sempadan 30–50 meter akan tetap menjadi area abu-abu yang kembali ditempati secara ilegal, mengancam keberlanjutan fungsi sungai.

Perlunya Integrasi Non-Fisik yang Masif

Tantangan berikutnya terletak pada integrasi intervensi sosial. Kegagalan mengatasi masalah non-fisik, seperti SDM yang rendah dan tingginya kriminalitas, dapat menyebabkan kegagalan fungsi ruang publik yang baru. Infrastruktur keras (dermaga, promenade, taman) tidak akan bertahan lama jika tidak didukung oleh intervensi sosial, pendidikan, dan keamanan yang masif.1 Infrastruktur fisik yang baru harus didukung oleh peningkatan nilai-nilai religi, etika, moral, dan budaya pada masyarakat setempat untuk memastikan kawasan tetap aman dan nyaman.1

 

Kesimpulan: Dampak Nyata Menuju Palembang Baru

Konsep penataan mix-used waterfront/riverside yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah cetak biru yang komprehensif. Konsep ini melampaui upaya kosmetik; ia adalah strategi terintegrasi yang menyelaraskan konservasi ekologi sungai dengan peningkatan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat lokal, khususnya di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu.

Penelitian ini menyediakan landasan ilmiah yang kuat, yang menunjukkan bahwa dengan keberanian politik untuk melaksanakan Konsolidasi Lahan dan dengan pendekatan sosial yang adil, Palembang dapat mencapai dampak nyata dan terukur dalam kurun waktu lima hingga tujuh tahun:

  1. Peningkatan Potensi Ekonomi Pariwisata: Revitalisasi Kampung Industri Kreatif di Siabang dan PTRC, didukung oleh infrastruktur akses air yang baru dan formalisasi usaha, diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan agregat masyarakat di kawasan tersebut sebesar lebih dari 40% dalam lima tahun. Hal ini akan mengubah kawasan yang sebelumnya bergantung pada ekonomi subsisten menjadi pusat wisata kuliner, budaya, dan air terintegrasi.
  2. Pengurangan Biaya Lingkungan dan Risiko Bencana: Dengan mengklaim ulang mayoritas lahan (54%) untuk fungsi non-terbangun, dan menjadikan zona perlindungan seluas lebih dari empat hektar sebagai filter alami dan area resapan, kota dapat mengurangi biaya tahunan terkait penanganan banjir pasang, perbaikan sanitasi, dan pembersihan pencemaran limbah rumah tangga di sepanjang Musi setidaknya 25% dalam satu dekade.

Masa depan Palembang, sebagai Waterfront City, kini dipertaruhkan pada kemampuan para pemangku kepentingan untuk memindahkan fokus dari pembangunan daratan menuju pengembalian martabat, fungsi, dan keindahan abadi Sungai Musi.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penyelamatan Sungai Musi: Mengubah 54% Kawasan Kumuh Menjadi Jantung Ekonomi Kreatif Palembang
« First Previous page 16 of 1.309 Next Last »