Pembangunan Nasional
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 November 2025
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat bahaya seismik tertinggi di dunia. Letaknya di pertemuan empat lempeng tektonik utama — Indo-Australia, Eurasia, Pasifik, dan Filipina — menjadikan wilayah ini sangat rentan terhadap gempa bumi dan tsunami.
Dalam beberapa dekade terakhir, serangkaian gempa besar seperti Aceh (2004), Yogyakarta (2006), Padang (2009), Lombok (2018), dan Palu (2018) memperlihatkan betapa besarnya dampak gempa terhadap infrastruktur dan keselamatan masyarakat.
Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya berupa korban jiwa dan kerusakan fisik, tetapi juga gangguan terhadap aktivitas sosial dan ekonomi. Sektor pendidikan, kesehatan, hingga layanan publik sering lumpuh pascagempa karena kerusakan struktur bangunan yang tidak dirancang atau diperkuat sesuai standar tahan gempa. Situasi ini menunjukkan bahwa ketahanan infrastruktur terhadap beban seismik bukan lagi sekadar isu teknis, melainkan agenda strategis nasional yang berkaitan langsung dengan keselamatan publik dan keberlanjutan pembangunan.
Seiring meningkatnya kesadaran terhadap risiko bencana, fokus keilmuan dan praktik teknik sipil di Indonesia kini bergeser dari sekadar pembangunan baru menuju penguatan dan rehabilitasi bangunan eksisting. Banyak infrastruktur yang dibangun sebelum diterapkannya standar gempa modern (seperti SNI 1726:2019) tidak lagi memenuhi ketentuan desain terkini. Hal ini menimbulkan kebutuhan mendesak untuk melakukan perkuatan struktur (structural strengthening) atau bahkan penggantian sistem struktural (retrofit and replacement technologies) agar bangunan dapat berfungsi dengan aman dalam jangka panjang.
Artikel ini menyoroti berbagai pendekatan rekayasa dan inovasi material untuk meningkatkan ketahanan seismik. Topik yang dibahas tidak hanya mencakup metode teknis seperti shear wall, base isolation, dan fiber-reinforced polymer (FRP), tetapi juga prinsip evaluasi struktural dan pemilihan teknologi perkuatan yang sesuai dengan kondisi bangunan dan karakteristik tanah di wilayah gempa tinggi.
Lebih jauh, penguatan struktur bukan sekadar aktivitas teknis; ia merupakan proses manajemen risiko yang multidisipliner.
Keputusan untuk memperkuat, mengganti, atau bahkan merelokasi bangunan harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan keselamatan. Pendekatan ini menuntut kolaborasi antara insinyur, arsitek, pembuat kebijakan, dan masyarakat pengguna agar tercapai keseimbangan antara kinerja teknis dan keberlanjutan pembangunan.
Dengan memahami pentingnya strategi perkuatan dan penerapan teknologi pengganti, kita dapat melihat bahwa ketahanan seismik adalah investasi jangka panjang — bukan hanya untuk melindungi bangunan, tetapi juga untuk menjaga fungsi vital kehidupan masyarakat ketika bencana datang. Inilah alasan mengapa inovasi di bidang rekayasa struktur menjadi salah satu pilar utama menuju pembangunan infrastruktur Indonesia yang tangguh dan berketahanan.
Konsep Dasar Ketahanan Seismik
Ketahanan seismik (seismic resilience) adalah konsep yang melampaui sekadar “ketahanan struktur terhadap runtuh.” Ia mencakup kemampuan sistem bangunan untuk mempertahankan fungsi dan keselamatan penghuninya selama dan setelah terjadinya gempa. Pendekatan modern terhadap desain dan perkuatan struktur tidak hanya berfokus pada kekuatan (strength), tetapi juga pada daktilitas, disipasi energi, dan kemampuan pemulihan fungsi setelah bencana.
1. Prinsip Utama Desain Tahan Gempa
Desain tahan gempa modern didasarkan pada prinsip bahwa tidak ada struktur yang benar-benar bebas risiko terhadap gempa besar.
Tujuannya bukan untuk menghilangkan kerusakan, melainkan mengendalikannya agar tidak mengakibatkan kegagalan total.
Dalam konteks ini, tiga elemen dasar menjadi panduan utama:
Kekakuan (stiffness): kemampuan struktur menahan deformasi lateral agar getaran tidak menimbulkan perpindahan berlebihan.
Kekuatan (strength): kapasitas material dan elemen struktur untuk menahan gaya internal akibat beban gempa.
Daktilitas (ductility): kemampuan elemen struktur mengalami deformasi besar tanpa kehilangan kekuatan secara tiba-tiba.
Ketiga aspek ini saling berkaitan dan harus seimbang. Struktur yang terlalu kaku dapat mengalami patahan getas, sementara struktur yang terlalu fleksibel bisa mengalami simpangan besar dan gagal pada sambungan. Desain yang ideal adalah yang mampu menyerap energi gempa secara terkendali — melalui mekanisme plastis yang terencana.
2. Pendekatan Performance-Based Seismic Design
Dalam praktik rekayasa modern, standar internasional dan nasional (seperti SNI 1726:2019) mengadopsi konsep performance-based seismic design (PBSD). Pendekatan ini menilai kinerja struktur berdasarkan tingkat kerusakan yang dapat diterima (damage limit states), bukan hanya terhadap gaya maksimum. Tujuannya adalah agar desain atau perkuatan struktur sesuai dengan fungsi bangunan dan tingkat risiko yang dihadapi.
Ada empat tingkat kinerja yang umum digunakan:
Operational (OP): bangunan tetap berfungsi penuh pascagempa kecil.
Immediate Occupancy (IO): kerusakan ringan, bangunan aman untuk ditempati.
Life Safety (LS): kerusakan sedang, tetapi struktur tidak runtuh dan penghuni dapat menyelamatkan diri.
Collapse Prevention (CP): kerusakan berat, namun bangunan tidak mengalami keruntuhan total.
Bangunan rumah sakit, pusat data, dan fasilitas darurat biasanya dirancang untuk mencapai tingkat Immediate Occupancy bahkan setelah gempa besar, sedangkan gedung komersial atau hunian umumnya ditargetkan pada tingkat Life Safety. Pendekatan berbasis kinerja ini memberikan fleksibilitas dalam desain maupun retrofit, karena memungkinkan insinyur menyesuaikan strategi dengan tingkat risiko dan anggaran yang tersedia.
3. Dinamika Respons Struktur terhadap Gempa
Gempa bumi menimbulkan gerakan tanah dinamis yang menghasilkan percepatan, gaya inersia, dan deformasi pada struktur.
Respons bangunan terhadap beban ini bergantung pada tiga faktor utama:
Karakteristik tanah dasar (soil condition): tanah lunak dapat memperbesar amplitudo getaran, sedangkan tanah keras meredamnya.
Periode alami struktur (natural period): waktu yang diperlukan struktur untuk berosilasi secara alami. Bila periode ini berdekatan dengan frekuensi gempa dominan, terjadi resonansi yang meningkatkan risiko kerusakan.
Massa dan distribusi kekakuan struktur: bangunan tinggi atau tidak simetris lebih rentan terhadap simpangan besar dan efek torsi.
Pemahaman terhadap dinamika ini menjadi dasar dalam analisis respons gempa, baik melalui metode statik ekuivalen maupun analisis dinamis menggunakan response spectrum atau time history analysis.
4. Evaluasi Ketahanan pada Bangunan Eksisting
Untuk bangunan lama atau yang belum memenuhi standar modern, dilakukan evaluasi kapasitas seismik (seismic capacity assessment) guna menentukan apakah struktur tersebut perlu diperkuat atau diganti sebagian.
Tahapan evaluasi biasanya meliputi:
Identifikasi sistem struktur dan material eksisting.
Penilaian kondisi aktual (melalui nondestructive testing atau simulasi numerik).
Analisis kapasitas elemen terhadap gaya lateral.
Penentuan tingkat kinerja (performance level) aktual.
Hasil evaluasi ini menjadi dasar pemilihan strategi perkuatan (strengthening), penggantian (replacement), atau kombinasi keduanya.
Prinsip utamanya adalah mencapai keseimbangan antara biaya perbaikan dan peningkatan tingkat keamanan struktur.
5. Relevansi bagi Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, penerapan konsep ketahanan seismik memiliki dimensi sosial dan ekonomi yang signifikan. Banyak bangunan publik seperti sekolah, rumah sakit, dan perkantoran pemerintah dibangun sebelum diberlakukannya SNI terbaru.
Kondisi ini menjadikan program nasional retrofit seismik sebagai kebutuhan mendesak, bukan pilihan.
Selain itu, keragaman kondisi tanah, bentuk bangunan, dan praktik konstruksi di setiap daerah menuntut pendekatan adaptif berbasis risiko lokal. Pendekatan ini harus terintegrasi dengan kebijakan perencanaan wilayah, sistem perizinan bangunan, dan program mitigasi bencana daerah.
Dengan memahami prinsip dasar ketahanan seismik, para insinyur dan pembuat kebijakan dapat merancang strategi penguatan yang tidak hanya aman secara teknis, tetapi juga efisien, kontekstual, dan berkelanjutan.
Strategi Perkuatan Struktur
Perkuatan struktur (structural strengthening) merupakan upaya rekayasa untuk meningkatkan kapasitas bangunan dalam menahan beban lateral akibat gempa bumi. Tujuannya bukan hanya agar bangunan tidak runtuh, tetapi juga agar mampu menahan deformasi besar tanpa kehilangan kekuatan dan fungsi. Pendekatan ini menjadi penting terutama bagi bangunan eksisting yang dirancang sebelum adanya standar gempa modern, atau yang mengalami degradasi material akibat usia dan lingkungan.
Setiap metode perkuatan harus mempertimbangkan tiga aspek utama: kinerja struktural yang diinginkan, kelayakan teknis di lapangan, dan efisiensi biaya. Oleh karena itu, tidak ada solusi tunggal yang dapat diterapkan untuk semua jenis bangunan; pemilihan teknik harus disesuaikan dengan karakteristik struktur, tingkat kerusakan, serta tujuan perkuatan.
Berikut beberapa strategi yang umum diterapkan dan dibahas dalam materi video sumber.
1. Penambahan Elemen Struktural Baru
Salah satu pendekatan klasik dan paling efektif untuk meningkatkan ketahanan seismik adalah dengan menambahkan elemen struktural baru seperti dinding geser (shear wall), sistem pengaku baja (bracing system), atau kolom tambahan.
Dinding geser (shear wall) berfungsi menambah kekakuan lateral dan menahan gaya geser akibat gempa.
Aplikasinya umum pada gedung beton bertulang, terutama untuk memperkuat inti tangga atau lift.
Tantangan utamanya adalah memastikan integrasi antara dinding baru dengan struktur lama agar gaya dapat tersalurkan secara efektif.
Sistem bracing baja (X, V, atau K bracing) banyak digunakan pada struktur baja.
Selain menambah kekakuan, bracing juga meningkatkan daktilitas sistem karena mampu menahan gaya tarik dan tekan bergantian selama gempa.
Penambahan kolom dan balok baja ringan digunakan pada bangunan bertingkat rendah yang membutuhkan peningkatan kekuatan tanpa menambah berat struktur secara signifikan.
Pendekatan ini cocok untuk bangunan yang secara geometris masih proporsional dan memiliki pondasi yang cukup kuat untuk menerima beban tambahan.
2. Penggunaan Material Komposit: Fiber Reinforced Polymer (FRP)
Perkembangan teknologi material membawa perubahan besar dalam dunia retrofit struktur.
FRP (Fiber Reinforced Polymer) menjadi salah satu inovasi paling populer karena sifatnya yang ringan, kuat, tahan korosi, dan mudah diaplikasikan.
FRP dapat diaplikasikan pada elemen kolom, balok, dan dinding menggunakan sistem laminasi atau wrapping, baik dengan serat karbon (CFRP), serat kaca (GFRP), maupun serat aramid (AFRP).
Keunggulan utamanya adalah peningkatan kekuatan lentur, geser, dan daktilitas tanpa menambah dimensi struktur secara signifikan.
Metode ini sangat efektif untuk bangunan dengan keterbatasan ruang atau yang tetap beroperasi selama proses retrofit.
Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kualitas ikatan (bonding) antara FRP dan permukaan beton, serta kondisi lingkungan yang dikontrol dengan baik.
3. Perkuatan Sambungan dan Elemen Kritis
Dalam banyak kasus keruntuhan bangunan akibat gempa, sambungan (joint) menjadi titik lemah utama.
Kegagalan pada sambungan kolom-balok atau dinding-lantai sering kali menyebabkan mekanisme keruntuhan yang tidak diinginkan.
Oleh karena itu, perkuatan sambungan menjadi fokus penting dalam strategi peningkatan ketahanan seismik.
Beberapa teknik yang digunakan antara lain:
Steel jacketing, yaitu pelapisan elemen dengan baja untuk meningkatkan kapasitas tekan dan daktilitas.
Concrete jacketing, yakni penambahan lapisan beton baru dengan tulangan tambahan di sekitar elemen eksisting.
Carbon wrapping (CFRP wrapping) untuk meningkatkan kapasitas geser dan mencegah retak mendalam pada sendi.
Tujuan utama dari perkuatan sambungan adalah menciptakan mekanisme plastis yang terkontrol, sehingga gaya gempa dapat diserap tanpa menyebabkan keruntuhan total pada elemen utama.
4. Sistem Isolasi Dasar (Base Isolation)
Salah satu inovasi paling signifikan dalam desain dan retrofit bangunan tahan gempa adalah penerapan base isolation system. Teknologi ini bekerja dengan memisahkan struktur atas dari getaran tanah menggunakan perangkat elastomer atau bantalan geser berlapis baja-karet.
Saat gempa terjadi, lapisan isolator menyerap energi dan memperpanjang periode alami bangunan, sehingga percepatan yang diterima oleh struktur berkurang drastis. Dengan cara ini, kerusakan pada elemen struktural dan non-struktural dapat diminimalkan secara signifikan.
Base isolation paling cocok diterapkan pada bangunan penting seperti rumah sakit, pusat data, atau fasilitas tanggap darurat yang harus tetap berfungsi setelah gempa.
Meskipun biayanya relatif tinggi, efektivitasnya dalam melindungi aset bernilai tinggi menjadikannya investasi jangka panjang yang rasional.
5. Penguatan dengan Sistem Tambahan Peredam Energi (Supplemental Energy Dissipation Systems)
Selain isolasi dasar, sistem peredam energi aktif maupun pasif juga mulai banyak digunakan.
Beberapa contoh termasuk:
Viscous dampers, yang menggunakan fluida untuk menyerap energi getaran.
Tuned mass dampers (TMD), yaitu massa tambahan yang dipasang di puncak bangunan untuk menyeimbangkan getaran.
Metallic yielding dampers, yang bekerja dengan deformasi plastis terkontrol pada elemen logam.
Sistem-sistem ini dapat diintegrasikan pada gedung baru maupun retrofit, terutama pada struktur tinggi yang rentan terhadap simpangan besar.
Kelebihannya adalah efisiensi dalam mengurangi percepatan puncak dan peningkatan kenyamanan penghuni selama gempa.
6. Pertimbangan Teknis dan Ekonomi
Pemilihan strategi perkuatan harus melalui analisis kelayakan teknis dan ekonomi.
Setiap metode memiliki keunggulan dan keterbatasan:
Concrete jacketing relatif murah tetapi menambah berat struktur.
FRP wrapping efisien dan ringan tetapi mahal dan membutuhkan tenaga ahli.
Base isolation sangat efektif tetapi tidak ekonomis untuk bangunan kecil.
Pendekatan terbaik sering kali berupa kombinasi beberapa teknik untuk mencapai keseimbangan antara keamanan, biaya, dan kelayakan operasional. Selain itu, aspek non-struktural seperti arsitektur, estetika, dan fungsionalitas bangunan juga perlu dipertimbangkan agar solusi retrofit tidak mengganggu pengguna.
7. Arah Pengembangan Ke Depan
Perkembangan digital engineering kini membuka peluang baru dalam proses retrofit. Teknologi seperti Building Information Modeling (BIM), Finite Element Analysis (FEA), dan Structural Health Monitoring (SHM) memungkinkan evaluasi dan simulasi perilaku struktur secara lebih presisi. Integrasi data lapangan dengan model numerik membantu insinyur memilih metode perkuatan yang paling efektif dan hemat biaya.
Dengan kemajuan material, komputasi, dan kebijakan nasional, strategi perkuatan di Indonesia akan bergerak menuju sistem adaptif, berbasis data, dan berkelanjutan. Fokus ke depan bukan hanya membangun kembali setelah gempa, tetapi membangun lebih kuat dan cerdas sebelum gempa berikutnya datang.
Teknologi Pengganti dan Inovasi Modern
Dalam konteks modern, peningkatan ketahanan seismik bangunan tidak hanya dilakukan dengan memperkuat struktur lama, tetapi juga melalui penerapan teknologi pengganti yang menawarkan sistem baru dengan efisiensi material, ketangguhan, dan kemampuan beradaptasi terhadap gempa yang lebih tinggi. Teknologi pengganti (replacement technologies) umumnya digunakan ketika perkuatan tradisional tidak lagi cukup untuk mencapai target kinerja yang diinginkan, atau ketika biaya rehabilitasi melebihi nilai investasi bangunan.
Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah “build back better” — membangun kembali dengan standar dan teknologi yang lebih baik daripada sebelumnya, bukan sekadar mengembalikan ke kondisi semula. Pendekatan ini menjadi bagian penting dari strategi rekonstruksi pasca-bencana di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang memiliki ribuan bangunan tua di zona rawan gempa.
1. Beton Kinerja Tinggi (High-Performance Concrete – HPC)
Salah satu inovasi paling signifikan dalam teknologi material adalah penggunaan beton kinerja tinggi (HPC).
Beton jenis ini dirancang untuk memiliki kekuatan tekan di atas 60 MPa, ketahanan retak yang lebih baik, serta durabilitas tinggi terhadap siklus beban dinamis.
HPC banyak digunakan dalam proyek rehabilitasi gedung tinggi, jembatan, dan fasilitas publik yang memerlukan kombinasi antara kekuatan dan daya tahan jangka panjang.
Keunggulan utama HPC terletak pada mikrostruktur yang padat dan homogen, yang dicapai melalui penggunaan silica fume, fly ash, dan superplasticizer. Selain memperkuat elemen struktural, material ini juga memperpanjang umur layanan bangunan karena lebih tahan terhadap korosi dan penetrasi air.
Pada bangunan eksisting, HPC dapat digunakan sebagai lapisan pengganti atau injeksi struktural untuk memperbaiki elemen yang telah mengalami degradasi. Dengan demikian, HPC tidak hanya berfungsi sebagai material konstruksi baru, tetapi juga sebagai agen rekondisi struktural untuk sistem yang melemah akibat usia.
2. Beton Mengalir Sendiri (Self-Compacting Concrete – SCC)
Selain HPC, SCC (Self-Compacting Concrete) menjadi solusi efektif untuk proyek retrofit yang menuntut presisi tinggi dan kemudahan pengerjaan. SCC memiliki kemampuan mengalir tanpa getaran (self-flowing) dan mampu mengisi cetakan dengan rapat bahkan pada daerah yang sulit dijangkau.
Dalam konteks retrofit, SCC sering digunakan untuk:
Jacketing kolom dan balok tanpa harus membongkar struktur lama,
Injeksi perbaikan retak atau rongga internal, serta
Pengecoran ulang elemen struktural di ruang terbatas seperti basement atau tumpuan jembatan.
SCC memungkinkan peningkatan kekuatan tanpa mengganggu fungsi bangunan, menjadikannya sangat berguna untuk proyek perkuatan di fasilitas publik yang tetap beroperasi selama konstruksi.
3. Sistem Peredam Energi Cerdas (Smart Dampers)
Perkembangan teknologi sensor dan otomasi menghasilkan sistem baru yang dikenal sebagai smart dampers atau intelligent damping systems. Berbeda dari passive dampers konvensional, sistem ini dapat merespons kondisi gempa secara real-time dengan menyesuaikan kekakuan dan redaman melalui kontrol elektronik.
Jenis yang umum digunakan antara lain:
Magnetorheological (MR) dampers, yang mengubah viskositas fluida dengan medan magnet,
Semi-active hydraulic dampers, yang menyesuaikan gaya redaman berdasarkan percepatan aktual, dan
Hybrid active–passive systems, yang menggabungkan kontrol sensor otomatis dengan sistem peredam mekanis.
Teknologi ini sudah diuji pada gedung-gedung tinggi di Jepang dan Korea Selatan, dan mulai dievaluasi untuk penerapan di Indonesia, terutama di proyek smart building dan fasilitas vital seperti rumah sakit atau pusat komando darurat.
Keunggulan smart dampers adalah efisiensi energi yang tinggi serta kemampuannya untuk mengurangi percepatan puncak hingga 40–60% dibanding sistem pasif.
Meskipun biaya awalnya relatif tinggi, nilai manfaatnya besar dalam mengurangi potensi kerusakan struktural dan biaya pascagempa.
4. Sistem Retrofit Modular
Konsep retrofit modular adalah pendekatan inovatif yang memungkinkan perkuatan dilakukan secara bertahap dengan unit-unit modular yang dapat dipasang dan diganti tanpa membongkar keseluruhan struktur. Metode ini cocok untuk bangunan publik yang memiliki fungsi vital dan tidak boleh berhenti beroperasi, seperti rumah sakit, sekolah, atau gedung pemerintahan.
Salah satu bentuk aplikasinya adalah modular steel bracing dan bolt-on energy dissipating frames, di mana unit peredam energi dan pengaku dipasang sebagai komponen tambahan eksternal.
Keuntungan utama sistem ini adalah:
Waktu pemasangan yang cepat,
Gangguan minimal terhadap pengguna,
Fleksibilitas untuk diperluas atau ditingkatkan sesuai kebutuhan masa depan.
Selain itu, pendekatan modular juga mendukung prinsip keberlanjutan karena sebagian besar komponennya dapat didaur ulang atau digunakan kembali pada bangunan lain.
5. Teknologi Pemantauan Kesehatan Struktur (Structural Health Monitoring – SHM)
Teknologi pengganti tidak hanya mencakup sistem fisik, tetapi juga integrasi pemantauan digital terhadap kondisi struktur melalui Structural Health Monitoring (SHM). SHM menggunakan kombinasi sensor getaran, akselerometer, dan sistem IoT (Internet of Things) untuk mengumpulkan data kinerja struktur secara berkelanjutan.
Hasil pemantauan ini memungkinkan insinyur mendeteksi potensi kerusakan sebelum kegagalan terjadi, sehingga strategi perkuatan dapat direncanakan secara proaktif. Pada proyek retrofit modern, SHM menjadi komponen penting karena menyediakan data aktual tentang efektivitas sistem peredam dan performa sambungan setelah gempa.
Integrasi SHM dengan Building Information Modeling (BIM) menciptakan pendekatan baru yang dikenal sebagai “digital twin for resilience”, yaitu model digital dinamis yang merepresentasikan kondisi nyata bangunan dari waktu ke waktu.
6. Adaptasi Teknologi untuk Konteks Indonesia
Indonesia memiliki tantangan unik dalam penerapan teknologi pengganti — mulai dari variasi geotektonik hingga keterbatasan sumber daya teknis di daerah.
Oleh karena itu, adaptasi teknologi harus memperhatikan:
Ketersediaan material lokal, seperti pengembangan FRP berbasis serat bambu atau basalt,
Kondisi tanah dan infrastruktur eksisting,
Kapasitas tenaga kerja konstruksi lokal, serta
Kelayakan biaya dan dukungan kebijakan.
Pusat penelitian di ITB, UGM, dan PUPR telah mulai mengembangkan sistem isolasi dasar lokal dengan material karet alam Indonesia serta sistem retrofit modular berbasis baja ringan.
Pendekatan ini diharapkan dapat memperluas penerapan teknologi retrofit di berbagai kota menengah dan daerah rawan gempa di Indonesia.
7. Arah Masa Depan: Ketahanan Seismik Adaptif dan Berkelanjutan
Ke depan, arah penelitian dan implementasi teknologi pengganti akan bergerak menuju ketahanan seismik adaptif dan berkelanjutan (adaptive and sustainable seismic resilience). Artinya, bangunan masa depan tidak hanya kuat, tetapi juga mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dan siklus gempa berulang.
Integrasi teknologi cerdas, material baru, dan analisis berbasis data akan menjadikan infrastruktur Indonesia tidak hanya tahan gempa, tetapi juga efisien energi, mudah diperbaiki, dan memiliki umur layanan lebih panjang.
Tantangan Implementasi di Indonesia
Meski kesadaran terhadap pentingnya ketahanan seismik di Indonesia terus meningkat, implementasi nyata dari teknologi perkuatan dan pengganti struktur masih menghadapi berbagai hambatan. Tantangan tersebut muncul dari aspek teknis, regulatif, ekonomi, hingga budaya konstruksi di lapangan. Pemahaman yang menyeluruh terhadap hambatan-hambatan ini penting agar strategi penguatan bangunan dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
1. Kesenjangan Teknologi dan Kapasitas Teknis
Salah satu kendala paling mendasar adalah keterbatasan kapasitas teknis di tingkat daerah.
Banyak tenaga kerja konstruksi dan bahkan sebagian konsultan teknik belum memiliki pengalaman mendalam dalam menerapkan sistem modern seperti FRP wrapping, base isolation, atau smart dampers.
Selain itu, sebagian besar proyek retrofit di Indonesia masih mengandalkan metode konvensional berbasis beton dan baja, dengan sedikit adopsi terhadap material komposit atau sistem digital analisis struktur.
Kurangnya pelatihan dan laboratorium pengujian di daerah juga memperlambat transfer teknologi dari riset ke lapangan.
Beberapa universitas teknik besar seperti ITB, UGM, dan ITS telah mulai mengembangkan pusat pelatihan ketahanan seismik, namun diseminasi pengetahuan ke tingkat teknisi dan pelaksana proyek masih menjadi tantangan besar.
Tanpa peningkatan kapasitas sumber daya manusia, adopsi teknologi canggih akan terus terbatas pada proyek berskala besar di kota utama.
2. Biaya Awal yang Tinggi dan Keterbatasan Insentif
Kendala lain yang signifikan adalah tingginya biaya investasi awal.
Teknologi seperti base isolation, energy dissipation system, atau smart monitoring memerlukan material khusus dan perangkat impor yang mahal.
Hal ini membuat pelaku konstruksi di sektor publik maupun swasta sering kali menunda penerapan teknologi perkuatan canggih.
Di sisi lain, belum ada mekanisme insentif fiskal atau regulatif yang kuat untuk mendorong penggunaan teknologi tahan gempa di bangunan eksisting.
Misalnya, pembebasan pajak impor untuk material FRP atau subsidi untuk proyek retrofit sekolah dan rumah sakit di wilayah rawan gempa masih sangat terbatas.
Negara seperti Jepang dan Selandia Baru telah menunjukkan bahwa dukungan kebijakan dan insentif pemerintah dapat mempercepat modernisasi bangunan publik secara signifikan.
Indonesia masih membutuhkan kebijakan sejenis agar program retrofit nasional dapat berjalan dengan skala yang lebih luas.
3. Keterbatasan Data dan Evaluasi Bangunan Eksisting
Implementasi program retrofit berskala nasional juga terganjal oleh minimnya data teknis bangunan eksisting.
Sebagian besar bangunan publik lama — seperti sekolah, rumah sakit, dan kantor pemerintahan — tidak memiliki dokumen desain asli, laporan inspeksi, atau catatan perawatan struktural.
Tanpa data tersebut, evaluasi kapasitas seismik menjadi sulit dilakukan secara akurat.
Akibatnya, banyak proyek perkuatan dilakukan berdasarkan perkiraan visual semata tanpa analisis numerik mendalam.
Kondisi ini menimbulkan risiko teknis serta potensi pemborosan sumber daya.
Perlu adanya basis data nasional bangunan publik yang mencakup informasi struktural, material, usia, serta catatan kerusakan akibat gempa sebelumnya.
Dengan sistem data terbuka semacam ini, proses evaluasi dan prioritas retrofit dapat dilakukan lebih cepat dan terukur.
4. Hambatan Regulasi dan Koordinasi Antar-Lembaga
Kerangka regulasi di Indonesia untuk bangunan tahan gempa telah berkembang melalui SNI 1726:2019 dan pedoman PUPR terkait perkuatan struktur.
Namun, koordinasi antar-lembaga pelaksana — seperti pemerintah daerah, kementerian teknis, dan lembaga pendidikan — masih belum optimal.
Banyak daerah yang belum memiliki peraturan turunan atau panduan teknis retrofit sesuai kondisi lokal.
Di sisi lain, mekanisme perizinan bangunan belum sepenuhnya mengintegrasikan aspek ketahanan seismik sebagai syarat utama.
Akibatnya, pengawasan mutu konstruksi sering kali tidak konsisten antara tahap perencanaan dan pelaksanaan.
Upaya harmonisasi kebijakan dan penyusunan guideline nasional retrofit menjadi kebutuhan mendesak agar proyek penguatan struktur dapat berjalan seragam, efisien, dan akuntabel di seluruh wilayah Indonesia.
5. Tantangan Sosial dan Kesadaran Publik
Selain faktor teknis, dimensi sosial juga berperan besar dalam keberhasilan implementasi.
Masih banyak masyarakat, terutama di daerah rawan gempa, yang menganggap bangunan tahan gempa sebagai beban biaya tambahan, bukan sebagai investasi keselamatan jangka panjang.
Pandangan ini sering membuat pemilik bangunan enggan melakukan retrofit atau memilih material murah yang tidak sesuai standar.
Kurangnya kampanye publik dan edukasi mengenai manfaat ekonomi dari bangunan tahan gempa juga memperkuat persepsi keliru ini.
Padahal, penelitian menunjukkan bahwa biaya retrofit hanya sekitar 5–15% dari total nilai bangunan, sementara potensi kerugian akibat gempa bisa mencapai lebih dari 60% dari nilai aset.
Edukasi masyarakat dan pelatihan komunitas konstruksi lokal menjadi elemen penting dalam membangun budaya ketahanan seismik (seismic culture) yang berkelanjutan.
6. Studi Kasus: Tantangan Implementasi di Wilayah Rawan Gempa
Beberapa daerah seperti Yogyakarta, Lombok, dan Palu memberikan contoh nyata tentang kompleksitas implementasi retrofit di lapangan:
Yogyakarta (2006): Program retrofit sekolah mengalami kendala karena keterbatasan dana dan waktu. Banyak bangunan hanya diperkuat sebagian tanpa analisis struktural menyeluruh.
Lombok (2018): Rehabilitasi pascagempa menghadapi masalah logistik material serta kurangnya tenaga ahli lokal.
Palu (2018): Tantangan terbesar adalah rekonstruksi pada tanah dengan fenomena likuefaksi, yang membutuhkan desain pondasi baru dan teknologi isolasi khusus.
Dari kasus tersebut terlihat bahwa keberhasilan retrofit tidak hanya ditentukan oleh metode teknis, tetapi juga oleh manajemen proyek, dukungan kebijakan, dan kesiapan sumber daya lokal.
7. Arah Perbaikan: Sinergi Teknologi dan Kebijakan
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan pendekatan yang lebih integratif antara teknologi, kebijakan, dan pendidikan.
Beberapa langkah strategis yang dapat dikembangkan antara lain:
Membangun sistem sertifikasi dan pelatihan retrofit nasional untuk tenaga teknis di seluruh Indonesia.
Memberikan insentif fiskal dan dukungan pembiayaan untuk proyek perkuatan bangunan publik dan swasta.
Mengembangkan riset material lokal (misalnya FRP berbasis bambu atau vulkanik) agar biaya dapat ditekan tanpa mengurangi kinerja struktural.
Menerapkan sistem pemantauan digital (SHM) pada proyek retrofit untuk evaluasi jangka panjang.
Meningkatkan kesadaran publik melalui kampanye edukatif mengenai pentingnya bangunan tahan gempa.
Dengan sinergi antara inovasi teknologi dan kebijakan publik, Indonesia dapat membangun ekosistem ketahanan seismik nasional yang bukan hanya reaktif terhadap bencana, tetapi juga proaktif dalam mencegah kerugian besar di masa depan.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Upaya memperkuat ketahanan seismik bangunan di Indonesia bukan lagi sebatas kebutuhan teknis, melainkan bagian integral dari strategi nasional menuju pembangunan infrastruktur yang tangguh dan berkelanjutan. Dengan posisi geologis Indonesia yang kompleks, bencana gempa bumi akan selalu menjadi ancaman permanen terhadap keselamatan manusia, kelangsungan layanan publik, dan stabilitas ekonomi. Oleh karena itu, memperkuat struktur yang ada dan mengadopsi teknologi pengganti modern merupakan langkah penting dalam memperkuat fondasi ketahanan nasional.
1. Refleksi atas Pembahasan
Dari berbagai kajian dan temuan yang dibahas sebelumnya, beberapa poin utama dapat disimpulkan:
Ketahanan seismik adalah konsep multidimensi, mencakup aspek teknis, sosial, ekonomi, dan kebijakan publik.
Teknologi perkuatan dan pengganti struktur seperti FRP wrapping, base isolation, smart dampers, dan sistem modular retrofit menawarkan solusi inovatif untuk memperpanjang umur dan meningkatkan performa bangunan eksisting.
Hambatan implementasi masih mencakup kapasitas teknis yang belum merata, biaya awal yang tinggi, serta regulasi yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan kebutuhan di lapangan.
Kesenjangan regional dan sosial-ekonomi memperparah risiko karena banyak bangunan publik di daerah belum memenuhi standar terbaru SNI 1726:2019.
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa transformasi ketahanan seismik di Indonesia membutuhkan pendekatan lintas sektor — antara rekayasa, tata kelola, dan inovasi teknologi.
2. Arah Strategis Penguatan ke Depan
Agar program peningkatan ketahanan seismik lebih efektif dan inklusif, perlu dikembangkan arah strategis yang menekankan pada penerapan teknologi adaptif, sistem pembiayaan inovatif, serta sinergi kelembagaan.
Beberapa arah strategis yang direkomendasikan:
Transformasi menuju sistem perkuatan berbasis data dan risiko.
Penggunaan Building Information Modeling (BIM) dan Structural Health Monitoring (SHM) harus diperluas untuk menciptakan basis data nasional tentang kondisi struktur dan prioritas retrofit.
Integrasi retrofit dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Program retrofit harus menjadi bagian dari National Action Plan for Disaster Risk Reduction (NAP-DRR) dan strategi pembangunan kota tangguh (resilient city framework).
Pengembangan teknologi lokal berbiaya efisien.
Penelitian terhadap material lokal — seperti FRP berbasis serat bambu atau sistem isolasi karet alam — dapat menekan biaya tanpa mengurangi kinerja seismik.
Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, universitas, dan industri.
Kerja sama ini penting untuk mempercepat transfer teknologi dari riset ke aplikasi praktis, terutama di wilayah dengan kapasitas teknis rendah.
Peningkatan kapasitas SDM dan sertifikasi profesi.
Dibutuhkan sistem pelatihan nasional bagi insinyur, arsitek, dan teknisi konstruksi mengenai desain dan implementasi retrofit modern.
Insentif fiskal dan pembiayaan kreatif.
Pemerintah dapat mempertimbangkan potongan pajak, kredit lunak, atau skema public-private partnership (PPP) untuk proyek retrofit bangunan vital dan publik.
3. Pendekatan Kelembagaan dan Sosial
Keberhasilan penguatan ketahanan seismik juga bergantung pada kesiapan institusional dan kesadaran masyarakat. Program retrofit yang efektif harus melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan, dengan memastikan bahwa solusi teknis disesuaikan dengan kebutuhan sosial dan budaya lokal.
Selain itu, pembentukan lembaga koordinatif khusus yang berfokus pada manajemen risiko infrastruktur dapat menjadi langkah strategis. Lembaga ini dapat berperan dalam mengintegrasikan kebijakan antarinstansi — mulai dari perizinan, pembiayaan, hingga pengawasan mutu konstruksi.
Di sisi masyarakat, edukasi tentang manfaat jangka panjang bangunan tahan gempa perlu diperkuat melalui kampanye publik dan pelatihan komunitas. Tujuannya bukan hanya menciptakan kesadaran, tetapi juga membangun budaya keselamatan struktural (structural safety culture) yang berkelanjutan di seluruh lapisan masyarakat.
4. Perspektif Jangka Panjang: Menuju Infrastruktur Resilien Nasional
Dalam konteks Visi Indonesia Emas 2045, pembangunan infrastruktur nasional tidak hanya harus masif, tetapi juga resilien — tahan terhadap guncangan alam, sosial, dan ekonomi. Ketahanan seismik menjadi bagian kunci dari visi tersebut, karena infrastruktur yang tangguh berarti masyarakat yang aman, ekonomi yang stabil, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Dengan menggabungkan inovasi rekayasa, kebijakan adaptif, dan partisipasi masyarakat, Indonesia dapat bergerak menuju sistem pembangunan yang bukan hanya membangun lebih banyak, tetapi juga membangun dengan lebih bijak. Seperti yang sering ditekankan dalam prinsip mitigasi modern: “Earthquakes don’t kill people — poorly designed buildings do.” Oleh karena itu, komitmen terhadap penguatan struktur harus menjadi simbol dari tanggung jawab moral dan teknis bangsa dalam melindungi warganya.
Penguatan struktur dan penerapan teknologi pengganti bukanlah sekadar proyek teknis, tetapi investasi peradaban.
Bangunan yang kokoh dan berketahanan adalah wujud dari kemampuan bangsa untuk belajar dari bencana dan beradaptasi dengan masa depan.
Jika inovasi teknologi, kebijakan publik, dan kesadaran sosial dapat berjalan beriringan, maka Indonesia akan mampu menciptakan ekosistem infrastruktur yang tidak hanya berdiri tegak menghadapi gempa, tetapi juga menjadi fondasi kokoh bagi kemajuan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Badan Standardisasi Nasional. (2019). SNI 1726:2019 - Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non-gedung. Jakarta: BSN.
Direktorat Jenderal Bina Konstruksi, Kementerian PUPR. (2020). Panduan teknis perkuatan struktur bangunan eksisting terhadap beban gempa. Jakarta: Kementerian PUPR.
Federal Emergency Management Agency (FEMA). (2006). FEMA 547: Techniques for the seismic rehabilitation of existing buildings. Washington, DC: U.S. Department of Homeland Security.
Housner, G. W., & Jennings, P. C. (1982). Earthquake design criteria. In Earthquake Engineering Research Institute Monograph (Vol. 4). Berkeley, CA: EERI.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2022). Program Nasional Penguatan Bangunan Publik di Wilayah Rawan Gempa. Jakarta: PUPR.
Priyono, H., & Iswanto, B. (2023). Penerapan Teknologi Fiber-Reinforced Polymer pada Perkuatan Struktur Gedung Bertingkat di Indonesia. Jurnal Rekayasa Sipil Indonesia, 11(2), 88–103.
World Bank. (2021). Building resilient infrastructure for inclusive growth in Southeast Asia. Washington, DC: World Bank Publications.
Transformasi Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 November 2025
Dalam dua dekade terakhir, struktur kepemimpinan teknologi di banyak organisasi berkembang menjadi semakin kompleks. Setelah kehadiran Chief Information Officer (CIO) pada 1980-an, muncul berbagai jabatan baru seperti Chief Technology Officer (CTO), Chief Data Officer (CDO), Chief Analytics Officer (CAO), Chief Digital Officer (CDigO), hingga Chief AI Officer (CAIO). Fenomena ini mencerminkan meningkatnya pentingnya teknologi dalam strategi bisnis, tetapi juga menimbulkan fragmentasi kepemimpinan dan kebingungan peran di tingkat eksekutif.
Sebuah studi oleh Thoughtworks dan MIT Chief Data Officer Symposium menemukan bahwa lebih dari 80% pemimpin teknologi dan data mengakui adanya tumpang tindih fungsi dan kebingungan tanggung jawab dalam organisasi mereka. Hanya 12% responden yang menyatakan struktur kepemimpinan teknologinya benar-benar jelas. Situasi ini membuat banyak organisasi kesulitan memanfaatkan potensi penuh teknologi dan data untuk inovasi bisnis.
Davenport dan rekan-rekannya mengusulkan solusi yang kini mulai diadopsi oleh sejumlah perusahaan besar: konsolidasi peran-peran teknologi di bawah satu kepemimpinan terpadu, yang mereka sebut sebagai SuperTech Leader. Pemimpin ini tidak hanya mengawasi sistem IT, tetapi juga mengintegrasikan fungsi data, analitik, AI, keamanan siber, dan digitalisasi dalam satu visi bisnis yang kohesif.
SuperTech Leadership: Menyatukan Bisnis dan Teknologi
Transformasi digital modern menuntut bentuk kepemimpinan baru yang melampaui batas tradisional antara teknologi dan bisnis.
Selama bertahun-tahun, organisasi cenderung memisahkan fungsi-fungsi teknologi ke dalam berbagai jabatan khusus CIO untuk infrastruktur, CDO untuk data, CAO untuk analitik, hingga CAIO untuk kecerdasan buatan. Fragmentasi ini awalnya dianggap sebagai solusi untuk mengelola kompleksitas digital, tetapi kini justru menimbulkan masalah koordinasi, tumpang tindih tanggung jawab, dan hilangnya arah strategis yang menyeluruh.
Menurut Thomas H. Davenport dan rekan-rekannya, model baru yang lebih adaptif adalah SuperTech Leadership sebuah pendekatan yang mengintegrasikan seluruh fungsi teknologi di bawah satu kepemimpinan strategis. SuperTech leader bukan sekadar “pemimpin teknologi dengan cakupan lebih luas,” melainkan arsitek organisasi digital yang memahami hubungan antara teknologi, data, strategi bisnis, dan inovasi manusia.
1. Definisi dan Karakteristik SuperTech Leader
SuperTech leader dapat dipahami sebagai pemimpin tingkat eksekutif yang memiliki tanggung jawab menyeluruh terhadap strategi teknologi, data, AI, dan transformasi digital organisasi. Ia bukan hanya pengelola sistem, tetapi juga pembentuk visi strategis berbasis data yang menyatukan seluruh aspek bisnis dan teknologi.
Menurut survei HBR (2024), ada tiga kompetensi utama yang membedakan seorang SuperTech leader dari pemimpin teknologi konvensional:
Kepemimpinan strategis dan komunikasi lintas fungsi — kemampuan untuk menjembatani bahasa bisnis dan bahasa teknis, serta mengoordinasikan visi lintas departemen.
Pemahaman mendalam terhadap strategi bisnis — tidak hanya tahu “bagaimana teknologi bekerja,” tetapi juga “mengapa teknologi penting” dalam konteks pertumbuhan, efisiensi, dan inovasi.
Orientasi pada penciptaan nilai (value creation) — fokus bukan pada proyek teknologi, tetapi pada dampak bisnis yang dapat diukur, seperti peningkatan produktivitas, kepuasan pelanggan, atau efisiensi operasional.
Dalam praktiknya, SuperTech leader berperan sebagai chief integrator yang menghubungkan keputusan strategis dengan kapabilitas teknis, memastikan bahwa setiap inisiatif digital mengarah pada tujuan bisnis yang jelas.
2. Evolusi dari CIO Menuju SuperTech
Konsep SuperTech merupakan kelanjutan alami dari evolusi jabatan Chief Information Officer (CIO).
Selama dua dekade, peran CIO berkembang dari sekadar pengelola infrastruktur IT menjadi mitra strategis dalam transformasi digital.
Namun, seiring bertambahnya jabatan baru yaitu CDO, CAO, CTO, dan lainnya banyak organisasi kehilangan kejelasan arah dan fokus.
SuperTech leadership hadir untuk mengembalikan kesatuan arah strategis tersebut. Ia menyatukan fungsi-fungsi yang sebelumnya terpisah dan mengubah cara pandang organisasi terhadap teknologi: dari “fungsi pendukung” menjadi pilar utama pertumbuhan dan inovasi.
Dalam beberapa kasus, SuperTech leader memegang peran ganda misalnya CIO sekaligus CDO sehingga dapat mengelola infrastruktur, data, dan analitik dalam satu ekosistem. Model ini terbukti berhasil di perusahaan seperti CarMax, TIAA, dan Vista Equity Partners, di mana penggabungan peran justru mempercepat integrasi digital dan mengurangi biaya koordinasi antar-unit teknologi.
3. Peran Strategis dalam Ekosistem Organisasi Digital
SuperTech leader berfungsi sebagai pengarah arsitektur digital organisasi.
Ia menetapkan arah bagi:
Infrastruktur dan sistem inti (melalui kebijakan teknologi yang terintegrasi),
Data governance dan analitik,
Inovasi berbasis AI dan otomatisasi, serta
Keamanan siber dan tata kelola etika teknologi.
Kepemimpinan ini bersifat lintas disiplin. SuperTech tidak bekerja sendirian, tetapi membangun jaringan kepemimpinan kolaboratif yang melibatkan business unit heads, kepala risiko, dan tim teknologi. Dengan demikian, organisasi mampu menghindari jebakan “digital silos” dan memastikan bahwa keputusan strategis selalu berbasis data dan kolaborasi lintas fungsi.
Selain itu, SuperTech leader juga memainkan peran penting dalam membangun budaya organisasi digital (digital-first culture).
Ia mendorong semua karyawan bukan hanya tim teknologi untuk memahami nilai data, memanfaatkan alat digital, dan berpartisipasi aktif dalam inovasi. Dengan kata lain, SuperTech bukan hanya pemimpin teknologi, melainkan penggerak transformasi manusia di era digital.
4. SuperTech sebagai Model Kepemimpinan Masa Depan
Davenport dan rekan-rekannya menegaskan bahwa era pasca-pandemi telah mempercepat kebutuhan akan kepemimpinan terpadu.
Organisasi kini tidak lagi memiliki kemewahan untuk memisahkan fungsi teknologi dari strategi inti bisnis. AI, data, dan keamanan siber telah menjadi pilar kelangsungan organisasi, bukan tambahan.
Dalam konteks ini, SuperTech leadership menjadi model kepemimpinan masa depan yang berorientasi pada:
Kecepatan pengambilan keputusan — dengan menghapus rantai komunikasi yang panjang antar fungsi digital.
Kohesi strategi digital dan bisnis — semua inisiatif teknologi mengacu pada tujuan organisasi yang sama.
Akuntabilitas yang jelas — satu pemimpin bertanggung jawab atas hasil transformasi digital secara menyeluruh.
SuperTech leader bukan hanya posisi jabatan, tetapi juga kerangka berpikir baru: cara memandang teknologi sebagai sistem nilai yang hidup, menyatu dengan arah strategis organisasi.
5. Relevansi bagi Dunia Bisnis dan Pemerintahan di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, model SuperTech memiliki relevansi tinggi karena banyak organisasi masih menjalankan fungsi digital, data, dan TI secara terpisah. Banyak lembaga publik, universitas, dan perusahaan BUMN memiliki jabatan CIO, CDO, dan CAO yang bekerja secara paralel tanpa koordinasi yang erat. Akibatnya, program transformasi digital sering berjalan lambat dan tidak konsisten.
Dengan mengadopsi pendekatan SuperTech, organisasi dapat:
Menyatukan visi digital dan data ke dalam strategi bisnis nasional,
Mengurangi redundansi dalam proyek IT dan data analytics,
Meningkatkan akuntabilitas serta efektivitas transformasi digital lintas lembaga, dan
Mendorong koordinasi antara kebijakan teknologi, AI, dan keamanan informasi di tingkat eksekutif.
Model kepemimpinan terpadu seperti ini juga dapat mendukung kebijakan nasional seperti Satu Data Indonesia dan Digital Governance Framework dengan memastikan arah digitalisasi yang lebih terstruktur dan terukur.
SuperTech leadership mencerminkan pergeseran paradigma dari kepemimpinan teknologi yang terfragmentasi menuju kepemimpinan digital yang holistik dan kolaboratif. Pemimpin di era ini dituntut untuk menggabungkan kompetensi strategis, pemahaman teknologi, dan kepemimpinan manusia dalam satu visi yang terarah. Mereka bukan sekadar mengelola sistem digital, tetapi membangun organisasi yang hidup di dalamnya organisasi yang berinovasi, belajar, dan tumbuh dengan kecepatan dunia teknologi itu sendiri.
Tantangan dan Kritik terhadap Model SuperTech
Meskipun model SuperTech leadership menghadirkan banyak keuntungan strategis, penerapannya tidak tanpa tantangan.
Konsolidasi peran teknologi ke dalam satu kepemimpinan bisa memunculkan risiko baru terkait tata kelola, beban kerja, dan keseimbangan kekuasaan di dalam organisasi. Banyak perusahaan, terutama yang berskala besar dan kompleks, masih memandang struktur multi-peran sebagai cara menjaga spesialisasi dan pengawasan yang lebih ketat.
Dalam konteks ini, kritik terhadap model SuperTech berakar pada tiga isu utama: (1) risiko konsentrasi kekuasaan teknologi, (2) hilangnya fungsi pengawasan lintas peran, dan (3) kesenjangan kompetensi kepemimpinan.
1. Risiko Konsentrasi Kekuasaan Teknologi
Konsolidasi peran yang terlalu luas dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap sentralisasi kekuasaan digital. Seorang pemimpin yang mengendalikan fungsi IT, data, keamanan, dan AI sekaligus memiliki pengaruh besar terhadap arah organisasi, terutama dalam hal pengambilan keputusan berbasis data. Jika tidak diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas yang kuat, hal ini dapat menyebabkan ketimpangan kekuasaan dan risiko penyalahgunaan otoritas teknologi.
Sebagian ahli tata kelola organisasi berpendapat bahwa pemisahan peran (misalnya antara CDO dan CIO) berfungsi sebagai “checks and balances” yang memastikan tidak ada satu unit yang mendominasi. Scott Hallworth dari Hewlett-Packard menegaskan bahwa perbedaan fungsi antara Chief Digital Officer dan Chief Data Officer dapat membantu organisasi besar menjaga keseimbangan antara kecepatan digitalisasi dan kehati-hatian dalam tata kelola data.
Oleh karena itu, model SuperTech perlu diterapkan dengan struktur pengawasan yang memadai, seperti digital governance board atau executive data council, agar tetap transparan dan akuntabel.
2. Hilangnya Mekanisme Pengawasan dan Spesialisasi
Kritik lain menyebutkan bahwa SuperTech leadership dapat mengikis kedalaman keahlian dan independensi fungsi spesialis. Ketika satu pemimpin mengelola banyak domain sekaligus, perhatian strategis bisa terpecah, dan beberapa area kritikal seperti keamanan siber atau tata kelola data berisiko tidak mendapatkan perhatian memadai.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa konsolidasi bisa menghapus peran pengawas independen yang biasanya berfungsi sebagai filter kebijakan teknologi. Sebagai contoh, dalam struktur tradisional, CISO (Chief Information Security Officer) dapat menolak atau menunda proyek digital yang berisiko tinggi terhadap keamanan informasi. Dalam struktur terintegrasi, keputusan semacam itu mungkin lebih sulit dikontrol karena berada di bawah satu rantai kepemimpinan yang sama.
Organisasi yang berhasil menerapkan model SuperTech, seperti TIAA dan Vista Equity Partners, mengatasi risiko ini dengan memperkuat governance committee dan cross-functional review board. Langkah tersebut memastikan bahwa setiap kebijakan teknologi tetap diuji secara independen oleh berbagai pihak di dalam organisasi.
3. Tantangan Kompetensi dan Kapasitas Pemimpin
SuperTech leadership menuntut sosok yang memiliki kombinasi langka antara pengetahuan teknologi mendalam dan kemampuan bisnis strategis. Keterampilan ini sulit ditemukan karena sebagian besar pemimpin teknologi tumbuh dari jalur karier teknis yang kuat tetapi kurang berpengalaman dalam strategi bisnis, atau sebaliknya. Survei HBR (2024) mencatat bahwa hanya sekitar 10–15% CIO global yang dianggap memiliki kemampuan penuh untuk menjalankan peran SuperTech secara efektif.
Tantangan ini menjadi semakin nyata di negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana masih terbatas jumlah pemimpin yang mampu mengintegrasikan pemikiran teknologi dan bisnis secara utuh. Banyak organisasi masih memisahkan antara “pihak IT” dan “pihak manajemen” sebuah warisan struktural yang membuat transformasi digital sulit dilakukan secara menyeluruh.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, perlu ada investasi besar dalam pengembangan kepemimpinan digital lintas disiplin, baik melalui program pelatihan nasional, universitas, maupun lembaga seperti Diklatkerja. Pelatihan yang menggabungkan business acumen, digital fluency, dan strategic leadership akan menjadi kunci mencetak pemimpin SuperTech masa depan.
4. Tantangan Budaya Organisasi
Konsolidasi juga sering berbenturan dengan budaya organisasi yang hierarkis atau silo-based. Dalam organisasi besar, setiap fungsi teknologi biasanya memiliki identitas dan dinamika kerja sendiri. Upaya menggabungkan semuanya di bawah satu kepemimpinan sering menghadapi resistensi internal, terutama dari pejabat atau tim yang kehilangan otonomi dan ruang pengaruh.
Keberhasilan implementasi SuperTech sangat bergantung pada kemampuan pemimpin dalam mengelola perubahan budaya (cultural change management). Ia harus membangun narasi bersama bahwa konsolidasi bukanlah pengurangan peran, melainkan penyelarasan tujuan. Pemimpin yang mampu menumbuhkan rasa kepemilikan bersama terhadap transformasi akan lebih mudah mendapatkan dukungan lintas fungsi.
Pendekatan yang digunakan Microsoft dan DBS Bank menjadi contoh penting. Kedua organisasi ini tidak hanya melakukan restrukturisasi peran, tetapi juga mengembangkan budaya “shared mission” antara teknologi dan bisnis, sehingga seluruh unit merasa menjadi bagian dari strategi digital bersama.
5. Adaptasi untuk Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, tantangan penerapan model SuperTech tidak hanya bersifat struktural tetapi juga sistemik. Banyak organisasi publik dan BUMN memiliki struktur manajemen yang sangat berlapis dan terikat pada regulasi birokrasi. Perubahan peran di tingkat eksekutif sering memerlukan penyesuaian hukum dan kebijakan internal yang kompleks.
Selain itu, kapasitas SDM digital di tingkat menengah ke atas masih belum merata. Data Indonesia Digital Talent Outlook (2024) menunjukkan bahwa hanya 8% profesional teknologi di Indonesia memiliki pengalaman strategis di level manajemen atas. Artinya, untuk mengimplementasikan model SuperTech secara efektif, Indonesia perlu memperkuat ekosistem kepemimpinan digital nasional, termasuk pelatihan lintas sektor antara pemerintah, swasta, dan akademisi.
Di sisi lain, ada peluang besar: konsep SuperTech sejalan dengan arah kebijakan nasional seperti Digital Leadership Development Program oleh Kemenkominfo dan Indonesia Digital Economy Framework 2045. Jika diintegrasikan dengan strategi pembangunan nasional, SuperTech leadership bisa menjadi katalis menuju tata kelola digital yang lebih efisien dan responsif.
6. Menjaga Keseimbangan antara Integrasi dan Pengawasan
Kritik yang paling konstruktif terhadap model SuperTech bukan menolak ide konsolidasi, melainkan menekankan perlunya keseimbangan antara integrasi dan pengawasan. Organisasi perlu menghindari jebakan ekstrem baik terlalu banyak jabatan yang terpisah, maupun terlalu terpusat pada satu orang. Kunci keberhasilan terletak pada desain tata kelola yang cerdas: satu pemimpin memegang arah strategis, sementara fungsi-fungsi teknis tetap memiliki otonomi profesional dalam batas yang jelas.
Dengan struktur seperti ini, organisasi dapat menikmati manfaat koordinasi dan kecepatan pengambilan keputusan, tanpa kehilangan integritas dan transparansi yang diperlukan dalam pengelolaan teknologi tingkat tinggi.
Implikasi bagi Organisasi di Indonesia
Perubahan lanskap digital global menempatkan Indonesia dalam fase penting untuk menata kembali strategi kepemimpinan teknologinya. Transformasi digital yang tengah berlangsung di berbagai lembaga pemerintahan, BUMN, dan perusahaan swasta menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya adopsi teknologi, tetapi koordinasi antarfungsi digital yang belum terintegrasi secara efektif.
Model SuperTech leadership menawarkan arah baru bagi organisasi di Indonesia untuk membangun tata kelola teknologi yang lebih efisien, kolaboratif, dan strategis. Pendekatan ini dapat menjadi solusi bagi beberapa persoalan klasik transformasi digital nasional—mulai dari tumpang tindih program, duplikasi anggaran, hingga lambatnya pengambilan keputusan lintas direktorat.
1. Membangun Tata Kelola Digital yang Terpadu
Banyak lembaga publik di Indonesia masih menerapkan struktur teknologi yang terpisah: direktorat TI, direktorat data, dan unit digitalisasi sering berjalan sendiri-sendiri. Kondisi ini menyebabkan kebijakan digitalisasi nasional sulit dieksekusi secara sinkron.
SuperTech leadership dapat membantu menyatukan arah strategis tersebut dengan menciptakan satu pusat pengambilan keputusan digital di tingkat pimpinan eksekutif.
Misalnya, pada proyek nasional seperti Satu Data Indonesia atau Digital Government Architecture, pendekatan ini memungkinkan integrasi lintas kementerian dan lembaga dengan lebih efektif. Pemimpin teknologi nasional tidak hanya mengelola sistem, tetapi juga memandu arah kebijakan digital berdasarkan data yang terkonsolidasi dan terbuka.
2. Penguatan Kapasitas Kepemimpinan Digital Nasional
Agar model ini berhasil, Indonesia perlu memperkuat kapasitas SDM digital di tingkat strategis. SuperTech leadership menuntut kombinasi keterampilan yang jarang dimiliki secara bersamaan penguasaan teknologi, visi bisnis, dan kepemimpinan kolaboratif. Kesenjangan ini menjadi tantangan utama yang perlu dijembatani melalui program pengembangan kepemimpinan digital lintas sektor.
Inisiatif seperti Digital Leadership Academy (Kominfo) dan National Digital Talent Program bisa menjadi wadah penting untuk mencetak generasi pemimpin digital yang mampu memimpin lintas domain. Di sektor swasta, pelatihan yang menggabungkan data strategy, AI governance, dan business transformation akan memperkuat kemampuan manajerial dalam mengelola organisasi berbasis data.
Selain pelatihan formal, kolaborasi antara dunia industri dan akademisi perlu diperluas agar lahir ekosistem pembelajaran berkelanjutan yang mendukung tumbuhnya pemimpin digital baru.
3. Adaptasi untuk Sektor BUMN dan Pemerintahan
BUMN dan lembaga publik di Indonesia menghadapi tantangan unik: birokrasi yang kompleks dan budaya organisasi yang masih hierarkis. Penerapan model SuperTech di lingkungan ini membutuhkan pendekatan bertahap dan berbasis tata kelola (governance-based approach).
Langkah pertama adalah mengidentifikasi fungsi teknologi yang masih tumpang tindih dan menyatukannya ke dalam struktur koordinasi terpadu di bawah pimpinan yang memiliki kewenangan lintas sektor Langkah berikutnya adalah memastikan adanya accountability mechanism misalnya komite transformasi digital lintas direktorat untuk menjaga transparansi dan objektivitas keputusan.
Beberapa BUMN besar seperti Telkom Indonesia dan PLN mulai mengarah ke pola ini, dengan mengonsolidasikan fungsi teknologi, data, dan inovasi di bawah Chief Digital Transformation Officer (CDTO). Pendekatan ini terbukti mempercepat integrasi layanan, efisiensi biaya, dan peningkatan respons terhadap kebutuhan pelanggan.
4. Penguatan Kolaborasi antara Pemerintah dan Swasta
SuperTech leadership tidak dapat berdiri sendiri tanpa ekosistem pendukung. Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama membangun arsitektur kolaborasi digital nasional yang memungkinkan berbagi data, inovasi, dan praktik terbaik lintas industri.
Kolaborasi ini penting untuk mempercepat adopsi AI, analitik, dan keamanan siber di seluruh sektor.
Model kemitraan seperti public–private digital consortium dapat menjadi solusi praktis. Dengan melibatkan universitas, startup, dan lembaga penelitian, Indonesia dapat membangun laboratorium inovasi kepemimpinan digital yang mempersiapkan pemimpin masa depan dengan kompetensi SuperTech.
5. Mendorong Transformasi yang Human-Centered
Konsep SuperTech bukan semata soal efisiensi atau konsolidasi struktur, tetapi tentang menempatkan manusia di pusat transformasi digital. Pemimpin SuperTech harus memastikan bahwa setiap kebijakan dan inovasi teknologi meningkatkan kemampuan manusia, bukan menggantikannya. Di Indonesia, hal ini berarti memberdayakan pegawai negeri, pekerja industri, dan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan digital melalui literasi dan pelatihan berkelanjutan.
Transformasi digital yang inklusif akan memperkuat produktivitas nasional sekaligus mengurangi kesenjangan digital antarwilayah.
Kepemimpinan yang memadukan teknologi dan empati menjadi kunci agar digitalisasi tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan berkelanjutan.
Kesimpulan
SuperTech leadership mewakili arah baru dalam kepemimpinan organisasi modern sebuah paradigma yang menuntut integrasi antara strategi bisnis, teknologi, dan tata kelola digital dalam satu visi terpadu. Bagi Indonesia, pendekatan ini bisa menjadi pendorong utama akselerasi transformasi digital nasional, terutama jika diiringi dengan reformasi budaya organisasi dan penguatan kapasitas kepemimpinan digital.
Konsolidasi peran teknologi di tingkat eksekutif bukan sekadar penyederhanaan struktur, melainkan investasi strategis untuk membangun organisasi yang adaptif, inovatif, dan berkelanjutan. Dengan menerapkan prinsip SuperTech leadership, organisasi di Indonesia dapat melangkah lebih jauh tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta nilai baru di era ekonomi digital global.
Daftar Pustaka:
Davenport, T. H., Spens, J., & Gupta, S. (2024). Why companies should consolidate tech roles in the C-suite. Harvard Business Review, 102(2), 54–62.
Davenport, T. H., & Westerman, G. (2018). Why so many high-profile digital transformations fail. Harvard Business Review.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). The digital transformation of SMEs. Paris: OECD Publishing.
Schein, E. H., & Schein, P. A. (2017). Organizational culture and leadership (5th ed.). Wiley.
World Economic Forum. (2024). Future readiness of organizations: Leading in the age of AI. Geneva: WEF.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2024). Digital Leadership Academy: Roadmap 2024–2029. Jakarta: Kominfo.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2025). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
World Bank. (2024). Digital government for development: Building capacity and trust. Washington, DC: World Bank Group.
Transformasi Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 November 2025
Transformasi digital kini menjadi fondasi bagi keberlanjutan dan daya saing organisasi. Namun, banyak perusahaan gagal menuai manfaat dari investasi besar dalam teknologi karena transformasi berhenti di ruang IT, tanpa benar-benar menyentuh cara kerja dan budaya organisasi. Artikel “Democratizing Transformation” yang ditulis oleh Marco Iansiti dan Satya Nadella (HBR, 2022) menyoroti bahwa keberhasilan digitalisasi tidak bergantung pada besarnya anggaran teknologi, melainkan pada kemampuan organisasi mendistribusikan kapabilitas digital ke seluruh lapisan karyawan.
Selama satu dekade terakhir, perusahaan-perusahaan global seperti Novartis, Microsoft, dan Starbucks menunjukkan bahwa transformasi digital yang efektif menuntut demokratisasi akses terhadap data, alat digital, dan kemampuan pengambilan keputusan berbasis teknologi. Artinya, inovasi tidak lagi menjadi hak eksklusif tim IT atau data scientist, tetapi juga bagian dari tanggung jawab manajer lini depan, staf pemasaran, hingga tenaga operasional.
Dinamika Transformasi Digital di Dunia Korporasi
Iansiti dan Nadella menjelaskan bahwa banyak organisasi mengalami “kesenjangan implementasi” di mana teknologi berkembang pesat, tetapi adopsi di tingkat operasional berjalan lambat. Sebagai contoh, Novartis semula berfokus pada infrastruktur cloud dan perekrutan ahli data. Namun, inisiatif ini belum membawa dampak nyata karena tim bisnis belum memahami bagaimana data dapat meningkatkan kinerja mereka. Perubahan baru terjadi ketika perusahaan menggabungkan tim bisnis dan data scientist dalam proyek bersama, membangun budaya agile, dan memberikan pelatihan kepada karyawan agar mampu menggunakan data untuk inovasi.
Transformasi digital yang berhasil menuntut lebih dari sekadar investasi teknologi, ia membutuhkan sinkronisasi antara kemampuan manusia, arsitektur organisasi, dan infrastruktur teknologi. Iansiti dan Nadella menyebut sinergi ini sebagai tech intensity—tingkat sejauh mana teknologi digunakan secara efektif oleh karyawan untuk mencapai tujuan bisnis.
Tahapan Transformasi Digital: Dari Tradisional hingga Native Model
Transformasi digital tidak terjadi secara tiba-tiba. Melainkan sebuah proses evolusi bertahap yang menuntut perubahan teknologi, struktur organisasi, dan budaya kerja secara simultan. Iansiti dan Nadella menguraikan bahwa perjalanan ini dapat dipetakan dalam lima tahap kematangan digital: Traditional, Bridge, Hubs, Platform, dan Native. Masing-masing tahap menggambarkan sejauh mana organisasi telah menanamkan teknologi digital ke dalam jantung operasinya.
1. Traditional: Teknologi Sebagai Pendukung, Bukan Penggerak
Pada tahap awal ini, teknologi dipandang sekadar sebagai alat bantu operasional. Sistem IT berfungsi untuk efisiensi administratif seperti otomatisasi laporan, keuangan, atau manajemen sumber daya manusia namun belum menjadi bagian strategis dari model bisnis. Keputusan penting masih didasarkan pada intuisi dan hierarki, bukan pada data dan analitik.
Kebanyakan organisasi publik dan perusahaan konvensional berada di tahap ini ketika pertama kali memulai perjalanan digitalnya.
Mereka sering menghadapi hambatan budaya, seperti resistensi terhadap perubahan dan keterbatasan literasi digital.
Tahap ini menandai titik awal kesadaran akan perlunya transformasi, tetapi belum menunjukkan integrasi nyata antara teknologi dan strategi bisnis.
2. Bridge: Menyambungkan Fungsi Bisnis dan Teknologi
Tahap bridge menandai pergeseran paradigma. Organisasi mulai membangun jembatan antara divisi bisnis dan teknologi, menciptakan tim lintas fungsi, serta memperkenalkan peran seperti Chief Digital Officer (CDO) atau Digital Transformation Manager. Fokus utama di tahap ini adalah eksperimen dan pilot projects—menggunakan data untuk memecahkan masalah tertentu, seperti analisis perilaku pelanggan atau prediksi rantai pasok.
Meski sudah lebih maju, tantangan utama tahap ini adalah fragmentasi digital. Setiap unit bisnis sering membuat solusi digitalnya sendiri, yang mengarah pada sistem terpisah (data silos) dan kurangnya interoperabilitas. Untuk melangkah lebih jauh, organisasi harus mulai membangun fondasi arsitektur digital terpadu yang memungkinkan data dan teknologi berbicara dalam bahasa yang sama di seluruh unit.
3. Hubs: Kolaborasi Terstruktur dan Skala Data
Pada tahap hubs, organisasi mulai menyatukan upaya digitalisasi menjadi struktur yang lebih terkoordinasi. Mereka membentuk pusat inovasi digital atau data hubs yang berfungsi sebagai penggerak utama integrasi lintas fungsi. Di sini, tim bisnis, teknologi, dan data scientist bekerja bersama secara iteratif untuk membangun solusi yang lebih cepat dan berbasis data.
Hasilnya adalah peningkatan efisiensi dan konsistensi antarproses. Namun, model ini masih cenderung bergantung pada tim pusat yang memiliki keahlian digital, sehingga skala transformasi belum sepenuhnya menyebar ke seluruh organisasi. Dengan kata lain, digital thinking mulai tumbuh, tetapi belum sepenuhnya menjadi bagian dari DNA organisasi.
4. Platform: Ekosistem Inovasi yang Terdesentralisasi
Tahap platform menjadi titik balik penting. Di sini, organisasi mulai membangun platform internal yang memungkinkan setiap karyawan mengakses alat, data, dan aplikasi digital secara mandiri. Inovasi tidak lagi datang dari satu departemen, tetapi dari seluruh lapisan organisasi.
Microsoft, misalnya, menciptakan Power Platform sebuah ekosistem low-code tools yang memungkinkan siapa pun, bahkan tanpa latar belakang teknis, membangun solusi digital untuk masalah sehari-hari di tempat kerja. Inilah bentuk awal dari demokratisasi teknologi, di mana kemampuan digital tersebar merata dan digunakan secara kreatif di berbagai fungsi bisnis.
Pada tahap ini, organisasi juga mulai menanamkan governance frameworks untuk memastikan keamanan dan kualitas tanpa menghambat eksperimen. Pendekatan ini menjadikan perusahaan lebih gesit, kolaboratif, dan inovatif.
5. Native: Ketika Digital Menjadi DNA Organisasi
Tahap terakhir, digital native, menggambarkan kondisi di mana teknologi telah menyatu sepenuhnya dengan strategi, struktur, dan budaya organisasi. Setiap proses bisnis, keputusan manajerial, hingga interaksi pelanggan didorong oleh data dan kecerdasan buatan.
Tidak ada lagi perbedaan antara “tim teknologi” dan “tim bisnis” semua karyawan berperan dalam penciptaan nilai digital.
Organisasi di tahap ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
Pengambilan keputusan berbasis data real-time.
Budaya kolaborasi dan pembelajaran berkelanjutan.
Infrastruktur digital yang adaptif dan skalabel.
Komitmen terhadap inovasi yang berorientasi manusia (human-centered innovation).
Perusahaan seperti Amazon, Microsoft, dan DBS Bank menjadi contoh nyata digital native organizations, di mana teknologi bukan lagi alat, melainkan identitas strategis perusahaan.
Tahapan-tahapan ini menunjukkan bahwa transformasi digital sejati tidak dapat dipaksakan dari atas ke bawah atau dibeli melalui perangkat lunak baru. Ia harus dibangun melalui proses pembelajaran, eksperimen, dan pemberdayaan yang berkesinambungan di seluruh lapisan organisasi. Dengan memahami peta perjalanan ini, perusahaan dapat menilai posisi mereka saat ini dan merancang strategi untuk melangkah ke tahap berikutnya secara realistis dan terarah.
Budaya dan Kepemimpinan dalam Demokratisasi Transformasi
Transformasi digital sejati tidak dapat terjadi tanpa perubahan budaya dan gaya kepemimpinan. Teknologi hanyalah enabler; sedangkan manusia dan budaya organisasi adalah penggerak utamanya. Satya Nadella, CEO Microsoft, menekankan bahwa inti dari transformasi bukan sekadar mengadopsi teknologi baru, melainkan mengubah cara berpikir dan bekerja di seluruh tingkatan organisasi. Dalam konteks ini, kepemimpinan dan budaya menjadi elemen paling menentukan dalam keberhasilan democratizing transformation.
1. Budaya Pembelajaran dan Keberanian Bereksperimen
Organisasi yang ingin bertransformasi harus menumbuhkan budaya learning organization di mana setiap individu terdorong untuk terus belajar, mencoba, dan beradaptasi. Transformasi digital bukan tentang mencapai kesempurnaan teknologi, tetapi tentang kemampuan bereksperimen secara cepat dan belajar dari kegagalan.
Microsoft di bawah Nadella menjadi contoh klasik. Ketika ia mengambil alih kepemimpinan pada 2014, budaya Microsoft masih kaku dan kompetitif. Nadella kemudian memperkenalkan filosofi growth mindset, yaitu keyakinan bahwa kemampuan seseorang dapat berkembang melalui pembelajaran dan kolaborasi. Budaya ini menjadi katalis utama yang mendorong inovasi dan kolaborasi lintas tim.
Dalam kerangka demokratisasi, budaya belajar ini membuat setiap karyawan merasa memiliki otoritas untuk berkontribusi terhadap inovasi. Mereka tidak lagi sekadar mengikuti instruksi dari atas, tetapi menjadi aktor aktif dalam proses transformasi.
2. Kepemimpinan Inklusif dan Kolaboratif
Transformasi digital juga menuntut bentuk kepemimpinan baru, kepemimpinan yang inklusif, kolaboratif, dan memberdayakan.
Pemimpin tidak lagi berperan sebagai pengendali tunggal, tetapi sebagai fasilitator yang membuka ruang bagi ide-ide baru muncul dari seluruh lini organisasi. Dalam istilah Nadella, pemimpin masa kini harus menjadi “learn-it-all” bukan “know-it-all.”
Kepemimpinan inklusif berarti:
Mendorong keterlibatan lintas fungsi dan disiplin.
Membangun kepercayaan antara teknologi dan manusia.
Memberikan akses dan tanggung jawab kepada karyawan untuk menggunakan teknologi sesuai kebutuhan mereka.
Sebagai contoh, Starbucks memberikan pelatihan dan alat digital bagi barista di seluruh dunia untuk memantau kinerja toko, mengelola inventori, dan meningkatkan pengalaman pelanggan. Hal ini menciptakan ekosistem di mana keputusan operasional dibuat berdasarkan data yang dapat diakses langsung oleh pelaku lapangan sebuah bentuk nyata democratizing transformation.
3. Struktur Organisasi yang Lincah dan Terdistribusi
Budaya dan kepemimpinan yang mendukung transformasi tidak akan efektif tanpa struktur organisasi yang lincah (agile).
Struktur hierarkis tradisional, yang menempatkan keputusan hanya di puncak piramida, sering kali memperlambat inovasi.
Sebaliknya, struktur yang terdesentralisasi dan berbasis tim lintas fungsi memungkinkan respons yang lebih cepat terhadap perubahan pasar.
Model ini dikenal dengan istilah team of teams—sebuah konsep di mana unit-unit kecil saling terhubung melalui tujuan bersama, bukan melalui rantai komando yang panjang. Perusahaan seperti Unilever dan DBS Bank telah mengadopsi pendekatan ini untuk mempercepat pengambilan keputusan berbasis data dan memperkuat koordinasi antara unit bisnis dan teknologi.
Dengan struktur seperti ini, setiap tim memiliki kebebasan bereksperimen sekaligus tanggung jawab terhadap hasilnya.
Inilah bentuk nyata dari demokratisasi organisasi digital, di mana kekuasaan dan kemampuan tidak terkonsentrasi di pusat, tetapi menyebar ke seluruh ekosistem.
4. Integrasi Nilai dan Tujuan Sosial
Transformasi digital yang demokratis juga berkaitan erat dengan nilai dan tujuan organisasi. Iansiti dan Nadella menegaskan bahwa teknologi harus digunakan untuk memperkuat nilai kemanusiaan dan memperluas dampak sosial positif. Digitalisasi tidak boleh semata-mata menjadi proyek efisiensi, tetapi alat untuk memperkuat empati, keadilan, dan keberlanjutan.
Microsoft, misalnya, menanamkan prinsip AI for Good—mengembangkan sistem AI yang mendukung pendidikan, aksesibilitas, dan pelestarian lingkungan. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa demokratisasi teknologi bukan hanya tentang siapa yang dapat menggunakannya, tetapi juga untuk tujuan apa teknologi itu digunakan.
Dengan mengaitkan transformasi digital pada misi sosial dan nilai kemanusiaan, organisasi membangun legitimasi sekaligus motivasi intrinsik bagi karyawan untuk berpartisipasi aktif. Hal ini menciptakan keselarasan antara teknologi, tujuan, dan identitas organisasi.
5. Membangun Ekosistem Kolaborasi Digital
Terakhir, budaya dan kepemimpinan transformasional juga perlu diperluas ke luar organisasi. Era digital menuntut kolaborasi lintas batas antara perusahaan, pemerintah, universitas, dan masyarakat. Ekosistem seperti ini memungkinkan pertukaran data, ide, dan praktik terbaik yang mempercepat pembelajaran kolektif.
Model kolaborasi terbuka seperti Microsoft Cloud for Industry atau Open Manufacturing Platform menunjukkan bahwa kompetisi dan kolaborasi kini berjalan berdampingan. Organisasi yang mampu menavigasi dinamika ini tidak hanya akan lebih adaptif, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan industri dan masyarakat secara luas.
Pada akhirnya, budaya dan kepemimpinan yang demokratis menjadi prasyarat bagi keberhasilan transformasi digital yang berkelanjutan. Teknologi hanya akan bermakna ketika digunakan oleh manusia yang memiliki rasa ingin tahu, keberanian bereksperimen, dan empati terhadap dampak sosial dari inovasinya. Inilah inti dari democratizing transformation: menyatukan potensi manusia dan kekuatan teknologi dalam satu tujuan bersama.
Kesimpulan dan Implikasi bagi Organisasi di Indonesia
Transformasi digital yang sejati tidak sekadar mengubah cara kerja, tetapi mendefinisikan ulang hubungan antara manusia, teknologi, dan nilai organisasi. Marco Iansiti dan Satya Nadella menegaskan bahwa demokratisasi transformasi adalah langkah penting menuju masa depan organisasi yang adaptif, kolaboratif, dan berorientasi manusia. Ketika kemampuan digital tersebar ke seluruh lapisan karyawan, inovasi tidak lagi bergantung pada departemen teknologi, melainkan menjadi hasil dari partisipasi kolektif seluruh organisasi.
Bagi Indonesia, konsep ini sangat relevan. Banyak lembaga publik, BUMN, dan perusahaan swasta telah memulai inisiatif digitalisasi—dari e-government, digital banking, hingga smart manufacturing. Namun, sebagian besar masih berada pada tahap awal transformasi, di mana teknologi diterapkan tanpa perubahan budaya dan struktur organisasi yang mendukung. Inilah titik di mana gagasan “demokratisasi transformasi” menemukan urgensinya.
1. Dari Adopsi Teknologi Menuju Pemberdayaan Digital
Langkah pertama bagi organisasi di Indonesia adalah bergeser dari paradigma adopsi teknologi menuju pemberdayaan digital.
Artinya, transformasi tidak boleh hanya menjadi proyek infrastruktur atau aplikasi, tetapi harus melibatkan upaya membangun kemampuan digital di seluruh level karyawan.
Pendekatan ini mencakup:
Pelatihan literasi digital yang menyeluruh.
Penerapan alat kolaborasi yang mudah diakses.
Integrasi data lintas unit kerja agar pengambilan keputusan lebih cepat dan berbasis bukti.
BUMN seperti Telkom, Pertamina, dan PLN mulai menerapkan pendekatan ini melalui digital capability programs dan data-driven decision frameworks. Namun, keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada seberapa dalam perubahan ini mengakar ke budaya kerja dan pola pikir organisasi.
2. Kepemimpinan Transformasional di Sektor Publik dan Swasta
Pemimpin organisasi di Indonesia perlu mengadopsi kepemimpinan transformasional yang inklusif.
Kepemimpinan ini mendorong partisipasi lintas fungsi, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan memberi ruang bagi ide-ide baru tanpa takut gagal. Dalam konteks birokrasi publik, misalnya, keberhasilan transformasi digital bergantung pada kemauan pemimpin untuk memberi otonomi kepada pegawai di lapangan untuk menggunakan data dan teknologi dalam memecahkan masalah lokal.
Pendekatan ini dapat menciptakan pemerintahan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sekaligus memperkuat budaya pelayanan publik berbasis data.
3. Integrasi Nilai Sosial dan Etika Digital
Demokratisasi transformasi juga menuntut organisasi Indonesia untuk menanamkan nilai etika dan tanggung jawab sosial dalam digitalisasi. Di tengah maraknya penggunaan data, AI, dan otomatisasi, pertanyaan etis tentang privasi, bias algoritma, dan dampak sosial perlu dijawab dengan kebijakan dan tata kelola yang jelas.
Organisasi yang ingin menjadi pemimpin digital harus membangun kepercayaan (trust) sebagai modal sosial utama.
Hal ini berarti memastikan bahwa setiap inovasi teknologi membawa manfaat nyata bagi manusia baik pelanggan, karyawan, maupun masyarakat luas.
4. Kolaborasi untuk Ekosistem Inovasi Nasional
Keberhasilan demokratisasi transformasi juga bergantung pada kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan komunitas teknologi perlu membentuk ekosistem inovasi nasional yang terbuka, inklusif, dan berbasis data. Inisiatif seperti Satu Data Indonesia, Digital Talent Scholarship, dan National AI Strategy dapat menjadi landasan untuk membangun ekosistem tersebut.
Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mendistribusikan pengetahuan dan teknologi secara merata, sehingga manfaat digitalisasi tidak hanya dinikmati oleh perusahaan besar di perkotaan, tetapi juga oleh UMKM dan pemerintah daerah.
5. Menuju Organisasi Digital yang Human-Centered
Arah akhir dari demokratisasi transformasi adalah membangun organisasi digital yang berpusat pada manusia.
Teknologi bukan pengganti manusia, melainkan alat untuk memperluas kapasitas dan kreativitas manusia. Dalam kerangka ini, setiap karyawan menjadi digital actor yang berkontribusi terhadap misi organisasi melalui data, analitik, dan kolaborasi.
Dengan menggabungkan strategi teknologi, kepemimpinan inklusif, dan budaya pembelajaran berkelanjutan, organisasi Indonesia dapat bertransformasi menjadi entitas adaptif yang siap menghadapi disrupsi global. Transformasi digital bukan lagi proyek satu kali, melainkan perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih cerdas, adil, dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Demokratisasi transformasi digital bukan sekadar tren korporasi, tetapi agenda strategis pembangunan manusia dan institusi.
Seperti yang ditegaskan oleh Iansiti dan Nadella, keberhasilan organisasi masa depan akan diukur bukan dari seberapa canggih teknologinya, melainkan seberapa luas dan dalam teknologi tersebut memberdayakan manusia. Dengan menanamkan nilai pembelajaran, empati, dan kolaborasi di seluruh struktur organisasi, Indonesia dapat bergerak dari sekadar pengguna teknologi menjadi pencipta inovasi digital yang berdampak.
Daftar Pustaka:
Davenport, T. H., & Westerman, G. (2018). Why so many high-profile digital transformations fail. Harvard Business Review
Iansiti, M., & Nadella, S. (2022). Democratizing transformation. Harvard Business Review, 100(2), 34–53.
Nadella, S. (2017). Hit refresh: The quest to rediscover Microsoft’s soul and imagine a better future for everyone. Harper Business.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). The digital transformation of SMEs. Paris: OECD Publishing.
Schein, E. H., & Schein, P. A. (2017). Organizational culture and leadership (5th ed.). Wiley.
Westerman, G., Bonnet, D., & McAfee, A. (2014). Leading digital: Turning technology into business transformation. Harvard Business Review Press.
World Economic Forum. (2024). Future readiness of SMEs: Empowering the digital economy. Geneva: WEF.
Ekologi dan Konservasi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025
Paradigma Baru Adaptasi Banjir: Sebuah Pergeseran Prioritas Ekologis dan Sosial
Tantangan adaptasi banjir global telah melampaui kemampuan paradigma risiko tradisional akibat intensitas perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan di dataran banjir. Pendekatan adaptasi yang berlaku saat ini sering gagal memanfaatkan manfaat yang diberikan oleh ekosistem alami yang utuh dan secara sistematis melanggengkan ketidakadilan sosial dan ekonomi. Paper ini, yang berakar dari pengalaman Amerika Serikat, menyajikan kerangka kerja baru yang transformatif: Hirarki Adaptasi Banjir (Flood Adaptation Hierarchy), sebuah alat pengambilan keputusan yang mengalihkan fokus dari pertahanan yang diutamakan teknik rekayasa menjadi serangkaian hasil yang diprioritaskan.
Alur logis temuan dimulai dengan penegasan bahwa paradigma adaptasi historis—yaitu, "mempertahankan (defend), mengakomodasi (accommodate), atau mundur (retreat)"—telah terbukti gagal di berbagai bidang, termasuk teknik, ekonomi, sosial, dan sistem alami. Kegagalan-kegagalan ini telah memperdalam masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan, terutama menimpa kelompok berpenghasilan rendah dan komunitas kulit berwarna yang secara tidak proporsional mengalami konsekuensi negatif banjir.
Hirarki yang diusulkan membedakan dirinya melalui dua kontribusi utama : Pertama, memprioritaskan perlindungan dan restorasi ekosistem alami yang utuh (Tier 1) di atas semua strategi lainnya, termasuk infrastruktur abu-abu dan solusi berbasis alam yang seringkali hanyalah manipulasi buatan manusia yang tidak sepadan dengan dinamisme alam. Kedua, secara eksplisit menghubungkan alam dan manusia melalui lensa ekuitas. Penulis menekankan bahwa solusi yang ada selama ini tidak berkelanjutan secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kerangka Hirarki Adaptasi Banjir ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi bidang manajemen risiko bencana dan perencanaan lingkungan:
Sorotan Data Kuantitatif Secara Deskriptif
Untuk menggarisbawahi urgensi adaptasi yang mengutamakan alam, studi ini menyoroti bahwa jika habitat pesisir dibiarkan utuh, risiko terhadap properti dan masyarakat yang paling rentan terhadap banjir dapat dikurangi hingga setengahnya —temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara integritas ekosistem dan mitigasi risiko jangka panjang, yang menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru yang berfokus pada model pembiayaan adaptasi berbasis nilai ekologis.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Hirarki Adaptasi Banjir ini adalah kerangka kerja preskriptif, yang harus diterapkan melalui proses berulang dengan kriteria justifikasi yang ketat untuk mengendalikan pergerakan di antara tingkatan. Namun, beberapa keterbatasan dan pertanyaan terbuka masih ada:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, berikut adalah lima rekomendasi riset mendesak yang berkelanjutan, yang dirancang untuk memperkuat dan memvalidasi Hirarki Adaptasi Banjir:
1. Mengembangkan Matriks Kriteria Justifikasi Kuantitatif
Justifikasi Ilmiah: Untuk mempertahankan struktur hierarki yang memprioritaskan (Tier 1 & 2), mekanisme disinsentif yang terstruktur harus diterapkan guna menggagalkan pemilihan hasil adaptasi yang paling nyaman atau efisien (Tier 4-6). Saat ini, kriteria tersebut harus dikembangkan berdasarkan kasus per kasus.
Fokus Riset: Penelitian harus berfokus pada pengembangan Analisis Biaya-Manfaat (BCA) Multi-Kriteria yang Diperluas dengan cakupan jangka waktu lebih dari 100 tahun. Model ini harus mengintegrasikan dan mengkuantifikasi manfaat non-moneter (co-benefits) dari solusi berbasis alam (misalnya, peningkatan kualitas air , kesehatan mental , nilai estetika) dan biaya jangka panjang (risiko kegagalan katastrofik teknik rekayasa ) ke dalam satu metrik penilaian yang komparatif. Tujuannya adalah untuk memberikan nilai moneter yang realistis kepada solusi Tier 1 dan 2, membuat solusi ini kompetitif dan layak didanai.
2. Studi Longitudinal pada Ketahanan Sosial Pasca Managed Retreat
Justifikasi Ilmiah: Tier 2—Menghilangkan Risiko melalui relokasi terkelola (managed retreat)—adalah komponen kunci dari pencegahan risiko jangka panjang (>100 tahun). Namun, ada kelemahan yang diketahui, yaitu potensi hilangnya kohesi sosial dan rasa tempat (sense of place).
Fokus Riset: Riset harus menerapkan metode penelitian kualitatif dan longitudinal yang komprehensif, seperti survei panel berulang dan wawancara, untuk melacak variabel kesejahteraan sosial-ekonomi, kesehatan mental, dan tingkat integrasi dari populasi yang direlokasi dan komunitas tujuan selama periode 5-10 tahun pasca-relokasi. Penelitian harus bertujuan untuk menetapkan praktik terbaik dalam administrasi program relokasi agar sumber daya dapat dikelola secara efektif, adil, dan tepat waktu.
3. Memformalkan Indeks Inklusivitas Suara dalam Tata Kelola Adaptasi
Justifikasi Ilmiah: Jalur ekuitas "Suara" sangat penting untuk memastikan bahwa kepentingan semua pihak terwakili, terutama kelompok yang secara historis dikecualikan, seperti komunitas berpenghasilan rendah dan komunitas kulit berwarna, yang memiliki peluang terbatas untuk memengaruhi proses tata kelola. Kerangka kerja ini hanya menyediakan pertanyaan panduan.
Fokus Riset: Mengembangkan dan menguji Indeks Inklusivitas Suara sebagai variabel baru yang terukur. Metodologi harus mencakup analisis kerangka kerja perencanaan untuk mengidentifikasi mekanisme formal yang paling efektif untuk melibatkan beragam pemangku kepentingan. Riset harus menentukan bagaimana alat pemetaan risiko sosial-ekologis (menggabungkan data kerentanan fisik banjir dengan data sosioekonomi ) dapat digunakan untuk memastikan bahwa keputusan adaptasi secara eksplisit mengatasi ketidaksetaraan dalam dampak dan alokasi sumber daya.
4. Pemodelan Keefektifan Hidrodinamika Jangka Panjang: Tier 1 vs. Tier 4
Justifikasi Ilmiah: Ada kebutuhan untuk pemahaman yang lebih besar tentang batas perlindungan dari solusi alam dan solusi buatan. Penulis berargumen bahwa solusi berbasis alam seringkali dirancang untuk menghambat dinamisme alami (misalnya, transpor sedimen) yang berbeda dengan ekosistem utuh.
Fokus Riset: Menggunakan pemodelan hidrodinamika dan geospasial skala besar untuk secara langsung membandingkan efektivitas jangka panjang solusi dari Tier 1 (Ekosistem Alami yang Dilindungi/Direstorasi) dengan Tier 4 (Rekayasa Berbasis Alam) dan Tier 6 (Rekayasa Keras). Variabel kritis yang harus diukur adalah kapasitas redaman energi gelombang, tingkat penyimpanan air, dan respon dinamis terhadap kenaikan permukaan air laut selama periode 50–100 tahun. Riset ini harus menetapkan ambang batas ilmiah di mana Tier 1/2 terbukti tidak layak, sehingga membenarkan pergerakan ke bawah hierarki.
5. Eksplorasi Aplikasi Hirarki di Luar Banjir (Bencana yang Dipicu Iklim)
Justifikasi Ilmiah: Penulis menyarankan bahwa urutan operasional mencegah risiko, menghilangkan risiko, mengakomodasi bahaya, dan bertahan melawan bahaya memiliki penerapan global dan harus dievaluasi untuk tantangan yang didorong oleh iklim lainnya (misalnya, kebakaran, kekeringan).
Fokus Riset: Mengembangkan Matriks Hierarki Adaptasi Kebakaran Hutan/Kekeringan dengan memetakan enam tingkatan dan jalur ekuitas ke konteks manajemen risiko yang berbeda. Penelitian percontohan harus dilakukan di wilayah yang mengalami stres air kronis atau musim kebakaran yang parah. Variabel yang harus dianalisis adalah bagaimana persepsi risiko kelembagaan (institutional risk perception) berubah ketika kerangka kerja baru yang memprioritaskan pencegahan risiko ekologis (seperti restorasi daerah aliran sungai atau penjarangan hutan yang bijaksana) diusulkan, dibandingkan dengan langkah-langkah pertahanan (seperti pemadaman api atau pembangunan waduk besar).
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi lembaga donor dan pembiayaan publik/swasta (untuk menetapkan kriteria justifikasi berbasis BCA yang diperluas), badan perencanaan dan pembangunan lokal (untuk menguji integrasi jalur Ekuitas di tingkat tapak), dan mitra akademik multidisiplin (ekologi, sosiologi, teknik) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, sekaligus mendorong adopsi kerangka kerja yang adil dan berwawasan lingkungan ini.
Baca paper aslinya di sini: Baca paper aslinya di sini
Komunikasi Krisis
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025
Pendahuluan: Transformasi Komunikasi Krisis di Era Digital
Kemanusiaan dihadapkan pada serangkaian bencana, baik yang disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar pada kehidupan, properti, dan infrastruktur. Krisis banjir Pakistan tahun 2022 menjadi studi kasus penting mengenai kerentanan nasional, yang tidak hanya menghasilkan masalah sosio-ekonomi tetapi juga menyoroti keterbatasan kapasitas finansial Pakistan untuk pemulihan dan rekonstruksi. Situasi ini diperparah oleh kegagalan media tradisional dalam memberikan liputan yang tepat, di mana fokus cenderung pada politisasi situasi daripada pelaporan masalah real-time di lapangan.
Di tengah tantangan ini, penelitian ini bertujuan untuk secara definitif mengartikulasikan pentingnya dan peran media sosial sebagai medium komunikasi antara Otoritas Manajemen Bencana Nasional (NDMA) Pakistan dan masyarakat yang terdampak. Penelitian ini menggunakan metodologi riset sekunder, menganalisis konten yang dipublikasikan oleh NDMA di dua platform utama, Facebook (21 unggahan) dan Twitter (26 unggahan), melalui metode Direct Content Analysis.
Jalur Logis Temuan: Aplikasi Teori dalam Respons Darurat
Jalur logis penelitian bermula dari identifikasi masalah komunikasi di tengah krisis besar menuju validasi efektivitas kerangka kerja teoritis dalam konteks darurat digital. Temuan menunjukkan bahwa media sosial memainkan peran penting dalam menyediakan informasi yang relevan dan cepat tentang area yang terdampak bencana.
Secara krusial, penelitian ini memvalidasi keberhasilan NDMA dalam menerapkan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dan Crisis Simulation Model selama krisis. NDMA berhasil mengomunikasikan krisis banjir dengan memposting setiap detail situasi dan tindakan administratif di platform media sosial. Komunikasi ini terstruktur di bawah empat tema utama: Prakiraan Banjir (Flood Forecasting), Dukungan Darurat (Emergency Support), Dukungan Administratif (Administrative Support), dan Dukungan Manajemen Krisis (Crisis Management Support).
Komunikasi krisis yang efektif melalui media sosial ini merupakan faktor penentu dalam memfasilitasi dukungan internasional. Secara deskriptif, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara manajemen komunikasi krisis berbasis media sosial dan mobilisasi dana bantuan darurat, ditandai dengan peningkatan dana bantuan banjir sebesar 13.7% pada akhir Oktober 2022, pasca manajemen komunikasi melalui media sosial. Angka ini sangat penting untuk upaya pemulihan, mengingat total kerusakan yang dialami Pakistan mencapai $14,906 juta, kerugian mencapai $15,233 juta, dan kebutuhan rekonstruksi serta pemulihan sebesar $16,261 juta. Dampak sosio-ekonomi dari bencana ini sangat nyata, di mana tingkat kemiskinan nasional meningkat dari 3.7% menjadi 4.0%. Oleh karena itu, kemampuan untuk memitigasi kesenjangan finansial yang besar ini melalui komunikasi digital menunjukkan potensi kuat media sosial untuk objek penelitian baru dalam pembiayaan bencana.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini adalah menjembatani teori komunikasi krisis dengan implementasi praktis di lingkungan bencana alam skala besar. Dengan meneliti postingan NDMA, studi ini memberikan contoh empiris yang mengukuhkan:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun temuan ini penting, penelitian ini memiliki keterbatasan metodologis dan menghasilkan pertanyaan terbuka krusial untuk agenda riset masa depan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan untuk Komunitas Akademik
Berdasarkan temuan yang menggarisbawahi efektivitas komunikasi krisis NDMA sekaligus menyoroti kesenjangan dalam jangkauan dan risiko disinformasi, berikut adalah lima arah riset ke depan yang ditujukan untuk akademisi, peneliti, dan penerima hibah:
1. Eksplorasi Jangkauan dan Dampak Komunikasi Bencana di Area Minim Akses
Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa manfaat komunikasi digital terbatas pada pengguna Facebook dan Twitter. Padahal, dampak krisis sangat parah di daerah yang sudah menderita malnutrisi, kurangnya akses air minum, dan keterbatasan fasilitas kesehatan. Konteks baru harus mengatasi bias ini. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus mengadopsi studi kualitatif mendalam (wawancara dan focus group discussion) dengan populasi non-pengguna media sosial di provinsi yang paling parah terdampak, seperti Sindh atau Balochistan, yang memiliki populasi sekolah yang sangat terdampak. Variabel baru yang harus diukur adalah efektivitas saluran komunikasi non-digital (seperti radio, telepon seluler biasa, atau pengeras suara komunitas) dan peran pemimpin komunitas sebagai perantara informasi NDMA. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk menjamin kesiapsiagaan (preparedness) dan mitigasi risiko yang inklusif, penting untuk mengidentifikasi saluran yang paling dipercaya dan paling menjangkau untuk 68.84% populasi yang tidak secara eksplisit dihitung sebagai penerima manfaat komunikasi media sosial NDMA.
2. Model Prediktif dan Mitigasi Disinformasi Berbasis SCCT
Justifikasi Ilmiah: Bahaya misinformasi yang meningkat selama krisis sangat kontras dengan upaya komunikasi yang kredibel dari NDMA. Dengan pertumbuhan platform yang diproyeksikan, risiko ini akan meningkat. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus mengembangkan model Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) atau Natural Language Processing (NLP) untuk menganalisis dan mengklasifikasikan postingan media sosial selama krisis. Kerangka kerja ini akan berfokus pada komponen SCCT "Deny" dan "Diminish" untuk mengidentifikasi dan menandai narasi yang berpotensi menimbulkan disinformasi atau kepanikan. Variabel baru adalah skor kepercayaan publik (Public Trust Score) dan laju viralitas (Virality Rate) narasi krisis yang dipublikasikan oleh sumber resmi dan tidak resmi, diukur dalam jam pertama pasca-publikasi. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Pembentukan alat operasional untuk NDMA yang dapat secara otomatis menerapkan strategi SCCT untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan merespons informasi palsu secara real-time, sehingga melindungi validitas dan integritas komunikasi krisis.
3. Analisis Longitudinal Keberlanjutan Komunikasi Pasca-Krisis (Tahap Rekonstruksi)
Justifikasi Ilmiah: Meskipun NDMA berhasil pada fase response darurat , siklus manajemen bencana menuntut upaya berkelanjutan pada fase pemulihan dan rekonstruksi. Konteks baru harus mengukur konsistensi pesan dalam jangka panjang. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan studi kasus jangka panjang (longitudinal case study) selama 12–24 bulan pasca-banjir, berfokus pada konten NDMA di tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Variabel baru adalah korelasi antara frekuensi dan spesifisitas postingan tentang bantuan/pemulihan (misalnya, jumlah sekolah yang dibangun kembali atau bantuan ternak yang disalurkan) dengan data pemulihan aktual dari badan mitra (ADB, World Bank). Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk memastikan akuntabilitas (accountability) dan transparansi, penelitian ini akan membuktikan bagaimana komunikasi digital dapat mempertahankan dukungan dan momentum pendanaan selama bertahun-tahun pasca-bencana, alih-alih hanya berfokus pada bantuan awal.
4. Uji Coba Lintas-Kontekstual SCCT untuk Respon Bencana Non-Banjir
Justifikasi Ilmiah: Keberhasilan penerapan SCCT dan model simulasi krisis hanya terbukti dalam konteks banjir Pakistan 2022. Untuk membangun kerangka kerja manajemen bencana nasional yang kuat, model ini harus diuji ketahanannya dalam berbagai jenis krisis. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menerapkan kerangka kerja SCCT yang sama pada studi kasus bencana alam atau buatan manusia yang berbeda di Pakistan (misalnya, krisis kesehatan masyarakat atau potensi gempa bumi). Konteks baru ini memerlukan perbandingan efektivitas strategi komunikasi antara NDMA dan otoritas sub-nasional, mengukur tingkat kepatuhan publik terhadap instruksi yang dikeluarkan di media sosial. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk memitigasi risiko di masa depan, penelitian ini harus menetapkan pedoman standar operasional berbasis teori krisis untuk NDMA yang fleksibel dan dapat diterapkan pada berbagai ancaman nasional, sehingga mengurangi ketergantungan pada improvisasi.
5. Integrasi Data Media Sosial untuk Penilaian Kebutuhan Sektor Mikro yang Akurat
Justifikasi Ilmiah: PDNA yang ada tidak memadai untuk penilaian tingkat sektor, yang mana sangat penting untuk sektor produktif seperti pertanian yang menanggung kerugian paling besar. Media sosial adalah gudang data yang belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk intelijen bencana. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Mengembangkan kerangka kerja (metode kualitatif dan kuantitatif) untuk mengubah data mentah dari platform media sosial (misalnya, postingan yang memohon bantuan spesifik di tingkat sub-distrik) menjadi metrik yang dapat digunakan untuk menilai kebutuhan sektor mikro. Variabel baru adalah koefisien korelasi antara permintaan bantuan spesifik (misalnya, benih tanaman, pakan ternak, atau perbaikan irigasi) yang diekstraksi dari platform dan alokasi sumber daya NDMA. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Penelitian ini akan menciptakan template perencanaan darurat berbasis data yang dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan untuk mendukung sektor-sektor yang paling membutuhkan, memastikan pemulihan yang berorientasi pada pembangunan, bukan hanya bantuan darurat.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Temuan penelitian ini dengan jelas menyoroti bahwa media sosial lebih dari sekadar saluran pengumuman; ia adalah mekanisme keterlibatan real-time yang mampu meningkatkan kesadaran publik, mempercepat mobilisasi sumber daya (terbukti dari peningkatan dana bantuan), dan menopang komunikasi kelembagaan selama masa-masa paling genting. Keberhasilan NDMA dalam menerapkan kerangka kerja teoritis modern (SCCT) menunjukkan potensi jangka panjang untuk mentransformasi respons bencana dari model statis menjadi sistem yang dinamis dan tahan banting.
Namun, untuk memanfaatkan sepenuhnya potensi ini dan mengatasi tantangan disinformasi serta keterbatasan jangkauan, dibutuhkan upaya akademik dan operasional yang lebih lanjut. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi di luar batas Pakistan, termasuk Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (ADB), yang merupakan mitra utama dalam PDNA, serta institusi riset terkemuka di bidang ilmu data dan komunikasi krisis (X, Y, Z) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Kolaborasi ini sangat penting untuk membangun kerangka kerja digital yang tidak hanya merespons krisis tetapi juga merumuskan kebijakan pembangunan dan ketahanan nasional yang inklusif, terutama saat Pakistan bergulat dengan peningkatan angka kemiskinan dan kebutuhan finansial yang jauh melampaui sumber daya yang ada.
Baca paper aslinya di sini: Baca paper aslinya di sini
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025
Penelitian berjudul How flood risk management projects can improve urban resilience: a combined assessment approach of functional resilience and adaptive capacity yang dipublikasikan di Australasian Journal of Water Resources ini menyajikan sebuah pendekatan penting untuk mengevaluasi dan merancang proyek pengelolaan risiko banjir (PRB) di kawasan urban. Memahami bahwa banjir merupakan tantangan besar bagi kawasan urban di seluruh dunia, penelitian ini berfokus pada peningkatan ketahanan, terutama di kawasan pesisir dataran rendah. Tujuan utama dari paper ini adalah untuk menganalisis sejauh mana dan mengapa proyek-proyek manajemen risiko banjir dapat memberikan dampak positif pada ketahanan urban.
Secara konseptual, penelitian ini mendefinisikan ketahanan banjir urban sebagai kapasitas sistem urban—termasuk infrastruktur fisik, institusi, dan komunitas—untuk (1) menahan banjir, (2) menyerap dan pulih dari banjir, dan (3) bertransformasi dan beradaptasi. Penelitian ini berargumen bahwa upaya PRB cenderung terlalu fokus pada pendekatan langsung, seperti intervensi struktural untuk mengurangi kerugian, seringkali mengabaikan aspek penting dari pembangunan kapasitas adaptif.
Untuk mengisi kesenjangan ini, peneliti mengembangkan sebuah pendekatan holistik yang menggabungkan dua pilar utama penilaian: penilaian dampak terhadap ketahanan fungsional sistem urban dan penilaian kapasitas adaptif warga. Pendekatan ini merupakan contoh dari penilaian partisipatif, yang melibatkan pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan pengetahuan kontekstual mereka dan meningkatkan pemahaman tentang dinamika konteks dan ketahanan. Pendekatan tiga fase ini diterapkan pada proyek remediasi banjir Dudley Creek di Christchurch, Selandia Baru:
Hasil aplikasi di Dudley Creek, kawasan rawan banjir akibat perubahan elevasi tanah pasca gempa yang memengaruhi sekitar 70% dari rumah-rumah yang terkena banjir reguler (sekitar 600 rumah) di sana, menunjukkan bahwa proyek tersebut secara keseluruhan memiliki dampak positif pada ketahanan urban melalui perbaikan ketahanan fungsional dan kapasitas adaptif.
Pada sisi ketahanan fungsional, proyek tersebut menunjukkan dampak paling positif pada kemampuan sistem untuk menstabilkan diri melalui homeostasis (skor rata-rata: 4.2) dan kemampuan untuk merespons cepat melalui flux (skor rata-rata: 3.9). Semua intervensi, baik struktural maupun non-struktural, memiliki skor dampak rata-rata positif (>3). Intervensi struktural yang paling memengaruhi adalah underground piped bypass (skor rata-rata: 4.0), sementara intervensi non-struktural adalah citizen engagement (skor rata-rata: 4.0). Namun, dampak terbatas tercatat pada redundancy (skor rata-rata: 3.3) dan flatness (skor rata-rata: 3.1).
Pada sisi kapasitas adaptif, keterlibatan warga secara signifikan meningkatkan pengetahuan dan persepsi risiko dibandingkan warga yang tidak terlibat. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara keterlibatan warga dan peningkatan pengetahuan terkait banjir dan kesiapan dengan nilai $p<.001$ untuk keduanya, serta pengetahuan perubahan iklim ($p<.001$) dan kekhawatiran tentang perubahan iklim ($p=.045$)—menunjukkan potensi kuat untuk intervensi non-struktural yang ditargetkan. Sebaliknya, keterlibatan warga tidak menunjukkan dampak signifikan pada motivasi atau kapasitas adaptif yang dirasakan ($p=.095$ dan $p=.483$ masing-masing).
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dengan menawarkan sebuah kerangka kerja diagnostik dan holistik yang secara eksplisit menggabungkan perspektif rekayasa (functional resilience) dan sosial (adaptive capacity) untuk menilai dampak proyek PRB pada tingkat lokal. Hal ini mengatasi kelemahan literatur yang ada yang sebagian besar fokus pada respons sistem rekayasa dan mengabaikan interaksi banjir-manusia atau faktor sosial.
Secara khusus, penemuan bahwa keterlibatan warga meningkatkan pengetahuan dan persepsi risiko tetapi tidak pada motivasi dan kapasitas adaptif yang dirasakan sangat relevan. Hal ini mengonfirmasi perlunya intervensi engagement yang ditargetkan untuk tidak hanya mengedukasi tetapi juga memberdayakan warga. Penemuan ini menyoroti bahwa proyek PRB perlu mengintegrasikan intervensi struktural yang dirancang dengan baik dengan intervensi engagement yang ditargetkan untuk meningkatkan kapasitas adaptif warga.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kuat, studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Penilaian fungsional menunjukkan bahwa flatness (kompetensi lokal untuk memutuskan dan bertindak) dan redundancy (fungsi yang tumpang tindih) adalah prinsip yang paling kurang dimanfaatkan. Analisis menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan oleh kurangnya kewenangan (otoritas) inisiator proyek, tujuan 'persyaratan minimum' untuk kembali ke tingkat pra-gempa, dan keterbatasan sumber daya yang dipicu oleh proses fast-tracked.
Pertanyaan terbuka yang muncul adalah:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Rekomendasi ini disusun untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, dengan fokus pada eksplorasi variabel dan konteks baru berdasarkan temuan.
Kesimpulan Kolaboratif
Penelitian ini mengonfirmasi relevansi menggabungkan perspektif teknik dan sosial dalam penilaian dan perancangan proyek manajemen risiko banjir. Untuk memastikan redundancy dan flatness tidak lagi menjadi prinsip yang kurang dimanfaatkan, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintahan lokal (sebagai inisiator proyek), otoritas perencanaan regional/nasional (untuk mengatasi keterbatasan kewenangan), dan organisasi komunitas (untuk menguji desain engagement yang memberdayakan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.