Indeks Sosial Daerah
Dipublikasikan oleh pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) telah menjadi salah satu tolok ukur utama untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Paper karya Muhammad Firza Ibnu Hartono dan Laelatul Khikmah dari Institut Teknologi Statistika dan Bisnis Muhammadiyah Semarang ini mencoba menggali lebih dalam faktor-faktor yang memengaruhi IPM di Provinsi Jawa Timur tahun 2021. Penelitian ini menggunakan pendekatan statistik canggih, yakni regresi logistik ordinal, untuk melihat pengaruh berbagai indikator sosial-ekonomi terhadap kategori IPM kabupaten/kota.
Latar Belakang
Paradigma pembangunan saat ini tidak hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menekankan pembangunan manusia sebagai fondasi utama. Oleh karena itu, IPM yang mengukur dimensi pendidikan, kesehatan, dan daya beli menjadi alat penting dalam menilai kesejahteraan daerah.
Meski Jawa Timur merupakan provinsi berpenduduk besar dan memiliki sumber daya ekonomi melimpah, posisinya dalam peringkat IPM nasional belum optimal, hanya menempati urutan ke-17 dari 34 provinsi. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: faktor apa saja yang memengaruhi capaian IPM di Jawa Timur?
Metodologi
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 untuk 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Model analisis yang digunakan adalah regresi logistik ordinal, mengingat IPM dikategorikan ke dalam tiga level:
Sedang (60 < IPM < 70)
Tinggi (70 < IPM < 80)
Sangat tinggi (IPM ≥ 80)
Variabel yang digunakan:
Y (Variabel dependen): IPM kategori ordinal
X1: Tingkat pengangguran terbuka (TPT)
X2: Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
X3: Tingkat kemiskinan
X4: Harapan lama sekolah
X5: Rata-rata lama sekolah
X6: Usia harapan hidup
X7: Pengeluaran per kapita
Langkah Analisis:
Analisis deskriptif menggunakan peta tematik sebaran IPM.
Uji serentak dengan likelihood ratio test.
Uji parsial dengan uji Wald untuk tiap variabel.
Uji kesesuaian model regresi.
Hasil Penelitian
Gambaran Umum:
Kota dengan IPM sangat tinggi: Surabaya (82.31), Malang, Madiun, dan Sidoarjo.
Sebagian besar kabupaten lain hanya berada di kategori tinggi atau bahkan sedang.
Temuan Statistik:
Uji serentak menghasilkan nilai p-value = 0,000, berarti secara kolektif ada pengaruh signifikan antara variabel bebas dan IPM.
Namun secara parsial (Uji Wald), tidak ada satu pun variabel yang berpengaruh signifikan secara statistik terhadap IPM.
Ini menunjukkan adanya multikollinearitas atau variabel luar yang belum ditangkap oleh model.
Analisis Tambahan & Opini
Penafsiran:
Temuan ini menarik karena bertolak belakang dengan literatur umum yang menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan sangat menentukan IPM. Kemungkinan besar:
Ketimpangan antarwilayah mempengaruhi kestabilan model.
Ada variabel penting lain seperti infrastruktur, kualitas layanan publik, atau kinerja pemerintah daerah yang belum dimasukkan.
Kategori ordinal terlalu sempit untuk menangkap variabilitas riil antar daerah.
Kritik terhadap Penelitian:
Rentang variabel dependen (IPM) mungkin terlalu luas untuk dibatasi dalam tiga kategori saja.
Tidak dilakukan transformasi data atau normalisasi, yang mungkin dibutuhkan untuk meningkatkan keakuratan model.
Tidak diuji kemungkinan interaksi antar variabel.
Implikasi Kebijakan
Pemerintah perlu menyusun kebijakan pembangunan manusia yang terintegrasi, tidak hanya mengejar angka pendidikan atau kesehatan secara nominal.
Perlu pengumpulan data yang lebih luas, termasuk data kualitas hidup dan partisipasi sosial.
Untuk analisis ke depan, disarankan menggunakan model yang lebih fleksibel seperti regresi multinomial atau analisis spasial.
Perbandingan dengan Studi Lain
Studi ini memperkuat kritik terhadap pendekatan yang terlalu kuantitatif dalam analisis pembangunan manusia.
Berbeda dengan penelitian Melliana & Zain (2013) yang menggunakan regresi panel dan menemukan pengaruh signifikan dari fasilitas kesehatan dan akses air bersih terhadap IPM Jawa Timur.
Sementara itu, Farida et al. (2022) menggunakan pendekatan regresi ordinal namun dengan transformasi data dan berhasil menemukan signifikansi pendidikan dan pengeluaran.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan insight penting tentang keterbatasan model statistik dalam menjelaskan capaian pembangunan manusia jika tidak dilengkapi data yang komprehensif. Meski tidak menemukan pengaruh parsial yang signifikan, studi ini membuka ruang diskusi tentang kompleksitas IPM dan perlunya pendekatan multidimensi dan lintas disiplin.
Saran
Gunakan pendekatan mixed-methods yang menggabungkan data kuantitatif dan wawancara lapangan.
Tambahkan variabel kualitatif seperti persepsi publik, akses pelayanan, dan infrastruktur wilayah.
Gunakan skala IPM kontinu atau indeks komposit agar hasil analisis lebih akurat dan aplikatif.
Sumber
Hartono, M. F. I., & Khikmah, L. (2024). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Timur 2021 Menggunakan Metode Regresi Logistik Ordinal. Jurnal El Mal, 5(9), 3989–3995. https://journal-laaroiba.com/ojs/index.php/elmal/3932
Ekonomi Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Perubahan sosial dan ekonomi di Indonesia telah memperluas peran perempuan dalam dunia kerja. Namun, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita (TPAK-W) masih menunjukkan disparitas yang signifikan antar wilayah. Dalam skripsi berjudul "Pengaruh Kemiskinan, Pendidikan, dan Upah terhadap Partisipasi Angkatan Kerja Wanita di Provinsi Jawa Timur Tahun 2015–2019", Anisa Arwiaty dari Universitas Tidar mengupas dinamika kontribusi perempuan terhadap pasar kerja dan pengaruh variabel sosial-ekonomi terhadap keputusan mereka untuk bekerja.
Studi ini penting dalam konteks pemberdayaan ekonomi perempuan dan perumusan kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif di tingkat provinsi.
Latar Belakang
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah dengan populasi penduduk besar dan struktur sosial ekonomi yang kompleks. Meskipun jumlah perempuan usia produktif terus meningkat, keterlibatan mereka dalam pasar kerja tidak selalu berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi daerah.
Banyak perempuan menghadapi hambatan struktural seperti:
Kewajiban rumah tangga
Tingkat pendidikan rendah
Upah yang tidak kompetitif
Kondisi kemiskinan keluarga
Penelitian ini mencoba menguji apakah ketiga faktor tersebut—kemiskinan, pendidikan, dan upah minimum—berpengaruh terhadap keputusan wanita untuk ikut serta dalam angkatan kerja.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan data panel dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur selama 5 tahun (2015–2019). Data diambil dari BPS dan sumber resmi lainnya.
Variabel yang Digunakan:
Variabel Dependen: TPAK-W (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita)
Variabel Independen:
Tingkat kemiskinan (% jumlah penduduk miskin)
Rata-rata lama sekolah perempuan (tahun)
Upah minimum kabupaten/kota (rupiah)
Model yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM) berdasarkan hasil uji Chow dan Hausman. Analisis dilakukan menggunakan software Eviews.
Hasil Penelitian
Temuan Utama:
Kemiskinan: Berpengaruh positif dan signifikan terhadap partisipasi kerja wanita. Artinya, semakin miskin suatu wilayah, semakin besar tekanan ekonomi yang mendorong perempuan untuk bekerja.
Pendidikan: Berpengaruh negatif dan signifikan, yang mengejutkan. Perempuan dengan pendidikan tinggi cenderung memilih tidak bekerja, kemungkinan karena selektivitas kerja dan peran domestik.
Upah Minimum: Tidak berpengaruh signifikan terhadap partisipasi kerja wanita secara statistik, meskipun secara ekonomi diasumsikan berpengaruh.
Studi Kasus:
Di daerah seperti Bojonegoro dan Lamongan, yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi, partisipasi kerja wanita mencapai lebih dari 55%.
Sebaliknya, di kota seperti Surabaya dan Malang, yang memiliki kualitas pendidikan perempuan lebih tinggi, TPAK-W justru lebih rendah.
Analisis Tambahan & Opini
Penafsiran:
Kemiskinan sebagai pendorong partisipasi wanita dalam kerja menunjukkan bahwa banyak perempuan bekerja bukan karena pilihan, melainkan karena keterpaksaan ekonomi. Ini menjadi sorotan penting dalam kajian ekonomi kesejahteraan.
Temuan negatif dari pendidikan menunjukkan bahwa perempuan berpendidikan tinggi lebih selektif terhadap jenis pekerjaan. Mereka cenderung menunggu pekerjaan yang sesuai dengan bidang dan ekspektasi mereka, atau memilih aktivitas non-ekonomi seperti mengurus keluarga atau studi lanjut.
Kritik terhadap Penelitian:
Upah minimum sebagai indikator terlalu agregatif dan tidak mencerminkan ketimpangan upah berdasarkan sektor atau jenis kelamin.
Tidak mempertimbangkan variabel budaya, jumlah tanggungan, atau status perkawinan yang bisa memengaruhi keputusan wanita untuk bekerja.
Implikasi Kebijakan
Pemerintah daerah harus menciptakan program pelatihan kerja yang sesuai dengan keterampilan dan harapan perempuan berpendidikan.
Pemberdayaan ekonomi perempuan di wilayah miskin perlu dikembangkan melalui skema dukungan informal seperti UMKM berbasis rumah tangga.
Perlu pengembangan regulasi ketenagakerjaan yang mendukung fleksibilitas jam kerja dan cuti untuk perempuan.
Perbandingan dengan Studi Lain
Studi ini memperkuat temuan Afifah (2018) yang menyebutkan bahwa tekanan ekonomi mendorong partisipasi kerja wanita. Namun, berbeda dengan Indrawati (2016) yang menyatakan pendidikan berbanding lurus dengan partisipasi kerja perempuan secara nasional.
Kesimpulan
Penelitian Anisa Arwiaty memberikan wawasan penting tentang kompleksitas partisipasi angkatan kerja wanita di Jawa Timur. Kemiskinan mendorong perempuan untuk bekerja, sementara pendidikan tinggi justru membuat mereka lebih selektif. Hasil ini membuka ruang kebijakan yang lebih kontekstual, responsif gender, dan berbasis data wilayah.
Saran
Perluasan studi dengan memasukkan dimensi budaya dan keluarga.
Rekomendasi kebijakan harus mempertimbangkan pendekatan lintas sektor: pendidikan, ketenagakerjaan, dan pemberdayaan sosial.
Sumber
Arwiaty, A. (2021). Pengaruh Kemiskinan, Pendidikan, dan Upah terhadap Partisipasi Angkatan Kerja Wanita di Provinsi Jawa Timur Tahun 2015–2019. Universitas Tidar.
Kebijakan Publik & Data
Dipublikasikan oleh pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Dalam konteks pembangunan daerah, pertumbuhan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari fondasi sosial seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Paper karya Arya Darmawan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Malang berjudul "Pengaruh Kemiskinan, Pendidikan, dan Kesehatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur" menyajikan analisis kuantitatif mendalam terhadap 38 kabupaten/kota di Jawa Timur dengan menggunakan data panel tahun 2017–2021.
Penelitian ini tidak hanya penting untuk menilai efektivitas kebijakan pembangunan, tetapi juga untuk memahami bagaimana sinergi antara ketiga aspek sosial dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Latar Belakang
Meskipun Jawa Timur dikenal sebagai salah satu provinsi dengan kontribusi PDRB tertinggi di Indonesia, ketimpangan sosial masih menjadi tantangan nyata. Tingginya tingkat kemiskinan di beberapa daerah, rendahnya akses pendidikan, serta kualitas layanan kesehatan yang belum merata memunculkan pertanyaan besar: apakah ketiganya berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi?
Arya Darmawan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan merinci data 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, menyusun model ekonometrika panel, dan menguji hubungan antara variabel-variabel sosial tersebut dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan data panel (cross-section dan time series) selama 5 tahun (2017–2021). Variabel yang digunakan adalah:
Variabel dependen: Pertumbuhan ekonomi (dilihat dari laju pertumbuhan PDRB ADHK)
Variabel independen:
Tingkat kemiskinan (% penduduk miskin)
Tingkat pendidikan (Rata-rata lama sekolah)
Kesehatan (Angka harapan hidup)
Model yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM) setelah melalui pengujian Chow dan Hausman. Pengolahan data dilakukan menggunakan Eviews.
Hasil Penelitian
Temuan Utama:
Kemiskinan: Berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin tinggi tingkat kemiskinan, semakin lambat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Pendidikan: Tidak berpengaruh secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa peningkatan rata-rata lama sekolah belum tentu langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Kesehatan: Berpengaruh positif dan signifikan. Angka harapan hidup yang tinggi di suatu daerah cenderung berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Studi Kasus:
Surabaya dan Sidoarjo yang memiliki angka harapan hidup tinggi dan kemiskinan rendah menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi yang konsisten.
Sebaliknya, Bondowoso dan Bangkalan yang masih memiliki kemiskinan tinggi dan layanan kesehatan terbatas mencatat pertumbuhan ekonomi yang relatif stagnan.
Analisis Tambahan dan Opini
Penafsiran Temuan:
Fakta bahwa pendidikan tidak signifikan secara statistik membuka diskusi baru: apakah sistem pendidikan saat ini sudah relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja lokal? Atau mungkinkah ada lag time antara investasi pendidikan dan dampaknya terhadap ekonomi?
Sementara itu, korelasi positif antara kesehatan dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh kualitas kesehatan. Kesehatan yang baik berarti lebih sedikit hari sakit, tenaga kerja lebih produktif, dan pengeluaran negara untuk sektor kuratif bisa dialihkan ke produktif.
Implikasi Kebijakan:
Pemerintah daerah perlu memprioritaskan program pengentasan kemiskinan berbasis kewilayahan.
Investasi kesehatan primer seperti puskesmas dan promotif-preventif harus diperluas.
Reformasi pendidikan diperlukan agar lulusannya relevan secara ekonomi, tidak hanya kuantitatif secara tahun belajar.
Kritik terhadap Penelitian
Variabel pendidikan mungkin terlalu sempit jika hanya menggunakan indikator "lama sekolah." Bisa dipertimbangkan variabel lain seperti partisipasi sekolah lanjutan, angka buta huruf, atau kualitas guru.
Faktor lain seperti infrastruktur, iklim investasi, dan pengeluaran pemerintah daerah belum dimasukkan dalam model, padahal bisa memberi pengaruh signifikan.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan Todaro (2011) dan temuan Bappenas yang menyebut bahwa kemiskinan berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, tidak semua hasilnya sesuai: studi oleh Hariyadi (2019) justru menemukan bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional, meskipun dalam konteks Jawa Timur hal itu tidak terjadi.
Kesimpulan
Penelitian Arya Darmawan memberikan kontribusi penting dalam literatur ekonomi pembangunan daerah. Temuannya menunjukkan bahwa pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesehatan adalah dua kunci penting untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Namun, pendidikan masih membutuhkan reformasi struktural agar dampaknya lebih terasa.
Saran
Penelitian lanjutan perlu memasukkan variabel tambahan seperti pengangguran terbuka dan investasi daerah.
Pemerintah daerah harus membuat perencanaan pembangunan sosial yang lebih holistik dan terukur.
Sumber
Darmawan, A. (2023). Pengaruh Kemiskinan, Pendidikan, dan Kesehatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2017–2021. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Malang.
Pemerataan Layanan Kesehatan
Dipublikasikan oleh pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Angka Kematian Ibu (AKI) masih menjadi isu strategis dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Di tengah berbagai capaian pembangunan, kematian ibu tetap tinggi dan menjadi indikator sensitif dalam menilai kualitas layanan kesehatan masyarakat. Dalam paper ilmiah berjudul "Pemetaan AKI Menggunakan GeoDa di Provinsi Jawa Timur" karya Ayuc Shinta Indah Sari dkk., yang diterbitkan dalam jurnal Preventif tahun 2022, dilakukan analisis spasial terhadap AKI di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur menggunakan software GeoDa.
Latar Belakang
Target global Sustainable Development Goals (SDGs) menetapkan bahwa AKI harus turun menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Pada tahun 2019, AKI di Jawa Timur tercatat sebesar 89,81 per 100.000 kelahiran hidup, menurun dari 91,45 di tahun sebelumnya, dan sudah melampaui target nasional (Renstra). Namun, disparitas antarwilayah masih tinggi. Misalnya, Kabupaten Situbondo, Jember, dan Bojonegoro tercatat memiliki AKI tertinggi, sedangkan Sidoarjo, Surabaya, dan Malang termasuk dalam kategori rendah.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2019. Pemetaan dilakukan dengan perangkat lunak GeoDa, yang dikembangkan oleh Luc Anselin. GeoDa mampu menampilkan visualisasi spasial dalam bentuk Natural Breaks Map, membagi wilayah ke dalam tiga kategori: AKI tinggi, sedang, dan rendah.
Langkah Pemrosesan Data:
Data AKI tiap kabupaten/kota diinput ke dalam file .shp dari portal geospasial nasional.
Proses klasifikasi menggunakan metode Natural Breaks.
Warna peta digunakan untuk mengidentifikasi kategori AKI: gelap (tinggi), sedang (menengah), terang (rendah).
Hasil Temuan
Pemetaan menunjukkan:
7 daerah dengan AKI tinggi: Situbondo, Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Pacitan, Bojonegoro, dan Madiun.
16 daerah AKI sedang: antara lain Lumajang, Pasuruan, Probolinggo, Tuban, Ngawi, dan Mojokerto.
15 daerah AKI rendah: Surabaya, Sidoarjo, Malang, Kediri, Tulungagung, Lamongan, dan Kota Batu.
Studi Kasus & Data Tambahan
Di Kabupaten Situbondo, penyebab utama kematian ibu adalah preeklampsia dan eklampsia. Di Bojonegoro, penyebabnya termasuk pendarahan dan hipertensi, sementara di Madiun ditemukan kasus kanker hati pada ibu hamil. Program lokal seperti Gerakan Sayang Ibu (GSI) di Gresik menjadi contoh upaya berbasis komunitas dalam menekan AKI.
Analisis & Nilai Tambah
Faktor Penyebab Kunci:
Penyakit penyerta kehamilan (preeklampsia, kanker, infeksi).
Perencanaan kehamilan yang kurang matang.
Minimnya akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil.
Implikasi Kebijakan:
Visualisasi spasial sangat membantu dalam menetapkan prioritas intervensi.
Intervensi multisektor sangat diperlukan, termasuk peran aktif Dinkes, rumah sakit, Puskesmas, dan organisasi profesi (POGI, IDAI, IBI).
Kritik terhadap Studi:
Studi belum menguji secara statistik hubungan spasial (misal: autokorelasi atau spatial lag).
Tidak ada analisis regresi spasial atau pengaruh variabel non-kesehatan seperti kemiskinan, pendidikan, dan akses transportasi.
Perbandingan dengan Studi Lain
Studi ini memperkuat hasil penelitian Pangestu (2018) dan Yasril (2020) yang menyebutkan bahwa komplikasi kebidanan dan tingkat kemiskinan berperan penting dalam AKI. Namun studi ini lebih unggul dari sisi visualisasi spasial dan pemanfaatan teknologi pemetaan yang jarang digunakan dalam penelitian lokal.
Kesimpulan
Pemetaan spasial AKI dengan GeoDa membuka cakrawala baru dalam melihat distribusi risiko kesehatan maternal. Hasilnya sangat bermanfaat bagi pemerintah daerah untuk menyusun strategi intervensi yang tepat sasaran, baik dalam bentuk fasilitas layanan kesehatan, edukasi masyarakat, maupun regulasi pelindung ibu hamil.
Saran
Tambahkan analisis spasial lanjut seperti LISA dan Moran’s I untuk melihat pola klaster.
Perlu integrasi data sosial-ekonomi dalam pemodelan.
Perkuat kolaborasi lintas sektor dalam implementasi kebijakan pengurangan AKI.
Sumber
Sari, A.S.I., Iriyanti, Y.N., Prayogi, A.R.Y., & Prayoga, D. (2022). Pemetaan AKI Menggunakan GeoDa di Provinsi Jawa Timur. Preventif: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 13(2), 206–215. https://jurnal.fkm.untad.ac.id/index.php/preventif/article/view/2171
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Kompetensi Sebagai Tulang Punggung Kesuksesan Proyek
Di tengah geliat pembangunan nasional yang terus melaju, sektor konstruksi menjadi penopang utama roda ekonomi Indonesia. Namun, keberhasilan sebuah proyek tidak hanya ditentukan oleh aspek perencanaan dan penganggaran, tetapi juga oleh satu elemen krusial yang sering terabaikan: kompetensi tenaga kerja. Artikel ilmiah karya Palensi Bastangka, Lusiana, dan Rafie membongkar hubungan langsung antara kompetensi tenaga kerja dan kinerja di lapangan, dengan studi kasus pada proyek pembangunan mall dan layanan publik Kapuas Indah, Pontianak.
Penelitian ini sangat relevan dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dengan populasi mencapai 273,8 juta jiwa pada tahun 2023. Angka tersebut menjadi potensi sekaligus tantangan besar dalam penyediaan tenaga kerja konstruksi yang kompeten dan berkinerja tinggi.
Kompetensi Tenaga Kerja: Bukan Sekadar Skill, Tapi Kombinasi 3 Pilar
Apa Itu Kompetensi Tenaga Kerja?
Menurut Sudiapta (2015), kompetensi tenaga kerja mencakup:
Pengetahuan (Knowledge): Pemahaman teknis dan teoritis terkait pekerjaan.
Keterampilan (Skill): Kemampuan teknis-operasional yang diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman.
Perilaku (Attitude): Sikap kerja, kedisiplinan, dan etos yang mencerminkan profesionalisme.
Kombinasi ketiga unsur ini akan menentukan apakah seorang pekerja hanya "mengisi posisi" atau benar-benar menjadi kontributor produktif dalam proyek.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Statistik Kuat dan Studi Lapangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Sebanyak 68 responden yang bekerja pada proyek konstruksi di Pontianak diambil sebagai sampel. Alat analisis yang digunakan mencakup:
Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji Normalitas
Relative Importance Index (RII)
Uji Statistik Deskriptif dan Uji F (ANOVA)
Data diolah dengan perangkat lunak SPSS 26.
Temuan Utama: Kompetensi Mempengaruhi Kinerja Secara Signifikan
Validitas dan Reliabilitas: Instrumen Terbukti Kuat
Semua indikator kompetensi tenaga kerja terbukti valid dengan nilai r hitung > 0,2012 dan reliabel dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,913. Artinya, alat ukur dalam penelitian ini sangat terpercaya dan konsisten.
Statistik Deskriptif: Rata-Rata Tinggi, Tapi Ada Gap
Dari skala 1–5, rata-rata indikator kompetensi berada di kisaran tinggi, dengan nilai rata-rata tertinggi adalah:
4,254: “Mengikuti segala aturan proyek”
4,238: “Kemampuan bekerja dalam kelompok”
4,111: “Semangat tinggi”
Namun indikator “kemampuan khusus sesuai bidang” justru mendapat nilai terendah, yakni 3,921—menunjukkan bahwa meski sikap dan etos kerja tinggi, kemampuan teknis spesifik masih kurang.
Studi Kasus: Apa yang Terjadi di Lapangan?
Dalam proyek pembangunan mall Kapuas Indah, ditemukan bahwa:
Tim lapangan bekerja cepat dan disiplin.
Namun ketika ditugaskan melakukan pekerjaan struktural khusus, hanya sebagian kecil yang bisa melaksanakan tanpa supervisi ketat.
Hal ini sejalan dengan temuan bahwa pekerja unggul dalam disiplin, tapi belum tentu mahir dalam keterampilan teknis spesifik.
Uji F: Kompetensi dan Kinerja Punya Hubungan Signifikan
Hasil uji F menunjukkan bahwa:
F hitung = 34,346
F tabel = 2,370
Karena F hitung > F tabel, maka secara statistik dapat disimpulkan bahwa kompetensi tenaga kerja secara signifikan memengaruhi kinerja pekerja konstruksi.
Analisis Tambahan: Membaca Arah Industri Konstruksi ke Depan
Realita Industri
Banyak kontraktor saat ini lebih mengutamakan pekerja yang memiliki keterampilan praktis dan attitude positif dibanding sekadar ijazah. Kompetensi yang rendah sering berujung pada:
Rework: Mengulang pekerjaan akibat kesalahan teknis.
Keterlambatan proyek
Overbudget
Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian oleh Sudipta (2015) dan Almira (2017) juga menunjukkan bahwa soft skill seperti komunikasi, kedisiplinan, dan kerja tim sangat memengaruhi produktivitas proyek. Di sisi lain, laporan McKinsey (2022) menyatakan bahwa pekerja yang memiliki kombinasi soft & hard skill produktivitasnya bisa meningkat hingga 23%.
Implikasi Praktis: Apa yang Harus Dilakukan?
Pelatihan Soft Skill Reguler
Komunikasi, teamwor, dan kepatuhan pada SOP perlu menjadi bagian dari pelatihan wajib.
Penyusunan Kurikulum Pelatihan Berbasis RII
RII bisa menjadi panduan untuk menyusun modul pelatihan berdasarkan faktor kompetensi yang paling berpengaruh.
Uji Kompetensi Berkala
Tidak cukup hanya sekali. Kompetensi harus diuji secara periodik dengan standar yang adaptif terhadap perkembangan teknologi konstruksi.
Digitalisasi Monitoring Kinerja
Menggunakan aplikasi mobile untuk menilai kinerja harian secara kuantitatif bisa menjadi terobosan baru.
Kritik dan Rekomendasi Penelitian
Kelebihan:
Menggunakan metode statistik lengkap dan kuat.
Data berasal dari proyek nyata, bukan asumsi laboratorium.
Keterbatasan:
Hanya mengambil 68 responden dari satu proyek.
Tidak menjelaskan latar belakang pendidikan atau jenjang pengalaman pekerja secara terperinci.
Rekomendasi:
Penelitian lanjutan bisa menambahkan dimensi seperti pendidikan terakhir, pengalaman kerja, dan usia untuk analisis lebih tajam.
Penutup: Kompetensi adalah Investasi, Bukan Pengeluaran
Penelitian ini membuktikan secara statistik dan praktis bahwa kompetensi tenaga kerja bukan hanya faktor pelengkap, tapi inti dari produktivitas proyek konstruksi. Perusahaan yang ingin sukses dalam jangka panjang harus menganggap pelatihan dan pengembangan tenaga kerja sebagai investasi strategis, bukan biaya operasional.
Dengan demikian, jalan menuju proyek berkualitas tinggi, tepat waktu, dan efisien dimulai dari kualitas manusianya.
Sumber Referensi
Palensi Bastangka, Lusiana, dan Rafie. (2023). Analisis Pengaruh Kompetensi Tenaga Kerja terhadap Kinerja Pekerja. Jurnal Teknik Sipil Universitas Tanjungpura.
Tersedia di: https://doi.org/10.31227/osf.io/ku3kgh
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Pendahuluan:
Mengurai Kompleksitas Metode Pengadaan Konstruksi
Industri konstruksi global terus berkembang, didorong oleh proyek-proyek yang semakin kompleks dan kebutuhan untuk efisiensi yang lebih tinggi. Dalam konteks
ini, metode pengadaan konstruksi memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan suatu proyek. Artikel ilmiah ini menyelidiki secara mendalam metode "design and build" sebagai alternatif dari metode tradisional, serta potensinya untuk diterapkan dalam industri konstruksi Kroasia.
Metode "design and build" muncul sebagai respons terhadap tantangan dalam metode tradisional yang seringkali memisahkan fungsi desain dan konstruksi. Pemisahan ini dapat menyebabkan kurangnya integrasi antar tahapan proyek, menghambat inovasi, dan mengurangi efisiensi keseluruhan. "Design and build" menawarkan pendekatan terintegrasi di mana satu entitas bertanggung jawab atas desain dan konstruksi, menciptakan single-point responsibility yang diharapkan dapat menyederhanakan proses dan meminimalkan kesalahpahaman.
Esensi Metode "Design and Build": Integrasi sebagai Kunci
Inti dari metode "design and build" adalah integrasi antara desain dan konstruksi di bawah satu tanggung jawab. Dalam model ini, kontraktor umumnya memegang kendali atas seluruh proses, mulai dari perancangan hingga penyelesaian fisik proyek. Struktur organisasi proyek dalam "design and build" memperlihatkan hubungan langsung antara klien dan kontraktor, yang kemudian mengelola tim desain, subkontraktor, dan pemasok.
Artikel ini mengidentifikasi tiga cara utama kontraktor "design and build" mengatur kegiatan mereka:
"Pure" Design and Build: Kontraktor memiliki semua keahlian desain dan konstruksi internal untuk menangani semua aspek proyek.
"Integrated" Design and Build: Kontraktor memiliki tim inti desainer dan manajer proyek, tetapi juga menggunakan tenaga ahli eksternal sesuai kebutuhan.
"Fragmented" Design and Build: Kontraktor menggunakan konsultan desain eksternal dan manajer proyek internal untuk mengawasi proyek, yang berpotensi menimbulkan tantangan koordinasi serupa dengan metode tradisional.
Perbedaan dalam pendekatan ini memengaruhi tingkat integrasi dan efisiensi proyek secara keseluruhan.
Menimbang Keuntungan dan Kerugian "Design and Build"
Metode "design and build" menawarkan sejumlah keuntungan potensial:
Single-point responsibility: Klien hanya perlu berurusan dengan satu entitas, mengurangi beban administrasi dan menyederhanakan komunikasi.
Kepastian biaya: Jika spesifikasi klien jelas, biaya proyek akhir dapat diprediksi dengan lebih akurat.
Efisiensi waktu: Integrasi desain dan konstruksi memungkinkan overlapping tahapan proyek, mempercepat penyelesaian.
Integrasi yang lebih baik: Metode ini mendorong kolaborasi antara desainer dan kontraktor sejak awal proyek.
Namun, "design and build" juga memiliki kekurangan:
Kesulitan dalam brief klien: Klien mungkin kesulitan menyusun brief yang komprehensif dan jelas, yang dapat menyebabkan masalah dalam evaluasi proposal.
Komitmen desain awal: Klien harus menyetujui konsep desain pada tahap awal, sebelum detailnya selesai.
Tantangan dalam variasi: Perubahan desain setelah kontrak dapat sulit dinilai biayanya karena tidak adanya bill of quantities.
Persaingan terbatas: Jumlah perusahaan yang menawarkan layanan "design and build" mungkin lebih sedikit, mengurangi persaingan.
Variabilitas kinerja: Keberhasilan proyek sangat bergantung pada jenis organisasi "design and build" (pure, integrated, atau fragmented).
Kurangnya kontrol desain: Klien memiliki kontrol lebih sedikit atas detail desain dibandingkan dengan metode tradisional
Evolusi Tahapan Proyek: Pergeseran Paradigma dalam "Design and Build"
Artikel ini juga menyoroti perbedaan dalam tahapan proyek antara metode tradisional dan "design and build," mengacu pada model tujuh fase yang diusulkan oleh Hughes (1991):
Inception
Feasibility
Scheme design
Detail design
Contract
Construction
Commissioning
Perbedaan utama terletak pada waktu pemilihan kontraktor. Dalam metode tradisional, kontraktor dipilih setelah tahap desain selesai, sedangkan dalam "design and build," kontraktor terlibat sejak awal. Hal ini berdampak signifikan pada jenis dokumen yang digunakan untuk pemilihan kontraktor dan urutan tahapan proyek.
Konsep Buildability/Constructability: Meningkatkan Efisiensi Proyek
Buildability atau constructability adalah konsep penting dalam industri konstruksi yang menekankan integrasi pengetahuan konstruksi ke dalam proses desain. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan efisiensi, mengurangi risiko, dan meningkatkan hasil proyek.
Artikel ini menyoroti bagaimana metode "design and build" dapat mendukung buildability dengan:
Menyederhanakan pengaturan kontrak.
Mendorong integrasi desain dan konstruksi.
Meningkatkan komunikasi antar stakeholder.
Meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi durasi proyek.
Mengurangi biaya proyek.
Meningkatkan kinerja proyek.
Meminimalkan perubahan proyek.
Penerapan "Design and Build" di Kroasia: Tantangan dan Peluang
Artikel ini juga menganalisis potensi penerapan metode "design and build" dalam industri konstruksi Kroasia. Industri konstruksi Kroasia didominasi oleh metode tradisional, yang menyebabkan kurangnya integrasi antar tahapan proyek dan stakeholder.
Riset yang dikutip dalam artikel menunjukkan bahwa proyek konstruksi di Kroasia seringkali mengalami keterlambatan dan pembengkakan biaya.
Sebuah studi tahun 1996 menemukan bahwa 66% proyek mengalami keterlambatan, dan 17% melebihi anggaran.
Studi lain pada tahun 1998 menunjukkan bahwa 78% proyek terlambat rata-rata 60%, dan 81% melebihi anggaran rata-rata 32% hanya dalam tahap konstruksi.
Artikel ini berpendapat bahwa adopsi metode "design and build" dapat membantu mengatasi tantangan ini dengan meningkatkan integrasi dan penerapan buildability.
Namun, terdapat hambatan untuk adopsi yang luas di Kroasia, termasuk peraturan hukum yang membatasi penerapan model "design and build" murni. Artikel ini merekomendasikan perubahan pada peraturan untuk membuka jalan bagi penerapan metode yang lebih efisien.
Kesimpulan: Menuju Masa Depan Konstruksi yang Lebih Terintegrasi
Artikel ini secara komprehensif mengeksplorasi metode "design and build" dan potensinya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proyek konstruksi. Metode ini menawarkan banyak keuntungan dibandingkan metode tradisional, terutama dalam hal integrasi, efisiensi waktu, dan kepastian biaya.
Meskipun adopsi "design and build" di Kroasia masih terbatas, tren industri yang berkembang dan kebutuhan akan solusi yang lebih efisien menunjukkan potensi yang signifikan untuk pertumbuhan di masa depan. Perubahan regulasi dan pengembangan kerangka hukum yang mendukung akan sangat penting untuk memfasilitasi adopsi yang lebih luas dan memaksimalkan manfaat metode ini.
Secara keseluruhan, artikel ini memberikan wawasan berharga tentang manfaat dan tantangan penerapan metode "design and build," serta implikasinya untuk industri konstruksi, khususnya di Kroasia.
Sumber
Turina, N., Radujković, M., & Car-Pušić, D. (2009). "DESIGN AND BUILD" IN COMPARISON WITH THE TRADITIONAL PROCUREMENT METHOD AND THE POSSIBILITY OF ITS APPLICATION IN THE CROATIAN CONSTRUCTION INDUSTRY. Journal of Civil Engineering and Management, 15(1), 75–81.