Pemetaan Kesehatan
Dipublikasikan oleh pada 21 Mei 2025
Kenapa Pneumonia Masih Jadi Ancaman Balita?
Pneumonia masih menjadi ancaman utama bagi balita di Indonesia. Di Jawa Timur saja, tercatat lebih dari 84 ribu kasus pneumonia balita pada tahun 2012. Tapi tahukah Anda, tidak semua daerah punya risiko yang sama? Melalui studi yang dilakukan oleh Sulis Susanti dari Universitas Airlangga, kita bisa melihat bagaimana penyebaran pneumonia balita berbeda-beda antar kabupaten/kota.
Apa Itu Pemetaan Kesehatan?
Dengan menggunakan perangkat lunak GeoDa, penelitian ini memetakan wilayah berdasarkan jumlah kasus pneumonia dan berbagai faktor risiko seperti imunisasi campak, pemberian vitamin A, status gizi, dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Dari pemetaan inilah kita tahu, daerah seperti Bondowoso, Mojokerto, dan Gresik termasuk zona merah!
Fakta Mengejutkan dari Peta Penyakit Ini
Imunisasi campak rendah di kota besar seperti Surabaya dan Malang.
Vitamin A banyak yang belum tersalurkan di Pacitan, Tulungagung, hingga Madura.
Gizi buruk tinggi di Bondowoso, Situbondo, dan Probolinggo.
PHBS rendah bahkan di Kota Batu dan sekitarnya.
Artinya, pneumonia bukan hanya soal infeksi. Tapi soal kebiasaan hidup, pelayanan kesehatan, dan akses gizi.
Kenapa Ini Penting untuk Kita Semua?
Peta ini sangat berguna untuk pemerintah dan masyarakat:
Pemerintah bisa tahu daerah mana yang butuh intervensi cepat.
Tenaga kesehatan bisa memprioritaskan wilayah tertentu.
Masyarakat jadi tahu pentingnya imunisasi, vitamin, dan perilaku hidup sehat.
Apa Solusinya?
Berikut rekomendasi dari studi ini:
Tingkatkan imunisasi campak di kota besar.
Edukasi gizi dan distribusi vitamin A merata.
Kampanye PHBS berbasis keluarga dan komunitas.
Integrasikan data spasial dengan program posyandu dan puskesmas.
Penutup: Pemetaan Itu Penting!
Peta bukan hanya gambar. Tapi alat penting untuk menyelamatkan nyawa balita. Jika setiap daerah tahu posisi mereka dalam peta risiko, maka langkah pencegahan bisa lebih tepat, cepat, dan efektif.
Sumber
Susanti, S. (2016). Pemetaan Penyakit Pneumonia di Provinsi Jawa Timur. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, 5(2), 117–124. https://journal.unair.ac.id/JBK@pemetaan-penyakit-pneumonia-di-provinsi-jawa-timur-article-117.html
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Di Balik Efisiensi Proyek Konstruksi
Dalam dunia konstruksi modern, produktivitas tenaga kerja bukan hanya indikator efisiensi, melainkan juga penentu kelangsungan proyek dalam hal biaya, mutu, dan waktu. Ketika semua perhatian tertuju pada material atau teknologi, tenaga kerja acap kali menjadi elemen yang dilupakan—padahal kontribusinya bisa sangat menentukan.
Studi ini, dengan objek proyek Tunjungan Plaza 6 Surabaya, menggunakan metode work sampling untuk menyelidiki produktivitas tenaga kerja khusus pada pekerjaan pembesian (rebar work). Data dikumpulkan selama 6 minggu dan menghasilkan dua temuan utama: nilai produktivitas aktual sebesar 40,35 kg/orang-jam dan Labor Utilization Rate (LUR) sebesar 77,61%.
Temuan ini ternyata sangat berbeda dari standar produktivitas menurut SNI 2008, yang hanya mencatat 28,57 kg/orang-jam. Kenapa bisa berbeda? Mari kita bahas lebih lanjut.
Metode Work Sampling: Efisien, Akurat, dan Humanis
Apa Itu Work Sampling?
Work sampling adalah metode kuantitatif untuk mengamati aktivitas pekerja secara acak (random), lalu mengkategorikannya menjadi:
Produktif (Effective Work): Aktivitas langsung menghasilkan output proyek.
Kontributif (Essential Contributory): Aktivitas pendukung namun wajib dilakukan.
Tidak Produktif (Unproductive): Aktivitas seperti merokok, mengobrol, atau menunggu.
Kenapa Metode Ini Unggul?
Berbeda dengan time study yang lebih invasif dan memakan waktu, work sampling memungkinkan observasi banyak pekerja dalam waktu singkat dengan akurasi statistik tinggi. Minimal 384 observasi dibutuhkan untuk hasil yang valid; studi ini mengumpulkan tepat sejumlah itu, dilakukan di dua titik pekerjaan: tower Office dan Podium.
Temuan Utama: Produktivitas yang Tak Terduga
1. Produktivitas Pekerjaan Pembesian
Berdasarkan observasi di lapangan, rata-rata produktivitas pekerjaan pembesian tercatat sebesar 40,35 kg/orang-jam, dengan kisaran antara 35,06 hingga 47,34 kg/orang-jam. Angka ini menunjukkan performa yang cukup konsisten, dengan puncaknya terjadi pada 7 November 2016 (41,75 kg/orang-jam) dan titik terendah pada 25 Oktober 2016 (39,41 kg/orang-jam).
Bandingkan dengan SNI 2008 yang hanya mencatat 28,57 kg/orang-jam, jelas terlihat bahwa kondisi riil proyek bisa jauh lebih efisien tergantung metode kerja dan manajemen yang diterapkan.
Insight Tambahan: Peningkatan produktivitas sebesar hampir 41% ini menunjukkan bahwa standar SNI mungkin perlu diperbarui atau dibuat lebih kontekstual.
2. Labor Utilization Rate (LUR)
Nilai LUR sebesar 77,61% menunjukkan bahwa mayoritas waktu kerja digunakan secara efektif. Rinciannya:
Effective Work: 72,9%
Essential Contributory: 18,83%
Unproductive: 8,26%
Artinya, kurang dari 10% waktu pekerja terbuang sia-sia, yang merupakan angka sangat ideal untuk proyek konstruksi berskala besar.
Studi Kasus: Tunjungan Plaza 6 Surabaya
Tunjungan Plaza adalah salah satu proyek mixed-use ikonik di Surabaya. Penelitian dilakukan di tower Office dan Podium karena bagian Condotel sudah selesai.
Praktik Lapangan yang Membuat Perbedaan:
Komposisi tenaga kerja yang disesuaikan dengan kemampuan tiap pekerja
Penggunaan alat kerja yang lebih modern
Supervisi dan pengawasan rutin oleh mandor dan kontraktor
Inilah yang membuat produktivitas aktual bisa melampaui ekspektasi berdasarkan standar nasional.
Analisis Kritis: Mengapa Standar SNI Tidak Selalu Relevan?
Studi ini menantang validitas Handbook SNI Analisis Biaya Konstruksi (2008) yang masih digunakan sebagai acuan nasional. Banyak proyek menggunakan data SNI sebagai patokan penyusunan jadwal dan biaya, padahal kondisi lapangan sering kali berbeda:
SNI belum tentu memperhitungkan pengaruh teknologi baru
Komposisi tenaga kerja lebih fleksibel di lapangan
Budaya kerja dan motivasi pekerja juga berperan besar
Implikasi Praktis: Apa yang Bisa Dipetik Industri Konstruksi?
Bagi Kontraktor dan Manajer Proyek:
Gunakan metode work sampling untuk pemantauan produktivitas berkala.
Jangan hanya mengandalkan acuan SNI; buatlah basis data produktivitas internal.
Bagi Pemerintah & Regulator:
Evaluasi ulang standar produktivitas kerja nasional.
Dorong kolaborasi antara kampus, kontraktor, dan asosiasi konstruksi untuk penyusunan indeks baru.
Bagi Akademisi:
Lakukan penelitian lanjutan untuk pekerjaan lain seperti pengecoran, finishing, dan arsitektural.
Terapkan metode statistik lanjutan seperti regresi atau simulasi Monte Carlo untuk proyeksi produktivitas.
Penutup: Mengukur yang Tak Terlihat
Produktivitas seringkali dianggap angka belaka. Namun lewat pendekatan kuantitatif yang manusiawi seperti work sampling, kita bisa melihat kinerja sesungguhnya dari tenaga kerja konstruksi. Studi ini bukan hanya memberikan data, tapi juga menunjukkan bagaimana manajemen proyek yang adaptif bisa melampaui standar dan menciptakan efisiensi nyata.
Produktivitas bukan sekadar target, tapi cermin dari manajemen dan budaya kerja.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses di Journal Universitas Kristen Petra.
Judul: Analisis Produktivitas Tenaga Kerja dengan Metode Work Sampling: Studi Kasus Proyek Tunjungan Plaza 6
Penulis: Derian Asher Prasetyo, Anthony, Herry Pintardi Chandra, dan Soehendro Ratnawidjaja.
Link: https://petra.ac.id (gunakan DOI atau link langsung bila tersedia)
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Infrastruktur Jalan Bali Butuh Modernisasi?
Pulau Bali dikenal dunia bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena posisinya sebagai pusat pariwisata internasional. Dengan hampir 5 juta wisatawan mancanegara yang mengunjungi Bali pada tahun 2016, kebutuhan akan infrastruktur jalan yang andal dan terintegrasi menjadi semakin mendesak. Namun, pengelolaan data jalan provinsi selama ini masih bersifat konvensional—mengandalkan peta analog dan pencatatan manual—yang rentan terhadap kesalahan dan tidak efisien.
Studi yang dilakukan oleh Wisnu Mahendra dan I Ketut Widnyana dari Universitas Mahasaraswati Denpasar menawarkan solusi strategis: membangun basis data jalan provinsi berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG/GIS). Sistem ini diyakini dapat mengatasi tantangan informasi yang tidak akurat serta mendukung pengambilan keputusan cepat dan tepat oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Bali.
Mengapa SIG Jadi Solusi Ideal untuk Pengelolaan Jalan?
Sistem Informasi Geografis (SIG) bukan sekadar peta digital. Ini adalah sistem yang mampu:
Mengintegrasikan data spasial (lokasi jalan) dan atribut (lebar, panjang, kondisi)
Menjawab pertanyaan spasial: “Di mana lokasi kerusakan jalan?”
Memberi informasi aktual untuk perencanaan pembangunan
Dengan SIG, pengelolaan jaringan jalan menjadi dinamis dan terintegrasi antar sektor. SIG bukan hanya alat dokumentasi, tetapi juga alat strategis untuk manajemen infrastruktur wilayah secara real-time.
Studi Kasus: Kondisi Jalan Provinsi Bali Tahun 2017
Penelitian ini melibatkan survei langsung ke 111 ruas jalan provinsi di 9 kabupaten/kota se-Bali, mencakup total panjang 743,34 km. Analisis dilakukan dengan parameter utama:
Kondisi Perkerasan Jalan
Lebar Jalan
Konektivitas terhadap Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
Temuan Utama:
Kondisi JalanPanjang (Km)PersentaseBaik373,8550,29%Sedang241,0532,43%Rusak Ringan128,4417,28%Rusak Berat00%
Catatan penting: 50% jalan masih belum dalam kondisi ideal. Bahkan, 17% menunjukkan tanda-tanda kerusakan ringan yang dapat memburuk jika tidak segera ditangani.
Lebar Jalan vs Standar Nasional
Menurut PP No. 34 Tahun 2006, lebar minimal jalan provinsi adalah 7,5 meter. Namun, hanya 36 dari 111 ruas jalan yang memenuhi standar tersebut. Sisanya (75 ruas) masih di bawah standar, yang berisiko terhadap keselamatan dan mempercepat kerusakan jalan karena lalu lintas yang padat.
Analisis Tambahan: Dampak pada Pariwisata dan Ekonomi
Dari total 111 ruas, sebanyak 59 ruas jalan terhubung langsung dengan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Ini menjadi indikator vital bahwa peningkatan infrastruktur bukan hanya soal pelayanan publik, tetapi juga investasi jangka panjang untuk keberlanjutan sektor pariwisata.
Dalam konteks ekonomi, jalan yang baik:
Meningkatkan efisiensi distribusi barang dan jasa
Menurunkan biaya logistik lokal
Menambah nilai kunjungan wisatawan karena perjalanan lebih nyaman dan aman
Inovasi: Sistem "Sikepan Bali"
Sebagai tindak lanjut dari penelitian, para peneliti mengusulkan pengembangan Sistem Informasi Kemantapan Jalan Bali (Sikepan Bali). Sistem ini akan menjadi:
Pusat data jalan berbasis GIS
Sumber informasi visual dan kuantitatif bagi dinas terkait
Instrumen evaluasi tahunan terhadap kemantapan jaringan jalan
Dengan sistem ini, pemetaan kerusakan bisa dilakukan secara real-time dan progres perbaikan dapat dilacak lintas instansi.
Tantangan dan Rekomendasi
Tantangan:
Koordinasi antar bidang di Dinas PU masih belum maksimal
Kurangnya pelatihan tenaga teknis untuk pengoperasian SIG
Keterbatasan anggaran dalam digitalisasi penuh seluruh ruas jalan
Rekomendasi:
Prioritaskan pemeliharaan ruas jalan yang rusak dan tidak memenuhi standar lebar
Perkuat koordinasi lintas bidang untuk integrasi data spasial dalam satu sistem utama
Alihkan dana dari peta analog ke sistem GIS berbasis cloud untuk efisiensi
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Jika dibandingkan dengan penelitian Endayani (2016) di Samarinda dan Wartika et al. (2013) di Riau, pendekatan Bali menunjukkan kemajuan dalam prototipe implementasi penuh. Penelitian ini tidak hanya fokus pada pemetaan, tapi juga integrasi data lintas instansi, menjadikannya salah satu model terbaik untuk replikasi di provinsi lain di Indonesia.
Dampak Praktis & Potensi Pengembangan Lanjutan
Dalam konteks smart city dan pengembangan wilayah berbasis data, sistem GIS jalan ini bisa menjadi bagian dari:
Dashboard Kota Pintar untuk real-time update kondisi jalan
Integrasi transportasi publik dan logistik
Alat prediktif untuk perencanaan anggaran pemeliharaan
Jika sistem ini diperluas dengan data lalu lintas real-time dari Google Maps atau Waze API, maka sistem ini bisa menjadi alat simulasi kebijakan lalu lintas dan skenario darurat seperti evakuasi bencana.
Kesimpulan: Menuju Infrastruktur Digital Bali
Penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan SIG dalam pengelolaan jalan provinsi bukan hanya meningkatkan efisiensi administrasi, tetapi juga berdampak langsung pada:
Keselamatan pengguna jalan
Efisiensi ekonomi lokal
Pertumbuhan sektor pariwisata
Dengan hanya 50% jalan dalam kondisi baik dan mayoritas belum memenuhi standar lebar, modernisasi pengelolaan infrastruktur jalan Bali menjadi urgensi mutlak. SIG membuka jalan menuju transformasi digital sektor publik, menjadikan Bali tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga cerdas secara infrastruktur.
Sumber
Mahendra, Wisnu & Widnyana, I Ketut. (2017). Pengembangan Data Base Jalan Provinsi di Bali Berbasis Sistem Informasi Geografis. Program Pascasarjana Universitas Mahasaraswati Denpasar.
(Dapat diakses melalui dokumen PDF: 57-62.pdf)
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Pembangunan Inklusif di Wilayah Terpencil: Mengapa Risiko Tak Bisa Diabaikan
Pembangunan rumah khusus bagi komunitas adat seperti Suku Anak Dalam (SAD) bukanlah pekerjaan konstruksi biasa. Proyek ini menyatukan urusan teknis, sosial, budaya, bahkan spiritualitas masyarakat adat. Paper karya Novi Hazriyanti, Benny Hidayat, dan Taufika Ophiyandri dalam Rang Teknik Journal edisi Juni 2020 menyoroti tantangan unik dalam proyek semacam ini di Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Merangin dan Sarolangun pada periode 2017–2018.
Keterlambatan, biaya membengkak, konflik sosial, hingga perubahan desain mendadak hanyalah sebagian dari tantangan nyata yang ditemui. Risiko-risiko ini bukan hanya bisa memperlambat pembangunan, tapi juga menghambat tujuan mulia dari proyek: memastikan masyarakat SAD hidup layak dalam rumah yang nyaman dan sesuai budaya mereka.
Latar Belakang Proyek: Kombinasi Kepentingan Sosial dan Tantangan Geografis
Pemerintah pusat melalui Satker SNVT Penyediaan Perumahan Provinsi Jambi melaksanakan proyek pembangunan rumah bagi SAD di dua kabupaten utama. Pada tahun 2017, dibangun 50 unit rumah semi permanen di Merangin dan Sarolangun. Lalu, pada 2018, proyek diperluas dengan pembangunan 23 unit rumah permanen di Merangin serta 57 unit rumah panggung di Sarolangun.
Proyek ini melibatkan komunitas yang sangat terikat dengan tanah leluhur, budaya turun-temurun, dan gaya hidup nomaden. Kondisi tersebut menciptakan tantangan besar baik dari sisi perencanaan desain, pemilihan lokasi, penyediaan material, hingga interaksi dengan masyarakat.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Kualitatif dan Matriks Risiko
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif menggunakan wawancara dan kuesioner. Sebanyak 40 responden terlibat, terdiri dari pemilik proyek (mayoritas), kontraktor, dan konsultan supervisi. Data dianalisis menggunakan pendekatan matriks risiko AS/NZS 4360, yang menilai tingkat risiko berdasarkan kemungkinan terjadinya (likelihood) dan dampaknya (severity).
Setiap risiko kemudian dikategorikan ke dalam tingkat risiko rendah, sedang, tinggi, hingga ekstrem. Validitas data juga diuji, dengan dua variabel risiko akhirnya dikeluarkan karena tidak lolos uji statistik.
Identifikasi Risiko: 84 Variabel Risiko, 3 Tahapan Proyek
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi 84 variabel risiko yang diklasifikasikan ke dalam tiga fase utama:
Tahap Perencanaan
Sebanyak 13 risiko ditemukan, termasuk keterlambatan perizinan, korupsi dan kolusi, kesalahan dalam estimasi biaya, perubahan jadwal pelaksanaan yang tidak terprediksi, hingga kegagalan dalam memahami kondisi sosial masyarakat SAD.
Tahap Pelaksanaan
Fase ini paling kompleks, dengan 61 risiko yang mencakup perubahan kebijakan, kondisi cuaca ekstrem, lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan, kekurangan tenaga kerja, pencurian material oleh warga lokal, ketidaksesuaian spesifikasi peralatan, dan bahkan sabotase di lapangan.
Tahap Pasca Konstruksi
Sebanyak 10 risiko muncul setelah pembangunan, seperti rumah tidak dihuni, kualitas bangunan tidak sesuai harapan, penerima bantuan ganda, serta kegagalan fungsi bangunan akibat kurangnya perawatan rutin.
Risiko Dominan: Faktor Sosial dan Teknis yang Paling Berpengaruh
Dari seluruh temuan, terdapat sepuluh risiko utama yang dinilai paling mempengaruhi keberhasilan proyek. Risiko pertama yang paling sering terjadi adalah change order, yaitu perubahan desain atau lingkup kerja setelah kontrak ditandatangani. Penyebabnya antara lain kesalahan desain awal, kondisi lapangan yang berbeda dari dokumen, serta spesifikasi material yang tidak tersedia di daerah terpencil.
Risiko kedua adalah kepercayaan masyarakat SAD terhadap tanah leluhur, yang membuat pembebasan lahan menjadi rumit. SAD tidak terbiasa dengan sistem kepemilikan formal, sehingga proses perizinan seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) juga mengalami hambatan.
Risiko ketiga adalah perubahan jadwal pelaksanaan proyek. Penyesuaian desain, cuaca ekstrem, dan kesulitan mobilisasi alat berat menyebabkan banyak kegiatan mundur dari rencana awal.
Selain itu, beberapa faktor teknis seperti akses lokasi yang sulit, cuaca hujan yang memperparah kondisi jalan, serta gangguan dari warga sekitar (misalnya pencurian material karena ketidaktahuan nilai benda tersebut) juga masuk dalam daftar risiko tertinggi.
Wawancara dengan lima responden kunci mengungkap detail yang lebih dalam. Misalnya, desain rumah yang awalnya menggunakan atap andulin terpaksa diganti dengan atap multiroof berlapis pasir. Alasan pergantian bukan teknis, melainkan kultural—SAD merasa takut dengan suara bising saat hujan yang dihasilkan oleh atap andulin.
Di sisi lain, desain tangga rumah panggung juga harus disesuaikan. Aslinya hanya memiliki satu pintu, tetapi atas permintaan masyarakat lokal, ditambahkan pintu belakang agar mereka bisa "keluar-masuk tanpa gangguan roh leluhur," sebagaimana kepercayaan adat mereka.
Kesulitan lain muncul dari segi perizinan. Salah satu responden menyebutkan bahwa proses IMB terganggu karena terjadi reshuffle pejabat di tingkat kabupaten. Dokumen yang sedang diproses harus diulang dari awal karena pejabat penandatangan berubah.
Tak kalah menantang, beberapa lokasi pembangunan berada di hutan lindung Taman Nasional Bukit Dua Belas, yang menyebabkan proses land clearing tertunda lama. Bahkan, alat berat harus diangkut secara manual melewati jalur tanah yang licin dan sempit.
Strategi Mitigasi Risiko: Integrasi Teknikal dan Sosial Budaya
Untuk menjawab kompleksitas risiko tersebut, penulis menyusun serangkaian strategi mitigasi yang terstruktur. Strategi ini dibagi ke dalam empat fase utama:
Perencanaan dan Desain
Proses ini harus diawali dengan survei lokasi mendalam. Setiap desain perlu mengakomodasi kepercayaan lokal dan kebiasaan masyarakat SAD. Penggunaan material juga harus mempertimbangkan ketersediaan lokal agar tidak menyebabkan delay akibat suplai yang sulit diakses.
Desain rumah bukan hanya soal struktur, tetapi simbol budaya. Oleh karena itu, arsitektur yang ramah budaya menjadi kebutuhan primer.
Pemberdayaan Masyarakat
Sosialisasi kepada SAD sejak awal sangat penting. Mereka perlu memahami manfaat rumah tersebut, termasuk aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan. Pemberdayaan dilakukan secara partisipatif agar mereka terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan.
Melibatkan masyarakat lokal dalam pembangunan, meski dalam peran sederhana seperti angkut material, menciptakan rasa memiliki dan mengurangi potensi gangguan sosial.
Pelaksanaan dan Konstruksi
Fase ini menuntut ketelitian ekstra. Tim pengawas harus berada di lokasi lebih lama, bahkan tinggal di sana jika perlu. Koordinasi dengan pemangku kepentingan lokal, termasuk tokoh adat dan pemerintah desa, menjadi kunci kelancaran.
Selain itu, pemesanan alat berat dan material harus dilakukan lebih awal, dengan antisipasi keterlambatan karena cuaca atau akses buruk. Komunikasi lintas tim, mulai dari kontraktor, pemilik proyek, hingga pengawas lapangan, harus berjalan intensif dan rutin.
Pemeliharaan dan Evaluasi
Tahap ini sering diabaikan, padahal sangat penting. Banyak rumah yang tidak dihuni atau rusak dini karena tidak ada anggaran untuk perawatan. Oleh karena itu, perlu dialokasikan dana khusus untuk maintenance, dan warga SAD dilatih untuk melakukan perawatan ringan.
Refleksi Kritis: Mengapa Penelitian Ini Relevan?
Penelitian ini sangat kontekstual namun sekaligus universal. Di satu sisi, ia spesifik mengulas tantangan pembangunan rumah adat di komunitas SAD. Di sisi lain, temuan ini dapat diterapkan pada proyek serupa di daerah-daerah dengan karakteristik budaya kuat, seperti Papua, Kalimantan pedalaman, atau NTT.
Salah satu kekuatan utama studi ini adalah menyatukan perspektif teknis dan sosial. Pendekatan mitigasi tidak hanya fokus pada alat berat atau dokumen kontrak, tapi juga pada aspek psikososial, komunikasi, dan budaya masyarakat.
Namun demikian, tantangan implementasi tetap besar. Koordinasi lintas lembaga, keterbatasan anggaran, serta birokrasi daerah sering kali menjadi batu sandungan dalam menerapkan mitigasi risiko secara konsisten.
Penutup: Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Kunci Keberhasilan
Pembangunan rumah khusus bagi masyarakat SAD bukan hanya soal “membangun atap di atas kepala.” Ia adalah proses rekonsiliasi antara modernitas dan adat, antara kebutuhan teknis dan keluhuran budaya. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat ditentukan oleh kemampuan para pelaksana untuk beradaptasi dengan nilai lokal, memperkuat komunikasi, serta mengedepankan pendekatan partisipatif.
Di era pembangunan berkelanjutan, proyek-proyek semacam ini akan semakin banyak. Oleh karena itu, hasil studi ini patut dijadikan rujukan utama dalam penyusunan kebijakan pembangunan berbasis masyarakat adat di Indonesia.
Sumber Asli Artikel:
Hazriyanti, N., Hidayat, B., & Ophiyandri, T. (2020). Manajemen Risiko Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam (SAD) Provinsi Jambi. Rang Teknik Journal, Vol. 3 No. 2, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. ISSN 2599-2081.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Jalan Tol sebagai Urat Nadi Pertumbuhan Ekonomi Baru
Di tengah ambisi Indonesia untuk menjadi negara maju, pembangunan infrastruktur menjadi kunci utama dalam membuka akses ekonomi baru, mempercepat mobilitas, dan mengurangi ketimpangan wilayah. Salah satu proyek andalan pemerintah dalam kerangka Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah Jalan Tol Serang–Panimbang di Provinsi Banten. Jalan tol ini bukan hanya menjanjikan kemudahan transportasi, tetapi juga menjadi penghubung vital menuju Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung, destinasi unggulan pariwisata nasional.
Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam artikel ilmiah berjudul "Implementasi Kebijakan Proyek Strategis Nasional Jalan Tol Serang – Panimbang" karya Rina Nur Utami dkk., impian besar ini masih dibayangi oleh berbagai persoalan di lapangan. Kajian ini menyoroti realitas pahit dari kebijakan yang diharapkan mampu menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi—dari target yang meleset, keterlambatan pembangunan, hingga kerentanan sosial di tingkat komunitas.
Metodologi: Pendekatan Kualitatif Berbasis Model Van Metter dan Van Horn
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan kerangka evaluasi berdasarkan model implementasi kebijakan Donald Van Metter dan Carl Van Horn. Enam variabel utama dijadikan tolok ukur dalam menilai keberhasilan implementasi:
Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, studi dokumentasi, serta observasi lapangan di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, yang berada dalam radius 5 km dari Gerbang Tol Rangkasbitung—ujung dari seksi 1 Jalan Tol Serang–Panimbang.
Gambaran Umum Proyek: Ambisi Besar, Kenyataan Tak Mudah
Jalan Tol Serang–Panimbang memiliki panjang total 83,67 km dan dibagi menjadi tiga seksi: Seksi 1 (Serang–Rangkasbitung, 26,5 km), Seksi 2 (Rangkasbitung–Cileles, 24,17 km), dan Seksi 3 (Cileles–Panimbang, 33 km). Proyek ini dikelola oleh PT Wijaya Karya Serang Panimbang, sebuah konsorsium dari tiga BUMN: PT Wijaya Karya (WIKA), PT Pembangunan Perumahan (PP), dan PT Jababeka Infrastruktur.
Meski telah ditetapkan sebagai PSN dengan berbagai kemudahan kebijakan, kenyataannya pembangunan tol ini masih menghadapi keterlambatan signifikan. Dari target integrasi penuh pada tahun 2023, kini mundur ke 2025. Hingga saat ini, hanya Seksi 1 yang telah beroperasi, sedangkan dua seksi lainnya masih dalam tahap konstruksi dan pengadaan pembiayaan.
Studi Kasus: Ketimpangan Target Lalu Lintas dan Dampaknya terhadap Konsesi
Salah satu indikator keterlambatan dan kegagalan pencapaian target adalah realisasi lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang jauh di bawah proyeksi awal. Berdasarkan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT), target LHR untuk tahun 2022 adalah 9.340 kendaraan, namun realisasi hanya 5.590 kendaraan (59,85%). Di tahun 2023, target 10.274 kendaraan hanya tercapai 5.770 kendaraan (56,16%).
Rendahnya trafik ini berdampak pada perpanjangan masa konsesi PT WIKA Serang Panimbang, dari 40 tahun menjadi 50 tahun. Ini menandakan bahwa asumsi awal proyek, khususnya dalam proyeksi pengguna dan pendapatan, belum mencerminkan realitas di lapangan.
Masalah Klasik: Legalitas Lahan dan Pendanaan
Salah satu kendala terbesar yang dihadapi proyek ini adalah pembebasan lahan. Meskipun masyarakat menerima harga ganti rugi yang ditawarkan, banyak dari mereka tidak memiliki dokumen legal atas tanahnya. Hal ini memperlambat proses pembebasan karena perlu intervensi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk penerbitan sertifikat baru.
Di sisi lain, pendanaan proyek juga menghadapi hambatan. Pemerintah telah memberikan Viability Gap Fund (VGF) untuk mendukung pembangunan seksi 1 dan 2. Namun, pendanaan untuk seksi 3 mengandalkan pinjaman luar negeri dari Tiongkok yang ternyata hanya mampu membiayai sebagian proyek. Akibatnya, penyelesaian seksi 3 yang vital bagi akses ke KEK Tanjung Lesung tertunda.
Infrastruktur Minim, Dampak Sosial Terbatas
Jalan tol yang telah beroperasi baru memiliki satu Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP) di arah Rangkasbitung, dengan fasilitas yang minim: hanya ada warung kecil, toilet, musala, dan tambal ban. SPBU belum tersedia, kios masih kosong, dan jumlah pengunjung sangat rendah. Hal ini memperkuat kesan bahwa proyek ini belum memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi masyarakat sekitar.
Masyarakat yang sebelumnya berharap pada peningkatan pendapatan, terutama pedagang makanan dan minuman, justru menyatakan bahwa peningkatan pelanggan hanya terjadi saat akhir pekan atau libur panjang. Artinya, manfaat ekonomi jalan tol belum menyentuh kehidupan sehari-hari mereka secara signifikan.
Realitas Sosial: Antara Dukungan dan Kekhawatiran
Observasi lapangan menunjukkan bahwa secara umum masyarakat mendukung keberadaan jalan tol. Mereka mengapresiasi kemudahan akses ke Jakarta, Merak, dan daerah lain karena terhubung dengan jaringan Tol Trans Jawa. Bahkan muncul minat dari investor untuk membuka usaha di Rangkasbitung, yang menunjukkan sinyal positif dari sektor properti dan UMKM.
Namun, ada kekhawatiran lain. Harga lahan di sekitar Kecamatan Cibadak melonjak dari di bawah Rp2 juta menjadi Rp3 juta per meter persegi, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya urbanisasi liar dan spekulasi tanah. Di sisi lain, tarif tol yang tergolong mahal membuat masyarakat lebih memilih menggunakan KRL commuter line dari Rangkasbitung ke Jakarta. Biaya perjalanan tol mencapai Rp40 ribu per sekali jalan lebih tinggi dari tarif kereta api yang hanya sekitar Rp8.000–Rp10.000.
Kritik terhadap Implementasi: Apa yang Bisa Diperbaiki?
Meski struktur organisasi dan pelaksana proyek telah ditetapkan secara rapi, kenyataannya belum semua berjalan lancar. Pemerintah daerah Provinsi Banten sebenarnya telah aktif melakukan monitoring dan evaluasi, terutama terkait pembebasan lahan dan progress konstruksi. Namun, kendala di level teknis dan administratif tetap menjadi tantangan berat.
Beberapa kelemahan utama yang teridentifikasi antara lain:
Pelajaran untuk Proyek Strategis Nasional Lainnya
Dari studi kasus Serang–Panimbang ini, setidaknya ada tiga pelajaran penting yang bisa diambil untuk perencanaan dan pelaksanaan proyek strategis nasional lainnya:
Kesimpulan: Infrastruktur Tidak Cukup, Perlu Kebijakan yang Adaptif
Kehadiran Jalan Tol Serang–Panimbang memang menjanjikan peningkatan konektivitas dan integrasi kawasan ekonomi baru. Namun, seperti yang disorot dalam penelitian ini, kebijakan saja tidak cukup. Harus ada penyesuaian strategi di tengah pelaksanaan agar proyek tidak hanya selesai secara fisik, tetapi juga berdampak nyata secara sosial dan ekonomi.
Implementasi kebijakan PSN harus lebih adaptif terhadap kondisi lapangan, tidak sekadar mengikuti kerangka kerja birokratis. Dengan perencanaan yang lebih responsif, komunikasi yang aktif antar pemangku kepentingan, dan strategi pembiayaan yang fleksibel, proyek jalan tol semacam ini bisa menjadi katalisator pembangunan wilayah, bukan sekadar monumen infrastruktur.
Sumber Asli Artikel
Utami, R. N., Wicaksana, H. H., Bratakusumah, D. S., & Hidayat, Y. R. (2024). Implementasi Kebijakan Proyek Strategis Nasional Jalan Tol Serang - Panimbang. Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, Vol. 7, No. 1, Juni 2024, hlm. 64–73. ISSN 2622–0253.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Mengapa Manajemen Risiko Jadi Penentu Kesuksesan Proyek Konstruksi?
Dalam industri konstruksi, setiap proyek memiliki risiko yang tidak bisa dihindari. Mulai dari keterlambatan pengiriman material, perubahan desain di tengah pengerjaan, hingga ketidaksesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan di lapangan. Risiko-risiko ini, jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi menyebabkan pembengkakan biaya, keterlambatan waktu, bahkan kerugian finansial yang signifikan.
Artikel berjudul “Analisis Risiko Pada Proyek Konstruksi Perumahan Dengan Metode House of Risk (HOR)” oleh Siti Aisyah Maharani dkk., memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana risiko proyek perumahan dapat diidentifikasi, dianalisis, dan dimitigasi secara sistematis menggunakan pendekatan House of Risk (HOR). Penelitian ini mengambil studi kasus pada proyek PT ABC, perusahaan pengembang sekaligus kontraktor di wilayah Jakarta dan Depok.
Proyek Perumahan PT ABC: Masalah Klasik dalam Skala Modern
PT ABC kerap menghadapi sejumlah masalah dalam proyek konstruksinya, termasuk:
Masalah-masalah ini mengindikasikan lemahnya manajemen risiko di proyek-proyek sebelumnya. Oleh karena itu, dilakukan analisis mendalam menggunakan pendekatan HOR untuk mengidentifikasi sumber risiko utama dan menyusun strategi mitigasi yang konkret.
Metodologi: Menerapkan House of Risk (HOR) dalam Dua Tahap
Penelitian ini menggunakan metode House of Risk yang terbagi menjadi dua fase:
HOR Fase 1
Menentukan prioritas sumber risiko (risk agent) berdasarkan nilai ARP (Aggregate Risk Potential), yaitu gabungan antara frekuensi terjadinya risiko dan dampaknya terhadap proyek.
HOR Fase 2
Menentukan aksi mitigasi berdasarkan efektivitas dan kemudahan pelaksanaan, dihitung menggunakan skor ETD (Effectiveness to Difficulty Ratio).
Sampel dalam penelitian ini adalah enam responden dari total 52 orang dalam struktur proyek, dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Data diolah menggunakan Excel dan SPSS untuk validasi dan analisis lebih lanjut.
Identifikasi Risiko: Dari Sumber Hingga Kejadian
Penelitian mengidentifikasi 25 kejadian risiko (risk event) dan 25 sumber risiko (risk agent), yang mencakup berbagai aspek:
Hasil observasi menunjukkan bahwa risiko seringkali tumpang tindih dan saling mempengaruhi, sehingga analisis multi-dimensi diperlukan untuk menangani akar permasalahannya secara komprehensif.
Analisis Risiko HOR Fase 1: Menemukan Sumber Risiko Tertinggi
Berdasarkan analisis HOR Fase 1, diperoleh tujuh sumber risiko dengan nilai ARP tertinggi, yaitu:
Hasil ini diperkuat dengan prinsip Pareto (80/20), di mana sekitar 80% kejadian risiko berasal dari 20% sumber risiko utama. Temuan ini menjadi dasar dalam perumusan strategi mitigasi yang terfokus dan efisien.
Studi Kasus: Dampak Perubahan Desain di Tengah Konstruksi
Perubahan desain menjadi salah satu risiko paling krusial dalam proyek PT ABC. Dalam salah satu proyek perumahan, klien mengajukan permintaan perubahan layout dapur dan posisi kamar mandi setelah pekerjaan struktur selesai 70%. Perubahan ini berdampak pada:
Risiko ini sebenarnya bisa diminimalisasi jika terdapat prosedur baku untuk menangani permintaan perubahan desain dari klien sejak awal.
HOR Fase 2: Strategi Aksi Mitigasi yang Direkomendasikan
Dari tujuh risk agent prioritas di atas, peneliti merancang delapan strategi mitigasi dengan memperhitungkan efektivitas dan kemudahan implementasi. Strategi tersebut meliputi:
Setiap strategi ini dirancang tidak hanya untuk mengatasi risiko saat ini, tetapi juga memperkuat sistem manajemen risiko perusahaan secara jangka panjang.
Nilai Tambah Penelitian: Praktis dan Relevan untuk Industri
Penelitian ini memberikan kontribusi besar, terutama bagi perusahaan pengembang dan kontraktor yang ingin menerapkan manajemen risiko yang sistematis. Nilai plus dari penelitian ini antara lain:
Metode House of Risk, yang sebelumnya lebih banyak digunakan di industri manufaktur dan logistik, terbukti sangat relevan jika diterapkan pada proyek konstruksi.
Komparasi dengan Penelitian Sebelumnya
Pendekatan HOR dalam proyek konstruksi juga telah digunakan dalam:
Namun, keunikan dari penelitian ini adalah fokusnya pada proyek perumahan dengan skala yang lebih kecil namun frekuensi tinggi. Risiko di proyek perumahan cenderung lebih banyak muncul dari sisi koordinasi dan perubahan desain dibandingkan proyek besar seperti infrastruktur jalan atau energi.
Rekomendasi untuk Industri Konstruksi
Dari temuan dalam artikel ini, ada beberapa poin yang bisa menjadi pedoman industri konstruksi:
Kesimpulan: Mitigasi Risiko = Menjamin Keberhasilan Proyek
Risiko adalah bagian tak terpisahkan dari proyek konstruksi. Yang membedakan proyek sukses dan gagal adalah kemampuan manajemen dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menanggapi risiko secara cepat dan tepat. Penelitian oleh Siti Aisyah Maharani dkk. ini menunjukkan bahwa pendekatan sistematik seperti House of Risk bukan hanya membantu memetakan risiko, tetapi juga merancang aksi nyata yang relevan, efektif, dan bisa langsung diterapkan di lapangan.
Dengan mengintegrasikan HOR ke dalam sistem kerja proyek, perusahaan seperti PT ABC dapat memperkecil kemungkinan kerugian, mempercepat waktu penyelesaian, dan meningkatkan kepercayaan klien. Bagi industri konstruksi di Indonesia, pendekatan seperti ini patut dipertimbangkan sebagai standar operasional baru.
Sumber Asli Artikel
Siti Aisyah Maharani, Santika Sari, Muhamad As’adi, Annisa Putriana Saputro. (2022). Analisis Risiko Pada Proyek Konstruksi Perumahan Dengan Metode House of Risk (HOR) (Studi Kasus: Proyek Konstruksi Perumahan PT ABC). Journal of Integrated System, Vol. 5 No. 1, Juni 2022: hlm. 16–26. ISSN: 2714-6349.