Mengapa Desentralisasi Fiskal Penting dalam Mitigasi Bencana?
Desentralisasi fiskal—yakni pelimpahan kewenangan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah—selama ini dianggap sebagai “obat mujarab” untuk meningkatkan pelayanan publik, termasuk dalam pengurangan risiko bencana. Teori dan kebijakan internasional, seperti Sendai Framework for Disaster Risk Reduction, menekankan pentingnya peran pemerintah lokal dalam menghadapi bencana. Namun, apakah desentralisasi fiskal benar-benar efektif dalam konteks negara rawan bencana seperti Filipina? Artikel ini merangkum temuan utama dari tesis Reynaldo Jr. Beluso Delos Santos (2023), mengupas data, studi kasus, dan perbandingan dengan tren global, serta menawarkan refleksi kritis untuk pembaca Indonesia dan Asia Tenggara.
Konteks Filipina: Negara Rawan Bencana dan Desentralisasi yang Kuat
Filipina adalah salah satu negara dengan risiko bencana alam tertinggi di dunia. Setiap tahun, rata-rata 20 topan melanda wilayah ini, menyumbang sekitar 25% dari total topan dunia. Selain itu, Filipina rawan gempa bumi, letusan gunung api, tanah longsor, dan banjir. Data 1990–2022 menunjukkan 212 juta penduduk terdampak bencana dengan 41.000 korban jiwa dan kerugian ekonomi mencapai USD 36 miliar.
Sistem Pemerintahan dan Desentralisasi Fiskal
Sejak diberlakukannya Local Government Code tahun 1991, Filipina menganut sistem desentralisasi yang kuat. Pemerintah daerah (provinsi, kota, munisipalitas, dan barangay) mendapat kewenangan luas dalam pelayanan publik, termasuk mitigasi bencana, serta akses pada dana transfer pusat (Internal Revenue Allotment/IRA) yang mencapai 40% dari pajak nasional.
Namun, ketergantungan pada dana pusat justru meningkat: pada 2021, 77,8% pendapatan provinsi berasal dari transfer pusat, naik dari 75,5% pada 2012. Hanya sekitar 15% pendapatan provinsi yang benar-benar berasal dari sumber lokal.
Studi Kasus: Bencana Besar dan Peran Pemerintah Daerah
Topan Yolanda (Haiyan) 2013
- Korban jiwa: >6.300 orang
- Penduduk terdampak: >16 juta jiwa
- Kerugian ekonomi: USD 2 miliar
- Wilayah terdampak: 44 provinsi, 591 munisipalitas, 57 kota
Topan Yolanda menyoroti tantangan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Banyak daerah yang sistem manajemen bencananya lumpuh, sementara bantuan pusat terlambat karena lemahnya komunikasi dan fragmentasi birokrasi.
Topan Pablo (Bopha) 2012
- Korban jiwa: >1.000 orang
- Penduduk terdampak: >6 juta jiwa
- Kerugian ekonomi: USD 1,7 miliar
Temuan Utama: Desentralisasi Fiskal Justru Berkorelasi dengan Kerugian Lebih Besar
Metodologi dan Data
Penelitian ini menggunakan data panel 81 provinsi di Filipina (2017–2021), dengan dua indikator utama:
- Tingkat kematian akibat bencana
- Jumlah penduduk terdampak bencana
Indikator desentralisasi fiskal diukur dari persentase pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan provinsi. Model statistik yang digunakan adalah Generalized Linear Models (GLM), khususnya negative binomial regression untuk mengatasi data count dan overdispersion.
Hasil Utama
- Desentralisasi fiskal berkorelasi positif dengan kematian dan jumlah penduduk terdampak bencana.
- Setiap kenaikan 1 poin pada indeks kemandirian fiskal, angka kematian akibat bencana meningkat hingga 30 kali lipat (IRR=30,34; CI: 0,97–945,49).
- Untuk jumlah penduduk terdampak, efeknya bahkan lebih besar: 86 kali lipat (IRR=86,65; CI: 2,67–2817,34).
- Variabel lain yang signifikan:
- Paparan bencana: Setiap tambahan kejadian bencana meningkatkan risiko kematian (IRR=2,06) dan penduduk terdampak (IRR=3,85).
- Urbanisasi dan kepemilikan lahan: Urbanisasi dan kepemilikan lahan yang aman menurunkan risiko kematian.
- Good Governance Index: Anehnya, indeks tata kelola yang baik justru berkorelasi positif dengan angka kematian, menandakan bahwa tata kelola formal belum tentu efektif dalam konteks bencana.
Penjelasan: Mengapa Desentralisasi Tidak Selalu Efektif?
- Spillover antarwilayah: Infrastruktur pengendali banjir atau mitigasi di satu daerah bisa berdampak pada daerah lain, sehingga koordinasi lintas wilayah sangat penting.
- Moral hazard: Ketergantungan pada bantuan pusat membuat daerah enggan berinvestasi pada mitigasi bencana.
- Fragmentasi: Banyaknya level pemerintahan dan kurangnya koordinasi menyebabkan tumpang tindih dan inefisiensi.
- Prioritas politik: Pemerintah daerah lebih memilih investasi yang “terlihat” seperti infrastruktur ekonomi, bukan mitigasi bencana yang manfaatnya jangka panjang dan tidak populer secara politik.
Studi Kasus Tambahan: Fragmentasi dan Koordinasi Lemah
- Typhoon Washi (Sendong) 2010 di Misamis Oriental: Struktur manajemen bencana yang terlalu “tinggi” dan birokratis justru menghambat koordinasi dan respons. Studi merekomendasikan re-sentralisasi manajemen bencana di tingkat regional.
- Metro Manila dan Metro Cebu: Program nasional sering tidak terintegrasi dengan rencana daerah, sehingga banyak proyek mitigasi bencana berjalan sendiri-sendiri tanpa sinergi.
Perbandingan dengan Penelitian Global
- Studi lintas negara (Escaleras & Register 2012; Skidmore & Toya 2013) umumnya menemukan desentralisasi fiskal menurunkan angka kematian bencana, terutama di negara berkembang.
- Penelitian di AS dan Turki (Miao et al. 2020; Hermansson 2016) menemukan hasil sebaliknya: desentralisasi fiskal justru meningkatkan kerugian bencana karena masalah koordinasi dan insentif yang salah.
- Penelitian di Indonesia (Putra & Matsuyuki 2019): Desentralisasi memperburuk fragmentasi, ketergantungan pada pusat, dan korupsi dalam penanganan bencana.
Implikasi Kebijakan: Haruskah Desentralisasi Diperkuat?
Rekomendasi Praktis
- Koordinasi Vertikal dan Horizontal
- Pemerintah pusat harus tetap memegang peran utama dalam perencanaan dan pendanaan mitigasi bencana lintas wilayah.
- Perlu mekanisme insentif dan sanksi agar daerah tidak hanya mengandalkan bantuan pusat.
- Penguatan Kapasitas Daerah
- Transfer fiskal harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas teknis dan perencanaan di daerah.
- Monitoring dan evaluasi berbasis kinerja harus diperkuat.
- Integrasi Data dan Sistem Informasi
- Sistem informasi bencana harus terintegrasi dari pusat ke daerah, memudahkan respons cepat dan akurat.
- Reformasi Dana Bencana
- Dana bencana daerah (LDRRMF) harus lebih fleksibel untuk digunakan pada upaya mitigasi, bukan hanya respons pasca-bencana.
- Keseimbangan antara Desentralisasi dan Sentralisasi
- Tidak semua fungsi harus didesentralisasikan; mitigasi bencana dengan efek lintas wilayah lebih efektif jika dikelola terpusat atau melalui kolaborasi antardaerah.
Kritik dan Refleksi: Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia?
- Desentralisasi fiskal bukan jaminan otomatis perbaikan mitigasi bencana. Tanpa koordinasi, insentif yang tepat, dan pengawasan, justru bisa memperburuk kerugian.
- Pentingnya desain transfer fiskal: Transfer berbasis kinerja dan kebutuhan nyata, bukan sekadar formula populasi atau luas wilayah.
- Mitigasi bencana harus jadi prioritas politik: Perlu edukasi dan advokasi agar investasi mitigasi bencana mendapat tempat dalam agenda pembangunan daerah.
- Konteks lokal dan nasional berbeda: Hasil positif di satu negara belum tentu berlaku di negara lain, tergantung pada struktur pemerintahan, kapasitas, dan budaya politik.
Kesimpulan: Menuju Sistem Mitigasi Bencana yang Efektif
Desentralisasi fiskal di Filipina, alih-alih menurunkan risiko bencana, justru berkorelasi dengan peningkatan korban jiwa dan penduduk terdampak. Temuan ini menantang dogma internasional dan menyoroti pentingnya desain kelembagaan, insentif fiskal, serta koordinasi lintas wilayah dan level pemerintahan. Bagi Indonesia dan negara berkembang lain, pelajaran utamanya: desentralisasi fiskal harus diiringi tata kelola yang kuat, insentif yang tepat, dan pengawasan efektif agar benar-benar berdampak positif pada mitigasi bencana.
Sumber artikel:
Delos Santos, Reynaldo Jr. Beluso. (2023). Fiscal Decentralization and Disaster Mitigation: Evidence from the Philippines. Graduate School of Public Policy, The University of Tokyo.