Sumber Daya
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Udara, Sumber Kehidupan yang Kini Terancam
Air adalah sumber daya vital yang menopang kehidupan, pembangunan, dan ekosistem. Namun kenyataannya, lebih dari dua miliar manusia kini hidup dalam tekanan udara tinggi, dan 700 juta lainnya diprediksi akan mengungsi akibat kelangkaan udara pada tahun 2030 (UN Environment, 2018). Krisis ini bukan hanya soal ketersediaan fisik air, melainkan cara kita mengelolanya.
Di akhir konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) mengambil peran penting. Makalah yang ditulis oleh Alesia Dedaa Ofori dan Anna Mdee (2021) membedah pendekatan holistik ini dengan detail mendalam, membahas sejarah, konsep, praktik, serta tantangan aktualnya dalam konteks pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 6).
Apa Itu IWRM? Memahami Inti Konsepnya
Definisi dan Pilar Utama
IWRM adalah pendekatan yang mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan udara—baik dari sisi sosial, ekonomi, ekologi, maupun institusional. Tujuannya adalah memastikan pemanfaatan udara yang efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan. Konsep ini dirumuskan dengan prinsip empat utama dalam Konferensi Dublin 1992:
Prinsip-prinsip ini bukan sekedar idealisme teoritis, melainkan dasar untuk reformasi kebijakan di berbagai negara.
Evolusi Pengelolaan Air: Dari Sektor Tertutup ke Pendekatan Terintegrasi
Dari Praktik Terfragmentasi ke Kebutuhan Integrasi
Sebelum era IWRM, pengelolaan air kerap terpecah-pecah. Misalnya, di Amerika Serikat dan Tiongkok, udara permukaan dan udara tanah dikelola oleh lembaga yang berbeda tanpa koordinasi. Hasilnya? Konflik antarsektor, inefisiensi, dan ketidakadilan dalam alokasi.
IWRM hadir menjawab masalah ini dengan semangat kolaboratif lintas sektor, mulai dari energi, pertanian, hingga lingkungan hidup. Namun sebagaimana dijelaskan dalam makalah, transisi ini tidak mudah.
Studi Kasus Ghana: Implementasi IWRM di Dunia Nyata
Reformasi Struktural dan Tantangan Lapangan
Ghana merupakan salah satu negara di Sub-Sahara Afrika yang menerapkan IWRM secara progresif. Sejak tahun 1996, negara ini membentuk Komisi Sumber Daya Air (WRC) dan mengembangkan rencana IWRM di berbagai wilayah sungai seperti Densu, Pra, dan White Volta.
Prosesnya melibatkan pemetaan pemangku kepentingan, studi sosial-ekonomi, hingga penguatan kapasitas lokal. Dewan Basin dibentuk secara inklusif, melibatkan aktor negara dan non-negara, termasuk tokoh adat, pemuda, perempuan, LSM, dan sektor swasta.
Namun, dalam praktiknya, banyak tantangan muncul:
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun struktur sudah dibangun, implementasi substansial masih menjadi PR besar .
Tantangan Global dalam Mengarusutamakan IWRM
Kompleksitas Lintas Lembaga dan Sektor
Menurut laporan UNEP (2012), hanya 50% negara yang benar-benar mampu menerapkan IWRM secara efektif. Tiga tantangan utama yang muncul adalah:
Lebih jauh lagi, makalah ini mengkritisi bahwa banyak negara hanya menyesuaikan kebijakan di atas kertas untuk memenuhi syarat bantuan donor internasional, tanpa komitmen nyata di lapangan.
IWRM vs Nexus: Saling Lengkap atau Saling Gantikan?
IWRM sering dibandingkan dengan pendekatan water-energy-food nexus . Nexus menempatkan udara, pangan, dan energi dalam bobot yang seimbang. Sebaliknya, IWRM tetap menjadikan udara sebagai pusat, namun menyerap dimensi lain dalam kerangka integratif.
Alih-alih bersaing, pendekatan ini seharusnya dipandang sebagai strategi sinergi , terutama dalam konteks perubahan iklim dan krisis multidimensi.
Dimensi Sosial IWRM: Inklusi, Keadilan, dan Gender
Perempuan sebagai Agen Kunci
Dalam banyak budaya, perempuan bertanggung jawab atas rumah tangga. IWRM mengakui peran penting ini dan menempatkan perempuan sebagai aktor penting dalam pengambilan keputusan. Ini menjadi sorotan yang kuat di dalam kertas, sebagai kemajuan signifikan dalam tata kelola sumber daya alam yang sensitif gender .
Keadilan Sosial dan Akses Air
Udara adalah hak dasar manusia. Namun kenyataannya, distribusi udara masih sangat timpang. IWRM berupaya merespons dengan mendorong tarif udara yang adil, perizinan transparan, dan melindungi kelompok rentan. Hal ini sejalan dengan dimensi sosial SDG 6.
Pelajaran Kebijakan dan Rekomendasi Strategi
Kunci Sukses Implementasi IWRM
Dari hasil kajian dan praktik di Ghana serta negara-negara lain, berikut beberapa pelajaran penting:
Tantangan Masa Depan
Penutup: IWRM Bukan Sekadar Teknokrasi, tapi Perjuangan Kolektif
Seperti yang ditegaskan Ofori dan Mdee, IWRM bukanlah solusi instan, melainkan proses panjang yang politis, partisipatif, dan penuh negosiasi. Pendekatan ini menawarkan harapan untuk masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan dalam pengelolaan udara—tetapi hanya jika dijalankan secara inklusif dan konsisten.
Sumber Utama:
Ofori, AD, & Mdee, A. (2021). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu . Dalam W. Leal Filho dkk. (Eds.), Air Bersih dan Sanitasi, Ensiklopedia Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB . Springer.
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Adalah Isu Kritis?
Dalam dunia konstruksi, produktivitas tenaga kerja telah menjadi perhatian utama bagi kontraktor, pemilik proyek, hingga pemerintah. Masalah klasik seperti keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan penurunan kualitas sering kali berakar dari produktivitas kerja yang rendah. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian David Trisno dan timnya yang fokus pada dua kota besar: Surabaya dan Samarinda.
Artikel ini bukan hanya sekadar mencatat data, tetapi mencoba mengungkap hubungan sebab-akibat antara berbagai faktor—baik internal maupun eksternal—dengan hasil kerja aktual di lapangan, khususnya pada pekerjaan dinding. Penelitian ini membawa pendekatan realistis melalui observasi langsung dan analisis kuantitatif yang menyentuh level operasional proyek.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang memengaruhi produktivitas pekerjaan dinding.
Menganalisis faktor dominan melalui pendekatan studi lapangan pada dua kota dengan iklim dan kondisi proyek yang berbeda.
Memberikan data produktivitas aktual sebagai tolok ukur praktis bagi proyek serupa.
Metodologi: Studi Lapangan dan Kuantifikasi
Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode kuantitatif. Data dikumpulkan melalui:
Observasi langsung di lapangan.
Pengambilan data produktivitas pekerjaan dinding (pasangan bata, plesteran, dan acian).
Penggunaan rumus produktivitas:
P=VT×nP = \frac{V}{T \times n}
Di mana:
PP: Produktivitas (m²/orang/hari)
VV: Volume pekerjaan
TT: Durasi pekerjaan (hari)
nn: Jumlah pekerja
Temuan Kunci: Produktivitas dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Lokasi Surabaya
Data produktivitas diperoleh dari pekerjaan lantai 4 gedung di Surabaya. Hasil perhitungan menunjukkan variasi yang cukup mencolok:
Pemasangan Bata: Produktivitas tertinggi mencapai 1,32 m²/jam, terendah 0,19 m²/jam.
Plesteran: Rata-rata produktivitas berada di kisaran 0,29 – 0,49 m²/orang/jam.
Acian: Produktivitas harian tertinggi tercatat 2,32 m²/orang/jam.
Lokasi Samarinda
Data dari lantai 3 gedung di Samarinda memperlihatkan pola yang berbeda:
Pasangan Bata: Tertinggi di angka 0,45 m²/orang/jam, dengan fluktuasi lebih rendah dibandingkan Surabaya.
Plesteran: Fluktuasi rendah, rata-rata antara 0,3–0,38 m²/orang/jam.
Acian: Produktivitas puncak hingga 2,55 m²/orang/jam, cukup tinggi untuk skala proyek serupa.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas
Penelitian ini mengidentifikasi dua kategori besar faktor:
1. Faktor Internal
Jumlah pekerja: Terbukti sebagai faktor paling dominan. Tim dengan komposisi ideal (misal 2 tukang + 2 pembantu) menunjukkan efisiensi kerja yang lebih stabil.
Pekerjaan pengecoran dan pemasangan scaffolding: Memberi pengaruh langsung pada jeda kerja dan distribusi tenaga.
Kualitas mortar: Pengadukan yang tidak konsisten memperlambat proses plesteran.
Rotasi tugas pekerja: Mengurangi spesialisasi dan berdampak pada waktu penyelesaian.
2. Faktor Eksternal
Cuaca: Di Samarinda, hujan berkala menjadi penyebab keterlambatan kerja, terutama pada pekerjaan luar bangunan.
Ketersediaan material: Beberapa hari dalam data menunjukkan nihilnya produktivitas karena ketiadaan bahan bangunan.
Studi Kasus & Refleksi Lapangan
Salah satu hari di Surabaya (20 Maret 2021) menunjukkan produktivitas nol akibat ketidakhadiran pekerja dan material. Ini menunjukkan pentingnya sinkronisasi antarbagian dalam proyek. Dalam proyek swasta di Jakarta (2020), penambahan sistem ERP proyek berbasis mobile berhasil mengurangi “downtime” hingga 20%, dan produktivitas meningkat 12%.
Opini dan Komentar Kritis
Kelebihan Studi:
Penyajian data harian menjadikan hasil penelitian sangat aplikatif.
Peneliti melakukan verifikasi langsung di lapangan, meningkatkan validitas hasil.
Kelemahan yang Perlu Dikritisi:
Tidak disertakan data cuaca harian untuk korelasi lebih kuat terhadap produktivitas.
Hanya fokus pada pekerjaan dinding; padahal pekerjaan lain seperti instalasi dan finishing juga memberi pengaruh terhadap ritme proyek.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini memperkuat hasil studi oleh Hutasoit & Sibi (2017) yang menyatakan bahwa jumlah pekerja dan metode kerja adalah faktor utama dalam produktivitas kerja dinding. Namun, David dkk. juga menambahkan dimensi lain: pengaruh teknis operasional seperti pengadukan mortar dan pemasangan scaffolding, yang sering kali luput diperhatikan dalam studi teoritis.
Implikasi Praktis bagi Dunia Konstruksi
Berikut beberapa rekomendasi berbasis temuan:
Atur komposisi tim kerja secara cermat: Komposisi 2 tukang + 2 pembantu tukang terbukti ideal dalam banyak kasus.
Optimalkan logistik mortar: Gunakan sistem batching onsite untuk menjaga kualitas adukan.
Buat checklist cuaca dan pasokan harian untuk menghindari hari-hari nihil produktivitas.
Digitalisasi dokumentasi produktivitas harian agar dapat dilakukan evaluasi mingguan berbasis data.
Kaitan dengan Tren Global
Produktivitas tenaga kerja konstruksi di Indonesia masih berada di bawah rata-rata Asia Tenggara. Negara seperti Vietnam dan Thailand telah menerapkan sistem reward produktivitas harian yang terbukti mendorong pekerja untuk lebih efisien. Temuan dari studi ini bisa menjadi masukan bagi kontraktor dalam negeri yang ingin mengejar ketertinggalan tersebut.
Kesimpulan: Kuantitas Pekerja Masih Jadi Kunci
Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa jumlah pekerja merupakan faktor dominan yang memengaruhi produktivitas pekerjaan dinding di proyek konstruksi di Indonesia. Selain itu, faktor-faktor seperti durasi pengecoran, kualitas mortar, serta kehadiran perancah (scaffolding) juga memiliki dampak nyata terhadap output harian.
Sumber Referensi
Penelitian ini dapat diakses secara lengkap di:
David Trisno, Emmanuel Wendy Secio, Sentosa Limanto. (2022). "Studi Awal pada Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Pekerjaan Konstruksi pada Bangunan di Surabaya dan Samarinda". Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 1, pp. 33–39.
eISSN: 2775-0213 – Link Jurnal Resmi
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Latar Belakang: Produktivitas sebagai Penentu Keberhasilan Proyek
Dalam dunia konstruksi, produktivitas pekerja bukan sekadar indikator efisiensi, melainkan nyawa dari sebuah proyek. Rendahnya produktivitas bukan hanya menambah durasi pengerjaan, tetapi juga membengkakkan biaya dan memengaruhi reputasi perusahaan. Menurut Ghodrati et al. (2018), sekitar 50–70% waktu kerja pekerja konstruksi justru dihabiskan untuk aktivitas tidak produktif. Ironisnya, hal ini telah menjadi pola umum di berbagai proyek, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Artikel ini hadir sebagai respons terhadap fenomena tersebut dengan mengidentifikasi indikator paling relevan dalam meningkatkan produktivitas, berdasarkan studi kasus pada proyek high-rise dan low-rise building di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Penelitian ini tidak hanya memberikan peta indikator yang komprehensif, tapi juga memperbandingkan perbedaan signifikan antar jenis proyek.
Tujuan Penelitian dan Metode
Tujuan Utama:
Mengidentifikasi indikator paling berpengaruh terhadap produktivitas pekerja.
Menganalisis perbedaan persepsi antara proyek high-rise dan low-rise building.
Metodologi:
Responden: 60 pekerja proyek (30 dari high-rise dan 30 dari low-rise).
Instrumen: Kuesioner dengan skala Likert 1–6.
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan melalui IBM SPSS Statistics 25.
Analisis Mean dan Independent Sample T-Test digunakan untuk pembanding.
Temuan Kunci: Indikator yang Membentuk Produktivitas
High-Rise Building: Pengarahan adalah Segalanya
Berdasarkan hasil kuisioner, indikator "memberi pengarahan sebelum pekerjaan" menduduki peringkat pertama pada proyek high-rise building dengan nilai mean 5,733. Hal ini sangat masuk akal mengingat kompleksitas proyek vertikal yang tinggi dan melibatkan banyak risiko keselamatan. Tanpa pengarahan yang jelas, pekerja bisa melakukan kesalahan fatal.
Low-Rise Building: Komunikasi Menjadi Kunci
Berbeda dengan proyek high-rise, responden pada proyek low-rise building memilih indikator “komunikasi agar tugas dan wewenang jelas” sebagai yang paling penting (mean 5,767). Hal ini menunjukkan bahwa pada proyek berskala kecil-menengah, alur komunikasi yang ringkas dan jelas lebih mendesak ketimbang pengarahan teknis yang rumit.
Analisis Perbandingan: Apakah Proyek High-Rise dan Low-Rise Sama?
Menggunakan Independent Sample T-Test, penulis menemukan perbedaan yang signifikan dalam 11 dari 42 indikator. Salah satu yang paling mencolok adalah pada indikator pelatihan:
Pelatihan pekerja
High-rise: Mean = 5,467 (Ranking 13,5)
Low-rise: Mean = 4,233 (Ranking 38)
Artinya, proyek high-rise sangat bergantung pada pelatihan karena kompleksitas alat dan risiko tinggi.
Begitu juga pada indikator kepemimpinan:
Pelatihan kepemimpinan
High-rise: Mean = 5,433
Low-rise: Mean = 4,267
Perbedaan ini menggarisbawahi pentingnya struktur organisasi dan distribusi tanggung jawab yang lebih sistematis di proyek high-rise, yang tidak terlalu krusial di proyek low-rise.
Studi Kasus dan Penerapan Nyata
Misalnya, pada proyek pembangunan apartemen bertingkat di Surabaya yang melibatkan lebih dari 300 tenaga kerja, pengarahan harian pagi terbukti mengurangi kesalahan lapangan hingga 18% dalam 3 bulan pertama (berdasarkan laporan kontraktor lokal). Sementara itu, pada proyek perumahan tapak berskala kecil di Sidoarjo, penunjukan koordinator komunikasi terbukti meningkatkan koordinasi tim dan mempercepat penyelesaian 2 hari lebih cepat dari jadwal.
Opini Kritis dan Implikasi Praktis
Kritik Konstruktif:
Meskipun artikel ini kaya data, namun cakupan geografis terbatas hanya pada Surabaya dan sekitarnya. Padahal kondisi produktivitas pekerja bisa sangat bervariasi di kota lain seperti Jakarta atau Medan.
Tidak ada pemisahan responden berdasarkan jenis jabatan (mandor vs tukang vs pekerja), yang bisa memperkaya analisis persepsi produktivitas.
Implikasi Praktis:
Kontraktor proyek vertikal harus menstandardisasi SOP pengarahan pagi dan dokumentasi kerja.
Proyek skala menengah dapat lebih fokus pada penguatan komunikasi interpersonal dan manajemen tim kecil.
Penggunaan pekerja paruh waktu harus dibatasi, kecuali di tahap akhir proyek yang tidak membutuhkan keterampilan spesifik.
Kaitan dengan Tren Industri Global
Sejalan dengan temuan Goodrum & Haas (2004), teknologi dan manajemen sumber daya manusia adalah dua sisi mata uang yang menentukan efisiensi kerja. Di era digitalisasi konstruksi, indikator seperti "penggunaan teknologi peralatan" harus lebih didorong. Misalnya, aplikasi berbasis BIM (Building Information Modelling) dan penggunaan sistem ERP telah terbukti meningkatkan produktivitas hingga 30% di proyek-proyek besar di Jepang dan Singapura.
Kesimpulan: Tidak Ada “One-Size-Fits-All”
Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa indikator produktivitas bersifat kontekstual. Tidak ada satu strategi yang cocok untuk semua jenis proyek. Proyek high-rise membutuhkan sistem pengarahan dan pelatihan intensif, sementara proyek low-rise lebih membutuhkan kejelasan komunikasi dan hubungan interpersonal yang baik.
Sumber Referensi
Penelitian ini dapat diakses secara lengkap di:
Christopher Kurniawan, Olivia Reynalda Tandean, Herry Pintardi Chandra, dan Soehendro Ratnawidjaja. (2022). "Indikator dalam Upaya Memperbaiki Produktivitas Pekerja Konstruksi". Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 2, pp. 62–69.
eISSN: 2775-0213 – Tautan resmi jurnal
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Tantangan Produktivitas di Proyek Konstruksi
Industri konstruksi Indonesia, meski berkontribusi besar terhadap PDB nasional, terus dibayangi isu klasik: rendahnya produktivitas tenaga kerja. Dalam proyek pembangunan dan renovasi Gedung Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, peneliti Muhammad Rendy dan Andi Febra Ashari mencoba menyibak persoalan ini dengan pendekatan yang sistematis. Mereka menilai kinerja pekerja pada pekerjaan plafon dan instalasi listrik, dua elemen vital yang memengaruhi kecepatan dan kualitas proyek secara keseluruhan.
Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kuantitatif dan tools statistik SPSS versi 25, studi ini tidak hanya mengukur Labour Utilization Rate (LUR) dan produktivitas berdasarkan SNI, tapi juga mengevaluasi variabel-variabel yang memengaruhinya secara signifikan. Hasilnya? Temuan yang patut jadi acuan dalam pengelolaan proyek konstruksi, khususnya di masa pascapandemi.
Metodologi: Menggali Data dari Lapangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui:
Observasi langsung pekerja lapangan
Penyebaran kuesioner kepada 16 responden
Analisis statistik dengan SPSS v25
Subjek yang diamati mencakup berbagai peran, dari mandor hingga tukang dan pekerja harian. Fokus utama adalah aktivitas pekerjaan plafon dan instalasi listrik di proyek RS Unhas yang sempat tertunda akibat pandemi COVID-19.
Hasil Utama: Seberapa Produktif Tenaga Kerja di Proyek Ini?
1. Labour Utilization Rate (LUR)
LUR merupakan rasio waktu kerja efektif terhadap total waktu yang tersedia. Angka LUR digunakan sebagai indikator efisiensi tenaga kerja dalam memanfaatkan waktunya.
Rata-rata LUR yang dicapai adalah sebesar 92,98%. Artinya, hampir seluruh waktu kerja digunakan secara produktif. Bahkan, beberapa pekerja seperti Latif dan Komaruddin mencapai efisiensi lebih dari 95%.
Catatan: Menurut Oglesby (1989), LUR > 50% sudah termasuk kategori memuaskan. Maka capaian ini bisa dikatakan sangat tinggi.
2. Produktivitas Berdasarkan SNI
Menggunakan rumus produktivitas = volume pekerjaan ÷ waktu efektif (SNI 3436:2002), diperoleh:
Hari ke-1: 0,641 m²/menit
Hari ke-2: 0,6365 m²/menit
Hari ke-3: 0,6405 m²/menit
Rata-rata produktivitas: 0,6393 m²/menit
Sebagai perbandingan, standar efisiensi nasional dalam pekerjaan plafon berada di kisaran 0,5–0,7 m²/menit. Maka, hasil ini tergolong tinggi.
Studi Kasus: Pekerjaan Plafon di RS Unhas
Proyek yang dianalisis merupakan pekerjaan renovasi gedung Rumah Sakit Unhas. Pandemi COVID-19 sempat menghentikan proyek, menciptakan tantangan baru terkait produktivitas dan jadwal pengerjaan.
Jumlah pekerja: 16 orang + 1 mandor
Volume pekerjaan: 247,7475 m²
Total OH (orang-hari): 1,605 per hari
Dengan kondisi tersebut, tingkat efisiensi yang tinggi menunjukkan manajemen tenaga kerja yang cukup berhasil mengendalikan produktivitas bahkan dalam kondisi yang menantang.
Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini selaras dengan studi oleh Aprillian (2010) dan Febriyanto (2013) yang menunjukkan bahwa pengalaman kerja memiliki korelasi kuat dengan produktivitas tenaga kerja konstruksi. Namun, uniknya, penelitian ini juga mengonfirmasi bahwa tingkat pendidikan formal tidak selalu menjadi penentu utama dalam konteks lapangan.
Implikasi Praktis bagi Industri Konstruksi
Rekrutmen berbasis pengalaman: Pemilihan tenaga kerja sebaiknya mempertimbangkan jam terbang daripada sekadar latar belakang akademis.
Pelatihan berkelanjutan: Untuk pekerja muda, penting dilakukan on-the-job training untuk mempercepat kurva belajar.
Monitoring produktivitas harian: Metode LUR terbukti efisien sebagai alat pemantau lapangan.
Penggunaan SPSS dalam proyek: Pengolahan data statistik sebaiknya menjadi standar manajemen proyek profesional.
Kesimpulan: Pengalaman adalah Kunci
Penelitian ini memperkuat fakta bahwa pengalaman kerja merupakan faktor dominan dalam produktivitas tenaga kerja konstruksi. Meskipun beberapa variabel seperti upah, pendidikan, dan hubungan kerja tak menunjukkan signifikansi, efisiensi tetap dapat tercapai melalui pengelolaan waktu dan pemanfaatan SDM yang tepat.
Dengan LUR rata-rata 92,98% dan produktivitas 0,6393 m²/menit, proyek RS Unhas menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya manusia yang baik, bahkan di tengah krisis pandemi, mampu menghasilkan produktivitas optimal.
Rekomendasi Tambahan
Industri konstruksi di Indonesia perlu menjadikan LUR sebagai standar audit produktivitas di proyek.
Kebijakan insentif berbasis produktivitas harian akan mendorong perilaku kerja yang lebih efisien.
Investasi pada manajemen proyek berbasis data (seperti SPSS) akan mempercepat identifikasi faktor penghambat produktivitas.
Sumber:
Rendy, M., & Ashari, A. F. Y. (2022). Analisis Produktivitas Tenaga Kerja Pada Pekerjaan Plafond dan Instalasi Listrik (Studi Kasus Proyek Gedung Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Kota Makassar). Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 2. Link Jurnal Resmi (eISSN: 2775-0213)
Edukasi & Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Urgensi Evaluasi Pendidikan Tinggi di Bali
Dalam konteks pembangunan nasional, pendidikan tinggi tidak hanya menjadi wahana peningkatan kualitas SDM, tetapi juga cerminan kesiapan daerah dalam menghadapi kompetisi global. Provinsi Bali, dengan segala keunggulan geokulturalnya, ternyata masih menyimpan persoalan mendasar dalam sektor pendidikan tinggi, terutama dalam aspek pemerataan dan mutu. Artikel ilmiah karya Ida Kintamani Dewi Hermawan ini menganalisis secara mendalam kondisi pendidikan tinggi di Bali berdasarkan dua pilar strategis: pemerataan akses dan peningkatan mutu, sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005–2009.
Metodologi & Sumber Data: Integrasi Data Pendidikan dan Non-Pendidikan
Studi ini menggunakan data dari tahun akademik 2008/2009 dan mengombinasikannya dengan data non-pendidikan (demografi, geografi, dan sosial ekonomi). Dengan pendekatan kuantitatif-deskriptif, indikator kinerja pendidikan tinggi seperti APK (Angka Partisipasi Kasar), rasio mahasiswa per dosen, animo masuk perguruan tinggi, dan persentase dosen layak mengajar dianalisis untuk menilai performa daerah terhadap standar nasional dan standar ideal.
Profil Wilayah dan Kondisi Pendidikan Tinggi di Bali
Gambaran Umum Non-Pendidikan
Bali terbagi atas 8 kabupaten dan 1 kota, dengan populasi usia kuliah (19–24 tahun) sebanyak 333.300 jiwa. Wilayah ini memiliki topografi pegunungan dan karakter geografis yang memengaruhi distribusi akses ke fasilitas pendidikan tinggi, terutama di wilayah perbukitan dan kepulauan kecil seperti Nusa Penida dan Nusa Lembongan.
Lembaga Pendidikan Tinggi dan Distribusinya
Bali memiliki 36 institusi pendidikan tinggi: 11 universitas, 3 institut, 15 sekolah tinggi, 4 akademi, dan 3 politeknik. Dari total ini, hanya 4 institusi berstatus negeri, sisanya swasta. Mahasiswa terbanyak berada di universitas (70,88%), diikuti sekolah tinggi (18,83%), dan paling sedikit di akademi (1,72%).
Pilar 1: Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan Tinggi
1. APK Masih di Bawah Nasional
Angka Partisipasi Kasar di Bali hanya 11,22%, lebih rendah dibanding APK nasional sebesar 12,9% dan jauh dari standar ideal 100%. APK laki-laki (11,74%) sedikit lebih tinggi dari perempuan (10,67%), mengindikasikan ketimpangan gender dengan indeks paritas gender (IPG) 0,91 (idealnya = 1).
2. Rasio Mahasiswa terhadap Dosen dan Lembaga
Rasio Mahasiswa per Dosen (R-M/D) di Bali sebesar 13, yang berarti satu dosen melayani 13 mahasiswa. Namun, terjadi kesenjangan ekstrem:
PT Negeri: 1 dosen melayani 6 mahasiswa.
PT Swasta: 1 dosen melayani hingga 47 mahasiswa.
Rasio Mahasiswa per Lembaga (R-M/Lbg) sebesar 1.039. Angka ini lebih rendah dari rerata nasional (1.342), menandakan ketimpangan kapasitas antar lembaga.
3. Tingginya Animo tapi Keterbatasan Daya Tampung
Meskipun animo ke PT di Bali sebesar 147,67%, banyak pendaftar gagal masuk karena daya tampung terbatas. PT Negeri menjadi primadona dengan animo mencapai 192,59%, sementara PT Swasta hanya 113,05%.
Pilar 2: Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Pendidikan Tinggi
1. Rendahnya Dosen Berkualifikasi Layak
Hanya 50,55% dosen di Bali yang layak mengajar (memiliki S2 atau S3), masih jauh dari ideal 100%. PT Negeri memiliki persentase yang lebih baik (55,49%) dibandingkan PT Swasta (27,83%). Ketimpangan gender juga muncul: dosen perempuan memiliki kualifikasi lebih rendah dengan IPG sebesar 0,90.
2. Produktivitas Lulusan yang Rendah
Angka Produktivitas (jumlah lulusan dibanding jumlah mahasiswa aktif) hanya mencapai 7,04% — di bawah target ideal 25%. Institut memang menonjol (19,58%), namun politeknik dan akademi masih sangat rendah (masing-masing 3,43% dan 5,13%).
3. Rasio Dosen per Lembaga: Ketimpangan Ekstrem
Rata-rata nasional rasio dosen per lembaga adalah 78. Namun, di PT Negeri Bali, angkanya mencapai 578. Sebaliknya, PT Swasta hanya mencatat 16, menunjukkan kekurangan tenaga pengajar berkualitas secara akut.
Kinerja Pendidikan Tinggi: Kombinasi Pemerataan dan Mutu
Berdasarkan konversi nilai dan pembobotan indikator:
Nilai Pemerataan: 54,59%
Nilai Mutu: 43,92%
Nilai Kinerja Total: 49,25% (jauh dari standar ideal 100%)
Namun jika dibandingkan dengan standar nasional, Bali justru mencatat nilai baik:
Pemerataan: 80,51%
Mutu: 100,11%
Kinerja total: 88,21%
Ini menandakan bahwa standar nasional masih terlalu rendah dibandingkan ekspektasi ideal, dan Bali baru unggul relatif terhadap provinsi lain, bukan mutlak.
Kritik dan Analisis Tambahan
1. Keterbatasan Infrastruktur dan Keberpihakan terhadap PT Swasta
Kesenjangan sumber daya antara PT Negeri dan Swasta harus menjadi perhatian. Swasta menyumbang 88% jumlah lembaga, tetapi kekurangan dosen berkualitas dan beban pengajaran tidak proporsional. Kebijakan afirmatif dan insentif tenaga pengajar untuk PT Swasta perlu dipertimbangkan.
2. Kebutuhan Pemerataan Akses di Kawasan Terpencil
Wilayah seperti Nusa Penida dan Karangasem cenderung tertinggal secara akses. Pembangunan PT berbasis satelit atau kelas jauh bisa menjadi solusi.
3. Ketimpangan Gender sebagai Isu Strategis
IPG yang masih di bawah 1 pada indikator mahasiswa dan dosen mengindikasikan perlunya pendekatan berbasis gender dalam perencanaan pendidikan tinggi, termasuk beasiswa khusus dan program mentoring untuk perempuan.
Rekomendasi Strategis
Peningkatan APK hingga menyamai nasional (≥13%) melalui subsidi, beasiswa, dan penyebaran informasi ke pelosok.
Peningkatan rasio dosen layak mengajar, khususnya di PT Swasta, dengan rekruitmen terencana dan pelatihan.
Peningkatan rasio produktivitas lulusan melalui penguatan sistem akademik dan monitoring kelulusan.
Kebijakan penguatan kelembagaan PT Swasta termasuk peningkatan pendanaan operasional dan akreditasi.
Evaluasi animo mahasiswa secara komprehensif agar sejalan dengan daya tampung dan distribusi bidang keilmuan.
Kesimpulan
Studi ini membuka mata bahwa indikator makro seperti APK dan mutu dosen masih menunjukkan tantangan serius di Bali. Meskipun sudah cukup baik menurut ukuran nasional, pencapaian ideal masih jauh dari tuntas. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk menghadirkan pendidikan tinggi yang tidak hanya dapat diakses secara adil, tetapi juga bermutu dan adaptif terhadap kebutuhan lokal dan global.
Sumber
Hermawan, Ida Kintamani Dewi. Analisis Profil Pendidikan Tinggi Menurut Pilar Kebijakan: Kasus Provinsi Bali Tahun 2008/2009. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, No. 6, 2010.
Tautan: https://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jurnaldikbud/article/view/1671
Ekonomi Daerah
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Kemandirian Fiskal Itu Penting?
Kemandirian fiskal adalah indikator utama keberhasilan otonomi daerah. Sebuah daerah dikatakan mandiri secara fiskal jika mampu membiayai pengeluaran pemerintahannya tanpa sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Provinsi Bali, meskipun dikenal sebagai daerah pariwisata dengan kontribusi ekonomi signifikan, menunjukkan ketimpangan kemandirian fiskal antar wilayahnya. Hal ini mendorong studi yang dilakukan oleh Fabian Rabbani Hasri (2024), yang menganalisis faktor-faktor determinan kemandirian fiskal di Bali selama periode 2016–2020.
Latar Belakang: Ketimpangan Fiskal di Pulau Dewata
Meskipun indeks kemandirian fiskal Provinsi Bali menunjukkan klasifikasi "mandiri" dengan nilai berkisar antara 0,53 hingga 0,60, disparitas antar kabupaten/kota sangat mencolok. Kabupaten Badung, misalnya, mencapai skor 0,83 pada tahun 2019, sementara Kabupaten Bangli hanya sekitar 0,10. Ketimpangan ini diperparah dengan dominasi pembangunan di Bali Selatan, meninggalkan Bali Utara dalam ketertinggalan ekonomi.
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh belanja modal, jumlah penduduk, upah minimum, dan kemiskinan terhadap kemandirian fiskal menggunakan metode regresi data panel. Data sekunder dari BPS dan BPK RI selama 2016–2020 dianalisis untuk melihat pengaruh parsial dan simultan antar variabel.
Temuan Utama
1. Belanja Modal: Pengaruh Positif dan Signifikan
Belanja modal terbukti menjadi satu-satunya variabel yang secara statistik berpengaruh signifikan dan positif terhadap kemandirian fiskal. Hal ini logis, karena investasi pemerintah daerah dalam infrastruktur dan aset tetap memperkuat fondasi penerimaan asli daerah (PAD). Misalnya, Kabupaten Gianyar yang meningkatkan belanja modal dari Rp460 miliar (2016) menjadi Rp976 miliar (2020) menunjukkan peningkatan dalam indeks fiskal.
2. Jumlah Penduduk: Tidak Signifikan
Meskipun populasi meningkat, tidak ada hubungan langsung yang signifikan terhadap kemandirian fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk belum otomatis meningkatkan PAD, mungkin karena basis ekonomi yang belum cukup produktif atau tingginya beban pelayanan publik.
3. Upah Minimum: Tidak Signifikan
UMK di Bali terus meningkat selama periode penelitian, namun tidak serta-merta memengaruhi rasio kemandirian fiskal. Kenaikan upah tampaknya belum mampu memicu peningkatan pajak daerah secara substansial.
4. Kemiskinan: Tidak Signifikan
Tingkat kemiskinan yang relatif stagnan dan fluktuatif di berbagai kabupaten juga tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemandirian fiskal. Ini dapat diartikan bahwa alokasi anggaran untuk bantuan sosial tidak cukup besar untuk menggerus PAD.
Analisis Tambahan: Studi Kasus Kabupaten Badung vs Bangli
Kabupaten Badung menjadi contoh ekstrim daerah yang sangat mandiri secara fiskal karena dominasi sektor pariwisata dan retribusi pajak yang besar. Sebaliknya, Kabupaten Bangli, dengan basis ekonomi agraris dan minim objek pajak daerah, menunjukkan ketergantungan tinggi pada dana pusat. Studi ini menegaskan perlunya diferensiasi kebijakan fiskal dan investasi publik antar daerah.
Implikasi Praktis: Rekomendasi Kebijakan
Peningkatan Belanja Modal Terarah: Daerah dengan potensi ekonomi rendah perlu difasilitasi dengan belanja modal strategis seperti pembangunan pasar, infrastruktur digital, dan fasilitas wisata lokal.
Revitalisasi PAD: Meningkatkan efektivitas pajak daerah, retribusi, dan mengembangkan BUMD untuk memperkuat pendapatan.
Kebijakan Fiskal Berbasis Wilayah: Mendesain intervensi fiskal sesuai karakteristik lokal antara Bali Utara dan Selatan.
Kritik dan Perbandingan Penelitian Sebelumnya
Temuan Fabian Rabbani konsisten dengan Ariani & Putri (2016) dan Elisabeth Sukma Dewi (2020) yang menyatakan belanja modal berdampak positif terhadap kemandirian fiskal. Namun, hasil berbeda dengan studi Fitriyani & Suwarno (2021) yang menyebutkan pengaruh negatif. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan konteks wilayah dan alokasi anggaran yang berbeda.
Relevansi dengan Tren Industri dan Tata Kelola Daerah
Di era smart governance dan digitalisasi keuangan daerah, kemandirian fiskal menjadi prasyarat penting. Pembangunan berbasis belanja modal digital (seperti sistem perpajakan daring dan e-retribusi) dapat menjadi solusi untuk meningkatkan PAD dan menurunkan ketimpangan.
Kesimpulan: Fokus pada Belanja Modal sebagai Katalis
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hanya belanja modal yang berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kemandirian fiskal di Bali. Variabel lain seperti populasi, upah minimum, dan kemiskinan tidak menunjukkan korelasi kuat. Oleh karena itu, strategi fiskal daerah harus difokuskan pada peningkatan kualitas dan kuantitas belanja modal, khususnya di wilayah yang tertinggal.
Sumber
Fabian Rabbani Hasri. (2024). Faktor Determinan Kemandirian Fiskal Provinsi Bali Tahun 2016–2020. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.