Kebijakan Infrastruktur Air

Denmark Pacu Transisi Hijau Lewat Investasi Strategis dan Pajak Karbon

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan: Pandemi sebagai Titik Balik Ekonomi Hijau

Denmark menjadikan krisis COVID-19 sebagai momen strategis untuk mempercepat transisi hijau dan digital, sekaligus menguatkan daya tahan ekonomi pasca pandemi. Melalui Recovery and Resilience Plan (RRP) tahun 2021, Denmark merancang skema pembiayaan ambisius: total 11,6 miliar DKK dari UE dan dana nasional, dengan 60% dialokasikan untuk inisiatif hijau dan 25% untuk digitalisasi. Rencana ini bertujuan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 70% pada 2030, menjadikannya salah satu target iklim paling ambisius di dunia.

Pilar Rencana: Tujuh Komponen untuk Pemulihan dan Transformasi

Rencana ini dibagi menjadi tujuh komponen utama, dengan fokus dominan pada sektor-sektor emisi tinggi. Berikut ringkasan kontribusi terhadap target emisi CO2e (2030):

  • Transportasi Jalan Berkelanjutan: -2,1 Mt
  • Reformasi Pajak Hijau (Fase 1): -0,5 Mt
  • Efisiensi Energi dan CCS: -0,1 Mt
  • Pertanian dan Lingkungan: -0,1 Mt
  • Total penurunan CO2e: -2,8 Mt pada 2030

Studi Kasus 1: Reformasi Pajak Karbon Berbasis Dua Fase

Denmark menjalankan Green Tax Reform dalam dua fase:

  1. Fase Pertama: Pengalihan pajak energi ke emisi CO2 dan insentif investasi hijau.
  2. Fase Kedua (2022–2025): Pengenalan pajak karbon menyeluruh di semua sektor, termasuk pertanian.

Fase awal menargetkan pengurangan emisi sebesar 0,5 Mt CO2e. Fase lanjutan diharapkan menciptakan dampak struktural, memperkuat investasi teknologi rendah karbon, dan menjaga daya saing industri lewat skema insentif cerdas seperti window investasi dan penyusutan dipercepat.

Studi Kasus 2: Transisi Hijau Sektor Transportasi

Sektor transportasi menyumbang sekitar 25% dari total emisi Denmark. Komponen ini menargetkan:

  • 1 juta kendaraan rendah atau nol emisi pada 2030
  • Reduksi CO2e sebesar 2,1 Mt
  • Perubahan sistem pajak kendaraan untuk mendorong pembelian mobil listrik
  • Subsidi infrastruktur seperti jalur sepeda dan feri ramah iklim

Langkah-langkah ini diperkirakan mempercepat transisi kendaraan pribadi, sekaligus mengurangi polusi udara dan kemacetan.

Transformasi Energi: Efisiensi, Panas Hijau, dan CCS

Sektor energi menjadi tulang punggung transisi. RRP Denmark mendukung:

  • Konversi dari pemanas berbahan bakar fosil ke pompa panas listrik dan pemanas distrik
  • Renovasi energi gedung publik dan rumah tangga
  • Investasi pada potensi penyimpanan karbon (CCS)

Diproyeksikan kontribusi pengurangan emisi sebesar 0,1 Mt CO2e pada 2030, dengan potensi tambahan dari CCS sebesar 4–9 Mt jika teknologi sepenuhnya diterapkan.

Transformasi Pertanian dan Lingkungan

Sektor pertanian menyumbang sekitar ⅓ emisi nasional. Rencana Denmark meliputi:

  • Pengeluaran sebesar 1,32 miliar DKK
  • Transisi ke pertanian organik dan penghentian produksi di lahan kaya karbon
  • Investasi riset dalam bio-refinasi menggunakan teknologi pirolisis

Potensi teknis pengurangan emisi dari sektor ini mencapai 2 Mt CO2e.

Riset dan Inovasi Hijau: Empat Misi Utama

Denmark berinvestasi 1,8 miliar DKK dalam riset hijau, dengan empat fokus:

  1. CCUS (Carbon Capture, Utilization and Storage)
  2. Green Fuels (Power-to-X)
  3. Pertanian ramah iklim
  4. Ekonomi sirkular (pengurangan limbah plastik dan tekstil)

Hasilnya diproyeksikan menurunkan emisi antara 8,7–16,7 Mt CO2e pada 2030.

Digitalisasi dan Ekspor Teknologi

Sebagai pemimpin digital global menurut PBB, Denmark memperkuat infrastruktur dan strategi digital:

  • Pembentukan kemitraan digital nasional
  • 500 juta DKK untuk strategi digital lintas sektor
  • Dukungan UMKM untuk ekspor teknologi digital dan hijau

Digitalisasi dianggap katalis penting dalam efisiensi energi, transportasi, hingga layanan publik.

Komitmen Sosial dan Kesehatan

Denmark menyisihkan 244 juta DKK untuk memperkuat sistem kesehatan nasional melalui:

  • Stok strategis obat
  • Digitalisasi konsultasi medis
  • Studi vaksin COVID-19 jangka panjang

Langkah ini menegaskan bahwa transisi hijau tidak mengorbankan keadilan sosial dan kesehatan publik.

Dampak Makroekonomi dan Sosial

Menurut proyeksi pemerintah:

  • Pertumbuhan PDB naik 2,1% (2021) dan 3,8% (2022)
  • Penciptaan 55.000–85.000 pekerjaan selama 2020–2022
  • Akselerasi investasi jangka panjang di sektor energi dan transportasi

Dengan demikian, RRP Denmark membuktikan bahwa transisi hijau dan pemulihan ekonomi dapat berjalan seiring.

Analisis Tambahan: Inspirasi Global untuk Ekonomi Hijau

Pendekatan Denmark relevan bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Pengalaman Denmark menunjukkan bahwa reformasi fiskal progresif, riset berbasis misi, dan kemitraan multisektor bisa menciptakan pertumbuhan hijau yang inklusif dan berkelanjutan.

Namun, keberhasilan ini juga menuntut:

  • Konsistensi politik jangka panjang
  • Partisipasi masyarakat dan dunia usaha
  • Fleksibilitas kebijakan fiskal dan pajak
  • Infrastruktur digital dan SDM yang siap

Kesimpulan: Investasi Hijau Jadi Pilar Pemulihan dan Ketahanan

Denmark memposisikan transisi hijau bukan sekadar respons terhadap krisis, tetapi strategi jangka panjang menuju ekonomi yang tangguh dan berkelanjutan. Rencana ini menunjukkan sinergi antara kebijakan fiskal, insentif ekonomi, teknologi digital, dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau dan adil.

Sumber : Ministry of Finance, Denmark. (2021). Denmark's Recovery and Resilience Plan – Accelerating the Green Transition. April 2021.

Selengkapnya
Denmark Pacu Transisi Hijau Lewat Investasi Strategis dan Pajak Karbon

Krisis Air

Intervensi Kebijakan untuk Mengatasi Keamanan Air yang Terdampak Perubahan Iklim: Strategi Adaptasi dari Tiga Studi Kasus di Berbagai Wilayah Geografis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Krisis Air dan Urgensi Kebijakan Adaptasi

Krisis air kini menjadi persoalan global yang mendesak. Tidak hanya negara berkembang, bahkan negara maju seperti Amerika Serikat pun menghadapi tantangan ketersediaan air bersih akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan. Artikel karya Quandt dkk. ini mengupas secara mendalam bagaimana kebijakan publik di tiga wilayah berbeda—California (AS), Cape Town (Afrika Selatan), dan Bangladesh—merespons krisis air melalui adaptasi kebijakan yang inovatif dan kontekstual.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global: perubahan iklim memicu cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, dan kontaminasi air. Dengan menyoroti studi kasus nyata, artikel ini tidak hanya memberikan gambaran empiris, tetapi juga menawarkan pelajaran penting bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas.

Ikhtisar Isi Artikel

Tiga Dimensi Kelangkaan Air

Penulis membedakan tiga dimensi utama kelangkaan air:

  • Kelangkaan Fisik: Terjadi ketika permintaan air melebihi pasokan, sering ditemukan di wilayah kering seperti California dan Cape Town.
  • Kelangkaan Ekonomi: Air tersedia, namun akses terbatas akibat infrastruktur dan manajemen yang buruk, seperti di Bangladesh.
  • Kualitas Air: Polusi, baik alami maupun buatan manusia, memperburuk akses air bersih, contoh nyata adalah krisis arsenik di Bangladesh.

Ketiga aspek ini saling terkait dan diperparah oleh perubahan iklim.

Studi Kasus 1: California, Amerika Serikat

Latar Belakang

California adalah salah satu kawasan pertanian terbesar di dunia, menghasilkan 1/3 sayuran dan 2/3 buah-buahan untuk AS. Namun, 80% konsumsi air di negara bagian ini digunakan untuk pertanian. Di tahun-tahun kering, hingga 60% irigasi mengandalkan air tanah.

Kebijakan Kunci

Quantification Settlement Agreement (QSA) – Imperial County

  • Tujuan: Mengalihkan sebagian air dari pertanian ke kebutuhan urban melalui perjanjian antara Imperial Irrigation District dan San Diego County Water Authority.
  • Dampak: Dana hasil penjualan air digunakan untuk konservasi dan efisiensi irigasi, seperti mengganti sistem irigasi banjir dengan mikro-sprinkler dan drip irrigation.
  • Angka Penting: Kanal All-American mengairi 456.089 acre lahan pertanian. Imperial County menerima 77% alokasi air permukaan California dari Sungai Colorado.

Sustainable Groundwater Management Act (SGMA) – Kern County

  • Tujuan: Menyeimbangkan penggunaan air tanah melalui pembentukan 21 Groundwater Sustainability Agencies dan 11 Groundwater Sustainability Plans.
  • Dampak: Prediksi hingga 800.000 acre lahan harus dikeluarkan dari produksi akibat kelangkaan air. Jika tidak diatasi, lebih dari 100.000 rumah tangga berisiko kehilangan akses air tanah pada 2040.

Keberhasilan dan Tantangan

  • Keberhasilan: Efisiensi air meningkat, produktivitas ekonomi naik 38% (2015 dibanding 1980), meski penggunaan air di pertanian turun 14%.
  • Tantangan: Efisiensi irigasi menyebabkan berkurangnya limpasan ke Salton Sea, memicu masalah kesehatan akibat debu beracun. Fokus kebijakan pada kuantitas, bukan kualitas air, menyebabkan sumur dangkal rumah tangga tetap terancam.

Studi Kasus 2: Cape Town, Afrika Selatan

Latar Belakang

Cape Town, kota pesisir dengan 4,8 juta penduduk, mengalami krisis air akut pada 2015–2018 akibat kekeringan beruntun. Level air di bendungan turun drastis, dan pada puncaknya, konsumsi air harian berhasil ditekan hingga 500 juta liter per hari.

Strategi Kebijakan

Water Conservation and Demand Management

  • Fokus: Mengurangi pemborosan, melindungi sumber air, dan mendorong efisiensi di semua sektor.
  • Langkah Nyata: Edukasi publik, rehabilitasi lahan basah, penghapusan vegetasi invasif, dan pengurangan polusi sungai.

Water Sensitive Urban Design (WSUD)

  • Fokus: Integrasi manajemen siklus air perkotaan (pasokan, limbah, air hujan) dengan desain kota yang ramah air.
  • Manfaat: Perlindungan ekosistem, peningkatan kualitas air, pemanfaatan air hujan, dan pengurangan biaya infrastruktur drainase.

Intervensi Kritis Saat Krisis

  • Realokasi Hak Air: Penyesuaian distribusi air antara petani besar, kecil, dan sektor lain demi keadilan akses.
  • Kebijakan Restriksi: Skala 1–6, dari ringan hingga sangat ketat, termasuk deklarasi darurat air, pembentukan tim ketahanan air, dan dashboard manajemen air daring.
  • Inovasi Gagal: Desalinasi dan eksploitasi air tanah terbatas oleh biaya tinggi dan kualitas air yang buruk.

Pelajaran Penting

  • Keterlibatan Stakeholder: Keputusan berbasis keadilan dan partisipasi masyarakat terbukti paling efektif, baik untuk solusi jangka pendek maupun jangka panjang.
  • Kebijakan Berkelanjutan: Setelah krisis, Cape Town mengadopsi kebijakan menuju kota “water-sensitive” yang lebih tahan iklim dan berbasis ekonomi sirkular.

Studi Kasus 3: Bangladesh

Latar Belakang

Bangladesh menghadapi tantangan unik: air melimpah, tetapi kualitasnya buruk akibat kontaminasi arsenik alami (geogenik). Diperkirakan 220 juta orang (94% di Asia) terpapar arsenik di atas ambang WHO (10 ug/L).

Sejarah Krisis Arsenik

  • 1970-an: UNICEF dan pemerintah memasang jutaan sumur bor untuk menghindari kontaminasi mikroba di air permukaan.
  • 1987: Kasus keracunan arsenik mulai terdeteksi.
  • Akhir 1990-an: 55 juta orang diperkirakan terpapar air minum dengan arsenik tinggi.

Kebijakan dan Praktik

  • Kampanye Pengujian Sumur: Hampir 5 juta sumur diuji, sumur dengan arsenik tinggi dicat merah, yang aman dicat hijau.
  • Strategi Efektif: “Well switching”—mengalihkan penggunaan ke sumur aman dalam radius 100 meter, terbukti menurunkan paparan arsenik secara signifikan.
  • Tantangan: Hanya 21% populasi yang sadar akan bahaya arsenik, meski 64% bersedia membayar solusi teknologi. Infrastruktur air perpipaan masih minim dan mahal.

Dampak Kesehatan dan Ekonomi

  • Kesehatan: Paparan arsenik kronis menyebabkan diabetes, kanker, hipertensi, dan gangguan kulit.
  • Ekonomi: Kerugian akibat kematian terkait arsenik diperkirakan mencapai $12,5 miliar dalam dua dekade.

Kelebihan dan Kekurangan Artikel

Kelebihan

  • Komparatif dan Kontekstual: Artikel ini membandingkan kebijakan di tiga skala berbeda (county, kota, negara) dan menyoroti pentingnya solusi berbasis konteks, bukan pendekatan satu ukuran untuk semua.
  • Studi Kasus Nyata: Data empiris dan angka-angka konkret memperkuat analisis, menjadikan artikel sangat informatif dan aplikatif.
  • Relevan dengan Tren Industri: Isu water security sangat relevan dengan agenda global SDGs dan kebijakan adaptasi perubahan iklim.

Kekurangan

  • Keterbatasan Evaluasi Dampak Jangka Panjang: Beberapa kebijakan, seperti di California dan Cape Town, belum dievaluasi secara menyeluruh dampak jangka panjangnya terhadap kelompok rentan.
  • Kurang Menyoroti Inovasi Teknologi Baru: Artikel lebih fokus pada kebijakan dan manajemen, kurang membahas potensi teknologi mutakhir seperti AI untuk monitoring air atau desalinasi hemat energi.
  • Bahasa Akademik: Artikel ini masih menggunakan bahasa yang cukup akademik, sehingga pembaca awam mungkin perlu waktu lebih untuk memahami istilah-istilah teknis.

Analisis dan Opini: Pelajaran Global dari Tiga Benua

Artikel ini memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan air yang efektif harus:

  • Kontekstual dan berbasis data lokal.
  • Mengutamakan kolaborasi dan partisipasi masyarakat.
  • Menggabungkan solusi teknis, sosial, dan kelembagaan.
  • Fleksibel menghadapi dinamika perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.

Keterlibatan masyarakat dan stakeholder menjadi kunci keberhasilan di semua studi kasus. Di Cape Town, kolaborasi lintas sektor dan transparansi kebijakan mempercepat respons krisis. Di Bangladesh, edukasi dan partisipasi masyarakat dalam pengujian sumur menjadi kunci penurunan paparan arsenik.

Solusi mahal seperti desalinasi tidak selalu efektif, sementara inovasi sederhana seperti pengujian sumur murah di Bangladesh terbukti lebih berdampak luas. Hal ini sejalan dengan rekomendasi global, misalnya dari UN-Water, bahwa manajemen air yang adaptif dan berbasis risiko lebih penting daripada sekadar investasi infrastruktur besar.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Artikel ini sangat direkomendasikan untuk pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi yang ingin memahami dinamika water security di era perubahan iklim. Dengan menonjolkan studi kasus nyata, artikel ini membuktikan bahwa tidak ada solusi tunggal untuk krisis air. Setiap wilayah harus mengembangkan strategi adaptasi yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan setempat.

Rekomendasi:

  • Kolaborasi dan Tata Kelola Inklusif: Libatkan semua pemangku kepentingan, dari petani hingga masyarakat urban dan kelompok rentan.
  • Penyesuaian Alokasi Air: Lakukan penilaian ulang alokasi air secara berkala, didukung sistem monitoring berbasis teknologi.
  • Kombinasi Solusi: Terapkan respons cepat untuk krisis dan strategi jangka panjang untuk ketahanan air.
  • Fokus pada Efektivitas: Prioritaskan inovasi sederhana yang berdampak luas dan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Quandt A, O’Shea B, Oke S, Ololade OO. Policy interventions to address water security impacted by climate change: Adaptation strategies of three case studies across different geographic regions. Frontiers in Water. 2022;4:935422.

Selengkapnya
Intervensi Kebijakan untuk Mengatasi Keamanan Air yang Terdampak Perubahan Iklim: Strategi Adaptasi dari Tiga Studi Kasus di Berbagai Wilayah Geografis

Krisis Air

Kompleks Keamanan Hidro-Politik dan Peran Organisasi Internasional dalam Membawa Kerjasama atau Konflik ke Sungai Lintas Batas Bersama

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Krisis Air Lintas Batas dan Tantangan Global

Isu air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, terutama di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan energi yang terus meningkat. Paper karya Noha Yasser ini membedah secara mendalam bagaimana organisasi internasional—seperti World Bank—berperan dalam mendorong kerja sama atau justru gagal mencegah konflik di sungai-sungai lintas negara, dengan fokus pada dua studi kasus utama: Indus River Basin (India–Pakistan) dan Nile River Basin (Ethiopia–Mesir)1.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana air bukan hanya sumber daya vital, tetapi juga sumber potensi konflik geopolitik. Dengan pendekatan komparatif dan teori hydro-political security complexes, paper ini menawarkan wawasan baru tentang faktor-faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan mediasi internasional dalam sengketa air lintas negara.

Teori Kunci: Hydro-political Security Complexes

Apa Itu Hydro-political Security Complexes?

Teori ini menyoroti bahwa konflik dan kerja sama air lintas negara sangat dipengaruhi oleh:

  • Karakter negara: Kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang stabil cenderung memudahkan kerja sama.
  • Shared benefits: Semakin besar manfaat bersama yang dirasakan, semakin besar peluang tercapainya kesepakatan.
  • Asimetri kekuasaan: Ketimpangan kekuatan antara negara hulu dan hilir seringkali menjadi sumber ketegangan.

Teori ini menegaskan bahwa organisasi internasional lebih mudah mencapai kerja sama jika negara-negara yang terlibat memiliki karakter kuat dan manfaat bersama yang jelas. Sebaliknya, jika kekuatan negara berubah-ubah dan manfaat tidak seimbang, potensi konflik meningkat1.

Studi Kasus 1: Indus River Basin (India–Pakistan)

Latar Belakang

Indus River Basin (IRB) melintasi China, Afghanistan, India, dan Pakistan, menjadi sumber kehidupan bagi lebih dari 200 juta orang—61% di antaranya tinggal di Pakistan. Sungai ini sangat vital untuk pertanian, energi, dan ketahanan pangan kedua negara1.

Konflik dan Sejarah

  • Konflik air sudah terjadi sejak sebelum kemerdekaan India dan Pakistan (1947).
  • Setelah perjanjian “Standstill Agreement” berakhir pada 1948, India sempat memutus aliran air ke Pakistan, memicu ketegangan serius.
  • Konflik ini berlanjut hingga 1960, ketika World Bank memediasi lahirnya Indus Water Treaty (IWT)1.

Indus Water Treaty (IWT): Studi Keberhasilan

  • Ditandatangani tahun 1960 setelah 9 tahun negosiasi.
  • Mengatur pembagian 6 sungai: India mengelola sungai timur (Ravi, Sutlej, Beas), Pakistan mengelola sungai barat (Jhelum, Indus, Chenab).
  • Dibentuk Permanent Indus Commission (PIC) untuk monitoring dan penyelesaian sengketa teknis1.

Angka-angka Penting

  • 100 juta acre-feet per tahun: Volume air yang dialokasikan dalam perjanjian.
  • Lebih dari 80% lahan pertanian Pakistan bergantung pada irigasi dari Indus.
  • India dan Pakistan sama-sama membangun infrastruktur besar (bendungan, PLTA) untuk memaksimalkan manfaat sungai1.

Peran World Bank

  • World Bank berperan sebagai mediator netral, menahan pendanaan proyek air hingga kedua negara sepakat.
  • Menyusun kerangka teknis dan ekonomi, serta menekan kedua pihak untuk fokus pada manfaat bersama, bukan konflik historis1.

Faktor Keberhasilan

  • Karakter negara stabil: Meski baru merdeka, India dan Pakistan memiliki kepentingan vital yang seimbang.
  • Manfaat bersama jelas: Keduanya sangat bergantung pada air Indus untuk pertanian dan energi.
  • Asimetri kekuasaan relatif kecil: India sebagai negara hulu memang lebih kuat, tapi Pakistan punya leverage politik dan dukungan internasional1.

Tantangan dan Dinamika Baru

  • Perubahan iklim: Meningkatkan risiko banjir dan kekeringan, menuntut adaptasi perjanjian.
  • Pertumbuhan penduduk: Meningkatkan tekanan pada sumber daya air.
  • Ketegangan politik: Konflik di Kashmir dan isu keamanan regional tetap menjadi ancaman laten1.

Studi Kasus 2: Nile River Basin (Ethiopia–Mesir)

Latar Belakang

Nile River Basin (NRB) melintasi 11 negara Afrika, dengan fokus utama pada konflik antara Ethiopia (hulu) dan Mesir (hilir). Sungai Nil adalah sumber air utama bagi lebih dari 450 juta penduduk, dan lebih dari 90% kebutuhan air Mesir berasal dari Nil1.

Sejarah Konflik

  • Perjanjian 1929 dan 1959: Memberikan hak veto kepada Mesir atas proyek air di hulu, mengabaikan kepentingan Ethiopia.
  • Nile Basin Initiative (NBI) 1999: Upaya kerja sama multilateral, namun tetap didominasi Mesir dan Sudan.
  • Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD): Bendungan raksasa yang dibangun Ethiopia sejak 2011, memicu kekhawatiran Mesir akan berkurangnya pasokan air1.

GERD: Sumber Konflik Baru

  • Kapasitas bendungan: 6.600 MW, terbesar di Afrika.
  • Luas area: 1.867 km².
  • Target Ethiopia: Meningkatkan kapasitas listrik nasional hingga 13,7 GW pada 2040.
  • Dampak pada Mesir: Potensi pengurangan air hingga 12–19 miliar m³/tahun, risiko gagal panen, dan penurunan produksi listrik di Aswan Dam hingga 23–39%1.

Upaya Mediasi dan Peran Organisasi Internasional

  • World Bank, African Union, dan PBB: Terlibat dalam negosiasi trilateral sejak 2018.
  • National Independent Scientific Research Group (NISRG): Dibentuk untuk mencari solusi teknis, namun gagal mencapai konsensus.
  • Ethiopia menolak mediasi World Bank: Menganggap isu ini sebagai kedaulatan nasional, bukan sekadar teknis1.

Faktor Kegagalan

  • Karakter negara berubah-ubah: Mesir mengalami instabilitas politik dan ekonomi pasca-2011, Ethiopia justru menguat secara ekonomi dan militer.
  • Manfaat bersama tidak seimbang: Ethiopia fokus pada listrik dan pembangunan, Mesir pada ketahanan pangan dan air.
  • Asimetri kekuasaan berubah: Ethiopia mulai menantang dominasi historis Mesir, menciptakan ketegangan baru1.

Analisis Perbandingan: Mengapa Satu Kasus Sukses, Lainnya Gagal?

Faktor Penentu Keberhasilan Mediasi

  1. Stabilitas Karakter Negara
    • India–Pakistan: Keduanya relatif stabil saat perjanjian dibuat, meski ada rivalitas.
    • Ethiopia–Mesir: Dinamika kekuasaan berubah cepat, membuat negosiasi sulit1.
  2. Shared Benefits
    • Indus: Manfaat bersama sangat jelas dan saling tergantung.
    • Nil: Manfaat lebih asimetris, Ethiopia ingin listrik, Mesir ingin air untuk pertanian1.
  3. Asimetri Kekuasaan
    • Indus: Power balance relatif terjaga, World Bank bisa menjadi penengah efektif.
    • Nil: Ethiopia mulai menantang status quo, Mesir kehilangan leverage historis1.
  4. Peran Organisasi Internasional
    • World Bank sukses di Indus karena kedua pihak terbuka pada mediasi dan tekanan ekonomi.
    • Di Nil, World Bank gagal karena Ethiopia menolak intervensi eksternal dan lebih percaya pada kekuatan nasional1.

Angka-angka Kunci

  • Indus: 200 juta penduduk terdampak, 100 juta acre-feet air/tahun, 80% lahan pertanian Pakistan bergantung pada Indus.
  • Nil: 450 juta penduduk di basin, 90% kebutuhan air Mesir dari Nil, potensi kehilangan air 12–19 miliar m³/tahun akibat GERD1.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Nilai Tambah dan Originalitas

Paper ini menonjol karena:

  • Menggunakan teori hydro-political security complexes untuk membedah dua kasus nyata secara komparatif.
  • Menyoroti pentingnya variabel “karakter negara” dan “shared benefits” dalam menentukan hasil mediasi internasional.
  • Menunjukkan bahwa intervensi organisasi internasional tidak selalu efektif—tergantung pada konteks politik, ekonomi, dan sosial negara yang terlibat1.

Kritik

  • Kurang membahas solusi inovatif: Paper lebih fokus pada dinamika politik dan institusional, kurang mengeksplorasi teknologi baru (misal, monitoring berbasis AI, desalinasi hemat energi).
  • Minim analisis dampak jangka panjang: Terutama pada kelompok rentan dan lingkungan.
  • Kurang menyoroti peran masyarakat sipil: Padahal, partisipasi publik seringkali menjadi kunci keberhasilan pengelolaan air lintas negara1.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Studi UN-Water dan World Resources Institute juga menekankan pentingnya “shared benefits” dan tata kelola inklusif dalam mengelola air lintas negara.
  • Penelitian lain menunjukkan bahwa keberhasilan perjanjian air seringkali dipengaruhi oleh tekanan eksternal (krisis, donor internasional) dan adanya mekanisme monitoring yang transparan.
  • Kasus Mekong River Basin di Asia Tenggara juga menunjukkan bahwa asimetri kekuasaan dan perubahan karakter negara dapat menghambat kerja sama, meski ada dukungan organisasi internasional1.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi

1. Tata Kelola Air Inklusif dan Kolaboratif

  • Libatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, dalam negosiasi dan implementasi perjanjian air.
  • Transparansi dan monitoring berbasis data sangat penting untuk membangun kepercayaan1.

2. Penyesuaian Alokasi dan Re-alokasi Air

  • Lakukan evaluasi berkala terhadap alokasi air, terutama di tengah perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.
  • Gunakan teknologi (misal, sensor IoT, data satelit) untuk memantau debit dan kualitas air secara real-time1.

3. Kombinasi Solusi Jangka Pendek dan Panjang

  • Respons cepat saat krisis (misal, pembatasan konsumsi, distribusi air darurat) harus diimbangi dengan strategi jangka panjang (efisiensi irigasi, diversifikasi sumber air, edukasi masyarakat)1.

4. Fokus pada Efektivitas, Bukan Sekadar Biaya

  • Solusi mahal seperti bendungan raksasa atau desalinasi belum tentu efektif jika tidak didukung tata kelola yang baik dan partisipasi masyarakat.
  • Inovasi sederhana (misal, pengelolaan air berbasis komunitas, pertanian hemat air) seringkali lebih berkelanjutan1.

Pelajaran Global dari Dua Sungai Besar

Paper ini membuktikan bahwa keberhasilan atau kegagalan organisasi internasional dalam memediasi konflik air lintas negara sangat ditentukan oleh:

  • Stabilitas karakter negara yang terlibat.
  • Besarnya manfaat bersama yang dirasakan.
  • Keseimbangan atau ketimpangan kekuasaan antara negara hulu dan hilir.
  • Keterbukaan terhadap mediasi dan tekanan eksternal.

Tidak ada solusi tunggal untuk setiap kasus. Setiap sungai, negara, dan masyarakat memiliki dinamika unik yang harus dipahami secara kontekstual. Namun, prinsip kolaborasi, transparansi, dan inovasi tetap menjadi kunci untuk menghindari “water wars” di masa depan.

Sumber Artikel 

Noha Yasser. Hydro-political Security Complexes and the Role of International Organizations in Bringing Cooperation or Conflict to Shared Transboundary Rivers. Master thesis in Peace and Conflict Studies, Uppsala University, 2023.

Selengkapnya
Kompleks Keamanan Hidro-Politik dan Peran Organisasi Internasional dalam Membawa Kerjasama atau Konflik ke Sungai Lintas Batas Bersama

Krisis Iklim

Perspektif Ekonomi atas Water Security di Era Krisis Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Water Security, Tantangan Global, dan Relevansi Ekonomi

Water security atau ketahanan air kini menjadi isu sentral dalam pembangunan berkelanjutan dan kebijakan publik di seluruh dunia. Di tengah ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan terhadap sumber daya alam, kebutuhan akan air bersih dan aman semakin mendesak. Paper “An Economic Perspective on Water Security” karya Dustin E. Garrick dan Robert W. Hahn (2021) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana pendekatan ekonomi dapat membantu memahami, mengukur, dan mengatasi tantangan water security secara lebih efektif dan adil.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana perusahaan, pemerintah, dan lembaga multilateral seperti World Bank telah mengadopsi visi “A Water-Secure World for All” dengan portofolio investasi sekitar $30 miliar pada 2019, mencakup tiga pilar utama: keberlanjutan sumber daya air, layanan air, dan ketahanan terhadap risiko1. Dengan meningkatnya perhatian terhadap water security, artikel ini menyoroti perlunya pendekatan ekonomi yang tidak hanya menekankan efisiensi, tetapi juga keadilan dan keberlanjutan.

Definisi Water Security: Dari Ketersediaan hingga Risiko

Evolusi Konsep dan Indikator

Water security didefinisikan sebagai “tersedianya air dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk kesehatan, mata pencaharian, ekosistem, dan produksi, disertai tingkat risiko air yang dapat diterima bagi manusia, lingkungan, dan ekonomi” (Grey & Sadoff, 2007)1. Definisi ini menekankan empat isu utama:

  • Ketersediaan air: Apakah air cukup untuk kebutuhan manusia dan ekosistem?
  • Kerentanan terhadap bahaya: Seberapa besar risiko kekeringan, banjir, atau polusi?
  • Pemenuhan kebutuhan dasar: Apakah semua orang mendapat akses air bersih dan sanitasi?
  • Keberlanjutan: Apakah penggunaan air saat ini mengorbankan generasi mendatang?

Indikator water security sangat beragam, mulai dari akses rumah tangga terhadap air bersih, jejak air (water footprint), hingga risiko banjir dan kekeringan. Namun, upaya mengintegrasikan berbagai indikator ini seringkali menghasilkan “babel indikator” yang membingungkan dan kurang fokus pada tujuan ekonomi seperti efisiensi dan keadilan1.

Perspektif Ekonomi: Efisiensi, Keadilan, dan Risiko

Tiga Pilar Analisis Ekonomi

  1. Efisiensi Ekonomi: Bagaimana memaksimalkan manfaat bersih dari penggunaan air di berbagai sektor (pertanian, industri, rumah tangga) dengan biaya serendah mungkin?
  2. Keadilan (Equity): Bagaimana memastikan distribusi air yang adil, terutama bagi kelompok rentan dan wilayah tertinggal?
  3. Manajemen Risiko: Bagaimana mengelola risiko air (kekeringan, banjir, polusi) secara cost-effective dan berkelanjutan?

OECD (2013) menekankan bahwa target risiko air harus dicapai seefisien mungkin, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara konsekuensi ekonomi, sosial, dan lingkungan serta biaya mitigasi1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Penting

1. Dampak Water Insecurity pada Pertumbuhan Ekonomi

Penelitian Brown et al. (2011) menunjukkan bahwa di Sub-Sahara Afrika, peningkatan area kekeringan 1% dapat menurunkan pertumbuhan PDB sebesar 2–4%1. Studi lain menegaskan bahwa kurangnya water security menjadi hambatan utama pertumbuhan ekonomi di banyak negara berkembang.

2. Kesenjangan Investasi Infrastruktur Air

Untuk mencapai akses universal air minum dan sanitasi pada 2030, dibutuhkan investasi sekitar $114 miliar per tahun—tiga kali lipat dari tingkat investasi saat ini (Hutton & Varughese, 2016)1. Di Afrika Sub-Sahara, hanya 30% rumah tangga pedesaan yang membayar air, menyebabkan sistem air yang tidak andal dan kekurangan dana pemeliharaan.

3. Over- dan Underinvestment: Dilema Infrastruktur

  • Overinvestment: Proyek bendungan besar seringkali meremehkan biaya (inflasi, utang, dampak sosial-lingkungan) dan melebihkan manfaat, memicu kontroversi dan konflik1.
  • Underinvestment: Negara-negara berpenghasilan rendah cenderung kekurangan infrastruktur dasar, terutama di daerah pedesaan yang terpencil.

4. Misalokasi Air dan Efek Ekonomi

Sekitar 30% konsumsi air manusia berasal dari sumber yang tidak berkelanjutan. Di banyak basin besar seperti Colorado, Yellow, dan Murray-Darling, aliran air ke laut menurun drastis akibat ekstraksi berlebihan dan kegagalan mendefinisikan batas kumulatif pengambilan air1. Di Kansas, deplesi air tanah menyebabkan kerugian kekayaan sekitar $110 juta per tahun (1996–2005).

5. Risiko Air dan Kerugian Ekonomi

  • Kerugian akibat kekurangan air dan sanitasi: $260 miliar per tahun, terutama di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara.
  • Kerugian akibat banjir: $120 miliar per tahun, dengan proyeksi kerugian meningkat 4 kali lipat tanpa adaptasi.
  • Manfaat peningkatan keandalan air irigasi: $94 miliar pada 20101.

Analisis Kritis: Penyebab Ekonomi Water Insecurity

1. Kegagalan Pasar dan Institusi

  • Eksternalitas: Polusi dan ekstraksi air menimbulkan dampak negatif yang tidak sepenuhnya ditanggung pelaku.
  • Masalah insentif: Sulitnya mengecualikan pengguna baru dan rivalitas penggunaan air menyebabkan overuse dan konflik.
  • Free-rider: Konservasi ekosistem air seringkali kurang didanai karena manfaatnya bersifat publik.

2. Keterbatasan Hak Kepemilikan dan Koordinasi

  • Hak air yang tidak jelas: Sulit mendefinisikan dan menegakkan hak atas air, terutama di basin lintas negara atau wilayah.
  • Koordinasi lintas sektor dan yurisdiksi: Banyak sungai besar melintasi batas negara/provinsi, sehingga butuh mekanisme koordinasi yang efektif.

3. Tantangan Institusional

  • Desentralisasi vs Sentralisasi: Keputusan lokal seringkali tidak memperhitungkan dampak regional/nasional, sementara sentralisasi bisa mengabaikan kebutuhan lokal.
  • Path dependency: Keputusan masa lalu membatasi opsi masa depan, misal investasi besar pada infrastruktur lama yang kini tidak relevan.

Studi Kasus: Praktik dan Tantangan di Dunia Nyata

1. California, AS: Krisis Kekeringan dan Efisiensi Irigasi

Krisis kekeringan 2012–2016 di California menyebabkan kerugian ekonomi hampir $4 miliar di sektor pertanian. Respons kebijakan seperti pembatasan konsumsi, insentif efisiensi irigasi, dan pengembangan pasar air baru mulai dievaluasi efektivitasnya, namun tantangan jangka panjang tetap besar1.

2. Afrika Sub-Sahara: Kesenjangan Infrastruktur dan Pembiayaan

Hanya 30% rumah tangga pedesaan di 19 negara Afrika yang membayar air, menyebabkan sistem air yang tidak andal dan kekurangan dana pemeliharaan. Upaya donor internasional dan inovasi model bisnis (misal, pembayaran berbasis hasil) mulai diuji untuk meningkatkan keberlanjutan layanan air1.

3. Bendungan Besar: Antara Manfaat dan Kontroversi

Proyek bendungan raksasa seperti Grand Ethiopian Renaissance Dam di Sungai Nil memicu ketegangan lintas negara akibat dampak hilir yang tidak sepenuhnya diperhitungkan. Analisis biaya-manfaat seringkali gagal mengakomodasi dampak sosial-lingkungan dan ketidakpastian jangka panjang1.

Kerangka Ekonomi untuk Water Security: Efisiensi, Risiko, dan Keadilan

1. Pendekatan Cost Minimization vs Net Benefit Maximization

  • Minimasi biaya: Fokus pada pencapaian target risiko air dengan biaya serendah mungkin.
  • Maksimasi manfaat bersih: Menilai seluruh manfaat dan biaya, termasuk aspek publik dan privat air, serta eksternalitas.

2. Integrated Water Resources Management (IWRM)

IWRM menekankan pengelolaan terkoordinasi air, lahan, dan sumber daya terkait untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan sosial secara adil tanpa mengorbankan ekosistem. Namun, implementasinya seringkali sulit karena kompleksitas pengukuran manfaat dan biaya, serta keterbatasan institusi1.

Institusi dan Hak Air: Kunci Tata Kelola Efektif

1. Desain Hak Air

  • Multidimensional: Hak air harus mencakup akses, pengambilan, pengelolaan, dan transfer.
  • Keseimbangan individu dan kolektif: Di Australia dan Chile, hak air individu diatur oleh regulasi publik dan hak kolektif (misal, distrik irigasi).

2. Polycentric Institutions

Institusi polisentris (multi-level) yang melibatkan pemerintah, pasar, dan komunitas lokal terbukti lebih adaptif dalam mengelola water security. Koordinasi formal dan informal diperlukan untuk monitoring, pembiayaan, dan resolusi konflik1.

3. Reformasi Institusi

Reformasi hak air dan tata kelola seringkali menghadapi resistensi politik dan biaya transaksi tinggi. Pendekatan bertahap (incremental) seperti perbaikan operasi infrastruktur dan insentif konservasi lebih mudah diterima, meski dampak sistemiknya terbatas.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Nilai Tambah Paper

  • Originalitas: Artikel ini menonjol dengan mengintegrasikan perspektif efisiensi, keadilan, dan risiko dalam satu kerangka ekonomi yang komprehensif.
  • Relevansi Industri: Banyak perusahaan dan lembaga keuangan kini menilai risiko air dalam portofolio mereka, sejalan dengan rekomendasi artikel ini.
  • Kritik: Paper ini kurang membahas peran teknologi baru (misal, sensor IoT, AI) dalam monitoring dan optimasi water security, serta minim studi kasus mendalam di negara berkembang.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Studi UN-Water dan World Resources Institute juga menekankan pentingnya tata kelola inklusif dan indikator multi-dimensi dalam mengelola water security.
  • Penelitian lain menyoroti bahwa keberhasilan reformasi hak air sangat dipengaruhi oleh tekanan eksternal (krisis, donor internasional) dan adanya mekanisme monitoring yang transparan.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Praktis

1. Kolaborasi Lintas Sektor dan Level

  • Libatkan semua pemangku kepentingan, dari petani hingga industri dan masyarakat lokal.
  • Bangun mekanisme koordinasi lintas batas dan sektor untuk mengelola risiko bersama.

2. Inovasi Pembiayaan dan Investasi

  • Kembangkan model pembiayaan baru (misal, blended finance, pembayaran berbasis hasil) untuk menutup kesenjangan investasi infrastruktur air.
  • Prioritaskan investasi pada solusi berbasis alam (nature-based solutions) dan teknologi tepat guna.

3. Reformasi Hak Air dan Tata Kelola

  • Perjelas dan perkuat hak air, baik individu maupun kolektif, untuk mendorong efisiensi dan keadilan.
  • Dorong reformasi bertahap yang adaptif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

4. Penguatan Data dan Monitoring

  • Tingkatkan transparansi dan pertukaran data hidrologi untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.
  • Manfaatkan teknologi digital untuk monitoring, prediksi risiko, dan evaluasi kebijakan.

Menuju Water Security yang Efisien, Adil, dan Berkelanjutan

Paper Garrick & Hahn (2021) menegaskan bahwa tantangan water security tidak bisa diselesaikan dengan satu solusi tunggal. Diperlukan kombinasi kebijakan efisiensi ekonomi, keadilan distribusi, dan manajemen risiko yang adaptif. Institusi yang kuat, hak air yang jelas, dan inovasi pembiayaan menjadi kunci keberhasilan. Dengan mengadopsi pendekatan ekonomi yang holistik dan kontekstual, negara dan kota di seluruh dunia dapat memperkuat ketahanan air dan mengurangi risiko krisis di masa depan.

Sumber Artikel

Dustin E. Garrick & Robert W. Hahn. An Economic Perspective on Water Security. Review of Environmental Economics and Policy, volume 15, number 1, winter 2021.

Selengkapnya
Perspektif Ekonomi atas Water Security di Era Krisis Iklim

Hubungan Internasional

Menakar Risiko Lingkungan dan Sosial Investasi Tiongkok di Indonesia Era BRI

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Investasi Tiongkok, BRI, dan Tantangan Baru bagi Indonesia

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menjadi salah satu tujuan utama investasi Tiongkok, terutama sejak peluncuran Belt and Road Initiative (BRI). Fenomena ini membawa peluang ekonomi besar, namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait risiko lingkungan dan sosial, khususnya di sektor-sektor sensitif seperti industri logam, infrastruktur, dan energi. Paper “China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Mapping and Mitigating Environmental and Social Risks” karya Albertus Hadi Pramono dkk. (2022) membedah secara komprehensif bagaimana gelombang investasi Tiongkok—dengan karakter unik dan tata kelola berbasis “country systems”—berdampak pada ekosistem, keanekaragaman hayati, serta komunitas adat di Indonesia.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana investasi lintas negara semakin dipertanyakan keberlanjutan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Dengan pendekatan berbasis data spasial, studi kasus, dan analisis multi-dimensi, paper ini menawarkan pelajaran penting bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat sipil.

Latar Belakang: Lonjakan Investasi Tiongkok dan Pola Unik di Indonesia

Fakta dan Angka Kunci

  • Pertumbuhan pesat: Investasi Tiongkok (termasuk Hong Kong) di Indonesia melonjak dari 175 proyek FDI senilai $740 juta (2010) menjadi 5.816 proyek dengan nilai $8,4 miliar (2020).
  • Dominasi sektor sensitif: Lebih dari 50% investasi Tiongkok terkonsentrasi di industri logam (38%), listrik/gas/air (18%), dan transportasi (13%). Bandingkan dengan investor lain yang lebih tersebar di sektor pertambangan (12%) dan properti (10%).
  • Pola geografis berbeda: 14% investasi Tiongkok masuk ke Maluku Utara dan 16% ke Sulawesi Tenggara—wilayah yang hanya menerima 1% investasi dari negara lain.
  • Pendekatan “country systems”: Pengawasan lingkungan dan sosial sepenuhnya diserahkan pada pemerintah Indonesia, bukan standar Tiongkok atau internasional.

Implikasi

Konsentrasi investasi di sektor dan wilayah sensitif membuat Indonesia menghadapi tantangan baru dalam tata kelola lingkungan dan perlindungan sosial, terutama di kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi dan komunitas adat yang rentan.

Analisis Spasial dan Indikator Multi-Dimensi

Penulis memetakan 14 klaster proyek FDI Tiongkok terkait BRI di Indonesia, meliputi:

  • Jalan tol dan kereta cepat
  • Pembangkit listrik tenaga batu bara
  • Bendungan (PLTA dan irigasi)
  • Kawasan industri (smelter nikel, bauksit, semen, ekonomi khusus)

Lima parameter lingkungan utama dianalisis:

  1. Vegetasi (NDVI)
  2. Kepadatan karbon
  3. Kedekatan dengan hutan primer
  4. Kepadatan spesies terancam
  5. Polusi udara (NO2)

Dampak sosial diukur melalui overlay spasial dengan wilayah adat dan komunitas lokal, serta identifikasi risiko kesehatan, kehilangan jasa ekosistem, dan potensi penggusuran.

Temuan Utama: Risiko Lingkungan dan Sosial di 14 Klaster Proyek

1. Penurunan Vegetasi dan Stok Karbon

  • Rata-rata NDVI turun dari 0,538 (2009–2011) menjadi 0,388 (2020–2022), artinya terjadi penurunan tutupan vegetasi sebesar 27,88% di seluruh proyek.
  • Kasus ekstrem: Obi Industrial Area, SDIC Papua Cement, dan Morowali Industrial Park mengalami penurunan NDVI 41–85% sejak 2010.
  • Stok karbon: Rata-rata 605 MgC/ha sebelum konstruksi, dengan PLTA dan kawasan industri berada di area karbon tinggi (473–1236 MgC/ha).

2. Polusi Udara

  • NO2 tertinggi ditemukan di PLTU Paiton Unit 9 (7,41×10¹⁵ molec/cm²) dan Morowali Industrial Park (3,43×10¹⁵ molec/cm²).
  • Dampak meluas: Polusi NO2 di Paiton menyebar hingga 20 km, memengaruhi kota Besuki (populasi 34.000) dengan level lebih tinggi dibanding area lain.

3. Ancaman terhadap Hutan Primer dan Keanekaragaman Hayati

  • Lebih dari 50% proyek berada dalam radius 5 km dari hutan primer.
  • Proyek berisiko tinggi: Batang Toru dan Kayan Hydro Plant berdekatan dengan hutan primer dan area karbon tinggi.
  • Spesies terancam: Jakarta-Bandung Railway, Likupang Economic Zones, dan PLTU Celukan Bawang memiliki skor tertinggi pada indeks kepadatan spesies terancam, termasuk orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, dan burung rangkong.

4. Risiko terhadap Komunitas Adat

  • 11 dari 14 klaster berdampak pada komunitas adat, terutama di Ketapang (Dayak), Morowali (Bahomotefe), dan Obi (Obi people).
  • Risiko utama: Polusi udara/air, kehilangan hutan dan sumber penghidupan, serta penggusuran akibat pembangunan bendungan (misal, Rendu di Nagekeo, Flores).
  • Kasus nyata: Konflik pembangunan Waduk Lambo di Flores memicu penolakan masyarakat Rendu karena lahan pertanian dan situs budaya terancam tergenang.

Studi Kasus: Dampak Nyata di Lapangan

A. Obi Industrial Area (Maluku Utara)

  • Fokus: Smelter nikel, baja tahan karat, baterai mobil listrik.
  • Dampak: Penurunan vegetasi hingga 85%, polusi air dan udara, serta ancaman penggusuran bagi masyarakat Obi.
  • Risiko biodiversitas: Habitat burung rangkong dan kupu-kupu endemik terancam.

B. Morowali Industrial Park (Sulawesi Tengah)

  • Fokus: Smelter nikel, baja, baterai.
  • Dampak: Penurunan NDVI 41%, polusi NO2 tinggi, tumpang tindih dengan wilayah adat Bahomotefe (45.000 ha).
  • Risiko sosial: Kehilangan hutan, sumber air, dan potensi penggusuran.

C. PLTU Paiton Unit 9 (Jawa Timur)

  • Fokus: Pembangkit listrik batu bara 4,7 GW.
  • Dampak: Polusi NO2 tertinggi, menyebar hingga 20 km, berdampak pada puluhan ribu penduduk sekitar.

D. Waduk Lambo (Flores, NTT)

  • Fokus: Bendungan irigasi.
  • Dampak: Potensi penggusuran lahan pertanian dan situs budaya Rendu, penolakan masyarakat lokal, konflik dengan aparat.

Analisis Kritis: Tantangan Tata Kelola dan Implikasi Kebijakan

1. Kelemahan Tata Kelola “Country Systems”

  • Ketergantungan pada kapasitas pemerintah Indonesia: Standar lingkungan dan sosial sangat bergantung pada political will dan kapasitas institusi nasional.
  • Risiko di negara dengan tata kelola lemah: Potensi pelanggaran HAM, degradasi lingkungan, dan konflik sosial meningkat.

2. Omnibus Law dan Dilema Regulasi

  • Omnibus Law (UU Cipta Kerja): Mempermudah perizinan investasi, namun melemahkan proses Amdal dan partisipasi masyarakat.
  • Dampak: Potensi percepatan penggusuran, penurunan perlindungan lingkungan, dan marginalisasi komunitas adat.

3. Peran Komunitas Adat dan Kelembagaan Lokal

  • Minim peta wilayah adat: Banyak komunitas belum memiliki pengakuan formal, sehingga rentan kehilangan lahan.
  • Keterlibatan perempuan: Kasus Waduk Lambo menunjukkan perempuan memimpin aksi kolektif menolak penggusuran.

4. Tren Global dan Komitmen Tiongkok

  • Guidelines “Green BRI”: Tiongkok mulai mendorong pendekatan “whole lifecycle” dalam pengelolaan lingkungan, termasuk komitmen menghentikan pendanaan PLTU batu bara di luar negeri.
  • Tantangan: Proyek energi terbarukan (PLTA) pun tetap berisiko tinggi jika tidak dikelola dengan baik.

Perbandingan dengan Studi Lain dan Industri

  • Studi Ray et al. (2017), Hughes (2019), Ng et al. (2020): Menegaskan bahwa investasi BRI cenderung berisiko tinggi di negara dengan tata kelola lemah dan keanekaragaman hayati tinggi.
  • Tren ESG dan disclosure: Investor global mulai menuntut transparansi risiko lingkungan (Nature-related Financial Disclosure) sebagai syarat pendanaan.
  • Industri nikel dan baterai: Permintaan global untuk kendaraan listrik mendorong ekspansi smelter nikel di Indonesia, namun tanpa mitigasi risiko, justru berpotensi menciptakan “green paradox”—energi bersih di satu sisi, kerusakan lingkungan di sisi lain.

Rekomendasi Kebijakan dan Praktik Terbaik

1. Penguatan Regulasi dan Pengawasan

  • Reformulasi Amdal: Kembalikan fungsi Amdal sebagai syarat utama, bukan formalitas.
  • Transparansi data: Wajibkan disclosure data lingkungan dan sosial secara berkala.

2. Perlindungan Komunitas Adat

  • Pemetaan wilayah adat: Percepat pengakuan dan perlindungan hak tanah adat.
  • Partisipasi bermakna: Libatkan komunitas lokal dalam seluruh tahapan proyek, dari perencanaan hingga monitoring.

3. Inovasi Tata Kelola dan Investasi

  • Pendekatan berbasis risiko: Prioritaskan lokasi proyek di area dengan risiko lingkungan dan sosial rendah.
  • Insentif investasi hijau: Dorong investasi pada sektor dengan dampak positif bagi ekosistem dan masyarakat.

4. Kolaborasi Multi-pihak

  • Sinergi pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil: Bangun mekanisme pengawasan bersama, termasuk monitoring independen.
  • Belajar dari praktik global: Adopsi standar internasional (misal, IFC Performance Standards) untuk proyek-proyek besar.

Menuju Investasi Berkelanjutan di Era BRI

Paper ini menegaskan bahwa investasi Tiongkok di Indonesia membawa peluang ekonomi besar, namun juga risiko lingkungan dan sosial yang tidak bisa diabaikan. Dengan konsentrasi di sektor dan wilayah sensitif, serta tata kelola yang masih lemah, Indonesia berisiko kehilangan keanekaragaman hayati, ekosistem penting, dan hak-hak komunitas adat. Namun, dengan reformasi regulasi, penguatan partisipasi masyarakat, dan adopsi standar internasional, Indonesia dapat memaksimalkan manfaat ekonomi sekaligus meminimalkan dampak negatif investasi BRI.

Rekomendasi utama:

  • Perkuat regulasi dan pengawasan lingkungan.
  • Lindungi hak dan partisipasi komunitas adat.
  • Dorong transparansi dan disclosure risiko lingkungan.
  • Sinergikan investasi dengan agenda pembangunan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Albertus Hadi Pramono, Masita Dwi Mandini Manessa, Mochamad Indrawan, Dwi Amalia Sari, Habiburrahman A.H. Fuad, Nurlaely Khasanah, Kartika Pratiwi, Rondang S.E. Siregar, Nurul L. Winarni, Jatna Supriatna, Budi Haryanto, Kevin P. Gallagher, Rebecca Ray, B. Alexander Simmons, Herry Yogaswara. China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Mapping and Mitigating Environmental and Social Risks. GCI Working Paper 021, Boston University Global Development Policy Center, 2022.

Selengkapnya
Menakar Risiko Lingkungan dan Sosial Investasi Tiongkok di Indonesia Era BRI

Sumber Daya Air

Kerjasama Lintas Batas Perairan antara Bangladesh dan India di Cekungan Sungai Gangga: Menjajaki Pendekatan Pembagian Manfaat

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Krisis Air, Diplomasi, dan Pentingnya Paradigma Baru

Isu air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, terutama di kawasan Asia Selatan yang padat penduduk dan rentan perubahan iklim. Sungai Ganges, yang mengalir dari Himalaya melintasi India dan Bangladesh, menjadi sumber kehidupan bagi ratusan juta orang, sekaligus sumber konflik dan potensi kerja sama. Paper karya Sajid Karim ini menawarkan perspektif baru: alih-alih sekadar membagi volume air, kedua negara didorong untuk berbagi manfaat (benefit-sharing) yang lebih luas, mulai dari ekonomi, ekologi, hingga sosial12.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana pendekatan tradisional berbasis kuantitas air semakin tidak memadai menghadapi tekanan populasi, perubahan iklim, dan dinamika politik domestik. Dengan menyoroti studi kasus Ganges dan membandingkannya dengan praktik benefit-sharing di sungai internasional lain, paper ini memberikan kontribusi penting bagi diskursus kebijakan air lintas negara.

Latar Belakang: Mengapa Benefit-sharing Diperlukan?

Tantangan Klasik: Konflik dan Keterbatasan Perjanjian Lama

  • Konflik sejarah: Sejak 1951, India dan Bangladesh (dulu Pakistan Timur) berselisih soal pembangunan Farakka Barrage oleh India, yang mengalihkan air Ganges ke Hooghly demi menyelamatkan pelabuhan Kolkata. Dampaknya, Bangladesh mengalami kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan1.
  • Perjanjian 1996: Ganges Water Sharing Treaty menjadi tonggak penting, namun hanya mengatur pembagian volume air di musim kering, tanpa memperhitungkan aspek ekologi, ekonomi, atau adaptasi perubahan iklim. Perjanjian ini akan berakhir pada 2026, dan negosiasi baru diprediksi semakin rumit akibat tekanan populasi dan politik domestik India12.

Realitas Baru: Tekanan Populasi, Iklim, dan Politik

  • Populasi: Ganges Basin dihuni lebih dari 600 juta jiwa, dengan kepadatan 400 orang/km². Proyeksi 2025: 720 juta jiwa1.
  • Ketersediaan air: Di India, ketersediaan air per kapita turun dari 1.545 m³/tahun (2011) menjadi 1.235 m³/tahun (proyeksi 2050), di bawah ambang “water stress” 1.700 m³/tahun1.
  • Iklim: 80% debit Ganges terjadi saat monsun (Juni–Oktober), menyebabkan banjir, sementara musim kemarau (November–Mei) terjadi kekeringan. Perubahan iklim memperparah variabilitas ini, dengan prediksi kenaikan suhu dan perubahan curah hujan 10–25% per tahun1.
  • Politik domestik India: Konflik antarnegara bagian (misal Bihar vs West Bengal soal Farakka) membuat pemerintah pusat India sulit mengambil keputusan strategis tanpa konsensus lokal. Contoh: kegagalan perjanjian Teesta karena veto West Bengal1.

Konsep Benefit-sharing: Dari Bagi Air ke Bagi Manfaat

Definisi dan Kerangka Analisis

Benefit-sharing adalah proses berbagi manfaat ekonomi, ekologi, sosial, dan politik yang dihasilkan dari pengelolaan sungai bersama, bukan sekadar membagi volume air12. Sadoff & Grey (2002) membagi manfaat menjadi empat tipe:

  1. Manfaat untuk sungai: Perlindungan ekosistem, kualitas air, dan keanekaragaman hayati.
  2. Manfaat dari sungai: Ekonomi (irigasi, energi, transportasi), sosial, dan pertanian.
  3. Manfaat karena sungai: Pengurangan biaya konflik, peningkatan stabilitas politik.
  4. Manfaat di luar sungai: Integrasi ekonomi regional, perdamaian, dan pembangunan lintas sektor1.

Studi Kasus: Ganges Basin dan Potensi Benefit-sharing

1. Navigasi dan Transportasi Air

  • Sejarah: Jaringan sungai Ganges dan anak sungainya sejak abad ke-4 SM menjadi jalur perdagangan utama. Namun, sejak 1947, transportasi air lintas batas menurun drastis1.
  • Data: Bangladesh kehilangan 15.600 km jalur air dalam beberapa dekade terakhir, kini hanya 5.968 km yang bisa dilayari saat monsun, dan 3.865 km di musim kemarau. India punya 14.500 km jalur air, tapi hanya 20 juta ton kargo/tahun yang diangkut lewat sungai, jauh di bawah potensi1.
  • Peluang benefit-sharing:
    • India dapat akses murah ke provinsi timur laut melalui jalur air Bangladesh.
    • Bangladesh mendapat pemasukan transit, peningkatan debit air, dan pengurangan emisi karbon.
    • Nepal, negara tanpa laut, bisa ekspor-impor lewat jalur air ini, menghemat biaya logistik hingga 10 kali lipat dibanding jalan darat1.

2. Proyek Bendungan Multipurpose

  • Masalah: 80% debit Ganges terjadi saat monsun, menyebabkan banjir, sementara musim kemarau kekeringan. Penyimpanan air di bendungan bisa menyeimbangkan distribusi air sepanjang tahun1.
  • Data:
    • Nepal punya 28 lokasi potensial bendungan, 9 di antaranya berkapasitas total 110 miliar m³.
    • Potensi listrik air di Nepal: 40.000 MW, baru 1.127 MW yang terealisasi (kurang dari 3%). Nilai ekonomi: US$5 miliar/tahun, setara 17% PDB Nepal1.
    • Proyeksi: Bendungan di Nepal bisa meningkatkan debit Ganges di musim kemarau hingga 2–3 kali lipat, mendukung irigasi, transportasi, dan ekosistem di Bangladesh dan India13.
  • Benefit-sharing:
    • Nepal dapat pemasukan dari penjualan listrik dan air.
    • India dan Bangladesh dapat air tambahan di musim kemarau, mengurangi konflik dan mendukung pertanian serta transportasi13.

3. Pengelolaan Bersama Sundarbans

  • Fakta: Sundarbans, hutan mangrove terbesar dunia (10.000 km²), 60% di Bangladesh, 40% di India. Menopang 15 juta jiwa, menjadi benteng alami dari badai dan banjir1.
  • Ancaman: Penurunan debit Ganges di musim kemarau meningkatkan intrusi salinitas, mengancam ekosistem dan ekonomi lokal. Perubahan iklim dan kenaikan muka air laut memperparah risiko1.
  • Benefit-sharing:
    • Pengelolaan bersama memungkinkan transfer air segar dari Bangladesh ke India melalui Sungai Ichamoti.
    • Kolaborasi dalam mitigasi bencana, konservasi, dan adaptasi iklim, serta pemenuhan komitmen internasional (UNESCO, RAMSAR, CBD)1.

Bagaimana Mewujudkan Benefit-sharing? Rekomendasi Kebijakan

1. Perubahan Paradigma dan Kebijakan

  • Dari bagi air ke bagi manfaat: Negosiasi tidak lagi fokus pada volume air, tapi pada manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang bisa dioptimalkan bersama12.
  • Pertukaran data dan studi bersama: Transparansi data hidrologi dan proyek sangat penting. Saat ini, India masih membatasi akses data, menghambat kepercayaan dan perencanaan bersama1.
  • Harmonisasi kebijakan nasional: Kebijakan air nasional harus mengadopsi perspektif lintas batas dan integrasi sektor (IWRM), bukan sekadar prioritas domestik1.

2. Penguatan Kelembagaan

  • Joint River Commission (JRC): Perlu diperkuat dengan mandat lebih luas, melibatkan aktor non-negara (akademisi, LSM, masyarakat lokal), dan diperluas ke Nepal untuk pengelolaan bendungan1.
  • Platform sub-regional: Inisiatif BBIN (Bangladesh, Bhutan, India, Nepal) bisa menjadi forum efektif untuk proyek lintas negara, khususnya bendungan dan transportasi air1.

3. Keterlibatan Pihak Ketiga dan Diplomasi Multi-level

  • Peran pihak ketiga: Donor internasional, lembaga keuangan, dan organisasi regional dapat memfasilitasi investasi, transfer teknologi, dan mediasi konflik14.
  • Diplomasi track-II dan track-III: Dialog informal antara akademisi, LSM, dan masyarakat sipil penting untuk membangun kepercayaan dan mengidentifikasi solusi inovatif1.

4. Mekanisme Resolusi Konflik

  • Pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa: Perjanjian masa depan harus memuat prosedur penyelesaian konflik yang jelas, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya yang tidak memiliki mekanisme ini1.

Studi Banding: Praktik Benefit-sharing di Sungai Internasional Lain

  • Senegal River Basin: Empat negara Afrika membangun dua bendungan bersama, berbagi listrik, air irigasi, dan transportasi. Hasil: peningkatan ekonomi, pengurangan konflik, dan pembangunan infrastruktur bersama1.
  • Columbia River Basin: Kanada dan AS membangun empat bendungan, berbagi manfaat listrik dan pengendalian banjir. Kanada mendapat kompensasi ekonomi, AS mendapat keamanan pasokan listrik dan pengendalian banjir1.
  • Orange-Senqu River Basin: Lesotho dan Afrika Selatan berbagi air dan listrik dari proyek bendungan, menciptakan win-win solution1.
  • Mekong River Basin: Enam negara Asia Tenggara berbagi manfaat irigasi, listrik, transportasi, dan perdagangan, meski tantangan politik tetap ada154.

Tantangan dan Keterbatasan Pendekatan Benefit-sharing

  • Proses negosiasi panjang: Identifikasi manfaat dan pembagian biaya/manfaat sering memakan waktu puluhan tahun, seperti di Columbia dan Orange-Senqu1.
  • Risiko overemphasis pada ekonomi: Proyek besar seperti bendungan bisa berdampak negatif pada lingkungan dan masyarakat lokal jika EIA/SIA diabaikan1.
  • Keterlibatan lokal: Seringkali masyarakat terdampak tidak dilibatkan dalam negosiasi, padahal mereka yang paling merasakan dampak langsung1.
  • Konteks politik: Keberhasilan sangat tergantung pada stabilitas politik dan kemauan pemerintah untuk berbagi kedaulatan dan manfaat1.

Analisis Kritis dan Opini

Nilai Tambah Paper

  • Originalitas: Paper ini menonjol karena menggeser fokus dari “bagi air” ke “bagi manfaat”, menawarkan solusi konkret di tengah kebuntuan negosiasi air lintas negara12.
  • Relevansi global: Konsep benefit-sharing semakin diadopsi di banyak sungai internasional, sejalan dengan rekomendasi lembaga seperti IUCN dan World Bank534.
  • Kritik: Paper ini kurang membahas strategi kuantifikasi manfaat secara praktis dan belum mengeksplorasi peran teknologi baru (misal, sensor IoT, AI) dalam monitoring dan optimasi manfaat. Selain itu, aspek politik domestik dan dinamika kekuasaan di India dan Bangladesh masih menjadi “black box” yang perlu riset lebih lanjut1.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Studi UN-Water dan World Resources Institute juga menekankan pentingnya benefit-sharing dan tata kelola inklusif dalam mengelola air lintas negara54.
  • Kasus Indus (India–Pakistan) dan Nil (Ethiopia–Mesir) menunjukkan bahwa benefit-sharing lebih efektif jika manfaat bersama jelas dan kekuatan politik relatif seimbang. Jika tidak, negosiasi cenderung buntu atau berujung konflik54.

Menuju Kerja Sama Air yang Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa masa depan kerja sama air lintas negara, khususnya di Ganges Basin, sangat bergantung pada kemauan untuk beralih dari paradigma “bagi air” ke “bagi manfaat”. Dengan mengoptimalkan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial, serta memperkuat kelembagaan dan transparansi, Bangladesh, India, dan Nepal dapat menciptakan win-win solution yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim dan dinamika politik123.

Rekomendasi utama:

  • Adopsi benefit-sharing dalam negosiasi perjanjian baru Ganges.
  • Perkuat JRC dan platform sub-regional.
  • Libatkan masyarakat lokal dan pihak ketiga dalam perencanaan dan implementasi.
  • Pastikan mekanisme penyelesaian konflik dan monitoring manfaat berjalan efektif.

Sumber Artikel

Sajid Karim. Transboundary Water Cooperation between Bangladesh and India in the Ganges River Basin: Exploring a Benefit-sharing Approach. Master thesis in Sustainable Development at Uppsala University, No. 2020/63, 48 pp, 30 ECTS/hp.

Selengkapnya
Kerjasama Lintas Batas Perairan antara Bangladesh dan India di Cekungan Sungai Gangga: Menjajaki Pendekatan Pembagian Manfaat
« First Previous page 118 of 1.172 Next Last »