Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Pandemi sebagai Titik Balik Ekonomi Hijau
Denmark menjadikan krisis COVID-19 sebagai momen strategis untuk mempercepat transisi hijau dan digital, sekaligus menguatkan daya tahan ekonomi pasca pandemi. Melalui Recovery and Resilience Plan (RRP) tahun 2021, Denmark merancang skema pembiayaan ambisius: total 11,6 miliar DKK dari UE dan dana nasional, dengan 60% dialokasikan untuk inisiatif hijau dan 25% untuk digitalisasi. Rencana ini bertujuan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 70% pada 2030, menjadikannya salah satu target iklim paling ambisius di dunia.
Pilar Rencana: Tujuh Komponen untuk Pemulihan dan Transformasi
Rencana ini dibagi menjadi tujuh komponen utama, dengan fokus dominan pada sektor-sektor emisi tinggi. Berikut ringkasan kontribusi terhadap target emisi CO2e (2030):
Studi Kasus 1: Reformasi Pajak Karbon Berbasis Dua Fase
Denmark menjalankan Green Tax Reform dalam dua fase:
Fase awal menargetkan pengurangan emisi sebesar 0,5 Mt CO2e. Fase lanjutan diharapkan menciptakan dampak struktural, memperkuat investasi teknologi rendah karbon, dan menjaga daya saing industri lewat skema insentif cerdas seperti window investasi dan penyusutan dipercepat.
Studi Kasus 2: Transisi Hijau Sektor Transportasi
Sektor transportasi menyumbang sekitar 25% dari total emisi Denmark. Komponen ini menargetkan:
Langkah-langkah ini diperkirakan mempercepat transisi kendaraan pribadi, sekaligus mengurangi polusi udara dan kemacetan.
Transformasi Energi: Efisiensi, Panas Hijau, dan CCS
Sektor energi menjadi tulang punggung transisi. RRP Denmark mendukung:
Diproyeksikan kontribusi pengurangan emisi sebesar 0,1 Mt CO2e pada 2030, dengan potensi tambahan dari CCS sebesar 4–9 Mt jika teknologi sepenuhnya diterapkan.
Transformasi Pertanian dan Lingkungan
Sektor pertanian menyumbang sekitar ⅓ emisi nasional. Rencana Denmark meliputi:
Potensi teknis pengurangan emisi dari sektor ini mencapai 2 Mt CO2e.
Riset dan Inovasi Hijau: Empat Misi Utama
Denmark berinvestasi 1,8 miliar DKK dalam riset hijau, dengan empat fokus:
Hasilnya diproyeksikan menurunkan emisi antara 8,7–16,7 Mt CO2e pada 2030.
Digitalisasi dan Ekspor Teknologi
Sebagai pemimpin digital global menurut PBB, Denmark memperkuat infrastruktur dan strategi digital:
Digitalisasi dianggap katalis penting dalam efisiensi energi, transportasi, hingga layanan publik.
Komitmen Sosial dan Kesehatan
Denmark menyisihkan 244 juta DKK untuk memperkuat sistem kesehatan nasional melalui:
Langkah ini menegaskan bahwa transisi hijau tidak mengorbankan keadilan sosial dan kesehatan publik.
Dampak Makroekonomi dan Sosial
Menurut proyeksi pemerintah:
Dengan demikian, RRP Denmark membuktikan bahwa transisi hijau dan pemulihan ekonomi dapat berjalan seiring.
Analisis Tambahan: Inspirasi Global untuk Ekonomi Hijau
Pendekatan Denmark relevan bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Pengalaman Denmark menunjukkan bahwa reformasi fiskal progresif, riset berbasis misi, dan kemitraan multisektor bisa menciptakan pertumbuhan hijau yang inklusif dan berkelanjutan.
Namun, keberhasilan ini juga menuntut:
Kesimpulan: Investasi Hijau Jadi Pilar Pemulihan dan Ketahanan
Denmark memposisikan transisi hijau bukan sekadar respons terhadap krisis, tetapi strategi jangka panjang menuju ekonomi yang tangguh dan berkelanjutan. Rencana ini menunjukkan sinergi antara kebijakan fiskal, insentif ekonomi, teknologi digital, dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau dan adil.
Sumber : Ministry of Finance, Denmark. (2021). Denmark's Recovery and Resilience Plan – Accelerating the Green Transition. April 2021.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Krisis Air dan Urgensi Kebijakan Adaptasi
Krisis air kini menjadi persoalan global yang mendesak. Tidak hanya negara berkembang, bahkan negara maju seperti Amerika Serikat pun menghadapi tantangan ketersediaan air bersih akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan. Artikel karya Quandt dkk. ini mengupas secara mendalam bagaimana kebijakan publik di tiga wilayah berbeda—California (AS), Cape Town (Afrika Selatan), dan Bangladesh—merespons krisis air melalui adaptasi kebijakan yang inovatif dan kontekstual.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global: perubahan iklim memicu cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, dan kontaminasi air. Dengan menyoroti studi kasus nyata, artikel ini tidak hanya memberikan gambaran empiris, tetapi juga menawarkan pelajaran penting bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas.
Ikhtisar Isi Artikel
Tiga Dimensi Kelangkaan Air
Penulis membedakan tiga dimensi utama kelangkaan air:
Ketiga aspek ini saling terkait dan diperparah oleh perubahan iklim.
Studi Kasus 1: California, Amerika Serikat
Latar Belakang
California adalah salah satu kawasan pertanian terbesar di dunia, menghasilkan 1/3 sayuran dan 2/3 buah-buahan untuk AS. Namun, 80% konsumsi air di negara bagian ini digunakan untuk pertanian. Di tahun-tahun kering, hingga 60% irigasi mengandalkan air tanah.
Kebijakan Kunci
Quantification Settlement Agreement (QSA) – Imperial County
Sustainable Groundwater Management Act (SGMA) – Kern County
Keberhasilan dan Tantangan
Studi Kasus 2: Cape Town, Afrika Selatan
Latar Belakang
Cape Town, kota pesisir dengan 4,8 juta penduduk, mengalami krisis air akut pada 2015–2018 akibat kekeringan beruntun. Level air di bendungan turun drastis, dan pada puncaknya, konsumsi air harian berhasil ditekan hingga 500 juta liter per hari.
Strategi Kebijakan
Water Conservation and Demand Management
Water Sensitive Urban Design (WSUD)
Intervensi Kritis Saat Krisis
Pelajaran Penting
Studi Kasus 3: Bangladesh
Latar Belakang
Bangladesh menghadapi tantangan unik: air melimpah, tetapi kualitasnya buruk akibat kontaminasi arsenik alami (geogenik). Diperkirakan 220 juta orang (94% di Asia) terpapar arsenik di atas ambang WHO (10 ug/L).
Sejarah Krisis Arsenik
Kebijakan dan Praktik
Dampak Kesehatan dan Ekonomi
Kelebihan dan Kekurangan Artikel
Kelebihan
Kekurangan
Analisis dan Opini: Pelajaran Global dari Tiga Benua
Artikel ini memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan air yang efektif harus:
Keterlibatan masyarakat dan stakeholder menjadi kunci keberhasilan di semua studi kasus. Di Cape Town, kolaborasi lintas sektor dan transparansi kebijakan mempercepat respons krisis. Di Bangladesh, edukasi dan partisipasi masyarakat dalam pengujian sumur menjadi kunci penurunan paparan arsenik.
Solusi mahal seperti desalinasi tidak selalu efektif, sementara inovasi sederhana seperti pengujian sumur murah di Bangladesh terbukti lebih berdampak luas. Hal ini sejalan dengan rekomendasi global, misalnya dari UN-Water, bahwa manajemen air yang adaptif dan berbasis risiko lebih penting daripada sekadar investasi infrastruktur besar.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Artikel ini sangat direkomendasikan untuk pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi yang ingin memahami dinamika water security di era perubahan iklim. Dengan menonjolkan studi kasus nyata, artikel ini membuktikan bahwa tidak ada solusi tunggal untuk krisis air. Setiap wilayah harus mengembangkan strategi adaptasi yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan setempat.
Rekomendasi:
Sumber Artikel
Quandt A, O’Shea B, Oke S, Ololade OO. Policy interventions to address water security impacted by climate change: Adaptation strategies of three case studies across different geographic regions. Frontiers in Water. 2022;4:935422.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Krisis Air Lintas Batas dan Tantangan Global
Isu air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, terutama di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan energi yang terus meningkat. Paper karya Noha Yasser ini membedah secara mendalam bagaimana organisasi internasional—seperti World Bank—berperan dalam mendorong kerja sama atau justru gagal mencegah konflik di sungai-sungai lintas negara, dengan fokus pada dua studi kasus utama: Indus River Basin (India–Pakistan) dan Nile River Basin (Ethiopia–Mesir)1.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana air bukan hanya sumber daya vital, tetapi juga sumber potensi konflik geopolitik. Dengan pendekatan komparatif dan teori hydro-political security complexes, paper ini menawarkan wawasan baru tentang faktor-faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan mediasi internasional dalam sengketa air lintas negara.
Teori Kunci: Hydro-political Security Complexes
Apa Itu Hydro-political Security Complexes?
Teori ini menyoroti bahwa konflik dan kerja sama air lintas negara sangat dipengaruhi oleh:
Teori ini menegaskan bahwa organisasi internasional lebih mudah mencapai kerja sama jika negara-negara yang terlibat memiliki karakter kuat dan manfaat bersama yang jelas. Sebaliknya, jika kekuatan negara berubah-ubah dan manfaat tidak seimbang, potensi konflik meningkat1.
Studi Kasus 1: Indus River Basin (India–Pakistan)
Latar Belakang
Indus River Basin (IRB) melintasi China, Afghanistan, India, dan Pakistan, menjadi sumber kehidupan bagi lebih dari 200 juta orang—61% di antaranya tinggal di Pakistan. Sungai ini sangat vital untuk pertanian, energi, dan ketahanan pangan kedua negara1.
Konflik dan Sejarah
Indus Water Treaty (IWT): Studi Keberhasilan
Angka-angka Penting
Peran World Bank
Faktor Keberhasilan
Tantangan dan Dinamika Baru
Studi Kasus 2: Nile River Basin (Ethiopia–Mesir)
Latar Belakang
Nile River Basin (NRB) melintasi 11 negara Afrika, dengan fokus utama pada konflik antara Ethiopia (hulu) dan Mesir (hilir). Sungai Nil adalah sumber air utama bagi lebih dari 450 juta penduduk, dan lebih dari 90% kebutuhan air Mesir berasal dari Nil1.
Sejarah Konflik
GERD: Sumber Konflik Baru
Upaya Mediasi dan Peran Organisasi Internasional
Faktor Kegagalan
Analisis Perbandingan: Mengapa Satu Kasus Sukses, Lainnya Gagal?
Faktor Penentu Keberhasilan Mediasi
Angka-angka Kunci
Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Nilai Tambah dan Originalitas
Paper ini menonjol karena:
Kritik
Perbandingan dengan Studi Lain
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
1. Tata Kelola Air Inklusif dan Kolaboratif
2. Penyesuaian Alokasi dan Re-alokasi Air
3. Kombinasi Solusi Jangka Pendek dan Panjang
4. Fokus pada Efektivitas, Bukan Sekadar Biaya
Pelajaran Global dari Dua Sungai Besar
Paper ini membuktikan bahwa keberhasilan atau kegagalan organisasi internasional dalam memediasi konflik air lintas negara sangat ditentukan oleh:
Tidak ada solusi tunggal untuk setiap kasus. Setiap sungai, negara, dan masyarakat memiliki dinamika unik yang harus dipahami secara kontekstual. Namun, prinsip kolaborasi, transparansi, dan inovasi tetap menjadi kunci untuk menghindari “water wars” di masa depan.
Sumber Artikel
Noha Yasser. Hydro-political Security Complexes and the Role of International Organizations in Bringing Cooperation or Conflict to Shared Transboundary Rivers. Master thesis in Peace and Conflict Studies, Uppsala University, 2023.
Krisis Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Water Security, Tantangan Global, dan Relevansi Ekonomi
Water security atau ketahanan air kini menjadi isu sentral dalam pembangunan berkelanjutan dan kebijakan publik di seluruh dunia. Di tengah ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan terhadap sumber daya alam, kebutuhan akan air bersih dan aman semakin mendesak. Paper “An Economic Perspective on Water Security” karya Dustin E. Garrick dan Robert W. Hahn (2021) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana pendekatan ekonomi dapat membantu memahami, mengukur, dan mengatasi tantangan water security secara lebih efektif dan adil.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana perusahaan, pemerintah, dan lembaga multilateral seperti World Bank telah mengadopsi visi “A Water-Secure World for All” dengan portofolio investasi sekitar $30 miliar pada 2019, mencakup tiga pilar utama: keberlanjutan sumber daya air, layanan air, dan ketahanan terhadap risiko1. Dengan meningkatnya perhatian terhadap water security, artikel ini menyoroti perlunya pendekatan ekonomi yang tidak hanya menekankan efisiensi, tetapi juga keadilan dan keberlanjutan.
Definisi Water Security: Dari Ketersediaan hingga Risiko
Evolusi Konsep dan Indikator
Water security didefinisikan sebagai “tersedianya air dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk kesehatan, mata pencaharian, ekosistem, dan produksi, disertai tingkat risiko air yang dapat diterima bagi manusia, lingkungan, dan ekonomi” (Grey & Sadoff, 2007)1. Definisi ini menekankan empat isu utama:
Indikator water security sangat beragam, mulai dari akses rumah tangga terhadap air bersih, jejak air (water footprint), hingga risiko banjir dan kekeringan. Namun, upaya mengintegrasikan berbagai indikator ini seringkali menghasilkan “babel indikator” yang membingungkan dan kurang fokus pada tujuan ekonomi seperti efisiensi dan keadilan1.
Perspektif Ekonomi: Efisiensi, Keadilan, dan Risiko
Tiga Pilar Analisis Ekonomi
OECD (2013) menekankan bahwa target risiko air harus dicapai seefisien mungkin, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara konsekuensi ekonomi, sosial, dan lingkungan serta biaya mitigasi1.
Studi Kasus dan Angka-Angka Penting
1. Dampak Water Insecurity pada Pertumbuhan Ekonomi
Penelitian Brown et al. (2011) menunjukkan bahwa di Sub-Sahara Afrika, peningkatan area kekeringan 1% dapat menurunkan pertumbuhan PDB sebesar 2–4%1. Studi lain menegaskan bahwa kurangnya water security menjadi hambatan utama pertumbuhan ekonomi di banyak negara berkembang.
2. Kesenjangan Investasi Infrastruktur Air
Untuk mencapai akses universal air minum dan sanitasi pada 2030, dibutuhkan investasi sekitar $114 miliar per tahun—tiga kali lipat dari tingkat investasi saat ini (Hutton & Varughese, 2016)1. Di Afrika Sub-Sahara, hanya 30% rumah tangga pedesaan yang membayar air, menyebabkan sistem air yang tidak andal dan kekurangan dana pemeliharaan.
3. Over- dan Underinvestment: Dilema Infrastruktur
4. Misalokasi Air dan Efek Ekonomi
Sekitar 30% konsumsi air manusia berasal dari sumber yang tidak berkelanjutan. Di banyak basin besar seperti Colorado, Yellow, dan Murray-Darling, aliran air ke laut menurun drastis akibat ekstraksi berlebihan dan kegagalan mendefinisikan batas kumulatif pengambilan air1. Di Kansas, deplesi air tanah menyebabkan kerugian kekayaan sekitar $110 juta per tahun (1996–2005).
5. Risiko Air dan Kerugian Ekonomi
Analisis Kritis: Penyebab Ekonomi Water Insecurity
1. Kegagalan Pasar dan Institusi
2. Keterbatasan Hak Kepemilikan dan Koordinasi
3. Tantangan Institusional
Studi Kasus: Praktik dan Tantangan di Dunia Nyata
1. California, AS: Krisis Kekeringan dan Efisiensi Irigasi
Krisis kekeringan 2012–2016 di California menyebabkan kerugian ekonomi hampir $4 miliar di sektor pertanian. Respons kebijakan seperti pembatasan konsumsi, insentif efisiensi irigasi, dan pengembangan pasar air baru mulai dievaluasi efektivitasnya, namun tantangan jangka panjang tetap besar1.
2. Afrika Sub-Sahara: Kesenjangan Infrastruktur dan Pembiayaan
Hanya 30% rumah tangga pedesaan di 19 negara Afrika yang membayar air, menyebabkan sistem air yang tidak andal dan kekurangan dana pemeliharaan. Upaya donor internasional dan inovasi model bisnis (misal, pembayaran berbasis hasil) mulai diuji untuk meningkatkan keberlanjutan layanan air1.
3. Bendungan Besar: Antara Manfaat dan Kontroversi
Proyek bendungan raksasa seperti Grand Ethiopian Renaissance Dam di Sungai Nil memicu ketegangan lintas negara akibat dampak hilir yang tidak sepenuhnya diperhitungkan. Analisis biaya-manfaat seringkali gagal mengakomodasi dampak sosial-lingkungan dan ketidakpastian jangka panjang1.
Kerangka Ekonomi untuk Water Security: Efisiensi, Risiko, dan Keadilan
1. Pendekatan Cost Minimization vs Net Benefit Maximization
2. Integrated Water Resources Management (IWRM)
IWRM menekankan pengelolaan terkoordinasi air, lahan, dan sumber daya terkait untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan sosial secara adil tanpa mengorbankan ekosistem. Namun, implementasinya seringkali sulit karena kompleksitas pengukuran manfaat dan biaya, serta keterbatasan institusi1.
Institusi dan Hak Air: Kunci Tata Kelola Efektif
1. Desain Hak Air
2. Polycentric Institutions
Institusi polisentris (multi-level) yang melibatkan pemerintah, pasar, dan komunitas lokal terbukti lebih adaptif dalam mengelola water security. Koordinasi formal dan informal diperlukan untuk monitoring, pembiayaan, dan resolusi konflik1.
3. Reformasi Institusi
Reformasi hak air dan tata kelola seringkali menghadapi resistensi politik dan biaya transaksi tinggi. Pendekatan bertahap (incremental) seperti perbaikan operasi infrastruktur dan insentif konservasi lebih mudah diterima, meski dampak sistemiknya terbatas.
Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Nilai Tambah Paper
Perbandingan dengan Studi Lain
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Praktis
1. Kolaborasi Lintas Sektor dan Level
2. Inovasi Pembiayaan dan Investasi
3. Reformasi Hak Air dan Tata Kelola
4. Penguatan Data dan Monitoring
Menuju Water Security yang Efisien, Adil, dan Berkelanjutan
Paper Garrick & Hahn (2021) menegaskan bahwa tantangan water security tidak bisa diselesaikan dengan satu solusi tunggal. Diperlukan kombinasi kebijakan efisiensi ekonomi, keadilan distribusi, dan manajemen risiko yang adaptif. Institusi yang kuat, hak air yang jelas, dan inovasi pembiayaan menjadi kunci keberhasilan. Dengan mengadopsi pendekatan ekonomi yang holistik dan kontekstual, negara dan kota di seluruh dunia dapat memperkuat ketahanan air dan mengurangi risiko krisis di masa depan.
Sumber Artikel
Dustin E. Garrick & Robert W. Hahn. An Economic Perspective on Water Security. Review of Environmental Economics and Policy, volume 15, number 1, winter 2021.
Hubungan Internasional
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Investasi Tiongkok, BRI, dan Tantangan Baru bagi Indonesia
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menjadi salah satu tujuan utama investasi Tiongkok, terutama sejak peluncuran Belt and Road Initiative (BRI). Fenomena ini membawa peluang ekonomi besar, namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait risiko lingkungan dan sosial, khususnya di sektor-sektor sensitif seperti industri logam, infrastruktur, dan energi. Paper “China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Mapping and Mitigating Environmental and Social Risks” karya Albertus Hadi Pramono dkk. (2022) membedah secara komprehensif bagaimana gelombang investasi Tiongkok—dengan karakter unik dan tata kelola berbasis “country systems”—berdampak pada ekosistem, keanekaragaman hayati, serta komunitas adat di Indonesia.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana investasi lintas negara semakin dipertanyakan keberlanjutan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Dengan pendekatan berbasis data spasial, studi kasus, dan analisis multi-dimensi, paper ini menawarkan pelajaran penting bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat sipil.
Latar Belakang: Lonjakan Investasi Tiongkok dan Pola Unik di Indonesia
Fakta dan Angka Kunci
Implikasi
Konsentrasi investasi di sektor dan wilayah sensitif membuat Indonesia menghadapi tantangan baru dalam tata kelola lingkungan dan perlindungan sosial, terutama di kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi dan komunitas adat yang rentan.
Analisis Spasial dan Indikator Multi-Dimensi
Penulis memetakan 14 klaster proyek FDI Tiongkok terkait BRI di Indonesia, meliputi:
Lima parameter lingkungan utama dianalisis:
Dampak sosial diukur melalui overlay spasial dengan wilayah adat dan komunitas lokal, serta identifikasi risiko kesehatan, kehilangan jasa ekosistem, dan potensi penggusuran.
Temuan Utama: Risiko Lingkungan dan Sosial di 14 Klaster Proyek
1. Penurunan Vegetasi dan Stok Karbon
2. Polusi Udara
3. Ancaman terhadap Hutan Primer dan Keanekaragaman Hayati
4. Risiko terhadap Komunitas Adat
Studi Kasus: Dampak Nyata di Lapangan
A. Obi Industrial Area (Maluku Utara)
B. Morowali Industrial Park (Sulawesi Tengah)
C. PLTU Paiton Unit 9 (Jawa Timur)
D. Waduk Lambo (Flores, NTT)
Analisis Kritis: Tantangan Tata Kelola dan Implikasi Kebijakan
1. Kelemahan Tata Kelola “Country Systems”
2. Omnibus Law dan Dilema Regulasi
3. Peran Komunitas Adat dan Kelembagaan Lokal
4. Tren Global dan Komitmen Tiongkok
Perbandingan dengan Studi Lain dan Industri
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik Terbaik
1. Penguatan Regulasi dan Pengawasan
2. Perlindungan Komunitas Adat
3. Inovasi Tata Kelola dan Investasi
4. Kolaborasi Multi-pihak
Menuju Investasi Berkelanjutan di Era BRI
Paper ini menegaskan bahwa investasi Tiongkok di Indonesia membawa peluang ekonomi besar, namun juga risiko lingkungan dan sosial yang tidak bisa diabaikan. Dengan konsentrasi di sektor dan wilayah sensitif, serta tata kelola yang masih lemah, Indonesia berisiko kehilangan keanekaragaman hayati, ekosistem penting, dan hak-hak komunitas adat. Namun, dengan reformasi regulasi, penguatan partisipasi masyarakat, dan adopsi standar internasional, Indonesia dapat memaksimalkan manfaat ekonomi sekaligus meminimalkan dampak negatif investasi BRI.
Rekomendasi utama:
Sumber Artikel
Albertus Hadi Pramono, Masita Dwi Mandini Manessa, Mochamad Indrawan, Dwi Amalia Sari, Habiburrahman A.H. Fuad, Nurlaely Khasanah, Kartika Pratiwi, Rondang S.E. Siregar, Nurul L. Winarni, Jatna Supriatna, Budi Haryanto, Kevin P. Gallagher, Rebecca Ray, B. Alexander Simmons, Herry Yogaswara. China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Mapping and Mitigating Environmental and Social Risks. GCI Working Paper 021, Boston University Global Development Policy Center, 2022.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Krisis Air, Diplomasi, dan Pentingnya Paradigma Baru
Isu air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, terutama di kawasan Asia Selatan yang padat penduduk dan rentan perubahan iklim. Sungai Ganges, yang mengalir dari Himalaya melintasi India dan Bangladesh, menjadi sumber kehidupan bagi ratusan juta orang, sekaligus sumber konflik dan potensi kerja sama. Paper karya Sajid Karim ini menawarkan perspektif baru: alih-alih sekadar membagi volume air, kedua negara didorong untuk berbagi manfaat (benefit-sharing) yang lebih luas, mulai dari ekonomi, ekologi, hingga sosial12.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana pendekatan tradisional berbasis kuantitas air semakin tidak memadai menghadapi tekanan populasi, perubahan iklim, dan dinamika politik domestik. Dengan menyoroti studi kasus Ganges dan membandingkannya dengan praktik benefit-sharing di sungai internasional lain, paper ini memberikan kontribusi penting bagi diskursus kebijakan air lintas negara.
Latar Belakang: Mengapa Benefit-sharing Diperlukan?
Tantangan Klasik: Konflik dan Keterbatasan Perjanjian Lama
Realitas Baru: Tekanan Populasi, Iklim, dan Politik
Konsep Benefit-sharing: Dari Bagi Air ke Bagi Manfaat
Definisi dan Kerangka Analisis
Benefit-sharing adalah proses berbagi manfaat ekonomi, ekologi, sosial, dan politik yang dihasilkan dari pengelolaan sungai bersama, bukan sekadar membagi volume air12. Sadoff & Grey (2002) membagi manfaat menjadi empat tipe:
Studi Kasus: Ganges Basin dan Potensi Benefit-sharing
1. Navigasi dan Transportasi Air
2. Proyek Bendungan Multipurpose
3. Pengelolaan Bersama Sundarbans
Bagaimana Mewujudkan Benefit-sharing? Rekomendasi Kebijakan
1. Perubahan Paradigma dan Kebijakan
2. Penguatan Kelembagaan
3. Keterlibatan Pihak Ketiga dan Diplomasi Multi-level
4. Mekanisme Resolusi Konflik
Studi Banding: Praktik Benefit-sharing di Sungai Internasional Lain
Tantangan dan Keterbatasan Pendekatan Benefit-sharing
Analisis Kritis dan Opini
Nilai Tambah Paper
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Menuju Kerja Sama Air yang Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa masa depan kerja sama air lintas negara, khususnya di Ganges Basin, sangat bergantung pada kemauan untuk beralih dari paradigma “bagi air” ke “bagi manfaat”. Dengan mengoptimalkan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial, serta memperkuat kelembagaan dan transparansi, Bangladesh, India, dan Nepal dapat menciptakan win-win solution yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim dan dinamika politik123.
Rekomendasi utama:
Sumber Artikel
Sajid Karim. Transboundary Water Cooperation between Bangladesh and India in the Ganges River Basin: Exploring a Benefit-sharing Approach. Master thesis in Sustainable Development at Uppsala University, No. 2020/63, 48 pp, 30 ECTS/hp.