Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Korupsi dalam proyek infrastruktur adalah masalah global yang merugikan miliaran dolar setiap tahun dan mengancam keselamatan, keadilan sosial, serta keberlanjutan ekonomi. Meskipun berbagai strategi antikorupsi telah diterapkan, satu pendekatan masih belum dioptimalkan sepenuhnya: etika profesi rekayasa (engineering ethics).
Penelitian oleh Ghahari et al. (2024) dalam jurnal Science and Engineering Ethics menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip etika teknik dapat diterapkan secara strategis untuk mengidentifikasi, mencegah, dan mengurangi korupsi pada seluruh fase pengembangan sistem infrastruktur.
Infrastruktur dan Kerentanan terhadap Korupsi
Infrastruktur sipil meliputi jaringan transportasi, pembangkit energi, sistem air dan sanitasi, hingga bangunan publik. Namun di balik kontribusinya terhadap kualitas hidup, sektor ini menyimpan celah besar terhadap korupsi:
Etika Teknik dan Triad Nilai Manusia
Studi ini mengaitkan korupsi dengan “Triad Kelayakan”: moralitas, etika, dan hukum. Ketiganya membentuk sistem nilai yang mendasari standar perilaku profesional. Dalam konteks teknik:
Pelaku korupsi sadar bahwa tindakannya melanggar salah satu atau lebih dari triad tersebut, dan oleh karena itu, pencegahan harus berakar dari pemahaman mendalam terhadap ketiganya.
Titik Rawan Korupsi di Setiap Fase Proyek Infrastruktur
Penelitian ini mengidentifikasi tiga fase paling rentan terhadap korupsi, yaitu:
Contoh kasus: Dalam skandal Odebrecht (Brasil), kontrak diperoleh secara sah namun dengan underbid dan kemudian dinegosiasi ulang, menghasilkan keuntungan $3,3 miliar dari suap sebesar $788 juta.
Etika Teknik sebagai Strategi Mitigasi Korupsi
Kunci utama dari mitigasi korupsi berbasis etika adalah pendekatan deontologis—mengutamakan ketaatan terhadap prinsip, bukan hasil. ASCE (2020) menetapkan bahwa insinyur sipil wajib:
Etika teknik menempatkan tanggung jawab insinyur dalam hierarki berikut:
Strategi Praktis Mitigasi Korupsi
Penelitian ini menawarkan kerangka mitigasi korupsi yang menghubungkan tanggung jawab etis dengan aksi nyata, seperti:
Strategi ini dibagi menjadi tiga cakupan:
Efektivitas Strategi Etika
Beberapa temuan penting dari studi ini:
Rekomendasi Penelitian
Kesimpulan
Korupsi dalam proyek infrastruktur tidak bisa hanya diselesaikan dengan kebijakan hukum atau teknologi pengawasan. Etika profesi teknik sipil adalah fondasi penting dalam strategi mitigasi korupsi yang berkelanjutan. Pendekatan ini menjembatani prinsip moral, standar hukum, dan profesionalisme teknis dalam satu kerangka aksi nyata.
Dengan mengintegrasikan etika dalam seluruh siklus hidup proyek infrastruktur, kita tidak hanya mencegah penyimpangan, tetapi juga meningkatkan kualitas pembangunan, memperkuat kepercayaan publik, dan mendorong transparansi jangka panjang. Dalam dunia di mana infrastruktur adalah tulang punggung ekonomi dan sosial, etika adalah jantung dari pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Sumber asli: Ghahari, S. A., Queiroz, C., Labi, S., & McNeil, S. (2024). The Role of Engineering Ethics in Mitigating Corruption in Infrastructure Systems Delivery. Science and Engineering Ethics, 30(29). https://doi.org/10.1007/s11948-024-00494-0
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Korupsi adalah penyakit sistemik yang melemahkan ekonomi, memperburuk pelayanan publik, dan merusak kepercayaan terhadap lembaga negara maupun swasta. Meski banyak negara mengklaim memiliki komitmen antikorupsi, bukti empiris menunjukkan bahwa tidak semua strategi pencegahan bekerja efektif secara universal.
Laporan berjudul Methods of Preventing Corruption: A Review and Analysis of Select Approaches (Sauvé et al., 2023), yang diterbitkan oleh Public Safety Canada, menyajikan tinjauan komprehensif terhadap metode pencegahan korupsi, dengan fokus pada efektivitas empiris masing-masing pendekatan. Studi ini membagi strategi menjadi empat kategori utama:
Konteks: Kenapa Penanganan Korupsi Mendesak?
Meski Kanada tergolong negara dengan tingkat korupsi rendah menurut Corruption Perception Index (CPI), skornya terus menurun: dari 92 pada tahun 2000 menjadi 74 pada 2021. Tren ini memunculkan kekhawatiran mengenai efektivitas regulasi dan lemahnya sistem perlindungan pelapor (whistleblower) serta akses informasi.
Pendekatan Berbasis Nilai
1. Tone at the Top
Kejujuran harus dimulai dari pucuk pimpinan. Pemimpin yang bersih mendorong budaya organisasi yang menolak korupsi. Studi eksperimen (Boly et al., 2019) menunjukkan bahwa kebijakan antikorupsi lebih efektif saat dijalankan oleh pemimpin yang dianggap berintegritas.
2. Pelatihan Etika
Program pelatihan yang baik tidak hanya memberi teori, tetapi juga simulasi pengambilan keputusan etis. Studi oleh Hauser (2019) dan Kaptein (2015) menunjukkan bahwa pelatihan etika mampu mengurangi kecenderungan membenarkan perilaku korup.
3. Motivasi Intrinsik
Karyawan yang termotivasi secara moral cenderung menolak suap. Studi lintas negara (Cowley & Smith, 2014) menunjukkan korelasi negatif antara motivasi intrinsik dan tingkat korupsi.
4. Budaya Organisasi
Organisasi yang menanamkan nilai transparansi, partisipasi, dan tanggung jawab mampu menekan efek penularan korupsi (Schram et al., 2022). Budaya organisasi juga mampu memengaruhi keputusan moral kolektif.
Pendekatan Berbasis Kepatuhan
1. Insentif Eksternal
Gaji tinggi dianggap bisa mengurangi korupsi, namun studi menunjukkan hasil campuran:
Efektivitasnya sangat bergantung pada konteks negara, kesenjangan sektor publik-swasta, dan struktur insentif.
2. Sanksi dan Hukuman
Sanksi keras efektif jika dikombinasikan dengan:
Pendekatan Manajemen Risiko
1. Audit dan Risk Assessment
2. Due Diligence
Meski sangat dianjurkan oleh lembaga antikorupsi, belum ada bukti empiris yang cukup tentang efektivitasnya.
3. Four-Eyes Principle
Prinsip ini mewajibkan dua orang menyetujui satu keputusan, tapi justru dapat meningkatkan kolusi (Schikora, 2010). Hasil studi menunjukkan prinsip ini tidak efektif jika tidak diikuti struktur kontrol lanjutan.
4. Pengungkapan Aset
Deklarasi aset efektif jika dilakukan secara komprehensif dan terbuka (Djankov et al., 2010). Negara yang menerapkan sistem ini secara serius menunjukkan penurunan korupsi jangka panjang.
5. Rotasi Posisi
Studi eksperimen (Abbink, 2004) menunjukkan bahwa rotasi staf mengurangi transaksi suap hingga 50%. Ini mencegah terbentuknya hubungan jangka panjang yang rentan terhadap korupsi.
6. Rekrutmen Berbasis Merit
Rekrutmen yang adil dan berdasarkan kompetensi memperkuat budaya integritas. Studi oleh Dahlström et al. (2012) dan Rauch & Evans (2000) menegaskan pentingnya meritokrasi dalam menurunkan korupsi birokratis.
Pendekatan Kesadaran dan Partisipasi Publik
1. Kampanye Edukasi Publik
Studi oleh Köbis et al. (2019) menunjukkan bahwa poster antisuap mengurangi insiden korupsi. Namun di tempat dengan korupsi sistemik tinggi, kampanye bisa dianggap tidak relevan (Banerjee et al., 2021).
2. Whistleblowing
Pelindung pelapor korupsi wajib tersedia. Studi di Korea (Suh & Shim, 2020) menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang suportif meningkatkan keinginan untuk melaporkan penyimpangan.
3. Transparansi dan Akses Informasi
Kesimpulan
Studi ini menegaskan bahwa tidak ada solusi tunggal untuk mencegah korupsi. Namun, strategi yang menggabungkan pendekatan nilai, kepatuhan, manajemen risiko, dan partisipasi publik secara simultan terbukti memiliki efek sinergis yang positif.
Organisasi perlu:
Bagi negara seperti Indonesia, studi ini bisa dijadikan referensi penting dalam membangun sistem antikorupsi yang lebih solid dan kontekstual.
Sumber : Sauvé, B., Woodley, J., Jones, N. J., & Akhtari, S. (2023). Methods of Preventing Corruption: A Review and Analysis of Select Approaches. Research Division, Public Safety Canada.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Korupsi dalam industri konstruksi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi ancaman sistemik terhadap pembangunan berkelanjutan. Di Malaysia, sektor konstruksi menyumbang lebih dari 4% PDB nasional dan menjadi penggerak bagi lebih dari 120 sektor lain. Namun, dengan nilai proyek bernilai miliaran ringgit, sektor ini menjadi ladang subur praktik koruptif, terutama dalam proyek-proyek publik.
Penelitian oleh Rumaizah Mohd Nordin et al. (2023) berjudul Examining Corruption Issues in Malaysia Construction Industry: Partaker Perspectives mengeksplorasi tingkat persepsi berbagai pemangku kepentingan (instansi pemerintah, kontraktor, dan konsultan) terhadap korupsi dalam proyek konstruksi. Studi ini juga mengidentifikasi area rawan, penyebab, dampak, serta strategi pencegahan korupsi berdasarkan pendekatan statistik MANOVA.
Latar Belakang: Mengapa Sektor Konstruksi Rentan?
Menurut data Transparency International Malaysia, negara ini kehilangan hingga RM30 miliar per tahun akibat korupsi. Bahkan, sektor konstruksi disebut sebagai yang paling korup di dunia, terutama dalam proyek pekerjaan umum (TI-BPI 2008).
Metodologi Penelitian
Mayoritas responden (59,2%) memiliki pengalaman kerja lebih dari 10 tahun, sehingga validitas data cukup tinggi. Studi ini membandingkan 5 variabel utama di antara tiga kelompok tersebut:
Temuan Penting: Persepsi Berbeda, Masalah Sama
Perbedaan Persepsi Area Rawan Korupsi
Rata-rata skor persepsi area rawan:
Hal ini mendukung asumsi bahwa pejabat publik cenderung menutup-nutupi atau tidak menyadari area risiko karena keterbatasan akses langsung atau adanya konflik kepentingan.
Area Rawan dan Sumber Korupsi di Setiap Fase Proyek
Penelitian mengklasifikasikan peluang korupsi ke dalam 4 fase utama proyek konstruksi:
Sumber korupsi:
Dampak Korupsi pada Proyek Konstruksi
Kenyataan bahwa korupsi mengurangi nilai ekonomi proyek bahkan setelah pembangunan selesai membuat isu ini sangat mendesak, tidak hanya secara etis tapi juga finansial.
Strategi Pencegahan Korupsi
Penelitian mengelompokkan strategi menjadi 4 pilar:
1. Norma Etika
2. Perbaikan Proses
3. Komitmen Pimpinan
4. Penegakan Hukum
Diskusi: Tantangan Menerapkan Strategi Anti-Korupsi
Meskipun strategi telah dirancang, implementasi sering terganjal:
Contoh: meskipun CIDB telah mengeluarkan Kode Etik Kontraktor sejak 2010, pengawasannya lemah dan tidak diikuti oleh sistem reward-punishment yang tegas.
Kesimpulan
Penelitian ini menyoroti satu fakta penting: korupsi dalam konstruksi bersifat sistemik dan lintas pemangku kepentingan. Perbedaan persepsi antara pemerintah, konsultan, dan kontraktor justru mencerminkan betapa rapuhnya fondasi integritas dalam sektor ini.
Solusi tidak bisa hanya top-down, tetapi harus dibarengi dengan perubahan budaya, pembenahan regulasi, dan pemberdayaan masyarakat sipil. Industri konstruksi yang bebas korupsi adalah prasyarat bagi pembangunan berkelanjutan, keamanan publik, dan kepercayaan investor. Maka dari itu, sudah waktunya seluruh pemangku kepentingan memperkuat barisan dan komitmen terhadap integritas.
Sumber : Nordin, R. M., Ahnuar, E. M., Masrom, M. A. N., & Ameer Ali, N. (2023). Examining Corruption Issues in Malaysia Construction Industry: Partaker Perspectives. Planning Malaysia: Journal of the Malaysian Institute of Planners, 21(2), 52–68.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Bangunan runtuh bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan krisis multidimensi yang mencerminkan lemahnya tata kelola proyek konstruksi. Kota Lagos, Nigeria, menjadi salah satu lokasi dengan tingkat keruntuhan bangunan tertinggi di Afrika Barat. Penelitian oleh Adenuga, Osuizugbo, dan Imoesi (2022) secara khusus menyelidiki kontribusi para pemangku kepentingan internal (stakeholder internal) dalam insiden-insiden tersebut.
Dengan metode survei persepsi, studi ini mengungkap faktor-faktor signifikan dari pihak-pihak internal seperti klien, arsitek, insinyur struktur, kontraktor, dan quantity surveyor yang berperan dalam runtuhnya bangunan. Selain mengidentifikasi penyebab utama, studi ini juga menawarkan remedi konkrit dan terukur untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.
Mengapa Stakeholder Internal Penting?
Stakeholder internal adalah pihak yang terlibat langsung dalam proses desain, pembangunan, dan pengawasan proyek, termasuk:
Mereka memiliki kontrol penuh atas keputusan dan sumber daya proyek, dan karena itu, tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan atau kegagalan proyek.
Metodologi Penelitian
Temuan Utama: Faktor Kontribusi Stakeholder Internal
Dari 49 faktor yang dianalisis, 12 faktor memiliki skor rata-rata di atas 4 (sangat signifikan). Berikut adalah 5 faktor tertinggi menurut skor rata-rata (MS):
Studi Kasus: Kegagalan Konstruksi dalam Angka
Studi ini tidak membahas bangunan spesifik, tapi menggambarkan pola sistemik dari:
Siapa Bertanggung Jawab?
Penelitian membagi tanggung jawab pada masing-masing pihak:
Klien:
Arsitek:
Insinyur Struktur:
Kontraktor:
Quantity Surveyor:
Analisis: Masalah Sistemik dan Budaya
Masalahnya tidak hanya teknis, tetapi sistemik dan budaya:
Solusi: Apa yang Bisa Dilakukan?
Penelitian ini juga menyajikan 26 solusi utama. Berikut adalah 5 solusi dengan skor rata-rata tertinggi:
Rekomendasi Tambahan
Kesimpulan
Bangunan tidak runtuh begitu saja. Di balik setiap insiden, ada kelalaian kolektif dari pihak-pihak internal. Penelitian ini memperlihatkan bahwa stakeholder internal—klien, konsultan, kontraktor, hingga quantity surveyor—memiliki kontribusi nyata terhadap maraknya insiden bangunan runtuh di Lagos. Bukan hanya karena keterbatasan teknis, tapi juga karena kurangnya komitmen terhadap etika, standar profesional, dan tanggung jawab jangka panjang.
Namun harapan tetap ada. Dengan kombinasi reformasi struktural, edukasi publik, serta penegakan standar profesional, tragedi bisa dicegah dan kepercayaan masyarakat pada industri konstruksi bisa dipulihkan. Penelitian ini tidak hanya relevan untuk Nigeria, tetapi juga bagi negara-negara berkembang lain yang menghadapi persoalan serupa.
Sumber asli:
Adenuga, O. A., Osuizugbo, I. C., & Imoesi, I. B. (2022). Internal Stakeholders’ Contribution to Building Collapse in Lagos State, Nigeria: A Perceptual Survey. Civil and Sustainable Urban Engineering, 2(2), 67–81. https://doi.org/10.53623/csue.v2i2.118
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Dalam dunia konstruksi, terutama sektor usaha kecil-menengah (SME), retensi karyawan menjadi isu krusial. Banyak tenaga kerja, terutama generasi muda seperti Generasi Z dan Milenial, cenderung berpindah kerja demi keseimbangan hidup, transparansi, dan lingkungan kerja yang adaptif.
Penelitian oleh Norawit Sang-rit dan Bhumiphat Gilitwala (2024) berjudul The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon meneliti faktor-faktor yang memengaruhi retensi karyawan di SME konstruksi di Bangkok, dengan pendekatan kuantitatif dan sampel 386 responden.
Konteks dan Permasalahan
Karyawan muda kini tidak seperti generasi sebelumnya—mereka mencari fleksibilitas, pengakuan, dan kemungkinan untuk berkembang secara profesional. Namun, sektor konstruksi kerap masih mempraktikkan budaya kerja hierarkis yang tak cocok dengan karakter pekerja masa kini.
Ditambah lagi, tingginya tingkat korupsi dan birokrasi internal di perusahaan konstruksi Thailand semakin membuat generasi muda skeptis. Ini menjadi penyebab utama tingginya turnover karyawan—bahkan 55% engineer berusia kerja <5 tahun menyatakan siap pindah kerja jika ada tawaran lebih baik (Thos, 2018).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mengevaluasi empat variabel utama:
Keempat variabel ini diuji pengaruhnya terhadap retensi karyawan melalui pendekatan Multiple Linear Regression (MLR).
Metodologi
Profil Responden
Data ini menegaskan bahwa mayoritas pekerja adalah Generasi Z dan Milenial, dengan ekspektasi kerja yang berbeda dari generasi senior.
Temuan Utama
1. Task Interdependence → Agile Working
Makna: Semakin baik kerja sama tim dan ketergantungan antaranggota dalam tugas, semakin fleksibel dan adaptif lingkungan kerja.
2. Reward and Recognition → Agile Working
3. Entrepreneurial Intention → Employee Retention
4. Agile Working → Employee Retention
Analisis Tambahan
Peran Agile Working sebagai Jembatan Retensi
Agile working adalah mediator antara reward, task interdependence, dan retensi. Lingkungan kerja yang adaptif:
Menurut Issa et al. (2019), agile working secara signifikan meningkatkan kepuasan kerja, yang selanjutnya berdampak positif pada loyalitas.
Konteks Entrepreneurial Intention
Sebagian karyawan di sektor ini melihat pekerjaan sebagai batu loncatan untuk menjadi pengusaha, bukan tujuan akhir. Maka dari itu:
Rekomendasi Strategis
Kritik dan Batasan Penelitian
Penelitian ini:
Namun, kontribusinya sangat berarti dalam menyusun strategi retensi pada sektor konstruksi SME, terutama di negara-negara berkembang dengan tantangan serupa.
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa retensi karyawan tidak semata soal gaji, tetapi tentang lingkungan kerja yang:
Bagi sektor konstruksi yang penuh tekanan, strategi retensi berbasis agile working adalah solusi mutakhir yang relevan dengan tren generasi saat ini. Terutama di tengah dinamika Generasi Z, retensi bukan lagi sekadar mempertahankan, tapi tentang menciptakan alasan untuk tetap tinggal dan berkembang bersama.
Sumber : Sang-rit, N., & Gilitwala, B. (2024). The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon. Rajagiri Management Journal, 18(2), 106–124.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Mengurangi angka residivisme atau reoffending menjadi prioritas dalam upaya membangun masyarakat yang aman, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam Fourteenth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice (Kyoto Congress 2021), Workshop 2 bertema "Reducing Reoffending: Identifying Risks and Developing Solutions" menyajikan pendekatan terpadu untuk menghadapi tantangan residivisme melalui rehabilitasi narapidana, alternatif hukuman non-penjara, dan kerja sama multipihak.
Laporan ini disusun oleh UNAFEI (United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bekerja sama dengan Thailand Institute of Justice (TIJ) dan UNODC. Dalam praktiknya, pendekatan ini menekankan pentingnya intervensi berbasis bukti, lingkungan penjara yang mendukung rehabilitasi, serta keterlibatan komunitas.
1. Mengapa Mengurangi Residivisme Itu Penting?
Residivisme, atau mengulangi tindak pidana setelah menjalani hukuman, bukan hanya memperbesar beban sistem peradilan, tetapi juga mengancam keamanan masyarakat dan membebani anggaran negara. Penurunan angka residivisme menjadi salah satu indikator keberhasilan sistem hukum pidana yang manusiawi dan efektif. Dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), terutama TPB 16, rehabilitasi pelaku kejahatan berkontribusi pada masyarakat yang damai, adil, dan inklusif.
2. Membangun Lingkungan Penjara yang Rehabilitatif
Penjara yang penuh kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan pelanggaran HAM justru memperburuk kecenderungan kriminal para narapidana. Oleh karena itu, penjara harus menjadi tempat yang mendukung transformasi ke arah yang lebih baik. Salah satu pendekatan yang dibahas adalah risk-needs-responsivity framework (RNR), yang menilai risiko dan kebutuhan spesifik tiap narapidana.
Misalnya, Namibia Correctional Service menerapkan program berbasis bukti yang disesuaikan dengan konteks lokal. Di sisi lain, Norwegia menerapkan prinsip normalization, yaitu memperlakukan kehidupan di dalam penjara semirip mungkin dengan kehidupan di masyarakat. Para petugas penjara bukan hanya penjaga, tetapi juga fasilitator rehabilitasi yang dilatih membangun hubungan prososial dengan warga binaan.
Studi menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan vokasional di penjara mampu menurunkan risiko residivisme dan meningkatkan peluang kerja pasca-bebas. UNODC bahkan meluncurkan program pelatihan daring interaktif berbasis Nelson Mandela Rules untuk memperkuat peran petugas penjara dalam rehabilitasi.
3. Studi Kasus Global: Mengurangi Kepadatan Penjara
Salah satu contoh sukses adalah Kazakhstan, yang berhasil menurunkan rasio penghuni penjara menjadi 194 per 100.000 penduduk dan menutup delapan penjara dalam satu dekade terakhir. Reformasi hukum pidana yang mengedepankan hukuman non-penjara serta pengurangan masa tahanan menjadi kunci keberhasilan ini.
Sementara itu, Argentina membentuk Corruption Prevention Service untuk menangani korupsi di lingkungan lembaga pemasyarakatan, demi menjamin transparansi dalam pelaksanaan program rehabilitasi.
4. Mengutamakan Alternatif Hukuman: Pendekatan Berbasis Komunitas
Alternatif hukuman seperti probation, parole, mediasi korban-pelaku, serta diversi untuk pengguna narkoba terbukti lebih efektif dalam mendorong reintegrasi sosial. Pendekatan ini juga lebih hemat biaya daripada pemenjaraan.
Sebagai contoh, di Austria, program mediasi korban-pelaku menunjukkan hasil signifikan, di mana 84% peserta tidak mengulangi pelanggaran hukum setelahnya. Di Filipina, pendekatan berbasis komunitas di tingkat barangay berhasil membentuk jaringan dukungan sosial bagi pelaku dan korban.
Namun demikian, penting untuk menghindari fenomena “net-widening”, yakni penggunaan pengawasan berlebihan terhadap pelanggar risiko rendah yang justru bisa meningkatkan peluang residivisme.
5. Peran Teknologi dalam Rehabilitasi
Teknologi juga memainkan peran strategis, terutama dalam menyambungkan narapidana dengan dunia luar. Di Kyrgyzstan, penggunaan aplikasi Skype memungkinkan keluarga melakukan kunjungan virtual, mengurangi tekanan logistik dan biaya.
Sementara di Singapura, pengembangan aplikasi seluler membantu mantan narapidana mencari pekerjaan, mengakses layanan konseling, dan membangun kembali kehidupan sosial secara bertahap.
6. Kolaborasi Multipihak: Kunci Keberlanjutan Reintegrasi
Rehabilitasi tidak bisa dijalankan oleh sistem hukum pidana saja. Pendekatan multipihak melibatkan pemerintah, LSM, masyarakat sipil, dunia usaha, dan keluarga. Misalnya, di Jepang, program volunteer probation officers melibatkan masyarakat langsung dalam membina mantan narapidana secara sukarela dan terstruktur.
UNODC juga menyoroti pentingnya pelatihan gender-sensitif dan responsif budaya untuk petugas rehabilitasi, serta program khusus untuk perempuan dan remaja pelaku pelanggaran hukum.
7. Kritik dan Tantangan
Meskipun strategi ini terdengar ideal, ada beberapa tantangan nyata di lapangan:
Di sisi lain, pendekatan ini menyelaraskan antara keadilan sosial, penghematan biaya, dan perlindungan hak asasi manusia.
Kesimpulan
Mengurangi residivisme bukan hanya urusan sistem hukum pidana, tetapi sebuah misi kemanusiaan lintas sektor. Diperlukan kombinasi antara evidence-based practices, inovasi teknologi, kerja sama multipihak, dan keberpihakan terhadap rehabilitasi dibanding penghukuman semata. Jika berhasil diimplementasikan, pendekatan ini dapat mengubah penjara menjadi tempat harapan, bukan ketakutan; dan reintegrasi menjadi proses manusiawi, bukan sanksi berkepanjangan.
Sumber : United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (UNAFEI). (2021). Reducing Reoffending: Identifying Risks and Developing Solutions. Report of the Fourteenth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, Kyoto, Japan.