Korupsi Konstruksi

Etika Rekayasa sebagai Senjata Melawan Korupsi Infrastruktur: Solusi Strategis yang Terbukti

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Korupsi dalam proyek infrastruktur adalah masalah global yang merugikan miliaran dolar setiap tahun dan mengancam keselamatan, keadilan sosial, serta keberlanjutan ekonomi. Meskipun berbagai strategi antikorupsi telah diterapkan, satu pendekatan masih belum dioptimalkan sepenuhnya: etika profesi rekayasa (engineering ethics).

Penelitian oleh Ghahari et al. (2024) dalam jurnal Science and Engineering Ethics menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip etika teknik dapat diterapkan secara strategis untuk mengidentifikasi, mencegah, dan mengurangi korupsi pada seluruh fase pengembangan sistem infrastruktur.

Infrastruktur dan Kerentanan terhadap Korupsi

Infrastruktur sipil meliputi jaringan transportasi, pembangkit energi, sistem air dan sanitasi, hingga bangunan publik. Namun di balik kontribusinya terhadap kualitas hidup, sektor ini menyimpan celah besar terhadap korupsi:

  • 10% dari PDB global hilang akibat kolusi, penipuan, dan penyalahgunaan dana publik
  • Studi oleh World Bank (2022) menunjukkan bahwa lebih dari $1 triliun hilang tiap tahun karena korupsi
  • Skandal besar seperti kasus Petrobras di Brasil, di mana pejabat menerima suap $4 juta, menunjukkan betapa rentannya sistem

Etika Teknik dan Triad Nilai Manusia

Studi ini mengaitkan korupsi dengan “Triad Kelayakan”: moralitas, etika, dan hukum. Ketiganya membentuk sistem nilai yang mendasari standar perilaku profesional. Dalam konteks teknik:

  • Moral: apa yang dianggap benar/salah oleh masyarakat
  • Etika: prinsip umum yang diterima untuk membedakan “baik” dan “buruk”
  • Hukum: aturan formal yang ditegakkan oleh lembaga negara

Pelaku korupsi sadar bahwa tindakannya melanggar salah satu atau lebih dari triad tersebut, dan oleh karena itu, pencegahan harus berakar dari pemahaman mendalam terhadap ketiganya.

Titik Rawan Korupsi di Setiap Fase Proyek Infrastruktur

Penelitian ini mengidentifikasi tiga fase paling rentan terhadap korupsi, yaitu:

  1. Tender dan Pengadaan
    • Permainan tender, penawaran fiktif, kolusi
  2. Konstruksi
    • Penggunaan bahan berkualitas rendah, over-invoicing, pekerja fiktif
  3. Operasi dan Pemeliharaan
    • Sertifikasi tanpa inspeksi, manipulasi biaya, penyalahgunaan aset

Contoh kasus: Dalam skandal Odebrecht (Brasil), kontrak diperoleh secara sah namun dengan underbid dan kemudian dinegosiasi ulang, menghasilkan keuntungan $3,3 miliar dari suap sebesar $788 juta.

Etika Teknik sebagai Strategi Mitigasi Korupsi

Kunci utama dari mitigasi korupsi berbasis etika adalah pendekatan deontologis—mengutamakan ketaatan terhadap prinsip, bukan hasil. ASCE (2020) menetapkan bahwa insinyur sipil wajib:

  • Menolak segala bentuk suap dan kolusi
  • Bertindak jujur, adil, dan objektif
  • Menjaga kesejahteraan dan keselamatan publik

Etika teknik menempatkan tanggung jawab insinyur dalam hierarki berikut:

  1. Kepada masyarakat
  2. Kepada lingkungan buatan dan alami
  3. Kepada profesi
  4. Kepada klien dan atasan
  5. Kepada rekan seprofesi

Strategi Praktis Mitigasi Korupsi

Penelitian ini menawarkan kerangka mitigasi korupsi yang menghubungkan tanggung jawab etis dengan aksi nyata, seperti:

  • Zero Tolerance Policy: diterapkan di World Bank & WEF
  • Open Contracting & Transparansi Proyek: meningkatkan akuntabilitas publik
  • Sistem Pelaporan dan Pengawasan: pemantauan oleh otoritas independen
  • Manajemen Material yang Etis: cegah penyalahgunaan dan pencurian

Strategi ini dibagi menjadi tiga cakupan:

  • Strategis (penetapan kebijakan)
  • Taktis (implementasi di tingkat menengah)
  • Operasional (praktik harian di lapangan)

Efektivitas Strategi Etika

Beberapa temuan penting dari studi ini:

  • Kode etik tidak cukup jika hanya menjadi formalitas.
    Embedding (penanaman) nilai-nilai tersebut dalam budaya organisasi jauh lebih penting.
  • Pelatihan etika terbukti mengurangi kecenderungan suap dan pelanggaran (Kaptein, 2015)
  • Etika organisasi yang kuat menghambat penyimpangan perilaku secara kolektif (Oladinrin & Ho, 2016)
  • Teknologi pengawasan dan klasifikasi risiko berbasis AI (Grace et al., 2016) juga bisa dilengkapi dengan kode etik sebagai filter perilaku

Rekomendasi Penelitian

  1. Sesuaikan kode etik profesional dengan setiap fase proyek, untuk mengidentifikasi titik rawan dan menetapkan pengendalian internal
  2. Gunakan pendekatan multidisipliner, melibatkan arsitek, manajer kota, dan finansial—tidak hanya insinyur
  3. Berikan pendidikan etika sejak dini, pada mahasiswa teknik dan profesional muda
  4. Buat sistem penegakan sanksi profesional, seperti pencabutan lisensi bagi pelanggar etika
  5. Lindungi pelapor pelanggaran (whistleblower) sebagai elemen kunci dalam penerapan etika

Kesimpulan

Korupsi dalam proyek infrastruktur tidak bisa hanya diselesaikan dengan kebijakan hukum atau teknologi pengawasan. Etika profesi teknik sipil adalah fondasi penting dalam strategi mitigasi korupsi yang berkelanjutan. Pendekatan ini menjembatani prinsip moral, standar hukum, dan profesionalisme teknis dalam satu kerangka aksi nyata.

Dengan mengintegrasikan etika dalam seluruh siklus hidup proyek infrastruktur, kita tidak hanya mencegah penyimpangan, tetapi juga meningkatkan kualitas pembangunan, memperkuat kepercayaan publik, dan mendorong transparansi jangka panjang. Dalam dunia di mana infrastruktur adalah tulang punggung ekonomi dan sosial, etika adalah jantung dari pembangunan yang adil dan berkelanjutan.

Sumber asli: Ghahari, S. A., Queiroz, C., Labi, S., & McNeil, S. (2024). The Role of Engineering Ethics in Mitigating Corruption in Infrastructure Systems Delivery. Science and Engineering Ethics, 30(29). https://doi.org/10.1007/s11948-024-00494-0

Selengkapnya
Etika Rekayasa sebagai Senjata Melawan Korupsi Infrastruktur: Solusi Strategis yang Terbukti

Korupsi Konstruksi

Mencegah Korupsi Secara Efektif: Strategi Nilai, Kepatuhan, dan Keterlibatan Publik yang Terbukti

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Korupsi adalah penyakit sistemik yang melemahkan ekonomi, memperburuk pelayanan publik, dan merusak kepercayaan terhadap lembaga negara maupun swasta. Meski banyak negara mengklaim memiliki komitmen antikorupsi, bukti empiris menunjukkan bahwa tidak semua strategi pencegahan bekerja efektif secara universal.

Laporan berjudul Methods of Preventing Corruption: A Review and Analysis of Select Approaches (Sauvé et al., 2023), yang diterbitkan oleh Public Safety Canada, menyajikan tinjauan komprehensif terhadap metode pencegahan korupsi, dengan fokus pada efektivitas empiris masing-masing pendekatan. Studi ini membagi strategi menjadi empat kategori utama:

  1. Pendekatan berbasis nilai (value-based)
  2. Pendekatan berbasis kepatuhan (compliance-based)
  3. Pendekatan manajemen risiko
  4. Pendekatan berbasis kesadaran dan partisipasi publik

Konteks: Kenapa Penanganan Korupsi Mendesak?

Meski Kanada tergolong negara dengan tingkat korupsi rendah menurut Corruption Perception Index (CPI), skornya terus menurun: dari 92 pada tahun 2000 menjadi 74 pada 2021. Tren ini memunculkan kekhawatiran mengenai efektivitas regulasi dan lemahnya sistem perlindungan pelapor (whistleblower) serta akses informasi.

Pendekatan Berbasis Nilai

1. Tone at the Top

Kejujuran harus dimulai dari pucuk pimpinan. Pemimpin yang bersih mendorong budaya organisasi yang menolak korupsi. Studi eksperimen (Boly et al., 2019) menunjukkan bahwa kebijakan antikorupsi lebih efektif saat dijalankan oleh pemimpin yang dianggap berintegritas.

2. Pelatihan Etika

Program pelatihan yang baik tidak hanya memberi teori, tetapi juga simulasi pengambilan keputusan etis. Studi oleh Hauser (2019) dan Kaptein (2015) menunjukkan bahwa pelatihan etika mampu mengurangi kecenderungan membenarkan perilaku korup.

3. Motivasi Intrinsik

Karyawan yang termotivasi secara moral cenderung menolak suap. Studi lintas negara (Cowley & Smith, 2014) menunjukkan korelasi negatif antara motivasi intrinsik dan tingkat korupsi.

4. Budaya Organisasi

Organisasi yang menanamkan nilai transparansi, partisipasi, dan tanggung jawab mampu menekan efek penularan korupsi (Schram et al., 2022). Budaya organisasi juga mampu memengaruhi keputusan moral kolektif.

Pendekatan Berbasis Kepatuhan

1. Insentif Eksternal

Gaji tinggi dianggap bisa mengurangi korupsi, namun studi menunjukkan hasil campuran:

  • Barr et al. (2009) menemukan bahwa perawat dengan gaji tinggi lebih jarang melakukan penggelapan
  • Tapi studi lain (Navot et al., 2016) menunjukkan bahwa gaji tinggi justru meningkatkan toleransi terhadap korupsi

Efektivitasnya sangat bergantung pada konteks negara, kesenjangan sektor publik-swasta, dan struktur insentif.

2. Sanksi dan Hukuman

Sanksi keras efektif jika dikombinasikan dengan:

  • Peluang deteksi yang tinggi (Abbink et al., 2002)
  • Konsistensi dan proporsionalitas hukuman (Banuri & Eckel, 2015)
    Studi terhadap diplomat PBB di New York (Fisman & Miguel, 2007) menunjukkan bahwa penegakan hukum meningkatkan kepatuhan.

Pendekatan Manajemen Risiko

1. Audit dan Risk Assessment

  • Top-down audit di Indonesia (Olken, 2007): audit pemerintah meningkatkan transparansi pengeluaran hingga 8%
  • Kombinasi top-down dan bottom-up efektif jika disertai ancaman eskalasi yang nyata (Buntaine & Daniels, 2020)

2. Due Diligence

Meski sangat dianjurkan oleh lembaga antikorupsi, belum ada bukti empiris yang cukup tentang efektivitasnya.

3. Four-Eyes Principle

Prinsip ini mewajibkan dua orang menyetujui satu keputusan, tapi justru dapat meningkatkan kolusi (Schikora, 2010). Hasil studi menunjukkan prinsip ini tidak efektif jika tidak diikuti struktur kontrol lanjutan.

4. Pengungkapan Aset

Deklarasi aset efektif jika dilakukan secara komprehensif dan terbuka (Djankov et al., 2010). Negara yang menerapkan sistem ini secara serius menunjukkan penurunan korupsi jangka panjang.

5. Rotasi Posisi

Studi eksperimen (Abbink, 2004) menunjukkan bahwa rotasi staf mengurangi transaksi suap hingga 50%. Ini mencegah terbentuknya hubungan jangka panjang yang rentan terhadap korupsi.

6. Rekrutmen Berbasis Merit

Rekrutmen yang adil dan berdasarkan kompetensi memperkuat budaya integritas. Studi oleh Dahlström et al. (2012) dan Rauch & Evans (2000) menegaskan pentingnya meritokrasi dalam menurunkan korupsi birokratis.

Pendekatan Kesadaran dan Partisipasi Publik

1. Kampanye Edukasi Publik

Studi oleh Köbis et al. (2019) menunjukkan bahwa poster antisuap mengurangi insiden korupsi. Namun di tempat dengan korupsi sistemik tinggi, kampanye bisa dianggap tidak relevan (Banerjee et al., 2021).

2. Whistleblowing

Pelindung pelapor korupsi wajib tersedia. Studi di Korea (Suh & Shim, 2020) menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang suportif meningkatkan keinginan untuk melaporkan penyimpangan.

3. Transparansi dan Akses Informasi

  • Freedom of Information (FOI): akses terbuka ke dokumen publik meningkatkan akuntabilitas
  • E-Government: digitalisasi layanan publik menurunkan peluang korupsi manual
  • Kebebasan Pers: media independen memiliki peran kunci dalam mengungkap kasus korupsi besar

Kesimpulan

Studi ini menegaskan bahwa tidak ada solusi tunggal untuk mencegah korupsi. Namun, strategi yang menggabungkan pendekatan nilai, kepatuhan, manajemen risiko, dan partisipasi publik secara simultan terbukti memiliki efek sinergis yang positif.

Organisasi perlu:

  • Menyesuaikan strategi pencegahan dengan konteks mereka
  • Menggabungkan metode yang terbukti secara empiris
  • Membangun budaya integritas dari atas ke bawah

Bagi negara seperti Indonesia, studi ini bisa dijadikan referensi penting dalam membangun sistem antikorupsi yang lebih solid dan kontekstual.

Sumber : Sauvé, B., Woodley, J., Jones, N. J., & Akhtari, S. (2023). Methods of Preventing Corruption: A Review and Analysis of Select Approaches. Research Division, Public Safety Canada.

Selengkapnya
Mencegah Korupsi Secara Efektif: Strategi Nilai, Kepatuhan, dan Keterlibatan Publik yang Terbukti

Korupsi Konstruksi

Korupsi di Proyek Konstruksi Malaysia: Perspektif Pelaku, Dampak, dan Strategi Pencegahan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Korupsi dalam industri konstruksi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi ancaman sistemik terhadap pembangunan berkelanjutan. Di Malaysia, sektor konstruksi menyumbang lebih dari 4% PDB nasional dan menjadi penggerak bagi lebih dari 120 sektor lain. Namun, dengan nilai proyek bernilai miliaran ringgit, sektor ini menjadi ladang subur praktik koruptif, terutama dalam proyek-proyek publik.

Penelitian oleh Rumaizah Mohd Nordin et al. (2023) berjudul Examining Corruption Issues in Malaysia Construction Industry: Partaker Perspectives mengeksplorasi tingkat persepsi berbagai pemangku kepentingan (instansi pemerintah, kontraktor, dan konsultan) terhadap korupsi dalam proyek konstruksi. Studi ini juga mengidentifikasi area rawan, penyebab, dampak, serta strategi pencegahan korupsi berdasarkan pendekatan statistik MANOVA.

Latar Belakang: Mengapa Sektor Konstruksi Rentan?

  • Melibatkan banyak pihak dengan kewenangan berbeda
  • Proses panjang: mulai dari perencanaan, lelang, hingga pemeliharaan
  • Kompleksitas proyek memungkinkan peluang penyalahgunaan kekuasaan
  • Keterlibatan publik dan swasta dalam satu ekosistem

Menurut data Transparency International Malaysia, negara ini kehilangan hingga RM30 miliar per tahun akibat korupsi. Bahkan, sektor konstruksi disebut sebagai yang paling korup di dunia, terutama dalam proyek pekerjaan umum (TI-BPI 2008).

Metodologi Penelitian

  • Jumlah responden: 71 dari 189 kuisioner (respon rate 37,6%)
  • Kelompok responden:
    • Pemerintah: 25 orang
    • Kontraktor: 25 orang
    • Konsultan: 21 orang
  • Instrumen: Kuesioner skala Likert 10 poin
  • Metode analisis: Multivariate Analysis of Variance (MANOVA)

Mayoritas responden (59,2%) memiliki pengalaman kerja lebih dari 10 tahun, sehingga validitas data cukup tinggi. Studi ini membandingkan 5 variabel utama di antara tiga kelompok tersebut:

  1. Tingkat korupsi (extent)
  2. Area rawan korupsi
  3. Sumber korupsi
  4. Dampak korupsi
  5. Strategi anti-korupsi

Temuan Penting: Persepsi Berbeda, Masalah Sama

Perbedaan Persepsi Area Rawan Korupsi

  • Nilai Wilks’ Lambda = 0.750, sig. = 0.041, menandakan ada perbedaan signifikan antar kelompok
  • Faktor area rawan korupsi menunjukkan perbedaan paling tajam (p = 0.001)
  • Konsultan dan kontraktor punya pandangan serupa soal area rawan korupsi
  • Pemerintah memiliki persepsi berbeda, cenderung mengecilkan area-area yang rawan

Rata-rata skor persepsi area rawan:

  • Konsultan: 26,76
  • Kontraktor: 25,08
  • Pemerintah: 19,64

Hal ini mendukung asumsi bahwa pejabat publik cenderung menutup-nutupi atau tidak menyadari area risiko karena keterbatasan akses langsung atau adanya konflik kepentingan.

Area Rawan dan Sumber Korupsi di Setiap Fase Proyek

Penelitian mengklasifikasikan peluang korupsi ke dalam 4 fase utama proyek konstruksi:

  1. Perumusan Strategi
    • Manipulasi kebutuhan proyek
    • Tekanan politik dalam penunjukan kontraktor
  2. Pengadaan (Procurement)
    • Fase paling rawan: pemalsuan dokumen, pengaturan tender, suap
    • Banyak ditemukan pada proyek publik skala besar
  3. Konstruksi
    • Penggunaan material substandar
    • Pengurangan volume pekerjaan
    • Kolusi antara pelaksana dan pengawas
  4. Penyelesaian
    • Sertifikasi selesai tanpa inspeksi memadai
    • Pembayaran terakhir sebagai “tutup mulut”

Sumber korupsi:

  • Teknis: regulasi lemah, sistem pengawasan longgar
  • Perilaku: budaya “balas budi”, normalisasi penyimpangan, tekanan sosial

Dampak Korupsi pada Proyek Konstruksi

  1. Kenaikan biaya hingga 10% (Manaf, 2013)
  2. Penurunan kualitas bangunan, memicu risiko keselamatan
  3. Keterlambatan waktu pelaksanaan akibat manipulasi tender
  4. Menurunnya investasi domestik dan asing karena ketidakpastian hukum
  5. Pelanggaran HAM melalui manipulasi upah dan eksploitasi tenaga kerja

Kenyataan bahwa korupsi mengurangi nilai ekonomi proyek bahkan setelah pembangunan selesai membuat isu ini sangat mendesak, tidak hanya secara etis tapi juga finansial.

Strategi Pencegahan Korupsi

Penelitian mengelompokkan strategi menjadi 4 pilar:

1. Norma Etika

  • Kode etik kontraktor
  • Perlindungan pelapor pelanggaran
  • Sistem whistleblowing terbuka

2. Perbaikan Proses

  • Digitalisasi sistem lelang
  • Keterbukaan informasi publik proyek
  • Laporan kinerja independen

3. Komitmen Pimpinan

  • Pemimpin proyek sebagai agen perubahan integritas
  • Sanksi tegas dan publikasi pelanggaran

4. Penegakan Hukum

  • Dukungan terhadap MACC dan penegakan Akta 694
  • Audit internal dan eksternal berkala
  • Evaluasi pasca-proyek (post-construction audit)

Diskusi: Tantangan Menerapkan Strategi Anti-Korupsi

Meskipun strategi telah dirancang, implementasi sering terganjal:

  • Rendahnya political will dari aktor pemerintah
  • Kurangnya sumber daya manusia berintegritas di level operasional
  • Pengabaian data persepsi dalam perumusan kebijakan
  • Minimnya kolaborasi antar lembaga pengawas dan pelaksana

Contoh: meskipun CIDB telah mengeluarkan Kode Etik Kontraktor sejak 2010, pengawasannya lemah dan tidak diikuti oleh sistem reward-punishment yang tegas.

Kesimpulan

Penelitian ini menyoroti satu fakta penting: korupsi dalam konstruksi bersifat sistemik dan lintas pemangku kepentingan. Perbedaan persepsi antara pemerintah, konsultan, dan kontraktor justru mencerminkan betapa rapuhnya fondasi integritas dalam sektor ini.

Solusi tidak bisa hanya top-down, tetapi harus dibarengi dengan perubahan budaya, pembenahan regulasi, dan pemberdayaan masyarakat sipil. Industri konstruksi yang bebas korupsi adalah prasyarat bagi pembangunan berkelanjutan, keamanan publik, dan kepercayaan investor. Maka dari itu, sudah waktunya seluruh pemangku kepentingan memperkuat barisan dan komitmen terhadap integritas.

Sumber : Nordin, R. M., Ahnuar, E. M., Masrom, M. A. N., & Ameer Ali, N. (2023). Examining Corruption Issues in Malaysia Construction Industry: Partaker Perspectives. Planning Malaysia: Journal of the Malaysian Institute of Planners, 21(2), 52–68.

 

Selengkapnya
Korupsi di Proyek Konstruksi Malaysia: Perspektif Pelaku, Dampak, dan Strategi Pencegahan

Korupsi Konstruksi

Membedah Peran Stakeholder Internal dalam Runtuhnya Bangunan di Lagos: Fakta, Faktor, dan Solusi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Bangunan runtuh bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan krisis multidimensi yang mencerminkan lemahnya tata kelola proyek konstruksi. Kota Lagos, Nigeria, menjadi salah satu lokasi dengan tingkat keruntuhan bangunan tertinggi di Afrika Barat. Penelitian oleh Adenuga, Osuizugbo, dan Imoesi (2022) secara khusus menyelidiki kontribusi para pemangku kepentingan internal (stakeholder internal) dalam insiden-insiden tersebut.

Dengan metode survei persepsi, studi ini mengungkap faktor-faktor signifikan dari pihak-pihak internal seperti klien, arsitek, insinyur struktur, kontraktor, dan quantity surveyor yang berperan dalam runtuhnya bangunan. Selain mengidentifikasi penyebab utama, studi ini juga menawarkan remedi konkrit dan terukur untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.

Mengapa Stakeholder Internal Penting?

Stakeholder internal adalah pihak yang terlibat langsung dalam proses desain, pembangunan, dan pengawasan proyek, termasuk:

  • Klien (pemilik proyek)
  • Konsultan (arsitek, insinyur)
  • Kontraktor utama dan subkontraktor
  • Quantity surveyor
  • Pemasok material

Mereka memiliki kontrol penuh atas keputusan dan sumber daya proyek, dan karena itu, tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan atau kegagalan proyek.

Metodologi Penelitian

  • Jenis penelitian: Survei kuantitatif
  • Lokasi: Lagos, Nigeria
  • Jumlah responden: 87 dari total 127 kuesioner yang disebar (respon rate 68,5%)
  • Profesi responden: 62,1% insinyur, 19,5% kontraktor bangunan, 10,3% quantity surveyor, sisanya arsitek
  • Pengalaman kerja: 82,7% responden memiliki pengalaman kerja di atas 11 tahun
  • Analisis data: Statistik deskriptif dan inferensial (uji t satu sampel dengan SPSS v20)

Temuan Utama: Faktor Kontribusi Stakeholder Internal

Dari 49 faktor yang dianalisis, 12 faktor memiliki skor rata-rata di atas 4 (sangat signifikan). Berikut adalah 5 faktor tertinggi menurut skor rata-rata (MS):

  1. Kurangnya perhitungan biaya siklus hidup (life cycle cost) utilitas: MS = 4.18
  2. Kurangnya integrasi dan koordinasi elemen desain: MS = 4.11
  3. Kegagalan mempertimbangkan kemudahan pembangunan dan perawatan: MS = 4.10
  4. Tidak adanya supervisi dan inspeksi kualitas di lapangan: MS = 4.10
  5. Tidak dilakukannya inspeksi penyimpanan material di lokasi proyek: MS = 4.10

Studi Kasus: Kegagalan Konstruksi dalam Angka

Studi ini tidak membahas bangunan spesifik, tapi menggambarkan pola sistemik dari:

  • Kegagalan desain: Banyak bangunan tidak mempertimbangkan kemudahan perawatan jangka panjang
  • Lemahnya dokumentasi: Tidak adanya pelaporan tertulis dari kontraktor pelaksana
  • Intervensi klien yang merugikan: Klien seringkali memaksakan batas waktu atau anggaran tak realistis
  • Penerapan praktik "potong jalan": Akibat tekanan waktu dan minimnya pengawasan

Siapa Bertanggung Jawab?

Penelitian membagi tanggung jawab pada masing-masing pihak:

Klien:

  • Tidak memahami kebutuhan teknis proyek
  • Kurang dana dan suka menunda pembayaran
  • Menunjuk kontraktor/tukang berdasarkan relasi, bukan kompetensi

Arsitek:

  • Gagal mengoordinasikan elemen desain
  • Dokumentasi buruk dan tidak sesuai standar zonasi

Insinyur Struktur:

  • Tidak melakukan uji tanah
  • Mengabaikan uji kekuatan beton
  • Tidak membuat gambar awal dan estimasi peralatan

Kontraktor:

  • Tidak menyusun jadwal kerja
  • Tidak memverifikasi kualitas pekerja
  • Mengabaikan metode konstruksi dan perawatan bangunan

Quantity Surveyor:

  • Tidak mengkaji biaya penggunaan dan pemeliharaan bangunan
  • Gagal membuat anggaran yang akurat
  • Tidak melakukan evaluasi rutin atas pekerjaan

Analisis: Masalah Sistemik dan Budaya

Masalahnya tidak hanya teknis, tetapi sistemik dan budaya:

  • Korupsi: Banyak profesional menerima suap atau ditekan untuk "menyesuaikan" laporan
  • Kurangnya edukasi publik: Masyarakat sering mengandalkan tukang tanpa lisensi karena biaya lebih murah
  • Remunerasi rendah: Profesional konstruksi dipaksa "berhemat" dengan menurunkan kualitas
  • Dokumentasi buruk: Ketidaktahuan akan pentingnya dokumen teknis dan pelaporan proyek

Solusi: Apa yang Bisa Dilakukan?

Penelitian ini juga menyajikan 26 solusi utama. Berikut adalah 5 solusi dengan skor rata-rata tertinggi:

  1. Klien tidak boleh menekan profesional internal: MS = 4.56
  2. Klien harus menyediakan dana yang cukup: MS = 4.54
  3. Semua pihak harus menolak suap dan korupsi: MS = 4.46
  4. Etika profesi harus ditegakkan oleh semua pihak: MS = 4.44
  5. Pemeriksaan material sebelum digunakan wajib dilakukan: MS = 4.44

Rekomendasi Tambahan

  • Sosialisasi ke masyarakat luas soal peran profesional dan bahaya menggunakan "tukang asal"
  • Pembaharuan regulasi dan kode bangunan nasional agar lebih ketat dan terukur
  • Kampanye transparansi proyek dan dokumentasi digital sejak tahap awal
  • Sertifikasi ulang periodik bagi profesional, khususnya yang terlibat dalam proyek-proyek publik
  • Insentif bagi kontraktor dan konsultan dengan rekam jejak baik

Kesimpulan

Bangunan tidak runtuh begitu saja. Di balik setiap insiden, ada kelalaian kolektif dari pihak-pihak internal. Penelitian ini memperlihatkan bahwa stakeholder internal—klien, konsultan, kontraktor, hingga quantity surveyor—memiliki kontribusi nyata terhadap maraknya insiden bangunan runtuh di Lagos. Bukan hanya karena keterbatasan teknis, tapi juga karena kurangnya komitmen terhadap etika, standar profesional, dan tanggung jawab jangka panjang.

Namun harapan tetap ada. Dengan kombinasi reformasi struktural, edukasi publik, serta penegakan standar profesional, tragedi bisa dicegah dan kepercayaan masyarakat pada industri konstruksi bisa dipulihkan. Penelitian ini tidak hanya relevan untuk Nigeria, tetapi juga bagi negara-negara berkembang lain yang menghadapi persoalan serupa.

Sumber asli:
Adenuga, O. A., Osuizugbo, I. C., & Imoesi, I. B. (2022). Internal Stakeholders’ Contribution to Building Collapse in Lagos State, Nigeria: A Perceptual Survey. Civil and Sustainable Urban Engineering, 2(2), 67–81. https://doi.org/10.53623/csue.v2i2.118

Selengkapnya
Membedah Peran Stakeholder Internal dalam Runtuhnya Bangunan di Lagos: Fakta, Faktor, dan Solusi

Korupsi Konstruksi

Strategi Retensi Karyawan di Industri Konstruksi: Kunci Agile Working & Tantangan Generasi Z

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Dalam dunia konstruksi, terutama sektor usaha kecil-menengah (SME), retensi karyawan menjadi isu krusial. Banyak tenaga kerja, terutama generasi muda seperti Generasi Z dan Milenial, cenderung berpindah kerja demi keseimbangan hidup, transparansi, dan lingkungan kerja yang adaptif.

Penelitian oleh Norawit Sang-rit dan Bhumiphat Gilitwala (2024) berjudul The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon meneliti faktor-faktor yang memengaruhi retensi karyawan di SME konstruksi di Bangkok, dengan pendekatan kuantitatif dan sampel 386 responden.

Konteks dan Permasalahan

Karyawan muda kini tidak seperti generasi sebelumnya—mereka mencari fleksibilitas, pengakuan, dan kemungkinan untuk berkembang secara profesional. Namun, sektor konstruksi kerap masih mempraktikkan budaya kerja hierarkis yang tak cocok dengan karakter pekerja masa kini.

Ditambah lagi, tingginya tingkat korupsi dan birokrasi internal di perusahaan konstruksi Thailand semakin membuat generasi muda skeptis. Ini menjadi penyebab utama tingginya turnover karyawan—bahkan 55% engineer berusia kerja <5 tahun menyatakan siap pindah kerja jika ada tawaran lebih baik (Thos, 2018).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengevaluasi empat variabel utama:

  1. Entrepreneurial intention
  2. Task interdependence
  3. Reward and recognition
  4. Agile working

Keempat variabel ini diuji pengaruhnya terhadap retensi karyawan melalui pendekatan Multiple Linear Regression (MLR).

Metodologi

  • Jumlah responden: 386 karyawan SME konstruksi di Bangkok
  • Teknik sampling: Non-probability purposive sampling
  • Instrumen: Kuesioner berbasis skala Likert, terdiri dari 22 pertanyaan
  • Analisis: MLR dan uji validitas reliabilitas (Cronbach’s Alpha >0.7)

Profil Responden

  • Usia: 46.9% berusia 18–28 tahun, 37.6% antara 29–43 tahun
  • Pendidikan: 75.1% lulusan S1, 12.2% S2, sisanya S3 atau di bawah S1
  • Pendapatan: 49.2% berada di kisaran THB 20.001–40.000 per bulan

Data ini menegaskan bahwa mayoritas pekerja adalah Generasi Z dan Milenial, dengan ekspektasi kerja yang berbeda dari generasi senior.

Temuan Utama

1. Task Interdependence → Agile Working

  • Signifikansi: p = 0.000 (<0.05)
  • Koefisien β: 0.385 (tertinggi)
  • Kesimpulan: Task interdependence berperan paling besar dalam membentuk budaya kerja agile.

Makna: Semakin baik kerja sama tim dan ketergantungan antaranggota dalam tugas, semakin fleksibel dan adaptif lingkungan kerja.

2. Reward and Recognition → Agile Working

  • Signifikansi: p = 0.000
  • Koefisien β: 0.329
  • Makna: Apresiasi kinerja, baik melalui penghargaan formal maupun pengakuan informal, memperkuat budaya agile dalam tim.

3. Entrepreneurial Intention → Employee Retention

  • Signifikansi: p = 0.000
  • Koefisien β: 0.279
  • Makna: Keinginan untuk berwirausaha memiliki dampak signifikan terhadap loyalitas. Mereka yang merasa potensi kewirausahaannya difasilitasi, cenderung bertahan.

4. Agile Working → Employee Retention

  • Signifikansi: p = 0.000
  • Koefisien β: 0.316
  • Makna: Lingkungan kerja yang fleksibel, kolaboratif, dan tidak terlalu birokratis cenderung membuat karyawan lebih loyal.

Analisis Tambahan

Peran Agile Working sebagai Jembatan Retensi

Agile working adalah mediator antara reward, task interdependence, dan retensi. Lingkungan kerja yang adaptif:

  • Memungkinkan tim mengambil keputusan cepat
  • Meningkatkan otonomi individu
  • Menyesuaikan ekspektasi Generasi Z yang menuntut transparansi dan fleksibilitas

Menurut Issa et al. (2019), agile working secara signifikan meningkatkan kepuasan kerja, yang selanjutnya berdampak positif pada loyalitas.

Konteks Entrepreneurial Intention

Sebagian karyawan di sektor ini melihat pekerjaan sebagai batu loncatan untuk menjadi pengusaha, bukan tujuan akhir. Maka dari itu:

  • Organisasi perlu menyediakan ruang pengembangan diri
  • Membangun sistem intrapreneurship agar potensi mereka tetap terakomodasi di dalam perusahaan

Rekomendasi Strategis

  1. Perkuat budaya kerja kolaboratif:
    Terapkan sistem kerja berbasis tim yang memfasilitasi task interdependence.
  2. Bentuk sistem penghargaan yang relevan:
    Fokus pada pengakuan tim dan transparansi, bukan hanya bonus individual.
  3. Dorong corporate entrepreneurship:
    Fasilitasi pelatihan, mentoring, dan kebebasan berekspresi untuk karyawan dengan jiwa wirausaha.
  4. Fleksibilitas kerja dan otonomi:
    Berikan ruang untuk agile working yang memungkinkan adaptasi cepat terhadap situasi proyek.
  5. HR sebagai fasilitator perubahan:
    Tim SDM harus jadi jembatan antar-generasi di tempat kerja dan pelopor perubahan budaya.

Kritik dan Batasan Penelitian

Penelitian ini:

  • Terbatas pada wilayah Bangkok (Krung Thep Maha Nakhon)
  • Tidak menguji peran manajerial senior dalam pengaruh lintas generasi
  • Tidak mendalami faktor lain seperti lingkungan kerja fisik, keselamatan kerja, atau aspek psikologis

Namun, kontribusinya sangat berarti dalam menyusun strategi retensi pada sektor konstruksi SME, terutama di negara-negara berkembang dengan tantangan serupa.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa retensi karyawan tidak semata soal gaji, tetapi tentang lingkungan kerja yang:

  • Adaptif (agile)
  • Menghargai kontribusi
  • Mendukung kerja tim
  • Mampu memberi ruang untuk berkembang

Bagi sektor konstruksi yang penuh tekanan, strategi retensi berbasis agile working adalah solusi mutakhir yang relevan dengan tren generasi saat ini. Terutama di tengah dinamika Generasi Z, retensi bukan lagi sekadar mempertahankan, tapi tentang menciptakan alasan untuk tetap tinggal dan berkembang bersama.

Sumber : Sang-rit, N., & Gilitwala, B. (2024). The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon. Rajagiri Management Journal, 18(2), 106–124.

Selengkapnya
Strategi Retensi Karyawan di Industri Konstruksi: Kunci Agile Working & Tantangan Generasi Z

Korupsi Konstruksi

Strategi Global Mengurangi Residivisme: Pendekatan Rehabilitatif, Komunitas, dan Kolaboratif dalam Sistem Peradilan Pidana

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Mengurangi angka residivisme atau reoffending menjadi prioritas dalam upaya membangun masyarakat yang aman, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam Fourteenth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice (Kyoto Congress 2021), Workshop 2 bertema "Reducing Reoffending: Identifying Risks and Developing Solutions" menyajikan pendekatan terpadu untuk menghadapi tantangan residivisme melalui rehabilitasi narapidana, alternatif hukuman non-penjara, dan kerja sama multipihak.

Laporan ini disusun oleh UNAFEI (United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bekerja sama dengan Thailand Institute of Justice (TIJ) dan UNODC. Dalam praktiknya, pendekatan ini menekankan pentingnya intervensi berbasis bukti, lingkungan penjara yang mendukung rehabilitasi, serta keterlibatan komunitas.

1. Mengapa Mengurangi Residivisme Itu Penting?

Residivisme, atau mengulangi tindak pidana setelah menjalani hukuman, bukan hanya memperbesar beban sistem peradilan, tetapi juga mengancam keamanan masyarakat dan membebani anggaran negara. Penurunan angka residivisme menjadi salah satu indikator keberhasilan sistem hukum pidana yang manusiawi dan efektif. Dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), terutama TPB 16, rehabilitasi pelaku kejahatan berkontribusi pada masyarakat yang damai, adil, dan inklusif.

2. Membangun Lingkungan Penjara yang Rehabilitatif

Penjara yang penuh kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan pelanggaran HAM justru memperburuk kecenderungan kriminal para narapidana. Oleh karena itu, penjara harus menjadi tempat yang mendukung transformasi ke arah yang lebih baik. Salah satu pendekatan yang dibahas adalah risk-needs-responsivity framework (RNR), yang menilai risiko dan kebutuhan spesifik tiap narapidana.

Misalnya, Namibia Correctional Service menerapkan program berbasis bukti yang disesuaikan dengan konteks lokal. Di sisi lain, Norwegia menerapkan prinsip normalization, yaitu memperlakukan kehidupan di dalam penjara semirip mungkin dengan kehidupan di masyarakat. Para petugas penjara bukan hanya penjaga, tetapi juga fasilitator rehabilitasi yang dilatih membangun hubungan prososial dengan warga binaan.

Studi menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan vokasional di penjara mampu menurunkan risiko residivisme dan meningkatkan peluang kerja pasca-bebas. UNODC bahkan meluncurkan program pelatihan daring interaktif berbasis Nelson Mandela Rules untuk memperkuat peran petugas penjara dalam rehabilitasi.

3. Studi Kasus Global: Mengurangi Kepadatan Penjara

Salah satu contoh sukses adalah Kazakhstan, yang berhasil menurunkan rasio penghuni penjara menjadi 194 per 100.000 penduduk dan menutup delapan penjara dalam satu dekade terakhir. Reformasi hukum pidana yang mengedepankan hukuman non-penjara serta pengurangan masa tahanan menjadi kunci keberhasilan ini.

Sementara itu, Argentina membentuk Corruption Prevention Service untuk menangani korupsi di lingkungan lembaga pemasyarakatan, demi menjamin transparansi dalam pelaksanaan program rehabilitasi.

4. Mengutamakan Alternatif Hukuman: Pendekatan Berbasis Komunitas

Alternatif hukuman seperti probation, parole, mediasi korban-pelaku, serta diversi untuk pengguna narkoba terbukti lebih efektif dalam mendorong reintegrasi sosial. Pendekatan ini juga lebih hemat biaya daripada pemenjaraan.

Sebagai contoh, di Austria, program mediasi korban-pelaku menunjukkan hasil signifikan, di mana 84% peserta tidak mengulangi pelanggaran hukum setelahnya. Di Filipina, pendekatan berbasis komunitas di tingkat barangay berhasil membentuk jaringan dukungan sosial bagi pelaku dan korban.

Namun demikian, penting untuk menghindari fenomena “net-widening”, yakni penggunaan pengawasan berlebihan terhadap pelanggar risiko rendah yang justru bisa meningkatkan peluang residivisme.

5. Peran Teknologi dalam Rehabilitasi

Teknologi juga memainkan peran strategis, terutama dalam menyambungkan narapidana dengan dunia luar. Di Kyrgyzstan, penggunaan aplikasi Skype memungkinkan keluarga melakukan kunjungan virtual, mengurangi tekanan logistik dan biaya.

Sementara di Singapura, pengembangan aplikasi seluler membantu mantan narapidana mencari pekerjaan, mengakses layanan konseling, dan membangun kembali kehidupan sosial secara bertahap.

6. Kolaborasi Multipihak: Kunci Keberlanjutan Reintegrasi

Rehabilitasi tidak bisa dijalankan oleh sistem hukum pidana saja. Pendekatan multipihak melibatkan pemerintah, LSM, masyarakat sipil, dunia usaha, dan keluarga. Misalnya, di Jepang, program volunteer probation officers melibatkan masyarakat langsung dalam membina mantan narapidana secara sukarela dan terstruktur.

UNODC juga menyoroti pentingnya pelatihan gender-sensitif dan responsif budaya untuk petugas rehabilitasi, serta program khusus untuk perempuan dan remaja pelaku pelanggaran hukum.

7. Kritik dan Tantangan

Meskipun strategi ini terdengar ideal, ada beberapa tantangan nyata di lapangan:

  • Overcrowding masih menjadi isu besar di 121 negara.
  • Pendekatan rehabilitatif bisa gagal jika tidak disertai reformasi manajemen penjara dan pemantauan eksternal.
  • Ketersediaan data yang andal mengenai tingkat residivisme masih minim secara global.
  • Tidak semua negara punya kapasitas atau kemauan politik untuk mendorong pendekatan alternatif.

Di sisi lain, pendekatan ini menyelaraskan antara keadilan sosial, penghematan biaya, dan perlindungan hak asasi manusia.

Kesimpulan

Mengurangi residivisme bukan hanya urusan sistem hukum pidana, tetapi sebuah misi kemanusiaan lintas sektor. Diperlukan kombinasi antara evidence-based practices, inovasi teknologi, kerja sama multipihak, dan keberpihakan terhadap rehabilitasi dibanding penghukuman semata. Jika berhasil diimplementasikan, pendekatan ini dapat mengubah penjara menjadi tempat harapan, bukan ketakutan; dan reintegrasi menjadi proses manusiawi, bukan sanksi berkepanjangan.

Sumber : United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (UNAFEI). (2021). Reducing Reoffending: Identifying Risks and Developing Solutions. Report of the Fourteenth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, Kyoto, Japan.

Selengkapnya
Strategi Global Mengurangi Residivisme: Pendekatan Rehabilitatif, Komunitas, dan Kolaboratif dalam Sistem Peradilan Pidana
« First Previous page 117 of 1.161 Next Last »