Pendidikan

Sebuah Pertanyaan yang Menggelisahkan: Mengapa Begitu Banyak Siswa "Putus Sekolah"?

Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 September 2025


Dalam dekade terakhir, Massive Open Online Courses atau MOOC telah menjanjikan revolusi di dunia pendidikan. Dengan akses gratis atau berbiaya rendah, serta jangkauan yang tidak terbatas oleh lokasi geografis, MOOC digadang-gadang sebagai demokratisasi pengetahuan, membuka pintu pendidikan tingkat universitas bagi jutaan orang di seluruh dunia. Institusi-institusi bergengsi, dari Harvard hingga MIT, berlomba-lomba meluncurkan platform mereka sendiri, memicu antusiasme media yang besar.1

Namun, euforia itu secara perlahan berhadapan dengan satu "kenyataan pahit": angka kelulusan yang sangat rendah. Angka ini, yang sering kali berada di bawah 13%, bahkan terkadang mencapai 2.6% pada beberapa kursus, telah digunakan oleh banyak pihak sebagai "dakwaan" terhadap format MOOC itu sendiri. Para kritikus berpendapat, jika begitu sedikit peserta yang berhasil menyelesaikan kursus, apakah platform ini benar-benar efektif? Banyak pihak bahkan memprediksi bahwa tingginya angka putus sekolah ini akan menjadi benih kehancuran MOOC itu sendiri.1

Menanggapi kegelisahan ini, sebuah studi yang diterbitkan dalam makalah konferensi dari University of Warwick, Inggris, berjudul "Dropout Rates of Massive Open Online Courses: Behavioural Patterns," hadir dengan perspektif yang sama sekali berbeda. Makalah ini tidak hanya mengonfirmasi rendahnya angka kelulusan, tetapi juga menggali cerita tersembunyi di balik data, mempertanyakan apakah "putus sekolah" benar-benar berarti "berhenti belajar".1

Dalam sebuah temuan yang mengejutkan, peneliti berpendapat bahwa klasifikasi "dropout" itu sendiri bermasalah. Mereka menemukan bahwa banyak peserta yang tidak menyelesaikan semua komponen kursus untuk mendapatkan sertifikat, nyatanya masih berpartisipasi. Alih-alih berhenti, mereka memilih untuk terlibat dengan kursus dengan cara mereka sendiri, baik itu dengan belajar pada kecepatan yang lebih lambat atau hanya fokus pada bagian materi yang mereka minati. Ini mengubah narasi fundamental dari "MOOC itu gagal" menjadi "kita selama ini salah mengukur kesuksesan MOOC".1

 

Mengapa Angka Ini Begitu Rendah? Membongkar Alasan di Balik Fenomena "Dropout"

Sebelum merinci temuan studi, penting untuk memahami lanskap masalah yang ada. Peneliti dari University of Warwick melakukan tinjauan literatur yang ekstensif, mengumpulkan alasan-alasan utama yang diidentifikasi oleh berbagai studi lain sebagai faktor pendorong putus sekolah di MOOC. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah tunggal, melainkan sebuah sindrom kompleks yang melibatkan berbagai faktor, baik yang berada di dalam maupun di luar kendali pengembang MOOC.1

Berikut adalah beberapa alasan paling menonjol yang disoroti oleh penelitian:

  • Kurangnya Niat Awal untuk Menyelesaikan. Fakta mengejutkan adalah bahwa banyak pendaftar MOOC tidak pernah memiliki niat untuk menyelesaikan kursus hingga akhir. Motivasi mereka bisa sesederhana "penasaran" tentang format MOOC, atau bahkan sekadar ingin "mengintip" konten untuk tujuan profesional mereka sendiri. Hal ini membuat angka kelulusan yang rendah menjadi bias, karena orang-orang ini seharusnya tidak masuk dalam statistik yang digunakan untuk menilai efektivitas kursus.1
  • Keterbatasan Waktu yang Signifikan. Ini adalah alasan yang paling sering dilaporkan, bahkan oleh peserta yang sangat termotivasi. Para peserta MOOC, yang sering kali adalah profesional yang sibuk, tidak dapat menyisihkan waktu yang konsisten untuk studi. Beban kerja kursus sering kali terlalu tinggi untuk disesuaikan dengan jadwal padat mereka. Ini menyoroti bahwa model "satu ukuran untuk semua" yang kaku tidak bisa mengakomodasi kebutuhan individu.1
  • Keterbatasan Keterampilan dan Latar Belakang yang Tidak Memadai. Akses "terbuka" pada MOOC adalah pedang bermata dua. Meskipun memungkinkan siapa saja untuk mendaftar, hal ini juga berarti peserta mungkin tidak memiliki prasyarat atau keterampilan yang diperlukan, baik dalam hal subjek materi (misalnya, matematika atau ilmu komputer) maupun keterampilan digital dasar. Akibatnya, mereka bisa merasa frustrasi dan bingung, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk keluar.1
  • Kurangnya Dukungan dan Pengalaman Negatif. Lingkungan pembelajaran online bisa menjadi tempat yang tidak ramah. Beberapa peserta melaporkan pengalaman buruk seperti interaksi yang tidak pantas dari sesama peserta di forum diskusi, kurangnya fokus dan koordinasi, hingga masalah teknis pada platform. Selain itu, kursus yang mengandalkan sistem penilaian oleh sesama peserta (peer-grading) sering kali memiliki tingkat kelulusan yang jauh lebih rendah, karena peserta tidak nyaman dengan konsep ini atau merasa penilaian yang diberikan tidak adil.1

 

Kisah di Balik Data Eksperimental: Sebuah Analisis yang Mengubah Persepsi

Untuk memahami masalah ini lebih dalam, peneliti dari University of Warwick melakukan studi kasus pada MOOC "Computing for Teachers" yang mereka kembangkan. Hal yang unik dari kursus ini adalah ia dijalankan dalam dua mode paralel: mode "tradisional" gratis dengan dukungan peer-to-peer dan mode "didukung" yang berbayar (sekitar £100) dan mencakup dukungan tutor langsung.1

Meskipun paper secara spesifik menyebutkan tabel dan figur untuk data partisipasi, versi yang kami tinjau tidak menyertakan data mentah tersebut. Namun, deskripsi naratif di dalamnya memberikan gambaran yang jelas dan dramatis tentang temuan. Dari total 552 pendaftar, sebanyak 87% atau 480 peserta, setidaknya mengakses satu materi dalam kursus. Namun, ada 72 orang (13%) yang tidak pernah mengakses materi sama sekali setelah mendaftar. Ini menunjukkan bahwa bahkan sebelum kursus dimulai, sebagian kecil pendaftar sudah bisa dianggap 'putus sekolah'.1

Penurunan partisipasi paling jelas terlihat pada kuis mingguan. Peneliti melaporkan "penurunan bertahap" dalam jumlah peserta kuis. Di sesi pertama, ada 134 peserta kuis, yang anjlok menjadi 19 peserta di sesi kelima. Penurunan dramatis ini, yang mencapai lebih dari 85%, seperti sebuah stadion yang penuh sesak di awal pertandingan, namun hampir kosong saat peluit akhir dibunyikan.1

Data nilai kuis juga menceritakan kisahnya sendiri. Di sesi kedua, peserta mencapai rata-rata skor tinggi sebesar 9.06 untuk kuis "Computing Concepts," yang menunjukkan pemahaman yang kuat terhadap materi. Namun, dua sesi kemudian, pada kuis "Python Programming" di sesi keempat, skor rata-rata merosot tajam menjadi 5.07, yang mengindikasikan adanya kesulitan signifikan yang dialami peserta. Penurunan skor ini, yang terjadi seiring dengan anjloknya partisipasi, menunjukkan bahwa banyak peserta kesulitan beradaptasi dengan materi yang semakin kompleks.1

 

Wawasan Tingkat Kedua: Mengurai Paradoks Komitmen Finansial

Titik paling menarik dari studi ini adalah perbandingan antara kelompok peserta gratis (mode tradisional) dan kelompok berbayar (mode didukung tutor). Meskipun jumlahnya kecil—hanya 30 peserta di kelompok berbayar—mereka menunjukkan tingkat partisipasi kuis yang secara persentase jauh lebih tinggi daripada kelompok gratis. Misalnya, di kuis terakhir sesi kelima, hanya 14 peserta tradisional yang berpartisipasi, dibandingkan dengan 5 peserta berbayar. Mengingat jumlah total pendaftar yang jauh lebih besar di kelompok tradisional, ini menunjukkan persentase partisipasi yang secara signifikan lebih tinggi di kelompok berbayar.1

Secara logis, seseorang mungkin akan berasumsi bahwa partisipasi yang lebih tinggi ini disebabkan oleh dukungan tutor langsung yang mereka bayar. Namun, para peneliti terkejut menemukan bahwa "sebagian besar siswa yang didukung tidak menggunakan sesi tutorial real-time atau forum yang dimonitor tutor." Ini secara langsung membantah asumsi tersebut. Partisipasi yang lebih baik tidak datang dari dukungan eksternal yang mereka beli, tetapi dari faktor internal.1

Penjelasan yang lebih masuk akal adalah bahwa pembayaran sebesar £100 menciptakan sebuah "komitmen finansial." Tindakan membayar bukanlah hal sepele; ini adalah bukti nyata dari motivasi dan niat awal yang kuat untuk menyelesaikan kursus. Pembayaran tersebut bertindak sebagai penguat psikologis, mendorong peserta untuk bertahan, bahkan ketika mereka tidak memanfaatkan semua layanan yang tersedia. Ini menunjukkan bahwa niat awal, yang terukur melalui komitmen finansial, adalah prediktor yang lebih kuat untuk bertahan daripada ketersediaan dukungan eksternal.1

 

Kritik Realistis dan Tantangan ke Depan

Meskipun studi ini menyajikan perspektif yang segar dan menarik, penting untuk mengakui keterbatasannya. Pertama, ukuran sampel untuk kelompok berbayar sangat kecil, hanya 30 orang. Hal ini membatasi generalisasi temuan. Kedua, kursus ini secara spesifik ditargetkan untuk para guru, audiens dengan jadwal dan motivasi yang mungkin berbeda secara signifikan dari peserta MOOC pada umumnya. Oleh karena itu, temuan ini mungkin tidak dapat langsung diterapkan ke semua jenis kursus.1

Selain itu, studi ini tidak secara eksplisit mengeksplorasi bagaimana intervensi dapat diterapkan dalam skala besar untuk mengatasi masalah-masalah yang diidentifikasi. Meskipun mengidentifikasi banyak masalah, seperti kurangnya dukungan dan ketidaksesuaian jadwal, makalah ini lebih berfokus pada diagnosis daripada memberikan resep solusi yang detail dan terukur.1

 

Dampak Nyata: Menuju Masa Depan Pembelajaran Online yang Lebih Cerdas

Studi dari University of Warwick ini adalah pengingat penting bahwa kita perlu mendefinisikan ulang apa arti "sukses" dalam dunia pendidikan online. Angka kelulusan yang kaku dan seragam tidak lagi relevan dalam ekosistem pembelajaran yang begitu beragam. Masalahnya bukanlah MOOC itu sendiri, melainkan kerangka kursus yang terlalu kaku dan tidak mampu beradaptasi dengan realitas kehidupan dan tujuan belajar peserta.1

Jika wawasan dari studi ini diterapkan, para pengembang MOOC bisa bergeser dari model "kursus kaku" menjadi "platform pembelajaran modular." Ini berarti memberikan peserta lebih banyak kontrol dan fleksibilitas untuk memilih dan menyesuaikan pola belajar mereka sendiri, alih-alih dipaksa mengikuti jadwal dan kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan individu. Fokus harus beralih dari sertifikat (yang banyak orang tidak pedulikan) ke pengalaman belajar yang bermakna dan relevan.

Jika diterapkan, wawasan dari studi ini bisa merevolusi cara MOOC didesain, berpotensi meningkatkan retensi dan keterlibatan peserta secara signifikan hingga 40-50% dalam lima tahun ke depan, dengan mengubah fokus dari tingkat kelulusan menjadi tingkat pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan individu. Ini akan mengukuhkan MOOC sebagai kekuatan transformatif sejati dalam pendidikan, bukan sekadar sebuah eksperimen yang gagal.1

Selengkapnya
Sebuah Pertanyaan yang Menggelisahkan: Mengapa Begitu Banyak Siswa "Putus Sekolah"?

Kebijakan Publik

Membangun Kepercayaan Publik melalui Reformasi Sistem Pengujian Produk Konstruksi

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 22 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Pengujian produk konstruksi merupakan fondasi penting untuk menjamin keamanan, kualitas, dan keandalan material yang digunakan dalam proyek infrastruktur. Laporan Independent Review of the Construction Product Testing Regime mengungkap adanya kelemahan serius dalam sistem pengujian, termasuk perbedaan standar antar laboratorium, keterbatasan kapasitas, serta keraguan publik terhadap hasil sertifikasi.

Bagi Indonesia, temuan ini sangat relevan. Industri konstruksi kita sedang berkembang pesat dengan kebutuhan material yang semakin beragam. Tanpa sistem pengujian yang kredibel, risiko kegagalan konstruksi meningkat, yang berpotensi mengakibatkan kecelakaan fatal, kerugian ekonomi, hingga menurunnya kepercayaan publik. Hal ini sejalan dengan artikel DiklatKerja Memahami Kontrol Kualitas dalam Konstruksi yang menekankan pentingnya penerapan kontrol mutu dan standar kuat agar produk konstruksi benar-benar sesuai dengan standar internasional.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi sistem pengujian produk konstruksi yang kuat membawa dampak positif berupa meningkatnya keamanan bangunan, perlindungan terhadap pengguna, dan daya saing produk lokal di pasar global. Jika pengujian dilakukan secara transparan dan terstandar, masyarakat dapat lebih percaya pada kualitas produk yang digunakan di proyek-proyek besar, termasuk proyek strategis nasional.

Namun, hambatan yang muncul tidak kecil. Pertama, banyak laboratorium di Indonesia masih memiliki keterbatasan fasilitas uji yang modern dan berstandar internasional. Kedua, proses sertifikasi sering kali dianggap mahal dan berbelit, sehingga produsen material enggan untuk mengikutinya. Ketiga, koordinasi antar lembaga regulasi masih lemah, menyebabkan standar pengujian tidak seragam di seluruh daerah.

Meski demikian, peluang besar terbuka melalui digitalisasi proses uji, kolaborasi dengan lembaga internasional, serta penguatan kapasitas laboratorium dalam negeri. Dengan dukungan kebijakan publik yang tepat, sistem pengujian produk konstruksi dapat menjadi salah satu instrumen utama dalam menjaga kualitas pembangunan nasional.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Pertama, pemerintah perlu menetapkan standar nasional yang seragam untuk pengujian produk konstruksi, dengan mengacu pada praktik terbaik internasional. Kedua, laboratorium pengujian harus diakreditasi secara ketat agar hasilnya kredibel dan konsisten. Ketiga, biaya sertifikasi perlu ditekan melalui subsidi atau insentif fiskal agar produsen lokal tidak terbebani. Keempat, sistem digital untuk transparansi hasil uji harus dibangun agar publik dapat mengakses informasi dengan mudah. Kelima, kerja sama internasional perlu diperluas, baik dalam bentuk transfer teknologi maupun benchmarking standar uji.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan pengujian produk konstruksi hanya berhenti pada regulasi tanpa implementasi yang konsisten, risiko kegagalan sangat besar. Produk berkualitas rendah bisa lolos ke pasar, menimbulkan potensi kerugian dan bahaya keselamatan. Selain itu, tanpa pengawasan yang kuat, sertifikasi dapat berubah menjadi formalitas administratif semata, kehilangan kredibilitas di mata masyarakat maupun investor asing. Akibatnya, daya saing industri konstruksi nasional pun bisa merosot drastis.

Penutup

Studi Independent Review of the Construction Product Testing Regime menegaskan pentingnya sistem pengujian yang kuat, kredibel, dan transparan sebagai bagian dari ekosistem konstruksi modern. Bagi Indonesia, kebijakan publik yang memperkuat standardisasi dan akreditasi laboratorium pengujian akan menjadi langkah strategis untuk memastikan kualitas infrastruktur nasional. Dengan pengawasan ketat, insentif yang tepat, dan pemanfaatan teknologi digital, Indonesia dapat membangun sistem pengujian produk konstruksi yang tidak hanya melindungi masyarakat, tetapi juga meningkatkan daya saing global.

Sumber

Independent Review of the Construction Product Testing Regime, 2022.

Selengkapnya
Membangun Kepercayaan Publik melalui Reformasi Sistem Pengujian Produk Konstruksi

Standar Internasional

Kebijakan Publik atas Certification Bodies’ Interpretation and Application of the ISO 19011 Audit Process Guidelines

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 22 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

ISO 19011 adalah pedoman internasional yang mengatur tata cara audit sistem manajemen. Studi ini mengungkap bahwa lembaga sertifikasi memiliki variasi signifikan dalam menafsirkan dan mengaplikasikan pedoman tersebut. Sebagian audit dijalankan secara ketat sesuai prosedur, sementara sebagian lain bersifat lebih longgar, bergantung pada konteks organisasi klien dan interpretasi auditor. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi dan kredibilitas hasil audit.

Bagi Indonesia, temuan ini relevan karena semakin banyak organisasi yang mengikuti sertifikasi ISO, baik di bidang mutu, lingkungan, maupun kesehatan dan keselamatan kerja. Namun, tanpa pengawasan yang ketat terhadap lembaga sertifikasi, standar audit bisa menjadi formalitas semata. Hal ini serupa dengan catatan dari DiklatKerja pada artikel Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi: Kunci Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja atau Formalitas Administratif? yang menyoroti risiko sertifikasi hanya dipandang sebagai kewajiban administratif tanpa memberi dampak nyata pada kualitas. Situasi ini mengingatkan kita bahwa sertifikasi harus disertai dengan audit independen yang kredibel agar benar-benar mendorong perbaikan berkelanjutan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif dari penerapan ISO 19011 secara konsisten adalah meningkatnya kepercayaan publik terhadap sertifikasi. Organisasi yang diaudit dengan standar yang jelas akan mampu menunjukkan komitmen mereka terhadap mutu, lingkungan, dan keselamatan kerja. Bagi pemerintah, hal ini berarti adanya jaminan bahwa regulasi dan standar internasional benar-benar dijalankan.

Namun, hambatan utama adalah keterbatasan jumlah auditor yang benar-benar memahami pedoman ISO 19011 secara mendalam. Selain itu, praktik audit yang tidak konsisten antar lembaga sertifikasi menimbulkan keraguan dari dunia usaha maupun masyarakat. Hambatan lain adalah biaya audit yang dianggap tinggi oleh sebagian organisasi kecil dan menengah.

Di sisi lain, peluang terbuka melalui digitalisasi proses audit. Dengan teknologi digital, audit dapat dilakukan lebih transparan, terdokumentasi, dan terstandar. Indonesia juga memiliki peluang untuk memperkuat posisi lembaga sertifikasi nasional dengan menjalin kolaborasi internasional agar standar audit lebih seragam dan kredibel.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Pertama, pemerintah perlu menetapkan regulasi nasional yang memperjelas penerapan ISO 19011 sebagai standar wajib bagi seluruh lembaga sertifikasi yang beroperasi di Indonesia. Kedua, mekanisme akreditasi dan pengawasan lembaga sertifikasi harus diperkuat agar hasil audit lebih konsisten. Ketiga, insentif pelatihan auditor perlu diperluas untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia di bidang ini. Keempat, transparansi hasil audit harus ditingkatkan, misalnya dengan publikasi ringkasan audit agar masyarakat dapat menilai integritas organisasi. Kelima, pemanfaatan teknologi digital dalam proses audit harus didorong untuk menciptakan sistem yang lebih efisien dan akuntabel.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan terkait audit ISO 19011 tidak diterapkan secara konsisten, risiko besar dapat muncul. Sertifikasi bisa kehilangan kredibilitas, organisasi hanya mengejar sertifikat tanpa benar-benar memperbaiki sistem mereka, dan lembaga sertifikasi berpotensi dipandang sebagai penyedia jasa administratif belaka. Dalam kondisi tersebut, tujuan utama audit—yakni memastikan keberlanjutan dan peningkatan mutu—tidak tercapai. Bahkan, risiko kegagalan ini bisa memperburuk kepercayaan internasional terhadap standar Indonesia, sehingga mengurangi daya saing global.

Penutup

Studi tentang interpretasi dan penerapan ISO 19011 oleh lembaga sertifikasi menunjukkan bahwa standar audit internasional masih memiliki ruang untuk penyempurnaan dalam hal konsistensi dan pengawasan. Untuk Indonesia, kebijakan publik yang memperkuat penerapan ISO 19011 akan membantu meningkatkan kualitas audit, menjaga kredibilitas sertifikasi, dan pada akhirnya mendukung peningkatan mutu, keselamatan, serta daya saing global. Sertifikasi bukan hanya dokumen formal, melainkan sebuah proses yang harus menggerakkan organisasi menuju praktik terbaik.

Sumber

Certification bodies’ interpretation and application of the ISO 19011 audit process guidelines. International Journal of Quality and Reliability Management, 2023.

Selengkapnya
Kebijakan Publik atas Certification Bodies’ Interpretation and Application of the ISO 19011 Audit Process Guidelines

Green Building

Kebijakan Publik atas Green Building Performance and Public-Private Partnerships

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 22 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Bangunan hijau merupakan salah satu pilar utama dalam upaya menekan emisi karbon sekaligus meningkatkan efisiensi energi di sektor konstruksi. Penelitian dalam artikel ini menunjukkan bahwa kinerja green building tidak hanya ditentukan oleh aspek teknis seperti material ramah lingkungan atau desain hemat energi, tetapi juga oleh tata kelola dan pembiayaan yang mendukung keberlanjutan jangka panjang. Skema public-private partnership (PPP) muncul sebagai mekanisme penting untuk menjembatani kebutuhan investasi besar dengan keterbatasan anggaran pemerintah.

Temuan ini penting karena menunjukkan bahwa keberhasilan bangunan hijau bergantung pada sinergi antara regulasi pemerintah, komitmen sektor swasta, dan kesadaran masyarakat. Dalam konteks Indonesia, meskipun regulasi bangunan hijau sudah mulai diperkenalkan, penerapannya masih terbatas pada proyek-proyek tertentu di perkotaan besar. Dengan mendorong keterlibatan sektor swasta melalui PPP, kebijakan publik dapat memperluas cakupan penerapan green building sehingga dampaknya lebih merata. Hal ini sejalan dengan artikel DiklatKerja Menuju Masa Depan Hijau: Analisis Penerapan Teknologi Konstruksi Ramah Lingkungan dalam Proyek Infrastruktur yang menekankan pentingnya insentif regulasi dan adopsi teknologi hijau untuk mempercepat transisi pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi bangunan hijau melalui PPP membawa dampak signifikan bagi pembangunan berkelanjutan. Dampak positif yang utama adalah pengurangan emisi karbon melalui efisiensi energi dan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan. Selain itu, terdapat peningkatan kualitas hidup penghuni karena bangunan hijau memberikan lingkungan yang lebih sehat, efisien, dan nyaman. Dampak ekonomi juga terlihat dalam bentuk penghematan biaya operasional jangka panjang, meskipun investasi awal relatif tinggi.

Namun, terdapat hambatan yang tidak bisa diabaikan. Biaya awal pembangunan bangunan hijau cenderung lebih mahal, yang membuat pengembang swasta enggan untuk berpartisipasi tanpa insentif yang jelas. Di sisi lain, regulasi pemerintah sering kali belum konsisten, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi investor. Hambatan lain muncul dalam bentuk keterbatasan kapasitas teknis dan sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang desain dan konstruksi ramah lingkungan.

Meskipun demikian, peluang besar terbuka melalui inovasi teknologi dan kerangka kebijakan yang semakin mendukung transisi hijau. Dukungan internasional dalam bentuk pembiayaan hijau, transfer teknologi, dan kerja sama lintas negara dapat menjadi katalis penting. Indonesia juga dapat memanfaatkan momentum global menuju net zero emission dengan memperkuat regulasi bangunan hijau dan memberikan insentif fiskal yang menarik bagi sektor swasta.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Pertama, pemerintah perlu memperkuat regulasi bangunan hijau dengan standar teknis yang jelas dan mengikat, serta memastikan implementasi di berbagai level pemerintahan daerah. Kedua, insentif fiskal seperti pengurangan pajak atau kemudahan perizinan harus diberikan kepada pengembang yang berkomitmen membangun green building melalui skema PPP. Ketiga, pemerintah perlu membangun kapasitas teknis melalui pendidikan dan pelatihan yang fokus pada desain dan manajemen bangunan hijau. Keempat, transparansi dalam kontrak PPP harus dijaga agar investor swasta memiliki kepastian hukum dan jaminan pengembalian investasi. Kelima, kampanye publik yang mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya bangunan hijau perlu diperluas agar tercipta permintaan pasar yang kuat.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan terkait bangunan hijau dan PPP tidak dijalankan secara konsisten, risiko kegagalan cukup besar. Tanpa regulasi yang kuat dan insentif yang memadai, pengembang swasta akan cenderung menghindari proyek green building karena biaya awal yang tinggi. Selain itu, jika tidak ada mekanisme pengawasan yang transparan, PPP bisa disalahgunakan untuk kepentingan jangka pendek tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Risiko lainnya adalah terjadinya kesenjangan pembangunan, di mana bangunan hijau hanya terkonsentrasi di kota besar sementara wilayah lain tertinggal. Hal ini dapat mengurangi dampak positif yang seharusnya dihasilkan oleh kebijakan bangunan hijau secara nasional.

Penutup

Penelitian tentang kinerja bangunan hijau dan peran PPP memberikan wawasan penting bahwa keberhasilan transisi hijau tidak bisa hanya bergantung pada aspek teknis, tetapi juga pada tata kelola, kebijakan, dan kolaborasi lintas sektor. Indonesia memiliki peluang besar untuk memperluas penerapan green building dengan memanfaatkan skema PPP, asalkan disertai regulasi yang kuat, insentif yang menarik, serta keterlibatan masyarakat yang aktif. Dengan demikian, kebijakan publik yang berpihak pada pembangunan berkelanjutan dapat membawa Indonesia lebih dekat pada target net zero emission dan meningkatkan daya saing global.

Sumber

Green Building Performance and Public-Private Partnerships. IJBPA, 2022.

Selengkapnya
Kebijakan Publik atas Green Building Performance and Public-Private Partnerships

Keselamatan Kerja

Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 22 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian ini berfokus pada perspektif para pekerja konstruksi atau tradespeople, kelompok yang paling rentan terhadap risiko kecelakaan. Mereka menilai bagaimana kebijakan dan sistem manajemen K3 yang ada benar-benar bekerja dalam kehidupan sehari-hari di proyek. Temuan menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara manajemen dan pekerja lapangan. Bagi banyak pekerja, pelatihan keselamatan masih dianggap formalitas, sementara implementasi praktik pencegahan di lapangan belum optimal. Hal ini memperlihatkan adanya jurang antara desain kebijakan di atas kertas dengan realitas pelaksanaan di proyek.

Dalam konteks Indonesia, masalah ini sangat relevan. Regulasi formal terkait K3 sudah ada, bahkan diwajibkan dalam berbagai proyek strategis. Namun, tingkat kecelakaan kerja di sektor konstruksi masih tinggi. Pekerja lapangan sering tidak mendapatkan pelatihan yang memadai atau perlengkapan pelindung diri yang layak. Penelitian ini menekankan perlunya kebijakan publik yang tidak hanya menyusun aturan, tetapi juga melibatkan para pekerja dalam perencanaan dan evaluasi sistem K3. Hal ini sejalan dengan panduan dari artikel K3 di Sektor Konstruksi: Panduan Lengkap untuk Mencegah Kecelakaan Kerja Berdasarkan Standar ILO yang menjelaskan bahwa regulasi keselamatan harus diterapkan sejak tahap perencanaan dan dirancang agar sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi manajemen K3 memiliki dampak positif yang signifikan. Dengan pelatihan yang benar dan kepatuhan pada protokol, angka kecelakaan dapat ditekan, produktivitas meningkat, dan kualitas pekerjaan lebih terjamin. Keberadaan budaya keselamatan yang kuat juga menciptakan rasa aman bagi pekerja, yang pada akhirnya meningkatkan motivasi kerja.

Namun, terdapat banyak hambatan yang muncul. Salah satunya adalah budaya kerja di mana pekerja seringkali mengutamakan kecepatan dan target proyek dibandingkan keselamatan. Kurangnya pengawasan yang konsisten membuat banyak prosedur keselamatan hanya berjalan di atas kertas. Hambatan lain adalah biaya tambahan untuk pelatihan dan penyediaan alat pelindung diri, yang sering dianggap sebagai beban oleh kontraktor.

Meski begitu, peluang tetap besar. Dengan meningkatnya perhatian publik terhadap isu keselamatan kerja, ditambah dengan dorongan dari organisasi internasional seperti ILO, ada ruang untuk memperkuat kebijakan K3 di sektor konstruksi. Pemanfaatan teknologi digital seperti aplikasi monitoring keselamatan dan wearable devices juga membuka peluang untuk meningkatkan pengawasan secara real-time.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Pertama, pemerintah perlu mewajibkan integrasi pelatihan K3 berbasis praktik ke dalam setiap proyek konstruksi, bukan hanya sebagai formalitas administratif. Kedua, perlu ada mekanisme pengawasan independen untuk memastikan bahwa standar keselamatan benar-benar diterapkan di lapangan. Ketiga, penyediaan perlengkapan pelindung diri harus menjadi tanggung jawab kontraktor utama, dengan sanksi tegas jika lalai. Keempat, kebijakan publik harus mendorong partisipasi pekerja dalam evaluasi program K3, karena merekalah yang paling memahami risiko nyata di lapangan. Kelima, pemanfaatan teknologi digital dalam pengawasan keselamatan harus diperluas agar kebijakan lebih adaptif terhadap tantangan lapangan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan K3 tidak diterapkan secara konsisten, risiko yang muncul sangat besar. Pertama, angka kecelakaan kerja akan tetap tinggi, menyebabkan kerugian manusia dan ekonomi. Kedua, kredibilitas regulasi K3 akan melemah, karena pekerja melihatnya hanya sebagai aturan formal tanpa dampak nyata. Ketiga, ketidakselarasan antara kebijakan dan praktik lapangan akan memperlebar kesenjangan kepercayaan antara pekerja dan manajemen. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan daya saing industri konstruksi Indonesia di mata investor global.

Penutup

Penelitian tentang pandangan pekerja konstruksi terhadap manajemen K3 memberikan pelajaran penting bahwa keselamatan kerja bukan hanya persoalan regulasi, tetapi juga budaya, kepedulian, dan implementasi nyata. Indonesia perlu mengambil pelajaran dari temuan ini untuk memperkuat kebijakan publik yang menekankan keterlibatan pekerja, konsistensi pengawasan, dan pemanfaatan teknologi. Dengan langkah-langkah tersebut, industri konstruksi dapat bergerak menuju masa depan yang lebih aman, produktif, dan berdaya saing global.

Sumber

Health and Safety Management on Construction Projects: The View of Construction Tradespeople.

Selengkapnya
Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan

Transportasi

Kebijakan Publik atas Guidance on ECM Certification Process

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 22 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Proses sertifikasi ECM merupakan sebuah mekanisme formal yang memastikan entitas yang bertanggung jawab atas perawatan sarana perkeretaapian memenuhi standar yang ditetapkan. Dalam konteks internasional, ECM adalah aktor penting dalam memastikan bahwa kereta api yang beroperasi tetap aman, andal, dan sesuai dengan standar teknis maupun regulasi keselamatan. Dokumen ini menegaskan bahwa sertifikasi tidak hanya berfungsi sebagai persyaratan administratif, melainkan sebagai jaminan kualitas sistem perawatan yang melibatkan aspek manajemen, teknis, dan operasional.

Bagi Indonesia yang sedang mengembangkan berbagai proyek transportasi berbasis rel, mulai dari kereta cepat hingga LRT dan MRT, keberadaan standar perawatan yang diakui secara internasional menjadi sangat krusial. Dengan sertifikasi ECM, ada mekanisme yang terstruktur untuk memastikan bahwa perawatan sarana dilakukan sesuai standar dan audit independen, sehingga risiko kecelakaan dapat ditekan. Hal ini sangat terkait dengan diskusi pada artikel mengenai Sertifikasi Profesi dan Sertifikasi Kompetensi yang menjelaskan pentingnya standar kompetensi dan sertifikasi yang jelas agar profesi dan tanggung jawab perawatan menjadi tegas dan diakui secara resmi.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan sertifikasi ECM memiliki berbagai dampak positif. Pertama, adanya jaminan standar kualitas dalam perawatan akan meningkatkan keselamatan penumpang dan pekerja, sekaligus memperpanjang umur teknis sarana. Kedua, penerapan ECM menciptakan transparansi dan akuntabilitas, karena setiap entitas yang tersertifikasi harus mampu menunjukkan bukti sistem manajemen perawatan yang terdokumentasi. Ketiga, dampak ekonominya cukup signifikan, karena biaya perawatan jangka panjang dapat ditekan melalui praktik preventif yang lebih terukur.

Namun, di balik potensi tersebut, terdapat sejumlah hambatan. Indonesia masih menghadapi keterbatasan kapasitas lembaga sertifikasi dan auditor yang kompeten dalam bidang ini. Regulasi juga belum sepenuhnya mengakomodasi adopsi sistem sertifikasi internasional, sehingga dapat menimbulkan tumpang tindih aturan. Selain itu, biaya sertifikasi sering dianggap beban tambahan bagi operator, terutama perusahaan yang masih dalam tahap awal pengembangan infrastruktur.

Meskipun demikian, peluang tetap terbuka lebar. Penerapan ECM di Indonesia dapat didukung oleh kemitraan internasional, baik dengan lembaga sertifikasi maupun perusahaan perkeretaapian global. Selain itu, peluang digitalisasi perawatan melalui teknologi seperti predictive maintenance dan big data analytics dapat melengkapi sistem ECM, membuatnya lebih adaptif dan efisien. Dengan demikian, sertifikasi ECM dapat berperan sebagai katalis modernisasi industri perkeretaapian nasional.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Pertama, pemerintah perlu menetapkan regulasi nasional yang mengadopsi prinsip-prinsip ECM ke dalam peraturan perkeretaapian Indonesia. Regulasi ini harus mencakup standar teknis, prosedur audit, serta mekanisme pengawasan yang konsisten. Kedua, perlu dibangun kapasitas lembaga sertifikasi domestik yang berlisensi dan diakui secara internasional, sehingga Indonesia tidak hanya bergantung pada pihak luar dalam menjalankan sertifikasi. Ketiga, kebijakan publik harus mendorong operator untuk mengintegrasikan sertifikasi ECM dengan sistem manajemen perawatan internal, agar sertifikasi tidak berhenti pada tataran administratif. Keempat, dukungan insentif keuangan, baik dalam bentuk subsidi maupun keringanan biaya sertifikasi, perlu diberikan kepada operator kecil atau baru yang mungkin terbebani dengan biaya implementasi. Kelima, kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga riset harus ditingkatkan untuk menciptakan tenaga ahli perawatan yang memiliki pemahaman mendalam tentang ECM dan dapat menjadi bagian dari ekosistem sertifikasi di masa depan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan sertifikasi ECM tidak diterapkan dengan konsistensi yang kuat, beberapa risiko besar dapat terjadi. Pertama, sertifikasi bisa kehilangan makna dan hanya menjadi formalitas administratif, tanpa benar-benar meningkatkan kualitas perawatan. Kedua, biaya tambahan dari sertifikasi yang tidak diimbangi dengan manfaat nyata dapat memicu resistensi dari operator, yang justru mengurangi partisipasi dalam proses sertifikasi. Ketiga, tanpa audit independen yang kredibel, integritas sistem ECM akan diragukan, sehingga kepercayaan publik terhadap keselamatan transportasi rel bisa menurun. Dalam jangka panjang, kegagalan implementasi ECM dapat memperburuk citra perkeretaapian Indonesia dan membuat negara ini tertinggal dari standar global dalam hal keselamatan dan manajemen perawatan.

Penutup

Guidance on ECM Certification Process memberikan gambaran yang komprehensif tentang bagaimana sistem sertifikasi dapat digunakan untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi dalam industri perkeretaapian. Untuk Indonesia, adopsi kebijakan ini bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak seiring dengan semakin luasnya pembangunan transportasi berbasis rel. Dengan kerangka regulasi yang jelas, lembaga sertifikasi yang kredibel, serta dukungan sumber daya manusia dan teknologi, penerapan ECM dapat menjadi fondasi penting dalam mewujudkan sistem transportasi yang aman, efisien, dan berdaya saing internasional.

Sumber

Guidance on ECM Certification Process. European Union Agency for Railways (ERA).

Selengkapnya
Kebijakan Publik atas Guidance on ECM Certification Process
« First Previous page 115 of 1.274 Next Last »