Teknologi Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Dalam era transformasi ekonomi dan tantangan global pasca-pandemi, sektor konstruksi memainkan peran yang semakin vital dalam menopang stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Artikel ilmiah berjudul "Construction Sector Contribution to Economic Stability: Malaysian GDP Distribution" karya Alaloul et al. (2021) menawarkan kajian mendalam mengenai keterkaitan antara sektor konstruksi dan sektor-sektor utama lainnya dalam PDB Malaysia. Melalui pendekatan ekonometrik dan peramalan berbasis model VECM, penelitian ini memberikan landasan penting bagi perumusan kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Relevansi Penelitian
Sektor konstruksi menyumbang hingga 5–7% terhadap PDB global, dan di Malaysia, kontribusinya mencapai nilai tertinggi sebesar RM 146,37 miliar pada 2019. Namun, dampak pandemi COVID-19 menyebabkan penurunan signifikan hingga 44,5% pada Q2 2020. Situasi ini memperlihatkan betapa sensitifnya sektor ini terhadap gangguan eksternal. Oleh karena itu, penting untuk memahami keterkaitannya dengan sektor lain guna merancang kebijakan adaptif.
Tujuan dan Metodologi
Penelitian ini bertujuan untuk:
Menilai hubungan jangka pendek dan panjang antara sektor konstruksi dan sektor-sektor utama (pertanian, manufaktur, jasa, pertambangan).
Menyusun model peramalan kontribusi konstruksi terhadap PDB hingga 2050.
Mengembangkan kerangka kerja konseptual untuk keberlanjutan sektor konstruksi.
Metode:
Data 1970–2019 dari Department of Statistics Malaysia dan World Bank.
Pengujian Pearson correlation, uji akar unit ADF, cointegration Johansen, Granger causality, dan pemodelan VECM.
Peramalan hingga 2050, serta uji IRF dan CUSUM untuk respons terhadap guncangan.
Temuan Utama
1. Hubungan Keterkaitan Antar Sektor
Konstruksi menunjukkan korelasi tinggi dengan sektor lain (Pearson > 0,95).
Granger causality menunjukkan sektor jasa dan pertanian memengaruhi konstruksi secara unidirectional.
Sektor manufaktur, pertambangan, dan PDB tidak memengaruhi konstruksi secara signifikan.
2. Respons terhadap Guncangan
IRF menunjukkan bahwa guncangan dari konstruksi berdampak positif jangka pendek terhadap manufaktur dan jasa.
Guncangan pada sektor pertanian memiliki dampak tertunda tapi positif pada konstruksi.
Guncangan internal konstruksi menunjukkan kenaikan hingga tahun ke-8 sebelum kembali stabil.
3. Peramalan Kontribusi hingga 2050
Nilai kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB diperkirakan naik tiga kali lipat dari 2020 hingga 2050.
Prediksi menyebutkan kontribusi akan mencapai RM 280 miliar pada 2050.
Validasi model melalui Theil U-statistic = 0, menunjukkan akurasi tinggi.
Studi Kasus dan Konteks Praktis
Pandemi COVID-19 menyebabkan kerugian besar pada sektor konstruksi Malaysia:
Penundaan proyek, kenaikan biaya, PHK masal.
Paket stimulus PRIHATIN diluncurkan untuk memulihkan sektor ini.
Kontribusi konstruksi turun 44,5% di Q2 2020, lalu pulih 12,4% di Q3.
Framework Keberlanjutan
Penelitian ini menyusun framework konseptual berbasis tiga pilar:
Stakeholder Engagement: Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Produktivitas dan Teknologi: Adopsi metode konstruksi modern dan green building.
Regulasi dan Lingkungan: Legislasi ketat untuk pembangunan berkelanjutan.
Diagram Framework
Input: Alokasi anggaran dan sumber daya
↓
Sektor Ekonomi (Khususnya Konstruksi)
↓
Output: Pertumbuhan PDB, Infrastruktur, Lapangan Kerja, Keberlanjutan
Perbandingan dan Nilai Tambah
Penelitian ini memperluas studi sebelumnya dengan mengintegrasikan IRF dan VECM secara simultan. Berbeda dari studi di Australia atau China yang hanya memodelkan harga atau tenaga kerja, artikel ini menyoroti dinamika intersektoral dan dampaknya terhadap keberlanjutan.
Kritik:
Data hanya sampai 2019, belum mencakup dampak penuh COVID-19.
Generalisasi terbatas pada konteks Malaysia.
VECM memiliki keterbatasan dalam memprediksi pergeseran eksternal besar.
Namun, model ini bisa direplikasi di negara berkembang lain untuk membangun strategi pembangunan infrastruktur yang tangguh.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Sektor konstruksi di Malaysia tidak hanya menjadi pendorong pertumbuhan, tetapi juga indikator kepekaan ekonomi terhadap krisis. Studi ini menunjukkan bahwa dukungan kebijakan, teknologi, dan strategi keberlanjutan dapat menjadikan sektor ini tahan terhadap guncangan dan tetap berkontribusi positif terhadap PDB nasional.
Rekomendasi:
Pemerintah perlu mendorong green construction dan insentif fiskal.
Adaptasi framework ke kebijakan nasional dan daerah.
Pembaruan data pasca-2020 untuk validasi lanjutan.
Dengan pendekatan berbasis data dan integrasi multivariat, Malaysia dapat menjadikan sektor konstruksi sebagai pilar ekonomi masa depan yang tangguh dan berkelanjutan.
Sumber:
Alaloul, W. S., et al. (2021). Construction Sector Contribution to Economic Stability: Malaysian GDP Distribution. Sustainability, 13(9), 5012. https://doi.org/10.3390/su13095012
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi global sedang menghadapi tantangan besar akibat krisis tenaga kerja yang semakin akut. Faktor demografis, dampak pandemi COVID-19, dan ketimpangan antara pensiunnya tenaga kerja senior dengan ketersediaan talenta muda telah mengganggu rantai pasok dan produktivitas. Dalam artikel bertajuk "Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry" (Kassa et al., 2023), para peneliti dari University of Kansas, Arizona State University, dan University of North Carolina memaparkan pendekatan sistematis untuk meningkatkan kinerja proyek melalui pengembangan kompetensi Project Manager (PM) dan Field Leader (FL).
Latar Belakang: Mengapa Fokus pada PM dan FL?
Menurut survei AGC dan Autodesk (2022), 93% kontraktor di AS melaporkan kekosongan posisi kerja dan 91% kesulitan mengisi posisi penting. PM dan FL merupakan dua peran kunci yang menentukan kelancaran proyek. Namun, meski banyak penelitian mengidentifikasi kompetensi penting mereka, hanya sedikit yang secara kuantitatif mengukur kinerja aktual mereka untuk tujuan pelatihan yang terfokus.
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Tujuan:
Mengembangkan dua alat ukur tunggal berbasis kompetensi: PMPC (Project Manager Performance Construct) dan FLPC (Field Leader Performance Construct).
Mengklasifikasi PM dan FL ke dalam kelompok top-performers, above average, dan average/below average.
Memberi dasar bagi pelatihan kustom sesuai kebutuhan masing-masing individu.
Metodologi:
187 PM dan 80 FL dari berbagai kontraktor AS dinilai langsung oleh supervisor mereka.
Penilaian dilakukan dengan skala 1–10 untuk berbagai aspek, seperti kualitas kerja, kepemimpinan, adaptabilitas, dan komunikasi.
Data dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA), Cronbach’s Alpha untuk reliabilitas, serta uji ANOVA dan Kruskal-Wallis untuk signifikansi statistik.
Temuan Kunci dan Analisis Tambahan
1. Evaluasi Kinerja Project Manager
7 dimensi kinerja dinilai: kualitas kerja, pengetahuan teknis, kepemimpinan, komunikasi, inisiatif, ketepatan waktu, dan kepuasan supervisor.
PCA menghasilkan satu komponen (PMPC) yang mewakili keseluruhan kompetensi PM.
PM diklasifikasi menjadi:
Top performers: 11 orang (5,9%)
Above average: 95 orang (50,8%)
Below average: 81 orang (43,3%)
Insight Tambahan:
Top-performing PM menunjukkan dominasi di semua dimensi: mereka bukan hanya teknikal, tetapi juga komunikatif dan proaktif. Mereka membawa profit, menyelesaikan proyek tepat waktu, dan menjadi panutan tim.
2. Evaluasi Field Leader
22 indikator kinerja dikelompokkan ke dalam 4 kategori: teknis, kepemimpinan-komunikasi, adaptabilitas, dan performa umum.
PCA mengidentifikasi satu komponen (FLPC) untuk klasifikasi.
Top performers: 15 orang (19%)
Average performers: 65 orang (81%)
Insight Tambahan:
FL unggul memiliki kemampuan antisipasi tantangan, kolaborasi lintas tim, adaptasi terhadap teknologi baru, serta kepemimpinan karismatik. Mereka mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan menjaga ritme proyek.
Studi Kasus: Dampak Evaluasi Berbasis PMPC dan FLPC
Seorang FL di Texas yang sebelumnya dinilai biasa-biasa saja berhasil naik kelas setelah pelatihan berbasis hasil evaluasi FLPC. Ia meningkatkan keterampilan komunikasi dan estimasi biaya. Dalam proyek perbaikan jembatan, efisiensi waktu meningkat 12% dan biaya turun 7%. Studi kasus seperti ini membuktikan bahwa pendekatan berbasis data dapat berdampak nyata.
Nilai Tambah dan Implikasi Industri
A. Kontribusi Ilmiah:
Menyediakan kerangka evaluasi berbasis kuantitatif, bukan hanya persepsi.
Memungkinkan pelatihan kustom, bukan one-size-fits-all.
Dapat digunakan dalam proses rekrutmen dan promosi.
B. Implikasi Praktis:
Untuk kontraktor: Bisa digunakan untuk penugasan proyek secara strategis.
Untuk pemerintah: Mendukung penyusunan kebijakan pelatihan tenaga kerja sektor konstruksi.
Untuk institusi pendidikan: Menjadi acuan dalam menyusun kurikulum berbasis kebutuhan industri.
C. Kritik terhadap Penelitian:
Masih terbatas pada PM dan FL, belum mencakup estimator, drafter, dan foreman.
Data FL relatif kecil (80 responden), hasil bisa lebih tajam jika diperluas.
Belum memperhitungkan faktor budaya, regional, atau ukuran perusahaan.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Mir & Pinnington (2014) menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat bergantung pada indikator kinerja PM. Namun, studi mereka berbasis persepsi. Artikel ini melangkah lebih jauh dengan kuantifikasi berbasis rating dan PCA.
Demikian juga, studi oleh Soemardi & Pribadi (2018) di Indonesia menekankan pentingnya foreman informal. Jika FLPC diadaptasi, pendekatan ini dapat menjembatani pelatihan foreman berbasis kebutuhan nyata.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kassa dkk. (2023) menawarkan solusi strategis dalam menghadapi krisis tenaga kerja konstruksi: bukan hanya dengan merekrut lebih banyak orang, tetapi dengan mengasah potensi yang sudah ada. Melalui PMPC dan FLPC, organisasi dapat:
Mendeteksi area lemah tenaga kerja
Merancang pelatihan spesifik berbasis data
Meningkatkan produktivitas dan retensi karyawan secara signifikan
Rekomendasi:
Skala data diperluas secara nasional dan global
Adaptasi model PMPC/FLPC untuk konteks lokal (termasuk di Indonesia)
Integrasi sistem ini ke dalam software HR dan manajemen proyek
Dengan pendekatan ini, industri konstruksi dapat menjawab tantangan tenaga kerja bukan hanya dengan solusi sementara, tetapi melalui transformasi budaya kerja yang berbasis data dan kompetensi.
Sumber:
Kassa, R., Ogundare, I., Lines, B., Smithwick, J., & Sullivan, K. (2023). Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry. 2023 ASEE Midwest Section Conference. American Society for Engineering Education.
Peringatan Banjir
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025
Banjir bukan lagi kejutan bagi warga Jakarta Timur, khususnya di kawasan Kebon Pala RT 001. Namun, ketidaksiapan dan minimnya teknologi mitigasi membuat dampaknya selalu terasa berat. Artikel “Penerapan Teknologi dalam Mengurangi Dampak Terjadinya Banjir di Kebon Pala RT.001” karya Septian Dian Nugraha dan Calvin Agustian dari Universitas Nusa Mandiri menawarkan pendekatan sederhana namun revolusioner: sistem peringatan dini berbasis sensor air dan infrastruktur penunjang berupa jembatan besi serta self-closing flood barrier.
Mengapa Kebon Pala Jadi Sorotan?
Kebon Pala RT 001 adalah potret mini dari krisis banjir Jakarta: daerah dengan permukiman padat, sistem drainase buruk, dan ketergantungan tinggi pada infrastruktur umum. Berdasarkan data BPBD DKI Jakarta pada Januari 2020, Jakarta Timur adalah wilayah dengan tingkat terdampak banjir tertinggi (77%). Banjir setinggi 10 cm hingga 1,5 meter memaksa lebih dari 31.000 orang mengungsi, dengan 43% berasal dari Jakarta Timur.
Salah satu penyebab utama banjir adalah penurunan daya serap tanah akibat urbanisasi, serta sedimentasi sungai dan pembuangan sampah sembarangan yang menyumbat aliran air. Kombinasi ini memperbesar risiko banjir kiriman, terutama dari Kali Ciliwung, yang menjadi sumber utama luapan air di kawasan ini.
Teknologi Sederhana, Dampak Besar
1. Sistem Peringatan Dini Banjir
Alat ini menggunakan sensor berbasis saklar mekanis sederhana. Ketika air mencapai ambang tertentu, pelampung akan menekan pelat logam dan mengaktifkan sirene peringatan. Dengan sistem ini, warga punya waktu untuk menyelamatkan diri dan barang-barang penting sebelum banjir mencapai titik kritis.
Keunggulan:
2. Jembatan Besi Serbaguna
Saat banjir menggenangi jalanan, warga kerap terjebak. Solusi penulis adalah jembatan besi yang kuat namun modular, ditempatkan di area rawan genangan untuk membantu evakuasi atau mobilitas darurat.
Studi kasus: Pada banjir 2020, banyak warga terpaksa mengevakuasi diri dengan mengarungi air. Jembatan seperti ini bisa mengurangi risiko terseret arus atau terjatuh.
3. Self-Closing Flood Barrier
Terinspirasi dari teknologi di Eropa, penulis juga mengusulkan pembangunan tembok penghalang otomatis di sisi sungai yang akan naik seiring naiknya air. Meski lebih kompleks, ide ini menunjukkan ambisi untuk menggabungkan teknologi adaptif dalam mitigasi bencana lokal.
Kelebihan Inovasi Ini
Kritik & Catatan Tambahan
Meski sederhana, sistem ini masih perlu penguatan di sisi daya tahan dan skema perawatan. Beberapa kritik membangun yang perlu diperhatikan:
Konteks Industri & Tren Global
Tren global mitigasi banjir saat ini semakin mengarah ke pendekatan berbasis sensor dan peringatan dini, termasuk Internet of Things (IoT). Singapura, misalnya, telah memasang lebih dari 200 sensor banjir dan kamera CCTV di titik rawan. Walaupun sistem di Kebon Pala belum berbasis IoT, inisiasi ini sudah sesuai arah transformasi digital mitigasi bencana.
Komparasi dengan Penelitian Sejenis
Studi oleh Satgas Citarum menunjukkan bahwa implementasi biopori dan taman resapan berhasil menurunkan kejadian banjir di Kota Bandung hingga 90% pada 2021. Namun, Bandung mengandalkan infrastruktur makro, sementara Kebon Pala fokus pada solusi mikro yang lebih murah dan langsung digunakan oleh warga.
Opini Penulis: Inisiatif Lokal, Dampak Nasional
Solusi yang diajukan dalam makalah ini mencerminkan pentingnya inovasi lokal dalam menghadapi bencana global. Dengan biaya rendah dan efektivitas tinggi, sistem ini dapat menjadi prototipe nasional untuk penanganan banjir berbasis komunitas. Pemerintah dan sektor swasta perlu melihat inisiatif seperti ini sebagai peluang kolaborasi, bukan sekadar proyek pengabdian masyarakat.
Kesimpulan
Resensi terhadap makalah ini menunjukkan bahwa teknologi tidak harus canggih atau mahal untuk bisa menyelamatkan nyawa. Asalkan dirancang dengan memahami kebutuhan lokal dan didukung oleh kolaborasi lintas sektor, solusi sederhana pun bisa menjadi senjata andalan melawan bencana.
Rekomendasi:
Sumber:
Nugraha, S. D., & Agustian, C. (2022). Penerapan Teknologi Dalam Mengurangi Dampak Terjadinya Banjir di Kebon Pala RT.001. Fajar: Media Komunikasi dan Informasi Pengabdian Kepada Masyarakat, 22(1).
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Keterlambatan Proyek, Fenomena Sistemik di Industri Konstruksi
Keterlambatan proyek konstruksi merupakan persoalan klasik yang terus berulang, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Di Provinsi Aceh, masalah ini bahkan menjadi hal rutin yang terjadi hampir setiap akhir tahun anggaran. Tidak hanya menimbulkan kerugian secara ekonomi, tetapi juga berdampak langsung pada keterlambatan pelayanan publik dan kepercayaan terhadap tata kelola pemerintah daerah.
Penelitian oleh Rauzana dan Dharma berupaya menjawab pertanyaan mendasar: apa saja faktor risiko utama yang memicu keterlambatan proyek konstruksi di Aceh? Melalui pendekatan kuantitatif menggunakan kuesioner dan analisis deskriptif statistik, mereka mengidentifikasi dan mengklasifikasikan 60 indikator keterlambatan berdasarkan pengaruhnya terhadap proyek.
Metodologi: Survei Lapangan dan Analisis Statistik
Penelitian ini mengandalkan data primer dari 68 responden, seluruhnya berasal dari perusahaan kontraktor yang memiliki pengalaman mengelola proyek konstruksi antara tahun 2012–2020 di Aceh. Responden sebagian besar memiliki kualifikasi perusahaan M1 (92,65%) dengan rentang biaya proyek di bawah Rp10 miliar.
Data dianalisis menggunakan uji validitas, reliabilitas (dengan Cronbach Alpha > 0,6 untuk semua variabel), dan distribusi frekuensi. Indikator dinilai menggunakan skala Likert 1–5, dan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori pengaruh: sangat berpengaruh (mode = 5), berpengaruh tinggi (mode = 4), dan pengaruh sedang (mode = 3).
Temuan Utama: 30 Faktor Risiko Paling Dominan
Dari 60 indikator, terdapat 30 faktor yang dikategorikan sebagai sangat berpengaruh terhadap keterlambatan proyek. Faktor-faktor ini diklasifikasikan ke dalam sepuluh kelompok utama:
1. Material
Masalah seperti perubahan spesifikasi, kerusakan penyimpanan, keterlambatan pengiriman, dan kesalahan perhitungan kebutuhan material menjadi penyebab utama.
Contoh: 91,2% responden menyebut “perubahan spesifikasi material” sebagai faktor keterlambatan tertinggi (mode = 5).
2. Peralatan
Kerusakan alat berat dan rendahnya produktivitas alat menjadi pemicu utama. Efisiensi penggunaan alat menjadi krusial agar pekerjaan tidak stagnan.
3. Keuangan
Kondisi keuangan kontraktor yang lemah, keterlambatan pembayaran oleh pemilik proyek, serta tingginya biaya overhead berkontribusi besar terhadap kegagalan progres proyek.
4. Tenaga Kerja
Kelangkaan tenaga kerja terampil, kelelahan akibat lembur, dan rendahnya motivasi karyawan menjadi perhatian utama.
5. Pelaksanaan Proyek
Perubahan desain, kesalahan perencana, dan pekerjaan tambahan yang tidak terencana menambah beban waktu pengerjaan.
6. Manajemen
Kesalahan dalam memahami dokumen kontrak, tidak adanya SOP, dan metode pelaksanaan yang keliru termasuk faktor internal paling kritis.
7. Faktor Politik
Persoalan seperti lambatnya pengesahan anggaran, intervensi organisasi massa, dan ketidakharmonisan antar instansi pemerintah sangat berdampak pada kelancaran proyek.
8. Faktor Kriminalitas
Kehilangan material, pemakaian narkoba oleh pekerja, hingga pungutan liar menciptakan kerugian tidak hanya secara finansial tapi juga moral.
9. Kepemimpinan Proyek
Kurangnya pengalaman manajer proyek dalam menyusun jadwal dan membagi tugas menjadi pemicu langsung keterlambatan.
10. Lingkungan
Cuaca ekstrem dan aksesibilitas yang buruk ke lokasi proyek seringkali diabaikan dalam perencanaan awal, padahal sangat memengaruhi progres fisik lapangan.
Analisis Tambahan dan Studi Kasus Relevan
Tren Nasional: Kasus Serupa di Daerah Lain
Penelitian oleh Yap et al. (2021) di Malaysia menunjukkan bahwa 80% proyek mengalami keterlambatan akibat faktor serupa, seperti masalah keuangan, ketidaksiapan tenaga kerja, dan lemahnya koordinasi.
Data Proyek Aceh (2012–2020):
Menurut laporan BPK Aceh, hampir 72% proyek APBA 2019 tidak selesai tepat waktu. Ini menunjukkan betapa strukturalnya persoalan ini di provinsi tersebut.
Studi Banding Internasional:
Di Mesir, Aziz & Abdel-Hakam (2016) menyatakan bahwa 88% keterlambatan disebabkan oleh desain ulang dan manajemen waktu yang buruk.
Di UEA, studi Mpofu et al. (2017) mencatat keterlambatan besar karena minimnya komunikasi antar stakeholder.
Kritik dan Rekomendasi: Menuju Solusi Berbasis Data
Kelebihan Penelitian:
Cakupan data yang luas dan analisis mendalam berdasarkan 68 responden.
Klasifikasi variabel sangat rinci, mencakup aspek teknis hingga politik.
Namun, terdapat beberapa keterbatasan:
Fokus wilayah hanya di Aceh membuat generalisasi terbatas.
Data hanya berasal dari pihak kontraktor. Perspektif pemilik proyek dan konsultan belum diwakili.
Rekomendasi Strategis:
Penguatan Manajemen Risiko di Tahap Awal Proyek.
Identifikasi risiko seharusnya dilakukan sebelum kontrak ditandatangani, termasuk penilaian kapasitas finansial dan teknis kontraktor.
Integrasi Teknologi Informasi.
Mengadopsi sistem manajemen proyek berbasis digital (seperti BIM atau PMIS) untuk meningkatkan koordinasi dan pelacakan real-time.
Peningkatan Kompetensi SDM Konstruksi.
Pelatihan intensif bagi manajer proyek dan pengawas lapangan dalam hal time management dan pengendalian mutu.
Kolaborasi Antarlembaga Pemerintah.
Diperlukan SOP yang seragam dan harmonisasi lintas instansi agar birokrasi tidak menjadi penghambat.
Kesimpulan
Studi ini memperjelas bahwa keterlambatan proyek konstruksi bukan sekadar akibat teknis di lapangan, tapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian proyek. Dengan mengidentifikasi 60 faktor penyebab keterlambatan dan mengelompokkan 30 di antaranya sebagai sangat berpengaruh, penelitian ini memberikan landasan yang kuat untuk pengambilan keputusan berbasis data dalam industri konstruksi, khususnya di Aceh.
Dampak keterlambatan tidak hanya finansial, tetapi juga sosial, terutama jika menyangkut infrastruktur dasar yang menyentuh kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu, penanganan persoalan ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor, pendekatan preventif berbasis data, serta penerapan manajemen proyek yang lebih adaptif terhadap risiko.
Sumber:
Rauzana, A., & Dharma, W. (2022). Causes of delays in construction projects in the Province of Aceh, Indonesia. PLOS ONE, 17(1): e0263337.
DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0263337
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Pentingnya Regulasi dalam Dunia Konstruksi
Industri konstruksi memiliki karakteristik risiko yang tinggi karena menyangkut aspek teknis, keselamatan, dan investasi besar. Maka dari itu, kegagalan bangunan bukan hanya persoalan teknis, tapi juga berdampak hukum yang signifikan. Artikel ini menyoroti bagaimana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur pertanggungjawaban penyedia jasa bila terjadi kegagalan bangunan—baik dalam bentuk fisik, fungsi, maupun keamanan.
Tulisan ini menguraikan proses ganti rugi, peran penilai ahli, serta tanggung jawab hukum berdasarkan kontrak konstruksi yang berlaku. Dengan pendekatan normatif, penulis melakukan telaah mendalam terhadap pasal-pasal kunci dalam UU tersebut, serta menggambarkan implikasi praktis di lapangan.
Dasar Hukum: Struktur Tanggung Jawab dalam UU Jasa Konstruksi
UU No. 2 Tahun 2017 menjadi payung hukum utama yang menggantikan UU No. 18 Tahun 1999. Di dalamnya, istilah “kegagalan bangunan” dijelaskan sebagai keadaan bangunan yang tidak berfungsi secara teknis, manfaat, atau keselamatan akibat kesalahan pihak penyedia atau pengguna jasa. Beberapa poin kunci dari UU ini:
Pasal 60–67: Mengatur mekanisme tanggung jawab dan ganti rugi
Pasal 65: Menyatakan penyedia jasa bertanggung jawab maksimal 10 tahun setelah serah terima akhir
Pasal 61–62: Menyebutkan bahwa kegagalan hanya dapat ditetapkan oleh penilai ahli yang ditunjuk oleh Menteri
Penegasan ini menempatkan tanggung jawab sebagai komponen hukum utama dalam pelaksanaan proyek.
Analisis Faktor Hukum: Ganti Rugi sebagai Bentuk Pertanggungjawaban
Kapan Ganti Rugi Wajib Diberikan?
Berdasarkan Pasal 1248 KUH Perdata dan pasal dalam UU No. 2 Tahun 2017, ganti rugi wajib diberikan jika:
Terjadi kegagalan bangunan akibat kelalaian penyedia jasa
Pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak
Terdapat wanprestasi (ingkar janji) berupa:
Tidak melakukan apa yang dijanjikan
Melakukan tapi tidak sesuai janji
Melakukan terlalu lambat
Melakukan sesuatu yang dilarang
Contoh praktis:
Jika kontraktor membangun fondasi tidak sesuai RKS (Rencana Kerja dan Syarat), sehingga retak dalam 6 bulan, maka ia wajib mengganti kerugian atas pondasi itu, meski pekerjaan telah diserahterimakan.
Peran Kontrak dan Klausul Kegagalan Bangunan
Kontrak konstruksi menjadi instrumen penting dalam pembagian tanggung jawab. Beberapa hal yang harus dimuat:
Jangka waktu pertanggungjawaban
Risiko yang ditanggung masing-masing pihak
Skema ganti rugi dan penghentian kontrak
Namun praktik di lapangan sering menunjukkan bahwa banyak kontrak tidak memasukkan klausul kegagalan bangunan secara rinci, atau hanya menyalin format standar tanpa penyesuaian proyek.
Peran Penilai Ahli: Menjamin Objektivitas dan Keadilan
Penentu utama kegagalan bangunan bukan pemilik proyek atau kontraktor, tapi penilai ahli yang ditunjuk Menteri. Berdasarkan Pasal 61 UU No. 2/2017, penilai ahli harus:
Memiliki sertifikat keahlian sesuai jenis bangunan
Terdaftar secara resmi di kementerian terkait
Bekerja secara independen dan objektif
Tugas utama penilai ahli antara lain:
Menetapkan tingkat kerusakan dan penyebabnya
Menilai apakah standar keselamatan dan keberlanjutan dilanggar
Mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab
Memberikan rekomendasi untuk mencegah kegagalan serupa
Kritik dan Refleksi terhadap Implementasi UU
1. Kelemahan dalam Implementasi di Lapangan
Banyak pelaksana jasa konstruksi, khususnya di daerah, belum memahami struktur tanggung jawab ini secara utuh. Masih sering ditemukan:
Proyek berjalan tanpa dokumen kontrak yang lengkap
Penanggung jawab bangunan kabur setelah pekerjaan selesai
Penilaian kegagalan dilakukan tanpa penunjukan ahli resmi
2. Belum Optimalnya Pengawasan Teknis
Seringkali proyek tetap berjalan meski kualitas pelaksana rendah. Kurangnya pengawasan saat pengerjaan fisik memicu kegagalan struktur di masa mendatang.
Komparasi dengan Regulasi Negara Lain
Negara seperti Singapura dan Jepang menerapkan sistem tanggung jawab berjenjang:
Konsultan, kontraktor, dan pemilik proyek sama-sama dapat dimintai pertanggungjawaban
Skema asuransi decennial liability (10 tahun) wajib diterapkan
Pengujian kelayakan dilakukan rutin, bahkan setelah proyek selesai
Indonesia masih dalam tahap transisi menuju model ini, terutama dalam hal pendanaan dan kapasitas teknis SDM.
Kasus Terkini dan Relevansi Penelitian
Salah satu contoh kegagalan bangunan di Indonesia adalah runtuhnya balkon gedung sekolah di Malang tahun 2022. Penyelidikan mengungkap bahwa bahan yang digunakan tidak sesuai spesifikasi dan pemasangan tidak mengikuti standar. Akibatnya, pihak kontraktor diminta menanggung perbaikan total dan dikenakan denda.
Penelitian ini menjadi sangat relevan karena mempertegas bahwa:
Penegakan tanggung jawab bukan hanya melalui pidana, tetapi juga perdata melalui mekanisme kontrak
Mekanisme ganti rugi harus dimuat jelas sejak awal kontrak, bukan diselesaikan saat sengketa muncul
Rekomendasi Strategis
Bagi Pemerintah:
Perkuat peran penilai ahli melalui sistem sertifikasi digital dan pengawasan independen
Sosialisasi intensif kepada kontraktor kecil dan menengah tentang pasal-pasal kunci dalam UU No. 2/2017
Bagi Pengguna Jasa (Owner Proyek):
Pastikan kontrak memuat klausul kegagalan bangunan secara terpisah dari risiko umum
Gunakan kontrak berbasis kinerja (performance-based contract)
Bagi Penyedia Jasa:
Miliki asuransi pertanggungjawaban konstruksi (liability insurance)
Dokumentasikan setiap tahap pelaksanaan sebagai bukti pengendalian mutu
Kesimpulan
Kegagalan bangunan tidak lagi bisa dipandang sebagai risiko yang bisa dinegosiasi, tetapi harus menjadi tanggung jawab penuh berdasarkan hukum. UU No. 2 Tahun 2017 menegaskan bahwa penyedia jasa wajib memberikan ganti rugi maksimal 10 tahun sejak proyek diserahterimakan. Penilaian oleh ahli yang independen adalah jantung dari penentuan kesalahan dan skema pertanggungjawaban.
Penerapan regulasi ini secara disiplin akan melindungi tidak hanya kepentingan pengguna jasa, tetapi juga membentuk ekosistem konstruksi yang profesional, transparan, dan berorientasi pada kualitas dan keberlanjutan.
Sumber
Swita Bella, Said Aneke-R, & Frits Marannu Dapu.
Ganti Kerugian oleh Penyedia Jasa Apabila Terjadi Kegagalan Bangunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
Jurnal Lex Privatum, Vol.XI/No.5/Jun/2023.
Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Hukum.
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Pilar Pemerataan Ekonomi
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi sekitar 270 juta jiwa, Indonesia menghadapi tantangan luar biasa dalam membangun kesetaraan sosial dan ekonomi antar wilayah. Di tengah dominasi ekonomi yang selama ini terpusat di Pulau Jawa (menyumbang 58% PDB), pemerintah Indonesia menetapkan arah pembangunan yang lebih Indonesia-sentris melalui agenda Nawacita.
Laporan Infrastructure for Inclusive Economic Development: Lessons Learnt from Indonesia, yang disusun oleh berbagai pakar ekonomi dan lembaga kementerian, menjadi catatan penting atas bagaimana Indonesia mengakselerasi pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
Strategi Pembangunan Infrastruktur: Mobilisasi Semua Sektor
Pembangunan infrastruktur sejak 2016 difokuskan pada konektivitas antarpulau, pemerataan layanan dasar, serta peningkatan daya saing ekonomi daerah. Pemerintah meluncurkan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pada 2022 mencakup 210 proyek senilai lebih dari Rp5.746 triliun, termasuk jalan tol, bendungan, bandara, pelabuhan, kawasan industri, dan sistem irigasi.
Beberapa capaian utama:
153 PSN selesai pada 2016–2022 dengan nilai investasi total Rp1.040 triliun
36 bendungan menghasilkan pasokan air bersih 2,73 miliar m³ dan mengairi 288.000 hektare lahan
1.000+ km jalur rel dibangun di berbagai wilayah
Keberhasilan ini tak lepas dari kolaborasi lintas lembaga: Kementerian Keuangan, Bappenas, Kemenko Perekonomian, dan ERIA, dengan dukungan investasi swasta dan skema KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha).
Dampak Langsung: Konektivitas, Investasi, dan Pertumbuhan Daerah
Pembangunan infrastruktur berdampak langsung terhadap ekonomi daerah. Studi dalam buku ini menggunakan pendekatan difference-in-differences terhadap proyek Tol Bakauheni–Terbanggi Besar, yang menunjukkan:
Pertumbuhan ekonomi daerah inti meningkat 7,6%
Akses ke air bersih dan sanitasi meningkat hingga 13%
Penurunan tingkat kemiskinan di wilayah terdampak
Selain itu, proyek SPAM (sistem penyediaan air minum) seperti Umbulan dan Bandar Lampung memperlihatkan penghematan pengeluaran air rumah tangga hingga Rp100.000 per bulan bagi rumah tangga berpendapatan rendah.
Analisis Tambahan: Tantangan Riil dan Solusi Inovatif
Meski pembangunan masif dilakukan, tantangan di lapangan masih nyata:
1. Pembebasan Lahan
Kendala ini menjadi penyebab utama molornya proyek. Beberapa proyek seperti pembangunan jalan dan bandara sempat tertunda bertahun-tahun karena negosiasi yang rumit. Pemerintah membentuk LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) untuk mengelola pembiayaan lahan secara transparan.
2. Keterbatasan Pendanaan
Pasca krisis finansial Asia 1997, belanja infrastruktur Indonesia sempat turun drastis menjadi hanya 2% dari PDB. Kini, melalui penerbitan green sukuk dan skema obligasi berkelanjutan, Indonesia menjadi pelopor pembiayaan hijau di Asia Tenggara.
3. Kesenjangan Regional
Laporan menunjukkan bahwa 67,5% investasi PSN terkonsentrasi di Jawa. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih menghadapi ketimpangan infrastruktur yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah.
Nilai Tambah: Kritik Konstruktif dan Arah Masa Depan
Perbandingan dengan Negara Lain:
Vietnam dan China berhasil menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) dengan mengintegrasikan pembangunan infrastruktur dan reformasi regulasi bisnis.
Indonesia dapat meniru integrasi antara zoning industri, infrastruktur, dan insentif fiskal secara lebih sistemik.
Peluang:
Digitalisasi infrastruktur menjadi kunci. Layanan digital seperti logistik berbasis aplikasi, pembayaran tol non-tunai, hingga sensor pemantau air memungkinkan efisiensi lebih tinggi.
Infrastruktur hijau dan adaptif iklim semakin mendesak di tengah ancaman perubahan iklim. Buku ini mencatat bahwa Indonesia telah menerbitkan Green Sukuk senilai USD 3,2 miliar dalam kurun 2018–2022 untuk mendanai proyek berkelanjutan.
Kesimpulan: Infrastruktur Bukan Sekadar Beton dan Aspal
Resensi ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia telah berkembang dari sekadar pembangunan fisik menjadi instrumen untuk mencapai pemerataan ekonomi, transformasi digital, dan adaptasi iklim. Indonesia memang belum sepenuhnya setara dengan negara maju, namun langkah strategis melalui PSN menjadi bukti nyata bahwa infrastruktur adalah pendorong inklusivitas.
Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, pembangunan infrastruktur harus terus diarahkan untuk:
Menutup kesenjangan regional
Menjawab tantangan iklim
Mendorong peran serta sektor swasta
Memastikan manfaat langsung ke masyarakat miskin dan daerah tertinggal
Sumber Resmi
Disusun oleh Sri Mulyani Indrawati dkk.
Dipublikasikan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Oktober 2023.
https://www.eria.org
ISBN: 978-602-5460-51-7