Executive Summary: Imperatif Tata Kelola Adaptif
Regulasi merupakan instrumen fundamental dalam menciptakan tata kelola yang baik, termasuk dalam konteks pengaturan kawasan perumahan demi mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.1 Namun, hasil kajian mendalam menunjukkan bahwa kerangka regulasi kawasan perumahan di Indonesia—baik di tingkat pusat maupun daerah—secara sistematis gagal untuk mengadaptasi isu keberlanjutan secara komprehensif. Kegagalan ini, yang dikategorikan sebagai regulasi maladaptif, didorong oleh inersia institusional dan kecenderungan kebijakan yang lebih memprioritaskan pembangunan fisik dan infrastruktur daripada dimensi sosial, ekonomi, dan tata kelola holistik yang diperlukan untuk ketahanan kota.1
Tesis sentral laporan ini menyatakan bahwa instrumen kebijakan formal, meskipun mengacu pada komitmen global seperti Agenda Urban Baru dan visi nasional Bappenas, mendefinisikan keberlanjutan secara sempit. Keberlanjutan dalam regulasi yang berlaku seringkali diartikan sebatas kontinuitas fisik atau kepatuhan infrastruktur (Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum/P-S-U), sehingga mengabaikan integrasi dan penegakan kriteria sosial, ekonomi, dan tata kelola yang bersifat lebih substantif.1 Hal ini menciptakan kebijakan yang hanya berfokus pada input fisik (berapa banyak rumah dibangun dan P-S-U diserahkan) alih-alih output keberlanjutan yang nyata (pengurangan segregasi, ketahanan lingkungan).
Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dijadikan studi kasus yang relevan untuk mengilustrasikan dampak empiris dari maladaptivitas regulasi ini. Sebagai wilayah penyangga (suburban) dengan pertumbuhan real estate yang sangat pesat, Tangsel menunjukkan konsekuensi mendalam dari kebijakan yang tidak adaptif: urbanisasi yang tidak terkendali (urban sprawl), segregasi spasial yang kian parah, dan peningkatan kerentanan terhadap bahaya lingkungan dan ketegangan sosial.1 Data menunjukkan konversi lahan pertanian yang signifikan dan masalah tumpang tindih kewenangan, yang mengakibatkan kegagalan integrasi sarana/prasarana yang optimal.2
Berdasarkan analisis ini, laporan merekomendasikan revisi segera terhadap regulasi primer dan turunannya. Reformasi harus bertujuan untuk memformalkan kerangka keberlanjutan empat pilar yang komprehensif, menggeser paradigma kebijakan dari kepatuhan input ke tata kelola berbasis hasil (outcomes-based governance), dan menerapkan mekanisme sertifikasi yang didorong secara empiris di tingkat lokal—sebuah standar yang disesuaikan dengan realitas Indonesia, seperti standar Komunitas Hijau (Green Community) yang adaptif.
Landasan Konseptual dan Kebijakan Kawasan Perumahan Berkelanjutan (KPB)
Pembangunan kawasan perumahan berkelanjutan (KPB) telah menjadi diskursus global yang berakar pada pengakuan bahwa perumahan bukan sekadar kebutuhan dasar, tetapi juga instrumen kebijakan publik yang memengaruhi pengembangan wilayah perkotaan dan berpotensi besar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan.1
Mandat Global dan Keterikatan Nasional
Pergeseran konseptual pembangunan berkelanjutan telah membawa isu ini dari fokus lingkungan makro ke lingkup regional (pedesaan dan perkotaan) dan bahkan lokal.1 Para ilmuwan menilai bahwa untuk mencapai keberlanjutan di tingkat makro, diperlukan konsep yang kuat di tingkat regional dan lokal.1 Hal ini memerlukan kepemimpinan yang kuat, kebijakan publik yang efektif, dan kehadiran elemen institusional yang solid (disebut regional milieu), meliputi modal sosial, loyalitas, dan organisasi pembelajaran.
Agenda Urban Baru (Habitat III, 2016)
Konsep mengenai pentingnya keberlanjutan kawasan perumahan selaras dengan Agenda Urban Baru (New Urban Agenda) yang dideklarasikan pada Konferensi Habitat III PBB tahun 2016.1 Agenda ini mengakui bahwa perumahan yang berkelanjutan dapat memaksimalkan efisiensi ekonomi, mendorong keragaman sosial, variasi penggunaan lahan (mixed land use), dan pada akhirnya mendorong keseimbangan lingkungan.1 Pengakuan ini menuntut adaptasi kebijakan di setiap negara untuk merespons perubahan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik, terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan/suburban.1
Visi Nasional Indonesia (Bappenas 2015)
Indonesia melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2015 telah mengadopsi agenda pembangunan perkotaan baru.1 Visi baru ini mencakup komitmen bahwa kota harus layak huni (livable), kompetitif, hijau lingkungan (environmentally green), berketahanan (resilience), dan mempromosikan identitas urban lokal (loksal).1
Visi tersebut didasarkan pada dua prinsip utama:
- Akses yang setara terhadap infrastruktur fisik dan sosial serta perumahan yang terjangkau.
- Keberlanjutan lingkungan melalui promosi energi bersih.1
Meskipun terdapat adopsi visi ini, isu keberlanjutan kawasan perumahan di Indonesia secara umum belum mendapatkan perhatian serius, terutama dari aspek kebijakannya.1
Definisi Empat Pilar KPB Komprehensif
Keberlanjutan pembangunan merupakan tantangan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebijakan yang mendukungnya.1 Keberlanjutan secara teoritis mencakup tiga masalah terkait: modal alam yang semakin kritis, sifat sumber daya alam yang tidak dapat diubah (irreversible), dan nilai sumber daya alam itu sendiri.1 Dalam konteks kawasan perumahan, konsensus akademik menetapkan empat dimensi yang tidak dapat dinegosiasikan:
- Dimensi Lingkungan: Perumahan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan, terutama melalui desain, pengelolaan sampah, dan penggunaan energi/sumber daya alam (kayu, listrik, dll.).1 Di tingkat regional, masalah ini mencakup isu perumahan, transportasi, dan lingkungan itu sendiri.1
- Dimensi Sosial: Pembangunan kawasan perumahan sering kali mengubah strategi mata pencaharian, menstimulasi ketegangan sosial, menekan modal sosial, meminggirkan kelompok minoritas, dan menciptakan segregasi perumahan serta eksklusivitas kelas.1
- Dimensi Ekonomi: KPB harus mampu memanfaatkan aglomerasi ekonomi sebagai mesin pertumbuhan sambil memitigasi ketidakseimbangan ekonomi dan pendapatan.1
- Dimensi Tata Kelola (Governance): Tata kelola berfungsi sebagai pondasi yang menopang ketiga dimensi lainnya.1 Tata kelola yang baik memastikan perencanaan dan pembangunan yang adil bagi semua, serta memprioritaskan urbanisasi inklusif.1
Tolok Ukur Internasional untuk Kebijakan Adaptif
Beberapa negara telah menerapkan kebijakan berbasis kriteria holistik yang melampaui standar fisik sederhana untuk memastikan KPB yang sesungguhnya.
Prinsip Australia
Di Australia, prinsip-prinsip untuk menilai keberlanjutan kawasan perumahan telah disusun, meliputi: (1) melindungi warisan, (2) memperkuat fitur budaya, (3) meningkatkan ruang publik, (4) memperluas ruang terbuka, (5) mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan, (6) menyediakan infrastruktur berkelanjutan, dan (7) memastikan perencanaan dan pembangunan yang adil bagi semua.1
Model Green Star Communities (GSC) Australia
Model Green Star Communities (GSC) Versi 2 yang dikembangkan oleh Green Building Council of Australia (GBCA) berfungsi sebagai tolok ukur penting untuk tata kelola berbasis hasil.4 GSC dirancang untuk pengembangan skala kawasan (precinct), lingkungan (neighbourhood), atau komunitas.4
GSC v2 menetapkan standar baru untuk menciptakan komunitas yang sehat, rendah karbon, dan bersemangat, dengan fokus pada solusi praktis di dunia nyata.4 GSC v2 terstruktur di sekitar delapan kategori holistik, dengan hasil yang diprioritaskan meliputi: Ruang publik dan fasilitas lokal, Transportasi berkelanjutan dan kemampuan jalan kaki (walkability), Pengelolaan air terintegrasi, serta Koneksi dan ketahanan komunitas.4
Model ini mengungkapkan celah kritis dalam regulasi Indonesia. GSC menekankan pada sertifikasi berdasarkan hasil yang telah diserahkan atau terbukti terjadi (delivered outcomes) dan bukan sekadar komitmen masa depan atau kepatuhan input.4 Selain itu, GSC v2 menggunakan ilmu iklim terbaru untuk memastikan kawasan dapat beradaptasi dan bertahan dalam dunia yang berubah, menunjukkan fokus pada ketahanan iklim, yang belum terintegrasi kuat dalam kerangka regulasi Indonesia saat ini.4
Analisis Maladaptivitas Regulasi Pemerintah Pusat (Kebijakan Tingkat 1)
Meskipun ada upaya penelitian empiris skala kecil mengenai keberlanjutan permukiman, dan adanya konsepsi yang dirancang oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), isu KPB belum mendapat perhatian serius di tingkat kebijakan formal.1 Telaah regulasi menunjukkan adanya ambiguitas dan bias definisi yang membuat kebijakan pusat menjadi maladaptif terhadap tantangan keberlanjutan multidimensi.
Ambiguitas Hukum Dasar dan Defisiensi Definisi
Regulasi utama di era Reformasi, seperti Undang-Undang (UU) No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan turunannya, secara eksplisit mencantumkan istilah keberlanjutan, namun interpretasi operasionalnya terbukti sangat terbatas.1
Bias Kepatuhan Spasial (UU No. 26/2007)
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa pemanfaatan ruang dilaksanakan sesuai standar minimum pelayanan bidang spasial, standar kualitas lingkungan, dan daya dukung sumber daya lingkungan.1 Meskipun penting, fokus keberlanjutan dalam UU ini adalah pada standar kualitas lingkungan yang disesuaikan dengan jenis penggunaan ruang (misalnya, perumahan berbeda dari industri).1 Pendekatan ini bersifat statis dan berbasis kepatuhan terhadap standar teknis yang ditentukan, bukan kerangka yang secara dinamis dan terintegrasi menuntut mitigasi dampak sosial-ekonomi dari pembangunan.
Tautologi Regulasi: Keberlanjutan sebagai Kontinuitas (UU No. 1/2011)
UU No. 1/2011 menyebutkan kata "keberlanjutan" sebanyak tiga kali.1 Keberlanjutan dan kontinuitas dalam pasal 2 UU ini dijelaskan sebagai landasan untuk melakukan penyediaan perumahan dan kawasan permukiman dengan mengamati kondisi lingkungan dan beradaptasi dengan kebutuhan yang terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk, yang sifatnya harus serasi dan seimbang bagi generasi sekarang dan yang akan datang.1
Terdapat masalah mendasar dalam interpretasi ini: Penyetaraan "keberlanjutan" dengan "kontinuitas" adalah bentuk maladaptasi definisi. Interpretasi hukum ini memastikan bahwa pasokan fisik perumahan (kontinuitas) terjamin, tetapi gagal untuk secara eksplisit dan wajib mengatur mekanisme mitigasi eksternalitas negatif sosial dan ekonomi yang dihasilkan oleh proses pembangunan itu sendiri, seperti segregasi, ketegangan sosial, atau gentrifikasi.1 Dengan demikian, kerangka hukum pusat memprioritaskan stabilitas pasokan di atas hasil yang adil dan merata (equitable outcome).
Fokus Tata Kelola Administratif (PP No. 14/2016)
Peraturan Pemerintah (PP) No. 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman menggunakan istilah "keberlanjutan" hanya dalam Pasal 52, dengan tema "keserasian kelayakan hidup manusia dengan lingkungan".1 PP ini mengatur tata kelola perumahan dan kawasan permukiman sesuai dengan struktur negara (pusat, provinsi, kabupaten/kota), yang aspeknya mencakup perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.1
Fokus PP ini adalah pada struktur administratif dan proses kendali, yang belum menyentuh kedalaman institusional substantif (seperti modal sosial atau kapasitas adaptif) yang diperlukan untuk mewujudkan pembangunan regional berkelanjutan yang sesungguhnya.1
Kegagalan Formalisasi Kriteria Holistik
Poin kegagalan kebijakan pusat yang paling menonjol adalah ketidakmampuan untuk memformalkan kriteria keberlanjutan yang komprehensif.
Konsepsi PUPR 2014 yang Tidak Terwujud
Pada tahun 2014, Kementerian PUPR telah merancang konsepsi permukiman perkotaan berkelanjutan. Kriteria yang dibangun mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, di mana tata kelola dijadikan sebagai pondasinya.1
Konsepsi ini, yang sejalan sepenuhnya dengan konsensus global dan tujuan Bappenas, menunjukkan bahwa kementerian secara keilmuan memahami kerangka holistik yang diperlukan. Namun, terdapat kegagalan institusional yang signifikan: konsepsi ini belum terwujud menjadi regulasi yang lebih formal.1 Kegagalan formalisasi ini menunjukkan adanya resistensi institusional atau politik yang kuat di dalam aparat kebijakan pusat terhadap pengadopsian metrik keberlanjutan yang komprehensif dan terukur, terutama yang melampaui persyaratan fisik yang mudah dipenuhi.
Bias Eksklusif terhadap Infrastruktur Fisik
Hasil telaah peraturan teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian PUPR mengkonfirmasi bias yang kuat terhadap aspek fisik 1:
- Peraturan Menteri PUPR No. 05/PRT/M/2015: Fokus pada Pelaksanaan Konstruksi Berkelanjutan. Regulasi ini menyebutkan 12 prinsip keberlanjutan tetapi secara spesifik mengatur infrastruktur fisik kawasan permukiman.
- Peraturan Menteri PUPR No. 02/PRT/M/2015: Fokus pada Green Building, yang definisinya mengutamakan kinerja terukur dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya.1
- Peraturan Menteri PUPR No. 07/2013: Mengenai Perumahan Berimbang, yang mendefinisikan "berimbang" dalam komposisi fisik (rumah tunggal dan rumah deret antara rumah sederhana, menengah, dan mewah, atau campuran rumah tapak dan rumah susun).1
Kesimpulan dari telaah regulasi spesifik ini adalah bahwa operasionalisasi kebijakan secara eksklusif terpaku pada persyaratan teknis, fisik, dan kuantitatif. Regulasi-regulasi ini secara efektif mengabaikan kriteria tata kelola, sosial, dan ekonomi yang non-fisik, yang sebenarnya sangat penting untuk mengatasi eksternalitas negatif (segregasi, ketidaksetaraan) yang muncul di lapangan.1
Maladaptivitas Kebijakan di Tingkat Lokal: Kasus Kota Tangerang Selatan
Dalam konteks desentralisasi, urusan perumahan menjadi salah satu subjek kewenangan pemerintah daerah.1 Pemerintah daerah dituntut untuk lebih cepat dan adaptif dalam merespons perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.1 Studi kasus Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menunjukkan bahwa otonomi daerah belum digunakan untuk menciptakan regulasi yang adaptif, melainkan menjadi cermin regulasi pusat yang juga bias infrastruktur.
Konteks Pembangunan Suburban yang Intensif
Kota Tangsel, yang dibentuk pada tahun 2008 1, mengalami tekanan pembangunan pemukiman yang sangat tinggi. Data menunjukkan bahwa 61.79% dari total luas lahan kota ($147,19\, \text{km}^{2}$) digunakan untuk perumahan/permukiman.1 Kota ini mencatat adanya 839 kawasan perumahan dengan beragam tipe dan fasilitas.1
Sektor real estate di Tangsel merupakan motor ekonomi yang signifikan, menyumbang 17.5% terhadap PDRB kota (2016), menjadikannya kontributor terbesar kedua setelah sektor perdagangan.1 Tren pertumbuhan positif ini didukung oleh lonjakan transaksi lahan/rumah, di mana Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) rata-rata mengalami pertumbuhan 38.7% antara tahun 2011-2014.1
Meskipun aktivitas ekonomi tinggi, perkembangan yang tidak diimbangi regulasi adaptif telah memicu tren negatif empiris. Urban sprawl yang tidak terkendali menjadi isu utama.2 Pembangunan kota baru sering kali hanya memindahkan masalah dari kota besar ke pinggiran, termasuk masalah lingkungan.2 Kurangnya pengendalian urban sprawl, integrasi sarana/prasarana yang suboptimal, dan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah dan pengembang adalah faktor yang mendorong kerentanan kota.2 Analisis menunjukkan peningkatan alih fungsi lahan menjadi permukiman yang berdampak pada timbulnya urban sprawl di Tangsel.3
Telaah Regulasi Lokal dan Interpretasi yang Sempit
Pemerintah Kota Tangsel telah mengeluarkan sejumlah regulasi terkait kawasan perumahan. Namun, regulasi-regulasi ini cenderung mengulang kegagalan adaptasi yang sama dengan regulasi pusat.1
Cermin Regulasi Pusat
Peraturan Daerah (Perda) Kota Tangsel No. 3/2014 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman, mirip dengan UU No. 1/2011, juga memuat tiga kata "keberlanjutan".1 Konsekuensinya, regulasi turunan ini gagal mengantisipasi perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi.1
Keberlanjutan dalam konteks Perda Tangsel No. 3/2014, dan peraturan di bawahnya (seperti Peraturan Walikota No. 16/2015), secara spesifik diartikan sebagai prinsip yang terkait dengan penyerahan infrastruktur, fasilitas, dan utilitas (P-S-U) kepada pemerintah daerah, guna menjamin keberadaan P-S-U tersebut sesuai fungsi dan alokasi.1
Peraturan yang lebih baru, seperti Perda Kota Tangerang Selatan No. 6 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Perumahan, tetap berfokus pada kerangka operasional dan penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU).6 Perda ini mengatur penyelenggaraan perumahan (perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian) untuk menjamin hak warga atas rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.6 Meskipun penting, fokus penyerahan PSU menunjukkan bahwa kebijakan masih berkutat pada aspek fisik/operasional.
Kegagalan Multiplier Desentralisasi
Otonomi daerah seharusnya digunakan untuk merespons kondisi lokal yang unik, tetapi dalam kasus Tangsel, struktur kebijakan lokal hanya menjadi cermin regulasi pusat yang bias infrastruktur. Otonomi digunakan untuk memperlancar kepatuhan terkait P-S-U, namun gagal untuk memaksakan standar yang lebih ketat mengenai perlindungan ekologis (mengelola konversi lahan pertanian) atau penegakan penggunaan lahan campuran (mixed-use) untuk melawan sprawl.2
Kegagalan tata kelola ini berujung pada kegagalan institusional secara keseluruhan.1 Pemerintah Tangsel mengeluarkan Keputusan Walikota No. 663/Kep. 131-Huk/2017 tentang Lokasi Kawasan Kumuh sebagai bentuk pencegahan, namun tanpa kerangka keberlanjutan holistik, upaya ini rentan hanya menjadi intervensi fisik reaktif.1
Konsekuensi Empiris: Dimensi Keberlanjutan yang Tidak Tertangani
Fokus regulasi yang sempit pada infrastruktur dan kepatuhan fisik di Indonesia telah menghasilkan konsekuensi yang signifikan di lapangan, terutama di kawasan suburban yang berkembang pesat seperti Tangsel.
Segregasi Sosial dan Ketidaksetaraan Ekonomi (Pilar Sosial/Ekonomi yang Hilang)
Pembangunan perumahan di kawasan suburban seringkali menjadi katalisator bagi eksternalitas sosial negatif. Pengembangan ini menghasilkan ketegangan sosial, yang dipicu oleh tekanan terhadap modal sosial, peminggiran kelompok minoritas, dan penciptaan ketidakseimbangan ekonomi dan pendapatan.1 Fenomena ini berujung pada segregasi perumahan dan eksklusivitas kelas.1
Kegagalan kebijakan pusat dan daerah dalam mengontrol dimensi sosial dan ekonomi secara memadai menghasilkan dinamika eksklusi. Pembangunan komersial yang intensif di Tangsel mendorong fenomena gentrifikasi, yang telah diverifikasi dalam penelitian di kota tersebut.1 Gentrifikasi ini secara politik meminggirkan penduduk lama atau membatasi partisipasi politik 1, sementara secara ekonomi, populasi berpenghasilan rendah semakin terpinggirkan dari akses perumahan yang layak di dekat pusat-pusat ekonomi.
Meskipun terdapat aturan mengenai hunian berimbang (campuran fisik rumah), regulasi ini terbukti gagal sebagai alat penyeimbang sosio-ekonomi.1 Secara kontekstual, Provinsi Banten menghadapi backlog (kesenjangan) perumahan sebesar 6.355 Kepala Keluarga (KK) 8, yang menunjukkan kebutuhan mendesak akan perumahan yang terjangkau. Selain itu, rasio Gini Provinsi Banten sebesar 0.330 (Maret 2025) memberikan latar belakang ketidaksetaraan yang signifikan.9 Kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun sektor real estate Tangsel sangat menguntungkan (17.5% PDRB), kebijakan gagal menginternalisasi biaya sosial berupa peningkatan disparitas dan kebutuhan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Degradasi Lingkungan dan Kegagalan Ketahanan
Kecenderungan kebijakan yang maladaptif terhadap keberlanjutan lingkungan tecermin dari dua masalah utama di Tangsel:
Konversi Lahan dan Sprawl yang Tak Terkendali
Dorongan pembangunan komersial di Tangsel menyebabkan alih fungsi lahan yang masif, khususnya mengubah lahan pertanian menjadi kawasan terbangun.1 Studi menunjukkan bahwa peningkatan alih fungsi lahan menjadi permukiman di Tangsel berdampak pada timbulnya urban sprawl.3 Urban sprawl ini diperburuk oleh integrasi sarana/prasarana yang kurang optimal.2
Kerentanan Bencana Akibat Kebijakan
Hilangnya penyangga alam—seperti lahan pertanian, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan situ (danau atau waduk)—akibat konstruksi yang cepat, secara langsung memperburuk masalah perkotaan kritis, terutama banjir dan krisis pengelolaan sampah.2 Pembangunan di Tangsel dilaporkan menghasilkan permukiman yang rawan bencana, termasuk banjir.7 Selain itu, pembangunan tak terkendali seringkali merambah kawasan lindung seperti resapan air, RTH, dan situ.2
Kesenjangan kebijakan di sini adalah bahwa fokus pada standar fisik (misalnya, kualitas lingkungan dalam UU 26/2007) tidak memadai. Yang dibutuhkan adalah kerangka tata kelola yang mewajibkan akuntabilitas pengembang untuk mitigasi jejak ekologis secara komprehensif dan memastikan ketahanan iklim, mirip dengan fokus GSC pada pengelolaan air terintegrasi dan adaptasi iklim.4
Rekomendasi Strategis untuk Reformasi Kebijakan Adaptif
Desain kebijakan saat ini memerlukan perombakan sistematis. Diperlukan integrasi empat pilar keberlanjutan dan pergeseran dari tata kelola berbasis kepatuhan input menuju tata kelola berbasis hasil (outcomes-based).
Reformasi Kerangka Regulasi Nasional (Tindakan Tingkat 1)
Rekomendasi 1: Formalisasi Konsepsi Empat Pilar
Pemerintah harus segera menerjemahkan konsepsi PUPR 2014 (sosial, ekonomi, lingkungan, tata kelola) menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang formal dan mengikat secara hukum.1
Kegagalan untuk memformalkan konsepsi ini menciptakan kesenjangan antara pengetahuan institusional tentang keberlanjutan dan implementasi regulasi yang sah.1 Dokumen yang mengikat secara hukum diperlukan untuk memaksa lembaga pusat dan pemerintah daerah mengadopsi metrik sosial dan ekonomi yang terukur, menggantikan definisi "kontinuitas" yang ambigu dalam UU 1/2011.1
Rekomendasi 2: Redefinisi Fokus Regulasi Menjadi Ketahanan (Resilience)
Regulasi turunan UU No. 1/2011 perlu diamandemen untuk mendefinisikan keberlanjutan bukan sekadar kontinuitas pasokan (P-S-U), tetapi sebagai ketahanan (resilience). Definisi baru ini harus secara wajib menuntut pengembang untuk mengatasi eksternalitas sosio-ekonomi (misalnya, persentase wajib perumahan terjangkau yang terintegrasi penuh dalam proyek komersial) dan mitigasi risiko lingkungan (rencana adaptasi iklim).1 Pergeseran ini memastikan bahwa pembangunan tidak hanya diukur dari volumenya, tetapi juga dari kemampuan masyarakat dan lingkungan untuk bertahan dan berkembang.
Peningkatan Tata Kelola Lokal Adaptif (Tindakan Tingkat 2)
Rekomendasi 3: Pemberdayaan Kebijakan Lokal untuk Ekuitas
Peraturan daerah lokal, seperti yang ada di Tangsel, harus melampaui kepatuhan P-S-U.1 Regulasi lokal harus memperkenalkan kriteria sosial dan ekonomi wajib untuk secara aktif mengelola segregasi dan ketidaksetaraan.1
Intervensi Spesifik: Pemerintah daerah harus mewajibkan kebijakan penggunaan lahan campuran (mixed land use), menegakkan protokol koneksi komunitas, dan menetapkan mekanisme pemantauan tren rasio Gini di tingkat lokal. Pemantauan Gini ini akan berfungsi sebagai tolok ukur empiris untuk menilai efektivitas kebijakan perumahan dalam mengurangi disparitas ekonomi.2
Rekomendasi 4: Penguatan Elemen Institusional
Reformasi tata kelola di tingkat daerah harus berfokus pada pembangunan 'lingkungan regional' (regional milieu) yang dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan: kepemimpinan lokal yang kuat, peningkatan modal sosial, dan transparansi yang mutlak dalam perencanaan tata ruang untuk melawan tumpang tindih kewenangan dan urban sprawl.1 Hal ini memerlukan kebijakan yang secara eksplisit memfasilitasi urbanisasi inklusif, misalnya melalui kebijakan yang mengatur kepadatan bangunan sekaligus mengurangi kesenjangan ekonomi melalui konektivitas infrastruktur.1
Implementasi Sistem Sertifikasi Berbasis Hasil (Tindakan Benchmarking)
Rekomendasi 5: Pengembangan Sistem Peringkat "Komunitas Hijau Indonesia"
Diperlukan perumusan sistem peringkat KPB nasional, yang diilhami oleh model internasional yang berhasil (misalnya, Green Star Communities Australia 4, Jerman 1), namun disesuaikan dengan realitas sosio-kultural dan tata kelola Indonesia.
Sistem ini harus menuntut pengembang untuk mendapatkan sertifikasi berdasarkan hasil yang telah diserahkan (delivered outcomes), bukan hanya komitmen perencanaan. Struktur penilaian harus holistik, mencakup kategori-kategori berikut:
- Inklusi Sosial dan Ketahanan Komunitas: Menilai upaya nyata dalam mengurangi segregasi, eksklusivitas kelas, dan ketegangan sosial.1
- Diversitas Ekonomi dan Keterjangkauan: Mengukur dampak proyek terhadap Gini lokal dan penyediaan perumahan terjangkau yang terintegrasi.
- Adaptasi Iklim dan Pengelolaan Sumber Daya Terpadu: Menekankan pada pengelolaan air terintegrasi, peningkatan keanekaragaman hayati, dan mitigasi risiko banjir, yang saat ini menjadi masalah kronis di wilayah suburban seperti Tangsel.2
- Transparansi Institusional dan Partisipasi Pemangku Kepentingan: Memastikan tata kelola yang efektif dan adil, sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.1
Kesimpulan: Jalan Menuju Ketahanan Urban Berkelanjutan
Indonesia saat ini menghadapi kegagalan institusional dan regulasi yang memungkinkan proses suburbanisasi yang cepat namun tidak berkelanjutan, yang terlihat jelas dalam studi kasus Kota Tangerang Selatan. Regulasi pusat gagal mewujudkan konsepsi keberlanjutan multidimensi PUPR 2014 menjadi hukum formal, yang menyebabkan kebijakan operasional secara eksklusif fokus pada input fisik (P-S-U) dan kepatuhan teknis.1
Kegagalan ini direplikasi di tingkat daerah, di mana otonomi belum digunakan untuk menerapkan standar yang lebih tinggi dalam mengatasi dampak sosial (gentrifikasi, segregasi) dan lingkungan (urban sprawl, konversi lahan, kerentanan banjir).1 Dampak empirisnya adalah bahwa pembangunan perumahan, yang seharusnya menjadi instrumen tata kelola yang baik, justru menjadi sumber disparitas sosial dan kerentanan lingkungan.1
Agenda Urban Baru dan visi Bappenas untuk kota yang layak huni, kompetitif, dan berketahanan tidak akan tercapai tanpa perubahan radikal dalam desain kebijakan. Transformasi harus dilakukan dari kerangka kerja yang berorientasi pada daftar periksa administratif (P-S-U) menjadi kerangka tata kelola berbasis hasil yang dinamis, yang secara tulus merangkul dan menegakkan keempat pilar keberlanjutan secara setara. Indonesia harus beralih dari sekadar menyuarakan komitmen keberlanjutan menjadi secara regulatif mewajibkan ketahanan urban yang nyata.
Sumber Artikel:
Model Kebijakan Pengembangan Kota Tangerang Selatan Menuju Kota Berkelanjutan, https://id.scribd.com/document/539692451/Model-Kebijakan-Pengembangan-Kota-Tangerang-Selatan-Menuju-Kota-Berkelanjuta