Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Studi dalam jurnal Sustainable Computing: Informatics and Systems (2025) menyoroti bahwa digitalisasi—terutama melalui Digital Twin, Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT)—telah menjadi kunci utama dalam mendorong efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan di sektor konstruksi.
Teknologi digital memungkinkan pemantauan siklus hidup proyek secara real-time, mulai dari perencanaan, pengadaan material, hingga perawatan infrastruktur. Pendekatan ini mengurangi pemborosan hingga 25% dan menekan emisi karbon konstruksi hingga 15%, menurut hasil riset yang tercantum dalam dokumen tersebut.
Bagi Indonesia, temuan ini penting karena sejalan dengan Rencana Induk Transformasi Digital Nasional dan target pengurangan emisi karbon sebesar 31,89% pada 2030. Integrasi smart supply chain juga relevan bagi lembaga seperti Kementerian PUPR dan BRIN dalam mendukung pengelolaan infrastruktur berbasis data.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Digitalisasi rantai pasok konstruksi di berbagai negara telah memberikan dampak signifikan:
Meningkatkan efisiensi distribusi material hingga 30%.
Mengurangi keterlambatan proyek melalui pemantauan data real-time.
Meningkatkan kolaborasi lintas sektor antara desainer, kontraktor, dan pemasok.
Namun, terdapat tiga hambatan utama dalam implementasinya di Indonesia:
Kesenjangan infrastruktur digital. Masih banyak proyek konstruksi di daerah yang belum terkoneksi dengan sistem data terpusat.
Keterbatasan SDM digital. Tenaga kerja konstruksi sebagian besar belum terlatih dalam penggunaan AI atau IoT.
Kurangnya kebijakan data governance. Belum ada regulasi yang mengatur integrasi dan keamanan data proyek konstruksi antar instansi.
Meski demikian, peluang digitalisasi semakin terbuka berkat inisiatif pemerintah dalam smart city dan sistem e-procurement nasional. Program seperti Kursus Building Information Modeling (BIM) untuk Infrastruktur dapat menjadi pintu masuk untuk implementasi konstruksi cerdas di berbagai proyek strategis.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Bentuk Kerangka Nasional Smart Construction dan Digital Supply Chain
Pemerintah perlu menetapkan National Digital Construction Framework untuk mengintegrasikan data proyek, manajemen rantai pasok, dan pemantauan emisi dalam satu sistem.
Perkuat Kapasitas SDM Konstruksi Digital
Kolaborasi antara pemerintah, universitas, dan platform pelatihan perlu diperluas agar tenaga kerja memahami pengelolaan proyek berbasis data.
Dorong Penggunaan Teknologi AI dan Digital Twin
Implementasi AI untuk perencanaan prediktif dan simulasi Digital Twin wajib menjadi syarat dalam tender proyek besar, terutama di sektor publik.
Bangun Pusat Data Nasional Konstruksi (Construction Data Hub)
Fasilitas ini harus menampung seluruh data rantai pasok dan status infrastruktur untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based policy).
Berikan Insentif Pajak untuk Adopsi Teknologi Hijau
Kontraktor dan konsultan yang mengimplementasikan sistem digitalisasi efisien energi dan manajemen limbah cerdas dapat diberikan keringanan pajak atau prioritas tender proyek pemerintah.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan digitalisasi konstruksi berpotensi gagal bila tidak dibarengi dengan integrasi lintas sektor dan tata kelola data yang kuat.
Beberapa risiko yang mungkin muncul antara lain:
Ketimpangan digital antara kota besar dan daerah terpencil.
Implementasi sistem yang mahal tanpa pelatihan teknis berkelanjutan.
Data proyek yang terfragmentasi karena kurangnya standar interoperabilitas.
Selain itu, fokus kebijakan yang terlalu menekankan teknologi tanpa memperhatikan aspek sosial—seperti perlindungan tenaga kerja manual—dapat memperlebar kesenjangan ekonomi di sektor konstruksi. Oleh karena itu, pendekatan inklusif berbasis pelatihan dan kolaborasi menjadi kunci keberhasilan.
Penutup
Transformasi digital dalam industri konstruksi adalah kunci menuju efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan. Dengan memanfaatkan AI, IoT, dan Digital Twin, Indonesia dapat mengubah sistem rantai pasok konvensional menjadi ekosistem smart supply chain yang adaptif dan ramah lingkungan.
Melalui kolaborasi kebijakan lintas lembaga dan penguatan kapasitas SDM, Indonesia berpeluang menjadi pelopor smart construction ecosystem di Asia Tenggara.
Sumber
Sustainable Computing: Informatics and Systems, 2025.
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025
Pendahuluan
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang dinamis, kerap dihadapkan pada tantangan infrastruktur yang kompleks. Dalam artikel ilmiah berjudul "Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective" karya Kyunghoon Kim (2021), penulis mengupas kegagalan reformasi institusional pasca-krisis Asia 1997 dan menawarkan pendekatan alternatif melalui kacamata developmentalist.
Penelitian ini memberikan narasi baru bahwa kegagalan pembangunan infrastruktur di Indonesia bukan hanya akibat kelemahan tata kelola (good governance), melainkan juga akibat absennya kebijakan pembangunan yang proaktif.
Latar Belakang Historis: Dari Krisis ke Reformasi
Pasca-krisis moneter 1997–1998, Indonesia mengadopsi berbagai kebijakan reformasi institusional yang dikenal sebagai agenda good governance. Tujuannya adalah memperbaiki efisiensi investasi publik dan menarik investasi swasta. Namun, sebagaimana Kim tunjukkan, reformasi ini tidak berhasil sepenuhnya karena justru membuka ruang bagi para elit bisnis untuk menangkap institusi baru demi kepentingan pribadi. Korupsi masih merajalela, meskipun dalam bentuk dan jaringan yang lebih terdesentralisasi dibandingkan era Orde Baru.
Kelemahan Reformasi Institusional di Sektor Konstruksi
Reformasi di sektor konstruksi difokuskan pada tiga aspek utama: pendaftaran perusahaan, pengadaan publik, dan reformasi BUMN. Dalam implementasinya, ketiga aspek ini mengalami tantangan besar, terutama akibat lemahnya kapasitas institusi dan tingginya pengaruh kelompok kepentingan. Organisasi sektor seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sering disusupi kepentingan asosiasi bisnis yang menciptakan hambatan masuk baru dan praktik rente terselubung.
Paradoks Pertumbuhan Konstruksi vs. Defisit Infrastruktur
Menariknya, meski pertumbuhan sektor konstruksi meningkat dari 5% menjadi 10,1% dari PDB antara 2000 hingga 2014, investasi infrastruktur justru menurun dari 7,8% menjadi hanya 2,7% dari PDB. Hal ini menunjukkan bahwa lonjakan aktivitas konstruksi lebih banyak diarahkan ke sektor properti komersial dan residensial, bukan proyek infrastruktur publik seperti jalan tol, pelabuhan, atau jalur kereta api.
Kebangkitan Strategi Developmentalist di Era Jokowi
Dari pertengahan 2010-an, strategi pembangunan negara mulai bergeser dari pendekatan liberal ke pendekatan negara-intervensionis. Presiden Joko Widodo secara eksplisit mendorong peran aktif BUMN dalam proyek infrastruktur besar. Data menunjukkan, pada 2015 untuk pertama kalinya belanja modal pemerintah melampaui subsidi BBM, dan pada 2019, anggaran infrastruktur empat kali lipat dari subsidi energi. Contohnya, proyek-proyek besar seperti jalan tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta–Bandung, dan pembangunan pelabuhan menjadi bukti konkret dari strategi ini.
Peran SOEs: Antara Agen Pembangunan dan Instrumen Pasar
Salah satu aspek menarik dalam artikel ini adalah sorotan terhadap peran BUMN. Di satu sisi, mereka digunakan sebagai alat negara untuk mendorong pembangunan infrastruktur, tapi di sisi lain juga diarahkan untuk mengejar profitabilitas melalui privatisasi parsial. Perusahaan seperti Waskita Karya dan Wijaya Karya mengalami lonjakan posisi di bursa saham Waskita naik dari peringkat 94 menjadi 16 antara 2014–2019. Namun, tekanan untuk menghasilkan laba membuat banyak BUMN enggan mengambil proyek berisiko tinggi, terutama di wilayah terluar.
Kritik terhadap Narasi ‘Good Governance’
Kim secara tajam mengkritik dominasi narasi good governance yang dianut lembaga keuangan internasional (IFIs). Menurutnya, narasi ini terlalu fokus pada institusi formal dan mengabaikan kenyataan bahwa reformasi sering kali ditunggangi oleh elite oligarki. Reformasi yang mestinya mendemokratisasi proses investasi publik justru melahirkan bentuk baru dari patronase dan rente. Kim juga menyoroti bahwa agenda reformasi ini terlalu berfokus pada liberalisasi pasar dan perluasan peran swasta, tanpa mempertimbangkan konteks Indonesia, di mana investasi swasta pada dasarnya masih memerlukan dukungan awal dari negara.
Studi Perbandingan: Asia Timur vs. Indonesia
Dalam membandingkan pengalaman Indonesia dengan negara-negara Asia Timur seperti China dan Korea Selatan, terlihat perbedaan mencolok. Di negara-negara tersebut, pemerintah memainkan peran langsung dalam mobilisasi sumber daya dan penguatan sektor konstruksi. Di China, misalnya, 7,6% kontraktor SOE menghasilkan 40% output konstruksi nasional pada 1994. Sementara itu, Indonesia justru menarik diri dari pembangunan dan menyerahkan peran tersebut pada pasar yang belum siap.
Opini dan Nilai Tambah
Resensi ini mendukung argumen Kim bahwa pendekatan developmentalist lebih cocok untuk negara seperti Indonesia. Dengan kebutuhan besar akan infrastruktur dasar dan lemahnya pasar domestik, ketergantungan pada investasi swasta akan selalu timpang tanpa dukungan negara. Namun, strategi negara-intervensionis juga bukan tanpa risiko. Lonjakan utang BUMN, inefisiensi proyek, dan potensi korupsi tetap menjadi perhatian. Di sinilah pentingnya membangun keseimbangan antara penguatan peran negara dan tata kelola yang transparan.
Kaitannya dengan Tren Industri Saat Ini
Dalam konteks global, tren menuju state capitalism mulai terlihat kembali, terutama pasca pandemi COVID-19. Negara-negara semakin menyadari pentingnya peran negara dalam pembangunan infrastruktur untuk pemulihan ekonomi. Strategi Indonesia yang mengedepankan peran BUMN dalam pembangunan dapat dianggap selaras dengan tren ini. Namun, untuk menjamin keberlanjutan, dibutuhkan reformasi kebijakan fiskal, pengawasan proyek, serta transparansi dalam pengadaan.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam wacana pembangunan Indonesia. Alih-alih menyalahkan kegagalan pada reformasi institusional yang belum matang, Kim mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali pentingnya kebijakan pembangunan yang aktif dan terencana. Melalui pendekatan developmentalist, pemerintah diharapkan tidak hanya menjadi wasit, tetapi juga pemain utama dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif melalui pembangunan infrastruktur yang merata dan strategis.
Sumber
Kim, K. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142. DOI: 10.1177/10245294211043355
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025
Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Pilar Pemerataan Ekonomi
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi sekitar 270 juta jiwa, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membangun kesetaraan sosial dan ekonomi antar wilayah. Di tengah dominasi ekonomi yang selama ini terpusat di Pulau Jawa (menyumbang 58% PDB), pemerintah Indonesia menetapkan arah pembangunan yang lebih Indonesia-sentris melalui agenda Nawacita.
Laporan Infrastructure for Inclusive Economic Development: Lessons Learnt from Indonesia, yang disusun oleh berbagai pakar ekonomi dan lembaga kementerian, menjadi catatan penting atas bagaimana Indonesia mengakselerasi pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
Strategi Pembangunan Infrastruktur: Mobilisasi Semua Sektor
Pembangunan infrastruktur sejak 2016 difokuskan pada konektivitas antarpulau, pemerataan layanan dasar, serta peningkatan daya saing ekonomi daerah. Pemerintah meluncurkan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pada 2022 mencakup 210 proyek senilai lebih dari Rp5.746 triliun, termasuk jalan tol, bendungan, bandara, pelabuhan, kawasan industri, dan sistem irigasi.
Beberapa capaian utama:
153 PSN selesai pada 2016–2022 dengan nilai investasi total Rp1.040 triliun
36 bendungan menghasilkan pasokan air bersih 2,73 miliar m³ dan mengairi 288.000 hektare lahan
1.000+ km jalur rel dibangun di berbagai wilayah
Keberhasilan ini tak lepas dari kolaborasi lintas lembaga: Kementerian Keuangan, Bappenas, Kemenko Perekonomian, dan ERIA, dengan dukungan investasi swasta dan skema KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha).
Dampak Langsung: Konektivitas, Investasi, dan Pertumbuhan Daerah
Pembangunan infrastruktur berdampak langsung terhadap ekonomi daerah. Studi dalam buku ini menggunakan pendekatan difference-in-differences terhadap proyek Tol Bakauheni–Terbanggi Besar, yang menunjukkan:
Pertumbuhan ekonomi daerah inti meningkat 7,6%
Akses ke air bersih dan sanitasi meningkat hingga 13%
Penurunan tingkat kemiskinan di wilayah terdampak
Selain itu, proyek SPAM (sistem penyediaan air minum) seperti Umbulan dan Bandar Lampung memperlihatkan penghematan pengeluaran air rumah tangga hingga Rp100.000 per bulan bagi rumah tangga berpendapatan rendah.
Analisis Tambahan: Tantangan Riil dan Solusi Inovatif
Meski pembangunan masif dilakukan, tantangan di lapangan masih nyata:
1. Pembebasan Lahan
Kendala ini menjadi penyebab utama molornya proyek. Beberapa proyek seperti pembangunan jalan dan bandara sempat tertunda bertahun-tahun karena negosiasi yang rumit. Pemerintah membentuk LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) untuk mengelola pembiayaan lahan secara transparan.
2. Keterbatasan Pendanaan
Pasca krisis finansial Asia 1997, belanja infrastruktur Indonesia sempat turun drastis menjadi hanya 2% dari PDB. Kini, melalui penerbitan green sukuk dan skema obligasi berkelanjutan, Indonesia menjadi pelopor pembiayaan hijau di Asia Tenggara.
3. Kesenjangan Regional
Laporan menunjukkan bahwa 67,5% investasi PSN terkonsentrasi di Jawa. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih menghadapi ketimpangan infrastruktur yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah.
Nilai Tambah: Kritik Konstruktif dan Arah Masa Depan
Perbandingan dengan Negara Lain:
Vietnam dan China berhasil menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) dengan mengintegrasikan pembangunan infrastruktur dan reformasi regulasi bisnis.
Indonesia dapat meniru integrasi antara zoning industri, infrastruktur, dan insentif fiskal secara lebih sistemik.
Peluang:
Digitalisasi infrastruktur menjadi kunci. Layanan digital seperti logistik berbasis aplikasi, pembayaran tol non-tunai, hingga sensor pemantau air memungkinkan efisiensi lebih tinggi.
Infrastruktur hijau dan adaptif iklim semakin mendesak di tengah ancaman perubahan iklim. Buku ini mencatat bahwa Indonesia telah menerbitkan Green Sukuk senilai USD 3,2 miliar dalam kurun 2018–2022 untuk mendanai proyek berkelanjutan.
Kesimpulan: Infrastruktur Bukan Sekadar Beton dan Aspal
Resensi ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia telah berkembang dari sekadar pembangunan fisik menjadi instrumen untuk mencapai pemerataan ekonomi, transformasi digital, dan adaptasi iklim. Indonesia memang belum sepenuhnya setara dengan negara maju, namun langkah strategis melalui PSN menjadi bukti nyata bahwa infrastruktur adalah pendorong inklusivitas.
Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, pembangunan infrastruktur harus terus diarahkan untuk:
Menutup kesenjangan regional
Menjawab tantangan iklim
Mendorong peran serta sektor swasta
Memastikan manfaat langsung ke masyarakat miskin dan daerah tertinggal
Sumber Resmi
Disusun oleh Sri Mulyani Indrawati dkk.
Dipublikasikan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Oktober 2023.
https://www.eria.org
ISBN: 978-602-5460-51-7
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 Oktober 2025
Inovasi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan teknologi pesawat nirawak (UAV) membuka jalan bagi manajemen infrastruktur yang revolusioner. Sebuah studi percontohan di Jawa Barat menunjukkan bahwa pergeseran dari praktik pemeliharaan jalan yang reaktif menuju pendekatan preventif berbasis data presisi dapat menghasilkan penghematan biaya total yang mengejutkan, mencapai miliaran rupiah per segmen jalan, sambil menjamin kualitas jalan tetap prima.
Pendahuluan Dramatis: Jalan Indonesia di Ambang Kerusakan dan Solusi Teknologi
Konektivitas adalah urat nadi ekonomi nasional. Menyadari urgensi ini, pada awal kuartal pertama tahun 2023, pemerintah pusat mengalokasikan anggaran kolosal sebesar Rp32 triliun. Dana ini ditujukan khusus untuk meningkatkan persentase kondisi layanan jalan yang andal di seluruh Indonesia.1 Namun, tantangan sesungguhnya bukan hanya pada besaran anggaran yang tersedia, melainkan bagaimana dana tersebut dapat disalurkan dan dieksekusi dengan efisien dan tepat waktu.
Fakta di lapangan menunjukkan urgensi yang mengkhawatirkan. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan menggunakan metode Pavement Condition Index (PCI), penelitian ini mengungkap bahwa sekitar 51% dari jalan yang disurvei berada dalam kategori kondisi dari rusak ringan hingga rusak berat.1 Jika lebih dari separuh jaringan jalan berada dalam kondisi di bawah standar, ini mengindikasikan bahwa laju degradasi infrastruktur tidak sebanding dengan kecepatan atau ketepatan penanganannya.
Secara global, kebanyakan negara menghabiskan antara 20 persen hingga 50 persen saja dari jumlah yang seharusnya dialokasikan untuk memelihara jaringan jalan.1 Fenomena penundaan perbaikan ini menciptakan "utang infrastruktur." Perkerasan jalan akan terdegradasi seiring waktu, tidak peduli seberapa baik konstruksinya. Keterlambatan dalam operasi pemeliharaan jalan, meskipun hanya sebentar, tidak hanya mempercepat kerusakan tetapi juga meningkatkan biaya operasional bagi kendaraan yang melintasinya.1 Oleh karena itu, kebutuhan akan sistem yang memungkinkan intervensi tepat waktu dan terinformasi menjadi sangat krusial.
Inilah mengapa inovasi yang diusulkan dalam penelitian ini menjadi sangat relevan. Para peneliti mengembangkan sistem manajemen pemeliharaan jalan berbasis Sistem Informasi Geografis (GIS) yang menggunakan teknologi pemetaan udara UAV (Drone). Sistem ini dirancang untuk mengubah paradigma manajemen jalan di Indonesia, beralih dari praktik reaktif yang mahal dan rentan kesalahan menuju era pemeliharaan preventif yang cepat, presisi, dan hemat biaya.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Mata Baru di Langit dan Kegagalan Sistem Lama
Efisiensi biaya dan ketepatan pengambilan keputusan dalam pemeliharaan jalan dimulai dari kualitas data. Penelitian ini lahir dari kritik mendalam terhadap dua pilar utama manajemen infrastruktur jalan saat ini: metode survei manual dan sistem manajemen jalan yang sudah ada.
Kritik Pedas terhadap Metode Tradisional
Survei kondisi perkerasan jalan secara historis masih dilakukan secara manual di lapangan, di mana surveyor harus mengisi formulir dan mengumpulkan data fisik. Peneliti menggarisbawahi beberapa kelemahan fundamental dari pendekatan tradisional ini. Pertama, metode ini mengorbankan waktu dan seringkali harus mengompensasi faktor cuaca.1 Kedua, sifatnya yang subjektif dan mahal seringkali berujung pada penundaan dalam penentuan kebutuhan perbaikan. Akurasi data yang dikumpulkan juga rentan terhadap perbedaan persepsi antar surveyor.1
Ironisnya, bahkan sistem manajemen jalan yang telah dioperasikan oleh pemerintah—yaitu Provincial/District Road Management System (PKRMS)—masih mewarisi keterbatasan dari metode manual. Salah satu kelemahan utamanya adalah bahwa data kondisi jalan masih perlu dimasukkan secara manual berdasarkan formulir survei, yang disebut IKP (Indikator Kinerja Pelayanan).1 Selain itu, dokumentasi visual yang dapat ditampilkan oleh PKRMS umumnya terbatas hanya pada foto kerusakan, sehingga sulit bagi pengambil keputusan untuk menentukan lokasi pasti kerusakan tersebut di lapangan.1
Akurasi Setajam Drone (UAV dan GIS)
Inovasi terletak pada penggantian mata manusia dengan presisi teknologi. Penelitian ini memanfaatkan UAV untuk mengambil foto udara beresolusi tinggi, yang kemudian digunakan untuk membangun model digital jalan dalam format 2D dan 3D sebagai peta dasar GIS.1
Foto udara ini memungkinkan penilaian kondisi jalan yang sangat akurat dan selaras dengan kondisi aktual di lokasi, tanpa perlu kunjungan lapangan yang berulang.1 Dengan model digital yang detail, sistem dapat mengidentifikasi dan mengukur dimensi setiap kerusakan—memudahkan klasifikasi penanganan yang tepat. Misalnya, jenis kerusakan Crocodile Cracks (retak buaya), yang merupakan kerusakan paling sering ditemukan di lokasi studi, dapat diukur volumenya secara akurat.1
Yang paling penting, integrasi data ini dengan GIS memberikan kekuatan prediktif. GIS dikenal memiliki potensi besar untuk memprediksi kondisi jalan di masa depan.1 Dengan memadukan data kerusakan statis (diukur melalui PCI) dengan kinerja dinamis (diukur melalui International Roughness Index atau IRI, menggunakan model regresi $IRI = 12,905 - 0,119 \times PCI$ 1), sistem ini menciptakan jembatan teknis. Jembatan ini memungkinkan para insinyur jalan raya menyusun rencana pemeliharaan preventif yang tidak hanya akurat, tetapi juga hemat biaya. Dengan kata lain, teknologi ini mengubah manajemen jalan dari sekadar mencatat kerusakan menjadi merencanakan pencegahan secara ilmiah.
Perang Melawan Kerusakan: Empat Skenario Keuangan Jangka Panjang
Untuk menguji efektivitas pendekatan preventif berbasis GIS, peneliti memproyeksikan kebutuhan anggaran dan progres kerusakan jalan selama periode sepuluh tahun, dari 2023 hingga 2032. Proyeksi ini membandingkan satu skenario reaktif total (Do-Nothing) dengan tiga skenario preventif berbeda (Do-Something).
Bencana Skenario Do-Nothing
Skenario Do-Nothing menggambarkan konsekuensi dari menunda perbaikan secara total. Dalam skenario ini, jalan dibiarkan tanpa pemeliharaan selama satu dekade, dan penanganan reaktif skala besar baru dilakukan di akhir periode, tepatnya pada tahun 2032.1
Jika pemerintah memilih pendekatan ini, utang infrastruktur yang terakumulasi akan meledak. Total biaya pemeliharaan reaktif yang diperlukan untuk memperbaiki jalan yang sudah rusak parah selama 10 tahun diproyeksikan mencapai sekitar Rp23,078 miliar untuk studi kasus jalan sepanjang 1.5 kilometer tersebut.1 Skenario ini, yang sering terjadi di banyak wilayah akibat kendala anggaran tahunan, menjadi peringatan keras bahwa menghindari biaya hari ini hanya akan menjamin biaya yang jauh lebih besar di masa depan.
Analisis Tiga Skenario Preventif (Do-Something)
Tiga skenario Do-Something dirancang untuk mempertahankan kondisi jalan yang andal, dengan fokus pada nilai ambang batas kekasaran jalan (IRI):
Perbandingan data biaya menunjukkan bahwa perbedaan waktu intervensi, bahkan hanya satu tahun, memiliki dampak signifikan. DS2, dengan overlay di tahun pertama, 4% lebih murah dari DS3.
Skenario Moderat: Mengapa Lebih Murah Mendahului Kerusakan?
Temuan utama penelitian ini terletak pada superioritas Skenario Moderat (DS2), yang membuktikan bahwa investasi preventif yang cerdas jauh lebih unggul daripada reaktif atau bahkan preventif yang terlalu agresif.
Lompatan Efisiensi Keuangan
Skenario Moderat (DS2) berhasil menghemat biaya secara dramatis jika dibandingkan dengan Skenario Do-Nothing. DS2 hanya memerlukan Rp9,8 miliar, sementara penundaan total membutuhkan Rp23 miliar. Penghematan ini setara dengan mengurangi total tagihan perbaikan Anda sebesar lebih dari 57 persen selama satu dekade.
Untuk memberikan gambaran yang lebih kontekstual, studi membandingkan biaya ini dengan estimasi pemerintah. Jika merujuk pada estimasi biaya pemeliharaan jalan provinsi pemerintah yang mencapai Rp16,6 miliar per 1 kilometer dalam 10 tahun, maka penerapan Skenario Moderat untuk segmen studi kasus sepanjang 1.5 kilometer ini diperkirakan dapat menghasilkan penghematan biaya total melebihi Rp6 miliar dalam kurun waktu yang sama, sebuah angka yang masif jika diterapkan pada ribuan kilometer jalan di seluruh Indonesia.1
Kunci dari efisiensi DS2 terletak pada implementasi prinsip Time Value of Money (TVM)—bahwa uang yang diinvestasikan saat ini memiliki nilai lebih tinggi dalam mencegah kerugian masa depan.1 Dengan melakukan overlay (perbaikan substansial) di tahun pertama, DS2 segera menstabilkan kondisi jalan. Akibatnya, biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan rutin tahunan setelah jalan di-overlay menjadi sangat rendah. Peneliti menemukan bahwa biaya pemeliharaan rutin yang dialokasikan dalam skenario DS2/DS3 hanya menghabiskan sekitar 8,18 persen dari batas maksimal biaya pemeliharaan rutin yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi.1
Kualitas Layanan Jalan yang Optimal
Meskipun DS2 secara resmi dinamakan "Moderat" dengan target kondisi wajar (IRI kurang dari 6.0), hasil perhitungan proyeksi rata-rata menunjukkan bahwa jalan yang dikelola dengan skenario ini mencapai nilai IRI rata-rata 3.9 selama 10 tahun.1
Nilai IRI 3.9 secara teknis menempatkan kondisi jalan tersebut dalam kategori "Good" (Baik), kualitas yang hanya sedikit di bawah target Skenario Optimis (IRI 3.6). Ini adalah sweet spot efisiensi: dengan mengeluarkan dana paling sedikit (Rp9,8 miliar), DS2 menghasilkan kualitas layanan yang nyaris optimal. Keputusan untuk mengisolasi kerusakan melalui investasi modal awal yang tepat waktu mencegah kaskade kerusakan yang lebih parah dan lebih mahal di tahun-tahun berikutnya.
Pertimbangan Sumber Daya Operasional
Meskipun DS2 menawarkan efisiensi finansial tertinggi, perlu diperhatikan adanya trade-off dalam kebutuhan operasional. Skenario Moderat menuntut intensitas kerja dan sumber daya manusia yang paling banyak dibandingkan skenario lainnya.
Skenario Moderat membutuhkan total 441 hari kerja dan melibatkan 1092 personel untuk menyelesaikan program pemeliharaan 10 tahun.1 Sebagai perbandingan, Skenario Optimis (DS1), meskipun lebih mahal, hanya membutuhkan 354 hari kerja dan 654 personel. Ini menggarisbawahi bahwa efisiensi biaya jangka panjang bergantung pada intensitas kerja yang tinggi dan alokasi tenaga kerja yang besar di tingkat operasional, yang merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah daerah.
Peta Prioritas: Menentukan Titik Luka yang Harus Disembuhkan Pertama
Salah satu fungsi paling berharga dari Sistem Manajemen Pemeliharaan berbasis GIS ini adalah kemampuannya untuk memvisualisasikan kondisi dan memprioritaskan penanganan. Sistem ini bertindak sebagai alat bantu pengambil keputusan, memungkinkan mereka untuk menguji hipotesis alokasi dana secara virtual.
GIS sebagai Sistem Peringatan Dini
Sistem GIS yang dikembangkan dapat menampilkan peta prioritas penanganan berdasarkan dua metrik yang berbeda: luas kerusakan dan kebutuhan biaya pemeliharaan.1 Visualisasi ini sangat intuitif; setiap segmen jalan sepanjang 100 meter akan diarsir lebih gelap jika tingkat kerusakannya lebih tinggi, atau diwarnai lebih merah jika kebutuhan biaya pemeliharaannya lebih besar.1
Melalui analisis ini, pembuat kebijakan dapat melihat secara langsung apakah prioritas harus didasarkan pada tingkat keparahan fisik saat ini atau pada pertimbangan biaya optimal jangka panjang.
Identifikasi Segmen Prioritas
Berdasarkan analisis luas kerusakan, segmen jalan dari STA 0+800 hingga 0+900 teridentifikasi memiliki luas kerusakan tertinggi dan oleh karena itu menerima peringkat prioritas tertinggi dalam hal perbaikan fisik.1
Namun, ketika prioritas dianalisis berdasarkan kebutuhan biaya Skenario Moderat (DS2), urutan prioritas sedikit bergeser. Segmen STA 1+200 hingga 1+300 menempati posisi teratas karena membutuhkan biaya tertinggi, yakni sekitar IDR 874,3 juta. Sebaliknya, segmen di ujung awal jalan studi (STA 0+000 hingga 0+100) membutuhkan biaya terendah, sekitar IDR 396,3 juta.1
Meskipun terdapat perbedaan urutan berdasarkan biaya, penelitian menyimpulkan bahwa segmen STA 0+800 hingga 0+900 adalah yang paling mendesak untuk ditangani pertama kali menggunakan skenario DS2. Keputusan ini didasarkan pada luas kerusakan yang terbesar. Penanganan segmen ini secara preventif segera adalah krusial karena penundaan akan menyebabkan kerusakan memburuk dan, pada akhirnya, meningkatkan biaya secara eksponensial.1 Sistem GIS ini memungkinkan keputusan strategis—mengapa memperbaiki A daripada B? Karena memperbaiki A dengan skenario DS2 akan menghasilkan pengembalian investasi jangka panjang yang lebih tinggi, bahkan jika B secara visual terlihat sedikit lebih buruk.
Data juga mengungkapkan dinamika kerusakan jalan yang menarik. Kerusakan paling umum adalah Crocodile Cracks (retak buaya).1 Hasil validasi menunjukkan bahwa kerusakan tidak statis: 60 persen dari sampel kerusakan membesar ukurannya dalam satu tahun, 28 persen merupakan penambalan baru, sementara hanya 12 persen ukurannya berkurang (seringkali karena perbedaan persepsi surveyor atau penambalan yang mengelupas).1 Jenis kerusakan yang paling sering ditangani adalah potholes (lubang).1
Opini dan Tantangan Realistis: Transisi dari Reaktif ke Preventif
Meskipun sistem berbasis GIS ini menawarkan efisiensi yang luar biasa, penerapannya dihadapkan pada kendala fiskal dan budaya kerja yang telah lama mengakar.
Budaya Reaktif di Tingkat Kebijakan
Kritik realistis yang diangkat oleh peneliti adalah bahwa pendekatan yang diambil oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi saat ini cenderung reaktif, padahal sistem ini menganjurkan pendekatan preventif.1 Transisi ini terhambat oleh realitas anggaran: alokasi dana saat ini "hanya cukup untuk memperbaiki jalan yang sudah rusak," bukan untuk mencegah kerusakan yang akan datang.1
Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada metode pemeliharaan, tetapi pada desain alokasi anggaran itu sendiri. Untuk mengatasi budaya reaktif ini, pemerintah perlu melihat DS2 sebagai investasi, bukan hanya pengeluaran. Penghematan hingga Rp17 miliar per segmen yang dikelola secara preventif adalah bukti nyata bahwa biaya investasi awal akan terbayar lunas dalam jangka panjang. Kritik ini mendorong perlunya desain ulang skenario pembiayaan preventif di masa depan sehingga alokasi anggaran dapat dipenuhi secara memadai dan mencegah krisis infrastruktur yang lebih dalam.1
Keterbatasan Data Input dan Asumsi Ideal
Peneliti juga mengakui bahwa efektivitas sistem GIS ini sangat bergantung pada kelengkapan dan validitas data input. Ada potensi perbedaan kecil antara data yang digunakan dalam model dan kondisi lapangan yang sebenarnya. Data penting yang perlu dikumpulkan secara lebih komprehensif di lapangan, untuk meminimalkan perbedaan ini, mencakup data lalu lintas harian rata-rata (Average Annual Daily Traffic atau AADT), nilai daya dukung tanah (California Bearing Ratio atau CBR), dan ketebalan lapisan perkerasan.1
Selain itu, perhitungan biaya dalam studi ini didasarkan pada harga material dan tenaga kerja standar tahun 2023 di lokasi studi, sesuai prosedur Analisis Harga Satuan.1 Namun, perlu diakui bahwa jenis aktivitas pemeliharaan yang dihitung didasarkan pada "kondisi ideal." Oleh karena itu, mungkin terdapat perbedaan kecil dibandingkan dengan harga kerja pemeliharaan maksimum yang dikeluarkan oleh Dinas PU Provinsi.1
Pernyataan Dampak Nyata dan Penutup
Sistem Manajemen Pemeliharaan Jalan berbasis GIS yang dikembangkan ini merupakan tonggak penting. Kemampuannya untuk memvisualisasikan kerusakan secara akurat menggunakan pemetaan UAV dan memproyeksikan biaya optimal di masa depan menjadikan sistem ini langkah awal yang vital menuju implementasi konsep Digital Twin Technology (Kembaran Digital) dalam manajemen infrastruktur.1
Sistem ini kini mampu menyediakan data biaya pemeliharaan preventif, menjadikannya input yang sangat berharga dan cerdas untuk sistem manajemen jalan yang sudah ada, seperti PKRMS.1
Pernyataan Dampak Nyata
Jika diterapkan secara luas, temuan dari penelitian ini menunjukkan potensi penghematan anggaran negara yang sangat besar. Dengan mengadopsi Skenario Moderat (DS2) dan bergeser total ke pendekatan preventif berbasis data GIS/UAV, Indonesia dapat mengurangi biaya pemeliharaan jalan hingga lebih dari 50 persen per kilometer jalan provinsi, dibandingkan jika pemerintah memilih pendekatan reaktif. Bersamaan dengan penghematan ini, kualitas layanan jalan dapat ditingkatkan secara konsisten hingga mencapai kategori "Baik" (Good).
Penghematan signifikan yang diproyeksikan lebih dari Rp6 miliar untuk setiap segmen 1.5 kilometer jalan yang dikelola secara preventif ini dapat direalisasikan sepenuhnya dan berdampak pada efisiensi anggaran negara dalam waktu lima tahun setelah implementasi sistem secara menyeluruh di tingkat provinsi dan kabupaten. Sistem ini menawarkan jalan keluar nyata dari dilema anggaran infrastruktur yang selama ini didominasi oleh penanganan krisis.
Baca selengkapnya di sini (https://doi.org/10.18517/ijaseit.13.6.19390).
Sumber Artikel:
Road Maintenance Management Based on Geographic Information, https://ijaseit.insightsociety.org/index.php/ijaseit/article/view/19390