Teknologi Infrastruktur

Transformasi Digital untuk Konstruksi Berkelanjutan: Kebijakan Menuju Smart Supply Chain Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Studi dalam jurnal Sustainable Computing: Informatics and Systems (2025) menyoroti bahwa digitalisasi—terutama melalui Digital Twin, Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT)—telah menjadi kunci utama dalam mendorong efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan di sektor konstruksi.

Teknologi digital memungkinkan pemantauan siklus hidup proyek secara real-time, mulai dari perencanaan, pengadaan material, hingga perawatan infrastruktur. Pendekatan ini mengurangi pemborosan hingga 25% dan menekan emisi karbon konstruksi hingga 15%, menurut hasil riset yang tercantum dalam dokumen tersebut.

Bagi Indonesia, temuan ini penting karena sejalan dengan Rencana Induk Transformasi Digital Nasional dan target pengurangan emisi karbon sebesar 31,89% pada 2030. Integrasi smart supply chain juga relevan bagi lembaga seperti Kementerian PUPR dan BRIN dalam mendukung pengelolaan infrastruktur berbasis data.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Digitalisasi rantai pasok konstruksi di berbagai negara telah memberikan dampak signifikan:

  • Meningkatkan efisiensi distribusi material hingga 30%.

  • Mengurangi keterlambatan proyek melalui pemantauan data real-time.

  • Meningkatkan kolaborasi lintas sektor antara desainer, kontraktor, dan pemasok.

Namun, terdapat tiga hambatan utama dalam implementasinya di Indonesia:

  1. Kesenjangan infrastruktur digital. Masih banyak proyek konstruksi di daerah yang belum terkoneksi dengan sistem data terpusat.

  2. Keterbatasan SDM digital. Tenaga kerja konstruksi sebagian besar belum terlatih dalam penggunaan AI atau IoT.

  3. Kurangnya kebijakan data governance. Belum ada regulasi yang mengatur integrasi dan keamanan data proyek konstruksi antar instansi.

Meski demikian, peluang digitalisasi semakin terbuka berkat inisiatif pemerintah dalam smart city dan sistem e-procurement nasional. Program seperti Kursus Building Information Modeling (BIM) untuk Infrastruktur dapat menjadi pintu masuk untuk implementasi konstruksi cerdas di berbagai proyek strategis.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Bentuk Kerangka Nasional Smart Construction dan Digital Supply Chain
    Pemerintah perlu menetapkan National Digital Construction Framework untuk mengintegrasikan data proyek, manajemen rantai pasok, dan pemantauan emisi dalam satu sistem.

  2. Perkuat Kapasitas SDM Konstruksi Digital
    Kolaborasi antara pemerintah, universitas, dan platform pelatihan perlu diperluas agar tenaga kerja memahami pengelolaan proyek berbasis data.

  3. Dorong Penggunaan Teknologi AI dan Digital Twin
    Implementasi AI untuk perencanaan prediktif dan simulasi Digital Twin wajib menjadi syarat dalam tender proyek besar, terutama di sektor publik.

  4. Bangun Pusat Data Nasional Konstruksi (Construction Data Hub)
    Fasilitas ini harus menampung seluruh data rantai pasok dan status infrastruktur untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based policy).

  5. Berikan Insentif Pajak untuk Adopsi Teknologi Hijau
    Kontraktor dan konsultan yang mengimplementasikan sistem digitalisasi efisien energi dan manajemen limbah cerdas dapat diberikan keringanan pajak atau prioritas tender proyek pemerintah.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan digitalisasi konstruksi berpotensi gagal bila tidak dibarengi dengan integrasi lintas sektor dan tata kelola data yang kuat.
Beberapa risiko yang mungkin muncul antara lain:

  • Ketimpangan digital antara kota besar dan daerah terpencil.

  • Implementasi sistem yang mahal tanpa pelatihan teknis berkelanjutan.

  • Data proyek yang terfragmentasi karena kurangnya standar interoperabilitas.

Selain itu, fokus kebijakan yang terlalu menekankan teknologi tanpa memperhatikan aspek sosial—seperti perlindungan tenaga kerja manual—dapat memperlebar kesenjangan ekonomi di sektor konstruksi. Oleh karena itu, pendekatan inklusif berbasis pelatihan dan kolaborasi menjadi kunci keberhasilan.

Penutup

Transformasi digital dalam industri konstruksi adalah kunci menuju efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan. Dengan memanfaatkan AI, IoT, dan Digital Twin, Indonesia dapat mengubah sistem rantai pasok konvensional menjadi ekosistem smart supply chain yang adaptif dan ramah lingkungan.

Melalui kolaborasi kebijakan lintas lembaga dan penguatan kapasitas SDM, Indonesia berpeluang menjadi pelopor smart construction ecosystem di Asia Tenggara.

Sumber

Sustainable Computing: Informatics and Systems, 2025.

Selengkapnya
Transformasi Digital untuk Konstruksi Berkelanjutan: Kebijakan Menuju Smart Supply Chain Nasional

Teknologi Infrastruktur

Membaca Defisit Infrastruktur Indonesia dari Perspektif Developmentalist

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025


Pendahuluan

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang dinamis, kerap dihadapkan pada tantangan infrastruktur yang kompleks. Dalam artikel ilmiah berjudul "Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective" karya Kyunghoon Kim (2021), penulis mengupas kegagalan reformasi institusional pasca-krisis Asia 1997 dan menawarkan pendekatan alternatif melalui kacamata developmentalist.

Penelitian ini memberikan narasi baru bahwa kegagalan pembangunan infrastruktur di Indonesia bukan hanya akibat kelemahan tata kelola (good governance), melainkan juga akibat absennya kebijakan pembangunan yang proaktif.

 

Latar Belakang Historis: Dari Krisis ke Reformasi

Pasca-krisis moneter 1997–1998, Indonesia mengadopsi berbagai kebijakan reformasi institusional yang dikenal sebagai agenda good governance. Tujuannya adalah memperbaiki efisiensi investasi publik dan menarik investasi swasta. Namun, sebagaimana Kim tunjukkan, reformasi ini tidak berhasil sepenuhnya karena justru membuka ruang bagi para elit bisnis untuk menangkap institusi baru demi kepentingan pribadi. Korupsi masih merajalela, meskipun dalam bentuk dan jaringan yang lebih terdesentralisasi dibandingkan era Orde Baru.

 

Kelemahan Reformasi Institusional di Sektor Konstruksi

Reformasi di sektor konstruksi difokuskan pada tiga aspek utama: pendaftaran perusahaan, pengadaan publik, dan reformasi BUMN. Dalam implementasinya, ketiga aspek ini mengalami tantangan besar, terutama akibat lemahnya kapasitas institusi dan tingginya pengaruh kelompok kepentingan. Organisasi sektor seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sering disusupi kepentingan asosiasi bisnis yang menciptakan hambatan masuk baru dan praktik rente terselubung.

 

Paradoks Pertumbuhan Konstruksi vs. Defisit Infrastruktur

Menariknya, meski pertumbuhan sektor konstruksi meningkat dari 5% menjadi 10,1% dari PDB antara 2000 hingga 2014, investasi infrastruktur justru menurun dari 7,8% menjadi hanya 2,7% dari PDB. Hal ini menunjukkan bahwa lonjakan aktivitas konstruksi lebih banyak diarahkan ke sektor properti komersial dan residensial, bukan proyek infrastruktur publik seperti jalan tol, pelabuhan, atau jalur kereta api.

 

Kebangkitan Strategi Developmentalist di Era Jokowi

Dari pertengahan 2010-an, strategi pembangunan negara mulai bergeser dari pendekatan liberal ke pendekatan negara-intervensionis. Presiden Joko Widodo secara eksplisit mendorong peran aktif BUMN dalam proyek infrastruktur besar. Data menunjukkan, pada 2015 untuk pertama kalinya belanja modal pemerintah melampaui subsidi BBM, dan pada 2019, anggaran infrastruktur empat kali lipat dari subsidi energi. Contohnya, proyek-proyek besar seperti jalan tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta–Bandung, dan pembangunan pelabuhan menjadi bukti konkret dari strategi ini.

 

Peran SOEs: Antara Agen Pembangunan dan Instrumen Pasar

Salah satu aspek menarik dalam artikel ini adalah sorotan terhadap peran BUMN. Di satu sisi, mereka digunakan sebagai alat negara untuk mendorong pembangunan infrastruktur, tapi di sisi lain juga diarahkan untuk mengejar profitabilitas melalui privatisasi parsial. Perusahaan seperti Waskita Karya dan Wijaya Karya mengalami lonjakan posisi di bursa saham Waskita naik dari peringkat 94 menjadi 16 antara 2014–2019. Namun, tekanan untuk menghasilkan laba membuat banyak BUMN enggan mengambil proyek berisiko tinggi, terutama di wilayah terluar.

 

Kritik terhadap Narasi ‘Good Governance’

Kim secara tajam mengkritik dominasi narasi good governance yang dianut lembaga keuangan internasional (IFIs). Menurutnya, narasi ini terlalu fokus pada institusi formal dan mengabaikan kenyataan bahwa reformasi sering kali ditunggangi oleh elite oligarki. Reformasi yang mestinya mendemokratisasi proses investasi publik justru melahirkan bentuk baru dari patronase dan rente. Kim juga menyoroti bahwa agenda reformasi ini terlalu berfokus pada liberalisasi pasar dan perluasan peran swasta, tanpa mempertimbangkan konteks Indonesia, di mana investasi swasta pada dasarnya masih memerlukan dukungan awal dari negara.

 

Studi Perbandingan: Asia Timur vs. Indonesia

Dalam membandingkan pengalaman Indonesia dengan negara-negara Asia Timur seperti China dan Korea Selatan, terlihat perbedaan mencolok. Di negara-negara tersebut, pemerintah memainkan peran langsung dalam mobilisasi sumber daya dan penguatan sektor konstruksi. Di China, misalnya, 7,6% kontraktor SOE menghasilkan 40% output konstruksi nasional pada 1994. Sementara itu, Indonesia justru menarik diri dari pembangunan dan menyerahkan peran tersebut pada pasar yang belum siap.

 

Opini dan Nilai Tambah

Resensi ini mendukung argumen Kim bahwa pendekatan developmentalist lebih cocok untuk negara seperti Indonesia. Dengan kebutuhan besar akan infrastruktur dasar dan lemahnya pasar domestik, ketergantungan pada investasi swasta akan selalu timpang tanpa dukungan negara. Namun, strategi negara-intervensionis juga bukan tanpa risiko. Lonjakan utang BUMN, inefisiensi proyek, dan potensi korupsi tetap menjadi perhatian. Di sinilah pentingnya membangun keseimbangan antara penguatan peran negara dan tata kelola yang transparan.

 

Kaitannya dengan Tren Industri Saat Ini

Dalam konteks global, tren menuju state capitalism mulai terlihat kembali, terutama pasca pandemi COVID-19. Negara-negara semakin menyadari pentingnya peran negara dalam pembangunan infrastruktur untuk pemulihan ekonomi. Strategi Indonesia yang mengedepankan peran BUMN dalam pembangunan dapat dianggap selaras dengan tren ini. Namun, untuk menjamin keberlanjutan, dibutuhkan reformasi kebijakan fiskal, pengawasan proyek, serta transparansi dalam pengadaan.

 

Kesimpulan

Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam wacana pembangunan Indonesia. Alih-alih menyalahkan kegagalan pada reformasi institusional yang belum matang, Kim mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali pentingnya kebijakan pembangunan yang aktif dan terencana. Melalui pendekatan developmentalist, pemerintah diharapkan tidak hanya menjadi wasit, tetapi juga pemain utama dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif melalui pembangunan infrastruktur yang merata dan strategis.

 

Sumber
Kim, K. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142. DOI: 10.1177/10245294211043355

Selengkapnya
Membaca Defisit Infrastruktur Indonesia dari Perspektif Developmentalist

Teknologi Infrastruktur

Transformasi Infrastruktur Menuju Pembangunan Ekonomi yang Inklusif

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025


Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Pilar Pemerataan Ekonomi

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi sekitar 270 juta jiwa, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membangun kesetaraan sosial dan ekonomi antar wilayah. Di tengah dominasi ekonomi yang selama ini terpusat di Pulau Jawa (menyumbang 58% PDB), pemerintah Indonesia menetapkan arah pembangunan yang lebih Indonesia-sentris melalui agenda Nawacita.

Laporan Infrastructure for Inclusive Economic Development: Lessons Learnt from Indonesia, yang disusun oleh berbagai pakar ekonomi dan lembaga kementerian, menjadi catatan penting atas bagaimana Indonesia mengakselerasi pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.

 

Strategi Pembangunan Infrastruktur: Mobilisasi Semua Sektor

Pembangunan infrastruktur sejak 2016 difokuskan pada konektivitas antarpulau, pemerataan layanan dasar, serta peningkatan daya saing ekonomi daerah. Pemerintah meluncurkan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pada 2022 mencakup 210 proyek senilai lebih dari Rp5.746 triliun, termasuk jalan tol, bendungan, bandara, pelabuhan, kawasan industri, dan sistem irigasi.

 

Beberapa capaian utama:

  • 153 PSN selesai pada 2016–2022 dengan nilai investasi total Rp1.040 triliun

  • 36 bendungan menghasilkan pasokan air bersih 2,73 miliar m³ dan mengairi 288.000 hektare lahan

  • 1.000+ km jalur rel dibangun di berbagai wilayah
     

Keberhasilan ini tak lepas dari kolaborasi lintas lembaga: Kementerian Keuangan, Bappenas, Kemenko Perekonomian, dan ERIA, dengan dukungan investasi swasta dan skema KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha).

 

Dampak Langsung: Konektivitas, Investasi, dan Pertumbuhan Daerah

Pembangunan infrastruktur berdampak langsung terhadap ekonomi daerah. Studi dalam buku ini menggunakan pendekatan difference-in-differences terhadap proyek Tol Bakauheni–Terbanggi Besar, yang menunjukkan:

  • Pertumbuhan ekonomi daerah inti meningkat 7,6%

  • Akses ke air bersih dan sanitasi meningkat hingga 13%

  • Penurunan tingkat kemiskinan di wilayah terdampak

Selain itu, proyek SPAM (sistem penyediaan air minum) seperti Umbulan dan Bandar Lampung memperlihatkan penghematan pengeluaran air rumah tangga hingga Rp100.000 per bulan bagi rumah tangga berpendapatan rendah.

 

Analisis Tambahan: Tantangan Riil dan Solusi Inovatif

Meski pembangunan masif dilakukan, tantangan di lapangan masih nyata:

1. Pembebasan Lahan

Kendala ini menjadi penyebab utama molornya proyek. Beberapa proyek seperti pembangunan jalan dan bandara sempat tertunda bertahun-tahun karena negosiasi yang rumit. Pemerintah membentuk LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) untuk mengelola pembiayaan lahan secara transparan.

2. Keterbatasan Pendanaan

Pasca krisis finansial Asia 1997, belanja infrastruktur Indonesia sempat turun drastis menjadi hanya 2% dari PDB. Kini, melalui penerbitan green sukuk dan skema obligasi berkelanjutan, Indonesia menjadi pelopor pembiayaan hijau di Asia Tenggara.

3. Kesenjangan Regional

Laporan menunjukkan bahwa 67,5% investasi PSN terkonsentrasi di Jawa. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih menghadapi ketimpangan infrastruktur yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah.

 

Nilai Tambah: Kritik Konstruktif dan Arah Masa Depan

Perbandingan dengan Negara Lain:

  • Vietnam dan China berhasil menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) dengan mengintegrasikan pembangunan infrastruktur dan reformasi regulasi bisnis.

  • Indonesia dapat meniru integrasi antara zoning industri, infrastruktur, dan insentif fiskal secara lebih sistemik.
     

Peluang:

  • Digitalisasi infrastruktur menjadi kunci. Layanan digital seperti logistik berbasis aplikasi, pembayaran tol non-tunai, hingga sensor pemantau air memungkinkan efisiensi lebih tinggi.

  • Infrastruktur hijau dan adaptif iklim semakin mendesak di tengah ancaman perubahan iklim. Buku ini mencatat bahwa Indonesia telah menerbitkan Green Sukuk senilai USD 3,2 miliar dalam kurun 2018–2022 untuk mendanai proyek berkelanjutan.
     

 

Kesimpulan: Infrastruktur Bukan Sekadar Beton dan Aspal

Resensi ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia telah berkembang dari sekadar pembangunan fisik menjadi instrumen untuk mencapai pemerataan ekonomi, transformasi digital, dan adaptasi iklim. Indonesia memang belum sepenuhnya setara dengan negara maju, namun langkah strategis melalui PSN menjadi bukti nyata bahwa infrastruktur adalah pendorong inklusivitas.

Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, pembangunan infrastruktur harus terus diarahkan untuk:

  • Menutup kesenjangan regional

  • Menjawab tantangan iklim

  • Mendorong peran serta sektor swasta

  • Memastikan manfaat langsung ke masyarakat miskin dan daerah tertinggal
     

 

Sumber Resmi

Disusun oleh Sri Mulyani Indrawati dkk.
Dipublikasikan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Oktober 2023.
https://www.eria.org
ISBN: 978-602-5460-51-7

Selengkapnya
Transformasi Infrastruktur Menuju Pembangunan Ekonomi yang Inklusif

Teknologi Infrastruktur

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Efisiensi Pemeliharaan Jalan Nasional – dan Hemat Rp17 Miliar per 1,5 Km!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 Oktober 2025


Inovasi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan teknologi pesawat nirawak (UAV) membuka jalan bagi manajemen infrastruktur yang revolusioner. Sebuah studi percontohan di Jawa Barat menunjukkan bahwa pergeseran dari praktik pemeliharaan jalan yang reaktif menuju pendekatan preventif berbasis data presisi dapat menghasilkan penghematan biaya total yang mengejutkan, mencapai miliaran rupiah per segmen jalan, sambil menjamin kualitas jalan tetap prima.

 

Pendahuluan Dramatis: Jalan Indonesia di Ambang Kerusakan dan Solusi Teknologi

Konektivitas adalah urat nadi ekonomi nasional. Menyadari urgensi ini, pada awal kuartal pertama tahun 2023, pemerintah pusat mengalokasikan anggaran kolosal sebesar Rp32 triliun. Dana ini ditujukan khusus untuk meningkatkan persentase kondisi layanan jalan yang andal di seluruh Indonesia.1 Namun, tantangan sesungguhnya bukan hanya pada besaran anggaran yang tersedia, melainkan bagaimana dana tersebut dapat disalurkan dan dieksekusi dengan efisien dan tepat waktu.

Fakta di lapangan menunjukkan urgensi yang mengkhawatirkan. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan menggunakan metode Pavement Condition Index (PCI), penelitian ini mengungkap bahwa sekitar 51% dari jalan yang disurvei berada dalam kategori kondisi dari rusak ringan hingga rusak berat.1 Jika lebih dari separuh jaringan jalan berada dalam kondisi di bawah standar, ini mengindikasikan bahwa laju degradasi infrastruktur tidak sebanding dengan kecepatan atau ketepatan penanganannya.

Secara global, kebanyakan negara menghabiskan antara 20 persen hingga 50 persen saja dari jumlah yang seharusnya dialokasikan untuk memelihara jaringan jalan.1 Fenomena penundaan perbaikan ini menciptakan "utang infrastruktur." Perkerasan jalan akan terdegradasi seiring waktu, tidak peduli seberapa baik konstruksinya. Keterlambatan dalam operasi pemeliharaan jalan, meskipun hanya sebentar, tidak hanya mempercepat kerusakan tetapi juga meningkatkan biaya operasional bagi kendaraan yang melintasinya.1 Oleh karena itu, kebutuhan akan sistem yang memungkinkan intervensi tepat waktu dan terinformasi menjadi sangat krusial.

Inilah mengapa inovasi yang diusulkan dalam penelitian ini menjadi sangat relevan. Para peneliti mengembangkan sistem manajemen pemeliharaan jalan berbasis Sistem Informasi Geografis (GIS) yang menggunakan teknologi pemetaan udara UAV (Drone). Sistem ini dirancang untuk mengubah paradigma manajemen jalan di Indonesia, beralih dari praktik reaktif yang mahal dan rentan kesalahan menuju era pemeliharaan preventif yang cepat, presisi, dan hemat biaya.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Mata Baru di Langit dan Kegagalan Sistem Lama

Efisiensi biaya dan ketepatan pengambilan keputusan dalam pemeliharaan jalan dimulai dari kualitas data. Penelitian ini lahir dari kritik mendalam terhadap dua pilar utama manajemen infrastruktur jalan saat ini: metode survei manual dan sistem manajemen jalan yang sudah ada.

Kritik Pedas terhadap Metode Tradisional

Survei kondisi perkerasan jalan secara historis masih dilakukan secara manual di lapangan, di mana surveyor harus mengisi formulir dan mengumpulkan data fisik. Peneliti menggarisbawahi beberapa kelemahan fundamental dari pendekatan tradisional ini. Pertama, metode ini mengorbankan waktu dan seringkali harus mengompensasi faktor cuaca.1 Kedua, sifatnya yang subjektif dan mahal seringkali berujung pada penundaan dalam penentuan kebutuhan perbaikan. Akurasi data yang dikumpulkan juga rentan terhadap perbedaan persepsi antar surveyor.1

Ironisnya, bahkan sistem manajemen jalan yang telah dioperasikan oleh pemerintah—yaitu Provincial/District Road Management System (PKRMS)—masih mewarisi keterbatasan dari metode manual. Salah satu kelemahan utamanya adalah bahwa data kondisi jalan masih perlu dimasukkan secara manual berdasarkan formulir survei, yang disebut IKP (Indikator Kinerja Pelayanan).1 Selain itu, dokumentasi visual yang dapat ditampilkan oleh PKRMS umumnya terbatas hanya pada foto kerusakan, sehingga sulit bagi pengambil keputusan untuk menentukan lokasi pasti kerusakan tersebut di lapangan.1

Akurasi Setajam Drone (UAV dan GIS)

Inovasi terletak pada penggantian mata manusia dengan presisi teknologi. Penelitian ini memanfaatkan UAV untuk mengambil foto udara beresolusi tinggi, yang kemudian digunakan untuk membangun model digital jalan dalam format 2D dan 3D sebagai peta dasar GIS.1

Foto udara ini memungkinkan penilaian kondisi jalan yang sangat akurat dan selaras dengan kondisi aktual di lokasi, tanpa perlu kunjungan lapangan yang berulang.1 Dengan model digital yang detail, sistem dapat mengidentifikasi dan mengukur dimensi setiap kerusakan—memudahkan klasifikasi penanganan yang tepat. Misalnya, jenis kerusakan Crocodile Cracks (retak buaya), yang merupakan kerusakan paling sering ditemukan di lokasi studi, dapat diukur volumenya secara akurat.1

Yang paling penting, integrasi data ini dengan GIS memberikan kekuatan prediktif. GIS dikenal memiliki potensi besar untuk memprediksi kondisi jalan di masa depan.1 Dengan memadukan data kerusakan statis (diukur melalui PCI) dengan kinerja dinamis (diukur melalui International Roughness Index atau IRI, menggunakan model regresi $IRI = 12,905 - 0,119 \times PCI$ 1), sistem ini menciptakan jembatan teknis. Jembatan ini memungkinkan para insinyur jalan raya menyusun rencana pemeliharaan preventif yang tidak hanya akurat, tetapi juga hemat biaya. Dengan kata lain, teknologi ini mengubah manajemen jalan dari sekadar mencatat kerusakan menjadi merencanakan pencegahan secara ilmiah.

 

Perang Melawan Kerusakan: Empat Skenario Keuangan Jangka Panjang

Untuk menguji efektivitas pendekatan preventif berbasis GIS, peneliti memproyeksikan kebutuhan anggaran dan progres kerusakan jalan selama periode sepuluh tahun, dari 2023 hingga 2032. Proyeksi ini membandingkan satu skenario reaktif total (Do-Nothing) dengan tiga skenario preventif berbeda (Do-Something).

Bencana Skenario Do-Nothing

Skenario Do-Nothing menggambarkan konsekuensi dari menunda perbaikan secara total. Dalam skenario ini, jalan dibiarkan tanpa pemeliharaan selama satu dekade, dan penanganan reaktif skala besar baru dilakukan di akhir periode, tepatnya pada tahun 2032.1

Jika pemerintah memilih pendekatan ini, utang infrastruktur yang terakumulasi akan meledak. Total biaya pemeliharaan reaktif yang diperlukan untuk memperbaiki jalan yang sudah rusak parah selama 10 tahun diproyeksikan mencapai sekitar Rp23,078 miliar untuk studi kasus jalan sepanjang 1.5 kilometer tersebut.1 Skenario ini, yang sering terjadi di banyak wilayah akibat kendala anggaran tahunan, menjadi peringatan keras bahwa menghindari biaya hari ini hanya akan menjamin biaya yang jauh lebih besar di masa depan.

Analisis Tiga Skenario Preventif (Do-Something)

Tiga skenario Do-Something dirancang untuk mempertahankan kondisi jalan yang andal, dengan fokus pada nilai ambang batas kekasaran jalan (IRI):

  1. Skenario Optimis (DS1): Mengejar Kualitas Terbaik
    Skenario ini menetapkan target kondisi jalan ideal, dengan nilai IRI di bawah 4.0.1 Untuk mencapai tingkat kualitas ini, strateginya menuntut dilakukannya overlay (pelapisan ulang) secara periodik setiap 3 tahun.1 Namun, total biaya proyeksi selama 10 tahun untuk skenario yang paling agresif ini ternyata mencapai sekitar Rp26,788 miliar.1
    Ini menimbulkan kontradiksi kebijakan yang penting. Biaya untuk mengejar kondisi terbaik secara agresif (DS1) justru melampaui biaya yang dihasilkan oleh Skenario Do-Nothing (Rp23 miliar). Hal ini menunjukkan bahwa fokus pada kualitas tertinggi tanpa mempertimbangkan siklus hidup dan biaya modal (seperti overlay yang mahal) mungkin tidak realistis secara fiskal. Overlay berulang dalam jangka pendek menuntut pengeluaran modal yang besar, menyebabkan biaya total DS1 menjadi yang tertinggi.
  2. Skenario Moderat (DS2): Optimal dan Efektif
    Skenario ini menargetkan kondisi jalan yang wajar (fair), dengan nilai IRI di bawah 6.0.1 Strategi penanganan ini melibatkan pemeliharaan periodik (overlay) di tahun pertama (investasi modal awal), diikuti oleh pemeliharaan rutin setiap tahun berikutnya.1
    Skenario Moderat terbukti menjadi pemenang mutlak dari perspektif efisiensi biaya. Total biaya proyeksi selama 10 tahun untuk DS2 adalah yang terendah di antara semua skenario, hanya menelan sekitar Rp9,802 miliar.1
  3. Skenario Pesimistis (DS3): Minimal Aman
    Skenario ini bertujuan mempertahankan kondisi jalan andal minimal, dengan nilai IRI di bawah 8.0.1 Pendekatannya mirip dengan DS2, tetapi penanganan periodik (overlay) dilakukan di tahun kedua, diikuti oleh pemeliharaan rutin tahunan.1 Total biaya proyeksi untuk skenario ini mencapai sekitar Rp10,271 miliar.1

Perbandingan data biaya menunjukkan bahwa perbedaan waktu intervensi, bahkan hanya satu tahun, memiliki dampak signifikan. DS2, dengan overlay di tahun pertama, 4% lebih murah dari DS3.

 

Skenario Moderat: Mengapa Lebih Murah Mendahului Kerusakan?

Temuan utama penelitian ini terletak pada superioritas Skenario Moderat (DS2), yang membuktikan bahwa investasi preventif yang cerdas jauh lebih unggul daripada reaktif atau bahkan preventif yang terlalu agresif.

Lompatan Efisiensi Keuangan

Skenario Moderat (DS2) berhasil menghemat biaya secara dramatis jika dibandingkan dengan Skenario Do-Nothing. DS2 hanya memerlukan Rp9,8 miliar, sementara penundaan total membutuhkan Rp23 miliar. Penghematan ini setara dengan mengurangi total tagihan perbaikan Anda sebesar lebih dari 57 persen selama satu dekade.

Untuk memberikan gambaran yang lebih kontekstual, studi membandingkan biaya ini dengan estimasi pemerintah. Jika merujuk pada estimasi biaya pemeliharaan jalan provinsi pemerintah yang mencapai Rp16,6 miliar per 1 kilometer dalam 10 tahun, maka penerapan Skenario Moderat untuk segmen studi kasus sepanjang 1.5 kilometer ini diperkirakan dapat menghasilkan penghematan biaya total melebihi Rp6 miliar dalam kurun waktu yang sama, sebuah angka yang masif jika diterapkan pada ribuan kilometer jalan di seluruh Indonesia.1

Kunci dari efisiensi DS2 terletak pada implementasi prinsip Time Value of Money (TVM)—bahwa uang yang diinvestasikan saat ini memiliki nilai lebih tinggi dalam mencegah kerugian masa depan.1 Dengan melakukan overlay (perbaikan substansial) di tahun pertama, DS2 segera menstabilkan kondisi jalan. Akibatnya, biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan rutin tahunan setelah jalan di-overlay menjadi sangat rendah. Peneliti menemukan bahwa biaya pemeliharaan rutin yang dialokasikan dalam skenario DS2/DS3 hanya menghabiskan sekitar 8,18 persen dari batas maksimal biaya pemeliharaan rutin yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi.1

Kualitas Layanan Jalan yang Optimal

Meskipun DS2 secara resmi dinamakan "Moderat" dengan target kondisi wajar (IRI kurang dari 6.0), hasil perhitungan proyeksi rata-rata menunjukkan bahwa jalan yang dikelola dengan skenario ini mencapai nilai IRI rata-rata 3.9 selama 10 tahun.1

Nilai IRI 3.9 secara teknis menempatkan kondisi jalan tersebut dalam kategori "Good" (Baik), kualitas yang hanya sedikit di bawah target Skenario Optimis (IRI 3.6). Ini adalah sweet spot efisiensi: dengan mengeluarkan dana paling sedikit (Rp9,8 miliar), DS2 menghasilkan kualitas layanan yang nyaris optimal. Keputusan untuk mengisolasi kerusakan melalui investasi modal awal yang tepat waktu mencegah kaskade kerusakan yang lebih parah dan lebih mahal di tahun-tahun berikutnya.

Pertimbangan Sumber Daya Operasional

Meskipun DS2 menawarkan efisiensi finansial tertinggi, perlu diperhatikan adanya trade-off dalam kebutuhan operasional. Skenario Moderat menuntut intensitas kerja dan sumber daya manusia yang paling banyak dibandingkan skenario lainnya.

Skenario Moderat membutuhkan total 441 hari kerja dan melibatkan 1092 personel untuk menyelesaikan program pemeliharaan 10 tahun.1 Sebagai perbandingan, Skenario Optimis (DS1), meskipun lebih mahal, hanya membutuhkan 354 hari kerja dan 654 personel. Ini menggarisbawahi bahwa efisiensi biaya jangka panjang bergantung pada intensitas kerja yang tinggi dan alokasi tenaga kerja yang besar di tingkat operasional, yang merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah daerah.

 

Peta Prioritas: Menentukan Titik Luka yang Harus Disembuhkan Pertama

Salah satu fungsi paling berharga dari Sistem Manajemen Pemeliharaan berbasis GIS ini adalah kemampuannya untuk memvisualisasikan kondisi dan memprioritaskan penanganan. Sistem ini bertindak sebagai alat bantu pengambil keputusan, memungkinkan mereka untuk menguji hipotesis alokasi dana secara virtual.

GIS sebagai Sistem Peringatan Dini

Sistem GIS yang dikembangkan dapat menampilkan peta prioritas penanganan berdasarkan dua metrik yang berbeda: luas kerusakan dan kebutuhan biaya pemeliharaan.1 Visualisasi ini sangat intuitif; setiap segmen jalan sepanjang 100 meter akan diarsir lebih gelap jika tingkat kerusakannya lebih tinggi, atau diwarnai lebih merah jika kebutuhan biaya pemeliharaannya lebih besar.1

Melalui analisis ini, pembuat kebijakan dapat melihat secara langsung apakah prioritas harus didasarkan pada tingkat keparahan fisik saat ini atau pada pertimbangan biaya optimal jangka panjang.

Identifikasi Segmen Prioritas

Berdasarkan analisis luas kerusakan, segmen jalan dari STA 0+800 hingga 0+900 teridentifikasi memiliki luas kerusakan tertinggi dan oleh karena itu menerima peringkat prioritas tertinggi dalam hal perbaikan fisik.1

Namun, ketika prioritas dianalisis berdasarkan kebutuhan biaya Skenario Moderat (DS2), urutan prioritas sedikit bergeser. Segmen STA 1+200 hingga 1+300 menempati posisi teratas karena membutuhkan biaya tertinggi, yakni sekitar IDR 874,3 juta. Sebaliknya, segmen di ujung awal jalan studi (STA 0+000 hingga 0+100) membutuhkan biaya terendah, sekitar IDR 396,3 juta.1

Meskipun terdapat perbedaan urutan berdasarkan biaya, penelitian menyimpulkan bahwa segmen STA 0+800 hingga 0+900 adalah yang paling mendesak untuk ditangani pertama kali menggunakan skenario DS2. Keputusan ini didasarkan pada luas kerusakan yang terbesar. Penanganan segmen ini secara preventif segera adalah krusial karena penundaan akan menyebabkan kerusakan memburuk dan, pada akhirnya, meningkatkan biaya secara eksponensial.1 Sistem GIS ini memungkinkan keputusan strategis—mengapa memperbaiki A daripada B? Karena memperbaiki A dengan skenario DS2 akan menghasilkan pengembalian investasi jangka panjang yang lebih tinggi, bahkan jika B secara visual terlihat sedikit lebih buruk.

Data juga mengungkapkan dinamika kerusakan jalan yang menarik. Kerusakan paling umum adalah Crocodile Cracks (retak buaya).1 Hasil validasi menunjukkan bahwa kerusakan tidak statis: 60 persen dari sampel kerusakan membesar ukurannya dalam satu tahun, 28 persen merupakan penambalan baru, sementara hanya 12 persen ukurannya berkurang (seringkali karena perbedaan persepsi surveyor atau penambalan yang mengelupas).1 Jenis kerusakan yang paling sering ditangani adalah potholes (lubang).1

 

Opini dan Tantangan Realistis: Transisi dari Reaktif ke Preventif

Meskipun sistem berbasis GIS ini menawarkan efisiensi yang luar biasa, penerapannya dihadapkan pada kendala fiskal dan budaya kerja yang telah lama mengakar.

Budaya Reaktif di Tingkat Kebijakan

Kritik realistis yang diangkat oleh peneliti adalah bahwa pendekatan yang diambil oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi saat ini cenderung reaktif, padahal sistem ini menganjurkan pendekatan preventif.1 Transisi ini terhambat oleh realitas anggaran: alokasi dana saat ini "hanya cukup untuk memperbaiki jalan yang sudah rusak," bukan untuk mencegah kerusakan yang akan datang.1

Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada metode pemeliharaan, tetapi pada desain alokasi anggaran itu sendiri. Untuk mengatasi budaya reaktif ini, pemerintah perlu melihat DS2 sebagai investasi, bukan hanya pengeluaran. Penghematan hingga Rp17 miliar per segmen yang dikelola secara preventif adalah bukti nyata bahwa biaya investasi awal akan terbayar lunas dalam jangka panjang. Kritik ini mendorong perlunya desain ulang skenario pembiayaan preventif di masa depan sehingga alokasi anggaran dapat dipenuhi secara memadai dan mencegah krisis infrastruktur yang lebih dalam.1

Keterbatasan Data Input dan Asumsi Ideal

Peneliti juga mengakui bahwa efektivitas sistem GIS ini sangat bergantung pada kelengkapan dan validitas data input. Ada potensi perbedaan kecil antara data yang digunakan dalam model dan kondisi lapangan yang sebenarnya. Data penting yang perlu dikumpulkan secara lebih komprehensif di lapangan, untuk meminimalkan perbedaan ini, mencakup data lalu lintas harian rata-rata (Average Annual Daily Traffic atau AADT), nilai daya dukung tanah (California Bearing Ratio atau CBR), dan ketebalan lapisan perkerasan.1

Selain itu, perhitungan biaya dalam studi ini didasarkan pada harga material dan tenaga kerja standar tahun 2023 di lokasi studi, sesuai prosedur Analisis Harga Satuan.1 Namun, perlu diakui bahwa jenis aktivitas pemeliharaan yang dihitung didasarkan pada "kondisi ideal." Oleh karena itu, mungkin terdapat perbedaan kecil dibandingkan dengan harga kerja pemeliharaan maksimum yang dikeluarkan oleh Dinas PU Provinsi.1

 

Pernyataan Dampak Nyata dan Penutup

Sistem Manajemen Pemeliharaan Jalan berbasis GIS yang dikembangkan ini merupakan tonggak penting. Kemampuannya untuk memvisualisasikan kerusakan secara akurat menggunakan pemetaan UAV dan memproyeksikan biaya optimal di masa depan menjadikan sistem ini langkah awal yang vital menuju implementasi konsep Digital Twin Technology (Kembaran Digital) dalam manajemen infrastruktur.1

Sistem ini kini mampu menyediakan data biaya pemeliharaan preventif, menjadikannya input yang sangat berharga dan cerdas untuk sistem manajemen jalan yang sudah ada, seperti PKRMS.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika diterapkan secara luas, temuan dari penelitian ini menunjukkan potensi penghematan anggaran negara yang sangat besar. Dengan mengadopsi Skenario Moderat (DS2) dan bergeser total ke pendekatan preventif berbasis data GIS/UAV, Indonesia dapat mengurangi biaya pemeliharaan jalan hingga lebih dari 50 persen per kilometer jalan provinsi, dibandingkan jika pemerintah memilih pendekatan reaktif. Bersamaan dengan penghematan ini, kualitas layanan jalan dapat ditingkatkan secara konsisten hingga mencapai kategori "Baik" (Good).

Penghematan signifikan yang diproyeksikan lebih dari Rp6 miliar untuk setiap segmen 1.5 kilometer jalan yang dikelola secara preventif ini dapat direalisasikan sepenuhnya dan berdampak pada efisiensi anggaran negara dalam waktu lima tahun setelah implementasi sistem secara menyeluruh di tingkat provinsi dan kabupaten. Sistem ini menawarkan jalan keluar nyata dari dilema anggaran infrastruktur yang selama ini didominasi oleh penanganan krisis.

Baca selengkapnya di sini (https://doi.org/10.18517/ijaseit.13.6.19390).

 

Sumber Artikel:

Road Maintenance Management Based on Geographic Information, https://ijaseit.insightsociety.org/index.php/ijaseit/article/view/19390

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Efisiensi Pemeliharaan Jalan Nasional – dan Hemat Rp17 Miliar per 1,5 Km!

Teknologi Infrastruktur

Jalan Rusak di Pelosok Negeri Punya Solusi Tak Terduga: Getaran Ponsel di Tangan Anda Bisa Jadi Kunci Perbaikan Nasional

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Oktober 2025


Bayangkan sebuah ambulans yang membawa pasien kritis, berjuang melintasi jalan tanah bergelombang yang lebih mirip lintasan off-road daripada akses publik. Atau sebuah truk pengangkut hasil panen yang terpaksa menjual produknya dengan harga murah karena biaya transportasi yang membengkak akibat jalanan yang hancur. Ini bukan sekadar skenario hipotetis; ini adalah krisis senyap yang terjadi setiap hari di bawah roda jutaan kendaraan di seluruh dunia, menjadi penghalang nyata bagi kemajuan ekonomi, akses kesehatan, dan simbol kesenjangan infrastruktur yang menganga.

Skala masalah ini jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Di negara maju seperti Swedia, jalan kerikil masih mencakup sekitar 20.000 km dari jaringan jalan nasional dan tambahan 75.000 km jalan pribadi yang perawatannya disubsidi oleh pemerintah.1 Di negara berkembang seperti Zambia, situasinya lebih dramatis: sekitar 75% dari jaringan jalan inti sepanjang 33.000 km tidak beraspal, dan sebagian besar berada dalam kondisi yang memprihatinkan.1 Fakta ini menggarisbawahi bahwa masalah jalan tak beraspal adalah isu global yang relevan, baik bagi negara dengan ekonomi maju maupun yang sedang berkembang.

Di sinilah letak konflik utamanya. Jalan-jalan ini adalah urat nadi kehidupan ekonomi lokal—penting untuk industri kehutanan di Swedia dan sektor pertanian vital di Zambia.1 Namun, secara alami, jalan jenis ini rusak jauh lebih cepat daripada jalan beraspal, rentan terhadap lubang, gelombang (keriting), debu, dan kerikil lepas.1 Metode pemantauan tradisional untuk mendeteksi kerusakan ini sangat mahal, memakan waktu, dan sering kali tidak efisien, menciptakan dilema besar bagi pemerintah dengan sumber daya yang terbatas. Namun, sebuah penelitian terobosan dari Keegan Mbiyana dan Mirka Kans dari Linnaeus University dan Chalmers University of Technology menawarkan secercah harapan. Solusi yang mereka usulkan tidak datang dalam bentuk alat berat baru atau satelit berteknologi tinggi, melainkan dari sesuatu yang sudah ada di saku jutaan orang di seluruh dunia: smartphone.

 

Mengapa Metode Lama Tak Lagi Cukup? Keterbatasan Fatal dari Inspeksi Mata Telanjang

Selama puluhan tahun, metode dominan untuk memantau kondisi jalan tak beraspal adalah melalui survei visual. Di Swedia, praktik ini dikenal sebagai "visual windscreen surveys," di mana para inspektur berkendara di sepanjang jalan dan secara subjektif menilai tingkat kerusakan.1 Di Zambia, tim inspeksi dari Roads Development Agency (RDA) melakukan survei tahunan dengan cara yang serupa untuk merencanakan pemeliharaan.1 Meskipun terdengar praktis, pendekatan ini memiliki kelemahan fundamental yang membuatnya tidak lagi memadai di era digital.

Kelemahan pertama dan paling fatal adalah subjektivitas. Penilaian kondisi jalan sangat bergantung pada persepsi dan pengalaman individu inspektur. Apa yang dianggap sebagai "kerusakan sedang" oleh satu orang mungkin dinilai sebagai "parah" oleh orang lain. Penelitian ini secara tegas menyebut metode ini "rentan terhadap subjektivitas dan kesalahan penilaian manusia".1 Ketergantungan pada penilaian personal ini membuat data yang dihasilkan tidak konsisten dan sulit untuk distandarisasi secara nasional.

Kedua, metode ini sangat tidak efisien dari segi biaya dan waktu. Mengirim tim inspeksi untuk menjelajahi ribuan kilometer jalan pedesaan yang terpencil adalah operasi logistik yang masif, memakan biaya bahan bakar, waktu perjalanan, dan tenaga kerja yang signifikan.1 Akibatnya, survei sering kali dilakukan secara sporadis—misalnya, hanya setahun sekali di Zambia.1 Frekuensi yang rendah ini berarti kerusakan kecil yang bisa diperbaiki dengan murah akan dibiarkan memburuk hingga menjadi masalah besar yang membutuhkan perbaikan mahal.

Keterbatasan ini pada akhirnya bermuara pada masalah ketiga: kurangnya data berkualitas tinggi dan relevan.1 Tanpa data yang berkelanjutan dan objektif, mustahil untuk membangun model prediktif yang akurat. Analogi yang tepat adalah seperti seorang dokter yang mencoba mendiagnosis kondisi kesehatan seorang pasien hanya dengan melihatnya dari seberang ruangan setahun sekali. Diagnosisnya hampir pasti tidak akurat, tidak lengkap, dan selalu terlambat.

Ketergantungan pada survei visual ini tanpa disadari menciptakan sebuah lingkaran setan pemeliharaan reaktif. Karena data yang buruk, pihak berwenang tidak dapat meramalkan di mana dan kapan kerusakan akan terjadi. Akibatnya, mereka hanya bisa bereaksi setelah kerusakan sudah parah. Di Swedia, sumber daya yang terbatas sering kali menggeser fokus dari tindakan pencegahan ke perbaikan korektif.1 Di Zambia, situasinya lebih ekstrem: jalan tak beraspal sering kali baru mendapat perhatian ketika kondisinya sudah "hampir tidak bisa dilewati," terutama saat musim hujan.1 Model reaktif ini tidak hanya jauh lebih mahal daripada pemeliharaan preventif, tetapi juga menyebabkan gangguan yang lebih besar bagi masyarakat yang bergantung pada jalan tersebut.

 

Revolusi dari Saku Anda: Memanfaatkan Warga Biasa sebagai ‘Sensor Berjalan’

Di tengah kebuntuan metode konvensional, penelitian Mbiyana dan Kans memperkenalkan sebuah konsep yang elegan dan revolusioner: pengumpulan data partisipatif (participatory data collection). Idenya adalah memberdayakan pengguna jalan sehari-hari—seperti petugas pos, sopir bus sekolah, pengemudi truk pengumpul sampah, dan penduduk lokal—untuk menjadi "sensor berjalan" yang secara otomatis mengumpulkan data kondisi jalan saat mereka melakukan aktivitas normal mereka.1

Bagaimana ini mungkin terjadi? Jawabannya terletak pada teknologi yang tersemat di dalam smartphone modern. Setiap ponsel pintar dilengkapi dengan serangkaian sensor canggih, termasuk akselerometer yang dapat mengukur getaran dan guncangan, giroskop yang mendeteksi kemiringan, dan GPS yang mencatat lokasi dengan presisi tinggi.1 Ketika sebuah kendaraan melintasi jalan yang rusak, getaran dan guncangan yang dihasilkan akan ditangkap oleh akselerometer di ponsel pengemudi.

Dengan menggunakan aplikasi khusus, data getaran ini dapat dianalisis untuk mengidentifikasi anomali. Getaran yang halus dan konsisten mengindikasikan jalan yang mulus, sementara guncangan yang keras dan tiba-tiba menandakan adanya lubang, gelombang, atau kerusakan lainnya. Setiap data getaran ini diberi label geografis oleh GPS, menciptakan peta kerusakan jalan yang sangat detail dan dinamis. Ini seperti mengubah setiap kendaraan menjadi "mesin EKG" untuk jalan raya, yang terus-menerus memantau "kesehatan" infrastruktur secara real-time. Aplikasi yang sudah ada seperti Roadroid, yang disebutkan dalam penelitian, menunjukkan potensi nyata dari pendekatan ini.1

Manfaat dari pendekatan ini sangat transformatif. Pertama, cakupan pemantauan menjadi jauh lebih luas dan berkelanjutan. Bayangkan ribuan "sensor" yang bergerak setiap hari di seluruh jaringan jalan, dibandingkan dengan segelintir tim inspeksi yang hanya bisa mencakup sebagian kecil area dalam satu waktu.1 Kedua, efisiensi biaya meningkat secara dramatis. Alih-alih berinvestasi pada peralatan survei yang mahal, pendekatan ini memanfaatkan perangkat yang sudah dimiliki oleh miliaran orang di seluruh dunia.1 Ketiga, data yang dihasilkan bersifat mendekati real-time, memungkinkan pihak berwenang untuk merespons kerusakan dengan jauh lebih cepat sebelum masalah menjadi lebih parah.

Lebih dari sekadar inovasi teknis, ini adalah pergeseran paradigma fundamental dalam manajemen infrastruktur—dari model yang sepenuhnya terpusat dan top-down ke model crowdsourced yang terdesentralisasi dan bottom-up. Ini adalah sebuah langkah menuju demokratisasi proses pemeliharaan, di mana warga negara tidak lagi hanya menjadi penerima layanan yang pasif, tetapi menjadi kontributor aktif dalam merawat aset publik mereka. Ini bukan hanya tentang mengumpulkan data; ini tentang membangun rasa kepemilikan, keterlibatan masyarakat, dan akuntabilitas baru antara pemerintah dan warganya.

 

Dua Negara, Satu Masalah: Pelajaran Kontras dari Swedia dan Zambia

Untuk menguji kelayakan ide ini di dunia nyata, penelitian ini melakukan studi kasus eksplorasi di dua negara yang sangat berbeda: Swedia dan Zambia. Perbandingan ini secara brilian menyoroti universalitas masalah dan fleksibilitas solusi yang diusulkan.

Di satu sisi, ada Swedia, negara maju dengan anggaran pemeliharaan infrastruktur yang besar. Jalan kerikil di sana menghabiskan sekitar 20% dari total anggaran pemeliharaan jalan.1 Meskipun memiliki sumber daya yang cukup, mereka masih berjuang dengan efisiensi pemantauan. Tantangan utama di Swedia adalah kerusakan yang disebabkan oleh periode pencairan salju (snow-thawing), di mana tanah yang mencair melemahkan struktur jalan dan membuatnya rentan terhadap kerusakan akibat lalu lintas berat.1 Menariknya, otoritas transportasi Swedia, Trafikverket, sudah menyadari potensi teknologi ini. Mereka dilaporkan sedang dalam tahap pengujian menggunakan akselerometer smartphone dan bahkan sedang dalam proses pengadaan proyek inovasi untuk mengumpulkan data dari armada kendaraan yang dilengkapi sensor.1 Sikap mereka positif: mereka bersedia mempertimbangkan pengumpulan data partisipatif di masa depan, asalkan teknologinya telah "teruji dan divalidasi sebagai andal dan kuat".1

Di sisi lain, ada Zambia, negara berkembang di mana jalan tak beraspal adalah tulang punggung kehidupan sehari-hari, menghubungkan masyarakat pedesaan ke sekolah, fasilitas kesehatan, dan pasar.1 Tantangan utama di sini bukanlah salju, melainkan musim hujan yang ekstrem, yang dapat menghanyutkan permukaan jalan, merusak jembatan, dan secara efektif mengisolasi seluruh komunitas.1 Roads Development Agency (RDA) di Zambia menghadapi keterbatasan sumber daya yang parah, di mana pemeliharaan jalan beraspal sering kali menjadi prioritas utama.1 Namun, meskipun dengan sumber daya yang terbatas, mereka juga melihat potensi besar dalam teknologi ini. Kemungkinan menggunakan smartphone untuk mengukur kekasaran permukaan jalan telah didiskusikan dan sedang dipertimbangkan.1 Hambatan utama bagi mereka bukanlah keengganan, melainkan kebutuhan praktis untuk berinvestasi dalam "infrastruktur yang diperlukan untuk mengelola data dan staf yang terlatih" untuk menangani aliran informasi baru ini.1

Kisah kontras dari Swedia dan Zambia ini mengungkapkan sebuah kebenaran yang kuat. Meskipun konteks mereka sangat berbeda—iklim ekstrem yang berlawanan (musim dingin vs. musim hujan), tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda, dan ketersediaan sumber daya yang kontras—kedua negara menghadapi masalah inti yang sama: kurangnya data kondisi jalan yang efisien, objektif, dan berkelanjutan. Dan yang lebih penting, keduanya melihat solusi potensial dalam teknologi yang sama.

Hal ini menunjukkan bahwa demokratisasi teknologi, terutama ketersediaan smartphone yang semakin meluas bahkan di daerah pedesaan, dapat bertindak sebagai penyeimbang (equalizer) dalam manajemen infrastruktur global. Negara berkembang seperti Zambia berpotensi untuk "melompati" (leapfrog) metode pemantauan tradisional yang mahal dan padat karya, dan langsung mengadopsi solusi digital yang lebih gesit dan hemat biaya. Ini adalah solusi yang sama yang juga sedang dieksplorasi secara serius oleh negara maju seperti Swedia. Ini membuktikan bahwa teknologi berbasis partisipasi warga bukanlah solusi "kelas dua" untuk negara miskin, melainkan pendekatan generasi berikutnya yang relevan secara universal untuk tantangan infrastruktur abad ke-21.

 

Di Balik Layar: Begini Cara Getaran Ponsel Diubah Menjadi Rencana Perbaikan

Mengubah getaran acak dari ribuan ponsel menjadi rencana pemeliharaan yang dapat ditindaklanjuti bukanlah sihir, melainkan sebuah proses sistematis. Para peneliti mengusulkan kerangka kerja yang didasarkan pada standar industri yang sudah ada, yaitu OSA-CBM (Open System Architecture for Condition Based Maintenance), yang memecah proses menjadi langkah-langkah logis.1

Langkah 1: Pengumpulan dan Penyimpanan Data

Proses dimulai dengan mengidentifikasi dan melatih para relawan—bisa jadi pengemudi bus, petugas pos, atau warga biasa yang sering melintasi jalan tersebut. Pelatihan ini krusial untuk memastikan kualitas data yang dikumpulkan, mencakup cara memasang perangkat dan memahami parameter pengukuran.1 Saat mereka berkendara, aplikasi di smartphone mereka secara pasif akan mengumpulkan data getaran, mengambil foto atau video kerusakan yang signifikan, dan mengunggah semuanya secara otomatis ke server cloud yang terpusat.1

Langkah 2: Analisis Cerdas - "Nowcasting" dan "Forecasting"

Setelah data terkumpul, di sinilah kecerdasan buatan dan analisis data berperan. Proses ini terbagi menjadi dua fungsi utama:

  • "Nowcasting" (Memprediksi Saat Ini): Sistem akan menganalisis aliran data yang masuk secara real-time untuk memberikan gambaran akurat tentang kondisi jalan saat ini. Jika tingkat kerusakan pada segmen jalan tertentu terdeteksi melampaui ambang batas aman, sistem dapat dirancang untuk secara otomatis menghasilkan perintah kerja (work order) dan mengirimkannya langsung ke kontraktor pemeliharaan terdekat.1 Ini berfungsi seperti sistem peringatan dini tsunami untuk infrastruktur, memungkinkan respons cepat sebelum kerusakan kecil menjadi bencana.
  • "Forecasting" (Meramal Masa Depan): Dengan menggabungkan data saat ini dengan data historis yang terus terakumulasi, sistem dapat mulai mengenali pola degradasi. Algoritma machine learning dapat memprediksi kapan suatu ruas jalan kemungkinan besar akan mencapai tingkat kerusakan kritis di masa depan. Ini memungkinkan perencanaan pemeliharaan yang dinamis dan proaktif 1, di mana perbaikan dilakukan tepat sebelum jalan rusak parah, menghemat biaya dan meminimalkan gangguan. Ini ibarat memiliki prakiraan cuaca yang andal untuk infrastruktur jalan.

Langkah 3: Dukungan Keputusan dan Aksi Nyata

Hasil analisis ini kemudian disajikan dalam format yang mudah dipahami bagi para pengambil keputusan. Manajer pemeliharaan dapat mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara lebih efektif, memprioritaskan perbaikan berdasarkan data objektif, bukan hanya berdasarkan laporan anekdotal atau tekanan politik.1 Selain itu, manfaatnya juga dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Data yang sama dapat divisualisasikan melalui antarmuka publik, seperti aplikasi peta di ponsel, yang menunjukkan kondisi jalan saat ini. Pengguna jalan dapat merencanakan rute yang lebih aman dan nyaman, menghindari jalan yang sedang rusak parah.

Lebih jauh lagi, implementasi sistem semacam ini dapat berfungsi sebagai alat anti-korupsi dan pendorong tata kelola yang baik. Dalam lingkungan di mana keputusan pemeliharaan terkadang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-teknis, seperti yang diisyaratkan dalam kasus di Zambia di mana beberapa jalan dipaving karena "pengaruh politik" 1, sistem berbasis data yang transparan menciptakan dasar yang objektif untuk alokasi anggaran. Ketika keputusan perbaikan didasarkan pada data kerusakan yang terverifikasi dan dapat diaudit, menjadi jauh lebih sulit untuk membenarkan proyek yang tidak perlu sambil mengabaikan kebutuhan yang nyata dan mendesak. Teknologi ini, pada intinya, menggantikan pengambilan keputusan yang subjektif dan berpotensi korup dengan proses yang transparan dan akuntabel.

 

Bukan Jalan Mulus Tanpa Hambatan: Kritik Realistis dan Tantangan di Depan

Meskipun konsep pengumpulan data partisipatif ini sangat menjanjikan, para peneliti bersikap realistis dan mengakui bahwa implementasinya bukanlah jalan mulus tanpa hambatan. Mengadopsi pendekatan ini secara luas akan menghadirkan serangkaian tantangan teknis, logistik, dan sosial yang perlu diatasi.

Tantangan teknis yang paling signifikan adalah kualitas dan standardisasi data. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa data yang dikumpulkan dari ratusan model smartphone yang berbeda (dengan sensitivitas sensor yang bervariasi) dan dipasang di berbagai jenis kendaraan (dengan sistem suspensi yang berbeda) dapat dibandingkan secara adil? Penelitian ini menyoroti perlunya kalibrasi yang cermat berdasarkan "properti sensor, respons getaran kendaraan, dan kecepatan" untuk memastikan data yang dihasilkan akurat dan andal.1

Selanjutnya adalah tantangan logistik terkait pelatihan pengguna. Agar sistem ini efektif, para relawan perlu dilatih tentang cara menggunakan aplikasi dengan benar dan cara memasang ponsel mereka di dalam kendaraan untuk mendapatkan data yang optimal.1 Mengorganisir pelatihan semacam ini untuk ribuan partisipan di wilayah yang luas memerlukan sumber daya dan perencanaan yang matang.

Masalah privasi pengguna juga menjadi perhatian utama. Sistem ini secara inheren mengumpulkan data lokasi dan perjalanan pribadi. Oleh karena itu, sangat penting untuk membangun sistem yang kuat di mana "privasi pengguna dijamin".1 Data harus dianonimkan dan diagregasi untuk melindungi identitas individu, dan kebijakan privasi yang transparan harus diterapkan untuk membangun kepercayaan publik.

Terakhir, dan mungkin yang paling mendasar, adalah tantangan terkait infrastruktur data dan kapasitas organisasi. Baik Trafikverket di Swedia maupun RDA di Zambia menyuarakan keprihatinan yang sama: mereka harus memiliki kapasitas untuk "menerima dan mengelola semua data secara efisien".1 Ini bukan hanya tentang membeli server yang lebih besar, tetapi tentang membangun kompetensi baru di dalam organisasi.

Di sinilah tantangan terbesar mungkin bergeser dari ranah teknis ke ranah sosial dan organisasional. Meyakinkan lembaga pemerintah yang sering kali birokratis untuk beralih dari model kontrol top-down ke model manajemen yang radikal, terdesentralisasi, dan bergantung pada data yang bersumber dari warga adalah sebuah rintangan budaya yang signifikan. Ini memerlukan perubahan pola pikir yang mendalam—dari kontrol penuh menjadi kolaborasi, dari keahlian internal yang eksklusif menjadi kepercayaan pada kecerdasan kolektif. Keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada algoritma yang canggih, tetapi juga pada manajemen perubahan organisasi, membangun kepercayaan dengan publik, dan menciptakan kerangka kerja tata kelola data yang kuat yang dapat diterima oleh semua pihak.

 

Kesimpulan - Dampak Nyata untuk Masa Depan Jalan Pedesaan

Penelitian yang dipelopori oleh Keegan Mbiyana dan Mirka Kans menawarkan lebih dari sekadar metode baru untuk memantau jalan rusak. Ini adalah cetak biru untuk masa depan pemeliharaan infrastruktur yang lebih cerdas, lebih hemat biaya, dan secara fundamental lebih demokratis. Dengan memanfaatkan kekuatan teknologi yang ada di tangan warga negara, pendekatan partisipatif ini memiliki potensi untuk merevolusi cara kita mengelola salah satu aset publik yang paling vital.

Jika diterapkan secara luas, pendekatan berbasis partisipasi warga ini berpotensi memangkas biaya survei jalan tak beraspal hingga puluhan persen dan secara dramatis mempercepat waktu respons perbaikan dari hitungan bulan atau tahun menjadi hitungan hari atau minggu. Dalam satu dekade ke depan, ini dapat secara langsung meningkatkan keselamatan di jalan, membuka akses ekonomi bagi jutaan orang di komunitas pedesaan yang sebelumnya terisolasi, dan membangun model baru kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat yang didasarkan pada transparansi data dan kepercayaan bersama. Ini adalah sebuah visi di mana setiap warga negara, dengan ponsel di tangan mereka, dapat menjadi bagian dari solusi untuk membangun infrastruktur yang lebih baik bagi semua.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.36615/wmwdwh65

Selengkapnya
Jalan Rusak di Pelosok Negeri Punya Solusi Tak Terduga: Getaran Ponsel di Tangan Anda Bisa Jadi Kunci Perbaikan Nasional

Teknologi Infrastruktur

Membangun Infrastruktur Cerdas Bali: Pengembangan Database Jalan Provinsi Berbasis GIS untuk Konektivitas dan Pariwisata

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 14 Oktober 2025


Pendahuluan: Mengapa Infrastruktur Jalan Bali Butuh Modernisasi?

Pulau Bali dikenal dunia bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena posisinya sebagai pusat pariwisata internasional. Dengan hampir 5 juta wisatawan mancanegara yang mengunjungi Bali pada tahun 2016, kebutuhan akan infrastruktur jalan yang andal dan terintegrasi menjadi semakin mendesak. Namun, pengelolaan data jalan provinsi selama ini masih bersifat konvensional mengandalkan peta analog dan pencatatan manual yang rentan terhadap kesalahan dan tidak efisien.

Studi yang dilakukan oleh Wisnu Mahendra dan I Ketut Widnyana dari Universitas Mahasaraswati Denpasar menawarkan solusi strategis: membangun basis data jalan provinsi berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG/GIS). Sistem ini diyakini dapat mengatasi tantangan informasi yang tidak akurat serta mendukung pengambilan keputusan cepat dan tepat oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Bali.

Mengapa SIG Jadi Solusi Ideal untuk Pengelolaan Jalan?

Sistem Informasi Geografis (SIG) bukan sekadar peta digital. Ini adalah sistem yang mampu:

  • Mengintegrasikan data spasial (lokasi jalan) dan atribut (lebar, panjang, kondisi)

  • Menjawab pertanyaan spasial: “Di mana lokasi kerusakan jalan?”

  • Memberi informasi aktual untuk perencanaan pembangunan

Dengan SIG, pengelolaan jaringan jalan menjadi dinamis dan terintegrasi antar sektor. SIG bukan hanya alat dokumentasi, tetapi juga alat strategis untuk manajemen infrastruktur wilayah secara real-time.

Studi Kasus: Kondisi Jalan Provinsi Bali Tahun 2017

Penelitian ini melibatkan survei langsung ke 111 ruas jalan provinsi di 9 kabupaten/kota se-Bali, mencakup total panjang 743,34 km. Analisis dilakukan dengan parameter utama:

  1. Kondisi Perkerasan Jalan

  2. Lebar Jalan

  3. Konektivitas terhadap Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

 

Temuan Utama:

Kondisi Jalan Panjang: (Km)Persentase Baik 373,8550,29%, Sedang 241,0532,43%, Rusak Ringan 128,4417,28%, Rusak Berat 00%

Catatan penting: 50% jalan masih belum dalam kondisi ideal. Bahkan, 17% menunjukkan tanda-tanda kerusakan ringan yang dapat memburuk jika tidak segera ditangani.

Lebar Jalan vs Standar Nasional

Menurut PP No. 34 Tahun 2006, lebar minimal jalan provinsi adalah 7,5 meter. Namun, hanya 36 dari 111 ruas jalan yang memenuhi standar tersebut. Sisanya (75 ruas) masih di bawah standar, yang berisiko terhadap keselamatan dan mempercepat kerusakan jalan karena lalu lintas yang padat.

Analisis Tambahan: Dampak pada Pariwisata dan Ekonomi

Dari total 111 ruas, sebanyak 59 ruas jalan terhubung langsung dengan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Ini menjadi indikator vital bahwa peningkatan infrastruktur bukan hanya soal pelayanan publik, tetapi juga investasi jangka panjang untuk keberlanjutan sektor pariwisata.

Dalam konteks ekonomi, jalan yang baik:

  • Meningkatkan efisiensi distribusi barang dan jasa

  • Menurunkan biaya logistik lokal

  • Menambah nilai kunjungan wisatawan karena perjalanan lebih nyaman dan aman

Inovasi: Sistem "Sikepan Bali"

Sebagai tindak lanjut dari penelitian, para peneliti mengusulkan pengembangan Sistem Informasi Kemantapan Jalan Bali (Sikepan Bali). Sistem ini akan menjadi:

  • Pusat data jalan berbasis GIS

  • Sumber informasi visual dan kuantitatif bagi dinas terkait

  • Instrumen evaluasi tahunan terhadap kemantapan jaringan jalan

Dengan sistem ini, pemetaan kerusakan bisa dilakukan secara real-time dan progres perbaikan dapat dilacak lintas instansi.

Tantangan dan Rekomendasi

Tantangan:

  • Koordinasi antar bidang di Dinas PU masih belum maksimal

  • Kurangnya pelatihan tenaga teknis untuk pengoperasian SIG

  • Keterbatasan anggaran dalam digitalisasi penuh seluruh ruas jalan

Rekomendasi:

  1. Prioritaskan pemeliharaan ruas jalan yang rusak dan tidak memenuhi standar lebar

  2. Perkuat koordinasi lintas bidang untuk integrasi data spasial dalam satu sistem utama

  3. Alihkan dana dari peta analog ke sistem GIS berbasis cloud untuk efisiensi

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Jika dibandingkan dengan penelitian Endayani (2016) di Samarinda dan Wartika et al. (2013) di Riau, pendekatan Bali menunjukkan kemajuan dalam prototipe implementasi penuh. Penelitian ini tidak hanya fokus pada pemetaan, tapi juga integrasi data lintas instansi, menjadikannya salah satu model terbaik untuk replikasi di provinsi lain di Indonesia.

Dampak Praktis & Potensi Pengembangan Lanjutan

Dalam konteks smart city dan pengembangan wilayah berbasis data, sistem GIS jalan ini bisa menjadi bagian dari:

  • Dashboard Kota Pintar untuk real-time update kondisi jalan

  • Integrasi transportasi publik dan logistik

  • Alat prediktif untuk perencanaan anggaran pemeliharaan

Jika sistem ini diperluas dengan data lalu lintas real-time dari Google Maps atau Waze API, maka sistem ini bisa menjadi alat simulasi kebijakan lalu lintas dan skenario darurat seperti evakuasi bencana.

Kesimpulan: Menuju Infrastruktur Digital Bali

Penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan SIG dalam pengelolaan jalan provinsi bukan hanya meningkatkan efisiensi administrasi, tetapi juga berdampak langsung pada:

  • Keselamatan pengguna jalan

  • Efisiensi ekonomi lokal

  • Pertumbuhan sektor pariwisata

Dengan hanya 50% jalan dalam kondisi baik dan mayoritas belum memenuhi standar lebar, modernisasi pengelolaan infrastruktur jalan Bali menjadi urgensi mutlak. SIG membuka jalan menuju transformasi digital sektor publik, menjadikan Bali tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga cerdas secara infrastruktur.

 

Sumber

Mahendra, Wisnu & Widnyana, I Ketut. (2017). Pengembangan Data Base Jalan Provinsi di Bali Berbasis Sistem Informasi Geografis. Program Pascasarjana Universitas Mahasaraswati Denpasar.
(Dapat diakses melalui dokumen PDF: 57-62.pdf)

Selengkapnya
Membangun Infrastruktur Cerdas Bali: Pengembangan Database Jalan Provinsi Berbasis GIS untuk Konektivitas dan Pariwisata
page 1 of 2 Next Last »