Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Pilar Pemerataan Ekonomi
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi sekitar 270 juta jiwa, Indonesia menghadapi tantangan luar biasa dalam membangun kesetaraan sosial dan ekonomi antar wilayah. Di tengah dominasi ekonomi yang selama ini terpusat di Pulau Jawa (menyumbang 58% PDB), pemerintah Indonesia menetapkan arah pembangunan yang lebih Indonesia-sentris melalui agenda Nawacita.
Laporan Infrastructure for Inclusive Economic Development: Lessons Learnt from Indonesia, yang disusun oleh berbagai pakar ekonomi dan lembaga kementerian, menjadi catatan penting atas bagaimana Indonesia mengakselerasi pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
Strategi Pembangunan Infrastruktur: Mobilisasi Semua Sektor
Pembangunan infrastruktur sejak 2016 difokuskan pada konektivitas antarpulau, pemerataan layanan dasar, serta peningkatan daya saing ekonomi daerah. Pemerintah meluncurkan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pada 2022 mencakup 210 proyek senilai lebih dari Rp5.746 triliun, termasuk jalan tol, bendungan, bandara, pelabuhan, kawasan industri, dan sistem irigasi.
Beberapa capaian utama:
153 PSN selesai pada 2016–2022 dengan nilai investasi total Rp1.040 triliun
36 bendungan menghasilkan pasokan air bersih 2,73 miliar m³ dan mengairi 288.000 hektare lahan
1.000+ km jalur rel dibangun di berbagai wilayah
Keberhasilan ini tak lepas dari kolaborasi lintas lembaga: Kementerian Keuangan, Bappenas, Kemenko Perekonomian, dan ERIA, dengan dukungan investasi swasta dan skema KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha).
Dampak Langsung: Konektivitas, Investasi, dan Pertumbuhan Daerah
Pembangunan infrastruktur berdampak langsung terhadap ekonomi daerah. Studi dalam buku ini menggunakan pendekatan difference-in-differences terhadap proyek Tol Bakauheni–Terbanggi Besar, yang menunjukkan:
Pertumbuhan ekonomi daerah inti meningkat 7,6%
Akses ke air bersih dan sanitasi meningkat hingga 13%
Penurunan tingkat kemiskinan di wilayah terdampak
Selain itu, proyek SPAM (sistem penyediaan air minum) seperti Umbulan dan Bandar Lampung memperlihatkan penghematan pengeluaran air rumah tangga hingga Rp100.000 per bulan bagi rumah tangga berpendapatan rendah.
Analisis Tambahan: Tantangan Riil dan Solusi Inovatif
Meski pembangunan masif dilakukan, tantangan di lapangan masih nyata:
1. Pembebasan Lahan
Kendala ini menjadi penyebab utama molornya proyek. Beberapa proyek seperti pembangunan jalan dan bandara sempat tertunda bertahun-tahun karena negosiasi yang rumit. Pemerintah membentuk LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) untuk mengelola pembiayaan lahan secara transparan.
2. Keterbatasan Pendanaan
Pasca krisis finansial Asia 1997, belanja infrastruktur Indonesia sempat turun drastis menjadi hanya 2% dari PDB. Kini, melalui penerbitan green sukuk dan skema obligasi berkelanjutan, Indonesia menjadi pelopor pembiayaan hijau di Asia Tenggara.
3. Kesenjangan Regional
Laporan menunjukkan bahwa 67,5% investasi PSN terkonsentrasi di Jawa. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih menghadapi ketimpangan infrastruktur yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah.
Nilai Tambah: Kritik Konstruktif dan Arah Masa Depan
Perbandingan dengan Negara Lain:
Vietnam dan China berhasil menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) dengan mengintegrasikan pembangunan infrastruktur dan reformasi regulasi bisnis.
Indonesia dapat meniru integrasi antara zoning industri, infrastruktur, dan insentif fiskal secara lebih sistemik.
Peluang:
Digitalisasi infrastruktur menjadi kunci. Layanan digital seperti logistik berbasis aplikasi, pembayaran tol non-tunai, hingga sensor pemantau air memungkinkan efisiensi lebih tinggi.
Infrastruktur hijau dan adaptif iklim semakin mendesak di tengah ancaman perubahan iklim. Buku ini mencatat bahwa Indonesia telah menerbitkan Green Sukuk senilai USD 3,2 miliar dalam kurun 2018–2022 untuk mendanai proyek berkelanjutan.
Kesimpulan: Infrastruktur Bukan Sekadar Beton dan Aspal
Resensi ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia telah berkembang dari sekadar pembangunan fisik menjadi instrumen untuk mencapai pemerataan ekonomi, transformasi digital, dan adaptasi iklim. Indonesia memang belum sepenuhnya setara dengan negara maju, namun langkah strategis melalui PSN menjadi bukti nyata bahwa infrastruktur adalah pendorong inklusivitas.
Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, pembangunan infrastruktur harus terus diarahkan untuk:
Menutup kesenjangan regional
Menjawab tantangan iklim
Mendorong peran serta sektor swasta
Memastikan manfaat langsung ke masyarakat miskin dan daerah tertinggal
Sumber Resmi
Disusun oleh Sri Mulyani Indrawati dkk.
Dipublikasikan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Oktober 2023.
https://www.eria.org
ISBN: 978-602-5460-51-7
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang dinamis, kerap dihadapkan pada tantangan infrastruktur yang kompleks. Dalam artikel ilmiah berjudul "Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective" karya Kyunghoon Kim (2021), penulis mengupas kegagalan reformasi institusional pasca-krisis Asia 1997 dan menawarkan pendekatan alternatif melalui kacamata developmentalist. Penelitian ini memberikan narasi baru bahwa kegagalan pembangunan infrastruktur di Indonesia bukan hanya akibat kelemahan tata kelola (good governance), melainkan juga akibat absennya kebijakan pembangunan yang proaktif.
Latar Belakang Historis: Dari Krisis ke Reformasi
Pasca-krisis moneter 1997–1998, Indonesia mengadopsi berbagai kebijakan reformasi institusional yang dikenal sebagai agenda good governance. Tujuannya adalah memperbaiki efisiensi investasi publik dan menarik investasi swasta. Namun, sebagaimana Kim tunjukkan, reformasi ini tidak berhasil sepenuhnya karena justru membuka ruang bagi para elit bisnis untuk menangkap institusi baru demi kepentingan pribadi. Korupsi masih merajalela, meskipun dalam bentuk dan jaringan yang lebih terdesentralisasi dibandingkan era Orde Baru.
Kelemahan Reformasi Institusional di Sektor Konstruksi
Reformasi di sektor konstruksi difokuskan pada tiga aspek utama: pendaftaran perusahaan, pengadaan publik, dan reformasi BUMN. Dalam implementasinya, ketiga aspek ini mengalami tantangan besar, terutama akibat lemahnya kapasitas institusi dan tingginya pengaruh kelompok kepentingan. Organisasi sektor seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sering disusupi kepentingan asosiasi bisnis yang menciptakan hambatan masuk baru dan praktik rente terselubung.
Paradoks Pertumbuhan Konstruksi vs. Defisit Infrastruktur
Menariknya, meski pertumbuhan sektor konstruksi meningkat dari 5% menjadi 10,1% dari PDB antara 2000 hingga 2014, investasi infrastruktur justru menurun dari 7,8% menjadi hanya 2,7% dari PDB. Hal ini menunjukkan bahwa lonjakan aktivitas konstruksi lebih banyak diarahkan ke sektor properti komersial dan residensial, bukan proyek infrastruktur publik seperti jalan tol, pelabuhan, atau jalur kereta api.
Kebangkitan Strategi Developmentalist di Era Jokowi
Dari pertengahan 2010-an, strategi pembangunan negara mulai bergeser dari pendekatan liberal ke pendekatan negara-intervensionis. Presiden Joko Widodo secara eksplisit mendorong peran aktif BUMN dalam proyek infrastruktur besar. Data menunjukkan, pada 2015 untuk pertama kalinya belanja modal pemerintah melampaui subsidi BBM, dan pada 2019, anggaran infrastruktur empat kali lipat dari subsidi energi. Contohnya, proyek-proyek besar seperti jalan tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta–Bandung, dan pembangunan pelabuhan menjadi bukti konkret dari strategi ini.
Peran SOEs: Antara Agen Pembangunan dan Instrumen Pasar
Salah satu aspek menarik dalam artikel ini adalah sorotan terhadap peran BUMN. Di satu sisi, mereka digunakan sebagai alat negara untuk mendorong pembangunan infrastruktur, tapi di sisi lain juga diarahkan untuk mengejar profitabilitas melalui privatisasi parsial. Perusahaan seperti Waskita Karya dan Wijaya Karya mengalami lonjakan posisi di bursa saham—Waskita naik dari peringkat 94 menjadi 16 antara 2014–2019. Namun, tekanan untuk menghasilkan laba membuat banyak BUMN enggan mengambil proyek berisiko tinggi, terutama di wilayah terluar.
Kritik terhadap Narasi ‘Good Governance’
Kim secara tajam mengkritik dominasi narasi good governance yang dianut lembaga keuangan internasional (IFIs). Menurutnya, narasi ini terlalu fokus pada institusi formal dan mengabaikan kenyataan bahwa reformasi sering kali ditunggangi oleh elite oligarki. Reformasi yang mestinya mendemokratisasi proses investasi publik justru melahirkan bentuk baru dari patronase dan rente. Kim juga menunjukkan bahwa agenda reformasi ini terlalu menekankan liberalisasi pasar dan peran swasta, tanpa memahami bahwa di negara seperti Indonesia, investasi swasta sangat bergantung pada dorongan awal dari negara.
Studi Perbandingan: Asia Timur vs. Indonesia
Dalam membandingkan pengalaman Indonesia dengan negara-negara Asia Timur seperti China dan Korea Selatan, terlihat perbedaan mencolok. Di negara-negara tersebut, pemerintah memainkan peran langsung dalam mobilisasi sumber daya dan penguatan sektor konstruksi. Di China, misalnya, 7,6% kontraktor SOE menghasilkan 40% output konstruksi nasional pada 1994. Sementara itu, Indonesia justru menarik diri dari pembangunan dan menyerahkan peran tersebut pada pasar yang belum siap.
Opini dan Nilai Tambah
Resensi ini mendukung argumen Kim bahwa pendekatan developmentalist lebih cocok untuk negara seperti Indonesia. Dengan kebutuhan besar akan infrastruktur dasar dan lemahnya pasar domestik, ketergantungan pada investasi swasta akan selalu timpang tanpa dukungan negara. Namun, strategi negara-intervensionis juga bukan tanpa risiko. Lonjakan utang BUMN, inefisiensi proyek, dan potensi korupsi tetap menjadi perhatian. Di sinilah pentingnya membangun keseimbangan antara penguatan peran negara dan tata kelola yang transparan.
Kaitannya dengan Tren Industri Saat Ini
Dalam konteks global, tren menuju state capitalism mulai terlihat kembali, terutama pasca pandemi COVID-19. Negara-negara semakin menyadari pentingnya peran negara dalam pembangunan infrastruktur untuk pemulihan ekonomi. Strategi Indonesia yang mengedepankan peran BUMN dalam pembangunan dapat dianggap selaras dengan tren ini. Namun, untuk menjamin keberlanjutan, dibutuhkan reformasi kebijakan fiskal, pengawasan proyek, serta transparansi dalam pengadaan.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam wacana pembangunan Indonesia. Alih-alih menyalahkan kegagalan pada reformasi institusional yang belum matang, Kim mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali pentingnya kebijakan pembangunan yang aktif dan terencana. Melalui pendekatan developmentalist, pemerintah diharapkan tidak hanya menjadi wasit, tetapi juga pemain utama dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif melalui pembangunan infrastruktur yang merata dan strategis.
Sumber
Kim, K. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142. DOI: 10.1177/10245294211043355
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Anisa pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Value Management Jadi Sorotan?
Di tengah meningkatnya tuntutan efisiensi anggaran dan percepatan pembangunan infrastruktur, pendekatan design and build (D-B) menjadi primadona baru dalam sistem pengadaan konstruksi. Namun efisiensi metode ini tidak akan maksimal tanpa penerapan value management (VM) — sebuah pendekatan terstruktur yang dirancang untuk mencapai best value for money melalui optimalisasi fungsi, biaya, dan kualitas proyek.
Artikel ini mengisi celah penting dalam literatur: bagaimana mengidentifikasi critical success factors (CSFs) dari VM secara spesifik dalam proyek infrastruktur berbasis sistem D-B di Indonesia — sebuah wilayah yang masih jarang dieksplorasi secara akademik.
Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian
Tujuan Utama
Mengidentifikasi faktor-faktor kunci keberhasilan (critical success factors) pada setiap tahap pelaksanaan VM dalam proyek D-B.
Menyusun kerangka kerja (framework) yang dapat digunakan dalam proyek infrastruktur di Indonesia.
Metodologi Singkat
28 faktor dievaluasi melalui survei berbasis kuesioner kepada kontraktor proyek infrastruktur (swasta dan BUMN).
Pengolahan data dilakukan dengan pendekatan Relative Importance Index (RII) menggunakan skala Likert 1–5.
Validitas dan reliabilitas diuji menggunakan Cronbach’s Alpha (rentang 0.722–0.890).
Tiga Pilar Utama Value Management dalam Proyek Design and Build
Tahap 1: VM Pre-Study
VM dimulai sebelum konstruksi — saat informasi proyek dikumpulkan dan strategi dirumuskan. Tiga faktor paling krusial:
Kelengkapan informasi proyek (RII = 0.962)
Gambar teknis, data biaya, kondisi eksisting, dan spesifikasi harus diperbarui.
Kejelasan tujuan VM (RII = 0.914)
Tanpa tujuan yang eksplisit, proses VM akan kehilangan arah.
Pengalaman tim VM (RII = 0.886)
Tim berpengalaman lebih mampu menjalankan analisis fungsional secara kreatif dan produktif.
“Kurangnya persiapan dapat menyebabkan gagalnya identifikasi ide inovatif pada tahap kreatif VM.” — Othman et al. (2021)
Tahap 2: VM Study
Ini merupakan inti dari proses VM, terdiri dari 6 fase: Information, Function Analysis, Creative, Evaluation, Development, Presentation. Tiga faktor teratas:
Perbandingan desain awal dan alternatif dari sudut biaya (RII = 0.924)
Menentukan apakah desain alternatif benar-benar hemat biaya.
Kreativitas dalam menghasilkan ide inovatif (RII = 0.908)
Mendorong sinergi tim lintas disiplin untuk solusi baru.
Pemilihan alternatif yang feasible secara implementasi (RII = 0.903)
Alternatif yang paling bisa diterapkan dan memberikan efisiensi nyata menjadi fokus.
“VM menjadi alat paling efektif jika seluruh pihak terlibat sejak tahap awal perencanaan.” — Shen & Liu (2003)
Tahap 3: VM Post-Study
Fokus utamanya adalah rencana implementasi. Satu faktor menonjol:
Pengembangan rencana pelaksanaan hasil VM (RII = 0.854)
Termasuk diplomasi lintas instansi, penjadwalan eksekusi, dan integrasi ke dokumen proyek utama.
Faktor Pendukung Kritis (Supporting Factor)
VM tidak akan berhasil tanpa:
Kerja sama seluruh stakeholder (RII = 0.876)
Kolaborasi reguler melalui rapat implementasi dan pengawasan pasca-workshop adalah kunci.
Tanpa ini, bahkan dalam sistem D-B yang bersifat terintegrasi, implementasi VM bisa terhambat oleh perbedaan kepentingan internal tim proyek.
Studi Kasus & Relevansi Lokal: Konteks Indonesia
D-B semakin populer dalam proyek infrastruktur nasional, didorong oleh regulasi Kementerian PUPR No. 25/2020.
Namun, seperti dicatat oleh KPPIP (2017), proyek infrastruktur besar sering menghadapi tantangan berupa persiapan lemah dan pembengkakan biaya.
VM terbukti menjadi solusi hemat: studi di Malaysia menunjukkan efisiensi biaya sebesar 23,53% pada proyek di atas 12 juta USD (Jaapar et al., 2012).
Di Indonesia, VM mulai diterapkan pada proyek jembatan dan terowongan sejak 2014 (Berawi et al., 2014).
Analisis Tambahan: Dibandingkan dengan Metode Lain
Kritik dan Saran
Kekuatan Paper:
Framework VM berbasis data empiris lokal (Indonesia).
Validasi metode statistik kuat (RII, Cronbach's Alpha).
Relevansi tinggi dengan konteks kebijakan nasional.
Ruang Perbaikan:
Minim pembahasan tentang digitalisasi (misal: integrasi BIM–VM).
Tidak membahas biaya implementasi VM secara langsung.
Perlu studi lanjutan untuk sektor non-infrastruktur (bangunan, energi, dll.)
Implikasi Praktis untuk Dunia Konstruksi
Bagi Pemerintah:
Perlu menetapkan kebijakan VM sebagai kewajiban, setara seperti di AS dan Australia.
Harus mengembangkan standar nasional untuk VM workshop dan pelaporan.
Bagi Kontraktor:
Harus menyusun tim VM sejak awal perencanaan proyek D-B.
Gunakan hasil VM sebagai basis revisi desain dan dokumen tender.
Bagi Akademisi:
Penelitian ini bisa jadi model awal untuk studi lanjut pada proyek EPC, PPP, dan modular construction.
Framework dapat diadaptasi untuk membentuk tools evaluasi performa VM dalam fase eksekusi.
Kesimpulan: VM adalah Kunci Strategis Efisiensi Proyek Design and Build
Melalui studi empiris yang solid, artikel ini menunjukkan bahwa keberhasilan value management dalam proyek design and build sangat bergantung pada:
Persiapan informasi dan tim sejak awal proyek,
Proses analitis dan kreatif dalam pengembangan alternatif desain,
Perencanaan implementasi yang konkret dan kolaboratif.
Framework yang dihasilkan menjadi panduan praktis bagi pemilik proyek, kontraktor, dan regulator dalam merancang strategi penghematan anggaran tanpa mengorbankan kualitas.
Sumber
Rostiyanti, S. F., Nindartin, A., & Kim, J.-H. (2023). Critical Success Factors Framework of Value Management for Design and Build Infrastructure Projects. Journal of Design and Built Environment, 23(1), 19–34.
DOI: 10.22452/jdbe.vol23no1.2
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Infrastruktur Jalan Bali Butuh Modernisasi?
Pulau Bali dikenal dunia bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena posisinya sebagai pusat pariwisata internasional. Dengan hampir 5 juta wisatawan mancanegara yang mengunjungi Bali pada tahun 2016, kebutuhan akan infrastruktur jalan yang andal dan terintegrasi menjadi semakin mendesak. Namun, pengelolaan data jalan provinsi selama ini masih bersifat konvensional—mengandalkan peta analog dan pencatatan manual—yang rentan terhadap kesalahan dan tidak efisien.
Studi yang dilakukan oleh Wisnu Mahendra dan I Ketut Widnyana dari Universitas Mahasaraswati Denpasar menawarkan solusi strategis: membangun basis data jalan provinsi berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG/GIS). Sistem ini diyakini dapat mengatasi tantangan informasi yang tidak akurat serta mendukung pengambilan keputusan cepat dan tepat oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Bali.
Mengapa SIG Jadi Solusi Ideal untuk Pengelolaan Jalan?
Sistem Informasi Geografis (SIG) bukan sekadar peta digital. Ini adalah sistem yang mampu:
Mengintegrasikan data spasial (lokasi jalan) dan atribut (lebar, panjang, kondisi)
Menjawab pertanyaan spasial: “Di mana lokasi kerusakan jalan?”
Memberi informasi aktual untuk perencanaan pembangunan
Dengan SIG, pengelolaan jaringan jalan menjadi dinamis dan terintegrasi antar sektor. SIG bukan hanya alat dokumentasi, tetapi juga alat strategis untuk manajemen infrastruktur wilayah secara real-time.
Studi Kasus: Kondisi Jalan Provinsi Bali Tahun 2017
Penelitian ini melibatkan survei langsung ke 111 ruas jalan provinsi di 9 kabupaten/kota se-Bali, mencakup total panjang 743,34 km. Analisis dilakukan dengan parameter utama:
Kondisi Perkerasan Jalan
Lebar Jalan
Konektivitas terhadap Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
Temuan Utama:
Kondisi JalanPanjang (Km)PersentaseBaik373,8550,29%Sedang241,0532,43%Rusak Ringan128,4417,28%Rusak Berat00%
Catatan penting: 50% jalan masih belum dalam kondisi ideal. Bahkan, 17% menunjukkan tanda-tanda kerusakan ringan yang dapat memburuk jika tidak segera ditangani.
Lebar Jalan vs Standar Nasional
Menurut PP No. 34 Tahun 2006, lebar minimal jalan provinsi adalah 7,5 meter. Namun, hanya 36 dari 111 ruas jalan yang memenuhi standar tersebut. Sisanya (75 ruas) masih di bawah standar, yang berisiko terhadap keselamatan dan mempercepat kerusakan jalan karena lalu lintas yang padat.
Analisis Tambahan: Dampak pada Pariwisata dan Ekonomi
Dari total 111 ruas, sebanyak 59 ruas jalan terhubung langsung dengan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Ini menjadi indikator vital bahwa peningkatan infrastruktur bukan hanya soal pelayanan publik, tetapi juga investasi jangka panjang untuk keberlanjutan sektor pariwisata.
Dalam konteks ekonomi, jalan yang baik:
Meningkatkan efisiensi distribusi barang dan jasa
Menurunkan biaya logistik lokal
Menambah nilai kunjungan wisatawan karena perjalanan lebih nyaman dan aman
Inovasi: Sistem "Sikepan Bali"
Sebagai tindak lanjut dari penelitian, para peneliti mengusulkan pengembangan Sistem Informasi Kemantapan Jalan Bali (Sikepan Bali). Sistem ini akan menjadi:
Pusat data jalan berbasis GIS
Sumber informasi visual dan kuantitatif bagi dinas terkait
Instrumen evaluasi tahunan terhadap kemantapan jaringan jalan
Dengan sistem ini, pemetaan kerusakan bisa dilakukan secara real-time dan progres perbaikan dapat dilacak lintas instansi.
Tantangan dan Rekomendasi
Tantangan:
Koordinasi antar bidang di Dinas PU masih belum maksimal
Kurangnya pelatihan tenaga teknis untuk pengoperasian SIG
Keterbatasan anggaran dalam digitalisasi penuh seluruh ruas jalan
Rekomendasi:
Prioritaskan pemeliharaan ruas jalan yang rusak dan tidak memenuhi standar lebar
Perkuat koordinasi lintas bidang untuk integrasi data spasial dalam satu sistem utama
Alihkan dana dari peta analog ke sistem GIS berbasis cloud untuk efisiensi
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Jika dibandingkan dengan penelitian Endayani (2016) di Samarinda dan Wartika et al. (2013) di Riau, pendekatan Bali menunjukkan kemajuan dalam prototipe implementasi penuh. Penelitian ini tidak hanya fokus pada pemetaan, tapi juga integrasi data lintas instansi, menjadikannya salah satu model terbaik untuk replikasi di provinsi lain di Indonesia.
Dampak Praktis & Potensi Pengembangan Lanjutan
Dalam konteks smart city dan pengembangan wilayah berbasis data, sistem GIS jalan ini bisa menjadi bagian dari:
Dashboard Kota Pintar untuk real-time update kondisi jalan
Integrasi transportasi publik dan logistik
Alat prediktif untuk perencanaan anggaran pemeliharaan
Jika sistem ini diperluas dengan data lalu lintas real-time dari Google Maps atau Waze API, maka sistem ini bisa menjadi alat simulasi kebijakan lalu lintas dan skenario darurat seperti evakuasi bencana.
Kesimpulan: Menuju Infrastruktur Digital Bali
Penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan SIG dalam pengelolaan jalan provinsi bukan hanya meningkatkan efisiensi administrasi, tetapi juga berdampak langsung pada:
Keselamatan pengguna jalan
Efisiensi ekonomi lokal
Pertumbuhan sektor pariwisata
Dengan hanya 50% jalan dalam kondisi baik dan mayoritas belum memenuhi standar lebar, modernisasi pengelolaan infrastruktur jalan Bali menjadi urgensi mutlak. SIG membuka jalan menuju transformasi digital sektor publik, menjadikan Bali tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga cerdas secara infrastruktur.
Sumber
Mahendra, Wisnu & Widnyana, I Ketut. (2017). Pengembangan Data Base Jalan Provinsi di Bali Berbasis Sistem Informasi Geografis. Program Pascasarjana Universitas Mahasaraswati Denpasar.
(Dapat diakses melalui dokumen PDF: 57-62.pdf)