Teknik Lingkungan

Strategi Komprehensif Water Sensitive Urban Design (WSUD) dalam Mitigasi Krisis Konservasi Air dan Tata Ruang di Kawasan Bandung Utara

Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025


Ringkasan Eksekutif (Executive Synthesis)

1. Urgensi Krisis KBU dan Perlunya Intervensi Desain

Kawasan Bandung Utara (KBU) berfungsi vital sebagai kawasan konservasi dan daerah resapan air bagi wilayah Bandung Raya. Namun, pertumbuhan pemukiman yang pesat, didorong oleh peningkatan ekonomi Kota Bandung, telah memicu alih fungsi lahan yang masif. Data menunjukkan bahwa sekitar 70% lahan hijau, termasuk hutan lindung dan pertanian, telah beralih menjadi kawasan permukiman dan komersial.1 Konsekuensi dari alih fungsi lahan ini bersifat ganda: terjadi peningkatan limpasan permukaan air yang menyebabkan banjir di wilayah hilir (Bandung Raya, Cimahi, dan Kabupaten Bandung) saat musim penghujan, dan penurunan muka air tanah yang menyebabkan krisis air bersih di hulu saat musim kemarau.1

Untuk merespons isu kritis ini, diperlukan model pengembangan kawasan perumahan yang mampu berperan sebagai kawasan konservasi air, selain sebagai tempat bermukim. Penelitian ini mengusulkan solusi strategis melalui pendekatan Water Sensitive Urban Design (WSUD), yang bertujuan untuk mengeksplorasi model pengembangan hunian berkelanjutan yang ramah air di Kelurahan Citeureup, Kota Cimahi, yang termasuk dalam delineasi KBU.1

2. Temuan Kunci dan Strategi Desain di Citeureup

Studi kasus di Kelurahan Citeureup (±4.5 Ha) mengungkapkan bahwa tapak memiliki kendala morfologis berupa kelerengan yang cukup curam, berkisar antara 8% hingga 25%.1 Selain itu, jenis tanah didominasi oleh lempung tufaan dan lanauan, yang memiliki permeabilitas lambat.1 Kondisi ini menuntut pendekatan perancangan yang sangat responsif terhadap kontur dan hidrologi lokal.

Strategi sintesis kunci yang dikembangkan melalui WSUD adalah implementasi prinsip Slow, Filter, and Store. Hal ini dicapai melalui:

  1. Struktur Ruang Responsif Kontur: Penerapan pola permukiman cluster dan pola jaringan jalan looping untuk meminimalkan pekerjaan cut-and-fill dan mengurangi kecepatan aliran air.1
  2. Kepatuhan Konservasi Ekstrim: Penentuan Koefisien Dasar Hijau (KDH) kawasan minimal 60% dari total luas tapak, jauh melampaui standar minimal RTH kota.1
  3. Inovasi Infrastruktur Biru-Hijau: Integrasi sistem drainase dengan lansekap menggunakan bioswales, permeable surfaces (seperti paving block dan grassblock), serta perancangan kolam retensi terpusat. Kolam retensi ini berfungsi ganda sebagai area penampung air cadangan (water catchment area) dan taman komunitas (community park), yang mendukung konservasi air dan fungsi sosial (Place Making).1

Strategi ini membuktikan bahwa pembangunan perumahan di kawasan lindung dapat berjalan seiring dengan pemulihan fungsi konservasi, asalkan prinsip WSUD diintegrasikan secara menyeluruh, mulai dari perencanaan strategis, arsitektur, hingga utilitas kawasan.

 

Konteks Krisis Lingkungan dan Tata Ruang di Kawasan Bandung Utara (KBU)

1. Peran KBU dalam Keseimbangan Ekologis Regional

Kawasan Bandung Utara merupakan kawasan lindung dan konservasi yang sangat penting bagi keberlanjutan ekologi dan hidrologi bagi wilayah di bawahnya, mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat.1 Peran utamanya adalah sebagai area resapan dan penyimpan cadangan air tanah.1 Wilayah Kabupaten Bandung Barat (KBB) sendiri mencakup persentase terbesar dari total luas KBU, yaitu sekitar 64% (25.227,80 Ha).1

Fungsi hidrologis KBU ini menciptakan hubungan sebab-akibat yang kritis: keseimbangan ekologis di KBU (hulu) secara langsung menentukan tingkat risiko bencana di wilayah hilir. Setiap degradasi yang terjadi di KBU akan meningkatkan beban sosial dan ekonomi bagi keseluruhan wilayah Bandung Raya.

2. Laju dan Dampak Alih Fungsi Lahan yang Tidak Terkendali

Alih fungsi lahan yang cepat, terutama dari lahan pertanian dan perkebunan menjadi kawasan permukiman dan komersial, telah mengkhawatirkan kondisi KBU saat ini.1 Berdasarkan data WALHI, alih fungsi lahan telah mencapai sekitar 70% dari total lahan hijau yang seharusnya dilindungi.1

Konversi lahan ini memiliki dampak kerusakan lingkungan yang berjenjang:

  1. Kehilangan Daya Resap: Pengurangan area hijau dan peningkatan permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya area resapan air hujan. Hal ini mengakibatkan peningkatan drastis stormwater run-off.1
  2. Bencana Ganda: Peningkatan limpasan air memicu banjir di hampir sebagian besar wilayah Bandung Raya saat musim penghujan.1 Sebaliknya, berkurangnya resapan air hujan menyebabkan penurunan muka air tanah, yang berujung pada krisis air bersih di wilayah Bandung Barat, termasuk Cimahi Utara, ketika musim kemarau tiba.1

Kondisi ini menunjukkan bahwa kegagalan fungsional KBU sebagai area resapan telah mencapai tingkat parah. Intervensi yang diperlukan tidak hanya bersifat reaktif (mengatasi banjir) tetapi harus bersifat konservatif dan preventif (mengatasi kekeringan), yang menjustifikasi penerapan Water Sensitive Urban Design (WSUD) sebagai solusi holistik.

3. Kegagalan Kepatuhan Tata Ruang RTH

Fenomena alih fungsi lahan di Cimahi Utara khususnya, dan KBU pada umumnya, menyebabkan penyusutan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang kritis. Kota Cimahi, yang secara administratif menaungi Kelurahan Citeureup, tercatat hanya menyisakan RTH seluas 4,6 $\text{km}^{2}$ dari total luas wilayah 40,25 $\text{km}^{2}$, atau hanya sekitar 11%.1

Angka 11% ini jauh di bawah ketentuan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan kota/kabupaten memiliki minimal 30% RTH.1 Defisit RTH yang signifikan ini mencerminkan kegagalan strategi tata ruang konvensional dalam menjaga fungsi konservasi di wilayah yang sangat sensitif. Oleh karena itu, penelitian di Kelurahan Citeureup yang mewajibkan KDH kawasan minimal 60% berfungsi sebagai model preskriptif. Standar konservasi yang sangat tinggi ini harus diterapkan untuk membalikkan tren degradasi, menuntut kontribusi area resapan yang jauh lebih besar dari sekadar minimum legal kota.

Paradigma Water Sensitive Urban Design (WSUD) sebagai Kerangka Solusi

1. Filosofi Inti dan Perbedaan dengan Drainase Konvensional

Water Sensitive Urban Design (WSUD) adalah pendekatan perencanaan yang berorientasi untuk meminimalkan dampak hidrologi dari pembangunan perkotaan terhadap lingkungan sekitar.1 Pendekatan ini setara dengan Low-Impact Development (LID) di Amerika Serikat atau Sustainable Drainage System (SuDS) di Inggris.2

Perbedaan mendasar WSUD dengan pengelolaan drainase konvensional terletak pada pergeseran paradigma:

  1. Air Hujan sebagai Sumber Daya: WSUD memandang limpasan air hujan (stormwater runoff) sebagai sumber daya alam yang bernilai, bukan sebagai masalah yang harus cepat-cepat dibuang.2
  2. Pengelolaan Terintegrasi: WSUD mengintegrasikan pengelolaan siklus air dengan perencanaan dan desain perkotaan, bertujuan untuk meniru sistem hidrologi alami sebanyak mungkin, serta meminimalkan dampak negatif pada sistem air penerima.1

2. Empat Pilar Strategis WSUD

Penerapan WSUD menuntut pendekatan yang holistik, yang mencakup empat aspek yang saling berkaitan erat 1:

  1. Perencanaan Kota (Urban Planning): Melibatkan pengambilan keputusan strategis mengenai lokasi pengembangan dan memastikan integrasi siklus air pada tingkat makro.
  2. Perancangan Kota (Urban Design): Fokus pada desain fisik kawasan dan infrastruktur untuk mencapai tata ruang yang ramah air.
  3. Penciptaan Tempat (Place Making): Mengintegrasikan air ke dalam lanskap untuk meningkatkan nilai estetika, sosial, visual, dan rekreasional komunitas, sekaligus berkontribusi pada kenyamanan perkotaan.1
  4. Lansekap Produktif (Productive Landscape): Mendesain lansekap menjadi sistem pengelola air multifungsi, seringkali melalui penggunaan koridor hijau-biru.

3. Sasaran Hidrologis untuk KBU (Perspektif Stormwater Management)

Dalam konteks manajemen air hujan berkelanjutan (Sustainable Stormwater Management), WSUD memiliki tujuan hidrologis yang sangat relevan untuk mengatasi isu KBU 1:

  • Perlindungan Sistem Air Alami: Memastikan perlindungan terhadap sistem air alami, termasuk sempadan sungai dan kawasan lindung, selama proses pembangunan.1
  • Reduksi Limpasan dan Aliran Puncak (Peak Flows): Mengurangi volume total limpasan air hujan dan aliran puncak dengan memanfaatkan penahan air dan sumur retensi lokal. Tindakan ini krusial untuk mitigasi banjir di wilayah hilir Bandung Raya.1
  • Peningkatan Kualitas Air: Melindungi kualitas air melalui penerapan teknik filtrasi dan retensi alami dalam sistem lansekap.1
  • Pengurangan Permukaan Kedap Air: Meminimalkan perkerasan kedap air pada permukaan tanah untuk meningkatkan peluang resapan.1
  • Mitigasi Dampak Lingkungan dan Peningkatan Kualitas Hidup: Integrasi ruang hijau dan fitur air dapat memberikan efek pendinginan, mengatasi urban heat island effect, dan meningkatkan kelayakan huni kawasan perkotaan.3

4. Tujuh Elemen Kunci WSUD untuk Perumahan Berkelanjutan

Implementasi konsep WSUD dalam pengembangan perumahan di Kelurahan Citeureup diarahkan pada penerapan strategi yang mencakup aspek siklus air secara keseluruhan, dari penyediaan hingga pengolahan 1:

  1. Aplikasi Siklus Air (Water Cycle Study): Mengarahkan perencanaan masterplan untuk pengelolaan pasokan air dan drainase berkelanjutan.
  2. Rumah Berstandarisasi (Standardized Homes): Mendorong penggunaan sanitair yang efisien dalam pemakaian air.
  3. Koridor Hijau-Biru (Blue-Green Corridors): Perancangan kanal dan RTH multifungsi untuk menampung dan mengalirkan air.
  4. Wetlands: Penyediaan lingkungan binaan alami sebagai penangkap dan resapan air, serta berfungsi sebagai akuifer potensial untuk daur ulang.
  5. Area Penyimpanan dan Panen Air Hujan (Water Harvesting and Storage): Menyediakan fasilitas untuk memanen dan menyimpan air hujan.
  6. Pencegahan Banjir (Flood Avoidance): Memastikan lokasi pengembangan berada di luar area yang berisiko banjir.
  7. On-site Water Recycling Plant: Pengelolaan air hujan dan air buangan untuk kebutuhan rumah tangga di luar kebutuhan minum, yang merupakan solusi langsung untuk kekurangan air saat musim kemarau.

 

Analisis Morfologi Tapak Studi Kasus: Kelurahan Citeureup (4.5 Ha)

Analisis tapak Kelurahan Citeureup dilakukan untuk memahami karakteristik fisik alam dan lingkungan yang akan dijadikan dasar pembenaran teknis bagi strategi perancangan WSUD.

1. Kendala Fisik Alam dan Respon Awal

1.1. Analisis Topografi dan Kelerengan

Lokasi tapak perancangan yang berada di Kelurahan Citeureup memiliki kelerengan signifikan, berkisar antara 8% hingga 25%.1 Tapak ini sebelumnya merupakan area persawahan dan perkebunan terasering dengan kemiringan rata-rata 15%.1 Kelerengan yang curam ini berarti potensi erosi tinggi dan kecepatan aliran air permukaan yang sangat cepat.

Oleh karena itu, strategi perancangan harus melibatkan rekayasa kontur yang minimal untuk memastikan perletakan bangunan menyesuaikan kontur alami. Tujuannya adalah untuk mengendalikan kecepatan aliran air secara cepat dan meminimalkan pekerjaan cut-and-fill, yang mahal, berisiko tinggi terhadap ketidakstabilan lereng, dan merusak lapisan tanah atas yang penting untuk infiltrasi.1

1.2. Analisis Jenis Tanah

Jenis tanah di kawasan Cimahi Utara didominasi oleh Lempung Tufaan dan Lempung Lanauan.1 Jenis tanah lempung ini dikategorikan memiliki permeabilitas yang lebih lambat dibandingkan jenis tanah lainnya.1

Permeabilitas yang lambat memiliki implikasi kritis bagi strategi hidrologi. Strategi WSUD di lokasi ini tidak dapat secara primer mengandalkan infiltrasi murni yang cepat. Sebaliknya, solusi harus berfokus pada sistem retensi, filtrasi, dan perlambatan aliran (Slow, Filter, Store) yang terstruktur. Sistem ini harus memaksa air untuk tinggal lebih lama di kawasan, memungkinkan resapan terjadi secara bertahap sambil menyaring polutan, dibandingkan hanya mengandalkan daya serap alami yang rendah. Selain itu, jenis tanah lempung pada lereng curam rentan terhadap gerakan massa (longsor) ketika jenuh air, yang memperkuat kebutuhan akan pola perumahan dan jalan yang stabil dan responsif kontur.4

1.3. Analisis Curah Hujan dan Pola Aliran Eksisting

Kecamatan Cimahi Utara mengalami tingkat curah hujan bulanan yang tinggi, berkisar antara 5 mm hingga 455 mm, terutama pada musim penghujan.1 Debit air pada jalur drainase sekitar tapak cukup tinggi dan sering menyebabkan genangan di area selatan tapak (hilir).1

Analisis ini menjustifikasi bahwa aliran drainase kawasan harus diarahkan secara terkontrol ke bagian timur dan ke titik-titik pengumpul terpusat (kolam penampungan sementara). Pengendalian ini berfungsi untuk memastikan aliran air menjadi lebih terarah dan terkontrol, sekaligus mengurangi peak flow yang mengancam genangan di hilir kawasan.1

2. Kendala Regulasi Spasial dan Alokasi Lahan

Meskipun Kota Cimahi secara umum menghadapi defisit RTH yang parah (hanya 11% RTH) 1, tapak studi kasus di KBU tunduk pada ketentuan yang lebih ketat untuk mempertahankan fungsi konservasi.

Peraturan kawasan mewajibkan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) tidak lebih dari 40% dari total luasan, dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) minimal 60% dari total luasan kawasan.1 Dengan total luas area 45.000 $\text{m}^{2}$ (4.5 Ha), alokasi lahan wajib adalah:

  • KDH (RTH, RTNH): Minimal 30.000 $\text{m}^{2}$ (60% dari total area).
  • KDB (Bangunan): Maksimal 15.000 $\text{m}^{2}$ (30% dari total area).

KDH 60% ini merupakan angka yang sangat ambisius dan melampaui standar RTH minimum nasional, menegaskan pengakuan tapak sebagai infrastruktur konservasi aktif. KDH 60% ini harus diinterpretasikan sebagai infrastruktur hijau-biru yang harus didesain, bukan sekadar area kosong.

 

Strategi Sintesis Masterplan Berbasis WSUD (Tahap III)

Sintesis perancangan masterplan kawasan perumahan berkelanjutan di Citeureup berupaya menerapkan prinsip-prinsip WSUD secara kontekstual, merespons kendala topografi, jenis tanah lempung, dan kebutuhan konservasi air.

1. Pola Permukiman (Housing Layout) dan Keseimbangan KDB/KDH

1.1. Pola Cluster Berkontur

Pola dan letak bangunan dirancang dalam bentuk cluster yang mengikuti pola garis interval kontur.1 Strategi ini memiliki dua tujuan utama: pertama, mengurangi volume pekerjaan cut-fill pada lahan, dan kedua, memudahkan pembentukan aliran air yang terkontrol dan memfasilitasi penyerapan air.1 Pemecahan kluster ini juga digunakan untuk mengintegrasikan blue corridor di antara massa-massa bangunan.1

1.2. Optimalisasi KDB/KDH Privat

Untuk memenuhi kebutuhan densitas hunian sambil mematuhi KDB kawasan maksimal 40%, seluruh tipe bangunan direncanakan 2 lantai.1 Secara spesifik, KDB per kavling dibatasi maksimal 30%. Hal ini memastikan 70% dari lahan privat setiap rumah tangga tetap menjadi area resapan atau lansekap. Transformasi lahan privat menjadi kontributor aktif konservasi air adalah elemen krusial dalam model WSUD ini.

2. Perancangan Jaringan Jalan dan Infrastruktur Hijau

2.1. Pola Jalan Looping dan Integrasi Drainase

Pola tata letak jalan dirancang dengan karakteristik yang mengikuti garis kontur tapak, menggunakan konsep looping untuk menyesuaikan topografi dan memudahkan pengawasan keamanan.1 Desain ini secara inheren mengurangi kecepatan kendaraan dan aliran air di permukaan jalan.

Integrasi jaringan jalan dengan jalur drainase, baik terbuka maupun tertutup, merupakan persyaratan wajib. Setiap jaringan jalan harus diintegrasikan dengan green infrastructure.1

2.2. Peningkatan Permeabilitas Jalan (Pervious Pavement)

Untuk memperluas bidang penyerapan air, jaringan jalan diintegrasikan dengan:

  • Permukaan Permeabel: Penggunaan material seperti paving block dan grassblock pada jalan perumahan. Ini memungkinkan air meresap langsung ke dalam tanah pada lokasi yang paling sering terpapar (impervious surface), mengurangi limpasan yang dihasilkan oleh perkerasan aspal atau beton konvensional.1
  • Green Buffer: Penambahan vegetasi baru di kiri dan kanan jalan untuk membentuk green buffer yang membantu proses penyerapan dan penyaringan air.1

3. Sistem Drainase Kawasan dan Koridor Biru-Hijau (Blue-Green Corridor)

Sistem drainase kawasan dirancang untuk merespons kondisi area tangkapan air dan jalur drainase kota eksisting, menerapkan prinsip Slow, Filter, and Store.1

3.1. Manajemen Limpasan (Runoff Management)

Prinsip drainase utama adalah memberikan kesempatan maksimal bagi aliran air hujan (runoff) untuk meresap ke dalam tanah dan/atau ditampung sementara dalam kawasan, sebelum sisa limpahannya dialirkan kembali ke jalur drainase kota.1 Konsep ini secara langsung bertujuan untuk mengurangi surface runoff berlebihan yang menyebabkan banjir di wilayah selatan tapak.

Penerapan green infrastructure mencakup:

  • Bioswales dan Zona Infiltrasi Parit: Jalur drainase jalan diubah menjadi zona infiltrasi dan bioswales. Struktur ini dirancang untuk memecah aliran air, menyaring polutan melalui vegetasi dan media tanah, serta memperpanjang waktu tinggal air di permukaan sebelum mencapai saluran utama.1

3.2. Kolam Retensi Sentral dan Integrasi Multifungsi

Sebagai respon terhadap pola aliran air dari utara dan topografi tapak, dirancang beberapa area penangkap air hujan (water catchment area). Titik pengumpul utama adalah Kolam Retensi Kawasan, yang ditempatkan pada bagian center kawasan.1

Kolam retensi ini memiliki fungsi ganda yang vital:

  1. Fungsi Hidrologis: Menyediakan penyimpanan air cadangan, terutama untuk kebutuhan di musim kemarau, dan bertindak sebagai penampungan terpusat untuk limpahan air hujan, mengurangi peak flow.1
  2. Fungsi Sosial dan Ekologis: Kolam retensi diintegrasikan sebagai Community Park dan zona hijau (Green Zone) berupa community forestry.1 Pengubahan infrastruktur hidrologi menjadi ruang publik rekreatif (Place Making) memastikan kawasan tersebut memiliki nilai estetika dan sosial, yang pada akhirnya meningkatkan keberlanjutan pemeliharaan oleh masyarakat.

3.3. Peningkatan Kualitas Air

Air yang ditampung dalam kolam retensi dilengkapi dengan saringan pasir dan kerikil. Filtrasi mekanis ini penting untuk menghilangkan sedimen dan polutan dari limpasan air permukaan.1 Kualitas air yang ditingkatkan ini mendukung tujuan WSUD untuk perlindungan kualitas air dan memungkinkan air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) menjadi cadangan air tanah yang lebih bersih.

 

Rekomendasi Teknis Detail dan Mitigasi Risiko

1. Spesifikasi Teknis Infrastruktur Hijau

Mengingat kondisi tanah lempung tufaan dan lanauan yang memiliki permeabilitas lambat 1, implementasi WSUD di Citeureup harus memperhatikan detail teknis khusus:

  1. Desain Media Bioswales: Bioswales harus menggunakan tanah media filter yang memiliki permeabilitas lebih tinggi (misalnya campuran pasir dan kompos) daripada tanah lempung alami tapak. Ini memastikan filtrasi dan drainase yang efektif. Tanaman yang digunakan haruslah spesies lokal yang tahan terhadap genangan air sementara dan memiliki kemampuan fitoremediasi untuk menyaring polutan biologis.
  2. Manajemen Air pada Tanah Lempung: Walaupun tujuan WSUD adalah infiltrasi, permeabilitas yang lambat pada tanah lempung dapat menyebabkan air tertahan terlalu lama (waterlogging). Untuk menjaga stabilitas lereng dan mencegah peningkatan tekanan hidrostatik (yang dapat memicu longsor) 4, sistem underdrain (saluran pembuangan di bawah permukaan) harus dipasang di bawah bioswales dan kolam retensi. Underdrain ini bertugas memfasilitasi pembuangan air secara terkontrol setelah proses filtrasi selesai, sehingga menjaga integritas geoteknik kawasan berkontur.

2. Manajemen Hidrologi dan Konservasi Air Tanah

  1. Sistem Daur Ulang On-Site: Strategi konservasi air harus diperkuat dengan mandat penerapan on-site water recycling dan water harvesting di setiap kavling. Hal ini mencakup pembangunan cisterns (tandon air) untuk menampung air hujan dan fasilitas pengolahan air abu-abu untuk kebutuhan non-minum (misalnya penyiraman dan pembilasan toilet).1 Strategi ini secara langsung mengurangi ketergantungan pada air tanah saat musim kemarau.
  2. Pemantauan Air Tanah: Karena kawasan ini merupakan wilayah konservasi air 1, efektivitas WSUD harus diukur secara kuantitatif. Implementasi harus mencakup pembangunan sumur observasi yang ditempatkan secara strategis di hulu dan hilir tapak untuk memantau perubahan muka air tanah (M.A.T.). Data ini penting untuk memverifikasi kontribusi kawasan terhadap pemulihan cadangan air tanah regional.

3. Kepatuhan Regulasi dan Densifikasi Vertikal

Ketaatan terhadap KDH kawasan 60% dan KDB kavling 30% adalah fondasi strategi ini.1 Untuk menjamin tercapainya densitas hunian yang layak secara ekonomi, desain dua lantai harus distandardisasi. Hal ini memungkinkan kebutuhan hunian terpenuhi tanpa mengorbankan luas area resapan yang diwajibkan oleh fungsi konservasi KBU. Mekanisme perizinan (IMB) harus memasukkan elemen desain WSUD (misalnya rain garden atau sumur resapan privat) sebagai prasyarat kepatuhan.

 

Kesimpulan, Tantangan Implementasi, dan Implikasi Kebijakan

1. Kesimpulan Strategis

Strategi perancangan kawasan perumahan berkelanjutan di Kelurahan Citeureup dengan pendekatan WSUD telah berhasil menyajikan model pengembangan yang terintegrasi, mengatasi konflik antara kebutuhan permukiman dan fungsi konservasi air. Strategi ini merespons secara spesifik tiga tantangan utama di KBU:

  1. Mitigasi Krisis Morfologis: Topografi curam dan tanah lempung diatasi melalui pola cluster berkontur dan infrastruktur Slow, Filter, and Store, memastikan stabilitas lahan dan pengendalian limpasan.
  2. Mitigasi Krisis Hidrologis Ganda: Dengan penetapan KDH 60% dan perancangan Blue-Green Corridor terpusat (kolam retensi), kawasan ini secara aktif mengurangi peak flow (mitigasi banjir) dan menyediakan cadangan air (mitigasi kekeringan).
  3. Optimalisasi Tata Ruang: Infrastruktur konservasi air diintegrasikan menjadi ruang publik yang meningkatkan kualitas hidup dan estetika kawasan (Place Making), membuktikan bahwa konservasi dapat meningkatkan nilai properti dan kelayakan huni.

2. Tantangan Implementasi Jangka Panjang

Meskipun desainnya kuat secara konseptual, implementasi WSUD menghadapi tantangan praktis yang memerlukan perhatian berkelanjutan:

  1. Pemeliharaan Infrastruktur Hijau: Efektivitas sistem WSUD, terutama bioswales dan kolam retensi, sangat bergantung pada pemeliharaan yang ketat. Pada tanah lempung yang rentan sedimentasi, kegagalan pemeliharaan media filter dapat dengan cepat mengurangi permeabilitas dan efisiensi penyaringan, mengubah infrastruktur konservasi menjadi saluran pembuangan konvensional.
  2. Sinergi Lintas Sektor: Penerapan WSUD menuntut integrasi yang erat antara domain perencanaan tata ruang, rekayasa sipil, arsitektur lansekap, dan manajemen utilitas air. Kurangnya koordinasi antar sektor dapat menghambat realisasi fungsi multifungsi dari Blue-Green Corridor.

3. Implikasi Kebijakan Mendesak untuk KBU

Berdasarkan keberhasilan model perancangan WSUD di Citeureup, terdapat tiga implikasi kebijakan yang harus segera dipertimbangkan oleh otoritas tata ruang di Kawasan Bandung Utara:

  1. Mandat WSUD dalam RTRW Regional: Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bersama Pemerintah Daerah terkait (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat), harus menjadikan Water Sensitive Urban Design sebagai persyaratan teknis wajib (mandat teknis) bagi semua pengembangan baru di KBU. Ini harus melampaui persyaratan drainase konvensional dan berfokus pada konservasi air sebagai kriteria utama.
  2. Pemberian Insentif Konservasi: Perlu diciptakan mekanisme insentif regulasi (misalnya, proses perizinan yang disederhanakan atau pengurangan pajak) bagi pengembang yang secara sukarela menetapkan KDH/KDB yang lebih ketat dari batas minimum regulasi dan mengimplementasikan sistem on-site water recycling yang komprehensif.1
  3. Penguatan Penegakan Hukum dan Standar KDH: Mengingat defisit RTH Kota Cimahi yang parah (11%), model KDH 60% yang dikembangkan di Citeureup harus dipromosikan sebagai standar baru pembangunan di kawasan konservasi KBU. Mekanisme penegakan hukum harus diperkuat untuk memastikan kepatuhan desain dan mencegah konversi lahan hijau yang tersisa.

 

Sumber Artikel:

Selengkapnya
Strategi Komprehensif Water Sensitive Urban Design (WSUD) dalam Mitigasi Krisis Konservasi Air dan Tata Ruang di Kawasan Bandung Utara

Teknik Lingkungan

Mengukir Ketahanan Pesisir: Simulasi Infrastruktur Hijau sebagai Solusi Restorasi Bencana Alam di Area Urban

Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025


Ringkasan Alur Logis Temuan dan Metodologi

Penelitian yang berjudul Nature-Based Restoration Simulation for Disaster-Prone Coastal Area Using Green Infrastructure Effect ini secara eksplisit mengatasi tantangan kritis yang ditimbulkan oleh bencana banjir di kawasan pesisir, sebuah masalah yang semakin parah akibat perubahan iklim dan gangguan dalam sistem sosial-ekologis, seperti meningkatnya area kedap air (impervious areas) di perkotaan. Mengingat keterbatasan struktural dan biaya pemeliharaan yang tinggi dari gray infrastructure (infrastruktur abu-abu) tradisional, studi ini menawarkan suatu pendekatan perencanaan restorasi berbasis alam (nature-based restoration planning) yang inovatif melalui pemanfaatan Infrastruktur Hijau (GI).

Jalur logis perjalanan temuan dimulai dengan penetapan area studi: Haeundae-gu, Busan, Republik Korea, sebuah distrik pesisir padat penduduk yang secara berkala mengalami kerusakan parah akibat topan dan hujan lebat, dengan fokus simulasi pada dampak dari Topan Chaba pada tahun 2016. Tujuannya adalah untuk mengkuantifikasi secara jelas dan terukur efektivitas GI dalam mengurangi luapan air (runoff) dan meningkatkan resiliensi teknik (engineering resilience) sistem perkotaan pasca-bencana.

Metodologi riset ini melibatkan pengumpulan data terperinci mengenai karakteristik lokasi, curah hujan (maksimum 38.3 mm/jam), dan efisiensi reduksi luapan dari tiga jenis GI utama yang diaplikasikan pada permukaan buatan di area urban: atap hijau (green roof), fasilitas penyimpanan infiltrasi (infiltration storage facility), dan perkerasan berpori (porous pavement). Data ini kemudian digunakan untuk membangun model simulasi dinamis (menggunakan Stella Architect) guna menganalisis perubahan dalam kerusakan banjir dan kuantifikasi resiliensi dalam berbagai skenario.

Alur temuan utama difokuskan pada dua skenario utama: pertama, peningkatan bertahap area aplikasi GI total (10%, 20%, dan 30% berdasarkan rasio area biotope Korea); dan kedua, penerapan jenis GI yang berbeda berdasarkan klasifikasi tata ruang (land cover type), yaitu area publik, privat, transportasi, dan industri. Hasil simulasi ini, yang kemudian dinormalisasi menjadi indeks resiliensi, berhasil membandingkan proses restorasi sistem melalui empat properti resiliensi (4R): robustness, redundancy, resourcefulness, dan rapidity.

Data Kuantitatif Deskriptif Kunci

Temuan ini secara umum menunjukkan bahwa efek pengurangan luapan air (runoff) adalah yang paling besar ketika rasio area biotope maksimum 30% diterapkan pada permukaan buatan di area studi. Analisis skenario area ini menghasilkan temuan penting: pada puncak luapan air pertama (sekitar 6 jam setelah topan), pengurangan luapan meningkat signifikan dari 7.6% (aplikasi 10%) menjadi 22.9% (aplikasi 30%). Peningkatan ini menunjukkan hubungan kuat antara perluasan cakupan GI dan kapasitas sistem dalam mengatasi tekanan hidrologi awal.

Lebih lanjut, analisis berdasarkan jenis GI mengungkapkan dinamika temporal yang penting. Dalam area publik, ketika puncak luapan terjadi pada 6 jam, atap hijau menunjukkan efek reduksi luapan tertinggi sebesar 38.8%. Namun, pada puncak luapan kedua, sekitar 9 jam, efek dari fasilitas penyimpanan infiltrasi meningkat menjadi 33.2%, yang menunjukkan bahwa efeknya menjadi semakin signifikan seiring berjalannya waktu pasca-bencana. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru: desain sistem GI yang terintegrasi secara dinamis waktu. Sebaliknya, perkerasan berpori menunjukkan efek reduksi terendah, hanya sebesar 15.3% pada area publik, yang mengindikasikan perlunya inovasi dalam jenis GI ini.

Dari sudut pandang resiliensi, ditemukan bahwa sistem dapat pulih ke keadaan semula setelah penerapan rasio area biotope sebesar 20%. Hal ini menunjukkan adanya titik balik resiliensi pada level intervensi GI tertentu, sebuah temuan penting yang dapat menjadi acuan kuantitatif bagi pengambil kebijakan dalam menentukan target minimum restorasi berbasis alam.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan terhadap bidang perencanaan urban, teknik lingkungan, dan manajemen bencana, dengan mentransformasi konsep kualitatif menjadi kerangka kerja kuantitatif yang aplikatif.

  1. Pengkuantifikasian Resiliensi Pesisir: Kontribusi terbesar adalah keberhasilan dalam mengkuantifikasi efek GI pada resiliensi sistem (seperti yang didefinisikan oleh 4R: robustness, redundancy, resourcefulness, rapidity) di kawasan pesisir rawan bencana, menghubungkan antara pengurangan luapan lokal (efek teknik) dengan pemulihan sistem secara keseluruhan. Pendekatan ini melampaui studi GI tradisional yang sebagian besar hanya menganalisis dampak luapan melalui pemantauan, dan mengaitkannya secara langsung dengan perencanaan restorasi jangka panjang.
  2. Integrasi GI ke dalam Perencanaan Tata Ruang: Studi ini menyajikan model yang dapat digunakan untuk merumuskan rencana restorasi spesifik berdasarkan jenis tata ruang (land cover type). Dengan mengidentifikasi bahwa atap hijau paling cocok untuk area privat dan publik, sementara fasilitas infiltrasi dan perkerasan berpori lebih praktis untuk area transportasi dan industri, penelitian ini menawarkan panduan yang dapat ditindaklanjutkan untuk implementasi GI di lahan buatan.
  3. Penetapan Target Kebijakan Berbasis Rasio Biotope: Dengan menetapkan bahwa resiliensi sistem dapat dipulihkan pada rasio area biotope 20% dan efek reduksi maksimum terjadi pada 30%, penelitian ini memberikan bukti ilmiah spesifik yang diperlukan untuk kebijakan manajemen dalam merespons gangguan bencana pesisir di masa depan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kontribusi riset ini substansial, penelitian ini juga menggarisbawahi beberapa keterbatasan yang menjadi titik tolak bagi agenda riset masa depan:

  1. Validitas Empiris dan Skala Unit: Hasil utama didasarkan pada simulasi model skala regional (Haeundae-gu secara keseluruhan). Pertanyaan terbuka terpenting adalah: Seberapa akurat hasil simulasi ini di lokasi aktual? Untuk membuktikan validitas dan memastikan aplikasinya di area yang benar-benar rusak, penelitian empiris (test bed) perlu dilakukan dalam unit dan jangkauan yang lebih spesifik.
  2. Kurangnya Analisis Interaksi GI: Studi ini menganalisis efek setiap jenis GI (atap hijau, fasilitas infiltrasi, perkerasan berpori) secara terpisah dalam skenario jenis tata ruang. Namun, perencanaan restorasi yang diajukan menyarankan kombinasi GI, seperti menghubungkan atap hijau dengan fasilitas infiltrasi. Keterbatasan ini memunculkan pertanyaan tentang efek sinergis atau potensi konflik dari interaksi antar-jenis GI yang berbeda dalam satu sistem hidrologi.
  3. Fokus Terbatas pada GI Perkotaan: Meskipun penelitian ini berfokus pada GI untuk lahan buatan di perkotaan, perencanaan bencana pesisir konvensional juga mencakup infrastruktur alami seperti pemecah gelombang, terumbu karang, dan bukit pasir. Studi ini tidak menganalisis integrasi atau efek sinergis antara GI urban yang diusulkan dengan infrastruktur pesisir alami yang lebih makroskopik.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan temuan yang ada, berikut adalah lima rekomendasi riset strategis untuk komunitas akademik dan calon penerima hibah, yang menguraikan jalur penelitian ke depan dengan justifikasi ilmiah yang kuat:

1. Desain Sistem Hibrida GI Berbasis Kinerja Temporal

Justifikasi Ilmiah: Hasil simulasi menunjukkan bahwa efek atap hijau paling tinggi pada puncak luapan awal (6 jam), sedangkan fasilitas penyimpanan infiltrasi menjadi lebih efektif pada puncak luapan berikutnya (9 jam). Disparitas temporal ini mengindikasikan bahwa aplikasi GI tunggal tidak akan memberikan perlindungan yang optimal selama seluruh periode bencana.

Arah Riset: Penelitian lanjutan harus merancang dan memodelkan sistem GI hibrida (gabungan) yang mengoptimalkan kinerja reduksi luapan secara berkelanjutan dari waktu ke waktu. Metode riset ini harus melibatkan pemodelan hidrologi yang mengintegrasikan atap hijau yang terhubung langsung ke fasilitas penyimpanan infiltrasi (seperti rainwater gardens atau bioswales). Variabel baru yang dianalisis adalah persentase konektivitas antar-jenis GI dan dampaknya terhadap properti redundancy dan robustness di sepanjang garis waktu 12 jam curah hujan topan. Tujuannya adalah untuk menciptakan kurva reduksi luapan yang stabil yang melampaui kinerja penerapan GI secara terpisah.

2. Validasi Lapangan Empiris Melalui Living Laboratory Skala Mikro

Justifikasi Ilmiah: Validitas rencana restorasi berbasis alam yang disajikan dalam studi ini, yang didasarkan pada simulasi, sangat bergantung pada pembuktian lapangan. Saat ini, belum ada data yang membuktikan bahwa efisiensi reduksi luapan yang dimodelkan akan terwujud di kondisi fisik aktual Haeundae-gu.

Arah Riset: Riset harus segera berfokus pada tahap validasi empiris. Konteks baru adalah pembentukan living laboratory atau test bed dalam unit yang lebih kecil (misalnya, satu blok perkotaan atau sub-watershed kecil) di distrik Haeundae-gu. Metode penelitian ini adalah eksperimen lapangan jangka panjang yang menerapkan atap hijau, fasilitas infiltrasi, dan perkerasan berpori hingga mencapai target rasio area biotope 30%. Variabel yang diukur secara real-time harus mencakup perbandingan antara volume luapan terukur di lapangan versus prediksi model. Ini akan membuktikan atau menyanggah validitas simulasi dan memberikan data akurat untuk penyesuaian model regional.

3. Inovasi Material untuk Peningkatan Efisiensi Perkerasan Berpori

Justifikasi Ilmiah: Perkerasan berpori terbukti memiliki efek reduksi luapan terendah dibandingkan dengan atap hijau dan fasilitas infiltrasi. Meskipun demikian, perkerasan berpori sangat penting karena merupakan salah satu pilihan GI yang paling mudah diterapkan di area transportasi dan industri yang didominasi jalanan dan lahan parkir. Kinerja yang rendah ini membatasi kontribusi GI secara keseluruhan.

Arah Riset: Penelitian harus bergeser ke ranah inovasi variabel material dan desain struktural. Fokusnya adalah meningkatkan koefisien reduksi perkerasan berpori secara signifikan dari level yang diamati (sekitar 15.3% di area publik). Metode riset dapat berupa pengujian laboratorium dan lapangan terhadap material agregat baru, desain lapisan sub-base yang lebih dalam atau bervariasi, serta teknologi pengelolaan pra-perawatan (seperti penyaringan awal) untuk mencegah penyumbatan pori. Peningkatan kinerja perkerasan berpori adalah kunci untuk memaksimalkan properti resourcefulness di kawasan industri dan transportasi yang sulit diintervensi oleh jenis GI lainnya.

4. Analisis Dinamis Properti Resiliensi 4R Berdasarkan Klasifikasi Tata Ruang

Justifikasi Ilmiah: Studi ini menunjukkan bahwa penerapan GI meningkatkan resiliensi secara keseluruhan. Namun, setiap jenis tata ruang (publik, privat, industri, transportasi) memiliki kebutuhan pemulihan yang berbeda. Misalnya, area industri mungkin membutuhkan rapidity (kecepatan pemulihan) yang lebih cepat untuk meminimalisir kerugian ekonomi.

Arah Riset: Riset ke depan harus secara eksplisit membedah bagaimana berbagai skema penerapan GI memengaruhi setiap properti 4R (robustness, redundancy, resourcefulness, rapidity) dalam konteks jenis tata ruang yang berbeda. Metode penelitian ini akan melibatkan pengembangan fungsi utilitas yang berfokus pada resourcefulness dan rapidity pasca-bencana, dengan tujuan menentukan kombinasi GI mana (misalnya, hanya fasilitas infiltrasi atau hanya perkerasan berpori di area industri) yang memberikan waktu pemulihan (rapidity) tercepat. Hal ini akan menghasilkan pedoman perencanaan yang ditargetkan untuk mengoptimalkan resiliensi fungsional spesifik per area.

5. Studi Komparatif Global: Rasio Area Biotope dalam Konteks Iklim Berbeda

Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini menggunakan rasio area biotope (maksimum 30%) sebagai parameter kuantifikasi GI yang spesifik untuk Korea. Meskipun metrik ini menawarkan dasar kuantitatif yang kuat, transferabilitasnya ke kawasan pesisir rawan bencana di negara lain masih menjadi pertanyaan terbuka.

Arah Riset: Sebuah studi komparatif berskala global diperlukan. Variabel baru yang akan diuji adalah jenis iklim, kondisi tanah, dan kode bangunan yang berlaku di berbagai wilayah pesisir di dunia. Metode riset ini adalah simulasi yang menerapkan metrik kuantifikasi area GI (seperti rasio biotope) yang serupa di berbagai model hidrologi regional (misalnya, di area yang dipengaruhi oleh badai, bukan topan, atau di lokasi dengan curah hujan berbeda). Tujuannya adalah untuk menguji apakah titik balik resiliensi (20%) dan efek reduksi maksimum (30%) yang ditemukan berlaku secara universal atau memerlukan penyesuaian kontekstual.

Prospek Jangka Panjang dan Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini berfungsi sebagai fondasi penting yang menghubungkan upaya reduksi luapan air lokal dengan peningkatan resiliensi sistem jangka panjang. Dengan menunjukkan bahwa intervensi GI yang sederhana pada permukaan buatan dapat mengembalikan sistem ke keadaan semula pasca-bencana (resiliensi kembali ke kondisi awal pada rasio 20%), studi ini meletakkan dasar bagi paradigma baru dalam manajemen bencana pesisir.

Secara jangka panjang, temuan ini mengarahkan pada transformasi infrastruktur urban dari sistem yang rentan (vulnerable) menjadi sistem yang adaptif (adaptive), di mana GI tidak hanya berfungsi sebagai elemen estetika atau ekologis, tetapi sebagai komponen kritis dalam pertahanan sipil. Implementasi perencanaan restorasi berbasis alam yang divalidasi secara kuantitatif ini akan menjadi alat kebijakan yang esensial untuk memitigasi risiko bencana di masa depan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi kebijakan publik (seperti lembaga pemerintah daerah dan nasional), lembaga riset hidrologi, dan badan perencanaan tata ruang urban untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, menerjemahkan simulasi akademis menjadi praktik kebijakan yang efektif dan terintegrasi di lapangan.

Baca paper aslinya di sini (https://doi.org/10.3390/ijerph20043096)

 

Selengkapnya
Mengukir Ketahanan Pesisir: Simulasi Infrastruktur Hijau sebagai Solusi Restorasi Bencana Alam di Area Urban

Teknik Lingkungan

Optimalisasi Formulasi Lipid Nanopartikel untuk Penghantaran RNA: Tinjauan Konseptual dan Reflektif atas Pendekatan QbD dan DOE

Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025


Pendahuluan: Menuju Formulasi RNA yang Lebih Efisien

Perkembangan teknologi nano telah merevolusi dunia farmasi, khususnya dalam pengembangan sistem penghantaran RNA. Lipid nanopartikel (LNP) menjadi medium utama dalam memfasilitasi masuknya molekul RNA ke dalam sel target. Paper ini mengusung satu benang merah yang kuat—bahwa keberhasilan sistem penghantaran RNA sangat tergantung pada ketepatan desain formulasi dan kontrol terhadap parameter kritikal selama proses produksi.

Penulis mengusulkan bahwa Quality by Design (QbD) dan Design of Experiments (DOE) bukan sekadar alat bantu statistik, melainkan pendekatan sistematik dan filosofis yang dapat mengarahkan formulasi LNP ke titik optimal dalam kualitas, efisiensi, dan reprodusibilitas.

 

Kerangka Teoretis: Mengartikulasikan QbD sebagai Paradigma Baru

QbD: Lebih dari Sekadar Kepatuhan Regulasi

Penulis mengacu pada panduan ICH Q8 hingga Q11 untuk mendefinisikan QbD sebagai pendekatan pengembangan produk yang berbasis pada pemahaman proses, tujuan kualitas yang telah ditentukan, serta penerapan prinsip ilmiah dan manajemen risiko. Konsep kunci dari QbD mencakup:

  • Quality Target Product Profile (QTPP): Menentukan karakteristik produk akhir seperti bentuk sediaan, dosis, stabilitas, dan efektivitas klinis.
  • Critical Quality Attributes (CQAs): Parameter output seperti ukuran partikel, efisiensi enkapsulasi, dan potensi zeta.
  • Critical Process Parameters (CPPs): Faktor proses seperti suhu, waktu sonikasi, rasio bahan, yang dapat mempengaruhi CQAs.
  • Critical Material Attributes (CMAs): Ciri-ciri dari bahan awal yang berpengaruh pada proses dan produk akhir.

Melalui risk assessment dan desain ruang proses (design space), pengembang dapat mengidentifikasi interaksi antara parameter, memprediksi potensi deviasi, dan merancang strategi kontrol yang berkelanjutan.

 

DOE: Dari Eksperimen Acak ke Optimasi Berbasis Data

DOE digunakan untuk mengevaluasi efek simultan dari berbagai faktor terhadap output formulasi. Penulis menunjukkan bahwa pendekatan statistik konvensional seperti ANOVA dan regresi kini mulai digantikan oleh metode canggih seperti machine learning, tanpa mengesampingkan pentingnya validasi eksperimental.

Selengkapnya
Optimalisasi Formulasi Lipid Nanopartikel untuk Penghantaran RNA: Tinjauan Konseptual dan Reflektif atas Pendekatan QbD dan DOE

Teknik Lingkungan

Menakar Ketepatan Analitik Tamoxifen: Strategi QbD dalam Pengembangan dan Validasi Metode RP-HPLC

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 02 Agustus 2025


Pendahuluan: Integrasi Mutu dan Teknologi dalam Analisis Farmasi

Tamoxifen citrate, agen kemoterapi utama dalam terapi kanker payudara, merupakan molekul kompleks yang menuntut keakuratan tinggi dalam pengukuran kuantitatif. Untuk menjamin mutu dan keamanan penggunaannya, metode analitik yang kuat, presisi, dan terpercaya diperlukan. Artikel ini berfokus pada pengembangan metode Reverse Phase High-Performance Liquid Chromatography (RP-HPLC) untuk mengestimasi Tamoxifen dalam bentuk bulk dan sediaan farmasi, dengan pendekatan mutakhir Quality by Design (QbD).

Pendekatan QbD yang digunakan penulis tidak hanya menargetkan akurasi teknis, namun juga membangun sistem yang robust terhadap variasi operasional, sesuai dengan prinsip desain berbasis risiko dan prediktabilitas analitik.

Kerangka Teori: Quality by Design (QbD) sebagai Pilar Sistem Analitik Modern

QbD adalah pendekatan sistematik yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan, statistik, dan manajemen risiko dalam perancangan dan pengembangan metode farmasi. Dalam kerangka metode analitik, pendekatan ini mencakup:

  • Analytical Target Profile (ATP): Menentukan karakteristik metode yang diinginkan (akurasi, presisi, waktu retensi, sensitivitas).

  • Critical Analytical Attributes (CAA): Parameter hasil yang perlu dikendalikan (area puncak, resolusi, simetri puncak).

  • Critical Method Parameters (CMPs): Faktor input yang dapat memengaruhi CAA (komposisi fase gerak, laju alir, panjang gelombang).

Penerapan QbD memungkinkan ruang desain (Design Space) yang memberikan fleksibilitas pengoperasian tanpa menurunkan mutu hasil.

Metodologi: Desain Eksperimen dan Validasi Strategis

1. Desain Eksperimen (DoE) menggunakan Software Design-Expert

Penulis menggunakan Design of Experiments (DoE) berbasis software Design-Expert® untuk mengevaluasi efek dan interaksi antara tiga variabel:

  • Konsentrasi metanol dalam fase gerak

  • Laju alir

  • Panjang gelombang deteksi

Tujuannya adalah mengidentifikasi kombinasi optimal yang menghasilkan puncak kromatografis simetris dengan waktu retensi singkat dan sensitivitas tinggi.

2. Kondisi Optimal yang Diperoleh

Kondisi kromatografi yang ditetapkan sebagai optimum adalah:

  • Fase gerak: Metanol : Buffer fosfat (pH 3,0) = 80:20 (v/v)

  • Laju alir: 1 mL/menit

  • Deteksi: 243 nm

  • Kolom: C18 (250 mm × 4.6 mm, 5 µm)

  • Volume injeksi: 20 µL

  • Waktu retensi Tamoxifen: 3,52 menit

🔍 Refleksi konseptual: Kondisi ini menunjukkan efisiensi metode yang tinggi dengan waktu analisis yang singkat dan pemisahan puncak yang tajam.

Hasil Studi dan Refleksi Teoretis

1. Linearitas

Metode menunjukkan hubungan linear antara konsentrasi dan area puncak dalam rentang 5–30 µg/mL, dengan nilai korelasi r² = 0,999.

🔍 Interpretasi: Linearitas ini menunjukkan kemampuan metode dalam memprediksi kadar Tamoxifen secara akurat pada rentang konsentrasi yang relevan klinis.

2. Presisi

  • Intra-day RSD: 0,18% – 0,54%

  • Inter-day RSD: 0,25% – 0,63%

📌 Makna teoritis: RSD yang sangat rendah menandakan bahwa metode ini sangat presisi dan tidak terganggu oleh fluktuasi pengukuran harian.

3. Akurasi

Nilai pemulihan (recovery) berada dalam rentang 99,07% – 100,41%.

🔍 Makna: Hasil ini menguatkan klaim bahwa metode tidak bias dan mampu mengukur kadar sebenarnya secara akurat.

4. Robustness

Perubahan kecil dalam laju alir dan panjang gelombang tidak secara signifikan mempengaruhi parameter analitik.

📌 Refleksi teoritis: Menunjukkan ruang desain (Design Space) cukup luas dan metode cukup tangguh untuk variasi kecil dalam pelaksanaan.

5. LOD dan LOQ

  • Limit of Detection (LOD): 0,89 µg/mL

  • Limit of Quantification (LOQ): 2,71 µg/mL

🔍 Interpretasi: Sensitivitas metode cukup baik untuk mendeteksi Tamoxifen dalam konsentrasi rendah, penting dalam pengujian sisa atau studi degradasi.

Daftar Poin: Kontribusi Ilmiah Artikel Ini

  • Mengintegrasikan DoE berbasis statistik dalam pengembangan metode HPLC.

  • Menyediakan validasi metode secara lengkap: linearitas, presisi, akurasi, robustness, LOD/LOQ.

  • Menunjukkan efisiensi dan sensitivitas tinggi untuk analisis Tamoxifen.

  • Memberikan dasar sistematis untuk replikasi dan transfer metode antar laboratorium.

Kritik terhadap Metodologi dan Logika Penalaran

Kekuatan:

  • Penerapan DoE dengan tools statistik memvalidasi signifikansi interaksi antar variabel.

  • Validasi menyeluruh memberikan keyakinan tinggi akan mutu metode.

  • Desain metode mempertimbangkan efisiensi waktu analisis tanpa mengorbankan akurasi.

Kelemahan:

  1. Tidak menguji metode pada produk jadi komersial (formulasi tablet/kapsul Tamoxifen).

  2. Tidak mencantumkan uji spesifisitas terhadap eksipien atau degradasi.

  3. Tidak dibahas biaya operasional atau kesiapan industri untuk menerapkan metode.

📌 Saran: Diperlukan studi lanjutan terhadap penerapan metode pada produk farmasi kompleks dan uji spesifisitas untuk menjamin selektivitas analitik.

Implikasi Ilmiah dan Aplikatif

Studi ini memperlihatkan bahwa integrasi QbD dalam pengembangan metode analitik bukan hanya meningkatkan validitas ilmiah, tapi juga kesiapan untuk aplikasi di industri farmasi:

  • Meningkatkan keandalan metode untuk kontrol mutu.

  • Mendukung kepatuhan terhadap regulasi berbasis ilmu.

  • Memudahkan validasi silang antar laboratorium atau fasilitas manufaktur.

Kesimpulan: QbD Menyatukan Keilmuan dan Kepastian dalam Analisis Tamoxifen

Melalui pendekatan QbD, metode RP-HPLC untuk Tamoxifen yang dikembangkan tidak hanya menunjukkan presisi dan akurasi tinggi, tetapi juga mampu bertahan terhadap variasi kecil proses, menjadikannya solusi unggul dalam pengujian farmasi. Dengan ruang desain yang terkendali dan pendekatan validasi berbasis risiko, metode ini layak digunakan dalam kontrol mutu industri dan pengawasan farmasi berbasis sains.

Selengkapnya
Menakar Ketepatan Analitik Tamoxifen: Strategi QbD dalam Pengembangan dan Validasi Metode RP-HPLC

Teknik Lingkungan

Penerapan Teknik Lingkungan dalam Kehidupan Nyata

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 28 Februari 2025


Teknik lingkungan menggunakan prinsip sains dan teknologi untuk menjaga lingkungan kita tetap aman dan sehat. Bidang ini sudah ada sejak lama, mengerjakan hal-hal seperti air bersih dan solusi modern untuk masalah lingkungan. Pada dasarnya, ini adalah tentang memastikan bahwa kita memiliki tempat yang baik untuk hidup sekarang dan di masa depan. Pada artikel ini, kita akan belajar tentang aplikasi kehidupan nyata dari aplikasi kehidupan nyata dari teknik lingkungan.

Apa saja aplikasi teknik lingkungan?

Ada banyak kegunaan teknik lingkungan yang berbeda, semuanya bertujuan untuk membuat bumi lebih sehat dan berkelanjutan. Ada beberapa bidang utama di mana para insinyur lingkungan memberikan dampak yang signifikan. Kita dapat melihat bagaimana teknik lingkungan digunakan dalam berbagai cara yang berbeda dan signifikan dalam kehidupan kita sehari-hari dari contoh-contoh di bawah ini.

Penerapan teknik lingkungan dalam kehidupan nyata

Manajemen sumber daya air

Hal ini mencakup pengelolaan air hujan untuk mencegah banjir, pengolahan air limbah untuk mengurangi dampak lingkungan, dan memastikan pasokan air minum yang aman dan dapat diandalkan. Upaya-upaya ini membantu melindungi alam dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Pengendalian polusi

Insinyur lingkungan merancang alat untuk membersihkan polusi di udara, air, dan tanah. Mereka menciptakan teknologi untuk menangkap polutan dari kendaraan, pabrik, dan pertanian, sehingga lingkungan kita menjadi lebih bersih dan aman bagi semua orang.

Pengelolaan limbah

Insinyur lingkungan memainkan peran penting dalam mengembangkan sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang efektif. Mereka mempromosikan pengelolaan limbah yang berkelanjutan melalui pengomposan, daur ulang, dan praktik pembuangan sampah yang bertanggung jawab, yang berkontribusi pada lingkungan yang lebih bersih dan sehat bagi semua orang.

Penilaian dampak lingkungan

Insinyur lingkungan menilai bagaimana proyek-proyek bangunan besar dapat berdampak pada alam sebelum dimulai. Hal ini membantu memastikan bahwa proyek-proyek tersebut mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga mendorong ekosistem yang lebih sehat dan seimbang.

Pemulihan lingkungan

Insinyur lingkungan sangat penting untuk memperbaiki bencana lingkungan dan memulihkan ekosistem yang rusak. Mereka memainkan peran penting dalam membersihkan area yang tercemar dan mengurangi konsekuensi dari kerusakan lingkungan, bekerja untuk membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih sehat bagi semua orang.

Instalasi pengolahan air kota

Insinyur lingkungan membangun sistem yang membersihkan air dari danau, sungai, atau sumber bawah tanah. Hal ini memastikan bahwa setiap orang memiliki akses ke air minum yang aman dan bersih, yang penting untuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Sistem pengolahan air limbah industri

Membuat instalasi pengolahan untuk air limbah pabrik, menghilangkan zat-zat berbahaya sebelum mengembalikan air ke alam. Hal ini mencegah polusi, menjaga ekosistem dan memastikan lingkungan yang bersih untuk semua.

Sistem pemantauan dan pengendalian kualitas udara

Insinyur lingkungan sangat penting dalam mengurangi polusi udara dan memantau kualitas udara. Mereka mengembangkan teknologi seperti filter di gedung, scrubber di industri, dan konverter di mobil untuk meningkatkan kebersihan udara. Hal ini membantu menciptakan lingkungan yang lebih sehat dengan udara yang lebih bersih untuk dihirup oleh semua orang.

Desain bangunan berkelanjutan

Insinyur lingkungan sangat penting dalam merancang bangunan ramah lingkungan. Mereka membantu menerapkan teknologi seperti pengumpulan air hujan, lampu dan pemanas hemat energi, dan bahan daur ulang untuk membuat bangunan yang tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.

Bioremediasi situs yang berkontaminasi

Insinyur lingkungan dapat membuat rencana bioremediasi ketika polutan berbahaya mencemari tanah atau air tanah. Ini menawarkan metode yang berkelanjutan dan alami untuk membersihkan daerah yang tercemar dengan menggunakan mikroba atau tanaman untuk mengurai atau menyerap racun.

Kesimpulan

Insinyur lingkungan telah secara signifikan meningkatkan kesehatan planet kita dengan memastikan air bersih, udara, dan solusi yang berkelanjutan. Pekerjaan mereka termasuk merancang fasilitas pengolahan air dan program pembersihan untuk melindungi lingkungan dan menciptakan dunia yang sehat bagi generasi mendatang. Mereka memainkan peran penting dalam meminimalkan bahaya dan mempromosikan keberlanjutan untuk hari esok yang lebih baik.

Apa saja peluang karir di bidang teknik lingkungan?

Insinyur lingkungan dapat bekerja di berbagai tempat seperti bisnis, kantor pemerintah, dan perusahaan konsultan swasta. Mereka fokus pada bidang-bidang seperti air, kualitas udara, limbah, dan pembersihan lingkungan.

Apakah teknik lingkungan merupakan bidang yang sulit untuk dipelajari?

Program-program teknik lingkungan sangat ketat dan membutuhkan pemahaman yang kuat tentang sains, matematika, dan prinsip-prinsip teknik. Terlepas dari tantangannya, menekuni bidang ini menawarkan karier yang memuaskan di mana Anda dapat membuat dampak yang signifikan terhadap dunia dengan mengatasi masalah lingkungan dan mempromosikan keberlanjutan.

Apa saja tantangan lingkungan terbesar yang kita hadapi saat ini?

Insinyur lingkungan adalah pemain kunci dalam mengatasi masalah lingkungan yang mendesak seperti polusi udara, pengelolaan limbah, kelangkaan air, dan perubahan iklim. Mereka memimpin upaya untuk menemukan solusi yang efektif dan memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat.

Bagaimana saya dapat terlibat dalam perlindungan lingkungan?

Anda dapat membantu melindungi lingkungan dengan berbagai cara, meskipun Anda bukan seorang insinyur lingkungan. Anda dapat mendukung kebijakan ramah lingkungan, mendorong bisnis yang ramah lingkungan, dan mengurangi limbah Anda sendiri untuk membuat perbedaan.

Bagaimana masa depan teknik lingkungan?

Teknik lingkungan memiliki masa depan yang cerah karena seiring dengan semakin kompleksnya masalah lingkungan, akan selalu ada permintaan untuk solusi inovatif. Insinyur lingkungan akan memainkan peran penting dalam menciptakan strategi dan teknologi baru untuk membuat planet kita lebih berkelanjutan di masa depan.

Disadur dari: geeksforgeeks.org

Selengkapnya
Penerapan Teknik Lingkungan dalam Kehidupan Nyata

Teknik Lingkungan

Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 28 Februari 2025


Perubahan iklim merupakan salah satu ancaman terbesar yang dihadapi dunia pada abad ke-21. Hal ini juga telah diidentifikasi sebagai ancaman terhadap keamanan global oleh organisasi seperti Departemen Pertahanan AS . Selain dampaknya terhadap lingkungan, perubahan iklim juga dapat meningkatkan katalis konflik dan ketidakstabilan dengan memberikan tekanan pada sumber daya pangan dan air, mendorong migrasi lintas batas negara, dan meningkatkan frekuensi bencana nasional. Meningkatnya fokus pada titik temu antara perubahan iklim dan keamanan global memerlukan analisis khusus mengenai bagaimana dampak iklim dapat berkontribusi, secara langsung atau tidak langsung, terhadap tantangan keamanan global tertentu. Radikalisasi, yang dalam artikel ini akan didefinisikan sebagai proses di mana individu mengadopsi ideologi ekstremis berkekerasan, merupakan salah satu tantangan keamanan yang mungkin terkena dampak secara tidak langsung oleh perubahan iklim. Potensi hubungan antara perubahan iklim dan radikalisasi dengan ekstremisme kekerasan dapat dipelajari di Indonesia, sebuah negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dan memiliki sejarah ekstremisme kekerasan .

Ekstremisme di Indonesia

Ancaman ekstremisme utama di Indonesia berasal dari kelompok ekstremis Islam, yang berupaya menggunakan kekerasan untuk menggantikan sistem politik Indonesia yang demokratis dan pluralis dengan rezim Islam fundamentalis. Islam Indonesia memiliki tradisi toleransi dan pluralitas, yang dibentuk oleh penyebarannya secara bertahap melalui perdagangan, pertukaran budaya, dan konversi, serta keragaman agama dan budaya di Indonesia. Namun, penafsiran Islam yang lebih fundamentalis mulai mengakar di Indonesia pada abad ke-20, ketika pelajar Indonesia yang kembali dari sekolah Islam di Dunia Arab membawa kembali penafsiran Islam yang lebih konservatif. Masuknya penafsiran Islam yang lebih fundamentalis ke Indonesia menciptakan bentrokan antara pihak yang berupaya melestarikan versi Islam Indonesia yang lebih toleran dan pihak yang mendukung penafsiran Islam yang lebih konservatif. Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan setelah Perang Dunia II, kelompok ekstremis Islam Darul Islam melancarkan pemberontakan melawan pemerintah sekuler dalam upaya untuk menciptakan kekhalifahan Islam. Meskipun kelompok-kelompok ekstremis ditindas di bawah kediktatoran Sukarto dan Suharno, penafsiran Islam yang lebih konservatif terus menyebar ketika negara-negara Arab—khususnya Arab Saudi— mendorong penafsiran Islam yang lebih fundamentalis melalui pembangunan masjid, sekolah, dan badan amal. Setelah transisi Indonesia menuju demokrasi pada tahun 1998, para ekstremis dari luar negeri dapat kembali ke negara tersebut, mengorganisir kelompok, dan melakukan serangan pada awal tahun 2000an.

Saat ini, terdapat sejumlah kelompok ekstremis yang beroperasi di Indonesia seperti Jemaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Negara Islam Indonesia (NII). Pada masa puncak ancaman ekstremisme di Indonesia pada awal tahun 2000an, JI merupakan kelompok terbesar dan paling terorganisir, melakukan beberapa serangan besar—yang paling mematikan adalah Bom Bali tahun 2002. Saat ini tidak ada kelompok ekstremis di Indonesia yang memiliki sumber daya dan organisasi sebaik JI pada tahun 2000an, berkat peningkatan upaya pemberantasan terorisme. Namun, serangan sesekali memang terjadi, yang menunjukkan masih adanya ancaman ekstremisme dan radikalisasi di Indonesia.

Perubahan iklim dan faktor sosial ekonomi di balik radikalisasi

Salah satu dampak perubahan iklim terhadap radikalisasi di Indonesia adalah dengan semakin intensifnya faktor sosial ekonomi di balik radikalisasi seperti kemiskinan, pengangguran, dan kerawanan pangan. Sebagai negara kepulauan yang berada di sisi Pasifik dari sistem El Niño, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan lingkungan seperti kenaikan suhu rata-rata, kenaikan permukaan laut, kekeringan, dan bencana alam yang lebih sering terjadi. Dampak iklim ini dapat mengganggu sektor-sektor inti perekonomian Indonesia, khususnya di daerah pedesaan. Meningkatnya suhu, misalnya, dapat mempersulit pertanian—khususnya penanaman padi . Perairan yang lebih hangat juga dapat mengancam kehidupan laut, mengurangi stok ikan dan mematikan terumbu karang yang menjadi andalan banyak penduduk pedesaan di Indonesia untuk mencari ikan dan pendapatan dari pariwisata.

Meningkatnya frekuensi dan tingkat keparahan kekeringan dapat mempersulit pertanian karena memperpendek musim tanam, sehingga mengancam budidaya tanaman yang memerlukan banyak air seperti padi. Kenaikan permukaan air laut juga dapat mengganggu sektor perekonomian Indonesia karena salinitas akuifer pesisir dan membanjiri lahan pertanian dan kolam pemancingan di dekat pantai, sehingga mengurangi hasil pertanian dan perikanan. Apalagi, Indonesia merupakan negara dengan wilayah daratan paling besar yang berisiko terhadap kenaikan permukaan air laut. Dengan 60 persen —lebih dari 165 juta orang—penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir, kenaikan permukaan air laut mengancam sebagian besar penduduk Indonesia dengan banjir dan genangan di wilayah pesisir. Terakhir, peningkatan frekuensi bencana alam seperti angin topan yang lebih dahsyat atau banjir akibat curah hujan ekstrem dapat menyebabkan kerusakan ekonomi, khususnya di daerah pedesaan dengan infrastruktur ketahanan iklim yang terbatas.

Gangguan yang disebabkan oleh perubahan iklim terhadap industri-industri penting di Indonesia seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata dapat memicu pengangguran dan memperparah kemiskinan di daerah pedesaan, yang paling bergantung pada industri-industri tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat mengurangi nilai total produksi padi irigasi di Indonesia—produk pertanian utama negara ini—sebesar 20 persen pada tahun 2050, sehingga menimbulkan risiko ekonomi yang signifikan bagi para petani. Meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di daerah pedesaan dapat mempercepat migrasi ke kota-kota di Indonesia, sehingga mengakibatkan peningkatan kemiskinan perkotaan dan bertambahnya jumlah penduduk miskin perkotaan jika kesempatan kerja tidak mampu mengimbangi kedatangan para migran. Selain itu, gangguan terhadap pertanian dan perikanan berpotensi meningkatkan harga pangan di seluruh negeri, terutama selama periode kekeringan parah, yang mengakibatkan kerawanan pangan dan meningkatkan paparan kemiskinan baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Ketergantungan masyarakat Indonesia pada makanan pokok yang rentan terhadap perubahan iklim seperti makanan laut dan beras memperbesar risiko kerawanan pangan, dengan makanan laut merupakan lebih dari separuh protein hewani dalam makanan orang Indonesia dan konsumsi beras per kapita sebesar 150kg (330 pon) per orang pada tahun 2017. Terakhir, perubahan iklim Perubahan ini mengancam peningkatan ketimpangan kekayaan karena 26 juta penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan, serta mereka yang berada di dekat garis kemiskinan, memiliki kemampuan paling terbatas untuk beradaptasi terhadap dampak iklim seperti kenaikan permukaan air laut atau bencana alam.

Tren-tren ini dapat menciptakan populasi individu yang rentan terhadap radikalisasi. Kemiskinan yang semakin meningkat atau semakin mengakar, misalnya, dapat meningkatkan kemungkinan radikalisasi di Indonesia karena penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendapatan yang lebih rendah dan kemungkinan kepatuhan terhadap ideologi radikal. Pengangguran , khususnya di kalangan laki-laki muda, juga dapat meningkatkan kemungkinan radikalisasi dengan menciptakan keluhan yang membuat individu lebih cenderung melakukan tindakan kekerasan atau mengadopsi ideologi ekstremis. Selain itu, meningkatnya kemiskinan perkotaan—akibat percepatan migrasi dan kenaikan harga pangan—dapat menjadi faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya radikalisasi . Meningkatnya kesenjangan kekayaan juga bisa menjadi faktor yang meningkatkan risiko radikalisasi karena masyarakat miskin Indonesia mungkin beralih ke ideologi ekstremis sebagai cara untuk menutupi kekurangan harta benda.

Perubahan iklim dan faktor politik di balik radikalisasi

Selain memperkuat faktor sosial ekonomi di balik radikalisasi di Indonesia, perubahan iklim juga dapat menciptakan kondisi politik yang meningkatkan risiko radikalisasi. Perubahan iklim, misalnya, dapat menciptakan periode pemerintahan yang lemah setelah terjadinya bencana alam yang lebih sering dan hebat seperti angin topan atau banjir. Tata kelola yang lemah di beberapa wilayah di negara ini akan memudahkan kelompok ekstremis untuk beroperasi dan merekrut pengikut. Kelompok juga bisa mendapatkan pendukung dengan memberikan upaya kemanusiaan dan amal. Beberapa kelompok ekstremis di Indonesia telah memberikan layanan amal kepada anggotanya dan keluarga mereka, dan mungkin akan beralih memberikan bantuan ketika bencana alam semakin sering terjadi.

Ketidaknyamanan umum akibat dampak iklim juga dapat meningkatkan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Krisis pangan yang dipicu oleh peristiwa perubahan iklim yang besar, misalnya, dapat mengurangi kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah jika lembaga-lembaga tersebut gagal mengatasi kenaikan harga atau kerawanan pangan. Demikian pula, dampak perubahan iklim lainnya seperti banjir atau angin topan dapat meningkatkan ketidakpuasan masyarakat yang terkena dampak terhadap pemerintah karena kebijakan mengenai isu-isu seperti perekonomian dan pengentasan kemiskinan tampak tidak efektif. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap pemerintah dapat membuat individu lebih cenderung menerima ideologi ekstremis dan membuat mereka lebih bersedia mendukung perombakan sistem pemerintahan saat ini—seperti rezim Islam fundamentalis.

Terdapat preseden mengenai isu lingkungan yang menciptakan kondisi politik yang mendukung radikalisasi di Indonesia. Selama tahun 1997 dan 1998, negara ini dilanda kekeringan yang luar biasa parah akibat pola El Niño yang sangat kuat. Kekeringan menyebabkan krisis pangan, dan menambah penderitaan ekonomi akibat krisis keuangan Asia tahun 1997. Krisis pangan dan penderitaan ekonomi menyebabkan ketidakpuasan yang parah terhadap pemerintah, dengan protes besar-besaran yang mengakibatkan pergantian rezim yang menggantikan rezim otoriter Suharno dengan pemerintahan yang demokratis, meskipun lemah. Lemahnya pemerintahan dan ketidakstabilan politik akibat transisi memungkinkan JI untuk bertindak berdasarkan ideologinya dengan merekrut pengikut dan merencanakan serangan, yang kemudian berujung pada serangan besar pada tahun 2000an.

Kesimpulan

Perubahan iklim dapat mempengaruhi faktor sosial ekonomi dan politik di balik radikalisasi. Di Indonesia, perubahan iklim berisiko memperparah kemiskinan dan pengangguran serta menciptakan periode ketidakstabilan politik dan lemahnya pemerintahan, sehingga berkontribusi terhadap risiko radikalisasi serta faktor-faktor di tingkat individu yang mendorong radikalisasi.

Namun, penting untuk dicatat bahwa radikalisasi adalah masalah yang sangat kompleks dan terdapat beragam faktor, baik di tingkat masyarakat maupun individu, yang dapat berkontribusi terhadap radikalisasi, banyak di antaranya tidak dibahas dalam artikel ini dan tidak dibahas dalam artikel ini. terkait dengan perubahan iklim. Penting juga untuk dicatat bahwa radikalisasi berbeda dari terorisme—seperti yang didefinisikan sebelumnya, radikalisasi dalam artikel ini berarti mengadopsi ideologi ekstremis dan bukan melakukan tindakan terorisme. Daripada berargumentasi bahwa perubahan iklim saja berkontribusi terhadap atau bahkan menyebabkan radikalisasi dan terorisme, perubahan iklim harus dilihat sebagai faktor yang akan berkontribusi terhadap peningkatan risiko radikalisasi, terutama ketika dampaknya menjadi lebih jelas.

Oleh karena itu, perubahan iklim merupakan fenomena penting untuk dipertimbangkan dalam upaya pemberantasan terorisme global. Strategi iklim yang efektif dapat mendorong deradikalisasi dengan melawan faktor sosial, ekonomi, dan politik yang dapat mendorong radikalisasi. Peningkatan radikalisasi menciptakan lebih banyak kelompok ekstremis untuk direkrut dan dapat meningkatkan risiko aksi teroris. Pada akhirnya, upaya global untuk memerangi terorisme harus menambahkan analisis risiko lingkungan hidup ke dalam upaya melawan radikalisasi dan ekstremisme.

Sumber: hir-harvard-edu

Selengkapnya
Perubahan Iklim
page 1 of 10 Next Last »