Supply Chain Management

Sebuah Analisis Mengejutkan: Mengapa Bencana dan Krisis Global Memicu Efek Domino dalam Rantai Pasok

Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 September 2025


Peristiwa seperti pandemi global, ketidakstabilan geopolitik, atau bencana alam telah menjadi bagian dari realitas bisnis yang tak terhindarkan. Gangguan yang terjadi di satu belahan dunia sering kali terasa dampaknya di sisi lain, mulai dari terhentinya pasokan bahan baku hingga kenaikan harga produk yang tak terduga. Fenomena ini, yang dalam dunia ilmiah dikenal sebagai "efek riak" dalam rantai pasok (supply chain), bukan sekadar gangguan sporadis. Sebaliknya, sebuah studi empiris terbaru mengungkapkan bahwa ini adalah rantai reaksi yang kompleks, di mana risiko eksternal memicu serangkaian kerentanan internal yang memperparah dampak keseluruhan.

Sebuah tim peneliti yang terdiri dari akademisi di Vietnam dan Jepang, termasuk An Thi Binh Duong dari HUTECH University dan Tho Pham dari Tokyo Keizai University, telah melakukan studi pionir yang mengungkap mekanisme di balik penyebaran efek riak ini.1 Melalui penelitian ini, mereka berupaya mengisi kesenjangan pengetahuan yang selama ini berfokus pada risiko tunggal, dengan menganalisis bagaimana berbagai jenis risiko berinteraksi secara simultan untuk memengaruhi kinerja rantai pasok. Laporan ini akan membawa Anda dalam sebuah investigasi mendalam untuk memahami cetak biru yang mengejutkan tentang bagaimana efek ini menyebar, dan mengapa temuan ini harus mengubah cara kita berpikir tentang ketahanan bisnis di masa depan.

 

Menggali Temuan Utama: Jaringan Tersembunyi di Balik Kerentanan Rantai Pasok

Selama bertahun-tahun, banyak penelitian tentang manajemen risiko dalam rantai pasok, terutama di industri konstruksi, lebih sering berfokus pada identifikasi dan kuantifikasi dampak dari satu jenis risiko.1 Pendekatan ini, yang melihat risiko sebagai entitas yang terisolasi, sering kali tidak efektif dalam menghadapi situasi dunia nyata, di mana banyak risiko terjadi secara bersamaan dan saling terkait.1 Para peneliti dalam studi ini berargumen bahwa risiko tidak muncul secara independen. Sebaliknya, satu risiko bisa memicu kemunculan risiko lain, menciptakan sebuah jaringan sebab-akibat yang lebih merusak dari sekadar jumlah bagian-bagiannya.

Untuk menguji hipotesis ini, para peneliti merancang sebuah penelitian empiris berskala besar. Mereka mengumpulkan data dari 207 perusahaan konstruksi di Vietnam melalui survei terstruktur.1 Data ini dikumpulkan sebagai bagian dari sebuah proyek yang didukung oleh pemerintah Jepang untuk mempromosikan pembangunan sosial ekonomi berkelanjutan di kawasan ASEAN.1 Metode analisis yang digunakan, yaitu

Structural Equation Modeling (SEM), memungkinkan mereka untuk memodelkan hubungan kausal yang kompleks antara berbagai jenis risiko, memetakan bagaimana satu jenis risiko "mendorong" atau "memperparah" risiko lainnya.1

 

Jaringan Kausal yang Terungkap

Hasil penelitian ini secara mengejutkan memvalidasi dugaan para peneliti tentang sifat sistemik dari risiko. Mereka menemukan bahwa risiko-risiko eksternal, yang sering kali berada di luar kendali langsung perusahaan, secara konsisten memicu jenis risiko internal tertentu. Temuan ini dapat dipetakan dalam sebuah alur sebab-akibat yang jelas:

  • Risiko Buatan Manusia (seperti ketidakstabilan politik, masalah hukum, atau krisis ekonomi) terbukti secara signifikan memicu risiko operasional.1
  • Risiko Alam (seperti bencana alam atau epidemi) memiliki dampak yang lebih luas, memicu risiko pasokan maupun risiko operasional.1

Risiko pasokan mencakup masalah seperti fluktuasi harga atau kebangkrutan pemasok, sementara risiko operasional meliputi gangguan di dalam perusahaan itu sendiri, seperti perselisihan tenaga kerja, kecelakaan kerja, atau perubahan teknologi.1 Hasil ini menggarisbawahi sebuah fakta krusial: dampak awal dari sebuah bencana tidak berhenti di pintu gerbang perusahaan; ia merembet ke dalam, memicu kerentanan internal yang sudah ada.

 

Sang Penguat "Efek Riak"

Titik paling penting dan mengejutkan dari penelitian ini adalah identifikasi peran kunci dari risiko operasional.1 Temuan menunjukkan bahwa dampak dari risiko buatan manusia dan risiko alam tidak langsung memengaruhi kinerja perusahaan. Sebaliknya, dampak ini

diperkuat atau diperparah melalui risiko operasional.1 Ini berarti, sebuah gempa bumi atau krisis ekonomi tidak serta-merta merusak kinerja, melainkan memicu gangguan operasional (misalnya, kelangkaan material atau kecelakaan kerja karena tekanan) yang pada akhirnya memiliki konsekuensi buruk terhadap kinerja.

Hubungan ini menjelaskan mengapa banyak strategi mitigasi risiko tradisional yang berfokus pada "titik" sering kali gagal. Misalnya, sebuah perusahaan yang hanya menyiapkan strategi untuk menghadapi bencana alam, tetapi tidak memperkuat fondasi operasional internalnya, akan tetap rentan. Gangguan eksternal akan masuk, memicu kelemahan operasional, dan merusak seluruh sistem. Dalam pandangan ini, risiko operasional bukanlah sekadar efek samping, melainkan merupakan "amplifikasi" atau "penguat" utama dari semua risiko eksternal.

Model penelitian ini mampu menjelaskan $R^{2} = 0.54$, yang berarti model tersebut dapat memprediksi 54% variasi dalam kinerja rantai pasok.1 Angka ini adalah pencapaian yang signifikan, memberikan para manajer keuntungan strategis yang luar biasa. Bayangkan seorang petani yang tiba-tiba memiliki kemampuan untuk memprediksi lebih dari separuh potensi gagal panennya jauh sebelum bibit ditanam, hanya dengan memahami pola cuaca dan jenis tanah. Informasi ini memberikan keuntungan strategis yang luar biasa.

 

Sebuah Pandangan Realistis: Ketika Prediksi Ilmiah Tak Sesuai Harapan

Sebuah studi ilmiah yang kredibel tidak hanya mempresentasikan apa yang berhasil, tetapi juga apa yang tidak. Sikap transparansi ini justru memperkuat validitas temuan. Para peneliti dalam studi ini secara jujur mengakui bahwa beberapa hipotesis yang mereka ajukan tidak didukung oleh data.1

Secara spesifik, model ini tidak menemukan bukti yang mendukung beberapa hubungan kausal yang diajukan, yaitu:

  • Risiko buatan manusia tidak secara langsung memicu risiko pasokan dan risiko permintaan.1
  • Risiko pasokan dan risiko permintaan tidak secara langsung menyebabkan risiko operasional.1
  • Risiko alam dan risiko permintaan tidak memiliki dampak langsung pada kinerja rantai pasok.1

Meskipun temuan-temuan ini mungkin terlihat seperti kegagalan, para peneliti menawarkan penjelasan yang masuk akal dan memberikan pemahaman yang lebih kaya. Mereka berpendapat bahwa data studi ini hanya dikumpulkan dari perusahaan konstruksi di Vietnam.1 Karakteristik unik dari industri dan geografis ini kemungkinan menjadi alasan mengapa hubungan yang dihipotesiskan dari literatur umum tidak berlaku di sini. Ini bukan berarti hipotesis tersebut salah secara universal, tetapi bahwa "efek riak" bukanlah sebuah hukum universal yang kaku, melainkan sebuah mekanisme yang sangat kontekstual, bergantung pada industri dan lingkungan operasionalnya.

Temuan ini sangat berharga karena ia membuka pintu bagi pertanyaan-pertanyaan baru: bagaimana model efek riak ini akan berlaku di industri lain, seperti manufaktur atau teknologi, atau di negara-negara dengan karakteristik ekonomi yang berbeda? Studi ini memberikan landasan yang kuat untuk penelitian selanjutnya, sambil mengingatkan para manajer untuk tidak mengadopsi model mitigasi risiko secara membabi buta tanpa mempertimbangkan konteks spesifik mereka.

 

Membangun Pertahanan: Kunci Menuju Rantai Pasok yang Tangguh

Temuan dari studi ini memberikan peta jalan yang jelas bagi para manajer dan pembuat kebijakan. Karena risiko operasional teridentifikasi sebagai "penguat" utama dari dampak risiko eksternal, strategi mitigasi harus diprioritaskan di area ini. Dengan mengendalikan kerentanan operasional—seperti dengan meningkatkan fleksibilitas tenaga kerja, mengurangi perselisihan, dan menginvestasikan dalam teknologi yang lebih efisien—sebuah perusahaan dapat secara signifikan mengurangi kerusakan akibat bencana alam atau krisis buatan manusia yang tidak dapat dihindari.1

Studi ini juga menekankan pentingnya pengembangan resiliensi atau ketahanan rantai pasok.1 Resiliensi bukanlah tentang mencegah semua gangguan, yang merupakan tujuan yang tidak realistis. Sebaliknya, resiliensi adalah tentang membangun kapasitas untuk "menyerap" gangguan dan pulih dengan cepat, mempertahankan kontinuitas operasional bahkan di tengah situasi yang paling kacau.1 Studi ini memberikan bukti empiris bahwa investasi dalam resiliensi, khususnya yang berfokus pada penguatan operasional internal, adalah cara paling efektif untuk mengelola efek riak dan mempertahankan kinerja tinggi.1

 

Kesimpulan: Dari Data ke Dampak Nyata

Laporan ini dimulai dengan pertanyaan mendasar: mengapa gangguan global begitu merusak bagi rantai pasok kita? Jawabannya, yang disajikan dengan jelas oleh studi ini, bukanlah karena bencana itu sendiri, melainkan karena cara bencana itu diperparah di dalam sistem yang rentan. Temuan ini menjadi pengingat yang kuat bahwa tantangan terbesar bukanlah di luar, tetapi bagaimana sebuah organisasi mengelola kerentanan di dalam sistemnya.

Jika temuan ini diterapkan oleh para manajer dan pembuat kebijakan, mereka berpotensi mengubah cara bisnis beroperasi dalam lanskap global yang tidak pasti. Dengan memprioritaskan mitigasi risiko operasional dan berinvestasi dalam resiliensi, sebuah perusahaan dapat mengurangi biaya kerugian akibat gangguan, meningkatkan efisiensi, dan membangun fondasi bisnis yang jauh lebih stabil dan tahan guncangan dalam waktu lima tahun.

Sumber Artikel:

Duong, A. T. B., Pham, T., Truong Quang, H., Hoang, T. G., McDonald, S., Hoang, T. H., & Pham, H. T. (2024). Ripple effect of disruptions on performance in supply chains: an empirical study. Engineering, Construction and Architectural Management31(13), 1-22.

Selengkapnya
Sebuah Analisis Mengejutkan: Mengapa Bencana dan Krisis Global Memicu Efek Domino dalam Rantai Pasok

Supply Chain Management

Strategi Supply Chain Management dalam Proyek Konstruksi di India

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Industri konstruksi India telah berkembang pesat dalam dekade terakhir, menjadi salah satu pilar penting bagi pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Namun, pertumbuhan ini juga membawa tantangan besar: keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan inefisiensi logistik. Dalam konteks inilah peran Supply Chain Management (SCM) menjadi sangat krusial. Paper berjudul "Supply Chain Management in Construction Projects: A Comprehensive Analysis of the Indian Context – Review" karya K.B. Jaisree dan B. Palani, memberikan tinjauan literatur mendalam mengenai dinamika, tantangan, dan inovasi dalam SCM konstruksi India.

Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian

Studi ini bertujuan untuk:

  • Mensintesis literatur terkait SCM di proyek konstruksi.
  • Mengidentifikasi tantangan dan peluang spesifik di India.
  • Mengevaluasi peran teknologi dan keberlanjutan dalam pengelolaan rantai pasok.
  • Memberikan rekomendasi kebijakan dan praktik industri.

Penelitian ini disusun sebagai tinjauan pustaka komprehensif dengan pendekatan multidisipliner, mencakup aspek teknis, sosial, dan kebijakan publik.

Kerangka Konseptual: Komponen Utama SCM dalam Konstruksi

Penulis membagi SCM dalam konstruksi menjadi lima tahap utama:

  1. Perencanaan: Perkiraan kebutuhan material dan jadwal proyek.
  2. Pengadaan: Pemilihan vendor, negosiasi kontrak.
  3. Produksi: Aktivitas konstruksi dan manajemen inventaris.
  4. Distribusi: Logistik pengiriman material.
  5. Aliran Informasi: Integrasi teknologi untuk memperlancar komunikasi antar pemangku kepentingan.

Setiap tahap ini memiliki tantangan tersendiri, terutama dalam konteks proyek skala besar yang melibatkan banyak pihak dengan latar belakang budaya, bahasa, dan kepentingan berbeda.

Evolusi SCM di India: Dari Tradisional ke Teknologi Canggih

Model Tradisional: Fragmentasi dan Inefisiensi

Praktik lama di India cenderung:

  • Sumber daya lokal dengan koordinasi terbatas.
  • Dokumentasi manual, rawan kesalahan.
  • Kurangnya manajemen risiko.

Modernisasi: Integrasi dan Proaktif

Dengan kemajuan teknologi dan tekanan global, praktik SCM berubah menjadi:

  • Pengadaan terpusat: Efisiensi biaya dan waktu.
  • Digitalisasi dokumen dan komunikasi.
  • Adopsi teknologi mutakhir: BIM, IoT, software SCM.

Statistik Relevan:

  • Integrasi teknologi seperti BIM telah mengurangi waktu proyek hingga 15-20% di beberapa studi kasus.
  • Real-time tracking dengan IoT mengurangi kehilangan material hingga 30%.

Tantangan Unik di Konteks India

A. Faktor Budaya dan Sosial

  • Hambatan bahasa dan komunikasi.
  • Struktur organisasi hirarkis memperlambat pengambilan keputusan.
  • Variasi praktik konstruksi antar wilayah.

B. Regulasi dan Birokrasi

  • Red tape memperlambat pengadaan.
  • Pajak antar negara bagian menyulitkan logistik.
  • Revisi kebijakan yang kerap berubah.

C. Keterbatasan Infrastruktur

  • Jalan sempit dan kemacetan menghambat pengiriman material.
  • Pasokan listrik tidak stabil.
  • Tantangan last-mile delivery ke lokasi terpencil.

Studi Kasus: Adaptasi Lokal di Proyek Infrastruktur

Beberapa proyek besar seperti proyek jalan tol di Maharashtra berhasil mengurangi waktu logistik 15% dengan pendekatan logistik modular dan sourcing lokal yang efisien.

Elemen Kunci SCM dalam Proyek Konstruksi India

1. Pengadaan dan Manajemen Vendor

  • Tantangan: Fluktuasi harga material, regulasi tender.
  • Peluang: E-procurement, kemitraan jangka panjang dengan vendor.

2. Logistik dan Transportasi

  • Tantangan: Infrastruktur terbatas.
  • Peluang: Pemanfaatan GPS, optimisasi rute, dan moda alternatif seperti jalur air.

3. Manajemen Risiko

  • Tantangan: Risiko cuaca dan politik.
  • Solusi: Perencanaan kontingensi dan analitik prediktif berbasis data.

4. Keberlanjutan dan Green Supply Chain

  • Tantangan: Kurangnya edukasi dan biaya awal tinggi.
  • Peluang: Regulasi insentif hijau, peningkatan kesadaran pasar.

Keberlanjutan dalam SCM Konstruksi India

Salah satu bagian paling kuat dari studi ini adalah sorotan pada praktik SCM yang berkelanjutan:

  • Material ramah lingkungan: Bambu, fly ash, beton daur ulang.
  • Optimasi energi: Penggunaan peralatan hemat energi.
  • Sertifikasi bangunan hijau: LEED, IGBC, GRIHA.

Contoh Nyata:

Proyek kampus universitas di Gujarat berhasil mencapai 40% efisiensi energi melalui strategi SCM berkelanjutan, seperti penggunaan solar panel dan sistem pemanenan air hujan terintegrasi.

Integrasi Teknologi dalam SCM: Masa Depan yang Cerdas

Teknologi memainkan peran kunci dalam modernisasi SCM di India:

  • IoT: Untuk pelacakan material dan monitoring suhu/logistik sensitif.
  • BIM dan Digital Twin: Simulasi proyek dan prediksi kebutuhan material.
  • Analytics dan AI: Prediksi permintaan dan penjadwalan otomatis.

Penulis menekankan bahwa adopsi teknologi dapat meningkatkan efisiensi hingga 25%, dan memangkas pemborosan logistik secara signifikan.

Kesimpulan: Jalan Menuju SCM yang Lebih Efisien dan Berkelanjutan

Makalah ini berhasil menyajikan analisis menyeluruh tentang dinamika Supply Chain Management dalam proyek konstruksi di India. Ditemukan bahwa modernisasi SCM—yang mencakup integrasi teknologi, perencanaan risiko yang lebih baik, dan fokus pada keberlanjutan—adalah kunci untuk meningkatkan efisiensi, menekan biaya, dan menciptakan proyek yang tahan terhadap gangguan.

Rekomendasi Penulis:

  • Meningkatkan pelatihan SCM untuk kontraktor lokal.
  • Insentif pemerintah untuk teknologi SCM hijau.
  • Perluasan riset ke proyek konstruksi perdesaan.

Nilai Tambah dan Relevansi Global

Studi ini tidak hanya relevan bagi India, tetapi juga memberikan wawasan berharga bagi negara-negara berkembang lainnya yang menghadapi tantangan serupa dalam integrasi SCM di sektor konstruksi. Konteks unik India—baik dari segi budaya, infrastruktur, maupun regulasi—menawarkan pelajaran penting tentang fleksibilitas, adaptasi, dan pentingnya pendekatan lokal dalam manajemen rantai pasok.

Sumber Artikel

K.B. Jaisree, B. Palani. Supply Chain Management in Construction Projects: A Comprehensive Analysis of the Indian Context – Review. International Journal of Research and Review. 2024; 11(1): 298-308.

 

Selengkapnya
Strategi Supply Chain Management dalam Proyek Konstruksi di India

Supply Chain Management

Supply Chain Management dalam Proyek Konstruksi: Solusi Efisiensi Pengadaan Material dan Logistik Proyek

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 07 Mei 2025


Pendahuluan

 

Industri konstruksi seringkali menghadapi tantangan besar dalam pengadaan material, manajemen waktu, dan pengelolaan logistik proyek. Dalam tesis bertajuk Kajian Penerapan Manajemen Supply Chain pada Proyek Konstruksi (Studi Kasus pada PT. X) karya M. Arif Rahmadi dari Universitas Indonesia, isu tersebut ditelaah melalui pendekatan mendalam terhadap penerapan manajemen supply chain (SCM) di lingkungan proyek konstruksi. Tesis ini berupaya mengidentifikasi bagaimana SCM dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi pemborosan, dan memperbaiki kinerja proyek secara keseluruhan.

 

Konsep dan Tantangan Proyek Konstruksi

 

Proyek konstruksi memiliki karakteristik unik: bersifat sementara, kompleks, dan melibatkan banyak pihak dengan peran berbeda. Salah satu tantangan utama adalah pengadaan material yang sering memakan lebih dari 50% anggaran proyek. Kekeliruan dalam pengelolaan dapat menyebabkan keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga kerugian yang signifikan.

 

Permasalahan tersebut juga dialami PT. X, subjek studi kasus dalam penelitian ini, yang masih mengandalkan sistem pengadaan tradisional. Dampaknya antara lain:

  • Terjadinya kelebihan stok dan pemborosan biaya penyimpanan
  • Proses pengadaan yang lambat karena tidak terintegrasi
  • Sulitnya memprediksi kebutuhan aktual material

 

Penerapan Manajemen Supply Chain: Solusi Strategis

 

SCM diposisikan sebagai pendekatan modern yang menyatukan semua proses rantai pasok, mulai dari permintaan, pengadaan, distribusi, hingga pemakaian material di lapangan. Manfaat SCM dalam konteks konstruksi antara lain:

  • Mengurangi biaya inventory dan transportasi
  • Menjamin pengiriman material tepat waktu dan sesuai spesifikasi
  • Meningkatkan transparansi dan arus informasi antar tim proyek

SCM yang diterapkan secara strategis juga mendorong pengembangan kemitraan dengan vendor, penggunaan teknologi informasi, dan integrasi data antar departemen.

 

Metodologi Penelitian dan Studi Kasus PT. X

 

Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus pada tiga proyek konstruksi yang dikelola PT. X. Teknik pengumpulan data mencakup wawancara semi-terstruktur dan penyebaran kuesioner kepada pihak manajemen dan tim proyek. Hasil data dianalisis menggunakan pemetaan matriks serta validasi pakar.

 

Temuan Penting dan Implikasi Nyata

 

1. Kurangnya sistem informasi terintegrasi menjadi penyebab utama ketidakefisienan dalam pengadaan.

2. Penggunaan Material Requirement Planning (MRP) belum optimal karena keterbatasan software dan pemahaman teknis.

3. Koordinasi antar divisi rendah, menyebabkan informasi permintaan tidak sampai tepat waktu ke bagian procurement.

 

Solusi yang ditawarkan antara lain:

  • Pengembangan sistem informasi berbasis TI (ERP/SAP)
  • Pelatihan tim SCM dan penggunaan perangkat MRP secara menyeluruh
  • Pembentukan tim koordinasi lintas departemen

 

Studi Kasus Global dan Relevansi Industri

 

Dalam konteks global, banyak perusahaan konstruksi besar telah mengadopsi SCM sebagai tulang punggung logistik proyek. Misalnya, Bechtel dan Skanska menggunakan sistem digital untuk memantau alur material dari vendor hingga lokasi proyek secara real-time. Hal ini terbukti mengurangi waktu tunggu hingga 30% dan menekan biaya logistik lebih dari 15%.

 

Kritik dan Potensi Pengembangan

 

Tesis ini memiliki kekuatan dari sisi kepraktisan dan relevansi lapangan. Namun, cakupannya masih terbatas pada satu perusahaan. Pengembangan lebih lanjut dapat mencakup:

  • Kajian komparatif antar proyek multinasional
  • Analisis dampak keuangan implementasi SCM secara longitudinal
  • Integrasi sustainability dalam SCM proyek (green procurement)

 

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

 

Penerapan manajemen supply chain dalam proyek konstruksi terbukti dapat menjadi solusi sistemik atas masalah keterlambatan dan inefisiensi pengadaan material. Dengan sistem informasi yang terintegrasi, perencanaan kebutuhan material yang presisi, dan koordinasi antar tim yang solid, efisiensi proyek dapat tercapai secara signifikan. PT. X dan perusahaan konstruksi lain di Indonesia disarankan mulai mengadopsi pendekatan SCM berbasis teknologi untuk meningkatkan daya saing dan keandalan proyek.

 

Sumber: Rahmadi, M. Arif. (2008). Kajian Penerapan Manajemen Supply Chain pada Proyek Konstruksi (Studi Kasus pada PT. X). Tesis, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

Selengkapnya
Supply Chain Management dalam Proyek Konstruksi: Solusi Efisiensi Pengadaan Material dan Logistik Proyek

Supply Chain Management

Raw material (bahan baku)

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 07 Maret 2025


Bahan baku, disebut juga bahan baku, bahan mentah atau barang primer, adalah bahan dasar yang digunakan untuk menghasilkan barang, produk jadi, produk energi, produk setengah jadi, atau sebagai bahan baku suatu barang. Sebagai bahan baku, istilahnya adalah bahan terbatas dan mengacu pada bahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk lain.

Istilah bahan mentah mengacu pada bahan dalam bentuk yang belum diolah atau diproses secara minimal, seperti lateks mentah, minyak, kapas, batu bara, biomassa mentah, baja, plastik, gas, kayu dan air. Istilah bahan mentah sekunder mengacu pada limbah yang telah didaur ulang atau digunakan kembali untuk membuat produk.

Belerang di pelabuhan di Vancouver Utara, British Columbia, siap dimuat ke kapal

Bahan baku dalam rantai pasokan

Rantai pasokan biasanya dimulai dengan akuisisi atau ekstraksi bahan mentah. Sebagai contoh, Komisi Eropa mencatat bahwa rantai suplai makanan dimulai pada fase produksi pangan pertanian.

Lateks dikumpulkan dari pohon karet yang disadap

Rantai pasok pada umumnya dimulai dengan pembelian atau penarikan bahan mentah. Misalnya, Komisi Eropa menyatakan bahwa rantai pasok pangan dimulai dari sektor pertanian pangan.

Laporan perubahan yang mempengaruhi perdagangan global tahun 2022 mencatat bahwa peningkatan pasokan bahan mentah adalah salah satu tujuan utama perusahaan untuk menyesuaikan rantai pasokannya.

Dalam studi tahun 2022 yang dilakukan SAP yang mensurvei 400 pemimpin rantai pasokan dan logistik yang berbasis di AS, 44% responden mengatakan kurangnya sumber daya adalah penyebab masalah rantai pasokan. Perkiraan untuk tahun 2023 menunjukkan bahwa 50% responden memperkirakan rantai pasokan akan terganggu karena terbatasnya ketersediaan bahan mentah di Amerika Serikat.

Pasar bahan mentah

Pasar komoditas dipengaruhi oleh, antara lain, perilaku konsumen, ketidakpastian rantai pasokan, gangguan manufaktur, dan peraturan. Hal ini membuat pasar real estat tidak stabil dan sulit untuk dioptimalkan dan dikelola. Perusahaan mungkin kesulitan merespons fluktuasi bahan baku karena kurangnya pemahaman terhadap permintaan pasar, kurangnya atau kurangnya visibilitas terhadap rantai pasokan mereka, dan lambatnya perubahan harga bahan.

Pengolahan bahan baku

Keramik

Keramik Berasal dari seluruh dunia, namun diketahui banyak hal yang ditemukan pada masa Revolusi Neolitikum. Hal ini penting karena merupakan cara bagi para petani awal untuk menyimpan dan mengangkut kelebihan barang. Kebanyakan panci dan wajan terbuat dari tanah liat, namun masyarakat Neolitik juga membangun tempat pembakaran untuk membakar bahan ini guna menghilangkan sebagian besar air, sehingga menciptakan sesuatu yang sangat tahan lama dan kuat. Jika tidak ada tanah liat di lembah Tigris dan Efrat di Teluk, masyarakat di daerah tersebut tidak akan mampu membuat oven seperti itu. Tungku ini menyediakan metalurgi pasca Zaman Perunggu dan Besi kepada orang-orang yang tinggal di sini.

Metalik

Banyak bahan baku logam yang digunakan dalam industri harus diolah sebelum digunakan. Bijih logam pertama kali diproses dengan kombinasi penghancuran, pemanggangan, pemisahan magnetik, peleburan dan pencucian untuk keperluan industri. Manufaktur melebur bijih menjadi logam yang dapat dicampur dengan bahan lain untuk meningkatkan sifat tertentu. Besi adalah salah satu logam yang paling umum ditemukan di seluruh dunia dan bersama dengan nikel, menyumbang lebih dari 35% sumber daya bumi dalam dan luar negeri. Besi yang pertama kali digunakan pada 4000 SM disebut besi meteorik dan ditemukan di permukaan bumi. Besi jenis ini berasal dari meteorit yang jatuh ke bumi sebelum manusia ada, dan sangat langka. Jenis ini berbeda dengan besi terestrial kebanyakan. Karena besi jauh lebih dalam di dalam bumi daripada yang mampu digali manusia pada saat itu. Kandungan nikel pada besi meteorik membuatnya tidak perlu dipanaskan, namun bisa ditempa menjadi perkakas dan senjata.

Bijih besi

Tambang Bijih Besi Vyasanakere di Karnataka, India

Bijih besi ditemukan dalam berbagai bentuk dan dari berbagai sumber. Bentuk besi yang paling umum saat ini adalah hematit dan magnetit. Besi ditemukan di seluruh dunia, tetapi satu juta ton cadangannya digunakan untuk keperluan industri. Lima pembeli baja terbesar adalah Australia, Brasil, Afrika Selatan, Kanada, dan Ukraina. Salah satu sumber utama zat besi adalah besi rawa. Bogwort adalah bintil seukuran kacang polong yang terbentuk di bawah rawa di kaki pegunungan.

Konflik bahan baku

Fenomena yang disebut dengan “Penyakit Belanda” terjadi di daerah yang bahan bakunya melimpah dan pembangunan ekonominya rendah. “Kutukan sumber daya”, terjadi ketika perekonomian suatu negara sangat bergantung pada ekspor dalam bentuk pemerintahan. Negara perwakilannya adalah Republik Demokratik Kongo.

Disadur dari: en.wikipedia.org

 

Selengkapnya
Raw material (bahan baku)

Supply Chain Management

Pengertian dan Hukum Permintaan (Demand)

Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 18 Februari 2025


Permintaan

Permintaan atau demand adalah sebuah konsep penting dalam ilmu ekonomi, menggambarkan hubungan yang tepat antara harga dan kuantitas yang ingin dibeli konsumen. Grafik berbentuk kurva demand menunjukkan bagaimana perubahan jumlah yang diminta berhubungan dengan perubahan harga suatu barang atau jasa. Setiap titik pada kurva demand menunjukkan jumlah yang diminta konsumen pada tingkat harga tertentu.

Demand tidak hanya mencerminkan order, tetapi juga berperan sebagai faktor yang mempengaruhi seberapa banyak konsumen bersedia membeli. Karena konsumen peka terhadap hubungan antara harga dan jumlah yang mereka inginkan, fungsi permintaan berubah ketika harga berubah. Pengaruh tindakan permintaan juga dapat dilihat pada tingkat ekonomi, yaitu mempengaruhi pasokan dan harga barang atau jasa.

Pentingnya penerapan teori demand dapat dilihat dari dampaknya terhadap strategi perusahaan. Perusahaan menyesuaikan harga dan outputnya berdasarkan tingkat permintaan. Dalam situasi permintaan tinggi, perusahaan berusaha meningkatkan produksi atau menurunkan harga untuk memenuhi permintaan pasar. Di sisi lain, jika permintaan rendah, perusahaan mungkin memutuskan untuk mengurangi produksi atau menaikkan harga untuk menjaga keseimbangan.

Demand tidak hanya mempengaruhi pelaku usaha, akan tetapi juga memainkan peran penting dalam membentuk perilaku konsumen. Konsumen yang selalu sadar harga dan kuantitas akan memilih produk atau jasa yang memenuhi kebutuhannya dengan harga yang bersaing.

Pentingnya demand juga dapat dilihat dari dampaknya terhadap semua perubahan ekonomi. Perubahan demand dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti perubahan ekonomi, demografi, teknologi dan politik. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan harga dan produksi, yang akan berkontribusi pada pertumbuhan pasar yang berkelanjutan.

Secara keseluruhan, konsep demand bukan hanya sebuah konsep ekonomi; Sebaliknya, hal ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap strategi perusahaan, perilaku konsumen, dan dampak perubahan ekonomi secara keseluruhan. Sebagai bagian penting dari persamaan permintaan, perilaku konsumen merupakan faktor kunci dalam menentukan seberapa baik suatu produk atau jasa akan diterima di pasar. Keputusan penetapan harga dan output suatu perusahaan dipengaruhi oleh tingkat permintaan saat ini. Permintaan yang tinggi memaksa perusahaan untuk meningkatkan produksi atau menyesuaikan harga untuk memenuhi permintaan pasar, sedangkan permintaan yang rendah menyebabkan penyesuaian seperti pengurangan produksi atau kenaikan harga. Pemahaman mendalam terhadap dinamika permintaan merupakan kunci strategis untuk merespons perubahan yang akan terus terjadi dalam lingkungan perekonomian yang dinamis.

Memahami demand dalam konteks strategi perusahaan memainkan peran penting dalam pengambilan kebijakan dan manajemen. Perusahaan yang sepenuhnya memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan kemungkinan besar akan berupaya meningkatkan produk atau layanannya. Selain itu, pemahaman yang baik tentang demand membantu suatu perusahaan mengurangi resiko kelebihan atau kekurangan persediaan, yang mempengaruhi keseimbangan keuangan dan kinerja secara keseluruhan. Strategi perusahaan yang cerdas dan responsif terhadap permintaan mencakup bidang-bidang seperti penetapan harga yang cerdas, perencanaan yang efisien, dan product development yang memenuhi kebutuhan pelanggan.

Pada tingkat makro, banyak perubahan ekonomi yang didorong oleh kekuatan permintaan pasar. Perubahan kebutuhan konsumen, pergeseran demografi, dan bahkan kemajuan teknologi dapat mengubah keseluruhan sistem perekonomian. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi dan peraturan pemerintah didasarkan pada analisis permintaan untuk memahami tren dan perubahan perilaku konsumen. Dengan kata lain, pemahaman mendalam tentang konsep permintaan membuka pintu bagi pengambilan keputusan yang tepat dan kemampuan mengelola tantangan yang ditimbulkan oleh dinamika perekonomian global.

Demand

Demand adalah proses membeli atau meminta sesuatu atau barang berdasarkan harga dan waktu. Demand mengacu pada kebutuhan konsumen akan barang dan jasa yang ingin mereka puaskan. Dan kemungkinan permintaan konsumen terhadap barang dan jasa tidak terbatas.

Hukum Demand

Hukum permintaan berbunyi:

Semakin tinggi harga suatu barang/jasa, semakin rendah demand terhadap barang/jasa tersebut. Sebaliknya, semakin rendah harga suatu barang/jasa, maka semakin besar pula demand terhadap barang/jasatersebut.

Hukum demand didasarkan pada asumsi ceteris paribus. Artinya ketika kondisi dan faktor selain harga (yang dianggap tetap) tidak berubah, maka berlaku hukum permintaan.

Faktor-Faktor yang memengaruhi tingkat permintaan (demand)

  • Harga barang substitusi (pengganti)

Harga barang dan jasa (substitusi) dipengaruhi oleh jumlah barang dan jasa yang diminta. Ketika biaya penggantian lebih murah, orang akan beralih ke penggantian. Namun jika harga barang substitusi naik, masyarakat akan tetap menggunakan barang asli. Misalnya kaos oblong sebagai pengganti jaket. Apabila harga kaos lebih murah dibandingkan dengan kaos yang ada dipasaran maka permintaan terhadap kaos lebih besar dibandingkan dengan permintaan kaos.

  • Harga barang komplementer (pelengkap)

Penambahan juga dapat mempengaruhi permintaan barang/jasa. Misalnya untuk sepeda motor, bahan bakarnya adalah bensin. Ketika harga bensin naik, keinginan masyarakat untuk membeli sepeda motor berkurang dan sebaliknya.

  • Jumlah Pendapatan

Besarnya pendapatan pribadi menentukan permintaan barang dan jasa. Semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula permintaan terhadap barang dan jasa. Sebaliknya, ketika pendapatan Anda turun, kemampuan Anda dalam membeli barang pun ikut menurun. Akibatnya jumlah barang berkurang. Misalnya pendapatan penjualan Ibu Tia pada minggu pertama sebesar Rp 200.000,00 hanya untuk membeli 20 kg kopi. Namun pada minggu ke dua ratus transaksi Rp 400.000,00 Ibu Tia dapat membeli 40 kg kopi.

  • Selera konsumen

Selera konsumen terhadap suatu barang dan jasa mempengaruhi jumlah barang yang diminta. Ketika selera konsumen terhadap suatu produk meningkat, maka permintaan terhadap produk tersebut juga meningkat. Misalnya saja saat ini banyak orang yang mencari ponsel dengan fitur musik dan gaming. Permintaan ponsel dan game akan meningkat karena kuatnya minat konsumen terhadap produk tersebut.

  • Intensitas kebutuhan konsumen

Intensitas permintaan konsumen mempengaruhi kuantitas barang yang diminta. Kebutuhan yang tidak terpuaskan akan suatu barang atau jasa akan mengurangi kebutuhan seseorang akan barang atau jasa tersebut. Sebaliknya, jika kebutuhan terhadap suatu produk atau jasa sangat mendesak, maka keinginan masyarakat terhadap produk atau jasa tersebut akan semakin meningkat. Misalnya, seiring dengan meningkatnya curah hujan, permintaan akan jas hujan juga meningkat. Bahkan, meski harga jas hujan Rp 15.000,00, namun konsumen rela membeli jas hujan hingga Rp 25.000,00.

  • Perkiraan harga pada masa depan

Jika konsumen mengantisipasi kenaikan harga, mereka akan meningkatkan penjualan produk karena takut akan harga yang lebih tinggi. Di sisi lain, konsumen melaporkan bahwa ketika harga turun, mereka mengurangi jumlah produk yang mereka beli. Misalnya, kenaikan harga bahan bakar diduga menyebabkan banyak konsumen mengantri di SPBU (SPBU) untuk mendapatkan lebih banyak bensin atau solar.

  • Jumlah penduduk

Pertumbuhan penduduk mempengaruhi jumlah barang yang dibutuhkan. Semakin bertambahnya jumlah penduduk suatu daerah maka permintaan terhadap suatu barang pun semakin meningkat.

Disadur dari: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Pengertian dan Hukum Permintaan (Demand)

Supply Chain Management

Pengertian dan Sejarah Material Requirement Planning

Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 18 Februari 2025


Material Requirement Planning

Material Requirement Planning (MRP) adalah sistem terintegrasi yang dirancang untuk merencanakan, mengatur, dan mengelola inventaris dalam konteks proses manufaktur. Sebagian besar implementasi MRP didasarkan pada software khusus, meskipun dapat diterapkan secara manual jika diperlukan. MRP bertujuan untuk mencapai tiga tujuan utama secara bersamaan:

Pertama, menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi dan memastikan produk siap dikirim ke pelanggan pada waktu yang tepat. Kedua, kami menjaga tingkat bahan dan produk pada tingkat terbaik, dengan prinsip menghindari penumpukan yang tidak perlu di gudang dan menjaga efisiensi.

Terakhir, MRP berfungsi sebagai alat untuk merencanakan produksi, menetapkan jadwal pengiriman, dan mengendalikan pengadaan, memberikan landasan yang kuat untuk manajemen dan pengambilan keputusan yang efisien dalam lingkungan manufaktur. Oleh karena itu, MRP menjadi faktor penting dalam mencapai target produksi yang efisien dan responsif terhadap kebutuhan pasar.

Sejarah MRP

Sebelum munculnya perencanaan material (MRP) dan dominasi komputer di industri, metode reorder point (ROP) dan reorder quantity (ROQ) telah lama digunakan, seperti economic order quantity (EOQ), di bidang manufaktur dan manajemen persediaan. MRP pertama kali dikembangkan pada awal tahun 1950an oleh Rolls-Royce dan General Electric untuk kebutuhan perusahaan mereka, namun tidak ada yang dikomersialkan. Sejarah MRP kembali berubah ketika Joseph Orlicky mengembangkan MRP sebagai respon terhadap program manufaktur Toyota pada tahun 1964, kemudian Black and Decker yang dipimpin oleh Dick Alban menerapkannya pada tahun yang sama.

Buku Orlicky "Material Requirement Planning" pada tahun 1975 merupakan tonggak sejarah dalam pengembangan MRP dan memperkenalkan konsep baru untuk manufaktur dan manajemen inventaris. Pada tahun yang sama, MRP diadopsi oleh 700 perusahaan, dan pada tahun 1981, jumlah tersebut meningkat pesat menjadi 8.000.

Pada tahun 1983, Oliver Whyte membawa MRP lebih jauh dengan mengubahnya menjadi Manufacturing Resource Planning (MRP II). Pada tahun 1980an, MRP II dikembangkan, awalnya oleh Joe Orlicky, bersama dengan fungsi lain seperti penjadwalan induk, perencanaan kapasitas kasar, perencanaan kebutuhan kapasitas, dan perencanaan penjualan dan operasi (SandOP). Pada tahun 1989, sekitar sepertiga industri komputer AS menggunakan MRP II, yang bernilai sekitar $1,2 miliar. Inovasi-inovasi ini menyoroti peran MRP dan evolusinya sebagai alat penting untuk meningkatkan efisiensi dan pengendalian produksi di berbagai industri.

Ruang lingkup MRP di bidang manufaktur

Perbedaan permintaan dependent dengan permintaan independen

Permintaan dalam industri manufaktur secara garis besar dapat dibagi menjadi permintaan independen dan permintaan dependen. Permintaan spesifik muncul dari faktor-faktor di luar pabrik atau sistem produksi, sedangkan permintaan mengacu pada komponen-komponen yang menjadi sandaran permintaan produk akhir. Bill of Materials (BOM) memainkan peran penting dalam menghubungkan produk akhir, aplikasi spesifik, dengan komponen-komponennya, aplikasi dependen. Dalam konteks ini, sistem Perencanaan Manajemen Material (MRP) adalah alat yang mengambil masukan dari bill of material.

Fungsi dasar sistem MRP adalah manajemen persediaan, pemrosesan bill of material, dan perencanaan proyek. MRP membantu organisasi mempertahankan inventory level sambil merencanakan aktivitas produksi, penjualan, dan pengiriman. Dalam kehidupan nyata, perusahaan manufaktur menghadapi tantangan terkait keinginan pelanggan untuk mendapatkan produk lebih cepat dari yang dibutuhkan untuk produksi. Oleh karena itu, tingkat perencanaan tertentu sangat penting untuk memenuhi harapan pelanggan.

Organisasi manufaktur harus mengatasi tantangan sehari-hari seperti mengelola jenis dan kuantitas bahan yang dibeli, merencanakan produksi, dan memastikan ketersediaan produk untuk memenuhi permintaan pelanggan saat ini dan calon pelanggan dengan biaya serendah mungkin. Kesalahan dalam hal ini dapat berdampak buruk bagi perusahaan, antara lain ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontrak, pemborosan uang dalam penjualan aset, dan tertundanya dimulainya produksi.

MRP menjadi alat penting untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ke depan. MRP dapat diterapkan pada subperakitan internal dan barang yang dibeli dari pemasok eksternal. Penting untuk dicatat bahwa MRP ditentukan oleh kelangkaan persediaan, bukan biaya. Sistem bekerja memesan bahan dan waktu agar tidak kehabisan barang dengan memperhatikan aturan kuantitas setiap barang dan memesan pada waktu terbaik.

Saat kita menerapkan perencanaan kebutuhan material (MRP), perhatian diberikan pada banyak data untuk memastikan keberhasilan sistem. Pertama, data terkait barang akhir atau produk yang diproduksi menjadi data primer dan disebut sebagai tingkat "0" dari permintaan khusus atau bill of material (BOM). Informasi lain yang perlu dipertimbangkan adalah jumlah yang dibutuhkan pada suatu waktu, waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan, waktu penyimpanan bahan, dan catatan status persediaan (termasuk barang yang ada dan dipesan dari pemasok).

Data bill of material juga berisi informasi tentang suku cadang dan subkomponen yang diperlukan untuk pembuatan setiap produk. Data perencanaan juga penting, termasuk batasan dan pedoman produksi, seperti perutean, standar tenaga kerja dan teknik, standar kualitas dan pengujian, perintah penarikan/kerja, prosedur ukuran lot, tingkat penarikan, dan fasilitas lainnya.

Dua output utama sistem MRP adalah "Jadwal Produksi Pilihan" dan "Jadwal Penjualan Pilihan". Versi awal menunjukkan tanggal mulai dan selesai minimum untuk setiap aktivitas konstruksi dan BOM yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan Rencana Produksi Induk (MPS). Output kedua menunjukkan tanggal penerimaan barang yang dibeli dan tanggal pesanan pembelian atau total tanggal pengiriman pesanan untuk dimasukkan dalam jadwal produksi.

Pesan dan laporan yang dibuat antara lain pesanan pembelian kepada supplier, pengaturan notifikasi yang memerlukan pembatalan, penambahan, penundaan atau percepatan pesanan sebelumnya. Meskipun MRP menawarkan banyak manfaat, MRP juga dapat menimbulkan beberapa tantangan. Integritas data sangat penting, dan kesalahan dalam data inventory, tagihan raw material, atau jadwal produksi induk dapat memberikan hasil yang tidak efektif. Sistem ini juga memiliki pertimbangan yang perlu diperhatikan, seperti waktu produksi dan pertimbangan keterbatasan daya.

Sistem MRP juga dapat menghadapi masalah ketika desain produk berubah dan diproduksi di lokasi yang berbeda. Oleh karena itu, integrasi dengan sistem lain seperti Enterprise Resource Planning (ERP) sangat penting untuk mengelola inventaris dan kebutuhan pabrik. Terlepas dari kekurangannya, MRP II dan ERP menawarkan solusi komprehensif yang mempertimbangkan aspek energi, keuangan, dan aspek lain dari operasi perusahaan.

Disadur dari: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Pengertian dan Sejarah Material Requirement Planning
page 1 of 6 Next Last »