Sumber Daya Alam

Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Tantangan Pengelolaan Risiko di Era Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah menjadi ancaman utama bagi keberlanjutan pembangunan global. Laporan khusus IPCC “Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development” (Bab 7, Climate Change and Land, 2019) membedah keterkaitan antara risiko iklim, pengelolaan lahan, dan pengambilan keputusan dalam pembangunan berkelanjutan. Artikel ini sangat relevan di tengah meningkatnya bencana iklim, krisis pangan, dan tekanan pada sistem ekologi serta sosial. Dengan pendekatan multidisiplin, laporan ini mengulas risiko-risiko utama, studi kasus nyata, serta strategi kebijakan yang dapat diadopsi oleh negara-negara di dunia.

Risiko Perubahan Iklim terhadap Sistem Lahan dan Manusia

Dampak Fisik dan Sosial yang Semakin Kompleks

Peningkatan suhu permukaan global diproyeksikan menyebabkan berbagai dampak serius, seperti degradasi permafrost, erosi pantai, peningkatan kebakaran hutan, penurunan hasil panen di daerah lintang rendah, dan berkurangnya ketersediaan air. Dampak-dampak ini telah diamati di seluruh dunia dan berpotensi menjadi tidak dapat dipulihkan jika suhu terus meningkat1.

Beberapa temuan kunci:

  • Penurunan hasil panen: Di wilayah tropis, termasuk Sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Tengah-Selatan, hasil panen diperkirakan turun drastis akibat suhu tinggi dan kekeringan.
  • Ketersediaan air: Wilayah kering menghadapi risiko kekurangan air yang lebih besar, terutama jika suhu global naik lebih dari 1,5°C.
  • Kesehatan ekosistem dan manusia: Kerusakan ekosistem, migrasi, hingga konflik sosial dipicu oleh ketidakstabilan pangan dan lahan.

Risiko Komposit dan Ketimpangan Wilayah

Risiko tidak tersebar merata. Negara-negara tropis dan berkembang lebih rentan terhadap penurunan hasil panen dan krisis air, sementara wilayah lintang tinggi mungkin mendapat manfaat jangka pendek dari pemanasan global. Namun, wilayah Mediterania, Korea, Gobi, dan Amerika Serikat bagian barat juga menghadapi ancaman kekeringan, badai debu, dan kebakaran hutan1.

Studi Kasus: Proyeksi Risiko Berdasarkan Skenario Pembangunan

Laporan IPCC menggunakan dua skenario utama, SSP1 (pembangunan berkelanjutan) dan SSP3 (pembangunan tidak merata), untuk memproyeksikan risiko di masa depan:

  • SSP1 (Skenario Berkelanjutan):
    • Hanya sekitar 3% populasi daerah kering yang akan terpapar stres air pada suhu 3°C di tahun 2050.
    • Sekitar 2 juta orang diperkirakan terpapar perubahan hasil panen pada suhu 1,5°C.
  • SSP3 (Skenario Tidak Merata):
    • 20% populasi daerah kering sudah terpapar stres air pada suhu 1,5°C, meningkat jadi 24% pada suhu 3°C.
    • Lebih dari 20 juta orang terpapar perubahan hasil panen pada suhu 1,5°C, melonjak ke 854 juta orang pada suhu 3°C1.

Dampak sosialnya sangat besar: kemiskinan meningkat, migrasi terpaksa, dan konflik agraria makin sering terjadi.

Risiko dari Respons Adaptasi dan Mitigasi

Solusi yang Bisa Menjadi Pedang Bermata Dua

Adaptasi dan mitigasi berbasis lahan, seperti perluasan bioenergi dan teknologi penangkapan karbon (BECCS), berpotensi menimbulkan risiko baru. Jika diterapkan secara masif, solusi ini dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk pangan dan mengancam ekosistem. Dalam skenario SSP1, penggunaan lahan untuk bioenergi hingga 4 juta km² masih dianggap berkelanjutan. Namun, pada SSP3, skala ini justru menimbulkan risiko tinggi bagi ketahanan pangan dan ekosistem1.

Studi Kasus: Bioenergi dan Ketahanan Pangan

  • Bioenergi dan BECCS: Dalam skenario pembangunan berkelanjutan (SSP1), penggunaan lahan untuk bioenergi hingga 4 juta km² masih dapat diterima. Namun, dalam skenario pembangunan tidak merata (SSP3), risiko terhadap ketahanan pangan dan ekosistem meningkat drastis bahkan pada skala yang sama1.
  • Dampak pada harga pangan: Kebijakan domestik yang bertujuan melindungi masyarakat dari lonjakan harga pangan akibat krisis iklim justru memperparah kemiskinan global pada pertengahan 2000-an, menunjukkan pentingnya koordinasi kebijakan global1.

Kebijakan dan Instrumen Pengelolaan Risiko

Kebijakan Multi-Level dan Inklusif

Laporan IPCC menekankan perlunya kebijakan lintas sektor dan multi-level, dari lokal hingga nasional, yang terintegrasi dan responsif terhadap perubahan iklim. Instrumen kebijakan yang efektif meliputi:

  • Regulasi penggunaan lahan: Pengaturan tata guna lahan yang ketat dapat mengurangi trade-off antara mitigasi iklim dan ketahanan pangan.
  • Pengurangan ketergantungan pada biomassa tradisional: Transisi ke energi bersih dan efisien sangat penting untuk mengurangi emisi dan tekanan pada lahan.
  • Perlindungan sosial dan ketahanan pangan: Jaringan pengaman sosial dan kebijakan pangan harus disesuaikan dengan risiko iklim yang semakin dinamis.

Studi Kasus: New Zealand Emissions Trading Scheme (ETS)

Salah satu contoh nyata adalah kebijakan ETS di Selandia Baru yang memasukkan sektor pertanian ke dalam skema perdagangan emisi. Kebijakan ini mendorong inovasi dan efisiensi dalam produksi pertanian sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, tantangan tetap ada, seperti perlunya insentif tambahan dan perlindungan bagi petani kecil agar tidak terdampak negatif1.

Studi Kasus: REDD+ di Amazon dan India

Program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Amazon dan India menjadi contoh instrumen konservasi hutan yang efektif menurunkan emisi sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Namun, keberhasilan program sangat tergantung pada tata kelola yang transparan, partisipasi masyarakat, dan perlindungan hak atas tanah1.

Pengambilan Keputusan Adaptif dan Inklusif

Mengelola Ketidakpastian dan Risiko

Pengambilan keputusan dalam pengelolaan risiko iklim harus adaptif, berbasis data, dan inklusif. Pendekatan adaptif memungkinkan kebijakan diubah sesuai perkembangan risiko dan pengetahuan terbaru. Keterlibatan masyarakat lokal, perempuan, dan kelompok rentan sangat penting agar kebijakan lebih adil dan efektif1.

Studi Kasus: Konflik Bioenergi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati

Pembangunan energi terbarukan seperti bioenergi, tenaga air, dan solar skala besar dapat berdampak negatif pada keanekaragaman hayati dan ekosistem air. Misalnya, pembangunan bendungan kecil secara berkelompok dapat mengganggu konektivitas sungai dan habitat ikan, sementara ladang solar dan turbin angin skala besar bisa mengancam spesies langka dan merusak habitat alami1.

Peran Pengetahuan Lokal dan Adat

Pengetahuan lokal dan adat terbukti efektif dalam mengelola risiko iklim dan lahan. Kolaborasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan komunitas lokal dapat menghasilkan solusi inovatif dan berkelanjutan. Misalnya, praktik pertanian tradisional di beberapa wilayah Afrika dan Asia mampu meningkatkan ketahanan pangan dan konservasi lahan1.

Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri

Kritik dan Nilai Tambah

Laporan IPCC ini lebih komprehensif daripada banyak studi sebelumnya karena mengintegrasikan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan tata kelola dalam satu kerangka analisis. Banyak penelitian terdahulu hanya fokus pada aspek mitigasi teknis atau adaptasi ekologis, tanpa memperhatikan dampak sosial dan distribusi risiko. Pendekatan IPCC yang holistik ini sangat penting di era krisis iklim yang multidimensi.

Relevansi Industri dan Praktik Bisnis

Sektor agribisnis, energi, dan keuangan kini semakin memperhitungkan risiko iklim dalam strategi bisnis mereka. Misalnya, perusahaan multinasional mulai mengadopsi standar ESG (Environmental, Social, Governance) dan melakukan investasi pada rantai pasok yang lebih tahan iklim. Industri energi juga mulai mempertimbangkan dampak ekologis dari proyek-proyek energi terbarukan dan mencari solusi yang lebih ramah lingkungan dan sosial.

Rekomendasi: Menuju Tata Kelola Risiko yang Berkelanjutan

Langkah Strategis untuk Pemerintah dan Pelaku Industri

  • Integrasi kebijakan lintas sektor: Pemerintah perlu mengintegrasikan kebijakan iklim, pangan, energi, dan konservasi lahan secara terpadu.
  • Peningkatan kapasitas adaptasi lokal: Investasi pada pendidikan, teknologi ramah lingkungan, dan perlindungan sosial sangat penting untuk memperkuat ketahanan masyarakat.
  • Penguatan tata kelola dan partisipasi: Keterlibatan masyarakat lokal, pelaku usaha, dan kelompok rentan harus menjadi prioritas dalam setiap pengambilan keputusan.
  • Pengelolaan trade-off: Setiap kebijakan mitigasi dan adaptasi harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ketahanan pangan, ekosistem, dan kesejahteraan sosial.

Pentingnya Aksi Dini dan Kolaborasi Global

Menunda aksi mitigasi di sektor lain dan membebankan beban pada sektor lahan justru meningkatkan risiko kegagalan mitigasi dan memperburuk dampak perubahan iklim bagi generasi mendatang. Prioritas utama harus pada dekarbonisasi dini dan minimalisasi ketergantungan pada teknologi penyerapan karbon yang masih belum matang1.

Kesimpulan: Pengelolaan Risiko sebagai Kunci Pembangunan Berkelanjutan

Bab 7 laporan IPCC ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko perubahan iklim dan pengambilan keputusan yang adaptif adalah kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Risiko iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada sistem sosial, ekonomi, dan politik. Kebijakan yang inklusif, berbasis data, dan responsif terhadap perubahan sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan bagi semua.

Dengan mengangkat studi kasus nyata dan data kuantitatif, laporan ini memberikan panduan praktis bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim. Integrasi antara sains, kebijakan, dan kearifan lokal menjadi fondasi utama menuju masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Sumber artikel asli:

Hurlbert, M., J. Krishnaswamy, E. Davin, F.X. Johnson, C.F. Mena, J. Morton, S. Myeong, D. Viner, K. Warner, A. Wreford, S. Zakieldeen, Z. Zommers, 2019: Risk Management and Decision making in Relation to Sustainable Development. In: Climate Change and Land: an IPCC special report on climate change, desertification, land degradation, sustainable land management, food security, and greenhouse gas fluxes in terrestrial ecosystems [P.R. Shukla, J. Skea, E. Calvo Buendia, V. Masson-Delmotte, H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, P. Zhai, R. Slade, S. Connors, R. van Diemen, M. Ferrat, E. Haughey, S. Luz, S. Neogi, M. Pathak, J. Petzold, J. Portugal Pereira, P. Vyas, E. Huntley, K. Kissick, M. Belkacemi, J. Malley, (eds.)]. In press.

Selengkapnya
Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development

Sumber Daya Alam

Memahami Critical Institutionalism: Resensi Mendalam dan Studi Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Critical Institutionalism dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dalam era perubahan lingkungan dan sosial yang cepat, pengelolaan sumber daya alam bersama (common-pool resources/CPR) menjadi semakin kompleks. Paper “Furthering critical institutionalism” karya Frances Cleaver dan Jessica de Koning (2015) menawarkan perspektif mutakhir dalam memahami dinamika institusi yang mengatur hubungan manusia dengan sumber daya alam. Critical institutionalism (CI) hadir sebagai pendekatan yang menyoroti kerumitan, sejarah, kekuasaan, dan keadilan sosial dalam pembentukan serta perubahan institusi.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana kegagalan banyak intervensi pengelolaan sumber daya seringkali berakar pada pemahaman institusi yang terlalu sederhana. Dengan menekankan konsep “institutional bricolage”, paper ini mengajak pembaca untuk melihat institusi bukan sebagai struktur baku, melainkan hasil rakitan kreatif manusia yang terus berubah.

Critical Institutionalism: Konsep, Tema, dan Perbedaannya dengan Mainstream Institutionalism

Mengapa Critical Institutionalism Penting?

Pendekatan institusional klasik, seperti yang dipopulerkan Elinor Ostrom, menekankan desain aturan yang efisien dan rasionalitas aktor. Namun, CI mengkritik asumsi-asumsi ini dengan menyoroti:

  • Kompleksitas dan ketidakpastian dalam interaksi sosial-ekologis
  • Peran sejarah, budaya, dan kekuasaan dalam membentuk institusi
  • Pentingnya keadilan sosial, bukan sekadar efisiensi ekonomi
  • Dinamika antara formal-informal, tradisional-modern, serta skala lokal-global

CI menolak pandangan bahwa institusi dapat “dirancang” secara sempurna, dan justru menekankan proses adaptasi, negosiasi, dan improvisasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep Kunci: Institutional Bricolage

“Institutional bricolage” adalah proses di mana individu dan kelompok secara sadar maupun tidak sadar merakit, mengadaptasi, dan menggabungkan aturan, norma, serta praktik dari berbagai sumber untuk mengelola sumber daya. Proses ini:

  • Menggabungkan elemen lama dan baru, formal dan informal
  • Menyesuaikan institusi dengan kebutuhan, identitas, dan legitimasi sosial setempat
  • Menghasilkan institusi yang multifungsi, seringkali melampaui tujuan awalnya

Sebagai contoh, kelompok simpan pinjam perempuan di Afrika Timur yang juga memungut tarif air, atau asosiasi pengelola hutan yang berfungsi sebagai jaring pengaman sosial saat ada anggota sakit.

Pluralitas, Hibriditas, dan Skala

CI menekankan pluralitas (keragaman) institusi dan hibriditas (campuran) antara berbagai aturan dan praktik. Pengelolaan sumber daya tidak hanya terjadi di satu skala (lokal), melainkan dipengaruhi oleh kebijakan nasional, global, dan bahkan sejarah kolonial. Proses “leakage of meaning” menggambarkan bagaimana makna dan praktik institusi bisa berubah saat berpindah skala atau konteks.

Studi Kasus: Institutional Bricolage dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

1. Pengelolaan Hutan di Indonesia: Adaptasi dan Resistensi

Di banyak wilayah Indonesia, pengelolaan hutan adat menjadi contoh nyata institutional bricolage. Ketika program pemerintah memperkenalkan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), masyarakat tidak serta-merta meninggalkan aturan adat. Sebaliknya, mereka menggabungkan struktur LMDH dengan pranata adat seperti “lembaga kerapatan adat” atau “tokoh tua”. Proses ini melibatkan:

  • Aggregation: Mencampur aturan formal (LMDH) dengan norma adat, misalnya dalam pembagian hasil kayu.
  • Alteration: Menyesuaikan aturan baru agar sesuai dengan logika lokal, misalnya mengatur waktu panen atau ritual syukuran.
  • Articulation: Menegaskan identitas adat sebagai bentuk resistensi terhadap aturan yang dianggap tidak adil.

Data dari beberapa studi menunjukkan, lebih dari 60% LMDH di Jawa mengadopsi pranata adat dalam praktik sehari-hari, meski secara formal tunduk pada aturan Perhutani.

2. Pengelolaan Irigasi di Afrika Timur: Multifungsi dan Legitimasi

Cleaver (2002) mencontohkan kelompok simpan pinjam perempuan di Tanzania yang awalnya didirikan untuk membantu keuangan anggota, namun kemudian juga mengambil peran dalam pemungutan tarif air dan pemeliharaan saluran irigasi. Legitimasi kelompok ini tidak hanya berasal dari aturan formal, tetapi juga dari kepercayaan sosial dan kedekatan antar anggota.

Angka-angka menunjukkan, kelompok seperti ini mampu meningkatkan tingkat pembayaran tarif air hingga 80%, jauh di atas rata-rata kelompok yang hanya mengandalkan aturan formal.

3. Community Forest Management di Ghana: Fungsi Ganda dan Adaptasi

De Koning (2011) mengamati asosiasi pengelola hutan di Ghana yang awalnya dibentuk untuk konservasi, namun juga berfungsi sebagai lembaga sosial yang membantu anggota saat sakit atau menghadapi bencana. Ini memperlihatkan bagaimana institusi yang “dirakit” bisa berkembang menjadi multifungsi dan lebih adaptif terhadap kebutuhan nyata masyarakat.

Kritik terhadap Pendekatan Mainstream dan Nilai Tambah Critical Institutionalism

Keterbatasan Teori CPR Konvensional

Pendekatan klasik sering gagal memahami:

  • Heterogenitas komunitas: Anggapan bahwa masyarakat lokal homogen sering menyesatkan, padahal ada perbedaan kelas, gender, dan kekuasaan.
  • Politik kebijakan: Banyak intervensi gagal karena mengabaikan dinamika kekuasaan lokal dan nasional.
  • Makna sosial: Aturan formal sering tidak berjalan jika tidak sesuai dengan nilai dan identitas lokal.

Keunggulan Critical Institutionalism

CI menawarkan lensa yang lebih tajam untuk:

  • Memahami kegagalan dan keberhasilan program pengelolaan sumber daya bersama
  • Mengidentifikasi peran aktor “bricoleur” (perakit institusi) dalam inovasi sosial
  • Menyoroti pentingnya legitimasi sosial dan keadilan dalam keberlanjutan institusi

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan

Pengelolaan Sumber Daya di Era ESG dan SDGs

Industri kini semakin menekankan aspek ESG (Environmental, Social, Governance) dan SDGs (Sustainable Development Goals). CI sangat relevan karena:

  • Membantu perusahaan memahami konteks sosial dan politik dalam proyek CSR atau konservasi
  • Menghindari kegagalan akibat “copy-paste” institusi dari luar tanpa adaptasi lokal
  • Mendorong partisipasi bermakna dan keadilan dalam proyek-proyek pembangunan

Contoh Nyata: REDD+ dan Konservasi Hutan

Program REDD+ sering gagal jika hanya mengandalkan aturan formal tanpa memperhatikan pranata lokal. Studi di Kalimantan dan Papua menunjukkan, adaptasi aturan REDD+ dengan norma adat (misal, pembagian manfaat berbasis marga atau suku) mampu meningkatkan partisipasi dan mengurangi konflik.

Opini dan Rekomendasi

Mengapa Critical Institutionalism Layak Diadopsi?

  • Lebih Realistis: CI mengakui bahwa perubahan sosial tidak linier dan institusi selalu dalam proses menjadi, bukan sekadar hasil akhir.
  • Lebih Adil: Dengan menekankan keadilan sosial, CI membantu memastikan manfaat pengelolaan sumber daya tidak hanya dinikmati elit.
  • Lebih Adaptif: CI mendorong inovasi sosial dan adaptasi berkelanjutan, kunci menghadapi perubahan iklim dan tekanan global.

Saran untuk Peneliti dan Praktisi

  • Libatkan aktor lokal sebagai bricoleur: Dorong inovasi dari bawah, bukan sekadar top-down.
  • Pahami sejarah dan makna institusi: Jangan hanya meniru model luar, tetapi adaptasi dengan konteks lokal.
  • Perkuat legitimasi sosial: Pastikan aturan baru diterima dan dianggap sah oleh masyarakat.

Kesimpulan: Menuju Pengelolaan Sumber Daya yang Lebih Kontekstual dan Berkeadilan

Paper Cleaver dan de Koning (2015) memberikan kontribusi penting dalam studi pengelolaan sumber daya alam. Dengan critical institutionalism dan konsep institutional bricolage, mereka menawarkan cara pandang baru yang lebih kaya, adaptif, dan adil. Studi kasus dari berbagai belahan dunia memperlihatkan bahwa keberhasilan pengelolaan sumber daya sangat bergantung pada kemampuan masyarakat merakit, menyesuaikan, dan melegitimasi institusi sesuai kebutuhan dan identitas mereka.

Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, pendekatan ini menjadi panduan penting untuk menghindari jebakan desain institusi yang kaku dan tidak kontekstual. Dengan mengadopsi critical institutionalism, kita dapat membangun tata kelola sumber daya yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan responsif terhadap tantangan zaman.

Sumber artikel asli:

Cleaver, F. & de Koning, J. (2015). Furthering critical institutionalism. International Journal of the Commons, 9(1), 1–18.

Selengkapnya
Memahami Critical Institutionalism: Resensi Mendalam dan Studi Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam
« First Previous page 3 of 3