Sumber Daya Alam

Memahami Critical Institutionalism: Resensi Mendalam dan Studi Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Critical Institutionalism dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dalam era perubahan lingkungan dan sosial yang cepat, pengelolaan sumber daya alam bersama (common-pool resources/CPR) menjadi semakin kompleks. Paper “Furthering critical institutionalism” karya Frances Cleaver dan Jessica de Koning (2015) menawarkan perspektif mutakhir dalam memahami dinamika institusi yang mengatur hubungan manusia dengan sumber daya alam. Critical institutionalism (CI) hadir sebagai pendekatan yang menyoroti kerumitan, sejarah, kekuasaan, dan keadilan sosial dalam pembentukan serta perubahan institusi.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana kegagalan banyak intervensi pengelolaan sumber daya seringkali berakar pada pemahaman institusi yang terlalu sederhana. Dengan menekankan konsep “institutional bricolage”, paper ini mengajak pembaca untuk melihat institusi bukan sebagai struktur baku, melainkan hasil rakitan kreatif manusia yang terus berubah.

Critical Institutionalism: Konsep, Tema, dan Perbedaannya dengan Mainstream Institutionalism

Mengapa Critical Institutionalism Penting?

Pendekatan institusional klasik, seperti yang dipopulerkan Elinor Ostrom, menekankan desain aturan yang efisien dan rasionalitas aktor. Namun, CI mengkritik asumsi-asumsi ini dengan menyoroti:

  • Kompleksitas dan ketidakpastian dalam interaksi sosial-ekologis
  • Peran sejarah, budaya, dan kekuasaan dalam membentuk institusi
  • Pentingnya keadilan sosial, bukan sekadar efisiensi ekonomi
  • Dinamika antara formal-informal, tradisional-modern, serta skala lokal-global

CI menolak pandangan bahwa institusi dapat “dirancang” secara sempurna, dan justru menekankan proses adaptasi, negosiasi, dan improvisasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep Kunci: Institutional Bricolage

“Institutional bricolage” adalah proses di mana individu dan kelompok secara sadar maupun tidak sadar merakit, mengadaptasi, dan menggabungkan aturan, norma, serta praktik dari berbagai sumber untuk mengelola sumber daya. Proses ini:

  • Menggabungkan elemen lama dan baru, formal dan informal
  • Menyesuaikan institusi dengan kebutuhan, identitas, dan legitimasi sosial setempat
  • Menghasilkan institusi yang multifungsi, seringkali melampaui tujuan awalnya

Sebagai contoh, kelompok simpan pinjam perempuan di Afrika Timur yang juga memungut tarif air, atau asosiasi pengelola hutan yang berfungsi sebagai jaring pengaman sosial saat ada anggota sakit.

Pluralitas, Hibriditas, dan Skala

CI menekankan pluralitas (keragaman) institusi dan hibriditas (campuran) antara berbagai aturan dan praktik. Pengelolaan sumber daya tidak hanya terjadi di satu skala (lokal), melainkan dipengaruhi oleh kebijakan nasional, global, dan bahkan sejarah kolonial. Proses “leakage of meaning” menggambarkan bagaimana makna dan praktik institusi bisa berubah saat berpindah skala atau konteks.

Studi Kasus: Institutional Bricolage dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

1. Pengelolaan Hutan di Indonesia: Adaptasi dan Resistensi

Di banyak wilayah Indonesia, pengelolaan hutan adat menjadi contoh nyata institutional bricolage. Ketika program pemerintah memperkenalkan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), masyarakat tidak serta-merta meninggalkan aturan adat. Sebaliknya, mereka menggabungkan struktur LMDH dengan pranata adat seperti “lembaga kerapatan adat” atau “tokoh tua”. Proses ini melibatkan:

  • Aggregation: Mencampur aturan formal (LMDH) dengan norma adat, misalnya dalam pembagian hasil kayu.
  • Alteration: Menyesuaikan aturan baru agar sesuai dengan logika lokal, misalnya mengatur waktu panen atau ritual syukuran.
  • Articulation: Menegaskan identitas adat sebagai bentuk resistensi terhadap aturan yang dianggap tidak adil.

Data dari beberapa studi menunjukkan, lebih dari 60% LMDH di Jawa mengadopsi pranata adat dalam praktik sehari-hari, meski secara formal tunduk pada aturan Perhutani.

2. Pengelolaan Irigasi di Afrika Timur: Multifungsi dan Legitimasi

Cleaver (2002) mencontohkan kelompok simpan pinjam perempuan di Tanzania yang awalnya didirikan untuk membantu keuangan anggota, namun kemudian juga mengambil peran dalam pemungutan tarif air dan pemeliharaan saluran irigasi. Legitimasi kelompok ini tidak hanya berasal dari aturan formal, tetapi juga dari kepercayaan sosial dan kedekatan antar anggota.

Angka-angka menunjukkan, kelompok seperti ini mampu meningkatkan tingkat pembayaran tarif air hingga 80%, jauh di atas rata-rata kelompok yang hanya mengandalkan aturan formal.

3. Community Forest Management di Ghana: Fungsi Ganda dan Adaptasi

De Koning (2011) mengamati asosiasi pengelola hutan di Ghana yang awalnya dibentuk untuk konservasi, namun juga berfungsi sebagai lembaga sosial yang membantu anggota saat sakit atau menghadapi bencana. Ini memperlihatkan bagaimana institusi yang “dirakit” bisa berkembang menjadi multifungsi dan lebih adaptif terhadap kebutuhan nyata masyarakat.

Kritik terhadap Pendekatan Mainstream dan Nilai Tambah Critical Institutionalism

Keterbatasan Teori CPR Konvensional

Pendekatan klasik sering gagal memahami:

  • Heterogenitas komunitas: Anggapan bahwa masyarakat lokal homogen sering menyesatkan, padahal ada perbedaan kelas, gender, dan kekuasaan.
  • Politik kebijakan: Banyak intervensi gagal karena mengabaikan dinamika kekuasaan lokal dan nasional.
  • Makna sosial: Aturan formal sering tidak berjalan jika tidak sesuai dengan nilai dan identitas lokal.

Keunggulan Critical Institutionalism

CI menawarkan lensa yang lebih tajam untuk:

  • Memahami kegagalan dan keberhasilan program pengelolaan sumber daya bersama
  • Mengidentifikasi peran aktor “bricoleur” (perakit institusi) dalam inovasi sosial
  • Menyoroti pentingnya legitimasi sosial dan keadilan dalam keberlanjutan institusi

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan

Pengelolaan Sumber Daya di Era ESG dan SDGs

Industri kini semakin menekankan aspek ESG (Environmental, Social, Governance) dan SDGs (Sustainable Development Goals). CI sangat relevan karena:

  • Membantu perusahaan memahami konteks sosial dan politik dalam proyek CSR atau konservasi
  • Menghindari kegagalan akibat “copy-paste” institusi dari luar tanpa adaptasi lokal
  • Mendorong partisipasi bermakna dan keadilan dalam proyek-proyek pembangunan

Contoh Nyata: REDD+ dan Konservasi Hutan

Program REDD+ sering gagal jika hanya mengandalkan aturan formal tanpa memperhatikan pranata lokal. Studi di Kalimantan dan Papua menunjukkan, adaptasi aturan REDD+ dengan norma adat (misal, pembagian manfaat berbasis marga atau suku) mampu meningkatkan partisipasi dan mengurangi konflik.

Opini dan Rekomendasi

Mengapa Critical Institutionalism Layak Diadopsi?

  • Lebih Realistis: CI mengakui bahwa perubahan sosial tidak linier dan institusi selalu dalam proses menjadi, bukan sekadar hasil akhir.
  • Lebih Adil: Dengan menekankan keadilan sosial, CI membantu memastikan manfaat pengelolaan sumber daya tidak hanya dinikmati elit.
  • Lebih Adaptif: CI mendorong inovasi sosial dan adaptasi berkelanjutan, kunci menghadapi perubahan iklim dan tekanan global.

Saran untuk Peneliti dan Praktisi

  • Libatkan aktor lokal sebagai bricoleur: Dorong inovasi dari bawah, bukan sekadar top-down.
  • Pahami sejarah dan makna institusi: Jangan hanya meniru model luar, tetapi adaptasi dengan konteks lokal.
  • Perkuat legitimasi sosial: Pastikan aturan baru diterima dan dianggap sah oleh masyarakat.

Kesimpulan: Menuju Pengelolaan Sumber Daya yang Lebih Kontekstual dan Berkeadilan

Paper Cleaver dan de Koning (2015) memberikan kontribusi penting dalam studi pengelolaan sumber daya alam. Dengan critical institutionalism dan konsep institutional bricolage, mereka menawarkan cara pandang baru yang lebih kaya, adaptif, dan adil. Studi kasus dari berbagai belahan dunia memperlihatkan bahwa keberhasilan pengelolaan sumber daya sangat bergantung pada kemampuan masyarakat merakit, menyesuaikan, dan melegitimasi institusi sesuai kebutuhan dan identitas mereka.

Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, pendekatan ini menjadi panduan penting untuk menghindari jebakan desain institusi yang kaku dan tidak kontekstual. Dengan mengadopsi critical institutionalism, kita dapat membangun tata kelola sumber daya yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan responsif terhadap tantangan zaman.

Sumber artikel asli:

Cleaver, F. & de Koning, J. (2015). Furthering critical institutionalism. International Journal of the Commons, 9(1), 1–18.

Selengkapnya
Memahami Critical Institutionalism: Resensi Mendalam dan Studi Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam
« First Previous page 3 of 3