Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Alam dan Risiko Sistemik bagi Ekonomi Global
Dunia kini menghadapi krisis alam yang belum pernah terjadi sebelumnya, ditandai oleh perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi yang saling terkait. Paper IMF ini menyoroti bagaimana ekonomi global sepenuhnya “embedded in nature”—tertanam dan tergantung pada stabilitas ekosistem—namun justru mendorong degradasi alam yang mengancam keberlanjutan ekonomi dan stabilitas keuangan. Dengan kerangka konseptual baru, analisis empiris, dan rekomendasi kebijakan konkret, paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, regulator keuangan, dan pelaku industri yang ingin memahami serta mengelola risiko terkait alam.
Kerangka Konseptual: Double Materiality dan Saluran Risiko Alam
Penulis mengembangkan kerangka “double materiality” yang menegaskan dua arah hubungan antara ekonomi dan alam:
Kerangka ini menyoroti bahwa risiko alam dapat bereskalasi dari level lokal menjadi ancaman sistemik global melalui saluran makroekonomi (pertumbuhan, inflasi, utang, perdagangan) dan saluran keuangan (kredit, pasar, likuiditas, asuransi, operasional).
Krisis Alam: Angka, Fakta, dan Batasan Planet
Studi Kasus & Analisis Empiris: Risiko Transisi dan Fisik di Sektor Keuangan
Eksposur Bank Global terhadap Risiko Alam
Risiko Fisik: Kesiapan Perusahaan Menghadapi Degradasi Alam
Saluran Dampak Makroekonomi: Dari Produktivitas hingga Stabilitas Fiskal
Studi Kebijakan: Inisiatif Global dan Praktik Negara
Tantangan Utama: Data, Model, dan Kesenjangan Kapasitas
Rekomendasi Kebijakan: Menuju Ekonomi dan Keuangan Ramah Alam
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Paper ini memperkuat temuan Dasgupta Review (2021) dan IPBES (2019) tentang keterbatasan substitusi modal alam, pentingnya tipping point, dan perlunya kerangka ekonomi baru yang mengakui keterbatasan planet. Namun, kontribusi utama paper ini adalah pemetaan saluran risiko alam ke sistem keuangan global secara empiris—misal, angka 38% eksposur pinjaman bank ke sektor subsidi merusak dan 44% ke area konservasi—yang sebelumnya jarang dibahas secara kuantitatif.
Dibanding studi sebelumnya, paper ini juga menyoroti kebutuhan mendesak akan disclosure, taksonomi, dan kebijakan lintas sektor yang terintegrasi antara alam dan iklim. Penekanan pada “double materiality” dan “nature Minsky moment” menambah perspektif baru dalam diskusi risiko sistemik global.
Implikasi Industri dan Tren Masa Depan
Mengelola Risiko Alam untuk Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
Paper IMF ini menegaskan bahwa ekonomi dan keuangan global tidak akan stabil tanpa perlindungan alam. Risiko alam kini telah menjadi sumber risiko sistemik, setara dengan risiko iklim, yang menuntut perubahan paradigma kebijakan ekonomi dan keuangan. Tanpa aksi cepat dan terkoordinasi—mulai dari penghapusan subsidi merusak, disclosure risiko, hingga penguatan taksonomi dan data—dunia berisiko menghadapi krisis ekonomi dan keuangan akibat keruntuhan ekosistem. Integrasi kebijakan alam dan iklim, inovasi keuangan, dan kolaborasi global adalah kunci menuju masa depan ekonomi yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber Artikel
Charlotte Gardes-Landolfini, William Oman, Jamie Fraser, Mariza Montes de Oca Leon, and Bella Yao. Embedded in Nature: Nature-Related Economic and Financial Risks and Policy Considerations. IMF Staff Climate Notes NOTE/2024/002, October 2024.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Hak Alam dan Pergeseran Paradigma Hukum Lingkungan
Dalam beberapa dekade terakhir, krisis lingkungan global—mulai dari penurunan keanekaragaman hayati hingga degradasi ekosistem—memaksa masyarakat dunia mencari pendekatan baru dalam perlindungan alam. Salah satu inovasi paling radikal adalah pengakuan Rights of Nature (RoN), yaitu pemberian hak hukum kepada entitas alam seperti sungai, hutan, atau ekosistem. Paper karya Viktoria Kahui, Claire W. Armstrong, dan Margrethe Aanesen ini menawarkan analisis komparatif mendalam atas 14 studi kasus RoN di berbagai belahan dunia, menyoroti pola kemunculan, desain, serta tantangan implementasi yang dihadapi gerakan ini1.
Dari Antroposentris ke Ekosentris
Tradisi hukum lingkungan selama ini cenderung antroposentris—alam dilindungi demi kesejahteraan manusia. Namun, RoN menawarkan paradigma ekosentris, di mana alam diakui memiliki nilai intrinsik dan kepentingan hukum tersendiri. Gagasan ini berakar pada pemikiran Indigenous Peoples (misalnya Māori di Selandia Baru) dan diperkuat oleh pemikiran filsuf hukum seperti Christopher Stone yang pada 1972 mengusulkan agar “benda alam” dapat menjadi subjek hukum1.
Sejak Ekuador menjadi negara pertama yang memasukkan RoN dalam konstitusinya pada 2008, inisiatif serupa bermunculan di Bolivia, Amerika Serikat, Meksiko, Selandia Baru, Kolombia, Australia, Kanada, India, Bangladesh, dan Spanyol. Data terbaru menunjukkan hingga 2021 terdapat 409 inisiatif RoN di 39 negara, dengan 80% di antaranya berada di Amerika1.
Analisis Komparatif Deskriptif
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif komparatif untuk menelaah 14 kasus RoN yang dipilih berdasarkan literatur dan signifikansi global. Analisis difokuskan pada dua aspek utama:
Kasus-kasus ini kemudian dikategorikan dalam dua kelompok besar: public guardianship (hak diadvokasi semua warga) dan appointed guardianship (hak diwakili entitas atau individu tertentu, disebut juga Environmental Legal Personhood/ELP, dengan subkategori indirect, direct, dan living ELPs)12.
Temuan Utama: Pola Kemunculan dan Desain RoN
Pola Kemunculan: Perlawanan atas Kegagalan Tata Kelola Konvensional
Sebagian besar kasus RoN muncul sebagai respons terhadap kegagalan tata kelola lingkungan konvensional dalam menghadapi tekanan ekonomi—baik urbanisasi, pertanian, maupun industri. Di hampir semua kasus, peran komunitas lokal dan masyarakat adat sangat menonjol, baik sebagai penggerak utama maupun penjaga nilai-nilai ekosentris. Contoh nyata:
Ragam Desain dan Tantangan Implementasi
Public Guardianship
Appointed Guardianship/ELP
Living ELPs
Analisis Kritis: Keunggulan, Tantangan, dan Perbandingan
Keunggulan RoN
Tantangan dan Kritik
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini memperkuat temuan sebelumnya bahwa RoN seringkali lahir dari kegagalan tata kelola konvensional dan didorong oleh advokasi akar rumput serta komunitas adat. Namun, paper ini menambah dimensi baru dengan menyoroti pentingnya detail desain kelembagaan—khususnya soal liability dan mekanisme perwalian—sebagai kunci keberhasilan implementasi RoN12.
Relevansi dengan Tren Global dan Industri
RoN sangat relevan dengan tren global menuju earth system law dan environmental rule of law, serta upaya pencapaian target SDGs terkait keanekaragaman hayati dan tata kelola air. Di sektor industri, RoN menuntut perusahaan untuk mempertimbangkan eksternalitas lingkungan secara lebih serius, bahkan membuka kemungkinan gugatan hukum atas nama entitas alam. Di Indonesia, wacana RoN mulai berkembang, misalnya dalam advokasi perlindungan Sungai Citarum dan Danau Toba, meski belum diakui secara hukum formal.
Studi Kasus Inspiratif: Whanganui River, Selandia Baru
Salah satu model paling sukses adalah pengakuan Whanganui River sebagai entitas hukum di Selandia Baru. Setelah lebih dari 150 tahun konflik antara Māori dan pemerintah kolonial, pada 2017 sungai ini diakui sebagai “legal person” dengan guardian gabungan (perwakilan Māori dan pemerintah). Hak dan kewajiban diatur jelas, didukung advisory group, dan pendanaan dari negara. Model ini menjadi rujukan global karena mampu mengakomodasi nilai adat, memperkuat perlindungan ekosistem, dan meminimalisir konflik liability1.
Implikasi Kebijakan: Rekomendasi untuk Masa Depan
Berdasarkan temuan paper, berikut beberapa rekomendasi untuk pengembangan RoN yang efektif:
Menuju Tata Kelola Alam yang Lebih Adil dan Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa Rights of Nature bukan sekadar inovasi hukum, tetapi juga refleksi perubahan nilai dan paradigma dalam hubungan manusia-alam. Keberhasilan RoN sangat ditentukan oleh desain kelembagaan yang jelas, keterlibatan komunitas lokal, dan keberanian politik untuk menempatkan hak alam setara dengan hak manusia dan korporasi. Di tengah ancaman krisis lingkungan global, RoN menawarkan harapan baru untuk tata kelola alam yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif.
Sumber Artikel
Kahui, V., Armstrong, C.W., & Aanesen, M. (2024). Comparative analysis of Rights of Nature (RoN) case studies worldwide: Features of emergence and design. Ecological Economics, 221, 108193. Available online 6 April 2024. 0921-8009/© 2024 The Authors. Published by Elsevier B.V.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025
Ketika Kota Butuh Alam untuk Bertahan
Perubahan iklim telah mengubah wajah kota. Hujan deras yang tiba-tiba, banjir kilat, dan sistem drainase yang kolaps kini menjadi kenyataan rutin di banyak wilayah urban. Kota-kota seperti Malmö, Gävle, dan Jönköping di Swedia telah mengalami kerugian miliaran krona akibat badai ekstrem dalam satu dekade terakhir. Untuk merespons tantangan ini, pendekatan tradisional berbasis infrastruktur abu-abu (seperti beton dan pipa) mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, muncullah konsep yang lebih adaptif: solusi berbasis alam (Nature-based Solutions/NbS).
Laporan terbaru dari Stockholm Environment Institute (SEI) berjudul “Nature-based Solutions in Municipal Stormwater Management in Sweden” (2025), membedah bagaimana kota-kota di Swedia mengadopsi NbS untuk mengelola limpasan air hujan secara berkelanjutan. Penelitian ini menggali data biaya, manfaat tambahan (co-benefits), serta tantangan institusional dari penerapan NbS di 38 kota Swedia.
Apa Itu Solusi Berbasis Alam (NbS)?
NbS adalah pendekatan yang menggunakan proses alami untuk mengatasi tantangan lingkungan dan sosial. Dalam konteks air hujan, NbS mencakup:
Alih-alih hanya memindahkan air secepat mungkin ke saluran pembuangan, NbS bertujuan menyerap, menahan, menyaring, dan memanfaatkan air secara lokal sambil mempercantik kota dan meningkatkan kualitas hidup.
Mengapa Swedia Memilih NbS?
Swedia memiliki target ambisius. Pada 2025, semua kota yang rawan dampak limpasan air hujan harus menyusun peta risiko, merancang rencana aksi, dan mulai mengimplementasikan sistem pengelolaan air hujan yang berkelanjutan.
Dukungan kebijakan ini memicu eksplorasi NbS sebagai solusi. Penelitian SEI menunjukkan bahwa 29 dari 38 kota besar di Swedia telah memiliki dokumen strategi pengelolaan air hujan, meskipun istilah “NbS” jarang disebutkan secara eksplisit. Sebaliknya, istilah seperti "sistem terbuka", "berkelanjutan", atau "multifungsi" lebih sering digunakan.
Manfaat Ganda: NbS Bukan Sekadar Drainase
Salah satu keunggulan utama NbS adalah kemampuannya memberikan manfaat tambahan (co-benefits). Dalam laporan SEI, manfaat tersebut mencakup:
Sebagai contoh, rain garden dengan tanaman bunga dapat menyerap limpasan air sekaligus memperindah lingkungan dan menyediakan habitat bagi serangga penyerbuk.
Namun, studi SEI juga mengungkap bahwa hanya 25% dokumen kota yang menyebutkan manfaat pengurangan panas dan kurang dari 10% yang menyebutkan manfaat penyerapan karbon atau pengurangan energi. Artinya, masih banyak potensi NbS yang belum tergarap secara optimal dalam perencanaan kota.
Biaya: Apakah NbS Mahal?
Salah satu kekhawatiran umum terhadap NbS adalah biaya. SEI melakukan pencarian data biaya pembangunan dan pemeliharaan NbS di situs pemerintah kota dan database nasional seperti VISS. Hasilnya cukup beragam:
Yang menarik, kota Malmö menunjukkan bahwa solusi NbS di atas tanah (open communal storage) bisa 50% lebih murah dibandingkan solusi drainase bawah tanah tradisional. Kota Kopenhagen memperkirakan bahwa strategi NbS untuk menghadapi hujan badai bisa menghemat 9 miliar DKK dibandingkan pendekatan konvensional.
Studi Kasus: Kota yang Menerapkan NbS secara Progresif
1. Eskilstuna
Mengembangkan sistem referensi biaya NbS, termasuk kolam retensi dengan biaya estimasi 1000 SEK/m² dan biaya O&M 58 SEK/m²/tahun. Ini menjadi acuan dalam perencanaan ke depan.
2. Helsingborg dan Landskrona
Menyusun dokumen pembanding antara solusi NbS terbuka dengan sistem drainase bawah tanah. Hasilnya menunjukkan efisiensi biaya NbS jauh lebih tinggi, terutama pada pengembangan kawasan baru.
3. Malmö
Menggunakan data dari Kopenhagen sebagai pembanding, menunjukkan bahwa biaya kerusakan akibat banjir (600 juta SEK pada 2014) lebih mahal daripada investasi preventif menggunakan NbS.
Tantangan: Dari Hukum Sampai Koordinasi
Laporan SEI menyoroti bahwa tantangan terbesar bukan teknologi, tetapi institusi dan koordinasi. Di Swedia, sebagian besar lahan perkotaan dimiliki oleh pihak swasta. Pemerintah kota tidak memiliki kewenangan penuh untuk menerapkan NbS di lahan privat.
Selain itu, pembagian tanggung jawab antar dinas, khususnya dalam tahap perencanaan, desain, konstruksi, dan pemeliharaan, masih belum seragam. Hanya sebagian kota seperti Malmö dan Ystad yang sudah memiliki matrix pembagian tugas lintas tahap dan departemen.
Kebijakan dan Dukungan Regulasi: Sudah Cukupkah?
NbS mendapat dukungan dari berbagai kebijakan nasional dan internasional:
Namun, laporan SEI mencatat bahwa kebijakan saat ini belum sepenuhnya menghitung nilai tambah dari NbS, khususnya dalam konteks pengajuan anggaran atau investasi. Co-benefits sering kali tidak masuk dalam penilaian cost-benefit resmi, sehingga menghambat implementasi.
Rekomendasi SEI: Menuju Kota yang Lebih Tangguh
Laporan ini merekomendasikan delapan langkah strategis:
Kritik dan Refleksi: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
Laporan ini sangat komprehensif, tetapi tetap memiliki keterbatasan:
Ke depan, integrasi NbS perlu diperkuat dengan studi kasus yang mengevaluasi dampak jangka panjang, termasuk pada pengurangan beban pengolahan air limbah, kesehatan masyarakat, dan nilai properti.
Menyulam Kota dan Alam dalam Satu Narasi
Pengelolaan air hujan bukan lagi sekadar urusan teknis, tetapi bagian dari narasi besar tentang keberlanjutan kota. NbS membuka peluang untuk menyatukan fungsi ekologis dan sosial dalam satu rancangan urban yang adaptif dan resilien.
Swedia menunjukkan bahwa dengan kebijakan yang mendukung, data yang transparan, dan kolaborasi multi-aktor, kota masa depan bisa menjadi tempat yang lebih hijau, lebih aman, dan lebih menyenangkan untuk ditinggali. Kini saatnya kota-kota lain—termasuk di Indonesia—belajar dari praktik baik ini dan mulai menenun kembali relasi harmonis antara air, alam, dan manusia.
Sumber Artikel:
Gunnarsson, M., & Barquet, K. (2025). Nature-based Solutions in Municipal Stormwater Management in Sweden: Costs, Co-benefits, Responsibilities and Policies. SEI Report. DOI: https://doi.org/10.51414/sei2025.002
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Artikel karya Siri Eriksen dan kolega ini mengulas secara kritis dampak intervensi adaptasi perubahan iklim yang didanai internasional terhadap kerentanan di negara berkembang. Penelitian ini menyoroti bahwa meskipun tujuan utama intervensi adalah mengurangi kerentanan, kenyataannya beberapa intervensi justru memperkuat, mendistribusikan ulang, atau menciptakan sumber kerentanan baru. Artikel ini memberikan analisis mendalam berdasarkan 34 studi empiris dari berbagai negara berkembang, dengan fokus pada mekanisme maladaptasi yang muncul serta rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dan praktik adaptasi.
Studi Kasus dan Temuan Kunci
Artikel ini mengidentifikasi tiga pola utama dampak negatif dari intervensi adaptasi:
Angka dan Data Penting
Analisis Mekanisme Maladaptasi
Artikel mengidentifikasi empat mekanisme utama yang menyebabkan intervensi adaptasi gagal mengurangi kerentanan secara adil:
Opini dan Kritik
Artikel ini memberikan kritik tajam terhadap pendekatan adaptasi yang terlalu teknis dan birokratis, yang mengabaikan dimensi sosial-politik dan keadilan. Penulis mengajak untuk menggeser paradigma adaptasi dari proyek yang hanya mengubah praktik masyarakat marginal menjadi proses pembelajaran yang melibatkan organisasi pelaksana dan masyarakat marginal secara setara. Pendekatan ini menuntut refleksi kritis terhadap asumsi dasar pembangunan dan adaptasi, serta keterbukaan terhadap pluralisme pengetahuan dan nilai.
Namun, artikel ini juga mengakui bahwa intervensi adaptasi tetap penting sebagai arena pembelajaran dan eksperimen untuk membentuk jalur adaptasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kritik utama adalah bahwa tanpa perubahan mendasar dalam cara adaptasi dirancang, dibiayai, dan dievaluasi, intervensi berisiko memperburuk kerentanan.
Hubungan dengan Tren Global dan Industri
Artikel ini sangat relevan dengan tren global dalam literatur dan praktik adaptasi yang semakin menekankan pentingnya keadilan sosial, partisipasi inklusif, dan transformasi struktural dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan transformasi adaptasi yang diusulkan selaras dengan gerakan global untuk pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan kelompok marginal.
Dalam konteks industri pembangunan dan bantuan internasional, artikel ini menyoroti perlunya reformasi dalam mekanisme pendanaan dan tata kelola adaptasi agar lebih responsif terhadap konteks lokal dan lebih kritis terhadap asumsi pembangunan dominan. Hal ini mendorong integrasi pengetahuan lokal dan global, serta peningkatan kapasitas organisasi pelaksana untuk belajar dan beradaptasi secara berkelanjutan.
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan
Artikel ini memberikan wawasan kritis dan komprehensif mengenai bagaimana intervensi adaptasi perubahan iklim di negara berkembang sering kali gagal mengurangi kerentanan secara adil dan malah dapat memperburuknya. Dengan menggabungkan studi kasus empiris dan analisis mekanisme maladaptasi, penulis menekankan perlunya perubahan paradigma dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi adaptasi. Pendekatan yang lebih inklusif, reflektif, dan kritis terhadap konteks sosial-politik menjadi kunci untuk mencapai adaptasi yang benar-benar efektif dan berkeadilan.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Eriksen, S., Schipper, E.L.F., Scoville-Simonds, M., Vincent, K., Adam, H.N., Brooks, N., Harding, B., Khatri, D., Lenaerts, L., Liverman, D., Mills-Novoa, M., Mosberg, M., Movik, S., Muok, B., Nightingale, A., Ojha, H., Sygna, L., Taylor, M., Vogel, C., West, J.J. (2021). Adaptation interventions and their effect on vulnerability in developing countries: Help, hindrance or irrelevance? World Development, 141, 105383.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Adaptasi Pengelolaan Air Penting?
Perubahan iklim saat ini secara nyata berdampak pada siklus air global, termasuk perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Organisasi pengelola air—baik pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah—berperan sentral dalam mengelola sumber daya air yang vital bagi masyarakat dan ekosistem. Namun, kemampuan organisasi-organisasi ini untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim masih menjadi tantangan besar. Paper berjudul “Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers” oleh Adani Azhoni, Simon Jude, dan Ian Holman (2018) mengkaji secara komprehensif faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghambat adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim, dengan fokus pada konteks global dan khususnya negara berkembang.
Kerangka Teoritis: Kapasitas Adaptif dan Hambatan Adaptasi
Kapasitas Adaptif Organisasi
Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem atau organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, memanfaatkan peluang, atau merespons konsekuensi negatifnya. Dalam konteks organisasi pengelola air, kapasitas ini mencakup:
Penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada konsensus umum tentang dimensi kapasitas adaptif, evaluasi kapasitas ini sangat kompleks karena sifatnya yang dinamis, kontekstual, dan tersembunyi (latent). Misalnya, indikator kuantitatif sering kali gagal menangkap nuansa lokal dan perubahan waktu yang cepat1.
Hambatan Adaptasi
Hambatan adaptasi adalah faktor-faktor yang menghalangi atau memperlambat kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi efektif. Hambatan ini dapat bersifat:
Paper ini menegaskan bahwa hambatan-hambatan ini sering saling terkait dan sulit diatasi tanpa pendekatan yang holistik dan kontekstual1.
Studi Kasus dan Temuan Empiris
Paper ini mengulas berbagai studi empiris dari negara maju dan berkembang, menyoroti bagaimana faktor-faktor di atas berperan dalam konteks nyata:
Strategi Adaptasi yang Diterapkan
Paper ini mengklasifikasikan strategi adaptasi dalam pengelolaan air menjadi beberapa kategori utama:
Peran Jaringan Antar-Organisasi dan Organisasi Transboundary
Salah satu kontribusi penting paper ini adalah penekanan pada pentingnya jaringan antar-organisasi dan organisasi transboundary sebagai pendorong kapasitas adaptif:
Kritik dan Opini Tambahan
Paper ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas adaptasi organisasi pengelola air, namun terdapat beberapa catatan penting:
Dalam konteks tren global, paper ini relevan dengan peningkatan perhatian pada adaptasi berbasis ekosistem, pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi, dan pentingnya governance multi-level dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan bottom-up yang partisipatif dan penggunaan teknologi informasi terkini (big data, monitoring real-time) menjadi kunci masa depan adaptasi pengelolaan air3.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Paper ini menyimpulkan bahwa adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh kapasitas adaptif internal, hambatan eksternal, dan interaksi antar organisasi. Untuk meningkatkan efektivitas adaptasi, diperlukan:
Dengan demikian, paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, praktisi pengelolaan air, dan peneliti yang ingin memahami tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim dalam sektor air.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Azhoni, A., Jude, S., Holman, I. (2018). Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers. Journal of Hydrology, 559, 736–748.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Tantangan Pengelolaan Risiko di Era Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah menjadi ancaman utama bagi keberlanjutan pembangunan global. Laporan khusus IPCC “Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development” (Bab 7, Climate Change and Land, 2019) membedah keterkaitan antara risiko iklim, pengelolaan lahan, dan pengambilan keputusan dalam pembangunan berkelanjutan. Artikel ini sangat relevan di tengah meningkatnya bencana iklim, krisis pangan, dan tekanan pada sistem ekologi serta sosial. Dengan pendekatan multidisiplin, laporan ini mengulas risiko-risiko utama, studi kasus nyata, serta strategi kebijakan yang dapat diadopsi oleh negara-negara di dunia.
Risiko Perubahan Iklim terhadap Sistem Lahan dan Manusia
Dampak Fisik dan Sosial yang Semakin Kompleks
Peningkatan suhu permukaan global diproyeksikan menyebabkan berbagai dampak serius, seperti degradasi permafrost, erosi pantai, peningkatan kebakaran hutan, penurunan hasil panen di daerah lintang rendah, dan berkurangnya ketersediaan air. Dampak-dampak ini telah diamati di seluruh dunia dan berpotensi menjadi tidak dapat dipulihkan jika suhu terus meningkat1.
Beberapa temuan kunci:
Risiko Komposit dan Ketimpangan Wilayah
Risiko tidak tersebar merata. Negara-negara tropis dan berkembang lebih rentan terhadap penurunan hasil panen dan krisis air, sementara wilayah lintang tinggi mungkin mendapat manfaat jangka pendek dari pemanasan global. Namun, wilayah Mediterania, Korea, Gobi, dan Amerika Serikat bagian barat juga menghadapi ancaman kekeringan, badai debu, dan kebakaran hutan1.
Studi Kasus: Proyeksi Risiko Berdasarkan Skenario Pembangunan
Laporan IPCC menggunakan dua skenario utama, SSP1 (pembangunan berkelanjutan) dan SSP3 (pembangunan tidak merata), untuk memproyeksikan risiko di masa depan:
Dampak sosialnya sangat besar: kemiskinan meningkat, migrasi terpaksa, dan konflik agraria makin sering terjadi.
Risiko dari Respons Adaptasi dan Mitigasi
Solusi yang Bisa Menjadi Pedang Bermata Dua
Adaptasi dan mitigasi berbasis lahan, seperti perluasan bioenergi dan teknologi penangkapan karbon (BECCS), berpotensi menimbulkan risiko baru. Jika diterapkan secara masif, solusi ini dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk pangan dan mengancam ekosistem. Dalam skenario SSP1, penggunaan lahan untuk bioenergi hingga 4 juta km² masih dianggap berkelanjutan. Namun, pada SSP3, skala ini justru menimbulkan risiko tinggi bagi ketahanan pangan dan ekosistem1.
Studi Kasus: Bioenergi dan Ketahanan Pangan
Kebijakan dan Instrumen Pengelolaan Risiko
Kebijakan Multi-Level dan Inklusif
Laporan IPCC menekankan perlunya kebijakan lintas sektor dan multi-level, dari lokal hingga nasional, yang terintegrasi dan responsif terhadap perubahan iklim. Instrumen kebijakan yang efektif meliputi:
Studi Kasus: New Zealand Emissions Trading Scheme (ETS)
Salah satu contoh nyata adalah kebijakan ETS di Selandia Baru yang memasukkan sektor pertanian ke dalam skema perdagangan emisi. Kebijakan ini mendorong inovasi dan efisiensi dalam produksi pertanian sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, tantangan tetap ada, seperti perlunya insentif tambahan dan perlindungan bagi petani kecil agar tidak terdampak negatif1.
Studi Kasus: REDD+ di Amazon dan India
Program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Amazon dan India menjadi contoh instrumen konservasi hutan yang efektif menurunkan emisi sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Namun, keberhasilan program sangat tergantung pada tata kelola yang transparan, partisipasi masyarakat, dan perlindungan hak atas tanah1.
Pengambilan Keputusan Adaptif dan Inklusif
Mengelola Ketidakpastian dan Risiko
Pengambilan keputusan dalam pengelolaan risiko iklim harus adaptif, berbasis data, dan inklusif. Pendekatan adaptif memungkinkan kebijakan diubah sesuai perkembangan risiko dan pengetahuan terbaru. Keterlibatan masyarakat lokal, perempuan, dan kelompok rentan sangat penting agar kebijakan lebih adil dan efektif1.
Studi Kasus: Konflik Bioenergi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati
Pembangunan energi terbarukan seperti bioenergi, tenaga air, dan solar skala besar dapat berdampak negatif pada keanekaragaman hayati dan ekosistem air. Misalnya, pembangunan bendungan kecil secara berkelompok dapat mengganggu konektivitas sungai dan habitat ikan, sementara ladang solar dan turbin angin skala besar bisa mengancam spesies langka dan merusak habitat alami1.
Peran Pengetahuan Lokal dan Adat
Pengetahuan lokal dan adat terbukti efektif dalam mengelola risiko iklim dan lahan. Kolaborasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan komunitas lokal dapat menghasilkan solusi inovatif dan berkelanjutan. Misalnya, praktik pertanian tradisional di beberapa wilayah Afrika dan Asia mampu meningkatkan ketahanan pangan dan konservasi lahan1.
Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri
Kritik dan Nilai Tambah
Laporan IPCC ini lebih komprehensif daripada banyak studi sebelumnya karena mengintegrasikan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan tata kelola dalam satu kerangka analisis. Banyak penelitian terdahulu hanya fokus pada aspek mitigasi teknis atau adaptasi ekologis, tanpa memperhatikan dampak sosial dan distribusi risiko. Pendekatan IPCC yang holistik ini sangat penting di era krisis iklim yang multidimensi.
Relevansi Industri dan Praktik Bisnis
Sektor agribisnis, energi, dan keuangan kini semakin memperhitungkan risiko iklim dalam strategi bisnis mereka. Misalnya, perusahaan multinasional mulai mengadopsi standar ESG (Environmental, Social, Governance) dan melakukan investasi pada rantai pasok yang lebih tahan iklim. Industri energi juga mulai mempertimbangkan dampak ekologis dari proyek-proyek energi terbarukan dan mencari solusi yang lebih ramah lingkungan dan sosial.
Rekomendasi: Menuju Tata Kelola Risiko yang Berkelanjutan
Langkah Strategis untuk Pemerintah dan Pelaku Industri
Pentingnya Aksi Dini dan Kolaborasi Global
Menunda aksi mitigasi di sektor lain dan membebankan beban pada sektor lahan justru meningkatkan risiko kegagalan mitigasi dan memperburuk dampak perubahan iklim bagi generasi mendatang. Prioritas utama harus pada dekarbonisasi dini dan minimalisasi ketergantungan pada teknologi penyerapan karbon yang masih belum matang1.
Kesimpulan: Pengelolaan Risiko sebagai Kunci Pembangunan Berkelanjutan
Bab 7 laporan IPCC ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko perubahan iklim dan pengambilan keputusan yang adaptif adalah kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Risiko iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada sistem sosial, ekonomi, dan politik. Kebijakan yang inklusif, berbasis data, dan responsif terhadap perubahan sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan bagi semua.
Dengan mengangkat studi kasus nyata dan data kuantitatif, laporan ini memberikan panduan praktis bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim. Integrasi antara sains, kebijakan, dan kearifan lokal menjadi fondasi utama menuju masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Sumber artikel asli:
Hurlbert, M., J. Krishnaswamy, E. Davin, F.X. Johnson, C.F. Mena, J. Morton, S. Myeong, D. Viner, K. Warner, A. Wreford, S. Zakieldeen, Z. Zommers, 2019: Risk Management and Decision making in Relation to Sustainable Development. In: Climate Change and Land: an IPCC special report on climate change, desertification, land degradation, sustainable land management, food security, and greenhouse gas fluxes in terrestrial ecosystems [P.R. Shukla, J. Skea, E. Calvo Buendia, V. Masson-Delmotte, H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, P. Zhai, R. Slade, S. Connors, R. van Diemen, M. Ferrat, E. Haughey, S. Luz, S. Neogi, M. Pathak, J. Petzold, J. Portugal Pereira, P. Vyas, E. Huntley, K. Kissick, M. Belkacemi, J. Malley, (eds.)]. In press.