Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Air adalah sumber daya vital yang menopang kehidupan, ekonomi, dan stabilitas sosial. Namun, tekanan terhadap ketersediaan air bersih, polusi, dan bencana terkait air semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk, urbanisasi, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan. Dalam konteks ini, paper “Water Law” karya Niko Soininen, Antti Belinskij, dan Suvi-Tuuli Puharinen (2023) menjadi referensi penting yang mengulas evolusi, keragaman, dan tantangan hukum air di tingkat nasional maupun global. Artikel ini tidak hanya membedah aspek legal formal, tetapi juga membangun jembatan antara hukum, kebijakan, dan tata kelola lintas sektor serta disiplin ilmu.
Definisi dan Ruang Lingkup Hukum Air: Dari Hak hingga Tata Kelola
Apa Itu Hukum Air?
Hukum air didefinisikan sebagai kumpulan aturan yang mengatur penggunaan, perlindungan, dan distribusi sumber daya air tawar. Cakupannya sangat luas, mencakup hak atas air (water rights), perlindungan lingkungan, pengelolaan bencana (banjir, kekeringan), serta pengaturan layanan air dan sanitasi. Hukum air juga mengatur hubungan antara aktor publik dan privat, serta antara negara dalam konteks lintas batas12.
Dua Perspektif Utama: Internal dan Eksternal
Sejarah dan Evolusi Hukum Air: Dari Hammurabi hingga Era Modern
Hukum air memiliki sejarah panjang, mulai dari Kode Hammurabi (1700 SM) yang mengatur pembagian air, hingga hukum Romawi yang memengaruhi Eropa. Awalnya, hukum air lebih banyak berakar pada hukum privat (kontrak, hak milik, ganti rugi), namun sejak abad ke-19, hukum publik berkembang pesat seiring meningkatnya persaingan atas sumber daya air dan kebutuhan perlindungan lingkungan12.
Di era modern, hukum air berkembang menjadi sistem multilevel dan multisektor, menggabungkan hukum nasional, regional, dan internasional. Contohnya, Konvensi PBB tentang Air (1997) dan Water Framework Directive Uni Eropa (2000) yang mengatur penggunaan dan perlindungan air lintas batas serta integrasi dengan hukum lingkungan dan kelautan12.
Tema-tema Sentral Hukum Air: Studi Kasus dan Data
1. Penggunaan dan Perlindungan Air
2. Kerja Sama Lintas Batas
3. Hak Asasi Manusia atas Air
4. Layanan Air dan Sanitasi
5. Hak Alam (Rights of Nature)
6. Keamanan Air (Water Security)
7. Koherensi dan Fragmentasi Hukum
Pendekatan Eksternal: Efektivitas, Legitimasi, dan Inovasi Tata Kelola
Kolaborasi dan Tata Kelola Adaptif
Pendekatan Ekosistem
Legitimasi dan Keadilan
Hukum Air dan Perubahan Iklim
Opini, Kritik, dan Perbandingan
Nilai Tambah Artikel
Kritik dan Keterbatasan
Perbandingan dengan Studi Lain
Relevansi Industri dan Tren Masa Depan
Tren Industri
Peluang dan Tantangan
Kesimpulan dan Rekomendasi
Hukum air adalah bidang multidimensi yang terus berevolusi untuk menjawab tantangan krisis air, perubahan iklim, dan kebutuhan keadilan sosial. Ke depan, dibutuhkan pendekatan yang lebih integratif, adaptif, dan berbasis data, dengan kolaborasi lintas sektor, disiplin, dan negara. Reformasi hukum air harus menempatkan hak asasi manusia, perlindungan ekosistem, dan keadilan sosial sebagai fondasi utama, serta membuka ruang bagi inovasi dan partisipasi masyarakat.
Rekomendasi utama:
Dengan langkah ini, hukum air dapat menjadi instrumen utama untuk memastikan keberlanjutan, keadilan, dan ketahanan air di masa depan.
Sumber Artikel Asli
Niko Soininen, Antti Belinskij, Suvi-Tuuli Puharinen. “Water law.” Cambridge Prisms: Water, 1, e12, 1–9 (2023).
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Hak Alam dalam Era Krisis Ekologi
Di tengah krisis lingkungan, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati, muncul gerakan global yang mendorong pengakuan hak-hak hukum bagi alam—khususnya sungai dan danau. Paper karya Elizabeth Macpherson ini membedah secara komparatif bagaimana Amerika Serikat dan Meksiko merespons tuntutan tersebut melalui inovasi hukum, studi kasus, dan dinamika sosial-politik. Dengan menyoroti kasus Colorado River dan Lake Erie di AS serta eksperimen konstitusional di beberapa negara bagian Meksiko, Macpherson mengajak kita berpikir ulang: apakah pengakuan hak hukum bagi alam benar-benar mampu melindungi ekosistem vital, atau justru menambah kompleksitas baru dalam tata kelola lingkungan?
Latar Belakang: Dari Antroposentrisme ke Ekosentrisme
Sistem hukum modern, khususnya di Barat, selama ini menempatkan manusia sebagai pemilik dan pengelola alam. Alam dipandang sebagai objek yang dapat dieksploitasi demi kemajuan ekonomi. Namun, sejak 1970-an, muncul kritik terhadap paradigma ini. Christopher Stone, melalui esainya “Should Trees Have Standing?”, menantang asumsi dasar hukum: mengapa hanya manusia (atau korporasi) yang bisa menjadi subjek hukum, sementara sungai, hutan, dan spesies lain tidak?
Gerakan hak-hak alam berkembang pesat di Amerika Latin, dipengaruhi kosmologi adat seperti buen vivir (Ekuador) dan sumak kawsay (Bolivia). Negara-negara ini mengadopsi konstitusi yang mengakui hak alam secara eksplisit. Di Selandia Baru, pengakuan status hukum Whanganui River menjadi preseden global, menginspirasi putusan serupa di Kolombia (Atrato River), India (Ganges dan Yamuna), dan kini merambah Amerika Serikat dan Meksiko.
Studi Kasus Amerika Serikat: Antara Inovasi Hukum dan Resistensi Konstitusional
1. Gerakan Hak Alam di AS: Dari Tamaqua ke Lake Erie
AS dikenal dengan tradisi hukum yang kuat, namun juga sangat antroposentris. Meski demikian, sejak 2006, sejumlah kota kecil mulai menerapkan “ordinance” yang mengakui hak hukum ekosistem. Tamaqua Borough di Pennsylvania menjadi pionir dengan melarang pembuangan limbah tambang ke ekosistem lokal, mengakui hak ekosistem untuk “eksis dan berkembang”. Hingga 2020, lebih dari 36 kota dan 100 distrik di Pennsylvania menerapkan ordinansi serupa.
Di Pittsburgh, ordinansi tahun 2010 melarang fracking dan mengakui hak komunitas alami untuk bebas dari polusi. Santa Monica, California, bahkan memasukkan hak alam dalam Sustainable City Plan, menegaskan hak warga atas air bersih, udara bersih, dan lingkungan yang sehat.
2. Kasus Colorado River: Hak Hukum vs. Realitas Politik
Colorado River adalah urat nadi ekonomi dan sosial AS bagian barat, memasok air ke lebih dari 40 juta orang dan bernilai ekonomi US$1,4 triliun. Namun, sungai ini mengalami degradasi parah akibat over-eksploitasi, polusi, dan perubahan iklim. Pada 2017, kelompok Deep Green Resistance mengajukan gugatan ke pengadilan Colorado agar Colorado River diakui sebagai subjek hukum dengan hak untuk “eksis, berkembang, dan beregenerasi”.
Argumen utama: hukum lingkungan yang ada gagal melindungi sungai, sehingga perlu pendekatan baru yang mengakui hak sungai secara langsung. Namun, negara bagian Colorado menolak keras, menuding penggugat tidak memiliki standing (legal standing), dan menegaskan bahwa sungai bukan subjek hukum. Gugatan akhirnya ditarik setelah ancaman sanksi hukum, menandai betapa kuatnya resistensi institusional dan politik terhadap inovasi hukum berbasis hak alam.
3. Lake Erie Bill of Rights: Demokrasi Radikal vs. Kepentingan Industri
Lake Erie, danau terbesar ke-11 di dunia, menopang 12 juta orang dan 17 kota metropolitan di AS dan Kanada. Namun, sejak 1960-an, danau ini mengalami eutrofikasi parah, “dead zones”, dan polusi akibat limbah pertanian dan industri. Pada 2019, warga Toledo, Ohio, menginisiasi “Lake Erie Bill of Rights” (LEBOR), mengakui hak danau untuk eksis dan berkembang, serta memberi hak warga untuk menggugat atas nama danau.
LEBOR disahkan lewat referendum dengan 61% suara. Namun, keesokan harinya, petani lokal menggugat LEBOR, menudingnya inkonstitusional dan mengancam kelangsungan usaha tani. Negara bagian Ohio dan pelaku industri juga melawan, dan akhirnya pengadilan federal membatalkan LEBOR, menyatakan hak hukum danau bertentangan dengan hak konstitusional manusia dan korporasi.
Studi Kasus Meksiko: Eksperimen Konstitusional dan Tantangan Implementasi
1. Konteks Sosial dan Hukum
Meksiko adalah negara federal dengan 120 juta penduduk, namun 43,6% hidup dalam kemiskinan dan akses air bersih masih rendah menurut standar internasional. Sistem air diatur secara kompleks: pemerintah federal, negara bagian, dan kota berbagi kewenangan, sementara hak atas air diakui sebagai hak asasi manusia dalam Konstitusi (Pasal 4).
Namun, realitas di lapangan jauh dari ideal. Data menunjukkan pengambilan air di Meksiko mencapai 1,8 kali tingkat pembaruan alami, sementara polusi dan over-eksploitasi merajalela. Wilayah adat (ejido) sering terpinggirkan, padahal hampir 13% penduduk Meksiko adalah masyarakat adat.
2. Hak Alam dalam Konstitusi Negara Bagian
3. Tantangan Implementasi
Di Meksiko, pengakuan hak alam seringkali bersifat deklaratif. Undang-undang pelaksana belum tersedia, dan institusi pelaksana belum terbentuk. Kompleksitas yurisdiksi antara federal, negara bagian, dan kota memperburuk koordinasi. Di wilayah adat, hak atas air dan tanah sering diabaikan atau direduksi oleh kepentingan privat dan negara.
Analisis Kritis: Kekuatan, Tantangan, dan Pelajaran Global
Kekuatan Paper
Tantangan dan Kritik
Studi Komparatif: Pelajaran dari Global South dan Indigenous Law
Macpherson menyoroti bahwa gerakan hak alam sering dipengaruhi kosmologi adat, yang memandang manusia sebagai bagian dari alam, bukan penguasa. Model Selandia Baru (Whanganui River) dan Kolombia (Atrato River) menempatkan komunitas adat sebagai penjaga dan representasi hukum sungai, dengan mekanisme kolaboratif antara negara dan masyarakat lokal.
Di Amerika Latin, pengakuan hak alam di Ekuador dan Bolivia didorong oleh gerakan sosial dan adat, namun implementasi sering terhambat oleh konflik kepentingan dan lemahnya institusi. Di AS, pengakuan hak alam lebih didorong oleh inisiatif lokal dan frustrasi terhadap kegagalan hukum lingkungan konvensional.
Opini dan Rekomendasi
Relevansi Industri dan Kebijakan Global
Hak Alam—Antara Harapan dan Realitas
Paper ini menunjukkan bahwa pengakuan hak hukum bagi sungai dan danau adalah inovasi hukum yang penting di era krisis ekologi. Namun, tanpa institusi pelaksana, mekanisme penegakan, dan harmonisasi dengan hak manusia, hak alam rawan menjadi simbolis. Studi kasus di AS dan Meksiko mengajarkan bahwa perubahan hukum harus diikuti perubahan politik, sosial, dan budaya. Masa depan hak alam akan sangat ditentukan oleh kemampuan masyarakat dan negara untuk berinovasi, berkolaborasi, dan beradaptasi di tengah kompleksitas tantangan lingkungan.
Sumber Artikel Asli
Elizabeth Macpherson, "The (Human) Rights of Nature: A Comparative Study of Emerging Legal Rights for Rivers and Lakes in the United States of America and Mexico," Duke Environmental Law & Policy Forum, Vol. XXXI:327, Spring 2021.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Sungai Indus, Hidropolitik, dan Tantangan Kerja Sama Regional
Sungai Indus bukan hanya urat nadi bagi Pakistan dan India, tetapi juga simbol kompleksitas hubungan lintas batas di Asia Selatan. Sejak pembagian India dan Pakistan pada 1947, pengelolaan Indus telah menjadi sumber sengketa, kerja sama, dan ketegangan geopolitik. Paper “Two-level games on the trans-boundary river Indus: obstacles to cooperation” karya Hanifeh Rigi dan Jeroen F. Warner (2020) menawarkan analisis mendalam tentang mengapa, meski ada perjanjian formal seperti Indus Waters Treaty (IWT), kerja sama air antara kedua negara tetap rapuh dan sering berujung pada kebuntuan.
Artikel ini sangat penting di tengah meningkatnya tekanan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan krisis air bersih di kawasan. Dengan menyoroti peran aktor domestik dan internasional, serta strategi negosiasi yang digunakan kedua negara, paper ini memberikan wawasan segar tentang dinamika “permainan dua level” (two-level game) dalam diplomasi air lintas batas.
Kerangka Teori: Realisme, Liberalisme, dan Permainan Dua Level
Realisme vs Liberalisme dalam Hidropolitik
Dalam studi hubungan internasional, realisme menekankan persaingan, konflik, dan kepentingan nasional sebagai pendorong utama kebijakan luar negeri. Air, dalam perspektif ini, dipandang sebagai sumber daya strategis yang dapat digunakan untuk memperkuat posisi negara, bahkan sebagai alat tekanan politik atau militer. Sebaliknya, liberalisme (atau institusionalisme) menyoroti pentingnya institusi internasional, aktor non-negara, dan potensi kerja sama melalui rezim multilateral, seperti IWT.
Permainan Dua Level (Two-Level Game Theory)
Robert Putnam mengembangkan teori “permainan dua level” untuk menjelaskan bagaimana negosiator negara harus menyeimbangkan kepentingan domestik (Level II) dan internasional (Level I). Keberhasilan negosiasi sangat bergantung pada “win-set”—yaitu himpunan solusi yang bisa diterima baik oleh aktor domestik maupun mitra internasional. Semakin kecil win-set, semakin sulit tercapai kesepakatan. Paper ini menyoroti bahwa di Indus, win-set kedua negara sangat sempit akibat tekanan domestik, politisasi isu air, dan strategi negosiasi yang saling mengunci123.
Studi Kasus: Konflik dan Negosiasi di Sungai Indus
Latar Belakang: Indus Waters Treaty (IWT) dan Realitas Lapangan
IWT yang ditandatangani pada 1960, membagi enam sungai utama di Indus Basin: tiga sungai barat (Indus, Jhelum, Chenab) untuk Pakistan, dan tiga sungai timur (Ravi, Beas, Sutlej) untuk India. Perjanjian ini dianggap sukses bertahan lebih dari 60 tahun, bahkan melewati tiga perang besar antara kedua negara45. Namun, implementasinya terus diwarnai sengketa, terutama terkait pembangunan bendungan dan proyek pembangkit listrik India di sungai-sungai barat yang dianggap mengancam pasokan air Pakistan.
Angka-angka Kunci:
Politik Domestik dan Securitization di Pakistan
Air di Pakistan sangat dipolitisasi dan disecuritasi—artinya diposisikan sebagai ancaman eksistensial, bukan sekadar isu kebijakan publik. Aktor-aktor domestik seperti militer, partai Islamis, kelompok tani, dan teknokrat menggunakan narasi anti-India untuk memperkuat posisi tawar mereka. Misalnya, laporan Engineers Study Forum menuduh India “mencuri” 15–20% air, menyebabkan kerugian US$12 miliar per tahun bagi sektor pertanian Pakistan. Demonstrasi massal oleh kelompok tani dan aksi protes di berbagai kota menambah tekanan pada pemerintah untuk tidak berkompromi dengan India1.
Militer Pakistan, yang memiliki pengaruh kuat dalam politik luar negeri, memandang isu air tak terpisahkan dari konflik Kashmir. Setiap upaya kompromi dengan India sering digagalkan oleh tekanan kelompok ekstremis dan militer yang menganggap air adalah bagian dari “perjuangan” melawan India. Ketidakharmonisan antara pemerintah sipil, militer, dan kelompok agama memperkecil win-set domestik, sehingga negosiator sulit mengambil keputusan yang pragmatis1.
Politik Domestik dan Tekanan di India
Di India, tekanan datang dari politisi nasionalis, pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir, dan masyarakat lokal yang merasa IWT terlalu menguntungkan Pakistan. Setelah serangan teror di Kashmir (seperti insiden Uri 2016 dan Pulwama 2019), pemerintah India mendapat tekanan untuk mengambil sikap keras, termasuk mengancam meninjau ulang atau bahkan membatalkan IWT57. Pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir secara resmi menuntut revisi atau bahkan pembatalan IWT, karena dianggap membatasi pembangunan ekonomi dan energi lokal.
Tekanan domestik ini membuat pemerintah India cenderung mengambil posisi negosiasi yang kaku, khawatir dianggap lemah di mata publik dan oposisi. Akibatnya, setiap upaya kompromi dengan Pakistan dianggap berisiko secara politik1.
Strategi Negosiasi: Securitization, Issue-Linkage, dan Aliansi
Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Ketergantungan Ekonomi Pakistan pada Indus
Namun, kapasitas penyimpanan air Pakistan sangat terbatas—kurang dari 10% aliran tahunan sungai, jauh di bawah standar internasional. Ini membuat Pakistan sangat rentan terhadap fluktuasi debit air akibat pembangunan bendungan di India atau perubahan iklim6.
Studi Kasus: Krisis dan Deadlock Negosiasi
Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Studi Lain
Nilai Tambah Artikel
Paper ini menonjol karena:
Kritik dan Keterbatasan
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Studi Astha Nahar (2023) menyoroti perlunya modernisasi IWT agar lebih responsif terhadap tantangan perubahan iklim, pengelolaan air tanah, dan kebutuhan adaptasi kelembagaan9. Sementara laporan-laporan lain menyoroti bahwa IWT masih terlalu negara-sentris dan kurang melibatkan komunitas lokal atau mekanisme partisipatif dalam pengambilan keputusan8.
Relevansi dengan Tren Regional dan Global
Konteks Asia Selatan dan Global
Rekomendasi dan Jalan ke Depan
Kesimpulan
Paper ini menunjukkan bahwa kerja sama air lintas batas di Indus tidak hanya soal teknis atau hukum, melainkan juga soal politik domestik, identitas, dan strategi negosiasi yang kompleks. Selama win-set tetap sempit akibat tekanan domestik, politisasi, dan aliansi geopolitik, peluang kerja sama substantif akan tetap kecil. Namun, dengan reformasi kelembagaan, depolitisasi isu air, dan pendekatan adaptif, masih ada harapan untuk membangun tata kelola air yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan di Indus—dan kawasan lain di dunia.
Sumber Artikel Asli
Hanifeh Rigi and Jeroen F. Warner. “Two-level games on the trans-boundary river Indus: obstacles to cooperation.” Water Policy 22 (2020): 972–990.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 Juni 2025
Sungai Tamiraparani dalam Pusaran Krisis Lingkungan dan Sosial
Sungai Tamiraparani di Tamil Nadu, India, bukan sekadar badan air, melainkan urat nadi peradaban, sumber penghidupan, dan simbol spiritual bagi jutaan orang. Namun, dalam dua dekade terakhir, sungai ini menghadapi degradasi hebat akibat polusi, eksploitasi, dan tata kelola yang lemah. Dalam tesis magister Janet Evangeline Sheebha Jeyakumar (2024), isu ini diangkat melalui lensa “Rights of River” (RoR) dan keadilan lingkungan, dengan pertanyaan sentral: apakah pemberian hak hukum pada sungai dapat menjadi jalan menuju keadilan lingkungan dan sosial?
Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama, memperkaya dengan analisis, studi kasus, serta membandingkan dengan tren global dan diskursus keadilan lingkungan kontemporer.
Sungai Tamiraparani: Sejarah, Ekologi, dan Signifikansi Sosial
Tamiraparani, dikenal juga sebagai Porunai, mengalir sejauh 128 km dari Periya Pothigai Hills menuju Teluk Bengal, melewati distrik Tirunelveli dan Thoothukudi. Sungai ini menopang lebih dari 86.000 hektar lahan pertanian, menjadi sumber air minum bagi sekitar 7,5 juta jiwa, serta habitat bagi ratusan spesies flora dan fauna, termasuk spesies endemik dan langka. Selain itu, sungai ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal—mulai dari petani, nelayan, pengumpul tanaman obat, hingga pengrajin.
Namun, modernisasi dan pertumbuhan penduduk telah mengubah wajah Tamiraparani. Eksploitasi berlebihan, polusi domestik dan industri, serta perubahan tata guna lahan telah menurunkan kualitas air, mengancam ekosistem, dan memperburuk ketimpangan sosial.
Polusi dan Eksploitasi: Potret Krisis Nyata
Penelitian ini mengidentifikasi berbagai sumber polusi yang membebani Tamiraparani:
Dampak nyata dari polusi ini adalah menurunnya kualitas air hingga tidak layak konsumsi, punahnya spesies ikan lokal, berkurangnya tanaman obat, dan meningkatnya penyakit pada masyarakat sekitar.
Hak Sungai (Rights of River): Konsep, Potensi, dan Kontroversi
Konsep RoR dan Praktik Global
RoR adalah paradigma hukum dan etika yang mengusulkan sungai sebagai entitas hukum dengan hak inheren—seperti hak untuk tetap mengalir, bebas polusi, dan dipulihkan. Konsep ini telah diadopsi di berbagai negara, seperti Te Awa Tupua Act (Whanganui River, Selandia Baru) dan kasus Río Atrato (Kolombia). Namun, di India, upaya memberi status hukum pada Sungai Ganga dan Yamuna gagal karena kompleksitas transboundary dan lemahnya implementasi.
Kritik dan Tantangan
Studi Kasus: Perspektif Aktor Lokal
Penelitian ini menggunakan 32 wawancara semi-terstruktur dengan berbagai aktor: pengumpul tanaman obat, nelayan, petani, pekerja sosial, LSM, dan pejabat pemerintah.
Pengumpul Tanaman Obat
Kelompok ini sangat bergantung pada kualitas air sungai. Polusi menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas tanaman obat, mengancam pendapatan dan kesehatan mereka. Mereka menekankan pentingnya air bersih sebagai syarat keadilan sosial dan lingkungan. Namun, mereka memandang “hak sungai” lebih sebagai tanggung jawab manusia untuk menjaga kebersihan dan kelestarian, bukan sekadar hak legal sungai.
Nelayan
Nelayan darat dan pesisir menghadapi penurunan drastis populasi ikan akibat polusi dan praktik penangkapan ikan yang merusak (misal penggunaan bleaching powder). Banyak keluarga nelayan terpaksa meninggalkan profesi ini. Selain itu, terjadi konflik distribusi air antara petani hulu dan nelayan hilir—air yang seharusnya mengalir ke muara untuk menjaga siklus hidup ikan kini lebih banyak dialihkan untuk irigasi dan industri. Nelayan juga menyoroti ketidakadilan sosial akibat diskriminasi kasta dan kurangnya perlindungan hukum.
Petani
Petani di sepanjang Tamiraparani mengalami penurunan produktivitas akibat polusi, perubahan pola distribusi air, dan perubahan iklim. Prioritas distribusi air kini lebih condong ke kebutuhan domestik dan industri, bukan pertanian. Banyak petani hanya bisa menanam satu kali setahun, padahal sebelumnya bisa dua hingga tiga kali. Harga hasil panen yang tidak sebanding dengan biaya produksi, serta kenaikan harga pupuk dan upah buruh, makin memperburuk kesejahteraan mereka. Petani juga mengeluhkan penurunan kualitas air yang menyebabkan penyakit kulit dan masalah kesehatan lain.
LSM, Pekerja Sosial, dan Pemerintah
Kelompok ini aktif mengadvokasi perlindungan sungai, namun menghadapi tantangan besar: rendahnya kesadaran publik, lemahnya penegakan hukum, serta kurangnya koordinasi antarinstansi. Program pemerintah seperti proyek drainase bawah tanah hanya berjalan sebagian, dan penegakan hukum terhadap penambangan pasir ilegal serta pembuangan limbah belum efektif.
Keadilan Lingkungan dan “Environmentalism of the Poor”
Penelitian ini menempatkan perdebatan RoR dalam kerangka “environmentalism of the poor” (Guha & Martinez-Alier, 1997): gerakan yang menuntut keadilan lingkungan bukan demi kelestarian alam semata, tetapi demi keberlanjutan hidup kelompok miskin dan marjinal yang paling terdampak degradasi lingkungan. Di Tamiraparani, keadilan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial—perlindungan sungai harus berjalan seiring dengan perlindungan hak hidup, penghidupan, dan partisipasi komunitas lokal.
Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Tamiraparani?
Kekuatan Studi
Kritik dan Tantangan
Relevansi Global dan Tren Masa Kini
Kasus Tamiraparani mencerminkan tantangan universal dalam pengelolaan sungai di negara berkembang: konflik antara kebutuhan pembangunan, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial. Tren global menunjukkan bahwa pendekatan RoR baru efektif jika:
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Kesimpulan: Hak Sungai sebagai Jalan Menuju Keadilan Lingkungan dan Sosial
Studi ini menegaskan bahwa keadilan lingkungan di Tamiraparani hanya bisa dicapai jika hak sungai dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari hak komunitas lokal. RoR bukan sekadar instrumen hukum, melainkan kerangka etika, sosial, dan politik yang menuntut perubahan paradigma: dari eksploitasi menuju harmoni, dari dominasi menuju kemitraan manusia-alam. Tanpa pengakuan dan partisipasi komunitas lokal, RoR akan gagal memenuhi janji keadilan lingkungan yang sejati.
Sumber Artikel
RIGHTS OF RIVER AND ENVIRONMENTAL JUSTICE: A CASE STUDY OF RIVER TAMIRAPARANI, TAMIL NADU, INDIA. Janet Evangeline Sheebha Jeyakumar. MSc Thesis, Wageningen University, April 2024.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Diplomasi Air sebagai Kunci Masa Depan Sumber Daya Global
Di tengah meningkatnya tekanan terhadap sumber daya air akibat pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan persaingan lintas sektor, diplomasi air kini menjadi salah satu instrumen strategis dalam tata kelola sumber daya global. Paper “A State-of-the-Art Review of Water Diplomacy” karya Zareie dkk. (2021) menawarkan tinjauan komprehensif mengenai konsep, tantangan, dan solusi diplomasi air di tingkat lokal dan transboundary (lintas negara), sekaligus menyoroti relevansi pendekatan inovatif ini dalam mencegah konflik dan mendorong kerjasama berkelanjutan.
Artikel ini mengulas isi utama paper tersebut secara kritis, mengaitkan dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan perbandingan dengan literatur lain, agar lebih mudah dipahami dan relevan untuk pembaca luas.
Konsep Dasar: Air sebagai Sumber Daya Vital dan Kompleksitas Diplomasi
Air: Sumber Daya Terbatas, Kebutuhan Tak Terbatas
Air menempati posisi sentral dalam sistem sosial, ekonomi, dan ekologi. Meski 80% permukaan bumi tertutup air, hanya 1% yang layak dikonsumsi manusia. Menurut UNESCO, sekitar 20% populasi dunia tidak memiliki akses air minum yang aman, dan hampir 60% diprediksi akan mengalami kelangkaan air pada 2025 jika tren konsumsi saat ini berlanjut1.
Kebutuhan air tidak hanya untuk konsumsi domestik (8% dari total air tawar), tetapi juga industri (59% di negara maju, 8% di negara berkembang), dan pertanian—yang menyerap sekitar 70-75% air tawar global. Untuk menghasilkan 1 kg gandum dibutuhkan 1.000 liter air, sementara 1 kg daging sapi memerlukan hingga 43.000 liter air. Dengan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, tekanan terhadap air semakin besar, memperbesar potensi konflik antar sektor dan negara1.
Studi Kasus Konflik dan Kerjasama Air Lintas Negara
1. Sungai Euphrates-Tigris: Konflik dan Ketidakpastian
Sungai Euphrates dan Tigris melintasi Turki, Suriah, dan Irak, dengan Turki menyumbang 90% aliran sungai utama. Sejak 1960-an, pembangunan bendungan dan irigasi unilateral oleh Turki menimbulkan ketegangan dengan Suriah dan Irak, yang bergantung pada aliran air untuk pertanian dan kebutuhan domestik. Meski upaya kerjasama dilakukan sejak 2000-an, hingga kini belum tercapai kesepakatan formal yang mengikat1.
Angka Kunci:
2. Sungai Nil: Kerjasama dan Tantangan Baru
Basin Sungai Nil melibatkan 11 negara, dengan inisiatif Nile Basin Initiative (NBI) sejak 1999 yang berhasil meningkatkan kepercayaan dan kerjasama teknis. Namun, sejak 2007, perbedaan kepentingan antara negara hulu (Ethiopia) dan hilir (Mesir, Sudan) membuat negosiasi buntu, terutama terkait pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD)1.
Angka Kunci:
3. Sungai Helmand: Diplomasi Mandek di Asia Tengah
Konflik antara Afghanistan dan Iran atas Sungai Helmand dan Harirud telah berlangsung sejak 1870-an. Pada 1973, kedua negara sepakat Afghanistan mengalirkan 22 m³/s ke Iran, namun perjanjian ini tidak sepenuhnya dijalankan akibat perubahan politik di kedua negara1.
Dimensi Baru: Virtual Water dan Perdagangan Global
Konsep virtual water—air yang “terkandung” dalam produk pangan atau industri yang diperdagangkan antar negara—menjadi solusi inovatif untuk mengatasi kelangkaan air. Negara-negara Timur Tengah, misalnya, mengimpor produk pangan yang banyak membutuhkan air (seperti gandum, jagung) untuk menghemat air domestik. Volume perdagangan virtual water global naik dari 403 km³ (1965) menjadi 1.415 km³ (2010), dengan pertumbuhan rata-rata 2,7% per tahun1.
Studi Kasus:
Hukum Internasional dan Tata Kelola Air Lintas Negara
Kerangka Hukum: Dari Harmon Doctrine ke Helsinki Rules
Dua doktrin utama:
Helsinki Rules (1966) dan Konvensi PBB 1997 menjadi tonggak penting, menekankan penggunaan yang adil dan wajar, serta prinsip no-harm1.
Studi Kasus: European Water Framework Directive (WFD)
Uni Eropa sukses menerapkan WFD yang menekankan pengelolaan berbasis basin, kualitas air, dan partisipasi publik. Di Jerman, WFD berhasil meningkatkan perencanaan dan kualitas air sungai lintas negara1.
Manajemen Terpadu dan Diplomasi Air: Kunci Keberhasilan
Integrated Water Resources Management (IWRM) menjadi pendekatan utama, dengan bukti nyata penghematan air hingga 21,5% di lokasi yang menerapkan IWRM1. Namun, tantangan terbesar adalah kompleksitas institusi, perbedaan kapasitas negara, dan minimnya kerangka kerjasama di negara berkembang.
Perbandingan: Negara Maju vs Berkembang
Faktor Penyebab Konflik dan Solusi Diplomasi Air
Penyebab Konflik:
Solusi Diplomasi Air:
Analisis Kritis dan Opini
Kekuatan Paper:
Kritik dan Tantangan:
Perbandingan dengan Literatur Lain:
Penelitian Wolf et al. (2005) dan Susskind & Islam (2012) menekankan pentingnya trust-building dan data sharing sebagai prasyarat kerjasama. Paper ini sudah menyinggung, namun belum mendalami mekanisme trust-building lintas negara.
Tren Global: Diplomasi Air di Era Perubahan Iklim
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Diplomasi Air sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Diplomasi air bukan sekadar alat negosiasi, tetapi fondasi penting bagi pembangunan berkelanjutan, perdamaian, dan ketahanan pangan di era global. Dengan mengintegrasikan sains, hukum, ekonomi, dan diplomasi, serta belajar dari studi kasus lintas negara, dunia dapat menghindari “perang air” dan beralih ke era kerjasama yang saling menguntungkan. Paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi yang ingin memahami dan mengembangkan diplomasi air di masa depan.
Sumber Artikel
A state-of-the-art review of water diplomacy, Soheila Zareie, Omid Bozorg-Haddad, Hugo A. Loáiciga, Environment, Development and Sustainability, 23(2):2337–2357, 2021.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Air, Diplomasi, dan Pentingnya Analisis Kekuatan
Diplomasi air lintas negara telah lama menjadi isu strategis di dunia yang semakin bergejolak akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan ekonomi yang meningkat. Namun, satu aspek yang sering terabaikan dalam literatur maupun praktik diplomasi air adalah peran kekuatan (power)—baik yang bersifat struktural, material, maupun ideasional—dalam membentuk hasil negosiasi dan pola interaksi antarnegara. Paper “Power in Water Diplomacy” oleh Sumit Vij, Jeroen Warner, dan Anamika Barua (Water International, 2020) mengajak pembaca untuk menelaah ulang bagaimana kekuatan, dalam berbagai bentuknya, menjadi faktor penentu dalam diplomasi air lintas batas, sekaligus membuka ruang bagi pendekatan yang lebih realistis dan adaptif dalam pengelolaan sumber daya air bersama1.
Artikel ini akan mengulas secara kritis isi paper tersebut, memperkaya dengan studi kasus nyata, angka-angka relevan, serta membandingkan dengan tren dan literatur global terkini. Dengan gaya bahasa populer dan struktur SEO-friendly, resensi ini diharapkan mampu menjangkau pembaca luas dan memberikan nilai tambah bagi diskursus diplomasi air di era kontemporer.
Mengapa Kekuatan Penting dalam Diplomasi Air?
Air bukan sekadar sumber daya ekonomi atau lingkungan, melainkan juga sumber kekuatan politik, simbol budaya, dan bahkan alat negosiasi strategis. Paper ini menyoroti bahwa hampir semua interaksi lintas batas terkait air—baik konflik maupun kerja sama—selalu dipengaruhi oleh dinamika kekuatan antaraktor, baik negara maupun non-negara12.
Tiga Wajah Air dalam Diplomasi:
Perbedaan persepsi ini membuat diplomasi air menjadi sangat kompleks dan penuh nuansa kekuatan, baik yang tampak (hard power) maupun yang tersembunyi (soft power)1.
Studi Kasus: Asimetri Kekuatan di Sungai Brahmaputra dan Mekong
1. Sungai Brahmaputra: Status Quo dan Non-decision Making
Salah satu studi kasus utama dalam paper ini adalah interaksi antara India, Bangladesh, dan China di basin Sungai Brahmaputra. India sebagai negara hulu memiliki posisi geografis yang kuat, mampu mengontrol aliran air melalui pembangunan bendungan dan infrastruktur lainnya. Namun, alih-alih menggunakan kekuatan ini secara agresif, India justru memilih mempertahankan status quo, karena menyadari adanya “kerentanan hegemonik”—yakni potensi backlash politik dan diplomatik jika bertindak sepihak12.
Bangladesh, di sisi lain, memilih strategi “wait and see” sambil memperkuat kapasitas teknis dan diplomasi, menunggu momentum yang tepat untuk negosiasi lebih lanjut. Situasi ini menciptakan apa yang disebut sebagai “non-decision making”—di mana tidak adanya keputusan besar justru merupakan hasil dari kalkulasi kekuatan dan kepentingan masing-masing pihak.
Angka Kunci:
2. Sungai Mekong: Paradigma Baru Diplomasi China
Studi lain menyoroti perubahan pendekatan China di Sungai Mekong. Sebagai negara hulu, China secara tradisional memiliki kekuatan besar, namun dalam beberapa tahun terakhir mulai menginisiasi kerjasama multilateral melalui Mekong-Lancang Cooperation (MLC), didorong oleh kepentingan geopolitik (Belt and Road Initiative) dan tekanan dari negara-negara hilir seperti Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam1.
Angka Kunci:
Dimensi Kekuatan dalam Diplomasi Air: Lebih dari Sekadar Geografi
Paper ini menekankan bahwa kekuatan dalam diplomasi air tidak hanya soal posisi geografis (hulu vs hilir), tetapi juga mencakup:
Studi tentang Sungai Rhine di Eropa, misalnya, menunjukkan bahwa negara hilir seperti Belanda dapat memanfaatkan kekuatan institusional dan ekonomi untuk menegosiasikan hak navigasi dan lingkungan, meski secara geografis kurang menguntungkan1.
Studi Kasus Lain: Peran Aktor Non-Negara dan Track II Diplomacy
Paper ini juga mengangkat peran penting aktor non-negara dalam diplomasi air, terutama ketika diplomasi formal (Track I) menemui jalan buntu. Contoh nyata adalah inisiatif Ecopeace di Jordan River Basin, yang berhasil membangun kapasitas desalinasi dan pertukaran energi antara Israel, Yordania, dan Palestina melalui diplomasi informal (Track II)1.
Di Columbia River Basin (AS-Kanada), keterlibatan LSM, universitas, dan komunitas lokal dalam proses negosiasi terbukti meningkatkan transparansi dan kualitas keputusan, meski secara hukum tidak wajib dilibatkan13.
Dinamika “Non-decision Making” dan Status Quo: Ketika Tidak Ada Keputusan Adalah Keputusan
Salah satu kontribusi utama paper ini adalah pengenalan konsep “non-decision making” dalam diplomasi air lintas batas. Dalam banyak kasus, negara-negara memilih untuk tidak mengambil keputusan besar demi menjaga stabilitas atau melindungi kepentingan domestik. Hal ini terlihat jelas di basin Brahmaputra dan kawasan Amerika Tengah, di mana status quo dijaga melalui kombinasi kekuatan material dan ideasional, serta pengaruh aktor eksternal seperti Uni Eropa1.
Kritik dan Analisis: Kekuatan, Kepercayaan, dan Tantangan Masa Depan
A. Kelebihan Paper
B. Tantangan dan Kritik
Tren Global: Dari Power Politics ke Water Diplomacy Kolaboratif
Literatur dan praktik terbaru menunjukkan pergeseran dari paradigma power politics menuju diplomasi air yang lebih kolaboratif dan inklusif, dengan menekankan:
Rekomendasi untuk Diplomasi Air Masa Depan
Menata Ulang Diplomasi Air di Era Ketidakpastian
“Power in Water Diplomacy” menawarkan lensa baru untuk memahami diplomasi air lintas negara: bukan sekadar soal kerjasama atau konflik, tetapi tentang bagaimana kekuatan—dalam berbagai bentuknya—membentuk, menghambat, atau justru membuka peluang bagi solusi inovatif dan damai. Dengan belajar dari berbagai studi kasus dan mengadopsi pendekatan yang lebih realistis, diplomasi air dapat menjadi katalis perdamaian dan pembangunan berkelanjutan, asalkan kekuatan diakui, dikelola, dan diarahkan untuk kepentingan bersama.
Sumber Artikel
Power in water diplomacy, Sumit Vij, Jeroen Warner & Anamika Barua, Water International, 45:4, 249-253, DOI: 10.1080/02508060.2020.1778833.