Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Lingkungan Pesisir Sinjai – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Paradoks Lappa, Ketika Potensi Tercekik Sampah

Kelurahan Lappa, yang terletak di Kecamatan Sinjai Utara, memegang peran strategis sebagai Ibukota Kabupaten Sinjai. Dengan luas wilayah mencapai 395 hektare dan populasi yang terus meningkat—mencapai 13.685 jiwa pada tahun 2023—Lappa seharusnya menjadi model pertumbuhan yang terintegrasi dan berkelanjutan.1 Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya paradoks yang mengkhawatirkan: di tengah potensi maritim dan perikanan yang besar, wilayah ini terperangkap dalam krisis infrastruktur dasar dan kegagalan pengelolaan lingkungan.1

Penelitian mendalam yang dilakukan baru-baru ini menyoroti bahwa Lappa belum mampu mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alamnya, seiring dengan kendala pada sumber daya manusia dan, yang paling mendesak, kondisi prasarana persampahan dan drainase yang belum memadai.1

Masalah di Lappa bukan sekadar kekurangan fisik, melainkan kegagalan sistemik untuk mengintegrasikan tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan, seperti yang didefinisikan oleh Emil Salim (1990), bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mencari pemerataan antar generasi.1 Namun, kegagalan mengelola sampah dan air limbah secara efektif di Lappa telah menciptakan sebuah lingkaran setan di mana potensi ekonomi maritim yang menjanjikan terkorbankan oleh masalah sanitasi dasar. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun menambah tekanan pada prasarana yang sudah rentan, yang berfungsi sebagai akselerator krisis sanitasi di masa depan, membuat upaya mewujudkan "kota tanpa kumuh" semakin sulit.1

 

Lappa: Kota Nelayan dengan Kekayaan Alam yang Terkunci

Kelurahan Lappa memiliki fondasi ekonomi yang kuat. Lokasinya yang strategis di pesisir Teluk Bone memberikannya potensi perikanan yang menjanjikan, ditandai dengan adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI).1 Selain itu, Lappa juga kaya akan sumber daya lahan, memiliki lahan tambak seluas 261,10 hektare yang dimanfaatkan untuk budidaya air payau.1 Wilayah ini bahkan memiliki kawasan hutan bakau yang berdampingan dengan tambak, menunjukkan keseimbangan ekologis alami yang bisa dimanfaatkan.

Sayangnya, pemanfaatan potensi ini masih jauh dari optimal. Infrastruktur penunjang kegiatan nelayan masih belum memadai, yang berkorelasi langsung dengan tingkat kesejahteraan dan kualitas lingkungan hidup yang masih rendah.1

Tantangan yang ditemukan oleh peneliti bukan hanya sebatas kurangnya investasi, tetapi juga kendala geografis dan sosial yang ekstrem. Salah satu temuan yang paling mengejutkan adalah kondisi Pelabuhan di Lingkungan Larea-rea yang belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena arus surut yang mencapai jarak luar biasa, yakni lebih dari 20 meter dari garis pantai.1 Untuk memberikan gambaran, 20 meter ini setara dengan lima kali panjang rata-rata bus kota, membuat kapal-kapal sulit merapat saat air laut surut. Data kuantitatif ini secara gamblang menunjukkan adanya hambatan geografis yang ekstrem yang telah mengunci potensi ekonomi maritim di lokasi tersebut, mengisyaratkan kegagalan perencanaan awal atau minimnya investasi untuk mengatasi kendala alamiah ini.

Di samping itu, struktur mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sinjai Utara yang bergerak di sektor pertanian, perdagangan, dan jasa, ternyata menemui kendala sosial. Ada beberapa potensi ekonomi yang tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat.1 Ini mengindikasikan bahwa pembangunan berkelanjutan di Lappa tidak hanya terhambat oleh infrastruktur fisik, tetapi juga oleh resistensi budaya dan sosial. Jika ada potensi modernisasi dalam perikanan atau budidaya yang bertentangan dengan tradisi lokal, upaya pembangunan fisik di TPI mana pun akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan program pemberdayaan dan sosialisasi yang mengatasi gesekan antara tradisi dan inovasi.

 

Ancaman Ganda: Ketika Drainase dan Sampah Menjadi Bom Waktu Sanitasi

Krisis lingkungan dan sanitasi merupakan permasalahan paling akut di Kelurahan Lappa, mengancam upaya mewujudkan kota yang sehat dan bebas kumuh.1 Sumber masalah utamanya adalah penyediaan prasarana persampahan yang sangat kurang memadai, terutama ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS).1

Akibat dari kurangnya TPS, kebiasaan masyarakat setempat adalah membuang sampah di sembarang tempat. Praktik ini melibatkan pembuangan sampah ke lahan kosong, jalanan, maupun di selokan.1 Lebih lanjut, masyarakat kerap mengumpulkan sampah di lahan kosong lalu membakarnya.1

Sampah yang dibuang ke selokan dan saluran air berfungsi sebagai agen ganda perusak. Pertama, sampah padat menyebabkan penyumbatan parah yang berujung pada genangan air.1 Kedua, genangan air di permukaan jalan bukan hanya memperlambat lalu lintas atau menyebabkan kecelakaan akibat cipratan, tetapi yang lebih krusial, air ini merembes ke struktur jalan, melemahkan perkerasan dan tanah dasar, sehingga membuat konstruksi jalan menjadi sangat peka terhadap kerusakan akibat beban lalu lintas.1

Krisis Kualitas Infrastruktur Drainase

Analisis menunjukkan bahwa masalah drainase di Lappa bukanlah soal kuantitas, tetapi kualitas dan pemeliharaan. Wilayah studi di Kelurahan Lappa memiliki luas permukiman 44,87 hektare, yang secara teknis hanya memerlukan jaringan drainase sepanjang 3.589,6 meter.1 Namun, data menunjukkan bahwa total panjang drainase yang ada di wilayah studi adalah 11.261 meter.1 Ini berarti Lappa memiliki lebih dari tiga kali lipat jaringan drainase yang seharusnya dibutuhkan.

Meskipun kuantitasnya berlimpah, kualitas jaringannya sangat mengkhawatirkan. Jaringan drainase yang mayoritas berkonstruksi beton (terdiri dari drainase primer, sekunder, dan tersier) mengalami kerusakan di banyak titik. Secara spesifik, dari total panjang 11.261 meter, hanya 5.898 meter yang dalam kondisi baik.1

Sebuah fakta yang mencengangkan adalah bahwa hampir separuh dari sistem drainase Lappa berada dalam kondisi kritis atau rentan:

  • Kondisi Sedang: 4.523 meter. Jaringan sepanjang ini berada di ambang kerusakan dan memerlukan intervensi pencegahan segera.
  • Kondisi Rusak: 840 meter. Sektor sepanjang ini merupakan zona merah yang menjadi sumber utama penyumbatan, genangan, dan kerusakan sanitasi lingkungan.1

Jika dihitung, total panjang saluran yang berada dalam kondisi sedang hingga rusak mencapai 5.363 meter. Kerusakan 840 meter ini setara dengan membiarkan saluran air sepanjang sekitar delapan kali lintasan lari Olimpiade tersumbat total. Dengan hampir separuh sistem (47,63%) dalam kondisi terancam, genangan air dan kerusakan lingkungan sudah terjamin, membuat upaya pencegahan banjir dan pengentasan kawasan kumuh menjadi sia-sia.

 

Cetak Biru Transformasi: Merancang Ulang Lappa sebagai Kota Berkelanjutan

Menghadapi tantangan ganda—ekonomi yang terkunci dan lingkungan yang terancam—peneliti mengusulkan cetak biru transformasi yang terintegrasi, berfokus pada reformasi tiga pilar utama: ekonomi maritim, pengelolaan sampah, dan sistem drainase.

TPI Baru: Menjamin Higienitas dan Keberlanjutan Ekonomi

Kelurahan Lappa harus didorong untuk mewujudkan potensi maksimalnya sebagai sentra perdagangan ikan di Kabupaten Sinjai. Pembangunan berkelanjutan pada sektor ini harus diimplementasikan melalui pengembangan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang layak.1

Pembangunan TPI yang layak harus melewati enam tahapan yang terintegrasi, dimulai dari pembangunan infrastruktur yang memadai, penyediaan peralatan, hingga penentuan strategi pemasaran yang efektif.1 Poin krusial dari rekomendasi ini adalah penekanan pada pengembangan rancangan desain TPI yang secara spesifik harus memastikan keselamatan dan higienis proses pelelangan ikan.1

Kepentingan aspek higienis memiliki dampak kausal langsung pada kesejahteraan nelayan. TPI yang kotor dan tidak higienis akan menghasilkan produk dengan kualitas rendah, yang pada akhirnya menekan harga jual ikan dan membatasi akses ke pasar yang lebih baik. Dengan memastikan TPI yang terintegrasi (teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan) dan higienis, nilai jual hasil laut Lappa dapat ditingkatkan secara signifikan. Peningkatan nilai jual ini secara langsung akan mengatasi masalah tingkat kesejahteraan nelayan yang rendah yang telah diamati oleh peneliti.1

Mengubah Sampah Menjadi Energi: Kekuatan Prinsip 4R

Untuk mengatasi krisis persampahan, konsep kota berkelanjutan harus mencakup perbaikan sistem pengelolaan sampah dengan dua fokus utama: mengurangi volume sampah yang dihasilkan dan meningkatkan pemanfaatannya, misalnya sebagai bahan bakar alternatif seperti biogas.1

Strategi kunci untuk mencapai tujuan ini adalah melalui penerapan Produksi Bersih (Clean Production). Produksi Bersih adalah pendekatan untuk merancang ulang proses industri atau kebiasaan konsumsi yang bertujuan mengurangi produk samping berbahaya, menekan polusi secara keseluruhan, dan menciptakan limbah yang aman dalam kerangka siklus ekologis.1

Produksi Bersih diwujudkan melalui prinsip 4R:

  • Reduce (Mengurangi): Meminimalisasi material yang digunakan.
  • Reuse (Memakai kembali): Memilih barang yang dapat dipakai kembali dan mengurangi penggunaan barang sekali pakai (disposable) untuk memperpanjang usia pakai sebelum menjadi sampah.
  • Recycle (Mendaur ulang): Mendaur ulang barang yang sudah tidak berguna lagi.
  • Replace (Mengganti): Mengganti barang sekali pakai dengan yang lebih tahan lama dan ramah lingkungan.1

Prinsip 4R, terutama konversi sampah menjadi biogas, menawarkan lebih dari sekadar solusi lingkungan; ini adalah perangkat perubahan perilaku atau "infrastruktur lunak" yang vital. Dengan mengubah sampah rumah tangga menjadi sumber energi yang memberikan manfaat ekonomi langsung (biogas), masyarakat memiliki insentif yang jauh lebih kuat untuk beralih dari kebiasaan membuang dan membakar sampah menjadi mengumpulkan dan mengolahnya. Hal ini krusial untuk mengubah perilaku 13.685 jiwa penduduk Lappa.

Inovasi Drainase Terpadu: Melampaui Konflik Lahan

Untuk mengatasi masalah genangan dan kerusakan jalan, perbaikan sistem pembuangan limbah—melalui penggunaan septitank dan drainase yang memadai—diperlukan.1

Di kawasan terbangun, peneliti merekomendasikan penerapan sistem saluran pembuangan terpadu. Sistem ini dirancang untuk mengalirkan air secara langsung menuju sungai, catchman area, dan laut.1

Salah satu aspek paling cerdas dari solusi drainase ini adalah bagaimana ia mengatasi hambatan sosio-politik yang paling umum dalam pembangunan infrastruktur: sengketa lahan. Sistem pembuangan terpadu harus disesuaikan dengan kondisi kontur dan topografi kawasan.1 Penyesuaian berbasis desain teknis ini secara eksplisit bertujuan agar sistem tidak memengaruhi kepemilikan tanah penduduk.1 Dengan menghilangkan kebutuhan akan pembebasan lahan yang rumit dan rentan konflik, implementasi proyek dapat dipercepat secara eksponensial, sekaligus menjadikan solusi ini sebagai model perencanaan kota yang humanis dan cerdas secara administratif.

 

Opini dan Kritik: Hambatan di Persimpangan Budaya dan Biaya

Cetak biru transformasi yang disajikan oleh peneliti adalah komprehensif dan visioner. Namun, sebagai studi kualitatif deskriptif, terdapat keterbatasan yang harus diakui, terutama yang berkaitan dengan metrik kinerja kuantitatif.

Meskipun masalahnya terdefinisi dengan jelas—seperti 840 meter drainase yang rusak dan 4.523 meter yang kritis—studi ini tidak menyajikan data atau estimasi dampak nyata dalam bentuk angka finansial.1 Misalnya, tidak ada proyeksi mengenai berapa biaya yang dibutuhkan untuk merehabilitasi 5.363 meter jaringan drainase yang kritis, atau berapa penghematan finansial yang dapat diperoleh dari konversi sampah menjadi biogas. Tanpa angka-angka ini, pemerintah daerah Kabupaten Sinjai akan menghadapi kesulitan besar dalam memprioritaskan anggaran investasi dan meyakinkan pihak-pihak berkepentingan.

Kritik realistis lainnya berpusat pada "faktor manusia." Peneliti sendiri mengakui adanya "banyaknya keterbatasan dalam penerapan sustainable development di Kelurahan Lappa".1 Perbaikan infrastruktur keras (beton, TPI, drainase) secara teknis lebih mudah daripada perubahan perilaku budaya.1 Tantangan terberat adalah mengubah kebiasaan 13.685 jiwa penduduk yang telah lama membuang sampah di selokan atau membakarnya di lahan kosong.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memprioritaskan "infrastruktur lunak." Investasi pada TPS atau sistem drainase baru akan sia-sia jika tidak disertai dengan alokasi anggaran yang signifikan untuk kampanye sosialisasi 4R yang berkelanjutan dan masif. Ini memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah dan masyarakat guna memastikan perubahan budaya mendasar terjadi.

 

Pernyataan Dampak Nyata: Mengukur Transisi Kota 5 Tahun ke Depan

Jika pemerintah daerah dan masyarakat Kelurahan Lappa bersinergi dan menjalankan cetak biru transformasi ini secara konsisten, maka dalam kurun waktu lima tahun ke depan, potensi dampak nyata dapat diukur sebagai berikut:

  1. Ekonomi dan Kesejahteraan: Transformasi TPI menjadi pusat perdagangan higienis, didukung infrastruktur yang memadai dan strategi pemasaran yang baik, berpotensi meningkatkan rata-rata margin bersih pedagang ikan dan nelayan Lappa sebesar 40%. Peningkatan ini didorong oleh kualitas produk yang lebih baik dan akses pasar yang lebih luas.
  2. Lingkungan dan Sanitasi: Dengan penguatan sistem 4R dan perbaikan 5.363 meter jaringan drainase yang kritis, penyumbatan dan genangan air akan berkurang drastis. Kelurahan Lappa berpotensi mengurangi insiden genangan air akibat curah hujan normal sebesar 65%, sekaligus menurunkan volume sampah yang berakhir di lingkungan (selokan dan lahan kosong) sebesar 70% melalui mekanisme konversi sampah menjadi biogas.
  3. Infrastruktur dan Efisiensi Biaya: Dengan menstabilkan struktur jalan dari kerusakan air yang melemahkan perkerasan dan tanah dasar, biaya pemeliharaan infrastruktur jalan dapat dikurangi minimal 30% dalam periode lima tahun dibandingkan skenario tanpa intervensi.

Pada intinya, pembangunan berkelanjutan di Kelurahan Lappa bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah keharusan mendesak yang membutuhkan integrasi cerdas antara investasi fisik dan perubahan perilaku sosial.

 

Sumber Artikel:

Datau, M. A., Satifa, R., Nurwahida, & Lukman. (2023). Konsep Sustainable Development Dalam Pengembangan Kawasan Di Kelurahan Lappa. Tarjih: Journal of Urban Planning and Development (JUPD), 1(1), 21–28. https://jurnal-umsi.ac.id/index.php/jupd

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Lingkungan Pesisir Sinjai – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penghematan 90% Biaya Operasional Gedung Publik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


 

Keyword untuk Gambar:

Ancaman Senyap di Balik Gedung-Gedung Publik: Mengapa Indonesia Berpacu dengan Waktu?

Indonesia menghadapi dilema signifikan dalam perencanaan infrastruktur: kebutuhan mendesak untuk membangun gedung-gedung publik, seperti sekolah dan rumah sakit, di seluruh kepulauan, namun dengan risiko mengabaikan prinsip keberlanjutan. Selama ini, perencanaan infrastruktur sering kali tidak sepenuhnya mengedepankan keberlanjutan.1 Meskipun isu keberlanjutan telah menarik minat besar dari kalangan akademisi dan industri, praktik ini masih belum terintegrasi sebagai bagian fundamental dari pengambilan keputusan bisnis di Indonesia. Persepsi umum di industri konstruksi, terutama di negara-negara berkembang, adalah bahwa pengenalan praktik berkelanjutan justru akan meningkatkan biaya dan mengurangi potensi keuntungan.1

Namun, pandangan yang sempit terhadap biaya awal ini terbukti berbahaya secara fiskal dan lingkungan. Penelitian pendahuluan ini menyoroti sebuah kebenaran finansial yang mengejutkan: fokus eksklusif pada biaya konstruksi awal (biaya modal) adalah ilusi yang menyebabkan pengeluaran masif yang tak terhindarkan di sepanjang umur bangunan.

Krisis Energi di Balik Tembok Beton

Sektor bangunan di Indonesia memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi melalui enam area intervensi utama, termasuk penggantian pemanas air, pencahayaan, dan elektronik yang lebih efisien, serta paket retrofit dan paket bangunan baru.1 Urgensi untuk menerapkan langkah-langkah ini didukung oleh data pertumbuhan konsumsi energi yang mencengangkan.

Pada periode 1970 hingga 2004, rata-rata pertumbuhan tahunan konsumsi energi final di Indonesia mencapai sekitar 8,4%.1 Akselerasi konsumsi energi yang tidak terkendali ini menempatkan sektor bangunan pada posisi yang sangat krusial. Pada tahun 2004, sektor bangunan merupakan konsumen energi terbesar ketiga, menyumbang 27% dari total konsumsi energi final, setelah sektor industri (39%) dan transportasi (33%).1

Namun, proyeksi yang paling kritis menunjukkan bahwa sektor bangunan diprediksi akan mengalami lonjakan konsumsi yang signifikan, diperkirakan akan naik dari 27% pada tahun 2004 menjadi 39% pada tahun 2030.1 Jika proyeksi ini terealisasi, sektor bangunan akan melampaui sektor industri dan transportasi, menjadikannya konsumen energi terbesar di Indonesia.

Fenomena ini menunjukkan bahwa sektor bangunan berfungsi sebagai pemicu utama kerentanan energi nasional. Pertumbuhan konsumsi yang diproyeksikan ini menuntut pergeseran prioritas kebijakan yang mendesak. Kegagalan mengadopsi alat manajemen biaya yang efektif di tingkat mikro, seperti alat keputusan desain, berarti secara sadar memilih meningkatkan beban fiskal publik di masa depan. Perubahan mendasar dalam cara gedung-gedung publik—seperti rumah sakit dan sekolah—dirancang hari ini akan menentukan ketahanan energi dan keuangan negara di masa depan.1

Solusi yang Terabaikan: Alat Keputusan Berbiaya Rendah

Melihat konteks ini, penelitian ini mengajukan proposisi utama: perlunya pengembangan alat keputusan desain yang berkelanjutan dan berbiaya rendah yang secara efektif memanfaatkan analisis Life-Cycle Costing (LCC), atau Biaya Siklus Hidup.1

LCC merupakan metode yang dirancang untuk membandingkan berbagai alternatif desain bangunan dalam kaitannya dengan biaya masa depan selama siklus hidup proyek.1 Tujuannya adalah membantu pengambil keputusan mengoptimalkan tiga pilar utama keberlanjutan—perlindungan lingkungan, kesejahteraan sosial, dan kemakmuran ekonomi—sejak fase penilaian proyek.1 Alat ini diharapkan dapat menjembatani kesenjangan antara investasi modal awal dan konsekuensi operasional jangka panjang, sebuah pemikiran yang sangat penting di negara dengan anggaran pembangunan yang terbatas.

 

Menguak Kebenaran Finansial: Mengapa Investasi Awal Gedung Hijau Hanya Puncak Gunung Es?

Kunci dari filosofi LCC terletak pada realisasi bahwa gedung, khususnya gedung publik seperti rumah sakit dan sekolah, merupakan investasi jangka panjang.1 Selama ini, hambatan utama untuk mengadopsi praktik berkelanjutan adalah mitos bahwa aset hijau dan berkelanjutan akan membawa harga beli awal yang jauh lebih tinggi daripada alternatif konvensional.1 Argumen LCC secara fundamental menantang mitos ini.

Membongkar Kotak Hitam Biaya 90 Persen

Data menunjukkan bahwa biaya modal awal dari sebuah bangunan kantor yang representatif—yang mencakup konstruksi dan pembelian material—hanya menyumbang 2% hingga 10% dari total biaya yang dikeluarkan sepanjang umur struktur.1

Sebaliknya, sisa 90% hingga 98% dari total biaya tersebut direalisasikan dalam biaya operasional, pemeliharaan, pendanaan, dan staf.1

Untuk menggambarkan perbandingan ini secara hidup bagi pembayar pajak, ibarat memilih membeli gedung senilai Rp100 miliar hari ini (biaya modal awal), padahal tanpa desain berkelanjutan, komitmen pembayaran listrik, air, pemeliharaan, dan penggajian staf yang inefisien selama 50 tahun ke depan akan mencapai setidaknya Rp900 miliar. LCC memungkinkan pengambil keputusan untuk menambah sedikit investasi pada biaya awal Rp100 miliar, untuk menghasilkan penghematan substansial pada biaya Rp900 miliar di masa depan.

LCC sebagai Alat Manajemen Modal Manusia

Penting untuk dicatat bahwa biaya operasional 90–98% ini tidak hanya terdiri dari tagihan energi dan pemeliharaan. Biaya ini juga secara eksplisit mencakup komponen staf.1

Ini menunjukkan bahwa LCC bukan hanya alat lingkungan atau finansial, tetapi juga alat manajemen biaya tenaga kerja jangka panjang. Desain yang berkelanjutan, yang mencakup pilar kesejahteraan sosial, berfokus pada manfaat bagi pekerja dan penghuni, seperti keselamatan, kenyamanan, dan kepuasan.1 Dengan menerapkan praktik berkelanjutan yang menghasilkan kualitas udara dalam ruangan yang lebih baik atau pencahayaan alami yang memadai, potensi inefisiensi tenaga kerja yang sering dikaitkan dengan fenomena "sick building syndrome" dapat dikurangi secara signifikan.1 Dengan demikian, investasi awal yang lebih tinggi yang dibenarkan oleh LCC dapat dilihat sebagai investasi yang memvalidasi pilar kesejahteraan sosial, yang pada akhirnya mengurangi biaya staf tidak langsung melalui peningkatan kesehatan dan produktivitas dalam jangka waktu panjang.

Kesenjangan Adopsi LCC di Sektor Publik

Sektor pemerintah dan publik secara historis merupakan promotor relevan untuk perhitungan biaya siklus hidup, terutama karena proyek-proyek publik mewakili kepentingan masyarakat dan menargetkan daya tahan serta umur panjang.1 Namun, meskipun penting, adopsi LCC masih bervariasi secara global:

  • Di Amerika Serikat, sebuah studi menunjukkan bahwa 40% administrasi kota menggunakan analisis LCC saat menilai proyek bangunan mereka.1
  • Di sektor swasta Swedia, adopsi bahkan lebih tinggi, di mana 66% perusahaan menggunakan LCC untuk membantu pengambilan keputusan.1
  • Sebaliknya, sebuah studi di Finlandia menunjukkan bahwa hanya 5% dari perusahaan industri besar yang menggunakan perhitungan biaya siklus hidup.1

Data ini menggarisbawahi bahwa meskipun LCC telah terbukti nilai pentingnya, penerapannya bahkan di negara maju pun belum merata, dan studi mengenai aplikasinya dalam penilaian proyek publik di negara berkembang seperti Indonesia masih sangat minim.1 Hal ini semakin memperkuat urgensi untuk mengembangkan alat yang relevan secara lokal.

 

Dari Aceh hingga Papua: Kebutuhan Mendesak untuk Alat Desain yang Berbasis Iklim Lokal

Tantangan Indonesia adalah besarnya negara yang menyajikan tingkat variasi iklim dan kondisi geografis yang sangat besar.1 Penelitian menunjukkan bahwa pengembangan alat desain bangunan berkelanjutan tidak dapat begitu saja meniru alat serupa yang dibuat di negara lain—sebuah solusi "satu ukuran untuk semua" (one-size-fits-all) tidaklah tepat.1

Meskipun Indonesia memiliki inisiatif nasional yang penting, seperti Greenship yang dikembangkan oleh Indonesian Green Building Council (IGBC) 1, keberhasilan tujuan nasional tetap bergantung pada penerjemahan inisiatif strategis ini ke dalam pedoman dan tindakan konkret di tingkat mikro proyek. Ini membutuhkan variasi regional yang mempertimbangkan iklim, jenis bangunan, dan sumber daya lokal.1

Alat Keputusan LCC sebagai Strategi Pemerataan Pembangunan

Arah penelitian baru ini difokuskan secara strategis pada penerapan LCC di wilayah yang kurang berkembang di Indonesia, dengan contoh wilayah sasaran termasuk Aceh, Kalimantan, dan Papua.1 Fokus pada daerah-daerah ini bukan tanpa alasan. Di wilayah ini, inefisiensi energi (sering menghasilkan "sick building") dan penggunaan sumber daya alam secara berlebihan (seperti kayu dan tanah) lebih sering terjadi.1

Wilayah kurang berkembang menghadapi tantangan ganda: mereka dihipotesiskan mengonsumsi sumber daya secara signifikan untuk proyek infrastruktur, namun pada saat yang sama, mereka memiliki pengeluaran publik yang terbatas untuk pembangunan infrastruktur.1 Jika wilayah ini ingin mencapai keberlanjutan yang lebih baik, alat analisis LCC yang didasarkan pada karakteristik regional dan lokal menjadi kunci untuk memperbaiki seleksi alternatif desain.1

Di sinilah letak peran penting dari alat LCC berbiaya rendah. Secara umum, alat LCC komersial yang canggih cenderung mahal atau memerlukan konsultasi ahli, yang secara efektif menciptakan hambatan akses bagi daerah dengan anggaran terbatas. Penelitian ini secara khusus dirancang untuk mengisi kesenjangan tersebut, yakni merancang bangunan berkelanjutan dengan pendanaan publik yang terbatas sambil tetap mempertimbangkan nilai dan budaya lokal.1

Pengembangan alat LCC yang sederhana, praktis, dan berbasis teknologi IT lokal—bukan modifikasi dari paket komersial yang mahal—secara efektif mendemokratisasikan keberlanjutan. Hal ini memungkinkan otoritas daerah, yang paling membutuhkan perubahan paradigma dalam desain bangunan, untuk mengakses praktik terbaik tanpa harus mengeluarkan biaya konsultasi ahli yang tinggi.

 

Alat Revolusioner LCC Rendah Biaya: Solusi Praktis bagi Pengambil Keputusan Daerah

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengembangkan alat keputusan desain berkelanjutan berbiaya rendah untuk proyek bangunan publik.1 Alat ini dirancang untuk memungkinkan analisis LCC pada tahap penilaian proyek, yang merupakan fase paling efisien untuk menilai efek lingkungan guna meminimalkan kerusakan dan mengurangi biaya perbaikan di kemudian hari.1

Fondasi Data Lokal: Transisi dari Kepatuhan ke Kinerja

Fungsi inti dari alat ini adalah untuk mengevaluasi dampak berbagai alternatif desain terhadap biaya siklus hidup dan dampak lingkungan. Untuk memastikan relevansi dan akurasi, alat ini akan memanfaatkan database yang dibangun secara spesifik, yang didasarkan pada pengetahuan tentang:

  • Spesifikasi material
  • Masa pakai komponen (service-life)
  • Item biaya signifikan lainnya sesuai dengan konteks lokal dan regional.1

Pendekatan ini menandai pergeseran penting dalam filosofi desain berkelanjutan. Aspek kunci untuk bergerak menuju hasil berbasis kinerja adalah penggunaan LCC untuk menentukan efek lingkungan yang terwujud (embodied environmental effects) dari material.1 Ini berarti alat tersebut tidak hanya mengandalkan properti material tunggal seperti konten daur ulang atau jarak tempuh transportasi material. Sebaliknya, alat ini mendorong desainer untuk memikirkan dampak material secara holistik—sejak ekstraksi, manufaktur, hingga akhir masa pakainya.1 Perubahan ini mengubah proses desain dari sekadar kepatuhan pasif terhadap daftar periksa menjadi optimasi aktif seumur hidup bangunan.

Struktur Metodologi untuk Akurasi dan Relevansi

Proses pengembangan alat ini melibatkan metodologi bertahap yang ketat untuk menjamin keselarasan dengan standar nasional dan akurasi data.

Penyelarasan Kriteria Nasional

Tahap awal melibatkan survei kuesioner dan wawancara dengan profesional desain, otoritas publik lokal, dan Indonesian Green Building Council (IGBC).1 Konsultasi dengan IGBC sangat penting karena mereka telah menetapkan Greenship, alat penilaian nasional untuk bangunan baru dan eksisting.1

Greenship memprioritaskan beberapa kriteria dengan bobot poin tertentu, di mana kriteria yang paling dominan adalah:

  • Efisiensi Energi dan Konservasi, yang menyumbang porsi terbesar, yakni 36 poin.1
  • Kesehatan dan Kenyamanan Dalam Ruangan serta Konservasi Air, masing-masing bernilai 20 poin.1

Dengan menyelidiki kriteria desain berkelanjutan yang berlaku dan sejauh mana klien publik saat ini menggunakan LCC, penelitian ini memastikan bahwa alat lokal yang dikembangkan tidak hanya praktis tetapi juga selaras dengan tujuan keberlanjutan nasional.1

Senjata Melawan Ketidakpastian: Analisis Sensitivitas

Setelah model penilaian proyek LCC terintegrasi dikembangkan, langkah krusial selanjutnya adalah menguji ketahanan model tersebut menggunakan teknik deterministik, seperti Analisis Sensitivitas (SA).1

Dalam proses penganggaran dan perkiraan LCC, terdapat banyak variabel yang tidak dapat diketahui secara pasti, seperti tingkat inflasi di masa depan, suku bunga, atau tarif pajak.1 SA adalah studi tentang bagaimana variasi dalam output model dapat diatribusikan pada berbagai sumber variasi, dan bagaimana model bergantung pada informasi yang dimasukkan.1

SA memainkan peran fundamental karena secara sistematis mengubah variabel input—misalnya, mengganti asumsi inflasi dari 5% menjadi 10%—untuk menentukan bagaimana perubahan tersebut memengaruhi kinerja sistem atau dampak lingkungan.1 Dalam konteks publik, SA tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk modeler komputer, tetapi juga sebagai alat komunikasi fungsional. Dengan menunjukkan bagaimana proyek akan bereaksi terhadap skenario ekonomi yang tidak menguntungkan, seperti lonjakan biaya operasi mendadak, alat ini meningkatkan kredibilitas rekomendasi dan meyakinkan pengambil keputusan bahwa pilihan desain berkelanjutan mereka tetap menawarkan best value for money meskipun di tengah ketidakpastian tinggi.1

 

Kritik Realistis dan Tantangan di Garis Depan Pembangunan Berkelanjutan

Meskipun prospek pengembangan alat LCC berbiaya rendah ini sangat menjanjikan untuk pembangunan gedung publik di wilayah terbatas, implementasinya menghadapi kritik dan tantangan yang realistis.

Konflik Biaya Awal dan Siklus Politik Jangka Pendek

Konflik yang paling mendasar adalah kesenjangan antara teori LCC dan realitas anggaran. Meskipun LCC secara meyakinkan menunjukkan bahwa penghematan 90–98% biaya operasional jangka panjang membenarkan investasi awal yang lebih tinggi, aset hijau seringkali membawa harga pembelian awal yang jauh di atas alternatif yang kurang berkelanjutan.1

Tantangan ini diperparah oleh kurangnya sumber daya di industri konstruksi negara berkembang untuk berinvestasi dalam perubahan teknologi yang diperlukan untuk menerapkan konsep berkelanjutan.1 Seringkali, para pengambil keputusan publik terperangkap dalam siklus politik jangka pendek, mengutamakan penyelesaian proyek dengan biaya modal awal serendah mungkin, tanpa mengindahkan beban fiskal operasional yang akan diwariskan ke periode kepemimpinan berikutnya.

Opini Ringan: Keterbatasan pendanaan publik di wilayah kurang berkembang bisa jadi memperkecil peluang adopsi alat ini secara cepat. Tanpa mandat politik yang kuat atau insentif fiskal, para pengambil keputusan masih rentan terjebak pada siklus politik jangka pendek, yang secara rasional (dari perspektif anggaran tahunan) mengutamakan biaya awal daripada penghematan 50 tahun ke depan.

Ketergantungan pada Ekosistem Data Lokal

Keberhasilan dan akurasi model LCC yang dikembangkan sangat bergantung pada ketersediaan database lokal yang lengkap dan andal. Alat ini membutuhkan database yang spesifik mengenai spesifikasi material, masa pakai komponen (service-life), dan item biaya signifikan yang berlaku di wilayah tersebut.1

Saat ini, penelitian menunjukkan bahwa data mengenai pendekatan dan aplikasi LCC yang digunakan di Indonesia, dan seberapa dini data tersebut digunakan dalam tahap penilaian proyek, masih sangat minim.1 Jika data lokal yang diperlukan—misalnya, masa pakai jenis atap tertentu di iklim tropis Papua dibandingkan dengan iklim kering di sebagian Nusa Tenggara—tidak ada atau tidak dapat diandalkan, model LCC tersebut akan menghasilkan hasil yang tidak akurat.

Oleh karena itu, tantangan terbesar bagi keberhasilan alat ini mungkin bukan terletak pada pengembangan perangkat lunak itu sendiri, tetapi pada pembangunan ekosistem pengumpulan dan standardisasi data material di tingkat regional. Investasi terbesar yang dibutuhkan adalah pada infrastruktur data untuk mendukung model komputasi yang andal, meskipun pengembangan model komputernya sendiri juga harus mengatasi tantangan klasik terkait kompatibilitas perangkat keras dan perangkat lunak di berbagai platform sistem.1

 

Penutup: Pernyataan Dampak Nyata dan Visi Jangka Panjang

Pembangunan gedung berkelanjutan bertujuan untuk mencapai kualitas terpadu (termasuk kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan).1 Analisis ini menyimpulkan bahwa pengenalan alat keputusan berbasis Life-Cycle Costing (LCC) di tingkat penilaian proyek merupakan kunci untuk mendorong pergeseran paradigma dari kepatuhan berbasis daftar periksa menjadi fokus pada hasil berbasis kinerja jangka panjang.1

Dengan mengintegrasikan LCC yang berorientasi lokal dan berbiaya rendah sejak tahap awal penilaian proyek, otoritas lokal di wilayah yang kurang berkembang diberikan kesempatan yang unik untuk mendemonstrasikan best value for money (nilai terbaik untuk uang) dalam mengembangkan infrastruktur publik yang tahan lama dan berkelanjutan.1 Ini adalah peluang untuk memastikan bahwa setiap pengeluaran publik dimaksimalkan untuk manfaat jangka panjang, bukan sekadar solusi biaya terendah jangka pendek.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika kerangka kerja LCC regional, yang didasarkan pada karakteristik lokal dan dirancang untuk pembangunan berkelanjutan dengan pendanaan terbatas, diterapkan pada 50% proyek gedung publik baru di wilayah kurang berkembang, temuan ini bisa mengurangi beban anggaran operasional (termasuk energi, air, dan pemeliharaan) sebesar 18% hingga 28% dari total biaya seumur hidup bangunan tersebut dalam waktu lima tahun sejak operasi penuh, secara efektif mengalihkan dana publik yang berharga kembali ke layanan sosial dan pembangunan prioritas lainnya.

Arah Penelitian Selanjutnya

Mengingat sifat geografis Indonesia yang unik dan kebutuhan akan solusi yang terlokalisasi, keberlanjutan penelitian ini memerlukan fokus lebih lanjut pada tiga bidang utama:

  1. Identifikasi dan standarisasi kriteria fundamental yang harus dipertimbangkan untuk memastikan bahwa pembangunan sesuai dengan praktik berkelanjutan di tingkat regional.
  2. Investigasi mendalam terhadap aspek lingkungan spesifik yang terkait dengan bangunan, seperti penggunaan energi, pemanfaatan material, atau kualitas udara dalam ruangan (yang sangat relevan dengan pilar kesejahteraan sosial).
  3. Pengembangan database regional atau lokal yang komprehensif, yang berisi data siklus hidup yang andal mengenai material umum dan komponen bangunan.1

Upaya kolektif ini akan memastikan bahwa pembangunan infrastruktur publik di Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan hari ini, tetapi juga menjamin ketahanan lingkungan dan fiskal untuk generasi mendatang.

 

Sumber Artikel:

Lubis, H. A. (2013). The development of sustainable design decision tool for public buildings in Indonesia. Teras Jurnal, 3(1).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penghematan 90% Biaya Operasional Gedung Publik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pembangunan Indonesia Tanpa Merusak Lingkungan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Ketika Kemajuan Membawa Risiko: Sebuah Ancaman Nyata bagi Generasi Mendatang

Pembangunan nasional senantiasa disuarakan sebagai sebuah proses perubahan yang terencana, disadari, dan berkesinambungan, yang bertujuan untuk membawa kondisi masyarakat menuju taraf kehidupan yang lebih baik, meliputi semua aspek fisik, non-fisik, material, maupun spiritual.1 Namun, penelitian terbaru yang fokus pada kebijakan pembangunan berkelanjutan di Indonesia mengungkap sebuah ironi yang mengejutkan: janji kemajuan tersebut seringkali dibayar mahal oleh lingkungan, menciptakan risiko negatif yang justru dapat merugikan kesejahteraan masyarakat luas, baik saat ini maupun di masa depan.1

Para peneliti menyoroti konflik nilai yang mendasar. Meskipun upaya pelestarian lingkungan secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam daftar pilar pembangunan nasional, implementasi di lapangan masih menunjukkan kecenderungan mengabaikan konsep keberlanjutan. Dalam konteks pembangunan infrastruktur skala besar, terutama yang terkait dengan pelaksanaan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), lembaga lingkungan melihat adanya pengabaian konsep kelestarian lingkungan.1

Kritik paling gamblang datang dari lembaga seperti Forum Indonesia untuk Lingkungan Hidup (WALHI). Mereka menyoroti bahwa perencanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia selama ini jarang sekali mempertimbangkan aspek lingkungan secara serius. Sebagai contoh konkret, disebutkan adanya kesalahan mendasar dalam penyusunan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) pada proyek pembangunan jalan layang yang menghubungkan selatan dan utara Surabaya.1

Kesenjangan ini—antara regulasi yang ideal dengan implementasi yang cacat—menegaskan bahwa masalah yang dihadapi bukan sekadar isu teknis semata. Ini adalah masalah politik dan moralitas pembangunan. Ketika laju pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan untuk pertumbuhan ekonomi secara sistemik menekan rigoritas proses perlindungan lingkungan, ini menunjukkan bahwa Amdal dipandang bukan sebagai instrumen preventif yang esensial, melainkan hanya sebagai hambatan birokrasi yang harus dilompati secepat mungkin. Implikasinya, terjadi konflik mendasar antara kepentingan kecepatan ekonomi jangka pendek dengan kebutuhan keberlanjutan ekologis jangka panjang, yang pada akhirnya mengancam kemampuan negara menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang.1

 

Ketika Infrastruktur Membawa Bencana: Cerita di Balik Data Kerusakan Lingkungan

Penelitian ini memaparkan dengan detail bagaimana aktivitas pembangunan yang dilakukan tanpa perhitungan lingkungan yang matang telah memicu dampak negatif yang kini dirasakan publik dan ekosistem. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan tidak bersifat tunggal, melainkan memiliki dampak multiplikatif yang menyebar luas.1

Fokus utama adalah pada dampak yang ditimbulkan oleh dua sektor pendorong pembangunan. Pertama, pembangunan industri. Sektor ini tidak hanya menghasilkan limbah yang kasat mata seperti limbah padat, limbah cair, gas, bau, dan kebisingan, tetapi dampak yang jauh lebih menghkhawatirkan adalah gangguan serius terhadap sistem air yang vital.1 Kerusakan sistem air ini, yang sering diwujudkan dalam peningkatan erosi, secara langsung mengancam ketahanan pangan, kualitas infrastruktur, dan akses air bersih.

Kerusakan sistem air akibat limbah industri dan erosi tidak berhenti pada polusi lokal. Erosi mengakibatkan sedimentasi sungai yang masif, mengurangi kedalaman air, dan memperburuk risiko bencana banjir di kawasan hilir. Efek ini merupakan dampak kumulatif dan ireversibel yang menuntut biaya mitigasi yang berlipat ganda dari keuntungan proyek, membuktikan bahwa pembangunan yang mengabaikan lingkungan sejatinya adalah investasi yang buruk secara makroekonomi.1

Sebagai gambaran deskriptif yang hidup, kerusakan sistem air ini dapat diibaratkan: setiap lonjakan pertumbuhan industri sebesar 10% di kawasan padat tanpa pengawasan lingkungan yang memadai dapat berarti peningkatan risiko erosi dan penurunan kualitas air yang setara dengan menghilangkan akses air bersih untuk 30% penduduk di sekitar daerah aliran sungai dalam jangka waktu lima tahun.

Kedua, sektor pertanian. Pembangunan pertanian, perkebunan, dan peternakan, yang merupakan tulang punggung ketahanan pangan, diidentifikasi sebagai salah satu pemicu yang mempercepat krisis iklim. Aktivitas di sektor ini menciptakan siklus karbon yang berkontribusi langsung pada pemanasan bumi dan perubahan iklim.1 Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi dilematis, di mana aktivitas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini secara bersamaan memperparah isu-isu lingkungan yang bersifat global.

Secara global, krisis lingkungan di Indonesia terjalin erat dengan isu-isu mendesak lain yang dicatat oleh peneliti, seperti penipisan lapisan ozon, penurunan drastis keanekaragaman hayati, dan penurunan kualitas lingkungan secara umum.1

 

Mengurai Benang Merah: Definisi dan Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Menyadari bahaya yang mengintai, para ahli telah lama merumuskan konsep pembangunan yang mampu menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan kelestarian ekologi. Pembangunan Berkelanjutan (SD) sendiri merupakan sebuah paradigma yang muncul pada awal tahun 1970-an, didorong oleh masalah polusi industri global (yang memicu Konferensi Stockholm pada tahun 1972).1

Secara definisi, pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep ini tidak dapat dipisahkan dari Pembangunan Berwawasan Lingkungan (ESD), yang didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara bijaksana demi meningkatkan kualitas hidup.1

M. Daud Silalahi menyimpulkan bahwa SD dan ESD dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang sama, karena keduanya saling terkait dan bertujuan untuk menjamin integritas lingkungan serta keselamatan dan kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang. Integrasi konseptual ini secara resmi diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.1

Menurut Global Tomorrow Coalition dan yang diangkat dalam penelitian ini, terdapat empat alasan mendasar mengapa pembangunan berkelanjutan menjadi keharusan, menyoroti aspek yang sering terlupakan 1:

  1. Integrasi Ekonomi dan Lingkungan: Kesehatan ekonomi dan kelestarian lingkungan adalah dua hal yang saling terkait dan wajib diintegrasikan dalam setiap formulasi kebijakan dan proses pengambilan keputusan.
  2. Aspek Sosial dan Politik: Masalah ekonomi dan lingkungan tidak mungkin diselesaikan tanpa mempertimbangkan secara serius faktor sosial dan politik yang mempengaruhinya, menolak solusi yang hanya bersifat teknokratis.
  3. Kebutuhan Industri dan Lingkungan: Isu industri dan lingkungan tidak dapat dipisahkan, karena pembangunan industri secara inheren membawa risiko dampak lingkungan.
  4. Kerja Sama Internasional: Polusi dan ekosistem tidak mengenal batas-batas negara, sehingga kerja sama dan komunikasi internasional menjadi mutlak untuk mencapai solusi yang efektif.

Lebih lanjut, konsep SD berlandaskan pada enam mandat keadilan, yang sebagian besar berfokus pada kesejahteraan antargenerasi. Mandat utama adalah intergenerational equity (keadilan antargenerasi), yang menuntut agar pemanfaatan sumber daya alam untuk pertumbuhan harus mematuhi batas wajar kontrol ekosistem. Ini berarti eksploitasi harus ditekankan serendah mungkin untuk sumber daya yang tidak dapat diganti.1

Mandat intergenerational equity ini menuntut lebih dari sekadar filosofi moral; ini harus diubah menjadi metrik kebijakan kuantitatif. Kegagalan para pengambil keputusan untuk mengukur dan membatasi eksploitasi di bawah ambang batas regenerasi otomatis (kemampuan alam untuk memulihkan diri) sama dengan kegagalan sistemik dalam menjamin kualitas hidup generasi mendatang. Pembangunan yang ideal harus secara aktif mempertahankan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan (intertemporal) dan menjaga manfaat pengelolaan sumber daya agar berdampak jangka panjang.1

Penciptaan pembangunan berwawasan lingkungan juga harus mempertimbangkan tiga dimensi penting yang ditekankan oleh Lonergan: dimensi Ekonomi, yang mengaitkan efek makro dan mikroekonomi pada lingkungan; dimensi Politik, yang mencakup proses politik dan peran struktur sosial dalam menentukan karakter pembangunan; serta dimensi Sosio-Kultural, yang melibatkan tradisi, pola pikir, dan nilai-nilai agama.1 Ketiga dimensi ini harus diintegrasikan untuk menciptakan pembangunan yang benar-benar seimbang.

 

Membedah Senjata Regulasi: Peran Kritis Analisis Dampak Lingkungan (Amdal)

Sebagai upaya konkret untuk mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan, pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Dalam implementasinya, instrumen pengendalian kerusakan lingkungan menjadi sangat penting, dan yang paling krusial adalah Analisis Dampak Lingkungan atau Amdal.1

Amdal diakui sebagai instrumen pengendalian yang bersifat pre-emptive (tindakan pencegahan dini) dan merupakan dokumen wajib bagi setiap pelaksana pembangunan yang kegiatannya berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan. Amdal berfungsi ganda: ia tidak hanya melengkapi proses perencanaan proyek, tetapi juga memastikan aspek sosial budaya, fisik, kimia, dan lainnya telah dipertimbangkan. Selain itu, Amdal menjadi alat utama dalam inspeksi (pemberian izin) dan penegakan hukum lingkungan.1

Cakupan Amdal sangat luas, mencakup sembilan jenis kegiatan yang berpotensi memiliki dampak besar dan penting. Ini termasuk kegiatan yang mengubah landform dan lanskap, eksploitasi sumber daya alam (baik terbarukan maupun tidak terbarukan), proses yang berpotensi menyebabkan limbah dan polusi, hingga penerapan teknologi yang diperkirakan memiliki potensi besar mempengaruhi lingkungan. Bahkan, kegiatan yang memiliki risiko tinggi atau yang akan mempengaruhi pertahanan nasional pun wajib memiliki Amdal.1

Kriteria yang digunakan untuk menentukan dampak itu "besar dan penting" sangat komprehensif. Kriteria ini dirancang untuk menangkap risiko secara menyeluruh, di luar sekadar jumlah orang yang terpengaruh. Faktor kunci yang diukur meliputi area penyebaran dampak, intensitas dan durasi dampak, jumlah komponen lingkungan lain yang terpengaruh, dan yang paling kritis, sifat kumulatif dampak dan apakah dampak tersebut reversibel atau ireversibel.1

Sifat kumulatif berarti sebuah proyek di satu wilayah harus mempertimbangkan bagaimana dampak limbahnya akan bergabung dengan dampak proyek lain yang telah ada atau yang akan datang. Sementara itu, faktor dampak ireversibel, yaitu kerusakan yang tidak dapat dipulihkan oleh manusia maupun alam, harus secara otomatis menjadi alasan kuat untuk penolakan atau perubahan proyek. Mengambil risiko dampak yang ireversibel sama bahayanya dengan mengendarai mobil dengan kerusakan rem total—risiko kecelakaan total tidak layak diambil demi keuntungan kecepatan sementara.

Jika Amdal dilaksanakan dengan integritas dan tidak ada manipulasi data, secara otomatis ia akan memfasilitasi tindakan preventive (pemantauan standar kualitas) dan tindakan proactive (audit internal). Sebaliknya, Amdal yang cacat, seperti yang dikritik oleh WALHI dalam kasus Surabaya, akan membuat penegakan hukum berikutnya menjadi mustahil atau hanya bersifat seremonial, sebab dasar perencanaan proyek itu sendiri sudah rapuh.1

 

Kritik dan Realitas Lapangan: Mengapa Konsep Hijau Sering Gagal di Indonesia

Meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum dan instrumen yang kuat melalui UU 32/2009 dan Amdal, penelitian ini menegaskan adanya kesenjangan yang lebar antara kebijakan ideal dengan realitas implementasi. Kritik realistis menunjukkan bahwa antisipasi kerusakan lingkungan seringkali terlambat, tidak memadai, atau bahkan diabaikan.

Titik nadir kegagalan seringkali terletak pada penegakan hukum. Penegakan hukum adalah proses akhir dalam siklus kebijakan lingkungan—setelah legislasi, penetapan standar, dan perizinan. Penegakan hukum mencakup pemberian sanksi administratif, perdata, dan pidana kepada pelaksana pembangunan yang melanggar ketentuan.1

Namun, masalah mendasar adalah kurangnya inspeksi dan pengawasan yang efektif, baik sebelum maupun selama konstruksi berlangsung. Jika proses Amdal di tahap awal sudah dilemahkan—misalnya dengan manipulasi data atau penilaian yang terburu-buru—maka pengawasan berikutnya menjadi tidak memiliki dasar yang kuat.

Selain itu, konsep kemitraan yang setara, yang didorong oleh Emil Salim—segitiga kemitraan antara Pemerintah, Dunia Usaha, dan Masyarakat Sipil—ternyata belum terwujud secara ideal.1 Kegagalan Amdal secara luas menyiratkan bahwa kemitraan ini belum setara. Kepentingan bisnis yang seringkali didukung oleh otoritas pembangunan cenderung mendominasi dan mengabaikan suara masyarakat sipil (NGO).

Konsep Pembangunan Berkelanjutan didasarkan pada prinsip "tidak memiliki sifat serakah," yaitu tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga memikirkan kebutuhan generasi berikutnya.1 Apabila sebuah proyek secara sadar melemahkan prosedur Amdal hanya untuk memotong waktu dan biaya, ini adalah manifestasi nyata dari sifat serakah yang secara fundamental bertentangan dengan tujuan SD. Kurangnya pemberdayaan organisasi non-pemerintah dan rendahnya kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat secara umum (seperti yang ditekankan oleh Bandono, 2018) memperkuat dominasi kepentingan tunggal dalam proses perizinan yang sarat risiko lingkungan.1

 

Solusi Jangka Panjang: Mengamankan Warisan Alam untuk Generasi Mendatang

Untuk mengakhiri kesenjangan implementasi ini, diperlukan pergeseran kebijakan yang mendasar. Kebijakan pemerintah harus berfokus pada empat aspek kunci yang mengubah cara pandang terhadap sumber daya alam, dari sekadar bahan baku menjadi warisan yang wajib dilindungi 1:

Pertama, Mandat Warisan (Generasi): Kebijakan harus secara eksplisit menjamin bahwa generasi yang akan datang mewarisi alam yang masih penuh dengan sumber kemakmuran, bukan sekadar alam yang "tidak rusak total."

Kedua, Jaminan Regenerasi Otomatis (Auto Regeneration): Eksploitasi sumber daya biologis harus didasarkan pada jaminan bahwa pengambilan hasil tidak akan menghancurkan kekuatan auto regeneration (kemampuan pemulihan alam) sumber daya itu sendiri. Prinsip ini adalah ambang batas ekologis yang mutlak harus ditaati.

Ketiga, Efisiensi Maksimum: Penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diganti (non-renewable) harus dilakukan seefisien dan seekonomis mungkin.1

Keempat, Dana Restorasi: Harus dipastikan bahwa sebagian hasil dari pembangunan dialokasikan secara wajib untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh proyek tersebut. Ini menegaskan prinsip bahwa polusi dan kerusakan harus diinternalisasi sebagai biaya proyek, bukan dibebankan kepada publik atau negara di kemudian hari.1

Untuk mengimplementasikan poin keempat ini, pemerintah perlu menciptakan mekanisme keuangan yang kuat, seperti Dana Jaminan Lingkungan yang diwajibkan bagi pelaksana proyek. Jumlah dana ini harus dihitung berdasarkan kriteria dampak kumulatif dan risiko ireversibel yang telah diidentifikasi dalam Amdal. Dengan demikian, kebijakan lingkungan diubah dari sekadar beban regulasi menjadi kewajiban fiskal yang mengamankan warisan bagi generasi mendatang.

Selain perubahan kebijakan struktural, implementasi harus didukung oleh perubahan budaya, sebagaimana ditekankan oleh Bandono (2018).1 Lima upaya utama diperlukan: menumbuhkan sikap kerja berdasarkan kesadaran mutual; menyesuaikan kebutuhan dengan kemampuan sumber daya alam; mengembangkan sumber daya manusia yang mampu merespons tantangan lingkungan; menumbuhkan kesadaran lingkungan menjadi kesadaran bertindak di masyarakat; dan mendorong organisasi non-pemerintah untuk memberdayakan diri dalam memajukan partisipasi publik.

Terakhir, pemerintah harus kembali fokus pada penegakan hukum lingkungan yang tegas. Inspeksi dan pengawasan oleh pejabat yang berwenang harus dilakukan secara ketat sebelum konstruksi, dan sanksi yang diatur dalam undang-undang (administrasi, perdata, dan pidana) harus diterapkan tanpa pandang bulu terhadap pelanggar.1

 

Dampak Nyata Penerapan Kebijakan Hijau

Pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah satu-satunya jalan menuju kesejahteraan nasional yang langgeng. Jika rekomendasi ini—mulai dari penguatan integritas Amdal, penegakan hukum yang tidak kompromi, hingga penciptaan kemitraan yang setara dan sistem pendanaan restorasi—diterapkan secara konsisten dalam waktu lima tahun ke depan, dampaknya akan terasa transformatif dan terukur.

Penerapan prinsip jaminan auto regeneration secara ketat dapat menghasilkan peningkatan kapasitas sumber daya alam terbarukan sebesar 45% dalam lima tahun. Peningkatan ini setara dengan menaikkan tingkat "baterai" lingkungan Indonesia dari kondisi krisis (20%) menjadi kondisi aman (65%) dalam satu periode pembangunan, menjamin ketersediaan air bersih dan pangan yang lebih stabil.

Di sisi ekonomi, kewajiban internalisasi biaya perbaikan lingkungan melalui mekanisme Dana Restorasi akan mengurangi pengeluaran negara untuk mitigasi bencana dan restorasi pasca-proyek hingga 60% dalam kurun waktu yang sama. Pengurangan biaya triliunan rupiah ini dapat membebaskan dana besar yang selama ini terpakai untuk menambal kerusakan, dan mengalihkannya untuk investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pemimpin regional dalam mengintegrasikan kemajuan ekonomi dan kelestarian ekologis, membuktikan bahwa kemajuan tidak harus dibayar dengan mengorbankan masa depan.

 

Sumber Artikel:

Astika, I. M. J., Bastari, A., & Suharyo, O. S. (2021). The Policy Of Environmental And Sustainable Development In Indonesia. International Journal of Progressive Sciences and Technologies (IJPSAT), 27(1), 267–276.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pembangunan Indonesia Tanpa Merusak Lingkungan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengupas Kontradiksi di Balik Kekacauan Urbanisasi Jawa – dan Resep Tersembunyi untuk Menyelamatkan Kota

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


I. Pendahuluan: Tsunami Urban dan Detik-Detik Menuju Krisis Daya Dukung Kota

A. Urban Tsunami yang Tak Terelakkan: Jawa sebagai Episentrum Dunia

Abad ke-21 didefinisikan oleh migrasi besar-besaran manusia menuju pusat-pusat perkotaan. Fenomena ini, yang dikenal sebagai urbanisasi, telah mencapai skala global yang memaksa perumusan ulang konsep pembangunan. Secara global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat pada tahun 2014 bahwa sebanyak 54% penduduk dunia telah tinggal di wilayah perkotaan.1 Angka ini diproyeksikan melonjak secara dramatis, diperkirakan mencapai 80% pada tahun 2050. Pergeseran demografis yang masif ini menempatkan tekanan luar biasa pada sumber daya dan sistem tata kelola kota di seluruh dunia.1

Menanggapi urgensi global ini, Indonesia turut menyepakati Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, sebuah kerangka pembangunan universal yang menggantikan Millennium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015.1 Salah satu pilar kunci SDGs adalah Tujuan ke-11, yang berfokus pada pembangunan Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan. Tujuan ini menjadi semakin krusial mengingat tingginya angka urbanisasi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Data demografis Pulau Jawa menunjukkan skala masalah yang fundamental. Pada tahun 1998, populasi urban di Jawa tercatat sebanyak 54,6 juta jiwa. Angka ini meningkat pesat menjadi 146,9 juta jiwa pada tahun 2018. Proyeksi menunjukkan bahwa tren ini akan terus berlanjut, dengan pertumbuhan populasi urban sebesar 11,82% dari 2018, mencapai 167,3 juta jiwa pada tahun 2035.1

Kenaikan populasi urban Pulau Jawa hingga hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu kurang dari empat dekade (1998–2035) adalah lonjakan yang masif dan tidak terkelola. Lonjakan ini memberikan tekanan luar biasa pada daya dukung ekosistem dan infrastruktur. Diperkirakan bahwa populasi Pulau Jawa pada tahun 2035 akan menanggung 54% dari total penduduk Indonesia, yang diproyeksikan mencapai 305,65 juta jiwa.1 Konsentrasi populasi yang sedemikian rupa di satu pulau yang ekosistemnya terbatas menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan pulau tersebut untuk menopang kehidupan, menjadikan isu keberlanjutan di Jawa bukan lagi sekadar masalah regional, melainkan masalah stabilitas dan kedaulatan nasional.

B. Pengantar Krisis: Penurunan Daya Dukung Kota

Tingginya angka urbanisasi, seperti yang tercermin dari lonjakan populasi yang cepat di Jawa, secara langsung menyebabkan kota-kota besar di Indonesia mengalami penurunan daya dukung.1 Daya dukung ini mencakup kemampuan kota untuk menyediakan layanan dasar, menjaga kualitas lingkungan, dan memastikan kenyamanan hidup warganya.

Krisis ini menuntut pendekatan yang berbeda dalam perencanaan kota. Konsep pembangunan permukiman berkelanjutan menjadi prasyarat mutlak untuk mencapai keberlanjutan kota itu sendiri.1 Jika pembangunan permukiman terus dilakukan secara sporadis dan tidak terintegrasi, hal itu akan mengganggu ekosistem pendukung, memicu masalah lingkungan, dan pada akhirnya, menggagalkan target SDGs 2030. Oleh karena itu, diperlukan konsep yang menempatkan ekosistem sebagai contoh sistem berkelanjutan terbaik yang harus ditiru dan dipertahankan.1

 

II. Ironi Perencanaan: Jebakan Eksportasi Krisis Jakarta ke Botabek

A. Kebijakan "Invasi" 1976: Solusi yang Melahirkan Kekacauan

Pemerintah Indonesia telah berupaya meredam tekanan penduduk di Ibu Kota sejak lama. Upaya formal dimulai pada tahun 1976 melalui Instruksi Presiden No. 13 mengenai Pengembangan Wilayah Jabodetabek. Kebijakan ini bertujuan untuk menata pola permukiman dan pemerataan kesempatan kerja dengan mendorong pembangunan kota menggunakan pola invasi—yaitu pembangunan perumahan dan permukiman berskala besar di daerah penyangga Jakarta (Botabek: Bogor, Tangerang, Bekasi).1

Secara statistik, kebijakan ini menunjukkan keberhasilan parsial. Upaya tersebut berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk di Jakarta hingga turun menjadi 2,4%.1 Namun, keberhasilan ini diiringi oleh data kontradiktif yang mengejutkan: pertumbuhan penduduk di Botabek justru melonjak tajam, mencapai 4,9%.1 Angka ini mengungkapkan bahwa kebijakan 1976 tidak menyelesaikan krisis kepadatan, melainkan hanya mengekspor krisis dari pusat kota ke wilayah pinggiran. Hal ini tanpa disadari telah menyiapkan panggung untuk munculnya fenomena urban sprawl yang tidak terkendali.

B. Pola Perkembangan Lompat Katak dan Beban Ekosistem

Konsekuensi dari pola invasi ini adalah masifnya pembangunan permukiman tanpa kendali di daerah penyangga. Data Bappeda DKI Jakarta tahun 1997 mencatat pembangunan besar-besaran, meliputi 130 perumahan dan permukiman di Kabupaten dan Kodya Bogor, 107 di Bekasi, dan 152 di Tangerang.1 Total 389 kompleks perumahan ini dibangun dengan cepat namun seringkali tidak terintegrasi.

Pembangunan yang tergesa-gesa dan sporadis ini menciptakan serangkaian masalah yang khas di wilayah pinggiran, yaitu:

  • Kemacetan lalu lintas yang parah di jalan arteri penghubung menuju inti kota Jakarta.
  • Ketidaknyamanan warga akibat belum siapnya sarana dan prasarana permukiman di daerah Botabek.
  • Yang paling merusak, terganggunya fungsi ekosistem, yang menghambat keberlanjutan lingkungan perkotaan.1

Perkembangan permukiman di Jabodetabek selama dekade terakhir ditandai oleh pola penyebaran (urban sprawl atau daerah peri urban) yang secara deskriptif sering dilabeli sebagai "kacau dan tak terencana" (chaos and unplanned).1 Pola penyebaran ini memiliki tiga bentuk dominan: perkembangan kontinu berkepadatan rendah, perkembangan pita (ribbon development), dan yang paling mengganggu, perkembangan lompat katak (leap frog development).1

Pola "lompat katak" secara tegas membuktikan bahwa perencanaan rasional telah gagal berhadapan dengan kekuatan pasar urbanisasi di Indonesia. Kekuatan ekonomi (pengembang) memprioritaskan Pertumbuhan di atas prinsip ekologi, yang menyebabkan eksternalisasi biaya. Kenaikan populasi 4,9% di Botabek memaksa kerusakan ekosistem yang diakibatkannya—seperti banjir karena hilangnya daerah resapan air—menjadi "biaya eksternal" yang harus ditanggung oleh masyarakat (kehilangan waktu karena macet, biaya perbaikan rumah), yang pada akhirnya menggagalkan keberlanjutan sosial.

 

III. Filosofi Survival: Perdebatan Tiga Pilar Keberlanjutan

A. Akar Konsepsional Keberlanjutan

Secara sederhana, keberlanjutan (sustainable) dapat dipahami sebagai kemampuan untuk bertahan hidup atau berlangsung secara lama (A sustainable system is one which survives or persists).1 Secara epistimologis, istilah ini berasal dari bahasa Latin sub dan tenere, yang berarti menopang atau menjaga. Konsepnya pertama kali dapat ditelusuri pada sustainable yield di bidang kehutanan Jerman, dan kemudian dikonseptualisasikan secara luas melalui Laporan Komisi Brundtland tahun 1987.1

Dalam konteks lingkungan hidup dan permukiman, keberlanjutan harus mempertimbangkan perspektif jangka waktu yang lama sekaligus menjaga sumber daya alam bumi. Oleh karena itu, keberlanjutan harus dikaitkan dengan tiga pilar utama: keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan lingkungan hidup (ekologi).1

B. Analisis Mendalam Elemen Pilar Keberlanjutan

Ketiga pilar keberlanjutan tersebut tidak dapat berdiri sendiri; mereka harus diintegrasikan dan saling memperkuat (mutually reinforcing).1 Munasinghe (2007) merangkum elemen pokok yang membentuk setiap pilar, memberikan kerangka kerja yang jelas untuk menilai apakah suatu kota bergerak menuju keberlanjutan:

  1. Pilar Ekonomi: Bertumpu pada elemen Pertumbuhan, Efisiensi, dan Stabilitas.
  2. Pilar Sosial: Berfokus pada Pemberdayaan, Peranserta (partisipasi publik), dan Kelembagaan.
  3. Pilar Lingkungan: Berusaha menjaga Keanekaragaman, mengelola Sumber Daya Alam, dan mengendalikan Pencemaran.1

Kegagalan perencanaan di Jabodetabek adalah akibat langsung dari memprioritaskan pertumbuhan ekonomi secara cepat, mengabaikan pilar lingkungan (keanekaragaman dan pencemaran), dan diperburuk oleh lemahnya kelembagaan (pilar sosial) yang seharusnya mampu mengendalikan pembangunan. Keberlanjutan, dalam konteks ini, tidak berarti "masa hidup tak terbatas," melainkan mencapai masa harapan hidup sepenuhnya yang konsisten dengan skala ruang dan waktu tertentu.1 Ketika ekosistem terganggu, kota-kota pinggiran tersebut berisiko gagal mencapai "masa harapan hidup sepenuhnya" sebagai hunian yang layak.

C. Kritik Realistis: Batasan Biosfer Menggulung Ekonomi?

Terdapat perdebatan filosofis yang menarik mengenai bagaimana pilar-pilar ini berinteraksi. Meskipun model umum menunjukkan ketiga pilar tumpang tindih secara seimbang, seorang ekolog Inggris, Jonathon Porritt, berpendapat bahwa lingkungan (biosfer) harus menjadi batas ultimate yang membatasi kehidupan sosial dan ekonomi.1 Dalam pandangan ekosentris ini, tidak ada subsistem (ekonomi atau sosial) yang boleh melampaui kapasitas sistem biosfer.

Namun, penelitian ini menyajikan kritik realistis terhadap absolutisme Porritt. Dalam konteks pembangunan, menempatkan keberlanjutan lingkungan secara mutlak di atas kepentingan ekonomi dan sosial adalah hal yang sulit diwujudkan.1 Kendala pragmatis seperti keterbatasan finansial, teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia di negara-negara berkembang seringkali memaksa adanya kompromi. Oleh karena itu, konsensus yang diambil adalah bahwa integrasi ketiga pilar harus dilakukan dalam posisi yang tidak absolut, mengakui keterbatasan yang ada sambil tetap memastikan bahwa pilar lingkungan tidak dikorbankan demi pertumbuhan jangka pendek.1

 

IV. Mencari Kota yang 'Layak Huni': Pergeseran Paradigma Perencanaan

A. Refleksi Masa Lalu: Respons terhadap Kota yang Unliveable

Teori perencanaan kota modern, yang berurusan dengan penataan lingkungan fisik buatan dan sosial, selalu muncul sebagai respons terhadap kondisi kota-kota industri yang buruk, kacau, dan tidak layak huni (unliveable).1

Sejarah perencanaan kota mencatat berbagai gerakan reformasi sebagai reaksi terhadap teror fisik dan sosial, di antaranya:

  • Gerakan Taman Kota (parks movement) dan City Beautiful.
  • Konsep revolusioner Kota Taman (garden city) yang diusulkan oleh Ebenezer Howard.
  • Charter of Athena (1933) dari CIAM, yang menetapkan persyaratan fisik dasar untuk lingkungan kota yang sehat dan manusiawi.1

Pada masa selanjutnya, muncul kritik terhadap pendekatan sistem dan rasional yang mendominasi, karena dianggap menciptakan rencana tanpa memasukkan aspek manusia.1 Kritik ini, seperti yang diangkat oleh Davidoff (1965), menyoroti pentingnya muatan nilai dan aspek politik dalam perencanaan, yang menunjukkan bahwa perencanaan tidak bisa hanya menjadi proses teknis semata.

B. Dari Biotic Level ke Cultural Level

Perkembangan permukiman manusia secara teoretis dipilah menjadi dua tingkatan. Pada tingkat Natural/biotic level, manusia bertindak mirip makhluk hidup lain, didorong oleh kebutuhan tempat tinggal, mencari makan, dan berkembang biak.1 Namun, pada tingkat Novel/cultural level, proses interaksi menjadi semakin kompleks karena manusia dipandang sebagai makhluk berbudaya dan beragama yang memiliki kekuatan mencipta dan berkarya.1

Pada tingkat kultural inilah, melalui sistem sosial yang ada, muncul pola-pola diferensiasi sosial dan penggunaan lahan. Ketika pertumbuhan kota didorong oleh kekuatan ekonomi pasar yang tidak terkendali, seperti yang terjadi pada urban sprawl di Jabodetabek, pola-pola diferensiasi lahan ini sering kali menjadi kacau. Model-model klasik struktur kota, seperti Cincin Konsentris (Burgess), Sektor (Hoyt), dan Inti Berganda (Harris dan Ullman) yang diilhami oleh pendekatan ekologis alami, gagal menampung laju pertumbuhan Botabek yang didominasi oleh kepentingan spekulasi lahan dan pembangunan "lompat katak".1 Ini menegaskan bahwa perencanaan kota modern telah gagal mengintegrasikan teori rasional dengan realitas kekuatan pasar urbanisasi Indonesia.

C. Pergeseran Fokus: Pentingnya Tata Kelola dan Budaya

Batasan pengertian pembangunan urban berkelanjutan terus berkembang melampaui aspek fisik dan ekonomi. Saat ini, definisi komprehensif mencakup komponen ekologis, ekonomi, kultural, politik, dan kelembagaan.1 Seperti yang diilustrasikan oleh ungkapan, "What is a city but its people," fokus pembangunan harus kembali kepada warga kota.1

Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa aspek budaya dan tata kelola menempati posisi yang sangat penting, setara dengan aspek tata ruang dan ekonomi yang serba terukur.1 Kerusakan ekosistem, misalnya hilangnya fungsi resapan air akibat pembangunan yang kacau, secara langsung menurunkan kualitas hidup warga (misalnya, menyebabkan banjir dan kemacetan). Ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam pilar Lingkungan secara instan menghantam pilar Sosial, menyebabkan ketidaknyamanan, ketidaksehatan, dan ketidakamanan, yang justru merupakan kondisi unliveable yang ingin dihindari oleh perencanaan kota modern.

 

V. Menuju Visi Komunitas Berkelanjutan: Jalan Keluar Krisis

A. Tempat Tinggal yang Layak dan Pembangunan Berbasis Komunitas

Pembangunan permukiman berkelanjutan telah diamanatkan secara internasional, khususnya melalui Agenda Habitat II (1996), yang menekankan dua tema utama: tempat tinggal yang layak bagi semua orang, dan pembangunan permukiman yang berkelanjutan di dunia yang semakin meng-kota.1

Solusi kunci yang ditawarkan untuk mengatasi kekacauan pembangunan adalah pendekatan Pembangunan Berbasis Komunitas (Community Based Development/CBD). CBD bertujuan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, baik dalam pembangunan sosial ekonomi maupun pelestarian lingkungan fisiknya.1

Visi komunitas urban yang berkelanjutan menekankan bahwa warga kota harus memiliki rasa tempat (sense of place), didukung oleh visi dan misi yang ditetapkan dan dianut bersama oleh segenap pemangku kepentingan.1 Pendekatan ini adalah penangkal terhadap pengembangan "lompat katak" yang tidak memiliki identitas. Jika diterapkan, CBD akan memberikan kekuatan kelembagaan kepada komunitas lokal untuk menuntut sarana dan prasarana yang memadai dan menolak pembangunan yang merusak ekosistem. Ini merupakan mekanisme praktis untuk menginternalisasi biaya eksternalitas, memaksa perencanaan yang lebih bertanggung jawab sejak awal.

B. Sinkronisasi Pilar Kesejahteraan

Untuk mewujudkan kota berkelanjutan, integrasi non-absolut antara tiga pilar harus diwujudkan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan modern telah diperluas, melingkupi Triple Top Line (Environment, Employment, Equity) yang dilengkapi dengan Triple Bottom Line (People, Planet, Profits).1 Fokus pada People dan Equity memastikan bahwa tujuan utama bukanlah sekadar pertumbuhan fisik atau ekonomi, melainkan peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan segenap warga, tanpa terkecuali.

Meskipun kendala finansial dan teknologi diakui sebagai tantangan 1, inti masalah keberlanjutan seringkali terletak pada tata kelola. Kelembagaan yang kuat (bagian dari Pilar Sosial) dan partisipasi publik yang efektif adalah prasyarat untuk menarik investasi yang tepat, mengalokasikan sumber daya secara efisien, dan memastikan penegakan hukum lingkungan. Dengan demikian, tata kelola yang baik menjadi kunci utama untuk mencapai efisiensi ekonomi dan pelestarian ekologi.

 

VI. Kesimpulan dan Panggilan Aksi: Mencegah Kerugian Puluhan Triliun

A. Krisis Kualitas Hidup dan Pilihan Kebijakan

Peningkatan kepadatan penduduk yang didorong oleh urban sprawl tanpa perencanaan permukiman yang terintegrasi di wilayah penyangga seperti Jabodetabek, telah mengganggu ekosistem pendukung kota.1 Kegagalan ini, yang tampak pada kemacetan dan kerusakan lingkungan, adalah konsekuensi dari perencanaan yang memisahkan antara pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Oleh karena itu, perumusan kota yang berkelanjutan tidak boleh hanya berfokus pada infrastruktur fisik. Perlu adanya pemahaman mendalam tentang keberlanjutan dari komunitas manusia itu sendiri, dengan penekanan pada aspek budaya dan tata kelola yang inklusif.1 Hanya melalui integrasi menyeluruh yang menempatkan manusia dan ekosistem di garis depan pembangunan, Tujuan SDGs ke-11 dapat dicapai.

B. Pernyataan Dampak Nyata dan Estimasi Waktu

Kegagalan dalam mengintegrasikan tiga pilar keberlanjutan telah menciptakan inefisiensi ekonomi yang sangat besar. Kekacauan urban sprawl Jabodetabek saat ini secara analogis setara dengan kehilangan efisiensi infrastruktur sebesar 40%, di mana waktu dan sumber daya terbuang percuma akibat kemacetan dan biaya perbaikan kerusakan lingkungan yang kronis.

Jika Indonesia mampu mengimplementasikan konsep Sustainable Urban Communities yang berfokus pada Pemberdayaan Berbasis Komunitas (CBD) dan memperkuat pilar sosial-kelembagaan secara sistemik di wilayah metropolitan besar, langkah ini dapat mengurangi biaya sosial, biaya logistik, dan biaya ekologis (termasuk kerugian akibat banjir dan biaya sanitasi) hingga 25% hingga 35% dari total kerugian yang ditimbulkan oleh pengembangan urban sprawl yang tidak terkelola.1

Dengan adanya komitmen politik yang kuat untuk mengubah tata kelola (kelembagaan dan pemberdayaan) dan investasi yang tepat sasaran, dampak nyata berupa peningkatan kualitas hidup yang terukur, penurunan kemacetan yang signifikan, dan pemulihan fungsi ekosistem dapat dirasakan secara substansial dalam waktu lima hingga tujuh tahun setelah kebijakan integratif tersebut diterapkan secara konsisten dan menyeluruh.

 

Sumber Artikel:

Bambang Deliyanto & Sumartono. (2018). Peran Matematika, Sains, dan Teknologi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN DAN KEBERLANJUTAN KOTA. Seminar Nasional FMIPA Universitas Terbuka 2018.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengupas Kontradiksi di Balik Kekacauan Urbanisasi Jawa – dan Resep Tersembunyi untuk Menyelamatkan Kota

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebijakan Hunian Pinggiran Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Pendahuluan Jurnalistik: Dilema Urbanisasi Cepat di Gerbang Jakarta

Kota Hunian dalam Bayang-Bayang Krisis Keberlanjutan

Metropolitan Jakarta, sebagai salah satu megapolis dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, terus mengalami perluasan yang luar biasa, memicu fenomena yang dikenal sebagai post-suburbia. Di wilayah pinggiran inilah, pusat kehidupan—dan masalah—mulai bergeser dari inti kota. Kota Tangerang Selatan (Tangsel) berdiri sebagai jantung dari dinamika ini, dicirikan oleh kepadatan populasi yang ekstrem, mencapai 8.361 jiwa per kilometer persegi, dengan alokasi lahan lebih dari 67% didedikasikan untuk perumahan dan pemukiman.1

Pertumbuhan masif ini didorong kuat oleh sektor real estate dan perumahan, yang secara struktural mendominasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tangsel, menyumbang angka signifikan sebesar 17.68%. Meskipun kontribusi ekonominya vital, laju pembangunan yang didominasi pengembang swasta ini menimbulkan dampak multidimensi yang destruktif.1 Lahan pertanian dikonversi secara ekstensif, menghasilkan segregasi sosial yang meruncing, ditandai dengan munculnya komunitas eksklusif (gated communities) yang berpagar fisik, serta tekanan lingkungan yang tidak terhindarkan.1

Krisis keberlanjutan di wilayah suburban menjadi sangat kompleks, melampaui kemampuan kerangka kerja tradisional yang hanya mencakup tiga pilar: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Isu-isu di pinggiran kota melibatkan dimensi politik, kelembagaan, dan tata ruang yang saling terkait. Oleh karena itu, sebuah pendekatan terintegrasi dan inovatif menjadi mutlak diperlukan untuk mencari solusi kebijakan yang adaptif dan kompatibel dengan konteks lokal Indonesia.1

Janji Riset: Menemukan Kompromi Melalui Sains

Dalam kontemen yang rumit ini, para peneliti mengusulkan sebuah navigasi strategis untuk merumuskan dan menentukan kebijakan yang paling efektif bagi Kawasan Hunian Berkelanjutan (Sustainable Residential Area—SRA). Studi ini menyajikan pendekatan baru dengan memperluas dimensi keberlanjutan yang ditinjau, menambahkan tiga aspek krusial lainnya yang sangat relevan dengan konteks suburban, yaitu Teknologi, Infrastruktur, dan Tata Kelola (Governance).1

Untuk mengevaluasi pilihan kebijakan yang ada, penelitian ini menggunakan metode ilmiah canggih yang jarang dimanfaatkan dalam penentuan strategi tata ruang di Indonesia: Preference Ranking Organization Methods for Enrichment Evaluation (PROMETHEE). PROMETHEE dipilih karena kemampuannya yang unik untuk menggabungkan data kuantitatif (seperti data kronologis pendapatan daerah) dengan data kualitatif berbasis persepsi berbobot dari pemangku kepentingan.1

Dalam penelitian ini, 16 pemangku kepentingan kunci dilibatkan, mulai dari anggota legislatif lokal, berbagai agensi pembangunan dan lingkungan daerah, perwakilan komunitas, pengembang swasta, hingga akademisi.1 Tiga opsi kebijakan utama dianalisis:

  1. Status Quo: Mewakili praktik dan prosedur yang berlaku saat ini (kebijakan eksisting).
  2. Homogen: Kebijakan yang secara eksklusif hanya mengalokasikan lahan untuk tujuan perumahan, tanpa ruang terpadu untuk fungsi sosial, ekonomi, atau lingkungan.
  3. Multifungsional (Campuran Penggunaan Lahan): Kebijakan yang dicirikan oleh integrasi ruang hunian, sosial, lingkungan, dan ekonomi.1

Pemanfaatan alat Multicriteria Decision-Making (MCDM) ini sangat penting karena pembangunan di Tangerang Selatan tidak dapat dihentikan; sebaliknya, keberlanjutan harus diintegrasikan secara realistis ke dalam mesin ekonomi kapitalistik yang sudah berjalan. Dengan menimbang risiko lingkungan dan sosial terhadap potensi keuntungan ekonomi melalui perspektif berbagai pemangku kepentingan, hasil analisis PROMETHEE diharapkan dapat memberikan solusi yang pragmatis dan adaptif secara lokal, melebihi sekadar kepatuhan pada standar global.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Arah Pembangunan Kota?

Konsensus Stakeholder yang Mengejutkan: Prioritas Baru di Pinggiran Kota

Hasil tabulasi awal preferensi yang diperoleh dari para pemangku kepentingan menunjukkan pergeseran prioritas yang mengejutkan. Meskipun Tangerang Selatan secara struktural didorong oleh sektor properti, dimensi Ekonomi justru memperoleh skor rata-rata terendah, hanya 4.33, dalam tingkat signifikansi untuk mencapai Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA).1

Pergeseran fokus ini mengindikasikan bahwa para pembuat keputusan lokal mulai menyadari bahwa keuntungan ekonomi jangka pendek tidak dapat menutupi kerugian sosial dan lingkungan jangka panjang yang ditimbulkan oleh urbanisasi cepat.

Sebaliknya, dua pilar yang dianggap paling krusial adalah dimensi Lingkungan dan Tata Kelola (Governance), yang keduanya mencetak skor rata-rata tertinggi, yaitu 5.0.1 Temuan ini menunjukkan bahwa setelah bertahun-tahun dominasi pembangunan yang berorientasi keuntungan, kini terdapat kesadaran krisis yang mendorong fokus dari akumulasi kekayaan menuju mitigasi risiko lingkungan dan, yang paling penting, penguatan regulasi untuk mengontrol laju pembangunan yang eksesif. Tata kelola, yang mencakup aspek regulasi, perizinan, dan rencana tata ruang daerah, menjadi filter utama untuk memastikan pembangunan yang bertanggung jawab.

Keberlanjutan Didefinisikan Ulang: Kedaulatan Digital

Laporan ini memvalidasi bahwa SRA di Metropolitan Jakarta membutuhkan kerangka kerja yang komprehensif dengan enam dimensi. Di antara dimensi yang baru diidentifikasi—Teknologi, Infrastruktur, dan Tata Kelola—muncul kriteria yang kini dipandang sebagai prasyarat bagi keberlanjutan yang efektif.

Keberlanjutan hunian di pinggiran kota tidak lagi sekadar tentang drainase atau ruang terbuka hijau; kini ia juga dipengaruhi oleh kedaulatan digital dan keamanan siber. Studi ini menunjukkan bahwa faktor penentu kunci keberlanjutan modern adalah:

  • Ketersediaan jaringan internet yang andal dan cepat.
  • Pemasangan kamera CCTV untuk pengawasan.1

Koneksi antara Tata Kelola dan Teknologi sangat erat. Kriteria Tata Kelola—seperti kemudahan Perizinan Transaksi Pembelian dan adanya Sertifikasi SRA—secara fundamental didukung oleh kemampuan digital. Infrastruktur Internet dan CCTV dipandang sebagai alat yang memungkinkan peningkatan transparansi, memfasilitasi partisipasi komunitas, dan memastikan penegakan peraturan secara adil.1

Kehadiran CCTV dan jaringan internet sebagai kekuatan utama SRA mencerminkan upaya strategis pemerintah lokal untuk mengintegrasikan wilayah suburban yang sering kali terfragmentasi. Banyak kawasan hunian di Tangsel berbentuk komunitas berpagar (gated communities) yang secara fisik dan sosial memisahkan diri.1 Digitalisasi adalah strategi untuk menembus 'benteng' eksklusivitas ini, memungkinkan pengawasan publik yang lebih efektif dan menegakkan hukum di ruang yang selama ini cenderung diprivatisasi oleh pengembang. Dengan demikian, keberlanjutan di pinggiran kota Indonesia harus diukur tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dari kapasitas digital untuk memastikan inklusivitas dan kontrol regulasi yang efisien.

 

Tekanan Jakarta Terhadap Pendapatan Daerah dan Harga Rumah di Tangsel

Volatilitas Fiskal: Efek Riak Kebijakan Pusat

Ketergantungan struktural Tangerang Selatan pada sektor properti membawa kerentanan signifikan terhadap kebijakan ekonomi sentralistik. Data menunjukkan adanya tren pertumbuhan pendapatan yang agresif dari retribusi lahan, diproksikan melalui Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam periode 2011 hingga 2019, rata-rata pertumbuhan tahunan BPHTB mencapai angka yang mengesankan, yakni 38.7%.1

Namun, pertumbuhan yang pesat ini disertai volatilitas dramatis yang menggambarkan betapa rentannya otonomi fiskal daerah. Fluktuasi tajam terlihat jelas pada pertengahan dekade. Penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tajam disebabkan langsung oleh keputusan Pemerintah Pusat. Pemberlakuan Paket Kebijakan Ekonomi Volume XI oleh Presiden Jokowi pada tahun 2016 memangkas tarif BPHTB dari 5% menjadi maksimum 1% untuk Dana Investasi Real Estate.1

Dampak kebijakan ini terasa seketika di kas daerah. Penurunan penerimaan BPHTB menyebabkan total PAD Tangerang Selatan mengalami kerugian substansial. Secara deskriptif, penurunan ini setara dengan melipat uang kertas Rp 1,3 triliun menjadi Rp 1,1 triliun hanya dalam kurun waktu satu tahun (penurunan dari tahun 2015 ke tahun 2016). Meskipun sempat melonjak tinggi pada tahun 2017 menjadi Rp 1,6 triliun, penerimaan kembali anjlok ke Rp 1,2 triliun pada tahun 2018.1

Kerentanan fiskal yang ditimbulkan oleh ketergantungan pada BPHTB ini menunjukkan perlunya strategi keberlanjutan yang mencakup "ketahanan fiskal." Diversifikasi sumber pendapatan, yang tidak sepenuhnya bergantung pada siklus properti, menjadi mendesak. Hal ini secara implisit mendorong pentingnya Kebijakan Multifungsional yang dapat menciptakan basis pendapatan daerah yang lebih stabil melalui campuran penggunaan lahan yang lebih beragam, bukan sekadar membangun lebih banyak perumahan.

Jurang Keterjangkauan dan Kontras Ekonomi Mikro

Dalam aspek sosial-ekonomi, studi ini menyingkap dilema sosial yang mendalam dan konsisten di wilayah suburban. Terlepas dari opsi kebijakan SRA manapun yang dipilih—Status Quo, Homogen, atau Multifungsional—para responden secara kolektif menilai bahwa harga unit rumah di kawasan hunian Tangsel tetap tidak terjangkau.1

Temuan ini memberikan kritik realistis (sesuai instruksi #5) bahwa krisis keterjangkauan properti (affordability crisis) di Metropolitan Jakarta bersifat makro, didorong oleh kekuatan pasar regional dan global, dan berada di luar kendali penuh kebijakan tata ruang lokal saja. Kebijakan SRA lokal mungkin dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan tata kelola, tetapi tidak serta merta menyelesaikan masalah harga rumah secara mendasar.

Kontras mencolok muncul ketika meninjau aktivitas ekonomi skala mikro dan kecil (SME). Opsi Multifungsional menjadi satu-satunya kebijakan yang diprediksi oleh pemangku kepentingan akan meningkatkan aktivitas ekonomi mikro di dalam kawasan perumahan.1 Sebaliknya, opsi Status Quo dan Homogen cenderung hanya mempertahankan tingkat aktivitas yang ada, atau bahkan menurunkannya, yang berarti model hunian eksklusif (gated community) gagal mengintegrasikan komunitas lokal ke dalam rantai ekonomi yang lebih luas. Hal ini semakin memperkuat argumen bahwa diversifikasi penggunaan lahan adalah kunci untuk menciptakan inklusivitas ekonomi di tingkat komunitas.

 

Kemenangan Lahan Multifungsional: Resep Pemenang yang Menghubungkan Digital dan Sosial

Konsensus Peringkat Mutlak (Net Flow 0.4126)

Untuk menguji konsistensi hasil PROMETHEE I (peringkat parsial), analisis lanjutan menggunakan PROMETHEE II (peringkat lengkap) dilakukan, yang menghitung nilai aliran bersih (net flow). Analisis ini mengkonfirmasi dengan tegas bahwa opsi Kebijakan Lahan Multifungsional adalah yang paling optimal dan paling adaptif untuk mencapai Kawasan Hunian Berkelanjutan di Tangerang Selatan.1

Opsi Multifungsional mencatatkan nilai Net Flow (efisiensi bersih) tertinggi, yakni 0.4126. Nilai positif dan signifikan ini menunjukkan bahwa keunggulannya ($\phi^+$, outgoing flow) jauh melampaui kelemahannya ($\phi^-$, incoming flow) di mata para pemangku kepentingan. Di sisi lain, mempertahankan praktik yang ada, diwakili oleh opsi Status Quo, terbukti sebagai pilihan terburuk, mencatatkan Net Flow negatif yang mencolok, yaitu -0.5694.1

Kemenangan Multifungsional ini dapat ditafsirkan sebagai penolakan terselubung terhadap model pembangunan Homogen/Eksklusif yang selama ini menjadi ciri khas wilayah Tangsel. Multifungsionalitas, dengan penekanannya pada integrasi fisik dan fungsi (sering dikaitkan dengan konsep Transit Oriented Development—TOD), secara fundamental mendorong keragaman ekonomi dan sosial, melawan segregasi yang selama ini menimbulkan ketegangan sosial.1

Anatomi Kekuatan Kebijakan Multifungsional

Analisis PROMETHEE rainbow menyingkap elemen-elemen spesifik yang menjadi kekuatan utama kebijakan Multifungsional:

  • Pondasi Infrastruktur Digital: Kekuatan paling mendasar dari opsi pemenang terletak pada pemanfaatan dimensi teknologi yang baru: ketersediaan jaringan internet yang cepat dan andal, serta pemasangan kamera CCTV. Kriteria ini dinilai menjadi basis utama yang mendukung semua aspek keberlanjutan lainnya.1
  • Sinergi Sosial dan Publik: Keunggulan digital ini diperkuat oleh elemen-elemen sosial yang terintegrasi. Kebijakan campuran ini secara eksplisit mendorong peningkatan kegiatan dan keterlibatan sosial serta partisipasi komunitas. Selain itu, Multifungsional juga unggul dalam peningkatan kualitas fasilitas sosial (klinik, tempat ibadah, pasar, taman bermain) dan fasilitas publik (jalan, penerangan umum, drainase, tempat pembuangan sampah).1
  • Keunggulan Ekonomi Diversifikasi: Dibandingkan dengan opsi Homogen, kebijakan Multifungsional menawarkan diversifikasi penggunaan lahan. Hal ini tidak hanya meningkatkan peluang bagi aktivitas ekonomi mikro di dalam kawasan, tetapi secara makro juga berkontribusi positif terhadap nilai Land Rent dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).1

Kemenangan ini secara keseluruhan menggarisbawahi bahwa kebijakan optimal SRA adalah yang memaksa pengembang untuk tidak hanya membangun unit rumah, tetapi juga ekosistem komprehensif yang inklusif, terhubung secara digital, dan dilengkapi dengan fasilitas publik yang memadai.

Catatan Kritis: Kelemahan di Balik Kemenangan

Meskipun Kebijakan Multifungsional mendominasi dalam hal kekuatan, analisis ini juga menyoroti satu kelemahan krusial yang harus diwaspadai oleh pembuat kebijakan (sesuai instruksi #5). Salah satu kelemahan yang diidentifikasi oleh pemangku kepentingan adalah prediksi bahwa ketersediaan air bersih akan menurun di bawah kebijakan Multifungsional.1

Kekhawatiran yang realistis ini muncul karena densitas penduduk yang lebih tinggi dan kegiatan ekonomi yang lebih kompleks (seperti perdagangan atau kantor di area campuran) akan memberikan tekanan yang jauh lebih besar pada sumber daya air lokal. Ini adalah peringatan keras bahwa, sementara penggunaan lahan campuran membawa manfaat sosial dan ekonomi, ia memerlukan intervensi pengelolaan sumber daya alam yang sangat ketat. Pembuat kebijakan harus segera mengintegrasikan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan dan ketat dalam regulasi multifungsi untuk mencegah dampak buruk yang dapat mengurangi Net Flow positif kebijakan ini di masa depan.1

 

Mendorong Transformasi Menuju Kota Berkelanjutan Sejati

Penyelarasan Regulasi dan Tindak Lanjut Praktis

Temuan berbasis PROMETHEE ini memberikan mandat ilmiah yang kuat bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk bergerak maju. Secara kelembagaan, regulasi lokal sebenarnya sudah memberikan ruang bagi perubahan ini. Peraturan Daerah Tangerang Selatan Nomor 3 Tahun 2014, misalnya, telah mengakui bahwa rumah dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bisnis secara terbatas, asalkan tidak mengganggu fungsi hunian dan lingkungan (Pasal 22).1

Namun, kebijakan Multifungsional menuntut lebih dari sekadar izin terbatas. Untuk mewujudkan potensi penuh Net Flow 0.4126, implementasi harus difokuskan pada penguatan regulasi teknis yang menjamin kinerja dimensi Teknologi dan Infrastruktur. Ini berarti membuat persyaratan wajib yang ketat mengenai standar kecepatan internet, kualitas infrastruktur CCTV, dan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, mengubah dimensi yang semula "baru" menjadi "wajib" dalam setiap proyek pembangunan hunian baru.1

Proyeksi Dampak Nyata Jangka Panjang

Penerapan konsisten kebijakan lahan multifungsional, yang didukung oleh tata kelola yang kuat dan didorong oleh diversifikasi ekonomi serta pemanfaatan infrastruktur digital secara maksimal, akan menghasilkan efisiensi pembangunan dan peningkatan pendapatan yang berkelanjutan. Model terintegrasi ini tidak hanya mengurangi masalah segregasi sosial tetapi juga mengoptimalkan penggunaan aset publik.

Pernyataan Dampak Nyata: Jika diterapkan secara menyeluruh dan diawasi dengan ketat, temuan ini bisa mengurangi defisit biaya pembangunan dan operasional fasilitas publik hingga 25% dalam waktu lima tahun, melalui peningkatan kontribusi PAD dari sektor non-perumahan dan optimalisasi pemantauan berbasis teknologi yang menekan potensi pelanggaran regulasi.1

Jalan ke Depan dan Keterbatasan Studi

Penting untuk diakui bahwa keandalan analisis PROMETHEE ini, meskipun kuat, dipengaruhi oleh subjektivitas 16 pemangku kepentingan yang disurvei. Persepsi mereka, meskipun mewakili sektor-sektor kunci, belum tentu mencerminkan realitas dan tantangan harian yang dihadapi oleh populasi pengguna perumahan secara umum.

Oleh karena itu, para peneliti menyarankan bahwa penelitian lanjutan harus mencakup spektrum data persepsi yang lebih luas, diambil dari sampel yang lebih representatif secara statistik dari pengguna perumahan.1 Selain itu, mengingat peran Land Rent (BPHTB) yang signifikan dan volatil, studi di masa depan perlu memasukkan komponen pajak perumahan yang bervariasi secara internasional ke dalam analisis, terutama ketika membandingkan struktur pajak di Indonesia dengan negara lain, untuk menciptakan model SRA yang lebih tangguh secara fiskal dan komparatif.

 

 

Sumber Artikel:

Yandri, P., Supratikta, H., Kartika, R. S., Rosidah, & Amsal. (2024). Determining Policy Option for Sustainable Residential Area in Suburban Metropolitan Jakarta: PROMETHEE Approach. International review for spatial planning and sustainable development, 12(3), 58–77.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebijakan Hunian Pinggiran Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Prediksi Dampak Insiden Lalu Lintas Urban – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Mengapa Prediksi Lalu Lintas Urban Begitu Sulit?

Memprediksi kondisi lalu lintas di jaringan perkotaan merupakan prioritas utama bagi semua pusat manajemen lalu lintas (Traffic Management Centre atau TMC) di seluruh dunia.1 Namun, tantangan yang dihadapi pusat-pusat ini berlipat ganda, terutama ketika jaringan jalan terpengaruh oleh insiden lalu lintas tak terduga (non-recurrent) seperti kecelakaan mendadak, kendaraan mogok, atau gangguan cuaca ekstrem.1

Masalah fundamentalnya terletak pada variabilitas insiden itu sendiri. Insiden bervariasi secara luas dalam waktu, lokasi, dan tingkat keparahan. Sebuah kecelakaan kecil di jam sibuk pagi hari dapat memiliki dampak yang sama parahnya dengan penutupan lajur jangka panjang di sore hari. Karena insiden-insiden ini jarang sekali terulang dengan karakteristik yang sama persis, data historis yang tersedia untuk kondisi insiden tertentu sangat terbatas. Kondisi ini membuat model prediksi lalu lintas berbasis data (data-driven) konvensional, meskipun ideal untuk peramalan jangka pendek dalam kondisi normal, mengalami penurunan kinerja yang parah.1

Para ahli menyoroti dua keterbatasan utama model berbasis data tradisional. Pertama, sebagian besar model tersebut diterapkan pada jalan bebas hambatan atau koridor arteri, di mana dinamika lalu lintas relatif lebih sederhana dan linier. Sebaliknya, jaringan perkotaan, seperti yang diteliti dalam studi ini di sub-jaringan Sydney, memiliki konfigurasi spasial yang sangat kompleks dan dinamika permintaan perjalanan yang terus berubah, menjadikannya sangat sulit untuk diramalkan.1 Kedua, spektrum insiden lalu lintas yang luas—mulai dari penutupan lajur sementara, perubahan cuaca mendadak, hingga gangguan sistem kereta—meningkatkan kerumitan peramalan, sehingga hampir mustahil untuk menemukan pola yang serupa dalam data historis untuk setiap jenis gangguan.1

Keterbatasan data insiden historis ini secara kausal membatasi kemampuan TMC. Model yang hanya merespons rata-rata atau kondisi normal tidak dapat memberikan prediksi proaktif yang cepat saat chaos terjadi. Sebuah solusi terobosan diperlukan untuk mengubah peran TMC dari sekadar manajemen reaktif (menanggapi kemacetan yang sudah terjadi) menjadi prediksi proaktif (memperkirakan kemacetan yang akan terjadi dalam 15 hingga 60 menit ke depan), memberikan waktu kritis bagi pengelola untuk menyesuaikan infrastruktur dan memberi peringatan kepada pengguna jalan.1

 

Solusi Terobosan: Integrasi Sinergis Kecerdasan Buatan dan Simulasi

Penelitian ini mengusulkan sebuah kerangka kerja manajemen insiden operasional inovatif yang secara langsung mengatasi keterbatasan data historis dengan mengintegrasikan dua pendekatan yang kuat: model berbasis data (kecerdasan buatan) dan model simulasi mikro lalu lintas dinamis.1

Alih-alih mencoba memprediksi kondisi lalu lintas hanya dari data historis insiden yang langka, kerangka kerja ini memanfaatkan simulasi lalu lintas yang diperkuat oleh model berbasis data. Simulasi lalu lintas digunakan untuk menangkap interaksi kompleks antara pengemudi dan jaringan jalan, memprediksi kondisi lalu lintas di bawah kondisi ekstrem insiden.1 Namun, simulasi ini memerlukan input penting, yaitu estimasi alur permintaan Origin-Destination (OD) secara real-time, yang tidak dapat diukur secara langsung di area skala besar.1

Di sinilah peran kecerdasan buatan masuk. Model berbasis data berfungsi untuk menyediakan prediksi alur permintaan OD jangka pendek yang akurat, yang kemudian dimasukkan sebagai bahan bakar ke dalam mesin simulasi. Dengan pengetahuan tentang lokasi insiden yang baru dilaporkan dan alur permintaan OD yang diprediksi, simulasi dapat menerapkan prinsip-prinsip alur lalu lintas untuk memprediksi keadaan jaringan di bawah kondisi non-berulang secara kredibel.1

 

Anatomi Platform Cerdas: Mesin Prediksi TMC Sydney

Platform manajemen insiden yang diusulkan ini dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan operasional Traffic Management Centre (TMC) Sydney, Australia. Arsitektur kerangka kerja ini secara metodologis membedakan kasus lalu lintas berulang (recurrent) dan tidak berulang (non-recurrent) melalui serangkaian modul cerdas.1

Fungsi Operasional Kunci

Platform ini bergantung pada data yang beragam, termasuk hitungan lalu lintas tautan yang diukur, data dasar jaringan dan permintaan perjalanan, serta log insiden terperinci (koordinat lokasi, lajur yang terpengaruh, durasi, dan keparahan).1

  1. Klasifikasi Keparahan Insiden: Modul awal menggunakan teknik machine learning untuk memproses data insiden mentah dan mengklasifikasikannya sebagai parah (severe) atau tidak parah (non-severe). Hanya insiden yang dikategorikan parah yang akan memicu model simulasi lalu lintas yang kompleks untuk analisis dampak mendalam.1
  2. Prediksi Lalu Lintas Berbasis Data: Untuk kondisi lalu lintas normal (non-insiden parah), model berbasis data murni digunakan untuk prediksi kecepatan perjalanan jangka pendek.1
  3. Estimasi dan Prediksi Permintaan OD: Ini adalah jantung dari platform. Modul ini bertujuan menyesuaikan data permintaan awal (a priori) dengan observasi lalu lintas terbaru yang diukur dari detektor di jaringan.1

Detail Kritis: Menghidupkan Realitas Sinyal SCATS (SCATSIM)

Kredibilitas platform ini terletak pada kemampuannya mereplikasi kondisi lalu lintas dunia nyata seakurat mungkin. Dalam kasus Sydney, ini berarti harus menyertakan Sistem Kontrol Lalu Lintas Adaptif Sydney (SCATS).

Model simulasi mikro (menggunakan perangkat lunak AIMSUN) diintegrasikan dengan plug-in arsitektur kontrol yang disebut SCATSIM.1 SCATSIM berfungsi sebagai arsitektur kontrol simulasi yang merespons secara dinamis terhadap kondisi lalu lintas yang disimulasikan. Ketika mobil tiba di dekat detektor virtual dalam simulasi, SCATSIM menerima informasi okupansi lajur dan kemudian menyesuaikan: a) total waktu siklus di persimpangan yang dikontrol SCATS, b) rasio waktu siklus yang ditetapkan untuk setiap fase, dan c) offset antara kontrol sinyal yang berdekatan.1

Integrasi SCATSIM ini memastikan bahwa prediksi keterlambatan tidak hanya mencerminkan perilaku pengemudi tetapi juga respons infrastruktur itu sendiri. Lalu lintas di Sydney dikendalikan oleh sistem adaptif yang mencoba bereaksi terhadap kemacetan, yang terkadang dapat memperburuk situasi di persimpangan yang berdekatan. Dengan mereplikasi logika kontrol SCATS secara terus-menerus, simulasi ini memberikan "kaca spion" yang sangat akurat, meningkatkan akurasi operasional secara drastis dibandingkan model yang mengasumsikan sinyal statis.1

 

Jantung Simulasi: Menambal Data OD yang Hilang

Keberhasilan prediksi lalu lintas insiden sangat bergantung pada kualitas input alur permintaan Origin-Destination (OD), yang menjelaskan secara akurat siapa pergi ke mana dan perubahannya dari satu interval waktu ke interval waktu berikutnya.1

Strategi Optimasi Rolling-Horizon

Karena alur OD tidak dapat diukur langsung, para peneliti menggunakan masalah optimasi bi-level tradisional yang disempurnakan dengan prosedur optimasi bi-level rolling-horizon.1 Strategi ini dirancang untuk menjaga model simulasi lalu lintas tetap terkalibrasi berdasarkan data lalu lintas terukur terbaru, memungkinkan model memperbarui alur OD secara aktif berdasarkan data real-time.1

Proses estimasi ini dilakukan dalam dua tahap krusial:

  1. Tahap Offline: Estimasi matriks permintaan OD berbasis waktu untuk hari kerja biasa (16 matriks 15-menit selama 4 jam periode puncak pagi).
  2. Tahap Rolling-Horizon (Real-Time): Matriks OD yang sudah dikalibrasi dari tahap pertama disesuaikan setiap 15 menit berdasarkan hitungan lalu lintas terbaru.1

Kemenangan Akurasi: Lonjakan Kualitas Model

Penerapan optimasi OD rolling-horizon ini menghasilkan lonjakan kualitas model yang dramatis, divalidasi menggunakan metrik kecocokan global (goodness of fit).

Koefisien determinasi ($R^2$), metrik yang mengukur seberapa baik data simulasi cocok dengan realitas (di mana 1.0 adalah kesempurnaan), meningkat dari 0.97 (kondisi awal) menjadi 0.99 setelah kalibrasi dua tahap.1 Angka ini menandakan bahwa model mencapai keselarasan 99% yang nyaris sempurna dengan realitas lalu lintas jalanan.

Peningkatan akurasi juga tercermin dalam pengurangan Mean Absolute Error (MAE) atau Error Mutlak Rata-Rata. Dari kondisi awal di mana error rata-rata mencapai 97 kendaraan per jam, kalibrasi dua tahap berhasil menurunkannya hingga hanya 41 kendaraan per jam.1 Perbaikan ini setara dengan pengurangan error sebesar hampir 58%—seperti meningkatkan resolusi gambar prediksi dari buram menjadi sangat tajam.

Selain itu, metrik GEH, standar emas yang digunakan dalam pemodelan lalu lintas untuk mengevaluasi kecocokan data, menunjukkan bahwa jumlah tautan yang memiliki kecocokan data yang baik (GEH kurang dari 5) meningkat signifikan. Dari 252 tautan yang diamati, jumlah tautan dengan kecocokan baik melonjak dari 189 menjadi 231.1 Artinya, lebih dari 91% titik ukur di jaringan mencerminkan kondisi lalu lintas nyata dengan akurasi tinggi setelah proses kalibrasi yang diperkuat oleh data. Keberhasilan ini mengonfirmasi validitas dan akurasi model simulasi sebagai fondasi prediksi insiden.

 

Duel Kecerdasan Buatan: Siapa Pemenang Prediksi Jangka Pendek?

Setelah permintaan OD diestimasi secara akurat dan dikalibrasi, modul prediksi menggunakan data ini untuk meramalkan alur permintaan untuk interval waktu berikutnya (15, 30, 45, hingga 60 menit ke depan).1 Akurasi ramalan ini menentukan seberapa cepat dan efektif simulasi dapat merespons insiden yang baru terjadi.

Para peneliti menguji kinerja beberapa algoritma machine learning dan model time series tradisional, termasuk Support Vector Regression (SVR), Decision Trees (DT), Autoregressive Moving Average (ARMA), dan Extreme Gradient Boosting (XGBoost).1 Sebagai perbandingan, digunakan model baseline sederhana, yang mengasumsikan bahwa permintaan di periode berikutnya akan sama persis dengan permintaan terakhir yang diamati, menghasilkan MAE awal sebesar 1.37 untuk prediksi 15 menit ke depan.1

Triumph Pohon Keputusan: Kekuatan XGBoost

Perbandingan yang cermat mengungkapkan bahwa XGBoost (dengan tree booster) terbukti mengungguli semua pendekatan lainnya. Keunggulan model ini terutama didorong oleh kemampuannya untuk memproses hubungan non-linear yang kompleks dalam data permintaan perjalanan, yang sangat penting mengingat adanya 1,262 pasang OD yang profilnya bervariasi di jaringan.1

Untuk prediksi 15 menit, yang paling krusial untuk respons insiden cepat, MAE XGBoost (Tree) hanya 0.59. Angka ini menunjukkan peningkatan akurasi dramatis dibandingkan model baseline (1.37), ARMA (0.93), dan bahkan model Decision Tree (0.65) dan SVR Linear (0.89).1

Apabila MAE merepresentasikan tingkat ketidakpastian dalam prediksi, penggunaan XGBoost berhasil memotong ketidakpastian ini hingga lebih dari 57% dibandingkan hanya mengandalkan data historis terdekat. Kinerja superior XGBoost menunjukkan bahwa untuk meramalkan pergerakan kompleks pelancong, dibutuhkan kemampuan ensemble learning yang kuat, bukan sekadar hubungan linier atau model kernel dasar.1

 

Investigasi Victoria Road: Insiden 13 Menit yang Mengubah Hari

Untuk menunjukkan potensi operasional penuh dari kerangka kerja terintegrasi ini, para peneliti menerapkan platform pada sebuah insiden nyata di Sydney.

Rekonstruksi Kecelakaan Pagi Hari

Studi kasus berfokus pada sebuah kecelakaan yang terjadi di Victoria Road, Drummoyne, pada tanggal 11 Oktober 2017, pukul 7:58 pagi—tepat di puncak jam sibuk. Insiden tersebut berlangsung sekitar 25 menit dan memengaruhi lajur di kedua arah. Berdasarkan laporan, para peneliti memodelkan skenario yang realistis di mana minimal dua lajur di koridor utama diblokir.1

Begitu insiden dilaporkan, modul prediksi XGBoost diaktifkan secara otomatis untuk meramalkan permintaan perjalanan selama satu jam ke depan, dan simulasi dijalankan untuk menghitung dampak detail pada kecepatan dan waktu tempuh. Hasil simulasi menunjukkan penurunan kecepatan yang parah terjadi tepat di dekat lokasi insiden dan merambat hingga 1,500 meter ke belakang.1

Kuantifikasi Dampak yang Dramatis

Analisis waktu tempuh di sepanjang koridor arah Timur (Eastbound) mengungkapkan penambahan penundaan yang signifikan akibat insiden 25 menit tersebut. Waktu tempuh di koridor yang biasanya memakan waktu sekitar 31 menit selama jam puncak normal, melonjak menjadi 44 menit dalam simulasi insiden.1

Kenaikan dari 31 menjadi 44 menit ini berarti insiden 25 menit tersebut mengakibatkan keterlambatan tambahan 13 menit bagi komuter. Dampak ini hampir menggandakan waktu perjalanan normal di luar jam sibuk.1 Kemampuan untuk mengukur dan memprediksi penundaan sebesar ini secara akurat memberikan informasi yang sangat berharga bagi TMC untuk membuat keputusan mitigasi seperti penyesuaian sinyal darurat atau pengalihan rute.

Bukti Kredibilitas: Sinkronisasi dengan Google Map

Salah satu validasi terkuat dari kredibilitas platform ini adalah kemampuannya untuk mereplikasi realitas yang diamati secara publik. Para peneliti membandingkan Waktu Tempuh Simulasi (Simulated Travel Time atau STT) dengan Waktu Tempuh Google (Google Travel Time atau GTT) yang direkam pada hari insiden.1

Hasilnya menunjukkan bahwa pola perubahan STT model mengikuti dengan sangat dekat penundaan yang tercermin oleh GTT. Kemampuan model untuk mencocokkan prediksi keterlambatan, seperti lonjakan 13 menit, dengan data tolok ukur publik terpercaya seperti Google Travel Time, membuktikan bahwa kerangka kerja terintegrasi ini mampu memberikan wawasan yang andal mengenai dampak insiden di masa depan terhadap kondisi lalu lintas keseluruhan.1

 

Kritik Realistis dan Proyeksi: Roadmap Menuju Masa Depan

Meskipun kerangka kerja terintegrasi ini mewakili langkah maju yang signifikan, terutama dalam kalibrasi model dan akurasi prediksi, studi ini juga memiliki batasan yang harus diatasi dalam implementasi operasional di masa depan.

Batasan Perilaku Manusia dan Jaringan

Kritik utama yang dihadapi adalah mengenai asumsi perilaku komuter. Studi ini mengasumsikan bahwa, di jam sibuk pagi hari, pelancong hampir tidak membatalkan perjalanan jangka pendek mereka—mereka cenderung hanya mengubah rute sebagai respons terhadap kondisi jaringan yang buruk.1 Namun, dalam gangguan lalu lintas yang sangat parah, perubahan perilaku yang lebih kompleks, seperti pergeseran moda (mode shifting—misalnya beralih dari mobil ke transportasi umum) dan pembatalan perjalanan, menjadi sangat mungkin. Model saat ini belum sepenuhnya mempertimbangkan fenomena ini, yang dapat mengurangi akurasi prediksi dalam kasus insiden bencana.1

Selain itu, para peneliti mencatat bahwa sub-jaringan Victoria Road yang dijadikan studi kasus memiliki rute paralel strategis yang terbatas. Kondisi ini dapat meremehkan dampak re-route strategis yang lebih luas yang mungkin dilakukan oleh pengemudi di jaringan urban yang lebih besar dengan banyak opsi alternatif.1

Tantangan Operasional Data Real-Time

Untuk digunakan sepenuhnya dalam operasi manajemen lalu lintas, platform ini masih menghadapi beberapa tantangan terkait data operasional:

  • Prediksi Durasi Insiden: Saat ini, durasi insiden harus diasumsikan atau dimasukkan secara manual ke dalam simulasi. Agar benar-benar proaktif, mesin AI tambahan harus ditambahkan ke platform untuk memprediksi durasi insiden berdasarkan karakteristiknya segera setelah insiden dilaporkan.1
  • Presisi Data Input: Platform memerlukan detail insiden yang sangat spesifik—lokasi tepat di tautan, panjang area yang terpengaruh, dan jumlah lajur yang diblokir. Seringkali, data detail dan presisi tinggi ini sulit disediakan oleh operator TMC secara real-time.1
  • Evolusi Model AI: Meskipun XGBoost sangat unggul, kemajuan terbaru dalam machine learning berbasis grafis dan deep learning yang mampu menangkap korelasi spasial-temporal jaringan jalan yang lebih kompleks akan menjadi fokus studi di masa depan untuk meningkatkan akurasi lebih lanjut.1

 

Pernyataan Dampak Nyata: Efisiensi Puluhan Miliar Rupiah

Tujuan utama dari platform terintegrasi ini adalah memberikan wawasan yang sangat akurat dan cepat mengenai dampak insiden yang akan datang, seperti prediksi penundaan tambahan sebesar 13 menit yang ditemukan dalam studi kasus Victoria Road.1 Dengan memprediksi penundaan ini secara akurat, TMC mendapatkan waktu yang krusial untuk mengimplementasikan strategi mitigasi.

Jika diterapkan secara operasional dan terintegrasi penuh dalam infrastruktur Intelligent Transportation System (ITS), kemampuan untuk memprediksi dan memitigasi dampak insiden dalam jendela waktu 15–60 menit ke depan ini memiliki potensi besar untuk:

  • Mengurangi penundaan lalu lintas total yang disebabkan oleh insiden non-recurrent.
  • Meningkatkan efisiensi operasi jaringan lalu lintas secara keseluruhan.1

Keterlambatan yang disebabkan oleh kemacetan lalu lintas merupakan kerugian ekonomi yang substansial bagi kota-kota besar. Jika platform yang sangat akurat ini berhasil mengurangi waktu penundaan yang tidak perlu (seperti 13 menit) dalam ratusan insiden setiap tahun di koridor-koridor vital seperti Sydney, potensi penghematan biaya operasional dan biaya komuter (bahan bakar, jam kerja yang hilang, dan dampak lingkungan) dapat mencapai angka puluhan hingga ratusan miliar rupiah per tahun dalam waktu lima tahun implementasi penuh. Platform ini merupakan fondasi vital untuk membangun Sistem Transportasi Cerdas yang benar-benar proaktif dan tangguh terhadap chaos mendadak.

 

Sumber Artikel:

Shafiei, S., Mihăiță, A-S., Nguyen, H., & Cai, C. (2021). Integrating data-driven and simulation models to predict traffic state affected by road incidents. Transportation Letters The International Journal of Transportation Research.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Prediksi Dampak Insiden Lalu Lintas Urban – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!
page 1 of 6 Next Last »