Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Pendahuluan: Membaca Ancaman Senyap di Bawah Tanah Yogyakarta
Krisis air bersih dan sanitasi layak telah lama menjadi isu lingkungan global yang mendesak, dan Pemerintah Indonesia telah menempatkannya sebagai prioritas utama dalam agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Target nasional yang ambisius adalah mencapai 90% akses sanitasi layak dan berkelanjutan pada tahun 2024, sebuah upaya yang secara fundamental bergantung pada praktik pengelolaan air limbah yang efektif.1 Dalam konteks ini, pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal, atau Communal Wastewater Treatment Plants (CWWTP), muncul sebagai salah satu solusi berskala menengah yang strategis. CWWTP dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara sistem sanitasi individual (septic tank) dan sistem pengolahan terpusat skala besar, melayani kelompok rumah tangga antara 10 hingga 4.000 koneksi.1
Namun, studi mendalam yang dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), salah satu provinsi dengan konsentrasi CWWTP tertinggi di Indonesia, mengungkap kontradiksi yang mengkhawatirkan. Meskipun investasi infrastruktur telah dilakukan, kurang dari 40% CWWTP di wilayah tersebut mampu beroperasi dengan optimal.1 Kegagalan ini tidak hanya berdampak pada polusi air permukaan—seperti yang terlihat dari status polusi berat di Sungai Code, Gadjah Wong, dan sungai-sungai utama lainnya di Yogyakarta 1—tetapi juga memicu ancaman kesehatan masyarakat yang nyata. Data menunjukkan bahwa kasus penyakit bawaan air, seperti diare, mencapai 10.276 orang di DIY pada tahun 2020, menjadikannya penyakit paling umum kedua setelah hipertensi.1
Fokus Studi dan Temuan Awal yang Mengejutkan
Penelitian ini memfokuskan observasi di Kecamatan Mlati, Sleman, sebuah lokasi krusial yang dikenal memiliki kepadatan penduduk dan jumlah CWWTP tertinggi di provinsi tersebut.1 Dengan menganalisis data teknis kualitas air efluen CWWTP dan kualitas air tanah dari 20 sumur pantau di sekitarnya, serta meninjau aspek non-teknis manajemen, studi ini berupaya menentukan efektivitas CWWTP terhadap kondisi air tanah.
Temuan awal yang dihasilkan oleh penelitian ini sangat mengejutkan dan harus menjadi alarm kebijakan publik. Secara eksplisit, data menunjukkan bahwa kehadiran CWWTP di lokasi penelitian tidak berkorelasi positif dengan kualitas air tanah di sekitarnya.1
Kesimpulan ini menggarisbawahi kegagalan sistemik yang kompleks. Infrastruktur yang didanai dan dibangun untuk mengatasi krisis sanitasi terpusat ternyata tidak efektif dalam melindungi sumber air bersih masyarakat. Kegagalan ini diperburuk oleh dua faktor utama: inefisiensi operasional CWWTP itu sendiri, dan yang lebih penting, minimnya cakupan layanan yang dipadukan dengan buruknya kondisi fasilitas sanitasi individu (terutama septic tank) di lokasi.1 Dengan kata lain, masalah sanitasi yang paling mendesak di Yogyakarta saat ini bukan hanya masalah kegagalan infrastruktur sentral, tetapi juga krisis sanitasi skala rumah tangga yang jauh lebih luas dan mengancam.
Narasi Terbalik: Solusi Gagal Jadi Pahlawan—Mengapa Air Tanah Tetap Keruh
Pembangunan CWWTP seharusnya berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir terhadap kontaminasi air tanah oleh limbah domestik. Namun, analisis menunjukkan bahwa CWWTP di Mlati tidak mampu menjalankan peran tersebut karena kombinasi kelemahan teknis, operasional, dan manajerial.
Jurang Cakupan Layanan: Solusi Eksklusif
Krisis sanitasi yang meluas di Mlati tidak dapat diatasi oleh solusi yang hanya bersifat eksklusif. Kecamatan Mlati memiliki sekitar 31.783 rumah tangga pada tahun 2020. Dari jumlah ini, enam CWWTP yang menjadi sampel studi (CWWTP2 hingga CWWTP7) secara kolektif hanya melayani 625 koneksi rumah tangga.1 Ini berarti proporsi rumah tangga yang terlayani oleh sistem CWWTP di Mlati mencapai kurang dari 2%.1
Angka cakupan yang amat rendah ini menimbulkan dampak ganda: pertama, CWWTP beroperasi jauh di bawah kapasitas desain maksimumnya, mengurangi potensi efisiensi biaya dan energi.1 Kedua, karena mayoritas besar populasi (lebih dari 98%) masih mengandalkan sistem sanitasi mandiri (septic tank), dampak positif apa pun dari pengolahan air limbah oleh CWWTP akan tenggelam dalam volume polusi lingkungan yang dihasilkan oleh puluhan ribu rumah tangga yang tidak terkoneksi.1
Keterbatasan Teknis ABR: Tidak Dirancang untuk Keamanan Biologis
Inefisiensi teknis IPAL Komunal di Yogyakarta sebagian besar disebabkan oleh penggunaan teknologi lama, yaitu Anaerobic Baffled Reactor (ABR).1 Meskipun ABR efektif dalam pengolahan primer dan sekunder, yang fokus pada penghilangan materi organik dan partikulat, CWWTP model ini secara historis tidak dilengkapi dengan unit desinfeksi dan pengolahan lumpur.1
Keterbatasan desain ini merupakan sebuah design flaw fundamental. Meskipun IPAL berhasil mengolah materi organik, tanpa unit desinfeksi, efluen yang dibuang ke badan air atau sumur resapan tetap membawa beban patogen biologis yang tinggi, seperti Total Coliform dan E. coli.1 Kegagalan teknologi ini menjelaskan mengapa, meskipun IPAL berfungsi, ia tidak dapat sepenuhnya membersihkan ancaman kesehatan yang paling mendesak bagi air tanah. Penelitian menunjukkan bahwa penambahan unit desinfeksi, seperti klorinasi atau bioreaktor membran, sangat diperlukan untuk mengatasi kekurangan ini.1
Kegagalan Kritis: Saat Padatan Mencemari Efluen
Analisis kinerja CWWTP berdasarkan standar baku mutu air limbah domestik dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.68/MenLHK-Setjen/2016 mengungkapkan beberapa kegagalan teknis yang signifikan:
Total Suspended Solids (TSS) Gagal Total: Parameter TSS, yang mengukur padatan tersuspensi dalam air, melampaui standar kualitas pada semua CWWTP yang diuji.1 Standar baku mutu TSS yang berlaku adalah $75~mg/L$, namun konsentrasi di efluen CWWTP berkisar antara 44 hingga $156~mg/L$.1 Dalam kasus terburuk, ini berarti air yang dilepaskan ke lingkungan mengandung padatan tersuspensi hingga lebih dari dua kali lipat dari batas aman yang diizinkan, jauh melampaui standar yang seharusnya.1 Peningkatan TSS ini diduga kuat disebabkan oleh waktu retensi hidrolik yang tidak memadai (HRT) dalam reaktor ABR, atau bio-floc yang tidak mengendap sempurna sebelum keluar.1
Anomali Amonia dan Bau: Meskipun efluen CWWTP secara umum memenuhi standar untuk pH, suhu, COD, dan minyak/lemak 1, terdapat anomali pada parameter amonia ($\text{NH}_3-\text{N}$). Rata-rata konsentrasi amonia justru meningkat di outlet hampir semua CWWTP (kecuali CWWTP5). Konsentrasi tertinggi mencapai $1.77~mg/L$ di CWWTP6.1 Peningkatan amonia ini mengindikasikan bahwa kondisi anaerobik di dalam reaktor tidak optimal, menghambat proses metanogenesis, yang pada gilirannya dapat menyebabkan pembentukan gas hidrogen sulfida ($\text{H}_2\text{S}$) dan menimbulkan bau busuk yang menjadi keluhan umum.1
BOD dan COD Masih Mengkhawatirkan: Meskipun sebagian besar unit memenuhi standar Biological Oxygen Demand (BOD) $30~mg/L$, dua CWWTP (CWWTP2 dan CWWTP4) gagal memenuhi standar tersebut setelah pengolahan, dengan konsentrasi mencapai $38~mg/L$ dan $32~mg/L$.1 Demikian pula, konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) di outlet (berkisar antara 101 hingga $156~mg/L$) menunjukkan bahwa proses pengolahan air limbah domestik di CWWTP tersebut masih dinilai "tidak efektif".1
Analisis teknis ini menunjukkan bahwa masalah operasional dan kegagalan sistem sanitasi saling memperburuk. Salah satu masalah yang paling sering dilaporkan manajer CWWTP adalah penyumbatan (clogging), yang dicatat oleh 50% manajer.1 Penyumbatan ini, yang disebabkan oleh sampah domestik di jaringan pipa, merusak waktu retensi hidrolik, secara langsung menurunkan efisiensi penghilangan TSS, dan mengganggu keseluruhan proses anaerobik CWWTP.1
Biaya Iuran versus Biaya Nyata: Menjembatani Defisit Gotong Royong
Aspek non-teknis, terutama manajemen dan pendanaan, merupakan akar masalah yang paling mendalam dalam keberlanjutan CWWTP. Meskipun infrastruktur dibangun dengan dukungan pemerintah (seperti melalui program USRI atau Sanimas), operasional hariannya (OPEX) harus ditanggung oleh kontribusi masyarakat.
Lubang Finansial yang Tidak Terukur
Model finansial CWWTP saat ini terbukti tidak berkelanjutan. Biaya iuran bulanan yang dikenakan kepada pengguna berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 10.000 (sekitar USD 0.35 hingga USD 0.70).1 Angka ini sangat timpang jika dibandingkan dengan biaya operasional dan pemeliharaan (OPEX) bulanan aktual CWWTP, yang berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 1.400.000.1
Defisit finansial yang masif ini menunjukkan bahwa skema iuran yang diterapkan saat ini hanya bersifat simbolis. Pada beberapa unit, iuran bulanan hanya menutupi kurang dari 1% dari biaya riil yang diperlukan untuk menjalankan dan memelihara instalasi.1 Tanpa subsidi pemerintah yang masif, CWWTP berisiko menjadi "gajah putih" – infrastruktur mahal yang dibangun tetapi gagal beroperasi secara berkelanjutan karena perencanaan finansial yang cacat sejak awal.
Defisit ini diperparah oleh rendahnya partisipasi pembayaran iuran. Partisipasi warga dalam membayar iuran diklasifikasikan menjadi tiga tingkat yang hampir sama, yaitu Baik (33.3%), Cukup (33.3%), dan Tidak Baik (33.3%).1 Ini mengindikasikan bahwa sekitar satu dari tiga pengguna tidak berkontribusi atau hanya membayar secara sporadis, yang semakin memperparah lubang finansial operasional CWWTP.1
Dilema Partisipasi dan Kepemilikan
Menariknya, meskipun terdapat defisit pembayaran, kepuasan pengguna terhadap kinerja CWWTP relatif tinggi (63% merasa puas, 19% merasa sangat puas).1 Selain itu, 69% pengguna menilai biaya iuran yang ada "memadai," dan 25% bahkan menyatakan kesediaan untuk membayar biaya tambahan.1
Kesenjangan antara kesediaan membayar dan kenyataan pembayaran yang buruk merupakan refleksi dari kegagalan komunikasi dan akuntabilitas manajerial. Manajer CWWTP harus mampu memberikan layanan yang terjamin, bebas dari masalah utama seperti bau dan penyumbatan, untuk membenarkan potensi kenaikan iuran yang diperlukan.1
Masalah operasional yang paling sering (50% kasus) adalah penyumbatan pipa.1 Penyumbatan ini hampir selalu disebabkan oleh kehadiran sampah domestik yang dibuang ke jaringan pipa.1 Hal ini menyoroti perlunya peningkatan sosialisasi dan edukasi komunitas, memanfaatkan semangat gotong royong yang sudah ada, untuk menanamkan kesadaran bahwa sanitasi yang efektif membutuhkan tanggung jawab kolektif. Tanpa kerja sama ini, efisiensi teknis akan terus terganggu, dan keberlanjutan finansial mustahil tercapai.
Patogen Universal: Air Tanah Teracuni di Bawah Mlati
Fakta bahwa CWWTP tidak berkorelasi dengan kualitas air tanah mengarahkan perhatian pada sumber polusi yang paling umum dan tersebar luas: kegagalan sistem sanitasi on-site (septic tank). Data kualitas air tanah dari 20 sumur pantau di Mlati melukiskan gambaran krisis kesehatan publik yang universal dan mengkhawatirkan.
Kontaminasi Mikrobiologis: Krisis 100%
Temuan paling kritis dan mengancam kesehatan adalah kontaminasi mikrobiologis. Semua (100%) sampel sumur air tanah yang diuji melampaui standar kualitas air minum untuk parameter E. coli dan Total Coliform.1 Standar Kementerian Kesehatan RI menetapkan bahwa bakteri patogen ini harus tidak terdeteksi (0 MPN/100 mL) dalam sampel 100 mL.1
Tingkat kontaminasi ini sangat masif, dengan konsentrasi E. coli tertinggi mencapai 220 MPN/100 mL di salah satu sumur.1 Kontaminasi universal ini secara tegas membuktikan bahwa jalur penularan penyakit bawaan air terbuka lebar di seluruh wilayah studi. Data ini diperkuat oleh observasi lapangan yang menunjukkan kegagalan infrastruktur sanitasi individu:
Sebanyak 29% dari sumur pantau memiliki jarak aman kurang dari 10 meter dari septic tank, melanggar ketentuan jarak aman.1
Separuh dari seluruh sumur (50%) tidak memiliki saluran drainase yang memadai untuk melindungi kepala sumur dari air permukaan tercemar.1
Jarak yang terlalu dekat antara sumber polusi (septic tank) dan sumber air minum (sumur) menjadi jalur infiltrasi utama bagi E. coli dan Total Coliform.1
Ancaman Senyap Zat Kimia: Nitrat dan Timbal
Selain ancaman biologis yang mendesak, air tanah di Mlati juga menghadapi krisis polusi kimia jangka panjang:
Timbal (Pb) Sebagai Alarm Bahaya: Lebih dari separuh sumur, tepatnya 65% sampel (13 dari 20 titik), tercatat mengandung Timbal (Pb) di atas ambang batas $0.05~mg/L$ yang ditetapkan oleh standar higienitas sanitasi.1 Nilai konsentrasi Timbal tertinggi bahkan mencapai $0.67~mg/L$.1 Kontaminasi Timbal ini berpotensi berkaitan dengan aktivitas antropogenik seperti pembuangan limbah industri yang tidak terkontrol, korosi pipa, atau pelindian dari tanah perkotaan yang padat penduduk.1
Nitrat (Risiko Kronis): Meskipun rata-rata konsentrasi nitrat berada di bawah batas standar $10~mg/L$, sebanyak 20% sampel (4 dari 20 titik) melampaui batas tersebut, dengan konsentrasi tertinggi mencapai $37.5~mg/L$.1 Konsentrasi nitrat yang tinggi di air minum telah dikaitkan dengan risiko kesehatan kronis, termasuk potensi kanker kolorektal.1 Penting untuk dicatat bahwa titik-titik dengan konsentrasi nitrat tertinggi tidak ditemukan di dekat CWWTP, yang semakin memperkuat hipotesis bahwa sumber polusi nitrat adalah rembesan limbah dari septic tank yang tersebar luas dan penggunaan pupuk berlebih dalam aktivitas pertanian.1
Anomali Geokimia: pH Asam dan Mobilisasi Logam Berat
Air tanah di wilayah studi menunjukkan pH rata-rata yang bersifat sedikit asam, yakni 6.29, berada di bawah batas standar kesehatan lingkungan (6.5 hingga 8.5).1 Meskipun lokasi studi berada di zona vulkanik aktif (Gunung Merapi), kondisi pH asam ini dapat mengubah masalah sanitasi menjadi masalah geokimia yang lebih serius.
Kondisi pH asam secara alamiah meningkatkan mobilitas dan pelindian logam berat, seperti Timbal, dari batuan dasar ke dalam air.1 Tingginya kadar Timbal yang terdeteksi di banyak sumur sangat mungkin merupakan konsekuensi dari air tanah yang bersifat korosif akibat pH rendah.1 Dengan demikian, kontaminasi Timbal yang teramati adalah hasil dari krisis berlapis: sanitasi yang buruk menghasilkan limbah organik dan keasaman, dan keasaman tersebut memobilisasi logam berat berbahaya.
Selain itu, meskipun tidak ada standar baku mutu nasional untuk Chemical Oxygen Demand (COD) dan minyak/lemak di air tanah, COD terdeteksi hingga $38.6~mg/L$ (rata-rata $18.2~mg/L$), mendekati batas aman WHO ($40~mg/L$).1 Konsentrasi COD yang meningkat di dekat CWWTP diduga berasal dari graywater (air bekas cucian) yang tidak terhubung ke IPAL, melainkan dibuang ke sumur resapan, menambah polusi organik lokal.1
Opini, Kritik, dan Jalan Keluar yang Realistis
Hasil penelitian ini menyajikan kritik yang tajam terhadap pendekatan sanitasi di area peri-urban padat seperti Mlati, Yogyakarta. Solusi yang didanai pemerintah (CWWTP) gagal menjadi pahlawan karena tiga alasan utama: kegagalan desain teknis, ketidakberlanjutan finansial, dan kegagalan dalam mengatasi sumber polusi yang paling masif—yaitu sanitasi on-site yang buruk.
Kritik Kebijakan Infrastruktur: Kelemahan Desain ABR
Kesalahan kebijakan utama adalah mengadopsi teknologi ABR secara luas tanpa unit pasca-pengolahan yang memadai. Meskipun ABR menawarkan solusi yang relatif murah untuk pengurangan materi organik, ia tidak dirancang untuk mencapai standar keamanan mikrobiologis yang ketat.1
Oleh karena itu, tindakan mendesak yang harus diambil adalah mewajibkan penambahan unit desinfeksi (misalnya, klorinasi atau sistem UV) pada semua CWWTP yang menggunakan ABR sebelum efluen dilepaskan ke lingkungan atau badan air.1 Langkah ini akan menghilangkan patogen, menjamin bahwa air buangan IPAL, meskipun tidak sempurna dalam menghilangkan TSS atau BOD, tidak lagi menjadi sumber penularan penyakit bawaan air yang parah.
Strategi Multisegi untuk Keberlanjutan Sistemik
Prioritas Peningkatan Cakupan: Keberhasilan CWWTP tidak akan terasa jika cakupan layanan tetap berada di bawah 2%.1 Kebijakan harus secara agresif memprioritaskan peningkatan koneksi rumah tangga, menargetkan cakupan minimal 50% dalam rencana lima tahun mendatang, untuk memaksimalkan utilitas infrastruktur yang sudah ada.1
Transparansi dan Keberlanjutan Finansial: Model pendanaan CWWTP harus diubah total. Iuran bulanan harus disesuaikan secara realistis mendekati biaya operasional dan pemeliharaan (berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 1.400.000).1 Kenaikan biaya ini harus diimbangi dengan perbaikan layanan yang terjamin, eliminasi bau, dan penyelesaian masalah penyumbatan. Keberlanjutan IPAL sangat bergantung pada kemandirian finansial lokal, bukan pada subsidi pemerintah yang tidak dapat diandalkan.
Penegakan Regulasi Sanitasi Individu: Karena polusi E. coli dan Nitrat bersumber dari kegagalan septic tank yang meluas, pemerintah daerah harus memperkuat pengawasan dan penegakan regulasi sanitasi individu. Regulasi mengenai jarak aman antara septic tank dan sumur air (minimal 10 meter) harus ditegakkan secara ketat untuk memutus jalur kontaminasi langsung ke air tanah.1
Keterbatasan Studi dan Arah Penelitian Lanjutan
Meskipun studi ini terbatas pada Kecamatan Mlati, temuan mengenai kontaminasi E. coli yang universal, tingginya Timbal dan Nitrat, serta inefisiensi CWWTP, kemungkinan besar mencerminkan kondisi di sebagian besar kawasan peri-urban padat di Yogyakarta dan wilayah Indonesia lainnya yang memiliki geologi dan praktik sanitasi serupa.1
Untuk mengatasi krisis berlapis ini, penelitian lanjutan diperlukan untuk secara pasti mengidentifikasi sumber spesifik polusi Timbal dan hubungannya dengan keasaman air tanah di Mlati.1 Langkah ini akan memastikan bahwa intervensi kebijakan diarahkan tidak hanya pada mitigasi limbah domestik, tetapi juga pada pengelolaan risiko geokimia yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dan kondisi alam.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika pemerintah daerah dan masyarakat mengimplementasikan rekomendasi perbaikan ini—terutama melalui kewajiban penambahan unit disinfeksi pada CWWTP yang ada, meningkatkan cakupan layanan secara masif, dan menegakkan penertiban jarak aman septic tank—temuan ini memiliki potensi untuk mengurangi insiden penyakit bawaan air dan infeksi terkait (seperti diare dan tifoid) hingga 60% dalam kurun waktu lima tahun. Selain itu, dengan menangani masalah pH asam melalui pengolahan air, risiko paparan logam berat berbahaya seperti Timbal bagi warga yang masih bergantung pada sumur dapat dikurangi secara signifikan, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas kesehatan publik dan standar hidup masyarakat di kawasan padat penduduk.
Sumber Artikel:
Brontowiyono, W., Boving, T., Asmara, A. A., Rahmawati, S., Yulianto, A., Wantoputri, N. I., Lathifah, A. N., & Andriansyah, Y. (2022). Communal Wastewater Treatment Plants' Effectiveness, Management, and Quality of Groundwater: A Case Study in Indonesia. Water, 14(19), 3047. https://doi.org/10.3390/w14193047
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Krisis di Balik Dinding Kamp Tambang: Ancaman Limbah Domestik
Sektor pertambangan mineral emas seringkali memusatkan perhatian publik pada manajemen limbah industri berat, seperti tailing atau limbah pabrik pengolahan. Namun, sebuah studi rekayasa lingkungan baru-baru ini menyoroti bahwa ancaman tersembunyi terhadap keberlanjutan operasi tambang justru datang dari masalah sehari-hari yang sering terabaikan: air limbah domestik.1
Laporan mendalam tentang PT X, sebuah perusahaan industri pertambangan mineral emas, mengungkap kebutuhan mendesak untuk merancang Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD) yang komprehensif. Limbah domestik di lokasi ini berasal dari fasilitas penunjang kegiatan operasional yang padat, seperti hunian pekerja, kantor, kantin, dan unit binatu (laundry).1
Air limbah domestik ini terbagi menjadi dua komponen utama. Pertama, blackwater, yang merupakan limbah dari toilet hunian pekerja dan kantor. Kedua, greywater, yang berasal dari kegiatan non-toilet seperti kamar mandi, kantin, dan binatu.1 Masalah utamanya adalah efluen atau air buangan yang dihasilkan dari sistem pengolahan yang ada di PT X saat ini masih jauh melebihi baku mutu lingkungan yang diwajibkan.1
Skala Debit Harian yang Mengkhawatirkan
Perancangan IPALD ini didasarkan pada perhitungan debit harian air limbah yang signifikan. Secara total, PT X menghasilkan air limbah sebesar $33.9$ meter kubik ($m^{3}$) per hari.1 Untuk memberikan gambaran, volume harian $33.9~m^{3}$ ini setara dengan kebutuhan air minum ribuan orang. Jumlah ini terdistribusi menjadi $17.5~m^{3}$ per hari untuk greywater dan $16.4~m^{3}$ per hari untuk blackwater.1 Mengingat skala operasi tambang dan jumlah pekerja yang mencapai ratusan orang (hunian pekerja menampung hingga 220 orang dan kantor 300 pegawai), volume limbah ini merupakan tantangan logistik dan lingkungan yang serius.1
Sistem pengolahan yang sudah ada di PT X sebelumnya hanya fokus pada jenis air limbah blackwater, sementara greywater belum memiliki unit pengolahan sama sekali.1 Bahkan, efluen yang sudah diolah—namun masih di bawah standar—saat ini ditampung dan dimanfaatkan kembali untuk keperluan fasilitas pabrik pengolahan, seperti filter press.1
Lingkungan Menyerang Balik Operasi Inti
Terdapat sebuah ironi dan risiko operasional yang mengejutkan di balik praktik pemanfaatan kembali air limbah yang belum memenuhi baku mutu ini. Meskipun pemanfaatan kembali air tampaknya merupakan upaya efisiensi, penggunaan efluen yang tercemar secara berkepanjangan berpotensi menyebabkan kerusakan pada fasilitas pabrik pengolahan yang vital dan berharga.1 Ini menunjukkan bahwa masalah lingkungan (kualitas air buangan) secara langsung menciptakan risiko kegagalan operasional dan finansial. Dengan demikian, kepatuhan lingkungan tidak lagi hanya menjadi masalah hukum atau citra perusahaan, melainkan telah menjadi alat perlindungan aset strategis dan operasional inti.
Melampaui Batas Toleransi: Jurang Kualitas Air Limbah
Untuk memahami seberapa jauh air limbah PT X melampaui standar, peneliti mengidentifikasi karakteristik air limbah mentah (influen). Berdasarkan Petunjuk Teknis Pengelolaan Limbah Cair Perhotelan, fasilitas PT X disamakan dengan hotel bintang tiga, yang berarti air limbahnya berada pada kategori konsentrasi sedang (medium).1
Air limbah domestik di Indonesia diatur ketat oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 68 Tahun 2016. Ketika karakteristik influen dibandingkan dengan batas maksimum yang diizinkan, jurang kualitas menjadi jelas dan mengkhawatirkan.1
Beban Polusi Organik dan Kimia
Salah satu indikator utama polusi adalah Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD).
BOD: Konsentrasi BOD awal dalam air limbah PT X mencapai $190~mg/L$. Angka ini hampir enam kali lipat lebih tinggi dari batas aman maksimum yang diizinkan oleh Permen LHK, yaitu $30~mg/L$.1
COD: Sementara itu, konsentrasi COD awal terukur $430~mg/L$, yang berarti polusi kimiawi dan organik yang tidak dapat terurai secara biologis hampir empat kali lipat dari batas toleransi $100~mg/L$.1
Selain itu, kandungan zat yang sangat beracun bagi ekosistem perairan, Amonia, juga melebihi batas yang diizinkan. Konsentrasi Amonia awal tercatat sebesar $25~mg/L$, padahal baku mutu menetapkan batas maksimum hanya $10~mg/L$.1 Kondisi ini berarti Amonia melebihi batas dua kali lipat lebih.1
Misi Penurunan Polutan 85%
Karena konsentrasi polutan organik awal sangat tinggi—terutama BOD pada $190~mg/L$ yang harus diturunkan di bawah $30~mg/L$—sistem pengolahan yang dirancang tidak bisa sekadar "sedikit membersihkan." Sistem ini harus menghilangkan lebih dari $84.2\%$ dari seluruh polutan organik yang ada. Ini menuntut efisiensi penyisihan yang sangat tinggi dari unit biologis.1
Perancangan IPALD yang tepat harus bekerja layaknya mesin vacuum cleaner industri berkekuatan tinggi, menyedot lebih dari $85\%$ kotoran tersuspensi dan terlarut dalam air. Tantangan inilah yang menjelaskan mengapa para peneliti memilih konfigurasi pengolahan yang kompleks dan terpadu, yang berujung pada pemilihan unit Biofilter Anaerob-Aerob.
Inovasi Teknik: Mengapa Biofilter Anaerob-Aerob Menjadi Pilihan Strategis
Perancangan sistem pengolahan tidak dilakukan secara sembarangan. Peneliti mengevaluasi tiga alternatif teknologi pengolahan biologis untuk memastikan pilihan yang paling efektif dan efisien. Alternatif yang dipertimbangkan meliputi Anaerobic Baffled Reactor (ABR), Rotating Biological Contactor (RBC), dan Biofilter Anaerob-Aerob.1
Pemilihan teknologi yang paling sesuai didasarkan pada beberapa kriteria penentu kunci. Kriteria tersebut meliputi efisiensi penyisihan polutan (khususnya BOD, COD, dan Amonia), kebutuhan lahan yang minimal, serta kebutuhan energi yang rendah untuk operasional jangka panjang.1
Setelah melalui evaluasi ketat, konfigurasi Biofilter Anaerob-Aerob (dikenal sebagai Alternatif 3) berhasil meraih nilai tertinggi.1 Sistem ini menawarkan keseimbangan optimal antara kemampuan penyisihan polutan yang agresif dan efisiensi logistik.
Kemenangan Lahan Minim
Salah satu faktor penentu yang membuat Biofilter Anaerob-Aerob unggul adalah kemampuannya untuk beroperasi dalam kebutuhan lahan yang relatif kecil. Meskipun lokasi tambang emas mungkin tampak luas, ruang yang dialokasikan untuk infrastruktur pendukung, seperti IPALD, seringkali terbatas dan sangat bernilai tinggi karena berpotensi digunakan untuk fasilitas operasional inti lainnya.1
Biofilter menawarkan proses yang intensif (high-rate system). Hal ini memungkinkan pengolahan debit harian $33.9~m^{3}$ air limbah pada area yang sangat terbatas, dengan total kebutuhan lahan untuk semua unit pengolahan IPALD hanya mencapai $11.6~m^{2}$.1 Solusi rekayasa modern ini menekankan pada efisiensi spasial, membuktikan bahwa pengelolaan limbah yang efektif dapat dilakukan tanpa harus mengorbankan lahan berharga di lokasi industri.
Arsitektur 6 Tahap: Mekanisme Pemurnian Limbah
Sistem IPALD yang dirancang terdiri dari rangkaian enam unit pengolahan yang bekerja secara sinergis untuk menyisihkan kontaminan secara bertahap.1
4.1. Pra-Pengolahan: Memisahkan Minyak dan Lumpur
Tahap awal merupakan persiapan yang vital untuk melindungi unit biologis di tahap selanjutnya.
Oil and Grease Trap (Perangkap Minyak dan Lemak)
Unit pertama ini dirancang khusus untuk mengolah limbah yang berasal dari kantin, yang memiliki debit harian sebesar $1.2~m^{3}$.1 Unit ini berfungsi menghilangkan minyak dan lemak yang memiliki konsentrasi awal $50~mg/L$. Perancangan ini menjamin efisiensi penyisihan Minyak dan Lemak hingga 95%.1 Penghilangan Minyak dan Lemak di awal sangat penting; jika tidak dihilangkan, zat tersebut akan melapisi media filter dan menghambat kerja mikroorganisme yang merupakan jantung dari unit pengolahan biologis. Unit ini dirancang dengan waktu tinggal sekitar 37 menit.1
Bak Pengumpul
Setelah perangkap minyak, unit ini berfungsi mengumpulkan semua sumber limbah yang terpencar (khususnya $17.5~m^{3}$ greywater) dan memastikan aliran air limbah stabil dan berkelanjutan ke unit pengolahan inti.1 Untuk menjamin aliran yang seragam, bak pengumpul dirancang dengan waktu tinggal (retention time) sekitar tiga jam.1
4.2. Pengolahan Inti Biologis: Peran Mikroorganisme
Unit biologis adalah tempat terjadinya penyisihan polutan organik terbesar, memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan zat berbahaya.
Biofilter Anaerob (Tanpa Oksigen)
Unit ini dikhususkan untuk mengolah $16.4~m^{3}$ blackwater per hari.1 Dalam lingkungan bebas oksigen, mikroorganisme bekerja untuk memecah kontaminan, utamanya mengurangi beban pencemar.1 Unit ini diasumsikan memiliki efisiensi penyisihan 85% untuk BOD dan COD, dengan waktu tinggal rata-rata $7.3$ jam.1
Biofilter Aerob (Dengan Oksigen)
Unit Biofilter Aerob adalah tahap terpenting karena mengolah total debit air limbah harian sebesar $33.9~m^{3}$.1 Dengan bantuan udara (oksigen) yang dihembuskan menggunakan blower, mikroorganisme aerobik secara agresif menguraikan polutan yang tersisa.1 Blower yang digunakan berjenis HIBLOW 200 dengan kapasitas $200~liter/menit$ untuk menjamin pasokan oksigen yang cukup. Unit ini dirancang dengan efisiensi penyisihan tambahan sebesar 80% untuk BOD dan COD, dengan waktu tinggal sekitar delapan jam.1 Total volume reaktor yang dibutuhkan untuk tahap ini adalah $11.7~m^{3}$.1
4.3. Pasca-Pengolahan: Sedimentasi dan Pembasmian Kuman
Tahap akhir berfungsi untuk memurnikan air sebelum dilepas ke lingkungan.
Bak Pengendap Akhir
Unit ini berfungsi untuk memisahkan padatan tersuspensi (lumpur biologi) yang dihasilkan oleh proses biofilter aerob.1 Unit ini sangat krusial karena berperan besar dalam penyisihan zat-zat non-organik dan Amonia.1 Berdasarkan perancangan, bak pengendap akhir memiliki efisiensi penyisihan 90% untuk Amonia dan 75% untuk Total Suspended Solids (TSS).1 Untuk memaksimalkan kinerja dan penyisihan amonia, unit ini dilengkapi dengan pompa resirkulasi lumpur dengan rasio $50\%$, mengembalikan lumpur aktif ke reaktor anaerob. Unit ini beroperasi dengan waktu detensi selama dua jam.1
Desinfeksi (Klorinasi)
Sebagai tahap penutup, unit desinfeksi bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen penyebab penyakit.1 Metode klorinasi yang digunakan efektif menyisihkan Total Koliform dengan efisiensi mencapai 95%.1 Unit ini dirancang dengan waktu tinggal yang sangat singkat, hanya 15 menit, cukup untuk membunuh kuman berbahaya sebelum air dilepaskan.1
Kemenangan Kualitas: Bukti Kepatuhan dan Kelebihan
Hasil perhitungan dan perancangan yang cermat menunjukkan bahwa sistem IPALD enam tahap ini mampu mencapai tingkat kualitas efluen yang tidak hanya memenuhi, tetapi bahkan melampaui baku mutu yang ditetapkan oleh Permen LHK Nomor 68 Tahun 2016.1
Melampaui Batas Maksimum
Kualitas akhir air limbah hasil pengolahan menunjukkan penurunan drastis pada seluruh parameter kritis:
BOD: Berhasil diturunkan dari $190~mg/L$ menjadi hanya $23~mg/L$. Angka ini $23\%$ lebih bersih dibandingkan batas maksimum $30~mg/L$.
Amonia: Ditekan dari $25~mg/L$ menjadi hanya $2.5~mg/L$. Konsentrasi Amonia akhir ini hanya seperempat dari batas yang diizinkan, yaitu $10~mg/L$.
COD: Berkurang dari $430~mg/L$ menjadi $93~mg/L$, berada di bawah batas maksimum $100~mg/L$.
TSS: Berkurang dari $120~mg/L$ menjadi $29~mg/L$, memenuhi batas $30~mg/L$.
Minyak dan Lemak: Berhasil diturunkan menjadi $2.5~mg/L$, jauh di bawah batas $5~mg/L$.
Total Koliform: Berhasil diturunkan menjadi $500~mg/L$, sangat jauh di bawah batas $3000~mg/L$.1
Pencapaian ini menunjukkan bahwa perancangan IPALD tidak hanya bertujuan untuk sekadar lulus uji regulasi, tetapi memberikan margin keamanan lingkungan yang signifikan.1 Tingkat penyisihan Amonia sebesar 90% melalui bak pengendap akhir adalah contoh nyata rekayasa yang efektif, mengurangi potensi racun air dari level yang mematikan menjadi level yang hampir tidak terdeteksi, menjamin bahwa ekosistem perairan hilir tidak akan terganggu oleh operasional tambang.
Analisis Investasi, Logistik, dan Kritik Realistis
6.1. RAB: Investasi untuk Keberlanjutan
Keberhasilan perancangan IPALD ini dibarengi dengan analisis kebutuhan investasi. Total Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang dibutuhkan untuk konstruksi seluruh unit IPALD ini mencapai Rp 60.310.714,00.1
Dalam konteks operasional tambang berskala besar, biaya ini dianggap sebagai investasi modal (CapEx) yang relatif kecil namun sangat strategis. Investasi ini menjamin kepatuhan lingkungan jangka panjang dan secara aktif memitigasi risiko kerusakan fasilitas operasional inti yang jauh lebih mahal, menjadikan biaya ini sebagai polis asuransi operasional yang penting.
6.2. Kritik Realistis dan Tantangan Lapangan
Meskipun perancangan ini berhasil secara teoritis dan memenuhi seluruh baku mutu, terdapat beberapa keterbatasan yang harus dipertimbangkan dalam implementasi di lapangan.
Kelemahan Data Estimasi
Kritik realistis pertama adalah mengenai basis data perancangan. Studi ini masih mengandalkan data debit air limbah yang berasal dari literatur dan data sekunder, bukan dari pengukuran primer lapangan di PT X.1 Keterbatasan ini bisa menjadi titik kerentanan kritis antara desain teoritis dan implementasi nyata.
Jika debit air limbah aktual di lapangan sewaktu-waktu melebihi estimasi $33.9~m^{3}$ per hari—misalnya selama periode penambahan pekerja atau puncak operasional—total waktu tinggal (total detensi) sistem IPALD yang dirancang (sekitar 21 jam) akan berkurang drastis.1 Penurunan waktu tinggal akan menyebabkan unit biofilter bekerja di bawah kapasitas optimalnya, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan efluen tidak lagi memenuhi baku mutu lingkungan.
Saran untuk Operasi Optimal Jangka Panjang
Para peneliti juga memberikan saran praktis untuk memastikan keberhasilan perancangan ini secara berkelanjutan:
Pengambilan Data Primer: Sangat disarankan untuk segera melakukan pengambilan data primer terkait debit influen air di PT X untuk memverifikasi dan menyempurnakan dimensi perancangan agar sesuai dengan kondisi riil lapangan.1
Jadwal Perawatan Berkala: Perlu dibuat jadwal perawatan unit pengolahan air limbah secara berkala. Unit biologis sangat bergantung pada kesehatan mikroorganisme, dan tanpa perawatan rutin, efisiensi penyisihan akan menurun drastis dari target.1
Menuju Efluen Ultra Bersih: Meskipun proses desinfeksi dengan klorin efektif membunuh patogen (hingga $95\%$ koliform tersisih), sisa klorin itu sendiri bisa menjadi kontaminan sekunder. Peneliti merekomendasikan penambahan proses pengolahan lanjutan, seperti filtrasi karbon, setelah tahap desinfeksi.1 Langkah ini merupakan pergerakan maju menuju manajemen air limbah yang benar-benar berkelanjutan, melampaui sekadar kepatuhan regulasi minimum.
Dampak Nyata: Blue Print Keberlanjutan Pertambangan
Perancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik yang terperinci ini memiliki dampak yang jauh melampaui PT X semata. Studi ini menjadi acuan penting bagi akademisi dan praktisi di seluruh sektor pertambangan yang seringkali belum memiliki perencanaan pengolahan yang memadai, terutama untuk memisahkan dan mengolah blackwater dan greywater secara efektif.1
Pekerjaan rekayasa ini memproyeksikan standar baru bagi industri yang dituntut untuk mengintegrasikan kepatuhan lingkungan dengan efisiensi operasional. Dengan total waktu detensi 21 jam dan kebutuhan lahan minimal ($11.6~m^{2}$) 1, sistem ini menjadi model infrastruktur hijau yang efisien di tengah keterbatasan ruang operasional.
Jika diterapkan, investasi modal awal sebesar Rp 60,3 Juta ini tidak hanya menjamin kepatuhan penuh terhadap regulasi lingkungan (dengan BOD akhir yang $23\%$ lebih bersih dari batas yang diwajibkan), tetapi juga secara proaktif akan mengurangi risiko biaya perbaikan dan penggantian fasilitas pabrik pengolahan (seperti filter press) yang berpotensi mencapai ratusan juta Rupiah dalam waktu lima tahun. Implementasi perancangan ini akan memposisikan PT X sebagai pelopor operasi tambang yang bertanggung jawab secara ekologis di Indonesia.
Sumber Artikel:
Soyan, R. V., Sofiyah, E. S., & Zahra, N. L. (2022). Perancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik pada Industri Pertambangan PT X. Journal of Sustainable Infrastructure, 1(1), 13-23.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Ancaman Sunyi dan Solusi Inovatif Pengolahan Air Limbah
Isu pencemaran air, khususnya yang berasal dari limbah domestik, telah lama menjadi tantangan krusial bagi Indonesia. Meskipun perhatian publik sering terfokus pada limbah industri beracun, air limbah rumah tangga—yang berasal dari aktivitas harian seperti toilet, mess karyawan, dan kantin—sebenarnya merupakan penyumbang utama bahan organik dan nitrogen ke badan air.1 Pertumbuhan pesat kawasan industri dan populasi urban di Jawa Tengah secara paralel meningkatkan beban pencemaran ini, menuntut solusi pengolahan limbah (IPAL) yang tidak hanya memenuhi standar hukum, tetapi juga mampu beroperasi dengan efisiensi tertinggi di tengah keterbatasan lahan dan waktu.
Konteks mendesak inilah yang melatarbelakangi evaluasi kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di sebuah industri garmen besar yang disebut sebagai industri “X” di Jawa Tengah. IPAL ini dirancang untuk mengolah air limbah domestik dengan kapasitas besar, yakni $500~\text{m}^3/\text{hari}$.1 Studi ini berfokus pada pendekatan teknis yang diterapkan oleh industri tersebut: sebuah sistem hibrida canggih yang mengintegrasikan proses biologis berlapis dengan teknologi unggulan Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) berbasis media biochip.
Melalui narasi yang kredibel dan berbasis data, laporan ini menelisik klaim luar biasa dari penelitian yang dilakukan selama satu tahun penuh: sistem MBBR biochip tersebut mampu mencapai nilai efisiensi penyisihan rata-rata di atas $90\%$ untuk semua parameter pencemar utama.1 Angka-angka ini tidak hanya menandakan kepatuhan terhadap regulasi ketat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 68 Tahun 2016, tetapi juga menyajikan sebuah technical benchmark baru bagi pengolahan limbah domestik skala industri di Indonesia.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pengolahan Limbah Indonesia?
Keberhasilan IPAL industri “X” tidak bisa dipisahkan dari betapa berbahayanya tantangan yang dihadapi di awal proses. Penelitian ini secara telanjang menunjukkan bahwa air limbah yang masuk ke instalasi jauh melampaui batas aman yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pertaruhan Awal: Melawan Polusi di Atas Standar Nasional
Apa yang mengejutkan peneliti dan menjadi titik awal desain sistem yang kompleks ini adalah tingginya tingkat polutan di air limbah influen. Meskipun air limbah berasal dari sumber domestik (toilet dan dapur karyawan), konsentrasinya menyerupai beban kejut yang berat. Sebagai contoh, rata-rata Chemical Oxygen Demand (COD)—indikator utama kandungan organik yang membutuhkan oksigen untuk terurai—mencapai $426.70~\text{mg/L}$. Angka ini empat kali lipat dari batas standar maksimum yang diizinkan, yaitu $100~\text{mg/L}$.1 Tingginya COD, bersama dengan Biochemical Oxygen Demand (BOD) rata-rata sebesar $191.38~\text{mg/L}$, menunjukkan bahwa setiap harinya, IPAL ini harus berhadapan dengan beban organik harian sebesar $213.25~\text{kg COD/hari}$.1
Selain senyawa organik, ancaman padatan dan bakteri juga sangat signifikan. Rata-rata Total Suspended Solids (TSS) air limbah masuk berada pada $300.20~\text{mg/L}$, sepuluh kali lipat dari batas $30~\text{mg/L}$.1 Bahkan yang paling mengkhawatirkan adalah kontaminasi mikrobiologis: rata-rata Total Coliform mencapai $136,417.75$ number/100 mL, sebuah konsentrasi yang lebih dari 45 kali lipat melebihi batas baku mutu ($3,000$ number/100 mL).1
Siapa yang paling terdampak oleh tingkat polusi yang ekstrem ini? Jelas adalah lingkungan air di sekitarnya, jika limbah ini dibuang tanpa pengolahan yang memadai. Tingginya beban organik dapat menyebabkan deplesi oksigen secara masif di sungai atau parit penerima, sementara Total Coliform menimbulkan risiko kesehatan masyarakat yang serius. Tingkat polusi awal yang ekstrem ini adalah pembenaran teknis mengapa industri “X” tidak dapat mengandalkan sistem pengolahan biologis konvensional; mereka membutuhkan teknologi throughput tinggi yang mampu mengatasi beban kejut dan mempertahankan biomassa stabil, dan disitulah peran teknologi MBBR menjadi esensial.
Inovasi Kunci: Ketika Biochip Melampaui Ekspektasi
IPAL industri “X” beroperasi berdasarkan prinsip utama pengolahan biologis: proses pertumbuhan terlekat (attached growth).1 Dalam sistem ini, mikroorganisme—yang berperan sebagai ‘prajurit pembersih’—dibiarkan tumbuh pada media padat, membentuk lapisan biofilm yang stabil.1 Ini jauh lebih unggul daripada sistem lumpur aktif konvensional karena biofilm sangat resisten terhadap fluktuasi beban (beban kejut) dan mempertahankan populasi mikroba yang padat.
Jantung dari efisiensi sistem ini adalah pemilihan media MBBR yang digunakan dalam reaktor aerobik: media biochip. Pemilihan biochip didasarkan pada dua pertimbangan strategis utama. Pertama, efisiensi amonium yang superior dibandingkan media MBBR Kaldness.1 Kedua, media biochip menawarkan luas permukaan spesifik yang masif, berkisar antara $3,000$ hingga $5,500~\text{m}^2/\text{m}^3$.1
Luas permukaan spesifik yang ekstrem ini bukanlah detail minor; ini adalah strategi langsung untuk efisiensi ekonomi dan lahan. Dalam kawasan industri padat seperti Jawa Tengah, lahan sangat mahal. Dengan menyediakan area yang begitu besar untuk pertumbuhan mikroba dalam volume tangki $60~\text{m}^3$ yang relatif kecil, sistem ini secara dramatis meminimalkan jejak lahan instalasi pengolahan. Dengan kata lain, biochip mengubah IPAL ini dari kebutuhan lingkungan yang memakan lahan menjadi keunggulan teknik yang ringkas dan padat energi. Hal ini memungkinkan sistem mengelola laju beban organik hingga $14.28~\text{kg BOD}/\text{m}^3\text{.hari}$.1
Mengupas Strategi Tiga Lapis yang Mencapai Efisiensi Lebih dari 90%
Sistem pengolahan air limbah di industri garmen “X” adalah mahakarya teknik sipil lingkungan yang terdiri dari kombinasi berbagai unit proses yang dikontrol oleh pengontrol PLC untuk menjamin operasional yang praktis dan stabil.1
Arsitektur Proses Hibrida dan Kebutuhan Stabilitas
Langkah pertama yang vital dalam rantai pengolahan adalah Equalization atau tangki penyeimbang, dengan volume $143~\text{m}^3$.1 Mengingat debit air limbah domestik berfluktuasi—biasanya tinggi di pagi dan sore hari—tangki ekualisasi ini adalah prasyarat keberhasilan. Stabilitas yang diberikan oleh tangki ini memastikan bahwa mikroorganisme di tahap selanjutnya menerima beban polutan yang homogen dan konstan.1 Stabilitas ini mutlak diperlukan agar proses biologis lanjutan, yang sangat sensitif terhadap perubahan mendadak, dapat mencapai efisiensi tinggi secara konsisten selama periode penelitian satu tahun.
Setelah ekualisasi, air limbah memasuki serangkaian reaktor yang dirancang untuk menghilangkan karbon (BOD/COD), padatan (TSS), dan nutrien (Amonia) secara simultan melalui tiga zona biologis yang berbeda.
Mekanisme Penghilangan Tiga Zona
Anaerobik: Air limbah pertama memasuki tangki anaerobik sebesar $60~\text{m}^3$ yang dilengkapi dengan media sarang lebah (honeycomb).1 Proses ini, yang terjadi tanpa oksigen bebas, bertujuan untuk degradasi awal zat organik kompleks. Tahap ini dirancang untuk menyisihkan $30\%$ dari beban organik, yang berarti mampu mengurangi beban sebesar $28.70~\text{kg BOD}/\text{hari}$.1
Anoksik: Selanjutnya, air mengalir ke tangki anoksik sebesar $60~\text{m}^3$.1 Zona ini sangat penting untuk menghilangkan nitrogen. Dalam kondisi anoksik (tanpa oksigen bebas, tetapi dengan senyawa terikat oksigen seperti nitrat), mikroorganisme melakukan denitrifikasi. Meskipun tahap ini hanya ditargetkan menghilangkan $20\%$ Amonia, efisiensinya adalah kunci untuk memastikan air limbah akhir memenuhi standar Amonia yang ketat. Tahap ini mengelola beban $13.39~\text{kg BOD}/\text{hari}$.1
Aerobik MBBR: Ini adalah jantung dari proses, dengan volume tangki $60~\text{m}^3$ yang dipenuhi media biochip dan didukung oleh tube diffuser untuk aerasi maksimum.1 Proses aerobik adalah tempat penghilangan sisa BOD/COD yang signifikan dan proses nitrifikasi (pengubahan amonia menjadi nitrat). Tahap ini menanggung beban terberat, memproses $42.86~\text{kg BOD}/\text{hari}$ dan ditargetkan mencapai efisiensi $80\%$.1 Kombinasi strategis antara Anaerobik, Anoksik, dan Aerobik secara keseluruhan memvalidasi keberhasilan sistem dalam menghilangkan Amonia secara efisien, sebuah persyaratan penting untuk limbah domestik yang kaya nitrogen.
Post-Treatment: Jaminan Kebersihan Akhir
Setelah proses biologis, air limbah dialirkan ke unit sedimentasi (clarifier) sebesar $20~\text{m}^3$ untuk memisahkan padatan tersuspensi (TSS) menggunakan plate settler.1 Namun, pengolahan tidak berhenti di sana. Untuk menjamin kualitas air efluen yang nyaris sempurna, air dilewatkan melalui tahap 'polishing' menggunakan mangan zeolit dan karbon aktif. Filter ini berfungsi menghilangkan residu kecil polutan terlarut.
Tahap akhir yang paling krusial adalah disinfeksi menggunakan UV 254 nm.1 Dalam konteks limbah dengan Total Coliform yang sangat tinggi (lebih dari $136,000$ unit per 100 mL saat masuk), penggunaan disinfeksi UV adalah langkah absolut yang menjamin air yang dibuang tidak membawa ancaman bakteri.
Angka-Angka Kemenangan: Kepatuhan Penuh terhadap Aturan KLHK
Hasil operasional IPAL industri “X” selama satu tahun (Juli 2022 hingga Juni 2023) menghasilkan data kinerja yang dramatis dan stabil, membuktikan bahwa sistem MBBR biochip mampu menanggulangi beban polutan ekstrem dan menghasilkan efluen yang jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh Peraturan KLHK No. 68 Tahun 2016.
Lompatan Kinerja Dramatis dalam Penghilangan Polutan
Secara umum, nilai efisiensi penyisihan rata-rata di IPAL untuk setiap parameter utama berada di atas $90\%$.1
Untuk memahami betapa signifikan pencapaian ini, angka efisiensi dapat divisualisasikan melalui perbandingan analogis yang hidup:
Penyisihan Padatan Tersuspensi (TSS): IPAL ini mencapai efisiensi penyisihan TSS sebesar $99.06\%$.1 Jika air limbah masuk dengan kekeruhan setara satu meter lumpur padat, maka air yang keluar hanya menyisakan kurang dari satu sentimeter padatan. Efisiensi luar biasa ini memastikan air efluen sangat jernih dan jauh di bawah batas $30~\text{mg/L}$.
Penyisihan Amonia (Nutrien): Amonia berhasil disisihkan dengan efisiensi $93.78\%$.1 Ini berarti konsentrasi Amonia yang masuk rata-rata $14.50~\text{mg/L}$ berhasil ditekan hingga rata-rata menjadi $2.85~\text{mg/L}$ setelah pengolahan.1 Angka efluen $2.85~\text{mg/L}$ ini jauh lebih baik daripada batas standar $10~\text{mg/L}$.
Penyisihan Organik (BOD/COD): Efisiensi untuk BOD mencapai $93.16\%$ dan COD mencapai $90.76\%$.1 Jika beban organik yang masuk setiap hari setara dengan $426~\text{mg}$ polutan per liter air, sistem MBBR biochip memastikan hanya tersisa $39.15~\text{mg/L}$ COD di air buangan (data outlet rata-rata), jauh di bawah batas $100~\text{mg/L}$.1 Penghilangan efektif ini secara drastis mengurangi ancaman deplesi oksigen terhadap ekosistem perairan.
Penyisihan Bakteri (Total Coliform): Berkat disinfeksi UV, Total Coliform disisihkan hingga $98.87\%$.1 Kinerja ini memastikan air efluen aman untuk dilepas ke lingkungan, memenuhi standar kesehatan dan kebersihan.
Efisiensi Waktu: Solusi Throughput Tinggi
Selain efisiensi penghilangan polutan, keberhasilan MBBR biochip juga diukur dari kecepatan pengolahannya. Sistem ini menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memadatkan waktu pengolahan. Waktu retensi hidrolik (HRT) untuk proses inti biologis—Anaerobik, Anoksik, dan Aerobik—hanya memakan waktu total sekitar 8 jam (masing-masing 3 jam, 3 jam, dan 2 jam).1
Efisiensi waktu ini memiliki implikasi operasional yang besar. IPAL dapat memproses $500~\text{m}^3$ limbah domestik harian dalam waktu yang sangat singkat. Kecepatan ini mengurangi biaya energi yang diperlukan untuk aerasi dan meminimalkan risiko penumpukan limbah, memungkinkan respon cepat terhadap puncak beban. Ini menegaskan bahwa teknologi MBBR biochip yang diterapkan dengan desain bertingkat (Anaerobik-Anoksik-Aerobik) adalah solusi throughput tinggi yang sangat ideal untuk industri yang membutuhkan operasional 24 jam.
Perspektif Jurnalis: Pujian dan Kritik yang Realistis
Keberhasilan IPAL ini dalam mengubah air limbah yang sangat tercemar menjadi air yang memenuhi baku mutu nasional adalah pencapaian teknik yang layak dijadikan acuan. Namun, adopsi teknologi ini secara nasional memerlukan analisis yang berimbang.
Opini: Menjadi Contoh Praktik Terbaik (Best Practice)
IPAL industri garmen “X” patut diacungi jempol karena efisiensi mereka yang melampaui kepatuhan. Dengan mencapai efisiensi penyisihan TSS hampir $99\%$ dan Amonia $93.78\%$, IPAL ini menetapkan standar emas untuk pengolahan air limbah domestik skala industri di Indonesia.
Pencapaian ini menggarisbawahi pentingnya desain proses yang tepat; sistem hibrida (Anaerobik, Anoksik, Aerobik) yang memanfaatkan keunggulan MBBR biochip secara spesifik menargetkan berbagai jenis polutan secara serial, memastikan tidak ada residu yang terlewat. Air yang telah diolah ini aman untuk dilepas ke badan air atau, seperti yang dilakukan oleh industri "X", digunakan kembali untuk penyiraman tanaman, menghubungkan teknologi ini langsung dengan praktik konservasi air dan keberlanjutan riil.1 Pemerintah dan asosiasi industri seharusnya mempromosikan desain MBBR Biochip sebagai desain acuan (reference design) untuk IPAL domestik skala menengah hingga besar.
Kritik Realistis: Batasan Studi dan Tantangan Replikasi
Meskipun hasilnya luar biasa, ada batasan studi yang harus diakui agar replikasi teknologi ini dapat dilakukan secara hati-hati:
Fokus Murni Limbah Domestik: Studi ini secara eksklusif berfokus pada kinerja pengolahan air limbah domestik, yang berasal dari aktivitas karyawan.1 Air limbah domestik, meskipun terkonsentrasi, memiliki komposisi yang relatif stabil dan biodegradable (rasio BOD/COD 0.448).1 Kinerja MBBR Biochip perlu diuji lebih lanjut dalam kondisi air limbah campuran yang mengandung residu kimia dari proses produksi garmen itu sendiri (misalnya, pewarna, zat finishing, atau bahan toksik industri lainnya). Stabilitas biofilm, yang menjadi kunci kesuksesan MBBR, dapat terganggu secara signifikan oleh zat toksik. Tanpa validasi pada limbah proses, generalisasi efisiensi $90\%$ harus dilakukan dengan hati-hati saat mereplikasi sistem di pabrik yang limbah prosesnya lebih agresif.
Konteks Geografis yang Terbatas: Seluruh penelitian dilakukan di wilayah Jawa Tengah.1 Keberhasilan sistem biologis sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, yang memengaruhi aktivitas mikroorganisme. Keterbatasan studi yang hanya di satu daerah dengan suhu operasional yang relatif stabil bisa jadi mengecilkan dampak tantangan secara umum. Untuk adopsi di wilayah Indonesia Timur atau di dataran tinggi yang mungkin memiliki fluktuasi iklim atau suhu yang lebih ekstrem, kinerja biofilm dan kebutuhan energi aerasi memerlukan validasi dan penyesuaian desain yang spesifik.
Dampak Nyata dan Proyeksi Masa Depan
Keberhasilan teknologi MBBR Biochip di industri garmen “X” menawarkan model yang menjanjikan, tidak hanya dari aspek lingkungan, tetapi juga dari aspek operasional dan ekonomi.
Pengurangan Biaya dan Peningkatan Reputasi
Efisiensi $93\%$ dalam penghilangan BOD/COD adalah jaminan bahwa industri ini beroperasi dengan risiko lingkungan yang sangat rendah. Hal ini secara langsung mengurangi potensi denda kepatuhan lingkungan dan meningkatkan reputasi korporat.
Secara operasional, efisiensi MBBR Biochip memberikan keuntungan tersembunyi. Karena sistem ini beroperasi dengan laju pengolahan yang sangat cepat (HRT hanya 8 jam) dan efisiensi penghilangan TSS yang tinggi ($99.06\%$), volume lumpur (sludge) yang dihasilkan kemungkinan besar lebih sedikit dibandingkan sistem lumpur aktif konvensional.1 Penurunan volume lumpur ini adalah keuntungan ekonomi yang besar, karena biaya penanganan dan pembuangan lumpur sering kali menjadi komponen biaya operasional terbesar dalam pengelolaan IPAL.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika teknologi MBBR Biochip, yang terbukti efisien dalam mengolah limbah domestik terkonsentrasi di Jawa Tengah, diadopsi sebagai standar industri baru untuk IPAL domestik skala menengah, temuan ini bisa mengurangi potensi denda kepatuhan lingkungan dan biaya operasional (termasuk biaya penanganan lumpur) hingga $30\%$ dalam waktu lima tahun, sekaligus menghemat jutaan liter air baku melalui praktik daur ulang.
Keberhasilan studi kasus di industri garmen "X" ini mengirimkan pesan kuat: tantangan polusi domestik di lingkungan industri bukanlah takdir yang tak terhindarkan. Melainkan, masalah ini adalah masalah teknik yang telah ditemukan solusinya—sebuah solusi canggih, efisien, dan siap untuk direplikasi secara nasional. Investasi pada teknologi seperti MBBR biochip adalah investasi pada keberlanjutan dan ketahanan operasional industri di masa depan.
Sumber Artikel:
Yusrina, A., Ardhianto, R., Darojat, K., & Rahman, A. (2024). Performance Evaluation of Sewage Treatment Plant Using Biochip Media of MBBR Technology: Case Study "X" Garment, Central Java. Lingkar: Journal of Environmental Engineering, 4(2), 470-84. https://doi.org/10.22373/ljee.v3i2.2357
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Audit Lingkungan: Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Prioritas Pembangunan Kota?
Kota Medan, sebagai ibu kota Sumatera Utara, terus menghadapi tantangan lingkungan yang membesar seiring pertumbuhan populasinya. Dengan jumlah penduduk yang meningkat signifikan dalam 15 tahun terakhir, produksi air limbah domestik pun melonjak, mengancam kualitas sumber air minum, air tanah, dan terutama sungai-sungai di kota tersebut.1 Menyadari ancaman ini, sejak tahun 1995, Medan telah mengoperasikan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Cemara di bawah pengawasan PDAM Tirtanadi, sebuah sistem terpusat yang dirancang untuk mengolah air limbah domestik, baik air hitam (black water) maupun air abu-abu (grey water).1
Untuk mengevaluasi kinerja infrastruktur vital ini secara objektif dan mendalam, sebuah penelitian menggunakan metodologi Life Cycle Assessment (LCA) dilakukan. LCA adalah teknik komprehensif yang menilai potensi dampak lingkungan dari suatu layanan—dalam hal ini, pengolahan air limbah—mulai dari air masuk (influent) hingga produk akhir dan limbah padat.1 Penelitian ini berfokus pada unit fungsional pengolahan $7.171~m^3$ air limbah per hari selama satu tahun.1 Hasilnya tidak sekadar mengukur efisiensi pembersihan, tetapi mengungkap sebuah kontradiksi struktural dan lingkungan yang kritis.
Kontradiksi Kapasitas versus Realitas Layanan
IPAL Cemara dibangun dengan potensi kemampuan pengolahan yang sangat besar, mencapai kapasitas maksimum $60.000~m^3$ per hari.1 Kapasitas terpasang ini menunjukkan ambisi pemerintah daerah untuk mengatasi masalah sanitasi secara menyeluruh. Namun, data operasional menunjukkan gambaran yang sangat kontras. Hingga saat penelitian dilakukan, IPAL Cemara hanya melayani sekitar 18.396 rumah tangga, dengan kapasitas yang digunakan kurang dari $10.000~m^3$ per hari.1 Hal ini berarti lebih dari 83 persen potensi pengolahan fasilitas ini tidak dimanfaatkan, menjadikannya sebuah investasi infrastruktur yang beroperasi jauh di bawah kapasitasnya.
Kondisi ini muncul bukan karena buruknya kinerja unit pengolahan, melainkan karena minimnya jangkauan infrastruktur koleksi. Jangkauan layanan IPAL Cemara tercatat sangat rendah, hanya 3,63 persen dari total air limbah domestik di Medan yang diolah oleh fasilitas ini.1 Di sisi lain, sekitar 96,37 persen rumah tangga di Medan masih mengandalkan sistem on-site, seperti tangki septik tradisional atau, yang lebih mengkhawatirkan, membuang air abu-abu secara langsung ke drainase terbuka. Kondisi mayoritas rumah tangga yang masih bergantung pada sistem pembuangan individu ini menjadi penyebab utama penurunan kualitas sungai yang kronis di kota tersebut.1
Jika infrastruktur koleksi, yaitu jaringan pipa pembuangan, tidak dibangun dan dikelola secara efektif, investasi besar pada teknologi pengolahan canggih di IPAL justru menjadi semacam "aset yang terdampar"—aset teknologi tinggi yang gagal mencapai tujuan utamanya karena cacat pada sistem penghubung hulu. Analisis ini menyoroti bahwa prioritas kebijakan publik di Medan saat ini seharusnya bergeser secara agresif dari fokus pada perbaikan teknologi pengolahan menjadi perluasan jaringan pipa untuk memastikan air limbah benar-benar sampai ke IPAL dan kapasitasnya dimaksimalkan.
Efisiensi Tinggi yang Tak Terbantahkan: Kualitas Air Melampaui Standa
Walaupun terdapat kegagalan dalam cakupan layanan, hasil penelitian LCA memberikan pengakuan penting terhadap kinerja teknis unit-unit pengolahan di IPAL Cemara. Fasilitas ini, ketika air limbah masuk, mampu mencapai efisiensi pembersihan yang sangat impresif, terutama pada parameter polutan konvensional.
Secara keseluruhan, kualitas air limbah yang telah diolah berhasil diturunkan jauh di bawah standar kualitas yang ditetapkan pemerintah.1 Unit utama yang bertanggung jawab atas proses pemurnian polutan organik adalah Aerated Pond (Kolam Berudara), yang menunjukkan efisiensi penghilangan Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) lebih dari 70 persen.1 Data keseluruhan menunjukkan bahwa air limbah yang dikeluarkan memiliki efisiensi reduksi sebesar 93 persen untuk BOD dan 93 persen untuk COD.1
Selain polutan organik, fasilitas ini juga sangat berhasil dalam menangani padatan dan kontaminan mikrobiologis. Total Suspended Solids (TSS), yang menunjukkan kekeruhan dan padatan tersuspensi, berhasil dikurangi hingga 99 persen secara keseluruhan. Pengurangan yang signifikan untuk TSS, sekitar 65 persen, terjadi di Reaktor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB).1
Kinerja sanitasi menunjukkan hasil yang paling optimal. Total Koliform, yang merupakan indikator keberadaan patogen dan seringkali mencapai ratusan ribu Colony Forming Units (CFU) per 100 mililiter dalam air limbah masuk, berhasil direduksi hingga 100 persen, mencapai nilai yang jauh di bawah standar baku mutu efluen.1 Secara naratif, keberhasilan ini dapat diibaratkan seperti proses yang mengubah air limbah yang pada awalnya sepekat dan sekotor air kopi yang terkontaminasi patogen, menjadi air yang secara fisik bersih dan hampir bebas dari risiko kesehatan mendasar, semua tercapai dalam siklus operasional pengolahan. Kinerja ini menegaskan potensi besar IPAL Cemara jika dapat dioperasikan pada kapasitas penuh.
Kejutan Terbesar di Balik Data: 97 Persen Dampak Berasal dari Titik Akhir
Meskipun unit-unit IPAL Cemara menunjukkan kinerja pembersihan fisik dan organik yang luar biasa, analisis LCA melalui hasil ternormalisasi mengungkapkan sebuah ironi lingkungan yang mendalam. Efisiensi tinggi dalam menghilangkan BOD, COD, dan Koliform ternyata tidak sejalan dengan keberhasilan dalam menekan beban lingkungan secara keseluruhan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tahap Release of Wastewater Effluent (Pelepasan Efluen Air Limbah) ke badan air penerima adalah kontributor dominan terhadap dampak lingkungan sistem IPAL Cemara secara keseluruhan.1 Secara kuantitatif, pelepasan air yang sudah diolah ini menyumbang 96,73 persen dari total dampak lingkungan ternormalisasi seluruh sistem.1
Angka 96,73 persen ini adalah temuan yang harus menjadi alarm kebijakan. Jika seluruh proses pengolahan air limbah dianggap sebagai serangkaian langkah yang sempurna, hampir sembilan setengah dari setiap sepuluh poin masalah lingkungan berbobot terberat yang ditimbulkan oleh IPAL ini sepanjang tahun justru terjadi pada momen pelepasan air ke perairan alam.1 Sebaliknya, total kontribusi dampak lingkungan dari seluruh tahap operasional mekanik—termasuk Screw Pump, Screening, Grit Chamber, UASB Reactor, Aerated Pond, dan Facultative Pond—hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan beban dampak.1
Kondisi ini menyajikan sebuah paradoks lingkungan: air yang tampak bersih (karena rendah BOD, COD, dan Koliform) ternyata membawa racun tersembunyi yang memiliki bobot dampak lingkungan jauh lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembersihan yang dilakukan gagal mengatasi polutan yang memiliki potensi toksisitas atau dampak ketidakseimbangan nutrisi yang sangat tinggi, meskipun polutan konvensionalnya telah teratasi. Ini mengalihkan fokus dari volume polutan organik ke jenis polutan yang bersifat akut dan terkonsentrasi di titik akhir proses.
Racun Tak Terlihat: Skandal Ekotoksisitas dan Krisis Nitrogen di Sungai
Analisis lanjutan berdasarkan kategori dampak ternormalisasi menegaskan masalah ini. Dua kategori dampak lingkungan yang paling dominan dalam keseluruhan sistem IPAL Cemara adalah Freshwater Ecotoxicity (Ekotoksisitas Air Tawar) dan Eutrophication (Eutrofikasi), yang secara kolektif menyumbang lebih dari 90 persen dari total beban lingkungan.1
Ekotoksisitas Air Tawar: Dominasi Senyawa Tunggal
Dampak terbesar yang harus diwaspadai adalah Ekotoksisitas Air Tawar, yang bertanggung jawab atas 45,96 persen dari total dampak lingkungan IPAL Cemara.1 Penelitian ini berhasil mengidentifikasi biang keladi utamanya: pelepasan satu senyawa kimia spesifik.
Sebanyak 72 persen dari dampak Ekotoksisitas Air Tawar ini disebabkan oleh pelepasan Karbon Disulfida ($CS_2$) pada tahap efluen.1 $CS_2$ adalah senyawa kimia yang sangat beracun bagi organisme akuatik dan seringkali terkait dengan pelarut atau proses industri. Kehadiran $CS_2$ yang sangat dominan, menyumbang hampir tiga perempat dari toksisitas air, di dalam air limbah yang seharusnya hanya berasal dari domestik, memberikan indikasi kuat. Indikasi pertama adalah perlunya teknologi penyaringan yang lebih canggih yang mampu menghilangkan polutan mikrospesifik seperti $CS_2$, bukan hanya BOD dan TSS. Indikasi kedua yang lebih serius adalah kemungkinan adanya input air limbah non-domestik—seperti limbah industri atau komersial—yang tidak terkontrol dan mengandung konsentrasi $CS_2$ tinggi, yang masuk ke dalam sistem IPAL domestik. Kondisi ini menuntut pengawasan regulasi sumber limbah yang sangat ketat di Medan.
Eutrofikasi: Menumpuknya Pupuk di Ekosistem Sungai
Dampak lingkungan terbesar kedua adalah Eutrofikasi, yang menyumbang 44,04 persen dari total beban lingkungan.1 Eutrofikasi adalah fenomena pengayaan nutrisi berlebihan di perairan, yang memicu pertumbuhan alga secara masif, menurunkan kandungan oksigen, dan pada akhirnya merusak ekosistem akuatik.
Penyebab utama dampak Eutrofikasi ini adalah pelepasan nutrisi esensial dalam jumlah berlebih. Data menunjukkan bahwa Eutrofikasi didominasi oleh pelepasan Amonia ($NH_3$) sebesar 41,25 persen dan Nitrogen (N) sebesar 39,60 persen.1 Meskipun IPAL ini berhasil menghilangkan kotoran padat dan bakteri, tingginya konsentrasi nitrogen dan amonia yang dilepaskan ke sungai sama dampaknya dengan menuangkan pupuk kimia berlebihan ke ekosistem air. Kelebihan nutrisi ini menciptakan kondisi biologis yang tidak sehat, meskipun airnya jernih, yang secara signifikan memperparah masalah penurunan kualitas sungai di Medan.
Dilema Iklim: Kontribusi Metana dan Diesel dari Unit Pengolahan
Selain masalah toksisitas efluen, fase operasional IPAL Cemara juga menghasilkan jejak gas rumah kaca yang signifikan, terutama dari proses biologis dan kebutuhan energi mekanis.
Sumber Emisi Metana Biogenik
Unit-unit pengolahan air limbah yang melibatkan proses anaerobik (tanpa oksigen) atau fakultatif (oksigen terbatas) secara alami menghasilkan Metana ($CH_4$), sebuah gas rumah kaca biogenik yang memiliki potensi pemanasan global jauh lebih besar dibandingkan karbon dioksida ($CO_2$).
Kolam Fakultatif: Unit ini merupakan kontributor terbesar terhadap dampak Climate Change dalam fase operasional, menyumbang 49 persen dari total dampak iklim unit proses. Selain itu, kolam ini juga menyumbang 31 persen dari dampak Photo-Oxidant Formation, yang semuanya disebabkan oleh produksi $CH_4$ tertinggi.1
Reaktor UASB: Unit ini, yang juga menunjukkan efisiensi tinggi dalam pengurangan TSS, merupakan kontributor signifikan bagi dampak lingkungan terkait iklim. Reaktor UASB menyumbang 16,63 persen dari dampak Climate Change dan 29,34 persen dari dampak Photo-Oxidant Formation, juga dikarenakan produksi $CH_4$ yang tinggi.1
Secara kumulatif, unit-unit yang menghasilkan gas biogenik ini menyumbang lebih dari dua pertiga emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh seluruh proses pengolahan air limbah. Produksi $CH_4$ yang tinggi ini, terutama dari Kolam Fakultatif dan Reaktor UASB, mewakili peluang yang terlewatkan. Metana yang saat ini dilepaskan ke atmosfer seharusnya dapat ditangkap dan dimanfaatkan sebagai biogas. Pemanfaatan biogas ini berpotensi memecahkan dua masalah krusial sekaligus: mengurangi kontribusi IPAL terhadap Perubahan Iklim (yang saat ini didominasi $CH_4$) dan menyediakan sumber energi terbarukan untuk unit operasional lainnya.
Jejak Karbon dari Operasi Mekanis
Kebutuhan energi untuk menggerakkan mesin dan pompa juga berkontribusi pada jejak karbon IPAL Cemara melalui konsumsi bahan bakar fosil dan listrik.
Aerated Pond (Kolam Berudara): Meskipun efektif dalam pemurnian air, kolam berudara menjadi kontributor utama dampak Climate Change dalam fase operasional karena kebutuhan energinya yang intensif. Kontribusi dampak iklim dari unit ini disebabkan oleh konsumsi diesel sebesar 16,97 persen, emisi $CO_2$ (4,95 persen) dan $N_2O$ (4,26 persen) dari emisi biogenik, serta penggunaan listrik sebesar 3,04 persen.1 Ketergantungan yang tinggi pada diesel menunjukkan kemungkinan besar penggunaan generator atau peralatan mekanis yang sangat boros energi.
Risiko Toksisitas Lokal: Selain emisi gas rumah kaca, proses mekanis di unit-unit seperti Screw Pump dan Aerated Pond juga menyebabkan dampak Terrestrial Ecotoxicity (Toksisitas Darat).1 Dampak ini disebabkan oleh tumpahan pelumas. Meskipun diperkirakan tumpahan pelumas hanya sekitar 3 persen dari residu pelumas yang digunakan 1, risiko ini menyoroti perlunya protokol pemeliharaan yang ketat dan, idealnya, transisi menuju pelumas yang memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah untuk mengurangi kontribusi terhadap pencemaran tanah.
Opini dan Kritik Realistis: Batasan Studi dan Solusi Jangka Panjang
Analisis LCA yang cermat ini memberikan landasan ilmiah yang kuat untuk reformasi kebijakan lingkungan di Medan. Namun, penting untuk memahami batasan lingkup penelitian ini untuk mendapatkan gambaran dampak total yang lebih utuh.
Keterbatasan Lingkup Penilaian
Studi ini secara eksplisit hanya menganalisis fase operasional inti—dari air masuk hingga pelepasan efluen dan pembuangan lumpur kering. Beberapa fase yang secara inheren membawa potensi dampak lingkungan besar dikecualikan dari penilaian 1:
Fase penggunaan kembali (reuse) atau daur ulang air limbah yang telah diolah dan lumpur kering.
Pengelolaan limbah padat (seperti saringan, pasir, dan kerikil) yang dikumpulkan di tahap awal (Screening dan Grit Chamber).
Kritik realistis menunjukkan bahwa dampak lingkungan total yang dihasilkan oleh IPAL Cemara kemungkinan diremehkan (understated) karena eliminasi fase-fase ini. Sebagai contoh, data yang disajikan menunjukkan bahwa tahap Disposal of Dry Sludge (Pembuangan Lumpur Kering) saja sudah bertanggung jawab atas 95,32 persen dari dampak Terrestrial Ecotoxicity.1 Lumpur kering mengandung konsentrasi logam berat dan konstituen beracun lainnya.1 Pengabaian manajemen limbah padat yang komprehensif ini adalah blind spot yang harus segera diatasi dalam kajian lingkungan dan kebijakan publik berikutnya.
Kegagalan Kebijakan Infrastruktur
Kritik yang paling mendasar dan harus diangkat ke permukaan adalah kegagalan konektivitas. Memiliki IPAL berkapasitas $60.000~m^3$ per hari, tetapi hanya mengolah 3,63 persen air limbah domestik, menunjukkan bahwa masalah sanitasi Medan bukanlah kegagalan teknologi pembersihan di ujung, melainkan kegagalan masif dalam pembangunan jaringan pipa koleksi.1
Pemerintah Kota Medan harus segera mengalihkan prioritas dan anggaran untuk mengatasi jurang layanan ini. Selama hampir 97 persen rumah tangga masih membuang limbah secara mandiri atau langsung ke saluran terbuka, krisis lingkungan air tawar di Medan tidak akan pernah terselesaikan, terlepas dari seberapa efisien unit UASB atau Aerated Pond bekerja. Populasi Medan yang sangat padat (rata-rata 8.338 orang per $km^2$) menuntut implementasi sistem terpusat yang berfungsi penuh.1
Kesimpulan: Dampak Nyata dan Peta Jalan Menuju Nol Toksisitas
Studi Life Cycle Assessment terhadap IPAL Cemara di Medan memberikan bukti berbasis data bahwa efisiensi pemurnian air secara tradisional (mengukur BOD/COD) tidak lagi cukup untuk menilai keberlanjutan lingkungan. Paradox IPAL Cemara adalah bahwa fasilitas tersebut secara efektif membersihkan polutan organik, namun secara simultan melepaskan racun kimia spesifik dan nutrisi berlebih yang menyebabkan 97 persen dari total dampak lingkungan sistem.
Temuan ini menuntut reformasi radikal dalam pengelolaan air limbah di Kota Medan. Kebijakan harus berfokus pada dua area utama: ekspansi jaringan infrastruktur dan penetapan standar baku mutu efluen yang lebih ketat, terutama untuk polutan mikro.
Pernyataan Dampak Nyata:
Jika diterapkan, temuan mendalam dari analisis LCA ini bisa menjadi landasan bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk merevisi Peraturan Daerah terkait baku mutu efluen, menargetkan penghilangan senyawa Karbon Disulfida dan membatasi pelepasan Amonia dan Nitrogen secara ketat. Langkah-langkah ini berpotensi mengurangi beban Ekotoksisitas Air Tawar di sungai-sungai Medan hingga lebih dari 70 persen dalam waktu lima tahun. Selain itu, dengan memanfaatkan metana ($CH_4$) yang saat ini dilepaskan oleh Reaktor UASB dan Kolam Fakultatif sebagai biogas, IPAL dapat mengurangi kontribusi dampak iklim secara signifikan, sekaligus menggantikan konsumsi diesel mahal di Aerated Pond, yang pada akhirnya akan menurunkan biaya operasional dan meningkatkan keberlanjutan energi IPAL. Kegagalan IPAL Cemara saat ini adalah kegagalan untuk melihat dampak lingkungan secara holistik; data LCA ini adalah peta jalan yang sangat akurat untuk mencapai pengolahan air limbah yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Hutagalung, I. R., & Matsumoto, T. (2020). LIFE CYCLE ASSESSMENT OF DOMESTIC WASTEWATER TREATMENT IN MEDAN CITY, INDONESIA. Journal of Community Based Environmental Engineering and Management, 4(2), 85–98.