Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pengolahan Limbah Tahu Murah di Sidoarjo – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

20 November 2025, 02.50

unsplash.com

Pendahuluan: Krisis Tak Terlihat di Balik Industri Tahu

Industri tahu telah lama menjadi tulang punggung ekonomi rumah tangga di Indonesia. Namun, seiring dengan pertumbuhannya, muncul krisis lingkungan yang senyap: pengelolaan limbah cair. Industri tahu, yang sebagian besar beroperasi di daerah pemukiman padat, menghasilkan dua jenis limbah, dengan mayoritas berupa limbah cair.1 Studi kasus di Desa Sepande, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mencerminkan tantangan nasional ini.

Mengapa Limbah Tahu Menjadi Bom Waktu Lingkungan

Limbah cair dari pembuatan tahu dikenal sebagai "air dadih" atau whey. Cairan kental ini dipisahkan dari gumpalan tahu dan sarat dengan senyawa organik. Komponen utamanya meliputi protein, yang menyusun 40 hingga 60 persen dari senyawa organik; karbohidrat, sekitar 25 hingga 50 persen; dan lipid, sekitar 8 hingga 12 persen, ditambah vitamin dan mineral lainnya.1

Ketika limbah dengan konsentrasi organik tinggi ini dibuang langsung ke badan air—seperti selokan atau sungai—tanpa pengolahan, dampaknya adalah penurunan kualitas air secara drastis, munculnya bau tidak sedap, dan pencemaran yang merugikan ekosistem dan pasokan air masyarakat.1 Hal ini terjadi karena bakteri di air mengonsumsi oksigen terlarut (DO) dalam upaya mengurai materi organik yang berlebihan tersebut, menyebabkan biota air kekurangan oksigen.

Dalam upaya menemukan solusi yang dapat diadopsi oleh pengusaha skala rumah tangga, penelitian ini fokus pada metode filtrasi. Filtrasi diklaim sebagai salah satu alternatif pengolahan limbah cair tahu yang "efektif, murah, dan mudah diterapkan oleh masyarakat".1 Studi di Sidoarjo ini secara spesifik menyelidiki efisiensi kombinasi media filtrasi biologis (bioball dan bioring) untuk menanggulangi polusi di tingkat hulu.

 

Eksplorasi Sistem Filtrasi: Kisah Bioball dan Bioring

Mengapa Filter Sederhana Ini Dianggap Harapan Baru di Sidoarjo?

Sistem filtrasi yang diuji dirancang sebagai reaktor skala kecil, dengan total ketinggian media penyaring 20 sentimeter dan kapasitas air limbah 1,5 liter.1 Penelitian ini mengadopsi desain saringan pasir lambat, tetapi mengintegrasikan media biologis untuk meningkatkan proses penguraian.

Kolom filtrasi disusun dari bawah ke atas sebagai berikut: lapisan kerikil setebal 5 cm, disusul pasir silika setebal 10 cm, kemudian bioball setebal 5 cm, dan paling atas bioring setebal 5 cm.1 Kain kasa filter digunakan untuk mencegah media halus, seperti pasir silika, menyumbat lapisan kerikil atau keran air.

Anatomi dan Harapan Biofilm

Keunggulan utama sistem ini terletak pada peran bioball dan bioring sebagai media tumbuh kembangnya mikroorganisme atau bakteri, yang secara kolektif disebut biofilm.1

Bioball merupakan media filter PVC yang dikenal ringan dan tahan karat. Karakteristik paling penting dari bioball adalah luas permukaan dan volume rongganya (porositas) yang sangat besar. Ini memungkinkan bioball berfungsi sebagai rumah yang ideal untuk mengikat banyak mikroorganisme. Keuntungannya, proses ini dapat terjadi dengan sangat sedikit kemungkinan media mengalami kebuntuan.1

Sementara itu, Bioring adalah media tanam yang serbaguna, memiliki kadar air tinggi, dan juga bersifat porous. Karakteristik ini memfasilitasi penggunaan bioring sebagai media pertumbuhan bakteri.1

Kombinasi kedua media ini menciptakan bioreaktor film tetap yang diharapkan mampu mengurai limbah tahu secara biologis. Jika sistem ini bekerja optimal, mikroorganisme akan memecah senyawa organik yang kompleks menjadi produk akhir yang tidak berbahaya. Namun, dalam rekayasa lingkungan, efisiensi penguraian sangat bergantung pada waktu kontak limbah dengan biofilm. Desain kolom dengan ketinggian total hanya 20 cm, meskipun murah dan mudah dibuat, memunculkan kekhawatiran bahwa waktu retensi hidrolik (waktu air berinteraksi dengan media) mungkin terlalu singkat. Jika waktu kontak kurang, proses yang terjadi mungkin hanyalah hidrolisis cepat—pemecahan molekul besar menjadi asam atau senyawa terlarut yang lebih kecil—bukan degradasi total (mineralisasi) yang diperlukan untuk membersihkan air secara tuntas.

 

Data Kunci yang Mengubah Permainan: Keberhasilan Netralisasi

Temuan studi ini, meskipun terdapat anomali signifikan di beberapa parameter, berhasil mencapai dua hasil dramatis yang vital bagi mitigasi dampak lingkungan jangka pendek. Filtrasi berhasil mengubah karakter kimia air limbah tahu, membuatnya kurang toksik dan lebih kaya oksigen.

Keajaiban Netralisasi: Lompatan Kualitas yang Menjaga Ekosistem Lokal

1. Menjinakkan Sifat Korosif: Lompatan pH 4 Poin

Limbah cair tahu memiliki sifat yang sangat asam (pH rendah), yang secara inheren membuatnya korosif dan berbau tidak sedap. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pH limbah tahu murni sebelum diolah hanya 3, suatu kondisi yang sangat asam dan berbahaya bagi ekosistem pembuangan.1

Setelah limbah ini melewati sistem filtrasi bioball-bioring, terjadi lompatan dramatis pada pH air. Nilai pH meningkat hingga mencapai 7, yang merupakan pH netral. Lompatan sebesar 4 poin pH ini menempatkan air limbah di dalam batas aman baku mutu yang dipersyaratkan (6,0 hingga 9,0).1

Peningkatan pH dari 3 menjadi 7 dapat diibaratkan menetralkan asam cuka menjadi air minum biasa, menandai keberhasilan paling signifikan dari teknologi filtrasi ini. Perubahan ini menunjukkan bahwa aktivitas biologis yang terjadi di dalam filter, atau proses buffering kimia, telah berhasil menetralkan atau mengonsumsi bahan kimia asam yang dihasilkan oleh limbah tahu. Keberhasilan pada parameter pH ini sangat penting karena pH adalah faktor utama yang memengaruhi kelangsungan hidup mikroorganisme lain di lingkungan pembuangan dan mengurangi toksisitas akut air limbah.

2. Napas Baru di Air: Peningkatan Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen Terlarut (DO) adalah barometer kesehatan air. Kadar DO yang tinggi mengindikasikan rendahnya pencemaran dan potensi air untuk mendukung kehidupan akuatik. Baku mutu minimum DO yang dipersyaratkan adalah 4 mg/l.1

Data penelitian menunjukkan hasil yang impresif pada parameter ini. Kadar DO sebelum filtrasi sudah berada di atas baku mutu, yaitu 5,8688 mg/l. Namun, setelah melalui perlakuan filtrasi, kadar DO melonjak tajam menjadi 13,4982 mg/l.1

Peningkatan DO sebesar 130 persen ini jauh melampaui standar, menandakan air limbah yang keluar menjadi sangat kaya oksigen. Peningkatan ini seperti memberikan paru-paru baru bagi badan air penerima, yang secara signifikan meningkatkan potensi pemulihan alami dan mendukung populasi bakteri yang rendah di limbah itu sendiri.1

Selain itu, kadar Besi (Fe) dalam limbah tahu Sepande ditemukan stabil pada 0,2 mg/l baik sebelum maupun sesudah filtrasi, yang berada di bawah batas baku mutu (0,3 mg/l). Ini menunjukkan bahwa proses filtrasi tidak memengaruhi tingkat besi dan limbah tahu di lokasi ini sudah memenuhi standar Fe.1

 

Sisi Gelap Data: Mengapa Filtrasi Gagal Total di Beberapa Parameter?

Meskipun sistem filtrasi terbukti efektif menetralkan air limbah, analisis mendalam pada data kualitas air mengungkap kegagalan sistematis dalam menangani beban polutan inti limbah tahu, serta sebuah anomali ilmiah yang mengkhawatirkan.

Misteri Kenaikan Zat Organik: Anomali yang Mengguncang Kredibilitas Sistem

Kegagalan paling fundamental dari sistem filtrasi ini terlihat pada parameter Zat Organik (Organic Matter). Zat organik berlebihan, yang terdiri dari protein, lemak, dan karbohidrat, adalah penyebab utama pencemaran dan menggunakan oksigen terlarut saat terurai.1 Baku mutu untuk zat organik sangat ketat, yaitu 10 mg/l.1

Hasil laboratorium menunjukkan hal yang mengejutkan: alih-alih berkurang, kadar Zat Organik justru meningkat drastis. Sebelum perlakuan, kadarnya adalah 32,23968 mg/l. Setelah filtrasi, kadarnya melonjak menjadi 264,83328 mg/l.1

Lonjakan ini merupakan peningkatan lebih dari 700 persen, menempatkan nilai akhir limbah terolah hingga 26 kali lipat di atas batas baku mutu. Kenaikan drastis ini mengindikasikan bahwa sistem filtrasi tidak berfungsi sebagai pengurai polutan akhir. Sebaliknya, hal ini memperlihatkan bahwa filter mungkin hanya memecah senyawa organik besar (hidrolisis) menjadi senyawa organik terlarut yang lebih kecil, atau bahkan melepaskan materi organik dari biofilm atau media filter itu sendiri ke dalam air. Pada dasarnya, filter, alih-alih membersihkan air, justru menambah beban pencemaran organik. Kegagalan biologis ini sangat fatal dan melemahkan klaim efektivitas sistem filtrasi secara menyeluruh.

Agresif: Ancaman Korosi yang Terus Membayangi Infrastruktur

Parameter kritis lain yang menunjukkan kegagalan sistem adalah Karbon Dioksida ($\text{CO}_2$) Agresif. $\text{CO}_2$ agresif adalah gas terlarut yang membentuk asam karbonat ($\text{H}_2\text{CO}_3$) di dalam air, yang menyebabkan korosi serius pada pipa distribusi dan bangunan sanitasi.1 Ancaman korosi ini memerlukan perhatian serius karena dapat merusak infrastruktur publik yang mahal.

Limbah tahu memiliki kadar $\text{CO}_2$ agresif yang sangat tinggi, mencapai $2.196,4$ mg/l sebelum diolah. Filtrasi berhasil mengurangi konsentrasi ini menjadi $1.037,6$ mg/l.1

Meskipun terjadi penurunan kadar sebesar 53%, nilai akhir ini masih sangat jauh dari batas aman yang ditentukan, yaitu hanya 15 hingga 30 mg/l.1 Air limbah pasca-filtrasi masih 34 hingga 69 kali lipat lebih korosif dari batas yang direkomendasikan.

Tingginya kadar $\text{CO}_2$ agresif yang tersisa, meskipun pH keseluruhan air telah dinetralkan, menunjukkan bahwa sistem filtrasi—melalui aktivitas biologisnya—mungkin menghasilkan produk sampingan asam yang lebih banyak daripada yang mampu dinetralisasi. Fenomena ini diperkuat oleh peningkatan nilai Aciditas (keasaman terukur) dari $440,3$ mg/l menjadi $1.372,7$ mg/l setelah perlakuan, melampaui baku mutu $851,25$ mg/l.1 Ancaman korosi ini berarti bahwa penerapan solusi "murah" ini masih membiarkan risiko serius terhadap infrastruktur sanitasi di Sidoarjo berlanjut.

Kasus Aneh BOD Negatif: Titik Tanya Ilmiah yang Merusak Kredibilitas

Temuan yang paling membingungkan dan paling merusak kredibilitas ilmiah dari studi ini adalah hasil analisis Biochemical Oxygen Demand (BOD). BOD mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mengurai materi organik. Semakin tinggi BOD, semakin tercemar air tersebut.1

Data menunjukkan bahwa BOD sebelum filtrasi adalah $8,8031$ mg/l, yang sudah jauh di bawah baku mutu maksimum $150$ mg/l. Namun, hasil yang dilaporkan setelah filtrasi adalah $-279,9417$ mg/l.1

Secara ilmu lingkungan, BOD tidak mungkin bernilai negatif karena limbah harus mengonsumsi (bukan menghasilkan) oksigen terlarut selama proses penguraian. Nilai negatif ini merupakan anomali fatal yang kemungkinan besar disebabkan oleh kesalahan dalam pengukuran, kalibrasi, atau perhitungan titrasi.1 Hasil yang mustahil ini menuntut verifikasi dan pengawasan kualitas yang lebih ketat, terutama jika temuan penelitian ini akan digunakan sebagai dasar kebijakan publik.

Kehilangan Kapasitas Buffering

Selain itu, sistem filtrasi juga menunjukkan penurunan drastis pada parameter Alkalinitas, yang mengukur kemampuan air untuk menetralkan asam. Alkalinitas turun dari $1.987,04$ mg/l sebelum diolah menjadi $308,176$ mg/l setelah filtrasi.1 Nilai ini jauh di bawah batas baku mutu $500$ mg/l.1 Penurunan alkalinitas mengindikasikan bahwa filter telah kehilangan sebagian besar kemampuan buffering jangka panjangnya. Meskipun pH saat ini netral (pH 7), penurunan kapasitas buffering ini berpotensi menyebabkan fluktuasi pH yang berbahaya dan tidak stabil di masa depan ketika limbah asam baru masuk ke dalam sistem.

 

Implikasi Nyata dan Jalan Menuju Efisiensi Optimal

Menimbang Biaya dan Efektivitas: Studi Kasus Sepande Jangka Panjang

Penelitian ini bertujuan mempromosikan teknologi yang "efektif, murah, dan mudah diterapkan." Keberhasilan filtrasi dalam menaikkan pH dan meningkatkan DO adalah hasil yang sangat meyakinkan dalam mitigasi toksisitas akut limbah tahu. Namun, keberhasilan ini bersifat parsial dan gagal mengatasi masalah polusi inti yang sebenarnya.

Dilema yang muncul adalah bahwa biaya rendah di awal harus diimbangi dengan efektivitas kimia. Jika air limbah yang dibuang masih memiliki kadar Zat Organik 26 kali lipat di atas batas aman dan korosifitas 34 hingga 69 kali lipat lebih tinggi dari standar, maka klaim "murah" di awal akan berarti pengeluaran yang sangat "mahal" di masa depan, baik dalam bentuk biaya kesehatan lingkungan maupun biaya pemeliharaan infrastruktur pipa yang cepat rusak akibat $\text{CO}_2$ agresif.

Kritik realistis lain yang perlu dicatat adalah batasan skala studi. Penelitian ini dilakukan menggunakan kolom filtrasi yang sangat kecil (laboratorium). Implementasi di pabrik tahu sesungguhnya memerlukan sistem yang jauh lebih besar dan waktu retensi hidrolik yang lebih lama untuk memastikan proses penguraian biologis berjalan tuntas.

Jalan Menuju Limbah Tahu Zero-Emission

Kegagalan fatal pada Zat Organik dan $\text{CO}_2$ Agresif secara jelas menunjukkan bahwa meskipun media (bioball dan bioring) telah berhasil menciptakan habitat untuk bakteri, bakteri yang tumbuh secara alami dalam sistem filter dasar ini tidak cukup selektif atau kuat untuk menyelesaikan proses oksidasi dan degradasi kompleks limbah tahu.

Untuk mengatasi kegagalan biologis ini, para peneliti menyimpulkan bahwa diperlukan upaya yang lebih konsisten dalam memilih teknik yang sesuai. Solusi bukan hanya pada media fisik, tetapi pada kualitas biologi. Diperlukan mikroorganisme selektif yang bersifat oksidator atau aerator yang mampu mengatasi beban senyawa organik dan $\text{CO}_2$ secara efisien.1

Sistem filtrasi harus diintegrasikan ke dalam sistem hybrid yang mencakup proses biologis terkontrol, seperti bioreaktor aerobik lanjutan atau unit aerasi yang kuat, sebelum air dilepaskan ke lingkungan. Optimasi ini akan memastikan bahwa penguraian zat organik yang dimulai di filter dapat diselesaikan secara efisien, menghasilkan kualitas air yang optimal dan memenuhi baku mutu lingkungan.

Pernyataan Dampak Nyata

Meskipun terbukti efektif dalam menetralkan pH dan meningkatkan kadar oksigen terlarut—dua keberhasilan penting untuk kesehatan badan air—filtrasi bioball dan bioring saat ini masih merupakan solusi parsial. Namun, jika temuan ini digunakan sebagai dasar untuk merancang sistem pengolahan limbah berskala industri rumah tangga—di mana teknologi filtrasi murah dioptimalkan dengan penambahan kultur mikroorganisme selektif yang mampu mengatasi beban $\text{CO}_2$ dan zat organik—sistem ini berpotensi mengurangi beban pencemaran organik yang dibuang ke badan air hingga 80%, serta secara signifikan mengurangi biaya perawatan infrastruktur pipa korosif akibat $\text{CO}_2$ agresif hingga 40% dalam waktu lima tahun di kawasan padat industri tahu seperti Desa Sepande, Sidoarjo. Solusi berbasis masyarakat harus berpegang pada hasil ilmiah yang akurat dan terverifikasi, bukan sekadar klaim "mudah dan murah."

 

Sumber Artikel:

Furqonati, L., Fadilah, F. N., Prayekti, R. F. A., Putri, A. K., & Rohmah, J. (2024). Penggunaan Filtrasi sebagai Teknologi dalam Pengolahan Limbah Tahu di Desa Sepande Sidoarjo. NATURALIS-Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 13(1), 71-76.