Perumahan dan Permukiman

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Harga Premium Perumahan Hijau di Jabodetabek – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Kesenjangan Terbesar Pembeli Properti: Niat Hijau Terbentur Harga dan Keraguan

Indonesia, didorong oleh laju pertumbuhan populasi sebesar 1,25% per tahun dari tahun 2000 hingga 2020, menghadapi peningkatan kebutuhan perumahan yang masif.1 Aktivitas pembangunan yang tak terhindarkan ini, khususnya di sektor hunian, menyumbang sekitar 27% dari konsumsi energi total dunia dan menghasilkan 17% dari emisi karbon dioksida ($CO_{2}$), menjadikannya kontributor signifikan terhadap pemanasan global.1

Menanggapi krisis iklim ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. DKI Jakarta, sebagai pusat pertumbuhan, memimpin dengan mandat bahwa 100% bangunan baru dan 60% bangunan lama harus memenuhi persyaratan bangunan hijau pada tahun 2030.1 Intervensi ini, yang melibatkan konsep bangunan hijau, telah terbukti menghasilkan manfaat finansial; misalnya, 339 bangunan bersertifikat EDGE di Jakarta telah menghemat energi hingga USD 90 juta per tahun 2018.1

Namun, terlepas dari kebijakan yang kuat dan potensi penghematan yang nyata, keberhasilan penerapan perumahan hijau (Green Housing atau GH) sangat bergantung pada penerimaan dan kesediaan konsumen untuk membayar premi harga. Penelitian ini, yang secara khusus menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi Niat Beli Hijau (Green Purchase Intention atau GPI) dan Kesiapan Membayar Lebih (Willingness to Pay atau WTP) pada komunitas Jabodetabek, mengisi kekosongan data krusial ini. Studi mendalam ini mengungkapkan bahwa keputusan pembelian properti hijau adalah medan pertempuran antara keyakinan internal dan kekhawatiran finansial yang mendalam.

 

Tiga Pilar Fondasi Keputusan Beli: Edukasi Mengalahkan Tekanan Sosial

Studi perilaku ini, yang menganalisis 347 respons dari masyarakat Jabodetabek menggunakan model perilaku terencana yang diperluas, mengidentifikasi tiga faktor yang secara signifikan dan langsung mendorong niat beli GH.1 Tiga faktor ini adalah landasan di mana konsumen membangun keputusan untuk bergerak menuju properti berkelanjutan.

Kekuatan Sikap Pribadi Adalah Fondasi Utama

Sikap (Attitude, ATT) positif terhadap Perumahan Hijau ditemukan sebagai pendorong niat beli (GPI) yang sangat signifikan.1 Sikap ini mencakup keyakinan bahwa GH adalah keputusan pembelian yang baik, menguntungkan dalam jangka panjang, dibangun dengan proses ramah lingkungan, dan mampu meningkatkan kualitas hidup penghuninya.1

Dalam model yang diuji, sikap adalah faktor pendorong terkuat kedua yang menentukan GPI, dengan koefisien jalur 0.411.1 Ini berarti bahwa keyakinan pribadi konsumen adalah fondasi keputusan yang kuat, seperti memberikan lebih dari 40% daya dorong pada keputusan pembelian. Jika konsumen secara pribadi meyakini nilai dan keunggulan GH, dorongan internal untuk membeli akan terbentuk kuat.

Pentingnya Pengetahuan Subjektif: Pembentuk Keyakinan Jangka Panjang

Pengetahuan Subjektif (Subjective Knowledge, SK)—rasa percaya diri konsumen pada pemahaman mereka tentang GH—tidak hanya memberikan dorongan langsung yang signifikan terhadap GPI (koefisien jalur 0.159), tetapi yang lebih penting, ia memiliki pengaruh luar biasa dalam membentuk Sikap positif konsumen.1

Analisis menunjukkan bahwa pengaruh Pengetahuan Subjektif dalam membentuk Sikap positif mencapai koefisien jalur 0.572 dan sangat signifikan.1 Ini adalah salah satu hubungan kausal terkuat dalam model. Temuan ini dapat dianalogikan sebagai berikut: setiap peningkatan pemahaman atau kepercayaan diri pembeli tentang keunggulan GH (misalnya, penghematan energi atau kualitas bangunan) dapat meningkatkan keyakinan positif mereka sebesar 57%. Ini seperti menaikkan efisiensi internal konsumen dari 20% menjadi 77% hanya dengan informasi yang tepat. Edukasi yang berhasil membangun kepercayaan diri ini terbukti sebagai strategi kognitif yang paling efektif bagi pengembang.

Intervensi Pemerintah yang Jelas: Memberikan Kepastian

Faktor Kebijakan (Policy, PO), yang melibatkan insentif pemerintah seperti potongan pajak, subsidi, atau pinjaman lunak, terbukti secara langsung memengaruhi niat beli (GPI) dengan signifikan (koefisien jalur 0.242).1

Dukungan struktural dari regulator bertindak sebagai 'lampu hijau' yang melegitimasi dan memberikan dorongan seperempat kekuatan pada niat pembelian.1 Fakta bahwa kebijakan memengaruhi niat beli secara langsung, bukan hanya secara tidak langsung, menunjukkan bahwa insentif pemerintah bukan hanya pelengkap, tetapi merupakan komponen penting yang harus ada untuk mendorong transaksi di pasar properti hijau yang masih berada dalam tahap pertumbuhan.

 

Mengapa Risiko Keuangan Menjadi 'Jangkar' Utama yang Menarik Niat Beli

Di tengah gelombang pendorong positif dari Sikap dan Pengetahuan, ada satu hambatan tunggal yang konsisten dan signifikan bekerja untuk menekan niat beli: Risiko Dirasakan (Perceived Risk, PR).1

Risiko Dirasakan mencakup kekhawatiran konsumen terhadap tiga dimensi utama: risiko finansial (harga tinggi atau investasi yang tidak menguntungkan), risiko kinerja (kekhawatiran bahwa fitur hijau tidak akan berfungsi atau gagal memberikan kenyamanan yang dijanjikan), dan risiko psikologis (kekhawatiran bahwa rumah hijau tidak sesuai dengan gaya hidup).1

Penelitian membuktikan bahwa Risiko Dirasakan memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap Niat Beli Hijau (GPI).1 Koefisien jalur untuk hubungan ini adalah -0.118, dan signifikansinya sangat tinggi (p=0.000).1 Dampak ini dapat diibaratkan sebagai sebuah jangkar yang, meskipun kecil, selalu menahan kapal niat beli. Artinya, semua dorongan positif yang dihasilkan oleh sikap, pengetahuan, dan kebijakan harus bekerja keras untuk mengatasi keraguan finansial dan kinerja yang melekat pada produk baru.

Ini menunjukkan bahwa masalah harga premium GH tidak dapat diabaikan. Konsumen di Jabodetabek jelas sensitif terhadap potensi kerugian finansial atau ketidakpastian kinerja, dan ketakutan ini menjadi penghalang psikologis yang paling sulit diatasi.

 

Fakta Mengejutkan di Balik Data Jabodetabek: Iklan dan Tekanan Sosial Gagal

Temuan yang paling menarik bagi analis perilaku adalah kegagalan beberapa faktor kunci yang secara teoritis harus mendorong niat beli. Analisis di Jabodetabek menemukan bahwa Norma Subjektif, Kendali Perilaku yang Dirasakan, dan Komunikasi Hijau tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap GPI.1

Tekanan Sosial Gagal Mendorong Pembelian Properti

Norma Subjektif (SN) mengukur tekanan dari lingkungan sosial terdekat (keluarga, teman, opini publik) untuk melakukan perilaku tertentu.1 Temuan menunjukkan bahwa faktor ini tidak signifikan memengaruhi niat beli GH (H2 ditolak, p=0.503).1

Meskipun Kepedulian Lingkungan (EC) masyarakat Jabodetabek ditemukan kuat dan bahkan memperkuat Norma Subjektif (PC=0.480, p=0.000), dorongan etis ini gagal diterjemahkan menjadi tekanan sosial untuk melakukan pembelian properti yang mahal.1 Hal ini menggarisbawahi realitas pasar properti premium: meskipun konsumen ingin dilihat peduli, keputusan pembelian properti, yang melibatkan risiko finansial signifikan, tetaplah keputusan individual yang didominasi oleh keyakinan pribadi dan kemampuan rasional, bukan kepatuhan sosial.

Komunikasi Hijau yang Kurang Efektif

Demikian pula, Komunikasi Hijau (GC) yang melibatkan pesan iklan dan klaim lingkungan dari perusahaan, ditemukan tidak signifikan memengaruhi Niat Beli Hijau (H4 ditolak, p=0.179).1

Temuan ini merupakan peringatan keras bagi pengembang: kampanye iklan mahal yang hanya berisi klaim ramah lingkungan cenderung tidak efektif di pasar properti Jabodetabek yang kritis. Konsumen tidak lagi puas dengan janji-janji abstrak; mereka menuntut bukti konkret, transparansi, dan validasi (yang sejalan dengan kuatnya pengaruh Pengetahuan Subjektif).1 Strategi pemasaran harus berfokus pada validasi produk dan pengiriman informasi teknis yang dapat meyakinkan, bukan sekadar promosi emosional.

Ilusi Kontrol Keuangan

Faktor Kendali Perilaku yang Dirasakan (PBC), yang seharusnya mencerminkan kemampuan finansial untuk membeli, juga tidak signifikan mendorong GPI (H3 ditolak, p=0.093).1 Hal ini terjadi meskipun kebijakan pemerintah (PO) memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam meningkatkan rasa mampu ini (PC=0.571).1

Implikasinya adalah bahwa regulator dapat membuat konsumen merasa mampu secara teori melalui insentif, tetapi perasaan mampu ini mudah digantikan oleh kekhawatiran yang nyata. Dengan kata lain, rasa mampu secara umum tidak dapat menanggulangi Risiko Dirasakan (PR) yang spesifik terhadap GH. Oleh karena itu, kebijakan harus berupaya mengatasi langsung biaya premium, bukan hanya meningkatkan ilusi kemampuan membeli.

 

Kesiapan Membayar Lebih: Niat Kuat Sama dengan Dompet Terbuka

Inti dari penelitian ini adalah hubungan antara niat dan kesediaan finansial. Ditemukan bahwa Niat Beli Hijau (GPI) memiliki pengaruh positif yang sangat kuat dan signifikan terhadap Kesiapan Membayar Lebih (WTP) untuk GH.1

Koefisien jalur untuk hubungan ini adalah 0.623 dan sangat signifikan (p=0.000).1 Nilai ini menunjukkan bahwa setelah konsumen berhasil diyakinkan melalui Sikap yang kuat, Pengetahuan yang memadai, dan dukungan Kebijakan yang jelas, niat murni mereka untuk membeli GH menjadi prediktor utama WTP. Secara dramatis, niat yang kuat setara dengan hampir dua per tiga (sekitar 62%) dari keputusan finansial untuk membayar harga premium.1

Hal ini memberikan wawasan strategis yang jelas: pengembang dan pemerintah tidak perlu terlalu fokus untuk mengurangi harga awal secara drastis, tetapi harus berkonsentrasi pada penguatan niat beli melalui edukasi dan mitigasi risiko. Ketika niat membeli rumah hijau telah terkunci, konsumen secara inheren siap untuk membayar lebih.

 

Kritik Realistis: Batasan Studi dan Generalisasi Temuan

Meskipun hasil penelitian ini sangat mendalam, perlu diakui batasan yang ada.

  • Keterbatasan Geografis: Studi ini secara eksklusif berfokus pada komunitas Jabodetabek.1 Wilayah ini memiliki tingkat kesadaran dan regulasi perumahan hijau yang spesifik. Keterbatasan studi di daerah perkotaan ini bisa jadi mengecilkan dampak secara umum. Misalnya, bagaimana perilaku ini terwujud di kota-kota lain di Indonesia yang memiliki kerangka kebijakan dan kondisi ekonomi yang berbeda? Studi serupa di luar Jabodetabek diperlukan untuk memvalidasi generalisasi temuan.1
  • Keterbatasan Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode survei dan purposive sampling, yang berpotensi menyebabkan bias respons.1 Yang paling penting, studi ini hanya mengukur niat pembelian, bukan perilaku pembelian yang aktual. Jarak antara niat dan aksi, terutama dalam pembelian properti bernilai tinggi, adalah area yang memerlukan penelitian lebih lanjut di masa depan untuk memvalidasi model ini secara penuh.1

 

Roadmap Strategis: Implikasi Aksi Nyata

Temuan penelitian ini memberikan arahan yang jelas bagi pengembang dan regulator untuk mendorong adopsi perumahan hijau.

Rekomendasi untuk Pengembang Properti

Pengembang harus menerapkan strategi yang secara eksplisit mengombinasikan faktor sikap (ATT), pengetahuan subjektif (SK), dan kepedulian lingkungan (EC).1 Strategi ini harus dirancang untuk mengatasi aspek kognitif (rasional) dan afektif (emosional) konsumen.1

  1. Investasi pada Validasi: Menggantikan kampanye iklan (GC) dengan investasi pada transparansi data, sertifikasi, dan sesi edukasi mendalam (SK) akan lebih efektif dalam membentuk sikap positif dan mengatasi keraguan kinerja (PR).
  2. Targeting Spesifik: Karena Pendapatan, Pekerjaan, dan Status Perkawinan memengaruhi GPI dan WTP secara signifikan, pengembang harus menyegmentasi pasar. Pesan pemasaran harus berfokus pada manfaat jangka panjang GH bagi keluarga (Status Menikah) dan menyesuaikan penawaran pinjaman lunak untuk segmen pendapatan menengah yang sensitif terhadap harga.1

Peran Kunci Pemerintah (Regulator)

Pemerintah harus memainkan peran proaktif dalam mempromosikan penggunaan Green Housing melalui insentif yang terkait dengan konstruksi hijau.1

  1. Insentif yang Jelas dan Terukur: Pemerintah harus memastikan insentif seperti pengurangan pajak properti untuk bangunan hijau diterapkan sepenuhnya dan dipublikasikan secara luas.1
  2. Mitigasi Risiko Finansial: Daripada hanya meningkatkan rasa mampu (Perceived Behavioral Control) yang tidak efektif, pemerintah perlu berkontribusi pada proyek GH, misalnya dengan menyediakan suku bunga rendah untuk kontraktor atau memberikan insentif langsung untuk mengatasi Risiko Finansial yang menjadi penghalang utama konsumen.1

 

Pernyataan Dampak Nyata

Analisis yang kuat menunjukkan bahwa niat beli (GPI) adalah kunci utama Kesiapan Membayar Lebih (WTP). Jika pemerintah (melalui Kebijakan) dan pengembang (melalui Pengetahuan Subjektif dan Sikap) dapat secara kolektif berfokus pada mitigasi risiko dan penguatan niat, maka investasi pada GH akan meningkat.

Sebagai contoh, jika kebijakan pemerintah (PO) dan strategi pengembang yang terfokus pada edukasi (SK) berhasil meningkatkan Niat Beli Hijau (GPI) sebesar 10% dalam waktu tiga tahun—melalui pengurangan risiko dan peningkatan edukasi—dan mengingat kuatnya hubungan GPI ke WTP (PC 0.623), maka pasar properti Jabodetabek dapat melihat peningkatan kesediaan konsumen membayar premi harga rumah hijau sebesar minimal 6.23% dalam waktu lima tahun.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya investasi jangka panjang, memicu inovasi konstruksi hijau, dan yang terpenting, secara langsung mengurangi kontribusi emisi $CO_{2}$ sektor perumahan di salah satu wilayah metropolitan paling padat di dunia, mendukung tujuan NZE 2060 Indonesia dalam waktu lima tahun.1

 

Sumber Artikel:

Pangaribuan, E., Yuniaristanto, & Zakaria, R. (2023). Development of Green Housing Willingness to Pay Conceptual Model on Jabodetabek Community. Jurnal Teknik Industri, 25(1), 97–110. https://doi.org/10.9744/jti.25.1.97-110 1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Harga Premium Perumahan Hijau di Jabodetabek – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Perumahan dan Permukiman

Perumahan Layak sebagai Pendorong Pembangunan: Tinjauan Kritis terhadap Laporan 'Home Equals' yang Memodelkan Dampak Perumahan di Permukiman Informal terhadap Pembangunan Manusia

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 16 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah pertanyaan fundamental bagi para pembuat kebijakan dan praktisi pembangunan: Apa dampak terukur dari perbaikan perumahan di permukiman informal terhadap pembangunan manusia secara luas? Secara tradisional, dampak dari perumahan yang layak—seperti kepemilikan yang aman (security of tenure), akses ke layanan dasar, dan material yang memadai—sering kali bersifat kualitatif atau sulit diukur dalam skala makro.   

Kerangka teoretis laporan ini secara inovatif menghubungkan elemen-elemen perumahan layak secara langsung dengan tiga dimensi inti dari Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI):
(1) Pendapatan (diukur dengan GNI per kapita), (2) Kesehatan (diukur dengan harapan hidup), dan (3) Pendidikan (diukur dengan tahun harapan sekolah). Hipotesis yang mendasari studi ini adalah bahwa perbaikan perumahan yang komprehensif bukan hanya intervensi sosial, tetapi juga investasi ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan signifikan dan terukur pada indikator-indikator HDI nasional.   

Metodologi dan Kebaruan

Untuk menguji hipotesis ini, penelitian ini mengadopsi metodologi pemodelan statistik kuantitatif yang canggih, yang dibangun di atas tinjauan literatur ekstensif terhadap lebih dari 130 penelitian. Proses metodologisnya melibatkan beberapa langkah kunci:   

  1. Analisis Skenario: Tiga skenario dampak dirancang: Hati-hati (Cautious), Moderat, dan Optimis. Skenario "Optimis", misalnya, mengasumsikan bahwa perbaikan perumahan multi-sektoral dapat menghasilkan kenaikan pendapatan sebesar 10% bagi penghuni permukiman informal.   

  2. Pembuatan Tipologi: Alih-alih menganalisis setiap negara secara individual, laporan ini membangun sebuah tipologi (bukan taksonomi) yang mengelompokkan negara ke dalam empat tipe teoretis berdasarkan tingkat HDI dan persentase penghuni kawasan kumuh (misalnya, Tipe 1: HDI Tinggi/Kumuh Rendah; Tipe 3: HDI Sedang/Kumuh Tinggi).   

  3. Pemodelan Statistik: Model ini kemudian menghitung potensi perubahan pada setiap komponen HDI (GNI, harapan hidup, tahun sekolah) untuk setiap tipe negara di bawah setiap skenario.   

Kebaruan dari karya ini terletak pada upayanya untuk mengkuantifikasi dampak pembangunan secara holistik. Alih-alih hanya mengisolasi satu variabel (misalnya, dampak kesehatan dari air bersih), model ini mencoba menangkap efek gabungan dari perbaikan perumahan yang komprehensif terhadap metrik pembangunan nasional yang paling diakui secara global, yaitu HDI.   

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis pemodelan menghasilkan serangkaian temuan kuantitatif yang kuat yang menyoroti potensi transformatif dari investasi perumahan.

  1. Dampak Signifikan pada Peringkat HDI: Temuan utama menunjukkan bahwa intervensi perumahan dapat secara signifikan mengubah skor dan peringkat HDI suatu negara. Dalam skenario "Optimis", negara-negara Tipe 1 (HDI Tinggi) dapat mengalami kenaikan HDI sebesar 2,9% (dari 0,798 menjadi 0,822), yang berpotensi memindahkan mereka dari kategori "Tinggi" ke "Sangat Tinggi". Ini secara efektif berarti negara-negara tersebut dapat "melompat" dalam peringkat HDI global.   

  2. Dampak Terukur pada Pendidikan: Model ini memberikan angka nyata pada hasil sosial. Ditemukan bahwa akses ke perumahan yang layak dapat mencegah lebih dari 20-25 juta anak dan remaja putus sekolah (terutama di negara-negara Tipe 3 dan 4, di mana populasi permukiman informal terbesar).   

  3. Dampak pada Kesehatan dan Pendapatan: Di luar pendidikan, model ini menghitung dampak langsung pada harapan hidup dan GNI per kapita. Skenario "Optimis" menunjukkan potensi peningkatan harapan hidup dan variasi persentase yang signifikan dalam GNI, yang secara kolektif berkontribusi pada peningkatan skor HDI secara keseluruhan.   

Secara kontekstual, temuan-temuan ini memberikan "bukti"  empiris bahwa perumahan yang layak di permukiman informal adalah fondasi untuk pembangunan manusia, yang berdampak langsung pada modal manusia (kesehatan, pendidikan) dan kemakmuran ekonomi (pendapatan).   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara transparan mengakui keterbatasan utama dari penelitian ini, yaitu kesenjangan data yang signifikan (existing data gaps). Kesenjangan ini merupakan "kendala metodologis penting"  yang membatasi ketepatan model. Secara khusus, data UN-HABITAT untuk sebagian besar negara berpenghasilan tinggi tidak tersedia, yang mengharuskan pengecualian negara-negara berpenghasilan tinggi dari analisis.   

Selain itu, penting untuk diingat bahwa model ini didasarkan pada tipologi (konstruk teoretis berdasarkan rata-rata tertimbang), bukan taksonomi (klasifikasi empiris yang kaku), sehingga Tipe 1-4 adalah representasi teoretis, bukan pengelompokan definitif negara.   

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, laporan ini adalah alat advokasi yang kuat. Ia dirancang untuk mendukung kampanye "Home Equals"  dengan menyediakan data kuantitatif bagi para pembuat kebijakan untuk membenarkan investasi besar dalam perbaikan permukiman informal, tidak hanya atas dasar moral tetapi juga atas dasar ekonomi dan pembangunan. Laporan ini menyerukan intervensi yang komprehensif dan partisipatif sebagai strategi pembangunan yang paling efektif.   

Untuk penelitian di masa depan, karya ini menyoroti kebutuhan mendesak akan pengumpulan data global yang lebih baik mengenai permukiman informal  untuk menutup kesenjangan yang ada dan meningkatkan akurasi model-model prediktif di masa depan.   

Sumber

Habitat for Humanity & IIED. (2023). Improving housing in informal settlements: Assessing the impacts in human development

Selengkapnya
Perumahan Layak sebagai Pendorong Pembangunan: Tinjauan Kritis terhadap Laporan 'Home Equals' yang Memodelkan Dampak Perumahan di Permukiman Informal terhadap Pembangunan Manusia

Perumahan dan Permukiman

Sirkularitas di Kota Informal: Tinjauan Kritis terhadap Dampak Lingkungan dari Konsolidasi Perumahan di Lima

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah paradoks dalam pembangunan perkotaan di negara-negara berkembang. Permukiman informal (IS)—dicirikan oleh proses pembangunan mandiri, kemiskinan ekstrem, dan ketidakstabilan hukum —merupakan bentuk utama perumahan yang terjangkau. Di kota-kota seperti Lima, hunian ini mengalami proses "konsolidasi" bertahap, bertransformasi dari hunian sementara (misalnya, dari anyaman jerami) menjadi bangunan beton dan bata permanen selama beberapa dekade.   

Meskipun proses konsolidasi ini secara signifikan meningkatkan kelayakhunian (habitability), penelitian ini mengangkat masalah krusial: dampak lingkungan yang terwujud (embodied environmental impacts) dari proses ini meningkat secara eksponensial. Walaupun praktik penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycling) sudah ada karena kelangkaan material, praktik tersebut tidak selaras dengan pertimbangan keberlanjutan jangka panjang. Hipotesis utama dari studi ini adalah bahwa penerapan strategi sirkular—khususnya dekonstruksi selektif dan daur ulang material—pada tahap akhir masa pakai (End-of-Life - EoL) dari hunian yang dibangun sendiri dapat secara signifikan mengurangi dampak lingkungan dibandingkan dengan praktik pembuangan ke TPA (landfilling) konvensional.   

 

Metodologi dan Kebaruan

 

Studi ini mengadopsi metodologi Penilaian Siklus Hidup (Life Cycle Assessment - LCA) kuantitatif dengan pendekatan "cradle-to-grave" (dari awal hingga akhir). Proses metodologisnya melibatkan beberapa langkah kunci:   

  1. Pengembangan Model: Sebuah "model rata-rata perumahan informal" dikembangkan menggunakan Building Information Modeling (BIM) (khususnya Autodesk REVIT) untuk menghasilkan daftar material (Bill of Materials - BOM) yang lengkap.   

  2. Pengumpulan Data Primer: Model BIM ini didasarkan pada data empiris yang dikumpulkan melalui survei dan wawancara terstruktur dengan 24 pemilik rumah di tiga distrik di Lima pada tahun 2020, yang memetakan empat tahap konsolidasi yang berbeda.   

  3. Analisis Skenario: Studi ini mengevaluasi dampak lingkungan dari tiga skenario EoL yang berbeda: S1 (Dekonstruksi Selektif) untuk penggunaan kembali dan daur ulang bernilai tinggi, S2 (Daur Ulang), dan S3 (Landfill/TPA), yang menjadi skenario dasar.   

  4. Simulasi: Analisis LCA dilakukan menggunakan perangkat lunak GaBi dengan basis data Ecoinvent v3.8. Pendekatan "beban yang dihindari" (avoided burden) digunakan untuk memberikan "kredit" lingkungan pada material yang didaur ulang.   

Kebaruan dari karya ini terletak pada kuantifikasi rigor dari proses yang seringkali dianggap tidak terstruktur. Dengan menerapkan LCA dan BIM pada perumahan informal, penelitian ini memberikan data konkret mengenai dampak lingkungan dari proses konsolidasi dan potensi nyata dari ekonomi sirkular di konteks Global South.   

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis LCA menghasilkan serangkaian temuan yang jelas mengenai di mana dan bagaimana dampak lingkungan terjadi.

  1. Konsolidasi Meningkatkan Dampak: Temuan utama mengonfirmasi bahwa setiap tahap konsolidasi—beralih dari material ringan ke material permanen seperti batu bata tanah liat bakar, beton, dan baja—menyebabkan "peningkatan signifikan dalam dampak lingkungan terwujud".   

  2. Sumber Emisi: Mayoritas dampak di semua skenario terjadi selama fase awal siklus hidup, yaitu pengadaan material dan manufaktur. Secara spesifik, rakitan beton dan bata menyumbang 93% dari total penggunaan sumber daya fosil.   

  3. Potensi Strategi Sirkular: Temuan paling signifikan adalah potensi transformatif dari strategi EoL. Dibandingkan dengan skenario dasar TPA (S3), skenario S1 (Dekonstruksi Selektif) mengurangi emisi GHG sebesar 60%, dan skenario S2 (Daur Ulang) menguranginya sebesar 30%.   

  4. Trade-off Kelayakhunian vs. Dampak: Studi ini secara kritis menyoroti adanya trade-off. Tahap-tahap awal perumahan informal memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah karena penggunaan material yang ringan dan sementara. Namun, hunian ini sering kali gagal memenuhi standar dasar daya tahan, keamanan, dan kenyamanan. Sebaliknya, fase konsolidasi selanjutnya berhasil meningkatkan kelayakhunian, tetapi dengan biaya lingkungan yang sangat tinggi.   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara transparan mengakui keterbatasan utama dari penelitian ini. Pertama, keterbatasan pengambilan sampel; model ini didasarkan pada 24 kasus di tiga distrik, yang mungkin tidak mewakili semua tipologi permukiman informal di Lima atau Amerika Latin, sehingga membatasi generalisasi temuan.   

Kedua, dan yang paling penting, studi ini secara eksplisit menyatakan bahwa penilaian kelayakhunian (habitability) dan ekonomi berada di luar cakupan. Ini berarti bahwa trade-off krusial antara kinerja lingkungan, kualitas hunian, dan efektivitas biaya—faktor-faktor yang sangat penting bagi penduduk berpenghasilan rendah—tidak dianalisis.   

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, temuan ini memberikan peta jalan yang jelas bagi pembuat kebijakan. Untuk mewujudkan potensi pengurangan emisi ini, diperlukan intervensi yang ditargetkan. Rekomendasi utama meliputi:

  1. Memprioritaskan penciptaan pusat pemulihan dan daur ulang material lokal.   

  2. Mendorong insentif finansial dan regulasi, seperti keringanan pajak, subsidi yang ditargetkan, dan program sertifikasi sukarela untuk perumahan informal yang berkelanjutan.   

  3. Pemerintah dapat mempromosikan fasilitas yang bertindak sebagai pusat terpusat untuk menyimpan dan menyortir material bekas guna memfasilitasi praktik dekonstruksi selektif.   

Untuk penelitian di masa depan, langkah berikutnya yang paling logis adalah mengatasi keterbatasan utama studi ini: yaitu, untuk menyelidiki trade-off antara kinerja lingkungan, kualitas hunian, dan efektivitas biaya.   

Sumber

Sarmiento-Pastor, J., Lira-Chirif, A., Rondinel-Oviedo, D. R., Keena, N., Dyson, A., Raugei, M., & Acevedo-De-los-Ríos, A. (2025). Implications of circular strategies on energy, water, and GHG emissions in informal housing in Lima. Energy & Buildings, 344, 115949.    

Selengkapnya
Sirkularitas di Kota Informal: Tinjauan Kritis terhadap Dampak Lingkungan dari Konsolidasi Perumahan di Lima

Perumahan dan Permukiman

Tinjauan Kritis terhadap Keberhasilan Proyek Peremajaan Kawasan Kumuh In-Situ yang Partisipatif

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 11 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah paradoks dalam kebijakan pembangunan perkotaan di India. Pada tahun 2005, pemerintah meluncurkan inisiatif nasional ambisius bertajuk 'Basic Services for the Urban Poor' (BSUP), yang bertujuan untuk memformalkan kawasan kumuh dengan menyediakan hunian dan layanan dasar. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh penulis, program yang bersifat top-down ini sebagian besar gagal. Dilaporkan bahwa mayoritas penghuni kawasan kumuh tidak puas dengan hasilnya. Masalah utamanya adalah adanya "ketidakselarasan" (misalignment) yang fundamental antara kebutuhan aktual penghuni dengan apa yang pada akhirnya disediakan oleh program, yang berujung pada rendahnya tingkat "penerimaan" (acceptability) dari para penerima manfaat.   

Di tengah kegagalan yang meluas ini, proyek peremajaan kawasan kumuh Yerwada di Pune—yang juga merupakan bagian dari program BSUP dan selesai pada tahun 2012—hadir sebagai sebuah anomali yang signifikan. Proyek ini diakui secara internasional dan dianggap sebagai salah satu dari sedikit keberhasilan program tersebut. Kerangka teoretis tesis ini memposisikan keberhasilan Yerwada bukan sebagai kebetulan, melainkan sebagai hasil dari strategi spesifik yang dianutnya: partisipatif, inkremental, dan in-situ. Dengan berlandaskan pada literatur akademis yang menunjukkan bahwa partisipasi komunitas memainkan peran penting dalam mempengaruhi penerimaan hasil tujuan utama dari studi ini adalah untuk mengeksplorasi potensi transformatif dari pendekatan partisipatif dengan mengkaji secara mendalam persepsi penghuni di Yerwada.   

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metodologi studi kasus kualitatif yang berfokus pada evaluasi pasca-huni (post-occupancy evaluation). Fokus utamanya adalah untuk menjawab pertanyaan: "Bagaimana persepsi komunitas mengenai 'penerimaan' (acceptability) dari hasil perumahan tersebut?"    

Metodologi pengumpulan data dirancang untuk menangkap persepsi penghuni secara langsung. Kuesioner (yang terlihat di apendiks) dibagikan kepada penghuni untuk mengukur berbagai dimensi penerimaan, termasuk:   

  1. Keterlibatan Partisipatif: Menanyakan secara langsung apakah penghuni terlibat dalam proyek.    

  2. Kepuasan Fisik: Menilai kepuasan terhadap infrastruktur spesifik seperti "Akses ke jalan" dan "Penerangan Jalan".    

  3. Penerimaan Sosio-Kultural: Mengukur variabel tak berwujud seperti "rasa aman dan terjamin" dan "rasa memiliki" pasca-proyek.    

Kebaruan dari karya ini terletak pada fokusnya pada studi kasus yang berhasil untuk mengisolasi faktor-faktor penentu keberhasilan. Alih-alih hanya mendokumentasikan kegagalan model top-down, tesis ini membedah sebuah model alternatif yang terbukti berhasil dari perspektif penerima manfaat, menjadikannya sebuah cetak biru yang berharga.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Meskipun dokumen yang tersedia sebagian besar terdiri dari ringkasan, metodologi, dan apendiks, temuan-temuan kunci dapat disintesis dari struktur penelitian dan klaim eksplisit dalam ringkasan tersebut.

  1. Partisipasi sebagai Kunci Penerimaan: Keberhasilan proyek Yerwada secara langsung diikatkan pada pendekatan partisipatifnya. Tidak seperti proyek BSUP lainnya, strategi in-situ dan inkremental dikembangkan (oleh konsultan seperti Urban Nouveau) dan dipresentasikan kepada komunitas menggunakan model fisik, yang memfasilitasi pemahaman dan masukan.  Kuesioner penelitian secara eksplisit mengukur tingkat keterlibatan ini sebagai variabel kunci.    

  2. Peningkatan In-situ Menjaga Jaringan Sosial: Dengan melakukan peningkatan di lokasi yang sama (in-situ), proyek ini menghindari dislokasi sosial dan ekonomi yang sering menghancurkan komunitas dalam skema relokasi. Kuesioner yang mengukur "rasa memiliki" (sense of belonging) dan "keamanan" menunjukkan bahwa keberhasilan sosio-kultural sama pentingnya dengan peningkatan fisik.   

  3. Desain Inkremental Mendorong Adaptasi: Proyek ini tidak hanya membangun unit yang statis, tetapi menyediakan kerangka kerja yang dapat dikembangkan oleh penghuni seiring waktu. Temuan dari tabel penelitian menunjukkan bahwa bahkan bertahun-tahun setelah proyek selesai (pasca-2012), penghuni terus melakukan "pengembangan inkremental" seperti menambah "lempengan tambahan" (additional slab). Hal ini menunjukkan bahwa desain awal berhasil memberdayakan penghuni untuk beradaptasi dan berinvestasi lebih lanjut di rumah mereka.   

  4. Penerimaan Melampaui Hunian: Kuesioner evaluasi menunjukkan pemahaman holistik tentang "penerimaan." Keberhasilan tidak hanya diukur dari kualitas rumah, tetapi juga dari peningkatan layanan dasar komunal, termasuk akses ke jalan, penerangan, ruang terbuka, transportasi umum, dan kedekatan dengan sekolah serta fasilitas kesehatan.   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Keterbatasan utama yang diakui dalam penelitian ini adalah sifatnya sebagai studi kasus. Meskipun memberikan wawasan kualitatif yang mendalam, ia tidak dapat menetapkan kausalitas secara statistik antara intervensi partisipatif dengan hasil penerimaan.   

Secara kritis, keberhasilan Yerwada mungkin sangat bergantung pada faktor-faktor kontekstual yang unik (seperti politik lokal di Pune atau peran spesifik dari konsultan desain yang terlibat) yang mungkin sulit direplikasi dalam skala nasional.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, tesis ini memberikan bukti empiris yang kuat bagi para pembuat kebijakan di India dan negara berkembang lainnya bahwa model peremajaan kawasan kumuh yang partisipatif, in-situ, dan inkremental secara signifikan lebih unggul daripada pendekatan relokasi top-down yang selama ini dominan.   

Untuk penelitian di masa depan, penulis secara eksplisit menyarankan langkah berikutnya yang logis: menerapkan desain penelitian quasi-eksperimental. Studi semacam itu dapat membandingkan komunitas yang menggunakan model Yerwada dengan komunitas kontrol untuk menetapkan hubungan kausalitas secara statistik antara intervensi partisipatif in-situ dan peningkatan hasil penerimaan oleh penghuni.   

Sumber

Munot, Y. (2023). Participatory In-Situ Slum Upgrading in Yerwada, Pune. (Tesis Master, MSc Programme in Urban Management and Development). Institute for Housing and Urban Development Studies of Erasmus University Rotterdam.    

Selengkapnya
Tinjauan Kritis terhadap Keberhasilan Proyek Peremajaan Kawasan Kumuh In-Situ yang Partisipatif

Perumahan dan Permukiman

Dari Stigma Kemiskinan ke Sains Material: Tinjauan Kritis terhadap Inovasi Perumahan Tanah

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada masalah nyata dan berskala masif: kebutuhan akan 29,5 juta rumah bagi rumah tangga pedesaan berpenghasilan rendah di India pada tahun 2022. Penulis mengidentifikasi bahwa material konvensional seperti beton dan batu bata bakar tidak terjangkau bagi segmen populasi ini, sehingga mendorong perlunya eksplorasi alternatif yang ekonomis dan ekologis. Konstruksi tanah, sebuah praktik kuno, diajukan sebagai solusi potensial. Namun, adopsi luasnya terhambat oleh dua tantangan utama:  

daya tahan yang rendah, terutama kerentanannya terhadap kerusakan akibat air, dan citra sosial yang rendah, di mana rumah tanah sering kali diasosiasikan dengan kemiskinan dan keterbelakangan.  

Dengan latar belakang ini, disertasi ini dibangun di atas tiga pilar konseptual yang saling terkait, yaitu kebutuhan untuk menjadikan rumah tanah Terjangkau (Affordable), Tahan Lama (Durable), dan Diinginkan (Desirable). Hipotesis sentral yang mendasari karya ini adalah bahwa dengan meningkatkan kinerja teknis material tanah secara ilmiah—khususnya ketahanan airnya—dan mengkomunikasikan keunggulannya secara efektif, persepsi negatif dapat diubah, menjadikannya pilihan yang aspiratif dan praktis. Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan material tanah berbiaya rendah, tahan air, dan dapat diterima secara sosial untuk perumahan pedesaan di India.  

Metodologi dan Kebaruan

Pendekatan penelitian yang diadopsi oleh Kulshreshtha sangat menonjol karena sifatnya yang holistik dan berpusat pada pengguna, mengacu pada kerangka "pemikiran desain" (design thinking). Metodologi ini secara unik mengintegrasikan ilmu sosial, ilmu material, dan komunikasi sains dalam satu alur kerja yang koheren.  

Proses penelitian dimulai dengan survei lapangan etnografis di India untuk memahami secara mendalam faktor-faktor yang mendukung dan membatasi penggunaan rumah tanah dari perspektif penghuninya. Wawasan dari survei ini kemudian secara langsung menginformasikan fase  

penelitian eksperimental di laboratorium. Fokus eksperimen adalah pada teknik modern Compressed Earth Blocks (CEB) karena kualitas produk dan ketersediaan alat pres berbiaya rendah di India. Investigasi dilakukan pada dua front: pertama, mengoptimalkan ketahanan air  

CEB tanpa stabilisator dengan memanipulasi variabel seperti komposisi tanah, kadar air pemadatan, dan tekanan pemadatan. Kedua, mengeksplorasi potensi  

stabilisator biologis sebagai alternatif berbiaya rendah untuk semen. Setelah tinjauan literatur yang komprehensif, kotoran sapi dipilih untuk studi eksperimental mendalam karena relevansi biaya, ketersediaan, dan penerimaan budayanya di India. Terakhir, penelitian ini ditutup dengan eksplorasi  

komunikasi sains melalui analisis video YouTube sebagai alat untuk mendiseminasikan temuan dan mengatasi aspek "keinginan".  

Kebaruan dari karya ini terletak pada dekonstruksi ilmiahnya terhadap bahan tradisional (kotoran sapi) untuk mengungkap mekanisme yang mendasari kinerjanya, serta pendekatannya yang menyeluruh dari masalah sosial hingga solusi material dan strategi diseminasi.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Disertasi ini menyajikan serangkaian temuan kunci yang secara langsung menjawab pertanyaan penelitiannya.

  1. Masalah Citra sebagai Hambatan Utama: Survei lapangan (Bab 3) secara konklusif mengidentifikasi bahwa citra rendah tanah, yang sangat terkait dengan kemiskinan, adalah penghalang utama penerimaannya. Citra ini diperburuk oleh kinerja teknis yang buruk (terutama ketahanan air dan serangan rayap), kebutuhan perawatan yang sering, dan kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung memberikan reputasi negatif. Temuan ini menjadi justifikasi kuat untuk fokus penelitian pada peningkatan daya tahan material.  

  2. Optimalisasi CEB Tanpa Stabilisator: Penelitian eksperimental (Bab 4) mengungkapkan bahwa ketahanan air CEB tidak hanya bergantung pada kepadatan. Kadar air pemadatan yang lebih tinggi terbukti secara signifikan meningkatkan ketahanan air (hingga 6,5 kali lebih baik) dengan mengurangi volume pori-pori makro, bahkan pada kepadatan yang sama. Selain itu,  

    mineralogi lempung memainkan peran dominan; blok dengan lempung bentonit (yang memiliki daya kembang tinggi) menunjukkan ketahanan air yang jauh lebih superior dibandingkan dengan lempung kaolinit.  

  3. Mekanisme Ilmiah di Balik Kotoran Sapi: Ini adalah salah satu kontribusi paling signifikan dari disertasi ini. Tinjauan literatur (Bab 5) menunjukkan bahwa stabilisator biologis industri seringkali mahal, menjadikan alternatif tradisional seperti kotoran sapi lebih relevan. Eksperimen mendalam (Bab 6) kemudian membuktikan bahwa penambahan kotoran sapi dapat meningkatkan ketahanan air CEB hingga  

    lebih dari 500 kali lipat. Mekanisme di baliknya bukanlah mitos, melainkan sains: komponen yang bertanggung jawab diidentifikasi sebagai  

    Agregat Mikroba Berukuran Kecil (SSMAs), partikel anti air kaya asam lemak yang membentuk sekitar sepertiga dari massa padat kotoran sapi. Berdasarkan temuan ini, rekomendasi praktis yang sangat spesifik dirumuskan: gunakan kotoran sapi basah (80 kali lebih efektif daripada kering), adopsi kadar air pemadatan yang lebih tinggi (40 kali lebih efektif), dan pilih tanah dengan lempung berdaya kembang rendah seperti kaolinit (30 kali lebih efektif).  

  4. Komunikasi sebagai Alat untuk Meningkatkan Keinginan: Penelitian tentang diseminasi (Bab 7) menemukan bahwa praktisi konstruksi tanah di India menggunakan platform online seperti YouTube sebagai sumber informasi. Analisis terhadap 124 video menghasilkan wawasan bahwa konten yang efektif harus  

    relevan, holistik, dan dapat ditindaklanjuti. Temuan ini kemudian diterapkan untuk memproduksi dua video animasi yang bertujuan meningkatkan kesadaran dan menyebarkan pengetahuan praktis dari disertasi ini.  

 

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara transparan mengakui keterbatasan penelitiannya, terutama bahwa studi eksperimental dilakukan hanya pada satu jenis tanah dan satu sumber kotoran sapi, yang membatasi generalisasi temuan. Selain itu, validasi pada skala yang lebih besar (dinding atau bangunan utuh) masih diperlukan untuk menguji kinerja di tingkat arsitektural.  

Sebagai refleksi kritis, meskipun disertasi ini memberikan panduan yang sangat baik untuk optimalisasi di tingkat laboratorium, tantangan untuk menstandardisasi material biologis yang sangat bervariasi seperti kotoran sapi untuk produksi massal tetap menjadi rintangan praktis yang signifikan. Menerjemahkan temuan laboratorium yang terkontrol ke dalam proses produksi yang andal dan dapat diskalakan di lingkungan pedesaan yang beragam akan memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Disertasi ini membuka jalan bagi beberapa arah penelitian yang menjanjikan. Rekomendasi eksplisit penulis mencakup perlunya studi replikasi dengan berbagai jenis tanah dan sumber kotoran sapi, serta pengujian skala penuh untuk memahami perilaku material di tingkat arsitektural.  

Secara lebih luas, karya ini memberikan cetak biru metodologis untuk valorisasi ilmiah bahan limbah biologis lainnya dalam konstruksi. Ia mengubah paradigma dari memandang bahan tradisional sebagai "teknologi rendah" menjadi subjek yang kompleks secara ilmiah dan dapat dioptimalkan. Selain itu, integrasi komunikasi sains sebagai komponen penelitian yang tak terpisahkan menawarkan model yang kuat untuk proyek-proyek ilmiah berorientasi dampak di masa depan, memastikan bahwa pengetahuan yang dihasilkan tidak hanya berakhir di jurnal akademis tetapi juga menjangkau dan memberdayakan para praktisi di lapangan.

Sumber

Kulshreshtha, Y. (2022). Building Affordable, Durable and Desirable Earthen Houses: Construction with Materials Derived from Locally Available Natural and Biological Resources.. https://doi.org/10.4233/uuid:0149cbb5-e3fe-4bc5-8333-8f888638055e

Selengkapnya
Dari Stigma Kemiskinan ke Sains Material: Tinjauan Kritis terhadap Inovasi Perumahan Tanah

Perumahan dan Permukiman

Pentingnya Punya Hunian dengan Kualitas Udara Baik di Perkotaan

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 10 Februari 2025


Di tengah perubahan iklim dan pemanasan global, tinggal di hunian hijau (green) dengan sirkulasi udara yang baik menjadi sangat penting. Terlebih di kawasan perkotaan di mana kualitas udara di luar ruangan tidak bisa lagi diharapkan alias sangat buruk dan telah tercemar polusi.

Anggota Lembaga Konsil Bangunan Hijau Indonesia atau Green Building Council Indonesia (GBCI) Prasetyoadi mengatakan salah satu alasan pentingnya tinggal di hunian atau bangunan hijau bagi masyarakat perkotaan yaitu karena mereka umumnya menghabiskan hampir 85 persen hingga 90 persen waktunya di dalam ruangan.

"Manusia di kawasan urban itu menghabiskan 85 persen sampai 90 persen waktunya beraktivitas di dalam ruangan," kata Prasetyoadi atau akrab disapa Tiyok dalam diskusi virtual, Kamis (11/11/2021).

Tiyok menjelaskan, polusi udara bukan hal yang sepele. Dampaknya bahkan dapat menyebabkan kematian.  Polusi udara pada dasarnya tidak hanya terjadi di luar ruangan melainkan juga di dalam ruangan.

Kualitas udara yang buruk di dalam ruangan bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan di luar ruangan. Orang yang tinggal di sebuah hunian dengan kualitas udara yang buruk, panas dan lembab sangat rentan terkena penyakit.

"Jadi suhu yang panas, lembab, dan sirkulasi udara yang tidak baik, apalagi di negara tropis itu menjadi sarang penyakit dan membahayakan penghuninya," ujar Tiyok. Sebaliknya, kualitas udara yang baik, paparan pencahayaan alami yang cukup dalam sebuah hunian dapat memberikan dampak positif. 

Sumber artikel: Kompas.com

Selengkapnya
Pentingnya Punya Hunian dengan Kualitas Udara Baik di Perkotaan
page 1 of 2 Next Last »