Pertanian

Kapas: Sumber utama, Produksi, Kegunaan

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 10 Juni 2024


Kapas (dari bahasa Hindi kapas, sendirinya dari bahasa Sanskerta karpasa) adalah serat halus yang menyelubungi biji beberapa jenis Gossypium (biasa disebut "pohon"/tanaman kapas), tumbuhan 'semak' yang berasal dari daerah tropika dan subtropika. Di Pulau Ambon kapas dikenal dengan istilah lokal aha, dan dalam bahasa Banda disebut dengan karamboa.

Serat kapas menjadi bahan penting dalam industri tekstil. Serat itu dapat dipintal menjadi benang dan ditenun menjadi kain. Produk tekstil dari serat kapas biasa disebut sebagai katun (benang maupun kainnya). Kain katun yang terbuat dari kapas berasal dari kata Arab قطن, ‘qutun’ atau ‘kutun’, yang digunakan untuk menggambarkan jenis tekstil yang halus. Kapas berasal dari setidaknya 7.000 tahun yang lalu menjadikannya salah satu serat tertua di dunia.

Serat kapas merupakan produk yang berharga karena hanya sekitar 10% dari berat kotor (bruto) produk hilang dalam pemrosesan. Apabila lemak, protein, malam (lilin), dan lain-lain residu disingkirkan, sisanya adalah polimer selulosa murni dan alami. Selulosa ini tersusun sedemikian rupa sehingga memberikan kapas kekuatan, daya tahan (durabilitas), dan daya serap yang unik namun disukai orang. Tekstil yang terbuat dari kapas (katun) bersifat menghangatkan di kala dingin dan menyejukkan di kala panas (menyerap keringat).

Sedangkan, kapas bisa untuk dijadikan sebagai alat pembersih make up.

Sumber utama

Sumber utama serat kapas komersial (perdagangan) adalah empat jenis Gossypium, yaitu

  • G. hirsutum, asli Meksiko, Amerika Tengah, Karibia, dan Florida, menghasilkan 90% serat yang diperdagangkan
  • G. barbadense, asli dari Amerika Selatan tropika
  • G. arboreum, asli dari lembah Sungai Indus di Pakistan dan India
  • G. herbaceum, asli dari wilayah Levantia (hulu Sungai Tigris)

Produksi

Sekarang ini kapas diproduksi di banyak tempat di dunia, termasuk Eropa, Asia, Afrika, Amerika, dan Australia, menggunakan tanaman kapas yang telah dipilih jadi dapat menghasilkan lebih banyak fiber. Pada 2002, kapas ditumbuhkan di 330.000 km² ladang, 47 miliar pon kapas mentah seharga 20 miliar dolar AS ditumbuhkan tahun tersebut.

Kegunaan

Serat kapas merupakan salah satu bahan baku utama pembuatan kain dalam industri tekstil di Indonesia. Berikut adalah sifat serat kapas:

  • Panjang serat : 20 – 30 mm
  • Diameter : 14 – 16 mm
  • Kekuatan serat : 45 kg/mm2
  • Kekuatan rata-rata : 5,3 mN/tex
  • Mulur : 7,2 %
  • Kehalusan : 2,0 ng/cm

Sebagai tambahan dari industri tekstil, kapas juga digunakan dalam jaring ikan, saringan kopi, tenda, dan pembatas buku. Uang China pertama terbuat dari fiber kapas, dan juga uang dollar AS modern. Denim, sebuah jenis pakaian 'durable', sebagian besar terbuat dari kapas, dan juga kebanyakan T-shirt.

Disadur dari: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Kapas: Sumber utama, Produksi, Kegunaan

Pertanian

Mengenal Keanekaragaman Hayati atau Biodiversitas (Ancaman hingga Batas Analitikal)

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 09 Juni 2024


Ancaman

Pada tahun 2006, banyak spesies secara resmi diklasifikasikan sebagai spesies langka atau genting atau terancam; para ilmuwan juga memperkirakan bahwa jutaan spesies lainnya memiliki risiko yang belum diakui secara formal. Sekitar 40 persen dari 40.177 spesies yang dinilai menggunakan kriteria Daftar Merah IUCN sekarang terdaftar sebagai terancam punah, totalnya yaitu 16.119.

Jared Diamond menggambarkan "Kuartet Jahat", yaitu pengrusakan habitat, pemburuan berlebihan, spesies pendatang, dan kepunahan sekunder. Edward O. Wilson lebih memilih akronim HIPPO, yang merujuk pada pengrusakan habitat (habitat destruction), spesies invasif (invasive species), polusi, overpopulasi manusia, dan panen berlebih (over-harvesting) Klasifikasi yang paling otoritatif yang digunakan saat ini adalah Klasifikasi Ancaman langsung IUCN (versi 2.0 dirilis pada 2016) yang telah diadopsi oleh organisasi konservasi internasional utama seperti The Nature Conservancy AS, World Wildlife Fund, Conservation International, dan BirdLife International.

Ada 11 ancaman langsung utama terhadap konservasi, yaitu:

  1. Pengembangan tempat tinggal dan area komersial (area perumahan dan daerah perkotaan, area komersial dan industri, serta area pariwisata dan rekreasi).
  2. Kegiatan pertanian dan akuakultur.
  3. Pertambangan dan produksi energi.
  4. Transportasi dan layanan koridor.
  5. Penggunaan sumber daya hayati (perburuan, pembunuhan, penebangan, dan kegiatan perikanan).
  6. Intrusi dan aktivitas manusia yang mengubah, menghancurkan, atau mengganggu habitat dan spesies dari kecenderungannya menunjukkan perilaku alami (kegiatan rekreasional, perang, dan aktivitas ilegal).
  7. Modifikasi sistem alami (pengelolaan air, penciptaan api, dan proyek lainnya seperti reklamasi).
  8. Spesies, patogen, dan gen yang invasif dan bermasalah.
  9. Pencemaran.
  10. Kejadian geologis yang merusak (gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor).
  11. Perubahan iklim.
  • Pengrusakan habitat

Kerusakan habitat berperan penting dalam kepunahan, terutama terkait dengan kerusakan hutan tropis. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap hilangnya habitat meliputi overkonsumsi, overpopulasi, berubahnya penggunaan tanah, penggundulan hutan, pencemaran (pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah), dan pemanasan global atau perubahan iklim.

Ukuran habitat dan jumlah spesies saling berkaitan secara sistematis. Spesies yang fisiknya lebih besar dan spesies yang tinggal di lintang rendah atau di hutan atau lautan lebih sensitif terhadap pengurangan area habitat. Konversi ke ekosistem standar yang "sederhana" (misalnya pembuatan monokultur setelah penggundulan hutan) secara efektif menghancurkan habitat beragam spesies yang telah menempati lokasi tersebut sebelum konversi. Bahkan bentuk-bentuk pertanian yang paling sederhana pun memengaruhi keanekaragaman, melalui pembersihan atau pengeringan lahan, mencegah gulma dan hama, serta hanya mendorong sejumlah spesies tumbuhan dan hewan tertentu secara terbatas. Di sejumlah negara, hak milik atau lemahnya penegakan hukum dikaitkan dengan penggundulan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Sebuah studi pada 2007 yang dilakukan oleh Yayasan Sains Nasional menemukan bahwa keanekaragaman hayati dan keanekaragaman genetik bersifat kodependen, artinya keanekaragaman di antara spesies membutuhkan keanekaragaman dalam satu spesies, dan sebaliknya. "Jika salah satu tipe dihapus dari sistem, siklusnya dapat rusak dan komunitas menjadi didominasi oleh satu spesies."Saat ini, ekosistem yang paling terancam merupakan ekosistem air tawar, menurut Penilaian Ekosistem Milenium pada 2005, yang dikonfirmasi oleh "Penilaian Keragaman Hewan Air Tawar", yang diselenggarakan oleh platform keanekaragaman hayati, dan Institut Prancis, Institut de recherche pour le développement.

Kepunahan bersama adalah salah satu bentuk kerusakan habitat. Hal ini terjadi ketika kepunahan atau penurunan pada satu spesies menyertai proses serupa pada spesies lainnya, seperti pada tumbuhan dan kumbang.

Sebuah laporan pada 2019 mengungkapkan bahwa lebah dan serangga penyerbuk lainnya telah dihilangkan dari hampir seperempat habitat mereka di Britania Raya. Kecelakaan populasi telah terjadi sejak 1980-an dan memengaruhi keanekaragaman hayati. Peningkatan pertanian industri dan penggunaan pestisida, yang dikombinasikan dengan penyakit, spesies invasif, dan perubahan iklim, mengancam masa depan serangga ini dan pertanian yang mereka dukung.

  • Spesies pendatang dan invasif

Penghalang seperti sungai, laut, samudra, gunung, dan gurun yang besar mendorong keanekaragaman dengan memungkinkan evolusi independen di kedua sisi penghalang tersebut, melalui proses spesiasi alopatrik. Istilah spesies invasif diberikan pada spesies yang menembus penghalang alami yang biasanya membuat mereka terkekang. Tanpa adanya penghalang, spesies tersebut menempati wilayah baru, sering kali menggantikan spesies asli dengan menduduki relung mereka, atau dengan menggunakan sumber daya yang biasanya akan mempertahankan kehidupan spesies asli.

Jumlah spesies invasif telah meningkat setidaknya sejak awal 1900-an. Berbagai spesies semakin banyak dipindahkan oleh manusia (sengaja dan tidak sengaja). Dalam beberapa kasus, spesies yang berpindah mengakibatkan perubahan drastis dan kerusakan pada habitat baru mereka (misalnya kerang zebra dan kumbang Agrilus planipennis di wilayah Danau-Danau Besar dan ikan singa atau lepu di sepanjang pantai Atlantik Amerika Utara). Beberapa bukti menunjukkan bahwa spesies invasif lebih kompetitif di habitat barunya mereka karena mereka lebih sedikit mengalami gangguan oleh patogen. Studi lainnya melaporkan bukti yang membingungkan yang kadang-kadang menunjukkan bahwa komunitas yang kaya spesies memiliki banyak spesies asli dan eksotik secara bersamaan, sementara beberapa studi mengatakan bahwa ekosistem yang beragam lebih tangguh dan tahan terhadap tumbuhan dan hewan invasif. Pertanyaan pentingnya adalah, "Apakah spesies invasif menyebabkan kepunahan?" Banyak penelitian mengutip dampak spesies invasif pada spesies asli, tetapi tidak mengakibatkan kepunahan. Spesies invasif tampaknya meningkatkan keanekaragaman lokal (yaitu keanekaragaman alfa), yang mengurangi pergantian keanekaragaman (yaitu keanekaragaman beta).

Keanekaragaman gama secara keseluruhan dapat diturunkan karena spesies akan punah akibat sebab lainnya. Meskipun demikian, bahkan beberapa pendatang yang paling berbahaya (misalnya penyakit elm Belanda, kumbang penggerek abu zamrud, kumbang penggerek kastanye di Amerika Utara) tidak menyebabkan spesies inangnya punah. Kepunahan lokal, penurunan populasi, dan homogenisasi keanekaragaman hayati regional jauh lebih umum ditemukan. Aktivitas manusia sering kali menjadi penyebab spesies invasif melintasi penghalang mereka, yang memindahkan mereka untuk dimakan atau untuk keperluan lainnya. Oleh karena itu, aktivitas manusia memungkinkan spesies untuk bermigrasi ke daerah baru (dan dengan demikian menjadi invasif) terjadi pada skala waktu yang jauh lebih pendek dibandingkan waktu alami yang diperlukan bagi suatu spesies untuk memperluas jangkauannya.

Tidak semua spesies pendatang bersifat invasif, atau semua spesies invasif tidak sengaja didatangkan. Dalam kasus-kasus seperti kerang zebra, invasi saluran air AS terjadi tanpa disengaja. Dalam kasus lain, seperti garangan di Hawaii, perpindahan dilakukan dengan sengaja tetapi tidak efektif (tikus yang nokturnal tidak rentan terhadap garangan yang diurnal). Dalam kasus lain, seperti kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia, perpindahan menghasilkan manfaat ekonomi yang substansial, tetapi manfaat tersebut disertai dengan konsekuensi mahal yang tidak diinginkan.

Pada akhirnya, spesies pendatang mungkin secara tidak sengaja merugikan spesies yang tergantung pada spesies yang digantikannya. Di Belgia, tanaman perdu Prunus spinosa dari Eropa Timur membentuk daun lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya di Eropa Barat sehingga mengganggu kebiasaan makan kupu-kupu Thecla betulae (yang memakan daun). Kedatangan spesies baru sering mengakibatkan spesies endemik dan spesies lokal lainnya tidak dapat bersaing dengan spesies eksotik dan tidak dapat bertahan hidup. Organisme eksotik dapat berupa predator, parasit, atau hanya mengalahkan spesies asli untuk mendapatkan nutrisi, air dan cahaya.

Saat ini, beberapa negara telah mengimpor begitu banyak spesies eksotik, terutama tanaman pertanian dan tanaman hias, sehingga fauna atau flora asli mereka mungkin kalah jumlah. Misalnya, pengenalan kudzu dari Asia Tenggara ke Kanada dan Amerika Serikat telah mengancam keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.

  • Pencemaran genetik

Spesies endemik dapat terancam punah melalui proses pencemaran genetik, yaitu persilangan, introgresi, dan kelebihan genetik yang tidak terkendali. Pencemaran genetik menyebabkan homogenisasi atau penggantian genom lokal sebagai hasil dari keuntungan numerik dan/atau kesesuaian dari suatu spesies pendatang. Persilangan dan introgresi merupakan efek samping dari kedatangan dan invasi. Fenomena ini dapat sangat merugikan spesies langka yang terpapar dengan spesies yang lebih berlimpah. Spesies yang berlimpah dapat kawin silang dengan spesies langka dan membanjiri lungkang gennya. Masalah ini tidak selalu terlihat dari pengamatan morfologis (penampilan luar) saja. Beberapa tingkat aliran gen merupakan adaptasi normal, dan tidak semua konstelasi gen dan genotipe dapat dilestarikan. Namun, persilangan dengan atau tanpa introgresi dapat mengancam keberadaan spesies langka.

  • Eksploitasi berlebihan

Eksploitasi berlebihan terjadi ketika sumber daya dikonsumsi pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Hal ini terjadi di darat dalam bentuk perburuan dan penebangan kayu yang berlebihan, konservasi tanah yang buruk di bidang pertanian, dan perdagangan satwa liar ilegal. Sekitar 25% perikanan dunia saat ini ditangkap secara berlebihan sampai pada titik ketika biomassa mereka saat ini berada di bawah tingkat yang memaksimalkan keberlangsungan mereka.

Hipotesis perburuan berlebihan, yaitu suatu pola kepunahan hewan besar yang dihubungkan dengan pola migrasi manusia, dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa kepunahan megafauna dapat terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat.

  • Persilangan, pencemaran/erosi genetik, dan keamanan pangan

Dalam pertanian dan peternakan, Revolusi Hijau memopulerkan penggunaan persilangan konvensional untuk meningkatkan hasil produksi. Sering kali keturunan hasil persilangan berasal dari negara-negara maju dan selanjutnya disilangkan dengan varietas lokal di negara berkembang untuk menciptakan galur berproduksi tinggi yang tahan terhadap iklim dan penyakit setempat. Pemerintah dan industri lokal telah mendorong persilangan. Sebelumnya, lungkang gen yang sangat besar dari keturunan liar dan keturunan asli telah runtuh dan menyebabkan erosi genetik dan pencemaran genetik yang luas. Hal ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman genetik dan keanekaragaman hayati secara keseluruhan.

Organisme termodifikasi secara genetika memiliki materi genetik yang diubah oleh rekayasa genetik. Tanaman rekayasa genetik telah menjadi sumber umum bagi pencemaran genetik, tidak hanya pada varietas liar tetapi juga pada varietas domestik yang berasal dari persilangan klasik.

Erosi genetik dan pencemaran genetik berpotensi menghancurkan genotipe unik, sehingga bisa menciptakan ancaman terhadap ketahanan pangan. Penurunan keanekaragaman genetik melemahkan kemampuan tanaman dan ternak untuk disilangkan dalam rangka melawan penyakit dan bertahan hidup dari perubahan iklim.

  • Perubahan iklim

Pemanasan global merupakan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati global. Misalnya, terumbu karang—yang menjadi titik panas keanekaragaman hayati—akan hilang pada abad ini jika pemanasan global terus berlanjut dengan laju saat ini.

Perubahan iklim terbukti memengaruhi keanekaragaman hayati. Peningkatan karbon dioksida di atmosfer pasti memengaruhi morfologi tumbuhan dan mengasamkan samudra, sementara perubahan suhu memengaruhi jangkauan hidup spesies fenologi, dan cuaca, tetapi, untungnya, dampak utama yang diprediksi masih merupakan potensi yang akan muncul di masa depan. Kepunahan besar belum diprediksi, bahkan ketika perubahan iklim secara drastis mengubah biologi banyak spesies.

Pada tahun 2004, sebuah studi kolaboratif internasional di empat benua memperkirakan bahwa 10 persen spesies akan punah pada tahun 2050 karena pemanasan global. "Kita perlu membatasi perubahan iklim atau kita akan berada dalam kesulitan bersama banyak spesies lain, mungkin punah," kata Dr. Lee Hannah, salah satu penulis makalah dan kepala ahli biologi perubahan iklim di Pusat Ilmu Pengetahuan Keanekaragaman Hayati Terapan di Konservasi Internasional.

Sebuah penelitian pada 2015 memperkirakan bahwa hingga 35% karnivora dan ungulata terestrial dunia akan menghadapi risiko kepunahan yang lebih tinggi pada tahun 2050 akibat efek perubahan iklim ditambah penggunaan lahan yang diprediksi dengan skenario laju pembangunan manusia masa kini.

Perubahan iklim telah mengubah waktu ketika kelelawar ekor bebas Brasil (Tadarida brasiliensis) muncul untuk mencari makan menjadi senja hari. Perubahan ini diyakini terkait dengan pengeringan daerah akibat kenaikan suhu. Kemunculan yang lebih awal ini membuat kelelawar menjadi pemangsa yang lebih besar dan meningkatkan persaingan dengan serangga lain yang mencari makan pada waktu senja atau siang hari.

  • Overpopulasi manusia

Populasi dunia berjumlah hampir 7,6 miliar pada pertengahan 2017 (kira-kira satu miliar lebih banyak dibandingkan tahun 2005) dan diperkirakan akan mencapai 11,1 miliar pada tahun 2100. Sir David King, mantan kepala penasihat ilmiah untuk pemerintah Inggris, mengatakan pada parlemen: "Sudah jelas bahwa pertumbuhan populasi manusia secara besar-besaran selama abad ke-20 berdampak lebih besar pada keanekaragaman hayati dibandingkan faktor tunggal lainnya." Paling tidak sampai pertengahan abad ke-21, hilangnya keanekaragaman hayati murni di seluruh dunia mungkin akan sangat bergantung pada tingkat kelahiran manusia di seluruh dunia. Ahli biologi seperti Paul R. Ehrlich dan Stuart Pimm mencatat bahwa pertumbuhan populasi manusia dan konsumsi berlebihan adalah pendorong utama kepunahan spesies.

Menurut sebuah studi pada tahun 2014 oleh WWF, populasi manusia global sudah melebihi biokapasitas planet; dibutuhkan 1,5 kali biokapasitas Bumi untuk memenuhi kebutuhan kita saat ini. Laporan lebih lanjut menunjukkan bahwa jika semua orang di planet ini memiliki jejak kaki dari rata-rata penduduk Qatar, kita akan membutuhkan 4,8 Bumi dan jika kita menjalani gaya hidup penduduk AS yang khas, kita akan membutuhkan 3,9 Bumi.

  • Kepunahan Holosen

Tingkat penurunan keanekaragaman hayati dalam kepunahan Holosen (kepunahan massal keenam) setara atau melebihi tingkat penuruhan pada lima peristiwa kepunahan massal sebelumnya menurut catatan fosil. Hilangnya keanekaragaman hayati menyebabkan hilangnya modal alami yang menyediakan kebutuhan barang dan layanan pada ekosistem. Dari perspektif metode yang dikenal sebagai Ekonomi Alam, nilai ekonomi dari 17 layanan ekosistem untuk biosfer Bumi (dihitung pada tahun 1997) diperkirakan memiliki nilai US Rp534.418,50 triliun (3,3x1013) per tahun.

Pada tahun 2019, Platform Kebijakan-Ilmu Pengetahuan Antar Pemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem menerbitkan Laporan Penilaian Global tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem, sebuah studi terbesar dan paling komprehensif hingga saat ini mengenai keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem. Laporan ini dibuat sebagai ringkasan bagi para pembuat kebijakan. Kesimpulan utamanya yaitu

Selama 50 tahun terakhir, keadaan alam telah memburuk pada tingkat yang semakin cepat dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Penggerak utama kemunduran ini adalah perubahan dalam penggunaan lahan dan laut, eksploitasi makhluk hidup, perubahan iklim, polusi, dan spesies invasif. Kelima pendorong ini, pada gilirannya, disebabkan oleh perilaku sosial, dari konsumsi hingga tata kelola.
Kerusakan ekosistem mengacaukan 35 dari 44 target PBB yang dipilih, termasuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Majelis Umum PBB untuk kemiskinan, kelaparan, kesehatan, air, iklim kota, lautan, dan tanah. Hal ini dapat menimbulkan masalah persediaan makanan, air, udara umat manusia.

Untuk mengatasi masalah ini, umat manusia akan membutuhkan perubahan transformatif, termasuk pertanian berkelanjutan, pengurangan konsumsi dan limbah, kuota perikanan, dan pengelolaan air kolaboratif. Pada halaman 8, laporan ini mengusulkan ringkasan "memungkinkan visi tentang kualitas hidup yang baik yang tidak memerlukan konsumsi bahan yang terus meningkat" sebagai salah satu langkah utama. Laporan tersebut menyatakan bahwa "Beberapa jalur dipilih untuk mencapai tujuan yang terkait dengan energi, pertumbuhan ekonomi, industri dan infrastruktur, konsumsi dan produksi berkelanjutan (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 7, 8, 9, dan 12), serta target terkait dengan kemiskinan, ketahanan pangan, dan kota (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 1, 2 ,dan 11), dapat memiliki dampak positif atau negatif yang substansial pada alam dan pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan lainnya".

Konservasi

Biologi konservasi mulai matang pada pertengahan abad ke-20 ketika ahli ekologi, naturalis, dan ilmuwan lain mulai meneliti dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan penurunan keanekaragaman hayati global.

Etika konservasi menyarankan pengelolaan sumber daya alam untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dalam spesies, ekosistem, proses evolusi, serta budaya manusia dan masyarakat.

Biologi konservasi mengalami perubahan terkait rencana strategis yang akan diambil untuk melindungi keanekaragaman hayati. Melestarikan keanekaragaman hayati global merupakan prioritas dalam rencana konservasi strategis yang dirancang untuk melibatkan kebijakan publik dan isu yang berpengaruh di dalam masyarakat, ekosistem, dan budaya dalam skala lokal, regional dan global. Rencana aksi yang disusun mengidentifikasi cara mempertahankan kesejahteraan manusia menggunakan modal alam, modal pasar, dan layanan ekosistem.

Dalam Pedoman Uni Eropa 1999/22/EC, kebun binatang digambarkan memiliki peran dalam pelestarian keanekaragaman hayati hewan liar dengan melakukan penelitian atau berpartisipasi dalam program pemuliaan.

  • Teknik perlindungan dan pemulihan

Penghilangan spesies eksotik akan memungkinkan spesies yang telah terdampak negatif oleh mereka untuk memulihkan relung ekologinya kembali. Spesies eksotik yang telah menjadi hama dapat diidentifikasi secara taksonomi (misalnya dengan Sistem Identifikasi Otomatis Digital [DAISY], dengan menggunakan kode batang kehidupan). Secara praktis, penghilangan hanya dilakukan pada kelompok individu besar karena pertimbangan biaya ekonomi.

Ketika populasi spesies asli yang tersisa di suatu daerah dapat hidup berkelanjutan dan hidupnya menjadi terjamin, spesies yang "hilang" yang menjadi kandidat untuk reintroduksi (pendatangan kembali) dapat diidentifikasi menggunakan basis daya seperti Encyclopedia of Life dan Fasilitas Informasi Keanekaragaman Hayati Global.

  1. Perbankan keanekaragaman hayati menempatkan nilai moneter terhadap keanekaragaman hayati. Salah satu contohnya adalah Kerangka Kerja Pengelolaan Vegetasi Asli Australia.
  2. Bank gen merupakan kumpulan spesimen dan materi genetik. Beberapa bank bermaksud untuk memperkenalkan kembali spesies ke ekosistem (misalnya melalui pembibitan pohon).
  3. Pengurangan dan penargetan pestisida yang lebih baik memungkinkan lebih banyak spesies yang mampu bertahan hidup di daerah pertanian dan perkotaan.
  4. Pendekatan spesifik lokasi mungkin kurang berguna untuk melindungi spesies yang bermigrasi. Salah satu pendekatan lain adalah membuat koridor satwa liar yang sesuai dengan pergerakan hewan. Batas-batas nasional dan batas lainnya dapat mempersulit pembuatan koridor.
  • Alokasi sumber daya

Investasi sumber daya yang difokuskan pada area terbatas dengan potensi keanekaragaman hayati yang lebih tinggi diperkirakan membawa hasil yang lebih besar dan cepat dibandingkan menyebarkan sumber daya secara merata atau berfokus pada area yang keanekaragamannya rendah. Strategi kedua berfokus pada area yang mempertahankan sebagian besar keanekaragaman asli mereka, yang biasanya hanya membutuhkan sedikit restorasi atau bahkan tidak ada. Area ini biasanya merupakan area nonperkotaan dan nonpertanian. Daerah tropis sering kali cocok dengan kedua kriteria tersebut, mengingat keanekaragaman aslinya yang tinggi dan pembangunan yang relatif kurang.

Kawasan perlindungan

Kawasan perlindungan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan pada hewan liar dan habitatnya yang juga mencakup cagar hutan dan cagar biosfer. Kawasan perlindungan didirikan di seluruh dunia dengan tujuan spesifik untuk melindungi dan melestarikan tumbuhan dan hewan. Beberapa ilmuwan meminta komunitas global untuk menetapkan 30 persen dari Bumi sebagai kawasan perlindungan pada tahun 2030 dan 50 persen pada tahun 2050, untuk mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh manusia.

  • Taman nasional

Taman nasional adalah area yang dipilih oleh pemerintah atau organisasi swasta untuk melindungi area tersebut secara khusus dari kerusakan atau degradasi dengan tujuan konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap. Taman nasional biasanya dimiliki dan dikelola oleh pemerintah nasional atau negara bagian. Jumlah pengunjungnya dibatasi, terutama untuk memasuki area rapuh tertentu. Para pengunjung hanya diizinkan masuk untuk tujuan belajar, budaya, dan rekreasi. Operasi kehutanan, penggembalaan hewan, dan perburuan hewan diatur, sementara eksploitasi habitat atau satwa liar dilarang.

  • Cagar alam dan suaka margasatwa

Cagar alam dan suaka margasatwa (wildlife sanctuaries) hanya bertujuan untuk mengonservasi spesies dan memiliki karakteristik:

  1. Batas-batasnya tidak dibatasi oleh peraturan suatu negara.
  2. Pembunuhan, perburuan, atau penangkapan spesies apa pun dilarang kecuali oleh atau di bawah kendali otoritas tertinggi di departemen yang bertanggung jawab atas pengelolaan suaka.
  3. Kepemilikan pribadi dapat diizinkan.
  4. Kegiatan kehutanan dan penggunaan lainnya juga bisa diizinkan.
  • Hutan lindung

Hutan memainkan peran penting untuk menyimpan berbagai spesies flora dan fauna, termasuk spesies endemik. Spesies tumbuhan dan hewan yang terbatas pada wilayah geografis tertentu disebut spesies endemik. Pada hutan yang dilindungi, hak untuk melakukan beberapa kegiatan seperti berburu dan merumput kadang-kadang diberikan kepada masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan, yang mempertahankan mata pencaharian mereka sebagian atau seluruhnya dari sumber daya hutan atau produknya. Hutan yang tidak diklasifikasikan memiliki karakteristik berupa hutan besar yang tidak dapat diakses, banyak di antaranya yang tidak dihuni, dan dinilai kurang penting secara ekologis dan ekonomis.

  • Kebun binatang

Di kebun binatang, hewan hidup dipelihara untuk tujuan rekreasi, pendidikan, dan konservasi. Kebun binatang modern memiliki layanan kedokteran hewan, memberikan peluang bagi spesies terancam untuk berkembang biak di penangkaran, dan biasanya membangun lingkungan yang mensimulasikan habitat asli hewan dalam lingkungan perawatan mereka. Kebun binatang memainkan peran utama dalam membangun kesadaran masyarakat tentang perlunya melestarikan alam.

  • Kebun botani

Di kebun botani atau kebun raya, tumbuhan ditanam dan dipajang terutama untuk tujuan ilmiah dan pendidikan. Mereka terdiri dari koleksi tanaman hidup yang ditanam di luar ruangan atau di bawah kaca pada rumah kaca dan konservatori. Kebun botani juga dapat mencakup koleksi tumbuhan kering atau herbarium dan fasilitas seperti ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, museum, dan penanaman eksperimental atau penelitian.

Status hukum

  • Internasional

Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB (1992) dan Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati;

  1. Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES);
  2. Konvensi Ramsar (lahan basah);
  3. Konvensi Bonn tentang Spesies yang Bermigrasi;
  4. Konvensi Warisan Dunia (secara tidak langsung dengan melindungi habitat keanekaragaman hayati)
  5. Konvensi regional, misalnya Konvensi Apia
  6. Perjanjian bilateral, misalnya Perjanjian Burung Migrasi Jepang-Australia.

Kesepakatan global seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati, memberikan "hak nasional yang berdaulat atas sumber daya hayati" (bukan properti). Perjanjian tersebut mengikat suatu negara untuk "melestarikan keanekaragaman hayati", "mengembangkan sumber daya untuk keberlanjutan", dan "berbagi manfaat" yang dihasilkan dari penggunaannya. Negara dengan keanekaragaman hayati yang memungkinkan untuk melakukan pencarian hayati atau mengumpulkan produk alami, mengharapkan untuk mendapat sebagian manfaat alih-alih membiarkan individu atau lembaga yang menemukan sumber daya tersebut hanya untuk keperluan pribadi mereka. Pencarian hayati dapat menjadi salah satu jenis pembajakan hayati ketika prinsip-prinsip tersebut tidak dihormati.

Prinsip kedaulatan dapat mengandalkan pada apa yang dikenal sebagai Perjanjian Berbagi Akses dan Perjanjian (ABAs). Konvensi Keanekaragaman Hayati menyiratkan persetujuan antara negara sumber dan kolektor, untuk menentukan sumber daya mana yang akan digunakan dan untuk apa, serta untuk menciptakan perjanjian yang adil mengenai pembagian keuntungan.

Uni Eropa

Pada bulan Mei 2020, Uni Eropa (UE) menerbitkan Strategi Keanekaragaman Hayati untuk tahun 2030. Strategi ini merupakan bagian penting dari strategi mitigasi perubahan iklim Uni Eropa. Dari 25% anggaran Eropa yang akan digunakan untuk memerangi perubahan iklim, sebagian besar akan digunakan untuk mengembalikan keanekaragaman hayati dan solusi berbasis alam.

Strategi Keanekaragaman Hayati UE untuk tahun 2030 mencakup target berikutnya:

  1. Melindungi 30% wilayah laut dan 30% wilayah daratan, terutama hutan berumur tua.
  2. Menanam 3 miliar pohon pada tahun 2030.
  3. Mengembalikan setidaknya 25.000 kilometer sungai, sehingga mereka akan mengalir bebas.
  4. Mengurangi penggunaan pestisida hingga 50% pada tahun 2030.
  5. Meningkatkan pertanian organik. Dalam program EU terkait, yaitu dari Sawah ke Garpu Fork disebutkan bahwa targetnya adalah membuat 25% pertanian UE menjadi organik pada tahun 2030.
  6. Meningkatkan keanekaragaman hayati di bidang pertanian.
  7. Memberikan € 20 miliar per tahun untuk masalah ini dan menjadikannya bagian dari praktik bisnis.

Menurut halaman strategi tersebut, sekitar setengah dari PDB global bergantung pada alam. Di Eropa, banyak unsur ekonomi yang menghasilkan triliunan € per tahun, tergantung pada alam. Manfaat Natura 2000 saja di Eropa berkisar antara € 200 hingga € 300 miliar per tahun.

  • Hukum tingkat nasional

Keanekaragaman hayati dipertimbangkan dalam beberapa keputusan politik dan hukum:

  1. Hubungan antara hukum dan ekosistem telah ada sejak zaman kuno dan berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati. Hal ini terkait dengan hak milik pribadi dan publik. Hukum dapat menentukan perlindungan bagi ekosistem yang terancam, serta berbagai hak dan kewajiban masyarakat (misalnya hak memancing dan berburu).
  2. Hukum yang mengatur spesies muncul belakangan. Hukum ini mengatur spesies apa saja yang harus dilindungi karena mereka mungkin terancam punah. Undang-Undang Spesies Terancam AS adalah contoh dari usaha untuk mengatasi permasalahan "hukum dan spesies".
  3. Hukum yang mengatur lungkang gen baru muncul sekitar seabad terakhir. Domestikasi dan pemuliaan tanaman bukanlah hal baru, tetapi kemajuan dalam rekayasa genetik menyebabkan diciptakannya hukum yang lebih ketat yang di antaranya mengatur distribusi organisme termodifikasi secara genetik, paten gen, dan paten proses. Pemerintah masih belum memutuskan dengan pasti apakah akan berfokus pada, misalnya, gen, genom, atau organisme dan spesies.

Akan tetapi, keseragaman standar hukum yang mengatur penggunaan keanekaragaman hayati belum tercapai. Bosselman berpendapat bahwa keanekaragaman hayati tidak boleh digunakan sebagai standar hukum dan mengklaim bahwa masih ada area ketidakpastian ilmiah yang menyebabkan tidak efisiennya administrasi dan meningkatkan litigasi meningkat tanpa mempromosikan tujuan pelestarian.

India meloloskan Undang-Undang Keanekaragaman Hayati pada tahun 2002 untuk mengonservasi keanekaragaman hayati di India. Undang-undang ini juga mencakup mekanisme pembagian manfaat secara adil dari penggunaan sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional.

Batas analitikal

  • Hubungan antara taksonomi dan ukuran

Dari semua spesies yang telah dideskripsikan, kurang dari 1% yang telah diteliti lebih lanjut dari sekadar mencatat keberadaan mereka.Sebagian besar spesies Bumi merupakan mikrob. Fisika keanekaragaman hayati kontemporer dianggap "terpaku tegas pada dunia yang terlihat [makroskopik]". Sebagai contoh, kehidupan mikrob secara metabolik dan lingkungan lebih beragam dibandingkan kehidupan multiseluler (misalnya pada ekstremofil). "Pada pohon kehidupan, didasarkan pada analisis subunit kecil RNA ribosom, kehidupan yang terlihat oleh mata hanya meliputi ranting kecil yang hampir tak terlihat. Hubungan terbalik antara ukuran makhluk hidup dan populasinya berulang lebih tinggi pada tangga evolusi "pada perkiraan pertama, semua spesies multiseluler di Bumi adalah serangga". Tingkat kepunahan serangga yang tinggi mendukung hipotesis kepunahan Holosen.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Keanekaragaman Hayati atau Biodiversitas (Ancaman hingga Batas Analitikal)

Pertanian

Mengenal Keanekaragaman Hayati atau Biodiversitas

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 09 Juni 2024


Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah variasi dan variabilitas kehidupan di Bumi. Keanekaragaman hayati biasanya merupakan ukuran variasi pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem. Biodiversitas daratan (terestrial) biasanya lebih besar di sekitar khatulistiwa, akibat iklim yang hangat dan produktivitas primer (aliran energi) yang tinggi. Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata di Bumi, dan paling bervariasi di daerah tropis. Meskipun ekosistem hutan tropis hanya mencakup 10 persen dari permukaan Bumi, tetapi ekosistem ini memiliki sekitar 90 persen spesies yang ada di dunia. Keanekaragaman hayati laut biasanya tertinggi di sepanjang pantai Samudra Pasifik bagian barat, tempat suhu permukaan laut paling tinggi, dan di pita lintang tengah di semua lautan. Keanekaragaman spesies juga dipengaruhi gradien lintang. Keanekaragaman hayati umumnya cenderung mengelompok di titik panas, dan telah meningkat seiring waktu, tetapi kemungkinan akan melambat di masa depan.

Perubahan lingkungan yang cepat biasanya menyebabkan kepunahan massal. Lebih dari 99,9 persen dari semua spesies yang pernah hidup di Bumi, yang berjumlah lebih dari lima miliar spesies, diperkirakan telah punah. Perkiraan jumlah spesies Bumi saat ini berkisar antara 10 juta hingga 14 juta; sekitar 1,2 juta spesies telah dicatat, tetapi lebih dari 86 persen di antaranya belum dideskripsikan. Pada Mei 2016, para ilmuwan melaporkan bahwa diperkirakan ada 1 triliun spesies yang berada di Bumi saat ini, dan hanya seperseribu dari satu persen yang telah dideskripsikan. Jumlah total pasangan basa DNA di Bumi diperkirakan 5,0 x 1037 dengan berat 50 miliar ton. Sebagai perbandingan, total massa biosfer diperkirakan sebanyak 4 TtC (triliun ton karbon). Pada Juli 2016, para ilmuwan mengidentifikasi satu set yang terdiri atas 355 gen dari leluhur universal terakhir (LUCA) dari semua organisme yang hidup di Bumi.

Usia Bumi diperkirakan sekitar 4,54 miliar tahun. Bukti yang tak terbantahkan tentang awal kehidupan di Bumi paling tidak berasal dari 3,5 miliar tahun yang lalu,yaitu selama era Eoarkean setelah kerak geologis mulai mengeras, setelah sebelumnya meleleh pada eon Hadean. Ada fosil tikar mikrob yang ditemukan di batupasir berumur 3,48 miliar tahun di Australia Barat. Bukti fisik awal lain dari zat biogenik adalah grafit pada batuan metasedimentari berumur 3,7 miliar tahun yang ditemukan di Greenland Barat. Pada tahun 2015, "sisa-sisa kehidupan biotik" ditemukan di batuan berumur 4,1 miliar tahun di Australia bagian barat. Menurut salah satu peneliti, "Jika kehidupan muncul relatif cepat di Bumi .. maka ia bisa menjadi hal yang umum di alam semesta."

Sejak kehidupan dimulai di Bumi, lima kepunahan massal besar dan beberapa peristiwa kecil telah menurunkan keanekaragaman hayati secara besar dan mendadak. Eon Fanerozoikum (540 juta tahun terakhir) ditandai dengan pertumbuhan keanekaragaman hayati yang cepat melalui letusan Kambrium, sebuah periode ketika mayoritas filum organisme multiseluler pertama kali muncul. Selama 400 juta tahun berikutnya terjadi beberapa kali kepunahan massal, yaitu hilangnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran. Pada periode Karbon, hancurnya hutan hujan menyebabkan hilangnya kehidupan tumbuhan dan hewan. Peristiwa kepunahan Perm–Trias yang berlangsung 251 juta tahun lalu merupakan kepunahan terburuk; organisme vertebrata memerlukan waktu 30 juta tahun untuk kembali pulih dari peristiwa ini. Kepunahan terakhir, yaitu peristiwa kepunahan Kapur–Paleogen yang terjadi 65 juta tahun lalu, lebih menarik perhatian dibandingkan peristiwa kepunahan lainnya karena mengakibatkan kepunahan dinosaurus non-avian.

Sejak munculnya manusia, pengurangan keanekaragaman hayati dan hilangnya keanekaragaman genetik terus berlangsung. Peristiwa ini dinamakan kepunahan Holosen, yaitu pengurangan yang terutama diakibatkan oleh manusia, terutama penghancuran habitat. Sebaliknya, keanekaragaman hayati memberi pengaruh positif terhadap kesehatan manusia melalui berbagai cara, walaupun beberapa dampak negatifnya sedang dipelajari.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan periode tahun 2011–2020 sebagai Dekade Keanekaragaman Hayati PBB, dan periode 2021–2030 sebagai Dekade Restorasi Ekosistem PBB. Menurut Laporan Penilaian Global tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem pada tahun 2019 oleh IPBES, 25% spesies tumbuhan dan hewan terancam punah akibat aktivitas manusia.

Etimologi

  • 1916 – Istilah keanekaragaman biologis (biological diversity) pertama kali digunakan oleh J. Arthur Harris pada makalahnya yang berjudul "The Variable Desert" dalam jurnal Scientific American, JSTOR 6182: "Pernyataan dasar bahwa wilayah tersebut memiliki flora yang kaya akan genus dan spesies serta keragaman asal geografis atau afinitas yang sepenuhnya tidak memadai sebagai deskripsi keanekaragaman biologis yang sebenarnya."
  • 1975 – Istilah keanekaragaman alami (natural diversity) diperkenalkan (oleh Divisi Sains dari Konservasi Alam pada studi tahun 1975, "Preservasi Keanekaragaman Alami")
  • 1980 – Thomas Lovejoy memperkenalkan istilah keanekaragaman biologis (biological diversity) pada komunitas ilmiah melalui buku. Istilah ini dengan cepat digunakan secara umum.
  • 1985 – Berdasarkan Edward O. Wilson, penyingkatan istilah menjadi biodiversitas (biodiversity) dilakukan oleh W. G. Rosen: Forum Nasional tentang Biodiversitas ... dibentuk oleh Walter G. Rosen ... Dr. Rosen mewakili NRC/NAS sepanjang tahap perencanaan proyek. Lebih jauh, ia memperkenalkan istilah "biodiversitas".
  • 1985 – Istilah "biodiversitas" muncul dalam artikel, "Rencana Baru untuk Mengonservasi Biota Bumi" oleh Laura Tangley.
  • 1988 – Istilah biodiversitas pertama kali muncul dalam publikasi.
  • Saat ini – Istilah biodiversitas telah digunakan secara luas.

Definisi

Istilah "keanekaragaman hayati" paling banyak dipakai untuk menggantikan istilah yang sudah lebih dahulu didefinisikan dengan jelas, yaitu keanekaragaman spesies dan kekayaan spesies. Ahli biologi sering kali mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai "keseluruhan gen, spesies, dan ekosistem di suatu wilayah". Keuntungan dari definisi ini yaitu menggambarkan sebagian besar keadaan dan menyajikan pandangan terpadu tentang jenis keanekaragaman hayati tradisional yang telah diidentifikasi sebelumnya:

  • keanekaragaman taksonomi (biasanya diukur pada tingkat keanekaragaman spesies)
  • keanekaragaman ekologis (sering dilihat dari perspektif keanekaragaman ekosistem)
  • keanekaragaman morfologi (yang berasal dari keanekaragaman genetik dan keanekaragaman molekuler)
  • keanekaragaman fungsional (yang merupakan ukuran jumlah spesies yang berbeda secara fungsional dalam suatu populasi, misalnya cara makan yang berbeda, pergerakan yang berbeda, predator vs mangsa, dll.) Konstruksi bertingkat ini konsisten dengan Datman dan Lovejoy.

Definisi eksplisit yang konsisten dengan interpretasi ini pertama kali dituliskan dalam makalah Bruce A. Wilcox yang ditugaskan oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN) dalam Konferensi Taman Nasional Dunia 1982. Definisi Wilcox yaitu "Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman bentuk kehidupan ... pada semua tingkat sistem biologis (yaitu, molekuler, organisme, populasi, spesies, dan ekosistem) ...". Pada tahun 1984, Wilcox kembali mendefisikan keanekaragaman hayati secara genetis sebagai keanekaragaman alel, gen, dan organisme, yang mempelajari proses seperti mutasi dan transfer gen yang mendorong terjadinya evolusi.

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1992 mendefinisikan "keanekaragaman hayati" sebagai "variabilitas di antara organisme hidup dari semua sumber, termasuk, antara lain, ekosistem darat, ekosistem laut dan perairan lainnya, serta kompleks ekologis di tempat mereka menjadi bagiannya: termasuk keanekaragaman dalam spesies, di antara spesies, dan ekosistem".Definisi ini digunakan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB. Sementara itu, definisi Gaston dan Spicer dalam buku mereka "Biodiversity: an Introduction" adalah "variasi kehidupan di semua tingkatan organisasi biologis".

Distribusi

Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata. Sifatnya sangat beragam di seluruh penjuru Bumi, serta di dalam kawasan tertentu. Beberapa faktor memengaruhi keanekaragaman semua makhluk hidup (biota), misalnya suhu, curah hujan, ketinggian, tanah, geografi, dan keberadaan spesies lain. Studi tentang distribusi spasial organisme, spesies, dan ekosistem, adalah ilmu biogeografi.

Tingkat keanekaragaman secara konsisten lebih tinggi di daerah tropis dan di beberapa wilayah lokal lainnya, seperti Wilayah Tanjung Floristik, dan umumnya lebih rendah di wilayah kutub. Hutan hujan yang sejak lama memiliki iklim basah, seperti Taman Nasional Yasuní di Ekuador, memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.

Keanekaragaman hayati darat diperkirakan 25 kali lebih besar dibandingkan keanekaragaman hayati lautan. Metode baru yang digunakan pada tahun 2011, memperkirakan keseluruhan jumlah spesies di Bumi sebesar 8,7 juta, dengan 2,1 juta di antaranya diperkirakan hidup di lautan. Namun, perkiraan ini tampaknya kurang mewakili keanekaragaman mikroorganisme.

  • Gradien lintang

Secara umum, keanekaragaman hayati semakin meningkat dari daerah kutub ke daerah tropis. Dengan demikian, lokasi yang garis lintangnya lebih rendah memiliki lebih banyak spesies dibandingkan daerah yang garis lintangnya lebih tinggi. Hal ini sering disebut sebagai gradien lintang dalam keanekaragaman spesies. Beberapa faktor ekologis mungkin berkontribusi pada gradien ini, tetapi faktor utamanya adalah suhu rata-rata yang di ekuator yang tinggi dibandingkan dengan kutub.

Meskipun keanekaragaman hayati darat semakin menurun dari garis khatulistiwa ke kutub, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa sifat ini tidak diverifikasi dalam ekosistem perairan, terutama dalam ekosistem laut. Distribusi parasit secara latitudinal tampaknya tidak mengikuti aturan ini.

Pada tahun 2016, hipotesis alternatif ("keanekaragaman hayati fraktal") diusulkan untuk menjelaskan gradien lintang keanekaragaman hayati Dalam studi ini, ukuran kumpulan spesies dan sifat fraktal ekosistem digabungkan untuk memperjelas beberapa pola umum gradien ini. Hipotesis ini mempertimbangkan suhu, kelembaban, dan produksi primer bersih (NPP) sebagai variabel utama ceruk ekosistem dan sebagai poros dari hipervolume ekologis. Dengan cara ini, dimungkinkan untuk membangun hipervolume fraktal, yang dimensi fraktalnya naik menjadi tiga, yang bergerak ke arah khatulistiwa.

  • Titik panas

Titik panas keanekaragaman hayati adalah wilayah dengan spesies endemik tingkat tinggi yang telah mengalami pengrusakan habitat yang luar biasa. Istilah titik panas (hotspot) diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Norman Myers. Meskipun titik panas tersebar di seluruh dunia, kebanyakan di antaranya merupakan kawasan hutan dan sebagian besar terletak di daerah tropis.

Hutan Atlantik Brasil dianggap sebagai salah satu titik panas, yang berisi sekitar 20.000 spesies tumbuhan, 1.350 vertebrata, dan jutaan serangga, sekitar setengahnya tidak ditemukan di tempat lain. Pulau Madagaskar dan India juga sangat terkenal. Kolombia dicirikan oleh keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan tingkat spesies tertinggi berdasarkan satuan luas di seluruh dunia dan memiliki jumlah endemik terbesar (spesies yang secara alami tidak ditemukan di tempat lain) di negara mana pun. Sekitar 10% dari spesies organisme di Bumi dapat ditemukan di Kolombia, termasuk lebih dari 1.900 spesies burung, lebih banyak daripada di Eropa dan Amerika Utara, Kolombia memiliki 10% spesies mamalia dunia, 14% spesies amfibi, dan 18% dari spesies burung di dunia. Hutan kering Madagaskar dan hutan hujan dataran rendah memiliki rasio endemisme yang tinggi. Karena pulau ini terpisah dari daratan Afrika 66 juta tahun yang lalu, banyak spesies dan ekosistemnya yang berevolusi secara mandiri. Dengan 17.000 pulau, Indonesia memiliki luas 1.354.555 mil persegi (1.904.560 km2) dan memiliki 10% dari tumbuhan berbunga di dunia, 12% dari [[mamalia, serta 17% dari reptil, amfibi, dan burung Banyak daerah dengan keanekaragaman hayati dan/atau endemisme yang tinggi muncul dari habitat khusus yang memerlukan adaptasi yang tidak biasa, misalnya, lingkungan pegunungan Alpen di pegunungan tinggi, atau rawa gambut Eropa Utara. Sulit untuk mengukur perbedaan keanekaragaman hayati secara akurat. Bias seleksi di antara para peneliti dapat menimbulkan penelitian empiris yang bias untuk perkiraan modern mengenai keanekaragaman hayati.

Evolusi

  • Kronologi

Keanekaragaman hayati merupakan hasil dari evolusi selama 3,5 miliar tahun. Asal-usul kehidupan belum dipastikan oleh sains, tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa kehidupan mungkin telah ada hanya beberapa ratus juta tahun setelah Bumi terbentuk. Hingga sekitar 2,5 miliar tahun yang lalu, semua kehidupan terdiri dari mikroorganisme, yaitu arkea, bakteri, serta protozoa dan protista bersel tunggal.

Sejarah keanekaragaman hayati pada Eon Fanerozoikum (540 juta tahun terakhir), dimulai dengan pertumbuhan yang cepat melalui letusan Kambrium, yaitu periode ketika hampir setiap filum organisme multiseluler pertama kali muncul. Selama kurang lebih 400 juta tahun berikutnya, keanekaragaman invertebrata menunjukkan sedikit peningkatan tren secara keseluruhan, sementara keanekaragaman vertebrata menunjukkan tren peningkatan eksponensial secara keseluruhan. Peningkatan dramatis dalam keanekaragaman ini juga diikuti dengan hilangnya keanekaragaman besar secara berkala yang digolongkan sebagai peristiwa kepunahan massal. Kerugian yang signifikan terjadi ketika hutan hujan mengalami kerusakan pada periode Karbon. Kepunahan yang terburuk adalah peristiwa kepunahan Perm-Trias, 251 juta tahun yang lalu. Organisme vertebrata membutuhkan waktu 30 juta tahun untuk kembali pulih dari peristiwa ini.

Catatan fosil menunjukkan bahwa beberapa juta tahun terakhir memiliki keanekaragaman hayati terbesar sepanjang sejarah. Namun, tidak semua ilmuwan mendukung pandangan ini, karena ada ketidakpastian mengenai seberapa kuat rekaman fosil tersebut mengalami bias akibat ketersediaan dan pelestarian fosil yang lebih besar pada periode geologi baru-baru ini. Beberapa ilmuwan percaya bahwa dengan melakukan koreksi atas pengambilan sampel artefak, keanekaragaman hayati modern mungkin tidak jauh berbeda dari keanekaragaman hayati 300 juta tahun yang lalu, sedangkan peneliti lain menganggap catatan fosil telah cukup mencerminkan diversifikasi kehidupan. Perkiraan keanekaragaman spesies makroskopis global saat ini berkisar dari 2 juta hingga 100 juta, dengan perkiraan terbaik sekitar 9 juta, sebagian besar di antaranya merupakan artropoda. Keragaman tampaknya terus meningkat tanpa adanya seleksi alam.

  • Diversifikasi

Keberadaan daya dukung global, yang membatasi jumlah kehidupan yang dapat hidup sekaligus pada satu waktu, masih diperdebatkan. Timbul pula pertanyaan seperti apakah batas tersebut juga akan membatasi jumlah spesies. Catatan kehidupan di laut menunjukkan pola pertumbuhan logistik, sementara kehidupan di darat (serangga, tanaman, dan tetrapoda) menunjukkan peningkatan keanekaragaman yang eksponensial. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah penelitian bahwa, "Tetrapoda belum menginvasi 64 persen area yang berpotensi layak huni dan bisa jadi bahwa tanpa pengaruh manusia, keanekaragaman hayati dan taksonomi tetrapoda akan terus meningkat secara eksponensial sampai mengisi sebagian besar atau semua area ekologis yang ada." Selain itu, keanekaragaman juga terlihat terus meningkat dari waktu ke waktu, terutama setelah kepunahan massal.

Di sisi lain, perubahan selama Eon Fanerozoikum berkorelasi jauh lebih baik dengan model hiperbolik (model yang banyak digunakan dalam biologi populasi, demografi dan sosiologi makro, serta keanekaragaman hayati fosil) dibandingkan dengan model eksponensial dan logistik. Model logistik menyiratkan bahwa perubahan dalam keanekaragaman dipandu oleh umpan balik positif tingkat pertama (lebih banyak leluhur, lebih banyak keturunan) dan/atau umpan balik negatif yang timbul dari keterbatasan sumber daya. Model hiperbolik menyiratkan umpan balik positif tingkat kedua. Perbedaan dalam kekuatan umpan balik tingkat kedua akibat intensitas persaingan antarspesies mungkin menjelaskan rediversifikasi Ammonoidea yang lebih cepat dibandingkan dengan Bivalvia setelah kepunahan Permian akhir. Model hiperbolik pertumbuhan populasi dunia muncul dari umpan balik positif tingkat kedua antara ukuran populasi dan laju pertumbuhan teknologi. Karakter hiperbolik dari pertumbuhan keanekaragaman hayati dapat juga dijelaskan dengan umpan balik antara keragaman dan kompleksitas struktur komunitas. Kesamaan antara kurva keanekaragaman hayati dan populasi manusia mungkin berasal dari fakta bahwa keduanya berasal dari campur tangan tren hiperbolik dengan dinamika siklus dan stokastik.

Namun, sebagian besar ahli biologi sepakat bahwa periode sejak kemunculan manusia adalah bagian dari kepunahan massal baru, yang disebut peristiwa kepunahan Holosen, yang terutama disebabkan oleh dampak yang ditimbulkan manusia terhadap lingkungan. Tingkat kepunahan saat ini dipandang cukup untuk menghilangkan sebagian besar spesies di planet Bumi dalam 100 tahun.

Spesies baru ditemukan secara rutin (rata-rata antara 5–10.000 spesies baru setiap tahun, kebanyakan merupakan serangga) dan banyak di antara mereka yang belum diklasifikasikan (diperkirakan bahwa hampir 90% dari semua artropoda belum diklasifikasikan). Sebagian besar keanekaragaman terestrial ditemukan di hutan tropis dan secara umum, wilayah daratan memiliki lebih banyak spesies dibandingkan lautan; sekitar 8,7 juta spesies mungkin ada di Bumi dan sekitar 2,1 juta di antaranya hidup di lautan.

Manfaat untuk manusia

  • Keseimbangan bukti

"Jasa ekosistem adalah rangkaian manfaat yang disediakan ekosistem bagi umat manusia." Spesies alami, atau biota, merupakan penjaga semua ekosistem. Seolah-olah dunia alami adalah rekening bank yang besar dari aset modal yang mampu membayar dividen seumur hidup tanpa batas waktu, tetapi hanya jika modalnya dipertahankan.

Manfaat ini meliputi tiga bentuk layanan:

  1. Layanan penyediaan yang melibatkan produksi sumber daya terbarukan (misalnya makanan, kayu, air tawar)
  2. Layanan pengatur yang mengurangi perubahan lingkungan (misalnya peraturan iklim, pengendalian hama atau penyakit)
  3. Layanan budaya yang mewakili nilai dan kenikmatan manusia (misalnya estetika lanskap, warisan budaya, rekreasi luar ruangan, dan signifikansi spiritual).

Ada banyak klaim tentang efek keanekaragaman hayati terhadap layanan ekosistem ini, terutama layanan penyediaan dan pengaturan. Survei mendalam melalui tinjauan sejawat dilakukan untuk mengevaluasi 36 klaim tentang efek keanekaragaman hayati terhadap layanan ekosistem. Hasilnya, 14 klaim tersebut divalidasi, 6 klaim bercampur antara didukung atau tidak didukung, 3 klaim tidak benar, dan 13 klaim kekurangan cukup bukti untuk mendapatkan kesimpulan definitif.

  • Pertanian

Keanekaragaman pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama yaitu keanekaragaman intraspesifik, yang mencakup variasi genetik dalam satu spesies, seperti kentang (Solanum tuberosum) yang terdiri dari berbagai bentuk dan jenis (misalnya di AS yang membandingkan kentang cokelat muda dengan kentang baru atau kentang ungu, semua kentang tersebut berbeda, tetapi merupakan bagian dari spesies yang sama, S. tuberosum). Kategori kedua disebut keanekaragaman interspesifik dan mengacu pada jumlah dan jenis spesies yang berbeda. Contoh keanekaragaman yaitu berbagai tumbuhan berbeda yang ditanam oleh petani sayuran kecil, misalnya kentang, wortel, paprika, selada, dan sebagainya.

Keanekaragaman pertanian juga dapat dibagi menjadi keanekaragaman yang 'direncanakan' atau keanekaragaman 'terkait'. Pengelompokan ini merupakan klasifikasi fungsional dan bukan sifat intrinsik kehidupan. Keanekaragaman yang direncanakan misalnya tumbuhan yang didukung, ditanam, atau dibesarkan oleh petani (misalnya tanaman, simbion, dan hewan ternak), yang dapat dibedakan dengan keanekaragaman 'terkait' yang muncul dari tumbuhan tanpa diatur (misalnya herbivora serta spesies gulma dan patogen).

Pengendalian keanekaragaman hayati terkait merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi petani. Pada pertanaman tunggal (monokultur), pendekatan yang diambil untuk memberantas keanekaragaman terkait umumnya menggunakan pestisida yang merusak secara biologis, peralatan mekanis dan teknik rekayasa transgenik, kemudian rotasi tanaman. Meskipun sebagian petani pertanaman campuran (polikultur) menggunakan teknik yang sama, mereka juga menggunakan strategi pengendalian hama terpadu serta strategi yang lebih padat karya, tetapi umumnya kurang bergantung pada modal, bioteknologi, dan energi.

Keanekaragaman interspesifik juga menentukan sebagian variasi makanan kita. Keanekaragaman intraspesifik, berupa variasi alel dalam satu spesies, juga menawarkan kita pilihan untuk memilih diet. Jika pertanaman tunggal mengalami kegagalan panen, kita mengandalkan keanekaragaman pertanian untuk menanam kembali lahan dengan tumbuhan baru. Jika tanaman gandum dihancurkan oleh hama, kita mungkin menanam varietas gandum yang lebih kuat pada tahun berikutnya, dengan mengandalkan keanekaragaman intraspesifik. Kita juga dapat meninggalkan produksi gandum di daerah tersebut dan menanam spesies lain yang berbeda, tergantung pada keanekaragaman interspesifik. Bahkan, masyarakat agraris yang terutama menanam secara monokultur, pada titik tertentu tetap bergantung pada keanekaragaman hayati.

  • Wabah Kelaparan Besar Irlandia tahun 1846 akibat matinya tanaman kentang merupakan faktor utama dalam kematian satu juta orang dan emigrasi jutaan lainnya. Hal ini diakibatkan oleh penanaman kentang yang hanya dua varietas, yang keduanya rentan terhadap penyakit busuk daun, akibat Phytophthora infestans, yang tiba pada tahun 1845.
  • Ketika rice grassy stunt virus melanda sawah dari Indonesia hingga India pada 1970-an, sebanyak 6.273 varietas diuji ketahanannya. Hanya satu varietas yang tahan, yaitu varietas India dan telah dikenal di dunia ilmu pengetahuan sejak 1966. Varietas ini membentuk hibrida dengan varietas lainnya yang sekarang banyak ditanam.
  • Ketika karat kopi akibat Hemileia vastatrix yang menyerang perkebunan kopi di Sri Lanka, Brasil, dan Amerika Tengah pada tahun 1970, varietas yang tahan ditemukan di Etiopia. Penyakit itu sendiri merupakan bentuk keanekaragaman hayati.
  • Pertanaman tunggal adalah faktor yang berkontribusi terhadap bencana pertanian, termasuk runtuhnya industri anggur Eropa pada akhir abad ke-19, dan epidemi penyakit busuk daun pada jagung di Amerika Serikat bagian selatan pada tahun 1970.

Meskipun sekitar 80 persen dari pasokan makanan manusia berasal dari 20 jenis tumbuhan saja, manusia menggunakan setidaknya 40.000 spesies. Banyak orang tergantung pada spesies ini untuk makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Keanekaragaman hayati yang masih hidup menyediakan sumber daya untuk meningkatkan variasi makanan dan produk lainnya yang cocok untuk digunakan manusia, meski laju kepunahan memperkecil potensi tersebut.

  • Kesehatan manusia

Relevansi keanekaragaman hayati terhadap kesehatan manusia menjadi isu politik internasional, ketika bukti ilmiah menunjukkan implikasi kesehatan dunia akibat hilangnya keanekaragaman hayati. Masalah ini terkait erat dengan isu perubahan iklim, karena banyak risiko kesehatan—yang mengantisipasi perubahan iklim—dikaitkan dengan perubahan keanekaragaman hayati (misalnya perubahan populasi dan distribusi vektor penyakit, kelangkaan air bersih, dampak terhadap keanekaragaman hayati pertanian dan sumber makanan, dan lain-lain). Spesies yang paling mungkin hilang adalah mereka menjadi penyangga melawan penularan penyakit infeksi, sementara spesies yang bertahan cenderung merupakan spesies yang meningkatkan penularan penyakit, seperti pada kasus infeksi virus West Nile, penyakit Lyme, dan infeksi Hantavirus, menurut sebuah penelitian di Universitas Cornell.

Meningkatnya permintaan dan kurangnya ketersediaan air minum di planet ini merupakan tantangan tambahan bagi masa depan kesehatan manusia. Sebagian masalahnya terletak pada keberhasilan pemasok air untuk meningkatkan suplai, dan kegagalan kelompok penggerak pelestarian sumber daya air. Meskipun distribusi air bersih meningkat, di beberapa bagian dunia tetap tidak setara. Menurut WHO pada 2008, hanya 71% populasi dunia yang dapat mengakses air bersih yang bisa diminum.

Sebagian masalah kesehatan dipengaruhi oleh keanekaragaman hayati, seperti keamanan dan ketahanan pangan, penyakit menular, ilmu dan sumber daya kedokteran, serta kesehatan sosial dan psikologis. Keanekaragaman hayati juga diketahui berperan penting dalam mengurangi risiko bencana dan dalam upaya pemulihan pascabencana.

Keanekaragaman hayati memberi dukungan penting dalam penemuan obat dan ketersediaan sumber daya obat. Sebagianobat berasal dari sumber biologi (baik secara langsung atau tidak langsung): setidaknya 50% senyawa farmasi di pasar AS berasal dari tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, sementara sekitar 80% populasi dunia berrgantung pada obat-obatan dari alam (yang digunakan baik dalam praktik medis modern maupun tradisional) untuk kesehatan primer. Hanya sebagian kecil spesies liar yang telah diteliti untuk mengetahui potensi medisnya. Keanekaragaman hayati merupakan hal penting untuk kemajuan seluruh bidang bionik. Analisis pasar dan ilmu pengetahuan keanekaragaman hayati menunjukkan bahwa penurunan keluaran dari sektor farmasi sejak pertengahan 1980-an dapat dikaitkan dengan perpindahan dari eksplorasi produk alami (pencarian hayati) menjadi pendekatan genomik dan kimia sintetis, karena nilai dari produk farmasi yang belum ditemukan mungkin tidak memberikan insentif yang cukup tinggi bagi perusahaan di pasar bebas untuk mencarinya akibat tingginya biaya riset dan pengembangan; sementara itu, produk alami memiliki sejarah panjang dalam mendukung inovasi dalam bidang ekonomi dan kesehatan yang signifikan. Ekosistem laut sangat penting, walaupun pencarian hayati yang tidak sesuai dapat meningkatkan hilangnya keanekaragaman hayati serta melanggar hukum masyarakat dan negara tempat sumber tersebut diambil.

  • Bisnis dan industri

Banyak bahan baku industri diambil langsung dari sumber biologis, termasuk bahan bangunan, serat, pewarna, karet, dan minyak. Keanekaragaman hayati juga penting untuk keamanan sumber daya seperti air, kayu, kertas, serat, dan makanan. Akibatnya, hilangnya keanekaragaman hayati merupakan faktor risiko yang signifikan dalam pengembangan bisnis dan ancaman bagi keberlanjutan ekonomi jangka panjang.

  • Kenyamanan, budaya dan nilai estetika

Keanekaragaman hayati memperkaya kegiatan rekreasi seperti mendaki, mengamati burung, atau mempelajari sejarah alam. Keanekaragaman hayati mengilhami musisi, pelukis, pemahat, sastrawan, dan seniman lainnya. Banyak kebudayaan melihat diri mereka sebagai bagian integral dari alam yang mengharuskan mereka untuk menghormati makhluk hidup lainnya.

Kegiatan populer seperti berkebun, memelihara ikan, dan mengumpulkan spesimen sangat tergantung pada keanekaragaman hayati. Jumlah spesies terlibat dalam kegiatan tersebut mencapai puluhan ribu, meskipun sebagian besar tidak diperdagangkan.

Hubungan yang cukup kompleks dan kurang dipahami terjadi antara habitat alam asli dari hewan dan tumbuhan ini (yang sering kali bersifat eksotik) dengan kolektor, pemasok, peternak, dan pelaku budi daya komersial, serta orang-orang yang mempromosikan pemahaman dan kenikmatan mereka. Masyarakat umum memberi respons yang baik terhadap paparan organisme langka dan tidak biasa, yang mencerminkan nilai yang melekat pada mereka.

Secara filosofis dapat dikatakan bahwa keanekaragaman hayati memiliki nilai estetika dan spiritual yang intrinsik untuk umat manusia itu sendiri. Gagasan ini dapat digunakan sebagai penyeimbang terhadap anggapan bahwa hutan tropis dan ekologi alam lain hanya layak dikonservasi karena manfaat yang mereka berikan.

  • Layanan ekologi

Keanekaragaman hayati mendukung banyak layanan ekosistem:

"Sekarang ada bukti nyata bahwa hilangnya keanekaragaman hayati mengurangi efisiensi pada komunitas ekologis yang menangkap sumber daya biologis penting, menghasilkan biomassa, menguraikan dan mendaur ulang nutrisi penting biologis ... Ada bukti kuat bahwa keanekaragaman hayati meningkatkan stabilitas fungsi ekosistem melalui waktu ... Komunitas yang beragam lebih produktif karena mengandung spesies kunci yang memiliki pengaruh besar terhadap produktivitas dan perbedaan sifat fungsional di antara organisme yang meningkatkan penangkapan jumlah sumber daya... Dampak hilangnya keanekaragaman terhadap proses ekologis mungkin cukup besar untuk menyaingi dampak dari banyak pendorong global perubahan lingkungan lainnya... Mempertahankan berbagai proses ekosistem di berbagai tempat dan waktu membutuhkan tingkat keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan proses tunggal di satu tempat dan waktu."

Keanekaragaman hayati berperan dalam mengatur kimiawi atmosfer dan persediaan air kita, serta terlibat secara langsung dalam pemurnian air, daur ulang nutren, dan penyediaan tanah yang subur. Eksperimen dengan lingkungan terkendali menunjukkan bahwa manusia tidak dapat membangun ekosistem untuk mendukung kebutuhan manusia dengan mudah; misalnya penyerbukan serangga tidak dapat ditiru, meskipun telah ada upaya untuk menciptakan penyerbuk buatan menggunakan pesawat tanpa awak. Kegiatan ekonomi penyerbukan saja mewakili antara Rp34.008,45–236.439,70 miliar pada tahun 2003.

  • Jumlah spesies

Menurut penelitian Mora dan rekannya, jumlah spesies darat diperkirakan sekitar 8,7 juta, sementara jumlah spesies laut jauh lebih rendah, diperkirakan 2,2 juta. Para penulis menyampaikan bahwa perkiraan ini paling diyakini untuk organisme eukariota dan kemungkinan mewakili batas bawah keanekaragaman prokariota. Perkiraan lain termasuk:

  1. 220.000 tumbuhan berpembuluh, yang jumlahnya diperkirakan menggunakan metode hubungan spesies-area.
  2. 0,7–1 juta spesies laut.
  3. 10–30 juta serangga; (dari sekitar 0,9 juta yang kita kenal sekarang)
  4. 5–10 juta bakteri.
  5. 1,5–3 juta fungi, perkiraan berdasarkan data dari daerah tropis, situs nontropis jangka panjang dan studi molekuler mengungkapkan spesiasi samar. Sekitar 0,075 juta spesies fungi didokumentasikan pada tahun 2001.
  6. 1 juta tungau.
  7. Jumlah spesies mikroorganisme tidak diketahui secara pasti, tetapi Ekspedisi Pengambilan Sampel Lautan Global secara dramatis meningkatkan perkiraan keanekaragaman genetik dengan mengidentifikasi sejumlah besar gen baru dari sampel plankton yang hidup di dekat permukaan di berbagai lokasi laut, yang diawali pada periode 2004–2006. Temuan ini pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan signifikan dalam cara sains mendefinisikan spesies dan kategori taksonomi lainnya.

Karena tingkat kepunahan meningkat, banyak spesies yang masih ada dapat punah sebelum dideskripsikan. Tidak mengherankan, pada filum hewan, kelompok yang paling banyak dipelajari adalah burung dan mamalia, sedangkan ikan dan artropoda adalah kelompok hewan yang paling sedikit dipelajari.

  • Laju kehilangan spesies

“    Kita tidak lagi harus membenarkan keberadaan hutan tropis lembab dengan alasan lemah bahwa mereka mungkin memiliki tumbuhan obat-obatan yang menyembuhkan penyakit manusia. Teori Gaia memaksa kita untuk melihat bahwa mereka menawarkan lebih dari hal ini. Dengan kapasitas untuk melakukan evapotranspirasi sejumlah besar uap air, mereka berfungsi untuk menjaga planet ini tetap dingin dengan mengenakan kerai berupa awan putih pemantul. Mengganti mereka dengan lahan pertanian dapat memicu bencana yang berskala global.    ”
— James Lovelock, dalam Biodiversity (E. O. Wilson (Ed))

Pada abad ke-21, penurunan keanekaragaman hayati semakin banyak diamati. Pada tahun 2007, Menteri Lingkungan Federal Jerman Sigmar Gabriel mengutip perkiraan bahwa hingga 30% dari semua spesies akan punah pada tahun 2050. Dari jumlah tersebut, sekitar seperdelapan spesies tumbuhan yang diketahui saat ini terancam punah. Perkiraan kepunahan mencapai 140.000 spesies per tahun (berdasarkan teori spesies-area). Angka ini menunjukkan praktik ekologi yang tidak berkelanjutan karena hanya sedikit spesies yang muncul setiap tahun. Hampir semua ilmuwan mengakui bahwa laju kehilangan spesies pada saat ini lebih besar dibandingkan dengan seluruh periode sejarah manusia, dengan laju kepunahan terjadi ratusan kali lebih tinggi dibandingkan laju kepunahan normal. Pada 2012, beberapa penelitian menunjukkan bahwa 25% dari semua spesies mamalia dapat punah dalam 20 tahun.

Secara absolut, planet ini telah kehilangan 58% keanekaragaman hayati sejak tahun 1970 menurut sebuah studi 2016 oleh Dana Dunia Untuk Alam (WWF). The Living Planet Report 2014 yang diterbitkan WWF mengklaim bahwa "jumlah mamalia, burung, reptil, amfibi, dan ikan di seluruh dunia, rata-rata, sekitar setengah ukurannya pada 40 tahun yang lalu". Dari jumlah tersebut, 39% merupakan angka untuk hilangnya satwa liar darat, 39% untuk satwa liar laut, dan 76% untuk satwa liar air tawar. Keanekaragaman hayati mengalami pukulan terbesar di Amerika Latin, yaitu anjlok sebesar 83 persen. Negara-negara berpenghasilan tinggi menunjukkan peningkatan 10% dalam keanekaragaman hayati, sedangkan negara-negara berpenghasilan rendah mengalami penurunan. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi menggunakan sumber daya ekologis lima kali lebih banyak dibandingkan negara-negara berpenghasilan rendah. Meskipun demikian, negara-negara kaya melakukan alih daya penipisan sumber daya ke negara-negara miskin, yang menderita kerugian ekosistem terbesar.

Sebuah studi tahun 2017 yang diterbitkan dalam PLOS One menemukan bahwa biomassa kehidupan serangga di Jerman telah menurun tiga perempat dalam 25 tahun terakhir. Dave Goulson dari Universitas Sussex menyatakan bahwa penelitian mereka menunjukkan bahwa manusia "tampaknya membuat bidang tanah luas yang tidak ramah untuk sebagian besar bentuk kehidupan, dan saat ini sedang dalam perjalanan menuju kehancuran total ("Armageddon") ekologis. Jika kita kehilangan serangga maka semuanya akan runtuh."

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Keanekaragaman Hayati atau Biodiversitas

Pertanian

Mengenal Kedokteran hewan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 04 Juni 2024


Di Indonesia, praktik ilmu kedokteran hewan telah berlangsung dan berkembang selama ratusan tahun. Layanan dokter hewan serta pendidikannya telah dirintis sejak zaman penjajahan Belanda. Per tahun 2023, terdapat 12 universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran hewan. Para dokter hewan memiliki Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebagai organisasi profesi.

Sebagian dokter hewan di Indonesia membuka layanan praktik secara mandiri maupun berkelompok. Sebagian lainnya bekerja untuk Pemerintah Indonesia, perusahaan swasta, atau organisasi nirlaba dengan memberikan jasa medisnya atau menjadi konsultan, peneliti, dan pengajar. Sebagian dokter hewan juga menjadi wiraswasta di bidang yang berkaitan dengan kesehatan hewan, misalnya usaha obat hewan, serta peternakan dan pengolahan pangan asal hewan. Semboyan dokter hewan Indonesia adalah manusya mriga satwa sewaka, yang artinya "mengabdi untuk kesejahteraan manusia melalui dunia hewan".

Pendidikan

Sarjana

Di Indonesia, pendidikan kedokteran hewan dipelajari di tingkat universitas. Pendidikan sarjana (S1) biasanya ditempuh selama delapan semester. Setelah menyelesaikan tahap ini, seseorang akan mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan (S.K.H.). Per tahun 2024, ada 13 perguruan tinggi yang memiliki fakultas atau program studi kedokteran hewan di Indonesia. Mereka terkumpul dalam Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI). Perguruan tinggi tersebut adalah:

  1. Universitas Syiah Kuala (USK) — Banda Aceh, Aceh
  2. Universitas Riau (Unri) — Pekanbaru, Riau
  3. Universitas Negeri Padang (UNP) — Bukittinggi, Sumatera Barat
  4. Institut Pertanian Bogor (IPB) — Bogor, Jawa Barat
  5. Universitas Padjadjaran (Unpad) — Bandung, Jawa Barat
  6. Universitas Gadjah Mada (UGM) — Sleman, Yogyakarta
  7. Universitas Airlangga (Unair) — Surabaya, Jawa Timur
  8. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) — Surabaya, Jawa Timur
  9. Universitas Brawijaya (UB) — Malang, Jawa Timur
  10. Universitas Udayana (Unud) — Denpasar, Bali
  11. Universitas Pendidikan Mandalika (Undikma) — Mataram, Nusa Tenggara Barat
  12. Universitas Hasanuddin (Unhas) — Makassar, Sulawesi Selatan
  13. Universitas Nusa Cendana (Undana) — Kupang, Nusa Tenggara Timur

Pendidikan profesi

Setelah memperoleh gelar S.K.H., seseorang dapat mengambil pendidikan profesi (koasistensi) yang memerlukan waktu minimum dua semester. Kurikulum nasional program profesi dokter hewan yaitu patologi veteriner, penyakit dalam, bedah, kesehatan masyarakat veteriner, reproduksi, diagnosis laboratorium, dan ditambah dengan kegiatan di luar kampus, seperti magang atau praktik kerja lapangan. Setelah menyelesaikan seluruh stase koasistensi, seseorang yang telah lulus yudisium akan menjalani pengambilan sumpah dokter hewan sebelum mendapatkan gelar dokter hewan (drh). Mulai tahun 2021, Ujian Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan (UKMPPDH) dijadikan "ujian keluar" atau salah satu syarat kelulusan untuk mendapatkan Sertifikat Nasional Kompetensi Dokter Hewan.

Pascasarjana

Beberapa universitas menyediakan pendidikan pascasarjana untuk ilmu kedokteran hewan, baik tingkat magister (S2) maupun doktor (S3). Meskipun demikian, program studi dan konsentrasi yang ditawarkan berbeda-beda. Sebagai contoh untuk tingkat S2, UGM membuka Program Studi Sains Veteriner dengan enam peminatan dan satu konsentrasi, Program Studi Magister Ilmu Biomedis Hewan IPB membuka enam peminatan, Unair membuka empat program studi, Unud membuka Program Studi Magister Kedokteran Hewan, sedangkan Unsyiah membuka Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Veteriner. Sementara itu, program S3 diselenggarakan di IPB, UGM, dan Unair.

Dokter hewan spesialis

Di Indonesia, belum terdapat pendidikan profesi dokter hewan spesialis. Meskipun demikian, AFKHI dan PDHI telah merancang pendidikan spesialisasi untuk bidang spesialis bedah, radiologi, penyakit dalam, patologi, hewan laboratorium, dan reproduksi.

Riset dan publikasi

Para dokter hewan dan ilmuwan terkait yang bekerja sebagai peneliti, misalnya di Pusat Riset Veteriner Bogor, dan para dosen memublikasikan hasil riset mereka dalam konferensi ilmiah, seperti Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional (KIVNAS) yang diselenggarakan setiap dua tahun. Beberapa jurnal ilmiah yang diterbitkan untuk memuat hasil riset di bidang kedokteran hewan di antaranya:

Nama jurnal    Penerbit    Akreditasi SINTA

  1. Acta Veterinaria Indonesiana-Institut Pertanian Bogor-S2
  2. Jurnal Medik Veteriner -Universitas Airlangga-S2
  3. Jurnal Sain Veteriner-Universitas Gadjah Mada-S2
  4. Jurnal Veteriner -Universitas Udayana    S2
  5. Jurnal Kedokteran Hewan -Universitas Syiah Kuala -S2
  6. Wartazoa -Pusat Standardisasi Instrumen Peternakan dan Kesehatan Hewan, BSIP -S2
  7. Media Kedokteran Hewan-Universitas Airlangga -S3
  8. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis-Universitas Papua- S3
  9. ARSHI Veterinary Letters    Institut Pertanian Bogor    S4
  10. Journal of Applied Veterinary Science and Technology  - Universitas Airlangga -S4
  11. Buletin Veteriner Udayana -Universitas Udayana - S4
  12. Indonesia Medicus Veterinus-Universitas Udayana - S4
  13. Jurnal Kajian Veteriner-Universitas Nusa Cendana -  S4
  14. Jurnal Riset Veteriner Indonesia-Universitas Hasanuddin -  S4
  15. Vitek Bidang Kedokteran Hewan -Universitas Wijaya Kusuma Surabaya-S4
  16. Current Biomedicine  -Institut Pertanian Bogor    –
  17. Jurnal Veteriner dan Biomedis - Institut Pertanian Bogor    –
  18. Journal of Basic Medical Veterinary -Universitas Airlangga    –
  19. Veterinary Biomedical and Clinical Journal - Universitas Brawijaya    –
  20. Journal of Veterinary and Animal Sciences- Universitas Udayana    –
  21. Buletin Veteriner Farma- Balai Besar Veteriner Farma Pusvetma, Ditjen PKH    –
  22. Buletin Diagnosa Veteriner-Balai Besar Veteriner Maros, Ditjen PKH    –
  23. Velabo: Buletin Laboratorium Veteriner-Balai Veteriner Lampung, Ditjen PKH    –
  24. Jurnal Patologi Veteriner Indonesia -Asosiasi Patologi Veteriner Indonesia    –

Penerapan ilmu

Ilmu kedokteran hewan diterapkan oleh dokter hewan, dan dalam lingkup yang lebih terbatas, oleh sarjana kedokteran hewan dan paramedik veteriner. Ketiganya digolongkan sebagai tenaga kesehatan hewan. Jumlah dokter hewan di Indonesia berkisar dari 15 ribu hingga 20 ribu orang.

Ranah pekerjaan dokter hewan dapat ditinjau dari berbagai aspek. Berdasarkan tipe hewan yang dilayani, dokter hewan dapat menangani hewan kesayangan, hewan ternak, hingga satwa liar. Pencinta dan pemilik hewan kesayangan, misalnya anjing, kucing, dan burung, hingga hewan eksotis seperti ular dan iguana, telah menyadari pentingnya kesehatan hewan sehingga memerlukan jasa dokter hewan. Ternak, yakni hewan yang dipelihara untuk tujuan ekonomi, seperti sumber pangan, sumber bahan baku industri, atau sebagai pembantu pekerjaan manusia, perlu dijaga kesehatannya. Pangan yang berasal dari hewan sakit dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada manusia. Oleh karena itu, kesehatan sapi, kambing, domba, babi, ayam, dan itik yang tergolong dalam sektor peternakan, serta ikan dan udang yang tergolong dalam sektor perikanan, termasuk dalam pengawasan dokter hewan. Terhadap satwa liar, dokter hewan menangani kesehatannya agar mereka tetap sintas dan terjaga kelestariannya. Harimau sumatra, gajah sumatra, badak, macan dahan, dan beruang madu merupakan satwa dilindungi yang sering kali terluka akibat perburuan liar dan membutuhkan perawatan dokter hewan.

Pada sektor publik atau pemerintahan, dokter hewan yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil dapat bekerja sebagai medik veteriner atau dokter hewan karantina. Keduanya merupakan jabatan fungsional yang hanya bisa diduduki oleh dokter hewan. Selain itu, dokter hewan pemerintah juga bisa bekerja sebagai dosen, peneliti, dan jabatan lain yang memerlukan ilmu dan keahlian dokter hewan. Pada sektor swasta, selain membuka praktik di klinik hewan atau rumah sakit hewan, dokter hewan juga bekerja pada berbagai industri, misalnya peternakan, farmasi, dan keamanan pangan.

Organisasi profesi

Logo PDHI

Di Indonesia, organisasi profesi untuk dokter hewan adalah Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). Organisasi ini didirikan pada 9 Januari 1953 di Lembang, Jawa Barat. Meskipun demikian, cikal bakal organisasi telah ada sejak zaman Belanda, yaitu pada 1884 dengan nama Perhimpunan Kedokteran Hewan Hindia Belanda. PDHI memiliki 53 cabang di seluruh provinsi di Indonesia dan membawahi 20 unit peminatan nonteritorial yang menampung para dokter hewan dengan minat, keahlian, atau bidang kerja yang sama, misalnya Ikatan Dokter Hewan Karantina Indonesia (IDHKI) dan Asosiasi Dokter Hewan Praktisi Hewan Kecil Indonesia (ADHPHKI). Semboyan dokter hewan Indonesia adalah manusya mriga satwa sewaka, frasa dalam bahasa Sanskerta yang artinya "mengabdi untuk kesejahteraan manusia melalui dunia hewan".

Sejarah

Masa sebelum kemerdekaan

Tahun 1800-an

Ilmu kedokteran hewan telah diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Hal ini bermula pada tahun 1820 saat R.A. Coppicters, dokter hewan asal Belanda datang ke Hindia Belanda. Ia bertugas menangani hewan-hewan yang penting bagi pemerintah kolonial Belanda, misalnya kuda milik pasukan militer. Pada masa ini, dokter yang menangani hewan disebut vee arts yang secara harfiah artinya dokter ternak. Istilah ini mengakibatkan hewan nonternak seperti anjing, kucing, dan satwa liar tidak masuk dalam cakupan ilmu kedokteran hewan.

Lembaga pemerintah yang menangani urusan kedokteran hewan dibentuk pada tahun 1841, yaitu Jawatan Kedokteran Hewan (Veeartsenijkundige Dienst), yang kemudian berubah menjadi Jawatan Kedokteran Hewan Sipil (Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst) pada 1853. Pada tahun 1851, tercatat beberapa dokter hewan Belanda di Indonesia. Keterbatasan jumlah dokter hewan menjadikan layanan tidak maksimal. Dalam periode 1853–1869, hanya tiga dokter hewan yang melayani seluruh Pulau Jawa; masing-masing di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Baru pada tahun 1869, dua dokter hewan ditempatkan di luar Pulau Jawa: satu di Sumatra dan satu di Sulawesi.

Belanda mendirikan sekolah dokter hewan yang disebut Inlandsche Veeartsen School (IVS) di Surabaya pada tahun 1861. Pimpinan sekolah ini adalah Dr. J. van der Weide. Pendidikan dilangsungkan selama dua tahun dengan menerima para bumiputra (pribumi-Nusantara) sebagai siswanya. Namun, IVS ditutup pada tahun 1875 setelah hanya menghasilkan delapan dokter hewan bumiputra (inlandsche veearts) selama sembilan tahun.

Setelah itu, pada 1875–1880, pendidikan dilakukan dalam bentuk magang pada dokter hewan pemerintah (gouvernements veearts) di Purwokerto. Ada sembilan pemuda bumiputra yang magang pada tujuh orang dokter hewan pemerintah; delapan di antaranya diluluskan pada tahun 1880 sebagai dokter hewan bumiputra.] Tak berselang lama, wabah penyakit hewan melanda Hindia Belanda, mulai dari sampar sapi pada tahun 1875, antraks dan septisemia epizotik pada 1884, surra pada 1886, dan penyakit mulut dan kuku pada 1887. Rabies, penyakit mematikan pada hewan dan manusia, pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1884 pada seekor kerbau. Selanjutnya, penyakit ini juga ditemukan pada anjing pada tahun 1889 dan manusia pada 1894. Organisasi dokter hewan pertama pun berdiri pada tahun 1884 dengan nama Perhimpunan Kedokteran Hewan Hindia Belanda (Nederland-Indische Vereeniging voor Diergeneeskunde) untuk mengatasi wabah-wabah tersebut.

Usul penggabungan pendidikan dokter hewan dan pendidikan dokter pada STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) pernah dilontarkan oleh Direktur Departemen Kepamongprajaan (Binnenlands Bestuur). Meskipun gagasan ini disetujui Menteri Urusan Jajahan (Minister van Kolonien) di Belanda, tetapi karena keberatan yang disampaikan Direktur Departemen Pendidikan, Keibadatan, dan Kerajinan (Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid) dan direktur STOVIA, usul ini tidak terlaksana.

Tahun 1900–1945

Keberadaan rabies membuat Pemerintah Hindia Belanda membuat ordonansi (peraturan) tentang penyakit anjing gila sepanjang 1905–1915. Staatsblad Tahun 1906 Nomor 283, misalnya, mewajibkan pemilik anjing untuk melaporkan jumlah anjingnya dan memberi identitas berupa medali, serta membayar pajak anjing. Sementara itu, peraturan pertama yang khusus mengatur kesehatan hewan adalah Staatsblad Tahun 1912 Nomor 432 tentang Peninjauan Kembali Ketentuan-Ketentuan tentang Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan Polisi Kehewanan. Ordonansi ini mengatur beberapa hal, seperti lembaga yang menangani urusan kehewanan, hak pemerintah dalam ekspor dan impor hewan untuk mencegah terbawanya penyakit, pengaturan tentang otoritas veteriner, dan pemberantasan penyakit hewan menular.

Otoritas veteriner atau kewenangan medis dokter hewan diatur dalam Staatsblad No. 432 Pasal 34 Ayat 1 yang jika diterjemahkan, artinya, "Kewenangan Medis Veteriner atau Veeartsnijkundige berupa keahlian dan kewenangan dimiliki oleh dokter hewan secara melekat sesudah lulus dari fakultas kedokteran hewan di Indonesia maupun di Negeri Belanda". Selain itu, Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 yang mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur tentang kehewanan. Baik menurut Staatsblad No. 432 maupun KUHP, definisi ternak hanya mencakup hewan pemamah biak, hewan berkuku satu, dan babi sehingga dokter hewan (lebih tepatnya dokter ternak) hanya menangani hewan-hewan tersebut.

Pada tahun 1908, Belanda mendirikan Laboratorium Veteriner (Veeartsenijkundig Laboratorium; saat ini menjadi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor) untuk menangani wabah sampar sapi. Di laboratorium ini juga dibuka pendidikan dokter hewan bumiputra selama empat tahun yang bernama ”Cursus tot Opleiding van Inlandsche Veearstsen”. Siswa-siswanya berasal dari lulusan HBS atau MULO (setingkat SMP), dan sekolah-sekolah lain yang dianggap sederajat. Dua siswa pertamanya merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool atau MLS) yang setara dengan SMA sehingga mereka langsung diterima di tingkat III.

Awalnya, kursus ini berada di bawah pengawasan J.C. Koningsberger, Kepala Kebun Raya dan Museum Zoologi Bogor. Pada tahun 1908, L. de Blieck menjadi pimpinan laboratorium veteriner dan tahun berikutnya ia juga diberi tugas memimpin kursus. Pada tahun 1910 terjadi perubahan nama, ”Inlandsche Veeartsenschool” (Sekolah Dokter Hewan Bumiputra) dipilih untuk menggantikan nama kursus, sedangkan jabatan kepala sekolah (sekaligus kepala laboratorium) berubah menjadi direktur. Seorang siswa asal Minahasa, Johannes Alexander Kaligis, lulus pada tahun 1910 sebagai dokter hewan Indonesia yang pertama. Pada tahun 2010, seratus tahun setelah kelulusan Kaligis, dilakukan perayaan satu abad dokter hewan Indonesia.

Pada tahun 1914, nama pendidikan diubah lagi menjadi Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda (Nederlands Indische Veeartsenschool, disingkat NIVS). Sekolah ini menerima berbagai golongan, tidak hanya siswa bumiputra. NIVS lalu mengalami kemunduran karena kembali disatukan dengan laboratorium menjadi Institut Veteriner (Veeartsenijkundig Instituut, disingkat VI). Namun pada tahun 1919, NIVS kembali dipisahkan dari institut dan berdiri sendiri. Bahasa Jerman ikut diajarkan supaya siswa-siswanya dapat membaca buku-buku kedokteran hewan berbahasa Jerman. Lulusan NIVS yang berkinerja baik diberi kesempatan melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan di Utrecht, Belanda, dengan langsung menjadi mahasiswa tingkat III. Selain Kaligis, dokter hewan Indonesia yang lulus dari Utrecht yaitu Soeparwi (kelak menjadi dekan pertama Fakultas Kedokteran Hewan UGM), Iskandar Titus, dan A.A. Ressang. Pada 1942, Institut Veteriner diubah menjadi Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH), yang kemudian mengalami beberapa perubahan nama lagi pascakemerdekaan Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang, nama NIVS diubah menjadi Bogor Semon Zui Gakko Sekolah ini akhirnya ditutup saat Jepang menyerah kepada tentara sekutu. Jumlah dokter hewan Indonesia yang dihasilkan sejak IVS didirikan, lalu berganti nama menjadi NIVS, dan terakhir Semon Zui Gakko, adalah 143 orang.

Masa setelah kemerdekaan

Tahun 1945–1949

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sekolah Dokter Hewan (SDH) di Bogor dibuka kembali. Status SDH ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (PTKH) sesuai Surat Keputusan Menteri Kemakmuran No. 1280a/Per. tanggal 20 September 1946 dengan lama pendidikan lima tahun. Wakil Presiden Mohammad Hatta membuka PTKH secara resmi pada bulan November 1946 dengan Dr. Mohede sebagai rektor magnifikus, sebutan bagi pemimpin PTKH.

Pergolakan Perang Kemerdekaan Indonesia menyebabkan PTKH dikuasai Belanda sehingga aktivitas perkuliahan terhenti.[83] Pada tahun 1947, atas persetujuan rektor PTKH dan Kementerian Kemakmuran, kelas pararel bernama Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan Republik Indonesia (PTKH-RI) dibuka di Klaten, Jawa Tengah. Sementara di Bogor pada bulan Mei 1948, Belanda membentuk Faculteit der Diergeneeskunde (Fakultas Kedokteran Hewan) yang menjadi bagian dari Universiteit van Indonesië.

Ketika Yogyakarta sebagai ibu kota RI diserbu dalam peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, PTKH-RI ditutup. Kelas PTKH-RI dibuka kembali pada 1 November 1949 setelah Yogyakarta berada dalam penguasaan Pemerintah RI, tetapi lokasinya dipindah dari Klaten ke Yogyakarta. Pada tanggal 19 Desember 1949 semua perguruan tinggi di Yogyakarta bergabung menjadi Universiteit Negeri Gadjah Mada, dan PTKH-RI menjelma menjadi Fakultit Kedokteran Hewan UGM.Sebagai dekan pertama FKH UGM, salah satu perjuangan Soeparwi adalah mengubah istilah vee arts (dokter ternak) menjadi dieren arts (dokter hewan) sehingga cakupan ilmu dan pelayanan profesi ini menjadi lebih luas. Periode konflik dengan Belanda akhirnya usai setelah Konferensi Meja Bundar berlangsung sukses dan kedaulatan Indonesia dipulihkan pada 27 Desember 1949.

Tahun 1950–1999

Indonesia diterima sebagai anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada tahun 1950. Sebagai negara anggota, salah satu kewajiban Indonesia adalah mengirimkan pemberitahuan (notifikasi) atas kejadian sejumlah penyakit hewan tertentu di negaranya. Kewajiban ini dilakukan guna menegakkan prinsip transparasi dan pelaporan mengenai situasi penyakit hewan di dunia.

Pada tanggal 3 Februari 1950 Universiteit Indonesia dibentuk yang terdiri atas beberapa fakulteit, di antaranya pertanian dan kedokteran hewan di Bogor. Nama Faculteit der Diergeneeskunde diubah menjadi Fakulteit Kedokteran Hewan Universiteit Indonesia (FKH-UI). Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1955, istilah fakultit (yang digunakan UGM) dan fakulteit (yang digunakan UI) kemudian diseragamkan menjadi fakultas, sedangkan universiteit diubah menjadi universitas.

Untuk menangani penyakit mulut dan kuku (PMK) yang meluas, pemerintah mendirikan Balai Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku (BPPMK) di Surabaya pada tahun 1952. Nama lembaga ini kemudian terus berubah, yaitu menjadi Lembaga Penyidikan Penyakit Mulut dan Kuku (tahun 1955) dan Lembaga Penyakit Mulut Kuku (1959). Lembaga ini pertama kali menghasilkan vaksin PMK sebanyak 58.300 dosis pada tahun 1964. Saat peran lembaga ini dibutuhkan untuk menangani lebih banyak penyakit, seperti rabies dan penyakit Newcastle, namanya pun diubah menjadi Lembaga Virologi Kehewanan (1967), lalu Pusat Veterinaria Farma (1978), dan terakhir Pusat Veteriner Farma (2012), yang bertugas melaksanakan produksi, pengujian, distribusi, dan pemasaran, serta pengembangan produksi vaksin, antisera, diagnostika, dan bahan biologis lainnya.

Pada 9 Januari 1953, organisasi dokter hewan bernama Perhimpunan Ahli Kehewanan yang didirikan sejak awal kemerdekaan mengadakan kongres pertama di Lembang, Jawa Barat. Dalam kongres ini, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dibentuk sebagai organisasi profesi dokter hewan Indonesia.

Dalam perkembangannya, pendidikan kedokteran hewan sempat digabungkan dengan peternakan. Di UGM, nama Fakultet Kedokteran Hewan berubah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) pada tanggal 21 Juni 1955. Meskipun demikian, Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Peternakan berpisah pada 10 November 1969.]Hal yang sama juga terjadi di UI, nama FKH UI berubah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) UI pada tahun 1960. Pada tahun 1962 nama Fakultas Kedokteran Hewan UI kembali digunakan, sedangkan pendidikan peternakan digabungkan dengan perikanan menjadi Fakultas Peternakan dan Perikanan UI.

Di Banda Aceh, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan dibentuk pada 17 Oktober 1960 sebagai bagian dari Universitas Sumatera Utara. Pada 2 September 1961, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) didirikan melalui Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Nomor 11 tahun 1961 tanggal 21 Juli 1961 dengan FKHP sebagai salah satu fakultasnya.

Di Jawa Timur, pendidikan kedokteran hewan dibentuk atas kerja sama Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas Brawijaya Malang. Universitas Brawijaya mendirikan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FHKP) pada tahun 1961 yang kemudian diresmikan melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 92 Tahun 1962 dengan berada di bawah naungan Universitas Airlangga.  Pada tahun berikutnya, FKHP dikelola sepenuhnya oleh Universitas Brawijaya melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 1 Tahun 1963. Di Bogor, pada 1 September 1963 pemerintah membentuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 91 Tahun 1963. Sejak saat itu, FKH UI berubah menjadi FKH IPB. Di Surabaya sendiri, Jurusan Kedokteran Hewan dibuka pada 25 November 1969. Jurusan ini berada di bawah FKHP Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 1972, pendidikan kedokteran hewan di lingkungan Universitas Brawijaya Malang dipindahkan seluruhnya ke Universitas Airlangga Surabaya sehingga terbentuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Setelah puluhan tahun menggunakan peraturan perundang-undangan warisan Belanda, pada tahun 1967, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam UU ini, definisi hewan diperluas hingga menjadi "semua binantang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar". Selain itu, penerapan ilmu kedokteran hewan juga telah mencakup kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan kesejahteraan hewan.

Di Denpasar, Bali, Universitas Udayana (Unud) membuka Jurusan Kedokteran Hewan pada tahun 1978 di bawah FKHP. Lima tahun kemudian, nama FKHP Unud berubah menjadi Fakultas Peternakan dan Program Studi Kedokteran Hewan. Status sebagai fakultas diperoleh pada tahun 1997 dengan didirikannya Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Penyakit mulut dan kuku berhasil diberantas secara keseluruhan di Indonesia pada tahun 1986, setelah wabah terakhir ditemukan di Blora, Jawa Tengah, pada 1983. Status bebas PMK ini diakui di lingkup Asia Tenggara pada 1987 dan di lingkup dunia oleh OIE pada 1990.

Pada tahun 1992, dasar hukum penyelenggaraan karantina pada hewan dibuat tersendiri oleh pemerintah. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan pun terbit. Peraturan ini bertujuan untuk mencegah masuk, tersebar, dan keluarnya sejumlah penyakit hewan dan penyakit ikan tertentu, yang masing-masing disebut dengan hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) serta hama dan penyakit ikan karantina (HPIK). Hewan diartikan sebagai binatang yang hidup di darat, sedangkan ikan sebagai biota perairan.

Tahun 2000–sekarang

Pada tahun 2000, Indonesia memperoleh status bebas dari penyakit sampar sapi oleh OIE dan FAO. Penyakit ini terakhir kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1907. Sampar sapi dinyatakan tereliminasi secara global di seluruh dunia pada tahun 2011.

Di bidang pendidikan, pada tahun 2001, Universitas Nusa Tenggara Barat Mataram membuka Program Studi Kedokteran Hewan, yang kemudian menjadi Universitas Pendidikan Mandalika pada tahun 2019. Pendidikan kedokteran hewan di universitas swasta bermula pada tahun 2008 saat Universitas Wijaya Kusuma Surabaya membentuk Fakultas Kedokteran Hewan. Pada tahun yang sama, Universitas Brawijaya Malang kembali membuka Program Kedokteran Hewan yang saat ini telah menjadi FKH Universitas Brawijaya.

Pemerintah kembali menerbitkan undang-undang yang mengatur dunia kedokteran hewan, yaitu UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diperbarui melalui UU Nomor 41 Tahun 2014. Undang-undang ini mencabut UU Nomor 6 Tahun 1967 yang sudah puluhan tahun berlaku.

Pada tahun 2010, program studi kedokteran hewan dibuka di Universitas Nusa Cendana Kupang dan Universitas Hasanuddin Makassar. Terakhir, Universitas Padjadjaran Bandung membuka Program Studi Kedokteran Hewan yang berada di bawah Fakultas Kedokteran pada tahun 2019. Pada tahun yang sama, pemerintah mengesahkan UU Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan untuk menggantikan UU Nomor 16 Tahun 1992. Dalam UU baru ini, selain mencegah penyakit, pejabat karantina juga melakukan pengawasan dan pengendalian pada keamanan pangan, keamanan pakan, produk rekayasa genetik, sumber daya genetik, agensia hayati, jenis asing invasif, tumbuhan dan satwa liar, serta tumbuhan dan satwa langka.

Pandemi Covid-19 di Indonesia membuka pilihan bagi dokter hewan praktisi untuk mulai menerapkan telemedisin. Meskipun demikian, penerapannya memiliki beberapa hambatan, di antaranya karakteristik klien, legalitas telemedisin, penentuan biaya, dan penegakan diagnosis.

Sumber: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Mengenal Kedokteran hewan di Indonesia

Pertanian

Mengenal Apa itu Rumah potong

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 04 Juni 2024


Dalam pertanian ternak dan industri daging, rumah potong hewan, juga disebut rumah potong hewan, adalah fasilitas tempat hewan ternak disembelih untuk menyediakan makanan. Rumah jagal memasok daging, yang kemudian menjadi tanggung jawab fasilitas pengemasan daging.

Rumah jagal yang memproduksi daging yang tidak ditujukan untuk konsumsi manusia terkadang disebut sebagai tempat pemotongan hewan atau knackeries. Di sinilah hewan disembelih yang tidak layak untuk konsumsi manusia atau yang tidak lagi dapat bekerja di peternakan, seperti kuda yang sudah pensiun.

Penyembelihan hewan dalam skala besar menimbulkan masalah yang signifikan dalam hal logistik, kesejahteraan hewan, dan lingkungan, dan prosesnya harus memenuhi persyaratan kesehatan masyarakat. Karena keengganan masyarakat di berbagai budaya yang berbeda, menentukan di mana harus membangun rumah potong hewan juga menjadi masalah yang perlu dipertimbangkan.

Seringkali, kelompok-kelompok pembela hak asasi hewan menyuarakan keprihatinan mereka mengenai metode transportasi ke dan dari rumah jagal, persiapan sebelum penyembelihan, penggembalaan hewan, metode pemingsanan, dan penyembelihan itu sendiri.

Sejarah

Hingga zaman modern, penyembelihan hewan umumnya dilakukan secara serampangan dan tidak diatur di berbagai tempat. Peta awal London menunjukkan banyak tempat penampungan hewan di pinggiran kota, di mana penyembelihan dilakukan di udara terbuka atau di bawah penutup seperti pasar tradisional. Istilah untuk rumah jagal terbuka seperti itu adalah shambles, dan ada jalan-jalan yang dinamai “The Shambles” di beberapa kota di Inggris dan Irlandia (misalnya, Worcester, York, Bandon) yang mendapatkan namanya dari tempat para penjagal menyembelih dan menyiapkan hewan untuk dikonsumsi. Fishamble Street, Dublin dulunya adalah tempat pembuangan ikan. Sheffield memiliki 183 rumah jagal pada tahun 1910, dan diperkirakan ada 20.000 rumah jagal di Inggris dan Wales.

Gerakan reformasi

Rumah jagal muncul sebagai institusi yang koheren pada abad ke-19. Kombinasi antara masalah kesehatan dan sosial, yang diperparah oleh urbanisasi yang cepat selama Revolusi Industri, membuat para pembaharu sosial menyerukan isolasi, pengasingan, dan regulasi penyembelihan hewan. Selain kekhawatiran yang muncul terkait kebersihan dan penyakit, ada juga kritik terhadap praktik ini dengan alasan bahwa efek dari pembunuhan, baik terhadap para penjagal maupun para pengamat, “mendidik manusia dalam praktik kekerasan dan kekejaman, sehingga mereka tampaknya tidak dapat menahan diri untuk tidak menggunakannya.” Motivasi tambahan untuk menghapuskan penyembelihan pribadi adalah untuk memberlakukan sistem regulasi yang cermat untuk tugas “berbahaya secara moral” dalam membunuh hewan.

Sebagai akibat dari ketegangan ini, pasar daging di dalam kota ditutup dan rumah potong hewan dibangun di luar batas kota. Kerangka awal untuk pendirian rumah jagal umum diberlakukan di Paris pada tahun 1810, di bawah pemerintahan Kaisar Napoleon. Lima area disisihkan di pinggiran kota dan hak-hak istimewa feodal para gilda dibatasi.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan daging bagi penduduk London yang terus bertambah, pasar daging di dalam kota dan di luar kota semakin menarik perhatian publik. Daging telah diperdagangkan di Pasar Smithfield sejak abad ke-10. Pada tahun 1726, pasar ini dianggap sebagai “tanpa diragukan lagi, yang terbesar di dunia”, oleh Daniel Defoe. Pada pertengahan abad ke-19, dalam satu tahun, 220.000 ekor sapi dan 1.500.000 ekor domba “dipaksa masuk ke dalam area seluas lima hektar, di jantung kota London, melalui jalan raya yang paling sempit dan paling ramai”.

Pada awal abad ke-19, pamflet-pamflet disebarkan dengan argumen yang mendukung penghapusan pasar ternak dan relokasinya ke luar kota karena kondisi higienis yang sangat rendah[8] serta perlakuan brutal terhadap sapi-sapi tersebut. Pada tahun 1843, Majalah Farmer's Magazine menerbitkan petisi yang ditandatangani oleh para bankir, penjual, anggota parlemen, tukang jagal, dan penduduk setempat yang menentang perluasan pasar ternak. Undang-undang Klausul Polisi Kota 1847 menciptakan sistem perizinan dan registrasi, meskipun hanya sedikit rumah pemotongan hewan yang ditutup.

Sebuah Undang-Undang Parlemen akhirnya disahkan pada tahun 1852. Berdasarkan ketentuannya, sebuah pasar ternak baru dibangun di Copenhagen Fields, Islington. Pasar Ternak Metropolitan yang baru juga dibuka pada tahun 1855, dan West Smithfield dibiarkan menjadi lahan kosong selama sekitar satu dekade, hingga pembangunan pasar baru dimulai pada tahun 1860-an di bawah wewenang Undang-Undang Pasar Daging dan Unggas Metropolitan 1860.  Pasar ini dirancang oleh arsitek Sir Horace Jones dan selesai dibangun pada tahun 1868.

Terowongan kereta api yang dipotong dan ditutup dibangun di bawah pasar untuk membuat persimpangan segitiga dengan rel kereta api antara Blackfriars dan King's Cross. Hal ini memungkinkan hewan diangkut ke rumah jagal dengan kereta api dan kemudian memindahkan bangkai hewan ke gedung Cold Store, atau langsung ke pasar daging dengan lift.

Pada saat yang sama, rumah potong hewan besar dan terpusat pertama di Paris dibangun pada tahun 1867 di bawah perintah Napoleon III di Parc de la Villette dan sangat memengaruhi perkembangan institusi ini di seluruh Eropa.

Regulasi dan ekspansi

Rumah jagal ini diatur oleh hukum untuk memastikan standar kebersihan yang baik, pencegahan penyebaran penyakit, dan meminimalkan kekejaman terhadap hewan yang tidak perlu. Rumah jagal harus dilengkapi dengan sistem pasokan air khusus untuk membersihkan area operasi dari darah dan jeroan secara efektif. Para ilmuwan kedokteran hewan, terutama George Fleming dan John Gamgee, mengkampanyekan tingkat pemeriksaan yang ketat untuk memastikan bahwa penyakit epizootik seperti rinderpest (wabah penyakit yang menghancurkan di seluruh Inggris pada tahun 1865) tidak dapat menyebar. Pada tahun 1874, tiga pengawas daging ditunjuk untuk wilayah London, dan Undang-Undang Kesehatan Masyarakat tahun 1875 mewajibkan pemerintah daerah untuk menyediakan rumah potong pusat (mereka baru diberi wewenang untuk menutup rumah potong yang tidak sehat pada tahun 1890).

Namun, penunjukan pengawas rumah jagal dan pendirian RPH terpusat telah dilakukan jauh lebih awal di koloni-koloni Inggris, seperti di New South Wales dan Victoria, dan di Skotlandia, di mana 80% sapi disembelih di RPH umum pada tahun 1930. Di Victoria, Melbourne Abattoirs Act 1850 (NSW) “membatasi penyembelihan hewan di rumah potong hewan umum yang telah ditentukan, dan pada saat yang sama melarang penyembelihan domba, domba, babi, atau kambing di tempat lain di dalam batas-batas kota”. Hewan-hewan dikirim dalam keadaan hidup ke pelabuhan-pelabuhan Inggris dari Irlandia, dari Eropa, dan dari daerah-daerah jajahan, lalu disembelih di rumah-rumah jagal yang besar di pelabuhan-pelabuhan tersebut. Kondisinya seringkali sangat buruk.

Berbagai upaya juga dilakukan di seluruh Kerajaan Inggris untuk mereformasi praktik penyembelihan itu sendiri, karena metode yang digunakan mendapat banyak kritikan karena menyebabkan rasa sakit yang tidak semestinya pada hewan. Seorang dokter terkemuka, Benjamin Ward Richardson, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan metode penyembelihan yang lebih manusiawi. Dia menggunakan tidak kurang dari empat belas anestesi yang memungkinkan untuk digunakan di rumah jagal dan bahkan bereksperimen dengan penggunaan arus listrik di Royal Polytechnic Institution. Pada awal tahun 1853, ia merancang sebuah ruang mematikan yang akan membius hewan hingga mati tanpa rasa sakit, dan ia mendirikan Model Abattoir Society pada tahun 1882 untuk menyelidiki dan mengkampanyekan metode penyembelihan yang manusiawi.

Penemuan pendingin dan perluasan jaringan transportasi melalui laut dan kereta api memungkinkan ekspor daging ke seluruh dunia dengan aman. Selain itu, penemuan jutawan pengemasan daging Philip Danforth Armour tentang “jalur pembongkaran” sangat meningkatkan produktivitas dan margin keuntungan industri pengemasan daging: “menurut beberapa orang, penyembelihan hewan menjadi industri produksi massal pertama di Amerika Serikat.” Ekspansi ini disertai dengan meningkatnya kekhawatiran akan kondisi fisik dan mental para pekerja, serta kontroversi mengenai implikasi etika dan lingkungan dari penyembelihan hewan untuk diambil dagingnya.

RPH Edinburgh, yang dibangun pada tahun 1910, memiliki laboratorium dengan penerangan yang baik, air panas dan dingin, gas, mikroskop, dan peralatan untuk membudidayakan organisme. Peraturan Kesehatan Masyarakat (Daging) Inggris tahun 1924 mewajibkan pemberitahuan penyembelihan untuk memungkinkan pemeriksaan karkas dan memungkinkan karkas yang telah diperiksa diberi tanda.

Perkembangan rumah pemotongan hewan terkait dengan ekspansi industri produk sampingan. Pada tahun 1932, industri produk sampingan di Inggris bernilai sekitar 97 juta poundsterling per tahun, dengan mempekerjakan 310.000 orang. Rumah jagal Aberdeen mengirim kuku ke Lancashire untuk membuat lem, usus ke Glasgow untuk sosis, dan kulit ke penyamakan kulit di Midland. Pada Januari 1940, pemerintah Inggris mengambil alih 16.000 rumah jagal dan pada tahun 1942 hanya tersisa 779 rumah jagal.

Desain

Pada akhir abad ke-20, tata letak dan desain sebagian besar rumah jagal di AS dipengaruhi oleh karya Temple Grandin. Dia menyarankan bahwa mengurangi stres pada hewan yang akan disembelih dapat membantu operator rumah jagal untuk meningkatkan efisiensi dan keuntungan. Khususnya, dia menerapkan pemahaman tentang psikologi hewan dalam mendesain kandang dan kandang yang menyalurkan sekawanan hewan yang tiba di rumah jagal ke dalam satu berkas yang siap disembelih. Kandangnya menggunakan kurva panjang yang menyapu sehingga setiap hewan tidak dapat melihat apa yang ada di depan dan hanya berkonsentrasi pada bagian belakang hewan di depannya. Desain ini - bersama dengan elemen desain sisi-sisi yang kokoh, gerbang kerumunan yang kokoh, dan mengurangi kebisingan di titik akhir - bekerja sama untuk mendorong hewan maju ke depan dalam saluran dan tidak berbalik arah.

Desain bergerak

Dimulai pada tahun 2008, Local Infrastructure for Local Agriculture, sebuah lembaga nirlaba yang berkomitmen untuk merevitalisasi peluang bagi “peternak kecil dan memperkuat hubungan antara penawaran dan permintaan lokal”, membangun fasilitas rumah potong hewan yang dapat berpindah-pindah sebagai upaya agar peternak kecil dapat memproses daging dengan cepat dan hemat biaya. Diberi nama Modular Harvest System, atau MHS, fasilitas ini mendapat persetujuan dari USDA pada tahun 2010. MHS terdiri dari tiga trailer terpisah: Satu untuk penyembelihan, satu untuk bagian tubuh yang dapat dikonsumsi, dan satu lagi untuk bagian tubuh lainnya. Persiapan setiap potongan dilakukan di rumah potong hewan atau fasilitas persiapan daging lainnya.

Variasi internasional

Standar dan peraturan yang mengatur rumah pemotongan hewan sangat bervariasi di seluruh dunia. Di banyak negara, penyembelihan hewan diatur oleh adat dan tradisi, bukan oleh hukum. Di dunia non-Barat, termasuk dunia Arab, sub-benua India, dan lain-lain, kedua bentuk daging tersebut tersedia: daging yang diproduksi di rumah pemotongan hewan modern dan daging yang diproduksi di toko daging lokal.

Di beberapa komunitas, penyembelihan hewan dan spesies yang diizinkan dapat dikontrol oleh hukum agama, terutama halal untuk Muslim dan kashrut untuk komunitas Yahudi. Hal ini dapat menyebabkan konflik dengan peraturan nasional ketika sebuah rumah jagal yang mengikuti aturan persiapan keagamaan berada di beberapa negara Barat. Dalam hukum Yahudi, baut tawanan dan metode kelumpuhan pra-penyembelihan lainnya pada umumnya tidak diperbolehkan, karena hewan dilarang dipingsankan sebelum disembelih. Berbagai otoritas makanan halal baru-baru ini mengizinkan penggunaan sistem pemingsanan yang aman yang dikembangkan baru-baru ini, yaitu pemingsanan hanya pada bagian kepala di mana sengatan listrik tidak fatal, dan di mana memungkinkan untuk membalikkan prosedur dan menghidupkan kembali hewan setelah sengatan listrik. Penggunaan elektronarcosis dan metode lain untuk menumpulkan penginderaan telah disetujui oleh Komite Fatwa Mesir. Hal ini memungkinkan entitas-entitas ini untuk melanjutkan teknik religius mereka sambil tetap mematuhi peraturan nasional.

Di beberapa masyarakat, keengganan budaya dan agama tradisional terhadap penyembelihan menyebabkan prasangka terhadap orang-orang yang terlibat. Di Jepang, di mana larangan penyembelihan hewan ternak untuk makanan [sebutkan] dicabut pada akhir abad ke-19, industri penyembelihan yang baru ditemukan ini menarik para pekerja terutama dari desa-desa burakumin, yang secara tradisional bekerja dalam pekerjaan yang berkaitan dengan kematian (seperti algojo dan pengurus jenazah). Di beberapa bagian Jepang barat, prasangka yang dihadapi oleh para penduduk saat ini dan mantan penduduk daerah tersebut (burakumin “orang dusun”) masih menjadi isu sensitif. Karena hal ini, bahkan kata Jepang untuk “pembantaian” (屠殺 tosatsu) dianggap tidak tepat secara politis oleh beberapa kelompok penekan karena pencantuman kanji untuk “membunuh” (殺) dianggap menggambarkan mereka yang mempraktikkannya dengan cara yang negatif.

Beberapa negara memiliki undang-undang yang mengecualikan spesies hewan tertentu atau kelas hewan tertentu untuk disembelih untuk konsumsi manusia, terutama yang merupakan makanan tabu. Mantan Perdana Menteri India, Atal Bihari Vajpayee, pada tahun 2004 mengusulkan untuk memperkenalkan undang-undang yang melarang penyembelihan sapi di seluruh India, karena agama Hindu menganggap sapi sebagai hewan yang suci dan menganggap penyembelihannya sebagai sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Hal ini sering ditentang atas dasar kebebasan beragama. Penyembelihan sapi dan impor daging sapi ke negara Nepal dilarang keras.

Pembekuan berhasil

Teknologi pendinginan memungkinkan daging dari rumah jagal diawetkan untuk waktu yang lebih lama. Hal ini memunculkan konsep bahwa rumah jagal adalah tempat pembekuan. Sebelumnya, pengalengan adalah sebuah pilihan. Pembekuan biasa dilakukan di Selandia Baru, Australia, dan Afrika Selatan. Di negara-negara di mana daging diekspor untuk mendapatkan keuntungan yang besar, tempat pembekuan dibangun di dekat dermaga, atau di dekat infrastruktur transportasi.

Unit pemrosesan unggas bergerak (MPPU) mengikuti prinsip yang sama, tetapi biasanya hanya membutuhkan satu trailer dan, di sebagian besar wilayah Amerika Serikat, dapat beroperasi secara legal di bawah pengecualian USDA yang tidak tersedia bagi pengolah daging merah. Beberapa MPPU telah beroperasi sejak sebelum tahun 2010, di bawah berbagai model operasi dan kepemilikan].

Hukum

Sebagian besar negara memiliki undang-undang terkait perlakuan terhadap hewan di rumah potong hewan. Di Amerika Serikat, terdapat Humane Slaughter Act of 1958, sebuah undang-undang yang mewajibkan semua babi, domba, sapi, dan kuda untuk dipingsankan hingga tidak sadarkan diri dengan menggunakan alat pemingsanan oleh orang yang terlatih sebelum dinaikkan ke atas tali. Ada beberapa perdebatan mengenai penegakan undang-undang ini. Undang-undang ini, seperti halnya di banyak negara, mengecualikan penyembelihan yang sesuai dengan hukum agama, seperti halal shechita[rujukan yang diperlukan] dan dhabiha halal. Interpretasi yang paling ketat dari kashrut mengharuskan hewan dalam keadaan sadar sepenuhnya ketika arteri karotisnya dipotong.

Novel The Jungle menyajikan kisah fiksi tentang kondisi tidak sehat di rumah jagal dan industri pengemasan daging selama tahun 1800-an. Hal ini langsung mengarah pada penyelidikan yang ditugaskan langsung oleh Presiden Theodore Roosevelt, dan pada pengesahan Undang-Undang Inspeksi Daging dan Undang-Undang Makanan dan Obat-obatan Murni tahun 1906, yang membentuk Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan. Peraturan yang jauh lebih besar berkaitan dengan peraturan dan inspeksi kesehatan masyarakat dan keselamatan pekerja.

Masalah kesejahteraan hewan

Pada tahun 1997, Gail Eisnitz, kepala penyelidik untuk Humane Farming Association (HFA) merilis buku Slaughterhouse. Di dalamnya, ia mengungkap wawancara dengan para pekerja rumah jagal di AS yang mengatakan bahwa, karena kecepatan kerja mereka, hewan-hewan secara rutin dikuliti ketika mereka masih hidup dan masih berkedip, menendang, dan menjerit. Eisnitz berpendapat bahwa hal ini tidak hanya kejam bagi hewan, tetapi juga berbahaya bagi para pekerja manusia, karena sapi-sapi yang beratnya beberapa ribu pon yang meronta-ronta kesakitan kemungkinan besar akan menendang dan melemahkan siapa pun yang bekerja di dekatnya.

Hal ini menyiratkan bahwa beberapa rumah jagal di seluruh negeri tidak mengikuti pedoman dan peraturan yang ditetapkan oleh Humane Slaughter Act, yang mengharuskan semua hewan untuk ditidurkan dan dengan demikian tidak merasakan rasa sakit dalam beberapa bentuk, biasanya elektronarkosis, sebelum menjalani segala bentuk tindakan kekerasan.

Menurut HFA, Eiznitz mewawancarai para pekerja di rumah jagal yang memiliki pengalaman kerja lebih dari dua juta jam, yang, tanpa terkecuali, mengatakan kepadanya bahwa mereka telah memukuli, mencekik, merebus, dan memotong-motong hewan hidup-hidup, atau tidak melaporkan mereka yang melakukannya. Para pekerja menggambarkan dampak kekerasan yang terjadi pada kehidupan pribadi mereka, dengan beberapa di antaranya mengaku melakukan kekerasan fisik atau mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.

HFA menuduh bahwa para pekerja diharuskan membunuh hingga 1.100 babi per jam dan akhirnya melampiaskan kekesalan mereka pada hewan-hewan tersebut. Eisnitz mewawancarai seorang pekerja, yang pernah bekerja di sepuluh rumah jagal, tentang produksi babi. Dia mengatakan kepadanya:

Babi mudah sekali stres. Jika Anda terlalu banyak mendorong mereka, mereka akan mengalami serangan jantung. Jika Anda mendapatkan seekor babi di dalam saluran yang kotorannya telah dikeluarkan dan mengalami serangan jantung atau menolak untuk bergerak, Anda mengambil pengait daging dan menancapkannya ke lubang lubangnya. Anda mencoba melakukan ini dengan memotong tulang pinggulnya. Kemudian Anda menyeretnya ke belakang. Anda menyeret babi ini hidup-hidup, dan sering kali pengait dagingnya terlepas dari lubangnya. Saya pernah melihat daging ham - paha - yang benar-benar terkoyak. Saya juga pernah melihat usus keluar. Jika babi pingsan di dekat bagian depan parasut, Anda menusukkan pengait daging ke pipinya dan menyeretnya ke depan.

Aktivis hak-hak hewan, anti-spesiesisme, vegetarian, dan vegan adalah pengkritik utama rumah jagal dan telah membuat acara seperti pawai untuk menutup semua rumah jagal untuk menyuarakan keprihatinan tentang kondisi rumah jagal dan meminta agar rumah jagal dihapuskan. Beberapa orang berpendapat bahwa penyembelihan hewan secara manusiawi tidak mungkin dilakukan.

Kekhawatiran eksploitasi pekerja

Dampak kematian di rumah jagal

Pekerja di rumah jagal Amerika tiga kali lebih mungkin mengalami cedera serius dibandingkan rata-rata pekerja di Amerika. NPR melaporkan bahwa pekerja rumah jagal babi dan sapi hampir tujuh kali lebih mungkin menderita cedera akibat kerja berulang dibandingkan rata-rata pekerja Amerika Serikat.[38] The Guardian melaporkan bahwa rata-rata terjadi dua kali amputasi dalam seminggu yang melibatkan pekerja rumah jagal di Amerika Serikat. Rata-rata, satu karyawan Tyson Foods, produsen daging terbesar di Amerika, mengalami cedera dan mengamputasi jari atau anggota tubuh setiap bulannya. Bureau of Investigative Journalism melaporkan bahwa dalam kurun waktu enam tahun, di Inggris, 78 pekerja penyembelihan kehilangan jari, bagian dari jari atau anggota tubuh, lebih dari 800 pekerja mengalami cedera serius, dan setidaknya 4.500 pekerja harus cuti lebih dari tiga hari setelah mengalami kecelakaan. Dalam sebuah studi tahun 2018 di Italian Journal of Food Safety, pekerja di rumah potong hewan diinstruksikan untuk mengenakan pelindung telinga untuk melindungi pendengaran mereka dari suara bising di fasilitas tersebut. Sebuah studi tahun 2004 dalam Journal of Occupational and Environmental Medicine menemukan bahwa “risiko berlebih diamati untuk kematian akibat semua penyebab, semua kanker, dan kanker paru-paru” pada pekerja yang dipekerjakan di industri pengolahan daging Selandia Baru.

Hal terburuk, yang lebih buruk dari bahaya fisik, adalah dampak emosional. Jika Anda bekerja di lubang tongkat [tempat babi dibunuh] untuk jangka waktu tertentu - yang memungkinkan Anda membunuh sesuatu tetapi tidak memungkinkan Anda untuk peduli. Anda mungkin akan melihat mata babi yang berjalan-jalan di dalam lubang darah bersama Anda dan berpikir, “Ya Tuhan, itu benar-benar bukan hewan yang buruk.” Anda mungkin ingin mengelusnya. Babi-babi yang berada di lantai pembantaian datang menghampiri saya untuk mengelus-elus saya seperti anak anjing. Dua menit kemudian saya harus membunuh mereka - memukuli mereka sampai mati dengan pipa. Saya tidak peduli.

- Gail A. Eisnitz,

Dampak psikologis

Pekerja RPH memiliki tingkat prevalensi yang lebih tinggi terhadap gangguan kesehatan mental, termasuk kecemasan, keterasingan, depresi, mati rasa emosional, trauma pelaku, tekanan psikososial, dan PTSD, sikap yang mendukung kekerasan, dan peningkatan tingkat kejahatan. Pekerja di Rumah Potong Hewan memiliki strategi adaptif dan maladaptif untuk mengatasi lingkungan tempat kerja dan pemicu stres yang terkait.

Bekerja di rumah pemotongan hewan sering kali menyebabkan trauma psikologis yang tinggi. Sebuah studi tahun 2016 di Organization menunjukkan, “Analisis regresi data dari 10.605 pekerja Denmark di 44 pekerjaan menunjukkan bahwa pekerja di rumah potong hewan secara konsisten mengalami kesejahteraan fisik dan psikologis yang lebih rendah, serta meningkatnya insiden perilaku koping negatif.” Sebuah studi tahun 2009 oleh kriminolog Amy Fitzgerald menunjukkan, “pekerjaan di rumah potong hewan meningkatkan tingkat penangkapan total, penangkapan untuk kejahatan kekerasan, penangkapan untuk pemerkosaan, dan penangkapan untuk pelanggaran seksual lainnya dibandingkan dengan industri lain.” Seperti yang dijelaskan oleh penulis dari Jurnal PTSD, “Para karyawan ini dipekerjakan untuk membunuh hewan, seperti babi dan sapi yang sebagian besar adalah makhluk yang lembut. Melakukan tindakan ini mengharuskan para pekerja untuk memutuskan hubungan dengan apa yang mereka lakukan dan dengan makhluk yang ada di hadapan mereka. Disonansi emosional ini dapat menyebabkan konsekuensi seperti kekerasan dalam rumah tangga, penarikan diri dari pergaulan, kecemasan, penyalahgunaan obat dan alkohol, dan PTSD.”

Kondisi kerja

Dimulai pada tahun 1980-an, Cargill, Conagra Brands, Tyson Foods, dan perusahaan makanan besar lainnya memindahkan sebagian besar operasi rumah potong hewan ke daerah pedesaan di Amerika Serikat bagian Selatan yang lebih tidak bersahabat dengan upaya serikat pekerja. Rumah pemotongan hewan di Amerika Serikat umumnya mempekerjakan dan mengeksploitasi pekerja di bawah umur dan imigran tidak berdokumen secara ilegal. Pada tahun 2010, Human Rights Watch menggambarkan pekerjaan di rumah jagal di Amerika Serikat sebagai kejahatan hak asasi manusia. Dalam laporan Oxfam Amerika, pekerja di rumah jagal tidak diberi waktu istirahat, sering kali diharuskan memakai popok, dan dibayar di bawah upah minimum.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Apa itu Rumah potong

Pertanian

11 Negara Penghasil Sawit Terbesar di Dunia 2023, Indonesia Nomor 1

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 18 Mei 2024


Minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) merupakan komoditas yang banyak dimanfaatkan untuk membuat berbagai barang kebutuhan sehari-hari, dari kue hingga kosmetik. Minyak sawit berasal dari tanaman sawit yang tumbuh pada kondisi tropis lembap.

Sawit awalnya ditemukan di Afrika Barat, tapi saat ini banyak dibudidayakan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Karena itulah banyak negara penghasil sawit dari ketiga benua tersebut.

Pada Desember 2022, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memperkirakan produksi minyak sawit dunia periode 2022/2023 sebesar 77,22 juta ton, yang berarti meningkat 3,39 juta ton atau 4,59 persen dibanding pada tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, Indonesia menyumbang 45,5 juta ton atau sekitar 59 persen. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Selain Indonesia, ada beberapa negara lain yang turut menghasilkan minyak sawit dalam jumlah besar. Lantas, negara mana saja yang mendapat predikat sebagai penghasil sawit terbesar di dunia terbaru 2023? Simak informasinya di bawah ini.

Daftar Negara Penghasil Sawit Terbesar di Dunia 2023

1. Indonesia
Indonesia memproduksi 59 persen dari total produksi minyak sawit dunia atau sebanyak 45,5 juta ton per tahun.

Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 Indonesia mengekspor CPO dan produk turunannya sebanyak 25,01 juta ton. Angka tersebut turun dibanding jumlah ekspor pada 2021 yang sebesar 25,62 juta ton. Daerah tujuan ekspor utama sawit Indonesia adalah Uni Eropa, India, Pakistan, dan Afrika.

2. Malaysia
Malaysia masuk dalam urutan kedua negara penghasil sawit terbesar di dunia. Malaysia memproduksi 19,3 juta ton sawit per tahun, atau sekitar 25 persen dari produksi dunia. Pengimpor utama sawit Malaysia adalah Uni Eropa, Pakistan, Cina, dan Amerika Serikat.

3. Thailand
Negara penghasil sawit terbesar di dunia selanjutnya adalah Thailand.

Negara ini mampu menghasilkan 3,45 juta ton minyak sawit atau sekitar 4,4 persen dari produksi global. Sebagai upaya meningkatkan produktivitas sawit, Thailand mengembangkan program industri perkebunan sawit dalam jangka waktu 10 tahun mendatang. Sebagian produsen sawit di Thailand berasal dari petani berskala kecil.

4. Kolombia
Kolombia merupakan negara tropis di Amerika Selatan yang menjadi penghasil sawit terbesar di dunia urutan keempat. Sejak 2018, Kolombia tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC). Jumlah produksi sawit di negara ini mencapai 1,8 juta ton atau 2,3 persen dari produksi minyak sawit dunia.

5. Nigeria
Negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia selanjutnya adalah Nigeria.

Saat ini, tingkat produksi minyak sawit Nigeria sekitar 1,4 juta ton, yang berarti menyumbang 1,8 persen dari total produksi dunia. Nigeria pernah menjadi negara penghasil sawit terbesar ketiga di dunia pada 1996-2003, mengalahkan Thailand. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, Thailand berhasil meningkatkan produksi minyak sawitnya.

6. Guatemala
Guatemala mampu memproduksi 920 ribu ton minyak sawit per tahun.

Perkembangan industri sawit di negara yang berada di Amerika Tengah dan berbatasan dengan Samudra Pasifik dan Laut Karibia ini berkembang pesat.

7. Papua Nugini
Negara penghasil sawit yang juga tetangga Indonesia ini mampu memproduksi minyak sawit sebanyak 800 ribu ton per tahun. Meski luas kebun sawit di Papua Nugini hanya 130 ribu hektare-Indonesia 16,8 juta hektare-negara ini mampu menjadi salah satu penghasil sawit terbesar di dunia. Papua Nugini mendirikan Kementerian Kelapa Sawit untuk mengatur segala sesuatu soal sawit.

8. Pantai Gading
Pantai Gading atau yang dalam bahasa Prancis dikenal dengan Cote d'Ivore merupakan negara yang terletak di Afrika Barat. Selain salah satu negara penghasil cokelat terbesar di dunia, Pantai Gading menjadi salah satu penghasil minyak sawit terbesar. Negara ini mampu menghasilkan minyak sawit sebanyak 600 ribu ton per tahun.

Pantai Gading dan Indonesia pernah bersama-sama menentang kampanye anti-sawit di Eropa pada 2013.

9. Honduras
Tak ketinggalan, Honduras juga termasuk negara penghasil sawit terbesar di dunia. Honduras mampu memproduksi sawit sebanyak 595 ribu ton per tahun. Negara ini pernah menerima bantuan bibit sawit dari Indonesia dan Malaysia melalui CPOPC setelah terkena bencana badai pada 2020.

10. Brasil
Negara ini menduduki posisi puncak penghasil minyak sawit terbesar di Amerika Latin. Jumlah produksinya mencapai 585 ribu ton per tahun. Beberapa perusahaan internasional bergantung pada ekspor sawit dari negara ini, seperti Danone, Nestle, Unilever, PepsiCo, dan Cargill. Selain penghasil sawit, Brasil memproduksi jagung sebanyak 129 ribu ton per tahun, atau setara dengan 11 persen hasil jagung dunia.

11. Ekuador
Terletak di barat laut Benua Amerika, Ekuador mampu memproduksi minyak sebanyak 480 ribu ton per tahun. Sekitar 85 persen minyak sawit Ekuador berasal dari wilayah Costa.

Sumber: https://koran.tempo.co/

Selengkapnya
11 Negara Penghasil Sawit Terbesar di Dunia 2023, Indonesia Nomor 1
« First Previous page 4 of 27 Next Last »