Perencanaan Kota

Mengubah Ruang Hijau Kota Menjadi Benteng Anti-Bencana: Studi Kasus Nanjing dan Model Pencocokan Suplai-Permintaan.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025


Mengubah Paradigma Perencanaan Ruang Hijau Bencana: Memastikan Kecocokan Suplai dan Permintaan di Metropolis Padat

Urbanisasi yang pesat telah mengubah kota-kota metropolitan padat menjadi simpul kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana, termasuk bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Konsentrasi tinggi populasi, material, dan infrastruktur memperparah dampak silang bencana, yang menuntut pendekatan perencanaan mitigasi yang lebih cerdas. Ruang Hijau Pencegahan dan Penghindaran Risiko Bencana (DPRAGS) adalah komponen penting dari sistem pencegahan bencana eksternal perkotaan, menyediakan fungsi vital seperti perlindungan, evakuasi, dan penyimpanan material darurat.

Di masa lalu, perencanaan DPRAGS seringkali hanya berfokus pada tata letak yang seimbang (equilibrium) dari sisi suplai, yang bertujuan mendistribusikan ruang hijau secara merata. Namun, pendekatan ini memiliki cacat fundamental: ia cenderung mengabaikan distribusi risiko bencana yang kompleks dan, yang lebih penting, permintaan populasi yang sesungguhnya di lokasi yang paling berisiko. Akibatnya, muncul kesenjangan yang luas antara suplai dan permintaan ruang hijau perlindungan—area yang ditandai dengan suplai yang tidak memadai, aksesibilitas rendah, dan pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien, khususnya di saat kritis.

Penelitian ini secara eksplisit mengatasi kekurangan metodologis ini. Studi ini berfokus pada peningkatan efisiensi DPRAGS dari perspektif pencocokan suplai dan permintaan (supply and demand matching), dengan mengambil area perkotaan utama Nanjing, China—sebuah metropolis padat yang representatif—sebagai studi kasus. Dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan model cakupan kapasitas maksimal terbatas (maximum capacity limitation coverage model), penelitian ini membangun jalur logis yang komprehensif untuk perencanaan tata ruang yang jauh lebih rasional dan responsif terhadap kebutuhan manusia.

Jalur Logis Perjalanan Temuan (Parafrase Isi Paper)

Penelitian ini dibangun di atas kerangka kerja empat fase yang logis, yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara perencanaan DPRAGS berbasis suplai dan realitas kerentanan multi-risiko:

Fase 1: Analisis Kesiapan dan Batas Layanan Infrastruktur

Langkah pertama adalah menetapkan parameter operasional sistem darurat perkotaan. Ini melibatkan penentuan cakupan layanan agensi penyelamat (medis, pemadam kebakaran) dan analisis jaringan jalan darurat. Ditemukan bahwa radius layanan efektif dari kendaraan penyelamat di area studi ditentukan antara 1,750 m hingga 2,500 m. Jangkauan ini, dihitung berdasarkan kecepatan respons yang realistis dalam rentang waktu kritis (misalnya, 3–5 menit), mendefinisikan batas fisik dan kognitif untuk seberapa cepat populasi dapat mengakses DPRAGS. Batas layanan ini berfungsi sebagai dasar untuk menentukan unit tata ruang DPRAGS yang terintegrasi, yang memastikan setiap unit permintaan populasi dapat dijangkau oleh suplai perlindungan dalam batas waktu emas (Golden Hour) respons darurat.

Fase 2: Pemetaan Risiko Multi-Bencana dan Bobot Relatif

Melalui kerangka penilaian risiko yang komprehensif—mencakup Bahaya (Hazard), Paparan (Exposure), dan Kerentanan (Vulnerability)—penelitian ini mengidentifikasi empat jenis bencana utama di Nanjing: gempa bumi, bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Dengan menggunakan metode pembobotan (seperti AHP dan penilaian ahli), sebuah sistem indeks risiko multi-bencana dikembangkan. Misalnya, analisis risiko gempa menunjukkan bahwa faktor Bahaya ($B_{1}$) memiliki bobot dominan sebesar 0.56, menekankan peran penting ancaman fisik primer. Dengan menggabungkan bobot ini, penelitian menghasilkan peta risiko multi-bencana terperinci. Peta ini bukan hanya untuk informasi, tetapi menjadi input krusial dalam menentukan permintaan perlindungan, sebab permintaan harus lebih tinggi di wilayah yang memiliki risiko komprehensif yang lebih besar.

Fase 3: Analisis Pencocokan Suplai-Permintaan dengan Kendala Kapasitas

Ini adalah inti inovasi. Suplai DPRAGS efektif dihitung dengan mempertimbangkan bukan hanya area total, tetapi juga kapasitas perlindungan yang sebenarnya. Secara umum, area perlindungan efektif diperkirakan mencapai 60% dari total area ruang hijau, mengasumsikan area terbuka yang benar-benar dapat digunakan untuk penampungan. Pendekatan ini juga menerapkan konsep bersarang (nested), di mana ruang hijau perlindungan yang lebih tinggi (Jangka Panjang/LTRGS) dapat menutupi dan mendukung kebutuhan ruang hijau tingkat yang lebih rendah (Jangka Pendek-Menengah/SMTRGS).

Di sisi permintaan, kebutuhan area perlindungan dihitung untuk setiap unit permintaan (berbasis komunitas) menggunakan koefisien bencana komprehensif. Dalam perhitungan kebutuhan area, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Kepadatan Populasi dan kebutuhan perlindungan, dengan koefisien 0.78 (sebagai contoh temuan) — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam perencanaan yang benar-benar berpusat pada manusia dan risiko. Berdasarkan koefisien ini, kebutuhan area perlindungan per kapita ditetapkan secara tegas: Ruang Hijau Perlindungan Darurat (ERGS) membutuhkan 1.0 $m^{2}/orang$, SMTRGS 2.0 $m^{2}/orang$, dan LTRGS 5.0 $m^{2}/orang$.

Akhirnya, hubungan pencocokan antara suplai dan permintaan diklarifikasi menggunakan model cakupan kapasitas maksimal dengan kendala kapasitas. Model ini secara matematis memaksa area perlindungan yang tersedia untuk tidak melebihi kapasitas yang dibutuhkan, sekaligus memastikan tidak ada unit permintaan yang terlewatkan—sebuah keharusan dalam kota padat yang minim lahan.

Fase 4: Perencanaan Tata Ruang Berbasis Unit dan Strategi Lokasi

Berdasarkan hasil analisis fase 3, unit tata ruang DPRAGS dibagi dan direncanakan. Strategi "tiga langkah" digunakan untuk menentukan batas unit (misalnya, radius layanan, jaringan jalan, dan batas risiko). Perencanaan tata ruang difokuskan pada peningkatan fungsi dan koordinasi spasial DPRAGS yang ada dan memprioritaskan perluasan baru hanya di area yang menunjukkan kesenjangan suplai-permintaan yang signifikan. Hasil studi ini menegaskan bahwa metode perencanaan terunitisasi yang berbasis pencocokan suplai dan permintaan secara signifikan lebih efektif dalam memenuhi persyaratan perlindungan dan meningkatkan rasionalitas tata ruang dibandingkan dengan metode konvensional.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi yang transformatif bagi perencanaan kota dan mitigasi bencana:

  • Pergeseran Paradigma ke Pencocokan: Kontribusi utama adalah mengalihkan fokus dari keseimbangan distribusi berbasis suplai ke model yang memaksakan pencocokan antara suplai area perlindungan dengan permintaan populasi yang dipengaruhi oleh risiko multi-bencana.
  • Pengembangan Metodologi Unit Terintegrasi: Studi ini memvalidasi metode perencanaan DPRAGS berbasis unit (unitized planning method) yang menggabungkan struktur jaringan "titik-garis-permukaan" (point-line-surface) dengan analisis risiko. Model maximum capacity limitation coverage secara eksplisit mengatasi masalah alokasi sumber daya yang tidak rasional di tengah kendala lahan.
  • Sistem Indikator Permintaan yang Diperkaya: Penelitian ini memperkaya analisis permintaan dengan membangun sistem indikator yang memasukkan bobot risiko komprehensif (misalnya, Kepadatan Populasi 0.78) dan mengukurnya berdasarkan standar area perlindungan per kapita yang spesifik (1.0 $m^{2}/orang$ untuk darurat, dst.).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun progresif, penelitian ini meninggalkan beberapa celah riset yang harus dieksplorasi oleh komunitas akademik:

  • Kurangnya Asosiasi Temporal-Spasial yang Dalam: Penelitian ini secara eksplisit mengakui bahwa analisis dan perencanaan DPRAGS masih kurang dalam hal asosiasi temporal dan spasial yang mendalam. Perubahan kebutuhan dan mekanisme evakuasi dari menit pertama (darurat) hingga hari ketiga (jangka panjang) perlu dimodelkan secara lebih dinamis.
  • Keterbatasan Data Populasi Dinamis: Analisis permintaan saat ini hanya didasarkan pada populasi permanen. Metropolis padat memiliki populasi mengambang (floating population) yang besar. Pengabaian dinamika populasi harian (siang/malam) dapat menyebabkan estimasi permintaan yang underestimated (terlalu rendah) di pusat bisnis pada siang hari.
  • Perilaku Pengungsi yang Non-Hierarkis: Paper mengamati bahwa pengungsi seringkali mengabaikan hirarki DPRAGS (ERGS, SMTRGS, LTRGS) dan cenderung memilih ruang yang terdekat, terbesar, atau terlengkap. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana mekanisme tata ruang dapat lebih baik mengarahkan pengungsi agar tidak membebani fasilitas yang lebih kecil.
  • Keterkaitan Fungsional dengan Ruang Pencegahan Bencana (DPS) Lain: Penelitian ini masih berfokus pada DPRAGS, namun ruang bawah tanah, sekolah, dan gimnasium juga berfungsi sebagai tempat perlindungan. Terdapat kekurangan kuantifikasi sinergi dan redundansi spasial antara DPRAGS dan fasilitas DPS lainnya.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima arahan eksplisit untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset:

  1. Integrasi Model Temporal-Spasial yang Berhirarki untuk DPRAGS
    • Justifikasi Ilmiah: Keterbatasan yang diakui dalam paper ini adalah kurangnya analisis temporal. Penelitian harus mengembangkan model alokasi-lokasi multi-objektif yang menggabungkan waktu evakuasi (aspek temporal) dengan hirarki ruang hijau (ERGS, SMTRGS, LTRGS) (aspek spasial). Model ini harus bertujuan untuk meminimalkan waktu tempuh menuju fasilitas yang menyediakan perlindungan 1.0 $m^{2}/orang$ (ERGS) dalam 30 menit pertama sembari memaksimalkan alokasi area perlindungan jangka panjang. Penelitian ini perlu menguji efisiensi evakuasi dengan mengoptimalkan tata letak berdasarkan skenario waktu kritis yang berbeda.
  2. Pemodelan Perilaku Agen (Agent-Based Modeling) untuk Permintaan Dinamis
    • Justifikasi Ilmiah: Permintaan saat ini berbasis populasi statis. Riset selanjutnya harus mengintegrasikan data dinamis populasi (data berbasis lokasi seluler) dan menerapkan Agent-Based Modeling. Hal ini memungkinkan pemodelan perilaku individu saat evakuasi (misalnya, memilih tujuan dalam radius layanan efektif 1,750 m–2,500 m) untuk menyesuaikan koefisien permintaan yang ditemukan (misalnya, 0.78). Dengan demikian, estimasi kebutuhan area perlindungan per kapita akan lebih akurat di berbagai waktu dalam sehari.
  3. Kuantifikasi Redundansi dan Sinergi Spasial DPRAGS dengan DPS Lain
    • Justifikasi Ilmiah: Mengingat kendala lahan di kota padat, sulit untuk memenuhi standar area perlindungan per kapita (misalnya, LTRGS 5.0 $m^{2}/orang$) hanya dengan ruang hijau. Penelitian harus kuantifikasi kontribusi sinergis fasilitas DPS lain (ruang bawah tanah, sekolah) terhadap total suplai area perlindungan. Metodologi harus dikembangkan untuk menilai indeks redundansi spasial—seberapa besar fasilitas non-hijau dapat "menanggung beban" DPRAGS di zona risiko tertentu.
  4. Sensitivitas Bobot Risiko Multi-Bahaya pada Konteks Geografis yang Berbeda
    • Justifikasi Ilmiah: Model yang dikembangkan terbukti rasional untuk Nanjing (dengan dominasi risiko gempa, geologi, banjir, dan kebakaran). Riset berikutnya harus menerapkan metodologi pencocokan suplai-permintaan ini pada konteks kota yang berbeda—misalnya, kota pesisir yang rentan tsunami atau kota dengan risiko erupsi vulkanik. Penelitian ini akan menguji sensitivitas bobot indeks risiko (misalnya, koefisien bahaya 0.56), memvalidasi apakah bobot yang sama dapat digunakan, atau sebaliknya, bagaimana bobot harus disesuaikan untuk ancaman dan lingkungan geografis yang berbeda.
  5. Pengembangan Indeks Kualitas Kesiapsiagaan Internal Ruang Hijau
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini merekomendasikan peningkatan fungsi internal DPRAGS (fasilitas, manajemen). Saat ini, suplai efektif hanya dihitung berdasarkan area terbuka (misalnya, 60%). Riset ke depan harus mengembangkan Indeks Kualitas Kesiapsiagaan Internal yang mengukur kesiapan fasilitas penunjang (air bersih, sanitasi, komunikasi darurat), manajemen pemeliharaan, dan faktor keamanan lainnya. Indeks ini akan melampaui perhitungan area semata, memberikan tolok ukur yang lebih realistis untuk efektivitas DPRAGS di lapangan.

Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini telah meletakkan dasar metodologis yang kuat untuk perencanaan DPRAGS yang lebih efektif dan rasional. Dengan secara eksplisit menyelaraskan suplai area perlindungan dengan permintaan yang didorong oleh risiko multi-bahaya dan populasi, studi ini menawarkan kerangka kerja yang menjanjikan untuk meningkatkan efisiensi evakuasi dan kemampuan manajemen darurat perkotaan secara keseluruhan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Nanjing Forestry University, lembaga perencanaan tata ruang nasional dan regional di Indonesia (seperti Bappenas dan Bappedalitbang daerah), dan Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memastikan keberlanjutan, adaptasi, dan validitas hasil di berbagai konteks geografis Asia Tenggara.

Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Mengubah Ruang Hijau Kota Menjadi Benteng Anti-Bencana: Studi Kasus Nanjing dan Model Pencocokan Suplai-Permintaan.

Perencanaan Kota

Mengurai Rumitnya Izin Bangunan: Studi Kasus di Banjarmasin dan Arah Riset Selanjutnya

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 September 2025


1.1. Latar Belakang Penelitian dan Signifikansinya

Perizinan mendirikan bangunan (IMB) adalah instrumen krusial dalam administrasi publik untuk mengendalikan pertumbuhan kota, memastikan keselarasan pembangunan dengan rencana tata ruang, serta menjamin keselamatan struktural dan lingkungan. Di tengah gelombang urbanisasi yang masif, khususnya di kota-kota seperti Banjarmasin, implementasi kebijakan ini menjadi barometer efektivitas tata kelola pemerintahan. Paper yang berjudul "Juridical Study in Implementing A System on Licensing for Establishing Buildings in Banjarmasin City" ini secara spesifik menyoroti dinamika tersebut, menjadikannya studi kasus yang relevan untuk tantangan yang lebih luas dalam tata kelola perkotaan di Indonesia. Latar belakang penelitian ini berangkat dari observasi awal bahwa meskipun IMB merupakan prasyarat hukum, banyak bangunan di Banjarmasin didirikan tanpa izin yang sah.1 Hal ini mengindikasikan adanya disonansi fundamental antara kerangka hukum yang ideal dan realitas implementasinya di lapangan.

1.2. Ringkasan Eksekutif Paper (Temuan Utama)

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkaji mekanisme serta hambatan yang terjadi selama proses pemberian IMB di Kota Banjarmasin.1 Dengan mengadopsi metode penelitian yuridis empiris, para peneliti tidak hanya menganalisis teks hukum yang berlaku (Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 15 Tahun 2012) tetapi juga mengumpulkan data primer melalui wawancara dan kuesioner dengan petugas dan pemohon izin. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif deskriptif untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang kondisi, sikap, dan hambatan yang ada.1

Secara ringkas, temuan kunci dari paper ini adalah sebagai berikut: Meskipun sistem IMB di Banjarmasin telah diatur dalam sistem daring yang terstruktur melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) 1, implementasinya masih menghadapi berbagai hambatan. Terdapat kesenjangan signifikan antara kerangka regulasi yang ada dan praktik di lapangan. Hambatan-hambatan ini berkisar dari rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya IMB hingga inefisiensi prosedural yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi. Temuan ini secara tegas menunjukkan bahwa keberadaan sistem daring yang transparan saja tidak cukup untuk mengatasi tantangan yang berakar pada isu-isu sosial, budaya, dan institusional.1

2.1. Alur Logis dari Masalah ke Temuan

Paper ini membangun argumennya melalui alur logis yang terstruktur. Dimulai dengan identifikasi masalah, yaitu maraknya bangunan tanpa IMB di Banjarmasin.1 Masalah ini tidak hanya dipandang sebagai isu kepatuhan, tetapi sebagai manifestasi dari kegagalan sistem dalam mencapai tujuan fundamentalnya, yakni penataan ruang dan keselamatan publik. Untuk memahami akar masalah, para peneliti memilih pendekatan yuridis empiris, sebuah metode yang sangat tepat untuk mengkaji kesenjangan antara "hukum dalam buku" dan "hukum dalam aksi".1

Melalui metode ini, penelitian pertama-tama memetakan alur permohonan IMB yang ideal, sebagaimana tertera pada situs web DPMPTSP.1 Alur ini, yang secara teoretis berjalan mulus dan transparan, menjadi kerangka perbandingan. Kemudian, melalui data primer yang dikumpulkan di lapangan, penelitian ini menemukan bahwa alur ideal tersebut tidak selalu terwujud. Temuan ini secara sistematis menyimpulkan bahwa hambatan bukan berasal dari ketiadaan sistem, melainkan dari eksekusi sistem itu sendiri yang tidak optimal.1

2.2. Analisis Kualitatif Mendalam terhadap Dimensi Pelayanan Publik

Penelitian ini secara rinci mengkaji enam dimensi pelayanan publik, memberikan gambaran yang kaya tentang inefisiensi sistem. Berikut adalah analisis mendalam terhadap temuan tersebut:

  • Transparansi (Transparency): Paper menemukan bahwa informasi persyaratan dan prosedur tersedia di situs web resmi DPMPTSP.1 Namun, kutipan dari responden menyoroti bahwa ketersediaan informasi tidak sama dengan aksesibilitas universal. Pernyataan dari "oldster" yang kesulitan mengakses website menunjukkan adanya kesenjangan digital yang signifikan. Ini menyiratkan bahwa strategi pelayanan yang sangat bergantung pada platform daring berpotensi memarginalkan segmen populasi tertentu. Pertanyaan yang muncul adalah apakah transparansi tanpa aksesibilitas yang merata dapat dianggap sebagai pelayanan yang berkualitas?
  • Akuntabilitas (Accountability): Petugas dinilai "melayani dengan baik dan bertanggung jawab" namun "tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP)".1 Ini adalah manifestasi dari implementasi birokrasi yang longgar. Laporan ini menunjukkan bahwa akuntabilitas formal, seperti bebas dari pungutan liar, tidak selalu sejalan dengan akuntabilitas prosedural, yaitu kepatuhan terhadap SOP. Ketidakpatuhan terhadap SOP menciptakan ketidakpastian bagi pemohon dan merusak kredibilitas sistem secara keseluruhan. Mengapa SOP tidak dipatuhi? Ini mungkin berkaitan dengan kurangnya pengawasan, beban kerja yang tinggi, atau bahkan adanya budaya kerja yang pasif.
  • Kondisional (Conditional) & Durasi Proses: Meskipun alur proses terdefinisi jelas, permohonan seringkali "tidak bisa diproses dalam waktu yang cepat dan tepat" dan "memakan waktu lama".1 Ini adalah indikator langsung dari inefisiensi sistem. Salah satu penyebab utama yang diidentifikasi adalah kurangnya sumber daya manusia dan penguasaan teknologi untuk input data manual.1 Ada hubungan kausal langsung antara kompetensi teknis yang rendah dan waktu pemrosesan yang lama. Proses yang lambat ini pada gilirannya membuat masyarakat enggan patuh, sehingga memperkuat fenomena pembangunan ilegal.
  • Kesetaraan (Equality): Layanan seharusnya setara, namun "ikatan kekerabatan, pertemanan, dan keluarga" memainkan peran dalam perbedaan perlakuan.1 Ini adalah temuan paling kritis, menyingkap adanya nepotisme birokrasi. Pelanggaran prinsip kesetaraan ini merusak kepercayaan publik dan menunjukkan bahwa sistem pelayanan IMB di tingkat praktis tidak beroperasi atas dasar meritokrasi atau prinsip hukum, melainkan interaksi sosial. Hal ini memiliki implikasi serius terhadap tata kelola yang baik dan menunjukkan bahwa reformasi birokrasi harus mencakup aspek etika dan pengawasan internal yang lebih ketat.

2.3. Sorotan Data Kuantitatif Deskriptif

Salah satu data kuantitatif paling berharga dalam paper ini adalah hasil dari penelitian lain (Nurfansyah, 2007) yang dikutip. Data tersebut menunjukkan bahwa hanya 60.46% dari masyarakat di Kecamatan Banjarmasin Utara yang memahami IMB.1 Angka ini adalah titik data dasar yang kuat untuk mengukur keberhasilan program sosialisasi di masa depan dan berfungsi sebagai bukti empiris bahwa rendahnya kesadaran publik adalah akar masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan perbaikan sistem daring. Lebih lanjut, paper juga mengutip studi dari Fansuri & Nurholis (2016) yang menemukan bahwa hanya 29% warga Sumenep yang mengajukan izin sebelum bangunan didirikan, menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya unik di Banjarmasin.1

 

3.1. Kontribusi Teoritis

Paper ini memperkaya literatur yuridis empiris dengan memberikan studi kasus konkret yang menunjukkan "kesenjangan implementasi" (implementation gap). Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat berfungsi sebagai template untuk menganalisis bagaimana sebuah peraturan yang "sempurna di atas kertas" dapat gagal dalam praktik karena faktor-faktor manusiawi dan institusional. Selain itu, penelitian ini secara implisit menyumbang pada teori tata kelola digital dengan menyoroti bahwa adopsi teknologi tanpa mempertimbangkan "kesenjangan digital" dapat memperburuk, bukan memperbaiki, kualitas pelayanan publik.

3.2. Kontribusi Praktis

Temuan dari paper ini memberikan rekomendasi praktis bagi DPMPTSP Kota Banjarmasin dan lembaga serupa di kota lain. Laporan ini menunjukkan bahwa fokus tidak seharusnya hanya pada penyempurnaan alur daring, tetapi juga pada peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) dan strategi sosialisasi yang lebih inklusif dan berbasis komunitas. Solusi yang diusulkan, seperti sosialisasi yang lebih intensif dan peningkatan kompetensi petugas, secara langsung mengatasi hambatan yang ditemukan.

4.1. Keterbatasan Metodologi dan Data

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang penting untuk dicatat. Fokus pada satu kota, Banjarmasin, membuat generalisasi temuannya terbatas. Meskipun paper ini mengutip beberapa studi dari kota lain untuk perbandingan, analisisnya tidak bersifat komparatif secara sistematis. Lebih lanjut, data kuantitatif yang disajikan sangat minim, hanya mencakup persentase pemahaman dari studi lain. Tidak ada data numerik asli tentang durasi rata-rata proses IMB, jumlah permohonan yang ditolak, atau persentase pelanggaran yang berhasil ditindak. Hal ini membatasi kedalaman analisis korelasional antara hambatan dan tingkat kepatuhan.

4.2. Pertanyaan Terbuka yang Membutuhkan Riset Lanjutan

Dari keterbatasan di atas, muncul beberapa pertanyaan penting yang membutuhkan penelitian lanjutan:

  • Bagaimana korelasi antara tingkat pendidikan dan literasi digital dengan tingkat kepatuhan dalam permohonan IMB?
  • Apa dampak ekonomi dan sosial dari durasi proses IMB yang lama terhadap pelaku usaha kecil dan menengah?
  • Seberapa efektif sanksi denda dan pidana sebagai deteran, dan bagaimana tingkat penegakannya di lapangan?
  • Bagaimana perbandingan mekanisme dan hambatan IMB antara kota dengan populasi dan karakteristik sosio-ekonomi yang berbeda?

 

Setiap rekomendasi berikut disusun berbasis temuan dalam paper ini, dengan justifikasi ilmiah yang kuat.

  1. Studi Komparatif Lintas-Kota tentang Kualitas Pelayanan IMB. Paper ini menunjukkan bahwa masalah IMB di Banjarmasin adalah perpaduan unik antara kerangka hukum dan realitas lokal. Penelitian lebih lanjut perlu memvalidasi apakah hambatan serupa (kesenjangan digital, inefisiensi, dan nepotisme) juga terjadi di kota-kota lain. Pendekatan mixed-methods direkomendasikan, dengan menggunakan survei skala besar (kuantitatif) di beberapa kota untuk mengukur dimensi pelayanan dan dilanjutkan dengan studi kasus kualitatif untuk wawancara mendalam. Variabel baru yang dapat diukur mencakup waktu rata-rata pemrosesan dan tingkat kepuasan pemohon.
  2. Analisis Korelasi antara Peningkatan Aksesibilitas Digital dan Tingkat Kepatuhan Regulasi IMB. Paper ini mengisyaratkan bahwa kurangnya akses dan kemampuan menggunakan internet adalah hambatan. Perlu penelitian yang secara eksplisit menguji hipotesis bahwa peningkatan aksesibilitas layanan daring secara langsung berkorelasi dengan peningkatan tingkat kepatuhan IMB. Pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi dapat digunakan untuk mengumpulkan data historis IMB dan variabel seperti tingkat literasi digital dan cakupan internet di berbagai sub-wilayah kota.
  3. Evaluasi Kebijakan Sosialisasi IMB Berbasis Komunitas dan Dampaknya terhadap Kesadaran Publik. Data kuantitatif yang langka namun signifikan menunjukkan rendahnya kesadaran publik.1 Penelitian ini harus merancang dan menguji intervensi sosialisasi baru yang berfokus pada komunitas (misalnya, melalui RT/RW) dan mengukur efektivitasnya dalam meningkatkan pemahaman dan niat untuk patuh. Metode
    eksperimen kuasi dapat digunakan dengan membandingkan kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Variabel baru yang dapat diukur adalah skor kuesioner tingkat pemahaman masyarakat dan niat untuk memohon izin.
  4. Studi Kasus Mendalam tentang Peran Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) dalam Proses Hukum Pelanggaran IMB. Paper ini menyebutkan berbagai sanksi dan peran TABG dalam proses pidana. Namun, efektivitas penegakan hukum dan peran TABG tidak dieksplorasi secara mendalam. Penelitian ini akan mengkaji mengapa, meskipun sanksi berat ada, pelanggaran tetap marak. Pendekatan studi kasus kualitatif direkomendasikan, dengan wawancara mendalam terhadap anggota TABG, aparat penegak hukum, dan pemilik bangunan yang pernah melanggar. Variabel baru yang diukur mencakup jumlah kasus yang sampai ke pengadilan dan persepsi pemilik bangunan terhadap risiko sanksi.
  5. Analisis Kualitatif tentang Budaya Birokrasi dan Hubungannya dengan Inefisiensi Pelayanan IMB. Paper ini mengidentifikasi nepotisme dan ketidakpatuhan terhadap SOP sebagai hambatan utama. Penelitian harus menyelami lebih dalam dinamika internal birokrasi, mengidentifikasi norma-norma tidak tertulis yang memengaruhi perilaku petugas. Pendekatan studi etnografi atau penelitian partisipatoris dapat dilakukan untuk mengamati interaksi di kantor DPMPTSP, mewawancarai petugas di berbagai tingkat hierarki, dan menganalisis alur kerja internal untuk mengidentifikasi inefisiensi yang tidak terdokumentasi.

Penelitian ini merupakan landasan yang krusial bagi pemahaman tentang tantangan implementasi tata kelola perkotaan di Indonesia. Meskipun sistem perizinan daring telah dibangun, tantangan yang berakar pada kesenjangan digital, budaya birokrasi yang belum optimal, dan rendahnya kesadaran publik masih menjadi pekerjaan rumah besar. Temuan ini secara eksplisit menunjukkan bahwa reformasi birokrasi tidak bisa berhenti pada digitalisasi semata, tetapi harus menyentuh aspek-aspek sosio-teknis dan kelembagaan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi hukum (misalnya, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada), institusi perencanaan kota (misalnya, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB), dan instansi pemerintah terkait (misalnya, Kementerian PUPR) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk merumuskan kebijakan yang berbasis bukti.

Baca selengkapnya di https://doi.org/10.18196/jphk.v3i1.13411

Selengkapnya
Mengurai Rumitnya Izin Bangunan: Studi Kasus di Banjarmasin dan Arah Riset Selanjutnya
« First Previous page 2 of 2